Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton Bagian 2
tak bisa dicurigainya adalah Julian. Tetapi ternyata kini Julian yang berbuat!
Elizabeth menyelinap masuk ruang musik, dan langsung memainkan sebuah lagu sedih
pada piano. Richard yang kebetulan lewat, menjenguk ke dalam dengan penuh
keheranan. "Ya ampun, Elizabeth! Mengapa kaumainkan lagu seperti itu?" tanya Richard.
"Siapa pun yang mendengar akan mengira kau kehilangan satu shilling dan
menemukan enam penny."
Peribahasa kuno itu separo benar, dan Elizabeth tak sadar tertawa. "Yah... aku
telah kehilangan satu shilling, tetapi belum menemukan yang enam penny,"
katanya. "Ya Tuhan! Masa hanya karena uang satu shilling saja membuatmu sedemikian sedih"
Belum pernah kudengar lagu semurung itu tadi. Gembiralah!" kata Richard.
"Dengar, Richard. Kau tahu, pasti aku tidak setolol itu, bersedih hati hanya
karena kehilangan satu shilling'' kata Elizabeth. "Ada hal lain yang membuatku
sedih." "Katakanlah padaku," kata Richard. "Kau tahu aku takkan mengatakannya pada orang
lain." Ini benar. Elizabeth memandang Richard, berpikir bahwa mungkin Richard bisa
membantunya. "Begini. Misalkan kau punya seorang sahabat akrab. Misalnya sahabatmu itu
berbuat sesuatu yang amat buruk padamu. Apa yang akan kaulakukan?" tanya
Elizabeth. Richard tertawa. "Kalau dia memang sahabatku, aku tak percaya dia bisa berlaku
begitu buruk. Mungkin salah paham."
"Oh, Richard, kau benar!" kata Elizabeth. "Mestinya aku juga tak
mempercayainya!" Ia mulai memainkan piano lagi. Kini dengan lagu yang ceria. Richard menyeringai
dan meninggalkan Elizabeth. Kini ia telah terbiasa dengan perangai gadis cilik
itu. Dengan kesulitan yang selalu saja dihadapinya.
"Richard benar," pikir Elizabeth. "Aku tak boleh percaya begitu saja. Mungkin
uangku jatuh ke tangan Julian entah dengan cara bagaimana. Aku harus menyusun
siasat lagi untuk mencari pencuri yang sebenarnya."
Maka ia tak mengubah sikapnya terhadap Julian, masih tetap bersahabat. Ini
membuat bingung Rosemary yang tahu akan apa yang telah terjadi. Ia menyatakan
keheranannya pada Elizabeth.
"Tetapi tak mungkin Julian yang berbuat," kata Elizabeth, "pasti anak lain. Ia
memperoleh uang shilling itu dari kotak uang sekolah. Ia merasa yakin tentang
itu. Pasti ada kekeliruan."
Hari berikutnya Rosemary datang pada Elizabeth lagi. "Dengar," katanya, "tahu
tidak apa yang terjadi" Arabella kehilangan uangnya! Bagaimana pendapatmu" Si
pencuri turun tangan lagi?"
"Ya ampun! Padahal aku berharap takkan terjadi pencurian lagi," kata Elizabeth.
"Arabella kehilangan berapa?"
"Enam penny," kata Rosemary. "Tadinya ditaruh di saku jas hujannya. Sewaktu akan
diambilnya, sudah tidak ada! Dan, Elizabeth, Belinda juga kehilangan permen
cokelat yang ditaruhnya di meja. Aneh, bukan?"
"Ya, aneh, dan keterlaluan," kata Elizabeth. "Aku harus segera mengetahui siapa
pencuri itu, untuk diseret ke Rapat Besar!"
Waktu lain, yang hilang adalah beberapa permen di laci Elizabeth. Ketika
Elizabeth membuka lacinya untuk mengambil permen, ternyata permen itu tidak ada!
"Sial!" kata Elizabeth, marah dan terguncang hatinya. "Makin buruk saja ini
keadaannya! Siapa gerangan yang mengambil permenku, ya?"
Ia segera tahu. Di dalam kelas sore itu, Julian terlihat menahan diri untuk
tidak bersin. Cepat-cepat ia menarik sapu tangan dari sakunya. Sesuatu ikut
terjatuh. Sebutir permen.
"Salah satu permenku!" pikir Elizabeth dengan marah. "Kurang ajar! Ia telah
mengambil permenku! Jadi pasti ia juga yang mengambil uangku itu. Dan ia
menyebut dirinya sahabatku!"
10. Pertengkaran Makin lama Elizabeth berpikir tentang uang dan permen yang hilang itu, makin
marah ia kepada Julian. Pasti Julian yang berbuat. Tetapi kenapa ia berbuat
seperti itu" "Ia selalu berkata akan melakukan apa saja yang disukainya," pikir gadis cilik
itu. "Mungkin mengambil barang orang lain juga termasuk sesuatu yang disukainya"
Jahat sekali dia. Ia pandai. Ia lucu. Tetapi ia jahat. Aku harus berbicara
dengannya." Tak sabar ia menunggu sampai kelas sore selesai. Ia tak memperhatikan
pelajarannya, dan Bu Ranger melirik padanya sekali dua kali. Elizabeth agaknya
tak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya, menatap langitlangit dengan pandang marah di matanya.
"Elizabeth, kukira kau tahu, bukan, bahwa kau sedang berada di dalam kelas?"
tanya Bu Ranger akhirnya. "Setengah jam terakhir ini kau tidak menjawab satu pun
pertanyaan yang kuajukan padamu."
"Maaf, Bu Ranger," kata Elizabeth cepat-cepat, "aku... aku sedang memikirkan
sesuatu yang lain." "Sebaiknya kau memikirkan yang sedang kaukerjakan saja. Nak," kata Bu Ranger
Elizabeth berusaha keras melupakan perbuatan Julian, dan berusaha keras
memikirkan Mary, Ratu Skotlandia. Tetapi entah bagaimana pikirannya kembali lagi
ke Julian. Ia memperhatikan anak itu, yang duduk di depannya. Ia sedang menulis. Rambut
hitamnya terjurai ke keningnya. Setiap kali harus dikibaskannya ke samping.
Mengapa ia tidak menggunting saja rambut yang mengganggu itu" Tiba-tiba Julian
berpaling, tersenyum dan menyeringai padanya dengan mata hijaunya yang bersinarsinar. Elizabeth tidak membalas senyuman itu, tunduk meneliti bukunya. Julian heran.
Biasanya Elizabeth sangat murah senyum.
Pelajaran selesai pukul empat. Semua berlarian ke luar, kecuali Elizabeth yang
terpaksa menyalinkan sesuatu untuk Bu Ranger. Ia gusar sekali, tetapi tak bisa
tidak itu harus dikerjakannya, sebab sepanjang pelajaran tadi ia tak bekerja
sama sekali. Ia harus mencatat cepat-cepat kini, sementara pikirannya terus
memikirkan tentang apa yang akan dibicarakannya nanti dengan Julian. Ia harus
berbicara empat mata dengannya.
Menjelang waktu minum teh baru ia selesai.
Ia bergegas ke ruang makan, tetapi karena pikirannya kacau, nafsu makannya
hilang sama sekali. Anak-anak lain yang melihat ini langsung menggodanya.
"Mungkin ia sakit," kata Harry. "Belum pernah Elizabeth menolak makanan. Makanan
apa pun! Pasti ada yang tak beres padanya."
"Jangan melucu!" tukas Elizabeth marah.
Harry terkejut. "Kau ini kenapa sih?" tanyanya. "Kau tak apa-apa?"
Elizabeth mengangguk. Ya. Ia tidak apa-apa. Tetapi ada hal lain yang sama sekali
tidak beres. Ia tak ingin menangani perkara Julian. Tetapi kalau ia tidak turun
tangan, maka pikirannya takkan bisa damai sejenak pun.
Selesai minum teh ia mendekati Julian. "Julian, aku ingin berbicara denganmu.
Ini sangat penting."
"Apakah tak bisa ditunda?" tanya Julian. "Aku masih punya pekerjaan."
"Tidak Tak bisa ditunda. Ini sangat penting."
"Baiklah. Aku akan mendengarkan hal yang sangat penting ini."
"Datanglah ke kebun," kata Elizabeth. "Aku tak ingin pembicaraan kita didengar
anak lain." "Mmm... marilah ke kandang kuda," kata Julian. "Takkan ada anak di sana. Kau
begitu misterius, Elizabeth."
Keduanya berjalan ke kandang kuda. Tak seorang pun terlihat. "Nah, apa yang
ingin kaukatakan?" tanya Julian. "Cepatlah. Aku ingin segera mengerjakan
pekerjaanku. Aku sedang memperbaiki sebuah sekop untuk John."
"Julian, mengapa kau mengambil uang itu dan juga cokelat dan permenku?" tanya
Elizabeth. "Uang dan permen?" Julian heran.
"Oh, jangan berpura-pura tak tahu!" seru Elizabeth kehilangan kesabaran. "Kau
mengambil uangku yang satu shilling. Pasti kau juga yang mengambil uang
Rosemary. Dan aku melihat salah satu permenku yang hilang jatuh dari sakumu sore
ini waktu kau mengambil saputanganmu."
"Elizabeth! Berani benar kau berkata seperti itu padaku!" seru Julian, mukanya
merah, matanya yang hijau jadi berwarna gelap.
"Aku berani berkata begitu karena aku Pengawas, dan aku tahu benar keburukanmu!"
kata Elizabeth dengan nada geram. "Kauanggap dirimu sahabatku, tapi..."
"Bagus sekali! Kauanggap dirimu sahabatku, dan kau menuduhku sekeji itu!" suara
Julian semakin keras kini; ia juga sangat marah. "Hanya karena kau seorang
Pengawas, kau merasa bebas saja seenaknya menuduh orang. Kau tak pantas jadi
sahabat siapa pun! Kau bukan sahabatku lagi!"
Dengan berang Julian melangkah pergi.
Elizabeth mengejarnya, memegang lengan jasnya. Julian mengibaskan tangan
Elizabeth. "Dengarkan, Julian!" Elizabeth hampir berteriak. "Kau harus mendengarkan aku!
Apakah kau ingin semua ini dibicarakan di Rapat Besar mendatang?"
"Kalau kau berani mengatakan hal ini pada siapa pun, akan kubalas kau dengan
suatu cara yang pasti akan membuatmu menyesal seumur hidup!" desis Julian.
"Semua anak perempuan sama saja. Tak punya rasa hormat sama sekali! Enak saja
menuduh orang dan tak percaya bila diberitahu hal yang benar!"
"Julian, aku tak ingin membawa perkara ini ke Rapat Besar!" seru Elizabeth. "Aku
tak mau! Karenanya kau kuberi kesempatan untuk menerangkan padaku mengapa kau
berbuat begitu! Mungkin aku bisa menolongmu! Kau selalu berkata bahwa kaulakukan
apa saja yang kaumaui, jadi aku berpendapat bahwa kau bisa begitu saja mengambil
milik orang lain...."
"Elizabeth! Kulakukan apa yang kumaui. Tetapi banyak sekali yang tak kusukai,
dan karenanya takkan mungkin kulakukan!" kata Julian dengan mata membara dan
kening berkerut dalam. "Aku tak suka mencuri. Aku tak suka berdusta. Aku tak
suka memfitnah! Jadi aku takkan melakukan itu semua. Sekarang aku akan pergi.
Kini kau bukan lagi sahabat terbaikku, tapi musuhku yang paling kubenci! Aku
takkan sudi bersahabat denganmu lagi!"
"Aku bukan musuhmu! Aku ingin membantumu!" kata Elizabeth. "Aku melihat uangmu,
yang ternyata uangku yang telah kutandai. Aku melihat permenku jatuh dari
sakumu. Aku seorang Pengawas, jadi..."
"Jadi kau berpikir kau bisa saja menuduhku, dan kaukira aku akan begitu saja
mengakui sesuatu yang tak kulakukan. Kau kira aku akan menangis di hadapanmu,
dan berjanji akan menjadi anak yang baik!" tukas Julian dengan nada keji. "Kau
keliru, Elizabeth! Sungguh hanya orang sinting saja yang mengangkat anak seperti
kau jadi Pengawas!" Ia berpaling lagi. Elizabeth kini sudah mencapai puncak marahnya. Ia
mencengkeram lengan Julian untuk mengajaknya berbicara lagi. Tetapi Julian
berpaling, memegang bahu Elizabeth dan mengguncangnya sehingga gigi gadis itu
gemertak. "Kalau saja kau anak lelaki, kau akan merasakan apa akibat tuduhanmu ini!" geram
Julian, kemudian melepaskan Elizabeth dan dengan gusar meninggalkan tempat itu
dengan tangan terbenam dalam di saku, rambut berantakan, dan mulut membentuk
garis tipis penuh amarah.
Sekujur tubuh Elizabeth lemas. Ia bersandar ke dinding kandang kuda, terengahengah. Ia ingin mencoba meluruskan pikiran, tapi tak berhasil. Mengerikan sekali
kejadian tadi! Suara langkah kaki mendekat membuat ia terlompat kaget. Ternyata Martin Follet,
keluar dari kandang kuda dengan wajah pucat pasi.
"Elizabeth! Tak kusengaja kudengarkan semuanya. Aku tak ingin keluar dan
menengahi, aku begitu bingung! Kasihan kau, Elizabeth. Tak pantas Julian berbuat
begitu, padahal kau berusaha keras membantunya."
Elizabeth merasa bersyukur atas kata-kata penghibur dari Martin, tetapi ia
kecewa karena ternyata anak itu telah mendengarkan segalanya.
"Martin, kau sama sekali tak boleh mengatakan kejadian ini pada siapa pun,"
katanya, berdiri tegak lagi, dan mengibaskan rambutnya yang ikal. "Ini sangat
rahasia dan sangat pribadi. Kau berjanji?"
"Tentu," kata Martin. "Tetapi biarkan aku ikut membantu sedikit Elizabeth. Ini,
terimalah sedikit permen ini. Dan satu shilling ini, untuk mengganti milikmu
yang hilang. Jadi sudah impas, bukan" Dan kau tak perlu memedulikan Julian lagi,
tak perlu bertengkar dengannya lagi. Dan juga kau tak perlu membawa perkara ini
ke Rapat Besar." "Oh, Martin, kau sungguh baik," kata Elizabeth, tiba-tiba merasa begitu lelah.
"Tetapi bukan itu soalnya. Bukan uangku yang satu shilling itu atau permenku
yang jadi persoalan. Tetapi kenyataan bahwa Julian telah mengambilnya. Ini tidak
bisa diperbaiki hanya dengan mengembalikan benda-benda itu, bukan" Walaupun apa
yang hilang dariku dikembalikan, tetapi sifat Julian yang suka mengambil milik
orang lain takkan jadi sembuh karenanya. Mestinya kau mengerti hal itu."
"Nah... beri dia kesempatan," kata Martin bersungguh-sungguh. "Jangan laporkan
dia ke Rapat. Berilah dia kesempatan."
"Yah. akan kupikirkan hal itu," kata Elizabeth. "Oh, alangkah senangnya kalau
aku bukan seorang Pengawas. Alangkah senangnya bila aku bisa minta bantuan
nasihat seorang Pengawas. Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa."
Martin menggandeng tangannya. "Yuk kita ngobrol dengan John tentang kebunnya,"
katanya. "Itu akan menenangkan hatimu."
"Kau sungguh baik, Martin," kata Elizabeth berterima kasih. "Tetapi aku tak
ingin berbicara dengan John. Aku tak ingin berbicara dengan siapa pun. Aku ingin
menyendiri. Pergilah. Dan, Martin, berjanjilah untuk tidak menceritakan hal ini
pada siapa pun. Ini urusan Julian dan aku. Tak ada hubungannya dengan orang
lain." "Tentu saja, aku berjanji," kata Martin menatap Elizabeth. "Kau bisa
mempercayaiku, Elizabeth. Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi bila perlu aku akan
selalu siap membantumu."
Martin pergi. Elizabeth berpikir bahwa Martin sungguh baik hati. "Aku yakin dia
tak akan menceritakan rahasia ini pada anak lain," pikirnya. "Sungguh buruk
akibatnya bila yang lain tahu. Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa.
Julian akan sangat membenciku kini. Oh. Semoga saja keadaan ini segera jernih
kembali." Tetapi ternyata keadaan semakin memburuk Julian bukannya seseorang yang bisa
begitu saja melupakan atau memaafkan sesuatu. Dan ia memang telah bertekad akan
membalas perlakuan buruk Elizabeth. Semula Elizabeth memang sahabat baiknya,
tetapi kini ia menjadi musuh terburuknya! Jadi, hati-hatilah, Elizabeth!
11. Muslihat Julian Semua anak segera mengetahui bahwa Julian tidak bersahabat lagi dengan
Elizabeth. Elizabeth tampak selalu gusar, dan Julian menunjukkan bahwa ia tak
memperhatikan Elizabeth lagi.
Arabella merasa sangat senang. Ia menyukai serta mengagumi Julian karena caracaranya yang selalu acuh tak acuh. Ia juga sangat sakit hati waktu ternyata
Julian memilih Elizabeth sebagai sahabat karib. Ia ingin menggantikan kedudukan
Elizabeth di mata Julian.
"Otak Julian sungguh luar biasa," kata Arabella pada Rosemary.
Rosemary yang tak begitu cerdas juga sangat mengagumi siapa saja yang berotak
cemerlang. "Ia bisa melakukan apa saja," kata Arabella lagi. "Aku yakin bila dewasa kelak
ia akan menjadi seorang penemu yang terkenal. Ia pasti menyumbangkan suatu
penemuan pada dunia!"
"Ya, aku juga berpikir begitu," kata Rosemary, seperti biasanya setuju pada apa
saja yang dikatakan Arabella. "Entah kenapa Julian dan Elizabeth bertengkar.
Sepanjang hari ini mereka sama sekali tak bertegur sapa. Dan setiap kali Julian
memandang Elizabeth, maka pandangannya begitu menakutkan!"
"Ya, aku juga ingin tahu mengapa mereka bertengkar," kata Arabella. "Mungkin
bisa kutanyakan pada Julian. Mungkin Julian mau bersahabat dengan kita setelah
kini ia bermusuhan dengan Elizabeth."
Sore itu Arabella benar-benar bertanya pada Julian. "Julian, kulihat kau dan
Elizabeth bertengkar. Ada apa sih?" tanyanya dengan suaranya yang paling manis.
"Aku yakin itu karena kesalahan Elizabeth. Bolehkah kutahu mengapa?"
"Maaf, Arabella. Ini urusanku sendiri," jawab Julian pendek.
"Lebih baik katakan saja padaku," kata Arabella. "Aku selalu berada di pihakmu.
Aku tidak pernah suka pada Elizabeth."
"Aku tak pernah suka pihak-pihakan," kata Julian.
Hanya itulah yang bisa didapat Arabella dari Julian. Ia gusar juga, tetapi
semakin ingin tahu. Apa gerangan yang terjadi" Pasti sesuatu yang sangat serius,
kalau tidak, Elizabeth tak akan tampak begitu khawatir.
"Aku ingin sekali mengetahuinya," kata Arabella pada Rosemary. "Aku harus
mengetahuinya." "Apa yang ingin kauketahui?" tanya Martin yang datang dari arah belakang
keduanya.
Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa Elizabeth bertengkar dengan Julian," kata Arabella. "Kau tahu, Martin?"
"Ya... sedikit," kata Martin.
Arabella memandangnya dengan penuh harap.
"Betulkah" Coba ceritakan!"
"Tapi... ini rahasia. Kau tak boleh bercerita pada anak lain. Janji?"
"Tentu saja," kata Arabella, walaupun dalam hati ia tak bermaksud memenuhi janji
itu. "Siapa yang mengatakannya padamu, Martin?"
"Elizabeth sendiri," kata Martin.
"Kalau begitu kau bisa menceritakannya pada kami," kata Arabella segera. "Sebab
bila Elizabeth mengatakannya padamu, sudah pasti ia juga mengatakannya pada anak
lain." Maka Martin pun menceritakan rahasia itu, tentang bagaimana Elizabeth menuduh
Julian mencuri uang dan permen, dan bagaimana Julian dengan marah membantah
tuduhan itu. Arabella membelalakkan matanya lebar-lebar. Rosemary juga hampir
tak percaya. "Oh, betapa kejinya Elizabeth!" seru Arabella. "Bagaimana ia bisa menuduh begitu
pada Julian! Aku yakin walaupun Julian berandalan, tetapi ia jujur!"
Segera saja rahasia itu menyebar. Seisi kelas tahu, semua tahu mengapa Julian
bertengkar dengan Elizabeth. Semua berbicara tentang uang dan permen yang
dicuri, tentang Elizabeth dan Julian.
"Kupikir Julian harus mengetahui bahwa Elizabeth telah menyebarkan cerita
tentang dirinya itu," kata Arabella pada Rosemary. "Ia harus tahu. Sungguh tidak
adil." "Tetapi apakah yang menyebarkan cerita itu Elizabeth?" tanya Rosemary ragu-ragu.
"Bukankah yang bercerita pada kita Martin?"
"Ya, tetapi Elizabeth yang mengatakannya padanya. Dan kalau Elizabeth mau
mengatakan pada Martin, maka ia pasti mau juga mengatakan pada semua orang,"
kata Arabella. "Buktinya semua anak kini telah tahu, jadi sudah pasti Elizabeth
telah bercerita berulang-ulang!"
Rosemary merasa sedikit khawatir. Ia tahu bahwa Arabella sendiri telah berulangulang bercerita pada anak-anak lain dan setiap kali ditambah dengan bumbu-bumbu.
Tetapi Rosemary terlalu lemah untuk membantah sahabatnya itu. Ia tak berkata
apa-apa. Hari berikutnya Arabella berkata kepada Julian. "Julian," katanya, "sungguh keji
hati Elizabeth, menyebarkan cerita bahwa kau suka mengambil barang-barang milik
anak lain. Uang, permen, dan entah apa lagi. Sungguh menjijikkan anak itu."
Julian memandang heran pada Arabella. "Apa maksudmu?" tanyanya akhirnya.
"Semua sudah tahu bahwa kau dan Elizabeth bertengkar karena ia menuduhmu
mengambil barang-barang milik orang lain, dan kau membantahnya," kata Arabella,
menggandeng tangan Julian.
Julian tampak pucat seketika.
"Jangan khawatir, Julian," kata Arabella lagi. "Kami semua tahu anak macam apa
Elizabeth itu. Entah bagaimana ia bisa dipilih menjadi Pengawas. Siapa yang sudi
datang padanya untuk minta tolong. Ia sama sekali tak bisa dipercaya."
"Kau betul," kata Julian, "tetapi tadinya kukira dia bisa dipercaya. Tak pernah
kuduga ia akan menyebarkan cerita seperti itu. Seorang Pengawas! Kurang ajar!
Tak pernah kutahu bagaimana dulu aku bisa suka padanya."
"Pasti, pasti kau takkan punya alasan untuk menyukainya," kata Arabella
kegirangan. "Bayangkan saja, ia menyebarkan desas-desus yang begitu buruk
tentang dirimu! Padahal kau tak berkata sepatah pun tentang dia."
Tentu saja sebenarnya Elizabeth juga tak pernah mengatakan sepatah kata pun
tentang pertengkarannya dengan Julian. Tetapi Julian tak tahu hal itu. Ia tak
tahu bahwa Martin Follett telah mendengar percakapannya dengan Elizabeth di
kandang kuda. Ia mengira percakapan itu hanya diketahui oleh Elizabeth dan
dirinya, jadi kalau sampai menyebar, maka itu sudah pasti dilakukan oleh
Elizabeth. Hatinya jadi sangat geram pada gadis kecil itu.
"Aku akan membalas dendam padanya," desisnya pada Arabella.
"Tentu saja, kau berhak untuk itu," kata Arabella. "Dan seperti yang kukatakan
dulu, aku ada di pihakmu. Begitu juga Rosemary. Dan banyak kawan kita lainnya."
Kali ini Julian tak berkata tentang pihak-memihak. Ia sakit hati. Ia marah.
Satu-satunya keinginannya adalah melukai hati Elizabeth, ingin membalas dendam.
Dan mulailah serangkaian peristiwa aneh terjadi pada Elizabeth. Julian
menggunakan otaknya yang cerdas sepenuhnya untuk memikirkan berbagai muslihat
guna mengganggu Elizabeth. Dan bila Julian benar-benar menggunakan otaknya, maka
sesuatu pasti terjadi. Julian duduk tepat di hadapan Elizabeth di dalam kelas. Di suatu jam pelajaran,
pelajaran sejarah, murid-murid diharuskan membawa buku banyak sekali, yang harus
mereka tumpuk rapi-rapi di meja masing-masing untuk segera bisa digunakan bila
diperlukan. Julian membuat suatu pegas yang aneh. Diputarnya pegas tersebut dengan suatu
cara yang unik, sehingga memerlukan waktu yang agak lama bagi pegas tadi untuk
kembali lurus. Dan diselipkannya pegas itu di bawah tumpukan buku Elizabeth.
Pelajaran dimulai. Bu Ranger sedang galak hari itu, sebab ia sedang pening.
Karenanya anak-anak berhati-hati sekali, tak berani bersuara sedikit pun. Tak
ada yang berani menutup meja dengan bersuara atau menjatuhkan suatu benda apa
pun. Julian menyeringai sendiri sambil belajar diam-diam di depan Elizabeth. Ia tahu
bahwa pegasnya pelahan-lahan meluruskan diri di buku terbawah pada tumpukan
Elizabeth. Pegas tadi sangat kuat. Bila mencapai satu titik putaran, maka ia
akan terbuka lebar dan melontarkan buku-buku di atasnya dari meja.
Tepat sekali. Kejadian itu terjadi lima menit setelah pelajaran mulai. Pegas itu
selesai memutar dan mendorong buku yang menindihnya. Buku yang teratas bergerak,
jatuh. Disusul yang lain. Selanjutnya terdengar bunyi gemuruh buku-buku
Elizabeth berjatuhan ke lantai.
Bu Ranger melompat kaget. "Buku siapa itu?" hardiknya. "Elizabeth" Bagaimana itu
bisa terjadi?" "Aku tak tahu. Bu Ranger," Elizabeth heran. "Aku benar-benar tidak tahu."
Julian membungkuk untuk ikut mengambilkan buku-buku yang jatuh di belakangnya
itu. Tetapi sesungguhnya ia menaruh lagi sebuah pegas lainnya, sementara
diambilnya pegas yang tadi dan dimasukkannya ke dalam sakunya.
Lima menit kemudian, kembali terdengar keributan, satu per satu buku-buku
Elizabeth berloncatan dan jatuh ke lantai!
Bu Ranger melompat terkejut. Pulpen yang dipakainya untuk memeriksa pekerjaan
anak-anak membuat setitik besar tinta di buku yang sedang diperiksanya.
"Elizabeth! Apakah kau berbuat itu dengan sengaja!" teriak guru itu. "Kalau
terjadi sekali lagi, kau harus keluar! Aku tak mau kau mengganggu pelajaran
seperti ini!" Elizabeth kebingungan sekali. "Maafkan aku, Bu Ranger," katanya. "Aku tak tahu
bagaimana... buku-buku ini tampaknya berloncatan sendiri dari mejaku!"
"Jangan kekanak-kanakan, Elizabeth!" kata Bu Ranger. "Hanya anak TK saja yang
mengajukan alasan seperti itu."
Julian mengambilkan buku-buku itu sambil menyeringai. Elizabeth memandang marah
padanya. Ia tak tahu Julian telah mempermainkannya, ia hanya tak suka melihat
anak itu gembira karena ia kena marah. Dan ia tak tahu bahwa sekali lagi Julian
memasang pegas di bawah buku-buku tersebut.
Kemudian... kembali buku-buku Elizabeth berloncatan. Kali ini Bu Ranger
kehilangan kesabaran. "Keluar kau!" bentaknya pada Elizabeth. "Sekali mungkin
memang tak sengaja, dua kali masih dimaafkan, tetapi tiga kali... Aku malu punya
murid seperti kau. Kau seorang Pengawas, mestinya mengerti bagaimana harus
bertindak di dalam kelas."
Dengan pipi memerah Elizabeth keluar. Dalam semester pertamanya di sekolah ini,
ia memang sengaja berbuat sesuatu agar diusir dari kelas. Tetapi kali ini ia
merasa sangat malu. Ia berdiri di depan kelasnya, hampir menangis karena malu
dan marah. "Ini bukan kesalahanku!" pikirnya. "Buku-bukuku betul-betul berlompatan sendiri!
Aku tidak menyentuh buku itu sedikit pun!"
Dan kemudian, celaka! Pada saat itu muncullah Rita, Ketua Murid Perempuan!
Dengan heran ia memandang Elizabeth yang berwajah merah di depan pintu kelas.
"Mengapa kau berada di sini, Elizabeth?" tanyanya dengan nada dingin.
12. Elizabeth Mendapat Malu
"Aku dikeluarkan dari kelas, Rita, tetapi percayalah, ini bukan karena
kesalahanku," kata Elizabeth.
"Jangan sampai terulang lagi, Elizabeth," kata Rita. "Kau seorang Pengawas,
harus memberi contoh yang baik. Aku kecewa sekali dengan apa saja yang kudengar
tentang dirimu dan anak-anak kelas satu di semester ini."
Rita melanjutkan perjalanan, meninggalkan Elizabeth termenung, memikirkan apa
gerangan yang diketahui oleh Rita. Tiba-tiba saja ia merasa sangat sedih dan
kecewa. "Aku berharap semester ini akan sangat menyenangkan bagiku," pikirnya,
"dan ternyata segalanya tak keruan!"
Di akhir jam pelajaran ia dipanggil masuk, dan Bu Ranger mengucapkan beberapa
perkataan keras padanya. Elizabeth tahu tak ada gunanya mengatakan bahwa bukubukunya jatuh atas kehendak mereka sendiri. Karenanya ia diam saja.
Muslihat berikutnya yang dipikirkan oleh Julian sangatlah luar biasa. Ia
menyeringai kegirangan sewaktu ia memperoleh ilham untuk itu. Ia pergi ke
laboratorium, tempat anak-anak melakukan berbagai percobaan ilmiah. Ia mencampur
beberapa bahan kimia, dan-membuatnya menjadi beberapa butiran kecil, disimpannya
di dalam sebuah kotak Kemudian sebelum jam pelajaran sore dimulai, ia memasuki
ruang kelas yang kosong, menyingkirkan meja Elizabeth dan menaruh sebuah meja
besar di tempatnya. Di atas meja itu ditaruhnya sebuah kursi, dan dengan berdiri
di kursi tersebut ia bisa mencapai langit-langit. Dengan cepat diaturnya butirbutir yang dibuatnya tadi di langit-langit dan disemprotnya dengan suatu cairan
yang baunya aneh. Cairan itu akan membuat butir-butir tadi lambat laun meletus
dan meneteskan butiran besar air yang jatuh langsung ke bawah.
"Pasti hebat jadinya nanti," pikir Julian melompat turun dari kursi.
Dikembalikannya kursinya, dikembalikannya meja besar tadi. Dan diletakkannya
meja Elizabeth tepat berada di bawah butir-butir di langit-langit tadi. Butirbutir tadi tak tampak, putih bagaikan langit-langitnya.
Sore itu Mam'zelle mengajar bahasa Prancis. Elizabeth dan kawan-kawannya diberi
tugas untuk mempelajari kata kerja dan menghapalkan sebuah sajak. Mam'zelle akan
mendengarkan mereka menghapal di depan kelas nanti. Semua berlatih menghapal
sampai saat pelajaran akan mulai. Terdengar Mam'zelle datang. Elizabeth bangkit
dari kursinya untuk membukakan pintu.
Mam'zelle sedang senang hatinya. Anak-anak gembira melihat ini. Bu Ranger tidak
akan marah bila tidak ada alasan yang kuat untuk itu, tetapi Mam'zelle sering
marah tanpa sebab apa-apa. Tapi kali ini agaknya ia sedang tidak pemarah.
"Sore ini kita akan belajar baik-baik," kata Mam'zelle dengan wajah berseriseri. "Kalian harus mengucapkan semua hapalan tanpa kesalahan sedikit pun,
sehingga aku tak perlu marah."
Tak ada yang menyahut. Mereka semua berharap agar tak ada yang berbuat salah.
Seorang saja berbuat salah, seluruh kelas bisa kena marah. Memang sulit. Hampir
tak pernah ada jam pelajaran bahasa Prancis tanpa seorang murid berbuat salah.
Julian telah bersiap-siap untuk pelajaran sore itu. Ia menggunakan otaknya
sebaik mungkin. Semua kata kerja meluncur dari mulutnya dengan lancar dan tanpa
kesalahan. Ia berbicara dengan Mam'zelle menggunakan bahasa Prancis yang nyaris
sempurna. Dan Mam'zelle makin berseri-seri wajahnya, berseru gembira, "Ah, kau
ini, Julian! Selalu kau pura-pura bodoh, tetapi sesungguhnya kau amat pintar!
Kini coba ucapkan sajakmu. Ucapkan sajak yang bagus itu untukku, Julian."
Julian mulai mengucapkan sajaknya. Lancar dan bagus sekali ucapannya. Tetapi
baru saja mulai, sesuatu mengganggunya. Elizabeth.
Saat itu Elizabeth sedang menunduk, mempelajari buku bahasa Prancis-nya. Tibatiba saja setetes besar air jatuh di kepalanya. Elizabeth terkejut. Tak terasa
ia berseru kecil dan mengusap kepalanya. Kepalanya basah!
"Kenapa, Elizabeth?" tanya Mam'zelle tak sabar.
"Setetes air jatuh di kepalaku," kata Elizabeth kebingungan. Ia melihat ke
langit-langit. Tetapi tak melihat apa-apa di sana.
"Nakal sekali kau, Elizabeth," kata Mam'zelle. "Kaukira aku akan percaya pada
kata-katamu itu?" "Tetapi benar-benar setetes air jatuh ke kepalaku," kata Elizabeth. "Aku
merasakannya." Jenny dan Robert menahan tawa. Mereka mengira Elizabeth berpura-pura untuk
memancing kelucuan. Mam'zelle mengetuk meja dengan keras.
"Diam!" katanya. "Julian, lanjutkan hapalanmu. Mulailah dari depan kembali."
Julian mulai lagi, yakin bahwa sebentar lagi setetes air akan jatuh kembali ke
kepala Elizabeth. Ia hampir tak bisa menahan tawa.
"Oh, oh!" seru Elizabeth tiba-tiba. Dua tetes besar telah jatuh ke kepalanya.
Elizabeth tak tahu harus berbuat apa. Diusapnya kepalanya.
"Elizabeth! Sekali lagi kau mengganggu!" seru Mam'zelle. "Apakah kau ingin
merusak jerih payah Julian" Kenapa lagi sekarang" Jangan berkata bahwa hujan
turun di kepalamu!" "Tetapi, Mam'zelle, memang ada air menetes di kepalaku!" kata Elizabeth. Tangan
yang meraba kepalanya merasa bahwa kepala itu basah. Anak-anak tertawa terbahakbahak. Mam'zelle jadi sangat marah.
"Semua diam!" hardiknya. "Aku tak mau ribut begini di kelasku. Elizabeth, aku
sungguh heran padamu. Seorang Pengawas mestinya tidak berbuat seperti itu!"
"Tetapi, Mam'zelle, benar-benar ada air menetes dari atas," kata Elizabeth. Dan
setetes air menetes lagi. Elizabeth sampai melompat karena terkejut, dan
memandang ke langit-langit.
"Kau melihat ke langit-langit seolah itu langit betul" Kaupikir hari hujan"
Kaupikir kau bisa menipuku?" Mam'zelle benar-benar marah. Semua anak kini
memperhatikan dengan berdebar-debar. Bila marah Mam'zelle selalu melakukan
gerakan yang lucu. "Bolehkah aku pindah tempat?" tanya Elizabeth putus asa. "Selalu ada saja yang
jatuh dari atas sana. Aku tak mau ketetesan lagi!"
"Kau boleh duduk di luar sana," kata Mam'zelle tegas. "Ini lelucon paling tolol
yang pernah kudengar. Pasti sebentar lagi kau akan bertanya apakah kau boleh
duduk di situ dengan membawa payung."
Seisi kelas tak tahan untuk tidak tertawa. Mereka terpingkal-pingkal
membayangkan Elizabeth duduk dengan memakai payung. Tetapi Mam'zelle tak
bermaksud melucu. Dengan marah ia memukul-mukul meja.
"Diam! Aku tidak melucu! Aku sangat marah! Elizabeth, keluarlah dari kelas!"
"Oh, maaf, Mam'zelle, harap aku tidak dikeluarkan," pinta Elizabeth. "Aku tak
akan mengganggu lagi. Tetapi percayalah bahwa tadi memang ada air menetes di
kepalaku." Setetes air lagi jatuh di kepalanya. Tetapi kali ini ia diam saja. Ia tak mau
Mam'zelle kehabisan kesabaran dan mengeluarkannya dari kelas. Dua kali
dikeluarkan sudah keterlaluan! Biarlah ia basah kuyup asal tidak dikeluarkan.
"Satu kali saja kau berseru mengganggu, kau harus keluar!" ancam Mam'zelle.
Elizabeth dengan bersyukur duduk, berjanji untuk tidak terkejut kalau ada air
menetes lagi di kepalanya.
Tetapi tidak ada lagi tetesan air. Dan segera rambut Elizabeth kering kembali.
Tak ada bekas basah sama sekali. Ia pun mendapat giliran untuk menghapalkan kata
kerja dan sajak, serta diperkenankan untuk duduk terus di dalam kelas.
Selesai pelajaran bahasa Prancis, anak-anak datang mengerumuninya, memandangnya
kagum, "Elizabeth! Berani betul kau berbuat seperti itu tadi! Coba kulihat
kepalamu." Tetapi sekarang rambut Elizabeth sudah kering, dan tak seorang pun percaya pada
Elizabeth saat ia mengatakan berulang-ulang bahwa tadi memang ada tetesan air
jatuh ke kepalanya. Mereka memeriksa kepala Elizabeth. Sama sekali tidak basah.
Mereka jadi kurang senang.
"Mengapa kau bersikeras mengatakan begitu pada kami" Toh kami tak akan
mengadukanmu," kata Harry. "Sebetulnya leluconmu tadi sangat lucu. Mengapa tidak
kauakui?" "Tetapi itu tadi bukan lelucon," bantah Elizabeth. "Benar-benar terjadi!"
Anak-anak pergi meninggalkannya. Mereka tak senang Elizabeth tak mau berterus
terang pada mereka. "Ia berdusta," kata Arabella pada Rosemary. "Sungguh-sungguh aku tak mengerti,
bagaimana anak seperti itu bisa jadi Pengawas."
Beberapa orang setuju dengan pendapat Arabella. Mereka semua senang Elizabeth
membuat lelucon di kelas, tetapi mereka kecewa Elizabeth tak mau berterus
terang. Bu Ranger mendengar cerita tentang itu dari Mam'zelle saat guru-guru berkumpul
di ruang istirahat. "Sungguh tidak seperti biasanya Elizabeth berbuat setolol
itu," kata Mam'zelle mengakhiri ceritanya.
Bu Ranger tampak sangat heran. "Aku tak mengerti tingkah Elizabeth," katanya.
"Akhir-akhir ini memang luar biasa tingkah lakunya. Ia juga melakukan suatu
lelucon tolol di kelasku, mendorong buku-bukunya sehingga jatuh berulang kali."
"Tadinya kupikir ia baik sekali jadi Pengawas," kata Mam'zelle. "Aku sungguh
kecewa pada Elizabeth."
Sementara itu Arabella selalu menjelek-jelekkan Elizabeth pada setiap
kesempatan. Dan banyak anak yang mulai percaya kata-katanya. Arabella memang
Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat pandai bicara. "Tentu saja, aku senang lelucon," kata Arabella, "dan sungguh menyenangkan untuk
berbuat lucu dalam sebuah pelajaran yang membosankan. Tetapi kurasa tak pantas
seorang Pengawas berbuat seperti itu. Maksudku kita-kita ini memang wajar
bersikap ugal-ugalan, tetapi seorang Pengawas tentunya tak pantas, bukan"
Seorang Pengawas harus bisa memberi contoh yang baik. Kalau tidak, untuk apa ia
dijadikan Pengawas?"
"Dua semester yang lalu ia dijuluki Gadis Paling Badung di Sekolah, bukan?"
sambung Martin. "Mungkin memang itulah sifat aslinya, dan sulit untuk
ditinggalkannya. Kukira salah sekali menjadikannya seorang Pengawas!"
"Coba saja. Ia menyebarkan desas-desus yang begitu keji tentang Julian," kata
Arabella lagi. "Mestinya seorang Pengawaslah yang mematikan desas-desus
tersebut. Tetapi ini malah dia yang mulai. Yah, seperti kukatakan berulangulang, aku sama sekali tidak mengerti mengapa Elizabeth diangkat menjadi
Pengawas." "Aku yakin ia tak bisa bertahan lama sebagai Pengawas," kata Martin. "Kukira tak
boleh kita diam-diam saja punya Pengawas yang bertingkah seperti dia. Bagaimana
kita bisa menghormatinya, bagaimana kita bisa meminta nasihat padanya, kalau dia
sendiri bertingkah seperti itu" Ia harus diturunkan dari jabatannya sebagai
Pengawas!" Kasihan sekali Elizabeth. Ia tahu teman-teman sekelasnya berbisik-bisik tentang
dirinya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan itu semua.
13. Rahasia Arabella Rapat besar datang dan berlalu tanpa Elizabeth mengatakan sesuatu. Ia begitu
kecewa dan bingung, tak tahu harus berbuat apa, sehingga akhirnya ia tak
mengatakan apa pun. Sementara itu hari ulang tahun Arabella tiba. Ibunya telah berjanji akan
mengiriminya sebuah kue ulang tahun yang besar sekali. Dan ia diberi izin untuk
memesan apa saja yang disukainya, makanan dan minuman, dari salah sebuah toko
besar di London. Ibu Arabella memang masih berada di Amerika saat itu, jadi
segalanya diserahkannya pada Arabella sendiri.
Arabella sudah begitu sering membicarakan rencananya untuk ulang tahun ini. Ia
sangat suka membual, dan dikatakannya pada teman-temannya apa saja yang akan
dibelinya untuk ulang tahunnya.
Kemudian ia mendapat suatu ilham. Suatu rencana bagus yang segera dikatakannya
pada Rosemary. "Rosemary, bagaimana kalau kita mengadakan pesta tengah malam" Di
sekolahku dulu kami pernah mengadakannya, dan sungguh asyik! Kita siapkan
makanan dan minuman secukupnya. Betapa meriahnya nanti kita menikmati itu semua
di tengah malam!" Rosemary setuju. "Tetapi mestikah kita mengadakannya tengah malam?" tanyanya.
"Apa tidak lebih baik sore-sore saja" Siapa tahu kita ketahuan guru-guru."
"Tak apa. Lebih serem tengah malam, kan?" kata Arabella. "Tak usah mengundang
Elizabeth. Ia jahat sekali, jangan-jangan ia malah mengadukan rencana kita ini."
"Lalu... siapa yang akan kauundang?" tanya Rosemary.
"Siapa saja... kecuali sahabat-sahabat dekat Elizabeth... misalnya Kathleen,
Robert, dan Harry. Mereka akan mendukung Elizabeth secara membabi buta. Lagi
pula, walaupun diundang takkan mungkin Elizabeth datang. Ia pasti berpendapat
pesta tengah malam sesuatu yang menyalahi peraturan. Jangan lupa, ia masih jadi
Pengawas." Demikianlah. Sekali lagi anak-anak kelas satu mempunyai suatu rahasia.
Dibisikkan dari saru anak ke anak lain. Elizabeth melihat betapa mereka
berbisik-bisik, dan terdiam setiap saat dia mendekat. Ia berpikir mereka
pastilah berbisik-bisik tentang dirinya lagi, dan ia semakin marah dan bersedih.
Julian tentu saja diundang. Begitu juga Martin. Mata hijau Julian bersinar
senang mendengar rencana itu. Sesuatu yang membutuhkan keberanian seperti itulah
yang sangat disukainya. Anak-anak itu merundingkan di mana saja mereka akan menyembunyikan makananmakanan untuk pesta tersebut. Mereka tak mau kalau guru-guru mencium adanya
rencana pesta itu dengan melihat begitu banyaknya makanan dan minuman.
"Kue ulang tahunnya bisa kita makan waktu jam minum teh," kata Arabella, "tetapi
yang lainnya kita sembunyikan saja."
"Sembunyikan limunnya di gudang kebun," usul Martin. "Aku tahu suatu tempat
persembunyian yang baik Biarlah aku yang membawanya ke sana. Kalau waktunya
datang, biar aku juga yang mengambilnya."
"Dan sembunyikan kaleng biskuit di lemari olahraga di gang," kata Julian.
"Lemari itu tak pernah dipakai. Tak seorang pun akan melihatnya. Mana,
kusembunyikan sekarang saja."
Dan makanan serta minuman itupun disebarlah, disembunyikan di sana-sini. Anakanak yang ikut diundang berdebar-debar penuh harap menantikan saat yang
mengasyikkan itu. Mereka yang tidak diundang-jumlahnya sangat sedikit-sama
sekali tak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya tahu bahwa ada suatu rahasia, dan
rahasia itu milik Arabella.
Arabella dengan sengaja selalu bercakap-cakap tentang pesta yang akan datang itu
dengan suara rendah bila ia melihat Elizabeth mendatangi. Dan bila Elizabeth
sudah dekat, ia pura-pura terkejut serta mengalihkan pembicaraannya.
Ini membuat Elizabeth sangat gusar. "Tak perlu menduga bahwa aku ingin
mengetahui rahasia tololmu itu," katanya pada Arabella. "Jadi bicaralah sesuka
hatimu. Aku akan menutup kupingku."
Betapapun sungguh tak enak untuk dikucilkan. Lebih tak enak lagi melihat betapa
Julian makin lama tampak makin dekat dengan Arabella, berbicara hangat, tertawa
ria. Elizabeth tak tahu bahwa Julian sengaja berbuat ini untuk melukai hatinya.
Sebetulnya Julian juga sangat tidak suka pada Arabella yang suka membual itu.
Tetapi baginya apa saja yang bisa menyakiti hati Elizabeth akan dilakukannya
dengan gembira. Ulang tahun Arabella tiba. Anak-anak mengucapkan selamat padanya, dan memberinya
berbagai hadiah kecil. Arabella menerima itu semua dengan sikap sangat manis dan
ucapan yang berbunga-bunga. Tak ragu lagi Arabella memang pandai bertindak kalau
saja segalanya sesuai dengan kehendak hatinya.
Elizabeth tidak memberi Arabella hadiah apa pun, bahkan mengucapkan selamat saja
tidak. Ia melihat Julian memberi hadiah sebuah bros kecil yang dibuatnya
sendiri. Lalu secara berlebihan Arabella mengucapkan terima kasih dan langsung
memakai bros tersebut. "Oh, Julian, kau memang sahabatku yang terbaik," kata Arabella, mengetahui bahwa
Elizabeth ada di dekatnya. "Terima kasih banyak!"
Pesta tengah malam itu akan diadakan di ruang bermain. Ruang ini cukup jauh dari
ruang tidur guru-guru. Dengan begitu dianggap cukup aman. Hari itu seisi kelas
tampak gelisah tapi senang, sehingga Bu Ranger bertanya-tanya dalam hati apa
yang sedang terjadi. Secara kebetulan Elizabeth membuka lemari olahraga di gang untuk mencari bola
lacrosse. Heran juga ia melihat sekantong biskuit di tempat itu.
"Mungkin ini milik Bu Ranger," pikirnya. "Mungkin ia kelupaan. Baiklah nanti
akan kukatakan padanya. Mungkin ia menyimpan biskuit ini di sini untuk dibagikan
waktu istirahat." Tetapi Elizabeth kemudian lupa dan tak mengatakan apa yang dilihatnya pada Bu
Ranger. Ia sama sekali tak tahu bahwa biskuit tersebut milik Arabella dan akan
dimakan di pesta nanti malam.
Rahasia Arabella terjaga dengan baik. Anak-anak yang diundang sama sekali tak
membocorkannya sedikit pun pada Elizabeth, sebab Elizabeth adalah seorang
Pengawas yang mungkin sekali akan menggagalkan rencana mereka. Karena itu
Elizabeth dan beberapa anak lain sama sekali tak tahu.
Waktu tengah malam tiba, semua anak sudah tidur, kecuali Arabella yang sudah
berjanji akan jaga terus sampai waktu yang ditentukan tiba. Ia begitu penuh
harapan, hingga tak sulit untuk tak memejamkan mata menunggu saat itu. Dan
ketika didengarnya lonceng sekolah berdentang dua belas kali, ia bangkit,
memakai gaun kamar, sandal, dan sambil membawa senter kecil membangunkan kawankawannya. Sekali sentuh mereka terbangun dan Arabella berbisik pada setiap anak, "Ssssh...
jangan ribut, waktu pesta sudah tiba!"
Elizabeth tidur nyenyak Begitu juga Kathleen. Mereka tak terbangun saat anakanak perempuan keluar ke gang dan bergabung dengan anak-anak laki-laki yang juga
keluar dari tempat tidur. Mereka berjingkat-jingkat menuju ruang bermain.
Terdengar banyak sekali bisik-bisik serta suara-suara tawa yang tertahan.
Bagaikan bayangan anak-anak tadi masuk ke ruang bermain dan menyalakan lilin.
Mereka tak berani menyalakan lampu, takut kalau cahayanya terlihat dari luar.
"Lagi pula lebih asyik pakai lilin," bisik Arabella riang. Inilah sesuatu yang
sangat disukainya.... Ia menjadi ratu pesta! Memang cantik sekali ia memakai
gaun kamar dari sutra, sandal biru juga dari sutra, dan ia tahu bahwa ia memang
tampak cantik. Anak-anak mulai membuka makanan dan minuman. Banyak sekali!
"Sarden! Oh, aku sangat suka sarden!" seru Ruth.
"Buah persik kaleng! Ooooh... sedaaaaap!" "Sisihkan kue cokelat untukku! Rasanya
pasti lezzatt!" "Minta sendoknya, sini, biar kubagikan buah persik ini...."
"Jangan begitu ribut, Belinda! Sudah dua kali kau menjatuhkan sendok. Hati-hati,
kalau tidak. Bu Ranger pasti datang kemari!"
Pop! Sebotol limun dibuka tutupnya. Pop! Pop! Yang lain menyusul. Anak-anak
saling pandang dengan hati riang. Ini sudah lewat tengah malam. Dan mereka tidak
berada di kamar tidur. Mereka berpesta pora di ruang bermain!
"Mana biskuitnya?" tanya Arabella. "Enak sekali bila buah persik ini dimakan
dengan biskuit. Tapi mana biskuitnya?"
"Oh, aku lupa!" seru Julian, bangkit. "Baiklah. Akan kuambil, Arabella. Tak
lama. Hanya di lemari olahraga itu."
Julian tidak membawa senter. Ia meraba-raba di kegelapan, di gang, mencoba
bergerak tanpa suara. Tetapi tak terduga ia menubruk sebuah kursi yang langsung
jatuh dengan mengeluarkan suara keras!
Sesaat Julian mematung, memasang telinga. Tempat itu dekat kamar tidur
Elizabeth. Dan Elizabeth terbangun!
Elizabeth juga memasang telinga, bertanya dalam hati suara apa itu gerangan.
"Baiklah kulihat saja," pikirnya kemudian. Ia turun dari tempat tidur,
mengenakan gaun kamar dan memakai sandal. Tak diperhatikannya bahwa separo
tempat tidur di kamarnya kosong. Ia menyelinap keluar, ke gang, dengan membawa
senter. Tanpa menyalakan senter ia merayap sepanjang gang, berhenti sesaat, dan maju
lagi. Ia mendengar ada suara seseorang agak jauh di depannya. Perlahan ia
merambat maju terus. Seseorang itu berada di dekat lemari olahraga! Jelas Elizabeth mendengar pintu
lemari berderit dibuka orang. Siapa itu" Apa yang dilakukannya"
Elizabeth maju tanpa suara, dan tiba-tiba menyorotkan lampu senternya. Julian
begitu terkejut hingga seakan-akan nyawanya terloncat dari tubuhnya.
"Julian! Apa yang kaulakukan" Hei, sungguh jahat kau... kau mencuri biskuit!
Sungguh menjijikkan kau ini! Cepat kembalikan!"
"Ssssh," bisik Julian, "kau membangunkan semua orang, tolol!"
Ia tak berusaha mengembalikan kantong biskuit yang telah diambilnya. Ia
bermaksud akan membawanya kembali ke tempat pesta. Tetapi Elizabeth tak tahu
tentang itu tentu saja. Ia berpikir bahwa Julian memang sedang mencuri.
"Hah, kini kau tertangkap basah!" kata Elizabeth. "Tertangkap dengan barang
bukti di tangan! Mana bungkusan itu!"
Julian merebut kembali biskuitnya. Dan ini menyebabkan tutup lemari copot dan
jatuh dengan suara sangat keras di lantai, suara yang terus menggema sampai jauh
di gang. "Anak goblok!" bentak Julian kecewa. "Kini kau betul-betul membangunkan semua
orang!" 14. Obat Bersin Jatuhnya tutup lemari itu benar-benar membangunkan banyak sekali orang.
Terdengar langkah-langkah kaki dan pintu-pintu dibuka. Para guru pasti akan
segera muncul. Julian kabur untuk memperingatkan kawan-kawannya, dan sempat mendorong Elizabeth
keras-keras ke samping hingga hampir terjatuh. Elizabeth tak tahu ke mana Julian
lari, maka ia pun lari kembali ke kamar tidurnya, dengan pikiran bahwa kini ia
telah menangkap basah Julian.
"Kini aku akan melaporkannya," pikir Elizabeth naik ke tempat tidur. "Aku harus
melaporkannya." Julian masuk ke ruang bermain dan berbisik, "Cepat! Semua kembali ke kamar
tidur! Elizabeth sambil memergoki aku waktu aku mengambil biskuit, dan membuat
suara ribut sekali. Ayo, cepat! Kalau tidak, bisa tertangkap oleh guru-guru
nanti!" Bergegas anak-anak memasukkan apa saja kembali ke laci-laci mereka di sepanjang
dinding, atau ke dalam laci meja-meja yang kebetulan kosong. Kemudian lilin
ditiup padam, dan mereka kabur sambil berharap semoga mereka tak begitu banyak
meninggalkan sisa-sisa makanan.
"Sialan Elizabeth," desis Arabella terengah-engah, menanggalkan gaun kamarnya
dan naik ke tempat tidur. "Padahal sedang asyik-asyiknya! Merusakkan suasana
saja anak itu!" Guru-guru saling tanya, suara apa yang mereka dengar itu. Mam'zelle yang kamar
tidurnya paling dekat dengan asrama anak-anak kelas satu, selalu tidur lelap. Ia
tak mendengar apa-apa dan tidur terus. Ia terkejut saat Bu Ranger membuka
pintunya dan membangunkannya.
"Mungkin anak-anak kelas satu saling mengganggu," jawab Mam'zelle mengantuk
waktu ditanyai Bu Ranger. "Tolonglah lihat, Bu Ranger."
Tetapi ketika Bu Ranger telah sampai ke asrama anak-anak dan menyalakan lampulampunya, semua telah sepi. Semua anak tampaknya telah tidur dengan lelap.
Bahkan luar biasa lelapnya agaknya. Bu Ranger agak curiga juga.
Dari tempat tidurnya Elizabeth melirik Bu Ranger yang menyalakan lampu di
kamarnya. Haruskah ia mengatakan apa yang baru saja terjadi" Tidak. Tak usah.
Lebih baik bila perkara itu diuraikannya di Rapat Besar besok, agar semua
menaruh perhatian. Bu Ranger mematikan kembali lampu-lampu dan pergi ke kamar tidurnya. Ia tak bisa
menerka suara apa yang didengarnya tadi. Mungkin kucing milik sekolah telah
mengejar sesuatu dan menubruk sesuatu. Tak lama Bu Ranger telah tertidur
kembali. Tetapi Elizabeth lama tak bisa tidur. Ia memikirkan Julian dan biskuit yang
diambilnya. Kini ia yakin bahwa Julian memang seorang pencuri yang menjijikkan.
Semboyannya untuk melakukan apa saja yang disukainya dan membiarkan orang lain
melakukan yang disukainya ternyata hanya untuk menutupi kebiasaan buruknya.
"Ia akan sangat terkejut nanti bila aku berdiri di Rapat Besar dan membeberkan
segala perbuatannya," pikir Elizabeth.
Anak-anak sementara itu sangat marah karena Elizabeth telah menggagalkan rencana
mereka. "Apakah tidak patut kalau kita beri dia hajaran sepantasnya untuk itu?" kata
Arabella dengan gusar. "Tapi... ia sesungguhnya tak tahu apa pun tentang pesta kita," kata Julian.
"Mungkin ia keluar dari kamarnya karena heran melihat kalian semua meninggalkan
tempat tidur." Elizabeth memang merasa heran tetapi ia hanya berpikir bahwa anak-anak
mengunjungi Arabella untuk bermain-main, sekadar merayakan ulang tahunnya. Ia
sama sekali tak berpikir bahwa mereka akan berpesta pora.
"Jangan bocorkan rahasia padanya," kata Julian. "Kita mungkin bisa melanjutkan
pesta tadi malam itu nanti. Dan kalau ia tahu ia pasti akan mencegahnya lagi."
Maka tak seorang pun berkata pada Elizabeth bahwa ia telah menggagalkan pesta
mereka. Tak urung banyak sekali yang melontarkan pandangan sangat marah padanya,
sehingga Elizabeth sangat heran.
Julian merancangkan suatu siasat untuk membalas Elizabeth. Diceritakannya
rencana itu pada anak-anak lainnya.
"Dengar," katanya, "aku sudah membuat bubuk obat bersin. Akan kusebarkan di
antara halaman buku bahasa Prancis Elizabeth. Dan nanti pada pelajaran Mam'zelle
ia pasti akan bersin tak henti-hentinya."
"Oh, bagus sekali!" seru anak-anak yang lain. Mereka gembira bisa membalas
Elizabeth. Sebelum pelajaran sore hari, Julian menyelinap masuk ke dalam kelas. Diambilnya
buku bahasa Prancis Elizabeth, dan pada halaman-halamannya disebarkan serbuk
halus yang secara tak sengaja ditemukannya saat ia sedang mengadakan percobaan
untuk membuat sesuatu. Serbuk itu akan membuat orang bersin tak henti-hentinya.
Julian memang selalu berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang
sama sekali belum pernah dipikirkan oleh orang lain.
Setelah cukup banyak ia menaburkan bubuk obat bersin itu, hati-hati ditutupnya
buku tersebut dan dikembalikannya ke meja Elizabeth. Sambil tersenyum sendiri ia
keluar, memikirkan betapa Elizabeth akan mendapat suatu kejutan besar. Begitu
juga Mam'zelle. Lonceng berbunyi. Anak-anak memasuki kelas masing-masing. "Bahasa Prancis!"
keluh Jenny.
Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya ampun! Kalau sampai Mam'zelle nanti marah, pasti aku akan lupa semua yang
telah kuhapalkan." "Aku begitu mengantuk," bisik Arabella pada Rosemary, yang juga tampak lelah
karena pesta tengah malam itu. "Kuharap Mam'zelle tidak melampiaskan
kemarahannya padaku kalau tiba-tiba ia murka. Kuharap ia akan marah pada
Elizabeth. Oh, pasti lucu nanti kalau ia mulai bersin!"
Sepuluh menit pertama pelajaran lisan. Kemudian Mam'zelle memerintahkan agar
semua mengeluarkan buku bacaan. Elizabeth mengeluarkan bukunya, dan membukanya.
Tak memakan waktu lama, obat bersin itu bekerja. Saat Elizabeth membuka-buka
halaman bukunya, serbuk lembut halus terbang memasuki hidungnya, menggelitiknya.
Ia merasa akan bersin dan cepat-cepat mengeluarkan sapu tangannya.
"Hatt-tshi!" Elizabeth bersin. Mam'zelle tak memperhatikannya.
"Hatt-tshii!" Elizabeth bersin lagi. Heran juga ia. Apakah ia masuk angin"
"HATTTTTTTSHHIIIIII!"
Mam'zelle mengangkat kepala. Elizabeth cepat-cepat menahan bersin berikutnya.
Hening sejenak. Dan saat itu giliran Jenny membaca keras-keras. Ia sampai ke
akhir halaman dan bersama dengan anak-anak lainnya membuka halaman tersebut.
Karena membuka halaman itu, debu bubuk bersin di buku Elizabeth terbang lagi,
memasuki hidungnya. Ia merasa akan bersin, lalu cepat-cepat mengambil
saputangannya lagi. Tetapi ia tak bisa menahan bersin itu.
"HATTT-TSHIIIII! HA1TTTT-TSHIIIII!" begitu keras ia bersin, sehingga suara Jenny
tak bisa didengar. Satu-dua anak mulai tertawa geli. Mereka menunggu Elizabeth
bersin lagi. Dan benar juga, kali ini begitu keras, sehingga Mam'zelle terkejut
dan terlompat dari kursinya.
"Cukup, Elizabeth!" seru Mam'zelle. "Kau tak boleh bersin lagi. Tidak perlu itu.
Jangan ganggu yang lain seperti itu."
"Aku tidak bisa hattttttttshi! Menahannya!" terengah-engah Elizabeth menahan
bersin, air mata mengalir di pipinya sebab bubuk bersin itu memang sangat kuat.
"Hattttttshiiii!"
Mam'zelle jadi sangat marah. "Elizabeth! Minggu lalu kaubilang air jatuh dari
langit-langit. Minggu ini kauhilang kau mesti bersin. Aku tak suka!"
"Hattttttttt-ttttshiiiii!" Elizabeth bersin lagi. Makin banyak anak yang tertawa
kini. Mam'zelle tak bisa menahan marahnya, menghantam-hantam meja,
"Elizabeth! Kau seorang Pengawas, dan kau berlaku seperti ini! Hentikan bersinmu
segera!" "Hatttt-TTTSHIII!" Lagi-lagi Elizabeth bersin. Tak tahan lagi seisi kelas
tertawa sehingga air mata mereka bercucuran.
"Keluar kau! Jangan kembali!" hardik Mam'zelle. "Aku tak mau kau berada di
kelasku!" "Tetapi, oh, Mam'zelle, aku mohon... hattt-tttshi! Hattt-tssshi! Oh,
Mam'zelle...," sia-sia Elizabeth meminta maaf. Mam'zelle telah mendorongnya ke
pintu, mendorongnya ke luar dan menutupnya rapat-rapat.
Mam'zelle menghadap ke seluruh isi kelas, dan berkata tegas, "Ini sama sekali
tidak lucu. Sama sekali tidak lucu!"
Seisi kelas malah tertawa semakin riuh rendah-mereka tak bisa menahan tawa, di
sana-sini tertawa terhenti, tetapi di tempat lain muncul, dan akhirnya semua
tertawa. Mam'zelle sangat marah. Seisi kelas dihukumnya dengan menyuruh mereka mencatat
satu halaman sajak bahasa Prancis. Tetapi bahkan hukuman ini tidak menghentikan
tawa mereka. Di luar kelas, Elizabeth bingung dan gusar. "Mengapa aku bersin-bersin seperti
itu?" tanyanya dalam hati. "Mengapa di sini aku sama sekali tidak ingin bersin"
Apakah aku selesma" Di dalam tadi aku sama sekali tak bisa berhenti bersin.
Sungguh kejam Mam'zelle mengusirku, toh bukan salahku!"
Dan saat itu muncullah William, Ketua Murid Laki-laki, bersama Pak Lewis, guru
musik! Elizabeth bingung. Tapi tak sempat lagi menghindar. William telah
melihatnya. William pasti tahu bahwa ia dikeluarkan dari kelas.
"Elizabeth!" tegur William. "Kenapa kau" Dikeluarkan lagi" Kudengar dari Rita
minggu yang lalu kau dikeluarkan juga. Apakah kau lupa bahwa kau seorang
Pengawas?" "Tidak," sahut Elizabeth sedih, "aku tidak lupa. Mam'zelle mengusirku karena aku
tak bisa berhenti bersin. Ia mengira aku sengaja berbuat begitu untuk melucu.
Tetapi aku memang bersin betulan. Tak bisa kutahan lagi!"
"Tetapi sekarang kau tak bersin-bersin," kata William.
"Aku tahu. Begitu aku keluar dari kelas, bersinku reda."
William melanjutkan perjalanan. Ia yakin Elizabeth sedang berbuat nakal. Ia
harus berbicara dengan Rita tentang ini. Tak boleh ada Pengawas sampai
dikeluarkan dari kelas. Tak pantas Pengawas memberi contoh buruk.
Elizabeth sama sekali tak tahu bahwa ia menjadi korban ulah Julian. Ia hanya
menyangka bahwa dirinya terserang flu pilek. Aneh juga bahwa akhirnya ia tidak
apa-apa. "Biarlah, pokoknya malam ini aku akan melapor di Rapat Besar," pikirnya. "Sudah
pantas Julian dibuka kedoknya di hadapan anak banyak. Aku yakin semua akan
percaya pada laporanku. Aku toh seorang Pengawas!"
15. Rapat yang Mengguncangkan
Anak-anak memasuki ruang senam. Rapat Besar akan dimulai. Elizabeth begitu
tegang. Ia ingin agar Rapat segera selesai, agar semua persoalannya selesai.
"Ada uang untuk kotak kita?" tanya William, seperi biasanya. Sepuluh shilling
disumbangkan oleh seorang anak yang baru saja menerima wesel dari seorang
pamannya. Arabella memasukkan dua pound uang hadiah ulang tahunnya. Ia telah
mengerti kini, dan tak mau dilaporkan menyembunyikan uang lagi.
Kemudian dua shilling dibagikan pada setiap anak. Dan setelah itu Rita dan
William mempertimbangkan permintaan-permintaan uang tambahan. Elizabeth gelisah.
Tak bisa duduk tenang. Ia melirik pada Julian. Anak itu tenang-tenang saja,
rambutnya seperti biasa turun di dahi hampir menutupi mata.
Dan berulang kali Julian harus menepiskan rambut itu ke samping.
"Ada keluhan atau laporan?" seperti biasa William bertanya. Seorang anak kecil
cepat berdiri sebelum Elizabeth sempat berdiri.
"William," kata anak kecil itu, "anak-anak di kelasku selalu memanggilku si
Dungu karena nilaiku selalu paling rendah. Kupikir hal itu tidak adil."
"Kau sudah berbicara dengan Pengawas-mu?" tanya William.
"Sudah," kata anak kecil itu.
"Siapa Pengawasmu?" tanya William.
Seorang anak besar berdiri. "Aku," katanya. "Ya. James selalu diganggu temannya.
Ia telah banyak ketinggalan pelajaran karena sakit. Tetapi aku telah berbicara
dengan gurunya. Menurut gurunya ia bisa mengejar ketinggalannya kalau saja ia
mau berusaha, sebab sesungguhnya otaknya cerdas."
"Terima kasih," kata William. Pengawas itu duduk.
"Nah, James, kaudengar apa kata Pengawasmu," kata William lagi. "Kau sendiri
sesungguhnya bisa mencegah agar tidak dikatakan dungu oleh teman-temanmu.
Caranya dengan menggunakan otakmu. Belajarlah lebih giat. Mungkin kau telah
terbiasa menjadi juru kunci, sehingga tak sadar bahwa sesungguhnya kau mampu
berbuat banyak." "O, begitu," kata James, baru tahu tetapi hatinya senang kini. Lalu ia duduk
dengan membantingkan dirinya ke kursi. Anak-anak sekelasnya sesaat bingung, tak
tahu apakah harus marah atau tertawa mendengar mereka diadukan. Tetapi tiba-tiba
mereka saling menggamit dan tersenyum. James pun berpaling serta ikut tersenyum.
"Ada keluhan lain?" tanya Rita.
"Ada, Rita," kata Elizabeth, berdiri begitu cepat sehingga kursinya hampir
roboh. "Ada keluhan berat yang akan kusampaikan."
Terdengar suara bisik-bisik menjalar di antara hadirin. Semua berdebar-debar
menunggu. Apa yang akan dikatakan Elizabeth" Arabella jadi sedikit pucat. Apakah
Elizabeth akan mengadukannya lagi" Julian dengan tajam melirik pada Elizabeth.
Apakah Elizabeth akan mengadukannya"
Ternyata memang betul! Elizabeth memulai pengaduannya. Ia begitu tegang sehingga
kata-katanya meluncur seakan saling bertubrukan.
"Rita, William, ini tentang Julian," katanya. "Untuk beberapa lama aku telah
menduga bahwa ia sering mengambil barang-barang yang bukan miliknya. Dan kemarin
malam aku telah memergokinya! Ia tertangkap basah olehku. Ia sedang mengambil
suatu barang dari lemari olahraga di gang depan!"
"Elizabeth, kau harus memberi keterangan yang jelas," kata Rita dengan nada
serius. "Kau sedang melakukan suatu tuduhan yang sangat berat akibatnya. Ini
harus kita selidiki sampai tuntas. Kalau kau merasa bukti-buktimu tidak cukup,
maka kuharap kau segera mencabut pengaduanmu ini, dan membicarakannya dengan
kami secara tertutup, tidak di depan umum."
"Aku punya bukti!" kata Elizabeth. "Aku melihat sendiri Julian mengambil biskuit
dari lemari olahraga. Aku tak tahu punya siapa. Mungkin punya Bu Ranger. Dan
malam itu, sewaktu ia mengira semua telah tidur, perlahan-lahan ia keluar untuk
mengambilnya. Aku mendengarnya. Aku melihatnya."
Sunyi senyap. Anak-anak kelas satu saling pandang, dada mereka berdebar keras.
Kini pesta tengah malam mereka akan terpaksa dibeberkan di depan anak banyak. Julian pasti akan terpaksa mengatakan rahasia mereka.
William memandang Julian. Julian berlagak tak peduli, duduk seenaknya dengan
tangan di saku dan tersenyum-senyum.
"Berdirilah, Julian," kata William, "dan ceritakan pada kami bagaimana kejadian
itu bisa terjadi." Julian berdiri. Tangannya masih di saku.
"Jangan memasukkan tanganmu di saku," tegur William.
Julian mengikuti perintah itu. Penampilannya tampak berantakan sekali. Matanya
yang hijau bersinar tajam.
"Maafkan aku, William," kata Julian. "Aku tak bisa memberikan keterangan, sebab
rahasia itu juga menyangkut banyak sekali orang lain. Yang bisa kukatakan di
sini adalah aku tidak mencuri biskuit itu. Aku memang mengambilnya, tetapi tidak
mencurinya." Julian duduk Elizabeth langsung berdiri dan berseru, "Kaulihat, Wiliam, dia tak
bisa memberi alasan yang tepat!"
"Duduklah, Elizabeth." kata William tegas. Ia memandang pada anak-anak kelas
satu yang jadi sunyi dan gelisah, tak berani berisik ataupun saling pandang.
Julian baik sekali, tidak membuka rahasia mereka. Tetapi betapa tak menyenangkan
keadaan ini! "Anak-anak kelas satu," kata William, "aku harap bila ada di antara kalian yang
bisa membersihkan Julian dari tuduhan ini, segeralah melakukannya, tak peduli
apakah dengan begitu kau membuka rahasia seseorang atau tidak. Kalau Julian,
karena rasa setia kawannya pada seseorang atau beberapa orang di antara kalian,
tak bisa membela dirinya, maka kalian sendirilah yang harus mempunyai rasa setia
kawan padanya dan membela dia."
Sunyi sekali. Rosemary gemetar, tapi tak berani bergerak. Belinda sudah separo
berdiri, tetapi duduk lagi. Martin diam, tegang, dan pucat pasi.
Ternyata Arabella yang kemudian membuat kejutan. Tiba-tiba ia berdiri dan
berbicara dengan suara rendah.
"William, kurasa lebih baik aku mengatakan sesuatu," katanya. "Kami memang
mempunyai suatu rahasia. Dan sungguh baik hati Julian tidak membuka rahasia
tersebut. Sebab... sesungguhnya... kemarin ulang tahunku... dan... kami berpikir
kami akan... mengadakan pesta tengah malam...."
Ia berhenti. Begitu gugup sehingga tak tahu harus berkata apa lagi. Seisi
ruangan mendengarkan dengan tegang, menunggu penuh perhatian.
"Teruskan," kata Rita lembut.
"Kami... kami harus menyembunyikan beberapa makanan dan minuman... di sanasini...." Arabella melanjutkan. "Semua itu menyenangkan bagi kami. Kami tidak
memberitahu Elizabeth karena dia seorang Pengawas, dan mungkin akan mencegah
kami. Nah, Julian menyembunyikan biskuit kami di lemari olahraga. Dan tengah
malam ia pergi untuk mengambilnya. Mungkin saat itulah Elizabeth memergokinya.
Tetapi sesungguhnya yang diambil Julian adalah biskuitku. Dan akulah yang minta
agar ia mengambilkannya, dan membawanya ke ruang bermain tempat kami akan
berpesta. Aku kira sungguh jahat Elizabeth menuduh Julian mencuri. Ini memang
pernah dilakukannya sebelumnya. Kami semua tahu apa yang didesas-desuskannya, ia
mengatakan bahwa Julian mengambil barang-barang milik orang lain... uang dan
permen." Panjang juga perkataan Arabella. Dan tiba-tiba ia menghentikannya, langsung
duduk, hampir terengah-engah. Julian memandang padanya dengan penuh terima
kasih. Julian tahu bahwa sangat berat bagi Arabella untuk menceritakan tentang
rahasia pesta tengah malam itu, sebab ini akan menyudutkannya sendiri. Tetapi
hal itu dilakukannya juga. Harga diri Arabella melesat naik di mata Julian dan
di mata anak-anak lain. William dan Rita mendengarkan dengan teliti. Begitu juga Elizabeth. Waktu
didengarnya alasan Julian keluar malam itu, ia jadi pucat. Kakinya gemetar. Ia
segera tahu bahwa paling tidak dalam satu hal ia telah melakukan sebuah
kesalahan besar. William berpaling padanya dan berkata dengan nada tajam dan
tegas, "Elizabeth, agaknya kau telah berbuat sesuatu yang tak bisa dimaafkan.
Pertama, kau telah menuduh Julian di depan umum bahwa ia melakukan sesuatu yang
tidak dilakukannya. Bahkan aku merasa pasti, kau belum memintanya untuk memberi
keterangan tentang kelakuannya itu, dan langsung memutuskan sendiri bahwa Julian
berbuat salah." Elizabeth duduk bagaikan patung. Tak bisa berkata sepatah pun.
"Arabella berkata bahwa ini bukannya pertama kalinya kau menuduh Julian dengan
tuduhan yang sama. Karena tuduhan terakhirmu ini ternyata tidak benar, maka
sangat mungkin tuduhan yang lain juga salah. Maka kami tidak akan mendengarkan
tuduhan-tuduhan tersebut di depan umum. Kau harus menerangkannya pada aku dan
Rita secara terpisah nanti."
"Baiklah, William," kata Elizabeth dengan suara lemah. "Aku... aku sangat
menyesal tentang apa yang baru saja kukatakan tadi... aku tidak tahu...."
"Itu bukan alasan," tukas William. "Aku tak mengerti apa yang terjadi pada
dirimu di semester ini. Semester yang lalu kau kami angkat sebagai Pengawas
karena kami merasa yakin kau tepat untuk kedudukan itu. Tetapi ternyata semester
ini kau sangat mengecewakan. Aku kira banyak di antara kita yang berpendapat
bahwa kau sudah tidak pantas lagi jadi Pengawas."
Beberapa orang anak menyatakan persetujuannya dengan mengentakan kaki
"Dua kali kau sudah dikeluarkan dari kelas," kata William lagi, "dan dengan
alasan yang sama-mengganggu ketenangan kelas dengan berulah nakal. Itu sama
sekali bukan perbuatan seorang Pengawas. Elizabeth, kukira kami sudah tidak bisa
mengharapkan bantuanmu sebagai Pengawas. Kau harus turun dan membiarkan kami
memilih Pengawas baru sebagai gantimu."
Ini sudah keterlaluan bagi Elizabeth. Ia tersedu keras, melompat turun dari
panggung tempat para Pengawas duduk dan berlari ke luar ruangan. Ia telah gagal.
Ia tidak bisa menjadi Pengawas yang baik. Oh, padahal ia begitu bangga akan
kedudukan itu! William tidak mencegah Elizabeth lari ke luar. Dengan tegas ia berkata pada
hadirin, "Sekarang kita akan memilih Pengawas baru. Harap kalian mulai
memikirkan siapa yang harus menggantikan kedudukan Elizabeth."
Semua hening. Berpikir-pikir. Rapat Besar itu kadang-kadang cukup mengerikan.
Tetapi bagi setiap anak selalu ada pelajaran yang bisa dipelajari. Di Rapat
Besar ini mereka tahu bahwa mereka tak boleh menuduh seseorang kalau mereka tak
mempunyai bukti yang sangat kuat. Semua melihat betapa menyedihkan akibatnya.
Dan mereka tahu hukuman untuk Elizabeth memang sudah pada tempatnya.
Kasihan sekali Elizabeth. Selalu saja terjerumus dalam kesulitan karena kurang
berpikir. Apa yang akan dilakukannya kini"
16. Elizabeth Menghadap Rita dan William
Seorang Pengawas baru dipilih sebagai pengganti Elizabeth. Seorang anak kelas
dua bernama Susan. Tak seorang pun anak-anak di luar kelas satu memilih anak
kelas satu. Agaknya mereka berpendapat anak kelas satu harus diawasi oleh
seseorang yang lebih tua dari mereka sendiri.
"Arabella, sungguh berani kau memberikan pengakuan tentang pesta tengah malam
itu," kata Rosemary dengan rasa kagum. Semua anak lain juga berpendapat serupa.
Arabella merasa bangga akan dirinya. Ia telah melupakan kepentingannya sendiri.
Dan ini memang suatu kejutan, bahkan bagi dirinya sendiri. Sungguh senang
mengetahui bahwa seluruh kawannya merasa kagum padanya.
Hanya satu anak yang gelisah. Julian. Ia merasa sangat marah pada Elizabeth
karena menuduhnya begitu berat di depan umum. Tetapi ia juga sadar bahwa
Elizabeth dikeluarkan dari dalam kelas karena tipu muslihatnya bukan karena
kenakalan Elizabeth sendiri. Ternyata Elizabeth dicopot dari kedudukannya
sebagai Pengawas karena dikeluarkan dari kelas itu bukan karena menuduhnya
mencuri! "Secara tidak langsung mungkin William dan Rita mengatakan bahwa Elizabeth
diturunkan dari kedudukannya sebagai Pengawas karena menuduhku dengan tuduhan
tak benar," pikir Julian. "Tetapi semua mendapat kesan bahwa Elizabeth dicopot
karena dua kali diusir dari kelas, sesuatu yang sesungguhnya bukan kesalahannya.
Tapi biarlah. Apa peduliku. Kan dia memang tidak pantas untuk jadi Pengawas."
Tetapi ia agak gelisah juga. Sebab seperti juga Elizabeth, ia selalu bersikap
adil. Walaupun ia tidak suka pada Elizabeth, ia tak mau Elizabeth menderita
karena sesuatu yang sesungguhnya tak dilakukannya. Masih untung ia selamat dari
segala tuduhan berkat pembelaan Arabella. Tetapi Elizabeth ternyata paling
Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menderita. Bahkan sahabat-sahabat terdekatnya, Harry, Robert, atau Kathleen,
saat itu punya anggapan bahwa Elizabeth memang salah besar sebagai Pengawas.
Rapat Besar dibubarkan setelah pemilihan Pengawas selesai. Anak-anak
meninggalkan ruang senam, sibuk membicarakan apa yang baru saja terjadi. Selalu
ada saja kejutan terjadi pada sebuah Rapat Besar.
"Tak ada yang bisa disembunyikan di Sekolah Whyteleafe," kata Eileen, salah satu
murid dari kelas tinggi. "Cepat atau lambat, kesalahan seseorang akan muncul dan
dibetulkan. Cepat atau lambat suatu budi baik akan terlihat dan mendapat hadiah.
Dan itu semua kita lakukan sendiri. Sungguh menyenangkan!"
Bu Belle dan Bu Best yang juga hadir mendengarkan secara teliti semua yang
terjadi. Waktu rapat selesai, William dan Rita mendatangi kedua pimpinan sekolah
itu. "Apakah kami sudah bertindak benar Bu Belle?" tanya William.
"Kukira begitu," kata Bu Belle. Dan Bu Best juga mengangguk. "Tetapi, William,
harap kau berbicara dengan Elizabeth segera. Biarkan ia mencurahkan segala isi
hatinya, apa saja yang dipikirkannya tentang Julian. Ada sesuatu yang
mengherankan. Biasanya Elizabeth tak bersikeras tentang sesuatu kalau tidak ada
alasan untuk itu. Ada sesuatu yang masih belum kita ketahui."
"Ya, kami akan memanggil Elizabeth sekarang juga," kata Rita. "Entah dia ada di
mana." Elizabeth berada di kandang kuda. Di kegelapan. Menangis tersedu-sedu memeluk
kepala kuda yang biasa ditungganginya. Kuda tersebut mengendus-endusnya, seakan
ikut merasakan kesedihan majikan kecilnya. Kemudian Elizabeth mengeringkan air
mata, duduk di sebuah ember yang terbalik, di sudut kandang.
Ia heran. Ia menyesal akan apa yang telah dikatakannya tentang Julian. Ia malu.
Ia kecewa karena telah kehilangan kedudukannya sebagai Pengawas. Ia merasa ia
takkan berani menghadapi teman-temannya lagi. tetapi mau tak mau itu harus
dilakukannya. "Apa yang terjadi pada diriku?" pikirnya. "Aku telah bertekad untuk menjadi
Pengawas yang baik dan membantu siapa saja. Dan ternyata yang terjadi
sebaliknya. Aku kehilangan kesabaran dan berbuat buruk sekali. Dan kini semua
membenciku, terutama Julian. Aneh juga. Aku melihat sendiri, dialah yang
memiliki uang yang kuberi tanda itu. Aku melihat sendiri permenku jatuh dari
sakunya. Karenanya waktu kulihat dia mengambil biskuit, aku yakin ia mencurinya.
Tetapi ternyata tidak. Lalu, apakah bukan dia juga yang mengambil barang-barang
lainnya itu?" Seseorang lewat dekat kandang kuda, dan memanggilnya keras-keras. "Elizabeth! Di
mana kau?" Beberapa orang anak telah disuruh mencarinya, memanggilnya untuk menghadap Rita
dan William. Seluruh bagian sekolah telah diselidiki. Ia belum ditemukan. Maka
Nora pergi ke luar gedung sekolah untuk mencarinya, dengan membawa senter.
Mula-mula Elizabeth tak ingin menyahut. Ia sama sekali tak berani kembali ke
sekolah dan menghadapi semua anak. Kemudian sedikit keberaniannya timbul. Ia
berdiri. "Aku bukan pengecut," pikirnya. "William dan Rita telah menghukumku, tetapi
kesalahan yang dituduhkan mereka padaku hanya separo yang benar. Aku memang
dikeluarkan dari kelas, tetapi sesungguhnya aku tak melakukan apa-apa. Aku
memang menuduh Julian, tetapi saat itu aku mengira bahwa Julian betul-betul
berbuat salah. Maka aku harus menghadapi apa pun yang akan terjadi. Tak boleh
aku menyerah begitu saja."
"Elizabeth, kau di situ?" terdengar suara Nora lagi, dari kejauhan.
Kali ini Elizabeth menjawab, "Ya, aku akan datang."
Ia keluar dari dalam kandang, menggosok-gosok matanya. Nora menyorotnya dengan
senter. "Anak tolol," kata Nora hangat dengan rasa persahabatan. "Kucari kau ke sana
kemari. William dan Rita menunggumu."
"Baiklah," Elizabeth menghela napas panjang. Apakah ia akan dimarahi lagi,
dicerca lagi" Apakah belum cukup ia mendapat malu di depan umum, dan kini harus
ditegur lagi secara pribadi"
Diusapnya mukanya dengan saputangan, dan ia berlari ke gedung utama sekolah. Ia
langsung menuju kamar William dan mengetuk pintunya.
"Masuklah," terdengar suara dari dalam. Elizabeth masuk. Dilihatnya Rita dan
William duduk dan menunggunya dengan wajah serius.
"Duduklah, Elizabeth," kata Rita dengan lembut kasihan juga ia melihat gadis
cilik keras kepala ini, yang begitu sering mendapat kesulitan. Tenang juga hati
Elizabeth mendengar suara lembut Rita. Ia duduk.
"Rita," kata Elizabeth, "aku sungguh menyesal akan apa yang telah kukatakan
tentang Julian. Benar-benar menyesal. Tetapi pada saat itu, kukira apa yang
kukatakan betul." "Itulah sebabnya kau kupanggil sekarang ini," kata Rita. "Terangkanlah pada kami
sekarang, apa yang tak boleh kaukatakan di depan umum tentang Julian-untuk
menjaga kalau-kalau apa yang kaukatakan tidak benar."
Elizabeth menceriterakan segalanya pada kedua Ketua Murid itu. Semuanya. Tentang
uang Rosemary yang hilang, uang Arabella, dan uang shilling-nya yang telah
ditandainya, yang juga hilang, kemudian muncul di tangan Julian. Juga tentang
permennya yang hilang dan jatuh dari saku Julian.
William dan Rita mendengarkan dengan bersungguh-sungguh dan penuh perhatian.
"Apakah kau yakin benar tentang ini semua?" tanya William akhirnya, dengan nada
khawatir. Satu hal telah jelas. Ada seseorang yang suka mencuri di kelas satu
walaupun itu tidak harus berarti bahwa tuduhan Elizabeth pada Julian benar. Rita
dan William sependapat tentang Julian-betapapun nakalnya, berandalnya, dan
liciknya Julian, tetapi anak itu berhati jujur.
"Saat itu, ya," Elizabeth menjawab. "Karenanya aku mengambil kesimpulan bahwa
Julianlah pelakunya. Dan karena kesimpulan itulah maka aku menuduh Julian
mencuri waktu kudapati ia mengambil biskuit di tengah malam."
"Elizabeth, mengapa kau berpikir bahwa kau bisa menyelesaikan sendiri persoalan
itu waktu pertama kali kau dilapori Rosemary tentang uangnya yang hilang?" tanya
Rita. "Itu bukan urusanmu. Tak seharusnya kau memasang jebakan. Seharusnya kau
langsung datang pada kami, dan membiarkan kami menanggulanginya. Kau sebagai
Pengawas berkewajiban melaporkan hal-hal seperti itu pada kami agar kami bisa
memikirkan cara untuk menyelesaikannya.'
"Oh, kukira adalah tugasku sebagai Pengawas untuk menyelesaikan persoalan yang
ada, tanpa harus membawanya ke Rapat Besar - kalau memang bisa kuselesaikan
sendiri," kata Elizabeth heran.
"Elizabeth, kau mesti belajar membedakan antara perkara besar dan perkara
kecil," kata Rita. "Pengawas harus mengawasi bahwa tak ada anak-anak yang
berbicara lagi kalau lampu telah dipadamkan, memberi nasihat bila ada
pertengkaran kecil, dan hal-hal semacam itu. Tetapi bila muncul persoalan berat,
para Pengawas wajib untuk segera melaporkan kepada kami. Lihatlah apa akibatnya
bila kau mencoba menyelesaikan persoalan-persoalan itu sendiri. Kau telah
menuduh Julian untuk suatu perbuatan yang sangat keji. Kau memaksa Arabella
membuka rahasianya. Kau terpaksa kehilangan kehormatan sebagai seorang
Pengawas." "Aku tadinya begitu bangga dan merasa sangat penting karena menjadi Pengawas,"
kata Elizabeth perlahan, menghapus dua butir air mata yang mengalir di pipinya.
"Ya, kau merasa terlalu bangga dan penting," kata Rita. "Begitu bangga, sehingga
kau merasa bisa menyelesaikan suatu persoalan yang bahkan bagi Bu Belle sangat
sulit untuk dipecahkan. Masih banyak yang harus kau-pelajari, Elizabeth, dan
agaknya kau cenderung untuk mempelajarinya dengan cara yang paling sulit,
bukan?" "Agaknya begitulah," kata Elizabeth. "Aku tak pernah berpikir panjang, kurang
sabar dan terlalu cepat mengambil keputusan, akibatnya aku kehilangan temantemanku. Dan semuanya!" ia mengeluh panjang.
"Yah," kata William. "Tapi ada satu hal yang sangat baik pada dirimu, Elizabeth.
Kau punya keberanian untuk mengetahui kesalahanmu, dan itu adalah langkah
pertama untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Jangan terlalu khawatir. Kau bisa
memperoleh kembali apa saja yang telah hilang darimu asal saja kau bisa
menggunakan akal sehatmu."
"Kupikir lebih baik kita panggil Julian kemari dan menceritakan padanya apa saja
yang telah dikatakan Elizabeth," kata Rita. "Mungkin ia bisa memberi keterangan
sedikit - paling tidak tentang uang shilling yang kauberi tanda itu, serta
permenmu. Aku yakin bukan dia yang mengambilnya."
"Oh, biarkan aku pergi dulu sebelum ia datang kemari," pinta Elizabeth, yang
merasa bahwa Julian pasti akan sangat membencinya saat itu. Terbayang olehnya
mata hijau anak itu mengutuk dirinya. Tidak, ia tak berani bertemu dengan
Julian. "Tidak, kau harus tinggal di sini untuk mendengarkan apa katanya," kata Rita
tegas. "Kalau Julian tidak mengambil barang-barang itu, maka ada sesuatu yang
aneh dalam peristiwa ini. Kita harus menemukan apa yang aneh tersebut."
Terpaksa Elizabeth duduk saja, menunggu kedatangan Julian. Oh, betapa mengerikan
hari ini! 17. Berhati Emas Julian segera datang. Ia terkejut juga melihat Elizabeth sudah berada di situ.
Ia melirik tajam pada gadis kecil tersebut dan berpaling hormat pada William dan
Rita. "Julian, kami telah mendengar banyak sekali hal yang aneh dari Elizabeth," kata
William. "Kami yakin kau bisa memberi keterangan. Nah, kini dengarkan apa yang tadi telah
dikatakan oleh Elizabeth dan katakan apa pendapatmu."
Julian mendengarkan saat William menceritakan apa yang didengarnya dari
Elizabeth. Julian tampak heran dan bingung juga.
"Kalau begitu kini aku mengerti mengapa Flizabeth menuduhku sebagai pencuri,"
katanya. "Sungguh aneh. Apakah benar aku mempunyai uang shilling yang diberi
tanda itu" Dan apakah permen Elizabeth jatuh dari sakuku" Aku memang mendengar
sesuatu jatuh, tetapi karena permen itu bukan punyaku, ya tidak kuambil. Aku
memang melihatnya di lantai, tapi aku tak tahu kalau permen itu jatuh dari
sakuku. Jelas aku tidak menaruhnya di dalam sakuku itu."
"Lalu bagaimana bisa sampai di situ?" tanya Rita.
"Sebentar, rasanya uang itu masih ada," tiba-tiba Julian berkata dan meraba-raba
seluruh sakunya. Memang, uang shilling itu masih ada. Dikeluarkannya, lalu
diperhatikannya. Di situ masih terlihat suatu tanda silang hitam yang sangat
kecil. "Inilah shilling itu," kata Julian
"Dan itu tanda silang yang kubuat," kata Elizabeth, menuding. Heran Julian
memeriksa tanda tersebut.
"Ya... pikir-pikir... kurasa memang bukan ini uang yang kudapat dari kotak
sekolah minggu itu..." Bukan uang shilling baru.... Julian mencoba mengingatingat. "Kalau uang baru pasti aku ingat.... Ya, aku ingat sekarang. Yang
kuterima adalah dua keping uang shilling lama. Jadi pastilah seseorang telah
menaruh uang shilling baru ini di sakuku, dan mengambil yang lama. Mengapa, ya?"
"Dan pastilah seseorang telah menaruh permen Elizabeth di sakumu juga," kata
William. "Apakah ada orang yang sangat membencimu, Julian?"
Julian berpikir sesaat. "Mmm... rasanya tidak ada ... kecuali Elizabeth,
tentunya." Elizabeth seketika itu merasa sangat sedih mendengar semua ini. Semua
kebenciannya pada Julian lenyap segera, begitu ia sependapat dengan William dan
Rita bahwa tak mungkin Julian yang berbuat, bahwa kemungkinan ada orang lain
yang mencoba memfitnah Julian.
"Elizabeth memang membenci aku," kata Julian lagi, "tetapi aku yakin ia takkan
sampai hati berbuat begitu."
"Oh, Julian, tentu saja aku takkan melakukan itu," kata Elizabeth, hampir
menangis lagi. "Julian, aku tidak membencimu. Aku lebih dari menyesal akan apa
saja yang telah terjadi. Aku malu sekali pada diriku sendiri. Aku selalu berbuat
tanpa berpikir. Aku tahu kau takkan memaafkan aku."
Julian menatap Elizabeth dengan pandangan dingin mata hijaunya. "Aku telah
memaafkan kau," katanya tiba-tiba. "Aku tak pernah mendendam. Tetapi aku tak
menyukaimu, dan aku takkan bisa jadi sahabat baikmu lagi. Di samping itu... ada
sesuatu yang harus kuakui di sini."
Julian berpaling pada William dan Rita. "Kau berkata di Rapat tadi bahwa
Elizabeth dua kali dikeluarkan dari kelas karena berbuat nakal," katanya.
"Sesungguhnya ia tidak bersalah dalam dua peristiwa itu." Julian berpaling pada
Elizabeth. "Elizabeth, kau jadi korban jebakanku dengan buku-buku itu. Di bagian
bawah buku yang terbawah kupasang sebuah pegas. Secara otomatis pegas tersebut
berputar dan mendorong buku-buku itu jatuh. Kemudian kutempelkan butir-butir di
langit-langit di atas kursimu, sehingga air menetes tepat di kepalamu ketika zat
kimia yang ada padanya berubah menjadi air. Dan kusebarkan bubuk obat bersin di
halaman-halaman buku bahasa Prancis-mu."
William dan Rita terheran-heran mendengarkan penuturan Julian. Mereka hampir tak
mengerti apa yang diceritakan Julian. Tetapi Elizabeth tentu saja sangat
mengerti, dan ia ternganga memandang Julian.
Pegas di bawah buku-bukunya! Butiran air di langit-langit! Bubuk obat bersin di
bukunya! Elizabeth hampir tak bisa mempercayai telinganya. Ternganga ia,
tertegun memandang Julian, lupa akan air matanya.
Dan tiba-tiba saja ia tertawa. Ia tak bisa menahan rasa gelinya. Teringat
olehnya buku-bukunya yang meloncat. Teringat olehnya air yang tiba-tiba bisa
menetes dari langit. Dan bersinnya yang tak habis-habis itu... semakin teringat,
semakin geli, dan semakin ia tak bisa mengendalikan tawanya, lupa bahwa dulu ia
memperoleh hukuman berat untuk itu semua.
Ia terus tertawa terpingkal-pingkal, sampai tengadah kepalanya, sampai sakit
perutnya. Dan ia tertawa terus. William, Rita, dan Julian memandang heran
padanya. Dan tak terasa mereka pun ikut tertawa. Suara tawa Elizabeth memang
mudah menular, membuat orang lain ingin tertawa juga.
Akhirnya Elizabeth memaksa diri untuk berhenti, mengusap air mata tawanya. "Ya
ampun!" katanya. "Tak tahu aku mengapa aku bisa tertawa begitu, padahal hatiku
sangat sedih. Tetapi aku tak bisa menahannya. Kalau kuingat semua itu, terasa
lucu sekali. Sungguh menggelikan membayangkan betapa herannya aku waktu itu."
Julian tiba-tiba mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Elizabeth erat-erat.
"Kau sungguh sportif," katanya. "Tak pernah aku berpikir bahwa kau akan tertawa
seperti itu bila kuceritakan jebakan yang telah kubuat untukmu, untuk
membalasmu. Kukira kau akan menangis, atau mengamuk, atau cemberut, tetapi tak
pernah kukira kau akan tertawa! Kau sungguh sportif, Elizabeth. Aku kini kembali
suka padamu!" "Oh," Elizabeth hampir tak percaya. "Julian, kau sungguh baik! Tapi, lucu juga
kau, karena kembali senang padaku hanya karena aku tertawa!"
"Sesungguhnya tidak lucu," kata William. "Orang yang bisa tertawa seperti itu
padahal tahu bahwa dirinya telah dipermainkan, seperti kata Julian tadi, adalah
seorang yang sportif, tahu menghargai kemenangan lawan dan kekalahan diri
sendiri. Dan orang macam itu memang disukai orang banyak. Tawamu barusan telah
menjernihkan sebagian besar persoalan ini, Elizabeth. Kini kita saling mengerti
lebih baik tentang diri kita dan sifat kita masing-masing."
Julian masih menjabat hangat tangan Elizabeth.
"Kulupakan semua tuduhan buruk yang kaulontarkan padaku. Dan kaulupakan segala
muslihatku yang mencelakakan kau. Jadi kini kita impas, seri," katanya. "Maka
marilah kita mulai lagi. Maukah kau jadi sahabat baikku?"
"Oh, ya, tentu saja, Julian," Elizabeth berseru gembira. "Aku senang sekali. Dan
aku takkan peduli kau membuat hujan atau badai, atau bubuk apa saja di bukuku
kini. Aku kini merasa bahagia kembali."
William dan Rita saling pandang, tersenyum. Agaknya Elizabeth begitu mudah
terlibat kesulitan, tetapi begitu mudah pula lolos dari kesulitan itu. Ia begitu
sering melakukan hal-hal yang tolol, pemarah, sering berbuat salah- tetapi
sesungguhnya baik hati. "Yah... agaknya sebagian besar dari persoalan ini sudah jelas," kata William.
"Cuma kita masih belum tahu siapa sebenarnya yang jadi pencuri, dan ini cukup
mengkhawatirkan sebab ia mungkin masih akan mencuri lagi. Kita harus segera
mengetahuinya secepat mungkin, agar tidak timbul persoalan lain. O, ya,
Elizabeth, bagaimana teman-temanmu bisa tahu tuduhan pertamamu pada Julian"
Apakah kau mengatakannya pada seseorang?"
"Tidak, sepatah kata pun tidak," kata Elizabeth. "Aku telah berjanji takkan
mengatakan, maka tak kukatakan."
"Aku pun tak mengatakan pada siapa pun," kata Julian.
"Tapi, Julian, ada satu anak lagi yang tahu," kata Elizabeth tiba-tiba, tampak
sedikit khawatir. "Martin Follett. Ia berada di dalam kandang kuda, ketika kita
bertengkar di luar kandang itu. Ia kemudian keluar setelah kau pergi. Ia
menawarkan akan memberiku satu shilling sebagai pengganti uangku yang hilang.
Kukira baik hati benar ia menghiburku. Tetapi ia berjanji untuk tidak mengatakan
pada siapa pun apa yang didengarnya."
"Pasti ia tak menepati janjinya, bajingan kecil itu!" desis Julian yang entah
kenapa memang tak pernah menyukai Martin Follett. "Tetapi, kurasa tak apalah.
Dan... terima kasih, William, Rita, karena telah mendamaikan kami berdua, serta
membuat kami bisa berpikir lebih jernih."
Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba ia menyeringai lucu, mata hijaunya berseri-seri. Elizabeth memandang
pada Julian, dan hatinya merasa hangat. Bagaimana dulu ia sampai berpikir bahwa
Julian mampu berbuat sekotor itu" Sungguh keji tuduhannya. Sungguh keterlaluan
ia tak pernah memberi orang lain kesempatan untuk menjelaskan sesuatu.
"Ia berkata bahwa ia akan melakukan apa saja yang disenanginya, tak peduli
pekerjaan apa pun. Dan tak mau bekerja kalau ia memang tak merasa ingin. Ia tak
peduli harus terlibat dengan kesulitan apa pun. Dan ia kaya dengan begitu banyak
muslihat. Tetapi aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ia berhati emas," pikir
Elizabeth. Dan pada saat yang sama Julian menyeringai pada Elizabeth dan berpikir, "Ia
begitu pemarah, begitu tak sabaran, suka bertindak tolol, mudah sekali menanam
permusuhan- tetapi aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ia berhati emas!"
"Selamat malam, Para Pembuat Onar," kata William, dan dengan hangat dan ramah
mendorong keduanya keluar dari kamarnya. 'Elizabeth, sayang sekali kau tidak
lagi jadi Pengawas. Kau sendiri mengerti kini, bahwa kau harus mempunyai cara
berpikir yang lebih matang agar anak-anak lain mempercayaimu lagi. Kau memang
sering tak berpikir panjang kalau melakukan suatu maksud."
"Aku tahu kini," kata Elizabeth. "Kali ini aku memang gagal. Tetapi aku akan
berusaha untuk memperoleh kesempatan lagi. Dan pasti berhasil."
Keduanya meninggalkan kamar William. William dan Rita saling pandang.
"Kedua anak itu punya pribadi yang sangat menarik," kata William. "Ayo, kita
buat minuman panas, Rita. Sudah malam ini. Heran. Siapa pencuri di kelas satu
itu, ya" Pasti anak kelas satu juga. Bukan saja pencuri, tetapi juga tukang
fitnah. Betapa menjijikkan ia, menimpakan segala kesalahannya pada Julian,
dengan jalan menaruh uang shilling dan permen itu."
"Ya, pastilah yang berbuat itu anak yang sangat jahat hatinya," kata Rita. "Anak
yang sangat sulit untuk diinsyafkan. Entah seorang anak laki-laki atau seorang
anak perempuan." Julian dan Elizabeth pergi ke ruang bermain mereka. Sudah hampir waktu tidur.
Tinggal seperempat jam untuk bersantai.
"Biarlah aku masuk ke ruang bermain bersamamu," kata Julian, dan Elizabeth
meremas tangannya dengan rasa syukur. Julian telah merasa bahwa Elizabeth pasti
akan menemui kesulitan bila muncul sendiri di depan semua anak kelas satu. Akan
sangat berat baginya menghadapi mereka semua, pada saat ia mendapat malu dan
bukan lagi seorang Pengawas.
"Terima kasih, Julian," kata Elizabeth, dan dibukanya pintu ruang bermain.
18. Julian Berlaku Sangat Lucu
Anak-anak kelas satu memang sedang membicarakan Elizabeth. Mereka saling tanya
di mana kira-kira Elizabeth berada. Kebanyakan berkata bahwa Elizabeth memang
sudah sepatutnya mendapat hukuman. Dan tak ragu-ragu lagi semuanya memihak pada
Julian. "Akan kukatakan pada Julian apa pendapatku sebenarnya tentang Elizabeth," kata
Arabella. "Aku memang tak pernah menyukainya. Bahkan pada waktu aku tinggal di
rumahnya." "Sungguh sayang Elizabeth menuduh Julian tanpa bukti-bukti yang lengkap," kata
Jenny. "Kukira ia memang takkan bisa memperoleh bukti. Itu dilakukannya hanya karena
merasa iri. Iri tidak kuundang menghadiri pestaku," kata Arabella dengan ketus.
"Karena itulah ia mencoba membalas pada Julian dengan menuduhnya secara membabi
buta." "Tak mungkin. Aku kenal betul pribadi Elizabeth," kata Robert. "Ia memang sering
berbuat salah, tetapi ia bukannya seorang pendendam."
"Pokoknya aku tak mau berbicara sepatah kata pun padanya," kata Martin Follett.
"Kukira ia terlalu jahat pada Julian."
"Sssh, awas, dia datang," tiba-tiba Belinda berkata. Pintu terbuka. Elizabeth
masuk Ia telah menduga bahwa ia akan disambut dengan pandangan masam. Bahkan
beberapa orang anak langsung membuang muka.
Tepat di belakangnya, Julian melangkah masuk. Sekilas ia melihat betapa anakanak kelas satu itu agaknya telah sepakat untuk menyiksa perasaan Elizabeth.
"Julian," kata Arabella manis, "kami semua merasa kasihan padamu, harus
menghadapi Rapat seperti itu tadi. Sungguh keterlaluan, bukan?"
"Ya, kau pasti merasa sangat gusar tadi," kata Martin. "Aku sendiri sudah gusar
sekali." "Aku tadi memang gusar," kata Julian dengan suaranya yang begitu enak didengar.
"Sekarang tidak lagi. Ayo, Elizabeth, masih ada waktu sepuluh menit. Kita main
dua-satu. Mana kartunya?"
"Di laciku," kata Elizabeth, bersyukur dalam hati. Sungguh mengerikan memasuki
ruangan itu, menghadapi sekian banyak pandang membenci. Untunglah jelas-jelas
Julian membelanya, jelas-jelas Julian jadi sahabatnya kembali. Ia lalu mengambil
kartu dari dalam laci. Anak-anak yang ada di ruang bermain itu ternganga keheranan. Kenapa Julian itu"
Apakah ia sudah gila" Ia berbaik hati pada anak yang tadi menuduhnya dengan
tuduhan yang begitu keji" Sungguh tak mungkin! Tak mungkin terjadi!
Tetapi jelas hal itu terjadi. Julian membagikan kartu, dan berdua mereka sudah
tenggelam dalam keasyikan permainan kartu tersebut. Hening sekali ruangan itu
Tak ada yang bisa berbicara melihat keanehan tersebut. Akhirnya Arabella-lah
yang memecahkan kesunyian, "Julian, kau ini bagaimana sih" Apakah kau tidak tahu
bahwa Elizabeth musuhmu yang paling jahat?"
"Kau salah, Arabella," sahut Julian dengan nada ramah. "Ia adalah sahabat
terbaikku. Ternyata semua tadi terjadi hanya karena salah paham."
Ada sesuatu pada cara Julian berbicara yang memperingatkan ia tak mau diganggu.
Karenanya mereka pun sibuk kembali dengan berbagai permainan mereka sendiri.
"Terima kasih, Julian," bisik Elizabeth.
Ceria mata hijaunya menatap Elizabeth. "Tenang-tenang saja," katanya. "Kau bisa
mengandalkan aku kalau ada kesulitan. Musuh yang Paling jahat!"
"Oh, Julian!" seru Elizabeth, setengah tertawa setengah menangis. Lonceng waktu
tidur berbunyi. Semua merapikan barang masing-masing dan pergi ke ruang tidur di
atas. Beberapa hari setelah itu Elizabeth masih merasa tertekan jiwanya. Anak-anak
lain tak semudah Julian dalam memaafkan dan melupakan kesalahannya. Mereka
dingin terhadapnya. Hanya beberapa yang benar-benar bersikap manis, di antaranya
Kathleen, Robert, dan Harry. Yang lain mendiamkannya, tak menganggapnya hadir di
dekat mereka, dan tampak merasa gembira karena ia sekarang sudah bukan Pengawas
lagi. Joan dari kelas dua, yang dahulu sahabat karib Elizabeth di semester satu,
datang menemuinya. Dijabatnya tangan Elizabeth erat-erat dan berkata, "Aku belum
bisa mengetahui dan memastikan yang mana yang salah dan yang mana yang benar
dalam perkara ini. Tetapi aku yakin bahwa kau takkan mengatakan apa yang
kaukatakan itu, bila kau tak merasa yakin bahwa kau benar. Sudahlah, tak usah
kaupikirkan lagi. Sebentar saja peristiwa itu akan dilupakan. Dan kau akan bisa
terpilih jadi Pengawas lagi." Elizabeth gembira sekali mendengar kata-kata
menghibur dari sahabat-sahabatnya. "Kini bisa kurasakan betapa bahagianya
seorang yang sedang menghadapi kesulitan mendapat hiburan dari orang lain. Aku
harus selalu ingat saat-saat ini, dan harus bersedia memberikan kata-kata
penghiburan pada mereka yang menderita - bila kelak keperluan untuk itu muncul."
Elizabeth tampak agak pendiam. Ia belajar dan belajar terus. Suara tawanya yang
begitu riang jarang sekali terdengar. Dan Julian sering menggoda hal ini.
"Kalau kau terus-terusan begini, bisa-bisa kau jadi seperti Rosemary nanti,"
kata Julian. "Ayolah, Elizabeth, tertawalah sedikit. Aku tak ingin punya sahabat
yang selalu berwajah murung."
Tetapi Elizabeth baru saja memperoleh guncangan batin. Sulit juga ia melewati
masa ini. Julian selalu memikirkan apa yang bisa dilakukannya untuk
mengembalikan pribadi ceria Elizabeth. Dirancangkannya beberapa muslihat lucu.
Ia bercerita pada teman-teman sekelasnya. "Dengar," katanya, "kalau Pak Leslie,
guru IPA kita nanti membawa kita berpraktek di laboratorium, aku akan membuat
beberapa suara. Tapi kalian sama sekali tak boleh menunjukkan bahwa kalian
mendengar suara-suara itu. Mengerti" Kalian harus pura-pura tak mendengar apaapa. Dan pasti lucu nanti jadinya."
Pelajaran IPA memang agak membosankan semester itu. Pak Leslie juga membosankan,
di samping kadang-kadang terlalu keras. Anak-anak tak begitu menyukainya,
karenanya mereka sangat setuju akan rencana Julian. Dengan harap-harap cemas,
pagi itu dengan penuh semangat mereka pergi ke laboratorium.
"Kau akan membuat suara apa?" tanya " Belinda.
"Tunggu saja nanti," kata Julian menyeringai. "Pasti lucu, dan Pak Leslie akan
keheranan." Pak Leslie masuk, berjalan dengan kaku. Ia mengangguk membalas hormat anak-anak
dan mempersilakan mereka duduk.
"Pagi ini, anak-anak," katanya, "kita akan mengadakan percobaan menyelidiki
terjadinya molekul kanji pada kentang. Kalian akan menerima irisan tipis-tipis
kentang ini dan..." Ia terus berbicara sambil membagikan irisan-irisan tipis kentang. Tak lama anakanak sudah mulai tekun melakukan percobaan mereka.
Tiba-tiba suatu suara aneh berangsur-angsur mulai terdengar. Bagaikan suara
peluit bernada tinggi, begitu tinggi sehingga mungkin sangat mirip dengan
decitan kelelawar yang berkepanjangan, atau suara gesekan biola pada senar yang
paling tegang. "Iiiiiiiiiiiii," begitu suara itu. "Iiiiiiiiiiiii...."
Diam-diam anak-anak melirik pada Julian. Tetapi Julian tampak sibuk bekerja, dan
tak terlihat gerakan sedikit pun pada mulut, bibir, ataupun lehernya. Aneh.
Mereka tahu pasti Julian yang bersuara itu. Tetapi bagaimana"
Pak Leslie mengangkat muka, memandang tajam. "Suara apa itu?" tanyanya segera.
"Suara?" tanya Jenny dengan air muka heran. "Suara apa, Pak?"
"Suara bernada tinggi itu," sahut Pak Leslie tak sabar.
Jenny memiringkan kepalanya, bagaikan seekor burung, berbuat seolah-olah serius
mendengarkan sesuatu. Anak-anak lain berbuat serupa. Dan pada saat itu sebuah
pesawat terbang, terbang melintas.
"Oh, itu suara pesawat terbang, Pak Leslie," kata Jenny cepat. Semua tertawa
mendengar ini. Pak Leslie mengerutkan kening. "Jangan bercanda, Jenny. Aku tahu benar suara
pesawat terbang. Dengar, itu dia terdengar lagi."
"Iiiiiiiiiiiiiiii...." Semua orang mendengar suara itu, tetapi berbuat pura-pura
tak mendengar. Mereka semua menundukkan kepala, melakukan penyelidikan, sambil
menyembunyikan tawa mereka.
Julian mengubah suaranya. Dan terdengar kini suara geram anjing besar. Pak
Leslie sangat terkejut. "Apakah ada anjing di sini" Masuk?" tanyanya.
"Anjing, Pak Leslie?" Belinda pura-pura heran, melihat berkeliling. "Rasanya tak
ada." Elizabeth susah payah menahan tawanya. Lalu ia pura-pura terbatuk-batuk. Suara
geraman anjing itu terdengar terus, kadang-kadang keras, kadang-kadang pelan.
Pak Leslie sama sekali tak mengerti.
"Apakah kau tak mendengar?" tanyanya pada salah seorang murid di dekatnya.
"Seperti suara geraman."
"Tadi Pak Leslie berkata ada suara bernada tinggi," kata Harry, tampak sangat
heran. "Sekarang suara geraman. Mana yang benar" Suara bernada tinggi yang
menggeram, ataukah suara bernada geram yang tinggi?"
Tawa Elizabeth meledak lagi. Jenny menutupi mulutnya dengan saputangan. Pak
Leslie sudah hampir marah besar.
"Tak ada yang harus ditertawakan," hardiknya. "Ya ampun! Apa lagi itu?"
Julian telah mengganti suaranya. Kini terdengar suara berdebam-debam. Rasanya
suara tersebut datang dari arah yang tak tentu. Yang jelas tidak datang dari
tempat Julian. Pak Leslie mulai ketakutan. Ia memperhatikan anak-anak. Tak seorang pun di
antara mereka yang terlihat mendengar suara tadi. Aneh. Kalau begitu pasti
kupingnyalah yang tak beres. Ditutupnya kupingnya. Mungkin ia sakit. Kalau orang
sakit memang biasa mendengar suara-suara aneh di telinganya.
Debam. Debam. Debam. Suara aneh itu terdengar terus.
"Apakah kau mendengar suara berdebam-debam?" tanya Pak Leslie perlahan pada anak
yang kebetulan dekat dengannya. Anak itu, Harry, pura-pura mencoba mendengarkan
dengan teliti. Dimiringkannya kepalanya, dibengkokkannya telapak tangannya di
belakang telinga, dan didengarkannya dengan kedua telapak tangan di belakang
kedua telinganya. Tak tertahankan tawa Elizabeth meledak sesaat. Jenny juga tertawa kecil. Pak
Leslie memandang tajam pada keduanya. Kemudian ia berpaling kepada Harry "Kalau
kau tak bisa mendengarnya, pasti ada yang tak beres dengan telingaku. Teruskan
pelajaran kalian. Jangan tertawa, Jenny!"
Suara berikutnya adalah suara mirip pintu pagar berderit terbuka. Ini sudah
keterlaluan bagi Pak Leslie. Sambil mengguman bahwa ia tak enak badan, ia
bergegas keluar kelas sambil menyuruh anak-anak melanjutkan pekerjaan mereka.
Melanjutkan pekerjaan" Mana mungkin! Kelas langsung ribut dengan suara tawa
terpingkal-pingkal, tak ada yang terkecuali, semua tertawa tak henti-hentinya.
Air mata mengalir di pipi Jenny. Harry sampai terguling-guling di lantai,
menekan perutnya yang sakit karena tertawa. Elizabeth tertawa terus-menerus, dan
menularkan tawa itu pada siapa pun yang mendengarnya. Julian tenang-tenang saja
berdiri di tengah keributan tersebut, menyeringai puas.
"Oh, bagus sekali tadi itu," kata Elizabeth akhirnya, menghapus air matanya.
"Belum pernah aku tertawa seperti itu. Oh, Julian, kau benar-benar hebat. Harus
kaulakukan sekali lagi. Luar biasa!"
Semua jadi riang gembira kembali. Tawa yang bagaikan badai itu telah
Tiga Naga Sakti 9 Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter Serangan Nekat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama