Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom Bagian 2
ikan-ikan di Danau Wiesenbeck begitu pemalu, sehingga mereka
hanya mau menggigit umpannya dalam suasana hening.
Pengail itu seorang pria berbadan gempal, berkepala besar, dan
berpakaian serba hijau. Ia mengenakan sepatu lars karet yang
menutupi kakinya sampai ke bawah lutut. Peralatan memancing
ditumpuk di sampingnya. Topinya ditarik ke bawah, sehingga kedua
matanya nyaris tidak terlihat.
Sporty menegurnya ramah, tapi pria itu meringis.
"Sudah banyak yang ditangkap?" tanya Oskar sambil nyengir.
"Belum" Hmm, beruntunglah ikan-ikan itu."
Kalau berada di samping Sporty, anak itu memang suka nekat.
Sporty menyandarkan sepedanya, lalu membuka pintu pagar.
"Heh!" si pengail berseru. "Mau apa kalian?"
"Mau masuk!" "Kalian tidak bisa baca"! Itu ada tanda dilarang masuk!"
"Larangan itu tidak berlaku bagi kami."
"Jangan kurang ajar, ya! Kau bukan anggota keluarga
Simback." Sporty ketawa. "Rupanya Bapak penjaga daerah ini, ya"
Apakah Bapak bisa menunjukkan kartu identitas?"
"Dasar bocah brengsek! Saya melarang kalian untuk masuk ke
pekarangan Pak Simbock! Mengerti"!"
"Wah, wah, wah," jawab Sporty, "ini mulai tidak lucu. Tadinya
saya kira Bapak hanya sekadar sok galak bukan pada tempatnya. Tapi
kalau Bapak mulai memaki-maki kami, urusannya jadi lain lagi.
Sebaiknya Bapak bersikap lebih sopan. Sebab kalau tidak, saya
terpaksa melilitkan tali pancing Bapak pada leher Bapak sendiri!"
Wajah si pengail menjadi merah-padam. Matanya nampak
menyala penuh dendam. Kalau saja lawan bicaranya seorang pemuda
ceking, maka pasti sudah lama ditampamya. Tapi melihat potongan
Sporty, si pengail tidak berani mengambil risiko.
"Awas," ia mendesis sambil memicingkan mata, "kalian akan
saya laporkan pada polisi!"
"Silakan saja," ujar Sporty dengan tenang. "Para polisi pun
takkan menyia-nyiakan kesempatan untuk memperoleh hiburan secara
gratis." Sementara itu, Oskar juga telah menyandarkan sepedanya.
Tanpa menaruh perhatian lebih lanjut pada si pengaii, kedua anak itu
menuju ke pondok sauna. "Mandi uap," kata Oskar sambil mengusap keningnya seakanakan penuh keringat.
"Barangkali itulah olahraga yang cocok untuk
aku. Badan jadi kurus tanpa perlu bergerak."
"Mandi uap tidak bisa menguruskan Badan," Sporty mengajari
sahabatnya. "Kau memang mengeluarkan air dalam bentuk keringat,
tapi setelah itu kau juga merasa haus. Dan begitu kau minum, berat
badanmu akan kembali seperti semula."
"Oh, begitu! Terus, untuk apa dong orang mandi uap?"
"Mandi uap bisa meningkatkan ketahanan tubuh terhadap pilek.
Di samping itu, tubuh juga mengeluarkan zat-zat beracun yang
terkandung dalam makanan - misalnya coklat."
"Heh, jangan sembarangan!" Oskar langsung memprotes "Itu
kan berarti bahwa ayahku produsen zat beracun!"
"Oskar, seorang cendekiawan pernah mengatakan bahwa
takaranlah yang menentukan apakah sesuatu bermanfaat atau bersifat
sebagai racun. Kuncinya adalah kemampuan untuk menentukan
takaran yang tepat. Dan dalam hal coklat, kemampuan itu tidak
kaumiliki." Mereka kini telah sampai di pondok sauna, namun masih harus
mengelilinginya, sebab pintunya berada di sisi sebelah sana.
Kaki Sporty menginjak rumput basah yang nampak segar.
Potongan kayu dan sisa bahan pembungkus nampak tergeletak di
mana-mana. Rupanya sampah itu tidak dibereskan setelah pondok
sauna selesai didirikan. Sporty menghampiri pintu. Namun tiba-tiba ia berhenti seperti
terpaku. Oskar, yang menyusul sambil menoleh ke arah danau, sertamerta menabrak
sahabatnya. "Apa... astaga!"
Terbengong-bengong mereka menatap pintu sauna. Kuncinya
ternyata telah dibuka dengan paksa.
"Luar biasa," kata Oskar. "Dugaanku ternyata tepat. Begitu
pondok saunanya selesai, babi-babi hutan langsung kepingin
mencobanya." "Aneh," Sporty berujar sambil menggeleng. "Apa yang bisa
dicuri dari pondok sauna ini" Peralatan di dalamnya hanya berguna
bagi seseorang yang juga memiliki sauna."
"Jangan lupa," Oskar menanggapinya. "Arloji Pak Simbock
ketinggalan di sini."
"Aku tahu. Tapi si pencuri kan tidak mungkin tahu bahwa di
dalam pondok ini ada jam tangan berlapis emas!"
"Kasihan Pak Simbock! Ibu mertuanya pasti akan marah-marah
kalau mendengar berita ini."
Pelan-pelan Sporty membuka pintu. Ruangan di dalam pondok
ternyata dibagi dua. Begitu masuk, Sporty langsung melihat lemari
pakaian yang diceritakan oleh Pak Simbock. Di sebelah kirinya
terdapat pintu ruang sauna yang sebenarnya, tempat orang bermandi
uap. Dan di sebelah kanan ada pancuran serta tempat cuci tangan.
Dilihat sepintas lalu, keadaan di dalam pondok sauna biasabiasa saja - tidak ada
yang tampak mencurigakan.
Sporty lalu membuka lemari pakaian.
Lemari itu ternyata dalam keadaan kosong. Tentu saja! Tapi
kemudian Sporty nyaris tidak mempercayai pandangannya - sebuah
jam tangan emas tergeletak di rak paling atas. Jarumnya bergerak
tanpa mengeluarkan suara dan menunjukkan waktu yang persis sama
dengan arloji di pergelangan tangan Sporty.
"Arlojinya masih ada," ujar Oskar terheran-heran. "Hmm, keren
juga. Pasti mahal sekali. Ibu mertua Pak Simbock rupanya tidak
sepelit yang kuduga."
"Dan di bagian belakangnya malah digravir," kata Sporty
sambil mendekat ke pintu agar bisa membaca tulisan itu. "Untuk
Eduard tercinta... kelihatannya Nyonya Schladdernitz-Eppelsheim
cukup memperhatikan menantunya. Aneh!"
"Ah, itu kan biasa!" Oskar berkomentar. "Ibu mertua yang
menyayangi menantunya memang jarang ada, tapi..."
"Bukan itu maksudku. Yang aneh adalah bahwa seseorang telah
mendobrak pintu, tapi kemudian tidak mengambil arloji emas ini padahal inilah satu-satunya barang berharga di sini."
"Barangkali orang itu hanya kepingin melihat sauna dari dalam.
Atau mungkin juga dia mau merasakan mandi uap secara gratis."
"Coba kita lihat-lihat dulu. Jangan-jangan memang ada yang
hilang" Sporty berpaling ke kiri lalu memeriksa ruang sauna. Namun
kelihatannya tidak ada yang kurang. Ia kurang lebih tahu peralatan apa
saja yang diperlukan untuk mandi uap.
Ketika ia berbalik, Oskar berdiri di hadapannya sambil nyengir
lebar. Di tangannya ada sebuah bungkusan yang terikat tali.
"Paket ini kutemukan di tempat cuci tangan. Pertama-tama aku
kira isinya tikus. Tapi sekarang aku yakin, ada jam di dalamnya."
"Jam?" "Ya, detak jarumnya terdengar jelas."
"Apaaa"!" teriak Sporty. "Ada suara berdetak?"
"Kenapa kau tiba-tiba berteriak seperti orang gila yang..."
Oskar tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Tanpa mengambil ancang-ancang Sporty melompat maju,
merampas paket tadi dari tangan Oskar, dan berlari keluar. Dengan
langkah panjang ia menyeberangi lapangan rumput. Masih sambil
berlari anak itu lalu mengayunkan tangan dan melemparkan paket itu
ke tengah danau. Bungkusan itu jatuh kira-kira 15 meter dari tepian dan langsung
tenggelam. Yang tersisa hanyalah gelombang-gelombang kecil pada
permukaan air. Oskar masih berdiri di ambang pintu.
"Ada apa sih?" ia bertanya sambil mengerutkan kening.
"Cepat, Oskar! Cari tempat berlindung! Apakah kau tidak tahu
bagaimana cara kerja bom waktu" Jam berdetak di dalam
bungkusan - itu pasti sebuah bom waktu. Bom itu bisa meledak kapan
saja. Mungkin sekarang, mungkin baru sepuluh jam lagi. Tapi
menentengnya seperti kau tadi - itu sih sama saja dengan bunuh diri."
"Tapi... tapi... kenapa justru di sini?"
"Mana kutahu" Pokoknya aku ingin tahu apakah bom itu masih
akan meledak atau tidak. Soalnya ada jenis detonator - alat peledak yang tidak boleh kena air. Tapi ada juga yang tidak terpengaruh sama
sekali." Perhatian Sporty lalu beralih pada si pengail yang sedang
berlari mendekat. Ada apa lagi nih" pikir Sporty.
Pria itu tentu saja tidak mendengar penjelasan Sporty pada
Oskar. Tapi dia sempat melihat bahwa ada sesuatu yang dibuang ke
danau. "Kau membuang sampah ke danau!" ia berteriak dengan geram.
"Apa kau tidak tahu bahwa itu dilarang, heh" Sembarangan saja!!!"
"Coba kaudengar itu," Sporty berkata pada Oskar. "Lama-lama
menjengkelkan juga. Orang seperti itu seharusnya ditenggelamkan
saja." "Kali ini kalian benar-benar kelewatan," si pengail marahmarah. Ia telah berdiri
di hadapan Sporty sambil bertolak pinggang.
"Saya akan melaporkan kalian ke potisi!"
"Yang saya buang ke danau bukan sampah, tetapi sebuah bom,"
Sporty menjelaskan dengan sabar. "Kalau Bapak baca koran, Bapak
pasti tahu bahwa di kota ini lagi ada segerombolan pemasang bom
yang terus-terusan membuat ulah. Bom itu kami temukan di dalam
sauna. Tidak ada pilihan lain kecuali segera melemparnya ke danau.
Soalnya kami tidak tahu kapan bom itu akan meledak."
"Dasar berandal kurang ajar!" si pengail meraung-raung.
"Berani-beraninya membohongi orang tua, ya"!!! Saya lihat sendiri,
kau membuang sampah ke danau dan..."
Kalimatnya tiba-tiba terpotong oleh suatu kejadian di bawah
permukaan air. Memang - ledakan itu tidak terlalu keras. Tetapi apa
yang terlihat oleh mata ternyata cukup menakjubkan. Permukaan
danau bergejolak seakan-akan dasarnya diguncang-guncang oleh
gempa yang hebat. Sebuah kolom air menjulang ke angkasa tingginya paling tidak sepuluh meter. Lumpur, lumut, dan berbagai
macam tanaman air lainnya terlempar ke udara. Untuk sesaat
permukaan danau nampak seperti mendidih. Kemudian airnya kembali
tenang. Hanya beberapa ikan kecil terlihat mengapung dengan perut
menghadap ke atas: mati. Si pengail berdiri dengan mulut menganga lebar. Dengan mata
terbelalak ia menatap permukaan air danau.
"Aku... aku... sempat memegang paket itu," ujar Oskar terbatabata. Seluruh tubuhnya gemetar.
"Wah, ledakannya cukup hebat," Sporty mengomentari kejadian
itu. "Seandainya kita terlambat sampai di sini, sauna Pak Simbock
pasti hancur berantakan. Busyet! Ada apa di balik ini semua"
Ledakan-ledakan yang sudah-sudah - semuanya seakan-akan tanpa
tujuan. Ancaman terhadap sekolah kita, ledakan di garasi Pak
Glockner, lalu usaha meledakkan sauna di sini - apa yang hendak
dicapai oleh para pemasang bom itu" Jangan-jangan mereka
sebenarnya pasien rumah sakit jiwa."
"Bayangkan..." kata Oskar dengan wajah pucat pasi,
"...bayangkan bagaimana nasib kita kalau kita datang sepuluh menit
lebih lambat... Aduh!" Ia memegangi perutnya. "Rasanya aku akan..."
Tanpa penjelasan lebih lanjut ia segera berlari ke balik semaksemak terdekat.
Sporty kemudian berpaling pada si pengail yang masih
terbengong-bengong. "Mudah-mudahan Bapak percaya sekarang bahwa kami tidak
bohong. Kami akan menghubungi polisi. Saya harus melaporkan nama
Bapak, karena Bapak satu-satunya saksi selain kami berdua. Siapa
nama Bapak?" "Herbert Lutz." Pria itu juga menyebutkan alamatnya, lalu
berkata bahwa ia akan menunggu di sini sampai polisi tiba.
Oskar kembali. Ia agak malu karena sarafnya ternyata tidak
terbuat dari baja, namun berusaha menutup-nutupinya dengan
memaki-maki para pemasang bom.
Setelah memasukkan arloji Pak Simbock ke dalam kantong
celana, Sporty dan Oskar kembali ke asrama. Dari GUDANG SAPU,
ruang telepon umum di lantai bawah, mereka menghubungi Komisaris
Glockner. Ayah Petra itu ternyata masih duduk di balik meja tulisnya.
Sambil terheran-heran ia mendengarkan laporan kedua sahabat anak
gadisnya. Chapter 9 Pria di Dalam Peti MATAHARI pada siang hari berikutnya nampak berlindung di
balik kabut tipis. Meskipun demikian cuaca masih bisa dikatakan
ramah, sesuatu yang berlawanan 180 derajat dengan pikiran yang ada
di kepala para anggota kelompok Diablo.
Ketiga-tiganya duduk berdesak-desakan di bangku depan
sebuah mobil angkutan yang mereka sewa. Mobil kecil dan berwarna
terang itu telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Di
kedua sisinya terdapat gambar tempel besar bertulisan: KOGEL &
CO-PEMBUAT MEBEL TERBAIK.
Tentu saja tidak ada perusahaan pembuat mebel bernama
Kogel. Justru itulah penyamaran mereka.
Klaus Heye, si bekas petinju merangkap pemimpin kelompok
Diablo, memegang kemudi. Tanpa henti ia mengunyah permen karet,
sambil sesekali nyengir lebar. Ia mengenakan overall berwarna abuabu - seragam
kerja yang lumrah bagi sopir angkutan. Franz
Katzdobler, alias si Mata Kodok, duduk di sebelah bosnya. Ia
mengenakan seragam yang sama. Satu-satunya yang berpakaian lain
adalah Rudi. Ia memakai overall berwarna biru yang sangat bersih dan
diseterika dengan rapi. Sepanjang perjalanan mereka berbicara seperlunya saja dan
lebih banyak diam. Hanya Franz Katzdobler yang memecahkan
keheningan dengan bersendawa beberapa kali. Ia habis makan sayur
kol, meskipun tahu bahwa perutnya tidak tahan.
Kini mereka membelok ke Jalan Fritz-Meier. Heye menjalankan
kendaraannya sampai ke kotak telepon umum, lalu berhenti.
Si Mata Kodok menunjuk ke depan.
"Kira-kira 500 meter lagi! Yang ada tong sampah, tuh! Itu
rumahnya!" Yang dimaksud Franz Katzdobler adalah rumah Adolf Burkert.
"Kalau begitu, apalagi yang kita tunggu"!"
Heye meludah ke luar jendela, menarik dua buah lempengan
plastik kecil dari kantong; kemudian memasukkan keduanya ke dalam
mulut. "Nah," ia bertanya, "bagaimana suaraku sekarang?"
"Agak lain, Bos," jawab si Mata Kodok. "Seperti orang yang
ngomong sambil mengunyah."
"Persis seperti yang kuinginkan. Beginilah suaranya Pit, si
Monyet."
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan kau percaya bahwa Adolf Burkert bisa ditipu dengan cara
ini?" "Lihat saja nanti. Waktu masih di penjara, Pit dan Burkert akrab
sekali. Pit beberapa kali mencegah Burkert dihajar anak-anak yang
lain. Kecuali itu, Pit juga hendak memperkenalkan si Tolol itu
dengan beberapa penjudi begitu keluar dari penjara. Tapi untuk itu si
Pit masih harus menunggu dua tahun lagi. Kecuali kalau ia
memperoleh keringanan hukuman karena berkelakuan baik. Siapa
tahu, hahaha!" Heye turun dari mobil. Ia masuk ke kotak telepon umum, lalu
mengangkat gagang. Ia memasukkan beberapa keping uang logam,
lalu memutar nomor telepon Adolf Burkert. Setelah menunggu
beberapa lama, baru ada orang menyahut.
"Burkert di sini."
"Wah, ternyata memang dia!" ujar Heye. "Halo, apa kabar?"
Burkert sepertinya agak ragu-ragu. "Siapa ini?"
"Kau tidak mengenal suaraku" Busyet, Adolf! Ini Pit, si
Monyet!" "Haaah?" Burkert berseru dengan gembira. "Pit" Di mana kau
sekarang" Masih di penjara?"
"Mana ada napi yang bebas menelepon dari penjara"
Belakangan ini memang sudah banyak kemajuan, tapi belum sampai
sehebat itu. Aku di luar sekarang. Aku memaksakan diri untuk
berkelakuan baik, dan akhirnya mendapat pembebasan bersyarat."
"Hebat, benar-benar hebat, Pit! Aku turut gembira. Kita harus
ketemu, nih. Di mana..."
"Justru itu yang mau aku usulkan. Soalnya aku punya berita
menarik untukmu. Aku lagi dalam perjalanan menuju rumahmu.
Sekarang ini aku ada di Hartinghausen menunggu kereta. Setengah
jam lagi aku sampai. Kau bisa menjemputku di stasiun" Bukan apaapa, aku hanya
kepingin merasakan nikmatnya naik Rolls-Royce.
Wah, pasti nyaman sekali..."
"Tentu saja aku akan menjemputmu, Pit. Habis ini aku langsung
berangkat." "Adolf, kau memang sahabat sejati. Cuma ada satu masalah
kecil: aku mungkin tidak keburu mengejar kereta berikut. Tapi kalau
pakai kereta sesudahnya, aku baru sampai sekitar jam empat kurang
seperempat." "Ah, tidak apa-apa."
"Apa kau bisa menunggu selama itu" Terus terang saja, aku
takut nyasar, nih! Maklum deh, aku kan sudah bertahun-tahun tidak
pernah naik kereta."
"Beres, Pit! Jangan khawatir. Aku akan menunggumu di
restoran stasiun. Kabarnya, anggur di situ cukup enak."
"Oke, Adolf. Sampai nanti. Dan terima kasih sebelumnya."
"Sama-sama, Pit." Klik.
Heye mengembalikan gagang telepon pada tempat semula.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana.
Sambil tersenyum puas ia kembali ke mobil. Kedua rekannya
lalu diberitahunya bahwa tahap pertama dari rencana mereka berjalan
mulus. Selanjutnya mereka diam lagi, dengan pandangan terarah ke
depan. Lima menit kemudian Rolls Royce berwarna biru malam
kepunyaan Adolf Burkert telah menggelinding ke jalan, lalu menuju
ke arah yang berlawanan, dan Heye beserta kawan-kawannya
menunggu sampai mobil itu membelok dan menghilang dari
pandangan mereka. "Ayo, Rudi!" si Mata Kodok berkata. "Dan awas kalau
kaubatuk, bersin, atau mengeluarkan suara-suara lain."
"Tenang saja," jawab si Rambut Pirang. "Aku bahkan takkan
bersendawa. Sebab kaulah yang paling ahli dalam soal ini."
Ia turun dari mobil, dan membuka pintu belakang. Di dalamnya
ada sebuah peti antik berwarna coklat tua yang nampak kokoh.
Rudi segera naik, menutup pintu, lalu masuk ke dalam peti.
Pertama-tama ia merasa seperti berada di dalam peti mayat.
Keringatnya mulai bercucuran. Namun kemudian ia berhasil
menguasai diri, meskipun nyaris tidak bisa bergerak. Untung saja
bagian belakang peti berlubang, sehingga ia bisa bernapas tanpa
kesulitan. "Siap?" si Mata Kodok bertanya.
"Siap!" jawab Rudi. Suaranya seakan-akan berasal dari tempat
yang jauh sekali. Dengan tangan kiri ia meraba-raba peralatan yang
tergeletak di sampingnya: kunci palsu, sebuah linggis, sarung tangan,
serta dua buah kantong untuk membawa hasil curian nanti.
"Dan sekarang, para hadirin," Heye mengumumkan dengan
gaya pembawa acara kawakan, "Anda akan menyaksikan penampilan
pria di dalam peti."
Mobil angkutan itu mulai bergerak dan dalam sekejap saja
sudah sampai di depan pekarangan Adolf Burkert. Heye melewati
garasi, lalu berhenti persis di depan pintu rumah.
Ketika menekan bel, pria itu memegang sebuah surat tugas yang
dipalsukan secara asal-asalan. Namun baru beberapa saat kemudian
ada yang membuka pintu. "Selamat siang," ujar Heye. "Kami mengantarkan peti yang
dipesan oleh Tuan Burkert."
"Bagaimana?" tanya Paul Riebesiel, si pelayan tua yang sudah
mulai pikun. "Tolong agak lebih keras. Pendengaran saya tidak begitu
baik. "Mudah-mudahan penglihatanmu sama parahnya, pikir Heye.
Kemudian ia berseru, "Kami membawa peti antik pesanan Tuan
Burkert." "Peti apa?" "Tuan Burkert membeli sebuah peti kemarin. Kami ditugaskan
untuk mengantarkannya. Beliau sudah membayar. "
"Oh, peti itu!" ujar Pak Riebesiel sambil mengangguk-angguk.
Untuk menjaga gengsi di hadapan para pengantar barang, ia segera
menambahkan, "Astaga, kok saya bisa lupa. Tuan Burkert memang
sudah berpesan bahwa peti itu akan diantarkan siang ini."
"PT KOGEL selalu menepati janji," Heye sesumbar sambil
nyengir. "Pelayanan perusahaan Anda memang terkenal baik," Pak
Riebesiel menambahkan. "Pujian Bapak akan saya teruskan pada atasan saya. Dia pasti
gembira. Apakah Bapak bisa menunjukkan ke mana kami harus
membawa peti ini?" Si Kakek ternyata lebih pikun dari yang kuduga, pikir Heye
dengan geli. Berdua dengan Franz Katzdobler ia menurunkan peti
antik itu dari mobil. Sambil terengah-engah mereka lalu membawanya
ke dalam rumah. Sementara itu Pak Riebesiel sudah berada di ruang duduk, dan
memandang ke segala arah. Ia nampak agak kebingungan.
Di mana peti itu harus diletakkan" si pelayan tua bertanya
dalam hati. Akhirnya ia menyuruh Heye dan Katzdobler untuk
membawanya ke ruang tengah.
"Di sini saja dulu," katanya. "Biar Tuan Burkert saja yang
menentukan tempat yang paling cocok."
Pak Riebesiel lalu diminta menandatangani tanda terima.
Kemudian pelayan setia itu malah memberikan uang tip yang cukup
besar. Tanpa malu-malu Heye menerimanya, dan langsung mohon
diri. Pak Riebesiel menunggu sampai mobil angkutan keluar dari
pekarangan, menutup pintu, dan kembali ke ruang tengah.
"Selera Tuan Burkert ternyata sama parahnya dengan tingkah
lakunya," katanya sambil menendang peti di hadapannya. "Tidak ada
bagus-bagusnya." Tiba-tiba Pak Riebesiel teringat bahwa ia tadi sudah
rnenuangkan segelas anggur tapi belum sempat meminumnya. Ia
memang punya kebiasaan minum anggur setelah makan siang. Untuk
menambah tenaga - sekaligus sebagai pengantar tidur siang.
Terburu-buru ia menaiki tangga yang cukup terjal menuju
kamarnya di loteng, dan tidak kernbali lagi.
Rudi menunggu beberapa menit. Sambil menarik napas lega, ia
lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Setelah mengambil
peralatan, calon pencuri itu memandang ke segala arah. Kemudian ia
mulai beraksi dengan cekatan. Tak ada lemari yang tetap terkunci, tak
ada laci yang tidak dibuka. Dalam waktu singkat Rudi sudah berhasil
mengumpulkan berbagai barang berharga: patung-patung kecil yang
terbuat dari batu giok dan emas, dua pistol antik, seperangkat
peralatan makan berlapis emas, sebuah jam, serta sebuah lukisan kecil
yang menurutnya pasti mahal. Ia juga menemukan lemari besi di
dalam dinding yang tersembunyi di balik sebuah lukisan
pemandangan alam pegunungan. Dari Heye, Rudi telah mendapatkan
nomor kombinasinya. Dan ternyata nomor itu cocok! Lemari besinya
langsung terbuka. Penuh harapan Rudi memandang ke dalamnya.
Ia menemukan sejumlah buku cek berikut kartunya, serta
sekitar 3000 Mark uang tunai. Tapi koleksi batu permata tak terlihat
sama sekali. Seperempat jam berlalu. Rudi sudah mengobrak-abrik ruang
tengah, ruang makan, dapur, serta ruang perpustakaan. Kini ia berada
di kamar tidur Adolf yang menghadap ke arah taman. Pintu lemari
pakaian yang berukuran raksasa dilapisi dengan cermin. Seprai serta
sarung bantal berwarna biru muda. Pada meja kecil di samping tempat
tidur terdapat tiga botol minuman keras yang telah kosong. Tanpa
ragu-ragu Rudi membuka lacinya.
Di dalamnya ia menemukan foto seorang wanita muda yang
cantik. Wanita itu bermata biru. Rambutnya yang coklat diikat seperti
ekor kuda. Pada bagian belakang foto itu ada tulisan, ...kekasihmu
selalu, Elly. Foto itu dibuat hampir tiga tahun yang lalu.
Di bawahnya, Rudi menemukan anak kunci yang dibungkus
dengan kertas. Untuk sesaat si pencuri agak ragu-ragu. Kemudian ia
mengantongi kunci itu. "Brengsek, mana koleksi permata itu?" ia mengumpat dengan
suara tertahan. "Jangan-jangan si Bos kena tipu."
Ia bergegas ke ruang tengah, kemudian memikirkan ruang mana
lagi yang harus diperiksa. Sepintas lalu ia melirik jam besar di dekat
tangga - ya, masih ada waktu. Pandangannya beralih pada pintu kayu
yang menuju ke ruang bawah tanah. Hmm, baiklah. Siapa tahu di
bawah ada sesuatu yang menarik.
Setelah menyusup masuk, Rudi menutup pintu kayu,
menyalakan lampu, dan menuruni tangga. Dinding-dinding ruang
bawah tanah dilapisi dengan cat putih. Di sini pun keadaannya sangat
bersih dan teratur. Tak ada tempat bagi labah-labah, tikus, atau kecoa.
Dengan sigap ia memeriksa ruang penyimpanan anggur, gudang
makanan, serta ruang jemur pakaian. Di ruang yang terakhir juga ada
mesin cuci, yang nampaknya sudah tua dan jarang dipakai.
Pintu berikutnya temyata dikunci rapat.
Aha! pikir Rudi sambil nyengir lebar. Harta karunnya pasti di
balik pintu ini. Tangannya segera meraih linggis. Namun kemudian ia melihat
bahwa kunci pintu itu sangat sederhana. Setelah mencoba beberapa
kunci palsu, ia akhirnya menemukan yang pas. Dengan hati berdebardebar ia
membuka pintu dan menghidupkan lampu.
Terheran-heran penjahat itu memandang ke sekeliling. Tak ada
koleksi batu permata. Yang ada hanyalah...
Rudi membelalakkan mata. Mulutnya menganga lebar. Untuk
sesaat ia lupa bernapas. Baru setelah beberapa detik ia menyadari
keberuntungannya. ***********************************
Rambutnya yang pirang dan tipis nampak lengket di kepala seperti biasanya. Ujung hidungnya yang bengkok kelihatan agak
memerah. Ia memang lagi pilek. Sudah lima kali Adolf mengeluarkan
saputangan suteranya untuk membersihkan hidung.
Setiap kali ada kereta api masuk, lantai stasiun terasa bergetar.
Orang-orang berlalu-lalang. Para calon penumpang berkumpul di
peron-peron. Sejumlah penganggur menghabiskan waktu dengan
menonton keramaian di stasiun. Suasana hiruk-pikuk itu ditambah lagi
dengan pengumuman-pengumuman yang terus-menerus
berkumandang melalui pengeras suara.
Kereta pertama dari Hartinghausen sudah lama tiba. Tapi Pit, si
Monyet, tidak ada di antara penumpangnya. Rupanya ia tidak sempat
naik kereta itu. Ya, apa boleh buat. Adolf terpaksa bersabar. Semakin
lama menunggu, Adolf semakin ragu-ragu apakah pertemuan dengan
bekas teman satu sel itu memang perlu dirayakan. Dulu, di penjara,
memang ada gunanya berteman dengan Pit. Tapi sekarang dia pasti
datang untuk menuntut imbalan. Namun di pihak lain, Pit telah
berjanji untuk memperkenalkan Adolf dengan kalangan penjudi. Dari
segi ini, tidak ada salahnya untuk tetap mempertahankan
persahabatan. Sialnya, restoran stasiun ternyata tutup untuk sementara waktu
karena sedang direnovasi. Karena itu, Adolf terpaksa berjalan mondarmandir
sepanjang peron. Untuk mengatasi rasa bosan, ia lalu mulai
memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
Segerombolan gadis remaja lewat di hadapannya. Sambil
berjalan ke arah berlawanan, Adolf menoleh sampai lehernya nyaris
terpuntir. Di ujung peron, seorang wanita cantik yang mirip Elly bergegas
menuju ke pintu keluar. Adolf memelototi wanita itu sampai
menghilang dari pandangan.
Seorang gelandangan berpakaian lusuh duduk di atas bangku
peron sambil menenggak anggur merah langsung dari botolnya.
Seluruh miliknya terkumpul dalam tiga kantong plastik. Di balik
penampilannya yang jorok, gelandangan itu nampak cukup sehat dan
sama sekali tidak lelah. Tentu saja, pikir Adolf. Gelandangan tidak perlu bekerja dan
hanya mengandalkan pemberian orang lain. Bagaimana tidak sehat,
coba" Kemudian tiba-tiba ia melihat pemuda aneh itu.
Anak muda itu berusia sekitar 25 tahun. Gigi di rahang atasnya
tumbuh nyaris tegak lurus ke depan. Hidungnya mirip paruh bebek
dan sama sekali tidak cocok dengan wajahnya yang lancip. Di bawah
dagunya ada beberapa helai jenggot. Ia berambut panjang sampai ke
bahu. Warnanya merah dan sepertinya sudah perlu dikeramas. Pemuda
itu mengenakan sweater berwarna hijau yang terbuat dari wol.
Ukurannya XL, padahal pemakainya berbadan kurus kering.
Pemuda idaman itu sedang berbicara melalui telepon umum kira-kira tiga langkah di hadapan Adolf. Ia nampak tegang. Raut
wajahnya berubah-ubah dari detik ke detik.
Orang sinting! ujar Adolf dalam hati. Orang seperti itu
seharusnya tidak boleh bebas berkeliaran. Gawat! Siapa tahu dia
berbahaya! Anak-anak berandal telah merusak pintu kotak telepon umum,
sehingga tidak bisa ditutup rapat.
"... akan meledak," Adolf mendengar pemuda itu berkata. Lalu,
"... dalam 30 menit... peringatan... jangan dianggap enteng...
perhitungan... hahaha... biar mampus... ya, ya!... bukan urusan Anda!"
Hanya potongan-potongan singkat yang terdengar. Sisanya
tenggelam dalam kebisingan stasiun.
Adolf mengerutkan alis dan berusaha menangkap pembicaraan
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selanjutnya. Namun si Rambut Merah keburu meletakkan gagang
telepon. Ia menggaruk-garuk kepala, mengamati kukunya, lalu keluar
dari kotak telepon umum. Kemudian pemuda itu terburu-buru menuju
ke arah WC pria. Pikiran Adolf kembali pada Pit. Ia tidak ambil pusing lagi
dengan potongan-potongan kalimat yang sempat didengarnya. Bagi
Adolf, mengurusi pemuda seperti si Rambut Merah hanyalah
membuang-buang waktu saja.
Kemudian ia melihat uang itu. Hanya keping-keping uang
logam saja. Tapi lumayanlah. Dasar kikir, Adolf tidak segan-segan
untuk merogoh tempat sampah agar bisa mengantongi sekeping uang.
Dan di rak di bawah pesawat telepon umum ada sejumlah keping yang
seakan-akan memanggil-manggilnya.
Cepat-cepat ia masuk ke dalam kotak telepon. Sambil
membelakangi pintu, keping-keping uang itu langsung diraihnya jumlahnya 2,50 Mark! Kemudian ia mengangkat gagang,
menempelkannya ke telinga, dan membalik.
Ternyata di antara orang-orang yang memadati peron tidak ada
seorang pun yang memperhatikannya. Termasuk wanita anggun yang
kini duduk di bangku peron - di ujung yang berjauhan dengan
gelandangan tadi. Cantiknya! Adolf memutuskan untuk tetap berlagak menelepon. Dengan
cara ini ia bisa mengamati si Cantik dengan sepuas hati.
Ia nyengir lebar. Sesekali ia menggerakkan bibir, dan
bergumam, "Lama-lama aku bisa jatuh hati padamu, Manis! Kau hampir
sama menariknya dengan Elly!"
Masih banyak waktu sampai kereta berikut dari Hartinghausen
tiba di stasiun. Chapter 10 Pria Mencurigakan di Stasiun Kereta Api
PAK GLOCKNER telah memesan tiga cangkir teh pada Nona
Hubner, sekretarisnya yang baru. Oskar sebenarnya lebih suka susu
coklat, tapi Sporty cukup gembira atas kesempatan menyegarkan diri
ini. Kedua sahabat itu datang ke kantor Komisaris Glockner untuk
melaporkan kejadian yang mereka alami di Danau Wiesenbeck secara
lebih terperinci. "Benar-benar aneh," Pak Glockner berkomentar setelah
mendengarkan cerita Sporty dan Oskar. "Saya tidak bisa memahami
jalan pikiran para pemasang bom itu. Setiap aksi mereka seakan-akan
tanpa tujuan. Sepertinya mereka memang hobi merusak milik orang
lain. Dan kali ini pun mereka tidak meninggalkan jejak. Oh, ya - Pak
Simbock titip pesan untuk kalian. Ia sangat berterima kasih karena
kalian telah menyelamatkan saunanya - dengan mempertaruhkan
nyawa." "Kalau Pak Simbock kapan-kapan mandi uap lagi dan teringat
pada kejadian ini, dia pasti langsung tambah berkeringat," ujar Oskar
sambil nyengir, "keringat dingin."
Pak Glockner tersenyum dan mencicipi tehnya. Sporty
mengikuti contohnya. Oskar menambahkan beberapa blok gula,
sehingga tehnya nyaris tumpah karena cangkirnya terlalu penuh.
"Pak Simbock tidak ke sini hari ini, sehingga tidak bisa..."
Ucapan selanjutnya terpotong oleh bunyi pintu diketok. Tanpa
menunggu jawaban, Matthias menyerbu ke dalam.
"Pak, baru saja ada telepon dari seseorang yang mengaku
sebagai anggota kelompok pemasang bom," anak buah Pak Glockner
itu melaporkan. "Katanya, setengah jam lagi kantor kita akan
diledakkannya." "Jangan panik dulu," ujar Pak Glockner dengan tenang. "Ini
pasti ulah orang iseng - sama saja dengan ancaman pemboman
sekolah asrama tempo hari. Kita... Eh, Matthias! Kenapa kau
tersenyum-senyum begitu" Kalian sempat melacak dari mana orang
itu menelepon?" "Tepat sekali. Dia ternyata menelepon dari kotak telepon umum
di stasiun kereta api. Operator di sini lalu segera menghubungi rekanrekan di
sana. Mereka langsung bergerak dan berhasil menangkap
seorang laki-laki. Dia masih berada di kotak telepon umum. Entah dia
atau bukan yang menelepon - yang pasti, tingkahnya sangat
mencurigakan." Pak Glockner segera berdiri. "Apalagi yang kita tunggu?"
katanya sambil memandang Sporty, yang menatapnya dengan penuh
harapan. "Oke! Kalian boleh ikut! Sebenarnya ini melanggar peraturan,
tapi kalian memang pantas mendapat perlakuan khusus."
Mereka naik kendaraan dinas Pak Glockner - sayangnya tanpa
sirene, sebab urusannya tidak terlalu mendesak.
Matthias memegang kemudi. Dalam perjalanan Oskar bertanya
bagaimana caranya mengetahui dari mana seseorang menelepon.
Sebenarnya, Sporty bisa menjawab pertanyaan itu, namun ia
membiarkan Komisaris Glockner untuk menjelaskannya.
"Begini, Oskar. Di kantor kami ada seperangkat peralatan
elektronis yang secara otomatis mencatat semua telepon yang masuk
lewat saluran tertentu - termasuk dari mana asalnya. Dalam hal ini
kami bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi. Peralatan itu
sangat bermanfaat, misalnya dalam menghadapi kasus penculikan,
atau kalau ada ancaman seperti tadi."
"Mudah-mudahan saja rekan-rekan Anda menangkap orang
yang benar," ujar Sporty. "Nanti akan terbukti apakah dia anggota
kelompok pemasang bom - atau hanya orang iseng yang kurang
kerjaan." "Apakah si penelepon bisa tahu bahwa ia berurusan dengan
peralatan elektronik yang canggih?" Oskar kembali bertanya.
"Setahu saya sih tidak," Pak Komisaris menjawab.
"Anda kelihatannya yakin sekali bahwa telepon tadi hanya
ancaman kosong saja," Sporty lalu berkata.
Pak Glockner ketawa. "Kau pasti memikirkan nasib kantor saya kalau sampai benarbenar ada bom meledak,
bukan" Tenang saja, sementara kita menuju
ke stasiun, rekan-rekan di kantor pasti sudah sibuk memeriksa setiap
sudut - mulai dari ruang bawah tanah sampai ke loteng. Lagi pula,
sudah sejak lama saya menginginkan ruang kerja yang lebih luas.
Namun tentu saja bukan dengan cara ini."
Matthias ketawa lalu mengumpat, karena sebuah mobil sport
memotong jalurnya tanpa memberi tanda terlebih dahulu. Mobil itu
ternyata dikemudikan oleh seorang kakek berusia sekitar 75 tahun.
Orang tua itu menyetir dengan tangan gemetar, dan dengan pedal gas
terinjak dalam-dalam. Di samping itu, kacamatanya juga ketinggalan
di rumah. Saking pikunnya, ia bahkan tidak sadar bahwa sejak tadi
memakai gigi satu terus. Barangkali ia malah lagi kesal karena mesin
mobilnya meraung-raung. Sporty memperhatikarnya sambil geleng-geleng.
"Dalam kondisi seperti dia, seharusnya orang tidak lagi pegang
setir," ia berkomentar.
"Memang ada orang tua yang menyadari hal ini," kata Pak
Glockner. "Tapi jumlahnya tidak banyak. Sebagian besar orang
berusia lanjut menganggap dirinya masih sanggup menyetir selama
masih bisa melihat garis pelnisah di tengah jalan."
Tidak lama kemudian mereka sampai di stasiun, memasuki
pelataran parkir, lalu berhenti di samping sebuah Rolls-Royce
berwarna biru malam. "Eh," ujar Sporty sambil menunjuk mobil sebelah, "Adolf
Burkert juga ada di sini."
"Musuh bebuyutanku!" Oskar berkomentar dengan geram.
Wah, ini bisa gawat, pikir Sporty. Jangan-jangan Oskar tiba-tiba
mau membalas dendam dengan merusak mobil Adolf. Kalau perlu,
aku harus rnencegahnya secara tidak menyolok.
Namun ternyata sahabatnya tidak punya pikiran ke arah sana.
Sporty dan Oskar lalu mengikuti Komisaris Glockner serta
rekannya. Mereka masuk ke stasiun dan langsung menuju sebuah
pintu dengan papan bertulisan POLISI KHUSUS KERETA API di
atasnya. Di ruangan itu ternyata ada lima petugas berseragam. Dua di
antara mereka didampingi oleh anjing herder.
Pak Glockner berbicara dengan salah satu petugas yang rupanya
sudah dikenalnya. "Dia bertingkah seperti orang sinting," petugas itu menjawab
pertanyaan Pak Glockner. "Menurut saya sih, dia mungkin kabur dari
rumah sakit jiwa. Tapi silakan, Pak Komisaris. Dia ada di ruang
sebelah." "Kedua anak ini ikut dengan saya," ujar Pak Glockner untuk
mencegah salah pengertian.
Kemudian semuanya menuju ke ruang sebelah, yang diisi
dengan dua meja tulis dan beberapa lemari arsip.
Seorang petugas POLSUSKA duduk di balik meja yang dekat
pintu. Kursi di hadapannya diduduki oleh - Sporty nyaris mengira
bahwa ia sedang bermimpi - Adolf Burkert.
Pria itu duduk dengan kepala tertunduk. Ia nampak pucat pasi.
Butir-butir keringat membasahi keningnya. Mulutnya - yang pasti
sudah berulangkali mengatakan bahwa semua ini hanya salah paham
saja - nampak bergetar. Dengan lesu ia menatap rombongan yang
baru masuk. "Hmm, kebetulan sekali," Oskar berseru sambil bertolak
pinggang. "Saya menuntut ganti rugi! Sekarang juga! Awas..."
Sporty segera menyikut sahabatnya.
"Nanti, Oskar! Nanti! Sekarang ada urusan yang lebih penting."
Tapi Komisaris Glockner, yang telah mendengar nasib sepeda
Oskar. langsung memahami duduk perkaranya.
"Jadi Anda-lah Tuan Burkert, ya?"
"Betul sekali," jawab pria itu. "Dan saya protes keras atas
perlakuan ini. Tidak masuk akal bahwa saya dituduh mengancam
kantor polisi lewat telepon. Yang benar saja!!! Saya memang berada
di kotak telepon umum. Tapi saya sama sekali tidak menelepon."
"Kami punya saksi yang mengatakan sebaliknya," ujar polisi
yang duduk di balik meja tulis. "Menurut keterangan mereka, Burkert
cukup lama berada di dalam kotak telepon dan sempat menelepon
selama beberapa menit."
"ltu... itu fitnah!" teriak Burkert dengan geram.
"Saya... saya hanya masuk ke kotak telepon karena... karena
tempatnya begitu nyaman."
"Oh, tentu saja!" Pak Glockner mengangguk sambil tersenyum
simpul. "Memang sulit untuk membayangkan tempat yang lebih
nyaman daripada kotak telepon umum di sebuah stasiun yang bising
dan penuh orang." "Tapi saya tidak menelepon siapa-siapa," Adolf meraung-raung.
"Saya hanya ingin menonton kerumunan orang dari tempat yang
terlindung." Komisaris Glockner menatapnya dengan tajam. Sporty
langsung tahu: Pak Komisaris sedikitpun tidak mempercayai kata-kata
Adolf Burkert. Tapi masih ada sesuatu yang lain dalam pandangan
matanya. Dan Adolf Burkert pun berulang kali menatap Pak Glockner,
namun kemudian langsung menoleh, seakan-akan tidak kuat beradu
pandang. "Kalau tidak salah," Pak Glockner akhirnya berkata, "kita sudah
pernah ketemu sebelum ini."
Mulut Adolf sampai miring-miring ketika ia menjawab,
"Mungkin saja. Ya, saya rasa Anda ikut ketika saya ditangkap dulu.
Saya Adolf Burkert. Anda masih ingat" Kasus saya sempat menjadi
skandal di kalangan ahli hukum. Saya dihukum penjara padahal saya
sama sekali tidak bersalah. Selama satu setengah tahun saya terpaksa
meringkuk di penjara. Baru kemudian terbukti bahwa saya sama sekali
tidak terlibat dalam kejahatan yang dituduhkan pada saya."
"Nah, apa kata saya"!"
"Dan,sekarang Anda akan mengulangi kesalahan itu untuk
kedua kalinya! Sudah berulangkali saya katakan: saya tidak
bersalah!!!" "Kita Iihat saja nanti. Sekarang saya minta agar Anda
menjawab beberapa pertanyaan. Untuk apa Anda datang ke stasiun?"
"Saya menunggu seorang teman. Saya... oke, deh!" Adolf
akhirnya tidak bisa rnenghindar lagi. Dengan berbelit-belit ia cerita
bahwa Pit Krausky - alias Pit, si Monyet - meneleponnya tadi siang
dan... Ia menceritakan semuanya.
"Saya mengenal Pit, si Monyet," ujar Pak Glockner. "Kereta
berikut dari Hartinghausen tiba pukul empat kurang seperempat. Kita
tunggu saja apakah Pit ada di antara penumpangnya. Tapi walaupun
dia datang - itu tidak berarti bahwa Anda langsung dibebaskan dari
tuduhan. Bisa saja Anda menelepon kantor kami sambil menunggu
kereta. Yang pasti: Anda ditangkap ketika menggunakan pesawat
telepon umum yang juga digunakan untuk mengancam kantor polisi.
Dan pada waktu yang bersamaan."
"Tidak mungkin!" seru Adolf sambil menggelengkan kepala.
"Saya... Eh! Saya baru ingat: sebelum saya ada orang lain yang
menelepon. Saya sempat mendengarnya mengucapkan kata-kata:
Peringatan! Akan meledak! Dalam tiga puluh menit!"
"Mungkin juga Anda sendiri yang mengucapkan kata-kata itu!"
"Orang itu yang rnengatakannya! Bukan saya!" Adolf berteriak
kesal. "Apakah Anda bisa menjelaskan ciri-cirinya?"
Dari nada pertanyaan itu, Sporty tahu bahwa Komisaris
Glockner menganggap segala ucapan Adolf sebagai isapan jempol
belaka. Dan setelah Adolf selesai menggambarkan tampang pria yang
misterius itu, Pak Glockner pun hanya tersenyum sinis.
"Kesimpulan saya," Adolf mengakhiri keterangannya, "orang
itulah yang menelepon ke kantor Anda!"
"Ya, semua orang bisa bilang begitu," ujar Pak Glockner.
"Sebagai langkah selanjutnya, kami akan menggeledah rumah Anda.
Siapa tahu kami bisa menemukan bahan peledak serta bom, bukan"
Apakah Anda punya burung nuri di rumah?"
"Burung... apa?" wajah Adolf mendadak pucat pasi, seakanakan seekor burung nuri
merupakan ancaman terhadap seluruh umat
manusia. "Oh, burung-burung yang berwarna-warni itu" Tidak! Saya
tidak suka burung! Hanya bebek! Dalam keadaan dipanggang."
"Dia juga tidak suka anjing, kata Pak Riebesiel," Oskar
menambahkan sambil memelototi musuh bebuyutannya.
Tapi Adolf tidak memperhatikannya.
"Saya protes terhadap penggeledahan rumah saya!" ia berteriak
dengan sengit. "Saya akan mencatatnya," jawab Komisaris Glockner dengan
kalem. Matthias lalu ditugaskan untuk meminta surat perintah
penggeledahan di pengadilan. Tanpa dokumen penting itu, para polisi
tidak diperbolehkan memeriksa rumah seseorang.
Sporty tahu bahwa peraturan itu dimaksud untuk mencegah
polisi bertindak sembarangan. Supaya jangan sampai ada rumah
seseorang digeledah hanya karena urusan yang sepele. Para hakim
hanya mengeluarkan surat perintah penggeledahan jika benar-benar
ada alasan yang kuat. Seperti sekarang, misalnya.
Seenaknya saja dia mengkambinghitamkan orang lain! pikir
Sporty. Hmm, Adolf Burkert! Siapa yang menduganya" Sekarang kita
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal tunggu saja! Apakah dia salah seorang pemasang bom" Atau
malah hanya dia yang bertanggungjawab atas ledakan-ledakan selama
ini" Tapi mungkin juga dia hanya orang iseng yang suka membuat
orang lain panik..."
Matthias sudah berangkat. Petugas POLSUSKA yang duduk di
balik meja tulis menundukkan kepala dan memutar-mutar sebuah
penggaris kayu. Pak Glockner kini duduk di belakang meja tulis kedua. Ia
nampak berpikir keras sambil memperhatikan kalender pada dinding
seberang, yang masih menunjukkan tanggal kemarin.
Oskar telah menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan
dengan Adolf Burkert. Pria itu ditatapnya secara terus-menerus.
Sporty bersandar pada dinding. Ia sedang mempertimbangkan
berbagai kemungkinan yang ada. Adolf Burkert memang bersikap
mencurigakan. Hmm. Tapi sikapnya itu mungkin saja timbul akibat
pengalamannya yang buruk dengan polisi dan pengadilan.
Membayangkan kemungkinan dihukum tanpa bersalah bisa saja
mengguncangkan jiwa seseorang.
"Sebentar lagi kereta dari Hartinghausen masuk," si petugas
POLSUSKA berkata. Pak Glockner langsung berdiri. "Kalau begitu sudah waktunya
untuk menyambut Pit."
Ia melangkah keluar, ke peron.
Adolf tampak yakin sekali bahwa sebentar lagi ia akan terbukti
tidak bersalah. Oskar mendesah perlahan. Ia telah memeriksa isi kantongnya,
namun tidak menemukan sepotong coklat pun.
Sementara itu Sporty berusaha membayangkan pemuda yang
digambarkan oleh Adolf. Hmm, seandainya bertemu dengan orang itu - kalau ia memang
benar-benar ada - maka Sporty pasti langsung mengenalinya.
Lima menit berlalu. Kemudian Pak Glockner kembali.
"Sori, Burkert! Hanya ada sebelas penumpang yang turun di
sini. Dan Pit Krausky tidak ada di antara mereka," katanya sambil
tersenyum lembut. "Kenapa Anda tidak percaya pada saya?" Adolf merengekrengek.
"Atas dasar apa saya harus rrmempercayai keterangan
Saudara?" balas Pak Glockner. "Sekarang kita tinggal menunggu
sampai rekan saya kembali dengan membawa surat perintah
penggeledahan." Adolf menunduk dengan lesu. Wajahnya lebih mirip mayat
ketimbang orang hidup. Keringatnya bercucuran.
"Saya tidak mengerti," ia bergumam. "Pit menelepon saya tadi
dan..." "Sudahlah!" Pak Glockner memotong dengan tegas.
Kesabarannya sudah nyaris habis.
Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa menit
kemudian Matthias sudah muncul di ambang pintu. Surat perintah
penggeledahan langsung ditunjukkan pada Adolf Burkert.
Berdasarkan tampangnya, ujar Sporty dalam hati, dia memang
pantas dicurigai. Tapi sekarang dia diam seribu bahasa. Apalagi yang
hendak ditutup-tutupinya"
Adolf diapit oleh Pak Glockner dan Matthias. Kedua sahabat
STOP menyusul - Oskar sambil nyengir lebar.
Sporty dan Oskar ikut dengan Matthias. Komisaris Glockner
naik Rolls-Royce bersama Adolf.
Ketika mereka tiba di Jalan Fritz-Meier, angin bertiup lembut.
Hujan rintik-rintik turun dari langit.
Rolls-Royce kepunyaan Adolf berhenti di depan garasi, mobil
dinas Pak Glockner persis di belakangnya.
Sporty menoleh ke arah rumah dan melihat bahwa pintu rumah
terbuka lebar. Tapi Paul Riebesiel, si pelayan tua, tidak kelihatan.
Chapter 11 Di Atas Angin PAK GLOCKNER dan Adolf telah turun dari mobil. Pria yang
dicurigai itu berjalan dengan lesu. Melihat sikapnya sekarang, orang
takkan menduga bahwa ia memiliki harta berlimpah-ruah. Ia lebih
mirip seorang penjahat yang menuju ke tempat eksekusinya.
Kelima orang itu masuk ke dalam rumah. Pintu ke ruang bawah
tanah ternyata terbuka lebar. Lampunya menyala. Sporty juga bisa
melihat ke ruang tengah - dan ke ruang tidur tamu, ke dapur, serta ke
sebuah kamar tidur berwarna biru muda.
Semua ruangan itu nampak berantakan seperti kapal pecah!
Setiap lemari, setiap laci dibuka paksa - dan kini seluruh isinya
bertebaran di lantai. Adolf menatap kekacauan itu sambil membelalakkan mata.
"Apa... apa... Ini pasti ulah si Riebesiel." Kemudian ia berteriak
keras-keras, "Pauuul! Pauuul! Riebesiiiel! Brengsek! Apa maksudnya ini?"
Pak Glockner dan Matthias bertukar pandang.
Sporty menatap ke sekeliling dan menemukan sebuah peti antik.
Suara langkah terdengar dari tangga. Pak Riebesiel, si pelayan
tua, turun dari kamarnya di loteng. Sambil jalan, ia sibuk
mengancingkan jasnya yang berwarna hitam. Dari tampangnya
kelihatan bahwa ia baru bangun tidur. Sambil menahan kantuk ia
menggosok-gosok kedua matanya yang masih merah. Terheran-heran
ia menatap kelima orang di hadapannya. Ketika melihat keadaan yang
kacau-balau di sekeliling, wajahnya langsung pucat.
"Apa yang terjadi di sini?"?" Adolf menghardik pelayannya.
"Astaga, demi Tuhan!" orang tua itu menjawab. "Siapa yang...
Saya tidak mengerti."
"Bapak habis tidur siang, ya?" Komisaris Glockner bertanya. Ia
terpaksa mengulangi pertanyaannya dengan lebih keras, sebelum Pak
Riebesiel mengangguk. "Ya, setelah minum segelas... ehm... maksud saya, tiga atau
empat gelas anggur merah - pokoknya: saya tertidur begitu peti itu
diantar ke sini." "Peti apa?" tanya Adolf. Kemudian ia melihatnya. "Ada apa
dengan peti itu" Siapa yang membawanya ke sini" Dan untuk apa?"
"Lho, kata mereka, Tuan kemarin membeli peti itu dari
perusahaan... ehm... Kogel - ya, itu nama perusahaannya. Dan hari ini
mereka mengantarkannya ke sini - sesuai perjanjian."
"Peti itu?"?" Adolf berseru terkejut. "Saya yang membelinya"
Memangnya saya tidak punya mata" Mana mungkin saya..."
"Anda tidak perlu berteriak-teriak," Komisaris Glockner
menghentikan ledakan kekesalan Adolf. "Saya sudah bisa menebak
apa yang terjadi di sini. Tapi pertama-tama kita dengarkan cerita
Pak..." "Pak Riebesiel," ujar Sporty cepat-cepat.
"... ya, Pak Riebesiel. Apakah Bapak bisa menjelaskan apa yang
terjadi di sini?" Pelayan tua itu langsung mulai bercerita. Ciri-ciri kedua petugas
pengantar tadi dijelaskannya secara terperinci.
"Si Mata Kodok!" Sporty langsung berseru. "Berarti ini ulah
kelompok Diablo." Pak Komisaris mengangguk. Ia tampak agak kecewa.
Pasti dengan adanya kejadian ini Adolf Burkert bisa terbebas
dari segala tuduhan. Pit, si Monyet, tidak datang. Ini mungkin berarti
bahwa Adolf dipancing untuk meninggalkan rumahnya - supaya
kelompok Diablo bisa beraksi dengan tenang.
"Siasat yang dipergunakan para bajingan itu," Pak Glockner
kini berkata, "dikenal sebagai siasat orang Troya. Peti yang mereka
bawa ke sini merupakan tempat persembunyian bagi seorang rekan
mereka. Setelah yakin bahwa semuanya aman, orang itu keluar dari
peti, lalu mengacak-acak rumah ini. Entah apa yang berhasil
diboyongnya. Dan mengenai perusahaan Kogel itu - saya sangsi
apakah perusahaan itu memang ada. Mudah-mudahan saja bisa
dilacak di mana peti ini dibeli."
Adolf mengepalkan tangan.
"Bajingan!" ia mengumpat. "Berarti si Pit bekerjasama dengan
mereka. Dia menelepon ke sini supaya saya pergi ke stasiun, lalu...
Keparat! Benar-benar keterlaluan."
Kini ia tidak lagi bersikap lesu. Kedua matanya menyala-nyala
penuh dendam. "Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan," Pak Glockner
berkomentar. "Siapa tahu yang menelepon Saudara bukan si Pit."
"Ya, itu mungkin juga! Dan memang - suaranya agak lain dari
dulu. Tapi tadi saya sama sekali tidak curiga."
"Kalau tidak salah, Pit Krausky sampai sekarang masih di
penjara," Pak Glockner kembali berkata. "Ini berarti bahwa salah
seorang dari kelompok Diablo tahu bahwa Anda bersahabat dengan
Pit. Barangkali saja orang itu juga sedang menghabiskan masa
hukumannya ketika Anda dipenjara. Coba Anda ingat-ingat."
"Petugas pengantar barang yang digambarkan oleh Riebesiel..."
ujar Burkert setelah memeras otak untuk beberapa saat, "...ciri-cirinya
mengingatkan saya pada Klaus Heye. Saya sempat akrab dengan dia
waktu di penjara." Pak Glockner langsung mencatat nama itu.
"Heye," Burkert menambahkan, "pakai huruf 'y'."
Kemudian ia menuju ruang tengah. Pertama-tama ia memeriksa
lemari besi di dinding, yang kini terbuka lebar. Dalam keadaan biasa,
Adolf pasti akan rnarah-marah. Tapi dengan situasi seperti sekarang,
ia malah mensyukuri pencurian ini. Sambil tersenyum mengejek ia
menunjuk ke arah lemari besi.
"Nah, Pak Komisaris! Apakah Anda percaya bahwa tujuan saya
pergi ke stasiun bukan untuk mengancam kantor Anda" Saya dijebak!
Saya ditipu! Dan sementara itu rumah saya dimasuki maling. Anda
masih berminat menggeledah rumah saya" Silakan saja, Anda bisa
sekalian membereskan barang-barang yang tergeletak di lantai. Tapi
saya akan lebih senang lagi, jika Anda mengurus para penjahat yang
kini bersenang-senang dengan barang-barang saya."
Komisaris Glockner tidak bereaksi.
"Tolong catat semua barang yang hilang," katanya dengan
datar. "Jangan khawatir."
"Secepatnya." "Sekarang juga saya akan melakukannya."
Adolf kini berada di atas angin.
Kasihan Pak Glockner, pikir Sporty. Dia tidak bisa berbuat apaapa. Baiklah,
Adolf Burkert! Kecurigaan kami memang tidak
terbukti - tapi kau tetap seorang penjahat busuk!
"Lalu, bagaimana dengan uang saya?" tanya Oskar dengan
geram. "Saya menuntut ganti rugi atas sepeda saya yang rusak sekarang juga!" "Hei, Gendut! Kau jangan mengada-ada," balas Adolf dengan
ketus. "Kalau ada yang berhak minta ganti rugi, maka sayalah
orangnya. Kau sengaja meletakkan sepedamu di kolong mobil saya.
Orangtuamu yang akan menanggung ongkos perbaikannya."
"Itu... itu..." Oskar sampai tergagap-gagap saking marahnya.
"Mana mungkin saya melakukan hal seperti itu"! Anda hanya
memutarbalikkan fakta karena tidak mau membayar."
Ia lalu menatap Komisaris Glockner untuk mencari dukungan.
"Saya sudah lama mengenal Oskar Sauerlich," polisi itu
berkata. "Dia tidak mungkin berbuat selicik itu. Lagi pula sepedanya
tidak mungkin muat di kolong mobil Anda. Ini semua menunjukkan
bahwa Anda-lah yang sengaja melindas sepedanya untuk
melampiaskan kemarahan setelah bertengkar dengan bekas istri
Anda." "Buktikan saja kalau bisa!" jawab Adolf dengan sombong.
"Setelah itu si Gendut boleh mengambil uangnya. Tapi sekarang saya
masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Silakan tinggalkan
rumah saya - semua! Termasuk kau, Paul," ia menghardik si pelayan
tua. "Dan jangan kembali lagi!"
"Saya takkan angkat kaki dari rumah itu!" teriak Pak Riebesiel.
"Di surat wasiat almarhum ayah Anda tertulis bahwa saya berhak
tinggal di sini tanpa batas waktu."
Busyet, mulai lagi, deh! pikir Sporty.
Sambil keluar, Sporty masih sempat mendengar bahwa Adolf
menyangsikan kesehatan jiwa ayahnya pada waktu menulis surat
wasiat. Rupanya ia tidak merasa perlu bersyukur atas segala sesuatu
yang ia peroleh dari ayahnya.
Adolf dan Pak Riebesiel masih bertengkar ketika Matthias
menutup pintu rumah. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Mobil dinas Pak Glockner dilengkapi dengan peralatan radio. Ia
segera menghubungi kantornya dan minta agar sekelompok ahli
pencari jejak dikirim ke rumah Adolf Burkert.
"Tidak akan ada hasilnya," ia lalu mengakui, "tapi ini sudah
bagian dari peraturan."
Sementara itu Sporty sibuk mengawasi Oskar. Kelakuan
sahabatnya agak mencurigakan.
Wajah Oskar tampak seperti bulan pada saat gerhana: bulat,
namun suram. Ia memelototi Rolls-Royce kepunyaan Adolf sambil
menggigit-gigit bibir. Tiba-tiba ia membungkuk. Tangannya meraih
sebuah batu sebesar kepala bayi.
"Oskar!" Anak itu tersentak kaget, lalu menundukkan kepala dengan
perasaan bersalah. "Yaaa, kau benar, Sporty. Tidak ada gunanya melempari mobil
penjahat itu dengan batu."
Pak Glockner, yang kini ikut memperhatikan Oskar, berkata,
"Bisa-bisa kau malahan kehilangan hak atas ganti rugi."
"Sebenarnya masih ada yang ingin saya tanyakan," ujar Oskar
sambil tersipu-sipu. "Soal siasat yang dipakai kelompok Diablo kenapa sih disebut siasat orang Troya?"
Busyet! pikir Sporty. Begini saja pakai tanya. Inilah akibatnya
kalau tidak pemah memperhatikan pelajaran sejarah.
"Kalian tidak pernah mendapat pelajaran sejarah Yunani kuno
di sekolah?" tanya Pak Glockner sambil tersenyum simpul. "Cerita
mengenai kuda Troya. Peristiwa itu terjadi ketika orang Yunani
mengepung kota Troya, tapi tidak berhasil merebutnya dari tangan
musuh. Mereka akhirnya bersiasat dan - atas anjuran Odysseus membuat sebuah kuda raksasa dari kayu. Di dalam perut kuda itu ada
semacam ruangan kosong. Ruangan itu dipergunakan sebagai tempat
persembunyian oleh sejumlah prajurit Yunani - 40 orang, kalau tidak
salah. Setelah membawa kuda itu ke depan gerbang kota Troya,
pasukan Yunani pura-pura mundur. Orang-orang Troya bersoraksorai. Tanpa pikir
panjang mereka membawa kuda itu ke dalam
kota - berikut para prajurit yang bersembunyi di perutnya. Ketika
pesta kemenangan sedang berlangsung pada malam hari, prajuritprajurit itu
menyelinap keluar dan menghabisi orang-orang Troya."
"Cerdik sekali!" Oskar memuji. "Para anggota kelompok Diablo
kelihatannya cukup terpelajar."
Pada sisi samping garasi Adolf ada sebuah jendela. Kacanya
buram karena debu. Tapi ketika Sporty mengintip ke dalam, ia melihat
bayangan sepeda motor di ruangan yang remang-remang itu. Sepeda
motor kepunyaan Adolf" Apakah dia biasa mengendarai sepeda motor
kalau lagi bosan naik Rolls-Royce" Ataukah - Sporty nyengir lebar
ketika membayangkannya - sepeda motor itu kepunyaan Pak
Riebesiel" Tidak ada waktu lagi untuk memastikannya, sebab Sporty dan
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oskar harus segera pulang ke asrama. Jam pelajaran tambahan
sebenarnya sudah lama dimulai.
Pak Glockner menawarkan untuk mengantarkan kedua anak itu.
Tapi sebelumnya, mereka masih harus mampir di kantor polisi untuk
mengambil sepeda. Sepeda-sepeda mereka lalu dimasukkan ke dalam
ruang bagasi. Karena terlalu kecil, ruang bagasi tidak bisa ditutup.
Tapi Sporty tidak kehabisan akal. Ia segera mengikatnya dengan tali.
"Kelihatannya, Burkert tidak bohong ketika bercerita mengenai
pemuda berambut merah yang sempat dilihatnya di stasiun kereta,"
kata Pak Glockner. "Tapi kalau memang orang itu yang mengancam
untuk meledakkan kantor kami, maka dia takkan bisa lolos."
Oskar sebenarnya hendak menanggapinya. Tapi sebelum
sempat membuka mulut, ia sudah disikut oleh "Sporty. Itu berarti:
jangan bilang apa-apa! Kasus ini masih bisa ditangani oleh anak-anak
STOP. Rencana kita belum perlu diketahui orang lain.
Kedua sahabat itu akhirnya turun di depan gerbang pekarangan
asrama. Mereka mengucapkan terima kasih, lalu mengeluarkan sepeda
masing-masing dari tempat bagasi di belakang.
Kemudian Pak Glockner kembali ke kota. Sambil melambaikan
tangan, Sporty melirik arlojinya.
"Mungkin kita masih sempat menelepon Petra dan Thomas," ia
berkata pada Oskar. "Petra bisa mengamuk kalau kita tidak kasih
kabar sama sekali." Memang, anak-anak STOP sebenamya sudah bersepakat untuk
berkumpul di rumah Petra. Bersama-sama mereka hendak mendatangi
semua toko yang menjual binatang piaraan, untuk mencari keterangan
mengenai pemilik seekor burung nuri bernama "Lori, yang pandai
sekali". Namun kemudian pertemuan mereka terpaksa batal karena
kejadian di stasiun kereta api.
Oskar membawa sepedanya serta sepeda Sporty ke gudang.
Sementara itu, Sporty langsung berlari ke GUDANG SAPU.
Ia menelepon Petra. Gadis itu rupanya sudah menunggu-nunggu
di samping pesawat telepon, sebab ia langsung mengangkat gagang.
"Oh, terima kasih karena kau telah repot-repot menelepon ke
sini," ia menyindir. "Thomas dan aku baru menunggu satu setengah
jam, kok. Kami sudah sempat membuat PR, mendengarkan musik,
dan makan kue donat. Di mana sih kalian sekarang?"
"Di asrama. Masalahnya begini, Petra..." Sporty bercerita. Tiga
kali ia mengulangi ciri-ciri pemuda berambut merah yang kini
dicurigai. "Petra," ia menambahkan kemudian, "Oskar dan aku baru bisa
pergi setelah jam pelajaran tambahan. Tapi rasanya sayang, kalau
kalian membuang-buang waktu dengan mengerjakan PR,
mendengarkan musik, dan makan kue donat... Sori, cuma bercanda!"
sambil ketawa ia membela diri ketika Petra mendampratnya.
"Maksudku begini: kalian mulai saja - tidak perlu menunggu sampai
kami datang. Tapi jangan bilang apa-apa pada ibumu. Untuk
sementara kita bergerak sendiri saja dulu. Oskar sudah nyaris
keceplosan tadi. Sekitar jam enam kurang seperempat kami pasti
sudah ada di rumahmu."
*************************************
Tepat di belakang stasiun kereta barang, di rumah nomor 17,
Klaus Heye berikut anak buahnya sedang mengadakan semacam pesta
kemenangan. Si Mata Kodok telah membuka botol sampanye yang kedua,
dan menuangkan isinya ke dalam gelas-gelas. Heye, si Bos, berjalan
mengelilingi meja makan sambil mengamati barang-barang yang
berhasil diboyong dari rumah Adolf Burkert. Rudi duduk di kursi
malas sambil nyengir lebar.
Suasana riang-gembira itu bukan disebabkan karena siasat
mereka berhasil - bukan, kawanan penjahat itu punya alasan lain
untuk bersuka-ria. "Sekarang dia harus bayar, bayar, bayar!" ujar Heye sambil
berdecak. "Semua kartu dia sudah ada di tangan kita." Pelan-pelan ia
mengepalkan tangan. "Apa yang menjadi milik dia, sekarang juga iadi milik kita!" si
Mata Kodok berseru. Dengan sekali tenggak ia menghabiskan isi
gelasnya, kemudian langsung menuangkan sampanye lagi, sampai
tumpah-tumpah. "Tapi jangan main sekali pukul saja," Rudi memperingatkan
sambil memasang tampang seakan-akan sudah bertahun-tahun
berkecimpung dalam bidang pemerasan. "Lebih baik kita bergerak
pelan-pelan, tapi terus menerus. Bagaimana menurutmu, Bos: berapa
yang seharusnya kita minta untuk pertama kali ini?"
Heye nyengir kuda. "Cukup 20.000 Mark dulu. Jangan sampai dia terlalu kaget lalu
mati kena serangan jantung. Si Burkert harus membiasakan diri dulu
dengan situasi baru ini."
Ia meraih gagang telepon. Nomor telepon Burkert ia hafal di
luar kepala. Setelah memutarnya, Heye lalu mengisyaratkan agar
kedua anak buahnya diam, padahal sebenarnya mereka sudah tutup
mulut. Beberapa detik berlalu. Kemudian terdengar suara pria menyahut. "Burkert!" suara
Adolf terdengar agak ketus - mungkin ia, sudah menduga apa yang
bakal dihadapinya sekarang.
"Halo, Adolf!" ujar Heye tanpa berusaha mengubah suaranya.
"Apa kabar" Kau masih ingat aku" Aku salah seorang petugas
pengantar barang - dari perusahaan Kogel! Bagaimana peti itu" Kau
suka modelnya?" "Heye!" Adolf membentak lawan bicaranya. "Ternyata memang
kau biang keladinya! Bangsat!"
"Hus! Mana sopan santunmu" Mulai sekarang kau takkan bisa
berkoar lagi, Bung! Mengerti"! Temanku yang bersembunyi di dalam
peti sempat melihat-lihat rumahmu tadi - tapi kau pasti sudah tahu,
bukan" Dan aku berani bertaruh bahwa kau tidak memanggil polisi.
Aku percaya kau tidak akan melibatkan mereka dalam urusan ini.
Betul, tidak?" Burkert tidak menjawab. "Hei, kau sudah bosan berbincang-bincang dengan aku?"
"Keparat, aku..."
"Astaga, Adolf! Bahasamu! Kalau kau tidak bisa menjaga
mulut, urusan ini akan semakin tidak menyenangkan bagimu."
"Apa maksudnya?"
"Masak kau belum tahu juga, sih" Aku bicara soal uang."
"Enak saja! Apa kau masih belum puas dengan barang-barang
yang kalian curi?" "Kau harus membayar, Adolf! Tidak ada pilihan lain - kecuali
kalau kau mau berurusan dengan pengadilan lagi."
"Apa-apaan ini" Aku..."
"Sudah, jangan banyak omong! Kau tahu persis bahwa nasibmu
ada di tangan kami. Soal itu nanti saja kita bicarakan. Sekarang hari
Jumat. Bank-bank masih buka. Sebaiknya kau berangkat sekarang
juga. 20.000 Mark! Kau punya satu jam untuk menyiapkan uangnya.
Mengerti" Aku akan kirim orang untuk mengambilnya. Dia akan
mengatakan: Salam dari Klaus! Supaya kau tahu bahwa dialah
orangnya. Jelas?" Burkert menjawab dengan menggertakkan gigi.
"Kau tidak ada pilihan lain, Bung!"
"Ini pemerasan!"
"Betul sekali! Dan kenapa tidak" Konyol benar kalau aku tidak
memanfaatkan kesempatan ini. Kau beruntung. Seluruh hartamu kau
warisi dari ayahmu. Seumur-umur kau belum pernah merasakan apa
artinya bekerja untuk sesuap nasi. Nah, sekarang sudah waktunya
untuk belajar membagi-bagi kekayaan. Adil, kan" Tapi jangan takut!
Kami bukan orang yang tidak berperikemanusiaan. Kami akan
menyisakan sedikit, supaya kau jangan sampai kelaparan."
"Oh, terima kasih atas kebaikan kalian," terdengar jawaban
bernada pahit. "Nah, begini kan lebih enak kedengarannya. Ngomongngomong, di mana sih kau
simpan koleksi permatamu yang selalu
kaubangga-banggakan di penjara" Sebetulnya koleksi itulah yang
kami incar. Untuk itulah kami mengirim peti ke rumahmu."
"Permata-permata itu sudah tidak ada di tanganku. Elly yang..."
Ia terdiam, seakan-akan menyadari bahwa salah ngomong.
"Ya, biarkan saja," kata Heye sambil berusaha untuk bersikap
acuh tak acuh. "Tapi jangan lupa: sediakan uangnya! Dan jangan
macam-macam, Bung! Ingat, penjara bukan tempat yang
menyenangkan." Klik.
Ia meletakkan gagang telepon.
"Bagaimana?" tanya Rudi.
"Apanya yang bagaimana?" si Mata Kodok menghardiknya.
"Dia akan membayar! Rencana ini tidak mungkin gagal."
Heye mengangguk singkat, lalu menatap gelas kosong di
tangannya. "Coba tebak di mana koleksi permata itu sekarang" Di tangan
seseorang bernama Elly!"
"Wanita yang ada di foto tadi," kata Rudi. "Bekas istrinya,
bukan?" "Tepat sekali!"
Heye berpikir keras.. Wajahnya berseri-seri ketika ia kemudian
berkata, "Kawan-kawan, sebentar lagi kita memang bakal berenang
dalam uang. Tapi sayang kalau koleksi permata itu dibiarkan begitu
saja. Rejeki tidak boleh ditolak, bukan" Itu motto yang sangat
terpuji - terutama di bidang kita. Apalagi kalau batu-batu permata itu
bisa kita peroleh dengan mudah!"
"Dengan memakai kunci di bawah foto wanita itu, maksudmu?"
tanya Rudi. "Kau yakin bahwa kunci itu bisa membuka pintu rumah
bekas istri Burkert itu?"
"Pasti! Begitulah sifat si Adolf. Orangnya sangat rapi dan
teratur. Di penjara dulu aku sempat jengkel karenanya. Aku berani
bertaruh bahwa itu kunci rumah bekas istrinya. Adolf pasti
menyimpannya supaya kapan-kapan bisa masuk ke rumah itu. Hmm,
Elly Burkert! Barangkali dia masih pakai nama itu. Kalau begitu
takkan sulit untuk mencari alamatnya. Tapi kalau dia sekarang
kembali pakai nama sebelum menikah, maka urusan ini bisa kita
lupakan - soalnya kita tidak tahu namanya waktu masih gadis dulu.
Rudi, ambilkan buku telepon."
Dengan patuh Rudi mencarinya di bawah tumpukan koran dan
majalah. Heye membolak-balik halaman. Dengan senyum kemenangan
ia akhirnya menunjuk salah satu kolom
"Elly Burkert, guru piano. Ini dia! Tinggal catat alamatnya.
Ayo, kita berangkat sekarang juga!"
"Hah?" tanya si Mata Kodok. "Kenapa harus terburu-buru
begini, Bos?" "Tolol! Apa kau mau tunggu sampai si Burkert sadar bahwa
kuncinya hilang" Dia pasti langsung memberitahu bekas istrinya!"
Rudi tersenyum puas. Akhirnya si Mata Kodok kena semprot
juga. Chapter 12 Burung Nuri Membuka Rahasia
PETRA berdiri di depan cermin. Dengan tenang ia menyisir
rambutnya yang panjang. Kemudian ia mengenakan jaket rajutnya
yang berwarna biru. Thomas menunggu sambil menggosok kacamata. Pandangan
matanya nampak kosong. Dia pasti lagi memeras otak komputernya, pikir Petra. Dari
tampangnya sudah ketahuan bahwa ada yang perlu ia kemukakan.
Wah, mudah-mudahan saja ceramahnya tidak terlalu panjang!
Mereka sedang bersiap-siap untuk pergi dari rumah Petra.
Tujuan mereka adalah pet-shop - toko yang menjual binatang
piaraan - di Jalan Goethe. Toko itulah yang pertama-tama akan
mereka datangi dalam rangka mencari keterangan mengenai pemilik
seekor burung nuri bernama Lori.
"Psittacidae," ujar Thomas sambil memasang kacamatanya.
"Apa?" "Psittacidae! Itu bahasa Latin dan berarti: burung nuri," Thomas
menjelaskan. "Luar biasa, para badut berwarna-warni itu. Di daerah
tropis, burung nuri umumnya sama seperti burung gereja di negara
kita. Apakah kau tahu bahwa bulu mereka yang berwarna-warni
sebenarnya dimaksudkan untuk kamuflase-penyamaran" Supaya
mereka tidak terlalu menyolok di hutan rimba. Dengan cara ini,
burung nuri lebih aman terhadap musuh alaminya: burung elang,
rajawali, gagak, serta ular. Dari segi jumlah bulu, burung nuri kalah
dibandingkan burung-burung pada umumnya. Tapi bulu mereka lebih
keras. Kaki mereka punya empat jari - dua menghadap ke depan, dua
ke belakang. Hal ini membedakan mereka dari burung-burung yang
lain. Seluruhnya ada sekitar 320 jenis - termasuk kakatua dan burung
cendrawasih." "Aku baru tahu bahwa kau juga seorang omitolog - ahli
burung," ujar Petra sambil tersenyum.
"Dulu aku pernah tertarik pada burung nuri. Dan ternyata masih
ada yang nyangkut di sini," jawab Thomas sambil menunjuk
kepalanya. "Hebat. Tapi sekarang kita harus berangkat."
Namun sekali mulai, Thomas tidak bisa dihentikan begitu saja.
"Ada bukti-bukti kuat bahwa burung nuri sudah ada sejak
zaman purba. Bayangkan, Petra! Burung nuri sudah ada sejak 38 juta
tahun yang lalu! Dan sampai sekarang mereka masih bisa bertahan.
Padahal jenis yang paling kecil tingginya hanya delapan senti."
"Dan yang paling besar?"
"Yang paling besar bisa mencapai tinggi sekitar satu meter.
Mereka sangat mudah menyesuaikan diri. Kalau dipelihara, mereka
makan apa saja - kecuali talas. Hei, kenapa kau ketawa" Aku
bersungguh-sungguh, lho! Bahwa mereka tetap bertahan sampai
sekarang mungkin juga disebabkan oleh perhatian dan kasih sayang
terhadap keturunan mereka. Burung nuri dari jenis yang lebih besar
setiap tahun hanya bertelur sekali saja. Sedangkan kakatua bisa
mencapai usia 80 tahun. Dalam hal hidup berkelompok, burung nuri
benar-benar tanpa saingan di dunia fauna. Hanya dalam kelompokkelompok raksasa
mereka merasa aman. Mereka sangat mesra
terhadap sesama dan hanya punya satu pasangan selama hidup. Di
Afrika ada satu jenis burung nuri yang bahkan ikut mati kalau
kehilangan pasangannya. Mungkin karena patah hati."
"Oh, kasihan," Petra berseru. "Burung-burung itu ternyata
punya perasaan yang lebih halus dibandingkan sebagian manusia."
"Begitu juga ikan hiu," ujar Thomas lalu nyengir lebar.
Kemudian ia melanjutkan, "Salah satu kehebatan burung nuri adalah
kemampuan mereka untuk belajar bicara. Artinya, mereka mengulangi
kata-kata dengan bunyi yang bisa dimengerti. Memang, mereka tidak
memahami arti apa yang mereka ucapkan. Tapi itu tidak hanya terjadi
di kalangan burung nuri saja. Yang paling berbakat bicara adalah
burung nuri abu-abu dari Afrika, burung nuri berkepala kuning dari
Mexico, burung nuri bertengkuk kuning, serta burung nuri berdada
biru dari daerah Sungai Amazone di Amerika Selatan. Suara mereka
memang terdengar melengking, tapi masih bisa dipahami.
Kemampuan ini merupakan karunia alam, sebab dalam kehidupan
bebas perbendaharaan kata burung nuri cukup besar. Tapi kalau
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditangkap, mereka tidak ada pilihan lain kecuali meniru ucapan
manusia. Dengan demikian mereka merasa seperti manusia, sehingga
tidak terlalu sedih. Burung nuri juga senang kalau dibelai - terutama
di sekitar kepala dan tengkuk. Berjam-jam pun mereka tahan."
"Menarik sekali," ujar Petra, yang sudah tidak sabar lagi, "tapi
sekarang kita harus berangkat."
Sebenarnya, cerita Thomas belum selesai. Tapi melihat Petra
mulai pasang tampang cemberut, ia akhirnya menurut saja.
Mereka turun, mengambil sepeda, kemudian menuju ke Jalan
Goethe. Sebelumnya, kedua sahabat itu sudah menyiapkan strategi
untuk menghadapi penjaga pet-shop. Soalnya orang itu tidak perlu
mengetahui tujuan mereka yang sebenarnya.
Udara sudah mulai dingin ketika mereka sampai di tujuan.
Matahari yang telah condong ke barat nampak bersembunyi di balik
awan, dan binatang-binatang di toko itu sudah mulai bersiap-siap
untuk tidur. Beberapa kotak kecil berisi sejumlah anak anjing terpajang di
jendela. Di sebelah, beberapa ekor kucing bermalas-malasan. Selusin
burung nuri bertengger di atas tongkat masing-masing. Sambil
memiringkan kepala mereka menonton keramaian di jalanan.
Sekawanan kelinci berlompat-lompatan di dalam kurungan mereka. Di
dalam akuarium, ikan-ikan hias berenang dengan tenang.
Petra dan Thomas masuk. Kecuali mereka tidak ada pengunjung
lain. Seorang wanita berdiri di balik meja layan. Ia sedang sibuk
memasukkan makanan burung ke dalam kantong-kantong plastik.
Dengan ramah ia menganggukkan kepala.
"Kami ingin menanyakan sesuatu," ujar Petra, "barangkali lbu
bisa membantu. Kami mencari seorang pria muda yang ingin menjual
burung nurinya pada kami. Ia sempat memberikan secarik kertas berisi
nama dan alamatnya. Tapi sayangnya catatan itu hilang. Lalu kami
pikir, lbu mungkin mengenalnya. Sebab mungkin saja ia membeli
burung nurinya di sini, bukan" Burung nuri itu bisa bicara. Misalnya:
Nama saya Lori dan saya pandai sekali. Pria itu..."
"Oh, si Lori?" ujar wanita di balik meja layan sambil
tersenyum. "Burungnya bagus sekali. Yang kalian maksud pasti Pak
Gartz!" Petra nampak tersipu-sipu.
"Ya, mungkin itu namanya. Tapi... Eh, Thomas! Kau masih
ingat nama orang itu" Tidak" Begini, Bu," ia kembali berpaling pada
wanita di hadapannya. "Karena semuanya sudah tercatat di kertas itu,
maka kami tidak menghafalkan namanya - Tapi kami bisa
memberikan ciri-cirinya. Tampangnya agak aneh."
Gadis itu lalu mengulangi ciri-ciri yang ia dengar dari Sporty
melalui telepon. "Ya, itu dia - Richard Gartz," kata si penjaga toko sambil
mengangguk. "Setengah tahun yang lalu dia membeli si Lori di sini.
Tapi aneh! Saya sama sekali tidak menduga bahwa dia mau menjual
burung itu. Soalnya baru kemarin dia masih ke sini untuk beli
makanan burung." "Memang belum pasti," Thomas cepat-cepat menanggapinya.
"Tapi kalau jadi, setidak-tidaknya kami sekarang sudah tahu di mana
bisa membeli makanan untuk si Lori. Apakah Ibu kebetulan tahu
alamat Pak Gartz?" Wanita itu mengangguk. Namun ia hanya mengetahui nama
jalannya. Ia tidak tahu di rumah nomor berapa Richard Gartz tinggal.
Rumah pria itu temyata tidak jauh dari rumah Bu Elly.
Petra dan Thomas segera mengucapkan terima kasih.
Setelah keluar dari toko, Thomas berkata, "Kita benar-benar
beruntung! Baru satu toko langsung sukses. Kalau si Gartz itu benarbenar
terlibat dalam ledakan-ledakan akhir-akhir ini, maka dia telah
melakukan kesalahan besar ketika menelepon sekolah kita. Dia
menelepon dari rumahnya. Dan burung nurinya ikut bicara. Mungkin
karena itulah dia hari ini pergi ke stasiun untuk menelepon. Di sana
dia aman terhadap ulah Lori."
"Hebat!" Petra berkomentar sambil mengangguk. "Sporty dan
Oskar pasti terheran-heran. Dalam sekejap saja kita berdua sudah
berhasil memperoleh keterangan yang diperlukan! Sporty pasti akan
langsung meringkus orang itu. Eh, jam berapa sih sekarang?"
Ternyata masih jam lima kurang beberapa menit.
"Hmm, pekerjaan rumah sudah selesai," ujar Petra sambil
ketawa. "Berarti kita masih punya waktu untuk mendengarkan musik
dan makan kue donat."
**************************************
Jam dinding di asrama menunjukkan pukul setengah tujuh.
Petugas piket sudah tahu bahwa baik Sporty maupun Oskar
tidak ikut makan malam bersama. Sesuai peraturan, kedua anak itu
langsung mendatanginya seusai jam pelajaran tambahan untuk minta
izin pergi ke kota. Alasan mereka, di bioskop lagi ada film bagus.
Bu Glockner juga akan makan malam seorang diri. Petra pergi
bersama ketiga sahabatnya, dan Komisaris Glockner masih di kantor.
Ayah Petra itu sudah menelepon untuk memberitahukan bahwa ia
akan lembur. Dan di vila romantis milik keluarga Vierstein, Pak Profesor ayah Thomas - berkata pada istrinya,
"Elisabeth, hari ini ada yang lain dari biasanya. Piring baru"
Bukan. Kau mengubah letak perabot" Bukan. Oh. Thomas lagi pergi."
"Sayang, kelihatannya kau perlu istirahat," ujar Bu Vierstein
sambil tersenyum. "Betul, Thomas tidak ada. Anak-anak STOP punya
rencana lagi." Dugaan Bu Vierstein tidak meleset, sebaa keempat sahabat itu
sedang ngebut dengan sepeda masing-masing.
Mereka memilih waktu yang tepat. Sebagian besar penduduk
kota sedang makan malam, sehingga anak-anak bisa melaju tanpa
hambatan di jalan yang sepi.
Karena belum tahu bagaimana reaksi Bello kalau sampai
ketemu dengan Lori, maka kali ini Petra tidak membawa anjingnya
itu. Sebab - ini belum sempat disinggung oleh Thomas tadi - burung
nuri mempunyai paruh yang bisa digunakan untuk mencubit. Dan
karena paruh mereka cukup kuat, cubitan itu akan terasa cukup
menyakitkan. "Kelihatannya kau sama sekali tidak gembira," Petra tiba-tiba
berseru pada Sporty. "Lho" Kenapa aku harus gembira?"
"Karena penyelidikan Thomas dan aku langsung membuahkan
hasil! Dalam sekejap saja kami sudah menemukan bahwa orang yang
kita cari bernama Richard Gartz, dan bahwa ia tinggal di Jalan
Lumba-lumba." "Oh, aku terkagum-kagum pada kehebatan kalian!"
"Monyong! Seharusnya kami bisa mengerjakan PR,
mendengarkan musik dan makan donat. Kami... "
"Cukup, cukup!" Thomas berkomentar. "Sejak sore ini aku
benci musik! Dan aku tidak akan mau makan kue donat lagi!"
"Kalian semuanya brengsek!" Petra akhirnya memutuskan. Dan
ketika Oskar ikut ketawa, gadis itu langsung menambahkan.
"Terutama kau!"
"Dari dulu aku sudah menduga bahwa ada yang tidak beres
denganku," Oskar membalas sambil ketawa. Seperti biasanya ia
berada di urutan paling belakang dalam iring-iringan mereka, dan
bercucuran keringat seperti Pak Simbock pada saat mandi uap.
"Terus terang," kata Sporty kemudian, "aku kagum karena
dalam waktu singkat kalian telah berhasil mengumpulkan keteranganketerangan yang
sangat bermanfaat. Aku hanya terlalu sibuk
memikirkan langkah selanjutnya, sehingga belum sempat memuji
pekerjaan kalian." "Siapa yang minta dipuji?" Petra bertanya dengan sengit. "Aku
hanya ingin mengingatkanmu bahwa orang lain juga bisa bekerja
secara efektif." "Semua anggota STOP bisa bekerja secara efektif," jawab
Sporty. "Tapi masing-masing punya bidang keahlian sendiri. Misalnya
Oskar - apakah kau kenal seseorang yang bisa menyaingi Oskar
dalam soal makan?" Petra memacu sepedanya sampai berada sejajar dengan Sporty.
Dengan tangan kanan ia lalu mencubit lngan sahabatnya itu.
"Aduh!" teriak Sporty pura-pura kesakitan.
"Nah, itulah persamaan antara aku dengan burung nuri," kata
Petra sambil ketawa. "Aku juga bisa mencubit."
"Untung saja aku tadi belum sempat memujimu."
"Eeeh, mau mulai lagi, ya" Belum kapok?"
Namun kemudian Petra membatalkan rencananya, karena
sebuah nama menunjukkan bahwa mereka telah sampai di Jalan
Lumba-lumba. Jalan ini terletak di daerah perumahan sederhana.
Rumah-rumah kecil berderet-deret sepanjang jalan. Tidak ada yang
istimewa. Semuanya hanya terdiri dari empat dinding yang diberi
atap. Sepasang muda-mudi berdiri di bawah lampu penerang jalan
yang sudah lama tak pernah bersinar. Sporty mengganggu kemesraan
mereka dengan berhenti tepat di samping tiang lampu.
"Halo, apakah kalian tahu di mana rumah Richard Gartz?" ia
bertanya pada mereka. "Nomor 22, sebelah kanan," si pemuda menjawab tanpa
melepaskan tatapan dari gadis di hadapannya.
"Terima kasih."
Sporty lalu menyusul teman-temannya, yang tidak ikut berhenti.
Petra ketawa cekikikan. "Indahnya cinta remaja!" ia mengomentari pasangan tadi.
"Biarpun tiba-tiba ada hujan badai - mereka berdua pasti takkan
merasa terganggu." Rumah nomor 22 ternyata berada di pojok jalan. Pekarangannya
berukuran mini. Persis di sebelahnya ada sebuah gang sempit tanpa
papan nama. Sporty segera membelok, lalu berhenti.
"Kelihatannya si Gartz ada di rumah," ujar Thomas.
Dari balik jendela terlihat cahaya lampu. Dan tepat pada detik
ini lampu di atas pintu rumah pun dinyalakan.
Anak-anak STOP berdiri di tempat gelap.
Pintu rumah membuka. Seorang wanita melangkah keluar.
Usianya sekitar 50 tahun - atau lebih tua. Penampilannya
mengingatkan Sporty pada sebuah lemari pakaian yang terbuat dari
kayu jati. Rambut wanita itu nampak bergelombang. Warnanya antara
coklat dengan abu-abu. Ia membawa koper berukuran sedang, yang
sepertinya cukup berat. Wanita itu berhenti sejenak, lalu menoleh ke dalam rumah.
"Taksinya belum datang!" ia berseru. "Kau bilang, ada urusan
mendesak"!" "Ya, Bu!" seseorang menjawab dengan suara yang tidak
nyaman di telinga. "Dan jangan lupa siram tanaman!"
"Baik, Bu!" "Kalau saya pulang nanti, saya minta agar ruang hobimu sudah
dibersihkan. Mengerti! Saya sudah bosan melihat rongsokan itu
mengotori rumah." "Beres, Bu!" "Kau belum titip salam untuk Tante Anna!"
"Bu, titip salam untuk Tante Anna!"
"Dan jangan ajarkan yang bukan-bukan pada Lori! Jelas, itu?"
"Jelas, Bu!" Bu Gartz memiringkan kepala, lalu kembali menatap ke arah
jalan. Tapi taksinya belum muncul juga.
Akhirnya ia meletakkan kopernya ke lantai.
Ada apalagi sekarang" pikir Sporty. Apa dia belum puas
mengomel" Kelihatannya, Bu Gartz benar-benar jadi bos di rumah.
Tapi mungkin juga si Richard memang harus ditegur terus supaya
semuanya beres. Barang rongsokan di ruang hobi" Hmm. Pasti bukan
perangko atau pesawat-pesawatan.
"Richard, kau sudah harus ke tukang cukur lagi."
"Ibu kan tahu, aku tidak suka rambut pendek," terdengar,
jawaban dari dalam. "Tapi lbu suka! Mengerti! Kau kan anak yang gagah. Kenapa
sih kau tidak mau menjaga penampilanmu" Hari Senin kau langsung
ke tukang cukur. Titip salam untuk Pak Wagner! Minta agar
rambutmu dipotong seperti almarhum ayahmu."
"Aduh, Ibu!" Richard merengek. "Sejak aku masih kecil, kepala
Ayah sudah hampir botak. Dan sisanya dipotong seperti sikat. Mana
mungkin aku minta rambutku dipotong seperti itu" Ibu jangan
menuntut seperti itu, dong!"
"Ibu tidak menuntut apa-apa. Tapi Ibu tahu bahwa kau akan
melakukannya. Karena kau sayang pada ibumu yang tua ini. Ah, itu
taksinya. Lama betul. sih" Jangan harapkan uang tip, kalau begini
caranya. Ayo, Richard. Cium ibumu sebelum pergi, dong!"
Richard muncul di ambang pintu.
Dari tempat persembunyian mereka, anak-anak STOP bisa
mengamati pemuda itu dengan saksama.
Gambaran yang diberikan Adolf Burkert ternyata tepat sekali.
Pemuda berambut merah dengan hidung mirip paruh bebek itu
memang tidak mudah dilupakan.
"Anak yang gagah," bisik Sporty. "Yang merusak
penampilannya hanya rambutnya saja."
Petra menahan ketawa. Untung saja suaranya tenggelam dalam
deru mesin taksi yang berhenti di depan rumah nomor 22.
Richard mengangkat koper ibunya, dan memasukkannya ke
dalam bagasi. Meskipun telah mengerahkan seluruh tenaganya, ia
nyaris tumbang di tengah jalan.
Bu Gartz menyodorkan pipinya, dan Richard cepat-cepat
memberikan ciuman perpisahan. Kemudian ibunya masuk ke dalam
taksi. Sopirnya langsung tancap gas. Richard memperhatikannya tanpa
melambaikan tangan. "Bagus, deh!" katanya. "Sering-sering saja."
Ia meludah ke jalan, berbalik, lalu kembali ke rumah. Namun
sebelum ia sampai di pintu, Sporty telah melompati pagar. Dengan.
dua langkah panjang anak itu sudah berdiri di samping Richard.
"Heh, Gartz!" Sporty menegurnya dengan kasar. "Kami ingin
bicara denganmu!" Chapter 13 Darah di Cakar Pedro RICHARD GARTZ langsung mundur selangkah.
Sporty mendengar teman-temannya turun dari sepeda,
memasang kunci pengaman, lalu memanjat pagar.
"Hei," Gartz berseru terkejut. "Masih ada lagi! Mau apa kalian
di sini?" "Seperti yang sudah kukatakan tadi - pertama-tama kami ingin
bicara denganmu. Setelah itu ada yang harus kautunjukkan pada kami.
Bagaimana" Silakan masuk" Dengan senang hati. Terima kasih!"
"Aku tidak bilang..."
Tapi Sporty tidak memberi kesempatan bagi Gartz untuk
menyelesaikan kalimat itu. Ia menggenggam tangan pemuda itu, lalu
menariknya ke dalam. Sebelum Gartz sempat memprotes, Petra yang masuk terakhir - telah menutup pintu.
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian... kalian mau merampok?" tanya Gartz dengan mata
membelalak karena ketakutan. Mulutnya menganga lebar.
Sporty nyengir. "Kami tidak bermaksud merampok. Kami hanya ingin
merampas sesuatu. Jangan takut, bukan uang atau barang - hanya
sebuah rahasia kecil."
"Tapi... aku... aku tidak mengenal kalian."
"Kami berempat murid sekolah asrama. Dan..."
"Terima kasih banyak!" Oskar memotong. "Ancaman bom itu
benar-benar tepat pada waktunya. Kami diliburkan selama tiga jam.
Dan ulangan matematika juga batal."
"A... a... ancaman b... b... bom?" tanya Gartz tergagap-gagap.
Wajahnya nampak pucat pasi.
"Ya, ancaman bom!" ujar Sporty sambil mendesak maju sampai
dagunya nyaris mengenai ujung hidung Gartz. "Suara Lori sempat
kedengaran melalui telepon. Sial, memang! Tapi hari ini, di stasiun
kereta, semuanya berjalan dengan lancar, bukan" Bagaimana rasanya
setelah berhasil menakut-nakuti polisi" Mereka tadi terpaksa
memeriksa setiap sudut di bangunan raksasa itu. Tentu saja tanpa
hasil." "Apa... apa maksudmu?"
"Bagaimana rasanya, Gartz" Bagaimana?"?"
"Ke... keluar!" teriak pemuda itu sambil menunjuk ke arah
pintu. "Awas, aku akan memanggil polisi."
"Jangan repot-repot. Biar kami saja yang menghubungi mereka.
Kan ada telepon di sini." Dengan tajam Sporty menatap lawan
bicaranya. "Kami hanya ingin memastikan satu hal: apakah kau
termasuk gerombolan pemasang bom" Atau malah kau seorang diri
yang bertanggung-jawab atas ledakan-ledakan akhir-akhir ini" Atau
kau sekadar menakut-nakuti orang saja melalui telepon?"
"Aku... aku tidak terlibat dalam ledakan-ledakan itu. Soal
ancaman ke sekolah dan kantor polisi - memang aku yang
melakukannya." Gartz gemetar.
Aha! pikir Sporty. Dia sudah mulai mengaku - tapi terlalu
cepat. Jangan-jangan masih banyak yang disembunyikannya.
"Ibumu sedang bepergian?"
"Ya, baru saja dia berangkat."
"Berarti kau sendirian di rumah?"
"Rumahnya kecil, hanya tiga kamar."
"Aku tanya apakah kau sendirian di rumah?"
"Lori ada di dapur."
"Coba sebutkan kamar apa saja yang ada di rumah ini!"
"Kamarku. Kamar duduk. Kamar tidur ibuku. Dan dapur serta
kamar mandi, tentu saja."
"Kalau begitu rumahmu memang kecil."
"Untuk kami sudah cukup."
Gartz tidak berani menatap mata Sporty. Ia nampak pucat
seperti mayat. Butir-butir keringat dingin mulai bermunculan di
keningnya. "Selain itu tidak ada ruang lain" Ruang hobi, misalnya?"
"Ti... ti... tidak!"
"Kau selalu gagap kalau lagi bohong atau berlagak bodoh,
Richard." "Aku... aku cuma gelisah."
"Sudah seharusnya kau merasa gelisah. Kami pasti akan
menemukan ruang hobimu. Mana tangga ke ruang bawah tanah?"
"Di sini!" Oskar berseru. Ia menunjuk tangga berputar di pojok
ruangan. "Ta.. ta.. tapi pintu ruang hobi dikunci," Gartz kembali
tergagap-gagap. "Ku... ku... kuncinya dibawa ibuku."
"Kalau begitu kita terpaksa menjebol pintunya," ujar Sporty
sambil menepuk-nepuk bahu Richard. "Kau tidak keberatan, bukan?"
"A... A... A..."
"Tentu saja tidak," Sporty mendahuluinya.
"Wah, rupanya kau sekarang bisa membaca pikiran orang lain,"
kata Petra sambil ketawa.
"Lho, Richard dan aku kan sudah akrab. Tentu saja aku tahu apa
yang dipikirkannya, bukan begitu, Richard" Soal ancam-mengancam
melalui telepon, itu memang bukan perbuatan terpuji. Tapi secara
langsung tindakan itu tidak menimbulkan kerugian. Lain halnya kalau
kemudian terbukti bahwa Richard tidak hanya mengancam, tetapi juga
memiliki dan menggunakan bom, sebab... Wah, Richard itu bisa
berakibat fatal bagimu! Berarti ada kemungkinan, kaulah yang
bertanggung-jawab atas ledakan di garasi Pak Glockner. Ledakan itu
bisa saja mencederai Petra, atau kedua orangtuanya."
Suara Sporty bernada mengancam ketika ia menambahkan,
"Kalau sampai kau terlibat, Gartz, maka aku akan menghajarmu
sampai babak-belur. Percayalah, aku tidak main-main."
Pemuda itu hendak mengatakan sesuatu. Tetapi kemudian ia
memilih diam saja. Dengan sikap lesu ia menunggu nasib selanjutnya.
Anak-anak STOP lalu membawanya ke dapur, di mana Lori
sedang bertengger di atas tongkat kayu.
Lori termasuk jenis Ara berbulu hijau-biru, dengan kepala
berwarna merah dan dada berwarna kuning. Setiap orang yang tidak
buta warna pasti akan mengagumi keindahan bulu burung itu.
"Selamat malaaam! Selamaaat malaaam!"
Jantung Petra langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati
gadis itu membelai kepala Lori.
"Kalian saja yang mencari ruang hobinya," ia berkata pada
Sporty, Thomas, dan Oskar. "Aku akan menemani Lori di sini."
Hampir saja Sporty terpaksa menggunakan kekerasan untuk
memaksa Gartz ke ruang bawah tanah.
Secarik kertas menempel pada pintu ruangan itu: RUANG
HOBI. Kunci pintu ternyata ada di tempatnya.
"Wah!" Sporty berseru. "Kelihatannya ibumu meninggalkan
kunci ruang hobi agar kau bisa membereskan barang-barang
rongsokan di dalamnya! Barangkali ia sudah bosan melihat barangbarang itu. Ada
apa sih di dalam, Richard" Kau mau menunjukkannya
pada kami?" Richard tidak mau. Ia sudah nyaris ambruk. Berdiri tegak pun
rasanya sudah tak sanggup.
Tanpa menunggu jawaban Sporty membuka pintu dan
menyalakan lampu. Ruangan di balik pintu itu ternyata memang
berantakan. Rak-rak menempel pada dinding yang dicat putih. Kecuali
meja kerja dan sebuah kursi, tidak ada perabot lain.
Namun apa yang tergeletak di lantai - dalam peti, kardus, atau
tanpa pembungkus sama sekali - bisa membuat orang yang paling
berani pun jadi bermandikan keringat dingin.
"Bahan peledak!" Thomas membaca tulisan pada salah satu
peti. "Dinamit! Bahaya! Milik Angkatan Bersenjata! Gila, lututku
langsung terasa lemas."
"Inilah ruang kerja seorang pemasang bom," kata Sporty
dengan kasar. Dengan sebelah tangan ia menarik baju Gartz. Tangan yang satu
lagi segera mengepal, dan mengambil ancang-ancang untuk
menghajar pemuda itu. Namun ketika Sporty melihat wajah yang ketakutan di
hadapannya, ia tidak sampai hati untuk melakukannya. Pelan-pelan ia
melepaskan cengkeraman tangannya.
*****************************************
Seperempat jam kemudian rumah nomor 22 sudah penuh
dengan polisi. Komisaris Glockner - setelah dihubungi oleh anakanak STOP - langsung
membawa serombongan petugas: Matthias,
beberapa rekan lain, para ahli jejak, dan tentu saja para ahli bahan
peledak. Richard Gartz, di bawah pengawasan ketat, duduk di ruang
tamu. Ia tampak seperti mayat hidup.
"Luar biasa!" Pak Glockner memuji. "Kalian berhasil
menangkapnya!" Kemudian ia minta laporan lengkap dari Petra dan
Sporty. "Hmm, seharusnya kalian perlu dimarahi," katanya setelah
mendengar semuanya. "Lagi-lagi kalian bertindak tanpa memberitahu
saya. Tapi yang paling penting tetap saja hasil akhirnya. Saya benarbenar penasaran apakah Gartz benar-benar bertanggung-jawab atas
semua ledakan yang terjadi di kota kita. Soalnya baru saja ada ledakan
bom - kira-kira satu jam yang lalu."
"Di mana?" tanya Sporty.
"Di rumah peristirahatan milik Detmar Timm, seorang hakim
pengadilan negeri. Bom itu sempat menimbulkan kerusakan hebat,
tapi untung tidak ada korban jiwa."
Sporty menggaruk-garuk kepala. Sebenarnya ia baru keramas
tadi pagi. Tapi kadang-kadang kulit kepalanya terasa gatal kalau ia
lagi ada ide. "Pak Glockner, kelihatannya Richard Gartz alergi terhadap
pejabat pemerintah," katanya.
"Bagaimana maksudmu?" tanya Pak Komisaris sambil
tersenyum. "Menurut saya, rangkaian ledakan ini agak mencurigakan:
pertama-tama mobil Anda, lalu pondok sauna milik Pak Simbock, dan
sekarang rumah peristirahatan kepunyaan hakim itu."
Pak Glockner mengangkat alis. Pandangannya semakin tajam.
Senyumnya semakin lebar. "Sporty, analisamu benar-benar tajam. Kau langsung bisa
mengenali hal-hal yang penting serta mampu melihat hubunganhubungan yang ada.
Sudah sering saya katakan padamu: kalau setelah
selesai sekolah kau berminat masuk ke dinas kepolisian, maka kami
akan menerimamu dengan senang hati."
"Berarti, dugaan saya ada benarnya?" tanya Sporty, sambil
berusaha menyembunyikan kegembiraannya. Soalnya ia tidak mau
disangka sombong oleh Petra.
"Ya, dugaanmu tepat sekali. Kami juga punya dugaan seperti
itu. Ada seseorang yang mengincar kami."
"Kalau begitu, ledakan-ledakan ini mungkin ada hubungannya
dengan urusan balas dendam."
Pak Glockner mengangguk. "Tapi ini juga berarti bahwa seseorang membalas dendam pada
Anda, Pak Simbock, dan hakim itu. Seseorang yang pernah ditangkap
oleh Anda, dituntut oleh Jaksa Simbock, lalu dijatuhi hukuman oleh
Hakim Timm." "Tepat sekali. Sayangnya teori ini tidak banyak membantu.
Sebab Pak Simbock, Pak Timm, dan saya sendiri, hampir selalu
bekerjasama. Sudah ada ratusan orang yang pernah berurusan dengan
kami. Saya sendiri tidak bisa mengingat semuanya. Tapi kalau
Richard Gartz, saya belum lupa."
"Apakah dia sudah pernah dihukum?"
Pak Glockner kembali mengangguk.
"Dia pernah ditangkap karena merusak sejumlah mobil pada
malam hari. Kejadiannya kira-kira tiga atau empat tahun yang lalu.
Tapi kasusnya tidak pernah sampai ke pengadilan negeri. Hmm, kita
lihat saja nanti. Yang penting, dia sudah ketangkap sekarang."
Urusan selanjutnya adalah urusan dinas, yang bagi anak-anak
STOP tidak terlalu menarik.
Petra mengingatkan ayahnya agar jangan lupa mengurus Lori,
atau setidak-tidaknya membawa burung itu ke tempat penampungan
binatang. Dan Komisaris Glockner tentu saja menyanggupi
permintaan anaknya itu. Kemudian keempat sahabat itu mengundurkan diri.
Keadaan di luar ternyata sudah gelap-gulita.
Oskar terus-menerus mengatakan bahwa ia sudah hampir mati
kelaparan, karena belum makan malam. Namun teman-temannya tidak
memperhatikan keluhannya itu.
"Apa kau tidak bisa berbicara mengenai urusan lain kecuali
makan?" Thomas akhirnya bertanya dengan kesal. "Kami sudah bosan
mendengarnya." "Aku memang tidak bermaksud menghibur kalian!" Oskar
marah-marah. "Aku hanya ingin mengingatkan kalian bahwa aku akan
ambruk sebentar lagi. Siapa yang tahan, coba: sepanjang hari ke sana
kemari tanpa sempat mengisi perut."
"Barangkali saja Bu Elly mau menaruh belas kasihan pada
nasibmu," ujar Sporty. "Siapa tahu kau bisa mendapatkan sepotong
roti dari dia." "Lho, apa hubungannya dengan Bu Elly?" tanya Petra.
"Rumahnya kan dekat sini. Dia pasti senang kalau kita mampir
sebentar. Lagi pula kita juga harus melaporkan bahwa Adolf
kemalingan." "Padahal dia sedang mempertimbangkan untuk menjebak Adolf
di rumahnya," Thomas berkomentar, "karena menduga bahwa bekas
suaminya itu akan berusaha merebut koleksi permata yang pernah ia
hadiahkan." "Mudah-mudahan saja Bu Elly punya makanan yang masuk
akal," Oskar masih sempat berkata, sebelum melaju dan - aneh bin
ajaib! - mendahului teman-temannya yang lain. Kalau menyangkut
urusan perut, ia memang selalu paling depan.
Beriring-iringan mereka melewati jalan-jalan yang sudah sepi.
Angin dingin menerpa wajah mereka. Dengan geram Oskar
berkomentar bahwa orang yang sedang kelaparan paling menderita
karena hawa dingin. Akhirnya mereka sampai di rumah Bu Elly. Anak-anak itu
segera tahu bahwa ia ada di rumah, sebab beberapa jendela nampak
diterangi lampu dari dalam.
Namun - Bu Elly rupanya tidak siap menerima tamu.
Untuk ketiga kalinya Sporty menekan bel. Petra sudah mulai
tidak sabar. Thomas menggosok-gosok kacamatanya. Oskar sendiri
malah tidak berbuat apa-apa. Hanya perutnya saja yang terdengar
menggerutu. "Dia pasti ada di rumah," ujar Sporty sambil tetap menekan bel
pintu. "Barangkali dia lagi berendam di bak mandi," kata Petra.
"Wah, betul"' Oskar mengangguk. "Sekarang kan hari Jumat!"
"Aku bisa membayangkan bahwa kau hanya berendam pada
hari Jumat saja," Petra menanggapinya sambil ketawa.
"Enak saja! Setiap pagi aku mandi dengan air dingin!"
Sporty menunjuk sehuah jendela berkaca - susu yang gelapgulita.
"Itu pasti kamar mandi Bu Elly. Dan dia tidak ada di dalamnya.
Aku tidak yakin bahwa dia suka berendam dalarn gelap. Kalian
tunggu sebentar, ya!"
Sporty menghampiri salah satu jendela yang diterangi lampu.
Namun gordennya yang bermotif bunga sudah ditutup, sehingga ia
tidak bisa melihat ke dalam.
Ia mengetok jendela. "Bu Elly! Ini kami, anak-anak STOP!"
Tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sporty sudah hampir
berbalik, ketika tiba-tiba mendengar erangan tertahan.
Untuk sejenak ia ragu-ragu: betulkah ia mendengar suara itu"
Ataukah ia hanya salah dengar. Kemudian ia bergegas menuju sisi
pendek rumah Bu Elly - ke jendela yang pernah ia panjat ketika
membantu Bu Elly dalam menghadapi Adolf Burkert, bekas
suaminya. Di sini pun pandangan Sporty terhalang oleh gorden, namun
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak sampai tertutup rapat. Masih ada celah sempit, yang kemudian
dimanfaatkan oleh Sporty untuk mengintip ke dalam.
Sebuah kursi tergeletak di lantai. Dua kaki wanita terlihat dari
tepi kanan gorden. Pada salah satu kaki masih ada sepatu berwarna
merah dengan tumit tinggi. Kaki yang satu lagi hanya terbungkus oleh
stocking - kaus kaki wanita. Kesepuluh jari kaki nampak bergerak,
seakan-akan mencari tempat untuk berpegangan; sementara kedua
mata kaki diikat dengan seutas lagi.
"Cepat, ke sini!" Sporty langsung memanggil teman-temannya.
Kemudian ia menggunakan sikunya untuk memecahkan kaca.
Cepat-cepat ia meraih ke dalam dan membuka kunci jendela.
"Astaga, kau merusak jendelarrya," ujar Petra terkejut.
"Apa boleh buat."
Sporty melompat ke dalam lalu menyingkirkan gorden.
Elly Burkert terbaring di lantai. Kaki dan tangannya diikat
dengan tali. Sepotong kain gelap menutupi matanya. Mulutnya ditutup
dengan cara yang sama. "Ya, Tuhan!" Petra berseru.
Sporty sudah berjongkok di samping wanita itu. Dalam sekejap
ia telah membuka kain penutup mata dan mulut Bu Elly. Tapi ikatan
tali pada kaki dan tangan guru piano itu ternyata terlalu keras,
sehingga Sporty harus menggunakan pisau lipatnya untuk memotong
tali-tali itu. Tiba-tiba terdengar suara menggeram dari arah pintu.
Pedro, kucing Siam kepunyaan Bu Elly, sudah bersiap-siap
untuk melompat. Kedua matanya nampak menyala-nyala. Mulutnya
terbuka Iebar. "Jangan, Pedro! Jangan." Bu Elly berkata pada kucingnya.
"Sporty hanya ingin membantu saya. Dia datang untuk membebaskan
saya." Dengan bantuan Sporty, wanita itu akhirnya bisa berdiri.
Terpincang-pincang - karena sepatu sebelahnya hilang - ia
menghampiri Pedro, lalu mengangkat dan membelai kucing itu.
"Coba kalau Pedro tadi juga segalak sekarang," kata Sporty.
"Bagaimana keadaan Anda, Bu Elly" Apakah kami perlu memanggil
dokter" Duduk dulu, deh! Anda kelihatan pucat sekali."
Dengan lesu Bu Elly merebahkan diri di sofa. Untuk sesaat ia
menutup mata. Pedro sudah tenang lagi. Kucing itu berbaring di
hadapan majikannya dan mulai menjilat-jilat kaki.
Terheran-heran Sporty melihat: kaki dan cakar Pedro nampak
belepotan darah yang telah mengering.
"Anda harus istirahat dulu," kata Petra cepat-cepat, ketika
melihat Bu Elly bersiap-siap untuk menceritakan kejadian yang
dialaminya. "Keadaan saya sudah lumayan sekarang. Saya tidak cedera.
Tapi kagetnya benar-benar setengah mati." Ia memandang ke jendela.
"Ayo, silakan masuk, Anak-anak!" Kemudian ia ketawa - tapi
suaranya masih gemetar. "Di rumah Elly Burkert selalu ada
keramaian. Masalahnya, yang menjadi korban selalu dia."
Chapter 14 Terdesak PETRA langsung mulai berperan sebagai jururawat. Ia bergegas
ke dapur, lalu kembali sambil membawa obat penenang dan segelas
air untuk Bu Elly. Guru piano Oskar itu ternyata tidak mau memanggil
dokter. Dan Sporty pun sengaja tidak mengusulkan untuk
menghubungi polisi. Ia belum pasti apakah kejadian ini ada
hubungannya dengan kasus yang sedang ditangani oleh anak-anak
STOP. Dalam waktu singkat keadaan Bu Elly sudah membaik.
"Hanya ada satu orang yang patut dicurigai," katanya, "yaitu
bekas suami saya." "Lho?" Sporty tampak heran. "Apakah Anda tidak tahu siapa
yang menyergap Anda?"
Bu Elly menggelengkan kepala. "Kejadiannya antara jam enam
sarnpai setengah tujuh. Saya duduk di meja makan sambil mengamati
koleksi permata yang saya peroleh dari Adolf. Saya ingin mengamati
koleksi itu sekali lagi sebelum menitipkannya ke bank - seperti yang
kausarankan, Sporty. Saya masih ingat bahwa tepat pada saat itu
sebuah truk besar lewat di depan rumah. Bisingnya bukan main.
Karena itu saya tidak mendengar bahwa ada orang masuk. Saya baru
mulai curiga ketika Pedro tiba-tiba ribut dan melompat ke atas piano.
Tapi sebelum sempat berdiri, saya disergap dari belakang. Saya masih
sempat merasakan tekanan yang keras sekali di leher. Kemudian saya
jatuh pingsan." "Dalam judo memang ada teknik-teknik cekikan seperti itu,"
kata Sporty. "Kalau seseorang menguasainya, maka... Pokoknya,
Anda tidak sempat melihat wajah penyerang Anda?"
"Tidak. Saya hanya mencium bau minyak wangi yang menusuk
hidung. Dan... oh ya, masih. ada lagi! Sebelum benar-benar pingsan,
saya masih sempat mendengar bahwa Pedro semakin ribut. Saya rasa,
dia sempat menyerang orang itu."
"Saya sependapat dengan Anda. Coba Anda perhatikan
cakarnya! Semuanya berlumuran darah kering. Tangan penyerang
Anda pasti penuh luka cakar sekarang. Jadi, Anda berpendapat orang
itu bekas suami Anda?"
"Habis, siapa lagi" Hanya dia yang tahu bahwa saya
menyimpan batu permata di rumah."
"Hmm, sebaiknya sekarang kita periksa keadaan dulu.
Barangkali ada jendela yang dibongkar, atau pintu belakang terbuka.
Kalau begitu mungkin saja penyerangnya orang lain."
Ternyata semua pintu dan jendela masih dalam keadaan
terkunci. "Nah," ujar Sporty setelah mereka kembali ke ruang duduk,
"sekarang sudah bisa dipastikan bahwa orang itu mempunyai kunci
rumah Anda. Kelihatannya dugaan Anda benar. Bekas suami Andalah pelakunya.
Dengan menggunakan kunci itu ia bisa masuk tanpa
diketahui oleh Anda. Dia pasti menyangka bahwa polisi akan
menyalahkan kelompok Diablo. Tapi tangannya yang penuh luka
merupakan bukti yang tidak bisa disangkal. Pedro tidak menyukainya,
ya?" "Dari dulu Pedro sudah bermusuhan dengan Adolf."
"Sebenarnya aneh," kata Petra. "Kalau melihat Pedro sekarang,
saya takkan menyangka bahwa ia bisa menyerang orang. Dia
kelihatannya begitu jinak."
"Mungkin kau belum tahu, Petra, bahwa kucing sejenis Pedro
masih mempunyai naluri binatang buas. Zaman dulu, di daerah
asalnya, kucing Siam dipakai untuk menjaga tempat-tempat upacara
keagamaan. Mereka dilatih untuk menyerang setiap orang asing.
Itulah yang dilakukan Pedro ketika ia melihat saya dalam bahaya.
Sayangnya ia kurang berhasil."
Anak-anak STOP terheran-heran. Mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa seekor kucing bisa segalak itu.
"Wah, kalau saya yang jadi Pedro," Oskar akhirnya bergumam,
"saya pasti sudah kelaparan karena terlalu banyak mengeluarkan
tenaga. Membayangkannya saja sudah membuat saya jadi lapar."
Dasar Oskar! Dalam keadaan seperti sekarang ia tidak ngomong
secara terus terang bahwa ia sedang kelaparan. Karena itu ia
memanfaatkan Pedro sebagai contoh. Namun teman-temannya
berlagak bodoh. Sedangkan Bu Elly masih terlalu lelah untuk
memikirkan maksud muridnya itu.
Wah, ini tidak boleh dibiarkan berlanjut, pikir Sporty sambil
menegakkan badan. "Bu Elly," katanya kemudian. "Kami akan menyelamatkan
koleksi batu permata Anda. Adolf pasti terbengong-bengong kalau
kami tiba-tiba muncul di rumahnya. Tapi... ehm... untuk sementara
jangan hubungi polisi dulu. Oke?"
Bu Elly mengangguk. "Saya bisa membaca jalan pikiran bekas suami Anda," Sporty
melanjutkan. "Setelah rumahnya dimasuki pencuri, ia ingin
mengurangi kerugiannya dengan mengambil permata-permata milik
Anda. Dasar bajingan!"
"Rumah Adolf dimasuki pencuri?" tanya Bu Elly terheranheran.
Baru sekarang ia mendengar apa yang terjadi sore tadi.
*******************************************
Malam gelap-gulita. Lampu-lampu jalanan memancarkan
cahaya redup. Hanya kotak telepon umum yang nampak terang.
"Mudah-mudahan dia ada di rumah," Petra berharap-harap,
ketika ia beserta ketiga sahabatnya sampai di Jalan Fritz-Meier.
Yang dimaksudnya adalah Adolf Burkert. Pintu pekarangan
bekas suami Bu Elly itu tertutup rapat. Tapi lampu-lampu di
rumahnya menyala. "Kelihatannya kita beruntung kali ini," ujar Sporty. "Dia pasti
lagi mengagumi permata-permata itu."
Ia menyandarkan sepedanya ke pagar. Tempatnya gelap,
sehingga sepeda Sporty nyaris tidak kelihatan. Walaupun demikian
anak itu tidak mau mengambil risiko. Ia langsung pasang kunci
pengaman, dan teman-temannya mengikuti contohnya.
Mereka membuka pintu pagar, menuju rumah Adolf, lalu
menekan bel. Siapa yang akan membuka pintu" Pak Riebesiel" Atau
Adolf sendiri" Pasti bukan dia, pikir Sporty. Luka cakar di tangannya pasti
masih perih sekali. Lampu di balik pintu menyala, dan pintunya membuka. Adolf
Burkert muncul di hadapan anak-anak STOP. Ia mengenakan
semacam kimono yang terbuat dari sutera hitam.
Perhatian Sporty tertuju pada tangan pria itu. Tangan kirinya
ternyata tidak terluka sama sekali, tangan kanannya tidak kelihatan
karena dimasukkan ke dalam kantong kimono.
"Mau apa kalian?" tanya Adolf dengan ketus. Penuh dendam ia
menatap keempat sahabat STOP di hadapannya.
"Kami minta agar Anda mengembalikan batu-batu permata itu!"
Sporty menjawab dengan tegas.
"Hah" Apaaa"!"
"Jangan berpura-pura. Kami tahu persis bahwa Anda baru-baru
ini mencuri kunci rumah bekas istri Anda. Dan kunci itu Anda pakai
untuk memasuki rumahnya tadi. Anda mencekik Bu Elly sampai
pingsan, kemudian membawa koleksi batu permata yang pernah Anda
hadiahkan padanya. Ayo, mengaku saja! Kalau tidak, dalam sepuluh
menit polisi sudah akan ada di sini. Mengerti?"
Adolf Burkert nampak kaget sekali. Ia menarik tangan
kanannya dari kantong, kemudian mengusap keningnya.
Dengan mata terbelalak Sporty melihat bahwa tangan itu pun
sama sekali tidak terluka.
Astaga! Kalau begitu bagian mana yang dicakar oleh Pedro"
"Ayo, masuk!" ujar Burkert dengan datar.
Wajah Oskar langsung mulai berseri-seri. Anak itu ternyata
masih berharap untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan.
Setelah keempat pengunjungnya masuk, Adolf Burkert menutup
pintu. Dengan nada yang nyaris tenang ia lalu berkata,
"Saya tidak heran jika kalian mencurigai saya. Tapi bukan saya
yang melakukannya. Soal kunci itu - kunci rumah Elly - terus terang,
saya memang mengambilnya. Bukan untuk menyergap bekas istri
saga, melainkan supaya bisa mengejutkannya dengan menaruh bunga
di mejanya secara diam-diam dan... Tapi itu urusan saya. Kunci itu...
Tunggu sebentar!" Ia berbalik, dan berlari ke kamar tidurnya. Beberapa detik
kemudian ia sudah kembali lagi:
"Kuncinya hilang. Pencuri brengsek itu membawanya."
"Kalau begitu Anda pasti memasang label pada kunci itu," kata
Sporty dengan sinis. "Dan pada label itu tertulis: Kunci rumah Elly
Burkert. Berikut alamatnya. Dan dalam kurung Anda tambahkan:
Pernilik koleksi batu permata."
Adolf Burkert menatapnya dengan tajam.
"Kunci itu saya simpan di bawah foto bekas istri saya. Dan di
balik foto itu ada namanya. Barangkali saja si pencuri berhasil
menghubung-hubungkannya secara benar."
"Tapi dari mana dia tahu alamat Bu Elly dan hubungannya
dengan Anda" Dari mana dia tahu bahwa ada barang berharga di
rumah bekas istri Anda itu?"
"Entahlah, saya kira polisilah yang harus mencari jawabannya,"
jawab Burkert sambil mengangkat bahu. "Dan di samping itu, saya
tidak perlu menjelaskan apa-apa pada kalian! Cepat, pergi dari sini!"
Nah, sikap aslinya keluar lagi, pikir Sporty.
"Wah. sayang," ujar Oskar. "Sebenarnya kami ingin sekali
membantu membereskan rumah Anda. Dan mengenai ganti rugi
sepeda saya - utang Anda semakin menumpuk dari hari ke hari.
Jangan sangka bahwa saya tidak memperhitungkan bunganya."
"Keluaaar!" teriak Burkert dengan kesal.
Brengsek, kata Sporty dalam hati. Kelihatannya kita benarbenar salah alamat.
Kelompok Diablo" Hmm! Tapi bagaimanapun
juga, si Burkert memang keterlaluan. Dia bahkan tidak menanyakan
keadaan Bu Elly. Padahal, katanya dia ingin berdamai kembali.
Dengan sikap sok berkuasa Burkert menunjuk ke arah pintu.
Dan Petra, Thomas, serta Oskar pun langsung mulai bergerak. Hanya
Sporty yang nampak ragu-ragu. Ia masih memikirkan tindakan apa
yang sebaiknya diambil. Namun untuk sementara waktu mereka tidak
bisa berbuat apa-apa. Kecurigaan mereka ternyata tidak terbukti.
Tiba-tiba bel pintu berdering.
Rupanya Adolf sudah memanggil cleaning-service - petugas
kebersihan - untuk membereskan rumahnya yang berantakan, pikir
Sporty. Namun kemudian ia berubah pikiran. Sebab entah kenapa
Adolf mendadak jadi gelisah sekali.
Petra sudah berdiri di depan pintu dan membukanya.
Seorang pria berdiri di luar. Ia masih muda - pertengahan dua
puluhan, mungkin. Rambutnya pirang, dan sepertinya baru dikeramas.
Di bawah mantelnya, ia mengenakan baju hangat berwarna merahjambu. Tangan
kanannya menggenggam sebuah tas belanja yang
kosong. Dalam keadaan biasa, pria muda itu bisa dikatakan tampan.
Tapi sekarang tidak! Wajahnya tampak seperti baru saja dilindas
mesin potong rumput. Luka gores, luka cakar, kulit sobek, bekas darah rnengering hanya luka-luka yang lebih parah ditutupi plester.
Tubuh pria itu menghamburkan bau minyak wangi yang
menusuk hidung. Ketika melihat anak-anak STOP, ia segera
memicingkan mata. Kemudian pandangannya beralih pada Adolf
Burkert. "Malam, Burkert," katanya. "Salam dari Klaus."
Sporty menahan napas. Oskar - yang seperti selalu agak telat mikir - membelalakkan
mata, berpaling pada Sporty, lalu hendak mengatakan sesuatu.
"Tenang saja, Oskar! Kita sudah mau pulang, kok," ujar Sporty
cepat-cepat, sebelum sahabatnya yang gendut buka mulut. Sambil
mendorong Oskar, ia lalu keluar dari rumah. Thomas dan Petra
menyusul. Ketika Sporty menoleh ke belakang, Adolf ternyata sedang
menggertakkan gigi, seakan-akan terpaksa menahan diri.
"Silakan masuk!" katanya dengan sikap kaku. Pria muda tadi
masuk, lalu menutup pintu. "Sst! Jangan di sini," Sporty berbisik.
Mereka lari ke garasi. "Itu... itu... itu pasti si pencuri," ujar Oskar dengan napas
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenga-sengal. "Yang menyergap Bu Elly, maksudku. Pedro ternyata
mencakar wajahnya, bukan tangannya."
"Sekarang aku baru mengerti," kata Petra. "Bukan Adolf yang
datang ke rumah Bu Elly. Dia menyuruh seorang rekannya. Dan
sekarang rekannya itu mengantarkan koleksi permata yang berhasil ia
curi." "Tapi kenapa pria tadi mengatakan: 'Salam dari Klaus?"' tanya
Thomas. "Dan kenapa sikap mereka seperti orang yang saling tidak
mengenal" Aku kira para bandit selalu akrab satu sama lainnya."
Sementara teman-temannya mengemukakan pendapat masingmasing, Sporty mengamati
keadaan di sekeliling. Ketika melihat ke
arah jalan, ia tiba-tiba tersentak kaget.
"Teman-teman," katanya, "masalahnya bertambah rumit. Pria
tadi ternyata salah satu anggota gerombolan Diablo. Coba lihat apa
yang ada di depan gerbang: Ford Mustang bobrok yang dicari-cari
oleh ayah Petra." "Astaga! Apa kita tidak salah lihat?" seru Thomas sambil
membetulkan letak kacamatanya.
Dengan hati-hati mereka mendekat. Bagian jalan ini tidak
diterangi lampu, sehingga baru dari dekat ketahuan bahwa tidak ada
orang di dalam mobil itu.
Sporty segera menghafalkan nomor polisinya.
"Ayahmu pasti akan memerlukan keterangan ini," ia berkata
pada Petra. Iseng-iseng saja ia mencoba membuka ruang bagasi. Ternyata
tidak dikunci! Ruang bagasinya nyaris kosong. Isinya hanya sebuah
kardus kecil dan sebuah selimut bermotif kotak-kotak.
Sporty langsung tahu apa yang harus ia lakukan.
"Kalian tolong bawa sepedaku. Aku akan bersembunyi di ruang
bagasi. Aku ingin tahu ke mana si Muka Rusak pergi setelah ini. Di
belakang sana ada kotak telepon umum. Kalian hubungi ayah Petra.
Dan jangan sampai lupa nomor polisi mobil ini. Berdasarkan plat
nomornya, Pak Glockner pasti bisa mencari alamat pemiliknya. Tapi
aku akan sampai lebih cepat."
"Apa kau sudah gila?" tanya Petra dengan sengit. "Rencanamu
terlalu berbahaya. Jangan macam-macam! Kalau kau sampai kepergok
oleh penjahat-penjahat itu..."
"Petra, ini harus kukerjakan! Tidak ada pilihan lain. Lagi pula
mereka takkan tahu bahwa ada penumpang gelap di ruang bagasi."
"Baiklah, kalau begitu aku ikut!" Petra lalu berkata dengan
tegas. "Jangan! Aku sangat menghargai tawaranmu. Tapi dalam
keadaan terdesak kau takkan bisa membantu. Kecuali itu tempatnya
hanya cukup untuk satu orang. Ayo, cepat! Nanti si Muka Rusak
keburu balik." Petra menarik napas panjang, seakan-akan hampir menangis.
Thomas dan Oskar pun nampak bingung. Ini bisa dimengerti, sebab
tindakan gila-gilaan seperti ini memang spesialisasi Sporty.
Ia masuk ke dalam ruang bagasi, melihat teman-temannya
mengambil sepeda, lalu menarik tutup bagasi sampai nyaris
merapat - yang tersisa hanya sebuah celah sempit. Agar tutup
bagasinya jangan sampai bunyi, Sporty mengganjalnya dengan
sepotong karton yang dilipat tiga. Kemudian ia menunggu
perkembangan selanjutnya.
Sporty tidak perlu menunggu terlalu lama. Tiba-tiba terdengar
suara langkah mendekat. Si Muka Rusak sedang menuju ke mobilnya,
sambil bersiul riang-dengan nada sumbang. Kemampuan musiknya
ternyata lebih parah lagi dibandingkan dengan Oskar.
Tas plastik tadi kini disekapnya di depan dada.
Ford Mustang bobrok itu terasa bergetar ketika si Muka Rusak
masuk, menutup pintu dengan keras, lalu menghidupkan mesin.
Sporty berbaring menyamping sambil menjejakkan kedua
kakinya pada dinding ruang bagasi. Tangan kanannya memegangi
tutup bagasi, tangan kirinya menahan potongan kardus agar jangan
sampai terjatuh. Teman-temannya bersembunyi di tempat yang gelap. Sporty
tidak bisa melihat mereka. Ford Mustang itu mulai menggelinding.
Lima menit kemudian Sporty sudah bisa memastikan bahwa tubuhnya
akan memar-memar setelah perjalanan ini. Si Muka Rusak menyetir
seakan-akan berniat menghancurkan mobilnya. Kadang-kadang tutup
bagasi nyaris terbuka. Untung saja si Muka Rusak tidak
menyadarinya. Berkali-kali Sporty mengintip keluar. Ia mencoba untuk
mengingat-ingat jalan yang mereka lalui. Kendaraan-kendaraan lain
tak sempat diperhatikannya. Meskipun begitu, akhirnya ia melihat
pengendara sepeda motor itu.
Apakah orang itu hanya kebetulan menempuh jalan yang sama"
Dia memang menjaga jarak, tapi mobil si Muka Rusak tidak pernah
lepas dari pandangannya. Kelihatannya, dia membuntuti si Ford
Mustang itu. Jangan-jangan dia juga anggota gerombolan Diablo yang
bertugas mengawal si Muka Rusak! Kalau begitu, keadaannya jadi
gawat, sebab mungkin saja dia sudah melihat Sporty.
Perasaan Sporty semakin tidak enak. Dan setelah beberapa saat
ia merasa yakin: pengendara sepeda motor itu memang sedang
membuntuti mereka. Sayang sekali jaraknya terlalu jauh. Sporty hanya melihat
bahwa sepeda motor itu ber-cc besar, dan bahwa pengendaranya
mengenakan pakaian gelap dengan helm berwarna merah tua.
Akhirnya mereka sampai di daerah belakang stasiun kereta
barang. Si Muka Rusak mengurangi kecepatan. Tubuh Sporty terasa
seperti baru saja diinjak-injak oleh sekawanan gajah. Tapi pengendara
sepeda motor tadi kini tak terlihat lagi. Si Muka Rusak memasuki
sebuah pekarangan dan mematikan lampu. Keadaan di sekeliling
mobil menjadi gelap-gulita.
Si Muka Rusak turun dan membanting pintu. Ia masih bersiulsiul dengan riang.
Mengingat bahwa wajahnya lagi luka-tuka, hal ini
sebenarnya cukup mengherankan. Suara langkahnya terdengar
menjauh. Sebuah pintu rumah membuka, lalu ditutup lagi. Kemudian
suasana kembali hening. Sporty bisa melihat ke jalan yang gelap-gulita. Tapi ia tahu
bahwa daerah itu terdiri dari bangunan-bangunan yang tak terurus.
Kegaduhan dari stasiun kereta barang terdengar sarnpai ke sini.
Pelan-pelan ia mendorong tutup bagasi ke atas, dan memanjat
keluar. Rumah yang dimasuki si Muka Rusak ternyata sempit, tapi
berlantai tiga. Dua jendela di lantai dasar nampak diterangi lampu.
Secara samar-samar Sporty melihat beberapa orang di balik
jendela. Langsung saja ia maju sambil mengendap-endap.
Akhirnya! Perjalanan di ruang bagasi tadi ternyata tidak sia-sia.
Sporty telah sampai di tujuannya, yaitu markas para perampok Diablo.
Bertiga mereka mengelilingi sebuah meja: Si Mata Kodok, seorang
laki-laki berambut gelap dengan tampang petinju, dan si Pirang
dengan wajahnya yang luka-luka.
Yang bertampang petinju itu pasti Klaus Heye, pikir Sporty.
Ciri-cirinya cocok sekali dengan keterangan yang diberikan Pak
Riebesiel. Si Muka Rusak kini membuka tas plastik yang ia bawa,
mengeluarkan setumpuk uang, lalu melemparkannya ke atas meja.
Semuanya nyengir - dan berkomentar. Namun suara mereka terlalu
pelan, sehingga Sporty tidak mendengar apa yang dibicarakan.
Apakah Adolf memberikan uang itu sebagai imbalan atas serangan
terhadap Bu Elly" Sporty tidak membuang-buang waktu lagi: Kalau ia
menghubungi Komisaris Glockner sekarang juga, maka ayah Petra itu
tidak perlu repot-repot melacak nama dan alamat pemilik Ford
Mustang yang bobrok tadi.
Ia menyeberangi pekarangan, lalu bergegas menuju ke jalan.
Terlindung dalam bayang-bayang rumah-rumah, Sporty berlari sampai
ke tikungan. Di sini ia menemukan sebuah papan nama. Jalan satu
arah ini ternyata bernama Jalan Stasiun Utara. Markas para perampok
Diablo berada di rumah nomor 17. Sejauh ini semuanya jelas.
Masalahnya sekarang, di mana ada telepon umum di dekat sini"
Ketika lagi bingung mencari telepon, Sporty tiba-tiba melihat
pengendara sepeda motor yang tadi membuntuti si Muka Rusak.
Orang itu berjalan kaki. Sepeda motornya sudah ditinggal entah di
mana. Dengan lengan kanannya ia mengepit sebuah paket. Sambil
membungkuk ia menyusuri deretan rumah - tanpa melihat Sporty,
yang berdiri di tempat gelap di seberang jalan.
Jalan sepi dari lalu lintas. Pria berpakaian serba hitam itu
memasuki pekarangan rumah nomor 17 - markas kelompok Diablo. Ia
sama sekali tidak menyadari bahwa kini justru ia sendiri yang
dibuntuti oleh sesosok bayangan gelap. Terheran-heran Sporty lalu
melihat pria itu mengintip sebentar melalui jendela, kemudian
menghampiri Ford Mustang milik si Muka Rusak, dan mendorong
paketnya ke kolong mobil.
Busyet! pikir Sporty. Hampir saja ia bersiul atau bertepuk
tangan. Otaknya langsung bekerja cepat. Satu hal sudah bisa
dipastikan: paket yang tergeletak di kolong mobil pasti bukan hadiah
untuk si Muka Rusak. Pria yang membawa paket itu bergegas meninggalkan
pekarangan. Sporty segera mengikutinya. Orang itu ternyata kembali
ke tikungan, membelok ke suatu jalan yang gelap dan sunyi, dan
akhirnya tiba di lapangan parkir kecil, yang diapit oleh dinding
belakang dua buah rumah. Sepeda motornya ada di sini. Namun ketika
ia hendak menaikinya, Sporty tiba-tiba melompat maju.
Dengan satu tendangan anak itu menjatuhkan sepeda motor.
Dengan sigap ia lalu mengayun-ayunkan tongkat panjang yang
dipungutnya dari jalan. "Anda tetap di sini - sampai polisi datang!"
Pria tadi berbalik. Sambil berteriak ia menyerang Sporty.
Helmnya yang berwarna merah tua nampak bergetar ketika terkena
hantaman kayu. Tongkat di tangan Sporty sampai patah.
Penyerang anak itu nampak sempoyongan - bukan karena
kepalanya kena pukul, melainkan karena terpeleset dan kehilangan
keseimbangan. Sporty segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
mempraktekkan kemampuan judonya. Lawannya terlempar jauh dan
mendarat di atas sepeda motomya. Helm yang selama ini menutupi
wajahnya kini terpental. Cahaya lampu jalan segera menerangi muka Adolf Burkert yang
menyeringai kesakitan. Dengan susah-payah ia berusaha duduk. Ia
mengerang tertahan, menggerakkan lengan kiri dengan hati-hati, lalu
kernbali berbaring. "Seharusnya saya tidak perlu heran lagi," kata Sporty. "Tapi
saya tetap belum mengerti urusan ini. Apa yang Anda letakkan di
bawah Ford Mustang itu" Sebuah bom - seperti di garasi Komisaris
Glockner baru-baru ini. Seperti di pondok sauna Pak Simbock, atau di
rumah peristirahatan Hakim Timm" Ayo, jawab! Jangan paksa saya
untuk menggunakan kekerasan."
Adolf benar-benar kesakitan. Belakangan baru diketahui bahwa
tiga tulang iganya patah. Ia sudah tidak sanggup bangkit. Namun
tenaganya masih cukup untuk memaki-maki Sporty.
"Ah, saya mengerti," ujar anak itu dengan tenang. "Anda adalah
salah satu dari para pemasang bom itu. Anda bersekongkol dengan
Richard Gartz. Dan... nah, mereka sudah datang."
Yang dimaksud Sporty adalah kedua mobil patroli yang kini
berhenti di ujung jalan. Komisaris Glockner dan beberapa petugas lain
segera turun. Sporty berlari menyambut mereka. Adolf Burkert tidak
perlu dijaga. Dalam keadaan cedera seperti sekarang, penjahat itu
tidak mungkin kabur. "Kau baik-baik saja?" Pak Glockner langsung bertanya ketika
melihat Sporty. "Saya sudah mendengar semuanya dari Petra. Seperti
biasanya kau terlalu nekat. Ford Mustang yang kau tumpangi tadi
ternyata milik seseorang bernama Rudi Johann. Dan masih ada berita
lagi! Richard Gartz tidak terlibat dalam ledakan-ledakan belakangan
ini. Barang-barang yang kita temukan di ruang hobinya ternyata tidak
berbahaya. Sebagian besar malah tidak bisa dipakai. Waktu
membelinya di pasar gelap, dia benar-benar kena tipu. Dia bahkan
tidak memiliki detonator. Gartz hanya menyebarkan ancaman melalui
telepon. Itu sudah diakuinya. Kenapa dia berbuat begitu - para ahli
psikologi-lah yang harus menjawabnya. Pokoknya, untuk sementara
bisa dikatakan bahwa Gartz kurang waras."
"Pak Glockner," ujar Sporty kemudian, "para perampok Diablo
ada di rumah nomor 17. Mereka bertiga. Ford Mustang yang bobrok
diparkir di pekarangannya. Di kolong mobil itu ada sebuah bom.
Adolf Burkert yang menaruhnya di sana. Saya tidak tahu kenapa.
Rupanya ada perselisihan antara dia dengan kelompok Diablo. Saya
berhasil meringkus Burkert. Dia ada di lapangan parkir itu."
Untuk sesaat Komisaris Glockner kehilangan kata-kata.
"Luar biasa!" katanya kemudian. "Kau..."
Kalimatnya terpotong oleh sebuah ledakan yang tiba-tiba
mengguncang Jalan Stasiun Utara. Udara terasa bergetar. Entah dari
mana terdengar suara kaca pecah.
"Sekarang benar-benar tinggal besi tua," Sporty mengomentari
nasib Ford Mustang kepunyaan Rudi Johann.
**************************************
Polisi tidak mengalami kesulitan ketika menangkap para
perampok Diablo. Mereka sama sekali tidak melawan. Setelah
mendengar ledakan tadi, nyali mereka langsung ciut. Selanjutnya
semuanya diangkut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Acara interogasi berlangsung sampai lewat tengah malam.
Adolf Burkert-lah yang pertama buka mulut. Rupanya ia menyadari
bahwa tidak ada gunanya untuk berbohong. Pada waktu
penggeledahan rumahnya, yang akhimya jadi dilaksanakan, polisi
menemukan berbagai jenis bahan peledak - sebagian besar merupakan
milik angkatan bersenjata yang dicuri dari gudang persenjataan.
Burkert mengaku bahwa ia seorang diri bertanggung-jawab atas
serangan-serangan bom yang mengguncangkan kota. Ia melakukannya
dalam rangka membalas dendam. Sekarang semuanya terbongkar.
Dugaan bahwa ledakan-ledakan itu ditujukan pada Pak Glockner, Pak
Simbock, dan Hakim Timm, temyata benar. Adolf bermaksud
membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpa dirinya. Sebab
Komisaris Glockner-lah yang dulu menangkapnya, Pak Simbock yang
menyeretnya ke depan pengadilan, dan Hakim Timm yang
menjatuhkan hukuman. Bahwa ketiga abdi hukum itu bertindak
berdasarkan peraturan dan sesuai suara hati nurani mereka - itu tidak
pernah dipahami oleh Burkert. Ia juga tidak mau melihat bahwa
penyebab kekeliruan itu adalah Edwin Kramer, yang ketika itu tampil
sebagai saksi. Tujuan Adolf Burkert adalah melampiaskan dendamnya. Dan
cara yang ditempuhnya menunjukkan bahwa ia memang berbakat
kriminal. Keempat ledakan yang mendahului serangan terhadap
"musuh-rnusuhnya" hanya dimaksudkan untuk mengalihkan
perhatian. Sial bagi Burkert: Rudi Johann secara tak sengaja menemukan
ruang kerja berisi bahan peledak, ketika mencari koleksi batu permata.
Mulai saat itu, kelompok Diablo mengetahui rahasianya. Penjahatpenjahat yang
serakah itu segera memanfaatkan kesempatan emas ini
untuk memeras Burkert. Uang 20.000 Mark yang diambil oleh Rudi
Johann merupakan setoran pertama.
Tapi Burkert menyadari bahwa kelompok Diablo takkan puas
dengan 20.000 Mark. Karena itu ia memutuskan untuk menyingkirkan
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka. Dalam keadaan terdesak, Adolf ingin menunjukkan bahwa ia
tidak bisa dipermainkan dengan seenaknya saja. Sebagai peringatan
pertama, ia meledakkan Ford Mustang kepunyaan Rudi - artinya: lain
kali giliran kalian. Semua kejahatan yang pemah dilakukan para perampok Diablo
pun berhasil dibongkar. Di antara hasil curian mereka juga ada koleksi
permata milik Bu Elly. Rudi Johann mengakui bahwa ia memasuki
rumah guru piano itu dengan menggunakan kunci cadangan.
Pertarungan dengan Pedro benar-benar di luar dugaannya.
Burkert dan para perampok Diablo dijatuhi hukuman penjara
selama beberapa tahun. Akibatnya, Oskar tidak pernah menerima
ganti rugi atas sepedanya yang rusak. Tapi anak itu sudah tidak terlalu
peduli. Paul Riebesiel - si pelayan tua - akhirnya bisa menghabiskan
hari tuanya dengan tenang, tanpa harus bertengkar terus dengan
majikannya. Elly Burkert pun bisa menarik napas lega. Setelah sekian lama,
sekarang ia terbebas dari rongrongan bekas suaminya. Untuk
merayakan peristiwa ini, ia mengundang anak-anak STOP untuk
minum teh bersama-sama. Bahkan Bello pun boleh ikut. Untuk
berjaga-jaga, Pedro dimasukkan ke kamar tidur Bu Elly. Tapi kucing
Siam itu malah kesenangan, sebab, ia paling senang tidur di ranjang
majikannya. Petra bercerita bahwa Lori sudah kembali ke rumah Richard
Gartz. Pemuda itu ternyata dijatuhi hukuman percobaan.
Acara puncak perayaan itu terjadi ketika Oskar, setelah didesakdesak dan
didorong-dorong, duduk di depan piano dan mulai bermain.
Bu Elly, Thomas, dan Petra, mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Tapi Sporty malah melirik jam tangannya. Sambil nyengir ia
kemudian memastikan bahwa permainan Oskar kali ini tidak terlalu
lambat, tetapi justru terlalu cepat.
Apakah ini bisa dianggap sebagai kemajuan"END
Dua Musuh Turunan 13 Rajawali Emas 24 Dayang Dayang Dasar Neraka Pendekar Cacad 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama