Ceritasilat Novel Online

Breaking Dawn 3

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 3


Ia mendengarkan lama sekali, kemudian berkata, "Ya. Ya, akan kulakukan."
Ia menurunkan ponsel dari telinganya dan menekan tombol "End". Setelah itu ia
langsung menghubungi nomor lain.
"Apa kata Carlisle?" tanyaku tidak sabar,
Edward menjawab dengan nada datar. "Menurut dia, kau hamil."
Kata-kata itu membuat sekujur tubuhku hangat. Si penyundul kecil bergetar di
perutku. "Kau menelepon siapa sekarang?" tanyaku begitu melihat Edward menempelkan
ponselnya lagi ke telinga.
"Bandara. Kita pulang."
Edward menelepon selama lebih dari satu jam tanpa henti. Kupikir ia pasti
berusaha mencari pesawat pulang untuk kami, tapi aku tidak yakin karena ia tidak
berbicara dalam bahasa Inggris. Kedengarannya ia berdebat, sering kali ia
berbicara sambil mengertakkan gigi.
Sambil terus berdebat ia mengemasi barang-barang. Secepat kilat ia mondar-mandir
ke seluruh penjuru rumah seperti tornado mengamuk, hanya bedanya, ia justru
membuat ruangan jadi bersih, bukan malah porak poranda. Ia melempar satu setel
bajuku ke tempat tidur tanpa melihat lagi, jadi aku berasumsi sekarang waktunya
aku berganti baju. Ia melanjutkan argumennya sementara aku berpakaian,
menggerak-gerakkan tangan dengan gemas dan gelisah.
Ketika aku tak sanggup lagi menahankan energi kemarahan yang terpancar dari
dalam dirinya, diam-diam aku meninggalkan kamar. Konsentrasi Edward yang
berlebihan membuat perutku mual tidak seperti mual di pagi hari, hanya merasa
tidak nyaman. Aku akan menunggu saja di suatu tempat sampai suasana hatinya
kembali tenang. Aku tidak bisa berbicara dengan Edward yang dingin dan terfokus
ini, yang sejujurnya membuatku sedikit takut.
Sekali lagi aku berakhir di dapur. Aku melihat sebungkus pretzel di lemari
dapur. Aku mulai mengunyah-ngunyah pretzel itu tanpa berpikir, memandangi pasir,
bebatuan, pepohonan, samudera di luar jendela, segala sesuatu tampak berkilauan
tertimpa cahaya matahari.
Seseorang menyundulku. "Aku tahu," ujarku. "Aku juga tak ingin pergi."
Aku memandang ke luar jendela beberapa saat, tapi si penyundul tidak merespons.
"Aku tidak mengerti," bisikku. "Apa yang salah di sini?" Mengejutkan, jelas.
Mencengangkan. Tapi apakah salah" Tidak.
Lantas, mengapa Edward begitu marah" Padahal justru dia yang berharap kami
menikah karena "kecelakaan". Aku berusaha mencernanya.
Mungkin tidak terlalu membingungkan bila Edward menginginkan kami pulang
secepatnya. Ia pasti ingin Carlisle memeriksaku, memastikan asumsiku benar,
walaupun jelas saat ini aku sama sekali tidak ragu. Mungkin mereka ingin mencari
tahu mengapa aku sudah sangat hamil, dengan perut sedikit menonjol, sundulan,
dan segala macam. Itu tidak normal.
Begitu itu terpikir olehku, aku yakin perkiraanku benar. Edward pasti sangat
khawatir memikirkan bayi ini. Aku malah belum sempat merasa panik. Otakku
bekerja lebih lambat daripada otaknya, otakku masih terpaku pada gambaran
sebelumnya: bocah kecil yang matanya mirip mata Edward hijau, seperti matanya
waktu ia masih menjadi manusia putih dan rupawan, tergolek dalam pelukanku. Aku
berharap wajahnya mirip Edward, sama sekali tanpa jejak diriku.
Lucu juga bagaimana visi ini mendadak jadi begitu penting. Dari sentuhan kecil
pertama tadi, seluruh dunia berubah. Kalau dulu hanya ada satu hal yang
membuatku tidak bisa hidup tanpanya, sekarang ada dua. Tidak ada pembagian
cintaku tidak terbagi di antara mereka sekarang, bukan seperti itu. Lebih tepat
bila dikatakan hatiku bertumbuh, menggelembung jadi dua kali ukuran awalnya.
Semua ruangan ekstra itu sudah terisi. Peningkatannya nyaris memusingkan.
Aku tak pernah benar-benar bisa memahami kesedihan dan kebencian Rosalie
sebelumnya. Aku tidak pernah membayangkan diriku sebagai ibu, tidak pernah
menginginkannya. Mudah saja bagiku berjanji kepada Edward bahwa aku tidak peduli
mengorbankan kemampuan memiliki anak demi dia, karena aku memang benar-benar tak
peduli. Anak-anak, dalam wujud abstrak, tak pernah menarik hatiku. Bagiku mereka
hanya makhluk berisik, sering kali meneteskan semacam cairan menjijikkan. Aku
tidak pernah menyukai mereka. Kalau aku membayangkan Renee memberiku saudara,
aku selalu membayangkan seorang saudara yang lebih tua. Seseorang yang
menjagaku, bukan sebaliknya.
Anak ini, anak Edward, sangat berbeda.
Aku menginginkannya seperti aku menginginkan udara untuk bernapas. Bukan pilihan
melainkan kebutuhan. Mungkin sebenarnya imajinasiku memang sangat buruk. Mungkin itulah sebabnya aku
tak mampu membayangkan bahwa aku sudah menikah sampai tidak membayangkan bahwa
aku menginginkan seorang bayi, tapi bayi itu hadir... aku meletakkan tangan di
perutku, menunggu sundulan berikut, air mata kembali membasahi pipiku.
"Bella?" Aku menoleh, cemas mendengar nada suara Edward. Terlilit dingin, terlalu hatihati. Wajahnya persis sama dengan kulitnya, kosong dan kaku.
Kemudian dilihatnya aku menangis,
"Bella!" Secepat kilat ia melintasi ruangan dan merengkuh wajahku dengan
tangannya. "Kau kesakitan?"
" Tidak, tidak... "
Ia mendekapku ke dadanya. "Jangan takut. Enam belas jam lagi kita sampai di
rumah. Kau akan baik-baik saja. Carlisle sudah siap begitu kita sampai di sana.
Kita akan membereskannya, dan kau akan baik-baik saja, kau akan baik-baik saja."
"Membereskannya" Apa maksudmu?"
Edward menjauhkan tubuhnya dan menatap mataku lekat-lekat. "Kita akan
mengeluarkan makhluk itu sebelum dia melukai organ tubuhmu. Jangan takut. Aku
tidak akan membiarkannya menyakitimu."
"Makhluk itu?" aku terkesiap.
Edward berpaling dengan tatapan tajam, berjalan menuju pintu depan. "Brengsek!
Aku lupa Gustavo dijadwalkan datang hari ini. Akan kusuruh dia pergi, sebentar
lagi aku kembali." Ia melesat ke luar ruangan.
Tanganku mencengkeram konter, menyangga tubuh! Lututku lemas.
Edward tadi menyebut penyundul kecilku sebagai makhluk. Ia mengatakan Carlisle
akan mengeluarkannya. "Tidak," bisikku.
Ternyata dugaanku keliru. Edward sama sekali tidak peduli pada bayi ini. Ia
ingin menyakitinya.. Bayangan indah dalam benakku tiba-tiba berubah, berubah
jadi sesuatu yang gelap. Bayiku yang rupawan menangis, lenganku yang lemah tak
cukup kuat untuk melindunginya...
Apa yang bisa kulakukan" Bisakah aku meminta pengertian mereka" Bagaimana kalau
tidak bisa" Apakah ini menjelaskan sikap aneh Alice yang diam saja waktu kutanya
di telepon tadi" Itukah yang dia lihat" Edward dan Carlisle membunuh bocah pucat
sempurna ini sebelum ia bisa hidup"
"Tidak," bisikku lagi, suaraku lebih kuat. Itu tidak boleh terjadi. Aku takkan
mengizinkannya. Aku mendengar Edward berbicara lagi dalam bahasa Portugis. Berdebat lagi.
Suaranya semakin dekat, dan kudengar ia menggeram putus asa. Kemudian aku
mendengar suara lain, rendah dan malu-malu. Suara wanita.
Edward memasuki dapur, mendahului wanita itu, dan langsung mendatangiku. Ia
menyeka air mata dari pipiku dan berbisik di telingaku dengan bibir terkatup
rapat dan membentuk garis tipis yang keras.
"Dia bersikeras ingin meninggalkan makanan yang dibawanya dia memasakkan makan
malam untuk kita." Seandainya ia tidak setegang dan sekalut itu, aku tahu Edward
pasti akan memutar bola matanya. "Itu hanya alasan dia ingin memastikan aku
belum membunuhmu." Suaranya berubah sedingin es di bagian akhir.
Kaure beringsut-ingsut gugup di pojok dapur, tangannya memegang wadah bertutup.
Seandainya saja aku bisa berbicara Portugis, atau kemampuan bahasa Spanyol-ku
tidak terlalu minim, aku bisa mencoba mengucapkan terima kasih kepada wanita
ini, yang berani membuat marah vampir hanya demi mengecek keberadaanku.
Mata Kaure berkelebat, menatap kami bergantian. Kulihat
Ia mengamati warna wajahku, dan mataku yang basah. Mengumumkan sesuatu yang
tidak kumengerti, ia meletakkan wadah itu di konter.
Edward mengatakan sesuatu padanya dengan nada membentak, belum pernah aku
mendengarnya bersikap sangat tidak sopan. Wanita itu berbalik untuk pergi, dan
gerakan berputar cepat dari roknya yang panjang menghamburkan aroma makanan ke
wajahku. Baunya kuat bawang dan ikan. Aku tersedak dan secepat kilat menghambur
ke bak cuci piring, Aku merasakan tangan Edward memegangi keningku dan
mendengarnya menenangkanku dengan suara lembut di sela-sela suara gemuruh di
dalam telingaku. Tangannya menghilang sejenak, dan aku mendengar suara pintu
kulkas dibanting. Syukurlah, bau itu lenyap bersama suara itu dan tangan Edward
kembali menyejukkan wajahku yang berkeringat. Semua berakhir dengan cepat.
Aku berkumur membersihkan mulutku dengan air keran sementara Edward membelaibelai bagian samping wajahku.
Terasa sundulan kecil di rahimku.
Semua beres. Kita baik-baik saja, batinku pada tonjolan di perutku.
Edward membalikkanku, menarikku ke dalam pelukannya. Aku meletakkan kepalaku di
dadanya. Kedua tanganku, secara naluriah, terlipat di atas perut.
Aku mendengar suara terkesiap kecil dan mendongak.
Wanita itu masih di sana, ragu-ragu berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan
separo terulur, seolah-olah menawarkan diri untuk membantu. Matanya terpaku ke
tanganku membelalak shock. Mulutnya menganga.
Kemudian Edward ikut terkesiap. Ia tiba-tiba berpaling menghadapi wanita itu,
mendorongku sedikit ke balik tubuhnya. Lengannya melingkari tubuhku, seperti
menahanku belakang. Tiba-tiba Kaure meneriaki Edward suaranya keras dan bernada marah, kata-katanya
yang tak bisa kumengerti berhamburan ke seluruh ruangan bagaikan pisau. Ia
mengangkat tinjunya yang kecil tinggi-tinggi di udara dan maju dua langkah,
mengacung-acungkannya pada Edward. Meski garang kentara sekali matanya
memancarkan kengerian. Edward maju menghampirinya, dan aku mencengkengkram lengannya, takut ia akan
menyakiti wanita itu. Tapi waktu ia menyela amukan wanita itu, suaranya
membuatku terkejut apalagi mengingat betapa tajam nada Edward tadi saat Kaure
tidak berteriak-teriak memarahinya. Suaranya sekarang pelan nadanya memohon.
Bukan hanya itu, tapi suaranya berbeda lebih rendah, tanpa irama. Sepertinya ia
tidak lagi berbicara dalam bahasa Portugis.
Sesaat wanita itu memandanginya keheranan, kemudian matanya menyipit saat ia
memberondong Edward dengan sederet pertanyaan panjang dalam bahasa asing yang
sama. Kulihat wajah Edward berubah sedih dan serius, dan ia mengangguk satu kali.
Wanita itu mundur selangkah dengan cepat dan membuat tanda salib.
Edward mengulurkan tangan pada wanita itu, melambai ke arahku, kemudian
meletakkan tangannya di pipiku. Wanita itu menyahut lagi dengan nada marah,
menggerak-gerakkan memperingati dengan sikap menuduh pada Edward, lalu
mengibaskan tangan ke arahnya. Setelah ia selesai, Edward kembali memohon dengan
suara rendah bernada mendesak yang sama.
Ekspresi wanita itu berubah ia menatap Edward dengan akspresi yang jelas-jelas
ragu, matanya berulang kali melirik wajahku yang bingung. Edward berhenti
berbicara, dan wanita itu sepertinya mempertimbangkan sesuatu. Ia menatap kami
bergantian, kemudian, seolah tanpa sadar, ia melangkah maju.
Ia membuat gerakan dengan kedua tangannya, membuat bentuk seperti balon
membuncit di perutnya. Aku kaget apakah legenda-legendanya tentang makhluk
peminum darah juga termasuk hal ini" Mungkinkah ia tahu apa yang tumbuh dalam
perutku" Wanita itu maju beberapa langkah, kali ini mantap, dan mengajukan beberapa
pertanyaan singkat, yang dijawab Edward dengan tegang. Kemudian giliran Edward
yang bertanya satu pertanyaan singkat. Wanita itu ragu-ragu, kemudian perlahanlahan menggeleng. Waktu Edward bicara lagi, suaranya begitu tersiksa sampaisampai aku mendongak dan menatapnya dengan shock. Wajahnya tampak sangat sedih.
Sebagai jawaban, wanita itu maju pelan-pelan sampai ia berada cukup dekat untuk
meletakkan tangannya yang kecil di atasku, di atas perutku. Ia mengucapkan satu
kata dalam bahasa Portugis.
"Morte" desahnya pelan. Kemudian ia berbalik, bahunya terkulai seolah-olah
pembicaraan tadi membuatnya letih, lalu meninggalkan ruangan.
Aku tahu arti kata itu dalam bahasa Spanyol.
Edward kembali membeku, memandangi kepergian wanita itu dengan ekspresi tersiksa
di wajahnya. Beberapa saat kemudian, aku mendengar mesin kapal meraung hidup,
lalu menhilang di kejauhan.
Edward tidak bergerak sampai aku beranjak ke kamar mandi. Kemudian tangannya
memegangi bahuku. "Kau mau ke mana?" Suara Edward berupa bisikan sedih.
"Mau menggosok gigi lagi."
"Jangan khawatirkan kata-katanya tadi. Itu. semua hanya legenda, dusta lama yang
dimaksudkan untuk menghibur."
"Aku tidak mengerti apa-apa," sergahku, walaupun tidak sepenuhnya benar. Seolaholah aku bisa menepiskan sesuatu hanya karena itu legenda saja. Hidupku
dikelilingi legenda. Dan semuanya nyata.
"Aku sudah memasukkan sikat gigimu ke tas. Aku akan mengambilkannya untukmu."
Ia berjalan mendahuluiku ke kamar.
"Kita akan pulang sebentar lagi?" aku berseru padanya.
"Segera setelah kau selesai."
Ia menunggu untuk menyimpan kembali sikat gigiku, berjalan mondar-mandir tanpa
suara di dalam kamar. Kuserahkan sikat gigi itu padanya setelah selesai.
"Akan kumasukkan tas-tas ke dalam kapal."
"Edward... " Ia berbalik. "Ya?"
Aku sangsi, berusaha mencari cara untuk bisa sendirian beberapa saat. "Bisakah
kau... mengemas sedikit makanan" Kau tahu, untuk jaga-jaga, siapa tahu aku lapar
lagi." "Tentu saja," jawab Edward, matanya tiba-tiba melembut. "Jangan khawatirkan apa
pun. Beberapa jam lagi kita akan bertemu Carlisle. Sebentar lagi semua akan
berakhir." Aku mengangguk, tak mampu bicara.
Ia berbalik dan meninggalkan ruangan, masing-masing tangannya menjinjing satu
koper besar. Secepat kilat aku berbalik dan menyambar ponsel yang ia tinggalkan di konter.
Tidak biasanya ia pelupa begini-lupa Gustavo akan datang, lupa meninggalkan
ponselnya tergeletak di sini. Edward begitu tertekan sampai nyaris bukan dirinya
sendiri. Aku membuka ponsel dan mencari di antara nomor-nomor yang sudah diprogramkan di
dalamnya, takut Edward memergokiku. Sudahkah ia berada di kapal sekarang" Atau
sudah kembali" Apakah ia bisa mendengarku dari dapur kalau aku berbisik"
Aku menemukan nomor yang kuinginkan, nomor yang tidak pernah kuhubungi
sebelumnya seumur hidupku. Kutekan tombol "Send" dan menyilangkan jari-jariku.
"Halo?" suara yang berdenting bagaikan lonceng angin itu menjawab.
"Rosalie?" bisikku. "Ini Bella. Please. Kau harus menolongku.
BUKU DUA Jacob DAFTAR ISI PENDAHULUAN 8. MENUNGGU PERTENGKARAN SIALAN ITU DIMULAI
9. SUNGGUH TAK KUDUGA SAMA SEKALI
10. MENGAPA AKU TIDAK LANGSUNG HENGKANG SAJA" OH YA. BENAR AKU IDIOT
11. DUA HAL YANG PALING TIDAK INGIN KULAKUKAN
12. SEBAGIAN ORANG MEMANG TIDAK BISA MENGERTI KONSEP "TIDAK DITERIMA"
13. UNTUNG AKU TIDAK MUDAH JIJIK
14. KAU TAHU KEADAAN MULAI GAWAT WAKTU KAU MERASA BERSALAH BERSIKAP KURANG AJAR
PADA VAMPIR 15. TIK TOK TIK TOK TIK TOK
16. TIDAK MAU TERLALU BANYAK TAHU
17. MEMANGNYA KELIHATANNYA AKU INI SIAPA" WIZARD OF OZ" KAU BUTUH OTAK" KAU
BUTUH HATI" SILAKAN SAJA. AMBIL HATIKU. AMBIL SEGALANYA YANG KU PUNYA.
18. TAK ADA KATA YANG SANGGUP MELUKISKANNYA
namun, sejujurnya, akal sehat dan cinta nyaris tak berjalan seiring sekarang
ini. William Shakespeare A Midsummer Night's Dream Act III, Scene i
PENDAHULUAN Hidup menyebalkan, lalu kau mati. Yeah, seandainya aku seberuntung itu.
8. MENUNGGU PERTENGKARAN SIALAN ITU DIMULAI
"ASTAGA, Paul, memangnya kau tidak punya rumah sendiri, ya?"
Paul yang duduk santai menempati seluruh sofaku, menonton pertandingan bisbol di
TV tuaku, nyengir padaku, kemudian dengan gerakan sangat pelanmengangkat
sekeping keripik Doritos dari bungkusan di pangkuannya dan nienjejalkannya ke
mulut.

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan itu keripik yang kaubawa sendiri dari rumah."
Kriuuk. "Nggak" jawabnya sambil mengunyah. "Kakakmu bilang silakan, aku boleh ambil apa
saja yang kuinginkan."
Aku berusaha membuat suaraku terdengar seolah-olah aku tidak ingin meninjunya.
"Jadi Rachel ada di sini sekarang?"
Tidak berhasil. Ia mengendus maksudku dan menyurukkan bungkusan itu ke balik
punggung. Bungkusan itu berderak waktu ia menghantamkannya ke bantal sofa.
Keripiknya remuk. Kedua tangan Paul terangkat membentuk tinju, dekat ke wajahnya
seperti petinju. "Sikat saja, Nak. Aku tidak butuh Rachel untuk melindungiku."
Aku mendengus. "Ya, yang benar saja. Kayak kau tidak bakal mengadu padanya saja
di kesempatan pertama."
Paul tertawa dan duduk rileks, menurunkan kedua tangannya. "Aku tidak akan
mengadu pada cewek. Kalau kau beruntung bisa memukulku, itu antara kita saja.
Begitu juga sebaliknya, benar?"
Baik juga dia memberiku "undangan". Kuenyakkan tubuhku di sofa seolah-olah sudah
menyerah. "Baiklah."
Mata Paul melirik TV. Aku menerjang. Hidungnya remuk dengan suara berderak yang sangat memuaskan waktu tinjuku
menghantamnya. Ia berusaha menyambar tubuhku, tapi dengan sigap aku berkelit
sebelum ia bisa meraihnya, memegang bungkusan keripik Doritos yang sudah hancur
dengan tangan kiriku. "Kau mematahkan hidungku, tolol."
"Antara kita saja, benar kan, Paul?"
Aku pergi untuk menyimpan keripikku. Waktu aku kembali, Paul sudah membetulkan
bentuk hidungnya sebelum tulangnya sempat pulih dalam keadaan bengkok. Darah
sudah berhenti mengalir; hanya menetes di bibir dan dagu. Paul memaki, meringis
waktu menarik tulang rawannya.
"Kau ini benar-benar menyebalkan, Jacob. Sumpah, aku lebih suka nongkrong dengan
Leah." "Aduh. Wow, berani taruhan, Leah pasti senang sekali mendengar kau suka
menghabiskan waktu bersamanya. Itu akan menghangatkan hatinya."
"Lupakan saja aku pernah bilang begitu."
"Tentu saja. Aku yakin aku tidak bakal keceplosan."
"Ugh" gerutu Paul, kemudian kembali bersandar di sofa, menyeka sisa darah dengan
kerah T-shirt-nya. "Cepat juga kau, Nak. Itu harus kuakui." Ia mengalihkan
perhatian kembali ke pertandingan.
Aku berdiri selama satu detik, lalu menghambur ke kamar, mengomel panjang-pendek
tentang penculikan orang oleh makhluk angkasa luar.
Dulu Paul siap berkelahi kapan saja. Tidak perlu harus memukulnya dulu-diejek
saja ia pasti sudah mengamuk, gampang saja memicu amarahnya. Sekarang, tentu
saja, di saat aku benar-benar ingin mencari gara-gara dan bergulat lubishabisan, ia malah bersikap lunak.
Apakah belum cukup menyebalkan, lagi-lagi ada anggota kawanan yang terkena
imprint karena, yang benar saja, itu berarti sekarang semuanya berjumlah empat
dari sepuluh orang! Kapan ini bakal berhenti" Mitos tolol kan seharusnya jarang
terjadi, demi Tuhan! Masalah cinta pada pandangan pertama wajib ini benar-benar
memuakkan! Apakah harus dengan kakakku" Apakah harus dengan Paul"
Ketika Rachel pulang dari Washington State pada akhir semester musim panas lulus
lebih cepat, dasar kutu buku kekhawatiran terbesarku adalah bahwa akan sulit
menyimpan rahasia dengan adanya dia di rumah. Aku tidak suka harus merahasiakan
sesuatu di rumahku sendiri. Itu membuatku kasihan pada anak-anak seperti Embry
dan Collin, yang orang tuanya tidak tahu mereka werewolf. Ibu Embry mengira ia
sedang dalam tahap usia di mana ia suka memberontak. Akibatnya Embry selalu
dihukum karena bolak-balik menyelinap ke luar, tapi, tentu saja, tak banyak yang
bisa dilakukan Embry mengenainya. Ibunya memeriksa kamarnya setiap malam, dan
setiap malam pula kamarnya kosong. Lantas ibunya memarahinya dan Embry diam saja
dimarahi, tapi kemudian melakukan hal yang sama lagi keesokan harinya. Kami
sudah berusaha meminta Sam untuk memberi kelonggaran pada Embry dan membiarkan
ibunya mengetahui rahasia ini, tapi menurut Embry itu sama sekali bukan masalah.
Rahasia ini terlalu penting.
Maka aku pun siap menjaga rahasia itu. Tapi kemudian dua hari setelah Rachel
sampai di rumah, Paul bertemu dengannya di pantai. Dan simsalabim-cinta sejati!
Tak perlu ada rahasia bila kau menemukan belahan jiwamu, dan segala omong kosong
tentang imprinting werewolf konyol itu.
Rachel tahu semuanya. Dan suatu hari nanti, Paul akan menjadi kakak iparku. Aku
tahu Billy juga tidak terlalu senang mengenainya. Tapi ia lebih bisa menerimanya
daripada aku. Jelas, belakangan ini kan ia lebih sering kabur ke rumah keluarga
Clearwater. Padahal itu kan tidak lebih baik. Tidak ada Paul, tapi ada Leah.
Aku jadi penasaran apakah kalau pelipisku ditembus peluru, aku bisa benar-benar
mati atau itu hanya akan meninggalkan sesuatu yang harus kubereskan"
Aku melempar tubuhku ke tempat tidur. Aku lelah belum tidur sama sekali sejak
patroli terakhirku tapi aku tahu aku tidak bakal bisa tidur. Isi kepalaku
terlalu ruwet. Berbagai pikiran berkecamuk di benakku, seperti segerombolan
lebah. Berisik, Sesekali mereka menyengat. Pasti hornet, bukan lebah. Lebah kan
mati sehabis menyengat. Padahal pikiran yang sama menyengatku berulang kali.
Penantian ini membuatku sinting. Sudah hampir empat minggu berlalu. Aku
memperkirakan, di satu sisi kabar itu seharusnya sudah datang sekarang.
Bermalam-malam aku tidak tidur, membayangkan bagaimana bentuk kabar itu. Charlie
menangis tersedu-sedu di telepon. Bella dan suaminya hilang dalam kecelakaan.
Pesawat jatuh" Sulit untuk berpura-pura hilang dalam kecelakaan pesawat. Kecuali
lintah-lintah itu tidak keberatan membunuh segerombolan orang untuk memberi
kesan autentik, dan mengapa pula mereka mesti keberatan" Mungkin mereka akan
mengorbankan sebuah pesawat kecil saja. Mungkin mereka punya pesawat sendiri dan
bisa mengorbankan salah satu untuk keperluannya.
Atau mungkin si pembunuh akan pulang sendiri, gagal menjadikan Bella salah satu
dari mereka" Atau malah mungkin belum sempat sampai ke sana. Mungkin Edward
meremukkan Bella seperti ia meremukkan keripik kentang tadi" karena nyawa Bella
tak lebih penting bagi Edward ketimbang kenikmatannya sendiri...
Ceritanya akan sangat tragis Bella hilang dalam kecelakaan mengerikan. Korban
penculikan yang salah sasaran, tersedak makanan dan meninggal. Kecelakaan mobil,
seperti ibuku. Begitu jamak. Terjadi setiap saat.
Apakah Edward akan membawa jenazah Bella pulang" Menguburnya di sini demi
Charlie" Peti matinya tertutup rapat, tentu saja. Peti mati ibuku bahkan dipaku
rapat,.- Aku hanya bisa berharap Edward akan membawa Bella kembali ke sini, dalam
jangkauanku. Mungkin tidak akan ada cerita apa-apa. Mungkin Charlie akan menelepon ayahku
kalau ia sudah mendapat kabar apa saja dari Dr. Cullen, yang tahu-tahu saja
tidak muncul di tempat kerjanya suatu hari nanti. Rumahnya ditinggal begitu
saja. Tak satu pun keluarga Cullen bisa dihubungi. Misteri itu tercium oleh
salah satu tayangan berita kelas dua, yang menayangkannya dengan kecurigaan
adanya permainan kotor,..
Mungkin rumah putih besar itu akan terbakar habis, seluruh anggota keluarga
terjebak di dalamnya. Tentu saja, mereka memerlukan beberapa mayat kalau
ceritanya seperti itu. Delapan manusia yang ukuran badannya kira-kira sama.
Gosong hingga tidak bisa dikenali lagi bahkan sudah tidak bisa di identifikasi
lagi melalui rekam gigi. Yang mana pun itu, semuanya bakal sulit bagiku, maksudnya. Sulit mencari mereka
kalau mereka tidak ingin ditemukan. Tentu saja, aku punya waktu selamanya untuk
mencari. Kalau kau memiliki waktu tidak terbatas, kau bisa memeriksa setiap
lembar jerami dalam tumpukan, satu demi satu, untuk mencari jarumnya.
Sekarang ini, aku tidak keberatan menyisir setumpuk jerami satu demi satu.
Setidaknya dengan begitu ada sesuatu yang bisa dilakukan. Aku tidak senang
mengakui aku bisa kehilangan kesempatan. Memberi para pengisap darah itu waktu
untuk meloloskan diri, kalau memang itu rencana mereka.
Kami bisa pergi malam ini. Kami bisa membunuh siapa saja yang bisa kami temukan.
Aku menyukai rencana itu karena aku cukup mengenal Edward untuk tahu bahwa,
kalau aku membunuh salah satu anggota kelompoknya, aku akan mendapat kesempatan
berhadapan dengannya. Ia pasti datang untuk membalas dendam. Dan aku akan
meladeninya takkan kubiarkan saudara saudaraku menghadapinya bersama-sama. Ini
urusanku dengannya. Yang lebih kuatlah yang akan menang.
Tapi Sam sama sekali tidak mau mendengarku. Kita tidak akan melanggar
kesepakatan. Biar saja mereka yang melanggar lebih dulu. Hanya karena kami tidak
punya bukti keluarga Cullen telah melakukan pelanggaran. Belum. Kau harus
menambahkan kata belum, karena kami tahu itu tidak bisa dihindari. Bella akan
kembali sebagai salah seorang dari mereka, atau tidak kembali sama sekali. Yang
mana pun itu, hidup seorang manusia sudah hilang. Dan itu berarti pertandingan
lusa segera dimulai. Di ruangan sebelah Paul terkekeh seperti keledai. Mungkin ia sudah mengganti
saluran ke acara komedi. Mungkin iklannya lucu. Masa bodoh. Suara tawa itu
mengiris-iris sarafku. Terpikir olehku untuk meremukkan hidungnya lagi. Tapi bukan Paul yang ingin
kuhajar. Tidak terlalu. Aku berusaha mendengarkan suara-suara lain, angin bertiup di pepohonan. Rasanya
tidak sama, tidak dengan telinga manusia. Ada jutaan suara dalam angin yang
tidak bisa kudengar dengan tubuh ini.
Tapi telinga-telinga ini cukup sensitif. Aku bisa mendengar jauh melewati
pepohonan, ke jalan, suara-suara mobil berbelok di tikungan terakhir tempat kau
akhirnya bisa melihat pantai pemandangan indah pulau-pulau, karang-karang, serta
samudera biru luas membentang hingga ke batas cakrawala. Polisi-polisi La Push
senang nongkrong di sana. Soalnya turis-turis tak pernah memerhatikan peringatan
harus mengurangi kecepatan yang terpasang di pinggir jalan sana.
Aku bisa mendengar suara-suara di luar toko suvenir di tepi pantai. Aku bisa
mendengar lonceng sapi berdentang setiap kali pintu dibuka dan ditutup. Aku bisa
mendengar suara ibu Embry di depan mesin kasir, mencetak bon.
Aku bisa mendengar ombak berdebur memecah karang di tepi pantai. Aku bisa
mendengar anak-anak menjerit saat air sedingin es mengejar mereka, terlalu cepat untuk bisa dihindari. Aku bisa
mendengar para ibu mengeluh karena baju mereka basah. Dan aku bisa mendengar
suara yang familier... Aku mendengarkan dengan begitu saksama sehingga ledakan tawa Paul yang tiba-tiba
membuatku separo terlontar dari tempat tidur.
"Pergi dari rumahku!" gerutuku. Tahu Paul tidak bakal perduli, aku mengikuti
saranku sendiri. Kubuka jendelaku lebar-lebar dan memanjat keluar supaya tidak
perlu bertemu Paul lagi. Godaan itu kelewat besar. Aku tahu aku akan meninjunya
lagi, dan Rachel bakal mengamuk, Ia akan melihat darah di kemeja Paul dan
langsung menyalahkanku tanpa menunggu bukti. Tentu saja ia benar, tapi kan tetap
saja. Aku berjalan ke pantai, kedua tangan kubenamkan ke saku. Tidak ada yang
melirikku waktu aku berjalan melintasi lapangan tanah di First Beach. Itulah
enaknya musim panas- tidak ada yang peduli meskipun kau hanya bercelana pendek.
Aku mengikuti suara akrab yang kudengar tadi dan dengan mudah menemukan Quil. Ia
berada di sebelah selatan pantai yang berbentuk bulan sabit, menghindari bagian
yang dipadati turis. Mulutnya tak henti-henti meneriakkan peringatan.
"Jangan masuk ke air, Claire, Ayolah. Tidak, jangan. Oh! Bagus. Nak. Serius nih,
kau mau aku dimarahi Emily, ya" Aku tidak mau membawamu ke pantai lagi kalau kau
tidak- Oh, yeah" Jangan-ugh. Kau kira itu lucu, ya" Hah! Siapa yang tertawa
sekarang, hah?" Quil sedang memegangi tungkai si balita yang tertawa terkikik-kikik itu waktu
aku sampai di tempat mereka. Bocah itu memegang ember dengan satu tangan, dan
jinsnya basah kuyup. Bagian depan kaus Quil juga basah.
"Taruhan lima dolar untuk kemenangan si gadis kecil," katanya.
"Hai, Jake." Claire menjerit dan melempar embernya ke lutut . "Turun, turun!"
Quil menurunkannya dengan hati-hati dan bocah itu berlari menghampiriku. Ia
memeluk kakiku erat-erat. "Unca Jay!"
"Apa kabar, Claire?"
Bocah itu terkikik. "Quil sekarang basaaaaaah!'
"Kelihatan kok. Mana mamamu?"
"Pergi, pergi, pergi," dendang Claire. "CIaire main sama Quil seeeeeharian.
Claire nggak pernah pulang." Ia melepaskan aku dan menghambur ke Quil. Quil
meraup dan mendudukkan bocah itu di bahunya.
"Kedengarannya sudah terrible two nih."
"Sebenarnya tiga," Quil mengoreksi. "Kau tidak melihat pestanya sih. Temanya
Princess. Dia menyuruhku memakai mahkota, kemudian Emily mengusulkan agar mereka
mencoba peralatan makeup mainan mereka yang baru padaku."
"Wow, aku benar-benar menyesal tidak melihatnya."
"Jangan khawatir, Emily punya foto-fotonya kok. Pokoknya aku kelihatan oke
banget." "Dasar banci." Quil mengangkat bahu. "Claire senang. Itu yang penting."
Aku memutar bola mata. Sulit memang bergaul dengan orang-orang yang sudah terimprint. Tak peduli mereka ada di tahap mana-yang hampir menikah seperti Sam
atau pengasuh yang diperlakukan secara semena-mena seperti Quil-kedamaian dan
keyakinan yang selalu mereka pancarkan benar-benar memuakkan.
Claire menjerit di pundak Quil dan menunjuk ke tanah "Batu cantik, Quil!
Untukku, untukku!" "Mau yang mana, kiddo" Yang merah?"
"Nggak mau merah!"
Quil berlutut Claire menjerit dan menarik-narik rambutnya seperti menarik kekang
kuda. "Yang biru?"
"Tidak, tidak, tidak... " gadis kecil itu berdendang, girang dengan permainan
barunya. Dan anehnya, Quil juga sama gembiranya dengan Claire. Wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda bosan seperti yang ditunjukkan para ayah dan ibu yang
sedang berpiknik di sini, wajah yang berharap waktu tidur siang cepat cepat
datang. Tidak pernah ada orangtua yang begitu bersemangat memainkan entah
permainan konyol anak-anak apa yang terpikirkan oleh berandal kecil mereka. Aku
pernah melihat Quil main ciluk ba selama satu jam penuh tanpa merasa bosan.
Dan aku bahkan tidak bisa mengolok-oloknya dalam hal itu aku justru iri berat
padanya. Walaupun sebenarnya menurutku sungguh menyebalkan ia harus bertingkah seperti
badut selama empat belas tahun sampai Claire menginjak usia yang sama dengannya
sekarang bagi Quil, paling tidak, untunglah werewolf tidak menjadi lebih tua.
Tapi bahkan waktu selama itu sepertinya tidak terlalu membuatnya terusik.
"Quil, pernahkah terpikir olehmu untuk berkencan?" tanyaku.
"Hah?" "Nggak, nggak mau kuning!" rengek Claire.
"Kau tahu. Cewek sungguhan. Maksudku, untuk sekarang kau mengerti kan" Kalau kau
sedang tidak menjaga bayi."
Quil memandangiku, mulutnya ternganga.
"Batu cantik! Batu cantik!" jerit Claire waktu Quil tidak menawarinya pilihan
lain. Dipukulnya kepala Quil dengan tinjunya yang mungil.
"Maaf, Claire-bear. Bagaimana kalau yang ungu ini?"
"Nggak," kikiknya. "Nggak mau ungu."
"Kasih petunjuk dong. Kumohon, kid"
Claire berpikir sebentar. "Hijau," akhirnya ia berkata.
Quil memandangi batu-batu, mengamatinya. Ia memungut empat butir dalam nuansa
hijau yang berbeda-beda, lalu mengulurkannya pada Claire.
"Ada yang kau suka?"
"Yay!" "Yang mana?" "Seeeemua!" Claire menekukkan telapak tangannya dan Quil menuangkan batu-batu kecil itu ke
sana. Claire tertawa dan langsung melempari kepala Quil dengan batu. Quil purapura meringis kemudian berdiri dan mulai berjalan kembali ke lapangan parkir.
Mungkin takut Claire kena pilek gara-gara bajunya basah. Ia lebih parah daripada
ibu mana pun yang paranoid dan terlalu protektif terhadap anaknya.
"Maaf kalau aku lancang, mati, soal cewek itu tadi," kataku.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Quil. "Aku hanya kaget. Itu tak pernah terpikir
olehku." "Taruhan, Claire pasti mengertikan, kalau dia dewasa nanti. Dia tidak akan marah
kalau kau menikmati hidup saat dia masih pakai popok,"
"Tidak, aku tahu itu. Aku yakin dia pasti bisa mengerti," Quil tidak mengatakan
apa-apa lagi. "Tapi kau tidak mau melakukannya, kan?" tebakku.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak bisa melihatnya," kata Quil pelan, "Aku tidak bisa membayangkannya.
Aku benar-benar tidak bisa... melihat siapa pun dalam hal itu. Aku tidak
memerhatikan cewek lain lagi, kau tahu. Aku tidak bisa melihat wajah mereka."
"Itu, ditambah tiada dan tanpa makeup, maka mungkin Claire bisa punya saingan
yang perlu dikhawatirkan."
Quil tertawa dan membuat suara-suara seperti orang berciuman padaku. "Kau tidak
ada acara apa-apa Jumat ini, Jacob?"
"Enak saja," tukasku, lalu mengernyitkan wajah. "Yeah, kurasa aku memang tidak
punya acara apa-apa."
Quil ragu-ragu sejenak kemudian bertanya, "Pernahkah terpikir olehmu untuk
berkencan?" Aku mendesah. Salahku sendiri, melontarkan pertanyaan itu tadi.
"Kau tahu, Jake, mungkin ada baiknya bila kau mulai berpikir untuk meneruskan
hidup." Ia tidak mengucapkannya dengan nada bercanda. Suaranya terdengar bersimpati. Itu
malah lebih parah. "Aku juga tidak melihat mereka, Quil. Aku tidak bisa melihat wajah mereka."
Quil ikut-ikutan mendesah.
Jauh di sana, terlalu pelan untuk didengar orang lain kecuali kami berdua di
sela-sela deburan ombak, terdengar lolongan melengking dari arah hutan.
"Brengsek, itu Sam," kata Quil. Kedua tangannya terangkat untuk menyentuh
Claire, memastikan bocah itu masih di sana. "Aku tidak tahu di mana ibunya
berada!" "Biar aku saja yang pergi untuk melihat ada apa. Kalau kami membutuhkanmu, akan
kuberitahu nanti." Aku berbicara dengan cepat. Kata-kataku tidak terdengar
jelas. "Hei, bagaimana kalau kaubawa saja dia ke rumah keluarga Clearwater"
Billy bisa menjaganya kalau perlu. Mereka mungkin perlu tahu apa yang terjadi."
"Oke cepatlah pergi, Jake!"
Aku langsung berlari, tidak ada jalan setapak menerobos ilalang, tapi mengambil
jalan tersingkat menuju hutan. Aku melompati barisan pertama pohon driftwood
kemudian menerobos semak-semak liar, terus berlari. Aku merasakan air mataku
menitik ketika duri-durinya mengoyak kulitku, tapi aku mengabaikannya. Tusukan
duri-duri itu pasti sudah sembuh sebelum aku mencapai hutan.
Aku memotong di belakang toko suvenir dan melesat menyeberang jalan. Seseorang
mengklaksonku. Setelah aman berada di dalam hutan, aku berlari lebih cepat,
langkah-langkahku lebih lebar. Aku bakal jadi tontonan kalau orang melihatku
berlari seperti ini di tempat terbuka. Manusia normal tidak bisa berlari secepat
ini. Kadang-kadang aku berpikir asyik juga kalau ikut lomba kau tahu kan, men
coba Olimpiade atau sebangsanya. Pasti asyik melihat ekspresi di wajah-wajah
para bintang atletik itu waktu aku mengalahkan mereka. Hanya saja, aku yakin tes
yang mereka lakukan untuk memastikan kau tidak menggunakan steroid mungkin bakal
menunjukkan sesuatu yang sangat aneh dalam darahku.
Begitu aku sudah benar-benar berada di dalam hutan, tidak terlihat dari jalan
ataupun rumah, aku berhenti dan melucuti celana pendekku. Dengan gerakan cepat
dan terlatih aku menggulung dan mengikatkannya ke tungkai dengan tali kulit.
Saat masih mengencangkan ikatan, tubuhku mulai berubah. Tubuhku bergetar pelan
dari atas dan merambat menuruni punggung di sepanjang lengan dan kaki. Hanya
butuh sedetik. Panas melanda tubuhku, dan aku merasakan getaran senyap yang
menjadikanku sosok berbeda. Aku mendaratkan cakarku yang berat ke tanah lembap
dan meregangkan punggungku yang memanjang.
Sangat mudah berubah wujud kalau aku berkonsentrasi. Aku tidak punya masalah
lagi dengan amarah. Kecuali kalau amarah itu terhalang.
Selama setengah detik ingatanku melayang ke momen mengerikan pada acara
pernikahan menyebalkan itu. Waktu itu aku begitu kalut oleh amarah hingga tidak
bisa mengendalikan tubuhku. Aku terperangkap, tubuhku bergetar dan terbakar
amarah, tidak bisa berubah dan membunuh monster yang berdiri hanya beberapa
meter dariku. Benar-benar membingungkan. Ingin sekali aku membunuhnya. Tapi
tidak berani menyakiti hati Bella. Dihalangi teman-temanku. Kemudian, waktu aku
akhirnya bisa mengambil bentuk yang kuinginkan, datang perintah dari pemimpinku.
Titah dari sang Alfa. Seandainya malam itu hanya ada Embry dan Quil tanpa Sam...
mungkinkah aku berhasil membunuh si pembunuh"
Aku benci bila Sam menegaskan peraturan seperti itu. Aku paling tidak suka
merasa tidak punya pilihan. Atau harus patuh.
Kemudian aku sadar ada yang mengamati pikiranku. Aku tidak sendirian dalam
pikiranku. Selalu saja asyik dengan pikiran sendiri, pikir Leah.
Yeah, tapi tidak ada yang munafik dalam pikiranku Leah, aku balas berpikir.
Hentikan guys, Sam menegaskan pada kami.
Kami terdiam, dan aku merasa Leah meringis mendengar kata guys. Sensitif,
seperti biasa. Sam pura-pura tidak menyadarinya. Mana Quil dan Jared"
Quil sedang menjaga Claire. la akan mengantarnya ke rumah keluarga Clearwater.
Bagus. Sue bisa menjaganya.
Jared sedang ke rumah Kim, pikir Embry. Besar kemungkinan ia tidak mendengar
panggilanmu. Terdengar geraman pelan di tengah kawanan. Aku ikut mengerang bersama mereka.
Saat Jared akhirnya muncul nanti, tak diragukan ia pasti masih memikirkan Kim.
Dan tidak ada yang ingin melihat apa yang sedang mereka lakukan sekarang.
Sam duduk di kedua kaki belakangnya dan sebuah lolongan lain mengoyak
keheningan. Itu sinyal sekaligus perintah.
Kawanan berkumpul beberapa kilometer di sebelah timur tempatku berada sekarang.
Aku berlari menerobos hutan lebat untuk menemui mereka. Leah, Embry, dan Paul
sedang menuju ke sana juga. Leah berada di dekatku-tak lama kemudian aku
mendengar langkah-langkah kakinya tak jauh di dalam hutan. Kami terus berlari
dalam garis paralel, memilih untuk tidak berlari bersama-sama.
Well, kita tidak akan menunggunya seharian. Terpaksa ia menyusul saja nanti.
Ada apa, Bos" Paul ingin tahu.
Ada yang perlu dibicarakan. Telah terjadi sesuatu.
Aku merasa pikiran Sam berkelebat ke arahku bukan hanya Sam, tapi juga pikiran
Seth, Collin, dan Brady. Collin dan Brady si anak baru hari ini memang
berpatroli bersama Sam, jadi mereka pasti sudah tahu apa pun yang diketahui Sam.
Aku tidak tahu mengapa Seth sudah berada di sini, dan tahu mengenainya. Sekarang
bukan gilirannya berpatroli.
Seth, ceritakan pada mereka apa yang kaudengar.
Aku berpacu lebih kencang, ingin segera sampai di sana. Kudengar Leah juga
berlari lebih cepat. Ia tidak suka dikalahkan. Menjadi yang tercepat adalah
satu-satunya yang dibanggakan Leah.
Coba saja kalau bisa tolol, desis Leah, kemudian ia benar benar memacu kakinya
secepat kilat. Aku menarik masuk kuku-kukuku dan melesat maju.
Sepertinya Sam sedang tidak bernafsu meladeni perselisihan kami. Jake, Leah,
hentikan. Tak seorang pun di antara kami memperlambat larinya. Sam menggeram, tapi
membiarkannya saja. Seth"
Charlie menelepon ke mana-mana, mencari Billy, dan akhirnya menemukannya di
rumahku. Yeah, aku sempat bicara dengannya, Paul menambahkan.
Aku merasa seperti tersengat listrik begitu Seth memikir kan nama Charlie. Ini
dia. Penantianku berakhir. Aku berlari semakin cepat, memaksa diriku bernapas,
walaupun paru-paruku tiba-tiba saja terasa agak kaku.
Cerita mana yang akan kudengar"
Charlie sangat kalut. Ternyata Edward dan Bella sudah pulang minggu lalu, dan...
Impitan di dadaku berangsur-angsur mereda.
Bella masih hidup. Atau paling tidak ia tidak mati dalam arti mati yang
sebenarnya. Baru sekarang aku menyadari berapa besar perbedaan itu bagiku. Selama ini aku
membayangkan Bella meninggal, dan aku baru menyadarinya sekarang. Sadarlah aku
bahwa aku tidak pernah percaya Edward akan membawanya pulang hidup-hidup.
Sebenarnya itu tidak penting, karena aku tahu apa yang akan terjadi nanti.
Yeah, bro, tapi ada kabar buruk. Charlie berbicara dengan Bella, tapi katanya
Bella terdengar aneh. Bella mengatakan pada Charlie ia sakit. Carlisle mengambil
alih dan mengatakan kepada Charlie bahwa Bella terkena semacam penyakit langka
di Amerika Selatan. Katanya, ia sekarang dikarantina. Charlie patuh sekali,
karena bahkan dia pun tidak diperbolehkan melihat Bella. Kata Charlie, ia tidak
peduli bila ketularan, tapi Carlisle bergeming. Tidak ada yang boleh menjenguk.
Carlisle mengatakan kepada Charlie bahwa penyakit Bella sangat serius, tapi ia
melakukan semua yang bisa ia lakukan. Sudah berhari-hari Charlie kalut
memikirkannya, tapi baru menelepon Billy sekarang. Katanya, suara Bella
terdengar lebih parah hari ini.
Suasana senyap setelah Seth selesai bercerita. Kami semua mengerti.
Jadi Bella akan meninggal karena penyakit ini, sepanjang yang Charlie tahu.
Apakah mereka akan mengizinkan Charlie melihat mayatnya" Tubuh putihnya yang
pucat, tidak bergerak, dan tidak bernapas" Mereka tidak akan mengizinkan Charlie
menyentuh kulit Bella yang dingin -nanti ia akan menyadari betapa kerasnya kulit
itu. Mereka harus menunggu sampai Bella bisa diam tak bergerak bisa tahan untuk
tidak membunuh Charlie dan para pelayat lain. Berapa lama itu kira-kira" Apakah
mereka akan menguburkannya" Apakah Bella akan keluar sendiri dari dalam kubur,
atau para pengisap darah itu yang akan mengeluarkannya"
Yang lain mendengarkan spekulasiku sambil terdiam. Aku lebih banyak memikirkan
masalah ini daripada mereka.
Leah dan aku memasuki lapangan terbuka hampir bersamaan. Leah yakin moncongnya
sampai lebih dulu. Ia langsung duduk di kedua kaki belakangnya, di samping
adiknya, sementara aku berlari-lari kecil dan berdiri di sebelah kanan Sam. Paul
berlari mengitar dan menyediakan tempat untukku.
Kau kalah lagi, pikir Leah, tapi aku nyaris tidak mendengarnya.
Aku penasaran mengapa hanya aku yang berdiri. Bulu-buluku berdiri tegak di
pundakku, bergetar tidak sabar. Well, apa yang kita tunggu" tanyaku.
Tidak ada yang mengatakan apa-apa, tapi aku mendengari perasaan mereka yang
ragu-ragu. Oh, ayolah! Kesepakatan sudah dilanggar!
Kita tidak punya bukti mungkin Bella benar-benar sakit...
OH, YANG BENAR SAJA! Oke, memang bukti tak langsungnya sangat kuat. Tapi tetap saja..., Jacob.
Pikiran Sam lambat, ragu. Apakah kau yakin memang ini yang kauinginkan" Apakah
ini benar-benar tindakan yang tepat" Kita semua tahu apa yang Bella inginkan.
Kesepakatan itu tidak mempermasalahkan keinginan korban. Sam!
Apakah Bella benar-benar korban" Akankah kau melukainya seperti itu"
Ya! Jake, Seth berpikir, mereka bukan musuh kita.
Tutup mulutmu, anak kecil. Hanya karena kau kagum pada sikap si pengisap darah
yang sok pahlawan itu, itu tetap tidak mengubah hukum yang ada. Mereka tetap
musuh kita. Mereka berada dalam teritori kita. Kita habisi mereka. Aku tidak
peduli kau pernah menikmati bertempur bersama Edward Cullen dulu.
Jadi apa yang akan kaulakukan kalau Bella bertempur bersama mereka Jacob" Hah"
tuntut Seth, Dia bukan Bella lagi. Kau yang akan menghabisinya"
Aku tak mampu menahan diriku untuk tidak meringis.
Tidak, bukan kau yang akan menghabisinya. Jadi, apa" Kau menyuruh salah satu
dari kami untuk melakukannya" Kemudian selamanya memendam dendam pada siapa pun
yang melakukan itu" Aku tidak akan... Tentu saja tidak akan. Kau belum siap untuk pertempuran itu, Jacob.
Insting mengambil alih dan aku membungkuk, siap menikam, menggeram pada serigala
sangar berbulu sewarna pasir di seberang lingkaran.
Jacob! Sam mengingatkan. Seth, tutup mulutmu sebentar.
Seth menganggukkan kepalanya yang besar.
Brengsek, aku ketinggalan apa" pikir Quil. Ia berlari mendatangi tempat kami
berkumpul dengan kecepatan tinggi. Aku mendengar tentang telepon dari Charlie...
Kita bersiap-siap akan pergi, kataku padanya. Bagaimana kalau kau mampir ke
rumah Kim dan menyeret Jared keluar dari sana dengan gigimu" Kita membutuhkan
semuanya. Langsung saja ke sini, Quil, Sam memerintahkan. Kami belum memutuskan apa-apa.
Aku menggeram. Jacob, aku harus memikirkan yang terbaik untuk kawananmu. Aku harus memilih
jalan yang paling bisa melindungi kalian semua. Zaman sudah berubah sejak
leluhur kita membuat kesepakatan itu. Aku, well sejujurnya aku tidak percaya
keluarga Cullen berbahaya bagi kita. Dan kita tahu mereka tidak akan lama lagi
berada di sini. Tentu saja, begitu mereka mengungkapkan cerita mereka, mereka
akan pergi. Hidup kita bisa kembali normal,
Normal" Kalau kita menantang mereka, Jacob, mereka akan membela diri dengan baik. Jadi
kau takut" Apa kau siap kehilangan saudaramu" Sam terdiam sejenak. Atau saudari" Sam
menambahkannya setelah berpikir sebentar.
Aku tidak takut mati. Aku tahu itu, Jacob. Itulah alasannya aku mempertanyakan penilaianmu dalam
hal ini. Kutatap mata Sam yang hitam. Kau berniat menghormati kesepakatan leluhur kita
atau tidak" Aku menghormati kawananku. Aku melakukan yang terbaik bagi mereka. Pengecut.
Moncong Sam mengejang, tertarik ke belakang menampak kan gigi-giginya.
Cukup, Jacob. Penilaianmu ditolak. Suara pikiran Sam berubah. memperdengarkan
getaran ganda aneh yang mau tidak mau kami turuti. Suara seorang Alfa. Ia
membalas tatapan setiap serigala dalam lingkaran itu.
Kawanan ini tidak boleh menyerang keluarga Cullen tanpa provokasi. Semangat
kesepakatan tetap dipegang teguh. Mereka tidak berbahaya bagi rakyat kita, juga
tidak berbahaya bagi warga kota Forks. Bella Swan memilih sendiri apa yang ia
inginkan, dan kita tidak akan menghukum mantan sekutu kita atas pilihannya itu.
Setuju, sambut Seth antusias.
Sudah kuhilang, tutup mulutmu, Seth
Uuups. Maaf, Sam... Jacoh, mau ke mana kau"
Aku berlari meninggalkan lingkaran, bergerak ke arah barat agar bisa
memunggunginya. Aku akan berpamitan pada ayahku. Ternyata tidak ada gunanya aku
bertahan sekian lama. Ah, Jake-jangan lakukan itu lagi!
Diam, Seth, beberapa suara berpikir serentak.
Kami tidak mau kau pergi, Sam memberitahuku, pikirannya lebih lunak daripada
sebelumnya. Kalau begitu, paksa aku tinggal, Sam. Ambil saja keinginanku. Jadikan aku budak.
Kau tahu aku tidak mungkin berbuat begitu. Kalau begitu tak ada lagi yang perlu
kukatakan. Aku berlari menjauhi mereka, berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkan hal
berikutnya. Malah, aku berkonsentrasi mengenang kembali bulan-bulan panjangku
sebagai serigala, melupakan hidupku sebagai manusia hingga aku lebih menyerupai
binatang daripada manusia. Hidup untuk saat ini, makan kalau lapar, tidur kalau
lelah, minum kalau haus, dan berlari-berlari hanya untuk berlari. Keinginankeinginan sederhana, jawaban sederhana untuk keinginan-keinginan itu. Rasa sakit
datang dalam bentuk yang lebih mudah diatasi. Sakit karena lapar. Sakit karena
menginjak es yang dingin. Sakit karena taringku terluka saat mangsa buruanku
melawan. Setiap kesakitan memiliki jawaban sederhana, aksi nyata yang bisa
menghentikan kesakitan itu.
Tidak seperti menjadi manusia.
Namun begitu aku sudah berada dekat dengan rumahku, aku berubah wujud menjadi
manusia. Aku perlu berpikir sendiri tanpa diketahui orang lain.
Aku melepas lilitan celana pendekku dan memakainya la berlari menuju rumah.
Aku berhasil melakukannya. Aku berhasil menyembunyikan apa yang kupikirkan dan
sekarang sudah terlambat bagi Sam untuk menghentikanku. Ia tidak bisa lagi
mendengar pikiranku sekarang.
Aturan Sam sangat jelas. Kawanan tidak boleh menyerang keluarga Cullen. Oke.
Ia tidak menyinggung tentang individu yang bertindak sendiri.
Tidak, kawanan itu memang tidak akan menyerang siapa pun hari ini.
Tapi aku akan menyerang. 9. SUNGGUH TAK KUDUGA SAMA SEKALI
SEBENARNYA, aku tidak berniat pamitan pada ayahku.
Soalnya, ia tinggal menelepon Sam dan bakal ketahuanlah niatku sebenarnya.
Mereka akan mencegat dan memaksaku. Mungkin berusaha membuatku marah, atau
bahkan menyakitiku, entah bagaimana caranya, pokoknya memaksaku berubah wujud
agar Sam bisa menetapkan aturan baru.
Tapi Billy sudah menunggu kedatanganku,, tahu pikiranku pasti sedang kalut. Ia
ada di halaman, duduk di kursi rodanya dengan mata tepat ke titik kemunculanku
dari hutan. Aku melihatnya memandang ke arahku berjalan mengarah langsung
melewati rumah menuju bengkel buatanku sendiri.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Punya waktu sebentar, Jake?"
Aku mengerem langkahku. Aku memandanginya, kemudian menoleh ke garasi.
"Ayolah, Nak. Setidaknya bantu aku masuk ke dalam" Aku mengertakkan gigi, tapi
memutuskan kecil kemungkinan ayahku akan mencari gara-gara dengan Sam kalau aku
jujur padanya sebentar. "Sejak kapan kau butuh bantuan. Pak Tua?"
Billy mengumandangkan tawanya yang bergetar. "Kedua lenganku letih. Aku tadi
mendorong kursi rodaku dari rumah Sue."
"Jalannya kan menurun, Dad tinggal meluncur saja."
Aku mendorong kursinya ke jalur kursi roda kecil yang kubuat untuknya dan masuk
ke ruang tamu. "Ketahuan deh. Kecepatanku tadi kira-kira hampir lima puluh kilometer per jam.
Asyik juga." "Bisa hancur kursi roda itu nanti. Kalau sudah begitu, Dad terpaksa menyeret
badan ke mana-mana nanti."
"Tidak mungkin. Nanti kau yang bertugas menggendongku."
"Dad tidak akan bisa ke mana-mana."
Billy meletakkan kedua tangannya di roda dan mulai menggelindingkan kursinya
menghampiri kulkas. "Masih ada makanan?"
"Itulah. Paul tadi seharian di sini, jadi mungkin tidak ada,'
Billy mendesah. "Harus mulai menyembunyikan belanjaan nih, kalau kita tidak mau
kelaparan." "Suruh Rachel tinggal di rumahnya saja"
Nada bercanda Billy seketika itu lenyap, sorot matanya melembut. "Rachel hanya
akan di rumah selama beberapa minggu. Ini pertama kalinya dia pulang setelah
sekian lama. Sulit memang kakak-kakak perempuanmu usianya sudah lebih tua darimu
waktu ibu kalian meninggal. Lebih sulit bagi mereka berada di rumah ini."
"Aku tahu." Rebecca bahkan tidak pernah pulang sejak menikah, walaupun alasannya kuat. Tiket
pesawat dari Hawaii sangat mahal Washington State cukup dekat sehingga Rachel
tidak bisa mengajukan alasan yang sama. Tapi dia mengambil beberapa mata kuliah
selama semester musim panas, dan bekerja dua shift sekaligus selama masa liburan
Natal di kafe kampus. Kalau bukan karena Paul, dia mungkin sudah cepat-cepat
pergi lagi. Mungkin itulah sebabnya Billy tidak mengusir Paul dari rumah.
"Well, ada beberapa hal yang harus kukerjakan... " Aku mulai beranjak ke pintu
belakang. "Tunggu dulu, Jake. Apa kau tidak akan menceritakan padaku apa yang terjadi"
Apakah aku harus menelepon Sam untuk meminta penjelasan?"
Aku berdiri memunggungi ayahku, menyembunyikan wajah.
"Tidak terjadi apa-apa. Sam tidak mau menghukum mereka. Berarti sekarang kita
ini sekelompok pencinta lintah."
"Jake..." "Aku tidak mau membicarakannya."
"Kau mau pergi, Nak?"
Sejenak ruangan sunyi senyap sementara aku menimbang-nimbang bagaimana
mengatakannya. "Rachel bisa menempati kamarnya lagi. Aku tahu dia tidak suka tidur di kasur
tiup." "Dia lebih suka tidur di lantai daripada kehilangan kau. Begitu juga aku."
Aku mendengus. "Jacob, please. Kalau kau butuh... waktu. Well, kau boleh mengambilnya. Tapi
jangan terlalu lama. Kembalilah."
"Mungkin. Mungkin nanti aku kembali kalau ada yang menikah lagi. Menjadi camto
di pernikahan Sam, lalu Rachel. Tapi mungkin Jared dan Kim yang akan menikah
lebih dulu. Mungkin aku harus punya jas atau sebangsanya."
"Jake, lihat aku."
Aku memutar tubuhku lambat-lambat. "Apa?" Billy menatap mataku lama sekali. "Kau
mau ke mana?" "Tidak ada tujuan khusus."
Billy menelengkan kepala ke satu sisi, matanya menyipit, "Benarkah begitu?"
Kami berpandangan. Detik-detik berlalu.
"Jacob," kata ayahku. Suaranya tegang. "Jacob, jangan. Tidak ada gunanya."
"Aku tidak mengerti maksud Dad."
"Jangan ganggu Bella dan keluarga Cullen. Sam benar."
Aku menatap ayahku sedetik, kemudian berjalan melintasi ruangan hanya dalam dua
langkah panjang. Kusambar telepon dan kutarik kabel dari colokan dan soketnya.
Kugumpalkan kabel abu-abunya di telapak tanganku.
"Bye. Dad." "Jake, tunggu... " ayahku berseru memanggilku, tapi aku sudah keluar dari pintu,
berlari. Naik sepeda motor memang tidak secepat berlari, tapi dengan begini aku bisa
menyembunyikan pikiranku. Dalam hati aku bertanya-tanya berapa lama waktu yang
dibutuhkan Billy untuk menjalankan kursi rodanya ke toko, lalu minta bantuan
seseorang untuk menelepon dan menyampaikan pesan pada Sam. Aku berani bertaruh
Sam pasti masih berwujud serigala. Masalahnya hanya kalau Paul kembali ke rumah
kami dalam waktu dekat. Ia bisa langsung berubah wujud dan memberi tahu Sam apa
yang kulakukan ini... Aku tidak mau mengkhawatirkannya. Aku akan memacu sepeda motorku secepat
mungkin, dan kalau mereka menangkapku, baru kupikirkan apa yang akan kulakukan.
Dengan kasar kunyalakan mesin motor dan memacunya. Aku tidak menoleh ke belakang
waktu melewati rumah. Jalan raya dipadati mobil turis, aku meliuk-liuk di antara mobil-mobil, mendapat
hadiah klaksonan dan makian. Aku berbelok memasuki jalan 101 dengan kecepatan
112 kilometer per jam tanpa menoleh ke kiri dan kanan. Aku terpaksa ikut
mengantre sebentar agar tidak terlindas sebuah minivan. Bukan karena itu bisa
membunuhku, tapi itu hanya akan membuatku terlambat sampai ke sana. Patah
tulang-tulang besar, paling tidak membutuhkan waktu berhari-hari untuk pulih
sepenuhnya, seperti pernah kualami sendiri.
Kepadatan agak berkurang, dan kupacu motorku hingga kecepatan 120 kilometer
lebih. Aku tidak mengerem hingga mendekati jalan masuk yang sempit, kupikir aku
sudah aman di sana. Sam tidak akan pergi sejauh ini untuk menghentikanku. Sudah
terlambat. Barulah pada saat itu waktu aku yakin berhasil aku mulai memikirkan apa tepatnya
yang akan kulakukan sekarang. Aku memperlambat laju motorku menjadi 48 kilometer
per jam, meliuk-liuk di antara pepohonan dengan lebih hati-hati daripada yang
perlu kulakukan. Aku tahu mereka akan mendengar kedatanganku, naik motor atau tidak. Tidak
mungkin menyembunyikan maksudku, Edward akan langsung mendengar rencanaku begitu
aku cukup dekat. Mungkin ia malah sudah bisa mendengarnya. Tapi aku tetap
berpikir ini masih bisa berhasil, karena aku mengandalkan ego Edward. Ia pasti
ingin melawanku sendirian.
Aku akan berjalan masuk, melihat sendiri bukti berharganya Sam, kemudian
menantang Edward berduel.
Aku mendengus. Si parasit mungkin bakal menyukai situasi dramatis ini.
Kalau aku sudah selesai berurusan dengannya nanti, akan menghabisi sebanyak
mungkin yang bisa kuhabisi belum mereka menghabisiku. Hah-aku jadi ingin tahu,
apakah Sam akan menganggap kematianku sebagai provokasi. Mungkin ia bakal
menganggap aku mendapatkan apa yang pantas kudapatkan. Tidak mau menyinggung
perasaan sohib sohib pengisap darahnya.
Jalan masuk membuka ke arah padang rumput, dan bau ini menghantam indra
penciumanku seperti tomat busuk menampar wajah. Ugh. Dasar vampir-vampir berbau
busuk. Perutku mulai berontak. Bau itu nyaris tak tertahankan bila keadaan nya
seperti ini tidak bercampur bau manusia yang bisa membuatnya sedikit tersamar,
seperti waktu aku datang ke sini dulu walaupun tidak separah menciumnya langsung
dengan hidung serigalaku.
Entah apa yang kuharapkan bakal terjadi, tapi tidak adi tanda-tanda kehidupan di
sekitar rumah putih besar itu. Tentu saja mereka tahu aku datang ke sini.
Aku mematikan mesin dan mendengarkan kesenyapan. Sekarang aku bisa mendengar
gumaman tegang dan marah dan balik pintu ganda yang lebar. Ada orang di rumah.
Aku mendengar namaku disebut dan tersenyum, senang membayangkan diriku membuat
mereka sedikit tertekan. Aku menghirup udara banyak-banyak di dalam baunya pasti lebih parah dan melompat
menaiki tangga teras dalam satu langkah.
Pintu sudah terbuka sebelum tinjuku sempat menyentuhnya, dan sang dokter berdiri
di ambang pintu, matanya muram.
"Halo, Jacob," sapa sang dokter, lebih tenang daripada yang kuharapkan. "Apa
kabar?" Aku menghela napas dalam-dalam lewat mulut. Bau busuk yang menghambur ke luar
pintu sangat memualkan. Kecewa juga aku karena Carlislelah yang membukakan pintu. Aku lebih suka Edward
yang muncul di depan pintu, dengan taring terpampang. Carlisle sangat... manusia
atau apalah. Mungkin karena ia pernah datang ke rumahku dan mengobatiku musim
semi yang lalu waktu aku babak belur. Tapi aku merasa tidak nyaman menatap
wajahnya dan tahu bahwa aku berniat membunuhnya kalau bisa.
"Kudengar Bella pulang dalam keadaan hidup," kataku.
"Eh, Jacob, sekarang benar-benar bukan waktu yang tepat." Dokter itu tampak
kikuk, tapi sikapnya tidak seperti yang kuharapkan. "Bagaimana kalau nanti
saja?" Kupandangi dia, terperangah. Apakah dia meminta menunda duel maut ke waktu yang
lebih tepat" Kemudian aku mendengar suara Bella, parau dan serak, dan serta-merta aku tidak
bisa memikirkan hal lain.
"Mengapa tidak?" tanya Bella pada seseorang. "Apakah kita merahasiakannya dari
Jacob juga" Apa gunanya?"
Suaranya tidak seperti yang kuharapkan. Aku mencoba mengingat kembali suara para
vampir muda yang berduel dengan kami musim semi lalu, tapi seingatku suara
mereka hanya berupa geraman. Mungkin suara vampir baru itu juga tidak tajam dan
melengking seperti vampir-vampir lain yang lebih tua. Mungkin semua vampir baru
suaranya parau. "Silakan masuk, Jacob," kata Bella dengan suara lebih nyaring.
Mata Carlisle menegang. Dalam hati aku penasaran apakah Bella haus. Mataku juga menyipit.
"Permisi," kataku pada si dokter saat berjalan mengitarinya.
Sangat sulit aku melawan segenap naluriku untuk berbalik dan lari menjauhi
mereka. Tapi bukan berarti mustahil. Kalau ada istilah vampir aman, pemimpin
mereka yang lembut inilah orangnya.
Aku akan menjauh dari Carlisle begitu perkelahian dimulai nanti. Jumlah mereka
sudah cukup banyak untuk dibunuh tanpa aku harus membunuh dia.
Aku melewati Carlisle dan masuk ke rumah,. menjaga punggungku tetap menghadap
dinding. Mataku menyapu seisi ruangan -suasananya sangat berbeda. Terakhir kali
aku ke sini ruangan ini dihias indah untuk keperluan pesta. Sekarang semua
benderang dan pucat. Termasuk enam vampir yang berdiri berkelompok di dekat sofa
putih. Mereka semua ada di sini, seluruhnya, tapi bukan itu yang membuatku terpaku di
tempatku berdiri dan mulutku ternganga lebar.
Tapi Edward. Ekspresinya.
Aku pernah melihatnya marah, dan aku pernah melihatnya bersikap arogan, dan aku
juga pernah melihatnya kesakitan. Tapi ini ini lebih dari menderita. Matanya
separo sinting. Ia tidak mendongak untuk memelototiku. Ia menunduk memandangi
sofa di sampingnya dengan ekspresi seolah-olah ada orang yang membakarnya. Kedua
tangannya seperti cakar kaku di kedua sisi tubuhnya.
Aku bahkan tidak bisa menikmati penderitaan Edward. Dalam benakku, hanya satu
hal yang bisa membuatnya terlihat seperti itu, dan mataku mengikuti arah
pandangnya. Tepat ketika aku mencium aroma tubuh Bella, aku melihatnya. Bau manusia yang
hangat dan bersih. Bella agak tersembunyi di balik lengan sofa, meringkuk seperti janin dalam
kandungan, kedua lengan melingkari lutut. Sesaat aku tidak bisa melihat apa-apa
kecuali bahwa ia masih Bella yang kucintai, kulitnya masih berwarna peach pucat
yang lembut, matanya juga masih cokelat seperti dulu. Jantungku berdebar tidak
keruan, dalam hati aku bertanya-tanya apakah ini hanya mimpi dan sebentar lagi
aku akan terbangun. Lalu barulah aku benar-benar melihat Bella.
Tampak lingkaran hitam di bawah matanya yang terlihat sangat mencolok karena
wajahnya begitu kuyu, Benarkah ia bertambah kurus" Kulitnya tampak tegangseolah-olah tulang pipinya akan merobek menembusnya. Rambutnya ditarik ke
belakang dan diikat berantakan, tapi beberapa helai menempel di kening dan
lehernya yang basah, sekujur tubuhnya mengilat karena keringat. Ada sesuatu di
jari-jari dan pergelangan tangannya yang tampak begitu rapuh hingga terkesan
menakutkan. Bella memang sakit. Sakit parah.
Itu bukan dusta. Cerita yang dikisahkan Charlie kepada Billy ternyata bukan
karangan. Sewaktu aku memandanginya dengan mata terbelalak, kulit Bella berubah
warna jadi hijau muda. Si pengisap darah berambut pirang yang cantik jelita itu, Rosalie membungkuk di
atas tubuh Bella, menghalangi pandanganku, dengan sikap protektif yang janggal.
Sungguh aneh. Aku mengetahui perasaan Bella mengenai nyaris apa saja jalan
pikirannya sangat jelas, terkadang seperti sudah terpatri dengan jelas di
keningnya. Jadi ia tidak perlu menceritakan setiap situasi hingga sedetaildetailnya untuk membuatku mengerti. Aku tahu Bella tidak menyukai Rosalie.
Kentara dari bibirnya yang mengatup rapat bila ia membicarakan wanita itu. Bukan
hanya tidak menyukai Rosalie. Bella juga takut pada Rosalie. Atau tadinya
begitu. Tapi tidak ada sorot ketakutan di mata Bella saat ia menengadah dan menatap
Rosalie sekarang. Ekspresinya seperti meminta maaf atau apa. Lalu Rosalie
menyambar wadah dari lantai dan memeganginya di bawah dagu Bella, dan tepat saat
itu ia muntah ke wadah dengan suara berisik.
Edward jatuh berlutut di sisi Bella sorot matanya tampak tersiksa dan Rosalie
mengulurkan tangan, memperingatkannya untuk tidak mendekat.
Tak ada yang masuk akal. Setelah bisa mengangkat kepala, Bella tersenyum lemah padaku, sepertinya malu.
"Maaf soal tadi," bisiknya.
Edward mengerang sangat pelan. Kepalanya terkulai ke lutut Bella. Bella
meletakkan sebelah tangannya di pipi Edward. Seolah-olah menghibur dia.
Aku tidak menyadari kedua kakiku bergerak maju sampai Rosalie mendesis kepadaku,
tiba-tiba berdiri di antaraku dan sofa. Ia seperti orang di layar televisi. Aku
tak peduli ia ada di sana. Ia seperti tidak nyata.
"Rose, jangan," bisik Bella. "Tidak apa-apa."
Si pirang menyingkir dari jalanku, walaupun kentara sekali dari sikapnya bahwa
ia tidak senang melakukannya. Sambil mencemberutiku, ia meringkuk dekat kepala
Bella, siap menerkam. Mudah sekali untuk tidak menggubrisnya.
"Bella, ada apa?" bisikku. Tanpa berpikir, tahu-tahu aku juga sudah berlutut,
mencondongkan tubuh dari balik punggung sofa, berseberangan dengan. suaminya.
Edward seolah tidak memerhatikanku, dan aku nyaris tidak meliriknya. Aku
mengulurkan tangan untuk meraih tangan Bella yang bebas, merengkuhnya dengan
tanganku. Kulitnya sedingin es. "Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan tolol. Bella tidak menjawab.
Walaupun aku tahu Edward tidak bisa mendengar pikiran Bella, tapi ia sepertinya
mendengar suatu makna yang tidak kumengerti. Lagi-lagi ia mengerang, ke dalam
selimut yang menyelubungi tubuh Bella, dan Bella membelai-belai pipinya.
"Ada apa, Bella?" desakku, mengenggam erat jari-jarinya yang dingin dan rapuh
dengan kedua tanganku. Bukannya menjawab, Bella malah memandang sekeliling ruangan seperti mencari
sesuatu, sorot matanya terlihat memohon sekaligus mengingatkan. Enam pasang mata
berwarna kuning menyorot waswas, balas memandangnya. Akhirnya, ia berpaling
kepada Rosalie. "Bantu aku, Rose?" pintanya.
Sudut-sudut bibir Rosalie tertarik, memperlihatkan giginya, la memandangku
garang seolah-olah ingin merobek leherku. Aku yakin memang itulah yang ia
inginkan. "Please, Rose."
Si pirang mengernyit, tapi kembali membungkuk di atas Bella, di sebelah Edward,
yang tidak bergeser sesenti pun. Ia merangkul pundak Bella dengan hati-hati.
"Tidak," bisikku. "Jangan berdiri... " Bella terlihat begitu lemah.
"Aku menjawab pertanyaanmu," bentak Bella, terdengar sedikit mirip gaya
bicaranya yang biasa. Rosalie membantu Bella bangkit dari sofa. Edward tetap di tempat, terkulai ke
depan sampai wajahnya terbenam di bantalan kursi. Selimut jatuh ke lantai di
kaki Bella. Tubuh Bella membengkak, menggelembung aneh dan tidak wajar. Tubuhnya mendesak


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaus abu-abu pudarnya yang kebesaran untuk bahu dan lengannya. Anggota tubuhnya
yang lain sepertinya lebih kurus, seolah-olah gundukan besar itu bertumbuh dari
apa yang diisapnya dari Bella. Butuh sedetik bagiku untuk menyadari apa bagian
yang membuncit itu-aku tidak mengerti sampai Bella melipat kedua tangannya
dengan lembut di perutnya yang membuncit, satu di atas dan satu di bawah.
Seolah-olah menggendongnya.
Aku melihatnya waktu itu, tapi aku masih belum memercayainya. Baru sebulan yang
lalu aku bertemu Bella. Tidak mungkin ia hamil. Tidak sebesar itu.
Kecuali bahwa memang benar demikian adanya.
Aku tidak ingin melihatnya, tidak mau memikirkannya Aku tidak ingin membayangkan
lelaki itu bercinta dengannya. Aku tidak ingin mengetahui bahwa sesuatu yang
sangat kubenci telah berakar dalam tubuh yang kucintai. Perutku memberontak, dan
aku terpaksa menelan kembali isi perutku.
Tapi ini lebih buruk daripada itu, jauh lebih buruk. Tubuh Bella tidak
berbentuk, tulang-tulang bertonjolan di kulit wajahnya. Aku hanya bisa menduga
bahwa ia terlihat seperti ini hamil besar tapi sangat kepayahan adalah karena
apa pun yang ada dalam perutnya merampas hidup Bella untuk menyokong hidupnya
sendiri... Karena makhluk itu monster. Sama seperti ayahnya.
Aku sudah mengira Edward pasti akan membunuh Bella.
Kepala Edward tersentak saat mendengar kata-kata dalam pikiranku. Baru sedetik
yang lalu kami sama-sama berlutut, dan sekarang ia sudah berdiri, menjulang
tinggi di atasku Matanya hitam datar, lingkaran di bawahnya berwarna ungu tua.
"Di luar, Jacob," geramnya.
Aku ikut berdiri. Menunduk menatap Edward sekarang. Memang itulah tujuanku
datang ke sini. "Ayo kita tuntaskan," aku setuju.
Si vampir bertubuh besar, Emmett, merangsek maju ke sisi Edward. Vampir yang
kelihatannya lapar, Jasper, tepat di belakangnya. Aku benar-benar tidak peduli.
Mungkin kawananku akan membersihkan sisa-sisa tubuhku setelah mereka selesai
mengeroyokku. Mungkin juga tidak. Itu tidak penting.
Selama sepersekian detik, mataku berkelebat ke dua sosok yang berdiri di
belakang. Esme. Alice. Tubuh mereka yang mungil dan kefemininan mereka mengusik
perhatianku. Well, aku yakin yang lain-lain akan membunuhku sebelum aku sempat
melakukan apa pun terhadap mereka. Aku tidak mau membunuh wanita... bahkan
vampir wanita. Walaupun aku mau saja membuat pengecualian untuk si pirang itu.
"Tidak" sergah Bella terengah, tersaruk-saruk maju, tubuhnya limbung, hendak
mencengkeram lengan Edward. Rosalie bergerak bersamanya, seolah-olah ada rantai
yang mengikat mereka satu sama lain.
"Aku hanya perlu bicara dengannya, Bella," kata Edward pelan, berbicara hanya
pada istrinya. Tangannya terangkat untuk menyentuh wajah Bella, membelainya. Ini
membuat ruangan berubah warna menjadi merah, membuat pandanganku gelap bahwa,
setelah apa yang Edward lakukan padanya, ia masih diperbolehkan menyentuh Bella
seperti itu. "Jangan paksa dirimu," sambung Edward, memohon. "Kumohon,
istirahatlah. Kami akan kembali beberapa menit lagi."
Bella menatap wajah Edward, membacanya dengan saksama. Kemudian ia mengangguk
dan terkulai ke sofa. Rosalie membantu mendudukkan Bella di atas bantal-bantal.
Belfl memandangiku, berusaha menatap mataku.
"Jaga sikapmu" desak Bella. "Kemudian kembalilah."
Aku tidak menanggapi. Aku tidak mau berjanji apa-apa hari ini. Aku memalingkan
wajah, lalu mengikuti Edward keluar ke pintu depan.
Sebuah suara sumbang di kepalaku mengatakan bahwa memisahkan Edward dari
kelompoknya ternyata tidak terlalu sulit, bukan"
Edward terus berjalan, tak pernah menoleh untuk melihat apakah aku hendak
menerkam punggungnya yang tidak terlindung. Kurasa ia tidak perlu mengecek. Ia
pasti tahu kapan aku memutuskan menyerang. Itu berarti aku harus mengambil
keputusan dengan sangat cepat.
"Aku belum siap dibunuh olehmu, Jacob Black," bisik Edward sambil berjalan
cepat-cepat menjauhi rumah. "Kau harus sedikit lebih bersabar."
Seolah-olah aku peduli. Aku menggeram pelan. "Kesabaran bukan spesialisasiku."
Ia berjalan terus, mungkin beberapa ratus meter menyusuri jalan masuk, menjauh
dari rumah, bersamaku yang membuntut tepat di belakangnya. Sekujur tubuhku
panas, jari-jariku gemetar. Gelisah, siap dan menunggu Edward berhenti tanpa
aba-aba dan berbalik menghadapiku Ekspresinya lagi-lagi membuatku terpaku.
Selama sedetik aku seperti kanak-kanak lagi bocah yang seumur hidup tinggal di
kota kecil yang sama. Hanya bocah ingusan. Karena aku tahu aku harus menjalani
hidup lebih lama, menderita lebih banyak, untuk bisa memahami kepedihan hebat
yang membayang di mata Edward.
Ia mengangkat tangan seolah hendak menyeka keringat dari dahinya, tapi jarijarinya menggores wajahnya seolah hendak mengoyak kulit granitnya yang keras.
Mata hitamnya membekas di dalam kelopaknya, nanar, atau melihat hal-hal yang
sebenarnya tidak ada. Mulutnya terbuka seolah hendak menjerit, tapi tak ada
suara yang keluar. Beginilah wajah orang yang dibakar hidup-hidup.
Sesaat aku tak mampu bicara. Ini terlalu nyata, wajah Ini-aku pernah melihat
bayangannya di rumah, melihatnya di mata Bella dan di mata Edward, tapi ini
membuat segalanya menjadi final. Paku terakhir yang menutup peti mati Bella.
"Itu membunuhnya, kan" Dia sekarat." Dan aku tahu saat mengucapkannya bahwa
wajahku juga sama basahnya dengan wajah Edward. Lebih lemah, berbeda, karena aku
masih shock, Aku belum sepenuhnya mencerna apa yang sesungguhnya terjadikejadiannya begitu cepat. Sementara Edward tahu lebih dulu sehingga memiliki
waktu untuk sampai pada titik ini. Dan berbeda, karena aku sudah begitu sering
kehilangan Bella, dalam banyak hal, dalam benakku. Dan berbeda, karena Bella tak
pernah benar-benar menjadi milikku sehingga aku bisa mengatakan aku kehilangan
dia. Dan berbeda, karena ini bukan salahku.
"Kesalahanku," Edward berbisik, lututnya goyah. Ia terkulai di hadapanku, tak
berdaya, sasaran yang sangat empuk untuk dihabisi.
Tapi aku merasa sedingin salju-tak ada lagi api di dalam diriku.
"Ya," erang Edward sambil menunduk ke tanah, seperti sedang mengaku dosa kepada
bumi. "Ya, itu membunuhnya."
Sikap Edward yang tidak berdaya membuatku kesal. Aku ingin bertarung, bukan
mengeksekusi. Di mana sikap sok superiornya sekarang"
"Mengapa Carlisle tidak melakukan apa-apa?" geramku. "Dia dokter, kan" Keluarkan
saja makhluk itu dari perut Bella."
Edward mendongak dan menjawab pertanyaanku dengan nada letih. Seolah-olah ia
sudah menjelaskan hal yang sama kepada seorang anak TK untuk kesepuluh kalinya.
"Bella tidak mengizinkan kami."
Butuh waktu semenit baru aku bisa memahami kata-kata nya. Astaga, sungguh khas
Bella. Tentu saja, mati demi keturunan monster. Itu sangat Bella.
"Kau sangat mengenalnya," bisik Edward. "Betapa cepatnya kau melihat... aku sama
sekali tidak melihat itu. Tidak pada waktunya. Dia tidak mau bicara padaku dalam
perjalanan pulang, tidak banyak yang dia katakan. Kusangka dia takut itu wajar.
Kusangka dia marah padaku karena membuatnya harus mengalami hal ini, karena
membahayakan hidupnya Lagi. Tak pernah terbayang olehku apa yang sebenarnya dia
pikirkan, apa tekadnya. Tidak sampai keluargaku menjemput kami di bandara dan
dia langsung menghambur ke dalam pelukan Rosalie. Rosalie! Kemudian aku
mendengar pikiran Rosalie. Aku tidak mengerti sampai aku mendengar pikiran itu.
Tapi dalam sedetik saja, kau langsung mengerti... " Edward setengah mendesah,
setengah mengerang. "Mundur dulu sebentar. Dia tidak mengizinkan kalian." Kesinisan terasa pahit di
lidahku. "Tidakkah terpikir olehmu bahwa tenaganya tak lebih dari tenaga manusia
perempuan normal" Dasar vampir-vampir tolol. Pegangi dia dan bius saja supaya
teler." "Aku memang ingin berbuat begitu," bisik Edward. "Carlisle sebenarnya mau."
Tapi apa, mereka kelewat mulia untuk melakukannya"
"Tidak. Bukan itu. Tapi bodyguard Bella membuat situasi semakin rumit."
Oh. Cerita Edward sebelumnya tidak terlalu masuk akal, tapi sekarang semua
jelas. Jadi karena itu ada si Pirang di sana. Apa kira-kira yang ia inginkan"
Apakah si ratu kecantikan begitu menginginkan Bella mati"
"Mungkin," jawab Edward. "Rosalie tidak melihatnya seperti itu."
"Kalau begitu, lumpuhkan saja dulu si Pirang. Jenis kalian bisa disatukan
kembali, bukan" Buat saja dia jadi puzzle, setelah itu baru urus Bella."
"Emmett dan Esme mendukungnya. Emmett takkan pernah mengizinkan kami... dan
Carlisle tidak mau membantuku kalau Esme menentangnya... " Suara Edward
menghilang. "Seharusnya kautinggalkan saja Bella denganku."
"Ya." Tapi sekarang sudah agak terlambat. Mungkin seharusnya hal ini sudah dipikirkan
Edward sebelum ia menyebabkan Bella mengandung monster pengisap kehidupan ini.
Edward menatapku dari dalam neraka pribadinya, dan bisa kulihat ia sependapat
denganku. "Kami tidak tahu," kata Edward, kata-katanya sepelan embusan napasnya. "Itu
tidak pernah terbayangkan olehku. Belum pernah ada pasangan seperti aku dan
Bella sebelumnya. Bagaimana kami tahu seorang manusia bisa dibuahi dan
mengandung dengan jenis kami...
"Karena dalam prosesnya manusia pasti sudah mati tercabik-cabik lebih dulu?"
"Benar," Edward membenarkan dengan bisikan tegang. "Yang seperti itu memang ada,
vampir-vampir sadis, incubus, succubus. Mereka memang ada. Tapi rayuan hanyalah
pendahuluan sebelum manusianya menjadi mangsa. Tak seorang pun selamat" Ia
menggeleng-geleng seolah-olah gagasan itu menjijikkan baginya. Seolah-olah ia
berbeda saja. "Aku baru tahu mereka memiliki nama tersendiri untuk jenis seperti kau"
semburku. Edward menatapku dengan wajah yang terlihat amat letih.
"Bahkan kau pun, Jacob Black, tidak bisa membenciku sebesar aku membenci diriku
sendiri." Salah, pikirku, saking marahnya hingga tak sanggup bicara.
"Membunuhku sekarang takkan bisa menyelamatkan Bella," kata Edward pelan.
"Jadi apa yang bisa menyelamatkannya?"
"Jacob, kau harus melakukan sesuatu untukku."
"Jangan harap aku mau, parasit.'"
Edward terus memandangiku dengan mata yang setengah letih setengah sinting.
"Demi Bella?" Kugertakkan gigiku kuat-kuat. "Aku sudah melakukan apa saja yang kubisa untuk
menjauhkan dia darimu. Apa saja. Sekarang sudah terlambat."
"Kau mengenal dia, Jacob. Kau bisa berhubungan dengannya dalam taraf yang aku
sendiri bahkan tidak mengerti. Kau bagian darinya, dan dia bagian darimu. Dia
tidak mau mendengarkan aku, karena dia mengira aku meremehkan kemampuannya.
Bella mengira dia cukup kuat untuk ini... " Edward tercekik, kemudian menelan
ludah. "Mungkin dia mau mendengar nasihatmu."
"Mengapa dia mau mendengar nasihatku?"
Tiba-tiba Edward bangkit berdiri, matanya lebih berapi-api daripada sebelumnya,
lebih liar. Dalam hati aku penasaran jangan-jangan ia sudah berubah sinting.
Bisakah vampir jadi-"
"Mungkin," Edward menjawab pikiranku. "Aku tidak tahu. Kasanya seperti itu." Ia
menggeleng. "Aku harus mencoba menyembunyikan ini di depan Bella, karena stres
membuat kondisinya semakin parah. Sekarang saja dia sudah tidak bisa makan. Aku
harus tetap tenang, aku tidak bisa membuat keadaan semakin sulit. Tapi itu bukan
masalah sekarang. Dia harus mendengarkan nasihatmu!"
"Tidak ada lagi nasihat yang bisa kukatakan padanya yang belum kaukatakan
sendiri. Kau ingin aku melakukan apa" Mengatakan padanya bahwa dia tolol" Bella
mungkin sudah tahu itu. Mengatakan padanya bahwa dia akan meninggal" Aku berani
bertaruh dia pasti juga sudah tahu itu,"
"Kau bisa menawarkan apa yang dia inginkan."
Kata-kata Edward tidak masuk akal. Apakah itu bagian dari kesintingannya"
"Aku tidak peduli pada hal lain selain agar Bella tetap hidup," sergah Edward,
tiba-tiba fokus sekarang. "Kalau memang dia ingin punya anak, dia bisa punya
anak. Setengah lusin pun bisa. Apa pun yang dia inginkan." Sedetik Edward
terdiam. "Bella bisa punya anak-anak anjing, kalau memang itu bisa
menyelamatkannya." Sesaat Edward membalas tatapanku dan wajahnya mengharu biru di balik selubung
penguasaan diri yang tipis. Seringaian cemberutku lenyap saat aku memproses
kata-katanya, dan aku merasakan mulutku ternganga lebar saking shock nya.
"Tapi tidak dengan cara seperti ini!" desis Edward sebelum aku sempat pulih dari
kekagetanku. "Jangan makhluk yang membunuhnya pelan-pelan sementara aku hanya
bisa berdiri tak berdaya! Melihat Bella sakit dan kondisinya semakin parah.
Melihat makhluk itu menyakitinya." Edward menarik napas cepat seolah-olah ada
yang meninju perutnya. "Kau harus membuatnya mengerti, Jacob. Dia tidak mau
mendengarkan kata-kataku lagi. Rosalie selalu mendampinginya, menyokong
kegilaannya, menyemangatinya. Melindunginya. Tidak, melindungi makhluk itu.
Hidup Bella tidak berarti apa-apa bagi Rosalie."
Suara yang keluar dari tenggorokanku kedengaran seolah-olah aku tercekik.
Apa maksud Edward" Bahwa Bella harus... apa" Memiliki bayi" Dengan siapa" Apa"
Bagaimana" Apakah ia rela melepaskan Bella" Atau Edward mengira Bella tidak akan
keberatan dirinya dibagi-bagi"
"Yang mana saja. Apa saja asal dia bisa bertahan hidup."
"Itu hal paling sinting yang pernah kaukatakan," gumamku. "Dia mencintaimu."
"Tidak sebesar itu."
"Dia siap mati untuk bisa punya anak. Mungkin Bella mau menerima sesuatu yang
tidak terlalu ekstrem."
"Kau sama sekali tidak mengenal dia, ya?"
"Aku tahu, aku tahu. Pasti sulit sekali meyakinkan Bella. Itulah sebabnya aku
membutuhkanmu. Kau tahu bagaimana pikirannya. Buatlah dia mau diajak berpikir
logis." Aku tidak bisa memikirkan usul Edward itu. Sungguh ke terlaluan. Mustahil Salah.
Gila. Meminjam Bella selama akhir pekan kemudian mengembalikannya pada hari
Senin pagi seperti film pinjaman" Sungguh gila.
"Sungguh menggoda."
Aku tidak ingin mempertimbangkan, tidak ingin membayangkan, tapi bayanganbayangan itu tetap datang. Aku sudah terlalu sering berfantasi tentang Bella
dengan cara seperti ini, dulu ketika masih ada kemungkinan bagi kami, kemudian
lama sesudah keadaan menjadi jelas bahwa semua fantasi itu hanya akan
meninggalkan luka bernanah karena sudah tidak ada kemungkinan lagi, tidak ada
fantasi sama sekali. Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri ketika itu. Aku
juga tidak bisa menghentikan diriku sendiri sekarang. Bella dalam pelukanku,
Bella mendesah mengucapkan namaku...
Yang lebih parah lagi, bayangan baru ini tidak pernah muncul dalam benakku
sebelumnya, tak pernah berhak untuk kubayangkan. Belum. Bayangan yang aku tahu
tidak akan menyiksaku selama bertahun-tahun ke depan seandainya Edward tidak
menjejalkannya ke kepalaku sekarang. Tapi bayangan itu menetap di sana, menyusup
ke otakku seperti semak belukar beracun dan tidak bisa dibunuh. Bella, sehat dan
berseri-seri: tubuhnya, tidak tak berbentuk, berubah secara lebih alami. Bulat
karena mengandung anakku.
Aku berusaha melepaskan diri dari belitan semak beracun dalam pikiranku itu,
"Membuat Bella bisa berpikir logis" Memangnya kau hidup di alam mana?"
"Setidaknya cobalah."
Aku menggeleng kuat-kuat. Edward menunggu, tak menggubris jawaban negatif itu
karena ia bisa mendengar konflik dalam pikiranku.
"Dari mana omong kosong sinting ini berasal" Usul itu muncul begitu saja dalam
benakmu?" "Aku tidak memikirkan apa-apa kecuali bagaimana menyelamatkan Bella sejak aku
menyadari apa yang ingin dia lakukan. Bahwa dia rela mati untuk melakukannya.
Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menghubungimu. Aku tahu kau tidak akan mau
menerima teleponku. Seandainya kau tidak datang hari ini, aku pasti sudah pergi
mencarimu dalam waktu dekat. Tapi rasanya sulit meninggalkan Bella, bahkan hanya
untuk beberapa menit. Kondisinya, berubah-ubah begitu cepat. Makhluk itu...
terus bertumbuh. Dengan cepat. Aku tidak bisa jauh-jauh darinya sekarang."
"Makhluk apa sebenarnya itu?"
"Tak seorang pun dari kami tahu. Tapi makhluk ini lebih kuat daripada Bella
Sudah lebih kuat sekarang."
Tiba-tiba aku bisa melihatnya sekarang-melihat makhluk yang membengkak itu dalam
benakku, merobek perut Bella dari dalam.
"Bantu aku menghentikan makhluk itu," bisik Edward. "Bantu aku menghentikan
semua ini agar tidak terjadi."
"Bagaimana" Dengan cara menawari Bella layanan tempat tidur?" Edward bahkan
tidak tersentak mendengarku berkala begitu, meski aku sendiri tersentak. "Kau
benar-benar sinting, Bella tidak akan pernah mau mendengar."
"Cobalah. Tak ada ruginya sekarang. Tidak akan menyakiti siapa-siapa, kan?"
Itu akan menyakitiku. Apakah penolakan Bella selama ini belum cukup"


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sedikit sakit demi menyelamatkan dia" Apakah itu harga yang terlalu tinggi?"
"Tapi itu tidak akan berhasil."
"Mungkin tidak. Tapi mungkin itu akan membuat Bella bimbang. Mungkin tekadnya
akan goyah. Sedikit keraguan, itu saja yang kuperlukan."
"Kemudian kau akan membatalkan tawaranmu" 'Hanya bercanda, Bella begitu?"
"Kalau Bella ingin punya anak, dia akan mendapatkan anak. Aku tidak akan
mangkir." Aku tidak percaya aku bahkan mempertimbangkan usulan ini. Bella akan menonjokku
walaupun aku tidak peduli, tapi aku mungkin akan membuat tangannya patah lagi.
Seharusnya tidak membiarkan Edward bicara padaku, mengacaukan pikiranku.
Seharusnya kubunuh saja dia sekarang.
"Jangan sekarang," bisik Edward. "Belum. Benar atau salah, itu akan
menghancurkan Bella, kau tahu itu. Tidak perlu tergesa-gesa. Kalau dia tidak mau
mendengar saranmu, kau akan mendapatkan kesempatan itu. Begitu jantung Bella
berhenti berdetak, aku pasti akan memohon-mohon agar kau membunuhku."
"Kau tidak perlu memohon terlalu lama."
Secercah senyum letih menarik sudut-sudut bibir Edward. "Aku sangat mengharapkan
itu," "Kalau begitu kita sepakat."
Edward mengangguk dan mengulurkan tangan dinginnya yang sekeras batu.
Menelan perasaan jijikku, aku mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya. Jarijariku menggenggam tangan yang sekeras batu, dan mengguncangnya satu kali.
"Kita sepakat," ia menyetujui.
10. MENGAPA AKU TIDAK LANGSUNG HENGKANG SAJA" OH YA.
BENAR, KARENA AKU IDIOT Aku merasaa aku tidak tahu harus merasa bagaimana. Seakan-akan ini tidak nyata.
Seolah-olah aku sedang bermain dalam sitkom versi Goth yang jelek. Bukannya jadi
cowok culun yang akan mengajak ketua pemandu sorak pergi bareng, ke prom, aku
malah menjadi werewolf kelas dua. yang akan meminta istri vampir bercinta dan
menghasilkan anak. Bagus sekali.
Tidak, aku tidak mau melakukannya. Itu sinting dan salah Aku akan melupakan
semua yang dikatakan Edward.
Tapi aku akan bicara dengan Bella. Aku akan membuatnya mendengarkan kata-kataku.
Dan Bella tidak akan mau menurutiku. Seperti biasa.
Edward tidak menjawab ataupun mengomentari pikiran pikiranku saat ia berjalan
mendahului kembali ke rumah. Aku bertanya-tanya dalam hati, tentang tempat yang
dipilihnya tadi. Apakah cukup jauh dari rumah supaya yang lain-lain tidak bisa
mendengar bisikannya" Itukah tujuannya"
Mungkin. Waktu kami memasuki pintu, mata anggota keluarga Cullen yang lain
tampak curiga dan bingung. Tidak ada yang terlihat jijik atau marah. Jadi mereka
pasti tidak mendengar apa yang diminta Edward padaku.
Aku ragu-ragu di ambang pintu yang terbuka, tak yakin harus melakukan apa
sekarang. Lebih baik di sini, ada sedikit udara yang bisa dihirup dari luar.
Edward berjalan ke tengah kerumunan, bahunya tegang. Bella menatap Edward cemas,
sesaat kemudian matanya berkelebat ke arahku. Lalu mata itu kembali menatap
Edward. Wajah Bella berubah jadi pucat keabu-abuan, dan aku mengerti maksud Edward tadi
waktu mengatakan stres membuat kondisi Bella semakin buruk.
"Kita akan memberi Jacob dan Bella kesempatan untuk berbicara berdua" kata
Edward. Suaranya sama sekali tanpa emosi. Seperti robot.
"Langkahi dulu mayatku" desis Rosalie. Ia masih berdiri di samping kepala Bella,
sebelah tangannya yang dingin memegang pipi Bella yang cekung dengan sikap
posesif. Edward tak menghiraukan Rosalie. "Bella," katanya dengan nada datar yang sama.
"Jacob ingin bicara denganmu. Takutkah kau ditinggal berdua saja dengannya?"
Bella menatapku, bingung. Kemudian ia menatap Rosalie.
"Rose, tidak apa-apa. Jacob tidak akan menyakiti kami. Kau pergi saja dengan
Edward." "Bisa jadi ini hanya tipuan," si Pirang mengingatkan.
"Tidak mungkin" bantah Bella.
"Kau akan selalu bisa melihat Carlisle dan aku, Rosalie," kata Edward. Suaranya
yang tanpa emosi pecah, menunjukkan kemarahan di baliknya. "Kamilah yang Bella
takuti." "Tidak," bisik Bella. Matanya berkaca-kaca, bulu matanya basah. "Tidak, Edward.
Aku tidak... " Edward menggeleng, tersenyum kecil. Sungguh menyakitkan melihat senyum itu.
"Bukan begitu maksudku, Bella. Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku."
Memuakkan. Edward benar Bella menyalahkan dirinya sendiri karena telah melukai
perasaan Edward. Benar-benar cewek tipe martir klasik. Sungguh, Bella dilahirkan
di abad yang salah. Seharusnya ia hidup dulu, pada zaman ia bisa diumpankan ke
singa-singa kelaparan demi alasan mulia.
"Semuanya," seru Edward, tangannya melambai kaku ke pintu. "Please."
Pertahanan diri yang coba Edward kendalikan demi Bella terancam runtuh. Bisa
kulihat betapa ia sudah nyaris seperti orang yang dibakar hidup-hidup, seperti
waktu di luar tadi. Yang lain juga melihatnya. Tanpa bersuara mereka berjalan
keluar lewat pintu sementara aku menyingkir memberi jalan. Mereka bergerak
cepat; jantungku baru berdebar dua kali, dan semua sudah meninggalkan ruangan
kecuali Rosalie, yang berdiri ragu di tengah ruangan, dan Edward, yang masih
menunggu di dekat pintu. "Rose," ujar Bella pelan. "Aku ingin kau pergi."
Si Pirang memandang Edward garang dan memberinya isyarat untuk pergi lebih dulu.
Edward menghilang keluar pintu. Rosalie menatapku garang kuna sekali, lalu
pergi. Setelah hanya tinggal kami berdua, aku melintasi ruangan dan duduk di lantai di
sebelah Bella. Kuraih kedua tangannya yang dingin dengan kedua tanganku,
mengusapnya hati-hati. "Trims, Jake. Rasanya enak."
"Aku tidak mau berbohong, Bells. Kau jelek sekali."
"Aku tahu," desah Bella. "Aku terlihat mengerikan."
"Mengerikan seperti makhluk rawa," aku mengoreksi.
Bella tertawa. "Senang sekali kau datang ke sini. Enak rasanya bisa tersenyum.
Aku tidak tahu berapa banyak drama lagi yang bisa kutahan."
Aku memutar bola mataku. "Oke, oke," Bella sependapat. "Ini gara-gara ulahku sendiri."
"Yeah, memang. Apa sih yang kaupikirkan, Bells" Serius nih!"
"Dia menyuruhmu memarahiku, ya?"
"Begitulah. Walaupun aku tak habis pikir mengapa dia mengira kau mau
mendengarkan kata-kataku. Sebelumnya kau toh tidak pernah mau."
Bella mendesah. "Sudah kubilang... " aku mulai berkata,
"Tahukah kau bahwa sudah kubilang itu memiliki saudara, Jacob?" sergah Bella,
memotong perkataanku. "Namanya 'Tutup mulutmu!"
"Bagus juga balasanmu."
Bella nyengir. Kulitnya mengejang tegang di balik tulang-tulangnya. "Itu bukan
karanganku-aku mendapatkannya dari tayangan ulang The Simpsons"
"Aku tidak nonton episode yang itu."
"Episode yang itu lucu."
Kami tidak berbicara lagi selama semenit. Kedua tangannya mulai hangat.
"Apakah Edward benar-benar memintamu bicara denganku?"
Aku mengangguk. "Supaya kau mau berpikir logis. Padahal bisa dibilang aku sudah
kalah sebelum bertanding"
"Jadi, mengapa kau setuju?"
Aku tidak menjawab. Aku tidak yakin aku tahu.
Ini yang kutahu setiap detik yang kuhabiskan bersama Bella hanya akan
memperparah luka hati yang bakal kudapat nanti. Seperti pecandu narkoba yang
hanya memiliki si terbatas, tahu hari yang menentukan itu pasti akan datang.
Semakin banyak narkoba yang kukonsumsi, semakin sulit keadaanku bila
persediaanku habis nanti.
"Semua pasti akan berakhir dengan baik," kata Bella setelah terdiam beberapa
saat. "Aku yakin itu."
Perkataannya membuat amarahku memuncak. "Jadi, pikun itu salah satu gejalanya,
ya?" bentakku. Bella tertawa, walaupun amarahku begitu nyata sampai sampai kedua tanganku yang
menggenggam tangannya bergetar.
"Mungkin," ujarnya. "Aku tidak mengatakan semua akan berakhir baik dengan mudah,
Jake. Tapi bagaimana mungkin aku bisa hidup melewati semua yang pernah kualami
dan tidak meyakini bahwa pada titik ini, keajaiban itu ada?"
"Keajaiban?" "Terutama bagimu," kata Bella. Ia tersenyum. Ditariknya sebelah tangannya dari
genggamanku dan ditempelkannya ke pipiku. Lebih hangat daripada sebelumnya, tapi
terasa dingin di kulitku, seperti sebagian besar benda-benda lain terasa di
kulitku. "Lebih daripada orang lain, ada keajaiban menantimu untuk membuat
keadaanmu lebih baik."
"Kau omong apa sih?"
Masih tersenyum. "Dulu Edward pernah menceritakan padaku bagaimana rasanya
masalah imprint yang kalian alami. Katanya, itu seperti di A Midsummer Night's
Vreutn, seperti keajaiban. Kau akan menemukan seseorang yang benar-benar
kaucari, Jacob, dan mungkin baru pada saat itulah semua akan jadi masuk akal."
kalau saja Bella tidak terlihat begitu rapuh, aku pasti sudah berteriak,
Tapi aku memang menggeram padanya.
"Kalau kaupikir imprint bisa membuat semua kegilaan ini masuk akal... " Susah
payah aku mencari kata-kata yang tepat. "Apakah kau benar-benar mengira hanya
karena suatu hari nanti aku akan meng-imprint seseorang yang tidak kukenal maka
semua ini boleh kaulakukan?" Dengan kasar kutuding tubuh Bella yang membengkak.
"Katakan padaku apa gunanya, Bella" Apa gunanya aku mencintaimu" Apa gunanya Aku
mencintai dia" Kalau kau mati" kata-kata itu keluar berupa geraman "bagaimana
mungkin itu bisa membuat kelihatan jadi lebih baik" Apa gunanya semua kepedihan
ini" kepedihan yang aku, kau, dia rasakan! Kau juga akan melihatnya mati,
walaupun aku tidak peduli tentang hal itu."
Bella tersentak, tapi aku maju terus. "Jadi apa gunanya kisah cintamu yang
ganjil ini, pada akhirnya" Kalau ada sedikit saja alasan masuk akal dalam hal
ini, kumohon, tunjukkan padaku, Bella, karena aku tidak melihatnya."
Bella mendesah. 'Aku belum tahu, Jake. Aku hanya... merasa... semua ini akan
berakhir dengan baik, walaupun sulit melihat itu sekarang. Kurasa, itulah yang
disebut iman" "Kau akan mati sia-sia, Bella! Sia-sia!"
Ia menurunkan tangannya dari pipiku dan menaruhnya di perutnya yang membuncit,
membelai-belainya. Tanpa harus mengatakan apa-apa, aku sudah tahu apa yang
dipikirkan bella. Ia rela mati demi makhluk itu.
"Itu omong kosong, Bella. Sudah terlalu lama kau berusaha mengimbangi hal-hal
supranatural. Tak ada orang normal yang mampu melakukan ini. Kau tidak cukup
kuat." Kurengkuh wajahnya. Aku tidak perlu mengingatkan diriku untuk bersikap
lembut. Segala sesuatu dalam diri Bella seolah meneriakkan kata rapuh.
"Aku bisa melakukannya. Aku bisa melakukannya," gumam Bella, sangat mirip cerita
anak-anak tentang Thomas si lokomotif kecil yang bisa melakukan apa saja.
"Kelihatannya tidak begitu menurutku. Jadi, apa rencanamu" Kuharap kau punya
rencana," Bella mengangguk, tidak membalas tatapanku, "Tahukah kau dulu Esme terjun dari
tebing" Waktu dia masih manusia, maksudku,"
"Memangnya kenapa?"
"Esme sudah benar-benar hampir mati sehingga mereka bahkan tidak merasa perlu
membawanya ke UGD-mereka langsung membawanya ke kamar mayat. Tapi jantung Esme
masih berdetak waktu Carlisle menemukannya,,,"
Itulah yang Bella maksudkan sebelumnya, tentang mempertahankan jantungnya tetap
berdetak, "Kau memang tidak berencana selamat melewati ini dan tetap menjadi manusia,"
ujarku, nadaku muram. "Tidak. Aku tidak setolol itu." Ia membalas tatapanku, "Tapi kurasa kau mungkin
memiliki opini sendiri dalam hal itu."
"Vampirisasi darurat," gumamku.
"Itu bisa berhasil pada Esme. Juga Emmett, dan Rosalie, bahkan Edward. Tak
seorang pun di antara mereka berada dalam kondisi sehat. Carlisle mengubah
mereka karena hanya itu pilihannya atau mati. Carlisle tidak mengakhiri hidup,
tapi menyelamatkannya."
Aku mendadak merasakan secercah perasaan bersalah terhadap dokter vampir baik
hati itu, seperti sebelumnya. Kuenyahkan pikiran itu jauh-jauh dan mulai
memohon-mohon. "Dengarkan aku, Bells, Jangan lakukan ini dengan cara seperti itu." Seperti
sebelumnya, ketika telepon dari Charlie datang, bisa kulihat betapa besar
perbedaan semua ini bagiku. Aku sadar aku membutuhkan Bella tetap hidup, dalam
wujud tertentu. Dalam wujud apa pun. Aku menghela napas dalam-dalam. "Jangan
tunggu sampai terlambat, Bella. Jangan seperti itu. Pokoknya kau harus hidup.
Oke" Hidup, itu saja. Jangan lakukan ini padaku. Jangan lakukan ini pada
Edward." Suaraku semakin keras, semakin nyaring. "Kau tahu apa yang akan dia
lakukan kalau kau mati. Kau pernah melihatnya sebelum ini, Kau ingin dia kembali
ke pembunuh-pembunuh Italia itu?".
Bella mengkeret semakin dalam ke sofa.
Tidak kukatakan bahwa kali ini Edward tidak perlu ke Italia.
Berusaha sekuat tenaga membuat suaraku terdengar lebih lembut, aku bertanya,
"Ingat waktu aku babak belur gara-gara para vampir baru itu" Apa yang kaukatakan
padaku?" Aku menunggu, tapi ia tidak mau menjawab. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Kau menyuruhku bersikap baik dan mendengarkan Carlisle," aku mengingatkan
Bella. "Dan apa yang kulakukan" Aku menuruti si vampir. Demi kau."
"Kau menurut karena itu memang hal yang tepat untuk dilakukan"
"Oke-kau boleh pilih salah satunya"
Bella menarik napas dalam-dalam. "Itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan
sekarang." Tatapannya menyentuh perutnya yang bulat besar dan ia berbisik pelan,
"Aku tidak akan membunuh putraku."
Kedua tanganku kembali bergetar. "Oh, aku belum mendengar kabar baik itu. Jadi
bayimu laki-laki, heh" Seharusnya tadi aku membawa balon biru."
Wajah Bella berubah jadi pink. Warnanya sangat indah membuat perutku terpilin
perih seperti ditusuk pisau. Pisau bergerigi kasar, karatan.
Aku bakal kalah. Lagi. "Aku tidak tahu apakah dia laki-laki" Bella mengakui, sedikit malu-malu. "Alat
USG tidak bisa bekerja. Membran yang melingkupi bayi ini terlalu keras-seperti
kulit mereka. Jadi dia sedikit misterius. Tapi aku selalu membayangkan bocah
laki-laki." "Bukan bayi lucu dan menggemaskan yang ada di dalam sana, Bella."
"Kita lihat saja nanti," tukas Bella. Hampir seperti puas dengan dirinya
sendiri. "Kau takkan bisa melihatnya" geramku.
"Kau pesimis sekali, Jacob. Jelas aku punya peluang untuk melewati ini dengan
selamat." Aku tak mampu menjawab. Aku menunduk dan menghela napas dalam-dalam dan lambatlambat, berusaha mengendalikan amarahku.
"Jake," ujar Bella, Ia menepuk-nepuk rambutku, membelai pipiku. "Semua pasti
akan berakhir dengan baik. Ssshhh, Semua pasti akan beres."
Aku tidak mendongak. "Tidak. Tidak mungkin ini berakhir dengan baik."
Bella menyeka sesuatu yang basah dari pipiku. "Ssshhh."
"Bagaimana kesepakatannya, Bella?" Aku memandangi karpet yang pucat. Kakiku yang
telanjang kotor, meninggalkan jejak-jejak kotor. Bagus. "Kusangka intinya adalah
bahwa kau menginginkan vampirmu lebih daripada segalanya. Tapi sekarang kau
malah menyia-nyiakan dia" Itu tidak masuk akal. Sejak kapan kau begitu ingin
menjadi ibu" Kalau memang sangat kauinginkan, lantas mengapa kau menikah dengan
Vampir?" Berbahaya, aku sudah nyaris menyinggung tawaran yang Edward ingin agar kuajukan.
Bisa kulihat kata-kataku mengarah ke sana, tapi aku tak mampu mengubah arah.
Bella mendesah. "Bukan begitu. Aku tidak benar-benar peduli soal punya anak. Aku
bahkan tidak memikirkannya. Ini bukan sekadar masalah punya bayi. Tapi...
well... bayi ini" "Bayi ini pembunuh, Bella. Lihat saja keadaanmu sekarang."
"Dia bukan pembunuh. Penyebabnya aku sendiri. Hanya karena aku lemah dan
manusia, "tapi aku bisa menguatkan diri dan bertahan menghadapi ini, Jake. Aku
bisa... " "Ah, yang benar saja! Tutup mulut, Bella. Kau bisa saja menjejalkan omong kosong
ini ke si pengisap itu, tapi kau tidak hisa membodohi aku. Kau tahu kau tidak
bakal selamat melewati ini."
Bella menatapku garang. "Aku tidak tahu itu. Aku memang mengkhawatirkannya,
tentu saja."

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengkhawatirkannya," ulangku dari sela-sela gigi yang terkatup rapat.
Bella terkesiap, lalu mencengkeram perutnya. Amarahku langsung lenyap seperti
lampu yang tiba-tiba dimatikan.
"Aku baik-baik saja" Bella megap-megap. "Tidak apa-apa,"
Tapi aku tidak mendengar kata-katanya; kedua tangan Bella menyingkapkan
sweternya ke satu sisi, dan aku melotot, ngeri, melihat kulit yang terpampang di
baliknya. Perut Bella terlihat seperti dihiasi bercak-bercak besar tinta unguhitam. Bella menyadari tatapanku, dan menyentakkan bajunya kembali menutupi perut.
"Dia kuat, itu saja," sergah Bella dengan nada membela.
Bercak tinta itu adalah memar
Aku nyaris muntah, dan aku mengerti apa yang dimaksud Edward, tentang melihat
mahkluk itu menyakiti Bella." Mendadak, aku sendiri merasa sedikit sinting.
"Bella," kataku.
Bella mendengar perubahan suaraku. Ia mendongak, napasnya masih berat, matanya
bingung. "Bella, jangan lakukan ini."
"Jake." "Dengar aku. Jangan menyela dulu. Oke" Dengarkan dulu. Bagaimana kalau?"
"Bagaimana kalau apa?"
"Bagaimana kalau ini bukan seperti yang kaukira" Bagaimana kalau ternyata
pilihannya bukan semua atau tidak sama sekali" Bagaimana kalau kau bersikap baik
dengan menuruti nasihat Carlisle dan tetap bertahan hidup?"
"Aku tidak akan... "
"Aku belum selesai. Jadi kau tetap bertahan hidup. Kemudian kau bisa memulai
semua dari awal lagi. Tidak apa-apa kalau yang ini tidak berhasil. Kau bisa
mencoba lagi. Bella mengerutkan kening. Ia mengangkat satu tangan dan menyentuh tempat alisku
saling bertaut. Jari-jarinya meng haluskan keningku sesaat sementara ia berusaha
memahami perkataanku. "Aku tidak mengerti.. , apa maksudmu, mencoba lagi" Kau tidak menganggap Edward
akan membiarkanku,,," Dan apa bedanya" Aku yakin bayi mana pun..."
"Memang," bentakku. "Bayi mana pun yang dia benihkan pasti akan sama."
Wajah Bella yang letih tampak semakin bingung. "Apa?"
Tapi aku tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Tak ada gunanya. Aku takkan pernah
bisa menyelamatkan Bella dari dirinya sendiri. Sejak dulu pun aku tak pernah
bisa melakukannya. Kemudian Bella mengerjapkan mata, dan kulihat bahwa ia mengerti.
"Oh. Ugh. Please, Jacob. Kaupikir sebaiknya aku membunuh bayiku dan menggantinya
dengan pengganti generik Inseminasi buatan.'" Ia marah sekarang. "Masa aku mau
mengandung bayi orang asing" Maksudmu itu tidak ada bedanya" Bayi mana saja
bisa?" "Bukan begitu maksudku," gerutuku. "Bukan bayi orang asing."
Bella mencondongkan tubuh ke depan. "Kalau begitu, apa maksudmu?"
"Tidak ada. Tidak ada maksud apa-apa. Sama seperti biasa."
"Dari mana datangnya ide itu?"
"Lupakan saja. Bella."
Ia mengerutkan kening, curiga. "Apakah Edward menyuruhmu mengatakan itu?"
Aku ragu, terkejut karena Bella bisa begitu cepat menyimpulkan. "Tidak."
"Itu ide Edward, kan?"
"Bukan, sungguh. Dia tidak mengatakan apa-apa tentang apa pun yang sifatnya
dangkal." Wajah Bella melembut, dan ia membenamkan tubuhnya kembali ke tumpukan bantal,
terlihat lelah. Matanya menerawang ke satu sisi waktu ia berbicara, tidak
menujukan perkataannya padaku. "Edward rela melakukan apa saja untukku. Dan aku
membuatnya sangat menderita... Tapi apa sih yang ada dalam pikirannya" Apa
dikiranya aku rela menukar ini tangan Bella menelusuri perutnya"dengan bayi
orang asing.. " Ia menggumamkan bagian terakhir itu, kemudian suaranya
menghilang. Matanya basah.
"Kau tidak perlu membuatnya menderita," bisikku. Mulutku seperti terbakar racun
karena harus memohon-mohon demi Edward, tapi aku tahu pendekatan ini mungkin
yang terbaik yang bisa membuat Bella bertahan hidup. Walaupun peluang nya masih
sangat kecil. "Kau bisa membuatnya bahagia lagi, Bella. Dan aku benar-benar
yakin dia sudah kehilangan akal. Jujur saja, menurutku begitu."
Sepertinya Bella tidak mendengarkan, tangannya bergerak membuat lingkaranlingkaran kecil di perutnya yang beran-takan sambil menggigit bibir. Lama sekali
tidak terdengar suara apa-apa. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah keluarga
Cullen telah menyingkir jauh-jauh. Apa mereka mendengar usahaku yang menyedihkan
untuk membujuk Bella"
"Bukan orang asing?" gumam Bella pada diri sendiri. Aku meringis. "Apa tepatnya
yang dikatakan Edward padamu?" tanyanya pelan.
"Tidak ada. Dia hanya merasa kau mungkin mau mendengar nasihatku."
"Bukan itu. Tentang mencoba lagi"
Matanya terpaku ke mataku, dan aku tahu sudah terlalu banyak yang kuungkap.
"Tidak ada," Mulut Bella ternganga sedikit, "Wow." Beberapa saat tidak terdengar suara apaapa. Aku menunduk memandang kakiku lagi, tak mampu membalas tatapannya.
"Dia benar-benar rela melakukan apa saja, ya?" bisik Bella.
"Sudah kuhilang, dia sudah kehilangan akal Secara harfiah, Bell"
"Heran juga aku, kau tidak langsung mengatakan itu padanya. Menghajarnya sampai
babak belur." Waktu aku mendongak, kulihat Bella nyengir.
"Sebenarnya itu terpikirkan olehku." Aku berusaha membalas cengirannya, tapi
bisa kurasakan senyumku kali ini jelek sekali.
Bella tahu apa yang kutawarkan, tapi ia bahkan tidak mau mempertimbangkannya.
Aku sudah tahu akan seperti itu. Tapi tetap saja aku merasa sedikit tersinggung.
167 "Kau juga pasti rela melakukan apa saja demi aku, bukan?" bisiknya. "Aku benarbenar tidak tahu mengapa kau harus repot-repot. Aku tidak pantas mendapatkan
salah satu dari kalian."
"Tapi tak ada bedanya, bukan?"
"Kali ini tidak." Bella mendesah. "Kalau saja aku bisa menjelaskan kepadamu
dengan benar sehingga kau bisa mengerti. Aku tidak bisa menyakitinya" Bella
menuding perutnya" sama seperti aku tidak bisa mengambil pistol dan menembakmu.
Aku sayang bayi ini."
"Mengapa kau selalu harus mencintai hal-hal yang salah, Bella?"
"Menurutku tidak begitu,"
Aku berdeham-deham untuk membersihkan tenggorokan agar bisa membuat suaraku
terdengar sekeras yang kuinginkan. "Percayalah padaku."
Aku bergerak untuk berdiri.
"Mau ke mana kau?"
"Tidak ada gunanya aku di sini terus."
Bella mengulurkan tangannya yang kurus, memohon. "Jangan pergi,"
Bisa kurasakan kecanduan itu mengisapku, berusaha membuatku tetap berada di
dekat Bella. "Tempatku bukan di sini. Aku harus pulang."
"Mengapa kau datang ke sini hari ini?" tanyanya, masih mengulurkan tangan dengan
lemas. "Hanya untuk melihat apakah kau benar-benar masih hidup. Aku tidak percaya kau
sakit seperti kata Charlie."
Aku tidak bisa menerka dari ekspresi wajahnya, apakah ia memercayai perkataanku
atau tidak. "Apakah kau akan kembali lagi" Sebelum... "
"Aku tidak mau datang hanya untuk menontonmu meregang nyawa, Bella." Bella
tersentak. "Kau benar, kau benar. Kau sebaiknya pergi."
Aku berjalan menuju pintu. "Bye," bisik Bella di belakangku. "Aku sayang padamu,
Jake." Nyaris saja aku kembali. Nyaris saja aku berbalik, berlutut, dan mulai memohonmohon lagi. Tapi aku tahu aku harus segera meninggalkan Bella, memutus
hubunganku dengannya telak-telak, sebelum ia membunuhku, seperti ia akan
membunuh Edward. "Tentu, tentu," gumamku dalam perjalanan keluar.
Tidak seorang vampir pun terlihat. Kuabaikan motorku yang berdiri sendiri di
tengah padang rumput. Sekarang benda itu tak cukup cepat lagi bagiku. Ayahku
pasti panik sekali-begitu juga Sam. Apa yang dipikirkan kawanan serigala itu
saat mereka tidak mendengarku berubah wujud" Apakah mereka mengira keluarga
Cullen menghabisiku sebelum aku dapat berubah" Kulucuti semua pakaianku, tak
peduli kalau-kalau ada yang melihat, dan mulai berlari. Aku berubah menjadi
serigala saat tengah berlari. Mereka menunggu. Tentu saja mereka menunggu.
Jacob, Jake, delapan suara berseru serempak, lega. Pulanglah, sekarang suara
Alfa memerintahkan. Sam marah sekali.
Aku merasa Paul memudar, dan aku tahu Billy serta Rachel pasti menunggu kabar
dariku. Paul terlalu bersemangat ingin menyampaikan kabar baik bahwa aku tidak
menjadi santapan para vampir sehingga tidak mendengarkan cerita seutuhnya.
Aku tidak perlu memberitahu teman-teman sekawananku bahwa aku menuju ke sana
mereka bisa melihat pemandangan hutan yang kabur saat aku berlari cepat untuk
pulang. Aku juga tidak perlu memberitahu mereka bahwa aku setengah gila.
Perasaan muak yang berkecamuk di kepalaku sudah jelas bagi mereka.
Mereka melihat semua kengerian itu perut Bella yang be-bercak-bercak; suaranya
yang serak: bayi ini kuat, hanya itu; wajah Edward yang tersiksa seperti orang
dibakar hidup-hidup: melihat Bella sakit dan kondisinya semakin parah. melihat
makhluk itu menyakitinya; Rosalie membungkuk di atas tubuh Bella yang lunglai: hidup Bella tidak berarti apa-apa baginya dan kali ini, tak seorang pun
sanggup berkomentar. Shock yang mereka rasakan hanya berupa teriakan tanpa suara di kepalaku. Tanpa
kata-kata. Aku sudah setengah jalan menuju mereka sebelum semua orang pulih dari kekagetan.
Teror Topeng Merah 2 Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang Giring Giring Perak 1

Cari Blog Ini