Ceritasilat Novel Online

Kisah Cinta Abadi 3

Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Bagian 3


dipertanyakan, dan kubah ini sama dengan yang lain. Bagaimanapun, hanya karena
alasan politis dia setuju dengan sang Sultan.
"Di sini datar ..."
"Ya, Padishah."
". seperti kubah di makam Humayun. Yang ini tidak boleh menampilkan bangunan
lain mana pun yang pernah kau ciptakan. Apakah kau mengerti?"
"Sebuah kubah hanya memiliki satu bentuk, Padishah."
Tatapan Shah Jahan sangat tajam, begitu menusuk. Afandi berkerenyit. Keringat
membutir di wajahnya. Mengapa dia berbicara begitu" Kebanggaan yang konyol
mengusiknya, mempertanyakan mengapa dia harus didikte oleh sang Sultan dalam
menghasilkan suatu karya. Sang Sultan memerintah, dia membangun: pembagian
keahlian yang bersih dan sangat penting. Dia tidak akan mengambil tanggung jawab
dalam komisi ini jika keikutcampuran Sultan secara terus-menerus bisa
diramalkan. "Kubah ini akan berbeda," kata Shah Jahan. "Kubah ini akan berbentuk bulat,
merentang ke atas, bagaikan akan terbang."
Telapak tangan sang Sultan melengkung di udara bagaikan sedang memegang sebuah
bola yang tak terlihat. Dia mengetahui bagaimana maksudnya, bahkan jika Afandi
tidak mengerti. Tatapannya terpaku kepada budak-budak perempuan dan dia
memanggil salah seorang dari mereka; budak itu berlutut di hadapannya. Sang
Padishah menunjukkan buah dada sang budak yang mewakili bayangannya.
"Seperti ini, Afandi, seperti ini, kau lihat!"
"Ya, Padishah."
Ismail Afandi tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Buah dada wanita pada sebuah
makam" Dia harus melupakan semua pengalaman meniru bentuk tubuh ini.
"Ukurlah perbandingan bentuknya."
Afandi mengeluarkan jangka dan dengan hati-hati mengukur buah dada itu. Si budak
perempuan tetap diam, menatap ke kejauhan sementara Afandi mencatat hasil
pengukurannya. "Tapi, di bagian dasar, aku ingin bangunan itu melebar-jadi-seperti pinggulnya."
"Ya, Padishah."
Semua tubuh mirip satu sama lain, pikir Shah Jahan. Raga bisa memberikan
kenikmatan yang manis, tetapi ia hanya sebuah wadah. Yang kupegang tidak ada
bedanya dengan milik perempuan lain, perbedaannya satu sama lain tidak begitu
jauh. Bahkan dalam kegelapan, aku bisa membedakan Arjumand dengan yang lain.
Sekarang, meskipun semua kenangan sudah berlalu, bentuk tubuhnya, aromanya,
kelembutannya, membakar indraku. Namun, yang kucintai tidak terlihat, hal itu
terletak di dalamnya. Bisikan-bisikan yang tidak bisa didengar, tawa yang
mengambang dalam keabadian, yang hanya bisa terdengar oleh Tuhan, sekilas
pandangan penuh arti hanya bagiku; hal-hal seperti itu memenuhiku dengan begitu
penuh kenikmatan. Oh, Tuhan, betapa singkatnya waktu kami bersama; keabadian pasti akan terasa
tidak lama lagi.Ll 9 Kisah Cinta 1020/1610 Masehi Arjumand "Dia datang! Dia datang!"
Para perempuan harem berbaris di balkon, menempel ke dinding yang berkisi-kisi,
saling mendorong dan berdesakan, menyelinap ke sudut-sudut, dan mengintip di
antara bahu-bahu, naik ke atas bangku dan meja. Sambil melompat-lompat dengan
panik, bagaikan burung yang akan diterkam, mereka mengintip ke bawah, ke arah
halaman istana. Aku duduk sendirian di dalam sebuah ruangan kosong, sambil
memandang dari jendela ke arah Sungai Jumna. Arus Sungai Jumna bergerak dengan
tenang dan perlahan, berwarna seperti logam yang terbakar, tidak tersentuh oleh
kebahagiaan ataupun kesedihan. Seperti bumi dan langit, Sungai Jumna mengesankan
keagungan tentang keabadian. Aku merasakan kehadiran Isa di dekatku. Aku bisa
merasakan keprihatinannya; rasa itu benar-benar menenggelamkanku. Aku tidak bisa
berbalik, karena tahu, jika melihat wajahnya, aku akan menangis. "Dia datang .."
Jeritan kegairahan dari sisi lain istana memenuhi diriku dengan perasaan kering
dan pedih yang tak tertahankan. Harapanku telah terpenjara selama dua tahun ini,
dalam keheningan penantian yang begitu kejam. Sekarang, harapan itu berlutut,
menundukkan kepala di atas papan, mengetahui bahwa pisau algojo tidak akan
meleset-wussl-harapan itu berguling tak berdaya dalam keadaan mati, membisu di
tengah riuh-rendahnya kerumunan orang. Rasanya lebih baik aku mengalami hal itu,
daripada menghadapi kematian seperti ini, untuk membuka genggaman tanganku dan
membiarkan kerinduanku jatuh. Tetapi, di antara semua kepedihan ini, aku masih
hidup. "Bolehkah kita melihat seperti apa pengantin Shah Jahan?"
Isa mengikutiku menuju balkon dan para perempuan itu menyadari kehadiranku. Ada
beragam ekspresi iba dan simpati, beberapa orang berekspresi penuh kemenangan,
beberapa lagi memancarkan ekspresi kegembiraan tertahan yang muncul saat orang
lain terluka. Aku mendesak kerumunan agar bisa maju ke depan.
Iring-iringan berhenti di bawah kami dan seorang gadis dibantu keluar dari tandu
oleh budak-budaknya; dia dipeluk dan disambut oleh para perempuan yang lebih
tua, yang sedang menunggu di pintu masuk. Di belakangnya, berjajar
dari istana hingga ke jalan-jalan di depan benteng, berbaris karavan hadiah yang
dikirimkan oleh pamannya, Shahinshah dari Persia, kepada Mughal Agung, Jahangir.
Lima puluh kuda jantan Arab, empat ratus budak, emas, perak, batu-batu mulia,
dan yang paling penting di antara semua, hadiah berupa persahabatan dengan
Shahinshah. Hal itu mewujud dalam bentuk seorang perempuan. Dia sudah melakukan
perjalanan selama berbulan-bulan, dikawal hingga ke perbatasan Kandahar oleh
bala tentara Persia, dan dijemput di sana oleh pasukan Mughal.
Kandahar adalah pusat pertemuan antara dua kerajaan tersebut, pusat nadi
perdagangan, sebuah kota yang kaya dan makmur. Kepemilikan kota itu jatuh
bergantian dari satu penguasa ke penguasa lain secara bergantian, selama
bertahun-tahun, tergantung kehebatan bala tentara masing-masing. Pada saat itu,
kota Kandahar dikuasai oleh Jahangir. Hubungan di antara dua kesultanan itu
berada pada kondisi yang paling tidak bisa diduga. Masing-masing mengamati yang
lain dengan sudut pandang penuh kecemburuan dan kewaspadaan, keduanya
diseimbangkan oleh kekuatan lain di suatu daerah pinggiran Kandahar. Bahkan saat
sedang berdamai pun, persahabatan kedua negara ini tidak mulus. Bertahun-tahun
yang lalu, saat Humayun kehilangan Delhi karena direbut Shershah, dia meminta
perlindungan kepada Shahinshah. Sultan Persia mau melindunginya selama beberapa
tahun, tetapi hanya jika Humayun berpindah aliran agama,
dari Sunni yang merupakan keyakinan Mughal, menjadi Syiah. Sang Sultan kemudian
memberi bantuan dengan sebuah pasukan dan kawalan putra bungsunya, yang tewas
saat perjalanan panjang untuk merebut Delhi kembali.
Kedatangan keponakan perempuan Shah di Agra merupakan tanda bahwa era baru
persahabatan akan segera dimulai. Masing-masing sultan telah memilih untuk
memamerkan perdamaian, karena ini adalah kepentingan mereka yang paling utama.
Jahangir telah memerintahkan seniman-senimannya untuk membuat sebuah gambar
singa Mughal yang sedang setengah merunduk sebagai hadiah bagi kesultanan
Persia. Usia Putri Gubaldan sebaya denganku. Dia sedikit lebih kecil dariku, gerakgeriknya ganjil dan kaku, karena sifat malu yang sangat berlebihan. Tampaknya
ada segumpal asap di sekelilingnya ketika dia menggumam, dan dia membungkuk
kepada banyak perempuan yang menyapanya. Di sampingnya ada seorang perempuan
montok, ibunya, dan kemudian datanglah sejumlah besar dayang-dayang.
Mehrunissa, meskipun masih menjadi dayang-dayang Salima, bersikap seolah seorang
permaisuri yang menyambut pengantin anak lelakinya. Tidak ada yang bisa mengerti
alasan Mehrunissa untuk terus menolak ketertarikan Jahangir. Menurut kabar
angin, Jahangir benar-benar tergila-gila kepadanya. Aku tidak bisa bersimpati
kepadanya, karena dia telah membuatku tenggelam dalam kesedihan yang
hebat. Hanya Mehrunissa sendiri yang saat ini bagaikan sedang berdiri menyambut
pernikahan mereka, karena meskipun Permaisuri Jodi Bai sempat sembuh dari
sakitnya sebentar, secara misterius dia jatuh sakit sekali lagi, memuntahkan
makanan dan darah, dan seminggu setelah penyakit barunya muncul, dia meninggal.
Dalam duka, Jahangir telah memerintahkan agar di istana dilangsungkan masa
perkabungan selama sebulan, yang dipatuhi oleh semua orang, meskipun diam-diam,
seseorang bisa mendengar bisik-bisik: Jodi Bai diracun!
Cinta adalah sebuah alasan yang mengerikan. Jika seseorang bisa mati karena
menginginkan sesuatu, bukankah seseorang juga bisa membunuh untuk
mendapatkannya" Para lelaki telah melakukan ini, perempuan juga. Tetapi, aku
tidak memiliki kekuasaan sang Mughal Agung untuk mencapai tujuanku.
Mehrunissa tersenyum ketika dia mendekatiku bersama sang Putri. Dia tahu betapa
hal itu akan menyakiti hatiku, tetapi karena aku sendiri akan menyambut sang
Putri, dia mengetahui bahwa aku sudah siap. Aku merasakan mata para perempuan
lain mengawasiku, tak diragukan lagi berharap, karena marah dan murka, aku akan
mencakar wajah gadis malang itu. Tetapi, aku hanya tersenyum, dan membungkuk
saat dia lewat di depanku.
"Keponakanku, Begum Arjumand Banu."
"Aku telah mendengar kecantikanmu."
"Yang Mulia begitu murah hati. Aku tidak mengira ada kabar tidak penting seperti
itu yang sampai begitu jauh ke Ishfahan."
Selama sesaat mata kami bertemu dan aku menyadari ada senyuman lemah penuh
kesedihan dalam dirinya, bukan prihatin terhadapku, tetapi lebih terhadap
dirinya sendiri. Matanya berwarna cokelat, lebar, indah, dan waspada; seperti
chital yang mengendus-endus bahaya dengan penuh rasa ingin tahu. Mengapa dia
harus merasa takut kepadaku, aku tidak bisa menjawab. Dia yang akan menikah,
bukan aku. Apakah dia sudah mendengar bahwa Shah Jahan masih mencintaiku"
Pikiran itu membuatku sedikit merasa nyaman.
"Itu bukan kabar yang tidak penting." Sepertinya dia ingin berbicara lebih
banyak, tetapi Mehrunissa mulai menariknya menjauh.
"Aku berdoa untuk kebahagiaan Yang Mulia dalam menyambut pernikahan."
Jika sang Putri mendengarnya, dia kelihatannya tidak bereaksi apa-apa, dan
segera menghilang di tengah kerumunan perempuan. Dia hanya memiliki waktu yang
singkat untuk beristirahat, karena tiga hari lagi dia akan menikah dengan Shah
Jahan. Aku berharap agar bisa kabur, menyelesaikan tugasku dan menggeliat dengan
nyaman, tetapi aku harus tetap tinggal, tersenyum, mengangguk, dan berbicara.
Begum Arjumand Banu yang ini adalah seorang manusia lain, bergerak di istana
dalam impian memabukkan, berjalan dalam mimpi buruk, dan aku bersembunyi di
baliknya, sambil meringkuk dan memejamkan mata rapat-rapat. Satu-satunya yang
kuinginkan adalah keheningan, untuk duduk di
sudut taman di seberang Sungai Jumna, dalam kerindangan pepohonan limau yang
indah, tempat aku menulis puisiku yang kata-katanya terkubur dalam kesedihan.
"Akan lebih sejuk jika kau ke balkon, Agachi," Isa berbisik perlahan.
"Aku tidak membutuhkan udara segar. Aku ingin pergi jauh sekali . untuk
melupakan. Aku ingin pergi ke pegunungan. Maukah kau ikut bersamaku?"
"Tentu saja, Agachi. Aku hidup untuk melayanimu. Tapi, apakah itu akan cukup
jauh?" "Tidak, itu hanya harapan. Aku akan selalu memikirkannya, menginginkannya. Aku
tidak bisa melepaskan diri dari hal itu. Ambilkan aku sedikit anggur,
tolonglah." Ada jeda singkat di antara perayaan ketika sang Putri dibawa pergi untuk mandi.
Saat dia tampil kembali, perayaan akan berlangsung hingga larut malam, dan para
perempuan tidak akan menjalani rutinitas hidup mereka di harem, dan membuat
mereka bisa memamerkan perhiasan terindah dan memakai kain sutra baru. Saat ini,
mereka berbaring di dipan-dipan, berbisik dan tertawa. Dan sepertinya, setiap
tatapan, setiap perkataan, adalah tentang diriku.
Aku menuruti saran Isa dan bergerak ke arah balkon, menatap Sungai Jumna. Ketika
melewati lorong, aku memergoki sebuah gerakan rahasia.
Di dalam sebuah sekat, yang hanya tertutup sedikit oleh tirai muslin, ada tiga
perempuan yang sedang berbaring bersama di atas dipan. Dua orang
berasal dari Kashmir, berkulit putih dan berambut panjang; mereka sedang
membelai-belai seorang gadis Turki yang berbaring di antara mereka. Sang gadis
Turki memiliki wajah lonjong dan bibir yang penuh, dan matanya memejam. Bisikan
dan gerakan mereka membuatku gemetar.
Aku terkesiap, bagaikan terbangun dari mimpi, dan terburu-buru pergi ke balkon
yang menawarkan privasi. Angin sejuk dari sungai menyegarkanku, pakaianku basah
oleh keringat dan kakiku gemetar, jantungku berdegup kencang. Aku menemukan,
dalam tubuhku sendiri, kenikmatan mengalir bersamaan dengan darah. Pengetahuan
ini membawa kepuasan sekaligus ketakutan. Relief-relief yang pernah kulihat di
Khajuraho tidak membuatku merasa bergairah. Tetapi, pemandangan tadi, bagaikan
membangkitkan suatu hasrat rahasia dari dalam tubuhku. Aku tidak bisa
menyalahkan mereka; hanya seorang pria pemberani atau bodoh yang bisa menyelinap
di antara para pengawal, jadi para perempuan harem mendapatkan kepuasan dari
sesama mereka. Betapa lebih hebatnya jika kenikmatan itu dialami bersama seorang lelaki! Dan
betapa memesonanya kenikmatan yang bisa kutemukan bersama Shah Jahan.
Shah Jahan Aku mendengar keributan itu dan segera tahu bahwa calon pengantinku sudah tiba.
Itiam-ud-daulah telah menyambutnya di perbatasan
Agra dan bergabung dengan iring-iringannya. "Seperti apa dia?" aku bertanya
kepada Allami Sa'du-lla Khan.
Dia berdiri di depan jendela, menatap ke bawah. Tampaknya dia bosan dan
kelelahan; aku tahu dia berharap untuk lolos dari jebakan pertanyaan ini.
"Siapa yang bisa mengetahuinya, Yang Mulia" Dia tampak kecil, rapuh. Namun aku
melihat tangan-tangannya cukup cantik. Penampilannya yang lain masih menjadi
sebuah misteri, yang hanya bisa dilihat oleh Anda."
"Saat itu sudah terlambat."
Aku terdiam. Akhir-akhir ini, aku bukan seorang teman yang baik, karena aku
tidak berburu atau keluar bersama para penasihatku. Aku menolak untuk menunggang
kuda, tidak mau bertarung, dan tidak merasakan kenikmatan lagi dari perempuanperempuan lain. Aku berusaha melupakan semuanya dengan menenggak anggur banyakbanyak. "Pergilah." Allami Sa'du-lla Khan menatapku dengan ragu-ragu, tidak mampu untuk
menyembunyikan kelegaannya karena bisa pergi dariku. Aku melambaikan tangan
menyuruhnya pergi; dia membungkuk dan terburu-buru keluar dari ruangan. Aku
menggantikan posisinya di jendela, untuk menatap ke seberang harem dengan
teliti. Arjumand mungkin ada di sana, dalam area pandanganku. Aku menunjukkan
diriku dengan lebih terbuka, berharap dia juga sedang memandang dari seberang.
Tetapi, apa gunanya hal ini" Hanya untuk saling melihat dan jari-jari kami bahkan tidak
saling bersentuhan" Aku mengeluarkan sebuah puisi yang kutulis untuk Arjumand.
Tidak seperti ayahku, aku bukan seorang penyair.
Angin sepoi indah pada fajar menebarkan aroma mawar.
Keharuman menguar dari bumi, di tempat kekasihku berdiri.
Semua kebahagiaan duniawi akan memudar; hai para pengkhayal, sadar!
Karavan kekasihku pergi, sebelum aroma harum itu pergi.
Siapa yang bisa kupercayai untuk mengantarkan puisi ini dengan aman" Jika saja
aku bisa berbicara dengannya. Tahun-tahun keheningan telah meninggalkan sungai
kata-kata yang meluap dalam kerongkonganku, yang terasa mencekik dan membuatku
tidak bisa bernapas. Aku berharap mereka menyerbu keluar dalam suatu banjir
besar, tetapi ternyata hanya bisa keluar dalam bentuk kata-kata lemah yang tidak
berkesan ini. "Padishah ingin bertemu dengan Anda, Yang Mulia," sang wazir membuyarkan
lamunanku. Aku menyembunyikan puisi itu di dalam lipatan sabukku.
Penampilan ayahku telah berubah. Dia menjadi lebih pendiam dan murung, wajahnya
semakin gelap, dan ada aura kepedihan di sekelilingnya. Dia bisa memerintahkan
seluruh dunia untuk merunduk,
tetapi tidak kepada Mehrunissa. Dengan gugup, dia menarik-narik janggutnya, yang
saat ini tampak kusam. Bahkan sarapa dan perhiasannya pun tampak meredup. Jika
aku sendiri tidak sedang berperasaan muram, aku pasti akan tersenyum karena
ironi ini. Kami sama-sama menderita karena cinta, dan kami juga sama-sama
ditolak. Allah memang adil, tetapi kadang-kadang aku merasa ada kekejaman dalam
keadilan-Nya. "Apa yang kau inginkan?" dia berkata dengan tajam, menatapku, mungkin berharap
aku tidak datang, karena penampilanku menggambarkan kondisinya sendiri. Aku
mengingatkannya akan cintanya yang tak terbalas, seperti abangku, Khusrav, yang
mengingatkannya akan pengkhianatan. Dia menghindari kami berdua, bagaikan tidak
mampu menghadapi kelemahannya sendiri.
Tetapi, aku tidak begitu mengancam dibandingkan dengan Khusrav. Dia telah
merusak kesempatannya menjadi sultan dengan hasrat gila kekuasaannya sendiri.
Kegilaan itu telah ditanamkan dalam dirinya oleh kakekku, Akbar, yang secara


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bijaksana telah memilih Khusrav untuk menjadi ahli waris takhta
kesultanan, bukannya ayahku. Menjelang ajalnya, Akbar berubah pikiran lagi,
tetapi tidak bisa mengubah takdir karena Khusrav sudah memilih jalannya sendiri.
Aku mengingat bagaimana Khusrav, sudah tentu, tidak senang dengan kenyataan
bahwa ayahku yang naik takhta. Selama sesaat, takhta itu sempat
berada dalam genggamannya, karena Akbar, dan ketika keinginan itu tidak
tercapai, obsesi terus menguasai dirinya. Jahangir, yang waspada akan hasrat
Khusrav, menahan abangku di istana, hingga dia meloloskan diri dan memimpin
suatu pemberontakan. Pemberontakan itu berlangsung singkat dan dua orang yang
berkonspirasi dihukum mati oleh ayahku. Ini menyebabkan suatu ketidakpercayaan
antara ayah dan anak yang begitu mematikan, dan semakin memburuk ketika Khusrav
berencana untuk membunuh ayahku dalam sebuah perjalanan berburu.
Rencananya adalah membunuh ayahku saat dia sedang berburu di qamargah. Dalam
kebingungan dengan binatang-binatang dan orang-orang, geraman, raungan, dan
jeritan hewan-hewan yang terbunuh, rencana itu akan berjalan tanpa mencurigakan.
Sebuah belati bisa dengan cepat dihunus, ditusukkan, dan diayunkan. Tetapi,
diwan-i-qasi-i-mamalik sempat mendengar desas-desus itu, meskipun Khusrav hanya
membicarakan hal itu bersama para pendukungnya. Bahkan, jika rencana itu belum
sampai di telinga Jahangir, aku pasti akan diberi tahu oleh agen-agennya, karena
nyawaku sendiri pasti tidak akan lebih berharga jika rencana Khusrav berhasil.
Bisakah seorang Mughal Agung membiarkan seorang saudara lelaki sepertiku hidup"
Aku tidak dapat menyalahkan ayahku akan hal yang terjadi selanjutnya. Aku juga
akan bertindak cepat dan keras, tetapi karena Khusrav adalah
abangku, aku merasa sedih. Dia adalah teman kecilku yang paling dekat, meskipun
kami tidak lahir dari ibu yang sama. Di dalam kehidupan para pangeran yang
dibanjiri perhatian dan penghormatan, kami bersahabat. Bersama-sama, kami
belajar keterampilan berperang, menunggang kuda dan bergulat, dan membaca
bersama-sama; suatu ikatan yang bisa sangat membebani. Aku juga memiliki adik
lelaki, Parwez, tetapi kami tidak dekat. Dan ada seorang anak lelaki yang tidak
berhak menduduki takhta, seorang Na-Shudari, Shahriya, yang ibunya adalah
seorang budak Panjabi. Dia bukan sainganku dalam perebutan takhta. Aku bersyukur
karena satu hal: Akbar tidak meracuni hidupku. Seperti halnya semua sultan lain,
kekuasannya tidak sempurna.
Ayahku tidak melakukan apa-apa hingga pagi hari menjelang perburuan. Kemudian,
dia menarik Khusrav, bagaikan memetik buah, keluar dari kelompok pejabat. Banyak
di antara mereka adalah pendukung Khusrav secara diam-diam, dan ayahku sudah
mewaspadai hal ini, tetapi dengan bijaksana memutuskan untuk tidak mengusik
mereka dengan tuduhan. Khusrav sendiri yang akan menderita karena
pengkhianatannya. Satu jam setelah fajar menyingsing, kami berkumpul di diwan-i-am. Pertemuan itu
begitu serius, dan tidak ada orang yang berbicara lebih keras daripada bisikan.
Khusrav dan aku berdiri tepat di bawah singgasana yang bertepi emas. Di belakang
kami, dan di dalam pagar perak, berdirilah wazir dan
para petinggi lain, dan seorang gurz bardar yang membawa sebuah tongkat emas.
Satu langkah di bawah kami, di balik pagar kayu merah terang, para lelaki
terhormat lain berdiri, dan di sebelahnya ada gurz bardar lain yang membawa
sebuah tongkat perak. Aku berdiri sejauh mungkin dengan Khusrav. Di antara kami semua, dia tampak
paling bebas dan santai. Dia tersenyum dan bercanda, tetapi terdiam saat para
algojo yang memakai topeng hitam, masuk dan berbaris di depan dinding di bawah
singgasana. Masing-masing membawa alat eksekusinya. Di atas mereka, kami bisa
mendengar suara-suara desiran lembut dari para perempuan dan melihat wajah-wajah
mereka di balik bayangan yang mengintip kami melalui celah.
Ayahku masuk, menaiki tangga ke mimbar dan duduk di singgasana. Para prajurit
menjaga tangga ini, dan tidak ada seorang pun, bahkan aku, Khurrumnya,
diperbolehkan mendekati sang Sultan. Di bawahnya, seorang petugas menunggu untuk
mencatat peristiwa ini. Setelah ayahku memberi isyarat, gurz bardar mendekat dan menyentuh Khusrav
dengan tongkat emasnya. Khusrav maju selangkah dengan berani, mungkin memercayai
ruh Akbar melindunginya, dan menatap Sultan.
"Khusrav, Khusrav, apa yang kulakukan terhadap dirimu?" Jahangir berbicara
perlahan. "Aku merasa sangat pedih karena mengetahui kau menginginkan
kematianku. Apakah Akbar mengajarimu untuk
membunuh ayahmu sendiri" Tentu saja tidak. Bukan kebiasaannya untuk melakukan
suatu tindakan iblis. Tapi, apa yang bisa kulakukan" Akbar yang menobatkan aku
sebagai Padishah. Aku duduk di singgasana dengan sah. Kaulah yang tidak memiliki
hak. Tanya para penasihatku, apakah ini memang benar."
Para penasihat terhormat bergerak-gerak dengan gugup. Sang Sultan membungkuk,
dengan tatapan terluka dan bingung. Khusrav tidak menjawab.
"Apa yang kugenggam dalam tanganku?" sang Sultan meneruskan berbicara dalam nada
lembut yang sama. "Bukankah ini pedang Humayun" Akbar, dengan tangannya sendiri,
telah menyerahkan pedang ini kepadaku pada akhir hidupnya. Dia membuka
turbannya, dan meletakkannya di kepalaku. Dan dia memutuskan bahwa aku akan
menjadi penggantinya. Mengapa kau menolak untuk menerima keputusannya?"
"Karena .." "Karena!" raungan Jahangir mengagetkan burung-burung gereja, sehingga mereka
beterbangan. "Karena apa" Apakah ada suatu kegilaan yang mendorongmu untuk
membunuh ayahmu sendiri" Apa yang harus kulakukan agar kau bisa kembali waras?"
"Bunuh aku!" Kebodohan Khusrav mengejutkan kami semua. Kami bisa melihat jari-jari para
perempuan, yang merah tua dan berhias cincin, mencengkeram
kisi-kisi bagaikan ingin meraih Khusrav dan menutup mulutnya.
"Taktya takhta," Jahangir berolok-olok. "Takhta atau makam, peribahasa kita, dan
kau telah kehilangan singgasana yang kau inginkan, digantikan dengan sebuah
makam." Dia menggelengkan kepala, bertanya-tanya. "Tapi, bagaimana aku bisa
melakukan ini" Kau adalah anak lelakiku. Humayun memaafkan saudara-saudara
lelakinya karena Babur memerintahkan hal itu. Aku tidak bisa mengeksekusimu.
Darahmu tidak akan hilang dari tanganku, darahmu hanya akan terserap di bawah
singgasana dan menggemburkan tanah yang menyangganya. Ah! Kau tersenyum karena
kau tahu aku tidak akan membunuhmu. Kau membaca pikiranku dengan bijaksana,
karena aku tidak akan menjadi orang pertama yang melanggar hukum Timur-jangan
membunuh darah dagingmu sendiri. Lalu apa, Khusrav" Pengasingan" Wajahmu
berbinar karena pikiran itu. Apakah kau percaya jika aku akan membebaskanmu agar
kau bisa pergi dan mencari perlindungan dari sepupuku yang menyebalkan,
Shahinshah, dan kembali bersama tentara Persia" Tidak. Aku tidak akan bisa
tertidur dalam kedamaian. Tetapi, jika kau tetap di sini, aku tidak akan merasa
nyaman karena tatapanmu yang penuh kecemburuan. Setiap hari, aku akan melihat
matamu menatap pedang dan turban kerajaan dengan penuh nafsu. Karena itu, aku
sudah memutuskan .." Padishah menatap si pencatat dan berbicara dengan perlahan
dan lebih jelas, agar tidak ada yang salah mengerti. "Kau akan tetap berada di istana selamanya,
kuperintahkan seorang prajurit untuk merantaimu. Dan untuk melindungimu dari
kecemburuanmu sendiri, kau akan dibuat buta."
Tidak ada yang bisa berbicara. Sikap menantang Khusrav hancur berkeping-keping
dan dia terjatuh. Para prajurit menahannya dan menyeretnya keluar. Sekarang,
jari-jari para perempuan tergantung dengan lemah di antara kisi-kisi, bagaikan
daun basah setelah badai. Mereka tidak berbicara kepada Sultan, sebagaimana hak
mereka. Hanya suara tinggi mereka yang saat ini bisa menyelamatkan Khusrav,
tetapi mereka juga memilih untuk diam. Sang petugas mencatat kalimat itu,
kemudian menyerahkannya kepada Sultan. Sang Sultan membubuhkan segel kerajaan
Muhr Uzak di kertas itu. Saat ini, tidak ada orang di negeri ini, bahkan sang
Sultan sendiri, yang bisa menyelamatkan Khusrav.
Khusrav dijatuhkan ke tanah. Para algojo mengelilinginya, memegangi kakinya,
lengannya, dan salah seorang menduduki dadanya, sementara yang lain memegangi
kepalanya. Sebuah paku tajam yang panjang dan runcing dipanaskan di tungku. Saat warnanya mirip buah ceri, seorang algojo
membuka mata Khusrav. Apa yang terakhir dia lihat" Bukan pepohonan, burungburung, ataupun langit biru, hanya wajah-wajah buruk para penyiksanya. Paku
panas itu ditusukkan ke salah satu matanya, kemudian matanya yang lain. Dia
menggeliat dan meronta-ronta; mulutnya terbuka lebar. Darah dan
air mata membasahi wajahnya, menetes ke tanah. Para algojo berdiri dan dia
terbaring sambil meratap, menutup luka berdarah dengan kedua tangannya. Sang
hakim berlutut, membersihkan luka dan menempelkan ramuan obat ke luka berdarah
sebelum membalutnya dengan kain muslin.
Aku tidak menyalahkan Khusrav maupun ayahku karena tindakan mereka. Itu adalah
kismet mereka. Tetapi, aku tidak dapat memaafkan kelemahan Jahangir dalam
menjatuhkan hukuman. Khusrav masih hidup, sebagai hantu yang terantai, begitu
juga ambisinya. Ayahku mungkin percaya bahwa dia tidak akan dihantui oleh ruh
Khusrav yang gentayangan, tetapi aku tidak. Bayangan Khusrav masih akan
menghantuiku saat aku naik takhta.
Di istana, jika ayahku melihat Khusrav berjalan-jalan belenggu rantainya,
meraba-raba jalan di depannya dalam kegelapan, menyusuri koridor-koridor yang
rumit, dia akan memerintahkan pengawal untuk membawa Kushrav pergi.
"Semua orang menginginkan sesuatu. Tapi, tak ada yang bisa memberikan apa yang
kuinginkan." "Itu bukan salahku, Ayah."
"Apa lagi yang dia inginkan, tetapi belum kulakukan?"
Tampaknya pertanyaan itu juga terus-menerus menghantui benakku. Aku bisa saja
menjawab dengan keras, tetapi aku hanya menyimpannya untuk diriku sendiri:
singgasana. Dia sudah bertekuk
lutut di hadapan Mehrunissa. Semakin lama Mehrunissa membuatnya menunggu,
cintanya kepada Mehrunissa akan semakin dalam. Mehrunissa tidak menolak harapan
Jahangir, karena dia tahu, betapa Jahangir sangat ingin lepas dari kesepian
dalam kekuasaannya. Aku tidak memedulikan kesepian Jahangir, hanya memedulikan kesendirianku.
Bisakah aku memercayai Mehrunissa" Akankah dia mengubah pendirian Jahangir
terhadap Arjumand, terhadapku" Aku bukannya tidak mengetahui bagaimana rapuhnya
kasih sayang seorang sultan terhadap anaknya, tetapi aku bisa memanfaatkan hal
itu sedikit. "Tidak diragukan lagi, peramal bintangnya telah menyarankan agar dia menunggu
waktu yang tepat." "Ya, ya," sahut Jahangir dengan penuh ketertarikan. "Aku juga berpikir begitu.
Siapa peramal bintangnya?"
"Aku tidak tahu. Kau memiliki kekuasaan untuk mengungkap semua rahasia. Cari
tahu siapa orangnya, dan berilah imbalan yang sangat besar kepadanya untuk
mengubah ramalannya."
"Bagaimana jika itu bukan karena si peramal, tetapi hanya karena Mehrunissa"
Dengar, aku menulis puisi untuknya."
Jahangir mengambil setumpuk kertas dari meja di samping dipan. Aku melihat
usahaku untuk menulis kepada Arjumand sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan
hasil karyanya. Selama sesaat, dia tampaknya ingin membacakannya
keras-keras kepadaku, tetapi dia berubah pikiran dan malah menatap kata-kata
itu, bagaikan sedang menatap seraut wajah. Amarahnya serasa disejukkan oleh
rangkaian kata itu, karena setelah menyimpan puisi itu di meja, dia tersenyum
kepadaku. "Kau seharusnya bergairah melihat calon pengantinmu. Apakah kau lihat kuda-kuda
yang dia bawa" Sangat indah. Pecundang itu berpikir bahwa dia lebih mulia
daripada kita karena hanya mengirimkan seorang keponakan, bukannya putrinya
sendiri. Apakah dia benar-benar yakin bahwa kita tidak cukup baik bagi
kesultanan sialannya itu?"
"Itulah hal yang kuharap bisa kudiskusikan dengan Ayah."
Aku berbicara dengan hati-hati. Tidak ada yang lebih buruk, mematikan,
menyengsarakan, mengancam bagaikan terkaman macan, menghancurkan seperti amukan
gajah, bahkan memusnahkan seperti bencana alam yang paling besar sekalipun,
daripada kebangsawanan yang terhina. Teriakannya, geramannya, bisa melompat
melewati dinding-dinding istana dan benteng, mengejutkan dan menghancurkan.
Lukanya bukan luka jasmaniah, tergores oleh sebuah telwar atau jamdad, tetapi
tak kasatmata, jauh di dalam; hatinya pasti berdarah-darah.
"Apakah itu harus didiskusikan?" Bukan suara Jahangir yang kudengar, tetapi
bisikan di baliknya. "Apakah kita akan mengizinkan dia menghina kita seperti ini" Aku Shah Jahan,
putra mahkota kesultanan ini, yang sama besarnya dengan kesultanan Persia. Seharusnya dia
mengirimkan putrinya, bukan seorang keponakan yang tidak penting. Apa
kepentingan sang keponakan bagi Shahinshah" Akbar menikah dengan putri-putri
Rana Rajput, bukan dengan keponakan atau sepupu."
"Yang kau katakan memang benar, tetapi sudah terlambat. Aku sudah menerimanya
sebagai calon istrimu. Mengirimkannya kembali berarti perang." Dia tersenyum
dengan murah hati. "Aku tahu hatimu sudah terpikat kepada Arjumand. Nikahilah
dia sebagai istri kedua. Aku mengizinkanmu."
"Aku tidak menginginkan Arjumand sebagai istri keduaku. Mengapa aku harus
membuatnya kurang mulia daripada seorang perempuan lain" Arjumand akan
melahirkan putra-putraku."
"Apakah kau memang keras kepala, selain bodoh" Aku memerintahkanmu untuk
menikah, dan kau berdebat denganku! Kegilaan sudah mencemari otakmu. Cinta akan
berlalu. Kau bukan seorang pria biasa."
"Dan Ayah sendiri?"
"Apa?" "Aku mengatakan "... dan aku mendengar. Aku sudah memiliki banyak putra, dan mereka berharga-kau
adalah putra kesayanganku, dan lihatlah masalah yang telah kau sebabkan terhadap
diriku-dan yang kulakukan saat ini tidak memengaruhi nasib kerajaan. Aku akan
memperistri Mehrunissa, temanku di kala berusia senja. Dia tidak akan ikut
campur dalam keputusanku akan seorang ahli waris-aku telah memilihmu." Nada
suaranya berubah serius, seperti terancam: "Mengapa kau tidak mengizinkanku
menjalani cinta ini" Kau beruntung karena bisa mencintai dan dicintai. Itu bukan
keberuntungan yang biasa dimiliki seorang pangeran. Aku memberikan cinta kepada
ayahku, tetapi tidak berbalas. Aku mematuhinya dalam hal pernikahan juga, tidak
seperti dirimu. Aku mencintaimu, Putraku. Nah, aku sudah mengatakannya. Akbar
tidak pernah membiarkan kata-kata itu terucap dari bibirnya. Dia mengungkapkan
itu kepada si pecundang, Khusrav, dan lihat apa yang terjadi pada dirinyamembakar otaknya sendiri. Saat ini, di ujung usiaku, aku mencintai." Dia
mendesah dengan dramatis.
Itu adalah kismetnya, nasibnya, keberuntungannya, dan hal itu membuatnya
bahagia. Dia telah menemukan taman kenikmatan. Dia melihatku melunak. "Aku
diberi tahu bahwa Putri Gubaldan adalah seorang yang molek. Tubuh seorang
perempuan sama saja seperti tubuh orang lain. Nikmatilah dirinya."
"Bagaimana Ayah bisa mengatakan itu sementara Ayah sendiri menginginkan
Mehrunissa?" "Badmash, jangan lagi becermin kepadaku. Aku adalah sultan. Yang harus kau
lakukan adalah untuk kepentingan semua pihak, bukan hanya kepentinganmu sendiri.
Pergilah." Dia berbalik dan membuka turban Kesultanannya. Seorang budak menerimanya dan
meletakkannya dengan penuh penghormatan dan meletakkannya di meja perak. Rambut ayahku
dipenuhi uban; meskipun tampak berusia lanjut, umur Jahangir baru empat puluh
tahun. Dia telah menua akibat alkohol dan ketidaksabaran menanti begitu lama
untuk naik takhta. Di antara jali, sinar matahari terbenam menyelinap masuk, pecah ke dalam polapola yang rumit, dan menerangi diwan-i-khas dengan samar-samar. Batu merah
menyerap sinarnya, menelannya, menjadikan ruangan ini redup, seperti sel-sel
bawah tanah yang dikelilingi dinding di dalam benteng. Aku tidak menyukai
perasaan sesak seperti ini; suasana yang suram pasti memengaruhi temperamen
seorang sultan yang terperangkap di ruangan ini. Meskipun lilin-lilin dan lampulampu sudah dinyalakan, mereka menghasilkan kegelapan, bayang-bayang yang
berkelip-kelip di dinding seberang. Aku pasti akan mengganti kurungan ini dengan
sebuah ruangan yang lebih terang, disinari cahaya merah muda terang dari
matahari terbit dan terbenam.
Ayahku mengabaikan kehadiranku; dia telah kembali tenggelam dalam puisinya dan
wazir telah menunggu untuk mengantarku keluar. Aku membungkuk; tetapi
penghormatan itu tidak dia sadari.
Isa Apakah aku memang layak untuk dipercaya" Semua terasa bagaikan beban yang sangat
berat di pundak seorang pelayan. Secara alamiah, posisi kami dengan mudah bisa memanipulasi dan
mengintimidasi para majikan. Aku terus-menerus memikirkan hal ini dalam benakku
sambil berjalan dalam kegelapan menuju istana Shah Jahan. Tidak ada sinar bulan
dan awan tebal menutupi bintang-bintang. Aku bahkan tidak bisa melihat tanganku
sendiri, apalagi jalan di depanku.
Aku dikejutkan oleh sesosok manusia yang berjubah. Aku mencium wewangian-seorang
perempuan-tetapi wajahnya tersembunyi.
"Kau Isa?"

Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya!" "Yang Mulia, Shah Jahan, menyuruhku memanggilmu. Pergilah!" Dan dia menghilang.
Kabut tebal mengepul bagaikan asap dari Jumna. Aku menarik mantelku lebih rapat,
menutupi seluruh tubuhku, bahkan wajahku. Turban telah menghangatkan kepalaku,
tetapi kedua kakiku kedinginan. Istana terselubung kegelapan. Aku sedang
berpikir-pikir, apakah panggilan ini hanya muslihat semata, saat tiba-tiba
sebuah pintu terbuka, dan seorang perempuan lain menarikku masuk. Dia melangkah
dengan sangat mantap; aku sama sekali tidak. Aku mengikuti sosok gelapnya sebisa
mungkin, tersandung dipan dan bantal, permadani dan meja. Dengan tidak sabar,
dia menarik tanganku. Kami berjalan melewati sebuah taman dan menuruni beberapa
tangga di dekat semak mawar menuju taman lain, kemudian lebih jauh lagi, turun
menuju tingkat yang lebih rendah.
Shah Jahan menunggu di sana, terselubung jubah, dan duduk di dipan, menatap ke
arah sungai. Sebuah poci minuman anggur dari emas terletak di rumput, di
sebelahnya. Dia sedang menggenggam sebuah cangkir emas, menenggaknya hingga
habis, kemudian mengisinya lagi dengan sikap goyah. Dia berayun-ayun,
memicingkan mata untuk melihatku, kemudian melambai menyuruhku mendekat.
Perempuan tadi menghilang bagaikan kabut yang memudar.
"Kau Isa, budaknya?"
"Ya, Yang Mulia. Pelayan, bukan budak." Dapatkah seorang pangeran mengerti
perbedaannya" Mungkin dia tidak bisa mendengar; para pangeran biasanya hanya
mendengar hal-hal yang dia inginkan.
"Aku akan menikah besok."
"Saya tahu." "Diam! Aku tidak mengharapkannya. Aku tidak menginginkan ini . orang Persia! Aku
tidak bahagia. Ini membingungkan. Seorang pangeran tidak seharusnya merasa tidak
bahagia. Aku memiliki segalanya dalam hidup ini, kecuali Arjumand. Apakah kau
mendengarku?" Dia membungkuk dan anggurnya tumpah. Aku tidak menjawab, dan dia
berbalik dengan cepat, seperti seekor rajawali. Aku bisa menangkap kilauan
matanya. "Bodoh. Aku bertanya, apakah kau mendengarku?"
"Ya, Yang Mulia."
"Dengar. Tidak ada perempuan lain yang pernah
mengakibatkan aku seperti ini. Arjumand! Apakah kau juga merasa seperti ini,
Isa?" Aku tidak dapat menjawab secara jujur.
"Aku bertanya, pernahkah kau merasa seperti
ini?" "Tidak, Yang Mulia."
"Kau heran mengapa aku berbicara seperti ini kepadamu" Siapa lagi yang ada di
sana, yang bisa menyampaikan perasaanku kepadanya tanpa menggunakan kata-kataku
bagi kepentingannya sendiri" Di istana, tidak ada seorang pun yang mengerti arti
cinta, mereka hanya mengerti keuntungan, kebijakan. Menyedihkan. Apakah dia
menangis?" "Ya, Yang Mulia."
"Aku pun begitu, aku juga." Dia mencengkeram poci lagi, tetapi tidak ada yang
tumpah keluar. "Anggur, anggur, bawakan aku anggur lagi."
Seorang budak maju dan mengganti poci itu; embun memenuhi sisi poci menggembung
yang berkilat. Aku menuangkan anggur, karena saat ini dia sudah tidak mampu
melakukannya sendiri. "Kau sangat beruntung, Isa. Ribuan kali lebih beruntung daripada aku. Apakah kau
tahu mengapa" Kau melihatnya setiap hari. Kau melihat matanya bercahaya,
bagaimana dia menyibakkan rambut dari wajahnya; kau melihat gerakan jarijarinya, bagaimana dia berjalan; kau melihat dia tersenyum ... senyuman itu, yang
dengan lembut bersinar di wajahnya, seperti cahaya bulan yang dipantulkan
permukaan air." "Sangat sering, Yang Mulia."
"Katakan kepadaku, bagaimana caranya menghabiskan waktu?" Dia menatapku dengan
serius. "Yang Mulia, dia tidak menatap apa-apa. Dia terbangun, mandi, berpakaian, makan
sedikit, kemudian duduk sepanjang hari dengan buku puisi di pangkuannya, yang
jarang dia baca. Kadang-kadang, dia pergi jauh ke luar kota; kadang-kadang, kami
menghabiskan sepanjang siang untuk membantu orang miskin. Ini membuat pikirannya
teralihkan ...." "Tidak, tidak, Isa. Tidak boleh ada yang mengalihkan perhatiannya dariku.
Katakan kepadanya, tolonglah. Aku memohon padamu. Aku akan memberimu imbalan
besar." "Saya tidak membutuhkan imbalan. Tapi, apa gunanya bagi Arjumand?" aku bertanya
dengan pahit. Dia menggumam sendiri. "Siapa lagi orang yang kutemui, yang bisa menghentikan
napasku seperti dirinya" Dunia ini, bahkan bagi seorang pangeran, tidak dipenuhi
oleh banyak orang. Dunia ini hanya terisi oleh satu orang. Arjumand." Dia
menyambar lengan bajuku dan menarikku dengan kasar ke arahnya. "Jika dia
menikahi orang lain, aku akan hancur. Aku bisa kabur. Aku akan kabur. Aku tidak
mampu bertahan jika dia mengabaikanku."
"Andalah yang mengabaikannya," aku berhenti sebentar. "Yang Mulia."
"Kau kesal kepadaku. Apakah dia juga?"
"Tidak." "Dia pasti lebih mengerti. Aku telah berusaha, tapi tetap tidak bisa membujuk
ayahku. Dia memerintah, dan aku mematuhi. Apakah itu adalah suatu kelemahan" Aku
berharap agar dia menunjukkan kekuatan dengan cara bersabar. Hak apa yang
kumiliki untuk meminta ini kepadanya, selain meminta cintaku" Kau harus
menyampaikan kepadanya dengan kata-kata yang sama dengan yang telah kuucapkan
kepadamu." "Dan berapa lama dia harus menunggu, Yang Mulia?"
Dia tidak menjawab. "Selamanya?" "Tidak, tidak selamanya," dia berbisik. "Itu pasti akan menghancurkan hatiku
juga. Tidak akan lama." Dia menggelengkan kepala, mencoba berpikir jernih, lepas
dari pengaruh anggur. "Tidak akan lama." Dia merogoh-rogoh ke balik sabuknya dan
mengeluarkan sebuah bungkusan kusut, terbungkus dalam kain sutra. "Ini, berikan
ini kepadanya; sebuah puisi, tapi tidak indah, karena aku bukan penyair. Ada
sepucuk surat juga untuknya di dalam sini. Apakah dia akan menghadiri
pernikahanku?" "Tidak, Yang Mulia. Itu tidak bisa terlalu diharapkan."
Dia terdiam, kemudian tenggelam dalam lamunan, berusaha mencari-cari pikiran dan
perasaannya. Kabut dari arah sungai mulai mencapai tubuhnya, jatuh di bahunya,
kemudian menyelubungi seluruh tubuhnya di dalam gulungannya yang lembap. Dia
tidak menyadari kepergianku.
Jalan-jalan masih gelap dan kosong. Aku berjalan dengan cepat, tidak ingin
menarik perhatian. Saat aku berjalan, aku mengucapkan kembali kata-kata sang
pangeran dengan tepat, berulang-ulang, sehingga semua bisa sampai di telinga
Arjumand. Tiba-tiba, tiga bayangan mengelilingiku. Semua terjadi terlalu cepat.
Aku ditahan dan diringkus dari belakang.
Shah Jahan Pernikahanku bukanlah suatu pernikahan yang syahdu dan berkesan. Aku terbangun
dalam kekosongan sehabis mabuk oleh irama dundhubi yang menandakan kehadiran
ayahku di jharoka-i-dharsan. Fajar, waktu yang sangat kusukai karena kelembutan
langit yang tampak manis, datang terlalu cepat. Aku dijemput oleh Allami Sa'dulla-Khan, para pelayan, para petinggi, dan banyak orang lain untuk dimandikan
dan didandani, dipakaikan sarapa yang berhias emas dan berlian. Sebutir batu
mirah berukuran besar di turbanku berkilauan bagaikan mata ketiga. Jamdad
upacara, yang bertatah berlian dan zamrud, diselipkan di sabuk emas yang
melingkari pinggangku. Aku merasa terbebani oleh beratnya perhiasan itu.
Seekor kuda jantan putih sudah menunggu, berkilauan dengan pelana, kekang dan
talinya, serta sanggurdi emas. Di sebelahnya ada seorang budak yang membawa
payung emas. Upacara ini dimulai-tabla, seruling, dan sankha bergema dalam kepalaku yang sakit. Kerumunan
manusia berbaris di jalan: "Zindabad Shah Jahan. Zindabad." Untuk apa aku
dikaruniai umur panjang"
Para penunggang kuda berderap di sebelah kanan dan kiri, di depan dan di
belakangku; tidak ada celah untuk kabur. Kami menunggang kuda menyusuri jalan
menuju benteng; ayahku menunggu di istana. Bulu burung elang laut di kepalanya
mengangguk-angguk diterpa angin. Dia naik dan berdiri di sampingku, melihat
kelelahanku karena anggur dan tidak tidur semalaman. "Ini tidak akan
menyakitkan," dia berkomentar, dan memang lebih berpengalaman dalam hal ini,
meskipun dia baru saja merasakan cinta.
Kami berderap bersama. Di depan kami, para budak menebarkan kelopak mawar dalam
jumlah banyak, gadis-gadis nautch menari, dan suara genderang semakin lama
semakin keras saat kami tiba di harem istana. Aku melihat para perempuan
mengintip ke bawah; yang lain menunggu untuk menyambut kami. Para mullah juga,
sebagai simbol kesucian, untuk formalitas upacara ini, menunggu di sana. Sebuah
pandal-tenda yang besar-berwarna emas telah dibangun di dalam istana. Aku
dituntun ke sana dan didudukkan, kemudian sang pengantin muncul dan tiba di
hadapanku. Aku belum melihat wajahnya yang masih tertutup oleh beatilha. Aku
tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran dan aku merasa, meskipun tamasha
mengelilingi kami, dia bisa merasa jika diriku jauh darinya. Tampaknya dia
mendesah saat duduk. Tidak seperti umat Hindu, upacara pernikahan umat Muslim
berlangsung singkat. Seorang mullah membaca ayat-ayat suci Quran, kami
menggumamkan ikrar kami satu sama lain, kemudian berdiri dan menerima restu dari
ayahku, sang Sultan. Hari itu penuh alunan musik, tahan, dan perayaan yang meriah. Ribuan orang bisa
menikmati pesta yang hebat, koin-koin emas dan perak dibagikan kepada orang
miskin. Para lelaki terhormat datang dalam barisan yang tak terputus, membawa
semua hadiah yang bisa dibayangkan: jamdad emas, kotak-kotak berisi berlian,
mutiara, zamrud, budak-budak, kuda, gajah, dan harimau berparade tanpa henti di
depanku. Pengantinku masih membisu, kepalanya menunduk, bagaikan sedang meratap. Aku
tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Kekakuan yang dingin sudah terjadi di antara
seorang pria dan istrinya, dan aku tidak bisa mengenyahkannya. Pada sore hari,
dia dijemput dari sisiku oleh para perempuan yang tertawa dan tersipu, untuk
menyiapkannya menghadapi malam pengantin.
Saat dia sudah dimandikan, diberi wewangian, dan diberi pengarahan, kemudian
berbaring dalam selubung bayangan, para perempuan datang untuk menjemputku. Aku
dituntun menuju kamar, pakaianku dibuka, dan dibantu untuk berbaring di
sampingnya. Tubuhnya begitu muda dan kencang. Aku bisa merasakan kehangatannya,
aroma kulit dan rambutnya.
Aku tahu, pada saat fajar, para perempuan akan terburu-buru masuk dan memeriksa
tempat tidur. [] 10 Taj Mahal 1045/1635 Masehi Tak, tak, tak, tak, tak. Suara itu terdengar nyaring, berirama, dengan ribuan
gaung. Di bawah kerindangan pohon dan tenda-tenda darurat yang sudah usang,
terlindungi dari sinar matahari yang menyengat, para perajin batu memotong dan
memahat. Tanah berwarna kelabu karena serpihan batu yang terlontar. Awan putih
mengepul di udara, dari debu tebal yang menggantung di bahu para lelaki dan anak
lelaki yang sedang membungkuk. Batu bara panas dari perapian yang jumlahnya tak
terhingga membuat hawa semakin panas, sehingga debu berputar-putar dan
bergulung-gulung di atas bebatuan.
Murthi berjongkok di depan sebongkah marmer. Dia tahu, marmer-marmer itu datang
dari jauh, dari tambang-tambang di Rajputana. Setiap hari, kelompok-kelompok
kerbau dan banteng menyeret bongkah-bongkah batu raksasa. Batu di depannya ini
memiliki permukaan yang kasar, berukuran dua kali tinggi manusia dan tebalnya
dua kali rentangan tangan. Peralatannya tergeletak di dekat kakinya, seperti yang telah biasa
terjadi selama beberapa hari ini. Gopi menjaga api unggun, agar batu bara tetap
panas saat diperlukan. Murthi mengusap permukaan batu itu, mengetuk dengan satu
jarinya-sebuah kebiasaan sehari-hari-mencoba berkomunikasi dengan jiwa batu
tersebut. Selama satu jam, dia akan mengamatinya, memicingkan mata untuk melihat
garis-garis potongan dan pola-pola rumit yang ada di dalam batu. Sering kali,
dia akan merogoh-rogoh ke dalam karung goni kecilnya dan mengeluarkan gambar
yang diberikan kepadanya. Perhitungan jali yang akan dia pahat begitu cermat,
sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia hanya belum puas dengan
rancangannya sendiri. Rancangan itu geometris, tidak imajinatif, terbuat dari
garis-garis vertikal dan horizontal. Gambar ini tidak memuaskannya; tidak ada
keindahan di dalamnya. Bagaimana dia bisa memahat garis-garis lurus" Tangannya
lebih mampu membuat bentuk-bentuk yang lebih rumit: lengkungan, bentuk-bentuk
cincin, bentuk yang meliuk-liuk, bagaikan sosok-sosok dewa yang sedang menari.
mim Dia mengenang kembali hari saat dia dipanggil. Terburu-buru, dia berjalan
mendekati petugas, menunggu datangnya bencana, karena saat ini para petugas
telah menemukan bahwa dia tidak bekerja. Mereka akan memintanya mengembalikan
uang; dua rupee sehari memang jumlah yang sedikit, tetapi terlalu banyak baginya untuk
mengembalikan sebesar itu. Tetapi, dia malah dipersilakan ke sebuah shamiyana,
yang penuh dengan para petugas yang sedang membungkuk, menghadapi gambar-gambar.
Mereka masih berdiri, terdiam, hingga salah seorang dari mereka menyadari
kehadirannya. "Saya Murthi, seorang Acharya."
"Mari, mari." Mereka senang melihatnya, dan lelaki yang tadi berbicara bergeser agar Murthi
bisa berdiri di sampingnya. Pria itu tinggi, cukup kurus, dengan penutup di
sebelah mata dan tangan yang seperti Murthi: kuat dan bertonjolan. Dia adalah
Baldeodas; berasal dari Multan.
"Pekerjaan kita hampir sama," kata Baldeodas. "Sama-sama pemahat. Aku diberi
tahu, kau memahat dewa-dewi."
"Ya," Murthi menjawab dengan berani. "Tapi, tidak ada yang seperti itu di sini."
"Yang akan dibuat sama berharganya dengan itu. Apakah kau mengerti gambar?"
"Tentu saja," jawab Murthi dengan bangga. "Aku juga mengerti pengukuran."
"Lebih bagus. Lihat. Ini adalah jali yang akan diletakkan di sekeliling makam
Permaisuri." Murthi mempelajari kertas itu beberapa saat, menyerap detail-detailnya. Jarijarinya yang kuat dan gempal menyusuri garis-garis, sementara pikirannya
membayangkan ukuran gambar itu.
"Ini akan memakan waktu lama," akhirnya dia berkata. "Waktu yang cukup lama."
"Tentu saja. Dan pola-polanya?" "Ini sangat sederhana."
"Orang-orang Muslim," Baldeodas berbisik, "menyukai hal-hal yang sederhana.
Bisakah kau merancang yang lebih bagus?"
"Ya," jawab Murthi. "Kepada siapa aku harus menunjukkannya?"
"Kepadaku. Tapi ingat, jangan ada sosok manusia. Agama mereka melarang hal-hal
seperti itu. Bunga-bunga dan dedaunan, itulah yang mereka sukai untuk monumenmonumen mereka." Murthi merasa sedih karena mereka membatasi diri dalam kesederhanaan seperti
itu. Apa artinya bunga-bunga pada dekorasi yang indah" Mereka tidak bisa
menggaungkan irama rumit dunia kosmik. Dia tetap terdiam, tidak lagi mempelajari
gambar itu. Baldeodas merasakan bahwa Murthi sedang mengumpulkan keberanian
untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Pria itu memiliki ketidaksabaran dalam
dirinya; keras seperti batu, tergambar dalam bentuk yang dia buat. "Ada apa?"
Murthi menatap kakinya yang telanjang dan berdebu, tumitnya pecah-pecah dan
kapalan. Semua itu mengingatkannya akan pendapatannya yang rendah. Kemudian,
ketika dia memikirkan karya yang harus dia ciptakan, keberaniannya meningkat
tajam. "Jika aku harus melakukan pekerjaan besar seperti ini, apakah tidak cukup
penting bagiku untuk mendapatkan bayaran lebih besar?"
"Berapa upah yang kau dapatkan?"
"Dua rupee sehari. Itu tidak cukup untuk keluargaku. Istriku juga harus bekerja,
sehingga anak-anakku menderita."
"Aku akan mendiskusikannya dengan bakshi. Hanya dia yang bisa membuat keputusan
tentang upah. Apa yang telah kau kerjakan hingga saat ini?"
Murthi memang sudah mengira akan muncul pertanyaan seperti ini: "Hal-hal tetek
bengek," dia menjawab. Kemudian, dia berdiri dengan cepat, melakukan namaste,
kemudian mengundurkan diri, sebelum Baldeodas mengajukan pertanyaan lain yang
membuatnya tidak nyaman. Bagaikan bermimpi, Murthi terus memikirkan dalam-dalam bongkahan batu di
kakinya. Di sebelahnya, Gopi berjongkok dengan kesabaran yang sama. Sebetulnya
dia lebih memilih untuk bermain bersama teman-temannya, tetapi sudah menjadi
tugasnya untuk membantu sang ayah dan mempelajari keahlian yang sudah diwariskan
turun-temurun selama beberapa generasi. Dia mengerti bahwa sebuah visi hanya


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan datang melalui doa-doa dan meditasi, dan ini membutuhkan waktu. Hidup ini
memang tidak mudah. Ayahnya tiba-tiba berdiri dan menyuruhnya menyapu tanah di
sekitar mereka hingga bersih. Dia mematuhinya. Ketika sebuah ruangan seukuran
bongkahan marmer sudah dibersihkan, Murthi menggambar sebuah
bingkai, kemudian, berdasarkan suatu pola, membuat titik-titik di dalam bingkai.
Dia menggunakan bubuk kapur, seperti yang Sita gunakan untuk menggambar dekorasi
di luar gubuknya setiap hari, setelah dia menyapu dan mencuci. Orang lain
mungkin akan menggunakan kuas, tetapi Murthi dengan cepat menggambar polanya
dengan bubuk kapur, menaburkan garis-garis tipis dari celah antara ibu jari dan
telunjuknya. Dia bekerja selama satu jam, dan setelah menghubungkan titik-titik,
dia menggambar sulur-sulur, bunga-bunga, dan dedaunan, bagaikan tanaman rambat
yang melengkung dan berputar ke arah atas. Ada sebuah batang ramping di bagian
pusat, tempat tanaman merambat dan melingkar ke luar bingkai. Semua garis akan
terhubung kembali ke batang ini, tetapi tampak seperti terpisah. Saat pola ini
selesai, dia berdiri, merasa sangat puas.
"Aku akan memanggil Baldeodas. Jagalah gambar
ini." Saat Baldeodas melihat hasil gambar Murthi, dia merasa puas. Dia berjalan
mengitarinya, mempelajarinya dari berbagai sudut, kemudian memanggil yang lain
untuk meminta pendapat mereka. Mereka semua merasa puas dengan pola untuk jali
tersebut, tetapi sebelum Murthi bisa memulai tugas besarnya, rancangan itu harus
ditunjukkan kepada sang Sultan. Mereka tidak bisa membawa Mughal Agung ke lokasi
berdebu ini, jadi seorang seniman dipanggil untuk menggambar pola karya Murthi
ke sehelai perkamen yang bagus.
Saat kemeriahan sudah mereda, Baldeodas menyeret Murthi ke pinggir.
"Bakshi akan membayarmu empat rupee per hari, saat kau mulai bekerja."
Ini membuat Murthi gembira. Sebetulnya dia ingin meminta lebih dari itu, tetapi
dia berpikir, lebih baik bersabar sebentar. Dia mengetahui bahwa Baldeodas
mendapatkan dua puluh dua rupee per hari, tetapi itu karena dia adalah seorang
petugas resmi. "Sahib," kata Murthi. "Anda mengetahui banyak hal di sini. Apakah Anda pernah
melihat Permaisuri Mumtaz-i-Mahal?"
"Belum," jawab Baldeodas. "Tidak ada orang yang pernah melihatnya."
Jawaban ini tidak memuaskan Murthi. Dia hanya mendengar jika sang permaisuri itu
cantik, tetapi, di luar itu semua, apakah dia memang benar-benar ada"
Isa dan Mir Abdul Karim meletakkan rancangan itu di hadapan Shah Jahan. Sang
Sultan duduk di ghusl-khana, sebuah ruangan sejuk yang dirancang dengan indah,
menyatu dengan harem, dibangun dari marmer putih dan dihiasi relief bunga yang
bertatah perhiasan. Setelah mandi, sang Sultan akan memanggil para penasihatnya
ke ruangan ini, sementara para budak mengeringkan dan meminyaki rambutnya. Lebih
banyak budak lagi yang berdiri, bersiap untuk membantunya berpakaian dan
memasangkan turban di kepalanya. Beberapa saat, dia mempelajari gambar jali yang
akan diletakkan di sekeliling sarkofagus Arjumand-nya yang tercinta. Akhirnya, dia mengangguk,
menandakan persetujuan, dan memalingkan wajah dari gambar ke Abdul Karim.
"Siapa yang merancang ini?" dia bertanya.
"Baldeodas, Yang Mulia."
"Bagus, sangat bagus."
Karim tidak segera mengundurkan diri. Para menteri menunggu, dengan berkasberkas mereka, tetapi Karim mengetahui bahwa yang akan dia ungkapkan akan lebih
penting. "Apa lagi sekarang?"
"Padishah, pekerjaannya sudah maju secara pesat. Fondasinya sudah hampir
selesai. Bagaimanapun, ada satu masalah yang harus dipecahkan. Kontraktor
memberi tahu kita bahwa tidak ada kayu untuk perancah bangunan."
"Di mana-mana?"
"Tidak ada yang cocok untuk bangunan tinggi. Musim hujan telah memengaruhi
hutan. Pohon-pohon jambu mete sudah semakin langka dan orang-orang menebanginya
untuk kayu bakar. Kontraktor sudah mencari di mana-mana."
Mereka menunggu Shah Jahan selesai berpakaian. Mir Bakshi perlahan-lahan
membereskan kertas-kertasnya dengan perasaan tidak enak. Masalah Deccan
menekannya. Akhbar yang dia terima dari agen rahasianya telah melaporkan bahwa
para pangeran kecil, yang mengetahui obsesi baru Shah Jahan, sedang merencanakan
pemberontakan. Lebih buruk lagi, mereka
menggerogoti bagian selatan kesultanan bagaikan tikus-tikus. Pasukan Mughal
harus menghadapi mereka, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk menggerakkan
kekuatan ke sana. Selain itu, Mir Saman menghadapi masalah terus-menerus dengan
musim hujan yang buruk. Panen sangat buruk, ini memengaruhi perdagangan,
sehingga pemasukan berkurang.
"Batu bata," Shah Jahan berkata saat turban Kesultanan sudah diletakkan di atas
kepalanya, dan menteri-menterinya melakukan kornish sebagai simbol penghormatan
kekuasaan. "Bangunlah perancah dari batu bata. Bukankah itu mungkin?"
"Ya, Padishah, tapi biayanya?" Ongkos pembangunan itu menyesakkan mereka semua.
"Keluarkan, keluarkan biayanya. Simpanan harta kita penuh. Aku sudah
memerintahkan agar tidak ada pengeluaran yang harus dipertanyakan, dan sekarang,
kau datang kepadaku dengan masalah yang sama."
Abdul Karim mengundurkan diri dengan terburu-buru. Batu bata! Biayanya membuat
dia mengerenyit. Biayanya akan sama mahalnya jika marmer yang dijadikan
perancah. Isa juga bersiap mengundurkan diri, tetapi Shah Jahan memberi isyarat agar Isa
tetap tinggal, sebelum mengalihkan perhatian kepada Mir Bakshi. Dia mengalihkan
pikiran untuk masalah ini, berharap jika Arjumand ada di sampingnya. Betapa
seringnya Arjumand memberi saran kepada Shah Jahan dalam masalah-masalah
kenegaraan. Bukankah Sultan
telah memberinya simbol kekuasaan yang besar, Muhr Uzak"
"Aku telah memikirkan masalah Deccan baik-baik. Kita harus mengalahkan para
pangeran pecundang itu. Aku akan memerintahkan Aurangzeb untuk memimpin pasukan.
Itu akan menjadi latihan yang baik baginya. Buat rencana detailnya, kemudian
bicarakan dengannya. Sekarang, apa yang bisa kulakukan dengan musim hujan" Aku
bukan Tuhan." "Lumbung masih penuh, Padishah."
"Kalau begitu, ini belum jadi masalah yang serius. Musim hujan berikutnya pasti
akan lebih baik. Aku tahu itu."
Secara bergiliran, dia berdiskusi dengan para menterinya. Saat mereka
meninggalkan ruangan, bersama Isa dia berdiri di teras dan mengawasi aktivitas
di bagian hulu sungai. Di sana, sebuah pasukan besar sedang bekerja: para
lelaki, perempuan, gajah, kerbau, dan kereta-kereta menciptakan aliran
pergerakan yang konstan, di antara debu dan hawa panas.[]
Kisah Cinta 1021/1611 Masehi Arjumand Awalnya, ibuku begitu bersimpati terhadap kesedihanku. Dia menghibur dan
membuaiku, membujuk dengan penuh simpati, tetapi dia tidak betul-betul mengerti
penderitaanku. Cinta datang dengan lembut, perlahan, tidak menyambar seperti
kilat. Cinta adalah kismet: jika cinta datang ke dalam kehidupan seseorang,
orang itu beruntung. Jika tidak, kehidupan tanpa cinta akan terus mengalir
hingga ke liang kubur. Siapa yang akan memprotes" Tidak ada. Kami adalah saman,
yang akan ditukar dengan kekayaan, posisi, atau persekutuan politik. Cinta tidak
akan bisa menjadi bagian kesepakatan itu. Itu hanyalah dongeng, yang dinyanyikan
oleh para penyair. Aku diharapkan, seperti ibuku, nenekku-dan ketika aku merunut
ke belakang lebih jauh dan lebih jauh lagi, aku melihat kami terpenjara oleh
tradisi-untuk menikahi seorang lelaki yang dipilih untukku. Cinta, kasih sayang,
persahabatan, semua akan tumbuh
perlahan-lahan. Tahun-tahun akan berlalu, dan kemudian, aku akan menyadari
dengan terkejut: aku mencintai lelaki ini. Tetapi, siapa lagi yang ada di sana
untuk kucintai" Tidak ada, tentu saja.
Kemudian, kepedulian ibuku berubah menjadi ketidaksabaran, seperti yang sudah
kuduga sebelumnya. Aku tidak bisa menyalahkannya. Tahun-tahun telah berlalu dan
saat ini aku sudah tua, dalam usiaku yang keenam belas, semakin menyusut seperti
bulan, kehidupanku sudah lama melewati titik zenith.
"Siapa yang akan menikahimu sekarang?" itu adalah pertanyaan yang terus-menerus
diajukan oleh ibuku. "Kau sudah terlalu tua. Aku sudah melahirkanmu saat
seusiamu. Aku dulu sudah menjadi perempuan yang berkedudukan mantap, berposisi
bagus. Aku telah ...."
"Apakah Ibu mencintai ayahku?"
"Apa hubungannya dengan itu?" Nada suaranya seperti tersinggung, seolah aku
telah mengucapkan sesuatu yang tidak sopan. "Kau terlalu banyak membaca puisi
dan memenuhi otakmu dengan sampah." Kemudian, dengan nada yang lebih lembut,
untuk menghiburku: "Kau baru bertemu sekali dengannya. Bagaimana kau bisa
percaya bahwa kau mencintainya hanya dalam satu kali pertemuan?" Kalimat itu
terdengar bagaikan irama dundhubi yang memperdengarkan keraguan itu sendiri. Aku
tidak menyebut-nyebut pertemuan kedua yang selalu terkenang.
"Sepuluh atau dua belas kali, percayalah padaku, Arjumand, aku akan mengerti.
Cinta akan tumbuh perlahan-lahan. Cinta tidak akan tumbuh hanya karena sekali
bertemu dengan seorang lelaki."
"Aku tidak bisa menahannya." Bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya, ketika
bisikan pada diriku sendiri penuh oleh ketidakyakinan"
"Kami sudah cukup mendengar semua omong kosong ini darimu," dia menukas.
"Kakekmu sudah menemukan seorang pria muda yang sangat layak. Aku telah bertemu
dengannya, begitu juga bibi dan nenekmu. Kami semua merestui. Kau akan
menikahinya. Dia orang Persia, Jamal Beg. Nenekmu mengenal ayahnya di Ishfahan.
Mereka adalah keluarga terhormat dan Jamal akan mendapatkan posisi tinggi jika
mengabdi kepada Padishah."
"Aku tidak akan menikah dengannya."
"Hanya seperti itu! Va Tuhan, mengapa aku harus mendapatkan putri seperti ini"
Siapa yang menanamkan ide-ide tolol itu dalam otakmu" Apakah aku" Aku
membesarkanmu sebaik yang kumampu. Jika aku mengatakan hal yang sama kepada
ibuku, pasti aku sudah dipukuli keras-keras. Kau harus menemuinya."
"Aku tidak mau."
"Apakah kau tolol?" ibuku berteriak. Wajahnya berubah menjadi pucat, terbakar
amarah dan penuh ketakutan. "Kau sudah lebih tua tiga tahun daripada usia
pernikahan yang umum. Kau sudah tua, tua! Sebagai penghormatan terhadap kakekmu,
Jamal bersedia menikahimu. Selamatkan dirimu sendiri."
"Maksud Ibu, aku harus menyelamatkan Ibu. Aku
membuat Ibu malu." "Ya, memang benar. Semua perempuan menertawakanmu. Apakah kau mendengar bisikbisik mereka" Mereka pasti tertawa jika kau memasuki harem. 'Dia menunggu Shah
Jahan, dan badmash itu menikahi perempuan lain, dan pergi jauh.'" Dia mendesah.
Itu adalah suatu ritual. Mata kelabunya yang indah menjadi basah, dan bagaikan
embun pagi, air mata menetes dan mengalir di wajahnya. Ini selalu menyentuh
hatiku, dan hampir membuatku menyerah. Tetapi, aku tetap bersikeras, dengan
teguh bergantung kepada sebuah kenangan.
"Dia tidak pernah tidur dengan perempuan itu."
"Siapa yang memberi tahu kebohongan itu kepadamu" Itu adalah kebohongan, yang
dikatakan hanya untuk membodohimu. Mereka memberimu harapan yang kekanakkanakan." "Semua orang tahu."
"Aku tidak." ' "Semua orang, termasuk Ibu. Pada pagi hari setelah malam pengantin mereka, saat
para perempuan memeriksa tempat tidur, tidak ada noda darah."
"Itu tidak selalu terjadi. Perjalanan panjang "Dalam kasus ini, perempuan itu
bukanlah seseorang yang seharusnya diharapkan," aku menambahkan dengan kejam.
"Tidak ada darah. Dia berkata kepada dayang-dayangnya, bahwa Shah Jahan hanya
berbicara dengannya sekali pada malam pengantin mereka. Shah Jahan melihat
tubuhnya, kemudian membalikkan tubuh darinya dan
berkata, 'Aku tidak bisa.'"
"Kau tidak ada di sana, untuk mendengarkan dan melihat."
"Perempuan lain ada di sana. Sudah dua tahun sejak malam pengantin mereka.
Apakah mereka memiliki anak?"
"Itu membutuhkan waktu, bagi para pangeran, begitu juga bagi para lelaki lain.
Bahkan Akbar, meskipun memiliki banyak perempuan, tidak bisa melahirkan ahli
waris hingga dia pergi ke seorang pir, Shaikh Salim Chisti. Bahkan, Permaisuri
pun harus tinggal di ashram sebelum dia bisa mengandung seorang anak. Hal yang
sama terjadi pada Shah Jahan. Lagi pula, apa hubungannya semua ini denganmu" Dia
sudah menikah, dan kau belum. Yang terjadi di ranjangnya bukan urusanmu."
"Itu adalah janjinya kepadaku. Dia berkata, dia akan datang kepadaku. Aku akan
menunggu." "Apa buktinya bahwa dia memintamu menunggu?" Sekarang ibuku berkata dengan
angkuh, karena merasa menang. "Ayo. Tunjukkan kepadaku. Jika aku bisa melihat
bukti bahwa dia memohon kepadamu untuk menunggunya, aku tidak akan pernah-Allah
menjadi saksi-mengungkit-ungkit pernikahan denganmu lagi. Aku akan merasa
bahagia karena mengetahui suatu hari kau akan menikahi putra mahkota."
"Aku tidak memiliki bukti. Ibu juga tahu itu. Hanya kata-katanya."
"Kata-katanya! Itu kata-kata Isa. Kau memercayai omongan chokra itu . si hina
itu selamat dari ganjarannya hanya karena kakekmu." "Aku memercayai Isa."
"Bagaimana," ibuku bertanya dengan penuh siasat, "jika aku bisa membuktikan
bahwa dia berbohong kepadamu?"
"Aku tidak akan memercayai Ibu."
"Kau memercayai chokra, bukannya ibumu." Dia memejamkan mata, dan air mata
mengalir karena kebandelanku telah melukai hatinya. Aku menghiburnya, tetapi
tidak bisa menarik kembali kata-kataku.
Aku memercayai Isa. Mereka menemukannya pada saat fajar, tergeletak di sebuah
selokan dan ditinggalkan dalam keadaan sekarat. Dia telah dilemparkan ke sana
bagaikan seorang paria, bergelimang sampah. Wajahnya berlumur darah kering,
bagian belakang kepalanya juga berlapis darah kering. Aku tidak habis pikir
bagaimana hal itu terjadi padanya. Dia dibawa ke rumah ini, dan aku merawatnya.
Saat dia bisa kembali berbicara, dia menceritakan pertemuannya dengan Shah
Jahan. Dia mencari-cari sesuatu, tetapi benda itu menghilang. Tetapi cincin
hadiah dari Jahangir yang berharga, masih ada di jarinya. Bagaimana bisa aku
tidak memercayainya" Aku ingin memercayainya. Tidak ada bedanya dengan keyakinan
kita kepada Tuhan, meskipun tidak ada bukti yang benar-benar nyata. Keyakinan
akan memperkuat diri kita. Isa telah mengatakan kebenaran; tidak dapat
diragukan, tidak dapat digoyahkan. Dia menangis karena kehilangan surat itu. Aku
juga. Surat itu pasti bisa membuatku nyaman selama hari-hari berat yang panjang, yang akan
menarikku hingga berusia lanjut. Siapa yang telah melakukan pencurian itu" Siapa
yang tahu" Apakah benar bukan Jahangir" Aku menduga-duga keluargaku sendiri,
yang menaruh kepedulian kepadaku, berharap untuk bisa menyelamatkanku dari
siksaan penantian. "Kau akan menemui Jamal Beg malam ini, kemudian kami akan memutuskan apa yang
akan kami lakukan denganmu." Ibuku pergi, menggumam kepada dirinya sendiri,
kebingungan karena kekerasan hatiku.
Shah Jahan "Agra dhur hasta." Tempat itu berada seribu kos di selatan daerah kekuasaanku,
mewakili nama ayahku, jagir luas Hissan-Firoz, yang bermula empat puluh kos di
utara Delhi, dan berakhir di sini, di Lahore. Para rana, nawab, amir, petani,
orang miskin, dan pedagang, semua membayar pajak kepadaku. Pendapatanku delapan
lakh setiap tahun; aku membawahi sepuluh ribu zat-prajurit. Aku mempelajari seni
pemerintahan. Tetapi, aku merasa hampa, sendirian. Jika ada yang memukuliku,
mungkin aku akan bergaung seperti dundhubi. Jarak antara tempat ini dan Agra
membebani hatiku dengan berat, berupa sebuah daerah raksasa yang memisahkanku
dari Arjumand. Istriku berubah menjadi bersikap masam, curiga, dan jahat. Seiring pergantian
musim, temperamennya semakin memburuk, segelap langit mendung musim hujan saat matahari
terbenam. Keindahan Lahore, jalan-jalan lebarnya yang dipagari pepohonan, iklim
sejuk yang terasa nyaman, kebun-kebun luas, gedung-gedung dan istana-istana
indah, drama dan tahan, para penyanyi dan musisi yang kukumpulkan di istanaku,
keramahan penduduknya, pegunungan di kejauhan, dan lembah-lembah di sekeliling
kota, kemudahan karena posisinya: semua ini gagal menyenangkan hati istriku. Aku
tidak dapat menyalahkannya, karena sebenarnya, dia datang kemari begitu jauh
hanya untuk berbaring di ranjangnya dengan sia-sia. Pada malam pengantin kami,
aku hanya mengatakan dua patah kata kepadanya, dan tidak ada lagi yang kukatakan
setelah itu. Dia mengetahui bahwa aku bukannya tidak mampu; para perempuan lain
bisa membangkitkan gairah dari tubuhku-aku hanya tidak bisa menghindari
kebutuhanku. Dia juga mengetahui bahwa ada seseorang di antara kami: Arjumand.
Aku mendengar bahwa Arjumand kekasihku masih menunggu. Bagaimana bisa aku tidak
menghargai keteguhannya" Dia membuatku merasa hina karena kesetiaannya,
membuatku menjadi lebih tak berharga dibandingkan dengan lelaki paling miskin di


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jagirku. Hidupnya tergantung pada kata-kata budaknya: budaknya telah
menyampaikan kepada Arjumand bahwa aku mencintainya, dan itu sudah cukup. Siapa
yang mengawasi kami" Ayahku, mungkin" Jika memang
benar, lalu mengapa yang dikatakan akhbar-nya, tentang pengasinganku di Lahore"
Bahwa aku tidak tidur dengan istriku, dan hatiku tetap terpaut pada Arjumand"
Desahanku, yang bergema di seluruh penjuru istana bagaikan angin sepoi yang
berbisik menerpa pohon-pohon eucalyptus, bisa terdengar oleh istriku, dan dia
pasti akan mengutuk Arjumand. Hidupnya di sini telah hancur dan hampa bagaikan
Chitor setelah penaklukan Akbar.
Pernikahan" Aku telah memberi janjiku kepada Arjumand, tetapi saat ini aku
berada di sini, terperangkap dalam tugas-tugas kenegaraan. Perceraian" Betapa
cepatnya aku bisa berlari melalui pintu itu, yang seakan-akan terbuka untukku.
Seorang lelaki biasa mampu mengulangi kata-kata cerai itu tiga kali, kemudian
berjalan melenggang dari perempuan yang menjadi masalah baginya itu. Tetapi,
seorang pangeran harus tetap membisu, lidahnya menempel ke langit-langit
mulutnya, karena sang Padishah. Kalimat itu, "Aku menceraikanmu", akan bergema
di seluruh penjuru kesultanan dan negara tetangga; hal itu akan menimbulkan
sepasukan besar bala tentara yang berbaris. Aku bisa menyisihkan sang putri
Persia itu, mengasingkannya ke istana jauh di atas gunung, menyingkirkannya agar
terlupa dari jiwa-jiwa yang lelah. Pikiran itu membuatku bahagia; tetapi itu
tidak akan membuatnya bahagia. Rasa pahit itu sudah mengakar, dan dia pasti
tidak akan bisa digerakkan. Dia akan memainkan peran sebagai istri tua, tersiasia dan tidak dicintai, dan apa lagi yang
bisa dia lakukan" Sang putri mengetahui pikiranku. Dia mengerti; makanannya
selalu dicicipi orang lain sebelumnya-sekali, dua kali, tiga kali. Kasimnya
tidak mengizinkan siapa saja untuk memasuki ruangannya, dan saat dia berjalanjalan ke kota, para prajurit Persia akan berbaris mengawalnya, dengan pedang
terhunus. Dia berjalan di bawah bayangan dua lelaki: Raja dari segala Raja dan
sang Penakluk Dunia. Mereka bagaikan gunung dan di sisi mereka, aku hanyalah
sebuah bukit pasir. Jadi, aku menunggu. Dan Arjumand juga menunggu.
Arjumand Aku mendengar bahwa dia mengirimkan puisi dan surat yang terbungkus kain sutra
kepadaku, tetapi karena bungkusan itu dicuri, benda-benda itu tidak pernah
sampai di tanganku. Surat itu tidak tergeletak dan terabaikan dalam keadaan
rusak dan berlumpur di daerah Panjab-akan tetapi sampai ke tangan dingin yang
harum milik Mehrunissa. Secara tidak sengaja, Isa menemukannya. Dia tidak
mengintip ke dalam kotak-kotak milik Mehrunissa; dia melihat kasim Mehrunissa,
Muneer, mengambil bungkusan itu dari tangan salah seorang diwan-i-qasi-imamalik. Dalam sekejap, bibiku akhirnya bisa menancapkan pengaruhnya kepada Jahangir.
Jahangir telah menjadi bonekanya. Dia memilih waktu yang tepat untuk menyerah.
Setahun yang lalu, aku pernah
bertanya kepadanya, mengapa dia menunggu jika dia mencintai Jahangir" Aku tidak
bisa mengerti; apabila aku menjadi dirinya, aku pasti akan bergerak cepat. Kita
hanya memiliki hidup yang singkat di dunia ini. Dia menjawab: "Jahangir adalah
sultan. Dia bisa mendapatkan semua keinginannya, kapan pun dia menginginkannya.
Jika dia menunjukkan jarinya ke arah timur atau barat, utara atau selatan,
seluruh kekuatan Mughal akan berbaris hingga dia memerintahkan untuk berhenti.
Harus ada sedikit hal dalam hidup yang tidak bisa dicapai secara mudah, bahkan
oleh seorang sultan sekalipun. Aku akan menjadi salah satunya. Di matanya, itu
akan menjadikanku lebih berharga daripada singgasananya sendiri. Jika aku luluh
segera karena ketertarikannya-dan bisakah kau lihat berapa banyak perempuan yang
tersia-sia karena melakukannya"-dia tidak akan kehilangan seluruh hasratnya.
Dalam puisinya, dia sudah memanggilku Nur Mahal. Aku adalah cahaya bagi
istananya, lilin bagi hatinya."
Rumah kami begitu heboh dengan segala persiapan pernikahan. Para penjahit baju,
pembuat perhiasan, juru masak, mullah, penyanyi dan penari, perangkai bunga, dan
dekorator bergantian keluar masuk. Sang Sultan begitu bergairah; puisi-puisi
begitu lancar mengalir dari penanya. Para pembawa pesan berlari menempuh jarak
dekat untuk menyerahkannya segera ke tangannya. Bait-bait puisinya membahagiakan
Mehrunissa. Aku mengira bahwa dia memang benar-benar jatuh cinta,
meskipun bukan sang Sultan yang dia cintai, melainkan singgasana emasnya.
Mehrunissa benar-benar tenggelam dalam rancangan kostum pernikahannya. Churidarnya dibuat dari sutra Varanasi merah yang paling bagus dan disulam dengan hasil
rancangannya sendiri, berupa pola lingkaran sulur-sulur dari benang emas;
ghararanya juga terbuat dari sutra, begitu transparan sehingga nyaris tak
kasatmata, dengan sulaman benang emas rumit yang memanjang; blusnya, yang
sengaja dirancang untuk menonjolkan lekuk tubuhnya, dihiasi pola-pola sulaman
benang emas berupa kotak-kotak yang indah. Dia akan mengenakan toucha merah yang
dihiasi dengan sangat rumit oleh berlian dan mutiara, dan beatilha-nya begitu
indah sehingga hanya akan memantulkan kecantikannya. Jahangir telah mengirimkan
banyak hadiah: seuntai kalung mutiara, tiap butirnya seukuran buah anggur;
seuntai lagi bisa mencapai pinggangnya, berat dan ruwet, terbuat dari emas dan
bertatah zamrud. Mehrunissa juga akan mengenakan anting-anting, dan masingmasing mata zamrudnya seukuran batu kali. Gelangnya berupa jalinan emas dengan
lebih banyak lagi zamrud, dan gelang kakinya yang terbuat dari emas berdenting
setiap dia melangkah. Semua membuatnya merasa puas dan dia akan mengelus-elus
batu-batu mulia itu, dan terus-menerus mengagumi bayangannya sendiri di cermin.
Dalam suatu kesempatan langka, aku bertanya
kepadanya: "Mengapa Bibi menyadap surat kami?" "Sultan memerintahkannya." "Aku
tidak percaya." "Arjumand, kau adalah keluargaku, keponakanku sendiri yang kucintai. Mengapa aku
ingin menghalangi hubunganmu dengan Shah Jahan" Sebuah penyatuan antara dirimu
dan putra mahkota akan menjadi keuntungan bagi kita. Segera, aku akan menjadi
Permaisuri Hindustan, dan aku tidak ingin orang asing yang akan menikah dengan
Shah Jahan, selain keponakanku."
Dia terdengar berkata jujur, dan senyumnya sangat manis, tetapi pernyataannya
membuatku sangat ragu. "Mengapa Jahangir ingin mencegah kami bertukar surat?"
"Masalah negara." Dia merentangkan tangannya, dalam posisi tidak berdaya, tetapi
dia terlalu pandai-dia pasti mengetahui apa yang sedang terjadi. Mehrunissa
tidak akan langsung mengocehkan suatu pernyataan kepada orang lain. "Putri sudah
merasa sangat tidak bahagia. Dia mengatakan kepada pamannya, Shahinshah, tentang
itu di dalam suratnya ...."
"Bagaimana Bibi bisa tahu?"
"Sultan memberi tahuku. Tentu saja, dia menyadap surat-suratnya. Dia tidak ingin
mengecewakan Shahinshah ... belum. Dia sangat bersimpati kepadamu dan Shah Jahan.
Dia mengerti sifat alamiah cinta, tapi saat ini, dia tidak ingin terlalu terangterangan mendukung hubungan
kalian." "Tapi, Muneer mendapatkan surat-surat itu untukmu."
"Aku yang ditugaskan untuk menyimpannya dengan aman. Aku berjanji padamu, aku
belum membacanya, dan aku juga tidak akan pernah membacanya."
"Kalau begitu, berikan surat itu kepadaku." "Tidak. Jika Sultan memerintahkan
itu padaku, aku akan melakukannya. Tapi, dia tidak memerintahkannya."
Dalam ungkapan simpati yang samar itu, tersembunyi sebuah muslihat jahat. Dia
bisa bersembunyi di balik singgasana. Sebetulnya, manakah yang lebih
menguntungkan, aku atau putri Persia itu di sisinya" Jika dia melihatku lebih
menguntungkan, dia pasti akan mendukung kami; tetapi dia menahan surat kami.
Tingkah lakunya membuatku bingung, sedikit membuatku takut. Mehrunissa
mengulurkan tangan dan dengan lembut membelai kerutan di keningku. Aku melihat
kilatan kesenangan di wajahnya, bagaikan sedang bermain-main denganku.
"Wajahmu nanti keriput, Arjumand. Kita tidak boleh berkeriput sedikit pun."
Kemudian, dia berbisik dalam suaranya yang paling lembut, "Apa pendapatmu
tentang Jamal?" Aku mengangkat bahu. Aku tidak dapat terang-terangan menolak seorang lelaki
hanya karena dia bukan lelaki yang kucintai. Jamal tampak berpenampilan layak,
pendek dan kekar, berpakaian
rapi, dan bersikap terpelajar. Tetapi, dia terlalu sering tertawa bagaikan
berharap bisa menyenangkan Itiam-ud-daulah, dan aku tahu dia memang berhasil.
Pasti dia akan sangat beruntung jika bisa mengambilku dari tangan keluargaku.
Siapa lagi yang akan bersedia menikahi seorang perempuan berusia enam belas
tahun" Jika dia curiga atau menolak perjodohan ini, dia tidak akan
menunjukkannya. Sudah pasti, seorang pria akan ingin tahu mengapa calon istrinya
masih belum menikah hingga seusiaku. Mungkin dia tahu. Bayang-bayang Shah Jahan
akan menghantui pernikahan kami, tetapi ambisinya pasti akan membuatnya
mempersiapkan diri untuk menghadapi semua itu. Dia bermain-main dengan
kehadiranku yang tak kasatmata, hanya minum sedikit, selalu penuh perhatian
terhadap kakek dan ayahku, mengetahui jika aku memerhatikannya dari balik
dinding-dinding kesucian. Aku melakukan itu untuk melunakkan hati ibuku, yang
duduk di sampingku sambil menunjuk wajah tampannya dan sopan santunnya, seakanakan dia adalah sebuah perhiasan yang akan kami beli di pasar malam. Tetapi,
akhirnya ibuku terdiam setelah merasakan ketidaktertarikanku. Dia menangis
karena patah hati dan aku mencoba untuk menghiburnya.
"Apakah Sultan akan mengizinkan kami menikah?" aku bertanya kepada bibiku.
"Aku berjanji, aku akan berbicara kepadanya." Mehrunissa menjawab dengan
bersungguh-sungguh. "Aku berjanji akan membujuknya, tapi pasti akan
makan waktu." "Berapa lama" Empat tahun" Aku telah menunggu, dia juga telah menunggu. Berapa
lama lagi" Aku tidak akan kuat menahannya lagi. Kurasa, semakin lama, aku akan
semakin sekarat." "Bersabarlah." "Untuk berapa lama" Aku tidak seperti dirimu, Bibi. Aku tidak bisa mengerti
cintamu. Mengapa kau tahan untuk menyia-nyiakan beberapa tahun ini?"
"Aku sudah menjelaskan semuanya kepadamu. Ini." Dia memberiku saputangan
miliknya dan aku menghapus air mataku. Kajal membuat saputangan itu gelap dan
bergaris-garis. Aku meremasnya. "Apakah dia masih menunggu?"
"Ya." "Bagaimana Bibi bisa tahu?"
"Aku tahu. Kau juga akan mengetahuinya, jika kau telah membaca puisi dan
suratnya." Aku tidak percaya bibiku tidak membacanya; rasa ingin tahunya terlalu kuat.
"Dia tidak akan berubah. Tolong, bicaralah kepada Padishah." Yang bisa kulakukan
hanyalah memohon. Kepedihannya membuatku merasa hina. Bahkan seorang pengemis
jalanan pun tidak akan merasakan penderitaan seperti yang kurasakan. Jika aku
harus membujuk Sultan, aku akan melakukannya. Aku akan bangun sebelum fajar dan
akan menjadi orang pertama yang berdiri di luar dinding-dinding benteng, di
bawah jharoka-i-dharsan, dan saat wazir menurunkan rantai keadilan, aku akan
membunyikan lonceng, menyelipkan petisiku, dan mengamatinya naik ke atas. Keadilan, keadilan-paduan
suara orang-orang miskin.
"Bukankah aku sudah berjanji padamu, jika aku akan berbicara pada Jahangir?"
Mehrunissa menghapus noda dari pipiku. "Hatinya akan melunak. Sekarang,
pergilah. Aku sibuk."
mm Akhirnya, dia datang juga.
Dia menunggang kuda di samping ayahnya ke halaman rumah kami, saudara-saudara
lelakinya berada di belakangnya. Dan setelah mereka, datanglah barisan panjang
para lelaki terhormat, berkilau dan bersinar dalam cahaya matahari yang
benderang, bagaikan burung langka yang indah. Beludru dan kelopak bunga
melindungi kuku-kuku kuda mereka yang berderap, para perempuan berputar dan
menari di depan mereka, para musisi mencapai kenikmatan tertinggi dalam lagulagu. Punkah bulu merak melindungi matanya dari terik matahari.
Jahangir ingin menampilkan kesederhanaan di hadapan sang Cahaya Istana, untuk
menghormati tradisi. Sang pengantin pria akan menunggang kuda ke rumah calon
istrinya untuk menikah. Aku diberi tahu, ini adalah sebuah replika dari
pernikahan Shah Jahan. Udara mulai meningkat suhunya karena dipenuhi aroma
wewangian, emas, dan hadiah-hadiah. Ada seribu pejabat menghadiri upacara
pernikahan, masing-masing membawa
hadiah yang dibariskan dan dicatat, kemudian dibawa ke tempat penyimpanan harta,
istal-istal, harem, dan kebun binatang.
Aku tidak terlalu memerhatikan. Aku hanya mengamati Shah Jahan. Matanya terusmenerus menyapu pintu yang tertutup, mengetahui jika aku menunggu di balik kisikisi, dan aku juga mengetahui jika dia belum berubah. Dia menatap dengan tajam,
tanpa berkedip, ke arahku, wajah tampan yang secara jujur memancarkan
kerinduannya. Dia menginginkan aku mendekatinya, tetapi tentu saja aku tidak
bisa meninggalkan upacara. Akan ada perayaan besar di taman istana nanti malam.
Itu adalah kesempatan kami satu-satunya; kesempatan tunggal yang sangat singkat.
Shah Jahan "Bawa dia kepadaku, Isa. Cepat. Di sana, di sudut yang tergelap, tempat kami
tidak bisa terlihat."
Dalam kegelapan! Layakkah cinta diperlakukan sembunyi-sembunyi seperti itu"
Tetapi, di mana lagi kami bisa bertemu" Taman itu begitu terang; lilin-lilin dan
lentera-lentera berbaris di dinding, menerangi jalan setapak, tergantung di
pepohonan. Cahaya berkilauan di kolam air mancur. Beberapa lelaki dan perempuan
terhormat berjalan-jalan di taman, mengawasiku, membungkuk saat melewatiku.
Kuharap mereka akan mengabaikanku, melupakan jika aku ini Shah Jahan. Udara
dipenuhi musik dan suara merdu Hussein, penyanyi istana, yang menyanyikan lagu
cinta dan rayuan. Jika saja
aku bisa membuat kerumunan ini menghilang; aku dan Arjumand kekasihku akan
berdua saja dalam tempat menawan ini. Kami akan mendengarkan lagu-lagu indah
bersama, tetapi saat ini aku hanya bisa mendengar kekejaman mereka yang tidak
pernah memedulikan kami atas perasaan melankolis cinta yang membuat frustrasi.
Aku berjalan menuju kegelapan. Aku melihat Arjumand berjalan perlahan di
belakang Isa, bergerak lambat seakan-akan sedang menikmati jalanan sewaktu
malam. Tetapi, aku bisa menyadari ketidaksabaran terselubung dalam langkahnya,
matanya mencari-cari di dalam kegelapan, wajahnya memancarkan kekhawatiran yang
hebat, takut jika aku tidak berada di sini. Dia telah berubah. Kenangan, kau
menipuku. Kau menyimpan sosok seorang gadis berusia tiga belas tahun. Betapa
kejamnya. Mengapa kau tidak membuatnya lebih tinggi-mengubah tubuh gadis kecil
itu menjadi tubuh seorang perempuan dewasa. Kau tidak melebarkan pinggulnya,
melengkungkan bibirnya, dan membesarkan dadanya. Kau tidak berusaha memberi
tahuku bagaimana dia berjalan-dengan ayunan yang anggun, punggung dan bahunya
begitu tegak. Betapa berbedanya cara dia bergerak dari orang-orang laintampaknya dia melayang di atas tanah. Tetapi, pada intinya, dia tidak berubah.
Churidar, gharara, touca, dan blus yang dia kenakan masih berwarna kuning pucat
dan perak, sama seperti yang kuingat pada malam pertemuan kami. Tetapi, mengapa
aku harus mengutukmu, wahai kenangan" Jika kau telah menunjukkan kepadaku kecantikannya yang baru,
seberapa besar kemarahanku karena perpisahan kami, seberapa pahit kesedihan yang
akan mencengkeram otakku"
Arjumand "Di mana dia?" "Di sana."
Aku tidak melihat apa-apa, hanya kegelapan di luar cahaya, hingga ke ujung bumi.
Jika aku melangkah ke depan saat ini, apakah aku akan terjatuh" Aku merasa
merinding, rambut-rambut halus di lenganku berdiri. Hingga saat ini, aku masih
dimanjakan oleh harapan, dibuat melayang oleh impian yang telah memperpanjang
nyawaku; seluruh hidupku bisa kujalani dengan harapan dan impian. Aku ketakutan.
Seperti air di atas pasir, mereka mungkin menguap saat aku melangkah ke dalam
bayangan, meninggalkan hatiku dalam keadaan kering dan berdebu. Mungkin saat
melihatku, dia tidak akan lagi mencintaiku. Dia akan merasa kecewa, dan
bertanya-tanya, mengapa dia telah mencintai perempuan ini begitu lama" Apa yang
dia miliki hingga bisa memikatnya dan menawan hatinya" Dia akan mengamati
wajahku, mataku, dan hanya melihat orang lain pada diriku, bukan kekasihnya,
bukan Arjumand, tetapi seorang perawan tua, kurus kering, tertekan, dan putus
asa. Dia akan membungkuk dengan sopan, kemudian berlalu. Dan bagiku, di sana
hanya ada kegelapan yang abadi. Aku berhenti. Aku ingin
berbalik, ingin berlari. Rasa takut menenggelamkan diriku.
"Ayo, Agachi." "Aku ... aku ... butuh udara."
"Dia menunggu." Isa mendekatiku. Wajahnya berpaling dari cahaya, dan sesaat, aku
bisa melihat kesedihan di matanya. "Dia sudah tidak sabar."
Aku melangkah dari lautan cahaya ke dalam kegelapan, tetapi sebetulnya aku
melangkah dari kegelapan menuju cahaya. Aku melihat kilau samar sabuk emasnya,
dan bagaikan mata ketiga, sebuah bintang, sinar berlian di turbannya.
"Arjumand." Bisikannya dan tangannya yang terentang, begitu kuat dan mantap,
menuntunku kepadanya. Aku mengutuk kegelapan karena aku tidak bisa melihat


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya. Sebelum aku bisa berbicara, dia mencium tanganku, kemudian mencium
telapak tanganku, jari-jariku. Janggutnya terasa lembut dan halus. Kemudian, aku
mendekatkan tangannya ke bibirku dan menyentuhkan telapaknya ke pipiku. Rasa
nyaman membanjiri tubuhku, begitu damai. Sentuhannya menyembuhkanku.
"Aku takut ...."
"Takut apa?" "Jika kau melihatku, cintamu akan pudar seketika."
Dia tertawa ceria. "Dan aku berdiri di sini, tertusuk dan tertekan oleh dahandahan ini, gemetar dalam ketakutan jika kau tak datang, khawatir kau akan
mengirimkan pesan melalui Isa untuk menyuruhku pergi."
"Dan apakah kau akan pergi?"
"Tidak. Aku akan tetap di sini selamanya, membeku dalam kepedihan, menyambut
kematian. Kegelapan yang tak kuinginkan ini-aku tidak bisa melihatmu. Kemarilah.
Ada seberkas sinar dari lentera itu."
Aku menuruti permintaannya. Sambil terdiam, dia menatapku lembut, seolah-olah
ketakutan menyerbunya karena tidak akan bisa melihat wajahku lagi.
"Kau telah tumbuh dan semakin cantik, tetapi ada kesedihan di matamu." Dia
membungkuk dan mengecup kedua mataku. "Mengapa" Aku ada di sini sekarang."
"Untuk berapa lama, Cintaku" Kau menatapku seakan tidak akan pernah melihatku
lagi." "Tidak. Aku menatapmu begitu tajam karena mataku tidak cukup lebar untuk melihat
keayuanmu. Aku ingin melihat dan terus melihat. Aku tidak ingin berhenti
menatapmu, bahkan saat kita bersama-sama di bawah sinar matahari. Nah, kesedihan
itu sudah menghilang. Kau bahagia. Sorot matamu telah berubah! Menatap semua
yang ada padamu membuat diriku lemah."
"Sekarang giliranku. Kau jauh lebih tampan dibandingkan yang mampu kuingat.
Wajahmu telah berubah. Wajahmu semakin kuat, dan aku terbuai melihatmu." Aku
membelai lekukan kecil yang hampir tak terlihat di wajahnya.
"Aku masih anak-anak saat aku merasa menderita karena penyakit itu."
"Anak-anak?" Aku tidak dapat menahan tawaku. "Sungguh sulit untuk dibayangkan.
Kuharap aku ada di sana untuk menemanimu. Aku tidak bisa melihat matamu,
kegelapan menutupinya. Apa yang kau rasakan?"
"Kebahagiaan." "Aku bisa melihatnya sekarang. Aku mencintaimu."
"Aku telah menunggu sekian lama untuk mendengarmu mengatakan kalimat itu.
Katakanlah sekali lagi."
"Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu."
Bibirnya kering dan manis, lembut bagaikan kelopak bunga, kulitnya dingin dan
harum. Tubuhnya segar dan berotot. Bagaimana aku bisa merasakan sentuhan
lembutnya membebaskan ketakutan di dalam diriku"
"Berapa lama kita harus menunggu?" "Tidak lama lagi, Cintaku, tidak lama. Segera
setelah ayahku mengizinkan. Dia harus mengizinkannya."
"Aku sudah berbicara dengan Mehrunissa. Dia berjanji kepadaku, dia akan membujuk
ayahmu untuk mengubah pendiriannya. Mungkin dia akan mendengarkan Mehrunissa."
Meskipun kekasihku tidak bergerak, aku bisa merasakannya menjauh, seakan-akan
dia akan melepaskan diri dariku.
"Ada apa" Kau membuatku takut. Mengapa seseorang selalu gemetar ketakutan saat
ia mencintai terlalu dalam?"
"Siapa tahu cinta bisa menghilang; siapa tahu cinta hanyalah ilusi. Jangan
pernah takut. Aku akan selalu mencintaimu."
"Jadi, ada apa sebenarnya?"
"Jika Mehrunissa bisa mengubah pendiriannya tentang kita, akankah dia mampu
mengubah keputusan ayahku?"
Begitu cepatnya kenikmatan itu hilang! Kami masih berdiri di dalam lingkaran
cahaya rahasia ini, namun kami terperangkap di dalamnya. Dia bukan orang biasa,
yang bebas seperti seorang petani atau pemburu. Dia adalah putra mahkota Shah
Jahan. "Dia akan mampu mengubah pendirian Jahangir terhadap dirimu," kataku tajam.
"Ayahmu terlalu mencintaimu. Lihatlah bagaimana dia terus-menerus menuliskan
anak lelakinya yang terkasih dalam Jahangir-nama. Kau adalah ahli warisnya. Dia
telah menuliskannya. Bahkan Mehrunissa sekalipun tidak bisa mengubahnya."
"Siapa tahu" Tapi, jika aku memilikimu, apa peduliku?" Dia berbicara dengan
ringan, tetapi tidak bisa menyembunyikan keresahannya. Singgasana adalah sebuah
awan mendung yang penuh kilat, dan kami berdiri di bawah bayangannya.
"Dia berkata, dia akan beruntung apabila kita menikah karena aku adalah
keponakannya." "Ya, ya." Dia terdengar lega. "Dia tidak akan pernah menyakitimu. Betapa
beruntungnya aku karena bisa bertemu denganku, Kekasihku. Tanpa
cinta, dunia ini adalah suatu tempat yang sepi. Rasanya bagaikan mengembara di
gurun pasir tanpa akhir. Aku tahu, karena aku bisa melihat jejak kakiku sendiri
yang berdebu." "Bagaimana kau bisa lolos, Sayangku" Kau berkata ...."
"Ya. Aku telah merencanakan itu. Sabarlah. Segera, kau akan mendengar jika Shah
Jahan telah diberi izin oleh Sultan untuk menceraikan sang putri Persia."
"Aku akan menunggu, seperti yang telah kulakukan selama ini, dan aku bersedia
bertambah tua dalam penantian. Aku tidak bisa mencintai orang lain. Lebih baik
aku mati daripada hidup tanpamu."
Bisikan tajam Isa mengejutkan kami. "Wazir Sultan datang, Agachi."
Kami mengintip ke taman yang terang. Tidak diragukan lagi, wazir memang telah
mendekat. Kami telah terlalu lama diawasi, dan telah diberi cukup banyak waktu;
saat ini semua berakhir. Shah Jahan mengecupku dengan cepat, dengan bergairah.
Dari saku sarapanya yang dalam, dia mengeluarkan sebuah bungkusan, mendorongnya
ke tanganku, dan berbisik: "Bawalah ini selalu bersamamu-untuk mengingatkanmu
akan cintaku." Dia melangkah mundur ke arah taman, kemudian menyeberang untuk
menemui wazir. Napasku terhenti, seolah lenyap bersamanya. Bahkan jantungku pun tidak berdegup,
karena Shah Jahan menahannya, membawa pergi bersamanya,
ketika dia membaur dalam kerumunan. Di bawah cahaya, aku bisa melihat apa yang
dia berikan kepadaku: itu adalah sebuah mawar. Kelopak-kelopaknya terbuat dari
batu mirah, daun dan batangnya terbuat dari zamrud; di sana sini, diletakkan
dengan berseni, berlian bersinar bagaikan tetesan embun. Aku mengecupnya.
mm Isa menceritakan kepadaku bahwa ada seratus hidangan yang berbeda disajikan pada
pesta pernikahan. Hidangan itu disajikan dalam piring-piring emas yang dibawa
oleh budak-budak perempuan. Piring-piring tempat makan kami pun terbuat dari
emas, dan setiap tamu disuguhi cawan emas yang berisi nimbu pani dingin. Semua
hidangan yang diletakkan di depan Jahangir disegel, dan segel itu baru dibuka di
hadapannya. Kemudian, para budak perempuan mencicipi hidangan itu sebelum
menyuguhkan untuknya. Ada lima puluh kambing panggang yang direndam dalam
yoghurt berempah, ratusan ayam tanduri,
mangkuk-mangkuk murgh masala, saag biri-biri, chaat ayam, kebab seekh, kebab
shammi, pasinda, doh peesah, roghan josh, shahi korma, naan, chapati, paratas,
burfi, badam pistas, gulab jamuns, dan semua jenis buah-buahan yang tumbuh di
Hindustan: mangga, anggur, pepaya, apel hutan, delima, semangka, jeruk, pisang
raja, jambu batu, pir, leci, puding apel, dan nungus.
Aku tidak makan apa-apa. Bahkan aku tidak bisa
mencium aroma makanan. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap kekasihku
yang duduk di samping ayahnya. Tatapanku tidak bisa lepas dari wajahnya.
Hati sang Sultan, yang mabuk cinta kepada Mehrunissa, dipenuhi oleh obsesi
seolah-olah Mehrunissa adalah sebuah objek paling berharga yang bisa dikumpulkan
dalam limpahan hartanya. Dia telah menghabiskan berminggu-minggu untuk menulis
sebuah puisi yang panjang dan elok untuknya. Dia membacakannya kepada kami semua
saat perayaan. Pembacaan puisi itu memakan waktu satu jam, dan Mehrunissa
diserupakan dengan berbagai benda menakjubkan di jagat raya ini-matahari, bulan,
bintang, berlian, batu mirah, delima, mutiara, dan gading. Betapa pahitnya rasa
iri yang kurasakan karena dia bisa menyatakan cintanya secara terang-terangan.
"Dia adalah Nur Jehanku," Jahangir berkata dengan sungguh-sungguh saat akan
mengakhiri epiknya, lalu menenggak minuman dari cangkir emasnya dalam-dalam
untuk menghormati sang Cahaya Dunia, yang sudah menyingkirkan sikap malumalunya, sedang memerhatikan penampilannya dengan tatapan kritis. Mehrunissa
membungkuk ke arah Jahangir dan berbisik; Jahangir meletakkan cangkir, lalu
merengkuh dan mengecup setiap bagian wajah pujaan hatinya itu. Apa pun yang dia
katakan membuat Jahangir tersenyum, kemudian bangkit, dibantu oleh budak-budak
perempuannya. Kemudian, bersama Mehrunissa, dia kembali ke
kamar tidur yang sudah disiapkan oleh para perempuan.
Setelah kekasihku pergi, aku kembali ke taman. Saat ini taman sudah sepi, hanya
ada dua sosok di sana. Salah seorang dari mereka sedang duduk, sementara yang
lain berdiri di dekatnya.
Orang itu adalah Pangeran Khusrav. Tidak mampu bergerak bebas, dia duduk di
tempat yang ditunjukkan oleh penjaganya, menatap tanpa melihat ke kegelapan yang
dia rasakan sendiri. Aku duduk di sebelahnya.
"Siapa itu?" Dia menoleh, memicingkan mata seakan-akan aku duduk sangat jauh
darinya. Sesaat, kupikir dia mengenaliku, tetapi wajahnya tidak berubah.
"Begum Arjumand, Yang Mulia."
"Ah! Kekasih adik lelakiku tersayang." Dia mengulurkan tangan dan menyentuh
tubuhku dengan berani, merasakan kenikmatan dari kehadiranku. "Aku diizinkan
menikmati sedikit kebebasan. Kau adalah perempuan yang sangat cantik, aku diberi
tahu. Itulah yang paling kurindukan, melihat suatu kecantikan: para gadis dan
perempuan, bunga-bunga dan pepohonan, bulan yang berubah dari selarik sabit di
angkasa menjadi bola besar yang keperakan, cahaya fajar sebelum matahari terbit
di atas cakrawala." Dia menyeka air mata yang tanpa dikehendaki mengalir terusmenerus dari matanya yang rusak.
"Mengapa kau menemaniku?"
"Aku sendirian."
"Kau juga seorang perempuan yang pandai, bukan hanya cantik. Jika kau mengatakan
'karena kau sendirian', aku pasti akan mengusirmu. Lihatlah di sekelilingmu.
Adakah orang yang mengawasimu?"
"Beberapa perempuan."
"Aku akan mengatakan apa yang mereka katakan satu sama lain, 'Mengapa Arjumand
menyia-nyiakan waktunya duduk bersama Khusrav; apa yang bisa dia lakukan
untuknya" Dia bertindak tolol, karena Padishah tidak akan senang.' Apakah ayahku
telah memuaskan nafsunya kepada pelacur Persia itu?"
"Itu kata-kata yang kejam. Dia adalah bibiku."
"Lihatlah mataku, jika kau berharap untuk melihat kekejaman." Dia menoleh dengan
cepat. "Tapi, aku sering diberi tahu jika dia baik hati. Dia bisa saja mengambil
nyawaku." "Apakah kau telah menyusahkannya, atau kau merebut singgasananya?"
Dia tersenyum menyeringai. "Mungkin." Penyangkalannya terdengar hampa. "Aku
adalah seorang anak lelaki yang gembira, hingga suatu hari kakekku Akbar
menanamkan impian dalam kepalaku. Dia menjebakku dengan impian itu. Sekarang,
aku lebih membenci kakekku daripada ayahku. Allahu Akbar," dia berbisik dengan
nada mencemooh. "Dewa itu sudah mati dan kaumnya menderita. Belaian kasih
sayangnya adalah kehancuranku. Pasti lebih baik jika dia menolakku. Saat ini
mungkin aku bisa menjadi gubernur beberapa provinsi, bersedia menerima kebaikan
hati Padishah. Tapi,"
dia tersenyum dingin, "seperti kuda jantan yang berani memimpin pacuan, aku
berlari terlalu kencang dan tersandung." Dia tenggelam dalam kebisuan selama
sesaat, dan, merasakan keinginannya untuk menyendiri, aku berdiri. "Ke mana kau
akan pergi?" "Pulang. Sudah malam."
"Mari. Akan kutunjukkan kepadamu apa yang pernah Akbar tunjukkan ketika aku
masih anak-anak. Ini adalah kutukannya, dan sudah mengubah hidupku." Dia
bangkit, lalu menarik rantai emasnya yang terbelit di sekeliling pinggangnya,
yang ujungnya dipegang oleh sang penjaga. "Aku tidak yakin mana di antara kami
yang menjadi anjing. Dia hanya seorang pengawal, dan harus menuruti
permintaanku. Tapi, aku tidak bisa lepas dari rantai ini, dan karena itu, dia
adalah majikanku." Mereka berjalan ke istana, dan aku mengikuti mereka menyusuri banyak koridor
yang terang, hingga kami tiba di bagian istana yang sangat dalam. Di sini,
koridor-koridor dijaga dengan ketat. Khusrav berbisik kepada sang komandan yang
menatapku dari dekat, kemudian mengizinkan kami lewat. Kami menuruni tangga dan
hawa semakin dingin. Kami melewati lebih banyak penjaga, dan akhirnya tiba di
pintu terakhir. Di setiap pos, kami menuliskan nama kami di buku catatan yang
disimpan oleh para penjaga. Kami harus melepaskan semua perhiasan dan senjata
kami; Khusrav melepaskan sabuk dan belatinya, gelang lengan dan cincinnya; aku
melepaskan kalungku, anting-anting, bahkan gelang kakiku, meskipun hanya mawar
emas itu yang bernilai tinggi.
"Yang akan kau lihat," Khusrav berkata, ketika pintu berat berayun membuka,
"adalah jantung kesultanan. Siapa pun yang menguasai ruangan ini, akan
menggenggam Hindustan." Dia menoleh ke penjaganya. "Lepaskan aku. Aku tidak bisa
kabur dari tempat ini." Sang penjaga membuka rantai emas dan tetap berjaga di
luar saat kami masuk. Dia memberiku sebuah lampu minyak dan menutup pintu di
belakang kami. Ruangan itu dingin, hening, beku, seakan-akan tidak ada yang
pernah hidup di balik dinding-dinding ini.
Aku mengangkat lampu tinggi-tinggi, dan tidak bisa mengendalikan getaran
tubuhku. Jutaan api menyala, merespons cahaya kuning dari lampu, seolah-olah
mereka sedang menunggu keabadian dalam sinarnya. Seluruh ruangan berkilau, dan
di depan sana, aku melihat banyak ruangan lain yang memantulkan api-api lebih
kecil. "Apa yang kau rasakan?" Khusrav berbisik.
"Ketakutan." "Ya. Pertama-tama, orang akan merasa ketakutan, karena di sini terdapat banyak
alasan hingga orang merasa takut. Jiwa seorang sultan dapat dibeli dengan semua
ini, jadi peluang apa yang kita miliki" Pemandangan ini menelanjangi seluruh
indra dan pikiran oleh kuasa nafsu. Ada sebuah buku catatan di suatu tempat.
Berikan kepadaku." Aku mengambil sebuah catatan tebal. Catatan ini bersampul
kulit dan sangat berat. "Biarkan lelaki buta yang memilih." Dia membuka
satu halaman secara acak. "Bacalah. Puaskan telingaku sementara kau menikmati
dengan matamu." Aku membaca ke bagian yang ditunjuk oleh Khusrav. "Tiga ratus empat puluh
kilogram mutiara, seratus dua puluh lima kilogram zamrud, seratus tiga puluh
enam kilogram berlian ...." aku mendongak. Semua perhiasan itu berada dalam petipeti terbuka, baris demi baris, seperti anggur yang dijual di tenda pasar.
Beberapa batu yang kurang berharga juga ada: batu akik, opal, dan batu akik
darah, batu bulan dan batu chrysoprase. Dia membalik lagi halaman catatan itu
dan menunjukkan jarinya ke bawah. Aku meneruskan. "Dua ratus belati emas yang
bertatah berlian, seribu pelana berhias emas, dua singgasana bertatah perhiasan,
tiga singgasana berhias perak ...." Sekali lagi, dia membalik halaman. "Dua puluh
tiga ribu kilogram piring emas, delapan kursi emas, seratus kursi perak, seratus
lima puluh patung gajah emas yang bertatahkan batu mulia ...." suaraku melemah.
"Aku tahu. Memang sulit untuk membaca kata-kata ini sambil bernapas. Kita semua
dicekik oleh hasrat ingin memiliki." Dia mengambil satu langkah hati-hati ke
depan, berhenti di sebuah peti berisi batu mirah, yang merah bagaikan darah,
kemudian menenggelamkan tangannya dalam-dalam di antara batu mulia itu. "Inilah
yang kulakukan saat berusia sepuluh tahun dan Akbar membawaku kemari. Aku
mengingat keserakahan yang mencemari hatiku saat itu, karena dia menunjukkan
semua ini kepadaku, dan berjanji bahwa suatu hari, semua akan menjadi milikku sepenuhnya.
Kekejaman yang sangat dingin."
Sambil meraih tanganku, dia menuntunku ke ruangan lain. Pemandangan kekayaan
ini, meskipun tidak mengusik hasratku, membuatku pusing. Terlalu banyak hal yang
bisa dilihat, dan mataku melebar karena memandang kekayaan yang begitu dahsyat
ini. Ada wadah-wadah lilin dari perak, cangkir-cangkir emas, piring-piring dan
cermin-cermin perak, peti penuh topaz, koral, batu nilam, berkotak-kotak kalung
dan cincin. Ada porselen-porselen Cina, ratusan bahkan ribuan piring dan cangkir
perak, peti-peti berlian yang belum dipotong rantainya. Mereka semua berdebu,
tak bernyawa. Andai ini jantung kesultanan, kebekuan itu benar-benar menusuk
perasaan. Jantungnya tidak berdenyut, mengalirkan darah ke seluruh penjuru tanah
bagi para penduduknya, tetapi tetap diam dan tak berguna.
"Aku ingin pergi sekarang."
Khusrav mengalihkan tatapannya yang kosong ke arahku. "Inilah yang ingin
dikuasai oleh pelacur Persia itu."
"Dan bukankah ini yang digunakan Akbar untuk menguasaimu?"
"Ya," dia mengakui perlahan. "Melihat ini pasti akan mengubah perasaan kita."
Kami melangkah ke pintu dan dia berbalik, seakan-akan ingin melihat untuk
terakhir kalinya. Mungkin, dia sedang berusaha mengenang seorang anak lelaki
kecil yang melakukan hal yang sama. "Apakah kau menyentuh atau mengambil sesuatu?"


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja tidak," aku menjawab dengan singkat.
"Jangan marah. Tempat ini diawasi dengan sangat ketat. Semua dihitung setiap
hari, dicocokkan dan diperiksa lagi. Jika ada sesuatu yang hilang, kita semua
akan kehilangan nyawa. Para prajurit akan mencarimu. Dan mencariku."
Aku memasrahkan diri kepada tangan penjaga yang bertugas, mengetahui bahwa tidak
mungkin pergi tanpa melewati ini semua. Sang penjaga memasang kembali rantai
Khusrav. "Sekali lagi aku harus mencium kakinya," dia mencemooh. "Pasukan kecilku."
Perjalanan di tempuh gelimpang kekayaan itu, pemandangan jantung emas Mughal
Agung, membuatku merasa tidak nyaman. Pemandangan itu tidak membuahkan mimpi
indah, justru mimpi buruk yang akan didapat. Pemandangan itu memaksa seseorang
untuk menilai harta bendanya sendiri, yang tidak akan bisa membandingi hamparan
kekayaan Sultan. Tak sedikit pun aku merasa iri terhadap hal ini; mereka hanya
menjadi penjara emas yang membuat para tahanannya tidak bisa kabur, sebuah
proses yang membekukan hati orang-orang yang melihat. Bagaimana bisa cinta,
kesetiaan, dan kepercayaan bertahan dalam ruangan dingin seperti ini" Mereka
pasti akan tenggelam jauh ke dasar sumur kekayaan.
Kami kembali ke taman. Meskipun terasa hangat
dan pengap, udara segar menyambangi hidung kami. Sungguh menyenangkan bisa
kembali melihat pepohonan, bunga-bunga, dan manusia lagi.
"Nah, apakah kau semakin mencintai Shah Jahan karena apa yang telah kutunjukkan
kepadamu?" Khusrav menatapku penuh selidik dan aneh, seperti yang biasa dia lakukan,
bagaikan cahaya redup dan dia hanya bisa melihat sebuah sudut.
"Tidak. Bahkan jika dia bukan seorang pangeran, aku tetap mencintainya."
Khusrav tenggelam dalam kebisuan dan pikirannya, mencerna jawabanku dengan
teliti. "Kebutaan memiliki beberapa keuntungan," akhirnya dia berkata. "Wajah
bisa berbohong, tetapi suara tidak. Aku memercayaimu. Siapa yang berada di dekat
kita?" "Tidak ada." "Karena aku tidak bisa melihat, aku mendengar dengan teliti. Dengarkan aku,
Arjumand," dia meraih pergelangan tanganku dan mencengkeram kuat-kuat. "Kau
percaya jika bibimu membisikkan namamu: 'Arjumand, Arjumand,' ke telinga ayahku
tercinta saat mereka berbaring bersama" Tidak. Aku akan memberi tahu, bahwa nama
yang dia bisikkan untuk Shah Jahan adalah: 'Ladilli, Ladilli, Ladilli'."[]
12 Taj Mahal 1047/1637 Masehi Murthi duduk, matanya terpejam, napasnya pendek-pendek. Dia berdoa, seperti yang
selalu dia lakukan. Keributan pada hari itu memudar, keadaan semakin damai,
melembutkan garis-garis keras di wajahnya yang belum tercukur. Dia mengetahui
bahwa suatu visi akan muncul: biasanya tidak pernah gagal. Memang, kali ini
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada biasanya, karena banyak gangguan. Dia
tidak lagi tinggal di desanya menghuni rumahnya sendiri, berhubungan erat dengan
patung-patung dewa dengan bahagia. Empat tahun telah berlalu sejak Chiranji Lal
dan teman-teman menemui Murthi, memintanya untuk memahat Durga untuk kuil
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 6 Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting Peristiwa Bulu Merak 6

Cari Blog Ini