Ceritasilat Novel Online

Midnight Sun 2

Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Bagian 2


membuat mobilnya meluncur sepanjang permukaan es...
Penglihatan itu datang setengah detik sebelum kejadian. Mobil van Tyler telah
tiba di kelokan saat aku masih memperhatikan kejadian yang membuat Alice
membelalak ngeri. Tidak, penglihatan ini tidak ada kaitannya denganku, namun juga segalanya
berkaitan denganku, karena Van Tyler-ban mobilnya kini melintasi permukaan es
menuju ke arah yang paling buruk-akan berputar-putar dan tergelincir sepanjang
parkiran menabrak gadis yang tanpa diundang telah menjadi pusat duniaku.
Bahkan tanpa kemampuan Alice sangat mudah membaca lintasan kendaraan itu, yang
meluncur diluar kendali Tyler.
Gadis itu, berdiri tepat di tempat yang salah, di belakang truknya. Ia
mendongak, bingung karena mendengar suara lengkingan bising. Dia melihat tepat
kedalam mataku yang membelalak ngeri, dan kemudian menoleh untuk melihat
kematiannya mendekat. Jangan dia! Kata-kata itu berteriak dalam kepalaku seakan berasal dari orang
lain. Masih terkunci dalam pikiran Alice, aku melihat penglihatannya mendadak berubah,
tapi aku tidak punya waktu menunggu hasilnya.
Aku langsung bergerak kilat melintasi parkiran, melemparkan diriku diantara van
yang tergelincir dan sang gadis yang membeku. Aku bergerak sangat cepat hingga
semuanya kelihatan kabur kecuali fokus tujuanku. Dia tidak melihatku - tidak ada
mata manusia yang sanggup mengikuti kecepatanku - masih terkejut memandangi
benda gelap besar yang akan segera menggilas badannya ke belakang truk.
Aku menangkap pinggangnya, menubruk terlalu cepat daripada seharusnya. Dalam
sepersekian detik diantara waktu aku merenggut tubuh rampingnya dari jalur
kematian, dan waktu dimana aku menjatuhkan diri ke tanah dengan dia di
pelukanku, aku jadi bisa merasakan dengan jelas kerapuhan tubuhnya.
Ketika mendengar kepalanya membentur permukaan es, tubuhku serasa membeku.
Tapi aku tidak punya satu detik pun untuk memastikan keadaannya. Aku dengar van
itu sudah di belakang kami berdua, menderak begitu menyenggol bemper besi truk
gadis itu. Van itu kemudian berubah arah, menuju arahnya lagi - seakan dia itu
magnet. Umpatan yang belum pernah kuucapkan dihadapan seorang perempuan terselip
diantara gigiku. Aku telah berbuat terlalu banyak. Saat hampir saja meloncat tinggi untuk
menghindari dia dari bahaya, aku menyadari kesalahan itu. Tapi itu tetap tidak
menghentikanku melakukan yang lain, sekaligus juga tidak menyangkal akibatnya bukan saja resiko bagiku, tapi juga bagi seluruh keluargaku.
Terekspos. Dan serangan kedua ini tidak membantu. Tidak akan kubiarkan van ini berhasil
menghancurkan dia. Aku menaruh dia lalu mengulurkan tangan, menangkap van itu sebelum menyentuhnya.
Daya dorongnya membantingku mundur ke mobil sebelah. Bisa kurasakan sisi
mobilnya di belakang bahu. Van itu bergetar, kemudian terayun. Dua ban
sampingnya terangkat. Jika kulepas tanganku, salah satu ban itu akan jatuh menimpa kaki gadis itu.
Oh, demi orang-orang kudus, kapan malapetakanya selesai" Apa lagi yang akan
salah" Aku tidak mungkin begini terus, mengangkat van di udara sampai bantuan
datang. Juga tidak mungkin melemparnya - ada supirnya yang mesti
dipertimbangkan, pikirannya panik.
Sambil mengggeram dalam perut, kusorong van itu sedikit. Saat mau jatuh,
kutangkap bawahnya dengan tangan kanan, sedang tangan kiri merangkul pinggang
gadis itu dan menariknya keluar dari bawah mobil. Badannya lunglai saat kugeser
hingga kakinya aman dan merapat ke sisiku-apa dia sadarkan diri" Seberapa besar
luka yang kutimbulkan gara-gara penyelamatan ceroboh tadi"
Kulepas van itu setelah dia aman. Jendelanya pecah berantakan saat terbanting
jatuh. Aku tahu situasiku terpojok. Seberapa banyak yang dia lihat" Apa ada saksi yang
lain" Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya jadi kekhawatiran yang paling besar.
Tapi aku terlalu cemas hingga tidak memikirkan ancaman itu. Aku terlalu panik
telah melukai dia dalam usaha melindunginya. Terlalu takut mendapati dirinya
sedekat ini, mengetahui dapat saja menghirup baunya. Terlalu menyadari
kehangatan tubuhnya yang lembut menyentuh tubuhku-bahkan dengan penghalang jaket
masih terasa kehangatannya...
Ketakutan itu adalah yang terbesar. Saat teriakan orang-orang mendekat, aku
memeriksa wajahnya, melihat apa dia sadar-berharap-ngeri dia tidak berdarah.
Matanya terbuka. syok. "Bella?" Aku bertanya khawatir. "Apa kau baik-baik saja?"
"Iya tidak apa-apa." dia menjawab spontan dengan suara linglung.
Aku sangat lega mendengar suaranya. Aku menarik napas lewat sela gigi, dan tidak
keberatan dengan rasa terbakar di tenggorokan yang menyertainya. Justru bisa
dibilang aku menyambutnya.
Dia berusaha untuk duduk, tapi aku belum siap melepasnya. Entah bagaimana aku
merasa...lebih aman" Lebih baik, paling tidak, masih memegangi dia di sisiku.
"Hati-hati," aku memperingatkan. "Kurasa kepalamu terbentur cukup keras."
Tidak ada bau darah segar-untung saja-tapi ini tidak menyingkirkan kemungkinan
luka dalam. Aku mendadak jadi cemas ingin segera membawanya ke Carlisle,
memeriksanya dengan peralatan lengkap.
"Aduh." keluhnya, nadanya terkejut saat menyadari aku benar tentang kepalanya.
"Itulah yang kupikirkan." aku sudah sedikit lega hingga bisa melihat kelucuan
ekspresinya. Aku hampir tertawa geli.
"Bagaimana bisa..." suaranya perlahan menghilang, matanya mengerjap bingung.
"Bagaimana kau bisa sampai disini secepat itu?"
Kelegaan berubah masam, rasa humor lenyap. Dia melihat terlalu banyak.
Kini, saat gadis ini kelihatan baik-baik saja, kecemasan terhadap keluargaku
jadi nyata. "Aku berdiri di sebelahmu, Bella." aku tahu dari pengalaman, jika sangat yakin
saat berbohong, maka orang lain jadi ragu dengan apa yang benar.
Dia berusaha duduk lagi. Kali ini kuijinkan. Aku butuh mengambil napas agar bisa
memainkan peran dengan benar. Aku butuh menjauh dari kehangatan darah pada
tubuhnya agar tidak terkombinasi dengan aromanya hingga membuatku kewalahan. Aku
menjauh sejauh mungkin di ruang sempit diantara himpitan dua kendaraan ini.
Dia mendongak menatapku. Aku menatap balik. Berpaling duluan adalah kesalahan
yang dibuat oleh seorang pembohong amatir, dan aku bukan amatiran. Ekpresiku
lembut, bersahabat... Sepertinya itu membingungkan dia. Itu bagus.
Kini orang-orang mulai merubung. Kebanyakan para murid. Mereka saling mendesak
maju untuk menonton. Dimana-mana terdengar teriakan dan pekik kaget pikiran.
Kuamati pikiran-pikiran itu sekilas untuk memastikan tidak ada yang curiga, dan
kemudian kuredupkan suaranya untuk berkonsentrasi hanya pada si gadis.
Dia teralihkan oleh kegemparan orang-orang. Dia melihat ke sekeliling,
ekspresinya masih syok. Dia berusaha untuk berdiri.
Aku pegang pundaknya untuk menahannya.
"Coba jangan berdiri dulu." dia kelihatannya baik-baik saja, tapi apa dia boleh
menggerakkan leher" Lagi, aku berharap ada Carlisle. Tahunan mempelajari teori
kedokteran tidak sebanding dengan berabad-abad praktek secara langsung.
"Tapi dingin," dia mengeluh.
Dia hampir terbunuh dua kali berturutan dan nyaris luka parah satu kali, namun
dingin yang ia risaukan. Kekehan pendek sempat terselip dari gigiku sebelum
kembali ingat situasinya tidak lucu.
Bella mengerjap, dan kemudian matanya fokus ke wajahku. "Kau ada disebelah
sana." Hal itu membuatku masam lagi.
Dia melirik ke tempatku tadi, meski sekarang tidak ada yang bisa dilihat kecuali
mobil Tyler. "Kau ada di sebelah mobilmu."
"Tidak." "Aku melihatmu." dia ngotot; suaranya seperti anak kecil ketika sedang keras
kepala. Dagunya terangkat maju.
"Bella, aku sedang berdiri disampingmu, dan aku menarikmu."
Aku menatapnya lekat-lekat kedalam mata lebarnya, berusaha meyakinkan dia untuk
menerima versiku-satu-satunya versi rasional yang ada. Rahangnya mengeras.
"Tidak." Aku berusaha tetap tenang, tidak panik. Jika aku bisa menenangkannya sebentar,
mencuri waktu untuk menghilangkan bukti... aku bisa meruntuhkan ceritanya dengan
menyalahkan kepalanya yang terluka.
"Kumohon, Bella," aku berkata dengan suara sungguh-sungguh. Mendadak aku ingin
dia mempercayai diriku. Sangat ingin, bukan hanya karena insiden ini. Hasrat
yang konyol. Apa gunanya membuat dia memparcayai aku"
"Kenapa?" dia bertanya, masih ngotot.
"Percayalah padaku," aku memohon.
"Maukah kau berjanji akan menjelaskan semuanya nanti?"
Membuatku marah harus berbohong lagi padanya, ketika aku berharap bahwa entah
bagaimana aku layak mendapatkan kepercayaan dia. Jadi, saat menjawabnya, nadaku
ketus. "Baik." "Baik." dia mengulangi dengan nada ketus sama.
Ketika usaha penyelamatan mulai dilakukan-para orang dewasa datang, pihak
berwajib ditelepon, suara sirene di kejauhan - aku berusaha mengabaikan gadis
itu dan meletakkan hal yang terpenting pada tempatnya. Aku mencari ke setiap
benak di parkiran, para saksi dan orang-orang yang baru datang, dan tidak
menemukan hal yang berbahaya. Beberapa ada yang terkejut melihat aku disamping
Bella, tapi semuanya terpecahkan - karena tidak ada lagi kemungkinan pemecahan
yang lain - bahwa mereka hanya tidak menyadari aku berdiri di samping gadis itu
sebelumnya. Hanya dia yang tidak mau menerima penjelasan yang mudah, tapi dia bukan saksi
yang akan dianggap layak. Dia ketakutan, trauma, belum ditambah benturan di
kepalanya. Kemungkinan agak syok. Akan lebih mudah untuk membalikkan ceritanya,
bukankah begitu" Tidak akan ada yang percaya pada cerita seperti itu ketika
banyak penonton justru bersaksi sebaliknya...
Aku mengernyit ketika menangkap pikiran Rosalie, Jasper, dan Emmet, yang baru
saja datang. Aku mesti membayar mahal nanti malam.
Aku ingin meratakan bekas penyok pada mobil coklat yang terhantam pundakku, tapi
dia terlalu dekat. Aku mesti menunggu sampai gadis itu teralihkan.
Sangat menjengkelkan harus menunggu-banyak mata menatapku - saat orang-orang
berusaha menggeser vannya. Aku mungkin saja membantu mereka, agar lebih cepat,
tapi aku sudah cukup terlibat masalah. Lagipula gadis ini matanya tajam.
Akhirnya, mereka berhasil menggeser vannya cukup jauh hingga tim medis bisa
mendatangi kami dengan tandu.
Sesosok pria beruban yang tidak asing mendekatiku.
"Hey, Edward," Brett Warner menyapa. Dia seorang perawat. Aku mengenalnya cukup
baik dari rumah sakit. Ini suatu keberuntungan - satu-satunya keberuntungan hari
ini - dia yang pertama kali tiba. Dalam pikirannya ia tidak curiga. "Apa kau
baik-baik saja, kid?"
"Perfect, Brett. Aku tidak kena apa-apa. Tapi sepertinya Bella mengalami gegar
otak. Kepalanya terbentur cukup keras ketika aku mendorongnya... "
Brett ganti mengarahkan perhatiannya pada si gadis, yang menatapku sengit merasa
dikhianati. Oh, iya betul. Dia seorang martir pendiam - dia lebih memilih
menderita diam-diam. Dia tidak langsung membantah ceritaku. Itu membuatku lebih rileks.
Petugas medis berikutnya memaksa agar aku juga dirawat, tapi tidak sulit menolak
mereka. Aku berjanji akan membiarkan ayahku sendiri yang memeriksa, dan dia
setuju. Dengan kebanyakan manusia, bicara dengan nada meyakinkan sudah lebih
dari cukup. Buat kebanyakan manusia, bukan untuk gadis ini. Apa dia cocok dengan
satupun ciri-ciri normal"
Saat mereka mengenakan penyangga leher ke dia - dan mukanya langsung merah padam
karena malu - aku menggunakan momen itu untuk diam-diam membetulkan lekukan di
mobil coklat dengan belakang kaki. Hanya saudara-saudaraku yang melihat, dan aku
bisa mendengar pikiran Emmet berjanji akan membereskan sisanya kalau ada yang
terlewat. Aku bersyukur atas bantuannya - dan lebih bersyukur lagi bahwa Emmet, paling
tidak, telah memaafkan pilihan berbahayaku - aku merasa lebih tenang saat naik
kedepan ambulance, disamping Brett.
Kepala polisi datang sebelum Bella dinaikan ke ambulance.
Meskipun tidak terucap, kepanikan pikirannya mengalahkan semua pikiran lain
disekitarnya. Sangat cemas dan merasa bersalah, gelombang besar perasaan itu
membuatnya pilu saat melihat anak perempuan satu-satunya diatas tandu.
Rintihan dia sampai padaku, menggema makin dalam. Saat Alice memberi peringatan
bahwa membunuh putri Chief Swan juga akan membunuhnya, dia tidak melebihlebihkan. Kepalaku tertunduk merasa bersalah.
"Bella!" Dia berteriak panik.
"Aku baik-baik saja Char-Dad." keluhnya. "Aku tidak terluka."
Kata-kata Bella tidak terlalu menenangkan ayahnya. Dia bertanya ke petugas medis
terdekat menuntut informasi lebih banyak.
Baru setelah mendengarnya bicara, mengucapkan satu kalimat utuh selain panik,
aku menyadari bahwa kecemasan dia bukannya tidak terucap. Aku hanya... tidak
bisa mendengar ada kata-katanya yang jelas.
Hmm. Charlie Swan tidak sependiam putrinya, tapi aku bisa melihat darimana Bella
mendapatkannya. Menarik. Aku belum pernah menghabiskan terlalu banyak waktu di sekitar chief Swan. Aku
selalu menganggapnya berpikiran lamban - baru sekarang aku sadar bahwa cuma aku
yang menganggap dia lamban. Pikirannya sebagian tersembunyi, bukannya kosong.
Aku cuma bisa menangkap satu nada, sedang sisa harmoni lainnya...
Aku ingin mendengar lebih banyak, siapa tahu misteri kecil baru ini bisa
membawaku menemukan kunci rahasia gadis itu. Tapi sebentar lagi Bella akan
dimasukan ke ambulance. Cukup sulit menjauhkan diri dari misteri yang telah membuatku terobsesi. Tapi
sekarang ada yang lebih penting - untuk menilai kejadian tadi dari berbagai
sudut. Aku mesti mendengarkan, untuk memastikan kami tidak dalam bahaya hingga
harus cepat-cepat pergi. Aku harus konsentrasi.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pikiran-pikiran yang ada di ambulance.
Sejauh yang bisa mereka katakan, tidak ada luka serius pada gadis ini. Dan Bella
masih bertahan pada cerita yang kuajukan, sejauh ini.
Ketika tiba di rumah sakit, prioritas pertama adalah mencari Carlisle. Aku
cepat-cepat menghambur dari pintu depan, tapi aku juga tidak bisa melepas Bella
dari pengawasan; aku mengawasi dia lewat pikiran tim medis.
Cukup mudah menemukan pikiran ayahku. Dia ada di dalam kantornya yang kecil,
seorang diri - keberuntungan kedua di hari sial ini.
"Carlisle." Dia mendengarku mendekat tak sabar, dan segera waspada begitu melihat wajahku.
Dia langsung terlonjak berdiri. Wajahnya pucat. Dia bertumpu keatas meja kayu
walnut nya yang rapih sambil menatapku nanar.
Edward-kau tidak- "Tidak, tidak, bukan itu."
Dia langsung menghela napas lega. Tentu saja. Maaf aku berpikiran yang tidaktidak. Matamu, tentu saja, aku seharusnya tahu... dia menyadari mataku yang
masih keemasan. "Dia terluka Carlisle, mungkin tidak serius, tapi-"
"Apa yang terjadi?"
"Gara-gara mobil bodoh itu. Dia ada di tempat yang salah pada waktu yang salah.
Tapi aku tidak bisa membiarkannya - membiarkan mobil itu meremukan dia-"
Coba ulangi, aku tidak mengerti. Bagaimana kau terlibat"
"Sebuah mobil van tergelincir diatas es," aku berbisik ngeri. Aku menatap
dinding di belakangnya saat bicara. Bukannya menjejali dengan bingkai ijasah,
dia menggantung satu lukisan cat minyak sederhana - salah satu lukisan
favoritnya, karya seorang pelukis bernama Hassam.
"Dia tidak jauh di depannya. Alice sempat melihat itu. Tapi tidak cukup waktu
untuk melakukan apapun kecuali lari melintasi parkiran dan menyelamatkan dia.
Tidak ada yang memperhatikan... kecuali dia. Aku juga mesti menghentikan Van
itu, tapi lagi, tidak ada yang melihat...kecuali dia. Aku...aku minta maaf
Carlisle. Aku tidak bermaksud membahayakan kita."
Dia mengitari meja dan memegang pundakku.
Kau melakukan hal yang benar. Dan itu tidak mudah bagimu. Aku bangga padamu
Edward. Aku kembali sanggup menatap matanya. "Dia tahu ada sesuatu...yang salah
denganku." "Itu tidak penting. Jika kita harus pergi, kita pergi. Apa yang sudah ia katakan
ke orang-orang?" Aku menggeleng, sedikit frustasi. "Belum ada."
Belum" "Dia menyetujui versi ceritaku - tapi dia mengharapkan penjelasan."
Alisnya mengerut, mempertimbangkan kejadian ini.


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kepalanya terbentur-well, aku yang melakukannya," aku buru-buru melanjutkan.
"Aku menjatuhkan dia ke aspal agak keras. Kelihatannya tidak apa-apa, tapi...
jadi tidak cukup untuk mendeskreditkan dia."
Aku merasa seperti orang rendahan hanya dengan mengatakannya.
Carlisle mendengar kesan itu pada suaraku. Barangkali tidak perlu. Kita tunggu
saja apa yang terjadi, mari" Sepertinya aku punya pasien yang harus diperiksa.
"Kumohon," Ujarku. "Aku sangat khawatir telah menciderainya."
Ekspresi Carlisle terlihat lebih cerah. Dia merapihkan rambut putihnya - sedikit
lebih terang dari mata emasnya-dan tertawa.
Ini merupakan hari yang menarik bagimu bukan" Dia membatin. Aku bisa melihat
ironinya, dan itu menggelitik, paling tidak bagi dia. Tadi aku berlaku
sebaliknya dari peranku semestinya. Entah kapan, pada sekejapan sembrono tadi,
ketika bergerak kilat melintasi parkiran, aku bertransformasi dari seorang
pembunuh menjadi penolong.
Aku tertawa bersama Carlisle, mengingat aku pernah yakin bahwa Bella tidak akan
pernah membutuhkan perlindungan dari bahaya apapun lebih dari aku. Ada kegetiran
pada tawaku karena hal itu masih sepenuhnya betul.
Aku menunggu sendirian di kantor Carlisle-masa penantian yang paling lama yang
pernah kurasakan-mendengarkan semua pikiran di rumah sakit.
Tyler Crowley, si pengemudi van, kelihatannya terluka lebih serius. Perhatian
perawat beralih ke dia, sementara Bella menunggu giliran dirontgen. Carlisle
tidak turun tangan, dia mempercayai diagnosa asistennya bahwa si gadis hanya
luka ringan. Itu tidak terlalu membuatku lega, tapi aku tahu Carlisle benar.
Sekali melihat wajahnya, Bella akan langsung ingat padaku, pada fakta bahwa ada
sesuatu yang tidak beres dengan keluargaku. Itu akan membuatnya cerita kemanamana. Kini ia punya lawan bicara yang cukup bersemangat. Tyler merasa sangat bersalah,
dan tidak bisa berhenti mengungkapkan penyesalannya. Aku bisa melihat ekspresi
Bella melalui mata Tyler. Sangat jelas gadis itu berharap dia berhenti. Bisabisanya Tyler tidak melihat hal itu"
Kemudian tiba saat yang membuatku tegang. Tyler bertanya bagaimana ia bisa
menyingkir dari jalan. Aku menunggu, tidak bernapas. Ia ragu-ragu.
"Mmm... " aku mendengar dia menggumam. Kemudian diam cukup lama hingga Tyler
menduga pertanyaannya telah membuat bingung. Akhirnya ia melanjutkan. "Edward
menarikku dari jalan. "
Aku menghela napas. Tapi kemudian napasku memburu. Aku belum pernah mendengar
dia mengucapkan namaku. Aku suka pada cara dia mengucapkannya - bahkan hanya
dengan mendengarnya melalui pikiran Tyler. Aku ingin mendengarnya sendiri...
"Edward Cullen," dia berkata, ketika Tyler tidak menyadari siapa yang dia
maksud. Tiba-tiba aku sudah di depan pintu, tanganku pada gagang pintu. Hasrat untuk
bertemu dengan dia berkembang makin kuat. Aku harus mengingatkan diriku sendiri
untuk berhati-hati. "Dia berdiri disebelahku"
"Cullen?" Huh, itu aneh. "Aku tidak melihat dia."
aku bersumpah... "Wow, kurasa kejadiannya berlangsung cepat sekali. Apa dia baik-baik saja?"
"Sepertinya begitu. Dia ada disini entah dimana, tapi mereka tidak membawa dia
dengan tandu." Aku melihat tatapan menimbang pada wajahnya, kecurigaan menggantung di matanya,
tapi perubahan kecil pada ekspresinya tidak dilihat Tyler.
Dia cantik, dia sedang berpikir, baru menyadari pikirannya. Bahkan ketika acakacakan begini. Bukan tipeku, tapi tetap saja... aku harus mengajaknya kencan.
Untuk membayar hari ini...
Dalam sekejap aku sudah berada di koridor, setengah jalan menuju UGD, tanpa
berpikir apa yang sedang kulakukan. Untungnya, seorang perawat masuk duluan Giliran Bella untuk dirontgen. Aku bersembunyi di pojokan, berusaha menguasai
diri saat ia didorong dengan kursi roda.
Aku tidak perduli jika menurut Tyler dia cantik. Semua bisa melihat hal itu.
Tidak ada alasan bagiku untuk merasa...bagaimana yang kurasakan" Terganggu"
Atau, marahkah yang lebih tepat" Tidak masuk akal.
Aku diam selama mungkin, tapi ketidaksabaranku yang akhirnya menang. Aku
mengambil jalan memutar ke ruang rontgen. Tapi dia sudah dibawa balik lagi ke
UGD. Namun aku sempat mencuri lihat hasil rontgennya saat si perawat pergi.
Aku jauh lebih tenang. Kepalanya baik-baik saja. Aku tidak melukainya, tidak
terlalu. Carlisle memergokiku. Kau kelihatan jauh lebih baik, dia berkomentar.
Aku hanya melihat lurus kedepan. Kami tidak sendirian, koridor penuh dengan
perawat dan pengunjung. Ah, iya. Carlisle memasang hasil rontgennya ke lightboard, tapi aku tidak perlu
melihat dua kali. Kurasa begitu. Dia baik-baik saja. Kerja bagus, Edward.
Nada persetujuan dari ayahku membuat reaksiku campur aduk. Aku seharusnya
senang, namun aku tahu ia tidak akan setuju dengan apa yang akan kulakukan,
paling tidak jika tahu motivasiku sebenarnya...
"Kurasa aku akan bicara dengannya-sebelum dia bertemu denganmu," aku menggumam
dibalik napas. "Bersikap normal, seperti tidak terjadi apa-apa. Agar dia tidak
makin curiga." semuanya alasan yang bisa diterima.
Carlisle mengangguk-angguk sendirian, masih memandangi hasil rontgennya. "Ide
bagus. Hmm... " Aku melirik untuk melihat apa yang menarik perhatiannya.
Coba lihat bekas-bekas memar ini! Berapa kali dulu ibunya menjatuhkan dia"
Carlisle tertawa sendiri pada leluconnya.
"Aku mulai berpikir gadis itu betul-betul punya nasib sial. Selalu berada di
tempat yang salah dan waktu yang salah."
Forks tentunya tempat yang salah bagi dia, dengan kau disini. Aku terdiam
Sudah sana. Jangan buat dia curiga. Aku akan menyusul sebentar lagi.
Aku cepat-cepat pergi, merasa bersalah. Mungkin aku memang pembohong besar
hingga bisa mengelabui Carlisle.
Ketika sampai di UGD, Tyler terlihat masih terus menggumakan peyesalan. Gadis
itu berusaha mengabaikannya dengan pura-pura tidur. Matanya tertutup, tapi
napasnya tidak teratur, dan sesekali jarinya bergerak tidak sabar.
Aku menatap wajahnya lama-lama. Ini terakhir kalinya aku akan melihat dia.
Kenyataan itu memicu rasa nyeri di dadaku. Apa alasannya karena aku tidak suka
meninggalkan misteri yang tidak terpecahkan" Tapi sepertinya itu tidak cukup
menjelaskan. Akhirnya aku menarik napas dalam-dalam dan mendekat.
Ketika Tyler melihatku, ia sudah akan bicara, tapi aku memberi isyrat agar dia
tetap tenang. "Apa dia tidur?" aku bergumam pelan.
Mata Bella tiba-tiba terbuka dan melihat ke arahku. Matanya sesaat melebar,
kemudian menyipit dengan tatapan marah dan curiga. Aku ingat punya peran yang
harus kumainkan, jadi aku tersenyum seakan tidak ada kejadian apa-apa pagi iniselain luka di kepalanya dan imajinasinya yang berlebihan.
"Hai, Edward," sapa Tyler. "Aku sangat menyesal-"
Aku mengangkat tanganku. "Tidak ada darah, tidak seru." aku berkata masam. Tanpa
berpikir, aku tersenyum terlalu lebar pada leluconku.
Ternyata mudah mengabaikan Tyler, yang terbaring tidak jauh dariku dengan darah
segar pada lukanya. Aku tidak pernah memahami bagaimana Carlisle melakukannya tidak mengindahkan darah pasiennya selama merawat mereka. Bukankah godaan yang
terus menerus akan membuat pikiran kacau, sangat bahaya... " Tapi sekarang...
Aku bisa mengerti. Jika kau sangat-sangat fokus pada hal lain, godaan itu jadi
tidak ada artinya. Bahkan darah segar Tyler pada kepalanya yang terbalut perban jadi tidak berarti
apa-apa dihadapan Bella. Aku menjaga jarak darinya, duduk di ujung tempat tidur Tyler.
"Jadi, apa kata mereka?" aku bertanya padanya.
Bibir bawahnya sedikit mencebik. "Aku baik-baik saja. Tapi mereka tidak
mengijinkanku pergi. Bagaimana bisa kau tidak ditandu seperti kami?"
Ketidaksabarannya membuatku tersenyum lagi. Aku bisa mendengar suara Carlisle di
koridor. "Itu cuma soal siapa yang kau kenal," aku berkata santai. "Tapi jangan khawatir,
aku datang untuk menyelamatkanmu."
Aku menatap reaksinya baik-baik saat ayahku masuk. Matanya membesar dan mulutnya
benar-benar ternganga. Aku mengerang dalam hati. Tentu saja dia melihat
kemiripan kami. "Jadi, Miss Swan, bagaimana perasanmu?" Carlisle bertanya. Dia punya sikap yang
menyejukkan disamping kebaikan hatinya. Para pasiennya biasanya langsung merasa
tenang. Tapi aku tidak bisa mengatakan bagaimana pengaruhnya pada gadis ini.
"Aku baik-baik saja," dia berkata pelan.
Carlisle menyematkan hasil rontgennya ke lightboard disamping tempat tidur.
"Hasil rontgenmu baik. Apa kepalamu sakit" Kata Edward kau terbentur cukup
keras." Dia mengeluh, dan berkata, "Aku tidak apa-apa," jawabnya lagi, kali ini agak
tidak sabaran. Kemudian ia mengerling kesal padaku.
Carlisle mendekat dan tangannya meraba ringan kepalanya sampai menemukan
benjolan dibawah rambutnya.
Aku terkejut dengan gelombang emosi yang tiba-tiba melandaku.
Aku telah melihat Carlisle merawat manusia ribuan kali. Bertahun-tahun lalu, aku
bahkan membantunya - meski dalam situasi yang tidak melibatkan darah. Jadi bukan
hal baru melihat bagaimana dia berinteraksi dengan gadis itu seakan dia sendiri
juga manusia. Aku kadang iri pada penguasaan dirinya, tapi itu berbeda dengan
emosi yang kurasakan sekarang. Yang kuiri lebih dari sekedar penguasaan dirinya.
Aku iri pada pada perbedaan Carlisle dan aku - bahwa ia dapat menyentuh gadis
itu dengan lembut, tanpa takut, mengetahui ia tidak akan menyakitinya...
Bella mengernyit, dan aku mengejang di tempat. Untuk sesaat aku mesti
berkonsentrasi untuk membuat postur tubuhku rileks.
"Sakit?" tanya Carlisle.
Sesaat dagunya tersentak. "Tidak juga,"
Satu lagi kepingan karakter gadis itu terungkap; dia berani. Dia tidak suka
menunjukan kelemahannya. Kemungkinan ia adalah mahluk paling rapuh yang pernah kutemui, dan ia tidak
ingin terlihat lemah. Aku sedikit terkekeh. Kembali dia mengerling kesal.
"Well," ujar Carlisle. "Ayahmu ada di ruang tunggu - kau bisa pulang dengannya
sekarang. Tapi kembalilah jika kau merasa pusing atau penglihatanmu tergganggu."
Ayahnya disini" Aku menyapu pikiran-pikiran yang ada di ruang tunggu. Tapi aku
tidak bisa menemukan suara mentalnya sebelum Bella kembali bicara, wajahnya
gelisah. "Bolehkah aku kembali ke sekolah?"
"Mungkin kau bisa istirahat dulu hari ini," Carlisle menyarankan. Matanya
kembali menuduhku, "Apa dia boleh pergi ke sekolah?" Bersikap normal, jangan
mencurigakan...abaikan rasanya saat ia menatap kedalam mataku...
"Harus ada orang yang menyebarkan kabar baik bahwa kita selamat," kataku.
"Sebetulnya," Carlisle mengoreksi, "Hampir sebagian besar murid ada di ruang
tunggu." Kali ini aku sudah mengantisipasi reaksinya - enggan mendapat perhatian. Dan dia
tidak mengecewakan. "Oh tidak," dia mengerang dan menutup wajahnya dengan tangan.
Aku senang akhirnya bisa menebaknya dengan betul. Aku mulai bisa memahami dia...
"Apa kau ingin tetap tinggal disini?" Tanya Carlisle.
"Tidak, tidak!" dia buru-buru menolak, mengayunkan kakinya ke samping dan
merosot turun ingin berdiri. Dia tersandung kedepan, hilang keseimbangan, lalu
jatuh ke pelukan Carlisle. Carlisle menangkapnya kemudian menyeimbangkan dia.
Lagi, rasa iri itu melanda diriku.
"Aku baik-baik saja," ujarnya cepat. Rona merah muda terlihat di pipinya. Tentu
saja itu tidak mengganggu Carlisle. Dia memastikan Bella berdiri seimbang,
kemudian melepaskan peganggannya.
"Minum Tylenol untuk mengurangi rasa sakitnya," Dia memberitahu.
"Sakitnya tidak separah itu kok."
Carlisle tersenyum saat menandatangani surat keterangannya. "Kedengarannya kau
sangat beruntung." Dia memutar wajahnya pelan untuk menatapku tajam. "Beruntung karena Edward
kebetulan berdiri disebelahku."
"Oh, baik kalau begitu," Carlisle cepat-cepat mengiyakan, sama mendengar seperti
yang kudengar pada suaranya. Dia tidak menganggap kecurigaannya sebagai
imajinasi belaka. Belum. Kupasrahkan padamu, Carlisle berkata dalam hati. Atasi dengan cara yang
menurutmu paling baik. "terima kasih banyak," aku berbisik, pelan dan cepat. Tidak ada manusia yang
bisa mendengarku. Bibir Carlisle bergerak sedikit mendengar gerundelanku. "Aku
khawatir kau harus tinggal bersama kami lebih lama," katanya pada Tyler begitu
mulai memeriksa luka-lukanya yang diakibatkan goresan pecahan kaca.
Well, aku yang cari gara-gara, jadi cukup adil jika aku sendiri yang harus
menghadapinya. Mendadak Bella menghampiriku, tidak berhenti hingga cukup dekat. Membuatku tidak
nyaman. Aku ingat tadi sempat berharap ia akan menghampiriku... Ini seperti
memperolok harapanku. "Bisa aku bicara denganmu sebentar?" dia berbisik padaku.
Kehangatan napasnya menyapu wajahku dan aku agak terhuyung selangkah. Daya
mengundang -selera- nya tidak berkurang sedikitpun. Setiap kali berada di
dekatku, dia memicu setiap jengkal instingku yang paling kuno. Liur mengalir di
mulutku, dan tubuhku berhasrat untuk menerjang - untuk merenggut dia dengan
tanganku sebelum mematahkan lehernya dengan satu gigitan.
Pikiranku lebih kuat dari tubuhku, tapi hampir saja.
"Ayahmu menunggumu," aku mengingatkan dia, rahangku terkatup rapat.
Dia memandang sekilas ke Carlisle dan Tyler. Tyler sama sekali tidak
memperhatikan, tapi Carlisle mengawasi tiap tarikan napasku.
Hati-hati, Edward. "Aku ingin bicara denganmu berdua, jika kau tidak keberatan," dia memaksa
setengah berbisik. Aku ingin mengatakan sangat keberatan, tapi aku tahu aku harus melakukan ini
pada akhirnya. Maka sebaiknya kulakukan saat ini juga.
Emosiku campur aduk saat menurutinya keluar ruangan, mendengarkan langkahnya
terhuyung-huyung di belakangku, berusaha mengejar.
Aku punya pertunjukan yang mesti kupentaskan. Aku tahu peran yang akan kumainkan
-karakterku sebagai tokoh antagonis. Aku akan berbohong, mengejek, dan kejam.
Hal itu bertolak belakang dengan setiap dorongan hatiku - dorongan hati manusia
yang selama puluhan tahun ini kupegang. Aku belum pernah menginginkan untuk
layak dipercaya lebih daripada saat ini, ketika aku harus menghancurkan setiap
kemungkinan itu. Lebih buruk lagi, ini akan menjadi ingatan terakhir dia tentang aku. Ini adalah
adegan perpisahan dariku.
Aku berbalik ke dia. "Kau mau apa sih?" aku bertanya dengan suara dingin.
Dia terkesiap karena sikap permusuhanku. Matanya berubah penuh tanya, ekspresi
yang selama ini menghantuiku...
"Kau berhutang penjelasan padaku," dia berkata dengan suara pelan; wajah
gadingnya memucat. Sangat sulit mempertahankan suaraku agar tetap kasar. "Aku menyelamatkan hidupmu
- aku tidak berhutang apa-apa padamu."
Dia tersentak. Seperti terbakar oleh asam mengetahui perkataanku telah menyakiti
dia. "Kau sudah janji," dia berbisik.
"Bella, kepalamu terbentur, kau tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Dagunya terangkat. "Tak ada yang salah dengan kepalaku."
Dia marah sekarang, dan itu jadi lebih mudah. Mataku bertemu dengan tatapan
tajamnya, membuat wajahku makin garang. "Apa yang kau inginkan dariku, Bella?"
"Aku ingin tahu yang sebenarnya. Aku ingin tahu alasan kenapa aku harus
berbohong untukmu." Apa yang dia inginkan cukup adil - membuatku frustasi harus menyangkalnya.
"Apa menurutmu yang terjadi?" aku hampir menggeram.
Kata-katanya kemudian berhamburan cepat. "Yang kutau adalah kau sama sekali
tidak ada didekatku -Tyler juga tidak melihatmu, jadi jangan katakan kepalaku
terbentur terlalu keras. Mobil van itu semestinya telah menghancurkan kita
berdua-tapi nyatanya tidak, dan tanganmu meninggalkan bekas lekukan di mobil itu
- kau juga meninggalkan bekas yang sama di mobil satunya, dan kau tidak terluka
sama sekali - juga mobil itu seharusnya menghancurkan kakiku, tapi kau
mengangkatnya..." Ia mengatupkan rahang dan matanya berkaca-kaca.


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menatapnya, ekspresiku mengejek, meskipun yang sebenarnya kurasakan adalah
kagum; dia melihat semuanya.
"Kau pikir aku mengangkat van itu dari atas tubuhmu?" aku bertanya dengan nada
menyindir. Dia mengangguk tegas. Suaraku makin mengejek. "Tidak akan ada yang akan percaya itu, kau tahu."
Dia berusaha menahan marah. Kemudian ia bicara lambat penuh pertimbangan pada
tiap katanya. "Aku tidak akan memberitahu siapa-siapa."
Dia bersungguh-sungguh-aku bisa melihat dalam matanya. Meski marah dan
terkhianati, dia akan menepati janjinya.
Kenapa"! Perasaan syok itu menghancurkan ekspresiku selama setengah detik, lalu aku
kembali menguasai diri lagi.
"Lalu kenapa kau mempermasalahkannya?" aku bertanya pada dia sambil
mempertahankan suaraku tetap tajam.
"Ini penting buatku," dia menjawab penuh tekanan. "Aku tidak suka berbohong jadi sebaiknya ada alasan yang baik kenapa aku melakukannya."
Dia memintaku untuk mempercayai dia. Sama seperti aku menginginkan dia percaya
padaku. Tapi ini adalah batasan yang tidak bisa kulewati.
Suaraku tetap dingin. "Tidak bisakah kau berterima kasih saja dan melupakannya?"
"Terima kasih." ucapnya. Kemudian ia diam, menunggu.
"Kau tak akan menyerah, kan?"
"Tidak." "Kalau begitu... " aku tidak bisa memberitahu dia bahkan jika aku mau...dan aku
tidak mau. Lebih baik dia mengarang-ngarang daripada mengetahui siapa diriku,
karena tidak ada yang lebih buruk dari yang sebenarnya-aku adalah mimpi buruk,
langsung dari dunia horor. "Kuharap kau menikmati kekecewaanmu."
Kami saling menatap marah. Namun amarahnya justru terlihat menggemaskan. Seperti
geraman anak kucing, lembut dan tidak berbahaya, tidak sadar pada kerapuhannya
sendiri. Wajahnya memerah. Ia menggertakan gigi lagi. "Dan kenapa kau bahkan perduli?"
Lagi-lagi pertanyaannya tidak terduga. Aku tidak menyiapkan jawaban untuk ini.
Aku kehilangan pegangan pada peranku. Topeng diwajahku terlepas, dan kukatakan
padanya- untuk kali ini - yang sebenarnya.
"Aku tidak tahu."
Aku mengingat wajahnya untuk terakhir kali-masih dengan raut marah, darah belum
memudar dari pipinya-dan kemudian aku berbalik meninggalkan dia.
4. Penglihatan Aku kembali ke sekolah. Ini pilihan tepat yang seharusnya dilakukan, bertindak
wajar dan tidak menarik perhatian.
Hampir semua murid telah kembali ke kelas juga. Tinggal Tyler, Bella dan
beberapa orang-yang sepertinya menggunakan kesempatan untuk bolos - tetap absen.
Harusnya tidak sulit melakukan sesuatu yang benar. Tapi sesiangan ini aku justru
harus berjuang keras agar tidak ikutan bolos - hanya karena ingin menemui gadis
itu lagi. Seperti penguntit. Penguntit yang terobsesi. Vampir penguntit yang terobsesi.
Sekolah jadi mustahil dijalani, jauh lebih membosankan dari minggu lalu. Seperti
koma. Seakan warna-warni pada bata, pepohonan, langit, wajah-wajah disekitarku
jadi luntur... Aku cuma memandangi rekahan di tembok.
Sebetulnya ada sesuatu yang lain yang juga harus dilakukan...tapi tidak
kulakukan. Tentu saja sesuatu itu juga bisa dibilang keliru. Tapi tergantung
dari sisi mana melihatnya.
Jika dari perspektif anggota keluarga Cullen-bukan sekedar vampire, tapi seorang
Cullen, seseorang yang memiliki keluarga, sesuatu yang langka bagi kaum kami tindakan yang paling tepat seharusnya seperti ini:
"Aku terkejut melihatmu masuk, Edward. Kudengar kau terlibat dalam insiden
mengerikan tadi pagi."
"Iya, Mr. Banner, tapi saya cukup beruntung." Tersenyum ramah. "Saya tidak
terluka sama sekali... saya harap Bella dan Tyler juga begitu."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Tyler baik-baik saja...hanya lecet-lecet terkena pecahan kaca. Tapi saya agak
khawatir pada Bella." mengerutkan dahi prihatin. "Dia mengalami gegar otak. Saya
dengar pikirannya jadi agak kacau-bahkan sempat berhalusinasi. Para dokter
sangat cemas..." Itu yang seharusnya kulakukan demi keluargaku. Tapi...
"Aku terkejut melihatmu masuk, Edward. Kudengar kau terlibat dalam insiden
mengerikan tadi pagi."
"Saya tidak terluka." Tanpa senyum.
Mr. Banner mengganti tumpuan kakinya tidak nyaman. "Apa kau tahu bagaimana
keadaan Tyler Crowley dan Bella Swan" Katanya mereka terluka..." Aku mengangkat
bahu. "Saya tidak tahu."
Mr. Banner mendehem, "Mmm,Ya sudah..." Tatapan dinginku membuat suaranya
tegang. Dia cepat-cepat kembali ke depan kelas dan memulai pelajarannya. Itu perbuatan
yang sangat keliru. Hanya saja sangat...sangat tidak ksatria mendiskreditkan gadis itu di
belakangnya, terutama ketika ia membuktikan lebih dapat dipercaya daripada yang
kubayangkan. Dia tidak mengkhianatiku dengan melanggar janjinya, meskipun punya
cukup alasan untuk itu. Apa aku akan mengkhianati dia ketika ia tidak melakukan
apa-apa selain menjaga rahasiaku"
Aku mengalami pembicaraan serupa dengan Mrs. Goff - hanya saja dalam bahasa
Spanyol - dan Emmet memperhatikanku.
Aku harap kau punya penjalasan yang baik untuk kejadian hari ini. Rose sudah
siap perang. Aku memutar bola mataku tanpa melihat dia.
Sebetulnya aku menemukan penjelasan yang sempurna. Misalkan saja aku tidak
mencegah van itu meremukan dia...aku merasa kecut memikirkannya. Tapi seandainya
dia dibiarkan, jika dia terluka dan mengeluarkan darah, cairan merah kental
berceceran, menggenang di aspal, bau darah segar menguar pekat di udara...
Aku gemetar, tapi bukan cuma karena ngeri. Sebagian diriku meremang penuh
hasrat. Tidak, aku tidak akan sanggup melihat darahnya tanpa mengekspos
keluargaku dengan lebih mengerikan.
Alasan itu terdengar sempurna...tapi tidak akan kugunakan. Terlalu memalukan.
Dan aku tidak berpikir kesitu sampai jauh setelah kejadian.
Hati-hati pada Jasper, Emmet melanjutkan, tidak mengindahkan lamunanku. Dia
tidak semarah itu...tapi ia sudah menetapkan niatnya.
Aku tahu apa yang ia maksud, dan dalam sekejap ruangan di sekelilingku
tenggelam. Amarahku memuncak sedemikian hebat hingga kabut merah mengaburkan
pandanganku. Aku hampir tersedak kedalamnya.
SSSTT, EDWARD! KUASAI DIRIMU! Emmet meneriakiku di kepalanya. Tangannya memegang
pundakku, menahanku tetap duduk sebelum aku terloncat berdiri. Dia jarang
menggunakan seluruh kekuatannya-sangat jarang dibutuhkan, mengingat ia jauh
lebih kuat dari vampir manapun yang pernah kami temui - tapi ia menggunakan
kekuatan penuh sekarang. Dia mencengkram bahuku, bukannya menekan kebawah. Jika
dia menekan kebawah, kursiku akan hancur berantakan.
TENANG! Perintahnya galak.
Aku berusaha menenangkan diri, tapi sulit. Amarah terlanjur membara di kepalaku.
Jasper tidak akan bertindak sebelum kita bicara. Kau dalam kesulitan besar.
Aku menarik napas panjang. Baru kemudian Emmet melepaskan cengkramannya.
Aku mengecek ke sekeliling ruangan. Tapi konforontasi tadi berlangsung sangat
singkat dan tanpa suara sehingga hanya beberapa orang di belakang Emmet yang
menyadarinya. Mereka tidak tahu apa alasannya, dan cuma mengangkat bahu.
Keluarga Cullen memang aneh - semua orang sudah tahu itu.
Sialan, Edward, kau berantakan, Emmet menambahkan. Ada nada simpati pada
suaranya. "Gigit saja aku," aku menggerutu dibalik napas.
Kudengar dia terkekeh pelan.
Emmet bukan pendendam, dan aku seharusnya lebih bersyukur pada sikap santainya.
Tapi aku melihat niat Jasper dianggap Emmet cukup masuk akal. Ia sempat
mempertimbangkan kalau mungkin saja itu jalan yang terbaik.
Amarahku pelan-pelan kembali mendidih, hampir tidak terkontrol. Ya, Emmet lebih
kuat dariku, tapi ia belum pernah menang melawanku dalam adu tanding. Dia
menuduh aku curang. Tapi mendengar pikiran adalah bagian dariku, sama seperti
kekuatan besar yang menjadi bagian dari dia. Dalam pertarungan kami seimbang.
Pertarungan" Apa akan kesana pada akhirnya" Apa aku akan bertarung melawan
keluargaku hanya karena seorang manusia yang tidak terlalu kukenal"
Aku mempertimbangkannya sebentar, memikirkan bagaimana tubuh gadis itu terasa
begitu rapuh dalam pelukanku jika dibandingkan dengan kekuatan Jasper, Rose, dan
Emmet -yang diluar akal sehat sangat kuat dan cepat, mesin pembunuh alami...
Ya, aku akan bertarung demi dia. Melawan keluargaku. Aku gemetar.
Tapi tidak adil meninggalkan dia tanpa perlindungan, padahal aku yang
menyebabkannya berada dalam bahaya.
Aku tidak bisa menang sendirian. Tidak jika melawan mereka bertiga. Kira-kira
siapa yang berada di pihakku nanti.
Carlisle, pastinya. Ia tidak akan melawan siapa-siapa, tapi ia akan menentang
rencana Rose dan Jasper. Mungkin itu cukup. Kita lihat nanti...
Esme, aku ragu. Dia tidak akan menentang aku juga, dan dia tidak suka berbeda
pendapat dengan Carlisle, tapi ia akan lebih menjaga keluarganya tetap utuh.
Prioritas pertamanya mungkin bukan keadilan, melainkan aku. Jika Carlisle adalah
roh keluarga kami, maka Esme adalah hatinya. Dia memberi kami seorang pemimpin
yang pantasi diikuti; dia membuat kesetiaan itu menjadi perwujudan dari rasa
sayang. Kami semua saling menyayangi -bahkan dibalik kemarahanku pada Jasper dan
Rose, dan rencanaku untuk melawan mereka demi menyelamatkan gadis itu, aku tahu
aku menyayangi mereka. Alice...aku tidak tahu. Mungkin tergantung apa yang ia lihat. Mungkin dia akan
memihak yang menang. Jadi, aku akan melakukan ini tanpa bantuan. Aku bukan tandingan mereka, tapi
tidak akan kubiarkan gadis itu terluka gara-gara aku. Mungkin solusinya dia
harus dilarikan... Amarahku sedikit mereda karena humor gelap yang tahu-tahu terlintas. Aku bisa
membayangkan bagaimana reaksi kikuk gadis itu saat aku menculiknya. Tentu saja
aku jarang menebak reaksi dia dengan tepat-tapi apa lagi reaksinya selain ngeri"
Aku belum terlalu yakin bagaimana mengatasi itu - menculik dia. Aku tidak akan
tahan berdekatan terlalu lama. Barangkali cukup mengantar ke ibunya. Tapi itupun
belum tentu aman baginya.
Dan juga bagiku, aku menyadari tiba-tiba. Jika aku tidak sengaja membunuhnya...
aku tidak yakin seberapa besar akan menyakitiku, tapi pasti tidak karuan dan
sangat. Waktu cepat berlalu selama aku mempertimbangkan berbagai kemungkinan:
perrtengkaran yang menunggu di rumah, perseteruan dengan keluargaku, lamanya aku
harus pergi setelah itu...
Well, aku tidak bisa lagi mengeluh hari-hariku sangat monoton. Gadis itu telah
merubah segalanya. Setelah bel, Emmet dan aku berjalan dalam diam menuju mobil. Dia mengkawatirkan
aku sekaligus Rosalie. Dia tahu di pihak mana ia akan memilih jika terjadi
perselisihan, dan itu mengganggunya.
Yang lain sudah menunggu di mobil, juga diam. Kami berlima duduk ditengah
kesunyian. Cuma aku yang bisa mendegar teriakan-teriakan.
Idiot! Tolol! Dasar orang gila! Brengsek! Egois, orang bodoh yang tidak
bertanggung jawab! Rosalie terus menumpahkan makiannya keras-keras. Suara yang
lainnya jadi terbenam, tapi kuabaikan sebisanya.
Emmet betul tentang Jasper. Dia sangat yakin dengan niatnya.
Alice risau, mengkhawatirkan Jasper, membolak balik kilasan gambar masa depan.
Tidak perduli dari arah mana Jasper mendatangi gadis itu, Alice selalu melihatku
menghalangi Jasper. Menarik... tidak ada Rosalie atau Emmet di penglihatannya.
Jadi Jasper berencana kerja sendirian. Itu membuatnya jadi lebih imbang.
Jasper adalah yang terbaik, petarung yang paling berpengalaman diantara kami.
Keuntunganku terletak pada kemampuanku mendengar gerakannya sebelum dia
melakukannya. Aku belum pernah bertarung sungguhan melawan Emmet atau Jasper - biasanya hanya
bercanda dan bermain-main. Aku merasa mual pada pikiran akan mencoba benar-benar
menyakiti Jasper... Tidak, tidak begitu. Hanya menghalangi dia. Cuma itu.
Aku berkonsentrasi pada Alice, mengingat-ingat beragam variasai serangan Jasper.
Kemudian penglihatannya bergeser, bergerak menjauh dari rumah Bella. Aku
mencegat Jasper duluan. Hentikan, Edward! Tidak boleh terjadi seperti itu. Aku tidak akan membiarkan.
Aku mengacuhkannya. Aku tetap memperhatikan penglihatannya.
Dia mulai mencari lebih jauh kedepan, pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak
pasti dan masih kabur. Semuanya samar dan berbayang gelap.
Selama perjalanan sampai ke rumah, kesunyian itu tidak berubah. Aku parkir di
garasi disamping rumah; Mercedes Carlisle sudah disitu, disebelah jeep besar
Emmet, M3 milik Rose, dan Vanquishku. Aku lega Carlisle sudah pulang-keheningan
ini akan segera meledak, dan aku ingin Carlisle ada ketika itu terjadi. Kami
langsung menuju ke ruang makan.
Tentu saja ruangan ini tidak pernah digunakan sebagaimana mestinya. Tapi tetap
dilengkapi dengan meja mahoni oval panjang beserta kursi-kursinya - kami sangat
teliti untuk meletakan setiap detail properti pada tempatnya. Carlisle sering
menggunakannya sebagai ruang pertemuan. Dalam sebuah kelompok yang memiliki
kekuatan super dan kepribadian berbeda, kadang perlu mendiskusikan sesuatu hal
secara tenang dan beradab.
Aku merasa hal itu tidak akan banyak berguna hari ini.
Carlisle duduk di tempat biasanya, di ujung meja sebelah timur. Esme di
sebelahnya- tangan mereka saling berpegangan diatas meja.
Mata Esme menatapku, keemasannya yang dalam menatapku prihatin. Tinggallah.
Hanya itu yang dia pikirkan.
Aku harap aku bisa bisa tersenyum pada perempuan yang telah menjadi ibuku ini,
tapi aku sedang tidak cukup tenang sekarang.
Aku duduk disamping Carlisle. Esme mengulurkan tangan satunya untuk menyentuh
pundakku. Dia belum terlalu mengerti apa yang terjadi; dia hanya risau padaku.
Carlisle lebih peka untuk bisa meraba apa yang sedang terjadi. Mulutnya terkatup
rapat dan keningnya berkerut. Ekspresinya terlihat terlalu tua untuk wajah
mudanya. Saat semua duduk, garis demarkasi telah dibuat.
Rosalie duduk tepat di seberang Carlisle, di ujung meja satunya. Dia
memelototiku, sama sekali tidak melihat ke arah lain.
Emmet duduk disampingnya, wajah dan pikirannya masam.
Jasper ragu-ragu, dan kemudian berdiri bersandar pada tembok di belakang
Rosalie. Dia telah mengambil keputusan, tidak perduli apapun hasil diskusi ini.
Gigiku langsung terkunci.
Alice yang terakhir datang, dan matanya fokus pada hal yang sangat jauh-masa
depan, yang masih terlalu kabur untuk digunakan. Tanpa terlalu perduli dia duduk
disamping Esme. Dia meremas-remas kepalanya seakan kepalanya sakit. Jasper
mengejang gugup dan mempertimbangkan untuk mendekat, tapi dia tetap diam
ditempat. Aku mengambil napas panjang. Aku yang harus memulai ini-aku harus bicara duluan.
"Maafkan aku," aku berkata sambil melihat pertama-tama ke Rosalie, lalu ke
Jasper, dan ke Emmet. "Aku tidak bermaksud membahayakan kalian semua. Itu sangat
ceroboh. Aku akan bertanggung jawab penuh atas tindakan gegabahku."
Rosalie menatap curiga. "Apa yang kau maksud dengan 'bertanggung jawab penuh'"
Apa kau akan membereskannya?"
"Tidak dengan cara yang kau maksud," aku berusaha menata suaraku tetap tenang
dan terkendali. "Aku bersedia untuk pergi saat ini juga, jika itu bisa
mempebaiki keadaan."
Jika aku percaya gadis itu akan aman, jika aku percaya tidak satupun dari kalian
akan menyentuhnya, aku mengultimatum dalam kepalaku.
"Tidak," Esme berbisik. "Tidak, Edward."
Aku menepuk tangannya. "Hanya beberapa tahun."
"Esme ada benarnya," ujar Emmet. "Kau tidak bisa kemana-mana sekarang. Itu
adalah kebalikannya dari membantu. Kita harus tahu apa yang dipikirkan orangorang. Kita lebih membutuhkan hal itu sekarang daripada sebelumnya."
"Alice akan mengetahui apapun yang penting." aku tidak sependapat.
Carlisle menggeleng. "Aku rasa Emmet benar, Edward. Gadis itu akan lebih berniat
bicara jika kau menghilang. Kita semuanya pergi, atau tidak satupun."
"Dia tidak akan bicara." aku buru-buru menyanggah.
Rose sedang siap-siap meledak, dan aku ingin fakta ini terucap duluan.
"Kau tidak tahu isi pikirannya," Carlisle mengingatkan aku.
"Yang sebatas ini aku tahu. Alice, dukung aku."
Alice menatap letih. "Aku tidak bisa melihat apa yang akan terjadi jika kita
mengabaikan ini." Dia melirik ke Rose dan Jasper.


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak, dia tidak bisa melihat masa depan itu-tidak ketika Rosalie dan Jasper
telah menetapkan pilihannya untuk bertindak.
Brak! Rosalie menggebrak meja keras-keras. "Kita tidak boleh memberi kesempatan
pada manusia untuk buka mulut. Carlisle, kau harus melihatnya seperti itu.
Bahkan jika diputuskan semuanya pergi, tidak aman meninggalkan cerita dibelakang
kita. Kita hidup dengan cara yang sangat berbeda dari kaum kita yang lainnya kau tahu ada kelompok-kelompok yang dengan senang hati akan menghukum kita. Kita
harus lebih berhati-hati dibanding yang lainnya!"
"Kita pernah meninggalkan rumor dibelakang kita sebelum ini," aku mengingatkan
dia. "Hanya rumor dan kecurigaan, Edward. Bukan saksi mata dan bukti!"
"Itu bukti!" aku mencibir.
Tapi Jasper mengangguk, matanya keras.
"Rose-" Carlisle mulai.
"Biar kuselesaikan, Carlisle. Kita tidak perlu repot-repot. Gadis itu terbentur
kepalanya hari ini. Jadi mungkin lukanya jauh lebih serius dari kelihatannya."
Rosalie mengangkat bahu. "Setiap manusia pergi tidur dengan kemungkinan tidak
akan pernah bangun lagi. Kelompok lain berharap kita membereskan sendiri masalah
kita. Secara teknis, itu jadi tugas Edward, tapi dia tidak akan sanggup. Kau
tahu aku cukup bisa mengontrol diri. Aku tidak akan meninggalkan bukti."
"Ya, Rosalie, kita semua tahu bagaimana mahirnya kau sebagai pembunuh," aku
menggeram. Dia balas mendesis marah.
"Edward, tolong," Carlisle berusaha melerai. Kemudian ia menoleh ke Rosalie. "Rosalie, aku mengabaikan tindakanmu
di Rochester karena aku merasa kau berhak dengan keadilanmu. Orang-orang yang
kau bunuh telah berbuat keji padamu. Tapi ini lain. Bella Swan tidak bersalah."
"Ini bukan masalah pribadi, Carlisle," Rosalie berkata lewat sela giginya. "Ini
untuk melindungi kita semua."
Ada keheningan singkat saat Carlisle menimbang keputusannya. Saat ia mengangguk,
mata Rosalie menyala nyalang. Rosalie seharusnya sudah bisa mengira. Bahkan jika
aku tidak mampu membaca pikiran Carlisle, aku tetap bisa menebak sikapnya.
Carlisle tidak pernah kompromi.
"Aku tahu maksudmu baik, Rosalie, tapL.aku sangat ingin keluargaku tetap layak
untuk dilindungi. Dalam kejadian tertentu...saat tidak sengaja atau karena lepas
kontrol, adalah bagian yang dapat dimaklumi dari diri kita." Itulah kebiasaannya
untuk memasukan dirinya dalam konteks jamak, meskipun dia sendiri tidak pernah
lepas kontrol. "Untuk membunuh anak tak berdosa dengan darah dingin adalah
sesuatu yang lain. Aku percaya pada resiko yang ia akibatkan, terlepas ia akan
bicara atau tidak, tetapi hal itu tidak sebanding dengan resiko yang lebih
besar. Jika kita membuat pengecualian untuk melindungi diri, kita membahayakan
sesuatu yang jauh lebih penting. Kita beresiko kehilangan jati diri kita."
Aku mengontrol ekspresiku hati-hati. Tidak ada gunanya menyeringai. Atau
bertepuk tangan, seperti yang sebetulnya aku inginkan.
Rosalie memberengut. "Itu cuma bertanggung jawab."
"Itu namanya tidak berperasaan," Carlisle membenarkan dengan lembut. "Setiap
kehidupan itu berharga."
Rosalie mendesah panjang dan cemberut. Emmet membelai punggungnya. "Semua akan
baik-baik saja, Rose," Dia menyemangati dengan suara pelan.
"Pertanyaannya," Carlisle melanjutkan, "Apakah kita akan pindah?"
"Jangan," Rosalie mengerang. "Kita baru saja menetap. Aku tidak mau mengulang
sekolah lagi!" "Kau masih bisa memakai usiamu yang sekarang," Carlisle memberi saran.
"Dan harus pindah lagi secepat itu?" Dia menimpali.
Carlisle mengangkat bahu.
"Aku suka disini! Sangat jarang ada matahari, kita hampir bisa hidup normal.''"
"Well, kita tidak harus memutuskan itu sekarang. Kita bisa menunggu sambil
melihat jika itu diperlukan. Edward kelihatannya cukup yakin gadis itu tidak
akan bicara." Rosalie mendengus. Tapi aku tidak lagi khawatir pada Rose. Tidak perduli bagaimana marahnya ia
padaku, ia bisa menerima keputusan Carlisle. Pembicaraan mereka telah beranjak
ke hal sepele. Namun Jasper tetap tidak bergerak.
Aku mengerti alasannya. Sebelum dia bertemu Alice, dia hidup di medan perang,
panggung tanpa belas kasihan. Dia tahu konsekuensi dari melanggar aturan kaum
kami - dia pernah melihat sendiri hasil akhirnya yang mengerikan.
Sejak tadi ia tidak mencoba menenangkan Rosalie dengan kelebihannya, tapi juga
tidak membuat Rosalie tambah gusar. Sejak awal ia menyisihkan dirinya dari
diskusi ini - sama sekali mengabaikan.
"Jasper," kataku.
Kami bertemu pandang, ekspresinya datar.
"Dia tidak akan membayar atas kesalahanku. Aku tidak akan membiarkan itu."
"Berarti dia mengambil keuntungan dari situ" Seharusnya dia tadi mati, Edward.
Aku hanya meluruskannya."
Aku mengulangi kata-kataku, memberi tekanan pada tiap katanya. "Aku tidak akan
membiarkan hal itu."
Dia agak terkejut. Dia tidak mengharapkan ini - dia tidak membayangkan aku akan
bertindak menghentikan dia.
Dia menggeleng satu kali. "Aku tidak akan membiarkan Alice dalam bahaya, bahkan
bahaya kecil. Kau tidak merasakan ke siapapun seperti yang kurasakan pada dia,
Edward. Dan kau tidak pernah melalui hidup seperti yang pernah kulalui, tak
perduli kau bisa melihat ingatanku atau tidak. Kau tidak mengerti."
"Aku tidak memperdebatkan hal itu, Jasper. Tapi biar kuberitahu sekali lagi, aku
tidak akan membiarkan kau menyakiti Bella Swan."
Kami saling menatap-tidak mendelik, tapi saling menilai. Aku merasakan dia
menyerap mood disekelilingku, mengecek kesungguhanku.
"Jazz," Alice memotong.
Dia mempertahankan tatapannya sebentar, kemudian beralih ke Alice. "Tidak usah
repot-repot mengatakan kau bisa menjaga diri, Alice. Aku sudah tahu itu. Tapi
aku tetap perlu." "Bukan itu yang ingin aku katakan," Alice menyela. "Aku ingin minta tolong
padamu." Aku melihat pikiran Alice, dan mulutku terlongo. Aku menatap dia, syok. Samarsamar aku menyadari, semua mata-selain Alice dan Jasper-kini beralih menatapku
cemas. "Aku tahu kau mencintaiku. terima kasih. Tapi aku akan sangat menghargai jika
kau tidak membunuh Bella. Pertama, Edward sangat serius dan aku tidak ingin
kalian bertarung. Kedua, Bella temanku. Paling tidak dia akan menjadi temanku."
Gambaran itu sejernih kaca di kepalanya: Alice, tersenyum, dengan tangan putihdinginnya merangkul pundak rapuh-hangat gadis itu. Dan Bella juga tersenyum,
tangannya merangkul pinggang Alice.
Penglihatannya sangat jelas; hanya waktunya yang tidak pasti.
"Tapi...Alice..." Jasper tergagap.
Aku tidak sanggup menoleh untuk melihat ekspresinya. Aku tidak sanggup
memalingkan perhatianku dari gambaran dalam kepala Alice.
"Suatu saat aku akan menyayangi dia, Jazz. Aku akan kesal padamu jika kau tidak
membiarkan dia." Aku masih terpatri pada pikiran Alice. Aku melihat penglihatan itu berkelipkelip saat keputusan Jasper bimbang dihadapan permintaannya yang tidak terduga.
"Ah," dia mendesah-kebimbangan Jasper membuat pandangan baru muncul lebih jelas.
"Kau lihat" Bella tidak akan bicara. Tidak ada yang perlu dicemaskan."
Dari caranya menyebut nama gadis itu...seakan mereka berdua telah menjadi
sahabat dekat... "Alice," aku tersedak. "Apa...ini...?"
"Aku kan sudah bilang sesuatu ada yang berubah. Aku tidak tahu Edward." tapi
kemudian tiba-tiba rahangnya terkunci, dan aku bisa melihat ada sesuatu yang
lain. Dia berusaha tidak memikiran hal itu; dia tiba-tiba fokus sangat keras
pada Jasper, meskipun Jasper sedang terlalu kaget untuk membuat keputusan lain.
Alice biasanya melakukan ini jika ingin menyembunyikan sesuatu dariku.
"Apa, Alice" Apa yang kau sembunyikan?"
Aku mendengar Emmet menggerutu. Dia selalu frustasi saat Alice dan aku bicara
seperti ini. Dia menggelengkan kepalanya, berusaha tidak membiarkan aku masuk.
"Apa tentang gadis itu?" aku menuntut. "Apa tentang Bella?"
Dia menggertakan giginya berkonsentrasi, tapi saat aku menyebut nama Bella,
pegangannya terlepas sebentar. Hanya sepersekian detik, tapi itu lebih dari
cukup. "TIDAK!" Aku berteriak. Kursiku terbanting ke lantai, dan aku terlonjak berdiri.
"Edward!" Carlisle ikut berdiri, tangannya di pundakku. Aku hampir tidak
menyadari keberadaannya. "Itu makin nyata," Alice membisik. "Tiap menit kau makin yakin. Tinggal ada dua
jalan bagi dia. Yang satu atau yang lainnya, Edward."
Aku bisa melihat apa yang dia lihat... tapi aku tidak bisa menerima hal itu.
"Tidak," kataku lagi; tidak ada keyakinan pada penyangkalanku. Kakiku lemas. Aku
berpegangan pada meja. "Akankah seseorang memberitaku apa yang sedang terjadi?" Protes Emmet.
"Aku harus pergi," Aku berbisik pada Alice, mengabaikan Emmet.
"Edward, kita sudah membahas itu," Emmet berkata keras-keras. "Itu justru akan
membuat gadis itu bicara. Lagipula, jika kau pergi, kita tidak akan tahu secara
pasti apa dia bicara atau tidak. Kau harus tinggal dan mengatasi hal ini."
"Aku tidak melihat kau pergi, Edward," Alice memberitahu. "Aku tidak tahu apa
kau akan pernah sanggup pergi." coba pikirkan, dia menambahkan dalam hati.
Bayangkan kau pergi. Aku bisa melihat apa yang dia maksud. Ya, bayangan tidak akan pernah melihat
gadis itu lagi akan...menyakitkan. Tapi itu juga penting. Aku tidak bisa
menyetujui pilihan lainnya.
Aku tidak sepenuhnya yakin dengan Jasper, Edward, Alice melanjutkan. Jika kau
pergi, jika Jasper pikir dia membahayakan kita...
"Aku tidak mendengar itu," aku menyanggah, masih setengah sadar dengan kehadiran
yang lain. Jasper ragu-ragu. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang akan menyakiti Alice.
Tidak saat ini. Apa kau akan mempertaruhkan hidupnya, meninggalkan dia
sendirian" "Kenapa kau melakukan ini padaku?" Aku mengerang. Kepalaku jatuh ke tangan.
Aku bukan pelindung Bella. Tidak mungkin begitu. Apa penglihatan Alice bisa
menjamin itu" Aku juga mencintai dia. Akan. Itu mungkin tidak sama, tapi aku juga ingin dia
bersamaku. "Mencintai dia, juga?" bisikku tidak percaya.
Dia mendesah. Kau benar-benar buta, Edward. Apa kau tidak bisa melihat kemana
tujuanmu" Apa kau tidak bisa melihat dimana kau sekarang" Hal itu lebih tidak
terelakan daripada matahari terbit dari timur. Lihat apa yang kulihat...
Aku menggeleng-geleng ngeri.
"Tidak." aku berusaha mengusir penglihatan yang ia coba perlihatkan. "Aku tidak
harus mengikuti jalan itu. Aku akan pergi. Aku akan merubahnya."
"Kau bisa mencobanya," ujar dia dengan nada skeptis.
"Oh, ayolah! " Emmet mengeluh.
"Perhatikan," Rose berbisik padanya. "Alice melihat dia jatuh cinta pada
manusia! Itu sangat Edward!" dia membuat suara tersumbat. Aku jarang mendengar
dia begitu. "Apa?" Emmet terkejut. Kemudian tawanya pecah. "Apa itu yang sedang terjadi?"
dia tertawa lagi. "Keputusan hebat, Edward."
Aku merasakan tangannya di pundakku, dan aku menepisnya masih dengan kepala
kosong. Aku sama sekali tidak memperhatikan dia.
"Jatuh cinta pada manusia?" Esme mengulangi dengan suara terkesima. "Pada gadis
yang ia selamatkan hari ini" Jatuh cinta padanya?"
"Apa yang kau lihat, Alice" Tepatnya," Jasper menuntut.
Alice menoleh ke dia; aku tetap menatap kosong ke sisi wajahnya.
"Semuanya tergantung apa dia cukup kuat atau tidak. Apakah ia akan membunuhnya
sendiri," -Alice ganti mendelik padaku-"yang akan membuatku benar-benar marah,
Edward, belum lagi bagaimana dampaknya bagimu-" dia menghadap ke Jasper lagi,
"atau, dia akan menjadi salah satu dari kita suatu saat nanti."
Seseorang menarik napas syok; aku tidak mencari siapa orangnya.
"Itu tidak akan terjadi!" aku berteriak lagi. "Tidak keduanya!"
Alice kelihatannya tidak mendengar. Tidak satupun yang kelihatannya mendengar.
Seisi ruangan sunyi. Aku menatap Alice, dan semua menatap ke arahku. Aku bisa melihat ekspresi ngeri
pada wajahku dari lima sudut berbeda.
Setelah beberapa lama, Carlisle mendesah. "Well, ini.jadi rumit."
"Betul itu," Emmet sependapat. Suaranya masih hampir tertawa. Aku percaya Emmet
telah menemukan lelucon dari kehancuran hidupku.
"Aku rasa rencananya akan tetap sama," Carlisle berkata penuh pertimbangan.
"Kita akan tinggal, dan menunggu. Tampaknya sudah jelas, tidak akan ada
yang...menyakiti gadis itu."
Aku membeku. "Tidak ada," Jasper berkata pelan. "Aku setuju dengan hal itu. Jika Alice
melihat hanya ada dua jalan-"
"Tidak!" suaraku bukan berupa teriakan, atau geraman, atau raung putus-asa, tapi
gabungan ketiganya. "Tidak!"
Aku harus pergi, lari dari keributan pikiran mereka - kemuakan Rosalie, lelucon
Emmet, kesabaran tanpa batas Carlisle...
Yang lebih parah: keyakinan Alice. Keyakinan Jasper terhadap keyakinan itu.
Dan yang paling parah: Esme... bahagia.
Aku menghambur keluar ruangan. Esme menyentuh lenganku saat aku lewat, tapi aku
tidak menyadari hal itu. Aku sudah lebih dulu berlari sebelum keluar dari rumah. Aku mencapai sungai
dengan satu loncatan, dan langsung berpacu menembus hutan. Hujan mulai turun
lagi, turun sangat deras hingga aku basah kuyup dalam sekejap. Aku menyukai
kepekatan lapisan air ini- membentuk tembok pembatas antara diriku dengan dunia
luar. Menyembunyikan diriku, membiarkan aku seorang diri.
Aku terus berlari kearah timur, melintasi pegunungan tanpa mengurangi kecepatan,
sampai aku melihat cahaya lampu kota Seattle di kejauhan. Aku berhenti sebelum
sampai ke batas peradaban manusia.
Tersembunyi di balik hujan, seorang diri, akhirnya aku bisa memaksa diriku untuk
melihat apa yang telah kuperbuat - bagaimana aku telah memutilasi masa depannya.
Pertama, penglihatan Alice dan gadis itu saling merangkul-kepercayaan dan
persahabatan tergambar dengan jelas pada gambar itu. Mata coklat-lebar Bella
tidak lagi bertanya-tanya dalam dalam penglihatan ini, tapi tetap penuh rahasiapada saat ini, mereka kelihatan bahagia. Dia tidak menjauhkan diri dari tangan
dingin Alice. Apa itu artinya" Seberapa banyak yang ia tahu" Dalam momen di masa depan itu,
apa yang ia pikir tentang aku"
Kemudian gambaran lagi, kurang lebih sama, namun kini dalam corak horor. Alice
dan Bella, tangan mereka masih saling merangkul bersahabat. Tapi kini tidak ada
perbedaan diantara tangan mereka - keduanya putih, sehalus pualam, sekeras baja.
Mata lebar Bella tidak lagi coklat. Iris matanya secara mengejutkan merah
terang. Kerahasiaan dalam matanya sangat sulit diurai-menerima atau sedih"
Mustahil untuk ditebak. Wajahnya dingin dan abadi.
Aku gemetar. Aku tidak dapat menahan pertanyaan yang mirip tapi berbeda ini: apa
itu artinya" Dan apa yang dia pikir tentang aku saat ini"
Aku bisa menjawab pertanyaan yang terakhir. Jika aku memaksa dia menjalani
setengah-hidup hampa ini karena kelemahan dan keegoisanku, sudah pasti ia akan
membenciku. Tapi ada satu lagi gambar yang jauh lebih mengerikan-lebih buruk dari apapun
yang pernah ada di kepalaku.
Kedua mataku, berwarna merah terang karena darah manusia, mata seorang monster.
Tubuh rusak Bella dalam pelukanku, sepucat kapas, kering, tak bernyawa. Itu
sangat kongkrit, sangat jelas.
Aku tidak tahan melihatnya. Tidak mampu menanggungnya. Aku coba mengusirnya dari
benakku, mencoba melihat ke hal lain, apa saja. Mencoba melihat lagi ekspresi
pada wajah hidupnya yang sebelum ini telah menghalangi pandanganku. Semua tetap
tidak ada gunanya. Penglihatan kelam Alice memenuhi kepalaku, dan perasaanku menggeliat menderita.
Sementara itu, monster dalam diriku meluap gembira, bersorak girang pada
kemungkinan kesuksesannya. Hal itu membuatku muak.
Ini tidak boleh dibiarkan. Pasti ada jalan untuk mengelakkan masa depan itu. Aku
tidak akan membiarkan penglihatan Alice mengarahkan aku. Aku bisa memilih jalan
yang berbeda. Selalu ada pilihan.
Harus ada. 5. Undangan Sekolah. Bukan lagi penyiksaan, sekarang murni neraka. Penyiksaan dan api...ya,


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku memperoleh keduanya. Sekarang aku melakukan segalanya dengan benar. Semuanya sempurna. Tidak ada yang
bisa mengeluh aku melalaikan tanggung jawabku.
Untuk menyenangkan Esme dan melindungi lainnya, aku tetap tinggal di Forks. Aku
kembali pada keseharianku. Aku berburu tidak lebih sering dari yang lain. Setiap
hari masuk sekolah dan pura-pura menjadi manusia. Setiap hari mendengarkan jika
muncul gosip baru tentang keluarga Cullen - tidak pernah ada yang baru. Gadis
itu tidak pernah membicarakan kecurigaannya. Dia hanya mengulang-ulang cerita
yang sama - aku berdiri disampingnya dan kemudian menarik dia - sampai para
penanyanya bosan dan berhenti bertanya-tanya. Tidak ada bahaya. Tindakan
gegabahku tidak menyakiti siapapun.
Kecuali aku sendiri. Aku bertekad untuk mengubah masa depan. Bukan tugas mudah, tapi pilihan lainnya
tidak bisa kuterima. Menurut Alice aku tidak akan sanggup menjauh dari gadis itu. Akan kubuktikan dia
salah. Kupikir hari pertama akan menjadi yang paling sulit. Pada penghujung hari aku
menyadari itu salah. Miris rasanya akan melukai perasaan gadis itu. Aku menghibur diri dengan
memikirkan rasa sakit dia tidak lebih dari sekedar cubitan-cuma penolakan kecildibanding rasa sakitku. Bella adalah manusia. Ia tahu aku sesuatu yang lain.
Sesuatu yang salah. Sesuatu yang mengerikan. Ia akan merasa lega daripada
terluka kalau aku mengabaikan dia dan menganggapnya tidak ada.
"Halo, Edward," dia menyapaku pada hari pertama pelajaran biologi. Suaranya
ramah, berbeda seratus delapan puluh derajat dari terakhir kali kami bicara.
Mengapa" Apa arti dari perubahan ini" Apa dia melupakannya" Memutuskan itu semua
cuma imajinasinya" Mungkinkah ia memaafkan aku karena tidak menepati janjiku"
Pertanyaan-pertanyaan itu membakar tenggorokanku seperti dahaga.
Mungkin satu kali saja melihat kedalam matanya. Cuma untuk melihat siapa tahu
bisa menemukan jawabannya disana...
Tidak. Bahkan itu tidak boleh. Tidak jika aku ingin mengubah masa depan.
Aku menggeser daguku seinci ke arahnya tanpa berpaling dari depan kelas. Aku
mengangguk sekali, kemudian kembali memandang lurus kedepan.
Dia tidak bicara lagi padaku.
Sorenya, usai sekolah, aku langsung berlari ke Seattle seperti yang kulakukan
kemarin. Keperihanku sedikit lebih baik saat sedang terbang diatas tanah,
mengubah sekelilingku menjadi bayangan hijau kabur.
Berlari seperti ini sekarang menjadi kebiasaan harian.
Apa aku mencintai dia" Aku rasa tidak. Belum. Bagaimanapun juga penglihatan
Alice terus mengangguku. Aku bisa melihat betapa mudahnya untuk jatuh cinta pada
Bella. Itu sama persis seperti jatuh: tanpa daya. Berjuang untuk tidak mencintai
dia justru kebalikannya dari jatuh-seperti mengangkat tubuhku naik ke puncak
terjal, sejengkal demi sejengkal, begitu meletihkan seakan cuma kekuatan manusia
yang kupunya. Lebih dari satu bulan telah lewat. Dan setiap hari justru makin sulit. Ini tidak
masuk akal. Aku selalu menunggu kapan bisa melaluinya, untuk bisa berjalan lebih
mudah. Tapi itu tidak kunjung terjadi. Mungkin ini yang dimaksud Alice ketika
mengatakan aku tidak akan sanggup menjauh dari gadis itu. Dia sudah melihat
akumulasi sakitku, dan bukannya berkurang. Tapi aku bisa menahan sakit.
Aku tidak akan menghancurkan masa depan Bella. Jika ditakdirkan mencintai dia,
bukankah menghindari dia adalah hal minimal yang bisa kulakukan"
Tapi menghindari dia adalah batasan yang mampu kutanggung. Aku bisa berlagak
mengabaikan dia, tidak pernah melihat ke arahnya. Aku bisa berlagak dia tidak
menarik perhatianku. Tapi hanya sebatas itu, hanya berlagak, bukan yang
sebenarnya. Aku selalu memperhatikan setiap tarikan napasnya, setiap kata yang ia ucap.
Aku membagi penyiksaanku menjadi empat kategori.
Dua yang pertama sudah tidak asing. Aroma dan kesunyian-mental dia. Atau, bisa
dibilang-untuk meletakan tanggung jawab pada diriku, seperti yang semestinyarasa haus dan penasaranku.
Yang pertama adalah yang paling pokok. Aku tidak pernah bernapas selama
pelajaran biologi. Tentu saja ada pengecualian - saat harus menjawab pertanyaan,
atau sesuatu yang seperti itu, aku butuh mengambil napas untuk bicara. Setiap
kali, efeknya sama seperti hari pertama-terbakar, haus, dan kebengisan yang
ingin meloncat keluar. Pada saat seperti itu sangat sulit untuk berpikiran
waras. Dan, sama seperti di hari pertama, monster dalam diriku sudah siap dengan
giginya, begitu dekat dengan permukaan...
Sedang penasaran adalah yang paling konstan dari penyiksaanku. Pertanyaan ini
terus menghantui: Apa yang sedang ia pikirkan sekarang" Saat kudengar dia
mendesah pelan. Saat tanpa sadar memilin rambutnya. Saat menjatuhkan bukunya
lebih keras dari biasanya. Saat terburu-buru masuk kelas terlambat. Saat
mengetuk-ngetukan kakinya tidak sabaran ke lantai.
Tiap gerakan yang tertangkap ujung mataku adalah misteri yang menjengkelkan.
Ketika ia bicara ke murid lain, aku menganalisa tiap kata dan intonasinya. Apa
dia mengutarakan pikirannya, atau sekedar mengatakan yang sebaiknya dikatakan"
Kedengarannya ia lebih sering mengutarakan apa yang diharapkan lawan bicaranya.
Ini mengingatkan aku pada keluargaku dan keseharian palsu kami - kami
melakukannya jauh lebih baik dari dia. Kecuali kalau penangkapanku itu salah,
dan hanya bayanganku saja. Kenapa juga dia harus pura-pura" Dia bagian dari
mereka - manusia remaja. Mike Newton secara mengejutkan masuk dalam bagian penyiksaanku. Siapa sangka
manusia - kebanyakan yang membosankan seperti dia bisa jadi sangat mengesalkan"
Kalau mau adil, aku seharusnya berterima kasih pada bocah itu. Dia membuat gadis
itu terus bicara. Aku banyak belajar tentang dia dari situ - aku masih terus
melengkapi daftarku. Tapi sebaliknya, bantuan Mike justru membuatku makin
jengkel. Aku tidak ingin Mike menjadi orang yang memecahkan rahasia gadis itu.
Aku yang ingin melakukannya.
Untung Mike tidak pernah menyadari pertanda kecil yang kadang muncul pada bahasa
tubuhnya. Dia membentuk sosok Bella yang tidak nyata - seorang perempuan seumum
dirinya. Dia tidak memperhatikan ketidak-egoisan dan keberanian yang membedakan
Bella dari manusia lain. Dia tidak mendengar kedewasaan-abnormal pikirannya saat
ia bicara. Dia tidak menyadari ketika Bella membicarakan ibunya, dia kedengaran
lebih seperti orang tua membicarakan anaknya daripada sebaliknya - penuh sayang,
murah hati, kagum, dan cenderung protektif. Bocah itu tidak mendengar kesabaran
pada suaranya ketika ia pura-pura tertarik pada segala macam ceritanya, dan
tidak menilai kebaikan hati dibalik kesabarannya itu.
Dari percakapan gadis itu dengan Mike, aku berhasil menambahkan satu sifat yang
paling penting kedalam daftarku, yang paling menonjol, sangat sederhana namun
jarang kujumpai: Bella orang baik. Sifat yang lainnya cuma penjabaran dari itu baik hati, tidak cari perhatian, tidak egois, penyayang, dan berani - dia benarbenar orang baik. Bagaimanapun juga penemuan bermanfaat ini tidak melunakkan sikapku pada si
bocah. Sikap posesifnya terhadap Bella - seolah Bella akan jadi miliknya
-memancing kemarahanku, hampir sebesar ya ng diakibatkan segala fantasinya
tentang Bella. Seiring berjalannya waktu ia juga lebih percaya diri. Karena
tampaknya Bella lebih memilih dia ketimbang cowok lain yang ia anggap sainganTyler Crowley, Eric Yorkie, dan bahkan, kadang-kadang, diriku.
Secara rutin ia selalu duduk di sisi mejanya sebelum kelas dimulai, mengajaknya
ngobrol, tersemengati melihat senyumannya. Hanya senyum sopan, aku mengatakan
pada diriku sendiri. Tiap kali aku selalu menghibur diri dengan membayangkan
menapuk wajahnya hingga terlempar ke tembok... itu tidak akan terlalu fatal...
Mike jarang menganggapku sebagai saingan. Setelah insiden waktu itu, dia sempat
khawatir Bella dan aku jadi lebih dekat, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sebelumnya dia selalu terganggu dengan tatapanku yang selalu tertuju pada Bella.
Tapi kini aku sama mengabaikannya seperti yang lain, dan itu membuat Mike puas.
Apa yang sedang ia pikirkan" Apa dia menyukai perhatian Mike"
Dan, akhirnya, hal terakhir dari siksaanku, yang paling menyakitkan: sikap acuh
Bella. Sama seperti aku mengacuhkan dia, dia mengacuhkan aku. Dia tidak pernah
mengajakku bicara lagi. Yang bisa kuketahui, dia tidak pernah memikirkan aku
sama sekali. Ini bisa membuatku gila - atau bahkan mematahkan tekadku untuk merubah masa
depan. Kecuali kadang ia menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Aku
tidak melihatnya sendiri. Aku melarang diriku untuk melihat ke dia. Tapi Alice
selalu memberi peringatan ketika ia akan menoleh ke arah kami; yang lain masih
khawatir pada gadis itu. Itu sedikit mengurangi rasa sakit, mengetahui kadang ia memandangiku dari jauh.
Tentu saja, bisa jadi dia cuma sedang mengira-ngira mahluk mengerikan apa aku
ini. "Bella sebentar lagi akan melihat ke Edward. Bersikap wajar," kata Alice pada
suatu selasa di bulan Maret.
Semua segera membuat gerak-gerik kecil dan mengganti tumpuan layaknya manusia;
tidak bergerak sama sekali - beku - adalah ciri kaum kami.
Aku menghitung seberapa sering dia melihat ke arahku. Itu membuatku senang,
meskipun seharusnya tidak, bahwa frekuensinya tidak berkurang sama sekali. Aku
tidak tahu apa artinya, tapi membuatku merasa jauh lebih baik.
Alice mendesah. Aku harap...
"Jangan ikut campur, Alice," tukasku dari balik napas. "Itu tidak akan terjadi."
Dia cemberut. Alice sangat penasaran ingin mewujudkan mimpi - persahabatannya
dengan Bella. Dalam cara yang aneh, dia merindukan perempuan yang tidak ia
kenal. Aku akui, kau lebih baik dari yang kukira. Kau membuat masa depan itu menjadi
kabur dan kacau lagi. Semoga kau senang.
"Itu sangat masuk akal buatku."
Dia mendengus. Aku berusaha membuatnya diam. Aku sedang tidak ingin ngobrol. Moodku sedang
jelek - lebih tegang dari yang mereka lihat. Hanya Jasper yang menyadari. Dia
membaca luapan pancaran stres dariku dengan kemampuan uniknya, yang bisa merasa
dan mempengaruhi mood orang lain. Namun dia tidak mengerti alasan dibalik mood
itu, dan - karena setiap hari moodku memang selalu buruk - dia mengabaikannya.
Hari ini akan sulit. Lebih sulit dari kemarin. Selalu begitu polanya.
Mike Newton, bocah menjengkelkan yang tidak boleh kuanggap sebagai saingan,
berencana mengajak Bella kencan.
Sebentar lagi akan ada pesta dansa musim semi. Kali ini pihak perempuan yang
memilih pasangannya. Dan Mike sangat berharap Bella akan mengajak dia. Tapi
Bella masih belum mengajaknya, dan ini menggoyahkan kepercayaan dirinya.
Posisinya terjepit - aku menikmati kegusaran dia lebih dari semestinya - karena
Jessica Stanley sudah mengajak dia duluan. Dia tidak mau menjawab "ya," karena
masih berharap Bella memilih dia (menjadi bukti kemenangan atas para
pesaingnya), tapi ia juga segan menjawab "tidak," takut berakhir tidak
mendapatkan keduanya. Jessica sendiri tersinggung dengan keraguan Mike. Ia bisa menebak alasan
dibaliknya, dan ia jadi menjelek-jelekkan Bella di pikirannya. Lagi, instingku
membuatku ingin meletakkan diri diantara pikiran marah Jessica dan Bella. Aku
memahami insting itu lebih baik sekarang, tapi justru jadi lebih menjengkelkan
karena tidak bisa melakukan apa-apa.
Tidak kusangka bisa sampai sejauh ini! Bisa-bisanya aku sampai ingin terlibat
dalam drama picisan yang sebelumnya sempat kuhina-hina ini.
Mike sedang memberanikan diri saat berjalan bersama Bella ke kelas biologi. Aku
mendengarkan pergolakan batinya saat menunggu mereka masuk. Bocah itu lembek.
Dia sengaja cuma menunggu, takut ketertarikannya diketahui Bella sebelum ia
menunjukan tanda-tanda akan mengajaknya. Dia tidak ingin terlihat lemah hingga
ditolak. Dia lebih memilih Bella duluan yang mulai.
Pengecut. Dia duduk di ujung meja lagi, merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Aku
membayangkan bagaimana suaranya jika badannya membentur tembok hingga tulangtulangnya remuk. "Jadi," kata Mike ke gadis itu. Matanya menatap lantai. "Jessica memintaku pergi
dengannya ke pesta dansa musim semi."
"Bagus, dong," Bella langsung menjawab dengan penuh semangat. Sulit untuk tidak
tersenyum saat Mike akhirnya menyerap nada itu. Dia mengharapkan tanggapan yang
negatif. "Kau akan bersenang-senang dengan Jessica."
Dia berjuang mencari lanjutan yang tepat. "Well..." dia ragu-ragu, dan hampir
secara kecut mundur. Kemudian ia memberanikan diri lagi. "Aku bilang padanya
akan kupikirkan." "Kenapa kau bilang begitu?" Nadanya tidak setuju, tapi ada secuil kelegaan juga.
Apa itu artinya" Kemarahan yang muncul tiba-tiba membuat tanganku mengepal.
Mike tidak mendengar kelegaan itu. Wajahnya merah padam-panasnya langsung
terasa, ini seperti undangan - dan ia melihat ke lantai lagi.
"Aku bertanya-tanya jika... well, jika kau mungkin punya rencana untuk
mengajakku." Bella ragu-ragu. Dalam sedetik keraguan itu, aku melihat masa depannya dengan lebih jelas.
Gadis itu mungkin akan menjawab 'ya' pada Mike, atau mungkin 'tidak'. Tapi,
apapun itu, suatu saat nanti, ia akan berkata ya pada seseorang. Dia
menyenangkan dan menawan. Para pria-manusia sangat menyadari hal itu. Entah ia
akan memilih diantara orang-orang menyedihkan ini, atau menunggu sampai pergi
dari Forks, akan datang hari dimana ia akan berkata ya.
Aku melihat hidupnya dengan sangat jelas-kuliah, karir...percintaan, pernikahan.
Aku melihat dia dalam gandengan ayahnya lagi, bergaun putih gading, wajahnya
bersemu bahagia saat berjalan dengan iringan simfoni Wagner.
Luka yang kurasakan melebihi segalanya. Manusia biasa pasti akan mati menanggung
sakit seperti ini-mereka tidak akan bisa hidup.
Dan bukan cuma sakit, tapi sekaligus amarah yang sangat.
Amarah ini menuntut pelampiasan sekarang juga. Meskipun bocah ini bukan yang
akan dijawab ya oleh Bella, tanganku gatal ingin meremukan tengkoraknya,
menjadikan dia sebagai contoh bagi siapapun yang ingin mendekati Bella.
Aku tidak memahami perasaan ini - campuran dari rasa sakit, amarah, hasrat, dan
putus asa. Aku belum pernah merasakan sebelumnya; aku tidak bisa menamakannya.
"Mike, menurutku kau harus bilang ya padanya," Bella menjawab dengan suara
lembut. Harapan Mike runtuh. Dalam kesempatan berbeda aku akan menikmatinya, tapi aku
sedang bingung dengan perasaan menyakitkan ini - dan menyesali dampaknya padaku.
Alice benar. Aku tidak cukup kuat.
Saat ini, Alice akan mengamati bagaimana masa depan akan berputar dan berubahubah. Apa ini akan membuatnya senang"
"Apa kau sudah mengajak seseorang?" Mike bertanya dengan kesal terpendam. Dia
mendelik padaku, curiga untuk pertama kalinya selama berminggu-minggu ini. Aku
sadar telah mengkhianati tekadku sendiri; kepalaku sedikit miring kearah Bella.
Rasa iri liar dalam pikiran Mike - iri pada siapapun yang dipilih gadis ini mendadak memberi nama pada emosi - tak -bernamaku.
Aku cemburu. "Tidak," gadis itu berkata dengan sedikit jejak humor di suaranya. "Aku tidak
akan datang ke pesta dansa."
Melebihi segala penyesalan dan marah, aku merasa lega pada jawabannya. Saat itu
juga aku mulai mempertimbangkan saingan-sainganku yang lain.
"Kenapa tidak?" Mike bertanya dengan agak kasar. Aku tersinggung mendengar Mike
menggunakan nada seperti itu ke dia. Aku menahan geramanku.
"Aku akan pergi ke Seattle sabtu itu," jawabnya.
Penasaranku tidak sehebat sebelumnya - kini saat aku telah berniat untuk mencari
jawaban pertanyaan itu. Aku akan segera tahu alasannya sebentar lagi.
Suara Mike berubah membujuk. "Tidak bisa kah kau pergi lain kali?"
"Maaf, tidak bisa." Bella kini agak ketus. "Jadi sebaiknya kau tidak membuat
Jess menunggu lebih lama - itu tidak baik."
Kepeduliannya pada Jessica mengipasi api cemburuku. Perjalanan ke Seattle jelas
- jelas cuma alasan untuk mengelak - apa penolakannya murni karena loyalitas dia
pada temannya" Dia jauh lebih dari tidak - egois jika begitu. Apa sebetulnya dia
berharap bisa berkata ya" Atau, apa keduanya bukan" Jangan-jangan dia tertarik
dengan orang lain" "Ya, kau benar," gumam Mike, sangat terpukul hingga aku hampir merasa kasihan.
Hampir. Dia menjatuhkan pandangannya dari si gadis, menghentikan pandanganku ke wajah
Bella dalam pikirannya. Hal itu tidak boleh terjadi.
Maka untuk pertama kalinya dalam sebulan, aku menoleh untuk membaca sendiri
wajahnya. Rasanya sangat lega membiarkan diriku melakukan ini, seperti tarikan
napas di permukaan pada penyelam yang kehabisan oksigen.
Matanya tertutup, dua tangannya menekan kedua sisi wajahnya. Bahunya terkulai
galau. Dia menggeleng sangat pelan, seolah ingin mengusir sesuatu dari
pikirannya. Frustasi. Menarik.

Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara Mr. Banner membangunkan dia dari lamunan. Matanya pelan-pelan membuka. Dan
ia langsung melihat kearahku, mungkin merasakan tatapanku. Dia menatap kedalam
mataku dengan ekspresi penuh tanya yang sama dengan yang menghantuiku selama
ini. Aku tidak merasa menyesal, bersalah, atau marah dalam detik ini. Aku tahu segala
perasaan itu akan datang lagi, tapi untuk saat ini aku dimabukan oleh kegugupan
yang aneh. Seakan aku telah menang, dan bukannya kalah.
Dia tidak membuang muka, meskipun aku menatapnya dengan keingintauan yang tidak
pantas, sia-sia mencoba membaca pikirannya melalui mata coklat mudanya. Matanya
penuh pertanyaan daripada jawaban.
Aku bisa melihat pantulan mataku sendiri. Dua mataku hitam karena haus. Hampir
dua minggu sejak terakhir kali berburu; ini bukan hari yang aman bagi keruntuhan
niatku. Tapi sepertinya kegelapan mataku tidak menakuti dia. Ia masih tidak
membuang muka, hingga kemudian semburat halus merah muda meronai pipinya.
Apa yang sedang ia pikirkan"
Aku hampir menanyakan itu keras-keras, tapi kemudian Mr. Banner memanggil
namaku. Aku memilih jawaban yang benar dari pikirannya sambil menoleh sekilas.
Aku menarik napas cepat. "Siklus Krebs."
Rasa haus menghanguskan tenggorokanku-mengencangkan otot-ototku dan memenuhi
mulutku dengan liur. Aku memejam, berusaha berkonsentrasi menghalau hasrat akan
darahnya yang mengamuk dalam diriku.
Monster itu jauh lebih kuat dari sebelumnya. Monster itu sedang berlonjak
gembira. Dia merengkuh dua pilihan masa depan yang membuat posisinya imbang,
kesempatan sama besar yang selama ini ia idam-idamkan dengan licik. Pilihan
ketiga yang coba kubangun dengan kekuatan niat semata telah runtuh-dihancurkan
oleh kecemburuan sepele-dan monster itu hampir mencapai tujuannya.
Penyesalan dan rasa bersalah terbakar bersama dahaga. Jika aku punya kemampuan
memproduksi air mata, mataku pasti sudah berlinangan sekarang.
Apa yang telah kulakukan"
Mengetahui telah kalah, sudah tidak ada lagi alasan untuk menahan apa yang
kuinginkan; aku kembali memandangi gadis itu lagi.
Dia bersembunyi dibalik rambutnya, tapi aku bisa melihat melalui celah rambutnya
bagaimana pipinya kini berwarna merah terang.
Sang monster menyukai itu.
Dia tidak membalas tatapanku lagi, tapi jarinya memilin rambut gelapnya dengan
gugup. Jari tangannya yang lembut, pergelangan tangannya yang rapuh-keduanya
sangat ringkih, bahkan hanya dengan hembusan napas bisa kupatahkan.
Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa melakukan ini. Dia terlalu rapuh, terlalu
baik, terlalu berharga untuk menerima takdir ini. Aku tidak mengijinkan
kehidupanku menghancurkan hidupannya.
Tapi aku juga tidak bisa menjauh dari dia. Alice betul tentang itu. Monster
dalam diriku mendesesis frustasi saat aku bimbang.
Selama terombang-ambing, satu jam singkatku bersama dia berlalu cepat. Bel
berbunyi, dan ia mengumpulkan barang-barangnya tanpa menengok. Ini membuatku
kecewa, tapi tidak mungkin berharap sebaliknya. Caraku memperlakukan dia sejak
insiden itu tidak termaafkan.
"Bella?" kataku tanpa bisa kucegah. Tekadku sudah tercabik-cabik.
Dia bimbang sebelum melihat ke arahku; saat menoleh ekspresinya hati-hati,
curiga. Aku mengingatkan diriku sendiri bahwa ia sangat berhak untuk tidak percaya
padaku. Bahwa seharusnya begitu.
Dia menunggu, tapi aku hanya memandanginya, membaca wajahnya. Aku menarik napas
pendek, melawan rasa hausku.
"Apa?" dia akhirnya bertanya. "Apa kau bicara denganku lagi?" ada bagian pada
kekesalannya, yang seperti ketika marah, justru terlihat menggemaskan. Itu
membuatku ingin tersenyum.
Aku tidak begitu yakin bagaimana menjawabnya. Apa aku bicara dengan dia lagi,
dalam pengertian yang ia maksud"
Tidak. Tidak jika aku bisa menghindarinya. Aku akan berusaha menghindarinya.
"Tidak, tidak juga," aku memberitahu dia.
Dia menutup mata, yang membuatku frustasi. Ini memotong jalurku membaca
perasaannya. Dia mengambil napas panjang tanpa membuka mata. Rahangnya terkunci.
Matanya masih tertutup saat bicara. Tentu ini bukan kebiasaan manusia normal.
Kenapa dia melakukannya"
"Lalu apa maumu, Edward?"
Mendengar namaku diucapkan oleh bibirnya, berdampak aneh pada tubuhku. Jika aku
punya detak jantung, pastilah berdetak lebih cepat. Tapi bagaimana menjawabnya"
Apa adanya, aku memutuskan. Aku akan berkata apa adanya mulai sekarang. Aku
tidak mau tidak-dipercaya oleh dia, bahkan jika untuk mendapat kepercayaannya
adalah mustahil. "Aku minta maaf." itu adalah hal yang paling jujur. Sayangnya aku cuma bisa
minta maaf dengan aman atas hal yang sepele. "Aku tahu sikapku sangat kasar.
Tapi lebih baik seperti itu, sungguh."
Akan lebih baik bagi dia jika aku terus bersikap kasar. Apa aku bisa"
Matanya membuka, ekspresinya masih hati-hati.
"Aku tidak tahu apa maksudmu."
Aku coba memberi peringatan sebatas yang kubisa. "Lebih baik kita tidak
berteman." tentu dia menyadari peringatan itu. Dia perempuan cerdas.
"Percayalah." Matanya menyipit. Aku ingat pernah mengatakan itu sebelumnya-tepat sebelum
melanggarnya. Aku mengernyit saat dia menggertakan gigi-jelas dia juga masih
ingat. "Sayang sekali kau tidak menyadarinya sejak awal," ujarnya marah. "Jadi kau
tidak perlu repot-repot menyesal begini."
Aku memandangnya syok. Apa yang ia ketahui tentang penyesalanku"
"Menyesal" Menyesal kenapa?" tanyaku menuntut.
"Karena tidak membiarkan van bodoh itu menimpaku!" dia meledak marah. Aku
membeku, bingung. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu" Menyelematkan nyawanya adalah satusatunya pilihan tepat yang kulakukan sejak bertemu dia. Satu-satunya yang tidak
membuatku malu. Satu dan hanya satu-satunya yang membuatku lega telah 'hidup'.
Aku terus berjuang agar dia tetap hidup sejak pertama mencium aromanya. Bisabisanya dia berpikir seperti itu padaku. Berani-beraninya dia mempertanyakan
satu-satunya perbuatan baikku diantara semua kekacauan ini.
"Kau pikir aku menyesal telah menyelamatkanmu?"
"Aku tahu kau merasa begitu," dia menjawab dengan ketus.
Kesinisannya atas maksud baikku membuatku menggelegak marah. "Kau tidak tahu
apa-apa." Betapa ruwetnya cara kerja pikirannya! Dia pasti tidak berpikir dengan cara yang
sama seperti manusia manapun. Pasti itu penjelasan dibalik kesunyian mentalnya. Dia sama sekali berbeda.
Dia membuang muka dan menggertakan gigi lagi. Pipinya merona, kali ini karena
marah. Dia menumpuk buku-bukunya dengan kasar, menyambarnya, lalu berjalan ke
pintu tanpa menoleh ke arahku.
Bahkan saat kesal seperti ini, mustahil tidak menganggap ekspresi marahnya
sedikit menghibur. Langkahnya kaku, tanpa terlalu memperhatikan jalan, dan kakinya tersangkut ujung
pintu. Dia tersandung dan semua bukunya jatuh berantakan. Bukannya memunguti
barang-barangnya, dia hanya berdiri mematung, bahkan tidak melihat kebawah,
seakan tidak yakin buku-buku itu pantas diambil.
Aku berusaha tidak tertawa.
Tidak ada yang memperhatikan aku; aku segera ke sisinya, mengumpulkan semua
buku-bukunya sebelum ia melihat kebawah.
Dia membungkuk, melihatku, dan kemudian membeku. Kuserahkan buku-bukunya, sambil
kupastikan kulit dinginku tidak menyentuhnya.
"terima kasih," jawabnya dingin.
Nada bicaranya mengembalikan kemarahanku.
"Sama-sama," kataku sama dinginnya.
Dia bangkit berdiri lalu langsung pergi ke kelas berikutnya tanpa menoleh. Aku
memperhatikan sampai sosoknya hilang.
Pelajaran bahasa Spanyol berjalan kabur. Mrs. Goff tidak menggubris
kelinglunganku - dia tahu bahasa Spanyolku jauh lebih fasih dibanding dia,
karena itu ia memberi banyak kelonggaran - membuatku bebas untuk berpikir.
Jadi, aku tidak bisa mengabaikan gadis itu. Hal itu sudah pasti. Tapi apa
artinya aku tidak punya pilihan selain menghancurkan dia" Itu tidak mungkin
satu-satunya masa depan yang tersisa. Pasti ada pilihan lain, yang lebih
manusiawi. Aku berusaha memikirkan suatu cara...
Aku tidak terlalu memperhatikan Emmet sampai jam pelajaran hampir selesai. Dia
penasaran - Emmet tidak terlalu pandai membaca mood orang lain, tapi ia bisa
melihat perubahan nyata pada diriku. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi. Dia
berupaya keras mendefinisikan perubahannya. Dan akhirnya memutuskan bahwa aku
terlihat penuh harapan. Penuh harapan" Apa seperti itu kelihatannya dari luar"
Aku mempertimbangkan ide akan harapan selama berjalan ke mobil. Kira-kira
seharusnya aku berharap apa"
Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk mempertimbangan hal itu. Sesensitif
seperti biasanya, suara nama Bella di kepala...sainganku - harus kuakui menarik perhatianku. Eric dan Tyler, telah mendengar-dengan puas sekali - atas
kegagalan Mike. Mereka berdua sedang mempersiapkan langkah mereka sendiri.
Eric telah mengambil posisi duluan. Dia menyandar ke truk Bella agar dia tidak
bisa menghindar. Kelas Tyler keluar agak telat, dan ia mesti buru-buru sebelum
terlambat mengejar Bella.
Yang ini aku harus lihat.
"Tunggu yang lain disini, oke?" aku menggumam pada Emmet.
Matanya curiga, tapi ia cuma mengangkat bahu dan mengangguk.
Anak ini mulai gila. Dia membatin, geli dengan permintaan anehku.
Aku melihat Bella keluar dari gimnasium. Aku menunggu di tempat yang tidak
kelihatan. Saat ia mulai mendekati sergapan Eric, baru aku jalan, mengatur
langkahku agar nanti bisa lewat di waktu yang pas.
Aku memperhatikan bagaimana ia terkejut melihat bocah itu disamping truknya. Dia
terhenti sebentar, kemudian rileks lagi dan meneruskan langkahnya.
"Hai, Eric," ia menyapa dengan suara ramah.
Tiba-tiba aku jadi gelisah. Bagaimana jika bocah ceking dengan kulit bermasalah
ini, entah bagaimana, menyenangkan hatinya"
Eric menyaut dengan terlalu keras, "Hai, Bella."
Gadis itu sepertinya tidak menyadari kegugupan Eric.
"Ada apa?" Dengan santai ia membuka pintu truknya tanpa melihat ke wajah cemas
bocah itu. "Mmm, aku cuma bertanya-tanya...maukah kau pergi ke pesta dansa musim semi
bersamaku?" suaranya bergetar.
Dia akhirnya menoleh. Apa dia terkejut, bingung, atau senang" Eric tidak sanggup
menatapnya, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya di pikiran dia.
"Kupikir perempuanlah yang mengajak," dia terdengar agak bingung.
"Iya, sih," dia mengakui malu-malu.
Bocah memelas ini tidak semenjengkelkan Mike Newton, tapi aku baru bisa
bersimpati padanya setelah Bella menjawab dia dengan lembut. "terima kasih untuk
ajakannya, tapi aku akan pergi ke Seattle hari itu."
Dia telah mendengar hal itu, tapi tetap saja ia merasa kecewa.
"Oh ya sudah," gumamnya. Dia hampir tidak berani mengangkat matanya. "Mungkin
lain kali." "Tentu," dia menjawab sopan. Kemudian ia menggigit bibirnya, seakan menyesal
telah memberi harapan. Aku suka itu.
Eric melangkah lemas, menuju ke arah berlawanan dari mobilnya. Yang ia pikirkan
cuma pergi. Aku melewati Bella tepat pada saat itu, dan mendengar desah leganya. Aku
tertawa. Dia menoleh mendengar suaraku, tapi aku memandang lurus kedepan, berusaha
menahan bibirku agar tidak tersenyum girang.
Tyler terlihat masih jauh, tergesa-gesa mengejar Bella. Dia lebih berani dan
lebih yakin dibanding dua pesaingnya. Selama ini ia belum mendekati Bella hanya
karena menghormati Mike, yang telah lebih dulu melakukan pendekatan.
Aku ingin dia berhasil mengejar Bella karena dua alasan. Jika - seperti yang
sudah kusangka - semua perhatian ini sangat mengganggu Bella, aku ingin menonton
reaksinya. Tapi, jika ternyata tidak menggangu - jika memang ajakan Tyler yang
ia tunggu-maka aku ingin mengetahui hal itu.
Aku benar-benar menilai Tyler sebagai pesaingku, meskipun tahu itu keliru.
Bagiku dia biasa-biasa saja, membosankan, dan tidak ada istimewanya sama sekali.
Tapi memangnya aku tahu selera Bella" Barangkali dia suka dengan cowok yang
biasa-biasa saja... Aku mengernyit pada pikiran itu. Aku tidak mungkin bisa biasa-biasa saja.
Bodohnya aku ikut-ikutan bersaing mengejar perhatian Bella. Bagaimana mungkin
dia perduli pada monster"
Dia terlalu baik bagi seorang monster.
Aku sebaiknya membiarkan dia pulang, tapi rasa penasaranku yang absurd menahanku
melakukan sesuatu yang benar. Lagi. lagipula, bagaimana jika Tyler kehilangan
kesempatan, dan justru menghubungi nanti saat aku tidak bisa mendengar hasilnya"
Aku cepat-cepat memundurkan Volvoku, mendului dia dan menghalangi truknya.
Emmet dan yang lain dalam perjalanan. Emmet sedang menggambarkan tingkah anehku.
Mereka berjalan pelan-pelan, memperhatikan aku, mencari tahu apa yang sedang
kulakukan. Aku memperhatikan gadis itu dari kaca spion. Dia mendelik ke belakang mobilku.
Kelihatannya ia seperti berharap sedang mengendarai tank dan bukannya truk Chevy
karatan. Tyler buru-buru mengambil mobil dan berhasil mengantri di belakangnya, bersyukur
pada tindakanku yang tidak biasa. Dia melambai ke gadis itu, berusaha menarik
perhatiannya, tapi gadis itu tidak melihat. Dia menunggu sebentar, kemudian
keluar dari mobil, menghampiri sisi penumpang truk gadis itu. Dia mengetuk
kacanya. Gadis itu terlonjak, kemudian menatap Tyler bingung. Setelah beberapa saat, ia
menurunkan jendelanya secara manual, kelihatannya sedikit macet.
"Sori, Tyler," katanya dengan suara kesal. "Mobil Cullen menghalangiku."
Dia mengucapkan nama keluargaku dengan suara tajam - dia masih marah padaku.
"Iya, aku tahu," ujarnya, tidak terpengaruh oleh moodnya. "Aku hanya ingin
menanyakan sesuatu selagi kita terjebak disini."
Seringainya agak sombong.
Aku senang melihat wajahnya berubah pucat setelah menyadari niat Tyler.
"Maukah kau mengajakku ke pesta dansa musim semi?" dia bertanya penuh keyakinan.
"Aku akan pergi ke luar kota, Tyler," dia menjawab agak ketus.
"Iya, Mike sudah cerita."
"Lantas, kenapa-" dia menatap Tyler tajam.
Dia mengangkat bahu. "Aku pikir kau hanya ingin menolaknya secara halus."
Matanya berkilat kesal, tapi kemudian meredup. "Sori, Tyler." Dia tidak
terdengar menyesal sama sekali. "Aku benar-benar akan pergi ke luar kota."
Dia menerima alasan itu, dan keyakinannya masih tidak tergoyahkan. "Oke, tidak
apa-apa. Masih ada prom."
Dia kembali ke mobilnya. Keputusanku tepat untuk tidak melewatkan hal ini.
Ekspresi kesal di wajahnya benar-benar layak untuk dilihat. Itu memberitahu apa
yang seharusnya tidak kucari tahu - bahwa ia tidak tertarik pada bocah-bocah
itu. Juga, ekspresinya adalah hal terlucu yang pernah aku lihat.
Saat keluargaku sampai ke mobil, mereka bingung melihat perubahanku, yang sedang
tertawa sendirian dan bukannya bersungut jengkel seperti biasanya.
Apa yang lucu" Emmet ingin tahu.
Aku cuma menggeleng sambil tertawa lagi karena melihat Bella menderumkan mesin
mobilnya dengan marah. Dia kelihatannya berharap sedang mengendarai tank lagi.
"Ayo pergi!" Rosalie mendesis tidak sabaran. "Berhenti bertingkah seperti orang
idiot. Itu kalau kau bisa."
Ucapannya tidak menggangguku - aku terlalu terhibur. Tapi aku menuruti yang dia
minta. Tidak ada yang bicara padaku selama perjalanan. Sementara aku terus tertawa-tawa
kecil sendirian gara-gara teringat wajahnya.
Saat tiba di jalan sepi - menginjak gas dalam-dalam mumpung tidak ada saksi Alice merusak moodku. "Jadi boleh sekarang aku bicara pada Bella?" dia langsung bertanya begitu saja,
tanpa basa-basi. "Tidak." Aku langsung marah.
"Tidak adil! Apa yang kutunggu?"
"Aku belum memutuskan apa-apa, Alice."
"Terserah."

Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalam kepalanya, dua takdir Bella menjadi jelas lagi.
"Apa gunanya berkenalan dengan dia?" Aku mendadak murung. "Jika aku hanya akan
membunuhnya?" Alice sekejap ragu. "Kau ada benarnya," dia mengakui.
Aku membelok tajam pada kecepatan sembilan puluh mil perjam, dan kemudian
mendecit berhenti, tepat beberapa inchi sebelum tembok garasi.
"Selamat menikmati jogingmu," sindir Rosalie culas saat aku keluar dari mobil.
Tapi hari ini aku tidak lari. Aku berburu.
Yang lain baru akan berburu besok, tapi aku tidak sanggup untuk haus sekarang.
Pada akhirnya aku minum terlalu banyak-beberapa rusa besar dan satu beruang
hitam. Aku cukup beruntung bisa menemukan mereka di awal musim seperti ini. Aku
kekenyangan hingga tidak nyaman. Tapi kenapa masih belum juga cukup" Kenapa
aroma dia harus lebih kuat dari yang lain"
Ini aku berburu untuk persiapan besok. Tapi saat selesai berburu, dan masih
berjam-jam lagi sebelum matahari terbit, aku tahu besok terlalu lama.
Rasa gugup kembali melandaku saat menyadari aku akan mencari gadis itu sekarang
juga. Aku berdebat dengan diriku sendiri selama perjalanan, tapi sisi culasku yang
menang. Aku melanjutkan rencanaku. Monster dalam diriku gelisah namun sudah
terikat kencang. Aku akan menjaga jarak. Aku cuma ingin tahu dimana dia. Aku
hanya ingin melihat wajahnya.
Ini sudah lewat tengah malam. Rumah Bella gelap dan sepi. Truknya diparkir di
pinggir jalan, mobil polisi ayahnya di depan rumah. Tidak ada pikiran yang
terbangun di sekeliling rumahnya. Aku mengawasi rumahnya dari balik kepekatan
hutan yang menghampar di seberang jalan. Pintu depan pasti terkunci-bukan
masalah, tapi aku tidak mau meninggalkan bukti dengan merusak pintunya. Jadi aku
akan mencoba jendela atas dulu. Jarang ada orang yang repot-repot menguncinya.
Aku berlari menyebrang jalan, lalu meloncat keatas rumahnya tidak sampai
setengah detik. Aku bergelantungan pada kusen jendela. Aku mengintip lewat kaca,
dan napasku terhenti. Ini kamarnya. Aku bisa melihat dia di tempat tidurnya yang kecil. Selimutnya di
lantai, dan spreinya berantakan disekitar kakinya. Kemudian tiba-tiba ia
bergerak gelisah dan melempar satu tangannya keatas kepala. Tidurnya tidak
bersuara, paling tidak hari ini. Apa ia merasakan ada bahaya"
Batinku menyuruhku untuk pergi saat dia bergerak gelisah lagi. Apa bedanya aku
dengan tukang ngintip" Tidak ada bedanya. Bahkan aku jauh, jauh lebih buruk.
Aku mengendurkan pegangan jariku, sudah akan turun, tapi sebelum itu aku ingin
mengamati dulu lagi wajahnya sebentar.
Wajahnya tidak tenang. Sedikit kerutan terlihat diantara alisnya. Ujung bibirnya
turun. Bibirnya bergerak-gerak, kemudian terbuka.
"Oke, mom," dia menggumam pelan.
Bella bicara di tidurnya.
Rasa penasaran langsung membakarku, mengalahkan kejijikan pada apa yang sedang
kulakukan. Daya pikat ungkapan pikirannya yang terucap tanpa - sadar mustahil
untuk dilawan. Aku coba membuka jendelanya, ternyata tidak terkunci, hanya saja agak macet
karena jarang dibuka. Kudorong pelan-pelan, berjengit tiap kali menimbulkan
suara. Aku mesti mencari oli untuk lain kali...
Lain kali" Aku menggelengkan kepala, lagi-lagi merasa jijik dengan diriku.
Aku menyelinap tanpa suara melalui jendela yang terbuka separuh.
Kamarnya kecil - berantakan tapi tidak kotor. Buku-buku berserakan di lantai
disamping tempat tidur, keping-keping CD bertebaran di dekat tapenya yang
murahan, dan diatas tapenya terdapat kotak tempat asesoris. Tumpukan-tumpukan
kertas berhamburan disekitar komputer yang seharusnya sudah dimuseumkan. Sepatusepatunya ditaruh begitu saja di lantai kayu.
Aku sangat ingin membaca judul-judul bukunya dan CD-CD musiknya, tapi aku sudah
berjanji untuk menjaga jarak. Jadi aku cuma duduk di kursi goyang di pojok
kamar. Apa betul aku pernah berpikir penampilannya biasa-biasa saja" Aku mengingat lagi
saat hari pertama, dan kemuakanku pada bocah-bocah yang langsung tertarik
padanya. Tapi sekarang, jika kuingat lagi wajahnya di pikiran mereka, aku tidak
mengerti kenapa aku tidak lansung menilai dia cantik. Padahal jelas-jelas
wajahnya cantik. Saat ini - dengan rambut gelap berantakan diseputar wajah pucatnya, memakai kaos
oblong usang dengan celana panjang katun lusuh, roman rileks pulas, dan bibirnya
yang penuh sedikit merekah - dia membuatku terpesona.
Dia tidak bicara. Barangkali mimpinya sudah selesai.
Aku menatap wajahnya sambil berusaha mencari jalan lain selain dua pilihan masa
depan yang ada. Apa pilihanku cuma tinggal mencoba pergi lagi"
Yang lain sudah tidak bisa membantah lagi sekarang. Kepergianku tidak akan
membahayakan siapa-siapa. Tidak akan ada yang curiga. Tidak akan ada yang
mengkait-kaitkan dengan insiden kemarin.
Aku sebimbang tadi siang, dan semua kelihatannya mustahil.
Aku tidak mungkin menyaingi bocah-bocah manusia itu, entah ada yang membuat dia
tertarik atau tidak. Aku seorang monster. Bagaimana mungkin ia akan melihatku
sebagai sosok yang lain" Jika dia tahu siapa diriku sebenarnya, itu akan
membuatnya ngeri ketakutan. Sama seperti para korban dalam film horor, ia akan
lari gemetar penuh teror.
Aku ingat hari pertamanya di kelas biologL.itu adalah reaksi yang paling tepat
dari dia. Sungguh konyol membayangkan bahwa jika saja aku yang mengajak dia ke pesta
dansa, mungkin ia akan membatalkan rencananya ke Seattle dan setuju pergi
denganku. Bukan aku yang dia takdirkan untuk dijawab ya. Melainkan orang lain, seseorang
yang hangat dan manusia. Dan bahkan - suatu saat nanti, ketika kata ya terucap aku tidak boleh memburu pria itu dan membunuhnya. Bella pantas mendapatkannya,
siapapun itu. Dia layak mendapatkan kebahagiaan dan rasa sayang dari siapapun
pilihannya. Aku berhutang itu padanya; aku tidak bisa lagi pura-pura hampir mencintai gadis
ini. Bagamanapun, tidak ada pengaruhnya kalau aku pergi, karena Bella tidak akan
pernah melihatku dengan cara yang seperti kuharapkan. Dia tidak akan pernah
melihatku sebagai sosok yang pantas dicintai.
Tidak akan pernah. Bisakah jantung beku yang telah mati patah" Rasanya jantungku bisa.
"Edward," ucap Bella.
Aku membeku, memperhatikan matanya yang tertutup.
Apa dia terbangun, melihatku disini" Dia kelihatannya pulas, namun suaranya
sangat jernih... Dia mendesah pelan, kemudian bergerak gelisah lagi, berguling kesamping-masih
pulas dan bermimpi. "Edward," dia bergumam lembut. Dia memimpikan aku.
Bisakah jantung beku yang sudah mati kembali berdetak" Sepertinya punyaku bisa.
"Tinggallah," dia mendesah. "Jangan pergi. Tolong... jangan pergi."
Dia memimpikan aku, dan itu bukan mimpi buruk. Dia menginginkan aku tinggal
bersamanya, disana di mimpinya.
Aku berjuang mencari istilah dari perasaan yang membanjiri diriku, tapi aku
tidak punya istilah yang cukup kuat untuk mengartikannya. Selama beberapa lama,
aku tenggelam, berenang-renang di dalamnya.
Ketika muncul ke permukaan, aku bukan lagi orang yang sama.
Hari-hariku tidak berujung, malam gelap tanpa akhir. Selalu tengah malam bagiku.
Jadi bagaimana mungkin matahari bisa terbit sekarang, di tengah tengah-malamku"
Pada hari dimana aku menjadi vampir, menukar jiwa dan kefanaanku dengan
keabadian, dalam proses transformasi yang menyiksa, aku benar-benar telah
membeku. Badanku menjadi sesuatu yang menyerupai batu daripada daging, kekal dan
tidak berubah. Kepribadianku juga ikut membeku-yang aku suka dan tidak suka,
mood dan hasaratku; semua membeku.
Hal yang sama juga terjadi pada yang lainnya. Kami semua membeku. Batu hidup.
Ketika kemudian terjadi perubahan pada kita, itu langka dan merupakan sesuatu
yang permanen. Aku melihatnya terjadi pada Carlisle, dan sepuluh tahun kemudian
pada Rosalie. Perasaan cinta merubah mereka dalam cara yang kekal, cara yang
tidak akan pernah pudar. Sudah lebih dari 80 tahun Carlisle menemukan Esme, dan
tetap saja dia masih menatap Esme dengan tatapan yang sama seperti saat
menemukan cinta pertamanya. Dan akan selamanya begitu bagi mereka.
Akan selalu seperti itu juga bagiku. Aku akan selalu mencintai gadis rapuh ini,
untuk selama eksistensiku yang tak terbatas.
Aku memandangi wajahnya yang terlelap, merasakan perasaan cintaku menetap pada
tiap sel di tubuh beku-ku.
Dia tidur lebih nyaman sekarang. Sebaris senyum pada bibirnya.
Aku akan selalu mengawasi dia seperti ini.
Aku mencintai dia, jadi aku akan berusaha menjadi kuat untuk bisa meninggalkan
dia. Aku tahu aku tidak sekuat itu sekarang. Akan kuupayakan. Tapi barangkali
akhirnya aku akan cukup kuat untuk mengelakan masa depannya dengan cara lain.
Alice hanya melihat dua takdir bagi Bella. Kini aku memahami keduanya.
Mencintai dia bukan berarti membuatku tidak akan membunuhnya, jika aku sampai
membuat kesalahan. Namun begitu aku tidak bisa merasakan monster itu sekarang, tidak bisa menemukan
dimanapun dalam diriku. Barangkali cinta telah membungkam dia selamanya. Jika
aku membunuh Bella sekarang, itu bukan disengaja, hanya ketidak sengajaan yang
mengerikan. Aku akan sangat hati-hati. Aku tidak akan pernah mengendurkan kewaspadaannku.
Aku akan selalu mengontrol tiap tarikan napasku. Aku akan selalu menjaga jarak.
Aku tidak akan pernah membuat kesalahan.
Aku akhirnya memahami takdir yang kedua. Selama ini aku tidak habis pikir dengan
penglihatan itu-apa yang terjadi hingga dia akhirnya menjadi tahanan keabadian
seperti diriku ini" Sekarang - dibutakan kerinduan pada gadis ini - aku bisa
mengerti, bagaimana aku, dengan keegoisan yang tidak termaafkan, meminta tolong
ayahku untuk melakukannya. Meminta padanya untuk mengenyahkan jiwa gadis ini
agar aku bisa mendapatkan dia selamanya.
Dia berhak mendapatkan yang lebih baik.
Tapi aku melihat masa depan yang lain, satu benang tipis yang mungkin bisa
kulewati, jika dapat menjaga keseimbangan.
Apa aku sanggup" Bersamanya dan membiarkan dia menjadi manusia"
Secara sengaja aku mengambil napas dalam-dalam, membiarkan aromanya membakar
diriku. Kamarnya pekat dengan wangi tubuhnya; bau tubuhnya menempel di setiap
permukaan. Kepalaku seperti tenggelam, tapi kulawan pusing itu. Jika berniat
menjalin hubungan dengan dia, aku harus membiasakan diri dengan ini. Aku
mengambil napas lagi, napas yang membakar.
Aku memperhatikan dia tidur hingga matahari terbit dibalik awan timur, menyusun
rencana dan terus bernapas dalam-dalam.
Aku baru tiba di rumah setelah yang lain sudah berangkat sekolah. Aku cepatcepat ganti baju, menghindari tatapan penuh tanya Esme. Dia melihat binar samar
di wajahku. Dia merasa cemas sekaligus lega. Kesenduan panjangku membuatnya
sedih, dan ia lega karena sepertinya telah berakhir.
Aku berlari ke sekolah, sampai beberapa detik sebelum saudaraku. Mereka tidak
menoleh, meskipun Alice pasti telah memberitahu aku akan disini, di kerimbunan
hutan dekat parkiran. Aku menunggu sampai tidak ada yang melihat, kemudian
berjalan santai dari balik pepohonan ke parkiran.
Aku mendengar truk Bella menderu keras di belokan. Aku berhenti di belakang
sebuah suburban, di posisi aku bisa mengamati tanpa kelihatan.
Dia masuk ke parkiran, mendelik ke Volvoku selama beberapa saat sebelum
mengambil tempat parkir di ujung yang paling jauh. Dahinya mengerut.
Rasaya aneh mengingat dia sepertinya masih marah padaku, dan dengan alasan yang
Kisah Pendekar Bongkok 13 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Istana Berdarah 2

Cari Blog Ini