Menyingkap Karen Karya Richard Baer Bagian 1
menyingkap KAREN Gita cerita utama menghidangkan kisah-kisah pilihan, fiksi maupun nonfiksi, yang cerdas sekaligus
melipur RICHARD BAER menyingkap karen Kisah Menggugah Seorang Wanita
dengan 17 Cirtltod MhtntMminf 8r*tem Dt4ENBOMD1"M0 CwtND.H1 100 Q768I0
"Richard Baer,2007 Diterjemahkan dari Switching Time: A Doctor's Harrowing Story of Treating a
Woman with 17 Personalities karya Richard Baer, terbitan Crown Publishers, New
York, 2007 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Berliani M. Nugrahani Penyunting: Anton Kurnia Proofreader: Daniel
Solihin Pewajah Isi: Siti
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya, Jakarta 12730
www .serambi .co .id; www .cerita-utama .serambi .co .id; inf o@serambi .co .id
Cetakan I: September 2008
ISBN: 978-979-024-023-0 Daftar Isi Prolog "11 BERTAHAN HIDUP 1 Awal yang Salah "19
2 Roller Coaster " 33
3 Kehilangan Waktu " 51
4 Memilih Kematian " 59
5 Penahanan Ayah " 79
6 Ibu dan Ayah "101 7 Komitmen yang Semakin Mendalam " 1
8 Kengerian-kengerian Masa Kecil "123
KEPRIBADIAN KEPRIBADIAN LAIN
9. Surat dari Claire "155
10. Perkenalan-Perkenalan "183
11. Hadiah Natal " 205
12. Saluran-saluran yang Berlainan "219
13. Pohon Silsilah " 249
14. Saat Bercerita "271
15. Foto-foto Mesum " 293
INTEGRASI 16. Solusi Holdon "313
17. Menyatukan Claire " 331
18. Sandy dan Miles "347
19. Ann dan Sidney ~ 369 20. Thea dan Karen Boo ~ 391
21. Karl ~ 40.Z 22. Efee dan Karer/ 1 ~ 417
23. Katherine ~ 43i 24. Juiiann dan Karen 3 ~ 445
25. Care7 2 dan Jensen ~ 463
26. Wo/don ~ 5t"3 Ep//og 539 Catatan Karen 549 Catatan Penulis ~ 55i
tfoft//( R/c/c Prolog PERAWAT ITU berkali-kali memanggilku Karen sehingga aku berpikir bahwa itu pasti
namaku. Aku tahu aku berada di rumah sakit, tapi tidak tahu alasannya. Perban
membalut perutku, dan dadaku terasa sakit saat aku bernapas. Aku berbaring di
ranjang selama beberapa waktu diam, ketakutan, dan merasa kesepian di dalam
sebuah dunia yang tak bisa kujelaskan. Aku takut akan kehilangan akal sehatku.
Aku dipindahkan ke sebuah ruangan lain. Kupikir aku tentu baru saja melahirkan
karena adanya perban di perutku dan aku melihat para ibu beserta bayi-bayi
mereka di lantai yang sama. Seorang perawat muncul dan memeriksa luka di balik
perbanku. Luka itu sepanjang lima belas senti, terletak tepat di atas tulang
kemaluanku, dan jahitannya tampak seperti seringai marah.
Seorang pria muncul, jangkung dan kurus, berbau bir, berambut cepak, dan
memamerkan senyuman konyol. Ia memberitahuku bahwa aku baru saj melahirkan
seorang bayi perempuan. Aku membalas senyumannya. Dia tentu ayahnya, pikirku,
meskipun aku sama sekali tidak mengenalnya. "Karen, kita mendapatkan Sara yang cantik," katanya. "Kapankah kau akan pulang?"
Aku tidak tahu di mana rumahku, atau siapa saja yang mungkin ada di sana.
"Kau harus menanyakannya kepada dokter," kataku, tersenyum lemah. "Namanya
Sara?" "Ya, Sara, tentu saja!" katanya. "Apa kau berubah pikiran?"
"Oh, tidak, Sara nama yang indah," ujarku. Aku sangat kebingungan dan ketakutan,
tapi kupikir aku sebaiknya merahasiakan segenap kegafauanku ini. Bagaimana
mungkin aku menanyakan kepada pria ini, Siapakah kamu" Mereka akan menganggapku
gila, pikirku. Aku berharap aku tidak gila. Aku yakin mereka akan mengurungku di
suatu tempat jika mereka tahu bahwa aku tidak bisa mengingat apa pun.
Bayangan-bayangan peristiwa yang terjadi sebelum persalinan mulai mendatangiku
aku didorong di sepanjang koridor berdinding hijau menuju lift, memandang pipapipa air yang terpasang di langit-langit, melirik wajah-wajah yang berbicara dan
menunduk di atasku. Aku ingat ketika para perawat mengikatku pertama kakiku,
lalu tanganku. Aku tiba-tiba teringat ... Aku tak bisa bergerak! Kumohon, jangan
sakiti aku! Aku meronta-ronta untuk melepaskan diri. Aku tidak bisa melihat
dokter yang bekerja di balik tirai. Dia menunduk di atas perutku, lalu aku
merasakan pisau bedahnya, dan api seolaholah membelah perutku.
Aku menendang-nendang dan berusaha menjerit, namun suaraku tidak muncul. Mulutku
terasa kecut dan pahit, dan tenggorokanku penuh berisi muntahan. Aku
berusaha bernapas. Dokter itu melihat kakiku bergerak dan meneriakkan sesuatu
kepada perawat. Sebuah masker dipasang di mukaku. Kemudian, aku menghilang.
Selama beberapa hari pertama sejak kelahiran Sara, aku tahu aku telah memiliki
seorang anak lakilaki berumur dua tahun di rumah, James, yang rambutnya pirang
bergelombang dan memiliki sepasang mata paling biru yang pernah kulihat. Aku
melihat anak itu dalam foto yang ditunjukkan oleh ibuku. Kurasa wanita itu
adalah ibuku. Dia bercerita soal pengalamannya saat melahirkanku. "Kau anak pertama; kau yang
tersulit. Proses kelahiranmu seolah olah berlangsung selamanya. Dahulu belum ada
obat-obatan manjur seperti yang kaupakai sekarang ini. Aku masih ingat robekan
yang kausebabkan dan banyaknya jahitan yang kudapat."
Dia tidak membiarkanku bicara. Aku hanya mendengarkan. Setelah beberapa waktu,
aku mulai merasa jengkel terhadap wanita berpakaian mencolok bermotif kulit
binatang dan selalu mengarahkan setiap percakapan pada dirinya ini. Suaminya,
Martin, ayahku, seorang pria bertubuh besar yang berpenampilan suram dan
mengancam, mendekatiku sejenak dan menanyakan keadaanku, tapi tidak menantikan
jawabanku. Setelah menonton televisi selama beberapa menit, dia keluar.
Anehnya, aku menerima fakta-fakta yang baru kuketahui tentang diriku dan
keluargaku ini tanpa kewaspadaan ataupun keterkejutan. Meskipun semua itu
membingungkan, secara samarsamar aku merasa pernah berada dalam situasi serupa
sebelumnya. Rasanya, aku sudah terbiasa berpurapura dan mengumpulkan banyak
informasi tentang apa pun yang
luput dari ingatanku, dan entah bagaimana, aku tahu bahwa aku akan lebih baik
jika tetap diam. Kadangkadang, saat keluargaku membesuk, aku berpura pura tidur supaya dapat
mencuri dengar percakapan mereka dan secara diam-diam mengakrabkan diri dengan
suamiku, saudara-saudaraku, keluarga mereka, dan temanteman kami. Aku mendengar
ibuku memanggil suamiku Josh, dan suamiku memanggil ibuku Katrina.
Josh bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan pengangkutan. Dia bertugas
memastikan truk-truk diisi dengan muatan yang tepat dan berangkat tepat waktu.
Dia kadangkadang mengunjungiku saat istirahat makan siang, tapi hal ini cukup
sulit dilakukan karena dia harus bekerja sekaligus merawat anak lakilaki kami.
Masa perawatanku di rumah sakit diperpanjang karena setiap kali aku menarik
napas panjang, aku merasakan rasa sakit yang menusuk di bagian kanan dadaku.
Akhirnya, dokter spesialis penyakit dalam yang merawatku mengatakan kepadaku
bahwa aku mengidap "radang paru-paru basah" akibat menghirup muntahanku sendiri
selama pembedahan Caesar. Aku harus diinfus dan tinggal di rumah sakit selama
tiga minggu lagi. Suhu badanku naik dan turun, tapi tidak pernah kembali normal sepenuhnya.
Kemudian, seorang ahli bedah turun tangan. Akhirnya aku dioperasi dan sebagian
paru-paru kananku diangkat karena dokter mengatakan bahwa "abses" telah
terbentuk di sana. Ada saatsaat yang tak bisa kuingat selama aku berada di rumah
sakit; seolaholah, aku terus-menerus mengalami koma dan sadar kembali.
Setibanya di rumah, meskipun bagian kanan dadaku
masih terasa sakit, aku berusaha memahami sosok seperti apa yang seharusnya ku
tampilkan. Orangorang menelepon dan berkunjung untuk menengok bayiku. Aku hanya
membicarakan hal-hal umum hingga dapat melihat jenis hubunganku dengan orang
lain. Aku mencermati setiap album foto yang kutemukan; seolaholah ada orang lain
yang meninggalkan album-album itu untukku. Aku mengamati setiap ha/amannya dan
mendapatkan begitu banyak detail dituliskan di bawah foto-foto yang terpasang di
sana. Perlahan-lahan, aku menjadi orang yang ada di dalam foto-foto itu.
Suamiku menjadi semakin galak: dia memarahiku karena aku tinggal di rumah sakit
selama enam minggu dan tak bisa bantu-bantu di rumah. Dia mengumpatku setiap
kali rasa sakit atau keletihan membatasi kemampuanku bekerja di rumah. Aku tak
ingin berhubungan seks dengan Josh; aku bahkan tidak mengenalnya. Aku menjadikan
rasa nyeri di bagian kanan dadaku sebagai alasan. Yang terburuk dari semuanya
adalah, putraku, yang awalnya sepenuhnya asing bagiku, mengetahui bahwa aku
bukanlah ibunya, dan aku butuh berbulan-bulan untuk mendapatkan kepercayaan dan
penerimaan darinya. Namun, kehidupan terus berjalan. Aku menyesuaikan diri dengan rutinitas di rumah
kami, perlahan-lahan terbiasa dengan berbagai tuntutan dari Josh dan ibuku,
kembali menjalani jadwal ketat dalam menjadi sukarelawan, menolong temanteman,
serta merawat anakanak. Tetapi, setelah lebih dari tiga tahun berjalan, aku
merasa putus asa. Aku telah menemui sejumlah dokter untuk menyembuhkan rasa
nyeri menusuk yang tak kunjung reda akibat operasi paru-paru di dadaku,
namun tidak seorang pun dari mereka dapat menemukan penyebabnya.
Di samping rasa sakitku, jauh di iubuk hatiku yang terdafam, aku tahu bahwa
diriku sedang menjaiani sebuah kebohongan. Aku terbiasa dengan keluargaku, tapi
masih ada saatsaat ketika aku tidak bisa mengingat apa yang kulakukan. Aku tidak
ingat saat aku memakai baju, atau aku menemukan sebuah buku di meja samping
ranjangku, padahal aku tidak ingat pernah membacanya.
Kupikir, tentunya ada yang sangat salah dengan diriku. Aku takut diriku telah
kehilangan akal sehat dan akan dikurung entah di mana. Siapakah yang bisa kuajak
berbicara" Berbagai hal telah berjalan di luar kendaliku. Akhirnya, aku
menelepon rumah sakit, dan mereka merujukku ke Dr. Rosa Gonzales, seorang
psikiater. Saat aku menelepon kantornya, resepsionis yang menerima teleponku
mengatakan bahwa Dr. Gonzales sibuk, tapi dia memberiku janji temu dengan mitra
Dr. Gonzales, Dr. Richard Baer.[]
BAGIAN SATU BERTAHAN HIDUP 1 Ka Itu 11 Januari 1989. Aku berjalan menyusuri koridor sempit, melewati kantor
dua orang ahli terapi lain, menuju ruang tunggu untuk menemui Karen. Dia duduk
di sudut ruangan dengan kepala tertunduk, memainkan tali tasnya. Umurnya dua
puluh sembilan tahun, tapi dia tampak lebih tua. Dia mengalami kelebihan berat
badan, berwajah bulat, berambut cokelat acak-acakan dengan ujung keriting,
mengenakan kacamata berbingkai emas, dan sebuah bekas luka kasar berbentuk
setengah lingkaran tampak di tengah keningnya. Pakaiannya rapi, tapi celana
panjang katun hitam dan atasan cokelatnya tidak menarik. Dia sama sekali tak
mengenakan riasan wajah ataupun perhiasan, kecuali sebentuk cincin kawin. Dia
memandangku saat aku mendekatinya. Matanya seolaholah mengatakan, Hai, maafkan
aku, aku sudah menyerah. "Silakan langsung masuk saja," ujarku, dan dia berjalan melewatiku, lamban,
malu-malu, penuh rasa bersalah, dan tak berdaya. Terdapat kesan keletihan fsik
dan emosional pada dirinya, semacam keengganan yang sepertinya telah mendarah
daging. Aku seorang psikiater muda; usia tiga puluh tujuh
Awal yang Salah tahun terhitung muda dalam bidang ini. Tinggi badanku sedikit di atas seratus
delapan puluh senti dengan rambut cokelat tua bersemburat kelabu. Aku pernah
menangani seorang pasien gay yang mengatakan bahwa aku tampak muda dan tampan.
Aku telah berpraktik selama tujuh tahun dan membuka praktik paruh waktu di
sebuah lingkungan kelas pekerja di pinggiran Chicago. Sebagian besar pasien yang
kutemui di sana adalah ibu rumah tangga yang mengidap depresi atau kecemasan,
beberapa orang paruh baya penderita manikdepresi, dan beberapa pasien berumur
yang menderita involutional melancholia, yakni penyakit depresif yang umum
diderita oleh lansia. Aku juga merawat beberapa orang penderita skizofrenia yang tetap mampu menjalani
kehidupan dengan normal dan beberapa orang yang sangat taat beragama. Ini tempat
yang bagus untuk praktik karena luasnya ragam penyakit psikis yang bisa
kuamati dan biaya perawatan hampir semua pasienku ditanggung oleh asuransi ?kesehatan. Aku juga memiliki kantor di pusat kota Chicago, tempatku merawat para
pasien yang membutuhkan penanganan psikoanalisis dan beberapa pasien lainnya.
Kantor di pinggiran kota ini, yang pada harihari tertentu kugunakan bersama Dr.
Gonzales, terletak di dalam sebuah bangunan batu bata cokelat, berlantai tiga,
dibangun pada tahun 1970-an, serta terletak di antara mal, toko-toko mobil, dan
restoran-restoran cepat saji. Kantorku berkesan longgar. Hanya ada sebuah meja
kayu ek besar dengan dua kursi dan sebuah meja sudut kecil dengan hiasan buket
bunga sutra palsu, hadiah dari istriku. Sebuah jendela yang memenuhi seluruh
dinding di salah satu sisi ruangan memperlihatkan lalu lintas di 95 Street. Ruangan itu
bercat putih tulang, karpet beserta perabot di dalamnya bernuansa cokelat.
Kecuali jendela, hanya ada beberapa hal lain yang bisa mengalihkan perhatian.
Karen duduk di depan meja dan menghela napas.
"Apa yang membawamu menemui saya?" tanyaku. Aku selalu menggunakan kalimat
pembuka standar ini karena kekuatannya untuk memancing seseorang menceritakan
masalah mereka tanpa harus bersikap defensif. Hampir semua alternatif kalimat
lainnya-Apakah yang kamu inginkan" Apakah yang salah dengan dirimu" Saya paham
bahwa kamu depresi ... tidak layak digunakan.
?Karen bergerak-gerak canggung, berusaha mencari posisi yang nyaman. Tubuhnya
terlalu besar untuk kursi yang didudukinya meskipun posturnya, yang padat dan
sedikit condong ke samping, membuatnya tampak lebih kecil.
"Saya merasa ... depresi ... selama tiga setengah tahun terakhir," katanya. Sebelum
berbicara, dia menarik napas dengan cepat, yang menimbulkan kesan ragu-ragu,
ucapannya sarat usaha dan keengganan. Dia terdiam.
"Sebelumnya, apakah kamu tidak pernah depresi?" tanyaku.
Dia mengangkat bahu, tapi menggelengkan kepala. "Ada masalah dengan depresi saat
masa pertumbuhan?" Sekali lagi, dia menggeleng.
"Tidak, saya tidak punya masalah hingga melahirkan anak kedua saya, putri saya,
dengan operasi Caesar." Dengan singkat, dia menceritakan perawatannya di rumah
sakit. "Saya masih merasa sakit." Karen menghela napas lagi, menghimpun
kekuatan. "Para dokter akhirnya mengangkat sebagian paru-paru saya melalui pembedahan di
punggung saya." Dia menggerakkan tangan di sepanjang payudara kanan hingga ke
punggungnya. "Saya sakit cukup lama dan tidak bisa langsung mengurus bayi saya."
Mata Karen berkaca-kaca. "Saya tidak bisa menyusui, dan anak lakilaki saya yang
berumur dua setengah tahun menolak saya saat akhirnya saya pulang."
Dia menceritakan kepadaku bahwa dia mengonsumsi obat antidepresi dan penahan
rasa sakit meskipun obat penahan rasa sakit justru membuatnya semakin depresi.
Aku tahu bahwa depresi umum diderita oleh pasien yang menderita rasa sakit
kronis. Keseluruhan hidupnya tentu ikut menderita.
"Bagaimana keadaan di rumahmu sekarang?" tanyaku. Dia kembali mengangkat bahu,
memberikan kesan menyesal dan tak berdaya. Dia berbicara seolaholah setiap kata
yang diucapkannya harus didorong supaya mau keluar, seolaholah sebuah kekuatan
di dalam dirinya mencegahnya untuk mengatakan masalahnya kepadaku. Katakatanya
muncul dengan sangat lambat sehingga aku nyaris kehilangan konsentrasi saat
Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menantinya. "Pernikahan saya retak sejak kelahiran bayi saya. Saya dan suami saya tidak
akur." Sekarang, Karen terdiam dan tampak malu. "Berat badan saya naik lima
puluh kilo sejak melahirkan. Orangorang menyuruh-nyuruh saya; saya tidak bisa
menolak mereka." Dia terdiam dan memandangku untuk meminta tanggapan, tapi aku
belum mengetahui cukup banyak untuk berkomentar sehingga aku menantinya
melanjutkan ceritanya. Karen kembali mengubah posisi duduknya dan meneruskan bercerita.
"Saya menangis terus-menerus dan saya harus berhenti bekerja karena rasa sakit
yang tidak kunjung reda. Saat saya berada di rumah, rasa sakit itu lebih parah,
tapi saat saya berada di luar, rasanya lebih baik." Dia memalingkan wajah lalu
kembali menatapku. "Saya merasa bersalah karena sakit dan saya merasa berutang
kepada keluarga saya karena mereka telah menolong saya."
"Kamu berutang kepada mereka?" "Karena mereka harus menolong saya ... " Dia
kembali memalingkan wajah untuk menghindari tatapanku.
Dia meneruskan ceritanya dengan mengatakan bahwa dia terbangun pada tengah malam
dan tidak bisa kembali tidur, dan dia tidak lagi peduli. Dia tidak punya energi,
dia sering menangis, dia tidak mampu berkonsentrasi, dan dia berhenti meminum
obatnya. Saat mendengar ceritanya, aku melihat seorang wanita yang tidak mampu menolong
dirinya sendiri. Dia menampilkan dirinya sebagai korban, nyaris berpegang teguh
pada peran itu, dan aku merasa sedikit tidak sabar. Aku tahu bahwa dia menderita
depresi, dengan gejala-gejala yang dapat ditolong oleh pengobatan, tapi aku juga
menduga dia memiliki sifat tertentu yang berkontribusi dalam memicu depresinya,
dan yang akan menjadikan perawatan terhadap penyakitnya lebih sulit.
Setelah mendengarkan ceritanya, aku memberinya pertanyaan standar dari daftar
pertanyaan status mentalku. Jelas terlihat bahwa dia mengidap depresi serius,
tapi dia menyangkal memiliki pikiran untuk melakukan bunuh diri. Aku memutuskan
untuk merawat gejala-gejala depresinya dengan obat dan membiarkan
saja sifat khususnya. Aku memintanya kembali datang seminggu kemudian. Dia
menerima resepku dengan patuh dan meninggalkan kantorku. Semangatku sedikit
terangkat saat aku melihatnya pergi.
AKU TIDAK memikirkan Karen lagi hingga dia kembali ke kantorku seminggu
kemudian. Katanya, dia merasa lebih baik, dapat tidur lebih nyenyak, meskipun
dia masih merasa sedih. "Kepala saya terasa pusing karena pil itu," katanya, menjumput sehelai benang
yang menempel di celananya. "Saya tidak yakin apakah saya menyukainya."
"Saya rasa obat itu bisa menolongmu," ujarku. "Saya merekomendasikan kepadamu
untuk terus meminumnya."
"Baiklah," ujarnya lirih.
"Apa lagi yang kamu rasakan?"
"Saya masih merasa sakit, dimulai dari leher, lalu turun ke punggung dan sekitar
dada saya, di sini." Dia menunjuk dadanya. Karen mengulangi keluhan yang telah
disampaikannya pada pertemuan pertama kami. Saya tidak bisa menolak permintaan
orang /ain. Saya merasa bersalah karena ibu saya me nolong ketika saya sakit,
dan sekarang saya berutang kepadanya. Saya berusaha memuaskan semua orang.
Pernikahan saya belum pulih sejak saya sakit ....
Untuk semua itu, aku hanya dapat menawarkan bantuan yang terbatas. Dia tidak
pernah sedikit pun menyinggung tentang apa yang telah dilakukannya untuk
memecahkan masalahmasalahnya dia hanya menderita. Aku mendengarkannya dengan ?kejengkelan yang tumbuh di dalam diriku. Penting bagi seorang ahli terapi untuk
menyadari reaksinya terhadap seorang pasien dan
berusaha mempelajari sesuatu dari sana. Apakah kejengkelan seperti ini juga
dirasakan oleh orangorang dalam kehidupan Karen"
Aku memikirkannya. Aku menyarankan kepada Karen bahwa dia bisa mengubah
kehidupannya jika dia mau, dan bahwa dia tidak perlu merasa tidak berdaya
seperti sekarang. Aku memberikan beberapa contoh dengan menggunakan situasisituasi yang disebutkannya, dan aku memberitahunya cara untuk membuat pilihan
yang lebih meyakinkan sebagai alternatif dari pola lemah yang diikutinya. Dia
menyebutkan alasan mengapa hal itu tidak mungkin dilakukannya, dan aku menyadari
bahwa diriku sedang berbicara dengan batu. Aku melipatgandakan dosis obatnya dan
memintanya datang kembali dua minggu kemudian.
SAAT KAREN kembali, tangannya gemetar. Pakaiannya sama seperti sebelumnya; dia
memakai baju yang ber beda, tapi kesan rapi dan membosankan yang ditampilkannya
tetap sama. Kerut merut menghiasi bagian tengah keningnya. Dia bergerak-gerak di
kursinya dan memandangku; tatapannya sangat sendu.
"Saya tidak bisa tidur ... pada malam hari," katanya dengan lirih, samarsamar,
memulai rentetan keluhan yang sudah kuakrabi sejak dua pertemuan terakhir kami.
"Apakah kamu berpikir untuk menyakiti dirimu sendiri?" tanyaku. Siapa pun yang
sedepresi dan setidak berdaya ini tentunya memikirkan hal itu. Karen mulai
menangis. "Kadangkadang saya berpikir untuk bunuh diri," katanya, tapi dia cepatcepat
menambahkan, "saya rasa saya tidak akan pernah melakukannya."
Saat mendengarnya membicarakan hal-hal yang membebaninya, tetapi dia tidak
berupaya untuk menyingkirkannya, aku merasakan kejengkelanku bertambah. Dia
berbicara dengan nada monoton yang membosankan dan mengabaikan selaanku, serta
saat aku memberikan saran, dia mengangguk-angguk patuh tapi langsung melanjutkan
ceritanya, seolaholah aku tidak mengatakan apa-apa. Aku merasa seolaholah,
dengan kepasifannya, dia menginjak-injakku. Di dalam benakku, aku berusaha
memisahkan gejala-gejala episode depresi mayornya dari sifatnya yang pasif dan
rendah diri. Aku ingin memfokuskan perawatan pada depresinya, yang semestinya dapat
disembuhkan dalam waktu singkat. Aku tidak ingin berurusan dengan sifatnya; itu
pekerjaan yang membutuhkan waktu sangat lama. Menurutku, pengobatan membantunya,
tapi hasilnya tidak begitu terlihat. Aku menambah dosis obatnya menjadi tiga
kali lipat dan memintanya kembali satu bulan kemudian.
Karen adalah pasien terakhirku hari itu, dan aku sudah ingin pulang. Aku
memiliki seorang istri, seorang anak lakilaki berumur empat tahun, dan seorang
bayi perempuan berumur delapan bulan yang menantiku di rumah. Setelah sehari
penuh mendengarkan berbagai masalah orang lain, aku tahu bahwa semangatku akan
terangkat begitu aku bertemu dengan keluargaku.
EMPAT MINGGU kemudian, aku memasuki ruang tunggu dan mencari Karen, tapi dia
tidak ada di sana. Aku kembali ke kantorku dan membaca catatan yang kubuat
untuknya dalam kunjungan-kunjungannya sebelumnya. Secara rutin, saat seorang
pasien datang untuk memenuhi janji temu, aku membaca catatan yang
kubuat dari sesi terakhir kami untuk mengingatkan diriku tentang keadaan pikiran
dan emosi mereka. Pasien selalu melanjutkan cerita dari saat mereka
meninggalkannya, mungkin tidak selalu berurutan, tetapi selalu mengikuti jejak
keadaan emosi mereka. Meskipun topiknya mungkin berubah, jejak emosi mereka akan
tetap sama atau, diharapkan, menunjukkan beberapa kemajuan.
Awalnya, saat duduk dan menantikan kedatangan Karen, aku mulai memikirkan
kemungkinan yang menyebabkan dia terlambat. Apakah aku telah menyentuh topik
atau sifat yang sensitif sehingga dia mungkin menjadi enggan menggali keadaan
dirinya sendiri" Apakah dia takut akan menjadi dekat denganku, dan dengan datang
terlambat, dia mencoba menggagalkan terapi dengan mengurangi waktu yang akan
kami habiskan bersama" Setelah sepuluh menit berlalu, aku keluar dan mencarinya
lagi; dia masih tidak ada.
Seiring waktu, aku mulai memahami bahwa dia tidak terlambat dia memang sengaja ?melewatkan sesi ini. Karen adalah pasien yang sulit ditolong, sehingga aku
kembali melihat catatanku untuk mencari petunjuk mengapa dia tidak kembali. Saat
aku membaca kembali apa yang dikatakannya kepadaku, dan saat aku mengingat
perasaanku terhadap dirinya, mudah bagiku untuk melihat beberapa hal yang
membuatku gagal memahami dirinya dan berempati kepadanya.
Kadangkadang, aku tenggelam dalam detaildetail kehidupan seseorang dan reaksi
pribadiku kepada mereka, dan karena itulah aku tidak bisa melihat masalah secara
luas. Sekarang aku paham bahwa dia berusaha menyenangkanku dengan meminum obat
yang dirasanya tidak manjur baginya dan bahwa aku merasa jengkel
karena dia tidak kunjung membaik. Aku juga berpikir bahwa caranya bersikap
salah. Jelas sudah, kejengkelanku membuatku tak serius mendengarkan ceritanya
dan hasilnya dia memutuskan bahwa aku tak mampu menolongnya.
Saat memikirkan tentang kegagalanku, aku teringat bahwa pasien depresi memiliki
kecenderungan untuk membuat cemas psikiater mereka. Di balik setiap ledakan
kejengkelan terdapat kecemasan. Tetapi, kecemasan terhadap apa" Bahwa depresi
itu akan menular. Dan, memang begitu. Jika kau duduk dengan seorang penderita
depresi, kau akan merasa ditelan mentahmentah: bahwa mereka mengisap kehidupan
dari dirimu, dan hal ini juga akan membuatmu depresi.
Itulah masalahku dengan Karen dan penyebabku merasa kesulitan duduk dengannya.
Selama bertahuntahun, aku telah bekerja dengan begitu banyak pasien penderita
depresi, tapi tidak seorang pun bisa memengaruhiku seperti Karen.
SEKITAR SEBULAN kemudian, sekretarisku memberitahuku bahwa dia menerima tiga
buah cek dari Karen, untuk setiap sesi yang diikutinya. Semua cek itu tidak bisa
dicairkan. Dia menelepon Karen untuk memintanya membayar dengan uang tunai.
Karen akhirnya membayar. Jika dia memang berusaha memelihara kemarahan
psikiaternya, dia tahu betul cara melakukannya.
Tiga bulan lagi berlalu, dan pada suatu hari musim semi yang hangat pada akhir
Mei, aku melihat nama Karen dalam daftar pasienku siang itu. Saat dia masuk,
penampilannya tidak berubah, mengenakan celana
panjang hitam dan atasan hijau pudar berlengan pendek, sedikit gemetar, serta
masih sedepresi dahulu. Aku menanyakan alasann dia berhenti datang. Dia bilang
dia takut kembali karena ceknya tidak bisa dicairkan. Dia tak mau memasukkan
tagihanku ke asuransi suaminya karena dia takut semua orang di tempat kerja
suaminya akan tahu dia menemui psikiater.
Kurasa penjelasannya hanyalah rasionalisasi dari kebingungan emosional yang
ditujukannya terhadapku bahwa dia kembali untuk memberiku kesempatan kedua. Aku?berharap dapat menggunakan kesempatan itu dengan bijaksana. Aku meyakinkannya
dan menjelaskan aturan kerahasiaan yang harus dipegang oleh perusahaan,
menekankan bahwa orangorang di tempat kerja suaminya tak akan mengetahui dia
secara rutin menemuiku. Dia tetap menolak memanfaatkan asuransi, tapi dia khawatir tak mampu membayar
tagihanku sehingga aku menyarankan agar kami bertemu sekali saja dalam sebulan.
Dia tampak lega dan menyetujui usulku. Masalahnya, aku khawatir waktu setengah
jam dalam sebulan tidak akan cukup untuk memastikan penyakitnya dan melakukan
terapi. SAAT KAREN datang lagi, pada 19 Juni, aku mengingatkan diriku untuk memfokuskan
diri dan berusaha berempati dengan keputusasaan dan ketakberdayaannya, serta
betul-betul memahaminya, tak peduli betapa sikapnya menjengkelkanku. Aku
bertekad akan berbuat lebih baik kepadanya.
"Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, Dr. Baer. Saya merasa gemetar dan
lesu." Dia menggigit bibir
bawahnya yang gemetar. "Saya bahkan sudah tak ingin hidup." Aku melontarkan
pertanyaan yang bertujuan memancingnya mengungkapkan beberapa hal spesifk.
Setelah beberapa menit menimbangnimbang, sepertinya dia berhasil menenangkan
diri. "Saya punya lebih banyak masalah dengan suami saya daripada yang saya ceritakan
kepada Anda." "Hm." Aku menunggu.
"Dia sering memukul saya. Jika saya tidak menyenangkannya dan menuruti
perintahnya, dia mengatakan bahwa saya tidak berguna baginya." Dia terdiam dan
menungguku mengucapkan sesuatu, tapi aku diam saja.
"Dia membangunkan saya tengah malam dengan menonjok saya dan menyuruh saya pergi
ke McDonalds, atau jika tim basket kesayangannya kalah dalam pertandingan di
televisi, dia akan memukuli dan menyalahkan saya dan dia bersungguhsungguh!"
?Karen memandangku untuk melihat apakah aku memahaminya.
"Tim kesayangannya kalah garagara kamu," ujarku. Dia mengangguk.
"Sudah berapa lama hal itu berlangsung?"
"Sejak kelahiran putri saya, Sara, saya rasa. Dia minum beberapa botol bir dan
kelihatan senang, lalu minum beberapa botol lagi dan diam saja, setelah itu
kelakuannya menjadi kejam." Dia rasa" Mengapa dia tidak yakin" Aku bertanyatanya. TAK LAMA setelah pertemuan berikutnya, Karen menelepon dan membatalkan janji
temu. Dua minggu kemudian, aku menerima surat berikut.
11/12/89 Yang terhormat Dr. Baer, Sekarang pukul 1.30, dan saya tidak bisa tidur. Saya tidak tahu hingga berapa
lama lagi saya bisa bertahan seperti ini. Saya betul-betul ingin mati. Saya
membenci diri dan kehi dupan saya. Saya tidak bisa berhenti menangis. Saya hanya
menantikan saat yang tepat untuk mati. Saya tidak tahu ba gaimana atau kapan,
tapi saya rasa saat itu akan segera datang. Saya telah mati rasa. Saya ingin
tidur selamanya. Saya mohon, tolonglah saya sebelum semuanya terlambat. Pasien
Anda, Karen Overhill N.B. Apakah Anda betul-betul peduli pada apa yang menimpa saya" Saya tidak.
Kekhawatiran utamaku saat membaca surat itu adalah risiko Karen akan melakukan
bunuh diri. Aku cukup menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Dia sepertinya
sangat putus asa dan bertekad untuk mati daripada yang ditunjukkannya kepadaku.
Aku langsung meneleponnya. "Karen?"
"Ya." Suaranya terdengar pelan dan jauh di telepon. "Ini Dr. Baer. Saya sudah
menerima suratmu." "Oh."
Kami berbicara selama beberapa menit, dan selama itu, aku paham Karen betulbetul berniat mengakhiri hidupnya, mungkin dengan menenggak pil yang kuberikan
kepadanya dengan dosis berlebihan. Pada saat itu, aku menyadari bahwa hanya ada
satu pilihan realistis yang tersedia.
"Hal terpenting saat ini adalah memastikan bahwa kamu aman," ujarku penuh
empati. "Dan, tempat terbaik bagimu adalah rumah sakit." Aku mengatakannya
dengan penuh keyakinan karena membujuk seseorang supaya menyetujui perawatan di rumah
sakit jiwa bisa jadi sangat sulit. Karen terdiam beberapa jenak.
"Baiklah, jika Anda pikir itu yang terbaik."[]
2 Roller Coaster KAREN MASUK rumah sakit pada 19 November dan menjalani rawat inap selama
sebulan. Saat aku mengunjunginya, dia menyerahkan kepadaku catatan berisi
sebagian kenangannya. Dia sepertinya malu saat memberikan catatan itu kepadaku.
Saat mulai membaca, aku diperkenalkan pada sebuah kehidupan penuh kekejaman,
teror, kehancuran, dan pertahanan.
Tulisan tangan, kesalahan-kesalahan ejaan, dan tandatanda penekanan menandakan
bahwa katakatanya ditulis dengan tergesa-gesa, seolaholah ada yang menekannya.
Tentang Ayah Ayah saya menjijikkan, kekanak-kanakan, pemalas, jorok, pemakai narkoba,
kleptomaniak, bodoh, lamban, tidak punya kepribadian, tidak bisa diandalkan,
mesum. Yang ada dalam pikirannya hanyalah seks. Dia selalu menggoda temanteman
perempuan saya. Dia sering memberi sepuluh sen kepada temanteman saya dan
menyuruh mereka meneleponnya sepuluh tahun kemudian untuk mendapatkan pelajaran
tentang cinta. Saya membencinya. Dia tak henti-hentinya menyiksa saya secara
fsik dan mental. Dia membuat saya merasa buruk, tidak diinginkan, tidak percaya
diri, dan tidak berguna. Dia selalu memanggil saya
sandal, pelacur, perempuan jalang, dan lain-lain. Dia tidak pernah mengatakan
kepada saya bahwa dia mencintai saya, tidak pernah memeluk saya, dan saya tidak
ingin dia melakukannya. Dia mengeluhkan segalanya.
Menggantungkan diri kepada kakek saya untuk segalanya. Menyalahkan saya untuk
semua masa/ah keuangannya. Pria itu sakit dan tidak ada yang bisa mengubahnya.
Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa "saya berutang kehidupan kepadanya". Dia
tidak pernah memedulikan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, dan dia
memperlakukan ibu saya bagaikan pelayan dan mesin seks. Ibu saya masih
memakaikan kaus kaki untuknya setiap pagi.
Ayah saya sering menyuruh kami membuka baju dan ber baring di ranjang. Dia
mengikat tangan kami ke kepala ran jang dengan kabel listrik, lalu memecuti kami
dengan ikat pinggangnya. Semakin nyaring kami menangis, semakin keras dia
memukuli kami. Saya harus belajar mengendalikan perasa an dan menahan tangis.
Saya harus bertahan. La/u, dia akan memasuki kamar depan, menyalakan proyektor,
dan menon ton f/m porno. Ayah dan Ibu terus-menerus bertengkar ten tang f/m-f/m
ini. Ayah mengatakan bahwa dia akan mengaja ri Ibu cara bercinta yang benar.
Mereka berdua membuat saya jijik. Bagaimana
mungkin mereka melakukan itu, sementara kami mendengarkan di kamar sebelah"
Sepanjang hidup saya, dari umur lima hingga sekitar enam belas tahun,
saya selalu merasa sakit dan ter/uka. Saya berharap orangtua saya mati. Saya
berdoa kepada Tuhan, memohon pertolongan dariNya, tapi tidak ada yang
dikabulkan. Saya tidak bisa memercayai siapa pun. Saya ingin mati saja. Saya
ingin kabur, tapi saya takut mereka akan membunuh saya jika menemukan saya.
Sebagai tambahan dari halaman ini, Karen memberiku satu halaman lagi berisi
tulisan tangan yang jauh berbeda dengan tulisan sambung di halaman sebelumnya.
Surat itu ditujukan kepadaku dan berisi pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut Bisakah aku memercayainya"
Apakah yang sebaiknya kukatakan kepadanya"
Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akankah dia mengabaikanku"
Akankah dia mengkhianatiku"
Apakah aku akan sembuh"
Akankah rasa sakitku pergi"
Bagaimana jika aku kehilangan kendali dan menjeritjerit" Bagaimana dia akan
menolongku melewati semua ini" Aku takut kepada Dr. Baer.
PADA SUATU malam yang membosankan saat Karen dirawat di rumah sakit, aku baru
saja menemui pasien terakhirku hari itu di kantorku di pinggir kota ketika tibatiba, entah mengapa, aku merasa panik. Aku menyaksikan lalu lintas merayap di 95
Street dari jendela kantorku, sama seperti yang kulakukan selama tujuh tahun
terakhir, dan aku berpikir, jika aku tidak keluar dari sini, aku akan memandang
lalu lintas yang sama hingga dua puluh tahun lagi.
Aku memutuskan pada saat itu juga untuk memindahkan tempat praktikku ke pusat
kota Chicago. Aku selalu merasa lebih nyaman berada di tengah-tengah psikoanalis
di pusat kota, tapi saat memulai praktik daerah pinggir kota jauh lebih praktis.
Di pusat kota, para psikiater, psikolog, dan para pekerja sosial klinis bisa
ditemukan di mana-mana, dan meskipun aku terdidik dengan baik, pengalamanku yang
masih kurang menyebabkanku sulit menonjol.
Di daerah pinggir kota, terutama di wilayah selatan, seseorang dengan keahlian
sepertiku masih jarang ditemukan, dan mendapatkan pasien menjadi jauh lebih
mudah. Lagi pula, lebih banyak pasien di daerah pinggir
kota memiliki asuransi kesehatan yang bagus, atau setidaknya lebih bagus
daripada asuransi kesehatan sebagian besar pekerja kerah putih di pusat kota.
Sekarang, setelah merasa siap menaklukkan kota besar, aku mengunjungi beberapa
kolegaku di rumah sakit universitas di pusat kota untuk melihat jika ada posisi
paruh waktu yang tersedia. Akhirnya aku bekerja bersama salah seorang temanku
yang menjadi kepala bagian rawat inap saat aku menjadi pegawai tetap. Kuharap
posisi ini akan membuka jalan bagiku untuk merujuk para pasien ke tempat
praktikku sehingga aku dapat menjalankan praktikku tanpa rujukan dari Dr.
Gonzales. Kantorku di pusat kota jauh berbeda daripada kantorku di wilayah selatan. Sebuah
sofa panjang berlapis beledu hijau mendominasi salah satu sisi ruangan dan
sebuah kursi Eames diletakkan di ujungnya. Di kursi itu, aku bisa duduk tanpa
dilihat oleh pasien yang sedang menceritakan masalahmasalahnya. Di atas sofa
terdapat empat lukisan Cina bergambar burung dan kupu-kupu. Di hadapan kursiku
terdapat sebuah kursi berlengan berpola bunga-bunga hijau dan putih. Di belakang
kursi itu terdapat sebuah meja bergaya Ratu Anne, dan di dekatnya, di atas
sebuah bufet, dengan melihat melampaui kepala pasien yang sedang kuajak
berbicara, tampaklah jam elektrik Jefferson Golden Hour milikku. Jarum-jarum jam
ini seolaholah melayang di udara. Analisku juga memilikinya, dan aku pernah
melihat benda yang sama di sebagian besar kantor analis yang pernah kumasuki.
Aku tidak tahu di mana tradisi kecil ini dimulai, tapi aku merasa berkewajiban
mengikutinya. Permadani Oriental yang terhampar di lantai seolaholah menggemakan
warna-warni di dalam ruangan itu. Sebuah
rak buku dengan pintu kaca patri mendominasi dinding di dekat sofa, dan di
dinding seberangnya, di dekat kursiku, terdapat sebuah jendela setinggi lantai
hingga langit-langit yang memperlihatkan pemandangan taman di pinggir danau dari
lantai keempat puluh. Sebagian pasienku yang pindah dari kantor pinggir kota ke kantor pusat kotaku
merasa terintimidasi oleh perubahan lingkungan. Tetapi, di tempat inilah aku
merasa lebih nyaman. Tanpa keberatan, Karen menyetujui untuk mengikutiku ke
lokasiku yang baru. KETIKA ITU sehari setelah Natal 1989. Karen telah menemuiku selama hampir
setahun. Dia bilang sejak kami membicarakan masa lalunya, beberapa kenangan
mulai mengganggunya. "Suatu ketika, Ayah marah kepada saya," ujarnya dengan penuh rasa bersalah, "dan
dia melemparkan sebuah garpu daging ke arah saya hingga menancap di kaki saya.
Saya tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Saya tidak ingat saat garpu itu
dicabut." "Hm." Aku menunggu.
"Saya sering berpikir untuk melakukan bunuh diri sejak kecil." Dia melanjutkan,
"Saya tidak pernah mencoba melakukannya, tapi saya selalu memikirkannya."
"Apakah kamu pernah menyakiti dirimu sendiri tanpa berniat melakukan bunuh diri,
hanya untuk menyakiti diri?"
Karen memalingkan wajah, dan aku bisa melihat lehernya bersemu merah. Dia
terdiam. Oh, aku mengoreknya terlalu dalam. Seharusnya aku tidak memotong
ceritanya dengan pertanyaan itu. Aku berusaha memperbaiki keadaan dengan
mengubah topik pembicaraan. "Apakah obat menolongmu?" tanyaku. Dia
mengangkat bahu, tapi matanya mengatakan tidak.
Aku memberinya obat antidepresan baru dan kami mendiskusikan khasiat obat itu.
Aku menyarankan supaya setelah liburanku, kami mulai bertemu setiap minggu agar
dia dapat lebih tertolong. Dia tersenyum dan mengatakan dia akan mengklaim
tagihan dariku ke asuransi suaminya untuk menutupi biaya sesi-sesi tambahan
kami. Ketika beranjak keluar, dia berhenti di ambang pintu dan berbalik untuk
mengatakan, "Saya tidak tahu apakah ini penting, tapi saya pingsan tiga kali di
altar saat menikah."
KETIKA ITU Januari 1990, dan aku belum menemui Karen sejak liburan Natal. Kami
memulai tahun kedua kami, dan mendapati bahwa diriku sangat mengkhawatirkannya,
terutama saat aku berada jauh darinya.
"Beberapa minggu ini berjalan buruk bagi saya," katanya, memandang ke sekeliling
kantor baruku sebelum menjatuhkan diri ke kursinya bagaikan seorang petinju
kelelahan setelah bertarung hingga ronde kesepuluh.
"Ceritakanlah kepadaku."
"Saya rasa saya tidak bisa melanjutkan lagi," katanya, memejamkan mata. "Saya
tidak bisa melakukan apa-apa. Saya terus-menerus berpikir untuk melakukan bunuh
diri." Dilihat dari wajahnya, dia seolaholah ingin bercerita lebih banyak, tapi
dia justru semakin menenggelamkan diri ke kursi.
"Apakah kau memikirkan bagaimana kau akan mengakhiri hidupmu?" Saat itu,
rutinitasku dengan Karen bukan lagi menanyakan apakah dia berniat melakukan
bunuh diri, melainkan mencoba mengetahui hingga sejauh mana dia akan
melakukannya. "Ada pil saya di rumah obat itu mungkin cukup untuk mengakhiri nyawa saya, tapi?saya tidak mau meminumnya," katanya. Terasa ironis bagi seorang psikiater jika
seorang pasien meninggal karena overdosis pil yang diresepkan olehnya. Rasanya
seolaholah kau memberi peluru bagi pistol pasienmu. Ini sebuah pengkhianatan
sangat pribadi oleh si pasien. Aku bereaksi terhadap cerita Karen mengenai pil
tersebut dengan memberinya antidepresan baru, Prozac, dan sesuatu yang dapat
membantunya tidur lebih nyenyak. Prozac tidak akan membunuhnya jika dia
meminumnya secara berlebihan.
"Apakah kamu melakukan hal lain untuk mempersiapkan dirimu melakukan bunuh
diri?" tanyaku. "Yah, saya menjauhkan diri dari keluarga saya. Mereka sudah tidak benar-benar
memerlukan saya lagi." Dia meringkuk di kursinya.
"Bagaimana kami bisa mengamankanmu?" tanyaku.
"Saya tidak mau kembali ke rumah sakit," dia cepatcepat menjawab. Dia
memandangku dan mengatupkan rahangnya.
Aku sangat khawatir dia akan mencoba bunuh diri, tapi aku tidak ingin memaksanya
masuk rumah sakit. Aku tidak yakin perawatan inap dalam jangka waktu singkat
akan memberikan hasil yang bagus, kecuali hanya untuk menjaganya supaya tetap
aman untuk sementara, dan dia akan keluar dari rumah sakit dalam kondisi yang
sama dengan kondisinya saat ini. Yang terjadi mungkin tidak akan sejauh itu,
tapi aku ingin menjaganya supaya tetap aman di luar rumah sakit.
"Sekarang Rabu," kataku. "Kita sebaiknya bertemu lagi Jumat ini. Kamu harus
membuang obat penenangmu yang
lama ke toilet, dan teleponlah aku jika kamu merasa lebih buruk atau berpikir
bahwa kamu mungkin akan menyakiti dirimu sendiri." Aku menatap langsung ke
arahnya, mencari-cari jika ada sesuatu yang disembunyikannya. "Kamu setuju?"
"Oke," ujarnya lirih sebelum memalingkan wajah.
"Janji?" tantangku.
Dia kembali menatapku, lalu memandang kedua tangannya. "Janji."
Sayangnya, aku sering kali harus pulang malam karena aku memiliki dua atau tiga
orang pasien yang sama berisikonya seperti Karen. Menangani pasien yang memiliki
dorongan untuk bunuh diri memutuskan siapa yang harus dirawat di rumah sakit ?dan siapa yang harus ditelepon atau diberi sesi tambahan adalah hal tersulit
?yang harus dilakukan oleh seorang psikiater. Setiap psikiater memiliki pasien
yang meninggal karena bunuh diri. Ini tidak selalu bisa dicegah; aku telah
memiliki tiga pasien yang mengakhiri nyawa mereka sendiri, dan setiap kematian
menghancurkan hatiku. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku berharap
kemampuanku untuk menjaga supaya semua pasienku tetap aman tak terpatahkan, tapi
kadangkadang kenyataan hidup turut campur, dan aku kehilangan seseorang di bawah
situasi yang tak bisa kukendalikan.
Karena aku seorang psikiater yang praktik sendirian, para pasienku dapat
meneleponku 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, kecuali aku sedang berlibur. Itu
pun aku meminta salah seorang kolegaku untuk mewakiliku selama aku pergi. Saat
telepon atau penyerantaku berbunyi, aku memikirkan apakah sesuatu telah terjadi
dan pada siapa. Aku lega saat seorang pasien menelepon hanya untuk
meminta dukungan dan berbicara karena setidaknya aku tahu bahwa mereka masih
hidup. Selama bulan-bulan awal 1990, aku sering menerima telepon dari Karen,
kadangkadang dua atau tiga kali dalam seminggu, mencari dukungan supaya dia
tidak mengakhiri nyawanya sendiri. Aku khawatir dia hanya selangkah lagi menuju
hal tersebut. KETIKA ITU Februari 1990, dan Karen memberitahuku penyebab bekas luka di
keningnya. Terdapat aneurisme atau angioma (tumor jinak yang terbentuk dari
penyumbatan pembuluh darah) yang diangkat dari keningnya saat dia berumur
sembilan belas bulan. Dia bilang saat dia masih kecil, bekas luka itu tampak
mencolok, sehingga anakanak lain mengejeknya, memanggilnya Frankenstein. Ayahnya
tidak mampu mengurus masalah medisnya ini dan menyalahkannya atas biaya rumah
sakit yang mahal. Dia sering membentak Karen, Jika bukan karena kamu dan biaya
rumah sakitmu itu, kita tentu akan kaya! Karen adalah kambing hitam yang tepat
bagi kegagalan pria itu, pikirku.
Saat Karen dirawat di rumah sakit untuk dioperasi, ayahnya mencuri beberapa tali
penahan yang kemudian digunakan untuk mengikat Karen di ranjangnya di rumah.
Jika Karen menangis, ayahnya akan mengikat dan memukulinya supaya dia punya
alasan untuk menangis! Karen mengatakan bahwa kadangkadang dia bisu; artinya dia
tidak mau berbicara. Saat berumur sepuluh tahun, dia meyakinkan semua orang
bahwa dia tuli. Dia dirawat di rumah sakit selama seminggu garagara hal ini;
katanya dia hanya "berhenti mendengarkan".
Dia tumbuh dengan berharap orangtuanya akan mati. Ayahnya juga berharap dia
mati, katanya. Sekali waktu, saat dia sakit parah akibat pneumonia, ayahnya
tidak mau membawanya ke unit gawat darurat. Akhirnya, ibu dan pamannyalah yang
membawanya. Kata Karen, dia sudah tidak mampu bernapas lagi saat mereka tiba di
rumah sakit. Seandainya mereka menunggu lebih lama, katanya, mungkin dia akan
mati. Semakin banyak Karen bercerita, aku semakin terpana mengetahui
penderitaannya tetapi aku meragukan apakah semua itu sungguhsungguh terjadi.
?Sebagai tambahan bagi deraan fsik yang dirasakannya, pola kekerasan emosional
yang sadis juga terlihat menonjol. Sulit untuk mengetahui seakurat apa kenangan
akan masa kanak-kanak ini, tapi dia menceritakan semua itu dengan penuh
keyakinan, kejelasan, dan ketulusan yang nyata. Katanya, sesi-sesi kami
membuatnya kelelahan. SELAMA BEBERAPA sesi berikutnya, aku merasa seolaholah hanya mengikuti
permainan. Karen menjelaskan rentetan gejala fsik dan kenangan buruk yang
membingungkan, tapi pada saat yang sama dia tampak lebih bersemangat dan
depresinya berkurang. "Suatu ketika, waktu saya masih kecil, saya membuat baju untuk boneka saya,"
katanya tanpa emosi. "Saya bertanya pada ayah saya apakah saya boleh menggunakan
dasi merah usangnya sebagai rok. Dia bilang boleh, tapi mula-mula, saya harus
memakai dasi itu sendiri dengan benar. Setelah selesai mengikatnya, saya menoleh
ke arahnya, dan dia menyambar dasi itu, menariknya hingga saya tercekik. Dia
tertawa terbahak-bahak, mengatakan bahwa saya seharusnya
tidak memercayai siapa pun." Karen menceritakan hal ini dengan nada dramatis,
tapi juga dengan sedih, seolaholah kenangan itu berat baginya dan menjadi bagian
dari beban yang harus ditanggungnya. Akhirnya, dia menambahkan, "Dalam semua
hubungan saya dengan pria, entah bagaimana, saya selalu disakiti."
Mendengar pernyataan ini, tanda bahaya seolaholah berdering di dalam kepalaku.
Seorang ahli terapi seharusnya selalu mendengarkan perkataan pasien dengan
memaknainya dalam hubungan si pasien dengan dirinya. Dengan berbuat seperti ini,
sepertinya si ahli terapi memang tampak egoistis, tapi memang betul bahwa, dalam
kenyataannya, semua yang dikatakan pasien memiliki makna laten dalam hubungan
dokter-pasien. Baru-baru ini, Karen membuat kemajuan nyata pertamanya dengan mengungkapkan
beberapa hal buruk tentang masa lalunya. Tetapi, pada saat yang sama, dia
menyampaikan, dengan menyebutkan semua hubungannya dengan pria, bahwa aku juga
sama dengan semua pria lain yang pernah mengasahnya. Di satu sisi, dia menemukan
sebuah tempat bersamaku untuk mulai membicarakan kesengsaraan hidupnya, tetapi
di sisi lain, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, dia yakin aku akan menjadi
seperti semua pria lain yang pernah dekat dengannya, yakni akan menyiksanya.
Ini sebuah titik kritis dalam terapi, saat hubungan kami bisa semakin mendalam
atau justru hancur berantakan. Aku hendak mendapatkan kesempatan untuk
mengatakan sesuatu yang penting kepada Karen, untuk pertama kalinya: untuk
menolongnya supaya dapat sungguhsungguh memahami ketidakpercayaan
mendalamnya kepada orang lain, bahkan kepada orang yang mungkin dapat dipercaya.
Aku telah mengatakan banyak hal kepada Karen, tetapi tidak satu pun yang
menunjukkan pemahaman; semuanya bersifat penjajakan, dukungan, ataupun motivasi.
Alasan kami tiba hingga sejauh ini adalah karena aku belajar untuk mendengar
dengan lebih baik. Itu, dan Karen memiliki kebutuhan mendalam untuk didengar.
"Karen, saya sudah memikirkan tentang perkataanmu, dan saya rasa kamu takut jika
kamu dekat dengan saya maka saya akan menyakitimu, seperti semua pria lain yang
kamu kenal. Kamu ingin mendekatkan diri pada saya, tapi kamu takut." Karen
memandangku dan mengangguk perlahan; matanya basah dan wajahnya merah padam. Dia
mendengarkanku, tapi kata-kataku harus dicernanya selama beberapa waktu sebelum
dia meyakini bahwa mungkin aku berbeda. Jika tindakanku tepat, dia akan merasa
dipahami, lebih aman, dan mampu berpindah ke tingkatan berikutnya. Hari itu
juga, dia menulis surat untukku:
Yang terhormat Dr. Baer, Sete/ah meninggalkan kantor Anda hari ini, saya memikirkan apa yang kita
bicarakan, dan saya harus memberi tahu Anda bahwa saya sangat lega karena telah
mengikuti terapi. Ada begitu banyak hal yang harus saya ceritakan kepada Anda,
tapi saat datang ke kantor Anda, saya selalu kebingungan. Saya senang karena
Anda bersabar menghadapi saya, dan saya berharap Anda tidak menganggap saya
menyia-nyiakan waktu Anda. Apakah yang akan terjadi jika saya bisa
sungguhsungguh berbicara dengan Anda" kankah saya bisa menanganinya"
Bagaimana jika saya tak bisa" Saya merasa seolaholah berada di atas sebuah
roller coaster yang tak kunjung berhenti.Say a tahu bahwa Anda dapat menolong
saya menolong diri saya. Karen
Sepertinya dia tahu betul apa yang menantinya. Dia berada di atas roller
coaster, meluncur ke dalam kegelapan tanpa batas. Aku juga ada di atas roller
coaster-nya, menyadari bahwa aku baru menyentuh permukaannya, sementara rahasiarahasia terdalamnya masih belum tergali. Saat memikirkan hal ini, aku merasakan
ketakutan tertentu. Selama satu minggu, mood Karen bisa saja bagus, dan pada
minggu selanjutnya, mood-nya mungkin menurun drastis. Dia ingin membahas
masalahmasalahnya, tapi bisakah kami berdua menanganinya" Roller coaster
beranjak ke atas, lalu meluncur ke bawah.
Sering kali, seorang ahli terapi melakukan psikoterapi hanya untuk menantikan
apa saja yang akan terungkap. Dalam roller coaster yang satu ini, aku merasa
seolaholah pandanganku tertutup, sehingga aku tak mampu melihat apa yang
mengadang di depanku. Aku mendapati bahwa semua pasien memiliki indra bawah
sadar yang akurat, yang menentukan cara terbaik untuk mengungkapkan kisah
mereka, jika aku membiarkan mereka. Mereka bercerita selapis demi selapis. Salah
satu nasihat terbaik yang kudapatkan saat aku menjalani training psikiaterku
adalah bahwa pekerjaanku sebagai seorang ahli terapi hanyalah memahami pasienku.
Jangan memberi tahu mereka harus melakukan apa, jangan membuat mereka berubah,
jangan menceritakan diriku kepada mereka. Pekerjaanku adalah memahami mereka.
Setelah diriku paham, aku dapat membagi pemahamanku dengan mereka. Ini adalah
cara pandang yang akan membantu seorang ahli terapi menjaga kelangsungan
hubungannya dengan pasien dan menjauhkannya dari banyak masalah.
Aku ingin lebih memahami perasaanperasaan bawah sadar Karen, rahasia-rahasia
yang belum berani diungkapkannya, sehingga aku mengatakan kepadanya bahwa
mungkin akan membantu jika dia menuliskan sebagian mimpi-mimpinya. Jika
diinterpretasikan dengan cermat, mimpi-mimpi dapat mengarahkan ke kondisi
terbaru konfik bawah sadar si pasien dan sumber gejala penyakitnya. Karen setuju
Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk mengerjakan tugas itu, dan pada kunjungan selanjutnya, dia membawa
selembar kertas bertuliskan katakata ini:
Saya meluncur jatuh dari sebuah gedung tinggi. Saya tidak bisa berhenti. Saya
tidak bisa mengendalikan diri. Saya jatuh semakin dekat ke anah Saya bisa
melihat mobil-mobil dan orangorang di bawah. Saya tida mau mati dengan cara
seperti ini. Siapa yang mendorong saya dari jendela" Apakah saya melompat
sendiri" Sepertinya saya tidak bisa mengingat bagaimana saya bisa jatuh. Saya
asa saya berada di pusat kota dan jatuh dari sebuah gedung perkantoran. Saya
berusaha mengendalikan diri, tapi tidak bisa. Tepat sebelum menyentuh tanah,
saya terbangun dengan tubuh gemetar. Jantung saya berdegup sangat kencang. Tubuh
saya berkeringat. Saya panik. Saya harus berpegangan ke ranjang karena merasa
masih jatuh. Dalam terapi, mimpi dianggap memiliki tiga komponen: elemen masa lalu, masa kini
(yang juga disebut ampas hari), dan hubungan terapi. Yang terpenting adalah
hubungan dengan ahli terapi. Di situlah terdapat kesempatan terbesar untuk
terjadinya perubahan. Dua elemen lainnya berfungsi sebagai penerang elemen
ketiga. Inilah yang kufokuskan bersama Karen.
"Menurut saya, mimpi ini merepresentasikan ke panikanmu akibat meningkatnya frekuensi sesi terapi dan perasaan semakin dekat
dengan saya," ujarku. "Kamu terjatuh dari sebuah gedung perkantoran, seperti
gedung ini, dan kamu merasa kehilangan kendali saat kamu membuka diri lebih
banyak kepada saya." Ini adalah metafora lain dari roller coaster. Mimpi
berikutnya membawa kami selangkah lebih jauh:
Saya berada di sebuah ruang operasi dan hendak dibedah. Para dokter mengikat
saya di meja. Saya tidak tahu operasi apa yang akan saya jalani. Para dokter
memakai masker. Saya tidak bisa melihat wajah mereka. Mereka tertawa. Dokter
bedah mulai menorehkan pisaunya ke perut saya, dan saya merasa sakit bagaikan
tersengat besi panas. Mereka semua tetap tertawa. Tawa mereka membuat saya malu.
Lalu, dokter bedah itu menatap kaki saya dan berkata, "Dia tidak butuh ini," dan
memotongnya begitu saja. Dia membuang kaki saya ke belakangnya. Lalu, dia
memotong hati saya dan berkata, "Kau tak punya hati, tak punya perasaan." Dia
tetap tertawa. Saya sekarat; semua orang menginginkan setiap potonga tubuh saya.
Saya berusaha bangun, tapi saya terikat. Tidak ada yang menolong saya. Saya
bangun dalam keadaan panik.
Telingaku selalu menajam saat seorang pasien menceritakan mimpi dengan tokoh
dokter di dalamnya. Dokter selalu merepresentasikan, meskipun hanya sebagian,
diriku. Ini adalah salah satu cara untuk mengetahui perasaan sesungguhnya
seorang pasien terhadap ahli terapinya.
"Saya pikir mimpi ini lebih merepresentasikan ketakutanmu kepada saya," ujarku.
"Kamu khawatir jika kamu tenggelam dalam terapi dan membiarkan saya
'mengoperasi' kamu, kamu akan menderita dan merasa tidak berdaya." Operasi
Caesar yang pernah dijalaninya
mirip dengan mimpi ini, serta hanya rasa sakit dan depresi yang mengikutinya.
Pada sesi berikutnya, Karen memberikan catatan beberapa kenangannya kepadaku.
Dia mengatakan bahwa dia tidak yakin mengapa dirinya mengingat kenangan itu
sekarang. Sebelum memulai terapi, aku membaca sebagian di antaranya.
Saya berbaring di atas meja di sebuah ruangan gelap. Saya takut kegelapan.
Tangan-tangan menjamah sekujur tubuh saya. Saya menangis. Kumohon, jangan sentuh
aku! Tangan-tangan itu tidak mau berhenti. Saya mendengar gelak tawa, suara
pria. Kumohon, tinggalkan aku! Ayah saya memaksa saya duduk dan menonton f/m
porno. Tampak adegan seorang wanita sedang melakukan seks oral kepada seorang
pria. Dia ingin saya mempelajari car yang benar untuk memuaskan pria. Katanya,
dia sedang mengajari saya.
Saya ada di beranda rumah kakek saya. Saya sedang bermain dengan boneka-boneka
Barbie saya. Saat itu saya berumur delapan tahun atau lebih kecil lagi. Kakek
memanggil saya dari kamar mandi. Dia menyentuh saya. Saya tidak merespons. Dia
mengancam akan membuang boneka-boneka Barbie saya. Saya tidak bisa benar-benar
mendengarnya. Saya tidak benar-benar berada di sana Saya tidak merasakan apaapa. Dia meraba saya dan mulai
Aku memerhatikan kekosongan di ujung catatan terakhir Karen. Aku tidak tahu
apakah yang direpresentasikan oleh hal itu, tapi aku memutuskan untuk membiarkan
bagian itu tetap kosong untuk saat ini. Pertanyaan pertama yang terpikir olehku
adalah, Apakah semua itu benar-benar terjadi" Aku berhati-hati supaya tidak
menanyakan ataupun menyinggung tentang keraguanku bahwa semua itu betul-betul
menimpanya, tapi ceritacerita itu disampaikan secara mendetail dan konsisten, sehingga aku
menganggap semuanya benar dan meyakinkan.
Sebagai bagian praktis dari terapi, bagaimanapun, tidak terlalu penting apakah
semua ini sungguhsungguh terjadi seberapa banyak kenyataan dalam kenangan ?tersebut. Semua itu adalah gambaran pikiran Karen, dan semuanya, beserta
perasaan yang terasosiasi dengannya, adalah nyata baginya. Kenangan masa kanakkanak bisa saja memudar, tercampur, tertukar, dan berubah dengan berbagai cara
yang berbeda. Meskipun aku tidak memiliki alasan untuk meragukan Karen, dan aku
tahu bahwa anakanak sepanjang waktu mengalami pelecehan seksual, rasanya luar
biasa dapat duduk bersama seseorang yang mampu bertahan dari semua itu. Tetapi,
aku tidak harus memutuskan secara tepat apa yang terjadi; aku hanya perlu
memahami pikiran dan perasaan Karen. Itu cukup untuk saat ini.[J
3 Kehilangan Waktu UNTUK PERTAMA kalinya, pada Juli 1990, Karen membicarakan secara mendetail
tentang periode-periode waktu yang tak bisa diingatnya. Dia menceritakan
perjalanan ke Las Vegas pada liburan Tahun Baru setahun silam. Dia mendapati
dirinya berada di bagian kasino yang berbeda dan tidak mengetahui bagaimana dia
bisa tiba di sana. Kadangkadang uangnya bertambah, kadangkadang berkurang. Saat
suami dan teman-temannya akhirnya menemukan dirinya, dia memiliki 2.500 dolar di
dompetnya. Karena memulai dengan 25 dolar, dia harus berbohong tentang di mana
dirinya berada, dan mengapa dia tidak berbaring di kamar akibat sakit kepala
yang dikeluhkannya. Sebelumnya, dia mengatakan kepadaku bahwa dia pelupa, atau bahwa berbagai hal
terjadi tanpa dirinya bisa mengingatnya, dan dalam catatanku, dia pernah
mengatakan bahwa ada periode-periode waktu yang tidak bisa diingatnya. Tetapi,
ketika itu aku merasa dia belum siap membahasnya. Inilah pertama kalinya dia
menceritakan kepadaku tentang waktu yang hilang periode-periode tertentu saat ?dirinya "tidak ada". Selama beberapa minggu berikutnya, Karen mulai
bercerita lebih banyak kepadaku tentang episode-episode ini:
"Pada suatu hari, saya meninggalkan rumah untuk berbelanja di supermarket, tapi
kemudian saya 'terbangun' di mal. Saya tidak ingat saat memutuskan untuk tidak
jadi berbelanja kebutuhan rumah tangga." Karen tampak bingung dan penuh rasa
bersalah akibat kegilaan ceritanya. "Saya malah berada di Carson's, membeli topi
untuk anak lakilaki saya, tapi saya tidak ingat saat membayar atau bagaimana
saya bisa sampai di sana. Hal seperti ini pernah terjadi berkali-kali
sebelumnya." Dia terdiam sejenak. "Pada waktu yang lain, setelah mengikuti
pertemuan kelompok bantuan depresi di rumah sakit, saya keluar untuk makan
malam, tapi saya tidak ingat saat makan. Hal selanjutnya yang saya ingat adalah
terbangun pada pagi hari dengan kepala pusing."
Jelas sudah, Karen mengalami episode disosiatif, yaitu periode waktu saat
kesadarannya terbelah. Sebagian dari dirinya mengalami kenyataan, tapi sebagian
yang lain terputus dari kenyataan. Aku sudah cukup lama mencurigai hal ini, tapi
apa tepatnya episode yang dialaminya, aku tidak tahu. Dia telah memberitahuku
bahwa dia takut mempersempit pembahasan pada satu masalah sehingga aku
memutuskan untuk membiarkannya menceritakan episode-episode ini pada waktu yang
dipilihnya sendiri. Aku berhati-hati dalam mendorongnya memaparkan ceritacerita
ini aku tidak yakin apakah aku tahu dia mengarang semua itu hanya untuk
?menyenangkanku. Pada sesi berikutnya, dia menceritakan pertengkarannya dengan suaminya. Dia
meninggalkan putrinya untuk menginap di rumah ibunya dan itu membuat suaminya
marah. Dia memukuli wajah suaminya, tapi dia tidak merasa dirinyalah yang
melakukannya. Suaminya balas memukulnya, dan akhirnya dia harus dibawa ke rumah
sakit, tapi dia tidak ingat saat berada di rumah sakit. Tubuh suaminya memarmemar. Katanya, periode waktunya yang hilang semakin parah.
Dia mendapatkan telepon dari seorang pria yang mengatakan terakhir kali
menemuinya pada Jumat malam. Dia tidak ingat pernah menemui pria itu. Dia pergi
menonton flm, tapi dia tidak bisa mengingat sebagian cerita flm itu. Katanya,
dia tidak sepenuhnya bisa mengingat berbagai kejadian saat dia berumur enam
hingga sepuluh tahun. Sekali waktu, seorang biarawati di sekolah Katolik
mengatakan bahwa dia kesurupan dan menyiramkan air suci ke kepalanya.
Karen mengungkapkan episode disasosiatif yang sepertinya sering terjadi nyaris
sepanjang hidupnya. Dia menanyakan kepadaku mengapa dia kehilangan waktu. Aku
mengatakan bahwa ini mungkin caranya untuk menanggung rasa sakit. Aku memiliki
kecurigaan sendiri, tapi tidak benar-benar memiliki jawaban yang lebih baik
untuknya saat itu. Pada Agustus 1990, Karen mulai kehilangan waktu secara teratur atau setidaknya
dia lebih banyak membicarakan hal ini kepadaku sekarang. Pada suatu Kamis malam,
dia menemukan sebilah pisau di bawah bantalnya. Dia tidak tahu bagaimana benda
itu bisa sampai di sana. Dia kehilangan tiga hingga empat jam pada Jumat malam.
Dia menulis catatan berikut untukku:
Sekarang pukul 2.00 dan saya tidak tahu di mana saya atau bagaimana saya sampai
ke sini. Saya tidak tahu di kota mana saya berada. Tidak ada rumah di
sini; tempat ini sunyi senyap. Saya tidak tahu harus melakukan apa. Haruskah
saya mencari pertolongan atau terus mengemudi hingga melihat sesuatu yang saya
kenal" Saya tidak bisa menelepon suami saya. Dia tidak akan paham. Saya
sendirian dan ketakutan. Saya berada di sebuah pompa bensin, dan ada seorang
wanita di dalam. Saya bertanya kepadanya. Wanita itu sangat menolong saya. Dia
memberi tahu saya bahwa saya berada di Tin/ey Park. Saya tahu di mana saya
berada. Kami akan pulang dalam keadaan aman.
Penggunaan kata "kami" yang menarik, pikirku. Dia sendirian, tapi mengatakan
"Kami akan pulang." Dia mengatakan dirinya mendadak "tiba" di suatu tempat, dan
menyadari bahwa dirinya tersesat. Kejadian itu dimulai saat dia berbelanja untuk
membeli kebutuhan rumah tangga. Dia meninggalkan rumah pada pukul 20.30 dan
"terbangun" pada pukul 2.00. Dia tidak membawa belanjaan, dan 15 dolar telah
lenyap dari dompetnya. Dia bersyukur saat mendapati dirinya ternyata berada
tidak jauh dari rumah. Karen memberikan cukup banyak riwayat kepadaku sehingga aku mengetahui bahwa dia
menderita dissociative identity disorder (DID), atau "gangguan keterbelahan
identitas". Aku memikirkan apakah dia sesungguhnya menderita multiple
personality disorder (MPD), atau "gangguan kepribadian majemuk", nama penyakit
yang kupikir lebih tepat bagi seseorang yang memiliki kepribadian tersembunyi
dengan kehendak tersendiri.
Sebagian besar psikiater tidak pernah berhadapan langsung dengan kasus MPD, dan
kupikir kasus kepribadian berganda memang cukup jarang ditemukan,
meskipun banyak kasus telah "diungkap" oleh para ahli terapi penuh semangat yang
ingin mengatakan bahwa mereka telah merawat pasien penderita penyakit tersebut.
Jika Karen penderita MPD, masalah pertama kami adalah bagian dari dirinya yang
datang menemuiku tidak menyadarinya.
Mengetahui bahwa dia menderita DID lebih mudah, tapi mengetahui cara pendekatan
yang tepat bagi Karen belum jelas bagiku. Aku belum siap mengonfrontasinya
dengan hal ini; aku takut menghadapi reaksinya. Posisinya sudah berada di ujung
tanduk. Aku tidak ingin memberinya alasan besar lain untuk mati dan mendorongnya
ke jurang yang lebih dalam. Aku akan membicarakan tentang kemungkinan ini
dengannya saat dia telah lebih membuka diri dalam terapi. Untuk saat ini, aku
akan berkonsentrasi dalam memperkuat ikatan kami dan mengurus masalahnya.
KAREN, YANG sering mengatakan kepadaku tentang dorongan menghukum diri sendiri
akibat kelakuannya yang "buruk", menekankan bahwa kali terakhir dia menyakiti
dirinya sendiri adalah sekitar tiga bulan silam. Dia tidak dapat hidup dengan
mengetahui fakta bahwa ayahnya telah melecehkan dan menyakitinya. Dia tidak mau
dilecehkan lagi. Katanya, dia berpikir untuk mengiris kemaluannya. Aku
menatapnya saat dia mengatakan hal ini, dan dia tampak sangat tenang. Begitulah
sikap seseorang yang serius terhadap hal semacam ini. Pembicaraan tentang
pengirisan organ tubuhnya ini semakin menyeramkan. Aku harus berusaha
menyingkirkan pikirannya dari sana.
"Dengan membicarakan dan membagi tentang penyiksaan yang kamu alami kepadaku,
kamu melepaskan rasa sakit yang telah kamu akrabi, dan kamu merasakan
dorongan untuk menggantikannya," ujarku. Aku berusaha memberitahu bahwa
menyakiti diri sendiri bisa jadi tampak masuk akal baginya. Dua hari kemudian,
30 Oktober 1990, aku menerima surat ini:
Yang terhormat Dr. Baer, Saya harus memberi tahu Anda bahwa saya bohong tentang kapan terakhir kali saya
menyakiti diri sendiri. Saya me ngatakan kepada Anda bahwa kejadiannya tiga
bulan yang lalu, tapi sesungguhnya peristiwa itu terjadi kurang dari se minggu
yang lalu. Saya tidak bermaksud berbohong. Saya ti dak bisa memberi tahu Anda
seluruh kebenarannya ketika itu. Saya sangat ketakutan karena menyangka ada
sesuatu yang sangat salah dengan diri saya. Saya membutuhkan pertolongan Anda.
Saya tidak mengerti mengapa saya ingin melakukan ini. Saya menyakiti diri
saya sendiri seperti ini semasa S MA, tapi saya berhenti melakukannya saat
berusia sembilan belas tahun. Saya mulai melakukannya lagi Oktober lalu, dan
tindakan ini terus meningkat selama masa kita membicarakan pelecehan seksual.
Saya tidak tahu bagaimana saya bisa menghentikannya.
Dorongan untuk menyakiti dirinya sendiri kembali sekitar setahun yang lalu,
katanya. Untuk menyakiti dirinya sendiri, dia memasukkan gantungan baju kawat ke
dalam vaginanya. Dalam pikirannya, dia menyakiti dirinya di bagian itu supaya
dirinya tidak aktif lagi secara seksual. Lukanya harus selalu segar. Dia
menuliskan beberapa detail tentang hal ini untukku.
Pada sesi berikutnya, Karen datang tepat waktu seperti yang selalu dilakukannya,
tapi saat aku membuka pintu untuknya, dia lebih menjaga jarak denganku daripada
biasanya. Terdapat kerutan-kerutan di dahi dan sudut-sudut matanya. Dia tidak
mau memandangku saat duduk di hadapanku. "Saya sudah membaca tulisanmu," ujarku, dan ekspresi kesakitan di wajahnya
tampak semakin jelas. "Apa Anda masih mau menemui saya," tanyanya, "atau apa saya terlalu menjijikkan
untuk berbicara dengan Anda?" Dia tidak berani memandangku.
"Saya senang karena kamu akhirnya mampu mengungkapkan rahasia ini kepada saya,
dan saya sangat tertarik untuk menolongmu memahami mengapa dirimu memiliki
perasaanperasaan ini."
"Saya tidak ingin memberi tahu Anda tentang hal ini; saya sudah terlalu dekat
dengan Anda, tapi saya sudah mengatakan begitu banyak hal kepada Anda sehingga
sekarang saya takut Anda akan marah dan mengabaikan saya." Aku senang melihatnya
menghargai ikatan di antara kami.
"Sepertinya kamu tidak bisa hidup baik bersama ataupun tanpa saya," ujarku,
mendukung interpretasinya. Dia setuju dan mengatakan bahwa masalahnya menjadi
semakin berat, terutama sejak pikirannya untuk menyakiti diri sendiri semakin
parah, dan dia merasa takut untuk menceritakan hal ini kepadaku.
Kadangkadang, aku tidak bisa mengatakan apa pun untuk meredakan kepedihan yang
diungkapkannya kepadaku. Aku berusaha mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa
aku memahaminya, dan terlebih lagi, bahwa aku merasakan sebagian perasaannya.
Aku tidak bisa dengan tepat mengatakan bahwa aku tahu perasaannya. Bagaimana
mungkin aku bisa membayangkan apa yang telah dilaluinya" Tetapi, melalui Karen,
aku belajar menjadi seorang pendengar yang lebih baik.
TIDAK LAMA setelah Natal 1990, aku pergi berlibur. Sulit bagiku untuk tidak
merasa bersalah karenanya. Bukan hanya untuk Karen, melainkan juga untuk para
pasien lain yang berada dalam tingkatan krisis ataupun derajat kebutuhan yang
berbeda, serta akan menderita dan mengalami kemunduran selama aku pergi. Tetapi,
Karen sepertinya paling menderita. Aku ingin berbicara lebih banyak dengannya
tentang pengalamannya mengalami kehilangan waktu, tapi setiap kali kami
mendekati topik itu, beberapa krisis atau kejadian berisiko bunuh diri baru
mengalihkan kami. Aku menyarankan dia untuk menulis pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya saat aku
pergi, sehingga kami bisa membahasnya bersamasama saat aku kembali, untuk
menolong dalam menjembatani jarak yang akan terbentuk di antara kami. Aku
memikirkan apa yang akan kuhadapi saat aku kembali nanti.[]
4 Sabtu-29/12/90 Hari ini, saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya membenci Anda. Saya sangat
sedih; saya merasa Anda telah meng abaikan saya. Saya tahu bahwa Anda sedang
berlibur, tapi saya masih merasa payah. Saya rasa, orang yang sesungguhnya saya
benci karena begitu membutuhkan Anda ada/ah diri saya sendiri. Saya memutuskan
untuk berhenti minum obat. Saya tidak butuh obat. Saya tidak butuh apa pun.
Jumat-4/1/91 Ada sesuatu yang teramat sangat sa/ah. Kehilangan waktu sekitar dua jam.
Sepanjang waktu itu, saya menyerang suami saya. Katanya, saya menendanginya,
memukulinya, dan men cakarinya dengan parah. Saya bisa melihat luka-lukanya,
tapi saya tidak ingat pernah menyakiti dia. Saya juga melukai diri saya lagi.
Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saya tidak mengerti mengapa saya melakukannya.
Kamis-10/1/91 Saya bisa mengingat lebih banyak hal, dan saya merasa muak. Saya tidak bisa
menuliskannya sekarang. Saya tidak tahu apakah saya akan bisa membicarakannya.
Saya ingin melupakannya, tapi tidak bisa. Saya tidak bisa mengabaikan katakata
maupun rasa sakitnya. Memilih Kematian Saat kembali dari liburan, aku menemukan sebuah amplop dengan tulisan tangan
Karen menanti di kotak suratku. Aku membaca beberapa catatannya sebelum
menemuinya. Dia berjalan lamban dan tampak tidak sehat. Bahunya menurun dan
kepalanya menunduk. "Suami saya sepertinya menikmati menyiksa saya," akhirnya dia berkata, "tapi
saya tidak akan bisa menghidupi diri saya sendiri kalau saya meninggalkannya."
"Saya tahu, tapi apalagi yang bisa kamu lakukan sekarang" Bagaimana kamu akan
melindungi dirimu dengan lebih baik darinya?" tanyaku.
Karen mengangkat bahu dan menggeleng. "Dia menyudutkan saya," katanya, nada
putus asa terdengar dalam suaranya. "Saya berkhayal membunuh dia, sama seperti
saya berkhayal membunuh ayah saya." Aku memandangnya untuk mencari tandatanda
apakah dia berniat sungguhsungguh melakukannya, tapi hanya keputusasaan yang
terlihat di matanya, dan tubuhnya tidak menunjukkan kemauan.
"Apakah yang kamu lakukan untuk menghilangkan khayalan-khayalan ini?" tanyaku.
"Saat pikiran saya sangat buruk, saya menyakiti diri saya sendiri."
"Bagaimana hal itu dapat membantumu?" "Itu menyingkirkan khayalan dari benak
saya." "Saat kamu menyakiti dirimu sendiri mungkinkah kamu melindungi suami dan?ayahmu dari kemarahanmu dengan membelokkan emosi itu ke dirimu sendiri
mengarahkannya ke tujuan lain?"
Karen memandangku dan tidak menjawab, tapi aku dapat melihat bahwa perkataanku
merisaukannya. "Dan, mungkinkah itu menjelaskan mengapa dorongan
untuk menyakiti dirimu sendiri meningkat selama saya pergi berlibur?" aku
menambahkan. Karen menatapku, tidak mengerti. Aku melewatkan beberapa langkah,
berharap Karen akan melihat hubungan antara kemarahannya kepadaku yang telah
mengabaikannya selama liburan dan tindakan menyakiti dirinya sendiri yang
semakin meningkat. Dia harus mengetahui bahwa aku tahu dia secara diam-diam
marah kepadaku karena mengabaikannya selama liburan, tapi kemarahannya itu tidak
akan menghancurkan hubungan kami.
Malamnya, Karen mendapat mimpi yang menggambarkan masa depan.
Dalam mimpi, saya mengunjungi Anda, dan Anda sedang berada di dapur, mengaduk
sesuatu di dalam panci putih besar. Saya duduk di sebuah bangku, dan tiba-tiba
ada banyak orang muncul dari dalam tubuh saya. Sebagian di antaranya ada/ah
anakanak, dan sebagian lagi orang dewasa. Sepertinya, mereka semua
ingin menemui Anda. Mereka semua transparan. Salah seorang anak memandang ke
dalam panci, yang lain bersem bunyi di belakang saya. Salah satu orang dewasa
sepertinya sangat kasar, sementara yang lain tampak ketakutan. Anda ti dak bisa
melihat mereka, tapi saya merasakan keberadaan mereka semua di sekeliling saya.
Saat kita berbicara, mereka mulai menghilang, satu per satu. Lalu, tiba-tiba
semuanya sepertinya berjalan lebih cepat, dan kita masih berbicara, tapi
sepertinya itu terjadi bertahuntahun kemudian. Hanya saja, Anda masih mengaduk
sesuatu di panci putih yang sama. Semua orang itu
telah pergi. Sesekali, pada tahap awal terapi, pasien mungkin mendapatkan rangkuman mimpi
semacam itu, saat mereka merangkum, dengan cara yang bisa dibilang nyaris
seperti cenayang, jalan yang akan mereka ikuti selama bertahuntahun terapi. Kupikir ini
hanyalah mimpi semacam itu. Peranku di dalam mimpi itu tetap sama. Akulah
kokinya, tapi yang kulakukan hanyalah mengaduk isi panci. Apa yang terjadi pada
Karenlah yang membuatku heran. Orangorang bayangan ini, dewasa dan anakanak,
bermunculan dari dalam tubuhnya, dan sementara aku masih berbicara sambil terus
mengaduk isi panci, mereka berangsur-angsur lenyap. Mimpi ini adalah bukti lebih
lanjut bahwa Karen menderita MPD, dengan kepribadian dewasa dan anakanak yang
saling terpisah, dan bahwa jalan yang kami lalui bersama bertujuan untuk
menghilangkan mereka. Tentu saja, Karen kesulitan menjaga hubungan denganku cukup lama hingga hal itu
terjadi. Dengan kata lain, panasnya udara di dapur membuatnya panik dan ingin
berlari keluar. Jika seseorang pernah mengalami kekerasan seperti Karen,
tindakan tersulit baginya adalah memercayai orang lain tidak akan mengasahnya
juga. Karen menulis sesuatu untukku di jurnalnya:
Saya tahu apa yang mengganggu saya. Hanya saja, saya tidak tahu cara
menanganinya. Rasanya seolaholah saya menjeru muskan diri ke dalam kekacauan
ini, dan saya harus mengelu arkan diri. Saat Anda berlibur, saya menyadari bahwa
hu bungan yang saya bangun dengan Anda terlalu berbahaya bagi saya. Saya tahu
bahwa pada akhirnya saya akan tersakiti. Saya tidak bisa membiarkan hal itu
terjadi. Saya menjadi ter gantung kepada Anda. Saya tidak tahan saat Anda pergi.
Saya merasa sendirian. Saya tidak ingat pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Anda menjadi orang terpenting dalam kehidupan saya, dan ini membuat saya
ketakutan. PADA SESI berikutnya, Karen berjalan memasuki kantorku dan langsung duduk tanpa
menyapaku terlebih dahulu, tidak seperti biasanya. Dia berjalan perlahan tapi
pasti. Dia duduk di kursinya, wajahnya tampak suram.
"Saya rasa, bunuh diri adalah satusatunya solusi untuk saya," katanya, tanpa
emosi. "Saya sudah menunggu lama, tapi sekaranglah saat yang tepat." Lalu, dia
menatap langsung ke mataku. "Saya merasa nyaman dengan hal ini."
"Mengapa sekarang saat yang tepat?" tanyaku. Aku tahu bahwa setiap kali dia
merasa lebih dekat denganku, dia bereaksi dengan menjadi lebih ingin melakukan
bunuh diri. Aku bersyukur karena sesi kami baru saja dimulai, sehingga kami bisa
membicarakan hal ini sebelum pasienku yang berikutnya datang.
Karen telah menceritakan kepadaku tentang ibunya yang selalu mengkritik dan
mempermalukannya sepanjang hidupnya. "Ibu saya akan pergi ke Hongaria, tempat
asalnya." "Apakah itu menjadikan sekarang saat yang tepat?" tanyaku.
"Tidak, itu tidak membuat saya keberatan." Hm, pikirku, kalau begitu mengapa
soal itu kamu gunakan untuk menjawab pertanyaanku" Tidak masuk akal jika
kepergian ibunya membuatnya bereaksi seperti itu. Ini tentunya menyimbolkan
sesuatu yang lain. "Anda membuat saya merasa bersalah karena berpikir untuk melakukan bunuh diri,"
ujarnya, menunduk. Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, "Andalah
satusatunya orang yang berusaha menolong saya."
"Apakah kamu memikirkan apa yang mungkin kurasakan tentang bunuh dirimu?"
tanyaku. Dia tiba-tiba menatapku. "Yah, ya, saya menulis surat tentang ini untuk Anda,
tapi saya tidak mengirimnya." Dia merogoh tasnya, mencondongkan tubuh ke depan,
dan, sambil memandang ke arah lain, menyerahkan surat itu kepadaku. Aku
mengambilnya, meletakkannya, dan melanjutkan mendengarkannya.
"Saya selalu tahu bahwa bunuh diri sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan ... dan
sekarang adalah saat yang tepat." Sejenak, dia seolaholah menjauh. "Saya hanya
tidak ingin hidup." Aku membiarkan perkataannya menggantung di udara, memikirkan tentang lubang
dalam tempatnya menjerumuskan diri.
"Kamu melalui semacam transisi dalam terapi bersama saya ini," akhirnya aku
menanggapi. "Setelah bertahuntahun berusaha mengabaikan dampak dari kekerasan
yang menimpamu, sekarang kamu bisa melihatnya, di sini, bersama saya, dan ini
membuatmu kewalahan." Aku mencari tanda bahwa jawabanku selaras dengan
pertanyaan "Mengapa sekarang?" Dia sedikit menggerakkan tubuhnya, tapi tidak
menunjukkan tandatanda perubahan pikiran. Upayaku luput, dan aku harus berusaha
lagi di lain waktu. "Saya khawatir ini mungkin terjadi," lanjutku. "Ini memang saat yang berat bagi
siapa pun yang pernah tersakiti seperti kamu. Dan berat bagi siapa pun, yang
pernah disakiti seperti kamu, untuk memercayai seseorang bisa menolong mereka."
Dia menangis sedikit lebih keras, sebuah pertanda yang bagus.
"Ibumu pergi, kamu merasa sendirian, dan hanya saya yang bisa memberikan
pertolongan. Kamu berpikir, bisakah
kamu memercayai saya?"
Karen mulai menangis dengan membenamkan wajah ke telapak tangan. Tangisannya
juga terdengar melegakan. "Perasaanmu kepadaku telah berubah; perasaanmu menjadi
lebih kuat, tapi juga lebih berbahaya. Haruskah kamu membiarkan dirimu
memercayaiku, atau haruskah kamu mati?" Tangisan Karen mereda, dan dia terisakisak, dadanya kembang kempis. Aku terdiam, menantinya menenangkan diri.
"Saya tidak ingin kamu bunuh diri," ujarku, mencondongkan tubuh ke arahnya.
"Bagaimana kita bisa menghindarinya?" Aku menatapnya, menantikan jawaban. Aku
membutuhkan mitra dalam hal ini. Dia berhasil mengangkat bahu.
"Satu hal yang bisa kita lakukan adalah merawatmu di rumah sakit," ujarku. "Itu
akan memastikan keamananmu." Aku tahu bahwa secara profesional, ini sudah
semestinya diajukan kepadanya, tapi ini pilihan yang lemah. Klaim asuransinya
telah dihabiskan untuk beberapa hari perawatan di unit psikiatri dan jika dia
dimasukkan ke unit gawat darurat, berdasarkan peraturan yang berlaku, dia akan
langsung dirujuk ke rumah sakit jiwa milik negara.
Mereka akan langsung mengeluarkannya begitu dia berbohong dengan mengatakan
bahwa dirinya tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri, dan dia
tidak akan membaik, dan aku akan kehilangan kontak dengannya. Aku pernah bekerja
di institusi seperti itu, dan aku tahu apa yang biasa terjadi di sana. Aku ingin
menemukan sebuah alternatif lain.
"Saya tidak ingin masuk rumah sakit," ujar Karen dengan tegas. "Itu hanya akan
membuat masalahnya semakin buruk."
"Tidak akan ada yang lebih buruk daripada kehilangan dirimu," ujarku dengan
penuh ketegasan dan keyakinan. Dia memerhatikanku sekarang. Kami duduk diam
selama beberapa saat, sementara pernyataanku bahwa aku memberikan perhatian
kepadanya mengendap. "Mungkin jika kita memahami lebih banyak tentang alasanmu memiliki perasaan yang
kuat ini sekarang," ujarku, "kita bisa melakukan sesuatu untuk menolongmu."
Sekarang adalah saat bagiku untuk menutup mulut. Saat sebuah pertanyaan penting
telah terlontar untuk seorang pasien, apa pun yang keluar berikutnya adalah
jawabannya. Hal yang sulit tetapi penting yang harus kulakukan adalah
mengalahkan Karen dalam menoleransi keheningan mencekam yang menyusul dan
menanti jawaban darinya. Aku menyaksikan Karen berpikir, mengira-ngira ke mana pikirannya menuju.
Wajahnya hanya menunjukkan kesedihan. Setelah sekitar satu setengah menit, dia
bergerak di kursinya dan mengatakan, "Saya selalu tahu bahwa Ibu tidak mencintai
saya, tapi saya tidak pernah betul-betul menyadarinya." Dia terdiam. "Saya
pikir, jika saya memberinya cukup banyak, dia akan menyayangi saya, tapi
ternyata saya tidak bisa." Kurasa dia juga bermaksud mengatakan bahwa dia takut
bahwa seperti ibunya, aku juga tidak mencintainya, jadi mengapa aku mau tetap
menemani dan menolongnya. Jika ibunya saja tidak mencintainya, bagaimana mungkin
dia berharap aku akan peduli padanya"
"Dan, mengapa sekarang?" tanyaku.
"Saya hanya merasa sekarang adalah saat yang tepat," katanya sambil mendesah
putus asa. "Menurut saya, kedekatan kita membuatmu takut, dan
kamu mencari cara untuk melarikan diri." Aku memandangnya. Pernyataanku
mengandung tantangan sekaligus godaan. Dia memalingkan wajah. Lagi-lagi, ini
adalah saat bagiku untuk menutup mulut. Apakah dia akan mengikutiku atau mundur;
dia harus memutuskan. Dia terdiam dan bergerak-gerak canggung di kursinya.
"Saya tidak tahu ... saya takut berharap." Karen tampak kebingungan, tapi dia
duduk lebih tegak di kursinya. Mungkin dia akan mengikutiku.
"Saya punya sebuah rencana," ujarku. Aku harus melambungkan harapannya dengan
mengikatnya lebih erat denganku. "Sekarang saya mengerti betapa berat bagimu
untuk menyadari bahwa ibumu tidak mencintaimu, dan oleh karena itu, kamu tidak
yakin apakah saya bisa dipercaya akan terus mendampingimu, lebih baik daripada
yang bisa dilakukan oleh ibumu, melewati semua yang harus kamu jalani dalam
terapi. Pada waktu yang sama, dengan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh
ayahmu kepadamu, kamu takut bahwa jika kamu lebih dekat dengan saya, saya akan
melakukan hal yang sama." Aku menantikan Karen menyerap dosis besar pemahaman
ini. "Tetapi, penting bagi kita untuk memastikan bahwa tidak ada bahaya yang
mengancammu," aku melanjutkan. "Sekarang Rabu. Saya akan meneleponmu malam ini,
dan besok malam, dan saya akan menemuimu Jumat nanti, pukul 13.00. Maukah kamu
berjanji untuk menjaga supaya dirimu tetap aman hingga saya meneleponmu nanti
malam?" Aku menahan tatapanku ke arahnya, menanti janjinya.
"Oke," katanya.
"Dan, maukah kamu menjaga dirimu tetap aman hingga saya meneleponmu besok
malam?" Sekali lagi, aku
menunggu. "Saya akan berusaha," katanya, dengan keyakinan berkurang. Aku terus
memandangnya, dan setelah beberapa saat, dia mengangguk.
"Itu cukup untuk saat ini," ujarku. "Jika aku tidak bisa menghubungimu atau kamu
tidak muncul di sini Jumat nanti, aku akan menelepon polisi dan meminta mereka
mencarimu." Aku ingin dia mengetahui bahwa aku bersungguhsungguh dan tidak segan
melakukan apa pun untuk memastikan keamanannya.
"Oke." Karen berhasil menyunggingkan senyuman terima kasih, dan aku diam-diam
bersyukur saat dia meninggalkan kantorku. Menanamkan kepercayaan sangat berat
bagi Karen. Kami telah bertemu selama dua setengah tahun, dan baru kali ini dia
bisa sepenuhnya memercayaiku. Kuharap dia membaik. Setidaknya, dia keluar dalam
keadaan lebih baik daripada ketika masuk.
Berikut ini adalah surat yang diberikan oleh Karen kepadaku pada awal sesi
berikutnya: Yang terhormat Dr. Baer, Saya sangat berterima kasih atas semua pertolongan yang Anda berikan kepada
saya. Saya sangat bersyukur karena men dapatkan Anda sebagai dokter saya. Jika
bukan karena Anda, saya merasa tidak akan sanggup hidup hingga selama ini. Saya
hanya ingin Anda tahu bahwa apa pun yang terjadi pada saya, itu diakibatkan oleh
kesalahan saya sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi, dan saya merencanakan
sebuah pelarian. Ini tidak berhubungan dengan depresi. Saya hanya tidak ingin
tetap hidup. Satusatunya cara untuk melarikan diri dari keada an ini ada/ah
dengan mengakhiri kehidupan saya. Saya men coba menjelaskan pikiran saya dengan
cara terbaik yang saya ketahui. Saya memilih untuk mati. Itu lebih baik daripada
hidup. Saya akan terbebas dari mimpi buruk yang senantiasa meng hantui saya.
Saya tidak akan pernah harus menghadapi ayah atau kakek saya lagi. Saya tidak
akan pernah harus berurusan dengan ibu saya lagi. Saya akan mendapatkan
kebahagiaan dan kedamaian. Saya tidak merasa bersalah karena hal ini. Saya tidak
akan pernah merasa kotor atau nista lagi. Saya ti dak akan pernah menyakiti diri
sendiri lagi. Saya tidak akan pernah harus berurusan dengan perasaan saya
terhadap Anda. Perasaan hampa di dalam diri saya tidak akan lagi menjadi beban
yang harus saya tanggung. Saya merasa bahwa sekarang ada/ah saat yang tepat.
Setiap kepingan telah jatuh di tempatnya. Saya memesan kamar di sebuah motel di
dekat rumah saya. Saya memutus kan untuk mencoba pil yang saya bawa. Jika itu
tidak berha si/, saya memiliki sebuah pistol. Saya betul-betul merasa sendi
rian. Saya ingin membagi perasaan ini dengan Anda, tapi saya tahu bahwa Anda
akan membujuk supaya saya mengurungkan niat, dan saya tidak bisa membiarkan hal
itu terjadi. Tolong pahamilah bahwa saya tidak tahan lagi. Saya sangat sedih.
Saya senang karena dipertemukan dengan Anda dan saya ber harap Anda tidak
membenci saya karena hal ini.
Saya berharap Anda mendapatkan masa depan yang cemerlang. Anda ada/ah seorang
dokter yang luar biasa, dan Anda hanya berhak mendapatkan yang terbaik. Semoga
Anda dan keluarga Anda selalu bahagia. Dengan hormat,
Karen Overhill Aku menelepon Karen sore itu juga pada pukul 17.20, tapi dia tidak
mengangkatnya. Aku tahu betapa dia merasa putus asa, tapi aku berharap ikatannya
denganku akan mencegahnya melakukan bunuh diri. Ini adalah salah
satu masa terberat bagi seorang psikiater, saat menghadapi seseorang yang
serusak Karen dan yang dapat dilakukan hanyalah menunggu dan melihat apakah
mereka mau hidup atau tidak. Jika Karen memilih untuk tetap hidup, artinya dia
memilih kehidupan sebagian karena aku. Dan, jika dia memilih untuk mati, artinya
dia tetap memilih mati meskipun aku telah berusaha menolongnya.
Aku menelepon lagi dan dia menjawab, aku berbicara panjang lebar di telepon
dengannya pada malam itu dan malam berikutnya. Dia kembali menemuiku dua hari
kemudian. Dia terlihat lebih baik, meskipun tandatanda itu hanya terlihat
samarsamar langkahnya lebih ringan, gerakannya lebih tangkas, posturnya lebih ?tegap, lebih sering melakukan kontak mata.
Seperti biasanya, pakaiannya kurang lebih sama, dan hanya ada sangat sedikit
perubahan dalam caranya berdandan. Dia mengatakan bahwa dia merasa sedikit lebih
baik setiap hari. Meskipun dia berpikir bahwa tidak akan bedanya jika dia tidak
ada lagi di dunia ini, sekarang dia meragukan niatnya melakukan bunuh diri;
sebagian dari dirinya menginginkan perubahan dalam pikiran dan kehidupannya.
Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semalam, untuk pertama kalinya, pikiran untuk melakukan bunuh diri membuatnya
ketakutan. Entah bagaimana, dia tidak menyadari bahwa jika dia bunuh diri,
semuanya akan benar-benar hilang: anakanaknya, suaminya, dan aku.
"Saya memikirkan apakah sebagian dari keinginan saya untuk mati disebabkan
karena saya tidak ingin berdekatan dengan suami saya lagi," katanya, bertanya
kepada dirinya sendiri. "Lucu sekali, saya tidak ingat pernah melakukan hubungan
seks dengannya." Aku memberinya
tatapan penuh tanya. "Saya tahu bahwa saya pernah melakukannya," lanjutnya,
"tapi tentu saya telah memblokir ingatan itu."
Memblokir ingatan itu"
Dia duduk selama beberapa waktu, diam dan sepertinya tenggelam dalam pikirannya.
"Entah bagaimana, jauh di dalam diri saya," katanya, "saya tahu bahwa saya tidak
ingin hidup. Saya membelikan peluru untuk pistol suami saya," dia mengakui.
Aku benar-benar tertarik pada "memblokir ingatan", tapi pertama-tama, aku harus
menggiringnya kembali, membentenginya dari godaan peluru dan kematian.
"Apakah kamu merasa bahwa kamu dapat benar-benar memiliki sebuah hubungan yang
berlandaskan kepercayaan dengan saya?" tanyaku. "Sehingga kamu bisa betul-betul
memercayai saya untuk mendengarkan dan memahami apa pun yang kamu katakan?"
Awalnya, dia tampak bingung, tapi kemudian dia sepertinya berhasil mencerna
perkataanku. Dia tidak menjawab, tapi aku berharap telah menekankan kembali
kemungkinan itu untuknya.
Saat berjalan ke pintu, dia menoleh dan mengatakan, "Dahulu, saya berharap Anda
menyerah dalam merawat saya." Aku menyaksikan bahunya yang lebar dan turun
menghilang saat dia menutup pintu.
Aku memikirkan rencana yang telah dibuatnya untuk melakukan bunuh diri. Aku tahu
bahwa dia dapat dengan mudah melakukannya lagi, sehingga kami harus
menyingkirkan pikiran itu sejauh mungkin. Pada sesi berikutnya, aku menanyakan
peluru-peluru itu kepadanya. Dia mengakui bahwa benda itu memberinya
kenyamanan karena saat benda itu ada di dekatnya, dia?tahu bahwa dia bisa mengakhiri nyawanya sendiri.
"Mengapa kamu menganggap pikiran semacam itu memberimu kenyamanan?" tanyaku. Dia
terdiam sejenak, terkejut mendengar pertanyaanku, karena dia tidak pernah
menganggap aneh perasaan seperti itu.
"Saya sudah merencanakan untuk melakukan bunuh diri sepanjang hidup saya,"
katanya. "Saat berumur sembilan atau sepuluh tahun, saya berencana berbaring di
rel dan menunggu kereta api datang." Dia membicarakan hal ini dengan suara
tenang dan tatapan kosong yang membuat bulu kudukku berdiri. "Sepertinya, itulah
satusatunya solusi bagi kehidupan saya."
KEMARIN, KAREN mendapatkan telepon dari bibinya yang mengatakan bahwa kakeknya
sakit dan dirawat di rumah sakit. Sang bibi meminta Karen membesuk kakeknya,
tapi Karen takut menjumpainya. Pikiran itu memicu munculnya sebuah kenangan dari
masa ketika dia berumur delapan atau sembilan tahun, dan mereka sekeluarga
sedang bertamasya ke pantai.
Karen duduk di bangku belakang mobil Buick kakeknya, di antara kedua adik lakilakinya. Kedua anak itu mengulurkan tangan di atas Karen untuk saling mencolek;
mereka berumur enam dan delapan tabun, sedangkan Karen sembilan tabun. Saat
permainan kedua anak lakilaki tersebut semakin mema nas, mereka menarik-narik
dan mendorong-dorong Karen. "Jangan begitu!" keluh Karen.
"Karen! Diamlah!" Ibunya menoleh ke belakang dari antara kakek Karen, yang
sedang mengemudi, dan ayahnya. "Kalau ada masa/ah lagi, kalian tidak boleh turun
dari mobil. Ketiga anak di bangku belakang itu seketika terdiam, semen tara
kakek mereka memarkir mobil di pantai North Avenue.
Karen mengikuti ibunya berjalan ke pantai; matahari ber sinar cerah, terik, dan
pantai telah dijejali manusia. Ibunya menggelar selimut, kakeknya membuka sebuah
kursi lipat kecil dan sekaleng bir. Ayahnya mengikuti kedua adiknya memasu ki
air; mereka berlarian, dan ayah mereka mulai berjalan per lahan-lahan menembus
lautan manusia, memandangi seke/om pok gadis yang sedang berjemur. Karen
berkeliaran mendekati garis pantai dan menceburkan diri hingga ke lutut, tapi
saat itu air begitu dingin, dan dia segera kembali ke pinggir. Saat berada di
setengah jalan menuju ibunya, dia berjongkok dan mulai membangun sebuah istana pasir
kecil. Dia beberapa kali kembali ke air dengan membawa ember untuk me/embapkan
pasir supaya bisa saling menempel.
Ketika waktu pulang tiba, kakeknya menghampiri dan menggandeng tangan Karen.
Dengan sedih, Karen meninggal kan kota pasir mungil yang telah dibangunnya dan
mengikuti pria itu menghampiri ibunya dan mobil mereka. Karen duduk di tengah
bangku belakang, dan kedua adiknya mengikutinya masuk. Setibanya mereka tiba di
rumah, Karen ke/uar dari mobil, kaki dan pakaian renangnya penuh pasir. Saat
melihat pasir di tubuh Karen dan di bangku belakang mobilnya, wajah kakeknya
seketika merah padam. "Karen! Kau ini berantakan seka/i! Mobilnya penuh
pasir!" Karen terpaku. Dia memandang ibunya, yang langsung membuang muka dan
menggiring kedua adiknya memasuki rumah. Karen mengikuti kedua adiknya.
"Berhenti!" bentak kakeknya. "Aku tidak mau
kau membawabawa pasir ke da lam rumah." Pria itu menyambar tangannya dan
menyeretnya ke ha/aman belakang. Karen terseret, berusaha menjaga keseimbangan
supaya tidak terjatuh; kakeknya mengumpat-umpat dan menarik lengannya,
membawanya ke sebuah pondok kecil di ha/aman belakang; mereka menyebut tempat
itu shandy. Pria itu membuka pintu pondok dan mendorong Karen ke dalam kegelapan.
"Diamlah di sini." Karen berdiri di dalam shandy, kebingungan, memandang keluar
melalui pintu yang terbuka. Kakeknya pergi ke teras belakang dan mengambil
selang, membuka keran, dan kembali menghampiri Karen, bibirnya bergerak-gerak,
meluncurkan rentetan umpatan. Dia menyerahkan selang itu kepada Karen dan
menjauh. "Ini, bersihkan dirimu.'" Karen mengambil selang itu dengan tangan gemetar dan
cepatcepat menyemprotkan air ke kakinya. "Jangan asal-asalan!" Kakeknya
menyambar selang itu dan menyumbatkan ibu jari ke ujungnya, mengencangkan
semburan air. "Berbaliklah!" Pria itu menyemprot punggung dan kaki Karen, serta
menyaksikan gadis kecil itu gemetar kedinginan. "Berbaring/ah. Aku harus
membersihkan semua pasir itu."
Karen berbaring di lantai semen ke/abu di dalam shandy, gemetar kedinginan,
sementara kakeknya menjulang meme gang selang di atasnya. Pria itu menyemprotkan
air ke paha dan perut Karen. Karen menjerit karena air itu begitu dingin, tapi
kakeknya, dengan tatapan yang membuatnya ketakutan, menyuruhnya diam. Kakeknya
meletakkan selang di lantai, dan dengan kedua tangannya,
membentangkan kedua kaki Karen. Pria itu mengarahkan ujung selang ke
se/angkangan Karen dan menyemprotkan air ke sana.
"Jangan bergerak!" bentaknya. Dia mengulurkan jari dan menyibakkan baju renang
Karen. "Aku harus membersihkan semua pasir itu," ulangnya. Karen memejamkan
matanya eraterat. Pria itu menempelkan ujung logam selang ke vulvanya, lalu
menyemprotkan air dingin ke sana. Karen merasakan se ngatan nyeri dan tekanan
panas-dingin di dalam dirinya. Jeritan terkumpul di tenggorokannya, tapi tidak
sedikit pun suara dapat ke/uar dari mulutnya. Kakeknya menyingkirkan selang, menutup kembali
pakaian renang Karen, dan berdiri. "Sudah," katanya, "semuanya sudah bersih. Ayo kita beli es
krim." Karen berusaha berdiri dan berjalan ke mobil.
Kakeknya menggandeng tangannya dan berjalan di sampingnya. Mereka pergi ke
Tastee-Freez di persimpangan 51 dan Damen, dan dalam perjalanan pulang, Karen
duduk di bangku depan, men jilati es krim vani/anya.
Saat mobil berhenti di depan lampu merah, sang kakek memandang Karen. "Jangan
sampai es krimmu menetes-netes," katanya sambi/ menco/ek pinggang gadis itu.
Karen me megangi contong es krimnya; kakeknya menco/ek pinggangnya lagi, kali
ini dengan kedua tangannya. "Jangan jatuhkan es krimmu." Karen menggeliatgeliat, dan contong beserta es krim nya jatuh ke pangkuannya.
"Lihat apa yang kau/akukan sekarang." Karen merasakan es krim yang dingin
mencair di kakinya, dan dia memandang kakeknya, menanti pria itu memukulnya.
Dengan tangan kanannya, kakeknya mengoleskan lelehan es krim ke kaki dan perut
Karen, juga ke sela-sela pahanya. Karen merasa lega se ka/igus mual. Setibanya
mereka di rumah, sang kakek meng gandeng tangan Karen dan membawanya ke belakang
rumah. "Badanmu harus dibersihkan lagi." Pria itu mengambil selang.
Setelah menyelesaikan ceritanya, Karen menelengkan kepala dan mulai terisakisak. Aku menunggu beberapa saat.
"Ada apa?" tanyaku.
"Anda tentu menganggap saya menjijikkan," katanya. "Apa maksudmu?"
"Saya merasa sangat kotor," katanya.
"Saya paham bahwa itulah yang pasti kamu rasakan," ujarku. Karen tetap terisakisak. Aku tidak benar-benar mengerti; bagaimana mungkin aku mengerti" Sering
kali, hal terbaik yang bisa dilakukan, saat kau tidak mengetahui apa yang harus
kaukatakan, adalah sebisa-bisanya menunjukkan empati.
"Waktu kita sudah habis. Kita akan melanjutkannya pada sesi berikutnya."
KAREN MEMASUKI kantor, basah kuyup, mengepit tasnya seperti seorang pemain
bertahan di lapangan rugby. Ketika itu akhir Juni 1991, dan jendela yang
memperlihatkan pemandangan taman basah terguyur hujan. Dia cepatcepat mengangguk
ke arahku sambil menghampiri kursinya.
"Selama dua minggu terakhir, saya membawabawa peluru ke mana-mana," katanya,
mencengkeram tas di pangkuannya. "Sering saya berpikir untuk memberikannya
kepada Anda, tapi saya tidak melakukannya. Saya tidak yakin apakah saya akan
melakukannya hari ini."
"Kedengarannya, sebagian dari dirimu ingin memberikannya kepadaku, karena kamu
membawanya ke sini dan menceritakannya kepada saya," ujarku. Aku harus berhatihati untuk tidak bertanya secara langsung meminta peluru-peluru itu. Dia harus
memberikannya kepadaku dengan kemauannya sendiri.
Karen duduk dalam kebimbangan, tatapannya tertuju ke mana-mana, dan aku
menunggu. Akhirnya, dia menunduk, merogoh tasnya, dan mengeluarkan kotak plastik
berisi sekitar dua ratus butir peluru berkaliber .22. Dia memandang benda itu
beberapa saat, lalu mengulurkannya kepadaku. Aku mengambil wadah tersebut dan
meletakkannya di meja di dekatku.
"Adakah benda lain yang hendak kamu berikan kepada saya?" tanyaku. Dia
mendongakkan kepala dan membelalakkan matanya. Kemudian, dia menunduk selama
beberapa saat, merogoh tasnya, terdiam, dan
mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil yang tajam. Dia memegang benda itu
sejenak, seolaholah mempertimbangkan tindakannya, lalu mengulurkan tangan dan
memberikannya kepadaku. Rasanya seolaholah dia baru saja menyerahkan
kehidupannya ke tanganku.
"Ada lagi yang lain?" tanyaku. Dia menggeleng cepatcepat tanpa memandangku.
"Penting bagimu untuk tidak membawabawa benda yang bisa menyakitimu," kataku.
"Tapi, semua benda bisa menyakiti saya," katanya.
"Apa maksudmu?" Sekarang, akulah yang terkejut.
"Semuanya bisa menyakiti saya," katanya sekali lagi, seolaholah aku tidak
mendengar ucapannya sebelumnya.
"Saya tidak mengerti," ujarku jelas terlihat bahwa dia sedang memikirkan ?sesuatu. Karen menunduk dan berbicara dengan lirih.
"Ayah saya sering menyakiti saya dengan bermacammacam benda," katanya. "Dia suka
menusukkan bendabenda ke dalam vagina saya, seperti sendok dan pisau ... obeng ...
gantungan baju. Bermacammacam benda."
"Begitu, ya." Karen tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku tidak mendorongnya untuk
bercerita secara mendetail. Dia baru saja mulai menceritakan kepadaku tentang
pengalaman mengerikan yang dilaluinya. Aku harus berusaha menjadi pendengar
terbaik dan tidak menyela apa pun yang dikatakannya. Aku harus memastikan dia
merasa diterima dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang diceritakannya tidak akan
menghancurkan hubungan kami.[]
5 Penahanan Avah KAREN MERASA semakin dekat denganku dan ini membuatnya ketakutan. Semakin dia
memercayaiku, semakin banyak perasaan terpendamnya yang terungkap kadangkadang
?bahkan lebih cepat daripada yang dapat kami tangani. Serentetan tulisannya
Hikmah Pedang Hijau 13 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Pengusung Jenazah 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama