Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 7
karena pemberian obat dalam jumah yang tidak semestinya." Dia berhenti sejenak.
Lalu, "Kelebihan dosis Heparin pada manusia akan mengakibatkan gejala yang
dengan mudah disalahartikan sebagai stroke ... terutama kalau tidak dilakukan
otopsi yang sepantasnya." Sang camerlegno sekarang tampak benar-benar bingung.
"Signore," kata Olivetti. "Ini jelas sebuah usaha Illuminati untuk publikasi.
Seseorang memberikan obat dengan dosis berlebihan itu sama sekali tidak mungkin.
Tidak seorang pun punya kesempatan untuk melakukan itu. Dan bahkan kalau kita
terpancing dan menyangkal pengakuan mereka, bagaimana caranya" Hukum Kepausan
melarang dilakukannya otopsi. Walau dilakukan otopsi, kita tetap saja tidak akan
mengetahui apa-apa. Kita memang akan menemukan sisa-sisa Heparin dalam tubuhnya,
tetapi itu berasal dari suntikan harian beliau."
"Betul." Suara sang camerlegno menjadi tajam. "Walau begitu ada yang masih
membuatku bingung. Tidak seorang pun di luar sana yang tahu kalau mendiang Paus
menggunakan obat itu." Sunyi. "Kalau beliau disuntik Heparin dengan dosis
berlebih," kata Vittoria, "tubuhnya akan menunjukkan tanda-tanda." Olivetti berpaling ke
arahnya. "Nona Vetra, mungkin Anda tidak mendengar aku tadi. Otopsi seorang paus
dilarang oleh hukum Vatican. Kami tidak akan memeriksa tubuh mendiang Paus hanya
karena musuh membuat pengakuan yang tercela!"
Vittoria merasa malu. "Aku tidak berniat untuk mengatakan ...." Dia tidak
bermaksud untuk tidak menghormati. "Aku sama sekali tidak mengusulkan Anda
menggali makam Paus ...." Vittoria ragu-ragu untuk melanjutkan. Sesuatu yang
Robert pernah katakan padanya di Kapel Chigi melintas seperti hantu dalam
benaknya. Robert mengatakan peti mati kepausan diletakkan di atas tanah dan
tidak pernah ditutup dengan semen, seperti kepercayaan para firaun yang tidak
menutup dan mengubur peti mati karena diyakini akan memenjarakan jiwa yang sudah
meninggal di dalam tanah. Gravitasi merupakan pilihan pengganti semen dengan
tutup peti mati seberat ratusan pon. Vittoria sadar, secara teknis, ada
kemungkinan untuk - "Tanda-tanda seperti apa?" tiba-tiba sang camerlegno bertanya. Vittoria merasa
jantungnya berdebar karena takut. "Kelebihan dosis dapat menyebabkan pendarahan
pada mukosa mulut." "Apa?" "Gusi korban akan berdarah. Setelah kematian,
pembekuan darah membuat mulut bagian dalam menjadi hitam." Vittoria pernah
melihat foto yang diambil dari sebuah akuarium di London di mana sepasang paus
pembunuh menerima obat dengan dosis berlebihan dari pelatihnya. Ikan paus itu
mengambang di atas akuarium dengan mulut terbuka dan lidah mereka hitam kelam.
Sang camerlegno tidak menyahut. Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke
jendela. Suara Rocher seperti kehilangan semangat ketika dia bertanya. "Signore, kalau
pengakuan tentang keracunan Paus itu benar ...."
"Itu tidak benar," jelas Olivetti. "Orang luar tidak akan mempunyai akses untuk
mendekati paus." "Kalau pengakuan itu benar," Rocher mengulangi, "dan Bapa Suci memang diracuni,
maka hal itu mempunyai dampak besar pada pencarian antimateri yang sedang kita
lakukan. Orang yang diduga pembunuh itu mungkin telah menyusup lebih dalam dari
yang kita duga semula. Mencari di zona putih mungkin tidak cukup. Kalau kita
tidak mencarinya hingga ke dalam, kita tidak akan menemukan tabung itu pada
waktunya." Olivetti menatap kaptennya dengan tatapan dingin. "Kapten, aku akan mengatakan
padamu apa yang akan terjadi."
"Tidak," tiba-tiba sang camerlegno itu berpaling dan berkata. "Aku akan
mengatakan padamu apa yang akan terjadi." Dia menatap langsung pada Olivetti.
"Ini sudah cukup jauh. Dalam dua puluh menit aku akan membuat keputusan apakah
aku harus menunda rapat pemilihan paus dan mengosongkan Vatican City atau tidak.
Keputusanku itu akan merupakan keputusan akhir. Jelas?" Olivetti tidak berkedip.
Tidak juga menyahut. Sekarang sang camerlegno berbicara dengan tegas, seolah dia
mengalirkan persediaan kekuatannya yang tersembunyi. "Kapten Rocher, kamu akan
menyelesaikan pencarianmu di zona putih dan melapor kepadaku dengan segera kalau
kamu sudah selesai."
Rocher mengangguk sambil menatap sekilas ke arah Olivetti dengan pandangan tidak
tenang. Kemudian sang camerlegno memilih dua orang penjaga. "Aku ingin wartawan BBC itu,
Pak Glick, datang ke kantor ini segera. Kalau Illuminati itu pernah berbicara
dengannya, mungkin saja wartawan itu dapat membantu kita. Laksanakan!" Kedua
serdadu itu menghilang. Sekarang sang camerlegno berpaling dan berkata kepada
penjaga yang masih ada. "Bapak-bapak, aku tidak ingin ada pembunuhan lagi malam
ini. Pada pukul sepuluh, kalian akan menemukan dua orang kardinal kita dan
menangkap monster yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini. Jelas?"
"Tetapi, signore" Olivetti mendebat, "kita tidak tahu di mana - "
"Pak Langdon sedang berusaha mencari tahu. Dia tampak mampu mengerjakannya. Aku
percaya kepadanya." Setelah itu, sang camerlegno berjalan ke arah pintu dengan langkah tegas. Saat
dia berjalan keluar, dia menunjuk pada tiga orang penjaga. "Kalian bertiga, ikut
bersamaku. Sekarang." Ketiga penjaga itu mengikutinya. Di ambang pintu, sang
camerlegno berhenti. Dia berpaling
ke arah Vittoria. "Nona Vetra. Anda juga. Mari ikut denganku." Vittoria ragu.
"Ke mana?" Sang camerlegno menuju pintu. "Berjumpa kawan lama."
82 DI CERN, sekretaris Sylvie Baudeloque merasa lapar dan berharap dapat pulang
sekarang. Hal yang membuatnya terkejut adalah atasannya itu sepertinya sudah
sembuh dengan cepat karena sudah meneleponnya dan memerintahkan Sylvie - bukan
memintanya tapi memerintahkannya - untuk tetap tinggal di kantornya hingga larut
malam. Tidak ada penjelasan lebih jauh tentang hal itu.
Setelah bertahun-tahun bekerja dengan Kohler, Sylvie sudah memprogram dirinya
untuk mengabaikan perubahan suasana hati dan sifat eksentrik atasannya itu
seperti perawatan kesehatan yang dilakukan secara rahasia dan kesukaannya
merekam secara diam-diam rapat yang diadakannya dengan menggunakan video yang
menempel di kursi rodanya. Dalam hati Sylvie berharap pada suatu hari Kohler
tanpa sengaja menembak dirinya sendiri ketika berlatih di fasilitas pelatihan
menembak di CERN. Tetapi sepertinya dia adalah penembak yang baik, sehingga
kecelakaan seperti itu sulit untuk terjadi.
Sekarang, Sylvie duduk sendirian di mejanya dan mendengar suara perutnya yang
sudah keroncongan. Kohler belum juga kembali dan tidak juga memberinya tambahan
pekerjaan. Aku tidak mau duduk di sini sambil merasa bosan dan lapar, katanya
dalam hati. Sekretaris itu kemudian meninggalkan catatan untuk Kohler dan pergi
menuju ruang makan pegawai untuk mengisi perutnya. Tapi rupanya dia tidak pernah
sampai ke sana. Ketika Sylvie melewati ruang rekreasi CERN yang terdiri atas
sebuah serambi panjang yang dilengkapi dengan beberapa pesawat televisi, dia
melihat ruangan itu dipenuhi oleh para pegawai yang tampaknya tanpa sadar sudah
melupakan makan malam mereka untuk menonton berita di TV. Ada peristiwa besar
yang tengah berlangsung. Sylvie memasuki ruangan pertama. Ruangan itu dipenuhi
oleh para programer komputer berusia muda. Ketika dia melihat ke berita utama
yang terpampang di layar TV, Sylvie terkesiap.
TEROR DI VATICAN Sylvie mendengarkan berita itu, dan tidak dapat memercayai telinganya.
Sekelompok persaudaraan kuno berhasil membunuh dua kardinal" Untuk membuktikan
apa" Kebencian mereka" Kekuasaan mereka" Kebodohan mereka"
Emosi yang tampak dalam ruangan itu bermacam-macam, tapi yang pasti bukan
perasaan sedih. Dua pegawai CERN yang jelas tergila-gila dengan teknologi berlarian sambil
melambai-lambaikan kaus mereka yang bergambar Bill Gates dan bertuliskan DAN
PARA KUTU BUKU AKAN MEWARISI BUMI!
"Illuminati!" salah seorang berteriak. "Aku 'kan sudah bilang kalau mereka itu
ada!" "Hebat! Kupikir mereka hanya ada dalam permainan!" "Mereka membunuh Paus,
Kawan! Paus itu!" "Wah, aku bertanya-tanya berapa poin yang kamu dapat
kalau kamu berhasil melakukannya." Mereka tertawa terbahak-bahak. Sylvie berdiri
terpaku karena heran. Sebagai seorang Katolik yang bekerja di antara para
ilmuwan, dia biasa mendengar bisik-bisik antiagama yang kerap dilontarkan oleh
mereka, tetapi kegembiraan anak-anak muda ini tampaknya seperti menyoraki
kekalahan gereja. Bagaimana mereka bisa begitu gembira" Kenapa mereka begitu
membenci gereja" Bagi Sylvie, gereja selalu menjadi tempat yang dipenuhi dengan kedamaian ...
tempat untuk bersosialisasi dan introspeksi ... kadang-kadang sebagai tempat
untuk menyanyi dengan keras tanpa ada orang yang menatapnya dengan aneh. Gereja
menjadi tempat di mana berbagai peristiwa penting terjadi, seperti pemakaman,
pernikahan, pembaptisan, hari raya, dan gereja tidak meminta imbalan apa pun.
Bahkan pengumpulan dana pun diadakan secara suka rela. Anak-anaknya selalu
gembira ketika pulang dari Sekolah Minggu dan merasa bersemangat untuk menolong
orang lain dan menjadi lebih baik. Apa yang salah dengan itu semua"
Sylvie selalu merasa heran kenapa begitu banyak ilmuwan CERN yang memiliki otak
cemerlang tapi gagal untuk memahami betapa pentingnya keberadaan gereja. Apakah
mereka benar-benar percaya kalau quark dan meson bisa mengilhami orang-orang
kebanyakan" Atau apakah persamaan matematika bisa menggantikan kebutuhan
seseorang akan spiritualitas"
Dengan kepala pusing Sylvie meninggalkan tempat itu, dan melewati ruangan
lainnya. Tapi dia menemukan kalau semua ruangan untuk nonton TV dipenuhi oleh
para pegawai CERN. Dia sekarang mulai bertanya-tanya tentang telepon untuk
Kohler dari Vatican tadi siang. Kebetulan saja" Mungkin. Vatican memang sering
menelepon CERN sebagai bagian dari "keramah-tamahan" sebelum melontarkan
pernyataan yang mengutuk riset yang dilakukan oleh badan itu dan yang barubaru
ini adalah terobosan CERN di bidang teknologi nano, sebuah bidang penelitian
yang dicela oleh gereja karena memiliki dampak terhadap rekayasa genetika. Tapi
CERN tidak pernah peduli. Tak lama setelah pernyataan dari Vatican, telepon
Kohler akan berdering-dering dengan panggilan dari berbagai perusahaan investasi
teknologi yang dengan antusias ingin melisensikan penemuan baru itu. "Tidak ada
yang bisa disebut sebagai publikasi buruk," begitu kata Kohler selalu.
Sylvie bertanya-tanya apakah dia harus menyeranta Kohler di mana pun dia berada,
dan memintanya untuk melihat berita di TV. Tapi apakah Kohler akan peduli"
Apakah dia sudah mendengarnya sendiri" Tentu saja ilmuwan tua itu sudah
mendengarnya. Dia mungkin sekarang sedang merekam semua laporan dengan kamera
kecilnya yang menakutkan itu, sambil tersenyum untuk pertama kalinya dalam
setahun ini. Ketika Sylvie terus berjalan di aula luas itu, akhirnya dia menemukan ruang
duduk yang lebih tenang ... bahkan nyaris melankolis. Orang-orang yang duduk di
sini adalah para ilmuan terhomat di CERN dan rata-rata berusia tua. Mereka
bahkan tidak mendongak ketika Sylvie menyelinap dan mengambil tempat duduk. Di
bagian lain dari CERN, di dalam apartemen Leonardo Vetra yang dingin, Maximilian
Kohler sudah selesai membaca catatan harian bersampul kulit yang diambilnya dari
meja di sisi tempat tidur Vetra. Sekarang dia sedang menonton siaran berita di
TV. Setelah beberapa menit, dia kemudian menyimpan kembali buku harian Vetra,
mematikan TV dan meninggalkan apartemen itu. Jauh di Vatican City, Cardinal
Mortati membawa nampan lain yang berisi surat suara ke cerobong asap di Kapel
Sistina. Dia kemudian membakar untaian surat suara itu sehingga menimbulkan asap
hitam yang pekat. Dua kali pengambilan suara. Belum ada paus yang terpilih.
83 SINAR LAMPU SENTER bukanlah lawan yang setara dengan kegelapan yang menyelimuti
Basilika Santo Petrus. Kehampaan yang melayang-layang di udara seperti menekan
ruangan di bawahnya seperti malam tanpa bintang, dan Vittoria merasakan
kekosongan menyebar di sekelilingnya seperti lautan yang sunyi. Dia berusaha
bergegas ketika Garda Swiss dan sang camerlegno terus melangkah dengan cepat.
Jauh di atas sana, seekor burung dara mendekur dan terbang menjauh.
Seolah merasakan ketidaknyamanan Vittoria, sang camerlegno memperlambat
langkahnya dan meletakkan tangannya di bahu Vittoria. Kemudian, kekuatan yang
nyata seperti mengalir dari sentuhan itu. Seolah lelaki itu secara ajaib
menyuntikkan rasa tenang yang dibutuhkannya untuk melakukan apa yang harus
mereka lakukan saat itu. Memangnya apa yang akan kita lakukan" pikir Vittoria. Ini gila!
Tapi Vittoria tahu, walau dia merasa takut, tugas yang ada di tangannya ini
tidak dapat dia hindari. Kenyataan yang menyedihkan ini memaksa sang camerlegno
untuk memastikan sesuatu ... kepastian yang terkubur di sebuah peti mati batu di
ruang bawah tanah Vatican. Dia bertanya-tanya apa yang akan mereka temukan.
Apakah Illuminati benar-benar membunuh Paus" Apakah kekuatan mereka benar-benar
sejauh itu" Apakah aku benar-benar akan melakukan otopsi terhadap seorang paus
untuk pertama kalinya" Vittoria merasa ironis karena dia merasa lebih takut
berada di gereja yang gelap daripada berenang dengan ikan barakuda di laut
lepas. Alam adalah tempat untuk melarikan diri. Dia memahami alam. Tetapi
persoalan manusia dan jiwa adalah hal yang membingungkan. Ikan-ikan pembunuh
yang berkumpul dalam kegelapan mengingatkannya pada kerumunan pers di luar sana.
Tayangan TV yang memperlihatkan jasad-jasad yang dicap mengingatkannya pada
jasad ayahnya ... dan tawa kasar si pembunuh. Pembunuh itu berada di suatu
tempat, di luar sana. Vittoria merasa kemarahannya kini mampu menelan
ketakutannya. Ketika mereka membelok melewati sebuah pilar berukuran besar - lebih besar dari
pilar yang dapat dibayangkannya - Vittoria melihat sinar jingga yang memancar ke
atas. Sinar itu tampak muncul dari lantai di tengah-tengah gereja. Ketika mereka
semakin dekat, dia tahu apa yang dilihatnya. Itu adalah tempat suci yang
terpendam di bawah altar utama - ruang bawah tanah mewah yang menyimpan berbagai
peninggalan paling berharga milik Vatican. Ketika mereka mendekat pada pagar
yang mengelilingi lubang itu, Vittoria memandang ke bawah ke arah peti
penyimpanan yang dikelilingi oleh lampulampu minyak yang berkilauan.
"Tulang belulang Santo Petrus?" tanya Vittoria ketika mengetahui di mana mereka
sebenarnya. Semua orang yang datang ke Basilika Santo Petrus pasti tahu apa isi
kotak keemasan itu. "Sebenarnya bukan," sahut sang camerlegno. "Orang memang
sering salah sangka. Ini bukan tempat penyimpanan peninggalan berharga. Kotak
itu menyimpan palliums - setagen rajutan yang diberikan paus kepada kardinal yang
baru terpilih." "Tetapi aku kira - " "Seperti anggapan semua orang. Buku panduan
pariwisata mungkin menyebut tempat ini sebagai makam Santo Petrus, tapi makam
sesungguhnya terletak dua lantai di bawah tanah. Vatican membuatnya pada tahun
empat puluhan. Tidak ada orang yang boleh masuk ke bawah sana."
Vittoria terkejut. Ketika mereka meninggalkan ruangan yang bercahaya itu dan
masuk ke dalam kegelapan lagi, dia ingat dengan kisah-kisah yang didengarnya
tentang para peziarah yang melakukan perjalanan ribuan mil hanya untuk melihat
makam Santo Petrus. "Bukankah sebaiknya Vatican mengatakan yang sebenarnya
kepada semua orang?"
"Kita semua merasakan manfaat ketika berdekatan dengan hal-hal yang berbau
ketuhanan ... walaupun itu hanyalah sebuah khayalan."
Sebagai seorang ilmuwan, Vittoria tidak dapat membantah logika semacam itu. Dia
sudah membaca berbagai macam kajian tentang efek placebo atau kesembuhan yang
terjadi secara ajaib yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah seperti aspirin
yang mampu menyembuhkan penderita kanker karena orang yang meminumnya percaya
kalau mereka sedang meminum ramuan ajaib. Apakah keyakinan itu sebenarnya"
"Perubahan," kata sang camerlegno, "bukanlah hal yang kami lakukan dengan baik
di dalam Vatican City. Mengakui kesalahan-kesalahan yang kami lakukan di masa
lalu dan modernisasi adalah hal-hal yang kami hindari sejak zaman dulu. Mendiang
Paus pernah berusaha untuk mengubahnya." Sang camerlegno terdiam sejenak.
"Beliau berusaha untuk merangkul dunia modern dan mencari jalan baru menuju
Tuhan." Vittoria mengangguk dalam gelap. "Dengan melalui ilmu pengetahuan?" "Sejujurnya,
ilmu pengetahuan tidak relevan." "Tidak relevan?" Vittoria dapat mengingat
banyak kata untuk menggambarkan ilmu pengetahuan. Tetapi dalam dunia modern,
kata "tidak relevan" sepertinya bukan salah satu di antaranya.
"Ilmu pengetahuan dapat menyembuhkan, atau dapat membunuh. Itu tergantung pada
jiwa orang yang menggunakan ilmu pengetahuan itu. Jiwa itulah yang menarik
bagiku." "Kapan Anda mendengar panggilan Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya?" "Sebelum aku
dilahirkan." Vittoria menatapnya dengan heran. "Maafkan aku. Pertanyaan itu
selalu tampak seperti pertanyaan aneh bagiku. Yang aku maksud adalah aku selalu
tahu kalau aku akan melayani Tuhan sejak aku dapat berpikir dengan baik. Baru
ketika aku mencapai usia remaja, ketika bergabung dalam militer, aku dapat
benar-benar memahami tujuan hidupku." Vittoria terkejut. "Anda pernah menjadi
tentara?" "Hanya selama dua tahun. Aku menolak untuk menembakkan senjata, jadi
mereka menyuruhku terbang saja. Aku kemudian menerbangkan helikopter medis.
Sekarang pun kadang-kadang aku masih terbang."
Vittoria mencoba membayangkan pastor muda itu menerbangkan sebuah helikopter.
Lucunya, Vittoria dapat membayangkan sang camerlegno berada di dalam kokpit
pesawat. Camerlegno Ventresca memang memiliki ketabahan yang semakin memperkuat
keyakinan Vittoria kepadanya. "Anda pernah menerbangkan Paus?"
"Tentu saja tidak. Kami memberikan penumpang yang berharga itu kepada pilot
profesional. Tapi kadang-kadang mendiang Paus membolehkan aku menerbangkan
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
helikopter ke tempat peristirahatan kami di Gondolfo." Dia terdiam lalu menatap
Vittoria. "Nona Vetra, terima kasih atas bantuanmu hari ini di sini. Aku ikut
berduka cita atas kematian ayahmu. Sungguh." "Terima kasih." "Aku tidak pernah
mengenal ayahku. Dia meninggal saat aku belum dilahirkan. Aku kehilangan ibuku
ketika aku berumur sepuluh tahun."
Vittoria mendongak. "Jadi Anda yatim piatu?" tiba-tiba Vittoria merasakan kalau
mereka berdua memiliki nasib yang sama.
"Aku selamat dari sebuah kecelakaan. Kecelakaan yang merenggut nyawa ibuku."
"Siapa yang mengurus Anda?" "Tuhan," sahut sang camerlegno. "Tuhan mengirimkan
pengganti ayah untukku. Seorang uskup dari Palermo muncul di sisi tempat tidurku
ketika aku dirawat di rumah sakit dan kemudian dia membawaku. Pada saat itu aku
tidak terkejut. Aku merasakan tangan Tuhan memeliharaku walau saat itu aku masih
anak-anak. Kehadiran uskup itu tampaknya memperkuat keyakinanku bahwa Tuhan
telah memilihku untuk melayaninya." "Anda percaya Tuhan memilih Anda?" "Ya, saat
itu, dan sekarang pun aku masih memercayainya " Tidak terdengar kecongkakan
dalam suara sang camerlegno, yang ada hanya rasa syukur. "Ketika itu aku bekerja
di bawah pengawasan uskup tersebut selama beberapa tahun. Akhirnya dia menjadi
seorang kardinal. Namun dia tidak pernah melupakan aku. Dialah ayah yang
kuingat." Ketika sinar senter menerpa wajah sang camerlegno, Vittoria melihat
kesan kesepian di dalam mata pastor muda itu.
Rombongan itu akhirnya tiba di bawah pilar yang menjulang dan sinar senter
mereka bertemu dengan sebuah ruang terbuka. Vittoria menatap ke arah tangga yang
terletak di bawahnya dan tiba-tiba merasa ingin pulang saja. Para penjaga sudah
mulai membantu sang camerlegno untuk menuruni tangga. Selanjutnya mereka
menolong Vittoria. "Lalu apa yang terjadi kemudian?" tanya Vittoria sambil menuruni tangga, dan
mencoba menahan suaranya supaya tidak gemetar. "Apa yang terjadi dengan kardinal
yang mengurus Anda itu."
"Dia meninggalkan Dewan Kardinal untuk posisi yang lain." Vittoria terkejut.
"Dan kemudian, aku sangat sedih untuk mengatakannya, dia
meninggal." "Le mie condoglianze. Aku turut berduka," kata Vittoria.
"Baru saja?" Sang camerlegno berpaling, wajahnya tampak sedih. "Sebenarnya lima
belas hari yang lalu. Kita akan mengunjunginya sekarang."
84 SINAR LAMPU TERASA panas di dalam ruang arsip. Ruang ini jauh lebih kecil
daripada ruang yang sebelumnya dimasuki Langdon. Udara semakin sedikit. Waktu
juga semakin sedikit. Dia menyesal karena lupa meminta Olivetti untuk menyalakan
kipas angin untuk mengalirkan udara.
Langdon dengan cepat mencari bagian aset yang menyimpan buku yang mencatat Belle
Arti. Bagian itu tidak mungkin terlewatkan. Bagian tersebut berisi delapan rak
yang terisi penuh. Gereja Katolik memiliki jutaan karya seni yang tersebar di
seluruh dunia. Langdon mengamati rak-rak di hadapannya dan mencari nama Gianlorenzo Bernini.
Dia mulai mencari dari bagian tengah tumpukan pertama, di bagian di mana huruf B
kira-kira berada. Setelah sesaat merasa panik karena khawatir sudah melewatkan
buku katalog itu, Langdon baru menyadari ternyata rak itu tidak diatur sesuai
urutan abjad. Tidak mengherankan!
Setelah Langdon kembali ke tempat semula dan memanjat tangga yang dapat digeser
yang membawanya ke puncak rak, baru dia mengerti cara pengaturan buku di ruangan
ini. Ketika dia bertengger di rak paling atas, dia menemukan buku katalog
berukuran besar yang berisi karya-karya para maestro dari masa Renaisans seperti
Michaelangelo, Raphael, da Vinci dan Botticeli. Sekarang Langdon tahu cara
pengaturan ruangan yang disebut "Aset Vatican" ini. Buku-buku katalog tersebut
diatur menurut nilai ekonomis dari setiap koleksi karya senimanseniman itu.
Terjepit di antara buku katalog karya-karya Raphael dan Michaelangelo, Langdon
menemukan buku katalog bertuliskan Bernini. Buku itu tebalnya lebih dari lima
inci. Sambil kehabisan napas dan berjuang dengan ketebalan buku itu, Langdon berusaha
menuruni tangga. Kemudian, seperti seorang anak kecil yang sedang menikmati buku
komik, Langdon meletakkan buku itu di lantai dan membalik sampul depannya.
Buku itu dijilid dengan kain dan masih sangat kuat. Buku besar itu ditulis
dengan tulisan tangan dalam bahasa Italia. Setiap halaman mencatat satu karya
saja, termasuk uraian singkat, tanggal, tempat, harga bahan, dan kadang-kadang
ada sketsa kasar karya tersebut. Langdon membalik-balik halaman itu ... semuanya
sekitar delapan ratus halaman. Bernini memang seorang seniman yang sibuk.
Ketika masih menjadi mahasiswa seni, Langdon bertanya tanya bagaimana seorang
seniman dapat membuat begitu banyak karya dalam hidupnya. Kemudian dia
mengetahui, dan itu membuatnya kecewa, bahwa seniman-seniman ternama sangat
sedikit membuat karya seninya sendirian. Mereka ternyata memiliki sebuah studio
tempat mereka melatih senimanseniman muda untuk melanjutkan rancangan mereka.
Pematung seperti Bernini membuat miniatur dari tanah liat dan menyewa seniman
lain untuk memperbesar karya miniaturnya itu dari bahan pualam. Langdon tahu
kalau Bernini dipaksa untuk menyelesaikan sendiri semua pesanan patungnya,
mungkin dia masih harus berusaha untuk menyelesaikannya sampai kini.
"Indeks," serunya sambil mencoba menaikkan semangatnya. Dia membuka halaman
belakang buku tersebut dengan maksud untuk mencari huruf F untuk judul dengan
kata fumco atau api. Tetapi tidak ada huruf F. Langdon menyumpah
perlahan. Mengapa orang-orang ini begitu membenci pengaturan menurut susunan
abjad" Pembukuannya ternyata dicatat secara kronologis, satu per satu, setiap
kali Bernini menciptakan karya baru. Semuanya terdaftar menurut tanggal
penciptaannya. Sama sekali tidak membantu.
Ketika Langdon menatap daftar itu, pikiran yang mengecilkan hatinya muncul.
Judul patung yang dicarinya mungkin saja tidak menggunakan kata api sama sekali.
Dua karya sebelumnya Habakkuk dan Malaikat, lalu West Ponente juga tidak
memiliki judul yang berbau Tanah dan Udara.
Dia menghabiskan waktu beberapa saat untuk membolak balik halaman di hadapannya
sambil berharap akan ada ilustrasi yang teringat olehnya. Tetapi dia tidak
menemukan apa-apa. Langdon melihat belasan karya tak dikenal yang belum pernah
didengarnya, tetapi dia juga melihat banyak karya yang dikenalnya... Daniel and
the Lion, Apollo and Daphne, lalu juga belasan air mancur. Ketika dia melihat
beberapa air mancur itu, pikirannya nieloncat ke depan. Air. Dia bertanya-tanya
apakah altar ilmu pengetahuan yang keempat adalah sebuah air mancur. Sebuah air
mancur tampak sempurna untuk menghormati Air. Langdon berharap mereka dapat
menangkap pembunuh itu sebelum pembunuh itu memikirkan Air karena Bernini
membuat belasan air mancur di Roma, dan umumnya terletak di depan gereja.
Langdon kembali pada persoalan yang dihadapinya. Api. Ketika dia melihat buku
itu lagi, dia teringat dengan perkataan Vittoria yang kembali membangkitkan
semangatnya. Kamu mengenal kedua patung terdahulu ... kamu mungkin saja tahu
yang ini. Ketika dia membuka halaman indeks lagi, dia mengamati empat judul yang
dikenalnya. Langdon mengenali beberapa di antaranya, tetapi tidak satu pun yang
mengingatkan dia pada api. Sekarang Langdon tahu dia tidak akan bisa
menyelesaikannya pencariannya dan dia akan pingsan kehabisan napas. Jadi dia
memutuskan untuk melawan kata hatinya sendiri dan membawa buku itu keluar dari
ruangan kedap udara itu. Ini hanya sebuah buku katalog biasa, katanya pada diri
sendiri. Ini tidak seperti membawa keluar tulisan asli Galileo. Langdon ingat
lembaran folio itu masih berada di dalam sakunya dan dia mengingatkan dirinya
sendiri untuk mengembalikannya sebelum pergi.
Sekarang dia bergegas, lalu membungkuk untuk mengangkat buku itu. Ketika
membungkuk, Langdon melihat sesuatu yang membuatnya berhenti. Walau ada banyak
catatan dalam indeks itu, sesuatu yang menarik perhatiannya terlihat cukup aneh.
Catatan itu mengatakan patung terkenal karya Bernini, The Ectasy of St. Teresa,
tidak lama setelah diresmikan, dipindahkan dari tempat asalnya di Vatican.
Keterangan itu tidak terlalu menarik perhatian Langdon. Dia sudah terbiasa
dengan pemindahan letak patung-patung di Roma. Walau beberapa orang berpendapat
kalau itu adalah sebuah adikarya, Paus Urban VIII menganggap The Ectasy of St.
Teresa terlalu menonjolkan seksualitas sehingga tidak pantas dipajang di
Vatican. Dia menyingkirkannya ke sebuah kapel yang tidak terkenal di seberang
kota. Tapi yang paling menarik perhatian Langdon adalah karya itu sepertinya
dipindahkan ke salah satu dari lima gereja dalam daftar gereja yang ada padanya.
Kemudian, menurut catatan itu patung tersebut dipindahkan per suggerimento del
artista. Atas permintaan dari sang seniman" Langdon bingung. Bernini tidak mungkin
mengusulkan untuk menyembunyikan adikaryanya ke tempat yang tidak terkenal.
Semua seniman ingin karyanya dipamerkan secara mencolok, bukan di tempat
terpencil - Langdon ragu. Kecuali ....
Dia terlalu takut untuk merasa senang. Apakah itu mungkin" Benarkah Bernini
telah menciptakan sebuah karya yang begitu indah sehingga memaksa Vatican untuk
menyembunyikannya ke tempat yang jauh dari perhatian umum" Sebuah tempat yang
mungkin diusulkan oleh Bernini" Mungkin di sebuah gereja terpencil yang sesuai
dengan arah angin West Ponente"
Ketika kegembiraan Langdon meningkat, pengetahuannya yang samar-samar tentang
seni patung mulai ikut campur dan menolak kemungkinan karya tersebut ada sangkut
pautnya dengan api. Patung tersebut, menurut siapa pun yang pernah melihatnya,
dianggap terlalu vulgar atau bisa dikategorikan sebagai pornografi dan sama
sekali tidak berbau ilmu pengetahuan. Seorang kritikus asal Inggris pernah
berkata The Ectasy of St. Teresa sebagai "dekorasi yang paling tidak tepat untuk
ditempatkan di dalam gereja Kristen." Langdon memahami kontroversi ini dengan
jelas. Walau dibuat dengan sangat indah, patung itu menggambarkan Santa Teresa
yang sedang terlentang dan larut dalam orgasme. Sama sekali bukan selera
Vatican. Langdon bergegas membuka halaman yang membahas tentang uraian karya tersebut.
Ketika dia melihat sketsanya, seketika itu juga Langdon merasakan adanya
harapan. Dalam sketsa itu, Santa Teresa memang terlihat sedang bersenangsenang,
tapi ada sosok lain dalam patung itu yang dilupakan oleh Langdon. Sesosok
malaikat. Sebuah legenda kotor tiba-tiba teringat kembali .... Santa Teresa
adalah seorang biarawati yang disucikan setelah dia mengaku ada sesosok malaikat
yang mengunjunginya dan memberikan kenikmatan ketika dia sedang tidur. Para
kritikus kemudian memutuskan pertemuan tersebut lebih bersifat seksual daripada
spiritual. Langdon mencari-cari di bagian bawah buku itu, lalu melihat sebuah
petikan yang dikenalnya. Kata-kata Santa Teresa sendiri tidak mungkin bisa
disalahartikan: ... tombak emas agungnya ... penuh dengan api ... ditusukkan ke
dalam tubuhku beberapa kali ... memasuki perut dalamku ... rasa nikmat itu
begitu luar biasa sehingga tak seorang pun akan memintanya untuk berhenti
Langdon tersenyum. Kalau ini bukan metafora yang menggambarkan tentang
persetubuhan, aku tidak tahu lagi. Dia juga tersenyum karena uraian karya di
dalam buku besar itu. Walau paragraf itu ditulis dalam Bahasa Italia, kata fubco
muncul sebanyak enam kali.
... ujung tombak malaikat dengan titik api ... ... kepala malaikat memancarkan
sinar api ... ... perempuan terbakar oleh gairah api ... Langdon belum betulbetul yakin sampai akhirnya dia
melihat sketsa itu sekali lagi. Tombak sang malaikat yang berapi-api itu
teracung seperti suar dan menunjukkan jalan. Biarkan para malaikat membimbingmu
dalam pencarian sucimu. Bahkan jenis malaikat yang dipilih oleh Bernini terlihat
sangat berhubungan. Itu malaikat seraphim, kata Langdon ketika akhirnya sadar.
Seraphim secara harfiah berarti "dia yang berapi-api."
Robert Langdon bukanlah sejenis orang yang mencari penegasan dari Tuhan, tapi
ketika dia membaca nama gereja di mana patung itu kini berada, dia memutuskan
untuk menjadi seorang penganut. Santa Maria della Vittoria Vittoria, pikirnya,
sambil tersenyum. Sempurna. Sambil terhuyung-huyung, Langdon berdiri dengan
kepala yang terasa pusing. Dia memandang tangga di hadapannya, dan bertanyatanya haruskah dia mengembalikan buku besar itu ke tempatnya semula. Peduli
setan, pikirnya. Bapa Jaqui dapat melakukannya sendiri. Dia menutup buku itu dan
meninggalkannya dengan rapi di bawah rak.
Ketika dia berjalan ke arah tombol menyala yang terdapat di pintu elektronik
ruangan itu, napasnya mulai terasa sangat berat. Walaupun begitu, Langdon merasa
senang karena keberuntungan yang didapatnya kali ini.
Tapi nasib baiknya ternyata tidak bertahan lama, dan menghilang sebelum sampai
ke pintu keluar. Tiba-tiba, ruangan kedap udara itu mengeluarkan suara seperti mendesah
kesakitan. Lampunya meredup, dan tombol pintu keluar padam. Lalu, seperti hewan
besar yang letih, kompleks ruang arsip itu menjadi gelap gulita. Seseorang baru
saja memadamkan listrik. 85 GUA SUCI VATICAN terletak di bawah lantai utama Basilika Santo Petrus. Tempat
itu adalah tempat pemakaman para paus.
Vittoria tiba di lantai setelah menuruni tangga melingkar dan memasuki gua itu.
Terowongan gelap itu mengingatkan dirinya pada Large Hadron Collider di CERN hitam dan dingin. Sekarang dengan hanya diterangi oleh senter yang dibawa oleh
ketiga Garda Swiss, terowongan tersebut memberikan perasaan yang tidak menentu.
Pada dua sisinya, ceruk-ceruk yang dalam berbaris di dinding. Bayangan peti mati
dari batu yang terletak di dalam ceruk itu hanya dapat dilihat sejauh lampulampu itu meneranginya. Rasa dingin merambati kulit Vittoria. Ini hanya karena udara dingin, katanya
pada diri sendiri walau dia tahu itu tidak sepenuhnya benar. Dia merasa seolah
mereka sedang diawasi, bukan oleh sosok yang memiliki darah dan daging, tetapi
oleh hantu di dalam kegelapan. Di tutup peti mati dari setiap makam, terukir
patung seukuran asli dari masing-masing paus yang sedang melipat tangannya di
dada sambil mengenakan jubah kepausan. Tubuh tua itu tampak muncul dari makam
seperti ingin mendobrak tutup peti mati dan berusaha untuk membebaskan diri dari
kekangan kematian. Iring-iringan berlampu senter itu terus bergerak, dan bayangbayang para paus tampak naik dan turun di dinding. Membesar dan menghilang dalam
tarian bayangan peti mati yang mengerikan.
Keheningan menyelimuti barisan itu, dan Vittoria tidak dapat mengatakan apakah
itu karena rasa hormat ataukah karena rasa takut. Tapi yang pasti dia merasakan
keduanya. Sang camerlegno berjalan dengan mata terpejam, seolah dia hapal setiap
langkahnya. Vittoria menduga pastor muda itu sering berkunjung ke sini sejak
kematian Paus ... mungkin untuk berdoa di makam pelindungnya itu.
Aku bekerja di bawah bimbingan kardinal itu selama beberapa tahun, kata sang
camerlegno tadi. Dia seperti ayah bagiku. Vittoria ingat sang camerlegno
mengucapkan kalimat itu ketika mereka membicarakan kardinal yang telah
"menyelamatkannya" dari ketentaraan. Sekarang Vittoria mengerti kelanjutan
cerita itu. Kardinal yang telah melindunginya itu kemudian terpilih menjadi paus
dan membawanya ke sini sebagai anak didik dan untuk melayaninya sebagai Kepala
Rumah Tangga Kepausan. Pantas saja, pikir Vittoria. Dia selalu bisa memahami perasaan orang lain dan
sesuatu tentang sang camerlegno telah membuatnya merasa muram sepanjang hari
ini. Sejak bertemu dengannya, Vittoria merasa bahwa sang camerlegno menyimpan
kecemasan yang lebih mendalam dan lebih pribadi ketika menghadapi krisis yang
sekarang sedang dihadapinya itu. Di balik ketenangan sang camerlegno yang saleh,
Vittoria melihat seorang lelaki yang tersiksa oleh setan-setan di dalam dirinya
sendiri. Bukan hanya karena sang camerlegno sedang menghadapi ancaman yang
paling menakutkan dalam sejarah Vatican, tetapi karena dia melakukan semuanya
ini tanpa didampingi mentor dan temannya ... sang camerlegno harus menghadapi
semuanya sendirian. Para penjaga itu sekarang memperlambat langkahnya, seolah merasa tidak yakin di
mana sebenarnya paus yang baru wafat itu dimakamkan. Sang camerlegno melanjutkan
langkahnya dengan pasti dan akhirnya berhenti di depan sebuah makam pualam yang
tampak berkilau, dan lebih terang daripada yang lainnya. Terlihat ukiran patung
Paus yang berbaring di atas makam itu. Ketika Vittoria mengenali wajahnya dari
beritaberita di televisi, ketakutan menyergapnya. Apa yang akan kita lakukan"
"Aku tahu kita tidak punya banyak waktu," kata sang camerlegno. "Namun aku masih
ingin meminta waktu untuk berdoa."
Para Garda Swiss semua menundukkan kepala mereka di tempat mereka berdiri.
Vittoria mengikutinya, jantungnya berdebar keras dalam keheningan itu. Sang
camerlegno berlutut di depan makam itu dan berdoa dalam bahasa Italia. Ketika
Vittoria mendengarkan doa sang camerlegno, tiba-tiba kesedihannya hadir dalam
bentuk tetesan air mata ... air mata bagi mentornya sendiri ... ayahnya sendiri.
Kata-kata sang camerlegno juga terdengar pantas bagi ayahnya seperti juga bagi
mendiang Paus. "Bapa yang agung, penasihat, dan juga teman." Suara sang camerlegno menggema
lembut di sekitar ruangan itu. "Bapa mengatakan padaku ketika aku masih kecil
kalau suara yang terdengar dari hatiku itu adalah suara Tuhan. Bapa mengatakan
padaku aku harus mengikutinya tidak peduli betapa menyakitkan akibatnya. Aku
mendengar suara itu lagi sekarang, memintaku untuk melakukan tugas yang sulit
sekali. Beri aku kekuatan. Limpahi aku dengan maafmu. Apa pun yang kulakukan ...
Aku melakukannya demi segala yang Bapa percaya. Amin." "Amin," bisik para
penjaga itu. Amin, Ayah. Vittoria mengusap matanya.
Sang camerlegno berdiri perlahan-lahan dan melangkah
menjauh dari makam itu. "Dorong penutupnya ke samping." Para Garda Swiss itu
ragu-ragu. "Signore," salah satu dari mereka berkata, "menurut hukum, kami
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang harus mematuhi perintah Anda." Dia berhenti sejenak. "Kami akan melakukan
apa yang Anda perintahkan ...."
Sang camerlegno tampaknya membaca apa yang dipikirkan lelaki muda itu. "Suatu
hari kelak, aku akan memohon ampunan dari kalian karena aku telah menempatkan
kalian pada posisi ini. Namun hari ini aku meminta kepatuhan kalian. Hukum
Vatican dibuat untuk melindungi gereja ini. Karena semangat itu jugalah aku
sekarang memerintahkan kalian untuk melanggarnya."
Sesaat hening. Kemudian pimpinan mereka memberikan perintah. Ketiga lelaki itu
meletakkan senter mereka di atas lantai, sehingga bayangan mereka tampak
membesar dari bawah. Kemudian, dengan diterangi sinar dari bawah, ketiga orang
itu maju mendekati makam. Mereka meletakkan tangan mereka di atas tutup pualam
di sekitar bagian kepala, lalu mereka memastikan pijakan kaki mereka dan bersiap
untuk mendorong. Setelah diberi tanda, mereka semua mulai mendorong, memadukan
kekuatan pada lempengan besar itu. Ketika Vittoria melihat bahwa tutup pualam
itu sama sekali tidak bergerak, dia berharap tutup itu terlalu berat sehingga
tidak mungkin dibuka. Tiba-tiba dia merasa takut pada apa yang akan mereka lihat
di dalam peti itu. Penjaga-penjaga itu mendorong dengan lebih kuat, namun batu itu tetap tidak
bergerak. "Ancora," kata sang camerlegno sambil menggulung lengan jubahnya dan bersiap
untuk ikut mendorong bersama mereka. "Ora!" Semua orang mendorong.
Vittoria baru saja ingin ikut mendorong, namun tutup itu mulai bergeser. Orangorang itu berusaha lagi. Lalu dengan menimbulkan suara seperti menggeram karena
batu di atas menggesek batu di bawahnya, tutup peti itu pun berputar, membuka
bagian atas makam, dan berhenti pada sebuah sudut sehingga ukiran kepala Paus
terdorong masuk ke dalam ceruk dan bagian kaki dari tutup peti mati itu menonjol
ke arah gang. Semua orang melangkah mundur. Seorang penjaga segera membungkuk
untuk memungut senternya. Lalu dia mengarahkannya ke makam itu. Sinarnya tampak
bergetar sejenak, kemudian penjaga itu memegangnya lagi dengan lebih kuat.
Penjaga yang lainnya bergabung satu per satu. Walau di dalam gelap Vittoria
merasakan mereka merunduk. Setelah itu mereka membuat salib di depan dada mereka
sendiri. Sang camerlegno bergetar ketika melihat ke dalam makam itu. Bahunya melorot
seolah ada beban di atasnya. Dia berdiri di sana lama, setelah itu barulah dia
berpaling. Vittoria khawatir kalau mulut jasad itu terkatup rapat karena rigor mortis
sehingga dia harus mengusulkan untuk membuka rahangnya agar bisa melihat
lidahnya. Namun sekarang dia tahu kalau tindakan itu tidak diperlukan. Kedua
pipi jasad itu turun, dan mulut mendiang Paus terbuka lebar. Lidahnya hitam
seperti kematian. 86 TIDAK ADA CAHAYA. Tidak ada suara. Ruang Arsip Rahasia itu gelap gulita. Kini
Langdon baru menyadari kalau ketakutan adalah motivator paling hebat. Dengan
tersengal-sengal, dia berjalan terantuk-antuk ke arah pintu putar. Dia menemukan
tombol itu di dinding dan menekannya dengan kasar. Tidak ada yang terjadi. Dia
mencoba lagi. Pintu itu seperti mati.
Dia berputar seperti orang buta dan berteriak, tetapi suaranya tercekat. Situasi
sulit yang berbahaya ini tiba-tiba mengurungnya. Paru-parunya membutuhkan
tambahan oksigen ketika adrenalinnya mempercepat denyut jantungnya. Dia merasa
seperti ada seseorang yang baru saja meninju perutnya.
Ketika dia menghantamkan tubuhnya pada pintu, sesaat dia merasa pintu itu
bergerak. Dia mendorong lagi, sehingga matanya berkunang-kunang. Dia kemudian
sadar kalau ruangan inilah yang terasa berputar, bukan pintunya yang bergerak.
Sambil berjalan menjauh dengan langkah terhuyung-huyung, Langdon tersandung pada
kaki tangga sehingga terjatuh dengan keras. Lututnya terluka karena membentur
tepian rak buku. Dia menyumpah, lalu berusaha berdiri dan meraba-raba untuk
mencari tangga. Setelah menemukannya, Langdon berharap tangga itu terbuat dari kayu yang berat
atau besi. Tetapi ternyata tangga itu hanya terbuat dari aluminium. Dia
mencengkeram tangga tersebut dan memegangnya seperti alat pemukul. Kemudian dia
berlari dalam kegelapan ke arah dinding kaca. Ternyata dinding itu berdiri lebih
dekat dari dugaannya semula. Tangga itu membentur dinding dengan cepat, sehingga
berbalik mengenai kepala Langdon. Dari bunyi benturan itu Langdon tahu kalau dia
membutuhkan tangga yang jauh lebih kuat daripada sekadar tangga aluminium untuk
memecahkan kaca tebal di depannya itu.
Ketika dia ingat pada pistol semi otomatisnya, harapannya meningkat. Tapi
sesegera itu pula harapannya menghilang, karena senjata itu sudah tidak ada
padanya lagi. Olivetti telah mengambilnya saat mereka berada di ruang kerja
paus, ketika dia berkata tidak mau ada senjata yang berisi peluru di sekitar
sang camerlegno. Saat itu alasan sang komandan masuk akal juga.
Langdon berteriak lagi, namun suaranya semakin tidak terdengar.
Kemudian dia ingat pada walkie-talkie yang ditinggalkan penjaga di atas meja di
luar ruang tembus pandang ini. Mengapa aku tidak membawanya ke dalam! Ketika
bintang-bintang ungu mulai menari di depan matanya, Langdon memaksa dirinya
untuk berpikir. Kamu sudah pernah terkurung sebelum ini, katanya pada dirinya
sendiri. Kamu berhasil selamat dari situasi yang lebih buruk dari ini. Saat itu
kamu hanyalah seorang anak kecil dan kamu dapat berpikir dengan baik. Kegelapan
itu seperti membanjirinya. Berpikirlah!
Langdon merebahkan diri di atas lantai. Dia terlentang, lalu meletakkan kedua
tangannya di samping tubuhnya. Langkah pertama adalah mengendalikan diri dengan
baik. Santai. Hemat tenaga. Tanpa harus melawan gaya tarik bumi untuk memompa
darah, jantung Langdon mulai melambat. Itu adalah cara yang digunakan oleh para
perenang untuk mengisi kembali oksigen ke dalam darah mereka di antara jadwal
pertandingan yang ketat. Ada banyak udara di sini, katanya pada dirinya sendiri. Banyak. Sekarang
berpikirlah. Dia menunggu, sambil separuh berharap lampu akan menyala lagi
sebentar lagi. Ternyata tidak. Ketika dia berbaring di sana, dan dapat bernapas
dengan lebih baik, perasaan ingin menyerah tiba-tiba melintas. Dia merasa sangat
damai. Langdon berusaha untuk melawannya. Kamu harus bergerak, keparat! Tetapi
ke mana .... Di pergelangan tangan Langdon, Mickey Mouse berkilau dengan riang
seolah dia menikmati kegelapan. Pukul 9:33 malam. Setengah jam lagi, sebelum cap
Api muncul. Langdon berpikir itu masih sangat lama. Pikirannya, alih-alih
memikirkan usaha untuk melarikan diri, tiba-tiba malah meminta penjelasan. Siapa
yang mematikan listrik" Apakah Rocher memperluas area pencariannya" Apa Olivetti
tidak memberi tahu Rocher kalau aku ada di sini" Langdon kemudian sadar, saat
ini semua jawaban untuk pertanyaan itu tidak akan membawa perubahan.
Sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan mendongakkan kepalanya, Langdon berusaha
menarik napas panjang semampunya. Setiap tarikan napas membuatnya menyadari
betapa tipisnya udara di sekelilingnya ini. Walau demikian, pikirannya terasa
jernih. Dia berusaha memusatkan pikirannya dan memaksa dirinya untuk bertindak.
Dinding kaca, katanya lagi. Tetapi sangat tebal. Dia bertanya-tanya apakah bukubuku ini tersimpan dalam kabinet berat dari besi dan tahan api. Langdon sering
melihat lemari seperti itu di ruang arsip lainnya tetapi di sini tidak ada. Lagi
pula untuk mencarinya dalam gelap, itu akan membuang waktu. Belum tentu dia
dapat mengangkatnya, terutama dalam keadaan kekurangan oksigen seperti ini.
Bagaimana dengan meja pemeriksaan" Langdon tahu ruangan ini, seperti juga
ruangan lainnya, memiliki sebuah meja pemeriksaan di tengah-tengah tumpukan
buku. Lalu apa" Dia tahu, dia juga tidak dapat mengangkatnya. Apalagi
menyeretnya. Meja itu tidak akan bergerak terlalu jauh. Rak-rak itu terlalu
berdekatan, gang di antaranya terlalu sempit. Gang-gangnya terlalu sempit ....
Tiba-tiba Langdon tahu. Dengan rasa percaya diri yang meluap, dia meloncat
bangun terlalu cepat. Sambil terhuyung-huyung, dia lalu meraba-raba mencari
pegangan dalam gelap. Tangannya menemukan sebuah rak. Lalu dia menunggu sesaat
karena harus menghemat tenaga. Dia akan membutuhkan semua tenaganya untuk
melakukan rencananya. Langdon menempatkan dirinya di sisi rak buku seperti seorang pemain futbal
menahan kereta luncur ketika dalam latihan. Dia menjejakkan kakinya dan
mendorong. Jika aku dapat merubuhkan rak ini. Tetapi rak itu hampir tidak
bergerak. Dia bersiap lagi untuk kembali mendorong. Kakinya terpeleset ke
belakang. Rak buku itu hanya berderik tetapi tidak bergerak. Dia membutuhkan
pengungkit. Langdon lalu kembali ke dinding kaca dan meletakkan tangannya di
dinding itu. Kemudian dia berlari menyusurinya sampai bertemu dengan bagian
belakang ruangan kedap udara tersebut. Dinding belakang itu muncul dengan tibatiba dan Langdon menabraknya, bahunya terhantam. Sambil menyumpah-nyumpah
Langdon mengelilingi rak buku itu dan meraih rak setinggi matanya. Dengan
menyangga satu kakinya di dinding kaca di belakangnya dan menempatkan kaki
lainnya di rak yang agak di bawah, Langdon mulai memanjat. Bukubuku berjatuhan
di sekitarnya, berisik dalam kegelapan. Langdon tidak peduli. Insting untuk
bertahan hidup sejak lama selalu mengalahkan tata cara penyimpanan arsip yang
paling teratur sekalipun. Dia merasakan keseimbangannya terganggu karena keadaan
yang gelap gulita itu. Langdon menutup matanya, dan memaksa otaknya untuk
mengabaikan apa yang dilihatnya. Dia bergerak lebih cepat sekarang. Udara terasa
lebih tipis ketika dia memanjat lebih tinggi. Langdon terus memanjat ke rak yang
lebih tinggi, menginjak buku-buku, mencoba untuk lebih tinggi lagi, hingga
merasakan dirinya berada semakin tinggi. Kemudian seperti seorang pemanjat
tebing mengalahkan sebuah karang, Langdon akhirnya meraih rak tertinggi. Sambil
menelungkupkan tubuhnya, Langdon menjejak dinding kaca sampai posisi tubuhnya
hampir horizontal. Sekarang atau tidak sama sekali, Robert, sebuah suara mendesaknya. Hanya seperti
latihan menekan kaki di ruang olah raga Harvard.
Dengan pengerahan tenaga yang membuatnya pusing, dia menjejakkan kakinya pada
dinding kaca di belakangnya, bersamaan dengan itu dia menempelkan dada dan
tangannya pada rak buku, dan mendorongnya. Tidak ada yang berubah.
Sambil terengah-engah, dia bersiap dan mencoba lagi dengan menekankan kakinya
lebih kuat lagi. Rak buku itu bergerak sedikit. Dia mendorong lagi, dan rak buku
itu bergoyang ke depan kira-kira satu inci dan ke kembali lagi ke posisinya
semula. Langdon memanfaatkan ayunan itu, lalu menarik napas walau dia tidak
merasakan adanya oksigen yang terhirup. Kemudian dia mendorong lagi tanpa lelah.
Rak buku itu berayun lebih lebar.
Seperti ayunan, katanya pada dirinya sendiri. Terus
mengayun. Sedikit lagi. Langdon mengayun rak buku itu, menekankan kakinya lebih
kuat lagi setiap kali dia mengayunkan rak itu. Otot kakinya terasa sakit, namun
dia menahannya. Pendulum itu terus bergoyang. Tiga dorongan lagi, desaknya
sendiri. Ternyata dia hanya membutuhkan dua dorongan lagi. Tiba-tiba Langdon
merasa tak ada beban lagi. Kemudian dengan suara berdebam karena buku-buku
berjatuhan dari raknya, Langdon tumbang ke depan bersama rak buku di hadapannya.
Dengan posisi miring, rak buku itu menimpa rak buku lain di sampingnya. Langdon
terus berpegangan sambil mengarahkan berat tubuhnya ke depan dan mendesak rak
buku ke dua agar ikut rubuh. Rak buku di hadapannya terpaku sejenak sebelum
akhirnya memaksa rak kedua berderik dan mulai miring. Langdon pun ikut jatuh
bersamanya. Seperti kartu domino yang besar, rak-rak buku itu mulai berjatuhan dan saling
menindih. Rak menimpa rak, dan bukubuku berserakan di mana-mana. Langdon masih
berpegangan pada rak buku di depannya dan jatuh ke depan seperti roda gerigi
yang bergerak pada pasaknya. Dia bertanya-tanya berapa banyak rak buku yang ada
di dalam ruangan itu. Berapa berat mereka semua" Dinding kaca di depannya itu
terlalu tebal .... Rak bukunya hampir jatuh dengan posisi horizontal ketika dia mendengar suara
yang ditunggunya sejak tadi, suara hantaman yang berbeda. Jauh di ujung sana. Di
sisi lain ruangan itu. Suara pukulan besi yang menimpa kaca. Ruangan itu
bergoyang, dan Langdon tahu rak buku terdepan, yang ditekan oleh rak-rak buku di
belakangnya, telah menimpa dinding kaca itu dengan keras. Suara yang ditimbulkan
adalah suara yang paling tidak menyenangkan yang pernah didengar olehnya.
Hening. Tidak ada suara kaca pecah, hanya suara tumbukan ketika dinding itu
menerima berat dari rak-rak buku yang sekarang bersandar pada dinding kaca
tersebut. Langdon berbaring dengan mata terbuka lebar di atas tumpukan buku.
Tiba-tiba terdengar bunyi retakan dari kejauhan. Langdon ingin menahan napas
untuk mendengarkannya, tapi dia memang sudah tidak merasakan adanya oksigen
lagi. Satu detik. Dua .... Kemudian, ketika hampir pingsan karena kehabisan
oksigen, Langdon mendengar hasil usahanya dari kejauhan ... kaca itu mulai retak
seperti sarang laba-laba. Tiba-tiba, seperti sebuah meriam, dinding kaca itu
meledak. Rak buku di bawah tubuh Langdon akhirnya jatuh menyentuh lantai.
Seperti hujan yang ditunggu-tunggu di padang pasir, serpihan kaca berjatuhan di
lantai dalam kegelapan. Dengan desisan besar, udara mengalir ke dalam. Tiga
puluh detik kemudian, di dalam Gua Vatican, Vittoria sedang berdiri di depan
jasad Paus ketika walkie-talkie seorang penjaga mengeluarkan suara dan memecah
keheningan. Suara yang berseru itu terdengar terengah-engah. "Ini Robert
Langdon! Ada yang dapat mendengarku?"
Vittoria mendongak. Robert! Vittoria tidak percaya bagaimana tiba-tiba dia
berharap lelaki itu ada di sini bersamanya.
Para penjaga itu saling bertatapan dengan bingung. Salah satu dari mereka
menarik radio itu dari ikat pinggangnya. "Pak Langdon, Anda ada di saluran tiga.
Komandan sedang menunggu kabar dari Anda di saluran satu."
"Aku tahu dia ada di saluran satu, sialan! Aku tidak mau berbicara dengannya.
Aku ingin bicara dengan sang camerlegno. Sekarang, tolong carikan dia untukku!"
Di dalam keremangan ruang Arsip Rahasia, Langdon berdiri di antara serpihan kaca
dan mencoba bernapas dengan baik. Dia merasakan ada cairan hangat di tangan
kirinya. Dia tahu tangannya berdarah. Suara sang camerlegno segera terdengar dan
mengejutkan Langdon. "Ini Camerlegno Ventresca. Ada apa?" Langdon menekan
tombol, jantungnya masih berdebar.
"Kukira seseorang baru saja ingin membunuhku!" Ada kesunyian dalam saluran itu.
Lalu Langdon melanjutkan. "Aku juga tahu di mana pembunuhan berikutnya akan
terjadi." Suara yang menjawabnya bukanlah suara sang camerlegno. Tetapi suara Komandan
Olivetti. "Pak Langdon, jangan bicara lagi."
87 JAM TANGAN LANGDON yang sekarang bernoda darah, menunjukkan pukul 9:41 malam
ketika dia berlari melintasi Courtyard of Belvedere dan mendekati air mancur di
luar markas Garda Swiss. Tangannya sudah tidak mengeluarkan darah tapi kini
terasa sangat sakit. Ketika dia tiba, tampaknya semua orang sedang berkumpul:
Olivetti, Rocher, sang camerlegno, Vittoria dan sejumlah penjaga.
Vittoria bergegas menyambutnya. "Robert, kamu terluka." Sebelum Langdon dapat
menjawab, Olivetti sudah berdiri di depannya. "Pak Langdon, saya senang Anda
tidak apa-apa. Saya minta maaf karena ada sinyal bersilang di ruang arsip."
"Sinyal bersilang?" tanya Langdon marah. "Anda pasti tahu - "
"Itu kesalahan saya," kata Rocher sambil melangkah ke depan. Suaranya terdengar
menyesal. "Saya tidak tahu Anda berada di ruang arsip. Dua zona putih bersilang
di gedung arsip. Kami memperluas pencarian kami. Sayalah yang memadamkan
listrik. Kalau saya tahu ...."
"Robert," kata Vittoria sambil mengambil tangan Langdon yang terluka dan
mengamatinya. "Paus memang diracun. Illuminati membunuhnya."
Langdon mendengar kata-kata itu tetapi hampir tidak dapat mencernanya. Kepalanya
terasa sangat penuh. Satu-satunya yang bisa dirasakannya hanyalah kehangatan
tangan Vittoria. Sang camerlegno mengeluarkan sapu tangan sutera dari saku jubahnya dan
memberikannya kepada Langdon sehingga Langdon dapat membersihkan diri. Lelaki
itu tidak mengatakan apa-apa. Mata hijaunya seperti terisi oleh semangat baru.
"Robert," Vittoria mendesak, "kamu tadi mengatakan kamu tahu di mana kardinal
berikutnya akan dibunuh?" Langdon merasa agak pusing. "Ya. Di - " "Jangan,"
Olivetti menyela. "Pak Langdon, ketika saya memintamu untuk tidak berbicara satu
kata pun di walkie-talkie, itu ada alasannya." Dia lalu berpaling ke arah
sejumlah serdadu di sekitarnya. "Mohon tinggalkan kami, Bapak-bapak."
Serdadu-serdadu itu lalu menghilang ke dalam markas. Tidak ada kemarahan. Hanya
ada kepatuhan. Olivetti kembali memandang orang-orang yang masih berada di sana. "Walau saya
berat untuk mengatakan ini, tapi saya harus mengakui kalau kematian Paus hanya
dapat dilakukan dengan bantuan seseorang di dalam tembok ini. Untuk kebaikan
semua orang, kita tidak dapat memercayai siapa pun. Termasuk penjaga kami."
Tampaknya dia merasa sangat terpaksa ketika mengucapkan kata-katanya itu.
Rocher tampak cemas. "Persekongkolan di dalam artinya - "
"Ya," kata Olivetti. "Kesungguhanmu dalam pencarian itu adalah hal yang bagus.
Tapi ini adalah taruhan yang harus kita jalani. Carilah terus."
Rocher tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah berpikir sebentar, dia
mengurungkan niatnya. Dia kemudian berlalu.
Sang camerlegno menarik napas dalam. Dari tadi dia belum mengatakan apa-apa.
Langdon merasakan adanya kekuatan baru di diri laki-laki ini seperti titik balik
baru saja dia lewati. "Komandan?" nada suara sang camerlegno terdengar
sangat tegas. "Aku akan membatalkan rapat pemilihan paus." Olivetti merapatkan
bibirnya dan terlihat masam. "Saya menganjurkan untuk tidak melakukan itu. Kita
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih memiliki dua jam dan dua puluh menit." "Dan ketegangan yang
menyelimutinya." Nada suara Olivetti sekarang seperti menantang. "Apa yang akan
Anda lakukan" Memindahkan kardinal-kardinal itu sendirian?"
"Aku berniat untuk menyelamatkan gereja dengan tenaga yang diberikan Tuhan
padaku. Bagaimana caraku, itu bukan urusanmu."
Olivetti menjadi lebih tegas. "Apa pun yang akan Anda kerjakan ...." Dia
berhenti. "Saya tidak punya kewenangan untuk menghalangi Anda. Terutama karena
kegagalan saya sebagai kepala keamanan. Saya hanya meminta Anda untuk menunggu.
Tunggulah dua puluh menit lagi ... hingga setelah pukul sepuluh. Kalau informasi
dari Pak Langdon ini benar, mungkin saya masih mempunyai kesempatan untuk
menangkap pembunuh itu. Masih ada kesempatan untuk melindungi protokol dan
tradisi." "Tradisi?" sang camerlegno tertawa tertahan. "Apa yang kita hadapi ini sudah
terlalu melanggar kesopanan, Komandan. Mungkin kamu belum tahu, ini adalah
perang." Seorang penjaga muncul dari markas dan memanggil sang camerlegno. "Signore, saya
baru saja menerima berita kalau kami telah menahan wartawan BBC itu, Pak Glick."
Sang camerlegno mengangguk. "Bawa keduanya, lelaki itu dan juru kameranya, untuk
bertemu aku di luar Kapel Sistina." Mata Olivetti membelalak. "Apa yang akan
Anda lakukan?" "Dua puluh menit, Komandan. Hanya itu yang dapat kuberikan
padamu." Dia lalu menghilang. Ketika mobil Alfa Romeo yang dikendarai Olivetti
melesat keluar dari Vatican City, kali ini tidak ada barisan mobil tanpa plat
nomor yang mengikutinya. Di bangku belakang, Vittoria membalut tangan Langdon
dengan perlengkapan P3K yang ada di dalam kotak penyimpan sarung tangan.
Olivetti memandang mereka melalui kaca spion. "Baik, Pak Langdon. Ke mana kita
pergi?" 88 WALAU SEKARANG MENGGUNAKAN sirene dan lampu polisi, mobil Alfa Romeo yang
dikendarai Olivetti tampak tidak terlihat ketika melesat menyeberangi jembatan
untuk menuju ke jantung kota Roma tua. Semua lalu lintas bergerak ke arah yang
berbeda, ke arah Vatican, seolah Tahta Suci tiba-tiba menjadi hiburan terpanas
di Roma saat itu. Langdon duduk di bangku belakang sementara berbagai pertanyaan terus menghampiri
benaknya. Dia bertanya-tanya tentang pembunuh itu, apakah mereka dapat
menangkapnya kali ini, apakah pembunuh itu mau mengatakan apa yang mereka ingin
ketahui, apakah itu semua sudah terlambat. Berapa lama sebelum sang camerlegno
mengatakan kepada orang-orang di Lapangan Santo Petrus bahwa mereka dalam
bahaya" Kejadian di ruangan arsip masih mengganggunya. Sebuah kesalahan"
Olivetti tidak pernah menginjak rem ketika mereka berbelok-belok dengan mobil
Alfa Romeo yang meraung menuju ke Gereja Santa Maria della Vittoria. Pada hari
yang normal, Langdon pasti merasa tidak nyaman dengan kecepatan seperti itu.
Tapi saat ini, dia seperti mati rasa. Hanya denyutan di tangannya saja yang
membuatnya sadar dia sedang berada di mana.
Di atas kepalanya, sirene terus meraung-raung. Seperti pengumuman kalau kita
akan datang, ejek Langdon. Tapi mereka tiba di tempat dalam waktu yang sangat
singkat. Langdon mengira Olivetti akan mematikan sirene itu ketika mereka sudah
dekat. Kini ketika memiiiki kesempatan untuk duduk dan merenung, Langdon merasa heran
ketika berita tentang pembunuhan Paus akhirnya dapat tercerna oleh otaknya.
Pemikiran itu sulit untuk dipahami, tapi sepertinya sangat masuk akal.
Penyusupan selalu menjadi kekuatan dasar Illuminati - mereka mengatur kekuatan
yang mereka miliki dari dalam. Dan kejadian seperti pembunuhan Paus bukanlah
yang pertama kalinya terjadi. Kabar angin tentang pengkhianatan sudah begitu
banyak sehingga tidak terhitung lagi, walau demikian tanpa otopsi sulit untuk
memastikan kalau seorang paus sudah menjadi korban pembunuhan. Bahkan sampai
sekarang. Beberapa saat yang lalu, para akademisi mendapatkan izin untuk
melakukan pemeriksaan dengan sinar X di makam Paus Celestine V yang diduga
meninggal di tangan penerusnya yang terlalu bersemangat untuk mengambil alih
kekuasaan, Boniface VIII. Para peneliti berharap pemeriksaan dengan sinar X itu
bisa mengungkapkan setitik petunjuk mengenai kecurangan, seperti misalnya patah
tulang atau yang lainnya. Hebatnya, sinar X tersebut berhasil menemukan adanya
sebuah paku berukuran sepuluh inci yang ditusukkan pada tengkorak sang paus.
Langdon sekarang ingat serangkaian kliping surat kabar yang dikirimkan oleh
seorang kawan penggemar Illuminati beberapa tahun yang lalu. Pada awalnya Langdon menganggap kliping itu hanyalah
lelucon belaka sehingga dia memeriksa koleksi microfiche Harvard untuk
memastikan kalau artikel tersebut asli. Ternyata artikel-artikel itu memang
asli. Sekarang Langdon menyimpannya di atas papan buletinnya sebagai contoh
bagaimana koran-koran yang terpandang sekalipun kadang-kadang bisa berlebihan
dalam menanggapi ketakutan yang tidak beralasan yang menyangkut Illuminati.
Tiba-tiba kecurigaan media saat itu tampak beralasan. Langdon dapat mengingat
artikel-artikel itu dalam benaknya ....
THE BRITISH BROADCASTING CORPORATION 14 Juni 1998 Paus John Paul I, yang wafat
pada tahun 1978, ternyata menjadi korban dari sebuah persekongkolan P2 Masonic
Lodge ... Kelompok rahasia P2 memutuskan untuk membunuh John Paul I ketika
kelompok itu mengetahui sang paus berniat untuk memecat seorang uskup agung asal
Amerika, Paul Marcinkus dari jabatannya sebagai Presiden Bank Vatican. Bank
tersebut diduga memiliki transaksi gelap dengan Masonic Lodge ....
THE NEW YORK TIMES 24 Agustus 1998 Mengapa mendiang John Paul I mengenakan
kemeja hariannya di tempat tidur" Mengapa kemeja itu sobek" Pertanyannya tidak
berhenti sampai di situ saja. Tidak ada penyelidikan medis yang dilakukan untuk
mengetahui penyebab kematiannya. Kardinal Villot melarang otopsi dengan alasan
tidak seorang paus pun yang pernah divisum setelah meninggal dunia. Yang menarik
adalah obat-obatan John Paul I menghilang secara misterius dari meja di sisi
tempat tidurnya, seperti juga kacamatanya, sandal dan surat wasiatnya.
LONDON DAILY MAIL 27 Agustus 1998 ... sebuah persekongkolan yang melibatkan
kelompok Mason yang berkuasa dan kejam dengan jaringannya yang mampu menyusup ke
dalam Vatican. Ponsel di dalam saku Vittoria berdering sehingga
menghapus kenangan itu dalam benak Langdon. Vittoria menjawabnya dan tampak
bingung karena tidak tahu siapa yang meneleponnya. Walau dari jarak beberapa
kaki, Langdon mampu mengenali suara yang berbicara dengan kaku yang terdengar
dari telepon itu. "Vittoria" Ini Maximilian Kohler. Kamu sudah menemukan antimateri itu?" "Max"
Kamu tidak apa-apa?" "Aku melihat berita itu. Tidak ada yang menyebut-nyebut
CERN atau antimateri. Itu bagus. Apa yang terjadi?" "Kami belum menemukan tabung
itu. Keadaannya rumit. Robert Langdon sangat membantu. Kami mendapatkan petunjuk
untuk menangkap pembunuh kardinal-kardinal itu. Sekarang kami sedang menuju - "
"Nona Vetra, Anda sudah berbicara cukup banyak!" Olivetti membentaknya.
Vittoria menutup teleponnya dengan tangannya dan merasa terganggu. "Komandan,
ini Presiden CERN. Jelas dia punya hak untuk - "
"Dia memang punya hak," bentak Olivetti, "untuk berada di sini dan menangani
kekacauan ini. Anda berbicara di jalur seluler terbuka. Anda berbicara cukup
banyak." Vittoria menghela napas dalam. "Max?" "Mungkin aku punya informasi
untukmu," kata Max. "Tentang ayahmu ... aku mungkin tahu kepada siapa dia
menceritakan soal antimateri itu."
Airmuka Vittoria menjadi muram. "Max, ayahku bilang kalau dia tidak
mengatakannya kepada siapa pun."
"Vittoria, aku khawatir kalau ayahmu memang menceritakannya kepada orang lain.
Aku harus memeriksa catatan keamanan. Aku akan menghubungimu lagi dengan
segera." Lalu sambungan itu putus.
Vittoria tampak kaku ketika dia menyimpan kembali ponselnya. "Kamu tidak apaapa?" tanya Langdon. Vittoria mengangguk, tapi jemari tangannya yang gemetar
menunjukkan kalau dia berbohong. "Gereja itu berada di Piazza Barberini," kata
Olivetti sambil mematikan sirenenya dan melihat jam tangannya. "Kita masih punya
sembilan menit." Ketika Langdon pertama kali menyadari letak petunjuk ketiga itu, posisi gereja
itu samar-samar mengingatkannya akan sesuatu. Piazza Barberini. Ada sesuatu yang
akrab dengan nama itu sesuatu yang tadinya tidak dapat diingatnya. Sekarang
Langdon tahu apa itu. Piazza itu mengingatkannya tentang pemberhentian kereta
bawah tanah yang kontroversial. Dua puluh tahun yang lalu, pembangunan terminal
kereta api bawah tanah membuat para ahli sejarah seni khawatir penggalian di
bawah Piazza Barberini akan merubuhkah obelisk dengan berat ratusan ton yang
berdiri di tengah-tengah piazza itu. Perencana Tata Kota akhirnya memindahkan
obelisk itu dan menggantinya dengan sebuah air mancur kecil yang disebut Triton.
Langdon sekarang baru menyadarinya. Pada masa Bernini, Piazza Barberini memiliki
sebuah obelisk! Sekarang Langdon tidak ragu lagi, tempat ini memang letak
petunjuk ketiga Illuminati.
Satu blok dari piazza, Olivetti membelok masuk ke sebuah gang, meluncur turun
dengan kecepatan tinggi dan memberhentikan mobilnya di tengah jalan dengan
cepat. Dia kemudian melepas jaketnya, menggulung lengan kemejanya, dan mengisi
senjatanya. "Aku tidak ingin kalian berisiko untuk dikenali," katanya. "Kalian berdua sudah
muncul di televisi. Aku ingin kalian berada di seberang piazza dan bersembunyi.
Amati pintu masuk di depan piazza. Aku akan masuk dari belakang." Lalu dia
mengeluarkan pistol yang sudah pernah mereka lihat sebelumnya dan menyerahkannya
pada Langdon. "Untuk berjaga-jaga," demikian katanya.
Langdon mengerutkan keningnya. Itu berarti sudah dua kali dalam satu hari ini
dia diberi senjata. Langdon menyelipkan pistol itu ke dalam saku jasnya. Ketika
dia melakukannya, Langdon baru sadar kalau dia masih membawa lembaran folio
Diagramma. Langdon tidak percaya kalau dirinya sudah lupa untuk mengembalikannya
kembali. Dia membayangkan Bapa Jaqui, sang kurator Arsip Rahasia Vatican yang
kaku itu akan murka kepadanya ketika mengetahui harta berharganya dibawabawa
berkeliling Roma seperti peta pariwisata. Kemudian Langdon memikirkan kerusakan
seperti dinding kaca yang pecah dan dokumen yang bertebaran yang ditinggalkannya
di ruang arsip tadi. Kurator itu pasti tidak akan memaafkan dirinya. Itu juga
kalau arsip itu bisa bertahan malam ini.
Olivetti keluar dari mobilnya dan menunjuk ke arah mereka masuk tadi. "Piazza
itu ke arah sana. Waspadalah dan jangan sampai terlihat." Dia menyentuh
ponselnya di ikat pinggangnya. "Nona Vetra, coba tes kembali sambungan otomatis
telepon kita." Vittoria mengeluarkan ponselnya dan memencet nomor sambungan otomatis yang sudah
mereka program ketika di Pantheon. Ponsel di ikat pinggang Olivetti bergetar
dalam mode diam. Komandan itu mengangguk. "Bagus. Kalau Anda melihat apa pun hubungi saya." Dia
mengeluarkan senjatanya. "Saya akan berada di dalam dan menunggu. Si bedebah itu
milikku." Pada saat itu juga, dalam jarak yang sangat dekat, sebuah
ponsel lainnya berdering. Si Hassassin menjawab. "Halo?" "Ini aku," kata suara
itu. "Janus." Si Hassassin tersenyum. "Halo, Tuan." "Posisimu mungkin sudah
diketahui. Ada yang datang
untuk menghentikanmu." "Mereka terlambat. Aku sudah membuat persiapan di sini."
"Bagus. Pastikan kamu akan lolos dalam keadaan hidup.
Masih ada pekerjaan yang harus kamu lakukan." "Mereka yang menghalangiku akan
mati." "Mereka yang menghalangimu itu sudah terkenal." "Kamu berbicara tentang
sarjana Amerika itu" "Kamu sudah tahu tentang dia?" Si Hassassin tertawa. "Dia
orang yang tenang tapi agak naif. Dia berbicara padaku di telepon tadi sore. Dia
bersama seorang perempuan yang sepertinya memiliki sifat yang bertolak belakang
dengannya." Pembunuh itu merasa terpancing gairahnya ketika ingat betapa
pemarahnya anak perempuan Leonardo Vetra itu.
Ada kesunyian sesaat dalam sambungan itu, keraguan yang pertama kali si
Hassassin rasakan di diri majikan Illuminatinya. Akhirnya Janus berbicara lagi.
"Bunuh mereka jika perlu."
Pembunuh itu tersenyum. "Anggap saja sudah dikerjakan." Dia merasakan gairah
yang mulai mengalir ke seluruh tubuhnya.
Sementara itu, aku akan menyimpan perempuan itu sebagai
hadiah. 89 PERANG TELAH DIMULAI di Lapangan Santo Petrus. Piazza itu telah berubah menjadi
ajang hiruk-pikuk agresi. Mobil-mobil media berusaha memasuki tempat itu seperti
kendaraan perang berebut tempat mendarat. Para wartawan menggelar perlengkapan
elektronik berteknologi tinggi seperti serdadu yang dipersenjatai untuk
berperang. Di sekeliling tepian piazza, berbagai jaringan televisi mencari
posisi yang bagus sambil berlomba mendirikan senjata terbaru mereka dalam dunia
penyiaran - display layar datar.
Display layar datar adalah layar video yang sangat besar yang dapat dipasang di
atas atap mobil atau menara perancah portabel. Layar itu berguna sebagai semacam
iklan billboard bagi jaringan TV mereka karena alat tersebut menyiarkan apa yang
diliput jaringan itu berikut logo mereka seperti bioskop drive-in. Kalau layar
tersebut ditempatkan di posisi yang baik, misalnya di depan tempat kejadian,
jaringan pesaingnya tidak bisa mendapatkan gambar tanpa menayangkan logo mereka.
Dalam waktu singkat, lapangan itu tidak saja menjadi pameran multimedia, namun
juga menjadi tontonan umum yang dipenuhi oleh banyak orang. Para penonton
berdatangan dari berbagai arah. Tempat terbuka di lapangan yang biasanya tidak
terbatas sekarang dengan cepat menjadi tempat yang sangat berharga. Orang-orang
berkerumun di sekitar berbagai display layar datar yang menjulang sambil
mendengarkan laporan langsung dengan ketegangan yang mengasyikkan.
Hanya beberapa ratus yard jaraknya dari tempat itu, di dalam tembok tebal
Basilika Santo Petrus, dunia terasa tenang. Letnan Chartrand dan tiga penjaga
lainnya bergerak di dalam gelap. Sambil mengenakan kacamata infra merah, mereka
menyebar ke arah ruang tengah gereja sambil mengayunkan alat pendeteksi di depan
mereka. Sejauh ini, pencarian di area publik di Vatican City belum menampakkan
hasil yang menggembirakan..
"Sebaiknya kamu tanggalkan kacamatamu di sini," kata penjaga senior itu.
Chartrand sudah melakukannya. Mereka sekarang mendekati Niche of the Palliums,
yang merupakan bidang cekung di tengah-tengah gereja. Tempat itu diterangi oleh
99 lampu minyak sehingga dengan kaca mata infra merah yang memperkuat
penglihatan, sinar lampu itu akan menjadi terlalu terang dan menyilaukan.
Chartrand menikmati kebebasannya dari kacamata infra merah yang berat itu. Dia
kemudian menjulurkan lehernya ketika mereka menuruni lantai ruangan yang cekung
untuk memeriksanya. Ruangan itu indah ... keemasan dan berkilauan. Dia belum
pernah berjaga sampai ke sini.
Sepertinya sejak Chartrand tiba di Vatican City, dia selalu mempelajari hal-hal
baru yang misterius. Lampu-lampu minyak itu adalah salah satunya. Lampu itu
berjumlah tepat 99 yang selalu menyala sepanjang waktu. Ini adalah tradisi. Para
pastor dengan rajin mengisi ulang lampu-lampu itu dengan minyak suci sehingga
mereka tidak pernah mati. Kabarnya lampu-lampu itu akan terus menyala hingga
kiamat. Atau setidaknya hingga tengah malam nanti, pikir Chartrand dan merasa
tenggorokannya kembali tercekat.
Chartrand mengayunkan detektornya ke arah lampu-lampu minyak itu. Tidak ada yang
tersembunyi di sini. Dia tidak heran. Menurut tayangan video, tabung itu
disembunyikan di tempat yang gelap.
Ketika dia bergerak melintasi ceruk itu, dia melihat sebuah pagar pembatas yang
menutup sebuah lubang di lantai. Lubang itu memperlihatkan sebuah tangga yang
sempit dan curam yang menuju ke bawah. Dia pernah mendengar berbagai kisah
tentang apa yang ada di bawah sana. Untunglah mereka tidak perlu turun ke sana.
Perintah Rocher jelas. Pencarian hanya di daerah publik, abaikan zona putih.
"Bau apa ini?" tanyanya sambil memalingkan wajahnya dari pagar itu. Ceruk itu
mengeluarkan aroma yang luar biasa harum.
"Itu aroma yang dikeluarkan dari asap lampu-lampu ini," salah seorang dari
mereka menyahut. Chartrand heran. "Baunya lebih seperti minyak wangi daripada minyak tanah."
"Itu memang bukan minyak tanah. Lampu-lampu ini dekat dengan altar kepausan,
jadi mereka menggunakan campuran bahan bakar khusus yang terdiri atas etanol,
gula, butan dan parfum."
"Butan?" Chartrand menatap lampu-lampu itu dengan cemas.
Penjaga itu mengangguk. "Jadi jangan sampai tumpah. Baunya memang harum seperti
surga, tetapi bisa membakar seperti neraka." Para penjaga telah menyelesaikan
pencarian di Niche of the Palliums dan sedang bergerak melintasi gereja kembali
ketika walkie-talkie mereka berbunyi.
Ini adalah berita terbaru. Para penjaga itu mendengarkan
dengan sangat terkejut. Tampaknya ada perkembangan baru yang membingungkan, yang
tidak dapat dijelaskan melalui radio. Sang camerlegno telah memutuskan untuk
melanggar tradisi dan memasuki ruangan rapat untuk berpidato di depan para
kardinal. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Tapi kemudian,
Chartrand menyadari kalau memang Vatican belum pernah berhadapan dengan senjata
nuklir sepanjang sejarahnya.
Chartrand merasa lega ketika dia tahu sang camerlegno telah mengambil alih
keadaan. Sang camerlegno adalah orang dalam Vatican yang paling dihormati
olehnya. Beberapa orang penjaga menganggap sang camerlegno sebagai beato - seorang
religius fanatik yang cintanya kepada Tuhan adalah obsesi baginya. Tapi kemudian
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka setuju ... ketika berhadapan dengan musuh-musuh Tuhan, sang camerlegno
adalah orang yang akan bersikap tegas dan keras.
Para Garda Swiss menjadi sering bertemu dengan sang camerlegno pada minggu ini
untuk mempersiapkan rapat pemilihan paus. Semua orang berkomentar bahwa pastor
muda itu tampak agak cepat marah dan mata hijaunya bersinar lebih tajam daripada
biasanya. Tapi itu bukan komentar yang mengherankan mengingat sang camerlegno
harus bertanggung jawab terhadap perencanaan rapat pemilihan paus yang rumit,
dan juga masih berduka atas meninggalnya Paus yang sudah menjadi mentornya
selama ini. Chartrand baru beberapa bulan bertugas di Vatican ketika dia mendengar kisah
tentang bom yang membunuh ibu sang camerlegno di depan mata anak itu sendiri.
Sebuah bom di dalam gereja ... dan sekarang semuanya terjadi sekali lagi.
Sayangnya, pemerintah tidak pernah berhasil menangkap penjahat yang meletakkan
bom itu ... banyak orang bilang mereka adalah kelompok anti-Kristen. Tapi
kemudian kasus itu menguap begitu saja. Tidak heran kalau sang camerlegno
membenci sikap apatis. Beberapa bulan yang lalu, pada sore hari yang tenang di dalam Vatican City,
Chartrand berpapasan dengan sang camerlegno. Sang camerlegno tampaknya mengenali
Chartrand sebagai penjaga baru dan mengundangnya untuk menemaninya berjalanjalan. Mereka berbincang tentang hal-hal sepele, dan sang camerlegno membuatnya merasa
nyaman berada di dekatnya.
"Bapa," kata Chartrand, "boleh saya mengajukan pertanyaan yang tidak lazim?"
Sang camerlegno tersenyum. "Hanya kalau aku boleh memberimu jawaban yang tidak
lazim juga." Chartrand tertawa. "Saya telah bertanya ke setiap pastor yang saya kenal, dan
saya masih belum juga mengerti."
"Apa yang membuatmu bingung?" Sang camerlegno memimpin jalan dengan langkah
pendek dan cepat. Jubahnya melambai ke depan ketika pastor itu berjalan. Menurut
Chartrand, sepatu hitam dengan sol tipis yang dikenakannya tampak cocok dengan
pastor ini, seperti memantulkan kemurnian hatinya ... modern tapi sederhana dan
menunjukkan selera yang elegan.
Chartrand menarik napas dalam. "Saya tidak mengerti sifat Tuhan yang mahakuasa
dan maha pengasih." Sang camerlegno tersenyum. "Kamu pasti pernah membaca kitab suci." "Saya mencoba
untuk membacanya." "Kamu bingung karena Alkitab menggambarkan Tuhan
dengan sifat mahakuasa dan maha pengasih?" "Betul." "Mahakuasa dan maha pengasih
berarti Tuhan memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan memiliki kasih yang
melimpah." "Saya mengerti konsep itu. Hanya saja ... seperti ada kontradiksi di sana."
"Ya. Kontradiksi itu menyakitkan. Orang kelaparan, peperangan, penyakit ...."
"Tepat!" Chartrand tahu sang camerlegno akan mengerti. "Banyak hal mengerikan
yang terjadi di dunia ini. Tragedi yang terjadi pada manusia seperti membuktikan
bahwa Tuhan tidak bisa memiliki kedua sifat itu; memiliki kekuasaan yang tidak
terbatas dan memiliki kasih yang berlimpah. Kalau Dia mencintai kita dan
memiliki kekuasaan untuk mengubah situasi seperti ini, Dia akan berusaha
mencegah penderitaan kita, bukan?"
Sang camerlegno mengerutkan keningnya. "Betulkah begitu?"
Chartrand merasa resah. Apakah dia sudah keterlaluan" Apakah pertanyaan tadi
adalah pertanyaan yang seharusnya tidak boleh ditanyakan" "Yah ... jika Tuhan
mencintai kita, maka Tuhan akan melindungi kita. Memang begitu seharusnya.
Sepertinya Dia Mahakuasa tapi tidak pedulian, atau Maha Pengasih tetapi tidak
berdaya untuk menolong." "Kamu punya anak, Letnan?" Chartrand merasa malu.
"Tidak, signore." "Bayangkan kamu mempunyai seorang anak lelaki berumur
delapan tahun ... apakah kamu mencintainya?" "Tentu saja." "Apakah kamu akan
melakukan apa saja dengan
kekuasaanmu untuk mencegah kesengsaraan dalam hidupnya?" "Tentu saja." "Apakah
kamu akan membiarkannya bermain papan
luncur?" Chartrand bingung. Sang camerlegno memang terlihat terlalu mengikuti
perkembangan zaman untuk ukuran seorang pastor. Akhirnya dia berkata, "Tentu
saja, saya akan membiarkannya main papan luncur tapi saya akan menyuruhnya untuk
berhati-hati." "Jadi sebagai seorang ayah kamu akan memberikan nasihat kepadanya dan
membiarkannya bermain dan membuat kesalahannya sendiri?"
"Saya tidak akan terus-menerus membuntutinya dan memanjakannya kalau itu yang
Anda maksudkan." "Tetapi bagaimana kalau dia jatuh dan lututnya terluka?" "Dia
akan belajar untuk menjadi lebih berhati-hati." Sang camerlegno tersenyum.
"Jadi, walaupun kamu memiliki kekuasaan untuk ikut campur dan mencegah agar
anakmu tidak menderita, kamu lebih memilih untuk memperlihatkan cintamu dengan
membiarkannya mempelajari kesalahannya sendiri?"
"Tentu saja. Rasa sakit adalah bagian dari bertumbuh. Begitulah kita belajar."
Sang camerlegno mengangguk. "Tepat sekali."
90 LANGDON DAN VITTORIA mengamati Piazza Barberini dari kegelapan di sebuah gang
kecil di sudut sebelah barat. Gereja itu berdiri di depan mereka dengan sebuah
kubah suram yang mencuat dari kumpulan bangunan yang terlihat kabur di seberang
lapangan. Malam itu terasa dingin dan Langdon heran karena lapangan itu sunyi.
Di atas mereka, terlihat dari jendela gedung apartemen yang terbuka, terdengar
suara televisi yang sedang menyiarkan berita. Langdon segera tahu penyebab
kenapa semua orang seperti menghilang.
"... belum ada komentar dari Vatican ... Illuminati membunuh dua kardinal ...
setan hadir di Roma ... spekulasi tentang penyusupan yang lebih dalam ...."
Berita itu telah tersebar seperti api Kaisar Nero. Penduduk Roma duduk terpaku,
seperti juga masyarakat di bagian dunia lainnya. Langdon bertanya-tanya apakah
mereka benar-benar dapat menghentikan kereta api yang melesat tanpa kendali itu.
Ketika dia mengamati piazza itu dan menunggu, Langdon menyadari walaupun gedunggedung modern yang berdiri di sekitarnya menghalangi pandangan, piazza itu masih
terlihat berbentuk elips. Menjulang ke angkasa seperti kastil modern milik
seorang ksatria, terlihat papan neon berkedip-kedip di atas sebuah hotel mewah.
Vittoria tadi menunjukkannya kepada Langdon. Anehnya, tanda itu tampak sesuai
dengan lingkungan sekitarnya. HOTEL BERNINI "Jam sepuluh kurang lima," kata
Vittoria setelah meraih pergelangan tangan Langdon untuk melihat jam tangannya
sambil terus mengamati sekitar lapangan dengan matanya yang tajam. Setelah itu
dia menarik Langdon ke dalam kegelapan lagi. Dia menunjuk ke bagian tengah
lapangan. Langdon mengikuti tatapan mata Vittoria. Ketika dia melihatnya, tubuhnya terasa
menjadi kaku. Dua sosok hitam muncul sambil menyeberangi lapangan di depan mereka dan berjalan
di bawah lampu jalanan. Keduanya mengenakan mantel, kepala mereka terbungkus
dengan kerudung tradisional yang biasa dikenakan oleh para janda Katolik.
Langdon menerka mereka adalah dua orang perempuan, tetapi dia tidak dapat
memastikannya dalam gelap. Yang pertama tampak tua dan berjalan dengan
membungkuk seolah sedang kesakitan. Yang lainnya, bertubuh lebih besar dan
tampak lebih kuat, membantunya. "Berikan pistol itu padaku," kata Vittoria.
"Kamu tidak bisa begitu saja - " Dengan tangkas, Vittoria memasukkan dan
mengeluarkan tangannya dari saku jas Langdon. Pistol itu berkilauan di dalam
tangannya. Kemudian tanpa suara sama sekali, seolah kakinya tidak menyentuh
batu-batu di bawahnya, Vittoria sudah berbelok ke kiri dalam gelap, dan memutar
ke arah lapangan itu, kemudian mendekati pasangan itu dari belakang. Langdon
berdiri terpaku ketika Vittoria menghilang. Kemudian dia menyumpahi dirinya
sendiri dan menyusulnya. Pasangan yang mencurigakan itu bergerak lambat sehingga Langdon dan Vittoria
tidak membutuhkan waktu yang lama untuk berada di belakang mereka dan membuntuti
keduanya. Vittoria menyembunyikan pistolnya di balik kedua lengannya yang
disilangkan dengan santai di depan dadanya. Pistol itu tidak terlihat, namun
dapat dengan cepat dikeluarkan. Vittoria tampak berjalan semakin cepat mendekati
mereka sementara Langdon masih harus berjuang untuk mengejarnya. Ketika sepatu
Langdon menginjak batu dan menimbulkan bunyi, Vittoria melotot padanya dari jauh
Tetapi pasangan itu tampaknya tidak mendengar. Mereka sedang bercakap-cakap.
Pada jarak tiga puluh kaki, Langdon mulai dapat mendengar suara. Bukan katakata, hanya gumam lirih. Di sampingnya Vittoria bergerak semakin cepat. Kedua
lengan Vittoria tampak mengendur sehingga pistol itu terlihat. Dua puluh kaki.
Suara itu terdengar lebih jelas - yang satu lebih keras dari yang lain. Marah.
Kasar. Langdon menduga itu suara seorang perempuan tua. Serak. Agak seperti
lelaki. Dia berusaha untuk mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi ada suara
lain yang memecah kesunyian.
"Mi scusi!" suara ramah Vittoria memecah keheningan di sekitar mereka.
Langdon merasa tegang ketika pasangan bermantel itu tiba tiba berhenti dan mulai
berputar. Vittoria terus berjalan ke arah mereka, bahkan sekarang lebih cepat,
dan hampir berlari kecil. Mereka tidak akan sempat untuk bereaksi. Langdon baru
menyadari kalau kedua kakinya sudah berhenti bergerak. Dari belakang, dia
melihat lengan Vittoria mengendur, dan pistol itu terayun ke depan. Kemudian
lewat bahu Vittoria, Langdon melihat seraut wajah yang disinari lampu jalan.
Kepanikan mengalir ke kakinya, dan dia mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Vittoria, jangan!"
Tapi, Vittoria ternyata mempunyai ketangkasan yang tidak diduga oleh Langdon.
Dalam gerakan yang sangat alami, lengan Vittoria terangkat lagi, dan pistol itu
pun seketika menghilang. Vittoria mengepit tangannya seperti orang yang
kedinginan akibat udara malam. Langdon tiba di sampingnya dengan langkah
terhuyung dan hampir menabrak kedua orang bermantel di depan mereka. "Bueno
sera," sapa Vittoria, suaranya terdengar ragu-ragu. Langdon menarik napas lega.
Dua orang perempuan tua berdiri di depan mereka. Suara gerutuan mereka terdengar
dari balik kerudung yang mereka kenakan. Yang satu terlalu tua sehingga hampir
tidak dapat berdiri. Yang lainnya membantunya. Keduanya memegang rosario. Mereka
tampak bingung karena diganggu dengan tiba-tiba.
Vittoria tersenyum walau dia tampak gemetar. "Dove la chiesa Santa Maria della
Vittoria" Di mana Gereja - "
Kedua perempuan itu bersama-sama menunjuk pada bayangan besar dari sebuah
bangunan yang terletak di pinggir jalan tanjakan di mana mereka tadi berasal. "E
la." "Grazie" kata Langdon sambil meletakkan tangannya di bahu Vittoria dan dengan
lembut menariknya ke belakang. Dia tidak percaya kalau mereka hampir saja
menyerang neneknenek. "Non si pud entrare," salah seorang dari perempuan tua itu berkata. "E chiusa
temprano." "Ditutup lebih awal?" Vittoria tampak heran. "Perche?" Kedua
perempuan itu menjelaskan bersama-sama. Suara mereka terdengar kesal. Langdon
hanya mengerti sebagian dari gerutuan dalam bahasa Italia itu. Tampaknya lima
belas menit yang lalu, kedua perempuan itu tadi berada di dalam gereja untuk
berdoa bagi Vatican yang sedang berada dalam cobaan berat. Kemudian, datang
seorang lelaki dan mengatakan kepada mereka bahwa gereja ditutup lebih awal.
"Hanno conosciuto I'uomo?" Vittoria bertanya dengan
suara tegang. "Anda mengenali lelaki itu?" Kedua perempuan itu menggelengkan
kepala mereka. Menurut mereka, lelaki itu adalah straniero crudo dan lelaki itu
menyuruh dengan paksa agar orang-orang di sana segera pergi, bahkan termasuk
pastor muda dan petugas kebersihan yang berkata akan menelepon polisi. Tetapi
orang itu hanya tertawa dan meminta mereka untuk memastikan polisi membawa serta
kamera mereka. Kamera" Langdon bertanya-tanya. Kedua perempuan itu marah dan
menyebut lelaki itu bararabo. Kemudian sambil mengomel, mereka melanjutkan
perjalanan mereka. "Bar-arabo?" tanya Langdon kepada Vittoria. "Orang barbar?"
Tiba-tiba Vittoria tampak tegang. "Bukan. Bar-arabo adalah permainan kata dengan
maksud menghina. Artinya Arabo ... Arab."
Langdon merasa merinding dan berpaling ke arah gereja. Ketika dia menatapnya,
matanya menangkap sesuatu dari kaca berwarna yang terdapat di gereja itu.
Pemandangan yang dilihatnya membuatnya sangat terkejut.
Tanpa menyadari apa yang terjadi, Vittoria mengeluarkan ponselnya dan menekan
tombol sambungan otomatis. "Aku akan memperingatkan Olivetti."
Dengan mulut seperti terkunci, Langdon mengulurkan tangannya dan menyentuh
lengan Vittoria. Dengan tangan yang lainnya, Langdon menunjuk ke arah gereja
itu. Vittoria terkesiap. Di dalam gedung, berkilau seperti mata setan yang
terlihat melalui kaca berwarna jendela gereja itu ... kilatan api bersinar
semakin besar. 91 LANGDON DAN VITTORIA berlari ke pintu utama gereja Santa Maria della Vittoria
dan mengetahui kalau pintu kayu itu terkunci. Vittoria menembak tiga kali dengan
pistol semiotomatis milik Olivetti ke arah gerendel kuno itu hingga rusak.
Gereja itu tidak memiliki ruang depan, sehingga ruang suci langsung terbentang
begitu Langdon dan Vittoria membuka pintu utama. Pemandangan di depan mereka
sungguh tidak terduga, begitu aneh sehingga Langdon harus mengedipkan matanya
berkali-kali agar mampu mencernanya.
Dekorasi gereja itu bergaya barok dan sangat mewah ... dinding dan altarnya
disepuh. Tepat di tengah-tengah ruang suci yang berada di bawah kubah utama,
bangku-bangku kayu ditumpuk tinggi dan sekarang terbakar dengan api yang
berkobar-kobar seperti tumpukan kayu bakar pemakaman dalam kisah epik. Terlihat
api unggun yang membubung tinggi ke arah kubah. Ketika mata Langdon mengikuti
arah api itu ke atas, pemandangan mengerikan yang sebenarnya muncul dengan
cepat. Tinggi di atas sana, dari sisi kiri dan kanan langit-langit, tergantung dua
kabel pengharum - kabel yang digunakan untuk mengayunkan bejana pengharum dari
kayu-kayuan di atas jemaat. Tapi kabel-kabel itu sekarang tidak digunakan untuk
menggantung pengharum ruangan. Kabel-kabel itu juga tidak berayun. Kedua kabel
tersebut digunakan untuk menggantung benda lain.
Sesosok tubuh tergantung oleh kabel itu. Seorang lelaki tanpa busana. Masingmasing pergelangan tangannya diikat dengan kabel dari dua sisi, kemudian dikerek
ke atas hingga bisa membuatnya putus. Kedua lengannya terentang seperti sepasang
sayap rajawali, seolah tangannya dipaku pada salib yang tidak terlihat dan
tergantung tinggi di rumah Tuhan.
Langdon merasa seperti lumpuh ketika dia menatap ke atas. Sesaat kemudian, dia
menyaksikan sesuatu yang sangat mengerikan. Lelaki tua itu masih hidup. Dia
masih bisa mengangkat kepalanya. Sepasang mata itu memandang ke bawah dengan
sorot mata ketakutan dan minta pertolongan. Di dadanya terlihat luka bakar. Dia
telah dicap. Langdon tidak dapat melihatnya dengan jelas, tapi dia sudah tahu
apa tulisan yang tertera di sana. Ketika api itu menyala lebih tinggi sehingga
menjilat kaki lelaki itu. Kardinal yang malang itu menjerit kesakitan, tubuhnya
gemetar. Seperti digerakkan oleh kekuatan yang tidak terlihat, tiba tiba tubuh Langdon
bergerak dan berlari ke arah gang utama ke arah lautan api yang berkobar-kobar.
Paru-parunya dipenuhi dengan asap ketika dia berusaha mendekat. Sepuluh kaki
dari panas yang luar biasa itu, Langdon seperti menabrak dinding api. Kulit
mukanya terasa seperti terbakar, dan dia terjengkang. Lelaki itu melindungi
matanya dan jatuh di atas lantai pualam. Langdon berdiri lagi dengan terhuyunghuyung, lalu memaksa maju lagi. Kini kedua tangannya terulur ke depan untuk
melindungi diri. Namun dia segera tahu, api itu terlalu panas. Langdon bergerak
mundur dan mengamati dinding kapel itu. Permadani yang berat, pikirnya. Kalau
aku dapat menutupi tubuhku dengan .... Tetapi dia tahu tidak ada permadani di
sini. Ini kapel bergaya barok, Robert, bukan kastil Jerman! Berpikirlah! Dia
memaksakan diri untuk melihat lelaki yang tergantung itu.
Di atas langit-langit, asap dan api berputar di dalam kubah. Kabel penggantung
pengharum ruangan itu terentang dari pergelangan tangan lelaki malang itu, dan
dikerek ke langitlangit. Kabel tersebut melewati sebuah kerekan lalu turun lagi
ke sebuah kaitan dari logam yang terdapat pada kedua sisi ruangan gereja itu.
Langdon menatap pada salah satu kaitan itu. Kaitan itu terpasang tinggi di
dinding, tetapi dia tahu kalau dia dapat meraihnya dan mengendurkan salah satu
kabel itu, regangan di lengan lelaki itu akan berkurang tetapi orang itu akan
terayun ke dalam kobaran api.
Tiba-tiba lidah api menjilat lebih tinggi, dan Langdon mendengar suara jeritan
tajam dari atas. Kulit kaki orang itu mulai melepuh. Kardinal itu akan
terpanggang hidup-hidup. Langdon terus menatap pada kaitan itu dan berlari ke
arahnya. Sementara itu, di bagian belakang gereja, Vittoria mencengkeram
punggung bangku gereja sambil berpikir. Pemandangan di atas itu sangat
mengerikan. Dia memaksakan matanya untuk tidak melihatnya. Lakukan sesuatu! Dia
bertanya-tanya ke mana Olivetti. Apakah Olivetti sudah melihat pembunuh itu" Apa
dia sudah tertangkap" Ke mana mereka sekarang" Vittoria bergerak ke depan untuk
membantu Langdon, tetapi ketika itu ada suara yang menghentikannya.
Suara gemertak api tiba-tiba menjadi lebih keras, tetapi ada suara kedua yang
lebih keras lagi. Sebuah getaran dari benda logam dan berada tidak jauh dari
dirinya. Bunyi yang berulangulang itu sepertinya berasal dari ujung deretan
bangku di sebelah kirinya. Suara itu berderak-derak seperti bunyi telepon, tapi
lebih keras dan tajam. Dia mencengkeram pistolnya eraterat dan bergerak ke arah
datangnya suara. Suara itu semakin keras. Hilang dan timbul seperti gelombang
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang naik turun. Ketika Vittoria mendekati ujung gang, dia merasa suara itu berasal dari lantai
di sekitar ujung deretan bangku. Ketika dia bergerak maju dengan pistol teracung
di tangan kanannya, Vittoria sadar kalau dia juga memegang sesuatu di tangan
kirinya: ponselnya. Dalam kepanikan yang dirasakannya, Vittoria lupa ketika di
luar tadi dia menggunakannya untuk menelepon sang komandan ... dalam mode diam,
getaran yang muncul dari ponsel itu berfungsi sebagai peringatan. Vittoria
mengangkat ponselnya ke telinganya. Masih berdering. Sang komandan tidak pernah
menjawab teleponnya. Tiba-tiba, dengan ketakutan yang semakin meningkat,
Vittoria tahu apa yang menimbulkan suara itu. Dia melangkah maju dengan tubuh
gemetar. Dia merasa seluruh lantai gereja itu tenggelam di bawah kakinya ketika matanya
menangkap sosok tak bergerak di atas lantai. Tidak ada darah yang keluar dari
tubuh itu. Tidak ada daging yang ditato dengan kejam. Yang ada hanya kepala sang
komandan dengan posisi yang mengerikan ... diputar ke belakang, melintir 180
derajat ke arah yang salah. Vittoria berusaha mengusir bayangan jasad ayahnya
yang juga mati dengan cara yang menyedihkan.
Ponsel yang tergantung di ikat pinggang Komandan Olivetti tergeletak di atas
lantai dan terus bergetar di lantai pualam yang dingin. Ketika Vittoria
mematikan ponselnya, dering itu pun berhenti. Di dalam kesunyian, Vittoria
mendengar suara baru. Suara napas dari balik kegelapan di belakangnya.
Dia mulai berputar dengan pistol teracung, tetapi dia tahu itu sudah terlambat.
Rasa panas seperti menyeruak dari bagian atas kepalanya dan menjalar sampai ke
ujung kaki ketika siku si pembunuh menghantam bagian belakang lehernya.
"Sekarang, kamu milikku," suara itu berkata. Kemudian semuanya menjadi gelap.
Di ruang suci yang terletak di sisi kiri dinding gereja, Langdon menyeimbangkan
diri di atas bangku kayu dan berusaha meraih kaitan itu. Kabel itu masih berada
enam kaki di atas kepalanya. Paku seperti itu biasa berada di dalam gereja, dan
diletakkan tinggi untuk menghindari perusakan. Langdon tahu para pastor
menggunakan tangga kayu yang disebut piumli untuk mencapai kaitan tersebut
Pembunuh itu pasti telah menggunakan tangga gereja itu untuk mengerek korbannya.
Jadi, di mana sekarang tangga itu! Langdon melihat ke bawah, dan mengamati
lantai di sekitarnya. Dia samar-samar teringat kalau melihat sebuah tangga di
suatu tempat di dalam ruangan ini. Tetapi di mana" Sesaat kemudian dia merasa
sangat kecewa. Dia sadar di mana dia tadi melihat tangga itu. Dia berpaling ke
arah api unggun yang berkobarkobar di depannya. Jelas sekali, tangga kayu itu
berada di tumpukan paling atas, dan sudah tertelan oleh api.
Dengan perasaan putus asa, Langdon lalu mengamati seluruh ruang gereja dari
pijakannya yang sekarang lebih tinggi dan mencari apa saja yang dapat digunakan
untuk meraih kaitan logam itu. Ketika matanya mencari-cari dalam ruangan gereja,
tiba-tiba dia ingat sesuatu. Ke mana Vittoria" Vittoria menghilang. Apakah dia
pergi mencari bantuan" Langdon berteriak memanggilnya, tetapi tidak ada jawaban.
Dan di mana Olivetti"
Terdengar teriakan kesakitan dari atas, dan Langdon merasa dirinya sudah
terlambat. Ketika matanya memandang lagi ke atas dan melihat korban yang sedang
terpanggang perlahanlahan, Langdon hanya ingat satu hal. Air. Yang banyak.
Padamkan api itu. Setidaknya kurangi jilatan apinya. "Aku butuh air, sialan!"
dia berteriak keras. "Itu yang berikutnya," sebuah suara menggeram dari bagian belakang gereja.
Langdon berputar, hampir jatuh dari atas bangku gereja. Berjalan di antara
barisan bangku dan langsung menuju ke arahnya, muncul sesosok lelaki menyeramkan
dan berkulit gelap. Bahkan dalam kilatan nyala api yang berkobar-kobar
sekalipun, matanya masih terlihat begitu hitam. Langdon mengenali pistol yang
ada di tangan lelaki itu sebagai pistol yang tadinya berada di saku jasnya ...
pistol yang dibawa Vittoria ketika mereka masuk ke dalam gereja.
Kepanikan yang tiba-tiba menyerangnya adalah ketakutan yang luar biasa. Naluri
pertamanya adalah keselamatan Vittoria. Apa yang telah dilakukan bajingan ini
padanya" Apakah dia terluka" Atau lebih buruk lagi" Pada saat itu juga, Langdon
mendengar orang di atasnya berteriak dengan lebih keras. Kardinal itu akan mati.
Tidak mungkin untuk menolongnya sekarang. Kemudian ketika si Hassassin
menodongkan pistolnya ke arah dada Langdon, kepanikannya berubah menjadi
kesiagaan. Ketika pistol itu meledak, dia bereaksi menurut nalurinya. Langdon
menjatuhkan diri, lengannya menimpa bangku-bangku. Dia merasa seperti berenang
di lautan bangkubangku gereja.
Ketika dia jatuh menimpa bangku-bangku itu, dia jatuh lebih keras dari yang
diduganya. Dengan segera Langdon bergulingan ke lantai. Pualam menerima tubuhnya
seperti bantalan dari besi dingin. Langkah kaki mendekati tubuhnya dari sebelah
kanan. Langdon memutar tubuhnya ke arah pintu depan gereja dan mulai merangkak
di bawah bangku-bangku gereja semampunya untuk menyelamatkan nyawanya. Tinggi di
atas lantai kapel, Kardinal Guidera mengalami siksaan terakhirnya dalam keadaan
setengah sadar. Ketika dia melihat ke bawah, ke sekujur tubuhnya yang tanpa
busana, dia melihat kulit kakinya melepuh dan mulai terkelupas. Aku di neraka,
pikirnya. Tuhan, mengapa Kau abaikan aku" Dia tahu ini pasti neraka ketika dia
melihat cap di atas dadanya dengan posisi terbalik ... entah kenapa, seolah-olah
disebabkan oleh kekuatan setan, tulisan itu terlihat sangat masuk akal sekarang.
92 PEMILIHAN SUARA KETIGA. Belum ada paus yang terpilih.
Di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati mulai berdoa memohon keajaiban.
Kirimkan pada kami calon-calon terpilih itu! Penundaan ini telah berjalan
terlalu lama. Kalau hanya satu orang kardinal yang hilang, Mortati masih bisa
memahaminya. Tetapi bagaimana mungkin bisa empat kardinal pilihan hilang tak
tentu rimbanya" Mereka kini tidak mempunyai pilihan lagi. Dalam situasi seperti
ini, untuk meraih suara mayoritas dengan dukungan dua pertiga dari semua
kardinal yang hadir hanya bisa terjadi dengan campur tangan Tuhan.
Ketika kunci pintu mulai berderak terbuka, Mortati dan seluruh Dewan Kardinal
memutar tubuh mereka bersamaan ke arah pintu masuk. Mortati tahu, pintu yang
terbuka itu hanya memiliki satu arti. Menurut hukum, pintu itu hanya dapat
terbuka karena dua alasan: untuk mengeluarkan kardinal yang sakit keras, atau
menerima para kardinal yang datang terlambat. Preferiti itu datang! Harapan
Mortati membubung tinggi. Rapat pemilihan paus
berhasil diselamatkan. Tetapi ketika pintu itu terbuka, suara yang menggema
bukanlah suara kegembiraan. Mortati menatap dengan sangat terkejut. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah, seorang camerlegno baru saja melanggar aturan
suci rapat pemilihan paus setelah mengunci pintu. Apa yang dipikirkannya!
Sang camerlegno berjalan ke altar dan berpaling untuk berbicara kepada para
hadirin yang masih terkejut. "Signori," katanya. "Saya sudah menunda kabar ini
semampu saya. Kini, Anda berhak untuk mengetahuinya."
93 LANGDON TIDAK TAHU ke mana dirinya menuju. Gerak refleks adalah satu-satunya
kompas yang dimilikinya untuk membawanya menjauh dari bahaya. Siku dan lututnya
seperti terbakar ketika dia merangkak di bawah bangku-bangku gereja itu. Namun
dia terus merangkak. Firasatnya mengatakan dia harus membelok ke kiri. Kalau
kamu dapat mencapai gang utama, kamu bisa berlari ke pintu keluar. Tapi dia tahu
itu tidak mungkin. Ada lautan api yang menghalangi gang utama! Otaknya memilahmilah berbagai pilihan untuk keluar dengan cepat. Langdon masih terus merangkak
tanpa mengetahui arah dengan pasti. Sekarang suara langkah kaki itu terdengar
lebih cepat dari arah sebelah kanan.
Ketika hal itu terjadi, Langdon tidak siap. Dia pikir masih ada barisan bangku
sejauh sepuluh kaki lagi sampai dia menemukan pintu depan gereja. Ternyata
dugaannya salah. Tiba-tiba, bangku-bangku di atasnya telah habis. Dia langsung
membeku karena tubuhnya setengah terlihat di bagian depan ruang gereja itu.
Langdon berdiri dan berbelok ke sebuah ceruk yang berada di sisi kirinya. Dari
tempat persembunyiannya, Langdon melihat benda besar yang membuatnya berlari ke
situ untuk bersembunyi. Dia sama sekali lupa. The Ectasy of St. Teresa karya Bernini menjulang seperti
gambar pornografi yang tidak bergerak ... orang suci itu berbaring terlentang
dengan punggung melengkung karena kenikmatan yang dirasakannya, mulutnya
mengerang terbuka, dan di atasnya, sesosok malaikat mengarahkan tombak apinya.
Sebutir peluru meletus di bangku dan melewati kepala Langdon. Dia merasa
tubuhnya melenting seperti pelari cepat melintasi gawang. Seperti diberi bahan
bakar yang hanya berupa adrenalin, Langdon dengan setengah tidak sadar tiba-tiba
berlari, membungkuk dengan kepala tertekuk ke bawah, menghambur ke bagian depan
ruang gereja lalu membelok ke kanan. Ketika butiran peluru itu meletus di
belakangnya, Langdon membungkuk lebih dalam lagi, dan meluncur tak terkendali di
atas lantai pualam dan akhirnya menabrak pagar sebuah ceruk di dinding sebelah
kanannya dengan keras. Ketika itu Langdon melihat Vittoria. Perempuan itu terkulai seperti sebuah
tumpukan di belakang gereja. Vittoria! Kaki telanjangnya tertekuk di bawah
tubuhnya, tetapi Langdon masih melihatnya bernapas. Sayangnya, dia tidak punya
waktu untuk menolongnya. Tanpa basa-basi, si pembunuh segera memutari deretan bangku di ujung sebelah
kiri ruang gereja itu dan mengejarnya tanpa ampun. Pada saat itu Langdon merasa
yakin kalau inilah akhir hidupnya. Pembunuh itu lalu membidikkan pistolnya, dan
Langdon hanya dapat melakukan satu hal. Dia berguling melewati pagar dan
memasuki ceruk itu. Ketika dia menumbuk lantai di dalam ceruk, pilar yang
terbuat dari pualam meledak karena dihantam peluru.
Langdon merasa seperti seekor hewan yang tersudut ketika dia merangkak di dalam
ruangan kecil berbentuk setengah lingkaran itu. Di depannya, satu-satunya isi
dari ceruk itu terlihat sungguh ironis di matanya - sebuah peti mati dari batu.
Mungkin inilah peti matiku, kata Langdon dalam hati. Peti mati
itu terlihat cocok. Peti itu adalah sebuah scatola - kotak pualam kecil tanpa
hiasan. Pemakaman dengan biaya minim. Peti mati itu terletak lebih tinggi dari lantai
dengan dua balok pualam yang menyangga sisi-sisinya. Langdon melihat celah di
bawah peti tersebut dan bertanya-tanya apakah dia dapat menyelinap masuk ke
dalamnya. Suara langkah kaki bergema di belakangnya. Tanpa memiliki pilihan
lain, Langdon merapatkan tubuhnya pada lantai dan merayap ke bawah peti mati
itu. Sambil berpegangan pada dua balok pualam yang menyangga peti mati itu
dengan kedua tangannya, Langdon bergerak seperti seorang perenang gaya dada, dan
mendorong tubuhnya memasuki ruangan di bawah peti mati itu. Suara letusan pistol
terdengar lagi. Bersamaan dengan senjata yang masih memuntahkan pelurunya dengan ganas, Langdon
merasakan sebuah sensasi yang belum pernah dirasakannya seumur hidupnya ...
sebutir peluru menyerempet tubuhnya. Dia mendengar suara desing angin dan
seperti suara ledakan cambuk; peluru itu menerjang angin dan menghantam pualam
sehingga menimbulkan debu tebal. Didorong oleh insting untuk bertahan hidup,
Langdon mendorong tubuhnya dan melewati bagian bawah peti mati itu. Sambil
meraba-raba di lantai pualam, Langdon menarik tubuhnya agar keluar dari peti
mati di belakangnya dan bertemu dengan sisi lain dari ruangan itu. Buntu. Kini
Langdon berhadapan dengan dinding belakang ceruk itu. Tidak diragukan lagi,
ruangan kecil di belakang makam ini akan menjadi kuburannya. Begitu cepat,
katanya dalam hati ketika dia melihat laras pistol muncul dari celah di bawah
peti mati tadi. Si Hassassin membidikkan senjatanya ke arah tubuh Langdon dan
mengarah ke perutnya. Tidak mungkin luput. Langdon masih merasakan sisa-sisa
insting untuk mempertahankan diri di dalam alam bawah sadarnya. Dia memutar
tubuhnya agar sejajar dengan peti mati. Dengan wajah menghadap ke bawah, dia
meletakkan tangannya di lantai. Luka akibat pecahan kaca yang dideritanya di
ruang arsip seperti terbuka kembali. Sambil mengabaikan sakit yang dirasakannya,
Langdon terus mendorong dan mengangkat tubuhnya seperti push-up dengan gaya yang
aneh. Langdon mengangkat perutnya tepat sebelum pistol yang memburunya itu
menembakinya. Dia merasakan desiran angin ketika peluru yang ditembakkan si
Hassassin meluncur di bawahnya dan menghancurkan bebatuan berpori-pori di
belakangnya. Sambil menutup matanya dan berusaha melawan rasa letih yang
dideritanya, Langdon berharap rentetan tembakan itu berhenti. Dan doanya
terjawab. Gemuruh suara tembakan diganti dengan suara "klik" dari
tempat peluru yang sudah kosong. Langdon membuka matanya perlahan-lahan, seakan
takut gerakan kelopak matanya dapat menimbulkan suara. Dengan melawan rasa
sakitnya, dia menahan posisi tubuhnya yang melengkung seperti kucing. Untuk
bernapas pun dia tidak berani. Walau gendang telinganya terasa tuli karena suara
letusan peluru, Langdon berusaha mendengarkan tanda-tanda apa saja yang
menunjukkan bahwa pembunuh itu sudah pergi. Sunyi. Dia ingat Vittoria dan sangat
ingin menolongnya. Ternyata suara selanjutnya sangat memekakkan telinganya. Hampir tidak seperti
suara manusia, terdengar teriakan serak dari pengerahan tenaga.
Peti mati batu di atas kepala Langdon tiba-tiba seperti terangkat bagian
sampingnya. Langdon terjatuh ke lantai ketika ratusan pon batu diungkit ke
arahnya. Daya tarik bumi mempercepat pergerakan itu, dan tutup peti mati batu
itu meluncur lebih dulu ke lantai di samping Langdon. Peti matinya menyusul,
berguling dari penyangganya dan runtuh ke arah Langdon.
Ketika kotak batu itu berguling, Langdon tahu dia akan terkubur di dalam kotak
batu itu atau tergencet oleh sisinya. Sambil menarik kaki dan kepalanya, Langdon
menekuk tubuhnya dan merapatkan lengannya ke tubuhnya. Kemudian dia menutup
matanya dan menunggu suara hantaman yang menyakitkan itu.
Ketika itu terjadi, seluruh lantai bergetar di bawahnya. Sisi teratas peti itu
mendarat hanya beberapa milimeter dari kepalanya sehingga membuat giginya
bergemertak. Lengan kanannya yang semula diduga akan tergencet, ajaibnya
ternyata masih utuh. Dia membuka matanya untuk melihat seberkas cahaya. Sisi
kanan peti batu itu tidak jatuh bersamaan ke lantai dan masih tertahan di atas
penyangganya. Di atasnya, Langdon betul-betul melihat seraut wajah mayat.
Penghuni asli makam itu masih menempel di dasar peti matinya seperti jenazah
pada umumnya, tapi kini dia tertahan di atas tubuh Langdon. Kerangka itu
bergantungan sesaat seperti ragu-ragu. Kemudian dengan suara merekah, kerangka
itu mulai terlepas dari dasar peti matinya karena ditarik oleh gravitasi.
Mayat itu jatuh dan memeluk Langdon yang berada di bawahnya. Sementara itu
serpihan tulang-belulang dan debu masuk ke mata dan mulutnya.
Sebelum Langdon dapat bereaksi, sebuah lengan masuk dari celah di bawah peti
mati itu dan meraba-raba, terjulur dari mayat itu seperti ular piton yang
kelaparan. Begitu tangan itu menemukan leher Langdon, dia lalu mencengkeramnya
dengan erat. Langdon berusaha melawan cekikan tangan sekeras besi yang sekarang
meremas kerongkongannya dengan keras, tapi dia kemudian menyadari lengan bajunya
terjepit di bawah sisi peti mati. Dia hanya memiliki satu tangan yang bebas dan
ini adalah pertempuran yang tidak mungkin dimenangkannya.
Dengan kaki tertekuk di dalam ruang sempit itu, Langdon berusaha mencari pijakan
di dasar peti mati yang melingkupinya. Dia menemukannya. Sambil bergelung, dia
menjejakkan kakinya. Kemudian, ketika tangan yang berada di lehernya itu meremas
lebih keras lagi, Langdon menutup matanya dan mendorong pijakannya dengan
Anak Rajawali 11 Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin Jaka Lola 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama