Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion Bagian 3
menyiapkan sarapannya sendiri. Setelah sarapan, ia mulai membersihkan periuk dan
panci. 'Bersama dengan Madeline, di sana ada tiga pekerja
perempuan lain: tukang masak tua dari India, seorang
pelayan yang cantik dari Sri Lanka dan seorang pelayan
sederhana dari Bangladesh. Tukang masak yang tua itu
berumur lebih kurang enam puluh tahun; sedang dua
pelayan yang muda-muda itu kira-kira berumur dua puluh
lima tahunan. 'Tukang masak itu tak mau berbicara dengan siapa
pun; ia kembali ke India dua bulan berikutnya, dan
mimpinya adalah kebebasan dan pulang. Sedangkan salah
satu pelayan yang masih muda pendiam tidak bahagia,
karena kontraknya baru akan selesai setahun lagi. Pelayan cantik dari Sri Langka
tidak banyak bekerja dan menghabiskan sebagian besar waktunya di depan cermin.
Ia sangat menunggu-nunggu kepulangan keluarga
majikan. Ia mengisyaratkan dengan sangat jelas pada
Madeline bahwa ia sangat dicintai oleh majikannya.
Ia berharap majikannya akan membelikannya
kalung emas sekembalinya dari Mekkah.
117 'Madeline sangat terkejut ketika pembantu cantik itu
menyuruhnya berputar sehingga bentuk tubuhnya terlihat.
Perempuan itu kemudian meletakkan tangan di
pinggul Madeline dan mengatakan dengan menyeringai
bahwa majikannya akan menganggap Madeline terlalu
kurus untuk seleranya, tapi mungkin salah satu putranya
akan berminat. Madeline tidak mengerti maksud
perkataan itu dan melanjutkan kerja yang tak ada
ujungnya. 'Empat hari kemudian, keluarga itu kembali dari
Mekkah. Madeline langsung tahu bahwa majikannya
berasal dari keluarga kelas bawah; mereka kasar dan tata kramanya buruk;
perilaku mereka segera membuktikan
asumsi Madeline tersebut. Mereka mendadak kaya tanpa
usaha keras, dan pendidikan mereka hanya dari membaca
Alquran, yang karena kebodohan, maknanya mereka
putar-balikkan sesuai dengan keinginan mereka.
'Bagi kepala rumah tangga, status subordinat
perempuan yang diindikasikan dalam Alquran, dipahami
sebagai budak. Perempuan lain yang bukan Muslim
dianggap sebagai pelacur. Keadaan tidak berubah dengan
kenyataan bahwa ayah dan dua putranya bepergian ke
Thailand empat kali dalam setahun untuk mengunjungi
rumah pelacuran di Bangkok dan membeli pelayan seks
dari perempuan-perempuan Thailand yang muda dan
cantik. Mengetahui bahwa beberapa perempuan Timur
dijual, mereka menjadi yakin bahwa semua perempuan
yang bukan Muslim adalah untuk dibeli. Ketika seorang
pelayan disewa, itu mereka anggap bisa dimanfaatkan
seperti seekor binatang, menurut tingkah laki-laki di
rumah itu. 'Melalui ibu mereka, Madeline segera tahu bahwa ia
diperkerjakan untuk melayani hasrat seksual dua anak
laki-laki remaja mereka. Sang ibu memberitahu Madeline
118 bahwa ia harus melayani Basil dan Fads di setiap hari
yang berbeda. Informasi ini disampaikan tanpa
mengindahkan perasaan Madeline sama sekali.
'Takjub melihat pelayan yang seksi, sang ayah
memutuskan bahwa Madeline adalah sesuai dengan
seleranya. Ia mengatakan pada putra-putranya bahwa
mereka bisa tidur dengan pelayan baru itu setelah ia
memuaskan kesenangannya.'
Aku menarik nafas dan kemudian menahannya; aku
tahu apa yang baru saja dikatakan Marci. Aku tak ingin
mendengarnya. 'Nona Sultana, di malam pertama keluarga itu
pulang, sang ayah memperkosa Madeline!' Ia terisak-isak.
'Itu baru permulaan, karena ternyata sang ayah
sangat menyukai Madeline sehingga memperkosanya
setiap hari !' 'Mengapa ia tidak lari " Minta tolong seseorang"'
'Nona, ia mencobanya. Ia memohon pada pelayanpelayan lain agar membantunya! Tukang masak tua dan
pelayan muda yang jelek tidak mau terlibat, sebab
mereka bisa kehilangan gaji. Pelayan yang cantik
membenci Madeline, dan mengatakan bahwa gara-gara
Madeline, ia tidak mendapatkan kalung emasnya. Sang
istri dan si perempuan tua tidak diperlakukan dengan baik oleh majikan; mereka
mengabaikannya dan mengatakan
bahwa Madeline disewa untuk menyenangkan laki-laki di
rumah itu!' 'Aku akan melompat jendela dan lari !'
'Ia sering mencoba lari namun selalu tertangkap,
akhirnya setiap orang di rumah diperintah untuk
menjaganya. Suatu kali, ketika semua orang sedang tidur, ia pergi ke atap dan
menjatuhkan catatan ke trotoar
memohon pertolongan. Catatan itu diambil oleh tetangga
119 Arabnya dan diberikan ke penjaga Yaman, dan Madeline
dipukul!' 'Apa yang terjadi setelah kamu mendapati
Madeline"' Wajah Marci sedih saat ia melanjutkan. 'Aku
mencoba segala cara. Aku menelpon kedutaan kami di
Jeddah. Aku mengatakan pada laki-laki yang
menjawabnya dengan mengatakan kami sering menerima
keluhan seperti itu tapi tak ada yang dapat mereka
lakukan. Negeri kami bergantung pada uang yang dikirim
dari para pekerja di luar negeri; pemerintah kami tidak
ingin menentang pemerintah Arab Saudi dengan
mengajukan keluhan formal. Akan menjadi apa kami,
masyarakat Filipina yang miskin, tanpa uang dari luar
negeri" 'Antoine mendiskusikan dengan beberapa sopir
untuk pergi ke polisi, tapi para sopir itu mengatakan
bahwa polisi akan lebih memercayai cerita yang
disampaikan oleh majikan Saudi dan Madeline bisa jadi
akan terjebak dalam situasi yang lebih buruk.'
Aku berteriak: 'Marci! Seburuk apa"'
'Tidak, Nona. Aku tak tahu apa yang dapat
kulakukan. Antoine menjadi takut dan mengatakan kita
tak bisa berbuat apa-apa. Aku akhirnya menulis surat
pada ibu Madeline dan menceritakan keadaan anaknya.
Ibu Madeline pergi ke agen penempatan tenaga
kerja di Manila, namun justru diusir. Ia pergi ke walikota di kota kami, namun
pejabat ini berkata tak dapat
membantu. Tak seorang pun ingin terlibat.'
Di mana temanmu itu sekarang"'
'Aku menerima surat darinya sebulan yang lalu. Aku
bersyukur ia telah dikirim kembali ke Filipina di akhir
120 kontraknya selama dua tahun. Dua orang Filipina yang
baru, lebih muda dari Madeline, menggantikannya.
Percayakah Anda, nona, Madeline marah padaku. Ia pikir
aku meninggalkannya tanpa mencoba membantunya.
'Percayalah aku telah melakukan semua yang
kubisa. Aku menulis surat padanya dan menjelaskan
semua yang terjadi. Namun aku tak menerima
balasannya.' Aku tak bisa mengatakan apa pun untuk membela
nama baik orang-orang sebangsaku. Aku menatap wajah
Marci. Ia akhirnya memecah keheningan. 'Itulah nona, apa
yang terjadi pada temanku di negara ini.'
Aku bisa katakan Marci sangat bersedih karena
temannya. Aku sendiri didera duka cita. Bagaimana bisa
orang menanggapi cerita mengerikan seperti itu" Aku tak
bisa. Karena perilaku laki-laki di negeriku, aku merasa
malu, aku tak lagi merasa lebih tinggi di hadapan gadis
muda yang beberapa saat sebelumnya adalah pelayanku.
Diliputi oleh penyesalan yang mendalam, aku
mengubur kepalaku dalam bantal dan menyuruh Marci
pergi dengan mengibaskan tanganku. Selama beberapa
hari, aku diam dan menyendiri; aku berfikir tentang
banyak sekali pelecehan yang menyiksa pikiran orangorang, Saudi atau asing, yang hidup di negeri yang
kusebut rumahku. Berapa banyak lagi Madeline lain yang ada di luar
sana, menggapai-gapai minta perhatian dan tak
menemukan pertolongan apa pun. Dibalut seragam resmi
orang-orang yang membayar" Laki-laki Filipina, di negeri Marci, agak sedikit
lebih baik dari laki-laki di negeriku, karena mereka mengambil langkah seribu
menjauhi keterlibatan pribadi. 121 Ketika aku terbangun dari rasa malu yang
mengganggu, aku mulai menginterogasi teman-temanku
dan menguber ketidakpedulian mereka terhadap nasib
para pelayan perempuan mereka. Karena kegigihanku,
aku mendapat banyak laporan dari pihak pertama tentang
tindakan-tindakan menjijikkan dan tak terucapkan yang
dilakukan oleh laki-laki dari kebudayaanku terhadap
perempuan dari semua bangsa.
Aku mendengar tentang Shakuntala dari India, anak
yang pada usia tiga belas tahun dijual oleh keluarganya
seharga 600 riyal Saudi ($170). Ia bekerja di siang hari dan dilecehkan pada
malam hari dengan cara yang sama
dengan yang dialami Madeline. Namun Shakuntala dibeli.
Ia adalah harta milik yang tak akan dikembalikan
Shakuntala tak akan pernah bisa pulang ke rumah lagi. Ia adalah harta milik
penyiksanya. Aku mendengar dengan ngeri ketika seorang ibu
yang dengan tertawa membiarkan pelayan Thailandnya
diperkosa oleh anak lelakinya di rumah. Ia berkata bahwa anak laki-lakinya
membutuhkan seks, dan kesucian
perempuan Saudi memaksa keluarga itu untuk
menyediakan perempuan bagi mereka. Ia berkata dengan
yakin bahwa perempuan Timur tak peduli tidur dengan
siapa. Anak laki-laki adalah Raja di mata ibu mereka.
Tiba-tiba aku sadar dengan kejahatan yang dapat
menyusup. Aku bertanya kepada Faruq mengapa ia dan
ayah bepergian ke Thailand dan Filipina tiga kali setahun.
Ia merengut dan mengatakan padaku itu bukan
urusanmu. Tapi aku tahu jawabannya, karena banyak
saudara laki-laki dan ayah teman-temanku melakukan
perjalanan yang sama ke negeri indah yang menjual anak
gadis mereka dan perempuan pada setiap jahanam yang
memiliki uang. Aku sadar bahwa aku telah mengetahui sedikit
122 tentang laki-laki dan hasrat seksual mereka. Permukaan
hidup tak lebih dari bagian muka sebuah gedung, dengan
sedikit usaha aku menyibak kejahatan yang tersembunyi
di balik kulit tipis kesopanan antara dua jenis kelamin.
Untuk kali pertamanya di masa mudaku, aku
mengerti tugas maha berat yang menghadang kaum
perempuan. Aku tahu tujuanku tentang kesetaraan
perempuan akan sia-sia, karena aku akhirnya tahu bahwa
laki-laki sangat mencintai diri mereka sendiri dan kondisi itu sangat
mengerikan. Kami, perempuan, hanyalah
budak, dan dinding-dinding penjara kami tak dapat diukur karena penyakit
'superior' yang aneh ini tinggal dalam
sperma semua laki-laki dan diwariskan dari generasi ke
generasi, penyakit mematikan yang tak dapat
disembuhkan, yang tempatnya ada pada laki-laki dan
korbannya adalah perempuan.
Kepemilikan tubuh dan jiwaku akan segera
berpindah dari ayahku ke orang asing yang akan kusebut
suamiku, karena ayah telah memberitahuku bahwa aku
akan menikah tiga bulan setelah umurku enam belas
tahun. Aku merasa rantai tradisi mengungkungku dengan
ketat; aku hanya memiliki waktu enam bulan yang singkat
untuk menikmati kebebasanku. Aku menunggu nasibku
terbentang, seorang anak yang sama tak berdayanya
dengan serangga yang terperangkap dalam jaringan jahat
yang bukan buatannya. 123 10 Pada tanggal 12 januari 1972 jam sepuluh malam, aku
dan semua saudariku mengikuti dengan seksama ramalan
masa depan Sara oleh Huda, budak Sudan kami yang
sudah tua. Setalah mengalami perkawinan dan perceraian
yang traumatis, Sara belajar astrologi dan yakin bahwa
bulan dan bintang memainkan peran menentukan dalam
kehidupannya. Huda, yang mengisi telinga kami semenjak
dini dengan berbagai cerita tentang ilmu hitam, sangat
senang menjadi pusat perhatian dan bisa dijadikan
selingan dari hidup monoton di Riyadh.
Kami semua tahu di tahun 1899, pada usia delapan
tahun, Huda pergi menghilang dari ibunya yang sedang
sibuk menggali ubi rambat sebagai bahan makan malam
keluarga, dan ditangkap oleh pedagang budak dari Arab.
Ketika kami masih kecil, ia menjadi penghibur di rumah
selama berjam-jam dengan kisah penangkapan dan
pengurungan dirinya. 124 Huda selalu memerankan kembali peristiwa
penangkapannya dengan bakat yang hebat, yang
memberi keceriaan pada kami, tak peduli berapa kali ia
mengulang-ulang ceritanya. Ia mendekam di atas sofa
dan menyanyi dengan pelan, berpura-pura menggaruk
pasir. Dengan mengeluarkan bunyi ciut-ciut liar, ia
merenggut sarung bantal yang ada di belakang
punggungnya dan kemudian dikenakan menutupi
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalanya, terengah-engah dan membayangkan
menendang penyiksanya. Ia mengerang dan
menghempaskan badannya ke lantai dan menendang
serta berteriak memanggil ibunya. Akhirnya, ia melompat
ke meja dan mengintai dari jendela ruang tamu,
menjelaskan air biru Laut Merah yang dilewati oleh kapal yang membawanya dari
Sudan ke padang pasir Arabia.
Matanya menjadi liar ketika ia membayangkan
berkelahi dengan pencuri yang mengambil makanannya
yang hanya sedikit. Ia mengambil buah persik atau buah
pir dari keranjang buah dan dengan lapar melahap
semuanya kecuali bijinya. Kemudian ia berjalan ke
sekeliling ruangan, tangan diletakkan ke belakang
punggung, sambil memohon pada Allah untuk
pembebasannya ketika ia dibawa ke pasar budak.
Huda diijual demi sebuah senapan pada keluarga
bani Rashid dari Riyadh. Huda tersandung ketika ia
digiring dari jalanan di Jeddah melewati badai pasir
dahsyat menuju benteng Mismaak, garnisun bani Rashid
di ibu kota. Dalam permainan dramanya itu, Huda kemudian
bergerak dengan tiba-tiba dari satu perabot ke perabot
lainnya. Kami akan menjerit sambil tertawa ketika Huda
melompat-lompat di sekeliling ruangan menghindari
peluru dari para leluhur keluarga kami Abdul Aziz muda
dan enam belas anak buahnya saat menyerang garnisun
125 dan menaklukkan bani Rashid, merebut kembali negeri
milik bani Saud. Huda melemparkan tubuh gemuknya ke
atas kursi dan berjuang mencari perlindungan ketika
prajurit padang pasir membunuh musuh-musuh mereka.
Katanya, ia diselamatkan oleh kakekku. Huda akan
mengakhiri permainan dramanya dengan bergulat di lantai
dengan seorang anak yang ada didekatnya dan
menciumnya berkali-kali, bersumpah ia telah mencium
kakekku yang menyelamatkan dirinya. Begitulah cerita
bagaimana Huda masuk ke keluarga kami.
Ketika kami tumbuh besar, ia mengganti ceritacerita drama itu dengan menakut-nakuti kami dengan
cerita cerita ilmu sihir. Ibu biasanya menolak cerita-cerita Huda dengan
senyuman, namun setelah aku terbangun
dan berteriak tentang nenek sihir dan obat pengasih, ibu melarang Huda
menjejalkan kisah-kisah gaibnya pada
anak-anak kecil. Sekarang ibu sudah tiada. Huda kembali
bersemangat dengan kebiasaan lamanya.
Kami tertarik ketika Huda menatap tajam pada garis
telapak tangan Sara dan mengedipkan matanya seolaholah ia melihat kehidupan Sara terbentang di hadapannya, layaknya sebuah
ramalan. Sara tampaknya tak banyak terpengaruh. Ia purapura mengharapkan kata-kata, ketika Huda dengan
sungguh-sungguh mengatakan padanya bahwa ia akan
gagal merealisasikan cita-cita hidupnya. Aku mengerang
dan bersandar ke tumitku; aku sangat ingin Sara
menemukan kebahagiaan yang patut didapatkannya.
Aku merasa jengkel pada Huda, dan dengan keras
menolak ramalannya sebagai omong kosong belaka. Tak
seorang pun mengacuhkanku ketika Huda terus meneliti
dengan cermat garis kehidupan Sara. Perempuan tua itu
menggosok tulang dagunya yang kurus dengan tangannya
dan berkomat kamit: 'Hmm, Sara. Aku melihat di sini
126 bahwa kamu akan segera menikah.'
Sara mendengus dan menarik tangannya dari
genggaman Huda. Mimpi buruk menikah lagi bukanlah
sesuatu yang ingin didengarnya.
Huda tertawa lembut dan mengatakan pada Sara
agar tidak lari dari masa depan. Dia menambahkan bahwa
Sara akan mendapatkan perkawinan penuh cinta dan
melahirkan enam anak kecil yang akan memberinya
kebahagiaan. Sara mengernyitkan alisnya, merasa khawatir.
Kemudian ia mengangkat bahunya dan melepaskan
apa yang tak bisa dipegangnya. Ia melihat padaku dan
tersenyum tipis. Ia menyuruh Huda membaca telapak
tanganku, sambil mengatakan jika Huda bisa meramalkan
tindakan apa yang akan dilakukan saudarinya yang sulit
diprediksi ini, maka ia baru akan percaya pada
kemampuan Huda. Suadari-saudariku yang lain tertawa
lebar dan setuju dengan apa yang dikatakan Sara, dari
pandangan mereka bisa kukatakan bahwa mereka sangat
mencintaiku, adik kecil yang selalu menguji kesabaran
mereka. Ketika aku menjatuhkan diri di hadapan Huda, aku
angkat kepalaku dengan kesombongan yang tak kusadari.
Dengan suara keras dan berlagak bos, aku buka telapak
tanganku dan minta diramal apa yang akan kulakukan
dalam satu setahun yang akan datang.
Huda tak menghiraukan sikapku yang kasar dan
mempelajari telapak tanganku yang terbuka, yang serasa
berjam-jam sebelum ia mengungkapkan ramalan nasibku.
Sikapnya mengejutkan kami semua; ia menggelenggelengkan kepala, berkomat kamit sendiri dan mengerang
keras memenungkan masa depanku. Akhirnya, ia
menatap wajahku dan dengan sangat yakin mengatakan
127 ramalannya sehingga aku takut dan merasakan angin sihir
panas yang jahat dalam kata-kata itu.
Dengan suara dalam yang aneh, Huda mengungkapkan bahwa ayah akan segera memberitahukan
perkawinanku. Aku akan menemukan kesengsaraan dan
kebahagiaan pada seorang laki-laki. Tindakanku di masa
depan akan membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan
pada keluarga yang kucintai. Aku akan menjadi penerima
warisan cinta yang agung dan kebencian yang jahat. Aku
adalah kekuatan baik dan jahat. Aku adalah teka-teki bagi semua yang
mencintaiku. Dengan teriakan keras yang menusuk, Huda
menjulurkan tangannya ke udara dan memohon Allah agar
ikut campur tangan dalam hidupku dan melindungiku dari
diriku sendiri. Ia membuatku bergeser dari tempat duduk
ketika ia menyergap dan merangkul leherku dan mulai
meratap dengan jeritan melengking tinggi.
Nura melompat berdiri dan melepaskanku dari
pelukan Huda yang menyesakkan. Saudari-saudariku
menenangkanku ketika Nura membawa Huda keluar dari
ruangan, dengan masih berkomat-kamit berdoa pada
Allah untuk melindungi anak perempuan terkecil Fadila
yang terkasih. Aku gemetar karena pengaruh kuat ramalan Huda.
Aku mulai terisak-isak dan bicara ngelantur bahwa dulu
Huda pernah membual bagaimana ia menjadi penyihir,
ibunya (ibu Huda) juga penyihir, dan kekuatan sihir
mengalir dari air susu ibu ke bayi yang menyusunya.Tentu saja, gumamku, hanya
penyihir yang bisa mengetahui
orang yang sejahat aku! Tahani, salah satu kakakku, menyuruhku diam,
permainan bodoh sudah usai, tidak perlu didramatisir.
Sara, yang berusaha menenangkan suasana, menghapus
air mataku dan mengatakan bahwa aku sedih karena
128 takut; bahwa hidupku tidak akan seperti yang diramalkan
Huda. Di samping usaha menenangkan dari Sara,
saudariku yang lain mulai bercanda dan mengingat
dengan gelak tawa 'permainan' yang berhasil kulakukan
pada Faruq selama bertahun-tahun. Mereka
mengingatkanku dengan suatu permainan yang paling
mereka sukai yang, karena kedekatan, mulai kami
bicarakan lagi. Permainan itu terjadi ketika aku meminta salah satu
teman perempuanku untuk menelpon Faruq dengan
berpura-pura menyukainya. Selama berjam-jam kami
mendengar Faruq mencelotehkan omong kosong di
telepon dan membuat rencana yang sangat terperinci
untuk bertemu dengan sopir teman perempuanku itu di
belakang rumah yang sedang dibangun, yang tak jauh
tempatnya. Temanku meminta agar Faruq menggendong
bayi domba untuk memudahkan sopir mengenalinya. Ia
mengatakan bahwa orang tuanya sedang keluar kota,
sehingga Faruq bisa aman mengikuti sopir itu ke
rumahnya untuk melakukan pertemuan rahasia.
Posisi bangunan yang dimaksud berada di seberang
jalan depan rumah temanku. Aku, saudari-saudariku, dan
temanku itu berkumpul bersama di balkon kamar
tidurnya. Kami tertawa sampai sakit perut saat melihat
Faruq yang malang berdiri berjam-jam, menggendong
bayi domba dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari
sopir yang dijanjikan. Parahnya lagi, temanku itu
melakukannya tak hanya sekali dua kali, namun sampai
tiga kali! Karena sangat ingin bertemu temanku itu, Faruq kehilangan akal
sehatnya. Terdorong oleh gelak tawa dan pandangan saudarisaudariku, aku membuang jauh-jauh ramalan Huda dari
pikiranku. Bagaimanapun, Huda telah berumur lebih dari
delapan puluh tahun, dan mungkin ia sudah pikun.
129 Aku kembali khawatir ketika ayah mengunjungi kami
malam itu dan mengatakan bahwa ia telah menemukan
suami yang cocok untukku. Dengan hati ciut aku hanya
dapat berfikir bahwa ramalan pertama Huda telah terbukti benar. Karena
ketakutan, aku lupa bertanya pada ayah
nama calon suamiku, lalu melarikan diri ke kamar dengan
mata gelap dan tenggorokan pahit empedu. Aku berbaring
dan terjaga hampir sepanjang malam memikirkan katakata Huda. Untuk kali pertamanya di masa mudaku, aku
takut akan masa depanku. Nura kembali ke rumah kami keesokan paginya
untuk memberitahu bahwa aku akan menikah dengan
Karim, salah satu sepupu keluarga kerajaan. Ketika masih kecil, aku sering
bermain dengan adik dari calon suamiku itu, tapi aku rasa ia tak banyak
membicarakannya kecuali komentarnya bahwa abangnya itu suka berlagak bos. Ia
sekarang berumur dua puluh delapan tahun, dan aku akan
menjadi istri pertamanya. Nura mengatakan padaku
bahwa ia telah melihat fotonya; ia sangat tampan. Tidak
hanya itu; ia menyelesaikan pendidikannya di London
sebagai pengacara. Lebih luar biasa lagi, ia berbeda dari sebagian besar sepupu
kerajaan dan ia memiliki posisi
yang pasti dalam dunia bisnis. Baru-baru ini, ia membuka firma hukum sendiri di
Riyadh. Nura menambahkan bahwa
aku sangat beruntung, karena Karim telah mengatakan
pada ayah bahwa aku harus menyelesaikan sekolahku
dulu sebelum berkeluarga. Ia tidak menginginkan
perempuan yang tidak bisa dijadikan teman berbagi.
Aku sedang tidak ingin digurui, aku
memberenggutkan wajah pada kakakku, dan menarik
selimut ke kepalaku. Nura menarik nafas panjang ketika
aku berteriak bahwa bukan aku yang beruntung, tetapi
Karim! Setelah Nura pergi, aku menelpon saudara
130 perempuan Karim, orang yang tidak begitu kukenal, dan
mengatakan padanya untuk menasehati abangnya agar
mempertimbangkan kembali rencana menikahiku. Aku
mengancam, jika menikah denganku, ia tidak boleh
beristri lagi atau aku akan meracuni istri-istri itu pada kesempatan pertama. Di
samping itu, kukatakan padanya,
ayah sulit mencarikan suami untukku semenjak aku
mengalami kecelakaan di laboratorium sekolah. Ketika
saudari Karim bertanya padaku apa yang terjadi, aku
berpura-pura malu tapi akhirnya mengaku bahwa aku
dengan ceroboh menumpahkan sebotol zat asam;
akibatnya, wajahku menjadi sangat menakutkan. Aku
tertawa senang ketika ia menggantung telepon dan
dengan terburu-buru menceritakan pada abangnya.
Kemudian pada malam harinya, ayah dengan sangat
marah datang ke rumah membawa dua orang bibi Karim.
Aku dipaksa berdiri tegak sementara mereka
meneliti seluruh tubuhku, mencari tanda-tanda bekas luka di wajah atau anggota
badan yang bentuknya tidak serasi.
Aku sangat marah dengan pemeriksaan itu,
sehingga aku membuka mulutku dan mengatakan pada
mereka untuk memeriksa gigiku, jika mereka berani. Aku
mencondongkan tubuh ke arah mereka dan mengeluarkan
suara gemertak gigi yang keras. Mereka lari keluar, kaget, ketika aku meringkik
seperti kuda dan mengangkat
telapak kakiku ke wajah mereka, sebuah penghinaan yang
sangat parah di Arab. Ayah berdiri dan memandangku lama. Ia tampak
berusaha menahan emosinya. Aku heran, ia justru
menggelengkan kepalanya dan mulai tertawa. Aku
mengira ia akan menamparku atau mengomeliku, tak
pernah terbayang dalam pikiranku yang paling liar pun
bahwa beliau akan tertawa. Aku tersenyum kacau, dan
kemudian aku juga mulai tertawa. Terdorong rasa
131 penasaran, Sara dan Faruq masuk ke ruangan dan berdiri
dengan senyum yang penuh tanya di wajah mereka.
Ayah menjatuhkan tubuh ke sofa, menghapus air
mata yang menetes di wajahnya dengan dengan ujung
thobe (rok panjang yang biasa dikenakan laki-laki Saudinya. Ia melihat ke arahku
dan berkata: 'Sultana, apakah kamu lihat wajah mereka ketika kamu hendak
menggigit mereka" Yang satu nampak seperti kuda! Nak,
kamu memang menakjubkan. Aku tak tahu apakah akan
kasihan atau iri kepada sepupumu, Karim.' Kata ayah
sambil membersihkan hidungnya. 'Karena pasti, hidup
denganmu akan menjadi percintaan yang bergelora.'
Merasa sengit dengan sikap setuju ayah, aku duduk
di lantai dan memiringkan tubuhku ke pangkuannya. Aku
ingin membuat situasi ini bertahan lama ketika ia
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memegang bahuku dan tersenyum pada putrinya yang
mengelikan ini. Dalam situasi yang akrab tersebut, aku
jadi berani dan meminta ayah apakah aku bisa bertemu
dengan Karim sebelum pernikahan.
Ayah menoleh dan melihat ke Sara; gurat ekspresi
Sara menyentuh hati ayah. Ia menepuk sofa di
sampingnya dan menyuruh Sara duduk. Tak ada kata
yang terucap di antara kami bertiga, tapi kami
berkomunikasi melalui ikatan keluarga.
Faruq, kaget dengan perhatian yang diberikan pada
perempuan di keluarganya, menyandar ke pintu dengan
mulut melongo, lidahnya kelu.
132 11 Sangat menyenangkan ayah, namun sedikit
mengecewakanu, keluarga Karim tidak membatalkan
pertunangan kami. Sebagai gantinya Karim dan ayahnya
datang ke kantor ayahku, dan dengan sopan mereka
meminta agar Karim diizinkan bertemu denganku, tentu
saja dengan pengawasan yang sepantasnya. Dari
kerabatnya, Karim telah mendengar perilakuku yang suka
memberontak dan sangat ingin tahu apakah aku benarbenar gila atau hanya karena terlalu bersemangat.
Ayah memang tidak merespon permohonanku untuk
bisa bertemu Karim, tapi berbeda halnya jika yang
meminta itu dari keluarga laki-laki. Setelah didiskusikan panjang lebar dengan
beberapa anggota keluarga, bibi
dan kakakku Nura, ayah memberikan jawaban
menyenangkan atas permintaan Karim.
Ketika ayah menyampaikan berita itu padaku,
dengan sangat gembira aku menari-nari di sekeliling
ruangan. Aku akan melihat terlebih dahulu laki-laki yang 133
akan kunikahi! Aku dan kakak-kakakku sangat gembira,
karena peristiwa seperti itu tak pernah terjadi dalam
masyarakat kami; kami adalah tawanan yang pernah
merasakan melonggarnya rantai tradisi.
Orangtua Karim, ayahku dan Nura memutuskan
bahwa Karim dan ibunya akan datang ke rumah dalam
dua minggu di saat minum teh sore hari. Aku dan Karim
akan ditemani oleh Nura, Sara, dua bibiku, dan ibu Karim.
Dengan adanya kemungkinan mengendalikan
hidupku di masa yang akan datang, muncul harapan,
sebuah khayalan yang tak berani kubayangkan kemarin.
Aku merasa gembira dan ingin tahu apakah Karim
sudah sesuai dengan harapanku. Namun aku terasuki
pikiran yang tak menyenangkan tentang kemungkinan
Karim tak menyukaiku! Oh betapa aku ingin cantik seperti Sara, sehingga hatilaki-laki akan berdebar-debar penuh
hasrat. Sekarang aku berdiri berjam-jam di depan cermin
mengutuk tubuhku yang kecil, rambut berombak yang
pendek. Hidungku tampak terlalu kecil untuk wajahku,
mataku tidak berkilau. Mungkin lebih baik aku
bersembunyi di balik cadar sampai malam pernikahan!
Sara ketawa-ketawa kecil melihat aku menderita dan
ia mencoba meyakinkanku; laki-laki menyukai perempuan
yang mungil, khususnya yang berhidung kecil bangir dan
mata yang ceria. Nura, yang pendapatnya selalu
dihormati, berkata dengan tertawa bahwa semua
perempuan dalam keluarga menganggapku sangat cantik.
Hanya saja aku tak pernah memerhatikan
kecantikanku; mungkin sudah waktunya aku merawat
tubuhku. Tiba-tiba, karena sangat ingin dianggap sebagai
perempuan cantik yang menjadi dambaan, kukatakan
134 kepada ayah bahwa aku tak punya pakaian layak pakai.
Perempuan Saudi memang memakai cadar saat di luar
rumah, namun penutup berwarna gelap itu akan dibuang
saat memasuki rumah teman perempuan. Karena kami
tak bisa membuat lawan jenis terpesona , kecuali kepada
suami, dengan gaya pakaian yang dipilih secara hati-hati, maka kami para
perempuan berusaha saling membuat
terpesona satu sama lain. Di sini, kami berpakaian benar-benar untuk perempuan
lain! Sebagai contoh, untuk
datang pada pesta minum teh, perempuan di negeriku
akan dengan cermat memilih pakaian berbahan kain satin
berjelujur emas-perak, berhiaskan permata dan batu
delima yang mahal. Banyak teman asing terpesona dengan garis leher
yang tertutup kalung dan pakaian minim yang
tersembunyi di balik abaya-abaya kami yang tak menarik.
Aku diberitahu bahwa dengan gaya pakaian yang ada di
balik abaya dan cadar hitam, kami, perempuan Saudi, mirip burung eksotik yang
berwarna warni. Sudah pasti,
dengan balutan kain hitam, kami membutuhkan lebih
banyak waktu dan usaha untuk memilih pakaian-pakaian
pribadi dibandingkan perempuan Barat yang bebas
memamerkan pakaian mereka, sesuai dengan mode
terakhir. Ayah, karena gembira melihatku tertarik dengan
perkawinan yang ia pikir akan kukacaukan, dengan cepat
meluluskan permintaanku. Nura dan suaminya
menemaniku pergi berbelanja ke Harrods, London.
Dengan susah payah aku katakan kepada wanita
penjaga toko Harrods bahwa aku akan bertemu
tunanganku minggu depan. Hanya karena aku putri Saudi,
aku tidak ingin mereka mengira aku tak punya pilihan
dalam hidupku. Aku merasa kecewa karena tak seorang
pun kagum atau terkejut pada kesombongan yang
135 kuungkapkan. Orang-orang yang bebas tidak bisa
mengerti nilai kemenangan kecil orang-orang yang hidup
dengan tali penambatan. Ketika di London, Nura mempersiapkan make-over
kosmetik untukku dan memperlihatkan pilihan-pilihan
warna untuk pakaianku. Ketika dikatakan bahwa warna
hijau zambrud adalah warna yang paling sesuai denganku,
aku membeli tujuh belas pasang pakaian dengan warna
itu. Rambutku, yang susah diatur ditarik ke belakang
dengan gulungan lembut. Ketika aku berjalan melintasi
distrik pertokoan di London, dari pantulan jendela toko
aku menatap dengan sangat takjub pada diriku yang
tampak sangat berbeda. Sara dan Marci membantuku berpakaian di hari
pesta itu. Aku mengutuk dan menjerit karena tidak bisa
kembali meniru gaya rambut Londonku saat Huda tibatiba muncul di pintu kamarku. 'Hati-hati,' ia berteriak, matanya menyipit.
'Pertama kau akan bahagia, tapi
kemudian kamu sengsara bersama suamimu.' Aku
melempar sisirku padanya, dan dengan keras memintanya
untuk tidak merusak hariku dengan bualannya. Sara
menjewer telingaku dan mengatakan kepadaku untuk
malu pada diri sendiri; Huda hanyalah seorang perempuan
tua. Hatiku tak tersentuh sama sekali, begitu yang
kukatakan kepada Sara. Sara mengatakan, hal itu
disebabkan karena aku tak memiliki hati nurani. Kami
saling mendongkol sampai bel pintu berbunyi; kemudian
ia memelukku dan mengatakan aku tampak cantik dalam
bungkusan pakaian hijau zambrud.
Aku benar-benar akan bertemu calon suamiku tanpa
memakai abaya! Suara hatiku yang berdebar keras memenuhi gendang telingaku.
Merasa semua orang akan memandang gerak-gerikku, pipiku menjadi merah,
sehingga merusak penampilan sempurna yang aku
136 rencanakan. Oh, aku ingin kembali ke masa kecilku yang
aman! Aku tak menginginkan perasaan seperti itu. Karim
bukan hanya seorang laki-laki paling tampan yang pernah
kulihat; matanya yang penuh perasaan memerhatikan
setiap gerakanku dan membuatku merasa menjadi
makhluk tercantik di dunia ini. Dan dari menit-menit
perkenalan yang menegangkan itu, aku tahu ia tak akan
pernah membatalkan pertunangan. Aku merasa memiliki
bakat tersembunyi yang mengejutkan, sesuatu yang
paling membantu perempuan yang harus bermain-main
untuk mencapai tujuannya. Aku sadar aku adalah
penggoda yang alami. Dengan sangat mudah aku
mengerutkan bibirku dan melihat ke Karim dengan mata
merunduk. Khayalanku melambung: Karim hanya salah
satu dari sekian banyak pelamarku.
Ibu Karim yang memerhatikanku dengan seksama,
resah dengan kelakukan liarku. Sara, Nura, dan bibibibiku saling bertukar pandang sedih. Namun Karim
terhipnotis, dan tak peduli dengan yang lain.
Sebelum pergi bersama ibunya, Karim bertanya
padaku apakah boleh menelponku di suatu malam dalam
minggu ini untuk mendiskusikan rencana perkawinan.
Aku membuat malu bibi-bibiku dengan tidak
meminta izin pada mereka terlebih dahulu, dan segera
menjawab: 'Tentu saja, kapan pun, tapi sebaiknya setelah jam
sembilan.' Aku memberi senyuman harapan ketika Karim
mengucapkan selamat tinggal.
Aku mendendangkan lagu kesukaanku, balada cinta
Libanon, ketika Nura, Sara, dan bibiku mengatakan
kepadaku secara rinci kesalahan yang telah kulakukan.
Menurut mereka, ibu Karim pasti bersikeras untuk
137 membatalkan perkawinan, karena aku menggoda anaknya
dengan mata dan bibirku. Kukatakan, mereka semua
cemburu karena aku mendapat kesempatan melihat calon
suamiku sebelum perkawinan dilangsungkan. Aku
meleletkan lidah ke bibi-bibiku dan mengatakan kepada
mereka bahwa mereka terlalu tua untuk memahami
getaran hati anak muda; aku meninggalkan mereka yang
terbelalak, terkejut dengan keberanianku. Kemudian aku
mengunci diri dalam kamar mandi, dan mulai menyanyi
sekeras-kerasnya. Kemudian aku berfikir tentang penampilanku. Jika
aku tidak suka Karim, aku bisa pastikan dia tidak suka
padaku. Aku suka Karim, jadi akan kubuat dia jatuh cinta padaku. Bagaimanapun
tindakanku sudah bagus; jika aku
merasa ia menjijikkan dan ingin pertunangan dibatalkan,
aku akan makan dengan tidak sopan, bersendawa di
hadapan wajah ibunya, dan menumpahkan teh panas ke
pangkuannya. Jika Karim dan keluarganya masih tidak
yakin bahwa aku bukan istri yang cocok untuk Karim, aku
mungkin berpikir untuk bunuh diri. Beruntunglah Karim
dan ibunya; mereka selamat dari sore yang mengejutkan
karena aku merasa dia cukup menarik dan kepribadiannya
menyenangkan. Aku begitu lega mengetahui aku tidak akan menikahi
laki-laki tua, dan aku pikir cinta akan tumbuh subur dalam perkawinan kami.
Dengan pikiran-pikiran yang menyenangkan seperti
itu, aku memberi Marci enam stel pakaian yang indah dari lemariku dan mengatakan
padanya kalau aku akan bertanya kepada ayah apakah aku bisa mengajaknya ke
rumah baruku. Karim menelponku malam itu. Dengan sangat
gembira, ia mengatakan padaku ibunya menasehatinya
untuk membatalkan perkawinan. Ibunya gemetar marah
138 melihat keberanianku; ia meramalkan bahwa aku akan
membuat anak tertuanya sakit kepala, dan menjadi
bencana bagi seluruh keluarga.
Merasa yakin dengan tipu muslihat yang baru saja
kutemukan, aku dengan masam menjawab agar ia lebih
baik menuruti nasehat ibunya.
Karim berbisik bahwa aku adalah gadis impiannya:
anggota keluarga kerajaan, cerdas dan punya selera
humor yang tinggi. Karim menyatakan, ia tak menyukai
tipe perempuan yang disukai ibunya; yang hanya duduk
mematung, dan mencoba memenuhi semua keinginan
suami (seperti perempuan umumnya di Saudi). Ia lebih
menyukai perempuan pemberani; ia bosan dengan
perempuan biasa. Ia menambahkan, dengan bisikan yang
menggairahkan, bahwa aku membuat matanya bahagia.
Karim kemudian mengemukakan persoalan yang
membingungkan; ia bertanya apakah aku telah dikhitan.
Kukatakan padanya aku harus bertanya pada ayah.
Ia memperingatiku: 'Jangan, jangan tanyakan. Jika kamu
tidak tahu, itu berarti kamu tidak dikhitan.' Ia tampak
senang dengan jawabanku. Dengan lugu, aku kemukakan pertanyaan karim
tentang khitan saat keluarga berkumpul untuk makan
malam. Saat itu ayah sedang berada di rumah istri
ketiganya, sehingga Faruq yang duduk di ujung meja
makan, terkejut dengan pertanyaanku. Ia meletakkan
gelasnya dengan keras dan melihat ke Sara meminta
komentar. Aku terus mencocolkan rotiku ke hum
(makanan khas Arab terbuat dari semacam kacang
panjang atau buncis), dan untuk sesaat, tidak melihat
mata saudariku gelisah. Ketika aku mengangkat kepala,
aku melihat semua orang gusar.
Faruq, yang merasa sebagai pemimpin keluarga,
139 memukulkan tangannya ke atas meja dan bertanya dari
mana aku mendengar kata itu. Menyadari telah terjadi
kesalahan, aku ingat peringatan Karim dan mengatakan
aku mendengarnya dari beberapa pembicaraan para
pelayan. Faruq tak peduli dengan ketidaktahuanku. Ia
membelalak ke arahku dan dengan kasar meminta Sara
menelpon Nura besok pagi dan menyuruhnya berbicara
pada 'anak ini'. Dengan meninggalnya ibu kami, Nura, sebagai anak
tertua, bertanggung jawab atas pengetahuanku tentang
persoalan seperti itu. Ia sampai di rumah sebelum jam
sepuluh pagi dan langsung datang ke kamarku. Ia
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipanggil oleh Faruq. Wajahnya tampak masam ketika ia
mengatakan bahwa Faruq memberitahunya bahwa
perannya sebagai anak perempuan tertua sangat
menyedihkan. Faruq bermaksud memberitahukan pada
ayah mengenai pengamatan dan perasaan tidak
senangnya. Nura duduk di sisi tempat tidur dan bertanya padaku
dengan suara lembut apa yang kuketahui tentang
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Aku menjawab
dengan yakin bahwa aku tahu semua yang harus
diketahui. Kakakku tersenyum ketika berucap: 'Aku takut jika
lidahmu adalah tuanmu, adik kecil. Mungkin kamu tidak
mengetahui semua tentang kehidupan.'
Seperti yang ia tangkap, aku telah mengetahui banyak hal tentang perilaku seks.
Di Arab Saudi, seperti di banyak dunia Arab,
persoalan seks dianggap tabu. Akibatnya, perempuan
malah selalu membicarakannya. Diskusi-diskusi berkenaan
dengan seks, laki-laki dan anak-anak, menyeruak dalam
semua perkumpulan para perempuan.
140 Di negaraku, karena sedikit aktifitas yang bisa
menghibur perempuan, kesibukan utama mereka adalah
berkumpul di istana-istana. Menghadiri pesta kaum
perempuan setiap hari dalam seminggu merupakan hal
yang biasa, termasuk di hari Jumat, yang merupakan hari
suci di dalam Islam. Kami berkumpul, minum kopi dan
teh, makan makanan manis, bermalas-malasan di sofa
yang empuk dan bergosip. Segera setelah seorang
perempuan mulai memakai cadar, praktis dia masuk
dalam kegiatan-kegiatan ini.
Sejak aku memakai cadar, aku sangat tertarik
mendengarkan cerita malam pertama dari para pengantin
baru; memang, tak ada hal detil yang diungkapkan.
Beberapa perempuan muda mengejutkan para
perempuan lain dengan menyatakan bahwa mereka
menikmati seks. Yang lainnya mengatakan mereka purapura menikmati cumbuan suami mereka, supaya suami
mereka tak menikah lagi. Kemudian ada juga para
perempuan yang memandang hina seks sehingga mereka
menutup mata dan menahan serangan suami mereka
dengan rasa takut dan jijik. Yang sangat penting, ada
segolongan kecil perempuan yang tetap diam selama
diskusi-diskusi itu dan menjauhkan diri dari topik seks; mereka adalah orang
yang diperlakukan dengan cara
kasar oleh laki-laki dalam kehidupan mereka, banyak yang mengalami nasib seperti
yang diterima Sara. Yakin bahwa aku telah mengerti implikasi kehidupan
perkawinan, Nura menambahkan beberapa hal. Ia
mengatakan bahwa tugasku, sebagai istri, adalah selalu
siap melayani Karim sepanjang waktu, tak peduli
perasaanku saat itu. Aku nyatakan, aku akan melakukan
hubungan seks kalau aku ingin; Karim tidak bisa
memaksaku melawan kehendak hatiku. Nura
menggelengkan kepadanya. Tak ada laki-laki, termasuk
141 Karim, yang bisa menerima penolakan.
Ranjang perkawinan adalah milik laki-laki. Aku
menyatakan bahwa Karim itu beda. Ia tak pernah
memaksa. Nura mengatakan, tidak ada laki-laki yang bisa
mengerti dalam hal seperti itu. Aku tidak boleh
mengharapkan itu, atau aku akan hancur kecewa. Untuk
mengalihkan pokok pembicaraan, aku bertanya kepada
kakakku tentang khitan. Dengan suara lemah dan pelan,
Nura mengatakan bahwa ia disunat ketika berumur dua
belas tahun. Upacara itu dilakukan pada tiga adik-adiknya.
Sedangkan enam anak perempuan yang termuda telah
terbebas dari upacara barbar ini berkat campur tangan
dokter Barat yang menasehati ayah selama berjam-jam
agar menentang ritual itu. Nura menambahkan, aku
beruntung tidak mengalami trauma khitan.
Aku bisa melihat kakakku hampir menangis; aku
bertanya kepadanya apa yang terjadi.
Selama beberapa generasi yang tak diketahui Nura,
perempuan di keluarga kami dikhitan. Ibuku, seperti
sebagian besar perempuan Saudi, disunat ketika mulai
haid, beberapa minggu sebelum mereka menikah. Pada
saat berumur empat belas tahun, ketika Nura menjadi
perempuan dewasa, ibu mengikuti tradisi yang ia kenal
dan mengatur upacara khitan untuk Nura yang akan
diadakan di sebuah desa kecil beberapa mil dari Riyadh.
Perayaan diadakan, pesta dipersiapkan. Nura muda
mendapat perhatian layaknya orang yang terhormat.
Saat-saat sebelum ritual, Nura diberitahu oleh ibu bahwa seorang perempuan tua
akan melaksanakan upacara kecil,
sehingga Nura perlu berbaring diam. Seorang perempuan
menabuh drum, perempuan lain bernyanyi. Perempuanperempuan yang lebih tua berkumpul di sekeliling anak
yang ketakutan itu. Nura, yang telanjang dari pinggang ke 142
bawah, dipegang oleh empat perempuan, di atas seprai
yang dibentangkan di lantai. Perempuan yang tertua
mengangkat tangannya ke udara. Dengan ketakutan,
Nura melihat perempuan itu memegang alat seperti pisau
cukur. Nura berteriak. Ia merasakan kesakitan di daerah
alat kelaminnya. Pusing karena kaget, ia diangkat ke
udara oleh perempuan-perempuan itu dan diberi ucapan
selamat atas akil balighnya. Bukan kepalang takutnya ia
melihat darah mengalir dari lukanya. Ia dibawa ke tenda, lukanya dibalut dan
diperban. Luka itu sembuh dengan cepat, tapi ia tidak
mengerti dampak dari upacara itu sampai malam pertama
perkawinannya; ia mangalami sakit yang tak tertahankan
dan begitu banyak darah keluar. Ketika kondisi itu
berlangsung, ia menjadi takut untuk berhubungan seks
dengan suaminya. Akhirnya, setelah hamil, ia menemui
dokter Barat yang terkejut melihat bekas lukanya. Ia
mengatakan pada Nura bahwa semua bagian luar alat
kelaminnya telah dibuang, sehingga, secara pasti,
kegiatan seksual akan selalu menyakitkan dan berdarah.
Ketika sang dokter mengetahui ada tiga lagi saudari
Nura yang telah disunat dan enam lainnya menunggu,
dokter itu memohon dengan sangat pada Nura untuk
mengupayakan agar orang tuanya datang ke kliniknya.
Tiga saudariku pergi ke dokter. Ia mengatakan,
saudari kami, Baher, lebih parah kondisinya daripada
Nura, dan ia tidak tahu bagaimana ia bisa menahan derita berhubungan seksual
dengan suaminya. Nura menyaksikan upacara saudari kami itu, dan ia ingat ketika Baher melawan
perempuan tua itu, dan berusaha lari
beberapa meter dari para penyiksanya. Namun ia
tertangkap dan dikembalikan ke tikar, dan perlawanannya
menyebabkan ia kehilangan banyak darah.
143 Dokter terkejut, karena ibukulah yang memaksa
untuk mengkhitan anak-anak perempuannya. Ia sendiri
menderita karena ritual itu; ia yakin itu adalah kehendak Allah. Akhirnya si
dokter menyakinkan ayahku untuk sama
sekali tidak melakukan upacara khitan itu, sebab sangat
beresiko pada kesehatan. Nura mengatakan, aku selamat
dari adat yang kejam dan tak berguna itu.
Aku bertanya pada Nura mengapa ia berpikir bahwa
Karim akan menanyakan persoalan seperti itu. Nura
mengatakan, aku beruntung karena Karim adalah laki-laki
yang memiliki pendapat bahwa lebih baik bagi perempuan
untuk tidak dikhitan. Ia mengatakan banyak laki-laki
masih menuntut agar pengantin perempuan disunat. Itu
adalah persoalan dari daerah mana kamu berasal atau
tempat seorang gadis dilahirkan. Beberapa keluarga masih terus melanjutkan
praktik itu sementara yang lain
menganggapnya sebagai masa lalu yang barbar.
Nura mengatakan, Karim menginginkan istri yang
bisa sama-sama menikmati seks, bukan sekadar sebagai
objek kesenangan saja. Nura meninggalkanku dalam keadaan termenung
menung. Aku tahu aku beruntung menjadi salah satu anak
terkecil. Aku merasa ngeri ketika membayangkan trauma
Nura dan saudari-saudariku yang lain, yang mengalami
nasib yang sama. Aku bahagia, Karim memerhatikan keadaanku. Aku
mulai mempunyai gagasan bahwa beberapa perempuan
mungkin bahagia di negeriku meskipun masih ada
beberapa tradisi yang sudah dibuang di masyarakat yang
beradab. Bagaimanapun, masih saja ketidakadilan dari
tradisi itu melayang-layang dalam pikiranku. Kami,
perempuan Arab, bisa mendapatkan kebahagiaan hanya
jika laki-laki yang berkuasa memiliki kepedulian; bila
144 tidak, duka cita akan mengelilingi kami. Tak peduli apa
pun yang kami lakukan, masa depan kami berhubungan
dengan tingkat kebaikan hati laki-laki yang menguasai
kami. Karena masih ngantuk, aku kembali tidur; aku
bermimpi memakai gaun pengantin warna hijau zambrud,
menunggu mempelai laki-laki, Karim. Ia tak datang, dan
mimpiku beralih ke malam menakutkan; aku terbangun
dengan keringat dingin; aku dikejar oleh setan perempuan tua berpakain hitam,
pisau cukur di tangan, haus akan
darahku. Aku berteriak menyuruh Marci membawakan air
dingin. Aku sangat sedih, karena aku tahu makna mimpi
yang menakutkan itu: hambatan terbesar untuk berubah
dan bebas dari adat yang kuno adalah perempuan Arab itu
sendiri. Perempuan-perempuan dari generasi ibuku tidak
terpelajar, dan tidak memiliki pengetahuan kecuali yang
dikatakan laki-laki mereka; akibat tragisnya, tradisi
khitanan masih saja dilakukan oleh setiap orang yang
dirinya sendiri menderita oleh pisau barbarisme itu. Dalam kebingungan mereka di
masa lalu dan sekarang, mereka
tanpa sadar mendukung usaha laki-laki memenjara kami
dalam ketidaktahuan dan pengasingan. Bahkan ketika
dikatakan tentang bahaya medis, ibuku tetap berpegang
teguh pada tradisi masa lalu; ia tak dapat membayangkan
jalan lain bagi putri-putrinya kecuali yang pernah ia lalui sendiri, karena
takut kalau setiap perubahan dari tradisi akan membahayakan pernikahan mereka.
Hanya kami, perempuan terpelajar, yang bisa mengubah jalan kehidupan perempuan. Semua ada di dalam
kekuatan kami, dalam rahim kami. Aku melihat tanggal
perkawinanku dengan beberapa rencana yang telah
kupersiapkan. Aku akan menjadi perempuan Saudi
pertama yang memulai reformasi di lingkunganku sendiri.
145 Aku akan mengubahnya melalui putra putriku, yang
kemudian akan mengubah bentuk Arab Saudi menjadi
negara yang menghargai semua warga negaranya, lakilaki dan perempuan. 146 12 Pada acara pernikahanku, ruang persiapan dipenuhi
kegembiraan. Aku dikelilingi oleh perempuan dari
keluargaku. Tak ada suara yang bisa dikenali, karena
semua orang berbicara dan tertawa: sebuah perayaan
yang agung. Aku berada di istana Nura dan Ahmed, yang baru
selesai dibangun beberapa minggu sebelum tanggal
perkawinanku. Nura merasa puas dengan rumahnya itu,
namun khawatir pembicaraan orang tentang rumah
besarnya yang mewah akan bocor ke seluruh kota Riyadh
sehingga semua orang bercuap-cuap terhadap banyaknya
uang yang dihabiskan dan kemewahan yang dihasilkan.
Aku sendiri benci istana baru Nura. Karena alasan
romantis, aku ingin menikah di Jeddah, dekat laut. Tapi
ayahku bersikeras untuk melakukan perkawinan
tradisional. Untuk kali ini, ketika permintaanku tidak
dikabulkan, aku tidak berteriak-teriak. Sejak beberapa
bulan yang lalu, aku telah memutuskan untuk menahan
147 amarahku kecuali untuk hal-hal yang sangat penting dan
membiarkan hal remeh temeh bergulir begitu saja. Tak
diragukan lagi, aku lelah dengan kekurangan-kekurangan
yang ada di negeriku. Sementara Nura berseri-seri gembira, kerabat
perempuan kami memuji-muji keindahan istana itu. Aku
dan Sara saling bertukar senyum kecil, karena kami
sependapat beberapa waktu yang lalu bahwa istana ini
memiliki cita rasa yang sangat buruk.
Istana marmer Nura sangat besar. Ratusan pekerja
Filipina, Thailand, dan Yaman, di bawah pengawasan para
kontraktor Jerman yang sulit tersenyum, bekerja tanpa
henti selama berbulan-bulan untuk menciptakan
bangunan yang aneh sekali bentuknya. Tukang cat,
tukang kayu, tukang besi dan para arsitek, semua tidak
akur. Akibatnya, istana ini tak serasi di dalam dirinya.
Ruangan istana disepuh dan dihias dengan mewah
sekali. Menurut hitunganku dan Sara, setidak-tidaknya
ada 180 lukisan tergantung di tempat masuk ruangan.
Sara melompat kaget, mengatakan bahwa karya-karya
seni ini dipilih oleh orang yang tak memiliki pengetahuan tentang maestromaestro besar. Permadani yang berkilat-kilat bersulam burung dan binatang buas
dengan segala tipe, terbentang di lantai yang tak berujung. Hiasan kamar tidur membuat jiwaku
terasa sesak. Aku heran bagaimana
anak-anak dari darah yang sama bisa begitu berbeda
seleranya. Walaupun Nura mendekorasi rumahnya dengan cita
rasa yang sangat buruk, namun tamannya merupakan
karya besar: sebuah danau dan halaman rumput seluas
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir satu mil, yang dihiasi dengan bunga-bunga,
semak-semak dan pohon-pohon yang diatur dengan
indah, mengelilingi istana. Terdapat banyak kejutan yang membuat mata
terbelalak: patung, sarang burung aneka
148 warna, air mancur bahkan tempat bermain anak-anak.
Aku akan menikah dengan Karim di kebun ini, pada
jam sembilan malam. Nura tahu kalau aku sangat
menyukai mawar kuning, dan ribuan mawar kuning
dikirim dari Eropa, yang sekarang terapung-apung di
danau di samping paviliun tempat Karim akan datang
untuk menyatakanku sebagai istrinya. Dengan bangga
Nura mengatakan bahwa masyarakat telah berbisik-bisik,
inilah perkawinan dekade sekarang.
Di Arab Saudi, tidak ada pengumuman pertunangan
dan perkawinan. Persoalan ini dianggap sangat pribadi.
Tapi gossip tentang uang yang dihabiskan dan
tingkat kemewahan upacara akan tersebar ke seluruh
negeri, dan setiap golongan keluarga kerajaan berusaha
keras untuk menyainginya.
Ketika rambut di bagian pribadiku dicukur dengan
kasar, aku menampar bibiku dan berteriak. Sambil
menjerit kesakitan, aku bertanya dari mana asal adat
yang biadab ini. Bibiku yang tertua menampar wajahku
atas kekurangajaranku. Ia menatap tajam mataku dan
mengatakan bahwa aku, Sultana, adalah anak bodoh dan
sebagai seorang Muslim, aku seharusnya tahu bahwa,
demi kebersihan, nabi menganjurkan agar semua rambut
kemaluan dan bulu ketiak dicukur empat puluh hari sekali.
Dengan sengaja aku berteriak bahwa praktik itu tak
lagi masuk akal. Muslim modern telah memiliki air panas
dan sabun untuk membersihkan kotoran. Kita tak perlu
lagi menggunakan pasir gurun untuk menghilangkannya
Bibiku, yang sadar akan sia-sia saja beradu argumentasi
denganku, melanjutkan tugasnya. Aku mengejutkan
semua yang hadir dengan teriakan bahwa, jika Nabi bisa
berbicara di zaman baru yang memiliki fasilitas-fasilitas modern ini, aku rasa
Beliau akan menghapuskan tradisi
yang bodoh ini. Tentu, aku mengatakan dengan keras,
149 persoalan ini saja membuktikan bahwa kita orang Saudi
adalah sama dengan keledai yang tak mendapatkan
ilham; layaknya keledai, kita mengikuti jejak jalan
melelahkan yang sama di depan kita, meskipun jalan itu
akan membawa kita terjun ke dalam jurang. Hanya jika
kita tumbuh seperti kuda jantan yang bersemangat,
dengan kemauan keras diri kita sendiri, kita akan maju
dan meninggalkan era primitif di belakang kita.
Kerabatku saling bertukar pandangan, cemas.
Mereka ketakutan dengan jiwaku yang suka memberontak
dan merasa nyaman hanya dengan perempuan yang puas
apa adanya. Kegembiraan mendapatkan suami sesuai
pilihanku dianggap tak lebih dari sebuah keajaiban.
Meskipun begitu sampai upacara perkawinan selesai,
tak satupun dari kerabatku bisa bernafas lega.
Pakaianku terbuat dari kain berenda berwarna
merah cerah. Aku adalah pengantin yang pemberani.
Dengan gembira aku langgar sopan santun dalam
keluargaku, yang memohon agar aku mengganti pakaian
dengan warna buah persik lembut atau merah muda
pucat. Sebagaimana biasanya, aku tak mau mengalah.
Aku tahu aku benar. Bahkan saudari-saudariku
akhirnya mengakui bahwa kulitku dan mataku lebih cantik
dengan warna cerah. Aku sangat gembira ketika Sara dan Nura
mengenakan pakaian warna itu dan memasangkan
kancing di seputar pinggangku.
Saat menyedihkan datang ketika Nura mengenakan
hadiah Karim; batu merah delima dan berlian di leherku.
Aku tak bisa menghilangkan bayangan ibuku di hari sedih
perkawinan Sara. Saat itu aku masih kanak-kanak dan
duduk di lantai, memerhatikan ibuku memasangkan
perhiasan yang tak diinginkan di leher Sara. Itu terjadi 150
baru dua tahun yang lalu. Aku buang kemurunganku dan
tersenyum ketika aku menyadari bahwa ibu pasti
melihatku dari jarak jauh dengan sinar kepuasan di
matanya. Dalam balutan korset yang ketat ini, aku hampir tak bisa bernafas
ketika menunduk untuk mengambil
buket bunga-bunga musim semi yang seluruhnya terbuat
dari batu mulia, dan didesain khusus untuk upacara ini
oleh Sara. Melihat wajah tersenyum saudariku, aku mengatakan: 'Aku siap.' Ini saat awal baru bagiku, sebuah kehidupan yang
lain. Tabuhan gendang menenggelamkan orkestra yang di
datangkan dari Mesir. Dengan diapit Nura dan Sara di
sisiku, aku melangkah dengan bangga menuju para tamu
di taman yang menunggu-nungguku dengan tak sabar.
Seperti semua perkawinan ala Saudi yang lain,
upacara resmi sudah dilakukan lebih dulu. Dengan Karim
dan keluarganya di satu bagian istana, sedang aku dan
keluargaku di bagian lainnya, seorang tokoh agama
masuk dari satu ruangan ke ruangan lainnya, bertanyatanya apakah kami menerima pernikahan ini. Karim dan
aku tidak diizinkan mengucapkan kata-kata janji dengan
saling berhadapan. Selama empat hari empat malam, kami sekeluarga
berpesta. Pesta akan terus berlanjut tiga hari tiga malam lagi setelah
kemunculan kami di hadapan para tamu
perempuan. Upacara malam ini hanyalah panggung yang
diciptakan untuk pecinta pesta keindahan, kemudaan, dan
harapan. Malam yang semarak.
Sejak hari pertama kami bertemu, aku tak pernah
melihat Karim. Meskipun demikian, masa saling kenal
terus berlanjut melalui percakapan telepon yang
151 menyenangkan selama berjam-jam. Sekarang aku melihat
Karim, ditemani oleh ayahnya, berjalan perlahan menuju
paviliun. Ia begitu tampan, dan ia akan menjadi suamiku.
Karena suatu alasan yang aneh, aku kaget dengan
debar jantungnya. Aku mendengar getaran suaranya dan
menghitung getaran itu. Khayalanku merasuk ke dadanya,
sangat romantis, dan aku pikir; hati ini milikku.
Aku sendiri memiliki kekuatan untuk membuatnya
berdebar dengan kebahagiaan atau dengan kesengsaraan.
Itu saat yang menenangkan bagi gadis muda.
Akhirnya, ia berdiri tinggi dan lurus di hadapanku.
Emosiku tiba-tiba menyeruak. Aku merasa bibirku
bergetar dan mataku berkaca-kaca, berjuang melawan air
mata yang hendak mengucur. Ketika Karim membuka
penutup wajahku, kami berdua tertawa, sangat bahagia.
Para perempuan mulai bertepuk tangan dengan
keras dan menghentak-hetakkan kaki mereka. Di Arab
Saudi sangat jarang terjadi pengantin wanita dan laki-laki begitu saling
menyukai dan bergembira. Aku tenggelam dalam mata Karim dan begitu juga
dia. Aku diliputi perasaan tak percaya. Aku adalah anak
kegelapan, dan suamiku, bukannya objek yang
menakutkan, justru adalah pembebas yang manis dari
kesengsaraan masa mudaku.
Karena kami ingin sekali sendirian, setelah upacara
kami hanya memiliki waktu sebentar untuk menerima
ucapan selamat dari teman-teman dan kerabat
perempuan. Karim melempar koin emas dari tas beludru
kecil ke arah rombongan-rombongan tamu yang sedang
bergembira, sementara aku menyelinap pergi untuk
berganti dengan pakaian bepergian.
Aku ingin berbicara kepada ayah, tapi ia tergesagesa berangkat dari taman segera setelah tugasnya
152 selesai. Pikirannya sudah bebas, putri terkecil dan ternakal dari istri
pertamanya sudah menikah dengan selamat, dan
sekarang tidak lagi menjadi tanggung jawabnya. Aku
rindu sekali dengan kebersamaan keluarga, sesuatu yang
selalu kuimpikan namun tak pernah menjadi kenyataan.
Untuk bulan madu, Karim menjanjikan bepergian
kemana pun dan melakukan apa pun yang kuinginkan.
Setiap keinginanku adalah perintah baginya.
Layaknya anak kecil yang riang, aku mendata semua
tempat yang ingin kulihat dan segala hal yang ingin
kulakukan. Tempat perhentian pertama kami adalah Kairo, dan
dari sana ke Paris, New York, Los Angeles kemudian
Hawai. Kami memiliki delapan minggu kebebasan yang
sangat berharga, terbebas dari keadaan tak
menyenangkan di Arabia. Dengan pakaian stelan sutra berwarna hijau zambrud, aku memeluk saudari-saudariku, mengucapkan
selamat tinggal. Sara menangis keras, ia tak ingin
melepasku. Ia berbisik, 'Beranilah,' dan hatiku tersentuh karena aku mengerti
dengan sangat baik bahwa kenangan
buruk Sara akan malam perkawinan tidak akan pernah
hilang. Setelah bertahun berlalu mungkin pikirannya
tentang bulan madu akan lenyap belaka.
Pakaian desainerku kututupi dengan abaya hitam dan cadar, kemudian aku masuk
meringkuk di kursi belakang Mercedes hitam bersama suamiku. Empat belas
tasku sudah dibawa ke bandara.
Demi privasi, Karim membeli semua tempat duduk
kelas pertama dalam setiap penerbangan yang kami
lakukan. Pramugari Libanon tersenyum lebar ketika
mereka melihat tindakan bodoh kami. Kami seperti anak
153 remaja, karena kami tidak pernah tahu seni berpacaran.
Akhirnya, kami sampai di Kairo, melewati bea cukai
dan naik kendaraan menuju vila mewah di tepi Sungai Nil.
Vila itu, milik ayah Karim, dibangun di abad kedelapan
belas oleh pedagang Turki yang sangat kaya.
Setelah dikembalikan oleh ayah Karim ke
kemegahan aslinya, Vila itu dibagi menjadi tiga puluh
kamar dengan tingkatan-tingkatan yang tidak lazim dan
jendela yang melengkung mengarah ke taman yang
subur. Dindingnya dilapisi ubin berwarna biru muda
lembut, dengan makhluk-makhluk yang terpahat rumit
sebagai latar belakangnya. Aku merasa tergoda dengan
rumah itu. Aku berkata kepada Karim bahwa rumah ini
adalah tempat yang sangat sempurna untuk memulai
sebuah perkawinan. Dekorasi vila yang sempurna bertolak belakang dengan dekorasi istana Nura yang berkilat-kilat. Aku tibatiba menyadari bahwa uang tidak dengan otomatis
memberikan selera artistik yang tinggi kepada orangorang di negaraku, bahkan dalam keluargaku sendiri.
Aku baru berusia enam belas tahun, masih anakanak, tapi suamiku bisa memahamiku, dan ia
membantuku mengenali dunia orang dewasa. Ia, seperti
aku sendiri, tidak setuju dengan cara perkawinan di negeri kami. Ia mengatakan
bahwa orang-orang asing seharusnya tidak berhubungan intim, sekalipun mereka
suami-istri. Menurut pendapatnya, laki-laki dan
perempuan harus memiliki waktu untuk memahami
rahasia satu sama lain, mana-mana saja yang bisa
menumbuhkan hasrat. Karim mengatakan kepadaku, ia
telah memutuskan seminggu sebelumnya bahwa dia dan
aku akan berpacaran dulu setelah pernikahan. Dan, bila
aku sudah siap, aku akan menjadi orang yang akan
mengatakan: 'Aku ingin mengenalmu seutuhnya.'
154 Kami menghabiskan hari-hari dan malam-malam
kami dengan bermain. Kami makan malam, berkuda
mengelilingi piramida, berjalan-jalan menelusuri pasar
Kairo yang padat, membaca buku dan berbincang. Para
pelayan bingung dengan pasangan yang riang gembira
saling memberikan ciuman selamat malam dan masuk ke
kamar masing-masing. Pada malam keempat, aku mendorong suamiku ke
ranjangku. Setelah itu, dengan kepalaku yang mengantuk
di atas bahu Karim, aku membisikkan bahwa aku akan
menjadi salah satu dari istri-istri yang masih muda dan
nakal di Riyadh, yang dengan gembira mengakui: aku
menikmati seks dengan suamiku.
Aku belum pernah pergi ke Amerika, dan sangat
ingin memiliki opini tentang masyarakat yang
menyebarkan kebudayaannya ke seluruh dunia namun
tampaknya tidak begitu mengenal dunia mereka sendiri.
Orang-orang New York, dengan sikap kasar mereka
yang lancang, membuatku takut. Aku bahagia ketika kami
sampai di Los Angeles, dengan nuansa santai yang terasa
lebih familiar untuk orang Arab.
Di California, setelah berminggu-minggu melakukan
perjalanan dan berjumpa dengan orang-orang Amerika
dari hampir setiap negara bagian, aku mengatakan
kepada Karim bahwa aku menyukai orang-orang asing
yang berbicara keras ini, orang-orang Amerika. Ketika ia tanyakan padaku
mengapa, aku dengan susah payah
mengemukakan apa yang aku rasakan dalam hatiku. Aku
akhirnya berkata: 'Aku percaya campuran kebudayaan
yang mengagumkan menghasilkan peradaban yang lebih
dekat dengan realitas dibanding kebudayaan lain yang
larut dalam sejarah.' Aku yakin Karim tidak mengerti apa yang kumaksudkan dan
aku mencoba menjelaskannya.
'Begitu sedikit negara yang memberikan kebebasan
155 kepada semua warga negaranya tanpa kekacauan; hal itu
terjadi di negara besar ini. Rasanya mustahil bila sejumlah besar orang tetap
berada di jalur kebebasan bagi semua
orang ketika ada begitu banyak pilihan. Coba bayangkan
apa yang akan terjadi di dunia Arab; bila ada sebuah
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
negara sebesar Amerika di negeri kita, akan terjadi
perang dalam satu menit, karena setiap laki-laki pasti
hanya memiliki satu jawaban benar untuk kebaikan
semua! Di negeri kita, laki-laki melihat penyelesaian tak jauh dari hidungnya
sendiri. Di sini, itu berbeda.'
Karim melihat ke arahku dengan takjub. Sangat
tidak biasa seorang perempuan tertarik pada skema besar
dari segala hal. Ia menanyaiku sampai malam untuk
mengetahui gagasanku tentang berbagai persoalan.
Tampak jelas bahwa suamiku tidak biasa dengan
perempuan yang memiliki opini sendiri. Ia tampak benarbenar terkejut ketika mengetahui aku memikirkan
persoalan politik dan negara di dunia. Akhirnya, ia
mencium leherku dan berkata bahwa kau akan
melanjutkan pendidikan segera setelah kembali ke Riyadh.
Jengkel dengan nada izinnya, aku mengatakan
padanya aku tidak menyadari kalau pendidikanku
berkembang karena diskusi. Rencana bulan madu delapan
minggu berubah jadi sepuluh minggu. Hanya setelah
telepon dari ayah Karim, kami dengan terpaksa menyeret
badan kami pulang. Kami berencana untuk tinggal di
istana ayah dan ibu Karim sampai istana kami sendiri
dibangun. Aku tahu ibu Karim benci melihatku; sekarang ia
berkuasa untuk membuatku sengsara. Aku berfikir
tentang ketidakacuhanku pada tradisi, yang menimbulkan
caci makinya, dan mengutuk diriku sendiri karena tidak
berfikir tentang masa depanku dengan menjauhkan diri
dari ibu mertuaku pada pertemuan pertama. Aku tahu
156 kalau Karim, seperti laki-laki Arab lainnya, tidak akan
pernah memihak istrinya untuk melawan ibunya. Itu
semua terserah padaku untuk datang dengan tanda
perdamaian. Aku merasakan goncangan tak menyenangkan
ketika pesawat bersiap mendarat di Riyadh. Karim
mengingatkan cadarku. Aku berjuang menutupi diriku
dengan pakaian hitam dan merasakan kerinduan yang
dahsyat akan manisnya bau kebebasan yang mulai
menghilang sesaat setelah kami memasuki wilayah udara
Saudi. Dengan rasa takut yang menyesak di tenggorakan,
kami memasuki istana ibu Karim untuk memulai
kehidupan perkawinan kami. Saat itu, aku tak menyadari
bahwa ibu Karim begitu tak menyukaiku sehingga ia telah
mengatur cara untuk mengakhiri kebahagiaan perkawinan
kami. 157 13 Jika ada satu kata yang bisa menggambarkan perempuan
Saudi generasi ibuku, kata itu adalah menunggu. Mereka menghabiskan hari-hari
mereka dengan menunggu. Perempuan di zaman itu dilarang mendapatkan
pendidikan dan kesempatan bekerja, sehingga tak banyak
yang dikerjakan kecuali menunggu menikah, menunggu
melahirkan anak, menunggu menjadi nenek, dan
menunggu menjadi tua. Di negeri Arab, usia memberi kesempurnaan bagi
perempuan, karena mereka akan mendapatkan
penghormatan setelah memenuhi kewajiban melahirkan
banyak anak lelaki, yang dengan cara ini, mereka mampu
melanjutkan garis keturunan dan nama keluarga.
Mertua perempuanku, Norah, menghabiskan
hidupnya menunggu menantu perempuan yang akan
memberinya penghormatan, yang menurutnya menjadi
haknya sekarang. Karim adalah anak lelaki tertuanya,
putra yang paling dicintai. Adat Saudi zaman dahulu
158 menuntut agar istri putra pertama melakukan apa pun
yang diperintah ibunya. Seperti semua perempuan muda,
aku tahu tradisi ini, tapi aku cenderung tak
menghiraukannya hingga tiba saatnya aku menghadapi
fakta tradisi itu. Tentu saja, keinginan memiliki anak laki-laki sudah
umum di dunia mana saja. Tapi negeri Arab melebihi
tempat lain. Di sini, setiap perempuan menanggung
tekanan yang sangat tinggi sepanjang masa produktifnya
untuk bisa melahirkan anak laki-laki. Anak laki-laki adalah alasan satu-satunya
bagi sebuah perkawinan, kunci
kepuasan hati suami. Anak laki-laki merupakan harta
berharga sehingga sebuah ikatan yang kuat berkembang
antara ibu dan putranya. Tak satupun, selain cinta
terhadap perempuan lain, bisa memisahkan keduanya.
Sejak kami menikah, ibu Karim menganggap aku
sebagai pesaingnya, bukan sebagai anggota keluarga
yang diterima dengan balk. Aku dianggap orang yang
akan memisahkan Norah dan putranya. Kehadiranku
hanya memperkuat keadaan hatinya yang umumnya tidak
bahagia. Beberapa tahun sebelumnya, kehidupan Norah
berubah tiba-tiba dan hal itu meracuni pandangannya.
Sebagai istri pertama dari ayah Karim, Norah telah
melahirkan tujuh orang anak, tiga di antaranya laki-laki.
Ketika Karim berumur empat belas tahun, ayah
Karim menikah lagi dengan seorang perempuan Libanon
yang sangat cantik dan mempesona. Mulai saat itu, tak
ada lagi kedamaian di dalam istana dua istri itu.
Norah, perempuan paruh baya yang bersemangat,
sungguh sangat sakit hati saat suaminya menikah untuk
kali kedua. Diliputi rasa benci, ia pergi kepada tukang sihir dari Ethiopia yang
mengabdi pada istana Raja tapi bisa
disewa oleh keluarga kerajaan yang lain dan
membayarnya dengan sejumlah besar uang agar
159 perempuan Libanon itu dikutuk mandul. Norah, yang
bangga dengan kesuburannya, yakin bahwa perempuan
Libanon itu akan dicerai jika tak bisa melahirkan anak.
Sebagaimana yang terjadi, ayah Karim tetap mencintai perempuan Libanon itu dan mengatakan kepadanya
ia tak peduli apakah kamu akan memberiku anak atau
tidak. Setelah bertahun-tahun berlalu, Norah menghadapi
kenyataan bahwa perempuan Libanon itu tidak beranak
namun tidak dicerai. Semenjak itu Norah ingin sekali
memisahkan suaminya dari istri keduanya.
Ia pergi ke tukang sihir dan membayar lebih banyak
uang untuk membawa awan kematian pada perempuan
Libanon itu. Ketika ayah Karim mendengar gosip tentang
kelakuan Norah meminta bantuan tukang sihir istana, ia
mendatangi Norah dengan marah. Ia berjanji jika
perempuan Libanon itu meninggal terlebih dahulu, Norah
akan diceraikan; diusir dengan arang di muka dan
dilarang berhubungan dengan anak-anaknya.
Norah, yang yakin bahwa rahim mandul adalah
akibat kekuatan tukang sihir, sekarang menjadi sangat
takut kalau perempuan Libanon itu meninggal, padahal
ilmu sihir tak dapat diubah. Semenjak saat itu, Norah
diwajibkan melindungi perempuan Libanon itu. Ia
sekarang hidup tak bahagia karena harus berusaha
melindungi jiwa perempuan yang ia coba bunuh dengan
guna-guna (voodoo). Rumah tangga yang aneh. Dalam ketidakbahagiaanya, Norah mencaci siapapun
yang ada di sekitarnya, kecuali anak-anaknya.
Karena aku bukan darah dagingnya namun sangat
dicintai oleh Karim, maka aku menjadi targetnya. Setiap
orang bisa melihat sikap kecemburuannya, kecuali Karim.
160 Seperti anak-anak kebanyakan, Karim tak melihat
kesalahan melekat pada ibu tersayangnya. Dengan
kematangan usianya, Norah nampaknya memperoleh
kebijaksanaan, dengan berpura-pura mengasihiku sejauh
bisa didengar oleh Karim.
Setiap pagi dengan bahagia aku berjalan mengantar
Karim sampai pagar. Ia bekerja keras di firma hukumnya
dan berangkat jam sembilan pagi. Dan ini adalah
permulaan waktu kerja yang terlalu pagi bagi siapa pun,
apalagi bagi seorang pangeran di Arab Saudi. Sangat
sedikit anggota keluarga kerajaan yang bangun sebelum
jam sepuluh atau sebelas siang.
Aku yakin Norah melihat kami dari jendela kamar
tidurnya, karena sesaat setelah pagar tertutup, Norah
akan memanggil namaku secara tergesa-gesa. Ia akan
berteriak menyuruhku menyiapkan teh panas untuknya.
Tak satupun dari tiga puluh tiga pelayan yang
bekerja di rumahnya akan melakukan perintah pekerjaan
ini. Karena saat kecil aku banyak mengalami perlakuan
buruk oleh laki-laki di keluargaku, aku tak ingin hal itu terulang kembali di
bagian kedua hidupku, termasuk oleh
ibu Karim. Untuk sekarang, aku tetap diam. Tapi ibu Karim
cepat mengerti bahwa aku pernah menghadapi lawan
yang lebih dahsyat dari perempuan dengan
keterbelakangan mental yang gelap. Di samping itu, ada
pepatah tua Arab yang mengatakan: 'Kesabaran adalah
kunci sebuah penyelesaian.' Untuk menang, aku merasa
lebih baik memerhatikan kata bijak yang diturunkan dari
generasi ke generasi itu. Aku akan sabar dan menunggu
kesempatan mengurangi kekuasaan Norah terhadapku.
Untungnya, aku tak perlu waktu lama menunggu.
161 Adik laki-laki Karim, Munir, baru saja kembali dari
studinya di Amerika. Rasa marahnya, karena disuruh
pulang ke Arab Saudi, benar-benar menusuk kedamaian di
rumah. Walaupun sudah banyak tulisan yang mengulas
kehidupan monoton para perempuan di Arab Saudi, baru
sedikit yang mengupas gaya hidup boros anak-anak
mudanya. Memang, hidup kaum lelaki lebih bahagia
dibanding para perempuannya, namun masih banyak yang
kurang. Para pemuda Arab Saudi menghabiskan jam-jam
yang lesu merindukan stimulasi. Di sini tak ada bioskop, klub atau makan malam
campur karena laki-laki dan
perempuan tidak diizinkan berada dalam restoran secara
bersama kecuali mereka suami istri, kakak dan adik, atau ayah dan putrinya.
Munir, yang baru berumur dua puluh dua tahun dan
terbiasa dengan kebebasan di masyarakat Amerika, tidak
suka kembali ke Arab Saudi. Ia baru saja lulus dari
sekolah bisnis di Washington DC, dan berencana bekerja
sebagai penghubung kontrak-kontrak pemerintah. Ketika
menunggu kesempatan untuk membuktikan
kecakapannya dalam memperoleh sejumlah besar uang,
keinginan besar bagi semua pengeran kerajaan, ia mulai
berteman dengan kelompok pangeran yang terkenal
memiliki perilaku yang beresiko. Mereka mengadakan dan
menghadiri pesta campur. Maka hadirlah para perempuan
asing dengan moralitas dipertanyakan yang bekerja di
berbagai rumah sakit dan maskapai penerbangan.
Minuman keras melimpah. Banyak dari para
pangeran ini yang kecanduan alkohol, obat-obatan atau
keduanya. Di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan,
tumbuhlah ketidakpuasan mereka pada sanak famili yang
menjalankan pemerintahan. Tak puas dengan
modernisasi, mereka menginginkan westernisasi; para
162 lelaki muda ini bergairah untuk melakukan revolusi. Tidak mengagetkan,
menganggur telah membuat mereka
bertingkah laku dan berbicara berbahaya, dan tidak lama
lagi, sikap revolusioner mereka segera diketahui umum.
Raja Faisal, yang pernah menghabiskan masa muda
dengan tanpa beban dan kemudian menjadi Raja yang
saleh, dengan tekun mengawasi tindakan-tindakan sanak
famili mudanya dan mencoba dengan caranya yang tertib,
membimbing mereka keluar dari perbuatan keterlaluan
yang disebabkan oleh hidup yang kosong.
Beberapa pangeran yang menyusahkan,
ditempatkan dalam bisnis keluarga, sementara yang lain
dikirim ke dinas tentara.
Setelah Raja Faisal mengutarakan keprihatinannya
atas perilaku tak pantas Munir kepada ayah, aku
mendengar suara teriakan keras dan marah dari ruang
kerja. Aku, seperti anggota keluarga yang lain, segera
mencari-cari tahu di ruang peta, yang berada langsung di depan ruang kerja.
Dengan mata melihat ke arah peta,
dan kuping diarahkan menangkap teriakan, kami
menghela nafas ketika mendengar Munir menuduh
keluarga yang sedang memerintah melakukan korupsi dan
menghambur-hamburkan uang. Munir bersumpah, ia dan
teman-temannya akan melakukan perubahan yang begitu
diperlukan dalam kerajaan. Dengan bibir memaki dan
keinginan memberontak, ia ribut keluar dari rumah.
Meskipun Munir mengklaim negara ini perlu
melangkah menuju masa depan, komitmennya sendiri
tidak jelas dan aktivitas yang dilakukannya kacau. Ia
adalah cerita sedih salah penilaian; alkohol dan uang yang mudah didapat telah
menyesatkannya. Hanya sedikit orang asing yang tahu bahwa di
Kerajaan Arab Saudi, sebelum tahun 1952, alkohol tidak
dilarang bagi non Muslim. Dua peristiwa tragis, yang
163 melibatkan para pangeran kerajaan, mendorong pelarangan alkohol oleh Raja pertama, Abdul Aziz.
Di akhir tahun 1940-an, Pangeran Nasir, si anak
Raja, kembali dari Amerika Serikat dengan tingkah laku
yang berbeda dibandingkan saat ia berangkat meninggalkan kerajaan. Ia telah menikmati kombinasi alkohol
dan perempuan Barat yang bebas. Dalam penilaiannya,
alkohol adalah kunci untuk menjadi idola perempuan.
Selama Nasir menjabat gubernur Riyadh, ia tidak
menemukan kesulitan menjaga suplai alkohol. Nasir
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadakan pesta-pesta terlarang, menjamu tamu lakilaki dan perempuan. Pada musim panas tahun 1947,
setelah acara kumpul-kumpul tengah malam, tujuh orang
yang ikut berpesta meninggal karena meminum alkohol.
Beberapa yang mati adalah perempuan.
Ayah Nasir, Raja Abdul Aziz, sangat marah atas
tragedi ini sehingga ia sendiri yang memukul anaknya dan memerintahkannya untuk
dipenjara. Kemudian, tahun 1951, Mishari, anak Raja yang lain,
ketika sedang mabuk, menembak dan membunuh wakil
konsul Inggris dan hampir membunuh istri pria itu.
Kesabaran Raja tua itu habis. Mulai saat itu, alkohol
dilarang di Kerajaan Arab Saudi, dan pasar gelap mulai
tercipta. Reaksi masyarakat Arab Saudi hampir sama dengan
reaksi masyarakat di kebudayaan lain. Larangan justru
melahirkan penasaran. Aku tahu sebagian besar laki-laki
dan perempuan Saudi minum alkohol demi alasan sosial;
sejumlah besar dari mereka mengalami kecanduan yang
serius. Aku tak pernah menemukan rumah-rumah di Saudi
yang tidak memiliki bermacam-macam minuman alkohol
terbaik dan paling mahal untuk ditawarkan pada tamu.
Semenjak 1952, harga alkohol naik sampai 650 riyal
164 untuk satu botol Scotch ($200). Keuntungan besar bisa
didapat dengan mengimpor dan menjual minuman ilegal
ini. Sejak Munir dan dua sepupunya, yang merupakan
pangeran-pangeran tingkat tinggi, berpendapat bahwa
alkohol seharusnya dilegalkan, mereka menggabungkan
kekuatan dan segera menjadi pengangkut kaya alkohol
ilegal dari Yordania. Jika penjaga perbatasan curiga dengan isi kargo,
mereka disogok. Satu-satunya penghalang impor ilegal
alkohol adalah kelompok-kelompok yang selalu berkeliling, yakni Komite Amar
Ma'ruf nahi Munkar. Komite ini dibentuk oleh para mutawa, polisi syariah yang sangat marah dengan
kelancangan anggota keluarga
kerajaan, sebuah keluarga yang seharusnya menegakkan
hukum Islam namun justru sering menganggap diri tak
terikat oleh ajaran Nabi.
Komite inilah yang segera membongkar kedok Munir
dan secara tak sengaja memberikan jalan keluar untuk
mengatasi mertua perempuanku.
Saat itu hari Sabtu, hari pertama kami dalam satu
minggu (umat Muslim merayakan hari agamanya pada
hari Jumat), hari yang tak akan pernah dilupakan oleh
keluarga Karim. Karim dengan cemberut berjalan melewati pintu
masuk, lelah karena menjalani hari yang panas di
kantornya. Ia mendatangi ibu dan istrinya yang sedang
cekcok. Ketika melihat anaknya, Norah memperpanjang
peperangan dengan anak menantunya di senja itu. Sambil
tersedu-sedu dan dengan suara keras ia mengatakan pada
Karim kalau aku, Sultana, tidak menghormatinya. Dan
tanpa alasan yang jelas, aku mulai cekcok dengan
mertuaku itu. Ketika akan meninggalkan tempat itu, ia memukul
165 lengan bawahku, dan aku, yang sedang diliputi suasana
hati yang sangat marah, mengejarnya dan hendak
menamparnya namun dihalangi oleh Karim. Norah melihat
marah padaku dan berbalik ke Karim. Dengan cara tak
menyenangkan dan meremehkan, Ia menggambarkanku
sebagai istri yang tak pantas, dan jika ia (Karim)
mengetahui aktivitasku, ia akan menceraikanku.
Jika terjadi di hari lain, Karim mungkin akan tertawa
pada pertunjukan yang menggelikan dan kekanakkanakan ini, karena menurutnya perempuan memiliki
waktu banyak sehingga mereka cendrung bercekcok di
antara mereka sendiri. Namun pada hari itu, ia baru
mendapat kabar dari broker Londonnya bahwa dalam
seminggu ini ia telah kehilangan lebih dari satu juta dolar di pasar saham.
Dengan suasana hati yang buruk, ia ingin membalas kekerasan. Karena tak ada
laki-laki Arab yang pernah melawan ibunya, Karim menampar wajahku
sebanyak tiga kali. Tamparan itu dimaksudkan untuk
membuat penghinaan, karena dilakukan lebih dari tiga kali hingga memerahkan
rahangku. Sejak berumur lima tahun, aku telah memiliki karakter yang keras. Aku cendrung gugup ketika melihat tandatanda kekacauan. Namun ketika bahaya datang
menghampiri, aku menjadi tak gugup lagi. Saat bahaya
sudah datang, aku menjadi ganas. Aku akan menghadapi
penyerangku; aku tak takut dan akan berkelahi sampai
akhir tanpa memikirkan akibatnya.
Peperangan terjadi, aku melempar Karim dengan
vas yang langka dan sangat mahal yang kebetulan ada di
dekatku. Ia menyelamatkan wajahnya dengan gerakan
cepat ke arah kiri. Vas itu hancur ketika mengenai lukisan Monet yang berharga
ratusan ribu dolar. Vas dan lukisan
bunga lili itu rusak. Dalam keadaan sangat marah, aku
menyambar patung gading oriental mahal dan melempar166 kannya ke kepada Karim. Dentaman dan suara keras, bersamaan dengan
teriakan kami, menggemparkan seluruh isi rumah. Para
perempuan dan pelayan menyerbu ke arah kami dengan
tangisan keras yang tiba-tiba. Pada saat itu, Karim baru menyadari aku sedang
menghancurkan ruangan, yang
berisi barang-barang berharga yang dicintai ayahnya.
Untuk menghentikanku, ia memukulku di rahang.
Kegelapan yang pekat meliputiku.
Ketika aku membuka mata, Marci sudah berdiri di
sampingku, meneteskan air dingin dari kain basah ke
wajahku. Aku mendengar suara keras di halaman
belakang dan menganggap bahwa kegemparan
perkelahianku dengan Karim masih berlanjut.
Marci mengatakan tidak, kekacauan baru itu disebabkan oleh Munir. Ayah Karim dipanggil oleh Raja
Faisal berkenaan dengan sebuah kontainer berisi alkohol
yang bocor menumpahkan cairan terlarang di jalan-jalan
di Riyadh. Si Sopir yang berkebangsaan Mesir berhenti di sebuah toko untuk
membeli sandwich, dan bau alkohol
yang merembes keluar, menyebabkan banyak orang
berkumpul. Saat ditahan oleh salah seorang anggota
Komite Amar Ma'ruf Nahi Munkar, si Sopir, karena
ketakutan, dengan suka rela menyebut nama Munir dan
pangeran lain. Pimpinan Dewan Syariah bersikap hati-hati dan menghubungi Raja.
Raja marah sekali. Karim dan ayahnya meninggalkan rumah dan pergi
ke istana Raja. Para sopir dikerahkan untuk mencari
Munir. Aku merawat rahangku yang membengkak dan
merancang rencana baru untuk membalas dendam pada
Norah. Aku bisa mendengar tangis sedihnya; aku bangkit
dan berjalan menuju tangga lingkar, menghirup udara
yang berisi sedu sedahnya. Sebagai seorang perempuan
167 yang tak terlalu saleh, aku ingin melihat dan merasakan
kesenangan penuh atas penderitaan yang dialami Norah.
Aku mengikuti arah tangisannya, yang ternyata
berasal dari ruang tamu. Aku ingin tersenyum tapi tak
bisa karena rahangku sakit. Norah lunglai tak berdaya di sudut ruang tamu,
menangis sambil berseru kepada Allah
agar melindungi anaknya tercinta dari kemurkaan Raja
dan para mutawa. Norah melihatku dan serta merta diam. Setelah
cukup lama diam, ia melihat ke arahku dengan mencela
dan berkata: 'Karim telah berjanji padaku akan
menceraikan kamu. Ia setuju dengan pepatah Arab bahwa
'orang akan mati sesuai dengan kebiasaannya'.
Karena tumbuh besar liar, maka tak ada tempat untuk orang sepertimu di keluarga ini.'
Norah, yang mengharapkanku menangis dan mengiba-iba, yang biasa dijumpai pada orang yang dianggap
tidak berdaya, meneliti wajahku dengan cermat.
Pada saat yang sama aku membalas bahwa aku
sendiri yang akan meminta cerai dari anaknya. Aku
menyatakan bahwa Marci sedang mengepak barangbarangku; aku akan meninggalkan rumahnya yang
menyesakkan nafas dalam satu jam. Untuk menguatkan
penghinaan yang kulakukan, aku menoleh ke belakang
dan mengatakan bahwa aku akan mempengaruhi ayahku
agar ikut menyerukan hukuman pada Munir sebagai
contoh bagi orang-orang yang suka meremehkan hukum
Islam. Anak yang sangat dihargai itu akan dicambuk atau
dipenjara atau bisa keduanya. Aku meninggalkan Norah
dengan rahangnya menganga ketakutan.
Keadaan sudah berbalik. Suaraku terdengar sangat
meyakinkan tanpa aku sendiri menyadarinya.
Norah tidak punya cara untuk mengetahui apakah
168 aku memiliki kekuatan agar ancamanku itu bisa
terlaksana. Ia mungkin bergembira jika anaknya menceraikan
aku; namun ia akan dibuat malu jika aku yang meminta
cerai. Di Arab, seorang perempuan menceraikan suami itu
sulit dilakukan namun bukannya tidak mungkin, karena
ayahku adalah seorang pangeran yang darahnya lebih
dekat dengan Raja pertama dibanding ayah Karim. Norah
gemetar, takut kalau-kalau aku berhasil menyerukan
hukuman bagi Munir. Ia tidak tahu bahwa ayahku lebih
suka melemparku keluar rumah karena kekurangajaranku,
dan aku tak tahu mau pergi kemana.
Perlu tindakan yang tepat untuk memperkuat
ancamanku. Ketika Marci dan aku muncul di pintu sambil
menenteng tas untuk meninggalkan rumah, pintu rumah
terbuka seperti meledak. Secara kebetulan, Munir, yang ditemukan di rumah
temannya dan disuruh pulang, baru saja sampai di rumah
dengan salah seorang sopir. Tak menyadari situasi bahaya yang mengancam dirinya,
ia bersumpah mendukungku ketika aku memberitahukan padanya bahwa ibunyalah
yang menyebabkan perceraian yang menanti anak lelaki
tertuanya. Gelombang optimisme yang jahat menyapu seluruh
tubuhku ketika Norah, yang takut dengan semakin
parahnya kemarahanku, mendesakku agar tak
meninggalkan rumah. Krisis ganda merongrong ketetapan
hati Norah; ia meminta maaf atas perseteruan sengit yang terjadi di akhir pekan
itu. Setelah meminta maaf berkali-kali karena kesalahannya, dengan enggan aku
tak jadi meninggalkan rumah. Ketika Karim pulang, aku sedang tidur, letih karena
perbuatan memalukan di sore hari itu. Aku mendengar
Karim meminta Munir untuk mempertimbangkan nama
169 baik ayahnya, sebelum melakukan tindakan yang
terlarang. Aku tidak harus bersusah payah mendengar
respon mulut besar Munir, yang menuduh Karim
membantu meminyaki mesin raksasa kemunafikan,
Kerajaan Arab Saudi. Raja Faisal dipuja-puja oleh sebagian besar orang
Saudi karena dedikasi dan gaya hidupnya yang saleh. Di
dalam keluarganya sendiri, ia mendapatkan rasa hormat
dari pengeran-pangeran yang lebih tua. Ia membawa
negara kami dari masa kegelapan pemerintahan Raja
Sa'ud menuju sebuah posisi yang dihargai dan bahkan
dikagumi beberapa negara tetangga. Tapi terdapat
perbedaan jauh antara pangeran-pangeran senior itu
dengan pangeran-pangeran muda.
Karena rakus dengan kekayaan tanpa kerja, anak
anak muda ini membenci Raja, yang memotong upah
mereka, melarang keterlibatan mereka dalam bisnis ilegal, dan mencaci mereka
ketika tersesat dari jalan yang baik.
Bahkan tak ada kompromi antara dua kubu ini, dan
kekacauan terus terjadi. Malam itu, meski sama-sama berada di ranjang kami
yang lebar, Karim tidur menjauh dariku. Di sepanjang
malam, aku mendengarnya bergerak-gerak dan
membolak-balik. Aku tahu ia tenggelam dalam pikiran
yang kacau. Aku jarang merasa bersalah ketika
merenungkan masalah pelik yang dihadapinya. Aku
berjanji kalau perkawinanku bisa selamat dari hari yang
menyedihkan itu, aku akan memperlembut sifatku.
Paginya, Karim berubah. Ia tidak mau bicara dan
menemuiku. Maksud baikku yang kurencanakan malam
harinya menghilang bersama datangnya cahaya pagi. Aku
berkata kepadanya dengan suara keras bahwa lebih baik
kita bercerai. Dalam hatiku, aku ingin ia mengajakku
berdamai. 170 Ia menatapku dan membalas dengan suara dingin
yang menakutkan: 'Terserah padamu, tapi kita baru akan
menyelesaikan perbedaan kita bila krisis dalam keluarga
sudah berlalu.' Karim melanjutkan bercukurnya, seolaholah aku tak mengatakan sesuatu yang luar biasa.
Musuh baru ini, ketidakacuhan, membuatku diam
dan duduk, menyanyi-nyanyi lembut tak karuan,
sementara Karim menyelesaikan berpakaian. Ia membuka
pintu kamar dan meninggalkanku dengan gagasan
perceraian: 'Sultana, kamu tahu, kamu memperdayaku
dengan semangat prajuritmu, yang tersembunyi di balik
senyum seorang perempuan.'
Setelah dia berangkat, aku berbaring di tempat tidur
dan terisak-isak sampai lelah.
Norah membujukku ke meja perdamaian, dan
menyelesaikan perbedaan kami dengan bahasa cinta. Ia
menyuruh salah seorang sopirnya mengantarku ke pasar
perhiasan untuk membelikanku kalung berlian. Aku cepatcepat pergi ke pasar emas dan membeli kalung emas
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
termahal yang dapat kutemukan. Aku menghabiskan lebih
dari 3000 Riyal Saudi ($80,000) dan tak memikirkan apa
yang akan dikatakan Karim. Sekarang aku melihat
kemungkinan perdamaian dengan perempuan yang bisa
menyebabkan duka cita yang tak berkesudahan bagiku
dan seharusnya dengan perdamaian ini perkawinanku
akan selamat. Minggu-minggu berlalu sebelum nasib Munir
diputuskan. Sekali lagi, keluarga kerajaan tak melihat
keuntungan mempublikasikan kesialan anggotanya.
Kemurkaan Raja sedikit melunak dengan usahausaha ayahku dan para pangeran yang berupaya
mengurangi pentingnya insiden ini sebagai kelakuan
seorang pemuda bodoh yang terpengaruh oleh kejahatan
dari Barat. 171 Menganggap aku ikut mempengaruhi ayahku dengan
entah bagaimana caranya, Norah sangat gembira dan
senang memiliki seseorang seperti aku sebagai
menantunya. Padahal sebenarnya tak demikian: aku tak
mengatakan apa pun kepada ayahku. Perhatian ayah
muncul karena aku telah menikah dengan keluarga ini dan
ia tidak ingin sebuah skandal muncul mencoreng pertalian dengan saudara lakilaki Karim. Ayah hanya peduli kepada dirinya sendiri dan Faruq.
Meskipun demikian, aku benar-benar senang dengan
keputusan itu dan aku adalah, tak pantas diakui, obat bius di mata mertuaku.
Sekali lagi, para mutawa dibuat diam oleh usaha Raja. Raja Faisal sangat
dihormati oleh Dewan Syariah
sehingga seruannya didengar dan ditaati.
Munir diikutkan dalam bisnis mertuaku dan dikirim
ke Jeddah untuk mengurus kantor baru. Untuk mengobati
rasa kecewanya, ia ditawari sebuah kontrak besar
pemerintah. Dalam beberapa bulan, ia bicara pada
ayahnya bahwa ia ingin menikah. Maka dicarilah seorang
sepupu yang cocok dan kebahagiaannya pun bertambah.
Dalam beberapa bulan, ia mulai tumbuh kuat dan
bergabung dengan pangeran-pangeran kerajaan yang
hidup demi mendapatkan lebih banyak uang sampai
rekening bank mereka berlimpah dan menghasilkan inkam
mencukupi dari bunganya, yang melebihi budget negaranegara kecil. Sejak kami bicara terakhir kalinya, Karim telah
pindah kamar. Ayah dan ibunya tak dapat berkata dan
berbuat apa pun untuk membujuknya mempertimbangkan
kembali keputusan bercerai.
Lebih manakutkanku lagi, satu minggu setelah pisah
ranjang, aku mengetahui kalau aku hamil. Setelah berfikir 172
lama, aku memutuskan bahwa aku tak punya pilihan
kecuali menggugurkan kandunganku. Aku tahu Karim tak
akan pernah setuju untuk bercerai jika menemukan aku
sedang mengandung. Tapi orang seperti aku tak
dibutuhkan oleh suami yang berada di bawah ancaman.
Aku berada dalam dilema, karena aborsi tidak biasa
di negeri kami banyak anak sangat diharapkan oleh
sebagian besar orang dan aku tak memiliki petunjuk yang
jelas ke mana harus pergi dan siapa yang harus kutemui.
Aku sulit mencari tahu. Akhirnya, aku mengutarakan
maksudku kepada salah seorang sepupuku yang
memberitahuku bahwa adik perempuannya hamil setahun
sebelumnya ketika sedang berlibur di Nice. Ia tak
menyadari kondisinya dan kembali ke Riyadh. Takut akan
diketahui oleh ayahnya, ia berusaha bunuh diri.
Sang ibu melindungi rahasia putrinya dan menemui
seorang dokter India untuk, dengan biaya sangat mahal,
melakukan aborsi terhadap putrinya itu. Dengan hati-hati aku berencana pergi
dari istana menuju kantor dokter
aborsi itu. Marci adalah wanita kepercayaanku.
Aku sedang menunggu, sangat sedih, di dalam
kantor dokter itu ketika wajah merah Karim muncul dari
pintu. Aku adalah perempuan bercadar di antara
perempuan bercadar lainnya, namun ia mengenaliku dari
abaya sutraku dan sepatu Italiaku yang berwarna merah.
Ia menarik dan mendorongku melewati pintu,
berteriak pada resepsionis bahwa sebaiknya kantor ini
segera ditutup karena ia, Karim, akan segera
memasukkan dokter itu ke penjara.
Aku tersenyum di balik cadarku, dan dengan sangat
lembut Karim menyatakan cinta dan makian kepadaku
secara bergantian. Matanya bercahaya dan membelalak!
Rasa takutku akan perceraian ia buang dengan
173 sumpah bahwa ia tak pernah memikirkannya; perceraian
yang hampir terjadi hanya dikarenakan harga diri dan
kemarahan belaka. Karim mengetahui rencana aborsiku dari Marci yang
membocorkannya pada pelayan lain di rumah. Pelayan itu
mengadu ke Norah, dan ibu mertuaku dengan penuh
ketakutan mencari Karim ke kantor kliennya dan dengan
histeris melaporkan bahwa aku sedang pergi membunuh
cucunya yang belum lahir.
Anak kami selamat pada saat itu juga. Aku harus
berterima kasih pada Marci.
Karim menggiringku ke dalam rumah sambil
memaki-maki. Di dalam kamar, ia menghujaniku dengan ciuman
dan kami pun berdamai. Butuh serangkaian musibah
untuk membawa kami pada puncak kebahagiaan. Dengan
ajaib semuanya berakhir baik-baik saja.
174 14 Ekspresi hidup yang paling lengkap dan kuat adalah
kelahiran. Mengandung dan melahirkan memiliki makna
yang lebih dalam dan indah dibandingkan seni ajaib mana
pun. Hal ini kuketahui ketika aku menunggu kelahiran
anak pertamaku dengan rasa bahagia.
Aku dan Karim dengan sangat cermat merencanakan
kelahiran ini. Perhitungan dilakukan sampai pada hal-hal yang kecil. Kami
memesan tiket ke Eropa empat bulan
sebelum tanggal yang diperkirakan. Aku akan melahirkan
di rumah sakit Guy di London.
Sebagaimana terjadi pada banyak rencana yang
dilakukan secara hati-hati, beberapa peristiwa kecil
menghalangi keberangkatan kami. Ibu Karim, yang tak
bisa melihat karena terhalang cadar barunya yang terbuat dari kain yang lebih
tebal dari biasanya, kakinya
menyandung kaki seorang perempuan badui tua yang
sedang duduk di pasar dan mata kakinya terkilir; seorang sepupu dekat yang harus
menandatangani kontrak 175 penting, meminta Karim menunda keberangkatannya; dan
kakakku Nura membuat takut keluarga dengan apa yang
dikatakan oleh dokter sebagai serangan radang usus
buntu. Segera setelah kami melewati tiga krisis tersebut,
tanda-tanda kesakitan melahirkan mulai timbul. Dokter
melarangku melakukan perjalanan. Aku dan Karim
menerima hal yang tak dapat dihindari itu dan mulai
mengatur persiapan kelahiran anak kami di Riyadh.
Sialnya, Rumah Sakit Khusus dan Pusat Penelitian
Raja Faisal yang akan memberi pelayanan medis mutakhir
untuk anggota kerajaan belum dibuka. Aku akan
melahirkan di sebuah institusi kecil di kota ini, yang
terkenal kotor dan para stafnya tak bersemangat.
Karena kami berasal dari keluarga kerajaan, kami
punya pilihan yang tak disediakan untuk orang Saudi lain.
Karim meminta tiga ruangan bersalin disulap menjadi
sebuah kamar kerajaan (royal suite). Ia menyewa tukang
kayu dan tukang cat lokal. Para dekorator interior dari
London didatangkan. Pita pengukur dan contoh-contoh
kain disediakan. Aku dan para kakakku dipandu menuju unit itu oleh
seorang administrator rumah sakit yang angkuh. Suite itu bernuansa biru tua
dengan bed cover dan tirai jendela dari bahan sutra. Sebuah tempat tidur bayi
besar dengan tutup sutra yang serasi dikunci dengan baut ke lantai,
menjaga jika seandainya ada seorang anggota staf yang
sembrono menyenggol tempat tidur itu dan membuat bayi
kami yang sangat berharga jatuh ke lantai! Nura tertawa
sampai terbungkuk-bungkuk ketika mendengar tindakan
pencegahan itu dan mengatakan padaku bahwa Karim
akan membuat keluarga gila dengan skemanya
melindungi anak-anak. Aku duduk diam ketika Karim menyampaikan
176 kepadaku bahwa enam orang staf akan segera tiba dari
London untuk membantuku melahirkan. Dokter bidan
terkenal dari London bersama dengan lima orang perawat
dengan keahlian tinggi, dibayar dengan upah yang sangat
mahal untuk melakukan perjalanan ke Riyadh tiga minggu
sebelum tanggal kelahiran yang diperkirakan.
Karena aku sebentar lagi melahirkan, Sara pindah ke
istanaku sampai akhir masa kehamilanku. Ia menjagaku
seperti aku menjaga dia, aku mengamatinya dengan teliti, kutangkap kesedihan
merundung kakakku tersayang.
Kukatakan pada Karim, aku takut Sara tak akan pernah
pulih dari trauma perkawinannya yang menjijikkan,
keadaan jiwanya yang hampa sekarang menjadi
permanen, padahal dulu ia adalah orang yang selalu
gembira dan memilki sifat yang riang.
Betapa tak adilnya hidup ini! Dengan keagresifan,
aku justru lebih bisa menghadapi seorang suami yang
kejam, karena seorang penggertak cenderung tidak
berdaya di hadapan seseorang yang mau berdiri
menghadapinya. Sara yang berjiwa damai dan lembut,
mudah menjadi mangsa suami liar yang sombong.
Tapi aku berterima kasih dengan kehadiran Sara
yang tenang. Ketika tubuhku bertambah besar, aku
menjadi gelisah dan tak dapat diprediksi. Karim, karena
gembira akan menjadi ayah, kehilangan semua
kesabarannya. Karena Asad, saudara laki-laki Karim, dan para
saudara sepupu datang dan pergi semaunya, maka ketika
meninggalkan apartemen kami di lantai dua, Sara harus
waspada untuk tetap memakai cadar. Memang, para lelaki
yang belum menikah akan ditempatkan di bagian lain,
namun mereka menjelajahi istana sepanjang waktu.
Setelah Sara berada di rumah kami selama tiga hari,
Norah mengirim pesan melalui Karim bahwa Sara tak
177 perlu memakai cadarnya ketika memasuki wilayah ruang
keluarga utama dan taman vila itu. Aku sangat gembira
dengan pelonggaran aturan yang sangat ketat membebani
hidup perempuan. Pada awalnya Sara merasa kuatir, tapi
ia segera melepaskan kain hitam itu dengan santai.
Di suatu malam yang cukup larut, Aku dan Sara
bersandar di kursi panjang rotan, menikmati udara malam
yang sejuk di taman keluarga. (Di kebanyakan istana
istana di Arab, ada taman khusus perempuan dan taman
keluarga). Tak disangka-sangka, Asad dan empat
kenalannya kembali dari sebuah pertemuan tengah
malam. Ketika mendengar para laki-laki itu mendekat, Sara
memalingkan wajahnya ke dinding, karena ia tak ingin
keluarga mendapatkan aib lantaran ia menunjukkan
wajahnya pada orang asing. Aku tak ingin mengikuti
gerakannya, sehingga dengan keras aku berteriak pada
Asad bahwa di taman ada perempuan-perempuan yang
tak bercadar. Para lelaki teman Asad secara tergesa-gesa melewati kami tanpa
memandang dan kemudian memasuki salah satu sisi pintu menuju ruang duduk lakilaki. Sebagai basa-basi, saat berjalan melewati tempat
kami Asad menanyakan di mana Karim berada dan
matanya secara tak sengaja berhenti di wajah Sara.
Reaksi fisiknya begitu tiba-tiba dan membuatku
takut kalau-kalau ia mendapat serangan jantung.
Tubuhnya tersentak aneh sekali sehingga aku
bergerak secepat yang dimungkinkan oleh perutku yang
besar dan mengguncang lengannya untuk membangkitkan
kesadarannya. Aku sungguh-sungguh cemas. Apakah ia
sakit" Wajah Asad memerah, dan ia tampaknya tak dapat
bergerak tanpa dibimbing; aku membawanya ke kursi dan
menyuruh dengan suara keras pelayan untuk
178 membawakan air. Ketika tak ada respon, Sara berdiri dan dengan
tergesa-gesa masuk ke dalam untuk mengambil air
sendiri. Asad, karena merasa malu, berusaha pergi,
namun aku meyakinkan bahwa dia hampir pingsan. Aku
bersikeras agar ia tetap duduk. Ia mengatakan ia tak apa-apa, namun ia tak dapat
menjelaskan mengapa ia tadi
tiba-tiba tak dapat bergerak.
Sara kembali dengan gelas dan sebotol air mineral
dingin. Tanpa melihat Asad, ia menuangkan air dan
menyodorkan gelas ke bibir Asad. Tangan Asad
bersentuhan dengan jari-jari Sara. Mata mereka
bertatapan. Gelas terlepas dari genggaman Sara dan jatuh ke lantai. Sara berlari
melewatiku masuk ke dalam rumah.
Aku meninggalkan Asad dengan para temannya
yang turut resah dan ikut masuk ke taman. Mereka
menjadi lebih bingung melihat wajahku dibanding perutku
yang menonjol besar. Tanpa peduli aku berjalan
bergoyang-goyang melewati mereka, dan memberikan
ucapan salam di hadapan mereka. Merekapun merespon
dengan malu-malu. Saat tengah malam, Karim membangunkanku. Ia
dicegat oleh Asad ketika sampai di taman. Karim ingin
tahu apa yang terjadi di taman. Dengan mengantuk aku
ceritakan peristiwa malam itu dan menanyakan tentang
Princess Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi Karya Jean P Sassion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan Asad. Aku duduk terkejut ketika Karim menjawab bahwa
Asad bersikeras ingin menikahi Sara. Ia menyatakan pada
Karim bahwa ia tak akan bisa bahagia jika Sara tak
menjadi istrinya. Padahal, beberapa minggu sebelumnya,
ia membuat sedih ibunya dengan berapi-api bersumpah
tak akan mau menikah. Aku heran. Kukatakan pada Karim, melihat perilaku
179 Asad di taman, memang mudah menduga bahwa ia
tertarik pada Sara. Tetapi desakannya untuk menikah
sungguh tak dapat dipercaya! Setelah pandangan
menyenangkan yang sangat singkat" Aku tak percaya
dengan omong kosong itu dan kembali berbaring.
Saat Karim sedang mandi, aku memikirkan kembali
peristiwa itu dan beranjak dari tempat tidur. Aku
mengetuk pintu kamar Sara. Karena tak ada jawaban, aku
dengan perlahan mendorong pintu sampai terbuka.
Kakakku sedang duduk di balkon menatap bintang
yang bertabur di langit. Dengan sangat sulit, aku bergerak menuju pojok
balkon dan duduk, diam. Tanpa melihat ke arahku, Sara berkata dengan
pasti. 'Ia hendak menikahiku.'
'Ya,' aku mengiyakan dengan suara kecil.
Dengan berbinar-binar Sara melanjutkan. 'Sultana,
aku lihat masa depanku ketika aku menatap jauh
menembus jiwanya. Ini adalah laki-laki yang dilihat Huda ketika ia mengatakan
aku akan mengenal cinta. Ia juga
mengatakan, sebagai hasil dari cinta ini, aku akan
melahirkan enam orang anak ke dunia.'
Aku menutup mataku mengingat-ingat kata-kata
Huda dulu di rumah orangtua kami. Aku ingat kata-kata
tentang ambisi yang tak akan terealisasi dan kata-kata
tentang perkawinan, tapi sedikit dari pembicaraan itu
yang masih segar dalam pikiranku. Aku gemetar ketika
aku menyadari bahwa banyak ramalan Huda yang menjadi
kenyataan. Aku berusaha keras menolak gagasan tentang cinta
pada pandangan pertama. Tapi aku tiba-tiba ingat gelora
perasaanku pada hari pertama aku bertemu Karim. Aku
menggigit lidahku dan tak bersuara.
180 Sara mengelus-elus perutku. 'Tidurlah Sultana.
Anakmu butuh istirahat. Takdirku akan menghampiriku.'
Ia mengalihkan tatapannya kembali ke bintangbintang. 'Katakan pada Karim bahwa Asad harus bertemu dan
berbicara pada ayah tentang persoalan ini.'
Ketika aku kembali ke ranjang, Karim masih belum
tidur. Aku mengulangi kata-kata Sara, dan ia
menggeleng-gelengkan kepalanya heran dan berkomat
kamit bahwa hidup ini benar-benar aneh, dan kemudian ia
Pendekar Muka Buruk 1 Wiro Sableng 019 Pendekar Dari Gunung Naga Dewi Maut 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama