Ceritasilat Novel Online

Misteri Tukang Sihir 2

Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir Bagian 2


meskipun belum tahu apa yang harus ia lakukan. "Ada apa, sih?"
"Aku dikeroyok semut!" Oskar menyahut. "Aku dimakan hidup-hidup!"
Ia semakin sibuk memukul-mukul anggota tubuhnya.
Dan benar saja! Lusinan semut merayapi badan Oskar.
"Hei!" Sporty berseru. "Oskar terancam bahaya! Dia perlu bantuan kita!"
Oskar lalu disuruh diam di tempat, sementara yang lain membebaskannya dari
penderitaan. Helga bersama Petra menyibakkan semut-semut dari punggung dan lengan anak itu.
Sporty dan Thomas membersihkan di bagian lain tubuhnya. Semut terakhir mereka
temukan di balik telinga Oskar.
Selama usaha penyelamatan itu, Oskar tak henti-hentinya mengaduh dan mendesah.
"Gila, aku dikeroyok ribuan semut!"
"Ah, jumlahnya tidak sampai lima puluh," ujar Sporty kalem.
"Bagaimana caranya sampai kau dikerubungi semut?" tanya Petra heran.
"Waktu diuber rusa tadi, aku langsung bersembunyi di balik gundukan tanah-sesuai
anjuran Sporty. Baru kemudian aku sadar bahwa gundukan itu berisi sarang semut."
"Ngomong-ngomong, gigitan semut hutan cukup manjur untuk mengobati penyakit
encok dan pegal-pegal," ujar Helga sambil tersenyum simpul. "Kenapa sih, kau
tidak memanjat ke pohon saja seperti yang lain?"
"Ehm... masalahnya... saya cepat gamang," jawab Oskar. Wajahnya menjadi merah
karena malu. "Maksudmu?" "Saya tidak begitu jago memanjat pohon. Sebenarnya, saya bahkan sama sekali
tidak bisa memanjat. Mungkin karena saya terlalu berat."
"Masalah yang sesungguhnya," kata Sporty, "dia terlalu banyak makan coklat."
"Selama masih ada pilihan," balas Oskar, "aku akan memilih coklat. Habis, kita
kan jarang-jarang ketemu rusa di asrama. Dan sebagai anak pengusaha coklat, aku
kan harus menjaga tradisi keluarga. "
"Ah, itu hanya alasan untuk membenarkan kerakusanmu," Sporty berkomentar sambil
ketawa. Helga tersenyum. Oskar menatap bintik-bintik merah pada lengan dan kakinya.
Thomas lalu berkata, bahwa Oskar benar-benar sial hari ini.
pertama-tama coklat di dalam kantong celananya meleleh. Kemudian ia kecebur ke
kolam. Dan sekarang ia dikeroyok semut. Ada baiknya kalau mereka lebih
memperhatikan keselamatan anak itu.
Dan itulah yang mereka lakukan ketika kembali ke rumah Helga. Kaleng-kaleng
memang tidak berisi penuh, tapi setidak-tidaknya mereka sudah kenyang makan buah
arbei. "Hari ini benar-benar menyenangkan," ujar Petra riang.
Semua setuju. Namun mereka pasti akan berpendapat lain seandainya tahu apa yang
menunggu mereka di rumah Helga.
9. Keadaan Bertambah Gawat
MATAHARI telah condong ke barat dan memancarkan cahaya keemasan. Burung-burung
berkicau riang. Sekawanan nyamuk bergerombol di atas sungai kecil. Bayangan
semakin panjang, tapi hari masih terang-benderang.
Helga dan anak-anak STOP kembali menyusuri jalan setapak tadi. Kali ini ke arah
sebaliknya. Baru sekarang Sporty menyadari bahwa rumah Helga benar-benar terpencil di
pinggir desa Lerchenbach. Pekarangannya langsung berbatasan dengan hutan.
Ketenangan di tempat itu menimbulkan kesan damai. Suatu kesan yang memang benarseandainya Helga tidak bertetangga dengan keluarga Jocher.
Sporty langsung membayangkan yang bukan-bukan.
Kalau terjadi sesuatu, Helga takkan bisa berbuat apa-apa, anak itu berkata dalam
hati. Takkan ada yang tahu bahwa Helga terancam bahaya.
Mereka kini mendekati bagian belakang rumah wanita muda itu.
Mata Sporty yang tajam segera melihat bahwa ada yang tidak beres.
"Hei, siapa yang membuka jendela itu?"
Jendela yang dimaksud Sporty terbuka lebar. Kacanya pecah, dan gorden di
baliknya bergerak-gerak tertiup angin sore.
"Ya, Tuhan!" Helga mendesah lirih. "Seseorang... seseorang membongkar jendela
saya. Harry Jocher, tentu saja! Siapa lagi kalau bukan dia" Dasar bajingan!"
Tanpa berpikir panjang ia hendak bergegas menuju rumahnya. Tapi Sporty.
menahannya. "Tunggu sebentar, Nona Ebert. Ini kelihatannya seperti pencurian. Biar saya saja
yang masuk duluan. Barangkali kita beruntung dan penjahat itu masih ada di
dalam." Sporty langsung menghampiri jendela. Berbagai pikiran terlintas di kepalanya. Di
depan jendela ia berhenti. Tak ada suara. Dengan hati-hati ia mengintip ke
dalam. Ruangan itu berisi terrarium-terrariurnyang tadi sempat diperlihatkan oleh Nona
Ebert. Tapi kini semuanya sudah berubah.
Sporty menahan napas. Seluruh ruangan diobrak-abrik. Semua terrarium telah
dijatuhkan sehingga pecah berantakan. Beberapa ekor ular nampak merayap di
lantai. Dan di setiap sudut ruangan ada seekor labah-labah gemuk.
Wah, kalau begini aku tidak jadi masuk, deh, ujar Sporty dalam hati. Mendingan
aku duduk di tengah-tengah sarang semut seperti Oskar tadi. Keterlaluan!
Kemudian ia mendatangi semua jendela dan mengintip ke dalam. Si pengacau
ternyata sudah tidak ada. Sporty lalu mengisyaratkan pada yang lain agar
mendekat. "Bajingan itu telah menghancurkan semua terrarium Anda, Nona Ebert."
Ketika Helga memandang ke dalam, wajahnya menjadi pucat-pasi. Ia tak dapat
berkata apa-apa. Begitu juga anak-anak STOP.
"Keterlaluan!" Sporty kembali berkata. "Tapi sekarang kita harus bergerak cepat
sebelum binatang-binatang piaraan Anda menyebar ke seluruh rumah."
Dengan tangan gemetar, Helga membuka kunci pintu belakang. Di dapur, mereka
langsung ketemu seekor labah-labah. Sebelum binatang itu sempat kabur, Sporty
cepat-cepat menangkapnya dengan sebuah mangkok.
"Bagaimana selanjutnya?"
Mata Nona Ebert berkaca-kaca.
Pintu menuju ruangan yang diobrak-abrik terbuka lebar.
"Kita... kita harus menangkap binatang-binatang itu: Saya punya empat ekor ular
dan 23 ekor labah-labah. Semuanya terpaksa saya lepaskan ke alam bebas. Habis,
terrarium-terrarium saya sudah hancur berantakan. Petra, tolong jaga Bello
supaya jangan ikut masuk. Dia hanya akan merepotkan kita."
Petra setuju saja, sebab ia tidak biasa menghadapi ular dan labah-labah. Oskar
juga di minta untuk tetap tinggal di luar, daripada menambah kekacauan di dalam.
Helga mengambil dua pasang sarung tangan untuk Sporty dan dia sendiri. Thomas
mengambil dua buah gelas. Kemudian mereka mulai berburu.
Sporty menangkap ular yang paling besar. Ia memegang reptil itu di bagian
belakang kepala, lalu membawanya ke tepi hutan. Setelah sampai di sana, ia
melemparkannya ke rumput. Dalam sekejap ular itu telah menghilang di balik
semak-semak. Satu ular lainnya ditangkap oleh Helga dan dibawa ke tempat yang
sama. Sementara itu Thomas sibuk mengumpulkan labah-labah. Ketika Sporty dan Helga
mulai membantunya, ia sudah berhasil mengumpulkan 18 ekor. Satu ekor lagi
ditangkap di dapur, satu lagi di kamar mandi. Dua ekor sedang berjalan-jalan di
ruang tamu. Yang terakhir tidak ketemu.
"Biar saja, nanti juga muncul dengan sendirinya," ujar Helga.
Sekali lagi ia menyeka mata. Kemudian ia mulai membereskan ruangan itu. Tapi
Sporty mencegahnya. "Sebaiknya ruangan ini dibiarkan seperti sekarang," kata Sporty. "Supaya polisi
bisa mendapat gambaran yang jelas."
"Maksudmu, saya harus..."
"Tentu saja! Kerugian yang Anda derita cukup besar. Coba periksa dulu apakah ada
yang hilang. Siapa tahu bajingan itu sekaligus mencuri sesuatu."
Helga memeriksa setiap ruangan. Namun ternyata tak ada yang hilang. Bahkan uang
di dompetnya pun masih utuh.
Sementara itu, Petra telah menelepon ayahnya di kantor.
"Saya sudah bicara dengan ayah saya," ia lalu berkata pada Helga. "Dalam waktu
setengah jam ayah saya akan tiba di sini."
Helga hanya menundukkan kepala.
"Ini pasti ulah Harry Jocher," katanya. "Atau Max. Selain mereka berdua tidak
ada yang pantas dicurigai. Ayah mereka-ah, tidak mungkin! Pak Jocher memang
sangat membenci saya, tapi dia terlalu gemuk dan lamban. Lagi pula, dia takkan
puas kalau hanya mengobrak-abrik isi rumah saya. Dia pasti akan membakarnya.
Karena itu-salah seorang putranya melihat kita pergi ke hutan. Setelah itu, dia
punya cukup waktu untuk melaksanakan rencananya. Ya ampun, kali ini benar-benar
kelewatan!" Ia terduduk lesu. "Saya agak pusing," Helga mendesah. "Saya perlu minum segelas cognac untuk
menghilangkan kaget."
Wanita muda itu berdiri dan membuka salah satu pintu lemari. Tangannya telah
terangkat. Pandangannya tertuju pada botol-botol di dalam lemari. Tapi tiba-tiba
saja ia tersentak kaget. "Oh!" ia berbisik. "Susunan botolnya berubah. Semuanya berpindah dari tempat
semula." "Gila!" Oskar berseru. "Pengacau itu benar-benar nekat. Dia bahkan sempat
mencicipi minuman Anda!"
Helga menggelengkan kepala.
"Pikiran saya justru ke hal-hal yang lebih gawat."
Sporty langsung mengerti. Cepat-cepat ia bertukar pandang dengan Petra, Gadis
itu pun segera memahami maksud Helga.
"Ah, tidak mungkin," ujar Sporty kemudian. "Kalau seseorang memasukkan racun...
Wah, ini bukan lagi permusuhan antar tetangga, ini pembunuhan berencana."
Helga membalik dan bergegas menuju dapur. Karena terlalu terburu-buru, ia
menyenggol meja tulisnya, sehingga kertas-kertas dan beberapa amplop surat
berhamburan ke lantai. Sporty segera mengembalikan semuanya pada tempat semula. Teman-temannya sudah
menyusul ke dapur. Ternyata Helga sedang memeriksa isi lemari esnya.
"Kelihatannya tidak ada yang disentuh. Saya tidak melihat perubahan apa-apa. Ya
Tuhan, mengerikan sekali! Apa yang harus saya lakukan" Entah di mana penjahat
itu menaburkan racunnya."
"Kalau ayah saya sudah datang," ujar Petra, "dia akan membawa semua barang yang
mencurigakan untuk diperiksa di laboratorium kepolisian."
Dengan lesu semuanya duduk di ruang tamu. Bahkan Bello pun merasa bahwa
kegembiraan tadi siang telah sirna. Berganti-ganti ia menatap Helga dan anakanak STOP, membiarkan kepalanya dibelai Sporty, dan akhirnya tertidur di
pangkuan Petra. Thomas berkali-kali menggelengkan kepala.
"Harry Jocher ternyata lebih bodoh daripada yang saya duga. Masa dia tidak sadar
bahwa dia pasti akan dicurigai" Dia dan adiknya. Barangkali saja dia
meninggalkan sidik jari di jendela atau pada botol-botol di lemari. Kalau ada,
berarti nasibnya sudah jelas. Dia akan masuk penjara lagi - kali ini untuk waktu
yang lebih lama. Hakim-hakim takkan memberi ampun pada seseorang yang sudah
pernah dihukum." "Tapi bagaimana kalau dia memakai sarung tangan?" kata Helga. "Dan kalau tidak
pakai pun, mungkin saja dia telah menghapus semua jejaknya, sehingga kita tidak
bisa membuktikan apa-apa. Lama-lama saya tidak tahan lagi. Mungkin memang lebih
baik kalau saya pindah dari sini."
Tak ada yang berkomentar.
Kemudian Sporty bertanya,
"Andaikata Anda jadi pergi dari-apakah Anda akan mengalami kesulitan dalam
menjual tanah Anda?"
"Sama sekali tidak. Saya kenal seseorang yang pasti berminat. Beberapa tahun
lalu orang itu sudah pernah mengajukan tawaran pada ayah saya. Tapi penawarannya
kelewat rendah-Erwin Jocher memang selalu mencari yang paling murah. Dia hanya
dermawan untuk diri sendiri."
Sporty mengangguk. "Masuk akal kalau dia mengincar tanah Anda. Kalau berhasil memperolehnya, tanah
dia akan membentang sampai ke tepi hutan. Ini satu alasan lagi untuk mengusir
Anda dari desa ini."
Wajah Helga masih pucat. Sorot matanya redup, seakan-akan patah semangat. Ia
nampak putus asa. Keempat anak STOP memeras otak mencari kata untuk menghibur guru mereka itu tapi sia-sia saja. Tak ada yang menemukan kata-kata yang tepat.
Tidak lama kemudian Komisaris Glockner datang. Ia membawa seorang rekan yang
ahli dalam urusan mencari serta mengamankan jejak dan sidik jari -seorang pria
kurus berpandangan tajam, bernama Ralf Montag.
Dengan serius keduanya mendengarkan laporan Helga dan Sporty. Kemudian Montag
mulai bekerja. Ia memeriksa jendela yang pecah dan dinding di sekitarnya, tapi
tanpa hasil. "Orang itu mengenakan sarung tangan," katanya setelah selesai. "Saya tidak
menemukan petunjuk yang bisa dipakai. Orang itu ternyata cukup lihai."
Pada botol-botol di lemari terdapat sejumlah sidik jari, tapi semuanya milik
Helga. Semua botol lalu dibawa untuk diperiksa di laboratorium. Komisaris Glockner
sempat mencium isi beberapa botol yang telah terbuka, namun tidak menemukan bau
yang mencurigakan. "Kecurigaan Anda memang beralasan, Nona Ebert," katanya kemudian. "Orang yang
masuk ke rumah Anda mungkin saja hanya bermaksud merusak terrarium-terrarium
Anda. Tapi mungkin juga dia berusaha mengalihkan perhatian Anda dari tujuan dia
yang sebenarnya: menaburkan racun. Yang pasti, orang itu tidak bermaksud
mencuri. Buktinya, tidak ada barang yang hilang Saya yakin bahwa semua ini
berlatar belakang dendam pribadi. Apakah Anda tetap mencurigai Harry Jocher?"
Helga mengangguk. "Saya hanya menanyakan hal itu, karena tidak punya bukti apa-apa. Jadi, satusatunya alasan untuk meminta keterangan dari dia adalah kecurigaan Anda. Dan ini
mungkin akan meruncingkan ketegangan antara Anda dengan keluarga Jocher."
Helga hanya mengangkat bahu.
"Tidak apa-apa," katanya. "Keadaan toh tidak mungkin bertambah parah. Malah
mungkin saja mereka justru lebih menahan diri karena melihat bahwa saya tidak
segan-segan memanggil polisi."
Pak Glockner berdiri. "Kalau begitu saya ke sana dulu."
Sporty juga sudah berdiri dan langsung menuju ke pintu.
"Pikiranmu sudah bisa saya tebak," ujar Pak Glodmer sambil tersenyum. "Kau pasti
mau ikut, bukan" Ayo, deh! Kita sama-sama ke sana."
Wajah Sporty langsung berseri-seri.
Mereka meninggalkan rumah Nona Ebert dan menyusuri jalanan yang berdebu. Sambil
jalan, Sporty bercerita mengenai kelakuan Max Jocher bioskop semalam.
?"Keterlaluan!" ujar Komisaris Glockner sambil menggelengkan kepala. "Rupanya
keluarga Jocner sudah bersepakat untuk memanfaatkan setiap sempatan guna meneror
Nona Ebert." "Mereka bahkan tidak segan-segan menyebarkan cerita-cerita bohong mengenai guru
saya itu. Di desa ini, Nona Ebert dikenal sebagai tukang sihir. Anda boleh tebak
sendiri siapa biang keladinya. Sayangnya belum ada bukti-bukti."
Pak Glockner tidak mengatakan apa-apa. Tapi raut wajahnya mengeras.
Pekarangan di depan rumah keluarga Jocher sepi-sepi saja. Tak seorang pun
terlihat. Bahkan sapi-sapi di dalam kandang tidak bersuara sama sekali.
Komisaris Glockner menekan bel di samping pintu masuk. Sporty sempat melirik ke
arah jendela yang ditutupi gorden berwarna merah-putih, tapi tidak melihat
siapa-siapa. Pintu membuka. Max Jocher memandang Pak Glockner dan Sporty dengan sikap
menantang. Rupanya ia sudah tahu siapa yang datang.
"Polisi," ujar Pak Glockner. "Saya ingin berbicara dengan Tuan Harry Jocher."
Mulut Max menganga lebar. Ia menatap Komisaris Glockner, lalu Sporty; menoleh ke
belakang dan berseru, "Harry! Ada polisi!"
"Hah, polisi?" Harry berlagak terkejut.
Max melangkah ke samping.
"Silakan masuk," katanya sambil tersenyum simpul.
Pak Glockner dan Sporty dibawa ke ruang tamu. Semua dinding dilapisi papan-papan
kayu yang penuh ukiran. Begitu pula langit-langit yang menggantung rendah.
Ruangan itu penuh perabot dari kayu. Erwin dan Harry Jocher sedang duduk di
depan meja. Masing-masing menghadapi segelas bir berukuran raksasa. Satu gelas
lagi terdapat di depan kursi ketiga. Di atas meja ada tumpukan kartu remi.
Baik Erwin maupun Harry Jocher tidak berdiri ketika Pak Glockner dan Sporty


Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk. Dan dekat, wajah Pak Jocher nampak bengkak. Matanya kecil. Pandangannya
menusuk. Busa bir menempel pada kumisnya.
Tampangnya memuakkan, pikir Sporty. Aku pun segan kalau harus bertetangga dengan
orang seperti dia. "Saya Komisaris Glockner," ayah Petra memperkenalkan diri. "Maaf, kalau saya
mengganggu. Masalahnya, rumah Nona Ebert-tetangga Anda - kemasukan pencuri.
Orang itu juga sempat menimbulkan kerusakan hebat. Kejadiannya terjadi sore,
antara pukul 16.00 dan 18.00. Saya bertugas menangani kasus ini. Pertama-tama
saya ingin menanyakan apakah Anda mendengar atau melihat hal-hal yang
mencurigakan?" "Astaga!" Pak Jocher berseru. "Ada-ada saja!"
Harry tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk sambil nyengir.
"Apakah Anda mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan?" Komisaris
Glockne mengulangi pertanyaannya.
Pak Jocher menggelengkan kepala.
"Kami tidak mendengar apa-apa. Lagi pula masih banyak kerja lain yang lebih
penting daripada memperhatikan rumah tetangga."
Sporty segera menyadari bahwa Harry telah berganti pakaian. Pakaian yang tadi
dikenakannya rupanya lagi dijemur.
Ia memandang keluar jendela-jendela. Semuanya menghadap ke arah desa. Pekarangan
Nona Ebert sama sekali tidak kelihatan. Kedua jendela lainnya menghadap ke
jalanan. Setiap orang yang datang pasti terlihat dari dalam.
"Nona Ebert mengatakan bahwa hubungan bertetangga antara Anda dengan dia sangat
terganggu akibat sikap bermusuhan yang Anda tunjukkan selama ini. Kecuali itu,
dia juga melaporkan bahwa Harry, putra Anda, sempat melontarkan ancaman ketika
Nona Ebert memberikan kesaksian yang memberatkannya. Anda Harry Jocher?" Pak
Glockner lalu berpaling pada putra sulung Pak Jocher.
Harry mengangguk singkat.
"Di mana Anda berada antara pukul 16.00 sampai pukul 18.00?"
"Apa maksud pertanyaan Anda?" Pak Jocher langsung berteriak. "Anda mau menuduh
anak saya?" "Saya hanya ingin tahu apakah dia patut dicurigai," Komisaris Glockner
menjelaskan dengan tenang.
"Sama sekali tidak!" Pak Jocher tetap mewakili anaknya. "Sepanjang sore Harry
tidak keluar rumah. Mulai dari... ehm... jam satu sampai sekarang. Ya, betul!
Sejak makan siang." "Itu saja sudah tidak benar," Sporty kini ikut angkat bicara. "Antara jam 14.00
sampai jam 15.00 Harry berada di luar rumah. Dia berdiri di dekat pagar dan
sempat melemparkan sebatang rokok menyala ke mobil Nona Ebert. Kemudian saya
menyiramnya sampai basah kuyup," Sporty menambahkan sambil tersenyum simpul.
"Secara tak sengaja, tentunya. Dia marah-marah, lalu kembali ke rumah. Ini
terjadi antara pukul 14.00 sampai 15.00. Berarti keterangan Anda tidak benar,
Pak Jocher." "Ya, ya, ya!" ujar petani kaya itu dengan ketus. "Saya lupa. Tapi setelah itu,
Harry tidak keluar lagi. "
Wajahnya menjadi merah padam.
"Sampai sekarang?" tanya Pak Glockner.
"Ya, sampai sekarang!"
"Dan bagaimana dengan Max?"
"Dia juga tidak! Kami bermain kartu di sini sambil minum bir. Dan sebentar lagi
kami akan makan malam. Mudah-mudahan Anda tidak ada pertanyaan lagi."
"Pak Jocher," ujar Komisaris Glockner. "Saya mengajukan pertanyaan secara sopan,
dan saya juga mengharapkan jawaban yang sopan. Saya tidak menyukai nada bicara
Anda! Kalau perlu, saya akan memanggil Anda bertiga ke kantor saya untuk meminta
keterangan lebih lanjut. Dan Anda perlu tahu, alibi yang hanya diperkuat oleh
famili terdekat tidak ada artinya di depan pengadilan. Selamat malam!"
Tanpa menunggu jawaban ia membalik dan melangkah pergi.
Max, yang dari tadi berdiri di belakang, segera membuka pintu.
Setelah sampai ke jalan, Sporty bertanya, "Bagaimana menurut Bapak: apakah
keterangan Pak Jocher bisa dipercaya?"
"Saya rasa dia bohong. Tapi itu bisa dimengerti. Yang dicurigai kan anakanaknya. Dia pasti berusaha melindungi mereka-dengan cara apa pun. Terutama
karena ketiga-tiganya membenci Nona Ebert."
"Apakah tidak ada jalan lain untuk melacak orang yang mengobrak-abrik rumah Nona
Ebert?" "Rasanya tidak ada. Kecuali kalau ternyata ada saksi mata. Tapi seandainya
memang ada racun dalam botol-botol tadi, pihak polisi akan segera mengadakan
penyidikan secara tuntas. Untuk itu, saya akan langsung minta surat perintah
penggeledahan." "Untuk mencari racun itu di rumah Pak Jocher?"
"Tepat sekali!"
Ketika mereka kembali, rekan Komisaris Glockner telah menemukan sesuatu.
"Ada sidik jari di salah satu pecahan kaca terrarium," ia melaporkan. "Bukan
sidik jari Nona Ebert-saya sudah mengeceknya. Tapi belum tentu juga berasal dari
orang yang memecahkan kaca. Nona Ebert mengatakan, terrarium itu baru dua minggu
yang lalu diantar ke rumahnya. Dan kedua orang yang mengantarkan terrarium itu
tentu saja sempat memegang kacanya. Nona Ebert memang sudah membersihkan
kacanya, tapi mungkin saja masih ada sidik jari yang tersisa. Siapa tahu kita
beruntung." "Baiklah. Kalau begitu, saya akan mengundang keluarga Jocher ke kantor besokuntuk membandingkan sidik jari mereka dengan sidik jari yang Anda temukan. Ya,
mudah-mudahan saja kita beruntung."
Tanpa disadari, hari telah berganti malam. Petra dan Thomas sekalian menumpang
mobil patroli, sebab mereka juga pulang ke kota. Sporty dan Oskar sebenarnya
bisa ikut, tapi di bagasi tidak ada tempat lagi untuk sepeda-sepeda mereka.
Karena itu, mereka memilih untuk pulang naik sepeda saja-seperti rencana semula.
Petra memasukkan Bello ke mobil patroli. Kemudian mereka berangkat. Helga,
Sporty, dan Oskar berdiri sambil melambai, sampai mobil polisi itu menghilang
dari pandangan. 10. Awas Racun! SPORTY melirik jam tangannya. "Kami masih ada waktu untuk membantu Anda
membereskan rumah, Nona Ebert," katanya.
"Terima kasih. Sebenarnya, saya memang ingin minta bantuan kalian."
Mereka sedang berdiri di depan rumah Helga. Matahari sudah hampir tenggelam.
Helga tersenyum malu ketika mengatakan, "Soal jendela itu. Saya merasa kurang
aman kalau jendelanya tetap terbuka seperti sekarang. Waktu kau dan Komisaris
Glockner pergi ke rumah Pak Jocher, saya sempat menelepon tukang kaca. Tapi
rupanya dia tidak mau berurusan dengan seorang tukang sihir. Dia langsung
menolak waktu saya minta agar dia memasang kaca baru. Katanya, dia tidak pernah
kerja pada hari Minggu. Dan untuk dua minggu mendatang, sudah banyak sekali
pesanan yang harus ia kerjakan. Dia lalu menganjurkan agar saya menghubungi
tukang kaca lain saja."
"Begitulah kalau orang percaya takhyul," Sporty menanggapinya. "Tapi mengenai
jendela itu - hmm, saya rasa Oskar dan saya juga tidak bisa membantu Anda.
Masalahnya, kacanya belum ada. Dan kami juga tidak punya peralatan yang
diperlukan. Kalau mau, kami bisa menutupi jendela itu dengan papan-papan."
"Saya juga mau usul seperti itu. Saya masih punya kayu, paku, dan alat-alat di
gudang." "Kalau begitu, mari kita mulai bekerja," ujar Oskar penuh semangat.
"Ah, lebih baik kau nonton saja," jawab Sporty. "Nanti malah rumah ini jadi
ambruk." Kemudian Sporty tidak membuang-buang waktu lagi. Dalam lima menit, jendela tadi
telah tertutup papan. "Terima kasih, Sporty," kata Helga. "Sekarang saya bisa tidur dengan tenang."
"Kalau begitu, kami permisi dulu," ujar Sporty.
Sekali lagi ia memandang pekarangan Helga yang telah mereka bereskan. Ya, ia
mengakui dalam hati, tempatnya memang cocok sekali untuk berkemah.
Berkemah" Tiba-tiba saja Sporty mendapat ide. Tapi ia baru mengutarakannya
setelah Helga-yang untuk beberapa waktu masih melambaikan tangan di depan
rumahnya-tidak kelihatan lagi.
"Eh, Oskar! Selasa depan kan hari raya. Jadi sekolah juga libur. Bagaimana kalau
kita berkemah di pekarangan Helga, mulai besok malam sampai lusa" Tenda-tenda
yang baru kan belum pernah dipakai."
"Aku sih setuju saja!"
"Wah, seharusnya aku tadi langsung tanya apakah dia keberatan atau tidak."
"Besok juga masih sempat, kok! Besok kan masih sekolah. Kita pasti akan ketemu
Helga. Kalau perlu, kita cari dia ke ruang guru."
"Ah, untuk apa repot-repot?" jawab Sporty sambil ketawa. "Jam pelajaran pertama
kan biologi." "Astaga! Aku lupa sama sekali. Eh, Sporty, apa ada tugas yang harus dikerjakan?"
"Ada berapa jenis labah-labah di dunia?"
"Brengsek! Aku sudah lupa lagi. Ehm... 25 - kalau tidak salah."
"Ya, hampir benar. Tinggal dikali seribu saja."
Mereka bersepeda melalui jalan-jalan yang telah sepi. Lampu-lampu jalan kini
menggantikan tugas matahari. Ketika menyeberangi alun-alun, kedua sahabat itu
melihat bahwa KEDAI POS ternyata masih ramai dikunjungi orang. Sebagian besar
duduk di teras sambil minum bir.
"Ayo, kita harus agak buru-buru," ujar Sporty. "Kalau sampai telat, petugas
piket tak bakal mengizinkan kita untuk berkemah di rumah Helga."
Sporty mulai menggenjot sepedanya dengan sekuat tenaga. Oskar langsung
ketinggalan jauh. Mereka tiba di batas desa. Beberapa puluh meter di depan, Sporty melihat seorang
anak kecil di jalan yang sedang berlari mondar-mandir. Baru setelah lebih dekat
Sporty melihat bahwa gadis cilik itu sedang berusaha menangkap seekor anjing.
Begitu berhasil, dia segera mendekap anjing itu dan melompat ke tepi jalan.
Ternyata Barbara Petermann.
Sporty berhenti. "Halo, Barbara! Ini anjingmu?"
"Bukan. Ini Bingo, anjingnya Paul. Tapi- Paul tidak mengurusnya. Dia membiarkan
anjingnya berkeliaran di jalanan. Padahal itu kan bahaya Kapan-kapan anjingnya
bisa ketabrak. Tadi sudah hampir ketabrak."
"Lho, ada apa sih tadi?" tanya Sporty sambil memperhatikan anjing di dekapan
Barbara. Anjingnya lucu-campuran antara anjing tekel dan spanil. Kupingnya
panjang, persis seperti Bello "Bingo nyaris ketabrak motor tadi," Barbara
bercerita. "Pengendara motor itu ngebut. Dan Bingo lagi di tengah-tengah jalan.
Orang yang naik motor itu pasti melihatnya, tapi dia tetap ngebut. Untung saja
aku masih sempat menangkap Bingo. "
"Ah, keterlaluan! Kau kenal orang yang naik motor itu?"
"Tidak, dia bukan orang sini. Aku tahu semua orang Lerchenbach yang punya motor.
Orang tadi memakai celana dan jaket kulit hitam. Dan helm merah. Dia persis
seperti pembalap-pembalap yang suka ada di TV."
"Gawat!" ujar Sporty. "Pembalap-pembalap jalan raya memang paling berbahaya.
Barbara, kalau kau ketemu Paul nanti, tolong katakan padanya agar jangan
membiarkan Bingo berkeliaran di jalanan. Dan kau sendiri juga harus berhatihati." "Beres, deh!" jawab Barbara sambil ketawa.
"Kalian mau pulang, ya" Teman-teman kalian yang lain di mana" Dan Bello-di mana
dia?" "Petra, Thomas, dan Bello dijemput naik mobil. Tapi kami berdua lebih senang
naik sepeda. Sampai ketemu lagi, Barbara!"
"Anaknya lucu, ya?" ujar Oskar ketika ia dan Sporty meneruskan perjalanan.
"Sayang sekali ayahnya sudah meninggal."
Pada detik berikutnya ia langsung menundukkan kepala. Mukanya menjadi merah..
Baru sekarang ia teringat bahwa ayah Sporty juga sudah meninggal, dan bahwa Bu Carsten sekarang harus bekerja keras untuk membiayai sekolah anaknya.
Tapi Sporty tidak memperhatikan ucapan sahabatnya.
Hmm, siapa pembalap berhelm merah itu" Sporty bertanya pada diri sendiri. Dan
untuk apa dia datang ke Lerchenbach"
Lima menit kemudian terdengar suara klakson dari belakang.
"Eh, itu kan mobilnya Helga!" Oskar berseru sambil menoleh. "Kenapa dia menyusul
kita?" Wah, jangan-jangan ada yang kelupaan, pikir Sporty.
Mobil kecil itu berhenti di depan mereka. Helga ternyata telah memasang rak
untuk membawa barang pada atap mobilnya. Tulisan HEXE-alias tukang sihir-masih
nampak pada pintu-padahal anak-anak STOP tadi sudah berusaha membersihkannya.
Huruf-hurufnya memang agak memudar, tapi masih bisa terbaca dengan jelas.
"Halo!" ujar Helga lewat jendela mobilnya "Kalian berminat numpang ke kota" Ayo,
naikkan saja sepeda kalian ke rak barang. Habis itu kita langsung ke kantor
polisi." "Ke kantor polisi?" tanya Oskar heran. "Komisaris Glockner baru saja menelepon
saya. Tadi, waktu dia ke rumah, dua orang rekannya telah menahan seseorang yang
mirip dengan gambar rekaan yang saya buat semalam."
"Lho, menurut rencana gambar itu kan baru besok disebar-luaskan," ujar Sporty
sambil mengerutkan kening.
"Memang, tapi itu hanya berlaku untuk pers. Menurut Pak Glockner, para petugas
patroli sudah mendapatkan gambar itu. Kebetulan dua rekan Pak Glockner langsung
menciduk seseorang yang mirip. Orang itu sekarang akan dihadapkan dengan saya."
"Wah, Pak Glockner pasti tidak keberatan kalau kami ikut."
Cepat-cepat Sporty dan Oskar meletakkan sepeda masing-masing pada atap mobil
Helga. Kemudian mereka masuk, dan Helga kembali menginjak pedal gas.
* Keluarga Jocher baru saja selesai makan malam. Mathilda Jocher, istri Erwin
Jocher, sedang membereskan meja. Penuh curiga ia menatap suami dan kedua
putranya, lalu menghilang ke dapur.
"He, Max! Mana birnya?" Pak Jocher bertanya pada putra keduanya. " Cepat, ambil
dua botol lagi." Max langsung berdiri. Harry tetap duduk dengan santai. Sambil menyeringai, ia
mengambil tusuk gigi dan mulai mengorek-ngorek sisa-sisa makanan-tanpa berusaha
menutup mulut. Pak Jocher meraih kotak cerutunya, mengeluarkan sebatang, menggigit ujungnya,
kemudian menyalakan korek.
Sementara itu, Max telah menuangkan dua gelas bir. Pada waktu mengisi gelas
ketiga, bir-nya tumpah dan membasahi taplak meja.
"Hati-hati, dong!" Pak Jocher langsung menghardiknya. Kemudian ia berkata,
"Hehehe, sebentar lagi dia akan pergi dari sini."
Walaupun ia tak menyebutkan nama, kedua anaknya langsung tahu siapa yang
dimaksud. "Sebagai langkah berikutnya," ia melanjutkan. "kita akan membuat api unggun di
hutan. Besok malam mungkin waktu yang tepat-sekitar jam dua belas. Harry, kau
akan menyamar sebagai tukang sihir. Jangan banyak protes! Ini tugasmu. dan kau
harus melakukannya. Tenang saja! Tak seorang pun akan mengenalimu. Apalagi
tengah malam begitu! Kau harus menari-nari mengelilingi api unggun - persis
seperti tukang sihir dalam cerita-cerita dongeng!"
Harry mengangguk tanpa berkata apa-apa Padahal, sebenarnya ia keberatan
memainkan peranan itu. "Dan kau, Max, kau harus mengajak beberapa temanmu," Pak Jocher kembali berkata.
"Katakan saja bahwa kau melihat si Ebert pergi ke tengah hutan. Kemudian kalian
diam-diam mengikutinya. Tapi jangan sampai terlalu dekat, apalagi menyerang
tukang sihir itu. Nanti malah ketahuan bahwa Harry yang menyamar."
"Jangan khawatir, Ayah. Mereka takkan berani macam-macam. Anak-anak sini kan
penakut semuanya. " Pak Jocher mengisap cerutunya, lalu mengepulkan asap.
"Harry, penampilanmu harus meyakinkan, mengerti" Supaya berita ini tersebar ke
seluruh desa. Wanita itu harus pergi dari Lerchenbach. Dia harus diusir dari
sini - kalau perlu dengan kekerasan. Tapi itu hanya kalau tidak ada pilihan
lain. Sebelumnya, dia harus diberi kesempatan untuk pergi secara baik-baik. Dan
menjual tanahnya. Tujuan kita adalah tanahnya. Jelas" Untung aku sudah mendapat
alamat seorang makelar tanah yang bisa mengurusnya. Namanya Arnold Lamm. Orang
itu kabarnya bersedia melakukan apa saja-asal bisa mengeruk keuntungan besar.
Aku sudah menyuruh dia menghubungi si Ebert."
"Ya, itu ide yang baik!" kata Harry Jocher yang masih sibuk dengan tusuk
giginya. "Kantornya di kota," ujar Pak Jocher. "Mudah-mudahan saja dia juga bisa
dihubungi pada hari minggu."
* Semua orang merasa tegang. Hanya Komisaris Glockner yang tetap kelihatan santai.
Oskar, yang duduk di belakang Sporty, sampai tidak bisa duduk dengan tenang.
Sporty langsung menyikutnya, padahal dia sendiri juga merasa gelisah.
Di luar kamar kerja Pak Glockner terdengar suara langkah mendekat.
"Sekarang semuanya tergantung pada Anda. Nona Ebert," kata Pak Glockner. "Orang
itu bernama Michels. Dia sudah pernah berurusan dengan polisi karena mencuri.


Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampangnya mirip sekali dengan gambar yang Anda buat semalam Tapi Michels
menyangkal bahwa dia terlibat dalam pencurian di Toko Feilberg."
Suara langkah tadi berhenti. Pintu ruang kerja Pak Glockner membuka, dan Michels
digiring masuk oleh seorang petugas berseragam.
Benar! pikir Sporty. Tampangnya persis seperti gambar rekaan itu. Hanya matanya
yang berbeda terlalu redup. Menurut Helga, bajingan yang menyerangnya mempunyai
pandangan yang menusuk tajam.
Michels menatap orang-orang di ruang itu secara bergantian. Dengan angkuh ia
berhenti mendongakkan kepala.
Pak Glockner, Sporty, serta Oskar menatap Helga.
Untuk sesaat, wanita muda itu nampak ragu-ragu. Tapi kemudian ia menggelengkan
kepala dengan tegas. "Bukan, bukan ini orangnya!"
"Anda yakin?" Komisaris Glockner bertanya
"Ya, seratus persen!"
Michels langsung menarik napas lega: "Saya kan sudah bilang dari tadi, kali ini
saya tidak bersalah!"
Pak Glockner memberi isyarat pada petugas yang berdiri di dekat pintu.
"Scholz, orang ini tidak perlu ditahan lebih lama. Dia bisa dibebaskan sekarang
juga." "Nanti dulu, Pak Komisaris," ujar Michels cepat-cepat. "Bagi saya, menginap di
kantor polisi jauh lebih menyenangkan ketimbang tidur di bawah jembatan."
"Di sini bukan tempat penampungan gelandangan!" jawab Pak Glockner tegas.
Michels masih ingin menjawab, tapi petugas tadi sudah menggiringnya ke pintu.
"Ya, kali ini kita gagal. Mudah-mudahan lain kali Anda tidak sia-sia datang ke
sini, Nona Ebert. Tapi saya sangat berterima kasih atas kesediaan Anda membantu
kami." Helga tersenyum. Tapi tampangnya sama sekali tidak gembira.
"Anda kelihatan khawatir," ujar Pak Glockner.
"Ya, masalah tadi sore itu," suara Helga terdengar ketakutan. "Saya baru sadar
bahwa orang-orang di Lerchenbach begitu membenci saya. Saya sama sekali tidak
menduga bahwa mereka bisa senekat itu. Pada awalnya, saya merasa sanggup
menghadapi mereka. Tapi sekarang... saya mulai putus asa. Apalagi soal racun
itu! Bayangkan, mereka hendak meracuni saya! Dan yang paling mengerikan: saya
tidak tahu di mana racun itu ditaburkan. Apa yang harus saya lakukan sekarang"
Saya tidak bisa hidup dengan tenang. Setelah Anda pulang tadi sore, saya
langsung membuang semua makanan yang ada di rumah. Saya tidak berani
memakannya!" "Wah, sayang sekali!" Oskar berseru. "Padahal roti buatan Anda enak sekali."
Semua ketawa. Kemudian mereka meninggalkan kantor polisi. Pak Glockner telah mengantar Petra
dan Thomas, namun kemudian dipanggil ke kantor karena urusan Michels. Botolbotol minuman dari rumah Helga sudah diserahkan ke laboratorium. Tapi hasil
pemeriksaan baru akan diketahui pada hari Senin.
Pak Glockner pulang ke rumahnya, dan Helga kembali ke Lerchenbach. Sporty dan
Oskar bersepeda ke arah selatan, menuju asrama. Namun mereka tidak lewat jalan
yang biasa sebab arus kendaraan para pelancong yang kembali dari luar kota
terlalu padat. Hmm, siapa pengendara motor dengan helm merah itu" Sporty kembali bertanya dalam
hati Dan kenapa aku selalu teringat padanya" Padahal belum tentu ada hubungannya
dengan kejadian di rumah Helga. Mungkin saja orang itu hanya sekadar mencari
angin. Untung Barbara masih sempat menyelamatkan anak anjing tadi. Kalau
tidak... Eh, mungkin ini sebabnya aku selalu teringat pada pengendara motor itu.
Terlalu memang! Orang itu sama sekali tidak menghargai nyawa makhluk hidup lain.
Awas kalau aku sempat ketemu dengannya!
11. Seorang Makelar Konyol
KANTOR Arnold Lamm berada di suatu daerah yang masa jayanya sudah lama berlalu.
Makelar Tanah dan Bangunan, tertulis pada papan di atas pintu masuk. Yang tidak
disebutkan adalah bahwa Arnold Lamm juga mempunyai pekerjaan sampingan: penadah
barang curian. Di belakang kantornya terdapat suatu ruangan gelap yang berfungsi sebagai ruang
tamu-sekaligus ruang tidur.
Bukan Arnold Lamm, melainkan penyewa sebelumnya yang memenuhi ruangan itu dengan
perabot tua yang telah usang. Bahkan pedagang barang bekas pun takkan berminat.
Sebuah lampu neon dengan kap berwarna hijau menggantung di langit-langit. Lampu
itu menyebarkan cahaya dingin. Siapa saja yang terkena cahaya itu langsung
kelihatan seperti mayat. Arnold Lamm berdiri di depan lemari. Ia sedang memasukkan kumis serta rambut
palsunya ke dalam laci. Sambil nyengir, ia teringat bagaimana ia tampil sebagai
wartawan Koran Sore di rumah Nona Ebert tadi pagi.
Rudolf Kallweit, pencuri yang kepergok oleh Helga, duduk di kantor Arnold sambil
mereguk bir langsung dari botolnya. Sorot matanya sedingin es.
"Pokoknya," ia berkata, "bagiku sudah cukup kalau si Ebert teler selama satu
minggu." "Ya, aku tahu," jawab Arnold. Dengan langkah ringan ia menuju salah satu kursi.
Di bawah cahaya lampu neon, wajahnya nampak seperti mayat.
"Hanya satu minggu," Rudolf kembali berkata "Hanya satu minggu lagi -dan setelah
itu aku kabur! Tak seorang pun akan bisa menangkapku."
"Kalau kau mau minum lagi, di kulkas masih ada dua botol bir. Ambil saja
sendiri." "Kenapa?" "Aku bilang, aku sependapat denganmu."
Rudolf Kallweit menyandarkan badannya. Cahaya remang-remang membuat wajahnya
kelihatan semakin kurus. Arnold memandang kuku tangannya, lalu mempertimbangkan untuk memotongnya. Tapi
kemudian ia memutuskan untuk melakukannya lain kali saja. Habis, siapa yang
memperhatikannya" Tiba-tiba telepon berdering.
"Lho, jarang-jarang ada yang menelepon pada hari Minggu," ujar Arnold terheranheran. Ia segera mengangkat gagang. "Halo" Di sini Arnold Lamm."
"Bung Arnold" Wah, kebetulan sekali! Saya sebenarnya tidak menduga bahwa Anda
ada di kantor pada hari Minggu," seorang pria berkata. "Nama saya Jocher, Erwin
Jocer. Dari Lerchenbach. Barangkali Anda sudah pernah mendengar nama saya" Saya
kepala desa di sini. Hampir seluruh desa milik saya. Dan saya juga punya
hubungan ke mana-mana. Misalnya dengan Josef Streit. Anda juga mengenalnya,
bukan" Beliau yang menyarankan agar saya menghubungi Anda."
"Oh, begitu! Kalau Anda mengenal Pak Streit-itu sama saja dengan... Ada apa, Pak
Jocher" Ada yang bisa saya bantu?"
"Persoalannya sederhana saja," ujar Jocher. "Saya punya tetangga di sini yang
kemungkinan besar... ehm... katakanlah dia akan segera pindah dari Lerchenbach.
Tapi sebelumnya, dia tentu akan menjual tanah dan rumahnya. Nah, tanah itu harus
jadi milik saya. Saya tidak mau orang lain mendahului saya, mengerti"
Masalahnya, wanita itu tidak boleh tahu bahwa saya yang membeli tanahnya. Karena
itu, saya memerlukan seorang perantara: Anda! Anda akan membeli tanah itu.
Katakan saja bahwa Anda mewakili seorang pengusaha. Saya menyediakan dana
350.000 Mark! Saya kira, uang segitu cukup. Bagaimana, Anda berminat?"
"Tentu saja, Pak Jocher! Tapi biasanya ada komisi untuk... "
"Jangan takut!" Jocher segera memotong. "Anda akan memperoleh komisi seperti
biasa, tambah bonus sebesar 5.000 Mark."
"5.000 Mark" Baiklah, Pak Jocher, tawaran seperti ini sulit ditolak. Mengenai
wanita yang harus saya hubungi-siapa namanya?"
"Helga Ebert." "Helga Ebert"!" seru Arnold terkejut.
"Kenapa memangnya" Anda kenal wanita itu?"
"Ti... tidak! Tapi... ehm... namanya kebetulan hampir sama dengan nama seorang
kenalan saya." "Hmm. Saya berharap agar Anda bisa menyelesaikan urusan ini dengan baik."
"Jangan khawatir!" Arnold berusaha meyakinkan lawan bicaranya. "Persoalan ini
akan saya tangani sekarang juga. Nanti saya akan menghubungi Anda lagi."
"Baiklah. Kalau begitu saya tunggu kabar dari Anda."
Untuk beberapa saat Arnold Lamm masih memegang gagang telepon, baru kemudian ia
meletakkannya. Rudolf Kallweit ternyata sudah berdiri. "Ada apa?" ia bertanya. "Kenapa kau
menyebut-nyebut Helga Ebert?"
"Gila! Aku baru saja ditunjuk sebagai perantara untuk membeli tanahnya, oleh
seseorang yang mengaku bernama Erwin Jocher. Si Jocher ini rupanya orang penting
di Lerchenbach. Dia menawarkan 350.000 Mark untuk tanah Helga Ebert. Menurut aku
sih, tawarannya terlalu rendah. Tapi-peduli amat! Yang penting kan komisinya.
Dan si Jocher juga menjanjikan bonus tambahan. Masalahnya, bagaimana kalau si
Ebert mengenali suaraku, atau cara jalanku" Wah, gawat! Jangan sampai rezeki
yang sudah ada di tangan terlepas begitu saja. Hmm, mungkin lebih baik kalau aku
hubungi dia lewat telepon saja."
"Ya, aku rasa itu memang cara terbaik."
"Oke, deh! Kalau si Ebert sudah setuju untuk menjual tanahnya, aku bisa mengirim
si Hans ke rumahnya. Si Hans sudah biasa mengurus hal-hal begini, dan dia bisa
dipercaya." Arnold membuka buku telepon, menemukan nama Helga Ebert, mengangkat gagang,
kemudian menutupinya dengan saputangan. Sambil nyengir, ia lalu memutar nomor
Helga dan menunggu. Tak ada yang mengangkat.
Arnold sudah hampir menyerah, ketika suara Helga tiba-tiba terdengar di gagang
telepon. "Di sini Arnold Lamm," makelar tanah itu segera memperkenalkan diri. "Maaf,
kalau saya mengganggu Anda. Anda tadi sedang sibuk di kebun, ya?"
"Tidak," jawab Helga. "Saya baru pulang dan mendengar telepon berdering. Ada
apa?" "Begini, Nona Ebert. Saya bergerak dalam bidang jual-beli tanah. Kebetulan saya
mendapat kabar bahwa Anda bermaksud menjual tanah Anda. Dan karena itu..."
"Siapa yang mengatakan begitu?" Helga langsung bertanya.
"Orang seperti saya harus selalu buka telinga supaya tidak didahului orang lain,
hahaha!" "Maaf, tapi dalam hal ini informasi yang Anda peroleh tidak tepat."
"Maksud Anda... ehm... Anda tidak berniat menjual tanah Anda?"
"Sama sekali tidak."
"Hmm, aneh! Rupanya ada kekeliruan. Tapi mumpung kita lagi bicara soal ini bagi seorang wanita muda seperti Anda kan lebih menarik untuk tinggal di kota.
Misalnya saja dilihat dari segi acara kebudayaan. Di kota, Anda bisa menikmati
pertunjukan teater, pertunjukan opera, pameran... "
"Kehidupan di kota memang menarik. Tapi saya lebih suka tinggal di tengah alam
segar." "Alasan Anda memang tepat sekali. Tapi saya kebetulan mengenal seseorang yang
berminat pada tanah Anda. Dia menawarkan 280.000 Mark dan mungkin juga..."
"Terima kasih, Pak Lamm - tapi saya tidak berminat. Sudah saya katakan tadi:
saya tidak berniat menjual tanah saya."
"Kenalan saya berani membayar 300.000 Mark."
"Selamat sore, Pak Lamm!"
"Sebentar!" pria itu langsung berseru. "Tawaran seperti ini takkan Anda peroleh
untuk kedua kalinya. Anda perlu tahu bahwa kenalan saya itu bermaksud membangun
rumah peristirahatan dan..." ia terhenti sejenak, "bagaimana kalau 350.000
Mark?" "Untuk terakhir kalinya: saya tidak akan menjual tanah saya. Sampai kapan pun!
Tolong sampaikan hal ini pada Tuan Jocher!"
Klik! Helga telah memutuskan pembicaraan.
Sambil terheran-heran Arnold Lamm meletakkan gagang. Ia memasukkan
saputangannya, menggaruk-garuk dagu, kemudian berpaling pada Rudolf.
Pencuri itu menatapnya sambil nyengir lebar.
"Nah, gagal?" "Si Ebert, bahkan lebih cerdik dari yang kuduga. Dia langsung tahu bahwa ada
udang di balik batu. Pak Jocher takkan senang mendengar kabar ini, tapi itu sih
urusan dia." * Pada hari Senin, sekolah telah usai sesudah jam pelajaran kelima. Begitu bel
berbunyi, Sporty, Thomas, Oskar, dan Petra langsung menyerbu
keluar kelas. Segera mereka bergegas menuju GUDANG SAPU - telepon umum yang
berada di lantai dasar. Berdesak-desakan di dalamnya bukanlah hal yang mudah.
Sebab ruangan pengap tanpa jendela itu-yang dulu memang dipakai sebagai gudang
sapu-sebenarnya hanya dapat menampung satu orang saja.
Sporty menempelkan gagang telepon pada telinga. Ujung rambut Petra menggelitik
hidungnya. Gadis itu berdiri persis di samping Sporty, karena ingin ikut
mendengarkan pembicaraan.
Sementara itu, Oskar memasukkan sekeping uang. Dan Thomas memutar nomor telepon
yang dituju. "Kantor polisi," terdengar suara wanita menyahut.
"Saya ingin berbicara dengan Komisaris Glockner," ujar Sporty.
"Sebentar, saya sambungkan dulu."
Untuk sesaat mereka menunggu.
"Ya, Glockner di sini," kata ayah Petra kemudian.
"Selamat siang, Pak Glockner. Ini Sporty. Kami sudah tak sabar menunggu berita
dari laboratorium. Botol-botol dari rumah Nona Ebert sudah selesai diperiksa?"
"Untung kau tidak telepon tadi pagi. Baru tiga menit yang lalu saya memperoleh
hasil pemeriksaan lab. Ternyata tidak ada racun dalam botol-botol itu!"
"Tidak ada"!" tanya Sporty heran. Ia dan anak-anak STOP yang lain sebenarnya
yakin sekali bahwa isi botol-botol itu sudah diberi racun.
"Ya, petugas lab sama sekali tidak menemukan tanda-tanda racun," Komisaris
Glockner menegaskan. "Tapi ini hanya berlaku bagi isi botol-botol minuman itu.
Apakah ada racun di dalam makanan yang telah dibuang oleh Nona Ebert tak ada
yang bisa memastikannya. Namun menurut keterangan Nona Ebert, makanan yang ada
di dalam kulkas tidak disentuh. Yang berubah hanya susunan botol-botol di dalam
lemarinya." "Kami akan segera menyampaikan kabar ini. Terima kasih! Sampai ketemu, Pak
Glockner." Sporty menggantungkan gagang telepon.
"Tidak ada racun?" ujar Thomas sambil menggelengkan kepala. "Aneh! Rupanya orang
yang mengobrak-abrik rumah Helga hanya ingin mencicipi isi botol-botol itu."
Mereka segera menuju ruang guru dan mengetuk pintu. Seorang guru muda menatap
mereka dengan sikap kurang senang, tapi Sporty langsung mengatakan bahwa mereka
ingin menemui Nona Ebert.
Helga segera mengajak anak-anak ke ruang biologi. Di sana mereka bisa bicara
dengan tenang. Sporty menyampaikan berita dari kantor polisi. Helga mendengarkannya dengan
serius. Wajahnya tetap cemas, seakan-akan ia merasa bahwa ancaman terhadap
dirinya belum berlalu. "Mudahan-mudahan kalian tidak menganggap saya terlalu mengada-ada," ia berkata
kemudian. "Tapi saya masih merasa bahwa ada yang tidak beres di rumah saya.
Semalam saya sama sekali tidak bisa tidur. Entah kenapa, saya merasa bahwa ada
yang tidak beres. Setiap sudut saya periksa kembali. Labah-labah terakhir sudah
saya temukan-di bawah tempat tidur. Tapi sampai sekarang pun saya belum tahu di
mana racun itu disembunyikan. Padahal saya yakin bahwa racun itu ada."
"Hmm," Sporty bergumam. "Saya sendiri juga sering berpegang pada naluri. Tapi
dalam hal ini, mungkin saja Anda terlalu dicekam ketakutan setelah rumah Anda
dimasuki orang." Helga menundukkan kepala.
"Semula saya juga berpikiran seperti itu. Tapi ini lain."
Petra mengangguk pelan. Rupanya ia memaklumi perasaan Helga saat ini. Thomas dan
Oskar hanya bisa pasang tampang kecut.
Barangkali ada gunanya kalau Helga ditemani - paling tidak untuk 24 jam berikut
ini, pikir Sporty. "Sebenarnya masih ada yang ingin kami tanyakan," ujarnya kemudian. "Besok kan
libur. Dan dalam liburan nanti, kami ingin berkeliling-keliling sambil berkemah.
Kami sudah punya dua tenda baru. Tapi selama ini belum ada kesempatan untuk
melakukan uji-coba. Karena itu, kami ingin tanya apakah kami boleh berkemah di
pekarangan Anda nanti malam."
Wajah Helga langsung cerah.
"Tentu saja boleh! Kalian kan tahu-rumah saya setiap saat terbuka untuk kalian."
"Wah, terima kasih banyak!" jawab Sporty. "Oskar dan saya sudah minta izin dari
petugas piket asrama."
"Seberapa besar tenda kalian?" tanya Helga.
"Tidak terlalu besar. Masing-masing bisa menampung tiga orang."
"Kalau begitu saya punya usul. Tenda-tenda kalian bisa saya bawa naik mobil. Dan
kalian juga bisa ikut. Sepeda-sepeda kalian memang terpaksa ditinggal, tapi
selama di Lerchenbach kalian toh tidak ke mana-mana, bukan?"


Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya setuju sekali!" Oskar berseru.
"Tapi bagaimana caranya kami pulang nanti?" tanya Petra. "Masa hanya karena
kami, Anda..." "Jangan takut, Petra. Kalian menginap saja semalam lagi. Lalu pada Rabu pagi
kita sama-sama berangkat ke sekolah."
Anak-anak STOP langsung setuju.
Sporty dan Oskar segera naik ke loteng asrama untuk mengambil tenda-tenda mereka
yang masih baru. Petra dan Thomas menitipkan tas sekolah masing-masing di SARANG
RAJAWALI sehingga langsung bisa sekolah pada Rabu pagi.
Segala keperluan untuk menginap kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tas besar.
Untung Sporty masih sempat melihat Oskar menyelipkan delapan keping coklat.
"Hei, apa-apaan ini" Nanti coklatmu meleleh lagi, dan nasib tenda-tenda kita
sama seperti celanamu kemarin."
Oskar mengomel panjang-pendek. Tapi kemudian ia mengeluarkan kedelapan keping
coklat, dan memasukkan semuanya ke dalam kantong plastik. Kantong itu seterusnya
ia jaga seperti harta karun.
Sporty dan Oskar lalu membawa semua barang mereka ke tempat parkir. Yang lain
sudah menunggu di sana. Tenda-tenda segera masuk bagasi. Helga dan anak-anak
harus berdesak-desakan, sebab mobil Helga memang kecil.
Oskar, yang paling banyak makan tempat, duduk di depan-di samping Helga.
Di bangku belakang, Petra nyaris terjepit antara Sporty dan Thomas. Agar lebih
leluasa, gadis itu sibuk menyikut ke kiri dan ke kanan. Dan setiap kali mengenai
sasaran, Sporty dan Thomas meraung-raung seperti seekor kucing pada saat bulan
purnama. Sambil ketawa-ketawa, mereka berangkat ke arah kota. Soalnya Petra dan Thomas
masih harus minta izin pada orangtua masing-masing. Mereka juga belum membawa
pakaian. Setelah semuanya beres, barulah mereka menuju Lerchenbach. Bello tentu saja tak
ketinggalan. 12. Gladi Resik CUACA hari ini bahkan lebih panas dibandingkan kemarin. Setelah makan siang,
Erwin Jocher mencari angin di depan pintu rumahnya. Dengan mata setengah
terpejam karena silau, ia menatap ke arah jalan. Tak seorang pun terlihat. Rex,
anjingnya yang galak, berbaring di tempat teduh. Untuk sesaat ia mengangkat
kepala. Tapi anjing itu tak terlalu tertarik pada majikannya. Erwin Jocher
memang tidak pernah memperhatikan Rex. Petani kaya itu hanya berminat pada
binatang-binatang yang menghasilkan uang. Kalau melihat seekor sapi, yang
terbayang di kepalanya adalah hasil penjualan susu-atau jumlah uang yang akan
diperolehnya kalau ia menjual sapi itu.
Ia mengusap kepalanya yang botak, lalu melirik ke arah rumah Helga.
Nanti malam! ia berkata dalam hati. Setelah pertunjukan nanti malam, orang-orang
di sini pasti akan mengusirnya.
Ia lalu mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya: tidur siang, atau
minum sebotol bir dulu. Tapi sebelum sempat mengambil keputusan, ia tiba-tiba
melihat Plaschke. Klaus Plaschke adalah satu dari dua polisi yang bertugas di Lerchenbach. ia dan
Jocher sudah berteman sejak masih anak-anak.
"Halo, Erwin! Panas sekali ya, hari ini."
"Ya, aku juga kepanasan."
Plaschke berhenti dan menatap ke arah ladang.
"Rumah Helga Ebert kemarin diacak-acak orang," ujar si polisi.
Jocher mengangguk. "Ya, aku juga sudah mendengarnya."
"Tentu saja kau sudah mendengarnya. Kau kan terlibat juga."
"Hah" Apa maksudmu?"
"Memang bukan secara langsung. Tapi bagaimana dengan Harry dan Max?"
"Jangan sembarangan! Keluargaku tidak ada urusan dengan kejadian itu."
"Kelihatannya Komisaris dari kota itu berpendapat lain."
"Si Glockner itu?"
"Ya!" "Kurang ajar! Itu kan tidak masuk akal."
"Itu sih terserah penilaianmu sendiri. Aku hanya ingin menyampaikan surat
panggilan ini." "Surat panggilan apa?"
"Pemberitahuan ini baru saja sampai lewat teleks. Masalahnya: Harry dan Max sore
ini disuruh datang ke kantor polisi di kota. Mereka
ditunggu sampai jam 17.00. Komisaris Glockner ternyata menemukan petunjuk baru,
sehingga dia perlu. minta keterangan lagi dari mereka."
Wajah Erwin Jocher menjadi merah padam.
"Brengsek!" ia berteriak dengan kesal. "Semuanya karena tukang sihir keparat
itu! Kerjaannya hanya bikin onar saja. Dan sekarang kedua putraku malah dituduh
yang bukan-bukan." "Sudahlah, Erwin. Kita kan sama-sama tahu bahwa si Harry bukan anak alim."
"Maksudmu, soal dulu itu" Ya ampun, masa sih kau belum mengerti juga"! Waktu itu
dia kan di bawah pengaruh si tukang sihir! Dalam keadaan sadar, mana mungkin
dia..." "Jangan mengada-ada, Erwin! Harry memang bajingan. Dan dalam urusan ini, Nona
Ebert sama sekali tidak bersalah. Dia hanya melakukan kewajibannya sebagai warga
negara yang baik. Aku bisa mengerti bahwa kau tidak menyukai dia. Tapi itu tidak
berarti bahwa kau boleh menuduhnya seenak perutmu sendiri. Aku bisa membayangkan
Harry mengobrak-abrik rumahnya untuk membalas dendam."
"Oh, begitu!" ujar Jocher penuh curiga. "Jadi, kau sekarang membela dia?"
"Aku tidak membela siapa-siapa. Tapi aku wajib menjaga ketertiban dan keamanan
di desa kita. Nih!" Plaschke mengeluarkan sepucuk surat dari saku. "Ini surat
panggilan untuk. Harry dan Max. Tolong sampaikan pada mereka bahwa mereka
sebelum jam lima nanti sudah harus ada di kantor polisi di kota."
Dengan acuh tak acuh Jocher memasukkan surat itu ke kantong celana.
"Sebaiknya kalian jangan cari perkara, deh," kata Plaschke, kemudian memandang
ke arah desa. "Eh, siapa yang datang itu?"
Jocher mengikuti pandangan si polisi. Seorang pria kurus nampak mendekat.
Badannya agak bungkuk. Kedua tangannya terkepal dan berayun seirama dengan
langkah kakinya. "Itu kan si Schilling," ujar Plaschke. "Bekas pembantumu. Kemarin aku memang
sudah melihatnya. Dia tinggal di Hotel Kaiser. Rupanya dia sudah dibebaskan dari
penjara. Hmm, untuk apa dia datang lagi ke Lerchenbach" Berani benar dia muncul
lagi setelah menabrak Pak Petermann sampai mati. Pakai mobilmu, lagi! Eh, Erwin!
Kelihatannya dia menuju kemari."
"Ya, aku tidak buta," Jocher menggeram. "Keterlaluan! Orang itu tidak tahu diri
sama sekali. " Pak Jocher nampak agak gelisah.
Schilling pun memperlambat langkahnya, lalu berhenti lima meter di hadapan bekas
majikannya. Tanpa berkata apa-apa ia menganggukkan kepala.
"Baiklah, Klaus," ujar Jocher cepat-cepat.
"Terima kasih atas kedatanganmu. Sampai ketemu lagi!" Kemudian ia berpaling pada
Schilling. "Ayo, masuk! Kita bicara di dalam saja."
Klaus Plaschke nampak agak terkejut, karena sama sekali tidak menduga bahwa ia
akan diusir secara halus. Sementara polisi itu pergi, Schilling mengikuti Pak
Jocher ke dalam. Di ruang tamu, petani kaya itu lalu berdiri sambil bertolak-pinggang. Dengan
pandangan curiga ia menatap Schilling dari atas ke bawah.
"Untuk apa kau datang ke sini lagi?"
"Bapak tahu persis apa yang saya inginkan," kata Schilling. "Saya datang untuk
menagih janji." * Pada saat yang sama Helga dan anak-anak STOP sedang dalam perjalanan menuju
Lerchenbach. Dengan pandangan tetap terarah ke depan, wanita muda itu bercerita
mengenai tawaran yang disampaikan oleh Arnold Lamm.
"Ini pasti ulah Erwin Jocher," katanya berapi-api. "Dia memang membenci saya.
Tapi itu tidak menghalanginya untuk mengincar tanah saya. Hah, enak saja! Sampai
kapan pun saya takkan menjualnya pada dia."
"Sayang sekali memang kalau tanah itu Anda jual," ujar Petra. "Soalnya saya
tidak bisa membayangkan tempat berkemah yang lebih menyenangkan."
Helga ketawa. "Jadi, kalian mau berkeliling-keliling dan berkemah selama liburan musim panas
nanti" Apakah orangtua kalian sudah tahu rencana ini?"
"Belum," jawab Thomas. "Pertama-tama mereka memang pasti keberatan. Tapi mudahmudahan saja kami bisa meyakinkan mereka."
"Lalu, kalian mau naik apa?" Helga kembali bertanya. "Naik pesawat, naik kereta,
atau jalan kaki?" "Pokoknya, kalau jalan kaki saya tidak mau ikut!" Oskar langsung berkata. "Saya
takkan sanggup mengimbangi kecepatan Sporty. Rencananya, kami akan menyusuri
sungai naik perahu ke arah hilir tentu saja. Supaya tidak perlu mendayung."
"Kalian mau menyusuri sungai" Wah, asyikkan sekali! Kalian bisa berenang, bukan"
Oh, maaf! Saya hampir lupa bahwa Petra juara renang gaya punggung. Dan bahwa
Sporty menguasai semua cabang olahraga. Kalian berdua," Helga menoleh ke arah
Thomas dan Oskar, "pasti juga bisa berenang."
"Kalau sekadar mengapung sampai seseorang datang untuk menyelamatkan saya, saya
masih sanggup," ujar Thomas sambil ketawa. "Dan Oskar sama sekali tidak bisa
tenggelam. Yang menjadi masalah: kami belum punya perahu. Sporty dan saya sudah
menghubungi perkumpulan olahraga dayung untuk menanyakan apakah kami bisa
meminjam salah satu perahu mereka. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban."
"Mudah-mudahan kalian berhasil," kata Helga.
Mereka kini telah mendekati rumah Erwin Jocher.
"Lho... itu kan si Schilling," ujar Helga terkejut. "Bekas pembantu Erwin Jocher
yang menabrak Pak Petermann."
Sporty, Petra, Thomas, dan Oskar segera menengok.
"Tampangnya bukan seperti orang jahat," kata Petra.
"Pak Jocher kelihatannya tidak begitu gembira atas kunjungan bekas pembantunya,"
Sporty berkomentar. "Awas, Pak, jangan marah-marah," ia lalu bergurau, "nanti
Bapak malah kena serangan jantung.;'
Mereka kini telah sampai di depan rumah Helga. Langsung semua turun dari mobil.
Sementara Helga sibuk di dalam rumah, keempat sahabat STOP mulai mendirikan
kedua tenda mereka. Yang pertama akan dipakai oleh Sporty, Thomas, dan Oskar.
Petra tidur di tenda kedua.
"Apa kau berani tidur sendirian?" tanya Oskar setelah membaca buku petunjuk
mendirikan tenda untuk ketiga kalinya. "Tapi jangan takut. Tenda kami akan tetap
terbuka, supaya kami bisa mengawasimu. "
"Terima kasih atas perhatianmu, Oskar," ujar Petra sambil tersenyum manis. "Tapi
aku sarankan supaya tenda kalian ditutup saja - daripada kalian digigit nyamuk
nanti." "Pokoknya, aku akan membantumu mendirikan tenda," Oskar kembali berkata. "Tanpa
bantuanku pun, Sporty dan Thomas bisa mendirikan tenda kami."
Oskar benar. Dalam sekejap saja kedua sahabatnya sudah menyelesaikan tugas
mereka. Tapi Petra masih bingung mencari tempat untuk mendirikan tendanya.
Sementara Thomas tidur-tiduran di dalam tenda, Sporty iseng-iseng memandang ke
arah rumah keluarga Jocher. Schilling ternyata sudah pergi. Seorang wanita
nampak keluar dari kandang sapi sambil membawa ember. Seekor ayam jantan
berjalan mondar-mandir, lalu berhenti dan berkokok nyaring. Suaranya terdengar
jelas sampai ke rumah Helga.
Tiba-tiba Pak Jocher muncul dari pintu rumahnya. Kepalanya yang botak ditutupi
topi. Sambil mengayunkan tongkat, ia berjalan mengelilingi rumahnya.
Petani kaya itu menyusuri jalan setapak, dan melewati lapangan rumput menuju
hutan. Ia nampak terburu-buru.
Dia pasti tidak berniat-mencari buah arbei, pikir Sporty. Dan karena hutan milik
semua orang. Maka tak ada salahnya kalau aku mengikuti Pak Jocher untuk melihat
ke mana dia pergi. "Aku ada perlu sebentar!" Sporty segera berseru pada teman-temannya. Kemudian ia
memutari kolam dan menuju ke hutan.
Sementara itu, Pak Jocher sudah menghilang di balik pepohonan. Sporty
mempercepat langkahnya. Sambil membungkuk ia bergegas membuntuti petani kaya
itu. Pak Jocher terus saja menyusuri jalan setapak itu, tanpa menoleh ke kiri-kanan apalagi ke belakang. Sporty tidak mengalami kesulitan untuk mengikutinya tanpa ketahuan.
Sepuluh menit kemudian Pak Jocher sampai di suatu lapangan terbuka yang
dikelilingi pohon-pohon cemara.
Sambil bersembunyi di balik sebatang pohon, Sporty melihat Harry dan Max, kedua
putra Pak Jocher, sedang sibuk bekerja berat. Keduanya telah bermandikan
keringat. Sporty segera tiarap dan merayap maju agar bisa melihat lebih jelas.
Harry dan Max telah membuat tumpukan kayu-rupanya untuk membuat api unggun.
Papan-papan kayu, dahan-dahan, dan ranting-ranting kering disusun rapi. Di
sebelah tumpukan kayu itu ada sebuah jerigen bensin.
Busyet! pikir Sporty. Mereka mau bikin api unggun di tengah hutan! Padahal itu
dilarang keras. Sedikit saja lengah-seluruh hutan pasti terbakar. Entah apa lagi
rencana mereka! "Lumayan juga," Pak Jocher memuji pekerjaan anak-anaknya. "Desa Lerchenbach
belum pernah mengalami api unggun seperti ini."
"Ya, tapi untuk itu kami harus bekerja seperti kuli," Harry menggerutu.
"Betul," ujar Max sambil mengangguk.
"Ah, jangan cengeng!" ayah mereka berseru.
"Kalian kan tahu untuk apa kita repot-repot begini. Tepat tengah malam nanti si
Tukang Sihir akan mengadakan upacara pemujaan setan. Teman-teman Max akan
melihatnya, lalu menceritakan kejadian ini pada semua penduduk desa kita. Dan
setelah itu, semua orang akan sependapat bahwa si Ebert harus pergi dari sini.
Harry, kau bawa pakaian tukang sihir" Aku mau lihat apakah penampilanmu cukup
meyakinkan." Harry menunjuk ransel yang tergeletak di tanah.
"Aku sudah siapkan semuanya."
"Ayo, ganti pakaian! Aku mau lihat bagaimana penampilanmu dengan pakaian itu."
Harry sebenarnya ogah, tapi perintah ayahnya harus dituruti.
Sporty terbengong-bengong ketika melihat pemuda itu berubah menjadi tukang
sihir. Harry mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Kepalanya ditutupi dengan
wig. Warnanya merah menyala. Untuk melengkapi penyamaran, ia memasang topeng
kayu dengan hidung mancung.
"Ayo!" kata Pak Jocher. "Anggap saja bahwa sekarang sudah tengah malam. Api
unggun sudah menyala dan kau menari-nari di sekelilingnya! Ayo!"
Harry menurut saja. Sambil melambai-lambaikan tangan dan melompat-lompat, ia
mengelilingi tumpukan kayu kering tadi. Setelah satu putaran, pemuda itu
berganti gaya. Kali ini ia berusaha menggabungkan tarian rakyat dengan tarian
cha-cha. Sporty nyaris tidak dapat menahan tawa. Dengan penampilan semacam itu, Harry
pantas muncul di arena sirkus-sebagai badut!
"Cukup!" Pak Jocher akhirnya berseru. "Tepat seperti yang aku bayangkan! Yang
penting, tarianmu harus menyeramkan."
Harry langsung membuka topeng. Wajahnya basah karena keringat.
"Sekarang kita pulang dulu," ujar ayahnya. "Habis itu kita ke kota!"
"Untuk apa?" tanya Max.
"Kalian harus ke kantor polisi. Keterangan kalian akan diperiksa sekali lagi.
Rupanya polisi menemukan petunjuk baru. Ayo, cepat! Dan jangan takut. Mereka
tidak bisa membuktikan apa-apa. "
Kedua anaknya langsung mengumpat kesal. Max menggunakan tongkatnya untuk
menghajar sebatang pohon yang tak bersalah. Harry membereskan barang-barangnya,
lalu meletakkan ransel di balik semak-semak. Kemudian mereka pulang.
Sporty menunggu selama beberapa saat. Setelah semuanya aman, ia keluar dari
tempat persembunyiannya. Yang pertama dilakukannya adalah mengambil jerigen
bensin tadi. Jerigen itu ia sembunyikan di balik sebuah batu besar, kira-kira
seratus meter dari tumpukan kayu bakar. Habis itu, ia segera kembali ke rumah
Helga. Sementara Sporty pergi, Petra dan Oskar sudah berhasil mendirikan tenda keduawalaupun dengan susah-payah. Hasilnya juga tidak seperti yang diharapkan. Tenda
itu miring ke kanan, sehingga kelihatannya seperti mau roboh. Kini mereka sedang
sibuk memeriksa daerah di sekeliling tenda-tenda mereka.
"Takut kalau ada ular," Thomas menjawab pertanyaan Sporty. "Siapa tahu salah
satu ular yang kita lepaskan kemarin kembali lagi ke sini. Tapi aku rasa
kemungkinannya kecil sekali. Sejauh ini kami belum menemukan apa-apa."
"Tapi aku ketemu seorang tukang sihir dan dua bajingan," ujar Sporty. "Ayo, kita
ke dalam saja. Jadi aku tidak perlu cerita dua kali."
13. Jempol Biru SUASANA di kantor Komisaris Glockner terasa tegang. Udara seakan-akan penuh uap
bensin-sedikit percikan api... semuanya langsung meledak.


Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak datang, Erwin Jocher sudah mengobarkan api permusuhan. Dengan wajah merah
padam ia duduk di antara kedua anaknya.
Seorang polisi baru saja mengambil sidik jari Harry serta Max. Dan ini membuat
Pak Jocher tersinggung. Empat jempol berwarna biru-itu akan menjadi bahan
gunjingan di Lerchenbach.
Untuk sementara, mereka hanya bertiga di ruang kerja Pak Glockner. Namun mereka
tidak mengucapkan sepatah kata pun, karena takut pembicaraan mereka disadap.
Kini pintu membuka. Komisaris Glockner dan rekannya, yang ahli dalam mencari dan
mengamankan jejak, melangkah masuk. Pak Glockner langsung duduk di balik meja
tulis. Rekannya tetap berdiri di dekat pintu sambil bersandar ke dinding.
Pak Glockner meletakkan sebuah map berisi sidik jari di atas meja. Kemudian ia
menatap Harry. "Ini kesempatan terakhir bagi Anda untuk mengakui perbuatan Anda secara terusterang. Apakah Anda kemarin memasuki rumah Helga Ebert dengan paksa?"
Harry hanya menggeleng. "Harry Jocher! Kami telah menemukan sebuah sidik jari pada pecahan kaca di rumah
Nona Ebert. Dan kemudian kami membandingkannya dengan sidik jari Anda. Tidak
salah lagi: sidik jari itu milik Anda. Ini suatu bukti yang tak dapat disangkal
lagi." Untuk sesaat semuanya terdiam.
Kemarahan Erwin Jocher, yang sejak tadi dipendam terus, kini meledak.
"Tidak mungkin!" ia berteriak sambil membelalakkan mata. "Saya tidak percaya!"
"Tuan Jocher," Komisaris Glockner langsung menegurnya. "Saya harap Anda bisa
bersikap sopan. Ini kantor, bukan pasar! Dan apa maksud Anda" Apakah Anda
menuduh bahwa kami telah memalsukan barang bukti" Awas, Anda bisa dihadapkan ke
meja hakim karena tuduhan seperti itu!"
"Bukan... bukan begitu maksud saya. Tapi... ehm... Tidak mungkin! Harry tidak
mungkin... Bagaimana, Harry?"
Pemuda itu duduk dengan lesu, seakan-akan menahan beban berton-ton. Ia
menundukkan kepala. Wajahnya pucat-pasi.
"Harry Jocher," Komisaris Glockner kembali berkata. "Apakah ada yang ingin Anda
kemukakan sehubungan dengan hal ini?"
Harry menelan ludah. "Saya... saya... Ya, Anda benar. Saya... saya masuk lewat jendela. Kemarin sore,
ketika si Ebert pergi ke hutan dengan anak-anak itu. Kebetulan saja saya
melihatnya. Dan kemudian... Saya dendam padanya! Dua tahun saya meringkuk di
penjara, hanya gara-gara wanita itu! Dua tahun saya menyimpan dendam dan..."
"Bahwa Anda masuk penjara," Pak Glockner memotongnya, "itu akibat ulah Anda
sendiri. Anda tidak punya alasan untuk menyalahkan Nona Ebert! Kesaksiannya
hanya memperkuat fakta-fakta yang sudah ada sebelumnya. Ya ampun, masa sampai
sekarang Anda belum insaf juga"! Apakah hukuman dua tahun belum cukup untuk
Anda"!" "Saya bermaksud membalas dendam!" Harry tetap berkeras.
"Dengan cara membunuh Nona Ebert?"
Harry nampak bingung. "Membunuh" Apa maksud Anda" Saya kan hanya memecahkan kotak-kotak kaca di
rumahnya. " Pak Glockner mengeluarkan secarik kertas dari laci meja tulisnya.
"Saudara Jocher, kemarin siang terjadi pencurian di sebuah apotek dekat sini.
Pencurinya masuk lewat pintu belakang, sehingga kejadian ini baru diketahui pada
sore hari. Pencuri itu mengambil sejumlah zat beracun. Di antaranya ada yang
bisa berakibat fatal. Dan ada juga yang tidak begitu berbahaya, namun tetap
menyebabkan seorang korban harus dirawat di rumah sakit untuk waktu yang cukup
lama. Di apotek, zat-zat itu digunakan untuk pengolahan lanjut-misalnya untuk
membuat salep. Kenapa saya menyinggung pencurian ini" Karena kami menduga bahwa
sebagian dari zat beracun itu kini berada di rumah Nona Ebert. Dan satu-satunya
orang yang patut dicurigai adalah Anda."
"Anak saya pembunuh"!" Erwin Jocher langsung naik pitam.
"Kalau Anda belum juga mau bersikap sopan," Komisaris Glockner berkata dengan
tajam, "saya terpaksa mengusir Anda dari sini! Jelas?"
Erwin Jocher menatapnya penuh curiga. Tapi untuk selanjutnya petani kaya itu
lebih berhati-hati. "Saya tidak mencuri racun," kata Harry.
"Di mana Anda kemarin, antara jam sebelas sampai jam satu?"
"Saya lagi jalan-jalan. Di hutan."
"Apakah ada saksi yang bisa memperkuat keterangan Anda?"
"Saya tidak bertemu dengan siapa-siapa."
"Hmm, kenapa Anda mengutak-atik lemari Nona Ebert?"
"Lemari" Saya sama sekali tidak menyentuhnya."
"Apakah Anda menaruh racun pada makanan di lemari es?"
Harry mulai berkeringat dingin.
"Tidak!" ia berseru. "Saya hanya masuk- ke ruangan yang ada kotak-kotak kaca
berisi binatang-binatang itu. Kotak-kotak kaca itu memang saya pecahkan. Waktu
itu, seekor labah-labah sempat merayap naik ke lengan saya. Ketika hendak
mengibaskannya, sarung tangan saya terlepas. Saya membungkuk untuk memungutnya,
tapi terpeleset karena menginjak pecahan kaca. Supaya tidak jatuh, saya menahan
badan saya dengan sebelah tangan. Hmm," Harry kini bergumam seakan-akan
berbicara pada diri sendiri, "itulah sebabnya kenapa sidik jari saya bisa ada di
sana. Soalnya saya sengaja pakai sarung tangan supaya tidak meninggalkan jejak."
Dengan cermat Pak Glockner mengamati wajah pemuda itu.
Pandangan Harry melayang ke segala arah. Ia menggigit-gigit bibir. Kepalanya
tetap tertunduk. Dasar pembohong! ujar Komisaris Glockner dalam hati. Dia berusaha untuk
mengelabui polisi. Tapi aku tidak boleh sembrono. Nyawa Nona Ebert yang jadi
taruhan. Entah apa rencana bajingan ini.
Pak Glockner lalu berpaling pada ayah Harry.
"Kalau tidak salah, Anda kemarin mengatakan bahwa anak Anda sepanjang siang
berada di rumah, bukan" Tapi sekarang Harry sendiri mengakui bahwa dia masuk ke
rumah Nona Ebert. Bagaimana ini, Pak Jocher?"
Petani itu mengeluarkan saputangan dan mengelap keringat yang membasahi
keningnya. Ia berusaha untuk mengelakkan pandangan Komisaris Glockner.
"Ya, memang," ia berkata. "Saya hanya mengatakan apa adanya. Harry memang di
rumah terus. Saya sendiri tidak mengerti bagaimana dia bisa ke rumah wanita itu.
Tapi..." Tiba-tiba ia mendapat akal.
"Ah, sekarang saya tahu. Rupanya saya empat ketiduran! Betul, kan?" Pak Jocher
bertanya pada kedua anaknya. "Saya ketiduran! Mungkin karena kebanyakan minum
bir! Lagi pula, kemarin siang udara begitu panas! Rupanya, tanpa sadar saya
ketiduran di meja makan. Dan ini berarti bahwa saya tidak sengaja memberikan
keterangan yang tidak benar, Pak Komisaris."
Pak Glockner sama sekali tidak percaya. Tapi apa boleh buat-ia tidak bisa
membuktikan bahwa Pak Jocher berbohong. Pak Jocher sendiri hanya cengar-cengir
sambil melirik kedua anaknya.
"Betul!" Harry segera berkata. "Dan sementara ayah saya tidur, saya pergi ke
rumah si Tukang Sihir... ehm, ke rumah Nona Ebert."
Max juga tidak mau ketinggalan.
"Saya belum biasa minum bir," katanya "Karena itu, saya juga ketiduran. Pokoknya
saya tidak tahu bahwa Harry keluar rumah."
Pak Glockner menyandarkan badan dan menatap rekannya yang masih berdiri di dekat
pintu sambil geleng-geleng.
"Burung bangkai tidak pernah makan sesamanya," ia berkata dingin.
Hampir saja Pak Jocher berkoar lagi, tapi kemudian ia berhasil menguasai diri.
"Tolong katakan pada Nona Ebert bahwa urusan ini tidak perlu berlarut-larut,"
katanya dengan sinis. "Kami akan mengganti semua kerugiannya. Ular! Labah-labah!
Hah! Berapa sih harganya"!"
"Jangan Anda anggap bahwa dengan demikian perkaranya sudah selesai!" Pak
Glockner menghardiknya. "Anak Anda telah memasuki dan mengobrak-abrik rumah
orang lain. Padahal dia sudah pernah dihukum dan baru saja keluar dari penjara.
Jangan harap bahwa hakim akan menaruh belas kasihan padanya. Saya juga sedang
mempertimbangkan untuk membuat surat perintah penahanan, supaya dia jangan
sampai melarikan diri."
"Saya jamin Harry tidak akan kabur," ujar Pak Jocher kesal. "Saya... ehm, tahu
persis: ini semua hanya gara-gara tukang sihir keparat itu! Nona Ebert telah
mempengaruhi Harry. Sama seperti dulu. Hal ini akan kami buktikan di depan
hakim." "Satu kata lagi - dan saya akan minta pada pengadilan agar keadaan jiwa Anda
diperiksa oleh seorang psikiater!" Komisaris Glockner memperingatkannya. "Saya
memang sudah dengar bahwa Anda menuduh Nona Ebert sebagai tukang sihir. Tapi
kali ini Anda telah melewati batas."
"Kita ke rumah Nona Ebert sekarang-dengan Harry Jocher," Pak Glockner berkata
pada rekannya. "Saya -ingin tahu apa saja yang dilakukannya kemarin. Kemungkinan
besar, dia juga mengutak-atik botol-botol di dalam lemari. Tolong telepon Nona
Ebert dulu. Katakan bahwa setengah jam lagi kita sudah ada di sana."
"Saudara Harry Jocher!" ia kemudian berpaling pada pemuda itu. "Sebaiknya Anda
mengaku saja -sebelum terlambat."
* Anak-anak STOP masih sibuk mengatur kedua tenda mereka, ketika Helga berlari
keluar dari rumah. "Bayangkan!" dari jauh ia sudah berseru "Ternyata Harry Jocher yang mengobrakabrik rumah saya. Ayah Petra sedang dalam perjalanan ke sini untuk memastikan
apakah Harry menaruh racun atau tidak."
Berita itu benar-benar tak terduga. Untuk sejenak semuanya terbengong-bengong.
Kemudian Oskar mulai menari-nari dengan gembira. Ia melompat-lompat di tempatdengan satu kaki-berganti-ganti kaki kiri ke kaki kanan. Saking serunya, dia
kehilangan keseimbangan. Tangannya melambai-lambai. Tapi apa daya, anak itu
jatuh menimpa tenda Petra. Akibatnya, tenda itu pun ikut roboh.
Petra langsung mencak-mencak, "Ah, hati-hati dong! Kaukira mudah mendirikan
tenda ini?" Thomas ketawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata, sehingga terpaksa
membersihkan kacamatanya.
Dan Sporty berkata, "Gawat! Di darat saja sudah begini! Apa jadinya kalau kita menyusuri sungai
nanti" Terus-terang saja Oskar, aku tidak berani membayangkannya.. Kemungkinan
besar hanya ada dua pilihan: melemparkanmu keluar dari perahu atau - tenggelam
bersama-sama." "Jangan terlalu mengada-ada, dong!" Oskar membela diri. "Setiap orang pasti
pernah terpeleset, bukan" Bahwa aku mudah kehilangan keseimbangan, itu hanya
karena aku kurang makan coklat. Untung saja aku bawa persediaan."
Setelah suasana tenang kembali, mereka mendengarkan cerita Helga.
Selama setengah jam berikutnya mereka menunggu dengan tenang.
Thomas-lah yang pertama melihat mobil itu: sedan Mercedes milik Erwin Jocher
yang dikemudikan sendiri oleh petani kaya itu. Max duduk di sampingnya.
Mobil itu diikuti oleh mobil patroli yang berisi Komisaris Glockner, rekannya,
dan Harry Jocher. Kedua kendaraan itu berhenti di depan rumah Helga. Pak Glockner langsung masuk.
Setelah menegur anak-anak, ia berpaling pada Helga.
"Erwin dan Max Jocher ingin menghadiri rekonstruksi perbuatan Harry. Secara
pribadi saya tidak keberatan. Tapi sebagai pemilik rumah ini, Anda-lah yang
berhak menentukan apakah mereka boleh masuk atau tidak."
Helga nampak agak gugup. Dengan gelisah ia mempermainkan rambutnya yang panjang.
Setelah berpikir sebentar, ia akhirnya berkata, "Boleh saja. Saya tidak ingin
keadaan menjadi semakin parah. Kenapa sih, orang-orang itu tidak mau mengerti
bahwa satu-satunya yang saya inginkan adalah hidup dengan tenang di sini"!"
Pak Glockner mengangguk, kemudian menuju pintu untuk memanggil yang lain. Harry
Jocher masuk duluan. Bekas narapidana itu menundukkan kepala. Ia tak berani
menatap Helga. Tampang Max acuh tak acuh saja -seperti biasanya. Tapi Erwin Jocher tidak dapat
menyembunyikan perasaannya. Penuh dendam ia memelototi Helga.
Tanpa sadar Sporty melangkah maju untuk melindungi Helga. Teman-temannya tahu
persis: seandainya Pak Jocher membuat gerakan mencurigakan, maka Sporty akan
segera bertindak. Tapi Pak Jocher rupanya tidak berpikir ke arah itu. Tanpa
menunggu dipersilakan, ia langsung duduk di kursi tamu.
Tak seorang pun membuka mulut. Semua mata tertuju pada Harry Jocher.
Dasar bajingan! pikir Sporty. Ayah dan anak sama saja! Bah, aku jadi muak
melihat mereka. Tapi semua orang di desa ini-atau, hampir semua orang-takut pada
mereka. Erwin Jocher adalah tokoh terhormat di Lerchenbach. Dia bahkan dipilih
sebagai kepala desa. Aneh tapi nyata! Justru orang-orang seperti mereka yang
disegani. Masalahnya, berapa lama lagi mereka bisa bertahan di singgasana"
"Harry Jocher," ujar Komisaris Glockner. "Tolong jelaskan bagaimana Anda
memasuki rumah ini kemarin. Saya ingin tahu setiap langkah, setiap gerakan yang
Anda lakukan. Dan ruang mana saja yang Anda masuki. Oh ya, satu hal lagi: di
antara racun-racun yang dicuri dari apotek kemarin ada beberapa yang bisa
menembus kulit manusia. Artinya: melalui sentuhan saja racun itu sudah bisa
minta korban. Untung zat-zat beracun itu termasuk jenis yang tidak begitu
berbahaya. Silakan, Saudara Jocher!"
Sambil tergagap-gagap, Harry memberikan keterangan yang diminta-meskipun secara
berbelit-belit. Pemuda itu mulai dengan menceritakan bagaimana ia memecahkan
jendela, kemudian memanjat ke dalam.
Sporty mendengarkan setiap ucapan bekas narapidana itu dengan saksama. Setiap
gerakan Harry Jocher diperhatikannya secara cermat. Ternyata Harry berulang kali
melirik ke meja tulis Helga.
Pelan-pelan Sporty menoleh. Dengan kening berkerut ia memperhatikan meja antik
itu. Kata Pak Glockner, racun itu ada yang bisa menembus kulit manusia, ia berkata
dalam hati. Lalu kenapa Harry selalu melirik ke arah meja tulis" Pasti ada apa-apanya. Hmm,
bolpen emas itu" Buku-buku" Rasanya sih, tidak mungkin. Tapi...
Pandangan Sporty kini tertuju pada tumpukan amplop surat di atas meja.
Lem di bagian belakang! Yang harus dijilat untuk menutup amplop!
Sporty seperti tersengat listrik
"Pak Glockner!" ia langsung berseru tanpa mempedulikan Harry Jocher yang sedang
memberikan keterangan. "Saya tahu di mana dia menaruh racun itu!"
Harry langsung terdiam. Kini semua orang menatap Sporty. Anak itu bangun dari tempat duduknya. Dengan
dua langkah panjang dia sudah berada di samping meja tulis. Ia meraih tumpukan
amplop surat tadi dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Di sini! Pada lem di bagian belakang amplop! Ini yang kita cari! Begitu
Helga... Maaf! - Nona Ebert menyentuh lem ini dengan lidahnya, dia akan langsung
keracunan. Ayo, lebih baik mengaku terus-terang!" kata Sporty sambil melangkah
ke hadapan Harry. "Percuma saja Anda menyangkal. Pemeriksaan di laboratorium
akan membuktikan dugaan saya."
"Bohong! Fitnah!" teriak Harry. "Saya tidak menaruh apa-apa pada amplop-amplop
itu. Amplop-amplop itu bahkan tidak pernah saya sentuh. Apa-apaan ini"! Ayah,
mereka mau menjebak saya! Ini pasti sebuah jebakan!"
Ia mulai histeris. Rupanya sarafnya tidak tahan lagi.
"Saya tidak pernah mencuri racun dari apotek. Dan saya tidak pernah... Sini!
Biar saya buktikan sendiri!"
Secepat kilat ia merebut amplop-amplop itu dari tangan Sporty. Beberapa terjatuh
ke lantai. Tapi sisanya tergenggam di tangan kiri bekas narapidana itu. Tangan
kanannya mengambil salah satu, kemudian mendekatkannya ke mulut. Harry
menjulurkan lidah dan menjilat amplop itu-tanpa ragu-ragu sedikit pun.
"Hah! Rasanya lezat sekali! Sama sekali tidak ada racunnya."
Cepat-cepat ia menjilat amplop kedua, lalu yang ketiga. Amplop-amplop lainnya ia
lemparkan ke bawah. "Bagaimana, Komisaris Glockner" Apakah Anda percaya sekarang" Saya bukan
pembunuh! Saya... " "Nah, begitu dong!" Harry dipotong oleh ayahnya. "Orang yang paling bodoh pun
takkan ragu-ragu lagi: di sini tidak ada racun! Karena itu..."
Erwin Jocher tidak sempat meneruskan kalimatnya. Ia - dan semua orang di ruangan
itu -menatap Harry dengan mata terbelalak.
Waah pemuda itu tiba-tiba berubah menjadi pucat-pasi. Kedua matanya seakan-akan
mau copot. Mulutnya menganga lebar, seolah-olah hendak mengeluarkan bola tenis
yang tertelan. Pada saat yang sama, Harry meraih lehernya dengan kedua tangan.
"Aaaahhh..." ia mendesah. "Aduuuhhh... aku keracunan... "
Kemudian ia jatuh bagaikan pohon tumbang. Semua orang terbengong-bengong. Tak
ada yang menduga bahwa keadaan akan berkembang seperti ini.
Komisaris Glockner langsung bertindak.
"Nona Ebert! Cepat, telepon ambulans! Dan dokter, kalau memang ada dokter di
sini. Sporty, coba bantu saya sebentar."
"Kenapa anak saya?" teriak Pak Jocher. "Kalian meracuninya. Kalian telah


Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusun rencana busuk untuk..."
"Diam!" Komisaris Glockner menghardiknya.
Sporty, yang pernah mengikuti kursus P3K, langsung berjongkok di samping Harry.
Bekas narapidana itu terbaring di atas karpet dengan tubuh tertekuk. Ia masih
sadar. Dalam sekejap saja pakaiannya sudah basah-kuyup karena keringat. Ia
merintih-rintih dan memegang perutnya dengan kedua tangan.
"Aku... oooh... aku mau... aaah... mau muntah!!! Aku... oooh... aku pasti mati!"
"Jangan bicara dulu," ujar Sporty dengan tenang. "Sebentar lagi dokter datang."
Dengan sigap ia lalu memeriksa detak nadi Harry, yang ternyata normal saja.
Komisaris Glockner dan Sporty bertukar pandang. Sporty langsung mengerti.
Artinya: apakah dia hanya bersandiwara"
"Saya rasa tidak," Sporty menjawab pertanyaan yang tak terucap itu. "Sebab
dengan penampilan seperti ini, dia pantas menerima Piala Oscar."
Senyum melintas di wajah Pak Glockner. Polisi itu kagum pada kecerdikan Sporty.
Petra, Thomas, dan Oskar sebenarnya ingin membantu, tapi tidak ada yang bisa
mereka lakukan. Max Jocher duduk di atas kursi. Ia kelihatannya lebih tertarik
pada Petra ketimbang pada nasib kakaknya. Berulang kali ia melirik ke arah gadis
itu. Sementara itu, Pak Jocher marah-marah terus. Tapi tak seorang pun
mendengarkannya. Helga kembali dari telepon dan mengatakan bahwa dokter dan
ambulans akan segera tiba Keadaan Harry mulai stabil. Ia memang belum bisa
bangun, namun masih sanggup minta segelas air.
Akhirnya dokter-yang lebih mirip tukang jagal-datang, dan memeriksa Harry.
"Ah, ini tidak apa-apa," katanya sambil menyuntikkan sesuatu ke lengan Harry.
Tapi ternyata obat itu kurang manjur. Harry tetap mengerang-erang, sampai dua
petugas P3K menyerbu masuk. Dengan menggunakan tandu, mereka kemudian
mengusungnya ke mobil ambulans. Semenit kemudian pemuda itu sudah berada dalam
perjalanan menuju rumah sakit. Pak Jocher dan Max tentu saja ikut.
Helga, anak-anak STOP, Komisaris Glockner, dan rekannya, kini menghadapi suatu
teka-teki yang sukar dipecahkan.
"Dugaanmu ternyata benar," ujar Pak Glockner sambil memungut amplop-amplop surat
yang bertebaran di lantai. "Tiga sampul pertama telah diberi racun. Dan yang
lainnya mungkin juga. Pokoknya, semua amplop akan saya bawa ke laboratorium
untuk diperiksa. Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Sebenarnya hanya karena Harry Jocher terus-menerus melirik ke arah meja tulis.
Tadinya saya sangka ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Tapi sekarang saya
yakin bahwa semuanya hanya kebetulan belaka. Harry begitu gelisah sehingga tidak
berani berpandangan dengan kita. Begitu Anda berbicara mengenai jenis racun yang
dicuri dari apotek, saya langsung terbayang bahwa sebuah amplop surat paling
cocok untuk menaruh racun itu."
"Tebakanmu jitu sekali," ujar Pak Glockner sambil tersenyum simpul. "Tapi
sekarang saya percaya: Harry Jocher tidak tahu bahwa amplop-amplop surat itu
telah diberi racun. Saya yakin bahwa dia takkan berani mengambil risiko seperti
tadi, hanya untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Tapi dialah satu-satunya
orang yang masuk ke rumah ini. Kalau bukan dia yang menaruh racun itu, siapa
lagi?" Untuk sementara belum ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.
Kemudian Sporty berkata, "Barangkali Max ikut terlibat. Mungkin saja dia menaruh
racun tanpa sepengetahuan Harry, sementara kakaknya itu sedang memecahkan
terrarium-terrarium di ruang sebelah."
"Hmm." Pak Glockner nampak ragu-ragu.
"Saya tahu," ujar Sporty sambil mengangguk "Kedengarannya memang agak aneh.
Apalagi kalau mengingat sifat-sifat Max Jocher. Mana mungkin orang seperti dia
tidak bercerita dia berbuat sesuatu yang luar biasa."
Semuanya memeras otak. Sporty berjalan mondar-mandir sambil menundukkan kepala
mendekati jendela dan menatap keluar.
Tepat pada saat itu, seorang pengendara sepeda motor sedang melewati mobil
patroli yang parkir di depan rumah Helga. Orang itu duduk atas sepeda motor 750
cc buatan Jepang. Seluruh tubuhnya terbungkus pakaian kulit berwarna hitam. Ia
mengenakan kacamata gelap. Kepalanya tertutup helm berwarna merah.
Pengendara sepeda motor itu terus melaju sampai ke ujung jalan, membalik,
kemudian sekali lagi lewat di depan rumah Helga.
Kulit hitam! Helm merah! terlintas di kepala Sporty. Langsung saja ia membaca
pelat nomor sepeda motor itu, kemudian bergegas ke meja tulis dan mencatatnya
pada secarik kertas. "Hanya ada satu kemungkinan," Komisaris Glockner kini berkata. "Setelah Harry
Jocher masih ada orang lain yang memasuki rumah ini. Dan orang inilah yang
menaruh racun pada amplop-amplop surat. Masalahnya, siapa dia?"
Sporty tersenyum. "Hanya ada satu orang yang patut dicurigai, pencuri yang kepergok oleh Nona
Ebert ketika hendak memasuki toko barang antik di kota.
Komisaris Glockner mengangguk. "Sporty, kau memang berbakat sebagai reserse.
Saya juga sudah berpikir ke sana. Tapi... Apa itu di tanganmu?"
"Nomor polisi sebuah sepeda motor. Saya ingin minta tolong pada Anda untuk
mengecek siapa pemiliknya."
"Untuk apa?" "Orang itu kemarin sore nyaris menabrak seekor anak anjing. Di sini, di
Lerchenbach." Pak Glockner mengerutkan kening. "Itu memang perbuatan yang tidak terpuji. Saya
juga tahu bahwa anak-anak STOP sangat menyayangi binatang. Tapi alasan itu saja
belum cukup untuk mengadakan penyidikan resmi. Ayo Sporty, katakan terus-terang!
Ada apa sebenarnya?"
14. Yang Perlu Dibuktikan
SATU-SATUNYA rumah sakit di daerah sekitar Lechenbach ada di desa tetangga.
Harry Jocher segera diperiksa secara intensif. Isi perutnya dipompa keluar.
Setelah diberi pengobatan, Jocher muda itu diharuskan berbaring.
"Keadaan anak Bapak tidak gawat," ujar dokter yang merawat Harry pada Pak
Jocher. "Dalam beberapa hari lagi Harry pasti sembuh seperti sedia kala. Tapi
sekarang dia harus beristirahat penuh. Harry menelan obat beracun yang
pengaruhnya baru hilang setelah beberapa lama. Jika seseorang mencicipi obat
itu, maka takkan bisa bangun dari tempat tidur selama seminggu.
Dokter- itu masih bertanya bagaimana Harry bisa sampai keracunan, tapi Pak
Jocher menyuruhnya bertanya pada Komisaris Glock saja.
Tidak lama kemudian, ia bersama Max meninggalkan rumah sakit. Mereka kembali ke
Lerchenbach. Udara sangat panasnya seperti kemarin-kemarin. Pak Jocher
menggigit-gigit bibirnya dengan kesal. Sepanjang perjalanan ia mengomel terus.
"Di satu pihak," katanya dengan geram, "ini mungkin saja suatu peringatan bagi
Harry. Tapi di pihak lain, aku tidak bisa membayangkan bahwa polisi menggunakan
cara seperti ini. Ini adalah penganiayaan berencana. Tidak! Tidak mungkin!"
Max mengatakan bahwa ia juga tidak mengerti. Tapi pemuda tanggung itu lalu
menambahkan bahwa ini pasti bukan suatu perangkap. Sebab, siapa yang bisa
meramalkan bahwa Harry tiba-tiba mau menjilat amplop-amplop surat itu"
"Sekaligus tiga lagi! Aku rasa untuk selanjutnya Harry takkan berani menyentuh
amplop surat." "Coba kita lihat bagaimana hasil penyidikan polisi. Tapi mereka keliru kalau
menganggap bahwa si Ebert bisa tenang-tenang sekarang. Justru sebaliknya! Kita
tetap membuat api unggun nanti malam."
"Tapi, Ayah, dokter tadi bilang bahwa Harry arus beristirahat total. Mana
mungkin dia tampil sebagai tukang sihir" Apalagi menari-nari mengelilingi api
unggun!" "Kau yang akan menyamar sebagai tukang sihir! "
"Aku?"?" teriak Max kaget.
"Ya! Kau pasti bisa..."
"Tidak mungkin, Ayah! Aku kan harus membawa teman-temanku ke sana."
"Hmm, betul juga. Kalau begitu..."
Erwin Jocher terdiam. Mereka telah sampai di rumah. Dengan tajam petani kaya itu
menatap seseorang yang berdiri di samping gudang jerami. Orang itu adalah
Schilling-bekas pembantunya.
"Mau apa lagi dia?" Pak Jocher bergumam.
"Mau cari perkara!" jawab Max sambil nyengir.
Mereka turun dari mobil. Pelan-pelan Schilling mendekat ke arah mereka. Kelihatan jelas bahwa dia merasa
gelisah. Tapi dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya, dia menegakkan kepala
dan menghampiri bekas majikannya.
"Bapak melanggar janji," katanya setengah berbisik. "Bapak mau menipu saya.
Bapak pikir, Bapak orang paling penting dan berkuasa di desa ini, sehingga Bapak
bisa berbuat sesuka hati. Tapi Bapak keliru. Saya juga bisa bertindak. Kalau
Bapak tidak mau membayar 50.000 Mark yang Bapak janjikan dulu, maka saya akan
menceritakan kejadian sebenarnya pada semua orang!"
Tanpa berkata apa-apa lagi Schilling membalik dan melangkah pergi.
"Ayah, kelihatannya dia tidak main-main," Max bergumam sambil mengerutkan
kening. "Bajingan itu mencoba memeras aku. Hah! Rupanya dia tidak sadar dengan siapa dia
berhadapan. Baiklah! Dia sendiri yang memilih jalan ini. Kita akan memberi
pelajaran padanya. Ayo, Max! Masuk dulu!"
* Sporty tersenyum. "Saya baru saja menyusun sebuah teori baru. Pak Glockner. Memang ada kemungkinan
bahwa dugaan saya meleset jauh, karena hanya didasari atas kecurigaan, bukan
fakta. Tapi naluri saya mengatakan: pengendara sepeda motor berhelm merah tadi
adalah pencuri yang kepergok oleh Nona Ebert."
Thomas mengangguk-angguk. Oskar terbengong-bengong. Petra menatap ayahnya dengar
mata terbelalak. Dan Helga mengangkat bahu seakan-akan merinding.
"Apa alasanmu?" tanya Komisaris Glockner.
"Anda pasti sependapat dengan saya: kalau bukan Harry Jocher yang menaruh racun
itu, maka pelakunya pasti si pencuri yang sempat kepergok oleh Nona Ebert. Hanya
dia yang berkepentingan agar Nona Ebert disingkirkan - biarpun hanya untuk
sementara, sebab racun yang ada pada amplop-amplop surat tadi tidak mematikan.
Tapi pengaruhnya cukup untuk membuat seseorang harus berbaring di rumah sakit
selama seminggu-seperti yang baru saja kita dengar."
Yang dimaksud Sporty adalah pembicaraan telepon antara Komisaris Glockner dengan
pihak rumah sakit. Dokter yang merawat Harry Jocher mengatakan bahwa racun itu
cukup kuat, tetapi tidak sampai membahayakan jiwa.
"Sekarang kita andaikan bahwa bajingan itu ketangkap - berdasarkan gambar rekaan
polisi yang telah ada," Sporty melanjutkan penjelasannya. "Kalau Nona Ebert
terpaksa masuk rumah sakit selama satu minggu, maka dia tidak perlu khawatir
bahwa Nona Ebert akan mengenalinya."
"Tapi," Helga berseru, "kemarin belum -ada yang tahu apa-apa mengenai gambar
rekaan itu. Koran-koran baru hari ini memuat gambarnya."
Sporty mengangguk. "Masyarakat luas memang belum tahu. Tapi pencuri itu rupanya sudah tahu lebih
dulu. Dia - pengendara sepeda berhelm merah itu - kemarin sudah datang ke
Lerchenbach. Barbara Petermann yang menceritakannya pada Oskar dan saya, ketika
sedang mengurus anak anjing yang nyaris ketabrak. Dan tadi pengendara sepeda
motor itu datang lagi. Dia lewat pelan-pelan di depan rumah. Mungkin untuk
melihat apakah usahanya sudah berhasil. Begitu melihat mobil patroli di luar,
dia pasti menduga bahwa Nona Ebert telah masuk rumah sakit, dan bahwa polisi
sekarang sedang mengadakan penyidikan. Bahwa dia hanya bermaksud menyingkirkan
Nona Ebert untuk sementara waktu, itu menunjukkan bahwa dia bukan dari siniataupun dari kota. Kemungkinan besar dalam beberapa hari mendatang dia sudah
menghilang. Bagi dia sudah cukup kalau Nona Ebert tidak bisa dimintai keterangan
selama beberapa hari. Karena itulah dia mencuri berbagai jenis racun dari
apotek. Pada sore hari dia lalu datang ke sini. Pada waktu itu kami sedang
mencari buah arbei di hutan. Secara kebetulan, Harry Jocher baru saja mengobrakabrik rumah Nona Ebert. Mungkin saja si pencuri masih sempat melihatnya.
Pokoknya, dia segera memanfaatkan kesempatan emas itu untuk melaksanakan
rencananya. Setelah Harry pergi, dia masuk lewat jendela, menaruh racun itu pada
sampul-sampul surat, lalu kembali ke kota dengan memacu sepeda motornya. Pada
saat itulah dia nyaris menabrak anak anjing yang saya ceritakan tadi."
Semuanya mendengarkan penjelasan Sporty dengan penuh perhatian.
Kini Thomas ikut bersuara.
"Oke, Sporty! Penjelasanmu memang masuk akal. Tapi ada satu hal yang terlupakan.
Gambar rekaan polisi belum disebar-luaskan kemarin. Karena itu, si pencuri tidak
mungkin tahu bahwa Hel... bahwa Nona Ebert merupakan ancaman baginya. Dia bahkan
tidak tahu siapa wanita yang memergokinya ketika hendak memasuki toko barang
antik di kota." Sporty mengangguk. "Kau benar, Thomas. Tapi itu juga bisa kujelaskan. Dari mana bajingan itu tahu
siapa wanita yang memergokinya" Hanya dari Pak Feilberg, pemilik toko barang
antik itu. Dan pada siapa Pak Feilberg memberitahu nama dan alamat Nona Ebert?"
"Pada wartawan. Koran Sore!" Petra berseru.
"Arno Loewe." "Nah, aku berani taruhan bahwa Arno Loewe sebenarnya bukan wartawan," ujar
Sporty dengan yakin. "Hei, siapa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Pak Glockner. "Sebelum ini nama
Loewe belum pernah disebut-:sebut. Tolong jelaskan siapa orang itu."
Sebelum Petra selesai bercerita, rekan Komisaris Glockner sudah mengangkat
gagang telepon dan menghubungi Koran Sore. Setelah memperkenalkan diri, ia
bertanya apakah ada wartawan bernama Arno Loewe.
"Baiklah kalau begitu," ia bergumam. "Saya juga sudah menduganya. Terima kasih
banyak." Ia kembali berpaling pada yang lain.
"Koran Sore ternyata tidak pernah punya wartawan bernama Arnold Loewe!"
"Quod erat demonstrantum (Yang perlu dibuktikan!)," ujar Sporty.
"Tapi pasti bukan wartawan gadungan itu yang kepergok oleh saya," kata Helga.
"Memang bukan dia," Sporty membenarkannya, "tapi seorang rekannya. Arno Loewe,
atau entah siapa namanya, hanya datang untuk mengetahui seberapa jauh Anda bisa
membahayakan si pencuri. Coba kita ingat-ingat lagi! Kelakuan wartawan itu kan
memang agak aneh. Orang itu sama sekali tidak membuat catatan ketika
mewawancarai Anda. Dia malah sibuk mencicipi roti yang Anda buat. Ketika
mendengar bahwa saya tidak sempat melihat wajah si pencuri, dia langsung tidak
memperhatikan saya lagi. Kecuali itu, penampilannya kurang meyakinkan sebagai
wartawan. Dia malah seperti baru pulang dari pesta karnaval. Wajahnya
tersembunyi di balik kacamata, kumis, dan rambut gondrong. Saya yakin bahwa
tampangnya sebenarnya lain sama sekali."
Untuk sesaat suasana menjadi hening. Semua memikirkan kebenaran teori Sportytermasuk Sporty sendiri. Anak itu sekali lagi memeriksa urut-urutan
pemikirannya. Tapi ternyata ia tidak menemukan kesalahan.
"Teorimu menarik juga, Sporty," ujar Pak Glockner kemudian. "Dan saya pun
sependapat denganmu. Ralf," ia berpaling dan menyerahkan catatan Sporty pada
rekannya, "coba kita cek siapa pemilik sepeda motor tadi."
Rekannya kembali mengangkat gagang telepon. Kali ini ia terpaksa harus menunggu
agak lama sebelum. memperoleh hasil.
Lima menit kemudian ia mengumumkan, "Pemilik sepeda motor itu adalah seorang
makelar tanah bernama Arnold Lamm. Dia juga..."
"Lho!" Helga berseru. "Dia kan yang berminat membeli tanah saya."
Hal ini juga belum diketahui Pak Glockner dan rekannya, sehingga Helga langsung
menjelaskan duduk-perkaranya.
"Arnold Lamm," rekan Komisaris Glockner melanjutkan, "juga memiliki sebuah sedan
Opel dengan nomor polisi..." Ia membacakan catatan yang ia buat ketika menelepon
kantor polisi di kota. Sporty segera bereaksi. "Mobil itu berwarna abu-abu dan pada saat ini perlu dicuci. Ada gunanya juga
kalau kita bisa mengingat angka-angka. Saya yakin sekali: nomor itu terpasang
pada mobil Arno Loewe. Dan ini berarti: Loewe dan Lamm adalah satu orang."
"Kalau begitu," ujar ayah Petra, "Lamm hanya menelepon untuk mengetahui apakah
Nona Ebert sudah berhasil disingkirkan. Tapi, aneh.... Kenapa dia menyebutkan
nama sebenarnya" Mungkin dia memang benar-benar ditugaskan oleh Pak Jocher. Sebagai penghubung,
supaya Pak Jocher tidak perlu berurusan langsung dengan Anda, Nona Ebert.
Menurut teori Sporty, Lamm-alias Loewe-adalah rekan si pencuri. Berarti makelar
tanah itu ikut terlibat. Dan bahwa Pak Jocher memanfaatkan jasa seorang
bajingan, itu sih tidak aneh lagi. Nah, semuanya ini sangat mendukung teori
Sporty." "Wah, hebat juga!" seru Petra. Dan tiba-tiba saja ia bertepuk tangan.
Yang lain mengikuti contohnya, sehingga wajah Sporty menjadi merah karena malu.
Setelah suasana tenang kembali, Komisaris Glockner berdiri.
"Ada baiknya kalau kita mengunjungi Tuan Lamm itu," katanya. "Kemungkinan besar
dia sedang bersama si pencuri sekarang. Tidak ada salahnya kalau Anda ikut, Nona
Ebert. Barangkali saja Anda bisa mengenali orang itu."
Helga setuju. Anak-anak STOP juga kepingin ikut. Tapi kali ini Pak Glockner


Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeras, "Kalian lebih baik tinggal di sini saja. Keadaannya terlalu berbahaya.
Bajingan-bajingan itu pasti takkan menyerah begitu saja. Siapa tahu mereka
memiliki senjata api! Saya tidak bisa mengambil risiko. Nona Ebert juga akan
menunggu di kantor saja."
Sporty dan teman-temannya menyadari bahwa Pak Glockner takkan mengalah. Mereka
hanya melambaikan tangan ketika mobil patroli berangkat menuju kota.
15. Penyergapan di Tengah Malam
ARNOLD LAMM sedang duduk di kantornya. Sudah beberapa lama makelar tanah itu
sibuk menyusun kata-kata untuk sebuah iklan yang akan ia pasang di koran. Tapi
sampai sekarang ia belum menemukan kalimat yang tepat.
Tiba-tiba pintu membuka dan Kallweit masuk. Ia mengenakan pakaian kulit berwarna
hitam. Sebuah helm berwarna merah terjepit di bawah lengannya.
"Sepeda motormu aku parkir di pekarangan," katanya.
"Lama juga kau pergi," balas Arnold tanpa mengangkat kepala.
"Ya, aku jalan-jalan ke Lerchenbach. Di depan rumah si Ebert ternyata ada mobil
polisi. Rupanya jebakan kita sudah berhasil. Hehehe, dugaan kita tepat sekali:
wanita-wanita muda yang belum menikah pasti rajin mengirim surat. Dan aku berani
bertaruh bahwa polisi sekarang menghadapi teka-teki yang tidak bisa mereka
pecahkan." Ia nyengir lebar. Tapi tatapan matanya tetap dingin seperti es.
Arnold Lamm hanya mengangguk singkat, kemudian kembali menekuni pekerjaannya
sambil menggigit-gigit ujung pensil.
Kallweit pergi ke kamar sebelah untuk berganti pakaian.
Sekali lagi pintu depan membuka.
Wah, calon pembeli tanah, nih! pikir Lamm, lalu meletakkan pensilnya. Seorang
pria melangkah masuk sambil tersenyum. Ia diikuti oleh pria lain yang tidak
begitu ramah. "Selamat siang," ujar pria yang pertama. "Kami mencari rumah kontrakan." ..
Sambil berkata begitu, ia mengeluarkan tangannya dari kantong celana, lalu
menyodorkan tanda pengenal polisi ke bawah hidung Arnold Lamm-sekaligus memberi
isyarat agar makelar tanah itu jangan bersuara.
Orang kedua memegang sepucuk pistol. Dengan hati-hati ia mengendap-endap ke
pintu kamar sebelah dan mengintip ke dalam. Kemudian ia membuka pintu.
"Polisi! Jangan bergerak! Letakkan tangan Anda ke atas meja!" Tanpa menoleh,
Komisaris Glockner berkata pada rekannya, "Tidak salah lagi, Ralf! Ini orangnya.
Tampangnya persis seperti gambar rekaan yang kita buat. Dan dugaan Sporty juga
tepat. Orang inilah pengendara sepeda motor berhelm merah."
"Apa-apaan ini?" Arnold Lamm memprotes. "Polisi" Di rumah saya" Ada apa ini"
Seumur hidup saya belum pernah berurusan dengan polisi."
"Anggap saja ini sebagai pengalaman pertama, Tuan Arnold Lamm - alias Arno
Loewe," ujar rekan Pak Glockner sambil tersenyum dingin. Wajah makelar tanah itu
menjadi pucat-pasi. "Aduh, Rudi!" ia berbisik. "Habis deh, riwayat kita. Dan semuanya hanya garagara kau." Kallweit menggertakkan gigi. Tapi mengingat pistol yang terarah padanya, ia
tidak berani berbuat macam-macam ketika digeledah oleh Komisaris Glockner.
Petugas polisi itu mengeluarkan sebilah pisau dari kantong celana Kallweit, lalu segera memborgol tangannya.
Karena menyadari bahwa tidak ada harapan lagi, Arnold Lamm mencoba taktik baru.
Ia berusaha mengambil hati kedua petugas polisi itu dengan melemparkan semua
kesalahan pada Kallweit. Makelar tanah itu juga menunjukkan koper rekannya, yang
ternyata penuh barang curian - termasuk beberapa botol berisi racun. Dengan
demikian kesalahan Kallweit sebenarnya sudah terbukti. Meskipun begitu,
Komisaris Glockner tetap membawa bajingan itu ke kantor polisi dan
menghadapkannya dengan Nona Ebert.
"Ya, dia yang menyerang saya!" ujar Helga.
Kallweit menatap wanita muda itu dengan mata terbelalak. Komisaris Glockner
langsung bisa menebak pikirannya.
"Anda pasti menduga bahwa Nona Ebert kini terbaring di rumah sakit, bukan" Hah,
Anda keliru! Orang lain yang kena."
Kemudian rekan Pak Glockner mengantarkan Helga pulang ke Lerchenbach.
* Max Jocher melompat turun dari sepeda, menyandarkannya pada dinding hotel kecil
itu, lalu masuk ke dalam.
"Pak Schilling ada?" ia bertanya pada penerima tamu yang sedang terkantukkantuk. "Ehmmm" Oh, Pak Schilling" Ada, ada! Dia baru saja naik ke kamarnya - kamar
nomor empat." Max segera ke atas, kemudian mengetuk pintu nomor empat. Dari balik pintu
terdengar langkah mendekat. Schilling membuka pintu. Terheran-heran ia menatap
Max yang berdiri di hadapannya.
"Selamat siang!" ujar Max sambil berusaha untuk tidak nyengir. "Ayah menyuruh
saya ke sini untuk menyampaikan bahwa ia ternyata berubah pikiran. Anda memang
berhak menerima uang yang dijanjikan dulu-50.000 Mark! Ayah juga mau mengundang
Anda untuk ikut makan-makan nanti malam. Kami bikin api unggun untuk manggang
sosis. Di tempat piknik, di tengah hutan. Anda masih ingat tempatnya, kan"
Acaranya dimulai tepat tengah malam. Uangnya bisa Anda ambil sekalian. Tolong
jangan beritahu siapa-siapa-soalnya dilarang membuat api unggun di hutan. Tapi
asal hati-hati, saya rasa tidak apa-apa."
Schilling mengangguk. "Syukurlah ayahmu mau berubah pikiran. Tolong sampaikan pada ayahmu bahwa saya
akan datang tepat pada waktunya."
"Sampai nanti, deh!" kata Max. Pemuda tanggung itu menuruni tangga, kemudian
pulang naik sepeda. Ayahnya ternyata sudah menunggu di pekarangan rumah.
"Nah, bagaimana?"
"Schilling mau datang."
"Dia curiga?" "Sama sekali tidak! Si Dungu itu malah gembira."
"Hehehe," Pak Jocher terkekeh-kekeh, "berarti dia tidak sadar bahwa dia telah
masuk perangkap kita. Biar saja dia menyangka bahwa aku mau berdamai dengannya.
Setelah acara nanti malam, dia takkan berani macam-macam lagi."
Max langsung bersemangat.
"Tapi, bagaimana dengan urusan tukang sihir itu?" ia bertanya kemudian.
"Itu kita tunda dulu. Si Schilling harus kita bereskan. Dan untuk itu kita tidak
memerlukan saksi mata. Jangan lupa bawa pentungan karet nanti malam. Soal
upacara tukang sihir-lebih baik kita tunggu sampai Harry sudah sembuh."
* Begitu Helga kembali dari kantor polisi, ia langsung diserbu dengan berbagai
pertanyaan oleh anak-anak STOP. Secara singkat ia lalu bercerita. Sporty dan
teman-temannya gembira sekali ketika mendengar bahwa para penjahat telah
tertangkap. "Ini harus dirayakan!" kata Helga dan mengundang mereka untuk makan malam. Namun
sewaktu memeriksa isi lemari es, ia baru ingat bahwa semua makanan sudah
dibuangnya kemarin. "Kalau begitu, kita makan di luar saja. Kita ke KEDAI POS. Rumah makan itu
memang milik Erwin Jocher, tapi biasanya dia jarang sekali datang. Dan kecuali
itu, Bu Petermann-ibu Barbara - juga bekerja di sana. Kalian pasti ingin
berkenalan dengannya, bukan?"
Semuanya setuju. Bu Petermann ternyata sangat ramah terhadap mereka. Dan Bello pun menyukai
wanita itu - terutama setelah Bu Petermann membawakan sebuah tulang besar untuk
anjing itu. Selama satu jam, rombongan kecil itu menikmati hidangan sambil bergembira ria.
Dalam perjalanan pulang, Helga berkata, "Saya tadi sudah bercerita pada ayahmu,
Petra, bahwa Pak Jocher dan anak-anaknya sebenarnya merencanakan untuk membuat
upacara tukang sihir di hutan nanti malam. Dan juga bahwa tujuan mereka hanya
untuk menjelek-jelekkan saya di depan para penghuni desa yang lain. Tapi karena
Harry Jocher masuk rumah sakit, untuk sementara rencana mereka terpaksa batal.
Yang saya takutkan adalah bahwa kapan-kapan mereka mungkin teringat lagi."
"Berarti tugas kelompok STOP belum selesai," Sporty langsung menanggapinya.
"Begitu Harry Jocher keluar dari rumah sakit, kami akan bersiap-siap lagi."
"Terima kasih," ujar Helga sambil tersenyum. "Tapi jangan lupa: kalian kan
tinggal di kota. Bagaimana caranya kalian akan mengawasi segala gerak-gerik
Harry?" "Itu memang masih perlu kita pikirkan," jawab Sporty.
Selanjutnya, mereka mengisi waktu dengan berbagai permainan. Malam semakin
larut. Helga akhirnya mengatakan bahwa sudah waktunya untuk tidur. Ia
mengucapkan selamat malam, dan masuk ke kamar.
Setelah sikat gigi, Petra pun masuk ke tendanya. Bello ternyata sudah mendengkur
di dalam. Oskar juga segera tertidur. Tidak lama kemudian Thomas menyusul. Hanya Sporty
yang belum bisa memejamkan mata.
Tanpa bersuara, anak itu keluar dari tenda. Udara di luar masih terasa hangat.
Bintang-bintang gemerlapan di langit. Suara jangkrik-jangkrik terdengar sayupsayup. Sporty mengenakan baju olahraga berwarna biru tua. Cepat-cepat ia mengenakan
sepatu olahraganya. Ia melirik jam tangan: pukul setengah dua belas lewat
beberapa menit. Helga kelihatannya yakin sekali bahwa rencana keluarga Jocher terpaksa batal
karena Harry masuk rumah sakit, ia berkata dalam hati. Tapi sebaiknya dicek
dulu. Jangan-jangan Max mengambil alih tugas kakaknya.
Sporty bergegas ke arah hutan. Di bawah pepohonan, keadaan gelap-gulita. Tapi
naluri Sporty memang tajam - beberapa menit kemudian ia melihat cahaya menarinari. Setelah mendekat, ia melihat bahwa api unggun sudah menyala.
Sporty kembali ke tempat persembunyiannya. Ia tidak berani terlalu mendekat.
Pak Jocher dan Max duduk di depan api unggun. Apinya sengaja dibuat kecil.
Setengah dari tumpukan kayu telah disingkirkan. Ransel berisi pakaian tukang
sihir tidak nampak. Tapi Sporty melihat barang lain: dua buah pentungan karet.
Yang pertama dipegang Pak Jocher. Pentungan kedua berada di tangan Max.
"Aku ulangi sekali lagi," Pak Jocher kini berkata. "Begitu dia duduk, kau
langsung mendekatinya dari belakang. Lalu kau hajar kepalanya sampai dia
pingsan. Setelah itu, kita ikat si Tolol itu. Dan kalau siuman lagi, dia akan
menemukan bahwa telapak kakinya sudah sedikit gosong. Biar tahu rasa! Tapi
sekarang pentungan-pentungan ini harus kita sembunyikan dulu. Jangan sampai dia
curiga." Sporty menahan napas. Siapa lagi yang akan mereka jebak" ia bertanya dalam hati.
Tidak lama kemudian pertanyaan Sporty terjawab dengan sendirinya. Untung ia
masih sempat mengelilingi tempat itu. Begitu berada di belakang Pak Jocher dan
Max, cahaya sebuah senter nampak menembus kegelapan malam.
"Halo!" ujar Schilling sambil menghampiri bekas majikannya.
"Halo, Werner!" Pak Jocher berseru. "Selamat datang!"
Ia mengulurkan tangan dan Schilling menyambutnya dengan gembira. Mereka
bersalaman sambil tersenyum lebar. Max ikut-ikutan nyengir.
"Ayo, silakan duduk, Werner!" kata Jocher dengan suara semanis madu. "Di sini
saja, di samping saya. Sebentar lagi kita panggang sosis! Dari tadi kami hanya
menunggu sampai kau datang. Max, tolong ambilkan sebotol bir untuk Werner. "
Inilah isyarat bagi Max. Sementara Schilling duduk di samping Pak Jocher, Max
diam-diam mengambil pentungan karetnya. Ia menggenggamnya erat-erat, kemudian
menyelinap ke belakang Werner Schilling. Bekas pembantu Pak Jocher itu sama
sekali tidak menyadari bahwa Max telah mengambil ancang-ancang.
Sporty segera bertindak dan menangkap tengkuk Max. Pemuda: tanggung itu
berteriak kaget. Jocher dan Schilling langsung menoleh. Mereka masih sempat melihat Max berusaha
mempertahankan diri. Tapi melawan Sporty, si jago judo, ia tidak punya harapan
sama sekali. Pada detik berikutnya telah terbanting ke tanah dan tidak bangun lagi. Pentungan
karetnya terlempar ke semak-semak.
Namun kini Pak Jocher membuktikan bahwa dia bukan hanya kejam dan tak
berperikemanusiaan, melainkan juga cukup gesit. Secepat kilat petani kaya itu
telah meraih pentungannya. Dan sambil berdiri, ia mengangkat tangan tinggitinggi siap untuk melancarkan serangan maut.
Schilling masih terbengong-bengong. Sebelum sempat berbuat apa-apa, pukulan Pak
Jocher telah mendarat di bahunya. Schilling roboh sambil mengerang kesakitan.
Kini Pak Jocher telah berdiri. Sambil mengayunkan pentungan, ia mendekati
Sporty. "Hehehe, mau ke mana kau?" ia bertanya pada lawannya itu. "Kau takkan bisa kabur
dari sini. " Sporty mundur teratur. Tapi Pak Jocher segera mengejarnya. Ia terus melancarkan
pukulan, yang-walaupun tidak mengenai sasaran-cukup menguras tenaga. Napasnya
mulai tersengal-sengal. Tiba-tiba saja ia terpeleset dan jatuh. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Sporty. Dengan menggunakan teknik judo, ia membanting
Pak Jocher ke tanah. Pria itu mendarat dengan keras, lalu berguling ke samping
-maksudnya untuk menghindari serangan berikutnya.
Tapi itu suatu kesalahan besar! Sebab tanpa disadari, pantatnya justru mengenai
bara api. Pak Jocher berteriak-teriak. Ia berusaha bangkit, tapi kakinya tidak
mau diajak kompromi. Sementara itu, Schilling telah berdiri lagi. Lengan kanannya menggantung tak
bertenaga. Belakangan baru diketahui bahwa tulang selangkanya patah.
"Saya... saya tidak mengerti," ia tergagap-gagap. "Apa... artinya ini semua?"
"Kebetulan saja saya mendengarkan pembicaraan antara Pak Jocher dengan Max,"
jawab Sporty. "Saya mendengar rencana yang mereka siapkan untuk Anda. Max
seharusnya memukul Anda sampai pingsan. Kemudian Anda akan diikat, dan kaki Anda
akan dipanggang di api unggun. Supaya Anda tahu rasa-begitu kata Pak Jocher. Ada
apa sebenarnya, Pak Schilling?"
Wajah Schilling menjadi pucat.
"Sekarang saya baru mengerti," ia bergumam. "Mereka berusaha menjebak saya. Tadi
siang Pak Jocher memang sudah mengancam saya. Dia bilang, saya akan menyesal
kalau berani melawan dia. Dan sekarang, dia sekali lagi mau menggertak saya.
Tapi kali ini dia salah perhitungan. Kali ini saya tidak akan diam lagi."
Sporty membantunya untuk berdiri.
"Masalahnya sederhana saja, Nak," Schilling lalu berkata. "Mungkin kau sudah
mendengarnya. Dua tahun lalu, seorang penduduk Lerchenbach - bernama Herbert
Petermann tertabrak mobil sehingga meninggal. Saya dibawa ke depan pengadilan
dan dijatuhi hukuman penjara selama dua puluh bulan. Padahal bukan saya yang
menabrak Pak Petermann. Jocher-Erwin Jocher, tokoh terpandang, petani kaya
merangkap kepala desa-dialah yang membunuh Pak Petermann! Jocher dulu baru
pulang dari kedai minum. Pada waktu itu dia sedang mabuk berat. Setelah menabrak
Pak Petermann, dia melarikan diri dan langsung mencari saya. Dia mengimbau agar
saya yang mengaku sebagai penabrak pria malang itu. Dia menawarkan 50.000 Mark
untuk itu. Saya setuju saja. Habis, 50.000 Mark bukan jumlah yang kecil-apalagi
bagi saya. Setelah menyerahkan diri ke polisi, saya diadili dan masuk penjara.
Baru kemarin saya dibebaskan. Tapi ketika saya minta imbalan pada Jocher, dia
malah menertawakan saya. Tak seorang pun akan mempercayai saya, katanya. Kecuali
itu, Jocher juga mengancam saya. Rupanya dia takut juga bahwa kejahatannya akan
terbongkar." "Pak Schilling, ingin rasanya saya merangkul Anda!" seru Sporty gembira.
"Akhirnya kedoknya terbuka. Sekarang tak bakal ada lagi yang mau percaya pada
cerita-cerita bohong yang dia sebarkan mengenai Nona Ebert. Pak Schilling,
tolong segera ke rumah Nona Ebert! Anda harus segera menelepon polisi. Komisaris
Glockner pasti gembira kalau mendengar berita ini."
"Dengan senang hati," jawab bekas pembantu Erwin Jocher itu. "Dan terima kasih
banyak, Nak. Kau telah menyelamatkan saya."
Sporty mengangkat pentungan karet yang tergeletak di tanah dan mengayunayunkannya. Setengah mengancam ia berkata pada Jocher dan anaknya, .
"Awas kalau berani macam-macam! Saya takkan segan-segan menggunakan kekerasan."
* Kejadian malam itu sungguh di luar dugaan Helga. Polisi datang dan menangkap
Erwin serta Max Jocher. Kebenaran akhirnya terungkap juga. Ketika menyadari
bahwa tak ada jalan keluar lagi, Pak Jocher mengakui semua perbuatannya. Ia juga
mengaku telah menyebarkan cerita-cerita bohong mengenai Helga-sebagai balas
dendam atas kesaksian yang membawa Harry ke penjara, sekaligus agar ia bisa
membeli tanah wanita muda itu dengan harga murah. Berita itu segera tersebar ke
seluruh pelosok desa. Salah seorang yang paling cepat mendengarnya adalah Ute
Petermann. Di hadapan hakim, Pak Jocher dihukum tiga tahun penjara. Dan Harry pun masuk bui
lagi. Yang beruntung adalah Ute Petermann dan Barbara-anaknya. Pengadilan
menentukan bahwa Erwin Jocher harus membayar sejumlah uang padanya. Uang itu
memang tidak bisa menghidupkan Pak Petermann kembali, tapi setidak-tidaknya
cukup untuk membiayai pendidikan Barbara.


Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kallweit dan Lamm juga menghabiskan tahun-tahun berikutnya di balik dinding
penjara. Keadaan di Lerchenbach kembali tenang seperti dulu. Banyak orang kini merasa
menyesal karena telah mempercayai cerita-cerita yang disebarkan oleh Jocher.
Tetapi yang paling lega adalah Helga. Sebagai tanda terima kasih, ia
menghadiahkan sebuah perahu dayung pada anak-anak STOP.
"Tidak ada yang lebih baik untuk perjalanan menyusuri sungai!" seru Sporty
dengan gembira. "Tapi... Apa kita bisa menerima hadiah itu?" tanya Thomas ragu-ragu.
"Ah, jangan malu-malu," ujar Oskar. "Kita harus cari nama untuk perahu kita!
Bagaimana dengan HEXE alias Tukang Sihir?"
"Ya ampuh, Oskar!" ujar Petra sambil ketawa. "Apa kau tidak bisa mencari nama
yang lebih baik?" Selesai Patung Dewi Kwan Im 4 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Topeng Kedua 1

Cari Blog Ini