Ceritasilat Novel Online

Interpretation Murder 4

Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Bagian 4


di Fordham minggu depan. Ia ingin melakukan wawancara dan menulis biografi
singkatmu, sekitar dua halaman lebar penuh. Kau akan menjadi sangat terkenal
setelah itu. Aku tidak tahu apakah kau akan setuju. Maka aku katakan padanya
kalau aku akan bertanya padamu lebih dulu."
"Wah," kata Jung, "aku..., aku tidak...,"
"Hanya ada satu kendala. Ochs..," nama itu diucapkan Dana dengan Oaks, "khawatir
kalau kau adalah seorang pengikut Freud. Ia tidak mau korannya berhubungan
dengan sebuah..., dengan sebuah..., ah, kau tahu apa yang mereka katakan tentang
Freud." "Seorang yang rendah dan gila seks," kata lelaki tambun di sebelah kanan.
"Apakah Freud benar-benar percaya pada apa yang
ditulisnya?" Tanya tuan ketiga yang berkepala botak, "bahwa setiap gadis yang
mendapat perawatan darinya cenderung ingin merayunya" Atau apa yang dikatakannya
tentang tinja..., tinja, demi Tuhan. Atau tentang lelaki yang tidak mudah puas
sehingga ingin melakukan hubungan seks melalui anus?"
"Bagaimana dengan teorinya tentang anak-anak lelaki yang ingin bercinta dengan
ibunya sendiri?" Lelaki gendut berbicara lagi dengan tarikan wajah yang
memperlihatkan kejijikan yang begitu kuat.
"Bagaimana dengan Tuhan?" Tanya Dana sambil memadatkan tembakau di dalam
pipanya, "pastilah sulit bagimu, Jung, karena kau berhubungan dengan Freud."
Jung tidak yakin bahwa sebenarnya hal apakah yang sedang mereka bicarakan. Ia
tidak menjawab. "Aku tahu kau, Jung," kata Dana, "aku tahu siapakah kau ini. Kau orang Swiss.
Beragama Kristen. Ilmuwan, seperti kami juga. Kau adalah seorang lelaki yang
bersemangat. Orang yang bertindak menurut gairahnya. Seorang lelaki yang
membutuhkan lebih dari seorang wanita untuk tumbuh pesat. Kau tidak perlu
menyembunyikan hal seperti itu di sini. Kau bukanlah lelaki yang dikatakan tidak
bertindak, yang membiarkan gairahnya membusuk seperti borok, yang ayahnya adalah
penjajah, yang selalu merasa rendah diri terhadap kami..., hanya orang-orang
seperti itulah yang dapat menyu sun keburukan, khayalan-khayalan hewani,
menteorikan Tuhan dan manusia ke dalam saluran pembuangan. Pastilah sulit bagimu
untuk dihubungkan dengan orang-orang seperti itu."
Bagi Jung menjadi semakin sulit untuk menyerap aliran katakata mereka. Alkohol
tadi pastilah sudah mulai
memasuki kepalanya. Tuan-tuan itu tampak mengenalinya, tetapi bagaimana mungkin"
"Terkadang memang begitu," jawab Jung perlahan-lahan.
"Aku sama sekali tidak anti-Yahudi. Kau hanya tinggal bertanya pada Sachs di
sini." Ia menunjuk pada lelaki botak di sebelah kirinya. "Sebaliknya, aku
mengagumi orang-orang Yahudi. Rahasia mereka adalah kemurnian ras, sebuah
prinsip yang lebih mereka ketahui dibandingkan dengan kita. Itulah yang membuat
mereka menjadi ras yang besar."
Lelaki yang ditunjuk sebagai Sach tidak mengatakan apa-apa, sementara si tambun
hampir tidak menggerakkan bibir tebalnya. Dana melanjutkan. "Tetapi hari Minggu
yang lalu. Ketika aku melihat pada Juru Selamat kami yang berdarah-darah, lalu
membayangkan si orang Yahudi dari Wina itu mengatakan bahwa gairah kita padaNya
adalah gairah seksual, kurasa sulit bagiku untuk berdoa setelah mendengar
pernyataan seperti itu. Sangat sulit. Sepertinya aku yakin, kau tentulah juga
merasakan kesulitan yang sama. Atau murid-murid Freud juga diminta untuk
meninggalkan gereja?"
"Aku pergi ke gereja," kata Jung dengan kikuk.
"Bagiku sendiri," kata Dana, "aku tidak bisa mengatakan, aku tahu itu adalah
kemarahan dari psikoterapi. Aliran-aliran The Emanuels. The New Thought, Dr.
Quackenbos...," "Quackenbos," sela lelaki dengan pipi berbercak merah.
"Eddyisme," lanjut Dana, "psikoanalisa..., menurutku, mereka semua itu adalah
sekte. Tetapi separuh dari wanita Amerika bersusah payah mencari mereka, dan
untunglah mereka tidak mendapatkannya dari tempat yang keliru. Mereka akan
mendapatkan apa yang mereka cari darimu, percayalah padaku. Tentunya setelah
mereka membaca tentang dirimu di Times. Nah, intinya begini, kami dapat
membuatmu menjadi psikiatris paling terkenal di Amerika melalui tulisan Ochs.
Tetapi Ochs tidak dapat menulis apa-apa tentang dirimu jika kau tidak
menjelaskannya dalam kuliah-kuliahmu di Fordham dengan betulbetul jelas,
sehingga ia yakin kalau kau tidak terpengaruh kecabulan faham Freud. Selamat
siang, Dr. Jung." 9 GEDORAN pintu kamar hotel Nona Acton terus berlangsung sementara pegangan
pintunya terputar-putar ke kiri dan ke kanan. Pintu pun terbuka, di susul
menyeruaknya lima orang, yang tiga di antaranya kukenal. Walikota McClellan,
Detektif Littlemore dan George Banwell. Dua orang lainnya adalah seorang bapak
dan seorang ibu yang terlihat sangat kaya.
Lelaki itu tampak berusia akhir empatpuluhan, berkulit putih tetapi tampak
terbakar matahari dan mengelupas. Dagunya mencuat, rambut sudah mulai banyak
rontok, dan ada perban putih besar menutupi mata kirinya. Jelaslah kalau lelaki
itu adalah ayah Nona Acton, walau tungkai panjang yang anggun miliki Gadis itu
berbeda dengan milik ayahnya yang tampak tidak ada gunanya. Wajah Nona Acton
lembut dan feminim, sementara wajah ayahnya terkesan malu-malu. Wanita yang
kuduga adalah ibu Nona Acton, tinggi tubuhnya mungkin hanya mencapai seratus
limapuluh dua sentimeter. Ia tampak lebih gendut
dari suaminya, mengenakan banyak perhiasan dan riasan wajah. Tumit sepatunya
pun, yang mungkin digunakan untuk menambah tinggi badannya beberapa sentimeter,
tampak berbahaya. Bisa jadi, ketika masih muda, ia adalah seorang yang menarik.
Wanita itulah yang berbicara pertama kali sambil menangis, "Nora, kasihan kau
anak malang. Aku sudah sangat ketakutan begitu mendengar kabar mengerikan itu.
Kami telah melakukan perjalan berjam-jam. Harcourt, apa kau hanya akan berdiam
diri di sana saja?" Ayah Nora meminta maaf, lalu mengulurkan tangannya untuk menuntun wanita gendut
itu menuju kursi hingga tampak nyaman. Wanita itu menjatuhkan diri di atas
kursi, ia tampak keletihan. Walikota McClellan memperkenalkan aku kepada Acton
dan istrinya, Mildred. Ternyata, saat mereka baru saja tiba di lobi hotel,
ketika itu juga seseorang dari atas mengeluhkan kericuhan yang terdengar dari
kamar Nona Acton. Aku meyakinkan mereka kalau kami tidak apa-apa, walau sedikit
berharap kalau cangkir teh itu tidak pecah berserakan di dekat dinding.
Untunglah mereka memunggungi tembok, maka kukira mereka tidak melihatnya.
"Segalanya akan menjadi aman, sekarang, Nora," kata Tuan Acton, "Walikota
McClellan-lah yang mengatakan padaku kalau tidak ada berita apa-apa di surat
kabar, syukurlah." Mildred Acton mempersalahkan suaminya yang meninggalkan Nora di rumah sendirian.
Dengan cerewet ia bertanya di mana Ibu Biggs, yang seharusnya sudah mengemas
barang-barang milik putrinya dan segara mengajak Nora pergi dari tempat ini.
Mildred memiliki firasat kalau penyerang itu masih berada di hotel ini.
Sewaktu berjalan masuk, aku merasakan matanya menatapku. Begitulah kata Mildred.
"Menatapmu, sayangku?" Tanya Acton. Aku tidak bisa mengatakan kalau aku melihat
kasih sayang atau perlindungan yang semestinya terlihat ketika Nora menyambut
orangtuanya setelah perpisahan lama. Aku juga tidak bisa menyalahkan sikap Nona Acton lantaran arah katakata
yang dilontarkan padanya sejauh itu. Anehnya, Nona Acton belum mengatakan
sepatah kata pun sejak tadi. Ia memang telah bergerak untuk bicara, namun tidak
satu pun dari usahanya pernah berhasil terucapkan. Ada aliran darah kemarahan
pada pipinya. Kemudian aku mengerti kalau gadis itu telah kehilangan suaranya
lagi. Atau itulah yang kuduga, sampai akhirnya Nona Acton berkata dengan tenang
dan datar, "aku tidak diperkosa, Mama."
"Hus, Nora," kata ayahnya, "katakata itu tidak patas diucapkan."
"Kau tidak bisa mengetahui hal itu, anak malang!" Seru ibunya, "kau tidak dapat
mengingat kejadian itu. Kau tidak akan pernah tahu."
Jika gadis itu menghendaki, kinilah saatnya untuk mengatakan kalau ingatannya
sudah kembali. Namun Nora tidak melakukan itu. Sebagai gantinya, ia berkata,
"aku akan tinggal di hotel ini untuk melanjutkan perawatanku. Aku tidak mau
pulang." "Kau dengar apa yang dikatakannya?" Teriak ibunya.
"Aku tidak akan merasa aman di rumah," kata Nona Acton, "lelaki yang menyerangku
mungkin sedang mengamatiku di sana. Pak McClellan, bukankah kau yang mengatakan
begitu, hari Minggu lalu."
"Gadis itu benar," kata Walikota, "ia jauh lebih aman
berada di hotel ini. Pembunuh itu tidak tahu kalau ia berada di sini."
Aku tahu, itu kebohongan, karena Nona Acton telah menerima surat ancaman ketika
ia berada di luar. Jelas, Nona Acton pun tahu akan hal itu. Sebenarnya, ketika
ia mendengar katakata McClellan, aku melihat Nona Acton mengepalkan tangannya;
ujung dari surat kalengnya tersembul sedikit dari kepalan tangannya itu. Namun
ia tidak mengatakan apa-apa. Ia menatap McClellan, lalu orang tuanya, seakan
mempertegas posisinya. Aku tahu ia sedang menghindari tatapan Banwell.
Banwell menatap Nora dengan tarikan wajah ganjil.
Secara jasmani, lelaki itu mendominasi yang lainnya. Ia berpostur lebih tinggi
dibandingkan orang lain yang berada dalam ruangan ini, kecuali diriku sendiri.
Ia juga memiliki dada sebesar tong. Rambut hitamnya tersisir ke belakang dengan
sejenis minyak dan sudah mulai berwarna kelabu, yang terlihat indah pada bagian
pelipisnya. Tatapannya tajam kepada Nora. Tampak tidak masuk akal. Tatapan itu
dapat kukatakan, walau pasti akan disangkal, sepertinya Tuan Banwell berharap
untuk melakukan sesuatu kejahatan pada Nona Acton. Lelaki itu pun berbicara,
tetapi suaranya tidak dapat menutupi perasaannya, "Tentu yang terbaik bagi Nora
adalah tinggal di luar kota," katanya yang terdengar serak tetapi benar-benar
sangat peduli pada keselamatan Nona Acton, "mengapa tidak tinggal saja di rumah
pedesaanku" Clara akan mengurusnya."
"Aku lebih suka tinggal di sini," kata Nora sambil menatap ke bawah.
"Begitukah?" Kata Banwell, "ibumu menduga si pembunuh ada di hotel ini.
Bagaimana kau bisa yakin kalau ia
tidak mengamatimu sekarang ini?"
Wajah Nona Acton memerah mendengar perkataan Tuan Banwell. Bagiku, seluruh
tubuhnya tampak bergetar karena ketakutan.
Aku mengatakan kalau aku akan pergi. Nona Acton mendongak dan menatapku dengan
cemas. Aku beralasan kalau aku lupa memberikan resep obat Nora. Padahal secarik
kertas yang kutulis itu berbunyi, Apakah penyerangm u adalah Ban w ell"
Nora melihat pesanku. Ia mengangguk padaku dengan samar tetapi yakin.
Banwell berkata penuh curiga, mengapa resep itu tidak diberikan saja padanya dan
ia bisa menyuruh pegawainya untuk mengambilkan di apotek.
"Baiklah," kataku. Dari tangan Nona Acton, aku mengambil resepku dan surat
ancaman tanpa nama itu. Aku berikan yang terakhir pada Banwell, "coba saja,
mungkin pegawaimu dapat mengambilnya."
Banwell membacanya. Aku sedikit berharap ia akan meremasnya dan mendelik padaku,
dan memperlihatkan dirinya sebagai penjahat seperti dalam roman picisan. Namun,
ia malah berseru, "Kurang ajar, apa ini..., 'jaga lidahmu1" Sebaiknya kaujelaskan
ini, anak muda." "Itu adalah peringatan yang diterima Nona Acton di jalan pagi ini," kataku
"seperti yang kau tahu, Tuan Banwell, karena kaulah penulisnya." Setelah itu
keheningan yang menegangkan terjadi. "Tuan Walikota, Pak Littlemore, lelaki
inilah penjahat yang kalian cari. Nona Acton ingat akan serangan terhadapnya itu
beberapa menit yang lalu sebelum kalian datang. Aku sarankan untuk menangkapnya
segera." "Berani sekali kau?" Kata Banwell.
"Apa ia..., ia ini siapa?" Tanya Mildred Acton seraya menunjukku, "darimanakah
asalnya?" "Dr. Younger," kata Walikota McClellan, "kau tidak akan menerima hukuman karena
tuduhan palsu. Tariklah ucapanmu. Jika Nona Acton baru saja mengatakan padamu
tentang hal itu, lalu apakah artinya" Ingatannya masih kacau."
"Tuan Walikota....," Detektif Littlemore mulai bicara.
"Jangan sekarang, Littlemore," kata Walikota McClellan dengan tenang, "Dokter,
kau harus mencabut tuduhanmu, dan meminta maaf pada Tuan Banwell. Katakanlah apa
yang baru saja dikatakan Nona Acton padamu."
"Tetapi yang Mulia...," kata detektif itu.
"Littlemore!" Walikota McClellan membentak dengan amarahnya sehingga membuat
detektif itu mundur selangkah, "Tidakkah kau mendengarku?"
"Walikota McClellan," aku menyela, "aku tidak mengerti. Aku baru saja mengatakan
padamu kalau Nona Acton dapat mengingat peristiwa penyerangan itu. Detektifmu
sendiri tampaknya memiliki sesuatu untuk menegaskannya. Nona Acton dengan jelas
telah mengenali Tuan Banwell sebagai penyerangnya."
"Kami hanya mendengar katakata dari pihakmu, Dokter..., jika memang hanya itu yang
kau pedulikan," kata Banwell. Ia menatap tajam pada Nona Acton. Bagiku, ia
sedang berusaha dengan keras untuk mengendalikan perasaannya yang kuat. "Nora,
kau tahu betul aku tidak melakukan apa pun padamu. Katakan pada mereka, Nora."
"Nora," kata ibu gadis itu, "katakanlah kalau tuduhannya itu salah."
"Nora, sayang," kata ayahnya.
"Aku tidak mau mengatakan padanya," hanya itulah
yang dikatakan Nona Acton.
"Tuan McClellan," kataku, "kau tidak boleh membiarkan Nona Acton diinterogasi
oleh lelaki yang menyerangnya, seorang lelaki yang juga telah membunuh seorang
gadis lainnya." "Younger, aku percaya, maksudmu baik," kata Walikota McClellan, "tetapi kau
salah. George Banwell sedang bersamaku pada hari Minggu malam, ketika Elizabeth
Riverford dibunuh. Ia bersamaku..., kau dengar aku, ia bersamaku..., sepanjang malam
itu dan tengah malam hingga menjelang Senin pagi juga. Duaratus limapuluh mil
dari kota. Ia tidak mungkin membunuh siapa pun."
9 DI PERPUSTAKAAN, setelah Jung pergi, ekor asap cerutu yang melingkar-lingkar
membumbung ke langitlangit.
"Apa Jung sudah kita dapatkan?" Tanya lelaki botak yang disebut sebagai Sachs.
"Sangat pasti," kata Dana. "Ia bahkan lebih lemah dari yang semula kubayangkan.
Apalagi kita memiliki data lebih dari cukup untuk menghancurkannya kapanpun.
Ochs sudah menerima pesanmu, Allen?"
"Oh, ya," kata si gendut yang berpipi merah dan berbibir tebal. "Ia akan
menerbitkan tulisanku tepat pada hari yang sama ketika orang Swiss itu
diwawancarai." "Bagaimana dengan Matteawan?" Tanya Sachs.
"Serahkan saja padaku," kata Dana. "Yang belum kita rencanakan adalah menahan
maksud mereka yang lain dari penyebaran berita itu. Besok akan sudah beres."
g BAHKAN SETELAH MENDENGAR kesaksian McClellan, aku tidak dapat menerima kalau
Banwell tidak bersalah. Begitulah subjektifnya. Namun objektifnya, aku tidak
punya dasar untuk tidak memercayainya ataupun memprotesnya.
Nora menolak pulang, namun Acton memohonnya. Ibunya marah dan menyebutnya
sebagai gadis pembangkang. McClellan mengatasi masalah itu. Kini, setelah
melihat surat itu, ia berkata kalau hotel tersebut jelas sudah tidak aman lagi.
Tetapi rumah keluarga Acton masih dapat diamankan. Memang, rumah itu dapat
dibuat lebih aman dibandingkan dengan hotel yang memiliki begitu banyak jalan
masuk. Ia akan menempatkan beberapa orang polisi di luar, di belakang dan di
depan rumah sepanjang siang dan malam. Lebih lagi, ia mengingatkan kalau gadis
itu masih belum dewasa: di bawah perlindungan hukum, dan ia harus mematuhi
perintah ayahnya walau berlawanan dengan keinginannya.
Kupikir Nona Acton akan marahmarah. Tetapi ia menyerah, walau dengan syarat
yaitu ia diizinkan untuk melanjutkan terapinya esok pagi. "Terutama," ia
menambahkan, "kini aku tahu kalau ingatanku tak bisa dipercaya." Kalimat itu
dikatakannya dengan penuh kejujuran. Tetapi tidak mungkin dikatakan kalau ia
menyalahkan kejujuran ingatannya atau marah kepada orang yang tidak ingin
memercayainya. Ia tidak melihat padaku lagi setelah itu, tak sekali pun. Perjalanan turun
dengan menggunakan lift yang hening membuatku tersiksa, tetapi Nona Acton tetap
bersikap tenang dan bermartabat. Sikap itu tidak dimiliki
ibunya yang tampak memandang segala yang dihadapinya sebagai musuh pribadi.
Sebuah janji dibuat bagiku untuk berkunjung ke rumah mereka di Gramercy Park
esok pagi. Lalu mereka pergi ke kota dengan menumpang sebuah mobil. Begitu juga
McClellan. Banwell, setelah melirik sekali lagi ke arahku tanpa keramahan, pergi
menggunakan kereta kuda, meninggalkan Detektif Littlemore dan aku di tepi jalan.
Detektif Littlemore berpaling padaku, "Ia mengatakan padamu kalau pelakunya
adalah Banwell?" "Ya," kataku. "Dan kau percaya padanya, bukan?" "Ya, aku percaya padanya."
"Aku boleh bertanya padamu?" Kata Littlemore, "misalnya, seorang gadis
kehilangan ingatannya. Ia sama sekali tidak dapat mengingat apa pun. Lalu
ingatannya itu kembali lagi. Bisakah kau memastikan kapan waktunya ingatan itu
kembali lagi?" "Tidak," kataku. "Itu bisa jadi kepura-puraannya saja. Itu bisa juga hanya
khayalannya, jadi bukan ingatannya yang sesungguhnya."


Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi kau percaya padanya?"
"Ya." "Jadi, bagaimana itu, Dok?"
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa," kataku, "aku boleh bertanya sesuatu,
Detektif" Apa yang akan kau katakan tadi kepada McClellan ketika kita masih
berada di kamar Nona Acton?"
"Aku hanya ingin mengingatkannya kalau ahli otopsi Hugel yang berwenang pada
kasus ini, tadinya juga berpikir kalau Banwell-lah si pembunuh itu."
"Apakah tadinya ia berpikir begitu?" Tanyaku,
"maksudmu, apakah kini ia tidak lagi berpikir seperti itu?"
"Well, ia tidak bisa begitu lagi, tidak setelah apa yang dikatakan Tuan Walikota
tadi," jawab Littlemore.
"Mungkinkah Banwell memang menyerang Nona Acton, dan sementara pembunuh Nona
Riverford adalah orang lain?"
"Tidak," jawab detektif itu, "kami sudah punya bukti. Pelakunya adalah orang
yang sama." Aku kembali ke dalam, tidak yakin pada diriku sendiri, pasienku, atau keadaanku.
Mungkinkah McClellan sedang melindungi Banwell" Apakah Nora akan aman berada di
rumah orang tuanya" Petugas di meja depan memanggil namaku. Rupanya ada surat untukku dari G.
Stanley Hall, presiden Clark University. Suratnya panjang dan sangat mengganggu
pikiranku. g DI LUAR HOTEL MANHATTAN, Detektif Littlemore mendekati pangkalan kereta kuda
sewaan. Dari sais tua kemarin malam, Littlemore tahu kalau lelaki b erambut
hitam lelaki yang meninggalkan Balmoral pada hari Minggu, tengah malam ?itu telah memasuki taksi berwarna merah dan hijau berbahan bakar bensin di
?depan Hotel Manhattan. Sepotong informasi itu baginya sangat berarti banyak.
Hanya satu dekade sebelumnya, setiap kendaraan sewaan di Manhattan adalah kereta
kuda. Pada tahun 1900, seratus trem bermesin berlalu-lalang di sekitar kota,
tetapi ketika itu masih bertenaga listrik. Pada tahun 1907, New York Taxicab
Company meluncurkan mobil-mobil sewaan pertamanya
menggunakan bahan bakar bensin, yang juga dilengkapi dengan argometer sehingga
penumpang tahu berapa ia harus membayar.s Taksi bensin itu dapat dengan mudah
dikenali karena warnanya menyolok, merah dan hijau.
Beberapa dari kendaraan tersebut diparkir di pangkalan taksi Hotel Manhattan.
Para pengemudi memberitahu Littlemore untuk mencoba mencari tahu di garasi
Allen, Fifty-seven, antara Eleventh dan Twelfth av-enue. Di sanalah New York
Taxicab berkantor pusat dan dengan mudah dapat diketahui siapakah orang yang
telah bergiliran menjaga pemakaman pada hari Minggu. Sungguh baik nasib detektif
itu. Dua jam kemudian, ia mendapatkan jawabannya. Seorang pengemudi bernama
Luria, telah menjemput seorang lelaki berambut hitam di depan Hotel Manhattan
setelah tengah malam hari Minggu lalu. Luria dapat mengingat dengan jelas,
karena lelaki itu tidak keluar dari hotel, tetapi dari sebuah kereta kuda.
Littlemore juga menjadi tahu ke mana lelaki berambut hitam itu pergi setelahnya.
Lalu Littlemore pergi sendirian ke tempat itu sebuah rumah pribadi. Di sana, ?nasib mujurnya sirna.
Rumah itu terletak di Fortieth Street di luar Broadway. Littlemore harus
mengetuk pintu itu sebanyak lima atau enam kali sebelum seorang wanita muda
membukakannya. Wanita itu bisa dianggap berbusana tidak rapi pada tengah hari
seperti itu. Ketika Littlemore menjelaskan siapakah dirinya, wanita itu
menyuruhnya menunggu. Ia dibawa masuk ke ruang tamu berpermadani Oriental yang tebal. Terdengar suara
bayi menangis di lantai atas. Lima menit kemudian, seorang wanita lainnya, lebih
tua dan sangat gemuk, menuruni anak tangga yang
berlapis permadani merah. Wanita itu mengenakan jubah berwarna anggur Perancis.
"Kau pastilah sangat pemberani," kata wanita itu, yang memperkenalkan dirinya
sebagai Susan Merrill. Dari sebuah lemari penyimpan yang tersembunyi di dalam
tembok di balik cermin, ia menarik sebuah kotak kuat dari besi berukir, yang
dibukanya dengan sebuah kunci. Ia menghitung limapuluh dolar. "Ini. Sekarang,
pergilah. Aku sudah terlambat."
"Aku tidak mau uangmu, Bu," kata Littlemore.
"Oh, jangan katakan padaku seperti itu. Kau membuatku muak, kalian semua. Greta,
kemarilah," Seorang gadis yang tak berbusana sopan masuk ke ruangan, sambil menguap. "Greta,
detektif ini tidak mau uang kita. Bawa ia ke kamar hijau. Layanilah."
"Aku ke sini bukan untuk itu juga, Bu," kata Littlemore, "aku hanya ingin
mengajukan satu pertanyaan. Adakah seorang lelaki yang datang ke sini pada hari
Minggu tengah malam" Aku sedang mencarinya."
Ibu Merrill menatap Littlemore dengan ragu, "Jadi, kau kini ingin bertemu dengan
pelangganku" Apa yang ingin kau lakukan, menggoyangnya juga?"
"Kau pastilah mengenal beberapa orang polisi jahat," kata Littlemore.
"Apakah ada jenis lainnya?"
"Seorang gadis telah terbunuh pada hari Minggu malam," kata Littlemore,
"pelakuknya telah mencambukinya, mengikatnya, dan menyayatnya dengan bengis,
lalu mencekiknya. Aku ingin menangkap orang itu. Itu saja."
Wanita itu menarik jubah merah anggurnya yang tfedaitouifcgRafc bhbBh^aiaHa
rrt&pf^ito^irerga^BibiSlii upegwpaufes
jalanan?" "Bukan," kata Littlemore, "gadis kaya. Sangat kaya. Tinggal di sebuah gedung
mewah di kota." "Wah, sayang sekali. Apa hubungannya denganku?"
"Lelaki itu datang ke sini," jawab Littlemore, "kami pikir ia mungkin saja si
pembunuh itu." "Kau tahu, Detektif, berapakah lelaki yang datang ke sini pada hari hari Minggu
malam?" "Lelaki ini pastilah lain dari yang lainnya. Ia berpostur tinggi, berambut
hitam, dan membawa tas atau koper hitam atau sejenisnya."
"Greta, kau ingat ada orang seperti itu?"
"Coba kuingat-ingat," kata Greta sambil menguap, "tidak ada."
"Nah, apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Ibu Merrill, "kau telah mendengarnya
bukan?" "Tetapi lelaki itu datang ke sini, Bu. Taksi itu meninggalkannya tepat di depan
pintu rumahmu." "Meninggalkannya" Itu tidak berarti ia masuk ke sini. Aku bukan
satusatunya pemilik rumah di blok ini."
Littlemore mengangguk perlahan. Tampaknya Greta agak tidak peduli, sedangkan Ibu
Merrill agak terlalu bersemangat melihatnya pergi.
Tigabelas NORA TELAH MEMINTAKU untuk menciumnya.
Aku sedang berjalan-jalan di kota di Forty-second Street, tetapi pada mata
batinku, aku terus melihat bibir
Nona Acton yang terkuak. Aku terus merasakan kulit tenggorokannya pada tanganku.
Dan aku seolah terus mendengarnya membisikkan dua kata itu.
Surat Presiden Hall ada di saku rompiku. Seharusnya aku hanya mempunyai satu ide
di benakku yaitu bagaimanakah mengatasi kemungkinan batalnya konferensi minggu
depan di Clark berikut seluruh reputasi Dr. Freud, setidaknya di Amerika. Namun
yang dapat kulihat hanyalah bibir dan mata yang tertutup milik Nona Acton.
Aku tidak mengolok diri. Aku tahu perasaannya padaku. Aku pernah melihat yang
seperti itu, bahkan terlalu sering. Pernah salah satu dari pasienku di
Worcester, seorang gadis bernama Rachel, cenderung ingin membuka pakaiannya
hingga sebatas pinggangnya setiap sesi analitis. Setiap kali ia mengajukan
alasan baru untuk melakukannya. Ia pernah mengatakan kalau detak jantungnya
tidak teratur, atau sebuah tulang iga yang dikhawatirkannya patah, atau denyut
sakit pada punggung bagian bawahnya. Padahal Rachel hanyalah salah satu dari
sekian gadis. Dalam segala kasus seperti itu, aku sebenarnya tidak pernah
menolak godaan, tetapi aku belum pernah tergoda. Pasien yang kuanalisa ada yang
membuat tipu daya yang menggairahkan, mereka menyerangku dengan mengerikan.
Seandainya saja pasienku lebih menarik hati, aku tidak akan meragukan, perilaku
mereka tentu akan memberiku ilham berupa perasaan yang sama dalam
ketaksempurnaan seorang manusia. Sebenarnya sifatku tidak istimewa, hanya saja
para pasienku itu tidak menarik. Pada umumnya usia mereka cukup untuk menjadi
ibuku. Gairah mereka membuatku muak. Namun Rachel
berbeda. Ia menarik, bertungkai jenjang, bermata hitam-dengan letak yang agak
berdekatan, tentunya-dan bentuk tubuh yang bisa dikatakan bagus, atau lebih dari
sekadar bagus. Sayangnya ia mengidap neurotis agresif, sehingga tidak pernah
bisa membangkitkan gairahku.
Aku pernah membayangkan gadis-gadis yang lebih cantik lainnya yang berkonsultasi
denganku. Aku pernah mengkhayalkan kejadian yang tidak mungkin di jelaskantetapi tidak mustahil terjadi-di ruang praktikku. Maka terjadilah. Setiap kali
ada pasien psikoanalitis baru yang datang padaku, aku mulai menilai-nilai
kecantikannya. Akibatnya, aku membenci diriku sendiri. Lalu aku berpikir apakah
aku harus mempertahankan diri untuk tetap menjadi seorang analis. Aku belum
menerima pasien analitis sepanjang musim panas ini, hingga muncul Nona Acton.
Dan sekarang ia telah memintaku untuk menciumnya. Tidak ada yang tersembunyi,
dari diriku sendiri, apa yang ingin kulakukan bersamanya. Aku belum pernah
mengalami perasaan gairah yang menyiksa seperti ini, gairah untuk menguasai dan
memiliki. Aku sangat ragu apakah aku berada dalam ketegangan keadaan transfertandingan [timbulnya perasaan kasih sayang pasien terhadap dokternya]. Terus
terang, aku sudah merasakan gairah yang sama begitu aku melihat Nona Acton.
Tetapi baginya, kasusnya jelas berbeda. Ia bukan saja baru sembuh dari trauma
penyerangan jasmani, namun lebih dari itu, ia juga sedang menderita sebuah
transisi dari ketegangan yang paling berbahaya.
Ia telah memperlihatkan setiap gejala ketidaksukaannya padaku hingga saat ia
merasa kenangannya yang tertekan itu meletup kembali. Ia terbebas dari
kenangannya itu karena tekanan jasmani yang telah kulakukan pada lehernya. Pada
saat itu, baginya aku telah menjadi semacam penyelamat. Sebelum itu, tidak suka
adalah istilah yang terlalu lembut. Ia membenciku, katanya. Namun setelah masa
itu berlalu, ia ingin memberikan dirinya padaku, atau begitulah yang ia rasakan.
Karena jelas sekali, dengan sesal harus kuakui, kalau cinta yang dirasakannya,
jika bisa disebut seperti itu, adalah buatan, sebuah fiksi yang kerap terbentuk
karena pertemuan analitis antara dokter dan pasiennya.
Aku tidak ingat kapan aku menyeberangi Sixth atau Seventh Street, namun tibatiba
aku sudah berada di tengah-tengah Times Square. Aku pergi ke taman atap di
Hammerstein's Victoria. Di sana aku harus bertemu dengan Freud beserta temanteman lainnya untuk makan siang.
Di sana, aku tidak dapat menemukan teman-temanku. Aku jelas terlambat, mereka
pasti sudah pergi. Maka aku kembali ke gedung Brill di Central Park West. Aku
tahu mereka pasti akan kembali ke sana. Tidak seorang pun menjawab bel yang
kutekan. Aku menyeberangi jalan dan duduk pada sebuah bangku panjang,
menenangkan diriku. Central Park ada di belakangku. Dari tasku, aku keluarkan
secarik surat yang ditulis G. Stanley Hall. Setelah membacanya paling tidak
sebanyak enam kali, aku akhirnya menyingkirkannya dan mengambil bacaan lainnya,
namun aku tidak peduli apa yang kubaca.
g KAU MENDAPATKANNYA?" Tanya ahli otopsi Hugel pada Louis Riviere, kepala bagian
fotografi, di ruang bawah
tanah kantor polisi. "Aku sedang memvernisnya sekarang," seru Riviere sambil berdiri di depan sebuah
wastafel di ruang gelapnya.
"Tetapi aku meninggalkan lempengan-lempengan itu pukul tujuh tadi pagi," protes
Hugel, "mereka seharusnya sudah siap."
"Cobalah untuk tenang," kata Riviere sambil menyalakan lampu, "masuklah, kau
bisa melihatnya." Hugel masuk ke ruang gelap dan meneliti foto-foto itu dengan tergesa-gesa. Ia
juga memperhatikan lempengan-lempengan itu dengan cepat, satu per satu, sambil
menyingkirkan yang tidak menarik baginya. Lalu ia berhenti, menatap sebuah foto
chse-up leher seorang gadis, yang memperlihatkan memar melingkar dengan jelas.
"Apa ini, ini, yang ada pada leher gadis ini?" Tanyanya.
"Ini memar, bukan?" Tanya Riviere.
"Memar biasa tidak akan tampak begitu sempurna lingkarannya," kata ahli otopsi,
sambil melepas kacamatanya dan mendekatkan foto itu pada wajahnya hingga satu
inci. Foto itu memperlihatkan noda hitam bulat berkembang pada leher yang nyaris
putih, "Louis, mana gelasmu?"
Riviere mengeluarkan apa yang tampak seperti sebuah gelas seloki terbalik. Hugel
segera menyambarnya dari tangan Riviere, lalu menempatkannya di atas foto itu
tepat pada noda hitam. Ia menempelkan matanya di sana, "Aku dapat!" Teriaknya,
"aku menemukan penjahat itu!"
Dari luar kamar gelap terdengar suara Detektif Littlemore. "Ada apa?"
"Littlemore?" Kata Hugel, "kau di sini" Bagus sekali."
"Kau menyuruhku datang?"
"Ya, dan sekarang kau akan tahu mengapa," kata Hugel, sambil memberi isyarat
pada Littlemore untuk melihat melalui kaca pembesar Riviere. Detektif itu
mematuhinya. Di bawah kaca pembesar itu, garis-garis seperti bercak di dalam
lingkaran hitam berubah menjadi gambar yang lebih jelas.
"Wah," kata Littlemore, "itu huruf-huruf?"
"Betul," kata Hugel penuh kemenangan, "dua huruf."
"Ada yang aneh pada huruf-huruf itu," lanjut Littlemore, "tampak tidak
semestinya. Yang kedua tampak seperti huruf J. Yang pertama.., aku tidak tahu."
"Hurruf-huruf itu tidak tampak seperti semestinya karena terbalik, Littlemore,"
kata Hugel, "Louis, coba jelaskan pada detektif ini mengapa huruf itu terbalik."
Riviere melihat gambar melalui kaca pembesar itu.
"Aku melihatnya, dua huruf, saling mengait. Jika mereka terbalik, maka yang satu
sebelah kanan, yang disebu Monsieur Littlemore huruf J, bukan J, tetapi G."
"Tepat," kata ahli otopsi.
"Tetapi mengapa tulisan itu harus terbalik?" Tanya Riviere.
"Karena tercetak pada leher gadis itu dari peniti dasi si pembunuh," Hugel
berhenti untuk menciptakan suasana dramatis, "ingat bahwa si pembunuh telah
mengunakan dasi sutera putihnya sendiri untuk mencekik Nona Riverford. Ia cukup
pandai untuk memindahkan dasi itu dari tempat kejadian. Tetapi ia masih membuat
kesalahan. Ketika ia melakukan tindakannya, peniti dasi suteranya adalah sebuah
peniti dengan cap monogram namanya sendiri. Secara kebetulan, peniti itu
menempel secara tidak langsung dengan kulit tenggorokan lembut dan peka
gadis itu. Karena penekanan yang keras dan lama, monogram itu meninggalkan
cetakan pada leher, seperti cincin sempit yang akan meninggalkan bekas pada jari
pemakainya. Cetakan itu, merekam inisial si pembunuh sama jelasnya seperti ia
meninggalkan kartu namanya pada kita, namun ini berupa bayangan cermin. Huruf di
sebelah kanan adalah huruf G terbalik, karena G adalah huruf pertama dari nama
lelaki yang membunuh Elizabeth Riverford. Huruf pada sebelah kiri adalah huruf
B, karena nama lelaki itu adalah George Banwell. Sekarang kita tahu mengapa ia
harus mencuri jasad itu dari kamar mayat. Ia melihat memar bukti itu pada leher
korbannya dan tahu kalau aku akan mampu mengetahuinya. Apa yang tidak
diperkirakannya adalah pencurian mayat itu tidak ada gunanya, karena aku punya
foto ini!" "Tapi...," kata Detektif Littlemore.
Hugel mendesah berat, "Apakah aku harus menjelaskannya sekali lagi, Detektif?"
"Banwell tidak melakukannya," kata Littlemore, "ia mempunyai sebuah alibi."
"Tidak mungkin," kata Hugel, "apartemennya ada di lantai yang sama pada gedung
yang sama juga. Pembunuhan itu terjadi antara waktu tengah malam dan pukul dua
hari Minggu. Banwell tentunya telah kembali dari segala acara sebelum waktu
itu." "Ia mempunyai sebuah alibi," ulang Littlemore, "dan alibi itu kuat. Ia bersama
Walikota McClellan sepanjang Minggu malam hingga fajar hari Senin, di luar
kota." "Apa?" Kata ahli otopsi itu.
"Ada kekurangan dalam bantahanmu," sela Riviere, "kalian tidak begitu akrab
dengan fotografi seperti aku. Kau memotret gambar ini sendiri?"
"Ya," jawab Hugel sambil mengerutkan keningnya, "mengapa?"
"Ini teknik cetak ferro. Paling membingungkan. Kau beruntung aku masih menyimpan
persediaan sulfat besi. Gambar yang kau miliki berbeda dengan keadaan yang
sesungguhnya. Kiri adalah kanan, dan kanan adalah kiri."
"Apa?" Kata Hugel lagi.
"Sebuah gambar terbalik. Jadi jika tanda pada leher gadis itu terbalikkan dari
monogram yang sesungguhnya, maka foto itu kebalikan dari kebalikannya."
"Kebalikan ganda?" Tanya Littlemore.
"Foto negatif ganda," ralat Riviere, "dan sebuah negatif ganda adalah sebuah
positif. Artinya foto ini memperlihatkan monogram seperti aslinya, bukan
kebalikannya." "Tidak mungkin," teriak Hugel yang lebih kecewa dan tidak percaya pada
keterangan itu, seolah Littlemore dan Riviere dengan sengaja mencoba
merampoknya. "Tetapi aku yakin memang begitu, Monsieur Hugel," kata Riviere.
"Jadi, huruf itu adalah J," kata detektif Littlemore, "nama lelaki itu adalah
Johnson atau yang lainnya. Lalu huruf pertamanya apa?"


Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Riviere meletakkan matanya pada kaca pembesar lagi. "Sama sekali tidak terlihat
seperti huruf. Tetapi mungkin E, kukira..., atau tidak..., mungkin C."
"Charles Johnson," kata detektif itu.
Hugel hanya berdiri di tempatnya, sambil mengulang-ulang kata, "Tidak mungkin."
g AKHIRNYA SEBUAH KERETA berhenti di depan gedung Brill, dan Freud, Brill,
Ferenczi serta Jones pun keluar. Mereka baru saja menikmati film setelah makan
siang tadi. Freud bertanya padaku apakah aku ingin meluangkan waktu selama satu jam
bersamanya di taman untuk melaporkan perawatan Nona Acton. Aku mengatakan kalau
aku sangat ingin tetapi ada sesuatu hal yang terjadi. Aku telah menerima surat
yang tidak menyenangkan. "Kau bukan satusatunya," kata Brill, "Jones menerima kawat tadi pagi dari Morton
Prince di Boston. Ia ditangkap kemarin."
"Dr. Prince?" Tanyaku terkejut.
"Karena pencabulan," lanjut Brill, "pencabulan yang dituduhkan adalah dua
artikel yang akan diterbitkannya. Artikel itu menjelaskan penyembuhan penyakit
yang diakibatkan oleh histeria melalui metode psikoanalisa."
"Aku seharusnya tidak perlu khawatir tentang Prince," kata Jones, "ia pernah
menjadi Walikota Boston, kau tahu. Ia akan segera dibebaskan."
Jones merasa sangat yakin kalau Morton Prince pernah menjadi Walikota Boston
bukan ayahnya. Aku tidak mau mempermalukannya walaupun Jones tetap meyakini hal
itu. Aku pun bertanya, "bagaimana polisi bisa tahu kalau Prince berencana untuk
menerbitkan artikelnya?"
"Memang itulah yang sedang kita pertanyakan," kata Ferenczi.
"Aku tidak pernah memercayai Sidis," tambah Brill, dengan menyebut nama seorang
dokter yang duduk di dewan jurnal Prince, "tetapi kita harus ingat, ini Boston.
Mereka akan menangkap sandwich dada ayam yang tidak dibumbui selayaknya [chicken
breast sandwich's not dressed properly = harfiah: dada ayam yang tidak
berpakaian sopan Brill berkelakar]. M ereka menangkap gadis ?Australia Kellerman seorang perenang itu karena pakaian renangnya tidak
? ?menutupi lututnya."
"Aku khawatir beritaku lebih buruk lagi," kataku, "dan ini ada hubungannya
langsung dengan Dr. Freud. Kuliah-kuliahnya minggu depan diragukan akan
terlaksana. Dr. Freud telah diserang secara pribadi. Maksudku, nama baiknya
diserang di Worcester. Aku tidak dapat mengatakan betapa menyesalnya aku menjadi
si pembawa berita itu."
Aku melanjutkan untuk merangkum sebanyak mungkin isi surat dari Presiden Hall
tanpa menyentuh tuduhan kotor terhadap Freud. Seorang agen mewakili sebuah
keluarga sangat kaya New York bertemu dengan Hall kemarin. Mereka menawarkan
bantuan bagi Clark University yang menurut penjelasan Hall itu adalah "jumlah
yang sangat besar." Keluarga itu menyediakan sumbangan berupa limapuluh tempat
tidur rumah sakit bagi pasien gangguan mental dan syaraf. Mereka juga mendanai
pembangunan gedung baru berikut peralatan termodern, perawat, staf, dan gaji
yang mencukupi supaya dapat menarik minat para ahli neurologi terbaik dari New
York dan Boston. "Itu akan membutuhkan sejuta dolar," kata Brill.
"Mungkin juga lebih," kataku, "itu akan membuat kita menjadi lembaga psikiatris
terkemuka dalam waktu singkat di negeri ini. Kita akan melebihi McLean."
"Siapakah keluarga kaya itu?"
"Hall tidak mengatakannya," kataku pada Brill.
"Tetapi apakah itu diizinkan?" Tanya Ferenczi, "sebuah keluarga pribadi telah
membiayai universitas swasta?"
"Itu yang disebut kedermawanan," kata Brill, "maka itulah banyak universitas di
Amerika bisa menjadi begitu kaya. Dan itulah alasan mengapa mereka dengan cepat
akan mengalahkan banyak universitas di Eropa."
"Omong kosong," sembur Jones, "hal itu tidak akan pernah terjadi."
"Lanjutkan Younger," kata Freud, "tidak ada yang salah dalam berita yang kau
katakan kepada kami sejauh ini."
"Keluarga itu menetapkan dua syarat," aku melanjutkan, "seorang anggota keluarga
mereka tampaknya adalah seorang dokter yang terkenal dengan pandangan-pandangan
p sikologinya. Syarat pertama adalah terapi psikoanalisa tidak bisa dipraktikkan
pada rumah sakit baru itu atau diajarkan di mana pun dalam kurikiulum Clark.
Syarat kedua, kuliah-kuliah Dr. Freud minggu depan harus dibatalkan. Jika tidak,
donasi itu akan diberikan kepada rumah sakit lainnya di New York."
Berbagai seruan kecewa dan penyangkalan mengikuti kalimat tersebut. Hanya Freud
yang tetap tenang. "Apa yang dikatakan Hall tentang sikapnya terhadap persayaratan itu?" Tanyanya.
"Aku khawatir, ini belum semuanya," kataku, "bukan juga yang terburuk. Presiden
Hall diberi sebuah dokumen tentang Dr. Freud."
"Lanjutkan, demi Tuhan," bentak Brill padaku, "jangan main sembunyi-sembunyian."
Aku menjelaskan kalau dokumen itu berisi berbagai contoh tindakan tak
bermoral atau memang, tingkah laku kriminal yang disusun oleh Freud. Presiden? ?Hall diberitahu bahwa perilaku menyimpang Freud yang menjijikan akan segera
dilaporkan oleh pers New York.
Keluarga itu yakin kalau Hall, setelah membaca isi
dokumen tersebut, akan setuju kalau penampilan Freud di Clark harus ditunda demi
kebaikan universitas itu.
"Presiden Hall tidak mengirimkan berkas itu sendiri," kataku, "tetapi suratnya
menyimpulkan tentang tuntutan itu. Boleh aku memberikan surat itu padamu, Dr.
Freud" Presiden Hall memintaku secara khusus untuk mengatakan kalau kau berhak
diberi tahu tentang segala yang dikatakan orang tentang dirimu."
"Aku setuju padanya," kata Brill.
Aku tidak tahu mengapa, mungkin karena akulah pembawa surat tersebut, tetapi aku
merasa bertanggungjawab atas bencana itu. Seolah akulah yang secara pribadi
mengundang Freud ke Clark, hanya untuk menghancurkannya. Aku tidak cemas hanya
karena Freud saja. Aku mempunyai alasan demi kepentingan diriku sendiri untuk
tidak mau melihat lelaki ini dikecewakan. Kewibawaan Freud telah kupertaruhkan
begitu banyak sebagai kepercayaanku, bahkan sebesar hidupku sendiri. Tidak
seorang pun di antara kita adalah orang suci, tetapi aku telah membentuk
kepercayaan itu bertahun-tahun yang lalu kalau Freud berbeda dengan kami semua.
Aku membayangkan kalau ia (tidak seperti diriku) melalui wawasan psikologisnya
itu, telah melampaui ujian yang lebih buruk. Aku sangat berharap berbagai
tuduhan di dalam surat Hall adalah palsu semuanya. Tetapi apa daya, mereka
memiliki tingkatan tuduhan yang begitu meyakinkan akan kebenarannya.
"Aku tidak perlu membaca surat itu secara pribadi," kata Freud, "katakan saja
segala yang mereka sebutkan tentang diriku. Aku tidak punya rahasia terhadap
siapa pun di sini." Aku memulainya dengan tuduhan yang paling ringan,
"Kau dikatakan telah menikah dengan seorang perempuan yang hidup bersamamu,
walau kau merahasiakan siapa dirinya terhadap dunia."
"Tetapi itu bukan Freud," seru Brill, "itu Jones."
"Maaf," kata Jones marah.
"O, ayolah, Jones," kata Brill, "Semua orang pun tahu kau tidak menikah dengan
Loe." "Freud tidak menikah?" Kata Jones sambil menoleh ke belakang bahu kirinya, "aneh
sekali." "Apa lagi?" Tanya Freud.
"Bahwa kau dip ecat dari kepegawaian di rumah sakit terhormat," aku melanjutkan
dengan canggung, "karena kau tidak mau berhenti membicarakan khayalan seksual
dengan para gadis berusia duabelas dan tigabelas tahun yang ada di rumah sakit
untuk menjalani perawatan jasmani murni, bukan karena kondisi kejiwaan."
"Tetapi yang mereka bicarakan itu adalah Jones!" Seru Brill.
Jones tibatiba tertarik pada detil arsitektur gedung apartemen Brill.
"Bahwa kau pernah dituntut oleh seorang suami dari salah satu pasien perempuanmu
dan ditembak oleh suami lainnya," kataku.
"Jones lagi!" Seru Brill dengan keras.
"Bahwa kau baru-baru ini memiliki hubungan seksual," aku melanjutkan, "dengan
pelayanmu yang masih remaja."
Brill menatap Freud, lalu aku, ke Ferenczi dan kemudian Jones, yang sekarang
sedang menatap ke atas, tampaknya sedang mengamati gambar berjenis-jenis burung
di Manhattan. "Ernest?" Kata Brill, "kau tidak begitu, kan" Katakan pada kami, kau tidak
seperti itu!" Serangkaian bunyi deham nan merdu keluar dari tenggorokan Jones, tetapi tidak
ada jawaban berupa katakata.
"Kau menjijikan," kata Brill pada Jones, "sangat menjijikkan."
"Apakah itu yang terakhir, Younger?" Tanya Freud.
"Bukan, Pak," jawabku. Tuduhan tanpa bukti yang terakhir adalah yang paling
buruk, "ada satu lagi, akhir-akhir ini kau menjalin hubungan seksual, kali ini
dengan seorang pasienmu, seorang gadis Rusia berusia sembilan belas tahun,
mahasiswi kedokteran. Perseling-kuhanmu itu dikabarkan sangat terkenal sehingga
ibu gadis itu menulis surat kepadamu, memohon kau tidak merusak putrinya.
Dokumen itu menyatakan memiliki juga surat yang kau tulis sebagai jawaban kepada
ibu gadis itu. Dalam suratmu, kau meminta sejumlah uang dari perempuan itu
sebagai pengganti atas usahanya untuk menahan diri dari menjalin hubungan
seksual dengan pasien."
Setelah selesai, tidak seorang pun berbicara dalam waktu yang cukup lama.
Akhirnya Ferenczi meledak, "Tetapi itu salah satu dari surat Jung, demi Tuhan!"
"Sandor!" Seru Freud tajam.
"Jung menulis surat seperti itu?" Tanya Brill, "kepada ibu pasien?"
Ferenczi menutupi mulutnya dengan tangannya. "Eh," katanya, "tapi Freud, kau
tidak bisa membiarkan mereka menuduhmu begitu saja, bukan" Mereka akan
memberitakan itu semua di koran-koran. Aku sudah membayangkan judulnya."
Aku juga: FREUD MEMUTIHKAN SEGALA TUDUHAN
"Jadi," kata Brill dengan muram, "kita diserang di Boston, di Worcester, dan di
New York dalam waktu yang sama. Ini pasti bukan suatu kebetulan."
"Serangan apa di New York?" Tanya Ferenczi.
"Yeremia, serta urusan Sodom dan Gomorah," jawab Brill dengan kesal. "Kedua
pesan itu bukan satusatunya yang kuterima. Aku menerima banyak."
Kami semua terkejut dan meminta Brill untuk menjelaskannya.
"Itu dimulai tepat setelah aku mulai menerjemahkan buku histeria Freud,"
katanya, "bagaimana mereka tahu aku sedang mengerjakannya, itu sebuah misteri.
Tetapi pada minggu pertama aku memulainya, aku menerima pesan pertama, dan
menjadi semakin buruk setelah itu. Mereka muncul pada saat yang paling tak
kuduga. Aku terancam, aku yakin itu. Setiap kali muncul ayat-ayat Kitab Injil,
selalu saja yang berkenaan tentang Yahudi, nafsu, dan api. Mengingatkan aku akan
pembantaian orang-orang Yahudi yang terencana."
9 TIDAK ADA LAGI YANG BERUSAHA UNTUK menghalangi Littlemore ketika ia menaikki
tangga di Eight Avenue Street nomor 782. Ketika itu pukul empat, saatnya untuk
menpersiapkan makan malam di restoran itu. Ia mendengar seseorang berlari pada
lorong di atasnya dan suara bisik-bisik. Di apartemen 4C, ketukan pintunya juga
tidak mendapatkan jawaban seperti ketika itu kecuali hanya suara kaki bergegas
menuruni tangga di belakang. Littlemore melihat jam tangannya. Ia menyalakan rokoknya untuk melawan aroma
yang mengembus di koridor, sambil berharap ia akan bisa tiba di rumah Betty
tepat pada waktunya untuk mengajaknya makan malam. Beberapa menit kemudian,
Opsir John Reardon menaiki tangga seperti berbaris bersama seorang Cina yang
tampak takzim, ketakutan di belakangnya.
"Tepat seperti yang kau katakan, Detektif," kata Reardon, "dia tunggang langgang
dari pintu belakang seolah celananya terbakar."
Littlemore memeriksa Chong Sing yang malang, "Kau tidak mau berbicara denganku,
Pak Chong?" Tanyanya, "mungkin kita bisa melihat-lihat tempat tinggalmu. Ayo
buka!" Ia menggerak-gerakkan tangannya tak berdaya, seolah coba menunjukkan kalau ia
tidak bisa berbahasa Inggris.
"Buka pintunya," perintah Littlemore sambil menggedor pintu yang terkunci.
Orang Cina itu mengeluarkan sebuah anak kunci dan membuka pintu. Apartemen satu
kamarnya merupakan contoh dari kerapihan dan kebersihan.
"Segalanya telah dibersihkan sebelum kita masuk," kata Littlemore, "sangat
teliti. Tetapi ada yang terlewat." Dengan mengangkat dagunya, Littlemore memberi
tanda ke atas. Baik Chong Sing dan Reardon mendongak. Pada langitlangit yang
rendah ada corengan hitam tebal, panjangnya hampir sembilanpuluh satu
sentimeter, tepat di atas setiap tempat tidur lipat.
"Apa itu?" Tanya Reardon yang biasa dipanggil Jack.
"Bekas asap opium, Jack," kata Littlemore, "kau melihat ada yang aneh pada
jendela itu?" Reardon melihat pada sebuah jendela dorong kecil yang tertutup, "Tidak. Ada apa
dengan jendela itu?"
"Tertutup," kata Littlemore, "dengan panas seratus derajat, namun jendelanya
tertutup. Lihatlah apa yang ada di luar."
Reardon membuka jendela itu dan bersandar pada lubang udara sempit itu. Ia
kembali dengan segenggam perlengkapan yang ditemukannya pada birai di bawah
jendela: sebuah lampu minyak bersemprong kaca, setengah lusin pipa panjang,
mangkuk-mangkuk dan sebuah jarum. Chong Sing tampak sangat bingung, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap berpindah-pindah dari Reardon dan
Littlemore. "Pak Chong Sing, apakah kau mengelola perkumpulan penghisap opium di sini?"
Tanya Littlemore, "kau pernah datang ke apartemen Nona Riverford di Balmoral?"
"Hah?" Kata Chong Sing, sambil menggerakkan bahunya tak berdaya.
"Bagaimana tanah merah bisa melekat pada sep atumu?" Tanya detektif itu dengan
gigih. "Hah?" "Jack," kata Littlemore, "bawa Pak Chong ke penjara di Forty Seventh Street.
Katakan pada Kapten Post ia adalah pengedar opium."
Ketika Op sir Reardon menangkap lengannya, Chong akhirnya berbicara, "Tunggu,
aku akan katakan padamu. Aku hanya tinggal di apartemen ini pada siang hari. Aku
tidak tahu opium. Aku tidak pernah melihat opium itu sebelumnya."
"Tentu," kata Littlemore, "bawa ia dari sini, Jack!"
"Hoke, hoke," kata Chong, "aku akan katakan siapa
yang menjual opium. Hoke?"
"Bawa ia keluar dari sini," kata detektif itu.
Begitu melihat borgol di tangan Reardon, Chong berteriak, "Tunggu! Aku akan
katakan yang lainnya lagi. Aku akan perlihatkan sesuatu padamu. Kau ikuti aku
menuju lorong. Aku akan perlihatkan apa yang kau cari."
Suara Chong telah berubah. Ia terdengar benar-benar takut sekarang. Littlemore
memberi tanda untuk membiarkan Chong berjalan mendahului mereka menuju koridor
yang gelap dan sempit. Setiap pintu terbuka sedikit supaya orang yang ada di
dalam bisa melihat apa yang terjadi. Setiap pintu, kecuali satu. Pintu yang
tertutup merupakan bagian dari ruang paling ujung di koridor itu. Di depan pintu
itu Chong berhenti. "Di dalam," katanya, "di dalam."
"Siapa yang tinggal di sini?" Tanya Littlemore.
"Sepupuku," kata Chong, "Leon. Ia dulu tinggal di sini. Sekarang tidak ada
siapa-siapa lagi di sini."
Pintu terkunci. Tidak ada jawaban ketika Littlemore mengetuk., Tetapi ketika
Littlemore berdiri dengan jarak cukup dekat untuk mengetuk pintu, ia tahu aroma
daging yang sangat kuat bukan berasal dari restoran sama sekali. Dari sakunya ia
mengeluarkan dua lidi metal tipis. Littlemore ahli dalam membuka pintu terkunci.
Ia berhasil membukanya dalam waktu singkat.
Ruangan itu, berukuran sama dengan apartemen Chong Sing, namun isinya sangat
berlawanan. Pada ambang jendela ada sebuah kotak merah yang dipernis, dengan
sebuah cermin bundar bertengger di belakangnya; di atas meja rias, berdiri
sebuah patung Perawan dan Putra yang dicat. Nyaris setiap inci persegi dinding
ditutup dengan foto-foto, semuanya berupa lelaki Cina
yang sangat berbeda dengan Chong Sing. Lelaki yang ada di dalam foto berpostur
dan sangat tampan, dengan hidung seperti paruh elang dan berkulit halus tak
bernoda. Ia mengenakan jas Amerika, kemeja dan dasi. Nyaris semua foto lelaki
ini memperlihatkannya bersama seorang wanita muda yang berbeda-beda.
Yang paling menarik perhatian adalah sebuah benda besar yang diletakkan tepat di
tengah ruangan yaitu sebuah koper besar tertutup. Itu sejenis koper dengan
tepian dari kulit dan engsel kuningan yang digunakan orang-orang kaya jika
bepergian. Ukurannya kira-kira setinggi enampuluh sentimeter, kedalamannya
enampuluh sentimeter, panjangnya sembilahpuluh satu sentimeter. Lilitan tali
tenda yang kaku, mengikatnya dengan erat.
Udara dalam ruangan itu pengap. Littlemore hampir tidak dapat bernafas. Musik
Cina berasal dari ruangan tepat di atas mereka, membuat sang detektif sulit
berpikir. Koper itu tampak tidak mungkin untuk berderak di udara yang pengap.
Littlemore membuka pisau sakunya. Reardon juga. Bersama-sama, tanpa katakata,
mereka mendekati peti itu dan mulai menggergaji tali besarnya. Sekumpulan orang
Cina, kebanyakan menekankan sapu tangan pada mulut mereka, sambil berkumpul di
ambang pintu untuk menonton kedua orang itu bekerja.


Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Singkirkan pisaumu, Jack," kata Littlemore pada Opsir Reardon, "kau awasi Chong
saja." Detektif Littlemore terus berusaha memotong tali hingga mampu memutuskan
pintalan terakhirnya. Tutup koper itu pun tibatiba terbuka. Reardon terhuyung ke
belakang, baik karena terkejut atau karena ledakan gas busuk yang terbebas dari
bagian dalam koper itu. Littlemore menutupi mulut dengan lengannya tetapi
tetap berada di tempatnya. Di dalam peti terlihat sebuah topi perempuan dengan
hiasan burung yang diawetkan, seikat tebal surat dan amplop yang diikat menjadi
satu menggunakan karet, dan mayat wanita muda dengan hanya mengenakan pakaian
dalam yang membusuk parah.
Terdapat juga sebuah bandul kalung perak menempel di dadanya dan sehelai dasi
putih sutera menempel ketat pada lehernya.
Opsir Reardon tidak lagi mengawasi Chong Sing. Ia bahkan nyaris pingsan. Melihat
itu, Chong menyelinap di antara kerumunan orang Cina yang bergumam, lalu keluar
pintu. g KAMI BERJALAN TANPA BICARA menaiki empat tangga ke apartemen Brill, sambil
masingmasing bertanya-tanya di dalam hati. Aku memikirkan bagaimanakah cara
mengatasi masalah di Worcester. Kami memiliki beberapa jam yang dapat kami
gunakan sebelum pesta makan malam bersama Smith Jelliffe, penerbit Brill, yang
telah mengundang kami. Pada bordes di lantai lima, Ferenczi berkomentar tentang
bau khas kertas atau daun yang terbakar.
"Mungkin seseorang sedang mengkremasi orang mati di dapurnya?" Katanya
mengusulkan satu jawaban.
Brill membuka pintu apartemennya. Apa yang dilihatnya di dalam tak terduga.
Di dalam apartemen Brill turun salju. Debu putih betebaran di seluruh ruangan,
berputar-putar dalam aliran udara lantaran Brill membuka pintu; lantainya
tertutup oleh debu itu. Semua buku Brill, bersama meja-meja,
tepian jendela, dan kursi-kursi juga terlapisi debu putih itu. Bau api tercium
di mana-mana. Rose Brill ada di tengah-tengah ruangan membawa sapu dan pengki,
ia tertutupi debu putih dari kepala hingga kaki.
"Aku baru tiba," serunya, "tutup pintunya, demi Tuhan. Apa ini?"
Aku mengambil sedikit dengan tanganku, "Debu," kataku.
"Kau meninggalkan sesuatu yang sedang kau masak?" Tanya Ferenczi.
"Tidak ada apa-apa," kata Rose sambil mengusap debu putih pada matanya.
"Seseorang telah sengaja meletakkannya di sini," kata Brill. Ia berjalan di
sekitar ruangan sambil melamun, tangannya terjulur di depannya, terkadang meraih
debu dan mengibaskannya. Tibatiba ia berpaling pada Rose.
"Lihatlah ini. Lihatlah Rose."
"Ada apa?" Tanya Freud,
"Ini adalah pilar garam."
9 KETIKA KAPTEN POST tiba dengan bala bantuan dari kantor polisi di West Fortyseventh Street, ia memerintahkan-tanpa mengindahkan keberatan D etektif
Littlemore-untuk menangkap enam orang lelaki Cina di Eight Avenue nomor 782,
termasuk pengelola restoran dan dua orang pelanggan yang sedang sial, yang
kebetulan saja naik ke atas untuk melihat apa yang terjadi. Jenazah itu dibawa
dengan kereta ke rumah mayat, lalu mulailah pengejaran penjahat dengan kekuatan
berganda. Pikiran yang mula muncul di benak Littlemore adalah
apakah yang baru ditemukannya itu memang jenazah Elizabeth Riverford yang
menghilang. Namun jasadnya sudah terlalu banyak membusuk. Ia memang bukan
seorang patologis, tetapi ia kini meragukannya. Nona Riverford yang baru dibunuh
pada hari Minggu malam, tidak mungkin dapat membusuk seluruhnya pada hari Rabu.
Pak Hugel pastilah tahu dengan pasti, pikir Littlemore.
Sementara itu, detektif Littlemore memeriksa surat-surat yang ditemukannya di
dalam koper itu. Surat-surat itu ternyata adalah surat-surat cinta, berjumlah
lebih dari tigapuluh pucuk. Semuanya diawali dengan Yang Terkasih Leon; semuanya
ditandatangani oleh Elsie. Para tetangga menyebut lelaki itu dengan nama yang
berbeda-beda tergantung di mana mereka tinggal. Beberapa orang memanggilnya Leon
Ling; yang lainnya menyebutnya William Leon. Lelaki itu mengelola sebuah
restoran di Pecinan, tetapi tidak seorang pun melihatnya selama sebulan. Ia bisa
berbicara bahasa Inggris dengan sangat baik dan hanya mengenakan pakaian
Amerika. Littlemore memeriksa foto-foto yang tergantung di dinding. Para penghuni gedung
itu memastikan kalau lelaki dalam foto itu memang Leon, tetapi mereka tidak tahu
atau masih bertanya-tanya siapakah para gadis pada foto itu. Littlemore melihat
kalau setiap gadis yang bersama Leon berkulit putih. Lalu ia melihat yang
lainnya juga. Sang detektif menurunkan salah satu fotonya. Foto itu memperlihatkan Leon sedang
berdiri, tersenyum, berada di antara dua orang wanita muda yang sangat menarik.
Pada mulanya, detektif itu mengira kalau ia pasti salah lihat. Namun ia yakin
kalau ia tidak salah, dan ia memasukkan foto itu ke dalam saku rompinya, lalu
membuat janji bertemu dengan Kapten Post keesokan harinya. Detektif itu pun
pergi meninggalkan gedung.
Udara sore menjelang malam itu masih sangat panas dan lembab. Namun jika
dibandingkan dengan kamar yang baru saja ditinggalkannya, udara di luar terasa
bagaikan di taman surga. Saat itu baru saja pukul lima lebih sedikit ketika ia
tiba di apartemen Betty. Wanita itu tidak berada di rumah. Ibunya mencoba dengan
ketakutan, untuk membuat Littlemore mengerti ke mana "Benedetta" pergi. Namun
karena Ibu itu berbicara dalam bahasa Italia dengan cepat, Littlemore sama
sekali tidak mengerti ujung dan pangkalnya. Akhirnya salah satu dari adik lelaki
Betty yang masih kecil masuk dan menerjemahkannya. Katanya, Betty ditahan di
penjara. Segala yang diketahui Ibu Lombardi dari seorang gadis Yahudi yang bercerita ?kepadanya bahwa terdapat masalah di pabrik, tempat Betty baru saja mulai
?bekerja hari itu. Beberapa gadis lainnya juga telah dibawa, termasuk Betty.
"Dibawa?" Tanya Littlemore. "Ke mana?"
Wanita itu tidak tahu. Littlemore berlari ke Fifty-ninth Street menuju stasiun kereta api bawah tanah.
Ia berdiri selama perjalanan ke kota, terlalu sibuk untuk mencari tempat duduk.
Di kantor pusat kepolisian, ia mengetahui kalau terjadi pemogokan pada salah
satu pabrik pakaian besar di Greenwich Vil-lage. Para penghasut telah mulai
memecahkan jendela-jendela, dan polisi telah menangkap beberapa lusin orang yang
paling berbahaya untuk mengamankan jalan. Semua pengacau sudah berada di
penjara. Yang lelaki ditahan di Tombs dan yang perempuan di Jefferson Market.
Empatbelas JEFFERSON MARKET adalah sebuah gedung yang memiliki filosofi bahwa lembaga hukum
dan peraturan seharusnya tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Maka itu di
sana terdapat penjara yang terhubung dengan gedung besara lainnya, yang
merupakan sebuah tempat perdagangan. Setelah jam kerja usai, gedung yang sama
itu berubah menjadi Pengadilan Malam kota, tempat kasus-kasus berat proses.
Sebagai akibatnya, penjara Jefferson Market sebagian besar ditempati oleh para
pelacur yang menanti penempatan dan hukuman. Di penjara itulah, pada hari Rabu
petang, Littlemore menemukan Betty terlihat sangat letih tanpa ada bekas luka.
Ia berada di sebuah sel tahanan bawah tanah yang besar. Kira-kira duapuluh lima
atau tigapuluh orang perempuan berada di dalamnya. Beberapa gadis itu masih
sangat muda, berusia kira-kira tigabelas tahunan.
Belasan kawan-kawan wanita mereka lainnya berasal dari berbagai usia. Namun, ada
seorang yang bersuara lebih keras untuk mengeluh dan meminta para penjaga dapat
mengerti bagaimana seorang wanita seperti dirinya dipenjara. Littlemore segera
mengenalinya. Wanita itu adalah Susan Merrill. Ia adalah satusatunya yang duduk
di atas sebuah kursi yang secara khusus disediakan oleh para pekerja lain
untuknya. Wanita itu meggendong seorang bayi dengan menggunakan kain berwarna
merah anggur yang tersandang pada bahunya. Bayi itu tidur
sangat nyenyak walau ruangan itu terdengar riuh sekali.
Lencana yang dimiliki Littlemore memang membuatnya mudah memasuki ruang tahanan
itu, namun tidak dapat membawa Betty keluar.
Sebenarnya Betty tidak ikut mogok. Ketika tiba di pabrik pagi itu, ia segera
menuju ke lantai sembilan, lalu bergabung dengan seratus orang gadis lainnya
untuk menjahit. Paling tidak ada limapuluh bangku kosong di depan mesin jahit
yang menganggur saat itu. Yang terjadi adalah: sehari sebelumnya, seratus
limapuluh orang penjahit perempuan telah dipecat karena bergabung dengan
"simpatisan perserikatan." Malam itu juga, sebagai tanggapan, International
Ladies Garment Workers Union mengadakan pemogokan terhadap pabrik tempat Betty
bekerja. Ketika keesokan harinya masih berlanjut, sekelompok kecil buruh dan
anggota perserikatan berkumpul di jalan, berteriak kepada para buruh lainnya di
dalam gedung bagian atas.
"Mereka menyebut kami buruh pengkhianat," jelas Betty, "sekarang aku tahu
mengapa mereka menerima kami bekerja begitu cepatnya, karena mereka membutuhkan
kami sebagai pengganti para gadis anggota perserikatan buruh. Aku bukan
pengkhianat, Jimmy, iya kan?"
"Kukira tidak," kata Littlemore, "tetapi apa tuntutan dan tujuan mereka?"
"Oh, kau tidak akan memercayainya. Pertama-tama, ruangan kerja kami panas
seperti perapian. Lalu mereka menuntut kami membayar penyewaan, apa saja, mulai
dari tempat penyimpanan, mesin jahit, jarum, hingga bangku yang kami duduki.
Akhirnya uang yang kami terima berkurang lebih dari separuh gaji kami. Jimmy,
ada seorang gadis yang telah bekerja tujuhpuluh dua jam dalam seminggu, dan hanya
mendapatkan tiga dolar. Tiga dolar! Itu.., itu.., berapa banyaknya itu?"
"Empat sen per jam," kata Littlemore, "buruk sekali."
"Tapi ada hal yang terburuk, mereka mengunci semua pintu supaya gadis-gadis
terus bekerja, bahkan pergi ke kamar mandi pun tidak bisa."
"Ya ampun, Betty, kau seharusnya keluar saja. Kau tidak perlu datang dan
bergantian bersama orang-orang yang memecahkan kaca jendela dan segalanya."
Betty menjadi setengah marah, setengah bingung.
"Aku tidak ikut bergiliran datang, Jimmy."
"Lalu, mengapa mereka menangkapmu?"
"Karena aku berhenti bekerja. Mereka mengatakan kalau kami akan masuk penjara
jika berhenti, tetapi aku tidak memercayai mereka. Dan tidak seorang pun
memecahkan jendela. Namun polisi-polisi itu terus memukuli orang-orang."
"Mereka bukan polisi."
"Jelas sekali mereka adalah polisi."
"Ya, ampun," kata Littlemore, "aku harus mengeluar-kanmu dari sini." Ia memberi
syarat pada salah seorang penjaga dan menjelaskan kalau Betty adalah kekasihnya
dan bukan termasuk pemogok, dan ia dipenjara karena kesalahfahaman saja. Ketika
mendengar kata "kekasihku", Betty tertunduk menatap lantai, dan tersenyum malu.
Penjaga itu, kawan Littlemore, menjawab dengan menyesal kalau ia hanya
menjalankan tugasnya, "Aku tidak punya kewenangan itu. Kau harus berbicara
dengan Becker." "Beck?" Tanya Littlemore, matanya bersinar, "Beck di
sini?" Penjaga itu membawa Littlemore melintasi serambi ke sebuah ruangan. Di bawah
lampu listrik yang berkerdip dalam ruangan itu, terdapat lima orang lelaki
sedang bermain kartu sambil minum dan merokok dengan gaduh. Salah satunya adalah
Sersan Charles Becker. Ia adalah veteran yang telah bertugas di kepolisian
selama limabelas tahun, dan bekerja sebagai deputi penguasa wilayah Manhattan,
di daerah the Tenderloin. Kehadiran Becker di penjara merupakan nasib baik bagi
Littlemore, yang pernah menjadi seorang opsir penabuh genderang pada pasukan
Becker. "Hai, Beck," seru Littlemore.
"Littlemouse!" Teriak Becker, sambil terus membagikan kartu, "anak-anak,
kenalkan adikku, detektif dari kota. Jimmy, perkenalkan, ini Gyp, Whitey, Lefty,
dan Dago. Kau ingat Dago, kan?"
"Dago," kata detektif itu.
"Kira-kira dua atau tiga tahun yang lalu," Becker memberitahu kawan-kawannya
tentang Littlemore, "lelaki ini pernah mengatasi masalah kekerasan untukku. Ia
menyerahkan pelaku kejahatan" sejak itu mereka menanggung risikonya. Mereka
sekarang selalu bertanggungjawab, anak-anak. Apa yang kau lakukan di sini,
Jimmy. Mengamati burung-burung?"
Jimmy Littlemore memberikan keterangan kepada Becker yang mendengarkan hingga
selesai, lalu mengangguk-angguk, tanpa pernah melepaskan tatapannya pada meja
poker. Dengan suara menggelegarnya, Becker memerintahkan para penjaga untuk
mengeluarkan kekasih detektif itu. Littlemore sangat berterimakasih pada Becker,
kemudian bergegas ke sel untuk menjemput Betty. Ketika mereka berjalan keluar,
Littlemore melongokkan kepalanya ke ruang main poker untuk berterimakasih kepada
Becker lagi. "Hei, Beck," katanya, "satu permintaan lagi?"
"Sebutkan saja, adikku," kata Becker.
"Di sana ada seorang ibu dengan bayinya. Bisakah kita mengeluarkannya juga?"
Becker mematikan rokoknya. Suaranya masih tetap santai, tetapi gurauan temanteman Becker tibatiba terhenti. "Seorang ibu?" Tanya Becker.
Littlemore tahu ada yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu apa yang salah.
"Maksudnya Susie, Bos," kata Gyp, yang sebenarnya bernama Horowitz.
"Susie" Susie Merrill tidak ada di penjarku, bukan, Whitey?" Tanya Becker.
"Ia ada di sana, bos," kata Whitey, yang nama sesungguhnya adalah Seidenschner.
"Kau punya urusan dengan Susie, Jimmy?"
"Tidak, Beck," kata Littlemore. "aku hanya berharap..., ia dan bayinya serta
segala...," "Hmm," kata Becker.
"Lupakan saja yang kukatakan," kata Littlemore menyela, "maksudku, jika ia...,"
Becker memberi isyarat lagi pada para penjaga untuk mengeluarkan Susie. Ia juga
berteriak, jika yang akan datang "ada lagi bayi" di dalam penjara, mereka harus
langsung membawa bayi itu padanya. Katakata itu memancing gemuruh tawa para anak
buahnya. Littlemore memutuskan untuk lebih baik pergi. Ia berterimakasih kepada
Becker untuk ketiga kalinya yang kali itu tidak memerlukan jawaban, lalu membawa
Betty pergi. Tenth Street nyaris sunyi. Angin bertiup dari barat.
Pada tangga rumah tahanan, di dalam bayangan gedung besar bergaya Victoria,
Betty berhenti. "Kau mengenal perempuan yang membawa bayi itu?" Tanya Betty.
"Begitulah." "Tetapi Jimmy, ia adalah..., ia seorang mucikari."
"Aku tahu," kata Littlemore sambil tersenyum, "aku pernah ke tempatnya."
Betty menampar geraham sang detektif.
"Aduh," kata Littlemore, "aku ke sana hanya untuk mengajukan beberapa pertanyaan
tentang pembunuhan Riverford."
"Oh, Jimmy, mengapa kau tidak mengatakannya?" Tanya Betty. Ia meletakkan
tangannya pada wajahnya lalu wajah Jimmy, "Maafkan aku."
Mereka berpelukan. Mereka masih saling berpelukan satu menit kemudian, ketika
Susan Merrill berdiri di ambang pintu, sambil menggendong bayi. Littlemore
membantunya keluar dari pintu. Betty meminta bayinya, yang segera diberikan oleh
ibu yang lebih tua. "Jadi, kaulah yang mengeluarkan aku," kata Susie pada Littlemore, "kukira,
sekarang kau mengira aku berhutang padamu?"
"Tidak, Bu." Susie menegakkan kepalanya untuk dapat melihat detektif itu dengan lebih baik.
Lalu ia meminta bayinya pada Betty dan berkata dengan bisikan yang begitu lirih
sehingga Littlemore nyaris tak mendengarnya, "Kau akan dibunuh karena ini."
Baik Littlemore ataupun Betty tidak menjawab. "Aku tahu siapa yang kau cari,"
lanjut Susie. Kata-katanya hampir tidak terdengar, "tanggal 18 Maret 1907."
"Apa?" "Aku tahu siapa, dan aku tahu apa. Kau tidak tahu, tetapi aku tahu. Aku tidak
akan melakukan apa pun tanpa dibayar,"
"Bagaimana tentang tanggal 18 Maret 1907?" "Kau cari tahulah, kemudian
tangkaplah ia," desisnya yang terkesan berbisa dan begitu mengancam. "Bagaimana
tentang hari itu?" Littlemore kembali mendesak.
"Tanyalah pada tetangga," bisik Susie Merrill sebelum menghilang dalam kabut
yang berkumpul. g ROSE MEALAU KAMNGHI keluar dari apartemennya. Ia tidak mau Freud terlibat dalam
pembersihan rumahnya. Sedangkan Brill, ia tampak begitu terpaku seperti seorang
serdadu yang mengidap penyakit DaCosta. Katanya ia tidak mau ikut makan malam
dan menyampaikan permohonan maafnya kepada mereka.
Jones kembali ke hotelnya. Sementara itu Freud, Ferenczi dan aku memutuskan
berjalan kaki ke Manhattan, mau tidak mau kami harus menyeberangi taman. Taman
New York yang terbesar itu menjadi teramat kosong di malam hari. Pertama kami
saling bertukar hip otesa tentang keadaan apartemen Brill yang tidak lazim
terjadi, kemudian Freud bertanya pada Ferenczi dan aku bagaimana ia harus
menjawab surat Presiden Hall.
Ferenczi menjelaskan kalau kami harus segera mengirimkan penyangkalannya, lebih


Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik jika melalui telegram, untuk menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan buruk
yang dituduhkan kepada Freud sebenarnya adalah perbuatan Jones dan Jung.
Satusatunya pertanyaan yang dikhawatirkan Ferenczi, apakah Hall akan memercayainya.
"Kau mengenal Hall, Younger?" Tanya Freud, "bagaimana pendapatmu?"
"Presiden Hall akan memercayai katakata kita," begitu kataku, yang artinya, Hall
akan memercayai katakataku, "tetapi aku bertanya-tanya, Dr. Freud, mungkinkah
mereka sebenarnya tidak menghendaki kau membuat penyangkalan itu."
"Siapa mereka itu?" Tanya Ferenczi.
"Siapa pun yang ada di belakang ini semua," kataku.
"Aku tidak mengerti," kata Ferenczi.
"Aku mengerti apa yang dimaksudkan Younger tadi." Jawab Freud, "Siapa pun
melakukan tuduhan yang menyangkut Jones dan Jung, sebenarnya bukanlah tuduhan
terhadap diriku. Jadi, mereka memengaruhi aku untuk menuduh teman-temanku
sendiri. Maka Hall tidak lagi dapat mengatakan kalau ia sedang diperhadapkan
dengan sekadar kabar angin. Sebaliknya, akulah yang akan membenarkan tuduhan
itu, dan Hall hanya akan berkewajiban untuk mengadukan perbuatan itu. Mungkin ia
akan menghalangi Jones dan Jung untuk berbicara minggu depan. Sementara aku
masih bisa memberi kuliah, dan itu artinya adalah aku telah merendahkan para
pengikutku sendiri yang kenyataannya mereka adalah dua orang terbaik pembawa
ide-ideku kepada dunia."
"Tetapi kau tidak bisa berdiam saja," Ferenczi protes, "seolah kau juga
bersalah." Freud mempertimbangkannya. "Kita akan menyangkal tuduhan itu, tetapi hanya itu
yang akan kita lakukan. Aku akan mengirimkan surat pendek kepada Hall berisi
pernyataan kalau aku sudah menikah, aku tidak pernah
dipecat dari kepegawaianku di rumah sakit, aku belum pernah ditembak, dan
seterusnya. Younger, apakah itu akan menyulitkan dirimu?"
Aku mengerti pertanyaannya. Ia ingin tahu apakah aku akan merasa keberatan
memberitahu Hall kalau Freud tidak bersalah seperti yang dituduhkan, sementara
Jones dan Jung yang bersalah. Tentu saja, aku akan melakukan hal itu.
"Sama sekali tidak, Pak," jawabku.
"Bagus," kata Freud menyimpulkan. "Setelah itu, kita serahkan segalanya pada
Hall. Jika, hanya demi 'sejumlah besar donasi,' Hall berusaha untuk menghalangi
kebenaran psikoanalis sehingga gagasan itu tidak lagi dapat diajarkan di
universitasnya, maka...," Freud memohon maaf kepoadaku lebih dahulu sebelum
melanjutkan ucapannya, "maka ia bukanlah teman yang pantas dimiliki, dan
pemerintah Amerika boleh memihak kepada orang-orang tak beradab itu ."
"Presiden Hall tidak akan pernah setuju dengan istilah-istilah mereka," kataku
dengan ketetapan hati yang lebih besar daripada yang kurasakan.
g DI LUAR PENJARA JEFFERSON MARKET, Betty Longobardi mengatakan lima buah kata
kepada Jimmy Littlemore, "Ayo kita pergi dari sini."
Littlemore tidak terlalu bersemangat untuk pergi. Ia membawa Betty ke Sixth
Avenue yang ramai dengan gerombolan orang pulang kerja menuju arah utara. Di
sudut, beberapa langkah dari pintu masuk gedung pengadilan, Littlemore berhenti
dan tidak mau pindah. Gemuruh kereta api di atas mereka yang menggetarkan bumi, menjadi suara latar
ketika ia bercerita dengan penuh semangat kepada Betty tentang hari-harinya yang
penuh dengan segala kejadian.
"Susie mengatakan kau akan terbunuh, Jimmy," begitulah kata Betty, namun
Littlemore menganggapnya gadis itu kurang menghargai keberhasilannya.
"Susie juga mengatakan kita bisa bertanya pada orang-orang di sekitar," kata
Littlemore, "tentulah maksudnya adalah gedung pengadilan itu. Ayolah, kita sudah
berada di sini." "Aku tidak mau."
"Itu gedung pengadilan, Betty. Tidak ada hal buruk yang bisa terjadi di gedung
pengadilan." Ketika mereka kembali ke dalam, Littlemore memperlihatkan lencananya kepada
petugas di depan. Petugas itu memberitahu Littlemore di mana letak kantor
pencatatan walaupun tentunya pada jam-jam seperti itu tidak akan ada orang di
sana. Setelah menaiki dua rangkaian tangga dan melewati koridor kosong yang
besar, keduanya tiba di depan sebuah pintu yang bertuliskan PEN CATATAN.
Pintunya terkunci, ruangan belakangnya gelap. Merusak pintu dan masuk bukanlah
kebiasaan Littlemore, tetapi dalam keadaan seperti ini, ia merasa hal itu boleh
saja dilakukan. Dengan gugup, Betty mengerling ke sekelilngnya.
Littlemore mengungkit lubang kunci hingga terbuka, lalu masuk dan menutup pintu
di belakangnya. Lampu listrik dinyalakan, dan kini mereka berada di dalam sebuah
ruang kantor kecil dengan sebuah meja besar. Ada pintu keluar ke belakang yang
tidak terkunci, dan menuju ke sebuah ruang berkas besar dan penuh. Di sini
mereka melihat deretan kabinet dengan laci-laci yang diberi nama.
"Tidak ada tanggalnya," kata Betty, "hanya huruf-huruf."
"Pasti ada kalendernya," kata Littlemore, "biasanya selalu ada kalendernya.
Tunggu hingga aku menemukannya."
Littlemore tidak membutuhkan waktu lama lalu kembali ke meja yang di atasnya
terletak dua buah mesin ketik, pengering tinta, tinta dan setumpuk buku besar
dengan jilidan dari kulit, masingmasing lebarnya enam puluh sentimeter.
Littlemore membuka yang pertama. Semua halaman di dalamnya mewakili satu hari
kegiatan Pengadilan Tinggi New York, Masa Persidangan Bagian I hingga III.
"Jam sepuluh lewat limabelas, pagi, kalender (catatan) hari, Bagian III, Wells
versus Interborough R.T. Co. Truax, J. Baik, Wells. Kita harus menemukan Wells."
Ia bergegas melewati Betty untuk kembali ke ruang berkas. Lalu mencari laci
dengan huruf W. Ia menemukan kasus Wells versus IRT (Transportasi Cepat Dalam
Kota): sebuah penjepit menjepit tiga halaman. Namun itu hanyalah kasus biasa,
bukan yang dicarinya. Beberpa kasus lainnya pun, yang serupa, ditemukan
Littlemore. Hingga detektif itu tanpa sengaja membuka sebuah catatan, "Jam
sepuluh lewat tigapuluh pagi, Masa Pengadilan, Bagian I, Masa Pengadilan
Kriminal (Januari Masa Pengadilan dilanjutkan). Fitzgerald, J. Masyarakat versus
Harry K, Thaw." Mereka saling menatap. Sebagaimana semua orang di New York, keduanya segera
mengenali nama itu. "Ia adalah orang yang...," kata Betty,
"...yang membunuh seorang arsitek di Madison Square
Garden," Littlemore menyelesaikan kalimat yang terputus itu. Kemudian ia sadar
mengapa Betty berhenti: terdengar langkah kaki berat di gang. "Siapa itu?" Bisik
Betty. "Matikan lampu," perintah Littlemore kepada Betty yang berdiri di samping lampu.
Ia meraih ke bawah tutup lampu dan meraba-raba dengan gugup untuk mencari
tombolnya, tetapi malah menyalakan lampu lainnya. Langkah kaki itu berhenti.
Mereka memastikan apakah orang itu mendekati kantor catatan.
"Ya ampun," kata Betty, "ayo sembunyi di ruang penyimpanan."
"Kukira tidak mungkin lagi," kata Littlemore.
Suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat, lalu berhenti tepat di luar
pintu. Pegangannya berputar, lalu pintu terbuka. Lelaki pendek itu mengenakan
topi dari bahan wol yang lunak, dan setelan jas berompi murahan. Saku bagian
dalam jasnya tampak menonjol, seolah ia membawa sepucuk senjata. "Ada kamar
mandi untuk pria?" Tanyanya.
"Lantai dua," kata Littlemore.
"Trims," kata lelaki itu sambil membanting pintu di belakangnya.
"Ayo," kata Littlemore sambil bergerak menuju ruang pencatatan. Kasus Masyarakat
versus Thaw mengisi dua laci penuh. Littlemore menemukan catatan jalannya
pengadilan tersebut: ada ribuan halaman di dalam bundel setebal empat inci yang
hanya diikat dengan gelang karet. Beberapa bagian catatan itu tidak terbaca,
tulisannya tidak sama, tidak ada tanda baca, sementara kalimatnya tidak teratur.
Dari tanggalnya 18 Maret 1907, hanya ada lima atau enampuluh halaman. Littlemore
melihat-lihat halaman itu dengan cepat. Ia tahu kalau ada beberapa halaman yang
berbeda dengan lainnya, karena diketik dengan rapi dan teratur hingga beberapa
paragraf, dan bertanda baca baik.
"Sebuah pernyataan di bawah sumpah," katanya.
"Oh, ya ampun," kata Betty, "lihat!" Betty menunjuk pada kalimat m encengkeram
tenggorokanku dan m encam bukiku.
Littlemore bergegas kembali ke halaman pertama dari surat tersumpah itu.
Tertanggal 27 Oktober 1903, dan dimulai dengan Evelyn Nesbit, disumpah dengan
selayaknya, mengakui: "ia adalah istri Thaw, seorang gadis penari," kata Betty. Evelyn Nesbit telah
dijelaskan oleh lebih dari satu orang penulis yang tergila-gila padanya waktu
itu. Ia adalah gadis yang tercantik dan menikah dengan Harry Thaw pada tahun
1905, satu tahun sebelum Thaw membunuh Stanford White.
"Sebelum ia menjadi istrinya," kata Littlemore. Mereka berdua terus membaca:
Aku tinggal di Hotel Savoy, Fifth J4venue dan Fifthy-ninth Street, di New York
City. J^few 6erusia 18 tahun, dilahirkan pada hari Natal, pada tahun 1884.
Selama 6e6erapa 6ulan se6elum Juni 1903, aku pergi ke rumah sakit Dr. Bell di
Jalan West Thirty-third. Di sana aku dioperasi usus 6untu. Selama 6ulan Juni,
aku pergi ke Eropa atas permintaan Henry ^(endall Thaw. Titan Thaw dan aku
Scergian ke seluruh Holland, dan singgah di 6er6agai tempat dengan menumpangi
kereta api sam6ungan. y(emudian kami pergi ke Munich, Jerman. y(ami juga pergi
ke Bavaria Highland, hingga akhirnya ke Austria Tyrol. Selama itu 6isa dikatakan
Thaw dan aku dikenal seSagai sqasang suami-istri, dan dikenal se6agai Tuan dan
Nyonya Dellis. "Dasar ular," kata Betty.
"Yah, setidaknya lelaki itu akhirnya menikahinya juga," a Littlemore.
Setelah Scergian 6ersama-sama kira-kira selama lima atau enam minggu, Thaw telah
menyewa se6uah puri di Austria Tyrol, yang letaknya kira-kira setengah perjalan
menuju atas gunung terpencil. Puri itu tentu telah di6angun kira-kira Seratusratus tahun lalu, karena kamar-kamar dan jendela-jendelanya yang sangat kuno.
Aku disewakan se6uah kamar untuk kugunakan secara priSadi. Pada malam pertama
aku sangat letih, dan tidur 6egitu selesai makan malam. y(eesokan harinya, aku
sarapan Sersama Thaw. Setelah itu Pak Thaw 6erkata 6ahwa ia ingin mengatakan
sesuatu padaku, dan memintaku untuk masuk c kamarku. Aku masuk c kamarku, ketika
itu Thaw, tanpa mengatakan apa-apa, menangkap leherku dan mero6ekju6ah mandiku
dari tuSuhku. Thaw dalam keadaan sangat Serse-mangat. Matanya menyala, dan di
tangan kanannya ada pecut kuda dari kulit. Ia menangkapku dan melemparkan aku ke
atas tempat tidur. Aku tidak 6erdaya dan ingin 6erteriak, tetapi Thaw mem6ekap
mulutku dan 6erusaha mencekikku.
Ia, kemudian, tanpa 6erkata-kata dan tanpa alasan apa pun, mulai menghujamku
dengan 6e6erapa lecutan menyakitkan dan kejam dengan menggunakan cemeti kudanya.
Begitu 6rutalnya ia menyerangku hingga kulitku ro6ek dan memar. Aku memohonnya
untuk Serhenti, tetapi ia menolak. Ia 6erhenti setiap menit atau hanya untuk
Seristirahat, lalu memulai lagi serangannya terhadap diriku. Aku 6enar-6enar
sangat ketakutan. Para pelayan tidak dapat mendengar teriakanku, karena suaraku
tiiak menemSus dinding puri 6esar itu, karena itu mereka tidak 6isa menolongku.
Thaw mengancam akan mem6u-nuhku. y{arena serangan Srutalnya, seperti yang telah
kujelaskan, aku tidak dapat 6ergerak.
Keesokan harinya, Thaw kem6ali datang ke kamarku dan melakukan lagi hukuman yang
sama dengan hari se6elumnya. Ia mengam6il cemeti kuda dan mencam6ukiku dengan
keras pada kulit telanjangku, sehingga kulitku terluka dan aku tidak sadar. Aku
jatuh pingsan dan tidak tahu Serapa lama kemudian aku sadar.
"Mengerikan sekali," kata Betty, "tetapi ia telah menikah dengan lelaki itu...,
mengapa?" "Demi uangnya, kukira," kata Littlemore. Ia membalik
halaman pernyataan tersumpah lagi, "kau pikir ini yang kita cari" Apa yang
dimaksudkan oleh Susie?"
"Mungkin memang ini, Jimmy. Ini adalah peristiwa yang sama dialami oleh Nona
Riverford yang malang."
"Aku tahu," kata Littlemore, "tetapi ini sebuah pernyataan tersumpah. Apakah
Susie mengerti tentang pernyataan tersumpah seperti ini?"
"Apa maksudmu" Ini tidak mungkin kebetulan saja."
"Mengapa ia bisa ingat harinya, hari tepatnya, pernyataan ini pastilah telah
dibacakan dalam persidangan" Tidak ditambahi. Kukira ada sesuatu yang lainnya."
Littlemore duduk di lantai, sambil membaca catatan itu. Betty mendesah tidak
sabar. Tibatiba detektif itu berseru, "Tunggu sebentar. Ini dia. Lihat pada
huruf T di sini, Betty. Ini adalah penuntutnya, Bapak Jerome, sedang bertanya.
Sekarang lihat siapa yang menjadi saksi, yang sedang memberikan jawaban."
Ketika bagian itu ditunjuk oleh Littlemore, catatan itu berbunyi sebagai
berikut: T : Siapa nama Anda" J : Susan Merrill.
T : Mohon sebutkan pekerjaan Anda.
J : Saya menyewakan kamar-kamar bagi bapak-bapak
di Forty-third Street. T : Anda mengenal Harry K. Thaw" J : Ya.
T : Kapan Anda pertama kali bertemu dengannya" J : Pada tahun 19D3. Ia
mengunjungiku untuk menyewa kamar. Ia menyewanya. T : Untuk apa katanya"
J : Katanya ia sedang menguji gadis-gadis untuk dipe kerjakan di atas panggung. T : Apakah ia membawa tamu-tamu itu ke dalam
kamarnya" J : Kebanyakan para gadis muda berusia limabelas tahun lebih. Mereka mengatakan
ingin naik pentas. T : Setiap kali para gadis muda itu datang, apakah
ada hal yang tidak biasa terjadi" J : Ya. Seorang gadis muda masuk ke dalam
kamarnya, tidak lama kemudian, aku mendengar teriakan dan aku berlari ke
kamarnya. Gadis itu diikat pada bagian kepala dari tempat tidur. Lelaki itu
memegang sebuah cemeti di tangan kanannya, dan ia menyerang gadis itu. Tubuh
gadis itu berbilur-bilur. T : Apa yang dikenakan oleh gadis itu" J : Pakaian
yang sangat minim. T : Apa yang terjadi kemudian"
Lelaki itu liar dan bergegas pergi. Gadis itu mengatakan padaku bahwa lelaki itu
berusaha membunuhnya. Bisa Anda jelaskan tentang cemeti itu" Cemeti yang digunakan adalah yang
digunakan untuk anjing. Pada saat kejadian itu. Ada kejadian lainnya"
Pada lain waktu ada dua orang gadis. Salah satu dari mereka bugil, yang lainnya
separuh telanjang. Lelaki itu memecuti mereka dengan cemeti untuk berkuda yang
biasa dipakai untuk penunggang perempuan.
Anda pernah bicara dengannya tentang hal itu" Ya, pernah. Aku katakan kepadanya
bahwa mereka semua masih gadis kecil dan ia tidak berhak
mencambuki mereka. T : Apa penjelasannya tentang apa yang dilakukannya"
J : Ia tidak memberikan penjelasan sama sekali. Ia
mengatakan mereka memerlukannya. T : Anda pernah memberitahu polisi" J : Tidak.
T : Mengapa tidak" J : Katanya jika aku melapor, ia akan membunuhku.
Limabelas "MARI KITA DENGAR BAGAIMANA KEMAJUAN terapimu terhadap Nona Acton," kata Freud
yang mengubah topik pembicaraan ketika kami berjalan melalui taman dari rumah
Brill ke hotel. Aku ragu, tetapi Freud meyakinkan kalau aku boleh berbicara sebebas mungkin
kepada Ferenczi seperti juga kepada dirinya. Maka aku menceritakan seluruh kisah
secara panjang lebar tentang pertemuan terlarang antara Tuan Acton dan Nyonya
Banwell yang terlihat oleh Nora ketika ia masih berusia empatbelas tahun. Entah
bagaimana, hal itu telah diperkirakan Freud; kemarahan Nora ketika berada di
kamar hotel, saat ia langsung menyerangku. Tampaknya itu dianggap Freud sebagai
tanda pulihnya ingatan Nora, karena ia mengenali George Banwell sebagai
penyerangnya. Aku juga menceritakan kedatangan Banwell secara tibatiba, bersama
orang tua Nora dan McClellan yang memberikan alibi pada Banwell.
Ferenczi, setelah menjelaskan tanggapan pada sikap
seksual Nyonya Clara Banwell terhadap Harcourt Acton, mendadak bertanya mengapa
Banwell tidak menyerang Nora Acton walau ia tidak membunuh gadis yang lainnya.
Aku sulit mengerti mengapa ia sebagai seorang psikoanalis bisa bereaksi seperti
itu. Namun aku menjelaskan juga kalau aku telah bertanya pada detektif
Littlemore tentang pertanyaan yang sama dan tampaknya ada bukti pada tubuh
korban. Bukti itu menyatakan kalau serangan tersebut dilakukan oleh orang yang
sama. "Sebaiknya kita serahkan masalah forensik kepada polisi saja, bukankah begitu?"
Kata Freud, "jika analisa selayaknya membantu polisi, maka itu adalah baik. Jika
tidak, sebaiknya kita tolong saja si pasiennya. Aku punya dua pertanyaan
untukmu, Younger. Pertama, apakah kau tidak menemukan sesuatu yang aneh pada
pernyataan yang tergesa dari Nora Acton. Ia menyatakan, ketika ia melihat Nyonya
Banwell bersama ayahnya, ia tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang
disaksikannya?" "Kebanyakan gadis Amerika berusia empatbelas tahun, telah mendapatkan informasi
yang salah tentang hal itu, Dr. Freud."
"Aku hargai itu," kata Freud, "tetapi bukan itu yang kumaksud. Nora
mengisyaratkan kalau ia sekarang mengerti apa yang dilihatnya, bukan?"
"Ya."

Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau menduga seorang gadis tujuhbelas tahun mendapatkan informasi yang
lebih baik dari pada gadis empatbelas tahun?"
Aku mulai mengerti maksudnya.
"Bagaimana," lanjut Freud, "sekarang ia tahu apa yang dulu tidak diketahuinya?"
"Ia mengatakannya padaku kemarin," kataku, "kalau
ia membaca buku yang dengan tegas menjelaskan tentang hal itu."
"Ah, ya, itu benar, bagus sekali. Vah, kita harus lebih memikirkan tentang hal
itu. Tetapi sekarang, pertanyaanku yang kedua. Katakan padaku Younger, mengapa
ia beralih padamu?" "Maksudmu, mengapa ia melemparkan cangkir dan piring kecilnya padaku?"
"Ya," kata Freud.
"Dan memukulmu dengan poci teh yang mendidih," tambah Ferenczi.
Aku tidak punya jawaban. "Ferenczi, bisa kau jelaskan pada teman kita?"
"Aku juga bingung," kata Ferenczi, "ia jatuh cinta pada Younger. Itu sangat
jelas." Freud berkata padaku. "Pikirkan lagi. Apa yang kau katakan sebelum ia menjadi
begitu bengis padamu?"
"Aku baru saja selesai menyentuh keningnya," kataku, "yang tidak membuahkan
hasil. Aku duduk. Lalu aku memintanya untuk menyelesaikan perumpamaan yang
dikatakan sebelumnya. Ia membandingkan betapa putih punggung Nyonya Banwell
dengan sesuatu yang lainnya, tetapi ia tidak melanjutkannya. Aku memintanya
untuk menyelesaikan pikiran itu."
"Mengapa?" Tanya Freud.
"Karena, Dr. Freud, kau telah menuliskannya kalau jika seorang pasien memulai
kalimatnya, tetapi terganggu dan tidak menyelesaikannya sendiri, berarti ada
sebuah penekanan sedang terjadi."
"Anak pandai," kata Freud, "dan bagaimana Nora menanggapinya?"
"Ia mengusirku. Tibatiba. Dan ia mulai melempari
benda-benda padaku."
"Begitu saja?" Tanya Freud.
"Ya." "Jadi?" Kembali aku tidak punya jawaban.
"Apakah kau tidak pernah mengira kalau Nora akan cemburu jika kau memperlihatkan
ketertarikanmu pada Clara Banwell" Terutama pada punggung telanjangnya?"
"Tertarik pada Nyonya Banwell?" aku mengulanginya, "aku belum pernah bertemu
dengan Nyonya Banwell."
"Ketidaksadaran [kegiatan yang tidak diketahui alasan atau motifnya] tidak
memerlukan hal-hal seperti itu untuk beraksi," kata Freud, "pikirkan faktafakta. Nora baru saja menggambarkan Clara Banwell melakukan felatio [kegiatan
seks oral] terhadap ayahnya, yang disaksikannya pada usia empatbelas tahun.
Tindakan itu tentu saja menjijikan bagi orang terhormat; itu sangat menjijikan
bagi kita. Tetapi Nora tidak memperlihatkan rasa jijik itu kepadamu sama sekali,
namun ia menyiratkan kalau ia mengerti makna tindakan itu. Ia bahkan mengatakan
kalau gerakan Nyonya Banwell menarik. Sekarang, sangat tidak mungkin kalau Nora
melihat hal itu tanpa kecemburuan yang dalam. Seorang gadis memiliki cukup waktu
berhubungan dekat dengan ibunya: ia tidak akan pernah membiarkan wanita lain
merangsang birahi ayahnya tanpa membenci pengacau yang melakukannya. Karena itu
Nora mencemburui Clara. Seharusnya ialah yang ingin melakukan felatio untuk
ayahnya. Keinginan itu tertekan dan sejak itu ia menyimpan perasaan itu."
Sesaat lalu, aku diam-diam telah menghukum Ferenczi karena memperlihatkan reaksi
mendadak pada perilaku seksual yang "menyimpang." Karena beberapa alasan aku
tidak menyetujui reaksi mendadaknya, walau ada pernyataan Freud tentang apa yang
dirasakan oleh semua orang santun saat mendengar tentang hal semacam itu. Aku
baru saja mengatakan pada diriku sendiri bahwa setiap pelajaran yang diajarkan
oleh psikoanalisa mengabaikan larangan masyarakat yang disebut penyimpangan
seksual. Sekarang, aku menyadari kalau aku hanyut dalam perasaan yang sama.
Harapanku Freud akan menyalahkan Nona Acton membuatku jijik. Rasa jijik begitu
meyakinkan; rasanya seperti sebuah bukti moral. Sulit melepaskan perasaan moral
yang tertanam oleh rasa jijik. Kita tidak dapat melakukannya tanpa mempersiapkan
seluruh penilaian benar dan salah, seolah kita kehilangan panca-ngan yang
menunjang seluruh ajaran yang kita percayai.
"Ketika itu juga," Freud melanjutkan, "Nora merencanakan untuk merayu Tuan
Banwell, untuk membalas dendam pada ayahnya. Karena itulah, hanya dalam beberapa
minggu kemudian, Nora mau ikut Banwell pergi ke atap sebuah gedung untuk
menonton kembang api. Karena itulah ia juga mau berjalan-jalan dengan Banwell
sendirian di tepi danau yang romantis dua tahun kemudian. Mungkin Nora
mengundangnya dengan isyarat-isyarat ketertarikan selama itu, yang dapat dengan
mudah dilakukan oleh semua gadis cantik. Karena itulah Banwell sangat terkejut
ketika ternyata Nora menolaknya, tidak hanya satu kali, tetapi dua kali."
"Penolakan terhadap Banwell itu dilakukan Nora karena seharusnya orang yang
digandrunginya adalah ayahnya sendiri," sela Ferenczi. "Tetapi, mengapa ia
menyerang Younger?" "Ya, mengapa Younger?" Tanya Freud.
"Karena ketika itu aku menggantikan sosok ayahnya?"
"Tepat. Ketika kau menganalisanya, kau mengambil tempat ayahnya. Reaksi
pemindahan itu bisa diduga. Sebagai hasilnya, ketidaksadaran gairah Nora
sekarang adalah untuk menyerahkan mulut dan tenggorokannya kepada Younger.
Khayalan ini menguasainya ketika Younger mendekatinya untuk menyentuh keningnya.
Younger mengatakan pada kita, kau akan ingat, kalau ketika itu Nora mulai
melepaskan setangan lehernya. Gerakan itu melambangkan undangannya pada Younger
untuk mengambil kesempatan darinya. Di sini, aku akan menambahkan, juga
merupakan penjelasan dari mengapa sentuhan pada tenggorokannya berhasil,
sementara sentuhan pada keningnya tidak. Tetapi Younger menolak undangan itu,
dan mengatakan pada Nora untuk mengikat sapu tangan lehernya kembali. Nora
merasa ditolak." "Ia memang tampak terhina," aku menambahkan, "aku tidak tahu mengapa ketika
itu." "Jangan lupa," lanjut Freud, "ia peduli terhadap luka yang dideritanya.
Sebaliknya ia tidak akan mengenakan setangan pada lehernya sama sekali, maka
lukanya akan tampak. Jadi, ia sudah mulai peka terhadap bagaimana kau akan
menanggapinya jika kau melihat leher atau punggungnya. Ketika kau mengatakan
padanya untuk tetap mengenakan setangan, kau melukai perasaannya. Dan ketika,
tidak lama setelah itu, kau kembali membicarakan tentang punggung Clara Banwell,
itu seolah kau, yang menempati posisi ayah Nora, telah mengatakan padanya,
'Claralah yang menarik hatiku, bukan kau. Punggung Claralah yang ingin kulihat,
bukan punggungmu.1 Jadi, tanpa kau sadari, kau telah memainkan sikap
pengkhianatan ayahnya, membangkitkan kemarahan yang tak dapat dijelaskan secara
tibatiba. Karena itu kebengisan-nya menyerang, diikuti oleh gairah untuk
menyerahkan padamu tenggorokan dan mulutnya."
"Tak dapat dibantah," kata Ferenzci sambil menggelengkan kepalanya karena kagum.
9 MASUK KE RUANG DUDUK di rumahnya di Gramercy Park, Nora Acton memberitahu ibunya
kalau ia tidak akan tidur di kamarnya malam itu. Namun ia akan tidur di ruang
tidur tamu di lantai satu. Dari situ ia dapat melihat para polisi berjaga di
luar. Jika tidak, katanya, ia tidak akan merasa aman.
Itu adalah katakata pertama Nora yang ditujukan pada orang tuanya sejak mereka
meninggalkan kamar hotel. Ketika mereka tiba di rumah, Nora segera menuju
kamarnya. Dr. Higginson telah didatangkan, tetapi Nora menolak bertemu
dengannya. Ia juga menolak hadir makan malam dan mengatakan kalau ia tidak
lapar. Itu kebohongan. Sebenarnya, ia belum makan sejak pagi, padahal Ibu Biggs
sudah mempersiapkan sarapannya.
Nyonya Mildred Acton naik ke sofanya dan mengatakan kalau ia letih. Ia juga
mengatakan kalau Nora bersikap sangat tidak masuk akal. Dengan ditempatkannya
para op sir polisi yang menjaga pintu depan dan belakang, tidak mungkin ada
bahaya lagi. Jadi apa pun alasannya, Nora tidak boleh tidur di ruang tamu.
Tetangga akan melihatnya. Apa yang mereka pikirkan" Keluarga harus berusaha
sebaik mungkin seakan mereka tidak mengalami peristiwa apa pun yang memalukan.
"Ibu," kata Nora, "bagaimana kau bisa mengatakan kalau aku baru saja
dipermalukan?" "Wah, aku tidak mengatakan seperti itu. Harcourt, apakah aku tadi mengatakan
seperti itu?" "Tidak, sayangku," kata Harcourt Acton sambil berdiri di samping meja kopi.
Sejak tadi ia membaca-baca kumpulan surat yang tertumpuk selama lima minggu,
"tentu saja tidak."
"Aku secara khusus mengatakan kalau kita harus bersikap seolah kau tidak
diperlakukan secara tidak hormat," ibunya menjelaskan.
"Tetapi aku memang tidak diperlakukan seperti itu," kata Nora.
"Jangan bodoh, Nora," ibunya menasihati. Nora mendesah. "Apa yang menempel pada
matamu, Ayah?" "Oh..., kecelakaan," jelas Acton, "sewaktu bermain Polo, aku tersodok oleh
tongkatku sendiri. Aku bodoh sekali. Kau ingat retina tuaku yang sobek" Ini mata
yang sama. Aku tidak dapat melihat apa-apa lagi dengan mata ini sekarang. Sial
sekali, bukan?" Tidak seorang pun menanggapinya.
"Well," katanya lagi, "kecelakaanku tidak dapat dibandingkan denganmu, Nora,
tentu saja. Aku tidak bermaksud...,"
"Jangan duduk di situ!" Ibu Acton berteriak pada suaminya, yang baru saja
merendahkan tubuhnya untuk duduk di kursi berlengan, "jangan di situ juga. Aku
baru saja memperbaikinya sebelum kita berangkat."
"Tetapi, di mana aku boleh duduk, Sayang?" Tanya Acton.
Nora memejamkan matanya. Ia bergerak akan meninggalkan ruangan.
"Nora," kata ibunya, "apa nama perguruan tinggimu?"
Gadis itu berhenti, semua ototnya menegang. "Bernard," katanya.
"Harcourt, kita harus segara menghubungi mereka besok pagi."
"Mengapa kalian harus menghubungi mereka?" Tanya
Nora. "Untuk memberitahu mereka kau tidak bisa hadir, tentu saja. Itu sangat tidak
mungkin sekarang. Dr. Higginson mengatakan kau harus istirahat. Aku memang tidak
pernah menyetujuinya sejak awal. Perguruan tinggi bagi gadis-gadis! Kami tidak
pernah mendengarnya pada zamanku."
Pipi Nora memerah. "Kau tidak bisa berkata begitu."
"Maaf," kata Ibu Acton.
"Aku ingin mendapatkan pendidikan."
"Kau dengar itu" Ia menyebutku tidak terdidik," kata Ibu Acton pada suaminya,
"jangan gunakan kacamata itu, Harcourt, gunakan yang ada di paling atas."
"Ayah?" Tanya Nora.
"Well, Nora," kata Acton, "kami harus memikirkan yang terbaik bagimu."
Nora menatap kedua orang tuanya dengan amarah yang tidak tersembunyi. Ia berlari
dari ruangan itu, lalu menaiki tangga, tidak berhenti di lantai dua, tempat
kamar tidurnya berada. Nora terus berlari hingga menuju lantai empat yang
berlangit-langit rendah dan berisi kamar-kamar kecil. Di sana ia segera menuju
kamar tidur Ibu Biggs, lalu membuang dirinya di atas tempat tidur wanita tua
itu. Ia membenamkan wajahnya pada bantal dengan sarungnya yang kasar. Jika
ayahnya tidak mengizinkannya berkuliah di Barnard, ia berkata pada Ibu Biggs, ia
akan melarikan diri. Ibu Biggs berusaha sekuat tenaga menghibur gadis itu. Tidur yang nyenyak,
katanya, akan memberinya kekuatan besar. Saat itu sudah hampir tengah malam
ketika, akhirnya, Nora niat berisirahat. Untuk meyakinkan kalau gadis itu memang
merasa aman, Ibu Biggs mengatur Pak Biggs untuk tidur di kursi di luar kamar
tidur Nora, dan memerintahkannya untuk terus di situ sepanjang malam. Pelayan
tua itu tidak pernah meninggalkan temp atnya sekejap pun malam itu, walau tak
lama setelah itu, ia tertidur dengan terangguk-angguk. Begitu juga para opsir
polisi yang terus berjaga. Namun betapa mengherankan, ketika di dalam kegelapan
malam, tibatiba gadis itu merasakan sehelai sapu tangan lelaki menekan mulutnya
dengan keras dan pisau silet yang dingin dan tajam pada lehernya.
g KARENA BELUM PERNAH PERGI KE rumah milik Jelliffe, aku merasa terkejut akan
kemewahannya. Kata apartemen tidak pantas untuk menyebut tempat tinggal itu
kecuali jika ditambahkan kata bangsawan, seperti misalnya di Versailles. Keramik
Cina biru, patung-patung pualam putih, dan berbagai perabotan indah peti laci ?tinggi berkaki, sofa besar yang bisa juga digunakan untuk tempat tidur,
bufet dipamerkan di mana-mana. Jika Jelliffe bermaksud memperlihatkan
?kemakmuran pribadinya pada tetamunya, ia bisa dikatakan telah berhasil.
Kini aku mengenal Freud dengan cukup baik, karena aku dapat melihat ketika ia
tampak tidak senang. Demikian juga dengan si orang Boston yang berada dalam
diriku, dia memiliki reaksi yang sama. Sebaliknya Ferenczi,
ia tampak sama sekali tidak terpengaruh dengan kemewahan itu. Kudengar ia saling
bertukar sapa yang ramah dengan dua orang tamu wanita tua di ruang tamu Jelliffe
sebelum makan malam. Di sana para pelayan menawari kami hors d 'ouvres [kue-kue
kecil pembangkit selera makan] dari nampan emas, bukan perak. Ferenczi adalah
satusatunya tamu yang tampil mengenakan setelan putih, bukan hitam. Hal itu pun
tampaknya tidak mengganggunya sedikit pun.
"Begitu banyak emas," katanya kepada tetamu wanita sambil mengagumi apa yang
tampak pada langitlangit tinggi yang berada di atas kami. Itu adalah pemandangan
hiasan plesteran sangat indah karena dibatasi dengan daun-daun emas, "ini
mengingatkan aku pada Operhaz kami, karya Ybl, di Budapest. Anda pernah ke
sana?" Rupanya kedua wanita tua itu belum pernah ke sana. Mereka memperlihatkan
kebingungan. Bukankah Ferenczi baru saja mengatakan kepada mereka kalau ia
berasal dari H ongaria"
"Ya, ya," kata Ferenczi, "oh, lihatlah pada kerubi di sudut itu, dengan angguranggur kecil bergantungan pada mulut kecilnya. Manis sekali, ya?"
Freud asik terlibat dalam percakapan dengan James Hyslop, seorang pensiunan
prosfesor logika di Columbia University, yang mengenakan terompet telinga
sebesar corong sebuah mesin pemutar musik zaman Victoria. Jelliffe asik
berbincang dengan Charles Loomis Dana, seorang ahli syaraf yang terkenal.
Charles Dana, adalah seorang anggota lingkaran masyarakat kelas sebagaimana
bibiku Mamie tidak seperti tuan rumah kami. Di Bos-ton, keluarga Dana termasuk ?bangsawan. Aku mengenal salah seorang sepupu jauh keluarga Dana, seorang Miss
Draper dari Newport, yang pernah berkali-kali menggemparkan rumah mode dengan menirukan
gaya seorang penjahit Yahudi tua. Jelliffe mengingatkanku pada seorang senator
yang dijuluki glad-handing senator. Senator itu memiliki penampilan yang
congkak, mengesankan seolah kegemukannya melamb angkan kejantanan.
Jelliffe menarikku bergabung dalam kelompoknya. Saat itu ia sedang menghibur
pendengarnya dengan menceritakan tentang kliennya yang terkenal, Harry Thaw,
yang tinggal bak seorang raja di rumah sakit yang mengurungnya. Jelliffe
berbicara begitu banyak hingga mengutarakan kalau ia bersedia saja bertukar
tempat dengan Thaw. Yang kumengerti dalam kalimat itu adalah Jelliffe menikmati
ketenarannya sebagai seorang dokter jiwa yang menangani Thaw. "Coba bayangkan,"
katanya menambahkan, "setahun lalu ia memaksa kami untuk membuktikan
ketidakwarasannya agar terbebas dari tuduhan pembunuhan. Sekarang ia
menginginkan kami bersumpah akan kewarasannya sehingga ia bisa keluar dari rumah
sakit! Dan kami semestinya bisa mengeluarkannya!"
Jelliffe tertawa terbahak-bahak, lengannya merangkul bahu Dana. Beberapa orang
pendengar ikut tertawa bersamanya, kecuali Dana. Kira-kira seluruhnya ada
duabelas orang tamu yang tersebar di ruangan itu, tetapi aku tahu kalau masih
ada seorang yang lebih ditunggu. Tidak lama kemudian, seorang pelayan lelaki
membuka pintu dan berjalan mendahului seorang wanita yang masuk ke dalam
ruangan. "Nyonya Clara Banwell," ia berseru untuk mengumumkan.
g "DAPATKAH KAU MELAKUKAN PSIKOANALISA kepada seseorang, Dr. Freud?" Tanya Nyonya
Banwell ketika para tamu memasuki ruangan makan Jelliffe, "Dapatkah kau
melakukannya kepada diriku?"
Dalam berbagai kesempatan pertemuan tertentu, umumnya lelaki terhormat dan
serius pada bidangnya tanpa mereka sadari mulai bersikap seolah sedang berperan
di atas panggung. Mereka mengatur cara mereka berbicara, dan menggerak-gerakkan
tangan. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah, wanita. Clara Banwell-lah
penyebab para tamu lelaki Jelliffe bersikap seperti itu. Nyonya Banwell berusia
duapuluh enam tahun, kulitnya seputih putri Jepang yang dibedaki. Segala tentang
dirinya terbentuk dengan sempurna, tubuhnya indah, rambutnya segelap hutan,
matanya berwarna hijau laut, dengan kilauan kecerdasan lembut yang menggoda.
Sebutir mutiara Oriental yang dapat berubah-ubah warna, tergantung pada setiap
telinganya. Sebutir kulit kerang mutiara merah muda besar pun, yang ditempatkan
pada keranjang berlian dan platinum, tergantung di bawah lehernya. Ketika ia
mengisyaratkan senyuman, dan hanya itulah yang dilakukannya, para lelaki akan
Sumpah Palapa 5 Pendekar Mabuk 081 Pembalasan Ratu Mesum Makhluk Pemeluk Manusia 2

Cari Blog Ini