The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 9
sakit hati. Kalau engkau menolak tawaran ku ini, kalau engkau meminta bantuan
kepada orang lain untuk sesuatu yang sebenarnya aku mempunyai hak untuk
memberikan itu kepadamu, aku akan mengatakan bahwa hatimu tidak mulia, karena
berarti tidak memberikan kesempatan kepada ibumu untuk memasuki kehidupan yang
baru yang ditawarkan oleh seorang laki-laki yang ayahnya mati karena kelaparan
dan kepedihan yang disebabkan oleh ayahmu."
Ketika Mercedes tamat membacanya, Albert berdiri
tanpa bergerak, menunggu keputusan ibunya.
"Aku menerimanya, Albert. Dia berhak membayar mas kawin yang sepatutnya kubawa
ke biara." Dengan menekankan surat itu ke dadanya, dia memegang tangan anaknya lalu dengan langkah-langkah yang pasti berjalan menuju
tangga. MONTE Cristo kembali ke kota bersama Emmanuel dan Maximilien. Mereka pulang
dengan rasa gembira. Emmanuel tidak menyembunyikan kegembiraannya
melihat pertarungan berubah menjadi perdamaian.
Maximilien yang duduk di sudut membiarkan iparnya menyatakan perasaan hatinya
dengan serangkaian kata-kata sedangkan dia sendiri yang tidak kurang pula
senangnya menunjukkan kelegaan hatinya itu hanya pada sinar matanya saja.
Di Barriere du Trone mereka bertemu dengan Bertuccio yang sedang tegak berdiri
menunggu mereka seperti seorang perjurit. Monte Cristo mengeluarkan kepalanya
melalui jendela dan bercakap-cakap sebentar dengan dia dalam nada rendah.
Setelah itu Bertuccio pergi.
"Kalau Tuan tidak berkeberatan, dapatlah saya diantarkan pulang," kata Emmanuel,
"agar istri saya tidak harus mengalami kekhawatiran tentang kita terlalu lama."
"Ingin sekali sebenarnya kami meminta Tuan mampir sebentar," kata Maximilien,
"tetapi saya tahu ada orang yang ingin segera Tuan tenteramkan juga hatinya.
Kita sudah sampai, Emmanuel, dan baiklah kita tidak terlalu lama mengganggu
Count of Monte Cristo."
"Tunggu sebentar," kata Monte Cristo, "jangan aku ditinggalkan kalian berdua
sekaligus. Tenteramkan istrimu yang baik itu, Emmanuel, dan sampaikan salamku.
Dan engkau, Maximilien, ikutlah ke Champs Elysees."
"Dengan senang hati, terutama sekali karena saya mempunyai urusan pribadi di
dekat rumah Tuan." "Engkau makan malam di rumah nanti?" tanya Emmanuel.
"Tidak," jawab Maximilien. Kereta bergerak lagi.
"Tuan lihat, betapa saya membawa keberuntungan bagi Tuan," kata Maximilien
ketika mereka hanya tinggal berdua. "Tuan tentu tidak mengira akan terjadi
begitu, bukan?" "Itulah sebabnya aku memintamu menjadi pembantu."
"Apa yang terjadi tadi itu benar-benar suatu keajaiban.
Albert memang berani. Tak perlu diragukan lagi."
"Sangat berani," kata Monte Cristo. 'Pernah aku melihat dia tidur lelap padahal
dia tahu ada sebilah pedang terhunus di atas lehernya hampir dalam arti kata
sebenarnya." "Saya tahu dia berjuang melawan dua lawan sekaligus, dan dia menang. Dengan
tindakannya itu dia berhasil mendamaikan keduanya."
"Berkat pengaruhmu " kata Monte Cristo tersenyum.
"Untung Albert bukan seorang perajurit."
"Mengapa?" "Meminta maaf di medan kehormatan!" kata kapten muda itu menggelengkan kepala.
"Nah," kata Monte Cristo ramah, "jangan engkau tergelincir berpikir seperti
orang-orang biasa. Bukankah karena Albert pemberani, dia tidak mungkin sekaligus
menjadi pengecut" Dia mesti mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk bersikap
seperti tadi itu. Bukankah tindakannya itu merupakan tindakan seorang jantan?"
"Benar, benar," jawab Maximilien.
"Engkau makan siang di rumahku, bukan?" tanya Monte Cristo tiba-tiba memutuskan
pembicaraan. "Terima kasih. Saya ada janji jam sepuluh."
"Urusan pribadimu itu janji makan siang rupanya?"
Maximilien menggelengkan kepala.
"Tetapi engkau harus makan, kan?"
"Bagaimana kalau saya tidak lapar?"
"Ah! Aku hanya mengenal dua perasaan saja yang mampu menghilangkan nafsu makan
seorang laki-laki. Kesedihan tetapi, karena kulihat engkau begitu gembira, aku tahu bukan itu
sebabnya . . . dan cinta. Setelah aku mendengar pengakuanmu tadi pagi, aku
kira..." ''Saya tidak akan menyangkalnya," jawab Maximilien bertambah gembira.
"Engkau tidak pernah menceriterakannya," kata Monte Cristo dengan nada suara
yang jelas menunjukkan betapa besar keinginannya mengetahui rahasia itu.
"Saya telah mengatakan tadi bahwa saya mempunyai hati, bukan?"
Monte Cristo menjawab ucapan itu dengan mengulurkan tangannya kepada anak muda
itu. "Karena hati saya sudah berada di sana, saya ingin meminta diri sekarang saja."
"Silakan, sahabat," jawab Monte Cristo perlahan-lahan.
"Tetapi berjanjilah, seandainya engkau menemukan suatu halangan, ingatlah bahwa
aku mempunyai pengaruh tertentu dalam dunia ini yang dengan senang hati mau aku
memanfaatkannya untuk menolong orang-orang yang aku sukai, dan bahwa aku sangat
menyukaimu, Maximilien."
"Terima kasih," jawab anak muda itu, "saya akan mengingatnya seperti seorang
anak ingat kepada orang tuanya ketika dia memerlukannya. Seandainya saya
membutuhkan pertolongan Tuan, dan mungkin sekali saya akan memerlukannya, saya
akan menemui Tuan." "Aku anggap itu sebagai janji. Selamat jalan."
Mereka telah tiba di depan rumah Count of Monte Cristo di Chmaps Elysees. Monte
Cristo membuka pintu kereta dan Maximilien melanjutkan perjalannya dengan jalan
kaki sedang Monte Cristo menghampiri Bertuccio.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Dia akan meninggalkan rumah," jawab Bertuccio. "Dan anaknya?"
"Florentin, pelayannya, mengira akan melakukan hal yang sama."
"Ikut aku." Monte Cristo membawa Bertuccio ke kamar kerjanya, menulis surat, menyerahkannya
kepada Bertuccio dan berkata,. "Sampaikan ini sekarang juga. Sebelum pergi,
beritahu Haydee bahwa aku sudah kembali,"
"Saya di sini," kata Haydee dan ketika mendengar suara kereta Monte Cristo,
turun dari lantai atas. Wajahnya bersinar gembira melihat pelindungnya kembali
dengan selamat Bertuccio pergi. Kegembiraan Monte Cristo, sekalipun tidak tampak sejelas kegembiraan Haydee,
sama mendalamnya. Akhir-akhir ini dia merasakan sesuatu yang sebelumnya dia
tidak berani mempercayainya: bahwa ada Mercedes lain dalam dunia ini, bahwa dia
dapat merasa bahagia untuk kedua kalinya.
Monte Cristo menatap mata Haydee yang basah dengan penuh kasih. Tiba-tiba pintu
terbuka. Monte Cristo mengerutkan dahinya.
"Count of Morceff," kata Baptistin memberi tahu.
"Oh!" teriak Haydee cemas. "Masih belum selesai juga?"
"Aku tidak tahu," jawab Monte Cristo sambil memegang kedua tangan Haydee. "Aku
hanya tahu, tak ada yang perlu dicemaskan. Orang itu tak akan dapat berbuat apaapa terhadapku. Ketika berurusan dengan anaknya itulah yang perlu ditakutkan."
"Tuan tidak akan dapat merasakan bagaimana penderitaan saya!" kata Haydee.
Monte Cristo tersenyum. "Aku bersumpah, apabila ada yang disebut nasib buruk,
itu tak akan mengenai diriku."
"Saya percaya, seperti saya mempercayai Tuhan sendiri yang memberitahukan."
Monte Cristo mencium dahi Haydee yang menyebabkan jantung masing-masing
berdenyut cepat. "Ya Tuhan!" pikir Monte Cristo, "mungkinkah Engkau mengizinkan aku mencintai
lagi seorang wanita?"
Lalu dia berbalik kepada Baptistin. 'Persilahkan tamu itu ke ruang duduk."
Jendral Morcerf sudah berjalan bolak-balik untuk ketiga kalinya ketika Monte
Cristo menemuinya. "Ah, Tuan Morcerf," kata Monte Cristo dengan tenang.
"Saya kira tadi saya salah dengar." '
"Betul, saya," jawab Jendral. Kata-katanya kurang jelas karena terhalang oleh
bibirnya yang gemetar kaku.
"Kehormatan apa kiranya yang menyebabkan saya dapat menerima Tuan sepagi ini?"
'Tuan telah bertemu dengan anak saya tadi pagi."
"Tuan mengetahuinya?"
"Ya, dan saya pun tahu bahwa dia mempunyai alasan yang baik untuk menantang Tuan
dan berusaha membunuh Tuan"
"Benar. Tetapi seperti yang Tuan lihat sendiri sekalipun dia mempunyai alasan
yang baik, dia tidak membunuh saya. Tegasnya, bahkan dia membatalkan perkelahian
itu." "Walau demikian, dia beranggapan Tuanlah biangkeladi tercemarnya nama saya dan
musibah yang menimpa rumah tangga saya."
"Itu pun benar," jawab Monte Cristo dengan ketenangan yang menakjubkan. 'Sayalah
penyebabnya sekalipun bukan penyebab yang utama."
"Karena itu masuk akal kalau Tuan meminta maaf kepadanya atau memberikan
penjelasan kepadanya"
"Saya tidak memberikan penjelasan apa pun dan dialah yang meminta maaf kepada
saya." "Apa alasannya, pikir Tuan?"
"Kesadarannya mungkin, bahwa ada orang lain yang lebih bersalah daripada saya."
"Siapa orang itu?"
"Ayahnya sendiri."
"Mungkin," kata Morcerf. Wajahnya pucat. "Tetapi tentu Tuan juga tahu bahwa
orang yang bersalah pun tidak menyukai kesalahannya dicampakkan ke mukanya."
"Ya, saya tahu, dan akibatnya sudah saya perkirakan."
"Tuan mengira anak saya seorang pengecut?" Morcerf marah.
"Tuan Albert de Morcerf bukan seorang pengecut."
"Seorang laki-laki yang berdiri dengan pedang terhunus di depan musuhnya, dan
tidak mau melawannya, adalah seorang pengecut. Saya mau dia ada di sini
sekarang, supaya dapat mengatakannya kepadanya"
"Saya kira Tuan datang ke sini tidak untuk membicarakan urusan keluarga Tuan,"
kata Monte Cristo dingin. "Katakanlah kepada putra Tuan, barangkali dia dapat
menjawabnya." "Tidak? memang bukan itu maksud kedatangan saya,"
jawab Morcerf dengan senyum yang segera pula
menghilang dari bibirnya. "Saya datang untuk mengatakan bahwa saya menganggap
Tuan sebagai musuh. Saya datang untuk mengatakan bahwa saya membenci Tuan karena
naluri saya membisikkan begitu, bahwa rasanya saya selalu mengenal siapa Tuan
dan selalu membenci Tuan, dan akhirnya, untuk mengatakan bahwa karena anak muda
dari generasi sekarang tidak lagi mau berduel, kita harus melakukannya sendiri.
Setuju?" "Tentu. Ketika saya mengatakan memperkirakan akibat, saya maksudkan maksud
kedatangan Tuan." "Baik. Tuan telah siap?"
"Saya selalu siap."
"Tuan tahu bahwa kita akan berkelahi sampai salah seorang dari kita mati," kata
Jendral itu dengan merapatkan giginya karena marah.
"Sampai salah seorang mati," kata Monte Cristo perlahan-lahan sambil
menganggukkan kepala. "Baik kita mulai saja. Tidak perlu ada saksi dan pembantu."
"Ya, tak ada gunanya. Kita cukup mengenal masing-masing dengan baik."
"Justru karena kita tidak saling mengenal."
"Begitu?" tanya Monte Cristo dengan dingin menjengkelkan seperti tadi. "Bukankah
Tuan, Fernand perajurit yang melarikan diri ketika pertempuran di Waterloo"
Bukankah Tuan Letnan Fernand yang menjadi penunjuk jalan dan mata-mata Tentara
Perancis di Spanyol"
Bukankah Tuan, Kolonel Fernand yang mengkhianati, menjual dan membunuh Ali
Pasha" Dan bukankah ketiga Fernand itu kalau digabungkan menjadi Letnan Jendral
Fernand, Count of Morcerf dan bangsawan Perancis?"
"Jahanam!" teriak Jendral seakan-akan disulut besi membara. "Engkau menghinaku
pada saat engkau mungkin membunuhku! Aku tidak mengatakan bahwa aku orang
asing bagimu. Aku tahu, bangsat, bahwa engkau selalu menyelinap dalam kegelapan
masa laluku, membaca setiap lembaran hidupku diterangi obor yang entah dari
mana. Namun, barangkali masih lebih banyak kehormatan dalam diriku sekalipun dalam
keaibanku sekarang dibandingkan dengan apa yang ada dalam dirimu di bawah
kemuliaan yang tampak. Tidak, aku bukan orang asing bagimu, aku tahu, sebaliknya
aku tidak tahu sedikit pun tentangmu, engkau petualang yang bergelimang emas dan
permata! Di Paris engkau menyebut dirimu Count of Monte Cristo, di Italia,
Sinbad Pelaut, di Malta . . . hanya Tuhan yang tahu!
Aku mau tahu siapa namamu sebenarnya supaya aku dapat menyebutnya di medan
kehormatan nanti ketika aku menembuskan pedangku ke jantungmu!"
Mata monte Cristo berkilat marah. Dia berlari ke kamar sebelah lalu membuka jas
dan kemejanya. Tak lama kemudian dia kembali dengan mengenakan kaos dan topi
pelaut, lalu berdiri tegak di depan Morcerf dengan kedua tangannya menyilang di
dadanya Di wajahnya tercermin kebencian yang sangat. Gigi Morcerf gemeretak, dia
merasa lututnya melemah dan mundur beberapa langkah sampai dia menemukan sebuah
meja untuk menopang dirinya.
"Fernand!" teriak Monte Cristo. "Salah satu namaku sudah akan cukup untuk
membuat hatimu terkoyak, tetapi aku tidak akan menyebutnya. Atau perlu" Ya,
engkau telah menduganya, karena sekalipun aku telah melampaui tahun tahun
kepedihan dan siksaan, kegairahan membalas
dendam membuat wajahku muda kembali, wajah yang pasti sering engkau lihat dalam
mimpimu sejak engkau menikahi Mercedes, tunanganku!"
Jendral Morcerf terbelalak matanya dan mulutnya ternganga. Dia mundur lagi
beberapa langkah sampai punggungnya bersandar kepada dinding. Dia bergeser
selangkah demi selangkah dengan punggung pada dinding sampai mencapai pintu,
lalu lari cepat keluar ruangan dengan hanya sanggup mengeluarkan suara seorang
yang dalam ketakutan yang sangat, mengucapkan "Edmond Dantes!"
Dengan sikap yang sudah tidak lagi seperti manusia, dia sampai di depan rumah,
berjalan terhuyung-huyung di pekarangan seperti orang mabuk dan akhirnya jatuh
di pelukan pelayannya. "Pulang! Pulang" perintahnya, hampir-hampir tidak jelas.
Udara yang segar dan rasa malu terhadap pelayannya membuat dia cepat dapat
menguasai dirinya kembali. Tetapi perjalanan itu tidak jauh, makin mendekat ke
rumah makin cepat lagi ketakutannya kembali menguasai dirinya.
Dia memberhentikan keretanya di muka pintu depan dan turun. Pintu rumah terbuka
lebar dan ada sebuah kereta sewaan, yang saisnya merasa heran dapat panggilan ke
rumah semegah itu, berdiri di tengah-tengah pekarangan.
Jendral Morcerf mengawasinya sebentar dengan rasa cemas, lalu masuk dan berlari
menuju ke kamar kerjanya, tanpa berani bertanyakan sesuatu kepada pelayan
pelayan nya. Dua Orang berjalan menuruni tangga dari ruang atas.
Cepat-cepat dia bersembunyi di balik tirai. Dia melihat Mercedes dipapah Albert.
Mereka akan meninggalkan rumah.
'Tabahkan hati, Ibu," dia mendengar anaknya berkata.
"Ini sudah bukan rumah kita lagi."
Kata-kata anaknya dan langkah-langkah mereka menghilang di kejauhan. Morcerf
memegang tirai erat-erat, bergelut menahan isak tangis yang bergejolak mendesak
keluar dari dada seorang laki-laki yang ditinggalkan oleh istri dan anaknya pada
saat yang bersamaan. Segera dia mendengar pintu kereta tertutup dan sais berteriak melarikan kudanya.
Derap kuda dan kereta menggetarkan kaca-kaca jendela. Cepat dia berlari ke kamar
tidurnya untuk dapat melayangkan pandangan terakhirnya kepada istri dan anaknya
yang sangat dia cintai. Tetapi kereta itu berlalu, tanpa seorang pun
penumpangnya mengeluarkan kepala untuk mengucapkan selamat tinggal kepada rumah
yang sunyi itu dan kepada suami dan ayah yang ditinggalkan.
Tepat ketika kereta melalui lengkung pintu gerbang, terdengar suara tembakan dan
asap hitam mengepul keluar melalui salah satu jendela kamar tidur yang pecah
kacanya karena getaran ledakan.
MAXIMILIEN berjalan menuju rumah Villefort.
Noirtier dan Valentine mengizinkan dia berkunjung sekali seminggu dan sekarang
ini ia sedang akan memanfaatkan haknya.
Valentine telah menunggunya ketika dia sampai. Dengan perasaan cemas, bahkan
mendekati takut ia memegang tangan Maximilien dan segera menuntunnya ke kamar
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakeknya. Dia cemas ketika mendengar tantangan Albert kepada Count of Monte
Cristo di opera. Dia menduga bahwa Maxi-milienlah yang akan diminta menjadi
pembantu Monte Cristo, didasarkan kepada keberanian anak muda yang cukup
terkenal dan rasa persahabatannya yang mendalam dengan Monte Cristo. Dia
khawatir Maximilien tidak akan dapat membatasi dirinya sampai hanya menjadi
pembantu yang pasif saja. Dapat dipahami kalau Valentine membanjiri Maximilien
dengan pertanyaan-pertanyaan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Maximilien
melihat kegembiraan yang tak terkirakan pada wajah Valentine ketika dia
menceriterakan bahwa pertarungan berakhir dengan perdamaian yang di luar dugaan.
"Sekarang bicaralah tentang dirimu sendiri," kata Valentine sambil mempersilakan
Maximilien duduk di samping Noirtier. Dia duduk di tangan kursi kakeknya.
"Seperti kauketahui, pernah kakek bermaksud untuk pindah dari rumah ini dan
menyewa sebuah apartemen untuk kami berdua. Sekarang niat itu kembali lagi."
"Bagus!" Maximilien berteriak gembira. "Tahukah engkau, alasan apa yang telah
beliau kemukakan untuk meninggalkan rumah ini?"
Noirtier memberi isarat agar Valentine menutup mulut, tetapi Valentine tidak
melihat isarat itu. Perhatian dan senyumnya hanya ditujukan kepada Maxirriilien.
"Apa pun alasannya aku yakin pasti baik!" jawab Maximilien.
"Beliau mengatakan bahwa udara di sini tidak baik bagiku."
"Mungkin sekali beliau benar, karena menurut penglihatanku pun kesehatanmu tidak
begitu baik dalam dua minggu terakhir ini."
"Memang. Kakek teiah bertindak sebagai dokterku selama ini, dan karena beliau
luas pengetahuannya aku mempercayainya."
"Tetapi betulkah engkau sakit?" tanya Maximilien cemas.
"Tak dapat aku katakan sakit. Aku hanya merasa kurang enak badan. Nafsu makanku
hilang dan rasanya perut ini sedang berusaha keras membiasakan diri kepada
sesuatu yang asing."
"Bagaimana perawatan untuk penyakit yang tidak diketahui ini?"
"Aku minum sebagian obat yang biasa diberikan kepada kakek. Mula-mula hanya
sesendok kecil, sekarang sudah meningkat menjadi empat sendok. Kata kakek, obat
itu panacea, obat untuk segala penyakit" Valentine tersenyum, tetapi jelas
senyum yang sedih. "Aku kira obat itu dibuat khusus untuk kakekmu." .
"Aku hanya tahu rasanya pahit. Begitu pahit sehingga apa pun yang kuminum
setelah makan obat itu, semuanya terasa pahit."
Noirtier memandang Valentine. Matanya penuh kecemasan. Rupanya seluruh darah Valentine mengalir ke kepala, karena pipinya mulai
kelihatan merah sekali. "Aneh!" kata Valentine lagi tanpa kehilangan kegembiraannya. "Apakah karena
sinar matahari aku merasa pusing?" Dia bersandar di jendela.
"Mana ada sinar matahari!" kata Maximilien sambil berlari menghampiri Valentine.
Valentine tersenyum. "Jangan khawatir, aku sudah baik lagi. Dengar, betulkah itu
suara kereta?" Dia membuka pintu dan berian ke jendela dari mana dia dapat melihat pekarangan,
dan segera kembali lagi. "Betul!" katanya. "Nyonya Danglars dan putrinya datang berkunjung. Saya akan
menemuinya supaya mereka jangan datang ke mari. Tinggal di sini dengan kakek,
Maximilien. Aku akan berusaha kembali secepat mungkin."
Maximilien melihat dia menutup pintu dan mendengar dia berjalan di tangga yang
menuju ke kamarnya dan kamar Nyonya de Villefort.
Nyonya Danglars dan anaknya dibawa ke kamar
Nyonya de Villefort Valentine memberi hormat ketika mereka masuk.
"Saya datang dengan Eugme karena ingin menjadi orang pertama yang memberi
tahukan perkawinan Eugenie
dengan Pangeran Cavalcanti" kata Nyonya Danglars.
Suaminya bersikeras untuk memberi gelar pangeran kepada Cavalcanti karena
ditelinganya gelar itu lebih sedap terdengar.
"Saya mengucapkan selamat," jawab Nyonya de Villefort. Pangeran Cavalcanti
seorang anak muda dengan macam-macam kebaikan."
"Benar" kata Nyonya Danglars tersenyum. "Hatinya baik dan otaknya cerdas. Dan
kata suami saya, dia kaya se kaya seorang raja."
"Ibu dapat tambahkan juga," sela Eugenie, "bahwa ibu pun menyukainya."
"Saya rasa, biasa kalau seorang anak muda disenangi oleh calon istri dan calon
mertuanya, bukan?" kata Nyonya de Villefort.
"Saya sendiri tidak menyukainya," jawab Eugenie dingin seperti kebiasaannya.
"Saya tidak mempunyai bakat untuk mengikatkan diri kepada urusan rumah tangga
atau kepada keinginan seorang laki-laki, siapa pun dia. Saya dilahirkan untuk
menjadi seorang seniwati dan seorang yang merdeka.
Tetapi karena saya terpaksa harus menikah, saya bersyukur tidak jadi menikah
dengan Albert de Morcerf. Kalau dengan dia mungkin sekarang saya sudah menjadi
istri seorang yang kehilangan kehormatannya."
"Tetapi," kata Valentine agak ragu-ragu, "apakah dia harus dipersalahkan karena
kecemaran bapaknya?"
"Dia harus turut menanggung kecemaran itu," jawab Eugenie yang keras itu.
"Setelah menantang Count of Monte Cristo di gedung opera di muka umum, dia
meminta maaf tadi pagi di medan kehormatan."
"Mana mungkin!" Nyonya de Villefort yang tidak mengetahui persoalannya merasa
heran. "Itu benar," kata Nyonya Danglars, "saya mendengarnya dari Tuan Debray yang
hadir di tempat kejadian itu."
Valentine pun tahu, tetapi dia tidak berkata apa-apa.
Pikirannya sedang melayang ke kamar Noirtier, tempat Maximilien sedang
menunggunya. Sentuhan tangan nyonya Danglars di tangannya membuat dia sadar
kembali dari lamunannya. "Engkau sakit, Valentine?" tanyanya. "Dalam beberapa menit saja wajahmu berubah
dari merah ke pucat dan kem-beii merah beberapa kali."
"Mukamu pucat sekati sekarang," kata Eugenie.
"Oh, tidak ada apa-apa. Sudah beberapa hari memang begini" Dia sadar bahwa
sekarang dia mempunyai alasan untuk meminta maaf meninggalkan mereka.
Nyonya de Villefort melicinkan jalan dengan berkata.
"Rupanya engkau kurang sehat, Valentine. Saya rasa tamu kita tidak akan
berkeberatan kalau engkau beristirahat saja."
Valentine merangkul Eugenie, memberi hormat kepada Nyonya Danglars dan keluar.
Dia sudah hampir habis menuruni tangga, bahkan sudah dapat mendengar suara
Maxmiili en yang sedang bercakap-cakap dengan kakeknya, ketika tiba-tiba seakanakan segumpal awan gelap menghalangi penglihatannya sehingga ia jatuh terguling di tangga. Maxi-milien
berlari keluar pintu dan melihat Valentine tergeletak di bawah tangga. Segera
Valentine dipangku di bawa ke dalam dan didudukkan di sebuah kursi.
Valentine-membuka-matanya.'"Oh,mengapa-aku-ini!"
katanya dengan gagap."Begitu lemahkah aku sehingga tidak mampu berdiri lagi?"
"Apa yang sakit, Valentine" Oh Tuhan! Oh Tuhan!"
Valentine melihat mata Noirtier berkilat-kilat penuh kecemasan. "Jangan
khawatir, Kakek," katanya mencoba tersenyum. 'Tidak apa-apa. Saya hanya merasa
pusing sebentar, hanya itu."
"Hati-hati, Valentine. Aku minta!" kata Maximilien.
"Tidak apa-apa. Aku sudah merasa baik. Ada berita: Eugenie Danglars akan menikah
dalam seminggu ini."
"Dan kapan giliran kita" Engkau mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap
kakekmu. Cobalah pengaruhi beliau untuk menjawab, segera."
"Engkau mengharapkan aku mempengaruhi kakek?"
"Betul, dan bertindaklah Cepat-cepat! Sebelum engkau menjadi milikku, aku selalu
merasa akan kehilanganmu."
"Maximilien," jawab Valentine dengan gerakan yang agak kaku, "sebagai seorang
perjurit yang kata orang tidak pernah merasa takut engkau terlalu banyak
kecemasan!" Valentine tertawa dengan suara melengking mengerikan, kedua tangannya kaku,
kepala terkulai dan akhirnya tak sadarkan diri.
Mata Noirtier selalu mengawasinya dan berputar-putar liar, seakan-akan semua
rasa takut dan suara hatinya tumpah ke dalam matanya. Maximilien sadar bahwa ia
harus cepat-cepat mencari pertolongan. Dia memijit bel. Pelayan Valentine dan
pelayan yang menggantikan Barrois segera masuk berbarengan. Karena melihat
Valentine yang begitu pucat, begitu dingin dan begitu lemas, tanpa mendengarkan
penjelasan yang diberikan, keduanya sudah dicekam rasa takut yang senantiasa
menguasai rumah itu. Tanpa
menunggu perintah mereka berlari keluar berteriak-teriak meminta tolong.
"Ada apa?" tanya Tuan de Villefort dari kamar kerjanya.
Maximilien bertanya kepada Noirtier yang sudah dapat menguasai diri kembali. Dia
memberi isarat kepada Maximilien untuk bersembunyi di balik lemari. Dia masih
sempat mengambil topinya ketika dia mendengar langkah de Vfllefort mendekat.
Villefort masuk. Begitu melihat Valentine dia berlari menghampirinya dan
memeluknya. "Panggil dokter?"
teriaknya. "Panggil Dokter d'Avrigny . . . tidak biar aku sendiri yang pergi!"
dan dia berlari ke luar. Maximilien keluar melalui pintu yang lain. Otaknya penuh dengan pikiran yang
menakutkan. Ia teringat kepada pembicaraan antara Villefort dan Dokter d'Avrigny
di kebun pada malam meninggalnya Nyonya de Saint-Meran.
Dan tanda-tanda yang nampak pada Valentine, sama
dengan yang terjadi pada Barrens, sekalipun tidak sehebat itu. Pada saat yang
bersamaan, seakan-akan dia mendengar suara Count of Monte Cristo yang baru dua
jam yang lalu berkata kepadanya: "Seandainya engkau memerlukan sesuatu,
datanglah kepadaku, Maximilien. Aku dapat berbuat banyak." Setelah pikirannya
tenang kembali, dia berlari ke rumah Monte Cristo di Champs Elysees.
Monte Cristo sedang berada di ruang kerjanya ketika Maximilien datang.
'Ada apa, Maximilien" Wajahmu pucat sekali dan dahimu basah."
Sebelum menjawab, Maximilien menjatuhkan diri di atas kursi. "Saya berlari
secepat mungkin. Ada yang ingin saya bicarakan."
'Yang di rumah baik-baik semua?" tanya Monte Cristo dengan keramahan yang jelas
sekali. "Ya, terima kasih. Semua baik-baik."
"Jadi apa yang hendak engkau bicarakan. Apakah saya dapat menolong?"
"Ya, Tuan dapat menolong. Saya datang ke mari seperti orang gila dengan pikiran
hanya Tuanlah yang dapat menolong saya."
"Ceriterakanlah persoalannya."
"Saya tidak tahu, apakah saya boleh membukakan rahasia ini atau tidak, tetapi
sekarang saya hampir terpaksa membukakannya."
Maximilien berhenti ragu. "Ada sesuatu yang membisikkan kepada saya bahwa saya
tidak boleh menyimpan rahasia bagi Tuan."
"Benar, Maximilien. Tuhan telah berbisik ke dalam hatimu, dan hatimu berbisik
pula kepadamu sendiri."
"Bolehkah saya meminta Baptistin pergi dengan dalih mencari keterangan mengenai
seseorang yang Tuan kenal?"
'Tentu saja. Saya panggilkan dia?"
"Tidak usah, biar saya yang mengatakannya."
Maximilien pergi ke luar, memanggil Baptistin lalu berkata kepadanya dalam suara
ditekan. Baptistin segera pergi meninggalkan rumah.
"Sudah pergi?" Tanya Monte Cristo ketika Maximilien kembali.
"Sudah. Sekarang hati saya agak tenteram'"
"Aku masih menunggu ceritera yang menggelisahkan dirimu itu," kata Monte Cristo
tersenyum. "Dan saya pun telah siap untuk mengatakannya. Pada sualu malam saya berada dalam
sebuah kebun. Saya bersembunyi di balik semak-semak dan tak seorang pun tahu
saya berada di sana. Dua orang datang berjalan mendekat izinkan saya tidak
menyebut nama-nama mereka sementara ini - dan saya mendengar mereka bercakapcakap. Salah seorang dari mereka adalah pemilik rumah. Yang seorang lagi,
seorang dokter. Ada seorang yang baru meninggal dalam rumah itu. Pemilik rumah
berbicara tentang kesedihan dan kekhawatirannya oleh karena kejadian malam itu
merupakan kejadian yang kedua kalinya dalam satu bulan: ada orang mati mendadak
dalam rumahnya." "Apa kata dokter?" tanya Monte Cristo. "Dia berkata . . .
bahwa kematian itu tidak wajar dan bahwa kematian itu disebabkan oleh ..."
"Oleh apa?" "Racun." "Betul?" tanya Monte Cristo lagi dibarengi batuk yang disengaja untuk
menyembunyikan perasaan hatinya.
"Betul Count. Dan dokter itu menambahkan bahwa apabila kejadian semacam itu
terulang lagi, dia akan menganggapnya sebagai kewajiban untuk memberitahu
polisi. Namun, tak beberapa waktu kemudian kematian mendadak itu menimpa orang ketiga
dan tak seorang pun dari mereka membuka mulut. Sekarang, korban keempat mungkin
akan jatuh lagi. Tuan apa yang harus saya lakukan sekarang?"
"Kawan," kata Monte Cristo. "Saya rasa engkau menceriterakan sesuatu yang sudah
menjadi rahasia umum. Aku tahu rumah mana yang kau maksud, atau sekurang-kurangnya aku mengenal sebuah
rumah yang tepat seperti yang kaumaksud, di mana pernah terjadi tiga orang mati
mendadak dan mengherankan. Sekalipun aku
mengetahuinya, apakah hatiku risau" Tidak. Karena itu bukan urusan ku. Mungkin
sekali keadilan Tuhan sedang berlangsung dalam rumah itu. Kalau itu benar,
jangan ambil pusing, biarkanlah keadilan itu berlangsung."
Monte Cristo mengucapkan kata-kata ini dengan nada suara yang khidmat dan
hormat, sehingga membuat Maximilien bergidik.
"Dalam pada itu," katanya selanjutnya, "apa yang membuat engkau mengira akan
jatuh korban keempat?"
"Kematian sudah datang mengancam. Tuan. Itulah sebabnya saya datang ke mari."
"Apa yang harus kulakukan" Apakah saya harus memanggil jaksa, umpamanya?"
'Tuan! Tuan telah mengetahui rumah siapa yang saya maksud, bukan?"
"Tahu. Tahu betul. Engkau mendengar rahasia itu di kebun rumah Tuan de
Villefort. Menilik ceriteramu, aku kira itu terjadi pada malam meninggalnya
Nyonya de Saint-Meran. Tiga bulan yang lalu Tuan de Saint Meran mati, dua bulan
yang lalu Nyonya de Saint-Meran, dan beberapa hari yang lalu Bairois. Sekarang,
kalau bukan Noirtier tentu Valentine."
"Tuan mengetahuinya, tetapi Tuan tidak berbuat apa-apa?" Maximilien agak marah.
"Apa urusanku?" jawab Monte Cristo dengan mengangkat bahu. "Apakah mereka
sahabat-sahabatku" Apa perlunya aku mengorbankan seorang dari mereka untuk
menolong jiwa yang lainnya" Saya tidak mempunyai
pilihan antara si pembunuh dan korban."
"Tetapj saya mencintai dia!" teriak Maximilien putus asa.
"Saya mencintainya!"
"Apa!" Monte Cristo terlompat dari kursinya.
"Saya sangat mencintainya! Saya bersedia mengorbankan semua darah saya untuk
mencegah dia menitikkan se-tetes air mata kesedihan! Saya mencintai Valentine de
Villefort yang akan terbunuh malam ini. Tuan dengar" Saya meminta nasihat Tuan
bagaimana saya harus menyelamatkannya!"
Melalui tenggorokan Monte Cristo keluar suara seperti suara singa lerluka,
"Engkau mencintai Valentine" Engkau mencintai anak seorang yang terkutuk!"
Maximilien belum pernah melihat air muka orang seperti yang tampak pada wajah
Monte Cristo sekarang. Dia mundur selangkah karena getir. Monte Cristo menutup
kedua matanya, seperti orang yang merasa pusing karena ada se macam kilat
menyambar dalam hatinya, dan kini bergelut menenangkan badai yang mengamuk dalam
dadanya. Sesaat kemudian, dia membuka kembali matanya dan
berkata dengan nada yang hampir tenang lagi. "Tuhan menghukum orang yang
bersikap acuh tak acuh dan angkuh terhadap kejadian yang mengerikan yang Beliau
perlihatkan di hadapannya. Aku tertawa melihat seorang jahat membinasakan yang
lainnya, tetapi aku sendiri sekarang terpagut ular jahat yang kutonton itu."
Maximilien mengeluh. "Kuatkan hatimu dan jangan putus asa," kata MonteCristo. "Aku akan menjagamu."
Maximilien menggelengkan kepala dengan wajah sedih.
"Aku katakan,, jangan putus asa," lanjut Monte Cristo?
"dengarkan baik-baik. Kalau Valentine belum mati sekarang, dia tidak akan mati.
Pulanglah dan tunggu sampai ada berita dariku."
"Ketenangan Tuan menakutkan sekali!" kata Maximilien tak tertahan. "Apakah Tuan
menguasai juga kematian"
Apakah Tuan lebih dari manusia biasa?"
Monte Cristo menatap wajah anak muda itu dengan senyum ramah dan kasih. "Aku
dapat berbuat banyak. Pulanglah sekarang karena aku perlu menyendiri dahulu."
Maximilien terkalahkan oleh wibawa Monte Cristo yang sering disaksikannya
mempengaruhi orang-orang sekitarnya, tidak dapat membantah. Dia menjabat
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya lalu pergi. Di pintu dia berdiri menunggu Baptistin yang sudah kelihatan kembali bergegasgegas. Sementara itu Villefort sudah kembali ke rumah bersama Dokter d'Avrigny.
Valentine masih belum sadarkan diri.
Dokter memeriksanya dengan cermat sekali. Villefort dan Noirtier
memperhatikannya dengan harap-harap cemas.
Akhirnya dokter berkata perlahan-lahan: "Masih hidup."
"Masih hidup!" Villefort terperanjat. "Dokter, mengerikan sekali apa yang Tuan
katakan itu!" "Ya, dan saya ulangi: dia masih hidup. Dan ini sangat mengherankan saya."
"Dapat Tuan menyelamatkannya" "
"Dapat, karena dia belum meninggal." Ketika mengucapkan ini Dokter d'Avrigny
melihat mata Noirtier bersinar gembira dan dia dapat membaca bahwa pikirannya
sedang penuh. "Tuan Villefort, sudikah Tuan
memanggilkan pelayan Valentine?"
Villefort pergi. Setelah dia menutup pintu, Dokter d'Avrigny mendekati Noirtier.
"Ada yang hendak Tuan katakan?"
Noirtier mengiakan dengan isarat mata.
"Hanya untuk saya sendiri?"
"Ya," jawab mata orang tua itu.
"Baik, saya akan tinggal di sini."
Villefort masuk kembali diikuti oleh pelayan dan di belakang mereka Nyonya de
Villefort. "Mengapa Valentine ini?" tanya Nyonya de Villefort.
"Dia mengeluh tidak enak badan, tetapi saya kira tidak separah itu."
"Dia akan baik kembali setelah beristirahat," kata Villefort. "Mari kita
pindahkan ke sana." Dokter d'Avrigny melihat ada kesempatan untuk dapat berdua dengan Noirtier. Ia
segera membenarkan usul Villefort, tetapi dia meminta dengan sangat agar
Valentine jangan diberi obat apa-apa kecuali yang ditentukan oleh dia sendiri.
Lalu dia meminta Villefort untuk pergi sendiri ke rumah obat dan menekankan agar
dia menyaksikan peramuannya. Setelah melihat tidak ada orang lagi, dokter itu menutup pintu dengan hati-hati.
"Apakah Tuan mengetahui sesuatu tentang penyakit cucu Tuan?"
"Ya." Dokter d'Avrigny berpikir sebentar, lalu berkata lagi.
"Maafkan, apa yang hendak saya katakan ini, tetapi saya kira kita tidak boleh
mengabaikan apa pun dalam keadaan seperti sekarang ini. Tuan telah melihat
Barrois meninggal. Menurut pendapat Tuan, wajarkah kematian itu?"
Suatu gerakan halus semacam senyum tampak di bibit Noirtier.
"Jadi Tuan tahu bahwa Barrois mati sebab racun?"
"Ya." "Apakah racun itu dimaksudkan untuk dia?"
"Bukan." "Apa Valentine diracun oleh orang yang sama?"
"Ya." "Dia pun akan mati, tentu."
"Tidak!" mata Noirtier menyorotkan kebanggaan.
"Artinya Tuan berpendapat dia akan tetap hidup?"
Dokter d'Avrigny heran. "Ya." "Menurut perkiraan Tuan apakah pembunuh itu akan membatalkan niatnya?"
"Tidak." "Jadi Tuan berpendapat bahwa racun itu tidak akan mematikan Valentine?"
"Ya." "Mengapa?" Noirtier mengarahkan matanya ke suatu tempat. Dokter d'Avrigny mengikutinya dan
tahulah dia bahwa mata No tier dipusatkan kepada botol-botol yang berisi obat
yang biasa diberikan kepadanya setiap pagi.
"Ah!" kata dokter terdorong deh suatu pikiran. "Tuan sudah mengira bahwa
Valentine akan diracun karena itu Tuan membiasakannya lebih dahulu?"
"Ya." "Tuan memberikannya secara berangsur-angsur dan setiap kali bertambah?"
"Ya" Ya!" Noirtier kelihatan gembira sekali karena jalan pikirannya dapat
dimengerti. "Dan Tuan telah berhasil! Tanpa kewaspadaan itu Valentine sudah mati sekarang.
Serangannya hebat sekali, tetapi dia akan sembuh . . . untuk kali ini sekurangkurangnya." Villefort tiba-tiba masuk. "Ini obatnya, Dokter."
"Diramu di hadapan Tuan sendiri?"
"Ya." "Tidak terlepas dari tangan Tuan sejak itu?"
"Tidak." Dokter d'Avrigny mengambil botol obat itu, mengeluarkannya beberapa tetes di
telapak tangannya, lalu mencicipinya. "Bagus. Mari kita lihat Valentine. Saya
akan memberikan perintah kepada semua, Tuan de Villefort, dan saya mengharapkan
agar Tuan menjaga jangan sampai ada yang tidak mentaatinya."
Ketika Dokter d'Avrigny dan Villefort memasuki kamar Valentine, seorang padri
bangsa Italia yang tenang tindak-tanduknya dan tegas bicaranya, menyewa rumah
yang bersebelahan dengan rumah Villefort. Tidak diketahui mengapa ketiga
penghuni terdahulunya mendadak pindah dari sana tiga jam yang lalu. Hanya orangorang di sekitarnya berbicara tentang fondasi rumah yang sudah tidak kuat lagi
sehingga dapat roboh sewaktu-waktu. Namun demikian, hal ini tidak mencegah
penyewa yang baru itu untuk meng-huninya, mulai pada hari itu juga, bahkan
dengan membawa serta perabot rumahnya yang cukup banyak. Penyewa baru itu masuk
sekitar jam lima sore setelah membayar lebih dahulu uang sewanya untuk enam
bulan. Namanya adalah Padri Giacomo Busoni.
Pada malam itu juga orang-orang lewat diherankan oleh beberapa tukang kayu,
tukang tembok yang sibuk bekerja memperbaiki rumah itu.
BAB LVI TIGA hari kemudian, menjelang jam setengah sembilan pada malam upacara
penandatanganan perjanjian
perkawinan antara Andrea Cavalcant dan Eugenie
Danglars, rumah Danglars penuh tamu yang berpakaian serba bagus. Sebenarnya
mereka tidak begitu menyukai keluarga Danglars, namun mereka hadir demi sopan
santun Ribuan lilin bertaburan menerangi seluruh ruangan yang penuh dengan
perabotan yang mahal-mahal. Walau
demikian kesan selera buruk pemiliknya tidak terhindarkan.
Nona Eugenie Danglars berbaju putih yang bagus po-tongannya, tetapi sederhana,
tanpa mengenakan intan permata. Satursatunya hiasan hanyalah sekuntum bunga
putih yang hampir terlepas dari rambutnya yang hitam pekat Nyonya Danglars
bercakap-cakap dengan Debray,
Beauchamp dan Chateau Renaud Danglars, dikeliling oleh raja-raja uang,
menerangkan teori baru tentang perpajakan yang akan dia terapkan dalam praktek
apabila Pemerintah meminta nasihatnya. Andrea Cavalcanti sedang memegang tangan
seorang anak muda yang gagah sambil
menggambarkan kehidupan mewah dengan penghasilan
175.000 frank setahun yang akan segera ditempuhnya.
Tamu-tamu hilir mudik dalam ruangan besar bagaikan rangkaian mirah delima,
jamrut dan intan yag bergerak.
Seperti biasa wanita-wanita yang beranjak tualah yang paling banyak menghias
diri, dan yang paling berwajah buruk-lah yang paling bersemangat menonjolkan
diri. Dari waktu ke waktu, penjaga pintu berteriak memberitahukan orang yang ternama
di kalangan dunia keuangan, atau yang disegani dalam kemiliteran atau seorang
yang dipuja di dunia kesusasteraan. Banyak di antara nama-nama tamu yang
diumumkan kedatangannya memang nama-nama orang yang disegani, namun sebanyak itu
pula nama yang diterima dengan acuh tak acuh bahkan dengan sindir cemooh.
Ketika lonceng berbunyi tepat sembilan kali, nama Count of Monte Cristo
diumumkan. Setiap mata beralih ke pintu masuk. Seperti biasa Monte Cristo
berdandan sederhana. Rantai erioji mas yang melintang di dadanya adalah satusatunya perhiasan pada dirinya.
Dengan pandangan sekilas saja Monte Cristo dapat
melihat Nyonya Danglars berada di ujung ruangan,Tuan Danglars di ujung yang lain
dan Eugenie di hadapannya.
Mula-mula dia menemui Nyonya Danglars, setelah itu mengucapkan selamat kepada
Eugenie. Di samping Eugenie berdiri Nona Louise d'Armily. Nona ini
mengucapkan terima kasih kepada Monte Cristo untuk surat perkenalan yang
diberikan Monte Cristo kepadanya untuk keperluan di Italia, yang katanya akan
segera dia manfaatkan. Ketika Monte Cristo membalikkan badan untuk meninggalkan
kedua wanita itu, ternyata dia telah berhadapan dengan Tuan Danglars yang
sengaja datang menghampiri untuk menyambutnya.
Andrea yang berada di ruang sebelah dapat merasakan pengaruh kehadiran Count of
Monte Cristo. Dia pun menghampirinya untuk menjabat tangannya. Monte Cristo
dikelilingi banyak tamu yang masing-masing berkeinginan untuk berbicara
dengannya, seperti biasa terjadi pada orang yang tidak banyak berbicara tetapi
kalau berbicara selalu bernilai.
Notaris-notaris sudah datang. Mereka meletakkan dokumen perjanjian di atas meja
yang beralaskan kain beludru bersulamkan benang emas. Salah seorang notaris
duduk di kursi yang sudah disediakan, sedang yang seorang lagi tetap berdiri.
Pembacaan surat perjanjian segera dimulai.
Suasana hening sekali ketika surat itu dibacakan, tetapi begitu selesai gemuruh
suara tamu lebih keras dari sebelumnya. Jumlah uang yang disebut dalam
perjanjian itu memperlengkap kekaguman para tamu yang ditimbulkan oleh gaun
pengantin dan permata selengkapnya yang sudah di-pajangkan di kamar sebelah.
Nilai kecantikan Eugenie meningkat lagi dalam pandangan anak-anak muda yang
hadir. Sedangkan para wanita seperti biasa, bersamaan dengan timbulnya rasa iri,
hati kewanitaannya mengatakan bahwa dia tidak memerlukan semua itu untuk
menambah kecantikannya. Andrea yang dibanjiri pujian dari kawan-kawannya
akhirnya mulai percaya bahwa mimpinya akan segera menjadi kenyataan.
Dengan khidmat sekali notaris mengambil pena, mengangkatnya di atas kepalanya
lalu mengumumkan, "Tuan-tuan, kita sekarang akan menandatangani kontrak ini."
Yang pertama-tama akan menandatanganinya adalah
Baron Danglars, lalu wakil Mayor Cavalcanti, kemudian Nyonya Danglars dan
akhirnya kedua calon mempelai.
Danglars menerima pena dari tangan notaris lalu membubuhkan tandatangannya,
setelah itu menyerahkan pena kepada wakil Mayor Cavalcanti. Nyonya Danglars
mendekat, didampingi oleh Nyonya de Villefort.
"Sayang sekali," kata Nyonya Danglars kepada suaminya, "Tuan de Villefort tidak
hadir karena ada perkembangan yang mendadak mengenai perampokan dan pembunuhan di rumah Count of Monte Cristo tempo hari."
"Sayang sekali," jawab Danglars dengan nada yang sama seandainya dia berkata
"Apa peduliku?"
Monte Cristo maju selangkah lalu berkata,."Saya khawatir sayalah yang menjadi
sebab ketidakhadiran Tuan de Villefort."
"Tuan?" kata Nyonya Danglars sambil membubuhkan tandatagannya pada kontrak
perkawinan. "Kalau itu betul, saya tidak akan dapat memaafkan."
Telinga Andrea meruncing.
"Bukan salah saya," jawab Monte Cristo, "bila boleh saya ingin menjelaskannya."
Semua diam dan memasang kuping.
"Tentu Nyonya masih ingat," katanya memulai, "orang yang bermaksud merampok saya
mati terbunuh, mungkin sekali oleh kawannya sendiri. Dalam usaha menyelamatkan
jiwanya, mereka telah melepaskan pakaian dan melemparkannya ke sebuah sudut
dekat sana. Polisi menemukannya dan memungutnya. Yang dibawa hanya jas dan
celananya saja, kemejanya tertinggal."
Dengan diam-diam Andrea menyelinap mendekati pintu.
"Kemeja itu baru diketemukan hari ini berlumuran darah dan berlubang di tentang
hati. Kemeja itu diserahkan orang kepada saya. Tak seorang pun tahu dari mana
datangnya barang itu. Hanya saya sendiri yang menduga bahwa kemeja itu milik
penjahat yang terbunuh. Pelayan saya yang memeriksanya dengan perasaan jijik,
menemukan secarik kertas dari dalam salah satu sakunya. Ternyata surat yang
ditujukan kepada Tuan Baron Danglars."
"Kepada saya!" Danglars terkejut.
"Betul kepada Tuan. Saya berhasil membaca nama Tuan di bawah percikan darah pada
kertas itu," tambah Monte Cristo di tengah-tengah keheranan para tamu.
"Tetapi bagaimana hubungannya dengan ketidakhadiran Tuan de Villefort?" tanya
Nyonya Danglars, lalu memandang cemas kepada suaminya.
"Sederhana sekali, Nyonya," jawab Monte Cristo.
"Kemeja dan surat itu merupakan barang bukti dalam kejadian ini, sebab itu saya
menyerahkannya kepada Tuan de Villefort. Menuruti hukum adalah tindakan yang
paling aman dalam perkara kejahatan, kalau tidak mungkin sekali kita sendiri
mendapat kesulitan."
Tanpa melepaskan pandangannya kepada Monte Cristo, Andrea memasuki ruang lain.
"Mungkin sekali" kata Danglars. "Orang terbunuh itu, pelarian dari penjara,
bukan"' "Betul, seorang pelarian bernama Caderousse."
Wajah Danglars mendadak pucat, sedangkan Andrea
meninggalkan ruang di sebelah masuk ke ruang tunggu di depan.
"Sebaiknya penandatanganan kontrak ini diselesaikan!"
kata Monte Cristo. "Saya lihat ceritera saya ini telah meng ganggu. Maaf."
Nyonya Danglars yang baru saja menuliskan tandatangannya mengembalikan pena
kepada notaris. "Sekarang, silakan Pangeran Cavalcanti," kata notaris.
"Mana Pangeran Cavalcanti?"
"Cari Pangeran Cavalcanti dan katakan beliau harus mc-nandatangani," perintah
Danglars kepada salah seorang pelayannya.
Hampir setiap orang bergerak menuju ke ruang utama, seperti ketakutan. Dan benar
ada alasan bagi mereka untuk ketakutan, sebab seorang perwira polisi
memerintahkan dua anak buahnya menjaga setiap pintu dan dia sendiri menghampiri
Danglars. Nyonya Danglars berteriak, lalu pingsan. Danglars yang merasa dirinya terancam karena hati nurani manusia berdosa tidak pernah merasa tenang - memperlihatkan
wajah yang tidak karuan karena ketakutan.
"Siapa di antara Tuan-tuan yang bernama Andrea Cavalcanti?" tanya perwira polisi
itu. Suara terheran-heran terdengar di seluruh ruangan.
"Dia adalah seorang pelarian dari penjara Toulon, dan sekarang dituduh membunuh
kawan sepelariannya bernama Caderousse."
Monte Cristo melayangkan pandangannya ke sekelilingnya tetapi Andrea telah
menghilang. BAB LVII TAK berapa lama setelah kejadian yang menghebohkan itu, rumah Danglars cepat
menjadi sunyi kembali, secepat ditinggalkan orang yang ketakutan kena wabah
kolera yang dibawa salah seorang di antara tamu. Setiap orang bergegas
meninggalkan rumah itu, atau lebih tepat lagi berlari, oleh karena dalam keadaan
seperti itu semua beranggapan bijaksana untuk tidak terlibat, bahkan kewajiban
menghibur kawan yang sedang ditimpa musibah pun boleh menunggu sampai lain
waktu. Yang berada dalam rumah itu hanyalah Danglars yang harus memberikan penjelasan
kepada perwira polisi di ruang kerjanya, Nyonya Danglars yang gemetar ketakutan
di kamarnya sendiri, dan Eugenie yang berlari cepat-cepat ke kamarnya dikawani
oleh sahabatnya yang tidak terpisah-kan, Nona Louise d' Armiy
Setelah berada di dalam, Eugenie mengunci kamarnya, sedang Luoise menjatuhkan
dirinya ke atas sebuah kursi.
"Mengerikan sekali!" kata guru musik yang masih muda belia itu. "Tuan Andrea
Cavalcanti seorang pelarian narapidana - seorang pembunuh!"
"Lucu sekali suratan takdirku ini," kata Eugenie dengan senyum sinis, "terlepas
dari Morcerf untuk jatuh ke dalam cengkeraman Cavalcanti"
"Jangan dipersamakan kedua orang itu, Eugenie."
"Semua laki-laki sama! Aku akan bahagia kalau dapat lebih membenci mereka.
Sekarang hanya dapat sampai memandang rendah saja."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang"1'
'Tresis seperti yang kita rencanakan. Pergi,"
"Masih tetap kau berniat begitu sekalipun pertunangan-mu telah putus sekarang?"
"Mengapa tidak" Supaya mereka bisa mencoba lagi mengawinkan aku dengan laki-laki
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lain dalam bulan mendatang ini" Tidak, Louise, kejadian malam ini akan merupakan
alasan yang kuat sekali bagiku untuk kabur.
Aku tidak mencarinya, tetapi Tuhan telah memberikan alasan dan kesempatan ini
dan aku sangat bersyukur."
"Tabah sekali hatimu," kata gadis yang berambut pirang itu kepada kawannya yang
berambut hitam. "Seperti engkau tidak mengenal aku. Lebih baik kita membicarakan urusan kita.
Apa kereta sudah diatur?"
"Sudah." ''Bagaimana dengan paspor?"
"Ini." Dengan ketenangan yang sudah menjadi pembawaannya, Eugenie membuka paspor dan membaca kalimat yang tercantum di dalamnya: Tuan
Leon d Armily berumur dua puluh tahun, pekerjaan seniman, rambut hitam, mata
hitam, bepergian bersama adik perempuannya
"Bagus! Bagaimana engkau memperoleh paspor ini?"
"Ketika aku meminta surat perkenalan kepada Count of Monte Cristo untuk
direktur-direktur gedung pertunjukan di Roma dan Napoli, aku terangkan
ketakutanku bepergian seorang diri sebagai seorang wanita. Beliau memahami
kekhawatiranku dan menawarkan untuk menggunakan
paspor laki laki. Aku menerima paspor ini dua hari kemudian. Aku yang
menambahkan kalimat 'bepergian bersama adik perempuannya'!"
"Sekarang, tinggal mengepak kopor-kopor! Kita berangkat sekarang, bukan pada
hari perkawinanku." "Barangkali, ada baiknya kalau engkau memikirkan kembali, Eugenie."
"Aku sudah berulang-ulang memikirkannya! Kita mempunyai empat puluh lima ribu
frank. Cukup untuk hidup sebagai putri selama dua tahun. Tetapi dalam enam bulan
mendatang ini kita harus sudah dapat melipat-gandakannya. Engkau dengan musik
dan aku dengan suaraku."
'Tunggu dulu," kata Louise, berjalan ke pintu.
"Pintu itu terkunci"
"Bagaimana kalau ada orang menyuruh kita membuka pintu?"
"Biar mereka berteriak-teriak meminta, kita tidak akan membukanya."
"Engkau memang benar-benar seorang perempuan jantan, Eugenie!"
Kedua gadis itu mulai memasukkan semua barang yang dianggapnya perlu ke dalam
kopor. Setelah selesai, Eugenie mengambil seperangkat pakaian laki-laki, lengkap
dari jas sampai kepada sepatu botnya. Dengan kecepatan yang menunjukkan bahwa
ini bukan untuk yang pertama kalinya, dia mengenakan pakaian itu.
"Bukan main!" kata Louise yang betul-betul terheran heran. "Tetapi apakah
rambutmu cocok dengan topi laki-laki itu?"
"Lihat saja," jawab Eugenie. Dia pegang rambutnya yang tebal dengan tangan
kirinya, lalu mengambil sebuah gunting dengan tangan kanannya dan dalam sekejap
mata hampir seluruh rambutnya yang indah itu telah berjatuhan di lantai. Tak ada
kesan menyesal dengan wajahnya bahkan sebaliknya sekali matanya memancarkan
cahaya kegembiraan yang jauh lebih terang daripada yang sudah-sudah.
"Wahai, rambut yang indah!" kata Louise sedih.
"Bukankah ini jauh lebih baik?" kata Eugenie. "Bukankah dengan begini aku tampak
lebih cantik?" "Benar, engkau masih tetap cantik! Tetapi ke mana sebenarnya tujuan kita?"
"Ke Belgia, kalau engkau suka. Itulah perbatasan yang terdekat Kita akan menuju
ke Brussel, JLiege, Aix-la-Chapelle dan Strasbourg, lalu melintasi Swiss untuk
terus ke Italia. Setuju?"
"Tentu aku setuju."
"Apa yang kauperhatikan?"
"Engkau. Engkau benar-benar tampan sekarang. Orang mungkin mengira engkau
menculik aku." "Dan mereka tidak keliru, demi Tuhan."
"Apa! Betulkah aku mendengar engkau bersumpah?"
Kedua gadis itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang dari mereka meniup lilin
dan dengan hati-hati sekali membuka pintu kamar. Eugenie keluar lebih dahulu
dengan menjinjing ujung kopornya dengan sebelah tangan sedang Louise
mengikutinya dengan susah-payah sambil mengangkat kopornya dengan kedua belah
tangan. Pekarangan rumah sudah kosong. Jam berdentang dua belas kali.
Di jalan mereka bertemu dengan penjaga pintu lalu menyerahkan kopornya untuk
dibawa ke Rue de la Victoire.
Mereka mengikutinya dari belakang. Seperempat jam kemudian mereka telah sampai
di tempat tujuan. Sebuah kereta telah siap memhawamereka meneruskan perjalanan.
"Jalan mana yang harus saya ambil, Tuan Muda?" tanya sais.
"Jalan ke Funtainebleau," jawab Eugenie dengan meniru suara laki-laki.
"Mengapa ke sana?" tanya Louise.
"Untuk mengacaukan jejak," jawab Eugenie berbisik.
"Kita akan segera me rob ah arah kalau sudah sampai di jalan besar."
"Engkau selalu benar, Eugenie."
Seperempat jam kemudian kereta telah melampaui
Baniere Saint-Martin dan mereka sudah berada di luar Paris. Tuan Danglars
kehilangan putri tunggalnya.
BAB LVIII SEKALIPUN masih muda, Andrea Cavalcanti seorang
yang cerdas dan panjang akalnya. Ketika bahaya pertama sudah mulai tercium di
rumah Danglars, dia sudah bergeser seteapak demi setapak mendekati pintu,
berjalan cepat melalui dua buah ruangan lain dan akhirnya menghilang dari rumah
itu. Salah satu ruangan yang dia lalui adalah ruangan tempat memajangkan pakaian
calon pengantin perempuan lengkap dengan segala perhiasannya. Sambil lewat
Andrea tidak lupa mengambil perhiasan-perhiasan yang paling berharga. Dengan
mengantongi itu perasaannya terasa lebih tenang ketika dia melompati jendela dan
menyelinap agar tidak ketahuan oleh para penjaga.
Sekali dia berada di luar, ia bertari tanpa berhenti, tanpa mengetahui ke mana
tujuannya. Yang mendorongnya
hanyalah keinginan untuk segera berada di tempat yang sejauh mungkin dari rumah
Danglars. Dia berhenti kehabisan napas di ujung jalan Lafayette. Jalanan sangat
sepi. Tak la-ma kemudian dia melihat sebuah kereta mendekat Di-hentikannya
kereta itu dan bertanya kepada saisnya, "Apakah kudamu masih kuat?"
"Masih," jawab kusir. "Dia belum bekerja sama sekali hari ini. Saya baru menarik
empat orang saja dalam jarak dekat sehingga penghasilan masih belum cukup untuk
setoran kepada pemilik."
"Mau kau menerima dua puluh frank?"
"Mau sekali. Apa yang harus saya lakukan?"
"Aku ingin mengejar kawan yang berjanji akan berburu bersama besok pagi.
Sebenarnya dia harus menungguku di sini dengan kereta kabnoletnya sampai jam
setengah delapan. Sekarang telah tengah malam, jadi mungkin sekali karena jemu
menunggu dia sudah berangkat lebih dahulu.
Mau kau mencoba mengejarnya?"
"Tak ada yang lebih saya sukai, Tuan."
Andrea naik dan kereta segera berjalan dengan kecepatan tinggi. Mereka tentu
saja tak akan pernah berhasil mengejar kawan yang diciptakan Andrea itu, namun
demikian sewaktu-waktu Andrea menyuruh sais berhenti menanyakan kepada orang
lewat kalau-kalau mereka ada melihat sebuah kereta hijau ditarik dengan kuda
abu-abu. Hampir setiap yang ditanya menjawab bahwa mereka baru saja melihat
sebuah kereta hijau lewat, sebab hampir sembilan puluh persen dari kereta jenis
kabriolet memang berwarna hijau.
"Cepat! Cepat!" kata Andrea. "Sudah hampir tersusul!"
Dan kuda malang itu makin diperas tenaganya sampai mereka meninggalkan Paris
masuk ke kota Louvres. "Rupanya kita tidak akan berhasil, dan kalau diteruskan kudamu bisa mati
kepayahan," kata Andrea. "Lebih baik aku berhenti saja di sini Ini uangmu. Aku
akan menginap di hotel du Cheval Rouge dan meneruskan besok pagi saja.
Selamat malam." Setelah menyerahkan uang, Andrea turun.
Kereta kembali ke arah Paris dan Andrea berpura-pura seperti menuju ke hotel.
Setelah agak lama berdiri di muka gerbangnya dan melihat kereta sudah hilang
dari pandangannya, dia segera berjalan lagi cepat-cepat. Kemudian dia berhenti,
bukan karena letih, tetapi karena hendak berpikir merancang suaru rencana. Turut
dengan kereta pos, tidak mungkin, karena akan diminta paspor. Juga tidak mungkin
untuk tinggal dekat-dekat di sekitar Paris karena daerah itu merupakan daerah
yang paling ketat dijaga di seluruh Perancis. Dia duduk di pinggir jalan memutar
otaknya. Sepuluh menit kemudian dia sudah dapat membuat
keputusan. Andrea merapikan dan membersihkan jas yang sempat dia gaet dari ruang tunggu
rumah Danglars dan mengancing-kannya sampai menutupi seluruh pakaian malamnya. Lalu berjalan lagi
sampai tiba di Chapelle-en-Serval, sebuah penginapan kecil. Diketuknya pintu.
Pemilik penginapan keluar membuka pintu.
"Saya terlempar dari kuda dalam perjalanan dari Montre-fontaine ke Senlis,"
katanya. "Saya harus kembali ke Compiegne malam ini juga supaya keluarga saya
tidak khawatir. Apakah Tuan mempunyai kuda untuk disewa?"
Pemilik penginapan itu memanggil tukang istalnya dan memerintahkan mempelanai
seekor kuda. Setelah itu dia membangunkan anaknya yang masih berumur tujuh tahun
dan menyuruhnya mengendarai kuda lain berjalan di belakang Andrea untuk menerima
kembali kuda yang disewa.
Andrea memberi pemilik penginapan itu dua puluh frank.
Ketika mengeluarkan uang, sebuah kartu nama terjatuh, kartu nama seorang kawan
barunya di Paris. Setelah Andrea berangkat lagi, pemilik penginapan itu
memungutnya dan percayalah dia bahwa penyewa kudanya bernama de Mau leon,
bertempat tinggal di Rue-dw'kz Saint-Dominique No. 25.
Jam empat pagi Andrea sampai di Compiegnes. Kuda
diserahkannya kembali kepada anak pemilik hotel. Setelah itu dia mengetuk pintu
penginapan de la Cloche. Sebelum melanjutkan perjalannya dia bermaksud makan
dahuhi dan beristirahat. Securang pelayan menemuinya.
"Saya datang dari Saint-Jean-au-Bois," kata Andrea.
"Saya bermaksud menumpang kereta pos yang lewat tengah malam tetapi saya
tersasar berputar-putar di hutan. Saya minta satu kamar dan ayam goreng dan
sebotol anggur." Ayam gorengnya sedap, anggurnya sudah tua, api di tungku terang dan
menghangatkan. Andrea sendiri merasa heran dapat makan dengan lahap seakan-akan
tidak menghadapi persoalan gawat. Selesai makan dia pergi tidur dan segera pula
pulas, seperti layaknya pada anak-anak muda sekalipun hatinya lagi risau.
Tetapi, memang Andrea tidak mempunyai alasan untuk risau karena dia telah
mempunyai rencana yang matang.
Dia akan bangun pagi, membayar sewa hotel dan lain-lainnya, kemudian akan pergi
ke hutan dan bermaksud membayar tidur di rumah petani dengan mengaku dirinya
sebagai pelukis. Selanjutnya akan menyamar sebagai tukang kayu dan berjalan dari
hutan ke hutan sampai mencapai perbatasan yang terdekat. Berjalan di malam hari
dan tidur di siang hari dan memasuki desa sekali-sekali saja pada waktu perlu
membeli makanan. Setelah melintasi
perbatasan ia akan menjual permatanya yang diperkirakan akan menghasilkan Unta
puluh ribu frank, cukup untuk membawanya ke suatu tempat yang aman. Selebihnya
ia mengandalkan kepada keinginan Danglars untuk menutup-nutup peristiwa yang
memalukan keluarganya itu. Inilah sebabnya dia dapat tidur dengan nyenyak, di
samping karena keletihannya. Untuk menjaga jangan sampai
kesiangan sengaja dia membiarkan tirai jendela terbuka.
Sedang untuk menjaga segala kemungkinan dia memalang pintu kamarnya dan
meletakkan sebilah pisau tajam yang tak pernah ditinggalkannya di atas meja di
sebelah tempat tidur. Sekira jam tujuh pagi dia terbangunkan oleh cahaya
matahari yang jatuh pada mukanya. Segera ia sadar bahwa ia tidur terlalu lama.
Ia meloncat dan berlari ke jendela.
Seorang tentara sedang berjalan-jalan di pekarangan hotel, yang lain berdiri
menjaga di bawah tangga, dan yang ketiga duduk di atas kudanya sambil memegang
sebuah senapan kuno menjaga pintu keluar, satu-satunya pintu keluar pekarangan
hotel. "Mereka mencariku," pikir Andrea. Rasa takutnya bangkit. Jendela kamarnya
menghadap ke pekarangan. "Mati aku!" pikirnya lagi.
Memang bagi orang yang berada dalam keadaan seperti Andrea, tertangkap berarti
hukuman mati. Untuk sejenak dia memegang kepala dengan kedua belah tangannya,
dan dalam keadaan yang sejenak itu dia hampir gila karena takut. Tiba-tiba
sebuah harapan muncul kembali di benaknya.
Secercah senyum tersungging di bibirnya. Pandangannya berputar ke sekeliling
kamar. Barang-barang yang dicarinya lengkap tersedia di atas sebuah meja tulis.
Pena, dawat dan beberapa lembar kertas. Dengan menahan tangannya untuk tidak
gemetar dia menulis: Saya tidak mempunyai uang untuk membayar sewa
kamar, tetapi saya bukan orang yang curang. Saya
tinggalkan peniti dasi Ini sebagai jaminan. Harganya paling sedikit sepuluh kali
hutang saya. Maafkan saya berangkat pagi-pagi sekali tanpa pamit karena saya
merasa malu. Dia melepaskan peniti itu dan meletakkannya di atas surat. Setelah itu dia
membuka pintu dan membiarkannya terbuka sedikit. Kemudian naik ke atas cerobong
asap se-tangkas orang yang sudah biasa dengan pekerjaan itu. Pada saat yang
bersamaan tentara yang tadi berjalan di pekarangan menaiki tangga disertai
seorang perwira polisi. Pada dinihari sekali kantor kawat telah menyebarkan berita tentang Andrea ke
seluruh pelosok. Setelah menerima berita itu semua penguasa setempat mengerahkan
tentara dan polisi mencari pembunuh Cade rouse. Hotel de'kz la Cloche adalah
hotel terbesar di Compiegne dan itulah sebabnya mengapa hotel itu yang diperiksa
paling dahulu. Ketika tentara dan perwira polisi itu sampai di kamar Andrea mereka menemukan
pintunya terbuka. Tentara itu berkata keras, "Aha! Pintu yang terbuka berarti
tidak baik. Saya lebih suka menemukannya terkunci dan berpalang sekali." Surat dan peniti
dasi membuktikan kebenaran prasangka mereka. Andrea sudah terbang. Namun tentara
itu bukan orang yang biasa begitu saja menyerah kepada hanya satu petunjuk. Dia
memeriksa kolong ranjang, balik tirai, lemari dan akhirnya berhenti dekat tungku
pemanas. Berkat kecermatan Andrea, di sana tidak tertinggal bekas-hckas bahwa ia lari
melalu i cerobong asap. Walau demikian, tentara itu mengambil sejemput jerami
dan kayu bakar lalu membakarnya di tungku pemanas. Asap hitam tebal mengepul
melalui cerobong, tetapi tentara dan polisi itu tidak mendapatkan orang terjatuh
dari dalam cerobong seperti yang diharapkannya.
Andrea yang sejak masa kecilnya bertentangan dengan masyarakat, mempunyai akal
yang sama panjangnya dengan tentara yang berpangkat brigadir itu. Karena ia memperhitungkan akan
dinyalakannya api, dia tidak mau tetap bersembunyi dalam cerobong, melainkan
keluar lalu bertiarap di atas atap. Untuk sejenak timbul rasa aman pada dirinya
karena dia mendengar brigadir itu berteriak kepada rekanrekannya di bawah, "Dia
tidak ada di sini! "Tetapi ketika dia mengangkat kepalanya dengan hati-hati, dia
melihat kedua orang tentara yang di bawah itu bukannya pergi meninggalkan
pekarangan, melainkan malah
meningkatkan kewaspadaannya. Andrea melihat ke
sekitarnya. Tampak di sebelah kanannya Hotel de Ville yang bertingkat enam belas
menjulang. Setiap celah atap tempat dia berada kelihatan jelas dari setiap
jendela hotel itu. Andrea memperkirakan wajah brigadir itu akan segera kelihatan
di salah satu jendela. Dia memutuskan untuk masuk kembali ke dalam hotel melalui cerobong asap yang
lain. Dia memilih cerobong yang tidak mengeluarkan asap. Dengan merangkakrangkak dia mendekati cerobong itu lalu masuk ke dalamnya. Beberapa saat
kemudian sebuah jendela kecil dari hotel de Ville terbuka dan muncullah wajah
brigadir. Hanya beberapa menit saja, lalu menghilang lagi dan pasti dengan rasa
kecewa. Brigadir yang tenang dan anggun seanggun hukum yang diwakilinya berjalan
menerobos kerumunan orang yang menonton tanpa mau menjawab pertanyaan mereka
yang bertubi-tubi. Dia masuk kembali ke dalam hotel.
"Bagaimana?" tanya kawan-kawannya.
"Rupanya dia sudah kabur sejak pagi tadi," jawabnya.
"Tetapi jalan ke Villers-Cotterets sudah kita awasi dan kita akan menjelajahi
hutan-hutan. Kita pasti akan dapat menangkapnya di sana."
Belum lagi brigadir itu selesai berbicara terdengar teriakan ketakutan disertai
bunyi bel berdering-dering.
"Ada apa?" tanya brigadir terkejut.
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rupanya ada tamu yang ingin bergegas," jawab pemilik hotel. "Dari kamar
berapa?" "Kamar tiga," jawab seorang pelayan.
"Siapa yang menginap di sana?" tanya brigadir.
"Seorang anak muda dengan adik perempuannya yang datang tadi malam dan meminta
kamar dengan ranjang dobel"
Sekali lagi bunyi bel terdengar. Sekarang lebih keras dan kerap.
"Ikuti aku," kata brigadir kepada perwira polisi. "Dan kalian di luar. Tembak
kalau dia lari! Menurut berita kawat ia penjahat yang nekad."
Brigadir dan perwira polisi berlari menaiki tangga.
Dengan cekatan Andrea telah berhasil menuruni dua-pertiga dari cerobong. Pada
saat itulah kakinya tergelincir, dan sekalipun dia berusaha keras dia tidak
dapat menahan dirinya meluncur ke bawah dengan kecepatan dan kegaduhan yang
tidak diinginkannya. Kejadian ini tidak akan menjadi soal apabila kamar yang
dimasukinya kosong. Namun malang baginya kamar itu berisi.
Suara jatuhnya Andrea telah membangunkan dua orang wanita yang sedang tidur
seranjang. Mereka melihat ke arah tungku pemanas dan tiba tiba melihat seorang
laki-laki muncul dari dalamnya. Wanita yang berambut piranglah yang berteriak
ketakutan yang suaranya terdengar sampai ke luar. Sedang kawannya, yang berambut
gelap, menarik tali lonceng dengan sekuat tenaganya.
"Maaf," kata Andrea dengan cemas tanpa memperhatikan kepada siapa dia berbicara.
"Jangan minta tolong!
Selamatkanlah saya! Saya tidak akan menganggu."
"Andrea!" teriak salah seorang terkejut.
"Eugenie! Nona Danglars!" Andreapun lebih terkejut.
"TolonglTolong!" Nona d'Armily berteriak-teriak, lalu merebut tali lonceng dari
tangan Eugenie dan rnenarik-nariknya lebih kuat daripada yang dilakukan
kawannya. "Tolong saya! Mereka mengejar saya!" Andrea meminta-minta. "Jangan serahkan
saya!" 'Terlambat," jawab Eugenie yang sudah mulai tenang.
"Mereka sudah ke mari."
"Sembunyikan saya, di mana saja. Katakan bahwa kalian ketakutan tanpa alasan.
Mereka akan percaya, dengan begitu engkau telah menyelamatkan jiwa saya."
"Baik," jawab Eugenie, "Masuklah kembali ke dalam cerobong, dan kami akan
menutup mulut." "Itu dia!" teriak seseorang di luar pintu. "Itu dia!"
Brigadir mengintip dari lubang kunci dan melihat Andrea sedang membujuk kedua
wanita itu; Sebuah ledakan keras yang keluar dari senapan kuno menghancurkan kunci dan
terbukalah pintu itu. Andrea berlari ke pintu lainnya yang berhubungan dengan
serambi yang mengitari pekarangan. Tiba-tiba ia terhenti karena dua moncong
senapan diarahkan ke dadanya. Tangannya
memegang pisau yang sudah tidak berguna lagi. Brigadir menghampirinya dengan
pedang terhunus. "Masukkan kembali pedang itu," kata Andrea. "Saya menyerah" Dia menyerahkan
kedua belah tangannya rapat-rapat untuk menerima borgol.
Sambil melirik kepada kedua wanita itu dia tersenyum tanpa malu dan berkata,
"Apakah ada pesan yang harus saya sampaikan kepada ayah, Nona Eugenie" Saya
yakin akan kembali ke Paris sekarang."
Eugenie menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ah, mengapa harus malu" Saya sama sekali tidak berkeberatan Nona mengejar saya.
Lagi pula, bukankah saya ini suami Nona?"
Andrea keluar kamar meninggalkah kedua wanita yang merasa dipermalukan karena
ejekannya itu ditambah dengan ocehan ocehan orang-orang lain yang mendengar.
Sejam kemudian Eugenie dan d'Armily menaiki keretanya melanjutkan perjalanan.
Sekarang keduanya berpakaian perempuan.
Andrea dibawa kembali ke Paris dan dipenjarakan.
BAB LIX VALENTINE belum lagi sembuh. Dari Nyonya de
Villefort dia mendengar tentang kejadian di rumah Danglars, tentang kaburnya
Eugenie dan tentang tertangkapnya Andrea. Tetapi dia masih begitu lemah sehingga tidak dapat
memberikan tanggapan apa apa.
Ceritera itu hanya menimbulkan pikiran dan pandangan yang kabur dan senantiasa
berubah-ubah, yang pada suatu saat bercampur-aduk dengan pikiran aneh dan
bayangan-bayangan yang sering melintas dengan cepat di hadapan otak dan matanya
yang masih lemah. Siang hari Valentine berada dalam kesadaran yang penuh, berkat kehadiran
kakeknya yang setiap hari datang ke kamar Valentine menjaga dengan tatapan kasih
sayang. Bila Villefort pulang dari kantornya pada sore hari, dia selalu datang
menjenguk dan mereka selama satu jam atau
kadang-kadang sampai dua jam berkumpul bertiga. Jam enam Villefort masuk ke
kamar kerjanya. Jam delapan malam, Dokter d'Avrigny datang memeriksa dan memberi
Valentine obat untuk malam itu, dan Noirtier kembali ke kamarnya sendiri.
Selanjutnya Valentine diserahkan kepada seorang perawat yang dipilih oleh dokter
sampai dia jatuh tertidur, biasanya menjelang jam sepuluh malam.
Maximilien Morrel datang mengunjungi Noirtier setiap pagi untuk menanyakan
tentang keadaan kekasihnya.
Semakin hari kerisauannya semakin berkurang. Pertama, karena sekalipun Valentine
masih lemah namun kesehatannya sedang berangsur pulih. Dan keduanya, Monte
Cristo pernah mengatakan, kalau dalam dua jam sejak serangan tidak terjadi apaapa, nyawa Valentine akan selamat. Sekarang sudah empat hari berlalu dan
Valentine masih tetap hidup.
Jiwa Valentine yang tergoncang itu terbawa ke dalam tidurnya, atau lebih tepat
lagi ke dalam keadaan antara tidur dan jaga. Pada saat-saat itulah dalam
keheningan malam dan dalam cahaya remang-remang yang berasal dari lampu yang
ditempatkan dekat tungku pemanas, sering Valentine melihat sosok tubuh
berdatangan silih berganti.
Kadang-kadang dia seperti melihat ibu tirinya datang mengancam, kadang-kadang
Maximilien yang kelihatan datang mengulurkan kedua belah tangannya untuk
merangkul, kadang-kadang orang-orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti
Itu bahkan semua perabotan yang ada dalam kamarnya itu kelihatan seperti
berpindah-pindah. Biasanya hal ini berlangsung sampai jam tiga atau empat
dinihari, sebelum dia betul-betul jatuh tertidur sampai pagi.
Malam hari setelah pagi harinya mendengar berita tentang Eugenie dan Andrea,
suatu kejadian yang tidak terduga berlangsung di kamar Valentine. Perawat baru
sepuluh menit yang lalu meninggalkan kamar, dan
Valentine sedang diserang demam. Dalam cahaya remang-remang dia melihat pintu
yang menuju ke ruang perpustakaannya terbuka tanpa bersuara. Dalam keadaan sehat, pasti Valentine
akan segera membunyikan bel atau berlari meminta tolong. Tetapi dalam keadaannya
seperti sekarang, hal itu sama sekali tidak mengejutkannya. Dia mengira itu
hanyalah akibat dari demamnya saja.
Sesosok tubuh muncul dari balik pintu. Karena sudah terbiasa, Valentine sama
sekali tidak merasa takut, bahkan dia membuka matanya lebih lebar dengan harapan
mudah-mudahan Maxfrnilienlah yang datang itu. Sosok tubuh itu mendekatinya, lalu
berhenti seperti yang sedang mendengarkan sesuatu dengan penuh perhatian.
Secercah cahaya lampu menerangi wajahnya. "Bukan Maximilien," keluh Valentine.
Valentine menunggu dan mengharap supaya bayangan
Itu segera menghilang dan berganti dengan bayangan orang lain lagi. Dia masih
sempat ingat bahwa jalan terbaik untuk menghilangkan bayangan-bayangan yang
tidak disenanginya adalah minum obat penenang yang
disediakan oleh dokter. Tangannya bergerak untuk
mengambil gelas yang berada di atas meja di sebelahnya.
Bersamaan dengan itu bayangan tersebut maju lagi dan begitu dekat rasanya
seperti Valentine dapat mendengar tarikan napasnya dan merasakan rabaannya pada
tangannya sendiri. Dengan perlahan-lahan sekali Valentine menarik tangannya.
Sosok tubuh itu, yang kelihatannya bersikap melindungi, mengambil gelas dari
atas meja dan memeriksanya dengan teliti. Pemeriksaan dengan mata rupanya dirasa
masih kurang sempurna. Diambilnya cairan dalam gelas itu sesendok penuh lalu
ditelannya. Valentine mengira bayangan itu akan segera berganti dengan bayangan
lain. Tetapi tidak. Bahkan dia kembali lagi mendekat, menyerahkan gelas kepadanya dan berkata dengan
lembut, "Silakan minum sekarang."
Barulah Valentine merasa terkejut. Baru sekali ini salah satu dari sekian banyak
bayangan yang sering datang ber-.
bicara begitu nyata kepadanya. Valentine membuka mulutnya untuk berteriak.
Tetapi orang itu lebih cepat meletakkan telunjuknya ke bibirnya.
"Count of Monte Cristo" Valentine berbisik.
"Jangan berteriak dan jangan takut" kata Monte Cristo.
"Yang di hadapanmu sekarang bukanlah bayangan, Valentine, melainkan seorang
sahabat yang tulus."
Valentine tidak menjawab, tetapi matanya yang masih ketakutan seakan-akan hendak
berkata, "Bila maksud Tuan baik, mengapa berada di sini?"
Dengan pandangannya yang tajam, Monte Cristo dapat menebak apa yang berada dalam
hati Valentine. "Dengarkan baik-baik," katanya, "atau lebih tepat, pandanglah
saya baik-baik. Lihat mata saya yang sudah merah ini dan muka saya yang telah
menjadi lebih pucat dari biasa. Saya tidak tidur selama empat malam. Empat malam
lamanya saya menjaga dan melindungimu untuk sahabat kita
Maximitien." Arus darah mengalir ke wajah Valentine karena gembira.
Nama yang baru didengarnya telah menghapuskan semua kecurigaan. "Maximfiien!"
katanya mengulang. "Dia menceriterakan semua kepada Tuan?"
"Semua. Dia mengatakan bahwa hidupmu adalah miliknya dan saya telah berjanji
mengusahakan agar engkau tetap hidup."
'Apakah Tuan seorang dokter?"
"Ya, dan yang terbaik dan mungkin ada pada saat ini.
Percayalah." "Tuan mengatakan telah menjaga saya selama ini, tetapi baru sekarang saya lihat
Tuan di sini." Monte Cristo menunjuk ke arah ruang perpustakaan.
"Saya bersembunyi di balik pintu itu. Pintu itu berhubungan dengan rumah di
sebelah yang saya sewa."
Valentine mengalihkan matanya dari Monte Cristo dan berkata dengan angkuh,
"Yang Tuan lakukan adalah perbuatan gila.
Perlindungan yang Tuan berikan hampir-hampir
menyerupai penghinaan!"
"Valentine," kata Monte Cristo, "inilah hasil dari penjagaan dan perlindungan
saya yang melelahkan itu. Saya tahu siapa yang masuk ke kamar ini, makanan dan
minuman apa yang disediakan untukmu. Kalau minuman itu saya anggap berbahaya,
saya masuk seperti sekarang ini, membersihkan gelasmu dari racun yang mematikan
dan menggantinya dengan cairan yang justru menyembuhkan."
"Racun dan mati!" Valentine terkejut. Dia berharap betul bahwa dia sedang
dipengaruhi demam. "Apa yang Tuan katakan?"
Monte Cristo memberi isarat lagi dengan telunjuknya untuk diam. "Ya, saya
katakan racun. Tetapi minumlah ini dahulu." Dia mengambil sebuah botol yang
berisi cairan berwarna merah dari saku bajunya, meneteskan isinya beberapa tetes
ke dalam gelas. "Setelah minum ini, jangan minum apa-apa lagi sampai besok."
Valentine mengulurkan tangannya tetapi segera menariknya kembali setelah
tangannya menyentuh gelas. Monte Cristo mengambil gelas itu, meneguknya sampai
setengahnya lalu memberikan gelas itu kepada Valentine yang menerimanya dengan
tersenyum dan lalu meminumnya sampai habis.
"Saya ingat sekarang," kata Valentine. "Inilah rasa obat yang selalu menurunkan
demam dan menenangkan pikiran.
Terima kasih, Tuan."
"Sekarang engkau tahu, mengapa engkau tetap hidup, Valentine. Tetapi engkau tak
akan mungkin membayangkan betapa perasaan takut berkecamuk dalam dada saya
ketika melihat racun dikucurkan ke dalam gelas dan bagaimana pula perasaan saya
sebelum sempat membuangnya lagi ke tungku pemanas!"
"Kalau Tuan melihat racun dikucurkan, tentu Tuan melihat juga siapa yang
mengucurkannya," tanya Valentine.
Matanya gelisah cemas. "Siapa pembunuh itu!"
"Pernahkah engkau melihat orang masuk ke mari pada malam hari?"
"Saya sering melihat sosok tubuh datang dan menghilang. Tetapi saya selalu
menganggapnya sebagai bayangan karena demam. Bahkan ketika Tuan tadi masuk pun,
lama sekali saya mengira begitu."
"Artinya, engkau tidak tahu siapa orang yang berniat mengambil jiwamu itu?"
"Tidak. Mengapa ada orang menghendaki kematian sa-ya?"
"Engkau akan segera mengetahuinya," Monte Cristo memasang kupingnya tajam-tajam
seperti mendengar sesuatu. "Sekarang engkau tidak demam atau bermimpi. Saya
minta, kerahkan semua kekuatanmu. Pura-pura tidur dan engkau akan melihat
nanti." Valentine memegang tangan Monte Cristo. "Saya kira saya mendengar suara. Cepat
keluar!" Dengan senyuman yang menenteramkan hati Valentine, Monte Cristo berangkat menuju
pintu perpustakaan. Sebelum dia keluar dan menutupnya kembali, ia membalikkan
badan dan berkata lagi perlahan-lahan, "Ingat, jangan bergerak dan bersuara.
Kalau diketahuinya engkau tidak tidur, engkau mungkin sudah dibunuhnya sebelum
saya sempat menolong."
Setelah meninggalkan peringatan yang menyeramkan ini Monte Cristo menghilang di
balik pintu. Valentine tinggal seorang diri. Terdengar jam berbunyi dua belas kali. Kecuali
suara kereta yang bergerak di kejauhan semuanya sunyi-sepi. Pikiran Valentine
hanya berpusat kepada satu soal saja: ada orang yang pernah mencoba membunuhnya
dan yang akan mencobanya sekali lagi.
Ketukan yang hampir-hampir tidak kedengaran datang dari pintu perpustakaan.
Valentine lega hatinya karena dengan itu dia yakin bahwa Monte Cristo berada di
dekatnya. Dari arah lain, artinya dari arah kamar Edouard rasanya Valentine
mendengar suara. Dia menahan napas.
Pintu mulai terbuka, hampir saja Valentine tidak sempat menyembunyikan matanya
di bawah lengannya. Dengan hati yang dicekam takut, dia menunggu.
Seorang datang ke dekat tempat tidurnya.
"Valentine!" orang itu memanggil perlahan-lahan.
Valentine gemetar sampai ke dasar jantungnya, tetapi dia menahan diri tidak
menjawab. ''Valentine." Valentine tetap diam. Lalu dia mendengar suara barang cair dikucurkan. Pada saat
itulah dia berniat membuka matanya yang tersembunyi di bawah lengannya.
Valentine melihat seorang wanita bergaun tidur putih sedang mengucurkan sesuatu
dari sebuah botol ke dalam gelasnya. Rupanya Valentine bergerak atau
mengeluarkan suara sedikit, sebab tiba-tiba saja perempuan itu berhenti, lalu
mendekat ke ranjang untuk meyakinkan apakah Valentine tidur atau tidak.
Perempuan itu, Nyonya de Villefort.
Ketika mengenali ibu tirinya, Valentine tidak dapat menahan kejutan hatinya yang
bergetar ke seluruh tubuhnya, dan getaran tubuhnya itu menggetarkan lagi
ranjangnya. Nyonya de Villefort berdiri merapat ke dinding di dekatnya dan mengawasi setiap
gerakan Valentine dengan cermat.
Valentine ingat kepada kata-kata Monte Cristo yang menyeramkan tadi. Rasanya dia
melihat sebilah pisau panjang di tangan nyonya de Villefort. Dia memaksakan diri
menutup matanya kembali. Pekerjaan yang sangat sederhana itu pada saat-saat
seperti demikian merupakan pekerjaan yang hampir tidak mungkin dilakukan.
Sementara itu, setelah diyakinkan oleh tarikan napas Valentine yang sudah
teratur kembali, Nyonya de Villefort meneruskan memindahkan isi botol ke dalam
gelas Valentine. Setelah itu dia keluar. Bukan suara yang meyakinkan Valentine
bahwa dia sudah pergi. Valentine hanya melihat menghilangnya tangan segar dan
gempal dari seorang wanita berumur dua puluh lima tahun, yang baru saja
mengucurkan racun kematian.
Suara dari pintu perpustakaan membuat Valentine tenang kembali. Dia mengangkat
kepalanya dengan susah payah. Pintu terbuka dan Monte Cristo muncul.
"Masih sangsi?" tanya Monte Cristo.
"Oh, Tuhan!" "Kenal dia?" "Ya, tetapi saya tetap tidak bisa percaya."
"Rupanya engkau lebih suka mati yang dapat menyebabkan kematian Maximilien juga,
daripada mempercayai apa yang kaulihat sendiri."
"Ya Tuhan! Tuhan!"
Monte Cristo mengambil gelas dan mencicipi isinya.
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang brucine lagi, tetapi yang lebih kuat. Kalau engkau minum ini,
Valentine, habislah sudah riwayatmu."
"Mengapa dia mau membunuh saya?"
"Masih juga belum mengerti" Apakah engkau begitu baik, begitu halus, begitu
sukar mempercayai kejahatan orang lain sehingga tidak dapat menduga alasanalasannya?" "Tidak. Saya tidak pernah menyakitinya,"
"Kesalahanmu hanyalah, karena engkau kaya. Engkau berpenghasilan dua ratus ribu
frank setahun yang bisa men jadi milik anaknya sendiri. Tuan dan Nyonya de
Saint-Meran meninggal, engkau mewarisi semua hartanya. Tuan Noirtier harus mati
ketika dia mengangkatmu sebagai ahli waris tunggalnya, dan itulah sebabnya
mengapa engkau harus mati, Valentine, supaya ayahmu dapat mewarisi semua harta
kekayaanmu dan dengan demikian terbukalah jalan bagi Edouard untuk memilikinya,
karena dialah yang akan menjadi ahli waris tunggal ayahmu."
"Edouard! Untuk diakah semua kejahatan ini" dilakukan?"
"Ah, akhirnya engkau paham juga."
"Mudah-mudahan saja dia tidak menderita karena ini!"
"Engkau memang seorang bidadari, Valentine."
"Apakah dia masih merencanakan membunuh Kakek?"
"Rupanya sudah terpikirkan, kalau engkau mati kekayaan kakekmu akan jatuh juga
kepada Edouard lewat ayahnya. Sebab itu membunuhnya, hanyalah merupakan tindakan
yang tidak berguna dan berbahaya."
"Sukar dimengerti bahwa seorang wanita dapat merancang suatu rencana setan
seperti ini." "Ingatkah engkau ketika Ibu tirimu berbicara dengan seorang laki-laki tentang
racun di Perguia" Pada waktu itu engkau sedang menanti kereta. Ketika itulah
rencana ini timbul di benaknya."
"Oh!" teriak gadis itu, air matanya seakan-akan muncrat.
"Saya mengerti sekarang. Saya mengerti mengapa saya harus mati!"
"Tidak, Valentine, musuh kita sudah tidak berdaya lagi karena kita telah
mengetahui siapa dia. Engkau akan hidup untuk mencintai dan dicintai, untuk
membuat seorang laki laki berhati mulia berbahagia. Tetapi, untuk bisa selamat,
hendaknya engkau mempercayaiku sepenuhnya."
"Saya percaya, Tuan. Saya mau menjalankan apa saja untuk tetap dapat hidup, oleh
karena dalam dunia ini ada dua orang yang sangat mencintai saya dan akan mati
kalau saya mati. Kakek dan Maximilien Morrel."
"Apa pun yang kan terjadi, Valentine, janganlah takut.
Kalau engkau kehilangan penglihatanmu, pendengaranmu atau daya rasamu, janganlah
takut. Kalau engkau terbangun tanpa mengetahui di mana engkau berada jangan
takut, bahkan sekalipun engkau terbangun di dalam kubur atau dalam peti mati,
tegakkan kepalamu dan katakanlah kepada dirimu sendiri dengan penuh keyakinan,
'Pada saat ini, seorang laki-laki yang sangat mendambakan kebahagiaanku dan
kebahagiaan Maximilien sedang melindungiku'"
"Mengerikan sekali."
"Apakah engkau lebih suka mengadukan ibu tirimu?"
"Lebih baik mati daripada melakukan itu!"
"Engkau tidak akan mati, Valentine. Tetapi saya minta engkau berjanji bahwa
engkau tidak akan berputus asa, apa pun yang akan terjadi. Percayalah kepada
maksud baikku, seperti engkau percaya kepada kebaikan Tuhan dan
kecintaan Maximilien kepadamu."
Valentine menatap wajah Monte Cristo dengan penuh rasa terima kasih. Monte
Cristo mengeluarkan kotak jamrudnya, membukanya dan memberikan kepada Valentine
sebuah pil bundar sebesar kacang.
Valentine memandang bertanya.
"Betul" kata Monte Cristo.
Valentine memasukkan pil itu ke dalam mulutnya lalu menelannya.
"Sekarang, selamat tinggal, Valentine," kata Monte Cristo, "saya akan mencoba
tidur, karena engkau telah selamat."
Monte Cristo mengawasi Valentine yang segera jatuh tertidur, terpengaruh oleh
obat bius yang baru saja ditelannya.
Lalu dia mengambil gelas, membuang sebagian besar isinya ke dalam tungku api
supaya tampak seperti telah di minum, meletakkannya kembali di tempatnya di
sebelah ranjang, kemudian pergi melalui pintu rahasianya. Sebelum pergi, sekali
lagi dia menatap Valentine yang pulas dan tenang, setenang bidadari yang
bersimpuh di hadapan Tuhannya.
BAB LX LAMPU di kamar Valentine masih menyala, cahaya
yang kemerah-merahan menimpa tirai-tirai putih. Segala suara di jalan sudah
menghilang dan kesunyian dalam rumah sungguh mencekam.
Pintu kamar Edouard terbuka. Sesosok tubuh tampak pada cermin di hadapan pintu,
Nyonya de Villefort kembali untuk meyakinkan akibat racun yang dituangkannya ke
dalam gelas Valentine, Dia berhenti dahulu di ambang pintu, memasang telinganya,
namun tiada suara terdengar kecuali suara api lampu yang sedang menyedot sisasisa minyak. Setelah itu baru dia berani mendekati meja di sebelah ranjang
Valentine, untuk melihat gelas apakah sudah dimi-num isinya atau belum. Hampir
setengahnya habis. Nyonya de Villefort membuang sisanya ke tungku api. Dengan
hati-hati dia mencuci gelas itu, mengeringkannya dengan saputangannya lalu
menaruhnya kembali di atas meja.
Tampak dia ragu ketika dia mengamati Valentine. Si pembunuh merasa takut melihat
akibat perbuatannya sendiri. Dengan menguatkan hati, dia maju selangkah lagi.
Valentine sudah tidak bernapas, bibirnya yang kebiru-biruan sudah berhenti
bergetar. Nyonya de Villefort meletakkan tangannya di atas dada Valentine. Tidak
terasa apa-apa. Dengan cepat dia menarik kembali tangannya, bahkan disertai gemetar tubuhnya.
Tangan kanan Valentine bergantung di tepi ranjang, pergelangannya sudah mulai
kaku, dan sekeliling kuku-kuku jarinya tampak kebiru-biruan.
Nyonya de Villefort sudah tidak sangsi lagi. Semuanya telah selesai, pikirnya.
Tugasnya yang terakhir telah terlaksana. Dia mundur beberapa langkah, lalu
berhenti lagi dan berdiri tanpa bergerak. Beberapa menit berlalu. Lampu
berkelap-kelip untuk akhirnya mati sama sekali. Seluruh kamar menjadi gelap
gelita. Dalam kegelapan itu terdengar lonceng berbunyi menunjukkan jam setengah
lima pagi. Dengan meraba-raba Nyonya de Villefort kembali ke kamarnya sendiri. Dahinya
basah berkeringat. Secercah demi secercah cahaya masuk ke dalam kamar Valentine. Akhirnya menjadi
cukup terang untuk dapat membedakan warna.
Perawat memasuki kamar dengan membawa sebuah gelas. Seorang ayah atau kekasih, segera melihat bahwa Valentine sudah mati.
Tetapi perawat ini tidak. Dia mengira Valentine masih lelap tidur. Yang pertamatama dikerjakannya, menghidupkan tungku pemanas. Setelah itu duduk di kursi dan
sekalipun baru saja bangun, dia memanfaatkan tidur Valentine untuk diri sendiri:
tidur lagi beberapa saat lamanya. Jam delapan baru dia terbangunkan lagi oleh
bunyi lonceng. Melihat Valentine masih kelihatan lelap dan tangannya tetap bergantung, dia
merasa heran. Dia mendekatinya, barulah dia melihat dengan jelas bahwa bibir
Valentine sudah biru kaku dan dadanya tidak turun naik. Dia mencoba membenarkan
letak tangan Valentine, namun tangan itu sudah demikian kakunya sehingga hanya
dengan keras dia berhasil. Sebagai seorang perawat dia segera tahu apa arti
kekakuan itu. Dia berteriak dan berlari ke luar: "Tolong!
Tolong!" "Ada apa?" jawab Dokter d'Avrigny di bawah tangga.
Waktu itu adalah saat menjenguk Valentine yang setiap hari dilakukannya.
"Tuan mendengar ada yang meminta tolong?" tanya Villefort keluar dari kamar
kerjanya. "Ya. Rupanya dari kamar Valentine. Mari kita lihat."
Sebelum Villefort dan dokter tiba, para pelayan sudah terlebih dahulu berada di
kamar Valentine. Begitu mereka melihat keadaan putri majikannya, mereka menutup
wajah masing-masing dengan kedua tangannya. Mereka merasa pusing bagaikan kena
benturan yang keras mendadak
"Panggil Nyonya! Bangunkan Nyonya!" teriak Villefort tanpa berani memasuki
kamar. Tetapi para pelayan itu bukannya menuruti perintah, melainkan memperhatikan
Dokter d'Avrigny yang segera mendekati Valentine. Dokter memeriksanya sebentar.
"Satu lagi!" katanya mengeluh. "Ya Tuhan, bilamanakah Engkau akan menghentikan
ini?" "Apa kata Tuan?" tanya Villefort terkejut.
"Maksud saya, Valentine telah mati," jawab dokter dengan suara yang mengharukan.
Villefort menjatuhkan diri ke lantai dan meletakkan kepala di pinggir ranjang
Valentine. Semua pelayan berlarian ke luar. Terdengar mereka menuruni tangga,
lalu tak berapa lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk di pe karangan. Para
pelayan kabur meninggalkan rumah yang menurut mereka sedang dikutuk Tuhan.
Nyonya de Villefort muncul di ambang pintu. Dia berhenti sejenak di sana,
berusaha mengeluarkan air mata.
Tiba-tiba saja dia bergerak ke arah meja karena melihat Dokter d'Avrigny
memeriksa meja dengan teliti, dan mengambil gelas yang dia yakin telah
dikosongkannya dinihari tadi. Ternyata gelas itu berisi lagi, presis sebanyak
yang dia buang ke dalam tungku api. Seandainya ruh Valentine tiba-tiba saja
berada di hadapannya, dia tidak akan terkejut seperti sekarang melihat isi gelas
yang telah dibuangnya sendiri dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Warna isi
gelas sama betul dengan warna cairan yang dia buang.
Dokter memeriksanya dengan teliti sekali. Dia yakin bahwa cairan itu racun.
Ditemukannya racun itu merupakan suatu keajaiban dari Tuhan untuk menggampangkan
cara menghancurkan si pembunuh.
Selagi Nyonya de Villefort yang sudah tidak sempat berbuat apa-apa lagi berdiri
tegak bagaikan patung orang yang sedang terkejut, dan selagi Villefort sendiri
membenamkan kepalanya di ranjang Valentine, Dokter d'Avrigny berjalan ke dekat
jendela untuk memeriksa gelas dengan lebih jelas. Dia menjilat ujung telunjuknya
yang sudah dicelupkan ke dalam gelas itu.
"Ah!" katanya, "sudah bukan brucine lagi. Kita lihat, apa." Dia berjalan ke
lemari yang sudah disulap menjadi apotik kecil. Dokter mengambil botol yang
berisi asam sen-dawa lalu meneteskan isinya beberapa tetes ke dalam gelas.
Cairan dalam gelas segera berubah warnanya menjadi merah darah. "Aha!" dia
bersorak seperti seorang hakim yang berhasil mengorek kebenaran dari pesakitan,
bercampur dengan kegembiraan seorang ilmiawan yang berhasil memecahkan sebuah
persoalan. Sekilas cahaya kemarahan dan ketakutan memancar dari mata Nyonya de Villefort,
lalu meredup kembali. Dia membalikkan badan, berjalan dengan terhuyung-huyung ke
luar kamar. Beberapa saat kemudian terdengar suar' orang terjatuh.
Dokter d'Avrigny yang melihat Nyonya de Villefort meninggalkan kamar segera
berlari ke pintu, dan melihat Nyonya de Villefort tergeletak di lantai. "Tolong
Nyonya de Villlefort" perintalmya kepada perawat. "Beliau pingsan"
"Bagaimana dengan Nona Valentine?" tanya perawat ragu-ragu.
"Nona Valentine sudah tidak membutuhkan pertolongan lagi, karena dia sudah
meninggal." "Meninggal! Meninggal!" Villefort mengulang-ulang ka-ta-kata itu dengan nada
yang sangat mengharukan karena keluar dari seorang yang terkenal berhati baja.
"Meninggal!" terdengar suara lain. "Siapa yang mengatakan Valentine telah
meninggal?" Kedua laki-laki itu memalingkan wajah ke arah suara itu dan mereka melihat
Maximilien Morrel berdiri di ambang pintu dengan mata liar dan kebiru-biruan di
seputarnya. Pada jam seperti biasa dia mengunjungi Noirtier setiap pagi, Maximilien tiba di
pintu kecil yang berhubungan dengan kamar Noirtier. Karena lain dari kebiasaan
dia melihat pintu tidak terkunci, dia masuk tanpa
membunyikan bel. Maximilien memanggil pelayan untuk minta diberitahukan
kedatangannya kepada Noirtier, namun tak seorang pun datang. Maximilien tidak
mempunyai alasan untuk merasa risau karena mendapat keyakinan dari Monte Cristo
bahwa Valentine akan tetap hidup, dan selama ini janji Monte Cristo itu
terbukti. Setiap malam Monte Cristo menv berinya kabar baik, yang
dibenarkan esok paginya oleh Noirtier. Walaupun demikian kesunyian rumah itu
mengherankannya juga. Dia
memanggil dan memanggil lagi, tetapi keadaan tetap sunyi.
Dia mengambil keputusan untuk naik ketingkat atas.
Pintu kamar Noirtier terbuka. Mata kakek tua itu menunjukkan ketegangan dalam
jiwanya, dan hal ini dikuatkan oleh wajahnya yang tampak sangat pucat.
"Tuan seperti merisaukan sesuatu," kata Maximilien.
"Apa perlu saya memanggil pelayan?"
"Ya," jawab Noirtier seperti biasa dengan isarat matanya.
Maximilien menarik tali lonceng, tetapi tak seorang pun datang. Kerisauan
Noirtier semakin jelas tampak pada matanya
"Mengapa tak ada yang datang?" tanya Maximilien heran. "Apakah ada yang sakit?"
Mata Noirtier seakan-akan hendak terloncat ke luar dari kelopaknya.
"Ada apa, Tuan" Apakah Valentine .. .'
"Ya!Ya!Ya!" Maximilien berlari ke luar dan menuruni tangga. Kurang dari satu menit dia sudah
berada di pintu kamar Valentine.
Pintunya terbuka. Yang pertama-tama dia dengar suara orang terisak-isak.
Lalu melihat sesosok tubuh berlutut dekat ranjang. Dia berdiri di ambang pintu
dicekam rasa takut. Ketika itulah dia mendengar orang berkata, "Dia sudah
meninggal," disusul orang lain yang mengulang-ulangnya bagaikan gema suara, "Meninggal!
Meninggal!" Villefort berdiri. Dia merasa sedikit malu kedapatan menangis kesedihan. Jabatan
yang sudah dijalaninya selama dua puluh lima tahun terus-menerus, sedikit banyak
telah merubah dia menjadi kurang manusiawi. Dia
memandang Maximilien. "Siapa Tuan" Dan mengapa Tuan lupa bahwa seseorang tidak boleh masuk rumah di
mana orang sedang berkabung"
Harap segera meninggalkan rumah ini!"
Maximilian tetap tidak bergerak, tanpa sanggup mengalihkan pandangannya dari
ranjang dan wajah pucat yang tergeletak di atasnya.
"Harap pergi! Apa Tuan tidak mendengar?"
Dokter d'Avrigny maju selangkah menjaga kemungkinan kalau-kalau Villefort
memerlukan bantuannya. Maximilien tampak ragu. Dia membuka mulutnya, tetapi tidak kuasa mengeluarkan
kata barang sepatah pun untuk menjawab, sekalipun bermacam pikiran, bermunculan
di benaknya. Dia berbalik berlari sambil memegang kepala dengan kedua belah
tangannya. Villefort dan Dokter d'Avrigny saling berpandangan seakan-akan
masing-masing hendak mengatakan, "Orang gila!"
Beberapa menit kemudian mereka mendengar tangga
berderak karena menahan beban yang berat. Mereka melihat Maximilien menuruni
tangga sambil mengangkat Noirtier dengan kursi rodanya sekali. Setelah sampai di
lantai bawah Maximilien meletakkan kursi roda dan mendorongnya ke kamar
Valentine dengan cepat. Wajah Noirtier dengan cahaya matanya yang berkilat-kilat merupakan hantu yang
sangat mengerikan bagi Villefort. Setiap kali dia bertemu dengan ayahnya
sendiri, selalu saja ada perasaan takut.
"Lihat apa yang mereka lakukan terhadap Valentine'
Kata Maximilien dengan sebelah tangannya di kursi roda dan tangan lainnya
menunjuk kepada Valentine. "Lihat Kakek, lihat!"
Villefort terkejut mendengar anak muda yang tidak dikenalnya ini memanggil
"Kakek" kepada Noirtier. Pada saat itu seakan-akan seluruh isi hati orang tua
itu memancar lewat matanya. Pembuluh darah di tengkuknya
membengkak, pipi dan pelipisnya merah padam. Kalau saja dia dapat berteriak
lengkaplah ledakan jiwanya itu. Jeritan yang tidak dapat keluar melalui mulut
seakan-akan keluar melalui setiap pori-pori kulit sehingga diamnya kakek tua itu
sangat mengerikan. "Mereka bertanya siapa saya dan berdasarkan hak apa saya berada di sini," kata
Maximilien sambil memegang tangan Noirtier. "Tuan mengetahuinya. Katakanlah
kepada mereka! Katakanlah!" Suaranya tertahan-tahan.
Dada Noirtier mengembang dan matanya berlinang.
"Katakan bahwa saya kekasih Valentine! Katakan bahwa Valentine satu-satunya
kecintaan saya di dunia ini. Katakan bahwa jenazahnya milik saya!"
Tenaga anak muda yang gagah itu luluh sama sekali. Dia jatuh terlutut di sisi
ranjang. Kesedihan Maximilien menyentuh sekali sehingga
Dokter d'Avrigny terpaksa memalingkan muka untuk
menyembunyikan perasaannya, sedangkan Villefort tanpa meminta penjelasan lebih
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lanjut - tergerak oleh keharuan yang membangkitkan kasih sayang kepada orang
yang diratapi mengukirkan tangannya. Tetapi Maximilien tidak melihatnya. Dia
memegang tangan Valentine yang sudah sedingin es, tanpa dapat menangis. Dia
hanya menggigit alas ranjang. Untuk sementara waktu tak terdengar suara lain
dalam kamar itu kecuali suara isak tangis, kutukan dan do'a. Akhirnya Villefort
yang paling mampu menguasai dirinya berkata kepada Maximilien:
"Tuan katakan baru saja bahwa Tuan mencintai Valentine dan bahwa Tuan kekasih
Valentine. Saya sama sekali tidak mengetahuinya, namun demikian, sebagai ayah
Valentine saya dapat memaafkan karena kesedihan Tuan benar-benar mumi dan tulus.
Di samping itu hati saya sendiri sudah sesak dengan kesedihan sehingga tidak ada
tempat lagi buat marah. Tetapi, seperti Tuan lihat sendiri, bidadari yang Tuan
cintai itu telah pergi meninggalkan bumi ini.
Ucapkan selamat jalan kepadanya dan kuatkan hati untuk berpisah buat selamalamanya. Valentine tidak memerlukan siapa pun lagi, kecuali seorang padri yang
akan memberkah nya "
'Tuan keliru!" jawab Maximilein sambil merubah sikapnya menjadi berlutut dengan
sebelah lutut saja. "Valentine bukan hanya memerlukan seorang padri, tetapi juga
seorang penuntut balas! Silakan panggil padri, Tuan de Villefort, dan sayalah
yang akan menjadi penuntut balas."
"Apa maksud Tuan?" tanya Villefort sedikit gemetar.
"Saya maksud, Tuan de Villefort, sebagai seorang ayah tuan telah cukup
mencurahkan kesedihan Tuan. Sekarang saatnya bagi Tuan untuk melakukan kewajiban
sebagai seorang jaksa."
Mata Noirtier berkilat-kilat. Dokter d'Avrigny melangkah mendekat.
"Saya tahu apa yang saya katakan," lanjut Maximilien.
Setelah dia mengamati wajah semua yang hadir. "DanTuan pun tahu apa yang
selanjutnya akan saya katakan Valentine dibunuh orang!"
Villefort menundukkan kepala, Dokter d'Avrigny melangkah lebih mendekat lagi,
dan mata Noirtier memberi isarat "ya".
'Tuan salah," jawab Villefort. "Tidak ada kejahatan dalam rumah saya. Nasib
buruk sedang bertubi-tubi menimpa saya. Rupanya Tuhan sedang mencoba saya.
Memang tidak sedap mengingat-ingat hal itu, tetapi jelas tidak ada
kejahatan.Mata Noirtier berkilat-kilat lebih terang. Dokter d'Avrigny membuka
mulut, tetapi Maximilien memberi isarat dengan tangannya agar tidak berkata.
"Saya katakan bahwa ada pembunuhan dalam rumah ini!" katanya keras-keras. "Saya
tegaskan bahwa Valentine merupakan korban yang keempat! Saya tahu, bahwa Tuan
telah mengetahuinya, karena dokter ini telah memperingatkan Tuan baik sebagai
dokter maupun sebagai sahabat."
"Mengigau!" kata Villefort, mencoba melepaskan diri dari jaring yang sudah
terasa menangkupnya. "Kalau Tuan mengira saya mengigau, saya persilakan Tuan bertanya kepada Dokter
d' Avngny Tanyakan apa yang dikatakannya kepada Tuan di dalam kebun pada malam
meninggalnya Nyonya de Saint-Meran!"
Villefort dan Dokter d'Avrigny saling berpandangan.
"Saya kebetulan mendengarkan pembicaraan Tuan-tuan.
Seharusnya saya menceriterakannya kepada yang berwewenang. Seandainya sudah saya
lakukan dahulu pasti saya tidak akan merasa turut bersalah dalam pembunuhan
terhadap Valentine tercinta. Saya yang sudah terlibat ini akan menjadi penuntut
balas untuk Valentine! Pembunuhan yang keempat ini sudah tidak akan dapat
dirahasiakan lagi. Kalau ayah Valentine sendiri tidak bertindak, saya bersumpah: sayalah yang akan
membalaskan kematian Valentine!"
'Dan saya sependapat dengan tuntutan Tuan Maximilien Morrel agar hukum
ditegakkan," kata Dokter d'Avrigny tegas. "Hati nurani saya menjadi sakit karena
kepengecutan saya telah membantu memudahkan si pembunuh."
"Oh Tuhan! Tuhan!" Villefort bingung.
Maximilien melihat sorot mata Noirtier berkilat-kilat karena kemarahan yang
sudah hampir melampaui batas.
'Tuan Noirtier ingin berbicara," katanya.
"Betul' kata Noirtier dengan isarat.
"Tuan tahu siapa pembunuhnya?" tanya Maximilien.
'Tahu." "Mau Tuan menunjukkannya?"
Noirtier memberi tatapan yang ramah tetapi sedih, lalu memandang ke arah pintu.
'Tuan menghendaki saya pergi?" tanya Maximilien putus asa.
"Ya." "Saya harus kembali lagi nanti?"
"Ya." "Hanya saya yang harus pergi?"
'Tidak." "Siapa lagi" Tuan de Villefort?"
"Bukan." "Dokter d'Avrigny?"
"Ya." Dokter d'Avrigny memegang tangan Maximilien dan menuntunnya ke kamar sebelah.
Seperempat jam kemudian Villefort muncul di pintu.
"Mari masuk," katanya.
Ketiganya masuk dan berdiri dekat Noirtier.
Wajah Villefort agak kebiru-biruan.
"Tuan-tuan," katanya memulai dengan suara tertahantah an. "Saya meminta dengan
sangat agar Tuan-tuan tidak membocorkan rahasia yang sangat memalukan ini"
Maximilien dan dokter itu terkejut.
"Bagaimana dengan pembunuh itu?" tanya Maximilien.
"Jangan takut. Hukum akan ditegakkan," jawab Villefort.
"Ayah saya telah memberitahukan siapa pembunuhnya.
Beliau pun ingin membalas, sama seperti Tuan-tuan. Walau demikian beliau meminta
seperti yang saya minta agar Tuan-tuan suka memegang rahasia ini Betulkah
demikian, Ayah?" "Betul," jawab Noirtier dengan isarat matanya tanpa ragu.
Maximilien terkejut dan tak percaya. Villefort memegang tangannya.
"Tuan mengetahui, betapa teguhnya pendirian ayah saya. Tuan boleh yakin kalau
beliau mengajukan permintaan itu beliau tahu betul bahwa kematian Valentine
tidak akan dibiarkan tanpa pembalasan."
Mata orang tua itu membenarkan ucapan Villefort.
Villefort melanjutkan: "Ayah saya cukup mengenal saya, dan saya telah memberikan
janji saya. Saya meminta tiga hari. Dalam tempo tiga hari itu pembalasan yang
akan saya lakukan terhadap pembunuh anak saya akan membuat
orang yang paling kejam pun bergetar terharu sampai ke lubuk hatinya!"
"Apakah janji itu akan ditepati, Tuan Noirtier?" tanya Maximilien.
"Ya!" jawab Noirtier dengan pancaran mata gembira.
"Jadi, mau Tuan-tuan menyerahkan pembalasan itu kepada saya?" tanya Villefort.
Dokter d'Avrigny memalingkan muka sambil berkata
lemah, "Baik." Maximilien tidak menjawab, melainkan berlari kepada Valentine, lalu mencium
bibirnya yang dingin dan setelah itu berlari ke luar.
"Ada Padri tertentu yang ingin Tuan panggil?" tanya dokter.
"Tidak" jawab Villefort "Yang terdekat saja."
"Yang terdekat adalah padri bangsa Italia yang baru saja pindah menghuni rumah
sebelah. Boleh saya memintanya datang sambil pulang?"
"Ya, ya. Tolong mintakan beliau datang."
"Tuan ingin berbicara dahulu dengannya?"
"Tidak. Saya ingin menyendiri. Tolong sekalian mintakan maaf. Seorang padri
pasti dapat memahami apa artinya kesedihannya."
Villefort meminta diri dari Dokter d'Avrigny lalu masuk ke ruang kerjanya. Untuk
beberapa orang tertentu, bekerja merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan
kesedihan. Ketika pulang. Dokter d'Avrigny melihat orang berjubah berdiri di muka rumah
sebelah. Dia menghampirinya lalu bertanya "Sudikah Bapak memberi jasa baik
kepada seorang ayah yang baru saja kehilangan putrinya" Saya maksud tetangga
Bapak, Tuan de Villefort."
"Ya, saya tahu bahwa ada kematian di sana," jawab padri itu dengan aksen Italia
yang jelas. "Saya justru hendak ke sana menawarkan jasa. Adalah tugas seorang
padri untuk menyadari kewajibannya."
"Yang meninggal itu seorang gadis."
"Ya, saya tahu juga. Saya mendengar dari pelayan-pelayan yang berlarian
meninggalkan rumah. Saya dengar namanya Valentine dan saya sudah berdo'a
untuknya." 'Terima kasih, Bapak. Karena tokh Bapak sudah mulai melaksanakan kewajiban suci
itu, haraplah dilanjutkan. Harap Bapak suka melayat jenazah itu, seluruh
keluarganya tentu akan berterima kasih."
"Saya sedang menuju ke sana. Saya akan berdo'a dengan sungguh-sungguh sekali."
Dokter d'Avrigny menuntun padri dan tanpa mempertemukannya dahulu dengan Villefort yang mengunci diri di kamar kerjanya,
langsung membawanya ke kamar Valentine. Ketika mereka masuk, mata Noirtier
bertemu dengan mata padri. Rupanya Noirtier menangkap sesuatu dari sorot mata
padri itu, karena selanjutnya orang tua itu tidak mau melepaskan lagi
pandangannya dari padri. Agar tidak terganggu dalam berdo'a dan juga agar Noirtier tidak terganggu dalam
melepaskan kesedihannya, padri itu bukan hanya mengunci pintu tempat keluar
Dokter d'Avrigny saja, tetapi juga pintu yang berhubungan dengan kamar Nyonya de
Villefort. BAB LXI KEESOKAN harinya Baron Danglars melihat kereta
Count of Monte Cristo memasuki pekarangan rumahnya.
Dia sengaja keluar untuk menjemputnya. Wajahnya ramah namun kesedihannya tak
dapat disembunyikan. "Tuan tentu datang untuk menyatakan simpati kepada keluarga kami," katanya
menyambut. ''Sebaiknya Tuan sendiri pun berhati-hati, karena, tampaknya orangorang yang sebaya kita sedang mengalami nasib sial tahun ini!
Coba lihat, jaksa kita yang fanatik. Tuan de Villefort kehilangan keluarganya
dengan cara yang menyeramkan sekali. Lalu Tuan de Morcerf, tercemar nama baiknya
dan mati, dan terakhir saya sendiri dipermalukan oleh Benedetto keparat
dan . . ." "Dan apa?" "Apa Tuan belum mendengar?"
"Musibah lain?"
"Eugenie pergi."
"Tak mungkin." "Tetapi itulah kenyataannya. Anak malang itu sangat terpukul oleh kejadian itu,
lalu meminta izin untuk berkelana. Dia pergi dua malam yang lalu."
"Bersama ibunya?"
"Bukan, dengan salah seorang saudara. Saya takut dia tak akan kembali. Saya
kenal betul wataknya, bahkan saya sangsi dia akan berani menginjak Paris lagi."
"Kejadian serupa ini tentu akan merupakan cobaan yang berat sekali bagi seorang
ayah yang tidak kaya," kata Monte Cristo, "tetapi lain sekali untuk mereka yang
jutawan. Apa pun kata orang-orang bijaksana, namun uang selalu merupakan hiburan
yang utama. Dan Tuan sendiri, raja dalam dunia keuangan, pasti mempunyai hiburan
yang lebih utama dari orang lain."
Danglars mengamati Monte Cristo untuk mengetahui
apakah tamunya itu bergurau atau sungguh-sungguh.
"Benar," jawabnya, "apabila kekayaan merupakan hiburan, saya seharusnya
terhibur. Saya kaya."
"Begitu kaya, Baron, seteguh piramid. Apabila ada orang yang mau
menghancurkannya, ia tak akan berani
mencobanya, kalau ada yang berani, ia tak berhasil."
Danglars tersenyum. "Saya jadi teringat Ketika Tuan datang, saya masih harus
menandatangani beberapa lembar cek. Maaf, izinkan saya menyelesaikannya
sebentar." "Silakan, Tuan."
Beberapa detik lamanya yang terdengar hanya bunyi pena menggores kertas. Setelah
selesai Danglars berkata lagi, "Pernah kali Tuan melihat tumpukan kertas seperti
ini, setiap lembar bernilai sejuta frank?"
Monte Cristo mengambil lima lembar yang diperlihatkan Danglars dengan bangga.
"Satu, dua, tiga, empat, lima juta frank."
"Begitulah cara saya berusaha," kata Danglars.
"Hebat sekali. Terutama kalau setiap lembar dapat segera ditukarkan menjadi uang
tunai, dan saya yakin dapat."
"Ya.Tentu saja dapat."
"Menyenangkan sekali kalau orang mempunyai
lembaran-lembaran seperti ini. Hanya di Perancis saja orang dapat melihat ini.
Lima lembar kertas berharga lima juta frank. Kalau tak melihatnya sendiri, orang
tak akan mungkin percaya."
"Apakah Tuan masih sangsi?"
"Sama sekali tidak."
"Nada suara Tuan tidak begitu yakin. Mengapa Tuan tidak membuktikannya sendiri"
Silakan Tuan pergi dengan pegawai saya ke bank dan Tuan akan melihat mereka
segera menukarnya dengan uang tunai sebanyak yang tercantum di dalamnya."
"Tidak," kata Monte Cristo sambil melipat kelima lembar cek tadi. "Ceritera Tuan
begitu menakjubkan dan menggairahkan sehingga saya mau mengalaminya sendiri.
Kredit saya pada Tuan berjumlah enam juta frank dan saya baru memanfaatkannya
sembilan ratus ribu saja. Dengan demikian saya masih berhak menerima pinjaman
dari Tuan sebanyak lima juta seratus ribu lagi. Saya ambil cek yang lima ini
yang saya percaya akan segera dibayar bank begitu mereka melihat tandatangan
Tuan. Ini, saya serahkan kwitansi sebanyak enam juta frank yang sudah saya buat
di rumah tadi. Sebenarnya saya datang sebab sangat
memerlukan uang hari ini."
Monte Cristo memasukkan kelima lembar cek itu ke
Bara Di Kedung Ombo 1 Pedang Bayangan Dan Panji Sakti Huan Jian Ling Qi Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Imbauan Pendekar 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama