Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Bagian 7
itu. Tapi kita kehilangan banyak industri dasar kepada
Jepang. Itulah perbedaan sesungguhnya, dan itulah alasan
kenapa kita harus prihatin. "
Ia menambahkan, "Di samping itu, jika kita hendak
membeli perusahaan Belanda atau Inggris, tidak ada yang
menghalangi. Tapi kita tidak bisa membeli perusahaan
Jepang." Wawancara dilanjutkan kembali, tapi tak seorang pun
mengajukan pertanyaan mengenai MicroCon. Jadi Morton
mengarahkan para wartawan. Ketika menjawab sebuah
pertanyaan, ia berkata, "Orang Amerika seharusnya dapat
mengkritik Jepang tanpa dituduh sebagai penganut
rasialisme atau tukang fitnah. Setiap negara mengalami
konflik dengan negara lain. Itu tak dapat dihindari.
Konflik-konflik kita dengan Jepang seharusnya dibahas
secara terbuka, tanpa komentar-komentar bernada
sumbang. Sikap saya yang menentang penjualan MicroCon
dianggap berlatar belakang rasial, tapi itu tidak benar."
Akhirnya salah satu wartawan bertanya mengenai
penjualan MicroCon. Morton berpikir sejenak, lalu
mencondongkan badan ke depan. "Seperti yang Anda
ketahui, George, sejak awal saya sudah menentang
penjualan MicroCon. Dan sampai sekarang saya belum
berubah pendirian. Sudah waktunya orang Amerika
mengambil langkah untuk mengamankan aset-aset negeri
ini. Aset aset riil, aset-aset keuangan, dan aset-aset intelektual. Penjualan MicroCon bukan langkah yang bijaksana.
Dan saya tetap menentangnya. Karena itu, dengan gembira
saya memberitahu Anda bahwa saya baru saja mendapat
laporan mengenai perkembangan terakhir. Akai Ceramics
ternyata menarik tawarannya untuk membeli MicroCon
Corporation. Saya pikir ini pemecahan terbaik. Akai patut
dipuji atas pengertian yang mereka tunjukkan. Rencana
penjualan itu batal. Dan saya sangat gembira."
Aku berkata, "Apa" Tawaran mereka ditarik kembali?"
Connor berkata, "Kelihatannya mereka tidak punya
pilihan lain sekarang."
Morton tampak cerah menjelang akhir wawancara itu.
"Karena saya dianggap terlampau kritis terhadap Jepang,
barangkali saya bisa diberi kesempatan untuk mengemukakan kekaguman saya. Orang Jepang mempunyai sisi yang menyenangkan, dan sisi itu muncul di
tempat-tempat yang paling tak terduga.
"Anda mungkin sudah tahu bahwa para biksu Zen
dituntut menulis sajak menjelang ajal. Itu merupakan salah
satu bentuk seni tradisional, dan sajak-sajak yang paling
terkenal masih dikutip sampai ratusan tahun kemudian.
Jadi, Anda bisa membayangkan bahwa seorang roshi Zen
berada di bawah tekanan besar pada saat ia menyadari
bahwa ajalnya sudah dekat, dan semua orang menunggu
mahakarya yang akan dibuatnya. Selama berbulan-bulan,
hanya itu yang dipikirkannya. Tapi sajak favorit saya adalah
karya seorang biksu yang lelah menghadapi segala tekanan.
Silakan Anda simak."
Dan kemudian ia membacakan sajak itu.
Hidup dan mati, Hal biasa. Mengenai sajak, Mengapa gelisah" Semua wartawan mulai tertawa. "Jadi, sebaiknya kita
jangan terlampau serius dalam menanggapi masalah Jepang
ini," ujar Morton. "Itu satu hal lagi yang bisa kita peIajari dari mereka."
Pada akhir wawancara, Morton bersalaman dengan
ketiga wartawan, lalu bangkit dari kursinya. Aku melihat
Ishiguro, yang baru tiba di studio. Wajahnya merah padam.
Ia mengisap udara lewat sela-sela gigi dengan gaya Jepang.
Morton berkata dengan riang, "Ah, Ishiguro-san.
Rupanya berita ini sudah sampai ke telinga Anda." Dan ia
menepuk punggung orang Jepang itu keras-keras.
Ishiguro melotot. "Saya sangat kecewa, Senator. Mulai
saat ini Anda menghadapi masalah besar." Kelihatan jelas
bahwa ia marah sekali. "Hei," ujar Morton. "Tahi kucing."
"Kita sudah sepakat," desis Ishiguro.
"Ya, memang," kata Morton. "Dan Anda melalaikan
kewajiban Anda, bukan begitu?"
Senator Morton menghampiri kami dan berkata, "Anda
tentu menginginkan pernyataan dari saya. Saya bersihkan
makeup ini dulu, dan setelah iti kita bisa berangkat."
"Baiklah," ujar Connor.
Morton melangkah pergi, menuju ruang rias.
Ishiguro berpaling pada Connor dan berkata "Totemo
taihenna koto ni narimashita ne."
Connor menjawab, "Saya sependapat. Ini memang sulit."
Ishiguro berkata dengan nada mengancam, "Korban
akan berjatuhan." "Dan Anda korban pertama," balas Connor. " So omowa
nakai. " Morton berjalan ke arah tangga yang menuju lantai dua.
Woodson menghampirinya dan membisikkan sesuatu.
Morton merangkul pembantunya, dan sejenak mereka
berjalan seperti itu. Kemudian ia naik tangga.
Ishiguro berkata dengan suram, "Konna hazuja nakatta
no ni." Connor mengangkat bahu. "Rasanya saya tidak bisa
bersimpati pada Anda. Anda mencoba melanggar
undang-undang yang berlaku di negeri ini, dan sekarang
akan ada masalah besar Eraikoto ni naruyo, Ishiguro-san."
"Kita lihat saja, Kapten."
Ishiguro berbalik dan menatap Eddie dengan dingin.
Eddie mengangkat bahu dan berkata, "Hei, aku tidak punya
masalah! Kau tahu maksudku, Compadre" Kau yang punya
masalah sekarang." Dan ia tertawa.
Seorang laki-laki pendek gemuk dengan headset di
kepala menghampiri kami. "Apakah salah satu dari Anda
Letnan Smith?" Aku memperkenalkan diri. "Ada telepon untuk Anda dan seseorang bernama Miss
Asakuma. Anda bisa menerimanya di sini." Ia menunjuk ke
tempat wawancara tadi. Sofa dan kursi malas, di depan foto
L.A. di pagi hari. Aku melihat pesawat telepon
berkedap-kedip di samping salah satu kursi.
Aku berjalan ke sana, duduk, dan mengangkat gagang.
"Letnan Smith."
"Hai, ini Theresa," katanya. Aku suka cara ia
menyebutkan namanya. "Begini, saya telah menonton
bagian akhir rekaman itu. Bagian paling akhir. Dan saya
rasa ada masalah." "Oh" Masalah apa?" Aku tidak memberitahunya bahwa
Morton telah mengaku. Aku memandang ke seberang
studio. Morton telah sampai di atas; ia tidak kelihatan lagi.
Woodson, pembantunya, berjalan mondar-mandir di kaki
tangga, pucat, putus asa. Dengan gelisah ia memegang-megang ikat pinggangnya.
Kemudian aku mendengar Connor berkata, "Ah, sialan!"
dan ia langsung melesat, berlari melintasi studio, ke arah
tangga. Aku berdiri, terkejut, melepaskan gagang telepon,
dan mengikutinya. Ketika Connor lewat di depan Woodson,
ia berkata, "Bangsat," dan kemudian ia menaiki dua anak
tangga dengan setiap langkah, bergegas ke atas. Aku berada
tepat di belakangnya. Aku mendengar Woodson mengatakan sesuatu seperti, "Saya terpaksa."
Waktu kami sampai di selasar di lantai dua, Connor
berseru, "Senator!" Saat itulah kami mendengar letusannya.
Tidak keras, seperti kursi yang terbalik.
Tapi aku tahu bahwa itu letusan pistol.
MALAM KEDUA Bab 50 MATAHARI sedang terbenam di sekitei. Bayangan
batu-batu mengikuti kontur gundukan-gundukan pasir
yang dibentuk menjadi beberapa lingkaran konsentris.
Connor ada di suatu tempat di dalam, masih menonton TV.
Samar-samar aku mendengar suara si pembaca berita. Di
sebuah kuil Zen tentu ada pesawat TV. Lambat laun aku
mulai terbiasa dengan kontradiksi-kontradiksi seperti ini.
Tapi aku tidak berminat lagi nonton TV. Dalam satu jam
terakhir aku belajar cukup banyak untuk mengetahui
bagaimana pihak media akan menangani urusan ini.
Senator Morton mengalami stres berat belakangan ini. Ia
menghadapi banyak masalah keluarga; baru-baru ini
putranya ditangkap karena mengemudi dalam keadaan
mabuk, menyusul kecelakaan yang mengakibatkan seorang
remaja lain mengalami cedera serius. Dan putrinya
dikabarkan menjalani aborsi. Mrs. Morton tidak dapat
dimintai keterangan, walaupun para wartawan berkerumun di depan rumah keluarga Morton di Arlington.
Para anggota staf Senator Morton sependapat bahwa
atasan mereka berada di bawah tekanan besar akhir-akhir
ini, karena berusaha menyeimbangkan kehidupan keluarga
dengan pencalonannya yang akan datang. Sikap Senator
Morton tidak seperti biasanya; ia murung dan menutup
diri, dan menurut salah satu anggota staf, "Sepertinya dia
dihantui masalah pribadi."
Meski tak seorang pun meragukan kemampuan Senator
Morton, seorang rekannya, Senator Dowling, berkata
bahwa Morton, "...menjadi agak fanatik mengenai Jepang,
yang mungkin merupakan indikasi stres yang dialaminya.
John rupanya tak percaya bahwa kemungkinan penyesuaian diri dengan Jepang masih terbuka, padahal
kita tahu bahwa semua pihak harus saling menyesuaikan
diri. Hubungan antara Amerika dan Jepang kini sudah
terlampau erat. Sayangnya, kita semua tidak sempat
menyadari tekanan yang dialami John. John Morton
merupakan pribadi yang tertutup."
Aku duduk dan mengamati batu-batu di taman berubah
warna menjadi keemasan, lalu merah. Seorang biksu Zen
asal Amerika bernama Bill Harris keluar dan menanyakan
apakah aku mau minum teh, atau Coke mungkin. Kubilang
tidak. Ia pergi. Ketika menoleh ke dalam, aku melihat
cahaya biru berkedap-kedip dari pesawat TV. Connor tidak
kelihatan. Aku kembali mengamati batu-batu di taman.
Tembakan pertama belum merenggut nyawa Senator
Morton. Pada waktu kami mendobrak pintu kamar mandi,
darah bercucuran dari luka di lehernya. Ia terhuyung-huyung ketika berusaha bangkit. Connor
berseru, "Jangan!" tepat ketika Morton memasukkan pistol
ke dalam mulut dan kembali menarik pelatuk. Tembakan
ini fatal. Pistolnya terpental dan meluncur di lantai kamar
mandi, lalu berhenti di dekat sepatuku. Darah segar membasahi dinding. Kemudian orang-orang mulai kalang kabut. Aku berbalik
dan melihat si juru rias berdiri di ambang pintu. Wanita
muda itu menutupi wajah dengan kedua tangan dan
menjerit-jerit tak terkendali. Ketika para paramedis tiba,
mereka memberikan suntikan penenang kepadanya.
Connor dan aku tetap di tempat, sampai Divisi mengirim
Bob Kaplan dan Tony Marsh. Mereka ditugaskan
menangani kasus itu, dan kami tidak diperlukan lagi. Aku
memberitahu bahwa Connor dan aku siap memberi
keterangan kapan saja, dan kemudian kami pergi. Baru saat
itu aku menyadari bahwa Ishiguro telah menghilang. Begitu
juga Eddie Sakamura. Hal itu mengusik Connor. "Brengsek," katanya. "Mana
Eddie?" "Apa pengaruhnya?" kataku.
"Ada masalah dengan Eddie," ujar Connor.
"Masalah apa?" "Anda tidak memperhatikan sikapnya di depan Ishiguro"
Dia tampak amat percaya diri," Connor berkata. " Terlalu
percaya diri. Seharusnya dia gemetar ketakutan."
Aku mengangkat bahu. "Anda sendiri yang bilang bahwa
Eddie agak sinting. Siapa yang bisa menjelaskan tingkah
lakunya?" Aku sudah lelah menghadapi kasus itu, dan
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bosan menghadapi naluri Jepang yang selalu diandalkan
Connor. Aku berkata bahwa aku menduga Eddie telah
pulang ke Jepang. Atau ke Meksiko, seperti yang pernah
disinggungnya. "Moga-moga saja dugaan Anda benar," ujar Connor.
Ia mengajakku ke pintu belakang stasiun TV.
Connor berkata bahwa ia ingin pergi sebelum pers
datang. Kami masuk ke mobil dan langsung berangkat. Ia
mengarahkanku ke sebuah pusat Zen. Dan sejak itu kami
berada di sana. Aku menelepon Lauren di kantornya, tapi ia
sedang keluar. Aku mencoba menghubungi Theresa di lab,
tapi teleponnya sedang dipakai. Aku menelepon ke rumah.
Elaine memberitahuku bahwa Michelle baik-baik saja,
dan bahwa para wartawan telah pergi. Ia bertanya apakah
ia perlu tinggal lebih lama dan menyiapkan makan malam
untuk Michelle. Kubilang ya, dan menambahkan bahwa aku
mungkin akan pulang larut malam.
Dan kemudian, selama satu jam berikut, aku menonton
TV. Sampai aku tidak tahan lagi.
Hari sudah hampir gelap. Pasir di taman tampak ungu
keabu-abuan. Seluruh badanku terasa kaku karena duduk
terlalu lama,, dan udara semakin dingin. Pager-ku berbunyi.
Panggilan dari markas. Atau mungkin dari Theresa Aku
berdiri dan melangkah masuk.
Di layar TV, Senator Stephen Rowe sedang menyampaikan ucapan belasungkawa untuk keluarga yang
tertimpa musibah, dan menielaskan bahwa Senator Morton
mengalami stres berlebihan. Senator Rowe juga mengungkapkan bahwa tawaran dari Akai belum ditarik
kembali. Sepanjang pengetahuan Rowe, rencana penjualan
MicroCon terus berjalan seperti semula, dan ia
memperkirakan takkan ada hambatan serius.
"Hmm," gumam Connor.
"Penjualan itu tidak jadi dibatalkan?"
"Rupanya memang tak pernah ada pembatalan." Connor
tampak cemas. "Anda tidak setuju dengan penjualan itu?"
Saya khawatir mengenai Eddie. Ia terlalu congkak tadi.
Yang menjadi pertanyaan adalah langkah yang akan
diambil Ishiguro." "Apa pengaruhnya?" Aku benar-benar lelah. Cheryl
Austin telah mati, Morton telah mati, dan MicroCon tetap
dijual kepada Akai. Connor menggelengkan kepala. "Ingat apa yang
dipertaruhkan di sini," katanya. "Taruhannya besar sekali.
Ishiguro tidak akan ambil pusing mengenai pembunuhan
sepele, atau bahkan mengenai pembelian perusahaan
high-tech bernilai strategis. Ishiguro memikirkan reputasi
Nakamoto di Amerika. Nakamoto telah merambah ke
seluruh Amerika dan berniat memperluas jaringannya.
Eddie bisa merusak reputasi mereka."
"Bagaimana caranya?"
Ia menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu pasti."
Pager-ku kembali berbunyi. Aku menelepon ke markas.
Teleponku diterima oleh Frank Ellis, petugas piket malam
hari. "Hei, Pete," katanya. "Kami terima telepon untuk Special
Services. Dan Sersan Matlovsky. Dia di tempat
penampungan kendaraan. Ada masalah bahasa."
"Ada apa?" "Dia bilang, ada lima warga Jepang di sana. Mereka
berkeras untuk memeriksa bangkai mobil itu."
Aku mengerutkan kening. "Bangkai mobil mana?"
"Ferrari yang menabrak dinding pemisah waktu sedang
kejar-kejar. Mobil itu hancur sama sekali, ringsek akibat
benturan, lalu terbakar habis. Mayat pengemudinya
dikeluarkan dengan peralatan las oleh tim VHDV tadi pagi.
Tapi orang-orang Jepang itu tetap berkeras ingin
memeriksanya. Matlovsky sudah mempelajari berkas-berkas yang ada, tapi dia tidak tahu apakah dia bisa
mengizinkan mereka. Dia takut mobil itu dipakai sebagai
barang bukti dalam penyidikan yang sedang berjalan. Dan
dia tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang Jepang
itu. Salah satu dari mereka mengaku kerabat si pengemudi.
Nah, kau bisa ke sana untuk menangani masalah ini?"
Aku menghela napas. "Malam ini giliranku lagi. Semalam
aku sudah bertugas."
" Well, namamu tercantum di daftar. Kelihatannya kau
bertukar waktu dengan Allen."
Samar-samar kuingat bahwa aku memang bertukar
waktu dengan Allen, supaya ia bisa mengajak anaknya
menonton pertandingan hoki es. Baru minggu lalu kami
membicarakannya, tapi rasanya sudah lama sekali.
"Oke," ujarku, "biar kuurus nanti."
Aku kembali untuk memberitahu Connor bahwa aku
harus pergi. Ia mendengarkan ceritaku dan tiba-tiba
melompat berdiri. "Tentu saja! Kenapa itu tidak terpikir
olehku" Sialan!" Ia mengepalkan tangan. "Kita berangkat,
Kohai." "Kita ke tempat penampungan mobil."
"Penampungan mobil" Tidak sekarang."
"Kalau begitu, ke mana kita sekarang?"
"Oh, brengsek. Betapa bodohnya aku!" katanya. Ia sudah
menuju mobil. Aku mengikutinya. Ketika aku berhenti di depan rumah Eddie Sakamura,
Connor melompat turun dari mobil dan berlari menaiki
tangga. Langit tampak biru tua. Sudah hampir malam.
Connor melewati dua anak tangga dengan setiap
langkah. "Ini salah saya," katanya. "Seharusnya saya
menyadarinya dari awal. Seharusnya saya menangkap
maksudnya." "Menyadari apa?" tanyaku. Aku agak tersengal-sengal
ketika sampai di puncak tangga.
Connor membuka pintu depan. Kami melangkah masuk.
Keadaan di ruang duduk masih sama seperti tadi, ketika
aku berdiri di sini dan berbicara dengan Graham.
Connor segera memeriksa semua ruangan. Di kamar
tidur, sebuah koper tergeletak dalam keadaan terbuka.
Beberapa jas Armani dan Byblos bertebaran di ranjang,
menunggu dimasukkan ke dalam koper. "Dasar bodoh,"
ujar Connor. "Seharusnya dia tidak kembali ke sini."
Lampu kolam renang menyala di luar, memancarkan
riak-riak cahaya berwarna kehijauan ke langit-langit.
Connor melangkah ke luar.
Mayatnya mengapung di air, menghadap ke bawah,
telanjang, di sebuah kolam renang, sebuah siluet gelap yang
dikelilingi cahaya kehijauan. Connor meraih sebuah tongkat
panjang dan mendorong Eddie ke seberang. Kami
menariknya ke tepi kolam yang terbuat dari beton.
Tubuh Eddie telah membiru dan dingin. Kaku.
Sepertinya ia tidak mengalami luka-luka.
"Mereka takkan gegabah," ujar Connor.
"Maksud Anda?" "Mereka takkan meninggalkan jejak mencolok. Tapi saya
yakin kita bisa menemukan bukti." Ia mengeluarkan senter
kecil dan menyorot ke dalam mulut Eddie. Ia memeriksa
puting dan alat kelamin. "Ya. Ini. Anda lihat deretan titik
merah di sini" Di kantong kemaluannya. Dan itu, di sisi
dalam paha." "Jepitan buaya?"
"Ya. Untuk menyambung kumparan listrik. Sialan!" kata
Connor. "Kenapa dia tidak memberitahu saya" Dia punya
kesempatan waktu kita naik mobil dari apartemen Anda ke
stasiun televisi untuk menemui Senator Morton. Seharusnya dia bisa mengatakan sesuatu. Seharusnya dia
berterus terang pada saya."
"Mengenai apa?"
Connor tidak menjawab. Ia sibuk dengan pi.kirannya
sendiri. Ia mendesah. "Anda tahu, pada akhirnya kita tetap
hanya dianggap sebagai gaijin. Orang asing. Bahkan dalam
keadaan apa pun Eddie tidak mau berpaling pada kita.
Pasti..." Ia terdiam, menatap mayat Eddie. Akhirnya ia
mendorongnya ke kolam renang. Eddie kembali terapung.
"Biar orang lain saja yang membuat laporannya," ujar
Connor sambil berdiri. "Tak ada gunanya kalau kita disebut
sebagai orang yang menemukan mayatnya." Ia memperhatikan Eddie mengambang di tengah kolam
renang. Kepala Eddie tertunduk sedikit. Tumitnya bergerak
naik turun di permukaan. "Saya suka dia," ujar Connor. "Dia menolong saya. Saya
bahkan sempat bertemu dengan keluarganya di Jepang.
Dengan beberapa anggota keluarganya. Bukan ayahnya." Ia
mengamati mayat yang sedang berputar pelan-pelan. "Tapi
Eddie anak baik. Dan sekarang, saya ingin tahu kenapa."
Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang dibicarakannya, tapi
aku pun sadar bahwa itu bukan waktu yang baik untuk
bertanya. Connor tampak marah.
"Ayo," katanya akhirnya. "Kita harus bergerak cepat.
Hanya ada beberapa kemungkinan. Dan sekali lagi, kita
terlambat mengantisipasi perkembangan. Tapi saya
bersumpah, saya akan menangkap bajingan busuk itu."
"Bajingan busuk mana?"
"Ishiguro." Bab 51 KAMI kembali ke apartemenku. "Anda beristirahat saja
nialam ini," ujar Connor padaku.
"Saya ikut dengan Anda," kataku.
"Tidak. Urusan ini akan saya selesaikan sendiri, Kohai.
Lebih baik Anda tidak terlibat."
"Terlibat apa?"
Selama beberapa waktu kami berdebat seperti ini.
Connor tidak mau menceritakannya. Akhirnya ia berkata,
"Tanaka pergi ke rumah Eddie semalam, karena kaset video
adegan tersebut berada di tangan Eddie. Dan saya rasa
kaset itu berisi rekaman yang asli."
"Ya." "Dan Tanaka menuntut agar Eddie mengembalikannya.
Karena itu mereka bertengkar. Ketika Anda dan Graham
datang, dan suasana menjadi kacaul balau, Eddie
memberitahu Tanaka bahwa kaset itu ada di Ferrari-nya.
Jadi Tanaka turun ke garasi. Dia panik waktu mellhat polisi,
lalu melarikan diri."
"Oke." "Mula-mula saya menduga kasetnya ikut terbakar dalam
kecelakaan itu." "Ya." "Tapi rupanya tidak. Sebab Eddie takkan berani bersikap
begitu congkak di depan Ishiguro seandainya kaset itu
sudah tidak ada di tangannya. Kaset itu merupakan jaminan
keselamatannya. Eddie menyadarinya. Tapi kelihatannya
dia tidak tahu bahwa Ishiguro bisa demikian kejam."
"Mereka menyiksanya karena kaset itu?"
"Ya. Tapi Eddie mengejutkan mereka. Dia tidak buka
mulut." "Dari mana Anda tabu?"
"Karena," ujar Connor, "kalau dia memberitahu mereka,
takkan ada lima warga Jepang yang berusaha keras untuk
memeriksa bangkai Ferrari itu di tengah malam buta."
"Jadi mereka masih mencari kaset itu?"
"Ya." missing Aku merenungkannya. "Apa yang akan Anda lakukan?" tanyaku.
"Menemukan kaset itu," kata Connor. "Sebab peranannya
sangat penting. Sudah beberapa orang mati karena kaset
itu. Kalau kita bisa menemukan rekaman yang asli..." Ia
menggelengkan kepala. "Ishiguro akan menghadapi
masalah besar. Dan dia memang patut mendapat ganjaran."
ZZZ Aku menepi di depan gedung apartemenku. Seperti yang
dikatakan Elaine tadi, para wartawan sudah pergi. Jalanan
tampak lengang. Gelap. "Saya tetap ingin ikut," aku berkata sekali lagi.
Connor menggelengkan kepala. "Saya sedang cuti tanpa
batas," katanya. "Anda tidak. Anda harus memikirkan uang
pensiun Anda. Dan Anda tak akan mau terlibat dengan apa
yang akan saya akukan malam ini."
"Saya sudah bisa menebaknya," ujarku. "Anda akan
melacak gerak-gerik Eddie sejak semalam. Eddie
meninggalkan rumahnya dan mengunjungi si Rambut
Merah. Mungkin dia juga sempat pergi ke tempat lain."
"Begini," kata Connor. "Saya tidak ingin buang-buang
waktu lebih banyak lagi, Kohai. Saya punya beberapa
koneksi dan beberapa kenalan yang bisa membantu. Itu
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja yang perlu Anda ketahui. Kalau Anda memerlukan
saya, Anda bisa menghubungi saya lewat telepon mobil.
Tapi jangan telepon kalau tidak terpaksa. Sebab saya akan
sibuk." "Tapi..." "Ayo, Kohai. Turun. Nikmatilah malam ini bersama putri
Anda. Anda telah melaksanakan tugas dengan baik, tapi
tugas Anda sudah selesai sekarang."
Akhirnya aku keluar dari mobil.
" Sayonara," kata Connor sambil melambaikan tangan.
Dan kemudian ia mulai melaju.
"Daddy! Daddy!" Michelle berlari menghampiriku
dengan tangan terentang. "Gendong, Daddy!"
Aku mengangkatnya. "Hai, Shelly."
"Daddy, boleh nonton Sleeping Beauty?"
"Nanti dulu. Kau sudah makan malam?"
"Dia makan dua hot dog dan es krim," kata Elaine Ia
sedang mencuci piring di dapur.
"Jeez," kataku. "Kita sudah sepakat bahwa dia jangan diberi junk food lagi. "
"Well, dia cuma mau makan itu," balas Elaine.
Ia tampak lelah. Ia telah menghabiskan satu hari
bersama anak umur dua tahun.
"Daddy, aku boleh nonton Sleeping Beauty?"
"Tunggu dulu, Shelly, Daddy sedang bicara dengan
Elaine. " "Saya sudah membuatkan sup," ujar Elaine, "tapi dia
tidak mau menyentuhnya. Dia minta hot dog."
"Daddy, aku boleh setel saluran Disney?"
"Michelle," kataku.
Elaine berkata, "Saya pikir, dia harus makan sesuatu.
Mungkin dia bingung. Begitu banyak wartawan yang
berkerumun di sini tadi."
"Daddy" Boleh, ya" Sleeping Beauty?" Ia menggeliat-geliut dalam gendonganku. Menepuk-nepuk
wajahku untuk menarik perhatian.
"Oke, Shel." "Sekarang, Daddy?"
"Oke." Aku menurunkannya. Ia berlari ke ruang duduk dan
menyalakan TV, memencet remote control tanpa ragu-ragu.
"Saya rasa dia terlalu banyak nonton TV."
"Semua anak kecil begitu," ujar Elaine sambil
mengangkat bahu. "Daddy?" Aku menyusuinya ke ruang duduk, memasukkan kaset
video, lalu memutarnya- Logo Disney terlihat di layar TV.
"Bukan bagian ini," ujar michelle dengan tidak sabar.
Jadi aku menekan tombol fast-forward samke awal
cerita. Aku melihat halaman-halaman sebuah buku dibalik.
"Yang ini, yang ini," seru Michelle.
Aku memutar rekaman itu dengan kecepatan normal.
Michelle duduk di kursi dan mulai mengisap jempol. Lalu ia
menarik jempolnya keluar dari mulut dan menepuk-nepuk
tempat di sebelahnya. "Sini, Daddy," katanya.
Ia ingin aku menemaninya.
Aku menghela napas, memandang berkeliling. Ruang
dudukku berantakan sekali. Krayon-krayon dan buku-buku
mewarnai bertebaran di lantai. Juga kincir angin yang
dibuatkan Eddie tadi. "Daddy mau beres-beres dulu," kataku. "Di sini saja, di
dekat kamu." Ia kembali mengisap jempol, dan berpaling ke arah TV.
Seluruh perhatiannya terpusat pada gambar di layar kaca.
Aku memasukkan semua krayon ke tempatnya. Aku
memungut buku-buku mewarnai dan mengembalikan
semuanya ke rak. Tiba-tiba aku merasa letih sekali, jadi aku
duduk di lantai, di sebelah Michelle. Di layar, tiga peri - satu
hijau, satu merah, dan satu biru - sedang terbang ke bangsal
singgasana di puri. "Itu Merryweather," ujar Michelle sambil menunjuk.
"Yang biru." Dari dapur, Elaine berkata, "Bagaimana kalau saya
membuatkan sandwich untuk Anda, Letnan?"
"Ya, terima kasih," kataku. Aku hanya ingin duduk
bersama anakku. Aku ingin melupakan semuanya, paling
tidak untuk sementara waktu. Aku bersyukur bahwa
Connor berkeras agar aku tidak ikut. Aku hanya duduk dan
menatap TV. Elaine membawa sandwich berlapis salami dengan daun
selada dan moster. Aku lapar sekali. Elaine melirik layar TV,
menggelengkan kepala, lalu kembali ke dapur. Aku
menghabiskan sandwich, dan Michelle minta diberl juga. Ia
suka salami. Sebenarnya aku ragu-ragu karena ada zat
pengawetnya, tapi mestinya tidak lebih buruk dibandingkan dengan hot dog.
Setelah makan, aku merasa lebih enak. Aku berdirl dan
meneruskan pekerjaanku. Aku memungut kincir angin
mainan dan mulai membongkarnya. Semua bagian
kumasukkan ke dalam tabung karton. Michelle berkata,
"Jangan, jangan!" dengan nada sedih. Kupikir ia tidak mau
aku membongkar kincir anginnya, tapi ternyata bukan itu.
Ia menutup matanya dengan kedua belah tangan. Ia tidak
mau melihat Maleficent, si tukang sihir yang jahat. Aku
melewatkan bagian itu, dan ia kembali tenang. .
Setelah memasukkan semua bagian kincir angin ke
dalam tabung, aku memasang tutup logamnya dan
meletakkan tabung itu di rak paling bawah. Semua mainan
Michelle disimpan di rak paling bawah, supaya ia bisa
mengambilnya sendiri. Tabung itu jatuh ke karpet. Aku memungutnya. Ternyata
ada sesuatu di rak. Sebuah kotak kecil. Aku segera
mengenalinya. Sebuah kaset video delapan milimeter, dengan tulisan
Jepang pada labelnya. Bab 52 ELAINE berkata, "Letnan" Masih ada lagi yang perlu saya
kerjakan?" Ia mengenakan mantel, sudah siap pulang.
"Tunggu sebentar," kataku.
Aku mengangkat gagang telepon dan menghubungi
operator di markas. Aku minta disambungkan dengan
Connor di mobilku. Aku menunggu dengan tidak sabar.
Elaine memandangku. "Sebentar lagi, Elaine," ujarku.
Di layar TV, sang Pangeran sedang berduet dengan
Sleeping Beauty, diiringi kicauan sekawanan burung.
Michelle masih mengisap jempol.
Si operator berkata, "Maaf, tidak ada jawaban dari mobil
Anda." "Oke," kataku, "Apakah Anda punya nomor di mana saya
bisa menghubungi dia?"
Hening sejenak. "Kapten Connor sedang tidak berdinas
aktif." "Saya tahu. Apakah dia meninggalkan nomor telepon?"
"Di sini tidak ada catatan apa-apa, Letnan."
"Saya harus menghubungi dia."
"Tunggu sebentar." Aku mengumpat.
Elaine berdiri di ambang pintu depan. Ia sudah siap
berangkat. Suara si operator terdengar kembali. "Letnan" Menurut
Kapten Ellis, Kapten Connor sudah pergi."
"Pergi?" "Dia datang ke sini beberapa waktu yang lalu, tapi
sekarang dia sudah pergi."
"Maksudnya, dia datang ke markas?"
"Ya, tapi dia sudah pergi. Dia tidak meninggalkan nomor
telepon. Maaf." Aku meletakkan gagang. Untuk apa Connor datang ke
markas" Elairig masih berdiri di ambang pintu. "Letnan?"
Aku berkata, "Sebentar, Elaine."
"Letnan, saya harus..."
"Saya bilang, sebentar."
Aku mulai berjalan mondar-mandir. Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Tiba-tiba saja aku dicekam
ketakutan. Mereka telah membunuh Eddie untuk
mendapatkan kaset itu. Mereka takkan ragu-ragu
membunuh sekali lagi. Aku menatap anakku yang sedang
menonton TV sambil mengisap jempol. Aku berkata kepada
Elaine, "Di mana mobil Anda?"
"Di tempat parkir di basement."
"Oke. Dengar baik-baik. Saya minta Anda mengajak
Michelle dan membawanya ke..."
Telepon berdering. Aku langsung menyambar gagang,
dengan harapan bahwa Connor yang menelepon. "Halo."
"Moshi moshi. Connor-san desu ka?"
"Dia tidak di sini," jawabku. Begitu kata-kata itu keluar
dari mulutku, aku langsung memaki dirl sendiri. Tapi
terlambat, aku telah keseleo lidah.
"Baik, Letnan," kata sebuah suara dengan logat kental.
"Anda menyimpan barang yang kami inginkan, bukan?"
Aku berkata, "Saya tidak tahu maksud Anda."
"Saya pikir Anda tahu, Letnan."
Aku mendengar bunyi mendesis. Orang itu menggunakan telepon mobil. Ia bisa berada di mana saja.
Bisa saja ia berada tepat di depan gedung apartemenku.
Brengsek! Aku berkata, "Siapa ini?"
Tapi aku hanya mendengar nada panggil.
Elaine bertanya, "Ada apa, Letnan?"
Aku bergegas ke jendela. Aku melihat tiga mobil berjejer
di bawah. Lima orang baru saja turun, sosok-sosok gelap di
tengah malam. Bab 53 AKU berusaha tetap tenang. "Elaine," kataku, "saya minta
Anda membawa Michelle ke kamar tidur saya. Bersembunyilah di bawah tempat tidur dan jangan
bersuara apa pun, mengerti?"
"Tidak mau, Daddy!"
"Sekarang, Elaine."
"Jangan, Daddy! Aku mau nonton Sleeping Beauty."
"Nanti saja kamu teruskan lagi." Aku telah mencabut
pistol dan sedang memeriksa tempat peluru.
Elaine membelalakkan mata.
Ia mengangkat Michelle. "Ayo, Sayang."
Michelle menggeliat-geliut. "Jangan, Daddy!"
"Michelle," Ia terdiam, kaget mendengar nada suaraku. Elaine
menggendongnya ke kamar tidur. Aku mengisi tempat
peluru kedua, dan menyelipkannya ke dalam kantong jas.
Aku memadamkan lampu di kamar tidur dan di kamar
Michelle. Kupandangi tempat tidurnya, dan selimut dengan
gambar gajah-gajah kecil. Aku mematikan lampu dan pergi
ke dapur. Aku kembali ke ruang duduk. Pesawat TV masih
menyala. Si penyihir jahat sedang menyuruh burung
gagaknya mencari Sleeping Beauty. "Kau harapanku yang
terakhir, Manis, jadi jangan kecewakan aku," katanya pada
burung itu, yang kemudian langsung terbang.
Aku tetap merunduk dan bergerak ke arah pintu.
Pesawat telepon kembali berdering. Aku merangkak untuk
mengangkat gagang. "Halo." "Kohai." Suara Connor. Aku mendengar bunyi mendesis
dari telepon mobil. Aku berkata, "Di mana Anda?"
"Anda sudah menemukan kaset itu?"
"Ya, saya sudah menemukannya. Di mana Anda?"
"Di bandara." "Cepat ke sini. Sekarang juga. Dan minta bala bantuan!
Cepat! " Aku mendengar suara di selasar, di luar apartemenku.
Pelan, seperti suara langkah.
Aku meletakkan gagang. Keringatku mengalir deras.
Ya Tuhan. Kalau Connor berada di bandara, berarti ia berada dua
puluh menit dari tempatku. Mungkin lebih.
Mungkin lebih. Urusan ini harus kutangani seorang diri.
Aku memperhatikan pintu, memasang telinga. Tapi aku
tidak mendengar apa-apa lagi di luar.
Dari kamar tidur, aku mendengar anakku berkata, "Aku
mau nonton Sleeping Beauty. Aku mau Daddy." Aku
mendengar Elaine membisikkan sesuatu. Michelle merengek. Lalu hening. Telepon kembali berdering.
"Letnan," ujar suara berlogat kental tadi, "Anda tidak
perlu memanggil bala bantuan."
Ya Tuhan, mereka menyadap percakapanku dengan
Connor. "Kami tidak bennaksud buruk, Letnan. Kami hanya
menginginkan satu hal. Tolong serahkan kaset itu kepada
kami." "Kaset itu memang ada pada saya," ujarku.
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami tahu." Aku berkata, "Bawa saja."
"Bagus. Memang lebih baik begitu."
Aku sadar bahwa aku harus menghadapi mereka
seorang diri. Otakku bekerja keras. Satu-satunya pikiran
dalam benakku: Jauhkan mereka dari sini. Jauhkan mereka
dari anakku. "Tapi tidak di sini," ujarku.
Aku mendengar pintu depan digedor-gedor dari luar.
Brengsek! Aku merasa terjepit. Segala sesuatu terjadi terlalu cepat.
Aku bertiarap di lantai, di samping pesawat telepon yang
telah kutarik dari meja. Berusaha agar tidak terlihat dari
jendela. Pintuku kembali digedor-gedor.
Aku berkata, "Silakan bawa kaset. itu. Tapi sebelumnya
anak buah Anda harus ditarik dulu."
"Bisa diulang sekali lagi?"
Astaga, masalah bahasa! "Suruh anak buah Anda mundur. Suruh mereka kembali
ke jalanan. Saya mau lihat."
"Letnan, kami harus mendapatkan kaset itu!"
"Saya tahu," kataku. "Dan saya akan memberikannya."
Sambil bicara, pandanganku tetap tertuju ke pintu. Aku
melihat pegangan pintu berputar. Seseorang berusaha
membukanya. Perlahan-lahan, tanpa suara. Kemudian
pegangannya dilepas lagi. Sebuah benda putih diselipkan di
bawah pintu. Sebuah kartu nama. "Letnan, kami mengharapkan kerja sama Anda."
Aku merangkak maju dan memungut kartu nama itu.
Kartu itu bertuliskan: Jonathan Connor, Los Angeles Police
Department. Lalu aku mendengar seseorang berbisik dari balik pintu.
"Kohai." Aku tahu mereka hendak menjebakku. Connor berada di
bandara, jadi ini pasti sebuah jebakan.
"Barangkali saya bisa membantu, Kohai."
Itulah kata-kata yang pernah ia ucapkan sebelumnya,
pada awal kasus. Aku mulai bimbang.
"Buka pintu keparat ini, Kohai."
Ternyata memang Connor. Aku meraih ke atas dan
membuka pintu. Ia menyusup masuk, sambil merunduk. Ia
menyeret benda berwarna biru - sebuah rompi Kevlar. Aku
berkata, "Saya pikir Anda di..."
Ia menggelengkan kepala dan berbisik, "Say tahu mereka
di sini. Mereka pasti ke sini. Saya menunggu di mobil, di
gang di belakang gedun ini. Ada berapa orang di luar?"
"Saya rasa lima. Mungkin lebih."
Ia mengangguk. Suara beraksen di telepon berkata, "Letnan" Anda masih
di sana" Letnan?"
Aku menjauhkan gagang telepon dari telingaku agar
Connor bisa ikut mendengar. "Saya masih d sini," kataku.
Di TV, si penyihir jahat terkekeh-kekeh.
"Letnan, saya dengar suara orang lain."
"Itu hanya Sleeping Beauty," ujarku.
"Apa" Sreeping Booty?" tanya suara itu dengan nada
bingung. "TV," kataku. "Hanya acara TV."
Kini aku mendengar lawan bicaraku berbisik-bisik.
Suara mobil lewat di jalanan. Itu mengingatkanku bahwa
mereka berada di tempat terbuka. Berdiri di sebuah jalan di
tengah pemukiman, dengan gedung-gedung apartemen di
kedua sisi. Dengan banyak jendela. Setiap saat ada
kemungkinan seseorang menengok ke luar. Atau lewat di
trotoar. Mereka harus bergerak cepat.
Barangkali mereka sudah mulai bergerak. Connor
menarik-narik jasku. Memberi isyarat untuk membuka jas.
Aku melepaskannya sambil berbicara lewat telepon.
"Baiklah," ujarku, "apa yang harus saya lakukan?"
"Bawa kaset itu keluar."
Aku menatap Connor. Ia mengangguk. Ya.
"Oke," kataku. "Tapi sebelumnya, suruh anak buah Anda
mundur." "Maaf." Connor mengepalkan tangan sambil meringis. Ia ingin
agar aku marah. Ia menutup gagang telepon dan
membisikkan sesuatu ke telingaku. Sebuah ungkapan
Jepang. "Pasang telinga!" kataku. " Yoku kike!"
Lawan bicaraku menggerutu. Sepertinya ia terkejut.
"Hai. Mereka mundur. Dan sekarang, Anda keluar,
Letnan." "Oke," kataku. "Saya akan keluar."
Aku meletakkan gagang. Connor berbisik, "Tiga puluh detik," dan keluar melalui
pintu depan. Aku masih mengancingkan baju setelah
mengenakan rompi antipeluru yang diberikannya. Kevlar
merupakan bahan yang tebal dan panas. Seketika aku mulai
berkeringat. Aku menunggu tiga puluh detik sambil menatap jam
tanganku. Memperhatikan gerakan jarumnya. Dan kemudian aku melangkah keluar.
Seseorang telah memadamkan lampu di selasar. Kakiku
tersandung pada tubuh yang tergeletak di lantai. Aku
terjatuh. Ketika aku bangkit lagi, a ku melihat sebuah wajah
Asia yang ramping. Anak muda, jauh lebih muda dari yang kusangka. Masih
remaja. Ia pingsan, napasnya dangkal.
Perlahan-lahan aku menuruni tangga.
Tidak ada siapa-siapa di lantai dua. Aku turun lagi. Aku
mendengar suara tawa dari sebuah pesawat TV, di balik
salah satu pintu di lantai dua. Seseorang berseru, "Tolong
ceritakan, ke mana kau pergi pada kencan pertama?"
Aku turun ke lantai dasar. Pintu depan gedung
apartemenku terbuat dari kaca. Aku mengintip keluar dan
melihat mobil-mobil yang diparkir di tepi jalan, serta pagar
tanaman. Sebidang rumput di depan gedung. Orang-orang
tadi dan mobil-mobil mereka berada di sebelah kiri.
Aku menunggu. Aku menarik napas panjang. Jantungku
berdenyut kencang. Aku tidak ingin keluar, tapi
satu-satunya pikiranku adalah menjauhkan mereka dari
anakku. Menjauhkan bahaya yang mengancam....
Aku melangkah keluar. Udara dingin menerpa wajah dan
tengkukku yang bermandikan keringat.
Aku maju dua langkah. Sekarang aku melihat mereka Mereka berdiri sekitar
sepuluh meter di sebelah kiriku, di samping kendaraan-kendaraan mereka. Mereka berempat Salah satu
dari mereka melambaikan tangan, memberi isyarat untuk
mendekat. Aku tetap berdiri di tempat.
Di mana yang lainnya"
Aku tidak melihat siapa-siapa selain keempat orang itu.
Mereka kembali melambaikan tangan. Aku baru hendak
menghampiri mereka, ketika aku merasa ada hantaman
keras dari belakang. Aku terjungkal ke rumput basah.
Baru sesaat kemudian aku menyadari apa yang terjadi.
Aku ditembak dari belakang.
Dan setelah itu peluru-peluru berdesingan. Senapan-senapan otomatis. Seluruh jalan diterangi cahaya
tembakan. Suara letusan terpantul dari gedung-gedung di
kedua sisi jalan. Aku mendengar kaca pecah. Aku
mendengar orang-orang berteriak-teriak. Disusul bunyi
tembakan lagi. Aku mendengar bunyi mesin mobil
dinyalakan, dan beberapa mobil melesat menjauh. Hampir
seketika terdengar raungan sirene polisi dan bunyi ban
berdecit-decit. Lampu-lampu sorot menerangi jalanan. Aku
tidak bergerak, tetap tiarap di rumput. Rasanya seolah-olah
aku sudah satu jam tergeletak. Dan kemudian aku
menyadari bahwa semua seruan dilakukan dalam bahasa
Inggris. Akhirnya seseorang mendekat, membungkuk di atasku,
dan berkata, "Jangan bergerak, Letnan. Biar saya periksa
dulu." Aku mengenali suara Connor. Tangannya menyentuh
punggungku, meraba-raba. Kemudian ia berkata, "Anda
bisa membalik, Letnan?"
Aku membalik. Connor disorot lampu-lampu yang terang benderang. Ia
menatapku. "Peluru-peluru mereka tidak tembus," katanya.
"Tapi besok punggung Anda akan pegal sekali."
Ia membantuku berdiri. Aku menoleh untuk melihat orang yang menembakku.
Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa, hanya beberapa
selongsong peluru, berkilap suram di rumput hijau, di dekat
pintu depan. MALAM KETIGA Bab 54 JUDUL berita utama itu berbunyi, GENG VIETNAM
BERAKSI DI WESTSIDE. Artikel itu menyebutkan bahwa
Peter Smith, petugas Special Services L.A.P.D., menjadi
sasaran serangan balas dendam sebuah geng asal Orange
County, yang dikenal sebagai Bitch Killers. Letnan Smith
tertembak dua kali sebelum bala bantuan polisi tiba di
tempat kejadian dan membubarkan anak-anak muda itu.
Tak satu tersangka pun berhasil ditangkap dalam keadaan
hidup. Dua anggota geng tewas dalam baku tembak dengan
polisi. Aku membaca koran sambil berendam di bak mand,
untuk mengurangi rasa pegal di punggungku. Dua luka
memar tampak membiru di kiri kanan tulang belakangku.
Menarik napas pun terasa nyeri.
Aku telah mengirim Michelle ke rumah ibuku di San
Diego selama akhir pekan, sampai urusan di sini berhasil
diselesaikan. Elaine yang mengantarkannya semalam.
Aku kembali membaca. Menurut artikel itu, geng Bitch Killers diduga juga
bertanggung jawab atas kematian Rodney Howard, seorang
bocah kulit hitam berusia dua tahun yang minggu lalu
ditembak di kepala, ketika ia sedang naik sepeda roda tiga
di pekarangan depan rumahnya di Inglewood. Pembunuhan
itu konon merupakan inisiasi anggota baru geng tersebut.
Kekejaman yang diperlihatkan menyulut debat sengit
apakah L.A.P.D. mampu menangani kekerasan geng di
Califomia bagian selatan.
Wartawan-wartawan kembali bergerombol di depan
pintuku, tapi aku tidak melayani mereka. Pesawat
teleponku tak henti-hentinya berdering, tapi aku
menyalakan mesin penjawab otomatis. Aku hanya
berendam di bak mandi, dan berusaha memutuskan
langkah berikutnya. Sekitar jam sepuluh pagi, aku menghubungi Ken Shubik
di Times. "Aku sudah mulai heran kenapa kau belum telepon
juga," katanya. "Kau pasti gembira."
"Kenapa aku harus gembira?"
"Karena kau masih hidup," ujar Ken. "Anak-anak itu
pembunuh berdarah dingin."
"Maksudmu, anak-anak Vietnam semalam?"' tanyaku.
"Mereka bicara dalam bahasa Jepang."
"Yang benar?" "Benar, Ken." "Jadi, artikel kami berisi informasi yang salah?"
"Kelihatannya begitu."
"Pantas," katanya.
"Ada apa?" "Artikel itu ditulis oleh si Musang. Dan si Musang sedang
diimpit masalah. Bahkan ada desas-desus bahwa dia akan
dipecat. Tak seorang pun di sini tahu apa alasannya," Ken
berkata. "Rupanya ada orang di Dewan Redaksi yang
tiba-tiba sewot terhadap Jepang. Pokoknya, dalam waktu
dekat ini kami akan memuat rangkaian laporan investigatif
mengenai perusahaan-perusahaan Jepang di Amerika."
"O, ya?" "Tapi kau takkan menyangkanya kalau membaca koran
hari ini. Kau sudah lihat bagian bisnis?"
"Belum, kenapa?"
"Darley-Higgins mengumumkan penjualan MicroCon
kepada Akai. Di halaman empat bagian bisnis. Artikel dua
sentimeter." "Hanya itu?" "Kurasa itu sudah cukup. MicroCon hanya salah satu dari
sekian banyak perusahaan Amerika yang jatuh ke tangan
orang Jepang. Aku sudah memeriksanya. Sejak 1987, ada
180 perusahaan Amerika yang bergerak di bidang high-tech
dan elektronik yang dijual kepada orang Jepang. Nilai beritanya sudah tidak ada."
"Tapi Times akan melakukan penyelidikan?"
"Kabarnya begitu. Tapi pasti tidak mudah, sebab semua
indikator emosional sedang turun. Neraca pembayaran
dengan Jepang sudah lebih seimbang sekarang. Tapi
sebenarnya itu hanya karena mereka mengurangi ekspor
mobil ke sini. Mobil-mobil mereka sekarang diproduksi di
sini. Pabrik-pabrik mobil mereka dipindahkan ke
negara-negara naga kecil. Jadi defisitnya muncul dalam
neraca negara-negara itu, bukan dalam neraca Jepang.
Mereka juga meningkatkan pembelian jeruk dan kayu
mentah, untuk mempengaruhi pendapat umum. Pada
dasarnya, mereka memperiakukan kita sebagai negara
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkembang. Mereka mengimpor bahan baku kita. Tapi
mereka tidak membeli produk jadi. Mereka bilang, kita
tidak menghasilkan barang-barang yang mereka perlukan."
"Mungkin memang begitu, Ken."
"Yeah." Ia menghela napas. "Tapi aku tidak tahu apakah
masyarakat umum mau ambil pusing. Itulah pertanyaannya. Termasuk terhadap masalah pajak."
Aku agak bingung. "Pajak?"
"Kami sedang menyusun laporan besar-besaran
mengenai pajak. Pemerintah akhimya sadar bahwa
perusahaan-perusahaan lepang menjalankan bisnis raksasa
di sini, dan bahwa jumlah pajak yang mereka bayar di
Amerika kecil sekali. Beberapa perusahaan malah tidak
bayar sama sekali, dan itu tidak masuk akal. Mereka
mengontrol laba dengan menaikkan harga subkomponen
Jepang yang diimpor oleh pabrik perakitan mereka di
Amerika. Ini memang keterlaluan, tapi Pemerintah Amerika
memang kurang giat menjatuhkan sanksi kepada Jepang.
Dan orang Jepang menghabiskan setengah miliar dolar di
Washington setiap tahunnya, supaya keadaan tetap amanaman saja." "Tapi kalian akan memuat laporan tentang pajak?"
"Yeah. Dan kami menyelidiki-Nakamoto. Sum- ber-sumberku melaporkan bahwa Nakamoto akan dikenai
tuduhan mengatur harga secara tidak sah. Itulah
permainan perusahaan-perusahaan Jepang. Aku sudah
membuat daftar mengenai siapa saja yang pernah
menghadapi dakwaan serupa. Nintendo di tahun 1991.
Mitsubishi di tahun yang sama. Panasonic di tahun 1989.
Minolta di tahun 1987. Dan itu baru permulaannya saja."
"Kalau begitu, ada baiknya kalian menyelidikinya."
Ia terbatuk. "Kau bersedia memberi pernyataan"
Mengenai anak-anak Vietnam yang berbahasa Jepang itu?"
"Tidak." "Kita harus saling membantu," ujar Ken.
"Kurasa tidak ada gunanya," kataku.
Aku makan siang bersama Connor di sebuah sushi bar di
Culver City. Ketika aku menepikan mobil, seseorang
memasang tanda TUTUP di jendela. Kemudian ia melihat
Connor, dan membalikkan tanda itu sehingga berbunyi
BUKA. "Aku cukup dikenal di sini," Connor menjelaskan.
"Maksudnya, mereka menyukai Anda?"
"Itu sukar dipastikan."
"Mereka mengharapkan uang Anda?"
"Tidak," kata Connor. "Hiroshi mungkin lebih suka
beristirahat. Baginya tidak ada untungnya kalau anak
buahnya harus melayani dua gaijin. Tapi saya sering
berkunjung ke sini. Dia menghormati hubungan kami. Tak
ada sangkut pautnya dengan bisnis, atau dengan suka atau
tidak suka." Kami turun dari mobil. "Orang Amerika sering kali tidak memahaminya,"
katanya. "Sebab sistem Jepang berbeda secara mendasar."
"Yeah, well, rasanya saya sudah mulai mengerti," u jarku.
Aku mengulangi cerita Ken mengenai pengaturan harga.
Connor menghela napas. "Memang mudah untuk
mengatakan bahwa orang Jepang tidak jujur. Itu benar, tapi
mereka berpegang pada aturan main yang berbeda. Orang
Amerika saja yang tidak mau mengerti."
"Oke," kataku, "tapi pengaturan harga seperti itu
melanggar hukum." "Hukum di Amerika," kata Connor. "Tapi di Jepang, itu
merupakan hal biasa. Ingat, Kohai, berbeda secara
mendasar. Kesepakatan berbau kongkalikong, begitulah
cara bisnis mereka. Skandal saham Nomura membuktikannya. Orang Amerika mengutuk persekongkolan, padahal itu hanya cara lain untuk
menjalankan bisnis."
Kami memasuki sushi bar. Semua orang sibuk
membungkuk dan bertegur sapa. Connor mengatakan
sesuatu dalam bahasa Jepang, dan kami duduk di meja
layan. Kami tidak memesan makanan.
Aku bertanya, "Kita tidak pesan apa-apa?"
"Tidak," ujar Connor. "Hiroshi akan tersinggung. Dia
akan memutuskan, apa yang dihidangkan untuk kita."
Jadi kami hanya duduk di meja layan. Hiroshi
membawakan piring. Pesawat telepon berdering. Di ujung meja layan, seorang
pria berkata, "Connor-san, onna no hito ga matteru to
ittemashita yo. " " D?mo," jawab Connor sambil mengangguk. Ia berpaling
padaku, dan berdiri. "Kelihatannya kita tidak sempat
mencicipi sajian Hiroshi. Sudah waktunya untuk acara
berikut. Anda membawa kaset video itu?"
"Ya." "Bagus." "Ke mana kita sekarang?"
"Menemui teman Anda," katanya. "Miss Asakuma."
Bab 55 KAMI berusaha menghindari lubang-lubang di Santa
Monica freeway dalam perialanan ke pusat kota. Sore itu
langit tampak kelabu; sepertinya akan hujan. Punggungku
masih nyeri. Connor memandang ke juar jendela,
bersenandung pelan. Dalam segal a hiruk-pikuk yang terjadi, aku lupa bahwa
Theresa sempat menelepon semalam. Ia memberitahu
bahwa ia telah menonton bagian akhir rekaman, dan bahwa
ia menemukan masalah baru.
"Anda sudah bicara dengannya?"
"Dengan Theresa" Hanya sepintas lalu. Saya memberikan beberapa saran kepadanya."
"Semalam, dia bilang ada masalah."
"Oh" Dia tidak menyinggungnya waktu bicara dengan
saya." Aku mendapat kesan bahwa Connor menyembunyikan
sesuatu, tapi punggungku terasa nyeri, dan aku tidak
berminat berdebat dengannya.
Kadang-kadang aku rnerasa Connor sendiri sudah
menjadi orang Jepang. Ia menutup diri, bersikap misterius.
Aku berkata, "Anda belum bercerita kenapa Anda
meninggalkan Jepang."
"Oh, itu." la menghela napas. "Saya mendapat tawaran,
bekerja untuk sebuah perusahaan di sana. Sebagai
penasihat keamanan. Tapi ternyata gagal."
"Kenapa?" "Well, pekerjaan itu sendiri cukup menarik."
"Lalu apa masalahnya?"
Ia menggelengkan kepala. "Sebagian besar orang yang
pernah tinggal di Jepang, pulang dari sana dengan perasaan
tak menentu. Dalam banyak hal, orang Jepang sangat
mengagumkan. Mereka bekerja keras, cerdas, memiliki rasa
humor. Mereka benar-benar tulus. Tapi mereka juga orang
yang paling memandang rendah suku bangsa lain. Itulah
sebabnya mereka selalu menuduh orang lain melakukan
diskriminasi rasial. Mereka begitu penuh prasangka buruk,
sehingga mereka berasumsi bahwa orang lain juga begitu.
Dan hidup di Jepang... setelah beberapa waktu, saya tidak
tahan lagi. Saya bosan melihat wanita-wanita memilih
menyeberang jalan daripada berpapasan dengan saya pada
malam hari. Saya bosan menghadapi kenyataan bahwa
kedua kursi yang terakhir ditempati di kereta bawah tanah
adalah kursi di kiri kanan saya. Saya bosan mendengar
pramugari-pramugari menanyakan pada penumpang
Jepang apakah mereka keberatan duduk berdampingan dengan gaijin, dengan berasumsi bahwa saya tidak
memahaminya, karena mereka bicara dalam bahasa Jepang.
Saya bosan dikucilkan, dipandang rendah,
dijadikan bahan lelucon. Saya... saya tidak tahan lagi.
Saya menyerah." "Sepertinya Anda sebenarnya tidak terlalu menyukai
mereka." "Salah," ujar Connor. "Saya sangat rnenyukai mereka.
Tapi saya bukan orang Jepang, dan mereka tak pernah
memberi kesempatan untuk melupakannya." Ia kembali
mendesah. "Saya punya banyak teman Jepang yang bekerja
di Amerika, mereka juga merasa dikucilkan. Dan
orang-orang juga tidak mau duduk bersebelahan dengan
mereka. Tapi teman-teman saya selalu minta agar mereka
pertama-tama dipandang sebagai manusia, baru kemudian
sebagai orang Jepang. Sayangnya, berdasarkan pengalaman
saya, hal itu tidak selalu benar."
"Maksud Anda, yang lebih penting adalah bahwa mereka
orang Jepang." Connor mengangkat bahu. "Ikatan kesukuan tetap yang
paling utama." Sisa perjalanan kami tempuh sambil membisu.
Bab 56 KAMI berada di sebuah ruang kecil, di lantai tiga sebuah
asrama mahasiswa asing. Theresa Asakuma menjelaskan
bahwa ia bukan penghuni asrama itu. Ruangan itu adalah
tempat tinggal temannya yang sedang belajar di Itali
selama satu semester. Ia telah memasang VCR kecil dan
monitor kecil di sebuah meja.
"Saya pikir lebih baik kalau saya keluar dari lab,"
katanya sambil menekan tombol fast-forward. "Tapi saya
pikir Anda perlu melihat ini. Ini bagian akhir dari rekaman
yang Anda bawa. Tepat setelah Senator Morton
meninggalkan ruangan."
Ia memutar rekaman itu dengan kecepatan normal, dan
kami melihat gambar keseluruhan lantai 46 di gedung
Nakamoto. Ruangan itu kosong. Tubuh pucat Cheryl Austin
tergeletak di atas meja rapat yang gelap.
Selama beberapa waktu tidak terjadi apa-apa.
Aku berkata, "Apa yang perlu kami lihat?"
"Tunggu saja." Pita rekaman terus berputar. Tetap tidak terjadi apa-apa.
Dan kemudian aku melihat, jelas-jelas, kaki wanita muda
itu bergerak. "Hei, apa itu?"
"Getaran otot?"
"Saya tidak tahu."
Kini lengan Cheryl bergerak. Tak ada keraguan sedikit
pun. Jemarinya mengepal, lalu membuka lagi.
"Dia masih hidup!"
Theresa mengangguk. "Kelihatannya. begitu. Sekarang
perhatikan jam di dinding."
Jam dinding itu menunjuk pukul 20.36. Aku
memperhatikannya. Tidak terjadi apa-apa. Dua menit
berlalu. Connor menghela napas. "Jam itu tidak bekerja."
"Memang," ujar Theresa. "Saya pertama kali menyadarinya waktu mengamati pola bintik-bintik pada
gambar yang saya perbesar. Bintik-bintiknya bergerak
maju-mundur secara beraturan."
"Artinya?" "Kami menyebutnya rock and roll. Ini cara yang biasa digunakan agar gambar yang
dibekukan tidak terlalu mencolok. Pembekuan normal mudah diketahui, karena
komponen-komponen gambar yang lebih kecil tiba-tiba
tidak bergerak. Dalam gambar biasa, selalu ada
gerakan-gerakan kecil, biarpun tidak beraturan. Untuk
menyamarkan kesan diam, adegan selama tiga detik
direkam berulang-ulang. Dengan demikian timbul sedikit
gerakan, dan pembekuan gambar tidak terlalu mencolok."
"Maksud Anda, gambar ini dibekukan pukul 20.36?"
"Ya. Dan sepertinya wanita itu masih hidup waktuitu.
Saya tidak bisa memastikannya. ada kemungkinan."
Connor mengangguk. "Jadi, itu sebabnya rekaman yang
asli begitu penting."
"Rekaman asli mana?" tanya Theresa.
Aku mengeluarkan kaset video yang kutemukan di
apartemenku padanya. "Tolong diputar," ujar Connor.
Kami melihat lantai 46 dengan warna cemerlang.
Gambar diambil dari kamera di bagian samping ruangan,
dan ruang rapat terlihat jelas sekali. Kaset itu berisi
rekaman asli. Kami menyaksikan adegan pembunuhan, lalu
melihat Morton meninggalkan Cheryl di atas meja.
Kami memperhatikan wanita muda itu.
"Anda bisa melihat jam dinding?"
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari sudut ini tidak kelihatan."
"Menurut Anda, berapa waktu telah berlalu?"
Theresa menggelengkan kepala. "Ini rekaman yang
dipercepat. Saya tidak bisa menentukannya. Beberapa
menit, mungkin." Kemudian, wanita muda di alas meja tampak bergerak.
Tangannya mengepal, lalu kepalanya bergeser sedikit. Ia
masih hidup. Dan di dinding kaca ruang rapat, kami melihat sosok
seorang pria. Ia melangkah maju, sepertinya dari sebelah
kanan. Ia memasuki ruang rapat, menoleh sejenak untuk
memastikan bahwa ia seorang diri. Orang itu Ishiguro.
Dengan langkah pasti ia menghampiri tepi meja,
menempelkan tangannya pada leher Cheryl, dan
mencekiknya. "Ya Tuhan." Lama sekali ia mencekik wanita muda itu. Menjelang
ajalnya, Cheryl sempat memberontak. Ishiguro tidak
mengendurkan genggamannya, biarpun Cheryl sudah tidak
bergerak. "Dia tidak mau ambil risiko."
"Ya, dia tidak mau ambil risiko," ujar Connor.
Akhirnya Ishiguro melangkah mundur, menarik lengan
kemeja, dan merapikan jas.
"Oke," kata Connor. "Ini sudah cukup bagi saya."
Kami kembali berkendaraan. Cahaya matahari harus
berjuang untuk menembus kabut asap yang menyelubungi
kota. Mobil-mobil berlalu lalang. Rumah-rumah di kedua
sisi jalan tampak kumuh, tak terawat.
Kami turun dari mobil. "Sekarang bagaimana?" tanyaku.
Connor menyodorkan gagang telepon. "Hubungi
markas," katanya, "dan beritahu mereka bahwa kita punya
kaset yang memperlihatkan Ishiguro sebagai pembunuh
Cheryl Austin. Katakan pada mereka bahwa kita pergi ke
Nakamoto sekarang, untuk menangkap Ishiguro."
"Saya Pikir Anda tidak suka memakai telepon mobil."
"Lakukan saia," kata Connor. "Kita toh sudah hampir
selesai." Aku menelepon ke markas. Aku melaporkan rencana
kamu dan dan ke mana kami hendak pergi. Mereka
menanyakan apakah kami memerlukan bantuan. Connor
menggelengkan kepala, jadi aku menjawab tidak.
Aku meletakkan gagang telepon.
"Bagaimana sekarang?"
"Mari berkunjung ke Nakamoto."
Bab 57 SETELAH sedemikian sering melihat lantai 46 dalam
rekaman video, rasanya janggal kembali ke sana lagi. Pada
hari Sabtu pun suasana di kantor itu tetap sibuk; para
sekretaris dan eksekutif berjalan mondar-mandir. Dan
ruangan itu kelihatan berbeda pada siang hari; cahaya
matahari masuk lewat jendela-jendela besar di semua sisi,
dan gedung-gedung pencakar langit di sekefiling tampak
dekat, biarpun diselubungi kabut L.A.
Aku menengadah dan melihat bahwa kamera-kamera
keamanan telah dicopot dari dinding-dinding. Di sebelah
kanan, ruang rapat tempat Cheryl Austin dibunuh sedang
ditata ulang. Perabot yang berwarna hitam sudah
dipindahkan. Beberapa tukang sedang memasang meja
kayu berwarna terang dan kursi-kursi berwarna beige.
Ruangan itu kelihatan lain sama sekali.
Di seberang atrium, sebuah pertemuan sedang
berlangsung di ruang rapat yang besar. Sinar matahari yang
masuk melalui dinding kaca menerpa sekitar ernpat puluh
orang yang duduk di kedua sisi meja panjang yang ditutupi
taplak berwarna hijau. Orang-orang Jepang di satu sisi,
orang-orang Amerika di sisi berlawanan. Semuanya
menghadapi setumpuk dokumen. Di antara orang-orang
Amerika, aku segera mengenali Bob Richmond, si
pengacara. Connor, yang berdiri di samping, menghela napas.
"Ada apa?" "Inilah Pertemuan Sabtu, Kohai."
Maksud Anda, ini pertemuan Sabtu yang pernah
disinggung oleh Eddie?"
Connor mengangguk. "Pertemuan untuk menuntaskan
penjualan MicroCon."
Di dekat lift ada seorang resepsionis. Wanita itu
mengamati kami sejenak, lalu bertanya dengan sopan, "Bisa
saya bantul Gentlemen?"
"Terima kasih," kata Connor. "Tapi kami sedang
menunggu seseorang."
Aku mengerutkan kening. Dari tempatku berdiri aku
dapat melihat Ishiguro di ruang rapat, duduk di
tengah-tengah, di sisi Jepang. Ia sedang merokok. Pria di
sebelah kanannya mencondongkan badan dan membisikkan sesuatu. Ishiguro mengangguk dan tersenyum. Aku melirik Connor. "Tunggu dulu," katanya.
Beberapa menit berlalu, kemudian seorang pria Jepang
yang masih muda bergegas melintasi atrium dan masuk ke
ruang rapat. Setelah berada di dalam, ia berjalan lebih
pelan, mengelilingi meja tanpa menarik perhatian, sampai
ke belakang kursi seorang pria berambut kelabu, dengan
penampilan penuh wibawa, yang duduk di ujung meja. Pria
muda itu membungkuk dan membisikkan sesuatu, kepada
pria yang lebih tua. "Iwabuchi," kata Connor.
"Siapa itu?" "Pimpinan Nakamoto, Amerika. Kantornya di New York."
lwabuchi mengangguk, lalu berdiri. Pria muda tadi
menarik kursinya. Iwabuchi menyusuri deretan perunding
dari pihak Jepang. Ketika melewati salah satu dari mereka,
ia menyenggol bahunya dengan pelan. Iwabuchi berjalan ke
ujung meja, kemudian membuka pintu kaca dan melangkah
keluar, ke sebuah balkon di belakang ruang rapat.
Sesaat setelah itu, pria, yang disenggolnya menyusul.
"Moriyama," kata Connor. "Kepala kantor cabang Los
Angeles." Moriyama juga keluar ke balkon. Kedua pria itu berdiri
sambil merokok. Pria muda tadi bergabung dengan mereka.
Ia bicara dengan cepat, sambil mengangguk-angguk.
Iwabuchi dan Moriyama mendengarkannya dengan
saksama, lalu berbalik. Si pria muda tetap berdiri di tempat.
Tak lama. kemudian, Moriyama. berpaling pada pria
muda itu dan mengatakan sesuatu. Pria muda itu langsung
membungkuk dan kembali ke ruang rapat. Ia menuju kursi
seorang pria berambut gelap dan berkumis, lalu berbisik ke
telinganya. "Shirai,,, ujar Connor. "Kepala bagian keuangan."
Shirai berdiri, tetapi tidak pergi ke balkon. Ia membuka
pintu sebelah dalam, melintasi atrium, dan masuk ke
sebuah ruang kerja di seberang.
Di ruang rapat, si pria muda kini menghampiri orang
keempat, yang kukenal sebagai Yoshida, pimpinan Akai
Ceramics. Yoshida juga menyusup keluar, ke atrium.
"Ada apa ini?" "Mereka mengambil jarak," Connor menjelaskan.
"Mereka tidak ingin hadir pada saat Ishiguro dibekuk."
Aku memandang ke balkon, dan melihat kedua pria
Jepang di luar berjalan menyusuri balkon, menuju sebuah
pintu. Aku berkata, "Tunggu apa lagi?"
"Bersabarlah, Kohai. "
Pria muda itu pergi. Pertemuan di ruang rapat terus
berjalan. Namun di atrium, Yoshida memanggil pria muda
itu dan membisikkan sesuatu.
Pria muda itu kembali ke ruang rapat.
"Hmm," gumam Connor.
Kali ini si pria muda menghampiri sisi Amerika, dan
membisikkan sesuatu kepada. Richmond. Aku tidak bisa
melihat wajah Richmond, karena ia duduk membelakangi
kami, tetapi tubuhnya tampak mengejang. Ia berbalik dan
membisikkan sesuatu kepada pria Jepang itu, yang
mengangguk dan segera pergi.
Richmond tetap duduk di meja. Ia menggelengkan kepala
dengan pelan, lalu membungkuk dan mengamati
catatannya. Dan kemudian ia mendorong secarik kertas ke seberang
meja. Ishiguro menerimanya.
"Ini aba-aba kita," ujar Connor. Ia berpaling kepada si
resepsionis, menunjukkan lencananya, dan setelah itu kami
segera melintasi atrium, menuju ruang rapat.
Seorang pria Amerika dengan setelan jas bermotif
garis-garis berdiri di depan meja. Ia sedang berkata,
"Sekarang tolong perhatikan pasal tambahan C, kesimpulan
mengenai aset-aset. Dan..."
Connor yang pertama memasuki ruang rapat. Aku
berada tepat di belakangnya. mperlihatkan
Ishiguro menatap kami. Ia tidak merasa terkejut.
"Selamat sore, Gentlemen." Wajahnya bagaikan topeng.
Richmond segera berkata, "Gentlemen, kalau Anda bisa
menunggu sebentar, kami tengah membahas sesuatu yang
cukup rumit..." Connor memotong, "Mr. Ishiguro,... Anda ditahan
sehubungan dengan pembunuhan Cheryl Lynn Austin," dan
kemudian ia membacakan hak-haknya. Ishiguro memelototinya. Orang-orang lain di dalam ruangan
membisu semua. Tak seorang pun bergerak. Seperti lukisan
still life. Ishiguro tetap duduk. "Ini tidak masuk akal."
"Mr. Ishiguro," ujar Connor, "saya harap Anda berdiri."
Richmond berkata setengah berbisik, "Semoga kalian
tahu apa yang kalian kerjakan."
Ishiguro berkata, "Saya tahu hak-hak saya, Gentlemen."
Connor berkata, "Mr. Ishiguro, saya harap Anda berdiri."
Ishiguro tidak beranjak dari tempatnya. Asap rokoknya
bergulung-gulung di udara.
Selama beberapa saat tak ada yang berbicara.
Kemudian Connor berkata padaku, "Putar rekaman itu
untuk mereka." Salah satu dinding ruang rapat berisi peralatan video.
Aku menemukan alat playback yang serupa dengan alat
yang kupakai, dan memasukkan kasetnya. Tapi monitor
utama yang besar tetap gelap. Tak ada gambar yang
muncul. Aku mencoba menekan beberapa tombol, tapi
tanpa hasil. Dari salah satu sudut belakang, seorang sekretaris
Jepang yang tadinya sibuk membuat catatan bergegas
untuk membantuku. Setelah membungkuk, ia menekan
tombol-tombol yang tepat, membungkuk sekali lagi, dan
kembali ke tempat semula.
"Terima kasihl" kataku.
Sebuah gambar muncul di layar monitor. Meski dalam
cahaya siang yang terang, gambarnya kelihatan jelas adegan terakhir yang kami tonton di kamar Theresa;
Ishiguro menghampiri Cheryl dan mencekik wanita muda
yang berusaha melawan itu.
Richmond berkata, "Apa ini?"
"Ini penipuan," ujar Ishiguro. "Penipuan. "
Connor berkata, "Rekaman ini dibuat oleh kamera
keamanan Nakamoto di lantai 46 pada hari Kamis malam."
Ishiguro berkata, "Ini tidak sah. Ini penipuan."
Namun tak ada yang mendengarkannya. Semua mata
menatap monitor. Richmond terbengong-bengong. "Astaga!" katanya.
Dalam rekaman itu, Cheryl cukup lama berjuang untuk
menyelamatkan nyawa, namun akhirnya ia kalah.
Ishiguro memelototi Connor. "Ini hanya sensasi
murahan," katanya. "Upaya untuk memfitnah saya. Sama
sekali tidak ada artinya."
"Astaga!" Richmond kembali berkata. Pandangannya
masih tertuju ke monitor.
Ishiguro berkata, "Rekaman ini tidak mempunyai
landasan hukum. Ini tidak sah sebagai barang bukti.
Rekaman ini takkan diterima sebagai barang bukti. Ini
hanya mengganggu..."
Ia terdiam. Untuk pertama kali ia memandang ke ujung
meja. Dan ia melihat bahwa kursi Iwabuchi telah kosong.
Ia menoleh ke arah berlawanan. Matanya mencari-cari.
Kursi Moriyama telah kosong.
Kursi Shirai. Kursi Yoshida Ishiguro mengedip-ngedipkan mata. Ia menatap Connor
dengan terkejut. Kemudian ia mengangguk, berdehem, dan
berdiri. Semua orang lain masih menyaksikan adegan di
layar monitor. Ia menghampiri Connor. "Saya tidak mau melihat ini,
Kapten. Kalau Anda sudah selesai dengan permainan ini,
Anda bisa menemukan saya di luar." Ia menyalakan
sebatang rokok. "Setelah itu kita bicara. Kicchiirito na." Ia membuka pintu dan
melangkah ke balkon. Pintu
dibiarkannya terbuka.
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku hendak mengikutinya, tapi Connor mencegahku
dengan memberi isyarat mata. Ia menggelengkan kepala
sedikit, dan aku tetap di tempat.
Aku melihat Ishiguro berdiri di luar, di pagar balkon. Ia
mengisap rokoknya dan menghadap matahari. Kemudian ia
menoleh ke arah kami dan menggelengkan kepala. Ia
mencondongkan badan ke depan dan menaikkan sebelah
kaki ke pagar balkon. Di dalam ruang rapat, adegan di monitor utama terus
berlanjut. Salah satu pengacara Amerika, seorang wanita,
berdiri, menutup tas kerjanya, dan meninggalkan ruangan.
Yang lainnya tidak beranjak dari tempat masing-masing.
Dan kemudian rekaman itu berakhir.
Aku mengeluarkan kasetnya dan alat playback. Suasana
menjadi hening. Angin lembut menggoyang-goyangkan
kertas-kertas di meja. Aku menatap ke balkon. Balkonnya telah kosong. Ketika kami melangkah keluar samar-samar terdengar
bunyi sirene, jauh di bawah kami.
Di jalanan, debu beterbangan dan suara alat-alat
pelubang beton memekakkan telinga. Nakamoto sedang
membangun gedung tambahan di sebelah, dan pekerjaan
konstruksi sedang giat-giatnya. Mobil-mobil pengaduk
beton tampak berderet di tepi jalan. Aku menerobos
kerumunan orang Jepang berjas biru, dan menatap ke
lubang di tanah. Ishiguro jatuh ke beton yang baru dicor. Tubuhnya
tergeletak menyamping, hanya kepala dan sebelah
tangannya yang menyembul dari beton yang masih basah.
Darah mengalir di permukaan yang berwarna kelabu itu.
Beberapa pekerja dengan topi pengaman berwarna biru
mencoba mengangkatnya dengan menggunakan galah
bambu dan tali. Namun mereka tidak berhasil. Akhirnya
seorang pekerja dengan sepatu karet setinggi paha masuk
ke dalam lubang dan menarik mayat Ishiguro. Tapi ternyata
tugas itu lebih sukar dari yang dibayangkannya. Ia terpaksa
minta bantuan. Rekan-rekan kami sudah berada di sana, Fred Perry dan
Bob Wolfe. Bob terpaksa berteriak untuk mengalahkan
kebisingan di tempat pembangunan. "Kau tahu apa yang
terjadi di sini, Pete?"
"Yeah." "Siapa nama orang itu?"
"Masao Ishiguro."
Wolfe mengedipkan mata. "Bisa dieja?"
Aku mulai mengeja, tapi akhirnya aku merogoh kantong
dan menyerahkan kartu nama Ishiguro.
"Itu orangnya?"
"Yeah." "Dari mana kaudapat kartu namanya?"
"Ceritanya paniang," kataku. "Tapi dituduh melakukan
pembunuhan." Wolfe mengangguk. "Biar kuangkat mayatnya dulu, dan
habis itu kita bicara."
"Oke." Akhirnya mereka terpaksa menggunakan derek untuk
mengangkat Ishiguro. Mayatnya, yang berlumuran beton,
terayun di atas kepalaku.
Beton yang masih basah itu menetes-netes, mengenaiku
dan papan pemberitahuan yang berada di depan kakiku.
Papan itu menampilkan logo Nakamoto, serta tulisan
dengan huruf-huruf besar yang berbunyi, MEMBANGUN
UNTUK HARI ESOK. Dan di bawahnya, MOHON MAAF ATAS
GANGGUAN INI. Bab 58 BARU satu jam kemudian semua urusan di tempat
kejadian berhasil diselesaikan. Pak Komandan minta agar
kami menyerahkan laporan pada hari itu juga, sehingga
kami terpaksa pergi ke Parker Center untuk menyusun
laporan. Pukul empat kami pergi ke kedai kopi di seberang jalan,
yang bersebelahan dengan Antonio's bail bond shop.
Sekadar agar bisa keluar dari kantor. Aku berkata, "Kenapa
Ishiguro membunuh Cheryl Austin?"
Connor menghela napas. "Alasannya masih kabur.
Penjelasan terbaik yang dapat saya berikan adalah sebagai
berikut. Eddie ternyata memang bekerja untuk kaisha
ayahnya. Salah satu tugasnya, adalah menyediakan wanita
untuk orang-orang penting yang berkunjung. Sudah
bertahun-tahun dia melakukannya. Tugas itu mudah
baginya - dia tukang pesta; dia kenal banyak wanita; para
anggota Kongres mencari hiburan, dan Eddie mendapat
kesempatan berkenalan dengan para anggota Kongres. Tapi
Cheryl Austin merupakan peluang istimewa, sebab Senator
Morton, kepala Komisi Keuangan, tertarik padanya. Morton
kemudian mengakhiri affair mereka, tapi Eddie terus
mengirim Cheryl dengan pesawat jet pribadi untuk
menemui Morton secara tak terduga. Eddie pun suka pada
Cheryl; sore itu dia sempat berhubungan seks dengannya.
Eddie-lah Yang mengatur agar Cheryl menghadiri resepsi
Nakamoto, karena dia tahu Morton akan datang. Eddie
mendesak Morton untuk menghalangi Penjualan MicroCon,
jadi dia sibuk memikirkan Pertemuan Sabtu.
"Tapi saya rasa Eddie hanya bermaksud mempertunjukan Cheryl dengan Morton. Saya sangsi dia
tahu-menahu mengenai lantai 46. Dia tentu tak menyangka
Cheryl akan menyelinap ke sana bersama Morton. Gagasan
itu mestinya dicetuskan di tengah pesta oleh seseorang
yang bekerja untuk Nakamoto. Sebab hanya pegawai
Nakamoto yang tahu bahwa di lantai itu ada suite kamar
tidur yang kadang-kadang digunakan oleh para eksekutif."
Aku berkata, "Dari mana Anda tahu?"
Connor tersenyum. "Hanada-san bercerita bahwa dia
pernah menggunakan suite itu. Rupanya ruangan itu cukup
mewah." "Jadi Anda memang punya koneksi?"
"Saya kenal beberapa orang. Dan saya bisa membayangkan bahwa Nakamoto pun hanya bermaksud
membantu. Kamera-kamera di lantai 46 mungkin dipasang
dengan tujuan pemerasan, tapi sumber informasi saya
mengatakan bahwa tidak ada kamera di suite kamar tidur.
Mengingat ada kamera di ruang rapat, saya cenderung
percaya bahwa Phillips benar - kamera-kamera itu
dipasang untuk memacu semangat keeja para pegawai.
Mereka takkan menyangka bahwa ruang rapat mereka
digunakan sebagai tempat melampiaskan nafsu.
"Pokoknya, ketika Eddie melihat Cheryl meninggalkan
tempat pesta bersama Morton, dia pasti panik. Jadi dia
mengikuti mereka. Dia sempat menyaksikan pembunuhan
itu, yang saya kira terjadi secara tidak sengaja. Dan
kemudian Eddie menolong Morton, kawan baiknya, dengan
memanggilnya dan membantunya menyusup keluar. Eddie
kembali ke pesta bersama Morton."
"Bagaimana dengan kaset-kaset itu?" "Ah. Anda ingat kita sempat bicara mengenai
penyuapan" Salah satu orang yang disuap Eddie adalah
seorang petugas keamanan bernama Tanaka. Kalau tidak
salah, Eddie menyediakan obat bius untuk orang itu. Sudah
bertahun-tahun Eddie mengenalnya. Dan ketika Ishiguro
menyuruh Tanaka mengambil kaset-kaset itu, Tanaka
segera melaporkannya kepada Eddie."
"Dan Eddie turun ke lantai dasar untuk mengambil
kaset-kaset itu." "Ya. Bersama Tanaka."
"Tapi Phillips mengatakan bahwa Eddie datang seorang
diri." "Phillips bohong, karena dia kenal Tanaka. Karena itu,
dia juga tidak mencegah Eddie - Tanaka mengaku telah
mendapat perintah dari atas. Tapi waktu Phillips kita
mintai keterangan, dia tengaja tidak menyebut nama
Tanaka." "Dan kemudian?"
"Ishiguro mengirim beberapa orang untuk menggeledah
apartemen Cheryl. Tanaka membawa kaset-kaset itu ke
suatu tempat untuk dikopi. Dan Eddie pergi ke sebuah
pesta." "Tapi Eddie tetap menyimpan satu kaset."
"O, Ya." Aku berpikir sejenak. "Tapi waktu kita bicara dengan
Eddie di tempat pesta, ceritanya lain sama sekall "
Connor mengangguk. "Dia bohong."
"Dia membohongi Anda, temannya?"
Connor mengangkat bahu. "Dia pikir kita takkan
mengetahuinya." "Bagaimana dengan Ishiguro" Kenapa dia membunuh
Dieryl?" "Supaya bisa memeras Morton. Dan nyatanya berhasil Morton berubah pikiran mengenai penjualan MicroCon.
Untuk sementara waktu, Morton akan membiarkan rencana
itu terlaksana." "Dan untuk itu Ishiguro tega menghilangkan nyawa
orang lain" Untuk membeli sebuah perusahaan?"
"Saya pikir pembunuhan itu tidak terencana. Ishiguro
sedang bingung. Dia menghadapi tekanan besar. Dia
merasa harus membuktikan diri kepada para atasannya.
Taruhannya begitu besar, sehingga dia bertindak lain dari
orang Jepang pada umumnya dalam situasi yang sama. Dan
di bawah tekanan yang luar biasa itulah dia membunuh
Cheryl Austin. Seperti yang dikatakannya sendiri, Cheryl
wanita tak berarti."
"Astaga." "Tapi saya rasa masih ada hal lain. Sikap Morton
terhadap orang Jepang sangat tidak jelas. Banyak hal yang
menandakan kebencian terselubung - kelakarnya mengenai
menjatuhkan bom, dan sebagainya. Dan berhubungan seks
di atas meja rapat direksi. Ini... ini sangat menghina.
Ishiguro pasti marah sekali."
"Dan siapa yang melaporkan pembunuhan itu?"
"Eddie." "Kenapa'?" "Untuk mempermalukan Nakamoto. Setelah berhasil
membawa Morton ke tempat pesta dengan selamat, Eddie
lalu menelepon polisi. Mungkin dari sebuah pesawat
telepon di ruang resepsi. Waktu menelepon, dia belum tahu
apa-apa mengenai kamera-kamera keamanan. Kemudian
Tanaka menceritakannya, dan Eddie langsung khawatir
kalau Ishiguro akan menjebaknya. Jadi dia menelepon
sekali lagi." "Dan kali ini dia minta bicara dengan temannya, John
Connor." "Ya." Aku berkata, "Jadi Eddie yang mengaku bernama Koichi
Nishi?" Connor mengangguk. "Eddie memang suka bercanda.
Koichi Nishi adalah nama seorang tokoh dalam sebuah film
terkenal dari Jepang, mengenai korupsi di dunia bisnis."
Connor menghabiskan kopinya, dan mendorong badan
menjauhi meja layan. "Dan Ishiguro" Kenapa dia dikucilkan oleh orang-orang
Jepang yang lain?" "Tindakan Ishiguro dinilai terlalu gegabah. Dia dianggap
melebihi wewenangnya pada Kamis malam. Mereka tidak
menyukai hal itu. Dalam waktu dekat ini, dia pasti akan
dikirim kembali ke Jepang. Dia akan menghabiskan sisa
hidupnya di Jepang di sebuah madogiwa-zoku. Kursi di
pinggir jendela. Seseorang yang tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan penting, dan sepanjang hari hanya
memandang ke luar jendela. Secara tidak langsung, itu
hukuman seumur hidup."
Aku merenungkannya. "Jadi, waktu Anda menggunakan
telepon mobil untuk menghubungi stasiun TV dan
menjelaskan rencana Anda... siapa yang ikut mendengarkan
percakapan Anda?" "Sulit untuk memastikarinya." Connor mengangkat bahu.
"Tapi saya suka pada Eddie. Saya berutang budi padanya.
Saya tidak rela melihat Ishiguro pulang ke Jepang."
Ketika kami kembali ke markas, ternyata ada seorang
wanita tua yang sedang menungguku. Ia berpakaian serba
hitam dan memperkenalkan diri sebagai nenek Cheryl
Austin. Orangtua Cheryl tewas dalam kecelakaan mobil
ketika ia berusia empat tahun, dan setelah itu ia dibesarkan
oleh neneknya. Wanita tua itu hendak mengucapkan terima
kasih atas bantuanku dalam menyelidiki kematian cucunya.
Ia bercerita mengenai masa kecil Cheryl di Texas.
"Cheryl memang cantik," katanya, "dan dari duIu dia
pintar menarik perhatian laki-laki. Dia selalu dikerumuni
laki-laki." Ia terdiam seienak. "Tapi dari dulu saya sudah
tahu bahwa ada yang tidak beres dengannya. Dia selalu
berusaha agar dikelilingi laki-laki. Dan dia paling senang
kalau mereka bertengkar untuk memperebutkannya. Saya
masih ingat waktu dia berumur tujuh atau delapan tahun,
ada dua anak laki-laki yang berkelahi sampai berguling-guling di tanah, dan Cheryl menonton sambil
bertepuk tangan. Ketika memasuki usia remaja, dia
semakin menjadi-jadi. Dia tahu persis apa yang harus
dilakukannya. Saya tidak suka melihatnya. Ya, memang ada
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tidak beres dengan anak itu. Dia bisa bersikap jahat
sekali. Dan lagu itu, dia memutarnya terus-menerus."
"Lagu Jerry Lee Lewis?"
"Saya juga tahu sebabnya. Itu lagu kesukaan ayahnya.
Waktu Cheryl masih kecil, d ia suka ikut ayahnya naik mobil
ke kota, dan mereka pasang radio keras-keras. Cheryl pakai
bajunya yang pating bagus. Dia cantik sekali waktu masih
kecil. Mirip sekali dengan ibunya."
Terkenang akan masa lalu, wanita tua itu mulai
menangis. Aku mengambilkan tisu untuknya. Berusaha
menghibur. Dan tak lama kemudian ia bertanya apa yang terjadi.
Bagaimana Cheryl meninggal. Aku tidak tahu apa yang
harus kukatakan padanya. Ketika aku keluar dari pintu Parker Center, berjalan
melewati air mancur, aku dicegat oleh pria Jepang yang
mengenakan setelan jas. Umurnya sekitar empat puluh
tahun, berkumis, dengan rambut berwarna gelap. Ia
menyapaku secara formal dan menyodorkan kartu
namanya. Baru sesaat kemudian aku mengenalinya sebagai
Mr. Shirai, kepala bagian keuangan Nakamoto.
"Saya ingin bertemu langsung dengan Anda Sumisu-san,
untuk memberitahu Anda bahwa perusahaan saya sangat
menyesali tindakan Mr. Ishiguro. Perbuatannya tidak
pantas, dan melebihi wewenangnya. Nakamoto merupakan
perusahaan terhormat, dan kami tidak melanggar hukum.
Saya ingin menegaskan bahwa sikap Mr. Ishiguro tidak
mencerminkan kebijaksanaan perusahaan kami, atau
reputasi kami di dunia bisnis. Di negeri ini, pekerjaan Mr.
Ishiguro mengharuskannya banyak berhubungan dengan
bankir-bankir investasi, serta dengan orang-orang yang
biasa mengarnbil alih perusahaan lain. Terus terang, saya
kira Mr. Ishiguro sudah terlalu lama di Amerika. Mr.
Ishiguro banyak terkena pengaruh buruk di sini."-W'%
Nah, itu dia, permintaan maaf sekaligus cercaan.
Aku juga tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya.
Akhirnya aku berkata, "Mr. Shirai, saya sempat
mendapat tawaran kredit lunak untuk membeli rumah
kecil." "O, ya?" "Ya. Barangkali Anda belum mendapat kabar mengenai
itu." "Sebenarnya, saya pernah mendengar hal itu dibicarakan." Aku berkata, "Saya ingin menanyakan tawaran itu."
Shirai terdiam cukup lama.
Hanya gemercik air mancur di sebelah kananku yang
terdengar. Shirai menatapku, berusaha menentukan langkah
berikutnya. Akhirnya ia berkata, "Sumisu-san, tawaran itu tidak
pantas, dan tentu saja ditarik kembali."
"Terima kasih, Mr. Shirai," kataku.
Connor dan aku kembali ke apartemenku. Kami
sama-sama membisu. Kami meluncur di Santa Monica
freeway. Papan-papan penunjuk jalan telah dicoret-coret
oleh geng-geng anak muda. Aku menyadari bahwa
permukaan jalan tidak rata, karena mobilku terguncang-guncang. Di sebelah kanan, gedung-gedung
pencakar langit di sekitar Westwood tampak diselubungi
kabut tipis. Pemandangannya gersang.
Akhirnya aku berkata, "Jadi, apa masalah sebenarnya"
Sekadar persaingan antara Nakamoto dan perusahaan
Jepang lainnya" Mengenai MicroCon" Atau apa?"
Connor mengangkat bahu. "Saya kira mereka punya
beberapa tujuan. Cara berpikir orang Jepang memang
begitu. Dan bagi mereka, Amerika kini hanya merupakan
ajang persaingan mereka. Ada benarnya. Di mata mereka,
kita tidak terIalu penting."
Kami tiba di jalan tempat aku tinggal. Dulu aku
menganggap jalan yang diapit pepohonan ini sebagai
tempat yang nyaman, dengan taman bermain untuk anakku
di ujung blok. Tapi sekarang perasaanku berbeda.
Udaranya buruk, dan jalannya tampak kotor, tidak
menyenangkan. Aku memarkir mobil. Connor turun, lalu bersalaman
denganku. "Jangan patah arang."
"Saya sudah tidak bersemangat."
"Jangan. Masalah ini memang serius. Tapi semuanya bisa
berubah. Segala sesuatu pernah berubah sebelumnya, dan
mungkin saja berubah lagi di masa mendatang."
"Mungkin saja."
"Apa yang akan Anda lakukan setelah ini?" tanya Connor.
"Entahlah," jawabku. "Rasanya saya ingin pergi ke
tempat lain. Tapi tidak ada tempat lain yang bisa saya
datangi." Ia mengangguk. "Anda akan minta berhenti?"
"Barangkali. Yang pasti, saya akan keluar dari Special
Services. Tempat itu terlalu... terlalu tidak jelas bagi saya."
Ia mengangguk lagi. "Jaga diri Anda, Kohai. Terima kasih
atas bantuan Anda." "Sama-sama, Sempai."
Aku letih. Aku menaiki tangga ke apartemenku dan
melangkah masuk. Suasananya sunyi, anakku tidak ada.
Aku mengambil sekaleng Coke dari lemari es dan pindah ke
ruang duduk, tapi punggungku kembali nyeri ketika aku
duduk di salah satu kursi. Aku berdiri lagi dan menyalakan
TV. Tapi aku tidak berminat menonton. A ku teringat ucapan
Connor bahwa semua orang di Amerika memusatkan
perhatian pada hal-hal yang tidak penting. Situasi dengan
Jepang pun serupa. Kalau kita menjual negeri kita kepada
Jepang, mereka akan memilikinya, suka atau tidak. Dan
orang yang memiliki sesuatu akan memperlakukannya
sesuka hati mereka. Begitulah kenyataannya.
Aku masuk ke kamar tidur dan berganti pakaian. Di meja
di pinggir tempat tidur, aku melihat foto-foto ulang tahun
anakku yang sedang kuatur-atur ketika urusan ini dimulai.
Michelle pada foto-foto itu tidak mirip Michelle sekarang.
Foto-foto itu tidak lagi sesuai kenyataan. Aku mendengar
suara tawa dari TV di ruang sebelah. Dulu aku beranggapan
bahwa keadaannya baik-baik saja. Tapi ternyata tidak.
Aku melangkah ke kamar anakku. Aku menatap tempat
tidurnya, dan selimut dengan gambar-gambar gajah. Aku
membayangkan Michelle tidur, begitu tenteram, telentang,
dengan tangan ke atas. Aku membayangkan betapa ia
percaya bahwa aku akan membentuk dunianya untuknya.
Dan aku membayangkan dunia yang akan dihadapinya
kalau ia sudah dewasa. Ketika merapikan tempat tidurnya,
aku mulai merasa risau Transkrip: 15 Maret (99) INT: Oke, Pete, saya pikir ini sudah cukup. Kecuali
kalau ada lagi yang ingin Anda tambahkan.
PJS: Tidak. Hanya itu yang bisa saya ceritakan.
INT: Saya dapat kabar Anda mengundurkan diri
dari Special Services. PJS: Benar. INT: Dan Anda telah menyampaikan rekomendasi
tertulis kepada Komandan Olson, agar program petugas
penghubung Asia diubah. Anda menyarankan agar
hubungan dengan Japan-America Amity Foundation
diakhiri saja" PJS: Ya. INT: Alasan Anda" PJS: Kalau Departemen memerlukan petugaspetugas terlatih, biaya untuk latihan sebaiknya ditanggung
oleh Departemen sendiri. Saya pikir itu sehat.
INT: Lebih sehat" PJS: Ya. Sudah waktunya kita rebut kembali
kontrol atas negara kita sendiri.
INT: Sudah ada tanggapan dari Komandan"
PJS : Belum. Saya masih menunggu.
Jika Anda keberatan Jepang membeli sesuatu, jangan
menjualnya. - Akio Morita harus menerima kenyataan bahwa negeri seluas Negara.
Bagian Montana. ini, dengan setengah noPenutup "MANUSIA cenderung menolak kenyataan. Mereka
melawan perasaan nyata yang disebabkan oleh keadaan
nyata. Mereka membangun dunia impian yang berisi hal
yang seharusnya terjadi. Perubahan nyata dimulai dengan
penilaian nyata, dan dengan menerima kenyataan. Baru
kemudian ada kemungkinan untuk mengambil tindakan
nyata." Kata-kata itu diucapkan oleh David Reynolds, eksponen
Amerika dari psikoterapi Morita dari Jepang. Ia berbicara
mengenai tingkah laku perseorangan, tetapi komentar-komentarnya juga dapat diterapkan pada
tingkah laku ekonomi negara-negara.
Cepat atau lambat, Amerika Serikat harus mengakui
bahwa Jepang telah menjadi negara. industri nomor satu di
dunia. Orang Jepang mempunyai harapan hidup paling
lama di dunia. Mereka mempunyai tingkat pengangguran
paling kecil, kesenjangan sosial paling kecil, dan jumlah
orang yang dapat membaca yang paling besar. Mereka juga
mempunyai makanan terbaik. Kita harus menerima
kenyataan bahwa negeri seluas Negara Bagian Montana ini,
dengan setengah populasi kita, tak lama lagi akan memiliki
perekonomian yang setara dengan kita.
Tapi keberhasilan mereka tidak dicapai dengar cara-cara
kita. Jepang bukan negara industri Barat. Jepang
diorganisasi secara berbeda. Dan orang Jepang telah
menciptakan jenis perdagangan baru - perdagangan
menyerang, perdagangan seperti perang, perdagangan
yang bertujuan menyingkirkan semua saingan - yang
selama beberapa dekade tetap tidak dipahami oleh
Amerika. Amerika Serikat berkeras agar orang Jepang
menggunakan cara-cara kita. Tapi semakin sering mereka
menanggapinya dengan bertanya, kenapa harus kami yang
berubah" Kami lebih berhasil dibanding kalian. Dan
kenyataannya memang demikian.
Bagaimana tanggapan Amerika seharusnya" Tidak
masuk akal kalau kita menyalahkan Jepang karena
keberhasilan mereka, atau menuntut agar mereka
memperlambat gerak langkah. Orang Jepang menganggap
reaksi Amerika semacam ini sebagai tindakan kekanak-kanakan, dan mereka benar. Seharusnya Amerika
Serikat terjaga dari mimpi indah, memandang Jepang
secara saksama, lalu bertindak secara realistis.
Pada akhirnya, itu berarti Amerika Serikat akan
mengalami perubahan besar-besaran, tetapi partner yang
lebih lemah mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan
tuntutan yang timbul dalam berhubungan dengan partner
yang lebih kuat. Dan Amerika Serikat kini jelas-jelas
merupakan partner yang lebih lemah dalam pembicaraan
ekonomi dengan Jepang. Satu abad yang lalu, ketika armada Amerika yang
dipimpin Laksamana Perry membuka negeri itu, Jepang
merupakan masyarakat feodal. Orang Jepang menyadari
bahwa mereka harus berubah, dan mereka melakukannya.
Mulai tahun 1860-an, mereka memanggil ribuan ahli dari
Barat sebagai penasihat untuk mengubah pemerintahan
dan industri mereka. Seluruh masyarakat mengalami revolusi. Pergolakan kedua, yang tak kalah dramatis, terjadi
setelah Perang Dunia II. Tetapi dalam kedua kasus itu, orang Jepang menghadapi
tantangan tersebut secara tepat, dan berhasil mengatasinya. Mereka tidak berkata, "Biarkan orang-orang
Amerika membeli tanah dan lembaga-lembaga kita, dan
berharaplah agar mereka mau mengajarkan cara yang lebih
baik." Sama sekali tidak. Orang-orang Jepang mengundang
ribuan tenaga ahli, lalu mengirim mereka pulang lagi. Tak
ada salahnya kalau kita menggunakan pendekatan yang
sama. Orang Jepang bukan juru selamat kita. Mereka
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saingan kita. Dan sebaiknya kita jangan melupakan hal itu.
Riwayat Pengarang Michael Chrichton lahir di Chicago, pada tahun 1942. Ia
lulusan Harvard College dan Harvard Medical Sehool, pada
tahun 1969 menjadi mahasisiwa postdoctoral di Salk
Institute di La Jolla, California. Novel-novelnya adalah
Jurassic Park, Sphere, Congo, The Andromeda Strain, The
Terminal Man, The Great Train Robbery, dan Easters of the Dead. Ia juga menulis
empat buku nonfiksi: Five Patients,
Jasper Johns, Electronic Life, dan Travel. Film-film yang disutradarainya antara
lain Westworld, Coma, dan film dari
bukunya sendiri, The Great Train Robbery. Pada tahun 1988
ia menjadi penulis tamu di Massachusetts Institute of
Technology. Mahluk Kerdil Penghisap Darah 2 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Tiga Mutiara Mustika 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama