Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani Bagian 5
saling menyerapah, bahkan saling dorong berebut urutan
karena panik, hingga terjadi kegaduhan yang tak berakhir.
Hatim Rashid menemani Abduh dan Hadya yang
membawa anak mereka yang tak mau berhenti menangis.
Mereka masih saja berdiri di tengah kerumunan. Hatim
mendekati salah satu perawat dan minta izin bertemu
dengan pemimpin rumah sakit. Perawat itu hanya
melihatnya tanpa peduli. Ia mengatakan atasannya tidak
ada di tempat saat ini. Abduh terus terlibat cekcok ketika orang di sekelilingnya
memaksanya menunggu antrean agar anaknya dapat
diperiksa. Hatim keluar rumah sakit dan melakukan
beberapa pembicaraan lewat telepon genggam yang tak
pernah lepas dari sakunya. Hasilnya, wakil pimpinan
rumah sakit itu, seorang dokter, keluar dan meminta maaf
karena tidak ada kepala rumah sakit. Perawakannya yang
gemuk dan kulitnya yang putih mengisyaratkan dirinya
yang peka, baik, dan sederhana. Ia memeriksa anak itu.
Akan tetapi, mukanya memperlihatkan raut sedih.
"Sayang sekali, terlambat. Anak ini sudah begitu kritis. Ia
terkena demam tinggi."
Dokter itu menuliskan resep dan memberikannya kepada
Abduh. Mendadak Abduh merasakan tulang-tulangnya
melemah. Ia menangis dan memeluk istrinya meski ia
masih sempat merokok. Ia segera menggendong anak itu
dan pergi dengan perawat yang ditunjuk dokter. Anak itu
dibawa ke ruang gawat darurat. Perawat telah memasang
tabung infus di lengannya yang kurus. Wajahnya sudah
pucat dan matanya cekung. Suara tangisnya kian mengecil
mengundang rasa iba dan sedih pembesuk-pembesuk lain
yang melihatnya. Perawat memberikan pengertian. "Hasil
pengobatan akan terlihat paling tidak setelah dua jam.
Tuhan Mahabesar." Suasana hening terjadi kembali. Hadya mulai menangis
lagi, suaranya hampir habis. Hatim mendekat di samping
Abduh, lalu menepuk pundaknya dan mengambil sejumlah
uang dari sakunya untuk Abduh.
"Ambillah, Abduh. Ini untuk biaya pengobatan. Jika
perlu sesuatu, hubungi aku. Aku harus kembali ke kantor.
Aku akan menemanimu malam nanti."
"Andai aku sudah bertemu denganmu dari dulu."
"Kenapa?" "Hidupku kini semuanya telah berubah."
"Tapi, kita masih hidup. Ayolah, ubah hidupmu lagi."
"Berubah bagaimana, Busainah" Aku sudah 65 tahun. Ini
artinya saya su'ui kha timah, akhir yang buruk."
"Siapa yang mengatakan itu kepadamu" Mungkin kau
masih akan hidup sampai dua puluh atau tiga puluh tahun
lagi. Hanya Tuhan yang tahu."
"Semoga. Aku ingin sekali hidup tiga puluh tahun lagi."
Keduanya tertawa. Zaki dengan suaranya yang parau
dan Busainah dengan desahnya yang merdu. Keduanya
sedang berbaring telanjang di ranjang. Zaki memeluknya,
merasakan rambut Busainah yang lembut dan lebat terurai
di pundaknya. Busainah menghabiskan waktu dengan bertelanjang,
membuatkan Zaki kopi dan menyiapkan segelas wiski serta
sesisir pisang. Dari waktu ke waktu keduanya hanya tidurtiduran berduaan. Terkadang Zaki memeluk Busainah.
Terkadang sekadar terlentang berdua. Zaki mematikan
lampu kamar dan memandangi wajah Busainah dalam
gelap dengan sedikit sorot cahaya yang menembus jendela
flat dari Jalan Sulaiman Pasha. Sekilas seakan kensempatan itu bukan kenyataan, melainkan mimpi terindah
mereka di sepanjang masa. Suasana malam akan segera
lenyap dengan datangnya sinar fajar, tapi keduanya masih
saja bercengkerama. Suara mereka mengendap dalam
malam yang larut, indah dan hangat.
Busainah berkata sambil memandangi langit-langit.
Suaranya terdengar lembut, "Kapan kita akan pergi?"
"Pergi ke mana?"
"Kamu berjanji padaku untuk pergi bersama," jawab
Busainah sambil mengarahkan wajahnya ke arah Zaki.
"Kamu masih membenci negaramu?"
Busainah hanya menengadahkan kembali wajahnya ke
langit-langit. "Aku tak habis pikir tentang generasimu sekarang,
Busainah. Pada masaku, nasionalisme dan cinta tanah air
seperti agama. Banyak pemuda meninggal dalam perjuangan melawan Inggris."
Busainah bangkit. "Kau melakukan demonstrasi karena ingin mengusir
Inggris" Apakah negara kemudian membaik?"
"Penyebab hancurnya negara ini adalah tidak ada-nya
demokrasi. Jika saja sistem demokrasi yang benar
ditegakkan, maka akan menjadi kekuatan yang besar. Mesir
telah dikuasai tirani yang pada akhirnya menyebabkan
kemiskinan, kerusakan, serta kegagalan di setiap lini
kehidupan." "Ah, itu kata-kata besar, idealis. Aku hanya ber-mimpi
sebatas aku bisa. Aku bisa hidup enak, punya keluarga,
dengan seorang pria yang setia mencintaiku, anak-anak
yang aku didik, serta rumah kecil, asri, dan nyaman sebagai
ganti rumah di atas atap. Aku ingin pegi ke negeri yang
bersih tempat tak ada kemiskinan maupun penganiayaan.
Saudara temanku pergi ke Belanda. Dia menikah dengan
orang Belanda dan tinggal di sana. Dia mengatakan, di sana
tidak ada kemiskinan dan kesewenang-wena-ngan seperti di
negara kita. Setiap orang mendapat haknya, manusia saling
menghormati, bahkan tukang sapu di jalan pun dihormati.
Makanya aku ingin pergi ke luar negeri, hidup di sana, dan
aku akan menjadi mulia. Aku bisa bekerja baik-baik sebagai
ganti melayani orang seperti Tallal dengan hanya menerima
10 pound. Bayangkan, ia mengerjaiku habis-habisan hanya
dengan 10 pound! Seharga dua bungkus rokok Marlboro!
Kesintingan macam apa ini" Dengan begitu aku sungguh
merasa sebagai wanita paling hina yang berjalan di muka
bumi, lebih hina dari anjing betina yang tengah bunting."
"Kamu butuh uang dan orang yang kepepet tidak pernah
berpikir. Busainah, aku tidak menginginkan kamu hidup
dengan bayangan masa lalumu. Apa yang sudah terjadi
adalah lembaran hidup yang sudah lewat. Berpikirlah ke
depan. Kita sekarang bersama, hidup senang, dan aku tak
penah melecehkanmu."
Keduanya terdiam. Zaki terus mencoba menghibur
Busainah supaya tak tenggelam dalam kesedihan. "Di
tanganku, satu atau dua bulan ke depan, akan ada banyak
uang dan kita akan pergi."
"Benarkah?" "Benar." "Pergi ke mana?" "Prancis."
Busainah kegirangan, bertepuk tangan layaknya anak
kecil. Ia merayu dan memanjakan Zaki.
"Tapi, kamu harus hati-hati dengan kesehatanmu.
Jangan sampai semua hanya tinggal cerita."
Ketika Busainah tersenyum bahagia, wajahnya terlihat
berbinar dan cantik, seakan dia dikagetkan dengan
datangnya bintang jatuh. Ia memeluk Zaki sebegitu kuatnya
seakan tak mau kehilangan dirinya. Zaki memeluknya.
"Kita sepakat?"
"Sepakat." Zaki memulai dari tangan Busainah. Mulai menciumi
jari-jemarinya satu persatu lalu berpindah ke telapak
tangan, lengan, kemudian dadanya yang lembut dan
montok. Saat menikmati leher Busainah, Zaki menyibak
rambutnya ke atas untuk mengulum kupingnya yang
mungil dan indah. Busainah merasakan tubuhnya bergetar
penuh nafsu. Itu dimulai dari bisikan. Busainah mendesah, membisikkan kata-kata yang lembut. Suara bisikannya yang
lirih terhenti ketika Zaki mengecup bibir Busainah dengan
ciu-man-ciuman hangat. Keduanya terus berpelukan,
mendesah berulang-ulang. Kamar tempat keduanya tidur
bersama memang terbuka sejak semula. Namun, Zaki
merasa ada seseorang yang melangkahkan kakinya di ruang
depan. Zaki bangkit dari ranjang, meski masih telanjang.
Busainah menjerit dan sedapatnya mengambil pakaian
untuk menutupi tubuhnya yang polos karena melihat
pemandangan yang serupa mimpi buruk. Kejadian itu tidak
akan mungkin terlupakan oleh Zaki dan Busainah
selamanya. Lampu kamar dihidupkan dan seketika terlihat
seorang polisi dengan pakaian resmi, di belakangnya berdiri
seorang intel berpakaian preman dan Dawlat. Wanita tua
itu melangkah maju. Dia tersenyum sinis. Seketika
suaranya terdengar meninggi, tajam dan benci setengah
mati, "Lelaki tua tak tahu malu! Setiap hari mencari wanita
dan berzina dengannya. Selesai sudah perbuatan najis ini!"
"Jaga mulutmu, Dawlat."
Kemarahan tampak memancar dari wajah Zaki.
Tubuhnya masih telanjang dan matanya membelalak
marah, ia mengambil dan memakai celana sekenanya,
berteriak sambil memakainya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Dawlat" lelucon apa ini"
Siapa yang mengizinkanmu masuk kantorku" Apakah polisi
ini punya surat tugas resmi?"
Polisi muda itu menjawab tegas dengan wajahnya yang
mengisyaratkan permusuhan sejak awal, dengan suara
tenang, "Anda mengajari saya" Saya tidak butuh izin.
Nyonya ini saudara wanita Anda dan tinggal bersama
Anda. Ia berani melawan karena Anda melakukan
perbuatan kotor di rumahnya dan menuntut larangan
memanfaatkan harta benda."
"Omong kosong. Ini kantorku, tempat pribadiku. Ia tidak
tinggal bersamaku di sini."
"Namun, dia memiliki kuncinya. Kami masuk dengan
kunci itu" "Bahkan, meski dia memiliki kunci, ini kantorku, atas
namaku. Catat ini di pengaduan itu. Aku akan mengutuk
kalian puluhan tahun. Kalian harus membayar mahal atas
tindakan menginjak-injak kehormatan ini."
"Kehormatan wanita kotor dan dirimu!" Dawlat
menimpali protes Zaki. Matanya semakin melebar dan ia
mendekati Zaki. "Jaga mulutmu, Dawlat!"
"Kamu yang seharusnya menjaga mulutmu, lelaki tak
tahu diri!" "Diamlah, Nyonya!" Polisi itu berpura-pura galak
terhadap Dawlat supaya menutupi keberpihakannya kepada
Dawlat. Ia lalu berkata kepada Zaki, "Dengarkan, Zaki Bey.
Anda tidak punya alasan untuk berpura-pura." "Anda ingin
apa sebenarnya?" "Kita tetapkan kasus ini dan saya ingin pengakuan
Anda." "Kasus apa yang akan Anda tetapkan" Anda dipesan.
Dipesan untuk mencuri!"
"Sudah jelas Anda tidak berakhlak. Dengarkan apa yang
saya katakan untuk terakhir kali dan biarkan malam Anda
berjalan dengan baik."
"Anda mengancamku" Biarkan aku berbicara di telepon
dan akan kutunjukkan Anda ini siapa."
"Oh, ya" Baik, itu hak Anda," tukas polisi itu.
Zaki semakin naik pitam. "Kemarilah Anda dan pelacur itu," kata polisi itu lagi. Ia
rupanya hendak menangkap Zaki dan Busainah.
"Kuperingatkan Anda untuk tidak menggunakan katakata yang bisa kutuntut. Bukan hak Anda menangkap
kami." "Saya ajarkan mana hak saya dan yang bukan."
Polisi itu lalu berbalik dan menyuruh si intel berpakaian
preman, "Tangkap mereka!"
Intel itu mengikuti isyarat si polisi, menangkap serta
memborgol Zaki dan Busainah. Zaki melawan dan mulai
mencaci sambil membela diri, tetapi intel itu mencengkeramnya kuat-kuat. Sementara itu, Busainah
hanya bisa berteriak sambil meminta belas kasihan, tetapi
mereka mengikatnya, meringkusnya, dan menyeretnya
keluar. Pada awalnya, Thaha merasakan keletihan menyesaki
hari-harinya. Bangun sebelum fajar, menunaikan salat,
membaca Alquran, sarapan pagi, lalu selama tiga jam
menjalani latihan keterampilan dan seni berperang yang
keras. Setelah itu ia berkumpul dengan para ikhwan dalam
pelajaran fikih, ilmu tafsir dan hadis yang diberikan oleh
Syekh Bilal serta beberapa ulama lain. Setelah zuhur,
mereka berlatih menggunakan senjata, membuat bom, dan
mengoperasikannya. Irama hidup di kamp militer itu sungguh cepat sehingga
bagi Thaha tidak ada waktu dan kesempatan untuk berpikir,
sekalipun sejenak. Ketika sampai waktu malam setelah salat
isya, pembicaraan orang-orang terjadi sekitar perdebatan
agama yang dijejali dalil-dalil syar'i, me-ngafirkan sistem
yang ada dan kewajiban untuk menghancurkannya. Dan
ketika waktu tidur datang, mereka berpencar, yang sudah
menikah kembali ke rumah keluarga masing-masing, lalu
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersetubuh dengan istri-istri mereka. Sedangkan yang masih
lajang, kembali ke kamar-kamar kecil khusus untuk mereka.
Saat itu, setelah lampu dimatikan, suasana terasa sepi.
Thaha al-Syadzili menelentangkan tubuhnya di atas
ranjang. Satu-satunya jeda waktu untuk mengingat kembali
kejadian-kejadian hidupnya yang lalu.
Seakan secercah cahaya menakjubkan tepercik dari
ingatannya. Ia tiba-tiba melihat Busainah, mantan
kekasihnya. Thaha menjadi terkenang. Pikirannya dihinggapi kerinduan dan terkadang tersenyum sendiri
olehnya. Ia mengingat hari-harinya yang indah bersama
Busainah lalu tiba-tiba marah ketika mengulang-ngulang
kata Busainah yang pesimis, "Cerita kita telah usai, Thaha.
Masing-masing kita kini menjalani hidup sendiri-sendiri."
Semuanya telah berlalu. Semuanya hanya tinggal
kenangan. Mendadak kepala Thaha seakan merasakan
pukulan bertubi-tubi ketika teringat tragedi pengasingan,
penyiksaan, dan penghinaan. Muncul perasaan bahwa
dirinya lemah, hina, dan kalah. Telah berkali-kali mereka
memerkosa martabat dan harga dirinya. Dia merengek
meminta belas kasihan kepada mereka supaya mereka tidak
menembuskan tongkat itu ke anusnya. Suaranya yang pelan
dan terputus-putus ketika mereka memerintahkannya untuk
berkata, "Saya wanita", lalu mereka memukulnya dan
menanyakan siapa namanya. Thaha harus menjawab
dengan suara parau, "Fauziah!" Seketika itu mereka tertawa
semakin keras, seakan mereka sedang menonton film
komedi. Thaha mencoba melawan semua perasaan itu hingga ia
sulit tertidur. Dirinya masih belum terpejam, memeriksa
bekas luka-lukanya. Wajahnya sendu dan napasnya tibatiba terengah-engah. Ia tergeragap, seakan dirinya sedang
bermusuhan dan memiliki dendam yang takkan redup
hingga ia mampu mendengar suara orang-orang yang telah
menyiksanya. Ia sungguh ingin membunuh mereka. Thaha
mencoba mengingat suara mereka, membeda-bedakannya,
dan menyimpannya di dalam mesin memorinya yang paling
kuat. Keinginan yang membara menyemangati tubuhnya
untuk keluar dari tekanan. Ia merindukan balas dendam
serta berkhayal dirinya akan membantai orang-orang yang
menyiksa dan merendah-kan harga dirinya itu. Kehausan
untuk balas dendam menguasai dirinya, membuncah hingga
mendorongnya untuk terus memperoleh kemajuan dalam
latihan militer. Meskipun umurnya masih muda, ia mampu mengalahkan kemampuan senior-seniornya dalam adu fisik.
Setelah beberapa bulan, ia telah mahir menggunakan
senjata hingga akhirnya terampil juga merakit bom tangan
dengan mudah dan meyakinkan. Kemajuannya yang
menakjubkan mengagetkan teman-temannya. Dalam sebuah latihan, ia tidak pernah melenceng dalam
mengarahkan tembakannya. Syekh Bilal mendekatinya dan
menepuk punggungnya, "Tuhan memberkatimu, Thaha. Kamu pantas menjadi
guru dalam menembak."
"Lalu kapan Anda mengizinkan saya berjihad?" sahut
Thaha dengan berani. Syekh Bilal diam sebentar lalu berkata dengan penuh
sayang seorang bapak, "Jangan terburu-buru, Anakku.
Segala sesuatu ada waktunya."
Syekh Bilal pergi begitu saja, sengaja untuk memutus
pembicaraan. Thaha pun tak sempat memikirkan jawaban
yang masih gelap bagi dirinya. Thaha merasa harus balas
dendam. Dia sadar dirinya sudah siap melakukan operasi
pembalasan, lalu, apa alasan penangguhan ini" Thaha tidak
kalah dari para ikhwan yang sudah keluar untuk berjihad,
lalu kembali ke kamp militer dengan kebanggaan atas apa
yang mereka lakukan. Mereka dengan bangga menerima
ucapan selamat dari para ikhwan yang lain.
Thaha sudah datang lebih dari sekali ke kantor Syekh
Bilal untuk memintanya mengirim dirinya beroperasi. Akan
tetapi, Syekh Bilal masih mengabaikannya dengan jawaban
yang selalu tak jelas. Akhirnya, Thaha marah dan berkata
sinis, "Sebentar lagi. Sebentar lagi.
Anda selalu berkata demikian. Kapan waktu yang sudah
dekat itu" Anda melihat saya memang tak pantas untuk
berjihad. Mengapa Anda tak segera memberitahukan agar
saya pergi dari kamp militer ini secepatnya."
Senyuman Syekh Bilal melebar seakan semangat Thaha
membahagiakannya. "Pasrahkan dirimu kepada Allah. Kamu bakal mendengar kabar gembira, insya Allah."
Belum lewat satu minggu, sebagian ikhwan memberitahukan kepada Thaha bahwa Syekh Bilal
memanggilnya. Setelah selesai salat zuhur, Thaha bergegas
ke kantor Syekh Bilal, sebuah ruangan sempit dengan meja
unik dan beberapa tempat duduk usang serta karpet dari
daun kurma. Syekh duduk di atasnya sembari membaca
Alquran, seakan-akan terhanyut dalam bacaan. Ia tidak
sadar jika Thaha telah berada di sampingnya. Syekh Bilal
tersenyum dan menyambutnya lalu mengajaknya duduk di
sampingnya. "Aku memanggilmu karena ada perkara penting."
"Apa pun perintah Anda."
"Dengarkan, Anakku. Kami memutuskan supaya kamu
menikah!" Begitulah Syekh Bilal berkata sembari tersenyum
tanpa mukadimah, sungguh seharusnya itu mengejutkan
bagi Thaha. Akan tetapi sebaliknya, Thaha tak bereaksi
sedikit pun. Wajah Thaha yang kecokelatan murung dan ia
berkata dengan berat, "Saya tidak paham."
"Menikahlah. Kamu tidak paham arti menikah?"
Thaha menjawab dengan suara agak tinggi, "Tidak.
Sungguh saya tidak paham. Saya tidak paham karena saya
datang kepada Anda supaya mengizinkan saya berjihad,
tetapi Anda malah berbicara tentang pernikahan. Apakah
saya datang ke sini untuk menikah" Saya tidak mungkin
memahami ini sampai kapan pun. Anda hanya ingin
memalingkan saya saja!"
Untuk pertama kali wajah Syekh Bilal terlihat marah.
"Tidak pantas untukmu berbicara seperti ini. Aku ingin
kamu lebih menjaga diri. Saya bisa marah kepadamu.
Kamu ingin membalas dendam orang-orang yang telah
menyiksamu" Aku katakan, kamu bukan satu-satunya
korban mereka. Mereka telah menyiksa ribuan saudara kita.
Aku sendiri menanggung akibat penyiksaan itu. Ada bekas
luka di wajahku sebagaimana kamu lihat sendiri. Akan
tetapi, aku tidak kehilangan akal jernih meski setiap hari
wajahku terlihat tua. Kamu mengira aku mengha-langimu
berjihad. Tuhan Mahatahu bahwa otoritas itu tidak ada
padaku. Aku tidak punya kuasa untuk mengambil
keputusan dan aku tidak mengetahuinya, kecuali pada
detik-detik terakhir nanti. Aku pemimpin kamp militer ini,
bukan pemimpin umum, dan bukan pula bagian dari
Majelis Syura Jamaah. Aku ingin kamu memahami lebih
santai dan mengikutiku. Aku bukan pengambil keputusan.
yang bisa aku lakukan hanyalah merekomendasikan
namamu kepada para ikhwan di Majelis Syura dan aku
sudah memberitahukan kepada mereka berkali-kali. Itu
sudah aku lakukan. Aku sudah menuliskan berbagai
keterangan tentang keberanian dan keunggulanmu di dalam
latihan. Akan tetapi, mereka belum memberikan keputusan
untuk mengirimmu. Itu bukan kesalahanku. Itu di luar
kuasaku. Namun, aku yakin dengan pengalamanku selama
ini, mereka akan memanggilmu dalam waktu dekat.
Dengan izin Tuhan!" Thaha terdiam, sedikit menundukkan kepala. "Maafkan
saya atas cara saya yang emosional. Allah tahu betapa saya
mencintai dan menghormati Anda." "Tidak apa, Nak."
Syekh Bilal berzikir dengan tasbihnya. Lalu Thaha
melanjutkan kata-katanya dengan nada yang simpatik,
seakan mencoba menghilangkan tekanan. "Namun, saya
masih heran dengan soal pernikahan itu."
"Apa yang kamu herankan" Pernikahan adalah sunah
Tuhan bagi makhluk-Nya. Tuhan mensyariatkannya untuk
kebaikan individu dan sosial manusia. Kamu adalah
pemuda yang memiliki kebutuhan-kebutuhan alami.
Pernikahanmu merupakan bagian dari ketaatan kepada
Tuhan dan Rasul-Nya. Rasul sendiri mengatakan, barang
siapa yang mampu menikah maka menikahlah. Rasul juga
mengajarkan kepada kita untuk mempermudah pernikahan
dan menyegerakannya untuk menghindari kerusakan umat
Islam. Kita hidup dan mati di atas ajaran Tuhan dan RasulNya, tidak melanggarnya sedikit pun. Aku telah
memilihkanmu seorang wanita yang baik dan salehah. Aku
berkata sebenarnya."
"Aku harus menikahi wanita yang tidak aku kenal?"
Begitulah Thaha menjawab tanpa berpikir. Lalu Syekh
Bilal tersenyum. "Kamu akan mengetahuinya dengan izin Allah. Dia
bernama Radlwa Sayyid Abui 'Ala. Wanita Islam teladan,
janda saudara Hassan Nuruddin dari Asyuth. Ketika
suaminya syahid, dia mengandung dan melahirkan anaknya
yang masih kecil, lalu ia ke sini untuk hidup bersama kita
dengan kehidupan islami."
Thaha terdiam dan di wajahnya tersimpul keraguan.
Syekh Bilal melanjutkan perkataannya, "Aku berlindung
kepada Tuhan untuk mewajibkan sesuatu kepadamu. Kamu
akan bertemu dengan Ridwa, melihat wajahnya, dan
berbincang-bincang dengannya, sebagaimana yang telah
diajarkan oleh agama, lalu kamu mengambil keputusan
dengan bebas. Saya berharap kamu membaca kembali buku
pernikahan di dalam Islam yang telah aku berikan
kepadamu. Dan ketahuilah, menikahi janda seorang syahid
dan menghidupi anaknya yang yatim akan melipatgandakan pahalamu. Dengan izin Allah."
Malam terus merambat. Kondisi kesehatan anak Abduh
semakin memburuk, layar deteksi menunjukkan pernapasan
dan detak jantung yang tak teratur. Dokter yang
bertanggung jawab datang bergegas dan memerintahkan
perawat untuk memberikan suntikan supaya keadaannya
sedikit membaik. Akan tetapi, setelah satu jam keadaan
anak itu menurun drastis hingga akhirnya ia meninggal
dunia. Perawat ikut tersentuh, iba dan menangis haru, lalu
keluar dari ruang pemeriksaan. Baru beberapa langkah
sebelum sampai, Hadya tiba-tiba menangis keras dengan
suara yang menggelegar sampai ke seluruh pojok rumah
sakit. Ia menjatuhkan dirinya di lantai, menutup kepala
dengan kedua tangannya. Ia terlihat terpukul. Abduh
dengan wajahnya yang kecokelatan terlihat memelas.
Giginya menggigit bibir bawahnya. Tangannya mengambil bungkus rokok dan merobek-robeknya. Tembakau bertebaran dari jari-jarinya serupa debu. Ia
mengerahkan segala kemampuan untuk tidak menangis.
Tetapi, dia seorang ayah yang memiliki hati. Hatinya
guncang. Perasaannya koyak. Abduh pun ikut terisak.
Semua yang hadir di situ, petugas kebersihan, perawat,
dan pembesuk pasien yang lain ikut bersedih. Bahkan,
dokter harus melepas kacamatanya untuk membiarkan air
matanya mengalir. Abduh dan istrinya, Hadya, menyimpan
jenazah anak itu di pendingin kamar mayat rumah sakit
hingga pagi datang dan jenazah akan dikuburkan.
Pemandangan mengharukan terjadi ketika tubuh kecil dan
ceking itu diletakkan di samping tubuh-tubuh besar. Petugas
yang meletakkan mayat anak itu tak mampu menutupi rasa
iba dan melantunkan kalimat /aa itaaha illallahu, inna
lillahi wa inna ilaihi raajiuun berkali-kali sambil
menggelengkan kepala. Para penghuni atas atap Apartemen yacoubian telah
mengetahui kabar tersebut pada malam itu juga. Mereka
membuka pintu rumah mereka dan menunggu dengan
diam, seakan mereka berada dalam lorong-lorong
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesedihan. Salah satu di antara mereka yang memiliki tape recorder
memutar murattat ayat Alquran dengan suara yang cukup
keras, sebagaimana kebiasaan masyarakat Mesir, hingga
terdengar di setiap pojok lantai menembus ke luar
apartemen. Sebelum fajar, Abduh dan Hadya kembali dan
langsung ke atas menaiki tangga. Kegundahan karena
perginya anak semata wayang telah membebani mereka.
Seluruh penghuni atas atap itu berusaha menenangkan
Abduh dan Hadya, tetapi kesedihan di mata mereka tetap
saja terbaca. Semua penghuni pria bergantian memeluk
Abduh dan memegang kedua tangannya. Mereka mengungkapkan sangat tersentuh dengan kejadian ini.
Bahkan, di antara mereka yang paling membenci Abduh
seperti Ali al-Sawaq yang mulutnya selalu berbau arak
murahan, menangis seperti anak kecil. Adapun Muhammad al-Syadzili, bawwab apartemen yang sudah tua
dengan kumisnya yang putih dan perawakannya yang tinggi
merasa ikut terluka ketika menyalami Abduh. Di antara
keduanya memang ada kasih sayang. Abduh
memeluknya dengan erat dan mengubur wajahnya di jubah
Muhammad al-Syadzili yang putih. Ia berkata memelas,
"Anakku pergi, ammu."
Sudah diketahui bagaimana para wanita menanggapi
kejadian menyedihkan itu. Teriakan tangis mereka
memekik memecah kesunyian dini hari. Di antaranya ada
yang menjatuhkan diri ke lantai. Akan tetapi, sedikit demi
sedikit suasana semakin tenang. Para laki-laki mengantar
Abduh supaya mengajak istrinya kembali ke kamar untuk
beristirahat sejenak, karena besok pagi adalah hari yang
berat untuk mereka. Keduanya menurut dan masuk ke
kamar. Sinar lampu kamar masih saja menyala sampai subuh.
Keduanya tak tidur. Rupanya Abduh dan Hadya ber-debat
panjang. Semakin lama suara keduanya semakin keras
hingga sampai ke luar. Keduanya bertengkar fisik. Suara
Hadya terdengar makin keras. Suara Abduh kian melemah
hingga akhirnya diam sempurna.
Di hari berikutnya, setelah selesai prosesi penguburan
dan perkabungan, penghuni atas atap apartemen itu
dikejutkan oleh mobil pengangkut besar yang berhenti di
malam hari, tepat di depan pintu masuk apartemen. Mereka
melihat Abduh membantu para pekerja yang sengaja disewa
untuk mengangkat barang-barang dari kamar. Para
penghuni itu terkejut. Abduh memberi tahu mereka bahwa
dirinya akan pindah ke kawasan Embaba malam itu juga.
Wajah Abduh terlihat murung dan cara berjalannya
sungguh lunglai sehingga tak memperlihat-kan semangat
dalam saat perpisahannya dengan para tetangganya
"Anda memulai dengan kesalahan, Azzam."
"Saya berlindung kepada Allah, Kamal Bey. Saya terus
memikirkannya. Akan tetapi, persoalan ini butuh waktu."
Keduanya duduk di restoran kebab Hotel Sheraton.
Azzam mencoba menggiring pembicaraan ke tema yang
lain. Kontan saja Kamal al-Fuli naik pitam.
"Anda tak usah bicara soal lain. Saya bukan anak kecil.
Anda telah bersepakat dan merusak kesepakatan itu. Saya
berikan kepada Anda persetujuan semenjak tiga bulan lalu
untuk ditandatangani dengan 'orang besar', tetapi Anda
bertele-tele, lambat."
"Kamal Bey, Anda tidak boleh berkata saya memperlambat. Persoalan ini harus saya sampaikan kepada
rekan bisnis saya yang orang Jepang. Saya menunggu
waktu yang tepat." "Apa urusan orang Jepang dan apa urusan kita"
Persetujuan ini antara Anda dengan 'orang besar' tentang
pembagian keuntungan."
"Tuan, pihak Jepang harus mengetahui segala sesuatunya. Jika saya melakukan sesuatu di belakang,
mereka akan merusak kerja sama ini."
Kamal al-Fuli mengisap shisha dengan napas panjang,
meletakkan pipa rokok tabung yang besar itu di atas meja,
lalu bangkit dengan cepat bersama anaknya. Pengawal yang
berada di meja samping mengikutinya. Ia lalu berkata
kepada Azzam dengan nada mengancam, "Anda bermain
dengan api, Azzam. Saya takjub karena ternyata Anda
bukan laki-laki yang cerdas. Anda harus paham, orang yang
memasukkan Anda di parlemen juga bisa mengeluarkan
Anda suatu ketika." "Anda mengancam saya, Kamal Bey?"
"Terserah Anda."
Azzam bangkit dan meletakkan tangannya di pun-dak alFuli. Ia berusaha menggandengnya. "Tuan, saya berharap
Anda tidak membesarkan masalah ini."
"Assalamu alaikum."
Al-Fuli memutar badannya untuk pergi. Azzam se-gera
menahannya. "Tuan, diplomasi itu memberi dan menerima. Demi
Allah saya akan memenuhi janji saya."
Akan tetapi, al-Fuli melepas tangan Azzam dan terlihat
makin marah. Azzam terus mendekatinya dan membisikinya seakan minta tolong. "Kamal Bey, dengarkan
saya. Sekali lagi saya meminta dari Anda, permintaan yang
mengenakkan saya dan Anda."
Al-Fuli memerhatikan Azzam dengan raut marah yang
belum hilang dari wajahnya. Azzam dengan cepat berkata,
"Saya ingin menghadap 'orang besar' itu sendiri."
'"Orang besar' tidak mau bertemu siapa pun."
"Tuan Kamal Bey, saya minta Anda menolong saya.
Saya sendiri akan menghadap yang mulia 'orang besar' dan
menjelaskan kepadanya tentang keadaan saya. Wahai Bey,
jangan tolak permintaan saya ini."
Al-Fuli menatap Azzam dengan tatapan yang tajam
sekali. Sembari pergi, ia meninggalkan harapan bagi
Azzam. "Kita akan lihat."
Tak mudah bagi Azzam menerima perintah memberikan
seperempat keuntungan begitu saja. Akan tetapi, dengan
segala kemampuannya pun ia tak mampu menolak. Ia
berpikir mereka tak akan mencelakainya selama mereka
memiliki harapan, walau sedikit, bahwa Azzam akan
membayar mereka. Ia sudah meminta untuk bertemu
dengan "orang besar" itu dan mendesaknya untuk mencari
waktu. Karena ia memaksa bertemu "orang besar" maka ia
akan memiliki kemungkinan untuk menurunkan potongan
itu. Ia juga punya tujuan lain untuk meyakinkan akan
adanya "orang besar" di balik semua itu. Bukankah
mungkin saja al-Fuli bertindak tanpa sepengetahuan "orang
besar" itu" Kemungkinan yang tipis, tetapi bisa saja terjadi.
Waktu sudah berlalu beberapa minggu dan beberapa kali
dalam pembicaraan di telepon Azzam mendesak el-Fuli
untuk mengatur waktu. Di suatu pagi telepon berdering di
kantor Azzam. Didengarnya suara seorang sekretaris
wanita yang lembut. "Haji Azzam, Kamal Bey ingin berbicara dengan Anda."
Dan, suara el-Fuli pun terdengar, "Pertemuan Anda
dengan 'orang besar' akan berlangsung hari Kamis pukul
sepuluh pagi. Anda harus sudah siap di kantor Anda dan
kami akan menjemput Anda."
Skenario itu rupanya sudah dirancang. Dawlat mempersiapkan rencananya dengan saksama. Dengan
koneksi dan sogokan, dia berhasil membuat polisi
mendukungnya. Mereka lalu memperlakukan Zaki dengan
kasar. Mereka juga melarangnya untuk menggunakan
telepon. Bahkan, polisi-polisi miskin itu mengejek Zaki.
"Apa kabar, Valentino?" "Kamu sudah tua."
"Zaman otomatis sudah selesai dan sekarang zaman
manual. Ha, ha, ha."
Mereka tertawa keras diikuti dengan deheman dan
tepukan. Dawlat bergabung dengan mereka untuk tertawa
sekadar basa-basi dan menyemangati mereka. Zaki masih
terdiam, tidak menggubris mereka. Batas-batas yang ia
usahakan untuk dijaga sudah runtuh dan selesailah perkara.
Ia berpikir bahwa terus-menerus melawan mereka justru
akan semakin merendahkannya. Ia merasa sangat kasihan
kepada Busainah yang belum berhenti menangis. Adapun
polisi yang meringkus keduanya hanya tertawa.
"Apa pendapatmu, Tuan" Anda tahu Tuhan Maha
benar?" Zaki menjawab dengan suara lemah, "Perlakuan kalian
tidak sesuai hukum. Saya akan mengajukan gugatan kepada
kalian." "Jangan sekali-kali Anda besar kepala! Anda kelihatan
berang dan marah. Sudahlah, hentikan semua ini. Beranilah
hidup di dunia dan di akhirat. Orang seumurmu seharusnya
beritikaf di masjid dan tidak bermain dengan wanita."
Busainah berusaha meminta belas kasihan polisi itu, tapi
ia justru menerima bentakan mereka. "Jaga mulut-mu
wanita sundal! Saya akan buat laporan tentang pelanggaran
susila untukmu!" Keduanya benar-benar menyerah dan mulai menanggapi
semua pertanyaan polisi. Zaki menjelaskan bahwa
pengaduan ini adalah penipuan karena Dawlat tidak tinggal
bersamanya di kantornya. Ia juga coba menjelaskan bahwa
keberadaan Busainah bersamanya adalah karena dia benarbenar teman baik yang sedang menemukan masalah dengan
keluarganya, lalu menemuinya di kantor dan Zaki berhasil
mendamaikan mereka. Setelah itu, Zaki menandatangani
berkas perkara, begitu juga Busainah. Dawlat meninggalkan
tempat setelah berterima kasih kepada polisi dan merasa
tenang dengan apa yang sudah berjalan.
Zaki merasa telah kehilangan harga dirinya. Setelah
semua penghinaan ini, ia mulai berusaha melobi polisi itu
supaya diperbolehkan memakai telepon. Ia memintanya
dengan sedikit enggan. Zaki akhirnya menghubungi salah
satu temannya, seorang pengacara. Pengacara teman Zaki
itu kemudian datang dengan tergesa-gesa. Ia memasuki
kantor kepolisian yang ditunjukkan, lalu Zaki mengajaknya
duduk. Ia meminta segelas kopi dan rokok. Zaki ternyata
lupa membawa rokoknya dari kantor karena suasana yang
serbapanik. Kepala kepolisian melihatnya, mendekat dan berkata
dengan senyum dan suara tenang.
"Saya minta maaf atas semua penghinaan yang
dilakukan teman-teman saya. Akan tetapi, Anda tahu
bahwa kejadian itu melanggar susila. Polisi-polisi itu sangat
setia dengan adat istiadat dan kami semua tata beragama."
Zaki tidak mengucapkan satu patah kata pun. Ia mulai
merokok dan memandangi para polisi tersebut.
"Semoga Anda bisa memperingan persoalan ini. Anda
orang baik," sahut si pengacara.
"Permohonan Anda adalah perintah. Akan tetapi, sayang
sekali berita acara ini telah dibukukan dengan nomor urut
dan tidak mungkin dibatalkan. Anda tentu tahu prosedur
ini. yang bisa kita lakukan hanyalah sesuai yang ada. Zaki
Bey dan Busainah bisa pergi malam ini, tapi esok pagi harus
datang ke pengadilan. Saya akan mengutus wakil
pengadilan untuk menjaga mereka."
Zaki dan Busainah menandatangani perjanjian hadir di
pengadilan. Ketika keduanya keluar dari kantor polisi, Zaki
menyalami temannya dan berterima kasih.
"Zaki, kita teman dan buat teman tidak perlu ada kata
terima kasih. Ah, ya, sudah jelas saudara perempuanmu,
Dawlat, melakukan suap dan semua polisi berada di
kantongnya. Kepala kepolisian itu bisa saja menolak berita
acara itu jika ia mau."
Zaki tersenyum meski kesedihan masih menyelimuti
hatinya. Pengacara itu berkata menghibur.
"Tidak apa-apa. Esok siang saya akan menghubungi
kantor daerah dan semoga Tuhan memudahkan."
Zaki berterima kasih lagi kepadanya. Dia dan Busainah
menyusuri ruas jalan menuju Apartemen yacoubian. Sinar
pagi mulai menembus Jalan Sulaiman Pasha yang sepi. Tak
ada orang, kecuali para petugas kebersihan yang terlihat
bermalas-malasan menyapu jalan. Sedikit sekali orang yang
berjalan pagi-pagi untuk keperluan tertentu atau orang yang
pulang karena semalam begadang.
Zaki merasa dirinya letih dan perutnya mual. Ia tak
marah. Ia hanya merasa perutnya sakit, otaknya kosong,
pikirannya bercabang dan sedikit demi sedikit ia merasakan
perasaan sedih menyelimutinya, seakan-akan awan yang
bergerak cepat sebelum badai. Ia akan mengenang seratus
kali penghinaan dan cacian yang mereka tujukan
kepadanya serta tidak akan memaafkan mereka selamanya.
Ia merasa kalah dan menyerah kepada mereka. Ia lalu
membandingkan kemuliaan yang ia peroleh selama
hidupnya dan penghinaan yang menjadikannya pesakitan di
kantor polisi tadi. Mereka memperlakukannya seakan
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirinya pencuri. Hatinya merasa tertekan.
Jika mereka memukulinya tentu saja ia tidak akan bisa
melawan. Bagaimana mungkin kekuasaannya hilang dan
kehormatannya diinjak-injak sampai batas ini" Ia akan
melawannya sampai titik terakhir dan biarlah terjadi apa
yang akan terjadi. Jika bukan mempertahankan kehormatannya dan kehormatan Busainah yang telah
mereka injak-injak, tentu tak akan ia lakukan. Apa yang
akan ia katakan sekarang dan bagaimana ia menatap kedua
mata Busainah karena tak berhasil melindunginya atau
bahkan bertahan dengan satu kata" Zaki menoleh kepada
Busainah yang berjalan diam di sampingnya.
"Ayo kita makan di Excelsior. Kamu pasti lapar."
Busainah mengikutinya saja meski masih terdiam.
Mereka berjalan ke arah rumah makan yang menghadap
Apartemen yacoubian itu. Suasana sepi sekali dini hari itu.
Para pekerja kedai itu sedang mengelap lantai dan satu
pelanggan tua berkebangsaan asing berada di sisi paling
pojok sedang menghirup kopi dan membaca surat kabar
berbahasa Prancis. Keduanya memilih duduk menghadap
meja di depan kaca samping yang memperlihatkan
pertemuan Jalan Sulaiman Pasha dan Jalan Adli. Zaki
meminta dua gelas teh dengan kue. Keduanya masih diam,
memikirkan kejadian yang berat dan menyakitkan. Zaki
menyesap teh dan mulai mencari jalan untuk memulai
pembicaraan, "Busainah, kuharap kamu tidak menyulitkan
dirimu. Manusia selalu dihadapkan pada sikap-sikap yang
kadang tolol. Jika kita berhenti di sana maka itu sebuah
kesalahan. Polisi di Mesir seperti anjing yang dipasangi
harga. Sayangnya, mereka memiliki otoritas yang besar
karena adanya undang-undang antisubversi."
Apa yang Zaki katakan terdengar tak menarik di telinga
Busainah. Busainah masih terdiam dan di depannya
tergeletak segelas teh dan kue yang belum dia sentuh. Zaki
melihat betapa sedihnya Busainah.
"Hanya aku yang tahu Dawlat mengambil kunci kantor
dari mana. Ia telah merencanakan gerakan kotor dengan
tujuan menguasaiku, tapi dia akan gagal. Pengacaraku
mengatakan bahwa dia akan gagal."
Zaki memerangi emosinya dengan berbicara. Ia ingin
membalikkan diri dari posisi yang terkalahkan dengan katakata penuh harapan tentang berbagai kemungkinan. Cara
ini mungkin berhasil untuk keluar dari kekalahan yang
sungguh kejam. "Pengacaraku telah berbicara mengenai perkara yang
diajukan Dawlat. Ini adalah topik yang sangat rumit dan
pengadilan tak akan mengambil keputusan dengan mudah.
Dawlat itu orang bodoh yang hanya paham masalahmasalah sepele dan sederhana."
Usaha Zaki gagal dan Busainah masih terlihat diam,
tidak berbicara satu patah kata pun. Ia seakan kehilangan
kemampuannya untuk mendengar dan berkata. Zaki
mendekatinya dan melihat untuk pertama kalinya bahwa
wajah Busainah pucat pasi, kedua matanya sayu, terlihat
bekas-bekas di wajah dan dadanya akibat perlawanannya
kepada para polisi itu. Zaki tersenyum berempati seraya
meraih tubuh Busainah dan memeluknya di antara kedua
tangannya. "Busainah, jika kamu mencintaiku, lupakan persoalan
ini." Ringannya tubuh Zaki mampu dirasakan Busainah,
seakan itu adalah sentuhan satu-satunya yang ditunggu oleh
gunung yang tinggi dan kuat, tapi akhirnya runtuh.
Busainah mulai menangis dan berkata dengan suara
lemah, "Sepanjang hidupku, nasibku selalu lemah dalam
perkara apa pun." Thaha bertemu dengan Radlwa ditemani para akhwat. Ia
berbicara dengannya cukup lama. Thaha tahu bahwa
Radlwa lebih tua darinya tiga tahun. Ia terkejut dengan
pengetahuannya yang mendalam tentang agama dan
caranya yang tenang serta kelembutannya dalam berbicara.
Ia bercerita kepadanya tentang dirinya dan mantan
suaminya, Hassan Nuruddin. Bagaimana para kafir
berkomplot membunuhnya. "Mereka menulis di media bahwa suamiku menembaki
para polisi dan mereka terpaksa membunuhnya. Dan,
Tuhan Maha Tahu bahwa dia tak sekali pun menembakkan
senjatanya malam itu. Mereka mengetuk pintu dan hanya
dengan membuka pintu mereka menembak beberapa kali
lalu ia meninggal seketika. Tiga temannya juga mereka
bunuh dengan sengaja, padahal bisa saja mereka ditangkap
hidup-hidup." Kesedihan terlihat di wajah Thaha. Ia memperlihatkan
rasa empati dan menanggapi pembicaraan.
"Keputusan baru mereka adalah membunuh sebanyakbanyaknya golongan Islam. Apabila sistem yang kafir itu
melakukan seperti ini terhadap yahudi, tentulah Palestina
sudah merdeka sejak dulu."
Radlwa menunduk dan seketika terjadi suasana diam
yang panjang. Radlwa terus menambahkan ceritanya,
seakan dia senang berbicara mengenai apa yang terjadi di
dalam hidupnya. "Setelah meninggalnya Hassan, keluargaku hendak
menjodohkanku. Aku tahu bahwa laki-laki itu adalah
seorang insinyur kaya, tetapi dia tidak pernah sembahyang.
Keluargaku berusaha membujukku bahwa dia akan
sembahyang setelah menikah, tetapi aku tetap menolak.
Aku Jelaskan kepada mereka bahwa orang yang
meninggalkan sembahyang adalah kafir dan tidak boleh
menikahi seorang muslimah. Namun, mereka menekanku
semakin keras hingga hidupku sungguh berat. Masalahnya,
keluargaku tidak terlalu taat beragama. Mereka orang baik,
tetapi mereka masih jahiliah. Aku takut fitnah dalam
agamaku dan aku ingin anakku, Abdurrahman, hidup
dalam ketaatan kepada Allah. Maka, aku mengontak Syekh
Bilal dan berharap dia mengizinkanku hidup di kamp
militer ini." "Apa yang dilakukan keluargamu?"
"Aku akan mengunjungi mereka suatu saat jika ada
kesempatan. Aku berharap Tuhan memaafkan jika aku
berbuat tidak baik kepada mereka."
Thaha mendengarkan dan merasa Radlwa adalah orang
yang jujur dan mengagumkan. Ungkapan yang berani dan
ikhlas terpancar dari wajahnya yang memang tampak
cantik. Ia berbicara seakan anak kecil tak berdosa yang
mengaku secara polos. Sekilas Thaha bisa memperkirakan
bentuk tubuh Radlwa yang seimbang dan dadanya yang
berisi (Thaha mencerca dirinya sendiri dan setelah itu
memohon ampun atas dosa ini).
Setelah beberapa hari, ia dipanggil oleh Syekh Bilal ke
kantornya. Seperti biasa, ia lalu menyalaminya dan
menyambutnya dengan hangat. Syekh melihat Thaha, di
wajahnya terpancar senyum penuh makna. Kemudian
Syekh memulai pembicaraan, "Bagaimana pendapatmu?"
"Soal apa?" Syekh seketika tertawa ringan.
"Tidakkah kamu paham, Thaha" Tentang Radlwa
Sayyid." Thaha diam, tapi menampilkan mimik tersenyum.
Syekh menepuk pundaknya. "Selamat, Anakku."
Salat isya di malam Kamis belum dilaksanakan.
Beberapa ikhwan memberi Thaha ucapan selamat. Sinar di
bagian dalam kamar yang dikhususkan untuk wanita
terlihat bercahaya dan ramai. Para wanita itu mempersiapkan pernikahan selama dua hari. Dan setelah
seperempat jam berlangsung obrolan dan ucapan selamat,
Syekh Bilal duduk membaca Alquran. Radlwa mewakilkan
akad nikah kepada Abu Hamzah (tetangganya di Asyuth).
Dua ikhwan lainnya mengabdikan diri untuk menjadi saksi
akad. Syekh Bilal memulai dengan kata-kata yang sudah
biasa diucapkan dalam pernikahan sebagaimana yang
disyariat-kan oleh Allah. Tangan Thaha dan Ham-zah
disatukan, serta Syekh terdengar mengulang-ulang kalimat.
Keduanya pun mengulanginya, mengikutinya. Setelah
selesai, Syekh berdoa, "Semoga Tuhan memberikan
keberkahan bagi kebersamaan mereka dan ketakwaan
kepada mereka, serta memberi mereka karunia dan
keturunan yang saleh." Ia meletakkan tangannya di atas
Thaha, "Semoga Tuhan memberkatimu dan menyatukan
kalian dalam kebaikan."
Di akhir prosesi akad pernikahan, para ikhwan memeluk
Thaha dan memberikan ucapan selamat. Pengantin wanita
kemudian muncul dan teman-temannya mulai mendendangkan lagu, riuh dengan iringan rebana.
Aku datang kepadamu, aku datang kepadamu Kau
sambut aku, aku menyambutmu
Jika tidak ada emas yang berkilau, tentu tidak haial
dirimu Jika bukan karena gandum yang cokeiat, tidak haial
dirimu Thaha pertama kali melihat dan merasakan upaca-ra
pengantin islami itu. Ia merasa senang dengan kebahagiaan
mereka, nyanyian mereka, dan semangat mereka dalam
memberinya selamat. Para akhwat menemani Radlwa ke
rumahnya yang baru. Satu kamar yang cukup lebar, di
sampingnya ada kamar mandi kecil yang terpisah dari
bangunan besar khusus untuk suami istri (asalnya
merupakan tempat yang dihuni oleh para pekerja di
perusahaan semen, tapi ditinggalkan hingga akhirnya
diambil alih oleh sebagian aktivis gerakan Islam yang
bekerja di perusahaan itu dan digunakan untuk kamp
militer rahasia). Para akhwat segera pergi, dan suasana
kembali sepi. Selepas salat isya di masjid, pengantin lakilaki berbincang dengan beberapa ikhwan. Perbincangan
yang dipenuhi gurauan. Selepas zikir, Syekh Bilal bangkit,
"Ayo, semuanya."
Tapi, Thaha tampaknya masih ingin berbincang. Syekh
terlihat tersenyum. "Di malam pengantin jangan kamu
habiskan tenaga untuk begadang begini."
Para ikhwan rupanya lebih mengerti. Mereka me nyindir Thaha dengan sindiran-sindiran halus. Mereka segera
mengajak Thaha keluar dari masjid. Akan tetapi, Thaha
memilih untuk tidak sedikit pun beranjak. Ia mulai merasa
sendirian dan dalam dirinya tersisa sedikit rasa takut. Ia
berkhayal tentang apa yang harus dilakukan di malam
pengantin. Akhirnya, mau diapakan lagi, dia menyerahkan
segalanya kepada Allah. Akan tetapi, pikirannya masih saja
diresahkan oleh kenyataan bahwa dia tidak pernah
memiliki pengalaman seksual sebelumnya sehingga menjadikan ketenangannya makin terusik. Ia mengingat
pelajaran Syekh Bilal yang dia dapat sehari sebelumnya
tentang pernikahan, juga nasihat Syekh untuk tidak
menolak menikah dengan janda. Menikah dengan janda
tidak seharusnya membuat diri Thaha lemah dan tak
percaya diri dalam menyikapinya. Thaha bertanya-tanya
sendiri, "Bagaimana mungkin orang-orang sekuler itu
menuduh kita krisis dan jumud, sedangkan mereka diderita
oleh penyakit mental yang tak terhitung. Islam tidak
mengenal penyakit ini."
Semuanya adalah pikiran-pikiran yang dipahami Thaha
tentang bagaimana dia menghadapi Radlwa. Syekh juga
menjelaskan kepadanya tentang posisi laki-laki dan wanita
dalam Islam, ia mengutip satu ayat dalam surah Al-Baqarah
yang menjelaskan bagaimana Tuhan mengajarkan kita
memperlakukan wanita dengan cara yang manusiawi dan
penuh kelembutan. Syekh memang mampu berbicara sampai pada hal-hal
detail pernikahan tanpa malu, tapi tetap terlihat berwibawa.
Thaha telah banyak mendapat manfaat dari kata-katanya
dan mengetahui banyak hal yang sebelumnya ia tidak
ketahui. Dengan begitu, semakin besar rasa sayang Thaha
kepadanya. "Jika saja ayahku bersamaku, tentu dia tidak
melakukan sebanyak yang dilakukan Syekh Bilal."
Ketika upacara pernikahan selesai dan teman-temannya
meninggalkannya di masjid, ia merasa sampai pada
momentum yang menegangkan. Thaha menaiki undakan
depan rumah dan mengetuk pintu, lalu masuk ke kamar
pengantin. Ia menemukan Radlwa duduk di ranjang dan
telah melepaskan jilbab dari kepalanya. Ia melihat
rambutnya yang hitam dan lembut terurai di bahunya.
Rambut hitam itu tergerai di antara kulit Radlwa yang putih
bersemu merah dan tampak menggairahkan. Thaha melihat
pertama kali lehernya yang mulus dan tangannya yang
mungil, tergetar melihat ujung jarinya yang lentik. Jantung
Thaha berdetak semakin keras, berdehem lalu menyapa
dengan suara gugup, "Assalamu'alaikum."
Radlwa tersenyum, menunduk dan membisik dengan
lembut, wajahnya merona merah. "Waalaikumus-salam
warahmatullahi w a barakatuh."
Hatim Rashid mengetahui berita itu sehari setelahnya. Ia
harus begadang di kantor hingga terbit cetakan per-tama
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
korannya, lalu pulang dengan badan lemas sekitar pukul
empat pagi. "Saya akan tidur dan pagi nanti harus menenangkan
Abduh," batin Hatim.
Akan tetapi, rupanya ia bangun terlambat, lalu bergegas
mandi, mengenakan pakaian dan meninggalkan flat menuju
rumah sakit. Di pintu keluar apartemen ia bertemu
Muhammad al-Syadzili, penjaga pintu yang mendadak
berkata lirih, "Abduh memberikan kepada Anda kunci
kamar dan toko." "Apa?" Hatim terkejut dan penjaga pintu memberitahukan
meninggalnya anak itu dan apa yang terjadi setelahnya.
Hatim menyalakan rokok dan bertanya setelah mencoba
bersikap tenang. "Ia bilang pergi ke mana?"
"Ia bilang akan tinggal di Embaba dan tidak mau
memberikan alamatnya yang baru."
Hatim menaiki tangga untuk kembali. Ia bertanya
kepada para tetangga Abduh tentang alamatnya yang baru.
Sepintas pandangan para penghuni atas atap terlihat tak
peduli dan jawaban yang keluar terbaca agak sinis (bahasa
tubuh mereka mengisyaratkan agar ia meninggalkan Abduh
dan cukuplah apa yang sudah terjadi). Hatim tak berhasil
menemukan alamat baru Abduh. Di sore harinya, Hatim
berhenti dengan mobilnya di depan kios yang terkunci,
siapa tahu Abduh lupa sesuatu dan kembali ke kios untuk
mengambilnya dengan kunci duplikat yang dibawa.
Ia menengok kios itu selama tiga hari berturut-turut,
tetapi Abduh tetap tak terlihat. Hatim tidak putus asa. Ia
mulai mencarinya di setiap tempat dan setiap orang yang
dia kenal. Akan tetapi, semua itu sia-sia. Setelah satu
minggu yang panjang, ia merasa yakin Abduh telah pergi
untuk selamanya dan ia harus menanggung gelombang
siksaan dari kesedihan serta keputusasaan. Ia disadarkan
oleh perasaan yang menyakitkan dan campur aduk. Ia telah
kehilangan Abduh, kehadirannya yang hangat, tubuhnya
yang kuat, suaranya yang serak dan logatnya yang khas
orang desa. Ia juga ditimpa perasaan kasihan terhadapnya
karena ia tahu bagaimana Abduh mencintai anaknya dan
betapa sedihnya jika harus meninggal. Ia menyesal karena
meninggalkannya waktu itu di rumah sakit dan pergi ke
kantor begitu saja. "Andai aku menunda pekerjaan untuk bisa bersamanya
di hari-hari yang sulit itu. Ia butuh kehadiranku di
sampingnya, tetapi dia malu memintanya," batin Hatim.
Hari demi hari kegelisahan Hatim semakin menjadi. Ia
dikuasai perasaan betapa dirinya selalu sial. Beberapa tahun
dia lewati dengan kegagalan dan penderitaan hingga
akhirnya dia menemukan teman yang bisa dipercaya dan
tak bikin masalah. Ketika hidupnya telah stabil, tiba-tiba
seorang anak meninggal dan Abduh harus meninggalkannya serta memaksanya untuk memulai lagi
petualangannya yang telah lalu.
Ia akan kembali menyusuri jalan-jalan di Wasath alBalad setiap malam untuk menemukan pasangan kencan.
Terkadang dia menemukan dari mereka yang bermental
pencuri atau pendosa yang berani memukul dan merampok
barang miliknya sebagaimana sering terjadi sebelumnya. Ia
akan kembali lagi berkeliaran ke bar Chez Nouz untuk
mencari laki-laki, atau mungkin ke kamar mandi Gabalawi
untuk memuaskan syahwat dan menanggung akibat
buruknya. Kenapa Abduh hilang darinya setelah dia
mencintainya dan merencanakan hidup bersamanya"
Apakah sulit untuk hidup dengan orang yang dicintainya
dalam waktu lama" Jika Abduh percaya kepada Allah,
tentu dia tidak akan meyakini bahwa apa yang ditimpanya
adalah akibat perbuatan homoseksual sebab banyak orang
homoseks bisa hidup bahagia dan tenang bersama pasangan
mereka. Kenapa Abduh pergi begitu saja meninggalkan
dirinya" Begitulah Hatim terus menerus berpikir.
Sedikit demi sedikit mentalnya melemah. Ia kehilangan
nafsu makan dan mulai minum berlebihan. Bahkan enggan
keluar rumah. Tidak pergi lagi ke kantor kecuali jika ada
kepentingan yang mendesak. Ketika pulang ke rumah ia
merasa selalu sepi, dihinggapi diam, sedih, dan disergap
oleh kenangan-kenangan masa silam. Di sini Abduh duduk,
di sini dia makan, di sini dia mematikan rokoknya, di sini
dan selalu di sini. Di sini Abduh berbaring di sampingnya
dan Hatim mengelus tangannya, lalu mengelus tubuhnya
yang berkulit gelap, menciumi setiap lekuk tubuhnya yang
perkasa, berbisik dengan suara yang tersendat akibat luapan
syahwat. "Kamu milikku seorang, Abduh. Kamu kuda hitamku
yang gagah." Malam demi malam dihabiskan Hatim untuk memutar
kembali kenangan-kenangannya dengan Abduh menit demi
menit. Dalam mabuk yang sangat dan putus asa, dalam
pikirannya muncul keinginan kuat bak halilintar yang
mengagetkan. "Dia seorang kampung yang seumur hidupnya tidak bisa
lepas dari kehidupan kampung. Tunggu saja, aku akan
mencarimu di mana pun. Aku harus bertanya di kafe-kafe
pinggiran tempat mangkal orang sepertimu dan dudukduduk di sana." Hatim tersadar dan mendadak melihat jam yang sudah
melewati pukul satu dini hari. Ia memakai pakaiannya
cepat-cepat. Setelah setengah jam ia mengendarai mobilnya
dan bertanya kepada pejalan kaki, akhirnya ia menemukan
sebuah kafe. Ia berjalan menuju jarak yang dekat antara
mobil dan pintu kafe. Dirasakannya keringat mengucur di
keningnya dan jantungnya seakan berhenti karena
keresahan yang sangat. Kafe itu sempit dan kotor. Hatim
masuk dan mengarahkan pandangannya ke segenap sudut
kafe (saat itu ia berpikir tentang hubungan antara kemauan
yang besar dan kerberhasilan: apakah akan menjadi nyata
apa yang diharapkan, jika kita menginginkannya dengan
kekuatan yang besar). Segala sesuatu memang memerlukan usaha keras untuk
berhasil. Dan ternyata, ia benar-benar melihat Abduh
duduk di bagian kafe paling pojok mengisap shisha. Ia
mengenakan jubah longgar berwarna gelap dan memakai
serban besar di kepalanya. Abduh terlihat besar dan
menakutkan saat itu, seperti raksasa dengan daya pesona
magis berwarna cokelat yang datang dari alam maya. Ia
juga terlihat seolah kembali kepada dirinya sendiri, kepada
asalnya, kepada akarnya. Dia telah melepaskan pakaian
Eropanya, segala sejarahnya yang telah ditatah bersama
Hatim Rashid yang sekarang berdiri di depannya,
menatapnya, memantapkan diri, meyakinkan kehadirannya
supaya tak samar lagi, dan tidak berpaling darinya. Hatim
memanggil Abduh dengan suara kegirangan, membuat
semua pengunjung kontan menoleh kepadanya. "Abduh.
Akhirnya." Di malam pertama, percumbuan keduanya sungguh
mudah dan spontan, seakan-akan Radlwa adalah istri
Thaha yang sudah sekian tahun menikah dengannya.
Kelopak bunga itu terbuka oleh sentuhan jari-jemarinya dan
ia menyiraminya lebih dari sekali hingga kelopak itu
menguncup. Hal itu mengagetkan Thaha saat ia mengingat
semua itu. Ia bertanya-tanya bagaimana mungkin ia
berhasil menyanggamai Radlwa dengan sebegitu mudah,
padahal tak pernah sekali pun ia menyentuh wanita" Ke
mana perginya keraguan dan ketakutannya akan kegagalan"
Barangkali Thaha merasa tenang bersama Radlwa karena
melaksanakan nasihat Syekh Bilal atau karena Radlwa yang
mampu memupuk rasa percaya diri Thaha dengan
pengalaman-pengalamannya.
Radlwa bisa menangkap rahasia-rahasia yang tersembunyi, melakukannya dengan penuh bakat dan halus
tanpa harus merasa malu sebagai wanita muslimah. Thaha
berpikir tentang semua itu dan merasa yakin bahwa
pernikahannya dengan Radlwa merupakan nikmat besar
dari Allah karena dia adalah seorang wanita yang berbakat,
tepercaya, dan berjuang demi Islam. Thaha telah
mencintainya dan merasakan hidupnya lebih tenang ketika
bersama Radlwa. Thaha merasa nikmat dengan pola
kehidupan sehari-harinya; meninggalkan Radlwa pagi hari
dan menghabiskan semua waktu siangnya untuk latihan
militer, lalu, setelah sembahyang isya, ketika pulang ia
mendapati kamar sudah sedemikian bersih dan makan
malam yang hangat menggairahkan telah menunggunya.
Betapa dia menyukai duduk bersama Radlwa di meja
bundar untuk makan malam. Radlwa akan menceritakan
kejadian sehari-hari, menceritakan peristiwa-peristiwa
bersama para akhwat dan membahas apa yang dia baca dari
Alquran (jika menemukan waktu untuk membacanya) pada
hari itu. Keduanya tertawa karena tingkah lucu Abdurrahman yang masih kecil dan kepolosannya yang tak
pernah berhenti kecuali setelah terbaring di tempat tidur.
Selepas itu Radlwa dan Thaha pergi ke ranjang yang
sudah dipersiapkan Radlwa untuknya. Biasanya, Radlwa
kembali terlebih dahulu untuk mencuci piring. Setelah
semuanya beres, ia minta izin untuk ke kamar mandi,
Thaha pun mendahuluinya tidur di ranjang. Ia menunggunya sambil berbaring, memandangi atap dengan
hati yang diluapi perasaan nikmat. Perasaan yang mulai dia
senangi sehingga selalu ditunggunya terjadi setiap hari.
Kerinduannya yang gila terhadap Radlwa, tubuhnya yang
menggoda, segar dan masih terbekas sisa air panas,
telanjang sempurna kecuali handuk besar yang melengketi
tubuhnya ketika keluar dari kamar mandi, detik-detik yang
hening, serta kerinduan meluap yang terisi cinta antara
keduanya. Di depannya tampak wanita yang sebentar berkaca
dengan kecantikan yang tak terkatakan. Saat Radlwa mulai
bicara, nadanya terdengar merayu. Thaha segera menangkap isyarat itu dan tidak mau menyia-nyiakannya.
Thaha selalu memulai dengan menyentuh tubuhnya
yang halus, menyerangnya dengan ciuman dan napas yang
menggebu-gebu hingga segala beban jiwanya terlampiaskan
pada Radlwa: kesedihan-kesedihan, kenangan-kenangan,
mimpi-mimpi dan keinginannya yang tak pernah padam
untuk membalas dendam, kebenciannya yang membakar
terhadap penyiksa-penyiksanya, hing-ga gairah syahwat
tersembunyi yang menggetarkan dan sering mendesaknya
ketika dulu ia tinggal di atas atap. Semua itu ia lampiaskan
di atas tubuh Radlwa hingga ia merasa lebih bebas dan lega.
Ia seakan memadamkan api yang membakar jiwanya
dengan cinta yang muncul kemudian dan bertambah setiap
malam. Ia menjelajahi kulit tangan Radlwa, wajahnya, dan
rambutnya dengan ciuman-ciuman. Dia telah paham
dengan setiap lekuk dan sudut tubuh istrinya serta
memahami bahasa asmaranya sehingga percintaan antara
keduanya semakin panjang dan wajah Radlwa terlihat
memantulkan puncak kenikmatan berkali-kali.
Beberapa bulan telah berlalu dengan hidup baru, Radlwa
dan Thaha selalu merasakan kebahagiaan hingga suatu saat
keduanya bertemu di ranjang dan menemukan sesuatu yang
tak biasa. Thaha tiba-tiba merasa kacau, tetapi lalu perasaan
itu hilang. Diam melilit keduanya. Tiba-tiba Thaha bangkit
dengan mendadak dan kasar, ranjang pun bergetar keras.
Dia meninggalkan Radlwa, menyalakan lampu, dan
mengenakan pakaian untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang. Radlwa bertanya dengan gugup, "Ada apa,
Thaha?" Thaha terdiam dan duduk dengan pelan di atas kursi,
menunduk, dan meletakkan kepalanya di atas kedua
tangannya. Wajahnya terlihat murung seakan sesuatu
menyakitinya. Radlwa dengan cepat mendekatinya dan
terlihat sangat kaget, "Kamu kenapa, Thaha?"
Thaha mengeluarkan napas panjang dan menatap kedua
mata Radlwa, "Aku harap kamu tidak salah paham. Aku
tentu sangat bahagia dengan pernikahan kita dan aku
berterima kasih kepada Tuhan seribu kali karena telah
menjodohkanku dengan perempuan cantik dan salehah
seperti kamu. Akan tetapi, aku berada di kamp militer
bukan untuk menikah. Aku datang dengan Syekh Syakir
untuk tujuan tertentu, yaitu jihad di jalan Allah. Aku sudah
satu tahun di sini. Aku menyelesaikan semua latihan dan
sampai sekarang tidak mendapatkan tugas apa pun. Aku
takut mentalitasku kian melemah bersama waktu."
Ia berbicara dengan suara yang mengisyaratkan
kesedihan, lalu ia menurunkan tangan ke pergelangan
kakinya dan berkata dengan pahit, "Jika memang tujuanku
untuk menikah, tentu aku akan menikahimu di mana saja,
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak di kamp militer ini. Aku bertanya seratus kali setiap
hari. Untuk apa sejatinya aku berada di sini" Untuk apa,
Radlwa" Aku yakin Syekh Bilal menikahkanku supaya aku
melupakan jihad!" Radlwa tersenyum layaknya seorang ibu yang paham
lalu merengkuh pundak Thaha dengan kedua tangannya,
"Berlindunglah kepada Allah dan usirlah sangkaansangkaan itu dari kepalamu karena itu adalah godaan setan.
Syekh Bilal adalah orang yang jujur, dia tidak pernah
berdusta selamanya. Jika dia menilaimu tidak layak untuk
berjihad tentu dia akan mengeluarkanmu dari kamp
sebagaimana dia tidak akan menikahkanmu dengan wanita
rusak yang akan merusak agamamu. Aku istrimu Thaha,
orang pertama yang mendorongmu untuk berjihad dan
orang pertama yang berbangga jika kamu memperoleh
syahid. Aku selalu berdoa kepada Tuhan supaya kamu
memperolehnya, tetapi sebagaimana pengalaman bersama
almarhum Hassan yang telah syahid, aku tahu bahwa ini
bukanlah piknik atau permainan. Jihad dihitung dengan
perhitungan-perhitungan matang yang tidak diketahui
kecuali oleh saudara-saudara kita yang ada di Majelis Syura
jemaah kita." Thaha hendak membuka mulutnya untuk membantah,
tapi dengan cepat Radlwa meletakkan tangannya dengan
lembut di mulut Thaha, sekan melarangnya untuk bicara,
"Sabarlah, Thaha. Allah senantiasa bersama orang-orang
yang sabar." Hari terus berjalan. Pagi itu adalah hari Kamis. Jam
menunjukkan pukul sepuluh. Sebuah mobil Mercedes Benz
hitam tampak berhenti di depan Apartemen yacoubian.
Kemudian, turunlah seorang laki-laki umur empat puluhan,
lelaki itu bertanya kepada orang-orang di sekitar tempat itu
hingga akhirnya ia diantarkan ke kantor Haji Azzam. Ia
menyalami Haji Azzam dengan nada sombong dan
memperkenalkan diri, "Gamal Barakat, dari kantor alPasha." Di dalam mobil, Azzam duduk di sampingnya,
keduanya tidak berbicara sepanjang jalan kecuali beberapa
kata basa-basi. Azzam tenggelam dalam zikir dan
mengulang-ulang doa dengan tasbihnya. Ia tahu, "orang
besar" itu tinggal di kompleks Taman Marriot. Tetapi,
Azzam tak pernah memiliki bayangan perihal rumah "orang
besar" itu dengan bentuk yang sedemikan megah. Istana
besar yang mengingatkannya kepada istana-istana raja yang
pernah dia bayangkan dalam cerita masa kecil. Tempatnya
berada di bukit kecil dengan pagar kuat dan tinggi yang
mengelilingi tanah sebegitu luas ditanam di batas akhirnya.
Mobil itu menembus jarak dari pintu luar hingga pintu
istana sekitar setengah jam. Di sekitarnya membentang
jalan panjang di tengah taman-taman dan pohon-pohon. Ia
harus berhenti tiga kali untuk diperiksa petugas keamanan
yang kesemuanya berperawakan besar, memakai seragam
lengkap dan bersenjata api, serta masing-masing memegang
tongkat detektor. Mereka memeriksa mobil dengan teliti
dan setelah itu melihat kartu pengenal Azzam, menyesuaikannya dengan keterangan-keterangan dari orang
yang mendampinginya. Proses seperti itu terjadi tiga kali
sehingga begitu menyusahkan Azzam.
Untuk kali ketiga, ia hendak menolak, tetapi ia
meredamnya dan lebih memilih untuk diam. Mobil itu
akhirnya memasuki sebuah jalan lebar hingga sampai di
pintu istana. Di sana prosedur keamanan terjadi dengan
ketelitian yang sama. Kali ini tas Azzam diperiksa lalu
diminta melewati detektor elektronik. Wajah Azzam
tampak pusing. "Prosedur keamanan sangat penting, Tuan," kata lelaki
yang mendampinginya. Lelaki yang mendampinginya itu memintanya menunggu di ruang lobi, lalu pergi. Azzam masih
menunggu beberapa waktu sembari melihat tiang-tiang kuat
dan bulat dengan ukiran-ukiran Persia di atas permadani
yang mewah dan perhiasan-perhiasan kristal yang berkilau
di atap. Sedikit demi sedikit dia merasa bosan dan tidak
dihormati. Ia berpikir mereka sengaja menyiksanya untuk
menunggu lama dan melakukan prosedur keamanan yang
berlebihan. "Mereka menghinaku dan dalam waktu yang sama ingin
mencuri uangku. Mereka ingin mengambil seper-empat
keuntungan secara kontan tanpa berkata satu patah kata
pun untuk berterima kasih. Tidak tahu diri dan tidak punya
adab!" Azzam dipenuhi rasa benci, wajahnya geram dan sempat
berniat untuk meninggalkan pertemuan ini. Ia berharap
pergi sekarang dan meminta lelaki yang menjemputnya
untuk memberitahukan kepada "orang besar" itu bahwa
dirinya akan pergi dan masa bodoh dengan apa yang akan
terjadi. Akan tetapi, hatinya tahu bahwa itu tidak mungkin,
bahkan jika mereka meninggalkannya sampai subuh pun
dia tidak akan berani melawan. Dia sekarang berada di
antara orang-orang penting. Kesalahan sekali berarti akhir
segalanya. Azzam justru harus berpikir matang tentang
siasatnya, mengumpulkan bakatnya hingga bisa membujuk
orang besar untuk menurunkan jatah yang dimintanya
sehingga kurang dari seperempat. Ini adalah hal terbaik
yang bisa dia lakukan dan apa pun kebodohan yang dia
lakukan akan dia bayar secepat-cepatnya. Tiba-tiba suara
langkah kaki yang berulang dari belakangnya terdengar. Ia
dihinggapi perasaan takut sampai pada batas tak mampu
untuk menoleh. Salah seorang penjaga rupanya mengisyaratkan untuk
mengikutinya berjalan di atas lorong panjang. Tapak kaki
Azzam jatuh di atas lantai yang mengilap hingga akhirnya
sampai di sebuah ruang yang begitu lebar. Di depannya
adalah kantor "orang besar", ruangan yang didominasi meja
pertemuan besar yang dikelilingi beberapa tempat duduk.
Penjaga memberikan isyarat untuk duduk dan berkata
dengan dingin sambil pergi, "Tunggu di sini sampai Pasha
mengajak bicara." Azzam merasa asing dengan kalimat itu dan bertanyatanya apakah artinya "orang besar" itu sekarang tidak ada"
Kalau begitu, mengapa dia tidak menunda pertemuan saja"
Akan tetapi, seketika dia mendengar sebuah suara yang
terdengar nyaring di segala penjuru ruang itu.
"Selamat datang, Azzam."
Azzam terkaget dan langsung berdiri. Dia menoleh ke
sekitarnya, mencari-cari sumber suara yang kini tertawa
ringan. "Jangan takut. Aku ada di tempat yang lain, tetapi aku
bisa berbicara denganmu dan melihatmu. Aku tak punya
banyak waktu. Mari kita bicarakan pokok bahassan kita.
Mengapa kauminta bertemu denganku"
Pikiran Azzam seakan beku. Ia mengerahkan kemampuan hingga mampu bicara dan mengutarakan apa
yang telah dia persiapkan selama dua minggu. Akan tetapi,
pikirannya terasa kalang kabut, takut nanti salah dan
berlebihan. Setelah beberapa waktu, ia baru mampu
berbicara meski sulit, "Saya pelayan Anda dan di bawah
perintah Anda. Kebaikan Anda memesona saya dan begitu
pun kebaikan Anda terhadap semua rakyat. Allah
menyayangi dan menjaga Anda untuk Mesir. Harapan saya
adalah Anda memandang persoaan ini dengan rasa sayang.
Saya memiliki tanggung jawab besar dan Tuhan Mahatahu.
Seperempat keuntungan sungguh menyulitkan saya, Tuan."
"Orang besar" itu terdiam dan Azzam memberanikan diri
untuk berkata lagi, "Saya memohon kemurahan Anda.
Jangan biarkan pikiran saya kacau. Jika Anda menurunkan
pembagian keuntungan menjadi seperdelapan maka
tinggallah yang ada hanya kebaikan Anda."
Suasana hening terjadi lagi hingga suara keras terdengar.
"Dengarkan Azzam, aku tak mau buang-buang waktu
lagi denganmu. Pembagian keuntungan seperti ini bukan
hanya diterapkan kepadamu. Semua diperlakukan sama.
Kami ikut andil dengan bisnis besar seperti agen yang
kaujalankan dengan pembagian keuntungan seperempatnya. Pembagian ini kami terima sebagai ganti kerja. Kami
melindungimu dari pajak, keamanan produksi, penjagaan
kantor, dan seribu satu hal yang bisa menghentikan
proyekmu. Kamu seharusnya bersyukur kami mau bekerja
sama denganmu karena sesungguhnya pekerjaanmu kotor."
"Kotor?" "Penghasilan dasarmu didapat dari bisnis kotor yang tak
ada sangkut pautnya dengan agen mobil Jepang. Kau
berbisnis narkoba dan kami tahu itu. Duduklah di kursi dan
buka data dengan namamu. Kau akan menemukan laporan
polisi tentang segala aktivitasmu. Semuanya kami punya.
Kami bisa menyimpannya atau menggunakannya sewaktuwaktu. Duduklah Azzam, berpikirlah dan baca laporan itu.
Pelajari dengan baik dan di akhir lembaran-lembaran itu
kau akan menemukan selembar surat perjanjian. Jika kau
mau, tanda tanganilah. Terserah padamu."
"Orang besar" itu tertawa lebar dan suara itu pun lenyap.
Abduh menyambut dingin kedatangan Hatim. Ia
menyalaminya dengan hambar. Dia duduk dan mengusap
wajahnya, masih tenggelam mengisap shisha. Hatim
tersenyum dan berbicara dengan lembut.
"Sambutan apa ini. Setidaknya, maukah kaumintakan
aku teh?" Tanpa menoleh kepada Hatim, Abduh memberi isyarat
dan meminta pelayan segelas teh. Hatim pun memulai
pembicaraannya. "Abduh, kamu percaya kepada Tuhan dan
takdir-Nya. Akan tetapi, kamu sedih karena meninggalnya
anakmu dan tidak mau melihatku?"
Abduh spontan menanggapi, "Hatim, cukuplah sudah.
Tuhan menghukum kita. Anakku telah meninggal di
tanganku." "Maksudmu?" "Tuhan telah melaknat dan mengutukku atas dosadosaku denganmu." "Setiap orang yang anaknya mati berarti Tuhan
menghukumnya?" "Ya. Tuhan berjanji dan tidak mengingkari. Aku
melakukan kesalahan besar denganmu dan berhak
menerima siksaan ini."
"Siapa yang membuatmu menerima kata-kata ini"
Hadya, istrimu?" "Hadya atau bukan, tidak penting bagimu. Aku sudah
bilang padamu. Sudahlah, cerita kita berakhir. Kita punya
jalan hidup masing-masing. Aku tidak melihatmu dan kamu
tidak melihatku setelah ini. Selamanya."
Suara Abduh terdengar berbeda dan kalang kabut. Ia
berkata keras dan mengepalkan tangannya sekuat-kuatnya,
seakan tidak ingin merujuk kembali kata-katanya. Hatim
terdiam sebentar dan mulai berbicara dengan suara pelan.
Ia mulai mengubah caranya.
"Baiklah, kita sepakat. Kamu meninggalkan kamar, kios
dan ingin memutus hubungan kita. Akan tetapi, dari mana
kamu akan menghidupi dirimu dan istrimu?"
"Rezeki datang dari Tuhan."
"Tentu dari Tuhan, tetapi kewajibanku harus menolongmu, meski hubungan kita berhenti. Meski
perlakuanmu kasar, Abduh, aku merasakan kesusahanmu."
Abduh terdiam. "Dengarkan, kutawarkan padamu pekerjaan bagus
supaya kaupikirkan matang-matang."
Abduh masih terdiam ragu, mengisap shisha-nya
panjang-panjang, seakan dia sedang berpikir apa yang akan
dilakukan. "Kamu tidak bertanya pekerjaan apa?" tanya Hatim.
Abduh masih terdiam. "Aku merekomendasikan kamu bekerja menjadi bawwab di Pusat Kebudayaan Prancis, di Mounirah.
Pekerjaannya bersih, menyenangkan, dan gajinya 500
pound sebulan." Abduh masih terdiam, tidak menolak dan tidak pula
menerima. Hatim menyambung pembicaraanya. Ia merasa
berhasil. "Kamu berhak untuk segala kebaikan, Abduh.
Ambillah." Hatim mengeluarkan pulpen dari tasnya dan sebuah
buku cek. Ia lalu memakai kacamata minusnya dan menulis
cek dengan mimik muka sedikit bahagia.
"Cek ini bernilai 1.000 pound untuk kebutuhanmu
hingga kamu menerima pekerjaan."
Tangan Hatim mengulurkan sehelai cek ke arah Abduh
hingga akhirnya Abduh mengulurkan tangannya dengan
pelan. Ia mengambil cek itu sembari berkata dengan suara
pelan, "Terima kasih."
"Abduh, aku tidak mengharuskan hubungan kita, tapi
aku punya satu permintaan."
"Permintaan apa?"
Hatim mendekati Abduh hingga mendempetnya,
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meletakkan tangannya di sekitar paha Abduh, dan berbisik
dengan suara yang bergairah, "Menginaplah bersamaku
malam ini, satu malam saja, sampai akhir malam. Aku
berjanji kepadamu, jika kamu datang bersamaku malam ini,
setelah ini kamu tidak akan melihatku selamanya. Aku
mohon." Keduanya duduk berdampingan di dalam mobil dan
suasana terasa hening. Hatim telah menjalankan rencananya dengan baik serta akhirnya dia mampu
mendapatkan kembali Abduh yang membutuhkan uang dan
pekerjaan baru sebagaimana Hatim membutuhkan Abduh.
Abduh mengabulkkan ajakan Hatim karena terpaksa.
Kenyataannya, semenjak meninggalkan kios dia tidak
mendapatkan uang untuk menafkahi dirinya dan Hadya.
Bahkan, teh dan shisha yang dia isap ditanggung oleh
pemilik kafe. Dia juga telah berutang kepada beberapa
tetangga sebesar 3.000 pound dalam waktu tidak lebih dua
bulan. Dia telah putus asa mencari pekerjaan tanpa hasil.
Dia pernah menjadi tukang batu, tetapi tidak lama ia
tinggalkan karena tak mampu memikul beban berat di
pundaknya turun-naik sepanjang siang untuk mendapatkan
beberapa pound yang setengahnya dipotong oleh kontraktor. Belum lagi beban mental menerima umpatan
dan hinaan. Apa yang dia lakukan kemudian" Pekerjaan yang
diberikan Hatim sungguh mulia dan bersih hingga ia bisa
selamat dari kefakiran seumur hidupnya. Toh, ia hanya
perlu menemani Hatim semalam saja lalu mencairkan cek
dan melunasi semua utangnya, juga memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya. Dengan menerima pekerjaan baru,
hubungannya dengan Hatim akan terputus. Ia percaya
bahwa Tuhan akan memaafkannya karena setelah itu dia
akan pergi haji supaya kembali bersih dari dosa
sebagaimana awal ketika ibunya melahirkannya. Setelah
apa yang dia lakukan di malam terakhir, pagi harinya dia
akan mengikrarkan tobat nasuha dan beristikomah.
Abduh memutuskan untuk tidak memberi tahu Hadya
bahwa dirinya bertemu Hatim. Karena jika ia sampai tahu,
hidupnya akan menjadi neraka. Sebenarnya, semenjak
anaknya meninggal Abduh tidak pernah meninggalkan
istrinya sendirian. Hidup berjalan tanpa ada pertengkaran
dan caci maki. Hadya pun selalu berdoa untuk Abduh.
Kesedihan itu telah menghilangkan akalnya serta menjadi
beban berat yang sanggup melemahkan tulang rusuk dan
hidupnya. Hadya memperlakukan Abduh seakan dia telah
membunuh anaknya dengan kedua tangannya, yang
menyedihkan adalah ketika perasaan berdosa menyelinap
dalam diri Abduh sehingga kadang ia tidak bisa tidur. Akan
tetapi, semua itu akan berakhir. Abduh yakin, Hatim akan
memakai tubuhnya untuk terakhir kali dan setelah itu ia
akan mendapatkan pekerjaan lalu bertobat.
Keduanya memasuki apartemen dengan diam. Hatim
menyalakan lampu dan berkata dengan kalut, "Rumah ini
tanpa dirimu menjadi kotor."
Abduh mendekatinya dengan tergesa dan memeluknya.
Ia mencoba melepas pakaian Hatim dan mengajaknya
tidur, seakan tergesa untuk mengakhiri pekerjaannya.
Hatim menganggap ketergesaan ini akibat rasa kangennya.
Ia tertawa sebagaimana cara wanita mengekspresikan
kebahagiaan, berbisik dengan lembut, "Sabar, Abduh."
Hatim masuk ke dalam dan Abduh membuka bar,
mengeluarkan satu botol wiski dan meminumnya satu gelas
besar. Dia menenggaknya sekali tanpa campuran es. Dia
merasa sangat butuh sekali mabuk. Dalam waktu yang tak
terlalu lama ketika Hatim berdandan, Abduh menenggak
beberapa gelas lagi hingga terasa efek minuman keras itu. Ia
merasa darahnya mengalir panas di tenggorokan dan ia
tiba-tiba merasa dirinya kuat serta mampu, tidak ada
sesuatu pun yang bisa menghalanginya untuk melakukan
yang dia inginkan. Hatim keluar dari kamar mandi dengan mengenakan
piyama sutra dan berjalan menuju dapur, kemudian
kembali dengan membawa makanan hangat dan meletakkannya di meja. Ia mulai menuangkan untuk
dirinya segelas wiski yang ia minum dengan pelan,
menyentuhkan bibirnya ke bibir gelas dengan cara yang
menarik syahwat dan meletakkan tangannya di pundak
Abduh yang kuat. "Aku sangat merindukanmu."
Abduh menjauhkan tangannya dan berkata dengan
mabuk. "Hatim, kita sepakat malam ini yang terakhir. Mulai
besok, kita berjalan di jalan masing-masing, benar?"
Hatim tersenyum dan menyentuhkan jari-jarinya ke
mulut Abduh yang keras dan menirukan logatnya dengan
bercanda. "Benar." Kali ini Abduh tidak tahan, ia menggendong Hatim
seperti anak kecil dengan kedua lengannya, meski Hatim
menolak sembari tersenyum dan menjerit menggugah
syahwat. Abduh menjatuhkannya di ranjang dan melucuti
celananya, menjatuhkan dirinya di atasnya, serta menidurinya. Abduh menggerayangi Hatim seakan bertahun-tahun tidak pernah melakukannya.
Hatim menjerit dengan suara keras menahan rasa nikmat.
Hatim telah mencapai orgasme lebih dari tiga kali dalam
waktu kurang dari satu jam. Abduh melakukannya tanpa
berkata satu kalimat pun seakan sedang menjalankan
pekerjaan berat. Ketika keduanya selesai, Hatim membaringkan dirinya yang telanjang di atas perut Abduh
dan memejamkan matanya dalam kegembiraan yang
meluap-luap, seakan orang tidur yang tidak mau sadar dari
mimpinya yang hebat dan nikmat. Sementara itu, Abduh
terbaring memandangi atap dan mengisap rokok tanpa
mengeluarkan satu patah kata pun, lalu bangkit dan
mengenakan pakaiannya. Hatim tersadar olehnya. Ia segera
bangkit dan duduk di atas ranjang.
"Mau ke mana?" "Pulang," sahut Abduh berkata tanpa memerhatikan
Hatim, seakan semuanya sudah selesai. Hatim berdiri
menghadangnya. "Menginaplah dan subuh nanti kamu boleh pergi. Aku
tidak akan menawar lagi, satu menit pun!"
Hatim memeluknya dengan tubuhnya yang telan-jang
dan berbisik, "Menginaplah."
Akan tetapi, seketika Abduh mendorongnya dengan kuat
hingga Hatim jatuh ke kursi di samping ranjang. Mendadak
wajah Hatim muram dan berkata dengan marah, "Kamu
gila" Bagaimana mungkin kamu melemparku?"
Abduh menjawab sembari menantang, "Sekarang kita
berjalan sendiri-sendiri."
Hatim merasa pahit dengan kata-kata Abduh yang
mengisyaratkan dirinya telah gagal. "Kita sepakat menginap
semalam," sahutnya. "Yang kita sepakati aku menggaulimu dan tidak ada
yang lain." "Pahamilah, dirimu itu sebenarnya siapa?"
Abduh tak menjawab. Ia segera memakai pakaiannya.
Hatim berkata lagi dengan marah, "Jawab pertanyaanku,
kamu siapa?" "Manusia sepertimu."
"Kamu hanya seorang lelaki kampung yang bodoh. Aku
mengambilmu dari jalan, membersihkanmu dan memperlakukanmu seperti manusia."
Abduh mendekatinya dengan pelan lalu menatap dengan
kedua matanya yang mabuk dan berkata memperingatkan,
"Jangan macam-macam denganku. Paham?"
Akan tetapi, Hatim kehilangan kontrol terhadap dirinya
seakan dia telah terasuki setan dan menatap Abduh dengan
pendangan yang menghinakan, "Kamu melupakan siapa
dirimu, Abduh" Aku akan angkat telepon dan mengirimmu
ke neraka!" "Kamu tidak akan mampu!"
"Lihat saja aku mampu atau tidak. Jika kamu pergi
sekarang, aku akan laporkan ke polisi kamu telah mencuri."
Abduh hendak menjawabnya, tetapi kemudian ia
memalingkan kepalanya dan berjalan menuju pintu untuk
pergi. Ia merasa dirinya kuat dan Hatim tidak akan
mungkin mencelakakannya. Ia mengulurkan tangan untuk
membuka pintu, tetapi Hatim memegangi jubahnya.
"Kamu tidak boleh pergi!"
"Lepaskan aku!"
"Kubilang, tetaplah di sini!" Begitulah Hatim menimpalinya dari arah belakang dengan kemesraan yang
dibuat-buat. Abduh membalik dan melepaskan kedua
tangan Hatim dengan mudah, lalu dengan cepat ia
menampar keras wajah Hatim.
"Kamu telah memukul tuanmu, pelayan" Bajingan! Aku
bersumpah atas nama ibumu tidak akan ada pekerjaan dan
uang untukmu. Aku akan membatalkan cek itu ke bank.
Kaurebus saja cek itu dan kauminum airnya!"
Abduh terdiam dan kembali berdiri di tengah kamar
hingga semua perkara terkumpul di pikirannya, lalu
mengeluarkan suara keras serupa binatang buas yang
sedang marah. Tiba-tiba ia menyerang Hatim, memukulinya, menamparnya, mencekik lehernya, lalu
membenturkan kepalanya di tembok dengan segala
kekuatannya hingga ia melihat darah Hatim melumuri
tangannya, mengalir deras dari kepalanya.
Para tetangga kemudian merunutkan kejadian itu dalam
berita kriminalitas di koran-koran. Mereka mendengar
jeritan dan teriakan dari apartemen Hatim sekitar pukul
empat pagi, tetapi mereka tidak mau ikut campur karena
mengetahui bagaimana kehidupan pribadi Hatim.
"Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di
jalan Allah. Barang siapa yang berperang di jalan Allah lalu
gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan
Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela
orang-orang yang lemah, baik laki-laki, kaum wanita,
maupun anak-anak yang semuanya berdoa, 'ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim
penduduknya dan berilah kami pelindung serta penolong
dari sisi Engkau." Syekh Bilal membaca surah An-Nisa ayat 74-75 dengan
suara menggetarkan dan membius, hingga membekas di
hati para ikhwan yang melakukan sembahyang di
belakangnya. Selanjutnya, dia membaca doa qunut
sekhusyuk-khusyuknya. Dalam jiwa mereka menyelinap
rasa pasrah. Ketika sembahyang subuh usai dan Syekh Bilal
duduk membaca tasbih, para ikhwan mendekat satu persatu
dan menyalaminya dengan penuh penghormatan. Ketika
giliran Thaha al-Syadzili, Syekh menariknya dengan pelan
supaya duduk di sampingnya.
"Tunggu di kantor, saya akan menemuimu secepatcepatnya, insya Aliah."
Thaha lalu menuju kantor Syekh Bilal dan bertanyatanya pada dirinya kenapa Syekh menginginkannya"
Apakah Radlwa melaporkan apa yang ia katakan" Radlwa
sering mengatakan dirinya menyukai Syekh Bilal dan
menganggapnya sebagai orangtua. Akan tetapi, apakah ia
menyukainya sampai harus melaporkan apa yang dikatakan
suaminya" Jika dia melakukan itu maka suatu saat dia akan
menemui kesulitan dengannya. Thaha tidak
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan memafkannya karena seorang istri harus bisa dipercaya atas
rahasia-rahasia suaminya. Jika Syekh bertanya di depannya
tentang apa yang dia katakan kepada Radlwa, dia tidak
akan berbohong dan akan mengatakannya dengan jujur.
Biarlah terjadi apa yang akan terjadi.
Apa yang akan dilakukan Syekh" Paling parah Syekh
akan mengusirnya dari kamp. Biarlah, tidak ada artinya dia
menetap di kamp jika hanya untuk sekadar makan, minum
dan tidur, tanpa melakukan apa pun yang berarti. Jika
Syekh mengizinkannya untuk berjihad, lebih baik Syekh
membiarkannya keluar dari kamp dan kembali sebagaimana dia datang. Sambil berjalan, pikiran-pikiran itu
mengusik Thaha, sampai saat ia mengetukkan tangannya ke
pintu kantor dan masuk pelan-pelan. Di sana sudah ada dua
ikhwan yang sedang menunggunya, dr. Mahgub dan
Baithari yang sudah berumur lebih dari 40 tahun, generasi
pendiri Jemaah Islamiyah pada tahun 1970-an. Ada pula
Abdussyafi dari Fayoum, mahasiswa Hukum Universitas
Kairo yang berkali-kali dipenjara lalu meninggalkan
kampus dan bergabung di kamp.
Thaha menyalami mereka dengan senang dan ketiganya
duduk sambil membicarakan hal-hal umum.
Namun, yang mengherankan, ketiganya terlihat cemas.
Syekh Bilal lalu datang dan menyalami mereka dengan
hangat. "Wahai pemuda-pemuda Islam, ini adalah hari kalian.
Majelis Syura telah memilih kalian untuk melakukan misi
operasi yang penting."
Suasana hening cepat berlalu, pemuda-pemuda itu
mengucapkan tahlil dan takbir, saling berpelukan dan
mengucapkan selamat. Semuanya berbahagia. Thaha pun
berteriak, "Alhamdulillah ... Allahu Akbar!"
Senyuman Syekh melebar. "Masya Allah, semoga Tuhan memberkati kalian dan
bertambah iman kalian. Dengan ini, musuh Islam akan
ketakutan karena kalian mencintai mati sebagaimana kalian
mencintai hidup." Di raut wajah mereka tergambar semangat. Syekh Bilal
membentangkan sebuah kertas besar di meja dan berkata
sambil mengambil pena yang ada di kantong jubahnya, "Di
depan kita tidak ada banyak waktu. Operasi ini harus
dilaksanakan pukul satu siang ini. Jika tidak, kita akan
menunggu satu bulan, paling tidak. Duduklah dan pusatkan
perhatian kalian sebaik-baiknya."
Dua jam kemudian, mobil pick up kecil pengangkut
tabung-tabung besi berisi gas menembus jalan menuju
sebuah daerah bernama Haram. Duduk di depan supir dr.
Mahgub dan di sampingnya Thaha al-Syadzili. Adapun
Abdussyafi duduk di antara beberapa tabung gas di bagian
belakang mobil. Mereka telah memotong jenggot mereka
dan memakai seragam petugas penyalur gas.
Menurut rencana, mereka harus sampai tujuan satu jam
sebelum operasi dilaksanakan. Mereka akan berada di
pinggir jalan hingga perwira polisi rahasia yang mereka
incar turun dari rumahnya. Sebisa-bisanya mereka berusaha
memperlambat selang waktu di antara waktu keluar dari
pintu apartemen dan memasuki mobil. Saat itu mereka
menembakkan peluru dengan tiga laras senjata yang
disembunyikan di bawah setir. Mereka juga membekali diri
dengan rencana-rencana tambahan yang radikal. Jika orang
itu berhasil memasuki mobil sebelum dilakukan operasi,
mereka harus menghalangi mobil itu dan melempar sebuah
bom tangan. Setelah itu, mereka meninggalkan mobil itu
dengan arah masing-masing sembari menembakkan pistol
ke atas supaya tidak ada yang mengikuti. Jika dihinggapi
keraguan bahwa mereka telah dimata-matai, dr. Mahgub
selaku ketua operasi memiliki otoritas untuk menggagalkan
operasi secepat-cepatnya. Seketika itu mereka meninggalkan mobil di pinggir jalan dan kembali ke kamp
secara terpisah dengan transportasi umum.
Ketika mereka sampai di daerah operasi, mobil berjalan
lebih pelan. Abdussyafi memukulkan kunci di tabungtabung gas itu sebagai pertanda layanan gas telah sampai.
Sebagian wanita datang dari pintu dan jendela memanggil
mobil itu. Sebagaimana biasa, mobil itu harus berhenti lebih
dari sekali. Abdussyafi membawa beberapa tabung untuk
para warga dan menerima uangnya, lalu ia kembali dengan
tabung kosong ke mobil. Mekanisme seperti ini diajarkan
Syekh Bilal. Mobil itu sekarang sampai di Jalan Akif,
tempat perwira itu tinggal. Seorang wanita meminta tabung
gas, lalu Abdussyafi membawakannya. Ini adalah
kesempatan bagi dr. Mahgub dan Thaha untuk memerhatikan tempat itu dengan teliti.
Sebuah mobil Mercedes Benz hijau keluaran akhir 1970an terlihat menunggu di depan pintu apartemen. Dr.
Mahgub mempelajari dengan teliti jarak dan tempat-tempat
yang berdampingan, pintu masuk dan keluar. Ketika
Abdussyafi kembali, dr. Mahgub melihat ke arah jam
tangannya. "Masih ada waktu satu jam tepat. Bagaimana kalau kita
minum the dulu?" Mereka terus berbicara dengan nada bergurau, seakan
ingin menghadirkan ketenangan di hati mereka. Mobil
berhenti di depan sebuah kafe kecil di jalan yang
berdampingan. Ketiganya duduk menghirup teh. Penampilan mereka terlihat biasa dan tidak menyiratkan
kecurigaan. Dr. Mahgub berkata, "Alhamdulillah. Semuanya sempurna." Thaha dan Abdussyafi menimpalinya, "Alhamdulillah."
"Apakah kalian tahu bahwa saudara-saudara di Majelis
Syura telah memata-matai sasaran ini selama setahun
penuh?" "Setahun penuh?" sahut Thaha dengan kaget.
"Demi Tuhan, satu tahun penuh. Pelacakan sangat sulit
karena para perwira itu sangat berlebihan dalam
merahasiakan diri. Mereka menggunakan lebih dari satu
nama dan tinggal di lebih dari satu tempat tinggal, bahkan
kadang berpindah-pindah dengan keluarga mereka di
berbagai apartemen mewah. Semua ini membuat usaha ini
hampir mustahil." "Siapakah nama perwira itu?"
"Sungguh, kamu tidak boleh tahu."
"Saya tahu itu tidak boleh, tapi saya ingin tahu."
"Kamu tidak perlu tahu."
Thaha terdiam, ia melihat ke arah dr. Mahgub sembari
membujuk dan berkata spontan, "Kita telah berjihad dan
semoga Tuhan memuliakan kita dengan kesyahidan.
Semoga kita akan kembali kepada-Nya bersama. Apakah
Anda tidak mempercayaiku" Bukankah kita sedang berada
di pinggir jurang kematian?"
Kalimat Thaha cukup menyentuh dan sanggup
memengaruhi dr. Mahgub karena dia sangat menyayanginya. Ia menjawab dengan suara pelan, "Saleh
Risywan." "Brigjen Saleh Risywan?"
"Seorang pendosa, kafir, dan setan haus darah. Ia merasa
senang dengan menyiksa orang-orang Islam. Ia yang
bertanggung jawab secara langsung atas kematian beberapa
saudara kita di sel tahanan, bahkan pembunuhan dengan
senjata pribadinya terhadap dua orang terpilih dari generasi
muda Islam, Hassan Syubrasi, pemimpin Fayoum, dan dr.
Muhammad Rafi1, juru bicara jemaah. Mereka berbangga
diri dengan membunuh mereka di depan saudara-saudara
kita yang ditahan di penjara al-Aqrab. Tuhan mengasihi
semua syahid yang tak berdosa serta menempatkan mereka
dalam surga yang luas dan mempertemukan kita bersama
mereka dengan izin-Nya."
Pukul satu kurang lima menit, mobil berhenti dari arah
yang berhadapan dengan pintu masuk apartemen.
Abdussyafi turun mendekat ke arah kursi pengemudi dan
mengeluarkan daftar kecil dari kantongnya. Ia berpura-pura
menelaah daftar rincian dengan dr. Mahgub yang berada di
belakang kemudi. Keduanya sengaja berbicara dengan suara
yang terdengar tentang jumlah tabung yang terjual.
Pemandangan keduanya sungguh alami. Thaha tampak
memegang pegangan pintu. Pintu masuk apartemen terbuka di depannya dan ia
merasakan jantungnya seakan hendak copot karena
perasaan tegang. Dia berusaha menenangkan hatinya dan
berkonsentrasi pada satu titik. Akan tetapi, rentetan gambar
masa lalu mulai menghantui pikirannya. Dalam satu menit
itu sejarah hidupnya terbayang satu persatu; kamarnya di
atas atap Apartemen yacoubian, kenangan masa kecilnya,
ibunya, ayahnya yang baik dan kekasihnya yang lalu,
Busainah, istrinya Radlwa dan perwira akademi kepolisian
yang menghina pekerjaan ayahnya, para polisi di tahanan
yang memukuli dan merusak tubuhnya. Ia sangat ingin
mengetahui apakah perwira itu orang yang pernah
menyiksanya di tahanan. Thaha masih berada di depan apartemen itu dan
kenangan-kenangan tergambar di depannya dengan cepat.
Lalu terlihat perwira itu dengan pakaian yang bersih, kulit
yang putih serta masih terlihat bekas tidur dan mandi air
panas di wajahnya. Ia berjalan dengan tenang dan percaya
diri, rokok berada di sudut mulutnya. Thaha harus
mendekat dan memperlambat dengan segala cara hingga
teman-temannya menembak orang itu, lalu ia akan
melompat dan lari menuju mobil setelah melemparkan bom
tangan untuk melarikan diri.
Thaha menuju perwira itu dan bertanya dengan suara
tegas supaya terlihat alami, "Maaf, Tuan, Jalan Akif
nomor ID sebelah mana?"
Perwira itu tidak berhenti, memperlihatkan kesombongannya. Ia berdehem menuju mobil.
"Sebelah sini." Akhirnya ia menjawab.
Ya. Ia adalah orang yang menyiksanya, yang menyuruh
tentara-tentara itu memukulnya, merobek kulitnya dengan
pecut dan memasukkan tongkat ke anusnya. Thaha tak ragu
lagi dengan suara parau yang dingin dan tegas itu serta bau
rokok yang khas. Thaha seketika melompat ke arahnya, lalu
menjerit keras seakan dia adalah macan yang marah. Orang
itu seketika menoleh dengan dua mata yang takut dan
wajah yang kaget karena sadar sedang menghadapi bahaya.
Ia ingin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu,
tetapi tak terdengar kata-kata karena peluru telah berkalikali diletuskan Thaha dari laras pistolnya, mengenai hampir
seluruh bagian tubuh lelaki itu hingga ia jatuh ke tanah.
Darah mengucur deras, membanjiri aspal jalan.
Thaha menyalahi prosedur. Ia masih berdiri hingga
melihat orang itu benar-benar mati. Seketika ia berteriak, "
Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Ia melompat dan lari ke arah
mobil, tetapi seketika itu ia mendengar kaca pecah dari
lantai pertama. Tampak dua laki-laki menembakkan peluru
ke arah mobil. Thaha melihat apa yang terjadi dan berusaha
menundukkan kepalanya, lalu berlari dengan gerakan zigzag sebagaimana ia pelajari dalam latihan. Ia hampir
mendekati mobil, tetapi peluru tiba-tiba mengarah
kepadanya seakan hujan. Thaha mendadak merasakan
dingin peluru menembus pundak dan dadanya, dingin yang
menggigit seperti salju dan mengagetkannya. Ia melihat
tubuhnya dan tampak darah mengucur deras. Dingin itu
menjadi sakit yang sangat dan melumpuhkannya. Ia
terjatuh ke tanah di samping belakang mobil dan menjerit
kesakitan. Namun, kemudian rasa sakit itu lenyap sedikit
demi sedikit dan ia merasakan ketenangan yang aneh, lalu
didengarnya suara-suara seakan menjauh lonceng-lonceng
yang berdentang berulang-ulang dan gumaman berirama
yang seolah menyambutnya menuju sebuah alam baru.
Sejak asar, suasana rumah makan Maxim terlihat
berbeda dengan biasanya. Para pegawai di rumah makan itu, dibantu oleh sepuluh
pegawai tambahan, sebagian sedang sibuk membersihkan
lantai serta dinding kamar mandi dengan air dan sabun.
Sebagian yang lain memindahkan meja-meja dan kursikursi ke sisi-sisi dinding sehingga tempat berjalan menjadi
semakin lebar sampai ke pintu masuk dan ruangan bar.
Ruangan yang terlihat luas di tengah memang cocok untuk
berdansa. Semua orang sedang bekerja dengan saksama di
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah arahan Christine yang mengenakan baju olahraga
dan terlihat membantu mereka memindahkan barangbarang (ini adalah caranya untuk menyemangati mereka
bekerja) dan terkadang suaranya terdengar keras dengan
bahasa Arab yang kaku menyapa siapa saja yang dia temui.
"Kamu taruh semuanya di sini. Bersihkan dengan baik.
Kamu kenapa" Kamu letih?"
Pukul tujuh malam tempat itu sudah tersulap menjadi
sedemikian menarik. Terbentang taplak putih di se-tiap
meja yang memantulkan cahaya dan tampak baru,
mencitrakan akan ada momen khusus, lalu, datang
karangan bunga. Christine meletakkannya di tempat-tempat
tertentu. Ia juga mengambil bunga untuk ditaburkan di
lantai. Kemudian, ia meminta bantuan beberapa pegawainya untuk meletakkan rangkaian bunga yang besar
di pintu masuk dan pinggir-pinggir tempat berjalan.
Christine mengeluarkan sebuah papan lama yang unik
dengan tulisan berbahasa Prancis dan Arab dari meja
kantornya: "Rumah makan ditutup semalam untuk acara
khusus." Christine menggantungkannya di pintu luar, lalu
menghadapkan matanya ke seluruh penjuru ruangan untuk
pemeriksaan terakhir. Ia merasa puas dengan penampilan
rumah makan itu. Christine bergegas ke rumahnya yang cukup dekat untuk
membersihkan diri dan berganti baju. Setelah satu jam, ia
kembali dengan gaun hijaunya yang anggun membalut
tubuhnya yang langsing dan wajahnya yang manis. Ia
tampak tenang. Rambutnya disanggul ke atas dengan model
tahun 1950-an. Kelompok musik pengiring telah sampai dan mereka
segera memeriksa peralatan musik: flute, gitar, saksofon,
dan alat-alat musik yang lain. Tak berapa lama lantunan
musik mereka mulai terdengar, para undangan pun mulai
berdatangan. Beberapa orang tua sahabat karib Zaki Bey alDasuki datang. Christine mengenal sebagian dan menyalami mereka, lalu mengajak mereka ke ruang bar dan
menawari mereka wiski. Undangan-undangan yang lain
berdatangan, di antaranya beberapa teman kuliah Busainah
bersama keluarga mereka, serta beberapa peng-huni atas
atap Apartemen yacoubian.
Para wanita mengenakan baju-baju berkilau, dibordir
dengan bahan dari tatah kayu dan kida-kida. Gadis-gadis
muda berdatangan menambah variasi pakaian-pakaian
mewah dan unik. Mereka terlihat sangat bahagia. Para
penghuni atas atap Apartemen yacoubian merasa takjub
dengan kemewahan rumah makan itu serta desainnya yang
bergaya Eropa dan unik. Beberapa wanita memalingkan
kekaguman itu ke perbincangan-perbincangan ringan.
Mereka bercanda dan tertawa, menandakan keceriaan
karena kesempatan yang unik ini.
Pukul sembilan pintu dalam dibuka dan beberapa orang
keluar diikuti Zaki Bey dengan jas hitamnya yang unik,
serta kemeja putih dan dasi merah hati yang besar di
lehernya. Rambutnya disemir dan tertata rapi ke belakang.
Dengan gayanya yang baru, dia terlihat lebih muda sepuluh
tahun dari umur yang sebenarnya. Jalannya terlihat
mantap, tapi kedua matanya agak turun akibat dua gelas
wiski yang ia tenggak setiap menjelang tidur.
Ketika ia muncul, serentak tepuk tangan terdengar dari
semua arah. "Mabruk, alfu mabruk ... Selamat, selamat ..."
Seketika terdengar suara zagharid (siulan khas Mesir).
Ketika para tamu menyalami Zaki, Christine berada di
sampingya, memeluknya, dan menciumnya
dengan gayanya yang hangat. "Kau seperti seorang bintang film, Zaki," bisik Christine
seraya menatapnya dengan kagum.
"Aku sangat bahagia karenamu, Zaki. Kamu telah
melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan sejak dulu."
Ini adalah pesta pernikahan Zaki Bey al-Dasuki dengan
Busainah al-Sayyid yang datang terlambat karena alasan
penataan rambut, sesuatu yang lazim bagi pengantin
wanita. Busainah muncul dengan gaun pengantin putih
yang ujungnya panjang, diarak saudara-saudara wanitanya
dan saudara laki-lakinya, Mustafa. Ketika pengantin wanita
muncul, para tamu terkagum-kagum dengan kecantikannya.
Seketika terdengar lagi suara zagharid yang bersahutsahutan, membuat suasana begitu riuh.
Semua yang hadir di Maxim tampak bahagia. Setelah
kelompok musik selesai melantunkan lagu, Christine
berusaha menghiasi pesta itu dengan kesan Eropa. Ia
mendekati piano tua dan mendendangkan La Vie en Rose
milik Edith Piaf. Terdengarlah lantunan lagu dengan syair
yang membius syahdu. Ketika dia memelukku dan berbisik kepadaku Aku
melihat kehidupan seindah mawar ...
Setiap hari dia mengucapkan kata-kata cinta kepadaku
Membuat hatiku senantiasa tergetar ...
Kedua mempelai berdansa. Busainah tampak gu-gup. Ia
hampir terpeleset, tetapi Zaki mengarahkannya agar
melangkah dengan benar. Tibalah saat Zaki memeluknya,
satu gerak pun tak terlewatkan oleh mata para tamu yang
datang. Mereka melontarkan kata-kata gurauan.
Zaki membayangkan Busainah dengan baju pengantin
seakan peri kahyangan yang suci. Busainah serupa peri
yang baru dilahirkan hari ini dan telah meninggalkan masa
lalunya yang penuh noda untuk selamanya.
Setelah menyelesaikan satu lagu, Christine hendak
menyanyikan lagi lagu-lagu Prancis yang romantis, tetapi
para tamu sudah tak sabar mendengarkan musik Timur
Tengah untuk mengiringi tahan mereka. Para wanita
bertepuk tangan, bernyanyi mengikuti musik, dan saling
berkelompok. Mereka terus menari dan bernyanyi. Mereka
memaksa Busainah untuk bergabung hingga akhirnya dia
menyerah dan bergabung dalam tahan. Zaki Bey
memandanginya dengan pandangan cinta dan takjub sambil
bertepuk tangan mengiringi musik yang terus mengalun.
Zaki tiba-tiba mengangkat tangannya ke atas, menjemput
Busainah untuk kembali berdansa bersamanya. Kini semua
mata tertuju ke arah mereka. Tepuk tangan riuh mengiringi
mereka berdua yang tengah berdansa dan berbahagia. Dua
hati yang telah disatukan oleh ikatan suci cinta.
Tentang Pengarang Alaa Al Aswany dilahirkan pada 1957 di Kairo, Mesir.
Ia adalah seorang novelis yang juga berprofesi sebagai
dokter gigi. Tempat praktik pertamanya terletak di
Apartemen yacoubian. Ia juga aktif menulis di berbagai
koran Mesir tentang sastra, politik, dan beragam persoalan
sosial kemasyarakatan. Apartemen Yacoubian adalah novel
keduanya yang hingga kini menjadi buku laris di Mesir dan
sempat menggemparkan karena keterbukaannya dalam
mengungkap kebobrokan sosial politik dan seksualitas di
negeri itu. Novel yang telah terjual ratusan ribu eksemplar
ini difilmkan pada 2006 dan diputar di berbagai festival film
internasional terkemuka, termasuk di Berlin (Jerman) dan
Cannes (Prancis). Novel ini juga sudah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa, di antaranya Inggris (The
Yacoubian Building), Prancis ( L'Immeubie Yacoubian),
Italia (Palazzo Yacoubian), Spanyol (L'Edifici laqubian),
Jerman (per Jakubijan-Bau), Belanda, Swedia, Turki, dan
Israel. Novelnya yang lain, Chicago (2007), juga mendapat
sambutan hangat dari khalayak pembaca novel internasional dan edisi bahasa Arabnya telah dicetak sebelas
kali hanya dalam waktu setahun di Mesir.
Bukit Pemakan Manusia 9 Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Begal Dari Gunung Kidul 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama