Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 8
jauh lebih kuat daripada "kebaikan hati yang suci." Kami berdua boleh jadi
dihormati sebagai ibu suri dengan kedudukan yang sama, tetapi pesan yang
disampaikan kepada bangsa ini adalah posisiku tak setara dengan Nuharoo.
Penekanan ketinggian martabatnya dibandingkan denganku ini membuat Nuharoo
senang. Meskipun dialah Permaisuri yang ditunjuk resmi pada masa pemerintahan
Hsien Feng, itu tak menjamin bahwa dia akan mendapat gelar yang sama ketika era
berganti. Bagaimanapun juga, akulah ibu dari sang putra mahkota. Akibat dari gelar baruku
ini adalah seluruh bangsa digiring untuk percaya bahwa Tung Chih menganggap
Nuharoo lebih tinggi dariku - Su Shun menang.
Lebih mencemaskan lagi untukku, Su Shun telah mengeluarkan sebuah dekrit lagi
tanpa meminta baik segel Nuharoo maupun milikku.
Nuharoo tak ingin mengungkit-ungkit hal ini karena dia telah mendapatkan
keinginannya. Tetapi untukku, ini adalah pelanggaran prinsip - Su Shun tidak
melaksanakan wasiat Kaisar Hsien Feng dengan baik. Aku punya hak untuk
mempertanyakan dekrit ini. Namun demikian, jika aku melawan, ini akan memberi Su
Shun kesempatan untuk merusak hubunganku dengan Nuharoo.
Aku mempertimbangkan situasi ini dan memutuskan untuk diam dulu.
Setelah pengumuman penghargaan itu, Nuharoo dan aku diperlakukan sama. Aku
pindah dari ruang-ruang tinggalku yang lama ke sayap Barat dan Balairung Kabut
yang Menakjubkan. Tempat itu disebut Bilik Kehangatan Barat, yang segera saja
membuat para menteri memanggilku Ibu Suri Bilik Barat. Nuharoo pindah ke Bilik
Kehangatan Timur, dan begitulah, dia dikenal sebagai Ibu Suri Bilik Timur.
Pada 2 September 1861, dekrit resmi pertama dipublikasikan, menyatakan kehadiran
era baru pada seluruh bangsa dan pelantikan yang akan dilaksanakan terhadap sang
Kaisar kecil. Dekrit itu termasuk penghargaan Kaisar baru kepada kedua ibunya.
Seluruh negeri diberi libur sepuluh hari untuk turut merayakan.
Selagi negara ini mendengar tentang aku dan Nuharoo, Su Shun mengumpulkan Dewan
Wali untuk mengadakan audiensi sendiri. Dia menuntut agar mulai sekarang Nuharoo
dan aku harus mencap semua dekrit yang dibuatnya, tanpa mengajukan pertanyaan.
Kali ini Su Shun juga membuat Nuharoo tersinggung. Sebuah perdebatan menyala
saat Tung Chih dan seluruh pejabat istana hadir.
"Perempuan tidak ikut campur urusan istana; itulah tradisi Kekaisaran." Su Shun
menekankan bahwa untuk kepentingan negaralah maka pemerintahannya melewatkan
kami berdua. Dia membuat kesan bahwa Nuharoo dan akulah yang menyebabkan
lambannya prosedur istana dan bahwa aku, terutama, adalah biang kerok.
"Kalau kami tak boleh ikut ambil bagian dalam urusan istana,"
kata Nuharoo pada hadirin, "lalu mengapa Yang Mulia Kaisar Hsien Feng bersusahsusah memercayakan segel-segel itu kepada kami?"
Sebelum Su Shun mendapat kesempatan untuk menjawab, aku membeo Nuharoo. "Maksud
Kaisar Hsien Feng sudah lebih dari jelas.
Kedua segel agung itu mewakili penilaian yang seimbang. Yang Mulia ingin agar
kita bekerja sama. Segel-segel itu untuk mencegah otokrasi dan " - aku menaikkan
suaraku, berbicara sejelas yang kumampu"untuk menghindarkan bahaya tirani dari Wali mana pun. Kalian berdelapan adalah
orang-orang bijaksana, maka aku tak usah mengingatkan kalian tentang pelajaranpelajaran mengerikan dari masa lalu. Aku yakin tak ada dari antara kalian yang
ingin meniru Ao Pai, yang dicatat dalam sejarah sebagai penjahat besar karena
dia membiarkan keinginannya terhadap kekuasaan merusak jiwanya." Aku melirik
kepada Su Shun sebelum mengakhiri, "Ibu Suri Nuharoo dan aku telah memutuskan
bahwa selama kami masih hidup kami akan menghormati janji kami kepada suami
kami." Sebelum kata terakhir keluar dari mulutku, Su Shun berdiri.
Kulitnya yang berwarna zaitun merona merah tua. Matanya menyorotkan kemurkaan.
"Sebenarnya aku tak ingin mengungkapkan percakapan pribadiku dengan mendiang
Yang Mulia, tetapi kau tidak memberiku pilihan lain, Putri Yehonala." Su Shun
berjalan ke arah orang-orangnya dan bicara keras-keras. "Kaisar Hsien Feng telah
melihat kebusukan Putri Yehonala ketika beliau masih hidup. Beberapa kali dia
bicara denganku untuk membawanya bersama beliau ke alam baka. Bila saja Putri
Yehonala tidak mengambil keuntungan dari sakitnya Yang Mulia serta memanipulasi
beliau untuk berubah pikiran, pastilah kita bisa mengerjakan pekerjaan kita
sekarang." "Yang Mulia seharusnya berkeras!" Gerombolan Delapan mengangguk.
Aku begitu marah hingga tak bisa bicara. Kucoba sekuat tenaga untuk menahan air
mata. Su Shun melanjutkan, dadanya turun naik. "Salah satu dari orang bijak Cina
meramalkan bahwa Cina akan dihancurkan oleh seorang perempuan. Kuharap kita
semua tak mempercepat kedatangan hari itu."
Ngeri melihat air muka Su Shun, Tung Chih melompat dari singgasana. Dia
melemparkan diri, awalnya pada Nuharoo, kemudian padaku.
"Ada apa?" tanya Tung Chih saat disadarinya bahwa lenganku gemetar. "Ibu baikbaik saja?" "Ya, Nak," kataku. "Aku baik-baik saja."
Tetapi Tung Chih mulai menangis. Kubelai punggung Tung Chih untuk
menenangkannya. Aku tak ingin memberi kesan kepada anakku dan kepada hadirin,
bahwa diriku ini lemah. "Izinkan aku berbagi pikiran dengan Anda sekalian, Tuan-tuan,"
kataku, menenangkan diri. "Sebelum Anda membuat penilaian-"
"Berhenti!" potong Su Shun, berbalik pada hadirin. "Putri Yehonala baru saja
melanggar peraturan rumahtangga istana."
Aku menyadari ke mana arah pembicaraan Su Shun. Dia menggunakan peraturan
keluarga untuk menentangku. "Peraturan nomor 174 berbunyi: 'Istri kaisar yang
berstatus lebih rendah akan dihukum bila berbicara tanpa seizin istri yang
berstatus lebih tinggi.'"
Mengerling Nuharoo, yang menatap dengan pandangan kosong, Su Shun melanjutkan.
"Aku khawatir aku harus melaksanakan tugasku."
Dia menjentikkan jari. "Pengawal!"
Dipimpin oleh Kepala Kasim Shim, beberapa pengawal menyerbu masuk.
"Tangkap Ibu Suri Kebaikan Hati yang Suci, bawa dia untuk dihukum!"
"Nuharoo, kakakku!" Aku menjerit, berharap Nuharoo akan menolong. Yang harus dia
lakukan cuma mengatakan bahwa aku dia izinkan untuk bicara.
Tetapi Nuharoo kebingungan. Dia membeliak seolah tak mengerti apa yang tengah
terjadi. Para pengawal menyambar lenganku dan mulai menyeretku pergi.
"Wahai Surga," kata Su Shun, memohon dengan gaya opera Peking, "bantu kami
menyingkirkan rubah setan yang telah membuktikan ramalan terburuk leluhur kami."
"Nuharoo!" Aku berjuang untuk mendorong para pengawal menjauh. "Katakan bahwa
aku mendapat izinmu untuk bicara.
Katakan pada mereka bahwa aku adalah Ibu Suri dan mereka tak bisa
memperlakukanku seperti ini. Nuharoo, tolonglah!"
Su Shun berjalan ke arah Nuharoo, yang membeku di tempatnya. Su Shun membungkuk
lalu berbisik di telinganya. Tangan-tangan Su Shun menggambar lingkaran di
udara, badannya yang lebar menghalangi pandangan Nuharoo ke arahku. Aku yakin
tentang apa yang disampaikan Su Shun: makin cepat aku digantung, makin baik
hidup Nuharoo nanti. Su Shun tengah menggambarkan hidup tanpa saingan kepada
Nuharoo, sebuah dunia yang di dalamnya hanya kata-katanyalah yang berpengaruh.
Nuharoo terlalu ketakutan untuk berpikir. Aku tahu dia tak memercayai Su Shun,
tetapi barangkali dia tak bisa menolak gambaran pria itu tentang masa depannya.
Para pengawal menyeretku melalui koridor. Semua orang bagai tersihir. Kalaupun
ada pertanyaan saat itu, tak ada yang menanyakannya. Aku lenyap dalam retakan di
ruang waktu, aku tahu aku akan menghilang sebelum orang-orang kembali sadar.
Aku berjuang untuk membebaskan diri dari pengawal-pengawal itu. Awalnya
lenganku, lalu tungkaiku terasa lemas. Ketika tubuhku terlempar ke lantai,
gaunku robek dan jepit-jepit rambutku jatuh.
"Berhenti!" Suara seorang bocah mengiris udara. "Ini Kaisar Tung Chih yang
bicara." Aku yakin tengah berhalusinasi. Putraku melangkah ke tengah ruangan layaknya
lelaki dewasa. Tingkahnya mengingatkanku pada ayahnya.
"Putri Yehonala sama berhaknya untuk berbicara di sini dengan kau, Su Shun,"
kata anakku. "Aku akan menyuruh pengawal untuk menyingkirkanmu kalau kau tak
bisa menjaga kelakuanmu!"
Terpana melihat sang Putra Surga, Kepala Kasim Shim terempas ke atas lututnya.
Para pengawal mengikuti, lalu seluruh isi istana, termasuk Nuharoo dan aku.
Tempat itu berubah sesunyi kolam yang tenang. Jam-jam di dinding mulai berbunyi.
Lama sekali tak seorang pun berani bergerak.
Cahaya matahari menembus tirai, mengubah semua permadani dinding menjadi
keemasan. Berdiri angkuh sendirian, Tung Chih tak tahu lagi harus berkata apa.
"Bangkit," akhirnya si bocah menggumam, seakan-akan mengingat kalimat yang
terlupakan dari pelajarannya. Hadirin berdiri.
"Saya mengundurkan diri, Yang Mulia!" Su Shun sudah kembali seperti biasa. Dia
melepaskan topinya yang berhias bulu merak dan meletakkannya di atas lantai di
hadapannya. "Siapa yang akan mengikutiku?" Su Shun mulai berjalan keluar dari
Balairung. Sisa anggota Dewan Wali saling melihat satu sama lain, lalu menatap topi Su Shun
seolah baru pertama kali itulah mereka melihat permata serta bulu-bulu
hiasannya. Pangeran Yee, sepupu Kaisar Hsien Feng, bergerak mengejar Su Shun, berteriak,
"Penasihat Agung, tolonglah! Tak ada gunanya merendahkan diri karena rengekan
seorang bocah!" Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, seketika itu juga Pangeran Yee
menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar.
"Apa katamu?" Tung Chih mengentakkan kaki. "Kau telah menghina Putra Surga. Zhen
perintahkan kau untuk dipancung!
Pengawal! Pengawal!!"
Mendengar kata-kata Tung Chih Pangeran Yee melempar dirinya ke bawah dan
membenturkan keningnya dengan keras ke lantai.
"Saya mohon ampun kepada Yang Mulia, karena saya adalah sepupu ayah Paduka dan
saudara sedarah." Menatap pada pria di atas lantai yang keningnya berdarah itu, Tung Chih
berpaling pada Nuharoo dan aku.
"Bangkitlah, Pangeran Yee." Seakan-akan akhirnya menemukan tempatnya, Nuharoo
bicara. "Yang Mulia Kaisar akan mengampunimu kali ini, tetapi di masa depan dia
takkan mengizinkan lagi sikap kasar.
Aku percaya bahwa kau telah belajar kini. Tung Chih memang masih muda, tetapi
dia adalah Kaisar Cina. Kau harus selalu ingat bahwa kau adalah pelayannya."
Anggota Dewan Wali mundur. Segera setelah Nuharoo menyuruh topi Su Shun "yang
ketinggalan" dikembalikan, si Penasihat Agung kembali bekerja. Tak sepotong kata
pun diucapkan lagi tentang peristiwa itu.
---oOo--- Jenazah Kaisar Hsien Feng telah dijadwalkan dibawa ke Peking untuk pemakaman.
Latihan untuk upacara pemindahannya sangat meletihkan. Sepanjang siang aku dan
Nuharoo mengenakan jubah putih dan berlatih melangkah di pekarangan dalam. Di
rambut kami kami mengenakan setumpuk bunga putih. Kami mengadakan banyak
pemeriksaan: mulai dari kostum yang dikenakan para dewa kertas hingga ke
aksesori dekoratif untuk kuda-kuda; dan tambang yang akan mengikat peti mati
hingga ke pemanggul peti itu sendiri; dari bendera-bendera upacara hingga ke
pemilihan musik berkabung. Kami memeriksa babi-babi lilin, boneka katun, monyetmonyet tanah liat, biri-biri porselen, harimau kayu, dan layang-layang bambu.
Pada malam hari kami memeriksa wayang kulit yang akan digunakan dalam
pertunjukan. Tung Chih digembleng untuk melaksanakan tugas seorang anak lelaki. Dia melatih
caranya berjalan, membungkuk dan kowtow di hadapan lima ribu hadirin. Selama
waktu-waktu istirahat dia menyelinap pergi untuk menonton barisan Pengawal
Kekaisaran, yang dipimpin oleh Yung Lu. Setiap malam Tung Chih datang kepadaku
menggaharkan kekagumannya pada Yung Lu.
"Ibu ikut denganku lain kali ya?" pintanya.
Aku benar-benar tergoda, tetapi Nuharoo menolak permintaan Tung Chih. "Tak
pantas bagi kami untuk muncul dengan mengenakan gaun berkabung," katanya.
Setelah menyantap makanan penutup Nuharoo pamit untuk melantunkan wirid. Dia
makin terbenam ke dalam agama Buddha setelah kematian Hsien Feng. Tembok-tembok
ruangannya ditutupi oleh permadani menggambarkan sosok-sosok Buddha. Kalau
diizinkan, mungkin dia akan menyuruh mendirikan patung Buddha raksasa di tengahtengah balairung audiensi.
Aku sangat gelisah. Suatu malam, dalam mimpi, aku berubah menjadi seekor lebah,
terperangkap di dalam sebuah biji teratai yang tengah terbentuk. Setiap usahaku
untuk lepas membuat biji-biji lotus itu meletup keluar. Aku terbangun, dan
menemukan An-te-hai meletakkan semangkuk sup biji lotus di hadapanku, dan
jambangan bungaku dipenuhi bunga lotus segar.
"Bagaimana kau tahu tentang mimpiku?" tanyaku pada si kasim.
"Saya tahu begitu saja."
"Lalu untuk apa semua lotus itu?"
An-te-hai mengerling padaku dan tersenyum. "Bunga-bunga itu serasi dengan warna
wajah Gusti Putri." Perasaan yang kualami akhir-akhir ini ternyata semakin dalam.
Aku tak bisa lagi menyangkal bahwa semua perasaan itu bermuara pada sosok Yung
Lu. Mendengarkan semua cerita yang dibawa Tung Chih itu membuatku bersemangat.
Jantungku melompat saat nama Yung Lu disebut. Kutemukan diriku lapar akan detail
demi detail saat Tung Chih menceritakan keahlian Yung Lu dalam berkuda.
"Kau menontonnya dari jauh?" tanyaku kepada anakku.
"Aku memerintahkan agar diadakan demonstrasi," sahutnya.
"Pak komandan itu senang ketika aku meminta dia. Oh, Ibu, Ibu harus melihat
caranya menaiki kuda-kuda itu!"
Kucoba untuk tak terlalu banyak bertanya pada Tung Chih - aku takut membangkitkan
kecurigaan Nuharoo. Untuk Nuharoo, bahkan hanya berpikir sedikit saja pun
tentang lelaki lain di samping mendiang suami kami sudah merupakan pertanda
ketidaksetiaan. Nuharoo menekankan pada semua janda Kaisar bahwa dia takkan ragu-ragu
memerintahkan hukuman mati - dengan cara dipotong-potong - bila dia memergoki
perselingkuhan. An-te-hai tidur di ruanganku dan menyaksikan semua kegelisahanku. Tetapi dia tak
pernah membicarakan hal itu atau mengungkit gumamanku yang mungkin didengarnya.
Aku tahu aku selalu gelisah di malam hari, terutama kala hujan.
Pada suatu malam berhujan seperti itu, aku menanyakan kepada An-te-hai apakah
dia menangkap adanya perubahan pada diriku.
Dengan hati-hati si kasim menggambarkan "kegelisahan" tubuhku di tengah malam katanya aku terpekik dalam mimpiku, memohon untuk disentuh.
---oOo--- Musim dingin tiba lebih awal. Pagi hari bulan September terasa dingin sementara
udara segar dan jernih. Daun-daun pohon mapel baru saja memerah, dan aku
memutuskan untuk berjalan-jalan ke tempat yang melalui daerah latihan pasukan
Yung Lu. Makin aku memperingatkan diri sendiri tentang ketakpantasan hal itu,
makin ingin aku pergi. Dengan maksud menyamarkan tujuan jalan-jalanku ini, malam sebelumnya kukatakan
pada Tung Chih bahwa ada seekor kelinci bermata merah yang ingin kuperlihatkan
padanya. Tung Chih bertanya di mana kelinci itu bersembunyi. "Di semak-semak tak
jauh dari tempat latihan," sahutku.
Keesokan harinya kami bangun sebelum fajar. Setelah sarapan kami berangkat
dengan tandu, melewati pepohonan berwarna nyala api. Begitu dia melihat para
pengawal Yung Lu, Tung Chih langsung bergegas, dan aku mengikutinya.
Jalanan bergelombang tak rata, dan para penandu berusaha keras untuk membuat
tandu stabil. Kuangkat tirai dan melihat keluar.
Denyut jantungku bertambah cepat.
An-te-hai mengikuti di sisiku. Air mukanya menunjukkan bahwa dia tahu maksud
kedatanganku kemari, dan dia sangat ingin tahu, bahkan juga bersemangat. Aku
merasa agak sedih melihat bahwa Ante-hai masih berpikir seperti seorang lelaki.
Sebetulnya, kalau penampilan yang menjadi ukuran, umumnya perempuan akan
menganggap An-te-hai lebih menarik daripada Yung Lu. Sida-sidaku itu memiliki
dahi yang penuh, rahang yang sempurna, dengan sepasang mata yang besar dan
bersinar, sesuatu yang langka ditemukan pada diri orang Manchu. Karena sangat
terdidik dalam tata krama istana, pembawaannya selalu amat anggun. Dia baru saja
berulang tahun kedua puluh empat minggu lalu, itu artinya dia telah bersamaku
selama delapan tahun. Tidak seperti banyak orang kasim lain yang suaranya
terdengar seperti wanita tua, suara An-te-hai maskulin. Aku tak yakin apakah Ante-hai masih memiliki kebutuhan jasmani seorang lelaki, tetapi dia memang cukup
sensual. Seiring makin panjangnya kebersamaan kami, aku makin sering terpana
oleh keingintahuannya yang besar tentang apa yang terjadi antara lelaki dan
perempuan. Ini akan menjadi kutukan bagi An-te-hai.
---oOo---
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di tengah kabut pagi aku menonton para pengawal Kekaisaran dilatih.
Ratusan orang berderap dan berbaris di atas tanah keras berdebu.
Mereka mengingatkanku pada kodok-kodok yang melompat di sawah saat kemarau.
Udara terasa segar dan kering, matahari belum benar-benar terbit.
"Awasi Tung Chih," kataku pada para penandu, lalu minta agar dibiarkan turun
dari tandu. Sepatuku basah oleh embun saat perlahan aku berjalan di sepanjang
setapak. Lalu kulihat dia, sang komandan, di atas kudanya. Aku perlu waktu
sebentar untuk menenangkan diri.
Dia duduk tak bergerak di atas kudanya, tetapi matanya memandang ke arahku.
Kabut di antara kami membuat dia tampak seperti sosok pahlawan wayang kertas.
Aku menghampirinya, An-te-hai di sampingku. Sang ksatria menepuk sisi badan
kudanya, yang lantas berderap ke arahku. Aku menatapnya dalam bayang-bayang yang
dilemparkan matahari terbit.
Begitu dia mengenaliku, Yung Lu melompat turun dari kudanya dan berlutut. "Gusti
Ratu, Yung Lu siap melayani."
Aku tahu aku harus mengatakan "bangkit," tetapi lidahku kelu.
Aku mengangguk, dan An-te-hai menerjemahkan: "Engkau boleh bangkit."
Lelaki di hadapanku berdiri. Dia lebih tinggi daripada yang kuingat. Cahaya
matahari memahat sosoknya, wajahnya terlihat setajam kapak.
Aku tak tahu harus bicara apa. "Tung Chih ingin melihat hutan,"
kataku setelah beberapa saat, lalu menambahkan, "Dia sedang mengejar seekor
kelinci." "Itu bagus sekali," katanya. Lalu dia pun kehabisan kata-kata.
Aku mengerling pasukannya. "Bagaimana ... pasukanmu?"
"Hampir siap." Dia tampak lega karena menemukan bahan percakapan.
"Apa sebenarnya yang tengah kau usahakan?"
"Meningkatkan daya tahan pasukan saya. Sekarang ini mereka sanggup bertahan
dalam barisan selama setengah hari, tetapi parade peti jenazah akan berlangsung
selama lima belas hari."
"Bisakah aku percaya bahwa kau tidak membuat dirimu sendiri atau orang-orangmu
terlalu letih?" kataku. Seketika itu juga aku menangkap nada lembut dalam
suaraku. Aku sadar bahwa aku baru saja menanyakan sesuatu yang dilarang tata
krama. Yung Lu tampaknya menyadarinya. Dia menatapku, lalu buruburu berpaling.
Aku ingin sekali bisa menyuruh An-te-hai pergi, tetapi itu sungguh tak
bijaksana. Terlihat hanya berdua saja dengan Yung Lu amatlah berbahaya.
"Bolehkah saya mendapat izin Paduka untuk memeriksa Tung Chih, Gusti Putri?"
tanya An-te-hai, membaca pikiranku. "Tidak, tidak boleh."
---oOo--- Tung Chih kecewa: dia tidak menemukan kelinci itu. Ketika kami kembali ke
Istana, aku berjanji akan menyuruh dibuatkan kelinci kayu untuknya. An-te-hai
menjelaskan ideku pada seniman kriya terbaik istana. Orang itu meminta lima hari
untuk menyelesaikannya. Tung Chih tak sabar menunggunya.
Pada malam hari keempat, seekor kelinci kayu dengan 'bulu'
putih yang sangat indah dipersembahkan pada Tung Chih. Begitu anakku melihatnya,
dia langsung jatuh cinta. Sejak saat itu dia tak mau menyentuh mainan lainnya,
tak peduli betapapun bagusnya mereka. Kelinci kayu itu memiliki mata pahatan
batu rubi yang sangat lucu, bulunya terbuat dari kapas dan sutra. Bagian yang
terbaik adalah si kelinci ini memiliki kaki yang dapat bergerak, yang
dihubungkan dengan pemutar kawat. Ketika Tung Chih meletakkan si kelinci di
lantai, kelinci itu bisa melompat seperti kelinci sungguhan.
Untuk beberapa hari selanjutnya Tung Chih benar-benar sibuk dengan kelinci itu.
Aku bisa bekerja dengan Nuharoo, membereskan dokumen-dokumen kiriman Su Shun.
Lantaiku dipenuhi kertas hingga aku bahkan tak bisa bergerak bebas.
Segera saja Nuharoo malas untuk bekerja denganku. Dia mulai mengarang-ngarang
alasan untuk tak muncul. Dia ingin kami menerima saja sepotong pepatah kuno Cina
tentang "orang yang paling bijak harus tampak seperti yang paling kebingungan."
Nuharoo percaya bahwa kalau kami berbuat begitu, Su Shun akan melepaskan kami:
"Menipu dan melucuti dia tanpa menggunakan senjata."
Nuharoo tersenyum, terpesona kata-katanya sendiri.
Aku tak mengerti khayalan Nuharoo ini. Kami bisa saja menipu yang lain, tetapi
jelas tidak Su Shun. Bagiku lebih sulit menghadapi Nuharoo daripada anakku.
Kalau Nuharoo letih, adatnya yang jelek muncul. Dia akan mengeluh tentang
segalanya - suara jangkrik, rasa supnya, sebuah setikan yang gagal di sulamannya.
Dia akan memaksaku untuk membantunya memecahkan masalah itu. Aku tak bisa tak
terpengaruh, dan harus berhenti bekerja. Akhirnya, aku setuju untuk
membebaskannya dari tugas, dengan satu syarat - dia harus membaca ringkasanku lalu
mencapkan segelnya di atas semua surat-surat keluar, yang akan kutulis atas nama
Tung Chih serta kustempel dengan segelku sendiri.
---oOo--- Setiap malam An-te-hai menyiapkan sepoci teh Naga Hitam yang kuat selagi aku
bekerja hingga larut malam. Dengan membebankan banyak pekerjaan kepadaku, Su
Shun bermaksud mendiskreditkanku di hadapan para pejabat istana. Aku telah
dengan sukarela memasukkan leherku di jeratan tali, dan sekarang Su Shun sibuk
berusaha mengeratkan simpulnya. Tetapi dia tak mengenalku. Aku ingin berhasil
untuk satu alasan praktis - agar pantas mendampingi putraku. Namun aku telah salah
perhitungan. Saat aku sibuk mengurus satu hal, aku lupa mengurus yang lain: aku
tak tahu bahwa guru-guru Kekaisaran yang bertanggung jawab atas pendidikan Tung
Chih adalah teman-teman Su Shun. Kelalaianku yang polos ini terbukti sebagai
kesalahanku yang paling besar. Aku tak menyadari kerusakan yang ditimbulkan atas
Tung Chih, sampai sudah terlambat.
Pada titik ini aku sudah sangat ingin meluaskan perspektifku.
Aku tak percaya diri dan merasa bahwa diriku sangat kekurangan informasi. Subjek
surat-surat itu sangat luas. Untuk bisa mencapai pemahaman apa pun rasanya
seperti memanjat tiang yang dilumuri gemuk. Karena aku merasa peran yang tengah
dijalankan pemerintah sangat penting, aku bertekad untuk membasmi korupsi di
sekelilingku. Kucoba untuk melihat skema dasar dan pelbagai hal, kerangka yang sebenarnya, dan
menganalisis segalanya berdasarkan nilai gunanya semata. Aku juga berkonsentrasi
untuk lebih mengenal mereka yang memiliki kuasa untuk mengontrol dan
memengaruhi. Selain membaca laporan-laporan mereka, aku mempelajari karakter,
latar belakang, serta kaitan mereka dengan atasannya serta dengan kami. Tentu
saja aku memberikan perhatian khusus kepada jawaban-jawaban mereka atas
pertanyaan dan permintaan kami, yang paling sering disampaikan melalui Pangeran
Kung. Aku selalu menyukai opera, tetapi yang kini kualami sehari-hari benarbenar lebih aneh dan lebih dramatis.
Aku belajar banyak tentang manusia. Satu surat datang dari salah satu pegawai
Pangeran Kung, seorang Inggris bernama Robert Hart, kepala bea cukai Cina.
Lelaki ini sebaya denganku, dan seorang asing, tetapi dia bertanggung jawab
menghasilkan sepertiga dari pendapatan tahunan kami. Hart melaporkan bahwa
akhir-akhir ini dia mendapatkan penolakan keras saat mencoba mengumpulkan pajak
cukai dalam negeri. Banyak orang berpengaruh, termasuk jenderal yang paling
dipercaya mendiang suamiku, Tseng Kuo-fan - Tseng si Pemenggal Kepala, pahlawan
yang mengalahkan pemberontak Taiping - menolak untuk berpisah dengan uang mereka.
Tseng berkeras bahwa kepentingan daerahnya membuat uangnya harus dipegang
olehnya, dan bukan oleh pemerintah pusat. Buku keuangannya ternyata tidak tepat,
dan Hart meminta instruksi dari Kaisar apakah dia harus mengajukan tuntutan
kepada sang jenderal. Su Shun mengajukan usul pada halaman sampul laporan Hart.
Dia ingin agar Tseng Kuo-fan diperiksa dan dituntut. Aku tak tertipu.
Sudah beberapa lama ini Su Shun ingin mengganti Tseng dengan salah satu begundal
setianya. Aku memutuskan untuk menahan laporan itu dan menunggu sampai bisa bertemu dan
berdiskusi dengan Pangeran Kung. Tseng terlalu penting untuk kestabilan bangsa,
dan bila pelanggaran ini adalah harga yang harus kubayar untuk itu, aku akan
menutup mata saja dan membayar. Pada tingkat tertentu, aku lebih suka melihat
Tseng Kuo-fan menyimpan uang itu, tahu bahwa dia akan menggunakannya untuk
mempersenjatai tentaranya, yang pada akhirnya akan melindungiku, daripada
melihat uang itu jatuh ke tangan Su Shun dan digunakan untuk konspirasi
menentangku. Laporan itu membawakan juga kesan bahwa Tseng telah menawarkan sejumlah besar
uang suap kepada Hart agar mau diajak bekerja sama. Namun ternyata Hart tak
tergoyahkan: dia tak mau menjual kesetiaannya kepada majikannya, Pangeran Kung.
Apa yang membuatnya bisa demikian teguh" Prinsip dan moral apa yang
membesarkannya" Aku tak menduga seorang asing bisa sedemikian setia pada dinasti
kami. Ini memberiku pelajaran besar. Aku ingin bertemu lelaki ini. Kalau bisa,
aku ingin memperkenalkannya kepada Tung Chih.
Permintaanku untuk menemui Robert Hart awalnya diperlambat, lalu ditangguhkan,
dan akhirnya ditolak. Istana memutuskan bahwa akan menjadi hinaan besar bagi
Cina kalau aku "merendahkan" diri untuk bertemu pria asing itu. Lebih dari empat
dekade akan berlalu sebelum akhirnya kami dapat bertemu. Saat itu, aku katakan
pada pemerintah bahwa aku takkan bisa mati dengan tenang apabila aku tidak
berterima kasih kepada orang yang telah membantuku untuk
'menyatukan langit'. ---oOo--- Krisan-krisan liar yang berwarna bagai darah berbunga seperti kesetanan. Tanaman
itu bergantung di sepanjang pagarku dan menutupi seluruh pekarangan dalamku.
Masih terkejut oleh isi sebuah surat yang baru-baru ini dikirimkan oleh Pangeran
Kung, aku tak punya minat untuk menikmati bunga-bunga itu. Dalam suratnya, sang
Pangeran menjelaskan hari yang sudah dia jalani. Itu sesudah dia menyerahkan
traktat yang ditandatangani abangnya yang tengah menjemput kematian, Kaisar
Hsien Feng. "Saya dikawal ke Kota Terlarang oleh jenderal Sheng Pao, yang bukan lagi
tawanan, serta empat ratus tentara berkuda. Kemudian saya membawa dua puluh
orang saja, dan memasuki balairung utama Dewan Upacara untuk menemui rekanan
saya, Lord Elgin." Dari pilihan kata Pangeran Kung aku bisa merasakan
kemarahannya. "Ini adalah kali pertama saya memasuki kembali tanah suci setelah
orang-orang asing menyerbunya. Lord Elgin terlambat tiga jam. Dia datang
diiringi dua ribu orang dengan segala pameran kemegahan, menaiki sebuah tandu
merah tua yang ditandu enam belas orang, tahu bahwa hak khusus ini hanya
diberikan kepada Kaisar Cina. Saya berusaha untuk tetap ramah, meskipun saya
benar-benar muak sampai tak bisa digambarkan. Saya membungkuk sedikit dan
menjabat tangan Elgin dengan cara Cina. Saya berusaha keras dan berhasil menjaga
agar emosi saya tak meledak."
Aku mengagumi kebijakan dalam kata-kata penutupnya, yang ditujukan kepada Su
Shun serta pejabat istana lain: "Kalau kita tak belajar mengendalikan kemarahan
kita dan terus saja melakukan kekerasan, kita akan rentan tertimpa bencana
mendadak. Kita harus menasihati rakyat kita di seluruh negeri untuk bertindak
sesuai dengan traktat dan tak membiarkan orang-orang asing itu untuk melanggar
traktat-traktat tersebut sedikit pun. Di luar, ekspresi kita harus tulus dan
ramah tamah tetapi tak berlebihan. Lalu, dalam beberapa tahun, meskipun pasti
sesekali akan menuntut sesuatu, mereka takkan menyebabkan terlalu banyak
kerusakan pada kita. Waktu sangatlah penting untuk perbaikan negara kita."
Sekali lagi aku merasa bahwa Tung Chih diberkati Langit karena memiliki paman
yang berkepala dingin. Su Shun bisa saja meningkatkan popularitasnya sendiri,
menantang Pangeran Chun dan menyebutnya "budak setan," tetapi apa yang lebih mudah daripada mengejek seseorang" Pekerjaan Pangeran Kung adalah pekerjaan
kotor, tetapi amat penting. Kantornya terletak di bekas sebuah kuil Buddha di
barat laut Peking, sebuah tempat gersang yang kotor dan muram. Beban
pekerjaannya banyak sekali, dan hasil negosiasi-negosiasinya sudah dapat
ditebak. Pastilah itu sangat tak tertahankan.
Jumlah ganti rugi dan perbaikan yang dituntut orang asing sungguh menggelikan,
jauh melebihi segala kerusakan dan biaya militer yang sesungguhnya. Hari-harinya
mustilah jauh lebih buruk daripada hari-hariku.
Saat aku meletakkan surat itu aku begitu letih hingga langsung tertidur. Dalam
mimpiku aku membakar semua tumpukan dokumen di kamarku.
Kelemahankulah bahwa aku selalu merindukan bahu seorang lelaki untuk kusandan.
Aku tahu itu dan berjuang keras untuk melawannya, tetapi perasaan itu tetap saja
muncul. Aku mencari pengalih perhatian dan mengubur diri sendiri dalam
pekerjaan. Kuminta An-te-hai untuk membuatkan teh yang lebih kental dan kukunyah
daunnya setelah airnya kuminum. Akhirnya aku berhasil membersihkan lantai
kamarku dari semua dokumen. Aku tak tahu apakah urusan istana menjadi agak
lamban karena Su Shun tak bisa menyamai kecepatanku, atau apakah dia sudah
mengubah taktik dan berhenti mengirimkan dokumen-itu kepadaku.
Tanpa pekerjaan yang menyita malam-malamku, aku jadi gelisah dan mudah marah.
Ada banyak hal yang sebenarnya bisa kukerjakan - membaca, menulis puisi atau
melukis, tetapi aku tak bisa berkonsentrasi. Aku berbaring di ranjang dan
menatap hampa pada langit-langit. Dalam kegelapan dan kesunyian malam wajah Yung
Lu dan gerak-geriknya saat menunggang kuda muncul di depan mataku, dan aku
bertanya-tanya seperti apa rasanya mengendarai kuda bersamanya.
"Anda ingin punggung Anda digosok, Putri?" bisik An-tehai dalam gelap. Suaranya
menunjukkan bahwa ia telah terbangun sejak tadi.
Aku tak mengatakan apa pun, dan ia ada di sampingku. Ia tahu bahwa aku takkan
izinkan diriku sendiri untuk mengatakan ya. Tapi ia juga tahu bahwa aku tengah
mengalami semacam siksaan tak tertahankan.
Dalam kesunyian, An-te-hai memelukku. Tubuhku terasa nyaman. An-te-hai terus
menggosok. Seperti tengah bermimpi, menenangkan, An-te-hai membisikkan kata-kata dari
sebuah lagu ke telingaku.
Ia datang melalui hutan pohon sepang
Di antara rumpun bambu, terbentang pada perbukitan Sebuah kuil separuh
tersembunyi dalam awan hijau Gerbangnya telah menjadi reruntuhan
Ruang kosong dalam kepalaku makin membesar. Bunga plum menari di udara, bagaikan
bulu. "Aku sangat mencintaimu, Putri." sida-sida itu berbisik, lagi dan lagi.
Mataku melihat Yung Lu. Ia membawaku bersamanya di atas kudanya. Seperti istri
kaum pengembara kuno, aku memeluk pinggangnya di antara dentang panci dan wajan
yang terbanting-banting pada sadel. Kami berdua menempuh perjalanan di tengah
keliaran alam. Tubuhku mulai tenang, seperti samudra setelah badai.
Tanpa menyalakan lilin An-te-hai turun dari ranjang. Segumpal rambut yang basah
terjatuh ke wajahku. Kucicipi keringatku sendiri.
Di dalam cahaya bulan kasimku menyiapkan sebaskom air hangat. Ia memandikanku
dengan lembut, menggunakan sehelai handuk. Dilakukannya itu dengan mulus, seakan
telah melakukannya sepanjang hidupnya.
Aku terhanyut ke dalam tidur yang tenang.[]
Dua puluh satu SEBUAH SALINAN DEKRIT yang ditulis Su Shun kepada Pangeran Kung atas nama Tung
Chih dikirimkan kepadaku. Dekrit itu melarang Pangeran Kung untuk datang ke
Jehol, dan dikeluarkan tanpa distempel dengan segel Nuharoo maupun aku. Di
permukaan, Pangeran Kung telah diberi tugas yang paling terhormat - menjaga Ibu
Kota - tetapi hal paling efektif yang dicapai putusan itu adalah menghindarkan
adanya kontak antara Pangeran Kung dengan kami.
Aku menemui Nuharoo, mengatakan bahwa kami harus tetap berhubungan dengan
Pangeran Kung. Ada keputusan yang tak dapat kami ambil tanpa berkonsultasi dulu
dengannya. Hidup kami terancam, karena Su Shun terang-terangan mengabaikan kami.
Untuk membuktikan bahwa aku benar, kubacakan butir kedua dari dekrit itu kepada
Nuharoo, yang isinya memerintahkan untuk memindahkan beberapa jenderal yang
setia kepada Su Shun dari Peking ke Jehol.
"Apa ini belum cukup mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran Su Shun?" tanyaku
padanya. Nuharoo mengangguk. Mata-matanya melaporkan bahwa Pangeran Kung sudah beberapa
kali mengirim kurir ke Jehol, tetapi tak satu pun berhasil mencapai kami.
Pada pagi yang sama adikku Rong membawakan informasi baru Pangeran Ch'un telah
menerima perintah dari Istana, yang dikeluarkan oleh Su Shun: dia tak lagi
diberi kebebasan untuk mengadakan perjalanan bolak-balik antara Jehol dan
Peking. Itulah sebabnya mengapa dia tak ada di sini bersama istrinya. Pangeran
Ch'un ada di bawah pengawasan ketat Su Shun. Hubungan kami satu-satunya dengan
Pangeran Kung telah diputus.
"Telinga" An-te-hai di Peking melapor bahwa Pangeran Kung tengah sibuk mengatur
sebuah serangan balasan. Tiga hari sebelumnya, dia mengadakan sebuah rapat yang
disamarkan sebagai upacara berkabung bagi Kaisar Hsien Feng. Selain kepala Klan
Kekaisaran, Pangeran Kung juga mengundang beberapa pemimpin militer penting
seperti jenderal Sheng Pao, ksatria Mongol Sengko-lin-chin, dan jenderal Tseng
Kuo-fan, yang kini juga menjabat sebagai raja muda Provinsi Anhwei. Pangeran
Kung juga mengundang duta besar asing dan Prancis, Jerman, Rusia, Italia, dan
Jepang. Robert Hart yang menggagas dan menjadi pelaksana rapat itu. Untuk
beberapa waktu lamanya Hart menjadi penasihat Pangeran Kung dalam masalah
keuangan; kini dia maju selangkah menjadi penasihat tak resmi Kung dalam urusan
politik. "Kupikir kita harus menunggu," kata Nuharoo kepadaku. "Kita harus membiarkan
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kejahatan Su Shun untuk terungkap dengan sendirinya. Kita perlu waktu untuk
membuktikan kepada rakyat bahwa Su Shun tak layak dihormati. Di sisi lain, kita
tak boleh lupa bahwa Kaisar Hsien Fenglah yang menunjuk Su Shun. Situasi bisa
jadi berbalik merugikan kita kalau kita bertindak tanpa dukungan para pejabat
Istana." Aku mencoba menjelaskan kepada Nuharoo bahwa dekrit terakhir ini sangat
membatasi kesempatan Pangeran Kung untuk bertahan. Kalau Pangeran Kung
mengabaikan Su Shun dan datang ke Jehol, dia akan dituduh mengabaikan dekrit,
dan Su Shun akan menangkap mereka begitu sang Pangeran melalui gerbang. Tetapi
kalau Pangeran Kung tetap tinggal di Peking, Su Shun akan memperoleh waktu yang
diperlukannya untuk menguasai seluruh Istana. Sudah jelas dan pasti bahwa dia
akan mencari alasan untuk menuntut kami.
"Kau gila, Putri Yehonala." Nuharoo berkata. "Su Shun tak punya alasan sah untuk
menuntut kita." "Dia bisa mengarang-ngarangnya. Kalau dia bisa mengeluarkan dekrit sendiri, maka
dia takkan ragu untuk menyingkirkan kita bila waktunya telah tiba. Lalu dia akan
mengincar Pangeran Kung."
Nuharoo berdiri. "Aku harus pergi ke peti mati Hsien Feng dan berdoa. Yang Mulia
harus diberi tahu tentang ini agar ruhnya bisa menolong kita dari Surga."
---oOo--- Penjaga malam memukul genderang mereka tiga kali. Sudah pukul tiga pagi.
Kegelapan masih pekat. Berbaring di ranjang, aku berpikir tentang apa yang
dikatakan Nuharoo. Betul, Su Shun memang dipilih oleh suami kami. Hsien Feng
memercayainya. Apakah aku salah karena meragukan Su Shun" Apa akan membantu
kalau kuperlihatkan kesediaanku bekerja sama, tak peduli perbedaan yang ada di
antara kami" Bagaimanapun kami berdua sama-sama orang Manchu.
Bukankah kami mencoba untuk menyangga langit yang sama"
Aku tak berhasil meyakinkan diriku sendiri. Nuharoo dan aku adalah Wali Tung
Chih yang ditunjuk oleh Kaisar Hsien Feng. Tetapi Su Shun menganggap kami tak
lebih dari pejabat boneka. Kami tak punya suara dalam segala putusan dan dekrit
yang dikeluarkan. Beberapa hari sebelumnya, Su Shun bahkan menolak untuk
memperbaiki sebuah draft yang telah kami berikan izin untuk dikeluarkan setelah
beberapa perubahan kecil. Perintah serta permintaan dari kami dalam suara Tung
Chih harus melalui hierarki Istana dan kembali lagi tanpa jawaban, sementara
semua kata-kata Su Shun segera dilaksanakan.
Nuharoo mengusulkan agar kami mengajukan satu tawaran terakhir untuk membereskan
segala sesuatu dengan Su Shun. Aku setuju.
Keesokan paginya, mengenakan jubah resmi kami, Nuharoo dan aku memanggil Su Shun
untuk beraudiensi atas nama sang Kaisar Muda. Kami pergi ke balairung tempat
peti mati Hsien Feng tersimpan di belakang panel. Selagi menunggu, Tung Chih
memanjat naik ke atas peti mati dan berbaring menelungkup.
Aku mengawasi anakku sementara dia mengetuk peti. Dia berbisik kepada ayahnya
tentang kawan barunya, si kelinci mata merah. Diundangnya ayahnya untuk keluar
dan melihat. "Akan aku pegangkan tutup petinya, Pa."
"Jelaskan mengapa dekrit ke Pangeran Kung dikirimkan tanpa cap segel kami,"
tuntut Nuharoo saat Su Shun muncul.
Su Shun berdiri dengan angkuh dalam jubah satin coklat panjang dengan garisgaris emas di bagian bawah, dia mengenakan topi yang dihiasi kancing merah serta
sehelai bulu merak yang semarak. Dicopotnya topi itu dan dipegangnya dalam
tangan. Kepalanya baru saja dicukur lagi dan kepangnya diberi minyak.
Dagunya terdongak demikian tinggi hingga dia sebenarnya nyaris menatap langitlangit. Ditatapnya kami dengan mata separuh terbuka.
"Istana punya hak untuk mengeluarkan dokumen yang sangat mendesak tanpa dibubuhi
segel Anda berdua." "Tetapi itu melanggar kesepakatan kita," kataku, mencoba untuk mengendalikan
amarah. "Sebagai Wali Kaisar Muda," Nuharoo mengekor, "kami menentang isi dekrit
terakhir. Pangeran Kung punya hak untuk datang ke Jehol guna berkabung untuk
abangnya." "Kami ingin Pangeran Kung medapatkan apa yang diinginkannya," tekanku.
"Baik!" Su Shun mengentakkan kaki. "Kalau kalian menginginkan pekerjaanku, ambil! Aku tak mau bekerja sampai kalian belajar untuk
tidak menganggap enteng kebaikanku!"
Dia membungkuk asal-asalan lalu keluar. Di pekarangan dalam, seluruh anggota
Dewannya, yang tak kami undang, menyambut Su Shun.
Dokumen-dokumen menumpuk, membentuk tembok di kamarku. Semua menuntut perhatian segera. Nuharoo menyesal kami telah menantang
Su Shun. Kucoba untuk tidak panik. Aku mempelajari dokumen-dokumen itu seperti yang dulu
kulakukan bersama Hsien Feng. Aku harus membuktikan kepada Su Shun bahwa aku
sama mampu dengan dirinya untuk mengerjakan ini semua. Aku butuh mendapatkan
rasa hormat itu, bukan dari Su Shun, melainkan dari lingkaran pejabat Istana.
Begitu aku mulai bekerja, aku menyadari bahwa tugas ini lebih berat daripada
yang bisa kutangani. Su Shun telah menjebakku.
Banyak dari kasus yang dilaporkan ternyata mustahil untuk dipecahkan. Terkait
banyak hal, akan sangat tidak bertanggung jawab untuk
menjatuhkan keputusan; hanya akan menghasilkan ketidakadilan serta sakit hati yang tak perlu. Aku kekurangan informasi yang
diperlukan dan dihalangi mendapatkannya. Dalam satu kasus, seorang gubernur
regional dituduh terlibat dalam penggelapan dan lebih dari selusin pembunuhan.
Aku harus mengumpulkan bukti, dan memerintahkan penyelidikan, tetapi tak pernah
menerima laporan. Berminggu-minggu kemudian barulah aku tahu bahwa perintahku
tak pernah dilaksanakan. Kupanggil Su Shun dan menuntut penjelasan. Dia menolak untuk bertanggungjawab,
mengatakan bahwa bukan dia yang bertugas. Dianjurkannya aku untuk ke Kementerian
Hukum. Ketika aku menanyai menteri kepala, dia mengaku tak pernah menerima
perintah itu. Surat-surat dari seluruh negeri mulai mengeluh tentang lambatnya pekerjaan
Istana. Jelas bahwa Su Shun telah menanamkan benih di dalam pikiran semua orang
bahwa akulah yang memperlambat semuanya. Desas-desus itu menyebar laksana
penyakit menular. Aku tak begitu yakin sejauh mana hal-hal buruk itu sudah
terjadi hingga suatu hari aku menerima sepucuk surat terbuka dari walikota
sebuah kota kecil yang mempertanyakan latar belakang serta keabsahanku. Tak
mungkin orang itu berani mengirim surat macam itu kalau tidak didukung oleh
seseorang seperti Su Shun.
Selagi aku mondar-mandir di ruanganku yang dipenuhi dokumen, An-te-hai kembali
dan mengajak Tung Chih mengunjungi adikku. An-te-hai begitu gugupnya hingga dia
tergagap. "Seluruh K-Kota J-Jehol meng-g-gosip t-tentang c-cerit-t-ta hantu.
Mereka p-percaya b-bahwa Anda adalah j-jelmaan seorang selir j-ja-jahat yang
hadir d-di sini untuk menghancurkan Kekaisaran. Pembicaraan t-tentang mendukung
tindakan Su Shun untuk melawan Anda t-terdengar d-di mana-mana."
Sadar bahwa aku tak dapat menunggu lebih lama lagi, aku pergi menemui Nuharoo.
"Tetapi kita harus berbuat apa?" tanya Nuharoo.
"Keluarkan dekrit darurat atas nama Tung Chih, memanggil Pangeran Kung ke
Jehol," sahutku. "Apakah itu sah?" Nuharoo menjadi gugup. "Biasanya Su Shun yang membuat draf
perintah dan mempersiapkan putusan."
"Dengan segel kita berdua, dekrit ini akan sah."
"Bagaimana caranya menyampaikan dekrit itu kepada Pangeran Kung?"
"Kita harus mencari jalan."
"Dengan anjing penjaga Su Shun di mana-mana, tak ada yang bisa keluar dari
Jehol." "Kita musti memilih seorang yang bisa dipercaya untuk melaksanakan misi ini,"
kataku, "dan dia harus bersedia mati untuk kita."
---oOo--- An-te-hai meminta kehormatan itu. Sebagai gantinya, dia ingin aku berjanji bahwa
dia akan diizinkan melayaniku seumur hidup. Aku berjanji. Aku tekankan kepadanya
bahwa kalau dia tertangkap oleh Su Shun maka dia harus menelan dekrit itu dan
melakukan apa saja untuk menghindar melakukan pengakuan.
Dengan Nuharoo di sampingku, aku merencanakan setiap detail dan rencana pelarian
An-te-hai. Langkah pertamaku adalah menyuruh An-te-hai menyebarkan desas-desus
di lingkaran orang kepercayaan Su Shun. Target kami seseorang bernama Liu Jenshou, tukang gosip yang terkenal. Cerita yang kami sebarkan adalah bahwa kami
telah kehilangan segel yang paling penting dan semuanya, segel Hsien Feng, yang
kami sembunyikan baik-baik. Kami membuat kesan seolah kami telah menutup-nutupi
hal ini karena hukuman dari kehilangan segel adalah hukuman mati. Kami mengarang
tiga kemungkinan sekitar keberadaan segel itu. Satu, segel itu hilang dalam
perjalanan dari Peking ke Jehol; dua, kami meletakkannya di tempat yang salah,
entah di mana di Istana Kemurnian Agung di Kota Terlarang; tiga, kami telah
meninggalkannya di salah satu kotak perhiasanku di Yuan Ming Yuan, yang artinya
pasti telah dicuri oleh orang-orang barbar.
Desas desus yang kami buat juga menyebutkan bahwa Kaisar Hsien Feng tahu bahwa
segel itu telah hilang sebelum dia meninggal, dan dia terlalu lembut hati, tak
tega menghukum kami. Guna melindungi kami berdua Yang Mulia tidak mengatakan
apa-apa tentang kehilangan itu pada Su Shun.
Seperti yang kami harapkan, Liu Jen-shou langsung menyampaikan hal itu kepada Su
Shun. Cerita itu masuk akal untuk Su Shun, karena tak seorang pun ingat telah
melihat segel itu sejak meninggalkan Peking.
Su Shun tak menunggu untuk segera mengambil tindakan. Dia langsung meminta
audiensi dengan kami, yang dihadiri seluruh pejabat Istana. Su Shun menyatakan
bahwa dia baru saja selesai membuat draf sebuah dekrit baru yang ditujukan
kepada seluruh rakyat tentang pemindahan peti mati, dan dia memerlukan segel
Hsien Feng. Berpura-pura gugup, aku mengambil sapu tanganku dan mengusap kening. "Segel
ganda kami sama kuatnya dengan satu segel Hsien Feng," kataku dengan suara
kecil. Jelas, Su Shun sangat girang. Garis-garis di wajahnya bagai menari, nadinya
menonjol karena semangat. "Di mana segel Hsien Feng?" desaknya.
Dengan alasan aku mendadak merasa tak enak badan, Nuharoo dan aku meminta agar
audiensi diakhiri. Su Shun terus mendesak. Dia terus mengejarku hingga akhirnya aku mengaku bahwa
An-te-hai telah menghilangkan segel itu.
An-te-hai ditangkap dan diseret keluar oleh para pengawal, sementara dia
berteriak memohon ampun. Dia dibawa ke luar untuk dihukum - seratus cambukan.
Aku takut An-te-hai takkan bisa menahankan penderitaan itu.
Untungnya, ternyata kasim itu masih ditakdirkan hidup - dia benar-benar punya
teman di mana-mana. Belakangan, saat dia dibawa masuk oleh para pengawal Su
Shun, jubahnya tercabik-cabik dan lengket oleh darah.
Aku sadar Su Shun tengah mengamatiku, maka aku tidak saja menampilkan diriku
tampak tak tersentuh, tetapi juga berkata dengan suara dingin, "Sida-sida itu
pantas menerimanya."
Air diguyurkan ke wajah An-te-hai dan dia pun siuman. Di hadapan hadirin Nuharoo
dan aku memerintahkan agar An-te-hai dilemparkan ke penjara Kekaisaran di
Peking. Su Shun tak mau membiarkan An-te-hai lepas dari pengawasannya, tetapi Nuharoo
dan aku bersikeras untuk membebaskan diri dari makhluk yang tak tahu terima
kasih ini. Ketika Su Shun memprotes, kami mendebat bahwa kami punya hak untuk
menghukum kasim dalam rumah tangga kami sendiri, tanpa pembatasan. Lantas kami
pergi ke bagian belakang Balairung, ke tempat peti mati Hsien Feng, dan menangis
keras-keras. Ditekan oleh para tetua senior agar membiarkan saja kami berdua, Su Shun
mengalah. Tetapi dia berkeras agar orang-orangnya mengawal An-te-hai ke Peking.
Kami setuju, dan pergilah An-te-hai. Tersembunyi di antara lapisan-lapisan
sepatu An-te-hai adalah dekrit yang kutulis.
Di Peking, orang-orang Su Shun menyerahkan An-te-hai kepada menteri Hukum
Kekaisaran, Pao Yun, beserta dengan pesan rahasia Su Shun - aku tahu ini
belakangan - bahwa An-te-hai harus dipukuli sampai mati. Tanpa menyadari situasi,
Pao Yun bersiap untuk melaksanakan perintah Su Shun. Tetapi sebelum cemeti
bekerja, Ante-hai meminta waktu sebentar bersama sang menteri.
An-te-hai mengeluarkan dekritku dari tempat persembunyiannya. Pao Yun terpana. Tanpa menunda lagi dia langsung mengontak Pangeran Kung.
Setelah membaca dekritku, Pangeran Kung mengumpulkan semua penasihatnya. Mereka
mendengarkan laporan An-te-hai tentang situasi di Jehol dan mendiskusikan
tentang apa yang harus dilakukan hingga jauh malam. Kesimpulannya bulat: Su Shun
harus disingkirkan. Pangeran Kung tahu bahwa kalau dia ragu sedikit saja dalam menolong Nuharoo dan
aku, maka kekuasaan bisa dengan cepat jatuh ke tangan Su Shun. Kalau sudah
begitu tak ada lagi yang dapat dilakukan, karena dia dan Pangeran Ch'un telah
dikeluarkan dari wasiat Kaisar Hsien Feng.
Langkah pertama yang diambil Pangeran Kung adalah memilih seseorang untuk
menyampaikan idenya ke dewan Istana dengan cara yang paling logis dan paling
legal. Kung berpaling pada kepala personalia Kekaisaran. Dimintanya pria itu
untuk membuat proposal permohonan agar aku dan Nuharoo diangkat menjadi Wali
eksekutif - wali tunggal - dan Tung Chih, menggantikan Su Shun, dan kami akan
menjalankan tugas pemerintahan bersama Pangeran Kung.
Setelah proposal itu selesai, seorang pejabat lokal setempat dipilih untuk
menyampaikannya. Maksudnya untuk menciptakan kesan bahwa ide itu datang dari
kalangan akar rumput, yang akan membuat Su Shun sulit menyingkirkannya tanpa
membahasnya terlebih dulu.
Dengan cara ini, proposal tersebut akan menempuh jalan berkeliling dan dibaca
oleh semua gubernur di Cina sebelum mencapai tujuan akhirnya, kantor Su Shun.
---oOo--- Tanggal 25 September, terbungkus dari kepala sampai kaki dengan kain katun putih
dukacita, Pangeran Kung tiba di Jehol. Dia langsung menuju ke ruangan peti
jenazah. Di sana dia dihalangi pengawal dan disuruh menunggu hingga Su Shun
datang. Saat Su Shun muncul - ini dilaporkan kepadaku kemudian - di belakangnya
berdiri seluruh Gerombolan Delapan.
Sebelum Pangeran Kung punya kesempatan untuk membuka mulut, Su Shun sudah
memerintahkan agar dia ditangkap.
Tuduhannya, melanggar dekrit.
"Aku di sini karena ada dekrit baru yang memanggilku," jelas Pangeran Kung
dengan tenang. "Benarkah" Perlihatkan, kalau begitu." Su Shun tersenyum menghina.
"Tanpa kami tulis lebih dulu, bagaimana mungkin ada dekrit?"
salah seorang anggota gerombolan itu berkata.
Dari saku dalamnya Pangeran Kung mengambil dekrit yang diantarkan An-te-hai.
Gulungan kecil sutra kuning dengan dua segel milik Nuharoo dan aku itu
menggusarkan Su Shun dan orang-orangnya. Mereka semua diam-diam pasti mengajukan
satu pertanyaan: bagaimana dekrit itu bisa keluar"
Tanpa mengucapkan sepatah kata Pangeran Kung merangsek ke antara Gerombolan
Delapan dan menderap masuk.
Saat melihat peti jenazah, Pangeran Kung kehilangan ketenangannya. Dia
membenturkan kepalanya ke lantai dan menangis seperti anak kecil. Tak ada yang
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah melihat siapa pun yang hatinya sehancur itu di hadapan mendiang Kaisar.
Kung meratap, mengeluhkan bahwa dia tak mengerti mengapa Hsien Feng tak
memberinya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.
Air mata berlinang-linang di pipinya. Mestinya dia berharap bahwa kakaknya bisa
melihat kesalahan yang telah diperbuatnya.
Pangeran Kung tahu sesuatu yang tak diketahui Nuharoo dan aku, yaitu bahwa Su
Shun sudah gagal satu kali dalam usahanya mendepak Tung Chih pada hari
penobatannya. Penasihat Agung telah mengirim Chiao Yu-yin, salah seorang anggota
Gerombolan Delapan, untuk menghubungi jenderal Sheng Pao dan jenderal Tseng Kuofan untuk meminta dukungan militer. Ketika secara tak sengaja Chiao membocorkan
informasi ini, Su Shun mengingkari semuanya dan diam-diam membatalkan rencana
itu. Aku membedaki wajahku lantas mengenakan gaun berkabung.
Aku melihat bahwa wajah Nuharoo sembab. Kulitnya yang biasanya bercahaya kini
menjadi kusam, pucat. Air mata telah memahatkan dua garis yang berkelok-kelok di
bawah matanya. Kami sudah siap untuk menemui Pangeran Kung, tetapi mendengar bahwa dia ternyata
tak bisa melewati Kepala Kasim Shim, yang mengatakan bahwa menurut peraturan
rumahtangga Kekaisaran tidak pantas bagi janda Kaisar untuk terlihat oleh
seorang Pangeran yang sebaya selama masa berkabung.
Pangeran Kung berlutut di lantai dan memohon pada Su Shun agar diperkenankan
menemui keponakannya, Tung Chih.
Aku menyarankan kepada Nuharoo supaya kami masuk ke ruang peti jenazah. Kami
mendandani Tung Chih dan pergi ke situ. Di belakang sebuah panel dinding kami
bisa mendengar suara Su Shun dan Pangeran Kung. Su Shun berkeras bahwa dia
bertindak untuk kepentingan Kaisar Hsien Feng.
Pangeran yang tengah kesal itu memaki. "Orang yang mengira dirinya memiliki
angin di belakangnya dan cahaya bulan di lengan bajunya tak lain hanya wayang
golek lapuk dimakan rayap!"
Aku khawatir tentang emosi Pangeran Kung. Bila dia membuat Su Shun lebih marah
lagi, Su Shun bisa menuntutnya telah mengganggu pelaksanaan wasiat Kekaisaran.
"Ini soal hakku sedari lahir, Su Shun!" teriak Pangeran Kung.
Su Shun tertawa. Dia tahu superioritas yang dimilikinya dan memanfaatkannya.
"Tidak, ini bukan tentang hakmu, Pangeran Kung.
Ini soal pengesahan siapa yang paling berkuasa. Wasiat Kaisar Hsien Feng memberi
kesan kepada seluruh bangsa bahwa kau adalah ayam betina lemah yang menghasilkan
telur bercangkang lembek. Aku tak tahu apa yang kurang pada dirimu, tetapi
cacatnya jelas." Para pejabat itu tertawa bersama Su Shun. Beberapa tetua klan mengentakkan kaki
ke lantai. "Bayangkan telur bercangkang lembek," Su Shun meneruskan.
"Kuning telur terbungkus dalam cangkang setipis kertas. Oh, telurnya bocor! Tak
bisa dijual dan tak bisa disimpan. Kita harus memakannya sebagai anggota
keluarga." Gemuruh tawa meledak hingga ke langit-langit.
"Su Shun." Suara Pangeran Kung rendah, berbahaya. "Aku tak meminta banyak. Dan
aku meminta untuk terakhir kalinya. Aku ingin bertemu dengan kakak-kakak ipar
serta keponakanku." "Kau takkan melewati pintu itu."
Aku merasakan bahwa kesabaran Pangeran Kung sudah hampir habis. Aku membayangkan
dia mendorong Su Shun. Kusambar Tung Chih dan berbisik di telinganya.
"Kaisar mengundang pamannya ... " anakku mengulangi apa yang kusuruh: "Kaisar
mengundang pamannya, Pangeran Kung, untuk memasuki
ruang peti jenazah Kekaisaran. Kaisar juga memperkenankan Pangeran Kung untuk menyampaikan hormat kepada kedua Ibu Suri."
Saat mendengar suara Tung Chih, Li Lien-ying, kasimku yang muda, lari keluar.
Dia melemparkan diri ke lantai di antara Pangeran Kung dan Su Shun. "Penasihat
Agung yang terhormat, Yang Mulia Kaisar Tung Chih memanggil Pangeran Kung!"
"Apakah ada salah satu dari para penasihat agung yang bersedia menemaniku
bertemu Yang Mulia Kaisar serta kedua Ibu Suri?"
Pangeran Kung berpaling kepada Su Shun. "Agar kau bisa memastikan bahwa semua
hal yang kami katakan atau lakukan itu pantas?"
Sebelum Su Shun bisa menjawab, Pangeran Yee, yang agaknya merasa bahwa sudah
tiba waktunya baginya untuk bicara, berkata,
"Silakan, Pangeran Kung, Andalah yang dipanggil Kaisar Tung Chih."
---oOo--- Kami kehilangan kata-kata saat melihat jubah putih masing-masing.
Tung Chih melompat menubruk pamannya, yang pada gilirannya berlutut dan
melakukan kowtow. Melihat mereka berdua di lantai seperti itu, aku dan Nuharoo
menangis tanpa ditahan-tahan.
"Di sini tidak tenang," akhirnya Nuharoo berkata. "Kami takut-"
Aku menghentikannya bicara lebih lanjut. Aku memberi isyarat bahwa Su Shun dan
orang-orangnya tengah mendengarkan di balik dinding.
Nuharoo mengangguk, lalu kembali duduk di kursinya.
"Panggilkan para rahib," kataku pada Li Lien-ying.
Disamarkan dengan wirid para rahib, Pangeran Kung dan aku saling bertukar
informasi serta mendiskusikan rencana ke depan. Kami merencanakan serangan
balasan kepada Su Shun sementara Nuharoo pergi untuk menghibur Tung Chih agar
tak bosan. Aku terkejut ketika Pangeran Kung mengatakan bahwa Su Shun sudah
menyogok militer. Kami berdua setuju bahwa orang ini harus disingkirkan.
Pertanyaanku adalah: kalau kami menangkap Su Shun, apakah kami akan memperoleh
dukungan bangsa" Apakah orang-orang asing itu akan mengambil keuntungan dan
kekacauan yang akan terjadi, lalu melancarkan serangan"
Pangeran Kung merasa yakin akan menerima bantuan serta dukungan yang diperlukan,
apalagi kalau rakyat bisa mendapat cerita yang sesungguhnya. Sementara untuk
kekuatan Barat, selama ini Kung terus membina hubungan dengan mereka, dan
membiarkan mereka tahu bahwa dia memiliki pandangan tentang masyarakat Cina yang
lebih bebas di masa depan. Ini memastikan janji dukungan dan mereka.
Kutanyakan pendapat Pangeran Kung tentang para pemberontak Taiping. Aku yakin
bahwa mereka akan dengan mudah menjadi ancaman yang serius bila kami tak terus
waspada. Kukatakan kepadanya bahwa menurut laporan An-te-hai saja kaum Taiping
telah bergabung dengan para perusuh lokal dan mendesak maju hingga ke provinsi
Shantung. Menurut Pangeran Kung, jenderal Sheng Pao dan Tseng Kuo-fan sudah mengatur
rencana untuk mengurus persoalan itu.
Seberapa besar komitmen jenderal-jenderal, aku ingin tahu. Aku tak berani
mengasumsikan bahwa setiap orang akan bersikap seperti yang diharapkan. Aku tahu
betapa besarnya kekuatan sogokan Su Shun.
"Sheng Pao sudah siap," jawab Pangeran Kung. "Dia meminta untuk bekerja dengan
pasukan Mongol Seng-ko-lin-chin. Aku mengizinkannya.
Seng-ko-lin-chin sangat ingin membuktikan kesetiaannya serta memulihkan namanya, dan ini adalah kesempatan bagus untuknya.
Aku tak begitu yakin dengan orang-orang Cina itu: Jenderal Tseng Kuo-fan dan
Jenderal Chou Tsung-tang melihat konflik kita dengan Su Shun sebagai cekcok
antara para bangsawan Manchu.
Mereka yakin lebih bijak bagi mereka untuk tak ikut-ikut. Mereka memilih
menunggu hingga ada pemenang yang keluar."
"Aku tak suka orang-orang yang hanya ikut ke mana arah angin bertiup," kata
Nuharoo. Aku tak tahu dia sudah kembali masuk ke ruangan. "Yang Mulia benar soal
jangan memercayai orang Cina!"
"Untuk Tseng Kuo-fan dan Chou Tsung-tang situasinya Barangkali lebih rumit,"
kataku. "Kita harus sabar dan penuh pengertian. Kalau aku jadi para jenderal itu
pun aku akan berbuat seperti mereka. Betapapun, kekuasan Su Shun tak bisa
disangkal, dan menantang dia berarti mengambil risiko kehilangan nyawa. Kita
sedang meminta orang untuk memunggungi Su Shun, jadi kita harus memberikan
waktu kepada jenderal-jenderal itu untuk mempertimbangkan segalanya."
Pangeran Kung setuju. "Tseng dan Chou memimpin pertempuran melawan kaum Taiping.
Meskipun mereka tak menunjukkan dukungan pada kita, mereka juga belum
menjanjikan apa pun pada Su Shun."
"Kalau begitu kita akan menunggu," kata Nuharoo. "Aku hanya tak merasa nyaman
kendali militer kita ada di tangan bangsa Cina.
Kalau kita sudah berhasil memulihkan keadaan, kita harus menyingkirkan mereka,
atau setidaknya menjauhkan mereka dari posisi tertinggi."
Aku tak setuju, tetapi diam saja. Sebagai seorang Manchu tentu saja aku merasa
lebih aman bila posisi puncak dalam militer dipegang oleh bangsa Manchu. Tetapi
hanya sedikit orang yang benar-benar berbakat di antara para pangeran dan tetua
klan. Setelah berkuasa selama dua ratus tahun, kami telah merosot hingga ke
taraf dekadensi. Para bangsawan Manchu menghabiskan waktu mengagung-agungkan kejayaan masa silam. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa
mereka berhak atas kehormatan itu. Untungnya selama ini orang-orang Cina bisa
menerimanya. Bangsa Cina menghormati leluhur kami dan menghargai kami dengan
restu mereka. Pertanyaannya, sampai berapa lama"
"Aku akan pergi malam ini," kata Pangeran Kung, "meskipun kukatakan kepada Su
Shun bahwa aku akan menginap sampai besok."
"Siapa yang akan ada di sini untuk melindungi kami saat peti jenazah dipindahkan
dan Jehol ke Peking?" tanya Nuharoo.
Merendahkan suaranya, Pangeran Kung berkata, "Aku akan memimpin. Tugas kalian
hanyalah bertingkah senormal mungkin.
Jangan khawatir. Pangeran Ch'un akan selalu ada dekat kalian."
Pangeran Kung memperingatkan kami agar bersiap menerima kemarahan Su Shun. Kung
ingin kami bersiap menerima sebuah dokumen yang dikirimkan seorang inspektur
kehakiman provinsi bernama Tung Yen-ts'un. Dokumen itu akan mengumumkan
kesalahan-kesalahan Su Shun serta menyebut aku dan Nuharoo sebagai "pilihan
rakyat." Pangeran Kung mengingatkan bahwa begitu Su Shun memperoleh dokumen Tung
itu, isi surat akan sudah diketahui oleh pejabat pemerintahan di seluruh negeri.
Dia tak menyebutkan detailnya. Aku bisa menduga bahwa dia takut Nuharoo takkan
bisa menyimpan rahasia, kalau-kalau Su Shun tahu-tahu bertanya. Kami pun
berpisah. Sebelum makan malam Nuharoo datang ke ruang tinggalku bersama Tung Chih. Dia
merasa tak aman, ingin tahu kalau-kalau aku melihat sesuatu yang tak biasa. Aku
sadar bahwa kunjungan Pangeran Kung sudah membuat Su Shun waspada. Lebih banyak
pengawal ditempatkan di pekarangan luar sebelum gerbang dikunci malam ini.
Kukatakan kepada Nuharoo untuk berjalan-jalan ke luar dan mencium wanginya daun
laurel di taman, atau mengunjungi sumber air panas.
Nuharoo berkata dia tak berminat melakukan keduanya. Untuk menenangkan Tung Chih
aku mengambil sulaman dan meminta Nuharoo menjelaskan beberapa hal mengenai
desainnya. Kami menjahit dan mengobrol sampai Tung Chih tertidur.
Aku berdoa bagi keselamatan Pangeran Kung. Setelah kutempatkan Nuharoo dan Tung
Chih di kamar tamuku untuk tidur, aku naik ke tempat tidurku sendiri. Mataku
takut untuk dikatupkan. Beberapa hari kemudian dokumen Tung Yen-ts'un tiba. Su Shun mengamuk. Nuharoo
dan aku membacanya setelah Su Shun dengan enggan memberikannya kepada kami.
Diam-diam kami merasa senang.
Keesokan harinya orang-orang Su Shun melancarkan serangan balasan. Contoh-contoh
sejarah digunakan untuk meyakinkan Istana bahwa aku dan Nuharoo harus segera
dipensiunkan dari perwalian.
Pada audiensi, orang-orang Su Shun bicara satu demi satu, mencoba untuk menakutnakuti kami. Mereka menjelek-jelekkan Pangeran Kung, menuduh Tung Yen-ts'un
tidak setia dan menyebutnya boneka.
"Kita musti memotong tangan yang menarik senarnya itu!"
Pangeran Kung memintaku untuk tetap diam, tetapi gambaran negatif Su Shun
tentang diri sang pangeran membawa pengaruh di kalangan dewan Istana. Akan fatal
jadinya bila membiarkan Su Shun berpanjang lebar mengenai kenyataan bahwa Kaisar
Hsien Feng telah mengeluarkan Pangeran Kung dari wasiatnya. Orang sangat ingin
tahu alasannya, dan Su Shun mencekoki mereka dengan penafsirannya sendiri.
Dengan izin Nuharoo, aku mengingatkan hadirin bahwa Su Shun tentu sudah akan
menghentikan Kaisar Hsien Feng menyebutkan nama Tung Chih sebagai pewaris takhta
andaikata aku tak mendekati ranjang kematian Yang Mulia. Su Shun bertanggung
jawab atas hubungan tegang antara Kaisar Hsien Feng dan Pangeran Kung. Kami
punya alasan yang sangat kuat bahwa Su Shun telah memanipulasi Kaisar Hsien Feng
pada hari-hari terakhirnya.
Mendengar kata-kataku itu Su Shun melompat dari kursinya, meninju tiang terdekat
dan mematahkan kipas yang tengah dipegangnya. "Aku berharap Kaisar Hsien Feng
mengubur Anda bersama dengannya!" teriaknya kepadaku. "Anda telah menipu dewan
serta memanfaatkan kebaikan dan kelemahan Ibu Suri Nuharoo. Aku sudah berjanji
pada mendiang Yang Mulia untuk menjalankan keadilan. Aku akan meminta dukungan
kepada Gusti Ratu Ibu Suri Nuharoo." Pria itu berpaling kepada Nuharoo. "Apakah
Anda, Ibu Suri Nuharoo, benar-benar mengenal wanita yang duduk di sebelah Anda
ini" Apakah Anda percaya bahwa dia akan puas hanya berbagi kekuasaan sebagai
Wali dengan Anda" Bukankah dia akan lebih senang bila Anda tidak ada" Lindungi
diri Anda sendiri dari perempuan licik ini sebelum dia menaruh racun dalam sup
Anda!" Tung Chih ketakutan. Dia memohon kepadaku dan Nuharoo untuk segera pergi. Saat
kukatakan tidak, dia mengompol.
Melihat air seni yang menetes dari singgasana, Nuharoo bergegas mendekati Tung
Chih. Para kasim buru-buru datang membawa handuk.
Seorang tetua klan bangkit dan mulai bicara tentang persatuan keluarga serta
kerukunan. Tung Chih berteriak dan memekik ketika para kasim mencoba mengganti jubahnya.
Nuharoo menangis, memohon agar diperbolehkan pergi bersama Tung Chih.
Para tetua klan menyarankan agar kami membatalkan audiensi.
Su Shun menolak. Tanpa diskusi lebih lanjut, dia mengumumkan bahwa Dewan Wali
akan memasuki masa reses kecuali bila Nuharoo dan aku membuang proposal Tung
Yen-ts'un. Aku memutuskan mundur. Tanpa Pangeran Kung, aku bukan tandingan Su Shun. Aku
perlu waktu untuk memantapkan hubunganku dengan Nuharoo, tetapi aku ngeri pada
penundaan yang bisa terjadi lagi. Jenazah Hsien Feng sudah terlantar begitu lama
lebih dari sebulan. Meskipun disegel dengan baik, tetap saja petinya menyebarkan
bau busuk. Su Shun dan gerombolannya senang sekali. Dia mencoret proposal Tung Yen-ts'un
dan membuat kami terpaksa setuju untuk mencapkan segel kami pada sebuah maklumat
yang dibuatnya tentang tuntutan kepada Tung Yen-ts'un.
---oOo--- Tanggal 9 Oktober 1861 sebuah audiensi untuk semua menteri dan bangsawan di
Jehol diadakan di Balairung Kabut yang Menakjubkan.
Nuharoo dan aku duduk di sisi kanan-kiri Tung Chih. Malam sebelumnya kami berdua
sudah bicara. Aku menyarankan agar Nuharoo yang memimpin kali ini. Dia mau,
tetapi kesulitan menemukan kata-kata yang harus diucapkan. Kami berlatih hingga
dia siap. "Membahas tentang pemindahan jenazah kaisar ke tempat kelahirannya," Nuharoo
memulai, "sudah sejauh mana persiapan kita"
Dan bagaimana tentang upacara perpisahan dengan ruh mendiang Yang Mulia?"
Su Shun maju. "Semua sudah siap, Yang Mulia. Kami menunggu Kaisar Muda Tung Chih
untuk memasuki ruang peti jenazah untuk melakukan pembukaan upacara, dan setelah
itu seluruh Istana siap untuk meninggalkan Jehol."
Nuharoo mengangguk, melirikku meminta diyakinkan. "Kalian semua telah bekerja
keras sejak kematian suamiku, terutama Dewan Wali. Kami menyesal bahwa Tung Chih
masih berada dalam usia rawan, dan bahwa Yehonala dan aku dikuasai kesedihan.
Kami meminta maaf dan kemakluman Anda semua sekiranya kami berdua belum bisa
melaksanakan tugas kami dengan baik."
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nuharoo berpaling padaku dan aku mengangguk.
"Beberapa hari yang lalu," Nuharoo melanjutkan, "ada sedikit kesalahpahaman
antara Dewan Wali dan kami. Kami menyesal itu harus terjadi. Kita mempunyai niat
baik yang sama, hanya itulah seharusnya yang paling penting. Mari kita lanjutkan
untuk mengawal peti jenazah Kaisar kembali dengan selamat ke Peking. Apabila
tugas itu telah selesai, Kaisar Muda akan menganugerahkan ganjaran. Dan
sekarang, Ibu Suri Yehonala."
Aku tahu bahwa aku harus mengejutkan dewan Istana. "Aku menginginkan laporan
terbaru tentang pengaturan keamanan perjalanan ini. Su Shun?"
Segan hati, namun terikat oleh formalitas, Su Shun menyahut,
"Seluruh prosesi Kekaisaran akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
disebut Barisan Kebahagiaan. Kami telah mengatur agar Kaisar Tung Chih serta
kedua Ibu Suri untuk mengambil tempat di barisan ini, untuk merayakan naiknya
Kaisar Tung Chih menjadi pemimpin yang baru. Keamanan berupa lima puluh ribu
personel prajurit pengembara yang dipimpin Pangeran Yee, dan diikuti oleh dua
divisi lain. Satu terdiri dari tujuh ribu orang, yang dikirimkan dari area
sekitar Jehol, dan akan bertanggung jawab terhadap keamanan Junjungan muda.
Divisi yang lain terdiri dari tiga ribu Pengawal Kekaisaran yang dipimpin oleh
Yung Lu. Tugas mereka adalah menampilkan parade upacara. Aku sendiri yang akan
memimpin prosesi ini, dengan empat ribu orang pengikut."
"Bagus sekali." Nuharoo terkesan.
"Teruskan menjelaskan bagian-bagiannya," aku memerintahkan.
"Kami menamai bagian yang kedua dengan Barisan Kesedihan," Su Shun melanjutkan.
"Peti jenazah Kaisar Hsien Feng akan berada di bagian ini. Sepuluh ribu orang
berkuda telah dikirim dari provinsi-provinsi Sungai Amur, Chihli, Shenking dan
Hsian. Semua Gubernur provinsi telah diberitahu untuk menerima prosesi selama
perjalanan. Jenderal Sheng Pao sudah dipanggil untuk mengamankan daerah yang kami anggap tak
aman, seperti Kiangsi dan Miyun."
Aku menangkap satu masalah. Bagaimana mungkin orang-orang Pangeran Kung bisa
menyerang bila Su Shun dapat dengan mudah menahan Tung Chih dan kami berdua
sebagai sandera" Kalau sesuatu menimbulkan kecurigaan Su Shun, dia akan punya
kesempatan untuk mencelakai kami. Bagaimana aku tahu bahwa "kecelakaan" semacam
itu tidak sedang direncanakan"
Jantungku memukul keras dalam dadaku ketika aku bicara lagi.
"Pengaturan Penasihat Agung terdengar sangat bagus. Aku hanya punya satu
kekhawatiran. Apakah Barisan Kebahagiaan akan diiringi dengan bendera warnawarni, petasan, dan kembang api, penari serta musik yang nyaring?"
"Ya." "Sedangkan Barisan Kesedihan sebaliknya?"
"Betul." "Kalau begitu ruh Kaisar Hsien Feng akan terganggu oleh suara terompet,"
ujarku. "Nada-nada yang gembira itu akan menenggelamkan yang sedih karena kedua barisan itu begitu rapat."
"Betul," Pangeran Yee mengekor, termakan umpanku.
"Kekhawatiran Ibu Suri Yehonala masuk akal. Kita harus memisahkan kedua barisan
itu. Hal ini sangat mudah dilakukan." Dia berpaling kepada Su Shun, yang melotot
pada Yee sekeras dia bisa. Tetapi sudah terlambat, lidah Pangeran Yee tak dapat
dihentikan lagi. "Kusarankan agar Barisan Kebahagiaan berangkat lebih dulu dan Barisan Kesedihan
mengikuti sekitar beberapa mil di belakangnya."
"Baiklah." Kupasang tutupnya sebelum Su Shun punya kesempatan mencium apa yang
tengah kumasak dalam panciku. "Ide yang bagus sekali. Tetapi - Ibu Suri Nuharoo
dan aku merasa tak nyaman memikirkan bahwa suami kami menempuh perjalanan
sendirian. Dua minggu adalah waktu yang terlalu panjang bagi Kaisar Hsien Feng
untuk bepergian tanpa ditemani."
Tak menyia-nyiakan kesempatan untuk pamer lagi, Pangeran Yee angkat bicara.
"Saya yakin siapa saja di antara kami akan senang menemani mendiang Yang Mulia.
Bolehkah saya mendapat kehormatan ini?"
"Aku menginginkan Su Shun," kata Nuharoo, dan air matanya mulai berlinang. "Dia
adalah orang kepercayaan suami kami. Dengan Su Shun di sisi mendiang Yang Mulia,
ruh surgawi itu akan beristirahat dengan tenang. Maukah kau menerima
permohonanku, Su Shun?"
"Kehormatan bagi saya, Yang Mulia." Su Shun jelas jengkel sekali.
Aku nyaris tak bisa menahan kegembiraanku. Nuharoo tak tahu apa yang telah
dilakukannya: menciptakan situasi yang sangat ideal untuk dimanfaatkan Pangeran
Kung. "Terima kasih, Pangeran Yee," kataku. "Anda pasti akan diganjar dengan hadiah
saat kita tiba di Peking."
Aku tak berharap diberi peluang untuk membuat situasi menjadi lebih baik lagi,
tetapi kesempatan itu datang sendiri. Seakan dikendalikan keinginan untuk
membuat kami lebih senang, atau oleh keserakahan, atau mungkin hanya karena
memang sifatnya yang dangkal, Pangeran Yee menambahkan, "Saya tak bermaksud
untuk pamer, Yang Mulia. Saya pantas mendapatkan hadiah Anda karena perjalanan
ini akan berat sekali. Saya tidak hanya ditempatkan sebagai penanggung jawab
lingkar dalam Istana; saya juga punya tanggung jawab militer yang besar. Harus
saya akui, sekarang pun saya sudah merasa letih."
Kusambar kata-katanya dan memanfaatkannya. "Yah, Pangeran Yee, Nuharoo dan aku
percaya bahwa Junjungan Muda bisa menemukan cara lain. Kami jelas tak ingin
membuatmu letih. Mengapa tak kaulepaskan saja tanggung jawab militer itu kepada orang lain dan
hanya mengurus lingkar dalam Istana saja?"
Pangeran Yee tak siap menghadapi reaksi cepatku. "Tentu saja,"
sahutnya. "Tetapi apakah Paduka sudah terpikir siapa yang akan menggantikan
saya?" "Tak usah khawatir, Pangeran Yee."
"Tetapi siapa orangnya?"
Aku melihat Su Shun maju, dan cepat memutuskan untuk segera menyegel rapat momen
ini. "Pangeran Ch'un yang akan menangani urusan militer," kataku, tanpa melihat
ke arah Su Shun. Dia tampak putus asa dan penasaran ingin segera bicara, aku khawatir dia akan
menarik perhatian Nuharoo. "Pangeran Ch'un belum diserahi tugas apapun." Kutahan
Nuharoo dengan mataku. "Dia akan cocok sekali untuk tugas itu, betul bukan?"
"Ya, Putri Yehonala," kata Nuharoo.
"Pangeran Ch'un!" panggilku.
"Di sini, Yang Mulia." Sahutan Pangeran Ch'un datang dari sudut ruangan.
"Apakah kau setuju dengan pengaturan ini?"
"Ya, Yang Mulia." Pangeran Ch'un membungkuk. Air muka Pangeran Yee berubah,
menunjukkan penyesalan terhadap apa yang sudah dia lakukan pada dirinya sendiri.
Untuk menaikkan semangatnya aku berkata, "Namun demikian, kami ingin Pangeran
Yee untuk mengambil kembali tanggung jawabnya
setelah kita mencapai Peking. Kaisar Muda memerlukannya." "Ya, tentu saja, Yang Mulia. Terima kasih!" Pangeran Yee bahagia kembali.
Aku berpaling kepada Nuharoo. "Rasanya hanya itu yang perlu dibicarakan dalam
audiensi ini, bukan?"
"Ya. Kita harus berterima kasih kepada Penasihat Agung Su Shun karena sudah
melakukan perencanaan yang baik sekali."[]
Dua puluh dua TANGGAL 10 OKTOBER adalah hari baik saat peti jenazah Hsieng Feng dinaikkan ke
atas pundak 124 orang penandu. Pada upacara keberangkatan, Nuharoo dan aku
mengenakan jubah dukacita yang digantungi hiasan-hiasan batu. Hiasan kepala dan
bahu kami, ikat pinggang serta sepatu, beratnya lebih dari dua puluh lima pon.
Manik-manik emas tergantung-gantung di depan mataku seperti tirai, dan antingantingku adalah potongan-potongan giok yang diukir dengan kata tien, "dalam
kenangan." Kupingku perih dan punggungku sakit gara-gara semua itu. Karena kami
kehabisan batu bara, sudah beberapa minggu kami tak mandi. Kulit kepalaku gatal
bukan main. Minyak yang kugunakan pada rambutku menarik debu, yang berakhir sebagai daki di
bawah kukuku setiap kali aku menggaruk kepala.
Susah untuk tetap terlihat sebagai simbol keanggunan dalam keadaan seperti ini.
Nuharoo sedih melihat kelakuanku yang seenaknya, dan dengan sengaja menampilkan
dirinya sebagai contoh untukku. Aku kagum pada daya tahannya kalau sudah
menyangkut penampilan. Aku yakin dia duduk tegak bahkan di atas pispot
sekalipun. Aku punya dugaan bahwa dia bersikap sama kakunya di tempat tidur
Hsien Feng. Padahal kalau urusan bercinta, mendiang Kaisar adalah orang yang
sangat terbuka pada kreativitas. Jangan-jangan Nuharoo hanya menampilkan pose
standar dari buku Menu Kegiatan Bilik Kekaisaran, lalu mengharap Kaisar
menanamkan benihnya. Orang selalu bisa memastikan bahwa tata rias Nuharoo akan dicat hingga sedetaildetailnya. Dia punya dua orang penata kuku yang terlatih dalam ilmu ukir beras mereka bisa menggambar seluruh pemandangan alam dan arsitektural pada kukukukunya. Orang akan memerlukan suryakanta untuk bisa menghargai hasil karya seni
itu sepenuhnya. Nuharoo tahu betul kemauannya. Di dalam jubah dukacitanya dia
masih juga mengenakan baju yang ditentukannya sebagai gaun terakhir yang ingin
dikenakannya bila mati. Begitu kotornya baju itu hingga tepian kerahnya berwarna
kelabu gara-gara minyak. Kami berjalan melalui hutan yang dipenuhi payung warna warni dan tenda-tenda
sutra berbentuk paviliun, memeriksa arak-arakan dan membakar dupa. Akhirnya kami
menuangkan anggur, mengundang peti jenazah untuk berangkat. Prosesi mulai
bergerak, menyusuri jalanan liar dan Jehol menuju Tembok Besar.
Peti itu disapu dengan empat puluh sembilan lapisan cat.
Warnanya merah mawar dengan pola-pola naga emas di atasnya. Satu divisi pengawal
upacara memimpin jalan. Peti jenazah tergantung di udara pada sebuah rangka
merah raksasa. Di tengah rangka terdapat tiang berwarna sama dengan bendera
selebar sembilan kali delapan belas kaki berhias naga emas yang menyemburkan
api. Ada juga sepasang bel angin tembaga. Di belakang bendera naga ada seratus
bendera bergambar hewan-hewan perkasa seperti beruang dan harimau.
Tandu-tandu kosong mengikuti bendera-bendera itu, gunanya untuk para arwah.
Kursi-kursinya berbeda dalam ukuran dan bentuk, serta dihias dengan indah. Kain
penutup kursinya terbuat dari kulit macan tutul. Sebuah payung kuning besar yang
ditutup dengan bunga-bunga putih mengikuti setiap kursi.
Para kasim berbaju sutra putih menating baki berisi pembakaran dupa. Di belakang
mengekor dua kelompok musik, satu dengan alat-alat kuningan, lainnya dengan alat
musik senar dan seruling. Ketika kelompok-kelompok musik itu mulai bermain, uang
kertas putih ditembakkan ke udara, yang tercurah turun dari angkasa seperti
serpihan salju. Nuharoo, Tung Chih, dan aku berjalan melalui para lama, biksu, dan kuda-kuda
serta biri-biri upacara yang dicat, sebelum naik ke atas tandu kami. Suara
terompet Tibet dan pukulan genderang demikian kerasnya hingga aku tak dapat
mendengar suaraku sendiri saat bicara dengan Tung Chih. Dia tak ingin duduk
sendiri, dan kukatakan padanya bahwa itu harus, demi formalitas. Tung Chih
cemberut, dan meminta kelinci mata merahnya. Untungnya mainan itu dibawa oleh Li
Lien-ying. Aku berjanji kepada Tung Chih bahwa Nuharoo atau aku akan bergabung
dengannya begitu kami berdua bisa.
Prosesi ini dibagi menjadi dua bagian di dasar Tembok Besar, dengan Barisan
Kebahagiaan membuka jalan dan Barisan Kesedihan mengikuti beberapa mil di
belakang. Pada siang hari cuaca berubah. Hujan mulai turun dan kemudian menjadi semakin
deras. Untuk lima hari berikutnya prosesi kami merentang semakin lama semakin
panjang, merayap menempuh lumpur yang diakibatkan hujan terus menerus. Untuk
pertama kali seumur hidupnya Nuharoo tak bisa mengontrol riasannya. Frustrasi,
Nuharoo menyalahkan para pelayan yang bertugas memegangi cermin, yang terlalu
letih untuk bisa memegang erat cermin tanpa bergoyang. Aku kasihan pada gadisgadis pelayan itu. Cermin sebesar jendela itu terlalu besar dan terlalu berat
bagi mereka. Menurut para pemandu jalan, ngarai-ngarai curam di antara pegunungan ini penuh
dengan bandit. Pikiranku cemas akan apa yang bisa terjadi pada jam berikutnya.
Dalam curahan hujan seperti ini siapa pun bisa menyerang.
---oOo--- Karena para ahli nujum Kekaisaran telah memperhitungkan semua tanggal, tak ada
niat untuk berhenti, betapa pun para penandu jadi basah kuyup. Hujan terus
turun. Aku membayangkan betapa payahnya para kasim yang bertugas membawa
perabotan kayu. Tak seperti para pembawa peti jenazah, yang telah terlatih
secara fisik, para kasim itu layaknya tanaman rumahan yang halus. Mereka telah
terbiasa dengan hidup di Kota Terlarang, dan banyak dari mereka yang usianya
baru awal belasan. Aku tertidur dalam tandu dan bermimpi aneh. Aku masuk ke dalam laut seperti
seekor ikan, berenang memasuki lubang dalam sebuah gua yang terkubur jauh di
dasar laut. Duri tebal tumbuh di sekitar tepian lubang. Kulitku tergores parah
oleh duri-duri itu, dan air di sekitarku berubah jadi merah jambu. Aku bisa
mendengar suara perahu-perahu yang lewat di atas dan merasakan arus berputar
lewat. Dalam keadaan sakit setengah mati, aku mengibaskan badan ke atas dan ke bawah
mencoba menghindari duri-duri itu.
Sudah fajar saat Li Lien-ying membangunkanku. "Hujan sudah berhenti, Gusti
Putri, dan para ahli nujum berkata bahwa kini kita bisa beristirahat dengan
tenang." "Apa kita tadi berada di dalam air?" tanyaku.
Li tertegun sejenak, lalu menjawab, "Bila Anda seekor ikan, Gusti Putri, Anda
telah selamat." Kursiku diturunkan dan aku keluar. Badanku terasa remuk redam, seperti habis
dipukuli. "Kita ada di mana?"
"Sebuah desa, Riak Musim Semi."
"Tung Chih di mana?"
"Junjungan muda sedang berada bersama Ibu Suri Nuharoo."
Aku pergi mencari mereka. Ternyata mereka tertinggal kurang lebih setengah mil
di belakang. Nuharoo berkeras ingin mengganti penandu. Bukannya menyalahkan
jalan yang licin dia malah menyalahkan para penandu.
Nuharoo bilang dia juga bermimpi. Mimpinya berkebalikan dari mimpiku. Dalam
mimpinya dia berada di sebuah kerajaan yang damai, dan ukuran cerminnya sebesar
dinding. Kerajaan itu tersembunyi di daerah terpencil di gunung. Seorang rahib
Buddha yang janggutnya menyapu lantai menuntunnya ke tempat itu. Nuharoo dipuja
di sana, dan para pemujanya semua memiliki seekor merpati di atas kepalanya.
Setelah ribut-ribut sebentar Tung Chih akhirnya setuju untuk meninggalkan tandu
Nuharoo - yang seukuran tenda itu - untuk duduk bersamaku di tanduku. "Hanya
sebentar saja ya." Katanya.
Aku mencoba untuk tak melihat ketergantungan putraku yang semakin besar kepada
Nuharoo sebagai suatu gangguan. Tung Chih adalah satu dari sedikit hal dalam
hidupku yang bisa memberiku kebahagiaan sejati. Banyak sekali yang berubah pada
diriku sejak aku memasuki Kota Terlarang. Aku tak lagi mengatakan "Aku merasa
hebat hari ini" saat bangun di pagi hari. Lagu-lagu ceria yang biasanya kudengar
di dalam kepalaku semua sudah menghilang. Rasa takut kini hidup di sudut
benakku. Kuyakinkan diri bahwa itu cuma sebagian dari perjalanan hidup.
Keceriaan itu milik usia muda, dan secara alamiah setiap orang akan kehilangan
hal itu. Kematangan adalah hal yang akan kudapat. Seperti pohon, akar-akarku
akan bertambah kuat seiring dengan bertambahnya umur. Aku menunggu penuh harap
untuk memperoleh kedamaian dan keselarasan dalam cara yang lebih hakiki.
Tapi musim semiku terus saja tanpa kupu-kupu. Yang paling menyedihkan adalah,
aku tahu aku masih memiliki gairah. Bila Tung Chih berada dekat denganku, semua
kupu-kupu itu akan kembali. Aku bisa mengabaikan segalanya, termasuk rasa sunyi
dan kerinduanku yang dalam akan kehadiran seorang lelaki. Aku membutuhkan cinta
putraku untuk bertahan hidup. Tung Chih amat dekat, hanya sejarak satu jangkauan
lengan, tetapi terasa seolah kami dipisahkan oleh sebuah samudra. Aku akan
melakukan apa saja untuk mendapatkan kasih sayangnya. Tetapi dia sudah bertekad
untuk tidak memberiku kesempatan.
Putraku menghukumku atas semua prinsip yang kutuntut harus ada dalam hidupnya.
Dia punya dua macam air muka saat menatapku.
Satu, seperti orang asing, seakan dia tak mengenalku dan tak punya ketertarikan
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk mengenalku. Yang lainnya adalah rasa tidak percaya. Dia tak bisa mengerti
mengapa aku harus jadi satu-satunya orang yang menentangnya. Wajahnya seperti
mempertanyakan mengapa aku harus ada. Setelah kami bertengkar dan beradu mulut,
ekspresinya akan menunjukkan cemoohan.
Dalam sepasang mata cemerlang anakku aku mengecil, mengerdil. Pemujaanku
terhadap makhluk mungil ini membuatku menciut menjadi tulang yang timbul
tenggelam dalam sup Kekaisaran yang telah dimasak selama dua ratus tahun.
Suatu kali aku melihat anakku dan Nuharoo bermain. Tung Chih tengah mempelajari
peta Cina. Dia senang sekali saat Nuharoo tak bisa menunjukkan letak Kanton, dan memohon
pada si bocah agar dibolehkan berhenti. Tung Chih mengabulkan permintaannya,
lalu mengulurkan lengan. Dia tertarik pada kelemahan Nuharoo. Melindungi Nuharoo
dari aku membuat lelaki kecil itu merasa menjadi pahlawan.
Betapapun aku tak sanggup untuk tak mencintai anakku. Aku tak bisa mengingkari
kasih sayangku. Saat Tung Chih lahir, aku tahu aku telah menjadi miliknya. Aku
hidup untuknya. Tak ada yang lain, selain dia.
Bila aku harus sengsara, aku membulatkan tekad untuk menghadapinya. Aku siap
melakukan apa pun bagi Tung Chih agar terhindar dari nasib serupa ayahnya. Dulu
Hsien Feng memang Kaisar, tetapi dia dibuat tak mengerti hal-hal dasar tentang
hidupnya sendiri. Dia tak dibesarkan dalam kenyataan, dan meninggal dalam kebingungan.
---oOo--- Memandang ke luar, aku melihat batu-batu besar berbentuk roti dikelilingi rapat
oleh hamparan semak-semak liar. Bermil-mil jauhnya tak terlihat lagi atap rumah
satu pun. Parade kami yang mewah ini tak dilihat oleh mata siapa pun kecuali
Langit. Aku tahu aku tak boleh menyesalinya tetapi aku tak bisa berbuat lain.
Duduk di dalam tandu, aku merasa lembap dan sakit. Para penandu semua letih,
basah, dan kotor. Musik yang gembira malah makin membuatku tertekan.
Li Lien-ying mondar-mandir antara kursiku dan kursi Nuharoo, mengenakan jubah
ungunya. Cat celupan dari topinya mengalir bagaikan anak sungai menuruni
wajahnya. Li Lien-ying telah mempelajari keterampilannya sebagai pelayan
Kekaisaran dan kini sudah nyaris sebagus An-te-hai. Aku cemas soal An-te-hai.
Pangeran Kung mengatakan kepadaku bahwa dia ada di penjara Peking. Untuk
menyempurnakan kepura-puraannya, An-te-hai meludahi seorang pengawal, membuat
hukumannya bertambah berat: dia dikurung dalam sebuah ruangan berair, dengan
kotoran manusia mengambang di sekitar lehernya. Aku berdoa semoga dia tetap
bertahan sampai aku bisa menemuinya. Aku belum yakin apakah aku akan mencapai
Peking dengan kepala masih tetap menempel di bahu, tetapi bila aku berhasil aku
sendirilah yang akan membuka rantai An-te-hai.
Barisan Kebahagiaan mulai kocar-kacir. Sulit sekali untuk mempertahankan kuda
dan domba yang letih untuk tetap berjalan dalam barisan. Para penandu sudah
berhenti melafalkan aba-aba mereka. Yang dapat kudengar hanyalah suara tapak
kaki bercampur napas terengah. Tung Chih ingin keluar dari tandu untuk bermain,
dan aku sungguh berharap bisa mengizinkannya. Aku ingin melihat dia berlarian
sepanjang satu mil bersama Li Lien-ying. Tetapi hal itu tak aman. Beberapa kali
aku melihat wajah-wajah asing lewat, dalam balutan seragam pengawal kami. Aku
bertanya-tanya apakah mereka mata-mata Su Shun. Setiap hari penanduku diganti
dengan yang baru. Saat kutanya adik iparku Pangeran Ch'un tentang penggatian para penandu ini, dia
menjawab bahwa hal itu normal. Para penandu berganti posisi agar memar lepuh di
bahu mereka punya waktu untuk sembuh. Aku tak begitu yakin.
Untuk menenangkanku, Ch'un bicara tentang Rong dan bayi lelaki mereka. Mereka
baik-baik saja dan berada beberapa mil di belakang kami. Adikku tak ingin
bergabung denganku sebab dia takut akan ada sesuatu yang terjadi pada tanduku.
"Pohon besar mengundang angin yang lebih kuat" adalah bunyi pesan yang
dikirimkannya, dan dia menyarankan agar aku waspada.
Kami sampai di sebuah kuil yang terletak pada pinggang sebuah gunung. Saat itu
sudah gelap dan gerimis telah berhenti. Kami bermaksud masuk ke kuil untuk
berdoa di altar dan kemudian menginap di situ. Begitu aku, Tung Chih, dan
Nuharoo keluar dari tandu, para penandu langsung pergi dengan tandu kami. Aku
bergegas menyusul, dan berhasil mengejar salah satu penandu yang paling belakang
dan bertanya mengapa mereka tak tinggal bersama kami.
Dia menyahut bahwa mereka telah diinstruksikan untuk tak menyimpan tandu di
dekat Kuil. "Bagaimana bila ada sesuatu yang terjadi dan kami perlu segera kembali ke tandu,
dan kalian tak ada?" tanyaku.
Si penandu merebahkan diri ke tanah dan melakukan kowtow seperti orang idiot.
Tetapi dia tak menyahuti pertanyaanku, dan tak ada gunanya mendesak orang ini.
"Kembali ke sini, Yehonala!" pekik Nuharoo. "Aku yakin mata-mata serta pengintai
kita sudah memeriksa keamanan kuil ini."
Kuil itu tampak seperti sudah dipersiapkan untuk menerima kedatangan kami.
Atapnya yang tua sudah diseka bersih dan bagian dalamnya disapu dengan saksama.
Rahib kepala di situ adalah seorang lelaki berpenampilan lembut berbibir tebal
dengan pipi tembam. "Dewi Kasih Sayang, Kuan Ying, berkeringat," katanya, sambil
tersenyum. "Saya tahu ini merupakan pesan dan Langit bahwa Yang Mulia akan lewat sini.
Meskipun kuil ini kecil, sambutan saya yang sederhana ini merentang dari tangan
Buddha sampai tanpa batas."
Kami disuguhi sup jahe, kedelai, dan bakpau gandum untuk makan malam. Tung Chih
membenamkan wajahnya di mangkuk. Aku sendiri juga seekor serigala kelaparan. Aku
menyantap semua makanan di piringku dan meminta tambah. Nuharoo tenang saja. Dia
memeriksa setiap kancing di jubahnya, meyakinkan bahwa tak ada yang hilang, lalu
merapikan bunga-bunga yang layu di papan hiasan kepalanya. Dia makan sup dengan
suapan-suapan kecil hingga akhirnya rasa laparnya tak tertahankan lagi dan dia
meneguk supnya seperti seorang petani.
Setelah makan, si rahib kepala dengan sopan mengantarkan kami ke kamar kami,
lalu pergi. Kami senang sekali menemukan perapian keramik di dekat tempat tidur.
Kami letakkan jubah-jubah lembap kami di sana agar kering. Begitu Tung Chih
menemukan bahwa baskom-baskom yang ada di situ penuh berisi air, Nuharoo memekik
girang, lalu mendesah. "Kurasa aku harus menyeka diri sendiri, tanpa bantuan
pelayan." Penuh semangat dia membuka baju.
Itulah kali pertama aku melihatnya telanjang. Tubuh gadingnya adalah hasil
pahatan halus Surgawi, langsing dengan kaki jenjang yang mulus. Punggungnya yang
lurus melengkung indah. Semua itu membuatku berpikir bahwa mode pakaian tanpa
bentuk untuk wanita Manchu adalah kejahatan besar.
Seperti seekor rusa tegak di tepian tebing dalam cahaya bulan, Nuharoo berdiri
dekat baskom, perlahan membersihkan diri dan kepala sampai kaki. Dulunya ini
hanya untuk mata Hsien Feng saja, pikirku.
---oOo--- Tengah malam aku terbangun. Nuharoo dan Tung Chih tidur nyenyak.
Kecurigaanku timbul lagi. Aku teringat senyum si rahib kepala - senyum itu tidak
tulus. Rahib-rahib yang lain juga tak memiliki air muka penuh kedamaian seperti
yang biasa kulihat pada para pemeluk Buddha. Mata mereka bergerak-gerak cepat,
dan si Rahib kepala ke tempat lain, lalu kembali lagi, seakan-akan menunggu
suatu isyarat. Saat makan aku sudah bertanya pada rahib kepala tentang bandit setempat.
Jawabannya adalah, dia belum pernah mendengar tentang hal itu. Apakah dia
berkata jujur" Para pemandu jalan kami berkata bahwa daerah ini penuh dengan
bandit. Si rahib kepala mestinya telah bertahun-tahun tinggal di sini - bagaimana
mungkin dia tak tahu tentang itu"
Si rahib kepala mengganti topik pembicaraan ketika aku minta untuk diajak
melihat-lihat sekitar kuil. Dia membawa kami ke balairung utama agar kami bisa
menyalakan dupa untuk para dewa lantas langsung mengantarkan kami kembali ke
ruangan ini. Ketika aku bertanya tentang sejarah ukiran di dinding, dia
membelokkan pembicaraan lagi. Lidahnya juga tak punya polesan halus seorang
pendeta saat bercerita pada Tung Chih tentang Buddha-tangan seribu.
Tampaknya dia tak kenal gaya-gaya dasar kaligrafi, yang menurutku benar-benar
sukar dipercaya, karena biasanya pendeta mendapat penghasilan dengan membuat
salinan kitab Sutra. Aku menanyakan kepadanya ada berapa orang pendeta di kuil
ini, dan dia bilang delapan. Dari mana dia bisa mendapat pertolongan kalau
bandit menyerbu sewaktu-waktu"
Semakin aku berpikir tentang orang yang tak meyakinkan itu, semakin aku gelisah.
"Li Lien-ying," bisikku.
Kasimku tak menyahut. Ini tak biasa. Biasanya tidur Li Lien-ying hanya ringan
saja. Dia bisa mendengar daun yang gugur dan pohon di luar jendela. Ada apa
dengan dia" Aku ingat, setelah makan malam dia diundang rahib kepala untuk minum
teh. "Li - Li Lien-ying!" Sku duduk, dan melihat sosoknya di sudut ruangan.
Dia tidur seperti batu. Mungkinkah ada sesuatu dalam teh yang disuguhkan rahib
kepala kepadanya" Aku mengenakan jubahku dan menyeberangi ruangan.
Kugoncangkan Kasimku, tetapi sahutannya hanya dengkuran keras.
Mungkin dia hanya sekadar letih.
Aku putuskan untuk keluar memeriksa pekarangan. Aku takut setengah mati, tetapi
lebih mengerikan lagi untuk terus curiga seperti ini.
Bulan bersinar terang. Pekarangan dalam tampak seperti ditaburi selapis garam.
Harum daun laurel terbawa angin. Baru saja aku berpikir betapa tenteramnya semua
ini, aku melihat sesosok bayangan merunduk di belakang sebuah pintu lengkung.
Apakah mataku tertipu cahaya bulan" Atau tertipu ketegangan syarafku sendiri"
Aku kembali ke kamar yang kugunakan dan menutup pintu, naik ke tempat tidur lalu
mengintai melalui jendela. Di hadapanku ada pohon yang batangnya tebal. Dalam
kegelapan, batang itu terus berganti bentuk. Satu saat seperti tumbuh perut
gendut, lain saat sejulur lengan.
Mataku tak menipuku. Memang ada orang di pekarangan dalam.
Mereka bersembunyi di balik pepohonan.
Aku membangunkan Nuharoo dan menjelaskan apa yang kulihat.
"Kau melihat prajurit di belakang setiap helai rumput," keluh Nuharoo, sembari
mengenakan gaunnya. Ketika aku memakaikan baju Tung Chih, Nuharoo membangunkan Li Lien-ying. "Budak ini pasti mabuk," katanya. "Dia tak mau
bangun." "Ada sesuatu yang salah, Nuharoo."
Aku menampar wajah Li Lien-ying dan akhirnya dia terbangun.
Meski begitu, saat mencoba berjalan kakinya lemas terhuyung.
"Bersiaplah untuk lari," kataku.
"Ke mana?" Nuharoo panik.
Kami tak tahu apa-apa tentang daerah situ. Walaupun kami berhasil keluar dari
kuil tersebut, kami bisa dengan mudah tersesat di daerah pegunungan. Kalau tak
tertangkap pun, kami bisa kelaparan hingga tewas. Tetapi apa yang akan terjadi
bila kami tetap tinggal di sini" Saat ini aku sudah tak ragu lagi bahwa rahib
kepala adalah kaki tangan Su Shun. Seharusnya aku berkeras agar para penandu
tetap ada di dekat-dekat sini.
Kusuruh Tung Chih untuk tetap berpegangan padaku saat aku membuka pintu.
Pegunungan telah mulai menampilkan bentuknya dalam cahaya menjelang fajar. Angin
yang bertiup di sela-sela daun pinus terdengar bagai debur ombak. Kami berempat
berjalan menyusuri koridor dan melewati sebuah gerbang lengkung, mengikuti
sebuah setapak yang nyaris tak terlihat. "Seharusnya jalan ini akan membawa kita
ke kaki gunung," kataku, walau aku sendiri tak yakin.
Kami belum jauh saat terdengar suara orang mengejar.
"Lihat Yehonala, kau menjerumuskan kami dalam kesulitan,"
pekik Nuharoo. "Kita bisa memanggil para rahib itu untuk menolong, kalau saja
kita tetap tinggal di dalam kuil!"
Kutarik Nuharoo bersamaku sementara Li Lien-ying berjuang untuk tetap tegak
seraya menggendong Tung Chih di punggungnya.
Kami berjalan secepat mungkin. Tiba-tiba jalan terhalang oleh beberapa pria
bertopeng. "Berikan apa yang mereka mau," kataku kepada Nuharoo, mengira mereka adalah para
bandit. Orang-orang itu tak mengeluarkan suara, tetapi bergerak semakin dekat di sekitar
kami. "Ini, ambillah perhiasan kami," kataku, "Ambil dan lepaskan kami!"
Tapi orang-orang itu tak mau perhiasan. Mereka melompat ke arah kami dan
mengikat kami dengan tambang, seraya menjejalkan potongan kain ke mulut kami
serta menutup mata kami dengan kain.
---oOo--- Aku berada di dalam sebuah karung goni, yang diikatkan ke sebuah galah dan
digotong pada bahu beberapa orang. Penutup mataku jatuh saat aku melawan,
meskipun mulutku masih disumpal kain. Aku dapat melihat cahaya melalui tenunan
karung yang jarang-jarang. Orang-orang itu bergerak terpatah-patah dan terhuyung
menuruni perbukitan, dan kutebak bahwa mereka bukan bandit. Kaki bandit mestinya
kuat menjejaki tebing terjal seperti ini.
Aku percaya bahwa Pangeran Kung akan melindungi kami, tetapi tampaknya Su Shun
berhasil mengecohnya. Tak mungkin aku bisa melarikan diri bila situasinya
seperti ini. Aku yakin Nuharoo punya kesempatan hidup, tetapi Tung Chih"
Mengejutkan sekali betapa mudahnya Su Shun melancarkan kudeta!
Tak ada tentara, tak ada senjata, tak setetes pun darah tertumpah, hanya
beberapa pria berpakaian bandit. Pemerintahan kami hanya naga kertas, cuma
pantas untuk parade. Era Kebahagiaan dengan Pertanda Baik hanyalah lelucon. Apa
yang akan dirasakan Kaisar Hsien Feng sekarang, seandainya dia tahu terbuat dari
apa Su Shun sebenarnya! Ranting-ranting melecut karung. Dalam kegelapan aku berusaha mencari suara Tung
Chih. Tak ada suara apa-apa. Apakah aku akan dibunuh" Aku tak berani memikirkan
kemungkinan apa pun. Dan kemiringan galah, aku tahu bahwa tanah sudah tak
terlalu terjal lagi. Tanpa peringatan apa pun mendadak aku dijatuhkan, dan terbentur pada sesuatu
yang terasa seperti tunggul pohon. Kepalaku menghantam permukaan yang keras,
sakitnya bukan main. Kudengar beberapa
orang bicara, lalu suara langkah-langkah berat menghampiri. Aku diseret melalui tumpukan daun kering, lantas dilemparkan ke
suatu tempat yang rasanya adalah sebuah selokan.
Kain di mulutku basah oleh ludah dan akhirnya jatuh. Aku tak berani berteriak
minta tolong, karena takut bahwa mereka akan datang dan menghabisiku lebih
cepat. Kucoba mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk, tetapi sebuah perasaan
yang menakutkan mendadak menguasaiku: aku tak bisa mati begitu saja tanpa tahu
Tung Chih ada di mana! Kucoba merobek karung dengan gigi, tetapi dengan kedua
tangan terikat di belakang semua itu percuma saja.
Terdengar suara langkah di atas dedaunan kering. Seseorang datang mendekat,
berhenti di dekatku. Kucoba menggerakkan tungkai, mencari posisi yang lebih baik
untuk membela diri dan dalam karung, tetapi kakiku juga diikat.
Aku bisa mendengar suara napas seorang pria.
"Demi Surga, ampuni anakku!" Aku menjerit dan memekik.
Kubayangkan pisau lelaki itu membelah karung dan logam dingin mengoyak dagingku.
Tetapi itu tidak terjadi. Sebaliknya, kudengar lebih banyak lagi suara langkah,
serta dentang senjata logam. Ada seseorang menjerit tertahan, lalu sesuatu,
sesosok tubuh, jatuh ke atasku.
Sunyi sesaat. Lalu di kejauhan datanglah suara teracak kuda dan teriakan
beberapa orang. Aku tak tahu harus tetap diam atau berteriak. Bagaimana kalau ternyata mereka
itu kaki-tangan Su Shun yang datang guna memastikan bahwa aku memang sudah
benar-benar mati" Tetapi bagaimana kalau ternyata mereka adalah anak buah
Pangeran Kung Bagaimana caranya menarik perhatian orang pada sebuah karung goni
dalam selokan yang tertindih sesosok mayat"
"Tung Chih! Tung Chih!" jeritku.
Sesaat kemudian sebilah belati merobek karung, dan aku bernapas dalam terangnya
cahaya matahari. Orang yang memegang belati itu mengenakan seragam Pengawal Kekaisaran. Dia
berdiri di hadapanku, terpana. "Gusti Ratu!"
Dilemparkannya dirinya ke tanah.
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyingkirkan tambang dari lengan dan tungkaiku, aku berkata,
"Bangun dan katakan siapa yang mengirimmu."
Prajurit itu berdiri dan menunjuk ke belakang. Beberapa yard dari situ seorang
lelaki di atas punggung kudanya menoleh.
"Yung Lu!" Dia melompat dari atas kudanya dan berlutut.
"Aku hampir saja jadi hantu!" pekikku. "Ataukah aku memang sudah jadi hantu?"
"Bicaralah, Gusti, agar saya tahu," kata Yung Lu. Tangisku meledak.
"Yang Mulia," Yung Lu menggumam. "Sudah kehendak Langit bahwa Anda selamat."
Disekanya keringat dari keningnya.
Aku mencoba memanjat keluar dari selokan itu, tetapi lututku lemas. Aku
terjatuh. Yung Lu menopang lenganku.
Sentuhan tangannya membuatku terisak seperti anak-anak.
"Aku bisa saja jadi hantu kelaparan tadi," kataku. "Aku cuma tidur sedikit, tak
makan sesuap pun sepanjang hari, dan tak minum setetes air pun. Aku bahkan tak
berpakaian pantas, sepatuku hilang. Kalau aku harus menemui para leluhur
Kerajaan, mereka akan terlalu malu untuk mau menerimaku."
Yung Lu berjongkok di dekatku. "Semua sudah berakhir, Gusti Ratu."
"Apakah Su Shun dalangnya?"
"Ya, Yang Mulia."
"Di mana para pembunuh itu?"
Yung Lu menunjuk dengan dagunya, ke arah selokan itu.
Separuh wajah mayat yang ada di situ terkubur dalam kotoran, tetapi aku
mengenali tubuhnya yang gemuk. Si rahib kepala.
Kutanyakan di mana Tung Chih dan Nuharoo. Kata Yung Lu mereka berdua juga telah
diselamatkan dan sudah melanjutkan perjalanan ke Peking. Yung Lu telah
mengirimkan kurir membawa pesan kepada Su Shun bahwa aku ditemukan telah tewas,
tetapi akan butuh beberapa hari bagi laporan palsu itu untuk mencapai Su Shun,
yang merupakan bagian dari rencana Pangeran Kung.
Yung Lu menempatkanku di sebuah kereta dan dia sendiri yang mengawalku. Kami
mengambil jalan yang lebih pendek dan tiba di Peking jauh lebih awal daripada Su
Shun dan prosesinya.[] Dua puluh tiga MENUNGGUKU DI DALAM KOTA TERLARANG, Pangeran Kung lega saat melihatku tak
terluka. "Desas-desus kematian Anda terbang lebih cepat daripada kurir-kurir
kita," katanya, menyambutku. "Aku tersiksa rasa khawatir."
Berlinang air mata, kami membungkuk pada satu sama lain.
"Mungkin abangmu memang ingin membawaku bersamanya ke alam baka," kataku, masih
merasa agak sakit hati. "Tetapi dia mengubahnya pada detik terakhir, bukan" Mungkin dia telah membantu
penyelamatan Anda, dari tempatnya di Surga."
Pangeran Kung berhenti sejenak. "Aku yakin dia sedang tak sadar saat mengangkat
Su Shun." "Benar." Pangeran Kung memandangiku dari atas ke bawah, lalu tersenyum. "Selamat datang
kembali ke rumah, kakak ipar.
Perjalananmu berat sekali."
"Kau juga," kataku, dan menyadari bahwa topinya terlihat terlalu besar untuknya.
Dia berkali-kali mendorong benda itu ke belakang agar tak merosot turun menutupi
alisnya. "Berat badanku turun sedikit, tetapi aku tak mengira bahwa kepalaku
akan menciut begini."
Dia tertawa. Ketika kutanya tentang si rahib kepala, Pangeran Kung mengatakan bahwa pembunuh
itu dikenal dengan nama Telapak Buddha - kekuatannya tak terbatas, laksana tangan
sang Buddha yang konon dapat "meliputi segalanya." Dalam cerita rakyat, saat si
Raja Kera Sakti mengira bahwa dia telah lolos setelah berjumpalitan ribuan mil,
dia mendapati bahwa ternyata dirinya telah mendarat di telapak tangan yang maha
kuasa itu. Kepalaku adalah satu-satunya yang gagal dimasukkan si pembunuh dalam
kotak koleksiya. Pangeran Kung dan aku duduk untuk bicara - dan dimulailah hubungan kerja sama
kami yang berlangsung amat lama. Kung adalah seorang pria yang berpengetahuan
luas, walaupun sifat cepat marahnya tetap menyala setelah bertahun-tahun
berlalu. Dia dibesarkan dengan cara seperti Hsien Feng, dan bisa menjadi sama
manja dan tak sabarannya. Berkali-kali aku harus berusaha mengabaikan
ketidakpekaan serta sifat mau menang sendirinya.
Tanpa sengaja, berkali-kali dia mempermalukanku di depan seluruh dewan Istana.
Aku bisa saja memprotes, tetapi kukatakan pada diriku sendiri bahwa aku harus
Pendekar Sadis 14 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pendekar Satu Jurus 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama