Ceritasilat Novel Online

Kite Runner 1

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 1


towmW; hxu knrmpoton teroifw unruk rrxngombil itputxnon. untuk menentukan
apaJodmya dinku. Aku baa mriangkah mematuki gang Itu. membela Hassan don menerxna apa pun yang mungkin menimpaku. Atau aku beta metankan diri Akhirnya, aku
melarikan dm. Amli telah mengkhianati Hassan, satu-satunya sahabatnya. Saudaranya. Rata
bersalah menghantuinya. Menyingkirkan Hassan dari kehidupannya adalah satusatunya piihan yang ada. Namun setelah Hassan pergi, tak ada lagi yang tersisa
dari masa kecilnya. Seperti layang-layang putus, sebagian dari dirinya terbang
bersama angin. Tetapi, masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam pun senantiasa
menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Oan seperti layang-layang, tak
kuasa menahan badai, Am" harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.
The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kash
sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Khaled Hosseinl dengan brilian
menghadirkan sisi-sisi lain dari Afghanistan, negeri indah yang hingga kini
masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. 01
tengah belantara puing di kota Kabul akankah Amk menemukannya"
"Menghanyutkan."
San Franasto Chronicle?"Luar biasa." The New York limes
?- #1 New Yorh Times Best-Seller
"Kisah Ini akan terus melekat dalam Ingatan. Seluruh tema menawan dalam sastra
dan kehidupan terjalin dengan Indah dalam novel luar biasa lnl:clnta,
kehormatan, rasa bersalah, ketakutan, dan penebusan dosa." Isabel Alltnd*
?Hhaled H o s s e i n i Uncorrected Proof TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN
? ?"Sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari,
bisa mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang."
Khaled Hosseini dalam The Kite Runner
Qanita membukakan jendela-jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakra C|3ri|t3 '.?"'ala baru, menemukan makna dan
pengalaman hidup dan kisah-kisah yang kaya inspirasi.
Cjanita THE KITE RUNNER Khaled Hosseini qanita THE KITE RUNNER Diterjemahkan dari The Kite Runner Karya Khaled Hosseini
Terbitan Riverhead Books Published by The Berkley Publishing Group A division of
Penguin Group (USA) Inc. 375 Hudson Street New Vork, New York 10014
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani Penyunting: Pangestuningsih. Proofreader:
Herlina Sitorus Copyright " 2003 by Khaled Hosseini All rights reserved
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit Qanita Cetakan I,
Maret 2006 Diterbitkan oleh Penerbit Qanita PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI
Jin. Cinambo No. 135, Cisaranten Wetan, Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022)
7834310 - Faks. (022) 7834311 e-mail: qanita@mizan.com milis:
qanita@yahoogroups.com http://www.mizan.com Desain sampul: Andreas Kusumahadi
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hosseini. Khaled
The kite runner/Khaled Hosseini; penerjemah, Berliani M. Nugrahani, penyunting,
Pangestuningsih. Bandung: Qanita, 2006.?Kiv+618 h.; 17,5 cm.
Judul asli: The Kite Runner
ISBN 979-3269-46-4 I. Judul. II. Nugrahani, Berliani M. III. Pangestuningsih
813 &"S"i,'OjB>*:"b alei*
Mid" Med* Uldmd j M M U)
J|n. C."d>nDa (Ccdid"ic" Weld") Na. 146
Ujung Dei u "g, Bd"Telp. (D22) 7S155DD (hunting) -U FzK. (p2$ 1312333 * -<&3!i: m traim i@Cog fx t
B ii .iet H Tentang Penulis Khaled Hosseini ada putra pasangan seorang guru 5MA dan diplomat yang lahir di
Kabul pada 1965. Ayah Hosseini ditugaskan ke Paris, Prancis. Pada 1976. Saat
mereka seharusnya kembali Afghanistan pada 1980, negara itu telah berada dalam
pendudukan Soviet. Keluarga Hosseini mendapatkan suaka politik dari pemerintah
AS, d&ramdi negara inilah, tepatnya di San Jose, California, mereka tinggal
hingga saat ini. Hosseini menuntut ilmu di Santa Clara University dan lulus dari
San Diego School of Medicine. Sejak 1996 hingga kini, dia berpraktik sebagai
dokter specialis penyakit dalam.
The Kite Runner adalah Novel Afghan pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris.
Buku ini telah meraih berbagai penghargaaan di seluruh dunia dan menjadi buku
telaris sepanjang 2005. Buku ini dipersembahkan kepada Haris dan Farah, keduanya adalah noor mataku, dan
untuk anak-anak Afghanistan.
"Kisah yang sangat kuat ... tidak ada yang sia-sia, tidak ada omong kosong,
semuanya disajikan dengan keras dan apa adanya ... tentang keluarga dan
persahabatan, pengkhianatan, dan penebusan dosa. Tidak perlu berpikir panjang
untuk menikmati buku ini. Beberapa bagian dari The Kite Runner memang membawa
kepedihan, tetapi keseluruhan buku ini ditulis dengan indah."
-The Washington Post Book World
"Buku yang menakjubkan dan penuh kekuatan."
-Diane Sawyer "Novel pertama yang luar biasa ... mengisahkan tentang persahabatan dua anak
lelaki di Afghanistan dan ke-budayaan yang memikat. Novel ini menghadirkan
pesona buku masa lalu yang dengan mudah akan menghanyutkan Anda."
-San Francisco Chronicle "Hosseini dengan brilian menggambarkan keadaan Afghanistan prarevolusi yang
hangat dan nyaman, namun telah diwarnai oleh gesekan antar-kelompok etnis ....
Novel ini menyajikan detail-detail yang akan senantiasa menyentuh sanubari
Anda." -The New York Times "Novel pertama yang penuh dengan kekuatan tentang kepedihan dan kasih sayang.
Dalam The Kite Runner, Khaled Hosseini menuturkan kisah menyentuh tentang betapa
lama bangsanya berjuang melawan duka yang melanda hingga kini."
-The New York Times Book Review
"Novel yang indah ... berada dalam jajaran buku terbaik sepanjang tahun.
Mengisahkan persahabatan dan hubungan yang rapuh antara ayah dan anak lelakinya,
manusia dan Tuhannya, pria dan tanah airnya. Mengharukan. Salah satu buku
terliris, menyentuh, dan tak terduga."
-The Denver Post "Buku ini begitu kuat, hingga buku lain yang kubaca terasa hambar. Kisah ini
akan terus melekat dalam ingatan pembacanya. Seluruh tema menawan dalam sastra
dan kehidupan terjalin dengan indah dalam novel luar biasa ini: cinta,
kehormatan, rasa bersalah, ketakutan, dan penebusan dosa."
-Isabel Alfende "Brilian. Buku berkualitas tinggi yang akan dikenang sepanjang zaman."
-Publishers Weekly "Buku ini tidak berkisah tentang politik Timur Tengah, melainkan tentang
indahnya kehidupan di sebuah negara yang kacau-balau. Melalui karakter dan plot
yang dibangun dengan kuat, yang memesona dan terkadang menyesakkan, Hosseini
menyajikan kisah menawan dalam balutan tradisi yang kental dan sejarah tanah air
tercintanya." -San Antonio Express-News
"Novel luar biasa ini berkisah tentang perjuangan orang-orang biasa dalam
menghadapi terpaan sejarah yang memorak-porandakan kehidupan."
-People "Potret nyata tentang Afghanistan tiga puluh tahun yang lalu."
-The Wall Street Journal "Hosseini dengan sukses menghadirkan novel yang menawan dengan penuturan yang
sederhana dan memikat, pembaca tak akan sabar untuk membalik halamannya."
-The Philadelphia Inquirer
"Debut luar biasa dari seorang Afghan. Kisah memikat tentang pengkhianatan dan
penebusan dosa yang di-bingkai dengan masa lalu tragis negara Afghanistan.
Benar-benar menawan."
-Kirkus Reviews "Karakter Amir dan ayahnya, hubungan mereka, dan hubungan antara Hassan dan
Amir, semuanya dibangun dengan cermat dan meyakinkan. Hosseini, seorang dokter
dari California, mungkin adalah satu-satunya penulis Afghan yang menulis dalam
bahasa Inggris, dan novel pertamanya sukses menarik perhatian dunia."
-Library Journal Ucapan Terima Kasih Saya berutang budi pada rekan-rekan kerja saya
karena nasihat, bantuan, atau dukungan mereka: Dr. Alfred Lerner, Dori Vakis,
Robin Heck, Dr. Todd Dray, Dr. Robert Tull, dan Dr. Sandy Chun. Saya juga
berterima kasih kepada Lynette Parker dari East San Jose Community Law Center
untuk penjelasannya tentang prosedur adopsi, dan kepada Daoud Wahab yang telah
membagikan pengalamannya di Afghanistan dengan saya. Saya merasa bersyukur atas
petunjuk dan dukungan yang diberikan oleh teman baik saya, Tamim Ansary, juga
atas umpan balik dan semangat yang diberikan oleh rekan-rekan saya di San
Francisco Writers Work-shop. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ayah
saya, teman terlama dan sumber inspirasi saya untuk segala kebajikan yang ada
dalam diri Baba; ibu saya yang selalu mendoakan saya dan bernazar untuk semua
tahapan penyelesaian buku ini; bibi saya yang sering membelikan buku saat saya
masih kanak-kanak. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Ali, Sandy, Daoud,
Walid, Raya, Shalla, Zahra, Rob, dan Kader yang telah membaca kisah ini. Saya
juga ingin berterima kasih kepada Dr. Kayoumy dan istri orang tua kedua saya
untuk kehangatan dan dukungan
yang selalu mereka berikan.
Saya ingin berterima kasih kepada teman dan agen saya, Elaine Koster, untuk
kebijaksanaan, kesabaran, dan kebaikan hatinya, juga kepada Cindy Spiegel,
editor saya yang cermat dan cerdas, yang telah menolong saya membuka begitu
banyak sumbat dalam kisah ini. Juga kepada Susan Petersen Kennedy yang telah
memberi kesempatan untuk buku ini dan para staf di Riverhead yang bekerja keras
dalam menerbitkan buku ini.
Akhirnya, saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada istri saya
tercinta, Roya pendapatnyalah yang selalu saya dengarkan untuk kebaikan dan
kasih sayangnya, karena dia telah berulang kali membaca buku ini dan menolong
saya menyunting setiap rancangan novel ini. Untuk kesabaran dan pengertianmu,
aku akan selalu mencintaimu, Royajan.
Satu Desember 2001 jj^Vu menjadi seperti diriku yang sekarang ini saat
berumur 12 tahun, pada suatu hari yang beku di musim dingin 1975. Masih kuingat
dengan jelas, saat aku berlutut di balik reruntuhan tembok lempung, mengintip
gang sempit yang memanjang di dekat sungai yang membeku. Peristiwa itu telah
lama berlalu, tapi pengalamanku selama ini menunjukkan bahwa kita tak akan
pernah bisa mengubur masa lalu. Karena bagaimanapun, masa lalu akan selalu
menyeruak mencari jalan keluar. Sekarang, saat aku melihat kembali ke masa lalu,
aku menyadari bahwa aku telah mengintip gang sempit yang terbengkalai itu selama
dua puluh enam tahun. Suatu hari di musim panas yang lalu, temanku Rahim Khan menelepon dari Pakistan.
Dia memintaku mengunjunginya. Sambil berdiri di dapur dengan gagang telepon
menempel di telingaku, aku tahu bahwa bukan hanya Rahim Khan yang berbicara di
telepon itu. Dosa tak termaafkan dari masa laluku turut hadir di sana. Setelah
menutup sambungan itu, aku berjalan-jalan di sepanjang Spreckles Lake di
pinggiran utara Golden Gate Park. Cahaya
matahari awal senja berkilauan menyiram permukaan air, tempat lusinan kapal
miniatur berlayar dengan dorongan angin yang semilir. Saat aku menatap ke atas,
kulihat sepasang layang-layang, merah dengan ekor panjang berwarna biru, berayun
di langit. Kedua layang-layang itu menari jauh tinggi melampaui pepohonan di
bagian barat taman itu, di atas kincir angin, melayang berdampingan bagaikan
sepasang mata yang memandang ke bawah pada San Francisco, kota yang sekarang
telah menjadi kampung halamanku. Tiba-tiba aku mendengar bisikan Hassan di
kepalaku: Untukmu, kesehbu kalinya. Hassan, si pengejar layang-layang berbibir
sumbing. Aku duduk di bangku taman di dekat pohon wiiiow, memikirkan ucapan Rahim Khan
sebelum dia memutuskan sambungan telepon, ucapan yang ditambahkan, seolah
sebelumnya terlupakan. Ada jafan untuk kembali menuju kebaikan. Aku memandang
sepasang layang-layang di langit. Aku memikirkan Hassan. Memikirkan Baba. Ali.
Kabul. Aku memikirkan kehidupan yang kujalani hingga musim dingin 1975 itu tiba
dan mengubah segalanya. Dan membuatku menjadi diriku yang sekarang.
at kami masih kanak-kanak, aku dan Hassan
suka memanjat pohon-pohon popiar yang tumbuh di jalan masuk rumah ayahku dan
mengusik tetangga kami dengan memantul-mantulkan cahaya matahari ke rumah mereka
menggunakan pecahan cermin. Kami duduk berhadapan di cabang-cabang pohon yang
tinggi, kaki kami yang telanjang bergelantungan, saku celana kami dipenuhi buah
murbei kering dan biji-biji kenari. Bergiliran kami memainkan cermin itu sembari
memakan buah-buah murbei, sesekali saling melemparkannya, terkikik-kikik,
terbahak-bahak. Aku masih dapat melihat Hassan duduk di atas pohon itu, cahaya
matahari menerobos dedaunan dan menimpa wajahnya yang nyaris bulat sempurna,
raut muka yang menyerupai wajah boneka Cina yang dipahat dari kayu keras:
hidungnya yang datar dan lebar, matanya yang sipit bagaikan daun bambu, mata
yang warnanya berubah-ubah sesuai dengan cahaya yang menimpanya, terkadang emas,
hijau, dan bahkan safir. Aku masih dapat melihat telinga mungilnya yang menempel
rendah dan dagunya yang runcing, bagian kecil dari wajahnya yang seolah
ditambahkan dengan tergesa-gesa. Dan bibirnya yang sumbing, sedikit di sebelah
kiri lekukan bibirnya, mungkin di situlah peralatan si pemahat boneka Cina itu
tergelincir, atau mungkin dia sekadar kelelahan dan menjadi ceroboh.
Terkadang, di atas pohon itu, aku menyuruh Hassan membidikkan biji-biji kenari
dengan katapelnya pada anjing gembala Jerman bermata-satu milik tetangga kami.
Hassan tidak pernah berminat melakukannya, tapi jika aku memintanya, benar-benar
memohon, dia tidak akan menolaknya. Hassan tidak pernah menolakku. Dan dia mahir
menggunakan katapelnya. Ayah Hassan, Ali, sering kali menangkap dan me-marahi
kami, setidaknya dengan kemarahan yang bisa dilakukan orang selembut Ali. Dia
akan menggerakkan telunjuknya dan melambai pada kami supaya kami segera turun
dari pohon. Dia akan menyita cermin kami dan mengatakan sesuatu yang pernah
dikatakan ibunya dulu, bahwa setan juga memantul-mantulkan cahaya dengan cermin
untuk menggoda kaum Muslim saat mereka menunaikan shalat. "Dan dia tertawa-tawa
saat melakukannya," katanya menambahkan, seraya memelototi anaknya.
"Ya, Ayah," Hassan akan menggumam, menunduk memandangi kakinya. Tapi dia tak
pernah mengadukanku. Tak pernah sekali pun mengatakan bahwa cermin itu seperti
juga membidikkan biji kenari pada anjing tetangga-selalu berawal dari gagasanku.
Pohon-pohon poplar berjajar di pinggir jalan
masuk yang terbuat dari bata merah, menuju sepasang pintu gerbang yang terbuat
dari besi tempa. Saat satu per satu daun pintu gerbang itu membuka, terlihatlah
tanah ayahku. Rumah kami terletak di sebelah kiri jalan bata, sedangkan halaman
belakang terletak tepat di ujung jalan itu.
Semua orang setuju bahwa ayahku, Babaku, telah membangun rumah tercantik di
distrik Wazir Akbar Khan, lingkungan baru dan mewah di bagian utara kota Kabul.
Beberapa orang menganggap rumah itu adalah rumah terindah di seluruh Kabul.
Jalan masuk luas yang dihiasi oleh rumpun-rumpun mawar membentang menuju rumah
besar berlantai marmer dengan jendela-jendela yang lebar. Ubin mosaik berpola
rumit, dipilih sendiri oleh Baba di Isfahan, melapisi lantai keempat kamar
mandinya. Permadani-permadani bersulam benang emas yang dibeli Baba di Kalkuta,
terpasang berjajar di dinding; seperangkat lampu gantung kristal menghiasi
langit-langit yang melengkung.
Di lantai atas terdapat kamarku, kamar Baba, dan ruang kerjanya, yang disebut
juga "ruang merokok," sebuah ruangan yang senantiasa digelayuti aroma tembakau
dan kayu manis. Baba dan rekan-rekannya bersantai di sofa kulit hitam dalam
ruangan itu setelah Ali selesai menghidangkan makan malam. Mereka menyumpal pipa
Baba tidak pernah mengatakan menyumpal, tetapi "menggemukkan pipa" dan
mengobrolkan tiga topik pembicaraan favorit mereka: politik, bisnis, dan sepak
bola. Terkadang aku meminta izin Baba untuk
bergabung dengan mereka, namun Baba akan berdiri mengadang di ambang pintu
sambil berkata, "Pergilah, sekarang. Ini waktunya orang dewasa. Kenapa kau tidak
membaca salah satu bukumu saja?" Dia akan menutup pintu, meninggalkanku
bertanya-tanya,mengapa yang ada baginya selalu waktu orang dewasa. Aku akan
duduk di depan pintu, menarik lutut ke dada. Terkadang aku duduk di situ selama
satu jam, terkadang dua, mendengarkan tawa mereka, senda gurau mereka.
Ruang tamu di lantai bawah memiliki dinding melengkung dengan lemari pajangan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyatu pada dinding. Di dalam lemari itu terdapat foto-foto berbingkai
keluarga kami: foto tua dengan gambar yang sudah memudar menampilkan kakekku dan
Raja Nadir Shah, diambil pada 1931, dua tahun sebelum sang raja tewas dibunuh;
mereka berdiri di dekat rusa mati, mengenakan sepatu bot setinggi lutut, dengan
senapan terselempang di bahu. Foto berikutnya diambil pada malam pernikahan
orang tuaku; Baba terlihat menawan dengan setelan hitamnya dan ibuku bagaikan
seorang putri belia bergaun putih dengan senyumnya yang memesona. Dalam lemari
itu juga terdapat foto yang menampilkan Baba dan sahabat merangkap rekan
bisnisnya, Rahim Khan, yang sedang berdiri di luar rumah kami, tak seorang pun
di antara mereka yang tersenyum aku masih bayi saat foto itu diambil dan Baba
menggendongku; dia terlihat letih dan suram. Aku berada dalam pelukannya, namun
tanganku menggenggam erat kelingking Rahim Khan.
Dinding melengkung itu menghubungkan ruang tamu dengan ruang makan. Di tengah
ruang makan, berdiri sebuah meja besar yang terbuat dari kayu mahoni. Meja itu
dapat digunakan untuk menjamu tiga puluh orang sesuai dengan gaya hidup ayahku
yang menyukai pesta-pesta mewah, yang membuatnya menggunakan meja itu hampir
setiap minggu. Di bagian lain ruangan itu terdapat perapian tinggi yang terbuat
dari marmer, yang selalu dihangatkan oleh nyala api oranye di hari-hari musim
dingin. Pintu sorong kaca yang besar membuka pada teras setengah lingkaran yang
menunjukkan halaman belakang seluas satu hektar ekar dan deretan pohon ceri.
Baba dan Ali menanam sayuran di sepanjang dinding timur: tomat, mint, merica,
dan deretan pohon jagung yang tidak pernah benar-benar dipanen. Aku dan Hassan
menyebutnya "Dinding Jagung Merana."
Di bagian selatan kebun itu, di bawah bayangan pohon loquat, berdirilah tempat
tinggal pelayan, pon-dok kecil sederhana berdinding tanah liat, tempat Hassan
dan ayahnya tinggal. Di sanalah, di pondok kecil itu, Hassan dilahirkan pada musim dingin 1964,
setahun setelah ibuku meninggal saat melahirkanku.
Selama 18 tahun tinggal di rumah itu, hanya beberapa kali aku mengunjungi tempat
tinggal Hassan dan Ali. Saat matahari tenggelam di balik bukit dan kami telah
menyelesaikan permainan yang kami lakukan seharian, aku dan Hassan berpisah
menuju arah yang berbeda. Aku berjalan melewati rumpun-rumpun mawar menuju rumah
mewah Baba, Hassan menuju pondok tanah liat tempatnya dilahirkan, tempatnya
menjalani seluruh hidupnya. Dalam pondok itu, dua matras terletak berseberangan,
di antaranya terbentang sehelai karpet Herati usang dengan pinggir menipis, juga
sebuah bangku kecil berkaki-tiga dan meja kayu di sudut tempat Hassan
menggambar. Dinding ruangan itu dibiarkan telanjang. Hanya tertempel satu
perman-dani bersulam manik-manik yang membentuk kata Allahu Akbar, yang dibeli
Baba untuk Ali dalam salah satu kunjungannya ke Mashad.
Di gubuk kecil itulah Sanaubar, ibu Hassan, melahirkannya pada suatu hari di
musim dingin tahun 1964. Tidak seperti aku yang kehilangan ibuku karena
meninggal akibat pendarahan dalam tubuh saat melahirkanku, Hassan kehilangan
ibunya tidak sampai satu minggu setelah dia lahir. Hassan kehilangan ibu-nya
karena nasib yang dianggap jauh lebih buruk daripada kematian oleh sebagian
besar warga Afghan: Wanita itu kabur bersama rombongan penyanyi dan penari
keliling. Hassan tak pernah membicarakan ibunya, seolah-olah wanita itu tak pernah ada.
Aku selalu bertanya-tanya apakah Hassan pernah memimpikan ibunya, seperti apa
penampilannya, di mana dia berada. Aku bertanya-tanya, apakah Hassan mendambakan
pertemuan dengan ibunya. Apakah Hassan merindukannya, seperti aku yang
merindukan ibuku yang tak pernah kulihat. Suatu hari, kami
berjalan dari rumah ayahku menuju Cinema Zainab untuk menonton film Iran terbaru
yang sedang diputar. Kami mengambil jalan pintas melewati barak-barak militer di
dekat Sekolah Menengah Istiqlal-Baba sebenarnya melarang kami mengambil jalan
pintas, namun saat itu dia sedang berada di Pakistan bersama Rahim Khan. Kami
melompati pagar yang mengelilingi barak, melompat-lompat menyeberangi sungai
kecil, dan menerobos menuju lapangan kotor tempat menampung tank-tank tua
berdebu yang sudah tidak terpakai lagi. Beberapa orang prajurit bergerombol di
bawah naungan salah satu tank itu, merokok dan bermain kartu. Seorang dari
mereka melihat kami, menyikut rekan di sebelahnya, dan memanggil Hassan.
"Hei, kamu!" katanya. "Aku kenal kamu."
Kami belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Pria itu bertubuh gempal, dengan
rambut tercukur licin dan dagu ditumbuhi janggut hitam yang kasar. Caranya
menyeringai pada kami, senyumnya yang mesum, membuatku takut. "Ayo, terus
jalan," aku berbisik kepada Hassan.
"Kamu! Orang Hazara! Lihat kesini kalau aku mengajakmu bicara!" prajurit itu
berteriak. Dia menyerahkan rokoknya pada pria di sebelahnya, lalu membuat
lingkaran dengan jempol dan jari tengah salah satu tangannya. Dia menggerakkan
jari tengahnya yang lain pada lingkaran itu. Keluar dan masuk. Keluar dan masuk.
"Aku kenal ibumu, tahu itu" Aku kenal baik dengannya. Aku melakukan ini bersama
ibumu di dekat sungai itu."
Para prajurit tertawa. Salah satu dari mereka melolong. Aku menyuruh Hassan
untuk terus berjalan, terus berjalan.
"Aku menikmatinya!" kata prajurit itu seraya bersalaman dengan teman-temannya.
Mulutnya menyeringai. Kemudian, dalam kegelapan, setelah film dimulai, aku
mendengar Hassan yang duduk di sebelahku mengeluarkan isakan tertahan. Air mata
mengaliri pipinya. Aku mengulurkan lenganku ke bangku sebelah, merangkulnya,
menariknya supaya lebih dekat denganku. Dia meletakkan kepalanya di bahuku. "Dia
lebih memilih orang lain daripada kamu," bisikku. "Dia lebih memilih orang lain
daripada kamu." Yang kutahu, tak seorang pun merasa heran saat Sanaubar kabur. Mereka memang
menaikkan alis saat Ali, pria yang hafal isi Al-Quran, menikahi Sanaubar, gadis
yang usianya 19 tahun lebih muda, wanita yang cantik namun keburukan moralnya
diketahui semua orang, wanita yang dianggap sudah tak lagi punya kehormatan.
Seperti Ali, dia berasal dari kalangan Muslim Syi'ah dan suku Hazara. Wanita itu
adalah sepupu Ali, menjadi pilihan tepat secara adat untuk dijadikan pasangan
hidup. Bagaimanapun di luar berbagai kesamaan itu, tidak ada yang bisa
mempersatukan Ali dan Sanaubar, setidaknya begitulah yang terlihat dari
penampilan fisik mereka. Kalau Sanaubar memiliki mata hijau cemerlang dan wajah
menyiratkan kegenitan yang, kata orang, menggoda begitu banyak pria untuk
berbuat dosa, Ali menderita
kelumpuhan bawaan pada otot wajah bagian bawah yang membuatnya tidak bisa
tersenyum, sehingga wajahnya menjadi selalu tampak menyeramkan. Sungguh aneh
melihat wajah-batu Ali menunjukkan kebahagiaan, atau kesedihan, karena hanya
mata cokelatnya saja yang bersinar saat dia seharusnya tersenyum, dan mata itu
berkaca-kaca saat dia bersedih. Kata orang, mata adalah jendela jiwa. Pepatah
itu sungguh tepat ditujukan pada Ali, yang hanya mampu menunjukkan dirinya
melalui kedua matanya. Kudengar cara melenggang dan goyangan pinggul Sanaubar membuat para pria rela
meninggalkan istri mereka. Tetapi penyakit polio yang pernah diderita Ali
membuat kaki kanannya terpilin dan mengecil, hanya kulit yang membalut tulang
dengan lapisan tipis otot di antaranya. Aku mengingat pada suatu hari, saat aku
berumur delapan tahun, Ali mengantar-ku ke pasar untuk membeli naan. Sambil
bersenan-dung, aku berjalan di belakangnya, mencoba meniru caranya berjalan. Aku
memerhatikan cara Ali mengayun kakinya yang kurus dalam gerakan menyapu jalanan,
memerhatikan bagaimana seluruh tubuhnya terangkat ke sebelah kanan setiap kali
dia menapak-kan kakinya yang cacat ke jalan. Melihat Ali yang tak pernah
terjatuh setiap kali melangkah rasanya seperti melihat mukjizat kecil yang
sedang bekerja. Saat aku mencobanya, aku hampir terjatuh ke selokan. Itu
membuatku mengikik. Ali menengok ke belakang, melihatku menirukannya. Dia tidak
mengatakan apa-apa. Tidak saat itu, dan tidak di saat yang lain. Dia hanya terus
berjalan. Wajah dan cara berjalan Ali membuat beberapa anak kecil di lingkungan kami
ketakutan. Namun masalah yang sesungguhnya ditimbulkan oleh anak-anak yang lebih
besar. Mereka mengejar-ngejarnya di jalanan, dan mengolok-oloknya saat dia
berjalan terseok-seok. Beberapa anak memanggilnya Babalu, atau Hantu. "Hei,
Babalu, siapa yang kaumakan hari ini?" teriakan mereka segera disambut derai
tawa. "Siapa yang kau makan, Babalu pesek?"
Mereka menyebutnya "pesek" karena begitulah ciri-ciri fisik Ali dan Hassan,
ciri-ciri kaum Mongol Hazara. Selama bertahun-tahun, hanya hal itulah yang
kuketahui tentang kaum Hazara, bahwa mereka berasal dari keturunan Mongolia, dan
mereka sedikit mirip dengan orang Cina. Mereka hampir tidak pernah disebut-sebut
dalam buku pelajaran sekolah dan kalaupun pernah, hanya asal usul mereka yang
dibahas sambil lalu. Hingga pada suatu hari, saat aku sedang berada di ruang
kerja Baba, mengamati barang-barangnya, aku menemukan sebuah buku sejarah tua
milik ibuku. Buku itu ditulis oleh seorang Iran bernama Khorami. Aku meniup debu
yang menempeli buku itu, dan membawanya ke tempat tidurku pada malam harinya.
Aku terpaku saat membaca sebuah bab yang membahas tentang sejarah kaum Hazara.
Satu bab penuh untuk membahas kaum Hassan! Di dalamnya, aku membaca bahwa
kaumku, kaum Pashtun, telah menindas dan memperlakukan kaum Hazara dengan buruk. Di situ
dikatakan bahwa pada abad ke-19 kaum Hazara pernah mencoba melawan kaum Pashtun,
namun kaum Pashtun telah "menghentikan perlawanan mereka dengan kekerasan yang
tidak terkatakan." Buku itu menjelaskan bahwa kaumku telah membantai bangsa
Hazara, mengusir mereka dari tanah mereka, membakar rumah mereka, dan menjual
para wanitanya. Buku itu menjelaskan bahwa sebagian alasan kaum Pashtun menindas
kaum Hazara adalah karena kaum Pashtun menganut Muslim Sunni, sedangkan kaum
Hazara menganut Muslim Syi'ah. Buku itu menjelaskan banyak hal yang tidak
kuketahui, hal-hal yang tak pernah disebut-sebut oleh guru-guruku. Buku itu juga
menjelaskan tentang beberapa hal yang sudah kuketahui, seperti nama-nama yang
digunakan orang untuk menyebut kaum ini; pemakan-tikus, pesek, keledai
pengangkut-barang. Aku pernah mendengar beberapa anak di lingkungan kami
meneriakkan nama-nama itu pada Hassan.
Minggu berikutnya, setelah sekolah usai, aku memperlihatkan buku itu pada guruku
dan menunjukkan bab yang membahas tentang kaum Hazara. Dia membaca beberapa
halaman sepintas lalu, tertawa mencemooh, dan mengembalikan buku itu padaku.
"Orang Syi'ah memang ahli melakukan satu hal itu," katanya, seraya merapikan
berkas-berkasnya, "memperlakukan diri mereka sendiri layaknya martir." Dia
mengerutkan hidung saat menyebutkan kata Syi'ah, seakan-akan menyebut nama suatu penyakit.
Meskipun Sanaubar dan Ali memiliki latar belakang etnis dan garis keturunan yang
sama, wanita itu mengikuti kelakuan anak-anak tetangganya dalam mengolok-olok
suaminya. Aku pernah mendengar kabar bahwa wanita itu tidak menutup-nutupi
kejijikan-nya terhadap penampilan Ali.
"Seperti ini yang disebut suami?" dia akan mencibir. "Aku pernah melihat keledai
tua yang sepertinya lebih cocok jadi suamiku."
Akhirnya, kebanyakan orang menduga bahwa perkawinan mereka merupakan hasil
perjodohan yang diatur oleh Ali dan pamannya, ayah Sanaubar. Mereka berkata
bahwa Ali harus menikahi sepupunya itu untuk membersihkan nama baik pamannya
yang telah ternoda, meskipun Ali, yang telah menjadi yatim piatu saat berumur
lima tahun, tidak memiliki kekayaan atau harta warisan yang patut dibanggakan.
Ali tak pernah melawan siapa pun yang mencemoohnya, kupikir sebagian karena dia
tak mungkin mengejar mereka dengan menyeret kakinya yang terpilin. Tapi sebagian
besar karena Ali telah memiliki kekebalan terhadap hinaan mereka; dia telah
menemukan sumber kebahagiaannya, penawar racunnya, saat Sanaubar melahirkan
Hassan. Tanpa dokter kandungan, tanpa obat bius, tanpa alat pemonitor yang
mewah. Hanya ada Sanaubar yang terbaring di atas matras telanjang yang penuh
noda dengan Ali dan seorang bidan yang membantunya
melahirkan. Sanaubar tidak membutuhkan pertolongan sama sekali, karena bahkan
saat baru dilahirkan, Hassan telah menunjukkan sifat alaminya: dia tidak mampu
menyakiti orang lain. Beberapa kali mengerang, beberapa kali mengejan, dan
Hassan pun lahir. Dia lahir tersenyum, senyuman yang akan selalu tersungging di
bibirnya. Bidan yang terlalu banyak omong segera bercerita kepada pelayan di rumah
tetangga, dan pelayan itu segera bercerita kepada siapa pun yang mau mendengarnya; Sanaubar hanya memandang sekilas bayi dalam pelukan Ali, melihat bibirnya
yang sumbing dan tertawa pahit.
"Lihat itu," katanya. "Sekarang kamu punya a-nak idiotmu sendiri yang akan
mewakilimu tersenyum!" Dia menolak bahkan untuk menyentuh Hassan, dan hanya lima
hari kemudian, dia meninggalkannya.
Baba mempekerjakan wanita pengasuh yang sama, yang pernah menyusuiku, untuk
merawat Hassan. Ali memberi tahu kami bahwa wanita Hazara pengasuh kami itu
bermata biru dan berasal dari Bamiyan, kota tempat patung-patung Buddha raksasa
berada. "Saat menyanyi, suaranya sangat merdu," itulah yang sering dikatakannya.
Lagu apa yang dia nyanyikan, itulah yang selalu aku dan Hassan tanyakan,
meskipun kami sudah tahu tak terhitung lagi berapa kali Ali memberi tahu kami.
Kami hanya ingin mendengar Ali menyanyi.
Dia akan berdeham dan mulai menyanyi:
Di gunung yang tinggi aku berdiri, Dan memanggil nama Ali, Singa Tuhan. Oh Ali,
Singa Tuhan, Raja Manusia, Bawalah kebahagiaan pada jiwa yang penuh duka.
Lalu dia akan mengingatkan kami tentang ikatan persaudaraan bagi orang-orang
satu susuan, ikatan persaudaraan yang tak akan bisa diputuskan, bahkan oleh
waktu. Aku dan Hassan menyusu dari payudara yang sama. Kami mengambil langkah pertama
di tanah pada halaman yang sama. Dan, di bawah atap yang sama, kami mengucapkan
kata pertama kami. Kata pertamaku adalah Baba.
Kata pertamanya adalah Amir. Namaku.
Saat ini, saat aku mengingat semua itu, aku berpikir bahwa hal yang mendasari
kejadian musim dingin 1975 itu dan semua hal yang mengikutinya telah dimulai
sejak kata-kata pertama kami diucapkan.
Dua Cl^ng-orang berkata, ayahku pernah berkelahi
hanya dengan tangan kosong melawan seekor beruang di Balukistan. Kalau saja
tentang orang lain, cerita itu pasti sudah dianggap laaf, kecenderungan orang
Afghan untuk membesar-besarkan cerita yang sayangnya, sudah menjadi kebiasaan
penduduk negeri ini. Jika seseorang mengatakan bahwa anaknya adalah seorang
dokter, kemungkinannya anak itu hanya pernah lulus ujian biologi di SMA. Tapi
tak ada seorang pun yang meragukan kebenaran cerita tentang Baba. Kalaupun
mereka meragukannya, ya, Baba memang memiliki tiga bekas luka panjang dan
bergerigi yang berjajar di punggungnya. Tak terhitung berapa kali aku
membayangkan Baba bergulat dengan beruang, bahkan aku pernah memimpikannya. Dan
dalam mimpi itu, aku tak per-nah bisa membedakan Baba dengan beruang.
Rahim Khanlah yang pertama kali memberikan julukan pada Baba, Toophan agha, atau
"Tuan Topan", nama yang begitu melekat pada Baba. Julukan itu cukup sesuai
untuknya. Ayahku bagaikan kekuatan alam, pria Pashtun berjenggot
tebal dengan tinggi menjulang, rambut cokelat tebalnya yang ikal dan acak-acakan
seolah-olah menunjukkan sifatnya yang tak suka terikat peraturan, dua belah
tangan yang tampaknya mampu mencabut pohon willow hingga ke akar-akarnya, dan
tatapan mata hitamnya yang tajam, yang kata Rahim Khan akan "membuat setan
bertekuk lutut memohon pengampunan." Di pesta-pesta, saat tubuhnya, yang
setinggi hampir dua meter menyeruak masuk ke dalam ruangan, seluruh perhatian
akan tertuju padanya, wajah-wajah berpaling bagaikan kuntum bunga matahari yang
berpaling pada sang surya.
Tidak mungkin mengabaikan Baba, bahkan saat dia sedang tidur. Aku biasa
menyumpalkan gumpalan kapas ke telingaku, menarik selimut hingga menutupi
kepalaku, dan tetap saja dengkuran Baba yang mirip dengan raungan mesin truk
menembus dinding. Pada hal kamarku berseberangan dengan kamar Baba. Bagaimana
ibuku bisa terlelap saat sekamar dengannya, masih merupakan misteri bagiku. Hal
itu berada dalam daftar panjang tentang hal-hal yang ingin kutanyakan pada ibuku
seandainya aku pernah bertemu dengannya.
Di akhir 1960-an, saat aku berumur lima atau enam tahun, Baba memutuskan untuk
mendirikan sebuah panti asuhan. Aku mendengar cerita ini dari Rahim Khan.
Katanya, Baba menggambar sendiri cetak biru tempat itu, meskipun dia sama sekali
tidak memiliki pengalaman di bidang arsitektur. Mereka yang menyangsikan upaya
Baba mendorongnya untuk berhenti meneruskan tindakan bodoh itu dan menyewa
arsitek sungguhan. Tentu saja ayahku menolak, dan mereka pun menggelenggelengkan kepala karena kecewa dengan sikap Baba yang keras kepala. Lalu Baba
berhasil, dan mereka pun menggeleng-gelengkan kepala mengagumi kehebatannya.
Baba menanggung sendiri biaya pembangunan panti asuhan berlantai dua yang
terletak di dekat jalan utama Jadeh Maywand di sebelah selatan Sungai Kabul itu.
Kata Rahim Khan, Baba membayar sendiri keseluruhan proyek itu, mulai dari
membayar para insinyur, para ahli listrik, para ahli pipa, para buruh, hingga
para pejabat kota yang "kumisnya harus diminyaki."
Butuh waktu tiga tahun untuk mendirikan panti asuhan itu. Saat itu umurku
delapan tahun. Aku ingat, sehari sebelum hari pembukaan tempat itu, Baba
membawaku ke Danau Gargha, beberapa kilometer di sebelah utara Kabul. Dia
menyuruhku mengajak Hassan, namun aku berbohong padanya dengan mengatakan bahwa
Hassan harus menyelesaikan tugasnya. Aku tak ingin membagi Baba dengan orang


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain. Lagi pula, saat sebelumnya aku dan Hassan pergi ke Danau Gargha dan
mengadu keahlian kami memantulkan batu di permukaan danau, Hassan bisa
memantulkan batunya sebanyak delapan kali. Aku hanya bisa memantulkannya lima
kali. Baba ada di sana, melihatnya, dan dia menepuk-nepuk punggung Hassan. Dia
bahkan merangkulnya. Kami duduk di meja piknik di tepi danau, hanya
aku dan Baba, menyantap telur rebus dengan roti berlapis tofta-bola-bola daging
dan acar yang dibungkus dalam lembaran naan. Cahaya matahari berkilauan di
permukaan air yang berwarna biru tua dan sejernih kaca. Pada hari Jumat, danau
itu dipenuhi oleh keluarga yang ingin menikmati hari cerah di bawah sinar
matahatri. Tapi saat itu bukan akhir pekan, hanya ada aku dan Baba, serta dua
orang turis berjenggot dan berambut panjang setahuku, mereka disebut hippies.
Mereka duduk di galangan, kaki mereka tercelup ke air, dan di tangan mereka
terdapat tongkat pancing. Aku bertanya pada Baba, mengapa mereka memanjangkan
rambut mereka, namun Baba hanya mendesah tidak menjawab. Dia sedang menyiapkan
pidato untuk keesokan harinya, membalik-balik halaman buku yang penuh coretan
tangannya, membuat catatan di sana-sini dengan pensilnya. Aku menggigit telurku
dan bertanya pada Baba, benarkah kata seorang anak di sekolah, bahwa kalau kita
memakan kulit telur, kita akan mengeluarkannya saat kencing. Baba kembali
mendesah. Aku menggigit roti lapisku. Salah satu turis yang berambut kuning tertawa dan
menepuk punggung temannya. Di kejauhan, di seberang danau, sebuah truk membelok
perlahan ke balik bukit. Sinar matahari terpantul pada kaca spionnya.
"Sepertinya aku kena saratan," kataku. Kanker. Baba mengangkat kepalanya dari
balik buku yang halaman-halamannya dipermainkan angin. Dia bilang aku sebaiknya
mengambil soda sendiri, aku
hanya harus mencarinya di bagasi mobil.
Keesokan harinya, di pelataran panti asuhan, mereka kehabisan kursi. Banyak tamu
yang harus berdiri ketika mengikuti upacara pembukaan itu. Saat itu cuaca
berangin, dan aku duduk di belakang Baba yang sedang berdiri di podium kecil
dekat pintu masuk utama gedung itu. Baba mengenakan setelan hijau dan topi yang
terbuat dari bulu domba karaku/. Saat dia tengah berpidato, angin menerpa
topinya hingga lepas, dan semua orang tertawa. Dia memberi tanda padaku untuk
menjaga topinya, dan aku merasa sangat senang, karena dengan begitu, semua orang
akan tahu bahwa pria itu adalah ayahku. Rabaku. Dia kembali berbicara dengan
pengeras suara dan berkata bahwa dia berharap gedung itu akan lebih kuat
daripada topinya, dan semua orang tertawa untuk kedua kalinya. Saat Baba
mengakhiri pidatonya, semua orang berdiri dan memberinya selamat. Mereka
bertepuk tangan begitu lama. Setelah itu para tamu menyalaminya. Beberapa dari
mereka mengacak rambutku dan menyalamiku juga. Aku sangat bangga pada Baba, pada
kami. Tapi meskipun keberhasilan Baba telah terbukti, orang-orang masih saja
meragukannya. Mereka berkata pada Baba bahwa menjalankan bisnis tidaklah ada
dalam darahnya dan dia seharusnya mempelajari hukum seperti ayahnya. Baba pun
membuktikan pada mereka semua bahwa dia tidak saja berhasil menjalankan
bisnisnya, namun dia pun berhasil menjadi pedagang terkaya di Kabul. Baba
dan Rahim Khan membangun bisnis eksport karpet yang sangat sukses, dua toko
obat, dan satu restoran. Saat semua orang merasa ragu bahwa Baba akan memiliki kehidupan rumah tangga
yang baik lagi pula, dia tidak memiliki darah bangsawan dia menikahi ibuku,
Sofia Akrami, wanita berpendidikan tinggi yang diakui publik sebagai salah satu
wanita terpandang, tercantik, dan terhormat di Kabul. Ibuku tidak hanya mengajar
sastra Farsi klasik di universitas, namun juga keturunan langsung keluarga
kerajaan. Ayahku memanfaatkan kenyataan ini untuk mengejek mereka yang
menyangsikannya; dia selalu memanggil ibuku dengan sebutan "Sang Putri."
Ayahku dapat membentuk dunia di sekitarnya menjadi sesuai dengan apa yang
diinginkannya, kecuali aku, sebuah perkecualian yang mencolok. Masalahnya, tentu
saja, Baba melihat dunia ini dengan sudut pandang hitam putih. Dan dia harus
menentukan mana yang hitam dan mana yang putih. Kita tak akan mungkin mencintai
seseorang yang hidup dengan pandangan seperti ini tanpa merasa takut padanya.
Bahkan mungkin sedikit membencinya.
Saat aku duduk di kelas lima, kami memiliki guru agama yang mengajarkan tentang
Islam. Namanya Mullah Fatiullah Khan, pria pendek dan gempal bersuara serak,
dengan wajah dipenuhi bekas jerawat. Dia mengajarkan pada kami manfaat berzakat
dan kewajiban menunaikan ibadah haji; dia
mengajarkan pada kami keutamaan menjalankan shalat lima waktu, dan menyuruh kami
menghafalkan ayat-ayat Al-Quran meskipun dia tak pernah menerjemahkannya untuk
kami, dia menekankan, kadang-kadang dengan bantuan ranting pohon willow yang
sudah dihaluskan, bahwa kami harus membaca ayat-ayat berbahasa Arab itu dengan
benar supaya Tuhan mendengar kami lebih jelas. Suatu hari dia memberi tahu kami
bahwa dalam Islam, meminum minuman keras termasuk dalam dosa besar; para peminum
akan menebus dosa mereka saat hari Kiamat, Hari Pembalasan. Saat itu, meminum
minuman keras adalah hal biasa di Kabul. Tetapi, meskipun di Afghanistan para
peminum tidak dihukum cambuk di depan umum, mereka melakukannya dengan sembunyisembunyi, karena alasan kehormatan. Mereka membeli scotch yang terbungkus dalam
kantong kertas berwarna cokelat di "toko obat" tertentu yang menjual "obat"
khusus. Mereka akan meninggalkan toko itu sambil berusaha menyembunyikan
kantongnya, kadang-kadang mengundang perhatian dan pandangan tak senang dari
mereka yang mengetahui reputasi buruk toko itu.
Saat aku berada di lantai atas, di ruang kerja Baba, ruang merokok, aku
memberitahukan padanya hal-hal yang diajarkan Mullah Fatiullah Khan di kelas.
Baba sedang menuangkan wiski yang diambilnya dari bar di sudut ruangan. Dia
mendengarkanku, mengangguk, menyesap minumannya. Lalu dia duduk di atas sofa
kulit, meletakkan minumannya, dan mengangkatku ke pangkuannya. Aku merasa seperti sedang duduk di
atas cabang pohon. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya lewat hidung,
udara yang melewati kumisnya menimbulkan suara desisan yang rasanya akan
terdengar selamanya. Aku tidak bisa memutuskan, apakah aku ingin memeluknya atau
beranjak dari pangkuannya karena ketakutan.
"Kurasa pelajaran yang kau terima di sekolah dan hal-hal yang kaudapati di
kehidupan nyata membuatmu bingung," katanya dengan suara berat.
"Tapi kalau kata guruku itu benar, apakah berarti Baba seorang pendosa?"
"Hmm." Baba mengunyah sebongkah kecil es batu. "Kau ingin tahu pendapat ayahmu
tentang dosa?" "Ya." "Kalau begitu, aku akan memberitahumu," kata Baba, "tapi sebelumnya pahamilah
ini terlebih dahulu, Amir: Kau tak akan pernah belajar hal-hal yang berguna dari
para idiot berjenggot itu."
"Maksud Baba dari Mullah Fatiullah Khan?"
Baba memberi isyarat dengan gelasnya. Es di dalam - nya bergemerincing. "Maksudku
mereka semua. Rasanya aku ingin mengencingi jenggot semua monyet sok tahu itu."
Aku tergelak. Bayangan Baba mengencingi jenggot monyet, baik yang sok tahu
ataupun tidak, terasa berlebihan.
"Mereka tidak melakukan apa-apa kecuali menghitung butiran tasbih dan memamerkan
hafalan isi buku yang ditulis dalam bahasa yang tidak mereka pahami." Dia menyesap
minumannya. "Kuharap Tuhan melindungi kita semua jika suatu saat nanti
Afghanistan jatuh ke tangan mereka."
"Tapi Mullah Fatiullah Khan sepertinya orang baik," aku berkata di sela-sela
gelak tawaku. "Genghis Khan juga sepertinya orang baik," kata Baba. "Tapi cukup. Kamu
menanyakan tentang dosa, dan aku akan memberitahumu. Kamu mendengarkan?"
"Ya," kataku seraya mengatupkan bibir. Namun gelak tawaku lolos melalui lubang
hidung dan menimbulkan suara dengkur. Aku pun mengikik lagi.
Mata Baba yang tajam menatapku dan, seketika itu, aku pun tak ingin tertawa
lagi. "Kita berbicara antara pria dengan pria. Kau bisa kupercaya, kan?"
"Ya, Baba jan," aku bergumam, terkejut, meskipun bukan untuk pertama kalinya,
pada keahlian Baba menyengatku dengan hanya sedikit kata-kata. Kami sedang
berada dalam saat yang berharga-Baba jarang berbicara padaku, apalagi dengan aku
duduk di pangkuannya dan sangat bodoh bagiku jika menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Bagus," kata Baba, pandangannya menyapu ruangan. "Baiklah, apa pun yang
diajarkan mullah itu padamu, hanya ada satu macam dosa, hanya satu. Yaitu
mencuri. Dosa-dosa yang lain adalah variasi dari dosa itu. Kau paham?"
"Tidak, Baba jan," kataku, setengah mati berharap aku paham. Aku tidak ingin
mengecewakannya lagi. Baba menghela napas tidak sabar. Itu juga menyengatku, karena sebenarnya Baba
adalah pria yang sabar. Aku mengingat saat-saat aku harus makan malam sendiri
karena Baba belum pulang hingga hari gelap. Aku bertanya kepada Ali, ke mana
Baba pergi, kapan dia pulang, meskipun aku tahu pasti bahwa dia sedang berada di
lahan konstruksi, mengawasi satu hal, menyelia yang lain. Bukankah pekerjaan itu
membutuhkan kesabaran" Aku membenci semua anak yatim piatu yang akan menghuni
panti asuhan itu; terkadang aku berharap mereka semua mati bersama orangtua
mereka. "Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya," kata Baba. "Kau
mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya.
Kalau kau menipu, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau
kau berbuat curang, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan keadilan.
Mengerti?" Aku mengerti. Saat Baba berumur enam tahun, seorang pencuri menyusup ke kamarnya
di tengah malam. Kakekku, seorang hakim yang terhormat, menghadapi pencuri itu,
namun si pencuri menusukkan pisau ke tenggorokannya, membunuhnya seketika
merampok seorang ayah dari kehidupan Baba. Penduduk kota menangkap pencuri itu
sebelum siang menjelang; ternyata pria itu adalah seorang pengembara dari
wilayah Kunduz. Mereka menggantungnya pada cabang pohon ek,
hanya dua jam sebelum waktu zuhur tiba. Rahim Khan, bukan Baba, yang
menceritakan hal ini padaku. Aku selalu mendengar cerita tentang Baba dari orang
lain. "Tak ada tindakan yang lebih buruk daripada mencuri, Amir," kata Baba. "Orang
yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, baik itu kehidupan orang lain ataupun
sepotong naan .... Aku mengutuk mereka. Dan kalau aku berpapasan dengan mereka,
semoga Tuhan melindungi mereka. Kau mengerti?"
"Ya, Baba." Bayangan Baba menghajar seorang pencuri membuatku tertarik namun
juga begitu menakutkan. "Jika Tuhan memerhatikan kehidupan kita, kuharap Dia lebih mementingkan hal-hal
selain kesukaanku minum scotch dan makan daging babi. Sekarang, turunlah.
Membicarakan tentang dosa membuatku haus lagi."
Aku mengawasi Baba saat dia berdiri di bar dan mengisi penuh gelasnya, dan
berpikir, berapa lama lagi hingga kami bisa bercakap-cakap seperti yang kami
lakukan sesaat yang lalu. Karena sebenarnya, aku selalu merasa bahwa Baba
sedikit membenciku. Dan mengapa tidak" Lagi pula, bukankah aku telah membunuh
istri tercintanya, putri cantiknya" Setidaknya, yang bisa kulakukan adalah lebih
bersikap seperti Baba. Tapi aku tidak tumbuh menjadi seperti Baba. Tidak sama
sekali. Di sekolah, kami biasa bermain Sherngaji, atau "Adu Puisi." Permainan ini
dipimpin oleh guru bahasa Farsi dan peraturannya seperti ini: Kau menyebutkan
satu bait puisi dan lawanmu diberi waktu 60 detik untuk membalas dengan
menyebutkan satu bait puisi lain yang huruf pertamanya sama dengan huruf
terakhir dari bait yang kausebutkan. Seluruh anak di kelasku ingin berada dalam
satu tim denganku, karena meskipun saat itu umurku baru 11 tahun, aku bisa
melafalkan lusinan bait-bait puisi dari Khayyam, Hafez, atau puisi termasyhur
karya Rumi, Masnawi. Suatu ketika, aku melawan seluruh anak di kelasku dan
memenangi permainan itu. Malamnya, aku memberi tahu Baba, namun dia hanya
menganggukkan kepala dan bergumam, "Bagus."
Aku melarikan diri dari sikap acuh tak acuh ayahku pada buku-buku koleksi ibuku
yang telah meninggal. Buku-buku dan Hassan, tentunya. Aku membaca segalanya,
Rumi, Hafez, Saadi, Victor Hugo, Jules Verne, Mark Twain, dan Ian Fleming. Saat
aku selesai membaca semua buku itu tentu saja tidak termasuk buku-buku sejarah
yang membosankan, karena aku tak pernah berminat pada jenis buku itu; aku suka
membaca novel-novel dan kisah-kisah epik-aku mulai membelanjakan uang sakuku
untuk membeli buku. Aku membeli satu buku setiap minggu di toko buku dekat
Cinema Park, dan menyimpan buku-buku itu di kardus setelah rak bukuku penuh.
Tentu saja, bagi ayahku, menikahi seorang
penyair adalah satu hal, tapi menjadi ayah dari seorang anak laki-laki yang
lebih suka membenamkan wajahnya pada buku-buku puisi daripada pergi berburu ...
kupikir, Baba tak pernah membayangkannya. Pria sejati tidak membaca puisi dan
tentu saja mereka tak pernah menulisnya! Pria sejati anak laki-laki sejati
bermain sepak bola, seperti Baba saat masih muda. Nah, hal-hal semacam itulah
yang seharusnya kuminati. Pada 1970, Baba beristirahat sejenak dari pembangunan
panti asuhan dan terbang ke Teheran selama sebulan untuk menyaksikan siaran
pertandingan Piala Dunia sepak bola di televisi, karena pada saat itu belum
terdapat stasiun televisi di Afghanistan. Dia mendaftarkanku masuk tim sepak
bola untuk menumbuhkan minatku pada olahraga ini. Tapi aku adalah pemain yang
menyedihkan, penyebab berbagai kesalahan bodoh yang merugikan timku, selalu
menghalangi jalan saat pemain yang berpeluang memasukkan gol lewat, atau dengan
kikuk menghalangi peluang yang terbuka. Aku menyeret kakiku yang kurus kering
berkeliling lapangan, berteriak-teriak meminta umpan yang tak pernah diberikan
padaku. Semakin keras aku mencoba, melambai-lambaikan tanganku tinggi-tinggi dan
berteriak-teriak dengan liar, "Aku bebas! Aku bebas!" anggota timku semakin
mengabaikanku. Tapi, Baba tidak mau menyerah. Saat sudah terlihat jelas bahwa
aku tidak mewarisi secuil pun bakat atletiknya, dia mulai mencoba mengarahkanku
menjadi seorang pengamat olahraga yang bersemangat. Tentu saja ini mudah bagiku,
bukan" Aku hanya perlu pura-pura menyukainya selama yang kumampu. Aku ikut
bersorak bersamanya saat tim Kabul mengalahkan Kandahar dan mengecam wasit saat
dia menghadiahkan tendangan penalti untuk musuh kami. Namun Baba dapat merasakan
bahwa sebenarnya aku tidak benar-benar tertarik dan akhirnya menyerah pada
kenyataan menyedihkan, bahwa putranya tak akan pernah bermain ataupun menjadi
pengamat sepak bola. Aku ingat, suatu ketika Baba mengajakku menonton turnamen tahunan Buzkashi yang
diadakan pada hari pertama musim semi, yang bertepatan dengan Hari Tahun Baru.
Buzkashi saat itu, meskipun sekarang pun masih, adalah hari perayaan nasional di
Afgahnistan. Seorang chapandaz, penunggang kuda yang sangat ahli, yang biasanya
disponsori oleh pencinta olahraga kaya, harus memisahkan bangkai seekor kambing
atau hewan ternak lainnya dari tengah-tengah gerombolan manusia, membawa bangkai
itu berkeliling stadion sambil menunggang kuda dengan kecepatan tinggi, dan
menjatuhkannya dalam lingkaran nilai, sementara tim lawannya yang beranggotakan
chapandaz lain mengejarnya dan melakukan apa pun sebisa mereka-menendang,
mencakar, menyabet, atau memukul untuk merebut bangkai itu darinya. Hari itu,
penonton yang berjubel bersorak-sorai kegirangan saat para penunggang kuda yang
berada di lapangan meneriakkan yel-yel pertarungan dan saling mendorong untuk
memperebutkan bangkai yang tergeletak di tengah-tengah lautan debu. Bumi bergetar karena
hentakan kaki kuda. Kami menyaksikan dari bangku di bagian atas saat para
penunggang berderap dengan kecepatan tinggi, melolong dan bersorak, busa
memuncrat dari mulut kuda-kuda yang mereka tung-gangi.
Tiba-tiba Baba menunjuk pada seseorang. "A-mir, kau lihat pria yang duduk
dikelilingi orang di sana itu?"
Aku melihatnya. "Dia Henry Kissinger."
"Oh," kataku. Aku tidak tahu siapa itu Henry Kissinger, dan seharusnya aku
menanyakannya pada Baba. Tetapi saat itu, aku melihat dengan penuh ketakutan
saat seorang chapandaz terjatuh dari pelana-nya dan terinjak-injak, entah berapa
kali, oleh berekor-ekor kuda yang sedang berlaga. Tubuhnya terlempar dan
terseret di tengah-tengah permainan itu bagaikan boneka kain, dan tergulingguling hingga akhirnya berhenti bergerak saat kerumunan itu bergerak ke arah
lain. Pria itu mengejang lalu diam tak bergerak, kakinya menekuk dengan posisi
aneh, genangan darahnya membasahi pasir.
Aku mulai menangis. Aku menangis di sepanjang jalan menuju rumah. Aku ingat tangan Baba yang
mencengkeram setir. Mencengkeram lalu melepaskannya. Yang paling utama, aku
tidak akan pernah bisa melupakan usaha keras Baba untuk menutupi ekspresi jijik
di wajahnya seraya mengemudi dalam diam.
Lalu malam itu, saat aku melewati ruang kerja Baba, aku mendengarnya berbicara
dengan Rahim Khan. Aku menempelkan telingaku ke pintu.
"bersyukur karena dia sehat," kata Rahim Khan.
"Aku tahu, aku tahu. Tapi dia selalu berada di tengah timbunan buku atau
bergentayangan dalam rumah seperti sedang terhanyut dalam mimpi."
"Dan?" "Aku dulu tidak seperti itu," Baba terdengar putus asa, hampir-hampir marah.
Rahim Khan tertawa. "Anak-anak bukanlah buku mewarnai. Kau tak bisa begitu saja
mengisi mereka dengan warna-warna kesukaanmu."


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kuberi tahu kau," kata Baba, "aku sama sekali tidak seperti itu, begitu juga
anak-anak yang tumbuh bersamaku."
"Kau tahu, kadang-kadang kau menjadi orang paling egois yang pernah kukenal,"
kata Rahim Khan, satu-satunya orang yang kukenal, yang mampu mengucapkan hal
semacam ini pada Baba. "Itu tak ada hubungannya dengan ini."
"Tidak"1 "Tidak." "Lalu apa?" Aku mendengar bahan kulit yang diduduki Baba bersuara saat Baba memindahkan
tubuhnya. Aku menutup mataku, makin merapatkan telingaku ke pintu, ingin
mendengar sekaligus tak ingin. "Kadang-kadang aku memandang ke luar melalui
jendela ini dan melihatnya bermain di jalanan dengan
anak-anak tetangga. Aku melihat bagaimana mereka mempermainkannya, merebut
mainannya, mendorong-dorongnya, memukulnya. Dan, kau tahu, dia tak pernah
melawan. Tidak pernah. Dia hanya ... menundukkan kepalanya dan
"Jadi, dia bukan anak yang kasar," kata Rahim Khan.
"Bukan itu maksudku, Rahim, kau tahu itu," suara Baba meninggi. "Ada yang hilang
dalam diri anak itu."
"Ya, nafsu mengejami orang lain."
"Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu
terjadi kalau anak-anak tetangga mengganggunya" Hassan mengambil alih dan
melindunginya dari mereka. Aku pernah me - lihatnya dengan mataku sendiri. Dan
saat mereka pulang, aku bertanya padanya, 'Bagaimana wajah Hassan bisa sampai
terluka"1 Lalu dia bilang, 'Dia jatuh.' Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang
dalam diri anak itu."
"Sebaiknya kau biarkan saja dia menemukan jalannya sendiri," ujar Rahim Khan.
"Jalan menuju ke mana?" kata Baba. "Seorang anak laki-laki yang tak mampu
membela dirinya sendiri akan tumbuh menjadi pria yang tak mampu menghadapi
masalah apa pun." "Kau menyepelekan, seperti biasa."
"Aku tidak menyepelekan." "Kau marah karena kau takut dia nanti tak i-ngin
mengambil alih bisnismu."
"Sekarang, siapa yang menyepelekan?" kata
Baba. "Dengar, aku tahu kalian saling menyayangi dan aku bahagia karenanya. Aku
cemburu tapi aku bahagia. Aku serius. Dia membutuhkan seseorang yang ...
memahaminya, karena Tuhan tahu, aku tidak memahaminya. Tapi ada sesuatu dalam
diri Amir, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, yang
mencemaskanku. Sepertinya Aku bisa membayangkan Baba mencari-cari kata yang
tepat. Dia merendahkan suaranya, tapi aku masih bisa mendengarnya. "Kalau saja
aku tidak melihat dengan mataku sendiri saat dokter mengeluarkannya dari tubuh
istriku, aku tak akan percaya bahwa dia adalah putraku."
Keesokan paginya, saat menyiapkan sarapanku, Hassan menanyakan adakah hal yang
membuatku terganggu. Aku membentaknya, mengatakan padanya bahwa ini bukanlah
urusannya. Rahim Khan salah. Aku memiliki nafsu mengejami orang lain.
Tiga Cl^ng-orang berkata, ayahku pernah berkelahi
hanya dengan tangan kosong melawan seekor beruang di Balukistan. Kalau saja
tentang orang lain, cerita itu pasti sudah dianggap laaf, kecenderungan orang
Afghan untuk membesar-besarkan cerita yang sayangnya, sudah menjadi kebiasaan
penduduk negeri ini. Jika seseorang mengatakan bahwa anaknya adalah seorang
dokter, kemungkinannya anak itu hanya pernah lulus ujian biologi di SMA. Tapi
tak ada seorang pun yang meragukan kebenaran cerita tentang Baba. Kalaupun
mereka meragukannya, ya, Baba memang memiliki tiga bekas luka panjang dan
bergerigi yang berjajar di punggungnya. Tak terhitung berapa kali aku
membayangkan Baba bergulat dengan beruang, bahkan aku pernah memimpikannya. Dan
dalam mimpi itu, aku tak pernah bisa membedakan Baba dengan beruang.
Rahim Khanlah yang pertama kali memberikan julukan pada Baba, Toophan agha, atau
"Tuan Topan", nama yang begitu melekat pada Baba. Julukan itu cukup sesuai
untuknya. Ayahku bagaikan kekuatan alam, pria Pashtun berjenggot
tebal dengan tinggi menjulang, rambut cokelat tebalnya yang ikal dan acak-acakan
se-olah-olah menunjukkan sifatnya yang tak suka terikat peraturan, dua belah
tangan yang tampaknya mampu mencabut pohon willow hingga ke akar-akarnya, dan
tatapan mata hitamnya yang tajam, yang kata Rahim Khan akan "membuat setan
bertekuk lutut memohon pengampunan." Di pesta-pesta, saat tubuhnya, yang
setinggi hampir dua meter menyeruak masuk ke dalam ruangan, seluruh perhatian
akan tertuju padanya, wajah-wajah berpaling bagaikan kuntum bunga matahari yang
berpaling pada sang surya.
Tidak mungkin mengabaikan Baba, bahkan saat dia sedang tidur. Aku biasa
menyumpalkan gumpalan kapas ke telingaku, menarik selimut hingga menutupi
kepalaku, dan tetap saja dengkuran Baba yang mirip dengan raungan mesin trukmenembus dinding. Pada hal kamarku berseberangan dengan kamar Baba. Bagaimana
ibuku bisa terlelap saat sekamar dengannya, masih merupakan misteri bagiku. Hal
itu berada dalam daftar panjang tentang hal-hal yang ingin kutanyakan pada ibuku
seandainya aku pernah bertemu dengannya.
Di akhir 1960-an, saat aku berumur lima atau enam tahun, Baba memutuskan untuk
mendirikan sebuah panti asuhan. Aku mendengar cerita ini dari Rahim Khan.
Katanya, Baba menggambar sendiri cetak biru tempat itu, meskipun dia sama sekali
tidak memiliki pengalaman di bidang arsitektur. Mereka yang menyangsikan upaya
Baba mendorongnya untuk berhenti meneruskan tindakan bodoh itu dan menyewa
arsitek sungguhan. Tentu saja ayahku menolak, dan mereka pun menggelenggelengkan kepala karena kecewa dengan sikap Baba yang keras kepala. Lalu Baba
berhasil, dan mereka pun menggeleng-gelengkan kepala mengagumi kehebatannya.
Baba menanggung sendiri biaya pembangunan panti asuhan berlantai dua yang
terletak di dekat jalan utama Jadeh Maywand di sebelah selatan Sungai Kabul itu.
Kata Rahim Khan, Baba membayar sendiri keseluruhan proyek itu, mulai dari
membayar para insinyur, para ahli listrik, para ahli pipa, para buruh, hingga
para pejabat kota yang "kumisnya harus diminyaki."
Butuh waktu tiga tahun untuk mendirikan panti asuhan itu. Saat itu umurku
delapan tahun. Aku ingat, sehari sebelum hari pembukaan tempat itu, Baba
membawaku ke Danau Gargha, beberapa kilometer di sebelah utara Kabul. Dia
menyuruhku mengajak Hassan, namun aku berbohong padanya dengan mengatakan bahwa
Hassan harus menyelesaikan tugasnya. Aku tak ingin membagi Baba dengan orang
lain. Lagi pula, saat sebelumnya aku dan Hassan pergi ke Danau Gargha dan
mengadu keahlian kami memantulkan batu di permukaan danau, Hassan bisa
memantulkan batunya sebanyak delapan kali. Aku hanya bisa memantulkannya lima
kali. Baba ada di sana, melihatnya, dan dia menepuk-nepuk punggung Hassan. Dia
bahkan merangkulnya. Kami duduk di meja piknik di tepi danau, hanya
aku dan Baba, menyantap telur rebus dengan roti berlapis kofta bola-bola daging
dan acar yang dibungkus dalam lembaran naan. Cahaya matahari berkilauan di
permukaan air yang berwarna biru tua dan sejernih kaca. Pada hari Jumat, danau
itu dipenuhi oleh keluarga yang ingin menikmati hari cerah di bawah sinar
matahari. Tapi saat itu bukan akhir pekan, hanya ada aku dan Baba, serta dua
orang turis berjenggot dan berambut panjang setahuku, mereka disebut hippies.
Mereka duduk di galangan, kaki mereka tercelup ke air, dan di tangan mereka
terdapat tongkat pancing. Aku bertanya pada Baba, mengapa mereka memanjangkan
rambut mereka, namun Baba hanya mendesah tidak menjawab. Dia sedang menyiapkan
pidato untuk keesokan harinya, membalik-balik halaman buku yang penuh coretan
tangannya, membuat catatan di sana-sini dengan pensilnya. Aku menggigit telurku
dan bertanya pada Baba, benarkah kata seorang anak di sekolah, bahwa kalau kita
memakan kulit telur, kita akan mengeluarkannya saat kencing. Baba kembali
mendesah. Aku menggigit roti lapisku. Salah satu turis yang berambut kuning tertawa dan
menepuk punggung temannya. Di kejauhan, di seberang danau, sebuah truk membelok
perlahan ke balik bukit. Sinar matahari terpantul pada kaca spionnya.
"Sepertinya aku kena saratan," kataku. Kanker. Baba mengangkat kepalanya dari
balik buku yang halaman-halamannya dipermainkan angin. Dia bilang aku sebaiknya
mengambil soda sendiri, aku hanya
harus mencarinya di bagasi mobil.
Keesokan harinya, di pelataran panti asuhan, mereka kehabisan kursi. Banyak tamu
yang harus berdiri ketika mengikuti upacara pembukaan itu. Saat itu cuaca
berangin, dan aku duduk di belakang Baba yang sedang berdiri di podium kecil
dekat pintu masuk utama gedung itu. Baba mengenakan setelan hijau dan topi yang
terbuat dari bulu domba karaku/. Saat dia tengah berpidato, angin menerpa
topinya hingga lepas, dan semua orang tertawa. Dia memberi tanda padaku untuk
menjaga topinya, dan aku merasa sangat senang, karena dengan begitu, semua orang
akan tahu bahwa pria itu adalah ayahku. Rabaku. Dia kembali berbicara dengan
pengeras suara dan berkata bahwa dia berharap gedung itu akan lebih kuat
daripada topinya, dan semua orang tertawa untuk kedua kalinya. Saat Baba
mengakhiri pidatonya, semua orang berdiri dan memberinya selamat. Mereka
bertepuk tangan begitu lama. Setelah itu para tamu menyalaminya. Beberapa dari
mereka mengacak rambutku dan menyalamiku juga. Aku sangat bangga pada Baba, pada
kami. Tapi meskipun keberhasilan Baba telah terbukti, orang-orang masih saja
meragukannya. Mereka berkata pada Baba bahwa menjalankan bisnis tidaklah ada
dalam darahnya dan dia seharusnya mempelajari hukum seperti ayahnya. Baba pun
membuktikan pada mereka semua bahwa dia tidak saja berhasil menjalankan
bisnisnya, namun dia pun berhasil menjadi pedagang terkaya di Kabul. Baba
dan Rahim Khan membangun bisnis eksport karpet yang sangat sukses, dua toko
obat, dan satu restoran. Saat semua orang merasa ragu bahwa Baba akan memiliki kehidupan rumah tangga
yang baik lagi pula, dia tidak memiliki darah bangsawan dia menikahi ibuku,
Sofia Akrami, wanita berpendidikan tinggi yang diakui publik sebagai salah satu
wanita terpandang, tercantik, dan terhormat di Kabul. Ibuku tidak hanya mengajar
sastra Farsi klasik di universitas, namun juga keturunan langsung keluarga
kerajaan. Ayahku memanfaatkan kenyataan ini untuk mengejek mereka yang
menyangsikannya; dia selalu memanggil ibuku dengan sebutan "Sang Putri."
Ayahku dapat membentuk dunia di sekitarnya menjadi sesuai dengan apa yang
diinginkannya, kecuali aku, sebuah perkecualian yang mencolok. Masalahnya, tentu
saja, Baba melihat dunia ini dengan sudut pandang hitam putih. Dan dia harus
menentukan mana yang hitam dan mana yang putih. Kita tak akan mungkin mencintai
seseorang yang hidup dengan pandangan seperti ini tanpa merasa takut padanya.
Bahkan mungkin sedikit membencinya.
Saat aku duduk di kelas lima, kami memiliki guru agama yang mengajarkan tentang
Islam. Namanya Mullah Fatiullah Khan, pria pendek dan gempal bersuara serak,
dengan wajah dipenuhi bekas jerawat. Dia mengajarkan pada kami manfaat berzakat
dan kewajiban menunaikan ibadah haji; dia mengajarkan pada kami keutamaan
menjalankan shalat lima waktu, dan menyuruh kami menghafalkan ayat-ayat Al-Quran meskipun
dia tak pernah menerjemahkannya untuk kami, dia menekankan, kadang-kadang dengan
bantuan ranting pohon willow yang sudah dihaluskan, bahwa kami harus membaca
ayat-ayat berbahasa Arab itu dengan benar supaya Tuhan mendengar kami lebih
jelas. Suatu hari dia memberi tahu kami bahwa dalam Islam, meminum minuman keras
termasuk dalam dosa besar; para peminum akan menebus dosa mereka saat hari
Kiamat, Hari Pembalasan. Saat itu, meminum minuman keras adalah hal biasa di
Kabul. Tetapi, meskipun di Afghanistan para peminum tidak dihukum cambuk di
depan umum, mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, karena alasan
kehormatan. Mereka membeli scotch yang terbungkus dalam kantong kertas berwarna
cokelat di "toko obat" tertentu yang menjual "obat" khusus. Mereka akan
meninggalkan toko itu sambil berusaha menyembunyikan kantongnya, kadang-kadang
mengundang perhatian dan pandangan tak senang dari mereka yang mengetahui
reputasi buruk toko itu. Saat aku berada di lantai atas, di ruang kerja Baba, ruang merokok, aku
memberitahukan padanya hal-hal yang diajarkan Mullah Fatiullah Khan di kelas.
Baba sedang menuangkan wiski yang diambilnya dari bar di sudut ruangan. Dia
mendengarkanku, mengangguk, menyesap minumannya. Lalu dia duduk di atas sofa
kulit, meletakkan minumannya, dan mengangkatku kepang-kuannya. Aku merasa
seperti sedang duduk di atas cabang pohon. Dia menarik napas dalam dan
mengembuskannya lewat hidung, udara yang melewati kumisnya menimbulkan suara
desisan yang rasanya akan terdengar selamanya. Aku tidak bisa memutuskan, apakah
aku ingin memeluknya atau beranjak dari pangkuannya karena ketakutan.
"Kurasa pelajaran yang kau terima di sekolah dan hal-hal yang kaudapati di
kehidupan nyata membuatmu bingung," katanya dengan suara berat.
"Tapi kalau kata guruku itu benar, apakah berarti Baba seorang pendosa?"
"Hmm." Baba mengunyah sebongkah kecil es batu. "Kau ingin tahu pendapat ayahmu
tentang dosa?" "Ya." "Kalau begitu, aku akan memberitahumu," kata Baba, "tapi sebelumnya pahamilah
ini terlebih dahulu, Amir: Kau tak akan pernah belajar hal-hal yang berguna dari
para idiot berjenggot itu."
"Maksud Baba dari Mullah Fatiullah Khan?"
Baba memberi isyarat dengan gelasnya. Es di dalamnya bergemerincing. "Maksudku
mereka semua. Rasanya aku ingin mengencingi jenggot semua monyet sok tahu itu."
Aku tergelak. Bayangan Baba mengencingi jenggot monyet, baik yang sok tahu
ataupun tidak, terasa berlebihan.
"Mereka tidak melakukan apa-apa kecuali menghitung butiran tasbih dan memamerkan
hafalan isi buku yang ditulis dalam bahasa yang tidak
mereka pahami." Dia menyesap minumannya. "Kuharap Tuhan melindungi kita semua
jika suatu saat nanti Afghanistan jatuh ke tangan mereka."
"Tapi Mullah Fatiullah Khan sepertinya orang baik," aku berkata di sela-sela
gelak tawaku. "Genghis Khan juga sepertinya orang baik," kata Baba. "Tapi cukup. Kamu
menanyakan tentang dosa, dan aku akan memberitahumu. Kamu mendengarkan?"
"Ya," kataku seraya mengatupkan bibir. Namun gelak tawaku lolos melalui lubang
hidung dan menimbulkan suara dengkur. Aku pun mengikik lagi.
Mata Baba yang tajam menatapku dan, seketika itu, aku pun tak ingin tertawa
lagi. "Kita berbicara antara pria dengan pria. Kau bisa kupercaya, kan?"
"Ya, Baba jan," aku bergumam, terkejut, meskipun bukan untuk pertama kalinya,
pada keahlian Baba menyengatku dengan hanya sedikit kata-kata. Kami sedang
berada dalam saat yang berharga-Baba jarang berbicara padaku, apalagi dengan aku
duduk di pangkuannya dan sangat bodoh bagiku jika menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Bagus," kata Baba, pandangannya menyapu ruangan. "Baiklah, apa pun yang
diajarkan mullah itu padamu, hanya ada satu macam dosa, hanya satu. Yaitu
mencuri. Dosa-dosa yang lain adalah variasi dari dosa itu. Kau paham?"
"Tidak, Baba jan," kataku, setengah mati berharap aku paham. Aku tidak ingin
mengecewakannya lagi. Baba menghela napas tidak sabar. Itu juga menyengatku, karena sebenarnya Baba
adalah pria yang sabar. Aku mengingat saat-saat aku harus makan malam sendiri
karena Baba belum pulang hingga hari gelap. Aku bertanya kepada Ali, ke mana
Baba pergi, kapan dia pulang, meskipun aku tahu pasti bahwa dia sedang berada di
lahan konstruksi, mengawasi satu hal, menyelia yang lain. Bukankah pekerjaan itu
membutuhkan kesabaran" Aku membenci semua anak yatim piatu yang akan menghuni
panti asuhan itu; terkadang aku berharap mereka semua mati bersama orangtua
mereka. "Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya," kata Baba. "Kau
mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya.
Kalau kau menipu, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau
kau berbuat curang, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan keadilan.
Mengerti?" Aku mengerti. Saat Baba berumur enam tahun, seorang pencuri menyusup ke kamarnya
di tengah malam. Kakekku, seorang hakim yang terhormat, menghadapi pencuri itu,
namun si pencuri menusukan pisau ke tenggorokannya, membunuhnya seketika
merampok seorang ayah dari kehidupan Baba. Penduduk kota menangkap pencuri itu
sebelum siang menjelang; ternyata pria itu adalah seorang pengembara dari
wilayah Kunduz. Mereka menggantungnya pada cabang pohon ek, hanya dua jam
sebelum waktu zuhur tiba. Rahim
Khan, bukan Baba, yang menceritakan hal ini padaku. Aku selalu mendengar cerita
tentang Baba dari orang lain.
"Tak ada tindakan yang lebih buruk daripada mencuri, Amir," kata Baba. "Orang
yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, baik itu kehidupan orang lain ataupun
sepotong naan .... Aku mengutuk mereka. Dan kalau aku berpapasan dengan mereka,
semoga Tuhan melindungi mereka. Kau mengerti?"
"Ya, Baba." Bayangan Baba menghajar seorang pencuri membuatku tertarik namun
juga begitu menakutkan. "Jika Tuhan memerhatikan kehidupan kita, kuharap Dia lebih mementingkan hal-hal
selain kesukaanku minum scotch dan makan daging babi. Sekarang, turunlah.
Membicarakan tentang dosa membuatku haus lagi."
Aku mengawasi Baba saat dia berdiri di bar dan mengisi penuh gelasnya, dan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir, berapa lama lagi hingga kami bisa bercakap-cakap seperti yang kami
lakukan sesaat yang lalu. Karena sebenarnya, aku selalu merasa bahwa Baba
sedikit membenciku. Dan mengapa tidak" Lagi pula, bukankah aku telah membunuh
istri tercintanya, putri cantiknya" Setidaknya, yang bisa kulakukan adalah lebih
bersikap seperti Baba. Tapi aku tidak tumbuh menjadi seperti Baba. Tidak sama
sekali. Di sekolah, kami biasa bermain Sherngaji, atau "Adu Puisi." Permainan ini
dipimpin oleh guru bahasa Farsi dan peraturannya seperti ini: Kau menyebutkan
satu bait puisi dan lawanmu diberi waktu 60 detik untuk membalas dengan
menyebutkan satu bait puisi lain yang huruf pertamanya sama dengan huruf
terakhir dari bait yang kausebutkan. Seluruh anak di kelasku ingin berada dalam
satu tim denganku, karena meskipun saat itu umurku baru 11 tahun, aku bisa
melafalkan lusinan bait-bait puisi dari Khayyam, Hafez, atau puisi termasyhur
karya Rumi, Masnawi. Suatu ketika, aku melawan seluruh anak di kelasku dan
memenangi permainan itu. Malamnya, aku memberi tahu Baba, namun dia hanya
menganggukkan kepala dan bergumam, "Bagus."
Aku melarikan diri dari sikap acuh tak acuh ayahku pada buku-buku koleksi ibuku
yang telah meninggal. Buku-buku dan Hassan, tentunya. Aku membaca segalanya,
Rumi, Hafez, Saadi, Victor Hugo, Jules Verne, Mark Twain, dan Ian Fleming. Saat
aku selesai membaca semua buku itu tentu saja tidak termasuk buku-buku sejarah
yang membosankan, karena aku tak pernah berminat pada jenis buku itu; aku suka
membaca novel-novel dan kisah-kisah epik-aku mulai membelanjakan uang sakuku
untuk membeli buku. Aku membeli satu buku setiap minggu di toko buku dekat
Cinema Park, dan menyimpan buku-buku itu di kardus setelah rak bukuku penuh.
Tentu saja, bagi ayahku, menikahi seorang
penyair adalah satu hal, tapi menjadi ayah dari seorang anak laki-laki yang
lebih suka membenamkan wajahnya pada buku-buku puisi daripada pergi berburu ...
kupikir, Baba tak pernah membayangkannya. Pria sejati tidak membaca puisi dan
tentu saja mereka tak pernah menulisnya! Pria sejati-anak laki-laki sejati
bermain sepak bola, seperti Baba saat masih muda. Nah, hal-hal semacam itulah
yang seharusnya kuminati. Pada 1970, Baba beristirahat sejenak dari pembangunan
panti asuhan dan terbang ke Teheran selama sebulan untuk menyaksikan siaran
pertandingan Piala Dunia sepak bola di televisi, karena pada saat itu belum
terdapat stasiun televisi di Afghanistan. Dia mendaftarkanku masuk tim sepak
bola untuk menumbuhkan minatku pada olahraga ini. Tapi aku adalah pemain yang
menyedihkan, penyebab berbagai kesalahan bodoh yang merugikan timku, selalu
menghalangi jalan saat pemain yang berpeluang memasukkan gol lewat, atau dengan
kikuk menghalangi peluang yang terbuka. Aku menyeret kakiku yang kurus kering
berkeliling lapangan, berteriak-teriak meminta umpan yang tak pernah diberikan
padaku. Semakin keras aku mencoba, melambai-lambaikan tanganku tinggi-tinggi dan
berteriak-teriak dengan liar, "Aku bebas! Aku bebas!" anggota timku semakin
mengabaikanku. Tapi, Baba tidak mau menyerah. Saat sudah terlihat jelas bahwa
aku tidak mewarisi secuil pun bakat atletiknya, dia mulai mencoba mengarahkanku
menjadi seorang pengamat olahraga yang bersemangat. Tentu saja ini mudah bagiku,
bukan" Aku hanya perlu pura-pura menyukainya selama yang kumampu. Aku ikut
bersorak bersamanya saat tim Kabul mengalahkan Kandahar dan mengecam wasit saat
dia menghadiahkan tendangan penalti untuk musuh kami. Namun Baba dapat merasakan
bahwa sebenarnya aku tidak benar-benar tertarik dan akhirnya menyerah pada
kenyataan menyedihkan, bahwa putranya tak akan pernah bermain ataupun menjadi
pengamat sepak bola. Aku ingat, suatu ketika Baba mengajakku menonton turnamen tahunan Buzkashi yang
diadakan pada hari pertama musim semi, yang bertepatan dengan Hari Tahun Baru.
Buzkashi saat itu, meskipun sekarang pun masih, adalah hari perayaan nasional di
Afgahnistan. Seorang chapandaz, penunggang kuda yang sangat ahli, yang biasanya
disponsori oleh pencinta olahraga kaya, harus memisahkan bangkai seekor kambing
atau hewan ternak lainnya dari tengah-tengah gerombolan manusia, membawa bangkai
itu berkeliling stadion sambil menunggang kuda dengan kecepatan tinggi, dan
menjatuhkannya dalam lingkaran nilai, sementara tim lawannya yang beranggotakan
chapandaz lain mengejarnya dan melakukan apa pun sebisa mereka menendang,
mencakar, menyabet, atau memukul-untuk merebut bangkai itu darinya. Hari itu,
penonton yang berjubel bersorak-sorai kegirangan saat para penunggang kuda yang
berada di lapangan meneriakkan yel-yel pertarungan dan saling mendorong untuk
memperebutkan bangkai yang tergeletak di tengah-tengah lautan debu. Bumi
bergetar karena hentakan kaki kuda. Kami menyaksikan dari bangku di bagian atas
saat para penunggang berderap dengan kecepatan tinggi, melolong dan bersorak,
busa memuncrat dari mulut kuda-kuda yang mereka tung-gangi.
Tiba-tiba Baba menunjuk pada seseorang. "A-mir, kaulihat pria yang duduk
dikelilingi orang di sana itu?"
Aku melihatnya. "Dia Henry Kissinger."
"Oh," kataku. Aku tidak tahu siapa itu Henry Kissinger, dan seharusnya aku
menanyakannya pada Baba. Tetapi saat itu, aku melihat dengan penuh ketakutan
saat seorang chapandaz terjatuh dari pelana-nya dan terinjak-injak, entah berapa
kali, oleh berekor-ekor kuda yang sedang berlaga. Tubuhnya terlempar dan
terseret di tengah-tengah permainan itu bagaikan boneka kain, dan tergulingguling hingga akhirnya berhenti bergerak saat kerumunan itu bergerak ke arah
lain. Pria itu mengejang lalu diam tak bergerak, kakinya menekuk dengan posisi
aneh, genangan darahnya membasahi pasir.
Aku mulai menangis. Aku menangis di sepanjang jalan menuju rumah. Aku ingat tangan Baba yang
mencengkeram setir. Mencengkeram lalu melepaskannya. Yang paling utama, aku
tidak akan pernah bisa melupakan usaha keras Baba untuk menutupi ekspresi jijik
di wajahnya seraya mengemudi dalam diam.
Lalu malam itu, saat aku melewati ruang kerja Baba, aku mendengarnya berbicara
dengan Rahim Khan. Aku menempelkan telingaku ke pintu.
"bersyukur karena dia sehat," kata Rahim
Khan. "Aku tahu, aku tahu. Tapi dia selalu berada di tengah timbunan buku atau
bergentayangan dalam rumah seperti sedang terhanyut dalam mimpi."
"Dan?" "Aku dulu tidak seperti itu," Baba terdengar putus asa, hampir-hampir marah.
Rahim Khan tertawa. "Anak-anak bukanlah buku mewarnai. Kau tak bisa begitu saja
mengisi mereka dengan warna-warna kesukaanmu."
"Kuberi tahu kau," kata Baba, "aku sama sekali tidak seperti itu, begitu juga
anak-anak yang tumbuh bersamaku."
"Kau tahu, kadang-kadang kau menjadi orang paling egois yang pernah kukenal,"
kata Rahim Khan, satu-satunya orang yang kukenal, yang mampu mengucapkan hal
semacam ini pada Baba. "Itu tak ada hubungannya dengan ini."
"Tidak"1 "Tidak." "Lalu apa?" Aku mendengar bahan kulit yang diduduki Baba bersuara saat Baba memindahkan
tubuhnya. Aku menutup mataku, makin merapatkan telingaku ke pintu, ingin
mendengar sekaligus tak ingin. "Kadang-kadang aku memandang ke luar melalui
jendela ini dan melihatnya bermain di jalanan dengan anak-anak tetangga. Aku
melihat bagaimana mereka mempermainkannya, merebut mainannya, mendorongdorongnya, memukulnya. Dan, kau tahu, dia tak pernah melawan. Tidak pernah. Dia
hanya ... menundukkan kepalanya dan
"Jadi, dia bukan anak yang kasar," kata Rahim Khan.
"Bukan itu maksudku, Rahim, kau tahu itu," suara Baba meninggi. "Ada yang hilang
dalam diri anak itu."
"Ya, nafsu mengejami orang lain."
"Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu
terjadi kalau anak-anak tetangga mengganggunya" Hassan mengambil alih dan
melindunginya dari mereka. Aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri. Dan saat
mereka pulang, aku bertanya padanya, 'Bagaimana wajah Hassan bisa sampai
terluka"' Lalu dia bilang, 'Dia jatuh.' Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang
dalam diri anak itu."
"Sebaiknya kau biarkan saja dia menemukan jalannya sendiri," ujar Rahim Khan.
"Jalan menuju ke mana?" kata Baba. "Seorang anak laki-laki yang tak mampu
membela dirinya sendiri akan tumbuh menjadi pria yang tak mampu menghadapi
masalah apa pun." "Kau menyepelekan, seperti biasa."
"Aku tidak menyepelekan."
"Kau marah karena kau takut dia nanti tak i-ngin mengambil alih bisnismu."
"Sekarang, siapa yang menyepelekan?" kata Baba. "Dengar, aku tahu kalian saling
menyayangi dan aku bahagia karenanya. Aku cemburu tapi aku bahagia. Aku serius. Dia membutuhkan seseorang yang ... memahaminya, karena
Tuhan tahu, aku tidak memahaminya. Tapi ada sesuatu dalam diri Amir, sesuatu
yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, yang mencemaskanku. Sepertinya Aku
bisa membayangkan Baba mencari-cari kata yang tepat. Dia merendahkan suaranya,
tapi aku masih bisa mendengarnya. "Kalau saja aku tidak melihat dengan mataku
sendiri saat dokter mengeluarkannya dari tubuh isteriku, aku tak akan percaya
bahwa dia adalah putraku."
Keesokan paginya, saat menyiapkan sarapanku, Hassan menanyakan adakah hal yang
membuatku terganggu. Aku membentaknya, mengatakan padanya bahwa ini bukanlah
urusannya. Rahim Khan salah. Aku memiliki nafsu mengejami orang lain.
Empat l^^da 1933, tahun kelahiran Baba dan tahun ke 40
pemerintahan Zahir Shah di Afghanistan, dua pria muda bersaudara, putra keluarga
kaya dan terhormat di Kabul, berada di belakang kemudi Ford milik ayah mereka.
Mabuk oleh campuran ganja, mast dan anggur Prancis, mereka menabrak dan
menewaskan sepasang suami istri Hazara di jalan menuju Paghman. Polisi membawa
kedua pemuda yang tampak menyesal itu, bersama anak lelaki berumur lima tahun
putra korban mereka, ke hadapan kakekku, seorang hakim yang sangat dihormati
sekaligus seorang pria yang reputasinya sempurna. Setelah mendengar pengakuan
kedua bersaudara itu dan permohonan pengampunan dari ayah mereka, kakekku
mengirim kedua bersaudara itu ke Kandahar saat itu juga untuk bergabung dengan
angkatan bersenjata selama setahun meskipun sebelumnya keluarga mereka telah
mengajukan penolakan untuk bergabung dengan militer. Ayah mereka berusaha
menolak, meskipun tidak begitu keras, dan akhirnya, semua orang setuju bahwa
hukuman itu mungkin keras tetapi adil. Kakekku lantas membawa anak yatim piatu
itu ke rumahnya dan menyuruh para pelayan mengajarnya bekerja, tapi tetap memperlaku-kannya
dengan baik. Anak itu adalah Ali.
Ali dan Baba tumbuh besar bersama sebagai teman bermain setidaknya hingga
penyakit polio membuat kaki Ali cacat seperti aku dan Hassan yang tumbuh bersama
satu generasi kemudian. Baba selalu mencerita-kan padaku kenakalan yang
dilakukannya bersama Ali, dan Ali akan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berkata, "Tapi, Agha sahib, katakanlah pada mereka siapa pencetus kenakalankenakalan itu dan siapa pengikutnya yang malang?" Baba akan tertawa dan
merangkul Ali. Tapi dalam cerita-cerita itu, tidak pernah satu kali pun Baba menyebut Ali
temannya. Anehnya, aku pun tak pernah berpikiran bahwa Hassan adalah temanku. Bukan teman
dalam arti biasa, bagaimanapun aku memandangnya. Meskipun kami saling mengajari
cara mengendarai sepeda tanpa menggunakan tangan, atau membuat kamera buatan
rumah yang sangat fungsional dari kotak kardus. Meskipun kami menghabiskan
sepanjang musim dingin bersama menerbangkan dan mengejar layang-layang. Meskipun
bagiku, wajah Afghanistan adalah wajah dan sosok anak laki-laki kurus, berkepala
gundul dan ber-telinga rendah, seorang anak laki-laki dengan wajah bagaikan
boneka Cina yang sering kali berseri-seri dihiasi senyuman pada bibirnya yang
sumbing. Tak usah pedulikan semua itu. Karena sejarah
tak akan mudah disangkal. Begitu pula agama. Pada akhirnya, aku adalah seorang
Pashtun dan dia seorang Hazara, aku seorang Sunni dan dia seorang Syi'ah, dan
tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Tidak ada.
Tetapi kami adalah anak-anak yang belajar merangkak bersama, dan tidak ada
sejarah, etnis, masyarakat, ataupun agama yang akan turut mengubahnya. Aku
menghabiskan sebagian besar dari dua belas tahun hidupku dengan bermain bersama
Hassan. Terkadang, seluruh masa kecilku terlihat bagaikan terjadi dalam satu
hari musim panas yang panjang dan santai, yang kuhabiskan bersama Hassan,
bermain kejar-kejaran di antara rimbunnya pepohonan di halaman rumah ayahku,
bermain petak umpet, polisi dan penjahat, koboi dan Indian, mempermainkan
serangga-dengan prestasi paling membanggakan kami, yaitu mencabut sengat dari
seekor lebah dan mengikatkan benang pada makhluk malang itu sehingga setiap kali
ia mencoba terbang, ia akan terjatuh kembali.
Kami mengejar Kochi, para pengembara yang berjalan melalui Kabul menuju
pegunungan di daerah utara. Kami akan mendengar karavan-karavan mereka berjalan
mendekati lingkungan kami, embikan lirih domba-domba mereka, embikan lantang
kambing-kam-bing mereka, dentingan lonceng-lonceng yang dikalungkan pada leher
unta-unta mereka. Lalu kami pun berlari keluar rumah untuk menyaksikan konvoi
karavan itu melewati jalan kami, pria-pria dengan wajah berdebu dan termakan cuaca serta wanitawanita yang mengenakan syal panjang warna-warni, manik-manik, dan gelang-gelang
perak di pergelangan tangan dan kaki mereka. Kami melontarkan kerikil pada
kambing-kambing mereka. Kami menyemprotkan air pada keledai-keledai mereka. Aku
menyuruh Hassan duduk di atas Tembok Jagung Merana dan membidikkan batu-batu
kali dengan katapelnya ke pantat unta.
Kami menonton film barat pertama kami bersama, Rio Bravo yang dibintangi John
Wayne, di Cinema Park yang terletak di seberang toko buku kesukaanku. Aku ingat
bagaimana aku memohon pada Baba untuk membawa kami ke Iran supaya kami bisa
bertemu dengan John Wayne. Baba seketika tertawa terbahak-bahak suara tawanya
seperti suara mesin truk yang sedang dinyalakan dan, saat dia bisa bicara
kembali, dia menjelaskan pada kami konsep sulih suara. Aku dan Hassan terpaku.
Terpana. John Wayne tidak benar-benar bisa bahasa Farsi dan dia bukan orang
Iran! Dia orang Amerika, seperti para pria dan wanita ramah berambut panjang
yang selalu kami lihat lalu-lalang di Kabul, mengenakan pakaian compang-camping
dengan berbagai warna cerah. Kami menonton Rio Bravo tiga kali, tapi kami
menonton film barat kesukaan kami, The Magnificent Seven, tiga belas kali.
Setiap kali kami menangis di akhir film itu, saat orang-orang Meksiko mengubur
Charles Bronson yang ternyata juga bukan orang Iran.
Kami berjalan-jalan di pasar yang menyeruakkan aroma apak di daerah Share Nau,
atau di kota baru, di sebelah barat distrik Wazir Akbar Khan. Kami mengobrolkan
film apa pun yang baru kami tonton seraya berjalan di tengah-tengah kerumunan
bazzaris, pengunjung pasar. Kami menyelinap di antara para pedagang dan
pengemis, berkeliaran di gang-gang sempit yang dipenuhi barisan kios-kios kecil
dengan muatan melimpah. Baba memberi uang saku pada kami, masing-masing sepuluh
Afghani setiap minggu, dan kami menghabiskannya untuk membeli Coca-Cola hangat
dan es krim air mawar dengan taburan bubuk kacang hijau.
Selama masa sekolah, hari-hari kami lalui dengan rutin. Saat aku berhasil
menyeret tubuhku keluar dari tempat tidur dan terhuyung-huyung menuju kamar
mandi, Hassan sudah berpakaian rapi, menunaikan shalat Subuh bersama Ali, dan
menyiapkan sarapanku: teh hitam panas dengan tiga bongkah gula kubus dan
sepotong naan panggang dengan olesan selai ceri masam kesukaanku, semuanya
tertata rapi di meja makan. Saat aku makan dan mengeluhkan PR-ku, Hassan
merapikan tempat tidurku, menyemir sepatuku, menyetrika baju yang akan kukenakan
hari itu, mengemasi buku dan pensilku. Aku mendengarnya menyanyikan lagu tua
Hazara dengan suara dalamnya saat dia menyetrika bajuku. Lalu, aku dan Baba
pergi mengendarai Ford Mustang hitam milik Baba yang di mana pun akan mengundang
tatapan iri karena mobil itu pernah dipakai oleh Steve
McQueen dalam film Bullitt, yang ditayangkan di gedung bioskop selama enam
bulan. Hassan tinggal di rumah dan membantu Ali menyelesaikan tugas sehari-hari:
mencuci baju-baju kotor dengan tangan dan menjemurnya di halaman, menyapu
lantai, membeli naan baru di pasar, membumbui daging untuk makan malam, menyiram
pekarangan. Sepulang sekolah, aku dan Hassan bertemu, menyambar sebuah buku dan mendaki
bukit berbentuk mangkuk di sebelah utara tanah ayahku di Wazir Akbar Khan. Di
atas bukit itu terdapat kuburan tua yang tak terawat dengan deretan batu nisan
tak bernama dan semak-semak yang memenuhi jalan di antaranya. Hujan dan salju
telah menjadikan pagar besi kuburan itu berkarat dan tembok batu rendah yang
tadinya berwarna putih melapuk. Sebatang pohon delima berdiri di dekat jalan
masuk kuburan itu. Pada suatu hari musim panas, aku, menggunakan salah satu
pisau dapur Ali, menorehkan nama kami di pohon itu: "Amir dan Hassan, sultansultan Kabul." Kata-kata itu menjadi lambang peresmian: pohon itu milik kami.
Sepulang sekolah, aku dan Hassan memanjat cabang-cabangnya dan memetik buahnya
yang berwarna merah darah. Setelah kami memakan buah itu dan mengelapkan tangan
kami ke rumput, aku mulai membaca untuk Hassan.


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami duduk bersila, sinar matahari dan bayangan daun-daun pohon delima menarinari di wajah Hassan, yang tanpa sadar mencabuti rumput dari tanah saat aku
membacakan cerita yang tak bisa
dibacanya sendiri. Bahwa Hassan akan menjadi seorang buta huruf seperti Ali dan
sebagian besar orang Hazara sudah diputuskan pada menit saat dia dilahirkan,
mungkin bahkan saat dia masih meringkuk dalam rahim Sanaubar yang tidak
menginginkannya lagipula, apa gunanya seorang pelayan belajar menulis dan
membaca" Tapi meskipun dia buta huruf, atau mungkin karena dia buta huruf,
Hassan terpikat pada misteri kata-kata, tergoda oleh dunia rahasia yang
terlarang untuknya. Aku membacakan puisi dan cerita untuknya, kadang-kadang
teka-teki-meskipun aku berhenti membacakan teka-teki ketika aku menyadari bahwa
Hassan lebih pandai memecahkannya daripada aku. Jadi aku membacakannya hal-hal
yang tidak menantang, seperti kisah-kisah kesialan Mullah Nasruddin yang kikuk
dan keledainya. Kami duduk berjam-jam di bawah pohon itu, duduk di sana hingga
matahari tenggelam di barat, dan Hassan tetap bersikeras bahwa sinar matahari
masih cukup terang untuk membaca satu cerita lagi, satu bab lagi.
Bagian kesukaanku saat membaca untuk Hassan adalah ketika kami mendapatkan
sebuah kata sulit yang belum pernah didengarnya. Aku mengolok-oloknya, mengejek
ketidaktahuannya. Suatu ketika, saat aku sedang membacakan kisah Mullah
Nasruddin, dia meng-hentikanku. "Apa arti kata itu?"
"Yang mana?" "Imbesil." "Kau tak tahu artinya?" kataku sambil menyeringai.
"Tidak, Amir agha."
"Tapi itu kan kata yang umum dipakai!"
"Tetap saja, aku tidak tahu." Kalaupun dia bisa merasakan ejekanku, wajahnya
yang selalu tersenyum tidak menunjukkannya.
"Yah, semua anak di sekolah tahu arti kata itu," kataku. "Coba lihat. 'Imbesil.1
Itu artinya cerdas, pintar. Aku akan membuat kalimat untukmu dengan kata itu.
'Dalam memahami kata-kata, Hassan adalah seorang imbesil.'"
"Aaah," katanya, seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Aku selalu merasa bersalah sesudahnya. Jadi aku berusaha menebus kesalahanku
dengan memberinya salah satu bajuku yang sudah usang atau mainanku yang sudah
rusak. Aku akan mengatakan pada diriku sendiri bahwa pemberianku itu cukup layak
untuk menebus gurauanku yang tak berbahaya.
Sejauh itu, buku kesukaan Hassan berjudul Shahnamah, sebuah kisah epik abad ke10 tentang pahlawan-pahlawan Persia kuno. Dia menyukai semua babnya, para syah
dari masa lalu, Feridoun, Zal, dan Rudabeh. Tetapi kisah kesukaannya, dan
kesukaanku, adalah "Rostam dan Sohrab," kisah pendekar besar Rostam dan kudanya,
Rakhsh, yang dapat berlari sangat kencang. Dalam suatu pertempuran, Rostam menghabisi nyawa musuhnya yang gagah berani, Sohrab, hanya untuk mendapati bahwa
sesungguhnya Sohrab adalah putranya yang telah lama hilang. Dengan penuh duka,
Rostam mendengarkan kata-kata terakhir putranya yang sedang sekarat:
Jikalau kau benar ayahku, mengapa kau nodai pedangmu dengan darah yang
menghidupi putramu. Dan kau melakukannya karena keras hatimu. Karena aku ingin
membuatmu mencintaiku, dan aku menginginkan namamu, karena aku ingin mencari
tanda-tanda ibuku dalam dirimu. Tapi aku telah gagal merebut hatimu, dan tiada
lagi waktu yang akan mempertemukan kita ....
"Baca lagi, Amir agha, ayolah," begitulah Hassan akan berkata. Kadang-kadang
mata Hassan berkaca-kaca saat aku membaca bagian itu, dan aku selalu berpikir,
untuk siapa dia bersedih, Rostam yang dihantui duka, yang mencabik-cabik bajunya
dan mengotori kepalanya dengan abu, atau Sohrab yang sedang sekarat, yang hanya
mendambakan kasih sayang ayahnya" Aku sendiri tidak dapat melihat tragisnya
nasib Rostam. Lagi pula, bukankah semua ayah, di lubuk hati mereka yang
terdalam, memiliki keinginan untuk membunuh putra mereka"
Suatu hari di bulan Juli 1973, aku kembali membuat gurauan kecil untuk
mempermainkan Hassan. Aku sedang membaca untuknya, dan tiba-tiba aku memutuskan
untuk berhenti membacakan kisah yang tertulis di buku. Aku berpura-pura tetap
membaca, tetap membalik halaman buku, tapi
aku tidak membaca tulisan dalam buku itu; aku mengambil alih cerita itu dan
menceritakan kisah karanganku sendiri. Hassan, tentu saja, tidak menyadarinya.
Baginya, kata-kata yang tertulis di halaman buku hanyalah serangkaian kode acak,
tidak terpecahkan, misterius. Kata-kata adalah pintu rahasia dan akulah pemegang
kuncinya. Sesudahnya, aku menanyakan pendapatnya tentang cerita itu. Seketika
aku ingin tergelak ketika Hassan mulai bertepuk tangan.
"Apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Itu adalah kisah terbaik yang pernah kau bacakan untukku selama ini," katanya,
masih bertepuk tangan. Aku tertawa. "Benarkah?"
"Benar." "Ini benar-benar memukau," aku menggumam. Aku benar-benar tak percaya. Ini ...
sungguh tak terduga. "Kau yakin, Hassan?"
Hassan masih bertepuk tangan. "Kisah yang hebat, Amir agha. Maukah kau
membacakannya untukku lagi besok?"
"Sungguh memukau," ulangku, napasku sedikit berat, aku merasa bagaikan seseorang
yang baru menemukan harta karun terpendam di halaman rumahnya. Saat berjalan
menuruni bukit, berbagai ide meledak-ledak di kepalaku seperti pesta kembang api
di Chaman. Kisah terbaik yang pernah kaubacakan untukku selama ini, katanya. Aku
sudah membacakan banyak kisah untuknya. Hassan sedang menanyakan sesuatu padaku.
"Apa?" tanyaku.
"Apa artinya 'memukau'?"
Aku tertawa. Memeluknya dan mengecup pipinya.
"Untuk apa itu?" katanya terpana, pipinya memerah.
Bercanda, aku mendorong tubuhnya. Aku memberinya senyuman. "Kau adalah seorang
pangeran, Hassan. Kau adalah seorang pangeran dan aku menyayangimu."
Pada malam yang sama, aku menulis cerita pendek pertamaku, hanya dalam 30 menit.
Cerita yang kutulis adalah kisah kecil yang suram tentang seorang pria yang
menemukan sebuah cangkir ajaib dan mengetahui bahwa kalau dia menangis di
hadapan cangkir itu, air mata yang jatuh ke dalam cangkir akan berubah menjadi
butiran-butiran mutiara. Tetapi, meskipun selalu hidup dalam kemiskinan, pria
itu selalu bahagia dan jarang meneteskan air mata. Jadi, dia berusaha menemukan
berbagai cara untuk membuat dirinya bersedih sehingga air matanya bisa
membuatnya kaya. Seiring dengan bertambah tingginya tumpukan mutiara,
keserahkahannya pun bertambah besar. Kisah itu berakhir dengan si pria yang
duduk di atas tumpukan mutiara, dengan pisau penuh darah di tangan, menangis
sejadi-jadinya di atas cangkir itu sambil memeluk tubuh tak bernyawa istri
tercintanya. Malam itu juga, aku menaiki tangga dan berjalan menuju ruang merokok Baba. Di
tanganku terdapat dua lembar kertas berisi cerita tulisanku. Baba dan Rahim Khan sedang
mengisap pipa dan menyesap brandy saat aku masuk.
"Ada apa, Amir?" tanya Baba sembari duduk bersantai di sofa dengan dua tangan di
belakang kepala. Asap berwarna biru menyelimuti wajahnya. Tatapannya membuat
kerongkonganku terasa kering. Aku menelan ludah dan memberitahunya bahwa aku
baru saja menulis sebuah cerita.
Baba mengangguk dan tersenyum kecil, yang menunjukkan bahwa dia hanya pura-pura
tertarik. "Wah, itu bagus sekali, bukan?" katanya. Dan dia pun tidak mengatakan
apa-apa lagi. Dia hanya memandangku dari balik asap yang menyelimutinya.
Mungkin aku berdiri di tempat itu kurang dari sepuluh menit, namun, hingga hari
ini, aku merasa bahwa menit-menit yang berlalu pada saat itu adalah menit-menit
terpanjang dalam hidupku. Detik-detik berjalan dengan sangat lambat, jedanya
bagaikan se-umur hidup. Udara terasa berat, lembap, hampir-hampir padat. Aku
bernapas menghirup bata. Baba terus menatapku, dan tidak menawarkan diri untuk
membaca ceritaku. Seperti yang selalu terjadi, Rahim Khanlah yang menyelamatkanku. Dia mengulurkan
tangannya dan memberiku senyuman yang tulus. "Bolehkah aku melihatnya, Amir jan"
Aku ingin sekali membacanya." Baba hampir tak pernah memanggilku jan, panggilan
yang menunjukkan kasih sayang, saat berbicara padaku.
Baba mengangkat bahunya dan berdiri. Dia
terlihat lega, seolah-olah Rahim Khan juga menyelamatkannya. "Ya, berikan saja
ke Kaka Rahim. Aku akan ke atas untuk bersiap-siap." Dan begitulah, Baba
meninggalkan ruangan. Aku sering memuja Baba begitu rupa, dengan intensitas
mendekati pemujaanku pada Tuhan. Tapi saat itu, aku berharap aku bisa menoreh
pembuluh nadiku dan mengeluarkan seluruh darah terkutuk Baba dari dalam tubuhku.
Satu jam kemudian, saat langit malam semakin gelap, Baba dan Rahim Khan bermobil
untuk menghadiri suatu pesta. Saat keluar rumah, Rahim Khan berlutut di depanku
dan mengembalikan ceritaku beserta selembar kertas yang terlipat. Dia tersenyum
dan mengedipkan matanya. "Ini untukmu. Bacalah nanti." Lalu dia berhenti dan
menambahkan satu kata yang membuatku ingin terus menulis, melebihi pujian-pujian
yang sering dilontarkan para editor untukku. Kata itu adalah Bravo.
Saat mereka berlalu, aku duduk di atas tempat tidurku dan berharap Rahim Khan
adalah ayahku. Lalu aku memikirkan Baba dan dadanya yang bidang dan betapa
nyaman rasanya saat dia memelukku, aroma Brut yang terpancar dari tubuhnya di
pagi hari, dan janggut-nya yang menggelitik wajahku. Perasaan bersalah tiba-tiba
melandaku, membuatku berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutku ke
bak cuci tangan. Malam itu juga, sambil meringkuk di tempat tidur, aku membaca catatan Rahim Khan
berulang-ulang. Amir jan, Aku sangat menikmati membaca ceritamu. Masya Allah, Tuhan telah menganugerahkan
bakat istimewa padamu. Tugasmu saat ini adalah mengasah bakatmu, karena orang
yang menyia-nyiakan bakat pemberian Tuhan sama saja dengan seekor keledai. Kau
menulis cerita dengan tata bahasa yang indah dan gaya yang menarik. Tapi yang
paling menawan dalam ceritamu adalah ironi yang terdapat di dalamnya. Mungkin
kau tak tahu arti kata itu. Tapi suatu hari nanti, kau akan mengetahuinya.
Banyak penulis yang berusaha memunculkan ironi di sepanjang karier mereka dan
tetap tak berhasil. Kau berhasil melakukannya di cerita pertamamu.
Pintuku selalu dan akan selalu terbuka untukmu, Amir jan. Aku ingin mendengar
semua kisah yang kauceritakan. Bravo.
Temanmu, Rahim Terbuai oleh catatan Rahim Khan, aku meraih ceritaku dan bergegas ke bawah,
menuju ruang depan tempat Ali dan Hassan tertidur di atas matras. Mereka tidur
di dalam rumah hanya saat Baba pergi dan Ali harus mengawasiku. Aku menggoyang
badan Hassan hingga dia terbangun dan menanyakan padanya, apa-kah dia ingin
mendengar sebuah cerita. Dia mengucek matanya yang mengantuk dan meregangkan badannya. "Sekarang" Jam
berapa ini?" "Tak usah pikirkan waktu. Ini kisah istimewa. Aku sendiri yang menulisnya," aku
berbisik, berharap Ali tidak terbangun. Wajah Hassan menjadi cerah.
Iblis Pulau Neraka 2 Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng Jasa Susu Harimau 2

Cari Blog Ini