Ceritasilat Novel Online

Perintah Kesebelas 4

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer Bagian 4


Petersburg untuk dapat sepenuhnya mengerti menu Crucifix. Tapi mereka dapat menerimanya begitu
menyadari mereka di sini untuk seluruh sisa hidup mereka. Dan di sini tak ada alternatif masakan a
la carte." Ia menyedot
rokok dalam-dalam dan mengepulkan asapnya melalui hidung.
"Sebenarnya," ia melanjutkan, "kau mungkin telah membaca di koran baru-baru ini,
seorang napi kami telah memangsa sesama napi. Tapi dengan kurangnya jatah makan dan
berjubelnya penghuni, hal ini tak perlu kita ributkan."
Connor tersenyum. "Ah, bagaimanapun kau masih hidup," kata Kepala Polisi. "Nah, aku harus
memberitahumu, ada perkembangan menarik sejak pertemuan kita terakhir kali. Menurutku kau ingin
mengetahuinya." 259 Ia meletakkan ransel dan koper kulit itu di lantai. "Dua barang ini dilaporkan
kepala portir National Hotel sebagai barang-barang tak bertuan."
Connor mengernyitkan alis.
"Tepat seperti dugaanku," kata Kepala Polisi. "Dan sejujurnya, ketika kami
menunjukkan fotomu, portir itu mengkonfirmasikan bahwa meskipun ia ingat orang yang cocok dengan
foto itu menitipkan ransel, * ia tak ingat koper ini. Walau begitu kukira kau tak perlu
diberitahu tentang isinya." Kepala Polisi membuka koper dan mengeluarkan Remington 700. Connor menatap
lurus-lurus, pura-pura acuh tak acuh. "Walau kau pasti pernah memegang senjata tipe . ini, aku yakin kau belum pernah
melihat senapan khusus ini, kendati inisial PD.V. tertera dengan pas pada koper ini. Bahkan
seorang rekrut yang masih hijau dapat menyimpulkan kau telah dijebak."
Bolchenkov mengisap rokoknya dalam-dalam.
"CIA pasti menganggap kepolisian kami adalah yang paling tolol di seluruh dunia.
Apa mereka mengira kami tak tahu apa pekerjaan Mitchell yang sebenarnya" Atase Kebudayaan!"
dengusnya. "Ia mungkin mengira Hermitage itu toserba. Sebelum kau mengatakan sesuatu, aku
masih mempunyai berita lain yang mungkin kauminati." la kembali menyedot rokoknya dan
membiarkan nikotin meresap ke dalam paru-paru. "Victor Zerimski memenangkan pemilihan. Ia
akan dilantik jadi presiden Senin mendatang."
Connor tersenyum tipis. "Dan karena aku tak bisa membayangkan kau akan ditawarinya kursi di deretan
depan dalam pe-260 lantikan," kata Kepala Polisi, "mungkin sudah tiba saatnya kauceritakan versimu
pada kami, M r. Fitzgerald." 261 BAB SEMBILAN BELAS Presiden zerimski memasuki ruangan dengan angkuh. Kolega-koleganya bangkit dari
kursi di sekeliling meja panjang kayu jati dan bertepuk tangan hingga ia duduk di bawah
potret Stalin, yang dibangkitkan kembali dari basement Museum Pushkin, tempatnya merana sejak tahun
1956. Zerimski mengenakan setelan biru tua, kemeja putih, dan dasi sutra merah. Ia
tampak sangat berbeda dari orang-orang yang duduk di sekeliling meja, yang masih mengenakan
pakaian berpotongan kurang cocok sejak kampanye pemilihan. Pesannya jelas - mereka harus
ke penjahit sesegera mungkin. Zerimski membiarkan tepuk tangan berlangsung beberapa saat, kemudian tangannya
memberi isyarat supaya para koleganya duduk seolah mereka hanyalah massa yang memujanya.
"Meskipun secara resmi baru Senin yang akan datang aku memangku jabatan baruku,"
ia memulai 262 kata-katanya, "aku bermaksud segera mengadakan perubahan dalam satu-dua bidang."
Presiden mengedarkan pandang kepada para pendukung yang telah mendampinginya melewati
tahun-tahun sulit itu. Mereka kini baru akan menerima imbalan atas kesetiaan mereka. Banyak
di antaranya yang telah menunggu selama setengah hidupnya.
Ia mengalihkan perhatian kepada orang gemuk pendek yang pandangannya kosong di
depannya. Joseph Pleskov telah diangkat dari tukang pukul Zerimski menjadi anggota penuh
Politbiro sehari setelah ia menembak mati tiga orang yang mencoba membunuh bosnya selama
kunjungan ke Odessa. Pleskov mempunyai satu keutamaan yang dituntut Zerimski dari setiap
menteri dalam kabinetnya: selama memahami perintah-perintahnya, ia akan melaksanakannya.
"Joseph, sahabat lamaku," kata Zerimski. "Kau akan jadi menteri dalam negeriku."
Beberapa wajah di sekitar meja berusaha untuk tidak tampak terkejut atau kecewa. Kebanyakan
dari mereka tahu bahwa mereka jauh lebih berkualitas untuk melaksanakan pekerjaan itu daripada
mantan pekerja dermaga dari Ukraina tersebut. Dan beberapa menduga ia bahkan tak tahu jabatan
itu sering disingkat menjadi Men-dagri. Orang pendek gemuk itu memandang bersinar-sinar
kepada pemimpinnya seperti bocah yang mendapatkan mainan yang tak terduga.
"Tanggung jawab pertamamu, Joseph, ialah menangani tindak pidana terorganisasi.
Menurutku cara terbaik untuk memulai tugas itu adalah dengan menahan Nicolai Romanov, yang
disebut Tsar. Sebab 263 takkan ada tempat untuk Tsar atau kaum ningrat apa pun selama aku jadi
presiden." Satu-dua wajah yang sesaat sebelumnya tampak cemberut tiba-tiba menjadi ceria.
Hanya sedikit dari mereka sanggup menghadapi Nicolai Romanov, dan tak seorang pun percaya
Pleskov sanggup melaksanakannya. "Apa tuduhannya?" tanya Pleskov polos.
"Apa pun yang kausukai, penipuan hingga pembunuhan," sahut Zerimski. "Tapi
pastikan tuduhan itu tetap bertahan."
Pleskov sudah tampak sedikit cemas. Akan jauh lebih mudah seandainya Bos
memerintahkan membunuh orang itu begitu saja.
Mata Zerimski mengitari meja. "Lev," katanya kepada seseorang yang tetap setia
buta kepadanya. "Aku akari* memberimu setengah dari program hukum dan ketertibanku."
Lev Shulov tampak gugup, tidak tahu pasti apakah harus berterima kasih atas apa
yang akan ia terima. "Kau akan jadi menteri kehakimanku yang baru."
Shulov tersenyum. "Biar kujelaskan bahwa sekarang ini terlalu banyak kemacetan di dalam
pengadilan. Angkatlah sekitar selusin hakim baru. Pastikan mereka telah lama menjadi anggota Partai.
Mulailah dengan menjelaskan pada mereka bahwa aku hanya punya dua kebijakan bila mengenai hukum
dan ketertiban: yaitu pengadilan lebih singkat dan hukuman lebih lama. Dan aku
berniat membuat contoh seseorang yang pantas diberitakan dalam hari-hari pertama kepresidenanku,
264 supaya tak ada keragu-raguan lagi mengenai nasib mereka yang menghalangiku."
"Apakah ada seseorang yang Anda pikirkan, Mr. President?"
"Ya," jawab Zerimski, "kalian pasti ingat..." Ada ketukan lembut di pintu.
Semuanya berpaling ingin tahu siapa yang berani mengganggu rapat kabinet pertama presiden baru.
Dmitri Titov masuk tanpa suara, menebak bahwa Zerimski akan lebih bosan lagi bila tidak disela.
Presiden mengetuk- ngetuk meja dengan jarinya sementara Titov berjalan di sepanjang ruangan,
kemudian membungkuk dan berbisik di telinga Zerimski.
Zerimski langsung meledak tertawa. Yang lain-lainnya ingin ikut tertawa, tetapi
enggan, karena belum tahu leluconnya. Zerimski menatap kolega-koleganya. "Presiden Amerika
Serikat menelepon, rupanya ingin memberi selamat padaku." Kini mereka semua bisa ikut
tertawa. "Keputusanku berikutnya ialah apakah sebaiknya kubiarkan dia menunggu - selama
tiga tahun mendatang..." Mereka semua tertawa lebih keras lagi, kecuali Titov, "...atau
apakah sebaiknya kuterima telepon itu."
Tak seorang pun memberikan pendapat.
"Apakah akan kita lihat dulu apa yang dikehendaki orang itu?" tanya Zerimski.
Mereka semua mengangguk. Titov mengangkat pesawat telepon di sampingnya dan menyerahkannya
kepada Bos. "Mr. President," kata Zerimski.
"Bukan, Sir," segera terdengar jawaban. "Nama saya Andy Lloyd. Saya Kepala Staf
Gedung Putih. 265 Bolehkah saya hubungkan dengan Presiden Lawrence?"
'Tidak. Tak boleh," kata Zerimski marah. "Katakan pada Presidenmu, lain kali dia
harus menelepon sendiri, sebab aku tak berurusan dengan pesuruh." Ia membanting pesawat dan
semuanya tertawa lagi. "Nah, apa yang sedang kukatakan tadi?"
Shulov menjawab, "Anda baru saja menjelaskan pada kami, Mr. President, siapa
yang dijadikan contoh untuk menunjukkan kedisiplinan baru Departemen Kehakiman."
"Ah, ya," kata Zerimski, senyum kembali muncul di bibirnya ketika telepon
berdering lagi. Zerimski menunjuk Kepala Staf, yang mengangkat pesawat.
"Apakah mungkin berbicara dengan Presiden Zerimski?" tanya sebuah suara.
"Siapa yang hendak bicara dengannya?" tanya Titov.
"Tom Lawrence."
Titov menyerahkan telepon kepada Bos. "Presiden Amerika Serikat," hanya itu
kata-kata Titov. Zerimski mengangguk dan menerima telepon itu
"Kaukah itu, Victor?"
"Ini Presiden Zerimski. Dengan siapa aku bicara?"
"Tom Lawrence," jawab Presiden sambil mengernyitkan alis kepada Menteri Luar
Negeri dan Kepala Staf Gedung Putih yang sedang ikut mendengarkan dengan pesawat extention
mereka. "Selamat pagi. Bisa kubantu?"
"Aku menelepon hanya untuk menambah ucapan selamat yang pasti telah kauterima
setelah kemenang- 266 an yang begitu mengesankan." Sebenarnya Tom Lawrence ingin mengatakan "yang tak
terduga", namun Departemen Luar Negeri tidak menyetujuinya. "Persaingan yang sangat ketat.
Tapi setiap orang di dunia politik mengalami masalah itu dari waktu ke waktu."
"Itu bukan masalah yang akan kualami lagi," kata Zerimski. Lawrence tertawa,
menganggap ucapan ini dimaksudkan sebagai lelucon. Ia takkan berbuat demikian jika bisa
melihat pandangan membeku orang-orang di seputar meja kabinet di Kremlin.
Lloyd berbisik, "Terus saja."
"Hal pertama yang ingin kulakukan adalah mengenalmu dengan lebih baik, Victor."
"Kalau begitu kau harus mulai memahami bahwa hanya ibuku yang memanggilku dengan
nama depan." Lawrence menyimak catatan-catatan yang terbuka di mejanya. Matanya menatap nama
lengkap Zerimski, Victor Leonidovich. Ia menggarisbawahi "Leonidovich", tetapi Larry
Harrington menggeleng. "Maaf," kata Lawrence. "Anda menghendaki saya menyapa Anda bagaimana?"
"Dengan cara yang sama yang diharapkan dari seseorang yang tak tahu bagaimana
harus menyapa Anda." Walaupun hanya dapat mendengar dari satu pihak, mereka yang duduk di seputar
meja di Moskwa menikmati kontak pertama antara dua pemimpin itu. Lain halnya dengan mereka yang
berada di Ruang Oval. "Coba yang lainnya, Mr. President," saran Menteri Luar Negeri sambil tangannya
menutupi pesawat. Tom Lawrence memandang sekilas pertanyaan267 pertanyaan yang telah disiapkan Andy Lloyd dan melewati satu halaman. "Saya
berharap tak begitu lama lagi kita dapat menemukan kesempatan untuk bertemu. Tolong pikirkan hal
itu," tambahnya. "Memang agak mengherankan kita belum pernah berjumpa sebelum ini."
"Tidak begitu mengherankan," kata Zerimski. "Ketika Anda terakhir kali
mengunjungi Moskwa bulan Juni, Kedutaan Anda tidak mengundang saya dan kolega-kolega saya
menghadiri santap malam yang diselenggarakan untuk Anda." Orang-orang di seputar meja itu
menggumamkan dukungan. "Nah, Anda pasti sudah tahu bahwa dalam kunjungan ke luar negeri seperti itu


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang terlalu diatur oleh petugas-petugas lokal..."
"Saya sangat berminat mengetahui petugas lokal mana yang menurut Anda pantas
diganti sesudah salah perhitungan yang begitu mendasar." Zerimski berhenti sejenak. "Mungkin
dimulai dengan Duta Besar Anda." Kesunyian panjang menyusul sementara ketiga orang di Ruang Oval itu menelusuri
pertanyaan-pertanyaan yang dengan tekun mereka persiapkan. Sejauh ini mereka
tidak mengantisipasi salah
satu jawaban Zerimski. "Saya dapat memastikan," tambah Zerimski, "bahwa saya tidak akan mengizinkan
salah satu petugas saya, baik lokal atau apa pun, untuk mengalahkan kehendak pribadi saya."
"Betapa beruntungnya Anda," kata Lawrence tanpa mau lagi mengindahkan jawabanjawaban yang telah disiapkan. 268 "Keberuntungan bukanlah faktor yang saya pertimbangkan," kata Zerimski. "Lebihlebih bila berurusan dengan lawan-lawan saya."
Larry Harrington tampak mulai putus asa, tetapi Andy Lloyd cepat-cepat
menuliskan pertanyaan di notes dan menyodorkannya kepada Presiden. Lawrence mengangguk.
"Mungkin sebaiknya kita segera mengadakan pertemuan sehingga dapat saling
mengenal dengan lebih baik?" Trio Gedung Putih itu menunggu tawaran tersebut ditolak mentah-mentah.
"Akan saya pikirkan dengan saksama," sahut Zerimski, mengejutkan semua orang di
kedua belah pihak. "Sebaiknya Anda minta Mr. Lloyd menghubungi Kamerad Titov, yang
bertanggung jawab mengatur pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin asing."
"Pasti akan saya lakukan," kata Lawrence lega. "Saya akan minta Andy Lloyd
menelepon Mr. Titov dalam beberapa hari ini" Lloyd menulis lagi dan menyerahkannya kepada
Presiden. Catatan itu berbunyi: "Dan tentu saja saya akan sangat senang mengunjungi Moskwa."
"Selamat pagi, Mr. President," kata Zerimski.
"Selamat pagi, Mr. President," jawab Lawrence.
Begitu meletakkan telepon, Zerimski langsung memperoleh tepuk tangan. Cepatcepat ia berpaling kepada Kepala Staf dan berkata, "Bila Lloyd menelepon, ia akan mengusulkan
kunjunganku ke Washington. Terima saja tawaran itu."
Kepala Stafnya tampak kaget.
Sambil berpaling ke kolega-koleganya, Presiden
269 berkata,' "Aku sungguh yakin Lawrence akan segera menyadari dengan orang macam
apa dia berurusan. Tapi yang lebih penting, aku ingin publik Amerika juga
mengetahuinya." Ia mengatupkan kedua tangannya. "Aku akan mulai dengan memastikan bahwa RUU
Pengurangan Senjata Lawrence kalah di Senat. Tak ada hadiah Natal yang lebih sesuai untuk...
Tom." Kali ini ia membiarkan mereka memberi aplaus pendek kepadanya. Kemudian baru
menyuruh mereka diam dengan lambaian tangan.
"Tapi saat ini kita harus kembali ke masalah-masalah domestik kita yang lebih
mendesak. Begini, aku percaya bahwa warga negara kita sendiri harus disadarkan akan keberanian
pemimpin baru mereka. Akan kuberikan contoh yang takkan menyisakan keraguan sedikit pun
tentang maksudku menangani mereka yang berniat akan jadi pihak oposisiku." Mereka semua menanti
untuk mengetahui siapa yang dipilih Zerimski bagi kehormatan ini.
Ia mengalihkan pandangan ke Menteri Kehakiman yang baru saja ditunjuk. "Di mana
pembunuh bayaran Mafya yang berusaha membunuhku itu?"
"Ia ditahan di Penjara Crucifix," jawab Shulov. "Saya kira Anda menginginkannya
di situ menghabiskan seluruh sisa hidupnya."
"Sudah tentu tidak," kata Zerimski. "Dipenjara seumur hidup itu vonis terlalu
ringan bagi tindak pidana yang begitu biadab. Dialah orang paling sesuai untuk diadili. Kita akan
menjadikannya contoh publik pertama."
"Mungkin polisi belum bisa mengajukan buku bahwa ia..."
270 "Kalau begitu rekayasa saja." kata Zerimski. "Sidangnya hanya akan disaksikan
oleh para anggota Partai yang setia." "Saya paham, Mr. President," kata Mepteri Kehakiman baru itu. Ia ragu-ragu. "Apa
rencana Anda?" "Sidang cepat dengan diketuai salah satu hakim baru kita dan juri yang hanya
terdiri atas para-pengurus Partai."
"Dan hukumannya, Mr. President?"
"Hukuman mati, tentu saja. Begitu hukuman dijatuhkan, pers harus diberitahu aku
akan menghadiri eksekusinya." "Kapan itu akan terjadi?" tanya Menteri Kehakiman sambil menuliskan setiap kata
Zerimski. Presiden membuka-buka lembaran buku agenda dan mulai mencari sela acara sekitar
seperempat jam. "Jumat yang akan datang pukul delapan. Dan sekarang sesuatu yang lebih
penting lagi - rencanaku untuk masa depan angkatan bersenjata." la tersenyum kepada Jenderal
Borodin, yang duduk di kanannya dan hingga saat itu belum membuka mulut.
"Kau memperoleh hadiah paling besar dari semuanya, menjadi wakil presiden...."
271 BAB DUA PULUH Ketika disekap di kamp Nan Dinh, Connor telah mengembangkan sistem penghitungan
hari selama ia jadi tahanan. Pukul lima setiap pagi seorang Vietkong muncul membawa semangkuk nasi dengan
banyak sekali air. Itulah satu-satunya makanan untuk hari itu. Connor lalu mengambil sebutir
nasi dan memasukkannya ke salah satu dari tujuh tiang bambu yang menyangga tempat
tidurnya. Setiap minggu ia memindahkan salah satu butir nasi itu ke dalam tiang besar di atas
kepala. Lalu enam butir lainnya ia makan. Setiap empat minggu ia memindahkan salah satu butir dari
tiang di atas kepala ke antara papan-papan lapisan di dasar ranjang. Pada hari ia dan Chris
Jackson lolos dari kamp, Connor tahu persis bahwa ia telah ditahan selama satu tahun, lima bulan,
dan dua hari. Tetapi dengan terbaring di bangku dalam sel tanpa jendela di Penjara Crucifix,
ia tak dapat menemukan 272 sistem untuk mencatat berapa lama ia berada di situ. Kepala Polisi telah
mengunjunginya dua kali, dan pergi dengan tangan hampa. Connor mulai berpikir-pikir berapa lama lagi ia
akan tahan sebelum menjadi tak sabar karena hanya selalu harus mengulang-ulang nama,
kebangsaan, dan minta izin untuk menemui Duta Besarnya. Ia tak perlu menanti lama untuk
mengetahuinya. Hanya beberapa saat setelah Bolchenkov meninggalkan sel untuk kedua kalinya, tiga
orang yang telah menyambutnya pada siang hari kedatangannya memasuki selnya.
Dua di antara mereka menariknya dari bangku dan mencampakkannya ke kursi yang
baru saja diduduki Kepala Polisi. Mereka menelikung kedua tangan Connor di belakang
punggung dan memborgolnya. Itulah pertama kalinya Connor melihat pisau cukur pembunuh. Sementara dua orang
menekannya, orang ketiga menggundulinya dengan empat belas garukan pisau cukur itu dan
kulitnya ikut terkelupas juga. Orang itu tak mau buang-buang waktu memakai sabun dan air. Lama
setelah Connor ditinggalkan terpuruk di kursi, darah masih terus melumuri wajahnya dan
mengotori kemejanya. Ia ingat akan kata-kata Kepala Polisi pada pertemuan pertama mereka: "Aku tak
percaya pada penyiksaan. Itu bukan gayaku." Tetapi waktu itu sebelum Zerimski menjadi
presiden. Akhirnya ia tertidur, tapi tak tahu berapa lama. Hal berikutnya yang ia ingat
adalah ia diangkat dari lantai dan dicampakkan kembali ke kursi dan ditekan beberapa saat.
273 Orang ketiga mengganti pisau cukur dengan jarum panjang tebal, dan dengan
kepiawaian sama seperti ketika mencukur, kini mentatokan nomor "12995" pada pergelangan kiri
tahanan. Mereka jelas tidak mempercayai nama yang disebutkan para tahanan itu waktu didaftarkan
di Penjara Crucifix. Ketika kembali untuk ketiga kalinya, mereka me-nyentakkannya dari lantai dan
mendorongnya keluar sel ke lorong panjang gelap. Pada saat-saat seperti ini Connor berharap
tak punya imajinasi saja. Ia berusaha tak memikirkan apa yang direncanakan mereka untuknya. Surat
pujian yang menyertai Medali Kehormatan menyatakan bahwa Letnan Fit/gerald telah memimpin
orang-orangnya tanpa takut, menyelamatkan seorang rekan perwira, dan berhasil
lolos secara mengagumkan dari penjara kamp perang Vietnam Utara. Tetapi Connor tahu ia belum
pernah menjumpai orang yang tanpa takut. Di Nan Dinh ia dapat bertahan selama satu
tahun, lima bulan, dan dua hari - tapi waktu itu ia baru berusia 22. Dan pada usia 22 orang yakin
dirinya tak bisa mati. Ketika mereka mendorongnya keluar lorong dan memasuki sinar matahari pagi, yang
dilihat Connor pertama-tama ialah segerombolan napi yang sedang mendirikan tiang
gantungan. Kini ia berusia 55. Tak seorang pun perlu memberitahunya bahwa ia bukannya tak bisa
mati. Ketika masuk kerja di Langley hari Senin itu, Joan Bennett tahu persis berapa
hari yang telah dijalaninya dari hukuman delapan bulan yang dijatuhkan padanya. Karena setiap
petang, tepat pada waktu ia akan 274 meninggalkan rumah, ia terlebih dulu memberi makan kucing dan mencoret satu
tanggal lagi di kalender yang tergantung di tembok dapur.
Ia meninggalkan mobilnya di area parkir sebelah barat, lalu langsung menuju
perpustakaan. Setelah menandatangani daftar hadir, ia menuruni tangga besi menuju ke bagian referensi.
Selama sembilan jam berikutnya ia akan membaca sekumpulan ringkus an terakhir koran-koran dan
lumu bin1.ih yang dikirim melalui e-mail, hanya disela dengan istirahat makan tengah malam.
Tugas utamanya ialah mencari apa saja yang menyebut Amerika Serikat; dan jika genting, ia harus
mengkopinya secara elektronis dan menyusunnya jadi satu, serta mengirimkannya lewat e-mail
kepada bosnya di lantai tiga, lalu akan dipertimbangkan konsekuensi-konsekuensinya pada jam-jam
yang lebih manusiawi pagi harinya. Memang pekerjaan yang membosankan dan mematikan pikiran.
Pada beberapa kesempatan ia telah mempertimbangkan hendak mengundurkan diri, tetapi
ia telah bertekad bulat tidak akan memberikan kepuasan tersebut kepada Gutenburg.
Menjelang saat istirahat makan tengah malamnya tiba, sekilas Joan menangkap
judul berita Istanbul News. "Pembunuh Mafya Harus Diadili". Sepengeta-huannya Mafia hanya ada
di Italia, maka ia kaget karena artikel itu mengenai seorang teroris Afrika Selatan yang
diadili karena mencoba membunuh Presiden Rusia yang baru. Ia pasti tidak akan menaruh perhatian
lebih lanjut jika tidak melihat goresan gambar terdakwa.
Jantung Joan berdegup kencang ketika ia membaca
artikel panjang Fatima Kusmann, koresponden htanbul News untuk Eropa Timur.
Dalam artikel itu ia menyatakan telah duduk di samping pembunuh profesional itu selama rapat di
Moskwa di mana Zerimski menyampaikan pidato.
Lewat tengah malam, namun Joan tetap di mejanya.
Ketika Connor berdiri di halaman penjara dan menatap tiang gantungan yang
setengah jadi, sebuah mobil polisi berhenti dan salah satu tukang pukul itu mencampakkannya ke jok
belakang. Ia terkejut saat melihat ternyata Kepala Polisi telah menunggunya. Bolchenkov
nyaris tak mengenali laki-laki kurus dan. gundul itu.
Keduanya tidak berbicara sementara mobil melewati gerbang dan keluar penjara.
Mobil belok ke kanan dan melaju sepanjang tepi Sungai Neva dengan kecepatan lima puluh
kilometer per jam. Mobil melintasi tiga jembatan, kemudian baru belok ke kiri dan melewati jembatan
keempat yang akan membawa mereka ke pusat kota. Sementara mobil menyeberangi 3 sungai, Connor
memandang ke luar jendela ke istana hijau muda Hermitage. Sangat kontras dengan
penjara yang baru ditinggalkannya. Ia mendongak ke langit yang biru cerah, dan kembali
memandangi orang-orang yang lalu lalang di jalan. Segera ia sadar betapa sangat


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berharga kemerdekaannya. Begitu
berada di sisi selatan sungai, mobil belok ke kanan, dan setelah beberapa ratus
meter mobil berhenti di depan Gedung Pengadilan. Pintu mobil dibuka oleh seorang polisi yang telah
menunggu. Jika Connor 276 berniat meloloskan diri, lima puluh polisi lainnya di trotoar membuatnya
berpikir dua kali. Mereka
membentuk barisan panjang penyambutan, sementara ia menaiki tangga menuju ke
gedung tinggi itu. Ia digiring ke meja penerimaan tamu. Seorang* petugas meletakkan tangan kiri
Connor ke meja, mengamati pergelangannya, dan menuliskan nomor ' 12995" di lajur dakwaan. Ia
lalu dibawa menyusuri lorong pualam menuju dua pintu jati yang kukuh. Ketika ia tinggal
beberapa langkah dari pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka lebar, dan ia memasuki ruang sidang yang
penuh sesak. Ia mengedarkan pandang ke lautan wajah itu, jelas mereka telah menantikannya.
Joan mengetik perintah pencarian dalam komputer: usaha pembunuhan terhadap
Zerimski. Semua laporan dalam pers tampaknya sama dalam satu hal: orang yang telah ditahan di
Lapangan Kemerdekaan adalah Piet de Villiers, seorang jago tembak dari Afrika Selatan
yang disewa Mafya Rusia untuk membunuh Zerimski. Sebuah senapan yang ditemukan di antara barangbarang miliknya telah diidentifikasi sama dengan senapan yang digunakan untuk membunuh
Ricardo Guzman, calon presiden di Kolombia dua bulan sebelumnya.
Joan men-scan goresan gambar de Villiers di koran Turki itu, dan membesarkannya
hingga memenuhi layar. Kemudian ia membesarkan kedua matanya ke ukuran yang
sesungguhnya. Sekarang ia telah yakin akan identitas sesungguhnya orang yang akan diadili di
St. Petersburg itu. 277 Joan melihat jamnya. Pukul dua lewat beberapa menit. Ia mengangkat telepon di
sampingnya dan menghubungi nomor yang telah dihafalnya. Telepon, berdering beberapa saat
sebelum akhirnya sebuah suara mengantuk menjawabnya, "Siapa itu?"
Joan hanya mengatakan, "Penting. Kita harus bertemu. Aku akan tiba di rumahmu
sekitar sejam lagi." Dan ia meletakkan telepon.
Beberapa saat kemudian seseorang lain dibangunkan dering telepon. Ia
mendengarkan dengan cermat j kemudian berkata, "Kita harus memajukan jadwal semula beberapa hari."
Connor berdiri di tempat terdakwa, dan memandangi ke sekeliling ruang
pengadilan. Pertama-tama ia me-l natap juri. Dua belas orang yang baik dan tulus" Sepertinya tidak. Tak
seorang pun menatap ke arahnya. Ia menduga tidak lama mengambil sumpah, mereka, dan takkan ada yang
mengajukan pengganti. Ketika seorang yang mengenakan jubah hitam panjang masuk ruangan dari pintu
samping, semua orang di ruang sidang bangkit berdiri. Ia duduk 6\i kursi lebar berlapis kulit
di tengah tempat duduk tinggi di bawah potret seluruh badan Presiden Zerimski. Petugas administrasi
pengadilan bangkit! dari kursi dan membacakan dakwaan dalam bahasaJ Rusia. Connor nyaris tidak dapat
mengikuti proses j ini, dan sudah pasti tidak ditanya bagaimana ia akanJ mengajukan
pleidoi. Petugas itu duduk kembali. Se-I orang pria setengah baya dan berwajah murung ( bangkit dari
bangku tepat di bawah Hakim dand mulai berpidato kepada juri.
278 Sambil memegangi kelepak jas, Jaksa menghabiskan sisa waktu pagi itu dengan
melukiskan peristiwa-peristiwa yang berakhir dengan penangkapan terdakwa. Ia bercerita
kepada juri bagaimana de Villiers telah mengikuti Zerimski beberapa hari, kemudian baru
ditangkap di Lapangan Kemerdekaan. Dan bagaimana senapan yang akan digunakan terdakwa untuk
membunuh presiden mereka yang tercinta telah ditemukan di antara barang-barang miliknya
di lobi hotel. "Kesombongan pribadi telah mengalahkan terdakwa," kata Jaksa. "Koper yang berisi
senapan mempunyai inisial jelas tercetak di atasnya." Jaksa lalu mempersilakan juri
memeriksa senapan dan koper itu. "Lebih memberatkan lagi secarik kertas telah ditemukan terbuang di kantong
sampah toilet terdakwa," lanjut Jaksa, '"yang mengkonfirmasikan transfer uang satu juta dolar
AS ke sebuah rekening yang bernomor di Jenewa." Lagi-lagi juri memperoleh kesempatan untuk
mempelajari bukti itu. Selanjutnya Jaksa memuji ketekunan dan kecerdikan polisi St.
Petersburg karena menggagalkan tindakan keji ini, serta profesionalisme mereka dalam menangkap
pelaku kriminal yang hendak beraksi Ia menambahkan bahwa seluruh bangsa berutang budi kepada
Vladimir Bolchenkov, Kepala Polisi St. Petersburg. Beberapa anggota juri mengangguk
setuju. Jaksa mengakhiri monolog ini dengan memberitahu juri bahwa bilamana terdakwa
ditanya apakah telah disewa Mafya untuk melaksanakan pembunuhan ini, ia menolak memberi
jawaban. "Anda harus mengartikan kebungkamannya sesuai kehendak Anda," kata-279
nya. "Kesimpulan saya sendiri, setelah mendengar bukti-bukti, hanya ada satu
vonis dan satu hukuman." Ia tersenyum tipis kepada Hakim dan duduk kembali.
Connor memandang seputar ruang sidang untuk melihat siapa yang ditunjuk untuk
membelanya, la bertanya-tanya, bagaimana pengacaranya akan melaksanakan tugas bila mereka
bertemu saja belum. Hakim mengangguk ke ujung lain meja, dan seorang muda yang tampaknya belum lama
lulus dari sekolah hukum berdiri dan berbicara kepada pengadilan, la tidak mengatupkan
kelepak jasnya, tidak tersenyum kepada Hakim, bahkan tidak mengindahkan juri. la hanya berkata,
"Klien saya tidak mengajukan pembelaan." Lalu ia duduk kembali.
Hakim mengangguk, kemudian mengalihkan perhatian kepada ketua juri, yang tampak
seram dan tahu dengan tepat apa yang diharapkan dari dirinya. Setelah diberi isyarat ia
bangkit dari kursi. "Setelah mendengarkan bukti kasus ini. Saudara Ketua, bagaimana pendapat Anda
mengenai terdakwa?" "Bersalah," jawab orang itu. menyampaikan putusan dengan satu kata. tanpa perlu
didorong ataupun berkonsultasi dengan anggota juri lainnya.
Untuk pertama kalinya Hakim memandang Connor, "Karena juri telah mencapai
putusan dengan suara bulat, yang harus saya lakukan ialah menjatuhkan hukuman. Dan menurut
undang-undang, hanya ada satu hukuman bagi tindak pidana Anda." Ia berhenti, memandang tanpa
perasaan kepada Connor dan berkata, "Saya menjatuhkan hukuman mati dengan digantung." Hakim lalu
berpaling kepada pembela. 280 "Apakah Anda akan mengajukan banding?" tanyanya tanpa perlu dijawab.
"Tidak, Sir," terdengar jawaban segera.
"Eksekusi akan dilaksanakan hari Jumat yang akan datang, pukul delapan pagi."
Connor kaget, hanya karena mereka masih menunggu hingga hari Jumat untuk
menggantungnya. Sebelum berangkat, Joan sekali lagi memeriksa beberapa artikel. Tanggaltanggalnya tepat sesuai dengan kepergian Connor ke luar negeri. Pertama-tama ke-pergian ke Kolombia,
kemudian kunjungan ke St. Petersburg. Memang dalam kasus itu, untuk meminjam ungkapan
kesukaan Connor, terdapat terlalu banyak kebetulan.
Menjelang pukul tiga, Joan merasa haus dan terlalu lelah. Ia tidak ingin segera
menceritakan kepada Maggie hasil penyelidikannya sendiri. Dan jika Connor benar-benar akan
diadili di St. Petersburg, tak sesaat pun boleh disia-siakan. Sebab koran-koran Turki itu sudah
beberapa hari usianya. Joan men-shut down komputernya, menguncinya, dan berharap bosnya tidak tahu
bahwa isi inbox e-mail-nya hampir kosong. Ia menaiki tangga tua menuju ke lantai dasar,
memasukkan kunci pas elektrisnya ke dalam kontrol keamanan pada pintu keluar, dan berpapasan dengan
beberapa gelintir pekerja yang sudah datang untuk giliran kerja dini.
Joan menyalakan lampu depan mobil dan mengendarai mobil barunya keluar area
parkir melewati gerbang, membelok ke kiri menuju George Washington Parkway. Jalan masih tertutup
kepingan es dari 281 badai malam sebelumnya. Para pekerja jalan raya 1 sedang membersihkannya sebelum
lalu lintas pagi I mulai padat. Biasanya ia senang mengendarai mobil J melalui jalan-jalan
Washington yang lengang dini I hari. Ia melewati monumen-monumen megah yang " memperingati
sejarah bangsa. Semasa sekolah di St. Paul dulu, ia duduk tenang di bangku depan di J kelas
sementara gurunya menceritakan Washington, * Jefferson, Lincoln, dan Roosevelt. Kekagumannya ]
pada tokoh-tokoh pahlawan itulah yang membakar j semangatnya untuk bekerja sebagai pegawai
negeri. Setelah menyelesaikan studi pemerintahan pada Universitas Minnesota, ia mengisi
formulir pendaftar- 4 an masuk FBI dan CIA. Keduanya memanggilnya.? untuk wawancara.
Tetapi begitu melihat Connor Fitzgerald, ia membatalkan janji wawancara dengan ( FBI. Ini dia
seseorang yang kembali dari perang sia- ' sia dengan Medali Kehormatan yang tak pernah ia
sebut, dan yang meneruskan mengabdi negaranya I tanpa ribut-ribut ataupun mengharapkan pengakuan
\ resmi. Bila Joan mengungkapkan pikirannya ini, j Connor hanya tertawa dan berkata bahwa
Joari^sen-timental. Tetapi Tom Lawrence memang benar ketika^ melukiskan Connor
sebagai salah satu pahlawan t bangsa yang tak dihormati. Joan akan menyarankan J kepada Maggie agar
menghubungi Gedung Putih J secepatnya, sebab Lawrence-lah yang meminta ]
Connor menerima penugasan ini. Joan sedang berusaha mengatur gagasannya men- j jadi logis ketika sebuah truk
besar warna hijau yang menaburkan pasir menduluinya dari jalur luar dan 4 mulai bergerak memasuki
jalurnya beberapa saat j 282 sebelum benar-benar telah menyalibnya. Joan menyorotkan lampunya, tetapi truk
tidak menyingkir sebagaimana yang diharapkan Joan. Ia memeriksa kaca spion dan bergerak ke jalur
tengah. Truk segera melintas menyeberang ke jalurnya, sehingga Joan terpaksa membanting setir
ke jalur kiri. Dalam sesaat Joan harus memutuskan antara menginjak rem keras-keras atau mencoba
mempercepat laju mobil hingga menyalib sopir truk yang sembrono itu. Sekali lagi
ia memeriksa kaca spion, tapi kali ini dikejutkan oleh Mercedes hitam besar yang melaju cepat
di belakangnya. Joan menginjak pedal gas kuat-kuat ketika jalan raya itu membelok tajam ke kiri
dekat Spout Run. Passat kecil Joan langsung bereaksi, tetapi truk pasir itu juga mempercepat
lajunya, dan Joan tak dapat menambah cukup kecepatan untuk menyalibnya.
Joan tak punya pilihan lain kecuali lebih ke kiri lagi hampir masuk jalur
median. Ia melihat ke kaca
spion dan melihat bahwa Mercedes juga bergerak melintas, dan kini telah dekat
dengan bumper belakangnya. Ia dapat merasakan jantungnya berdegup kencang. Apakah truk dan
Mercedes itu bekerja sama" Ia mencoba memperlambat jalan, tapi Mercedes semakin dekat dengan
bumper belakangnya. Joan menginjak pedal gas lagi dan mobilnya melompat maju. Keringat
bercucuran di dahi dan masuk ke matanya. Mobilnya meluncur sejajar dengan bagian depan truk
pasir. Tetapi walau telah menginjak gas dalam-dalam hingga kakinya mentok ke lantai, ia tak
juga dapat menyalibnya. Ia memandang ke kabin truk dan mencoba menarik perhatian sopir.
Tapi 283 sopir tak menggubris lambaian tangan Joan, dan tanpa ampun sedikit demi sedikit
semakin ke kiri lagi, memaksa Joan memperlambat mobilnya dan berada di belakangnya. Ia memeriksa
kaca spion: Mercedes itu malahan lebih dekat lagi dengan bumpernya.
Ketika Joan memandang ke depan, lempengan ekor truk naik ke atas dan muatan


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasir mulai dituang di jalan. Secara naluriah Joan menginjak rem, tetapi mobil kecilnya
melaju liar tak terkendali, selip melintasi jalur median yang tertutup es dan meluncur menuruni
tanggul berumput lalu terjun ke sungai. Mobil tercebur ke air seperti batu pipih, mengambang
beberapa saat, lalu menghilang dari pandangan. Yang tertinggal hanyalah bekas selip di tebing sungai
dan beberapa gelembung air. Truk pasir kembali bergerak ke lajur tengah dan meneruskan
perjalanan menuju ke Washington. Sesaat kemudian Mercedes menyorotkan lampu depan, menyalib truk, dan
melaju cepat. Dua mobil yang sedang menuju ke Bandara Dulles berhenti di jalur median. Salah
seorang pengendaranya melompat keluar dan menuruni tebing menuju ke sungai, untuk
melihat apakah bisa menolong. Tapi saat ia tiba di sungai, mobil itu sudah tak tampak, yang tinggal
hanyalah bekas selip di tebing bersalju dan sedikit gelembung. Pengendara yang lain mencatat
nomor pelat truk pasir, lalu menyerahkannya kepada polisi pertama yang tiba di tempat itu, yang
lalu memasukkan datanya ke komputer di dasbor. Beberapa saat kemudian ia mengernyit. "Anda yakin
telah menuliskan nomor yang benar, Sir?" tanyanya. "Divisi Jalan Raya Washington tak memiliki catatan
kendaraan seperti itu." Ketika diseret ke jok belakang, lagi-lagi Connor bertemu dengan Kepala Polisi
yang sedang menunggunya. Sementara mobil kembali ke Penjara Cruciflx, Connor tak dapat
menahan diri untuk bertanya kepada Bolchenkov.
"Aku bingung mengapa mereka menunggu hingga Jumat untuk menggantungku."
"Sebenarnya ada sedikit keberuntungan," kata Kepala Polisi. "Tampaknya presiden
tercinta kami berkeras menghadiri eksekusi itu." Bolchenkov menyedot rokoknya dalam-dalam.
"Dan ia hanya punya kesempatan Jumat pagi."
Connor tersenyum kecut. "Aku senang akhirnya kau bisa bicara, Mr. Fitzgerald," lanjut Kepala Polisi.
"Sebab kupikir sudah
tiba saatnya untuk memberitahumu bahwa ada alternatif."
285 284 BAB DUA PULUH SATU Mark twain pernah berkata tentang teman- "Jika ia-tidak muncul pada waktunya,
ketahuilah ia sudah mati." Mulai pukul empat, Maggie memeriksa jamnya setiap beberapa menit. Menjelang
pukul setengah lima, ia mulai bertanya-tanya apakah ia sudah begitu mengantuk saat Joan
meneleponnya, hingga ia salah paham tentang apa yang dikatakan Joan.
Pukul lima Maggie memutuskan sudah saatnya menelepon Joan di rumah. Tak ada
jawaban, hanya telepon berdering terus-menerus. Kemudian ia mencoba telepon mobil Joan. Kali
ini ia memperoleh pesan: "Telepon ini untuk sementara rusak. Harap coba lagi kemudian."
Maggie mulai mondar-mandir mengelilingi meja dapur, merasa yakin bahwa Joan
pasti menerima berita dari Connor. Harus berita penting, bila tidak mengapa harus
membangunkannya pukul dua
pagi buta" Apakah Connor telah menghubungi Joan" Apa286 kah Joan tahu Connor berada di mana" Apakah Joan dapat mengatakan kepada Maggie
kapan Connor pulang" Menjelang pukul enam, Maggie memutuskan ini peristiwa gawat
darurat. Ia menyetel televisi untuk mencocokkan jamnya. Wajah Charlie Gibson muncul di
layar. "Dalam jam berikut kita akan berbincang-bincang mengenai hiasan-hiasan Natal yang bahkan
anak-anak pun akan dapat membantu Anda melakukannya. Tapi terlebih dulu kita akan menjumpai
Kevin Newman untuk mendengar berita pagi ini."
Maggie mulai berjalan-jalan di seputar dapur sementara seorang reporter
memprediksikan bahwa RUU Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional dari Presiden
hampir pasti kandas di Senat, karena kini Zerimski telah terpilih menjadi pemimpin Rusia.
Maggie baru mempertimbangkan apakah hendak melanggar aturan seumur hidup dengan
menelepon ' Joan di Langley, ketika baris-baris teks muncul di bawah gambar
Kevin Newman: "Kecelakaan di GW Parkway melibatkan sebuah truk pasir dan sebuah Volkswagen pengendara mobil diasumsikan tenggelam. Berita selengkapnya dalam Berita Saksi Mata pukul
6.30." Kata-kata itu melintasi layar bawah dan menghilang.
Maggie mencoba makan semangkuk cornflakes sementara buletin pagi berlanjut.
Andy Lloyd muncul di layar. Ia mengumumkan bahwa Presiden Zerimski merencanakan kunjungan
resmi ke Washington sebelum Natal. "Presiden menyambut baik berita itu," kata seorang
reporter, "dan berharap itu akan sedikit-banyak meyakinkan pemimpin-pemimpin Senat bahwa
Presiden Rusia yang baru menghendaki tetap bersahabat dengan Amerika. Namun
mayoritas para pemimpin Senat mengatakan akan menanti dulu hingga Zerimski menyampaikan
pidato..." Ketika mendengar bunyi gedebuk di keset, Maggie pergi ke ruang depan, mengambil
tujuh amplop yang tergeletak di lantai. Ia memeriksanya sambil berjalan kembali ke dapur.
Empat untuk Connor. Ia tak pernah membuka surat-suratnya sementara Connor sedang pergi. Ada sebuah
tagihan Pepco. Yang lain berprangko Chicago, dan huruf dalam nama Maggie ada di sudut sehingga
tak bisa lain kecuali kartu Natal tahunan dari Declan O'Casey Surat terakhir bertulisan tangan
yang bagus dari putrinya. Ia meminggirkan surat-surat lainnya dan membuka surat putrinya.
Dear Mom, Aku (tanya mengabarkan ba(m>a Stuart tiba di Los Angeles (tari Jumat. Kami
merencanakan bermobil ke San Francisco beberaw (jari sebelum terbang ke Vttisbington tanggal
lima belas. Maggie tersenyum. Kami berdua menunggu-nunggu merayakan Natal bersama Mom dan Dad. Dad tidak
meneleponku, jadi kuanggap ia belum pulangi..
Maggie mengernyit. Aku menerima surat dari Joan, yang tampaknya
288 tak menyukai pekerjaan barunya. Kuduga, seperti kita semua, ia rindu pada Dad.
Ia mengatakan i# membeli sebuah Volkstfagen baru yang seksL
Maggie membaca kalimat itu untuk kedua kalinya. Kemudian tangannya mulai
gemetar. "Ya Tuhan, tidak!" teriaknya keras. Ia melihat jamnya. Pukul 06.20. Di televisi,
Lisa McRee memegangi rantai kertas hiasan daun holly dan buah berry. "Hiasan pesta Natal
yang dapat dikerjakan dengan bantuan anak-anak," tutur Lisa dengan ceria. "Sekarang kita
membahas pohon Natal." Maggie pindah ke Saluran 5. Seorang penyaji berita lain sedang berspekulasi
mengenai apakah rencana kunjungan Zerimski akan mempengaruhi pemimpin-pemimpin Senat sebelum
mereka mengadakan pemungutan suara mengenai RUU Pengurangan Senjata.
. "Ayo, cepat!" kata Maggie.
Akhirnya penyaji berita berkata, "Dan kini kita ikuti berita selengkapnya
tentang kecelakaan di George Washington Parkway. Kami akan menghubungi koresponden kami, Liz
Fullerton, di tempat kejadian peristiwa."
"Terima kasih, Julie. Saya berdiri di jalur median George Washington Parkway, di
mana terjadi kecelakaan tragis sekitar pukul 03.15 pagi ini. Tadi saya mewawancarai seorang
saksi mata yang menceritakan kepada Saluran 5 apa yang dilihatnya."
Kamera memfokus pada seorang pria yang jelas tak menduga akan ditayangkan di
televisi pagi itu. "Saya sedang menuju Washington," katanya kepada 289
reporter, "ketika truk pasir itu menuangkan muatannya di jalan raya hingga mobil
di belakangnya kelabakan tak terkendali. Mobil itu selip, meluncur menuruni tebing, dan
tercebur ke Sungai Potomac." Kamera bergerak menampilkan sungai dengan sorotan w ide angle,
terfokus pada sekelompok polisi penyelam, kemudian kembali ke reporter.
"Tampaknya tak seorang pun tahu pasti apa yang telah terjadi," ia melanjutkan.
"Bahkan mungkin sekali pengendara truk pasir itu tak menyadari telah terjadi kecelakaan, karena
tempat duduknya yang tinggi, dan melanjutkan perjalanannya"
"Jangan, jangan!" jerit Maggie. "Jangan Joan!"
"Di belakang saya Anda dapat melihat para polisi penyelam yang telah menemukan
kendaraan itu, ternyata sebuah Volkswagen Passat. Mobil itu diharap dapat segera diangkat ke
permukaan. Identitas pengendara masih belum diketahui."
"Jangan, jangan, jangan," ulang Maggie. "Ya Tuhan, semoga bukan Joan."
"Polisi meminta pengendara Mercedes hitam yang mungkin menyaksikan kecelakaan
tersebut supaya tampil untuk membantu penyelidikan mereka. Kami berharap akan
menyampaikan berita lebih banyak lagi pada tiap jam. Jadi sampai jumpa..."
Maggie lari ke ruang duduk, menyambar mantelnya, dan menerjang keluar melalui
pintu depan. Ia melompat ke dalam mobil, dan lega karena Toyota tua itu nyaris langsung hidup.
Ia mengeluarkannya pelan-pelan menuju Avon Place, kemudian baru mempercepat
lajunya di Twenty-Ninth Street dan menuju ke timur di M Street ke arah Parkway.
290 Jika memeriksa kaca spion, ia akan melihat Ford kecil biru yang berbali k,
kemudian mengejarnya. Penumpang di jok depan sedang menelepon nomor yang tak terdaftar.
"Mr. Jackson, baik sekali kau mau datang dan menjumpaiku lagi."
Jackson senang dengan basa-basi Nikolai Romanov yang berlebihan, lebih-lebih
karena mengandung pretensi bahwa ia mungkin punya beberapa pdihan dalam persoalan itu.
Pertemuan pertama atas permintaan Jackson, dan jelas tidak dianggap sebagai
"menyia-nyiakan waktu", sebab Sergei masih berkeliaran dengan kedua belah kakinya. Setiap
pertemuan berikutnya diikuti dengan panggilan dari Romanov untuk memberitahu Jackson tentang rencanarencana terakhir. Tsar duduk tenggelam di kursi yang berlengan tinggi. Jackson melihat segelas
cairan tak berwarna di meja di sampingnya. Ia ingat reaksi orang tua itu ketika pada satu kesempatan
ia mengajukan pertanyaan, maka ia menunggu orang tua itu bicara.
"Mr. Jackson, kau akan senang mendengar bahwa kecuali satu masalah yang masih
harus dipecahkan, semua yang diperlukan guna meloloskan rekanmu sudah diatur. Yang
kita perlukan sekarang ialah agar Mr. Fitzgerald menyetujui syarat-syarat kita. Bila ia tak
mampu melakukannya, aku tak bisa menghalanginya digantung besok pagi pukul delapan." Romanov bicara
tanpa perasaan. "Biar kurunut apa yang telah kita rencanakan sejauh ini, begitu dia
memutuskan melanjutkannya. Aku yakin, sebagai
291 Wakil Kepala Direktur CIA, pengamatanmu pasti akan berguna."
Orang tua itu menekan tombol di lengan kursi, dan pintu-pintu di ujung ruang
tamu itu langsung terbuka. Alexei Romanov masuk ruangan. "
"Kau pasti sudah mengenal putraku," kata Tsar.
Jackson memandang ke arah orang yang selalu menemaninya dalam perjalanan ke
Istana Musim Dingin, tapi jarang bicara. Ia mengangguk.
Orang muda itu menyingkap hiasan dinding permadani indah dari abad keempat belas
yang melukiskan Pertempuran di Flanders. Di baliknya terdapat televisi besar. Layar
keperakan yang datar itu tampak agak tidak sesuai dengan lingkungan yang begitu megah, tapi tak
melebihi ketidaksesuaian pemilik dan pembantu-pembantunya, pikir Jackson.
Gambar pertama yang muncul di layar adalah bagian luar Penjara Crucifix.
AIexei Romanov menunjuk jalan masuknya. "Zerimski diharapkan tiba di penjara
pukul 07.50. Ia berada di mobil ketiga dari arak-arakan tujuh mobil, dan akan masuk melalui
gerbang samping di sini." Telunjuknya melintasi layar. "Ia akan disambut Vladimir Bolchenkov, yang
akan mengiringkannya ke halaman utama, tempat eksekusi akan dilaksanakan. Pada pukul
07.52..." Romanov muda melanjutkan mengajak Jackson merunut rencana dari menit ke menit.
Dengan perincian yang lebih gamblang lagi bila menyangkut penjelasan tentang bagaimana
orang dapat melaksanakan lolosnya Connor Jackson melihat bahwa ia tampaknya tak
memperhatikan satu masalah yang masih 292 mengganjal, jelas karena percaya bahwa ayahnya akan muncul dengan solusi sebelum


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besok tiba. Setelah selesai, Alexei mematikan televisi, mengembalikan permadani ke tempatnya
semula, dan agak membungkuk pada ayahnya. Kemudian ia meninggalkan ruangan tanpa sepatah
kata pun lagi. Ketika pintu telah tertutup, orang tua itu bertanya, "Apakah ada beberapa
pandangan?" "Satu atau dua," jawab Jackson. "Pertama-tama, perkenankan saya mengatakan saya
terkesan oleh rencana itu, dan yakin kemungkinan besar itu akan sukses. Jelas Anda telah
memikirkan segala kemungkinan yang barangkali timbul - yaitu mengasumsikan Connor menyetujui syaratsyarat Anda. Dan mengenai hal itu, saya harus mengulangi, saya tak punya wewenang untuk
berbicara atas namanya." Romanov mengangguk. "Tetapi Anda masih menghadapi satu masalah." "Apakah kau punya solusinya?"
tanya orang tua itu. "Ya," jawab Jackson. "Saya punya solusinya."
Bolchenkov menghabiskan waktu satu jam untuk menjelaskan secara terperinci
rencana Romanov, kemudian pergi meninggalkan Connor untuk mempertimbangkan jawabannya. Ia tak
perlu diingatkan bahwa ia menghadapi batas waktu yang tak dapat diubah: Zerimski akan
tiba di Crucifix dalam waktu 45 menit. Connor terbaring di bangku. Syarat-syaratnya sudah dikemukakan sejelas mungkin.
Tetapi bahkan bila ia menerima syarat-syarat itu dan dengan rekayasa
293 berhasil lolos, ia sama sekali tak yakin akan mampu melaksanakan kewajiban
transaksi itu. Bila ia gagal, mereka akan membunuhnya. Sederhana saja - kecuali bahwa Bolchenkov telah
berjanji ini bukan kematian cepat dan mudah di tiang gantungan. Seandainya Connor ragu, ia
juga telah menjelaskan bahwa semua kontrak dengan Mafya Rusia yang tak dilaksanakan, secara
otomatis akan menjadi tanggung jawab keluarga terdekat pihak yang melanggar.
Connor masih dapat melihat ekspresi sinis di wajah Kepala Polisi ketika ia
mengeluarkan foto dari saku dan menyerahkannya kepada Connor. "Dua wanita yang cantik," kata
Bolchenkov. "Kau pasti
bangga dengan mereka. Sungguh merupakan tragedi? kalau harus memperpendek hidup
mereka untuk sesuatu yang tak mereka ketahui sama sekali."
Lima belas menit kemudian pintu sel terbuka kembali, dan Bolchenkov kembali
dengan sebatang rokok yang tak disulut menggelantung di mulut. Kali ini ia tidak duduk. Connor
melanjutkan memandangi langit-langit, seolah Bolchenkov tak ada di situ.
"Kulihat rencana kecil kami masih merupakan dilema bagimu," kata Kepala Polisi
sambil menyulut rokok. "Bahkan setelah perkenalan kita yang singkat, itu tak mengagetkanku. Tapi
mungkin setelah mendengar berita terakhir dariku, kau akan berubah pikiran."
Connor masih tetap memandangi langit-langit.
"Tampaknya mantan sekretarismu, Joan Bennett, mengalami kecelakaan fatal dengan
mobilnya dalam perjalanan dari Langley menuju rumah istrimu."
294 Connor menurunkan kakinya, duduk sambil menatap Bolchenkov.
"Bila Joan telah mati, bagaimana kau tahu ia dalam perjalanan akan mengunjungi
istriku?" "CIA bukannya satu-satunya lembaga yang menyadap telepon istrimu," jawab Kepala
Polisi, la menyedot rokoknya terakhir kali, membiarkan puntungnya jatuh dari mulut, dan
menginjak-injaknya di lantai.
"Kami menduga sekretarismu, entah bagaimana, telah mengetahui siapa yang ditahan
di Lapangan Kemerdekaan. Dan tanpa mengemukakan seluk-beluk hal ini, jika istrimu sebangga
dan sekukuh ungkapan profilnya, dapat kita asumsikan tak lama lagi ia juga akan sampai ke
kesimpulan yang sama. Jika memang demikian, aku khawatir Mrs. Fitzgerald akan mengalami nasib
yang sama seperti sekretarismu."
"Jika aku menyetujui syarat-syarat Romanov," kata "Connor, "aku ingin
menyisipkan klausulku sendiri ke dalam kontrak itu."
Bolchenkov mendengarkan penuh minat.
"Mr. Gutenburg?" "Saya sendiri."
"Ini Maggie Fitzgerald. Saya istri Connor Fitzgerald, yang sekarang sedang Anda
tugaskan ke luar negeri." "Saya tak ingat nama itu," kata Gutenburg.
"Anda menghadiri pesta perpisahannya di rumah kami di Georgetown beberapa minggu
lalu." "Saya kira Anda keliru mengira saya orang lain." jawab Gutenburg tenang.
"Saya tidak keliru mengira Anda orang lain, Mr.
295 Gutenburg. Nyatanya, pada pukul 20.27 tanggal 2 November, Anda menelepon dari
rumah kami ke kantor Anda." i "Saya tidak menelepon seperti iru, Mrs. Fitzgerald. Dan dapat saya tegaskan
bahwa/ suami Anda tidak pernah bekerja untuk saya." /
"Kalau begitu katakan pada saya, Mr. Gutenburg, apakah Joan Bennett pernah
bekerja untuk CIA" Atau barangkali ia juga telah dihapus sama sekali dari ingatan Anda?"
"Apa yang hendak Anda katakan, Mrs. Fitzgerald?"
"Nah, akhirnya saya berhasil menarik perhatian Anda. Biar saya perbaiki dulu
ingatan Anda yang rusak sementara ini. Joan Bennett adalah sekretaris suami saya selama hampir dua
puluh tahun. Dan saya rasa Anda sulit menyangkal bahwa ia tewas akibat kecelakaan dalam
perjalanan dari Langley untuk bertemu dengan saya."
"Saya turut menyesal membaca berita tentang kecelakaan tragis Miss Bennett itu,
tapi saya tak mengerti apa hubungannya dengan saya."
"Pers mungkin juga samar-samar mengenai apa yang sebenarnya terjadi di George
Washington Parkway kemarin pagi. Tapi mereka mungkin selangkah lebih dekat dengan solusi
jika mereka diberitahu bahwa Joan Bennett biasa bekerja untuk seseorang yang menghilang dari
muka bumi sementara melaksanakan tugas khusus dari Anda. Dulu saya selalu beranggapan
seorang peraih Medali Kehormatan, menurut para wartawan, senantiasa menarik perhatian para
pembaca." "Mrs. Fitzgerald, saya tak dapat diharapkan meng296 ingat setiap orang dari 17.000 orang yang bekerja pada CIA. Dan saya pasti tak
ingat pernah bertemu dengan Miss Bennett, apalagi suami Anda."
"Mungkin saya harus menggugah ingatan Anda yang kabur lebih jauh, Mr.
Gutenburg. Untungnya - atau celakanya - tergantung pada sudut pandang Anda, putri saya telah
merekam dengan video pesta yang menurut Anda tidak Anda hadiri itu. Maksudnya ini
sebagai hadiah kejutan buat ayahnya Natal nanti. Saya punya pandangan lain tentang peristiwa
itu, Mr. Gutenburg. Walau Anda hanya memainkan peran kecil, dalam rekaman video itu tampak Anda
sangat akrab dengan Miss Bennett. Percakapannya juga direkam, dan rasanya jaringan televisi
akan menganggap kontribusi Anda pantas disiarkan pada tayangan berita awal petang ini."
Kali ini Gutenburg tak menjawab beberapa lama. "Mungkin sebaiknya kita bertemu,
Mrs. Fitzgerald," katanya akhirnya.
"Tak ada gunanya, Mr. Gutenburg. Saya sudah tahu persis apa yang saya inginkan
dari Anda." "Dan apa itu, Mrs. Fitzgerald?"
"Saya ingin tahu di mana suami saya saat ini, dan kapan saya dapat melihatnya
kembali. Sebagai imbalan dua informasi kecil itu, saya akan menyerahkan rekaman videonya."
"Saya perlu waktu sedikit."
"Tentu saja," kata Maggie. "Bagaimana kalau kita batasi hingga 48 jam" Dan, Mr.
Gutenburg, jangan buang-buang waktu dengan mengaduk-aduk rumah saya mencari rekaman itu.
Anda takkan menemukannya, sebab telah saya sembunyikan di suatu
297 / tempat di luar perkiraan orang yang ingatannya berbelit-belit seperti Anda."
"Tapi..." Gutenburg mulai. "Juga harus saya tambahkan, bila Anda memutuskan menghilangkan saya seperti yang
Anda lakukan pada Joan Bennett, saya telah menginstruksikan kepada pengacarapengacara saya bahwa bila saya meninggal dalam keadaan yang mencurigakan, mereka harus langsung
menayangkan kopi-kopi rekaman itu di ketiga jaringan TV utama, Fox, dan CNN. Bila
sebaliknya, saya hilang begitu saja, rekaman itu akan ditayangkan tujuh hari kemudian. Cukup sekian
dulu, Mr. Gutenburg." Maggie meletakkan pesawat telepon dan menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan
bermandi keringat. Gutenburg menyelinap masuk lewat pintu yang menghubungkan kantornya dengan
kantor Direktur. Helen Dexter mendongak dari mejanya, tak dapat menyembunyikan kekagetannya
karena wakilnya telah memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
"Kita punya masalah," hanya itu yang dikatakan Gutenburg.
298 ^5 BAB DUA PULUH DUA Si terpidana tidak sarapan.
Staf dapur selalu berusaha menghilangkan kutu-kutu dari roti untuk makanan
terakhir tahanan, tetapi kali ini usaha mereka sia-sia. Si tahanan memandang sajian itu hanya satu
kali, lalu meletakkan piring kaleng itu di bawah bangku tidurnya.
Beberapa saat kemudian seorang imam Ortodoks Rusia memasuki sel. Ia menjelaskan
kepada si tahanan, walaupun agama mereka tidak sama, ia dengan senang hati
menyelenggarakan upacara keagamaan terakhir. Hosti itulah satu-satunya santapannya hari itu. Setelah sang imam
menyelenggarakan upacara kecil
itu, mereka berlutut bersama di lantai dingin. Pada akhir doa pendek, sang imam
memberkatinya dan meninggalkannya dalam kesunyian.
Ia berbaring di bangku tidurnya sambil menera-wangi langit-langit. Tak sesaat
pun ia menyesali 299 Keputusannya. Begitu ia menjelaskan alasan-alasannya, Bolchenkov menerimanya
tanpa berkomentar, bahkan mengangguk pendek ketika meninggalkan sel. Setidaknya itulah
yang dapat dilakukan Kepala Polisi untuk mengakui bahwa ia mengagumi keberanian moral orang
itu. Tahanan itu sudah pernah satu kali menghadapi maut. Yang kedua kali ini tidak
lagi menimbulkan kengerian yang sama baginya. Dulu ia memikirkan istri dan anaknya yang takkan
pernah dilihatnya lagi. Tetapi kini ia hanya bisa memikirkan orangtuanya, yang kedua-duanya telah
meninggal hanya berselang beberapa hari. Ia gembira bahwa tak seorang pun dari mereka dikuburkan
dengan membawa hukuman mati ini sebagai kenangan terakhir darinya.
Bagi mereka, kepulangannya dari Vietnam merupakan kemenangan, dan mereka sangat
senang ketika ia menyatakan niatnya untuk melanjutkan mengabdi kepada negerinya. Ia
mungkin sudah menjadi direktur, jika Presiden tidak terpaksa memutuskan mengangkat seorang
perempuan untuk mendukung kampanyenya. Ternyata tidak menolong.
Walaupun Gutenburg yang menancapkan belati di antara tulang belikatnya, tak ada
yang meragukan siapa yang menyerahkan senjata itu. Perempuan itu pasti menikmati
perannya sebagai Lady Macbeth. Ia akan menuju ke liang kubur dengan hanya sedikit sesama warga
negara yang pernah menyadari pengorbanannya. Baginya itu saja sudah lebih dari cukup.
Tak akan ada upacara perpisahan. Tak ada peti mati berselubungkan bendera
Amerika. Tak ada sa-300 habat dan kerabat yang berdiu di ti'pi kubur untuk mendengarkan imam memuji
pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat yang menandai kariernya. Tak ada marinir yang
mengangkat senjata dengan bangga. Tak ada tembakan salvo 21 kali. Tak ada bendera terlipat yang
diserahkan atas nama Presiden kepada keluarga dekatnya.
Tidak. Ia hanya ditakdirkan menjadi salah satu pahlawan tak dikenal Tom
Lawrence. Baginya, yang tertinggal hanyalah digantung di negeri yang tak dicintai dan tak
mencintainya. Kepala pelontos, sebuah nomor di pergelangan, dan kubur tak bernisan.
Mengapa ia mengambil keputusan yang sangat mengharukan Kepala Polisi yang
biasanya tanpa

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belas kasihan" Ia tak punya waktu untuk menjelaskan kepada orang itu apa yang
telah terjadi di Vietnam, tetapi di situlah kematian akan menjemputnya dan takdir ini tak dapat
diubah lagi. Mungkin ia seharusnya menghadapi regu penembak beberapa tahun lalu di negeri
lain yang jauh. Namun ia selamat. Kali ini tak seorang pun akan menolongnya di saat terakhir.
Dan kini telah terlambat untuk berubah pikiran.
Presiden Rusia terbangun pagi itu dengan suasana hati buruk. Orang pertama yang
ditumpahi kemarahan adalah kokinya. Ia menyapu sarapannya dengan tangan hingga tumpah ke
lantai sambil berteriak, "Inikah keramahan yang bisa kuharapkan setelah sampai di Leningrad?"
Ia bergegas keluar kamar. Di mang kerjanya,
301 seorang petugas dengan gugup meletakkan dokumen-dokumen untuk ditandatangani,
yang memberi kuasa kepada polisi untuk menahan para warga tanpa dakwaan tindak
pidana. Ini tidak mengubah suasana hati Zerimski yang gelap. Ia tahu bahwa itu merupakan kiat
untuk menyingkirkan para pencopet, penjaja obat bius, dan penjahat kecil-kecil
dari jalanan. Yang ia kehendaki adalah kepala Tsar yang disajikan di atas piring. Jika Menteri Dalam
Negeri terus-menerus mengecewakannya, ia terpaksa mempertimbangkan untuk
menggantinya. Menjelang saat Kepala Staf tiba, Zerimski telah selesai menandatangani riwayat
ratusan jiwa orang-orang yang melakukan hanya satu tindak pidana, yaitu mendukung Chernopov
selama kampanye pemilihan. Telah tersebar desas-desus di sekitar Moskwa bahwa mantan
Perdana Menteri merencanakan akan beremigrasi. Pada hari ia meninggalkan Rusia, Zerimski
akan menandatangani seribu perintah semacam itu, dan akan menjebloskan ke penjara
semua orang yang pernah bekerja untuk Chernopov dalam kapasitas apa pun.
Ia melemparkan pena di meja. Semuanya tekih dilaksanakan dalam waktu kurang dari
seminggu. Bayangan malapetaka yang akan m ditimbulkannya selama sebulan, setahun,
membuatnya agak gembira. "Limusin Anda sudah menunggu, Mr. President," kata seorang petugas dengan takuttakut. Wajah orang itu tak dapat dilihatnya. Ia tersenyum memikirkan apa yang pasti akan
menjadi puncak harinya. Ia telah merindukan suatu pagi di Crucifix sebagaimana orang-orang lain
merindukan malam balet di Kirov. 302 Ia meninggalkan ruang kerja dan berjalan menyusuri koridor pualam yang panjang
dari blok perkantoran yang baru saja disita, menuju ke pintu terbuka. Rombongannya
bergerak cepat menduluinya. Ia berhenti sejenak di anak tangga teratas, memandang ke bawah ke
iring-iringan mobil yang mengilat. Ia telah memberi instruksi kepada para petugas Partai bahwa
ia harus mendapat satu limusin lebih banyak daripada presiden sebelumnya.
Ia memasuki pintu belakang mobil ketiga dan melihat jam: pukul 07.43. Polisi
telah menyiapkan jalan sejam sebelumnya sehingga iring-iringan mobil dapat meluncur tanpa bertemu
dengan satu kendaraan pun yang menuju ke arah mana saja. Ia pernah menjelaskan kepada Kepala
Staf bahwa penghentian lalu lintas membuat para warga setempat lebih menyadari bahwa
presiden mereka sedang berada di kota. Polisi lalu lintas telah memperkirakan baj^wa perjalanan itu yang biasanya
berlangsung dua puluh menit dapat diselesaikan dalam tujuh menit kurang. Sementara meluncur melintasi
lampu lalu lintas dengan warna apa pun dan melintasi sungai, Zerimski bahkan tak memandang sekilas
pun ke arah Hermitage. Begitu mereka tiba di seberang Sungai Neva, pengendara mobil terdepan
mempertinggi kecepatan hingga seratus kilometer per jam untuk memastikan bahwa Presiden tepat
waktu dalam melaksanakan komitmen resmi pertama di pagi itu.
Sementara berbaring di bangku tidur, si tahanan dapat mendengar para penjaga
berderap melalui jalan 303 batu menuju ke arahnya. Detak bot mereka terdengar semakin keras. Ia ingin tahu
berapa banyak mereka itu. Mereka berhenti di depan selnya. Sebuah anak kunci diputar di lubang
kunci dan pintu terbuka lebai. Bila hidup tinggal beberapa menit saja, orang memperhatikan semua
detail. Bolchenkov memimpin mereka masuk. Tahanan itu sangat terkesan bahwa ia telah
kembali begitu cepat. Bolchenkov menyulut rokok dan menyedotnya sekali sebelum menawarkannya
kepada si tahanan. Tahanan itu menggeleng. Kepala Polisi mengangkat bahu, menggilas rokok
itu di lantai dengan kakinya, dan pergi untuk menyambut Presiden.
Orang berikut yang masuk sel adalah imam. Ia membawa Alkitab besar yang terbuka
dan dengan lembut menyanyikan kata-kata yang tak berarti apa-apa bagi si tahanan. Kemudian
tiga orang yang langsung ia kenali, tapi kali ini tak ada pisau cukur, tak ada jarum, hanya
sepasang borgol. Mereka menatapnya, nyaris ingin mengajaknya berkelahi. Tetapi dengan kecewa mereka
melihat tahanan itu dengan tenang meletakkan kedua tangannya di belakang punggung, dan menunggu.
Mereka memasang borgol dan mendorongnya keluar sel menuju ke koridor. Pada akhir
terowongan panjang dan kelabu itu ia hanya dapat melihat secercah sinar matahari.
Presiden turun dari limusin dan disambut oleh Kepala Polisi. Ia senang telah
menghadiahkan kepada Bolchenkov bintang Orde Lenin pada hari yang sama dengan ketika ia
menandatangani perintah untuk menangkap saudaranya.
Bolchenkov mengiringi Zerimski memasuki halam304 in tempat akan dilaksanakan eksekusi. Tak seorang pun berpikiran untuk melepas
mantel Presiden yang berlapiskan bulu binatang atau topinya di pagi yang begitu dingin.
Sementara mereka melintasi halaman, massa yang berjejalan, bergerombol memunggungi tembok, mulai
bertepuk tangan. Kepala Polisi melihat wajah Zerimski mengernyit. Presiden mengharapkan
jauh lebih banyak orang datang untuk menyaksikan eksekusi orang yang telah dikirim untuk
membunuhnya. Bolchenkov telah mengantisipasi mungkin ini akan menyebabkan kesulitan, maka ia
membungkuk dan berbisik ke telinga Presiden, "Saya telah diberi instruksi hanya mengizinkan
para anggota Partai untuk menghadiri ini." Zerimski mengangguk. Bolchenkov tak menambahkan
betapa sulitnya menggiring orang-orang itu ke Crucifix pagi hari itu. Terlalu banyak di
antara mereka telah mendengar berita bahwa begitu masuk ke sana, orang tak akan keluar lagi.
Kepala Polisi berhenti di dekat kursi mewah dari abad kedelapan belas yang
dibeli Katarina Agung dari kediaman Perdana Menteri Inggris Robert Walpole pada tahun 1779, dan yang
telah diminta kembali dari Hermitage sehari sebelumnya. Presiden langsung duduk di kursi empuk
itu, di depan tiang gantungan yang baru didirikan.
Baru beberapa detik saja, Zerimski sudah mulai gelisah tak sabar sementara
menunggu tahanan itu muncul. Ia memandang ke massa dan matanya menatap bocah kecil yang sedang
menangis. Ia tidak senang. Pada saat itu si tahanan muncul dari koridor gelap menuju ke cahaya pagi yang
tajam. Kepala 305 pelontos berlumuran darah kering serta seragam penjara yang tipis warna kelabu
membuatnya tampak aneh tak bernama. Ia tampak bukan main tenang bagi orang yang hidupnya
tinggal beberapa saat lagi. Si terhukum menerawang ke matahari pagi dan menggigil, sementara seorang petugas
jaga bergegas menghampirinya, memegang pergelangan kirinya, dan memeriksa nomornya:
12995. Kemudian petugas itu berpaling menghadap Presiden dan membacakan perintah
pengadilan. Sementara si petugas melaksanakan formalitas-formalitas itu, si tahanan
memandang ke sekeliling halaman. Ia melihat massa menggigil. Kebanyakan dari mereka enggan menggerakkan
satu otot pun, karena takut jangan-jangan diperintahkan bergabung dengannya. Matanya
menatap si bocah yang masih juga menangis. Seandainya mereka mengizinkannya membuat surat wasiat,
ia sebenarnya ingin mewariskan segalanya kepada anak itu. Sekilas ia menatap ke
tiang gantungan, kemudian menatap Presiden. Pandangan mereka bertemu. Walaupun ngeri, tahanan itu
tetap menatap mata Zerimski. Ia sudah bertekad bulat takkan membiarkan Presiden puas
melihat betapa dia takut. Seandainya Presiden berhenti balas menatapnya dan melihat ke tanah di
antara kakinya, ia akan tahu sendiri. Setelah selesai membacanya, si petugas menggulung kembali lembaran perintah
pengadilan lalu berderap pergi. Ini isyarat bagi kedua tukang pukul itu untuk maju, memegangi
lengan si tahanan kiri dan kanan, lalu menggiringnya menuju tiang gantungan 306
Ia berjalan dengan tenang melewati Presiden dan terus menuju ke tiang gantungan.
Ketika tiba di anak tangga kayu pertama, ia mendongak ke menara jam. Pukul 07.57. Hanya sedikit
orang yang tahu dengan tepat tinggal berapa lama mereka boleh hidup, pikirnya. Ia nyaris
menghendaki jam berdentang. Ia telah menunggu selama 28 tahun untuk melunasi utangnya. Kini pada
saat-saat terakhir seperti ini, semuanya melintas kembali dalam ingatannya.
Waktu itu suatu pagi yang panas dan gerah di bulan Mei di Nan Dinh. Seseorang
harus dijadikan teladan, dan sebagai perwira senior ia telah dipilih secara khusus. Wakilnya
maju dan dengan sukarela menggantikan tempatnya. Dan, sebagai penakut, dia tidak memprotesnya.
Si perwira Vietkong tertawa dan menerima tawaran itu, tetapi kemudian memutuskan bahwa
kedua orang itu harus menghadapi regu penembak hari berikutnya.
Tengah malam. Letnan yang sama itu telah datang di samping ranjangnya dan
berkata bahwa mereka harus mencoba lolos. Mereka takkan punya kesempatan lain lagi. Keamanan
dalam kamp selalu longgar, sebab ke utara terbentang bermil-mil hutan belantara " yang
diduduki tentara Vietkong, dan ke selatan rawa-rawa tak terterobos sepanjang empat puluh
kilometer. Beberapa orang telah mencoba* keberuntungan mereka melintasi jalur itu sebelumnya, tetapi
mereka tak pernah berhasil. Letnan mengatakan bahwa ia memilih mengambil risiko mati di tengah rawa-rawa
daripada menghadapi kematian yang pasti di depan regu penembak. Ketika ia menyelinap
pergi ke dalam kegelapan malam, 307 dengan enggan Kapten bergabung dengannya. Beberapa jam kemudian ketika matahari
terbit di atas cakrawala, kamp masih terlihat. Melintasi rawa yang bau dan penuh nyamuk,
mereka masih dapat mendengar para penjaga tertawa-tawa sambil bergiliran menembaki mereka.
Mereka menyelam di bawah permukaan rawa, tetapi hanya beberapa detik kemudian mereka
terpaksa muncul dan berjuang lebih lanjut. Akhirnya, setelah mengalami hari yang
terpanjang dalam hidupnya, kegelapan pun tiba. Ia telah meminta Letnan supaya meneruskan
perjalanan tanpa dia, tapi Letnan menolak. Pada akhir hari kedua ia menginginkan seandainya saja ia diizinkan menghadapi
regu penembak daripada harus mati dalam rawa jahanam di negeri terkutuk itu, tetapi perwira
muda itu berjuang terus dan terus. Selama sebelas hari dan dua belas malam mereka tidak makan,
hanya minum dari curah hujan yang tertumpah deras tak henti-hentinya. Pada pagi hari kedua belas
mereka mencapai tanah kering. Ia ambruk mengigau karena sakit dan terlalu letih. Kemudian ia
tahu bahwa selama empat hari lagi Letnan memanggulnya melintasi hutan, menuju wilayah aman Hal
berikut yang ia ingat ialah terjaga di rumah sakit tentara.
"Sudah beraga lama aku di sini?" tanyanya kepada perawat yang mengurusinya.
"Enam hari." kata wanita itu. "Anda beruntung dapat hidup."
"Dan sahabatku?"
"Ia telah sembuh beberapa hari lalu. Pagi ini ia telah mengunjungi Anda satu
kali." 308

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tertidur lagi. Ketika terjaga ia meminta kertas dan pena kepada perawat.
Sepanjang sisa hari itu ia duduk di ranjang rumah sakit dan terus-menerus menulis ulang surat
penghargaan. Setelah menuliskannya dengan pantas, ia meminta supaya dikirimkan kepada Komandan.
Enam bulan kemudian ia berdiri di halaman rumput Gedung Putih, di antara Maggie
dan ayahnya, serta mendengarkan surat penghargaan itu dibacakan dengan keras. Letnan Connor
Fitzgerald melangkah ke depan dan Presiden menganugerahinya Medali Kehormatan.
Sementara menaiki tangga tiang gantungan, ia memikirkan seorang pria yang akan
berkabung untuknya bila tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia telah berpesan kepada mereka
untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Sebab bila tahu, ia akan melanggar perjanjian dan
menyerahkan dirinya serta kembali ke Crucifix. "Kalian harus tahu." jelasnya kepada mereka,
"kalian berurusan dengan orang yang sungguh-sungguh terhormat. Jadi pastikan jam telah berdentang
delapan kali sebelum ia tahu ia telah ditipu."
Dentang pertama membuat seluruh tubuhnya menggigil, dan pikirannya dikembalikan
ke saat itu. Dentang kedua, bocah kecil yang menangis itu lari ke kaki tiang gantungan dan
berlutut. Dentang ketiga, Kepala Polisi menahan kopral muda yang telah maju selangkah
hendak membawa pergi anak itu. Dentang keempat, si tahanan tersenyum kepada Sergei seolah bocah itu putra
tunggalnya. Dentang kelima, kedua tukang pukul itu men309 dorongnya maju sehingga ia berdiri tepat di bawah tali yang bergelayutan.
Dentang keenam, algojo mengalungkan jerat di seputar lehernya.
Dentang ketujuh, ia menurunkan pandangan dan menatap langsung Presiden Republik
Rusia. Dentang kedelapan, algojo menarik tuas dan pintu kolong terbuka.
Ketika jasad Christopher Andrew Jackson tergantung di atasnya, Zerimski mulai
bertepuk tangan. Beberapa orang dari massa itu ikut bertepuk tangan dengan setengah hati.
Semenit kemudian kedua tukang pukul menurunkan jasad itu dari tiang gantungan.
Sergei menerobos maju, membantu mereka menurunkan sahabatnya ke dalam peti mati kasar
yang terletak di tanah di samping tiang gantungan.
Kepala Polisi mengiringi Presiden kembali ke limusin. Dan iring-iringan mobil
melaju keluar gerbang penjara sebelum tutup peti mati dipaku. Empat tahanan memanggul peti
mati yang berat itu ke makam. Sergei berjalan di samping mereka. Mereka keluar halaman dan
menuju ke sebidang tanah berbatu di belakang penjara. Bahkan orang mati pun tak boleh lolos dari
Crucifix. Seandainya Sergei menengok ke belakang, ia akan melihat sisa massa itu keluar
melalui gerbang penjara. Kemudian barulah gerbang ditutup rapat-rapat dan pasak kayu besar
disusupkan kembali di tempatnya. Para pengusung peti mati berhenti di sisi kubur tak bertanda yang baru saja
digali oleh tahanan-tahanan lain. Mereka menurunkan peti mati tanpa
310 upacara ke dalam bang lahat Kemudian tanpa doa ataupun tanpa hening sesaat,
mereka menimbunkan gumpalan tanah yang baru saja digali ke atasnya.
Bocah itu tak bergerak sebelum mereka menyelesaikan tugas mereka. Beberapa menit
kemudian para penjaga menggiring para tahanan kembali ke sel mereka. Sergei berlutut,
bertanya-tanya hingga kapan mereka mengizinkannya berada di sebelah kuburan.
Sesaat kemudian sebuah tangan diletakkan di bahu bocah tersebut. Ia mendongak
dan melihat Kepala Polisi berdiri di atasnya. Seorang yang jujur, suatu ketika pernah
dikatakannya pada Jackson. "Kau mengenalnya dengan baik?" tanya Kepala Polisi.
"Ya, Sir," jawab Sergei. "Ia partnerku."
Kepala Polisi mengangguk. "Aku mengenal orang untuk siapa dia mengorbankan
nyawanya," katanya. "Aku hanya berharap punya sahabat seperti dia."
311 BAB DUA PULUH TIGA "Mrs. fitzgerald tak sepandai penilaiannya sendiri," kata Gutenburg.
"Amatir jarang yang pandai," kata Helen Dexter. "Apakah itu berarti videonya
telah kaudapatkan?" "Belum, walau aku punya gambaran cukup jelas di mana barang tersebut," kata
Gutenburg. Ia berhenti sejenak. "Tapi bukan di mana tepatnya."
"Berhentilah bersikap sok tahu," kata Dexter. "Jelaskan saja masalahnya. Kau tak
perlu membuktikan padaku betapa pandai dirimu."
Gutenburg tahu bahwa sudah hampir tiba saatnya ia menerima pujian dari Direktur.
"Mrs. Fitzgerald tak sadar rumah dan kantornya telah dipasangi mikrofon sebulan
yang lalu. Dan kita memasang agen-agen untuk mengawasinya sejak hari suaminya terbang dari
Dulles tiga minggu lalu." "Nah, apa yang kautemukan?"
"Tidak banyak bila keping-keping informasi itu dilihat secara terpisah. Tapi
bila dipasang bersama, 312 akan mulai menunjukkan gambaran." Ia menyodorkan berkas dan tape recorder ke
seberang meja. Direktur tak menggubris barang-barang itu. "Jelaskan saja semuanya," katanya
agak marah. "Selama makan siang Mrs. Fitzgerald dan Joan Bennett di Kafe Milano, pembicaraan
mereka ke sana kemari hingga saat ia akan kembali kerja lagi. Saat itulah ia mengajukan
pertanyaan kepada Bennett." "Apa pertanyaannya?"
"Mungkin kau ingin mendengarnya sendiri." Wakil Direktur menekan tombol "Play"
pada tape recorder dan duduk kembali.
"Aku juga. Kopi tanpa susu, tanpa gula." Terdengar langkah-langkah menjauh.
"Joan, aku belum pernah memintamu melanggar kepercayaan sebelum ini, tapi ada sesuatu yang perlu
kuketahui." "Moga-moga aku bisa membantu, tapi seperti yang telah kujelaskan, jika mengenai
Connor, mungkin aku juga sama tak tahunya seperti kau."
"Kalau begitu aku perlu nama seseorang yang tahu."
Kemudian disusul hening lama, akhirnya Joan berkata, "Kusarankan kaulihat daftar
tamu pesta perpisahan Connor." "Chris Jackson?"
"Bukan. Sayangnya dia sudah tak bekerja di sana lagi."
Kemudian disusul lagi hening lama.
"Orang kecil kelimis yang pergi tanpa pamit itu" Yang bilang bekerja di bagian
ganti kerugian itu?"
Gutenburg mematikan tape.
313 "Kenapa kau datang ke pesta itu?" bentak Dexter.
"Sebab kau menyuruhku menyelidiki apakah Fitzgerald sudah memperoleh pekerjaan
yang akan menahannya di Washington. Jangan lupa, putrinyalah yang memberi kita petunjuk
yang memungkinkan kita meyakinkan Thompson bahwa tidak bijaksana mempekerjakannya.
Kau pasti ingat keadaan waktu itu."
Direktur mengernyit. "Apa yang terjadi setelah Mrs. Fitzgerald meninggalkan Kafe
Milano?" 'Tak ada yang berarti hingga ia pulang malam itu. Ia menelepon beberapa orang - ia
tak pernah menelepon secara pribadi dari kantor - salah satunya ke ponsel Chris Jackson."
"Mengapa ia berbuat demikian jika sudah tahu Jackson sudah keluar dari sana?"
"Itu berpangkal dari masa lalu. Jackson dan Fitzgerald berdinas di Vietnam
bersama. Jackson-lah yang merekomendasikan Fitzgerald untuk menerima Medali Kehormatan, dan yang
merekrutnya sebagai NOC." "Apa Jackson menceritakan pada perempuan itu tentang dirimu?" tanya Dexter tidak
percaya. "Tidak, tak sempat," jawab Gutenburg. "Aku telah memerintahkan untuk memblokir
ponselnya saat kita tahu ia di Rusia." Ia tersenyum. "Tapi kita masih bisa mengidentifikasi
siapa yang mencoba menghubunginya dan ia mencoba menghubungi siapa."
"Apakah itu berarti telah kautemukan kepada siapa ia melapor?"
"Jackson hanya menghubungi satu nomor sejak ia mendarat di Rusia, dan kuduga ia
terpaksa melakukannya hanya karena dalam keadaan darurat."
314 "Siapa yang diteleponnya?" tanya Dexter tak sabar.
"Sebuah nomor tak terdaftar di Gedung Putih."
Dexter bahkan tak berkedip. "Teman kita Mr. Lloyd, sudah pasti."
"Sudah pasti," sahut Gutenburg.
"Apakah Mrs. Fitzgerald tahu Jackson melapor langsung ke Gedung Putih?"
"Kupikir tidak," sahut Gutenburg. "Jika tahu, dia pasti telah mencoba
menghubunginya sendiri beberapa waktu lalu."
Dexter mengangguk. "Kalau begitu harus kita pastikan ia takkan pernah tahu."
Gutenburg tak menunjukkan emosi. "Aku mengerti. Tapi aku tak bisa berbuat apa
pun sampai video keluarga itu ada di tanganku."
"Bagaimana kabar terakhir video itu?" tanya Dex-ter.
"Kita takkan maju seinci pun jika tak menemukan petunjuk dalam sebuah sadapan
telepon. Ketika Joan-Bennett menelepon Mrs. Fitzgerald dari Langley pukul dua dini hari untuk
memberitahu akan menemuinya satu jam kemudian, salah satu anak buahku mengecek apa yang ia lihat
di komputer perpustakaan referensi. Ternyata perempuan itu menemukan sesuatu yang membuatnya
menduga bos lamanya sedang meringkuk di penjara di St. Petersburg. Tapi, seperti yang
kauketahui, ia tak dapat menepati janjinya pada Mrs. Fitzgerald."
"Terlalu cepat menggembirakan."
"Memang. Tapi ketika ia tak muncul juga, Mrs. Fitzgerald meluncur ke GW Parkway
dan menunggu hingga polisi mengangkat mobil itu."
"Mungkin ia melihat laporan di TV. atau mendengarnya dari radio," kata Dexter.
"Ya, itulah asumsi kita - kisah itu jadi berita utama setempat pagi itu. Begitu
tahu pasti Bennett yang berada di mobil itu, ia langsung menelepon putrinya di Stanford. Bila
suaranya terdengar agak mengantuk, itu karena waktu itu baru pukul lima pagi di California." Ia
membungkuk lagi dan menekan tombol "Play" di tape recorder.
"Hai, Tara. Ini Mom."
"Hai, Mom. Jam berapa ini?"
"Maaf meneleponmu pagi-pagi, Sayang, tapi ada berita yang sangat menyedihkan."
"Bukan Dad. kan?"
"Bukan. Joan Bennett - ia meninggal dalam kecelakaan mobil."
"Joan meninggal" Aku tak percaya. Katakan itu tak benar."
" "Sayangnya itu memang benar. Dan aku punya firasat mengerikan bahwa itu
sedikit-banyak berkaitan dengan belum pulangnya ayahmu."
"Ayolah, Mom, mengapa jadi ketakutan" Bagaimanapun baru tiga minggu Dad pergi."
"Mungkin kau benar, tapi kuputuskan memindahkan rekaman video pesta perpisahan
Dad yang kau-buat, ke tempat yang lebih aman."
"Mengapa?" "Sebab itu satu-satunya bukti yang kumiliki bahwa ayahmu pernah berjumpa dengan
orang bernama Nick Gutenburg, apalagi bekerja untuknya."
Wakil Direktur menyentuh tombol "Stop". "Percakapan itu masih berlanjut beberapa
saat, tapi tak 316 banyak menambah pengetahuan kita. Ketika Mrs. Fitzgerald meninggalkan rumah
beberapa menit kemudian sambil membawa videotape, petugas yang mendengarkan menyadari arti apa
yang baru saja ia dengar, dan membuntutinya hingga ke universitas. Mrs. Fitzgerald tak
langsung menuju ke Kantor Penerimaan seperti biasa, tapi mampir di perpustakaan. Di situ ia menuju
ke bagian komputer lantai satu. Ia menghabiskan waktu dua puluh menit mencari sesuatu di
salah satu komputer, lalu pergi dari situ dengan membawa printout sekitar dua belas
halaman. Kemudian ia masuk lift, turun ke pusat riset audio visual di lantai dasar. Petugas itu tak
berani mengambil risiko selift dengannya. Jadi begitu tahu lantai berapa yang dituju Mrs. Fitzgerald, ia
menghampiri komputer yang baru saja digunakannya dan rnencoba memanggil dokumen yang
terakhir dibuka." "Tentu saja ia telah menghapus semuanya," kata Dexter.
"Ya, tentu saja," timpal Gutenburg.
"Tapi printout-nya bagaimana?"
"Lagi-lagi tak ada petunjuk mengenai apa yang tertera di dalamnya "
"Tak mungkin ia hidup bersama Connor Fitzgerald selama 28 tahun tanpa menangkap
sesuatu pun dari cara kerja kita"
"Petugas itu meninggalkan perpustakaan dan mc nunggu di mobil. Setelah beberapa
menit. Mi s Fitzgerald meninggalkan gedung. Ia tak lagi mem bawa video, tapi..."
"Ia pasti telah menitipkannya di pusat audio vi suai."


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

317 "Perkiraanku juga begitu," kata Gutenburg.
"Universitas menyimpan berapa video di perpustakaan?"
"Dua puluh lima ribu lebih." jawab Gutenburg.
"Kita tak punya waktu untuk memeriksa itu semua," kata Dexter.
"Kita memang tak punya waktu sebanyak itu, jika Mrs. Fitzgerald tak membuat
kesalahannya yang pertama." Kali ini Dexter tidak menyela. Ketika meninggalkan perpustakaan, ia tak membawa
video, tapi printout. Petugas kita mengikutinya hingga ke Kantor Penerimaan, di mana
prinsip-prinsip Mrs. Fitzgerald mengalahkannya."
Dexter mengernyitkan alis.
"Sebelum kembali ke kantornya, Mrs. Fitzgerald mampir di pusat daur ulang. Bukan
kebetulan ia jadi Wakil Ketua GULP."
"GULP?" "Georgetown University Litter Patrol - Patroli Kebersihan Universitas Georgetown.
Ia memasukkan printout itu ke tempat penyimpanan kertas."
"Bagus. Jadi apa yang kautemukan?"
"Daftar lengkap semua video yang kini sedang dipinjam dan tak mungkin
dikembalikan sebelum semester berikut." "Jadi dia pasti merasa aman meninggalkan videonya di dalam boks yang kosong,
sebab tak seorang pun akan menemukannya selama berminggu-minggu."
"Tepat," kata Gutenburg.
"Berapa banyak video yang termasuk dalam kategori itu?"
318 "Empat ratus tujuh puluh dua," sahut Gutenburg.
"Kuduga telah kauambil alih semuanya "
"Semula aku berniat berbuat demikian, tapi jika ada mahasiswa yang penuh selidik
atau ada anggota staf yang tahu kehadiran CIA di kampus, semuanya akan berantakan."
"Pemikiran yang bagus," kata Dexter. "Jadi apa rencanamu untuk menemukan video
itu?" "Aku telah memperbantukan selusinan petugas pilihan, semuanya baru saja lulus,
untuk mengecek semua judul yang ada dalam daftar tersebut sampai mereka menemukan rekaman video
buatan sendiri di dalam boks yang seharusnya boks kosong. Masalahnya, walaupun mereka
menyamar dengan berpakaian seperti mahasiswa biasa, aku tak bisa membiarkan mereka di
perpustakaan lebih dari dua puluh menit, atau menyuruh mereka ke sana lebih dari dua kali sehari.
Jangan-jangan akan tampak mencolok, terutama nyaris tak ada orang di sana saat-saat ini. Jadi
pelaksanaannya ternyata agak menyita waktu."
"Menurutmu berapa lama lagi mereka akan menemukannya?"
"Kita bisa saja beruntung dan langsung menemukannya, tapi kukira perlu waktu
satu-dua hari, atau paling lama tiga hari."
"Jangan lupa menghubungi kembali Mrs. Fitzgerald dalam waktu kurang dari 48
jam." "Aku tak lupa itu. Tapi tak perlu lagi, bila kita menemukan rekaman video itu
sebelumnya." "Kecuali bila Mrs. Fitzgerald juga merekam pembicaraan per telepon denganmu."
Gutenburg tersenyum. "Ia memang merekamnya,
319 tapi telah dihapus tak lama sesudah ia meletakkan pesawat telepon. Seharusnya
kaulihat kesenangan Profesor Ziegler dalam mendemonstrasikan permainan terakhirnya."
"Hebat," kata Dexter. "Telepon aku saat kautemukan video itu. Dengan begitu
barulah tak ada sesuatu pun yang menghentikan kita melikuidasi satu orang yang masih bisa..."
Telepon merah di atas meja berdering, dan ia menyambarnya tanpa menyelesaikan kalimatnya.
"Direktur," katanya sambil menekan tombol di stopwatch. "Kapan ini terjadi"
...Apa kau benar-benar pasti" ...Dan Jackson" Di mana dia?" Setelah mendengar
jawaban, ia langsung meletakkan
pesawat telepon. Gutenburg melihat hitungan waktu stopwatch, 43 detik.
"Kuharap kautemukan rekaman video itu dalam waktu 48 jam lagi," kata Direktur
sambil memandang wakilnya di seberang meja.
"Mengapa?" tanya Gutenburg cemas.
"Sebab Mitchell memberitahu bahwa Fitzgerald digantung pukul delapan pagi ini
waktu setempat di St. Petersburg, dan Jackson baru saja naik pesawat United Airlines dari
Frankfurt menuju Washington." BAB DUA PULUH EMPAT PUKUL tujuh pagi, ketiga tukang pukul memasuki sel dan menggiringnya ke kantor
Kepala Polisi. Begitu mereka meninggalkan ruangan, Bolchenkov mengunci pintu, dan tanpa sepatah
kata pun menuju ke lemari pakaian di sudut. Di dalamnya terdapat seragam polisi, lalu
memberi isyarat kepada Connor untuk mengganti pakaiannya dengan seragam polisi itu. Karena
tubuhnya susut banyak dalam seminggu ini, pakaian itu tampak kedodoran, untunglah ada penjepit
lengan baju. Berkat topi bertepi lebar dan jas biru panjang, ia berhasil tampak seperti agen
polisi lain yang seribuan jumlahnya dan yang akan berpatroli di St. Petersburg pagi itu. Ia
meninggalkan pakaian penjara di bagian bawah lemari, entah bagaimana Kepala Polisi akan melenyapkan
pakaian itu. Tetap tanpa berkata sepatah kata pun Bolchenkov mengantarnya keluar kantor
menuju ke ruang tunggu kecil, dan menguncinya di dalamnya.
Setelah hening lama Connor mendengar pintu dibu323 ka, lalu langkah-langkah orang, disusul dengan pintu lain dibuka, mungkin yang
belakangan pintu lemari pakaian di kantor Kepala Polisi. Ia tetap tak bergerak seraya memikirkan
apa yang sedang terjadi. Pintu pertama dibuka lagi, dan dua atau tiga orang menerobos masuk
kantor itu tanpa suara. Beberapa detik kemudian mereka pergi sambil menyeret sesuatu atau seseorang ke
luar dan menutup pintu dengan membantingnya.
Beberapa saat kemudian pintu itu dibuka, dan Bolchenkov memberi isyarat supaya
ia keluar. Mereka melintasi kantor dan kembali lagi ke koridor. Jika Kepala Polisi belok ke
kiri, mereka akan kembali ke sel, tetapi ternyata belok ke kanan. Kaki Connor terasa lemas, tetapi
ia mengikuti Kepala Polisi secepat mungkin.
Yang pertama ia lihat ketika memasuki halaman ialah tiang gantungan. Seseorang
sedang menempatkan kursi keemasan megah dibalut kain merah mewah beberapa langkah di
depannya. Ia tak perlu diberitahu siapa yang akan duduk di situ. Ketika ia dan Bolchenkov
melintasi halaman, Connor melihat sekelompok polisi, yang berpakaian seperti dia dengan jas biru
panjang, menggiring orang-orang lewat dari jalan, mungkin untuk menyaksikan eksekusi itu.
Kepala Polisi cepat-cepat melintasi jalan berkerikil menuju ke mobil di tepi
halaman. Connor baru akan membuka pintu penumpang, ketika Bolchenkov menggeleng dan menunjuk ke
tempat duduk pengemudi. Connor duduk di belakang kemudi.
"Kendarai mobil ini sampai ke gerbang, kemudian berhenti," kata Kepala Polisi
seraya duduk di tempat penumpang. 324 Selama mengendarai mobil melintasi halaman, Connor tetap menggunakan persneling
satu, kemudian berhenti di depan dua penjaga yang ditempatkan dekat gerbang tertutup.
Salah seorang dari mereka memberi hormat kepada Kepala Polisi dan langsung memeriksa bagian
bawah mobil, sementara yang satunya melongok melalui jendela belakang dan memeriksa bagasi.
Kepala Polisi mencondongkan badan dan menarik lengan baju Connor ke bawah,
menutupi pergelangan kirinya. Setelah selesai memeriksa, para penjaga itu kembali ke
posisi semula dan memberi hormat lagi kepada Bolchenkov. Tak ada yang menaruh perhatian sedikit
pun kepada pengemudi. Pasak kayu besar ditarik dan gerbang besar Penjara Crucifix itu
terbuka. "Jalan terus," kata Kepala Polisi sambil menahan napas ketika seorang bocah lari
masuk ke halaman penjara, seolah ia tahu persis harus pergi ke mana.
"Lewat mana?" bisik Connor.
"Kanan." Connor membelokkan mobil ke kanan, menyeberangi jalan dan mulai meluncur
menyusuri Sungai Neva menuju ke pusat kota. Tak ada kendaraan lain yang tampak.
"Menyeberang di jembatan berikut," kata Bolchenkov, "kemudian ambil jalan
pertama ke kiri." Sementara mereka melewati penjara di seberang sungai, Connor memandang ke tembok
penjara yang tinggi. Polisi masih mencoba membujuk orang-orang untuk menambah jumlah
gerombolan orang yang telah berkumpul untuk menyaksikan hukuman gantung. Ha gaimana
Bolchenkov akan dapat meloloskan ini"
325 Connor melanjutkan melaju beberapa ratus meter hingga Bolchenkov berkata,
"Minggir di sini." Ia
memperlambat mobil dan berhenti di belakang BMW besar warna putih dengan salah
satu pintu belakang terbuka. "Di sinilah kita berpisah, Mr. Fitzgerald," kata Bolchenkov. "Semoga kita takkan
berjumpa lagi." Connor mengangguk setuju. Ketika ia keluar dari mobil, Kepala Polisi
menambahkan, "Kau mendapat hak istimewa mempunyai sahabat yang begitu mengagumkan."
Memerlukan waktu beberapa lama sebelum Connor benar-benar memahami makna katakata itu. "Penerbangan Anda berangkat dari Gerbang 11, Mr. Jackson. Dua puluh menit lagi
akan boarding." "Terima kasih," kata Connor sambil mengambil kartu boarding. Ia mulai berjalan
pelan-pelan menuju tempat Keberangkatan, seraya berharap petugas tidak terlalu teliti
memeriksa paspornya. Walau foto Jackson telah diganti dengan fotonya, Chris tiga tahun lebih tua
daripada dirinya, lebih pendek lima senti, serta botak. Seandainya diminta mencopot topinya, ia harus
menjelaskan mengapa kepalanya bercirikan tanda-tanda seperti punya Gorbachev. Di Kalifornia,
ia akan segera dianggap sebagai anggota suatu kultus.
Ia menyerahkan paspor dengan tangan kanan. Seandainya ia menggunakan tangan
kiri, lengan bajunya akan tertarik ke atas dan menyingkap nomor yang ditatokan di
pergelangan. Nanti kalau sudah kembali di Amerika ia akan membeli gelang jam tangan yang lebih lebar.
326 Petugas hanya memandang sekilas ke paspor lalu mempersilakannya berjalan terus.
Koper yang baru didapatnya hanya berisi pakaian-pakaian ganti dan kantong cucian, lolos
tanpa hambatan melalui keamanan. Ia mengangkatnya dan berjalan menuju Gerbang 11. Di ruang
tunggu ia duduk di ujung, jauh dari jalan keluar menuju ke pesawat.
Selama 24 jam sejak lolos dari Crucifix, Connor tak dapat santai sesaat pun.
"Ini panggilan pertama untuk Finnair Penerbangan 821 ke Frankfurt," terdengar
suara melalui interkom. Connor tak bergerak. Seandainya mereka mengatakan yang sebenarnya, ia takkan
pernah mengizinkan Chris menggantikannya. Ia mencoba menyusun gambaran menyeluruh
tentang segalanya yang terjadi sejak ia meninggalkan Bolchenkov.
Ia keluar dari mobil polisi dan berjalan secepat mungkin menuju BMW yang sedang
menunggu. Kepala Polisi telah menjalankan mobilnya kembali ke Crucifix saat Connor masuk
pintu belakang BMW itu dan duduk di samping seorang muda yang pucat, kurus, mengenakan jas
hitam kasmir panjang. Baik dia maupun kedua orang yang berpakaian serupa dan duduk di kursi
depan tidak berbicara ataupun menghiraukan kehadiran Connor.
BMW pelan-pelan masuk ke jalan lengang dan meluncur cepat meninggalkan kota.
Begitu mereka memasuki jalan raya, si pengemudi tak memperhatikan batas kecepatan. Ketika
angka 08.00 berkedip di jam dasbor, rambu-rambu jalan memberitahu Connor bahwa mereka berada
150 kilometer dari perbatasan Finlandia.
327 Ketika angka pada rambu-rambu jalan itu mulai menurun menjadi 100 kilometer,
kemudian 50, 30, dan 10, Connor mulai bertanya-tanya bagaimana mereka akan menjelaskan kehadiran
seorang polisi Rusia kepada penjaga perbatasan. Tetapi ternyata tak perlu ada
penjelasan. Ketika BMW sekitar tiga ratus meter dari tanah tak bertuan yang memisahkan dua negara, si
pengemudi menyorotkan lampu depan empat kali. Rintangan di perbatasan langsung naik,
membiarkan mereka melintasi perbatasan masuk Finlandia tanpa mengurangi laju kecepatan. Connor


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai menghargai luasnya pengaruh Mafya Rusia.
Tak seorang pun dalam mobil berbicara sejak perjalanan mereka dimulai. Dan
sekali lagi rambu-rambu jalanlah yang memberi petunjuk kepada Connor mereka
menuju ke mana. Ia mulai menyangka Helsinki yang menjadi tujuan mereka, tetapi sekitar dua belas
kilometer sebelum mencapai pinggiran kota itu, mobil mengambil jalan lintas luar meninggalkan
jalan raya. Laju mobil melambat sementara si pengemudi melintasi jalan yang berlubang-lubang dan
berbelok-belok, membawa mereka semakin masuk ke pedalaman. Connor menatap
pemandangan tandus diselimuti lapisan salju tebal.
"Ini panggilan kedua untuk Penerbangan Finnair 821 ke Frankfurt. Semua penumpang
diharap masuk pesawat" Connor masih juga tidak bergerak.
Empat puluh menit setelah meninggalkan jalan raya, mobil membelok ke halaman
rumah pertanian yang terbengkalai. Pintu telah terbuka bahkan sebelum mereka berhenti. Orang
muda yang tinggi itu melom- 328 pat keluar dari mobil dan menggiring Connor masuk rumah. Ia tidak menghiraukan
wanita yang gemetar ketakutan ketika mereka melewatinya. Connor mengikutinya menaiki
serangkaian tangga ke lantai pertama. Si orang Rusia membuka pintu, dan Connor memasuki ruangan
itu. Pintu dibanting menutup, dan ia mendengar kunci lain diputar dalam lubangnya.
Ia berjalan melintasi .ruangan dan memandang ke luar melalui satu-satunya
jendela. Salah seorang tukang pukul berdiri di halaman, sambil menatapnya. Ia menyingkir dari jendela.
Ia melihat satu setelan lengkap dengan topi hitam dari bulu kelinci telah diletakkan di atas
ranjang sempit dan tampak tak nyaman. Connor melepas semua pakaiannya dan menyam-pirkannya pada kursi di dekat
ranjang. Di sudut ruangan ada tirai plastik. Dan di baliknya ada shower. Dengan bantuan sebatang
sabun kasar dan tetes-tetes air suam-suam kuku, selama beberapa menit Connor berusaha
menghilangkan bau Crucifix dari tubuhnya. Dikeringkannya tubuhnya dengan dua lap piring. Ketika
mengaca ia menyadari perlu waktu beberapa lama untuk menyembuhkan luka di kepalanya dan
menunggu rambutnya tumbuh kembali seperti semula. Tetapi nomor yang ditatokan pada
pergelangan tangannya akan tetap ada sepanjang hidupnya.
Dikenakannya setelan di ranjang itu. Pantalonnya terlalu pendek beberapa inci,
kemeja dan jasnya pas, walaupun ia telah kehilangan berat badan paling sedikit lima kilo selama
meringkuk di penjara. Terdengar ketukan lembut di pintu, lalu anak kun ci diputar. Wanita yang berada
di ruang duduk ketika mereka tiba, kini berdiri di sana membawa nam329 pan. Ia meletakkan nampan itu di meja samping ran jang dan menyelinap keluar
sebelum Connor sempat mengucapkan terima kasih. Ia memandangi mangkuk berisi sup hangat dan
tiga roti gulung, dan menjilati bibirnya. Ia duduk dan mulai melahap makanan itu, tetapi merasa
kenyang setelah menyeruput beberapa sendok sup dan mengunyah satu roti gulung. Tiba tiba ia
terserang kantuk, aan menelungkup di ranjang.
"Ini panggilan ketiga untuk Penerbangan Finnair 821 ke Frankfurt. Para penumpang
yang masih di luar harap segera masuk pesawat" Connor masih tetap tidak beranjak. Ia pasti
telah tertidur, sebab yang selanjutnya ia ingat ialah terjaga dan mendapati orang muda pucat itu
berdiri di ujung ranjang,
sambil memandanginya. "Kita berangkat ke bandara dua puluh menit lagi," katanya, dan melemparkan
amplop cokelat yang tebal ke atas ranjang. Connor duduk dan menyobek amplop itu, ternyata berisi tiket kelas satu ke Dulles
International, seribu dolar AS, dan sebuah paspor Amerika.
Ia membuka paspor dan membaca nama "Christopher Andrew Jackson" di atas foto
dirinya sendiri, la mendongak ke orang Rusia itu. "Apa artinya ini?"
"Artinya kau masih tetap hidup," sahut Alexei Romanov.
"Ini panggilan terakhir untuk Penerbangan Finnair 821 ke Frankfurt. Harap para
penumpang yang masih di luar segera naik pesawat."
Connor berjalan menghampiri petugas gerbang, menyerahkan kartu boarding, dan
menuju ke pesawat 330 y.ing masih menunggu. Pramugara memeriksa nomor tempat duduknya dan menunjuk ke
bagian depan pesawat. Connor tak perlu mencari kursi dekat jendela di deretan kelima,
sebab orang Rusia itu sudah terpaku di kursi dekat jalan deretan kelima. Jelas pekerjaannya bukan
hanya membawa amplop itu, tetapi juga menyerahkannya dan memastikan bahwa perjanjian benarbenar dilaksanakan. Ketika Connor melangkahi kaki pengawalnya, seorang pramugari
bertanya, "Bolehkah saya bawakan topi Anda, M r. Jackson?" "Tak usah, terima kasih."
Ia bersandar di kursi nyaman, tapi tak bisa santai hingga pesawat tinggal
landas. Kemudian mulai meresap ke dalam hatinya untuk pertama kali bahwa ia benar-benar telah lolos.
Tetapi ia bertanya- tanya untuk apa. Ia melirik ke kiri: mulai saat ini ada seseorang yang menemani
dia siang-malam hingga ia melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian.
Selama perjalanan ke Jerman, Romanov tak pernah membuka mulut satu kali pun.
Kecuali ketika makan beberapa potong makanan yang disediakan di depannya. Connor menghabiskan
semua makanannya, kemudian melewatkan waktu dengan membaca majalah untuk penerbangan
Finnair. Menjelang pesawat mendarat di Frankfurt, ia telah mengetahui segalanya tentang
sauna, pelempar lembing, dan ketergantungan orang-orang Finlandia pada ekonomi Rusia.
Ketika mereka berjalan menuju ruang tunggu untuk transit, Connor segera melihat
agen CIA itu. Cepat-cepat ia melepaskan diri dari pengawalnya, dan dua puluh menit kemudian
kembali sehingga Romanov jelas merasa lega.
331 Connor tahu sangatlah mudah untuk meloloskan diri dari penjaganya begitu mereka
tiba di wilayahnya, tetapi ia juga tahu bahwa jika ia mencoba lolos, mereka akan
melaksanakan ancaman yang dengan jelas dilukiskan Kepala Polisi. Ia gemetar membayangkan salah satu
penjahat itu akan mencederai Maggie atau Tara.
United Airlines 777 berangkat ke Dulles tepai jadwal. Connor dapat melahap
hampir semua hidangan pertama dan kedua makan siangnya. Setelah pramugari menyingkirkan
nampan, ia menekan tombol pada lengan kursinya, merebahkan kursi itu, dan mulai memikirkan
Maggie. Betapa ia iri Maggie selalu bisa... Beberapa saat kemudian ia tertidur di
pesawat untuk pertama kalinya dalam kurun waktu dua puluh tahun.
Ketika ia terjaga, makanan kecil sedang disajikan. Ia pastilah satu-satunya
orang dalam penerbangan itu yang makan segala yang diletakkan di depannya, termasuk dua
mangkuk selai. Selama jam terakhir sebelum mendarat di Washington, pikirannya kembali melayang
ke Chris Jackson dan pengorbanan yang telah dilakukannya. Connor tahu ia takkan pernah
dapat membalas budi itu, namun ia telah bertekad untuk tidak membiarkannya menjadi tindakan
yang tanpa arti. Pikirannya melesat ke Dexter dan Gutenburg, yang kini pasti menganggapnya telah
mati. Mula pertama mereka mengirimnya ke Rusia untuk menyelamatkan hidup mereka sendiri,
kemudian mereka membunuh Joan, sebab wanita ini mungkin telah menyampaikan informasi
kepada Maggie. Berapa lama lagi akan berlalu sebelum mereka memutuskan Maggie meru-332
pakan risiko yang terlalu besar hingga juga perlu disingkirkan"
"Ini kapten Anda yang sedang berbicara. Kami telah diberi tanda aman untuk
mendarat di Bandara Dulles International. Harap para awak kabin bersiap-siap untuk mendarat. Atas
nama United Airlines, saya mengucapkan selamat datang di Amerika Serikat."
Connor membuka paspornya. Christopher Andrew Jackson telah kembali ke tanah
airnya. 333 BAB DUA PULUH LIMA MAGGIE tiba di Bandara Dulles satu jam lebih awal - kebiasaan yang biasanya
membuat Connor marah. Ia memeriksa layar kedatangan, dan merasa senang ternyata penerbangan
dari San Francisco dijadwalkan mendarat tepat waktu.
Ia mengambil satu eksemplar Washington Posi dari kios koran dan berjalan menuju
kedai kopi terdekat. Ia bertengger di kursi tinggi pada gerai, lalu memesan kopi tanpa susu
dan croissant. Ia tidak melihat dua laki-laki yang duduk pada meja di sudut yang berhadapan
dengannya, salah seorang juga membawa satu eksemplar Washington Post yang tampaknya sedang
dibacanya. Tetapi kalaupun melihat, Maggie takkan melihat laki-laki ketiga yang lebih
memperhatikannya daripada
memperhatikan layar kedatangan yang sedang ia lihat. Laki-laki itu telah melihat
dua laki-laki lain di sudut itu. Maggie membaca Post dari sampul ke sampul,
334 tiap beberapa menit memeriksa jamnya. Saat akan memesan kopi cangkir kedua, ia
sedang mendalami suplemen mengenai Rusia yang diterbitkan untuk mengantisipasi
kunjungan Presiden Zerimski ke Washington yang akan berlangsung. Maggie tidak menyukai berita
pemimpin Komunis itu, yang tampaknya berasal dari abad terakhir.
Dua puluh menit sebelum pesawat dijadwalkan mendarat, ia telah meneguk kopi
ketiga. Ia turun dari kursi tinggi itu dan menuju ke jajaran boks telepon umum. Kedua pria itu
mengikutinya keluar restoran, sedangkan pria yang ketiga menyelinap dari satu bayangan ke bayangan
lain. Ia menelepon dengan ponselnya. "Selamat pagi. Jackie," katanya ketika wakilnya
menjawab telepon. "Aku cuma ingin tahu apakah semuanya beres."
"Maggie," jawab sebuah suara yang berusaha terdengar tidak terlalu jengkel,
"sekarang jam tujuh pagi, dan aku masih di ranjang. Kemarin kau menelepon, ingat" Universitas sedang
libur. Tak ada yang kembali sebelum tanggal 14 Januari. Dan setelah tiga tahun jadi wakilmu,
aku baru bisa mengelola kantor selama kau pergi."
"Maaf, Jackie," kata Maggie. "Aku tak bermaksud membangunkanmu. Aku lupa
sekarang masih pagi-pagi sekali. Aku berjanji takkan mengganggumu lagi."
"Moga-moga Connor lekas kembali, dan Tara serta Stuart membuatmu sibuk selama
dua minggu mendatang," kata Jackie. "Selamat Natal, dan aku tak mau dengar apa-apa lagi
darimu hingga akhir Januari," tambah Jackie penuh perasaan.
Maggie memutuskan sambungan, menyadari dirinya
335 hanya iseng menghabiskan waktu, dan tak sepantasnya mengganggu Jackie sepagi
ini. Ia memurahi diri sendiri, dan memutuskan tidak mengganggu Jackie lagi hingga Tahun Baru.
Ia berjalan pelan-pelan menuju gerbang kedatangan dan bergabung dengan orangorang yang semakin banyak mengintip landas pacu dari jendela. Penerbangan pagi mulai
berdatangan dan berangkat. Ketiga orang yang tidak memeriksa tanda-tanda setiap pesawat yang
datang itu terus mengawasi Maggie, yang sedang menunggu pengumuman yang mengkonfir-masikan
pendaratan Penerbangan 50 United dari San Francisco. Ketika pengumuman itu akhirnya muncul,
Maggie tersenyum. Salah seorang dari tiga pria itu menekan sebelas nomor di ponsel dan
"mengirimkan informasi kembali ke atasannya di Langley.
Maggie tersenyum lagi ketika seorang pria yang mengenakan topi bisbol klub 49ers
keluar dari pesawat jet - penumpang pertama keluar dari si "mata merah". Ia harus menunggu
sepuluh menit lagi, lalu barulah Tara dan Stuart muncul melalui pintu. Ia belum pernah melihat
putrinya tampak begitu ceria. Saat melihat Maggie, Stuart mulai menyeringai lebar, yang telah
menjadi kebiasaan selama liburan mereka di Australia.
Maggie memeluk mereka bergantian. "Senang sekali bertemu dengan kalian berdua,"
katanya. Ia mengambil alih salah satu tas Tara dan mendului mereka menuju terowongan bawah


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah yang membawa mereka ke terminal utama.
Salah satu laki-laki yang mengawasinya telah menunggu di tempat parkir jangka
pendek, duduk di dalam truk Toyota dengan muatan sebelas mobil
336 baru. Dua lainnya sedang berlari melintasi tempat parkir.
Maggie, Tara, dan Stuart melangkah di udara pagi yang dingin, menuju ke mobil
Maggie. "Mom, bukankah sudah waktunya membeli yang lebih baru daripada sampah tua ini?" tanya
Tara pura-pura ngeri. "Aku masih di high school ketika Mom membeli ini, barang
bekas lagi." "Toyota itu mobil paling aman di jalan," kata Maggie dengan formal, "seperti
yang dikonfirmasikan Consumer Reports secara teratur."
"Tak ada mobil berumur tiga belas tahun yang aman di jalan," balas Tara.
"Bagaimanapun," kata Maggie, tak memedulikan ejekan putrinya, "ayahmu
berpendapat kita harus mempertahankannya hingga ia mulai pekerjaan baru, lalu ia akan diberi mobil
perusahaan." Penyebutan Connor membuat mereka hening, kikuk sesaat.
"Aku sudah tak sabar bertemu dengannya lagi, Mrs. Fitzgerald," kata Stuart
sambil naik ke jok belakang. Maggie tidak mengatakan, "Aku juga," melainkan memuaskan diri sendiri dengan,
"Jadi ini kunjungan pertamamu ke Amerika."
"Ya, itu betul," jawab Stuart, sementara Maggie menghidupkan mobil. "Dan aku
sudah tak yakin ingin kembali ke Oz."
"Di Amerika sudah cukup banyak pengacara dengan bayaran terlalu tinggi, tanpa
ditambah satu lagi dari sana," kata Tara sementara mereka antre membayar parkir.
337 Maggie tersenyum kepada Tara, merasa lebih bahagia daripada beberapa minggu
terakhir ini. "Kapan kau harus pulang, Stuart?"
"Bila Mom merasa ia sudah terlalu lama di sini, kami bisa saja kembali dan naik
penerbangan berikut," kata Tara.
"Tidak, bukan itu maksudku, cuma..."
"Aku tahu - Mom suka merencanakan sebelumnya," kata Tara sambil tertawa. "Jika
mungkin, Stuart, Mom ingin membuat pendaftaran para mahasiswa Georgetown pada saat
pembuahan." "Mengapa itu tak terpikir olehku?" kata Maggie.
"Aku tak perlu kembali masuk kerja sampai tanggal 5 Januari," kata Stuart.
"Semoga Anda dapat tahan menerimaku selama itu."
"Mom tak punya banyak pilihan," kata Tara sambil meremas tangan Stuart.
Maggie menyerahkan lembaran uang sepuluh dolar kepada kasir sebelum keluar dari
tempat parkir dan menuju jalan raya. Ia melirik kaca spion, tetapi tak melihat Ford biru, yang
tak jelas ciri-cirinya, sekitar seratus meter di belakangnya. Ford itu melaju
dengan kecepatan kira-kira sama
dengan mobilnya. Orang yang duduk di kursi penumpang sedang melapor ke atasannya
di Langley bahwa subjek telah meninggalkan "Kerbside" pukul 07.43 dan menuju ke arah
Washington dengan dua paket yang baru saja diambilnya.
"Kau menikmati San Francisco, Stuart?"
"Setiap saat," jawabnya. "Kami merencanakan tinggal beberapa hari lagi di sana
dalam perjalanan pulangku." Ketika melirik kaca spion lagi. Maggie melihat mo338 bil patroli l^egara Bagian Virginia meluncur di belakangnya sambil mengedipngedipkan lampu- lampunya. "Apakah menurutmu dia mengikutiku" Aku kan tidak ngebut," kata Maggie sambil
memeriksa spedometer. "Mom, mobil ini nyaris jadi barang antik, seharusnya sudah diderek bertahuntahun lalu. Kesalahannya bisa ada di mana saja, dari lampu rem sampai ban kurang angin.
Minggir sajalah." Tara melongok dari jendela belakang. "Dan jika polantas itu bicara dengan Mom,
jangan lupa beri dia senyum Irlandia."
Maggie menepikan mobilnya sementara Ford biru itu menyalibnya melalui jalur
tengah. "Brengsek," desis si pengemudi sambil melejit melewati mereka.
Maggie membuka kaca jendela sementara dua agen polisi keluar dari mobil patroli
dan berjalan pelan menuju mereka. Polisi pertama tersenyum dan berkata dengan sopan, "Boleh
saya lihat SIM Anda?" "Tentu saja, Sir," jawab Maggie sambil balas tersenyum. Ia membungkuk dan
membuka tas serta mulai mencari-cari di dalamnya. Sementara polisi kedua memberitahu Stuart supaya
menurunkan kaca jendela juga. Stuart menganggap ini permintaan aneh, sebab ia hampir tak
mungkin melakukan kesalahan lalu lintas. Tapi karena ia tidak berada di negeri sendiri,
menurutnya lebih arif kalau mengikuti permintaan itu. Ia menurunkan kaca jendela tepat saat
Maggie menemukan SIM. Ketika Maggie berpaling menyerahkan SIM, polisi kedua menarik pistol dan
menembak tiga kali ke dalam mobil. Kedua polisi itu cepat-cepat kembali ke mobil
339 patroli mereka. Sementara yang satu dengan hati-hati memasukkan mobil ke lalu
lintas pagi, yang kedua menelepon seseorang yang duduk di samping pengemudi truk raksasa.
"Sebuah Toyota rusak, dan memerlukan bantuan kalian secepatnya."
Segera setelah mobil patroli itu melejit pergi, truk raksasa pembawa sebelas
mobil Toyota baru mendekati dan berhenti di depan mobil yang tak bergerak. Orang yang duduk di
sebelah sopir serta mengenakan topi Toyota dan overall biru itu melompat dari kabin dan lari menuju
mobil yang berhenti. Ia membuka pintu pengemudi, pelan-pelan memindahkan Maggie ke kursi
sebelah, dan menarik tuas yang membuka kap mesin mobil. Kemudian ia membungkuk ke tempat
Stuart ambruk, mengambil dompet dan paspor dari saku dan jas Stuart serta menggantinya
dengan ' paspor lain dan sebuah buku tipis.
Pengemudi truk itu membuka kap mesin Toyota dan memeriksa di bawahnya.
Dengan cepat ia menonak-tifkan alat pengikut jejak mobil dan menutup kap mesin. Rekannya kini
duduk di belakang kemudi Toyota. Ia menstarter, memasukkan persneling satu, dan pelanpelan menaikkan mobil itu ke truk raksasa melewati tangga untuk menempati ruang yang masih
tersedia. Kemudian ia mematikan mesin, memasang rem tangan, mengikat roda mobil pada truk dan
bergabung kembali dengan si pengemudi di kabin truk. Seluruh kegiatan itu hanya
berlangsung kurang dari tiga menit. Truk itu kembali melanjutkan perjalanan menuju Washington. Tetapi setelah
berjalan delapan ratus meter, truk itu mengambil jalan keluar muatan udara dan melaju kembali ke arah
bandara. 340 Para petugas CIA dalam Ford biru telah keluar dari jalan raya pada jalan keluar
berikutnya, kemudian memutar kembali dan bergabung dengan lalu lintas menuju Washington.
"Wanita itu pasti melakukan kesalahan kecil," demikian laporan si pengemudi kepada atasannya di Langley.
"Tak mengherankan dengan mobil setua itu."
Petugas di sebelahnya heran, karena Toyota itu tak lagi terekam di layarnya.
"Mereka mungkin dalam perjalanan kembali ke Georgetown," ia mengemukakan pendapatnya. "Kami akan
menelepon saat kami memperoleh kontak lagi."
Sementara dua agen itu melaju ke Washington, truk yang membawa dua belas mobil
Toyota itu membelok ke kiri dari jalan khusus Dulles pada tanda yang bertuliskan "Hanya
untuk Kargo". Setelah beberapa ratus meter mobil itu belok ke kanan melalui gerbang kawat
tinggi yang terbuka dan dijaga oleh dua orang dengan pakaian overall bandara. Truk turun melalui
jalan landas pacu tua menuju ke hanggar yang terisolasi. Seseorang berdiri sendirian pada pintu masuk
untuk membimbing mereka, seolah truk itu pesawat yang baru saja mendarat.
Pengemudi menghentikan kendaraan di samping van yang tak bertanda. Tujuh orang
yang mengenakan overall putih dengan cepat muncul dari belakang. Salah seorang dari
mereka melepas rantai pengikat mobil Toyota tua dengan truk raksasa. Seseorang lain
menggantikannya di belakang
kemudi, melepas rem tangan, dan memundurkan Toyota di jalur landai hingga ke
tanah. Saat mobil itu berhenti, pintu-pintunya dibuka dan tubuh-tubuh di dalamnya diangkat dengan
hati-hati. 341 Orang yang mengenakan topi Toyota melompat dari truk dan memegang kemudi Toyota
tua. Ia memasukkan persneling satu dan berputar dalam lingkaran serta melesat keluar
hanggar seolah seumur hidup ia telah mengendarainya. Ketika melewati gerbang terbuka, tubuhtubuh itu pelan- pelan diletakkan di bagian belakang van. Di situ tiga peti mati telah menunggu
mereka. Salah seorang yang mengenakan overall berkata, "Jangan tutup dulu peti mati itu jika
belum mendekati pesawat." Kekaisaran Rajawali Emas 4 Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu Malam Tanpa Akhir 4

Cari Blog Ini