Ceritasilat Novel Online

Hati Yang Terberkahi 4

Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara Bagian 4


Mencoba meniru sebagai seorang alinergi dapat dikenakan hukuman "lebih buruk
dari kematian" dan berakhir di Divisi Penelitian BtP. Beberapa orang pernah nekat
mencoba memakai ikat lengan palsu untuk bermain-main atau mengancam orang lain dan
berakhir di Divisi Penelitian. Itu mungkin hal paling cerdas yang dapat dilakukan manusia
biasa untuk mendapatkan jalan pintas tercepat menjadi alinergi karena Divisi Penelitian
menggunakan manusia biasa untuk diubah menjadi alinergi.
Atau mati konyol. Aku memikirkan semua ini dan bertanya pada diriku sendiri kembali, apakah aku
bersungguh-sungguh ingin melakukan semua ini karena nyawakulah yang akan menjadi
taruhannya. Michelle menarik tanganku membuatku melihat ke arahnya dan mencium
aroma parfum lembutnya. Sudah setengah jalan aku hanya bisa maju saat ini. Seharusnya tidak akan ada
masalah apa pun yang akan terjadi. Kami berjalan menuju tempat antrian masuk dan jelas terlihat di depan kami sudah
mengantri beberapa pasangan untuk menghadapi mesin pengecekan, aku hanya dapat tersenyum
menutupi debar jantungku. Mendadak aku merasakan tangan Michelle menegang dan
menggenggam keras lenganku serta merta menarikku mendekatinya sehingga dapat
berbisik di telingaku, "Aku melakukan kesalahan, mereka seharusnya memakai alat
pengecekan yang berbentuk pintu sehingga kita tinggal melewatinya saja dan mesin itu akan
menangkap energi tertinggi dari keseluruhan tubuh."
Jantungku hampir copot, jika ada kesalahan sedikit saja aku akan berakhir di
neraka. Aku melihat ke depan dan terlihat sebuah mesin yang sepertinya tempat mereka
meletakkan telapak tangan untuk di- scan. "Apakah mereka menggunakan scan sidik jari?"
tanyaku khawatir sambil berbisik gelisah, "Kita harus keluar dari antrian sekarang."
Michelle menatapku terlihat bingung dan sedikit panik, "Bukan, mereka hanya
mengecek energi yang keluar dari telapak tangan."
"Sama saja kalau begitu, aku harus keluar dari antrian sekarang, tanganku tidak
mengalirkan energi apa pun kecuali energi seorang pelayan kafe," bisikku gelisah dan tidak
tenang lagi, ~ 130 ~ - B L E S S E D H E A R T jika sensor berbentuk pintu akan menangkap energi dari topengku dan membiarkan
aku masuk, telapak tanganku tidak akan memiliki energi untuk mendukungku
diidentifikasi sebagai alinergi. "Tidak mungkin lagi," jawab Michelle, "Dan sekarang tersenyumlah, jangan pasang
wajah ketakutanmu." Aku dapat merasa lengan Michelle memelukku dengan keras. Takut
jika aku melarikan diri dan jelas kami sudah merupakan urutan kedua dalam antrian yang
saat ini sudah menjadi yang pertama. Tidak lagi mungkin untuk berbalik arah tanpa
menimbulkan kecurigaan. Para penjaga mempersilakan agar kami meletakkan telapak tangan kami.
Dua buah mesin itu berdiri setinggi pinggang terletak di kiri dan kanan pintu masuk.
Aku harus meletakkan telapak tangan kananku pada sebuah layar kacanya sekarang atau tidak
sama sekali. Keringat dingin mengalir di dahiku dan aku dapat merasakan nafasku
menjadi sesak. Suara mesin di sebelah kiri Michelle sudah berbunyi dan menunjukkan warna hijau
bertuliskan "Silakan masuk". Sedangkan tanganku masih menggantung di atas mesin
tersebut. Menjadi rabbit atau berbalik sekarang!
Seketika itu juga aku memutuskan untuk berbalik dan mengangkat tanganku yang
gemetar menjauhi alat tersebut sambil menolehkan kepalaku pada Michelle, "Sayang,
kupikir tubuhku kurang sehat. Bagaimana jika aku kembali saja sekarang sebelum aku mempermalukan
diriku dengan terjatuh pingsan di acara pesta," kataku sedikit keras agar terdengar
oleh para penjaga. Berharap mereka mungkin akan maklum jika aku meninggalkan tempat ini sekarang.
Kakiku sudah hendak melangkah keluar dan menarik serta Michelle jika bukan karena
seorang wanita di belakangku menepuk pundakku dan berkata, "Tuan, temanku ini seorang
penyembuh, masuklah ke dalam dan biarkan dia menyembuhkanmu." Aku terdiam
sebentar menihat kedua wanita bertopeng di belakangku, ingin mengutuk kebaikan mereka
yang sekarang membuatku dalam posisi sulit.
Sebelum aku dapat membalasnya dengan mengatakan, "Tidak, terima kasih". Seorang
yang berada di balik antrian gadis itu mulai menggerutu, "Cepatlah masuk teman dan
kamu bisa memutuskan untuk kembali jika kamu sudah masuk nanti, tapi jangan menghalangi
pintu masuknya." Keringat mengalir di dahiku dan aku benar-benar tidak berdaya, mereka
menghalangi jalan keluarku dan para penjaga sudah mulai melihat dengan curiga.
Aku hanya bisa berharap topeng ini dapat bekerja dengan baik.
Yah Tuhan tolonglah hambamu yang terjebak di gerbang kematian ini.
Tubuhku segera berbalik kembali menghadap ke pintu masuk dan tetap memegang
lengan Michelle di tangan lain berharap ia mengirimkan energi apa pun juga yang
membuatku sedikit di atas normal. Tanganku kembali berada di atas mesin sensor,
menggantung beberapa ~ 131 ~ - B L E S S E D H E A R T sentimeter. Mataku melirik pada para penjaga yang memakai jaket hitam yang mulai
menatapku dengan wajah curiga.
Apakah aku akan menjadi rabbit karena LXX dan perjanjian bodoh itu" Semua ini
jelas tidak ada dalam rencanaku. Begitu juga rencana memiliki LXX. Jauh dalam diriku sebenarnya masih menyimpan
pertanyaan apakah aku alinergi atau tidak. Sebagian dari diriku masih yakin
diriku adalah seorang alinergi, ingin dan begitu ingin hal itu menjadi kenyataan. Aku menatap
mesin pengecek dan jantungku berdebar-debar. Inilah waktunya untuk membuktikan apakah
aku anak ayam atau anak elang, alinergi atau manusia normal. Semua akan terjawab
dengan mesin ini. Kesempatan tidak akan datang kedua kali meski risiko gagal kali ini
akan membahayakan nyawa tapi... aku juga sudah tidak punya pilihan untuk mundur.
Inilah saatnya terbang atau tenggelam.
Berkeringat dingin aku memutuskan meletakkan telapak tanganku di atas mesin
tersebut. Detik penentuan kebenaran akan siapakah diriku sebenarnya.
"Pipp," mesin itu berbunyi, cahaya pada layar menjadi merah dan terlihat tanda,
"Tidak." Meski aku sudah menduga akan hal ini tetap saja seketika itu juga jantungku
serasa berhenti. Hanya beberapa detik dan aku sudah menanda tangani tiket masukku ke Divisi
Penelitian. Juga membuktikan bahwa aku sama sekali bukan alinergi.
Aku manusia normal!!!! Para penjaga dan mereka yang berada dibelakangku terlihat waspada dan menatapku
penuh tanda tanya. Seorang penjaga di depanku langsung bersiaga dan menarik keluar
sebuah senjata penyetrum dari sarung senjata pada ikat pinggangnya, "Tuan, kupikir
engkau harus mengikuti kami." Tamatlah riwayatku. "Pip..." Mesin scan itu kembali melakukan tugasnya dan sekali lagi mendeteksi
telapak tanganku di atasnya. Kali ini mesin itu mengeluarkan cahaya hijau dengan tulisan
"Silakan masuk." Seketika itu semua orang berhenti dan petugas yang sudah hendak
menarikku terdiam sejenak. Seorang rekannya segera mengeluarkan sebuah alat kecil seperti
tongkat sepanjang 50 cm dan mendekatkannya ke ikat lengan atasku. "Pip," mesin itu
berbunyi dan menunjukkan keaslian daripada ikat lengan BtP tersebut. Dengan malu penjaga itu
dan rekannya segera menundukkan kepala dan berkata, "Maafkan kami Tuan, kesalahan
mesin, silakan masuk sekarang."
~ 132 ~ - B L E S S E D H E A R T "Tidak apa-apa, energiku sedikit melemah karena sakit," kataku meninggalkan
mereka. Jantungku kembali berdetak keras, aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku sudah
lolos dari sarang macan setipis bulu. "Apa yang terjadi?" tanyaku pada Michelle sambil
berjalan. Michelle hanya terdiam dan tampak berpikir keras sebelum berkata, "Aku tadi
untung- untungan mencoba melakukan dominasi energiku padamu."
"Dominasi?" "Penjelasannya agak rumit ... tapi intinya aku menyalurkan energiku padamu,"
kata Michelle. "Baiklah apa pun itu aku tidak akan pernah mau melakukannya lagi," kataku, "Dan
sekarang katakan apa yang harus kulakukan?" Aku ingin semua ini cepat selesai agar aku
dapat kembali pada tempatku seharusnya berada, rumahku dan kehidupanku, bukan tempat
para alinergi ini. Michelle melirik ke arah sekeliling dan menarikku memasuki tempat
lift, "Temani aku sebentar lagi untuk menunjukkanmu pada Andreas dan beberapa temanku
setelah itu kamu boleh melakukan apa pun yang ingin kamu lakukan."
Apa pun yang ingin kulakukan" Aku hanya ingin pulang secepatnya.
Di dalam lift kedua wanita yang berada di antrian belakang tadi ikut masuk dan
bertanya lagi, "Apa anda ingin disembuhkan?" Dengan tersenyum ramah aku menatap wanita itu
dalam- dalam dan menyentuh tangannya, menunduk sedikit serta mengecup lembut punggung
tangannya, "Nona, jantungku berdetak begitu cepat saat melihatmu, tahukah kamu
apa penyakitku" Bisakah temanmu menyembuhkan diriku yang malang ini?" tanyaku dengan
lembut menatapnya. Michelle terlihat berusaha menahan tawanya dan mengeraskan
cubitannya pada pinggangku.
Lift berhenti di salah satu ruangan tertinggi pada hotel dan aku pun keluar
memasuki sebuah dunia yang benar-benar baru bagiku. Ruangan besar dan luas yang bersinar terang
penuh dengan kemewahan, terlihat lampu lampu kristal besar yang berkilau indah di
tengah-tengah ruangan. Beberapa pemain musik yang sering kulihat di layar televisi sedang
mengiringi seorang penyanyi terkenal yang sedang bernyanyi merdu dengan pakaiannya yang
luar biasa indah. Makanan-makanan yang kelihatan mewah tersaji dalam jumlah besar, minumanminuman berwarna merah dan kuning keemasan berkelap kelip ditimpa cahaya. Pada
luar dinding kaca ruangan terlihat lampu-lampu jalanan, lampu-lampu gedung dan lampulampu kendaraan di jalanan yang bersinar bagai hamparan bintang-bintang yang tersebar
bergerak mengalir di bawah telapak kaki. Ini adalah pesta kelas atas yang elegan dan
gemerlap terlihat dari semuanya yang serba mewah, pakaian mereka juga topeng-topeng yang mereka
kenakan jelas bukan sembarangan. Kemewahan yang menyilaukan mata dan menyesakkan dada.
~ 133 ~ - B L E S S E D H E A R T Michelle segera menemukan beberapa rekan-rekan wanitanya dan aku menemaninya
untuk bergabung bersama mereka sejenak. Beberapa detik kemudian setelah mereka
berbincang- bincang aku dapat mengetahui Andreas tidak akan datang hari ini karena merasa
malu dan tidak ingin menjadi bahan pembicaraan. "Kudengar dia masih mencoba mengejar
rekor kembalinya, sejak tadi siang mobilnya terus bolak-balik sepanjang Markas Besar
BtP - Viginia," kata seorang wanita yang sedikit gemuk. Wajah Michelle terlihat
bersinar senang. Kupikir peranku di sini sudah habis dan sebaiknya aku meninggalkan Michelle
hingga ia memanggilku untuk mengantarnya pulang, mencampuri urusan wanita bukanlah hal
yang baik bagi pria. Aku menundukkan kepala pada Michelle ingin segera membisikan kata permisi
padanya. "Michelle," terdengar suara memanggil dari belakang, terlihat sepasang pria dan
wanita datang ikut bergabung dengan kami. Keduanya hanya memakai kacamata berlensa
tebal dengan bingkai yang sangat besar. "Valeria," sahut Michelle dan dari raut
wajahnya aku dapat mengetahui Michelle tidak menyukainya. Wanita itu segera memperkenalkan
pria pasangannya pada rekan-rekan wanita lainnya, namanya Philips salah seorang BtP


Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bergerak pada divisi pengembangan teknologi.
Hanya cukup beberapa menit saja aku dapat memahami arti raut muka Michelle.
Valeria adalah tipe yang suka mencari perhatian, mendominasi pesta dan terus-menerus
berceloteh tentang dirinya, kali ini ia sedang memamerkan kekasih barunya yang katanya
sangat jenius dan sebagainya. Ia bahkan memberikan tempat bagi Philips untuk mengungkapkan
betapa pintarnya dia dengan semua yang sedang dia lakukan pada pekerjaannya.
"Oh ayolah, membicarakan pekerjaan pada saat berpesta. Orang ini pasti gila,"
batinku kesal karena bahkan orang kampungan sepertiku ini juga tahu jika di dalam pesta
kita itu harus membicarakan hal-hal yang menggembirakan seperti wanita, wanita dan
wanita. Berbicara mengenai wanita pasti selalu menyenangkan baik bagi pria maupun wanita
yang menjadi pusat perhatian. Tidak ada makhluk yang begitu menginginkan perhatian
selain wanita. Aku merasa ingin segera keluar dari kerumunan ini tapi tidak mungkin
meninggalkan mereka saat ini terutama saat seseorang sedang berbicara. Tentu sangat tidak sopan dan
mungkin karena itulah kami semua sedang di sini sambil mencoba tersenyum meski dari
bahasa tubuh masing-masing kami sudah tidak sabar untuk lari seperti semua makhluk
menghindari kentut sigung. Namun pria yang bernama Philips itu sepertinya tidak mengenal adanya
aturan untuk tidak mengganggu kerumunan para wanita, ia terus saja berkomat-kamit
menceritakan tentang pengetahuannya seputar ruang, waktu dan quantum fisik. Terus saja
berbicara tanpa dapat diam sejenak pun, menceritakan bagaimana ia sedang mengerjakan sebuah
proyek yang ~ 134 ~ - B L E S S E D H E A R T berhubungan dengan perjalanan waktu, materi dan anti materi dan mungkin juga
dengan misteri bagaimana dunia paralel berjalan, lubang hitam dan sebagainya. Wanita
yang mendampinginya, Valeria kelihatan begitu bangga dengan Philips.
Sebaiknya ada seseorang menurunkan badut ini dari panggung atau dia akan terus
melanjutkan ceramah dadakannya dalam satu jam ke depan dan menyakitkan telinga
semua orang. Aku tahu tidak semua orang yang berkumpul di sini tertarik pada hal yang dia
bicarakan dan dia dapat mengatakan apa pun juga mengenai rangkaian, rumusan dimensi waktu dan
semua orang di sini akan percaya saja. Lagipula orang yang memiliki pengetahuan tidak
akan sembarangan bicara, hanya yang tanggung-tanggunglah yang suaranya besar.
Tong kosong selalu nyaring bunyinya.
Tubuhku mendekat pada Michelle dan membisikkan sesuatu padanya yang membuat
Michelle tersenyum. Seketika itu juga ia segera membuka mulut, "Maaf, memotong
Philips menurut temanku ini penelitian yang baru ingin engkau kerjakan itu bukankah
minggu lalu sudah diselesaikan oleh peneliti dari Jerman dan dipublikasikan secara luas."
Philips seketika terdiam dan melihat ke arahku.
Michelle masih juga melanjutkan, "Dan jika kamu mau memulai penelitian tentang
anti- materi tampaknya juga sudah terlambat, kemarin peneliti dari China sudah
mempublikasikannya dan oh yah, tentang dunia paralel yang ingin kamu mulai itu
juga kelihatannya dalam beberapa hari ini akan ada publikasinya. Sebaiknya kamu
lupakan saja untuk meminta dana penelitianmu dari pusat pendanaan BtP."
Wajah Philips menjadi pucat pasi, "Bohong, tidak mungkin mereka sudah
menyelesaikannya, Philips segera mengeluarkan sebuah gadget kecil dari kantong bajunya, sejenis
komputer portable mini dan menggerakkan jari-jarinya ke sana kemari memeriksa kebenaran
dari kata- kata Michelle." Beberapa wanita di sana mulai kelihatan penasaran hingga
akhirnya Philips menatap Michelle dan kemudian ke arahku dengan wajah puas, "Kelihatannya apa
yang kamu katakan itu sama sekali omong kosong, tidak ada buktinya sama sekali, jenis
penilitianku adalah khusus dan pada bidang yang lebih spesifik, tidak akan ada
yang akan memulainya selain diriku." Aku hanya bisa tersenyum, dunia saat ini dibanjiri
dengan informasi seperti lautan luas. Tidak mungkin bisa mendapatkan apa yang kita
inginkan jika tidak memakai cara yang tepat.
"Pinjamkan padaku biar kutunjukan," sahut Michelle tidak mau kalah. Philips
dengan kasar mendorong benda itu ke arahnya. Sebelum Michelle dapat menyentuhnya, aku sudah
memegang benda itu dengan lembut berseru kepada Michelle, "Sayang, jari tanganmu
terlalu ~ 135 ~ - B L E S S E D H E A R T lembut untuk melakukan hal ini, biarkanlah jari-jari kasar ini mewakilimu, tidak
cocok untuk seorang wanita dicekcoki dengan masalah sepele begini di acara demikian."
Seketika jari- jemariku menari di atas layar kecil itu, akses internetnya sungguh luar biasa
dan jauh lebih cepat daripada komputer murahan serta koneksi lambat di tempatku. Tidak sampai
satu menit aku mengembalikan gadget mininya dan Philips menerima benda itu yang seketika
senyum di wajahnya segera hilang saat menatap tulisan-tulisan dalam komputer mininya.
"Tidak mungkin kamu membaca tulisan-tulisan cacing ini bukan?" tanya Philips
tidak yakin. Aku hanya sedikit tersenyum dan segera melihat ke arah Michelle, "Demi dia
hampir 100 jenis tulisan yang dapat kubaca, apakah kamu pikir itu mengagumkan?" Philips
tidak menjawab akan tetapi seorang dari wanita di dalam kerumunan segera menjawab,
"Tentu saja." Setuju untuk mendepak keluar si penganggu acara dan ingin segera
melanjutkan dengan pembahasan gosip, tas tangan seharga satu mobil baru dan tempat-tempat
yang menjual kue-kue lezat. Aku menatap gadis itu dan tersenyum menambahkan, "Tapi
aku belum mengatakan kalau itu semua berkat penerjemah otomatis dan jika Tuan
Philips ini bersedia menekan sebuah tombol lagi yang ada di sudut layar maka semua tulisan
di sana akan segera berubah menjadi tulisan apa pun yang diinginkannya."
Seluruh orang di sana hampir tersenyum dan Michelle jelas tertawa. "Dan siapakah
kamu?" tanya Valeria menatapku sambil menyipitkan matanya.
"Hanya seorang kasar yang menyayangi Michelle," jawabku tersenyum manis padanya,
meski aku tak percaya saat melihat Valeria menunjukkan senyum kemenangannya dan
berkata, "Apakah kamu tahu teman kita Michelle itu memiliki julukan khususnya?"
Teman- teman Michelle seketika menatapku dan suasana menjadi tegang.
Aku dengan lembut memegang kedua tangan Michelle dan menatapnya "Michelle the
Coyote Ugly, sejujurnya aku tidak mengerti mengapa orang-orang memanggilnya demikian,
aku sudah berkali-kali melihat wujud asli Michelle, menciumnya dan sejujurnya aku
terpesona pada bola mata aslinya yang biru memukau bak permata lebih indah dari apa pun
juga dan sungguh wajah aslinya cantik menawan."
Maksudku adalah wajah aslinya sebelum kecelakaan.
Michelle menatapku terpesona dan menggenggam erat tanganku. Aku ingin mencium
pipinya untuk menutupi aksiku mendepak keluar Valeria dan badutnya namun saat itu
Michelle sudah menatap ke arah lain, pada seorang teman wanitanya yang sedikit gemuk dan
ternyata Valeria juga semua orang di sana menatap ke arah wanita itu.
"Hah..." Ada apa?" tanya wanita itu gugup.
"Leah" Katakan padaku apa pria itu berkata jujur?" tanya Valeria menuntut.
~ 136 ~ - B L E S S E D H E A R T Mataku menatap ke wanita itu dan hampir memaki.
Di sini kandang para alinergi, apa pun mungkin terjadi di tempat ini, wanita ini
tentunya seorang alat penyensor kejujuran. Celaka, rayuanku bakal ketahuan dan aku akan
mendapat malu karena berbohong. Wanita gemuk itu menatapku, "Hm... dia berkata jujur."
"Tentang wajah asli Michelle yang cantik?" Protes Valieria tidak percaya, memang
dia belum pernah melihatnya tapi dari rumor yang beredar tentu saja wajah asli Michelle
sangat jelek. Leah menggangguk, "Dia berkata jujur." Seketika terdengar suara tertahan dari
teman-teman Michelle. Aku mendesah karena aku jujur mengatakan merasa wajah aslinya pasti
cantik sebelum kecelakaan atau mungkin wanita gemuk itu mau menolongku. Michelle
tersenyum bahagia memelukku, "Oh aku mencintaimu."
Aku tidak. Tempat ini sungguh mengerikan dan membuatku panas dingin, aku ingin keluar
secepat mungkin. Valeria mencoba memaksakan sebuah senyuman dan kemudian menyeret
Philips, lelaki malang itu, untuk keluar. Aku hanya bisa mendesah prihatin menatapnya,
dunia sudah banyak berubah dan para peneliti selalu berlomba dengan waktu, terlambat
beberapa hari saja dapat mengakibatkan kerja keras tahunan dan biaya milyaran menjadi sia-sia.
Adalah bijaksana untuk mengetahui siapa pun yang memulai penelitian pada bidang yang
sama dan tidak selalu negara-negara modern yang mendominasi panggung pertunjukan ilmu
pengetahuan. Terkadang melihat dan membaca hasil penelitian dari negara-negara
kecil mungkin cukup bijak. Dan jika ada yang bertanya bagaimana aku mengetahui segala
sesuatu tentang quantum fisika, kupikir buku-buku bacaan sekarang banyak menggunakan
tema itu sehingga membuatku tertarik dan mencoba mempelajarinya sendiri dengan
mengumpulkan informasi memalaui internet meski tidak terlalu mendalam.
"Baiklah, Nona-nona sekalian sudah waktunya lelaki kasar ini keluar dari
perbincangan kalian dan mohon persilakan aku untuk mengundurkan diri mencari temanku," kataku
dengan lembut dan mengecup pipi kanan Michelle serta berbisik di telinga Michelle, "Aku
tahu kamu ingin berburu cowok ganteng di tempat ini. Aku akan ada di taman, di lantai
paling atas hotel. Jika kamu membutuhkanku hubungi saja nomorku. Jika aku berbicara lebih banyak di
sini mungkin penyamaranku akan terbongkar. Lagipula apakah kamu menyadari begitu
banyak cowok yang sedang menatapmu dengan mata lapar mereka?" Sebelum Michelle sempat
menjawab, jari telunjukku sudah berada di bibirnya, "Aku mencintaimu sayang,
berkumpullah dengan teman-temanmu," dan segera berlalu pergi.
~ 137 ~ - B L E S S E D H E A R T Terlalu berbahaya dengan tetap berada di samping Michelle dan teman-temannya,
orang- orang akan bertanya dan memaksaku untuk memperkenalkan diri, tentu saja berada
di dalam pesta ini sama berbahayanya apalagi berada di dekat seorang pendeteksi
kebohongan. Aku juga tidak ingin terjebak dalam masalah seperti tadi lagi dan berakhir
melukai perasaan seseorang, tiba-tiba saja aku merasa begitu tidak dewasa dengan mempermainkan
Philips yang tidak kukenal di depan orang-orang hanya karena aku mengetahui sedikit
lebih banyak dan kesal ingin keluar dari tempat ini. Aku segera menaiki lift menuju ke lantai
paling atas, mendorong sebuah pintu dari kaca dan segera disambut udara hangat malam.
Memasuki taman yang berada di lantai paling atas hotel di mana terletak air mancur,
kolam, pepohonan dan taman buatan yang cukup indah.
Untung saja aku tadi sempat mendengar pembicaraan para wanita tentang adanya
taman di lantai atas. Dalam keremangan lampu taman aku berjalan mengikuti jalan setapak
mengelilingi taman yang ditata rapi sambil menatap keindahan kota di bawah yang
bercahaya bagai lautan bintang melalui kisi-kisi kawat pembatas. Hotel yang begitu mewah,
tanpa terasa aku mengingat semua kemewahan yang ada dalam pesta, betapa berbedanya kehidupan
setiap orang meski sesama manusia. Kekayaan yang harus dicari dan dikumpulkan selama
bertahun- tahun oleh orang biasa dapat dengan mudah didapatkan oleh mereka. Aku menatap
pada jam tanganku, pakaian ini dan juga memikirkan LXX yang akan segera menjadi milikku,
mungkin aku juga termasuk orang yang sangat beruntung.
Meski aku bukan alinergi.


Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mendesah nafas, adalah bijak untuk bersyukur dengan apa yang kumiliki dan
sadar bahwa hanya akan menyakiti diriku sendiri jika terus membandingkan diriku dengan
orang lain. Sesungguhnya aku sudah berhenti memimpikan diriku sebagai alinergi sejak
tiga tahun yang lalu, menerima diriku bukanlah seorang alinergi, hanya seorang pelayan kafe
biasa. Akan tetapi mengingat apa yang baru saja terjadi rasanya cukup menyakitkan juga
untuk menerima kebenaran bahwa aku adalah benar-benar bukanlah alinergi mungkin karena
di salah satu sudut hatiku masih menginginkan diriku sebagai alinergi. Meski
demikian di sisi lain kini aku merasa sebuah beban terlepas dari dadaku.
Rasanya lebih ringan. Selama ini aku merasa seperti ilalang yang berjuang keras memprotes mengapa
diriku tidak tumbuh besar seperti pohon lainnya, karena dengan bodoh mempercayai bahwa aku
yang merupakan rumput liar ini akan tumbuh besar. Sibuk memikirkan mengapa diriku
tidak tumbuh membesar tidak akan membuatku tumbuh menyerupai pohon sedikit pun, malah
membuatku tertekan, karena bibitku adalah sesungguhnya ilalang. Seharusnya aku
cukup menjadi ilalang dan tumbuh kuat menjadi ilalang terbaik saja dan untuk saat ini.
Untuk ~ 138 ~ - B L E S S E D H E A R T kehidupanku ... aku cukup berusaha menjadi bartender terbaik dan kelak memiliki
sebuah kafe untukku sendiri. Di bawah bimbingan Master sebagai bartender legendaris,
untuk membuat diriku menjadi bartender terbaik adalah mudah, bahkan Tuhan sudah
menyediakan semuanya padaku, tinggal diriku bersyukur, menerima dan melakukan yang terbaik
sesuai kesanggupan diriku. Suatu saat nanti aku juga akan indah pada waktunya.
Aku seharusnya merasa bahagia dengan tempatku saat ini. Melihat terlalu banyak,
menginginkan terlalu banyak akan menghancurkanku.
Terdengar suara orang berbicara yang sedang menuju ke taman dan aku melihat ke
arah jam tangan. Masih ada beberapa jam lagi hingga pesta berakhir, sebaiknya aku mencari
sebuah tempat persembunyian sebelum menemukan orang ramah yang mulai ingin berkenalan
dan membuka kedok BtP bohonganku. Mataku segera bergerak mencari tempat untuk
bersembunyi di sekeliling taman, udara dingin kemudian bertiup kencang dan
membuat dedaunan berbunyi gemericik. Aku melihat sebuah pohon besar tepat di tengah
taman, membuatku hampir tertawa geli. Teringat di masa lalu betapa seringnya aku
memanjat pohon dan terkadang sengaja melompat ke bawah hanya untuk mengejutkan teman-teman.
Dengan pakaian berwarna hitam, topeng hitam dan kegelapan di antara dahan-dahan tebal
pepohonan, jelas itu adalah tempat terbaik untuk bersembunyi di sini.
Hanya dalam hitungan detik setelah memanjat ke atas pohon besar dan menemukan
dahan yang tepat untuk bersandar, mataku sudah terpejam. Mengantuk karena kekurangan
tidur kemarin setelah membereskan rumah Michelle dan hari ini adalah hari yang
melelahkan. Beberapa kali aku terbangun karena mendengar suara-suara di bawahku, suara-suara
orang bergosip, suara-suara orang merayu kekasihnya dan bahkan suara muntahan
seseorang. Aku tetap saja menutup mata beristirahat, tidak memperdulikan mereka semua, selama
ponselku tidak berbunyi tentu saja Michelle belum membutuhkanku.
"Kakiku lecet," kata sebuah suara merdu pada teman-temannya, "Turunlah terlebih
dahulu aku akan menyusul nantinya."
Lama hening, kemudian terdengar sebuah senandung kecil. Angin dingin berhembus
sekali lagi membunyikan seluruh dahan-dahan dan dedaunan di pepohonan membuat mataku
terbuka lamat-lamat setengah tertidur. Tidak jauh di bawah, aku melihat seorang
gadis remaja yang mengenakan gaun terusan berwarna putih keperakan, duduk di kursi taman dan
bertelanjang kaki. Begitu cantik sedang menatap ke arah rembulan serta
bersenandung kecil menikmati dirinya sendiri. Suara yang kecil, merdu, lembut dan sangat enak
didengar meski tidak seindah penyanyi terkenal namun lebih memabukkanku dari apa pun juga.
Langit yang gelap dan senandung nada yang melayang naik turun berirama menari-nari di antara
~ 139 ~ - B L E S S E D H E A R T kegelapan malam berbisik lembut melalui dedaunan membuat perasaanku begitu
nyaman seolah-olah seluruh dunia terdiam untuk mendengarkan senandung itu.
Mataku terbuka menatapnya dalam setengah kantuk. Demi Tuhan, dia sungguh gadis
yang menawan. Seluruh dirinya bercahaya mengetarkan sukma dan membuatku percaya bahwa
diriku sedang mengunjungi surga serta melihat malaikat-malaikatnya yang cantik
sedang bernyanyi. Dialah segala yang indah yang pernah kukenal dan melebihinya.
"Hahaha... kamu ingat bagaimana saat mereka ketakutan ..." Hahaha...," kata sebuah
suara besar dan berat dari kejauhan. "Yah... apalagi saat mereka melihat apiku ... wajah
mereka sangat lucu..." balas temannya. "Hahaha!!!"
Suara senandung itu segera berhenti dan aku sendiri langsung menjadi sigap dan
terbangun total. Aku mengenal kedua suara itu.
Pertunjukan berakhir, surga telah disantroni oleh dua suara raksasa pengacau.
Aku melihat gadis itu yang dengan terburu-buru mengenakan sepatu hak tingginya
bersiap- siap untuk kabur setelah suara-suara itu semakin mendekat. Setelah tiga tahun
bekerja di Kafe Eve dan mendengar mereka membanggakan diri mereka terus menerus, aku yakin itu
adalah suara Daniel dan Jess, dua orang yang selalu mengacau, mencari perhatian,
menggoda gadis- gadis dan terutama mempermainkan orang-orang lemah seperti junior-junior mereka.
Jelas terdengar dari suara mereka bahwa mereka sudah mabuk berat. Udara malam mulai
terasa dingin dan bertiup sekali lagi membuat tubuhku merasa segar setelah
beristirahat. Aku melihat gadis itu menyambar topeng peraknya dan mengenakannya. Harus kuakui aku
tidak sedang bermimpi karena setelah aku terbangun sepenuhnya tetap saja aku terpesona
melihat gadis itu. Sesuatu dalam dirinya membuat jantungku berdetak keras dan seluruh
tubuhku terasa disengat sebuah getaran aneh yang menyenangkan. Waktu seperti berhenti
untuk sesaat. Gadis itu mulai melangkah sedikit berlari menjauhi sumber suara. Kupikir Jess
dan Daniel yang sudah mabuk berat itu tidak akan sanggup mengejarnya.
"Nona, mau ke mana begitu terburu-buru?" terdengar suara Daniel dari jalan
setapak di depan arah lari gadis itu. Tubuh gadis itu mendadak berhenti bergerak dan langsung
berlari ke arah berlawanan dari suara Daniel.
Daniel" "Benar nona, jangan terburu-buru, kami hanya ingin berkenalan hehehe..." sahut
suara lain dari arah berlawanan Daniel.
Jess" ~ 140 ~ - B L E S S E D H E A R T "Maaf aku harus buru-buru," terdengar gadis itu gugup dan berjalan mundur karena
melihat sisi depan dan belakang jalannya sudah ditutupi oleh dua pria yang membuka
lengan mereka lebar-lebar. "Ayolah. Ke sini saja Nona," tambah Jess.
"Jangan nona, ke arah sini saja," tambah Daniel dari arah berlawanan.
Kelihatannya Jess dan Daniel tadinya telah melihat gadis itu di tengah taman dan memutuskan untuk
berjalan dari arah kiri dan kanan hanya untuk mengetahui siapa di antara mereka yang sanggup
menarik perhatian gadis itu. Mereka selalu menjadikan apa pun sebagai persaingan.
Gadis itu terlihat kembali ke tengah taman dan dari bahasa tubuhnya jelas ia
terlihat ketakutan. Aku hanya berharap gadis itu memiliki beberapa kemampuan untuk
melarikan diri, setidaknya dia adalah alinergi. Jess terlihat muncul dari arah kiri dan Daniel
muncul dari arah kanan dengan topeng mereka yang tersangkut di samping kepala acak-acakan.
"Ayolah nona, kami hanya ingin berkenalan atau cukup perlihatkan wajahmu saja maka kami akan
membiarkanmu berlalu," kata Jess.
"Kami tidak akan menyentuhmu," tambah Daniel. Aku menggelengkan kepala melihat
Daniel, katanya sih mudah hanya untuk melihat wajahnya akan tetapi dari wajah
mesum, mabuk dan jari-jarinya yang terjulur terlihat jelas jika dirinya gatal ingin
mengerayangi. Entah gadis mana yang akan mendekati mereka setelah melihat hal seperti itu.
"Lebih baik tunjukan saja padaku, aku akan melindungimu darinya," kata Jess.
"Ayolah, dia itu manusia panas sebaiknya kamu menuju ke tempatku saja," bujuk
Daniel. Gadis itu terlihat ingin berlari tapi tidak dapat memutuskan berlari ke arah
mana. Rok putihnya terlihat berputar-putar hingga akhirnya ia hanya bisa melangkah mundur
di antara mereka berdua dan berhenti tepat di bawah pohon tempatku bersembunyi.
Dan diriku... Oh ayolah aku bukan seorang pahlawan. Mereka para alinergi dan aku
manusia normal, seekor kelinci malang di antara macan-macan lapar. Seorang penguasa api
dan seorang bertubuh baja jelas ini adalah lelucon konyol jika aku mencoba menjadi
pahlawan dan membiarkan diriku diremukkan atau dibakar.
Gadis itu tentu saja seorang alinergi dan anggota BtP dilihat dari ikat lengan
atasnya, setidaknya ia lebih berguna daripada diriku. Meski entah apa kekuatan yang
dimiliki gadis itu, jelas tidak mungkin dia juga BtP palsu seperti diriku. Gadis itu kini berada di
bawah pohonku bersembunyi dan aku hanya dapat menahan nafas agar dia tidak mendengar suara
nafasku. Semoga ia tidak mengetahui tempatku berada atau mencoba meminta pertolonganku
karena ~ 141 ~ - B L E S S E D H E A R T meski aku pengecut, aku tidak pernah menolak orang yang meminta bantuan dari
orang yang lebih lemah dariku. Aku sebaiknya pura-pura tidak mengetahui semua ini, tidak melihat apa pun dan
tidak bergerak sedikit pun, jika perlu aku akan tidak bernafas ... "Triiiitt...Triit...."
Tubuhku melompat terkejut. Sialan..!!!! Suara itu juga mengagetkan ketiga orang di bawah. Gadis itu segera melihat ke
atas pohon dan begitu juga Jess serta Daniel. Dengan wajah yang tak berdaya aku terpaksa
mengangkat telepon genggamku yang berbunyi dan melihat panggilan dari Michelle.
"Ada apa sayang" Kamu sudah mau pulang?" bisikku mencoba tenang menyembunyikan
rasa takut pada dua orang di bawah dan otakku sedang berpikir keras. Karena
bagaimanapun juga Jess dan Daniel mungkin akan segera mencari gara-gara denganku. Tubuhku gemetar,
mungkin hanya karena udara malam yang mendadak menjadi dingin.
"Kamu lagi di mana?"
Aku terdiam, "Lagi di taman di lantai atas, ada apa?"
"Aku ketemu cowok super genteng, apakah kamu bisa membuatnya mengantarkan diriku
pulang malam ini?" tanya Michelle di seberang pembicaraan.
Aku melihat gadis bertopeng perak sedang menatap ke arahku dengan mata memohon.
Oh hatiku berdetak kembali. "Tidak masalah, beri aku waktu beberapa menit aku akan
ke sana mengurusnya setelah urusan yang satu ini" sahutku kalem.
"Oh yah, urusan apa yang sedang kamu kerjakan?"
"Aku?" Aku mencoba melihat sekeliling di bawahnya, "Aku sedang melihat dua ekor
kodok busuk yang mengganggu seorang putri cantik, menurutmu apakah aku harus menendang
kodok-kodok busuk itu?"
Semoga mereka merasa takut setelah mendengar ancamanku dan mundur.
Jess yang demi mendengar nada mengejek itu mengeluarkan kedua api di tangannya
dan Daniel segera mengerahkan kekuatannya hingga baju tuksedonya hancur
memperlihatkan otot-ototnya yang membesar berkilat.
Michelle tertawa, "Tentu saja kamu harus menendangnya dan aku menunggumu yah."
Aku melihat mereka berdua dan jantungku berdetak begitu keras, aku telah salah
mencoba menakuti mereka. ~ 142 ~ - B L E S S E D H E A R T Matilah aku kali ini. Aku harus mencari cara untuk melarikan diri.
"Oke," jawabku menutup telepon genggam, menyelipkannya ke atas kantung bajuku
dan

Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat ke bawah. Otakku sudah berputar dengan kecepatan tinggi untuk mencari
jalan keluar dan hanya ada satu jalan keluar saat ini. Semoga itu berhasil karena aku
tidak menyimpan rencana kedua kecuali menjadi korban. Saat kakiku mendarat, aku segera
berlutut dan mengambil sebuah batu dari bawah pohon tanpa terlihat. "Baiklah
saudara- saudara, mari kita akhiri drama ini dan biarkan aku berlalu dengan nona cantik
ini, bagaimana menurut kalian?" tanyaku dan sengaja membuat suaraku jauh lebih berat dan
mengancam. "Tidak sebelum aku dapat membakar dirimu dan membuatmu menjadi kodok goreng,"
sahut Jess yang membesarkan api di kedua tangannya membuat cahaya terang di sekeliling
taman. Gadis itu memekik tertahan merasakan hawa panas yang menerjang. Begitu juga
diriku menjadi kebat-kebit tapi aku harus tetap tenang. "Baiklah jika demikian,"
jawabku tenang yang dengan cepat aku melemparkan batu di tanganku tepat ke arah dahi Jess dan
berlari ke arahnya. Waktu sangat penting.
Jelas karena masih mabuk atau tidak menyadari hal itu, Jess tidak dapat bergerak
sesuai keinginannya dan batu yang kulemparkan menghantam dahinya dengan telak yang
membuatnya terhuyung seketika. Api di kedua tangannya mati dan memegang dahinya
berteriak kesakitan. Aku harus menggunakan kesempatan ini dengan baik untuk membungkamnya.
Secepatnya aku berlari ke samping Jess dan menyarangkan sebuah tinju tepat di
dagunya dari samping. Yang tentu saja getaran itu segera mencapai otaknya dan seketika itu ia
sudah rebah tidak sadarkan diri. K nock Out yang mungkin lebih besar dikarenakan mabuknya.
Aku jelas tidak menyangka batu itu dapat mengenainya, aku hanya berharap dia menghindari
batu itu dan aku meninjunya, tapi bagaimanapun juga hasilnya tetap sama.
Aku segera menatap ke Daniel yang sedikit terbengong melihat Jess jatuh terkapar
mendadak. Daniel memiliki kekuatan seperti tank dan tubuhnya bahkan kebal peluru. Jelas
lemparan batu, pukulan dan tendangan hanya bakal seperti tepukan lalat bagi dirinya. Kini
Daniel mengamuk dan menerjang langsung ke arahku. Aku segera menarik nafas dan
menenangkan diri, ini bukan pertama kalinya aku melawan orang yang lebih besar dariku di
kampung dan terima kasih sekali lagi karena Daniel sedang mabuk. Larinya agak terhuyung dan
penuh kelemahan. Aku segera maju menerjang, saat tubuh Daniel mendekat aku menghindari
tabrakan langsung, secepat mungkin memegang tangannya dan menarik lengannya yang
terjulur ke depan hingga membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terlalu
condong ke depan. Pada saat setipis itu aku menjegal kakinya terus membantingnya ke
depan dengan kekuatannya sendiri. Membiarkan kepalanya jatuh di bawah tergencet beratnya
sendiri dan ~ 143 ~ - B L E S S E D H E A R T menyebabkan suara berdebum yang cukup keras. Setidaknya itu akan memberikannya
efek. Yang terbukti dari Daniel yang terjatuh tidak bergerak dengan kepala yang sudah
menghancurkan lantai taman dan kakiku yang menjegalnya tadi berdenyut terasa
begitu sakit sekali. Melihat kedua tubuh itu tergeletak aku segera mensyukuri nyawaku masih tertolong
kali ini, bagaimanapun juga aku harus segera keluar dari sini, sebelum mereka sadar.
Kakiku melangkah beberapa langkah dari tempat itu untuk segera pergi karena ketakutan
dan mendadak teringat gadis itu masih di berdiri di belakangku sehingga dengan
terpaksa aku berbalik dan melihatnya masih berdiri di samping pohon.
Ayolah apa yang di lakukan si bodoh itu di sana" Mau menunggu mereka sadar"
Terpaksa aku berbalik dan berjalan mendekatinya serta berkata, "Tuan Putri
sebaiknya kita juga berlalu dari sini?" Aku mengulurkan tangan mengajak gadis itu. Gadis itu
terlihat tertegun dan sedikit ragu sebelum meletakkan tangannya di atas tanganku yang
terulur. Tangan yang dingin sedikit bergetar dan sangat lembut, jantungku bergetar dan
kembali waktu seakan-akan berhenti. Alisku berdiri dan melihatnya dalam-dalam.
Apakah dia alinergi yang dapat menghentikan waktu dan membuat pria berdebardebar" Karena aku merasakan seperti itu.
Sensasi itu mengaliri semua bagian tubuhku dan saat aku menatap mata bening
gadis itu. Perasaanku menjadi begitu intens melayang jauh tinggi merasakan sebuah
kebahagiaan yang sangat sulit dikatakan. Rasanya semuanya begitu sempurna dan dirinya seolah-olah
tercipta hanya untuk membunuhku dalam kebahagiaan. Ada yang salah denganku, pikirku
seketika dan segera mengajaknya keluar dari taman serta terus menuju ke dalam lift.
Kami tetap terdiam sepanjang perjalanan dan di dalam lift.
Ada yang salah denganku. Tangan kami masih saling tergenggam, begitu lembut dan terasa pas hingga saat
lift berhenti dan kami memasuki ruangan pesta yang masih penuh dengan suara-suara berisik
pesta. Menatap semua kemewahan itu diriku dipaksa sadar kembali.
Aku adalah sebuah kebohongan di tengah-tengah tempat ini.
Hatiku terasa sakit. Benarkah" Aku mulai gila, aku bahkan baru saja bertemu dengan gadis ini, tidak
mungkin hatiku terasa sakit. ~ 144 ~ - B L E S S E D H E A R T Mataku bergerak menatap gadis itu dan dengan lembut aku mengangkat tangannya
serta mencium punggung tangannya, "Maafkan lelaki kasar ini dan aku merasa terhormat
dapat membimbingmu hingga di sini dengan selamat." Gadis itu tersenyum malu-malu, aku
segera melepaskan tangannya dan menatapnya, hendak mengatakan selamat tinggal namun
entah mengapa lidahku terasa begitu berat untuk mengucapkannya. Begitu juga hatiku
terasa berat untuk melepasnya dan gadis itu tetap berdiri terdiam dengan mata yang menatapku.
"Te...terima kasih sudah menolongku, entah bagaimana aku harus membalasnya"
sahutnya mendadak. Suaranya mengalun indah di relung hatiku.
Baiklah dia alinergi yang berbahaya.
"Bukan masalah besar, hanya kebetulan aku sedang berada di sana," jawabku dan
bukan niat awalku juga ikut dalam masalah ini, mendadak aku kembali teringat tugasku yang
lain. Mendorong seorang pria ke dalam pelukan Michelle. Sekilas terlintas sebuah ide
untuk menyelesaikan masalah itu. Aku segera menatap gadis itu dan tersenyum jahil,
"Mungkin kamu bisa membantuku dengan menemaniku selama lima menit."
Gadis itu menatapku sejenak dan suaranya begitu lembut, "Dengan senang hati,"
jawabnya sambil menyerahkan tangannya padaku dan bibirnya merekah yang membuat jantungku
tidak kuat menahan serangan itu.
Oh, Tuhan tolonglah aku, apakah dia alinergi yang menyebarkan feromonnya ke
mana-mana dan membuat semua lelaki tergila-gila padanya.
Aku menatapnya Bagiamanapun juga aku membutuhkannya.
Tanganku membawanya ke tengah ruangan pesta dan dengan mudah menemukan Michelle
karena topengnya yang khas. Ia kelihatan sedang berbincang-bincang dengan
seorang pria gagah sambil tertawa bahagia. Aku segera berbisik lembut pada gadis itu, "Temani
aku bersandiwara sebentar," tanpa mendengar jawabannya aku segera membimbingnya ke
arah Michelle. "Michelle," panggilku.
Michelle segera berbalik dan tersenyum.
"Temanmu," balas Michelle dan melihat ke arah gadis bertopeng perak dan
berpakaian putih di sampingku penuh tanda tanya, tidak menyangka aku akan berani membawa seorang
gadis di pesta alinergi. ~ 145 ~ - B L E S S E D H E A R T "Kenalkan ini..." aku menunjuk ke arah gadis itu yang tanpa kusadari belum juga
kuketahui namanya, untungnya gadis itu cukup tanggap dan mengulurkan tangannya ke arah
Michelle. "Nadia," sahutnya lembut yang segera dibalas Michelle, "Michelle, senang bertemu
denganmu." Aku dapat melihat pria di samping Michelle mulai mendengar perbincangan singkat
kami dan aku harus segera melancarkan siasatku, berbicara sedikit lebih keras agar dapat
didengar olehnya. "Michelle, aku harus meminta maaf padamu?" Kataku mendesah terkesan
menyesal, "Aku tidak dapat mengantarkanmu pulang," tanganku segera memegang lembut tangan
Nadia dan menepuknya lembut dengan tanganku yang lain, "Aku harus mengantarnya
pulang." Aku menatap Nadia dan mengedipkan sebelah mataku tanpa terlihat
Michelle maupun pria itu. Michelle terkejut sedikit namun seketika matanya bersinar, ia sangat cerdas
seperti yang aku duga. Sambil melirik ke arah pria yang di sampingnya ia segera membalas, "Tidak
bisa begitu, kita datang bersama apakah kamu tega meninggalkan temanmu sendirian di
sini?" Aku segera mendesah seolah-olah harus memutuskan hal yang sangat berat, "Maaf
Michelle, kamu teman yang sangat baik, akan tetapi dia," tatapku pada Nadia dan kemudian
menoleh ke arah pria itu mencoba mencari dukungan, "Adalah masa depanku." Pria itu hanya
tersenyum merespon tanda memaklumi. "Mungkin kamu bisa memanggil taksi," tatapku
sedih pada Michelle. "Aku tidak mau," kata Michelle dan sudut matanya melirik pada pria itu sedikit
tidak terlihat. "...." Hening. Aku hanya ingin berkata sialan, mengapa pria di samping Michelle tidak
merespon dan menjadi pahlawan untuk menawarkan diri mengantarkan Michelle pulang.
"Mungkin beberapa temanmu ada yang bersedia mengantarmu pulang?" tanyaku kembali.
Michelle menggelengkan kepalanya sedih, "Mereka diantar oleh pasangan mereka juga, tidak
sepertimu teman pengkhianat."
Hening sejenak lagi. Umpan yang diberikan tidak dimakan oleh pria itu.
"Yah mungkin agak berbahaya untuk wanita sepertimu jika harus pulang dengan
taksi sendirian di larut malam ... jadi berhati-hatilah," balasku memutuskan. Michelle
menjawab "Ka ... Kamu teganya kamu...." Ia terdiam terdengar seperti sedang menunggu
sesuatu dan begitu juga diriku. ~ 146 ~ - B L E S S E D H E A R T Hening. Ayolah, ke mana semua pria baik-baik yang setiap saat mau menolong wanita dalam
kesulitan. Tidak mungkin pria di samping Michelle yang anggota BtP tidak
memiliki kendaraan untuk mengantarnya pulang. Tidak sepertiku yang cuma memiliki sepeda
yang jika dipancing bagaimanapun juga pasti tidak akan sanggup mengantar.
"Michelle maafkan aku," kata Nadia mendadak. Mengejutkan kami berdua dan segera
ia melanjutkan, "Bagaimana jika kamu meminta teman priamu untuk mengantarkanmu
pulang, tentunya dia tidak akan menolakmu." Aku melihat pria itu dan begitu juga
Michelle, sandiwara masih bisa terus berlanjut.
Kerja bagus Nadia!!! "Tidak aku tidak mau merepotkan Alec, lagipula kami baru saling mengenal."
Saatnya terus mendesak, aku menatap pria itu sambil tersenyum, "Ayolah Michelle
dia kelihatannya pria yang baik, setidaknya biarkanlah ia mengantarkanmu pulang.
Kamu akan aman bersamanya." Dialah yang tidak aman bersamamu.
"Aku mempercayainya, hanya aku tidak bermaksud merepotkannya," kata Michelle
melirik ke arah Alec dan mengigit bibir bawahnya. Kami melakukan serangan bertubi-tubi
padanya, aku menatap ke arah Alec dan kelihatannya Nadia juga begitu. Kami bertiga
menunggu jawaban darinya. Hening sejenak "Michelle, biarlah aku yang mengantarkanmu pulang?" Sahut Alex ditatap oleh tiga
pasang mata. Syukurlah! Kata yang ditunggu akhirnya keluar juga.
"Tapi aku benar-benar tidak ingin merepotkanmu," kata Michelle manja padanya.
Alec segera tersenyum, "Tidak akan, aku malah merasa senang."


Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah jika demikian masalahnya sudah selesai, Aku merasa sangat tertolong sekali
atas bantuanmu, Alec," sambil tersenyum penuh rasa terima kasih padanya, "Baiklah
kami pamit terlebih dahulu," sahutku mengajak Nadia ke sudut ruangan untuk meninggalkan
mereka dan terutama menjauh dari pandangan mereka. Kami berjalan mengarah pada sebuah sudut
ruangan pesta. ~ 147 ~ - B L E S S E D H E A R T "Terima kasih atas bantuannya," sahutku yang merasa jika tanpa bantuannya jelas
misi ini akan gagal. Nadia tertawa kecil memperlihatkan wajahnya yang senang, "Kalian
begitu jahat," mau tak mau aku juga ikut tertawa kecil. Gadis ini cerdas dan menarik.
Mataku seketika terkunci padanya. Dia memakai topeng perak berbentuk kupu-kupu
yang hanya menutupi sebagian wajahnya. Matanya yang hitam indah berbinar ceria penuh
semangat hidup, hidungnya yang mancung indah, dagu yang tajam dan bibirnya yang
lembut. Terkutuklah semua ini. Aku terpikat pada dirinya, aku menelan ludah.
Nadia seketika terdiam dan terus menatapku.
"Apakah kamu seorang bidadari?" tanyaku karena setengah gugup yang membuat Nadia
membelalakkan matanya terdiam, aku tersenyum "Apakah kamu alinergi yang dapat
mencuri hati atau membuat seluruh pria yang menatapmu menjadi berdebar-debar?" tanyaku
menatap matanya dengan lembut. Nadia tersipu, "A..aku tidak, aku seorang copier, mengapa?"
"Karena kamu terlihat sungguh cantik," kataku diam sesaat dan melanjutkan, "Dan
kamu baru saja berhasil mencuri hatiku serta membuatku tergila-gila padamu," kataku
lembut dan bersungguh-sungguh. Mata Nadia terlihat membuka lebar menatapku dan mulutnya
terbuka sedikit memperlihatkan gigi putihnya dan bibirnya yang mengoda.
"Ma..maaf," sahut gadis itu dengan wajah memerah.
"Jangan," bisikku, "Kamu boleh memiliki hatiku selamanya, karena aku dengan rela
meninggalkannya untukmu," kataku mendekati tubuhnya dan kini aku bahkan dapat
merasakan debar jantungnya berdetak seirama dengan detak jantungku. Tangan kami
masih saling memegang dan jari jemarinya menggenggam erat jari jemariku.
Darahku berdesir hangat. "Kamu sungguh cantik, katakan padaku kamu bukanlah bayangan semata karena aku
takkan pernah melepaskanmu." Wajah kami semakin merapat dan dia menutup matanya.
Demi Tuhan, aku merasa begitu beruntung dilahirkan pada saat ini. Jika aku harus
menciumnya sekarang dan menemukan diriku keesokkan harinya tenggelam di sungai
terdekat karena mungkin saja orang tuanya adalah seorang kepala mafia atau
jendral yang akan menembakku. Maka demi Tuhan aku akan melakukannya, tiada sesal untuk itu.
~ 148 ~ - B L E S S E D H E A R T Bibirku segera menyentuh lembut pada bibirnya yang indah. Aku merasakan nafasnya
yang hangat dan lembut, bibirnya manis seperti buah terlarang. Aroma tubuhnya yang
memabukkan dan lembut, aku sedang mencuri ciuman seorang malaikat dari surga.
Dan menikmati surga itu sendiri, Oh Tuhan aku tidak pernah tahu ada begitu
banyak kenikmatan dan kebahagiaan yang telah Engkau sediakan.
"Kamu akan membunuhku," bisikku lirih sembari membelai dagu dan pipinya dengan
jemariku. Bibirku kembali mengecup lembut bibir luarnya dan detik berikutnya
bibirnya terasa kaku bergetar, tangannya mengcengkeram erat tanganku dengan sedikit
gemetaran. Dengan takut-takut bibirnya mulai membuka menyambut bibirku perlahan, membiarkan
aroma dan nafasnya mencapai diriku, seketika itu juga aku merasa begitu utuh.
Kehangatan dan kebahagiaan mengalir ke dalam diriku, rasa manis menyebar dari bibirku ke
sekujur tubuhku, membuat kepalaku berdengung akan nada-nada indah dan sukmaku melayang
karena kebahagiaan, dengan semua kenikmatan ini aku tidak akan pernah keberatan
untuk mati sekarang. Perlahan-lahan aku menjauhkan bibirku darinya meski diriku masih menginginkan
lebih. Mataku membuka dan aku dapat melihat betapa mata itu begitu indah, bersinar
dengan cahaya yang belum pernah kulihat selama hidupku, mata yang seperti tersihir dan
mabuk karena menginginkan, penyerahan ataupun kepercayaan.
Aku tidak akan pernah bisa berhenti menginginkannya.
"Nadia?" panggil seorang wanita dan membuat kami berdua tersadar. Aku menolehkan
mataku menatap dua orang wanita mendekat, wanita yang sama di belakang antrianku
sebelum memasuki tempat ini. Wanita itu melihatku menggenggam tangan Nadia dan
segera berkacak pinggang menuduh, "Jangan katakan kamu juga merayunya."
Nadia menatap temannya yang datang dan seketika itu mengcengkeram tanganku lebih
erat lagi dengan kepala yang menunduk. Terlihat warna merah menyebar di kedua
pipinya. Mataku kembali bergerak menatap dirinya, seketika sebuah kesadaran
menyadarkanku, meski jauh di dalam diriku aku benar-benar menginginkannya hingga rela mati. Tapi di
sini di tempat ini, kembali aku hanyalah sebuah kebohongan. Dia adalah alinergi, anggota
BtP dan tidak perduli apa pun juga jika aku membuka topengku sekarang dan dia menemukan
diriku sebagai seorang pelayan. Apakah dia akan tetap menyukaiku" Membiarkanku menciumnya"
Mungkin saja ia akan membiarkanku menciumnya setelah aku menipunya. Tapi apakah
itu adil untuknya" Di saat ia masih muda dan mampu mendapatkan lelaki yang lebih
baik dariku. ~ 149 ~ - B L E S S E D H E A R T Alinergi yang jauh lebih baik dengan masa depan cerah daripada seorang anak
kampung dan seorang pelayan yang sudah menipunya.
Seorang manusia biasa. "Maafkan aku yang terlalu lancang," kataku seperti tersadar dan melepaskan
pegangan pada tangannya. Sandiwara ini harus berakhir.
Saat Nadia hendak mengatakan sesuatu aku meletakkan jariku dengan lembut di
bibirnya, menghentikannya. "Lupakanlah aku," kataku yang merasakan hatiku sakit sekali.
"Aku adalah sebuah kebohongan," tambahku lagi dan aku mundur selangkah untuk dapat
berlutut sebelah kaki dan menggenggam telapak tangannya untuk dapat mencium punggung
tangannya dan berbisik, "Kamu akan selalu memiliki hatiku, Tuan Putri."
Aku menaikkan daguku menatapnya dan dia menatapku dalam diam dengan hati yang
berat. Aku berdiri dan berbalik keluar dari ruangan pesta meninggalkan dirinya di sudut
ruangan bersama kedua temannya. Aku mengeraskan rahangku menelan pil pahit yang
kubiarkan melukai diriku sendiri. Mimpi sudah berakhir dan mau tak mau aku harus segera
kembali kepada kenyataan, hidupku sebagai pelayan dan bartender, tempat ini, BtP dan
dunia mereka yang tidak akan pernah menjadi milikku.
Di depan pintu keluar menuju lift turun, aku membalikkan kepalaku untuk
menatapnya ke terakhir kali melewati banyak orang dan menemukan dirinya sedang menatap lurus
ke arahku dengan mata polos. Seluruh bahasa tubuhnya menunjukan dirinya yang sedang
merindu. Perasaan sakit langsung menghujam ke dadaku yang membuatku segera berbalik dan
menuju ke dalam lift turun. Aku hanyalah seorang yang dapat melihat mereka namun tidak
akan pernah dapat melompat masuk ke dalam dunia mereka. Melihat terlalu banyak,
menginginkan terlalu banyak, selalu berakhir akan rasa sakit yang semakin besar. Drama ini
sudah selesai, pentasku sudah ditutup dan rasa sakit sudah membekas di hatiku.
Tak lama kemudian di dalam mobil Michelle yang melaju pulang ke Graceland, aku
menerima sebuah pesan singkat dari Michelle pada telepon genggamku.
"Jaime, titipkan mobilku pada Master saat kamu pergi ke tempat kerja, Alec akan
mengantarkanku ke Markas Besar besok pagi."
Aku melakukannya, menitipkan mobil itu di Kafe Eve dan kemudian memutuskan untuk
berjalan kaki pulang. Udara dingin dan malam yang gelap, aku membutuhkan semua
itu untuk mengatur pikiranku dan juga perasaanku.
"Nadia," bisikku lembut di antara kesunyian malam.
~ 150 ~ - B L E S S E D H E A R T Seorang pelayan yang menyamar menjadi pangeran palsu dan menemukan tuan putrinya
di tengah-tengah kebohongannya.
~ 151 ~ - B L E S S E D H E A R T Bab 8 NADIA Keesokan harinya aku terbangun saat waktu sudah mendekati siang hari dan masih
rebah di atas tempat tidur dengan pikiran yang ruwet dan berputar-putar. Semalaman aku
berjalan di tengah kegelapan mencoba membasuh ingatan dan jejak perasaan yang tersisa tanpa
hasil. Kini setelah beberapa jam berlalu mencoba melupakannya, tetap saja tanpa hasil.
Akhirnya aku memutuskan untuk mulai membereskan kerusakan di rumah semampu mungkin,
mengingat pada pukul 15:00 aku sudah harus masuk kerja dan harus berangkat pada
pukul 13:00 karena aku masih harus meminjam kamar mandi di Kafe Eve untuk mandi dan
berganti pakaian di sana agar dapat tampil terbaik melayani tamu.
Pada pukul 14.15 Aku tiba di Kafe Eve dan Madame mendorongkan sebuah kotak
padaku sambil berkata, "Titipan Michelle." Sedikit bingung aku melirik isinya dan baru
menyadari, LXX Michelle atau mungkin saat ini sudah menjadi LXX milikku, sejak bertemu
Nadia aku sudah melupakan LXX ini sama sekali. Kini seketika semua pikiran dan perasaan
yang buruk menjadi cerah seperti matahari di pagi hari, lengkap dengan kicauan burung dan
tarian para peri. Hari-hari ke depan ini akan menjadi surga bagiku, aku akan bebas mengakses
apa pun dengan kecepatan tinggi dan yang paling berarti buatku adalah aku dapat
mengakses perpustakaan digital umum dan bahkan tempat di mana saja yang ingin kukunjungi
secara virtual. Semua itu gratis mengingat LXX menyediakan paket setahun akses data
tanpa batas serta beberapa fasilitas khusus lainnya. Di lain pihak Michelle kelihatannya
bersenang- senang dengan pacar barunya.
~ 152 ~ - B L E S S E D H E A R T *** Pada tempat lain, Nadia, gadis yang ditolong oleh Jaime terlihat berusaha untuk
menemukan penolongnya dengan sia-sia. Berminggu-minggu lamanya sudah ia mencoba menebak
siapakah penolongnya dari bentuk tubuh dan suaranya namun tidak berhasil
menemukan petunjuk apa pun tentang pria yang sudah mencuri ciuman pertamanya.
"Nad, ada ratusan orang yang berkemungkinan sebagai penolongmu itu," kata Gris
memutarkan bola matanya, "Belum lagi menghitung mereka yang tidak berada Markas
Besar BtP ini dan bertugas di kantor cabang BtP di pusat kota. Semua anggota BtP baik
senior maupun junior ada di pesta topeng kemarin, sebaiknya kamu tidak perlu mencarinya
lagi," Gris terdiam sebentar dan melanjutkan, "Lagipula dia itu seorang bajingan,
perayu wanita." Teringat di dalam lift pria bertopeng itu telah mencium tangannya dan
mengodanya. Nadia sedang menyantap makan siangnya yang berupa roti isi di kantin Markas
Besar BtP dengan sahabat karibnya Griselda dan Angelina. Griselda yang memiliki nama
panggilan Gris memiliki tubuh idaman para atlet wanita, dia adalah orang yang sangat aktif
dalam berolah raga, sedikit tomboy dan selalu terlihat dengan vitalitas tinggi. Dia
adalah seorang alinergi yang dapat melukiskan hal yang sedang dilakukan oleh siapa pun dan di
mana pun juga. Selama ia mengenal namanya dan sudah pernah berdekatan dengan orang
tersebut cukup lama untuk dapat merekam energi mereka sebelum dapat dilacak kembali.
Sahabat lainnya, Angelina, yang memiliki sifat pemalu, berkulit putih dan bulu mata
lentik yang cantik, benar-benar mirip seorang putri sungguhan yang selalu tampil lemah
lembut, adalah seorang penyembuh. Ia dapat menyembuhkan luka luar maupun luka dalam yang
tergolong ringan dan saat ini dirinya hanya berguna untuk pertolongan pertama saja
sedangkan Nadia berada di level yang berbeda, ia adalah seorang copier bahkan memiliki julukan
Nadia "The Perfect" copier. Copier meskipun adalah salah satu kekuatan alinergi yang paling banyak dimiliki
oleh para

Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alinergi namun juga adalah termasuk salah satu dari tiga kemampuan luar biasa
yang paling diinginkan oleh BtP. Mereka yang tergolong copier adalah mereka yang dapat
mempelajari kemampuan alinergi lain. Apabila diajari dengan benar mereka dapat mengeluarkan
api atau listrik dari tangan mereka dan meniru kemampuan alinergi mana pun juga. Jika
seorang alinergi yang dapat mengendalikan api adalah ibarat sebuah lukisan maka copier
adalah kanvas kosong yang dapat dilukis dengan gambar apa pun juga termasuk menyerupai
lukisan apa pun yang diinginkan. Hanya saja seorang copier memiliki batasannya sendiri,
copier pada umumnya hanya dapat meniru sebagian dari kemampuan alinergi asli. Tidak
akan pernah benar-benar mendekati kemampuan sebenarnya dari alinergi yang ditiru.
Selain itu waktu untuk mempelajari sebuah kemampuan dari alinergi lain biasanya
mfembutuhkan ~ 153 ~ - B L E S S E D H E A R T sekitar enam bulan hingga satu atau dua tahun. Setiap copier juga hanya dapat
mempelajari dua hingga tiga jenis kekuatan saja tanpa memberikan efek buruk pada badan
mereka. Oleh karenanya lebih banyak copier digunakan sebagai cadangan atau supporter untuk
keperluan tiap divisi yang membutuhkan.
Nadia mendapatkan nama julukan "Perfect copier" adalah karena ia mampu meniru
kemampuan alinergi lain hingga mencapai ketepatan 100% dan itu adalah nilai
tertinggi di dalam grup copier sepanjang masa dan merupakan hal khusus.
"Apakah kamu jatuh cinta padanya?" tanya Gris pada Nadia, "Memimpikannya?"
"Uhukk ... huk...huk...." Soda yang sedang diminum Nadia nyangkut di tenggorokannya.
Angelina terlihat khawatir dan segera mengelus punggung Nadia dengan lembut.
"Gris, aku hanya ingin berterima kasih padanya, harus kukatakan berapa kali?" Nadia melotot
pada Gris, meski dalam pikirannya langsung terbayang ciuman pertamanya yang terus mengoda
mimpi- mimpinya belakangan ini. Gris mengangkat pundaknya, "Bukankah kamu sudah berterima kasih padanya waktu
itu" Apa itu kurang?" Nadia hanya terdiam, tidak berani mengatakan jika ia memiliki
niat lain. "Atau kamu penasaran ingin bertemu dengan orang aslinya, melihat wajahnya yang
tampan atau memang ia sudah membuatmu jatuh cinta hehehhe... mungkin saja dia adalah
lelaki berumur 50-an, sudah beristri dan berwajah keriput punya segudang cucu, benarkan
Gel?" Gris mengarahkan matanya ke arah Angelina mencari dukungan.
Muka Nadia segera meringis mengingat ia mungkin saja dicium oleh orang yang
umurnya dua bahkan hampir tiga kali umurnya dan mungkin saja sudah berkeluarga. Malam
itu entah makhluk apa yang sudah merasukinya hingga ia begitu rentan dan terpesona pada
godaan pria itu. Apakah itu hanya karena godaan saja atau karena sejak awal dia melihat pria
itu hatinya sudah berdebar keras" Tangannya yang lembut namun juga kuat, suaranya yang
memikat dan ketenangan di sekeliling pria itu, serta getaran hangat yang berkali-kali
menyusupi perasaannya saat berdekatan dengannya. Ia merasa semuanya bagaikan sebuah mimpi,
perutnya serasa dipenuhi puluhan kepak kupu-kupu yang menyenangkan.
Angelina segera menatap ke arah Gris dan kemudian melirik ke arah Nadia yang
juga ternyata sedang menunggu tanggapannya dan dengan tenang ia segera menyeruput
minumannya dan menggelengkan kepalanya, tidak mendukung siapa pun. "Seharusnya
kamu mengatakan pada Nadia agar berhenti bermimpi yang aneh-aneh," kata Gris karena
ia tahu Angelina adalah seorang pemalu yang sama sekali susah mengungkapkan pendapat
pribadinya sendiri. ~ 154 ~ - B L E S S E D H E A R T "Gris apa kamu tidak bisa mengambarkannya?" tanya Nadia mencoba mengalihkan
pembicaraan, "Bukankah kamu sudah melihatnya?"
"Apa kamu punya namanya?" tanya Gris balik. Nadia menyerah ia tidak mendapatkan
sebuah nama pun, "Bagaimana kalau Michelle" Pria itu punya teman yang dikenalkan
padaku, namanya Michelle dan mungkin Alec meski aku ragu jika Alec akan mengenalnya?"
Gris tertawa, "Nadia, yang punya nama Michelle itu ada banyak kecuali jika aku
mengenalnya maka aku akan dapat menggambarkannya untukmu."
"Kemampuan yang tidak praktis," sembur Nadia yang sudah benar-benar menyerah. Ia
sudah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menemukan pria itu atau mungkin
bayangan Michelle tapi keduanya sama sekali tidak terlihat. "Michelle the Coyote?"
Angelina membuka suara. Nadia segera menatapnya seolah mendapatkan secercah harapan,
"Kamu tahu?" "Aku mendengarnya dari seniorku, katanya di bagian Divisi Intelijen ada seorang
wanita yang disebut "Michelle The Coyote Ugly" meski sebenarnya ia pernah dipanggil
Michelle The Mimikri pada awalnya. Tapi kini lebih banyak dipanggil Michelle The Coyote,"
Angelina berhenti sebentar sebelum menambahkan, "Kalian tahu, tentang senior
Andreas yang lari telanjang."
"Tentu saja, kudengar dia kalah balapan dengan Michelle," kata Gris mendadak,
"Apa maksudmu Michelle yang itu?" tanya Gris pada Nadia.
Nadia meringis tidak yakin dan hanya bisa menjawab, "Mungkin saja."
Jari-jari Gris mengetuk meja beraturan dan mendesahkan nafasnya, "Nad, Divisi
Intelijen itu bagian terlarang untuk semua orang. apalagi buat kita yang baru junior di sini.
Salah langkah saja kita bisa berakhir menjadi rabbit nih," Gris menjulurkan lidahnya. Angelina
segera menambahkan, "Menurut kabar, Michelle selalu mengubah penampilannya di mana saja
ia berada, termasuk di Markas Besar BtP sekali pun. Yng kudengar hanya namanya saja
yang tidak diubahnya. Jika kamu mengenalnya di pesta topeng kemarin maka mungkin saja
itu adalah salah satu samarannya dan kini sudah pasti ia telah mengubah
penampilannya." Tubuh Nadia segera terhempas ke sandaran kursi duduknya dan kakinya menjulur
lurus ke bawah. Kepalanya tertunduk, ia jelas kehilangan harapan terakhirnya sama sekali.
Gris dapat melihat reaksi itu dengan jelas dan segera tersenyum senang ke arah Angelina.
Mata Angelina membuka lebih lebar dan segera mengeluarkan sebuah pernyataan lirih,
"Maafkan aku Nad, bukan maksudku."
Nadia terkejut, "Tidak, jangan meminta maaf aku tidak apa-apa. Sebenarnya hanya
masalah kecil, hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menolongku dan yah..."
Nadia ~ 155 ~ - B L E S S E D H E A R T terlihat sedikit malu-malu, "Mungkin sekadar untuk melihatnya saja .... Hanya
itu saja tidak ada yang istimewa." Gris mendesah tidak memahami, "Apakah benar perayu itu mengalahkan senior Jess
dan Daniel dalam sekejap?" Angelina menatap Nadia, meski ia sudah mendengarnya
sebelumnya tetap saja ia ingin mengetahuinya lagi.
"Benar." "Wuih... Dia manusia super kalau begitu," kata Gris merasa hal itu luar biasa,
"Senior Jess dan Daniel dapat dikatakan sebagai dua orang kuat dari Divisi Keamanan. Jika
memang pria bertopeng itu mengalahkan mereka berdua dalam sekejap mungkin orang yang kamu
cari itu berada di divisi khusus atau setidaknya Divisi Intelijen."
Angelina mengganggukkan kepalanya tanda setuju, ia sudah memahami bagaimana
cerita mengenai kedua monster itu yang sudah menyebabkan bertambahnya pasien di
divisinya semata-mata karena mereka ingin menunjukkan kehebatan mereka, "Mengalahkan dua
monster dalam sekejap pasti dia monster yang lebih besar lagi," kata Angelina
sambil menyeruput minumnya. "Yeah, benar-benar monster," ejek Gris.
"Ayolah, dia jelas bukan monster dan kalian sama sekali tidak membantu,
kemungkinan besar dia dari Divisi Intelijen," kata Nadia cemberut. Mereka kembali ke titik
awal, tidak ada hasil. "Defenisi dari kegagalan dan kegilaan adalah melakukan hal yang sama dan
mengharapkan hasil yang berbeda," tambah Gris bagai seorang ahli sambil mengtukngetukkan sendoknya di atas piring, senang dirinya menjadi pusat perhatian.
"Maksudnya?" "Kita harus mencoba mengunjungi tempat-tempat yang tidak pernah kita kunjungi
sebelumnya dan mungkin saja kita bisa menemukannya di sana."
"Benar juga," sahut Nadia langsung, "Jadi ke mana kita akan pergi."
"Kafe Eve di malam harinya," jawab Gris.
"Heee..." Sahut Nadia dan Angelina bersamaan
Nadia dan Angelina tahu sudah lama sejak Gris mengajak mereka ke kafe itu tapi
mereka berdua menolaknya karena Gris ingin mencoba koktail di sana dan masalahnya
mereka masih terlalu muda untuk hal itu. "Tidak," kata Nadia, "Kita ke Kafe Eve di siang hari
saja jika tidak mau, kita cari tempat lain saja."
~ 156 ~ - B L E S S E D H E A R T "Heeeehhh... ngak seru!!!!" kata Gris.
*** Keesokan harinya mereka bertiga mencoba menikmati makan siang di Kafe Eve,
suasananya cukup hiruk pikuk. Angelina harus berpegang pada Nadia untuk menghindari orang
yang berlalu lalang keluar masuk Kafe Eve. Gris yang pertama sekali membuka pintu
Kafe Eve langsung memutuskan untuk menyukainya. Kafe itu jelas tidak seperti kafe pada
umumnya yang terlalu sentimental, kafe yang di sini lebih mirip dengan bar tempat para
koboi menikmati makan siang, menenggak minuman mereka dengan cara kasar dan saling
menembakkan senjata karena masalah sepele. Sebenarnya tidak terlalu tepat
diumpamakan seperti demikian tapi kira-kira seperti itulah keadaan di ruangan tengah dan
bagian belakang kafe yang memperbolehkan merokok, para senior BtP yang bertipe kasar seperti
Jess, Daniel dan lainnya lebih sering berbicara dengan suara keras dan bertingkah sesukanya
di dalam sana, seperti sarang mereka sendiri.
Gris menyukai keadaan kafe yang hidup itu, sedangkan Angelina sama sekali tidak
menyukainya. Ia hampir pingsan melihat tatapan liar orang-orang di dalamnya.
Begitu mereka bertiga masuk saja sudah ada beberapa lelaki yang mengarahkan mata
liarnya pada mereka dan seseorang bersuit panjang tidak sopan pada mereka. Angelina segera
mencari sebuah tempat duduk di samping pintu masuk kafe. Di bagian depan Kafe Eve
merupakan ruangan bebas rokok. Tempat itu terpisah oleh sebuah dinding kaca dengan tempat
para senior mereka yang berada di ruangan tengah yang memperbolehkan untuk merokok.
Ruangan tengah di lengkapi dengan kipas angin pengisap udara di atas ruangan
tersebut. Mereka bertiga segera mengambil tempat duduk, membuka menu dan serius menatap
pilihan menu yang ada. Nadia sendiri tidak terlalu berminat untuk memilih, ia masih
tertegun saat mendapatkan senior mereka Jess dan Daniel di tempat itu. Jelas mereka tidak
mengenal dirinya karena saat itu dia memakai topeng dan mengenai kejadian yang terjadi
itu kelihatannya tidak ada yang mengetahuinya, selain mereka yang terlibat, Angelina
dan Gris. Gris terlihat bersemangat untuk memesan koktail di siang bolong, ia
menanyakannya pada Susan yang mendekati mereka untuk mengambil pesanan. "Maaf koktail kami baru
dapat disugguhkan setelah pukul lima sore, akan tetapi jika kalian hendak memesan es
cream atau puding, kami bersedia untuk memberikan gratis tambahan yang lebih banyak," kata
Susan yang mendapat arahan untuk menghabiskan stok es cream dan puding karena Madame
membelinya terlalu banyak.
Mata Angelina segera berbinar terang sedangkan binar mata Gris meredup, ia hanya
dapat memilih sandwich dan kopi yang disajikan dengan sedikit tambahan whisky. Nadia
yang setelah puas melihat sekeliling dan tidak menemukan seseorang pun yang mendekati
~ 157 ~ - B L E S S E D H E A R T gambaran pria bertopeng hanya memesan makanan ringan berupa cake dengan jus


Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buah. "Tempat ini terlihat menarik," kata Gris sambil melihat Nadia dan Angelina.
Nadia terlihat tidak begitu minat lagi dengan sekelilingnya dan Angelina tidak
sabar menantikan es cream spesial dengan beberapa cake mungil pesanannya. Jaime
sendiri dapat dipastikan sedang mendapatkan shift malam dan jika menuruti keinginan Susan dan
mendapatkan persetujuan Master, ia bakalan masuk shift malam untuk waktu yang
sangat panjang. Alasannya karena Susan kini kembali mencari pekerjaan dan memutuskan
untuk mengelola sebuah tempat nongkrong anak muda malam hari di dekat tempat tinggal
mereka bersama kekasihnya. Master langsung menyetujuinya sejak Jaime dapat membuat
minuman jauh lebih baik daripada Susan. Jaime sendiri tidak memiliki hal penting untuk
dilakukan kecuali bekerja dan bermain dengan LXX-nya sehingga ikut menyetujuinya saja.
Gris dan Angelina sejak pertama kali mengunjungi kafe tersebut selalu berusaha
kembali lagi. Tidak perlu bagi Nadia untuk diiming-imingi akan bertemu dengan pria
penolongnya, ia sudah lama berteman dengan mereka sehingga mengetahui bahwa Gris selalu menyukai
keramaian kafe itu yang terlihat hidup dan ramai sedangkan Angelina sudah
kecanduan es cream, puding dan cakenya Kafe Eve. Bagi Angelina sendiri di mana ada tempat
yang dapat membahagiakan perutnya maka ia akan melekat di tempat itu.
Sehingga ia sendiri hanya dapat terseret arus mengikuti mereka. Dua minggu
kembali berlalu sejak pertama kali mereka bertiga mengunjungi Kafe Eve. Suasana di sekeliling
kafe terlihat cerah, beberapa kupu-kupu terbang di sekitar taman di samping kafe dan suara
burung- burung berkicauan dari pepohonan di belakang rumah master dan Kafe Eve. Hari
yang cerah dan memberikan kesegaran bagi siapa pun juga. Saat itu tiba-tiba seorang wanita
berparas sangat cantik dan bertubuh seksi yang bahkan dapat membuat wanita jatuh cinta
memasuki tempat tersebut, membuat semua pria di dalam kafe terpesona. Wanita itu datang
dan langsung menemui Master yang sedang membaca surat kabar.
"Master, Jaime ada?"
Master menggerakkan alisnya dan mencoba melihat lebih jelas wanita yang
menanyakan tentang Jaime. "Kamu" Apanya Jaime?" Master menunjukkan jari kelingkingnya dan tersenyum
menggoda. "Paman!!" Kata Gadis itu manja.
Master segera menunjukkan wajah kaget yang dibuat-buat,"Oh Michelle..." Seketika
seluruh ruangan kembali bergemuruh, para pria itu yang tadinya mengincar gadis cantik
itu diam- diam kini demi mendengar nama Michelle segera melupakannya. Beberapa pria yang
sudah bergerak menuju Michelle langsung pura-pura tidak tahu dan melewatinya begitu
saja. ~ 158 ~ - B L E S S E D H E A R T Namun tidak bagi Nadia, ia jelas menangkap pembicaraan itu. Gris dan Angelina
segera menatapnya penuh arti. Master tersenyum, "Dia masuk shift malam dan masih tergila-gila pada pemberianmu
yang terakhir." "Oh itu sudah pasti," kata Michelle tertawa membesarkan matanya, senang Jaime
menikmatinya. "Jadi apa keperluanmu kali ini?" Tanya Master sambil menuangkan secangkir air
mineral untuk Michelle yang langsung diteguknya.
"Biasa," kata Michelle puas meneguk air tersebut, "Tapi mungkin besok ia harus
meminta libur dari paman untuk menemaniku. Perbolehkan yah, Paman?"
Master menggelengkan kepalanya, "Besok Paman ada keperluan jadi ia harus masuk,
jika kamu mau meminjamnya, sebaiknya hari ini saja kamu memintanya mengambil libur."
Michelle segera melihat ke arah jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 12:
45. "Master eh Paman ... bisakah menghubunginya untuk menemaniku hari ini?" Master
mendesah melihat ponakannya yang satu ini, "Kamu saja yang minta bukannya efek
pemberianmu masih bersisa" Tak mungkin ia akan menolaknya?"
"Hehehehe... Sebenarnya dalam bulan ini aku menyuruhnya beberapa kali untuk
membersihkan apartemenku." Michelle tersenyum manja, "Jadi aku yakin ia akan
menolak jika aku yang memintanya saat ini."
Master menatap Michelle yang dalam wujud lain itu, "Mau ke mana kamu
membawanya?" "Hanya menemaniku ke kota untuk membeli hadiah ulang tahun Alec dan yah... sedikit
bersih-bersih... apartemenku," kata Michelle tersipu malu. Master menggelengkan
kepalanya melihat kelakuan ponakannya ini, "Baiklah tapi kamu pastikan untuk mentraktirnya
makan malam nanti." Master segera mengangkat telepon kafe dan memijit beberapa nomor.
"Jaime?" "Ya, Jaime di sini. Master ada apa?" sahut Jaime dari balik telepon.
"Jaime, kamu ambillah libur hari ini dan tolong temani Michelle"
...... hening cukup lama di ujung telepon, "Baiklah, apakah aku harus ke sana
sekarang?" Master melihat pada Michelle, "Kamu ingin dia datang?"
"Aku akan ke tempatnya," kata Michelle langsung.
~ 159 ~ - B L E S S E D H E A R T "Tidak, Michelle yang akan ke tempatmu," jawab Master pada telepon.
"Baiklah aku akan menunggu di sini Master, apa ada yang lain?"
"Tidak," jawab Master dan setelah hening sejenak menambahkan, "Bersenangsenanglah, jangan terus-terusan mengurung diri di rumah."
"Terima kasih Master," Jaime memahami pengertian Master dan dengan segera
menutup telepon genggamnya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. Master meletakkan
teleponnya dan menatap Michelle, "Baiklah, Jaime siap melayanimu nona kecil."
Michelle segera tersenyum, ia berdiri jinjit dan memeluk Master sambil mengecup
pipi kanannya, "Terima kasih Paman!" Dan berlalu pergi begitu saja, meninggalkan
Master yang hanya dapat menghela nafas melihat Michelle keluar dari pintu Kafe Eve. Nadia
menarik nafasnya dalam-dalam, kelihatannya ia sudah menemukan sebuah titik terang pada
pencariannya meski hal itu sangat kecil, ia yakin jika ia bertanya langsung pada
Michelle, pasti nantinya Michelle akan memberinya nama pria itu. Sebelum Nadia
menceritakan hal itu pada Gris dan Angelina, "Cringg," pintu kafe terbuka dan Michelle kembali lagi
masuk dan duduk di depan meja bar di depan Master sambil tersenyum menyengir, "Paman, aku
akan menikmati makan siang di sini saja sebelum ke tempat Jaime," sahutnya sambil
segera mengambil menu dan membacakan beberapa pesanan yang segera dicatat Susan. Master
hanya tersenyum dan kembali ke tempat duduknya serta membaca surat kabarnya yang
belum selesai. "Kak Michelle?" Sebuah suara lembut menegurnya membuat Michelle menoleh ke
samping melihat seorang gadis yang juga berpakaian seragam BtP. Dari warna seragam
putihnya gadis ini tentu seorang junior dan masih dalam pelatihan karena para senior memakai
seragam biru keabuan atau biru tua. Gadis ini terlihat manis dan lumayan cantik sehingga
Michelle langsung senang memiliki seorang junior seperti ini. Bahkan sudah mulai mencoba
mengingat rupanya untuk ditiru nanti, kelihatannya ia baru berusia belasan
mendekati dua puluhan. "Benar," sahut Michelle ceria.
Michelle memang merupakan orang yang selalu ceria, hanya jika tidak sedang
dicampakkan cowoknya dan dia memang selalu memiliki tipe seorang kakak senior yang baik.
"Silakan duduk di sini," kata Michelle sambil menunjukkan sebuah kursi bar di sampingnya,
"Ada yang bisa aku bantu, gadis cantik?"
Nadia tersipu malu dan duduk kemudian ia mengulurkan tangannya, "Namaku Nadia,"
yang segera disambut Michelle dan dari wajahnya kelihatan jelas sudah lupa akan nama
tersebut ~ 160 ~ - B L E S S E D H E A R T membuat Nadia terpaksa menambahkan, "Sekitar sebulan lalu kita pernah bertemu di
pesta topeng?" Otak Michelle segera berputar ulang kembali ke saat itu dan dia ingat bertemu
banyak orang. Masih tidak memiliki gambaran karena hampir semua orang memakai topeng. Nadia
segera menambahkan lagi setelah melihat wajah bingung Michelle, "Teman Kak Michelle
kemarin lalu menyelamatkan aku di taman dan memperkenalkan aku pada kakak saat bersama
teman pria kakak yang bernama Alec." Nadia mulai merasa ragu apakah Michelle yang ini
sama dengan Michelle yang di maksudkan atau hanya kebetulan bahwa nama mereka sama
namun berlainan orang. Kali ini otak Michelle menyala terang, "Oh, jadi kamu yang kemarin memakai gaun
putih keperakan dan topeng perak kupu-kupu yang indah itu, cocok sekali loh," sahutnya
dengan mulut yang dibuat tersenyum manis. Nadia tersenyum bahagia, karena mengingat hal
ini berarti Michelle yang ini dan yang kemarin bertemu di pesta topeng memang orang
sama. Meski wajahnya dan bentuk tubuhnya kali ini berbeda secara keseluruhan, "Terima
kasih, Kak." Susan segera meletakkan sepiring spaghetti hangat di depan meja Michelle, "Ah
iya aku ingat, aku ingat sekarang," Michelle mengambil garpu dan mulai mengaduk spaghettinya.
"Kamu tidak keberatan?" tanya Michelle sambil mengangkat garpunya menunjuk pada
spaghettinya, "Aku benar-benar kelaparan."
"Silakan," tambah Nadia cepat-cepat. Tiba-tiba Michelle merasa penasaran sambil
mengunyah spaghettinya, "Bagaimana kamu bertemu dengannya" Apa dia menggodamu?"
Teringat hal ini bisa dijadikan bahan lelucon untuk mengganggu Jaime nantinya
atau mungkin tergantung jawabannya ia akan menendang Jaime karena menggoda juniornya
yang imut. "Tidak, tidak sebenarnya ia telah menolongku," tambah Nadia buru-buru. Master
sedang membaca koran namun telinganya juga ikut terpasang mendengar pembicaraan mereka.
Susah melepas kebiasaan untuk tidak mendengar apabila sudah menyangkut seorang
gadis dan Jaime pelayannya. Michelle kembali memasukkan spaghetti ke dalam mulutnya
dan berbicara sambil setengah mengunyah, "Menolongmu?" Michelle mengingat saat
terakhir ia menelepon Jaime dan Jaime ada bercerita tentang seorang putri dan dua ekor kodok
busuk. "Ah seorang putri dan dua ekor kodok busuk di taman, jadi kamulah sang
putrinya." Wajah Nadia memerah, "Oleh karena itu aku ingin mengucapkan terima kasih atas
bantuan senior itu." Nadia menggunakan istilah senior pada penolongnya karena penolong
itu adalah teman Michelle dan tentunya satu rating atau setingkat lebih tinggi dari dirinya
yang Junior. ~ 161 ~ - B L E S S E D H E A R T Michelle tertawa dan kembali menggangkat spaghettinya memasukkannya ke mulutnya,
"Jika itu hanya menendang dua ekor kodok busuk, tidak perlu berterima kasih padanya,
lagipula cuma dua ekor kodok, apa kamu begitu tidak menyukai kodok?"
Kepala Master ikut menggangguk-angguk dari balik koran, ikut merasa bangga Jaime
bisa membantu, meski cuma mengusir dua ekor kodok. Nadia merasa Michelle belum
mengerti sepenuhnya dan ia perlu menjelaskan, "Sebenarnya senior itu hanya bercanda
tentang dua ekor kodok, mereka itu yang menggangguku sebenarnya senior Jess dan senior
Daniel dan dia menendang mereka berdua."
"Uhukkkk," spaghetti yang sudah terlumat hampir sempurna tinggal ditelan itu
menyembul keluar ke semua arah. "Uhuk," Terdengar suara batuk terkejut Master dari balik
koran namun ia segera menggeser surat kabarnya dan menatap ke arah Michelle, menegur cara
makannya yang jelas sangat buruk. Michelle segera melebarkan matanya menatap Master
seolah-olah berkata, "Percaya ngak dengan apa yang baru saja aku dengar" , kemudian berbalik
tersenyum sambil menarik tisu untuk membersihkan mulutnya juga spaghetti yang
menyembul di sekeliling meja bar. Setelah itu Michelle langsung mengambil
minumannya dan menenggak hampir tiga perempatnya. Menenangkan dirinya Michelle kembali
menatap Nadia," Maksudmu manusia api dan raksasa itu?"


Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nadia menggangguk, "Yah, Jess The Fire dan Daniel The Giant." Bola mata Michelle
berputar ke atas, kiri dan kanan, otaknya berputar mencari kesamaan antara Jaime
yang dikenalnya dengan seseorang yang dapat mengalahkan kedua monster itu dan ia
tidak menemukan kesamaan sama sekali. Ia ingin tertawa namun juga tidak mampu karena
melihat wajah Nadia yang penuh tatapan serius itu, membuatnya tidak mengerti bagaimana
harus ia menanggapi lelucon itu. "Ah Nadia, jika pria itu yang kamu maksud adalah temanku maka tidak mungkin ia
akan menendang kedua monster itu, mungkin sebenarnya bagi kedua monster itu dia
adalah kodok busuk yang sekali injak selesai," jawab Michelle dengan wajahnya yang tersenyum
geli, "Apa kamu tidak salah orang?" Master mengganggukkan kepalanya yang tidak
kelihatan di balik koran, tanda setuju pada kata Michelle. Bagaimanapun juga telinganya
mendapatkan info yang jauh lebih menarik daripada matanya yang menatap koran.
Akan tetapi tidak pada Nadia, Ia serius seratus persen karena melihatnya dengan
matanya sendiri, "Kak Michelle, pria itu memakai topeng hitam dan ia benar-benar
mengalahkan kedua senior dalam sekejap." Terlihat matanya berbinar penuh kejujuran yang
membuat Michelle menaikkan alisnya.
"Ceritakan bagaimana dia melumpuhkan mereka," lanjut Michelle penasaran, ia
hanya bisa membayangkan jika Jaime si pelayan dihadapkan pada Jess dan Daniel ... hasilnya
~ 162 ~ - B L E S S E D H E A R T bagaimanapun juga tertinggal sebongkah daging panggang yang di tumbuk halus.
Siapa yang akan bertaruh untuk seorang normal jika terjadi perkelahian antara alinergi
dengan manusia normal, apalagi dua orang alinergi tipe penyerang.
Nadia tersenyum malu dan mengatakannya dengan polos dan terlihat bersemangat,
"Senior itu terbang turun dari pohon, kemudian dari jarak jauh menjatuhkan senior Jess
yang sedang menyalakan api di kedua tangannya. Kemudian menuju ke tempat senior Jess dan
melancarkan sebuah tinju yang membuatnya pingsan."
Mata Michelle membelalak.
Jaime jadi superman. Bola mata Master berputar ke atas mencoba membayangkan hal itu dan alisnya
terlihat berkerut-kerut bersusah payah membayangkan semua itu.
"Kemudian senior Daniel datang menerjang dirinya namun beberapa saat kemudian
senior Daniel diterbangkan hingga kepalanya terbanting di lantai taman."
Tangan Michelle memegang perutnya dan menahan tawanya yang hampir meledak pecah,
dua detik berikutnya tawa Michelle pecah dan mengagetkan semua orang di dalam
Kafe Eve. Sedangkan Master juga sedang berusaha keras menahan tawa di balik korannya.
"Hahahaha... kamu ... kamu benar-benar mengatakan lelucon yang sangat bagus," kata
Michelle dan kelihatan di sudut matanya berair. Nadia terlihat kesal, menggigit
bibirnya dan juga kelihatan menahan air matanya.
"Kak Michelle, aku tidak bercanda," protesnya. Michelle menatap wajah Nadia yang
serius bahkan hampir menangis, tetap saja ia merasa geli. "Kak Michelle," wajah Nadia
tertunduk, "Saya ingin bertemu dengannya lagi atau mungkin meminta namanya, Apakah Kak
Michelle bisa memberitahukannya" Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih."
Michelle terkejut, tawanya segera putus, "Tentu, dia tidak memberimu namanya
bukan?" Jantungnya berdetak kencang sejenak. Nadia menggelengkan kepalanya, "Ia tidak
memberikannya." Nafas Michelle berhasil tenang kembali, jika ia ketahuan memasukkan Jaime ke
dalam pesta topeng itu, ia bisa dikenakan hukuman juga. "Nadia juniorku yang baik, begini
saja. Kakakmu ini akan menyampaikan rasa terima kasihmu padanya dan aku yakin ia akan
sangat menyukainya, jadi kamu tidak perlu repot-repot mencari dirinya lagi untuk
berterima kasih. Jangan merepotkan dirimu dan rahasiakan hal ini dari siapa pun." Nadia hendak
protes tapi Michelle merasa ia harus segera melarikan diri dari sana sebelum didesak lebih
jauh. Dengan cepat ia mengeluarkan kartu dari dompetnya, menggesekkannya pada counter di
depan ~ 163 ~ - B L E S S E D H E A R T Master dan kabur sebelum Nadia sempat mengeluarkan pertanyaan apa pun dari mulut
kecilnya. Saat tubuh Michelle berhasil keluar dari pintu kafe, mulut Nadia masih
terbuka. Gris dan Angelina segera mendekati Nadia untuk bertanya, yang hanya dijawab
Nadia dengan gelengan kepalanya. Perjuangan sebulan lebih ini sia-sia sudah, bahkan
Michelle yang merupakan satu-satunya jawaban juga menolak memberinya jalan keluar. Entah
mengapa air matanya serasa ingin keluar namun berusaha ditahannya. Tak lama
kemudian air mata Nadia mengalir dalam diam dan Angelina segera memeluknya. Master hanya
dapat menggelengkan kepalanya lemah.
Di luar kafe, Michelle segera membuka pintu mobilnya dan masuk, tepat saat itu
ia melihat Jess baru saja tiba dengan mobil atap terbuka berwarna merahnya dan berhenti
untuk parkir di samping mobilnya. Teringat sesuatu Michelle segera turun kembali dari
mobilnya dan menghampiri Jess, ia hanya ingin mengkonfirmasikan kebenaran.
"Hei, Hot Man."
Jess yang dipanggil segera menoleh dan melihat seorang gadis super cantik dan
berbody seksi memanggilnya. "Yes babe, aku sendiri," sahutnya penuh kebanggaan dan memasang
pose keren, setidaknya keren menurut dirinya sendiri. Michelle segera mendekatinya,
"Kudengar di pesta topeng kemarin kamu dan Daniel menggoda seorang gadis kecil dan
berakhir ditendang oleh seorang bertopeng hitam." Wajah Jess yang tadinya terpasang keren
langsung berubah pucat. "Dan hanya dalam sekejap," tambah Michelle yang merasa hal itu
lucu dan tertawa. Wajah Jess menjadi merah dan terlihat marah, seketika api memancar dari bahu dan
tangannya, "Aku sedang mencari pria itu, apakah kamu mengetahui sesuatu
tentangnya Nona," tanya Jess yang segera melompat keluar dari Mobilnya untuk menyergap Michelle.
Michelle salah telah membangunkan singa tidur. "Sebaiknya kamu segera
menjawabnya Nona sebelum ada yang terbakar," nada suara Jess mengancam dan langkah demi
langkahnya semakin mendekati Michelle, bagaimanapun juga harga dirinya terluka.
~ 164 ~ - B L E S S E D H E A R T Bab 9 HARGA SEBUAH NYAWA Aku sedang membersihkan gudang tempat di mana sepeda motor bututku seharusnya
berada jika tidak dicuri. Sedang berpikir mungkin saja aku bisa membuat sebuah
kursi panjang untuk diletakkan di depan atau belakang rumah sebagai tempat duduk
bersantai. Ada cukup banyaknya papan dan kayu bekas yang masih bagus di tempat ini. Dulu di
dalam gudang ini aku pernah memelihara beberapa ekor ayam untuk dibiarkan bebas dan
mereka suka kembali pada kandang mereka setiap malam. Namun entah bagaimana hanya dalam
satu malam seekor musang membunuh mereka semua, sejak saat itu aku berhenti
memelihara apa pun lagi. Gudang ini terasa sangat panas dan pengap di siang hari, menyesakkan nafas dan
aku sudah bekerja sekitar dua jam di dalamnya yang membuat keringatku bercucuran membasahi
pakaianku. Saat sibuk memisahkan papan-papan yang bagus dari yang buruk aku
mendengar suara mobil yang berhenti di depan. Jelas itu Michelle karena selain ia sudah
berjanji akan segera datang, selama tiga tahun ini hanya Michelle seorang yang pernah
berkunjung ke tempatku. "Aku di sini," teriakku dari dalam gudang untuk memberitahukannya tanpa
melihatnya lagi. Tanganku memegang sebuah parang untuk mulai membelah kayu-kayu yang lapuk
sebagai kayu bakar jika dibutuhkan. Lumayan untuk buat membakar ubi, aku menanam cukup
banyak ubi di sekeliling rumah dan aku menyukai ubi bakar karena sangat membantu
menghemat biaya makanku. ~ 165 ~ - B L E S S E D H E A R T "Di sini kamu rupanya?" Sahut suara lelaki. Aku terkejut dan secepatnya menoleh
ke belakang. Jelas dia bukan Michelle dan yang ini jauh lebih buruk lagi. Jess
dengan seragam BtP yang berdiri di depan pintu gudang dengan wajah yang membuat firasatku
menjadiburuk. Bulu kudukku merinding. Apa yang dia lakukan di sini"
Rasa dingin merayap di sepanjang tubuhku, tidak masuk akal, bagaimana mungkin
hal ini terjadi. Tidak seharusnya Jess tahu rumahku dan tentu saja lebih tidak mungkin
lagi jika dia tahu apa yang sudah kulakukan padanya di pesta topeng lalu. Entah alasan apa
yang membuat dirinya ke sini tapi apa pun itu tatapan Jess jelas jauh dari kata ramah. "Yoo
Jaime, aku dengar kamu menyelinap ke dalam pesta topeng BtP yah?" Jess menyeringai penuh
nafsu membunuh. Jantungku terasa berhenti berdetak bersama nafas yang sedikit menjadi sesak.
"Aku, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud," kataku sambil mencoba untuk tidak
menatapnya dan melanjutkan apa pun yang sedang kukerjakan.
"Hahahahaha... berhentilah berbohong," Jess tertawa, "Michelle sudah
memberitahukan semuanya padaku." Tanganku mendadak berhenti bergerak, tidak mungkin Michelle
mau memberitahukan semua hal itu pada Jess, apalagi posisi kami berdua akan
berbahaya jika ketahuan, Michelle bisa dikenakan sangsi dan aku akan menjadi rabbit. Tapi Jess
berada disini, ini adalah bukti tidak terbantahkan. Pastinya dia melakukan sesuatu pada
Michelle hingga dia memberitahunya. Bagi seorang mata-mata tidak mungkin mereka akan
mengeluarkan sebuah infomasi yang jauh lebih berharga daripada nyawa mereka
sendiri. "Apa yang kamu lakukan pada Michelle?" Amarah terpercik membakar diriku.
Mengingat hal buruk yang mungkin terjadi pada Michelle, adrenalineku mulai terpompa ke
seluruh tubuh. Tangan kananku yang memegang parang semakin kuat mencengkeram, nafasku
sedikit melambat. Jess entah mengetahui atau tidak hal itu, segera mengeluarkan
senjata apinya, "Apa yang seharusnya di lakukan seorang untuk membuat orang mengakui hal
yang susah diakuinya." Ibu jari Jess bergerak melepaskan pengaman senjata apinya. Aku
menelan ludah tidak mau memikirkannya. Keringatku menetes dan suasana dalam gudang
terasa semakin panas. "Sedikit siksaan dan semuanya selesai, semudah itu," tambah Jess
menyeringai mengerikan, "Aku sudah mencarimu selama sebulan ini untuk membayar
hutangku, Teman." Jantungku berdetak semakin kencang tidak menyangka dirinya akan begitu pendendam
dan aku menatap senjata api Jess. Jika aku ditembak di sini, diriku akan berakhir,
yang pasti saat ini karena diriku Michelle telah mendapat celaka. Mataku melihat pada pintu
gudang tapi jalan keluarku sudah tertutup olehnya, aku tidak dapat mencoba menerobos keluar
dan lari ke ~ 166 ~ - B L E S S E D H E A R T dalam hutan. Jika senjata apinya ditembakkan sedekat ini, aku hanya akan
memiliki pilihan tewas seketika. Jess menguasai api, jika aku dibakar mungkin aku masih sempat
mencoba melarikan diri dengan luka bakar namun kini ia malah mengeluarkan senjata apinya
terlebih dahulu. Apakah ia benar-benar mendendam akan kejadian kemarin dan ingin
menembakku untuk menghilangkan bukti" Jika diriku terluka bakar ia dapat saja menjadi
tersangka. Pikiranku berputar keras.
Apakah ia menginginkan kematianku hanya karena masalah sekecil itu"
"Apa yang kamu inginkan Jess" Jika itu hanya pukulan aku akan menerimanya tanpa
membalas. Aku tidak akan pernah mampu melawanmu dan kamu tahu itu. Aku meminta
maaf atas kesalahanku," kataku memohon.
Jess tersenyum, "Tidak semudah itu kawan, kamu mempermalukanku dan aku
menginginkan nyawamu, apa kamu bisa memberikannya dengan tanpa membalas?"


Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jess ayolah, aku benar-benar meminta maaf atas hal itu, tidak seharusnya kita
bermain-main dengan senjata api hanya karena masalah sekecil itu," otakku berusaha mencari
jalan keluar secepat mungkin. Aku benar-benar dalam bahaya dan Jess saat ini tidak mabuk sama sekali. Tidak
mungkin aku dapat melarikan diri, apalagi menang melawannya.
Jess menggenggam senjata api dalam tangannya dan menggerak-gerakkannya dalam
ayunan kecil, "Oh, apakah kamu takut akan benda kecil ini?" Mataku menatapnya lurus
jika tadinya Jess hanya ingin menghajarku, aku tidak masalah dengan beberapa pukulan dan
tendangan namun berbicara mengenai senjata api, itu adalah masalah hidup dan mati. Aku
harus memutuskan sesuatu atau sesuatu diputuskan padaku, hal yang paling kubenci. Aku
mengencangkan rahangku dan mencoba berpikir keras akan tetapi tetap tidak
mendapatkan jalan keluar sama sekali.
Mungkin waktuku di bumi ini sudah habis, sialan aku tidak punya jalan keluar.
"Jess aku mohon berikan aku pukulan atau tendangan tapi jangan gunakan senjata
itu," mohonku untuk keterakhir kalinya.
"Aku tidak akan puas sebelum mengambil nyawamu Jaime," Jess terlihat menikmati
perkataan itu dan tersenyum mengejek. Seenaknya ia menggerakkan senjata apinya
dan melihatku dengan pandangan buas.
Aku menutup mataku dan menarik nafasku dalam-dalam.
Maafkan aku Tuhan dengan membuat nyawaku hanya semurah ini.
~ 167 ~ - B L E S S E D H E A R T Sorot mataku berubah seiring dengan keputusan yang telah aku ambil setelah jalan
"maaf" tidak lagi terbuka untukku. Sesuatu hawa kelam muncul merebak dalam diriku.
"Jess jika kamu mengarahkan senjata itu padaku, anggap saja kamu dan aku sudah tidak ada
lagi di dunia ini." Jess terpancing, wajahnya menjadi kejam, "Oh ya?" tanyanya dan moncong senjata
di tangannya bergerak mengarah padaku. Seketika itu juga diriku nekat mengambil
sebuah keputusan, aku harus melakukannya tanpa keragu-raguan.
Melukainya dan membiarkan diriku melarikan diri dengan selamat atau yang
terburuk, mati bersama. Hawa membunuh memenuhi setiap sel tubuhku.
"Dorr!!!!" sebuah tembakan meletus dari senjata api Jess tepat ke arahku. Aku
sudah memperkirakannya dengan baik arah moncong senjata api tersebut dan mengelak
dengan melompat ke samping hingga punggungku menghantam dinding gudang yang menimbulkan
suara berisik. Detik berikutnya aku sudah mendorong diriku ke depan mengarahkan
parang di tanganku pada bagian dirinya yang vital. Ia boleh menembakku sekali atau dua
kali lagi tapi aku harus memberinya bayaran setimpal, tanganku dan parangku harus mencapai
lehernya. Jess jelas terkejut melihat sasaran tembakan pertamanya meleset dan menemukan
diriku sedang menyerang ke arahnya. Senjata api di tangan Jess segera terarah padaku
kembali dan meletus sekali lagi. Aku sudah siap menerima tembakan itu dan memaksa agar diriku terus menerjang
maju, parangku terus terayun melewati tangan dan senjata api yang dipegang Jess, terus
mendekati leher Jess secara langsung. Mendadak aku merasa sesuatu yang menahanku di
belakang baju sehingga diriku yang melaju ke depan tertahan dan mengakibatkan jarak serangan
yang kuperkirakan lolos sedangkan Jess yang bagaimanapun seorang petarung segera
menarik tubuhnya menjauh pada saat yang tepat. Ia jelas terkejut melihat parang tajam
itu melayang melewati lehernya, dekat sekali dan menggoresnya tipis di atas kulit leher serta
mengeluarkan darah. Untuk sesaat Jess terlihat berdiri terdiam sebentar setelah menghindar,
kejadian tadi mungkin benar-benar memaksanya untuk melihat betapa seriusnya hal ini. Ia
menembakku dan parangku sudah menyentuh kulit lehernya, ia sudah berdiri di ambang kematian
dan jika saja sebuah paku pada dinding gudang tidak menyangkut di pakaianku mungkin ia
sudah memasuki gerbang kematiannya bersamaku.
Aku segera maju dan memusatkan diriku padanya, ia sudah menembakku, aku pasti
tidak akan dapat bertahan lagi. Aku harus melupakan rasa sakit apa pun pada tubuhku.
Dengan cepat aku memaksakan diri menerjang maju ke arahnya membuat pakaianku robek oleh
paku di belakang, lenganku segera menyergap leher Jess. Dengan satu tarikan nafas aku
~ 168 ~ - B L E S S E D H E A R T menyelinap ke belakang tubuhnya menghindari tembakan senjata api dan memeluknya
dari belakang serta meletakkan parang tepat menempel di leher Jess.
"Kuharap kamu berdoa sekarang juga," bisikku dingin di telinga Jess dan parang
tajam serta dingin itu sudah menyentuh leher Jess. Aku hanya dapat memperkirakan jika ia
memanggil apinya memanggangku bersama dengan dirinya, kuharap parangku bergerak lebih
cepat menyayat lehernya. Nyawaku tidak akan pernah murah, selalu ada bayarannya dan
aku merasa mataku menjadi sedikit basah. "Maafkan aku Tuhan," bisikku lirih merasa
hatiku sakit. Jess jelas dapat dengan merasakan tajam dan dinginnya parang tajam yang melekat
di kulit lehernya juga keseriusanku akan menggunakannya untuk menyembelih lehernya, otototot lenganku menegang dan tanganku mencengkeram kepalanya dengan keras.
"Trak," senjata api di tangan Jess terjatuh.
Aku menunggu, kini hanya api dari Jess saja yang tersisa. Parang di tanganku
semakin kutekankan pada leher Jess lebih rapat. Tiba-tiba aku dapat merasakan tubuh Jess
itu gemetaran dan menjadi dingin. Seketika itu juga rambut Jess dan struktur
tubuhnya berubah, membuatku terkejut namun masih tetap memeluk erat tubuh itu tidak ingin
melepaskannya. Rambutnya semakin jarang, tulang tubuhnya berderak mengecil dan akhirnya menetap
pada satu sosok yang dipenuhi bekas luka.
"Michelle," sahutku tidak percaya segera melepaskan tanganku dan melemparkan
parangku sejauh mungkin. Aku segera membalikkan bahu kecil itu dan melihat muka cacat
yang penuh bekas luka, tanpa alis dan rambut yang jarang sambil menatapnya lebih jelas.
"Michelle," kataku sekali lagi, hatiku menjadi lega juga ketakutan. Aku masih dapat melihat
sebuah luka di lehernya bekas parang yang masih mengeluarkan darah. Mata Michelle hampir
tidak fokus, berair dan tubuhnya masih gemetar ketakutan.
"Ma.. Maaf.. Aa..aku tidak tahu.." kataku tidak tahu harus berkata apa lagi.
Michelle langsung menangis memukulkan kedua kepalan tangannya keras-keras pada dadaku dan
tidak sampai di situ, ia segera merunduk dan mengambil senjata apinya yang jatuh serta
berbalik menembakku beberapa kali.
"Dor!!! Dor!!! Dor!!! Dor!!" Aku menatap senjata api itu dan meski menembak
tepat pada dadaku, tidak ada luka yang terbuka sama sekali.
Peluru kosong. Michelle melemparkan senjata api di tangannya dengan kasar ke arah wajahku dan
benda besi itu menghajar dahiku. Sakit. Aku masih melihat air matanya yang mengalir.
Ia ~ 169 ~ - B L E S S E D H E A R T mengangkat telapak tangannya dan menampar pipiku, "Ka... Ka... Kamu mau
membunuhku..." Teriak Michelle gagap dan menangis keras sambil menatapku tegas
meminta jawaban. Aku menundukkan kepala tidak berani menatap mata itu.
"Lihat Aku!!" teriak Michelle dan menamparku sekali lagi.
Tamparan itu terasa sakit dan panas di pipiku.
"Kamu mau membunuhku ...." Ia berteriak keras dan air matanya masih mengalir.
Tangan Michelle menyentuh lehernya dan segera terlihat noda darah merah di jarijarinya, tubuhnya segera bergetar dan tangisnya semakin keras.
"Maafkan aku ..." kataku mencoba menghibur.
"Lihat ini darahku," tangis Michelle sambil mengarahkan telapak tangannya yang
merah ke arah wajahku dan bahkan dengan kasar mengoleskan darahnya ke wajahku.
"Mengapa kamu mau membunuhku ..." tangis Michelle sambil kembali memukulkan
kepalan tangannya pada dadaku. Aku terdiam dengan perasaan berkecamuk, ketakutan karena
aku hampir membunuhnya. Aku tidak merasakan sakit dipukul akan tetapi kesadaran aku
hampir saja membunuhnya membuatku ketakutan dan segera memeluknya.
Tubuh yang kurus dan kecil gemetaran.
"Michelle maafkan aku... maafkan aku... maafkan aku..." kataku terus berulang-ulang
seperti mantra untuk menenangkan dirinya dan mungkin diriku juga. Dia terus
menerjangku menangis dan terus mendorong hingga kami berdua terjatuh dengan punggungku
terlebih dahulu menghantam tanah berumput. Pikiranku kacau dan perlahan-lahan benang
kusut itu mulai terurai, Michelle meniru Jess, menggunakan peluru kosong dan ia hanya
ingin mengerjai diriku sedangkan diriku menggunakan parang. Benar-benar berniat
memotong leher kecil itu. Jika bukan karena bajuku tersangkut tadi mungkin dia sudah ...
tubuhku mengigil ketakutan juga kedinginan dan memeluknya semakin rapat.
Aku mungkin sudah membunuhnya.
Kedua tanganku berada di atas punggung Michelle dan memeluknya erat-erat. Aku
hampir saja kehilangan dirinya. Michelle terus menangis dalam pelukanku sudah tidak
memukul lagi mulai menggigit dadaku dan memberikan kesakitan baru yang menusuk. Aku hanya
berharap rasa sakit itu dapat menebus atau setidaknya meringankan rasa bersalahku.
"Maafkan aku ... maafkan aku... maafkan... aku..." bisikku di sela-sela isak tangis Michelle. Hal itu
berlanjut begitu lama, aku berbaring di atas tanah dan Michelle mulai berhenti bergerak di
atasku setelah menangis cukup lama. Tanganku terus mengelus kepala Michelle, memberinya
rasa aman dan sebagai permintaan maaf atas apa yang sudah kulakukan padanya. Aku
dapat ~ 170 ~ - B L E S S E D H E A R T merasakan tubuh kurus Michelle dan bahkan kini terasa lebih kurus lagi, dingin
dan gemetaran. Udara panas berhembus, di kejauhan terdengar suara ombak memecah dan suara
gemersik udara menggerakkan dedaunan pepohonan sekitar rumahku mengiringi suara gemersik
ilalang. Kami berdua terdiam untuk waktu yang cukup lama dan isak tangis
Michelle semakin melemah. Tubuhnya yang dingin mengigil kini mulai menghangat kembali. "Mengapa kamu
membunuh semudah itu?" tanya Michelle di dadaku. Kedua tanganku memeluknya
semakin rapat dan dia sendiri semakin menyusut ke dalam pelukanku, membuat tangisnya
kembali terisak. Aku sadar aku telah melakukan sebuah kesalahan.
Mataku menatap langsung ke langit biru, di mana awan masih bergerak perlahan
menutupi terik cahaya matahari. Suara rumput yang bergesekan dan suasana yang teduh ini
mengingatkanku pada beberapa tahun-tahun yang lalu saat aku masih seorang
pelajar muda di desaku. *** Kami selalu menjual hasil panen kami ke kota dan biasanya adalah ayahku dan
kakak lelakiku yang mengikutinya. Namun kali ini bertepatan dengan aku ingin membeli
buku bacaan dan kakak perempuanku juga ingin membeli beberapa kebutuhan rumah tangga
yang dipesan oleh ibu, sehingga kamilah yang ikut serta dalam perjalanannya.
Waktu sudah melewati tengah malam dan terasa dingin saat kami melakukan
perjalanan pulang ke kampung setelah berbelanja besar-besaran. Di saat itu aku sudah
Kisah Tiga Kerajaan 27 Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Bagus Sajiwo 10

Cari Blog Ini