Ceritasilat Novel Online

Sekali Lagi Sipaling Badung 2

Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton Bagian 2


mereka sendiri. Baiklah. Biarlah ceritanya begitu saja."
Kedua anak itu bekerja tanpa bicara. Elizabeth bingung bercampur heran bercampur
marah. Sungguh tak enak untuk berpikir bahwa John tidak percaya padanya. Kalau
dilihat buktinya sih, mungkin juga ia lupa membersihkan alat-alat itu. Sungguh
menjengkelkan dimarahi John. Ia tak tahu harus berbuat apa. "John," akhirnya ia
berkata. "Aku yakin bahwa aku telah membersihkan alat-alat ini. Tetapi kalau
ternyata aku memang telah kelupaan, yah, maafkanlah. Aku tak pernah lupa sebelum
ini. Dan aku takkan melupakannya lagi."
"Baiklah, Elizabeth," kata John, mengangkat muka. Matanya yang cokelat jujur itu
bertemu dengan mata Elizabeth. John tersenyum. Elizabeth membalas senyum itu.
Tetapi dalam hati ia masih penasaran.
Sementara itu Kathleen telah menyaksikan adegan tadi dari kejauhan. Ia puas
sekali melihat Elizabeth dimarahi John. Ia segera pergi, merancangkan sesuatu
lagi untuk membuat Elizabeth kena marah. Apa yang akan dilakukannya" Mungkin
dua-tiga hari lagi ia akan membuat kotor alat-alat Elizabeth. Tetapi tak usah
terlalu dekat waktunya, bisa-bisa Elizabeth curiga bahwa ada orang lain yang
berusaha untuk menjelekkannya.
Akhirnya Kathleen memutuskan untuk menyembunyikan buku-buku Elizabeth. Bu Ranger
akan sangat marah bila buku-buku itu tak bisa ditemukan.
Sekali lagi Kathleen menyelinap ke dalam kelas. Kali ini ia langsung pergi ke
meja Elizabeth. Diambilnya buku geografi, aritmatika, dan sejarah, lalu
dibawanya keluar. Di luar ruangan terdapat sebuah lemari, di atasnya tertumpuk
peta-peta tua. Kathleen mengambil kursi. Buku-buku Elizabeth dilemparkannya ke
atas lemari, di antara peta-peta tua. Tak ada yang menyaksikan perbuatannya.
Cepat-cepat ia turun, mengembalikan kursinya, dan pergi.
Kini, apa yang akan dilakukannya terhadap Jenny" Anak nakal itu mengernyitkan
kening. Berpikir keras. Dan akhirnya ia tersenyum. Ada akal! Ia akan mengambil
dua ekor anak tikus Jenny dan menaruhnya di dalam laci meja Bu Ranger. Hebat
sekali. Bu Ranger pasti berpendapat bahwa Jenny yang meletakkannya di tempat
itu. Tak akan ada yang tahu siapa yang telah berbuat.
Untuk melaksanakan rencana itu, Kathleen harus menunggu sampai besok pagi. Ia
harus mengambil tikus-tikus itu sebelum waktu makan pagi. Saat itu tak akan ada
murid yang berkeliaran di luar gedung. Semalaman Kathleen memikirkan apa yang
mungkin dikatakan Bu Ranger setelah mengetahui di dalam lacinya ada tikus.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kathleen telah bangun. Nora heran juga
melihat ini. Biasanya Kathleen selalu bangun terakhir.
"Halo, kebiasaan baru nih?" sapa Nora.
Kathleen tidak menjawab. Ia menyelinap turun lima menit sebelum bel sarapan
berbunyi, langsung lari ke luar, ke gudang tempat kandang-kandang binatang
peliharaan. Ia pergi ke kandang tikus putih Jenny. Ia sudah membawa sebuah kotak
kecil. Tak sampai dua detik ia telah berhasil menangkap dua ekor bayi tikus yang
kecil-mungil dan putih. Dimasukkannya kedua binatang itu ke dalam kotak dan ia
bergegas menuju ruangan kelas. Diangkatnya tutup laci meja bu Ranger.
Dibukanya kotak kecil yang tadi dibawanya. Dan keluarlah dua ekor bayi tikus
putih tadi. Kathleen menutup laci. Betapa terkejutnya Bu Ranger nanti. Betapa
terkejutnya Jenny nanti. 10. Keributan di Dalam Kelas
Pelajaran pertama pagi itu adalah aritmatika. Bu Ranger menerangkan satu
hitungan baru. Semua mendengarkan dengan teliti.
"Kini keluarkan buku kalian, kita akan mencoba mengerjakan beberapa soal seperti
ini," kata Bu Ranger kemudian sambil mulai menulis beberapa soal di papan tulis.
"Aku yakin kalian sudah dapat mengerjakannya dengan baik. Tetapi bila ada yang
belum jelas, harap segera bertanya, sebelum mengerjakan soal-soal ini."
Elizabeth membuka tutup laci mejanya, untuk mengambil buku aritmatika. Tetapi
ternyata tidak ada. Padahal kemarin telah disiapkannya dengan meletakkannya di
paling atas tumpukan. Dicarinya dengan teliti. Tetapi hasilnya nihil! Di mana
buku itu" "Elizabeth! Kapan kau akan mengeluarkan kepalamu dari laci meja itu?" tegur Bu
Ranger. "Bukuku hilang!" kata Elizabeth.
"Kemarin kan ada," kata Bu Ranger. "Apakah kaubawa keluar ruang kelas?"
"Tidak, Bu Ranger," kata Elizabeth. "Tak ada PR aritmatika. Aku kemarin
memasukkannya lagi ke dalam laci ini sesudah pelajaran. Tetapi sekarang tidak
ada!" "Ambil saja selembar kertas dari lemari," kata Bu Ranger akhirnya. "Dan kerjakan
soal ini di situ. Kita tak bisa menunggu sepanjang hari sampai kau menemukan
bukumu, Elizabeth." Elizabeth mengambil kertas, dan mengerjakan soal di kertas tersebut. Masih
untung ia tak dihukum apa-apa. Ia tak habis pikir, di mana buku itu. Itu terus
yang dipikirkannya saat ia mengerjakan soal-soal hitungannya.
Kathleen bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi nanti, bila ketahuan
Elizabeth juga tidak bisa menemukan buku-bukunya yang lain! Ia juga menunggu
dengan penuh harap saat Bu Ranger membuka tutup laci mejanya. Tetapi tak ada
alasan bagi Bu Ranger untuk membuka tutup laci itu selama pelajaran berhitung.
Maka sampai saat itu tikus-tikus tadi tak terganggu, bergelung di sudut laci dan
tertidur. Mata pelajaran berikutnya bahasa Prancis. Kemudian geografi. Bu Ranger
memerintahkan agar semua membuat peta. Maka semua mengeluarkan buku latihannya.
Kecuali Elizabeth, tentu. Sekali lagi ia tak bisa menemukan buku geografinya!
"Astaga, Elizabeth, masa buku geografimu juga hilang?" tanya Bu Ranger, makin
hilang kesabarannya. "Bu Ranger, aku sama sekali tak mengerti bagaimana hal ini terjadi, tetapi buku
geografiku betul-betul tidak ada!" kata Elizabeth, dengan cemas memunculkan
kepalanya dari balik tutup meja untuk memandang Bu Ranger.
"Sungguh keterlaluan kau sampai kehilangan dua buah buku, kata Bu Ranger "Ini
tidak bisa kuterima, Elizabeth. Mungkin harus kulihat sendiri di mejamu agar aku
yakin bahwa buku-buku itu memang tak ada. Aku tak bisa membayangkan bagaimana
seorang murid bisa kehilangan dua buku latihan sekaligus, sedangkan seperti
kaukatakan, kau tidak pernah membawanya ke luar kelas."
Tetapi bahkan mata tajam Bu Ranger tak bisa menemukan buku-buku yang hilang itu.
Robert tampak girang sekali melihat Elizabeth mendapat kesulitan. Sedangkan
Kathleen juga sangat gembira akan hasil ulahnya, namun ia tak berani memandang
Elizabeth maupun Jenny, takut kalau-kalau kegirangannya menimbulkan kecurigaan.
"Akan kuberi kau selembar kertas peta. Dan nanti kalau bukumu sudah ketemu, kau
harus menempelkan peta yang kaugambar pada buku tersebut," kata Bu Ranger
Dibukanya tutup laci mejanya, untuk mengambil kertas peta. Tetapi gerakannya itu
membuat dua ekor anak tikus terbangun!
Dengan cicitan dan jeritan, keduanya melompat ketakutan dan berlarian di dalam
laci itu, berloncatan di antara buku-buku dan berbagai alat tulis. Bu Ranger
sampai tak bisa mengeluarkan suara karena kagetnya.
Ia sudah akan menutup tutup laci itu, namun dengan gesit tikus-tikus tadi
meloncat ke luar, lari ke rok Bu Ranger dan turun ke lantai. Semua murid juga
ternganga terpesona. Bu Ranger dengan wajah marah menatap Jenny yang juga terheran-heran.
"Jenny," kata Bu Ranger. "Aku yakin hanya kau saja di sekolah ini yang punya
binatang peliharaan tikus. Apakah kau merasa lucu menaruh tikus-tikus malang itu
di dalam laci mejaku yang tidak ada saluran udaranya sama sekali, hanya untuk
menjebak aku?" Mula-mula Jenny sama sekali tak bisa berbicara. Ia begitu terpukau sehingga
lidahnya serasa kelu. Apakah itu tadi tikusnya" Bagaimana keduanya bisa masuk ke
laci meja Bu Ranger"
"Bu Ranger, tentu saja bukan aku yang menaruh tikus-tikus itu di meja Anda,"
akhirnya Jenny berkata. "Harap percaya padaku, aku tak mungkin berbuat sekeji
itu terhadap tikus-tikusku Dan lagi pula, aku selalu ingat, dulu Anda begitu
baik tidak menegurku waktu aku masuk ke dalam kelas dengan seekor tikusku di
dalam bajuku. Tak mungkin aku begitu tak berperasaan untuk sekali lagi
mempermainkan Anda."
Sementara itu, tikus-tikus Jenny berlarian di dalam kelas. Dengan rasa khawatir
Jenny terus memperhatikannya, takut kalau-kalau mereka menyelinap ke bawah pintu
dan lari ke luar, hilang, atau bisa-bisa dimakan kucing!
"Kau harus segera menangkapnya," kata Bu Ranger. "Tak boleh kita membiarkan
pelajaran kacau seperti ini. Aku tak bisa berpikir lain bagaimana tikus-tikus
ini masuk ke laciku, kalau bukan kau yang memasukkannya. Aku harus
mempertimbangkan hal itu. Aku benar-benar kecewa terhadapmu!"
Jenny melompat dari tempat duduknya, mencoba menangkap tikus-tikus itu. Tetapi
ternyata sangat sulit. Kedua hewan yang sangat ketakutan itu gesit sekali lari
ke sana kemari, bersembunyi di sana, bersembunyi di sini. Beberapa orang anak
perempuan pura-pura ketakutan bila tikus-tikus itu mendekat, mereka menjeritjerit menambah ramai suasana. Elizabeth dan Belinda turun tangan membantu Jenny,
tetapi kedua tikus itu benar-benar gesit.
Kemudian dengan sangat cemas Jenny melihat tikus-tikus tersebut benar-benar
menyelinap di bawah pintu kelas dan ke luar! Jenny cepat lari ke pintu,
membukanya dan melihat ke luar. Hilang sudah! Entah ke mana! Kebingungan gadis
kecil itu berlarian di gang, melihat ke segala arah. Tikus-tikusnya tak terlihat
lagi. Jenny sangat mencintai tikus-tikusnya. Tak terasa air matanya mengalir. Kemudian
dihapusnya. Tetapi air matanya mengalir terus. Jenny tak mau kembali ke kelas
dengan menangis. Susah-payah Jenny mencoba menahan tangisnya, bersandar di
dinding dan mencoba bepikir. Siapa gerangan yang telah berbuat sekeji itu
padanya. Seseorang telah mencoba membuatnya dimarahi guru! Seseorang telah
membuatnya kehilangan dua ekor tikus kesayangannya! Sungguh jahat! Jahat! Jahat!
Jahat! Terdengar langkah kaki mendekatinya dari arah tikungan. Ternyata yang muncul
Rita, salah seorang Ketua Murid! Rita tercengang melihat Jenny berdiri
sendirian, menangis. "Ada apa?" tanya Rita. "Kau dikeluarkan dari kelas?"
"Tidak," kata si malang Jenny. "Tikus-tikus putihku! Hilang. Aku takut kalaukalau kucing kita memakannya."
Diceritakannya semua yang telah terjadi pada Rita. Rita mendengarkannya dengan
penuh perhatian. "Aku sama sekali tak suka pada kenyataan ini, bahwa seseorang telah berusaha
memburukkan namamu," kata Rita kemudian. "Tapi apakah kau yakin bahwa ini bukan
perbuatanmu sendiri, Jenny?"
"Oh, Rita, tak mungkin aku berbuat sekejam itu pada tikus-tikus kesayanganku,"
kata Jenny. "Percayalah!"
"Kalau begitu persoalan ini harus kita bawa nanti ke Rapat Besar," kata Rita.
Harus kita selidiki sampai tuntas. Kembalilah ke kelasmu, Jenny. Tak usah
menangis, mungkin tikus-tikusmu akan muncul lagi."
Jenny kembali ke kelasnya. Bu Ranger melihat mata Jenny merah, bekas menangis,
dan ia tak mau menghardik anak itu lagi. Lonceng berbunyi. Waktu istirahat tiba.
Syukurlah. Saat anak-anak keluar dari kelas, Robert menubruk Elizabeth. Elizabeth marah dan
melotot padanya. Robert hanya menyeringai dan berkata, "Berapa buku lagi yang
akan kauhilangkan?" Dengan geram Elizabeth meninggalkan tempat itu bersama Joan. Tetapi suatu
pikiran muncul di kepalanya. Mungkinkah Robert yang menyembunyikan buku-bukunya"
Sungguh suatu keajaiban bahwa dua bukunya hilang sekaligus, dua buku yang
mestinya dipakai hari itu! Ia menemui Jenny dan mengajaknya berbicara di sebuah
sudut. "Bagaimana pendapatmu! Mungkinkah Robert yang menyembunyikan bukuku dan menaruh
tikus di meja Bu Ranger?" tanya Elizabeth. "Dia kan memang selalu ingin
membuatku mendapat kesulitan."
'Ya, memang, tetapi kenapa ia juga mempermainkan aku" Aku toh tidak bermusuhan
dengan dia," kata Jenny.
"Oh, itu mungkin sekali. Kalau ia hanya mempermainkan aku, maka orang bisa
lantas curiga padanya," kata Elizabeth. "Tapi kalau ia mempermainkan beberapa
orang sekaligus, di antaranya yang jelas-jelas tidak bermusuhan dengannya, maka
kecurigaan tidak terarah padanya, bukan?"
"Benar juga, dan kalau itu memang benar, maka sungguh kejam dia," kata Jenny
geram. "Oh, Elizabeth, aku ingin segera mengetahui, siapa yang begitu kejam
mempermainkan tikus-tikusku."
Lebih buruk lagi bagi Elizabeth, saat pelajaran sejarah tiba. Ia harus
memberitahu sekali lagi pada Bu Ranger bahwa bukunya hilang!
"Elizabeth! Ini sungguh ajaib!" kata Bu Ranger dengan marah. "Satu buku sudah
lebih dari cukup untuk hilang tanpa alasan. Tetapi tiga! Pasti kau telah
membawanya ke luar kelas dan meninggalkannya entah di mana. Carilah lagi. Kalau
tidak ketemu kau harus membeli yang baru lagi!"
"Sialan!" keluh Elizabeth. "Harga buku-buku itu masing-masing tiga pence. Jadi
semua sembilan pence. Sedang uang sakuku hanya dua shilling. Sialan! Kalau
terbukti Robert yang mengambil buku-bukuku, akan kucabuti semua rambutnya!"
Ia mengatakan hal itu pada Joan, yang langsung menukasnya, "Oh, jangan, jangan
bertindak seperti itu. Kalau memang Robert yang berbuat, kau harus melaporkannya
pada Rapat Besar. Sebab memang untuk hal-hal .seperti inilah kita mengadakan
Rapat Besar itu, Elizabeth. Untuk membantu kita semua menjernihkan persoalan
yang rumit, memberi jalan keluar dari keruwetan. Memberi pertolongan pada kita
untuk soal-soal yang mungkin tak bisa kita selesaikan sendiri. Akan lebih baik
kalau para Hakim dan Juri memutuskan jalan keluar persoalan kita. Bukankah
mereka kita pilih karena kebijaksanaan mereka" Kau begitu tidak sabaran, nanti
kau malah terlibat persoalan yang lebih ruwet lagi."
"Mestinya kau membantu aku, dan bukannya menasihati seperti itu," Elizabeth
marah dan menarik tangannya dari pegangan tangan Joan.
"Aku justru membantumu!" sangkal Joan. "Karena aku sahabatmu, maka aku
menganjurkanmu untuk tidak gegabah. Dan bukan seorang sahabat yang baik kalau
aku malah menganjurkanmu untuk mencabuti rambut Robert, bahkan sebelum kita tahu
pasti bahwa dia betul-betul bersalah."
"Tapi kau lihat, betapa girangnya ia melihat aku dimarahi Bu Ranger," kata
Elizabeth ketus. "Pasti dia yang menjadi dalang semua ini! Tunggu saja nanti.
Aku akan berhasil menangkap basah saat ia menyakiti anak kecil. Oh, alangkah
senangnya bisa melaporkannya di Rapat Besar nanti!"
Ternyata harapan Elizabeth segera terkabul. Keesokan harinya ia berhasil
menangkap basah Robert! 11. Persoalan Semakin Gawat
Untuk sekian lama Robert telah menahan diri. Tidak menakut-nakuti seseorang
ataupun berbuat keji. Ia benar-benar takut kalau perbuatannya itu akan diketahui
oleh Elizabeth. Robert tahu Elizabeth selalu mengawasinya dan ia tak mau memberi
kesempatan pada gadis itu untuk melaporkannya lagi.
Tapi dua atau tiga minggu setelah itu Robert berpikir bahwa Elizabeth telah
bosan mengawasinya. Robert tidak tahu bahwa Elizabeth menduga bahwa Robert yang
melakukan semua kenakalan. Ia bahkan melakukan pengawasan lebih sungguh-sungguh
lagi. Hari itu Robert harus keluar mengambil air untuk melukis. Elizabeth melihatnya
keluar dari ruang bermain dan ia berkata pada Joan.
"Joan, mungkin Robert akan menyembunyikan bukuku lagi. Atau melakukan sesuatu
yang akan merugikanku," bisiknya pada Joan. "Ayo kita mengikutinya diam-diam."
Kedua gadis itu mengikuti Robert. Ia memasuki gang dan berlari menuruni tangga
menuju ruang penyimpanan jas di bawah. Dan dari balik tikungan muncul Leslie, si
cilik lancang yang pernah melaporkan temannya karena meminjam barang-barangnya
tanpa dikembalikan. Leslie juga berlari dengan kecepatan tinggi, dan tanpa dapat
dicegah langsung menubruk perut Robert. Begitu keras sehingga Robert terpaksa
membungkuk-bungkuk kesakitan.
Leslie tertawa terkekeh-kekeh. Sungguh lucu melihat Robert yang besar itu
kesakitan! Tetapi bagi Robert tentunya ini tidak lucu. Tangannya langsung
melesat terulur dan mencengkeram Leslie. Begitu keras sehingga anak itu
menyeringai kesakitan. "Lepaskan!" pinta Leslie.
Robert melihat berkeliling. Tak seorang pun terlihat. Ditariknya Leslie ke
toilet, diguncangnya anak itu keras-keras.
"Berani betul kau menubrukku seperti itu," geram Robert. "Berani betul kau
menertawakan aku! Akan kuhajar, bajingan cilik!"
"Robert, lepaskan aku," pinta Leslie. Ia tahu Robert suka menyakiti anak kecil
dan ia mulai takut padanya.
"Kau harus bilang 'Aku mohon sudilah kiranya Tuan memaafkan hambamu ini'," kata
Robert. Tetapi Leslie walaupun takut bukanlah seorang pengecut. Ia menggelengkan kepala.
"Tak sudi! Toh bukan seluruhnya kesalahanku! Lepaskan aku, anak jahat!"
Robert sangat marah. Diguncangkannya Leslie sekali lagi. "Kaukatakan apa yang
kusuruh, kalau tidak kududukkan kau di pipa air panas!" ancamnya.
Pipa air panas memang banyak terdapat di ruang itu untuk menghangatkan ruangan.
Leslie takut melihat pipa-pipa tersebut. Tetapi tetap saja ia menggelengkan


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala. "Tidak, aku tak mau memohon maaf padamu," katanya keras kepala. Kalau kau baik
seperti anak-anak besar lainnya, tanpa kau-suruh aku pasti minta maaf. Lepaskan
aku!" "Kau duduk di pipa panas dulu!" geram Robert. Dengan sangat marah ia menyeret si
Leslie malang itu ke pipa yang terdekat. Dipaksanya anak itu duduk. Memang tidak
terlalu panas, tetapi cukup panas untuk membuat Leslie menjerit-jerit.
Lalu, di mana Elizabeth dan Joan" Mereka berdua bersembunyi di tikungan, melihat
semua yang terjadi. Dan saat mereka mendengar Leslie menjerit, keduanya segera
berlari memasuki ruang membersihkan badan.
Robert cepat menarik Leslie dari pipa air panas, setelah melihat Elizabeth dan
Joan masuk. Tetapi terlambat. Keduanya melihatnya. Merah muka Robert. Tak
terkira marahnya. Tertangkap basah oleh dua orang anak perempuan dan salah satu
di antaranya Elizabeth! "Kau tertangkap basah, anak kejam!" geram Elizabeth. "Leslie, kami akan
melaporkan Robert dalam Rapat yang akan datang. Kami harap kau tidak berdusta
dan membantu dia." "Pasti," kata Leslie. "Aku bukan pengecut seperti anak-anak lain yang tak berani
mengajukan keluhan tentang Robert pada saat mereka memperoleh kesempatan.
Seperti si Peter itu. Tahukah kau mengapa ia tidak mengakui bahwa Robert
mengayunkannya terlalu tinggi" Robert mengancamnya dengan berbagai siksaan bila
ia menceritakannya."
"Tidak!" bantah Robert marah, walaupun ia tahu bahwa apa yang dikatakan Leslie
benar. "Tunggu sampai kutemui kau seorang diri, tahu rasa kau nanti."
"Nah kau lihat itu," kata Leslie. "Terang-terangan kau mengancam aku. Tetapi kau
takkan memperoleh kesempatan itu. Aku akan melaporkanmu dalam Rapat Besar, walau
Elizabeth dan Joan tidak melaporkannya."
Anak kecil itu beranjak. Elizabeth berpaling pada Robert, berkata tajam, "Aku
tahu betul bahwa kaulah yang melakukan berbagai muslihat jahat kepada aku dan
Jenny...." "Bukan aku yang melakukannya!" tukas Robert, dan kali ini ia memang berkata
sebenarnya. "Bohong!" tukas Elizabeth. "Kau cukup kejam untuk berbuat apa saja. Kau betulbetul terlalu jahat untuk sekolah ini, kau patut diusir dari sekolah ini!"
"Seperti kau seharusnya diusir semester yang lalu!" kata Robert mengejek. Ia
telah mendengar tentang berbagai kenakalan Elizabeth semester musim panas yang
lalu. Muka Elizabeth jadi merah karenanya.
"Diam kau!" kata Joan. "Elizabeth bukannya nakal, itu dilakukannya karena
kebaikan hatinya terhadapku! Aku tak mau kau mengejeknya seperti itu."
"Akan kukatakan apa yang ingin kukatakan," kata Robert, sambil meninggalkan
tempat itu dengan tangan di saku dan bersiul-siul seolah-olah tak peduli apa
pun. "Kini ia tahu bahwa kita tahu dialah yang membuat berbagai muslihat jahat itu,
dan ini berarti ia takkan berani berbuat lagi," kata Elizabeth senang. "Lumayan
juga, kita bisa hidup lebih tenang."
Tetapi tentu saja ia tak tahu bahwa yang berbuat itu semua bukan Robert
melainkan Kathleen. Dan Kathleen tak punya alasan untuk menghentikan perbuatan
jahatnya. Kathleen sangat benci pada Elizabeth dan Jenny. Keduanya cantik,
pandai, dan disukai banyak orang. Kathleen iri pada mereka. Iri melihat rambut
mereka yang indah kemilau. Iri melihat mata mereka yang bersinar-sinar. Iri pada
otak mereka yang cerdas serta gurauan mereka yang sungguh lucu. Ia ingin melukai
hati kedua anak itu karena mereka memiliki segala hal yang diinginkannya dan
tidak dimilikinya. Elizabeth berkata pada Jenny bahwa ia merasa pasti Robert-lah yang telah
mengambil tikus-tikusnya serta menaruhnya di laci Bu Ranger. Tikus-tikus itu tak
pernah bisa ditemukan lagi.. Mata Jenny bersinar marah mendengar cerita
Elizabeth. "Dan pasti dia pula yang membuat noda tinta di buku bahasa Prancis," kata Jenny.
"Dan aku takkan heran bila ternyata dialah yang telah membuat kotor alat-alat
berkebunmu, Elizabeth. Tadinya aku tak pernah bisa mengerti mengapa hal itu bisa
terjadi." "Ya, kini mungkin kita takkan menjadi korban tipu muslihat jahatnya lagi, sebab
Robert pasti takut bila kita melaporkannya dalam Rapat Besar," kata Elizabeth.
"Padahal dia berbuat lagi atau tidak, kita pasti akan melaporkannya."
Tetapi keesokan harinya ternyata mereka dipermainkan lagi. Tiap hari Rabu,
setiap Pengawas memeriksa laci-laci serta lemari anak-anak yang berada di bawah
pengawasannya, untuk menjaga agar segalanya selalu rapi. Nora sangat keras dalam
hal kerapian, dan anak-anak yang berada sekamar dengannya tahu benar akan hal
itu. Mereka selalu berusaha untuk rapi, bahkan Ruth juga, yang biasanya
mempunyai kebiasaan tidak rapi.
"Sulit sekali," kata Ruth selalu. "Setiap kali kurapikan laci-laciku... kemudian
ada saja, selalu ada yang kubutuhkan dengan tergesa-gesa sehingga akhirnya
laciku yang sudah rapi berantakan lagi...."
Elizabeth dan Jenny selalu rapi. Apalagi setiap hari Selasa, sebab mereka tahu
hari Rabu Nora akan memeriksa. Tiap Selasa malam barang-barang mereka sudah
teratur rapi dan indah dilihat. Mereka tak pernah lupa mengerjakannya. Sehingga
hari Rabu itu ketika Nora melihat laci mereka berantakan, keduanya begitu heran
hingga tak bisa berbicara sepatah pun.
"Jenny! Elizabeth! Apa maksud kalian membuat barang-barang kalian begini tak
keruan?" seru Nora dengan marah. "Lihatlah! semuanya campur-aduk. Lusuh. Kotor.
Terus terang saja, belum pernah kulihat tempat begini campur-aduk! Kalian
biasanya rapi. Apakah kalian lupa hari ini hari Rabu" Apakah kalian lupa aku
selalu memeriksa di hari ini?"
"Tentu saja tidak," kata Jenny. "Dan kami telah merapikannya tadi malam sebelum
tidur. Kau sendiri kan melihatnya, Nora."
"Aku tidak melihat kalian melakukannya," kata Nora. "Tempatku kan jauh dari
sini." Ketiga anak itu memandang laci Elizabeth dan Jenny. Segalanya terbalik-balik.
Elizabeth dan Jenny tahu benar tak mungkin mereka mengatur barang mereka seperti
itu. Seseorang pastilah telah mengaduk-aduk. Seseorang telah sengaja
mempermainkan mereka, agar mereka kena marah.
"Pasti Robert," kata Elizabeth. "Ia selalu berusaha mencelakakan kami, Nora. Ia
membuat kotor alat-alat kebunku, menyembunyikan bukuku, menaruh tikus Jenny di
dalam laci meja Bu Ranger ..."
"Anak manis, tak mungkin Robert yang melakukan ini," kata Nora. "Kau tahu, anak
laki-laki tak pernah masuk ke daerah asrama anak perempuan. Bila dia ke sini,
pasti segera ada yang mengetahui, sebab di luar selalu ada anak..."
"Tetapi ini pasti perbuatan Robert, Nora" kata Elizabeth bersikeras. "Kalau kau
ingin menyalahkan seseorang karena laci yang berantakan ini, kau harus memarahi
Robert." "Aku takkan memarahi siapa pun," kata Nora. "Pokoknya kalian kali ini tidak
begitu rapi. Mungkin juga seseorang telah mempermainkan kalian, tetapi pokoknya
sekarang kalian harus merapikan semua ini!"
Elizabeth dan Jenny terpaksa bekerja lagi. Keduanya marah, dan tak memperhatikan
bahwa Kathleen tersenyum puas.
"Ah," pikir Kathleen. "Jadi Elizabeth dan Jenny mengira bahwa yang berbuat
Robert. Bagus sekali!" Tak akan ada seorang pun yang mengira bahwa dialah yang
melakukan semua itu. Ia kini merasa lebih aman.
Rapat Besar yang akan datang jatuh pada hari Jumat malam. Di hari Kamis terjadi
sesuatu yang sangat mengecewakan Elizabeth. Pertandingan lacrosse akan diadakan
pada hari Sabtu. Elizabeth telah berlatih keras agar bisa terpilih untuk menjadi
anggota tim sekolah. Hanya satu orang yang akan mewakili kelasnya, dan Elizabeth
merasa yakin bahwa dialah yang terpilih.
Tetapi pada waktu ia melihat ke papan pengumuman, dilihatnya nama Robert ditulis
sebagai anggota tim sekolah-dan bukan namanya!
Di papan tersebut tertulis: "Robert Jones dari kelas tiga telah terpilih untuk
bermain dalam tim sekolah menghadapi pertandingan melawan Sekolah Kinellan pada
hari Sabtu ini." Kerongkongan Elizabeth serasa tercekat. Ia telah berlatih keras. Berusaha keras.
Begitu ingin terpilih. Tetapi ternyata yang terpilih adalah Robert, yang begitu
dibencinya! Ia hampir tak bisa mempercayai matanya.
"Tak apalah," hibur Joan. "Lain kali kau pasti akan mendapat kesempatan!"
"Sungguh tidak adil," geram Elizabeth. "Dan dia pasti akan habis-habisan
mengejekku kini. Oh, mudah-mudahan Rapat Besar akan menghukumnya sehingga ia tak
bisa main dalam pertandingan itu."
Robert sangat girang melihat namanya terpampang di papan pengumuman. Tetapi di
balik kegirangan itu, ia merasa sangat khawatir juga. Ia tahu Elizabeth dan Joan
pasti melaporkannya di Rapat Besar. Dalam hatinya ia merasa takut juga.
Hari Jumat tiba. Robert gelisah. Kalau saja Rapat itu diadakan sesudah hari
Sabtu, ia takkan terlalu peduli. Toh ia bisa main dalam pertandingan itu,
walaupun kemudian ia menerima hukuman. Sungguh bangga bisa terpilih mengalahkan
Elizabeth yang suka ikut campur urusan orang itu!
Waktu untuk Rapat Besar tiba. Anak-anak memasuki ruangan dengan perasaan sedikit
tegang. Mereka tahu Rapat Besar kali ini tidak akan seperti biasanya.
12. Rapat yang Menegangkan
Bahkan anak-anak kecil pun merasakan keluar-biasaan Rapat Besar kali ini. Mereka
masuk tanpa banyak ribut seperti biasanya. Leslie telah mengatakan pada semua
temannya bahwa ia akan melaporkan Robert, anak besar yang sering mengganggu
anak-anak kecil. Beberapa orang anak kecil serta-merta menyatakan akan
menggunakan kesempatan tersebut untuk ikut melaporkan Robert.
"Mestinya aku mengatakan yang benar tentang kelakuannya," kata Peter. "Waktu aku
ditanyai di Rapat Besar dulu, bahwa ia mengayunku terlalu tinggi dan membuatku
mual. Tetapi kemudian ia mendatangiku, mengancam akan membuka pintu kandang
marmutku dan melepaskan semua binatang peliharaanku itu. Waktu itu aku tak
berani berbuat apa-apa. Tetapi kali ini aku akan berani."
William dan Rita tampak agak muram waktu mereka mulai duduk. Rita telah
bercerita tentang berbagai tipuan licik yang digunakan seseorang untuk
menjatuhkan Jenny. Kedua Hakim itu sependapat bahwa akan sangat sulit sekali
untuk memecahkan persoalan kali ini. Tetapi masih ada Bu Best dan Bu Belle serta
Pak Johns yang duduk di belakang. Para pimpinan sekolah tersebut akan siap
membantu bila persoalan tak bisa mereka tangani.
Robert tampak pucat. Sebaliknya Elizabeth tampak merah karena tegang hatinya.
Begitu juga Jenny. Joan juga merasa tegang, namun tak tampak di wajahnya.
Rapat dimulai dengan pengumpulan uang dan pembagian uang. Dua shilling
dibagikan, kemudian dua orang anak diperkenankan mendapat uang tambahan. Dan
sampailah Rapat Besar itu pada acara yang sangat dinantikan semua anak.
"Ada yang akan melapor atau menyampaikan keluhan?" tanya William, mengetuk meja
dengan palu kayunya. Elizabeth langsung berdiri. Disusul oleh Leslie. Hampir bersamaan.
"Elizabeth dahulu," kata Rita. "Duduklah, Leslie. Giliranmu akan datang nanti."
Leslie duduk. Elizabeth mulai bicara, kata-katanya meluncur cepat, tergesa-gesa.
"William dan Rita, aku akan melaporkan sesuatu yang sangat serius," katanya.
"Mungkin sama dengan apa yang akan dilaporkan Leslie. Tentang Robert."
"Teruskan," kata William, wajahnya tidak berubah.
"Kalian ingat, aku pernah melaporkan bahwa Robert menyakiti Peter." Elizabeth
melanjutkan laporannya. "Karena waktu itu tak ada bukti, dan juga karena aku
begitu marah hingga menampar Robert, maka Rapat tidak menghukum Robert dan
menyuruh aku minta maaf padanya. Sekarang coba dengarkan laporanku kali ini."
"Tenanglah, Elizabeth, jangan terlalu tegang." kata Rita.
Elizabeth mencoba untuk berbicara tenang. Tetapi ia sangat membenci Robert,
sehingga nada suaranya lalu berubah menjadi nada suara orang marah.
"Begini, William dan Rita. Aku dan Joan benar-benar melihat Robert menyiksa
Leslie," katanya. "Robert telah memaksa Leslie duduk di pipa air panas! Dan satu
hal lagi, kami kini mengetahui mengapa dulu Peter tidak mengeluh tentang
perlakuannya. Ternyata Robert mengancam akan melepaskan semua marmut Peter kalau
ia sampai mengatakan hal yang merugikan Robert di Rapat Besar. Jadi ternyata aku
benar. Robert memang penindas yang jahat!"
"Jangan memberi sebutan pada seseorang," kata Rita, "sebelum Rapat Besar memberi
ke-putusan yang menentukan. Ada lagi yang ingin kaukatakan?"
"Ya. Robert bukan saja keji terhadap anak-anak yang lebih kecil, tetapi ia juga
membuat aku dan Jenny berulang-ulang kena marah karena akal liciknya," kata
Elizabeth lagi. "Akal licik bagaimana?" tanya William, mulai tampak khawatir.
"Ia mengambil tiga bukuku dan menyembunyikannya entah di mana," sahut Elizabeth.
"Kemudian dikotorinya alat-alat berkebunku, sehingga John memarahi aku. Ia juga
menaruh dua ekor tikus milik Jenny di laci Bu Ranger. Tikus-tikus itu lepas dan
tak bisa ditemukan lagi."
"Apakah itu betul, Jenny?" tanya William.
"Memang betul," kata Jenny, berdiri. "Aku tak bisa menemukan kembali tikustikusku yang malang itu. Aku tak berkeberatan menjadi sasaran lelucon, tetapi
sungguh kejam kalau tikusku yang harus menderita."
"Duduklah, Jenny," kata William. Ia kemudian berbicara dengan Rita, kemudian
kembali menghadap hadirin.
"Leslie, berdirilah dan katakan apa yang ingin kaukatakan," perintah William.
Leslie yang sedikit urakan itu berdiri, dengan tangan di dalam saku dan penuh
gaya. Tetapi William langsung memotongnya, sebelum ia sempat bicara, "Keluarkan
tanganmu dari dalam saku, Leslie, berdirilah dengan baik. Ingat, ini adalah
peristiwa yang amat penting, jadi jangan main-main."
Hilang sedikit keangkuhan Leslie. Ia mengeluarkan tangannya dan wajahnya jadi
merah. Dengan nada sopan ia mulai bercerita. Dengan teliti diceritakannya
semuanya kepada kedua Hakim dan Dewan Juri.
"Dan kini kami minta Peter berbicara," kata Rita setelah Leslie selesai. Si
kecil Peter berdiri dengan kaki menggeletar ketakutan. Ia memang sangat segan
pada kedua Ketua Murid. Dengan suara terbata-bata ia mulai bercerita.
"Bbbegggini... William dan Rita... Robbbert memmang meng meng mengayunkan aku
terlalu tinggi saat itttu," katanya. "Dan akku jadi mual karenanya."
"Lalu mengapa kau tak mengatakan sebenarnya waktu dulu kami tanyakan padamu?"
tanya William. "Sebab aku takut," kata Peter. "Aku takut kepada Robert."
"Kau tak boleh jadi pengecut," kata William dengan lemah-lembut. "Jauh lebih
baik bila kau berhati berani, Peter. Kalau saja saat itu kau bisa memberanikan
hatimu untuk mengatakan sebenarnya, kita akan bisa mencegah Robert melakukan
perbuatan kejinya terhadap anak-anak lain. Karena kau takut, maka kau menjadi
penyebab anak-anak lain menderita di tangan Robert. Kau juga membuat kami tak
percaya pada Elizabeth, sehingga tentu saia Elizabeth jadi sedih. Kau harus
ingat untuk selalu mengatakan yang sebenarnya. Tak peduli betapa beratnya
bebanmu karena itu. Kalau kau berani berkata benar, maka kami akan lebih
menghargaimu." "Baiklah, William," kata Peter dan bertekad untuk takkan pernah berbuat pengecut
lagi. "Walaupun misalnya kau takut untuk mengatakannya di Rapat Besar, mestinya kau
bisa mengatakannya kepada Pengawasmu," kata William lagi. "Untuk itulah kita
semua membentuk para Pengawas, yaitu agar akal sehat mereka bisa membantu kita.
Duduklah, Peter." Peter duduk. Gembira karena tak harus berbicara lebih banyak lagi. William
berpaling pada Robert yang tampak sangat murung dan gusar.
"Dan kini bagaimana, Robert?" tanya William. "Apa yang akan kaukatakan" Tuduhan
yang cukup berat telah diajukan padamu. Apakah kau merasa bersalah atau tidak?"
"Hanya satu tuduhan yang benar," kata Robert dengan berdiri. Suaranya begitu
lemah sehingga anggota Dewan Juri tak bisa mendengarnya.
"Berbicaralah lebih keras," kata William. "Apa maksudmu, hanya satu tuduhan yang
benar" Yang mana?"
"Memang benar aku memaksa Leslie duduk di pipa panas," kata Robert. "Walaupun
pipa tersebut sesungguhnya tidak begitu panas. Tetapi bukan aku yang
mempermainkan Elizabeth dan Jenny. Sama sekali bukan aku. Sekali pun tak
pernah," "Oooh!" kata Elizabeth. "Pasti kau yang melakukannya, Robert. Kau selalu tampak
gembira sekali bila aku mendapat kesulitan atau kena marah."
"Diamlah, Elizabeth," kata William. "Robert, kau berkata bukan kau yang
mempermainkan Elizabeth seperti yang dikatakan oleh Elizabeth. Kau ingat bukan,
kau pernah tidak berkata benar, waktu mengatakan bahwa kau tidak mengayunkan
Peter sehingga Peter ketakutan. Kini akan sangat sulit bagi kami untuk
mempercayaimu. Sebab kami bisa saja berpikir bahwa kali ini pun kau tidak
berkata benar, untuk meloloskan diri dari kesulitan yang mungkin akan
kauterima." "Pokoknya aku berkata benar kali ini," kata Robert gusar. "Bukan aku yang
mempermainkannya. Aku tak tahu siapa - betul-betul tidak tahu! Aku tidak
menyukai Elizabeth. Aku berpendapat dia itu sungguh menyebalkan, suka ikut
campur urusan orang. Tetapi aku tidaklah begitu keji, sehingga melakukan
perbuatan yang dikatakannya tadi hanya agar ia memperoleh amarah guru! Dan


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa pula aku mempermainkan Jenny" Aku toh tidak membencinya. Percayalah. Ada
orang lain yang mempermainkan Elizabeth dan Jenny."
Sungguh malang Robert. Tak seorang pun - kecuali Kathleen, tentunya - yang mau
mempercayainya lagi. Mereka semua ingat bahwa Robert pernah berdusta dulu.
Kemungkinan besar kali ini ia berdusta lagi. William mengetuk meja agar anakanak yang mulai berbicara sendiri-sendiri tenang kembali.
"Harap tenang," kata William. "Kini kita menghadapi sebuah persoalan yang sangat
rumit. Tiga buah tuduhan diajukan pada seorang anak. Pertama, dia dituduh
menindas anak-anak yang lebih kecil. Kedua, dia dituduh mempermainkan dua orang
anak perempuan di kelasnya sehingga keduanya mendapat berbagai macam kesulitan.
Ketiga, dia dituduh berdusta. Dewan Juri, Rita dan aku akan membicarakan apa
yang akan kita lakukan untuk persoalan ini. Kalian semua juga dipersilakan
berunding sendiri, dan barang siapa yang berpendapat menemukan suatu jalan
keluar diharap segera mengutarakannya pada waktu yang ditentukan nanti."
Hadirin mulai agak ramai berbicara. Para Juri dan Hakim berunding dengan
berbisik-bisik. Mereka tampak sekali bersungguh-sungguh. Robert duduk sendirian.
Anak-anak di kiri kanan dan di dekatnya semua berpaling dari dia untuk berbicara
dengan kawan-kawan mereka yang lain. Ia merasa kesal. Mengapa ia mengganggu
anak-anak yang lebih kecil darinya itu" Mengapa ia selalu berbuat kejam pada
mereka" Mungkin sekali ia diusir karena ulahnya ini, dan apa kata ayah ibunya
nanti" Nona Belle dan Nona Best juga tampak serius. Pak Johns berbicara dengan mereka
beberapa saat, kemudian ketiganya menunggu apa yang akan dikatakan oleh para
Hakim. Mereka tak pernah ikut campur dalam suatu Rapat Besar, kecuali bila
diminta. Setelah beberapa lama, Rita dan William mengetuk meja, minta agar hadirin
tenang. Seketika itu juga semua hening. Heran juga bagaimana Hakim dan Dewan
Juri dapat menemukan penyelesaiannya dengan begitu cepat.
Apa yang akan mereka katakan"
"Nona Belle dan Nona Best, serta Pak Johns," kata William dengan tenang. "Kami
berpendapat kami harus meminta bantuan Anda semua kali ini. Silakan maju ke
depan untuk memberi petunjuk."
"Baiklah," kata Nona Best. Ketiga pimpinan sekolah itu pun maju ke panggung di
depan. Dan mulailah suatu pembicaraan yang akan mengubah seluruh kehidupan
Robert! 13. Robert Diberi Kesempatan
Seluruh pengunjung rapat tampak bersungguh-sungguh. Tak terlihat secercah senyum
pun. Tak terdengar sedikit pun suara saat guru-guru kepala itu duduk di kursikursi yang cepat disiapkan oleh anggota Dewan Juri.
"Persoalan ini kurasa lebih baik bila dibicarakan secara terbuka di antara kita
semua," kata Bu Belle. "Marilah kita bicarakan satu per satu tuduhan yang
ditujukan pada Robert. Pertama, tuduhan bahwa dia menindas anak-anak yang lebih
kecil darinya. Nah, apakah ada persoalan seperti ini, William dan Rita, sejak
kalian berdua menjadi Hakim?"
"Tidak," jawab William. "Tetapi kalau tidak salah pernah terjadi perkara yang
hampir serupa, tentang seorang murid yang menindas murid yang lebih kecil,
sewaktu aku masih berada di kelas rendah. Mungkinkah perkara itu dicatat di Buku
Besar?" Buku Besar adalah buku tempat segala perkara yang terjadi di Rapat Besar
dicatat. Berbagai tuduhan dan keluhan ada di situ, dengan catatan tentang
bagaimana perkara-perkara itu akhirnya ditanggulangi. Buku Besar tersebut selalu
terletak di meja Hakim. Buku itu memang besar, dan separo isinya penuh dengan
berbagai tulisan kecil-kecil. Setiap Hakim diharuskan mencatat apa saja yang
terjadi di setiap Rapat Besar, sebab kata Bu Belle dan Bu Best, kadang-kadang
Buku Besar tersebut bisa dijadikan sumber bantuan untuk memutuskan sesuatu. Kini
William membolak-balik buku tersebut.
Akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. "Ini dia," katanya. "Seorang anak
perempuan bernama Lucy Ronald dituduh menindas anak-anak yang lebih kecil
darinya." "Ya, aku ingat," kata Bu Belle. "Ternyata kemudian rapat waktu itu menemukan
sebab kelakuannya. Bacalah, William, mungkin bisa membantu kita untuk memecahkan
persoalan Robert." William membaca dalam hati cepat-cepat. Kemudian ia berkata pada hadirin, "Di
sini tertulis demikian. Setelah diadakan penyelidikan, ternyata Lucy selama
tujuh tahun hidup sebagai anak tunggal. Kemudian ia memperoleh adik kembar, yang
ditempatkan bersamanya dalam satu kamar. Selanjutnya setiap hari ia melihat
bahwa semua perhatian dicurahkan pada bayi kembar itu. Ayahnya, ibunya, bahkan
perawatnya. Lucy merasa bahwa dirinya dikucilkan. Karenanya ia sangat membenci
bayi-bayi tersebut, yang dikiranya telah mencuri kasih sayang kedua orangtuanya
darinya." "Teruskan," kata Bu Belle.
"Tentu saja Lucy tidak bisa menyakiti adik-adiknya itu untuk melampiaskan
kemarahannya, sebab kedua bayi itu selalu dijaga," William melanjutkan.
"Karenanya ia melampiaskan perasaan marah, benci, dan iri hati itu pada anak
lain. Ia selalu memilih anak-anak yang lebih kecil, sebab mereka tak bisa
membalas, dan karena mereka mengingatkannya pada kedua adiknya."
"Dan kukira kebiasaan itu makin lama makin berkembang dan tertanam pada diri
Lucy," kata Rita, penuh perhatian. "Apakah begitu itu biasanya yang menjadikan
seseorang suka menindas mereka yang lebih kecil?"
"Itu salah satu dari sekian banyak sebab seseorang menjadi sok jago terhadap
anak yang lebih lemah," kata Bu Belle. "Tetapi kini harus kita selidiki apakah
kebiasaan Robert juga disebabkan oleh sebab yang sama."
Semua mendengarkan dengan teliti dan penuh perhatian. Setiap orang tahu apa dan
bagaimana kelakuan seorang anak yang suka menindas anak yang lebih kecil. Mereka
tak suka pada anak seperti itu. Diam-diam anak-anak itu melirik pada Robert,
ingin tahu apakah Robert juga memperhatikan. Memang, Robert dengan cermat
memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh William.
"Kalau begitu," kata Pak Johns, "kita akan bertanya pada Robert, kalau-kalau ia
bisa bercerita tentang dirinya. Robert, apakah kau punya adik?"
"Ya. Aku punya dua orang adik laki-laki. Masing-masing lima tahun dan empat
tahun lebih muda dariku," kata Robert.
"Apakah waktu kau masih kecil kau menyukai mereka?" tanya William.
"Tidak," kata Robert. "Keduanya merampas perhatian semua orang. Tak ada lagi
yang memperhatikan aku. Suatu saat aku sakit. Tetapi tak ada yang ribut
memikirkan aku seperti sebelum adik-adikku itu lahir. Aku tahu itu semua karena
James dan John. Begitulah. Waktu aku sembuh, aku membenci anak-anak yang lebih
kecil dariku. Aku mulai senang memukuli mereka. Menyiksa mereka. Kuanggap saja
anak-anak tersebut si James dan si John. Jelas aku tak bisa memukuli kedua
adikku tersebut, sebab semua orang pasti akan menghalangiku dan pasti akan
memarahiku." "Dan begitulah akhirnya sifat itu selalu dibawa Robert," kata Pak Johns. "Kau
selalu menyakiti anak-anak yang lebih kecil darimu sebab kau tak bisa
menyingkirkan kedua adikmu yang menurut pendapatmu telah mencuri kasih sayang
kedua orangtuamu. Robert, kasihan betul kau. Sesungguhnya kau membuat sedih
dirimu jauh lebih besar dari kesedihan yang kautimbulkan pada orang lain."
"Yah, orang-orang sudah menuduhku suka menindas anak-anak kecil sejak aku
berumur lima tahun," kata Robert murung. "Jadi kuanggap saja mereka benar.
Kuanggap saja memang begitulah sifatku, tak bisa diubah lagi, tak bisa
kuhentikan." "Sesungguhnya masih bisa diubah, dan kau sendiri bisa menghentikan kebiasaan
buruk itu," kata Bu Best. "Begini, Robert, bila kau tahu bagaimana suatu
kebiasaan timbul dan tumbuh, kau akan bisa mengetahui cara melawannya. Kini,
setelah kami tahu penyebab mengapa kau menjadi anak yang keji terhadap anak-anak
kecil, aku yakin tak seorang pun di antara kami yang akan membencimu. Kau hanya
tidak begitu beruntung. Kau sebetulnya tidak jahat - kau adalah seorang anak
yang punya kebiasaan mengganggu anak kecil karena iri pada kedua adikmu. Kau
bisa menghentikan sikap itu kapan saja, dan menjadi dirimu yang sebenarnya."
"Aku ingat, aku pernah sangat membenci adik perempuanku," kata Belinda. "Kukira
aku bisa mengerti perasaan Robert."
"Aku juga," kata Kenneth. "Perasaan seperti itu memang perasaan yang sangat
tidak menyenangkan."
"Tetapi sesungguhnya itu suatu perasaan yang wajar terjadi," kata Bu Belle.
"Hampir semua di antara kita mengalaminya, dan sebagian besar bisa
mengalahkannya. Tetapi memang ada yang tak bisa mengalahkan perasaan itu.
Misalnya saja Robert. Tetapi sekarang ia sudah sadar apa sesungguhnya yang telah
terjadi, karenanya ia juga akan bisa mengalahkan perasaan buruk itu. Bukankah
sungguh memalukan, Robert, anak sebesar engkau menggoda dan menyakiti anak-anak
seperti Peter dan Leslie, hanya karena beberapa tahun yang lalu kau merasa iri
pada kedua adikmu" Sudah tiba saatnya kau membuang perasaan itu dari hatimu."
"Ya, memang," kata Robert merasa seakan-akan sebuah cahaya terang mulai bersinar
di kegelapan hatinya. "Aku sesungguhnya tidak berbakat jadi anak jahat. Aku
sesungguhnya ingin berbaik hati pada manusia dan binatang. Entah kenapa aku
malah bertindak sebaliknya. Tetapi kini aku sudah sadar akan sebabnya, dan
kukira akan sangat mudah bagiku untuk mengubah pribadiku. Bahkan sekarang pun
aku sudah merasa berubah. Aku menyesal telah berbuat keji pada anak-anak kecil
selama ini. Tetapi kurasa sekarang ini takkan ada seorang pun yang mau
menolongku." "Oh, kita semua akan membantumu, Robert," seru Rita. "Itulah salah satu
kelebihan Sekolah Whyteleaf - bahwa kami selalu saling membantu satu sama lain.
Tak seorang pun di sekolah kita ini yang menolak untuk menolongmu, atau tidak
memberimu kesempatan untuk mengubah sikapmu."
"Bagaimana dengan Elizabeth?" tanya Robert segera.
"Akan kita tanyakan padanya," kata Rita. "Elizabeth, bagaimana pendapatmu?"
"Mmm... " Elizabeth ragu-ragu sejenak, "mmm... tentu saja aku mau membantu
Robert, bila ia benar-benar ingin mencoba mengubah kebiasaan buruknya. Tetapi
rasanya aku tak bisa memaafkan ulahnya yang menyebabkan aku dan Jenny mendapat
banyak kesulitan. Kukira untuk itu ia harus mendapat hukuman."
"Sudah kukatakan, bukan aku yang melakukan itu semua!" kata Robert.
"Pasti ada yang melakukan akal licik," kata Rita. "Kalau Robert tidak
melakukannya, lalu siapa" Apakah anak yang melakukannya cukup berani untuk
mengaku?" Tak seorang pun bersuara. Muka Kathleen jadi merah, tetapi ia menundukkan kepala
memperhatikan lantai. Ia mulai merasa tak enak kini melihat Robert yang dituduh
melakukan segala perbuatannya.
"William dan Rita," kata Elizabeth. "Kalian tidak mempercayaiku waktu aku
melaporkan tentang Robert dulu itu. Dan ternyata aku benar. Kukira kalian tidak
adil kalau sekarang masih juga tidak mempercayaiku. Aku yakin benar bahwa apa
yang kukatakan benar."
Dewan Juri dan kedua Hakim berunding. Sungguh sulit untuk mencari suatu
keputusan. Akhirnya William bicara lagi.
"Elizabeth, mungkin kau benar. Kami dahulu tidak percaya padamu. Dan kini kami
tidak akan mempercayai Robert. Kami akan bertindak seadil-adilnya pada kalian
berdua. Kami putuskan bahwa kau boleh bermain di pertandingan lacrosse besok,
menggantikan Robert, sebab kata Nora kau sungguh sangat kecewa karena tidak
terpilih menjadi anggota tim."
"Oh, terima kasih!" kata Elizabeth gembira.
Robert berdiri, ia tampak sangat kecewa.
"Baiklah," katanya. "Kukira cukup adil bahwa kali ini aku harus mengalah pada
Elizabeth. Dulu ia telah diharuskan minta maaf padaku, padahal aku tidak berkata
sebenarnya. Tetapi sekali lagi kukatakan di sini bahwa bukan aku yang
mempermainkan Elizabeth dan Jenny."
"Kita tak akan membicarakan hal itu lagi," kata William.
"Sekarang kita akan membicarakan bagaimana kita semua bisa membantumu, Robert.
Pak Johns berkata bahwa yang terbaik adalah memberikan suatu tugas padamu, yaitu
kau harus merawat sesuatu atau seseorang, agar perasaan menyayangi timbul
padamu, menggantikan perasaan membenci. Kau sangat menyukai kuda, bukan?"
"Oh, ya!" kata Robert segera.
"Nah. Walaupun sesungguhnya anak dari kelasmu belum boleh merawat kuda, dan
hanya boleh menaikinya, kami akan membuat suatu peraturan baru khusus untukmu,"
kata William. "Kau harus memilih dua ekor kuda yang paling kausukai. Dan kau
bertugas khusus untuk merawat keduanya. Kau harus memberinya makan, memberinya
minum, memandikan dan membersihkan tubuhnya. Kemudian bila kelasmu sedang
mendapat pelajaran menunggang kuda, kau harus membawa salah seorang anak yang
lebih kecil darimu untuk naik kuda yang kedua, sementara kau mengiringinya
dengan naik kuda yang pertama. Kau harus mengajarinya sebaik kau bisa."
Robert mendengarkan penuh perhatian, hampir tak bisa mempercayai telinganya!
Diserahi tugas merawat dua ekor kuda yang dipilihnya sendiri! Merawatnya setiap
hari! Ini bukan hukuman baginya, sebab memang itulah yang selalu diimpiimpikannya. Ia mencintai kuda lebih daripada binatang apa pun. Hampir saja ia
menangis karena terlalu gembira. Ia tak peduli kini bahwa ia tak jadi main dalam
pertandingan lacrosse besok. Ia tak peduli apa pun. Ia merasa dirinya telah
berubah. "Terima kasih banyak, William," kata Robert dengan suara agak bergetar. "Kau
boleh yakin bahwa aku akan merawat kuda-kuda itu sebaik-baiknya. Dan aku akan
memilih anak-anak yang dulu sering kuganggu untuk kuajari menunggang kuda."
"Kami sudah mengira kau akan melakukan itu," kata Rita dengan perasaan senang.
"Baiklah. Laporkanlah perkembangan dirimu dalam Rapat yang akan datang. Kami
sangat ingin mengetahuinya."
"Aku akan berkuda denganmu, Robert," sebuah suara anak kecil terdengar. Ternyata
Peter. Ia juga telah mengikuti dengan saksama apa yang sedang dibicarakan. Dan
hatinya ikut mencair, penuh perasaan ingin ikut membantu Robert. Dalam hati,
sesungguhnya ia ikut merasa berdosa, sebab ia pun pernah merasa sangat iri pada
adiknya, bahkan sering memukul si adik bila kebetulan tak ada yang melihat. Ia
takut kalau kelak akan menjadi nakal seperti Robert.
"Kukira sudah waktunya Rapat bubar," kata Bu Belle. "Sudah lewat waktu yang
ditentukan, bahkan sudah lewat jam tidur bagi anak-anak yang kecil. Tetapi
kukira malam ini kita mendapat sebuah pelajaran yang sangat berharga. Dan sekali
lagi kalian memperoleh kesempatan untuk membantu salah seorang kawan kalian.
Sungguh senang untuk ditolong. Tetapi lebih senang lagi untuk menolong."
"Rapat dibubarkan," seru William dan mengetuk meja keras-keras dengan palunya.
Semua keluar. Mereka tampak berwajah bersungguh-sungguh, tetapi dalam hati
merasa gembira. Sebuah persoalan yang sulit telah dipecahkan dengan sangat baik.
Mereka puas. Hanya seorang anak yang tidak merasa senang ataupun puas. Kathleen! Robert telah
kehilangan kesempatan untuk bermain dalam pertandingan lacrosse hanya karena
perbuatannya! Semua anak di sekolah itu berjanji akan membantu Robert, tetapi
dia, Kathleen, malah merugikannya!
Ia merasa gelisah, sedih. Tetapi apa yang bisa dilakukannya"
14. Hari Pertandingan Keesokan harinya, hari Sabtu adalah hari pertandingan lacrossel Elizabeth bangun
lebih pagi dari biasanya. Penuh harap ia melihat ke luar jendela. Apakah cuaca
cukup baik" Tidak terlalu baik. Agak mendung. Yang penting tidak hujan, sudah bagus. Sungguh
menyenangkan untuk mengikuti pertandingan pertamanya nanti.
"Jenny," bisik Elizabeth ke sebelahnya, saat ia mendengar sahabatnya itu mulai
bergerak di tempat tidur. "Jenny! Hari ini hari pertandingan! Dan aku yang main,
bukan Robert!" Jenny mendengus. Ia tak begitu senang pada Elizabeth, karena ia bergembira atas
kemalangan Robert. Memang Robert harus dihukum, tetapi bergembira karena orang
lain dihukum sungguh tidak begitu baik menurut pendapatnya.
Kathleen juga sudah bangun. Ia mendengar kata-kata Elizabeth. Dan ia merasa
berdosa. Tadinya ia merasa senang bahwa ada anak lain yang dihukum karena
perbuatannya. Tapi sekarang tidak. Bahkan ia marah karena Elizabeth ternyata
kegirangan karena ulahnya itu. Ia amat membenci Elizabeth! Jadi kacau semuanya!
Dan bagaimana dengan Robert" Robert juga bangun lebih pagi dari biasanya. Ia
langsung teringat pada apa yang terjadi malam sebelumnya. Ia duduk di tempat
tidur. Matanya berseri-seri saat memikirkan kuda yang dipilihnya untuk dirawat.
Ia merasa dirinya sudah berbeda. Rasanya tak apalah kalau seluruh sekolah
mengetahui ia anak jahat - sebab ia tahu bahwa mereka mengetahui sebab
kenakalannya itu. Dalam minggu-minggu ini akan ia tunjukkan pada seluruh sekolah
bahwa pada dasarnya ia memang anak baik. Alangkah herannya mereka nanti.
Ia teringat akan pertandingan lacrosse yang semestinya diikutinya. Hatinya
sedikit kecewa mengingat bahwa Elizabeth-lah yang akan menggantikannya.
"Aku sesungguhnya sangat ingin untuk bisa ikut main dalam pertandingan itu,"
pikir Robert. "Sayang sekali Rapat telah memberikan hukuman seperti itu. Padahal
bukan aku sesungguhnya yang berbuat. Tetapi memang kukira sudah sewajarnya bila
mereka kali ini lebih mempercayai Elizabeth. Aku harus menerima hukuman ini, dan
kuharap saja siapa pun yang mempermainkan Elizabeth segera ditemukan. Kemudian
semua orang akan menyesal karena telah menjatuhkan hukuman padaku."
Ia berpikir-pikir lagi, sementara terus duduk di tempat tidurnya, bertopang


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dagu. "Elizabeth itu lucu. Ia sangat pemarah tetapi sangat ingin berlaku adil tetapi ia telah berbuat sangat tak adil padaku. Seharusnya ia tahu bahwa tak
mungkin aku yang melakukan semua perbuatan yang menyudutkannya itu. Aku tak
menyukai anak itu." Elizabeth! Hampir saja Robert memutuskan untuk tidak mau berbicara dengan
Elizabeth seterusnya. Tidak mau bergaul dengannya. Tetapi kemudian terpikir
olehnya kegembiraan hatinya nanti bila ia merawat kuda-kuda kesayangannya. Ah,
betapa senangnya. Dan hatinya pun melembut. Ia bahkan tak bisa memaksa dirinya
berpikir membenci Elizabeth! Betapapun, ia toh telah berjanji untuk menunjukkan
bahwa dirinya sebetulnya berhati baik, dan sama sekali tidak jahat.
"Aku tahu apa yang akan kulakukan," katanya kemudian pada dirinya sendiri. "Aku
akan menonton pertandingan. Dan bila Elizabeth mencetak gol, aku akan bersoraksorai seperti kawan-kawan lainnya. Sesungguhnya akan sangat berat bagiku untuk
bergembira atas hasil yang dicapai Elizabeth, tetapi itu akan menunjukkan pada
semua orang bahwa aku mampu mengalahkan rasa iriku padanya."
Robert meninggalkan kamar tidurnya jauh sebelum semua teman sekamarnya
terbangun. Ia menyelinap ke luar dan pergi ke kandang kuda. Ia akan berbicara
pada kedua kuda yang telah dipilihnya. Dan ia akan berkuda menjelajahi bukitbukit dengan kuda kesayangannya. Ia merasa dirinya sangat penting dan bangga
sewaktu membuka pintu kandang dan berbicara pada pengurus kandang.
"Bolehkah aku berbicara pada Bessie dan Kapten?" tanyanya. Aku sudah mendapat
izin untuk merawat keduanya.
"Ya, aku sudah diberitahu," kata pengurus kandang itu. "Baiklah. Tetapi aku
harus ikut mengawasi pekerjaanmu pada minggu pertama ini. Anak muda. Sesudah
itu, bila pekerjaanmu baik, kau boleh mengurusnya seorang diri."
Robert mendengar suara langkah kaki berlari di halaman. Dilihatnya Leonard dan
Fanny bergegas menuju kandang sapi. Mereka hendak memerah susu. Leonard dan
Fanny melihat Robert, dan berteriak menyapa, "Halo, Robert! Kau sudah memilih
kudamu?" "Sudah," kata Robert. "Kemarilah. Dan lihatlah kuda-kuda yang kupilih. Lihat.
Ini si Bess, dia sangat manis dan penurut. Dan ini Kapten. Usaplah hidungnya."
Leonard dan Fanny melihat-lihat kedua ekor kuda itu dan memperhatikan Robert.
Mereka tampak begitu heran sehingga Robert merasa gelisah.
"Ada apa?" tanyanya. "Ada noda di mukaku" Atau apa?"
"Tidak," kata Fanny. "Hanya... kau tampak berbeda, Robert. Biasanya kau selalu
tampak keji, selalu cemberut dan gusar, tetapi kali ini kau penuh senyum dan
matamu bersinar-sinar. Sungguh aneh melihat seseorang bisa berubah dalam
semalam! Marilah lihat sapi-sapi kami. Nanti kami beri kau segelas susu yang
masih hangat." Leonard dan Fanny menggandeng Robert di kanan-kiri. Mereka menariknya ke kandang
sapi, tempat sapi-sapi sudah menunggu dengan sabar untuk diperah susunya.
Bertiga mereka bergurau dan tertawa sambil bekerja. Hati Robert merasa hangat
oleh persahabatan itu. Ia pun mulai ikut bercanda dan bergurau. Kemudian ia
menikmati susu hangat yang baru saja diperah dari sapi pertama.
"Sungguh menyenangkan," pikirnya. "Setiap pagi aku akan menemui Leonard dan
Fanny bila aku akan merawat kuda-kudaku. Aku akan segera mempunyai sahabat!"
Lima menit kemudian ia telah berpacu di perbukitan, merasakan belaian angin di
rambutnya, dan guncangan punggung kuda di bawahnya. Setiap ia berbicara pada
Bess, kuda itu menggerak-gerakkan telinga seakan-akan mendengarkannya. Semua
kuda menyukai Robert, tetapi baru sekarang ia menyadari hal itu. Sungguh hampir
tak bisa dipercaya bahwa kini ia bisa berbuat apa saja dengan binatang-binatang
yang sangat dicintainya itu.
"Sesudah minum teh nanti akan kuajak Peter naik Kapten," pikirnya. "Aku akan
membuat anak itu segera melupakan kekejianku padanya."
Setiap anak yang bertemu dengan Robert pagi itu tersenyum melihat perubahan pada
dirinya. Semua menyapanya dengan riang, menepuk punggungnya, membuatnya benarbenar merasa bahwa seluruh sekolah bersedia membantunya.
Hanya Kathleen dan Elizabeth yang belum bertemu dengan Robert hari itu.
Elizabeth sibuk menggali dengan John di kebun sekolah, sedang Kathleen mengikuti
kegiatan pengamatan alam dengan beberapa orang temannya. Elizabeth tak hentihentinya berbicara dengan John tentang pertandingan nanti.
"Sungguh untung bukan, bahwa akhirnya aku ikut bermain," kata Elizabeth.
"Tadinya aku sungguh kecewa karena melihat nama Robert yang tertulis di papan
pengumuman." "Kukira kini Robert juga akan merasa sangat kecewa sekali," kata John sambil
menggali kuat-kuat. "Salahnya sendiri," kata Elizabeth. "Ia begitu keji mempermainkan aku dan Jenny.
Pikirkan betapa dulu itu ia mengotorkan alat-alat berkebunku sehingga kau marah
padaku." "Aku minta maaf karena dulu aku memarahimu, Elizabeth," kata John. "Kuharap saja
apa yang kauperkirakan tentang dia benar. Sungguh kasihan dia kalau harus
menderita karena kesalahan yang tidak dilakukannya."
"Salah atau tidak, ia memang anak yang jahat," kata Elizabeth. "Aku gembira
karena ia tidak jadi ikut bertanding. Aku yakin ia takkan berani datang menonton
pertandingan itu. Ia akan malu sekali karena akhirnya ia tak bisa ikut
bertanding." Tetapi Elizabeth salah terka!
Anak-anak yang akan ikut bertanding harus segera berganti pakaian di ruang
senam, segera setelah mereka makan siang. Pertandingan biasanya dimulai pukul
setengah tiga, maka sesungguhnya mereka memang tak punya banyak waktu. Anak-anak
Sekolah Kinellan menurut rencana akan tiba pukul dua lebih dua puluh, dan regu
Whyteleafe harus berada di pintu gerbang untuk menyambut kedatangan mereka.
Elizabeth hampir tak bisa makan. Ia begitu tegang. Ia mencuri pandang melirik
Robert, dan melihat Robert kelihatan ceria dan bahagia. Ia lalu menjauhkan
piring makannya. "Bu Ranger! Rasanya aku tak bisa makan lagi. Aku begitu tidak sabar menunggu
pertandingan nanti," katanya pada Bu Ranger.
"Baiklah, sekali ini kau boleh meninggalkan piringmu dengan makanan masih
bersisa," kata Bu Ranger tersenyum. "Aku tahu bagaimana rasanya pertama kali
ikut bertanding dalam tim sekolah."
Elizabeth bergegas dengan anggota tim lainnya ke ruang senam. Kemudian bersamasama mereka menyambut kedatangan tim Kinellan, mengantarkan mereka ke lapangan
tempat akan bertanding. Tim tamu menaruh pakaian mereka di paviliun yang ada di
tepi lapangan. "Lihat, hampir seluruh murid sekolah kita datang untuk menonton," kata Elizabeth
pada Nora, saat ia melihat anak-anak berduyun-duyun keluar dari sekolah menuju
lapangan pertandingan. "Ya, bahkan Robert juga," kata Nora yang sekilas melihat Robert di antara anak
banyak tadi. "Mana?" tanya Elizabeth heran. Kemudian ia bisa melihat Robert. Heran. Robert
datang untuk menonton pertandingan yang seharusnya diikutinya! Pertandingan yang
tempatnya telah diberikan pada anak lain sebagai hukuman untuknya! Elizabeth
hampir tak mempercayai matanya. Tiba-tiba ia merasa malu. Ia tahu bahwa ia
takkan bisa berlapang dada seperti itu seandainya dialah yang dicopot dari tim
sebagai hukuman. "Sungguh dewasa pikiran Robert, mau datang dan menonton kau bermain," kata Nora.
"Betul-betul ia seorang yang berpikiran matang dan berdada lapang. Aneh juga
melihat anak yang mampu berbuat berbagai tipuan keji ternyata bisa cepat berubah
pribadinya. Aku jadi bertanya-tanya apakah betul ia yang melakukan perbuatanperbuatan itu." Elizabeth mengambil tongkat lacrosse-nya. Tadinya ia merasa yakin bahwa Robert
takkan berani datang menonton. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Bagaimana kalau
seperti kata Nora ternyata sesungguhnya Robert tidak bersalah" Bagaimana kalau
ternyata Robert dihukum secara terburu-buru" Dan itu semua karena tuduhannya!
Sungguh suatu pikiran yang tak menyenangkan.
"Oh, biarlah!" kata Elizabeth akhirnya dalam hati. "Tak akan kupikirkan hal itu.
Lebih baik aku menikmati pertandingan pertamaku ini." Ia pun berlari keluar
paviliun dan memasuki lapangan.
Tetapi ia segera merasa kecewa -hujan mulai turun! Kedua tim dengan gelisah
memandang ke langit. Mudah-mudahan hujan tak berlangsung lama. Mudah-mudahan
hujan takkan begitu besar. Sungguh sayang bila pertandingan itu terpaksa
dibatalkan. Anak-anak berdesak-desakan di paviliun, menunggu. Tetapi makin lama hujan makin
deras, makin lebat. Awan-awan hitam malahan berdatangan, makin banyak, makin
rendah, makin hitam. Tak ada harapan lagi!
"Kukira pertandingan terpaksa dibatalkan," kata Pak Warlow "Semua harap pergi ke
ruang senam, dan kita akan mengadakan beberapa permainan untuk menghibur tim
tamu." Berhamburan anak-anak lari tunggang-langgang kembali ke sekolah. Elizabeth ikut
lari juga, sedih dan kecewa. Sungguh sial! Pertandingan pertamanya - dan hujan
telah menghancurkan harapannya!
Sebuah suara terdengar dekat sekali di telinganya. "Elizabeth! Sayang sekali!
Aku juga ikut kecewa kau tak jadi bertanding!"
Elizabeth berpaling. Robert! Anak itu terus berlari mengikuti teman-temannya
yang lain, sehingga Elizabeth tak bisa menjawab. Tapi perkataannya tadi membuat
Elizabeth tertegun, terpaku heran di tempatnya, berdiri diam. Robert! Robert
mengatakan itu semua" Robert ikut menyesal karena ia tidak jadi bertanding"
Elizabeth sama sekali tak mengerti.
"Elizabeth! Kau ingin basah kuyup?" terdengar Bu Ranger berseru padanya.
"Mengapa berdiri mematung begitu di bawah hujan selebat ini" Ayo cepat lari,
anak tolol!" Dan Elizabeth berlari lagi bersama yang lain, memasuki sekolah. Masih sangat
heran. Tak tahu harus berbuat apa atas kejadian yang baru dialaminya tadi.
15. Kathleen Mengaku Semua merasa kecewa karena pertandingan dibatalkan. Terutama para pemain.
Sepanjang sore itu hujan turun terus. Pak Johns dan Bu Ranger mengatur berbagai
permainan di ruang senam, antara tim tamu dan tim sekolah mereka. Dan ternyata
tim tamu senang sekali dengan permainan-permainan itu.
Joan ikut menyesal karena Elizabeth kecewa. Digandengnya tangan sahabatnya itu.
"Sudahlah, Elizabeth, tak usah terlalu dipikirkan. Minggu depan kan ada
pertandingan lagi. Aku yakin kau bisa bermain dalam pertandingan itu."
"Mungkin juga," kata Elizabeth. "Tetapi sungguh sial tak jadi bermain hari ini.
Aku sudah begitu keras berlatih. Dan aku sudah begitu tangkas dalam menangkap
bola serta menyarangkan bola ke gawang!"
"Aku yakin Robert sangat girang bahwa hari hujan dan kau tak jadi main," kata
Joan. "Nah, itulah yang aneh, Joan," kata Elizabeth. "Pertama, ia datang ke lapangan
untuk menonton pertandingan itu. Dan kedua, sewaktu kita semua lari meninggalkan
lapangan, ia datang padaku dan berkata bahwa ia ikut menyesal pertandingan
terpaksa dibatalkan. Sungguh mengherankan, bukan" Aku jadi merasa malu pada
diriku." "Tunggu saja sampai ia menjalankan muslihat jahatnya lagi padamu," kata Joan."
Kau takkan merasa malu lagi pasti."
Tetapi ternyata sejak saat itu mereka tak pernah diganggu oleh kejadian aneh
lagi. Kathleen tak bernafsu untuk mempermainkan Elizabeth dan Jenny lagi. Ia
telah melihat betapa seorang anak lain dihukum di depan umum karena
perbuatannya. Ia mulai membenci dirinya sendiri. Ia memang membenci Elizabeth
dan Jenny, tetapi kebenciannya pada dirinya sendiri bukannya benci karena marah,
melainkan benci bercampur jijik.
"Sungguh aku anak yang patut dibenci semua orang," pikir Kathleen putus asa.
"Mukaku buruk. Berbintik-bintik. Pucat. Aku membosankan dan tak begitu cerdas.
Dan kini ternyata aku juga keji, suka berdusta dan pengecut! Ini semua sungguh
merupakan permulaan terburuk untuk menjadi anak yang sangat jahat. Kalau
seseorang mulai membenci dirinya sendiri, maka ia takkan pernah bisa merasa
bahagia lagi. Aku tidak cocok untuk bersekolah di Whyteleafe ini. Semua anak
lain selalu bahagia dan gembira-dan bahkan seorang anak jahat seperti Robert
ternyata bisa beralih menjadi baik dan diberi kesempatan untuk memulai lagi."
Kasihan Kathleen. Semula ia mengira segala muslihatnya merupakan sesuatu yang
menyenangkan, apalagi melihat hasilnya yang bisa membuat Elizabeth dan Jenny
merasa sangat jengkel. Tetapi kini ia tahu bahwa kebiasaan jahat membuat seseorang menjadi jahat. Dan
ia membenci dirinya sendiri.
"Dan sungguh buruk membenci diri kita sendiri, lebih buruk daripada membenci
orang lain," pikir Kathleen selanjutnya. "Sebab kita toh tak bisa lari dari diri
kita sendiri. Oh, mengapa aku tak bisa bersikap seperti Nora atau John, yang
selalu jujur dan bahagia."
Kathleen benar-benar tidak merasa bahagia. Ia mulai terbiasa berjalan dengan
kepala menunduk bagaikan seekor anjing yang terlalu sedih.
"Ada apa, Kathleen" Ya ampun, senyum sedikit dong," seru Belinda. "Kau kelihatan
begitu sedih! Apakah kau menerima kabar buruk dari rumah?"
"Tidak," jawab Kathleen. "Aku hanya sedang tak suka tersenyum. Jangan ganggu
aku." Anak-anak lain juga melihat betapa sedihnya Kathleen. Mereka kasihan juga
padanya. Bahkan Elizabeth juga bertanya, "Kathleen, kau sakit?"
Namun Kathleen hanya menjawab singkat, "Tidak," dan pergi meninggalkan
Elizabeth. Pekerjaannya begitu buruk sehingga Bu Ranger jadi sangat khawatir. Ada apa
dengan anak ini" Tampaknya ia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Akhirnya Bu Ranger
mengajak Kathleen berbicara berdua.
"Kathleen, ada sesuatu yang kaupikirkan?" tanya Bu Ranger lembut. "Minggu ini
semua pekerjaanmu berantakan. Dan kau tampak begitu sedih. Ceritakan padaku
kesulitanmu, mungkin aku bisa membantu."
Kathleen merasa air matanya mulai mendesak ke luar saat didengarnya Bu Ranger
berkata sedemikian lembut padanya. Ia memalingkan muka.
"Tak seorang pun bisa menolongku," katanya dengan suara serak. "Segalanya salah.
Tak ada sesuatu atau seseorang pun yang bisa menolongku."
"Sayangku, hanya sedikit sekali perkara yang sama sekali tak bisa ditolong orang
lain," kata Bu Ranger, "kalau saja kau memberi kesempatan pada orang lain untuk
menolongmu. Ayolah, Kathleen, ada apa sebenarnya?"
Tetapi Kathleen tidak mau mengatakan kesulitannya. Ia hanya menggelengkan
kepala. Bu Ranger menyerah. Ia bukannya tidak suka pada Kathleen, hanya sangat
kasihan! Kemudian Kathleen memutuskan untuk melakukan suatu tindakan tolol. Ia akan
melarikan diri dari sekolah. Melarikan diri dan pulang! Tapi sebelum itu ia akan
bercerita pada Elizabeth dan Jenny tentang semua perbuatannya. Ia akan mengaku
pada mereka agar Robert bisa bersih dari segala tuduhan. Paling tidak itulah
yang bisa dilakukannya, paling tidak ia takkan begitu jijik pada dirinya sendiri
kalau ia berani mengakui perbuatannya.
"Tapi pasti sangat sulit bagiku," pikir Kathleen. "Mereka pasti marah padaku,
pasti jijik padaku, dan semua anak di sekolah ini akan tahu betapa jahatnya aku.
Tetapi tak apa. Toh pada saat itu aku sudah tak berada di sini lagi."
Sore itu, selesai minum teh, Kathleen mendekati Jenny. "Jenny," katanya. "Aku
ingin berbicara padamu dan Elizabeth. Bertiga saja. Di mana Elizabeth?"
"Di ruang senam," kata Jenny heran. "Mari kita jemput dia. Tapi apa yang ingin
kaubicarakan, Kathleen?"
"Akan kukatakan nanti bila Elizabeth sudah bersama kita," kata Kathleen. "Kita
ke salah satu ruang latihan musik saja, di sana tidak ada orang."
Dengan bingung Jenny mengiringi Kathleen mencari Elizabeth. Elizabeth bersedia
ikut bersama keduanya walaupun ia sedang asyik bermain bersama Belinda dan
Richard. Kathleen menutup pintu dan berpaling menghadapi Elizabeth dan Jenny. "Aku ingin
mengatakan sesuatu pada kalian berdua," katanya. "Akhir-akhir ini aku begitu
sedih, dan tak tahan lagi menanggung kesedihan itu. Aku bermaksud untuk pulang
saja. Tetapi sebelum pergi, aku ingin mengakui sesuatu. Jangan menyalahkan
Robert untuk apa yang kautuduhkan selama ini. Bukan dia yang berbuat, tapi aku."
Elizabeth dan Jenny ternganga, memandang heran pada Kathleen. Kathleen telah
melakukan segala perbuatan keji itu" Menyembunyikan buku, mengambil tikus Jenny,
mengotori alat-alat berkebun, mengacau-balaukan laci mereka" Oh, sungguh kejam!
"Aku tahu kalian akan memandang begitu padaku," kata Kathleen, air matanya mulai
mengalir. "Memang sudah sepantasnya. Tetapi sebelum aku pergi aku ingin
mengatakan suatu hal lagi. Kalian berdua cantik, pandai melucu dan cerdas. Semua
orang menyukai kalian. Aku begitu buruk, pucat, berbintik-bintik, dan tak bisa
bergaul. Tetapi memang aku dilahirkan begitu. Kalian tidak tahu betapa aku
sangat iri pada kalian berdua. Betapa aku ingin seperti kalian. Karenanya aku
membenci kalian, kalian memiliki segalanya yang kuinginkan. Dan suatu ketika kau
sungguh kejam padaku, Jenny, saat kau menirukan pertengkaranku dengan
Mam'zelle..." "Oh, aku menyesal telah berbuat seperti itu," kata Jenny segera. "Aku tak tahu
bahwa kau berada di kamar itu. Aku tak heran kau ingin membalas dendam padaku,
Kathleen, tetapi mengapa kau juga menyakiti hati Elizabeth...."


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi aku sudah membayar mahal untuk itu semua," kata Kathleen. "Bukan saja
aku membenci kalian, aku juga membenci diriku sendiri! Jadi jelas aku anak yang
paling buruk di sekolah ini, lahir batin. Karena itulah aku bermaksud pulang
saja. Ibuku mencintaiku, walaupun aku tidak secantik dan semanis anak-anak lain.
Dan ibuku pasti bisa mengerti mengapa aku melarikan diri dari sini."
Beberapa saat mereka terdiam. Elizabeth dan Jenny sama sekali tak tahu harus
berkata apa. Mereka sangat terkejut atas pengakuan Kathleen. Terutama Elizabeth.
Ia jadi sangat marah karena telah menuduh Robert melakukan hal-hal yang
sesungguhnya dilakukan oleh Kathleen. Ia jadi merasa berdosa besar.
"Kathleen, aku cuma bisa bilang bahwa sungguh bagus kau akhirnya punya
keberanian untuk mengaku," kata Jenny akhirnya. "Aku sangat menghargai
keberanianmu itu. Tetapi harus kukatakan kalau kau benar-benar seorang yang
sangat keji! Ya, kan Elizabeth?"
"Ya, benar," kata Elizabeth. "Kau membuatku memaksa Robert dihukum. Tidak itu
saja, terpaksa aku nanti harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi!
Alangkah senangnya kalau kau tidak bersekolah di Whyteleafe ini!"
"Kurasa kau benar," kata Kathleen lemah. "Tetapi aku toh tak akan lama lagi di
sini." Kathleen membuka pintu, menyelinap ke dalam gang dan berlari menaiki tangga. Air
matanya bercucuran. Ia telah mengaku. Dan akibatnya lebih buruk dari yang
diduganya! Ia akan membereskan barang-barangnya, kemudian berangkat.
Elizabeth dan Jenny saling pandang, tak tahu apa yang akan mereka katakan. Saat
itulah Joan muncul, heran melihat keduanya berhadapan dengan muka marah.
"Halo," kata Joan. "Sedang apa kalian, saling memelototkan mata" Apa yang
terjadi?" Elizabeth mencurahkan segalanya pada Joan. "Nah, bagaimana pikiranmu" Bukankah
Kathleen seorang anak yang benar-benar jahat" Belum pernah kupikirkan ada anak
bisa sejahat itu," katanya kemudian.
Joan termenung. Ia teringat dirinya sendiri dulu, dalam semester musim panas.
Begitu sunyi sendiri bila sedang menemui kesulitan. Ia bisa merasakan apa yang
dirasakan Kathleen. Sungguh hebat kesedihannya kalau sampai ia memutuskan untuk
melarikan diri. "Dengar," kata Joan. "Jangan memikirkan betapa kejamnya atau betapa jahatnya
Kathleen. Pikirkanlah bagaimana perasaan kalian kalau kalian berwajah seperti
dia, tak punya teman dan merasa sangat iri pada seseorang. Kalian pasti merasa
sangat sedih dan juga malu. Elizabeth, semester yang lalu kau telah ditolong
oleh seluruh sekolah, dan aku juga. Kini kurasa sudah pada tempatnya bila aku
menolong Kathleen. Dia belum pernah berbuat jahat padaku, jadi aku tidak merasa
marah padanya seperti kalian. Aku hanya merasa kasihan."
Joan berlari keluar menyusul Kathleen. Jenny dan Elizabeth saling pandang.
Mereka tahu bahwa Joan benar. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, tidak
memikirkan anak malang itu, yang memerlukan pertolongan dan hiburan.
"Kita harus membantu Joan," kata Jenny.
"Tetapi tunggulah sampai Joan selesai berbicara agak lama dengan Kathleen," kata
Elizabeth. "Ia sangat pandai meneduhkan hati orang. Kadang-kadang aku
berpendapat dia sudah pantas menjadi Pengawas."
"Yang jelas kita berdua sama sekali tak pantas," sungut Jenny. "Aku tak tahu
bagaimana persoalan ini bisa diselesaikan, Elizabeth, aku tak tahu!"
Sementara itu Joan telah masuk ke kamar tidurnya dan mendapatkan Kathleen sedang
memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah tas kecil, sementara ia telah
memakai topi dan mantelnya. Joan langsung berbicara padanya.
"Kathleen, semuanya telah kudengar. Kau benar-benar berani untuk mengakui
perbuatanmu. Tunggulah sampai Jenny dan Elizabeth bisa berpikir lebih jernih,
mereka pasti mau memaafkanmu, dan mengajakmu bersahabat. Sesungguhnya mereka
baik hati dan suka memaafkan - mereka hanya memerlukan waktu untuk mendinginkan
hati mereka." "Kurasa Whyteleafe bukan tempat yang tepat bagiku," kata Kathleen sambil memakai
syalnya. "Bukan karena di sini aku telah membuat banyak sekali musuh, tetapi aku
memang tidak cocok di sini. Semua menganggapku jelek. Lihat rambutmu, begitu
indah dan berkilau-sedang rambutku seperti buntut tikus! Lihat matamu yang
indah. Pipimu yang merah. Dan lihatlah aku. Aku bagaikan Upik Abu saja."
"Tapi ingatlah bahwa Upik Abu dalam semalam saja bisa berubah menjadi Cinderela
yang begitu cantik," kata Joan, memegang tangan Kathleen. "Upik Abu memang tiap
hari duduk di dapur dan menyapu abu. Mungkin ia tampak buruk dan murung. Tetapi
bukankah bukan hanya pakaian yang bagus-bagus serta kereta kencana yang
membuatnya jadi cantik" Tidak. Kurasa untuk menjadi cantik ia juga harus
menyikat rambutnya, merapikannya. Dan terutama: dia harus tersenyum. Kau sungguh
kelewatan, Kathleen. Tahukah kau bahwa kau tampak sangat manis bila tersenyum?"
"Tak mungkin," kata Kathleen keras kepala.
"Siapa bilang, kau betul-betul manis!" bantah Joan. "Bila kau tersenyum, matamu
bersinar sudut bibirmu terangkat, dan di pipi kirimu muncul lesung pipi! Siapa
pun menjadi lebih manis bila tersenyum. Kalau kau sering tersenyum, maka kau tak
lagi harus malu pada wajahmu. Kau akan tampak manis juga. Cobalah itu,
Kathleen." "Mungkin kau benar," kata Kathleen, teringat betapa manisnya ibunya bila sedang
tersenyum dan merasa bahagia. "Tetapi aku tak punya alasan untuk tersenyum."
Terdengar langkah kaki di luar. Elizabeth dan Jenny masuk, langsung mendekati
Kathleen. "Kami tadi bersikap tak ramah terhadapmu, Kathleen," kata Jenny. "Kami minta
maaf untuk itu. Jangan pergi, Kathleen. Kami juga memaafkanmu dan melupakan apa
yang pernah kaulakukan."
"Tetapi Robert harus dibersihkan dari segala tuduhan," kata Kathleen. "Dan itu
berarti aku harus menghadapi Rapat Besar. Maafkan, aku tidak cukup berani untuk
itu." Ketiga anak itu saling pandang. Benar juga. Persoalan itu harus dibicarakan
dalam Rapat Besar. "Nah, karena itu aku harus pergi," kata Kathleen. "Aku seorang pengecut. Itu tak
bisa kuubah lagi. Mana tasku" Selamat tinggal semuanya. Jangan berpikir yang
buruk-buruk tentang diriku, ya...."
16. Kathleen Melarikan Diri
Kathleen mengambil tasnya dan keluar. Joan mengejarnya, memegang lengannya.
"Kathleen, jangan tolol! Kau tak bisa melarikan diri dari sekolah. Tak mungkin!"
"Mungkin saja," kata Kathleen. "Aku akan melakukannya sekarang. Jangan coba
menghentikanku, Joan, aku akan jalan kaki ke stasiun."
Dikibaskannya tangan Joan dan ia lari menuruni tangga. Tak akan ada gunanya
mengejar dia. Ia telah bertekad bahwa tak akan ada yang bisa menghentikannya.
Elizabeth, Joan, dan Jenny hanya bisa memandanginya.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan," kata Jenny tiba-tiba dengan suara
gemetar. "Kalau saja aku tidak menirukan Mam'zelle, mungkin keadaannya tidak
seperti ini." "Apa yang akan kita lakukan?" bisik Joan khawatir. "Kita harus melaporkan bahwa
Kathleen melarikan diri. Tetapi kurasa memang tak ada gunanya mencegahnya lari.
Sebab kalau aku jadi dia, aku pun takkan berani menghadapi Rapat Besar. Kalaupun
tidak sekarang, sesudah menghadapi Rapat Besar ia pun takkan tahan dan pasti
juga melarikan diri. Ia sama sekali tak punya keberanian."
Saat itu Nora muncul. Ia heran melihat ketiga anak itu berdiri termenung di
pintu kamar mereka dan tampak khawatir.
"Mengapa kalian di sini?" tanya Nora. "Apakah kalian tak tahu bahwa pertunjukan
musik akan segera dimulai" Cepatlah. Mengapa sih kalian ini" Apa yang terjadi?"
"Banyak sekali yang terjadi," kata Elizabeth. "Kami sampai tak tahu harus
berbuat apa. Sungguh gawat, Nora."
"Ya ampun! Kalau begitu kalian harus segera mengatakannya padaku, sebab aku
adalah Pengawas kalian."
"Kukira memang itulah yang mestinya kami lakukan," kata Jenny. "Izinkan kami
tidak menghadiri pertunjukan musik itu, Nora, dan ayo kita pergi ke ruang
bermain. Saat ini mestinya ruang itu kosong, bisa kita ceritakan apa yang
terjadi." Sekali seminggu, sebuah pertunjukan musik diadakan oleh anak-anak yang belajar
main piano, biola, menyanyi, atau berdeklamasi. Biasanya seluruh sekolah
menghadirinya, sebab mereka ingin melihat bagaimana teman-teman sekelas mereka
beraksi. Benar kata Jenny, ruang bermain kosong. Jenny segera bercerita.
Diceritakannya dari permulaan, walaupun wajahnya jadi merah saat menceritakan
betapa ia menirukan Mam'zelle dan Kathleen. Tak ada yang tertinggal. Ia memang
anak yang jujur, adil, dan bersedia menerima hukuman bila memang bersalah. Nora
mendengarkan dengan tenang.
"Kasihan Kathleen!" akhirnya Nora berkata. "Ia benar-benar mengacaukan
segalanya! Kita harus segera bertindak, tetapi aku tak tahu bagaimana. Lebih
baik kita menemui Rita dahulu, dan kita minta ia mengantarkan kita ke Bu Belle
dan Bu Best." "Astaga. Apakah mereka juga harus tahu?" tanya Elizabeth kecewa.
"Tentu saja. Masa seorang anak melarikan diri dari sekolah dan Kepala Sekolah
tak mengetahuinya" Ayolah. Kita tak boleh membuang-buang waktu!"
Mereka menemui Rita di kamarnya. "Rita, maukah kau ikut bersama kami ke tempat
Bu Best dan Bu Belle?" tanya Nora. "Seorang anak di kelas Elizabeth telah
melarikan diri, dan kami kira kami harus menceritakan segalanya pada Kepala
Sekolah." "Tentu," kata Rita terkejut. "Kita harus mengajak William juga. Ia harus tahu
perkara ini, dan akan menghemat waktu bila ia mengetahuinya sekarang."
Beberapa menit kemudian enam orang anak berkumpul di depan ruang tamu tempat
kedua pimpinan sekolah itu. Bu Belle dan Bu Best sedang menulis surat waktu Rita
mengetuk pintu. "Masuklah," terdengar suara tenang dari dalam. Dan mereka pun masuk. Ternyata
Pak Johns juga ada di situ. Dan ketiga guru kepala itu sangat heran melihat
begitu banyak anak datang.
"Ada apa?" tanya Bu Belle segera.
"Ada suatu kejadian yang memerlukan perhatian Anda," kata Rita. "Elizabeth,
tolong ceritakan yang terjadi. "
Elizabeth menceritakan semuanya. Pada waktu ceritanya sampai pada saat Kathleen
berangkat ke stasiun. Pak Johns segera bangkit berdiri.
"Aku harus mengejarnya," katanya. "Mudah-mudahan tidak terlambat."
"Tetapi kereta pasti sudah berangkat," kata Nora.
"Jadwal perjalanan kereta api sudah diubah, bulan ini," kata Pak John. "Kereta
yang semestinya berangkat jam ini sudah dihapus, digantikan kereta yang
berangkat satu jam lagi. Kalau aku berangkat cepat-cepat, mungkin anak itu bisa
kususul. Ikutlah aku, Rita!"
Keduanya berangkat. Beberapa saat kemudian terdengar pintu depan berdebam.
Elizabeth tak henti-hentinya berharap semoga Kathleen tersusul sebelum naik
kereta. Kini setelah para pimpinan sekolah mengetahui, Elizabeth merasa bebannya
sedikit ringan. Orang dewasa tampaknya selalu bisa membereskan persoalan apa pun.
"Dua hal harus segera diselesaikan, menurut pendapatku," kata Bu Best. "Pertama,
untuk menyadarkan Kathleen bahwa melarikan diri sama sekali takkan pernah bisa
menyelesaikan suatu kesulitan, malah hanya akan memperburuk keadaan. Ia harus
bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. Ia mengira dirinya gagal, ia harus sadar
bahwa seseorang tak perlu sampai menganggap dirinya gagal. Kalau dia bisa kita
sadarkan bahwa ia masih bisa berusaha lagi, maka segalanya akan beres."
"Aku tahu yang kedua," kata Elizabeth. "Yaitu untuk membersihkan nama Robert
dari berbagai tuduhan. Sungguh tak enak hatiku bila berpikir bahwa aku telah
menuduhnya sembarangan, tak terbukti. Dan yang lebih tidak enak bagiku, sebab
ternyata ia menerima saja hukumannya. Aku benar-benar malu."
"Aku gembira kau merasa malu, Elizabeth," kata Bu Best. "Kita semua tahu bahwa
kau sesungguhnya adil dan jujur. Tetapi kau takkan bisa mencapai apa-apa bila
selalu terburu-buru memutuskan sesuatu, tak bisa mengendalikan kemarahanmu."
"Memang. Aku sudah banyak belajar tentang itu," kata Elizabeth. "Tetapi Anda tak
tahu betapa sulitnya mengendalikan diri. Bu Best."
"Oh, tentu saja aku tahu," Bu Best tersenyum. "Sebab aku dulu juga tak bisa
mengendalikan diriku, aku dulu juga sangat cepat naik darah."
Bu Best tersenyum manis sekali. Kelima anak itu ternganga heran. Bu Best yang
selalu tampak berwajah manis itu penaik darah" Sungguh tak bisa dipercaya!
"Kini, apa yang akan kita lakukan bila Pak Johns telah membawa Kathleen kemari?"
tanya Bu Belle. "Aku berpikir bahwa William dan Rita merupakan orang yang paling
tepat untuk menghadapinya. Mereka takkan membuatnya canggung, seperti bila ia
harus menghadapi kami, atau Pak Johns."
"Ia mengatakan bahwa ia tak sanggup menghadapi Rapat Besar, bila mereka
membicarakan tentang perbuatannya yang licik itu," kata Elizabeth. "Ia tak
terlalu pemberani - walaupun kadang-kadang ia menentang guru di kelas, yang
takkan pernah berani kulakukan."
"Itu namanya bukan pemberani," kata Bu Belle. "Itu sesuatu yang sering dilakukan
oleh orang-orang yang lemah namun keras kepala. Mereka selalu takut kalau
dianggap bodoh sehingga mereka selalu mencoba untuk menarik perhatian dengan
cara apa pun-bertengkar, atau membual, atau membantah-apa saja yang bisa membuat
orang lain memperhatikan mereka! Kita takkan pernah melihat orang-orang yang
berkepribadian kuat, orang-orang bijaksana bertengkar, atau membual, atau
menarik perhatian orang - itu dilakukan hanya oleh orang-orang yang
berkepribadian lemah! Dan dalam kasus Kathleen, ini berarti bahwa ia merasa
dirinya telah gagal. Dia mencoba menyembunyikan kenyataan itu dari dirinya
sendiri dan dari orang lain. Kini ia tidak bisa menyembunyikannya lagi. Dan ia
melarikan diri. Tepat seperti yang biasa dilakukan orang-orang lemah."
"Bila sudah diterangkan dengan jelas, segalanya tampak berbeda, bukan?" kata
Jenny. "Aku takkan pernah menirukan Kathleen kalau saja aku tahu apa yang
menyebabkan ia berbuat begitu. Kini aku merasa kasihan padanya dan berjanji akan
membantu apa saja untuk kebaikannya."
"Ia bahkan malu akan bintik-bintik di mukanya," kata Elizabeth. "Padahal bintikbintik itu keluar karena ia suka sekali makan permen. Ia makan permen lebih
banyak dari yang dimakan oleh seisi kelas kita dijadikan satu!"
"Ia tampak manis bila tersenyum," kata Joan. "Sudah kukatakan hal itu padanya."
"Bagus!" kata Bu Best. "Tampaknya kalau saja Kathleen mau merapikan diri dan
merawat dirinya, serta menghilangkan bintik-bintik di mukanya, maka anak itu
akan mengawali perbaikan dirinya dengan baik. William, kaupikir bisakah kau dan
Rita memberi pengertian padanya" Tampaknya semester ini kau banyak sekali
menghadapi persoalan berat. Tetapi aku yakin kau akan bisa menanggulangi
semuanya dengan baik "
"Dan bagaimana dengan kemungkinannya untuk menghadapi Rapat Besar?" tanya
William. "Kau dan Rita yang harus menentukan hal itu," kata Bu Belle. "Kami
menyerahkannya padamu. Kalau kalian berpikir tak baik untuk memaksanya menjadi
berani sebelum waktunya, maka lebih baik kalian hanya membersihkan Robert dari
tuduhan terhadapnya, kemudian kita tunggu saja sampai Kathleen cukup berani
untuk mengakui perbuatannya sendiri. Mungkin sebelum akhir semester ini ia sudah
berani berbuat itu, kalau kita menanganinya secara baik."
Sungguh mengherankan betapa mudahnya kini persoalan yang mereka hadapi, setelah
segalanya dibicarakan dan diteliti. Kebiasaan jahat Kathleen ternyata bersumber
dari sesuatu yang sangat sederhana - perasaan bahwa dia gagal dalam hidup ini.
Kalau perasaan itu bisa dihilangkan, maka sebagian besar kesulitan yang dihadapi
Kathleen akan lenyap. Dan itu akan menyenangkan banyak orang.
Terdengar suara mobil memasuki halaman, lalu suara pintu mobil dibanting. Pasti
suara taksi. Semuanya berdebar-debar menunggu munculnya Pak Johns dan Rita
dengan Kathleen. Apakah mereka berhasil menyusul anak itu?"
Terdengar langkah kaki mendatangi. Pintu terbuka. Hanya Pak Johns yang ada di
ambang pintu. Rita tak ada. Kathleen juga tak ada.
"Apakah Anda tak bisa menemukannya?" tanya Bu Best harap-harap cemas.
"Oh, bisa," kata Pak Johns. "Ia tadi kami temukan di ruang tunggu stasiun.
Kasihan sekali. Begitu sedih dan tampaknya sangat menyesal telah melarikan diri.
Waktu Rita mendekatinya, ia langsung menangis, dan menurut saja kami ajak
pulang. Untunglah jadwal perjalanan kereta api diubah, sehingga ada waktu
baginya untuk berpikir lagi. Kalau saja kereta api datang sebelum kami tiba,
maka sudah pasti ia akan berangkat, dan takkan terkejar lagi."
"Di mana dia?" tanya William.
"Di kamar belajar Rita," kata Pak Johns. "Lebih baik kau juga ke sana, William.
Aku yakin kau bisa membantunya. Biarkan dia berbicara apa saja, biarkan ia
mengeluarkan segala perasaan hatinya."
"Baiklah," kata William. Dan ia pun pergi. Keempat anak lainnya juga minta diri
dan meninggalkan tempat itu.
"Aku akan mencari Robert," kata Elizabeth. "Ini tugasku, dan harus kulakukan
segera. Walaupun aku tahu pasti akan sangat berat bagiku."
17. Menjernihkan Suasana Elizabeth merasa marah pada dirinya sendiri saat ia mencari Robert. "Sungguh
buruk kelakuanku," pikirnya. "Aku telah menuduh seseorang melakukan banyak
sekali perbuatan jahat, dan ternyata satu pun tak dilakukannya. Aku telah
meminta dan berhasil membuat dia dihukum, pada saat ia memutuskan untuk mengubah


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelakuannya. Semua orang telah menolongnya. Aku satu-satunya yang telah
membuatnya marah dan kecewa. Aku benci pada diriku sendiri!"
la tak bisa menemukan Robert di mana pun. Kemudian ia bertemu dengan Leonard
yang berkata bahwa Robert berada di kandang kuda.
"Hari ini Bess sedikit pincang," kata Leonard. "Dan Robert kini berada di
kandang, merawatnya bersama pengurus kuda. Aku baru saja melihatnya, waktu
pulang dari kandang sapi. Aku dan Fanny setiap pagi bertemu dengannya, saat kami
berdua harus memerah sapi. Dan kau tahu, Elizabeth, kami merasa dia anak yang
sangat menyenangkan. Ia berusaha keras untuk menyenangkan semua anak yang dulu
pernah diganggunya. Mau tak mau aku harus mengaguminya,"
"Aku juga mengaguminya," kata Elizabeth. "Tetapi jelas ia tak akan mengagumiku
kalau ia mendengar apa yang akan kuceritakan nanti."
"Apakah itu?" tanya Leonard. Tetapi Elizabeth tak mau mengatakan padanya.
Di luar hari telah gelap. Elizabeth mengambil mantelnya, dan memakainya. Ia
menyeberangi kebun menuju kandang. Didengarnya Robert bercakap-cakap dengan
pengurus kuda di dalam kandang. Ia pun menjengukkan kepala ke dalam.
"Robert," katanya. "Bisakah aku bicara sebentar denganmu?"
"Siapa itu?" tanya Robert heran. "Oh, kau, Elizabeth. Ada apa?"
Robert keluar kandang, mendekatinya. Tubuhnya bau kuda - bau yang disukai
Elizabeth - dan rambutnya berantakan. Mukanya kemerah-merahan sebab baru saja
menggosok keras-keras kaki kuda yang pincang itu.
"Robert," kata Elizabeth. "Aku telah melakukan suatu kesalahan besar padamu.
Ternyata yang mempermainkan aku dan Jenny memang benar bukan kau."
"Aku sudah mengatakan hal itu padamu," kata Robert, "jadi aku tidak heran lagi."
"Ya, Robert, padahal aku telah mengatakan pada seluruh sekolah bahwa kaulah yang
melakukannya," kata Elizabeth, suaranya mulai sedikit bergetar. "Dan kau kena
hukum karenanya. Tak bisa kuterangkan betapa menyesalnya aku. Kau memang pernah
berbuat keji terhadapku, dan aku tak menyukaimu, tapi perbuatanku padamu jauh
lebih keji lagi. Dan kau ternyata benar-benar memiliki pribadi yang kuat, karena
mau datang pada pertandinganku, dan ikut menyesal sewaktu pertandingan itu tak
jadi diadakan karena datangnya hujan. Menurutku kau jauh lebih matang berpikir
dariku. Sungguh picik pikiranku...."
"Aku pun bepikir begitu," kata Robet dengan menggandeng tangan Elizabeth.
"Tetapi aku sesungguhnya tidak sebagus apa yang kaupikirkan, Elizabeth. Aku bisa
melupakan kebencianku padamu karena aku merasa sangat bahagia, begitu bahagia
hingga aku yakin aku mampu mengubah pribadiku. Sesungguhnyalah karena perasaan
bahagiaku itu aku tak peduli lagi pada kekecewaanku karena tak jadi main. Jadi
tak sulit bagiku untuk ikut nonton dan mengatakan padamu aku ikut menyesal
karena pertandingan itu dibatalkan. Namun aku gembira akhirnya kau tahu siapa
yang berbuat. Siapa?"
"Saat ini aku belum bisa mengatakannya padamu, Robert," kata Elizabeth. "Tetapi
segera setelah aku mengetahui hal ini aku datang padamu, untuk menyatakan betapa
aku menyesal atas tuduhanku padamu. Aku harap kau bisa memaafkan aku."
"Tak usah khawatir tentang itu," sahut Robert sambil tertawa. "Orang-orang akan
harus memberiku maaf jauh lebih banyak daripada maaf yang harus kuberikan
padamu. Ayolah, mari kita bersahabat saja. Bermusuhan mula-mula memang
menyenangkan, tetapi lama-kelamaan jadi gawat juga. Datanglah besok pagi sebelum
sarapan, dan mari berkuda bersama. Kau naik Kapten, dan aku naik Bess, kalau
kakinya sudah sembuh. Dan gembiralah, kau tampak aneh."
"Aku memang merasa aneh," kata Elizabeth dengan kerongkongan serasa tersekat.
"Tak kuduga bahwa kau begitu baik terhadapku. Kukira memang aku sering salah
menilai orang. Ya, Robert, aku gembira akhirnya kita bersahabat. Aku akan bangun
pagi-pagi sekali besok."
Robert tersenyum pada Elizabeth dan kembali ke dalam kandang. Elizabeth
menyelinap masuk ke dalam kegelapan. Sejenak ia berdiri di luar pintu, diterpa
angin dingin. Betapa anehnya orang-orang di sekelilingnya. Kadang kita mengira
seseorang jahat, tetapi ternyata ia seorang yang baik yang bahkan ingin
bersahabat dengan kita. "Lain kali aku akan memberi kesempatan pada siapa pun sebelum aku menentukan
bahwa mereka jahat," pikir Elizabeth. "Aku harus berpikir sekali, dua kali, tiga
kali, empat kali sebelum aku kehilangan kesabaranku. Sungguh lucu, dulu aku
sangat membenci Robert, sekarang aku sangat menyukainya. Padahal dulu dan
sekarang orangnya sama saja."
Tetapi Robert dulu dan Robert sekarang memang berbeda. Ia juga sedang memikirkan
Elizabeth. Ia kagum akan keberanian Elizabeth untuk mengakui kesalahannya
seperti itu tadi. Seorang yang sangat penaik darah, tetapi ia toh menyukainya.
Rasanya akan menyenangkan berkuda bersamanya, berpacu dalam embusan angin pagi
di perbukitan. Dan sementara itu, apa yang terjadi dengan Kathleen" Keadaannya pun tak begitu
buruk, sebab William dan Rita bisa bersikap bijaksana dan lembut, walaupun cukup
tegas dan mantap. Mereka membiarkan anak malang itu menceritakan segalanya.
"Aku merasa gusar sekali waktu kereta yang kutunggu tidak juga datang," kata
Kathleen menangis tersedu-sedu. Saputangannya sudah basah kuyup kena air
matanya. "Kurasakan itu sebagai suatu hal lagi yang memusuhi diriku. Ternyata
bahkan melarikan diri aku juga tak bisa, sebab tak ada kereta api."
"Sungguh untung kau tak jadi pergi," kata William. "Itu bukan perbuatan yang
terpuji. bukan" Kita tak bisa melenyapkan kesulitan kita dengan cara melarikan
diri. Kesulitan itu akan terus mengikuti kita."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Kathleen sambil mengusap air matanya.
"Harus kita hadapi, dan kita carikan cara terbaik untuk mengalahkannya," kata
Rita. "Kau aneh, Kathleen, bisa dibilang kau melarikan diri dari dirimu sendiri.
Tak seorang pun dapat melakukan hal itu."
"Kalau saja engkau seperti aku, pastilah kau juga akan begitu putus asa sehingga
melarikan diri juga," kata Kathleen. "Aku begitu sial. Tak satu pun kejadian
menyenangkan terjadi pada diriku, seperti biasa terjadi pada anak-anak lain."
"Dan itu akan berlaku terus bila kau tidak mengubah caramu berpikir," kata
William. "Bukan nasib yang menentukan hidup kita, tapi kita sendiri! Kau kan
suka bilang bahwa Jenny punya banyak teman karena nasibnya baik, sebetulnya
bukan nasib baiknya yang menyebabkan ia punya banyak teman, tetapi karena
sikapnya. Ia baik hati, pemurah, dan selalu ceria. Dirinya sendirilah yang
menarik banyak teman. Bukan nasibnya."
"Ya, mungkin juga," Kathleen berpikir-pikir. "Belum pernah terpikirkan olehku
kemungkinan itu. Tetapi aku tidak secantik, seceria, dan semurah hati Jenny."
"Tapi mengapa kau tak berusaha keras ke arah itu?" tanya Rita. "Senyummu manis.
Kau punya lesung pipit yang bisa muncul dan menghilang, walaupun lebih sering
menghilangnya daripada munculnya. Kalau kausikat rambutmu seratus kali setiap
pagi dan malam seperti biasa dilakukan Jenny, rambutmu juga akan lembut kemilau
seperti rambut Jenny. Kalau kau tidak lagi makan terlalu banyak permen, maka
bintik-bintik di mukamu akan lenyap. Kalau kau sering berada di udara terbuka,
sering berolahraga, maka wajahmu akan kemerahan dan matamu bersinar-sinar."
"Apa betul?" tanya Kathleen, mulai tampak lebih riang.
Rita mengambil sebuah cermin dan menghadapkannya di muka Kathleen yang sedih dan
penuh bekas air mata. "Tersenyumlah," kata Rita. "Ayo, senyumlah! Cepat! Aku
ingin lihat lesung pipitmu!"
Kathleen terpaksa tersenyum. Dan sesaat dilihatnya wajahnya yang sedih terlihat
cukup menyenangkan dan lesung pipitnya memang sekilas muncul.
"Ya, aku memang tampak lebih manis," katanya. "Tetapi aku begitu membosankan,
tidak secerdas anak lain. Dan pikirkan juga betapa kejinya perbuatanku selama
ini." "Kau lamban dan tidak cerdas hanya karena kau tidak sesehat semestinya, dan
karena kau tidak merasa bahagia," kata William. "Berilah dirimu kesempatan. Dan
tentang kenakalan yang kauperbuat, yah... kau selalu punya waktu untuk
memperbaiki kebiasaan tersebut. Dan lagi semua orang pernah nakal sekalisekali." "Aku yakin kau dan Rita tak pernah nakal," kata Kathleen. "Lagi pula, William,
Rita, janganlah kalian menahanku untuk tinggal terus di Whyteleafe ini. Aku
takkan berani berdiri di hadapan Rapat Besar yang akan datang, untuk mengatakan
perbuatanku, walaupun untuk membersihkan nama Robert. Aku seorang penakut,
memang, dan tak ada gunanya untuk berpura-pura jadi pemberani. Kalau kalian akan
memaksaku berbuat begitu, aku akan pergi besok pagi."
"Kami tak ingin memaksa siapa pun berbuat apa pun," kata William. "Tak ada
gunanya memaksa orang. Segala hal harus dilakukan atas kehendak mereka sendiri,
kalau tidak hasilnya akan sangat buruk. Dengarlah, Kathleen. Kami akan minta
agar Elizabeth membersihkan Robert dari tuduhannya, tanpa mengatakan siapa
sesungguhnya yang telah berbuat. Mungkin suatu waktu kelak kau punya pikiran
lain tentang hal ini, dan bisa merundingkannya lagi dengan kami."
"Kapan pun juga aku takkan berani menghadapi begitu banyak anak," kata Kathleen.
"Tetapi aku bersedia tinggal terus di sini asalkan aku tak harus mengaku di
hadapan Rapat Besar. Bagiku mengaku pada Jenny dan Elizabeth saja sudah cukup
berat." "Sungguh hebat kau berhasil melakukannya," kata William. "Kami akan meminta
kepada siapa pun yang telah mendengar tentang dirimu agar merahasiakan hal itu.
Kau tak usah takut bahwa kau akan diejek oleh teman-temanmu. Kerjakan seperti
yang pernah dilakukan Robert - mengubah pribadinya menjadi pribadi yang
menyenangkan, dan tersenyumlah sesering mungkin."
"Akan kucoba," Kathleen menyimpan saputangannya yang basah. "Walaupun
sesungguhnya sulit bagiku untuk tersenyum. Dan kurasa aku takkan sanggup
mengubah pribadiku. Tetapi akan kucoba itu semua, karena kalian begitu baik
padaku." "Bagus," kata Rita dan William. Rita melihat arlojinya. "Hampir waktu tidurmu,"
katanya. "Kau sudah makan malam" Atau belum?"
"Belum," kata Kathleen. "Tetapi aku tak lapar."
"William dan aku akan membuat susu cokelat," kata Rita. "Sebagai ketua murid
kami boleh memiliki kompor sendiri. Jangan pergi dulu. Marilah minum cokelat
dengan kami. Dan di sini ada juga biskuit cokelat. Walaupun tidak lapar, kau
pasti menyukainya." Sekitar sepuluh menit kemudian, ketiganya sudah minum cokelat hangat dan makan
biskuit. William banyak sekali bercerita lucu, sehingga Kathleen sering
tersenyum, lesung pipitnya muncul di pipi kiri. Waktu lonceng tidurnya berbunyi,
ia bangkit. "Kalian baik hati sekali," kata Kathleen, air matanya mulai keluar lagi. "Aku
takkan melupakan malam ini. Aku gembira kalian yang menjadi Ketua Murid di sini.
Kalian sungguh bijaksana."
"Lupakan kesedihanmu," kata William. "Kau akan segera mendapatkan bahwa
keadaanmu tidak seburuk yang kauduga. Selamat malam."
18. Suasana Membaik Elizabeth bangun pagi-pagi sekali, dan langsung pergi ke kandang. Robert sudah
ada di sana, memasang pelana pada kuda-kuda peliharaannya, bersiul-siul bahagia.
Ia melakukan suatu tugas yang disenanginya, merawat kuda-kuda yang tampak
langsung membalas cintanya juga.
"Suatu perasaan yang menghangatkan hati," katanya pada Elizabeth. "Dulu aku tak
pernah merasakan seperti ini, sebab dulu aku tak pernah punya binatang
peliharaan. Lagi pula waktu itu aku sama sekali tak senang pada hewan. Kecuali
kuda. Kurasa Rita dan William takkan bisa memikirkan yang lebih baik lagi
untukku. Aneh bukan" Bukannya dihukum aku malah memperoleh sesuatu yang
kugemari. Tetapi dengan begini aku bisa menghilangkan sifat burukku lebih cepat
daripada bila aku dihukum. Sekarang aku sama sekali tak ingin berbuat keji
lagi." "Kita takkan bisa berbuat keji pada siapa pun pada saat kita merasa bahagia,"
kata Elizabeth bijaksana. "Paling tidak begitulah yang terjadi pada diriku. Bila
aku bahagia, aku hanya ingin bersikap hangat dan murah hati. Ayolah. Mari
berangkat. Oh, Robert, aneh bukan bahwa kita bisa bersahabat setelah bermusuhan
begitu sengit." Robert tertawa, melompat ke punggung Bess. Kuda itu meringkik, menengadahkan
kepala. Ia sangat senang mengetahui bahwa Robert-lah yang menungganginya. Kedua
kuda mereka berjalan pelan sepanjang jalan berumput, kemudian berpacu ke arah
perbukitan. Elizabeth sudah pandai menunggang kuda sejak beberapa tahun, jadi ia
bisa berkuda dengan baik. Begitu juga Robert. Kedua anak itu sangat menikmati
perjalanan pagi tersebut. Mereka saling berteriak, berbicara. Kemudian Elizabeth
mengemukakan sebuah usul.
"Hei, bagaimana kalau suatu hari kauajak Kathleen Peters berkuda bersama" Biar
pipinya merah sehat!"
"Kathleen" Aku tak suka padanya!" teriak Robert. "Dia anak nakal! Apakah kau
akan berteman dengannya?"
"Memang!" sahut Elizabeth. "Dulu aku tak suka padanya, seperti aku juga tak suka
padamu. Tetapi kukira aku telah begitu sering salah menaksir orang. Mungkin juga
aku bisa berbaik padanya. Paling tidak ia akan kuberi kesempatan. Maukah kau
membantuku?" "Baiklah," kata Robert. "Ia cukup pandai berkuda. Tetapi kau harus ikut juga.
Aku takkan tahan berdua saja dengan dia. Bisa kaku karena bosan! Satu hal
tentang dirimu, Elizabeth, kau tak pernah membosankan. Kalau kau sedang baik
hati, kau bisa baik sekali, begitu juga sebaliknya, kalau sedang jahat kau bisa
jahat sekali!" "Jangan ingatkan aku tentang itu," kata Elizabeth memperlambat kudanya. "Aku
sedang berusaha memperbaiki diriku. Aku ingin agar selamanya aku jadi anak yang
baik. Malah sesungguhnya waktu aku kembali ke Whyteleafe ini aku telah bertekad
untuk berusaha keras menjadi anak terbaik di sekolah ini. Tetapi ternyata aku
membuat begitu banyak kesalahan dan kekeliruan! Rasanya aku takkan mungkin jadi
Pengawas." "Kau tahu tidak, sesungguhnya aku ingin juga jadi Pengawas," kata Robert.
"Mestinya senang sekali merasa bahwa kita dipercaya dan disegani oleh seisi
sekolah, segala pendapat kita didengar dan dipatuhi. Dan alangkah bangganya
duduk sebagai anggota Dewan Juri. Tapi... yah, tak mungkin seorang di antara
kita berdua bisa sampai terpilih. Aku membuat awal yang buruk semester ini. Dan
kau adalah anak paling badung semester yang lalu. Tak bisa kubayangkan betapa
nakalnya kau dulu sampai memperoleh julukan seperti itu."
Waktu keduanya memasuki ruang makan untuk sarapan, Robert dan Elizabeth samasama tampak sangat berbahagia. Pipi mereka merah oleh angin dingin, mata mereka
bersinar-sinar. Elizabeth tersenyum pada Kathleen yang duduk di tempat biasanya,
tampak sedikit ceria tetapi agak gugup.
"Halo, Kathleen, halo semuanya," sapa Elizabeth. "Wuah, laparnya aku! Rasanya
bisa kuhabiskan dua puluh sosis dan dua belas telur."
"Baru berkuda, ya?" tanya Kathleen sambil mendorong piring tempat roti panggang
ke arah Elizabeth. "Wah, kau benar-benar merah! Agaknya angin membuatmu merah
seperti orang Indian."
Elizabeth tertawa. "Tetapi sungguh menyenangkan! Mestinya kau juga bangun pagi,
dan berkuda bersama kami," katanya.
"Ya, ayolah," ajak Robert. "Kau kan cukup pandai berkuda, Kathleen. Datang saja,
dan mari berkuda bersama aku dan Elizabeth. Kita bisa berkuda sampai bermilmil!" Kathleen berseri-seri kegirangan. Ia tersenyum lebar dan semua orang melihat
betapa lesung pipitnya muncul sesaat dan lenyap lagi. "Oh, aku akan senang
sekali," katanya. "Terima kasih banyak. Aku sangat suka pada kuda bernama Bess
itu." "Benar?" tanya Robert heran. "Aneh, aku juga menyukai kuda itu! Ia memang kuda
yang sangat manis, benar-benar manis! Kemarin kakinya pincang dan aku sungguh
khawatir...." Dan Robert segera saja tenggelam dalam percakapan yang hangat dengan Kathleen,
membicarakan Bess dan Kapten. Percakapan mereka cukup seru, karena Kathleen
cukup banyak tahu tentang kuda. Kali ini ia sama sekali tidak membual. Ia
menahan diri untuk bisa mendengarkan dengan sopan, sementara hatinya begitu
gembira karena ada seseorang yang berbicara dengan begitu hangat dan bersahabat.
Ia berusaha keras untuk tidak membuat bibirnya melengkung turun di ujungujungnya, sesuatu yang menjadikan wajahnya tampak tolol. Dengan berseri-seri ia
mengikuti pembicaraan Robert, dan sekali-sekali tertawa ceria karena lelucon
Robert. Tadinya ia sangat takut untuk ikut sarapan. Pastilah akan berat baginya untuk
duduk berhadapan dengan Elizabeth, Jenny, Joan, dan Nora. Keempat anak itu tahu
rahasianya. Tetapi setelah duduk bersama ternyata dugaannya salah. Keempatnya
menyambutnya secara wajar saja, walaupun jelas lebih hangat dan ramah daripada
biasanya. Sikap mereka membuat Kathleen merasa sangat bersyukur dan berbahagia,
bukannya kikuk dan malu. Sungguh menyenangkan suasana sarapan itu. Tapi beberapa anak ada juga yang heran
melihat Robert dan Elizabeth tiba-tiba saja tampak begitu akrab.
"Kau sungguh aneh, Elizabeth," kata Kenneth. "Suatu hari kau bermusuhan setengah
mati, dan hari berikutnya kau sudah bersahabat begitu akrab!"
"Semester yang lalu Elizabeth pernah menjadi musuhku yang paling kubenci," kata
Harry sambil tertawa. "Sampai di punggungnya kutempelkan kertas dengan tulisan
Aku anak badung bandel bengal! Aku menyalak! Aku menggigit! Awas!' Wah. Waktu
itu kau marah sekali, Elizabeth."


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya memang," kata Elizabeth, teringat saat ia diusili Harry. "Tetapi sekarang
peristiwa itu terasa lucu bagiku. Eh, yuk kita lihat papan pengumuman, kayaknya
ada pengumuman baru."
Mereka menyeberangi ruangan. Memang ada pengumuman baru.
"Elizabeth Allen terpilih untuk ikut main dalam pertandingan lacrosse melawan
Sekolah Uphill," demikian bunyi pengumuman tersebut.
Elizabeth ternganga membacanya. Pipinya serasa terbakar.
"Ya Tuhan!" ia berseru. "Kini aku benar-benar terpilih! Dulu Robert yang
terpilih, tetapi karena ia dihukum aku yang ditunjuk untuk menggantikannya. Tapi
sekarang aku benar-benar terpilih! Oh, betapa senangnya!"
"Ya, tentu saja, apalagi kali ini adalah pertandingan perlawatan, bertanding di
kandang lawan!" kata Harry. "Alangkah senangnya kau, bisa pergi naik bus ke
Sekolah Uphill. Kau sungguh beruntung!"
"Memang menyenangkan!" seru Elizabeth. Bagaikan menari ia langsung mendekati
Jenny dan Joan untuk memberitahu tentang pengumuman tersebut. Kathleen masih
bersama mereka berdua, dan berempat mereka membicarakan hal itu dengan gembira.
"Kalau saja kami bisa ikut pergi untuk menyaksikan kau menembakkan bola ke
gawang lawan, oh, alangkah senangnya!" Joan kegirangan menggandeng lengan
sahabatnya. "Mudah-mudahan kali ini tidak hujan lagi, Elizabeth."
"Oh, jangan sampai hujan lagi!" seru Elizabeth. "Joan, Kathleen, nanti bantu aku
berlatih, ya, sebelum makan siang!"
Kathleen semakin berseri. Jarang sekali ada anak yang meminta bantuannya.
Sungguh menyenangkan untuk merasa bahwa dirinya dianggap teman sekelompok kini.
"Hei, senyummu betul-betul manis," kata Joan memperhatikan Kathleen. "Ayolah.
Itu lonceng telah berbunyi. Jangan sampai terlambat. Kemarin aku terlambat hanya
setengah detik, tetapi Bu Ranger sudah ngamuk-ngamuk! Ayo!"
Tak terasa Kathleen bernyanyi kecil sewaktu pergi ke kamarnya untuk mengambil
buku. Betapa baik hati teman-temannya! Ternyata memang sangat mudah untuk
tersenyum bila kita merasa bahagia. Pagi ini Kathleen sudah bisa tersenyum di
kacanya. Diperhatikannya wajahnya. Kini sudah berbeda, tidak sederhana lagi,
tapi berseri-seri dan manis! Dengan tegas Kathleen berbicara pada bayangan
wajahnya di cermin. "Sekarang kau tak boleh lagi makan permen. Kau tak boleh rakus! Tak boleh
berbuat tolol sedikit pun! Senyumlah dan jadilah anak manis selalu!" demikian
katanya. Dan wajah di cermin itu tersenyum membalasnya. Lesung pipitnya tampak jelas.
Siapa yang berpikir bahwa senyum sedikit saja sudah bisa membuat perubahan
sedemikian besar" Ketika pelajaran pagi selesai, Elizabeth, Kathleen, dan Joan bergegas mengambil
tongkat-tongkat lacrosse, untuk berlatih menangkap dan memukul bola. Mereka
bertubrukan dengan Robert di gang.
"Ya ampun! Kalian ini seperti topan saja!" seru Robert. "Mau ke mana tergesagesa?" "Kami akan membantu Elizabeth menangkap bola," kata Joan. "Tidak tahukah kau"
Elizabeth terpilih untuk ikut main dalam pertandingan di Sekolah Uphill Sabtu
Tawanan Datuk Sesat 2 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Sukma Pedang 2

Cari Blog Ini