melakukan hal seperti ini tanpa rasa bersalah, bahkan tanpa menginginkannya. Ada
satu persamaan pria dan wanita di dalam mimpi, kita semua berbuat dosa dengan
orang yang dalam kehidupan nyata tidak menarik perhatian kita. Benarkah ini?"
"Cukup, Hande," Kadife memperingatkan.
"Tapi, bukankah itu benar?"
"Tidak, itu salah," kata Kadife. Dia berpaling ke arah Ka. "Dua tahun sebelum
semua ini terjadi, Hande bertunangan dengan seorang remaja Kurdi yang sangat
tampan. Tapi, anak malang itu terlibat dalam politik dan mereka membunuhnya
"Itu tidak ada hubungannya dengan keenggananku membuka jilbab," ujar Hande
dengan marah. "Alasan utamanya karena aku tak bisa berkonsentrasi, aku tak bisa
membayangkan diriku tanpa jilbab. Kapan pun aku berusaha berkonsentrasi, aku
berubah menjadi orang asing jahat seperti si 'agen persuasi' atau perempuan yang
hanya bisa memikirkan soal seks. Seandainya aku bisa memejamkan mata sekali saja
dan membayangkan diriku memasuki gerbang sekolah tanpa jilbab, berjalan di dalam
koridornya, dan memasuki kelas, aku akan mendapatkan kekuatan untuk melewati
semua ini, lalu, jika Tuhan berkenan, aku akan bebas. Aku akan mampu mencopot
jilbab atas kemauanku sendiri, bukan karena dipaksa oleh polisi. Tapi, sekarang
ini aku tak bisa berkonsentrasi. Aku tak bisa membuat diriku membayangkan saat
itu.' "Kalau begitu, berhentilah memikirkan soal saat itu,' kata Kadife. "Bahkan
kalaupun kau pingsan di sana, kau akan masih menjadi Hande kami tersayang.'
"Tidak, itu tidak benar,' kata Hande. "Itulah yang membuatku gelisah sejak aku
memutuskan akan membuka jilbab aku tahu bahwa kau akan membenciku.' Dia
berpaling menatap Ka. "Kadangkadang, saya bisa menghadirkan bayangan seorang
gadis yang sedang berjalan ke sekolah dengan rambut terurai. Saya bisa
melihatnya berjalan di koridor dan memasuki ruang kelas kesukaan saya oh, betapa
saya merindukan kelas itu. Saya bahkan dapat membayangkan aroma koridor dan
udara yang lembap. Lalu, saat melihat bayangan di jendela yang memisahkan ruang
kelas dengan koridor, saya menyadari bahwa gadis itu bukan saya melainkan orang
lain, dan saya mulai menangis.'
Semua orang menyangka Hande akan menangis lagi.
"Saya sama sekali tidak takut menjadi orang lain,' kata Hande. "Yang membuat
saya takut adalah pikiran bahwa saya tidak akan pernah bisa kembali menjadi diri
saya yang sekarang dan bahkan melupakannya. Hal seperti itulah yang membuat
orang-orang melakukan bunuh diri.' Dia kembali memandang Ka. "Apakah Anda pernah
ingin mencoba melakukan bunuh diri"' Caranya berbicara nyaris terdengar
menggoda. "Tidak, tapi setelah mendengar cerita tentang wanita-wanita di Kars, mau tidak
mau pertanyaan-pertanyaan sulit menghampiri diri kita.'
"Jika kebanyakan gadis yang berada dalam situasi kami berpikir untuk bunuh diri,
Anda mungkin akan mengatakan bahwa ini berhubungan dengan keinginan untuk
mengendalikan tubuh kami sendiri. Itulah yang ditawarkan oleh tindakan bunuh
diri kepada gadis-gadis yang diberi obat tidur dan dinodai keperawanannya, sama
halnya dengan para perawan yang diharuskan untuk menikah dengan pria-pria yang
tidak mereka inginkan. Untuk gadis-gadis semacam itu, harapan bunuh diri adalah
kemurnian dan pembebasan diri dari dosa. Pernahkah Anda menulis puisi tentang
bunuh diri?" Tiba-tiba, Hande menoleh ke arah Ypek. "Apakah aku sudah berlebihan
sekarang ini, apakah aku benar-benar mengganggu temanmu" Baiklah, kalau begitu,
kalau dia tidak mau memberitahuku dari mana asalnya, puisipuisi yang
'mendatanginya' di Kars itu, aku berjanji tidak akan mengganggunya."
"Saat aku merasakan sebuah puisi sedang mendatangiku, hatiku dipenuhi perasaan
berterima kasih kepada pengirimnya, karena aku merasa sangat bahagia."
"Apakah si pengirim itu juga yang memberikan nyawa bagi puisipuisi Anda"
Siapakah dia?" "Aku tidak yakin, tapi kupikir Dialah yang mengirimiku
puisi." "Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa Anda tidak percaya pada Tuhan atau Anda
tidak yakin bahwa Tuhan yang mengirim puisi untuk Anda?"
"Tuhanlah yang mengirimkan puisi untukku," ujar Ka dengan penuh keyakinan.
"Dia sudah melihat kebangkitan Islam politis," kata Turgut Bey. "Mungkin dia
bahkan merasa terancam karenanya; saking ketakutannya, dia sekarang menjadi
beriman." "Tidak, ini datang dari dalam," kata Ka. "Aku ingin memeluk agama, menjadi
seperti semua orang di sini."
"Maaf: kau ketakutan, dan aku memperingatkanmu."
"Ya, tentu saja aku ketakutan," kata Ka, meninggikan suaranya. "Aku sangat
ketakutan." Seketika, Ka melompat berdiri, seolaholah seseorang menodongkan
senjata kepadanya. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh semua orang lain di meja. "Di mana dia?"
seru Turgut Bey seolaholah dia juga merasa seseorang akan menembak mereka.
"Saya tidak takut," kata Hande. "Saya tidak memedulikan apa yang akan terjadi
pada saya." Semua orang memandang Ka, berusaha mencari tahu dari mana arah datangnya bahaya.
Bertahuntahun kemudian, Serdar Bey mengatakan kepadaku bahwa wajah Ka berubah
pucat pasi saat itu, namun di wajahnya tidak ada ekspresi yang menunjukkan
ketakutan maupun kebingungan. Yang diingat oleh Serdar Bey adalah kebahagiaan
besar. Pelayan rumah itu memberitahuku bahwa seberkas cahaya memasuki ruangan
dan memandikan semua orang di dalamnya dengan pendar suci. Di matanya, Ka
terangkat menjadi nabi. Rupanya, ketika itu seseorang mengatakan, "Sebuah puisi
baru saja datang' pengumuman yang lebih mendatangkan ketakutan dan keheranan
daripada pistol khayalan. Menurut penu-turan yang lebih dapat dipercaya di buku
catatan Ka, atmosfer yang tegang dan seru di dalam ruangan itu mendatangkan
kembali kenangan tentang cenayang yang kami lihat saat kami kanakkanak
seperempat abad sebelumnya, di sebuah rumah di salah satu jalan belakang
Ni?anta?. Acara malam itu diselenggarakan oleh ibu teman kami, seorang wanita
gemuk yang sudah menjadi janda pada usia muda. Kebanyakan tamunya adalah para
ibu rumah tangga yang tidak bahagia, namun ada pula seorang pemain piano berjari
lumpuh, seorang bintang film setengah baya yang latah (penyebabnya mungkin
karena kami terus-menerus menanyainya), adik perempuannya (yang tak hentihentinya menguap), seorang pensiunan pasha yang 'menaksir' si bintang film tua,
dan saat teman kami bisa menyelundupkan kami aku dan Ka. Selama periode menunggu
yang membosankan, seseorang akan mengatakan, "Oh, arwah, kalau kau telah kembali
kepada ka-mi, bicaralah!' dan setelah kesunyian yang panjang, gemeretakgemeretak yang nyaris tak terdengar akan muncul, kursi yang bergeser, erangan,
dan kadangkadang bunyi kaki meja yang ditendang, dilanjutkan oleh suara gemetar
yang mengumumkan: "Arwah telah datang.'
Tapi, saat berlari menghambur ke dapur, Ka sama sekali tidak tampak seperti
seseorang yang baru saja melihat hantu. Kebahagiaan terpancar di wajahnya.
"Dia terlalu banyak minum,' kata Turgut Bey. "Ayo, tolong dia.'
Dia mengatakannya supaya dia tampak seolaholah menyuruh Ypek mengejar Ka, yang
duduk di sebuah kursi di dekat pintu dapur, mengeluarkan buku catatan dan
penanya. "Aku tak bisa menulis jika kalian semua memerhatikanku/ katanya.
"Biar kutunjukkan tempat lain padamu,1 kata Ypek.
Ka mengikuti Ypek melewati dapur, yang digelayuti oleh aroma sirup manis yang
sedang dituangkan ke atas puding roti oleh Zahide. Setelah itu, mereka melewati
sebuah ruangan dingin yang setengahnya diiputi kegelapan.
"Apa menurutmu kau bisa menulis di sini"1 tanya Ypek sambil menyalakan lampu.
Di sekelilingnya, Ka melihat kamar tidur yang rapi, dengan dua buah ranjang yang
tertata sempurna. Terdapat pula sebuah meja pendek dan meja rias yang penuh oleh
berbagai macam wadah krim, lipstik, botol parfum mungil, berbagai macam bahan
lain yang ditampung dalam botol-botol bekas alkohol dan minyak masak, sebuah
dompet kosmetik, dan sebuah kotak cokelat Swiss tua yang berisi sejumlah sisir,
pena, azimat, kalung, dan gelang. Ka duduk di ranjang, di dekat jendela yang
berselimut es. "Aku bisa menulis di sini," katanya. "Tapi jangan tinggalkan aku sendirian."
"Kenapa?" "Entahlah," kata Ka, sebelum menambahkan, "Aku khawatir."
Ka mulai menulis puisinya, yang dimulai dengan deskripsi mengenai kotak cokelat
yang dibawakan oleh paman Ka dari Swiss saat dirinya masih bocah. Kotak itu
bergambar pemandangan alam Swiss, sama seperti yang dilihatnya sepanjang hari di
kedaikedai teh di Kars. Menurut catatan yang kemudian dibuat oleh Ka saat dia
menginterpretasi, mengklasifikasi, dan mengorganisasi puisipuisi yang
'mendatanginya' di Kars hal pertama yang muncul dari dalam kotak itu adalah
sebuah jam mainan. Dua hari kemudian, dia akan mengetahui bahwa Ypek bermain-main dengan jam semacam
itu saat masih kecil. Dan, Ka akan menggunakannya untuk membalik waktu dan
mengatakan beberapa hal tentang masa kanakkanak dan kehidupan itu sendiri ....
"Jangan pernah tinggalkan aku," Ka memberi tahu Ypek. "Aku dimabuk cinta
karenamu." "Tapi kau tidak mengenalku," kata Ypek.
"Ada dua macam pria," ujar Ka penuh arti. "Jenis yang pertama tidak akan jatuh
cinta hingga dia mengetahui bagaimana si gadis menyantap sandwich, menyisir
rambut, omong kosong apa saja yang dipusingkannya, mengapa dia marah dengan
ayahnya, dan cerita-cerita macam apa yang dilontarkan orang lain tentangnya.
Jenis pria yang kedua dan aku termasuk dalam kelompok ini bisa jatuh cinta
dengan seorang wanita tanpa harus mengetahui apa pun tentang dirinya."
"Dengan kata lain, kau jatuh cinta kepadaku karena kau tidak tahu apa-apa
tentangku" Apa kau benar-benar berpikir bisa menyebut hal ini cinta?"
"Kalau kau sedang dimabuk cinta, begitulah yang terjadi," kata Ka.
"Jadi, kalau kau sudah tahu bagaimana aku memakan sandwich dan apa yang kupakai
di rambutku, kau tidak akan jatuh cinta lagi kepadaku."
"Tidak, karena pada saat itu keintiman di antara kita sudah sangat mendalam dan
berubah menjadi hasrat yang menyelimuti tubuh kita erat-erat kita akan terikat
bersama-sama dalam kenangan indah milik kita."
"Jangan bangun duduklah di situ," kata Ypek. "Aku tak bisa mencium siapa pun
saat berada di bawah atap yang sama dengan ayahku." Berlawanan dengan
perkataannya, Ypek tidak menolak ciuman pertama mereka. Te-tapi, dia kemudian
mendorong Ka dan mengatakan, "Saat ayahku ada di rumah, aku tidak suka." Ka
berusaha mencium bibir Ypek sekali lagi sebelum duduk di sisi ranjang. "Kita
harus menikah dan melarikan diri dari tempat ini secepat yang mungkin dilakukan
oleh manusia. Apa kautahu betapa kita akan bahagia di Frankfurt?"
Ypek tidak langsung menjawab. Dia justru bertanya, "Bagaimana mungkin kau jatuh
cinta kepadaku tanpa harus mengenalku?"
"Karena kau sangat cantik .... Karena aku sudah melihat dalam mimpiku bagaimana
kita berdua akan bahagia .... Karena aku bisa mengatakan apa pun kepadamu tanpa
merasa malu. Dan, di dalam mimpiku, aku tak bisa berhenti membayangkan kita
bercinta.1 "Apa yang kaukerjakan saat kau berada di Frankfurt"1
"Saat tidak bisa menulis, aku banyak memikirkan tentang puisi ... aku
bermasturbasi .... Kesendirian adalah masalah harga diri; kau mengubur dirimu
dalam bau badanmu sendiri. Kupikir, semua penyair sejati seperti itu. Jika kau
sudah terlalu lama merasa bahagia, kau akan menjadi mati rasa. Sama saja, jika
kau sudah terlalu lama tidak bahagia, kau akan kehilangan kekuatan puitismu ....
Kebahagiaan dan puisi hanya berpadu dalam waktu yang teramat singkat. Setelah
itu, kebahagiaan akan membunuh si penyair atau puisi yang muncul akan begitu
nyata sehingga menghancurkan kebahagiaan. Aku sangat ketakutan memikirkan
ketidakbahagiaan yang mungkin sudah menungguku di Frankfurt.1
"Kalau begitu, tinggallah di Istanbul,1 kata Ypek.
Ka menatapnya lekat-lekat. "Apakah kauingin tinggal di Istanbul"1 bisiknya. Dia
sangat berharap Ypek akan meminta sesuatu kepadanya saat itu.
Ypek juga merasakan hal yang sama. "Aku tidak menginginkan apa-apa,1 katanya.
Ka tahu bahwa dirinya terlalu terburu-buru. Tetapi, dia mendapatkan firasat
bahwa dirinya tidak akan lama berada di Kars, bahwa tak lama berselang dia tidak
akan bisa lagi bernapas di situ maka, dia harus terburu-buru, seolaholah
kehidupannya bergantung pada hal ini. Selama beberapa waktu, mereka mendengarkan
potongan-potongan percakapan dari jauh; lalu, sebuah kereta berkuda lewat di
bawah jendela, dan mereka mendengarkan bunyi roda yang berderak di atas salju.
Ypek berdiri di ambang pintu, perlahan-lahan dan dengan hati-hati menguraikan
helaian-helaian rambut yang membelit sisir di tangannya.
"Kehidupan di sini sangat miskin dan mengenaskan, sehingga orang-orang, bahkan
orang sepertimu, melupakan bagaimana rasanya menginginkan sesuatu," kata Ka.
"Orang tidak bisa memikirkan tentang kehidupan di sini, hanya kematian .... Maukah
kau ikut denganku?" Ypek tidak menjawab. "Kalau jawabanmu tidak, lebih baik kau
tidak menjawab sama sekali," Ka menambahkan.
"Entahlah," jawab Ypek, memandangi sisir di tangannya. "Mereka menanti kita di
ruang makan." "Ada semacam intrik yang sedang terjadi di sana, tapi aku tak tahu apa itu,"
kata Ka. "Bagaimana kalau kau menjelaskannya kepadaku?"
Listrik tiba-tiba padam. Melihat Ypek diam saja, Ka ingin memeluknya, namun dia
begitu terkungkung oleh ketakutannya sendiri akan kembali ke Frankfurt
sendirian, sehingga dia tak mampu bergerak.
"Kau tak akan bisa menulis puisi dalam kegelapan
seperti ini," kata Ypek. "Ayo keluar."
"Apakah yang paling kauinginkan dariku" Apakah yang bisa kulakukan supaya kau
mencintaiku?" "Jadilah dirimu sendiri," kata Ypek, bersiap-siap
keluar. Ka merasa sangat bahagia saat duduk di tepi ranjang sehingga perlu upaya keras
darinya untuk kembali berdiri. Dia duduk lagi di ruangan dingin di dekat dapur,
di bawah pendar cahaya liin, menulis puisi berjudul "Kotak Cokelat" di buku
catatan hijaunya. Ketika berdiri, Ka mendapati Ypek di hadapannya. Ka langsung beringsut untuk
memeluk dan menenggelamkan wajah ke rambut Ypek, namun pikirannya melayang, seolah-olah dirinya juga turut terjerumus ke dalam kegelapan.
Di sana, di bawah pendar cahaya lilin dari dapur, berdirilah Ypek dan Kadife.
Mereka saling mengalungkan lengan ke leher, berpelukan bagaikan sepasang
kekasih. "Ayah menyuruhku mencarimu," kata Kadife. "Baiklah, Sayang," jawab
Ypek. "Apa dia berhasil menulis puisi?"
"Aku berhasil menulisnya," kata Ka, muncul dari balik bayangan. "Tapi, sekarang
aku berharap bisa menolong kalian."
Ka memasuki dapur; di bawah cahaya liin, tidak ada seorang pun yang dilihatnya.
Dia cepat-cepat menuangkan raki ke gelas dan menenggaknya hingga tandas. Saat
air mata mulai membasahi wajahnya, dia meminum segelas air.
Ketika keluar dari dapur, Ka mendapati dirinya tersedot ke dalam kegelapan yang
mencekam. Lalu, dia melihat cahaya lilin dari meja makan di kejauhan dan cepatcepat mendatanginya. Orang-orang di meja berpaling menatap Ka dan bayangan besar
dirinya di tembok. "Apa kau berhasil menulis puisimu?" tanya Turgut Bey. Dia mengawali
pertanyaannya dengan jeda sesaat, seolaholah untuk menciptakan nada mengejek.
"Ya." "Selamat." Dia menjejalkan sebuah gelas raki ke tangan Ka dan mengisinya.
"Tentang apa?" "Saya sudah mewawancarai sejak kedatangan saya di sini, sudah berbicara dengan
semua orang. Saya menyetujui pendapat mereka semua. Ketakutan yang biasa saya
rasakan di Frankfurt saat berkeliaran di jalanan, rasa takut itu sekarang berada
di dalam diri saya."
"Saya sangat memahami maksud Anda," kata Hande dengan tatapan penuh arti.
Ka menyunggingkan senyuman terima kasih. "Jangan copot jilbabmu, Gadis Cantik,"
itulah yang ingin dikatakannya.
"Jika, saat kau mengatakan bahwa kau memercayai pendapat semua orang yang
kaudengar di sini, kau bermaksud mengatakan kepadaku bahwa kau percaya akan
adanya Tuhan saat kau menjadi tamu Syekh Efendi," kata Turgut Bey, "maka aku
akan menjelaskan satu hal: Syekh Efendi bukanlah perpanjangan lidah Tuhan di
Kars!" "Jadi, siapakah perpanjangan lidah Tuhan di sini?" tanya Hande.
Turgut Bey tidak membentak Hande. Meskipun keras kepala dan suka mendebat, pria
itu memiiki hati yang terlalu lunak bagi seorang ateis kawakan. Ka juga
merasakan bahwa, meskipun Turgut Bey khawatir kedua anaknya tidak akan hidup
bahagia, dia jauh lebih mengkhawatirkan kemungkinan kebiasaan-kebiasaan dan
dunianya akan hancur lebur. Ini bukanlah kecemasan politis melainkan kecemasan seorang pria
yang, lebih dari segalanya, merasa takut akan kehilangan tempatnya di meja
makan, yang kesenangan utamanya adalah menghabiskan malam bersama para tamu dan
kedua putrinya, berdebat selama berjam-jam tentang politik dan keberadaan atau
ketiadaan Tuhan.
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Listrik kembali menyala. Ruangan itu tiba-tiba terang benderang. Penduduk Kars
sudah terbiasa dengan aliran listrik yang angin-anginan, sehingga tidak seorang
pun merasa perlu melakukan ritual seperti yang dilakukan Ka saat kanakkanaknya
di Istanbul: tidak seorang pun bersorak senang saat lampu tiba-tiba menyala dan
menanyakan apakah ada pakaian yang terjerat di mesin cuci; tidak seorang pun
merasa senang seperti dirinya saat mengatakan, "Biar aku saja yang meniup
liinnya" alih-alih, mereka semua bersikap seolaholah tak ada hal penting yang
terjadi. Turgut Bey kembali menyalakan televisi dan, sebagai penguasa remote
control, mulai memindah-mindahkan saluran.
Ka berbisik kepada para gadis tentang betapa sunyinya Kota Kars.
"Itu karena kami takut bahkan pada suara kami sendiri,1 kata Hande.
"Itu,1 kata Ypek, "adalah keheningan salju.1
Pasrah, mereka memandang muram pada gambar yang berubah-ubah di layar televisi.
Saat menggenggam tangan Ypek di bawah meja, baru terpikir oleh Ka bahwa jika dia
selalu menghabiskan siang harinya tanpa melakukan apa-apa, dan malam harinya
dengan menggenggam tangan Ypek dan menonton TV satelit, dia akan hidup bahagia
sepanjang waktu. [] Tv
selama-lamanya di Kars, Ka berlari-lari menembus hujan salju menuju Teater
Nasional. Jantungnya berdegup kencang seolaholah dirinya sedang maju sendirian
ke garis depan medan perang. Segalanya berubah dalam tujuh menit tersebut,
dengan kecepatan yang memiiki logika sendiri.
Awalnya adalah ketika Turgut Bey memindahkan saluran televisi ke siaran langsung
pertunjukan di Teater Nasional; jelas terlihat dari gegap gempita sambutan
penonton bahwa sesuatu yang luar biasa baru saja terjadi. Meskipun pertunjukan
ini menggugah dambaan akan keriaan dalam diri para penonton hasrat untuk
mengalihkan perhatian dari rutinitas kehidupan kota kecil mereka, meskipun hanya
semalam terasa pula kegelisahan akan adanya sesuatu yang teramat salah. Saat
menyaksikan hadirin yang penuh semangat bertepuk tangan dan bersorak sorai,
mereka juga merasakan ketegangan antara tamu-tamu VIP yang duduk di deretan
depan dan para pemuda di belakang. Karena kamera hanya menyoroti sebagian
aula, mereka semua sangat penasaran ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.
Di panggung, berdirilah seorang penjaga gawang yang dulu pernah terkenal di
seluruh penjuru Turki, membicarakan pertandingan tragis yang terjadi lima belas
tahun silam, saat tim Inggris berhasil menjebol gawangnya sebelas kali. Dia
belum menyelesaikan kisah sedih tentang gol pertama ketika si pembawa acara
jangkung kerempeng muncul di layar. Menyadari bahwa mereka akan mengambil jeda
untuk iklan, si penjaga gawang menghentikan ceritanya. Si pembawa acara
menyambar mikrofon dan, setelah penayangan dua buah iklan (Toko Bahan Makanan
Tadar di Jalan Fevzi Pasha dengan bangga mengumumkan bahwa kiriman daging
berbumbu dari Kay-seri akhirnya telah tiba, dan Pusat Kajian Ilmu Pengetahuan
memberitahukan mengenai pembukaan pendaftaran untuk kursus ujian masuk perguruan
tinggi), dia mengingatkan para penonton tentang keriaan-keriaan lain yang akan
segera menyusul. Setelah itu, si pembawa acara sekali lagi menyebutkan nama Ka
sambil memandang murung ke arah kamera.
"Melewatkan kesempatan untuk menonton penampilan penyair hebat kita, yang sudah
melakukan perjalanan jauh dari Frankfurt untuk mengunjungi kota perbatasan ini,
sungguh teramat patut disayangkan."
"Yah, begitulah," Turgut Bey langsung mengatakan. "Kalau kau tidak pergi ke sana
sekarang juga, kau akan membuat mereka tersinggung."
"Tapi, mereka tidak pernah menanyakan kepada saya apakah saya mau tampil dalam
acara itu," kata Ka.
"Begitulah caranya di sini," kata Turgut Bey. "Jika mereka mengundangmu, kau
tentu akan menolak. Tapi,
sekarang kau akan hadir, karena kau tak mau terlihat seolaholah kau memandang
rendah mereka." "Kami akan menonton Anda dari sini,1 kata Hande dengan antusiasme yang tidak
diduga oleh siapa pun. Tepat pada saat itu, pintu terbuka. Muncullah pemuda yang bertugas menjadi
resepsionis pada malam hari. "Direktur Institut Pendidikan baru saja meninggal
di rumah sakit,1 katanya.
"Si bodoh yang malang,1 kata Turgut Bey. Lalu, dia menatap Ka lekat-lekat.
"Islamis sudah menjalankan operasi pembersihan. Mereka menghabisi kita satu per
satu. Kalau kaumau menyelamatkan nyawamu, aku menasihatimu untuk meningkatkan
imanmu kepada Tuhan secepat yang kau bisa. Tidak akan lama lagi, kupikir,
sebelum keimanan kecil-kecilan akan berhasil menyelamatkan nyawa seorang ateis
tua.1 "Saya pikir Anda benar,1 kata Ka. "Kebetulan sekali, saya telah memutuskan untuk
menyambut panggilan yang datang dari lubuk hati saya yang terdalam selama hidup
saya dan membuka hati untuk Tuhan.1
Mereka semua menangkap nada sarkastis dalam suara Ka. Mengetahui bahwa Ka sedang
sangat mabuk, mereka semua menyangka pernyataan ini sebagai ceracau belaka.
Lalu, Zahide masuk membawa sebuah mangkuk beserta sendok sayur besar yang
berkilauan di bawah cahaya lampu. Tersenyum pada semua orang di meja bagaikan
seorang ibu yang bangga, dia mengatakan, "Masih ada sisa sup; sebaiknya kita
tidak menyia-nyiakannya, siapa yang mau, Gadis-Gadis"1
Ypek menasihati Ka untuk tidak pergi ke Teater Nasional karena dia cemas
memikirkan apa yang akan terjadi
di sana, namun sekarang dia menoleh bersamaan dengan Kadife dan Hande untuk
memberi senyuman kepada si pelayan Kurdi.
Jika Ypek mengatakan "Aku mau!" pikir Ka, artinya mereka akan menikah dan
tinggal di Frankfurt. Jika memang itu yang terjadi, aku akan pergi ke Teater
Nasional untuk membaca "Salju".
"Aku mau!" kata Ypek, mengulurkan mangkuknya dengan ogah-ogahan.
Sambil berjalan menghalau kepingankepingan salju besar, Ka teringat bahwa dia
adalah pendatang di Kars, dan selama sesaat dia merasa yakin akan melupakan kota
ini begitu dia meninggalkannya, namun perasaan itu tidak bertahan lama.
Sekarang, tiba-tiba dia merasakan desakan nasib; dia dapat melihat bahwa
kehidupan memiiki geometri rahasia yang tidak dapat diolah oleh akal sehat.
Tetapi, meskipun dia diterpa hasrat untuk menaklukkan akal sehatnya dan
menemukan kebahagiaan, dia juga merasakan bahwa setidaknya untuk sesaat
dambaannya akan kebahagiaan ternyata tidak cukup kuat.
Ka mendongak, memandang deretan spanduk kampanye yang terbentang hingga Teater
Nasional; tidak seorang pun tampak di jalan besar yang berselimut salju itu.
Saat mengamati bangunan tua yang tampak agung di kedua sisinya, mengagumi pintupintunya yang indah, teritis-teritisnya yang lebar, lis-lisnya yang cantik, dan
penampilannya yang gagah namun telah termakan zaman, Ka mendapatkan bayangan
tentang orang-orang (orang-orang Armenia yang menjadi pedagang di Tiflis" Para
pasha Utsmani yang bertugas mengumpulkan pajak hewan ternak") yang dahulu pernah
menjalani kehidupan bahagia, damai, dan bahkan penuh warna di sini. Sekarang,
sirna sudah sisa-sisa Armenia, Rusia, Utsmani, dan masa awal republik Turki yang
mendirikan kota ini menjadi pusat peradaban kelas menengah; dan, karena tidak
seorang pun datang untuk menduduki posisi pengganti, jalanan di kota ini menjadi
terbengkalai. Tetapi, tidak seperti di kota-kota mati, jalanan yang sunyi ini tidak
menimbulkan rasa takut. Ka tercenung melihat cabang-cabang pohon oleander dan
sycamore yang tertimbun salju, juga pada lapisan es yang menyelimuti tiang-tiang
lampu sumber cahaya oranye pucat yang menerangi jalanan, juga pada lampu neon
yang berpendar lemah di balik jendelajendela beku sebuah toko. Hujan salju turun
dalam keheningan yang nyaris terasa suci, penuh keajaiban, dan selain bunyi
langkah kaki dan tarikan napasnya yang kencang, Ka tidak mendengar suara-suara
lain. Bahkan tidak ada seekor anjing pun yang menyalak. Dia telah tiba di ujung
dunia. Seluruh bumi sepertinya terpesona pada hujan salju. Saat menyaksikan
kepingankepingan salju berjatuhan melewati lingkaran cahaya, Ka melihat sebagian
kepingan langsung jatuh ke tanah, sementara sebagian yang lain berkilir di udara
dan menghilang dalam kegelapan.
Berdiri di bawah teritis Studio Foto Istana Cahaya, di bawah pendar neon merah,
Ka mengamati sekeping salju yang mendarat di lengan mantelnya.
Angin bertiup; sesuatu bergerak. Saat cahaya neon merah Studio Foto Istana
Cahaya padam, pohon oleander di dekatnya seolaholah turut mati. Ka mengalihkan
tatapannya ke Teater Nasional dan melihat kerumunan orang di pintu masuknya; di
dekat mereka, terdapatlah sebuah minibus polisi. Lebih banyak lagi kerumunan
orang berkumpul di luar kedaikedai kopi di seberang Teater Nasional.
Saat Ka memasuki gedung teater, gelombang hiruk pikuk dan pergerakan penonton
membuatnya terkesan. Udara di tempat itu dipenuhi aroma alkohol, asap rokok, dan
napas manusia. Mereka semua berdiri berdempetan; di salah satu sudut aula
terdapat sebuah stan yang menjual teh, minuman ringan, dan roti wijen. Aroma
busuk mirip bau mayat menguar dari pintu toilet yang terbuka, dan Ka melihat
sekelompok pemuda saling berbisik di dekatnya. Di salah satu sisi aula, dia
melihat seorang polisi berseragam biru. Di sisi lain, dia melihat beberapa
petugas berpakaian preman sedang berkomunikasi melalui radio. Seorang bocah
menggenggam erat tangan ayahnya, memandang kacang goreng yang dijatuhkannya ke
dalam botol soda, sepenuhnya mengabaikan keributan di sekeliingnya.
Seseorang melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat dari lorong aula,
namun Ka tidak yakin apakah orang itu melambai kepadanya.
"Saya mengenali Bapak dari jauh sana hanya dengan melihat mantel Bapak."
Ketika melihat wajah Necip muncul dari dalam kerumunan, Ka merasakan hatinya
melambung. Mereka berpelukan hangat.
"Saya tahu Bapak akan datang," kata Necip. "Saya sangat senang melihat Bapak di
sini. Apakah Bapak keberatan kalau saya menanyakan sesuatu sekarang" Ada dua hal
yang sangat mendesak untuk dikeluarkan di kepala saya."
"Jadi, kaumau bertanya tentang satu atau dua hal?" "Bapak sangat cerdas, saking
cerdasnya, Bapak tahu bahwa kecerdasan bukanlah segalanya," kata Necip. Dia
mengajak Ka menepi ke sudut yang lebih tenang.
"Apakah Bapak memberi tahu Hicran, atau Kadife, bahwa saya jatuh cinta
kepadanya, juga bahwa dialah seluruh kehidupan saya?" "Tidak."
"Bapak meninggalkan kedai teh bersama dia. Apakah Bapak menyebut-nyebut tentang
saya?" "Aku mengatakan bahwa kau adalah siswa madrasah
aliah." "Lalu" Apakah dia mengatakan sesuatu?" "Tidak."
Setelah terdiam sejenak, dan dengan sedikit bersusah payah, Necip mengatakan,
"Saya tahu alasan sebenarnya Bapak tidak menyebut-nyebut tentang saya lagi." Dia
menelan ludah. "Karena Kadife empat tahun lebih tua daripada saya jadi dia
mungkin tak pernah memedulikan saya. Mungkin Bapak membicarakan masalah-masalah
pribadi dengannya. Mungkin bahkan masalah politik yang bersifat rahasia. Saya
tidak meminta Bapak bercerita. Hanya ada satu hal yang saya pikirkan, dan ini
sangat penting bagi saya. Jawaban Bapak akan memengaruhi keseluruhan hidup saya.
Bahkan kalaupun Kadife tidak memedulikan saya dan mungkin ini akan berlangsung
selama bertahuntahun, dan mungkin saat itu dia sudah menikah dengan orang lain
jawaban Bapak sekarang bisa menjadikan saya menghabiskan seluruh hidup saya
untuk mencintai dia, atau untuk melupakan dia sejak saat ini. Jadi, saya mohon,
jangan menunda-nunda, jawablah pertanyaan saya sekarang juga."
"Aku masih menebak-nebak apa pertanyaanmu," kata Ka dengan lugas. "Apakah Bapak
membicarakan hal remeh-temeh dengannya" Hal-hal seperti omong kosong dari
televisi, atau gosip-gosip murahan, atau pernak pernik yang bisa dibeli dengan uang. Bapak paham maksud saya" Apakah Kadife
jenis orang serius yang tidak punya waktu untuk hal remeh temeh, ataukah sia-sia
saja saya telah jatuh cinta kepadanya?"
"Tidak, kami tidak membicarakan hal remeh-temeh," jawab Ka. Di wajah remaja itu,
dia dapat melihat bukti nyata sebuah upaya luar biasa untuk mengembalikan
kekuatan. "Tapi, apakah menurut Bapak dia seorang yang luar biasa?" "Ya."
"Mungkinkah Bapak juga jatuh cinta kepadanya" Lagi pula, dia memang sangat
cantik. Dia cantik, dia mandiri lebih hebat dari semua wanita Turki yang pernah
saya lihat." "Kakaknya jauh lebih cantik," kata Ka. "Kalau memang kecantikan yang kita
bicarakan." "Memangnya sebenarnya kita sedang membicarakan apa?" tanya Necip. "Apakah yang
dikehendaki oleh Tuhan yang Mahabijaksana setelah membuat saya menghabiskan
waktu untuk memikirkan Kadife?" Dengan sikap kekanak-kanakan yang mengherankan
Ka, Necip membelalakkan mata hijaunya (salah satunya akan hancur dalam waktu
lima puluh satu menit). "Entahlah," kata Ka.
"Bapak tahu, hanya saja, Bapak tidak mau memberi tahu saya."
"Aku tidak tahu."
"Seorang penulis seharusnya bisa membicarakan semua hal yang penting," Necip
berusaha memancing. "Seandainya saya seorang penulis, saya akan membicarakan
semua hal yang tak bisa dibicarakan oleh orang lain.
Apakah bapak bisa membicarakan semua hal kepada saya, sekali ini saja?"
"Apa pertanyaanmu?"
"Ada satu hal yang kita semua inginkan selain kehidupan, satu hal utama, bukan?"
"Itu benar." "Jadi, bagaimana menurut Bapak?"
Ka tidak menjawab, hanya tersenyum.
"Bagi saya, ini sangat sederhana," kata Necip dengan penuh kebanggaan. "Saya
ingin menikahi Kadife, tinggal di Istanbul, dan menjadi Islamis penulis fiksi
ilmiah pertama di dunia. Saya tahu semua itu tidak mungkin terjadi, tapi saya
masih mencita-citakannya. Jika Bapak tidak mau mengatakan citacita Bapak kepada
saya, tidak apa-apa, karena saya memahami Bapak. Bapak adalah masa depan saya.
Dan, naluri saya juga berkata seperti ini: saat Bapak melihat saya, Bapak
melihat masa muda Bapak sendiri, dan karena itulah Bapak menyukai saya."
Senyuman senang penuh arti terbentuk di bibir Necip, membuat Ka merasa tidak
enak. "Jadi, kaupikir dirimu adalah aku dua puluh tahun yang lalu?"
"Ya. Akan ada adegan yang tepat seperti ini dalam novel fiksi ilmiah yang akan
saya tulis suatu hari nanti. Maaf, bolehkah saya memegang kening Bapak?"
Ka menyodorkan kepalanya. Dengan luwes, Necip menempelkan telapak tangannya ke
kening Ka. "Sekarang, saya akan mengatakan apa yang Bapak pikirkan dua puluh tahun yang
lalu." "Inikah yang kaulakukan dengan Fazyl?"
"Kami memikirkan hal yang sama pada waktu yang sama. Tapi, untuk Bapak dan saya,
ada perbedaan waktu. Sekarang, saya mohon, dengarkanlah saya: pada sua-tu hari
di musim dingin, saat Bapak masih bersekolah di SMP, salju turun, dan Bapak
tenggelam dalam pikiran Bapak sendiri. Bapak bisa mendengar Tuhan berbicara di
dalam tubuh Bapak, tapi Bapak berusaha melupakanNya. Bapak bisa melihat bahwa
dunia adalah sebuah kesatuan yang berdiri sendiri, namun Bapak berpikir, jika
Bapak menutup mata terhadap bayangan ini, Bapak bisa menjadi lebih tidak bahagia
dan juga lebih pintar. Dan, Bapak benar. Hanya orang-orang yang sangat pintar
dan sangat tidak bahagia bisa menulis puisi yang bagus. Jadi, secara heroik
Bapak memilih untuk menanggung derita menjadi seorang ateis, hanya supaya bisa
menulis puisi yang bagus. Tapi, Bapak tidak menyadari saat suara di dalam diri
Bapak menghilang, sehingga akhirnya Bapak sendirian di semesta yang hampa ini."
"Baiklah. Kau benar. Aku memang berpikir begitu," kata Ka. "Jadi, katakanlah,
inikah yang sedang kaupikirkan sekarang?"
"Saya tahu Bapak akan menanyakannya kepada saya," kata Necip, gelisah. "Tidakkah
Bapak ingin memercayai Tuhan" Bapak ingin, betul?" Tangan Necip yang begitu
dingin membuat Ka gemetar, namun pemuda itu segera menurunkannya. "Saya bisa
mengatakan lebih banyak lagi tentang hal ini. Ada suara lain di dalam diri saya
yang mengatakan, 'Jangan percaya pada Tuhan', karena jika kita terlalu
mengabdikan hati untuk memercayai bahwa sesuatu memang ada, kita tidak akan bisa
menghindari sekelumit kecurigaan, sebuah suara kecil yang mengatakan, 'Bagaimana
jika itu tidak ada"' Bapak memahami saya, bukan" Pada waktu-waktu seperti itu,
saat saya menyadari bahwa keyakinan saya kepada Tuhan saya
Yang Mahaindah memuaskan saya, kadangkadang saya menanyakan kepada diri saya
sendiri, sama seperti anak-anak yang membayangkan apa jadinya jika orangtua
mereka meninggal, Bagaimana jika Tuhan tidak ada, apakah yang akan terjadi" Pada
saat seperti itu, sebuah bayangan akan mendatangi saya: sebuah pemandangan.
Karena saya tahu bahwa pemandangan ini dibuat oleh kasih sayang Tuhan, saya
tidak merasa takut saat menikmatinya. Saya ingin melihatnya sebaik mungkin."
"Ceritakanlah kepadaku soal pemandangan ini."
"Apakah Bapak mau memasukkannya ke dalam puisi" Jika memang begitu, Bapak tidak
perlu menyebutkan nama saya. Saya hanya menginginkan satu hal saya sebagai
balasan." "Ya?" "Dalam enam bulan terakhir, saya sudah menulis tiga buah surat untuk Kadife.
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saya tidak berani mengirim satu pun surat itu sendiri. Bukan karena saya malu:
saya tidak mengirimnya karena saya tahu bahwa surat-surat itu akan dibuka dan
dibaca oleh orang lain di kantor pos, karena setengah penduduk Kars menjadi
antek polisi. Setengah penonton di aula ini juga begitu. Mereka menguntit kita
ke mana pun kita melangkah. Bahkan orang-orang kami sendiri pun begitu."
"Siapakah yang kaumaksud dengan 'orang-orang kami'?"
"Semua pemuda Islamis di Kars. Mereka sangat penasaran ingin mengetahui apa yang
akan saya katakan kepada Bapak. Mereka datang ke sini untuk membuat masalah,
karena mereka tahu bahwa pihak miiter dan sekularis akan menjadikan malam ini
sebagai ajang demonstrasi besar-besaran. Mereka akan mementaskan sebuah drama
lama yang sering kami dengar ceritanya Jilbab. Dan, kami dengar, mereka akan
memakainya untuk menghina para gadis berjilbab. Sejujurnya, saya tidak tahan
dengan politik, tapi saya tidak bisa menyalahkan teman-teman saya yang marah
besar karena hal ini. Mereka juga mencurigai saya, sebenarnya, karena saya tidak
semarah mereka. Saya tidak bisa memberikan surat-surat saya kepada Bapak. Maksud
saya, tidak bisa sekarang, karena semua orang akan melihat. Saya ingin Bapak
memberikannya secara langsung kepada Kadife."
"Tidak ada seorang pun yang melihat kita sekarang ini. Cepat, berikanlah padaku,
dan setelah itu kau bisa menceritakan pemandangan yang kaulihat itu."
"Surat-surat itu ada di sini, tapi bukan saya yang membawanya. Saya takut polisi
akan menggeledah saya di pintu masuk. Teman-teman saya sendiri mungkin juga akan
menggeledah saya. Jika Bapak memasuki pintu yang ada di dekat panggung itu,
Bapak akan melihat sebuah biik toilet di ujung koridor temuilah saya di sana
tepat dua puluh menit lagi."
"Apa kau akan menceritakan tentang pemandangan itu di sana?"
"Salah satu dari mereka mendekati kita sekarang," kata Necip, memandang ke arah
lain. "Saya mengenal dia. Jangan melihat ke arahnya, bertingkahlah seolaholah
kita sedang mengobrol biasa dan santai."
"Baiklah." "Semua orang di Kars sangat penasaran ingin mengetahui alasan Bapak datang ke
sini. Mereka mengira Bapak sedang menjalankan sebuah misi rahasia dari
pemerintah atau dikirim oleh pihak Barat. Teman-teman saya menyuruh saya
menanyakan apakah rumor itu memang
benar. Jadi, benarkah?" "Tidak, itu salah."
"Apakah yang sebaiknya saya katakan kepada mereka" Apakah alasan Bapak datang ke
sini?" "Entahlah."
"Bapak pasti tahu, tapi sekali lagi Bapak terlalu malu untuk mengakuinya." Necip
terdiam sebelum meneruskan. "Bapak datang ke sini karena Bapak tidak bahagia."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Dari mata Bapak: saya belum pernah melihat seseorang sebegitu tidak bahagianya
.... Saya sendiri juga sedang tidak bahagia saat ini; tapi setidaknya saya masih
muda. Ketidakbahagiaan memberikan kekuatan untuk saya. Pada umur saya sekarang
ini, lebih baik jika saya tidak bahagia daripada bahagia. Yang bisa merasakan
kebahagiaan di Kars hanyalah orang idiot dan penjahat. Tapi, saat saya seusia
Bapak, saya ingin kehidupan saya diingkupi kebahagiaan."
"Ketidakbahagiaanku melindungiku dari kehidupan,1 kata Ka. "Jangan cemaskan
aku.1 "Bapak baik sekali. Bapak tidak marah kepada saya karena apa yang saya katakan,
bukan" Ada kebaikan yang tersirat di wajah Bapak yang membuat saya merasa bisa
mengatakan apa pun yang ada di kepala saya kepada Bapak, sebodoh apa pun pikiran
saya itu. Jika saya mengatakan hal-hal seperti ini kepada teman-teman saya,
mereka akan mengejek saya tanpa ampun.1 "Bahkan Fazyl"1
"Fazyl berbeda. Jika seseorang melakukan sesuatu yang buruk kepada saya, dia
akan mengejar mereka dan dia selalu tahu apa yang saya pikirkan. Sekarang,
katakanlah sesuatu seseorang sedang mengamati kita.1
"Siapa yang sedang mengamati kita"1 tanya Ka. Dia memandang kerumunan orang di
belakang deretan stan: seorang pria berwajah lebar, dua orang pemuda berjerawat,
beberapa orang remaja beralis tebal yang memakai baju compang-camping. Mereka
semua menghadap ke panggung, dan beberapa di antaranya menggoyang-goyangkan
badan seperti pemabuk. "Sepertinya bukan aku saja yang terlalu banyak minum malam ini,1 gumam Ka.
"Mereka minum karena merasa tidak bahagia,1 kata Necip. "Tapi, Bapak memabukkan
diri supaya bisa menahan kebahagiaan tersembunyi yang sedang membuncah di dalam
diri Bapak.1 Sambil mengucapkan katakata itu, Necip menghilang ke dalam kerumunan penonton.
Ka tidak yakin apakah dia mendengar dengan benar. Tetapi, meskipun keadaan di
sekelilingnya begitu riuh rendah, pikirannya tetap tenang; dia merasa santai,
seolaholah sedang mendengarkan musik kesukaannya. Seseorang melambai kepadanya,
menunjukkan beberapa kursi kosong yang disediakan untuk 'artis yang akan
tampil'. Seseorang dari kelompok teater penata panggung yang sopan namun agak
menyeramkan menunjukkan tempat duduk Ka.
Bertahuntahun kemudian, dalam sebuah video yang kutemukan di arsip Kars Border
Television, aku dapat melihat apa yang dilihat Ka di atas panggung ketika itu,
yaitu sebuah parodi iklan bank yang sangat terkenal. Tetapi, Ka sudah
bertahuntahun tidak menonton televisi Turki, sehingga dia tidak tahu apakah
lawakan yang ditampilkan di atas panggung tersebut sebuah parodi atau hanya
imitasi belaka. Meskipun begitu, dia dapat melihat bahwa pria yang pergi ke bank
untuk menabung berusaha tampil sangat mencolok untuk mengolok-olok orang Barat. Ketika menampilkan
pertunjukan ini di kota-kota yang lebih kecil dan terpencil daripada Kars, di
kedaikedai teh yang tidak pernah dikunjungi wanita ataupun petugas pemerintah,
kelompok teater Brechtian dan Bachtinian miik Sunay Zaim menjadikan adegan ini
semakin kasar, dengan si aktor pembawa buku tabungan memerankan tokoh ratu gila
yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Adegan selanjutnya menampilkan seorang
pria berkumis melengkung, yang menyamar menjadi wanita, menuangkan sampo dan
kondisioner Kelidor ke rambutnya, dan setelah memerhatikan lebih cermat, Ka
menyadari bahwa aktor itu adalah Sunay Zaim sendiri. Sama seperti yang
dilakukannya di kedaikedai teh pedalaman, saat dia memutuskan untuk membagikan
hiburan dengan semangat 'katarsis an-tikapitalis' kepada para penonton yang
semuanya pria miskin dan pemarah, dia menghibur para penontonnya malam ini
dengan serangkaian komedi nakal, seperti ketika dia berpura-pura memasukkan
botol sampo Kelidor yang panjang ke belahan pantatnya. Setelah itu, istri Sunay,
Funda Eser, menampilkan parodi dari iklan sosis yang banyak digemari masyarakat.
Sambil memainkan untaian sosis di tangannya dengan gaya mesum, dia bertanya,
"Ini kuda atau keledai?" lalu berlari turun panggung sebelum melanjutkan
leluconnya lagi. Si penjaga gawang terkenal dari tahun tujuh puluhan akhirnya kembali naik ke
panggung untuk melanjutkan ceritanya tentang pertandingan menyedihkan di
Istanbul, ketika Inggris menyarangkan sebelas gol ke gawangnya, juga menjelaskan
secara mendetail tentang berbagai macam kejadian menarik yang pernah dialaminya
selama menjadi pemain sepak bola dan kisah cintanya dengan
beberapa bintang film terkenal pada masa kejayaannya. Cerita-ceritanya
memberikan sumber kenikmatan masok-histik kepada para penonton, yang bisa
tersenyum atas penderitaan Turki. []
Tempat di Mana Tuhan Tiada
Necip Menjelaskan Pemandangannya dan Ka Membacakan Puisinya
DUA PULUH menit kemudian, Ka melewati koridor yang dingin menuju kamar kecil
pria, tempat Necip berdiri di antara para pria yang menghadap ke toilet. Selama
beberapa waktu, mereka berdiri berdua di ujung antrian di depan sebuah bilik
yang terkunci, bersikap seolaholah tidak saling mengenal. Ka menggunakan
kesempatan ini untuk mengagumi langit-langit tinggi yang terbuat dari gips:
rangkaian bunga mawar dan daun-daunan.
Ketika giiran mereka tiba, mereka memasuki bilik yang sama. Ka melihat seorang
pria ompong memerhatikan mereka. Setelah mengunci pintu dari dalam, Necip
berkata, "Mereka tidak melihat kita.1 Secara sekilas, dia memberikan pelukan
hangat kepada Ka. Mengangkat tubuh ke bagian atas dinding bilik, Necip menggapai
dan mengeluarkan beberapa pucuk amplop dari atas tangki penampungan air. Setelah
turun kembali, dia meniup debu yang menempel di amplop.
"Saat Bapak memberikan surat-surat ini untuk Kadife, saya ingin Bapak mengatakan
satu hal saja,1 katanya. "Saya sudah berpikir sangat panjang sebelum mengambil tindakan ini. Mulai saat
dia membaca surat-surat ini, saya tidak boleh lagi berharap ataupun beranganangan untuk melakukan apa pun bersamanya sepanjang hidup saya. Saya ingin Bapak
mengatakan hal itu kepadanya jelaskanlah kepadanya, sehingga dia paham betul apa
maksud saya." "Jika dia akan mengetahui bahwa kau jatuh cinta kepadanya dan pada saat yang
sama mendapati bahwa kau tidak punya harapan, untuk apa memberi tahu dia?"
"Tidak seperti Bapak, saya tidak gentar dengan hasrat saya sendiri," kata Necip.
Khawatir ucapannya membuat Ka marah, dia lekas-lekas menambahkan, "Hanya suratsurat inilah yang saya pikirkan: saya tak bisa hidup tanpa dimabuk cinta dengan
seseorang, atau sesuatu, yang indah. Sekarang, saya harus menemukan cinta dan
kebahagiaan di tempat lain. Tapi, pertama-tama, saya harus mengeluarkan Kadife
dari kepala saya. Haruskah saya memberitahukan kepada Bapak siapa yang saya
rencanakan untuk dicintai setelah Kadife?" Necip menyerahkan surat-suratnya
kepada Ka. "Siapa?" tanya Ka sambil menyimpan surat-surat itu di saku mantelnya.
"Tuhan." "Ceritakanlah padaku soal pemandangan yang kaulihat."
"Sebelumnya, buka dulu jendelanya! Baunya menyengat sekali di sini."
Ka menarik gerendel jendela kuat-kuat hingga terbuka. Selama sesaat, mereka
berdiri diam di sana, seolaholah sedang menyaksikan sebuah mukjizat, memandang
kepingankepingan salju yang tanpa henti berjatuhan di kegelapan malam.
"Betapa indahnya alam semesta ini!" bisik Necip.
"Apakah menurutmu bagian terindah dalam kehidupan ini?" tanya Ka.
"Semuanya!" jawab Necip setelah terdiam sejenak, seolaholah menimbang-nimbang
untuk membocorkan sebuah rahasia.
"Tapi, bukankah kehidupan membuat kita tidak bahagia?"
"Kitalah yang melakukannya pada diri kita sendiri. Ketidakbahagiaan kita tidak
ada hubungannya dengan alam semesta ataupun Penciptanya."
"Ceritakanlah padaku soal pemandangan itu." "Pertama-tama, peganglah kening saya
dengan tangan Bapak dan katakanlah tentang masa depan saya," kata Necip. Matanya
terbuka lebar (salah satunya akan hancur lebur dua puluh menit kemudian, bersama
seluruh otaknya). "Saya ingin menjalani kehidupan yang panjang dan bermakna, dan
saya tahu bahwa banyak hal indah akan terjadi pada saya. Tapi, saya tidak
mengetahui apa yang akan saya pikirkan dua puluh tahun lagi, dan itulah yang
membuat saya penasaran."
Ka menempelkan telapak tangannya ke kening mulus Necip. "Oh, Tuhan!" Dengan
bercanda, Ka menarik tangannya, seolaholah baru saja menyentuh sesuatu yang
panas membara. "Ada banyak sekali kesibukan di sana."
"Katakanlah." "Dalam waktu dua puluh tahun dengan kata lain, saat kau berumur 37 tahun kau
akan memahami bahwa pada akhirnya, segala kejahatan di dunia, maksudku
kemiskinan dan kesengsaraan orang miskin, juga kelicikan dan kemewahan orang
kaya, dan seluruh keburukan di dunia ini, dan seluruh kekerasan dan seluruh
kebrutalan maksudku, semua hal yang membuatmu merasa bersalah dan memikirkan tentang bunuh
diri saat umurmu 37 tahun, kau akan tahu bahwa semua itu adalah hasil dari
kesamaan pikiran semua orang," kata Ka. "Oleh karena itu, sama seperti begitu
banyak orang di sini uang melakukan hal-hal bodoh dan meninggal secara 'layak1,
kau akan menemukan bahwa kau bisa menjadi orang baik meskipun berpenampilan
kejam dan tak tahu malu. Tapi, kautahu bahwa konsekuensinya akan sangat buruk,
karena yang dirasakan oleh tanganku yang gemetar adalah" "Apa?"
"Kau sangat cerdas dan bahkan pada umurmu sekarang ini, kau memahami
perkataanku. Dan, karena itulah aku ingin memberitahuku terlebih dahulu."
"Memberi tahu tentang apa?"
"Alasan mengapa kau merasa sangat bersalah akibat penderitaan orang miskin. Aku
tahu bahwa kau tahu apa itu, tapi kau tetap harus mengatakannya."
"Bapak tidak sedang mengatakan semoga tidak bahwa saya tidak akan lagi percaya
kepada Tuhan, bukan?" tanya Necip. "Jika itu maksud Bapak, lebih baik saya mati
saja." "Itu tidak akan terjadi dalam semalam, sama seperti yang terjadi pada si kepala
sekolah malang di dalam lift! Itu akan terjadi perlahan-lahan sehingga kau
bahkan tidak akan menyadarinya. Dan, karena kau akan sekarat perlahan-lahan,
setelah begitu lama berada di dunia ini, kau akan menjadi seperti pemabuk yang
menyadari dirinya mati setelah terlalu banyak minum raki." "Seperti itukah diri
Bapak?" Ka menarik tangannya dari kening Necip. "Tidak, aku justru kebalikannya. Aku
tentunya telah mulai memercayai
Tuhan sejak bertahuntahun yang lalu. Kejadiannya begitu perlahan sehingga aku
baru menyadarinya setelah berada di Kars. Karena itulah aku merasa sangat
bahagia di sini, dan karena itulah aku bisa menulis puisi lagi."
"Bapak memang kelihatan sangat bahagia di sini, dan juga sangat bijaksana," kata
Necip, "karena itulah saya memikirkan apakah Bapak bisa menjawab pertanyaan ini.
Bisakah manusia mengetahui masa depan" Dan, kalaupun manusia bisa melakukannya,
bisakah dia mendapatkan kedamaian dengan meyakinkan dirinya bahwa dia mengetahui
masa depannya sendiri" Ini sempurna sekali untuk novel fiksi ilmiah pertama
saya." "Beberapa orang mengetahui masa depan," kata Ka. "Sebut saja Serdar Bey, pemiik
Border City Gazette. Dia sudah mencetak berita tentang malam ini sejak tadi
siang. Ka mengambil koran yang dimaksudnya dari saku mantelnya dan mereka
membaca bersama-sama: "... pementasan malam itu disambut oleh gegap gempita
sambutan penonton." "Inilah yang mungkin mereka maksudkan dengan kebahagiaan," kata Necip. "Kita
bisa menjadi penyair bagi kehidupan kita sendiri jika kita dapat menulis tentang
apa yang akan terjadi, lalu selanjutnya kita akan menikmati hal-hal indah yang
sudah kita tulis. Di koran ini dikatakan bahwa Bapak akan membacakan puisi
terbaru Bapak. Yang manakah itu?"
Seseorang mengetuk pintu bilik. Ka cepat-cepat meminta Necip menceritakan
kepadanya tentang 'pemandangan itu'.
"Saya akan menceritakannya kepada Bapak sekarang," kata Necip. "Tapi, Bapak
harus berjanji tidak akan mengatakannya kepada siapa pun. Mereka tidak suka
melihat saya berteman dengan Bapak."
"Aku tidak akan mengatakannya pada siapa pun," kata Ka. "Ceritakanlah apa yang
kaulihat." "Saya teramat sangat mencintai Tuhan," ujar Necip dengan suara gemetar.
"Kadangkadang, saat saya menanyakan kepada diri saya sendiri tentang apa yang
akan terjadi jika ampunilah aku, Tuhan Tuhan tidak ada kadangkadang saya ?melakukannya tanpa sengaja pemandangan yang mengerikan tampil di hadapan saya."
"Ya?" "Saya melihat pemandangan ini pada malam hari, dalam kegelapan, melalui sebuah
jendela. Di luar, ada dua bentuk tembok putih, menjulang setinggi dinding sebuah
kastel. Bagaikan dua buah kastel yang saling berpunggu-ngan! Hanya ada jalan
sempit yang menghubungkan keduanya, membentang hingga kejauhan bagaikan seruas
jalan, dan saat saya menatap ke jalan ini, saya merasa sangat takut. Jalan di
mana Tuhan tiada bersalju dan berlumpur seperti jalanan di Kars, namun berwarna
ungu! Ada sesuatu di tengah jalan yang mengatakan kepada saya, 'Berhenti!1 tapi
saya masih tak mampu mengalihkan pandangan dari ujung jalan itu, ke tempat di
mana dunia berakhir. Tepat di ujung dunia ini, saya melihat sebatang pohon,
sebatang pohon terakhir yang gundul meranggas. Lalu, karena saya memandangnya,
pohon itu tiba-tiba menjadi merah padam dan terbakar api. Pada titik inilah saya
mulai merasa sangat bersalah karena sangat penasaran terhadap tempat di mana
Tuhan tiada. Maka, sama mendadaknya, pohon merah itu menghitam. Jadi, saya
memperingatkan diri saya sendiri untuk tidak memandangnya lagi, namun kemudian
saya tidak tahan; saya melihatnya lagi, dan pohon di ujung dunia itu sekali lagi
terbakar. Ini terus-menerus terjadi hingga pagi tiba."
"Ada apakah di sana yang membuatmu sangat ketakutan?"
"Mau tidak mau, saya berpikir bahwa Iblislah yang membuat saya berpikir bahwa
pemandangan seperti itu adalah perwujudan dari dunia ini. Tapi, jika saya bisa
membuat sesuatu di depan mata saya tiba-tiba hidup, sumbernya tentu khayalan
saya sendiri. Karena, jika memang tempat seperti itu ada di bumi ini, maka itu
berarti Tuhan ampunilah saya tidak ada. Dan, karena ini tidak mungkin benar,
satu-satunya penjelasan adalah bahwa saya sendiri tidak memercayai Tuhan. Dan
itu lebih buruk daripada kematian."
"Aku paham," ujar Ka.
"Saya pernah melihat di ensiklopedia, dan di situ dijelaskan bahwa kata 'ateis'
berasal dari bahasa Yunani, athos. Tapi, kata itu tidak mengacu pada orang-orang
yang tidak memercayai Tuhan: kata itu mengacu pada orang-orang kesepian, orangorang yang diabaikan oleh para dewa. Maka, ini membuktikan bahwa manusia tak
pernah bisa benar-benar menjadi ateis. Karena, kalaupun kita ingin diabaikan
olehNya, Tuhan tidak akan mengabaikan kita di sini. Oleh karena itu, untuk
menjadi seorang ateis, kita harus menjadi seorang Barat terlebih dahulu."
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku lebih suka menjadi orang Barat yang beriman," kata Ka.
"Seseorang bisa saja pergi ke kedai kopi setiap malam, tertawa-tawa dan bermain
kartu dengan teman-temannya, bersenang-senang sebegitu rupa dengan teman
sekelasnya hingga mereka tak henti-hentinya tertawa. Seseorang bisa saja
menghabiskan setiap jam dalam sehari untuk mengobrol dengan sahabatnya, tapi
jika dia mengabaikan Tuhan, dia masih akan menjadi orang paling kesepian di muka
bumi ini." "Menemukan cinta sejati mungkin dapat memberikan ketenangan," ujar Ka.
"Namun gadis itu juga harus mencintai kita sebesar kita mencintainya.1
Sekali lagi, ketukan terdengar di pintu, dan Necip memeluk Ka, lalu mencium
kedua pipinya seperti seorang bocah sebelum keluar dari bilik. Melihat pria yang
mengantri telah masuk ke biik lain, Ka kembali mengunci pintu, menyalakan
sebatang rokok, dan menyaksikan salju dengan segala keajaibannya jatuh di luar.
Dia memikirkan ihwal pemandangan yang diceritakan Necip dia dapat mengingat
setiap deskripsinya kata demi kata, seolaholah cerita Necip adalah sebuah puisi
dan, jika tidak ada seorang pria dari Porlock yang muncul, dia akan, sekarang
dia merasa yakin, segera menulis puisi itu di dalam buku catatannya.
Pria dari Porlock! Selama tahuntahun terakhir kami bersekolah, saat aku dan Ka
sering begadang untuk membicarakan sastra, ini adalah salah satu topik kesukaan
kami. Siapa pun yang punya pengetahuan tentang puisi Inggris akan mengingat
catatan di bagian awal puisi "Kub-la Khan1 karya Coleridge. Catatan itu
menjelaskan bahwa karya tersebut adalah "potongan dari sebuah puisi, dari
gambaran dalam sebuah mimpi1, bahwa si penyair jatuh tertidur setelah minum obat
untuk penyakitnya (sebenarnya, dia menenggak opium untuk bersenang-senang), dan
bahwa dia melihat, dalam tidur ternyenyaknya, kalimat-kalimat dari buku yang
baru saja dibacanya tepat sebelum dia terlelap, kecuali bahwa sekarang setiap
kalimat dan setiap objek seolaholah menjadi nyata dalam mimpinya dan berubah menjadi sebuah
puisi. Bayangkanlah, sebuah puisi yang luar biasa indah menciptakan dirinya
sendiri, tanpa adanya upaya mental dari si penyair! Yang lebih luar biasa lagi,
ketika Coleridge terjaga, dia dapat mengingat puisi indah itu kata demi kata.
Dia mengeluarkan pena, tinta, dan kertasnya, dan dengan cermat menulisnya, baris
demi baris, seolaholah seseorang mendiktekan setiap kata kepadanya. Dia sedang
menulis baris terakhir puisi yang kita kenal itu ketika terdengar ketukan di
pintunya. Dia berdiri untuk membuka pintu dan mendapati seorang pria dari kota
tetangga bernama Porlock datang untuk menagih utang. Segera setelah
menyelesaikan urusan dengan pria itu, Coleridge bergegas kembali ke mejanya,
namun dia telah melupakan seluruh puisinya, kecuali sebagian katakata umum yang
diingatnya secara samar-samar.
Karena tidak ada seorang pun dari Porlock datang dan membuyarkan konsentrasinya,
Ka masih mengingat puisinya dengan jelas saat namanya di panggil ke panggung.
Dia lebih jangkung daripada siapa pun yang ada di sana. Dia juga tampak mencolok
karena mantel Jerman kelabu gelapnya.
Penonton yang tadinya bersorak sorai sontak terdiam. Beberapa di antara mereka
anak-anak sekolah yang bengal, para pengangguran, para Islamis pengunjuk rasa
terdiam karena mereka tidak yakin lagi harus menertawakan atau keberatan
terhadap apa. Orang-orang sangat penting yang duduk di deretan depan, para
petugas yang selama seharian itu membuntuti Ka, deputi gubernur, asisten kepala
polisi, dan para guru, semuanya mengetahui bahwa dia seorang penyair. Si pembawa
acara yang jangkung dan kerempeng sepertinya merasa gugup menghadapi keheningan. Maka, dia
menanyakan kepada Ka satu-satunya pertanyaan yang muncul di benaknya. "Jadi,
Anda penyair," katanya. "Anda menulis puisi. Apakah menulis puisi pekerjaan yang
sulit?" Saat wawancara aneh ini berakhir (dan setiap kali menyaksikan
rekamannya, aku berharap dapat melupakannya), penonton tetap tidak tahu apakah
Ka merasa kesulitan menulis puisi, tapi mereka tahu bahwa dia baru saja tiba
dari Jerman. "Bagaimana pendapat Anda tentang kota kami yang indah ini"1 tanya si pembawa
acara. Setelah terdiam sejenak, Ka mengatakan, "Sangat indah, sangat miskin, dan sangat
sedih.1 Di deretan belakang, dua orang murid madrasah aliah tergelak. Seseorang lain
berseru, "Jiwamu sendiri yang miskin!1 Terpancing keberaniannya oleh seruan ini,
enam atau tujuh orang lain berdiri dan mulai mengumpat-umpat. Beberapa orang
mengumpat Ka, dan entah apa yang dikatakan oleh yang lain. Lama setelah
peristiwa ini terjadi, dalam kunjunganku sendiri ke Kars, Turgut Bey
memberitahuku bahwa Hande mulai menangis ketika mendengar perkataan Ka di
televisi. "Di Jerman, Anda menjadi wakil bagi sastra Turki kata si pembawa acava, berusaha
menguasai keadaan. "Kenapa tidak kausuruh dia mengatakan alasannya datang ke sini"1 seru seseorang.
"Saya datang ke sini karena saya teramat sangat tidak bahagia,1 kata Ka. "Saya
jauh lebih bahagia di sini. Dengarlah, saya mohon, saya akan membacakan puisi
saya sekarang.1 Selama sesaat, para penonton kebingungan. Lalu, sorak sorai tidak lagi
terdengar, dan Ka mulai berbicara.
Baru bertahuntahun kemudian, saat rekaman video acara malam itu sampai di
tanganku, aku dapat melihat penampilan temanku. Itulah pertama kalinya aku
melihatnya membacakan puisi di hadapan penonton berjumlah besar. Dia melangkah
ke depan perlahan-lahan, dalam diam, seperti seseorang yang sedang berpikir
keras, namun tidak sedikit pun terlihat adanya kepura-puraan dalam sikapnya.
Selain saat satu atau dua kali terdiam, tidak yakin akan apa yang selanjutnya
terjadi, Ka membacakan puisinya dari awal hingga akhir tanpa sedikit pun
masalah. Saat Necip menyadari bahwa penggambaran Ka mengenai "tempat di mana Tuhan tiada"
mirip kata demi kata dengan penggambarannya sendiri dalam "pemandangannya", dia
berdiri, namun dia tidak membuyarkan konsentrasi Ka yang sedang menggambarkan
tentang hujan salju. Beberapa orang bertepuk tangan. Seseorang di baris belakang
berdiri dan mengumpat, dan beberapa orang yang lain mengikuti jejaknya. Sulit
untuk mengetahui apakah mereka menanggapi puisi Ka atau hanya merasa bosan.
Kecuali jika pemunculan singkatnya sesaat kemudian diperhitungkan dalam bentuk
siluetnya di tirai hijau inilah terakhir kalinya aku melihat pria yang telah
berteman denganku selama dua puluh tujuh tahun itu. []
Tanah Airku atau Jilbabku
Sebuah Sandiwara tentang Seorang Gadis yang Membakar Jilbabnya
SETELAH KA selesai membacakan puisinya, si pembawa acara membungkukkan badan
dengan sikap hormat yang dilebih-lebihkan dan, menekankan setiap katanya,
mengumumkan pementasan utama malam itu: "Tanah Airku atau Jilbabku".
Dari deretan tengah dan belakang, tempat duduk para pemuda dari madrasah aliah,
terdengarlah beberapa teriakan protes, satu atau dua siulan, dan cukup banyak
cemoohan. Dua orang pejabat pemerintah yang duduk di baris depan bertepuk tangan
senang. Para penonton lain di aula yang penuh sesak itu menanti apa yang akan
terjadi selanjutnya; rasa penasaran mereka diimbangi oleh kekaguman yang cukup
besar. "Sketsa-sketsa ringan" yang ditampilkan kelompok teater sebelumnya Funda
Eser yang tanpa kenal malu memarodikan berbagai iklan terkenal, tahan perutnya
yang tidak pada tempatnya, perannya bersama Sunay Zaim sebagai perdana menteri
uzur dan suaminya yang korup membuat semua orang terpingkal-pingkal, bahkan
diterima dengan cukup baik oleh para pejabat di deretan depan.
Sebagian besar penonton juga menikmati pertunjukan selanjutnya, meskipun mereka
kesal mendengar ejekan dan sorak sorai tanpa akhir dari para murid madrasah
aliah. Sering kali, katakata yang diucapkan di panggung tidak terdengar sama
sekali. Tetapi, sandiwara sangat kuno, bahkan primitif, yang berlangsung selama
dua puluh menit ini memiiki struktur yang begitu dramatis sehingga penderita
bisu tuli pun tidak akan kesulitan mengikutinya.
1. Seorang wanita berjilbab hitam legam sedang menyu suri jalan; dia berbicara
kepada dirinya sendiri dan berpikir. Sesuatu mengganggu pikirannya.
2. Wanita itu mencopot jilbabnya dan memproklamasikan kemerdekaannya. Sekarang,
dia bahagia dan tidak berjilbab.
3. Keluarga, tunangan, kerabat, dan beberapa muslim berjanggut merasa keberatan
dengan kemerdekaan wanita itu sehingga menuntutnya untuk memakai kembali
jilbabnya. Kemudian, akibat amarah yang menggelegak, wanita itu membakar
jilbabnya. 4. Orang-orang dari golongan fanatik berjanggut rapi yang selalu mengurut tasbih
berang melihat pameran kemerdekaan ini, marah besar, namun tepat ketika mereka
menyeret rambut si wanita untuk membunuhnya ...
5. Seorang prajurit muda pemberani dari pasukan republik menghambur ke panggung
untuk menyelamatkannya. Sejak pertengahan tahun tiga puluhan hingga tahuntahun awal Perang Dunia Kedua,
saat masih dikenal dengan judul Tanah Airku atau Syaiku, drama pendek ini sering
dipentaskan di sekolah-sekolah menengah dan balai-balai kota di penjuru Anatolia
sehingga menjadi populer, terutama ketika pemerintah yang sedang menggalakkan gerakan
westernisasi bersemangat untuk membebaskan wanita dari jilbab dan berbagai
bentuk pengekangan keagamaan lainnya. Tetapi, setelah tahun lima puluhan, ketika
patriotisme yang sedang meledak-ledak pada periode Kemal memberikan celah untuk
hal-hal yang lebih ringan, sandiwara itu terlupakan. Bertahuntahun kemudian,
saat aku menemuinya di studio suara, Funda Eser, yang berperan sebagai si wanita
di Kars pada malam itu, menceritakan kepadaku perihal kebanggaan besarnya saat
membawakan peran yang juga pernah dibawakan ibunya di Lycee Kutanya pada 1948.
Juga tentang kekecewaannya bahwa peristiwa yang menyusul pementasannya, yang
mencegahnya mendapatkan kepuasan seperti yang didapatkan ibunya. Setelah
mewawancarai beberapa saksi mata lainnya dari peristiwa malam itu, aku bisa
memaparkan beberapa detailnya sebagai berikut:
Sebagian besar penduduk setempat yang menonton di Teater Nasional dibuat syok
dan kebingungan oleh adegan pertama. Saat mendengar bahwa sandiwara itu berjudul
Tanah Airku dan Jilbabku, mereka mengira ceritanya akan menyinggung masalah
politik kontemporer, tetapi, selain satu atau dua orang lansia yang masih
mengingat cerita asli drama itu, tidak seorang pun menyangka akan benar-benar
melihat seorang wanita berjilbab di atas panggung. Maka, ketika Funda Eser
tampil, para penonton mengira jilbab yang dipakainya sebagai lambang terhormat
dari Islam politis. Dan, saat menyaksikan wanita berjilbab misterius ini
berjalan mondar-mandir di atas panggung, mereka tidak segera menyadari bahwa dia
sedang berakting sedih: sebagian penonton melihatnya sebagai wanita sombong,
bahkan arogan. Bahkan, para pejabat daerah yang terkenal karena pandangan
"radikal" mereka tentang busana muslim menghormati wanita ini. Maka, ketika
salah seorang siswa madrasah aliah yang awas menebak siapa yang bersembunyi di
balik jilbab itu, gelak tawanya langsung disambut oleh kejengkelan para penonton
di deretan depan. Dalam adegan kedua, ketika si wanita dengan penuh gaya menyatakan
kemerdekaannya, melontarkan dirinya menuju pencerahan sambil mencopot jilbabnya,
awalnya para penonton merasa ketakutan. Bahkan, bisa dikatakan, sekularis paling
kebarat-baratan di aula itu pun merasa khawatir melihat mimpi mereka menjadi
kenyataan. Ke-gentaran para sekularis terhadap Islamis politis begitu besar.
Mereka telah sejak lama menerima kenyataan bahwa kota mereka akan tetap menjadi
seperti itu. Meskipun aku mengatakan "mimpi", sesungguhnya dalam tidur sekalipun
mereka dapat membayangkan negara akan memaksa wanita mencopot jilbab seperti
yang telah terjadi pada tahuntahun awal berdirinya republik. Mereka telah
mempersiapkan diri untuk hidup berdampingan, "sepanjang para Islamis tidak
menggunakan cara intimidasi untuk memaksa wanita yang berpandangan kebaratbaratan turut memakai jilbab, seperti yang terjadi di Iran".
"Tetapi, masalah sesungguhnya adalah ini: semua Kemalis sekuler garang yang duduk di baris depan sama sekali bukan
Kemalis sejati mereka pengecut!" kata Turgut Bey kepada Ka setelah semuanya
berakhir. Bukan hanya para ekstremis agama yang keberatan terhadap wanita
berjilbab yang mencopot penutup kepalanya; semua orang lain di gedung
pertunjukan itu cemas sandiwara tersebut akan memicu kemarahan para pria
pengangguran yang menontonnya, belum termasuk para pemuda yang
berkumpul di bagian belakang aula. Dan, ketika salah seorang pria di baris depan
berdiri untuk memberikan tepuk tangan kepada Funda Eser yang secara anggun
mencopot jilbabnya, sejumlah pemuda di baris belakang menyoraki guru malang ini
dengan liar. Meskipun sebenarnya, menurut beberapa saksi mata, si guru tidak
sedang membuat pernyataan politik tentang kewanitaan modern, tetapi hanya
menyuarakan kekaguman pada lengan montok dan leher Funda yang terkenal indah.
Para republiken di garis depan juga tidak terlalu senang dengan adegan
pencopotan jilbab itu. Menyangka akan melihat seorang gadis dusun berkacamata
yang lugu dan berwajah ceria bak anak sekolah di balik jilbab tertutup itu,
mereka sangat kecewa ketika Funda Eser si penari perutlah yang akhirnya tampak.
Apakah ini menunjukkan bahwa hanya pelacur dan orang tolol yang membuka jilbab
mereka" Jika memang begitu, keadaan ini tepat sekali dengan pernyataan yang
selalu dikoar-koarkan oleh para Islamis. Teriakan si deputi gubernur terdengar,
"Ini ngawur sangat ngawur." Meskipun sejumlah penonton lain turut meneriakkan
hal yang sama mungkin hanya untuk meramaikan suasana Funda Eser tetap
melanjutkan aktingnya. Tetap saja, sebagian penonton di baris depan, meskipun
marah besar, masih melanjutkan menonton saat gadis republiken sekuler yang baru
saja mendapatkan pencerahan ini menyerukan kemerdekaan yang mereka semua
harapkan, dan, meskipun beberapa protes terus dilayangkan oleh para murid
madrasah aliah, tidak seorang pun merasa terintimidasi. Tentu saja, sang deputi
gubernur, yang dikawal di kanan-kirinya oleh para pejabat lain, tidak sedikit
pun gentar melihat tingkah konyol beberapa anak sekolahan yang masih hijau itu.
Di antara pengikut gubernur adalah Kasim Bey, asisten kepala polisi pemberani, yang pada masa
kejayaannya menyulitkan kehidupan PKK; sejumlah tentara berpakaian preman,
beserta istri mereka; manajer kantor cabang Dinas Persenjataan, disertai
istrinya, dua orang putrinya, empat orang putranya yang berjas dan berdasi, dan
tiga orang keponakannya; juga direktur kebudayaan kota itu, yang memiiki
pekerjaan utama menyita kaset-kaset musik Kurdi dan mengirimnya ke Ankara. Bisa
dikatakan, semua orang menaruh kepercayaan kepada para petugas berpakaian preman
yang tersebar di seluruh aula, petugas berseragam yang berjagajaga di sepanjang
dinding, dan para prajurit yang mereka dengar siap siaga di balik panggung. Yang
menjadi pikiran utama para pejabat yang hadir di sana adalah fakta bahwa
pertunjukan malam itu disiarkan secara langsung: meskipun hanya dalam skala
lokal, mereka merasa seolaholah seluruh Ankara, seluruh Turki, sedang
menyaksikan mereka. Para pembesar di baris depan, seperti semua penonton lain di
belakang mereka, tidak bisa sepenuhnya melupakan bahwa adegan-adegan yang
ditampilkan di hadapan mereka akan muncul juga di TV; hal ini sendiri dapat
menjelaskan mengapa kevulgaran, provokasi politik, dan omong kosong yang mereka
saksikan tampak lebih elegan dan menawan daripada yang sesungguhnya dilihat oleh
para penonton. Beberapa orang memusingkan apakah kamera masih menyala atau
tidak, sehingga mereka sesering mungkin menengok ke belakang untuk memeriksanya.
Sementara para penonton di baris belakang terus-menerus melambai ke arah kamera,
dan banyak yang lainnya berteriak-teriak, "Oh Tuhan, aku masuk TV!" mereka yang
duduk di baris depan terlalu terpukau dengan proses pengambilan gambar sehingga
tidak berani bergerak, sekalipun mereka duduk di bangku tersudut. Bagi para penonton yang ada
di rumah, tayangan langsung pertama di kota itu tidak membuat mereka ingin
melihat panggung pertunjukan di layar; mereka justru semakin ingin menginjakkan
kaki ke gedung teater, menyaksikan kru televisi bekerja.
Tak lama kemudian, Funda Eser mencopot jilbabnya dan melemparkannya seperti baju
kotor ke sebuah baskom perunggu. Setelah itu, dia memercikkan minyak tanah
pelan-pelan, seperti menambahkan sabun deterjen dan memasukkan tangannya ke
dalam baskom, seolaholah hendak mencuci. Secara kebetulan, mereka menempatkan
minyak tanah itu di dalam botol bekas deterjen cair Akif merek yang sangat
digemari ibu-ibu rumah tangga di Kars (ketika itu) dan inilah yang membuat semua
orang di auditorium, atau bisa dikatakan semua orang di Kars, mengira si gadis
pejuang kemerdekaan itu berubah pikiran: melihatnya memasukkan tangan ke dalam
baskom, semua orang merasa lega.
"Begitulah caranya!" seru seseorang dari baris belakang. "Gosok semua nodanya
sampai bersih!" Gelak tawa membahana, membuat beberapa pejabat di baris depan merasa jengkel.
Tetap saja, semua orang di aula ketika itu mengira mereka sedang menonton adegan
seorang wanita mencuci baju. "Jadi, mana Omonya?" seru salah satu murid madrasah
aliah. Meskipun sebagian penonton merasa kesal akibat keributan oleh anak-anak sekolah
itu, tidak seorang pun marah besar. Kebanyakan penonton, termasuk para pejabat
di depan, hanya berharap supaya pertunjukan kuno dan provokatif dari kelompok
teater republiken ini segera berakhir tanpa keributan berarti. Cukup banyak
orang yang kuwawancarai bertahuntahun kemudian, dari seorang pejabat yang paling
dihormati hingga seorang pelajar Kurdi yang termiskin, memberitahuku bahwa
sebagian besar penduduk Kars di Teater Nasional menonton acara malam itu hanya
untuk satu hal: selama beberapa jam melarikan diri dari kehidupan rutin mereka,
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan siapa tahu mereka bisa bersenang-senang.
Sementara itu, Funda Eser sedang "mencuci" dengan gaya seceria ibu rumah tangga
bahagia di iklan sabun deterjen. Dan, seperti semua ibu rumah tangga bahagia,
dia bekerja dengan santai. Tetapi, ketika tiba saat baginya untuk mengeluarkan
kerudung hitamnya dari baskom dan memerasnya sebelum menjemurnya, dia justru
mengibaskan bentangan kain itu bagaikan bendera di hadapan penonton. Ketika
semua orang masih saling bertukar pandang, berusaha memahami apa yang sedang
terjadi, Funda Eser mengeluarkan geretan dari sakunya dan membakar salah satu
ujung kerudungnya. Selama sesaat, keheningan menyelimuti aula. Semua orang
mendengar desiran api yang melalap kerudung dan memendarkan cahaya aneh dan
mencekam ke seluruh aula.
Cukup banyak orang bangkit karena kaget. Bahkan para sekularis tergigih
sekalipun merasa sangat terguncang. Ketika wanita itu melemparkan kerudung
terbakarnya dari panggung, banyak orang mencemaskan bangunan gedung teater yang
telah berusia 110 tahun itu; tirai-tirai beledu dekil dan berlubang-lubangnya
yang telah ada sejak masa kejayaan kota itu sepertinya menjadi benda yang paling
terancam bahaya kebakaran. Tetapi, yang paling menimbulkan kecemasan, dan semua
orang sudah menyadarinya, adalah masalah yang telah tersulut. Sepertinya,
semuanya mungkin terjadi.
Kemudian, dari gerombolan anak sekolahan di belakang, umpatan, ejekan, dan
siulan marah membahana. "Mampuslah musuh agama!" seru seseorang. "Mampuslah ateis! Mampuslah orang-orang
kafir!" Para pejabat di baris depan masih syok. Meskipun si guru pemberani berdiri lagi
untuk berteriak, "Diam saja dan tonton sandiwaranya," tidak seorang pun
memerhatikannya. Menyadari bahwa umpatan, jeritan, dan ejekan tidak akan
berhenti, dan bahwa situasi di tempat itu mulai tidak terkendali, gelombang
kepanikan langsung menyebar ke seluruh aula. Pada saat itu, Dr. Nevzat, direktur
departemen kesehatan wilayah itulah yang pertama kali bergegas ke pintu keluar;
tindakannya segera diikuti oleh kedua putranya yang berjas dan berdasi;
putrinya, yang rambutnya terkepang dua dengan rapi; dan istrinya, yang
mengenakan pakaian terbaiknya, gaun organdi berwarna-warni merak. Sadik Bey,
salah satu orang kaya pemilik pabrik penyamakan kulit yang sudah bertahan lama,
yang baru saja kembali ke Kars untuk meninjau bisnisnya, bersama teman
sekelasnya semasa SD, Sabit Bey, yang sekarang menjadi pengacara bagi Partai
Rakyat, juga langsung berdiri. Ka melihat kengerian di wajah semua orang di
baris depan, tetapi, tidak yakin harus berbuat apa, dia tetap duduk di
bangkunya: kekhawatiran utamanya adalah, di tengah-tengah kekacauan itu, dia
akan melupakan puisi baru yang masih terekam di otaknya, menanti untuk
dicurahkan ke dalam buku catatan hijaunya. Pada saat yang sama, dia ingin pergi
dari sana, menemui Ypek. Tepat pada saat itu, Recai Bey, direktur perusahaan
telepon, seorang pria yang dihormati di seluruh Kars karena pendidikannya yang
tinggi, beranjak menaiki panggung yang penuh asap.
"Anakku yang baik," serunya, "kami semua menikmati persembahanmu untuk Atatiirk
yang lebih unggul. Tapi, sekarang sudah cukup. Lihatlah para penonton marah,
bisa-bisa kekacauan pecah di sini."
Ketika itu, api yang membakar kerudung telah padam, dan Funda Eser berdiri di
tengah-tengah gumpalan asap, melafalkan monolog yang kemudian kutemukan dalam
skenario Tanah Airku atau Syalku yang diterbitkan oleh Townhall pada 1936.
Penulisnya mengklaim bahwa bagian itulah yang paling membanggakannya. Empat
tahun setelah peristiwa yang kuceritakan dalam buku ini, aku berkesempatan
menemui si penulis, yang ketika itu berusia 92 tahun namun masih sangat energik.
Selama wawancara kami, meskipun sebagian besar energinya dihabiskan untuk
memelototi cucunya yang nakal, atau cucu buyutnya yang tak mau duduk diam, dia
masih memiliki kekuatan untuk menceritakan kepadaku betapa dirinya menyesal
karena dari semua karyanya (Ataturk Telah Datang, Drama-Drama Atatiirk untuk
Sekolah Menengah Atas, Kenangan Kami Terhadapnya, dan lain-lain), Tanah Airku
atau Syalku-\aY\ yang akan terlupakan. Tanpa mengetahui tentang kebangkitan
karyanya di Kars, atau bahkan pada peristiwa yang mengikutinya, dia menceritakan
kepadaku bahwa, selama tahun tiga puluhan, sandiwara inilah yang memberikan efek
serupa baik pada gadis-gadis lycee maupun pejabat negara sandiwara ini membuat
para penontonnya terharu dan mendapatkan sambutan meriah di mana pun
dipentaskan. Tetapi malam itu di Kars, yang terdengar hanyalah umpatan, ejekan, dan siulan
marah para murid madrasah aliah. Meskipun bagian depan auditorium diliputi
keheningan yang mencekam dan penuh rasa bersalah, hanya
sedikit penonton yang dapat mendengar perkataan Funda Eser. Ketika si wanita
yang marah itu mencopot jilbabnya, dia tidak hanya membuat pernyataan tentang
masyarakat ataupun tentang busana nasional; dia membicarakan tentang jiwa kita,
karena kerudung, fez, serban, dan kopiah adalah simbol kegelapan reaksioner yang
ada di dalam jiwa kita, dan dari sanalah kita harus membebaskan diri dan berlari
menyongsong bangsa Barat yang modern. Meskipun hanya sedikit penonton yang bisa
mendengar katakata Funda Eser, semua orang mendengar cercaan dari baris belakang
dengan sangat jelas: "Kenapa tidak sekalian saja melepas bajumu dan kabur telanjang bulat ke Eropa
sana?" Hinaan itu memancing gelak tawa bahkan dari para hadirin di barisan depan, dan
tepukan tangan di seluruh aula, namun tak lama kemudian, mereka yang berada di
depan kembali gelisah dan ketakutan. Seperti banyak penonton lainnya, Ka memilih
momen ini untuk berdiri. Sekarang, semua orang berbicara, mengimbangi keributan
yang membahana di deretan belakang. Beberapa orang yang sudah berjalan ke pintu
menoleh kembali. Funda Eser tetap melafalkan puisi meskipun nyaris tidak seorang
pun mendengarnya. [] Jangan Tembak, Senapan Itu Berisi Peluru!
Sebuah Revolusi di Atas Panggung
KEMUDIAN, DALAM waktu yang sangat singkat, situasi pun berkembang menjadi tidak
terkendali lagi. Dua orang fanatik agama berjanggut dan berkopiah muncul di
panggung. Mereka membawa tali dan pisau, dan semua orang yakin mereka akan
menghukum Funda Eser yang telah membakar jilbab dan menistakan perintah Tuhan.
Setelah mereka menangkapnya, Funda Eser meronta-ronta dengan gaya provokatif,
berusaha membebaskan diri.
Sekarang, dia tidak lagi memunculkan kesan sebagai pahlawan Pencerahan: dia
berganti membawakan peran yang selalu dianggapnya sangat menyamankan, "wanita
yang akan diperkosa". Tetapi, berbeda dari yang diperkirakannya, peran yang
dibawakannya secara meyakinkan itu sama sekali tidak menggugah hasrat seorang
pun pria yang menontonnya. Salah seorang fanatik berjanggut (yang janggutnya
tampak palsu, dan semua orang tahu dia memerankan ayah dalam adegan sebelumnya)
menjambak rambut Funda Eser dan mendorongnya hingga jatuh; fanatik yang satu
lagi menempelkan sebilah belati ke
tenggorokan Funda Eser, mirip adegan "Pengorbanan Ishak" ala Renaisans. Adegan
ini secara sempurna menggambarkan ketakutan yang dirasakan oleh golongan
kebarat-baratan akan pecahnya pergolakan agama reaksioner pada tahuntahun awal
berdirinya republik. Para pejabat yang telah berumur di baris depan dan para
penganut paham konservatif di belakanglah yang pertama kali menyadari apa yang
terjadi. Selama tepat delapan belas detik, Funda Eser dan "para fundamentalis"
mempertahankan pose agung mereka tanpa menggerakkan sedikit pun otot. Meskipun
begitu, cukup banyak orang yang kuwawancarai yakin bahwa trio itu mematung jauh
lebih lama. Saat itu penonton telah lepas kendali. Bukan hanya penghinaan
terhadap wanita berjilbab yang menyulut marah para murid madrasah; begitu pula
sosok para fanatik yang digambarkan begitu buruk dan mesum. Orang-orang yang
kuwawancarai juga menyangka seluruh sandiwara itu memang dipentaskan untuk
memprovokasi para pelajar tersebut. Maka, setiap kali mereka menyoraki para
aktor, setiap kali mereka melemparkan setengah butir jeruk atau sebuah dudukan
kursi ke atas panggung, mereka maju selangkah menuju jebakan yang telah menanti.
Pengetahuan mengenai ketidakberdayaan mereka dalam masalah ini membuat mereka
semakin marah, sehingga bisa dipahami jika salah seorang pelajar yang paling
tanggap politik, seorang remaja pendek berbahu bidang bernama Abdurrahman Oz
(meskipun ayahnya, yang datang dari Sivas untuk menjemput mayat putranya tiga
hari kemudian, menyebutkan nama yang berbeda) sebisa mungkin melakukan segalanya
untuk menyabarkan dan menenangkan teman-temannya, meskipun usahanya gagal total.
Mendengar gemuruh tepukan tangan dan sorak sorai dari bagian lain auditorium,
para pelajar yang marah menyangka memiliki sekutu sesama penonton yang semarah
mereka. Terlebih lagi, untuk pertama kalinya, para pemuda Islamis, yang lemah
dan tercerai berai jika dibandingkan dengan rekan-rekan sebaya mereka di wilayah
sekitar Kars, mendapatkan keberanian untuk berbicara dalam satu suara, dan
mereka senang melihat bagaimana mereka mampu membuat para pejabat dan petinggi
militer di baris depan ketakutan. Dan, mereka semua lebih bersemangat karena
menyadari bahwa pameran solidaritas mereka disiarkan ke seluruh penjuru kota.
Mereka tidak sekadar bersorak-sorak marah dan mengentak-entakkan kaki; mereka
menikmati malam itu. Inilah satu hal yang kemudian dilupakan semua orang.
Setelah melihat video rekaman kejadian malam itu berulang kali, aku juga dapat
mengatakan bahwa sejumlah penduduk biasa bahkan tertawa setiap kali mendengar
para pelajar meneriakkan berbagai macam slogan dan umpatan. Jika, pada saat itu,
mereka juga bertepuk tangan dan bersorak sorai bersama para pelajar, itu
disebabkan karena mereka sudah mulai merasa bosan, meskipun masih bertekad untuk
bersenang-senang menikmati "malam teater1 yang ternyata berubah menjadi sesuatu
yang misterius bagi mereka. Salah seorang saksi mata mengatakan, "Jika orangorang yang di depan tidak bereaksi berlebihan dalam menghadapi percikan-percikan
kecil itu, peristiwa yang menyusul kemungkinan akan dapat dicegah.1 Meskipun
begitu, beberapa saksi mata yang lain bersikeras bahwa "Orang-orang kaya dan
para pejabat tinggi di baris depan, yang panik selama delapan belas detik itu,
telah mengetahui apa yang akan terjadi. Kalau tidak begitu, untuk apa mereka
mengumpulkan keluarga mereka dan
cepat-cepat pulang" Ankara/ kata mereka, "telah merencanakan semua ini secara
matang.1 Merasa cemas akan kehilangan puisi di kepalanya, Ka juga memutuskan untuk
meninggalkan auditorium. Pada saat yang sama, seorang pria naik ke atas panggung
untuk menyelamatkan Funda Eser dari dua orang reaksioner berjanggut yang
menahannya: pria itu adalah Sunay Zaim. Dia mengenakan seragam tentara tahun
tiga puluhan, lengkap dengan topi bulu seperti yang dikenakan Atatiirk dan para
pahlawan Perang Kemerdekaan. Saat Sunay Zaim berjalan tegap melintasi panggung
(tidak seorang pun menyangka bahwa sesungguhnya pria itu pincang), kedua
"fundamentalis" itu ketakutan dan menyembah-nyembahnya. Sekali lagi, si guru
pemberani berdiri dan sekuat tenaga menyoraki kepahlawanan Sunay. Satu atau dua
orang lain berseru, "Hidup! Bravo!" Berdiri di tengah sorotan lampu, di mata
seluruh Kars, Sunay tampak seperti makhluk menakjubkan dari planet lain. Semua
orang melihat betapa dirinya tampan dan penuh toleransi. Tahuntahun panjang yang
dihabiskannya untuk melakukan tur mengeliingi Anatolia mungkin membuat fisiknya
melemah, namun daya tariknya justru semakin kuat: dia masih memiliki aura keras,
tegas, tragis, dan wajah tampan yang menjadikannya sensasi di kalangan pelajar
kiri saat dia memainkan peran Che Guevara, Robespierre, dan Enver Pasha yang
revolusioner. Alih-alih mengangkat jarinya yang terbungkus sarung tangan putih
ke bibir, dia justru menempelkannya dengan gaya elegan ke dagu dan mengatakan,
"Tenang!" Kata itu, yang memang tidak terdapat di dalam skenario, sesungguhnya tak perlu
diucapkan: semua orang di auditorium telah bungkam. Mereka yang berdiri kembali
duduk dan mendengarkan Sunay meneriakkan: "Mereka tersiksa!"
Mungkin dia tidak benar-benar bermaksud mengatakan hal itu, karena tidak seorang
pun memahami siapa yang semestinya tersiksa. Pada masa lalu, perkataan itu
mungkin mengacu pada masyarakat atau bangsa; tetapi sekarang, para penduduk Kars
tidak yakin apakah ucapan Sunay mengacu pada mereka, atau Funda Eser, atau
seluruh republik. Tetap saja, penampilan Sunay memicu sesuatu yang pasti:
seluruh penonton langsung terdiam.
"Oh, penduduk Turki yang terhormat dan baik hati," kata Sunay Zaim. "Kalian
semua sedang melangkah di jalan pencerahan, dan tidak seorang pun akan dapat
mengalihkan kalian dari perjalanan hebat dan penuh makna ini. Jangan takut. Para
reaksioner yang ingin kembali ke masa lalu, para binatang buas dengan pikiran
berselimut sa-wang itu, tidak akan pernah bisa keluar dari liang mereka. Orangorang yang mencoba-coba bermain-main dengan republik, dengan kemerdekaan, dengan
pencerahan akan mendapati kehancurannya sendiri."
Semua orang di aula mendengar cemoohan dari seorang murid madrasah yang duduk
dua kursi dari Necip. Lalu, kesunyian mencekam kembali meliputi penonton:
kekaguman yang bercampur dengan ketegangan. Mereka semua duduk setegak batang
liin, seolaholah berharap akan mendengar satu atau dua bisikan, beberapa
petunjuk yang akan membantu mereka dalam memahami malam itu setibanya mereka di
rumah, dan mungkin satu atau dua cerita. Pada saat itu, sekelompok prajurit
menghampiri kedua sisi panggung. Tiga orang prajurit lagi melewati pintu utama
dan berjalan tegap melintasi aula untuk bergabung dengan mereka. Para penduduk
Kars, yang tidak terbiasa pada teknik modern penyusupan aktor di tengah-tengah penonton, pertamatama merasa kaget, lalu senang. Seorang bocah laki-laki berkacamata yang
berperan sebagai pembawa pesan berlari ke atas panggung dan, ketika melihat
siapa sesungguhnya anak itu, semua penonton tertawa. Anak itu adalah "si Mata
Empat", keponakan manis dan cerdas distributor surat kabar utama di kota itu.
Semua orang mengenal anak itu karena dia selalu ada di toko yang terletak di
seberang Teater Nasional. Si Mata Empat berlari menyongsong Sunay Zaim, yang
membungkuk menyodorkan telinga untuk mendengar bisikan anak itu.
Seluruh penduduk Kars dapat melihat bahwa kabar itu membuat Sunay Zaim sangat
bersedih. "Kami baru saja mendengar bahwa direktur Institut Pendidikan baru saja meninggal
dunia," Sunay Zaim mengabarkan kepada para penonton. "Pembunuhan kampungan ini
akan menjadi serangan terakhir bagi republik dan masa depan sekularisme di
Turki!" Sebelum para penonton berkesempatan mencerna kabar itu, para prajurit di
panggung mengokang senapan mereka dan membidikkannya ke arah penonton. Mereka
menembak sekali; ledakan senjata membahana di aula.
Tidak jelas juga apakah tembakan salvo itu sengaja dipesan oleh kelompok teater
untuk menandai kabar sedih tersebut. Sejumlah penduduk Kars yang sama sekali
jauh dari pemahaman tentang konvensi teater modern mengira semua itu sebagai
aksi panggung eksperimental.
Raungan nyaring terdengar bersamaan dengan getaran yang menyapu seluruh aula.
Mereka yang ketakutan mendengar ledakan senjata mengira getaran itu muncul
akibat reaksi penonton. Ketika satu atau dua orang penonton berdiri, para
"fundamentalis" berjanggut di panggung justru bertiarap.
"Jangan ada yang bergerak!" seru Sunay Zaim. Sekali lagi, para prajurit
mengokang senapan dan membidikkannya ke arah penonton. Tepat pada waktu itu,
remaja pendek pemberani yang duduk dua kursi dari Necip berdiri dan berteriak,
"Terkutuklah para sekularis kafir! Terkutuklah para fasis ateis!"
Sekali lagi, ledakan senjata terdengar.
Ketika bunyi senapan masih tersisa di udara, getaran kuat sekali lagi menerpa
seluruh aula. Saat itu, mereka yang duduk di baris belakang melihat remaja yang tadi berseru
jatuh ke kursinya, sebelum kembali bangkit, kedua tangan dan kakinya berguncang
hebat. Bagi sebagian penonton yang menikmati sikap meledak-ledak para murid
madrasah aliah dan sepanjang malam menertawakan komentar-komentar yang tidak
dapat mereka pahami, hal ini dianggap sebagai lelucon. Dan, ketika tubuh pelajar
itu terus berguncang hebat mengiringi kesakitannya dalam menjemput ajal mereka
justru tertawa semakin keras.
Saat salvo ketiga terdengar, sebagian penonton baru menyadari bahwa para
prajurit itu bersungguh-sungguh. Mereka mengetahuinya sama seperti yang
dirasakan oleh saksi mata ketika melihat tentara memburu teroris di jalanan
karena tembakan-tembakan itu tak hanya terdengar di telinga tetapi juga di
perut. Bunyi berisik yang aneh terdengar dari tungku pemanas buatan Jerman yang
telah menghangatkan aula itu selama empat puluh tahun; pipa tungku itu bocor dan
sekarang mengepulkan asap, seperti cerek berisi air mendidih. Ketika seseorang
dari baris belakang berdiri dan berjalan langsung ke arah
panggung dengan kepala bercucuran darah, aroma tajam mesiu mulai tercium.
Kepanikan para penonton sepertinya akan segera meledak, namun semua orang masih
tetap duduk diam, terpaku. Seperti di dalam mimpi buruk, semua orang merasa
sendirian. Meskipun begitu, Nuriye Hanym, seorang guru sastra yang mengunjungi
Teater Nasional setiap kali pergi ke Ankara, dan sekarang sepenuhnya mengagumi
kehebatan efek teatrikal pertunjukan malam itu, untuk pertama kalinya berdiri
dan memberikan tepuk tangan bagi para aktor. Pada saat yang sama, Necip juga
berdiri, seperti seorang murid sigap yang berusaha mencari perhatian gurunya.
Para prajurit menembakkan senjata untuk keempat kalinya. Menurut kolonel polisi
seorang pria yang akan menghabiskan berminggu-minggu untuk secara diamdiam
menyusun laporan penuh detail yang langsung dikirim dari Ankara untuk mengawasi
jalannya penyelidikan, tembakan keempat ini membunuh dua orang. Dia menyebutkan
salah seorang di antaranya sebagai Necip, menambahkan bahwa sebutir peluru
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menembus keningnya, dan sebutir lagi menghancurkan matanya, tetapi, setelah
mendengar kesaksian banyak orang yang bertentangan dengan laporan pria tersebut,
aku sendiri menjadi tidak yakin bahwa Necip meninggal ketika itu. Satu hal yang
pasti, setelah tembakan ketiga, Necip tentu melihat peluru melayang di udara,
dan, meskipun menyadari apa yang sedang terjadi, dia salah sangka terhadap para
prajurit itu. Dua detik sebelum peluru menerpanya, dia bangkit untuk meneriakkan
katakata yang didengar oleh banyak orang, meskipun tidak ada dalam rekaman:
"Berhenti! Jangan tembak, senapan itu berisi peluru!"
Katakata Necip menyuarakan apa yang diketahui
namun diingkari semua orang di aula. Dari lima tembakan dalam salvo pertama,
salah satunya mengenai hiasan daun laurel yang terpasang di atas sebuah balkon
tempat, seperempat abad sebelumnya, konsul Soviet terakhir di Kars menonton film
dengan ditemani anjingnya. Peluru ini melenceng jauh karena prajurit yang
menembakkannya seorang Kurdi dari Siirt tidak berniat membunuh siapa pun.
Sebutir peluru lainnya, yang ditembakkan dengan niat sama meskipun dengan
keahlian lebih rendah, menghantam langit-langit, mengirimkan badai debu gamping
dan cat berumur 120 tahun ke kepala para penonton yang ribut di bawah. Sebutir
peluru lainnya melesat di atas kamera TV dan bersarang di pagar kayu yang
menjadi batas bagi ruang berdiri, tempat gadis-gadis Armenia miskin dan romantis
yang hanya mampu membayar tiket termurah pernah menyaksikan pertunjukan kelompok
teater, akrobat, dan musik klasik dari Moskow. Peluru keempat melesat melintasi
aula, melampaui kamera, melewati bangku belakang, dan menembus bahu seorang
pedagang komponen traktor dan peralatan pertanian bernama Muhittin Bey, yang
sedang duduk bersama istrinya dan adik iparnya yang janda. Muhittin Bey sendiri,
setelah melihat hujan debu gamping, berdiri untuk melihat apakah ada yang akan
jatuh dari langit-langit. Peluru kelima mengenai seorang kakek yang duduk di
belakang para pelajar Islamis. Si kakek datang dari Trabzon untuk menemui
cucunya, seorang tentara yang bertugas di Kars. Peluru menghancurkan lensa kiri
kacamatanya dan menembus otaknya. Pria tua itu, yang beruntung karena sedang
tertidur saat peluru menerpanya, meninggal dalam diam, tanpa mengetahui apa yang
terjadi padanya; peluru itu keluar dari lehernya, dan, menembus punggung
kursinya, mengoyak sebuah tas miik seorang anak laki-laki Kurdi berumur 12 tahun yang sedang
menjual telur dan roti. Anak itu melewati kursi demi kursi untuk memberikan uang
kembalian kepada para pembelinya, sehingga meninggalkan tasnya (selanjutnya,
peluru itu ditemukan di dalam salah satu telur rebusnya).
Detail-detail ini menjelaskan mengapa sebagian besar penonton tetap duduk diam
saat para prajurit menembakkan senapan. Ketika peluru-peluru dari salvo kedua
menembus kening, leher, dan bagian atas dada tepat di atas jantung si pelajar,
sebagian besar orang mengira anak itu sedang bertingkah, menyambung pameran
keberanian ngawur yang ditunjukkannya sesaat sebelumnya. Satu dari dua butir
peluru lainnya bersarang di dada seorang murid madrasah aliah pendiam yang duduk
di belakang (nantinya akan diketahui bahwa anak perempuan dari bibinya adalah
"gadis bunuh diri" pertama di Kars). Peluru terakhir melesat dua meter di atas
bilik proyektor sebelum menghantam jam dinding, yang, setelah rusak sejak enam
tahun sebelumnya, diselimuti sawang dan debu tebal. Menurut kolonel yang
bertanggung jawab atas penyelidikan, fakta adanya salah satu peluru yang
menghantam jam dinding adalah bukti bahwa salah seorang penembak tentunya
memutuskan bahwa penugasan untuknya malam itu menyalahi sumpah yang diambilnya
atas nama Alquran: jelas terlihat bahwa orang itu sebisa mungkin berusaha supaya
tidak membunuh seseorang. Mengenai pelajar Islamis penuh semangat yang terbunuh
dalam salvo ketiga, si kolonel secara panjang lebar menjelaskan bahwa
pertimbangan mendalam telah diambil untuk menghadapi tuntutan hukum terhadap
negara yang diberikan oleh keluarga anak itu, dan meskipun tidak memiliki bukti,
si kolonel menyatakan bahwa anak itu bukanlah murid biasa melainkan seorang agen
M Y T cabang Kars yang giat dan penuh pengabdian. Pada akhirnya, bagaimanapun,
si kolonel tidak mendapatkan cukup alasan untuk menjelaskan besarnya kerusakan
yang timbul pada malam itu. Dari dua peluru terakhir pada salvo yang sama, salah
satunya mengenai Reza Bey, yang membangun air mancur di distrik Kaleaty dan
sangat disukai semua penganut paham konservatif dan Islamis di kota itu; peluru
yang lain mengenai pelayan yang bertugas menggandeng tangan Reza Bey.
Pada saat itu, sudah sulit untuk menjelaskan mengapa begitu banyak penonton
tetap terdiam di tempat duduk mereka, memandangi dua sahabat sehidup mati itu
mengerang meregang nyawa di lantai, sementara para prajurit di atas panggung
mengokang senapan untuk keempat kalinya. Bertahuntahun kemudian, seorang pemilik
toko hasil ternak yang tetap tidak mau disebutkan namanya, memberikan penjelasan
sebagai berikut: "Kami yang duduk di belakang mengetahui bahwa ada sesuatu yang
buruk sedang terjadi, tapi kami takut jika kami bergerak dari kursi dan berdiri
untuk melihat lebih jelas, teror justru akan menemukan kami, sehingga kami pun
hanya duduk diam dan menonton, tanpa bersuara."
Beberapa butir peluru dari salvo keempat tidak pernah ditemukan. Salah satunya
melukai seorang pedagang keliing muda yang datang ke Kars dari Ankara untuk
menjual peralatan permainan keluarga dan ensiklopedia secara kredit (dia
meninggal akibat perdarahan di rumah sakit dua jam kemudian). Satu lagi
membentuk lubang besar di tembok pendek sebuah balkon privat tempat, pada dekade
pertama abad kedua puluh, Kirkor Cizmeciyan, seorang
pemiik pabrik penyamakan kulit yang kaya raya, duduk bersama keluarganya,
mengenakan pakaian dari bulu binatang dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Menurut salah satu desas-desus, entah peluru yang menghantam salah satu mata
hijau Necip atau yang mengenai kening mulus-nyalah yang langsung membunuhnya.
Beberapa saksi mata menyatakan bahwa, selama sesaat, remaja itu memandang ke
panggung dan menjerit, "Aku tahu!"
Ketika keributan dan jeritan tak lagi terdengar, nyaris semua orang termasuk
mereka yang terburu-buru berlari ke pintu telah roboh ke lantai. Bahkan juru
kamera dari TV terpaksa melontarkan dirinya ke tembokdi belakangnya; kameranya,
yang tak henti-hentinya digerakkan ke kanan dan ke kiri malam itu, sekarang
berdiri diam. Para penonton di rumah hanya dapat melihat orang-orang yang ada di
atas panggung dan keheningan mencekam di baris depan. Meskipun begitu, sebagian
besar penduduk Kars telah mendengar cukup banyak teriakan, jeritan, dan ledakan
senjata sehingga mereka menyadari bahwa hal teramat aneh sedang terjadi di
Teater Nasional. Mereka yang merasa bosan melihat sandiwara dan mulai tertidur
di depan pesawat televisi bahkan terbangun kembali dan tak mampu mengalihkan
pandangan dari layar TV selama delapan belas detik terakhir.
Sunay Zaim cukup berpengalaman sehingga menyadari apa yang sedang berlangsung.
"Oh, para prajurit yang pemberani, kalian telah melaksanakan tugas kalian,"
katanya. Lalu, dengan anggun, dia menoleh ke arah Funda Eser, yang masih
terbaring di lantai, dan membungkukkan badan dengan gaya berlebihan. Meraih
tangan penyelamatnya, wanita itu berdiri.
Seorang pensiunan pegawai negeri di bangku depan
berdiri untuk bertepuk tangan. Beberapa orang yang duduk di dekatnya mengikuti
jejaknya. Tepukan tangan juga terdengar dari berbagai bagian di baris belakang,
mungkin dari orang-orang yang memiiki kebiasaan bertepuk tangan untuk segalanya
... atau mungkin karena mereka ketakutan. Bagian lain aula sunyi senyap. Para
penonton seolaholah baru terbangun setelah menghabiskan malam panjang di kota;
beberapa di antara mereka bahkan tampak santai dan mampu menyunggingkan
senyuman. Sepertinya mereka telah memutuskan bahwa mayat-mayat yang
bergelimpangan di depan mata mereka merupakan bagian dari dunia impian di
panggung. Sejumlah penonton yang bertiarap melongokkan kepala, namun kembali
membungkuk saat mendengar suara Sunay.
"Ini bukan sandiwara ini adalah awal dari sebuah revolusi," katanya dengan penuh
tekanan. "Kita telah siap untuk melakukan apa pun untuk melindungi tanah air
kita. Percayalah pada pasukan Turki yang hebat dan terhormat! Prajurit, bawa
mereka ke sini." Dua orang prajurit mengawal kedua "fundamentalis" berjanggut bulat. Sementara
para prajurit lain menyandang senjata mereka, menuruni panggung, dan berjalan ke
auditorium, seorang pria aneh bergegas menaiki panggung. Jelas terlihat dari
kecepatannya berlari dan bahasa tubuhnya yang canggung bahwa dia bukanlah
prajurit maupun aktor. Tetapi, semua orang memerhatikannya beberapa orang bahkan
berharap dia akan mengumumkan bahwa semua yang terjadi pada malam itu adalah
sebuah lelucon besar. "Panjang umur republik!" seru pria itu. "Panjang umur pasukan Turki! Panjang
umur rakyat Turki! Panjang umur Atatiirk!" Dengan sangat perlahan, tirai
panggung mulai tertutup. Pria itu mengambil dua langkah maju, begitu pula Sunay Zaim; tirai
menutup di belakang mereka. Pria aneh itu menyandang senapan buatan Kyrykkale;
dia mengenakan pakaian preman namun bersepatu bot tentara. "Para fundamentalis
akan masuk Neraka!" serunya sambil menuruni tangga menuju auditorium. Dua orang
pengawal bersenjata muncul dan mengikutinya. Tetapi, tiga orang itu tidak
berjalan ke bagian belakang aula, tempat para prajurit sibuk menangkap muridmurid madrasah aliah. Tanpa memedulikan para penonton yang ketakutan, ketiga
pria itu terus meneriakkan slogan-slogan sambil bergegas keluar dan menghilang
dalam kegelapan malam. Semangat mereka luar biasa meledak-ledak, karena baru pada menit-menit
terakhirlah, setelah diskusi dan tawar-menawar yang berlangsung lama, mereka
diizinkan untuk mengambil bagian dalam pementasan yang merupakan awal dari
"revolusi kecil Kars1. Mereka bertemu dengan Sunay Zaim pada malam
kedatangannya, dan dia berhasil menolak permintaan mereka selama sehari penuh
lantaran takut keterlibatan para petualang bersenjata yang berpakaian suram akan
merusak integritas artistik pementasan kelompok teaternya. Tetapi, pada
akhirnya, Sunay Zaim tidak mampu lagi melawan argumen bahwa dia akan membutuhkan
seseorang yang berpengalaman dengan senjata untuk mengendalikan para penonton
kelas rendah yang tidak akan bisa mengapresiasi nuansa "seni modern1.
Selanjutnya dikatakan bahwa di kemudian waktu Sunay Zaim sangat menyesali
keputusannya, juga bahwa dia tidak menyangka akan terjadinya pertumpahan darah
akibat kelakuan kelompok preman ini. Tetapi, seperti yang sering terjadi dalam
kasus seperti ini, semua itu hanyalah
rumor. Ketika aku mengunjungi Kars bertahuntahun kemudian, aku mengunjungi bangunan
bekas Teater Nasional. Setengah bangunan itu telah dirobohkan; setengahnya lagi
dialihfungsikan menjadi gudang. Pemiliknya, Muhtar Bey, menjadi pemanduku.
Mungkin untuk menangkal pertanyaan-pertanyaanku mengenai malam pertunjukan dan
teror yang menyusulnya, dia mengatakan kepadaku bagaimana Kars telah menyaksikan
serangkaian pembunuhan tanpa akhir, pembantaian dan berbagai macam kejahatan
sejak masa pendudukan Armenia. Jika aku ingin membawa sedikit kebahagiaan bagi
penduduk Kars, sebaiknya, setelah kembali ke Istanbul, aku mengabaikan dosa-dosa
masa lalu kota ini dan menulis tentang udaranya yang segar dan sejuk, juga
tentang para penduduknya yang baik hati. Saat kami duduk dalam auditorium gelap
dan pengap yang telah dialihfungsikan menjadi gudang, dikeliingi oleh siluetsiluet kulkas, kompor, dan mesin cuci, dia menunjukkan satu-satunya jejak yang
masih tersisa dari pementasan terakhir itu kepadaku: lubang besar menganga
akibat peluru yang menghantam bilik privat Kirkor Cizmeciyan. []
Betapa Indahnya, Hujan Salju
Ini Malam Revolusi PEMIMPIN TRIO brutal yang berlari dan berteriak-teriak di dalam auditorium saat
tirai panggung ditutup, melambai-lambaikan pistol dan senapan mereka kepada para
penonton yang ketakutan sebelum menghilang di kegelapan malam, adalah seorang
jurnalis dan komunis kawakan. Nama aliasnya adalah Z Dermirkol. Selama tahun
tujuh puluhan, dia menjadi anggota berbagai macam organisasi komunis pro Soviet,
dan, meskipun dikenal sebagai penulis dan penyair, namanya paling termasyhur
sebagai seorang bodyguard. Tubuhnya cukup kekar. Dia melarikan diri dari Jerman
setelah pendudukan miiter pada 1980, dan setelah Tembok Berlin diruntuhkan, dia
mendapatkan suaka khusus dan kembali ke Turki untuk membela negara sekular dan
republik dari para gerilyawan separatis Kurdi dan Islamis "fundamentalis". Kedua
pria di belakangnya pernah menjadi miitan nasionalis Turki, mantan kamerad Z
Demirkol sendiri pada malam-malam pertempuran jalanan di Istanbul sepanjang
tahuntahun Marxisnya, pada 1979 dan 1980. Meskipun begitu, kedua orang itu
sekarang telah melupakan masa itu dan semakin menggiatkan diri dalam
menjalankan petualangan dan menuntaskan misi untuk melindungi negara. Beberapa
kalangan yang sinis mengatakan bahwa ketiga orang itu telah menjadi agen negara
sejak awal. Ketika mereka menghambur turun dari panggung dan keluar dari Teater
Nasional, tidak seorang pun mengerti, menyangka mereka adalah bagian dari
sandiwara yang sedang dipentaskan.
Ketika Z Demirkol melihat betapa tingginya timbunan salju di tanah, dia
melompat-lompat seperti bocah, menembakkan senapannya dua kali ke udara, dan
menjerit, "Panjang umur rakyat Turki! Panjang umur republik!" Kerumunan orang di
pintu masuk gedung teater langsung menepi. Beberapa orang berdiri menyaksikan
tingkah ketiga pria itu dan tersenyum ngeri. Beberapa orang tampak malu,
seolaholah mereka ingin meminta maaf karena tidak bisa menemani mereka. Z
Demirkol dan kawan-kawannya berlari ke Jalan Atatiirk. Mereka masih meneriakkan
slogan-slogan dan saling memanggil nama masing-masing seperti pemabuk bingung.
Beberapa orang berumur yang berjalan perlahan-lahan melewati salju dan beberapa
ayah yang sedang memimpin keluarganya pulang ke rumah memutuskan, setelah
beberapa waktu bimbang, untuk bertepuk tangan kepada mereka.
Trio girang itu bertemu dengan Ka di sudut Jalan Kii-giik Kasymbey. Mereka tahu
bahwa Ka telah melihat mereka mendekat: Ka menepi dan berteduh di bawah pohon
oleander, seolaholah membiarkan sebuah mobil melewatinya.
"Tuan Penyair," seru Z Demirkol, "Anda harus membunuh mereka sebelum mereka
membunuh Anda. Mengerti?"
Ka belum juga mendapatkan kesempatan untuk menuliskan puisi yang kemudian akan
dijudulinya "Tempat di Mana Tuhan Tiada", dan pada saat itulah dia melupakan isi
puisinya itu. Z Demirkol dan teman-temannya terus berlari ke Jalan Atatiirk. Tidak mau
mengikuti mereka, Ka berbelok ke kanan menuju Jalan KaradaS. Saat itulah dia
menyadari bahwa puisinya telah lenyap, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Ka mengidap semacam perasaan bersalah dan malu seperti ketika dirinya masih muda
dan melewatkan pertemuan-pertemuan politik. Kegiatan semacam itu membuatnya
sebal, bukan hanya karena dia pemuda dari kalangan menengah atas, melainkan juga
karena diskusi-diskusi itu selalu dijejali dengan tingkah kekanak-kanakan dan
berlebih-lebihan. Berharap dapat menemukan kembali puisinya yang lenyap, Ka
memutuskan untuk terus berjalan kaki alih-alih langsung kembali ke hotel.
Beberapa orang, kaget melihat kejadian yang disiarkan di televisi, melongokkan
kepala melalui jendela. Sulit dikatakan seberapa banyak Ka merasakan teror di
gedung teater itu. Salvo-salvo itu dimulai sebelum dia pergi, namun mungkin saja
dia juga mengira bahwa hal tersebut adalah bagian dari pertunjukan, dan bahwa Z
Demirkol dan kawan-kawannya juga bagian dari kelompok teater.
Pikiran Ka terpusat pada puisinya yang terlupakan. Tetapi, merasakan sebuah
puisi lain sedang mendatanginya, dia bersabar dan memberikan ruangan di sudut
benaknya untuk mematangkan puisinya.
Lalu, dia mendengar dua kali ledakan senjata di kejauhan. Ledakan yang hilang
ditelan salju. Betapa indahnya, hujan salju ini. Betapa besarnya kepingan salju itu dan berapa
bergasnya. Seolaholah kepingankepingan salju itu mengetahui bahwa prosesi hening
mereka akan berlanjut hingga akhir zaman.
Jalan yang lebar telah tertimbun hingga sedalam lutut; putih dan misterius,
membentuk gundukan besar yang menghilang dalam kegelapan malam. Tidak seorang
pun manusia tampak di bangunan Armenia berlantai tiga yang sekarang digunakan
sebagai balai kota. Lapisan es di salah satu pohon oleander menggantung hingga
mengenai salju yang menyelimuti sebuah mobil; salju dan es menyatu membentuk
tirai renda. Ka melewati sebuah rumah Armenia kosong berlantai satu dengan
jendelajendela tertutup papan. Saat mendengarkan langkah kakinya dan tarikan
napasnya sendiri, dia dapat merasakan panggilan kehidupan dan kebahagiaan
seolaholah untuk pertama kalinya, dan dia juga merasa cukup kuat untuk
mengabaikannya. Di seberang kediaman gubernur, taman kecil dengan patung Atatiirk tampak kosong.
Dan, Ka juga tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan di kediaman gubernur,
yang dibangun pada masa kejayaan Rusia dan masih menjadi bangunan termewah di
Kars. Tujuh puluh tahun sebelumnya, setelah Perang Dunia Pertama, ketika pasukan
Utsmani dan Kekaisaran Rusia mundur dan penduduk Turki di Kars mendapatkan
kemerdekaan, bangunan ini difungsikan sebagai sekretariat dan balai pertemuan.
Di seberang bangunan itu terdapat sebuah bangunan Armenia tua yang pernah
diserang pasukan Inggris karena bentuknya yang mirip dengan istana presiden.
Kediaman gubernur dijaga ketat, sehingga Ka menghindarinya dengan berbelok ke
kanan dan mengitari jalan kembali ke taman. Di bagian lain jalan, di depan satu
lagi bangunan Armenia tua berpenampilan seindah dan sesunyi yang lain, Ka
melihat sebuah tank berlalu, perlahan-lahan dan tanpa suara, seperti di dalam mimpi. Di
depannya, Ka melihat sebuah truk tentara diparkir di dekat madrasah aliah. Tidak
ada timbunan salju di atasnya, sehingga Ka menyimpulkan bahwa kendaraan itu baru
saja tiba di sana.
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ledakan senjata terdengar. Ka menoleh ke belakang. Pos penjaga di depan kediaman
gubernur dipenuhi polisi yang berusaha menghangatkan diri, namun karena es
melapisi jendela, tidak seorang pun melihat ketika Ka menyusuri Jalan Prajurit.
Sekarang Ka mengetahui bahwa jika dia dapat mempertahankan diri dalam keheningan
salju hingga tiba di hotel, dia akan mampu mengingat bukan hanya puisi baru yang
menyala dalam kepalanya, melainkan juga kenangan yang timbul bersama puisi itu.
Saat menyusuri jalan menurun, Ka mendengar keributan di seberang jalan dan
memperlambat langkahnya. Dua orang pria sedang menendangi pintu perusahaan
telepon. Ka melihat lampu mobil menyala menembus salju dan mendengar gemerincing
nyaring rantai salju. Ketika sebuah mobil polisi hitam polos berhenti di depan
kantor telepon, Ka melihat dua orang pria duduk di kursi depannya; dia ingat
pernah melihat salah seorang pria itu di dalam gedung teater beberapa menit
sebelumnya, saat dia berpikir untuk pulang. Pria itu duduk diam, sementara
mitranya, yang mengenakan topi baret wol dan menyandang senjata, keluar dari
mobil. Terdengarlah debat sengit antara orang-orang yang berkumpul di luar pintu
perusahaan telepon. Mereka berdiri di bawah lampu jalanan, dan Ka dapat
mendengar suara mereka, sehingga dia tidak membutuhkan waktu lama untuk
menyadari bahwa mereka adalah Z Demirkol dan kawan-kawannya.
"Apa maksudmu, kau tak punya kuncinya?" tanya salah seorang dari mereka.
"Bukankah kau kepala perusahaan telepon" Bukankah mereka mengirimmu ke sini
untuk memutuskan jaringan telepon" Bagaimana mungkin kau melupakan kuncimu"1
"Kita tak bisa memutuskan jaringan telepon dari kantor ini. Kita harus pergi ke
kantor pusat yang baru di Jalan Stasiun,1 kata si kepala perusahaan telepon.
"Ini adalah revolusi dan kami ingin masuk ke kantor ini,1 kata Z Demirkol. "Jika
kami memutuskan untuk pergi ke kantor yang lain nanti, kami tentu akan
Pedang Golok Yang Menggetarkan 6 Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie Kisah Sepasang Rajawali 11