Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 9
belajar menerima kelemahan Kung bersama dengan kebaikannya. Kekuatannya lebih
besar daripada abangnya, dan perbedaannya tidak kecil. Kung menghormati
kenyataan dan terbuka untuk pendapat-pendapat yang berbeda. Saat ini kami saling
memerlukan. Sebagai seorang Manchu dia diajari bahwa tempat seorang perempuan
adalah di kamar tidur, tetapi dia tak bisa benar-benar mengabaikanku. Tanpa
dukunganku dia takkan punya kekuasaan yang sah.
Seiring Pangeran Kung dan aku makin saling mengenal, kami dapat menjadi lebih
santai. Aku biarkan dia tahu bahwa aku tak tertarik pada kekuasaan itu sendiri,
dan bahwa yang kuinginkan hanyalah membantu agar Tung Chih bisa berhasil. Indah
sekali ketika ternyata kami berbagi pandangan yang sama. Sesekali kami
berselisih, tetapi selalu berhasil keluar dari pertengkaran kami dengan tetap
bersatu. Untuk menstabilkan dewan Istana yang baru, kami saling menjadi boneka
serta hiasan masing-masing.Seraya mengikuti semua keangkuhan Pangeran Kung, aku memupuk antusiasme serta
ambisinya. Aku percaya bahwa kalau aku dan Nuharoo bersikap rendah hati
kepadanya, dia juga akan bersikap rendah hati kepada Tung Chih. Kami
melaksanakan azas-azas Konfusianisme dalam keluarga, dan masing-masing mendapat
keuntungan dari itu. Aku memainkan perananku, meskipun lama-kelamaan aku letih setiap hari harus
mengenakan topeng sandiwara. Aku harus berpura-pura seolah-olah aku benar-benar
tak berdaya tanpa dewan Istana.
Menteri-menteriku akan bekerja hanya kalau mereka yakin bahwa mereka
adalah penyelamatku. Gagasan-gagasanku takkan dilaksanakan dengan baik bila aku tak menyajikannya sebagai ide
"tuan besar-mereka-yang-berusia-lima-tahun." Agar bisa memerintah, aku harus
menciptakan kesan bahwa akulah yang diperintah.
Nuharoo, Tung Chih serta sisa Barisan Kebahagiaan memerlukan lima hari untuk
bisa tiba di Peking. Pada saat mereka akhirnya mencapai Gerbang Cakrawala, para
prajurit dan kuda-kuda mereka telah sedemikian letihnya hingga tampak seperti
pasukan yang terkalahkan. Bendera-bendera mereka sudah compang-camping dan
sepatu mereka hancur. Dengan wajah yang berlapis debu serta cambang dan janggut,
para penandu menyeret kaki-kaki mereka yang melepuh. Para pengawal lesu dan tak
berada dalam barisan. Aku membayangkan Su Shun dan Barisan Kesedihannya, yang dijadwalkan untuk tiba
beberapa hari kemudian. Berat peti jenazah Hsien Feng mustinya menghancurkan
bahu para penandunya. Saat ini Su Shun tentu sudah menerima berita tentang
terbunuhnya aku, dan sudah tak sabar ingin segera mencapai Peking.
Kebahagiaan karena telah mencapai rumah membawa energi besar pada Barisan
Kebahagiaan. Di depan gerbang Kota Terlarang seluruh barisan pengiring terbentuk
kembali. Orang-orang meluruskan punggung dan membusungkan dada saat mereka
memasuki gerbang. Agaknya tak seorang pun tahu apa yang telah terjadi. Rakyat berbaris di kedua
sisi gerbang dan bertepuk tangan. Kerumunan orang banyak berteriak gembira saat
melihat kedua tandu Kekaisaran. Tak ada yang tahu bahwa orang yang duduk di
kursiku bukanlah aku melainkan kasimku, Li Lien-ying.
Nuharoo merayakan akhir perjalanan dengan mandi tiga kali berturut-turut.
Pelayannya melaporkan bahwa dia nyaris tenggelam karena tertidur di dalam bak
mandi. Aku mengunjungi Rong dan anak lelaki kecilnya. Kami mengunjungi Ibu dan
adik lelaki kami. Aku mengajak Ibu untuk tinggal di Istana bersamaku supaya aku
dapat merawatnya, tetapi dia menolak, lebih senang tinggal di tempatnya
sekarang, sebuah rumah tenang di jalan kecil di belakang Kota Terlarang. Aku tak
memaksa. Kalau beliau tinggal denganku, dia akan harus minta izin terlebih
dahulu bila ingin keluar berbelanja atau mengunjungi teman-temannya.
Aktivitasnya akan dibatasi pada rumah dan tamannya saja, dan dia takkan
diperbolehkan memasak makanannya sendiri. Aku ingin menghabiskan waktu lebih
banyak bersama Ibu, tetapi aku harus bertemu dengan Nuharoo untuk membicarakan
rencana kami terhadap Su Shun.
"Kalau bukan kabar baik, aku tak mau dengar," Nuharoo memperingatkan.
"Perjalanan yang keras itu sudah memotong usiaku cukup banyak."
Aku berdiri di ambang pintu Nuharoo yang separuh hancur.
Orang-orang asing itu telah menghancurkan segala yang terlihat.
Cermin Nuharoo tergores-gores. Pahatan-pahatan keemasan hilang, begitu juga
sulaman-sulaman dan dinding. Lemari-lemarinya kosong dan tempat tidurnya ternoda
jejak kaki orang. Masih ada serpihan kaca di lantai. Koleksi seninya lenyap.
Taman rusak. Semua ikan, burung, merak, dan nuri sudah mati.
"Kesengsaraan itu hasil kerja pikiran," kata Nuharoo sembari menghirup tehnya.
"Kuasai itu dan kau takkan merasakan apa pun kecuali kebahagiaan. Keindahan kuku
tanganku tak rusak, karena mereka tetap berada dalam pelindung mereka."
Aku menatapnya dan teringat bagaimana dia duduk dalam tandu dengan jubah yang
basah oleh hujan selama berhari-hari. Aku tahu betapa beratnya itu, karena aku
telah mengalaminya sendiri. Bantal-bantal yang basah itu membuatku merasa sedang
duduk dalam air kencing. Aku tak tahu apakah aku harus mengagumi usaha Nuharoo
untuk mempertahankan harga dirinya. Berkali-kali aku ingin sekali keluar dari
tandu dan berjalan saja selama di perjalanan. Nuharoo mencegahku. "Para penandu
itu ditugaskan untuk membawamu," dia berkeras. Aku menjelaskan bahwa aku sudah
bosan berpantat basah: "Bagaimanapun aku harus mengangin-anginkannya!"
Aku ingat bahwa Nuharoo terdiam, tetapi air mukanya dengan jelas menyatakan
bahwa dia tak setuju dengan kelakukanku. Dia terkejut sekali ketika akhirnya aku
memutuskan untuk keluar dan berjalan berdampingan dengan para penandu.
Ditunjukkannya bahwa dia merasa terhina, yang memaksaku untuk kembali masuk ke
tandu. "Jangan menatapku seolah-olah kau baru saja menemukan bintang baru di langit,"
katanya, mengikatkan rambutnya pada sebuah alas. "Biar kubagi sebuah ajaran
Buddha denganmu: untuk benar-benar memiliki sesuatu adalah dengan tidak
memilikinya sama sekali."
Tak masuk akal buatku. Dia menggelengkan kepala dengan prihatin.
"Selamat malam dan selamat beristirahat, Nuharoo."
Dia mengangguk. "Suruh orang membawa Tung Chih kemari, ya?"
Aku sangat ingin menghabiskan malam bersama putraku setelah terpisah sekian
lama. Tetapi aku kenal Nuharoo. Kalau sudah menyangkut Tung Chih, kemauannya tak
bisa dibantah. Aku tak punya peluang menang. "Boleh kukirim dia setelah dia
mandi?" "Baiklah," katanya, dan aku pun keluar.
"Jangan mencoba memanjat tinggi-tinggi Yehonala," suara Nuharoo terdengar dari
belakang. "Dekaplah semesta, dekap apa yang datang kepadamu. Tak ada gunanya
melawan." Membiarkanku menyelesaikan bagian terakhir dan dekrit berisi dakwaan terhadap Su
Shun, Pangeran Kung berangkat dari Peking menuju Miyun. Kota kecil itu berjarak
sekitar 50 mil dari Peking dan merupakan tempat perhentian terakhir prosesi Su
Shun. Su Shun dan peti jenazah Hsien Feng dijadwalkan tiba di Miyun sebelum sore
hari. Yung Lu sudah diperintahkan untuk kembali kepada Su Shun dan tetap berada di
dekatnya. Su Shun mengira bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan
rencananya, dan bahwa aku, penghalangnya yang terbesar, telah disingkirkan.
Su Shun ditemukan mabuk berat ketika prosesi mencapai Miyun.
Dia begitu gembira akan prospeknya sendiri sehingga sudah mulai merayakannya
bersama dengan seluruh kabinetnya. Para pelacur lokal terlihat berlarian di
sekitar peti jenazah Kekaisaran, mencuri hiasan-hiasan. Ketika Su Shun disambut
oleh jenderal Sheng Pao di gerbang kota Miyun, dia mengumumkan kematianku dengan
teramat girang. Menerima reaksi dingin dan Sheng Pao, Su Shun memandang berkeliling dan melihat
Pangeran Kung, yang berdiri tak jauh dari sang jenderal. Su Shun menyuruh Sheng
Pao menyingkirkan sang pangeran, tetapi Sheng Pao tak bergerak.
Su Shun berpaling kepada Yung Lu, yang berdiri di belakangnya.
Yung Lu juga tak bergerak.
"Pengawal!" teriak Su Shun. "Bawa pengkhianat ini!"
"Apakah kau punya dekrit untuk melakukan itu?" tanya Pangeran Kung.
"Kata-kataku adalah dekritnya," sahut Su Shun.
Pangeran Kung mundur selangkah sementara Jenderal Sheng Pao dan Yung Lu maju.
Su Shun tersadar akan apa yang tengah dihadapinya. "Jangan berani-berani. Aku
ditunjuk oleh mendiang Yang Mulia. Aku adalah wasiat Kaisar Hsien Feng!"
Pengawal Kekaisaran membentuk lingkaran di sekitar Su Shun dan orang-orangnya.
Su Shun berteriak, "Aku akan menggantung kalian, kalian semua!"
Dengan satu tanda dari Pangeran Kung, Sheng Pao dan Yung Lu menyambar lengan Su
Shun. Su Shun meronta dan memanggil Pangeran Yee meminta tolong.
Pangeran Yee lari datang bersama para pengawalnya, tetapi orang-orang Yung Lu
mencegatnya. Dari dalam lengan bajunya Pangeran Kung mengeluarkan sebuah dekrit kuning.
"Siapa saja yang berani menentang perintah Kaisar Tung Chih akan dihukum mati."
Sementara Yung Lu melucuti semua anak buah Su Shun, Pangeran Kung membacakan apa
yang kutulis: "Kaisar Tung Chih memerintahkan agar Su Shun segera ditangkap. Su
Shun didapati bertanggung jawab telah merancang sebuah kudeta."
---oOo--- Dipenjarakan dalam kurungan di atas gerobak, Su Shun tampak seperti hewan sirkus
saat Barisan Kesedihan melanjutkan perjalanan dan Miyun ke Peking. Atas nama
putraku aku memberi tahu semua Gubernur di seluruh negara bagian dan provinsi
tentang ditahannya Su Shun dan bahwa dia sudah ditarik dari kantornya. Kukatakan
kepada Pangeran Kung bahwa aku menganggap penting untuk memenangkan dukungan
moral juga. Aku harus mengetahui apa yang dirasakan para gubernurku supaya bisa
menegakkan kembali stabilitas. Kalau ada kekacauan, aku ingin segera
menanganinya. An-te-hai membantuku dengan tugas itu, meskipun dia baru beberapa
hari dilepaskan dari ruang air penjara Kekaisaran. Dia masih terbalut perban
tetapi sangat gembira. Komentar atas ditangkapnya Su Shun datang dari seantero Cina.
Aku sangat lega karena sebagian besar gubernur memihak padaku.
Pada mereka yang masih ragu, aku mendukung kejujuran. Kujelaskan bahwa aku ingin
didekati dengan kejujuran mutlak, tak peduli betapapun hal itu akan bertentangan
dengan pandangan pribadiku tentang Su Shun. Aku ingin para Gubernur itu tahu
bahwa aku siap untuk mendengarkan dan sangat bersedia mengambil keputusan
tentang hukuman Su Shun berdasarkan rekomendasi mereka.
Segera setelah itu dua Sekretaris Agung, yang mewakili hukum sipil dan awalnya
adalah pengikut Su Shun, mengecam Su Shun. Saat itulah Jenderal Tseng Kuo-fan
dan semua menteri serta gubernur bangsa Cina menyatakan dukungannya kepadaku.
Aku menyebut mereka "pengamat luar", karena mereka telah mengamati kedua pihak
dengan cermat sebelum menyatakan keberpihakan. Tseng Kuofan mengkritik
"kekurangajaran masa lalu" Su Shun. Mengekor Tseng, para gubernur dari provinsi
di Utara ikut maju. Mereka menyatakan ketidaksetujuannya atas perbuatan Su Shun
mengucilkan Pangeran Kung dan kekuasaan, serta mengusulkan agar kekuasaan
dipercayakan kepadaku dan Ibu Suri Nuharoo.
Pemeriksaan pengadilan segera dimulai begitu Su Shun tiba di Peking, dipimpin
oleh Pangeran Kung. Su Shun dan seluruh anggota Gerombolan Delapan dinyatakan
bersalah atas tindakan subversi terhadap negara, yang merupakan salah satu dari
sepuluh kesalahan terbesar dalam hukum Ch'ing, kedua setelah pemberontakan. Su
Shun juga dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap keluarga dan nilai
masyarakat. Di dalam dekrit yang kubuat aku menyebut Su Shun
"menjijikkan, tak dapat diampuni dan tak dapat diperbaiki lagi."
Pangeran Yee "dianugerahi" seutas tambang serta "diizinkan"
menggantung diri. Dia digiring ke sebuah ruangan tempat sebuah palang dan sebuah
bangku telah menunggu. Dalam ruangan itu ada seorang pelayan yang akan membantu
Yee untuk naik ke atas bangku, kalau-kalau kakinya tak mampu. Pelayan itu juga
harus menendang bangku dan bawah kaki Pangeran Yee setelah kepalanya berada
dalam simpul tambang. Memerintahkan hukuman semacam ini membuatku muak, tetapi aku tahu bahwa aku tak
punya pilihan. Dalam beberapa hari berikutnya, lebih banyak lagi kaki-tangan Su Shun, termasuk
Kepala Kasim Shim, yang dicopot dari semua jabatan dan kekuasaan mereka. Shim
divonis hukuman mati dengan dicambuk, tetapi aku menengahi untuk kepentingannya.
Kukatakan pada dewan Istana bahwa era yang baru harus dimulai dengan
pengampunan. Putra-putra Su Shun dipancung, tetapi aku mengampuni putrinya, sengaja
membengkokkan hukum dalam kasus gadis itu. Dia gadis cerdas yang dulu pernah
membantuku sebagai pustakawati.
Tidak seperti ayahnya, gadis itu baik hati dan pemalu. Meskipun aku tak berniat
untuk meneruskan persahabatan kami, aku merasa bahwa gadis itu berhak hidup.
Semua kasim Su Shun dihukum mati dengan dicambuk. Mereka tentu saja cuma sekadar
kambing hitam, tentu saja, tetapi teror diperlukan untuk membuat suatu
pernyataan. Sedangkan untuk Su Shun sendiri, hukuman mati dengan pemotongan anggota tubuh
direkomendasikan oleh para pejabat hukum. Tetapi aku memutuskan bahwa itu harus
diringankan. "Meskipun Su Shun memang sepenuhnya layak menerima hukuman itu," demikian bunyi
dekritku kepada bangsa, "kami tak bisa menetapkan hati untuk menjatuhkan hukuman
yang ekstrem tersebut. Dengan demikian, karena kemurahan hati kami, kami menjatuhkan hukuman pancung
kepadanya." ---oOo--- Tiga hari sebelum pelaksanaan hukuman mati Su Shun, sebuah kerusuhan pecah di
sebuah distrik Peking tempat tinggal banyak pendukung setia Su Shun. Keluhan
yang terdengar adalah bahwa Su Shun adalah menteri yang ditunjuk oleh Kaisar
Hsien Feng. "Kalau Su Shun benar-benar tak punya nilai kebajikan sama sekali dan
pantas menerima hukuman mati seperti itu, apakah kita harus meragukan
kebijaksanaan Kaisar Hsien Feng" Atau haruskah kita curiga jangan-jangan wasiat
Susuhunan telah dilanggar?"
Yung Lu mengendalikan kerusuhan itu. Aku menuntut agar Pangeran Kung dan Yung Lu
memastikan terlaksananya hukuman mati Su Shun. Aku menjelaskan bahwa kami harus
benar-benar berhati-hati, karena di masa silam klan prajurit pengembara Manchu
pernah menyelamatkan terhukum untuk mengobarkan pemberontakan.
Pangeran Kung tak begitu memerhatikan kekhawatiranku. Dalam pandangannya Su Shun
sudah mati. Percaya bahwa dia mendapat dukungan dari seluruh rakyat, Pangeran
Kung mengusulkan perubahan tempat pelaksanaan hukuman, dari pasar sayur ke pasar
ternak, yang jauh lebih besar, tempat yang bisa menampung hingga sepuluh ribu
khalayak. Merasa tak nyaman dengan rencana ini, aku memutuskan untuk menyelidiki latar
belakang si algojo. Kukirim An-te-hai dan Li Lien-ying untuk melakukannya, dan
mereka segera kembali dengan berita yang mencemaskan. Ada bukti bahwa si algojo
ternyata telah disuap. Orang yang ditunjuk istana untuk memenggal Su Shun bernama Batuk Tunggal - dia
melaksanakan pekerjaannya dengan kecepatan otomatis. Aku tak tahu bahwa menyuap
algojo telah menjadi tradisi.
Untuk memperoleh keuntungan, orang-orang yang terlibat dalam bidang yang
mendirikan bulu kuduk ini, mulai dari algojo hingga pengasah kapak, bekerja
sama. Ketika seorang pesakitan dibawa ke penjara, dia akan diperlakukan buruk bila
keluarganya tidak bisa menyogok orang yang tepat dengan baik. Misalnya, cedera
yang tak terlihat dan tak terdeteksi dapat ditimpakan pada tulang dan sendi,
membuat si terhukum cacat seumur hidup. Bila si pesakitan dijatuhi hukuman mati
perlahan dengan dipotong anggota tubuhnya, si algojo bisa menghabiskan sembilan
hari untuk memahat si pesakitan menjadi jerangkong sembari menjaganya agar tetap
hidup. Tetapi kalau si algojo puas dengan sogokannya, pisaunya akan langsung
menembus jantung, menyelesaikan penderitaan bahkan sebelum dimulai.
Aku jadi tahu bahwa bila menyangkut pemancungan, ada beberapa tingkatan layanan.
Keluarga si terhukum dan sang algojo akan benar-benar duduk bersama untuk tawar
menawar. Kalau si algojo merasa tak puas, dia akan memenggal kepala si terhukum
dan membiarkannya menggelinding menjauh. Dibantu kaki tangannya, yang akan
bersembunyi di antara penonton, algojo akan membuat kepala itu 'lenyap,' dan tak
akan 'ditemukan' hingga keluarganya memberikan sejumlah uang yang diminta.
Setelah itu, keluarga si terhukum harus membayar seorang perajin kulit untuk
menjahit kembali kepala itu ke tubuhnya. Kalau dibayar cukup baik, algojo akan
memastikan bahwa kepala dan tubuh si terhukum masih akan terhubung dengan
secarik kulit. Ini sulit sekali untuk dicapai, dan si Batuk Tunggal dianggap
amat berbakat untuk urusan ini.
Kuminta Yung Lu mewawancarai si Batuk Tunggal untukku. Aku ingin mendengar
dengan telingaku sendiri bagaimana dia mempersiapkan diri untuk memancung Su
Shun. Sebenarnya aku ingin bicara sendiri dengan Batuk Tunggal, tetapi hukum
melarang hal ini. Jadi aku mengawasi Batuk Tunggal dari balik sebuah panel
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lipat. "Kata 'penggal' atau 'bantai' tidak tepat untuk menggambarkan pekerjaanku,"
Batuk Tunggal memulai dengan nada suara yang mengejutkan lembutnya. Dia adalah
seorang pria berkepala kecil dan berbadan kekar-pendek, dengan lengan-lengan
tebal yang juga pendek. "Kata yang benar adalah 'iris.' Itulah yang kulakukan.
Mengiris. Aku akan memegang pisau pada gagangnya secara terbalik - yaitu dengan
sisi tumpul dekat pergelangan tanganku dan bagian tajamnya menghadap luar. Kala
menerima perintah beraksi, aku akan mendorong pisau itu dari belakang langsung
ke leher Su Shun. Kebanyakan orang yang menghadapi kematian tak sanggup berdiri pada kaki mereka
sendiri saat dibawa kepadaku. Sembilan dari sepuluh orang tak bisa berlutut
dengan tegak. Jadi asistenku akan menjaga bahu orang itu tetap lurus dengan
menarik kepangannya. Aku akan berdiri di belakang Su Shun, agak ke sebelah kiri supaya dia tak
melihatku. Sebenarnya, aku akan mulai mengamatinya begitu dia digiring ke atas
panggung. Aku akan mempelajari lehernya untuk mencari satu titik tempat aku bisa
mengiris masuk. "Saat mulai, mula-mula aku akan menepuk bahu kanannya dengan tangan kiriku. Aku
hanya harus menepuk perlahan - dia sudah cukup gugup. Maksudnya supaya dia
terkejut, dan lehernya akan terjulur, dan aku akan segera mendorong sikutku.
Bilah pisau akan langsung menembus di antara tulang lehernya. Lalu aku akan
menyorong pisauku meluncur ke kiri, dan sebelum ujungnya keluar aku akan
mengangkat kaki dan menendang tubuhnya agar jatuh ke depan. Tendanganku harus
cepat, kalau tidak pakaianku akan tersembur oleh darah, yang dianggap nasib
buruk dalam profesiku."
---oOo--- Hari hukuman mati Su Shun tiba. Belakangan Yung Lu mengatakan kepadaku bahwa
seumur hidupnya dia belum pernah melihat begitu banyak orang datang ke hukuman
pancung. Jalan-jalan penuh, begitu juga atap dan pepohonan. Anak-anak memadati
sakunya dengan batu. Mereka menyanyikan lagu-lagu perayaan. Orang meludahi Su Shun saat kurungannya
lewat. Saat tiba di tempat hukuman, wajahnya tertutup air ludah dan kulitnya
luka-luka dilempari batu.
Batuk Tunggal menenggak habis sebotol minuman keras sebelum naik ke panggung.
Dia nyaris tak percaya bahwa dia akan memenggal Su Shun, karena di masa lalu dia
telah mendapat berbagai perintah dari Su Shun untuk memenggal orang lain.
Su Shun sendiri menyebut kegagalannya sebagai "perahu terbalik di saluran
tinja." Dia berteriak ke arah khalayak yang terbahak-bahak bahwa "ada urusan
cabul di antara kedua Ibu Suri dan sang adik-ipar-Kekaisaran, Pangeran Kung."
Sebentar kemudian kepala Su Shun sudah bergulir seperti penjahat biasa.
Aku dihantui oleh eksekusi itu. Hal-hal yang digambarkan Yung Lu tertinggal
jelas dalam benakku. An-te-hai berkata bahwa aku berteriak keras dalam tidurku,
mengatakan betapa yang kuinginkan hanyalah melahirkan selusin anak dan hidup
sebagai petani. Kata Ante-hai dalam tidurku, leherku tak henti-henti berkejat
dari kiri ke kanan, seakan menghindari sebilah pisau.
---oOo--- Kekayaan Su Shun yang luar biasa besar dibagi-bagi di antara para bangsawan
sebagai kompensasi dan penderitaan yang telah mereka alami. Dalam waktu semalam
aku dan Nuharoo menjadi kaya.
Nuharoo membeli perhiasan dan pakaian, sedangkan aku membayar mata-mata.
Percobaan pembunuhan terhadapku menghancurkan rasa amanku. Dengan uang yang
tersisa aku membeli grup opera milik Su Shun. Dalam hidup sunyiku sebagai janda
Kaisar, opera menjadi pelarianku.
Istana mengambil suara dan mengabulkan sebuah proposal yang kubuat atas nama
Tung Chih untuk mempromosikan Yung Lu dan Ante-hai. Sejak saat itu Yung Lu
memegang jabatan tertinggi dalam militer Cina. Dia bertanggung jawab tidak hanya
dalam melindungi Kota Terlarang tetapi juga melindungi seluruh negeri. Gelar
barunya adalah Komandan Tertinggi Tentara Kekaisaran dan Menteri Kerumahtanggaan
Kekaisaran. Sedang An-te-hai, pekerjaan Kepala Kasim Shim dulu kini menjadi
tanggung jawabnya. Dia mendapat pangkat tingkat kedua, yaitu sebagai menteri
istana, jabatan tertinggi yang dapat dicapai seorang Kasim.
---oOo--- Setelah segala kekacauan itu, aku memerlukan beberapa hari ketenangan. Kuundang
Nuharoo dan Tung Chih untuk bergabung denganku di Istana Musim Panas, tempat
kami mengapung di atas danau Kunming, jauh dari reruntuhan yang diciptakan oleh
bangsa asing. Setelah musim panas, ladang-ladang yang subur menyerupai daerah
pedalaman di sebelah Selatan sungai Yangtze, wilayah kota asalku, Wuhu.
Tung Chih memaksa untuk tetap tinggal di perahu besar Nuharoo, yang penuh tensi
tamu dan para penghibur. Aku terapung sendiri, dengan An-te-hai dan Li Lien-ying
mendayung. Seluruh keindahan tempat itu datang menguasaiku. Aku begitu lega
kesulitanku tampaknya telah berakhir. Aku telah mengunjungi Istana Musim Panas
berkali-kali sebelumnya, tetapi selalu bersama Ibu Suri Jin. Dia sudah begitu
menjadi duri dalam daging untukku sampai-sampai aku tak sadar bagaimana rupa
istana itu sebenarnya. Istana Musim Panas dahulunya adalah ibukota Dinasti Sung Utara pada abad ke-12.
Selama bertahun-tahun, para kaisar dan wangsa-wangsa yang berbeda telah
menambahkan paviliun, pagoda, dan kuil ke tempat itu. Dalam masa Dinasti Yuan
danaunya diperluas untuk menjadi bagian dari persediaan air Kekaisaran. Pada
tahun 1488, para Kaisar Dinasti Ming yang sangat mencintai keindahan alam mulai
membangun kediaman kerajaan di tepi danau. Pada tahun 1750
Kaisar Chien Lung memutuskan untuk meniru pemandangan yang dikaguminya di
sekitar Danau Barat di Hangchow dan di Soochow, di Selatan. Butuh waktu
limabelas tahun untuk membangun apa yang disebutnya "kota dengan pesona puitis."
Gaya arsitektur daerah Selatan ditiru dengan sempurna. Saat selesai, istana itu
berubah menjadi lukisan hidup terpanjang dan kecantikan yang tak ada
tandingannya. Aku senang berjalan di sepanjang Dermaga Panjang, sebuah selasar tertutup yang
terbagi menjadi dua ratus bagian. Aku mulai dari Gerbang Mengundang Rembulan di
Timur dan mengakhirinya di Paviliun Batu Sepuluh Kaki. Suatu hari saat aku
berhenti untuk beristirahat di Gerbang Awan Terbuyar, aku berpikir tentang Putri
Yun dan anak perempuannya, Putri Jung. Saat masih hidup, Putri Yun melarangku
untuk bicara dengan anaknya. Aku sudah melihat gadis itu, tetapi hanya pada
pertunjukan-pertunjukan atau pesta ulang tahun. Aku mengingat gadis itu sebagai
pemilik sebuah hidung yang langsing, bibir tipis, dan dagu yang agak lancip.
Ekspresinya kosong, seperti tengah bermimpi. Aku ingin tahu apakah keadaannya
baik, dan apakah dia telah diberi tahu tentang kematian ayahnya.
Gadis itu dibawa ke hadapanku. Dia tak mewarisi kecantikan ibunya. Pakaiannya
jubah satin kelabu, dan dia tampak menyedihkan.
Ciri-ciri wajahnya belum berubah dan tubuhnya sekurus tongkat.
Gadis ini mengingatkanku pada terong beku yang terhenti tepat di saat tengah
tumbuh. Dia tak berani duduk bahkan setelah dipersilakan. Kematian ibunya
mestinya telah menyelubungkan bayang-bayang gelap yang permanen pada
kepribadiannya. Dia seorang putri, anak perempuan satu-satunya dari Kaisar Hsien
Feng, tetapi dia tampak seperti anak terlantar.
Bukan sekadar karena darah Hsien Feng mengalir dalam diri si gadis, atau karena
aku merasa bersalah atas nasib buruk ibunya. Aku ingin memberi gadis ini
kesempatan. Saat itu tentulah aku telah merasa bahwa Tung Chih ternyata akan
mengecewakan, dan aku ingin membesarkan seorang anak sendiri, untuk melihat
apakah aku bisa membuat perbedaan. Dalam tingkat tertentu, Putri Jung memberikan
penghiburan kepadaku setelah aku kehilangan Tung Chih.
Meskipun Putri Jung adalah saudara tiri Tung Chih, istana tak mengizinkan dia
untuk tinggal bersamaku kecuali bila aku dengan resmi mengadopsinya, jadi aku
lakukan itu. Ternyata dia memang pantas mendapatkannya. Takut-takut dan sangat
pemalu pada awalnya, perlahan-lahan dia mulai tersembuhkan. Aku mengasuhnya
sesering aku bisa. Di istanaku dia bebas berlarian, meskipun dia nyaris tak mau
menggunakan kebebasan itu. Dia kebalikan dari Tung Chih, yang kesukaannya adalah
bertualang. Betapapun, si gadis bisa berteman dengan anak lelakiku dan menjadi
semacam penyeimbang baginya. Satu-satunya disiplin yang kuminta darinya adalah
bahwa dia harus sekolah. Tidak seperti Tung Chih, dia senang belajar dan menjadi
murid yang baik. Guru-gurunya tak bisa berhenti memuji.
Pada usia remajanya dia berkembang penuh gairah dan ingin memperluas diri. Aku
bukan hanya mendukungnya tetapi juga menyediakan berbagai kesempatan untuknya.
Putri Jung berkembang menjadi gadis jelita ketika menginjak usia lima belas
tahun. Salah satu menteri menyarankan agar aku mengatur perkawinan untuknya
dengan salah seorang kepala suku Tibet- "seperti yang diinginkan oleh ayahnya,
Kaisar Hsien Feng," menteri itu mengingatkanku.
Aku membuang proposal itu. Meskipun Putri Yun dan aku tak pernah berteman, aku
ingin berlaku adil kepadanya. Dia telah menyampaikan ketakutannya bahwa putrinya
akan dinikahkan dengan seorang "suku liar." Kukatakan kepada istana bahwa Putri
Jung adalah anakku, dan terserah kepadaku, bukan pada istana, untuk memutuskan
masa depannya. Alih-alih mengirimkannya untuk menikah di Tibet, aku mengirimnya
kepada Pangeran Kung. Aku ingin Jung mendapat pendidikan privat dan belajar
bahasa Inggris. Saat selesai nanti, aku bermaksud menjadikannya sekretaris serta
penerjemahku. Bagaimanapun juga, bisa jadi akan datang hari ketika aku bicara
secara pribadi dengan Ratu Inggris.[]
Dua puluh empat PERSIAPAN UNTUK PENGUBURAN suamiku akhirnya selesai juga.
Memakan waktu tiga bulan dan memerlukan sembilan ribu pekerja guna membangun
sebuah jalan khusus untuk membawa peti jenazah ke makam kekaisaran. Para
penandu, yang semuanya memiliki tinggi serta berat badan sama, berlatih siang
dan malam untuk menyempurnakan langkah-langkah mereka. Makam itu terletak di
provinsi Chihli, tak jauh dari Peking. Setiap pagi sebuah meja dan kursi
diletakkan di atas sebuah papan tebal yang beratnya kurang lebih sama dengan
peti jenazah. Semangkuk air diletakkan di atas meja itu. Seorang pejabat naik ke
atas bahu para penandu untuk duduk di kursi. Tugasnya memerhatikan air dalam
mangkuk. Para penandu berlatih berbaris hingga air tak lagi tumpah dari dalam
mangkuk. Dikawal oleh Yung Lu, Nuharoo dan aku memeriksa makam itu.
Secara resmi tempat itu disebut Lahan Abadi yang Terberkati. Tanah di situ
sekeras batu dan tertutup embun beku. Setelah perjalanan yang panjang, aku turun
dari tandu dengan lengan kaku dan tungkai beku. Matahari tak tampak. Nuharoo dan
aku mengenakan pakaian putih berkabung sesuai kelaziman. Leher kami terpapar
udara dingin. Debu yang diterbangkan angin mendera kulit kami. Nuharoo tak sabar untuk segera
pulang. Pemandangan ini membuatku tersentuh. Hsien Feng akan beristirahat bersama dengan
semua leluhurnya. Makamnya ada di salah satu dari dua komplek kuburan, satu di
arah Timur dan satunya lagi di arah Barat Peking. Terletak di antara pegunungan,
dikelilingi oleh pohon-pohon pinus tinggi. Jalan upacara yang lebar dikeraskan
dengan marmer dan dihias dengan patung-patung besar gajah, unta, griffin1, kuda
serta ksatria. Sekitar 100 yard menyusuri jalan marmer itu Nuharoo dan aku
menghampiri sebuah paviliun, tempat singgasana satin emas serta jubah naga
kuning Hsien Feng disimpan. Semua ini akan dipajang pada hari upacara korban
setahun sekali. Seperti musoleum para leluhurnya, makam Hsien Feng juga akan
memiliki pelayan serta pasukan pengawal. Gubernur Chihli telah ditunjuk untuk
merawat situs suci ini dan mempertahankan ketenangannya dengan membatasi akses
masuk. Kami memasuki makam. Bagian atasnya, yang berbentuk kubah, disebut Kota Harta,
dan diukir dari batu utuh. Bagian bawahnya adalah makam itu sendiri. Kedua
tingkat itu dihubungkan dengan beberapa tangga.
1 Hewan mitologi berkepala dan bersayap elang, berbadan singa - penerj.
Dengan bantuan sebuah obor kami bisa melihat bagian dalamnya, yang berbentuk
lingkaran dengan diameter lebih kurang enam puluh kaki. Semua terbuat dari
pualam putih. Di tengah-tengah terdapat sebuah ranjang batu di seberang sebuah
meja berukir selebar delapan belas kaki. Pada hari pemakaman, peti jenazah
Kaisar Hsien Feng akan diletakkan di atas ranjang batu itu.
Ada enam buah peti yang lebih kecil pada sebelah kanan dan kiri ranjang batu
Kaisar Hsien Feng. Warnanya merah mawar dan diukir dengan burung phoenix.
Nuharoo dan aku saling melirik, menyadari bahwa keduanya ditujukan untuk kami.
Nama dan gelar kami terpahat di panelnya: Di sini berbaring Ibunda Terberkati
Ibu Suri Yehonala dan Di sini terbaring Ibunda nan Penuh Ketenangan Ibu Suri
Nuharoo. Udara dingin meresap menembus tulang-tulangku. Paru-paruku dipenuhi bau tanah
bagian dalam. Yung Lu membawa masuk si kepala arsitek, seorang pria dalam usia akhir lima
puluhan, kurus kecil, nyaris tak lebih besar daripada seorang anak. Matanya
menunjukkan kecerdasan, kowtow serta bungkukannya dilakukan dengan gaya yang
hanya bisa ditandingi oleh Kepala Kasim Shim. Aku berpaling kepada Nuharoo untuk
melihat kalau-kalau dia ingin mengatakan sesuatu. Dia menggeleng. Kusuruh orang
itu untuk bangkit dan lantas bertanya apa yang menyebabkan dia memilih tempat
ini. "Saya memilih tempat ini berdasarkan feng shui dan kalkulasi dari dua puluh
empat arah pegunungan," sahutnya. Suaranya jernih, dengan sedikit aksen Selatan.
"Peralatan apa yang kaugunakan?"
"Kompas, Yang Mulia."
"Apa yang unik dari tempat ini?"
"Yah, menurut perhitungan saya dan perhitungan rekan-rekan yang lain, termasuk
para ahli nujum kerajaan, di sinilah tempat napas Bumi berkelana. Titik
tengahnya mengumpulkan vitalitas semesta. Di sini adalah tempat yang tepat untuk
menggali Sumur Keemasan. Di sini, tepat di tengah-"
"Apa yang akan menemani Yang Mulia?" potong Nuharoo.
"Selain sutra emas dan perak kesayangan Yang Mulia, buku-buku dan manuskrip,
juga akan ada lentera penerangan." Si arsitek menunjuk pada dua jambangan
raksasa yang berdiri di kedua sisi ranjang batu.
"Ada apa di dalamnya?" tanyaku.
"Minyak tanaman, dengan benang kapas."
"Apa akan menyala?" Nuharoo melihat lebih dekat ke arah jambangan-jambangan itu.
"Tentu saja." "Maksudku, untuk berapa lama?"
"Selamanya, Yang Mulia."
"Selamanya?" "Ya, Yang Mulia."
"Di sini lembap," kataku. "Apa air takkan merembes masuk dan membanjiri tempat
ini?" "Saya sudah merancang sebuah sistem saluran air." Sang arsitek memperlihatkan
pada kami bahwa ranjang batu itu sedikit miring, yang membuat bagian kepalanya
agak lebih tinggi daripada kakinya. "Air akan menetes ke kanal-kanal yang
dipahat di bawah, dan mengalir ke luar."
"Bagaimana dengan keamanan?" tanyaku.
"Ada tiga pintu batu besar, Yang Mulia. Setiap pintu memiliki dua panel marmer
dan dibingkai dengan tembaga. Seperti yang bisa Anda lihat di sini, di bawah
pintu, tempat kedua panel itu bertemu, ada ceruk pahatan berbentuk separuh
semangka. Menghadap ceruk ini, sekitar tiga kaki jauhnya, saya sudah menempatkan
sebuah bola batu. Sebuah jalur untuk bola itu sudah digali. Saat upacara pemakaman selesai, sebuah
kait bergagang panjang akan dimasukkan ke sebuah celah, dan kait ini akan
menarik bola itu ke dalam ceruk. Ketika bola jatuh ke dalam ceruk, pintu akan
tertutup secara permanen."
---oOo--- Kami menghadiahi kepala arsitek itu sebuah gulungan kaligrafi karya Kaisar Hsien
Feng, lalu orang itu mengundurkan diri. Nuharoo tak sabaran untuk pergi. Dia tak
mau menghormati arsitek itu dengan makan malam seperti yang telah dijanjikan.
Aku meyakinkannya bahwa penting sekali untuk tetap memegang janji. "Kalau kita
membuatnya merasa senang, pada gilirannya dia akan membuat Hsien Feng bisa
beristirahat dengan tenang," kataku. "Di samping itu, kita harus datang lagi ke
sini pada hari pemakaman, dan kita pun akan dikubur di sini saat kita mati
nanti." "Tidak! Aku takkan datang ke sini lagi!" jerit Nuharoo. "Aku tidak tahan melihat
peti matiku sendiri!"
Aku menggenggam tangannya di tanganku. "Aku juga tidak."
"Kalau begitu ayo pergi."
"Tinggallah sebentar untuk makan malam, cuma itu, kakak tersayang."
"Kenapa kau harus memaksaku, Yehonala?"
"Kita harus mendapatkan kesetiaan penuh arsitek itu. Kita harus membantunya
mengusir rasa takutnya."
"Rasa takut" Rasa takut apa?"
"Di masa silam, arsitek makam kerajaan sering kali dikurung di dalam bersama
peti jenazah. Keluarga kerajaan menganggapnya tak berguna lagi setelah dia
menyelesaikan tugasnya. Kaisar dan Permaisuri yang masih hidup takut kalau-kalau
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu akan disuap oleh penjarah makam. Arsitek kita itu bisa saja
mengkhawatirkan nyawanya, jadi kita harus membuatnya merasa dipercaya dan aman.
Kita harus biarkan dia tahu bahwa dia akan dihormati dan bukan dicelakai. Kalau
tidak begitu, dia bisa saja menggali sebuah terowongan rahasia untuk
menghilangkan rasa takutnya itu."
Dengan enggan Nuharoo tinggal, dan si arsitek senang sekali.
---oOo--- Ketika aku dan Nuharoo kembali ke Peking, Pangeran Kung menyarankan agar kami
mengumumkan pemerintahan yang baru dengan segera. Kupikir kami belum siap.
Pemenggalan Su Shun sudah menimbulkan simpati di beberapa daerah. Kenyataan
bahwa kami menerima lebih sedikit surat pernyataan selamat dari yang
diperkirakan membuatku prihatin.
Orang memerlukan waktu untuk membangun kepercayaan dalam diri kami. Kukatakan
kepada Pangeran Kung bahwa pemerintahan kami haruslah atas keinginan mayoritas.
Paling tidak kami harus berusaha agar tampak seperti itu, agar secara moral kami
sah. Walaupun Pangeran Kung tak sabar, dia setuju untuk menguji situasi politik untuk
kali yang terakhir. Kami mengambil ringkasan sebuah proposal yang ditulis
Jenderal Sheng Pao kepada semua Gubernur di seluruh Provinsi yang menyarankan
suatu "bangku berkaki tiga," dengan Nuharoo dan aku sebagai Wali dan Pangeran
Kung sebagai penasihat utama Kaisar di bidang administrasi dan pemerintahan.
Pangeran Kung menyarankan agar kami mengambil metode pemungutan suara. Ide ini
jelas sekali terpengaruh Barat. Dia membujuk kami untuk melakukannya karena itu
adalah cara utama bangsa-bangsa Eropa untuk memastikan keabsahan pemerintahan
mereka. Kami akan mengizinkan suara yang diajukan untuk tak bernama, yang belum
pernah dilakukan penguasa mana pun di Cina sebelum ini. Aku setuju, walaupun tak
yakin dengan hasilnya. Proposal itu dicetak dan dibagikan bersama dengan surat
suara. Dengan gelisah kami menunggu hasilnya. Betapa kecewanya kami ketika ternyata
separuh dari para Gubernur itu tak memberikan jawaban dan seperempatnya
menyatakan keinginan untuk memilih ulang Wali Tung Chih. Tak ada yang menyatakan
dukungan terhadap peran Pangeran Kung dalam pemerintahan. Kung menyadari bahwa
dia telah meremehkan pengaruh Su Shun.
Kebisuan dan penolakan ini tak hanya menempatkan kami dalam situasi yang
memalukan, tetapi juga merusak momen - kemenangan kami atas Su Shun telah berubah
menjadi masam. Rakyat merasa kasihan pada pihak yang kalah. Komentar penuh
simpati mulai berdatangan dari seluruh Cina, yang bisa segera mengarah pada
revolusi. Aku tahu aku harus segera bertindak. Kami harus mengatur ulang posisi kami dan
bergerak dengan pasti. Saranku adalah Nuharoo dan aku mengeluarkan sebuah
pernyataan tersumpah yang menyatakan bahwa sebelum meninggal mendiang suami kami
telah secara pribadi menunjuk Pangeran Kung sebagai penasihat senior Tung Chih.
Sebagai gantinya, Kung akan mengajukan usul kepada istana agar Nuharoo dan aku
memerintah bersama di sisinya.
Pengaruhnya mestinya bisa membujuk orang untuk memilih kami.
Pangeran Kung menyetujui rencana itu. Untuk mempercepat hasilnya, aku
mengunjungi seseorang yang sudah lama ingin kuhubungi, sejak kejatuhan Su Shun:
ilmuwan berusia enam puluh lima tahun, Chiang Tai, sosok sosial yang punya
banyak koneksi dan pengkritik Su Shun yang amat gigih. Su Shun membenci ilmuwan
itu sedemikian rupa sehingga dia mencopot semua gelar kerajaannya.
Pada suatu hari yang menyenangkan Chiang Tai dan aku bertemu di apartemennya
yang sederhana di hootong. Aku mengundangnya ke Kota Terlarang untuk menjadi
guru kepala Tung Chih. Kaget dan tersanjung, sang ilmuwan dan keluarganya
melemparkan diri ke kakiku.
Keesokan harinya mulailah kampanye Chiang Tai untukku.
Sembari menceritakan kepada semua orang tentang penunjukannya menjadi guru
kepala Tung Chih, dia juga mengatakan betapa bijak dan mampunya aku mengenali
bakat sejati. Ditekankannya betapa tulus dan bersemangatnya aku merekrut orangorang seperti dirinya untuk berbakti pada pemerintah yang baru. Setelah itu,
hanya perlu beberapa minggu bagi angin politik untuk menjadi berpihak kepada
kami. Istana menghitung hasil pemungutan suara, dan kami menang.
---oOo--- Pada tanggal 30 November, seratus hari setelah kematian Hsien Feng, gelar
pemerintahan Tung Chih diubah, dari Kebahagiaan yang Berpertanda Baik menjadi
Kembali Tenteram. Chiang Tai yang memberikan nama baru itu untuk pemerintahan
Tung Chih. Kata "tenteram" akan terlihat dan disebutkan setiap kali seseorang melihat kalender.
Dalam pengumuman kami, yang ditulis olehku dan dihaluskan oleh Chiang Tai, kami
menekankan bahwa bukan pilihan Nuharoo dan aku untuk memerintah. Sebagai Wali,
kami berkewajiban menolong Tung Chih, tetapi kami tak sabar untuk segera
pensiun. Kami memohon pengertian, dukungan, serta maaf dari seluruh bangsa.
Perubahan itu menimbulkan semangat besar. Setiap orang di Kota Terlarang telah
lama menunggu untuk menyingkirkan baju dukacita mereka. Selama 100 hari masa
berkabung, tak ada yang mengenakan warna lain selain putih. Karena para pria tak
diizinkan untuk bercukur, mereka tampak seperti pertapa beruban, dengan janggut
berantakan serta rambut mencuat dari telinga dan hidung mereka.
Dalam waktu seminggu Balairung Pemeliharaan Jiwa telah dibersihkan hingga
berkilauan. Sebuah meja kayu redwood berukuran tiga kali sembilan kaki
ditempatkan di tengah-tengah balairung, ditutupi taplak sutra kuning bersulam
bunga-bunga musim semi. Di balik meja dipasang dua kursi berbungkus keemasan,
yang dimaksudkan untuk aku dan Nuharoo. Di hadapan tempat duduk kami ini
dipasang sebuah tirai sutra kuning transparan yang tergantung dari langitlangit. Itu adalah sebuah simbol bahwa bukan kami yang memerintah, tetapi Tung
Chih. Singgasana Tung Chih ditempatkan di tengah, di hadapan kami.
Pada pagi hari pelantikan sebagian besar menteri senior dianugerahi hak untuk
mengendarai tandu atau kuda saat memasuki Kota Terlarang. Para menteri dan
pejabat mengenakan jubah bulu yang bagus, bertabur batu permata. Kalung dan
topi-topi yang berhias bulu merak berkilat-kilat oleh permata dan batu mulia
lainnya. ---oOo--- Pukul sepuluh kurang seperempat, Tung Chih, Nuharoo dan aku meninggalkan istana
kami, menaiki tandu menuju Istana Keselarasan Sejati. Suara detar cemeti yang
tajam menyatakan kedatangan kami.
Meski dipenuhi ribuan orang, pekarangan dalam tenang dan sunyi - hanya suara
langkah para penandu yang terdengar. Kenangan tentang saat pertama aku masuk ke
Kota Terlarang menyerbu masuk benakku, dan aku harus menahan air mata.
Dengan pamannya, Pangeran Ch'un, sebagai pembimbing, Tung Chih memasuki
balairung untuk pertama kalinya sebagai Kaisar Cina.
Secara serentak semua hadirin berlutut dan melakukan kowtow.
An-te-hai, yang mengenakan jubah hijau berhias pola pohon pinus, berjalan di
sampingku. Dia membawakan pipaku - merokok adalah hobi baru yang membantu
membuatku santai. Aku ingat bertanya kepada An-te-hai beberapa hari yang lalu
mengenai apa yang dia paling dia inginkan; aku ingin memberinya hadiah. Malumalu dia mengatakan bahwa dia ingin menikah dan mengangkat anak. Dia yakin bahwa
posisi dan kekayaannya akan menarik perhatian wanita yang dipilihnya, jadi dia
takkan kehilangan seluruh peranannya sebagai pria.
Aku tak tahu apakah aku harus mendukungnya. Aku memahami hasratnya yang tak
terpenuhi itu. Kalau saja aku tidak tinggal di Kota Terlarang, aku akan mencari
seorang kekasih. Seperti An-te-hai, aku juga mendambakan keintiman dan
kesenangan. Aku benci keadaanku sebagai janda dan hampir gila karena kesepian.
Hanya rasa takut terpergok, serta membahayakan masa depan Tung Chih, yang telah
menahanku. Aku duduk di samping Nuharoo, di belakang putraku. Sambil mengangkat dagu ke
atas, aku menerima kowtow dari anggota dewan istana, pemerintahan, dan anggota
keluarga kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Kung. Sang pangeran terlihat
tampan dan muda saat berdiri berdampingan dengan para pejabat senior yang
berambut kelabu dan berjanggut putih. Usianya baru dua puluh delapan tahun.
Aku mencuri pandang pada Nuharoo dan sekali lagi terpesona akan sosoknya yang
cantik. Dia mengenakan jubah phoenix barunya dengan hiasan rambut serta antinganting yang serasi. Dengan anggun dia mengangguk, menelengkan dagu, tersenyum
kepada semua orang yang menghampirinya. Bibirnya yang indah membentuk kata tanpa
suara, "Bangkitlah."
Aku tak bisa menikmati semua ini seperti Nuharoo. Benakku terbang ke ke danau di
Wuhu tempat sebagai seorang gadis kecil aku kerap berenang. Aku ingat kesejukan
lembut air danau, dan betapa aku merasa begitu merdeka saat mengejar bebek-bebek
liar. Sekarang ini aku adalah perempuan paling berkuasa di Cina, tetapi jiwaku terpaku
pada peti mati kosong dengan nama dan gelarku terukir pada batu yang dingin.
Perasaanku itu juga dialami oleh satu jiwa lain. Aku sadar Yung Lu mengawasiku
dari salah satu sudut Balairung. Akhir-akhir ini aku terlalu tersita oleh
bayang-bayang Su Shun untuk membiarkan pikiranku terhanyut pada Yung Lu. Kini,
saat aku duduk di atas singgasanaku, aku melihat air mukanya dan menangkap
gairahnya. Aku merasa bersalah, tetapi aku tak bisa menghentikan diriku dan menginginkan
perhatiannya. Hatiku bercumbu dengannya saat aku duduk di situ dengan wajah
kaku. Pangeran Kung mengumumkan akhir audiensi. Hadirin memberikan penghormatan
kepadaku dan Nuharoo sementara kami bangkit dari tempat duduk. Kurasakan mata
Yung Lu mengikutiku. Aku tak berani balas memandang.
Malam itu ketika An-te-hai datang, aku mendorongnya pergi.
Aku frustrasi dan merasa jijik pada diri sendiri.
An-te-hai memukuli wajahnya sendiri dengan kedua tangannya hingga aku
menyuruhnya berhenti. Pipi-pipinya membengkak seperti bakpau. Dia tak tahan
melihat penderitaanku, katanya. Dan dia berkeras bahwa dia mengerti apa yang
tengah kualami. Dia mengucapkan terima kasih pada Langit karena telah membuatnya
menjadi kasim dan berkata bahwa hidupnya ditakdirkan untuk turut menanggungkan
deritaku yang tak terukur.
"Pastilah tak terlalu berbeda, Gusti Putri," gumamnya. Lantas dia mengatakan
sesuatu yang tak terduga. "Ada kemungkinan untuk menyenangkan diri Anda, Gusti
Putri. Kalau saya jadi Anda, saya akan segera mencari alasan."
Pada awalnya aku tak mengerti apa yang tengah dia bicarakan, tetapi kemudian aku
mengerti. Kuangkat tanganku, membiarkannya jatuh dengan keras ke atas wajah si
kasim. "Sampah!"
"Silakan saja, Gusti Putri." Si kasim menjulurkan leher seolah siap untuk
menerima tamparan lagi. "Pukul saya sesuka Anda, Gusti Putri. Saya akan tetap
mengatakan apa yang harus saya katakan.
Besok upacara pemakaman resmi akan dimulai. Ibu suri Nuharoo sudah mengatakan
tak akan pergi. Kaisar Tung Chih juga diizinkan tak pergi, karena udara terlalu
dingin untuknya. Anda akan menjadi satu-satunya wakil keluarga dan melakukan
upacara selamat tinggal di lokasi makam. Orang yang akan mendampingi Anda adalah
Komandan Yung Lu!" Dia berhenti, menatapku tanpa berkedip, matanya bersinarsinar penuh semangat. "Perjalanan ke makam," bisiknya, "panjang dan sunyi.
Tetapi perjalanan itu bisa dibuat jadi menyenangkan, Gusti Putri."
---oOo--- Aku menemui Nuharoo untuk membuktikan kata-kata An-te-hai.
Kumohon agar dia mengubah pikirannya dan berangkat denganku ke makam. Nuharoo
menolak, berkata bahwa dia sibuk dengan hobi barunya, mengumpulkan kristal
Eropa. "Lihat betapa menakjubkannya pohon kristal itu." Dia menunjuk ke arah
sebuah ruangan yang dipadati benda-benda gemerlapan - pohon-pohon kaca setinggi
bahu, semak kaca selutut yang seluruhnya dihiasi bel. Lemari demi lemari,
jambangan demi jambangan dipenuhi bunga-bunga kaca. Dari langit-langit
tergantung bola-bola kaca berwarna perak, menggantikan lampion Cina. Nuharoo
memaksaku agar mengambil salah satu bola itu untuk digantung di istanaku. Aku
tahu aku takkan menggantungnya di tembok atau di tamanku. Yang aku inginkan cuma
agar ikan-ikan dan burung-burungku kembali. Aku ingin punya merak yang
menyambutku setiap pagi dan burung merpati terbang di sekitar atapku dengan
peluit dan lonceng diikatkan ke kaki mereka. Aku sudah memulai pembenahan
kembali tamanku, dan An-te-hai sudah mulai melatih burung-burung nuri baru, yang
dinamakan menurut para pendahulunya: Pelajar, Penyair, Pendeta Tang, dan
Konfusius. Dia mengupah seorang seniman kriya untuk memahat seekor burung hantu kayu, yang
dengan jahilnya diberinya nama Su Shun.
Aku kembali ke istanaku dengan pipi memerah karena berjalan menempuh salju. Tak
pernah aku merasa begini lemah. Sesuatu yang tak boleh terjadi, aku inginkan
untuk terjadi. Aku tak bisa menata perasaanku ke dalam perspektif yang benar,
takut menghadapi perasaanku sendiri. Sepanjang malam aku berusaha mengusir
gambaran-gambaran yang aneh itu keluar dari kepalaku. Aku ada di atas sebuah
tebing. Satu langkah salah dan aku akan jatuh, putraku akan dipaksa untuk
menghadiahkan seutas tambang kepadaku. Hatiku mengharapkan apa yang bisa terjadi
dalam perjalanan menuju makam, tetapi kepalaku menyeretku kembali kepada
putraku. Pikiran-pikiranku membuat perjalanan itu menjadi panjang. Aku dipenuhi
kegelisahan dan keputusasaan. Yung Lu berusaha agar selalu berada di luar jarak
pandangku, bahkan saat kami berhenti di wisma-wisma Gubernur Provinsi untuk
melewatkan malam. Dia mengirimkan serdadunya untuk menjagaku, dan memohon agar
dibebas-tugaskan ketika aku meminta kehadirannya.
Aku sakit hati. Jika kami menyadari bahwa kami saling menyukai dan terlarang
selamanya untuk mencoba menciptakan sebuah hubungan, akan lebih mudah bagi kami
berdua bila mengakui saja perasaan kami. Kami mungkin dapat mengubah situasi
menjadi lebih baik, atau setidaknya mengendurkan kewaspadaan kami. Aku mengerti
bahwa membicarakan perasaan seperti itu tentu sulit, tetapi berbagi rasa sakit
sebenarnya adalah satu-satunya hal yang dapat kami raih.
Aku frustrasi karena tak punya kesempatan untuk menyatakan terima kasih dan
kagumku kepadanya. Bagaimanapun, dia telah menyelamatkan nyawaku. Aku sebal pada
sikap menjaga jarak yang diambilnya dan merasa aneh karena dia begitu
mengecilkan peranannya dalam penyelamatanku. Dengan jelas dikatakannya kepadaku
bahwa jika misalnya Nuharoo yang berada di dalam karung goni itu, dan bukan aku,
dia takkan bersikap lain. Setelah naik pangkat, dia mengembalikan sebuah ruyi
yang kukirim kepadanya. Katanya dia tak patut menerimanya dan membuatku berpikir bahwa aku sudah membuat
diriku sendiri terlihat bodoh. Sekilas dia menunjukkan bahwa memang pernah ada
ketertarikan di antara kami, tetapi pada dirinya itu tak bertahan lama.
Duduk di dalam tandu, aku punya terlalu banyak waktu untuk memerhatikan pikiranpikiranku. Aku merasa seperti punya dua kepribadian. Yang satu cukup waras. Jiwa
yang ini berkata bahwa ada harga yang harus dibayar untuk menjadi aku saat ini,
dan bahwa aku harus menerima penderitaan sebagai janda dengan diam-diam hingga
aku mati. Kepribadian yang ini mencoba meyakinkanku bahwa menjadi penguasa di
Cina saja sudah bisa membawa kesenangan sendiri. Kepribadian lainnya,
kepribadian yang tidak waras, tak setuju.
Dia benar-benar merasa terperangkap. Kepribadian ini menganggapku sebagai orang
paling terlantar di Cina, lebih malang daripada petani.
Aku tak bisa sepenuhnya setuju atau tak setuju dengan kedua sisi diriku itu. Aku
tak percaya bahwa aku punya hak untuk merendahkan Kaisar Hsien Feng, tetapi aku
juga berpikir bahwa tak adil rasanya jika aku harus menghabiskan hidupku dalam
keadaan terpencil dan kesepian. Kuperingatkan diriku lagi dan lagi dengan
contoh-contoh sejarah tentang janda-selir Kaisar yang kencannya berakhir dengan
hukuman berat. Aku membayangkan hukuman potong tubuh mereka setiap malam, tetapi
Yung Lu tetap saja ada di dalam pikiranku.
Aku mencoba menjinakkan perasaanku dengan segala cara yang kubisa. Dari An-tehai dan Li Lien-ying aku tahu bahwa Yung Lu tak punya hubungan romantis dengan
siapa pun walaupun para mak comblang sudah menggedor-gedor pintu rumahnya.
Kupikir, aku bisa mendapat hasil lebih baik daripada itu dan meyakinkan diriku
sendiri bahwa menjadi mak comblang mungkin akan membebaskanku dari rasa sakit
ini. Aku harus bisa menghadapinya dengan detak jantung yang tetap, karena
peluang Tung Chih untuk bertahan tergantung pada kekompakan di antara kami.
---oOo--- Aku memanggil Pangeran Ch'un dan Yung Lu ke tendaku. Adik iparku datang sedikit
lebih awal, dan aku bertanya kepadanya tentang bayi lelakinya dan kesehatan
adikku Rong. Dia meledak dalam tangis, mengatakan kepadaku bahwa keponakanku
yang masih bayi itu telah meninggal. Dia menyalahkan istrinya dan mengatakan
bahwa bayi itu meninggal karena kurang gizi. Awalnya aku tak bisa percaya,
tetapi lalu menyadari bahwa itu mungkin saja benar. Adikku punya gagasan yang
aneh tentang makanan. Dia tak mau memberi makan anaknya
"sampai menjadi Buddha perut gendut"; jadi dia tak pernah membiarkan bayinya
makan hingga kenyang. Tak ada yang tahu bahwa semua itu disebabkan keadaan
kejiwaan Rong yang kurang baik sampai dua anaknya yang lain juga meninggal
ketika masih bayi. Pangeran Ch'un memohon padaku agar melakukan sesuatu guna mencegah Rong berbuat
begitu, karena sekarang dia tengah hamil lagi. Aku berjanji akan menolong, dan
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyuruh sang pangeran untuk minum sedikit anggur ubi jalar. Di tengah
percakapan, Yung Lu tiba.
Dia mengenakan seragam dan botnya dilapisi debu. Dia duduk diam-diam dan
mengambil semangkuk arak. ubi. Aku amati dia sembari terus bicara dengan
Pangeran Ch'un. Pembicaraan kami beralih dari anak-anak ke orangtua, dari Kaisar Hsien Feng ke
Pangeran Kung. Kami bicara tentang betapa keadaan sudah bertambah baik, tentang
nasib baik kami menang melawan Su Shun. Aku ingin mendiskusikan tugas-tugas yang
masih menumpuk, situasi yang mengkhawatirkan mengenai kaum Taiping, traktat
serta negosiasi dengan kekuatan asing, tetapi Pangeran Ch'un menjadi bosan dan
menguap. Yung Lu dan aku duduk berhadapan. Kuawasi dia minum lima mangkuk anggur ubi.
Wajahnya sudah menjadi merah padam saat itu, tetapi dia tetap tak mau bicara
denganku. "Yung Lu memang menarik, bagi lelaki sekalipun," kata An-te-hai malam itu saat
dia dengan lembut menyelimutiku. "Saya mengagumi kekuatan tekad Anda, Gusti
Putri. Tetapi saya pusing melihat perilaku Anda. Apa gunanya apabila Anda
seolah-olah tidak peduli tentang dia sama sekali?"
"Aku menikmati kehadirannya, dan cuma itulah yang bisa kudapat," kataku. Aku
menatap hampa pada langit-langit tenda, tahu bahwa di depanku terbentang malam
yang berat. "Saya tak mengerti," kata kasim itu.
Aku mendesah. "Katakan kepadaku, An-te-hai, apa betul kata pepatah, bila
seseorang terus mengasah batangan besi, batang itu akan berubah menjadi jarum?"
"Saya tak tahu hati manusia terbuat dari apa, Gusti Putri, jadi akan saya
katakan bahwa saya tidak yakin."
"Aku sedang mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ada banyak hal yang menarik
di dunia ini selain ... mencoba meraih yang tak mungkin."
"Hasilnya akan seperti mencari-cari kematian."
"Ya, seperti ngengat yang tak bisa menolak api. Pertanyaannya adalah, bisakah
ngengat itu berbuat lain?"
"Dalam pengertian ini, cinta itu beracun. Namun orang tak bisa hidup tanpa
cinta." Suaranya mantap dan penuh kepercayaan diri.
"Cinta adalah pengabdian tanpa sadar."
"Aku khawatir bukan hanya sekali ini aku memandang ke dalam sungai penderitaan
yang senantiasa berubah itu."
"Tetap saja hati Anda menolak untuk melindungi diri sendiri."
"Apa bisa seseorang dilindungi dari cinta?"
"Kenyataannya adalah, Anda tak bisa berhenti memerhatikan Yung Lu."
"Pasti ada banyak cara lain untuk mencintai."
"Dia juga menyimpan Anda di dalam hatinya, Gusti Putri."
"Semoga Langit mengasihaninya."
"Apa Anda punya cara untuk menenangkan diri?" tanya An-tehai.
"Aku tengah mempertimbangkan untuk menjadi mak comblangnya." Si kasim tampak terkejut. "Anda gila, Gusti Putri."
"Tak ada jalan lain."
"Tetapi bagaimana dengan hati Anda sendiri, Gusti Putri" Anda ingin berdarah
sampai mati" Kalau saya bisa menjadi kaya dengan memunguti air mata Anda dan
lantai, kekayaan saya akan melebihi milik Tseng Kuo-fan!"
"Gairahku akan hilang bila dia sudah jadi milik orang lain. Aku akan paksa
diriku. Dengan menolongnya, aku akan menolong diriku sendiri."
An-te-hai merunduk. "Anda terlalu membutuhkan dia untuk..."
"Aku akan..." aku tak dapat menemukan frasa yang tepat untuk menyelesaikan
kalimatku. "Apa Anda pernah memikirkan apa yang akan Anda lakukan bila dia datang katakanlah malam ini, tengah malam - misalnya?" kata si kasim setelah diam
beberapa saat. "Kamu ini bicara apa?"
"Sembari menyadari apa yang diinginkan hati Anda, Gusti Putri, menyadari bahwa
ini aman, bahwa kita tidak berada di dalam Kota Terlarang, mungkin sekali saya
akan menyerah pada godaan - dengan kata lain, saya mungkin sekali akan
mengundangnya kemari."
"Tidak! Tidak boleh!"
"Kalau saya bisa mengendalikan diri saya sendiri, Gusti Putri.
Kalau saya tidak mencintai Anda cukup besar."
"Berjanjilah, An-te-hai. Berjanjilah bahwa kau takkan melakukannya!"
"Pukul saya kalau begitu. Karena saya ingin sekali melihat Anda kembali
tersenyum. Anda boleh berpikir bahwa saya gila, tetapi saya harus
mengekspresikan diri. Saya ingin rasa cinta Anda bisa terwujud, sama seperti
saya ingin mengembalikan kelelakian saya. Saya tak mungkin membiarkan kesempatan
seperti itu lewat begitu saja."
Aku mondar mandir di dalam tenda. Aku tahu An-te-hai benar, dan bahwa aku harus
segera berbuat sesuatu sebelum situasi ini menelanku sama sekali. Tak sulit
untuk melihat ke mana gairahku untuk Yung Lu akan menuju - kehancuran mimpiku
untuk Tung Chih. Aku memanggil Li Lien-ying. "Cari penghibur dari rumah hiburan terdekat,"
kataku. "Ya, Gusti Putri, segera."
"Para penari tengah malam." An-te-hai berkata, memastikan bahwa muridnya itu
mengerti apa yang kumaksud.
Li Lien-ying bersujud. "Saya tahu sebuah tempat yang bagus sekitar setengah mil
dari sini, Kampung Persik."
"Kirimkan tiga wanita terbaik mereka kepada Komandan Yung Lu segera," kataku,
lalu menambahkan, "Katakan bahwa mereka adalah hadiah dariku."
"Ya, Yang Mulia." Si kasim pun berangkat.
Aku mengangkat tirai dan memerhatikan Li Lien-ying menghilang dalam kegelapan
malam. Aku merasakan beban yang sangat berat menekanku hingga remuk. Perutku
terasa seperti dipenuhi batu. Tak ada yang tersisa dari gadis yang datang ke
Peking dalam cahaya suram pagi musim panas sepuluh tahun yang lalu. Gadis itu
naif, penuh rasa percaya dan rasa ingin tahu. Dia begitu penuh dengan kemudaan
dan perasaan yang hangat, siap untuk menantang kehidupan. Tahun-tahun di Kota
Terlarang telah membentuk semacam cangkang di sekelilingnya, dan cangkang itu
telah mengeras. Para ahli sejarah akan menggambarkan dia sebagai seseorang yang
kejam dan tak punya hati. Tekad bajanya akan dikatakan berhasil membawanya
melalui satu krisis ke krisis lainnya. Ketika aku membalik, An-te-hai tengah
menatapku dengan mimik takjub.
"Aku ini sama saja seperti semua orang lain," kataku. "Tak ada lagi tempat
bagiku untuk berlindung."
"Anda telah melakukan hal yang mustahil itu, Gusti Putri."
---oOo--- Keesokan harinya tak ada angin. Cahaya matahari masuk di sela-sela awan tipis.
Aku menaiki tandu dan pikiranku lebih tenang. Aku yakin bahwa kini aku bisa
berpikir tentang Yung Lu dengan cara lain. Aku merasa agak lega, tak terlalu
tercekik. Hatiku menerima apa yang telah terjadi dan bangkit perlahan dan puingpuing. Untuk pertama kali dalam waktu yang amat panjang aku merasakan datangnya
harapan. Aku akan menjadi perempuan yang telah mengalami yang terburuk, dan
karenanya tak punya alasan lagi untuk merasa takut.
Namun demikian, hatiku dengan bandel tetap merindukan hal-hal lama, sebagaimana
menjadi jelas ketika kudengar suara teracak kuda dekat tanduku. Seketika itu
juga pikiranku jatuh pada kegilaan yang biasa itu, melumpuhkan seluruh tekadku.
"Selamat pagi, Yang Mulia!" Itu suaranya.
Semangat dan kegembiraan melumpuhkanku. Tanganku bergerak sendiri, mengangkat
tirai. Wajahnya terbingkai jendela tandu. Dia mengenakan seragam upacaranya yang
menakjubkan itu, duduk tegak di atas pelana kudanya.
"Saya menikmati hadiah Anda semalam," katanya. "Anda sangat penuh perhatian."
Dia terlihat lebih gelap. Bibirnya kering dan matanya tak tersenyum.
Aku bertekad untuk menaklukkan perasaanku, maka aku berkata, "Aku senang."
"Apakah Anda berharap saya akan mengatakan bahwa saya mengerti pengorbanan Anda
dan berterima kasih untuk itu?"
Aku ingin berkata tidak, tetapi bibirku tak mau bergerak.
"Anda sungguh kejam," katanya.
Aku tahu bahwa kalau aku sekarang melunak, sedikit saja, aku akan segera lepas
kendali. "Sudah waktunya kau kembali bertugas." Kuturunkan tirai.
Ketika terdengar suara teracak kudanya menjauh, aku menangis.
Kata-kata Nuharoo terngiang di telingaku, "Rasa sakit itu bermanfaat. Sakit
mempersiapkan kita untuk mendapat kedamaian."
---oOo--- Fajar berikutnya kami ada di makam Hsien Feng. Aku menunggu tiga jam sampai tiba
saatnya untuk memindahkan peti jenazah ke tempatnya. Aku disuguhi bubur untuk
sarapan. Lalu tiga rahib mengayun-ayunkan
pedupaan mereka, berjalan berputar mengelilingiku. Asap tebal itu mencekik leherku. Genderang dan musik terus
bermain dan angin merusakkan suara mereka. Sawang terhampar luas, gersang.
Para penandu mendorong peti jenazah dengan bahu mereka, inci demi inci, ke dalam
makam. Aku duduk berlutut, berdoa semoga roh Hsien Feng mendapat kedamaian dalam
hidup selanjutnya. Dua ratus pendeta Tao, dua ratus lama Tibet, dan dua ratus
rahib Buddha membaca wirid. Suara mereka selaras dengan cara yang ganjil. Aku
tetap berlutut di hadapan altar hingga yang lain menyelesaikan ucapan selamat
tinggal yang terakhir pada Kaisar Hsien Feng. Aku tahu sebetulnya aku tak boleh
sebal pada An-te-hai, yang ada di sampingku untuk memberitahukan langkah demi
langkah yang harus kulakukan, tetapi tetap saja aku ingin agar dia tutup mulut.
Aku akan menjadi orang terakhir yang masuk makam dan akan berada berdua saja
dengan mendiang Yang Mulia sebelum makam ditutup permanen.
Si kepala arsitek mengingatkan semua menteri agar tepat waktu. Menurut
perhitungan, makam itu harus ditutup pada tengah hari, saat matahari tak
menyebabkan bayang-bayang apa pun. "Kalau tidak demikian, maka energi surgawi
yang penting akan mulai merembes keluar."
Aku menunggu giliran sembari mengawasi orang keluar masuk makam. Lututku mulai
terasa sakit dan aku kangen sekali kepada Tung Chih. Aku ingin tahu sedang apa
dia, dan apakah suasana hati Nuharoo sudah berubah. Dia sangat marah dan sedih
pada hari dia mengetahui bahwa semua rumpun mawarnya telah mati - orang-orang
barbar menggali akar-akarnya untuk mencari "harta yang terkubur."
Tulang belulang nuri kesayangannya, Tuan Amitaba, juga ditemukan di taman.
Burung itu adalah satu-satunya dari jenisnya yang bisa mengucapkan doa penganut
Buddha " amitaba.2"
Pikiranku melayang pada Rong. Aku tak yakin bahwa bicara dengannya akan bisa
membantunya menerima kematian putranya.
Rong terlalu mudah ketakutan, dan aku takkan menyalahkannya kalau 2 Terpujilah
Sang Buddha - penerj dia berpikir bahwa Kota Terlarang adalah tempat yang mengerikan untuk
membesarkan anak. Aku hanya bisa berharap bahwa kehamilannya kini bisa
menanamkan harapan baru untuknya.
An-te-hai bertingkah aneh sepanjang hari ini.
Dia membawa sebuah kantong katun besar, dan ketika kutanya ada apa di dalamnya
An-te-hai menjawab dia menyimpan jas luarnya di situ. Aku tak mengerti mengapa
dia bersikeras membawa jas luar padahal udara sangat cerah, dan langit biru
membentang dari cakrawala ke cakrawala.
Orang-orang yang keluar dari makam mengelilingiku, berbaris untuk menyatakan
hormat, membungkuk dan bersujud. Masing-masing orang memerlukan beberapa menit
untuk menyelesaikan sujud. Beberapa menteri tua sudah nyaris buta serta
kesulitan melangkah. Mereka tak mau menerima kekecualian yang kuberikan dan
memaksa untuk melaksanakan keseluruhan protokol. Tak ada yang bertanya apakah
aku letih, atau lapar. Suhu mulai naik. Tangan dan tubuhku terasa hangat. Semua orang tampak sudah
sangat letih dan tak sabar ingin pulang. Namun, tata krama tak bisa diabaikan.
Barisan orang di hadapanku terus bertambah, merentang dan gerbang masuk hingga
ke paviliun batu. Aku melihat dari sudut mataku bahwa para penandu sedang berbagi lelucon dan para
pengawal tampak bosan. Kuda-kuda mengentakkan teracak mereka. Angin gurun
menyiulkan nada-nada sunyi yang menakutkan dan kejauhan. Pada saat matahari
berada tepat di atas kepala, banyak menteri yang mengendurkan tatakrama dan
melepaskan kancing kerah mereka, lalu duduk di tanah menunggu makam ditutup.
Akhirnya ahli nujum istana mengumumkan bahwa semua sudah siap. Aku dikawal ke
makam sementara An-te-hai masuk lebih dulu untuk memeriksa sebelum aku masuk.
Ahli nujum berkata kepadaku bahwa aku harus masuk sendiri, sesuai tradisi.
"Mendiang Yang Mulia sudah siap untuk saat-saat duniawi terakhirnya bersama
Anda." Mendadak saja aku ketakutan dan berharap bahwa Yung Lu ada di sampingku.
"Bisakah ... bisakah seseorang menemaniku?" tanyaku. "Bisakah An-te-hai tetap
tinggal bersamaku?" "Maaf Yang Mulia, tidak bisa." Kepala ahli nujum membungkuk.
Tungkaiku gemetar, tetapi kupaksa diriku untuk bergerak.
"Yang Mulia," kudengar sang arsitek memanggil, "keluarlah sebelum tengah hari."
Terowongan itu terasa amat panjang, dan sempit. Tempat ini terasa berbeda dengan
apa yang telah aku dan Nuharoo lihat ketika terakhir kami berada di sini. Aku
bisa mendengar gema langkahlangkahku sendiri. Mungkin karena semua perabotan yang baru ini, serta
permadani-permadani dinding. Sebuah jam meja emas besar masuk dalam ruang
pandangku. Aku ingin tahu kenapa Yang Mulia memerlukan jam segala. Aku hanya
tahu sedikit tentang hidup sesudah mati, tetapi dan apa yang kulihat sekarang,
aku yakin bahwa mestinya hidup di alam baka itu memerlukan banyak hal.
Saat melihat berkeliling, sebuah permadani dinding menarik mataku. Permadani itu
menggambarkan sebuah pondok kosong di tengah alam pegunungan. Seorang wanita
cantik bersandar seraya memangku sebuah qin. Bunga-bunga persik yang sedang
berkembang penuh terlihat dan jendela bundar di belakang perempuan itu, gairah
musim semi tampak berbenturan dengan kepiluan yang diperlihatkan si perempuan.
Jelas dia tengah menanti suaminya - atau mungkin kekasihnya. Kakinya yang terbuka
mengesankan kerinduan pada lelakinya. Aku kaget dan heran melihat bahwa sepasang
telapak kaki itu diikat. Cahaya dan buli-buli minyak menguarkan bau harum dan sinar Jingga, menambahkan
kehangatan pada perabot yang berwarna merah. Di atas meja di sudut ada
bertumpuk-tumpuk selimut kapas, selimut biasa, seprai dan bantal. Tempat itu
tampak mengundang, seperti sebuah kamar tidur. Aku melihat meja dan kursi yang
dulu selalu digunakan Hsien Feng. Punggung kursi yang tinggi diukir dengan pola
bunga lili. Aku ingat bahwa suatu kali aku menyampirkan gaunku di situ, saat
menghabiskan malam bersamanya.
Mataku tertumbuk pada peti kosong dengan namaku terukir di atasnya. Benda itu
diletakkan tepat di samping peti Hsien Feng, seolah-olah aku sudah mati dan
dikuburkan di dalamnya - seperti yang dulu diinginkan Su Shun, seperti yang nyaris
diperintahkan oleh Yang Mulia, seperti yang mungkin saja merupakan jalan
hidupku. Tempat ini akan menjadi tempat istirahat abadiku, jauh dan cahaya
matahari, jauh dan Tung Chih, dan - Yung Lu.
Seharusnya aku menangis. Itu yang diharapkan dari seorang maharani. Tetapi aku
tak punya air mata. Kalau pun punya, air mata itu hanya untuk diriku sendiri,
sebab hidupku tak jauh berbeda dengan dikuburkan hidup-hidup. Hatiku dilarang
merayakan musim seminya sendiri, dan sudah mati semalam, saat kukirimkan tiga
pelacur itu kepada Yung Lu. Gadis bernama Anggrek yang berasal dari Wuhu itu
takkan pernah berbuat demikian.
Aku tak seberani yang kuharapkan. Agaknya itulah yang dimengerti An-te-hai
dengan baik. Aku hanya seorang perempuan biasa - dan aku mencintai Yung Lu.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku ada di dalam makam. Aku tak punya keinginan
untuk pergi dan kembali memasuki dunia penuh cahaya matahari. Aku takkan
menemukan hidup yang kurindukan itu di luar sana. Tawa riang yang kukenal dulu
tak ada di situ. Aku bahkan tak boleh menatap mata Yung Lu. Hidup macam apa itu"
Apa gunanya untuk terus hidup"
Tengah hari nanti pintu yang menghubungkan tempat ini dengan dunia luar akan
ditutup. Anehnya, kini rasa takutku menghilang. Ada kedamaian yang aneh di sini,
nyaman dan hangat seperti di dalam rahim ibu. Aku lega saat berpikir bahwa semua
kesulitan serta kesedihanku akan berakhir bila aku bertahan di dalam sini. Aku
takkan gelisah lagi saat tidur, terbangun untuk menemukan Ante-hai melapor bahwa
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku menangis dan menjerit dalam tidurku. Aku dapat mengatakan selamat tinggal
kepada Yung Lu, di sini di dalam makam, dan terlepas dari segala rasa sakit dan
derita. Aku bisa mengubah tragedi menjadi komedi. Tak ada lagi yang dapat
dilakukan oleh siapa pun untuk membuatku sengsara. Bagian yang paling
menggelikan adalah, aku akan dihormati karena telah dengan sukarela menemani
Kaisar Hsien Feng menapak ke akhirat. Sejarah akan memuji-muji kebajikanku,
sebuah kuil akan dibangun agar generasi selir berikutnya dapat memujaku.
Aku menatap pintu dan ceruk berbentuk separuh semangka serta bola batu yang siap
bergulir. Peti matiku tertutup oleh bunga lilac putih. Kuhampiri benda itu, ingin tahu
apakah tutupnya terbuka. Ternyata tidak, dan aku tak bisa membukanya. Mengapa
mereka menguncinya" Ukiran pada panel-panelnya tidak sesuai dengan seleraku.
Gerakan burung-burung phoenix di permukaan peti itu membosankan, polanya terlalu
ramai, warnanya terlalu mencolok. Kalau saja aku senimannya, aku akan
menambahkan keanggunan dan nyawa pada benda ini. Akan kubuat burung-burungnya
terbang, bunga-bunganya berkembang.
Aku melihat sesuatu yang seharusnya tak ada. Jas luar An-tehai. Dia
menghamparkannya di sini. Arus pikiranku terganggu oleh benda yang sangat
duniawi ini. Mengapa An-te-hai meninggalkannya di sini"
Mendadak kudengar suara langkah terburuburu dan napas cepat seorang lelaki.
Aku tak yakin apakah suara itu datang dari khayalanku saja atau tidak.
"Yang Mulia," suara Yung Lu memanggil, "ini sudah tengah hari!"
Tak berhasil untuk berhenti dengan cukup cepat, dia tergelincir membenturku,
mendorongku ke atas jas luar An-te-hai.
Kami bertatapan dan kemudian bibirnya menjejak bibirku.
"Ini peti matiku," akhirnya aku berhasil mengeluarkan suara.
"Itulah sebabnya aku berani..." panas nafasnya membakar leherku. "Meminjam
sesaat dari hidupmu di alam selanjutnya tak mungkin merupakan dosa."
Kaki dan tanganku lemas, dan kurasakan diriku mulai kehilangan kesadaran. Bisa
kudengar Burung-burung merpati di langit mengirim nada-nada musik nan manis dan
peluit di kaki mereka. "Ini sudah tengah hari," kudengar suaraku sendiri berkata.
"Dan kita ada di dalam kuburanmu," katanya, membenamkan wajah di dadaku.
"Ambil aku." Kulingkarkan lenganku di seputar tubuhnya.
Dia mendorong dirinya menjauh, terengah. "Tidak, Anggrek."
"Mengapa" Mengapa tidak?"
Dia tak mau menjelaskan, tetapi tetap menolak.
Aku memohon. Kukatakan bahwa aku tak pernah menginginkan lelaki lainnya. Aku
memerlukan kasih sayangnya, belas kasihannya.
Aku ingin dia melakukan itu.
"Ah, Anggrek...Anggrekku," dia terus menggumam.
Suatu bunyi keras berdentang di mulut terowongan. Gerbang batu itu.
"Si arsitek sudah menyuruh agar gerbang ditutup!" Yung Lu terlompat bangkit dan
memburu ke arah pintu masuk, menyeretku di belakangnya.
Aku dilanda rasa takut untuk keluar. Benakku teraduk oleh pelbagai kenangan dan
hidup yang telah kujalani. Perjuangan tanpa akhir untuk mempertahankan
penampilan, semua kepura-puraan, senyum yang ditemani air mata. Malam-malam
panjang tanpa istirahat, kesepian yang membungkus jiwaku serta mengubahku
menjadi hantu yang sebenarnya.
Yung Lu menyeretku sekuat tenaga. "Ayo, Anggrek!"
"Mengapa kaulakukan ini" Kau tak memerlukanku."
"Tung Chih memerlukanmu. Wangsa ini memerlukanmu. Dan aku..." mendadak, seakan
sekonyong-konyong patah, dia berhenti.
"Aku sangat berharap bisa bekerja bersamamu, Yang Mulia, untuk seumur hidupku.
Tetapi bila kau bersikeras untuk tinggal di dalam sini, aku akan menemanimu."
Berlutut untuk menatap matanya yang berlinang, aku berhenti meronta.
"Apakah kita akan menjadi kekasih?" tanyaku.
"Tidak." Suaranya samar, tetapi tidak lemah.
"Tetapi kau mencintaiku?"
"Ya, Gusti Ratu. Aku menarik napas, setiap napasku, untuk mencintaimu."
---oOo--- Aku melangkah ke luar, tercebur ke dalam cahaya, dan mendengar tiga ledakan
suara gemuruh di belakang kami - suara bola-bola batu itu bergulir ke tempatnya.
Begitu aku muncul di hadapan khalayak yang tengah menunggu, semua menteri
berlutut dan bersujud, membentur-benturkan dahi mereka seperti orang gila ke
tanah, bersama-sama menyerukan namaku. Ribuan orang tersebar laksana kipas
raksasa sepanjang setengah mil. Mereka telah salah menafsirkan usahaku untuk
tetap tinggal di dalam sebagai bukti kesetiaanku pada mendiang Yang Mulia Kaisar
Hsien Feng. Mereka terpesona akan kebajikanku.
Ada satu orang yang tak berlutut, berdiri sekitar 50 yard dari tempatku.
Kukenali jubahnya yang berpola pohon pinus. Barangkali dia tengah bertanya-tanya
apa yang terjadi pada jas luarnya. []
Tentang Pengarang Anchee Min dilahirkan di Shanghai pada tahun 1957. Pada usia tujuh belas tahun
dia dikirimkan ke sebuah perusahaan penyedia tenaga kerja, tempat seorang
pencari bakat dari Studio Film Madame Mao kemudian mempekerjakannya sebagai
artis film propaganda. Dia tiba Amerika Serikat pada tahun 1984. Memoarnya yang
terbit pada tahun 1994, Red Azalea, disebut sebagai New York Times Notable Book
dan menjadi best seller internasional. Min juga merupakan pengarang Wild Ginger,
serta bestseller internasional lainnya, Becoming Madame Mao.
Percakapan dengan Anchee Min
Anda melakukan riset yang luas untuk buku Becoming Madame Mao, dan mengalami
sendiri Revolusi Kebudayaan di Cina, yang menambahkan intesitas khusus pada
penggambaran yang Anda tuliskan. Apakah pengalaman yang sama juga terjadi dalam
Empress Orchid" Detail sangat penting buat saya. Hal yang paling menantang adalah mengumpulkan
fakta dan menyajikannya dengan benar. Kadang-kadang ada beberapa versi yang
saling bertentangan, tentang suatu kejadian yang melibatkan Maharani Anggrek,
dan banyak juga sumber yang salah atau tak akurat.
Saya meneliti pelbagai dokumen bukan hanya di Kota Terlarang, tetapi juga
catatan medis, keuangan, dan data kepolisian. Bahan bacaan saya tentang
kehidupan para kasim, pelayan, guru-guru Istana, para serdadu Kekaisaran dan
para jenderal membantu saya mendapatkan perspektif yang penting. Buku panduan
sang Maharani tentang makanan dan tetumbuhan obat, juga buku panduan operanya,
sangat membantu mengungkapkan banyak hal dan karakternya.
Menakjubkan sekali bahwa Anda dan Ayah anda berhasil menyelundupkan dokumendokumen dari ruang penyimpanan yang dijaga ketat di Beijing. Bisakah Anda
menggambarkan bagaimana hal itu terjadi "
Yah, saya harus mendapatkan semua fakta itu, tetapi tak ada pejabat di Beijing
yang bersedia mengorbankan kariernya untuk membukakan pintu buat saya. Jadi saya
harus mencoba "jalan belakang." Saya tak bisa bercerita lebih banyak karena saya tak ingin
membahayakan orang yang telah menolong saya.
Pokoknya saya berhasil masuk. Tempat penyimpanan semua dokumen kuno itu dirawat
dengan menggunakan semacam bahan kimia keras, jadi saya diinstruksikan untuk tinggal di dalam tak lebih dari setengah jam. Tetapi saya tidak ingin pergi.
Saya membaca dekrit-dekrit asli sang Maharani (atau salinannya, saya tak tahu
persis). Saya tercekik bau bahan kimia itu, tetapi saya senang karena saya
tinggal di dalam cukup lama.
Semua bukti mendukung bahwa Maharani adalah sosok pemimpin yang jauh lebih
kompeten daripada semua orang lainnya pada masa itu. Ada alasan sehingga
rezimnya bisa bertahan selama empat puluh enam tahun.
Penggambaran Anda yang begitu nyata dan halus tentang Kota terlarang
menghanyutkan pembaca ke dalam puri-puri serta istana-istananya. Bagaimana hidup
Anggrek di situ terbentuk - dan terbatasi - oleh tradisinya"
Yang paling mempengaruhinya adalah, dia sadar betul bahwa dirinya adalah seorang
perempuan, seorang selir. Satu saja langkah salah akan bisa membuatnya
kehilangan nyawa. Harga dan keberhasilannya bertahan adalah sederetan pengorbanan pribadi serta
penderitaan. Misalnya, dia adalah seorang perempuan yang penuh gairah, menjadi
janda pada usia duapuluh enam tahun. Sejak saat itu, dia dilarang untuk memiliki
hubungan apa pun dengan lelaki. Dia harus melawan kebutuhannya akan keintiman,
menentang fitrahnya sendiri.
Seperti juga segala sesuatu dalam hidupnya, misalnya usahanya untuk
membangkitkan Cina kembali, dia gagal, tetapi perjuangannya
benar-benar heroik. Dia berhasil mempertahankan Cina tetap utuh hingga dia wafat.
Apa yang diajarkan kepada para pelajar di Cina tentang Maharani Anggrek" Dan
bagaimana buku-buku sejarah di seluruh dunia mengenang dia"
Dia dianggap "musuh umat manusia." Di Cina, anak-anak belajar bahwa runtuhnya
setiap Dinasti selalu disebabkan kesalahan seorang selir. Hukuman mati yang
dijatuhkan pada seorang selir selalu jadi justifikasi apa pun yang berlangsung
salah. Contoh yang paling mutakhir adalah Madame Mao. Dia dihukum mati,
sementara suaminya dianggap sebagai George Washington-nya Cina. Anak-anak
diajari bahwa sang Maharani bertanggung jawab atas kehancuran peradaban
Kekaisaran Cina yang berumur dua ribu tahun. Buku-buku Cina dan Barat
mengingatnya dengan negatif juga, tetapi buku-buku itu hanya menyajikan sedikit
data. Maharani Anggrek dan Madame Mao keduanya adalah kepribadian yang kuat, dengan
banyak sekali persamaan. Karakteristik, apa yang membuat Anda tertarik, pada
mereka, dan apakah Anda sendiri memiliki sifat-sifat yang sama"
Memang betul. Saya perempuan, dan saya orang Cina, dan pada usia sangat muda
saya belajar bahwa budaya kami tidak memihak pada perempuan. Buku-buku
menampilkan perempuan sebagai contoh negatif, seperti Madame Mao dan Maharani
Anggrek. Saya tertarik pada mereka karena saya ingin menemukan kebenaran, yang
dimulai dengan Red Azalea, buku pertama saya, tentang tumbuh besar dalam
Revolusi Kebudayaan. Versi resmi pemerintah Cina tentang Revolusi Kebudayaan
benar-benar kontras dengan apa yang saya alami.
Saya tak mungkin membiarkan semua kebohongan itu jadi satu-satunya rujukan. Saya
ngeri membayangkan bahwa anak perempuan saya akan mempelajari sejarah yang
salah, dan saya merasa wajib berbuat sesuatu untuk itu.
Beberapa tulisan anda mengkritik Cina - dulu dan sekarang. Apakah Pemerintah Cina
sudah menetapkan "posisi resmi" mereka tentang Anda "
Bagaimana pengalaman Anda ketika mengunjungi keluarga Anda di Cina setahun
sekali" Kebijakan Cina tentang saya adalah "Kami tak akan menjadi musuh Anchee Min,
tetapi kami juga tak bersedia mempromosikan dia." Keluarga saya di Cina punya
beberapa kekhawatiran ... tetapi selama tak ada versi Cina dari buku-buku saya,
keluarga saya merasa cukup aman.
Penutupan Empress Orchid adalah "akhir dari awal," dan itu membuat pembaca anda
meminta sekuel. Bisakah Anda memberitahu kami apa yang akan terjadi selanjutnya"
Setelah dia menjanda, Tzu Hsi memerintah selama empat puluh enam tahun. Material
tentang masa ini benar-benar memesona. Dia dipaksa untuk mempelajari banyak hal,
termasuk diplomasi. Tolong diingat bahwa Cina dalam tahun-tahun terakhir abad 19
telah ditutup dari dunia luar selama lebih dari dua ribu tahun. Orang Barat
mencoba untuk memaksakan perdagangan opium. Sementara itu, para pemberontak
domestik, para Boxer, ingin menjatuhkan wangsa ini. Sang Maharani melaksanakan
suatu kebijaksanaan yang seimbang, dan sebagai hasilnya, sendirian dia berhasil
mempertahankan dinasti itu. Buku saya yang selanjutnya akan mengungkapkan lebih
lanjut tentang karakter pribadinya. Dia adalah seorang politikus besar, ahli
strategi yang cerdas, sekaligus Ibu dan kekasih yang penuh perhatian.[]
Makhluk Pemeluk Manusia 1 Wiro Sableng 054 Pembalasan Pendekar Bule Memanah Burung Rajawali 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama