Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani Bagian 4
kantor Kedutaan Besar Israel yang memang berada di
depan kampus. Di depan kantor kedutaan itu sudah berdiri
tentara-tentara khusus yang mulai menembaki mereka dan
menyemprotkan gas air mata. Asap tebal mulai membubung hingga menutupi pemandangan. Seketika,
bergema suara letusan peluru yang menyerbu semakin
deras. Thaha al-Syadzili mengikuti demonstrasi sejak siang.
Akhirnya, ia berhasil lari ketika polisi mulai membubarkan
para mahasiswa di depan kantor kedutaan Israel.
Sesuai kesepakatan, Thaha pergi menuju kafe Al-Borg di
taman Seyyedah Zeinab untuk bertemu beberapa ikhwan
lainnya. Setelah berkumpul, Thahir yang memimpin
pertemuan evaluasi aksi hari itu berkata dengan suara sedih,
"Para pengecut itu telah menggunakan gas air mata untuk
menciptakan kepanikan dan menembaki mahasiswa dengan
peluru tajam. Saudara kita Khalid Harbi dari fakultas
hukum telah meninggal. Kita doakan semoga Allah
mengampuninya dan memeluknya dengan kasih sayang,
memuliakan dirinya dengan surga atas izin-Nya."
Semua kemudian membaca surah Al-Fatihah untuk
Khalid yang syahid. Seketika mereka dikuasai perasaan
cemas dan takut. Thahir menjelaskan kepada mereka
tentang apa yang harus dikerjakan besok: menghubungi
kantor berita untuk menegaskan meninggalnya Khalid
Harbi dan memberitakan keluarga tahanan yang merasa
bersedih kehilangan anak mereka, lalu menggelar kem-bali
demonstrasi di tempat yang tidak diprediksikan sebelumnya
oleh aparat keamanan. Tugas Thaha al-Syadzili adalah membuat pamflet
dinding dan menempelkannya di dinding-dinding kampus.
Ia sudah membeli beberapa alat tulis, lem, serta kertas yang
relatif tebal dan kuat. Untuk menyelesaikan pekerjaannya,
ia mengunci diri di kamar besinya yang berada di atas atap
Apartemen yacoubian hingga hampir subuh.
Setelah Thaha menyelesaikan puluhan lembar pamflet, ia
tidur karena besok sudah harus pergi pukul tujuh. Terlebih
dahulu Thaha melaksanakan salat dua rakaat lalu
memadamkan lampu. Seperti biasa, ia selalu berdoa
menjelang tidur. "Ya Tuhan, aku menyembah-Mu, menghadap kepadaMu dan kupasrahkan seluruh permasalahanku kepada-Mu
karena cinta dan takut kepada-Mu. Tidak ada keselamatan
dan tempat berlindung kecuali Engkau. Ya Allah, aku
percaya kepada Kitab yang Engkau turunkan dan Nabi
yang Engkau utus." Ia sudah terlelap dalam tidur yang pulas. Sejenak
kemudian ia bermimpi hingga akhirnya tersadar ketika
mendengar suara aneh. Matanya mulai terbuka dan
telinganya mendengar derap kaki bergerak di dalam gelap
kamarnya. Seketika lampu menyala dan terlihat tiga
manusia berperawakan besar berdiri tepat di depan tempat
tidurnya. Salah satunya mendekat dan menamparnya lalu
memegang kepalanya, memutarnya ke arah kanan dengan
kasar. Remang-remang Thaha melihat seorang perwira
muda. Perwira itu menanyainya dengan gertakan, "Kamu
Thaha al-Syadzili?" Thaha tidak menjawab. Seketika pukulan mendarat di
wajahnya lebih keras lagi. Perwira itu mengulangi
pertanyaannya. Thaha pun menjawab dengan suara keras,
"ya!" Perwira itu tersenyum seakan menantang. "Apa
kabarmu, anak pelacur?"
Pertanyaan itu ibarat isyarat. Lalu, pukulan demi
pukulan meluncur ke arah Thaha. Anehnya, tak sedikit pun
Thaha membela diri atau menjerit, meski memar wajahnya
sudah sedemikian parah. Para perwira itu lalu menyeret
Thaha keluar kamar. Di antara puluhan pelanggan yang memenuhi restoran
kebab (sate) Hotel Sheraton, Kairo, hanya sedikit sekali
terdapat orang pribumi-biasanya mereka orang-orang yang
sedang menemani kekasih, istri, atau anak-anak mereka
pada waktu libur untuk mencicipi kebab. Mayoritas
pengunjung adalah para elite masyarakat; pebisnis kaya,
menteri, gubernur atau mantan pejabat. Mereka datang ke
restoran itu untuk sekadar makan dan berkumpul, jauh dari
sorotan media massa dan paparazzi. Tempat itu dijaga
polisi berlapis-lapis, ditambah pengawal pribadi yang setia
mengikuti setiap orang penting yang datang. Restoran
kebab Sheraton memainkan peran yang sama dengan klub
mobil bagi para politisi Mesir sebelum revolusi. Beberapa
kebijakan politik, transaksi-transaksi, serta undang-undang
yang berpengaruh bagi kehidupan jutaan rakyat Mesir
dibahas dan disepakati di situ, di atas meja makan yang
dipenuhi menu lezat. Perbedaan restoran kebab dengan klub mobil menggambarkan secara rinci perubahan yang terjadi pada
para tokoh Mesir yang berkuasa antara pra dan
pascarevolusi. Bagi para menteri dan bangsawan pada masa
lalu, dengan pendidikan dan etika Barat yang kuat, klub
mobil memang pantas untuk mereka. Mereka bisa
menghabiskan malam ditemani istri-istri mereka yang
mengenakan gaun malam yang mewah, menenggak wiski
dan bermain poker atau permainan kartu lainnya. Adapun
elite politik sekarang, yang mayoritas berpendidikan lokal
serta konsisten dengan aspek-aspek normatif agama dan
enggan menikmati makanan terlampau mewah, restoran
kebab memang cocok bagi mereka. Mereka makan kebab
berkualitas tinggi, kuftah (daging giling), burung dara bakar,
minum teh dan mengisap shisha dengan rasa sesuai selera.
Mereka menikmati makanan, minuman, serta rokok
sembari membicarakan masalah uang dan proyek pekerjaan
yang tak pernah berhenti.
Kamal al-Fuli meminta Haji Azzam untuk bertemu di
restoran kebab Sheraton. Azzam datang lebih awal bersama
anaknya, Fawzi. Keduanya duduk, mengisap shisha dan
minum teh hingga Kamal al-Fuli datang ditemani anaknya,
yasser al-Fuli dan tiga pengawal mereka. Mereka terlebih
dahulu melihat suasana dan memeriksa tempat itu, lalu
salah satu pengawal mereka mengisyaratkan kepada Kamal
al-Fuli untuk mencari tempat lain. Al-Fuli mengiyakan lalu
menemui Azzam dan menyambutnya.
"Maaf, kita sebaiknya mencari tempat lain. Di sini terlalu
luas dan terbuka." Haji Azzam menyetujui. Ia bangkit bersama anaknya.
Mereka lalu menuju tempat yang telah ditentukan oleh si
pengawal, di ujung restoran yang berdekatan dengan
pancuran air. Mereka duduk di sana. Para pengawal
menjauh agar tidak mendengar jalannya pembicaraan.
Pembicaraan lalu dimulai dengan saling menanyakan
kabar, keluarga, keluhan pekerjaan yang semakin menumpuk, dan basa-basi lainnya.
"Argumentasi Anda di parlemen melawan iklan-iklan
amoral yang beredar di televisi cukup menawan dan
berhasil memengaruhi persepsi masyarakat," kata Kamal
melanjutkan pembicaran. "Terima kasih, Kamal Bey. Anda yang memiliki gagasan
itu," ujar Azzam. "Keinginan saya, masyarakat mengenal Anda sebagai
anggota parlemen yang baru. Syukurlah karena semua
media massa sudah menulis tentang Anda."
"Tuhan yang mampu membalas kebaikan Anda."
"Maaf, Tuan. Anda adalah saudara yang baik. Tuhan
mengetahuinya." "Lihatlah, Kamal Bey! Televisi-televisi sekarang menanggapi pendapat saya ini dan memblokir iklan-iklan
rendahan." Kamal al-Fuli dengan bersemangat menanggapi, "Tanggapan yang baik. Saya sudah katakan kepada Menteri
Penyiaran di dalam rapat: eksploitasi ini tidak mungkin
terus berlangsung. Kewajiban kita melindungi etika
keluarga di negara kita. Siapa yang sudi anak atau saudara
wanitanya menari-nari sensual di televisi atau di mana pun"
Bukankah di Mesir sendiri ada lembaga agama Al-Azhar?"
"Saya heran dengan wanita-wanita yang tampil nyaris
telanjang di televisi. Di mana keluarga mereka" Di mana
ayah, ibu, dan saudara mereka" Mengapa mereka dibiarkan
tampil serendah itu?"
"Saya tahu Nahwat Rakhat membiarkan tunangannya
menjadi seorang germo. Rasulullah melaknat para germo."
Haji Azzam mengangkat kepalanya dan berkata dengan
perangai seorang saleh. "Tempat para germo adalah neraka jahanam, sega-nasganasnya tempat. Semoga Allah melindungi kita."
Semua percakapan di atas hanyalah sekadar pembuka.
Tak jauh dari basa-basi yang nyinyir, layaknya pemain
sepak bola yang harus melakukan pemanasan sebelum
memulai permainan. Ketegangan sudah menghilang
sekarang dan kehangatan mulai merayap di tengah
pertemuan itu. Kamal al-Fuli mendoyongkan kepala ke
depan sambil tersenyum, lalu berkata penuh misteri dan
makna. Dia menggerakkan saluran pengisap shisha di
antara jemarinya yang kuat.
"Saya lupa mengucapkan selamat kepada Anda."
"Semoga Allah memberkati Anda, tapi selamat atas
apa?" "Karena Anda menerima agen perwakilan mobil Jepang
itu." "Oh. Azzam mengulangi kata-katanya dalam ketercenu-ngan
dengan suara yang melirih. Matanya memperlihatkan
keterkejutan. Ia menarik napas pelan melalui shisha agar
ada kesempatan untuk berpikir, lalu menimbang setiap
ucapan yang akan ia lontarkan. "Proyek ini belum berjalan,
Kamal Bey. Saya belum mengajukan diri sebagai importir
dan pihak Jepang masih dalam tahap meneliti. Bisa jadi
mereka menerima atau malah sebaliknya. Doakan saja
saya." Kamal al-Fuli tertawa keras, seraya menepukkan
tangannya di pundak Haji Azzam dan berkata dengan nada
yang hangat, "Hai, lelaki tua! Begitukah Anda berbicara
dengan saya" Tidak begitu kejadiannya, Tuan. Anda
menerima mereka minggu ini dan faksimili persetujuan
sampai kantor Anda hari Kamis. Bagaimana pendapat
Anda?" Azzam memandangnya dengan terdiam, sementara
Kamal al-Fuli meneruskan kata-katanya dengan serius,
"Dengar! Nama saya Kamal al-Fuli. Saya setajam pedang.
Saya berkata hanya sekali dan saya pikir Anda sudah
mendengarnya." "Semoga Tuhan memberkati Anda."
"Saya katakan untuk yang terakhir. Dealer ini
keuntungannya melampaui 300 juta pound setahun. Tentu
Tuhan lebih tahu. Saya berharap kebaikan untuk Anda.
Akan tetapi, jumlah itu terlalu besar untuk dimakan
sendiri." "Maksud Anda?" Azzam melontarkan kata-kata itu dengan tegas dan
tajam. Kamal al-Fuli menjawab sembari mengarahkan
pandangannya yang nyalang. "Tidak baik jika Anda
memakannya sendiri. Kami minta seperempat."
"Seperempat apa?"
"Seperempat keuntungan, Haji."
"Anda ini siapa?"
Kamal al-Fuli tertawa lebar.
"Pertanyaan apa ini" Hai, Haji, Anda anak negeri ini
yang tahu bagaimana permainan berjalan di sini."
"Sebenarnya keinginan Anda apa?"
"Saya berbicara atas nama 'orang besar' di negeri ini.
'Orang besar' meminta untuk bergabung di dalam
perkongsian ini dan mengambil seperempat keuntungan.
Anda tahu, 'orang besar'jika meminta harus dikabulkan."
"Bencana tidak pernah datang begitu saja." Haji Azzam
mengulang kata-kata itu ketika mengingat pertemuan hari
itu. " Ia meninggalkan Sheraton pukul sepuluh malam setelah
menerima permintaan Kamal al-Fuli. Ia terpaksa menyepakati karena "orang besar" yang disebut Kamal
sangat kuat meski ia merasa pahit jika harus memberinya
seperempat keuntungan yang dihasilkan. Sebuah proyek
besar yang membuatnya lelah dan menghabiskan jutaan
pound, tapi tiba-tiba "orang besar" itu datang dan meminta
seperempat keuntungan. Ini perampokan, batinnya, seraya
berpikir solusi apa untuk menghentikan kelaliman ini.
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika mobil sampai di depan rumahnya di Mohandessen, ia menoleh ke arah Fawzi. "Pulanglah ke rumah
dan katakan kepada ibumu, malam ini aku akan menginap
di luar. Aku harus melakukan lobi soal Kamal al-Fuli."
Fawzi menundukkan kepala, hanya diam dan turun di
depan rumah setelah mencium tangan ayahnya. "Insya
Allah besok kita bertemu di kantor pagi-pagi."
Haji Azzam membaringkan badannya di jok mobil agar
lebih santai. Ia menyuruh sopir untuk berputar menuju
Apartemen yacoubian. Ia lama tak bertemu Suad sejak
disibukkan bisnis perwakilan mobil Jepang. Wajahnya
menyeringai membayangkan Suad akan terkejut dengan
kedatangannya. Bagaimana dia akan menyambutnya" Apa
yang sedang ia lakukan sekarang" Alangkah rindunya
menikmati malam dengannya. Malam yang memerdekakannya dari keresahan dan membuatnya terjaga
dengan kesegaran dan keceriaan. Sengaja ia tak menghubungi Suad lebih dulu. Ia ingin memberikan kejutan
dan melihat bagaimana Suad akan menyambutnya nanti.
Sopir telah memarkir mobil. Haji Azzam menaiki
tangga. Ia memasukkan dan memutar kunci dengan pelan.
Ketika masuk ke ruang tamu, seketika terdengar suara
derap kaki melangkah dan kemudian berhenti. Azzam
menemukan Suad sedang duduk di atas sofa dengan
mengenakan gaun tidur merah, rambutnya disanggul, dan
wajahnya dipoles dengan krim. Suad rupanya sedang
menonton televisi. Ia melihat kedatangan Azzam dengan
terkejut, lalu beranjak dari tempat duduk dan memeluknya,
"Begini, ya, caranya" Setidaknya Anda memberitahuku
sehingga aku bisa mempersiapkan diri. Tidak dengan
penampilan seburuk ini."
"Tidak, Suad, kamu cantik serupa rembulan."
Haji Azzam membisikkan kata-kata pujaan, merengkuh
Suad dan memeluknya dengan erat sekali, seolah sudah
lama sekali tak bertemu. Suad merasakan rangsangan ibarat
sengatan listrik, tapi menarik kepalanya ke belakang dan
berkata dengan mimik merayu, "ya, beginilah Anda! Dalam
setiap hal suka melompat. Tunggu sebentar saya buatkan
Anda suguhan dan saya mandi dahulu."
Malam berlalu seperti biasa, Suad menyiapkan batu
arang untuk shisha, sementara Haji Azzam menunggu di
sofa seraya mengisap hashis.
Suad mulai mempersiapkan diri. Ia bergegas ke kamar
mandi, melepas bajunya dan membersihkan diri. Keduanya
lalu tidur bersama. Azzam adalah satu di an-tara banyak
lelaki yang terbiasa mengusir keresahan yang menekan
dirinya dengan seks. Ia memperlakukan Suad malam itu
dengan kehangatan yang membara, lebih dari biasanya.
Setelah semuanya terpuaskan, Suad menciumi Azzam,
berbisik dalam posisi hidung keduanya bertemu, "Tubuhku
sekarang jadi berminyak!"
Lalu Suad tertawa, menyandarkan diri di kepala tempat
tidur sambil berkata dengan mimik muka yang begitu
bahagia, "Sayang, aku akan mengatakan sesua-tu."
"Sesuatu apa?" "Ah, Anda melupakannya cepat sekali. Tentang sesuatu
di mana Anda pernah mengatakan sungguh mencintaiku."
"Oh, ya, benar! Ceritakanlah, sebab malam ini pikiranku
penuh dengan hal lain. Sayang, ceritakan kepadaku tentang
sesuatu itu." Suad memutar wajahnya memandangi Azzam, wajahnya menampakkan aura senyum.
"Hari Jumat aku pergi ke dokter." "Dokter" Bagus kalau
begitu." "Aku merasa lelah."
"Semoga Tuhan lekas memberikan kesehatan." Suad
tertawa saja, meralat ketidakpahaman Azzam. "Tidak.
Lelahku adalah lelah yang membahagiakan." "Aku tidak
paham." "Selamat, Kekasihku. Aku hamil dua bulan."
Sebuah truk besar diparkir di depan Apartemen
yacoubian malam itu. Flat-flat terkunci, kecuali beberapa
yang terbuka bagian jendela dengan tirai gorden yang
membentuk benang-benang. Para tentara itu menyeret
Thaha al-Syadzili. Mereka meninjunya dan menendangnya
dengan sepatu-sepatu lars mereka. Sebelum memasukkan
Thaha ke dalam truk, terlebih dahulu mereka menutup
matanya dengan kain, serta membelenggu kedua tangannya
ke belakang dengan borgol yang membuat tangan-nya
terkoyak oleh besi yang melingkarinya.
Truk itu telah penuh dengan para tahanan yang
sepanjang jalan tidak henti-hentinya meneriakkan, "La itaha
Mallah! Islamiyyah, Islamiyyah seakan-akan dengan
teriakan itu mereka bisa meredam ketakutan dan tekanan.
Tentara itu membiarkan saja mereka berteriak-teriak.
Mobil berjalan cepat dan tak teratur. Berkali-kali para
tahanan itu terbentur dan jatuh bangun. Sampai di suatu
tempat, terdengar suara pintu besi terbuka. Truk mulai
menderap masuk ke sebuah bangunan dengan pelan, lalu
berhenti. Pintu belakang truk dibuka dan seketika para
tentara berteriak mencaci, mengambil alat pemukul, dan
menghantam tahanan-tahanan itu tanpa ampun hingga
mereka roboh satu persatu. Dalam kondisi mereka yang tak
bisa melawan, tiba-tiba saja terdengar gonggongan anjing
polisi yang menyergap dan menyerang mereka. Thaha
bersusah payah menjauh dari anjing-anjing itu, tapi tiba-tiba
seekor anjing besar menerkam dan menjatuhkannya.
Anjing itu mulai mencakari wajah Thaha dan menggigit
tubuhnya. Thaha berguling-guling di tanah untuk melindungi diri dari gigitan anjing. Ia berpikir jangan
sampai anjing itu membunuhnya meskipun jika ia mati,
Allah akan menghadiahinya surga.
Thaha membaca ayat-ayat Alquran dan mengingat
nasihat khotbah Syekh Syakir. Rasa sakit pada tubuhnya
sudah mencapai puncak, tapi kemudian rasa itu meng-hilang sedikit demi sedikit. Seketika anjing-anjing itu
menjauhinya seakan-akan mendapatkan perintah. Sebagian
tahanan masih dalam keadaan pingsan. Ketika mereka
sedikit tersadar, mereka sudah harus mendapatkan siksaan
lagi dengan pukulan-pukulan yang menyakitkan.
Dengan mata yang tetap tertutup, Thaha digiring ke
koridor yang lumayan panjang, kemudian memasuki
sebuah ruangan lebar. Udara di dalamnya pengap oleh asap
rokok. Dia mulai membeda-bedakan suara tentara yang
duduk menungguinya. Mereka saling berbicara dan kadang
tertawa. Salah satu di antara mereka bangkit, menampar
tengkuk Thaha lalu berteriak tepat di muka-nya, "Namamu
siapa, brengsek?" "Thaha Muhammad al-Syadzili."
"Siapa" Saya tidak dengar!"
"Thaha Muhammad al-Syadzili." "Angkat suaramu,
bajingan!" Thaha menjerit dengan suaranya yang paling keras
sembari menahan siksaan, tetapi tentara itu terus memukuli
dan menanyainya lagi. Berulang-ulang. Lalu, pukulan dan
tendangan menghujaninya hingga ia jatuh terkapar
beberapa kali. Mereka lalu membangkitkannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang tenang dan percaya diri.
Suara yang tidak akan Thaha lupakan sampai kapan pun.
"Sudah. Sudah cukup sekarang. Anak ini tampangnya
cerdas dan pintar. Ke sini, Nak. Mendekatlah kemari."
Mereka mendorong Thaha ke arah datangnya suara yang
Thaha yakini sebagai pemimpin mereka. Ia duduk di kursi
yang terletak di tengah ruangan itu.
"Namamu siapa?"
"Thaha Muhammad al-Syadzili."
Dia menjawab sebisanya karena suaranya sulit keluar.
Dia merasakan darah segar di mulutnya.
"Thaha, sungguh kamu sebetulnya anak yang baik.
Mengapa kamu melakukan ini semua" Kamu belum
merasakan siksaan yang lebih hebat. Kamu lihat tentaratentara itu" Mereka akan memukulimu sampai malam lalu
mereka pulang ke rumah, yang lain memukulimu lagi
sampai pagi. Tentara-tentara itu kembali lagi pada pagi hari
dan akan memukulimu sampai malam lagi. Kamu ingin ini
diteruskan" Jika kamu mati karena pukulan, kami akan
menguburmu di sini. Kamu tidak bisa melawan kami,
Thaha. Kami adalah negara. Kamu bisa melawan negara,
Thaha" lihatlah musibah yang menimpamu. Dengarkan,
Nak. Maukah kamu kukeluarkan sekarang" Kedua orangtuamu tentu cemas memikirkanmu."
Kalimat terakhir yang diucapkan perwira itu menyentak
dadanya, seketika Thaha merasakan getaran yang kuat. Ia
mencoba tegar, tetapi gagal. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara parau lalu suara tangis yang
memanjang. Perwira itu mendekatinya, menepuk dadanya,
"Tidak, Thaha. Tidak perlu menangis. Dengarkan katakataku. Jelaskan kepada kami informasi tentang organisasi
yang kamu ikuti dan dengan kemurahanku kamu akan
segera keluar. Bagaimana menurutmu?"
Thaha berteriak, "Saya tidak tahu organisasi itu!"
"Lalu, mengapa kamu menyimpan dokumen dunia
keislaman?" "Saya hanya membacanya."
"Tapi, itu adalah buku panduan organisasi. Ayolah,
Thaha, Tuhan memberimu petunjuk. Katakan kepadaku
apa peranmu dalam organisasi itu."
"Saya tidak tahu organisasi itu!"
Seketika pukulan demi pukulan menghujaninya. Thaha
merasakan kesakitan sudah mencapai puncaknya untuk
kesekian kali. Rasa sakit itu seakan datang dari luar dirinya.
Suara perwira itu mendatanginya kembali.
"Mengapa kamu lakukan ini semua?"
"Demi Tuhan, saya tidak tahu apa-apa."
"Terserah kamu sekarang! Akibatnya kamu tanggung
sendiri. Hati-hatilah, saya satu-satunya orang yang baik di
sini. Tentara-tentara itu semuanya kasar dan pendosa.
Mereka tidak hanya akan memukulimu. Mereka tahu halhal yang sangat buruk. Katakan, kautahu tidak?"
"Demi Tuhan, saya tidak tahu apa-apa."
"Baiklah, terserah kamu."
Kalimat itu seakan-akan mantra sakti yang diucapkan
sang perwira. Seketika pukulan-pukulan menghunjam ke
seluruh bagian tubuhnya. Thaha terjungkal, tangantangan mulai melepas apa saja yang melekat pada dirinya
satu persatu, bajunya, celananya. Thaha memberontak,
tetapi mereka terlalu banyak. Mereka mengarahkan
pukulan dan tendangan ke tubuh Thaha. Kemudian, dua
tangan kuat memegang kedua tulang pantat Thaha dan
ditarik saling melebar. Thaha merasakan benda keras
menembus duburnya, menusuk urat-urat di dalamnya. Ia
menjerit keras, tak tertahankan, hingga ia merasakan pita
suaranya seakan putus. Musim dingin berakhir, Abduh memulai kehidupannya
yang baru. Masa wajib militernya telah usai dan ia melepas seragam
tentara untuk selamanya, menggantinya dengan baju Eropa
dan mulai bekerja di kios hadiah dari Hatim. Ia berinisiatif
menjemput istrinya, Hadya, dan anaknya yang masih
menyusu, Wael, untuk tinggal bersamanya di pondok atas
atap Apartemen yacoubian yang disewakan Hatim.
Kesehatan Abduh semakin baik. Berat badannya bertambah
dan kehidupannya mulai mapan. Ia lepas dari citra buruk
dan kotor para tentara. Ia sekarang lebih terkesan sebagai
seorang pedagang muda yang penuh semangat, bergairah,
dan percaya diri (meskipun masih belum bisa meninggalkan
logat kampungnya, kuku tangannya tetap dibiarkan
panjang, serta giginya yang menguning akibat sering
mengisap rokok dan bekas sisa makanan yang tidak bisa ia
bersihkan selamanya). Ia berhasil mengeruk keuntungan
yang cukup banyak dengan berjualan berbagai jenis rokok,
permen, dan minuman ringan.
Warga atas atap Apartemen yacoubian menyambut
kehadiran Abduh sebagaimana mereka menyambut
tetangga-tetangga baru mereka; sambutan yang dibarengi
rasa waswas dan curiga. Akan tetapi, pada akhirnya mereka
menerima Abduh dan istrinya Hadya dengan kulitnya yang
cokelat kasar, jubah hitam dan kadang cokelat pekat, tato
gelap di dagunya, makanan khas kampung, serta logat
Aswan yang kental. Mereka kadang menirukan logat yang
terdengar unik ini sebagai gurauan.
Abduh memaklumkan kepada para tetangga barunya
bahwa ia bekerja sebagai koki di rumah Hatim Rashid.
Akan tetapi, kebanyakan mereka diam-diam tidak
memercayainya. Mereka semenjak dulu memahami jika
Hatim adalah seorang homoseks. Dan, karena Abduh
menginap di rumah Hatim dua kali dalam satu minggu,
mereka kadang mengoloknya dengan ungkapan "tukang
masak hidangan malam".
Mayoritas penghuni Apartemen yacoubian mengetahui
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sebenarnya, tetapi mereka bisa menerima dan
menghormatinya. Etika mereka terhadap setiap orang yang
abnormal adalah didasarkan kepada kasih sayang mereka
terhadapnya. Akan tetapi, jika mereka sampai harus
membencinya, mereka akan melabrak untuk mempertahankan harga diri dan kemuliaan, mengatainya
secara kasar, bahkan melarang anak-anak mereka untuk
bergaul dengannya. Jika mereka sudah menyukainya,
sebagaimana kepada Abduh, mereka memafkannya, berinteraksi dengannya, dan menilainya sebagai orang yang
harus dikasihani karena sedang berada dalam jalan yang tak
sebagaimana lazimnya. Mereka selalu mengulang-ulang
bahwa segala sesuatu pada akhirnya adalah takdir dan nasib
serta turunnya hidayah bagi orang seperti Hatim tidaklah
jauh. "Banyak orang yang lebih buruk dari Hatim dan Abduh
lalu Allah memberi mereka petunjuk, membuka jalan menuju-Nya, dan jadilah mereka sebagai kekasih-kekasihNya," begitulah mereka mengatakan dan cukup dengan
menganggukkan kepala ketika bertemu sebagai tanda
hormat. Hari berlalu dalam kehidupan Abduh tanpa ada
masalah. Akan tetapi, diam-diam hubungan Abduh dan
Hadya mulai dingin. Hadya bahagia dengan kehidupannya
yang baru, tetapi ada sesuatu yang terasa cukup mengusik
mereka. Kadang itu muncul dan kadang menghilang, tetapi
selalu membayangi. Suatu ketika Abduh pulang pagi setelah menghabiskan
malam dengan Hatim. Sejatinya, dia dihantui perasaan
berdosa dan enggan melihat ke arah Hadya. Kadang Abduh
malah menggertaknya karena kesalahan kecil yang tak
sengaja ia lakukan. Hadya menyambut kemarahannya
dengan senyum meski sejatinya kesedihan sedang menyelimuti hatinya. Hadya hanya memandangi Abduh,
tapi raut mukanya terbaca seakan ingin bicara banyak.
"Bicaralah, Hadya."
"Tuhan Maha Pemurah terhadapmu," sahut Hadya
dengan suara pelan tak terdengar, beranjak dari depan
Abduh hingga dia merasa tenang.
Ketika malam datang dan ranjang menyatukan keduanya
di tengah kecamuk asmara, Abduh justru sering
memikirkan Hatim dan seakan ia merasa Hadya mampu
membaca pikirannya. Abduh melampiaskan kegelisahannya
itu di tubuh istrinya. Abduh menggaulinya dengan kasar
seakan sengaja menghalangi Hadya untuk berpikir atau
seakan Abduh sedang menghukumnya karena kecurigaan
akan kecenderungan homoseksualnya.
Selesai sudah, Abduh tiba-tiba duduk dan menyalakan
rokok. Pandangannya mengelilingi atap kamar.
Hadya bangkit di sampingnya. Sesuatu yang masih ganjil
menggelayuti keduanya. Mereka berdua tak mampu
mengingkarinya, tapi tak juga mampu menjelaskannya.
Sesekali Abduh merasa dirinya sangat kacau. Ia sudah
capek memendam rahasia dan bersikap seolah-olah tidak
tahu. Ia berharap Hadyalah yang pertama membahas hal itu
daripada keadaan terus berlarut-larut, tapi justru menyakitkan. Jika saja Hadya berbicara di depannya dan
menuduhnya bahwa dirinya homoseks, saat itu juga ia akan
terbebas dari beban dan tinggal menjelaskan segala
sesuatunya dengan sederhana bahwa ia tak mampu
meninggalkan Hatim karena ia butuh uang.
Seketika Abduh berkata, "Hadya, kamu tahu" Hatim
adalah orang yang sangat baik."
Hadya hanya diam. "Jika kamu tahu hatinya, kita tak bisa berbuat apa-apa."
Hadya tetap diam. "Kenapa diam?"
"Semua tahu kamu orang baik dan Hatim puas dengan
'hasil kerjamu'!" Hal ini yang selalu dikatakan Hadya ketika menjelaskan
ke tetangga-tetangga mereka. Ia berkata setajam itu karena
merasa dirinya selama ini berdosa enggan mengatakannya.
Abduh sedikit kecewa dengan jawaban Hadya. Namun,
dengan tenang ia menimpali, "Sayangku Hadya, Hatim
berterima kasih atas semua ini. Ia melakukan semua
kebaikan ini untuk kita."
"Tidak ada kebaikan. Semua orang berbuat untuk
kepentingan masing-masing. Kamu tahu dan aku juga tahu.
Semoga Tuhan mengampuni kita."
Kalimat-kalimat Hadya terasa sangat berat di telinga
Abduh. Mulutnya kaku untuk bicara, terkunci, lalu ia
melempar pandangannya ke tembok setelah merasakan
kegalauan. Hadya mendekat, mengambil tangannya un-tuk
ia genggam, ia cium. "Abduh, Tuhan mencintai kita. Memberi rezeki yang
halal kepada kita. Uang satu sen sudah bermanfaat
untukku. Kamu membuka kios milikmu sendiri dan tak ada
satu orang pun yang akan mencampurimu. Tidak Hatim
dan tidak pula yang lain."
Layaknya negara penjajah, Mallak selalu berkeinginan
melakukan perluasan kekuasaan seluas-luasnya. Dalam
dirinya selalu muncul dorongan kuat menguasai segala
sesuatu, apa pun konsekuensinya, dengan segala cara.
Semenjak ia sampai di atas atap apartemen, ia tak pernah
berhenti melakukan usaha-usaha ekspansi ke seluruh
wilayah atap apartemen itu.
Ia memulainya dengan sebuah jamban kecil yang tak
terpakai, luasnya hanya satu meter persegi dan berada di
sebelah kanan pintu masuk. Begitu Mallak melihatnya, ia
sangat terobsesi menguasainya. Ia lalu meletakkan karduskardus kosong di depan jamban itu, lalu sedikit demi sedikit
memasukkannya ke dalam jamban dan menguncinya
dengan gembok besar. Ia menyimpan kuncinya dengan
dalih ada barang-barang di dalam jamban yang bisa tercuri
jika kamar mandinya terbuka. Setelah jamban, sepetak
daerah kosong yang ada di atas atap jadi sasarannya. Ia
jejali tempat itu dengan bermacam-macam barang lawas
yang sudah usang, lalu, ia memberi tahu semua penghuni
(mereka tentu sangat terkejut dengan hal ini) bahwa barangbarang ini menunggu orang yang akan mengambil barangbarang itu. Akan tetapi, dalihnya, orang yang akan
mengambil ini selalu mengulur waktu. Mallak juga
memberitahukan bahwa ia sudah menelepon mereka agar
segera mengambil barang-barang tersebut dan mereka
meyakinkan akan datang. Akan tetapi, hingga dua minggu
mereka belum datang juga. Begitulah siasat Mallak
menunda waktu hingga daerah kecil itu akan menjadi
miliknya. Adapun kamar besi kosong berukuran kecil yang berada
di atas atap, Mallak merampoknya cukup dengan satu
pukulan. Ia mendatangkan tiga tukang kayu untuk
membuat pintu. Lalu, ia isi dengan barang-barang dan
kemudian menguncinya. Dengan begitu, Mallak memiliki
satu "lemari" di atas atap untuk menyimpan barangbarangnya. Di tengah pertempuran ini, Mallak harus
menelan luapan marah orang-orang yang tinggal di sana. Ia
berdalih dengan berbagai cara, mencoba mencairkan
pembicaraan, sampai terjadi perang mulut kasar yang tak
terhindarkan. Jika sudah begini, nasiblah yang kadang
menyelamatkannya. Hasil berupa jamban dan satu kamar tak memuaskan
hasrat ekspansi Mallak kecuali jika ia sekadar seorang
jenderal yang menang dalam permainan catur. Ia bermimpi
mendapatkan sepetak tanah yang luas, sebuah flat besar
yang ditinggal mati pemiliknya lalu ia ambil untuk dirinya
dengan bermacam kebohongan, siasat dan manipulasi.
Kasus model ini sangat sering terjadi di Wasath al-Balad.
Sering kali seorang asing yang sudah tua renta meninggal,
sementara ia tinggal sendirian tanpa keluarga.
Lalu, flat itu segera menjadi milik orang Mesir yang
paling dekat dengannya, entah koki, pelayan, atau sopir.
Mereka cepat-cepat menempati flat itu dan menuliskan
laporan bahwa merekalah yang berhak menempati flat itu,
lalu mengganti kunci dan membuat surat yang terdaftar
dengan saksi-saksi palsu di depan pengadilan yang bersaksi
bahwa sebelumnya mereka telah tinggal bersama orang
asing itu. Mereka akan meminta pengacara untuk
melakukan pembelaan melawan pemilik apartemen yang
kadang harus berakhir dengan memberi ganti yang jauh
lebih kecil dari harga flat kepada pemilik apartemen.
Khayalan inilah yang bermain dalam kepala Mallak
sebagaimana semilir angin selalu memainkan dahan-dahan
pepohonan. Mallak mulai mencari flat Apartemen yacoubian yang
paling mungkin dikuasai. Ia berpikir bahwa flat yang paling
layak menjadi target operasi adalah milik Zaki Bey. Flat
milik Zaki terbilang luas, dengan enam kamar, ruang
depan, dua kamar mandi, dan serambi yang memanjang
menghadap sepanjang Jalan Sulaiman Pasha. Sungguh
sangat sempurna. Zaki adalah pria lanjut yang melajang,
bisa meninggal sewaktu-waktu. Flat dengan status
disewakan itu tak boleh diwariskan dan saudara laki-laki
Mallak yang menjadi pelayan Zaki di apartemennya akan
memudahkan Mallak untuk menguasainya.
Setelah berpikir dan mencari informasi hukum berhubungan dengan hak milik flat, ia mulai memasang
skenario. Ia membuat akad palsu atas nama Zaki, lalu ia
akan menyimpannya sampai Zaki meninggal. Akad itu
akan menjadi bukti bahwa ia memiliki hak penyewaan
bersama dengan almarhum. Akan tetapi, bagaimana
mencuri tanda tangan Zaki" Ia mulai berpikir tentang
Busainah. Zaki sangat lemah di depan wanita. Seorang
wanita murahan tentu bisa membuatnya mabuk dan
mencuri tanda tangan darinya tanpa sadar.
Mallak menawarkan kepada Busainah 5.000 pound jika
ia berhasil mencuri tanda tangan Zaki. Mallak memberinya
waktu dua hari untuk berpikir. Tak ada ragu sedikit pun
baginya bahwa Busainah akan menerimanya. Tapi, ia
sengaja menampakkan dirinya tidak begitu agresif.
"Jika kita sudah sepakat dan aku berhasil mendapatkan
tanda tangan Zaki Bey, apa jaminan kamu akan
membayar?" tegas Busainah.
Mallak terlihat sudah siap menjawabnya, "Aku memberi
dan aku menerima. Biarkan akad itu bersamamu sampai
kamu mendapatkan semua uangnya."
"Kita sepakat. Tidak ada uang, tidak ada akad," jawab
Busainah dengan senyum simpul.
"Pasti." Kenapa Busainah menyepakati"
Tentu saja. Kenapa harus menolak" 5.000 pound adalah
jumlah yang fantastis. Dengan uang sebanyak itu, Busainah
bisa memenuhi kebutuhan adik-adiknya dan membeli apa
saja yang dibutuhkannya. Sementara itu, Mallak akan
mendapatkan flat itu dan Zaki tidak akan pernah
mengetahuinya serta tak akan menyakitinya karena ia juga
sebentar lagi akan menemui ajalnya.
Kalaupun Zaki menyakitinya, kenapa dia harus galau.
Zaki hanyalah lelaki lanjut yang matanya kosong,
sedangkan Busainah adalah orang yang hatinya telah
terbiasa untuk tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap
manusia. Kini hatinya keras dan tidak punya rasa peduli.
Keadaan putus asa, rusak, dan sengsara yang melilitnya,
sebagaimana dialami pemuda-pemudi seumurnya, menjadikannya tak peduli dan tak punya belas kasihan
kepada siapa pun. Ia telah berhasil menggerus kepekaan
perasaannya, dan mengubur perasaan berdosa selamanya.
Ia pernah membiarkan tubuhnya dijadikan pemuas nafsu
Tallal dan mencuci baju dari najisnya, lalu menadahkan
tangan kepada Tallal hanya untuk menerima 10 pound. Ia
juga tak pernah peduli ketika tetangga-tetangganya
mencium bau perbuatan busuknya.
Sesungguhnya, Busainah cukup tahu skandal-skandal
penghuni flat di Apartemen yacoubian sehingga kesalehan
mereka yang dibuat-buat baginya sangatlah lucu. Jika
Busainah dekat dengan Tallal karena kebutuhannya yang
mendesak terhadap uang, ia tahu perbuatan wanita-wanita
tetangganya yang mengkhianati suami-suami mereka hanya
untuk kesenangan. Dan bagaimanapun, Busainah sampai
sekarang masih seorang perawan, bisa menikah dengan
siapa saja yang mencintainya. Dengan begitu, ia bisa saja
melawan segala prasangka yang memojokkannya.
Busainah mulai mencuri-curi kesempatan untuk mendapatkan tanda tangan Zaki, tetapi ternyata tak
semudah yang dibayangkan. Ternyata, Zaki bukanlah lakilaki murahan yang layak diremehkan dan dibenci. Ia
seorang pria terpelajar, lembut, dan memperlakukan
Busainah dengan segenap penghormatan, yang Busainah
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasakan selama ini, tak sedikiti pun Zaki melakukan sesuatu
dengannya sebagai ganti upah, tidak seperti yang
dialaminya dengan Tallal yang kerap menelanjanginya dan
doyan menggerayangi tubuhnya.
Zaki sangat lembut terhadapnya. Ia berusaha mengenali
dan memahami keluarganya, saudara-saudaranya, bahkan
membelikan mereka oleh-oleh yang mahal. Zaki menghargai perasaan-perasaanya dan mendengarkan dengan saksama apa yang ia ceritakan. Busainah pun kerap
menceritakan cerita-cerita unik pada masa lalunya sehingga
pertemuannya dengan Zaki di atas ranjang tak sedikit pun
menyisakan rasa jijik sebagaimana dengan Tallal. Zaki
menyentuhnya dengan lembut seakan dia takut akan bekas
sentuhan jari-jemarinya, seolah dia sedang memperlakukan
kelopak mawar yang rapuh dengan sentuhan yang halus
dan pelan agar tak rusak. Ia menciumi tangannya berkalikali (Busainah tidak pernah menduga akan ada lelaki yangmencium tangannya) di malam pertama mereka bercinta.
Ketika kedua tubuh mereka bertemu, Busainah memeluknya dan berbisik lirih, "Hati-hati, saya masih
perawan." Zaki tertawa dan berbisik, "Aku tahu."
Zaki terus menciuminya, Busainah merasakan tubuhnya
seakan larut sempurna di antara dua lengan Zaki yang
hangat. Sudah tentu Zaki memiliki cara yang mengagumkan ketika bercinta. Ia memiliki segudang
pengalaman bercinta semenjak muda. Dia rupanya mampu
menutupi kelemahan fisiknya dengan keterampilan yang
tinggi dalam bercinta. Dalam hati, Busainah sangat berharap jika suatu saat
yang akan menjadi kekasihnya adalah laki-laki yang lembut
seperti Zaki. Kekagumannya terhadap Zaki justru
membuatnya semakin sesak. Kekaguman itu justru
menyadarkan dirinya yang berdosa. Zaki sangat lembut dan
sayang terhadapnya, tetapi Busainah justru tengah mencoba
untuk mengkhianati dan menyakitinya. Ia seorang lelaki
yang baik hati, menyayangi dan memanjakannya, bahkan
menceritakan semua rahasia hidupnya. Tak terba-yangkan
selamanya, semenjak itu, bahwa ia akan mengkhianati dan
bersekongkol mengambil alih flatnya dengan orang lain
setelah Zaki meninggal dunia. Pikiran itu terus membayangi
dirinya sehingga ia mulai merendahkan dan menghina
dirinya sendiri. Sangat sulit baginya menipu diri sendiri,
sebagaimana seorang pembunuh hendak melukai istri dan
anak-anaknya sendiri. Ia sudah berusaha mencuri tanda tangannya lebih dari
sekali, mengelabuinya ketika ia mabuk, tetapi beberapa kali
juga mengurungkan niatnya. Ia tak bisa. Setelah itu ia
hanya bisa merasa sangat hina dan hancur karena
kerendahannya. Perasaan berdosa di satu sisi dan keinginan
yang sangat untuk mendapatkan uang di lain sisi masih
berkecamuk dalam pikirannya, sama-sama kuat, sehingga ia
memutuskan untuk memberanikan dirinya.
"Lihatlah, Busainah. Semua pakaianku adalah pakaian
untuk musim dingin. Semuanya aku pakai pada musim
dingin saja. Selebihnya, ketika musim panas tiba, aku pergi
ke Eropa," ujar Zaki.
Setelah selesai makan malam di restoran Maxim, Zaki
Bey dan Busainah masih duduk di kursi. Ketika tengah
malam tiba, tempat itu sedikit demi sedikit sepi dari
pengunjung. Busainah mengenakan gaun baru berwarna
hijau yang memperlihatkan bagian lehernya yang putih dan
belahan payudaranya. Zaki duduk di samping Busainah
sambil menegak wiski. Zaki memperlihatkan beberapa foto
lamanya. Di foto itu tergambar seorang pemuda yang cukup
gemuk, tampan, sedang tertawa lebar memegang piala di
tangannya, berdiri di tengah banyak pria yang memakai
pakaian rapi dan wanita-wanita yang terlihat cantik dengan
gaun-gaun malam yang mahal. Di depan mereka ada meja
makan untuk pesta dengan berbagai menu dan bergelasgelas bir berkualitas. Busainah memandangi foto itu dengan
senang, lalu menunjuk salah satu di antaranya. Ia mulai
tertawa. "Ini pakaian apa, Zaki?" kini ia sudah lebih akrab dengan
lelaki itu dan tak lagi memanggilnya Tuan.
"Gaun malam zaman dulu. Setiap acara memiliki gaun
khusus. Gaun untuk acara pagi berbeda dengan acara siang
dan gaun siang berbeda dengan gaun malam."
"Kamu tahu" Dirimu tampan seperti Anwar Wagdi."
Zaki tertawa terbahak lalu diam sejenak.
"Ya, aku lama hidup dalam kesenangan. Dulu, Mesir
layaknya Eropa. Bersih, unik, dan manusia-manusianya
terpelajar, sopan, berbudi mulia. Tak ada yang melewati
batas. Diriku sendiri, tidak seperti sekarang ini. Keadaanku
lain-punya banyak uang, teman-temanku semuanya dari
kalangan atas. Aku punya tempat-tempat khusus untuk
begadang. Setiap malam aku tertawa, begadang, minumminum, dan bernyanyi. Waktu itu Mesir dihuni banyak
orang asing. Mayoritas penghuni Wasath al-Balad adalah
orang asing sebelum kemudian diusir oleh Gamal Abdul
Nasser saat revolusi meletus di tahun 1956."
"Kenapa Nasser mengusir mereka?"
"Dia mengusir orang-orang yahudi Mesir. Sementara,
sebagian orang asing takut dan akhirnya ikut pergi.
Busainah, bagaimana pendapatmu tentang Nasser?"
"Aku lahir jauh hari setelah dia meninggal. Aku tak tahu.
Orang berkata dia pahlawan, yang lain berkata dia
pembunuh." "Nasser adalah pemimpin paling buruk dalam sejarah
Mesir. Ia menyia-nyiakan negara ini, menyebabkan kita
krisis dan miskin. Kerusakan yang ia sebabkan bagi
identitas Mesir butuh bertahun-tahun untuk memperbaikinya. Nasser mengajari orang-orang Mesir
merasa takut, oportunis, dan munafik."
"Tapi, mengapa ada orang yang mencintainya?"
"Siapa yang mencintainya?"
"Banyak orang yang mencintainya."
"Orang yang mencintai Nasser, jika tidak bodoh maka ia
adalah orang yang oportunis. Polisi-polisi adalah kumpulan
orang miskin dan rendahan. Nuhas Pasha adalah orang
baik, hatinya bersama orang miskin sehingga ia memperbolehkan mereka masuk akademi militer. Hasilnya,
mereka melakukan kudeta pada tahun 1952. lalu, mereka
memerintah Mesir, mencurinya, dan men-dapatkan sekian
milyar." Zaki mengucapkannya dengan pahit, suaranya meninggi
karena dikuasai emosi. Ia tersadar lalu tiba-tiba tersenyum.
"Apa dosamu sehingga aku harus memenuhi kepalamu
dengan politik. Bagaimana pendapatmu jika kutunjukkan
sesuatu yang istimewa?" lanjut Zaki.
Busainah terdiam. "Christine, ke sinilah. Silakan," kata Zaki.
Christine waktu itu sedang duduk di mejanya yang kecil
di samping ruang bar. Ia memakai kacamata minusnya,
sedang menghitung kembali pemasukan. Ia sengaja
membiarkan mereka berdua sebelum kemudian datang
dengan senyumnya yang selalu cerah. Ia menyayangi Zaki,
bahagia ketika melihat Zaki bahagia, sebagaimana ia
merasa senang melihat Busainah di sisinya. Zaki
menyambutnya dan mengajaknya bicara dengan bahasa
Prancis. Ia lalu mengulurkan lengannya ke arah Christine.
"Christine, bukankah kita teman lama?"
"Tentu." "Kalau begitu, kamu harus kabulkan apa yang
kuinginkan." Christine tertawa. "Tergantung apa yang kamu inginkan."
"Apa pun permintaanku, kamu harus penuhi."
"Jika kamu menginginkanku minum sebotol wiski, aku
harus waspada akan permintaanmu."
"Aku ingin kamu bernyanyi sekarang untuk kami."
"Menyanyi" Sekarang" Tidak mungkin."
Begitulah selalu cara mereka melakukan percakapan,
seakan-akan itu adalah ritual wajib. Zaki meminta Christine
menyanyi, tapi Christine menolak, Zaki merengek, lalu
akhirnya Christine mengabulkan.
Setelah beberapa menit, Christine duduk di depan piano.
Ia mulai memainkan jemarinya, lalu muncul nada-nada
berbeda yang mengalun. Sekejap saja, ia mengangkat
kepalanya, seakan sedang menerima bisikan yang sedang ia
tunggu, memejamkan matanya, lalu wajahnya kelihatan
tegang. Seketika itu suara emasnya mulai mengalun.
Lantunan musik yang kuat terdengar sayup sampai ke
pojok-pojok bar. Suaranya tinggi dan bersih yang Zaki amat
sukai. Ia menyanyikan lagu milik Edith Piaf dengan
memesona. Tidak ... Aku tidak pernah menyesal. Apa pun itu ...
Tidak karena kebaikan atau keburukan masa iaiu ... semua
sama bagiku ... Aku telah membakar masa lalu, kesenanganku,
kesedihanku. Aku tak membutuhkannya lagi... Aku telah
mengarungi masa lalu, dan kini aku kembali
ke titik nol untuk mulai mencintaimu ...
Setelah menghabiskan malam, Zaki dan Busainah
melintasi taman Sulaiman Pasha untuk kembali pulang ke
kantor. Zaki dalam keadaan mabuk berat. Busainah
meminjamkan tubuhnya agar Zaki bisa bersandar, dan
Busainah bisa membopong setengah tubuh renta itu. Zaki
tiba-tiba berhenti di depan apartemen-apartemen yang
sudah tertutup, mengakhiri hari, dan bersiap menjemput
pagi. Dengan suara keras yang tak jelas Zaki meracau, "Oh,
dulu di sini adalah bar yang sungguh indah. Tahukah
kamu" Pemiliknya seorang yunani. Di sampingnya ada
salon kecantikan dan sebuah rumah makan, ya, di sana
adalah Le Bursa Nouva. ya, menjajakan pakaian kulit. Oh
... Setiap jengkal tempat itu dulunya bersih. Banyak toko
menjajakan barang-barang dari London dan Paris."
Busainah masih menuntun langkah-langkah Zaki dengan
hati-hati supaya tidak terjatuh di jalan. Mereka berjalan
pelan hingga akhirnya sampai di Apartemen yacoubian. Di
depannya Zaki minta berhenti.
"Tak kaulihatkah, arsitektur indah bangunan ini"
Bangunan ini, tiap sentinya persis seperti yang aku lihat di
sebuah distrik di Prancis. Oh ..."
Busainah mencoba mendorongnya dengan pelan supaya
Zaki menapakkan kakinya, tetapi Zaki melanjutkan.
"Tahukah kamu, Busainah" Aku merasa memiliki
apartemen ini. Aku lebih menikmati tinggal di sini. Setiap
anak manusia yang tinggal di sini dan setiap meter persegi
tempat ini aku tahu sejarahnya. Aku menghabiskan
sebagian besar usiaku di sini. Aku melihat hari-hariku yang
indah di sini. Aku merasa umurku adalah umur apartemen
ini. Apartemen ini akan terus berdiri atau akan terjadi
sesuatu atas dirinya, dan aku akan meninggal waktu itu
juga." Dengan pelan dan susah payah, akhirnya mereka
menyeberangi jalan dan berusaha menaiki tangga.
Akhirnya, mereka sampai di apartemen dan memasuki flat.
"Istirahatlah di sofa," kata Busainah.
Zaki tersenyum memandang Busainah lalu duduk
dengan pelan, bernapas dengan desahan keras. Ia berusaha
untuk sadar. Busainah memberanikan diri mencuri tanda
tangan Zaki, melepaskan diri dari keraguannya. Ia
mendekatkan dirinya kepada Zaki, berkata dengan suaranya
yang halus merayu. "Aku memintamu mengerjakan sesuatu untukku.
Maukah?" Zaki berusaha menjawabnya, tetapi ia masih terlalu
lemah untuk bicara karena mabuk yang berlebihan.
Busainah memandang Zaki, di hatinya tebersit sebuah
prasangka bahwa Zaki akan meninggal saat ini juga. Ia
memantapkan dirinya. "Aku mengajukan pinjaman kecil ke bank sebesar 10.000
pound. Aku akan melunasinya selama lima tahun dengan
bunga. Akan tetapi, mereka meminta jaminan. Bisakah
kamu memberikan jaminan?"
Busainah lalu mengarahkan tangannya di lengan Zaki
dan berbisik kepadanya dengan suara yang lembut dan
menggoda. Zaki dalam kemabukannya menyandarkan
wajahnya di pipi Busainah dan menciuminya. Busainah
menganggap Zaki sepakat dan mulai gembira.
"Terima kasih! Tuhan mengasihimu."
Busainah bangkit dan mengeluarkan kertas dari tasnya
secepat-cepatnya. Ia mengambil sebuah pulpen. "Tanda
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan di sini." Busainah telah mempersiapkan kertas untuk pengajuan
pinjaman, lalu di tengahnya ditumpuki kertas akad dari
Mallak. Zaki mulai menandatanganinya. Busainah memegang tangan Zaki untuk menolongnya. Akan tetapi,
tiba-tiba Zaki berhenti, mulutnya berkata berat, sedangkan
wajahnya terlihat lemah. "Kamar mandi." Busainah terlihat diam sebentar, berpura-pura tak
paham. Tangan Zaki menunjuk ke arah kamar mandi.
Busainah pun berkata dengan berat.
"Ingin ke kamar mandi?"
Busainah meletakkan kertas-kertas itu di kursi samping,
lalu membantu Zaki bangkit dan menuntunnya berjalan ke
kamar mandi. Ia menyandarkan Zaki di pundaknya hingga
ia masuk ke kamar mandi, lalu menutup pintunya.
Busainah mondar-mandir sampai akhirnya terdengar suara
benturan yang keras dari arah belakang.
Malam itu kafetaria Groppi di ujung Jalan Adli dipenuhi
pengunjung. Kebanyakan mereka adalah anak muda yang
sedang kasmaran dan menginginkan suasana santai di
bawah cahaya lampu dengan sinar remang yang
menghalangi rupa wajah mereka, lalu bertukar cinta tanpa
terusik siapa pun. Terlihat lelaki paruh baya mengenakan
celana warna gelap dan baju putih yang terbuka tanpa dasi.
Bajunya terlalu lebar sehingga tak begitu pas dengan porsi
dan bentuk tubuhnya. Lelaki itu duduk di meja tepat di
samping pintu. Ia meminta secangkir kopi kental dan masih
saja diam memandangi objek yang tak tentu. Sesekali ia
memandangi jam tangannya dengan gelisah. Setelah kirakira setengah jam berlalu, seorang pemuda berkulit cokelat
dengan pakaian olahraga datang dan langsung menuju
tempat lelaki itu duduk. Kedua orang itu berpelukan dengan
hangat lalu keduanya duduk dan berbicara dengan suara
lirih. "Syukurlah atas keselamatanmu Thaha. Kapan kamu
keluar?" "Dua minggu yang lalu."
"Tentu kamu terus dimata-matai. Apakah kamu datang
ke sini seperti yang telah dianjurkan Hassan?"
Thaha menganggukkan kepala. Syekh Syakir melanjutkan kata-katanya.
"Tentu Akhi Hassan masih aman. Berkomunikasilah
dengan saya lewat dia. Dia akan menunjukkan tempat
pertemuan dan waktunya. Saya biasanya memilih tempat
yang tak mengundang kecurigaan. Tempat ini misalnya.
Penuh dan gelap, menjadikannya layak. Kita juga kadang
bertemu di taman-taman umum, rumah makan, dan bar.
Tapi, kamu harus terbiasa dengan tata cara bar-bar yang
ada." Syekh Syakir tersenyum. Akan tetapi, Thaha masih saja
terdiam, lalu, Syekh Syakir melanjutkan dengan serius,
"Pihak keamanan sekarang melancarkan serangan biadab
terhadap kalangan aktivis Islam. Semuanya! Penjara,
penyiksaan, dan pembunuhan disiapkan. Mereka menembaki saudara-saudara kita dengan dalih: mereka
melawan kekuasaan. Pembantaian terhadap orang-orang
tak berdosa yang mereka lakukan setiap hari pasti akan
mendapatkan balasan nanti di hari kiamat. Saya terpaksa
meninggalkan rumah dan tak lagi salat di masjid. Saya pun
mengubah penampilan sebagaimana kamu lihat. Bagaimana pendapatmu Syekh Syakir dengan pakaian
Eropa?" Lelaki itu tertawa berderai untuk mencairkan suasana
beku. Tapi, percuma. Kebekuan tetap saja mengalir dalam
pertemuan itu. Syekh mencoba menasihati Thaha.
"Kuatkan dirimu, Thaha. Saya merasakan dan bisa
memperkirakan rasa sakitmu, Anakkku. Saya berharap
kamu bisa menyerahkan apa yang mereka lakukan
terhadapmu kepada Allah dan dia akan membebaskanmu
dengan balasan setimpal bagi mereka. Ketahuilah, surga
adalah balasan bagi orang-orang yang disiksa di jalan Allah.
Apa yang kamu lakukan adalah pajak yang dibayarkan
seorang mujahid dari hati yang tulus untuk menegakkan
kalimat-kalimat Allah. Pemerintah hanya memperjuangkan
kepentingan dan kekayaan mereka yang najis, serta kita
memperjuangkan agama Allah. Kita ini pejuang akhirat dan
mereka adalah pejuang dunia. Harta mereka sangatlah hina
dan kita telah dijanjikan kemenangan oleh Allah. Allah
tidak akan mengingkari janji-Nya."
Seakan Thaha sedang menunggu kata-kata Syekh untuk
membebaskannya dari kesedihan, ia berkata dengan suara
yang remuk, "Mereka telah menghina saya, Syekh. Mereka
menghina saya sehingga saya merasa kalau anjing-anjing
buduk yang berada di jalanan itu lebih mulia dari saya.
Saya menyaksikan sesuatu yang tidak mungkin terpikirkan
seorang muslim akan melakukannya."
"Mereka bukan muslim. Mereka itu kafir sesuai fatwa
para ulama fikih." "Bahkan, apabila mereka kafir, apakah seatom pun
mereka tidak memiliki belas kasihan" Bukankah mereka
memiliki anak dan istri yang mereka cintai dan belas kasihi"
Jika saya dipenjara di Israel, orang-orang Israel tak akan
melakukan hal sekejam itu. Bahkan, jika saya adalah matamata yang mengkhianati agama, mereka tetap tidak akan
melakukan seperti itu. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya
yang menjadikan saya berhak menerima perlakuan sekeji
itu. Apakah berpegang teguh dengan syariat Allah adalah
kejahatan terbesar" Kadang saya merasakan bahwa yang itu
adalah sebuah mimpi buruk. Saya menjerit, bangun dari
tidur, dan semuanya selesai.
Jika bukan karena iman kepada Allah, mungkin saya
sudah bunuh diri dan bebas dari penyiksaan itu."
Rasa iba semakin terlihat di wajah Syekh Syakir. Thaha
diam lalu mengepalkan tangannya.
"Mereka menutupi mata saya sehingga saya tidak
mengenal satu pun di antara mereka. Akan tetapi, saya
bersumpah kepada Allah akan mengetahui mereka dan
membunuh mereka satu persatu."
"Saya nasihati kamu, Anakku. Buanglah trauma ini jauhjauh. Saya tahu apa yang saya minta sangat sulit, tapi inilah
satu-satunya tindakan benar yang harus kamu ambil. Semua
yang berlaku di tahanan tidak hanya menimpa dirimu. Itu
nasib semua orang yang berkata benar di negara kita. yang
harus bertanggung jawab bukan hanya segelintir polisi itu,
melainkan sistem kafir jahat yang menguasai kita. Kamu
harus marah kepada sistem ini, bukan hanya kepada
beberapa orang saja. Allah berfirman, 'Kami jadikan
Rasulullah sebagai teladan kamu semua'. Rasulullah
diperangi sewaktu di Mekah dan dihinakan sampai sehinahinanya, tetapi ia menjadikan pengalamannya bukan
sebagai dendam pribadi kepada satu orang, melainkan
membuatnya semakin mantap untuk berdakwah. Dan
akhirnya, ketika berhasil, ia mengampuni seluruh orang
kafir dan membebaskan mereka. Pelajaran ini harus kamu
ketahui dan lakukan."
"Rasulullah adalah sebagus-bagus manusia dan cip-taanNya. Saya bukanlah Nabi. Saya tak bisa melupakan semua
yang dilakukan penjahat-penjahat itu. Semua yang telah
terjadi sungguh menyiksa saya setiap waktu. Saya tidak bisa
tidur, tidak bisa lagi pergi ke kampus, dan tidak pernah
berpikir lagi untuk pergi ke sana. Saya menghabiskan waktu
di kamar, tidak berbicara dengan satu orang pun. Bahkan,
kadang saya berpikir akan segera kehilangan akal sehat."
"Jangan menyerah, Thaha. Ribuan pemuda telah
ditahan. Mereka menghadapi siksaan ganas, tetapi ketika
keluar dari tahanan mereka berjuang lebih kuat lagi untuk
melawan kezaliman. Tujuan sebenarnya dari siksaan itu
bukan untuk menyiksa umat Islam, melainkan untuk
menghancurkan semangat mereka sehingga mereka
kehilangan kemampuan untuk berjihad. Jika kamu
menyerah kepada penderitaan ini maka kamu telah
membuat tujuan mereka tercapai dan berhasil."
Syekh memandang Thaha, memegang tangannya di atas
meja. "Kapan kamu akan kembali ke kampus?"
"Saya tak akan pernah kembali."
"Kamu harus kembali. Kamu mahasiswa rajin dan
cemerlang. Masa depan menunggumu dengan izin Allah.
Pasrahkan semua kepada Allah. Lupakan yang terjadi.
Kembalilah kuliah." "Tidak mungkin. Bagaimana kemudian saya akan
berhadapan dengan orang-orang nanti." Thaha terdiam
mendadak. Wajahnya memelas lalu berkata setelah
mengeluarkan napas panjang. "Mereka telah
memerkosa harga diri saya, Syekh." "Diamlah kamu!"
"Mereka memerkosa harga diri saya puluhan kali.
Puluhan kali!" "Diamlah, Thaha!"
Syekh berkata dengan nada keras dan tajam. Thaha
spontan memukul meja, lalu bergetarlah gelas-gelas hingga
terdengar suara ribut. Syekh cepat-cepat berdiri dari
tempatnya. "Waspadalah, Thaha! Orang-orang melihat kita. Kita
harus pergi sekarang. Dengarkan, saya akan menunggumu
satu jam lagi di depan bioskop. Hati-hati dan pastikan tak
ada orang yang mengawasimu ..."
Dalam rentang waktu dua minggu, Haji Azzam telah
membujuk Suad untuk menggugurkan kandungan, bahkan
sampai mengancam akan mengambil tindakan kasar.
Semua cara yang dia lakukan terhadap Suad ditolak
mentah-mentah. Kehidupan keduanya hampir terputus
sempurna. Tak ada canda tawa, makanan yang bergairah
untuk berdua, mengisap hashis, atau pertemuan mesra di
ranjang. Hampir tak tersisa tema pembicaraan di antara
keduanya, kecuali pengguguran kandungan. Setiap hari
Azzam duduk di depan Suad, berusaha berbicara dengan
lembut dan tenang, tapi tak jarang kehilangan kontrol dan
bertengkar mulut. "Kamu bersepakat lalu melanggarnya, Suad. Kukatakan
sedari awal tak ada kata hamil."
"Tuhan yang membolehkan dan melarang. Apakah kita
akan mengharamkan yang halal?"
"Coba pikirkan dan berhentilah bersikap berlebihan,
Suad." "Tidak." "Kalu begitu, aku akan menceraikanmu." "Ceraikan
saja." Azzam sampai berani mengancam cerai, meski
kesadarannya kosong dan palsu karena di dalam hatinya
masih menginginkan serta mencintai Suad. Masalahnya, ia
belum bisa menerima anak pada saat ini. Meski ia bisa saja
menerimanya, anak-anaknya tidak akan mengizinkan. Jika
Hajjah Shalihah, istri pertamanya, tak mengetahui
perkawinannya yang kedua, bagaimana ia bisa menutupinya terus menerus jika istri keduanya melahirkan
anak" Ketika Azzam telah putus asa untuk membujuk Suad, ia
meninggalkannya begitu saja dan pergi ke Iskandariah
untuk menemui saudara lelaki Suad, Hamid. Ia menceritakan kepadanya semua yang terjadi. Hamid kaget
dan terihat berpikir sejenak.
"Bersalawatlah kepada Nabi. Kita berdua anak dari
nenek moyang negeri ini. Janganlah Anda membenci
seseorang. Saya saudara lelakinya. Tidak mungkin saya
memintanya untuk aborsi. Aborsi itu haram dan saya takut
kepada Allah." "Tetapi kita sudah sepakat."
"Kita sepakat dan kita yang melanggar. Kita punya hak.
Kita masuk dengan baik dan keluar dengan baik. Maka,
berikan kepadanya hak-haknya dengan apa yang diridai
Allah lalu talak dia."
Wajah Hamid terlihat lalim, penipu, dan begitu
menyesakkan di mata Azzam. Ia hampir menempelengnya,
tetapi rupanya ia lebih mengedepankan kesabaran lalu pergi
begitu saja memendam kemarahan. Di perjalanan menuju
Kairo, tebersit di hatinya sebuah gagasan. "Hanya tersisa
satu orang yang bisa aku
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percayai dan akan menyelamatkanku." Syekh Samman masih saja sibuk dengan isu Perang
Teluk. Setiap hari ia menggelar seminar dan pertemuanpertemuan. Di samping itu ia rajin menulis artikel panjang
di koran-koran untuk menjelaskan hukum agama tentang
perang membela dan membebaskan Kuwait. Pemerintah
berkali-kali mengundangnya berbicara di televisi dan
memberikan khotbah di masjid-masjid terbesar Kairo.
Syekh selalu menjelaskan dalil-dalil agama di balik sikap
pemerintah meminta bantuan Amerika untuk membebaskan Kuwait dari penjajahan Irak.
Azzam menghabiskan waktu tiga hari penuh hanya
untuk bisa bertemu dengan Syekh Samman. Akhirnya, ia
bertemu dengannya di kantor Masjid Assalaam, Medinet
Nasser. Ia buru-buru menemuinya. Di wajahnya semakin
tergambar kesedihan. "Sepertinya Anda capek, Syekh."
"Saya tak cukup tidur semenjak perang meletus. Setiap
hari seminar, pertemuan-pertemuan, dan beberapa hari
nanti, dengan izin Allah, saya sudah harus terbang ke Arab
Saudi, menghadiri kongres umat Islam yang dimajukan."
"Anda harus beristirahat menjaga kesehatan."
Syekh kemudian bangkit. "Semua yang saya lakukan
bukan hal yang selalu wajib. Saya berdoa semoga Allah
menerima perbuatan ini dan menjadi timbangan baik untuk
saya kelak." "Sebaiknya, Anda mengundurkan diri berangkat ke Arab
Saudi dan beristirahat barang beberapa hari."
"Saya tidak bisa. Syekh Ghamidi sudah mengontak saya.
Dia orang yang sangat alim dan mulia. Saya akan
bergabung dengan beberapa ulama lain mengeluarkan
pernyataan untuk melawan fitnah yang digencarkan tanpa
dalil. Kami akan menyatakan bahwa meminta bantuan
kepada tentara Kristen Barat untuk menyelamatkan umat
Islam dari seorang kafir Saddam Hussein diperbolehkan."
Azzam menundukkan kepalanya mengamini pernyataan
Syekh. Beberapa detik terdiam. Syekh menepukkan
tangannya ke pundak Azzam dan bertanya penuh sayang,
"Bagaimana kabar Anda" Saya merasakan Anda sedang ada
masalah." "Tidak. Saya tidak ingin menambah beban Syekh."
Syekh tersenyum dan kembali menyandarkan tubuhnya
di kursi yang empuk. "Anda tak akan menyebabkan saya terbebani. Silakan.
Berceritalah ..." Azzam dan Syekh Samman telah sampai di flat Suad di
Apartemen yacoubian. Mereka menemukan Suad mengenakan daster tanpa jilbab yang menutupi rambutnya
yang terurai. Ia menyambut Syekh Samman dengan dingin
lalu bergegas ke dalam. Beberapa menit kemudian ia
kembali dan telah menutupi kepalanya dengan jilbab. Ia
membawa nampan Gina yang di atasnya tertata gelas-gelas
berisi jus lemon dingin. Syekh meminumnya seteguk lalu memejamkan matanya
karena merasa enak dan lega. Saat itu juga, seakan dia telah
menemukan kesempatan yang pas untuk memulai
pembicaraan. "Jus lemon ini sungguh nikmat rasanya. Istri Anda
sungguh wanita istimewa, Saudaraku. Tuhan selalu
memberi kita kenikmatan."
Azzam seketika merajuk. "Seribu terima kasih, Tuanku. Suad memang istri yang
istimewa dan wanita salehah. Akan tetapi, akhir-akhir ini
agak menyusahkan." "Menyusahkan?" Syekh berpura-pura terkejut lalu menoleh kepada Suad
yang langsung menanggapi. "Tentu Haji Azzam sudah
menceritakan kepada Anda tentang masalahnya, bukan?"
"Tuhan yang akan menjawab semua permasalahan.
Dengarkan, Anakku. Anda adalah wanita muslimah yang
taat akan perintah-perintah Allah dan Allah memerintahkan
kepada seorang istri untuk taat kepada suaminya dalam
persoalan dunia. Bahkan, Rasululullah pernah bersabda,
'Jika makhluk diperbolehkan bersujud kepada makhluk lain,
aku akan perintahkan istri untuk bersujud kepada
suaminya'." "Istri taat kepada suaminya dalam hal yang dihalalkan,
Syekh, bukan yang diharamkan."
"Saya berlindung kepada Allah dari segala yang haram,
Anakku. Tidak ada taat bagi makhluk untuk berbuat
maksiat." "Baik, katakan pada saya, Syekh, Anda ingin saya
menggugurkan kandungan, bukan?"
Suasana menjadi hening. Syekh tersenyum dan
melanjutkan kata-katanya dengan suara yang tetap tenang
dan berwibawa. "Anakku, kamu bersepakat dengannya untuk tidak
hamil. Haji Azzam orang besar dan keadaannya tidak
memungkinkan hal itu."
"Kalau begitu, suruh dia menceraikan saya."
"Jika dia menceraikanmu dalam keadaan hamil, dia
tetap punya kewajiban agama dengan anakmu."
"Jadi, Anda setuju saya aborsi?"
"Aborsi tidak boleh. Akan tetapi, ada pandangan
sebagian ulama yang memperbolehkannya jika dilakukan
sebelum empat bulan, karena ruh itu ditiupkan pada
permulaan bulan keempat."
"Siapa yang mengatakan ini?"
"Fatwa-fatwa yang sudah teruji dari ulama-ulama besar."
Suad tertawa dan berkata dengan nada tinggi, "Ha, ha,
ha. Hanya ulama bangsat yang mengatakan fatwa
demikian. Hanya ulama Amerika."
"Berbicaralah dengan santun, Suad," Azzam memperingatkan. Suad menimpali, "Semua orang pasti menjaga kesantunan." Syekh Samman melanjutkan, "Anakku, saya berlindung
kepada Allah. Enyahkan setan dari dirimu. Saya tidak
berpendapat dengan akal saya sendiri, sekadar menukilkan
pendapat ulama yang sudah teruji. Sebagian ulama
mengatakan bahwa aborsi diperbolehkan sebelum menginjak bulan keempat dan tidak dianggap sebagai
pembunuhan jika ada hal yang mendesaknya."
"Jadi, kalau saya aborsi maka hukumnya halal" Siapa
yang bilang seperti ini" Saya tak akan percaya kecuali Anda
bersumpah dengan Alquran."
Azzam bangkit dan mendekat lalu berkata dengan
marah, "Kubilang, berbicaralah dengan santun, Suad!"
Suad berdiri melawan dengan berkacak pinggang,
"Bagaimana dia bisa dibilang Syekh" Semuanya jelas, pasti
Anda menerima uang hanya untuk mengucapkan semua
ini. Hai, Syekh, aborsi itu haram. Anda sudah
mengenyahkan Tuhan!"
Syekh Samman tak menyangka akan mendapatkan
tanggapan sekasar itu. Ia memperingatkan, "Muliakanlah
dirimu, Anakku. Kamu telah melewati batasmu."
"Saya melewati batas apa" Hai, Syekh penipu! Dia bayar
berapa sampai-sampai Anda mau datang dengannya?"
"Dasar wanita rendahan!" Azzam membentak dan
menampar wajah Suad. Wanita itu menjerit dan
memberontak. Akan tetapi, Syekh Samman memegang
tangan Azzam dan menjauhkannya dari Suad. Syekh lalu
membisiki Azzam. Keduanya segera meninggalkan apartemen itu dan menutup pintu dengan kencang.
Suad mengusir mereka dengan cacian dan umpatan. Ia
mendadak marah dengan ucapan Syekh Samman dan
kepada Azzam yang menamparnya untuk pertama kali
semenjak mereka menikah. Ia masih merasakan sakit di
wajahnya dan berniat ingin membalas tamparan Azzam. Ia
diam-diam mulai membenci Azzam dan menistanya.
Sebenarnya, bakatnya untuk mencaci dan mengumpat
adalah hal baru. Sungguh perbuatan buruk itu seolah-olah
hinggap seketika. Semua yang dideritanya selama ini cukup
menekannya, membuatnya merasa tersiksa terus menerus.
Kini ia merasa sudah tiba waktunya untuk bertindak. Kalau
perlu, dia bahkan siap untuk membunuh Azzam atau
dirinya yang akan terancam jika tak menggugurkan
kandungannya. Setelah menenangkan diri sebentar, ia bertanya dalam
hati mengapa Azzam sampai tega memperlakukan dirinya
seperti ini. Dia tampak seperti penganut agama yang saleh
dan aborsi adalah suatu hal yang haram. Sementara itu,
Suad juga takut dengan proses aborsi itu sendiri, seperti
banyak wanita yang merasakan sakit bertubi-tubi karena
proses itu. Semua dalihnya memang benar. Akan tetapi, itu semua
hanyalah bunga-bunga. Sebenarnya, ada dorongan yang
lebih kuat untuk berani berperang mempertahankan
kehamilannnya. Jika dia melahirkan, dia akan mengembalikan kemuliaannya. Dia merasakan makna
kehormatan yang baru. Bukan hanya seorang wanita miskin
yang dibeli oleh jutawan Azzam untuk melayaninya dua
jam setiap hari, melainkan seorang istri yang harus diakui
keberadaannya. Ia akan menjadi ibu. Keluar dan masuk
flat, ia menggendong anak seorang haji. Ataukah itu semua
bukan hak dia" Ia pernah kelaparan dan meminta-minta,
merasakan kehinaan dan menolak ratusan kali untuk hidup
melenceng, serta akhirnya menerima untuk memberikan
tubuhnya kepada Azzam, seorang lanjut seumuran
ayahnya-menahan tindihan tubuhnya yang berat dengan
wajahnya yang dipenuhi jerawat serta rambut yang disemir
dan kejantanannya yang rendah, juga berpura-pura
menampakkan dirinya puas meski kadang badannya merasa
sakit karena tak berminat. Oh, pergi dari Azzam seakan
menyisakan dirinya sekadar pelacur.
Ia tidur sendiri setiap malam di sebuah ranjang dalam
ruangan yang dingin. Di flat luas, tapi justru sering
membuat dirinya dihinggapi rasa waswas sehingga terasa
menakutkan. Ia bahkan terpaksa menyalakan lampu ketika
ketakutan menghantuinya tiap malam. Dia juga harus
menangis tiap malam karena kerinduan yang sangat pada
anaknya, lalu, tiba waktu dirinya melayani Azzam,
berdandan untuknya dan melaksanakan perannya sebagai
ganti apa yang telah dia peroleh. Apakah bukan haknya
setelah kehinaan ini untuk merasakan bahwa dirinya adalah
istri dan ibu" Apakah bukan haknya untuk melahirkan anak
sah yang mewarisi harta karena ketakutan akan kemiskinan
yang sangat akan menggilasnya selama-lamanya" Allah
telah menganugerahinya kehamilan sebagai ganjaran yang
adil karena kesabarannya yang lama. Ia tidak akan
menyerah sampai kapan pun dan dengan taruhan apa pun
yang harus dibayarnya. Begitulah Suad berpikir sebelum
masuk ke kamar mandi. Ia mulai melepas gaunnya dan beranjak ke pancuran.
Ketika air hangat mengalir di tubuhnya yang telanjang, ia
merasakan perasaan baru dan aneh bahwa tubuhnya yang
telah dipakai Azzam dan terkotori olehnya kini telah lepas
dan menjadi miliknya sendiri. Tangannya, pundaknya,
betisnya, dadanya, semua bagian tubuhnya bernapas
dengan bebas dan di dalamnya ada detak indah yang ia
rasakan. Detak yang akan semakin tumbuh dan besar serta
memenuhi perutnya suatu saat hingga akhirnya lahir
seorang bayi cantik yang mirip dengannya, lalu mewarisi
harta ayahnya serta mengembalikan kepadanya kemuliaannya dan posisinya yang pantas. Selesai dari
kamar mandi dan mengeringkan badan serta mengenakan
gaun tidur, ia melakukan salat dua rakaat, lalu duduk di
ranjang, membaca Alquran hingga mengantuk.
"Siapa?" Suad tersadar dari tidurnya, ia mendengar suara sesuatu
yang bergerak di luar kamarnya. Ia berpikir pencuri telah
memasuki flatnya. Ia sungguh terkejut, gugup dan berniat
membuka pintu untuk meminta tolong tetangga.
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa?" Dalam posisi duduk di ranjang kamar tidurnya yang
gelap, ia menegur dengan suara lebih keras. Akan tetapi,
suara itu lalu lenyap. Ia mencoba melihat keadaan dan
menurunkan kedua kakinya dari kasur, tetapi rasa takut
membuatnya gemetar. Ia lalu meyakinkan dan menenangkan dirinya bahwa suara tadi hanyalah angin
serta kembali ke tempat tidur, kembali menyandarkan
kepala di atas bantal. Setelah beberapa menit ia mencoba untuk terle-lap tidur,
mendadak pintu kamar terbuka dengan keras hingga
terdengar suara bising, lalu dengan cepat mere-ka
menyergap Suad. Mereka berjumlah empat atau lima orang.
Wajah mereka tak terlihat di kegelapan. Salah seorang
menyumpal mulut Suad dengan bantal serta yang lain
mencengkeram tangan dan kakinya yang terus mencoba
melawan. Dengan sekuat tenaga Suad memberontak, ingin menjerit
dengan sekeras-kerasnya, menggigit tangan lelaki yang
memeganginya. Akan tetapi, perlawanannya gagal dan siasia. Mereka terus mencengkeram kuat-kuat dan akhirnya
sanggup membuat Suad tak berdaya. Mereka terlihat sangat
terlatih. Salah seorang membuka lengan piyama Suad lalu
terasa pucuk jarum menusuk lengan, menembus kulitnya.
Sedikit demi sedikit tubuhnya melemah, lunglai, dan
matanya terpejam. Ia merasakan segala sesuatu di
sekitarnya menjauh dan menghilang, seakan semuanya itu
hanya mimpi. Koran Le Caire berdiri di Kairo seratus tahun lalu di
sebuah bangunan yang unik, Apartemen yacoubian.
Sekarang ia bertempat di Jalan al-Gala. Semenjak pertama
terbit ia memang hanya menerbitkan edisi berbahasa
Prancis. Sengaja untuk memenuhi kebutuhan informasi
para penutur bahasa Prancis yang cukup banyak waktu itu.
Ketika Hatim Rashid lulus dari fakultas sastra, ibunya yang
orang Prancis mencarikannya pekerjaan di koran itu. Bakat
jurnalisitiknya sudah terlihat dan meningkat dengan cepat
hingga pada akhirnya ia terpilih sebagai pemimpin redaksi
dalam usia empat puluh lima tahun. Ia bahkan berhasil
melakukan beberapa pengembangan penting dan meluncurkan edisi berbahasa Arab untuk para pembaca
Mesir. Tiras Le Caire pun menanjak, bahkan sampai tiga
puluh ribu eksemplar. Jumlah yang terlalu fantastis untuk
koran lokal pada waktu itu. Keberhasilan ini merupakan
hasil yang alami dan sepadan dengan kepandaian Hatim
serta koneksinya yang baik dengan berbagai kalangan, juga
kemampuan bekerja yang cukup tinggi yang ia warisi dari
ayahnya. Jika kita tahu bahwa ada tujuh puluh orang (yang terdiri
dari pegawai administrasi kantor, wartawan, dan fotografer)
yang bekerja di bawahnya, pertanyaan pertama yang
muncul di benak adalah: apakah mereka tahu bahwa Hatim
seorang homoseks" Jawabannya pasti ya karena kebanyakan orang Mesir senang memerhatikan kehidupan
pribadi seseorang. Akan tetapi, mereka mampu merahasiakannya dengan baik.
Fenomena homoseksualitas tak mungkin ditutup-tutupi.
Setiap anggota redaksi Le Caire tahu bahwa pemimpin
mereka adalah seorang homoseks. Akan tetapi, mereka tak
sedikit pun merasa jijik dan menghinanya karena kelainan
Hatim hanyalah bayangan kecil dari dirinya yang kuat dan
terampil bekerja. Mereka mengetahui kelainannya itu,
tetapi tak menggubrisnya dalam interaksi sehari-hari
dengannya. Hatim adalah seorang yang serius, terampil,
kuat, lebih dari pemimpin biasanya. Ia menghabiskan
seluruh waktunya di kantor dengan mereka tanpa sedikit
pun gerak-gerik yang mengungkapkan kecenderungan
menyimpangnya itu. Pernah terjadi satu kasus yang tak diharapkan di tengah
kepemimpinannya. Suatu saat seorang jurnalis yang
terkenal malas dan gagal yang hendak diberhentikan Hatim
dari koran itu telah mengetahui niat Hatim, lalu
memutuskan untuk membalasnya. Dalam sebuah rapat
mingguan ia minta diberi kesempatan bicara. Hatim
mengizinkannya. Ia pun memanfaatkannya.
"Saya ingin mengajukan ide kepada Anda, bagaimana
jika kita membuat liputan jurnalistik seputar fenomena
homoseks di Mesir." Suasana rapat redaksi mendadak tegang. Sang jurnalis
melemparkan senyum sinis, sengaja untuk mempermainkan
Hatim yang masih berdiam diri. Hatim mengusapkan
tangannya ke arah belakang rambutnya yang lembut (ini
kebiasaan dia ketika tegang dan terkejut) lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Keluarlah kata-kata
yang ia ucapkan dengan tenang, "Saya tak menilai tema ini
penting untuk pembaca."
"Justru ini penting. Di Mesir terjadi kenaikan jumlah
kaum homoseks yang cukup signifikan. Sebagian di antara
mereka menempati posisi tinggi di masyarakat dan
penelitian ilmiah menyimpulkan bahwa seseorang dengan
kelainan seks secara psikologis tidak layak memimpin suatu
pekerjaan di lembaga apa pun karena yang bersangkutan
mengidap kompleksitas psikologis yang disebabkan kelainan seks." Serangan itu sangat keras dan tajam. Hatim lalu
menanggapinya dengan keras, "Pemikiranmu yang kuno
merupakan salah satu sebab kegagalan jurnalistikmu selama
ini." "Apakah kelainan seks merupakan etika yang maju?"
"Itu bukan problem sosial di negara kita. Mesir tidak
terbelakang karena kelainan seks rakyatnya, tetapi akibat
sifat diktator kaum elitenya dan kebobrokan orangorangnya, seperti memata-matai kehidupan privat manusia
yang jelas merupakan pekerjaan remeh yang tak layak
untuk koran sekelas Le Caire."
Wartawan itu hendak menanggapi lagi, tetapi Hatim
memotongnya dengan tegas, "Perdebatan selesai. Saya
minta kamu diam agar kita bisa membahas tema lain."
Begitulah Hatim menjalankan rapat dengan baik.
Meneguhkan di hadapan yang hadir akan kepribadiannya yang kuat dan ketidaktundukannya pada
ancaman. Suatu saat, ketika Hatim mengontrol pekerjaan para
reporternya, ia melihat wartawan itu berdiri menghasut
para reporter yang berada di sekitarnya. Hatim mendekat,
tapi wartawan itu pergi begitu saja dengan tenang. Hatim
kembali meneruskan pekerjaannya seperti biasa. Ketika
kembali ke meja kantornya, Hatim menyuruh salah satu
karyawan untuk memanggil wartawan itu lalu mengosongkan kantornya. Ia membiarkan jurnalis itu
berdiri agak lama di kantornya tanpa mempersilakan
duduk. Hatim memegang kertas pemecatan, lalu memandang wartawan itu dengan mimik serius. "Dengarkan dengan baik. Pilih antara berperilaku sopan
atau aku memecatmu secepat-cepatnya. Paham?"
Wartawan itu pura-pura kaget dan merasa tidak bersalah.
Akan tetapi, Hatim berkata dengan tegas sebelum ia melihat
lagi surat pemecatan itu. "Ini peringatan terakhir, tanpa
basa-basi. Silakan keluar. Pertemuan selesai."
Hatim Rashid tak hanya sekadar pria yang feminin. Dia
adalah pribadi berbakat, pekerja keras dan berpengalaman.
Ia sampai pada keberhasilannya yang sekarang hanya
melalui bakat dan kemampuannya. Seorang cerdik pandai
yang menguasai berbagai bahasa: Inggris, Spanyol, Prancis,
dan Arab. Bacaannya yang luas dan mendalam mengakrabkannya dengan pemikiran Marxisme yang sangat
berpengaruh terhadap kepribadiannya. Ia berusaha dekat
dengan pembesar-pembesar sosialis di Mesir. Karena
persahabatan itu, ia pernah dipanggil polisi rahasia untuk
diinterogasi. Akan tetapi, tak lama kemudian ia dilepaskan
setelah dibukukan dalam daftar bahwa ia hanyalah unsur
fleksibel dan berada di luar organisasi.
Pengetahuannya yang mendalam tentang sosialisme
pernah membuatnya hampir masuk sebagai bagian dari
jaringan sosialisme rahasia Partai Buruh dan Sosialis Mesir.
Akan tetapi, kelainan seksnya yang sudah jamak diketahui
membuat beberapa petinggi partai itu tak menerimanya.
Seperti itulah kepribadian dan kehidupan Hatim yang
terlihat ketika ia bersosialisasi dengan berbagai komponen
masyarakat. Adapun kehidupan rahasia Hatim sebagai
homoseks berada dalam kotak terkunci yang dipenuhi
permainan terlarang dan dosa yang ia buka setiap malam
untuk menikmatinya, lalu menutupnya kembali dan
berusaha melupakannya ketika pagi datang.
Ia berusaha membatasi penyimpangan hidupnya sampai
pada batas sesempit-sempitnya. Ia hidup dalam kesehariannya sebagai wartawan dan pemimpin redaksi
sebuah koran harian. Dan, setiap malam ia bersenangsenang selama beberapa jam di ranjang seraya mengatakan
kepada diri sendiri bahwa setiap laki-laki di dunia memiliki
kebiasaan masing-masing untuk meringankan diri dari
tekanan hidup. Ia mengenal pribadi-pribadi berprestasi, para dokter,
pengacara, ataupun dosen yang pada saat-saat tertentu
mabuk dengan bir, hashis, dan bermain perempuan. Itu
semua nyaris tanpa mengurangi keberhasilan mereka atau
pemuliaan terhadap diri sendiri. Ia menerima dirinya
sendiri yang homoseks dengan lapang dada sebagai bagian
dari kenyataan hidup. Ia sama seperti orang-orang itu,
hanya kebiasaannya saja yang berbeda. Ia menyukai sudut
pandang ini karena dengan begitu ia mampu membuat
dirinya bersikap santai, mengembalikannya kepada keseimbangan dan mendapatkan kehormatan dirinya. Ia
selalu mendamba akan memiliki hubungan tetap dengan
seseorang yang dia kasihi sehingga ia bisa menyalurkan
kebutuhannya dengan aman dan membatasi kelainannya di
atas ranjang. Karena, jika ia dalam keadaan sendiri dan
terdesak syahwat yang membuncah, tak jarang ia harus
terpuruk ke tempat-tempat yang kotor dan hina.
Ia telah melewati hari-hari menyedihkan dan menyakitkan yang mendorongnya untuk mengotori diri
dengan beberapa lelaki kotor yang tak jelas. Berkali-kali ia
pelesir ke tempat-tempat mangkal kaum homoseks dan
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
betukar kerinduan dengan orang-orang rendahan untuk
mendapatkan teman kencan semalam serta tak akan
melihatnya lagi setelah itu. Ia dihantui ancaman para
homoseks pencoleng yang pernah merendahkan dan
memukulinya dengan sadis di sebuah kamar mandi di
distrik Husain serta merampok jam tangan emas dan
tasnya. Setelah malam yang gila itu, Hatim mengurung diri
di rumah selama beberapa hari tanpa berbicara dengan
seorang pun. Ia mabuk dan merenungkan hidupnya.
Mengenang kembali ayah dan ibunya yang ia benci seumur
hidup. Ia mengatakan pada dirinya sendiri andai saja kedua
orangtuanya meluangkan sedikit waktu untuk memerhatikan dirinya maka ia tak akan terjerumus sedalam
itu. Akan tetapi, keduanya sibuk dengan keinginan masingmasing, berusaha menumpuk kekayaan dan kebesaran lalu
meninggalkan anak mereka di tangan seorang pelayan yang
bermain dengan tubuh si anak.
Ia tak akan pernah melaknat Idris, selamanya, dan tak
ragu sedikit pun bahwa ia memang mencintainya dengan
jujur. Tetapi, ia berharap, jika saja ayahnya dibangunkan
dari kubur sekali saja dan mampu mendengarkan
pendapatnya, ia akan berdiri di depannya serta membalas
pandangannya yang tajam dengan jari-jemari selalu
mengapit pipa rokoknya. Ia takkan takut kepadanya. Ia
akan berkata, "Jika Anda memberikan seluruh umur Anda
untuk karier Anda, mengapa Anda memutuskan menikah
dan melahirkan aku" Anda terkadang cerdas dalam hal
hukum, tapi Anda tidak mengerti bagaimana menjadi bapak
yang sebenarnya. Berapa kali Anda menciumku seumur
hidup Anda" Berapa kali Anda duduk bersamaku sehingga
aku bisa menceritakan kesu-litan dan masalah-masalah
masa kecilku" Anda memper-lakukanku seakan-akan
sebuah karya besar dan lukisan asing yang menakjubkan,
tetapi Anda hanya menerimanya lalu melupakannya.
Ketika ada waktu luang dari pekerjaan, barulah Anda
mengingatnya, membayangkannya sedikit saja dan kemudian melupakannya lagi!"
Adapun ibunya adalah sosok lain, "Ah, Anda hanya
pelayan bar di salah satu distrik di Paris sana. Anda orang
fakir dan tak terpelajar, serta pernikahan Anda dengan
ayahku adalah lompatan status sosial yang tinggi yang
bahkan tidak pernah Anda mimpikan sebelumnya. Tetapi,
setelah itu, setelah melewati 30 tahun, Anda justru
menghinakan ayahku hanya karena dia seorang Mesir dan
Anda seorang Prancis! Anda memainkan peran Eropa yang
berbudaya di tengah kelaparan! Anda sinis dengan orang
Mesir serta memperlakukan mereka secara dingin dan
sombong! Ketidakacuhan Anda kepadaku adalah karena
aku bagian dari Mesir. Aku tahu Anda telah mengkhiananti
ayah lebih dari sekali, setidaknya dengan Tuan Bernard,
sekretaris kedutaan besar Prancis yang Anda ajak bicara
melalui telepon berjam-jam. Sambil telentang di ranjang,
Anda mendekap gagang telepon, berbisik-bisik dengan
wajah mesum. Saat itu Anda menjauhkanku supaya
bermain dengan pembantu. Jujur, Anda adalah seorang
wanita yang hina. Dengan mudah orang bisa mendapatkan
orang seperti Anda di bar-bar kotor."
Dalam interval detik demi detik itu Hatim dikuasai rasa
cemas, putus asa, dan perasaan yang tersobek-sobek. Ia
membiarkan dirinya menangis layaknya anak kecil. Kadang
ia berpikir untuk bunuh diri, tetapi dia tak punya cukup
keberanian untuk itu. Namun, kini ia berada dalam sebaikbaik keadaan karena hubungannya dengan Abduh telah
berlangsung cukup lama dan stabil. Ia berhasil mengikat
hubungannya dengan Abduh melalui kios dan kamar yang
ia sewakan untuknya di lantai paling atas Apartemen
yacoubian. Dengan tubuh yang sudah terpuaskan dengan Abduh, ia
berhenti berkeliaran di bar Chez Nouz dan tempat-tempat
homoseksual lainnya. Ia terus mendorong Abduh menyelesaikan pendidikannya sehingga menjadi seorang
lelaki yang terpelajar dan terhormat, mampu memahami
perasaannya, pemikirannya, serta pantas untuk berteman
dengannya selamanya. "Abduh, kamu adalah seorang lelaki yang cerdas dan
sensitif. Kamu pasti mampu memperbaiki keadaanmu
dengan berusaha. Kamu sekarang bisa menghidupi
keluargamu dan hidupmu mapan. Tapi, uang itu tidak
segalanya. Kamu harus belajar dan menjadi lelaki yang
terhormat." Keduanya baru saja selesai bercinta pada pagi hari.
Hatim turun dari ranjang bertelanjang, berjalan dengan
langkah meliuk-liuk bak seorang wanita, menonjolkan gerak
lentur ujung jari-jemarinya. Di wajahnya terlihat rasa
senang dan semangat seperti biasanya ketika kenyang
dengan cinta. Ia menenggak segelas anggur ketika Abduh
masih terbaring di atas ranjang sambil tertawa.
"Mengapa kamu ingin saya belajar?"
"Supaya kamu mulia."
"Maksudmu sekarang aku tidak mulia?"
"Tentu saja mulia. Tapi, kamu harus belajar hingga
mendapat syahadah, ijazah."
"Syahadah la ilaaha illaallah?"
Abduh tertawa, tapi Hatim memandangnya dengan
serius. "Saya bicara serius, Abduh. Kamu harus berjuang,
belajar dan menyelesaikan sekolah hingga masuk kuliah.
Fakultas Hukum misalnya."
"Dan setelah aku lulus sekolah, buku-buku itu pergi dan
tak berguna. Ha, ha, ha."
"Jangan bercanda, Abduh. Kamu harus berpikir begini:
di hadapanmu masih terdapat dua puluh bahkan empat
puluh tahun lagi. Kehidupan panjang itu ada di depanmu."
"Segala sesuatu sudah menjadi titah Tuhan."
"Kamu kembali kepada pemikiran kuno dan terbelakang
itu! Nasibmu di dunia, kamu sendiri yang menentukan. Jika
ada keadilan di negeri ini, seharusnya orang sepertimu
dapat belajar dengan biaya negara. Pendidikan, pengobatan,
serta pekerjaan adalah hak asasi setiap warga negara di
dunia. Tapi, sistem di Mesir ini berbeda. Mereka sengaja
membiarkan orang miskin sepertimu terus bodoh sehingga
mereka bebas mencuri kekayaan negara ini. Coba pikirkan,
pemerintah memilih tentara-tentara dari orang-orang paling
miskin dan bodoh. Jika kamu terpelajar, kamu tak akan
mau bekerja dalam kondisi paling jelek dan harus menelan
cacian serta makian ketika orang-orang besar yang
mencacimu mencuri milyaran uang rakyat sepertimu setiap
hari." "Kamu ingin aku mencegah orang besar mencuri" Aku
harus berpangkat mayor dulu untuk melakukan itu."
"Kamu harus berusaha, Abduh. Berusaha dan belajar
untuk dirimu sendiri. Ini langkah pertama supaya kamu
mendapatkan hak-hakmu."
Hatim lalu memandang Abduh dengan senyum dan
kasih sayang. "Siapa tahu, suatu saat kamu akan menjadi pengacara,
Abduh." Abduh bangkit dari ranjang lalu mendekat dan
memegang pundak Hatim setelah mengelus dagunya.
"Lalu siapa yang akan membayar biaya sekolahku" Dan
siapa yang akan membuka kantor ketika aku lulus?"
Hatim seakan tersentuh dan mendekatkan wajahnya ke
wajah Abduh. "Tentu saja aku, cintaku. Seumur hidup aku
tidak akan pelit kepadamu."
Abduh memeluknya lalu keduanya terhanyut dalam
ciuman-ciuman panjang dan hangat. Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar suara yang makin dekat menghampiri mereka.
Terdengar gedoran di pintu mengacaukan keheningan.
Hatim melihat ke arah Abduh dengan khawatir. Keduanya
lalu mengenakan pakaian sekenanya. Hatim mendahului
Abduh mendekati pintu. Di wajahnya tergambar kekagetan.
Ia bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan
menimpanya. Diarahkannya matanya ke lubang pintu. Ia
mengintip siapa yang tengah menggedor keras di luar sana.
"Dia istrimu, Abduh."
Abduh lalu mendekat. Ia membuka pintu secepatnya lalu
berkata dengan marah. "Ada apa, Hadya" Apa yang membuatmu ke sini sepagi
ini" Mau apa?" Hadya malah menjerit panik dan menunjuk kepada
anaknya yang ada di gendongannya.
"Tolong dia, Abduh! Anak kita sakit panas sekali dan
muntah terus-menerus setiap malam. Hatim, saya minta
tolong kepada Anda, berikan kami dokter supaya kami tak
perlu membawanya ke rumah sakit."
Busainah segera membuka pintu kamar mandi. Ia
menemukan Zaki terjatuh di lantai, lelaki renta itu tampak
tak bergerak, sementara bajunya kotor oleh muntahan.
Busainah menundukkan tubuhnya ke depan dan memegang
tangan Zaki yang ia rasakan sangat dingin. "Zaki Bey, kamu
kelelahan." Zaki bekata dengan suara tak jelas dan kesadarannya
masih kosong. Busainah mengambil kursi lalu membopong
dan mendudukkan Zaki. Waktu itu ia merasa bahwa tubuh
Zaki begitu ringan. Busainah melepas baju Zaki lalu
membasuh wajahnya, tangannya, dan dadanya dengan air
hangat. Zaki tetap belum menemukan kesadarannya secara
penuh. Ia kesusahan untuk berdiri dan berjalan mes-kipun
bersandar kepada Busainah. Busainah membawa Zaki ke
ranjang, meninggalkannya dan kemudian naik ke lantai
atas, serta cepat kembali dengan segelas ni'na' panas (mint
yang biasanya diseduh dengan air panas, dicampur teh atau
sejenisnya). Zaki meminumnya pelan dan akhirnya
tenggelam dalam tidur yang lelap. Busai-nah menghabiskan
malamnya di samping Zaki, di atas tempat tidur, dan
memeriksa Zaki berkali-kali. Tangan Busainah meraba
hangatnya perut Zaki dan meletakkan tangannya di atas
hidungnya untuk meyakinkan bahwa napasnya teratur.
Busainah masih terjaga dan berniat memanggil dokter jika
keadaan memburuk. Ia memandangi wajah Zaki yang keriput dan renta. Zaki
tampak lelap dalam tidurnya. Terlihat untuk pertama kali
bahwa sebenarnya Zaki hanyalah seorang lelaki renta lemah
yang pemabuk, tetapi penyayang dan memancing rasa
gemas layaknya anak kecil. Pada pagi hari Busainah
menyiapkan makan pagi yang ringan dengan minuman susu
kental. Absakharun sudah datang dan mengetahui hal yang
terjadi. Ia berdiri memper-lihatkan kesan cemas di depan
tuannya yang sakit. Ia mengulang-ulang dengan suara
resah, "Semoga cepat sembuh, Tuan."
Zaki membuka matanya dan memberi isyarat agar
Absakharun keluar dulu. Zaki bangkit dengan susah payah
dan menyandarkan dadanya ke kepala ranjang. Ia
memegang kepalanya lalu mengaduh pelan.
"Aku pusing sekali dan perutku sungguh menyiksaku."
"Kupanggilkan dokter kalau begitu."
"Tidak. Sederhana saja masalahnya. Aku hanya minum
melebihi yang seharusnya. Seperti ini sudah biasa. Aku
minum kopi dan sesudah itu akan baik kembali."
Zaki menunjukkan kepercayaan diri yang kuat. Busainah
tersenyum saja. "Dengar! Berhentilah bersikap seperti itu. Kamu sudah
tua dan kesehatanmu lemah. Sudahlah, kamu sudah tak
kuat minum dan begadang lagi seperti dulu-dulu.
Seharusnya kamu tidur lebih lebih cepat sebagaimana
orang-orang seumurmu."
Zaki balik tersenyum dan menatap Busainah dengan
perasaan sayang. "Terima kasih, Busainah. Kamu orang yang baik dan
tulus. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak ada
kamu." Busainah meletakkan kedua telapak tangannya di wajah
Zaki dan mencium keningnya.
Busainah menciumnya entah berapa kali sebelum itu,
tetapi dia merasa lain kali ini. Ia merasa bibirnya telah lekat
di wajah Zaki. Ia mengetahuinya serta mulai menyukai
aromanya yang kasar dan unik. Busainah tak merasa Zaki
sebagai orang jauh yang menceritakan suatu masa
kepadanya lagi. Ia justru merasakan Zaki sangat dekat,
seakan ia telah mengenalnya sejak dulu, seakan ia adalah
ayahnya atau pamannya, seakan ia membawa aroma dan
darahnya, berharap jika Zaki memeluknya dengan erat
sehingga tubuhnya yang lemah menyatu di dadanya dan
hidungnya dipenuhi bau Zaki yang unik, yang diam-diam
sekarang ia sukai. Ia berpikir apa yang terjadi di antara
mereka sangatlah asing dan spontan.
Dia teringat ketika kemarin hendak menipunya dan
mendapatkan tanda tangannya sehingga ia merasa malu
pada dirinya. Ia kini berpikir bahwa kemarin adalah usaha terakhir
untuk melawan perasaannya yang sesungguhnya terhadap
Zaki. Di dalam hati ia hendak melarikan diri dari cintanya
kepada Zaki. Selama ini, ia merasa akan lebih nyaman jika
ia membatasi pergaulannya dengan Zaki sebatas seks dan
materi. Zaki menghedaki seks dan Busainah menginginkan
uang. Begitulah Busainah menggambarkan hubungannya
dengan Zaki. Akan tetapi, batas itu kini telah terlampaui. Ia
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang menghadapi perasaannya yang sebenarnya dan ia
memahaminya dengan jelas.
Dalam benak Busainah muncul perasaan andai ia bisa
hidup bersama Zaki selamanya, tenang di sampingnya,
dimuliakannya dan merasa bahagia seutuhnya. Ia yakin
bahwa setiap yang ia katakan akan bisa dipahami Zaki.
Busainah bisa menceritakan kehidupannya tanpa malu,
tentang bapaknya, ibunya, cintanya yang dulu terhadap
Thaha hingga masa lalunya yang kotor bersa-ma Tallal. Ia
merasa tanpa beban ketika bercerita kepada Zaki, seakan
telah melepaskan sebuah beban berat. Betapa ia menyukai
wajahnya yang tua. Zaki yang selalu mendengarkan setiap
kata-katanya dengan cermat dan meminta penjelasannya,
lalu dengan tulus mengomentari semua ceritanya.
Perasaannya terhadap Zaki bertambah kuat hingga suatu
pagi ia menemukan bahwa dirinya mencintai Zaki. Ia tak
mungkin mengungkapkan perasaannya kecuali dengan kata
ini, cinta. Bukan cinta yang panas seperti yang ia berikan
kepada Thaha, melainkan cinta yang lain, yaitu cinta yang
tenang dan tertatah dalam, lebih dekat kepada ketenangan,
kepercayaan diri dan kemuliaan. Ia mencintainya dan
merasakannya. Terlepas dari kehidupan yang tak jelas, ia
hidup dengan Zaki dalam waktu-waktu yang membahagiakan, wajar dan bersih. Ia menghabiskan
siangnya bersama Zaki dan sebagian besar malamnya, lalu
ia kembali sebelum tidur.
Semua hal terjadi antara keduanya, Busainah sering
memberikan senyum manis dan mencandai Zaki dengan
cinta yang menghanyutkan. Sesuatu yang berduri, runcing,
dan menusuk adalah ketika ia berpikir untuk mengkhiananatinya. Ia sudah menyepakati untuk mencuri tanda
tangannya agar Mallak bisa menguasai flat kesayangannya.
Ia bisa saja memanfaatkan kepercayaan Zaki untuk
menyakitinya. Apakah semua itu telah terjadi" Bukankah ini tujuannya"
Ia membuat Zaki mabuk, mencuri tanda tangannya, dan
akan menerima 5.000 pound dari Mallak. Sebuah harga
yang ditebus untuk sebuah pengkhianatan. Ketika kalimat
ini terulang dalam pikirannya, ia justru teringat senyum
Zaki yang tulus dan penuh perhatian, terlebih pengertiannya terhadap perasaannya. Ia teringat Zaki yang
setiap hari memperlakukannya dengan lembut dan
memberikan seluruh kepercayaan kepadanya. Seketika itu
ia merasa dirinya sangat rendah dan seorang pengkhianat.
Ia merendahkan dan menghinakan dirinya sendiri.
Perasaan ini telah menyiksanya hingga suatu pagi dia
pergi menemui Mallak. Waktu itu masih pagi sekali, tapi
Mallak sudah membuka pintu rumahnya. Di depannya ada
segelas teh susu yang ia seduh dengan perlahan. Busainah
berdiri di depannya, menyapanya, dan langsung berkata
sebelum keberaniannya menyurut, "Aku menyesal dan
minta maaf. Aku tidak bisa melakukan apa yang telah kita
sepakati." "Aku tidak paham. Maksudmu?"
"Tentang tanda tangan Zaki. Aku tidak bisa melakukannya." "Apa?" "Begitulah."
"Ini keputusanmu yang terakhir?" "ya."
"Baiklah. Terima kasih."
Demikianlah, Mallak berkata dengan tenang. Sembari
kembali menyeduh teh ia memalingkan wajahnya dari
Busainah. Busainah meninggalkannya. Ia telah lepas dari
perasaan yang berat meski justru merasa aneh ketika Mallak
memaafkannya begitu saja, padahal ia menduga Mallak
akan marah dan memprotesnya. Akan tetapi, kenyataannya
ia justru bersikap tenang, seakan sudah menduganya atau
sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu. Keadaan ini
membuatnya khawatir selama beberapa hari dan itu tak
pernah lepas dari pikirannya.
Meski demikian, ia kini merasakan sebuah ketenangan
yang mendalam untuk pertama kalinya karena ia berhenti
mengkhianati Zaki. Kini tidak ada satu pun hal dan
perasaan yang ia tutup-tutupi dari Zaki.
Pukul delapan pagi Syekh Syakir dan Thaha al-Syadzili
sudah berada di gerbong kereta bawah tanah menuju
Helwan. Di antara keduanya telah terjadi perdebatan
selama berhari-hari. Syekh menenteramkan Thaha dan
membujuknya supaya melupakan apa yang telah terjadi dan
memulai kehidupannya yang baru. Akan tetapi, Thaha
justru selalu terlihat memendam amarah yang terus
membuncah, hendak membalas dendam atas siksaan yang
telah membuat ia hampir mati.
"Lalu, apa yang kamu inginkan" Kamu tidak mau
belajar, tidak juga bekerja, bahkan tidak mau bertemu
dengan teman dan keluargamu. Apa yang kamu inginkan,
Thaha?" tanya Syekh.
"Saya hanya ingin balas dendam! Memburu orang-orang
yang telah menyiksa dan merendahkan harga diri saya."
"Lalu bagaimana kamu mengetahui mereka, sedangkan
wajah mereka saja kau tidak tahu?"
"Saya mengenal suara mereka dengan jelas. Saya bisa
mengetahui dan membedakan suara mereka dari sekian
ratus suara. Saya mohon, Syekh, seribu kali saya minta
kepada Anda, berikan nama mereka yang memerintahkan
orang-orang untuk menyiksa saya. Anda pernah berkata
mengetahui siapa mereka."
Syekh Syakir terdiam sembari berpikir.
"Saya sungguh berharap kepada Anda, Syekh. Saya
takkan tenang sebelum mengetahui nama mereka," kembali
Thaha memohon. "Saya tak bisa mengetahui secara pasti. Akan tetapi,
penyiksaan itu takkan terjadi kecuali atas perintah dua
orang, yaitu Kapten Shaleh Risywan dan Brigjen Fathi
Wakil. Keduanya adalah penjahat kafir yang harus masuk
neraka, seburuk-buruk tempat kembali. Lalu, apa artinya
bagimu mengetahui nama-nama itu?" "Saya akan membalas
mereka." "Omong kosong! Apa kamu akan menghabiskan
umurmu untuk mencari orang yang belum pernah kamu
lihat wajahnya" Pertempuran gila yang sudah pasti gagal."
"Pada akhirnya nanti, saya akan menemukan mereka."
"Apakah kamu akan bertempur sendirian melawan
sebuah sistem kuat yang memiliki tentara dan polisi dengan
puluhan senjata yang akan menghabisimu?"
"Anda sendiri yang mengatakan. Anda telah mengajarkan kepada saya bahwa seorang muslim yang
benar adalah satu umat."
"Benar, tetapi pertarunganmu sendirian dengan sebuah
sistem akan menyusahkan hidupmu. Kamu akan mati.
Mereka akan membunuhnmu di awal pertarunganmu."
Thaha terdiam dan memandangi wajah Syekh. Kata
"mati" rupanya meninggalkan bekas di dalam diri Tha-ha.
"Saya sekarang sudah mati, Syekh. Mereka telah
membunuh saya di sel tahanan ketika mereka menindas
kehormatan saya sambil tertawa, ketika mereka menyebut
saya sebagai wanita dan memaksa saya mengakuinya. Saya
pun terpaksa menuruti karena tak kuat menahan siksaan
yang menyakitkan. Mereka menamai saya Fauziah. Setiap
hari mereka memukuli saya hingga harus mengaku di
hadapan mereka, 'Saya adalah wanita, nama saya Fauziah.'
Anda ingin saya melupakannya dan membiarkan saya
hidup?" Thaha berkata pahit sambil menggigit bibirnya. Syekh
lalu menimpali, "Dengarkan, Thaha. Ini adalah kata-kata
terakhir dan dengan itu saya lepas tanggung jawab di depan
Allah. Berlebihan dalam melawan sistem ini berarti
kematian yang jelas."
"Saya sudah tak takut lagi untuk mati. Saya sudah
menjanjikan diri untuk syahid. Di dalam hati, saya berharap
untuk syahid dan masuk surga."
Seketika Syekh bangkit dari tempatnya untuk mendekati
Thaha, menatap wajahnya sebentar dan memeluknya
dengan kuat sembari tersenyum.
"Allah memberkatimu, Anakku. Beginilah iman yang
benar. Dengarkan, pulanglah sekarang dan siapkan tas
untukmu layaknya kamu akan pergi jauh. Besok pagi kita
bertemu, saya akan menemanimu."
"Ke mana?" Senyuman Syekh kian melebar, ia berbisik, "Jangan
bertanya. Dengarkan kata-kataku saja dan kamu akan tahu
pada waktunya." Perbincangan itu terjadi di antara keduanya kemarin.
Thaha memahami bahwa bantahan Syekh sebenarnya
merupakan ujian bagi keimanan dan semangatnya.
Keduanya sekarang duduk di gerbong kereta bawah tanah
yang sesak. Keduanya bersanding dan sama-sama diam.
Syekh rupanya menikmati pemandangan di luar melalui
jendela kereta, sedangkan Thaha tampak melamun,
terkesan melihat ke arah para penumpang, meski
sebenarnya padangannya kosong dan pikirannya kacau. Di
benaknya hanya tersimpul sebuah pertanyaan: Ke mana
Syekh akan mengajaknya" Thaha tentu percaya kepada
Syekh Syakir. Meski begitu, ia masih saja khawatir dan
terkadang merasa dirinya berada dalam saat-saat penting
yang menentukan dalam sejarah hidupnya. Ia merasakan
kekhawatiran. "Bersiaplah, Thaha. Kita akan turun di Tharh Asman,
stasiun berikutnya."
Stasiun Tharh Asman memakai nama pabrik semen yang
didirikan oleh pengusaha Swiss di tahun 1920-an yang
mengalami nasionalisasi setelah revolusi meletus. Kekuatan
produksinya semakin bertambah sehingga akhirnya menjadi
pabrik semen terbesar di dunia Arab. Sebagaimana
perusahaan-perusahaan besar lainnya yang kemudian
mengambil kebijakan terbuka, perusahaan-perusahaan luar
membeli sahamnya dalam jumlah cukup besar. Rel kereta
api membelah areal perusahaan itu menjadi garis tengah. Di
sebelah kanan terdapat sekumpulan bangunan kantor, di
sebelah kiri terhampar padang pasir luas yang dikelilingi
gunung batu. Banyak bebatuan raksasa menanti diruntuhkan dengan dinamit, dipindahkan dengan truk-truk
besar untuk kemudian dibakar dengan mesin pembuat
semen. Syekh turun bersama Thaha dan menyeberangi stasiun
menuju daerah bergunung-gunung, menapaki jalan padang
pasir. Terik matahari waktu itu terasa menyengat dan udara
dipenuhi debu yang hampir menutupi wilayah itu. Thaha
merasakan tenggorokannya kering dan sakit di bagian
dadanya. Ia terbatuk-batuk. Syekh menghiburnya dari
kondisi tak menyenangkan ini.
"Bersabarlah, Thaha. Udara di sini tercemari debu
semen. Kamu akan terbiasa. Kita sebentar lagi sampai."
Keduanya berhenti di depan gundukan batu kecil untuk
menunggu beberapa menit. Tak lama suara bergaung
terdengar di telinga mereka. Terlihatlah mobil besar
pengangkut batu yang mendekat dan berhenti persis di
depan mereka. Pengemudi mobil itu adalah seorang
pemuda yang mengenakan pakaian resmi karyawan
berwarna biru. Keduanya beruluk salam dengan tergesa dan
Syekh memandanginya dengan saksama lalu berkata, "Allah dan surga." Pengemudi itu kontan menjawab, "Sabar dan kemenangan." Sebuah kalimat sandi rupanya. Syekh menggandeng
tangan Thaha, mengajaknya masuk ke kabin pengemudi.
Ketiganya terdiam ketika mobil mulai menapaki jalan
gunung. Di depan berbaris mobil-mobil angkutan milik
perusahaan. Pengemudi itu berbelok ke anak jalan yang
tampak sepi dan tidak dilalui. Mereka melakukan
perjalanan lebih dari setengah jam. Thaha hendak bercerita
kepada Syekh mengenai kecemasannya, tetapi ia melihat
Syekh terhanyut dalam bacaan Alquran dari mushaf ke-cil
di tangannya. Dari kejauhan, akhirnya terlihatlah perkampungan yang
semakin jelas. Sekumpulan rumah-rumah kecil yang
dibangun dengan material batu bata. Mobil itu berhenti dan
Thaha turun bersama Syekh. Pengemudi memberi salam
kepada Syekh sebelum akhirnya berbelok untuk memutar
arah hendak kembali.
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampaklah sebuah perkampungan miskin yang tak
teratur. Kemiskinan yang tampak jelas di antara jalan-jalan
yang berdebu. Ayam, kambing dan berjenis-jenis binatang
berkeliaran di sekitar rumah, anak-anak bermain setengah
telanjang, serta sebagian wanita yang memakai cadar
tampak duduk di depan rumah-rumah mereka. Syekh mulai
melangkahkan kaki dengan percaya diri. Thaha mengikuti
di belakangnya ke arah sebuah rumah. Keduanya
memasuki pintu terbuka, menuju sebuah ruangan lebar, sepi
dan kosong tanpa perabot apa pun kecuali sebuah meja
kecil dan papan tulis hitam yang tergantung di dinding. Di
tengah ruangan itu tergelar karpet plastik besar berwarna
kuning. Di sana duduk sekumpulan anak muda dengan
jubah mereka yang putih. Mereka semua serentak menyambut kedatangan Syekh
Syakir, memeluk dan satu persatu menciumnya. Lelaki
yang lebih tua menyambutnya belakangan. Jenggotnya
yang hitam dan jubahnya yang putih dihiasi serban
berwarna gelap di pundaknya. Di wajah lelaki itu tergores
garis bekas luka di dekat matanya sehingga ia tampak tak
bisa memejamkan mata dengan sempurna. Lelaki itu,
dengan cukup semangat mengucapkan Laa itaaha Mallah,
tanda syukur dan ketakjuban ketika melihat Syekh Syakir.
"Assalaamu alaikum. Ke mana saja, Maulana" Dua
minggu ini kami menunggu Anda."
"Tidak ada yang mengahalangiku, Bilal, kecuali atas
alasan yang kuat. Bagaimana kabarmu dan temantemanmu?" "Alhamdulillah, baik, insya Allah."
"Lalu bagaimana tugas-tugasmu?"
"Sebagaimana yang Anda baca di beberapa surat kabar.
Dari keberhasilan ke keberhasilan. Atas kehendak Tuhan."
Syekh mengulurkan tangannya ke arah Thaha dan
berkata kepada lelaki itu sembari memasang mimik
senyum, "Ini adalah Thaha al-Syadzili yang dulu aku
bicarakan kepadamu. Contoh pemuda dengan komitmen
tinggi dan pemberani. Saya bersumpah tidak sedang
membual." Thaha maju ke depan menyalami lelaki itu. Ia merasakan
kepalan tangannya yang kuat. Ia memandangi wajahnya
yang cukup bersemangat menyambutnya dan kata-kata
Syekh Syakir terngiang di telinganya.
"Thaha, saya kenalkan dirimu dengan izin Allah kepada
saudara seagamamu Bilal, pemimpin militer di sini.
Bersama Syekh Bilal kamu akan belajar bagaimana kamu
mengambil hak-hakmu dan membalas orang-orang yang
sesat itu." Suad mulai tersadar. Ia merasa berat ketika hendak
membuka kedua kelopak matanya. Ia merasa mual dan
pusing. Tenggorokannya kering dan terasa menyiksanya.
Sedikit demi sedikit ia menaburkan pandangan ke sekitar. Ia
segera tahu kalau ternyata dirinya tengah terbaring di
rumah sakit. Sebuah ruang yang lebar dengan atap yang
tinggi. Di depan ada tempat duduk unik, meja kecil di
sudut, dan dua pintu dengan dua jendela kaca bulat
menyerupai pintu-pintu rumah dalam film Mesir di tahun
1940-an. Di samping ranjang, berdiri seorang perawat yang
memerhatikan Suad dan meletakkan tangannya di wajah
Suad. Ia tersenyum. "Alhamdulillah, Anda selamat. Tuhan memuliakan
Anda. Anda mengalami pendarahan yang sangat parah."
"Oh, penipu!" teriak Suad.
Suad kontan menjerit dengan suara melengking
memecah keheningan ruangan itu, perawat itu meninggalkannya. Ia berteriak layaknya macan bunting
yang tengah kesurupan. "Kalian semua telah mengugurkan kandunganku. Aku
doakan kalian terlaknat dan celaka selama-lama-nya."
Perawat itu lalu keluar dari kamar dan Suad yang tengah
dikuasai amarah. Ia menendang-nendangkan kakinya
seraya berteriak keras, kembali memecah suasana hening di
rumah sakit. "Hai, para pendosa yang mengugurkan kandungan! Aku
akan cari polisi yang jujur! Aku akan tuntut kalian!"
Pintu lalu terbuka dan seorang dokter muda datang
dikawal seorang perawat. "Aku hamil dan kalian mengugurkan janinku?"
Dokter itu tersenyum meski dikatakan penipu, tampaknya ia khawatir akan kondisi Suad.
"Anda dalam keadaan lemah dan mengalami pendarahan. Sebaiknya Anda menenangkan diri karena
emosi bisa menyakiti Anda."
Suad menjerit kembali. Ia menjerit, memaki, dan
menangis, lalu dokter itu keluar. Akan tetapi, pintu terbuka
lagi, terlihat Hamid, saudara lelakinya, dan Fawzi, anak
Azzam. Hamid, kakak Suad, cepat mendekatinya,
menciumnya lalu terhanyut dalam tangis. Ia memeluk Suad
erat. Wajah Hamid memperlihatkan rasa iba, ia menggigit
kedua bibirnya tanpa bicara. Fawzi menarik tempat duduk
dari pojok ruangan dan duduk di samping ranjang. Ia
kemudian menghadapkan wajahnya ke samping sambil
berkata dengan aksen yang jelas, mengeja fasih setiap huruf
yang keluar seakan mendiktekan pelajaran kepada anakanak kecil. "Dengarkan saya, Suad. Segala sesuatu adalah takdir.
Haji Azzam bersepakat dengan Anda dan Anda menyalahinya. Seorang yang memulai tentu lebih tidak baik."
"Tuhan akan membalasmu dan ayahmu, wahai
pendosa!" "Hati-hatilah berkata Suad!"
Fawzi berkata tak kalah keras, wajahnya mulai terlihat
marah dan bengis. Ia lalu terdiam sebentar, menyabarkan
diri, dan kembali berbicara.
"Dengan etika Anda yang rendah, Haji Azzam masih
memperlakukan Anda dengan baik. Keadaan kritis dan
pendarahan Anda sangat parah. Kami harus membawa
Anda ke rumah sakit dan dokter terpaksa mengugurkan
kandungan. Bukti-bukti dokter ada dan keputusan dokter
ada. Katakan kepadanya, Hamid!"
Hamid menundukkan wajahnya, terdiam, sementara
Fawzi meneruskan kata-katanya, "Ayahku, Haji Azzam,
menalak Anda dan memberi lebih banyak dari hak-hak
yang seharusnya Anda dapatkan. Tuhan memperbolehkannya. Pembayaran dan nafkah ia yang
menanggung, serta masih ada tambahan dari kami. Hamid
sudah membawa cek senilai 20.000 pound. Biaya perawatan
sudah dibayar dan setiap keperluan Anda kami yang
menanggungnya sampai saatnya nanti Anda pulang ke
Iskandariah." Ruangan lalu terasa hening, Suad mulai merasakan
dirinya roboh. Ia hanya mampu menangis dengan suara
merintih. Fawzi bangkit dan ketika itu ia merasa dirinya
sempurna, seakan semua yang ada di dunia ini tergantung
pada apa yang dikatakannya. Ia melangkahkan kaki menuju
pintu lalu berputar seakan teringat sesuatu.
"Hamid, nasihatilah saudari Anda. Pemikirannya lemah.
Kisah hidupnya adalah lembaran yang sudah lewat. Hakhaknya telah ia terima dari orang yang dia benci. Kami
masuk dengan baik dan keluar juga dengan baik. Jika Anda
dan saudari Anda membuat perkara lagi, kami tahu apa
yang harus kami lakukan. Negara ini milik kami, Hamid.
Tangan kami panjang dan kami memiliki semua warna.
Pilihlah warna yang lebih membuat Anda nyaman."
Ia lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan,
menutup pintu keluar yang sudah berada di belakangnya.
Layaknya orang yang menghilangkan debu nakal yang
menempel di bagian depan jasnya lalu berjalan seakan
sesuatu tak pernah terjadi, begitulah Azzam yang terlepas
dari Suad dan berhasil melupakan kerinduan terhadap
tubuh hangatnya yang telah membuatnya terbiasa. Ia
mengerahkan segala kemampuan untuk melupakannya,
meski itu menyakitkan. Azzam sengaja menghadirkan
wajah Suad yang galak dan pembenci di akhir-akhir
pertemuannya, mengkhayalkan masalah-masalah
dan tragedi yang akan ditemuinya jika ia tak meninggalkannya,
serta mencoba menghibur diri bahwa perpisahannya dengan
Suad, yang telah memberinya saat-saat indah, tidak terlalu
membebaninya karena pengalaman seperti itu sangat
mudah terulang dengan banyak wanita cantik yang miskin.
Pernikahan bagi Azzam adalah barang halal yang tak bisa
dianggap aib oleh siapa pun.
Ini semua ia lakukan untuk menepis wajah Suad dari
romantisme kenangan-kenangannya. Ia menyibuk-kan diri,
selalu menghanyutkan diri dengan pekerjaan untuk
menepisnya, menggerus kenangan-kenangan itu sampai ke
akar-akarnya. Berkaitan dengan pembukaan agen mobil Jepang, Tasso,
ia bersama kedua anaknya, Fawzi dan Mu'min,
merencanakan sebuah acara besar di Hotel Semiramis dan
mengundang semua pembesar negara.
Dan sekarang kesemuanya telah datang. Menteri,
mantan menteri, petinggi pemerintahan, pimpinan me-dia
massa. Persahabatan dengan mereka mengharuskan Azzam
memberikan hadiah puluhan mobil atau menjual kepada
mereka dengan harga murah melalui kesepakatan dengan
pihak Jepang. Pesta berlanjut hingga larut. Televisi
menyiarkan sebagian dari beberapa penggal acava, begitu
pula sebagian besar surat kabar meliput acara itu sebagai
berita utama. Wartawan ekonomi menulis di harian AtAkhbar bahwa keberanian membuka agen Tasso merupakan langkah besar dengan semangat nasionalis yang
dilakukan oleh seorang pebisnis pribumi seperti Azzam
dengan tujuan memecahkan monopoli mobil-mobil Barat.
Koran itu juga mengajak para pebisnis Mesir untuk memilih
jalan sulit seperti yang ditempuh Azzam demi kebangkitan
Mesir dan keselamatan ekonominya.
Dalam jangka waktu dua minggu, berbagai surat ka-mbar
disesaki foto Azzam dengan pernyataan-pernyata-annya.
Foto yang terpampang ketika menandatangani perwakilan
itu memperlihatkan dirinya dengan perawakan yang tegap,
wajah komersial, pandangan tajam bak musang, dan di
sampingnya duduk Mr. yen Ki, pemimpin eksekutif Tasso
dengan tampang Jepang yang kental, berkarakter, pandangan lurus, serta wajah menarik dan serius.
Penampakan keduanya seakan mengabarkan perbedaan apa
yang sedang terjadi di Mesir dan Jepang.
Agen mobil ini pada bulan-bulan pertama telah
menghasilkan jumlah penjualan yang tak terduga sebelumnya. Keuntungan sangat banyak yang diterima
Azzam mendorongnya untuk bersyukur kepada Allah atas
nikmat ini. Ia mengeluarkan puluhan ribu pound untuk
bersedekah. Pihak Jepang selanjutnya menawarkan proyek
tambahan kepada Azzam untuk membuka layanan bengkel
mobil di Kairo dan Iskandariah. Azzam menghabiskan hariharinya dengan kebahagiaan mutlak, kecuali satu hal yang
menyebabkan ia kadang merasa kecewa terhadap prospek
bisnisnya. Ia mencoba melupakannya, tetapi tak mungkin.
Kamal al-Fuli telah menuntutnya untuk bertemu dan
Azzam masih mencoba terus menunda-nunda hingga tiada
lagi alasan. Akhirnya, ia pergi menemui al-Fuli di Hotel
Sheraton. Ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi
berbagai masalah. Pemandangan rumah sakit itu sungguh sangat kontras.
Ruangan gelap di siang hari dan manusia yang berdesakberdesakan seperti gerbong kereta api kelas tiga. Wanitawanita berdiri menggendong anak mereka yang sakit, bau
keringat menyengat, serta lantai serta dinding yang sangat
kotor. Sebagaian perawat terlihat mengatur pasien masuk ke
ruang pemeriksaan. Wanita-wanita mengantre sembari
Patung Dewi Kwan Im 3 Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game Ratu Petaka Hijau 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama