Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Bagian 6
Tiba-tiba terasa lengannya ditarik seseorang. Ia menoleh ke
arah Bunga Matahari, yang berdiri persis di belakangnya.
Namun mata istrinya tidak tertuju ke arahnya, melainkan
ke arah Pedang Dahsyat. Timur Tohan mengikuti pandangan mata permaisurinya,
kemudian melihat panglima jenderal itu sedang membidikkan Tangan Maut-nya.
Shadow Tamu telah menyita Tangan Maut dari khan
terakhir dan memperlihatkan senjata itu kepada adlknya.
Mereka sudah memberikan instruksi kepada beberapa
pandai besi untuk membuat beberapa lagi, namun
sebelumnya Pedang Dahsyat tak pernah membawa-bawa
senjata itu. Tabung besi yang panjang itu tampak amat mengerikan
di mata khan yang masih muda itu. Sementara terus
mengawasi senjata itu, ia mendengar Bunga Matahari
berkata kepada penasihatnya, "Mengingat lampion itu
sudah hancur, aku yakin Khan akan memberikan sesuatu
yang lain pada Anda sebagai hadlah ulang tahun." Bunga
Matahari menarik-narik lengan suaminya. "Bagaimana
kalau seratus keping uang emas?"
Seulas senyum akhirnya memperlembut ekspresi keras
di wajah Shadow Tamu. Ia memiringkan kepala, kemudian
berpura-pura tidak mendengar ucapan Bunga Matahari
dengan jelas. "Anda bilang lima ratus keping uang emas?"
Timur Tohan merasa lengannya ditarik-tarik kembali. Ia
mengalihkan perhatiannya dari Pedang Dahsyat dan
Tangan Maut-nya, kemudian melihat Bunga Matahari
mengangguk. Dengan kaku Khan terpaksa berkata, "Baik,
lima ratus keping uang emas!" Sesudah itu dengan geram
Timur Tohan segera berialu, tanpa mengucapkan selamat
ulang tahun kepada penasihatnya.
Khan dan permaisurinya menempati kursi-kursi di sisi
lain ruangan itu, jauh dari si penasihat dan panglima
jenderal. Timur Tohan masih panas hati saat perayaan itu
dimulai. Setelah mereguk araknya, ia berbisik ke telinga
Bunga Matahari, "Aku tidak tahan lagi! Aku laki-laki, bukan
bocah ingusan! Aku sudah terlalu lama bersembunyi di belakang mainan-mainanku! Aku duduk di takhta, tapi tidak
dianggap. Aku diperbudak 26 pangeran, satu panglima
jenderal, dan satu penasihat!"
Bunga Matahari menunggu dengan sabar sampai amarah
Timur Tohan mereda. Sudah tujuh tahun ia menunggu
pangerannya yang masih muda berubah menjadi penguasa
yang betul-betul agung. Untuk itu ia berterima kasih
kepada Shadow Tamu yang telah menghancurkan lampion
kacanya. Timur Tohan berkata lagi, "Akan kusingkirkan Shadow
Tamu, lalu menunjuk penasihat baru. Dan aku harus
menghabiskan si Pedang Dahsyat!"
Bunga Matahari amat bangga mendengar keputusan
khan-nya, m eskipun sadar nanti ia harus bertindak sebagai
penasihat yang dapat diandalkan sebelum Timur Tohan
menemukan pengganti Shadow Tamu. Ia berkata,
"Bersabarlah. Sekarang kau belum siap. Coba lihat
sekelilingmu. Akan kausadari tak seorang pun berada di
pihakmu, kecuali aku. Mulai besok kau harus mulai
menyeleksi beberapa pengawal yang dapat diandalkan.
Secara bertahap kau harus meningkatkan jumlah pengawal
pribadimu sampal terbentuk suatu kesatuan. Perbesarlah
kesatuanmu, sampai kau memiliki sebuah pasukan."
Bunga Matahari tersenyum pada khan-nya.
"Ambil hikmah dari sang waktu, khan- ku . Jangan
terburu-buru, tapi nantikanlah saat yang tepat. Dalam
waktu dekat kau akan sungguh-sungguh memegang
tampuk pemerintahan itu."
Timur Tohan meraih tangan permaisurinya, lalu
menggenggamnya erat-erat. Mereka tersenyum satu sama
lain. "Betul-betul memuakkan!" ujar Shadow Tamu sambil
mengawasi mereka dari seberang ruangan. "Setelah sekian
tahun, mereka masih juga suka saling menatap, seperti dua
anak sapi." Kemudian ia berpaling ke arah Pedang Dahsyat.
"Teruskan apa yang kaukatakan tadi."
Si panglima jenderal melirik ke arah Tangan Maut-nya,
lalu berkata, "Aku ahli pedang yang punya harga diri, dan
aku tak suka main akal-akalan. Di mataku, menggunakan
bahan peledak adalah main akal-akalan. Aku tak pernah
memakai tabung besi ini selama empat tahun terakhir ini.
Tapi mulai enam bulan yang lalu, para pandai besiku sudah
membuat banyak senjata begini. Ini rencanaku."
Pedang Dahsyat berniat meninggalkan Da-du pada hari
berikutnya, kemudian menuju Selatan. Ia akan tinggal di
pesisir Sungai Yangtze bersama orang-orangnya, menunggu
Para Pesilat Kuo memasuki Provinsi Kiangsi. Pedang
Dahsyat sudah memutuskan untuk menyisihkan harga
dirinya sebagai ahli pedang. Ia dan para serdadunya akan
menggunakan Tangan Maut mereka untuk memerangi Para
Pesilat Kuo mulai saat itu.
"Tapi kalau hasil perhitunganku tepat, kita tidak perlu
menggunakan senjata-senjata itu sama sekali," ujarnya.
Si penasihat menatap adiknya dengan pandangan tak
mengerti. "Apa maksudmu?"
Si panglima jenderal menjelaskan, "Kita, orang-orang
Mongol, bukan satu-satunya musuh Para Pesilat Kuo itu."
Selama empat tahun terakhir ini, Para Pesilat Kuo telah
bergerak dari daerah Honan menuju Barat, dan telah
menaklukkan sebagian besar Provinsi Shensi dan seluruh
Provinsi Szechwan. Pada saat raja-raja daerah Shensi dan
Szechwan berhadap-hadapan dengan Shu di suatu medan
pertempuran, mereka berhasil dikalahkan, untuk kemudian
disiksa sampai mati. "Bicara soal kejam," Jenderal Mongol itu menggeleng-gelengkan kepala, "orang-orang Cina itu punya
cara-cara yang sangat brutal. Aku sudah pernah mendengar
sampai detail-detailnya, tapi lebih baik aku tidak
mengungkapkannya sambil makan."
"Aku tak peduli bagaimana orang-orang Cina itu saling
membunuh. Aku cuma peduli mengenai negeri kita ini,"
ujar Shadow Tamu sambil menjentikkan jari-jarinya
dengan tak sabar. Mereka sama-sama tidak punya
keturunan, tapi sama-sama berambisi menguasai Cina
untuk selama-lamanya. "Kau tadi bilang kita orang-orang
Mongol bukan satu-satunya musuh Para Pesilat Kuo."
Si panglima jenderal mencelupkan jarl ke dalam
cawannya yang berisi arak merah, kemudian membuat peta
Cina di atas taplak meja. "Di sebelah selatan Sungai Yangtze
ada dua kelompok pemberontak, masing-masing sama
kuatnya seperti Para Pesilat Kuo. Andal kata Raja Kiangsi
yang menduduki kota Phoenix tidak berhasil memukul
mundur mereka, Raja Kiangsu dari Yin-tin-lah yang akan
melakukannya." Ia mereguk araknya, lalu melanjutkan, "Raja Kiangsi
bernama Yu, sedangkan yang dari Kiangsu bemama Chen.
Mereka sama-sama punya banyak Tangan Maut omong-omong, orang Cina menamakannya Naga Kobar.
Ada sebuah organisasi rahasia di daerah Selatan yang
mengirimkan uang kepada para pemberontak itu untuk
membuat senjata. Kami sudah berusaha membuka kedok
organisasi itu, tapi belum berhasil. Yang pasti, selama ini
orang-orang Cina Selatan belum pernah mengeluarkan
Naga Kobar mereka dalam menghadapi kita. Rupanya
mereka menghemat bahan peledak yang mahal itu untuk
menghadapi bangsa mereka sendiri. Dan, menurut
informast yang kuterima dari para pengintaiku, Para Pesilat
Kuo belum memiliki senjata secanggih Tangan Maut."
Siasat si panglima jenderal rupanya melegakan hati
kakaknya. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkannya
sekarang. Keduanya mengangkat cawan emas mereka, yang
dihiasi tatahan batu-batuan berharga.
"Semoga orang-orang Cina Selatan itu berhasil
mengalahkan Para Pesilat Kuo!" seru Shadow Tamu.
"Mudah-mudahan Para Pesilat Kuo itu membantai
orang-orang Cina Selatan!" sambut Pedang Dahsyat.
"Mudah-mudahan kita dapat lebih mudah membasmi
para pesilat Cina yang masih tersisa sesudah itu, dan
menguasai Negeri Cina untuk selama-lamanya!" ujar
kakak-beradik itu serentak.
32 Musim Gugur, 1360 SEPANJANG musim panas, wabah penyakit melanda
mulai dari daerah Utara sampai ke Selatan. Sepanjang
pesisir Sungai Yangtze, keluarga demi keluarga mati,
sampai tak ada siapa-siapa lagi untuk mengubur mereka.
Banyak mayat yang kemudian dibuang ke sungai. Apa yang
tidak termakan ikan-ikan lalu menjadi busuk.
Setelah memasuki Provinsi Kiangsi, Para Pesilat Kuo
sampai di tepi Sungai Yangtze. Di sana mereka berkemah.
Shu dan Peony menitipkan anak-anak mereka kepada para
pengasuh, lalu meninggalkan kemah mereka, menuju tepi
air. Daun-daun kecokelatan berjatuhan ke air dari
pohon-pohon yangliu, sementara lampion-lampion putih
berayun-ayun di permukaannya, di antara bangkal-bangkal.
Mereka melihat orang-orang menggunakan air sungai
untuk mandi, mencuci pakaian, serta mengosongkan
ember-ember berisi kotoran manusia. Mereka memperhatikan para tukang masak mencuci sayuran
mereka di sungai dan mengambil air minum dari sana.
"Sebaiknya kita pastikan sayuran dan air minum kita
betul-betul dimasak sampai matang sebelum diberikan
kepada anak-anak kita," ujar Peony. Saat itu mereka sudah
memiliki empat anak laki-laki. Yang besar, Kuat dan Tegar,
masing-masing berumur enam dan lima tahun. Berani
berusia empat belas bulan dan Nekat baru dua bulan.
"Jangan khawatir. Sama seperti kita, anak-anak kita
sudah minum air sungai sejak lahir," ujar Shu, sambil
melangkah. Ia amat antusias berada kembali di daerah
Selatan. Ia pernah kabur dari tempat ini sebagai buronan,
dan sekarang ia kembali sebagai orang kedua salah satu
pasukan pergerakan paling tangguh. "Ayo kita ke tenda
Kuo. Dia sedang menunggu kita mendiskusikan rencana
kita untuk besok." Setelah berkemah selama sekian tahun, para perwira
dan komandan pasukan Kuo sekarang sudah memiliki
tenda-tenda yang lebih memadai. Saat Shu dan Peony
memasuki tendanya, Kuo sedang berbaring dengan mata
tertutup di tikar yang dialasi selimut katun. Melihat
mereka, ia langsung duduk, kemudian menyandarkan
tubuh pada setumpuk bantal. "Besok merupakan hari yang
amat menentukan. Kita akan memasuki kota Phoenix,
daerah kekusaan Raja Yu. Orang-orangnya akan menyambut kedatangan kita dengan Naga Kobar mereka."
Ia berpaling ke arah Shu dengan wajah sedih. "Aku tidak
suka berhadapan dengan mereka, terutama dengan
senjata-senjata maut yang sama. Kita sudah membunuh
terlalu banyak orang Cina. Dengan Naga Kobar, lebih
banyak lagi yang bakal mati."
Meski tidak sependapat dengannya, Shu dan Peony tutup
mulut. "Para biksu dan biksuni juga sependapat denganku," ujar
Kuo, seakan dapat membaca pikiran mereka. "Dulu banyak
biksu yang menguasal kungfu, serta biksuni yang tergabung
dalam Serban Merah di antara kita, tapi satu per satu mereka mulai meninggalkan kita begitu kita mulai membunuh
orang-orang kita sendiri. Sisanya akan merasa keberadaannya sia-sia begitu kita mulal menggunakan
Naga Kobar." Kuo menghela napas begitu teringat awalnya mereka
mulai membuat Naga Kobar. Saat Joy mengungsi ke Kuil
Bangau Putih, ia membawa contoh senjata itu bersamanya.
Kuo agak enggan membuat senjata-senjata seperti itu
untuk Para Pesilat Kuo, sampai Shu akhirnya berhasil
meyakinkan dirinya bahwa mereka harus memiliki Naga
Kobar untuk mengalahkan para pemimpin daerah Selatan
itu. Deraan Raja Wan yang dipikul Shu memantapkan
keputusan yang kemudian dibuat Kuo. Ia mengutus seorang
biksu untuk menemui Joy Kuo. Contoh senjata beserta
semua uang yang berhasil dikumpulkan Joy akhirnya
sampai ke tangan Kuo. Beberapa pandai besi dipanggil, lalu
diam-diam senjata-senjata itu pun mulai dibuat.
Para Pesilat Kuo sudah memiliki banyak Naga Kobar
sekarang, namun tak seorang pun dari para pemimpin
pergerakan lain atau pun orang-orang Mongol mengetahuinya. Shu dan Peony mendengarkan dengan sopan, sambil
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berusaha keras tetap bersabar menghadapi Kuo.
Masing-masing memikirkan hal lain.. Sebuah ide melintas di
kepala Peony, yang menjadi semakin konkret begitu ia
mendengar Kuo berkata, "Mungkin ada baiknya kita
mengutus orang ke kota Phoenix untuk mengajak Raja Yu
berunding. Kalau dia bersedia bergabung dengan kita, pasukan kita bisa lebih kuat."
Shu berkata, "Kota Phoenix adalah tempat asal nenek
moyangku. Percayalah, aku mengenal orang-orang ini."
Kemudian ia mengungkapkan pengalamannya yang kurang
menyenangkan saat berusaha mempersatukan para
pejuang kota itu. "Uang lebih berarti bagi mereka daripada
patriotisme, seperti di kebanyakan kota. Mengingat Raja Yu
cukup kaya untuk membuat Naga Kobar, ser- dadu-serdadunya tentunya sudah mempunyai perlengkapan yang cukup memadai. Mereka akan berusaha
keras menghantam kita, Kuo, tak peduli kita ini
rekan-rekan sebangsa atau bukan."
Kuo menjawab lemah, "Berjanjilah padaku sekali lagi..."
Ia begitu prihatin, sehingga tak dapat menyelesaikan
kalimatnya. Baik Shu maupun Peony tahu apa yang diharapkan Kuo
dari mereka. Serentak mereka berkata, "Akan kami berikan
instruksi pada serdadu-serdadu kita untuk tidak
menggunakan Naga Kobar, kecuali mereka menggunakannya lebih dahulu."
Sambil mengucapkan janji itu dengan setengah hati, ide
di kepala Peony akhirnya menjadi rencana yang lebih
konkret. "Tapi selain dengan Naga Kobar, kita dapat
menghadapi orang-orang Selatan ini dengan cara lain."
Ekspresi sedih di mata Kuo hilang. "Sesuatu yang tidak
begitu berbahaya" Sesuatu yang mungkin dapat mengurangi jumlah korban yang akan jatuh?"
Peony menggeleng. "Aku pernah memperhatikan para
pandal besi itu membuat Naga Kobar. Sepertinya tidak sulit
kalau kita perbesar senjata itu dan kita tambah
kekuatannya." Peony mengungkapkan apa yang sedang berkecamuk
dalam pikirannya. Kalau mereka membuat tabung-tabung
besi itu sepuluh kali lebih besar dari aslinya, mereka bisa
mengisinya dengan bahan peledak sepuluh kali lebih
banyak dari jumlah semula.
Shu menepuk-nepuk pundaknya. "Ide yang bagus sekali!
Sudah terbayang olehku sebuah tabung besi seukuran
batang pohon. Kita bisa menamakannya Naga Api. Sekali
ditembakkan, tembok-tembok bakal ambruk, blokade-blokade pertahanan rontok, dan musuh yang bakal
mati sepuluh kali lebih banyak daripada kalau kita hanya
menggunakan sebuah Naga Kobar."
Kemudian ia mengerutkan alis. "Tapi kita membutuhkan
uang untuk membuat Naga Api seperti itu." Ia menatap Kuo.
"Kau dan Joy sudah memakai semua uang kalian untuk
memberi makan orang-orang kita serta membuat Naga
Kobar. Kita butuh seseorang atau semacam kelompok yang
dapat mendanai kita. Siapa yang membantu para pemimpin
daerah Selatan membuat senjata-senjata mereka" Andai
kata kita dapat meyakinkan orang itu untuk juga membantu
kita." Shu dan Peony berpaling ke arah Kuo. Di luar dugaan, ia
tidak menanggapi usul mereka. Matanya tertutup rapat.
Rupanya ia sedang mencari jawaban. Baik Shu maupun
Peony harus berusaha menahan diri saat ia bermeditasi
seperti itu. Setelah berdiam diri cukup lama, Shu akhirnya berseru
tak sabar "Nah, sekarang kau tahu siapa yang berdiri di
belakang para pemimpin daerah Selatan itu?"
Begitu tersentuh, tubuh Kuo menggelosor dari
tumpukan bantal, kemudian terjatuh tanpa suara ke atas
tikar. "Dia menggigil!" seru Shu setelah merengkuh tubuh Kuo
ke dalam rangkulannya. "Badannya panas sekali!" Ujar Peony setelah meraba
dahinya. Mereka berpandangan. Kepanikan membayang di mata
masing-masing. "Tidak!" seru mereka serentak.
Tabib langsung dipanggil. Laki-laki itu akhirnya hanya
menegaskan apa yang dicemaskan Shu dan Peony, bahwa
Kuo terkena wabah. Bermangkuk-mangkuk sari tumbuh-tumbuhan dituangkan ke tenggorokannya, tapi dimuntahkan lagi oleh
Kuo. Cangkir-cangkir teh dipanaskan, kemudian diletakkan
terbalik di punggung Kuo yang telanjang, namun roh-roh
jahat di dalam tubuhnya tak bisa ikut tersedot keluar. Para
Pesilat Kuo masih tinggal di pesisir Sungai Yangtze selama
sepuluh hari berikutnya. Selama tenggang waktu itu, lebih
dari dua puluh di antara mereka meninggal karena wabah.
Karena temperaturnya tinggi, Kuo terus berada dalam
keadaan koma. Tapi pada hari kesepuluh, persis saat
matahari tenggelam, pikirannya jernih kembali. Ia
membuka mata, melihat Shu dan Peony berjongkok di
dekat tikar jeraminya. Permadani yang menutupi jalan
masuk ke tenda itu tersingkap. Sinar matahari yang
menyilaukan di belakang pasangan petani itu membuat
mereka tampak seperti dua sosok tak berwajah yang
mengenakan mahkota raksasa dari emas.
"Mahkota gumam Kuo. "Jangan kalian salah gunakan..."
Shu dan Peony berpandangan. Sobat mereka sedang
sekarat dan bicaranya mulai kacau. Mereka sama sekali tak
mengerti maksudnya. "Jangan khawatir, sobatku," ujar Shu, sambil menggenggam tangan Kuo. "Peony dan aku akan menjaga
Joy untukmu." Kuo menarik tangannya dari genggaman Shu, membuka
mata lebar-lebar, lalu tiba-tiba berseru dengan lantang,
"Bagaimana mengenai Cina" Aku mencintai Cina seperti
aku mencintai Joy!" Peony tertegun mendengar ucapan mantap laki-laki
sekarat itu. Katanya, "Kami akan menjaga Cina untukmu.
Kami akan beduang habis-habisan untuknya...."
"Berjuang habis-habisan untuknya saja tidak cukup!
Kalian juga harus punya hati untuknya!" seru Kuo.
Ucapan-ucapan penuh emosi itu menguras tenaganya.
Matanya bergerak perlahan-lahan dari Peony ke Shu, lalu
dengan nada lemah ia berkata, "Bersikaplah lembut kepada
Cina... bersikaplah lembut kepada orang-orang Cina.
Kumohon itu dari kaliansobat-sobatku..." Ia sudah berhenti
bernapas sebelum mereka sempat menjawabnya.
Kuo dimakamkan di dekat Sungai Yangtze. Sementara
para biksu dan biksuni tetap tinggal di tepian itu untuk
mendoakan arwahnya, Shu dan Peony melangkah merjauhi
makamnya, kemudian duduk di sebuah batu besar yang
menonjol dari permukaan air.
Secercah angin musim gugur yang dingin berembus
kencang, menanggalkan sisa-stsa daun dari sebatang pohon
yangliu yang nyaris gundul, sehingga memenuhi permukaan air dengan lapisan tebal kecokelatan. "Sebentar
lagi musim dingin," ujar Peony sambil berdekap tangan
untuk menghangatkan tubuhnya. "Wabah itu akan mereda
begitu cuaca lebih dingin. Mudah-mudahan kita tidak
kehilangan lebih banyak orang lagi gara-gara kutukan
mengerikan ini." Mata Peony berkaca-kaca. Ia teringat
betapa baiknya Kuo kepadanya sejak hari pertama istrinya
membawanya pulang dari istal manusia itu. Ia dan Shu
telah mengirim utusan ke Gunung Makmur, dan ia tahu
kematian Kuo akan menjadi pukulan tak tertahankan bagi
Joy. Kalau saja si Meadow tua tidak dibunuh oleh Wan!
Peony mengejapkan mata sambil berusaha menahan
isakannya ketika sesuatu tiba-tiba melintas di kepalanya.
"Shu!" Ia meletakkan tangannya. di lengan suaminya. Ia
tidak merasa dingin lagi. Rasa antusiasnya telah membuat
dirinya. hangat luar dalam. "Sadarkah kau sekarang
komandan tertinggi pasukan kita?"
Shu menatapnya beberapa saat, kemudian tiba-tiba
berdiri sambil menarik istrinya bersamanya. "Aku seorang
komandan," ujarnya perlahan-lahan."Dan kau istri seorang
komandan. Bersama-sama kita akan memimpin Para
Pesilat Kuo..." Ia tidak menyelesaikan ucapannya,
melainkan mengerutkan alisnya. "Kita tak bisa menyebut
orang-orang kita Para Pesilat Kuo lagi. Kita membutuhkan
nama baru." Mereka meninggalkan batu besar itu, kemudian menuju
tepi sungai. Mereka melangkah cepat, suara mereka
terdengar lantang menyaingi suara. angin. "Para Pesilat Shu
bukan nama yang istimewa. Nama yang akan mereka.
sandang haruslah unik," ujar Peony. "Maknanya harus
dapat diterima semua orang Cina, terutama orang-orang
Selatan. Namamu sudah terkenal di daerah Utara, tapi di
Selatan kau bukan siapa-siapa."
"Tapi tidak untuk waktu lama," ujar Shu.
"Setelah aku memulai kampanyeku di sini, semua orang
akan tahu siapa aku!"
Mereka tak dapat menemukan nama yang sama-sama
mereka sukai, sehingga untuk sementara mereka setuju
memakai sebutan Para Petarung Shu. Mereka. menyusun
rencana untuk membantai lebih banyak orang, agar nama
mereka semakin terkenal, namun mereka tidak menyadari
bahwa para biksu dan biksuni menangkap setiap ucapan
mereka. Para Petarung Shu meninggalkan markas mereka pada
hari berikutnya. Komandan mereka beserta istrinya di atas
kuda, diikuti para perwira dari jajaran yang lebih tinggi di
atas keledai. Para prajurit berjalan kaki, bersama para
biksu dan biksuni yang tak mau membebani makhluk lain
yang mereka anggap sesama mereka. Kaum wanita dan
anak-anak yang membentuk bagian belakang iringiringan
itu mengendarai gerobak-gerobak yang ditarik keledai dan
kerbau. Setelah mengarungi Provinsi Kiangsi, mereka akhirnya
sampai di daerah pinggiran kota Phoenix siang itu juga.
Mereka berhenti untuk memasang tenda-tenda. Mereka
makan, beristirahat, lalu menunggu malam. Ketika bulan
musim gugur itu mencapai puncak pohon yangliu tertinggi,
Peony dan Shu menuju tenda yang ditempati oleh keempat
putra mereka. "Kalian harus patuh pada para pengasuh kalian dan tidak
bokh nakal. Baba dan Mama akan berperang lagi, menang,
lalu kembali ke slnl." Peony memeluk kedua anak
bungsunya, sambil membisikkan kata-kata lembut ke
telinga mereka, entah mereka mengertii atau tidak.
"Cepat-cepat jadi besar!" ujar Shu kepada kedua anaknya
yang lebih besar dengan nada tak sabar. "Supaya kalian bisa
menjadi pejuang tangguh dan mendampingi baba dan
mama kalian!" Para anggota pasukan itu sudah terlatih berjalan cepat
dan tanpa suara, sesuai dengan ajaran kungfu, tapi tentu
saja binatang-binatang mereka tidak. Karena itulah si
komandan, istrinya, serta para perwira meninggalkan kuda
serta keledai-keledai di perkemahan mereka. Para Petarung
Shu bergerak dalam gelap, dan tak lama kemudian mereka
pun melihat kota Phoenix di bawah penerangan sinar
bulan. Mereka langsung tahu bahwa pintu masuk jalan
utamanya sudah diblokade ketat.
"Aku bisa melihat ada yang berjaga di belakang blokade
itu," ujar Shu, yang berada di barisan terdepan.
"Orang-orang apa mereka" Cina atau Mongol?"
Sebagaimana biasanya di setiap medan, Peony selalu
berada tepat di samping suaminya. "Orang-orang itu tidak
mengenakan topi-topi runcing, dan mereka tidak
mengenakan baju besi. Cahaya bulan menyinari sesuatu
berwarna putih di bagian belakang seragam hitam mereka.
Aku berani bertaruh mereka orang-orang Cina."
Shu menyipitkan mata. Sama seperti Peony, ia pun
melihat mereka mengenakan seragam berwarna gelap
dengan simbol berwarna terang. Bulan musim gugur
membiaskan sinarnya ke atas orang-orang di belakang
blokade itu. Wujud simbol pada seragam mereka berubah
menjadi gambar tengkorak berwarna putih dengan dua
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lubang mata, yang satu ditulisi kata Wan, yang lain
Tin-check. Tiba-tiba Shu merasa dilanda suatu gelombang yang siap
menyeretnya ke dalam arus sakit yang amat dahsyat. Ia
lupa akan janjinya kepada Kuo, dan sama sekali tidak
mengindahkan protes para biksu dan biksuni.
"Angkat Naga Kobar kalian," bisiknya.
"Bidik." "Tembak!" serunya.
Bahan peledak melesat keluar dari tabung-tabung besi,
sejumlah orang roboh ke tanah sambil menjerit-jerit
kesakitan. Di belakang mereka, Raja Yu langsung dilanda rasa
panik. "Blokade ini kita bangun untuk melindungi diri kita
dari serangan pedang dan tombak, bukan bahan peledak.
Katanya orang-orang Utara belum punya Naga Kobar!"
serunya sambil mengentak-entakkan kaki. "Akan kubunuh
mata-mata yang memberikan informasi salah itu!"
Setelah memberikan kejutan itu, Para Petarung Shu
menyerbu kota. Mereka menaklukkan musuh-musuh,
kemudian menangkap Raja Yu. Shu, Peony, serta anak buah
mereka kembali ke markas di bawah cahaya langit
menjelang subuh. Shu memberikan perintah untuk mengikat Raja Yu pada
sebuah tonggak di tengah-tengah perkemahan mereka.
"Cambuk dia sampai amti, tapi pelan-pelan saja," ujarnya
pada algojonya. "Setiap kali dia jatuh pingsan, guyur dia
dengan air dingin. Pastikan dia tidak mati sebelum pingsan
sedikitnya lima atau enam kaii!" Orang ini memang bukan
Tin-check Wan, tapi tak apa-apa. Di mata Shu mereka
semua sama. Dari pagi sampai siang, seluruh perkemahan itu
dipenuhi oleh jeritan-jeritan kesakitan. Selain putra-putra
keluarga Shu yang tangguh, semua anak menutup telinga
mereka dengan tangan Hampir semua, baik serdadu
maupun perwira, kehilangan nafsu makan. Selain Peony,
semua wanita menangis. Para biksu dan biksuni menemui
Shu untuk protes, namun ia cuma tersenyum pada mereka.
Ia malah memesan makanan untuk keluarganya dan
dirinya sendiri, dan menandaskan bahwa ia menginginkan
ayam panggang. Ia melangkah keluar dari tendanya,
kemudian berdiri di hadapan laki-laki telanjang yang
terikat pada tonggaknya, sambil mengoyak daging ayam
dari tulangnya dan mengawasi darah Raja Yu menetes ke
tanah. "Kau cuma seorang Wan lain!" ujar Shu sambil meludahi
wajah laki-laki yang sedang sekarat itu. "Kecuali beberapa
gelintir orang baik-baik, semua orang Cina menyandang
nama Wan di mataku!"
Ia tidak membiarkan orang yang kemudian mati itu tetap
terikat pada tonggaknya. Ia memerintahkan agar jasadnya
dipenggal, kemudian dicampakkan ke hutan agar dimakan
serigala. Ia tidak memperhatikan ekspresi antipati yang
tersirat di wajah para biksu dan biksuni, ataupun
pertemuan-pertemuan yang mereka selenggarakan secara
diam-diam di tempat-tempat tersembunyi.
Hasil perjuangan Para Petarung Shu kemudian
dirayakan sore itu, namun tak seorang pun diperbolehkan
minum arak. Sesudah itu mereka dibagi dalam dua
kelompok. Shu tidur bersama kelompok pertama,
sementara Peony akan tidur bersama kelompok kedua.
"Orang-orang Mongol datang!"
Shu dibangunkan oleh Peony saat matahari mulai
terbenam. "Seorang jenderal bersama anak buahnya.
Semuanya naik kuda. Mereka mengepung perkemahan
kita!" Shu sudah betul-betul bugar beberapa saat kemudian.
Demikian pula anak buahnya. Mereka membentuk
lingkaran untuk melindungi perkernahan mereka. Posisi
mereka menghadap ke luar dan mereka membidikkan Naga
Kobar ke arah musuh yang akan menyerang.
Pedang Dahsyat telah menjanjikan kepada orang-orangnya bahwa kemenangan kali ini akan mereka
raih dengan mudah, karena ia bermaksud memberi kejutan
kepada orang-orang Cina ini dengan menyerbu mereka
selagi tidur. Selain itu ia telah menandaskan kepada para
anak buahnya bahwa orang-orang Utara ini belum memiliki
Tangan Maut. Suara tembakan yang mereka dengar dari
kota Phoenix berasal dari Naga Kobar para anggota
Pasukan Yu, ujarnya yakin.
"Tembak!" perintah Shu, dan secara serentak tabung-tabung besi itu meledak.
Sebagian orang-orang Mongol itu langsung terbunuh
atau terluka. Yang lain seakan terpaku di tempat
masing-masing. Bagi mereka Tangan Maut juga merupakan
senjata baru. Di bawah desingan peluru mereka mulai
membidikkan senapan-senapan mereka dengan ngawur,
sehingga sasaran mereka pun akhirnya luput. Dalam waktu
singkat mereka tahu bahwa mereka tak bisa mengandalkan
senjata baru itu, sehingga situasi menjadi kacau.
Keraguan di pihak mereka memberikan kesempatan
kepada Para Petarung Shu untuk mengisi kembali bubuk
meslu Naga Kobar mereka. "Tembak!" seru Shu kembali.
Lebih banyak lagi orang Mongol jatuh dari kuda, sisanya
pun panik. Tanpa memedulikan perintah Pedang Dahsyat
untuk mengisi Tangan Maut mereka dengan bubuk meslu,
mereka memutar kuda-kuda, lalu mulai kabur.
Pedang Dahsyat adalah pemimpin yang berpengalaman,
dan ia tahu bahwa pada saat anak buahnya kabur, percuma
memaksa mereka maju, kecuali ia memang ingin
membunuh mereka semua. Bahkan kuda-kuda Mongol belum terbiasa mendengar
suara dentuman bahan-bahan peledak itu. Seperti yang
lain, kuda hitam Pedang Dahsyat takut mendengar
suara-suara itu. Ia menaikkan kedua kaki depannya
tinggi-tinggi sekaligus, setiap kali orang-orang Cina itu
menembakkan Naga Kobar mereka. Pada saat berikutnya ia
hampir melemparkan Pedang Dahsyat dari punggungnya.
"Kembali ke markas!" teriak Pedang Dahsyat, sambil
berusaha mengendalikan kudanya yang ketakutan. Sambil
berderap di antara anak buahnya yang panik, Ia berpaling
pundaknya. Ia melayangkan mata ke arah serdadu-serdadu
yang mati dan terluka, kemudian mencari di antara yang
masih hidup. Akhirnya Ia beradu mata dengan Shu.
Pemimpin Petarung Shu itu berdiri dengan kaki
mengangkang dan tangan di pinggul, sambil tersenyum ke
arah Pedang Dahsyat. Kontak mata itu hanya berlangsung
sekejap, tapi seakan begitu lama bagi keduanya. Mereka
sama-sama tahu, pihak Shu-lah yang keluar sebagai pemenang kali ini. Pedang Dahsyat memacu kudanya,
kemudian menghilang dengan cepat, meninggalkan
kumparan debu. Shu tahu Peony berdiri di sampingnya. Ia meraih tangan
istrinya sambil menatap kumparan debu yang semakin
menjauh, sementara senyum lebar membayang di
wajahnya. "Sekarang aku yakin sekali, pembalasan dendam
atas kematian keluarga dan para sahabat kita bukan
sekadar impian lagi," ujarnya.
Matahari mulai terbenam, langitnya mengingatkan orang
pada semburat merah keemasan jubah kaisar. Peony dan
Shu berpaling untuk menikmati pemandangan megah itu,
kemudian kembali ke perkemahan mereka untuk
menikmati kemenangan tersebut.
"Baba dan Mama sudah kembali dengan selamat,
anak-anakku!" ujar Peony sambil menyongsong Berani dan
Nekat. Kemudian ia menggendong mereka di masing-masing lengannya. "Baba dan Mama berhasil merebut kembali tanah
leluhur keluarga Shu, putra-putraku!" ujar Shu kepada Kuat
dan Tegar. "Besok kita harus berziarah ke makam keluarga
Shu untuk bersyukur."
33 PARA Petarung Shu amat lelah setelah terlibat dua
pertempuran berturut-turut, tapi mereka tidak berani
mengendurkan kesiagaan. Mereka bergiliran tidur sepanjang sisa malam itu. Hari berikutnya mereka akan
mengemasi semua barang, kemudian mengangkut anak-istri mereka ke Phoenix untuk mengambil alih kota
itu. Peony, yang tidur bersama kelompok pertama, tiba-tiba
dibangunkan. "Bangun, Peony!"
Begitu matanya terbuka, ia melihat Shu berlutut di
samping tikarnya yang diisi bulu.
"Ada musuh lagi" Siapa yang menyerang kita kali ini?"
serunya sambil langsung duduk tegak. Ia menggosok-gosok
mata, merasa segar kembali dan siap berangkat.
Shu tertawa. "Bukan musuh, Peony-ku yang malang.
Orang terkaya di kota Phoenix, namanya Fong, baru saja
datang menemui kita. Dia membawa tandu-tandu untuk
mengangkutmu, anak-anak, serta istri dan bayi-bayi para
perwira lainnya. " Peony cekikikan. "Tandu-tandu" Untukku dan anak-anak" Aku tak pernah naik tandu lagi sejak
meninggalkan Joy Kuo. Yah, tak ada salahnya coba-coba
merasa nyaman di dalam kotak-kotak kecil itu, tentunya.
Juga istri para perwira" Kebanyakan belum pernah naik
tandu seumur hidup mereka."
Saat mereka tiba, penduduk kota Phoenix sudah berdiri
di sepanjang tepi jalan-jalan utama untuk menunjukkan
rasa terima kasih mereka kepada Para Petarung Shu.
Sebelumnya mereka harus membayar pajak kepada dua
penguasa Raja Yu dan orang-orang Mongol. Sekarang
keduanya sudah diusir. "Kami ini seperti kelinci-kelinci tak
berdaya. Para Petarung Shu telah menyelamatkan kami
dari dua serigala lapar. Mudah-mudahan mereka tidak
malahan seperti harimau," bisik mereka sambil membungkuk ke arah Shu yang mengendarai kuda yang
kuat. Mulut mereka ternganga begitu mereka melihat Peony di
dalam sebuah tandu tanpa tirai, berpakaian laki-laki dan
bersepatu bot. Ia duduk dengan kaki tersilang, sambil
melambai-lambaikan tangan ke semua orang dan
tersenyum begitu lebar, sampai giginya kellhatan. Hati
penduduk kota Phoenix langsung menciut begitu melihat
istri-istri para perwira lainnya di tandu-tandu mereka.
Postur tubuh kaum wanita ini sama sekali tidak lebih indah
daripada Peony. "Celakalah kita semua," ujar salah satu di antar, mereka.
"Mereka begitu urakan. Kalau mereka sampai menetap di
sini, kita cuma terlepas dari cengkeraman dua ekor
serigala, untuk kemudian masuk ke terkaman harimau."
Sementara para serdadu dan perwira menikmat semua
yang dapat mereka peroleh di kota itu, dan para biksu dan
biksuni melakukan kunjungan ke kuil setempat, Shu dan
Peony tinggal di rumah kediaman Bangsawan Fong. Namun
dalam waktu singkat Peony sudah menganggap Lady Fong
amat membosankan. Ia meninggalkan anak-anaknya pada
nyonya rumah yang menjemukan itu, lalu bergabung
dengan Shu dan tuan rumah.
Bangsawan Fong bertanya, "Sampai kapankah Para
Petarung Shu akan tinggal di Phoenix?"
Shu menjawab, "Kami akan berangkat lagi besok pagi."
Bangsawan Fong langsung lebih lega, namun untuk
berbasa-basi ia berkata, "Penduduk Phoenix dan aku secara
pribadi berharap Anda sudi tinggal lebih lama bersama
kami." Shu berkata, "Dulu aku sering ke kota ini, tapi setiap kali
mampir, pintu-pintu dibanting di depan hidungku. Aku juga
pernah mengetuk pintu Anda, tapi pelayan-pelayan Anda
mengusirku pergi. Aku tidak berniat tinggal di tempat yang
membangkitkan begitu banyak kenangan pahit."
Shu melihat ekspresi ketakutan membayang di wajah
Bangsawan Fong. Ia tersenyum puas, kemudian tiba-tiba
mengubah arah pembicaraan. "Raja Yu adalah pemimpin
pergerakan paling tangguh di Klangsi, tapi tentunya masih
banyak kelompok yang lebih kecil, yang dapat menjadi
kuat. Aku takkan bisa tidur dengan tenang sebelum
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menundukkan mereka semua Setelah itu aku akan bergerak ke arah Provinsi Kiangsu, lalu menuju, Yin-tin."
Bangsawan Fong, yang sudah pernah mendengar
reputasi Shu dan istrinya yang jangkung, nyaris tak dapat
mempercayai keberuntungannya lolos begitu saja dari
cengkeraman mereka. Selagi pasangan petani itu mandi
dan beristirahat, Bangsawan Fong berunding dengan
istrinya. Shu dan Peony lama berendam dalam bak kayu yang
besar. Airnya yang mengepul-ngepul tidak hanya membilas
lapis demi lapis debu yang menempel di kulit, tapi juga rasa
penat mereka. Kemudian mereka beristirahat di kamar
tamu terbesar, dan bercinta penuh nafsu di tempat tidur
yang ditutup seprai sutra.
Saat mereka keluar dari kamar, tuan rumah sudah
menanti dengan nampan batu kemala yang penuh aneka
barang perhiasan berkilauan.
"Terimalah ini sebagai pernyataan maaf kami atas ulah
pelayan kami yang sembrono itu," ujar Bangsawan Fong.
Shu meraba rantai emas yang melingkar di lehernya.
"Aku tidak membutuhkan apa-apa lagi selain bandul ini,"
ujarnya. Peony juga tidak terlalu menyukai pemak-pernik seperti
itu, tapi sebuah cincin bertatahkan batu mirah menarik
perhatiannya. Ia melemparkannya ke atas, melihat kilaunya
yang bak bintang merah melesat di langit. Ia menangkap
cincin itu, kemudian menyusupkannya ke kelingkingnya.
Ternyata pas sekali. Ia menyingkirkan nampan itu,
kemudian kembali mengagumi cincin mirahnya.
Shu senang. "Mengingat kota Phoenix tak punya wali
kota lagi saat ini, kuserahkan jabatan itu kepadamu. Kalau
kau berhasil mengelolanya dengan baik, begitu aku berhasil
menaklukkan seluruh provinsi ini, kau akan kuangkat
menjadl gubernur." Bangsawan Fong membungkuk dalam-dalam, lalIu
menjawab, "Komandan Shu, aku betul-betul tak sabar
menantikan saat Anda menjadi Raja Kiangsi. Suatu
kehormatan bagiku untuk menjadi gubernur Anda."
Shu menyentuh bandul batu kemalanya. Ekspresi
matanya yang tajam melembut. "Aku lebih suka menjadi
Raja Kiangsu, yang mencakup kota Yin-tin. Aku punya
sahabat yang tinggal di sana, namanya Lu. Aku sudah tak
sabar lagi untuk memperkenalkan istri dan anak-anakku
kepadanya dan keluarganya." Ia menceritakan bagaimana
ia berkenalan dengan Lu, dan bagaimana selama dua tahun
ia pernah tinggal di rumah kediaman keluarga Lu.
"Lu! Wali Kota Yin-tin! Aku juga mengenalnya. Tapi aku
tak tahu kalian berdua begitu akrab!" seru Bangsawan Fong
sambil menatap Shu dengan pandangan lebih hormat.
"Anda tentunya bangga punya sahabat seperti dia. Semua
orang di daerah Selatan menaruh hormat padanya. Begitu
Provinsi Kiangsu jatuh ke tangan orang-orang Cina kembali,
dan selama Lu mendukung Anda untuk menjadi raja di
provinsi ini, semua orang Selatan akan mengikuti jejaknya."
Seluruh kelembutan yang sebelumnya terpancar dari
mata Shu tiba-tiba sirna, digantikan ekspresi tak senang.
"Apakah aku membutuhkan dukungan Lu untuk dapat
diterima sebagai Raja Kiangsu?"
Peony, yang menyadari perubahan suasana hati
suaminya, lalu berkata, "Suamiku dan aku mempertaruhkan hidup kami di medan pertempuran. Lu cuma
Wali Kota Yin-tin. Apa yang dilakukannya sampai orang
begitu hormat padanya?"
Tanpa memperhatikan suara Peony yang tegang,
Bangsawan Fong mengungkapkan semua jasa baik Lu.
Kemudian ia menambahkan, "Dan aku yakin dia akan
memberi kalian uang untuk membuat Naga Kobar, seperti
yang sudah dilakukannya pada yang lain."
Shu dan Peony berpandangan dengan terkejut. Ekspresi
wajah Shu membuat kecil hati Peony. Ia sudah begitu sering
mendengar cerita-cerita suaminya mengenai sahabat
baiknya. Dan ia tahu betapa suaminya membenci tokoh tak
bernama yang memberikan dukungan dana kepada para
pemimpin daerah Selatan. Sobat yang begitu dicintainya
ternyata juga musuh yang begitu dibencinya. Kenyataan itu
rupanya terlalu berat untuk dicerna suaminya yang malang.
"Dia memberikan uang kepada yang lain..." ujar Shu.
Suaranya, yang terdengar bergetar, melemah.
Peony belum pernah melihat suaminya begitu terpukul.
Ia bertanya kepada Bangsawan Fong, "Apa Anda betul-betul
yakin mengenai hal ini?"
Si tuan rumah ragu sejenak. Ia merasa tak ada salahnya
mengungkapkan rahasia itu kepada pasangan yang baru
saja mengusir bangsa Mongol dari kotanya ini. Ia amat
terkesan oleh cerita Shu mengenai bagaimana Lu telah
merawatnya selama dua tahun. Deskripsinya yang
mendetail mengenai rumah kediaman keluarga Lu cukup
meyakinkannya bahwa apa yang diungkapkan Shu memang
benar. Karena itu ia berkata, "Aku yakin hal ini benar,
karena aku anggota Liga Rahasia. Setiap kali mendapat
undangan dari Lu aku berangkat ke Yin-tin untuk
menghadiri pertemuan yang diselenggarakannya. Lu adalah
pemimpin liga ini." Bangsawan Fong mengungkapkan mengenai kesepakatan liga untuk hanya memberi dukungan kepada
para pemimpin pergerakan daerah Selatan, tapi tidak yang
di daerah Utara. Kemudian ia menambahkan, "Tapi
mengingat Anda sahabatnya, dia pasti akan membantu
Anda tanpa menyentuh dana organisasinya." Sesudah itu ia
mengulangi bahwa begitu Shu siap menjadi Raja Kiangsu,
yang dibutuhkannya hanyalah dukungan dari Lu. "Begitu
dia mengangguk, semua orang Selatan akan mengatakan ya.
Demikian pula dua pertiga dari seluruh penduduk Cina
yang tinggal di daerah Selatan."
Setelah berziarah di pemakaman keluarga Shu dan
mengucap syukur kepada arwah para leluhur mereka, Shu
dan Peony meninggalkan kota Phoenix begitu matahari
terbit. "Kau tidak tidur sama sekali semalaman," ujar Peony
sambil mengendalikan kudanya di samping suaminya.
"Kudengar kau terus mengumpat-umpat sambil meninju-ninju telapak tanganmu. Mana bisa kau memenangkan pertempuran kalau tubuhmu penat dan
pikiranmu kacau." Shu tidak menjawab selama beberapa saat. Kemudian ia
baru berkata, "Peony, kauingat kita per nah berbicara
mengenai nama baru untuk para pendukung kita?"
Peony tidak mengertii mengapa Shu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan mereka, namun ia mengangguk.
Shu berkata lagi, "Tolong carikan nama yang dapat
menyentuh hati orang-orang Selatan. Nama yang
kedengarannya bagus dan lembut, supaya juga bisa
diterima Kaum terpelajar. Kekuatan militer kita kuat,
namun penduduk sipil daerah Selatan tidak menaruh
hormat padaku, padamu, dan anak buah kita. Kauperhatikan betapa lega si wali kota baru beserta
istrinya dan seluruh penduduk kota, saat kita angkat kaki
dari Phoenix?" Ketika Peony mengangguk, Shu mengepalkan tinjunya.
"Aku ingin dihormati dan dikagumi seperti Lu. Aku tak bisa
tidur tadi malam karena iri padanya. Dia memang
sahabatku, tapi tidak lebih baik dariku. Aku tidak menyukai
fakta bahwa aku membutuhkan dukungannya ataupun
siapa saja untuk mencapai. tujuanku. Mungkin nama baru
untuk pasukan kita akan menaikkan citra. kita dan meninggalkan kesan lebih baik di mata orang-orang. Kau
harus mernikirkan nama yang akan menempatkan kita di
anjungan yang lebih tinggi daripada yang ditempati Lu."
Peony membiarkan suaminya mengungkapkan semua
yang ada di kepalanya. Baru setelah ia selesai, Peony
bertanya, "Apa pikiranmu begitu kacau hanya gara-gara
kau iri" Atau juga karena kau marah" Apa kau marah pada
Lu karena dia memberi dukungan kepada para pemimpin
pergerakan daerah Selatan, tapi tidak kepadamu?"
Shu memaling wajah ke arah lain, lalu mengawasi
daun-daun musim gugur yang diterbangkan angin. "Pasti
ada kekeliruan di pihak Bangsawan Fong. Memberi
dukungan uang kepada para pemimpin lainnya kecuali a ku
akan merupakan pengkhianatan dalam tali persahabatan
kami. Dan Lu takkan pernah melakukan itu. Dia lebih dari
sekadar sahabat. Dia pernah menydamatkan hidupku. Dia
takkan membantu musuh-musuhku agar mereka dapat
membuat senjata untuk membunuhku. Sungguh takkan
pernah kubayangkan dia membantu orang-orang seperti
Tin-check Wan." Hatinya menciut begitu teringat pengalamannya yang
tidak menyenangkan itu. Ia. memaksakan seulas senyum
saat berkata, "Sekitar akhir musim dingin, kita sudah
menaklukkan Kiangsi dan sampai di Kiangsu. Kalau tidak
ada halangan, kita sudah akan berada di Yin-tin musim
semi yang akan datang. Aku akan menemui Lu, lalu
meminta penjelasannya. Akan kaulihat sendiri apa yang dikatakan Bangsawan Fong tidak benar."
Peony mencondongkan tubuh ke arah suaminya, namun
Shu masih berusaha menghindari kontak mata dengannya.
Peony menghela napas. Ia prihatin melihat suaminya.
Laki-laki malang itu tidak hanya sedang berusaha
meyakinkan istrinya, tapi juga dirinya sendiri.
"Sebuah nama untuk pasukan kita..." gumam Peony,
kemudian terdiam beberapa saat. "Tapi yang kita butuhkan
lebih dari sekadar nama. Kita membutuhkan sesuatu yang
konkret. Sesuatu yang bisa dilihat orang, disentuh, serta
diagung-agungkan. Nama yang tidak hanya bagus, tapi juga
punya nilai, tidak berkesan umum, dan berkarisma... aku
tahu!" Peony mengentakkan tali kendali sampai kudanya
berhenti. Shu juga menghentikan kudanya. Akhirnya
seluruh iring-iringan itu ikut berhenti di tengah jalan.
Peony mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, dan
untuk pertama kali sejak pembicaraannya dengan
Bangsawan Fong, suaminya tersenyum.
Shu memanggil seorang utusan. Untuk menghindari
kecurigaan pihak Mongol, tugas seperti itu biasanya
dilakukan oleh seorang biksu atau biksuni. Tapi kali ini tak
seorang pun dapat ditemukan.
Namun Shu dan Peony tidak resah karenanya, sebab dari
waktu ke waktu para biksu dan biksuni ini memang suka
melakukan perialanan secara terpisah. Seorang serdadu
muda terpilih menjadi utusan, kemudian dikirim Shu ke
Utara. "Pergilah ke Lembah Zamrud dan carilah Kuil Langit.
Temui seorang biksu tua bernama Welas Asih..."
Shu dan Peony masih sering menengok para biksu di
kampung halaman mereka. Naga Tanah sudah meninggal di
desa Pinus, tapi Welas Asih masih sehat dan kuat saat
terakhir mereka menemuinya.
Shu berkata, "Ajak dia ke kota Yin-tin. Jangan pancing
kecurigaan serdadu-serdadu Mongol dan hindari masalah.
Kalian harus sampai dt Yin-tin paling lambat musim semi
yang akan datang." Kemudian dengan lebih mantap ia menambahkan,
"Sementara itu, Yin-tin sudah berada di tangan kita.
Pergilah ke rumah kediaman Wali Kota Lu, dan dia akan
mengungkapkan padamu di mana kami berada."
Sinar matanya kembali murung begitu utusannya
berangkat. Pikirannya kembali beralih pada Lu, sahabatnya.
"Jangan coba-coba mengatakan yang tidak-tidak
mengenai sahabatku!" ujar Lu dengan suara bergetar saat
ia berdiri di hadapan para anggota Liga Rahasia.
"Tapi apa yang kami ungkapkan ini betul," ujar salah
seorang di antara mereka. "Selama empat belas tahun
terakhir ini, dia telah berubah menjadi monster. Dulu dia
cuma utusan yang berangasan. Tapi sekarang dia raksasa
kejam yang tak berperikemanusiaan!
Lu memunggungi teman-temannya. Semua jendela
tertutup, sementara bunga es menempel. di bagian luar
lembaran kertas minyaknya, menghalangi sinar yang
masuk. Suasana di dalam ruangan itu cukup hangat oleh api
yang menyala di beberapa tungku besi, namun udara
musim dingin masih tinggal di dalam hati Lu, sementara
pikirannya terusik oleh sikap tak simpatik para anggota
Liga Rahasia dalam menilai Shu.
Ia membalikkan tubuh untuk menghadapi mereka
kembali. "Kalian memang tak pernah menyukainya. Karena
dia selalu terus terang, kalian menjulukinya orang barbar.
Dan karena dia selalu tampil apa adanya, kalian
meremehkannya sebagai petani. Sekarang kalian
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuduhnya kejam hanya karena kalian mendengar salah
satu kabar angin yang tidak keruan."
"Tapi ini bukan kabar angin," ujar anggota liga yang lain.
"Andai kata lapisan salju tidak begitu tebal dan jalan-jalan
tidak demikian buruk, Wali Kota Phoenix yang baru sudah
akan berada di sini untuk mengungkapkannya sendiri pada
Anda. Ketika aku menggunjunginya dan dia mengatakan
padaku mengenai kedatangan Shu. Kukira dia menyembunyikan beberapa hal dariku karena Shu rupanya berhasil
meyakinkan dirinya bahwa Anda teman baiknya. Raja Yu
memang betul-betul mati dicambuk. Banyak yang bisa
mengungkapkan pada Anda bahwa itulah cara favorit Shu
untuk membunuh musuh-musuh Cina-nya. Memang aneh
sekali, dia selalu membunuh orang-orang Mongol dengan
cara cepat, tapi begitu senang menyiksa orang-orang Cina
secara perlahan-lahan."
Kata-kata itu membuat telinga Lu berdenging, kemudian
jantungnya berdebar-debar. Kepalanya pening, perutnya
mulas. Tiba-tiba seakan-akan udara di ruangan itu tidak
cukup. Ia tak dapat bernapas. Dengan terhuyung-huyung Ia
menuju jendela, kemudian mendorongnya sampai terbuka.
Rumah kediaman Lu terletak di sebuah bukit, dan
jendela ruang pertemuan itu sedikit lebih tinggi dari
tembok kebun yang mengelilinginya. Danau Angin Berbisik
dapat terlihat di kaki bukit. Jalan setapak sempit yang
menaltari danau itu tampak mulus, tanpa jejak kaki.
Tanaman honeysuckle tampak merekah di antara salju yang
berjatuhan. Bunga bunga salju beterbangan ke dalam
ruangan itu, dibawa angin yang bertiup dari Utara,
membuat udara di dalam terasa dingin dan beraroma segar.
Para anggota liga lainnya menggigil kedinginan, kemudian
merapatkan diri ke dekat tungku, namun Lu merasa lebih
tenang setelah melihat panorama alam yang indah itu.
Perasaannyajadi lebih enak.
Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata
kepada teman-temannya, tanpa mengalihkan mata dari
pemandangan indah di hadapannya. "Aku tak peduli apa
yang kalian katakan, aku ingin mendengar penjelasan Shu
dulu. Aku baru menerima sepucuk surat pendek darinya."
Sesaat ia terdiam sambil mengerutkan alis. Surat ini auh
lebih pendek dari surat-surat yang biasa diterimanya dari
Shu. Isinya tidak hanya tanpa basa-basi, tapi dalam setiap
goresan kasarnya seakan terungkap kemarahannya Di
beberapa tempat kertas merang itu tampak koyak oleh
nafsu pada saat si penulis menyapukan kuasnya. Bunyinya
sederhana sekali: Kami akan tiba di Yin-tin pada musim
semi. Lu memutuskan bahwa para anggota liga itu hanya ingin
memfitnah. Ia mengangkat bahunya yang rapuh, lalu
menambahkan, "Mudah-mudahan Shu tiba di Yin-tin
dengan selamat musim semi nanti. Istriku dan aku amat
antusias untuk berkenalan dengan istri dan keempat anak
laki-lakinya. Begitu dia sampai, aku akan mengadakan pesta besar,
dan aku akan mengundang kalian semua beserta istri-istri
kalian. Lalu akan kalian lihat sendiri Shu sama ramahnya
seperti kahan, Cuma dengan cara berbeda. Dan aku yakin,
istri-istri kalian akan mengagumi istrinya, yang tentunya
seorang wanita yang tegar sekali. Kalian akan menyesal
telah..." Lu tidak menyelesalkan kalimatnya. Ia merasa seakan
bermimpi saat melihat sekelompok biksu dan biksuni
tergesa-gesa melintasi jalan setapak yang mengitari Danau
Angin Berbisik, menuju kaki gunung.
Suasana Gunung Emas Ungu amat hening saat empat
betas biksu dan dua belas biksuni- mendakinya, kemudian
merambah hutan yang tertutup salju, lalu memanjati
tebing-tebingnya untuk mencapai Kuil Gunung Sunyi.
Mereka langsung berlutut di muka Iman Teguh, kepala para
biksu di situ. "Shih-fu yang welas asih, dengarkan apa yang
harus kami sampaikan ini."
Mereka adalah sebagian di antara para biksu yang
menguasai ilmu kungfu serta biksuni yang tergabung dalam
Serban Merah, yang pernah ikut berjuang bersama Kuo.
Mereka pernah ikut bergabung mengusir bangsa Mongol
dari desa dan kota-kota dengan melintasi daerah Utara,
terus ke arah Selatan. Tapi kekejaman Shu dan Peony
melumpuhkan semangat mereka, dan penggunaan Naga
Kobar sebagai ganti kungfu membuat mereka merasa tak
berguna. Karena faktor-faktor inilah para biksu dan biksuni
ini meninggalkan pasukan mereka secara diam-diam.
Salah satu biksu itu berkata, "Sudah lama kami berniat
meninggalkan mereka, tapi kami telah bersumpah untuk
tetap setia, dan kami jarang melanggar sumpah-sumpah
kami." Yang lain berkata, "Kami tidak hanya dikecewakan oleh
Shu dan Peony, tapi juga oleh seluruh umat manusia pada
umumnya. Kami ingin mencari sebuah kuil yang sudah
ditinggalkan di puncak gunung tinggi, lalu mengasingkan
diri kembali dari kehidupan bermasyarakat."
Salah seorang biksuni berkata, "Ketika meninggalkan
pasukan kami di Phoenix, kami sudah bersiap-siap mencari
gunung seperti itu, tapi kemudian kami sadar setidaknya
beberapa di antara kami harus mampir di kota Yin-tin dulu.
Shu dan Peony akan sampai di sini musim semi yang akan
datang. Kami membutuhkan bantuan Anda untuk
meyakinkan penduduk kota Yin-tin bahwa Shu dan Peony
tak dapat diandalkan untuk menguasal Provinsi Kiangsu.
Itulah yang sebetulnya mereka inginkan, menjadi raja dan
ratu provinsi terkaya di Cina."
Setelah menyampaikan ini, para biksu dan biksuni ini
ber-kowtow di hadapan Iman Teguh. Mereka membiarkan
dahi mereka menyentuh lantai, sambil menunggu jawaban
biksu tua itu. Lama Iman Teguh menimbang-nimbang. Ketika ia
akhirnya membuka mulutnya, suaranya sedih dan amat
rendah, "Ucapan kalian berhasil meyakinkan diriku. Aku
akan menemui Lu. Tak seorang pun mempunyai pengaruh
yang lebih besar atas penduduk Yin-tin selain dia."
34 HUJAN salju terus jatuh di suatu padang rumput di
Provinsi Kiangsi, menyelimuti tubuh-tubuh mati bergelimpangan serta tanah yang penuh darah. Dua
serdadu beringsut perlahan-lahan sambil membungkuk
dan mengorek-ngorek salju dengan tangan telanjang
mereka. Jari-jari mereka kaku kedinginan dan punggung
mereka pegal, tapi mereka tidak berani berhenti mencari.
Mereka melirik perkemahan mereka di kejauhan,
membayangkan seandainya mereka berada di dalam salah
satu tenda dan di dekat api yang hangat.
"Kenapa justru kita yang dikirim untuk tugas ini?" tanya
serdadu pertama sambil terus mencari. "Kita juga sama
capeknya seperti yang lain."
Temannya menjawab, "Aku sudah terlatih untuk
mematuhi perintah komandan kita tanpa bertanya-tanya.
Kau dan aku berada paling, dekat dengannya ketika jimat
keberuntungannya hilang." Ia menangkupkan tangan ke
dekat mulutnya, kemudian mengembuskan sedikit udara
hangat ke jari-jarinya. "Seandainya kita bisa memakai
sarung tangan. Tapi tentunya kita takkan dapat merasakan
rantai konyol itu dengan jari-jari terbungkus."
"Ssst... jangan sebut rantai itu konyol. Menurut
komandan kita, itu hadiah yang diperolehnya dari
sahabatnya." Serdadu pertama menengok ke belakangnya
dengan takut, kemudian melanjutkan pencariannya.
"Komandan kita terus marah-marah sejak kita meninggalkan Phoenix. Kau mau dicambuk sampai mati"
Sang Buddha yang Agung! Sepertinya aku menemukannya!"
serunya kemudian sambil memungut sebuah rantai emas
yang putus dengan bandul batu kemala. "Pasti ini yang
hilang saat komandan kita menghadapi orang-orang
Pedang Dahsyat!" Temannya menatap rantai pendek dan bandul hijaunya
itu, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Kelihatannya tidak
begitu berharga. Aku tak mengerti, kenapa kehilangan
benda seperti itu saja bisa membuat komandan kita
marah-marah, sampai kemenangan kita atas orang-orang
Monaol itu tak bisa membuatnya senang."
Mereka membawa rantai dan bandul itu kepada Shu,
dengan harapan sedikitnya dihargai.
"Ini hanya sebagian!" bentak si komandan. "Coba lihat
betapa pendeknya rantai ini! Bagian terpanjangnya masih
di situ! Dasar goblok!"
Ia memerintahkan kedua serdadu yang gemetar
ketakutan itu untuk pergi lagi, namun Peony menahan
mereka. "Tunggu," ujarnya, kemudian meminta rantai yang
tidak utuh itu dari Shu. Ia mengukur benda itu, lalu
tersenyum. "Para pandai besi sedang membuat sebilah
belati baru untukmu. Mereka menanyakan padaku, apakah
kau mau gagangnya dihias dengan batuan berharga atau
emas. Rantai dan bandul ini akan bagus sekali dipasang
pada gagang pisau belati itu."
Kedua serdadu itu menarik napas lega begitu Shu
tersenyum mendengar usul istrinya. Belati itu pun akhirnya
selesai. Rantai emas melingkar di gagangnya, sementara
bandul kemala berfungsi sebagai hiasan di tengah-tengah
pangkalnya. Shu menyandangnya dalam sarung kuningan
yang terikat pada sabuk pinggangnya.
Sepanjang musim dingin yang panjang itu, Shu
menggunakan belati di tangan yang satu dan golok di
tangan lain untuk memerangi bangsa Mongol yang
berkuasa maupun kelompok-kelompok pergerakan Cina
yang dianggap musuhnya. Setiap kali menang, ia
mendekatkan pisau belatinya ke mulutnya, kemudian
menyentuhkan hiasan kemalanya pada bibirnya. "Terima
kasih untuk membantuku memenangkan pertempuran ini!"
Musim semi tahun 1361 muncul di antara daun-daun
kuning kehijauan pohon-pohon yangliu. Sinar matahari
yang hangat menyinari kelopak-kelopak bunga putih
kemerahan pohon persik. Para Petarung Shu sudah berhasil
menaklukkan seluruh Provinsi Kiangsi dan sekarang
sedang memasuki Provinsi Kiangsu. Sebentar lagi mereka
tiba di pinggiran kota Yin-tin.
"Sekarang kau harus membantuku menerobos pertahanan yang melindungi Raja Kiangsu," ujar Shu
kepada belati keberuntungannya.
Raja Chen, tokoh pemimpin pergerakan terkuat di
daerah Selatan, amat dikenal karena menguasal teknik
tempur dan strategi tinggi. Anggota pasukan Chen amat
brutal dan jumlahnya banyak sekali. Setelah memenangkan
beberapa pertempuran kecil, Shu dan Peony berkemah di
luar daerah kekuasaan Chen, menunggu saat yang tepat
untuk mulai menyerang. Sementara menunggu, seorang
utusan dari Gunung Makmur muncul membawa berita
tentang Lady Kuo yang telah menggantung diri di Kuil
Bangau Putih begitu mendengar suaminya meninggal.
"Kenapa dia melakukan perbuatan sebodoh itu?" ratap
Peony. "Mestinya dia tetap hidup untuk membalas
kematian Kuo!" Shu merangkulnya. "Seorang wanita buta, tak bisa
berbuat banyak. Selain itu, Kuo merupakan satu-satunya
pelita baginya dalam hidupnya."
Mereka meratapi kematian Joy Kuo di bawah sinar bulan
musim semi, kemudian menyerang pasukan Raja Chen
begitu matahari terbit. Sebidang sawah membentang di antara tanah
pemakaman dan daerah perbukitan yang rendah itu. Pada
awal pertempuran, pasukan Chen menduduki daerah
perbukitan, sedangkan orang-orang Shu tanah pemakaman.
Sesuai aba-aba komandan mereka, Para Petarung Shu
keluar dari balik batu-batu nisan tempat persembunyian
mereka, kemudian menghambur melintasi sawah, terus
naik ke daerah perbukitan.
Karena, berada di tempat yang lebih tinggi, po sisi
pasukan Chen lebih menguntungkan. Untuk membidik Para
Petarung Shu yang berada di bawah tidaklah sulit, terutama
mengingat mereka harus berdiri diam untuk dapat
membidikkan senjata ke arah bukit. Para anggota pasukan
Chen tidak hanya amat terlatih dalam menggunakan Naga
Kobar mereka, tapi juga telah menghemat penggunaan
senjata yang amat ampuh ini hanya untuk pertempuran-pertempuraff yang berarti. Raja Chen serta,
anak buahnya bersorak-sorak setiap kali makin banyak
Petarung Shu yang ambruk ke tanah becek yang baru
diolah para. petani untuk ditanami padi.
Tidak mudah bagi Para Petarung Shu untuk mengenai
sasaran mereka yang berlindung di
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang tanaman-tanaman yangliu yang tumbuh di daerah
perbukitan itu. Shu dan Peony tetap tinggal di belakang dua
batu nisan terbesar, mengawast anak buah mereka
menembak tanpa mengenai seorang pun. Dalam keadaan
marah, Shu menaikkan tangannya untuk memberi aba-aba
agar lebih banyak orang lagi turun ke padang itu, tapi
Peony menahannya. "Bukit itu takkan dapat dikuasai dengan cara ini,"
ujarnya. "Kita harus menggunakan strategi lain. Kita harus
kembali ke markas. Aku punya gagasan."
Begitu kembali ke markas, Peony meraih belati Shu,
kemudian memerintahkan seorang serdadu untuk menyerahkan bajunya kepadanya. Peony memotong bagian
lengan baju itu, lalu mengisinya dengan bahan peledak.
Sebelum mengikat ujung-ujungnya, ia meletakkan sebuah
sumbu di dalamnya. "Bawa ini berkeliling, dan pakai
sebagai contoh," ujarnya pada serdadu ltu. "Katakan pada
semua untuk membuatnya dengan baju mereka, dan
kerjakan secepat mungkin!"
Dalam waktu singkat perintah Peony selesai dilaksanakan. Para Petarung Shu kembali ke tanah
pemakaman itu, mengenakan baju-baju tanpa lengan.
Plhak musuh di atas bukit melihat lawan mereka
menarik diri. Mereka sedang saling memberikan selamat
saat melihat anak buah Shu muncul kembali di tanah
pemakaman itu, kemudian berlari-lari melintasi sawah.
Tapi kali ini Para Petarung Shu tidak berhenti untuk
membidikkan Naga Kobar mereka, sehingga tak mudah
bagi orang-orang Chen untuk menembaki sasaran mereka
yang terus bergerak. Hampir semua anggota Petarung Shu
berhasil mencapai kaki bukit tanpa cedera. Kemudian
mereka menyalakan sumbu. Mereka mengayun-ayunkan
kantong-kantong kecil yang berat itu di atas kepala untuk
mengumpulkan kekuatan, lalu melemparkannya ke atas
bukit. Kantong-kantong itu meledak begitu menyentuh
tanah. Dampaknya cukup kuat untuk membobolkan garis
pertahanan musuh. Para Petarung Shu terus maju menaiki bukit, sambil
melempari musuh dengan bom-bom mereka, sehingga
dalam waktu singkat bukit itu menjadi gundukan
bergelimang darah, penuh pohon-pohon rusak dan mayat
manusia. "Mundur!" perintah Raja Chen kepada orang-orangnya.
"Maju!" seru Shu.
Di sisi lain bukit itu terdapat kebun persik yang sedang
berbunga. Orang-orang Shu berhasil menyusul pasukan
Chen di situ. Bunga-bunga berjatuhan di atas mereka,
sementara mereka mempertaruhkan nyawa di bawah
ranting-rantingnya. Helai-helai bunga putih dan merah
muda menyelimuti tubuh-tubuh mereka yang roboh.
Shu dan Peony telah melatih anak buah mereka dengan
baik, tapi para anggota pasukan Chen pun tak kalah hebat.
Untuk pertama kalinya Shu dan Peony merasa kehilangan
para biksu ahll kungfu dan biksuni yang tergabung dalam
Serban Merah mereka. Secara bertahap kekuatan Chen terpaksa mundur,
sedangkan kekuatan Shu terus maju. Mereka berada di
pihak yang menang, namun harga kemenangan itu tinggi
sekali, sedangkan tanah yang berhasil mereka rebut
tidaklah banyak. Menjelang siang, Shu dan Raja Chen mendapati diri
mereka berhadapan di salah satu pojok kebun persik itu.
Shu menggenggam sebilah golok, Chen sebatang tombak
panjang. Setelah memainkan beberapa jurus, Shu yakin
musuhnya menguasai kungfu yang berasal dari Kuil Gaung
Sunyi. Duel itu berlangsung bak dua penari sedang berlatih
dalam harmoni yang serasi. Kemudian tiba-tiba Shu
mengubah tekniknya. Sekelebat ia tetingat kembali pada masa lampaunya,
bagaimana ia belajar dari para biksu di berbagai kuil, lalu
menciptakan gaya kungfunya yang unik. Ia menerapkan
gayanya yang baru ini, kemudian dengan mudah menepis
tombak panjang dari tangan Chen. Ia mendesak Chen ke
salah satu batang pohon persik yang sudah mati tapi masih
berdiri. Shu tak punya waktu untuk menylksa musuhnya itu. Ia
masih harus memimpin anak buahnya ke Yin-tin. Ia
meletakkan pedangnya di tanah, kemudian menarik
belatinya dari sarungnya.
Ia mengayun-ayunkan belatinya di hadapan Chen. "Siapa
yang memberimu uang untuk membuat Naga Kobar?"
tanyanya. Chen tertawa sinis. "Kau takkan tahu."
Sinar matahari menerobos melalui daun-daun pohon
persik yang tinggi di sekitar mereka, membiaskan
bayangan ke atas wajah Chen. Shu menurunkan belatinya
tanpa terburu-buru, sampai akhirnya ke bagian bawah
perut Chen. Jeritan kesakitan berkumandang di tanah perkebunan
itu, begitu kuatnya, sehingga lebih banyak helai-helai bunga
persik berguguran di tanah. Shu membersihkan darah dari
belatinya, kemudian mengecup kepingan batu kemala di
pangkalnya. Sementara rombongan Para Petarung Shu semakin dekat
ke kota Yin-tin, Peony melambatkan langkah kudanya.
Perhatiannya teralih pada kolam-kolam teratai di kedua sisi
jalan pinggiran kota itu.
Daun-daunnya yang, lebar mengingatkan akan piring-piting lebar dari batu kemala, dan setiap kuntum
bunga bertangkai panjang besarnya seperti kepala bayi.
Aromanya lembut, tapi cukup kuat untuk menebar ke
sekitarnya. Anak-anak gadis dengan pakaian petani berdiri
dalam perahu-perahu kecil sambil mendorong dengan
batang-batang bambu panjang, mengarungi kolam teratai
itu. "Rupanya penduduk Yin-tin betul-betul makmur. Bahkan
petani punya waktu untuk bermain-main," ujar Peony
sambil menunjuk ke arah gadis-gadis itu.
Shu, yang menunggang kuda di sampingnya, mengungkapkan kepadanya bahwa anak-anak gadis itu
tidak sedang bermain-main, melainkan mencari biji teratai.
"Orang-orang kaya percaya bahwa dengan memakan biji
ini, mereka bisa sampai di Negeri Teratai. "
"Di manakah Negeri Teratai itu?"
Shu menunjuk denuan jarinya ke arah langit. "Teratai
adalah simbol kebahagiaan abadi bagi orang-orang Selatan.
Negeri Teratai adalah nama lain bagi mereka untuk
nirwana." Peony menggeleng-gelengkan kepala perlahan-lahan,
begitu teringat cara Shu membunuh Raja Chen. "Kalau
nirwana itu memang betul-betul ada, kau dan aku takkan
pernah sampai ke sana." Ia menarik napas dalam-dalam,
menghlrup udara yang harum, lalu berkata, "Tapi bila aku
bisa hidup di tempat secantik ini, aku sudah menemukan
kebahagaan abadi di dunia. Bagiku ini tempat terindah
yang pernah kulihat."
"Kita akan menetap di Yin-tin begitu kita sudah
memenangkan semua pertempuran kita," ujar Shu sambil
meraih tangan Peony, lalu meremasnya.
"Negeri Teratai..." ulang Peony sambil mengangguk.
Kemudian ia berpaling untuk melihat ke arah barisan
panjang di belakangnya. Suatu gagasan melintas di
kepalanya. Hari sudah menjelang sore dan mereka sedang
menelusuri tepi Sungai Yangtze ketika tiba-tiba mereka
berhadap-hadapan dengan pasukan Pedang Dahsyat.
Orang-orang Mongol itu memang sudah menantikan
kedatangan mereka di sepanjang tepi sungai itu. Para
serdadu itu terbagi dalam dua kelompok, yang pertama
bersenjatakan Tangan Maut, yang lain busur dan anak
panah. Melihat musuh mengendaral kuda, sementara pasukannya sendirl berjalan kaki, Shu memutuskan ia
harus mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh posisi
kurang menguntungkan im lebih dulu. Ia mengumpulkan
para pesilat kungfunya, lalu mengatakan apa yang harus
mereka perbuat. Sesudah itu orang-orang ini mulai
merayap di atas perut mereka, seperti ular.
Masing-masing membawa sebilah pedang dengan
menggigitnya, lalu merayap dengan kepala tegak ke arah
orang-orang Mongol itu. Beberapa di antara mereka mati
sebelum mencapai musuh, tapi dengan merayap mereka
jadi lebih sulit dikenai, sehingga kebanyakan akhirnya
berhasil menerobos garis pertahanan musuh.
Mereka langsung berdiri, kemudian mengayunkan
pedang ke arah kaki kuda-kuda. Orang-orang Mongol itu
tiba-tiba berjatuhan dari tunggangan mereka. Setelah
menyelesaikan tugasnya, para pesilat kungfu itu melompat
ke dalam Sungai Yangtze, dan berenang kembali ke garis
pertahanan mereka sendiri.
"Tembak!" perintah Shu begitu para pesilatnya sudah
berada di luar jangkauan peluru musuh.
Sementara berusaha membebaskan dirl dari tindihan
kuda-kuda mereka yang sekarat, orang-orang Monaol itu
kemudian menjadi target empuk untuk anggota pasukan
Naga Kobar. Anak buah Shu terus menembak sampai para
pesilat mereka naik ke darat dengan selamat.
"Maju!" teriak Shu, sambil memacu kudanya.
Peony berderap mendampingi suaminya, dan di
belakang mereka seluruh pasukan ikut bergerak maju. Para
pemanah, ahli pedang, dan pesilat kungfu yang basah
kuyup semua berteriak pada saat bersamaan, "Bunuh!
Bunuh! Bunuh!" Pertempuran itu berlangsung dari siang sampai
menjelang mataharl terbenam. Akhirnya Pedang Dahsyat
muncul di baris belakang sisa pasukannya. Wajah tampan
panglima jenderal itu tampak tidak keruan karena marah,
mengingat orang-orang Mongol amat mencintal kuda-kuda
mereka. Binatang-binatang suci itu mereka anggap
sambungan kaki mereka sendiri. Sebetulnya kuda jantan
hitam Pedang Dahsyat tidak cedera, namun melihat begitu
banyak kuda lain sekarat kesakitan, ia benar-benar menjadi
mata gelap. Pedang Dahsyat menatap Shu dengan pandangan
berapi-api, kemudian mengalihkan matanya ke arah Peony.
Bahkan orang-orang Mongol pernah mendengar mengenai
wanita Cina jangkung yang ikut berjuang mendampingi
suaminya itu. Si panglima jenderal mengalihkan perhatiannya kembali kepada Shu, kemudian tertawa
dingin. "Kau sudah membunuh kuda-kuda kami, sekarang aku
akan membunuh istrimu!" serunya dalam bahasanya
sambil berderap cepat ke arah pasangan Shu itu.
Shu tidak mengertii ucapan Pedang Dahsyat. Ia langsung
memacu kudanya untuk menyambut musuhnya dan
meninggalkan Peony di belakangnya. Shu dan Pedang
Dahsyat segera menerobos ajang pertempuran, melewati
serdadu-serdadu mereka, siap berduel.
Shu mencacungkan goloknya di satu tangan, belatinya di
tangan lain. Sudah lama ia menanti-nantikan saat ini.
Namun tiba-tiba, Pedang Dahsyat mengubah haluan. Ia
menggiring kudanya keluar dari jangkauan Shu, lalu
mengarahkannya ke Peony. "Tidak, tidak bisa! Bajingan!" teriak Shu begitu
menyadari apa yang sedang dilakukan oleh Pedang
Dahsyat. Ia langsung menarik tali kendalinya kuat-kuat
untuk menghentikan kudanya, lalu memutarnya ke arah
berlawanan. Tapi pada saat itu juga ia melihat jarak antara
Pedang Dahsyat dan Peony sudah tinggal beberapa meter
lagi. Shu tahu Peony bukan tandingan Pedang Dahsyat. Ia
sadar bahwa ia tidak akan sempat sampai di sana untuk
menyelamatkan istrinya. Hatinya tiba-tiba menciut, rasa
sakitnya jauh lebih menyengat daripada cambuk yang
pernah dihunjamkan oleh Wan. "Tidak!" jeritnya sambil
memacu kudanya ke arah mereka.
Sementara itu Peony sudah menghentikan kudanya dan
sedang menantikan serangan Pedang Dahsyat. Sama seperti
Shu, ia menggenggam sebilah pedang di tangan yang satu
dan belati di tangan lain. Ia tidak bergerak sampai Pedang
Dahsyat berada dalam jangkauannya. Sambil memusatkan
seluruh perhatian pada laki-laki itu, ia membentgnakan
kedua lengannya dengan gemulai tapi mantap, bak burung
bangau yang tiba-tiba merentangkan sayap-sayapnya yang
kuat. Belatinya melayang, kemudian menembus lengan kiri
Pedang Dahsyat, sementara ujung pedangnya melukai si
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panglima jenderal di dahinya.
Goresannya tidak dalam, namun darah mengucur dari
lukanya ke dalam mata si panglima jenderal. Pedang
Dahsyat panik. Ia mengusap matanya agar dapat melihat
lebih jelas, kemudian melihat belati di lengannya. Ia mulai
merasakan rasa sakit akibat hunjaman itu. Sesaat kudanya
berputar-putar di tempat, sampai hingga akhirnya ia
melihat matahari yang sedang terbenam di sebelah kirinya.
"Mundur!" teriaknya sambil memberi aba-aba pada
orang-orangnya untuk mengikutinya ke arah utara.
Para Petarung Shu yang sudah kecapekan setelah
bertarung dua kali dalam sehari itu tidak melanjutkan
perjalanan mereka lagi. Keesokan paginya, wakil komandan pasukan Shu
memimpin para anak buahnya memasuki kota. Yin-tin,
sementara komandan mereka beserta nyonyanya tetap
tinggal di tenda. Peony ragu-ragu mereka tidak ikut. "Kita selalu terjun
bersama mereka. Apa kau yakin mereka dapat mengambil
alih Yin-tin tanpa kita?" tanyanya sambil menatap makanan
yang tersaji tanpa selera.
Shu mengisi dua cangkir dengan arak. "Tanpa Pedang
Dahsyat beserta orang-orangnya, bahkan anak kecil pun
dapat mengambil alih Yin-tin. Gubernur Mongol itu
paling-paling cuma punya segelintir serdadu," ujarnya
sambil menyerahkan satu cangkir kepada Peony, lalu
mengangkat yang lain untuk dirinya sendiri. "Aku tak bisa
menghadapi musuh pada saat ini, aku tak bisa membiarkan
kau lepas dari mataku. Aku sangat terguncang begitu
terlintas di kepalaku bajingan Mongol itu berniat
membunuhmu. Aku masih belum pulih sekarang."
Kemudian ia tersenyum bangga pada Peony. "Apa yang
kaulakukan terhadap Pedang Dahsyat betul-betul luar
biasa. Aku takkan dapat melakukannya dengan lebih baik."
Peony tersenyum. "Itu termasuk salah satu gerakan
tersulit dalam jurus tai chi. Namanya jurus bangau putih
mengembangkan sayap. Kita pernah mempraktekkannya
bersama-sama. Kauingat" Ketika kita baru menikah, saat
kita menelusuri Sungai Kuning."
Shu mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi. "Untuk
kebersamaan kita. Mudah-mudahan kita tak pernah
berpisah lagi, baik di dunia maupun kelak di surga." Ia
mengosongkan isi cangkirnya.
"Kau tak menyebut apa-apa mengenai neraka." Peony
mereguk araknya lalu tertawa. "Apa yang membuatmu
begitu yakin kita takkan ke sana?"
Shu menggeleng-gelengkan kepala dengan mantap.
"Kalau sang Buddha memang tidak ada, tak ada yang peduli
mengenai apa yang kita lakukan di buml ini. Tapi kalau
sang Buddha memang ada, tentunya dia tidak buta. Dia
pasti bisa melihat apa yang kita lakukan sama sekali tidak
salah." "Sama sekali tidak salah?" Kali ini giliran Peony mengisi
cangkir suaminya. Arak merah itu mengingatkan dirinya
akan darah sekian banyak musuh mereka.
"Ya!" Shu mereguk araknya, lalu berkata dengan suara
keras, "Kita cuma dua anak manusia miskin yang ingin
hidup damai. Nasib memaksa kita menjadi seperti ini.
Nasiblah yang memaksaku membenci orang-orang Cina dan
Mongol itu. Seandainya nasib lebih ramah terhadap kita,
kau dan aku takkan pernah perlu membunuh siapa pun."
Shu dan Peony makan-makan dan minum-minum,
kemudian menurunkan permadani penutup tenda. Mereka
bercinta dengan penuh nafsu, lalu tertidur dalam pelukan
masing-masing sampai wakil komandan pasukan mereka
kembali bersama para anak buahnya.
"Semua instruksi Anda sudah dilaksanakan," lapornya.
"Kami sudah menaklukkan Yin-tin. Seluruh Provinsi
Kiangsu sekarang bebas dari kekuasaan orang-orang
Mongol. Gubernur Mongol sudah dipenggal kepalanya.
Kaum kerabatnya sudah dibunuh atau diusir keluar dari
rumah kediamannya. Lemari besinya sudah dibongkar, dan
seluruh isinya dimuat ke dalam gerobak."
Wakil komandan itu menunjuk sebuah gerobak di luar
tenda. "Kekayaan Gubernur sekarang milik Anda, dan
rumah kediamannya sedang menantikan kedatangan Anda.
Wali Kota Lu sedang memasuki tandunya saat aku
memberitahunya bahwa Anda ada di sini. Tentunya dia
sudah dalam perjalanan untuk menyambut Anda, dan akan
sampai sebentar lagi."
35 "KENAPA Lu belum juga sampai di sini?" tanya Peony tak
sabar. Shu dan Peony sudah menunggu lama sekali, namun
yang mereka nanti-nantikan tak juga datang.
"Ayo, sambil menunggu, kita sembunyikan uang
Gubernur Mongol!" ajak Shu. Seperti Peony, ia juga tidak
betah duduk diam dan tidak melakukan apa-apa.
Kepingan-kepingan perak dan emas dibongkar dari
gerobak, lalu dikubur di bawah tenda komandan pasukan.
Shu dan Peony menggali sebuah lubang yang dalam,
sehingga mereka berkeringat dan pakaian baru yang sudah
mereka seleksi sebelumnya dengan cermat menjadi kotor.
Shu memerintah anak buahnya, "Selama kita di Yin-tin,
kalian boleh berkeliaran dengan bebas di kota sepanjang
hari. Tapi semua harus kembali ke sini pada waktu malam,
untuk menjaga perkemahan ini dan terutama tendaku." Shu
menjelaskan kepada orang-orangnya bahwa mereka
membutuhkan uang di bawah tendanya untuk memberi
makan mereka semua beserta keluarga-keluarga mereka,
dan untuk membeli bahan peledak pengisi Naga Kobar.
"Tapi uang ini sebetulnya belum cukup. Kita masih
membutuhkan banyak untuk membuat Kantong-kantong
Api dan Naga Api. Untuk itu aku mengandalkan dukungan
dana dari Wali Kota Yin-tin dan teman-temannya yang
kaya." "Wali Kota Yin-tin tiba!" seru para serdadu.
"Sobatku!" seru Shu sambil menyongsong Lu lalu
memeluknya kuat-kuat. "Sudah begitu lama!"
"Terlalu lama..." Lu menggerenyit kesakitan dalam
pelukan Shu. "Begitu banyak yang harus kita bicarakan."
"Ini istri dan teman seperjuanganku, Peony," ujar Shu
bangga. Mengikuti contoh yang diberikan suaminya, Peony juga
langsung merangkul Lu. "Terima kasih, kau telah
menyelamatkan nyawa Shu lima belas tahun yang lalu!
Entah kenapa aku selalu membayangkan kau lebih kekar
dari ini!" Pelukan Peony membuat wajah Lu merah padam.
"Merupakan kehormatan bagiku berkenalan dengan Anda,
Lady Shu," gumamnya sambil membungkukkan tubuh.
Ia berpaling ke arah Shu, lalu berkata, "Bagaimana kalau
kita duduk-duduk di tendamu untuk berbincang-bincang"
Ada beberapa hal yang perlu kutanyakan dan kusampaikan
padamu." Shu mendorong Lu kembali ke tandunya.
"Bagaimana kalau kita berbicara dalam perjalanan kita
ke Yin-tin?" "T-tapi..." Lu berpaling dari Shu ke Peony. Ia ingin
mengatakan bahwa mereka tidak cocok untuk tampil di
muka umum dengan pakaian yang mereka kenakan, namun
ia tak ingin menyinggung perasaan mereka.
Pohon-pohon yangliu menaungi jalan yang membentang
dari bagian timur kota Yin-tin ke arah barat. Orang-orang
berteduh di bawahnya, menanti kesempatan untuk dapat
melihat sekilas penampilan Shu dan Peony. Mereka sudah
mendengar banyak mengenai keduanya, dan sekarang ingin
melihat pasangan itu dengan mata kepala sendiri.
Sekali lagi Peony menolak disekap di tandu tertutup.
Iring-iringan itu memasuki Yin-tin dengan tandu terbuka
milik Lu di tengah-tengah, dan pasangan Shu mengendarai
kuda perlahan-lahan di masing-masing sisinya. Di belakang
mereka putra-putra keluarga Shu bersama pengasuh-pengasuh mereka naik gerobak, sementara
beberapa anak buah Shu dan beberapa pelayan Wali Kota
berjalan kaki. Para Petarung Shu yang lain beserta wakil
komandan mereka tetap tinggal di perkemahan.
Shu dan Peony menunggang kuda mereka dengan penuh
percaya diri. Karena pengalaman yang kurang menyenangkan di kota Phoenix, kali ini mereka betul-betul
berusaha tampil sebaik-baiknya. Shu telah menyisir
rambutnya serta merapikan jenggotnya, sesuatu yang
jarang sekali ia lakukan. Meskipun udara di musim semi itu
panas, ia mengenakan pakaian yang dilucutinya dari tubuh
seorang Mongol yang sudah mati - stola merah dengan
pinggiran bulu binatang berwarna putih. BuIu-bulu itu
sudah sedikit kotor dan stolanya penuh bercak darah,
namun Shu yakin itu takkan kelihatan. Namun bulu-bulu
yang melingkar di sekitar kerahnya membuat lehernya
gatal. Karenanya ia menarik turun bagian itu, sehingga bulu
hitam lebat yang menutupi dadanya pun tersingkap.
Peony mengenakan sehelai jubah berwarna hijau batu
kemala, yang semula juga milik perwira Mongol. Di bagian
punggungnya terdapat sulaman naga berwarna emas. Jubah
itu merupakan favofitnya, dan hanya dikenakan untuk
peristiwa-peristiwa khusus. Bagian kaki celana panjang
cokelatnya tersisip ke dalam sepatu bot kulit terbaiknya. Ia
mengepang rambutnya menggunakan beberapa ranting
pohon yangliu, lalu menatanya dalam bentuk mahkota. Di
atas mahkota itu disematkan sekuntum teratai merah yang
baru dipetik dari kolam. Menjelang memasuki kota, Shu dan Peony berharap
akan mendengar, "Kedua pahlawan kita tampil betul-betul
hebat! Mereka sungguh-sungguh pasangan luar biasa!
Mereka sesuai dengan bayangan raja dan ratu provinsi
yang kita harapkan!" Namun begitu memasuki kota, hampir
semua wajah kepucatan di situ mengekspresikan hal yang
sama - ketertegunan. Untuk sesaat Shu dan Peony mengira penampilan
mereka lebih hebat dari yang diharapkan penduduk. Tapi
kemudian angin semilir musim semi membawa kata-kata
berikut ke telinga mereka.
"Rupa Shu persis orang barbar! Wajahnya menjijikkan
dan ukuran tubuhnya mengerikan! Aku bisa mencium bau
kotoran dan darah di tangannya! "
"Peony Shu adalah wanita Cina pertama yang pernah
naik kuda! Berani-beraninya dia duduk mengangkang
seperti itu dengan pakaian laki-laki. Coba lihat kakinya
yang besar! Dan betapa konyolnya memakai teratai sebesar
itu di kepalanya!" Shu dan Peony menoleh ke arah pencela mereka tepat
pada waktunya untuk melihat bagaimana mereka
mengalihkan mata ke arah Lu. Perubahan ekspresi di wajah
mereka nyata, sementara komentar mereka pun jelas dan
cukup keras. "Nah, ini baru pahlawan kita! Wali Kota Lu telah
melindungi kita dari cengkeraman orang-orang Mongol
sekian lama, dan sekarang dia dapat melakukan lebih
banyak lagi, mengingat orang-orang Mongol itu sudah
pergi. Mungkin dia bisa menjadi Gubernur kita yang
berikutnya, atau malah Raja Kiangsu!"
Tak lama kemudian terdengar teriakan-teriakan yang
memenuhi seluruh jalan dari ujung ke ujung. "Gubernur Lu!
Raja Lu! Gubernur Lu! Raja Lu!"
Peony merenggut teratai di rambutnya, lalu mencampakkannya ke tanah. Tatanan rambutnya lepas,
sehingga jalinan kepangnya pun mengayun bebas, seakan
sibuk. menyapu punggung kudanya. Tandu Lu sekarang
tampak. seperti memimpin barisan itu, Peony dan Shu agak
di belakang mengiringinya. Situasi ini membuat mereka
merasa seakan mereka pengawal Lu, sementara ia majikan
mereka. Peony berkata kepada suaminya, "Temanmu itu
seharusnya sudah mempersiapkan kita menghadapi ini.
Seharusnya dia memberitahu kita bahwa penduduk kota
Yin-tin ini picik dan tidak tahu apa-apa tentang selera."
"Pasti ini bukan salah Lu," ujar Shu, membela
sahabatnya. "Dia pasti tidak menyangka sama sekali ini
akan terjadi." Peony tidak sependapat dengannya. "Yah, tapi
setidaknya dia tahu pakaian apa yang dianggap pantas oleh
orang-orang picik yang tampangnya penyakitan ini. Kalau
dia memang mau kita tampil baik di depan mereka,
tentunya sewaktu melihat dandanan kita, dia akan meminta
kita menggantinya." Lu menoleh ke belakang. Hanya dengan sekali melihat
ekspresi di wajah Shu dan Peony ia sudah tahu perasaan
mereka. Lu juga mendengar komentar penduduk. Ia amat
malu melihat cara penduduk Yin-tin memperlakukan
pasangan Shu itu. Seandainya ia meminta mereka berganti
pakaian tadi, tapi ia tak dapat melakukan apa-apa sekarang
untuk. memperbaiki kesalahan itu.
Sambil melanjutkan perialanan, Shu dan Peony terus
berdebat. Peony bersikeras bahwa Lu memang ingin
mereka tampil kurang menguntungkan, supaya ia tampak
baik. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga Shu.
Bibit keraguan mengenai ketulusan sahabatnya mulai
tumbuh. Begitu sampai di kaki bukit Gunung Emas Ungu, para
anggota pasukan Shu melanjutkan perjalanan ke puncak
bukit, untuk mempersiapkan rumah kediaman Gubernur
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagi penghuni barunya. Shu, Peony, dan anak-anak mereka
membelok bersama Lu, menelusuri Danau Angin Berbisik,
menuju rumah kediaman keluarga Lu.
"Ada pesta di rumahmu?" tanya Shu, sambil menunjuk ke
arah sekian banyak tandu tertutup di muka rumah itu.
Lu tersenyum. "Betul, pesta terbesar yang pernah
kuselenggarakan. Aku telah mengundang semua cendekiawan serta seluruh kalangan elite Yin-tin.
Keluarga-keluarga mereka juga hadir." Ia berhenti
sebentar, lalu dengan nada tulus berkata, "Jangan kalian
hiraukan apa yang telah kalian dengar di jalanan tadi.
Mereka cuma para petani yang tidak tahu aturan. Aku
berani menjamin kalian akan diterima dengan cara yang
sama sekali berbeda oleh teman-temanku yang lebih
terdidik." Hati Shu dan Peony lebih senang mendengar ini. Peony
memeriksa dirinya, kemudian menatap Shu. Pakaian
mereka basah kuyup oleh keringat, dan wajah mereka
merah karena kepanasan. "Apakah tidak lebih baik kita
mandi dulu dan berganti pakaian, lalu baru muncul di pesta
itu?" tanyanya sedikit ragu-ragu.
Lu tersenyum penuh keyakinan. "Tamu-tamuku seperti
aku. Mereka akan menilai kalian sebagaimana adanya,
bukan berdasarkan apa yang kalian kenakan."
Sementara Peony masih belum begitu mantap, Shu turun
dari kudanya. Sambil mengentakkan kepala ke belakang, ia
menjawab tegas, "Apa yang dikatakan Lu itu betul. Kita ini
adalah kita sebagaimana adanya. Biarkan penduduk Yin-tin
menyesuaikan diri dengan selera kita, daripada kita
mengubah kepribadian kita untuk mereka."
"Kau benar!" ujar Peony, yang kemudian ikut turun dari
kudanya. Sambil bergandengan tangan, mereka memasuki
rumah itu. Kepala mereka tegak.
Lotus sedang menantl mereka di ruang masuk, bersama
ibu dan ibu mertuanya. Mereka melangkah dituntun oleh
para pelayan, kemudian membungkuk dalam-dalam ke
arah kedua tamu kehormatan itu. Dengan sopan mereka
mengalihkan mata dari tangan Shu dan Peony yang masih
bergandengan. Mereka belum pernah melihat pasangan
suami-istri bergandengan tangan di muka umum
sebelumnya. "Selamat datang di rumah kediaman kami yang
sederhana," ujar Lotus, diikuti oleh kedua wanita yang lebih
tua. Ketiga nyonya serta para pelayan mereka tetap
membungkuk, karena sesuai dengan tata krama yang
berlaku, mereka tak boleh berdiri tegak sebelum tamu
mereka balas membungkuk. Tradisi menuntut tamu harus
membungkuk lebih dalam dari empunya rumah.
Shu dan Peony yang sibuk mengagumi omamen-ornamen indah di ruangan itu, akhirnya melihat
wanita-wanita yang masih membungkuk itu. Mereka
mengangguk sekadarnya. Lotus menegakkan tubuh. Ia masih ingat kelakuan Shu
lima belas tahun yang lalu, dan karenanya tidak
tersinggung. Meskipun penampilan dan kelakuan Peony
amat mengejutkannya, tata krama yang sudah ditanamkan
dalam dirinya sejak ia kecil membuatnya dapat
menyembunyikan ketercengangannya.
Lady Lu dan Lady Lin, di lain pihak, benar-benar
tertegun oleh apa yang mereka saksikan. Selain itu mereka
juga menganggap tamu-tamu ini amat angkuh. Mereka
tersinggung dan langsung bersikap antipati terhadap Shu
dan Peony. Bayi-bayi Shu serta para pengasuh mereka langsung
diantar ke ruang balita. Kedua anak laki-laki yang lebih
besar digiring ke tempat bermain, untuk bergabung dengan
anak-anak seusia mereka. Lu membawa Shu ke ruang tamu
utama, tempat semua tamu laki-laki menunggu. Lotus
mengajak Peony ke ruang dalam untuk diperkenaikan
kepada nyonya-nyonya terhormat lainnya.
Di ruang dalam, tak seorang pun di antara nyonya-nyonya Selatan itu berusaha menyembunyikan
ketercengangan mereka seperti yang dilakukan Lotus.
Dengan melongo mereka menatap pakaian dan sepatu bot
Peony, kakinya yang besar dan tangan-tangannya yang
kasar, rambutnya yang tidak tertata; serta wajahnya yang
sama sekali tak berbedak.
Ketika Peony meraih cangkir tehnya dan mereguk isinya
sekaligus kemudian mengecap-ngecapkan bibir, mereka
menahan napas. Ketika ia duduk, mula-mula, dengan
menyilangkan kaki-kakinya yang panjang, lalu ke posisi
yang lebih santai dengan lutut direnggangkan, mereka
melotot. Ketika ia mencomot sebuah bakpao manis dengan
tangannya, langsung menggigit setengahnya untuk
kemudian mengunyahnya dengan mulut terbuka, mereka
menggelenggelengkan kepala.
Karena Peony tak suka melihat biji wijen yang
ditaburkan di atas bakpao itu tersia-sia, ia membasahi
ujung jarinya dengan lidah, lalu menekan-nekan dasar
piring porselen itu dengan jari-jarinya, untuk memunguti
biji-biji itu. Ia menaikkan kakinya ke atas sebuah meja
rendah, lalu menyandarkan punggung sambil menjilati
jani-jarinya dan mempelajari penampilan wanita-wanita
yang lain. Pakaian mereka yang berlembar-lembar membuat
mereka tampak seperti vas bunga bundar. Kaki mereka
yang dibebat sebagai dasarnya yang mungil membuat
vas-vas itu tampak lucu dan tidak seimbang. Wajah mereka
dibedaki begitu tebal, sehingga tanpa memedulikan usia,
sekitar mulut, mata, dan dahi mereka tampak retak-retak.
Di setiap pipi yang diberi perona ada dua lingkaran merah,
dan sebuah titik merah terang di tengah setiap mulut yang
dibentuk oleh sapuan kuas. Mereka tampak lucu
dibandingkan dengan nyonya-nyonya daerah Utara yang
punya cara berpakaian berbeda dan biasanya tidak
menggunakan banyak makeup.
Mereka membebat cangkir teh mereka dengan
saputangan sutra, serta mengangkat cangkir itu dengan dua
tangan, seakan benda-benda porselen itu berat sekali.
Mereka menguncupkan bibir untuk meniup teh perlahan-lahan, kemudian menghirupnya tak lebih dari
beberapa tetes. Setelah meletakkan cangkir, mereka duduk
dengan lutut menempel dan tangan terlipat di pangkuan.
Mereka menggunakan sumpit untuk membelah bakpao
menjadi potongan-potongan kecil, dan hanya memasukkan
satu potong sekali suap. Mereka mengunyah potongan itu
lama sekali, dan saat melakukannya, bibir mereka tertutup
rapat-rapat, seakan takut bakpao itu tiba-tiba bernyawa,
lalu terbang keluar dari mulut mereka.
Peony mengelap mulutnya dengan punggung tangan,
mengambil sebuah bakpao manis lain, kemudian
melahapnya dengan nikmat. Ia melirik
ke arah nyonya-nyonya yang sok anggun itu, talu tertawa
terpingkal-pingkal, begitu serunya sampai remah-remah
bakpaonya menyembur ke luar mulutnya. Remah-remah
yang basah ini kemudian mendarat di atas nyonya-nyonya
sopan itu. Peony mengawasi ekspresi mereka, lalu tertawa
terbahak-bahak. Di salah satu sisi ruang bangsal utama itu, dua kursi
ditempatkan bersebelahan. Lu berdiri meninggalkan
kursinya, kemudian memperkenalkan Shu kepada mereka
yang belum pernah bertemu dengannya.
"Sahabatku ini... telah membebaskan kita dari
cengkeraman bangsa Mongol di lima provinsi..." ujar Lu
dengan penuh emosi, sehingga suaranya bergetar,
kemudian ia melanjutkan kata-kata sambutannya.
Shu mengawasi ruangan yang penuh orang itu.
Ekspresi mereka mengungkapkan bahwa mereka tidak
menilainya lebih dari para petani tadi. Dan sama halnya
dengan para petani itu, mereka juga amat mengagumi Lu.
Perbandingan itu amat menyakitkan. Shu mencoba
meyakinkan diri bahwa pendapat orang-orang ini sama
tidak pentingnya seperti pendapat para petani tadi, namun
hatinya masih tetap sakit. Sulit baginya mempercayai
bahwa Lu tidak melakukan ini dengan sengaja. Apa yang
dikatakan Peony tadi pasti tidak keliru, Lu ingin membuat
Komandan Shu tampak buruk, agar ia sendiri tampak lebih
cemerlang. Sambil melayangkan mata ke arah tamu-tamu Lu,
kekesalannya semakin menjadi-jadi. Orang-orang ini tak
pernah perlu bekerja untuk mendapatkan sekeping uang
tembaga. Kekayaan yang mereka peroleh diturunkan ke
tangan mereka dari generasi ke generasi. Kebanyakan di
antara mereka tuan tanah. Salah seorang leluhur mereka
pernah melakukan sesuatu, entah apa, untuk salah seorang
kaisar, lalu sebagai imbalan ia memperoleh beberapa ribu
ekar tanah. Keturunannya kemudian hidup dari darah dan
keringat para penyewanya. Beberapa kemudian menjadi
lintah darat. Suku bunga tahunan yang mereka kenakan
adalah seratus persen. Kalau seseorang meminjam
sekeping uang tembaga dari mereka, sepuluh tahun
kemudian utangnya akan menjadi 1.024 keping.
Perhatian Shu beralih ke arah Kaum cendekiawan. Ia
mengernyitkan wajah. Ia mengibaratkan. masa-masa berat
seperti sungai yang bergolak, dan para tukang mimpi ini
seperti tukang perahu yang terombang-ambing. Orang-orang ini akan melemparkan diri sendiri serta
orang-orang yang mereka sayangi keluar dari perahu itu,
bukan melemparkan standar-standar etis mereka. Kalau
nasib menempatkan mereka dalam situasi seperti yang
dihadapi dirinya dan Peony, mereka sudah lama mati.
Akhirnya ia mengenali seraut wajah yang tidak asing
baginya. Wajah Bangsawan Fong yang sekarang menjabat
Wali Kota Phoenix. Kemudian terlintas dalam dirinya
bahwa para anggota Liga Rahasia tentunya juga sedang
berkumpul di ruangan ini. Tiba-tiba ia berdiri, memotoog
pidato Lu yang sepertinya tak ada habisnya itu.
Kemudian dengan lantang komandan itu berkata,
"Bangsawan Fong mengungkapkan sesuatu kepadaku
setahun yang lalu. Aku punya satu pertanyaan untuk
kalian!" Ia menunjuk dengan jarinya dari satu tamu ke tamu
lainnya. "Betulkah kalian memberikan uang kepada
musuh-musuhku?" Tak seorang pun menjawab. Bangsawan Fong
menundukkan kepala. Yang lain mengalihkan perhatian
dari tamu barbar itu ke tuan rumahnya yang lebih tahu tata
krama. Cara mereka menghindari tatapan matanya membuat
amarah Shu semakin menjadi-jadi. "Apa kalian semua tuli"
Apa kalian tidak mendengar pertanyaanku?" Ia mengepalkan tinjunya, suaranya meninggi.
Semua masih tetap diam dan mencoba tidak beradu
mata dengannya. Akhirnya Lu mengulurkan tangannya.
"Bagaimana kalau kita menunda itu untuk nanti" Aku sudah
mencoba membicarakan masalah itu denganmu di
tendamu..." Ia berhenti saat Shu menampik tangannya.
Si komandan menuding Bangsawan Fong. "Akhir musim
gugur lalu aku berbincang-bincang dengan orang ini. Dan
sejak musim gugur sampai musim dingin, lalu musim
dingin sampai musim semi, hatiku terus resah." Ia
berpaling menghadap Lu. "Aku bukan penyabar. Aku sudah
menunggu cukup lama. Kau harus menjawab sekarang,
tidak pakai nanti-nanti lagi!" Ia menatap ke dalam mata Lu
yang tampak sedih, kemudian merendahkan suaranya sedikit. "Katakanlah bahwa kalian tak pernah membantu
musuh-musuhku membuat Naga Kobar mereka."
Lu menatap ke bawah selama beberapa saat, kemudian
dengan berani ia mengangkat matanya untuk membalas
tatapan tajam Shu. "Aku menyesal sekali, sobatku. Tapi
itulah adanya." Suaranya nyaris tak terdengar, namun dampaknya
terasa seperti dentuman sepuluh Naga Kobar sekaligus. Shu
merasa dirinya seakan dihantam sampai terempas ke atas
kursinya oleh tinju raksasa yang tak berwujud. Ia terenyak
dengan siku di atas paha dan wajah terbekap dalam telapak
tangan. Ia menggumamkan kata-kata yang hanya terdengar
oleh Lu, "Sahabatku ternyata memihak musuh-musuhku!"
Ucapan itu menyengat hati Lu. Sekali lagi ia mencoba
mendekati Shu. "Ayolah, beri aku kesempatan untuk
menjelaskan. Kami tak punya cukup uang. Para anggota liga
kemudian mengadakan pemungutan suara untuk menentukan penggunaan dana. Aku berada di pihakmu,
tapi aku kalah suara. Aku menyesal sekaii," ujarnya sambil
meletakkan tangannya di bahu Shu.
Shu mengangkat wajahnya, lalu menatap Lu. "Kau
menyesal" Sungguhkah?"
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betul, sobatku," jawab Lu dengan mata berkaca-kaca.
"A-aku..." Ia ingin mengatakan bahwa seandainya ia dapat
menghubungi Shu, ia sudah membantu Para Petarung Shu
dengan uangnya sendiri. Namun bibirnya bergetar dan
suaranya seakan hilang. Seulas senyum pahit membayang di bibir Shu. Dari
matanya yang tajam terpancar rasa tak percaya. "Baik.
Akan kuberikan satu kesempatan lagi kalau kau masih ingin
membuktikan bahwa kau masih menghargai persahabatan
kita, sobatku!" ujarnya sambil mengucapkan kata terakhir
dengan sinis. "Aku bersedia melakukan apa pun, asal itu dapat
memulihkan hubungan kita," ujar Lu.
"Inilah usulku..." Shu berhenti sejenak, kemudian
menatap mata Lu dalam-dalam. "Istriku menc6iptakan
sebuah senjata yang amat ampuh, yang kami namakan
Kantong-kantong Api." Ia memberikan deskripsinya kepada
mereka secara ringkas. "Kami membutuhkan uang untuk
membuat lebih banyak kantong-kantong seperti ini lagi. Dapatkah kalian memberiku?"
Lu tampak ragu. Ia ingin memberikan uangnya sendiri
kepada Shu, tapi ia tak berhak menggunakan uang Liga
Rahasia tanpa persetujuan anggota-anggotanya. Dan ia
hanya dapat mengungkapkannya kepada Shu begitu yang
lain sudah pulang. Shu menanggapi keraguan ini sebagai keengganan.
Sambil tersenyum sinis ia melanjutkan, "Bisa kulihat betapa
antusiasnya kau memulihkan hubungan kita. Aku
betul-betul terharu. Dengan uang yang akan kauberikan
padaku, aku juga bisa membuat Naga Api yang amat
bermanfaat bagi kami dalam menghadapi pertempuran-pertempuran berikutnya." Shu mendeskripsikan Naga Api itu kepada Lu dan para anggota
liga yang hadir di situ. "Shu," bisik Lu memohon, "bagaimana kalau kita
bicarakan itu nanti" Kau tahu..." Sebelum ia dapat berkata
lebih banyak lagi, seorang laki-laki yang duduk di barisan
terdepan berdiri. "Komandan Shu, kami ingin tahu apa yang akan Anda
lakukan dengan Kantong-kantong Api serta Naga Api itu
sebelum memutuskan apakah kami akan membantu Anda
untuk membuatnya." "Apa yang akan kulakukan dengannya?" Shu menatap
laki-laki itu dengan pandangan meremehkan, kemudian
mencoba bersikap lebih sabar saat memberi penjelasannya.
"Aku akan meninggalkan Yin-tin dan daerah pesisir timur
dalam waktu dekat, untuk menaklukkan daerah pusat dan
bagian barat negeri Cina. Sesudah itu aku akan pergi ke
utara, menuju Sungai Kuning, terus ke Kanal Huitung untuk
menaklukkan Da-du. Apakah aku masih perlu mengungkapkan pada kalian bahwa Kantong-kantong Api
dan Naga Api itu dapat membantuku memenangkan
pertempuran-pertempuran itu?"
Seorang laki-laki yang duduk di sisi lain ruang itu
berdiri, kemudian menatap Shu dengan pandangan
mencela. "Komandan Shu, penduduk pusat dan barat Cina
adalah orang-orang Cina juga. Bagaimana Anda dapat
mengharapkan kami akan memberi Anda uang untuk
membantu membuat senjata-senjata yang membunuh
mereka?" Sikap sok naif ini membuat Shu menghampiri laki-laki
ini. "Naga Kobar yang dibuat musuh-musuhku dengan
bantuan kalian sudah membunuh banyak orang yang
menjadi pengikutku!" serunya. "Memangnya aku dan anak
buahku ini orang apa" Apa kami orang Mongol atau bangsa
mata berwarna" Atau di mata kalian kami cuma anjing?"
"Shu," bujuk Lu di belakangnya. "Ayolah!"
Saat Shu melintasi ruangan itu untuk kembali ke
tempatnya, sebuah pertanyaan lain menyerangnya.
"Komandan Shu, apa betul Anda suka mencambuki
musuh-musuh Cina Anda sampai mati?"
Shu menghentikan langkahnya. Wajah Wan kembali
membayang di hadapannya saat ia menjawab, "Betul."
Sesaat ia tampak ragu, tapi kemudian memutuskan bahwa
ia takkan merendahkan diri dengan mengungkapkan
penderitaannya di hadapan orang-orang yang tak
berperasaan ini. Keraguannya memberi Lu kesempatan untuk berkata,
"Shu, tidak seharusnya aku mengundang orang-orang ini ke
sini. Jangan..." Bujukannya yang terdengar kurang
meyakinkan itu dipotong oleh suara gebrakan keras di
pintu. Peony menendang pintu sampai terbuka lebar dengan
sepatu botnya yang berat, kemudian menghambur masuk
sambil melambai-lambaikan tangan di atas kepalanya.
"Shu! Ayo keluar dari sini. Tak betah aku menghadapi
perempuan-perempuan lugu itu! Lotus tak lebih seperti
tikus kecil yang melihatku seakan aku kucing liar besar.
Benar-benar membosankan! Dia mencoba menyenangkan
aku, tapi tidak tahu caranya. Yang lain terus bengong
melihatku, tapi aku tak tahu kenapa. Aku sudah berusaha,
tapi kalau aku masih harus bertahan di dalam ruang
pengap itu, aku takkan bisa menahan diri lagi!"
"Kau benar. Ayo kita angkat kaki." Langkah Shu tertahan
melihat kedua anak laki-lakinya lari menghambur ke
arahnya. Kuat langsung berseru, "Baba, Mama! Kami sudah
mencari kalian ke mana-mana! Anak-anak loyo itu tak tahu
cara bermain perang-perangan! Dan mereka rapuh seperti
jerami! Baru tersenggol sedikit sudah patah! Baru mulai
main, mereka sudah mulai nangis dan berdarah-darah!"
Tegar menimpali, "Mereka tak menyukai kita! Mereka
bilang kita anak petani barbar! Bahkan Teguh dan Tulus
menyalahkan kami gara-gara adik mereka menangis dan
hidungnya berdarah! Baba, mereka bilang Baba kejam,
padahal dulu Baba cuma biksu miskin! Dan Mama, kata
mereka kalau perempuan kakinya besar, bukan perempuan
beradab." Di belakang kedua bocah itu menyusul kedua pengasuh
anak-anak keluarga Shu. Mereka adalah istri Para Petarung
Shu. Mereka menggendong Berani dan Nekat.
l "Kami baru saja cekcok dengan yang lain," ujar salah satu
pengasuh. "Mereka bilang majikan-majikan mereka dari
kalangan baik-baik, tidak seperti majikan kami!"
Pengasuh yang lain mengiyakan. "Lalu mereka bilang
majikan mereka disanjung-sanjung semua orang berbeda
dengan majikan kami yang ditakuti semua orang."
Keluarga Shu meninggalkan rumah kediaman Lu
bersama para pelayan mereka, tanpa mengucapkan selamat
tinggal. Lu dan Lotus berdiri di ambang pintu rumah
mereka, sambil mengawasi keluarga itu menuju rumah
Gubernur di puncak Gunung Emas Ungu.
36 "AKU suka tempat ini!" ujar Peony sambil berputar-putar
dengan lengan terentang dan wajah menengadah.
Rambutnya yang panjang melambai di belakangnya, bak
stola hitam berkilauan. Ia bertelanjang kaki dan tidak
mengenakan apa pun kecuali baju pendek dari sutra merah
yang tidak terkancing. Ia dan Shu berada di sebuah ruang
tidur besar dan baru saja bangun sehabis tidur nyenyak.
"Tempat ini harus menjadi rumah kediaman tetap kita,"
ujar Shu dari tempat tidur yang ukurannya tiga kali lebih
besar dari tempat tidur biasa.
"Di rumah-rumah lain aku merasa terkurung..." Ia
berhenti begitu melihat baju Peony jatuh ke lantai.
Tubuh polosnya penuh otot. Dadanya lebih besar setelah
melahirkan empat anak, namun pinggangnya masih
ramping. Pinggulnya lebih lebar, tapi pantatnya masih
kencang. Di mata suaminya, Peony amat cantik. Shu
menendang sellmutnya, kemudian menghambur ke
arahnya. Ia merengkuh Peony dalam pelukannya, lalu
membopongnya kembali ke tempat tidur.
Mereka bercinta dengan menggebu-gebu. Masing-masing berusaha melupakan penghinaan serta
pengalaman yang kurang menyenangkan yang mereka
terima di rumah keluarga Lu. Bagi Shu, untuk sesaat
kepedihan yang ditimbulkan oleh pengkhianatan Lu agak
mereda. Mereka tidak meninggalkan tempat tidur sampai siang.
Dan ketika membuka lemari pakaian keluarga Gubernur
Mongol, mereka menemukan pakaian-pakaian termewah
yang pernah mereka lihat. Mereka menyimpan yang
mereka suka, kemudian membagi-baglkan yang lain kepada
anak buah. Setelah berdandan seperti tuan dan nyonya
besar, mereka berkaca di depan cermin kuningan besar dan
puas. Selesai berpakaian, salah seorang anak buah mereka
muncul. "Seorang biksu tua bernama Welas Asih dari
daerah Utara baru saja tiba!"
Peony dan Shu menyambut biksu tua yang baik dari
Lembah Zamrud itu dengan hangat. Begitu bertemu, Peony
teringat masa mudanya sebagai anak penambang batu
kemala. Sekali lagi terbayang saat Welas Asih menunjukkan
batu kemala berharga hasil tambang ayahnya di gunung. Ia
sedih melihat Welas Asih tidak hanya sudah lebih tua, tapi
juga tampak kurang sehat.
"Aku menerima pesan kalian, lalu kubawa batu kemala
ini ke sini seperti ibu menggendong anak tunggalnya," ujar
biksu tua itu setelah mengempaskan diri ke kursi.
Kemudian ia membuka bungkusan besar yang terdiri atas
berlapis-lapis selimut. "Aku telah berjanji pada ayahmu
akan menyimpankannya untukmu. Aku sudah tua sekarang,
dan aku bisa saja dijemput sang Buddha setiap saat. Aku
bersyukur sekali karena mampu menyerahkan batu kemala
ini ke tanganmu selagi masih bisa."
Shu dan Peony amat prihatin melihat kondisi lemah
Welas Asih. Mereka membimbingnya ke ruangan terbaik di
rumah itu, lalu cepat-cepat memanggil tabib paling terkenal
di kota Yin-tin. Bak sebatang lilin lelah yang masih punya
setetes air mata untuk dicurahkan, Welas Asih
menggenggam tangan Peony, lalu menggumamkan satu
kalimat terakhirnya, "Katakan padaku bahwa apa yang kudengar mengenai kalian tidak benar."
Namun sebelum Peony dapat menjawab, Welas Asih
meninggal dunia. "Wali Kota Yin-tin beserta istrinya menunggu di ambang
pintu," ujar seorang pelayan saat Peony dan Shu masih
meratapi kepergian Welas Asih.
"Aku datang untuk minta maaf, Shu," ujar Lu sambil
membungkuk dalam-dalam. "Sikap tamu-tamuku kasar
sekali. Aku menyesal."
"Dan aku datang untuk meminta maaf atas ulah
nyonya-nyonya itu," ujar Lotus sambil membungkuk
dengan bantuan pelayan wanita yang masih muda.
"Maafkan mereka."
Peony mengulurkan tangan untuk membantu Lotus, lalu
memberi tanda kepada si pelayan agar meninggalkan
mereka. "Kukira suamiku dan aku sendiri juga harus minta
maaf untuk anak-anak kami. Tapi kalian tahu ulah
anak-anak. Yah, akan kukatakan pada mereka untuk tidak
mengganggu anak perempuan kalian yang rapuh itu lagi."
Peony tak dapat menahan diri untuk tidak menambahkan,
"Tapi aku sebetulnya tidak keberatan kalau mereka menggeluti anak-anak lain yang dengan seenaknya bicara
sembarangan tentang kami."
Lotus membungkukkan tubuh, menerima permintaan
maaf Peony yang bernada arogan. Ia tidak langsung berdiri
tegak, karena perlu menyembunyikan air matanya. Hidung
Kuncup Jingga agak bengkak pagi ini dan matanya memar.
Setelah teh dan kue-kue dihidangkan, Shu berkata
kepada Lu, "Aku ingin kau tahu bahwa dukunganmu pada
musuh-musuhku dan penolakanmu untuk mendukungku
jauh lebih menyakiti hatiku daripada cambukan Tin-check
Wan. Cambuknya telah meninggalkan bekas-bekas luka
pada kulitku, namun pengkhianatanmu akan selalu
meninggalkan bekas di hatiku." Kemudian dari Lu ia
mengalihkan matanya ke Lotus. "Namun aku takkan pernah
Pendekar Patung Emas 6 Hardy Boys Misteri Jejak Zombie Kuda Binal Kasmaran 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama