Ceritasilat Novel Online

Puri Rodriganda 8

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 8


mengawal Anda." "Sebenarnya saya tidak merasa takut kepada pengawal Anda. Tetapi hati nurani
saya bersih, maka saya memutuskan ikut Anda tanpa mengadakan perlawanan."
"Itu sangat bijaksana, senor. Kita harus pandai menilai situasi kita. Tidak baik
membesar-besarkan sesuatu. Saya yakin segera Anda akan dibolehkan kembali. Dan
saya akan sangat bergembira, bila mendapat kehormatan mengantar Anda kembali."
"Apakah mereka di Rodriganda diberitahu tentang kepergian saya?"
"Ya." Ini pun tidaklah benar, karena kecuali tiga orang yang bersekongkol itu tiada
orang lain yang mengetahui, ke mana kereta itu pergi. Dengan demikian percakapan
pendek itu berakhir. Sternau tenggelam dalam berbagai dugaan dan pejabat itu
tidak menunjukkan keinginan untuk melanjutkan percakapan. Petang hari mereka
tiba di Barcelona. Kereta itu berhenti di muka sebuah gedung kuno dan gelap.
Jendela-jendela gedung itu diberi terali kuat-kuat.
"Turun di sini!" kata pejabat itu.
Ketika Sternau turun dari kereta terlihat lagi olehnya keempat orang prajurit
yang tadi mengikutinya. Ia dikawal melalui sebuah pintu ke dalam sebuah lorong
gelap. Lorong itu membawa mereka ke sebuah tangga memutar yang sempit. Kemudian
mereka masuk sebuah ruang besar yang kosong, yang hanya berjendela sebuah tetapi
berpintu beberapa buah. "Tunggu sebentar, senor!" kata kepala polisi.
Ia mengetuk salah sebuah pintu, kemudian masuk ke dalam ruang sebelah dengan
meninggalkan keempat prajurit itu. Setelah menanti beberapa lama pejabat itu
kembali lagi. "Masuk!" katanya pendek sambil menunjuk ke arah pintu tempat ia baru keluar.
Pintu itu dikuncinya kembali di belakang Sternau.
Dokter sedang di dalam sebuah ruangan, yang jendela-jendelanya diberi berterali
besi. Di sepanjang tiga dindingnya terdapat almari tinggi-tinggi berisi susunan
surat-surat. Di hadapan sebuah jendela tampak olehnya sebuah meja tulis besar.
Di belakang meja tulis itu duduk seseorang bertubuh kecil, yang mengamatinya
dengan pandangan menyengat melalui sebuah kacamata berbingkai tebal. Setelah
beberapa saat berlalu orang itu mengambil sehelai kertas dan sebatang pena lalu
bertanya, "Siapakah nama Anda?"
"Karl Sternau."
"Dari mana?" "Mainz." "Di mana letak kota itu?"
"Di Jerman." "Jadi Anda seorang Jerman. Apa pekerjaan Anda?"
"Saya seorang dokter. Tetapi izinkan juga saya bertanya! Siapakah Anda dan untuk
apa saya dibawa ke mari"
"Saya adalah Juez de lo criminal. Begitulah panggilan Anda pada saya dan untuk
apa Anda ada di sini akan Anda dengar sendiri, kalau Anda sudah mulai ditanya."
"Saya ditanya. Seolah-olah saya sudah seperti ditahan!"
"Bukan hanya kedengaran demikian, melainkan Anda sudah benar-benar ditahan,"
jawab orang kerdil itu sambil tersenyum gembira. "Selanjutnya janganlah Anda
mengira, bahwa Anda mempunyai kesempatan mengajukan berbagai pertanyaan! Sayalah
yang berhak bertanya, Anda tinggal menjawab. Berapa usia Anda?"
"Tiga puluh tahun."
"Sudah pernahkah Anda berurusan dengan pengadilan?"
"Belum." "Sudah menikah?"
"Belum." "Anda memiliki harta benda?"
"Tidak." "Jujurkah ucapan Anda?" tanya hakim sambil melirik.
"Jujur." "Berapa jumlah uang tunai yang Anda miliki?"
"Kira-kira tiga puluh duro."
"Serahkan kepada saya!"
Sternau menyerahkan dompet dan pejabat itu menghitung isinya. Kemudian dicatat
oleh pejabat tersebut jumlah uang itu, seperti juga dicatatnya setiap jawaban
dari Sternau. "Di mana Anda akhir-akhir ini?" tanya pejabat itu kemudian.
"Di Rodriganda."
"Dan sebelumnya?"
"Di Paris." "Mengapa Anda tidak tinggal di Paris saja?"
"Karena saya diminta datang ke Rodriganda untuk menyembuhkan penyakit don
Manuel." "Anda telah merawatnya?"
"Ya." "Bolehkah Anda melakukan pekerjaan itu?"
"Siapa yang dapat melarang saya?"
"Saya dapat!" kata orang kerdil itu dengan nada tegas. "Sudahkah Anda diangkat
menjadi dokter di Rodriganda" Anda sudah mendapat izin resmi?"
"Belum." "Anda sudah menempuh ujian di Spanyol?"
"Belum." "Anda sudah membayar pajak pendapatan di Spanyol?"
"Belum." "Namun Anda berani juga membuka praktek dan mengobati orang sakit! Nah, dalam
sidang yang pertama sudah terbukti pelanggaran pertama. Kini Anda boleh
meninggalkan ruangan."
"Anda tadi menyinggung-nyinggung tentang sidang pertama. Apakah hal itu berarti
bahwa masih ada sidang-sidang lain yang akan menyusul?"
"Tepatlah dugaan Anda. Masih banyak, banyak sekali sidang yang akan menyusul!"
"Dan bagaimana dengan saya" Saya ditempatkan di mana sementara ini?"
"Di mana" Pertanyaan yang sungguh bodoh! Anda tetap di sini dalam naunganku! Di
lantai kedua, sel nomor empat. Itu sudah diputuskan."
"Apakah hal itu berarti bahwa saya sudah ditahan?"
"Tentu!" kata orang kerdil itu sambil mengedipkan mata.
"Dengan tuduhan apa?" tanya Sternau, kini benar-benar menjadi berang.
"Itu akan Anda dengar kemudian."
"Siapa yang mengadukan saya?"
"Senor, saya berhak mendapat jawaban!" tukas Sternau.
Orang kerdil itu makin gembira dan menjawab sambil mengedipkan mata,
"Baik, Anda berhak, tetapi saya pun berhak menolak memberi jawaban."
"Anda telah mendengar dan mencatat pula, bahwa saya seorang berbangsa Jerman.
Kini saya ingin menghadap kepada konsul Jerman!"
"Baik, baik! Akan saya usahakan!"
"Sekarang juga, senor!"
"Ya, tentu! Tentu!"
Hakim itu mengedipkan mata dengan gembira kepada tahanannya lalu membunyikan
lonceng. Segera masuk seorang petugas yang berwajah suram dan bertubuh kekar,
yang mengamati Sternau dengan teliti.
"Senor ini ingin menghadap konsul Jerman," kata hakim kepadanya. "Antarkan dia
ke tempat konsul! Tetapi cepat, cepat!"
Orang itu menyeringai seperti seekor singa laut, menunjuk ke arah pintu dan
berkata, "Ayo! Keluar!"
Ini sudah agak keterlaluan bagi Sternau. Ia memandang kepada orang itu, namun
menahan diri dan berkata kepada hakim.
"Bolehkah saya mendapat dompet saya kembali, senor?"
"Boleh," jawab hakim sambil mengedipkan mata lagi, "Anda boleh minta, namun itu
tidak berarti, bahwa Anda akan mendapatnya kembali. Menurut peraturan di sini,
tidak seorang pun diperkenankan membawa dompet dalam saku. Tempat ini bukanlah
pasar. Ayo, pergi menghadap konsul!"
Sudah nyata bagi Sternau bahwa orang kerdil itu sedang mempermainkannya. Maka
sikap sebaiknya ialah tidak menghiraukan ucapan-ucapannya dan menurut saja. Kini
ia menjadi seorang tahanan, namun ia tidak akan tetap dalam keadaan ini. Karena
itu ia tunduk saja kepada penjaga penjara dan mengikutinya naik tangga. Mereka
masuk sebuah lorong gelap yang bernomor dua. Kiri kanan lorong terdapat sel-sel.
Di hadapan sebuah pintu yang bertuliskan nomor "empat", penjaga itu berhenti
lalu mengeluarkan anak kunci seberkas. Kemudian dibukanya dua buah pintu yang
bersalut pelat-pelat besi.
"Ayo! Masuk!" Tampak perbendaharaan kata penjaga itu semata-mata terdiri dari dua kata itu.
Setelah Sternau mematuhi perintah dan masuk ke dalam, kedua pintu itu ditutup
dan dikunci erat-erat di belakangnya. Ia tiba-tiba menjadi seorang tahanan
terasing. Suatu perasaan aneh dialaminya, serupa dengan yang dialami seseorang
yang masuk ke dalam air lalu ia merasa ombak-ombak bertaut di atas kepalanya.
Kini ia dalam gelap gulita, terasing dari segala keramaian dunia. Ia bukan
manusia lagi, bukan manusia bebas yang dapat menentukan nasibnya sendiri. Ia
tiada bernama lagi, ia hanya dipanggil dengan nomor selnya. Ia dapat merana dan
mati tanpa dihiraukan orang.
BAB III PURI DALAM KEADAAN PORAK-PORANDA
Setelah puteri Roseta mengantar sahabatnya dengan kereta pos ke Pons, ia kembali
lagi ke Rodriganda. Cepat ia berganti pakaian, lalu pergi ke penjaga puri. Ia
menjumpai penjaga puri suami isteri sedang asyik bercakap-cakap tentang pokok
yang paling disukai dua orang itu: mereka bercakap tentang dokter Sternau.
"Dokter itu di rumah?" tanya gadis itu.
"Tidak," jawab Alimpo. "Ia telah pergi, condesa, Elviraku pun berpendapat
demikian." "Ke mana?" "Entahlah," kata isteri penjaga puri.
"Ia telah naik sebuah kereta asing, demikian juga dikatakan Alimpo."
"Milik siapakah kereta itu?"
"Milik penguasa daerah Manresa."
"Wah!" seru Roseta terkejut. "Elvira, coba ceriterakan yang telah terjadi!"
"Beginilah kejadiannya," kata isteri penjaga puri mulai dengan ceriteranya.
"Saya telah melihat sebuah kereta kuda datang. Kepala polisi turun dari kereta
dan pergi mengunjungi senor Gasparino. Setelah itu ia mengunjungi senor Sternau
pula. Senor Sternau kemudian pergi bersama kepala polisi naik kereta ke arah
Manresa." "Baik! Alimpo, suruh segera siapkan kereta dengan dua ekor kuda yang masih
segar!" Roseta pergi, langsung menuju ke kamar notaris, yang sedang duduk menghadapi
surat-surat penting. Jarang sekali tuan puteri datang mengunjunginya. Itulah
sebab maka ia merasa heran, mendapat kehormatan itu.
"Silakanlah duduk, dona Roseta. Apa yang menyebabkan saya mendapat kehormatan
kunjungan Anda ini?" katanya sambil bangkit dan menawarkan kursi.
"Saya tidak perlu duduk," tangkis gadis itu. "Saya hanya datang untuk mengajukan
sebuah pertanyaan: Anda telah melihat senor Sternau" Ia telah pergi naik
kereta." "Saya tidak mengetahui hal itu."
"Bersama kepala polisi dari Manresa?"
"Saya tidak tahu," jawab bedebah itu sambil menggelengkan kepala keheranheranan. "Jadi benarkah Anda tidak mengetahui bahwa kepala polisi telah datang di
Rodriganda" Tidak mengetahui juga bahwa ia datang mengunjungi Anda?"
"Tidak." "Dusta!" seru Roseta dengan berang. "Anda pembohong yang tiada kenal malu!"
"Condesa!" jawabnya dengan nada hampir mengancam.
"Anda berani di hadapan saya berbicara seperti itu! Kini saya akan datang kepada
kepala polisi untuk minta keterangan. Camkanlah ini: Bila saya dapat menangkap
basah Anda sedang mengharu-biru dengan cara-cara yang cukup licik, saya akan
segera punahkan segala daya-upaya dan pengaruh jahat yang datang dari pihak
kalian bertiga, Adios."
Roseta bergegas pergi, meninggalkan Cortejo yang diam terpaku di hadapan
jendela, tercengang melihat sikap gadis yang penuh dengan ketegasan dan
keberanian. Setelah dilihatnya gadis itu naik kereta, ia pergi mengunjungi
rekannya. Wanita itu pun sedang mengamati Roseta melalui jendela.
"Ia pergi lagi," kata Clarissa. "Tahukah ke mana ia pergi?"
"Tahu. Ke Manresa, untuk menanyakan kepada kepala polisi tentang Sternau."
"Ia sudah mulai berbahaya pula, Gasparino!"
"Memang demikian, saya akan mengambil tindakan seperlunya. Tahukah kamu cara
memberi minum dia beberapa tetes?"
"Itu mudah asal saya mendapat ramuan itu."
"Bilamana dapat dikerjakan?"
"Pada saat minum teh pada sore hari."
"Dan bila ia meminumnya di dalam kamarnya?"
"Ia hanya minum dari cangkir yang khusus disiapkan oleh isteri penjaga puri.
Serahkan hal itu kepadaku!"
"Baik. Akan kuberikan kepadamu ramuan itu."
"Dan bagaimana dengan upahku?" tanya Clarissa dengan tiada sabar.
Cortejo pun kehilangan sabarnya dan menjawab dengan berang,
"Kau akan mendapat separuh dari harta tuan puteri."
"Hanya separuhnya" Separuh lagi hendak kau apakan?"
"Itu adalah bagianku. Bagian Alfonso tidak boleh dikurangi, maka harta Roseta
lah yang kita bagi berdua."
"Setuju! Maka usahakanlah supaya aku segera mendapat ramuan itu."
Orang jahat itu kembali lagi ke kamarnya. Ia mengisi sebuah botol kecil dengan
air dan memasukkan tiga tetes racun ke dalamnya. Setelah larutan itu dikocok
dengan baik, diberikannya botol itu kepada Clarissa dengan disertai keteranganketerangan, bagaimana cara menggunakan ramuan itu.
Dalam pada itu Roseta sudah sampai di Manresa. Ia menghentikan kereta di hadapan
rumah kepala polisi. Isteri kepala polisi keluar dan merasa heran mendapat
kunjungan tamu besar itu. Ia mengantar Roseta ke kamar yang paling baik.
"Boleh saya bicara dengan senor?" tanya tuan puteri.
"Maaf. Suami saya sedang tidak di rumah. Ia telah pergi untuk urusan dinas,
karena ia dikawal oleh empat orang polisi bersenjata."
"O, begitu!" bisik Roseta lalu menjadi pucat pasi. "Kemana perginya?"
"Entahlah. Suami saya tidak banyak bicara mengenai perkara-perkara yang
ditanganinya." "Tahukah Anda barangkali, siapa atau apa yang mungkin menjadi sebab-musabab
kepergian itu?" "Saya rasa saudara Anda, don Alfonso."
"Alfonso" Ia ke mari?"
"Ya. Ia ke mari naik kuda. Ia dalam keadaan tergesa-gesa. Suami saya segera
menyuruh panggil beberapa orang polisi."
"Ia tidak mengatakan, bilamana ia akan kembali?"
"Tidak." "Esok hari saya akan kembali lagi."
Roseta pergi. Apa yang telah didengarnya sudah cukup membuat hatinya waswas.
Secepat mungkin ia kembali ke Rodriganda. Segera ia menyuruh panggil saudaranya.
Alfonso sudah diberitahu notaris mengenai keadaannya dan ia tidak merasa gentar
menghadapi saudaranya itu.
"Kau tadi pergi ke Manresa, bukan?" tanya Roseta.
"Benar," jawab saudaranya acuh tak acuh.
"Untuk urusan apa?"
"Untuk urusan apa" Untuk urusan apa lagi kalau bukan untuk urusan hari ini!"
"Apa maksudmu dengan "urusan hari ini" itu?" tanya tuan puteri dengan nada
tajam. "Tentu perihal pencarian mayat itu."
"Benarkah demikian?"
"Apa lagi kalau bukan itu" Kau tampak gelisah. Apakah gerangan yang menjadi
sebab?" "Memang aku gelisah. Mengapakah sampai diperlukan empat orang polisi untuk
mengawal?" "Khabarnya mayat itu telah dilempar ke dalam ngarai," kata Alfonso berbohong
membabi-buta. "Polisi-polisi sedang mengejar pelaku kejahatan itu."
Roseta terpedaya oleh perkataan itu. "Benarkah demikian" Lalu kau bertemu dengan
Sternau" Aku sedang mencarinya."
"Aku tidak melihatnya."
"Baik. Kau boleh pergi."
Alfonso menjawab dengan nada mengejek,
"Pangeran Alfonso de Rodriganda tidak membiarkan dirinya diperintah seperti


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang abdi. Aku tidak akan pergi!"
Gadis itu memandangnya dengan tiada mengerti. "Kau benar-benar tak kenal malu."
"Apa sebab engkau berperangai seburuk itu" Apakah engkau kurang menyukaiku" Aku
sungguh butuh akan kasih sayangmu sebagai saudaraku yang tercinta. Untuk
memudahkan kembali hubungan yang lebih mesra di antara kita, saya ingin memberi
contoh ciuman kepadamu."
Alfonso menghampiri saudaranya lalu hendak memeluknya. Namun gadis itu menampar
mukanya dengan serta-merta.
"Enyahlah kamu!" serunya. "Aku benci kepadamu. Aku jijik melihat permainan
sandiwaramu yang kotor."
"Apa katamu?" tanya Alfonso dengan berang.
"Bahwa engkau bukanlah saudaraku. Engkau tidak lain seorang penipu, seorang
pemalsu ulung!" "Bukan saudaramu" Habis?"
"Itu akan nyata sekembali Sternau kemari. Dan bila ia sampai tidak kembali, kau
masih harus bersiap-siap menghadapi pembukaan kedokmu, yang akan menggemparkan
seluruh negeri!" "Baik, bila keinginanmu demikian!" desis Alfonso. "Penipu, pemalsu, kau namakan
aku" Terpaksa kubiarkan kau menamparku, karena kau adalah seorang wanita, tetapi
yang lain-lain tidak dapat kumaafkan!"
Kemudian ia pergi dengan kesombongan seorang penjahat yang mengetahui cara
membalas dendam bisa tiba waktunya. Roseta menyuruh panggil isteri penjaga puri
untuk mendampingi selanjutnya.
"Senor Sternau di mana, condesa?" tanya wanita itu setelah tiba di kamar tuan
puteri. "Ia ditahan." Elvira sangat terkejut dan berkata,
"Ditahan" Masya Allah! Tetapi mengapa" Ia tidak bersalah, saya mengetahui dengan
pasti. Ia selalu jujur, patuh dan setia. Belum pernah saya melihat orang sebaik
dia. Lagi pula ia seorang yang gagah perkasa dan kuat. Anda harus melihat dia di
Bateria, bagaimana ia memegang pangeran Alfonso dan mengacungkan tubuhnya ke
atas ngarai itu. Suatu pemandangan yang luar biasa. Demikian juga kata
Alimpoku." "Aneh! Senor Sternau tidak menceritakan hal itu kepadaku. Ia hanya mengatakan,
bahwa ia telah memeriksa mayat itu."
"Memang, demikian sifat senor Sternau, tidak suka membual. Pangeran Alfonso
hendak memukulnya. Namun cepat-cepat dipegangnya tubuh pangeran dan diangkatnya
ke atas ngarai itu."
Mata Roseta berseri-seri karena merasa bangga.
"Bahkan dikatakan juga, Alfonso harus membuktikan lebih dahulu, bahwa ia benarbenar putera pangeran Manuel," tambah Elvira dengan agak ragu-ragu. "Alimpoku
telah mendengarnya juga."
"Benarkah itu dikatakannya" Tentu saja Alfonso merasa dirinya terhina benar."
"Orang-orang pun sudah lama mempunyai pendapat demikian. Senor teniente...."
"Apa yang terjadi dengan senor itu?" tanya Roseta kepada Elvira yang agak raguragu. "Banyak benar persamaannya dengan pangeran, matanya, bahkan suaranya pun. Tidak
nyatakah hal itu kepada tuanku?"
"Memang demikian pula kesanku. Ketika ayah pertama kali melihat dikiranya juga
ia berhadapan dengan anaknya."
"Alangkah baik bila keadaan sesungguhnya pun demikian," kata Elvira dengan
sangat berharap. "Senor Sternau yakin tentang hal itu. Ia pun mengetahui bahwa senor teniente
telah diculik orang dan disembunyikan dalam sebuah kapal laut."
"Diculik" Dalam sebuah kapal laut?" tanya Elvira terperanjat. "Mengapa?"
"Supaya ia tidak dapat membuka rahasia para penipu itu. Akan tetapi mengenai hal
itu lain kali masih banyak yang akan kau dengar, Elvira yang baik. Karena engkau
sepanjang malam ini harus tinggal bersamaku dan melayaniku."
Beberapa jam kemudian, setelah malam tiba, seorang penunggang kuda yang tiada
berteman menghentikan kudanya di tepi hutan. Ia turun dari kuda dan
menambatkannya pada semak-semak. Kemudian ia melangkah ke puri, naik tangga lalu
mengemukakan keinginannya kepada seorang abdi untuk berbicara dengan senor
Gasparino Cortejo. "Siapakah Anda?" tanya abdi itu.
"Seorang kawan senor, yang ingin menyampaikan sebuah pesan kepadanya," jawabnya.
Orang yang tak dikenal itu diizinkan masuk. Cortejo seorang diri di dalam
kamarnya. "Anda menyebut diri Anda sebagai kawan saya," kata Cortejo. "Saya tidak kenal
pada Anda." "Masa tidak kenal! Coba lihat sekarang."
Orang itu menanggalkan janggut serta rambut palsunya, lalu segera dapat dikenal.
"Capitano!" seru Cortejo terkejut.
"Memang capitano datang ke mari untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Di mana
letnan sekarang?" "Saya tidak mengetahui!"
"Masa tidak mengetahui! Anda dapat dusta pada orang lain, tetapi saya tidak.
Letnan sekarang tidak di tempat."
"Itu bukan urusan saya."
"Itu urusan Anda juga. Anda tentu belum melupakan perjanjian kita. Bukankah Anda
ingin supaya ia dibunuh?"
"Memang. Bukan hanya dia, dokter pun juga. Mengapa Anda tidak memenuhi janji?"
"Karena saya ingin memastikan dahulu, apakah Anda sendiri dapat memenuhi janji
berkenaan dengan diri letnan itu."
"Sebaiknya kita berhenti saja bermain kucing-kucingan! Anda mengakui juga, bahwa
letnan itu tidak lain adalah pangeran Alfonso de Rodriganda."
"Benar." "Apa sebab Anda mengirimkannya ke mari?"
"Itu urusan saya."
"Tahukah ia, siapa ia sebenarnya?"
"Tidak. Di mana ia sekarang?"
"Ia sudah mati."
Perampok itu mundur selangkah. Pada saat itu jubahnya terbuka dan memperlihatkan
senjata-senjata yang dibawanya tersisip di pinggangnya.
"Mati!" serunya. "Astagfirullah, Anda akan membayar mahal untuknya! Akan saya
umumkan betapa hina martabat Anda."
"Bukankah Anda sendiri akan lebih terkena oleh perbuatan Anda itu, karena Anda
telah bersekutu dengan saya."
"Surat yang telah Anda tandatangani akan saya serahkan kepada pengadilan. Saya
membawa surat itu untuk menukarkannya dengan letnan. Katakanlah, ia sudah mati
atau belum." Pada muka notaris yang menyerupai burung buas itu terbayang senyum riang.
Jawabnya, "Akan saya perlihatkan pada Anda sepucuk surat yang bersangkut paut dengan
perkara ini. Tunggulah sebentar!"
Notaris pergi ke kamar sebelah. Di situ ia mengambil sepucuk pistol yang sudah
berisi serta sepucuk surat.
"Bedebah itu datang tepat pada waktunya," bisiknya dengan menyindir. "Kini aku
sambil menyelam minum air. Aku akan memperoleh kembali tanda tanganku serta
serentak kehilangan lawan yang berbahaya ini. Nyata akulah yang menjadi
pemenang!" Ia kembali lagi dengan sepucuk surat di tangannya.
"Tetapi saya harus memastikan lebih dahulu, bahwa Anda membawa surat itu,"
katanya sambil mengamati perampok itu.
"Saya bawa di sini," kata perampok itu sambil menepuk dadanya.
"Nah, bacalah!"
Cortejo menyerahkan surat kepada capitano. Perampok itu membuka lipatan surat
itu. Dalam sekejap mata diketahuinya bahwa surat itu hanyalah sepucuk surat
dagang biasa yang sama sekali tidak berhubungan dengan sang letnan. Agak bingung
ia memikirkan maksud sebenarnya yang terkandung dalam hati lawannya itu. Ketika
ia mengangkat pandangannya, ia sangat terkejut melihat moncong laras pistol
langsung diarahkan kepadanya.
"Nah, kini mampuslah kamu, anjing!" seru notaris.
Perkataan itu diikuti oleh letusan pistol dan perampok itu rebah ke atas tanah.
Sebuah peluru telah menembus dahinya. Langsung notaris mengunci pintu dan
menanggalkan baju si perampok. Ternyata sakunya kosong semua.
"Aku sudah ditipu!" kata notaris. "Selama surat itu di tangan kepala perampok
sendiri, tak perlu aku merasa khawatir. Tetapi bila ditemukan orang-orangnya,
matilah aku!" Kini terdengar bunyi langkah kaki; orang di lorong. Mereka telah mendengar bunyi
tembakan, sehingga berdatangan ke tempat itu untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Cepat-cepat dibereskan lagi oleh notaris letak pakaian perampok itu. Kemudian ia
mencabut sepucuk pistol dari ikat pinggangnya. Pistol itu diletakkannya di atas
tanah, lalu ia membuka pintu.
"Masuklah!" katanya. "Saya telah diserang."
Para abdi beramai-ramai masuk ke dalam. Alfonso, Clarissa dan Alimpo terdapat di
antara mereka. "Tubuh yang tergolek di hadapan kalian, tubuh seorang perampok yang buas," kata
Cortejo. "Ia mengaku sebagai seorang kawan saya, tetapi ketika kami hanya berdua
saja, ia mengancam dan memeras saya. Saya pura-pura bersedia menuruti
kehendaknya, namun saya sebenarnya pergi mengambil pistol. Dengan pistol itu
saya menebaknya mati."
"Astagfirullah, ada perampok, perampok sungguh-sungguh!" seru Clarissa terkejut.
"Lihat rambut dan janggut palsunya!"
"Geledah semua pakaiannya!" perintah Cortejo, yang masih belum putus harapan
untuk menemukan surat itu di sela-sela pakaian korban. Namun mereka hanya dapat
menemukan sebuah pundi-pundi penuh berisi uang.
"Bawa tubuh itu ikut saya ke kamar condesa ke ruang di bawah tanah. Esok baru
saya laporkan kepada polisi. Lantai kamar ini harus segera dipel."
Perintah itu segera diturut. Setelah para abdi meninggalkan ruang itu, sehingga
hanya tiga orang itu tinggal di dalamnya, Alfonso bertanya,
"Ayah mengenal orang itu?"
"Tidak." "Hm, bukankah ia orang yang ayah namakan "capitano" itu" Tampak ayah telah
bertengkar dengannya dan ayah sempat membebaskan diri daripadanya."
"Aku sungguh tidak mengenalnya. Tetapi bagaimana rencana kita, masih akan
menghadiri jamuan teh bersama Roseta?"
"Tidak," jawab Clarissa. "Ia sudah minum teh di kamarnya sendiri."
Dari nada kalimat yang diucapkan serta dari air muka wanita itu dapat diketahui
notaris, bahwa air teh itu sudah dibubuhi beberapa tetes racun.
Alimpo menceritakan pengalamannya kepada condesa dan Elvira. Lama mereka
berbincang-bincang tentang hal itu. Namun sehabis Roseta meminum air tehnya, ia
menyatakan keinginannya hendak pergi tidur, karena kesibukan yang dialaminya
sepanjang hari membuat kepalanya merasa pening.
Keesokan paginya datang seorang dayang condesa dengan tergesa-gesa kepada isteri
penjaga puri dan berkata sambil menangis, "Elvira sayang, lekaslah ikut saya ke
kamar condesa. Ada sesuatu yang tidak beres. Tuan puteri sedang sakit."
"Astaghfirullah! Memang semalam condesa sudah mengeluh tentang sakit kepala."
Elvira meninggalkan pekerjaannya, langsung pergi mengikuti dayang itu. Di dalam
kamar tidur Roseta, mereka melihat condesa sedang berlutut dengan wajah pucatpasi. Tampak ia seolah-olah sedang berdoa.
"Condesa kesayangan kami, sadarlah!" demikian ajakan dayang itu.
Roseta tidak bergerak sedikit pun.
"Lihat," keluh dayang itu, "demikian juga sikap tuan puteri ketika saya
menemukannya. Saya berusaha menyadarkan, mengangkat dan mendudukkannya ke atas
kursi, tetapi tiap kali ia kembali kepada sikap semula, berlutut dan berdoa. Apa
yang harus saya perbuat?"
Kedua wanita itu mengangkat dan merebahkannya ke atas divan. Namun Roseta
menggelosor ke bawah dan berlutut kembali dengan melipat tangannya seakan-akan
hendak berdoa. "Benarlah. Tuan puteri sedang sakit, sakit payah!" seru Elvira. "alangkah
baiknya, bila senor Sternau di sini. Tampak tuan puteri tidak sadarkan diri."
"Celaka kita! Apa daya, senora Elvira?" rintih dayang itu.
"Tanpa Alimpo-ku saya pun bingung. Tolong panggil dia!"
Dayang itu bergegas pergi memanggil penjaga puri yang amat terkejut. Si sakit
sedang berlutut dengan mata terkatup serta tangan terlipat di hadapan divan.
Alimpo berusaha menegakkannya, namun tubuh si sakit dengan lemah terkulai
kembali ke dalam sikap berdoa seperti semula.
"Baringkan tuan puteri ke atas tempat tidur dan pakailah kain kompres yang
dingin. Itu tentu akan menolong," perintahnya dengan air mata berlinang, lalu ia
pergi. Di luar dijumpainya Clarissa yang memperlihatkan sikap rakusnya pada
berita. "Kamu sudah melihat condesa?" tanyanya.
"Ya. Tuan puteri sedang sakit," jawab Alimpo dengan nada sedih.
"Apa yang dideritanya?"
"Entahlah." "Aku harus mengunjunginya."
Clarissa masuk ke dalam kamar condesa, tetapi segera keluar lagi, lalu berlarilari ke rumah notaris. "Jadi, kita berhasil! Itu dapat kulihat pada wajahmu."
"Benarlah. Ia sudah menjadi gila."
"Sedang mengapa ia?"
"Sedang berdoa."
"Aneh. Bersuara?"
"Tidak. Meskipun orang berusaha menegakkan atau membaringkannya, namun ia selalu
kembali pada sikap berdoa. Ia tiada bergerak-gerak ataupun berkata-kata. Sudah
pasti ia kehilangan ingatan."
"Ya. Ia tepat menjadi gila pada saat ia sedang berdoa. Aku akan mengambil
tindakan seperlunya. Mari ikut aku!"
Kemudian Cortejo pergi bersama Clarissa ke kamar Roseta. Ia memberitahu kepada
dayang dan kepada isteri penjaga puri, bahwa semenjak saat itu hanya senora
Clarissalah yang diserahi tugas merawat si sakit. Tidak seorang pun diizinkan
mengunjunginya. Maka tiada orang yang melihat atau mendengar lagi tentang
Roseta. Tuan puteri seakan-akan tiada lagi. Beberapa waktu setelah Roseta
menjadi korban penyakit yang menyeramkan itu, Alimpo dan Elvira duduk-duduk di
kamarnya dengan hati yang amat sedih.
"Aku tidak tahan lagi!" keluhnya.
"Aku pun tidak!" kata isterinya pula.
"Sebaiknya kita pergi mengembara saja keliling dunia dengan menggunakan uang
tabungan kita. Masih bergunakah kita di sini?"
"Tiadakah kau dengar bahwa condesa akan dibawa ke luar puri?"
"Ya, aku mendengarnya juga."
"Aku tidak akan tetap tinggal di sini. Aku ingin mengikuti tuan puteri ke mana
pun beliau pergi." "Tetapi apakah mereka akan memberi izin kepadamu?"
"Benar juga. Aku khawatir, kalau-kalau mereka tidak mengizinkan aku. Aduh,
Alimpo sayang, apa daya?"
Pintu diketuk orang. Mindrello, selesai melaksanakan tugas yang diserahkan
Sternau kepadanya, masuk ke dalam.
"Silakan masuk!" kata Alimpo sambil menyongsongnya. "Kami sedang ditimpa suatu
malapetaka. Dan tiada seorang pun dapat menampung kesedihan hati kami. Bukankah
begitu Elvira?" "Benarlah demikian, Alimpo-ku."
"Bukankah kalian mempunyai banyak kawan di puri ini, tempat kalian mengadukan
nasib?" kata Mindrello.
"Memang banyak kawan." kata Alimpo dengan menyindir.
"Namun mereka tidak sudi bercakap-cakap dengan kami. Semua takut kena marah oleh
pangeran muda atau senor Cortejo."
"Mereka telah dilarang bergaul dengan kalian?"
"Tidak secara langsung. Tetapi saya sudah dibenci, jadi kawan-kawan menjauhi
saya." "Dibenci" Mengapa?"
"Kami, Elvira dan saya, tidak rela menyerahkan perawatan condesa kepada orang
lain. Meskipun kami dilarang, kami diam-diam masih berusaha datang ke kamar tuan
puteri. Akibat perbuatan itu kami dipecat dari jabatan kami. Kini saya tidak
mempunyai pekerjaan lagi di sini. Saya harus segera meninggalkan puri. Karena
itu kawan-kawan tidak berani bergaul dengan kami lagi."
"Bersabarlah dahulu. Suatu waktu mereka akan mengulurkan tangan kembali kepada
Anda. Tetapi maksud kedatangan saya sebenarnya ialah untuk bertemu dengan senor
Sternau." "Sayang tidak dapat. Senor Sternau telah hilang."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hilang?" "Benarlah. Tiba-tiba datanglah seorang pria berkereta kuda menjemput senor
Sternau. Mereka pergi entah ke mana."
"Saya harus bicara dengannya. Saya tidak akan berhenti mencari sampai dapat
bertemu dengannya! Sekarang saya harus pergi, supaya kehadiran saya tidak
menarik perhatian." Penyelundup itu minta diri dan pergi menempuh desa. Ia bertanya ke sana ke mari
dan akhirnya ia mengetahui, bahwa sebuah kereta kuda dikawal empat orang polisi
telah pergi menuju Barcelona. Kereta itu telah berhenti di depan penjara. Maka
ia berniat hendak berkenalan dengan penjaga-penjaga untuk dapat mencapai
tujuannya. Itu pekerjaan sulit, namun setelah beberapa kali diusahakannya,
akhirnya ia berhasil mendapat kepercayaan, sehingga mendapat kesempatan
berkunjung ke rumahnya. Akhirnya ia dapat mendengar juga, bahwa di antara para tahanan terdapat seorang
dokter bernama Sternau. Kini ia langsung merencanakan pembebasannya. Teringat
juga olehnya penjaga puri yang bernama Juan Alimpo itu. Ia telah mendengar juga,
bahwa orang itu telah meninggalkan Rodriganda dan menetap di Manresa. Kini ia
pergi ke rumahnya dan di situ ia diterima dengan segala senang hati.
"Syukurlah Anda datang!" seru Alimpo. "Saya kira Anda telah melupakan kami.
Elviraku pun berpendapat demikian."
"Segala daya-upaya telah saya lakukan untuk membebaskan senor Sternau!"
"Jadi Anda mengetahui, di mana ia sekarang?" tanya Alimpo dengan rasa heran.
"Baru saja saya ketahui hal itu. Senor Sternau telah dipenjara di Barcelona."
"Dipenjarakan! Masya Allah! Kau telah mendengarnya juga, Elvira sayang?"
"Ya, aku telah mendengar juga, Alimpo sayang. Dan pastilah Cortejo yang berdiri
di belakang segalanya ini!"
"Demikian juga pendapat saya. Lamakah ia akan ditahan, senor Mindrello?"
"Ia tidak akan bebas lagi, kecuali bila datang pertolongan dari kita."
"Kita" Jadi saya juga" Memang, saya suka sekali membantu urusan ini!" seru
Alimpo. "Tetapi bagaimanakah caranya?"
"Banyak caranya. Misalnya, apakah Anda mempunyai uang senor Alimpo?"
"Uang" Berapa banyaknya?"
"Senor Sternau di dalam penjara tidak mempunyai uang. Dan untuk dapat melarikan
diri diperlukan uang. Uang untuk dapat menyeberangi perbatasan. Dan saya sebagai
seorang miskin tidak dapat menolongnya."
Alimpo melompat dari kursi, mengambil sebuah peti dan membukanya cepat-cepat. Ia
mengeluarkan beberapa kantong penuh berisi uang dan sebuah dompet.
"Ini, ambillah!" serunya dengan penuh semangat. "Anda lihat, saya orang kaya.
Anda boleh mengambil semuanya!"
"Berapa jumlahnya?"
"Empat atau lima ribu duro, uang tabungan selama hidup kami. Untuk kepentingan
senor Sternau yang baik budi itu kami rela menyerahkannya. Bukankah demikian,
Elvira sayang?" "Saya pun rela," katanya. "Mudah-mudahan ia dapat dibebaskan. Supaya kemudian
condesa dapat disembuhkannya."
"Di mana tuan puteri?" tanya Mindrello. "Dalam sebuah rumah sakit saraf?"
"Tidak. Ia dikirim ke Lorissa, dalam biara St. Veronico."
"Tetapi biara itu bukanlah tempatnya. Ia harus dirawat di rumah sakit."
"Dapatkah ia menolak" Telah saya dengar bahwa senora Clarissa pergi bersamanya.
Condesa sudah tidak mempunyai kemauan lagi. Ia tidak mengetahui lagi, siapa ia
sebenarnya." Mindrello berpikir sejenak. Akhirnya ia bertanya, "Senor Sternau menurut
pendapat Anda dapat menyembuhkannya atau tidak?"
"Tentu dapat!" "Baik. Saya akan mengamati gedung di Lorissa itu. Dapatkah Anda mempercayakan
uang sebanyak itu kepada saya, senor Alimpo?"
"Ambillah sebanyak Anda perlukan, ambillah semuanya! Itu sudah saya katakan
sebelumnya. Bukankah demikian Elvira sayang?"
"Benarlah," kata wanita itu.
"Baik," kata Mindrello. "Saya harus membeli seekor kuda baginya dan mungkin
seekor lagi bagi saya sendiri. Maka saya minta dua ratus duro saja!"
"Dua ratus duro" Sedikit sekali. Jadikan lima ratus saja!"
"Saya tidak memerlukan uang sebanyak itu. Namun baik saya terima juga, karena
untuk pekerjaan semacam ini kadang-kadang diperlukan lebih banyak biaya daripada
yang direncanakan." Mindrello menerima uang itu lalu pergi. Jarak ke biara hanyalah dua jam
perjalanan. Ia mendengar, bahwa tuan puteri selalu menolak berbicara. Makan dan
minum sedikit sekali. Wajahnya tetap cantik, namun tampak seperti seorang yang
sedang mendekati ajalnya. Ia selalu hadir dekat makam kecil yang merupakan
bagian dari biara itu. Pagi-pagi ia sudah hadir di situ. Pekerjaannya berdoa
saja sepanjang hari. Petang hari dengan susah payah ia harus dibujuk, supaya
kembali ke kamarnya. Setelah mendengar semua itu, penyelundup itu kembali lagi ke Barcelona. Ia
membeli dua ekor kuda, seekor untuk Sternau dan seekor lagi untuk dirinya
sendiri. Namun dibiarkannya kuda-kuda itu di tempat si penjual kuda. Ia baru
mengambilnya, bila ia memerlukannya.
Beberapa minggu berlalu. Dengan mengeluarkan banyak uang ia minta dibuatkan
surat-surat palsu yang menerangkan, bahwa ia adalah seorang dokter pengadilan.
Kemudian ia membeli pakaian yang sesuai dengan tujuan itu, mengadakan perubahanperubahan pada mukanya supaya tidak mudah dikenal orang, lalu pergi ke arah
penjaga. Penjaga penjara memeriksa surat-suratnya dan mengizinkannya masuk.
Penjaga itu memasukkan kunci ke dalam saku dan menyalakan sebuah lentera. Dekat
pintu tergantung dua anak kunci besar untuk membuka pintu pagar. Salah sebuah
daripadanya diambil Mindrello dengan diam-diam, ketika penjaga itu sedang sibuk
menyalakan lentera. Kemudian mereka menuju ke sel-sel tahanan.
BAB IV DI DALAM PENJARA Ketika Sternau dua bulan yang lalu memasuki selnya, ia melihat sesosok tubuh
terbaring di sebuah tempat tidur. Orang itu bangkit melihat dokter masuk.
"Wah, ada kawan baru!" kata orang itu dengan suara lemah. "Selamat sore!"
"Selamat sore!" jawab Sternau.
"Kamu orang baru di sini?" tanya penghuni lama sel itu.
Sternau pernah mendengar, bahwa para tahanan biasa beraku berengkau. Maka ia
tidak merasa tersinggung dan menjawab.
"Benar." "Mengapa kamu dipenjarakan?"
"Entahlah." "Suatu jawaban yang biasa diberikan oleh seorang tahanan. Duduklah! Apa
pekerjaanmu?" tanya orang itu.
"Dokter." "Dokter?" jawabnya dengan gembira. "Maafkan saya tadi memanggil dengan kata
"kamu", senor. Kini saya yakin pula, Anda tidak bersalah. Siapa yang menghakimi
Anda" Juez de lo criminal itu?"
"Benar." "Seorang yang terkutuk! Tahukah Anda bilamana sidang berikutnya akan diadakan?"
"Dua atau tiga bulan lagi."
"Benar-benar terlalu!"
"Penjaga tadi mengantar dua pinggan makanan. Maka saya mengetahui bahwa saya
akan mendapatkan seorang kawan."
"Makanan malam terdiri dari apa?"
"Roti kering dan air minum kotor."
"Sudah berapa lama Anda di sini?"
"Hampir setahun."
"Selalu mendapat makanan seperti ini?"
"Selalu. Dan makanan ini akan membawa kematian bagi saya. Saya sedang mengidap
penyakit, maka saya sangat bergembira berjumpa dengan seorang dokter. Saya
percaya bahwa Anda tidak dapat menolong saya lagi, namun Anda dapat mengatakan,
berapa lama saya masih akan hidup. Mudah-mudahan tidak lama lagi saya harus
menanggung penderitaan saya ini."
Sternau merasa yakin bahwa ia tidak berhadapan dengan seorang penjahat,
sungguhpun ia tidak dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan itu. Timbullah
rasa kasihan kepada orang itu lalu ia bertanya, "Berapa lama masa hukuman Anda
itu?" "Masih dua tahun lagi."
"Itu tidak berapa lama. Bolehkah saya bertanya, mengapa Anda dipenjarakan?"
"Boleh. Saya memukul seseorang, karena ia membuat saya marah sekali."
"Matikah orang itu?"
"Mati" Sayang tidak! Seribu kali lebih baik bila ia mati, kita akan bebas dari
gangguan bangsat yang terbesar di seluruh dunia ini."
"Anda mengidap penyakit apa?"
"saya mengidap penyakit berlayar. Tiada tertahan rasa rindu dendam yang membakar
hati saya, keinginan untuk kembali berlayar mengarungi lautan lepas."
"Memang alangkah besar perbedaannya! Kehidupan sebebas unggas di lautan lepas
dengan neraka yang gelap dan kotor ini!"
"Benarlah, senor! Tubuh saya semakin merana. Saya pernah mengamuk, membenturkan
kepala ke dinding, menangis meraung-raung dan meratap, namun tiada guna. Maka
tubuh saya terasa makin berkurang tenaganya. Perut lapar membuat saya tenang.
Kian hari kian tenang, hingga akhirnya mereka tinggal menyeret tubuh saya keluar
untuk dimasukkan ke dalam liang kubur. Dan semua ini merupakan jasa dari seorang
notaris!" "Kalau begitu kita benar-benar senasib. Saya tidak mengetahui, tuduhan apa yang
menyebabkan saya dipenjarakan. Namun saya mengetahui dengan pasti, bahwa seorang
notaris jugalah yang menyebabkannya!"
"Dari mana Anda telah dijemput?"
"Dari Rodriganda."
"Astagfirullah. Di situ pun saya ditahan mereka!"
"Masya Allah!" seru Sternau. "Siapakah nama notaris itu?"
"Gasparino Cortejo."
"Wah, itu nama notaris saya juga! Tadi Anda katakan, bahwa Anda telah memukul
seseorang. Cortejokah orang itu?"
"Benarlah. Ceritanya agak panjang. Lain kali bila masih ada kesempatan, akan
saya ceriterakan kepada Anda. Kini saya terlalu lelah. Di sudut sana terletak
makanan Anda : roti dengan air minum. Silakan makan dan selamat malam!"
Sternau merebahkan diri ke atas tikarnya lalu berusaha tidur.
Keesokan paginya ia bangun. Cahaya matahari sudah masuk ke dalam selnya.
Sungguhpun masih agak tertahan, cahaya itu sudah cukup terang untuk menerangi
benda-benda yang terdapat dalam sel itu. Kawan seselnya sudah bangun juga dan
menyambutnya dengan salam pagi.
"Saya telah mengamati Anda," kata orang itu, "dan saya yakin, penjara ini
bukanlah tempat bagi orang-orang seperti Anda. Mungkin Anda ingin sendiri tanpa
kawan, namun saya mohon Anda, jangan meninggalkan saya."
"Mana mungkin saya meninggalkan Anda. Itu di luar kekuasaan saya."
"Dapat. Di sini biasanya para tahanan diberi sel yang terpisah. Mereka
mengecualikan saya. Saya dibolehkan mendapat seorang kawan, karena saya sudah
hampir mati. Namun bila Anda menyatakan keberatan, Anda akan ditempatkan di sel
lain." "Saya tidak bermaksud meninggalkan Anda."
"Terima kasih, senor dokter. Mungkin Anda tidak akan menyesal karena mengambil
putusan itu." "Bilamana pintu dibuka?"
"Petang hari." "Bolehkah kita mengajukan permohonan?"
"Percuma. Anda tidak akan mendapat jawaban. Nasib Anda sudah ditentukan. Tiada
tangis maupun ancaman, tiada muslihat maupun kekerasan dapat menolong Anda."
"Saya warga negara asing. Saya berhak minta bantuan dari konsul saya!"
"Anda tidak akan diberi kesempatan menemui konsul Anda, percayalah! Dengan
perintah Cortejo Anda dibawa ke mari. Hakim adalah kawannya dan mereka sama-sama
penjahat besar." "Anda menakut-nakuti saya!"
"Yang saya katakan, tidak lain daripada kebenaran. Dahulu saya seorang yang
bertubuh tegap kekar. Lihat keadaan saya sekarang! Dan inilah hasil perbuatan
kedua penjahat itu!"
Orang tahanan itu bersandar pada dinding dan memejamkan mata. Tubuhnya tinggal
kulit pemalut tulang. Sternau tidak perlu memeriksa tubuhnya. Ia sudah
mengetahui bahwa orang itu hidupnya tinggal beberapa minggu saja. Itukah yang
akan dialaminya kelak dengan tubuhnya sendiri" Tidak, sekali lagi tidak" Ia
tidak bersedia! Petang hari sebuah tingkap dibuka orang dan dua panci berisi sop dimasukkan ke
dalam sel. "Penjaga, tunggu sebentar!" kata Sternau. "Maukah Anda menolong saya...."
Tingkap ditutup kembali tanpa memberi kesempatan pada Sternau menyelesaikan
kalimatnya. Malam hari kedua orang tahanan itu mendapat roti dan air minum lagi. Dengan
demikian seminggu berlalu dan kemudian disusul seminggu lagi tanpa perubahan
sedikit pun. Sternau sudah kehilangan kesabarannya. Bagaimana keadaan di
Rodriganda, apa yang terjadi dengan Roseta" Persoalan ini menekan jiwanya. Ia
tidak dapat makan, tidak dapat minum ataupun tidur. Penjaga penjara tidak
melayani pertanyaannya. Melarikan diri tiada mungkin. Dinding-dindingnya terlalu
tebal, jendelanya terlalu tinggi serta kecil.
Seminggu berlalu lagi, ditambah seminggu lagi. Sebulan berlalu. Kedua orang
tahanan itu terbaring di atas tikar dengan hati sedih.
"Alangkah baiknya," kata kawan senasib Sternau, "andaikata Cortejo jatuh ke
tangan saya, sedangkan saya masih bertenaga sekuat dahulu. Tubuhnya akan saya
remas sampai hancur!"
"Mudah-mudahan saya masih mendapat kesempatan itu."
"Ya, mudah-mudahan. Pasti ia akan lebih menderita lagi, karena tubuh Anda sekuat
Goliath. Anda sebenarnya sesuai sekali bila Anda seorang pelaut. Dengan
bersenjatakan sebuah garpu dengan mudah Anda dapat melawan dua puluh orang Negro
atau sepuluh orang Inggris."
"Mengapa Anda singgung-singgung tentang orang Negro dengan orang Inggris itu?"
"Hm. Anda ingin mengetahui juga. Tetapi Anda akan mendapat kesan buruk sekali
tentang saya. Biarlah saya ceriterakan juga. Anda patut mendengarnya!"
"Ceriterakanlah. Jangan segan-segan. Setiap orang mempunyai kelemahan."
"Tetapi bukan sebesar ini. Tahukah Anda, apa pekerjaan saya di masa lalu. Mulamula sebagai seorang pelaut yang jujur, namun kemudian saya menjadi seorang
pedagang budak belian dan bahkan kemudian lagi - seorang bajak laut."
"Sungguh tiada terduga!"
"Nama saya sebenarnya Jacques Tardot, keturunan orang baik-baik. Saya menjadi
seorang pelaut perkasa sampai saya pindah pekerjaan ke kapal lain. Sama sekali
tidak terduga oleh saya, bahwa nakhodanya adalah seorang bajak laut merangkap
pedagang budak belian. Hal itu barulah saya ketahui pada hari kedua. Kapal saya
sudah terlanjur mencapai laut lepas. Nakhoda Grandeprise adalah seorang
berkebangsaan Amerika. Ia merupakan seorang iblis sejati dan ia mempunyai
kepandaian untuk mengubah saya menjadi iblis kecil pula. Pernah saya saksikan
berkali-kali seorang budak melompat terjun ke dalam laut karena putus asa.
Berkali-kali juga saya terpaksa menikam seseorang sampai mati. Tetapi akhirnya
saya tidak dapat mengelak pada hukuman saya. Lihat keadaan saya sekarang ini."
Ia berhenti sebentar melepas lelah. Kemudian ia melanjutkan.
"Nakhoda itu berdagang dengan Cortejo. Perdagangan macam apakah itu, entahlah!
Tetapi bila kami berlabuh di Barcelona, notaris itu naik ke kapal, lalu duduk
berjam-jam lamanya memeriksa buku-bukunya. Kembali Tardot berhenti berbicara."
"Cortejo itu rupanya memiliki harta yang besar juga," demikian dilanjutkan oleh
pelaut sakit itu setelah beristirahat sejenak. "Pada suatu hari kami harus
melakukan suatu pekerjaan baginya di Vera Cruz, Meksiko. Kami harus mengambil
muatan berupa seorang tahanan. Orang itu disembunyikan di belakang kamar
nakhoda, supaya tidak dapat dilihat orang."
"Anda pun tidak melihatnya?"
"Saya pernah melihatnya. Tahanan itu berwajah tampan dan sudah berusia lanjut.
Kalau tidak salah, saya pernah mendengar nakhoda memanggilnya dengan nama
Fernando. Tahanan itu ikut berlayar dengan kami mengitari Tanjung Harapan dan
menyusuri pantai Afrika Timur ke Zeila. Di situ kami turun ke darat dan
menjualnya kepada Harrar."
"Itu benar-benar perbuatan biadab!"
"Tidak lebih biadab dari penjualan seorang kulit hitam! Lagi pula saya tidak
dapat menghalangi perbuatan itu. Sekembali kami ke Spanyol, nakhoda itu sangat
sibuk. Maka saya diutus pergi ke Rodriganda untuk menyampaikan kepada Cortejo,
bahwa orang Meksiko itu sudah kami singkirkan. Cortejo merasa kecewa, karena
sebenarnya ia ingin orang itu dibunuh atau mati karena penyakit demam panas.
Maka sangatlah berang ia mendengar laporan saya. Saya pun tidak tinggal diam.
Saya membalasnya juga dengan kata-kata yang sama pedasnya. Ia memukul saya. Saya


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memukul kembali, sehingga ia langsung roboh ke atas tanah. Kemudian saya pergi.
Keesokan harinya Cortejo naik ke kapal kami di Barcelona, namun ia tiada
menyinggung-nyinggung perkara itu lagi. Keesokan harinya saya diberi sepucuk
surat oleh nakhoda, yang harus saya sampaikan kepada juez de lo criminal. Saya
diterima dengan ramah-tamah, kemudian diserahkan kepada penjaga penjara yang
langsung memasukkan saya ke dalam sel. Sejak itu saya tidak pernah melihat dunia
luar lagi. Suatu kali datang hakim berkunjung. Ia berdiri di muka tingkap yang
terbuka hanya untuk mengumumkan hukuman yang telah dijatuhkan kepada saya. Nah,
itulah nasib saya, senor!"
Tardot telah berbicara dengan nada ringan seperti biasa digunakan para pelaut
dalam keadaan yang sepelik-peliknya pun. Kini ia berhenti berbicara lalu
berbaring untuk beristirahat karena lelah. Tiada terlintas dalam pikiran Sternau
bahwa suatu kali ia mungkin perlu mengingat kembali ceritera ini.
Jacques Tardot kian hari kian lemah tubuhnya dan sejalan dengan itu makin tumbuh
penyesalan pada kehidupannya yang penuh dosa di masa lampau. Ia merenung tentang
dunia akhirat dan ingin mengadakan perhitungan dengan Tuhan. Penjaga penjara
melihat bahwa ia tidak dapat bangkit lagi, lalu ia berbuat sesuatu yang belum
pernah dilakukan sebelumnya, yaitu ia bercakap-cakap dengannya. Bahkan ia
menjanjikan pertolongan dari dokter pengadilan, karena dokter itu sedang dinas
di penjara. Maka beberapa minggu lagi berlalu. Musim dingin sudah tiba. Tardot sedang
berbaring di atas tikarnya. Ia merasa ajalnya sudah dekat. Sternau duduk di
sebelahnya dan menghibur hatinya.
Tiba-tiba mereka mendengar bunyi anak kunci yang diputar orang dalam kuncinya,
lalu pintu terbuka. Penjaga penjara masuk ke dalam sel, diikuti oleh dokter
pengadilan. Ia menunjuk kepada Sternau serta memerintah, "Cepat keluar!"
Tardot bangkit dengan susah payah dan mohon,
"Biarkan dia tinggal di sini menemani saya. Hanya dialah yang dapat menghibur
hati saya!" Penjaga memandang kepada dokter seolah-olah minta ketegasan, lalu dokter itu
mengangguk. Maka penjaga itu pergi dan mengunci pintu sel. Dokter itu duduk di
tepi tikar dan mengamati kedua tahanan itu dalam terang cahaya lentera yang
ditinggalkan penjaga penjara itu. Kemudian ia memandang dengan rasa curiga ke
arah pintu, lalu mulai menanyai orang sakit itu. Sementara itu, tanpa diketahui
Tardot, dilemparkannya sebuah benda ke arah kaki Sternau. Sternau menangkapnya.
Ternyata benda itu sebuah anak kunci besar, niscaya anak kunci untuk membuka
pintu pagar. Sternau sangat gembira, namun ia menahan diri, karena ia faham pada pandangan
dokter itu, bahwa ia senantiasa sedang dimata-matai.
Tardot merasa terhibur hatinya oleh perkataan dokter itu. Ia merasa ajalnya
makin dekat. Pada wajahnya nampak kedamaian.
"Hidup saya tidak lama lagi, puji syukur kepada Tuhan!" bisiknya. "Janganlah
pergi, senor dokter, dan biarkan kawan saya juga tinggal di sini."
"Kami tidak akan meninggalkan Anda," kata dokter itu sambil membungkukkan
tubuhnya ke atas orang sakit itu. Sementara itu diam-diam disampaikannya suatu
benda kepada Sternau. Benda itu ternyata sebuah dompet, penuh berisi uang.
Dengan sangat hati-hati Sternau menyelipkannya ke dalam bajunya. Ia yakin bahwa
ia tetap dimata-matai, karena terlihat olehnya tingkap itu sedikit terbuka.
Tidak lama kemudian wajah orang sakit itu berubah. Dengan lemah ia mengulurkan
tangan kepada Sternau sambil berpesan,
"Selamat tinggal! Terima kasih pada kebaikan Anda! Semoga Anda - lekas bebas!"
Itulah ucapannya yang terakhir. Tiba-tiba tubuhnya menggelepar sejenak, terasa
hembusan nafas lemah, lalu meninggallah ia.
Dokter pengadilan itu pergi tanpa berkata-kata. Pintu dibuka kembali dan penjaga
penjara yang garang itu masuk lagi. Setelah dilihatnya mayat itu, ia berkata,
"Mayat itu tidak boleh lama-lama ditinggalkan di sini. Cepat angkat!" Ia
memperhatikan tubuh Sternau yang tegap kuat itu.
"Baik," jawab Sternau pura-pura acuh tak acuh, kendatipun hatinya berdebardebar. "Ayo, angkat! Ikut saya!"
Sternau mengangkat mayat itu dan mengikuti penjaga penjara yang berjalan di
hadapannya. Bunyi langkah kakinya menggema di gedung besar yang kosong itu. Para
pegawai yang bekerja pada siang hari di sini sudah pulang ke rumah mereka
masing-masing di tengah-tengah keluarganya. Mereka naik beberapa tangga dan
akhirnya tiba di sebuah ruang dalam yang kecil. Di ujung ruang terdapat sebuah
lorong yang pernah dilalui Sternau dua bulan yang lalu, ketika ia baru dibawa
masuk. Penjaga penjara mengeluarkan anak kunci seuntai lalu membuka sebuah ruang
khusus. Di dalam terdapat sebuah meja panjang dengan dua buah usungan.
"Ini rumah mayat," katanya. "Letakkan mayat itu ke atas meja!"
Sternau sangat terpengaruh perasaannya oleh pemandangan suram-muram di
hadapannya. Sebagai seorang dokter ia sudah berkali-kali menghadapi peristiwa
kematian, namun baru kali ini terjadi di penjara yang suram, mau tak mau
meremang bulu romanya. "Ayo, lekas! Letakkan mayat ke atas meja!" perintah penjaga itu sekali lagi
dengan suara garang. Sternau mematuhi perintah itu. Penjaga pergi juga menuju meja, memperbaiki letak
mayat itu. Anak kunci seuntai itu masih tertusuk dalam lubang kuncinya.
"Ayo. Kembali lagi!" perintah penjaga itu setelah pekerjaan Sternau selesai.
"Lebih baik rebah saja!" kata Sternau sambil secepat kilat mengayunkan tinju
yang tepat mengenai pelipis penjaga itu. Langsung orang itu roboh ke atas tanah
tiada sadarkan diri. "Puji syukur kepada Tuhan. Saya masih memiliki tenaga seperti sediakala!" sorak
Sternau dalam hati. Penjaga penjara itu ditinggalkannya di atas lantai di
samping lentera yang telah mati itu. Kemudian ia mengunci rumah mayat dari luar
dan bergegas berjalan melalui lorong. Tanpa mendapat rintangan sedikit pun ia
mencapai pintu pagar. Ia mengeluarkan anak kunci yang telah dimilikinya dengan
cara ajaib itu dan memasukkannya ke dalam lubang kunci. Sesuaikah anak kunci itu
dengan kuncinya" Hatinya berdebar-debar. Untunglah sesuai benar anak kunci itu.
Setelah pintu terbuka lalu tampak oleh Sternau sebuah jalan di hadapannya. Ia
sudah bebas. Dalam pada itu penyelundup telah mengambil kedua ekor kudanya dan menantikan
Sternau di jalan ke Manresa. Kendatipun mereka belum mengadakan perjanjian
sebelumnya, namun Mindrello merasa yakin bahwa dokter itu akan memilih jalan ke
Rodriganda dalam pelariannya.
Di kejauhan Sternau sudah dapat melihat dua ekor kuda yang sedang diberi makan
oleh pemiliknya. Orang itu sudah membuka kedok penyamarannya. Kini Sternau
memahami duduknya perkara. Setelah mengucapkan terima kasih ia naik kudanya lalu
melarikan kudanya sekencang-kencangnya. Dokter itu menghirup hawa musim dingin
yang segar dengan penuh bahagia. Setelah beberapa lama ia bertanya,
"Condesa Rosetakah yang telah mengirim Anda untuk membebaskan saya, Mindrello?"
"Tidak, senor Alimpolah yang menyuruh."
"Tetapi atas perintah condesa juga?"
"Tidak. Condesa tidak dapat memberi perintah. Ia sedang menderita sakit."
Bukan main terkejut Sternau mendengar itu. "Sakit?" tanyanya. "Penyakit apa?"
"Ia menderita...." Mindrello tiba-tiba berhenti, tetapi kemudian melanjutkan
lagi, "Ia menderita penyakit yang sama dengan pangeran, ayahnya."
Sternau sangat terkejut. "Tiada salahkah Anda" Apakah ia gila?"
"Benarlah." "Gila!" teriaknya di malam sunyi sepi itu. Tiba-tiba ia menghentikan kuda dan
bertanya dengan ketakutan yang sangat, "Di manakah ia?"
"Di dalam biara Santa Veronica di Lorissa."
"O, saya mengerti!" kata Sternau dengan menggertakkan giginya. "Itulah tempat
jenazah yang dikira jenazah pangeran Manuel itu dimakamkan."
"Benarlah." "Benarkah pangeran Alfonso itu ahli warisnya?"
"Benar." "Gasparino Cortejo tinggal bersamanya?"
"Benar." "Dan penjaga puri?"
"Ia tinggal di Manresa. Ia telah diusir. Ia pun juga memberi dompet penuh berisi
uang yang telah saya sampaikan kepada Anda. Dengan uangnya saya membeli juga
kedua ekor kuda ini. Ia rela memberi uang lebih banyak lagi kepada Anda, uang
yang Anda perlukan dalam pelarian Anda."
Sternau tiada menjawab. Berita yang didengarnya menyibukkan pikirannya, sehingga
mereka beberapa waktu lamanya tiada bercakap-cakap. Akhirnya Mindrello, yang
masih ingin mengutarakan sesuatu, berkata,
"Saya masih mempunyai suatu khabar baik bagi Anda."
Sternau seolah-olah terbangun dari sebuah mimpi. Demikian sibuk ia dengan
pikirannya, sehingga lupa bahwa ia bersama dengan orang lain di dekatnya.
"Khabar baik?" tanya Sternau dengan pahit. "Hampir saya tiada dapat percaya,
karena akhir-akhir ini saya hanya dikejar kemalangan-kemalangan belaka."
"Anda tiada berkepentingan lagi untuk mengetahui bagaimana hasil pekerjaan saya,
mencari jejak don Manuel yang hilang itu, senor?"
Sternau tersentak menoleh kepada penyelundup itu.
"Don Manuel" Benar juga. Peristiwa dengan condesa itu telah membuat saya
melupakannya. Berhasilkah Anda menemukan tempat kediamannya?"
"Saya berhasil menemukannya, senor." Kata Mindrello pendek.
"Anda telah...." Tersentak tali kendali oleh tangan Sternau, sehingga kudanya
terlompat dan berdiri tegak pada kaki belakangnya. "Anda telah menemukan don
Manuel?" tanya Sternau di dalam kegelapan.
"Benar," kata orang Spanyol itu, "dan itu pun tiada sukar bagi saya. Orang-orang
Zanggi benar-benar cerdik, namun kami para penyelundup masih dapat mengatasi
mereka." "Coba ceriterakan pengalaman Anda."
"Sesuai dengan keinginan Anda, saya pergi memata-matai para Gitano itu. Dalam
waktu singkat saya dapat menemukan jejak mereka, karena gerombolan sebesar itu
tidak dapat melenyapkan diri dengan begitu saja. Namun tiada begitu mudah pula
bagi saya mengejar mereka. Mula-mula mereka bermalam di sekitar Barbastro.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui Huesca, Murillo, dan Sanguesa.
Nyatalah mereka sedang tergesa-gesa, seolah-olah mereka dikejar orang."
"Mereka tidak berani berdiam lama di suatu tempat?"
"Tentu tidak. Tetapi dengarlah dahulu, senor! Yang pertama-tama saya lakukan
ialah mencari keterangan, apakah rombongan mereka selalu lengkap jumlahnya.
Mungkin salah seorang di antara mereka memisahkan diri untuk mengantar pangeran
ke suatu tempat. Untunglah hal itu tiada terjadi. Kaum Zanggi cukup cerdik.
Mereka menyembunyikan orang sakit ingatan itu di suatu tempat di sekitar daerah
mereka, supaya kelak mudah dapat menemukannya kembali."
"Bagaimana Anda dapat memastikan, bahwa pangeran terdapat di antara mereka?"
"Dari jauh sudah dapat saya lihat, bahwa kaum Gitano sebagian besar perhatiannya
tercurah kepada salah sebuah kereta. Kereta itu mendapat penjagaan istimewa.
Bila hendak berkemah, kereta itu ditempatkannya di tengah-tengah lingkaran
pertahanan mereka. Siapakah yang disembunyikan di dalamnya kalau bukan pangeran,
sungguhpun saya belum pernah melihatnya keluar dari kereta itu."
"Anda telah melakukan pekerjaan Anda dengan baik. Lanjutkan ceritera Anda!"
"Mereka menempuh perjalanan jauh melalui Pamplona mendaki pegunungan Pico de
Azpiroz, melalui lembah sungai Orio. Sebelum San Sebastian mereka membelok ke
kiri dan mendirikan perkemahan dekat kota Orio di tepi pantai."
"Pangeran di sini tentu dimasukkan ke dalam kapal?"
"Tepatlah dugaan Anda itu, senor! Saya pun menduga demikian lalu saya mengintai
siang dan malam, menanti saatnya tiba, pangeran dibawa ke kapal. Akhirnya
tibalah saat itu. Pangeran dibawa ke sebuah kapal layar pada suatu malam yang
gelap gulita. Untunglah tempat persembunyian saya dalam pasir di pantai itu
sekali-kali tidak menimbulkan curiga."
"Masya Allah! Apa jadinya bila mereka Andaikata dapat melihat Anda!"
"Untung tiadalah demikian halnya. Namun saya pun tiada khawatir juga, bila
Andaikata hal itu terjadi. Saya sudah bersiap dengan sebuah belati tajam untuk
menghadapi hal-hal semacam itu. Saya lihat dua orang Zanggi meninggalkan
rombongan dan naik ke sebuah kapal yang sudah diisi oleh dua orang kelasi.
Ketika orang yang pertama naik ke kapal, kebetulan kapal itu terangkat oleh
ombak, sehingga orang itu berjalan terhuyung-huyung dan memekikkan sesuatu. "Aku
ini Alimpo, pelayan setia itu," demikian kata orang itu. Karena saya pernah
mendengar dari Anda bahwa pangeran yang sakit suka mengucapkan kata-kata itu,
maka saya merasa pasti bahwa orang itu pangeran Manuel."
"Lalu apa selanjutnya" Ceriterakanlah cepat!" desak Sternau.
"Pengawal pangeran itu memaki kecil ketika mendengar ucapan tadi, lalu cepatcepat naik ke kapal mengikuti pangeran.
"Layar segera dipasang dan orang-orang itu pun duduk di atas bangku, setelah
mengurung pangeran di dalam sebuah kamar kecil. Sebelum mereka bertolak,
pengawal pangeran bertanya, 'Berapa lama berlayar ke St. Nazaire"'
"'Dua hari bila angin baik.'
"'Dan dari situ ke Avranches"'
"'Anda ingin mencapai tempat itu melalui darat atau berlayar mengitari
pegunungan St. Mathieu"'
"'Saya tidak ingin dilihat oleh banyak orang.'
"'Kalau begitu, kami memerlukan waktu dua hari lagi untuk berlayar menyusuri
pantai Bretagne. Tahukah Anda bahwa berlayar di perairan itu sangat berbahaya
karena banyak terdapat karang laut"'
"'Itu tidak menjadi soal. Saya berani membayar mahal. Kalian kenal penjaga mercu
suar di Avranches"' "'Tidak.' "'Tujuan saya ke situ. Ia seorang....' Lanjutan percakapan itu telah luput dari
pendengaran saya, karena angin sudah mulai meniup layar, sehingga kapal itu
cepat menjauh. Anda tentu dapat membayangkan, betapa besar keinginan saya
mendengar percakapan itu. Kini saya pergi ke kota mencari sebuah penginapan
untuk dapat beristirahat secukupnya. Karena beberapa malam ini saya hampir tiada
waktu untuk tidur. Saya sudah tidak merasa dikejar-kejar lagi, karena sudah saya
ketahui tujuan kaum Zanggi itu."
Sternau menjabat tangan penyelundup itu dan mengucapkan terima kasih. "Jasa Anda
pada keluarga Rodriganda luar biasa besar. Saya sendiri tidak dapat berbuat apaapa dalam keadaan seperti ini. Tetapi lanjutkanlah ceritera Anda!"
"Saya beristirahat secukupnya di Orio dan membeli pakaian baru untuk mengganti
pakaian lama yang sudah banyak mengalami kerusakan dalam perjalanan. Bukankah
saya sudah menerima sejumlah uang dari Anda" Kemudian saya menyeberangi
perbatasan dengan cara menyelundup, karena saya tidak mempunyai surat pas. Di
Bayonne saya naik kereta api. Dua hari kemudian saya mencapai kota Rennes,
tujuan saya, melalui Bordeaux dan Mantes. Saya mencari sebuah tempat menumpang
pada seorang nelayan yang mempunyai pondok di pantai. Dari situ saya dapat
senantiasa mengamati mercu suar dengan para penghuninya. Hari pertama dan kedua
tidak membawa hasil apa-apa. Tetapi pada hari ketiga saya menemukan seorang
penghuni baru dalam mercu suar itu. Ketika kira-kira pukul sepuluh malam saya
menyelinap ke dalam mercu suar, saya dapat melihat di serambi atas sesosok tubuh
orang tinggi dan ramping memandang langit yang penuh bertaburan bintang itu.
Saya terdiam mengamati orang itu lalu mendengar suara meratap, "Aku ini Alimpo
pelayan setia itu!" Itu sudah cukup bagi saya lalu saya pulang ke pondok saya
untuk beristirahat. Keesokan harinya saya pergi berjalan-jalan mengamati keadaan
sekeliling. Suatu kali saya pernah coba mendaki mercu suar itu, namun saya
dihalau oleh Gabrillon, penjaga mercu suar itu secara kasar. Saya pura-pura
takut lari. Saya anggap tugas sudah selesai. Minggu berikutnya saya sudah tiba
di Rodriganda dan saya dengar tentang peristiwa penangkapan Anda dan sakitnya
condesa. Kejadian setelah itu sudah Anda ketahui sendiri."
Dengan tulus ikhlas Sternau mengucapkan terima kasih kepada Mindrello pada
segala jasa dan pengorbanannya. Kemudian mereka melarikan kudanya kencangkencang di dalam kegelapan. Sebelum dua jam berlalu mereka sudah tiba dekat
Manresa. "Baik kita tinggalkan kuda kita di dalam rumah penginapan ini," kata Sternau.
"Jangan sampai kita dilihat orang."
Mereka turun dari kuda, memasukkan kuda yang letih lelah itu ke dalam kandang
dan menyelinap ke rumah Alimpo.
Penjaga puri itu sedang duduk-duduk di dalam kamar bersama isterinya Elvira,
sedang memperbincangkan peristiwa-peristiwa menggemparkan yang terjadi di
Rodriganda baru-baru ini. Tiba-tiba Sternau masuk ke dalam, diikuti oleh
Mindrello yang segera mengunci pintu di belakangnya.
"Senor Sternau!" sorak Alimpo sambil melompat.
"Senor Sternau!" seru Elvira juga. Sesaat kemudian mereka berjabatan tangan.
"O, kini semua sudah beres, semua beres!" kata Elvira sambil mengeluarkan air
mata karena kegirangan. "Kini condesa yang kami cintai akan kembali lagi!"
"Sungguh benar. Condesa akan kembali lagi!" kata Sternau dengan yakin. "Kembali
dalam keadaan bebas dan sehat walafiat. Dan saya janjikan kepada si peramu racun
itu pula pembalasannya!"
Melihat wajah Sternau yang pucat-pasi, Elvira segera menghidangkan santapan


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lezat serta minuman menyegarkan. Sternau menerima hidangan itu dengan ucapan
terima kasih. Selesai bersantap, Sternau berkata lagi, "Kami tiada banyak waktu, senor Alimpo,
tetapi ceriterakanlah apa yang telah terjadi!"
Alimpo mengabulkan permintaan Sternau. Setelah selesai ceritera itu, Sternau
berkata sambil berpikir. "Condesa kini dalam cengkraman orang-orang yang tidak dapat saya tentang dengan
terang-terangan, karena saya adalah seorang pelarian dari sebuah penjara. Karena
itu saya akan melarikan condesa dari dalam biara. Untuk dapat melakukan itu,
saya perlu mengunjungi Rodriganda lagi untuk mengambil beberapa barang yang saya
perlukan. Jadi saya ini seorang penjahat yang melakukan dua macam pelanggaran
dan hari ini juga saya akan membawa condesa ke daerah seberang."
"Jadi Anda akan membebaskan tuan puteri?" tanya Elvira dengan gembira. "Dan ke
manakah Anda akan membawanya?"
"Menyeberang ke Perancis dan dari situ ke Jerman."
"Senor, saya ingin ikut! Bukankah demikian, Alimpoku sayang?"
"Ya, kita akan ikut."
Perkataan itu diucapkan dengan penuh keyakinan. Akan tetapi Sternau menjawab,
"Saya bergembira melihat kesetiaan Anda. Memang saya memerlukan juga seorang
juru rawat untuk merawat tuan puteri yang sedang sakit. Namun Anda sukar
meninggalkan tempat ini. Anda masih terikat oleh harta benda Anda di sini."
"Namun kami akan ikut juga, senor!" kata Alimpo secara meyakinkan. "Saya akan
menyatakan dengan sumpah, bahwa kami tidak akan meninggalkan tuan puteri yang
kami sayangi. Rumah tempat kami tinggal ini kepunyaan saudara sepupu saya. Ia
tidak akan mengkhianati kami, apa pun yang akan didengar atau dilihatnya. Ia
akan menolong kami menjual harta benda kami dan mengirim uangnya keluar negeri."
"Baik," kata Sternau. "Anda boleh ikut."
"Terima kasih, beribu-ribu terima kasih, senor!" seru penjaga puri. "Bukankah
demikian, Elvira?" "Memang. Kami tidak akan melupakannya."
"Jadi Anda berangkat juga ke Rodriganda?" tanya Alimpo.
"Ya." "Saya masih menyimpan sebuah kunci dari pintu samping."
"Terima kasih! Saya akan masuk puri dengan cara yang terhormat," jawab Sternau
dengan penuh harga diri. "Masih adakah beberapa orang abdi lama?"
"Masih banyak."
"Baik. Dapatkah saya memperoleh sebuah senjata dari Anda?"
"Senor Sternau, saya tidak akan membiarkan Anda pergi seorang diri." Kata
Mindrello. "Saya akan ikut dengan Anda!"
"Baik, Anda pun boleh ikut. Sementara itu Alimpo dapat menyiapkan diri untuk
berangkat." "Perlukah saya menyewa sebuah kereta kuda?" tanya penjaga puri.
"Tidak," jawab Sternau. "Jalan-jalan diliputi oleh salju. Kita memerlukan kereta
salju. Saya akan mengambilnya."
"Dari mana?" "Dari puri Rodriganda."
"Astagfirullah!" seru Alimpo. "Anda akan menghadapi bahaya besar!"
"Saya rasa tidak. Saya akan langsung menuju puri dan minta disediakan dua kereta
salju untuk condesa. Coba saya ingin mengetahui siapa berani menolak permintaan
saya. Mari, ikut saya, Mindrello!"
Sternau menyimpan pistol pinjaman dari Alimpo ke dalam baju lalu mereka pergi.
Mereka menuju ke Lorissa. Tidak lebih dari setengah jam mereka perlukan untuk
mencapai kota itu. Mindrello melarikan kuda mengitari kota menuju ke sekelompok
gedung yang berdiri sendiri dan seolah-olah muncul dari tumpukan salju itu.
"Bagaimana dapat masuk?" tanya Sternau.
"Dengan memanjat dinding pekuburan," jawabnya.
Dinding itu tampak di hadapan mereka. Tingginya hanya dua meter, sehingga dengan
duduk di atas kudanya mereka dapat melihat pemandangan di belakangnya.
Sternau menunjuk ke arah sesosok tubuh yang sedang berlutut tanpa bergerak.
Mindrello menoleh dan menjawab terkejut, "Astagfirullah! Itulah dia!"
"Siapa" Tentu bukan tuan puteri?"
"Betul! Itu tuan puteri!"
"Pada saat seperti ini! Tanah penuh dengan salju! Ia akan membeku kedinginan!
Namun ini malah akan mempermudah pekerjaan saya!"
Sternau turun dari kuda lalu memanjat dinding. Ia melompat turun dan menuju ke
sosok tubuh itu. Sosok itu tiada melihat atau mendengarnya datang. Ia tetap
berlutut di atas tanah yang penuh dengan salju yang sudah membeku dan sedang
berdoa. Sternau langsung mengenali Roseta, meskipun mata gadis itu kini cekung
dan wajahnya pucat pasi seperti yang tampak olehnya diterangi cahaya bintangbintang. "Roseta!" katanya dengan suara bergetar.
Gadis itu tiada mendengarnya. Sternau berlutut di sebelahnya, memeluk dan
memanggilnya dengan nama yang manis-manis, namun gadis itu tiada mendengar
ataupun merasakan sesuatu. Hati Sternau merasa amat sedih, namun ia tidak boleh
ragu-ragu. Cepat-cepat diangkatnya Roseta dan dibawanya ke dinding. Di situ ia
bekerja sama dengan Mindrello membawa Roseta melalui dinding dan mendudukkannya
ke atas punggung kudanya.
Kini kedua orang itu memacu kudanya menuju ke Rodriganda. Segera mereka tiba di
desa. Di rumah penginapan masih menyala lampu. Sternau mendekati jendela yang
memancarkan cahaya lampu itu dan mengetuk. Perlahan-lahan jendela dibuka. Kepala
seseorang yang berkopiah tidur keluar dari jendela.
"Ada apa?" tanya pemilik rumah penginapan.
Sternau menampakkan muka di hadapan jendela lalu bertanya, "Anda kenal saya?"
"Astagfirullah! Senor Sternau," seru pemilik rumah penginapan itu. "Mana
mungkin! Benarkah Anda itu senor Sternau?"
"Benar. Bersediakah Anda menolong saya?"
"Bersedia!" "Baik! Panggillah kepala desa. Mintalah supaya ia segera datang ke puri bersama
tuan-tuan desa." Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan pemilik rumah penginapan memandang
mereka pergi dengan menggelengkan kepala. "Itu senor dokter," katanya perlahan.
"Dari mana datangnya" Apa yang dibawa di atas kudanya" Tampaknya seperti tubuh
seseorang. Dan kawannya adalah Mindrello yang jarang kelihatan."
Sesampai kedua orang penunggang kuda itu ke puri, mereka turun dari kuda. Tiada
jendela yang memancarkan cahaya lampu, hanyalah di rumah penjaga pintu nampak
cahaya suram. Sternau mengetuk. Tiada lama kemudian kelihatan penjaga pintu di
muka pagar. "Ada apa?" tanyanya. "Malam hari pintu tidak akan dibuka."
"Namun harus kau buka juga, Tadeo!" kata Sternau. "Kurasa engkau masih mengenal
aku." Penjaga pintu itu terkejut ketika mendengar suara dokter itu. "O, Anda senor
Sternau. Baik, segera saya buka pintu!"
Tadeo bergegas membuka pintu dan Sternau masuk membawa puteri yang berubah akal
itu. Ketika penjaga pintu memandang dan mengenalnya, hampir-hampir lampu yang
dipegangnya terjatuh dari tangannya.
"Astagfirullah!" serunya. "Itu condesa kita!"
"Memang. Kamar-kamar condesa masih belum diapa-apakan?"
"Masih seperti sediakala. Kuncinya saya pegang, karena penjaga puri masih belum
terdapat penggantinya."
"Bawalah kunci dan terangi jalan kami!"
"Pangeran tidak harus dibangunkan?"
"Kemudian dia akan kita bangunkan. Mari!"
"Atau barangkali Margarita, dayang condesa?"
"Ia masih bekerja di sini?"
"Masih. Margarita harus melayani senora Clarissa, bila dia datang ke
Rodriganda." "Anda boleh membangunkannya, tetapi dengan diam-diam." Tujuan Sternau ialah
untuk melihat, apakah terjadi perubahan tingkah laku si sakit bila ia di
tempatkan di dalam rumahnya sendiri. Kamar-kamarnya dibuka. Sternau membawa
Roseta masuk dan membaringkannya ke atas divan. Langsung Roseta menggelosor lagi
ke bawah, melipat tangannya dan berdoa. Tiada sadar bahwa ia telah dipindahkan
dari kuburan yang dingin ke rumahnya sendiri yang mewah dan hangat. Sternau
tidak memperlihatkan kerisauan hati. Lagipula Margarita kini masuk ke dalam.
Dayang itu sangat gembira, dapat bertemu kembali dengan majikannya dan Sternau
menyuruh mempersiapkan tuan puteri untuk menempuh perjalanan jauh. Kemudian ia
menyuruh penjaga pintu untuk mengumpulkan semua abdi di dalam ruang makan.
Tetapi ia sendiri ke kamar Alfonso. Di ruang depan tidur seorang abdi. Abdi itu
terkejut melihat Sternau datang. Dokter itu menyuruh abdi itu keluar. Ia sendiri
masuk ke dalam dan menjumpai Alfonso sedang tidur nyenyak. Sebuah lampu gantung
memberi penerangan. Tanpa ragu-ragu Sternau mengayunkan tinju dan mendaratkannya
ke dahi orang tidur itu, sehingga seketika itu juga ia kehilangan kesadarannya.
Sternau menemukan beberapa potong kain yang digunakan sebagai alat pengikat kaki
dan tangan orang itu. Kemudian ia pergi setelah mengunci pintu di belakangnya
dan memasukkan anak kuncinya ke dalam saku. Kini ia menuju ke kamar notaris.
Pintunya tertutup. Sternau mengetuk.
"Siapa?" tanya Cortejo beberapa saat kemudian.
"Aku. Bukalah!" jawab Sternau sambil meniru suara Alfonso.
"Astagfirullah! Khabar apa lagi yang kaubawa" Tidak dapatkah engkau menunggu
sampai pagi?" tanya notaris itu sambil menguap. Sternau mendengar Cortejo
bangkit dari tempat tidur, mengenakan baju dan membuka pintu. Di luar sangat
gelap, sehingga Cortejo tidak dapat melihat siapa yang berdiri di situ.
"Masuklah Alfonso!" katanya. "Apakah yang terjadi sehingga larut malam seperti
ini...." Notaris itu tiba-tiba berhenti berbicara. Demikian terkejutnya sehingga lidahnya
menjadi kaku. Sternau masuk ke dalam sambil menutup pintu di belakangnya.
Notaris dapat mengenalnya karena cahaya lampu yang suram itu.
"Engkau tidak dapat mengenal suaraku?" tanya Sternau.
"Engkau Sternau!" kata notaris terbata-bata.
Ia tidak dapat melanjutkan perkataan. Ia hendak melompat ke arah pintu. Ketika
itu dokter itu meninju dengan keras kepala peramu racun itu, sehingga orang itu
roboh tanpa dapat mengadakan perlawanan. Semenit kemudian Cortejo pun mengalami nasib serupa dengan Alfonso. Ia dibelenggu dengan erat. Sternau
menguncinya di dalam kamar lalu membawa condesa Roseta ke ruang tamu. Di situ
sudah berkumpul para abdi sedang menanti apa yang akan terjadi. Kepala desa
bersama tua-tua desa hadir juga. Orang-orang itu sangat terkejut ketika melihat
majikan mereka yang amat dikasihinya. Mereka ingin mendekat untuk mencurahkan
isi hati, namun Sternau menghalangi mereka. Ia berkata,
"Tuan-tuan kenal wanita ini?"
"Kenal," jawab mereka beramai-ramai.
"Anda dapat menyatakan dengan sumpah, siapa wanita ini?"
Orang-orang merasa heran mendengar pernyataan itu, tapi mereka menyanggupinya.
"Kalau begitu, saya minta kepala desa membuat pernyataan itu."
"Wanita itu condesa Roseta de Rodriganda y Sevilla," kata orang itu.
"Silakan duduk dahulu, senor, dan tulislah sebuah pernyataan resmi bahwa dona
ini adalah tuan puteri. Selanjutnya saya minta para hadirin untuk menandatangani
surat itu." "Apakah maksudnya?"
"Terdapat oknum-oknum yang berniat membunuh tuan puteri. Kini tuan puteri
menjadi gila karena perbuatan mereka. Saya bermaksud hendak menyelamatkannya dan
untuk tujuan itu saya perlu surat pernyataan ini."
Kepala desa ingin menanyakan lebih banyak lagi, karena ia ingin membuka tabir
rahasia peristiwa itu. Tetapi Sternau tidak membiarkan banyak waktu terbuang,
maka kepala desa berbuat seperti yang dikehendaki Sternau. Kemudian Sternau
pergi ke kamar-kamar tempat ia sendiri pernah tinggal dan mengemasi barangbarang yang perlu baginya. Perbuatan itu dilakukan dengan disaksikan oleh kepala
desa bersama tua-tua desa. Kemudian para pejabat desa itu diminta mendampinginya
masuk ke dalam kamar tuan puteri. Di situ ia mengambil pula barang-barang yang
diperlukannya sambil menyuruh para pejabat desa mencatatnya. Dengan demikian ia
ingin mencegah kemungkinan, seseorang mengadukan perbuatannya. Akta permandian
tuan puteri merupakan surat yang maha penting baginya. Ia menemukan surat itu di
laci meja tulis wanita itu dan memasukkannya ke dalam saku.
Kepala desa ingin mengetahui maksud perbuatan itu, namun Sternau tidak bersedia
menerangkannya. Sternau menyuruh disiapkan dua buah kereta salju dengan kuda
penarik yang kuat larinya. Ia naik ke atas salah sebuah kereta dengan membawa
tuan puteri, sedangkan kereta yang sebuah lagi dikendarai Mindrello.
Orang-orang memandang mereka pergi. Akhirnya mereka saling berpandangan dengan
muka yang penuh mengandung tanda tanya. Apakah makna segala ini" Sternau telah
menghilang dan tiba-tiba muncul lagi di hadapan mereka. Hendak ke mana ia" Ke
mana hendak dibawanya tuan puteri" Apa sebab pangeran muda dan notaris tidak
menampakkan diri" Orang-orang pergi ke kamar Alfonso. Kamar itu terkunci. Mereka
mengetuk pintu lalu mendengar sayup-sayup suara orang mengerang. Pintu dibuka
dengan paksa. Alfonso didapati dalam kamarnya sedang terbelenggu. Setelah ia
dilepaskan dari belenggu dan mendengar bahwa Sternau telah datang dan membawa
tuan puteri, ia bergegas pergi ke notaris.
Kamar notaris pun terkunci pintunya. Pintu pun dibongkar. Cortejo didapati di
dalamnya terbelenggu pula. Kedua orang itu memerintahkan segera diadakan
pengejaran. Alfonso sendiri mengendarai seekor kuda dan menuju ke Manresa
mengambil tindakan seperlunya.
Sementara itu dua kereta salju tersebut telah tiba di Manresa. Bukan main
gembira hati Alimpo dan Elvira demi melihat majikannya kembali. Mereka sudah
selesai mengemasi barang-barangnya sehingga langsung dapat naik ke atas kereta.
"Untuk sementara masih aman." Kata Sternau, "tetapi kemudian....!"
"Justru kemudian tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, senor," kata orang yang
budiman itu. "Bila kita sudah di daerah pegunungan, Anda dapat menyerahkan
segala-galanya kepada saya!"
"Anda dapat ikut sampai mana?"
"Terserah kepada Anda."
"Kalau begitu, segala keterangan dapat menunggu. Kita harus memburu waktu. Tuan
puteri dan Elvira ikut dengan kereta saya, sedangkan Alimpo dengan kereta Anda."
Setelah Alimpo minta diri kepada saudara sepupunya, mereka pergi. Kedua kereta
salju itu meninggalkan kota di sebelah utara, sedangkan Alfonso masuk kota di
sebelah selatan. Kuda mereka cukup kuat, tetapi jalan ke arah pegunungan
diliputi salju tebal. Karena itu mereka harus mengurangi kecepatannya. Menjelang
malam kuda mereka menjadi letih dan lelah, sehingga mereka terpaksa bermalam di
sebuah penginapan di tepi jalan. Keesokan paginya mereka berangkat lagi.
Perjalanan itu sangat menyedihkan hati Sternau, karena Roseta tetap tidak
mengenalnya. Gadis itu tiada tertarik kepada apa pun yang diperlihatkan
kepadanya. Satu-satunya pekerjaannya ialah berdoa. Petang hari mereka tiba di
tengah-tengah pegunungan Pirenea. Mereka beristirahat sejenak di sebuah rumah
penginapan yang sunyi. Di rumah penginapan itu mereka hanya dapat memesan roti
kering. Untunglah sudah dipersiapkan bekal makanan oleh Elvira.
Rumah penginapan sunyi itu diperlengkapi dengan perabot rumah yang sederhana.
Mereka melihat sebuah meja panjang dikelilingi beberapa kursi yang kasar
buatannya. Di salah sebuah kursi duduk seorang yang mempunyai wajah angker dan
kurang menimbulkan kepercayaan. Ia memakai celana kulit longgar, sepatu bot,
baju usang yang memakai kancing kepingan uang logam dan sebuah topi lusuh.
Pada pinggangnya terselip dua pucuk pistol besar dan sebilah pisau panjang. Ia
mengepit sepucuk bedil di antara kedua lututnya dan di sisinya duduk seekor
beruang buas. Melihat para tamu masuk, ia berkisar ke sebuah sudut. Tetapi ia
melihat dengan terheran-heran ketika Mindrello masuk. Demi orang itu dilihat
Mindrello maka ia memberi isyarat, lalu keluar lagi.
"Astaga, Mindrello, dari mana kaubawa orang-orang terkemuka itu?"
"Dari Manresa," jawab Mindrello.
"Hendak ke mana?"
"Ke Foix." "Apakah mereka orang asing?"
"Ya. Mereka di bawah perlindunganku."
"Kalau begitu mereka tidak akan dipersulit. Hanya aku khawatir, mereka dapat
merugikan kami." "Merugikan" Bagaimana?"
"Mereka dapat mengkhianati kami. Kami sedang menanti kedatangan barang-barang
dari daerah seberang, yang akan sampai di sini menjelang malam. Tiga puluh orang
kami sedang bersembunyi di atas, di bawah atap. Bila sedikit saja tercium oleh
orang-orang yang kaubawa dan mereka mengadu, gagallah usaha kami."
"Janganlah khawatir! Mereka tidak akan mengetahui. Kami hanya selama setengah
jam di sini." Jaminan itu membuat hati penyelundup itu lega. Ia kembali ke ruang tamu dan
duduk di tempatnya di sudut kamar.
Setengah jam sudah hampir lalu, ketika di luar terdengar derap kaki kuda
disertai gelak tawa orang. Elvira yang duduk dekat jendela melihat ke luar lalu
langsung mukanya menjadi pucat pasi.


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Astaghfirullah, polisi!" serunya.
Alimpo cepat melihat juga ke luar. Ia pun sangat terkejut dan berkata,
"Kepala polisi Manresa hadir juga."
"Wah! Sayalah yang dicari!" kata Sternau.
"Apa daya! Kita tidak dapat melawan mereka!"
Sternau mengakui kebenaran perkataan itu. "Namun saya akan melawan juga!"
katanya dengan penuh keyakinan.
Orang yang tidak dikenal yang duduk di sudut kamar itu tiba-tiba bangkit dari
kursi dan berkata, "Jangan khawatir, senor! Anda semua di bawah perlindungan
saya!" Sternau menatap orang itu dengan heran. "Siapakah Anda?" tanyanya.
"Seorang kawan. Lihat saja, Mindrello tidak di sini. Ia kawan saya. Ia sedang
mengambil bala bantuan. Tenanglah dan serahkan penerimaan mereka kepada saya!"
Alimpo segera mengajak isterinya duduk di sudut yang terjauh dalam ruangan itu.
Sternau duduk kembali dan menyiapkan senjata.
Di luar mulai terdengar teriak beberapa orang yang menandakan bahwa mereka telah
menemukan sasarannya. "Itulah mereka!" kata seseorang.
"Benarlah. Kereta salju itu kepunyaan pangeran!" kata yang seorang lagi.
"Kita akan memenangkan hadiah," sorak orang yang ketiga.
"Ayo kita masuk ke dalam!" perintah orang yang ke empat. Itulah suara kepala
polisi Manresa. Kini pintu dibuka dan beberapa orang polisi masuk ke dalam.
"Wah, kebetulan sekali, senor Sternau, kita berjumpa lagi," sindir kepala polisi
ketika ia melihat Sternau.
"Memang demikian." jawab raksasa itu tenang.
"Tampak Anda tidak begitu betah di Barcelona. Sampai Anda harus melarikan diri.
Itu perbuatan sangat tercela. Apalagi beberapa kejahatan baru telah Anda
lakukan." "Kejahatan apa?"
"Penculikan, selanjutnya perampokan serta perbuatan kekerasan pada para penghuni
Rodriganda." "Benar-benar terlalu!" jawab Sternau dengan senyum.
"Saya sependapat. Maka saya bawa belenggu ini. Saya harus membelenggu Anda dan
mengembalikan Anda."
"Boleh Anda coba!" jawab Sternau, siap untuk mengadakan perlawanan.
Kepala polisi hati-hati mundur selangkah.
"Saya peringatkan Anda, janganlah Anda melawan. Di sini Anda lihat empat orang
polisi dan di luar sedang menunggu lima belas orang lagi."
"Saya tidak percaya!" Perkataan itu diucapkan orang yang duduk di sudut ruangan
itu. Kepala polisi menoleh kepada orang itu dan merasa heran.
"Siapakah Anda?"
"Seorang kawan dari tuan-tuan dan nyonya-nyonya ini," jawab penyelundup itu
dengan tenang. "Jadi Anda telah membantu mereka."
"Tidak. Tetapi saya berniat membantu mereka."
"Maka Anda pun harus saya tangkap."
"Mungkin sebaliknya: saya yang menangkap Anda!" jawab orang itu dengan tertawa.
"Saya ditangkap?" teriak kepala polisi. "Jangan coba-coba mempermainkan saya!"
"Silakan Anda melihat ke belakang!"
Kepala polisi melihat ke belakang. Ia mundur selangkah karena terkejut. Keempat
orang polisi yang mendampinginya pun dengan tiada disadarinya mengelak, karena
di lubang pintu yang terbuka lebar itu keluar moncong bedil, sekurang-kurangnya
sepuluh pucuk, dan dekat pintu masuk rumah berdiri beberapa orang yang
membidikkan bedil-bedilnya ke arah polisi yang masih belum bersiap itu.
"Bagaimana sekarang tuan kepala polisi yang gagah perkasa?" tanya orang yang
tidak dikenal itu. "Sebenarnya saya tidak memerlukan bedil-bedil itu. Anjing
saya ini kiranya sudah cukup menutup mulut Anda. Di daerah pegunungan ini kami
sudah biasa menghadapi orang-orang seperti Anda!"
"Celaka, kami sudah terkurung!" kata kepala polisi ketakutan.
"Memang Anda sudah tiada harapan lagi! Orang-orang Anda di luar barangkali masih
belum menyadari keadaan genting di sini. Nyawa Anda sekarang di atas ujung
tanduk. Bersediakah menuruti keinginan kami?"
"Apakah keinginan Anda?" tanya pejabat itu ketakutan.
"Perintahkan orang-orang Anda menyerahkan senjata serta kudanya kepada kami!"
"Itu - tak mungkin!" kata kepala polisi makin ketakutan.
"Namun Anda harus! Saya akan menghitung sampai tiga. Bila setelah itu Anda masih
belum mau memberi aba-aba kepada orang-orang Anda, maka saya akan menembak Anda.
Satu - dua - ti...."
Belum sempat terucapkan kata "tiga" itu, maka kepala polisi melompat ke arah
jendela, membukanya lalu menyerukan aba-aba, "Tinggalkan senjatamu!"
Polisi-polisi yang berdiri di luar menjadi bingung mendengar aba-aba itu.
"Cepatlah, letakkan semua senjata ke atas kereta salju."
"Mengapa?" tanya salah seorang.
"Karena kita sudah terkurung. Rumah ini penuh dengan penyelundup bersenjata.
Mereka akan menembak mati kita bila kita tidak mematuhi perintahnya."
Orang-orang itu tidak langsung mau percaya.
Kini pintu rumah didorong dari dalam sehingga terbuka lebar. Dua puluh orang
penyelundup sekurang-kurangnya membidikkan bedilnya ke arah rombongan polisi di
luar. "Menyerah saja!" bujuk kepala polisi.
"Dengan jaminan kami boleh pergi dengan aman?" tanya salah seorang hati-hati.
"Baik." Polisi-polisi itu menanggalkan senjata dengan hati kecut, menyerahkan kudanya,
lalu pergi. Tetapi ketika kepala polisi bersiap-siap hendak pergi, ia ditahan
oleh penyelundup itu. "Tunggu dahulu, sahabat!" katanya. "Saya kira seseorang ingin mengadakan
perhitungan dengan Anda." Kepada Sternau ia berkata, "Tampak Anda kurang puas
dengan perlakuan orang ini pada Anda."
"Benarlah demikian," kata dokter itu. "Pernah ia datang pada saya dan
menjanjikan akan mengantar kepada seorang wanita, padahal ia membawa saya ke
Barcelona dan memasukkan saya ke dalam penjara, sungguhpun saya tiada bersalah."
"Ia harus dihukum untuk itu! Berilah dia lima puluh cambukan."
Kini Mindrello yang selama itu bersembunyi, masuk ke dalam. Sternau hendak
menyatakan terima kasihnya kepada para penyelundup, tetapi mereka menolak segala
macam penghargaan ataupun hadiah baginya.
TAMAT Bacalah sambungannya: Piramida Bangsa Astek
ePub version: ePub Lover http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 8 Wiro Sableng 110 Rahasia Patung Menangis Pendekar Bunga Merah 5

Cari Blog Ini