Ceritasilat Novel Online

Kite Runner 2

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 2


"Kalau begitu aku harus mendengarnya," katanya, selimutnya telah terbuka.
Aku membaca untuknya di dekat perapian marmer di ruang tamu. Aku tidak
menyimpang satu kata pun kali ini; ini semua tentang aku! Bagaimanapun Hassan
adalah seorang pendengar yang sempurna, begitu terpikat pada cerita, wajahnya
berubah-ubah sesuai dengan alur cerita itu. Saat aku membacakan kalimat
terakhir, dia memberikan tepuk tangan tanpa suara.
"Masya Allah, Amir agha. Bravo!" Dia begitu bersemangat.
"Kau menyukainya?" tanyaku. Ini adalah tanggapan positif kedua yang kudengar
rasanya sangat menyenangkan.
"Suatu hari nanti, Insya Allah, Amir agha akan menjadi penulis yang hebat,"
ujarnya. "Dan orang di seluruh dunia akan membaca cerita yang ditulis Amir
agha." "Kau melebih-lebihkan, Hassan," kataku. Aku menyayangi Hassan karenanya.
"Tidak. Amir agha akan menjadi penulis besar dan termasyhur," dia bersikeras.
Lalu dia terdiam, sepertinya ingin menambahkan sesuatu. Dia menimbang-nimbang
pertanyaannya dan melegakan tenggorokannya. "Tapi, bolehkah aku menanyakan
sesuatu tentang cerita itu?" tanyanya malu-malu. "Tentu saja."
"Yah Dia mulai berkata dan terdiam kembali.
"Katakan saja, Hassan," kataku. Aku tersenyum, meskipun tiba-tiba penulis resah
dalam diriku tidak begitu yakin ingin mendengarnya.
"Yah," katanya, "kalau aku boleh bertanya, mengapa pria itu harus membunuh
istrinya" Mengapa dia harus merasa sedih untuk mengucurkan air matanya" Bukankah
lebih mudah kalau dia menghirup aroma bawang merah?"
Aku terpaku. Tepat di bagian itu, begitu jelas sehingga kebodohanku terlihat,
sungguh tidak pernah terpikir olehku. Aku menggerakkan bibirku tanpa
mengeluarkan suara. Sepertinya, dalam semalam, aku telah belajar tentang salah
satu gaya penulisan, ironi, dan aku pun diperkenalkan pada salah satu kendala
gaya penulisan ini: Plot Hole, lubang pada alur cerita. Dan dari semua orang,
Hassan-lah yang mengajarkan-nya padaku. Hassan yang tak bisa membaca dan tak
per-nah menulis satu kata pun sepanjang hidupnya. Terdengar suara, dingin dan
gelap; tiba-tiba membisik di telingaku, Apa yang dia tahu, dasar Hazara buta
huruf! Dia tidak akan jadi apa pun selain jadi tukang masak. Berani-beraninya
dia mengkritikmu! "Yah," aku mulai berkata. Namun aku tak pernah menyelesaikan kalimatku.
Karena saat itu juga, Afghanistan berubah selamanya.
Lima Terdengar suara menggelegar bagaikan petir.
Bumi terasa berguncang dan kami mendengar rentetan suara senapan. "Ayah!" Hassan
berteriak. Kami segera berdiri dan bergegas menuju ruang tamu. Ali sedang
berlari terpincang-pincang melintasi koridor.
"Ayah! Bunyi apa itu?" suara Hassan melengking, kedua tangannya diulurkan ke
arah Ali. Ali memeluk kami. Cahaya putih melintas, langit pun menyala dengan
warna perak. Cahaya putih melintas kembali, disusul serangkaian bunyi tembakan.
"Mereka sedang berburu bebek," Ali berbicara dengan suara serak. "Kalian tahu
kan, orang-orang suka berburu bebek di malam hari. Jangan takut."
Bunyi sirene terdengar di kejauhan. Dari arah lain terdengar suara kaca pecah
dan seseorang berteriak. Aku mendengar orang-orang di jalanan, mereka terbangun
dari tidurnya dan mungkin masih mengenakan piyama, dengan rambut kusut dan mata
sembap. Hassan menangis. Ali merengkuhnya, memeluknya erat dan penuh kelembutan.
Setelah malam itu, aku selalu berusaha meyakinkan diriku
bahwa pada saat itu aku tidak merasa iri terhadap Hassan. Tidak sama sekali.
Kami saling berpelukan hingga dini hari. Hampir satu jam berlalu sejak bunyi
tembakan dan ledakan berhenti, namun kejadian itu membuat kami ketakutan
setengah mati. Tidak satu pun dari kami pernah mendengar suara tembakan di
jalanan. Semua itu terdengar asing bagi kami saat itu. Generasi anak-anak Afghan
yang telinganya tak mengenal suara selain bunyi bom dan tembakan belum terlahir.
Sambil berpelukan di ruang makan, menunggu matahari terbit, tidak satu pun dari
kami berpikir bahwa suatu gaya hidup telah berakhir. Gaya hidup kami. Kalaupun
saat itu belum berakhir, setidaknya itu adalah awal dari sebuah akhir. Akhir
yang sebenarnya terjadi pada April 1978 saat kaum komunis melakukan kudeta, lalu
pada Desember 1979, saat tank-tank Rusia berjalan melewati jalanan kota tempat
aku dan Hassan biasa bermain, mengambil nyawa orang-orang Afghanistan yang
kukenal dan memulai masa-masa pertumpahan darah yang terus berlangsung hingga
sekarang. Tepat sebelum matahari terbit, mobil Baba memasuki pekarangan. Terdengar bunyi
pintu mobil yang dibanting dan langkah kaki bergegas menaiki tangga. Lalu Baba
pun muncul di ambang pintu dan aku seketika melihat sesuatu di wajahnya. Sesuatu
yang tidak segera kupahami, karena aku tak pernah melihatnya: ekspresi
ketakutan. "Amir! Hassan!" dia memanggil nama kami sambil berlari menghampiri
kami, membuka lengannya lebar-lebar. "Mereka
menutup semua jalan dan memutus saluran telepon. Aku sungguh khawatir!"
Kami membiarkan Baba memeluk kami dan, selama sesaat, aku merasa senang dengan
apa pun yang terjadi malam itu.
Pagi itu aku dan Hassan berjongkok di luar ruang kerja Baba, saat Baba dan Rahim
Khan menghirup teh hitam sambil mendengarkan siaran berita dari Radio Kabul yang
melaporkan tentang kudeta itu.
"Amir agha?" Hassan berbisik.
"Ya?" "Apa artinya 'republik'?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu." Dalam siaran radio yang didengar Baba itu,
kata 'republik' disebutkan berulang-ulang.
"Amir agha?" "Ya?" "Apa 'republik' berarti aku dan Ayah harus pindah dari sini?"
"Kurasa tidak," aku berbisik.
Hassan memikirkan perkataanku. "Amir agha?"
"Ya?" "Aku tak mau mereka menyuruh aku dan Ayah pindah dari sini."
Aku tersenyum. "Bas, dasar bodoh. Tidak ada yang akan menyuruh kalian pergi."
"Amir agha?" "Ya?"
"Apa kau mau memanjat pohon kita?"
Senyumku melebar. Itulah keistimewaan yang dimiliki Hassan. Dia selalu tahu saat
untuk mengatakan hal yang tepat berita di radio mulai membosankan. Hassan pergi
ke pondoknya untuk bersiap-siap dan aku berlari ke atas untuk mengambil buku.
Lalu aku pergi ke dapur, memenuhi sakuku dengan segenggam biji pinus, dan
berlari ke luar menghampiri Hassan yang menantiku. Kami segera melewati gerbang
depan dan berlalu menuju bukit.
Kami melewati jalan umum dan mendaki melalui lahan kering yang tak rata menuju
bukit ketika tiba-tiba sebongkah batu menimpa punggung Hassan. Kami menengok ke
belakang dan jantungku pun berdetak kencang. Di belakang kami, Assef dan dua
temannya, Wali dan Kamal, berjalan mendekati kami.
Assef adalah putra Mahmood, seorang pilot pesawat penumpang, teman ayahku.
Keluarganya tinggal di sebuah rumah mewah berpagar tembok tinggi dengan barisan
pohon palem, beberapa blok di sebelah selatan rumah kami. Semua anak yang
tinggal di daerah Wazir Akbar Khan di Kabul pasti tahu tentang Assef dan
pelindung buku jari bajanya, dan berharap tidak pernah merasakan sendiri
pukulannya. Terlahir dari ibu berdarah Jerman dan ayah seorang Afghan, Assef
yang berambut pirang dan bermata biru memiliki tubuh jauh lebih tinggi
dibandingkan anak-anak lain.
Kenakalannya yang sudah diketahui umum membuatnya ditakuti. Diiringi teman-teman
pengikutnya, Assef berkeliaran di lingkungan kami, bagaikan seorang Khan yang
sedang berkeliling mengawasi tanah miliknya, dengan para pengawal yang siap
melayaninya. Kata-katanya adalah hukum, dan jika seseorang membutuhkan sedikit
pengetahuan hukum, maka pelindung buku-jari bajanya bisa menjadi alat mengajar
yang tepat. Aku pernah melihatnya menggunakan alat itu pada seorang anak dari
distrik Karteh Char. Aku tidak akan pernah melupakan kilatan di mata biru Assef,
yang saat itu kelihatannya tidak sepenuhnya sadar, dan seringaiannya saat dia
menghajar anak malang itu hingga pingsan. Beberapa anak di Wazir Akbar Khan
menjulukinya Assef Goshkor, atau Assef "Pelahap Kuping." Tentu saja, tak satu
pun dari mereka berani menyebut julukan itu di hadapannya, kecuali mereka ingin
bernasib sama dengan anak malang yang menyebabkan Assef mendapatkan julukan itu.
Anak yang awalnya bertanding layang-layang dengan Assef dan akhirnya mengaisngais selokan berlumpur, mencari potongan telinga kanannya. Bertahun-tahun
kemudian, aku mendapatkan satu kata dalam bahasa Inggris untuk menyebut makhluk
semacam Assef, sebuah kata yang tidak terdapat dalam bahasa Farsi: "sociopath."
Dari semua anak di lingkungan kami yang gemar mengolok-olok Ali, Assef-lah yang
paling tidak kenal ampun. Dialah yang menciptakan julukan Babalu, Hei, Babalu,
siapa yang kaumakan hari ini" Ha" Sini
Babalu, beri kami senyuman! Dan pada hari-hari saat semangatnya meninggi, dia
sedikit membumbui ejekannya, Hei, Babalu pesek, siapa yang kaumakan hari ini"
Ayo kasih tahu, keledai sipit!
Sekarang dia berjalan ke arah kami, berkacak pinggang, langkahnya menyisakan
kepulan debu. "Selamat pagi, kunis" Assef menyapa, melambaikan tangannya. "Homo," satu lagi
ejekan favoritnya. Hassan berlindung di belakangku saat tiga anak itu, yang
bertubuh lebih besar dari kami, berjalan mendekat. Mereka berdiri di hadapan
kami, tiga remaja jangkung bercelana jins dan kaus. Menjulang bagaikan menara di
hadapan kami, Assef menyilangkan lengannya yang kekar di dada, seringai jahat
menghiasi bibirnya. Bukan untuk pertama kalinya aku terpikir bahwa mungkin saja
Assef sebenarnya gila. Terpikir juga olehku, betapa beruntungnya diriku karena
Baba adalah ayahku, satu-satunya alasan, yang kuyakini, membuat Assef tidak
terlalu sering menggangguku.
Dia menunjuk Hassan dengan dagunya. "Hei, Pesek," katanya. "Bagaimana kabar
Babalu?" Hassan terus diam dan semakin menyembunyikan dirinya di belakangku.
"Kalian sudah dengar berita, teman-teman?" kata Assef, masih dengan menyeringai.
"Sudah tidak ada raja lagi. Asyik sekali. Hidup presiden! Ayahku kenal Daoud
Khan, kau tahu, Amir?"
"Ayahku juga kenal," jawabku. Nyatanya, aku hanya asal bicara.
"Ayahku juga kenal," Assef meniruku dengan
gaya merengek-rengek. Kamal dan Wali serentak tertawa menyambut ejekannya. Aku
berharap Baba bersamaku. "Ya, Daoud Khan makan malam di rumahku tahun lalu," lanjut Assef. "Bagaimana
menurutmu, Amir?" Aku berpikir, kalau saja kami berteriak di tanah kering yang jauh dari mana pun
ini, akankah ada orang yang mendengar kami" Rumah kami berjarak satu kilometer
dari sini. Aku berharap kami tinggal di rumah saja.
"Kau tahu yang akan kukatakan pada Daoud Khan kalau dia makan malam di rumah
kami lagi?" Assef berkata. "Aku akan mengobrol sedikit dengannya, obrolan antara
dua orang pria, mard pada mard. Akan kukatakan padanya hal yang pernah kukatakan
pada ibuku. Tentang Hitler. Nah, dialah sang pemimpin sejati. Pemimpin besar.
Pria yang punya pandangan hebat. Aku akan meminta Daoud Khan mengingat bahwa
kalau saja mereka membiarkan Hitler menyelesaikan urusan yang sudah dimulainya,
sekarang ini dunia sudah menjadi tempat yang lebih baik."
"Kata Baba, Hitler orang gila. Dia memerintahkan pembantaian pada orang-orang
tak berdosa," aku mendengar diriku mengatakannya sebelum bisa membekapkan
tanganku ke mulut. Assef mendengus. "Ayahmu kedengaran seperti ibuku, padahal dia orang Jerman; dia
seharusnya lebih tahu. Tapi, mereka ingin kau memercayainya, kan" Mereka tidak
ingin kau tahu yang sebenarnya." Aku tidak tahu siapa "mereka", atau kebenaran apa yang mereka sembunyikan, dan
aku tidak mau tahu. Aku berharap tidak mengatakan apa-apa. Aku berharap lagi,
saat aku mendongak, aku akan melihat Baba menaiki bukit.
"Tapi kau seharusnya membaca buku-buku yang tidak disediakan di sekolah," kata
Assef. "Aku melakukannya. Dan mataku telah terbuka. Sekarang aku punya
pandangan, dan aku akan membaginya dengan presiden baru kita. Kau tahu
pandanganku?" Aku menggelengkan kepala. Dia toh akan memberitahuku; Assef selalu menjawab
sendiri pertanyaan-pertanyaannya.
Mata birunya melirik Hassan. "Afghanistan adalah negeri milik bangsa Pashtun.
Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati,
orang-orang Afghan murni, tidak seperti si Pesek ini. Kaumnya mengotori tanah
air kita, watan kita. Mereka mengotori darah kita." Dia menyapukan tangannya
dengan berwibawa. "Aku bilang, Afgahnistan untuk bangsa Pashtun. Itulah
pandanganku." Assef kembali mengalihkan pandangannya padaku. Dia terlihat seperti seseorang
yang baru terbangun dari mimpi indah. "Hitler sudah terlambat," katanya. "Tapi
kita belum." Dia mencari sesuatu di saku belakang jinsnya. "Aku akan meminta presiden
melakukan hal yang tidak quwat dilakukan raja. Menyingkirkan semua Hazara yang
kasseef, kotor." "Biarkan kami pergi, Assef," kataku, membenci getaran yang terdengar dalam
suaraku. "Kami tidak mengganggumu."
"Oh, kalian menggangguku," kata Assef. Dan dengan hati ciut aku melihat benda
yang diambilnya dari saku. Tentu saja. Pelindung buku jari dari baja itu
berkilauan di bawah sinar matahari. "Kau sangat menggangguku. Bahkan, kau lebih
menggangguku dibanding si Hazara ini. Bisa-bisanya kau bicara dengannya, bermain
dengannya, membiarkannya menyentuhmu?" Assef berkata penuh kejijikan. Wali dan
Kamal mengangguk-angguk dan mendengus setuju. Assef menyipitkan matanya.
Menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat dia berbicara lagi, suaranya terdengar
seaneh ekspresi wajahnya. "Bisa-bisanya kau menyebutnya 'teman'?"
Tapi dia bukan temanku! Aku hampir berteriak menyanggah. Dia peiayanku!
Pernahkah aku benar-benar memikirkannya" Tentu saja belum. Aku memang
memperlakukan Hassan seperti memperlakukan seorang teman, bahkan lebih baik,
lebih seperti saudaraku sendiri. Tapi jika begitu, lantas mengapa, saat temanteman Baba datang berkunjung bersama anak-anak mereka, aku tak pernah melibatkan
Hassan dalam permainan kami" Mengapa aku hanya bermain bersama Hassan saat tak
ada orang lain yang bisa kuajak bermain"
Assef memasang pelindung kepalannya. Memandangku dengan tatapan sedingin es.
"Kau bagian dari masalah, Amir. Kalau idiot-idiot seperti dirimu dan ayahmu
tidak menampung orang-orang
macam Hazara ini, sekarang kita pasti sudah mengusir mereka. Biar saja mereka
semua membusuk di Hazarajat, tempat mereka. Kau memalukan bagi Afghanistan."
Aku memandang matanya yang nyalang dan mendapati bahwa Assef benar-benar serius
dengan perkataannya. Dia memang ingin menyakitiku. Assef mengangkat kepalannya
dan berjalan mendekatiku.
Seketika aku merasakan gerakan cepat di belangku. Dari sudut mataku, aku melihat
Hassan membungkuk dan berdiri dengan sigap. Tatapan Assef melayang pada sesuatu
di belakangku dan matanya pun melebar karena terkejut. Ekspresi kekagetan yang
sama kulihat pada wajah Kamal dan Wali saat mereka melihat yang terjadi di
belakangku. Aku berbalik dan berhadapan langsung dengan katapel Hassan. Hassan telah menarik
tali elastisnya yang lebar jauh ke belakang. Di tengahnya, batu sebesar biji
kenari siap dibidikkan. Hassan mengarahkan katapelnya tepat ke wajah Assef.
Tangannya gemetar menahan tegangan tali elastis dan butiran-butiran keringat
bermunculan di keningnya.
"Saya mohon, tinggalkan kami, Agha," Hassan berkata dengan suara datar. Dia
memanggil Assef dengan sebutan "Agha," dan saat itu juga aku membayangkan
rasanya hidup dalam tingkatan sosial di bawah semua orang.
Assef menggertakkan giginya. "Turunkan katapelmu, Hazara piatu."
"Saya mohon, biarkan kami pergi, Agha," ujar Hassan.
Assef tersenyum. "Mungkin kau tidak memerhatikan, tapi kami bertiga, sedangkan
kalian cuma berdua."
Hassan mengangkat bahu. Bagi orang lain, dia tidak terlihat ketakutan. Tapi, aku
sudah mengenal wajah Hassan sejak aku bisa mengingat dan aku mengenali semua
ekspresi tersamarnya, aku mengenali setiap gerakan dan perubahan yang terjadi di
wajahnya. Dan aku bisa melihat bahwa dia ketakutan. Dia sangat ketakutan.
"Anda benar, Agha. Tapi mungkin Anda tidak melihat bahwa sayalah yang memegang
katapel. Kalau Anda bergerak, orang-orang akan mengubah julukan Anda dari Assef
'Pelahap Kuping' menjadi Assef 'Bermata-Satu,' karena saya membidikkan batu ini
ke mata kiri Anda." Hassan mengatakannya dengan datar, bahkan aku pun harus
benar-benar mengikuti ucapannya untuk mendengarkan jejak-jejak ketakutan yang
tersembunyi dalam suaranya yang tenang.
Mulut Assef bergerak. Wali dan Kamal terpana menyaksikan perubahan ini.
Seseorang telah menantang dewa mereka. Mempermalukannya. Dan, lebih buruk lagi,
orang itu hanyalah seorang Hazara kerempeng. Assef mengalihkan pandangannya dari
batu di katapel. Dia mempelajari wajah Hassan dengan cermat. Tampaknya dia bisa
melihat pada wajah Hassan keseriusan ancamannya, karena beberapa saat kemudian,


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Assef menurunkan kepalannya.
"Kau harus tahu sesuatu tentang diriku, Hazara," kata Assef berwibawa. "Aku
orang yang sangat sabar. Urusan kita belum berakhir hari ini, percayalah
padaku," Dia menatapku. "Urusan kita juga belum beres, Amir. Suatu hari nanti,
aku akan memaksamu menghadapiku, satu lawan satu." Assef melangkah mundur.
Pengikutnya membuntuti. "Hazaramu membuat kesalahan besar hari ini, Amir," katanya. Lalu dia pun
membalikkan badan dan berlalu. Aku menyaksikan mereka menuruni bukit dan
menghilang di balik pagar.
Hassan berusaha menyimpan katapelnya di pinggang dengan kedua tangan gemetar.
Bibirnya memaksakan sebuah senyuman. Dia mencoba lima kali hingga bisa
mengikatkan tali katapel ke celananya. Tidak satu pun dari kami berkata-kata
saat kami bergegas pulang, memastikan bahwa Assef dan pengikutnya tidak akan
mengadang kami di setiap tikungan. Kami tidak menjumpai mereka dan hal itu
seharusnya sedikit melegakan kami. Tapi ternyata tidak. Sama sekali tidak.
Beberapa tahun selanjutnya, kata-kata perkembangan ekonomi dan reformasi jamak
meluncur dari bibir-bibir warga Kabul. Bentuk pemerintahan monarki telah
diabolisi, digantikan dengan republik, yang dipimpin oleh seorang presiden.
Untuk sementara, semangat pembaharuan dan penetapan tujuan baru melanda seluruh
negeri. Semua orang membicarakan tentang hak-hak perempuan dan teknologi modern.
Dan hampir di semua daerah, meskipun pemimpin baru telah tinggal di Arg-'\stana
negara di Kabul hidup berjalan seperti biasa. Warga Kabul tetap bekerja pada
hari Sabtu hingga Kamis dan pergi berpiknik di taman pada hari Jumat, di tepi
Danau Gargha, atau di taman bunga Paghman. Bus-bus beraneka warna dan lori-lori
yang dipenuhi penumpang meluncur melalui jalan-jalan sempit Kabul, diiringi
teriakan beraksen Kabuli kental para kernet yang bergelantungan di bumper
belakang kendaraan itu yang menunjukkan arah pada sopir. Pada Hari Idul Fitri,
perayaan yang berlangsung selama tiga hari setelah berakhirnya bulan suci
Ramadhan, penduduk Kabul mengenakan pakaian terbaik dan saling me-ngun-jungi
kerabat mereka. Orang-orang saling memeluk dan mencium, seraya mengucapkan "Eid
Mubarak." Selamat Hari Idul Fitri. Anak-anak membuka hadiah-hadiah dan mewarnai
telur yang telah direbus hingga keras dan diwarnai.
Pada suatu hari di awal musim dingin 1974, aku dan Hassan bermain di halaman,
mendirikan benteng salju, ketika Ali memanggil kami. "Hassan, Agha sahib ingin
berbicara denganmu!" Ali berdiri di ambang pintu depan, berpakaian putih,
tangannya diselipkan ke ketiak, uap napasnya mengepul dari mulut.
Aku dan Hassan bertukar senyuman. Kami telah
menantikan panggilannya sepanjang hari itu: Saat itu adalah hari ulang tahun
Hassan. "Apa hadiahnya, tahukah Ayah" Maukah Ayah memberitahu kami?" Hassan
berkata dengan mata berbinar.
Ali mengangkat bahu. "Agha sahib tidak mengatakannya padaku."
"Ayolah Ali, beri tahu kami," desakku. "Buku gambar, ya" Mungkin pistol-pistolan
baru?" Sama seperti Hassan, Ali tidak bisa berbohong. Setiap tahun, dia berpura-pura
tidak mengetahui hadiah ulang tahun yang dibelikan Baba untukku atau Hassan. Dan
setiap tahun, matanya menunjukkan bahwa dia tahu dan kami pun mengorek
keterangan darinya. Meskipun begitu, kali ini, sepertinya dia benar-benar tidak
tahu. Baba tidak pernah melupakan ulang tahun Hassan. Awalnya, Baba biasa menanyai
Hassan, apa yang diinginkannya, namun dia berhenti melakukannya karena Hassan
selalu meminta hadiah-hadiah yang terlalu murah. Jadi, setiap musim dingin, Baba
memilih sendiri hadiah untuk Hassan. Dia pernah membelikan Hassan sebuah truk
mainan buatan Jepang dan sebuah lokomotif elektrik beserta jalur keretanya.
Tahun sebelumnya, Baba mengejutkan Hassan dengan menghadiahkan topi koboi kulit,
persis dengan yang dikenakan Clint Eastwood dalam The Good, the Bad, and the
Ugly yang menggeser The Magnificent Seven sebagai film Barat kesukaan kami.
Sepanjang musim dingin itu, aku dan Hassan bergantian memakai topi itu,
menyanyikan lagu tema film terkenal itu sambil
mendaki gundukan-gundukan salju dan saling menembak lalu berpura-pura tewas.
Kami menanggalkan sarung tangan dan sepatu bot kami yang berlumur salju dan
meletakkannya di teras depan. Saat melewati koridor, kami melihat Baba duduk di
dekat tungku pemanas dengan kayu bakar menyala. Di dekatnya, duduk seorang India
berambut nyaris botak yang mengenakan setelan cokelat dengan dasi merah.
"Hassan," Baba menyunggingkan senyum misterius, "ini hadiah ulang tahunmu."
Aku dan Hassan bertukar pandangan. Kami tidak melihat adanya kado yang
terbungkus indah. Tidak ada kantong hadiah. Tidak ada mainan. Hanya ada Ali yang
berdiri di belakang kami, dan Baba bersama pria India bertubuh kecil yang
berpenampilan mirip guru matematika.
Pria India bersetelan cokelat itu tersenyum dan mengulurkan tangannya pada
Hassan. "Aku Dr. Kumar," katanya. "Senang sekali bisa bertemu denganmu." Dia
berbicara dalam bahasa Farsi dengan aksen Hindi yang kental.
"Assalamualaikum," ucap Hassan dengan ragu-ragu. Dia menganggukkan kepalanya
dengan sopan, namun matanya mencari-cari ayahnya yang berdiri di belakangnya.
Ali berjalan mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Hassan.
Baba menyadari kewaspadaan dan kebingung-an Hassan yang tercermin di matanya.
"Aku mengundang Dr. Kumar dari New Delhi. Dr. Kumar adalah seorang dokter bedah
plastik." "Kau tahu maksudnya, bukan?" tanya Dr. Kumar pria India itu.
Hassan menggelengkan kepalanya. Dia memandangku untuk meminta pertolongan, namun
aku mengangkat bahu. Setahuku, orang menemui dokter bedah kalau mereka menderita
radang usus buntu. Aku tahu itu karena tahun sebelumnya salah satu teman
sekelasku meninggal karena penyakit itu, dan guruku memberi tahu kami, bahwa itu
terjadi karena keluarganya tidak segera membawanya ke dokter bedah. Kami berdua
memandang Ali, tapi tentu saja dia tidak pernah bisa ditebak. Wajahnya tanpa
ekspresi, seperti biasa, meskipun secercah binar terpancar di matanya.
"Oke," kata Dr. Kumar, "pekerjaanku adalah memperbaiki tubuh manusia. Kadangkadang wajah juga." "Oh," kata Hassan. Tatapannya berpindah dari Dr. Kumar ke Baba, lalu ke Ali.
Jarinya menyentuh bibir atasnya. "Oh," katanya lagi.
"Ini memang hadiah yang tidak biasa, aku tahu itu," kata Baba. "Dan mungkin
bukan sesuatu yang kauidam-idamkan, tapi hadiah ini akan menyertaimu selamanya."
"Oh," kata Hassan. Dia menjilat bibirnya. Me-lega-kan tenggorokannya. "Agha
sahib, akankah ... akankah-"
"Tidak akan," Dr. Kumar memotong ucapan Hassan, seraya tersenyum lembut. "Kau
tidak akan merasa sakit sedikit pun. Bahkan, aku akan memberimu obat yang akan
membuatmu tidak merasakan apa pun."
"Oh," kata Hassan. Dia pun tersenyum lega. Sedikit lega, sebenarnya. "Saya tidak
takut, Agha Sahib, saya hanya Hassan mungkin tertipu,
namun aku tidak. Aku tahu bahwa bila dokter mengatakan bahwa kita tidak akan
merasa sakit, berarti kita sedang dalam masalah. Sambil bergidik, aku mengingat
saat aku disunat tahun sebelumnya. Dokter yang melakukannya mengatakan hal yang
sama padaku, meyakinkan bahwa aku tidak akan merasa sakit sedikit pun. Tapi
malamnya, saat pengaruh obat bius memudar, rasanya seolah olah seseorang
menempelkan batu bara panas ke kemaluanku. Aku tidak mengerti mengapa Baba
menunggu hingga aku berumur sepuluh tahun untuk disunat, dan hal itu menjadi
salah satu kesalahannya yang tak akan pernah kumaafkan.
Aku berharap, aku pun memiliki semacam bekas luka yang bisa menimbulkan rasa
simpati Baba. Ini sungguh tidak adil. Hassan tidak perlu melakukan apa pun untuk
mendapatkan perhatian Baba; dia hanya terlahir dengan bibir sumbing sialan.
Operasi itu berjalan lancar. Kami semua sedikit terkejut saat mereka membuka
pembalutnya, namun kami tetap tersenyum, seperti yang diinstruksikan Dr. Kumar.
Tidak gampang, karena bibir atas Hassan tampak bengkak dan mengerikan. Kusangka
Hassan akan menangis ngeri saat perawat memberikan cermin padanya. Ali memegang
tangan Hassan saat dia menatap bayangan pada cermin itu, lama dan penuh
penghayatan. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar olehku. Aku menyorongkan telingaku ke
bibirnya. Dia kembali berbisik.
"Tashakor." Terima kasih.
Lalu bibirnya berkerut dan, saat itu, aku tahu yang dilakukannya. Dia tersenyum.
Senyum yang sama seperti saat dia terlahir dari rahim ibunya.
Seiring berjalannya waktu, bengkak di bibir Hassan menyusut dan lukanya pun
sembuh. Tak lama kemudian, hanya ada garis bergerigi merah muda di atas
bibirnya. Pada musim dingin selanjutnya, bekas luka itu sudah hampir tidak
terlihat. Dan sungguh ironis. Karena pada musim dingin itulah Hassan berhenti
tersenyum. Enam l\/lusim dingin. Inilah yang kulakukan setiap tahun, saat hujan salju pertama jatuh ke bumi. Aku
keluar rumah pagi-pagi sekali, masih mengenakan piama, melipatkan kedua tangan
di dada untuk menahan dinginnya udara. Aku mendapati jalan masuk ke rumahku,
mobil ayahku, pagar tembok, atap, dan perbukitan diselimuti salju sedalam satu
kaki. Senyumku mengembang. Langit biru membentang tanpa batas, dan salju begitu
putih sehingga mataku serasa terbakar. Aku menjejalkan segenggam salju segar ke
mulutku, mendengarkan kesunyian senyap yang hanya diusik oleh kaok burung gagak.
Aku melangkah ke depan rumah, bertelanjang kaki, dan memanggil Hassan supaya
keluar dan melihat pemandangan itu.
Musim dingin adalah musim kesukaan semua a-nak di Kabul, setidaknya bagi mereka
yang ayahnya mampu membelikan pemanas ruangan besi yang berkualitas bagus.
Alasannya sederhana: Sekolah ditutup karena dinginnya udara. Bagiku, musim
dingin adalah akhir dari perjuangan panjang mengerjakan soal-soal pembagian dan
menyebutkan nama ibu kota Bulgaria, dan awal dari tiga bulan penuh bermain kartu di dekat
tungku pemanas ruangan bersama Hassan, film-film Rusia gratisan setiap Selasa
pagi di Cinema Park, makan siang dengan nasi bertabur qurma lobak Cina yang
manis setelah sepanjang pagi membuat manusia salju.
Dan layang-layang, tentu saja. Menerbangkan layang-layang. Dan mengejarnya.
Bagi beberapa anak yang kurang beruntung, musim dingin tidak menandai
berakhirnya sekolah. Mereka harus mengikuti pelajaran tambahan selama musim
dingin. Tidak seorang anak pun yang kukenal, yang mengajukan diri mereka dengan
suka rela untuk mengikuti berbagai pelajaran tambahan itu; orangtua mereka,
tentu saja, yang mendaftarkan mereka. Aku beruntung Baba bukan termasuk salah
satu dari mereka. Ada seorang anak, namanya Ahmad, yang tinggal di seberang
jalan. Ayahnya mungkin seorang dokter, kupikir. Ahmad menderita epilepsi karena
selalu mengenakan rompi wol serta kacamata bergagang hitam tebal-dia adalah
salah satu langganan bulan-bulanan Assef. Setiap pagi, aku menyaksikan dari
jendela kamarku saat pelayan Hazara keluarga itu menyingkirkan salju dari jalan
masuk, membuka jalan bagi Opel hitam mereka. Aku menyempatkan diri menyaksikan
Ahmad dan ayahnya memasuki mobil, Ahmad mengenakan rompi wol dan mantel musim
dinginnya, tas sekolahnya dijejali buku dan pensil. Aku menunggu hingga mereka
berlalu, menghilang di balik tikungan, dan kembali menyusup ke tempat
tidur dengan piyama flanelku. Aku menarik selimut hingga ke dagu dan, melalui
jendela kamarku, memandangi perbukitan di utara yang diselimuti salju. Aku
menikmati pemandangan itu hingga jatuh tertidur kembali.
Aku cinta musim dingin di Kabul. Aku cinta terpaan lembut salju pada jendelaku
di malam hari, butiran salju segar yang menempeli sepatu bot karet hitamku,
kehangatan tungku pemanas ruangan dari bahan besi-tempa yang kunikmati saat
angin menderu di halaman, jalanan yang diselimuti salju. Lebih dari itu, saat
pepohonan membeku dan lapisan es menyelimuti jalanan, kebekuan antara aku dan
Baba sedikit mencair. Dan itu semua disebabkan oleh layang-layang. Aku dan Baba
tinggal di rumah yang sama, namun dalam dimensi yang berbeda. Layang-layang
adalah lembaran setipis kertas yang bisa menyatukan kedua dimensi itu.
Setiap musim dingin, semua distrik di Kabul mengadakan turnamen adu layanglayang. Bagi seorang anak lelaki yang tinggal di Kabul, hari pelaksanaan
turnamen itu, tidak diragukan lagi, menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu di
tengah kebekuan udara. Aku tidak pernah bisa tidur pada malam menjelang
turnamen. Aku berguling dari sisi ke sisi ranjangku, membentuk binatang-binatang
bayangan di tembok, bahkan duduk di balkon dalam
kegelapan, dengan selimut membungkus badanku. Aku merasa bagaikan seorang
prajurit yang mencoba memejamkan mata dalam lubang perlindungan di malam hari
sebelum berlangsungnya sebuah pertempuran besar. Dan tidak hanya itu. Di Kabul,
mengadu layang-layang sedikit mirip dengan pergi berperang.
Seperti dalam perang mana pun, kami harus mempersiapkan diri untuk bertempur.
Aku dan Hassan menghabiskan waktu kami untuk membuat sendiri layang-layang yang
akan kami mainkan. Kami menabung uang saku kami sepanjang musim gugur, menyimpan
uang itu dalam kuda-kudaan porselen yang dibeli Baba di Herat. Saat angin musim
dingin mulai berembus dan salju mengeras, kami membuka sumbat pada perut kudakudaan itu. Kami pergi ke pasar untuk membeli bambu, lem, benang, dan kertas.
Kami menghabiskan berjam-jam setiap hari, mengasah bambu untuk dijadikan rangka,
memotong kertas tisu tipis yang mudah dicelup warna dan mudah dikeringkan. Lalu,
tentu saja, kami harus membuat tar sendiri. Seandainya layang-layang adalah
sepucuk senapan, maka tar, benang tipis berlapis kaca, adalah peluru-nya. Kami
keluar ke halaman dan melapisi benang sepanjang 150 meter dengan campuran bubuk
kaca dan lem. Kami lantas mengulurkannya di antara pepohonan, mengeringkannya.
Keesokan harinya, kami menggulung benang yang sudah siap digunakan untuk
bertarung itu pada gelondong kayu. Saat salju mencair dan hujan musim semi yang
menandakan perubahan musim mulai turun, setiap anak lelaki di Kabul menderita luka-luka goresan
melintang di telapak tangan yang menyimpan kenangan mengadu layang-layang
sepanjang musim dingin. Aku ingat, saat hari pertama kami kembali bersekolah,
aku dan teman-teman sekelasku bergerombol, membandingkan luka-luka yang kami
dapatkan saat mengadu layang-layang. Goresan-goresan itu terasa menyengat dan
baru sem-buh setelah berminggu-minggu, tapi aku tidak keberatan. Luka-luka itu
mengingatkanku akan musim menyenangkan yang sekali lagi terlalu cepat berlalu.
Ketua kelas akan meniup peluitnya dan kami pun berbaris memasuki kelas, kembali
mendambakan datangnya musim dingin namun sebaliknya, disambut oleh ancaman tahun
ajaran yang panjang. Tetapi dengan cepat tampak jelas bahwa aku dan Hassan lebih ahli mengadu layanglayang dibandingkan membuatnya. Sedikit kesalahan atau hal lainnya pada layanglayang rancangan kami selalu mendatangkan kekalahan. Akhirnya Baba membawa kami
ke toko Saifo untuk membeli layang-layang. Saifo adalah seorang pria tua hampir
buta yang berprofesi sebagai moochi tukang sepatu. Meskipun begitu, dia juga
dikenal sebagai pembuat layang-layang paling ahli di seluruh kota. Dia bekerja
dalam sebuah bilik sempit di Jadeh Maywand, daerah sesak di sebelah selatan tepi
Sungai Kabul yang berlumpur. Aku ingat, kami harus merangkak untuk memasuki toko
seukuran sel penjara itu, lalu kami harus mengangkat tingkap
untuk merayap menuruni tangga kayu menuju ruang bawah tanah yang pengap, tempat
Saifo menyimpan koleksi layang-layangnya yang termashyur. Baba akan membelikan
masing-masing tiga layang-layang kembar dan segulung benang gelasan untuk kami.
Kalau aku berubah pikiran dan meminta layang-layang yang lebih besar dan lebih
indah, Baba akan membelikannya untukku tapi kemudian dia pun akan membelikan
juga untuk Hassan. Kadang-kadang aku berharap dia tidak melakukannya. Aku
berharap dia menjadikanku kesayangannya.
Turnamen adu layang-layang adalah tradisi musim dingin yang sudah dijalankan
sejak lama di Afghanistan. Turnamen ini dimulai pagi-pagi sekali dan baru
berakhir saat tinggal satu layang-layang pemenang menari di langit aku ingat,
pada suatu tahun, turnamen itu belum juga berakhir meskipun matahari sudah
tenggelam. Orang-orang berkerumun di trotoar dan atap-atap bangunan untuk
menyemangati anak-anak mereka yang sedang bertanding. Jalanan dipenuhi oleh
pengadu layang-layang yang menarik dan mengulur benang, memicingkan mata
memandang langit, berusaha mencari posisi terbaik untuk memotong benang lawan
mereka. Setiap pengadu layang-layang memiliki seorang asisten asistenku adalah
Hassan yang bertugas membawakan gulungan benang dan mengulurnya.
Suatu ketika, seorang anak India manja yang keluarganya baru saja pindah ke
lingkungan kami, memberi tahu kami bahwa di kampung halamannya,
adu layang-layang memiliki aturan yang ketat. "Kalian harus bermain dalam suatu
batas berbentuk persegi dan harus berdiri dengan sudut yang tepat untuk
menghadapi angin," katanya dengan bangga. "Dan kalian tidak boleh memakai
alumunium untuk membuat senar gelasan."
Aku dan Hassan saling memandang. Menahan tawa. Anak India itu akan segera
mengetahui satu hal yang dipelajari oleh orang Inggris di awal abad lalu, yang
akhirnya dipelajari juga oleh orang Rusia di akhir 1980-an: bahwa penduduk
Afghanistan adalah orang-orang merdeka. Penduduk Afghanistan menyukai tradisi
namun membenci aturan. Begitu pula dengan adu layang-layang. Aturannya
sederhana: Tidak ada aturan. Terbangkan saja layang-layangmu. Putuskan benang
lawanmu. Mudah-mudahan kamu beruntung.
Hanya saja, tidak cuma itu yang menyenangkan. Keasyikan dimulai ketika sebuah
layang-layang terputus. Saat itulah pengejar layang-layang beraksi. Bocah-bocah
itu mengejar layang-layang yang diterbangkan angin ke daerah pemukiman, hingga
akhirnya layang-layang itu berputar turun dan jatuh di lapangan, di halaman


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah seseorang, tersangkut di pohon, atau di atap rumah. Saat mereka mengejar
layang-layang, keadaan menjadi cukup brutal; serombongan pengejar membanjiri
jalanan, saling mendorong dan menjatuhkan seperti, yang pernah kubaca, dilakukan
orang-orang di Spanyol yang berlari menyelamatkan diri dari kejaran banteng.
Pada suatu tahun, seorang anak
tetangga memanjat pohon pinus untuk mengambil layang-layang yang tersangkut.
Batang pohon itu patah karena tidak kuat menahan berat tubuhnya dan anak itu pun
jatuh dari ketinggian sembilan meter. Punggungnya patah dan dia tidak akan
pernah berjalan lagi. Tapi dia jatuh dengan memegang layang-layang dalam
genggamannya. Dan bila seorang pengejar layang-layang mendapatkan layang-layang
di tangannya, tak ada yang bisa merebutnya. Ini bukanlah peraturan. Ini adalah
tradisi. Bagi para pengejar layang-layang, hadiah yang paling berharga adalah layanglayang yang terjatuh paling akhir dalam sebuah turnamen musim dingin. Itulah
trofi kehormatan yang diperebutkan, sesuatu yang bisa dipajang untuk dikagumi
para tamu. Saat langit sudah bersih dan hanya dua layang-layang lagi yang
tertinggal, setiap pengejar layang-layang mempersiapkan diri untuk menggapai
kesempatan memenangkan hadiah ini. Setiap anak bersiap-siap di titik yang mereka
pikir akan memberi mereka keunggulan saat mulai mengejar. Otot-otot yang tegang
bersiap untuk dilemaskan. Leher-leher terulur. Mata-mata memicing. Pertempuran
mulai pecah. Dan saat layang-layang terakhir terputus, kekacauan pun dimulai.
Sepanjang hidupku, aku telah melihat banyak pengejar layang-layang. Tapi sejauh
itu, Hassan adalah pengejar layang-layang terhebat yang pernah kulihat. Sungguh
menakjubkan melihat dia selalu menuju tepat di tempat sebuah layang-layang
terjatuh, bahkan sebelum layang-layang itu terjatuh, seolah-olah dalam dirinya
terdapat sebuah kompas. Aku ingat, pada suatu hari di musim dingin yang kelabu, aku dan Hassan mengejar
sebuah layang-layang. Aku mengikuti Hassan berlari di lingkungan kami, melompati
selokan, melaju di jalanan yang sempit. Aku setahun lebih tua dari dia, namun
Hassan berlari lebih cepat dariku, dan aku tertinggal di belakang.
"Hassan! Tunggu!" aku memanggilnya, napasku panas dan tersengal.
Dia memalingkan wajahnya, menggerakkan tangannya. "Lewat sini!" teriaknya
sebelum berbelok ke tikungan lain. Aku melihat ke arah yang ditun-jukannya, arah
yang berlawanan dengan arah jatuhnya layang-layang.
"Kita tidak akan mendapatkannya! Arah kita salah!" teriakku.
"Percayalah padaku!" aku mendengar teriakan Hassan di depanku. Aku sampai ke
tikungan itu dan melihat Hassan mempercepat larinya, kepalanya menunduk, bahkan
tidak melihat ke langit, keringat membasahi bagian belakang bajunya. Sebongkah
batu membuatku tersandung dan jatuh-aku tidak hanya lebih lamban daripada
Hassan, tapi juga lebih ceroboh; aku selalu merasa iri terhadap bakat
atletiknya. Saat aku berusaha berdiri, Hassan menghilang ke balik tikungan lain.
Aku berlari tunggang langgang mengikutinya, meskipun rasa sakit menusuki lututku
yang terluka. Kulihat kami menuju jalan kotor di dekat SMP Isteqlal. Di satu sisinya terdapat
lapangan yang ditumbuhi selada saat musim panas, dan di sisi yang lain terdapat
deretan pohon ceri masam. Aku mendapati Hassan duduk bersila di bawah salah satu
pohon, memakan buah murbei kering yang ada dalam genggamannya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" aku bertanya, napasku tersengal-sengal, perutku
terasa mual. Dia tersenyum. "Duduklah bersamaku, Amir agha."
Aku menjatuhkan diriku di dekatnya. Berbaring di atas lapisan salju tipis,
mengatur napas. "Gara-gara kamu, kita kehabisan waktu. Layang-layang itu terbang
ke arah lain, memangnya kau tidak lihat?"
Hassan melontarkan sebutir murbei ke mulutnya. "Layang-layangnya menuju ke
sini," katanya. Aku benar-benar kesulitan bernapas dan Hassan bahkan tidak
terdengar kelelahan. "Dari mana kau tahu?" tanyaku.
"Aku tahu." "Bagaimana kau bisa tahu?"
Dia menatapku. Butir-butir keringat mengalir dari kepalanya yang botak.
"Mungkinkah aku berbohong padamu, Amir agha?"
Saat itu juga aku memutuskan untuk sedikit bercanda dengannya. "Aku tak tahu.
Mungkinkah?" "Lebih baik aku makan tanah," katanya, terlihat tersinggung.
"Yang benar saja" Kau mau melakukannya?"
Dia menatapku dengan bingung. "Melakukan
apa?" "Makan tanah kalau aku menyuruhmu," kataku. Aku tahu aku bertindak jahat,
seperti saat aku menggodanya jika dia tidak tahu arti kata-kata sulit. Tapi ada
yang terasa menyenangkan-meskipun salah-saat aku menggoda Hassan. Seperti saat
kami mempermainkan serangga. Kecuali sekarang, Hassan menjadi semutnya, dan
akulah yang memegang kaca pembesar.
Matanya menelusuri wajahku selama beberapa saat. Kami duduk di sana, dua bocah
lelaki di bawah pohon ceri, tiba-tiba memandang, benar benar memandang satu sama
lain. Saat itulah terjadi lagi suatu keanehan: wajah Hassan berubah. Mungkin
tidak berubah, tidak benar-benar berubah, namun tiba-tiba aku merasa seperti
sedang memandang dua raut wajah, satu yang kukenal, yang ada dalam ingatan
pertamaku, dan satu lagi, raut wajah yang kedua, yang tersembunyi di bawah
permukaan. Sebelum itu, aku pernah melihat hal ini namun ini tetap membuatku
sedikit terkejut. Raut wajah yang lain ini hanya muncul selama sesaat, namun
cukup lama untuk meninggalkan perasaan gelisah karena mungkin sebelumnya aku
pernah melihat wajah itu di tempat lain. Saat Hassan berkedip, dia menjadi
dirinya kembali. Hanya Hassan.
"Kalau kau menyuruhku, aku akan melakukannya," akhirnya dia berkata, tatapannya
tertuju tepat padaku. Aku mengalihkan tatapanku. Hingga hari ini, aku merasa
kesulitan menatap langsung
orang-orang seperti Hassan, orang-orang yang benar-benar serius terhadap katakata yang mereka ucapkan.
"Tapi aku penasaran," Hassan menambahkan. "Mungkinkah kau menyuruhku melakukan
hal semacam itu, Amir agha?" Dan, hanya dengan pertanyaan ini, Hassan telah
meluncurkan ujian kecilnya untukku. Kalau aku ingin mempermainkannya dan
menantang kesetiaannya, dengan cara inilah dia mempermainkanku, menguji
integritasku. Aku menyesal telah memulai percakapan ini. Aku memaksakan sebuah senyuman.
"Jangan bodoh, Hassan. Kau tahu aku tidak akan melakukannya."
Hassan membalas senyumku. Hanya saja, senyumnya terlihat tulus. "Aku tahu,"
katanya. Dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang serius dengan setiap
ucapannya. Mereka menganggap orang lain juga begitu.
"Lihat, dia datang," kata Hassan seraya menunjuk ke langit. Dia bangkit dan
berjalan beberapa langkah ke kiri. Aku mendongak, melihat layang-layang yang
kami kejar meluncur turun ke arah kami. Aku mendengar suara langkah kaki,
teriakan, dan serombongan pengejar layang-layang mendekati kami. Tapi mereka
hanya menghabiskan waktu saja. Karena Hassan telah berdiri dengan lengan terbuka
lebar, tersenyum, menanti layang-layang itu. Dan semoga Tuhan-kalau Dia memang
ada membutakanku bila layang-layang itu tidak begitu saja menjatuhi lengannya
yang terbentang. Pada musim dingin 1975, aku melihat Hassan mengejar layang-layang untuk terakhir
kalinya. Biasanya, tiap distrik mengadakan kompetisi masing-masing. Tapi tahun itu,
turnamen adu layang-layang hanya akan diadakan di lingkunganku, Wazir Akbar
Khan, dan beberapa distrik yang lain Karteh Char, Karteh Parwan, Mekro Rayan,
dan Koteh Sangi diundang untuk mengikuti turnamen itu. Ke mana pun kami pergi,
kami selalu mendengar pembicaraan tentang turnamen yang akan segera
diselenggarakan itu. Kabarnya, turnamen ini akan menjadi turnamen terbesar yang
diadakan dalam dua puluh lima tahun terakhir.
Pada suatu malam di musim dingin itu, empat hari sebelum turnamen besar itu
dimulai, aku dan Baba duduk di sofa kulit empuk dekat perapian yang menyala
dalam ruang kerja Baba. Kami mengobrol sambil menyesap teh. Ali menghidangkan
makan malam lebih awal kentang dan nasi kari kembang kol dan segera pulang untuk
menghabiskan malam bersama Hassan. Baba menyumpal pipanya kemudian aku
memintanya untuk menceritakan kisah tentang sekelompok serigala yang menuruni
gunung di Herat pada suatu musim dingin dan memaksa semua orang untuk tinggal di
dalam rumah selama seminggu. Baba menyalakan korek api dan dengan tenang
mengatakan, "Kurasa, kau mungkin akan memenangkan turnamen tahun ini. Bagaimana
pendapatmu?" Aku tidak tahu pendapatku. Atau yang harus kukatakan. Apa Baba ingin aku menang"
Apakah itu harapannya" Aku adalah seorang pengejar layang-layang yang baik. Sangat baik,
malah. Beberapa kali, aku bahkan hampir memenangi turnamen musim dingin sekali
waktu, aku masuk dalam tiga besar. Tapi hampir menang tidaklah sama dengan
menang, bukan" Baba belum pernah hampir menang. Dia menang, karena pemenang
selalu menang dan semua orang lain harus pulang. Baba terbiasa menang; menang
dalam semua hal yang ingin dia menangi. Tidakkah dia memiliki hak untuk
mengharapkan hal yang sama dari anak lelakinya" Bayangkan saja. Kalau aku menang
.... Baba mengepulkan pipanya dan berbicara. Aku berpura-pura mendengarkan. Tapi aku
tidak bisa mendengarkan, tidak benar-benar bisa, karena komentar-komentar kecil
Baba yang diucapkan sambil lalu telah menanamkan suatu benih dalam kepalaku:
suatu tekad bahwa aku akan memenangi turnamen musim dingin itu. Aku harus
menang. Tidak ada pilihan lain. Aku harus menang, dan aku harus mengejar layanglayang terakhir itu. Lalu aku akan membawanya pulang dan menunjukkannya pada
Baba. Akhirnya menunjuk-kan padanya bahwa anak lelakinya juga berharga. Lalu
mungkin kehidupanku sebagai sesosok hantu dalam rumah ini akan berakhir. Aku
membiarkan dirikuy bermimpi: aku membayangkan percakapan dan tawa selama makan
malam, bukannya kesunyian yang hanya dipecahkan oleh dentingan peralatan makan
perak dan beberapa kali suara kunyahan. Aku membayangkan kami berjalan-jalan
pada hari Jumat, mengendarai mobil Baba menuju Paghman, dan dalam perjalanan
singgah di Danau Gargha untuk menyantap ikan trout goreng dan kentang. Kami akan
pergi ke kebun binatang untuk melihat Marjan si singa, dan mungkin Baba tidak
akan menguap dan melirik arlojinya sepanjang waktu. Mungkin Baba bahkan akan
membaca salah satu ceritaku. Mungkin dia akan memanggilku Amir jan, seperti yang
dilakukan Rahim Khan. Dan mungkin, mungkin saja, akhirnya aku akan bisa meminta
maaf padanya karena telah membunuh ibuku.
Baba sedang menceritakan padaku tentang pengalamannya saat dia memutuskan empat
belas layang-layang dalam sehari. Aku tersenyum, menganggukkan kepalaku, tertawa
di saat yang tepat, tapi aku tidak menangkap satu kata pun yang diucapkannya.
Sekarang aku memiliki misi. Dan aku tidak akan mengecewakan Baba. Tidak kali
ini. Pada malam sebelum turnamen, hujan salju turun dengan lebat. Aku dan Hassan
duduk di bawah kursi dan bermain panjpar, sementara cabang-cabang pohon yang
diterpa angin mengetuk-ngetuk jendela. Pagi itu, aku telah meminta Ali untuk
menyiapkan kursi bagi kami pada dasarnya terdiri dari seperangkat pemanas
listrik yang diletakkan di bawah meja pendek yang ditutup oleh selimut perca
tebal. Di sekeliling meja, Ali mengatur matras dan
bantal, sehingga 20 orang pun bisa duduk melingkari meja itu dan menyelipkan
kaki mereka di bawahnya. Aku dan Hassan suka menghabiskan seluruh hari yang
bersalju di bawah kursi yang nyaman, sambil bermain catur, kartu, dan terutama
panjpar. Aku mengalahkan kartu sepuluh hati Hassan, menantangnya dengan dua jack dan satu
enam. Di ruang sebelah, ruang kerja Baba, Baba dan Rahim Khan sedang membahas
masalah bisnis dengan beberapa pria lain-aku mengenali salah satunya sebagai
ayah Assef. Aku bisa mendengar suara desisan Radio Kabul News menembus dinding.
Hassan mengalahkan kartu enam dan mengambil dua kartu jack-ku. Di radio, Daoud
Khan sedang mengumumkan sesuatu mengenai penanaman modal asing.
"Dia bilang, suatu hari nanti, kita akan bisa menonton televisi di Kabul," aku
berkata. "Siapa?" "Daoud Khan, dasar bodoh, presiden kita."
Hassan terkikik. "Kudengar, di Iran sudah ada televisi," katanya.
Aku menghala napas. "Orang-orang Iran itu Bagi kebanyakan kaum Hazara, Iran
melambangkan suatu tempat suci, atau semacamnya kupikir karena, seperti kaum
Hazara, kebanyakan penduduk Iran adalah Muslim Syi'ah. Tapi aku ingat sesuatu
tentang orang Iran yang dikatakan guruku musim panas itu. Bahwa mereka adalah
pembicara ulung yang menepuk-nepuk punggungmu dengan satu tangan dan mencopet
dom-petmu dengan tangan yang lain. Aku menceritakan hal itu pada Baba dan dia bilang, guruku adalah
salah satu dari bangsa Afghanistan yang dibakar api cemburu; cemburu karena Iran
menjadi kekuatan Asia yang mulai bangkit, sementara kebanyakan penduduk dunia
tidak dapat menunjukkan letak Afghanistan di peta dunia. "Memang menyakitkan
mengatakannya," kata Baba sambil mengangkat bahu. "Tapi lebih baik disakiti oleh
kenyataan daripada dinyamankan oleh kebohongan."
"Aku akan membelikan satu untukmu nanti," a-ku berkata.
Wajah Hassan berbinar. "Televisi" Benarkah?"
"Pasti. Dan bukan yang hitam putih. Mungkin saat itu kita sudah dewasa, tapi aku
akan membeli dua. Satu untukku dan satu untukmu."
"Aku akan meletakkannya di mejaku, tempatku menyimpan gambar-gambarku," kata
Hassan. Perkataan Hassan ini membuatku bersedih. Aku bersedih untuk jati diri Hassan,
dan untuk tempatnya tinggal. Untuk kepasrahannya menerima kenyataan bahwa dia
akan menua di pondok tanah liat di halaman, seperti yang terjadi pada ayahnya.
Aku menjatuhkan kartu terakhir, menantangnya dengan sepasang queen dan kartu
sepuluh. Hassan mengambil kedua kartu queen. "Kau tahu, kupikir, kau akan membuat Agha
sahib sangat bangga besok."
"Begitukah menurutmu?"
"Insya Allah," katanya.
"Insya Allah," aku mengikutinya, meskipun kalimat ini tidak terdengar tulus saat
mengalir dari mulutku. Begitulah Hassan. Dia begitu murni, sehingga saat berada
di dekatnya, aku selalu merasa bagaikan seorang penipu.
Aku mengalahkan kartu kingnya dan menantangnya dengan kartu terakhirku, as
sekop. Dia harus mengambilnya. Aku menang, namun saat aku mengocok kartu untuk
permainan selanjutnya, aku curiga bahwa Hassan telah membiarkan aku menang.
"Amir agha?" "Ya?" "Kau tahu ... aku suka tempatku tinggal." Dia selalu melakukannya, membaca
pikiranku. "Itulah rumahku."
"Terserahlah," kataku. "Bersiaplah untuk kalah
lagi." Tujuh .keesokan paginya, sambil menyeduh teh hitam
untuk sarapan, Hassan menceritakan mimpinya padaku. "Kita sedang berada di Danau
Gargha, kau, aku, Ayah, Agha sahib, Rahim Khan, dan ribuan orang lainnya,"
katanya. "Hari cerah dan hangat, dan danau itu bening bagaikan cermin. Tetapi
tak ada seorang pun yang berenang di sana, karena kabarnya ada monster yang
berdiam dalam danau itu. Dia berenang-renang di dasar danau, menanti mangsanya."
Hassan menuangkan teh ke cangkirku dan menambahkan gula, lalu meniup-niupnya
beberapa saat. Diletakkannya cangkir itu di hadapanku. "Jadi, semua orang takut
mendekati danau itu, dan Amir agha, tiba-tiba kau membuka sepatu dan bajumu.
'Tidak ada monster di situ,' katamu. 'Aku akan menunjukkan pada kalian semua.'
Dan sebelum seorang pun bisa menghentikanmu, kau menyelam dalam danau itu,
berenang menjauh. Aku mengikutimu, dan kita pun berenang berdua." "Tapi kau kan
tak bisa berenang." Hassan tertawa. "Ini kan hanya mimpi, Amir agha, dalam mimpi, kita bisa
melakukan apa saja. Meskipun semua orang berteriak, 'Keluarlah! Keluarlah dari danau!' tapi kita
tetap berenang di air yang dingin itu. Kita berenang terus sampai ke tengah dan
akhirnya berhenti. Lalu, kita berbalik menghadapi tepian dan melambaikan tangan
ke orang-orang di sana. Mereka terlihat sekecil semut, tetapi kita bisa
mendengar tepukan tangan mereka. Sekarang mereka melihat sendiri. Tidak ada
monster, cuma ada air. Setelah kejadian itu, mereka mengubah nama danau itu
menjadi 'Danau Amir dan Hassan, Sultan-Sultan Kabul,' dan bila orang lain ingin
berenang di sana, mereka harus membayar pada kita."
"Jadi, maksudnya apa?" aku bertanya.
Dia mengoleskan selai jeruk di naan ku dan meletakkannya di piring. "Aku tidak
tahu. Aku harap kau bisa memberitahuku."
"Hmm, itu hanya mimpi konyol. Tidak berarti apa-apa."
"Kata Ayah, mimpi selalu punya arti."
Aku menyesap tehku. "Kalau begitu, kenapa kau tidak tanya dia saja" Dia kan
sangat pintar," kataku, lebih ketus dari yang kumaksud. Aku tidak bisa tidur
sepanjang malam. Leher dan punggungku terasa seperti per kusut, dan mataku


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanar. Tapi tetap saja, aku telah mengasari Hassan. Aku hampir meminta maaf,
namun mengurungkannya. Hassan mengerti bahwa aku hanya gugup. Hassan selalu
mengerti aku. Dari lantai atas, terdengar suara air mengalir di kamar mandi Baba.
Jalanan berkilau dengan salju segar dan langit biru tak berawan. Salju
menyelimuti setiap atap rumah dan membebani cabang-cabang pohon murbei yang
berderet di pinggir jalan. Hanya dalam semalam, salju telah memenuhi setiap
celah dan selokan. Aku memicingkan mata, menghindarkan tatapanku dari putihnya
salju yang membutakan, saat keluar melewati gerbang besi tempa bersama Hassan.
Ali menutup gerbang setelah kami berlalu. Aku mendengarnya menggumankan doa
singkat dia selalu berdoa bila anaknya meninggalkan rumah.
Aku belum pernah melihat begitu banyak orang memenuhi jalan kami. Anak-anak
saling melempar bola salju, saling berebutan, saling mengejar, sambil terkikikkikik. Para pengadu layang-layang berkumpul dengan pembawa benang mereka,
bersiap-siap pada saat-saat terakhir. Dari sekeliling jalan itu, aku mendengar
suara tawa dan gurauan. Atap-atap rumah telah dipenuhi oleh para penonton yang
duduk bersantai di kursi taman, berbekal teh panas mengepul yang tersimpan dalam
termos, dan hentakan musik Ahmad Zahir dari pemutar kaset. Ahmad Zahir, yang
saat itu kepopulerannya sedang melejit, merevolusi musik Afghan dan membakar
janggut kaum radikal dengan menambahkan elemen gitar listrik, drum, dan
terompet, pada musik tradisional yang hanya mengandalkan alunan tabla dan
harmonium. Dalam setiap aksinya di atas panggung atau di pesta-pesta,
penampilannya tak pernah sederhana sehingga dia membuat sebal para penyanyi yang
lebih senior. Dia pun benar-benar
menyunggingkan senyum saat menyanyi kadang-kadang bahkan menujukannya pada para
gadis. Aku melayangkan pandangan ke atap rumah kami. Di sana, Baba dan Rahim
Khan duduk di bangku, keduanya mengenakan sweter wol dan menyesap teh. Baba
melambai padaku. Aku benar-benar tidak tahu apakah sebenarnya dia melambai
padaku atau pada Hassan. "Kita harus bersiap-siap," kata Hassan. Dia mengenakan sepatu bot salju dari
karet hitam dan chapan jubah panjang-hijau cerah di atas sweter tebal dan celana
korduroi yang warnanya sudah memudar. Sinar matahari menimpa wajahnya. Bekas
luka merah jambu di atas bibirnya telah memudar.
Tiba-tiba aku tak ingin terus mengikuti turnamen ini. Aku ingin mengemasi semua
peralatanku dan pulang ke rumah. Apa yang kupikirkan" Mengapa aku menjerumuskan
diriku ke dalam semua ini, jika aku sudah tahu hasilnya" Baba mengamatiku dari
atap. Tatapannya padaku terasa bagai sengatan sinar matahari. Turnamen ini akan
menjadi kegagalan besar bagiku.
"Aku tidak yakin ingin menerbangkan layang-layang hari ini," kataku.
"Ini hari yang cerah," kata Hassan.
Aku menggeserkan kakiku, berusaha mengalihkan pandanganku dari atap rumah kami.
"Aku tak tahu. Mungkin sebaiknya kita pulang saja."
Hassan melangkah ke hadapanku, dengan berbisik, dia mengatakan sesuatu yang
sedikit menakutkanku. "Ingat, Amir agha. Tidak ada
monster, hanya ada hari yang cerah." Bagaimana dia bisa begitu mudah membaca
pikiranku, sementara aku tidak tahu setengah pun dari isi kepalanya" Padahal
akulah yang mengenyam bangku sekolah, yang bisa membaca dan menulis. Aku-lah
yang pintar. Hassan tidak mampu membaca buku pelajaran untuk kelas satu, namun
dia mampu membaca banyak hal yang tersembunyi dalam diriku. Meresahkan memang,
tapi rasanya cukup nyaman memiliki seseorang yang selalu mengetahui kebutuhanmu.
"Tak ada monster," kataku, terkejut karena merasa sedikit lebih baik.
Hassan tersenyum. "Tak ada monster."
"Kau yakin?" Dia menutup matanya dan mengangguk.
Aku memandang anak-anak yang lalu-lalang di jalan, saling melempar bola salju.
"Hari ini memang indah, ya?"
"Ayo terbang," katanya.
Saat itu terpikir olehku bahwa mungkin saja Hassan mengarang mimpinya.
Mungkinkah" Kuputuskan, dia tidak mengarang. Hassan tidak sepintar itu. Tapi
entah hasil karangan atau tidak, nyatanya mimpi itu telah mengangkat sebagian
kecemasanku. Mungkin aku sebaiknya membuka baju dan berenang di danau. Mengapa
tidak" "Ayo kita lakukan," sambutku.
Wajah Hassan berseri. "Bagus," katanya. Dia mengangkat layang-layang kami, merah
dengan pinggiran kuning, dan, tepat di bawah pertemuan
rangka-rangka tengahnya, terdapat tanda tangan Saifo yang meyakinkan. Hassan
menjilat jarinya dan mengangkat tangannya ke atas untuk memastikan arah angin,
lalu berlari ke arah itu di beberapa kesempatan yang jarang terjadi, saat kami
menerbangkan layang-layang pada musim panas, Hassan menendang pasir untuk
mengetahui arah angin bertiup. Gulungan benang berputar di tanganku hingga
Hassan berhenti, sekitar 15 meter dariku. Dia mengangkat layang-layang itu ke
atas kepalanya, seperti atlet Olimpiade yang memamerkan medali emas. Aku
menghentak-kan benang dua kali, tanda yang biasa kami gunakan, dan Hassan pun
melontarkan layang-layang itu.
Terjebak di tengah-tengah penjelasan Baba dan guru-guruku di sekolah, aku belum
juga memutuskan pendapatku mengenai Tuhan. Tapi ketika aku teringat salah satu
ayat Al-Quran yang kupelajari di kelas diniyat, aku melafalkannya. Aku menarik
napas panjang, menghelanya, dan menarik benang layang-layangku. Dalam semenit,
layang-layangku telah membumbung ke langit. Suara yang ditimbulkannya bagaikan
kepakan sayap burung kertas. Hassan bertepuk tangan, bersiul, dan berlari
kembali padaku. Aku menyerahkan gulungan benang padanya, memegang untaian benang
yang tersisa, dan Hassan dengan cepat menggulung untaian itu kembali.
Setidaknya dua lusin layang-layang menari di langit, bagaikan ikan hiu kertas
yang meluncur mencari mangsa. Dalam satu jam, jumlah
layang-layang yang memenuhi langit bertambah dua kali lipat. Warna-warna merah,
biru, dan kuning menukik dan berputar di langit. Angin dingin menyapu rambutku.
Angin bertiup sempurna untuk menerbangkan layang-layang, cukup kuat untuk
mengangkatnya, memudahkannya melayang. Di sebelahku, Hassan memegang gulungan
benang, tangannya mulai berdarah.
Tak lama kemudian adu layang-layang dimulai, dan layang-layang pertama yang
kalah meluncur turun lepas kendali. Layang-layang yang terputus jatuh dari
langit bagaikan bintang jatuh berwarna cerah dengan ekor bergelombang,
menghujani pemukiman di bawahnya, menjadi hadiah bagi para pengejar layang-layang. Aku bisa mendengar suara mereka, bersorak-sorai
sembari berlarian di jalanan. Seseorang meneriakkan laporan tentang pecahnya
perkelahian di jalan lain.
Aku berulang kali melirik pada Baba yang duduk di atap bersama Rahim Khan,
menebak-nebak apa yang ada dalam pikirannya. Apakah dia bersorak untukku" Atau
apakah sebagian dari dirinya merasakan kenikmatan melihatku gagal" Yang terjadi
saat menerbangkan layang-layang, pikiranmu melayang bersamanya.
Banyak layang-layang berjatuhan, dan milikku masih terbang. Aku masih terbang.
Aku berulang kali mencuri pandang pada Baba, yang terbungkus dalam sweter
wolnya. Terkejutkah dia mendapati aku bertahan selama ini" Kalau kau tidak
terus-terusan melihat ke langit, kau tidak akan
bertahan lama. Aku segera mengalihkan tatapanku kembali ke langit. Sebuah
layang-layang merah mendekati layang-layangku aku mendapatkannya tepat waktu.
Kami saling membelit, dan akhirnya, saat kesabaran pemilik layang-layang itu
berkurang dan dia mencoba memutuskan benangku dari bawah, aku lebih dulu memutus
benangnya, Di sepanjang jalan, para pengejar layang-layang kembali dari perburuan mereka
dengan kemenangan, mengangkat tinggi-tinggi layang-layang taklukan mereka.
Mereka memamerkannya pada orangtua dan teman-teman mereka. Tapi mereka semua
tahu bahwa bagian terbaik dari turnamen ini belumlah terjadi. Hadiah utama masih
melayang di langit. Aku memutuskan layang-layang kuning berekor putih panjang.
Akibatnya, luka di jari telunjukku bertambah, dan darah pun mengalir ke telapak
tanganku. Kuberikan benangku pada Hassan supaya aku bisa menghisap lukaku hingga
darah berhenti mengalir, lalu kutem-pelkan bagian yang terluka itu pada celana
jinsku. Satu jam kemudian, jumlah layang-layang yang bertahan menyusut, dari lima
puluhan menjadi hanya dua belas. Milikku salah satunya. Aku berhasil masuk dalam
dua belas besar. Aku tahu bahwa pada titik ini, turnamen ini akan berjalan
lambat, karena siapa pun yang mampu bertahan hingga tahap ini adalah pemain
layang-layang yang baik mereka tidak akan dengan mudah jatuh dalam jebakan umum
sederhana, seperti jebakan angkat dan tukik favorit Hassan.
Pada pukul tiga siang, sekelompok awan berarak menutupi matahari. Bayangan mulai
memanjang. Para penonton yang berdiam di atas atap semakin tenggelam dalam
belitan syal dan mantel tebal mereka. Jumlah layang-layang di langit tinggal
enam, dan milikku masih melayang. Kakiku sakit dan leherku kaku. Tapi tiap kali
satu layang-layang dijatuhkan, harapan tumbuh dalam hatiku, bagaikan salju yang
perlahan melapisi dinding, setitik demi setitik.
Tatapanku berulang kali tertuju pada layang-layang biru yang terus menggila
selama satu jam terakhir.
"Berapa yang sudah dia jatuhkan?" tanyaku.
"Yang kuhitung ada delapan," jawab Hassan.
"Kau tahu kira-kira siapa pemiliknya?"
Hassan mendecakkan lidah dan mengangkat dagunya. Itulah isyarat khas Hassan,
artinya, dia tidak tahu. Layang-layang biru itu memotong benang layang-layang
besar berwarna ungu dan berputar dua kali dalam lingkaran besar. Sepuluh menit
kemudian, layang-layang itu kembali menjatuhkan dua layang-layang lagi, mengirim
sepasukan pengejar layang-layang kembali berburu.
Tiga puluh menit kemudian, hanya empat layang-layang yang tersisa. Dan milikku
masih menari di langit. Sepertinya aku tidak mungkin membuat gerakan yang salah,
seolah-olah setiap tiupan angin menguntungkanku. Belum pernah selama ini aku
merasa begitu unggul, begitu beruntung. Aku tidak berani melayangkan pandangan
ke atas atap. Tidak berani mengalihkan pandanganku dari langit. Aku harus
berkonsentrasi, tidak boleh melakukan kesalahan. Lima belas menit kemudian,
terjadilah hal yang paginya kupikir hanya ada dalam mimpi menggelikan: Hanya ada
aku dan seorang lagi. Layang-layang biru itu.
Ketegangan di udara terasa setajam benang berlapis kaca yang kugenggam dalam
tanganku yang berdarah. Para penonton menghentak-hentakkan kaki, bertepuk
tangan, bersiul, berteriak menyemangati, "Boboresh! Boboresh!" Putuskan!
Putuskan! Aku berpikir, apakah suara Baba ada di dalamnya. Suara musik
menggelegar. Aroma mantu asap dan pakora goreng menembus atap-atap rumah dan
pintu-pintu yang terbuka.
Namun satu-satunya suara yang kudengar satu-satunya suara yang kuperkenankan
untuk kudengar adalah detakan darah yang mengalir dalam pembuluh di kepalaku.
Satu-satunya benda yang kulihat adalah layang-layang biru itu. Satu-satunya
aroma yang kucium adalah kemenangan. Pembebasan. Penebusan. Kalau Baba salah dan
Tuhan memang ada, seperti yang selalu mereka katakan di sekolah, maka Dia akan
memberikan kemenangan padaku. Aku tidak tahu yang membuat lawanku ingin menang,
mungkin hanya hak untuk menyombongkan diri. Tetapi inilah satu-satunya
kesempatanku untuk menjadi seseorang yang dilihat, bukannya terlihat, didengar,
bukannya terdengar. Jika Tuhan memang ada, Dia akan mengarahkan angin,
membiarkannya meniup layang-layangku, hingga hanya dengan satu hentakan benang,
aku akan memutuskan rasa sakitku, dambaanku. Aku telah melalui begitu banyak
hal, telah berjalan begitu jauh. Dan tiba-tiba, begitu saja, harapan menjadi
nyata. Aku akan memenangkannya. Ini hanya masalah waktu.
Ternyata kejadiannya begitu cepat. Tiupan a-ngin mengangkat layang-layangku dan
aku memanfaatkannya. Kuulurkan benangku, dan layang-layangku pun membubung
tinggi. Kuputarkan layang-layangku di atas layang-layang biru itu. Kupertahankan
posisiku. Layang-layang biru itu tahu bahwa dirinya sedang berada dalam masalah.
Dengan putus asa, dia mencoba meloloskan diri dari kekacauan yang kuciptakan,
namun aku tidak membiarkannya. Kupertahankan posisiku. Kerumunan penonton dapat
merasakan bahwa akhir turnamen ini akan segera tiba. Teriakan "Putuskan!
Putuskan!" semakin keras, bagaikan bangsa Romawi yang meneriaki para gladiator
untuk membunuh, membunuh!
"Sedikit lagi, Amir agha! Sedikit lagi!" Hassan terengah-engah.
Lalu, tibalah saat itu. Aku menutup mata dan melonggarkan genggamanku pada
benang. Saat angin membawanya, jari-jariku kembali terluka. Lalu aku tak perlu
mendengarkan sorak sorai penonton untuk mengetahui. Aku juga tak perlu
melihatnya. Hassan bersorak dan memeluk leherku.
"Bravo! Bravo, Amir agha!"
Kubuka mataku, kusaksikan layang-layang biru
itu meluncur turun, berputar liar seperti ban yang terlepas dari mobil yang
sedang melaju cepat. Aku mengedipkan mata, mencoba mengatakan sesuatu. Aku tak
bisa berkata-kata. Tiba-tiba aku melayang, memandang ke bawah pada diriku
sendiri. Mantel kulit hitam, syal merah, jins pudar. Seorang anak lelaki kurus,
sedikit pucat, dan bertubuh pendek untuk ukuran anak berumur dua belas tahun.
Bahunya kecil dan mata coklat pucatnya dikelilingi lingkaran hitam samar. Angin
mempermainkan rambut cokelat mudanya. Dia mengangkat kepalanya, memandang ke
arahku, dan kami pun saling memberikan senyuman.
Lalu aku bersorak, dan semuanya berwarna dan bersuara, semuanya hidup dan
menyenangkan. Aku melayangkan tanganku yang bebas memeluk Hassan dan kami pun
berjingkrak, kami berdua tertawa, kami berdua menangis. "Kau menang, Amir agha!
Kau menang!" "Kita menang! Kita menang!" hanya itulah yang bisa kuucapkan. Ini tidak mungkin
terjadi. Dalam sesaat, aku akan mengedipkan mata dan terbangun dari mimpi indah
ini, turun dari tempat tidur, berjalan menuju dapur untuk menyantap sarapan
tanpa punya teman bicara kecuali Hassan. Berpakaian. Menunggu Baba. Menyerah.
Kembali pada kehidupan lamaku. Lalu aku menatap Baba di atas atap. Dia berdiri
di sana, mengacung-acungkan kedua kepalannya. Bersorak-sorak dan bertepuk
tangan. Dan itulah satu-satunya peristiwa terhebat sepanjang dua belas tahun
kehidupanku, melihat Baba di atas atap, akhirnya bangga terhadap diriku.
Tapi saat itu Baba melakukan sesuatu, menggerakkan tangannya seolah-olah hal
darurat terjadi. Lalu aku mengerti. "Hassan, kita-"
"Aku tahu," katanya, melepaskan diri dari pelukanku. "Insya Allah, kita nanti
akan merayakannya. Sekarang, aku akan membawa layang-layang biru itu padamu."
Dia menjatuhkan gulungan benang dan segera berlari, bagian belakang chapan
hijaunya terseret di salju.
"Hassan!" panggilku. "Kembalilah dengan layang-layang itu!"
Hassan telah membelok di tikungan, sepatu bot karetnya menendang salju. Dia
berhenti, membalikkan badan. Kedua tangannya membentuk corong di sekeliling
mulutnya. "Untukmu, keseribu kalinya!" katanya. Lalu dia melayangkan senyuman
khas Hassan dan menghilang di balik tikungan. Saat berikutnya aku melihat Hassan
tersenyum lepas seperti itu adalah dua puluh enam tahun kemudian, dalam sehelai
foto Polaroid yang telah memudar.
Aku mulai menarik layang-layangku saat orang-orang berebut menyelamatiku. Aku
menyalami mereka, mengucapkan terima kasih. Bocah-bocah kecil memandangku dengan
tatapan kagum; aku adalah seorang pahlawan. Tangan-tangan menepuk punggungku dan
mengacak-acak rambutku. Aku menarik benangku dan membalas setiap senyuman, namun
pikiranku tertuju pada layang-layang biru itu.
Akhirnya, layang-layangku kembali ke tanganku. Aku menggulung benang yang
terkumpul di kakiku, menyalami beberapa orang lagi, dan berjalan pulang. Saat
aku mencapai pagar besi-tempa, Ali menunggu di baliknya. Dia mengulurkan
tangannya melalui jeruji. "Selamat," katanya.
Kuserahkan layang-layang dan benangku padanya, menyalaminya. "Tashakor, Ali
jan." "Aku mendoakanmu sepanjang waktu."
"Kalau begitu, teruslah berdoa. Kita belum menyelesaikannya."
Aku kembali berlari ke jalan. Aku tidak bertanya pada Ali mengenai Baba. Aku
belum ingin menemuinya. Di kepalaku sudah tersusun rencana: Aku akan memasuki
rumah dengan agung, seorang pahlawan, dengan membawa penghargaan utama dalam
tanganku yang penuh darah. Kepala-kepala akan berpaling dan mata-mata akan
terpaku. Rostam dan Sohrab saling menilai. Saat sunyi yang dramatis. Lalu
pahlawan yang lebih tua akan mendatangi yang lebih muda, memeluknya erat,
mengakui kehebatannya. Pengakuan. Pembebasan. Penebusan. Lalu" Yah ... tentu saja
bahagia selama-lamanya. Apa lagi"
Jalan-jalan di Wazir Akbar Khan bernomor dan berblok-blok bagaikan pagar kawat.
Lingkungan itu masih baru, sedang berkembang, di setiap jalan dapat ditemukan
petak-petak tanah kosong dan rumah-rumah yang tengah dibangun pada lahan yang
masing-masing dipisahkan oleh pagar tembok setinggi 2,5 meter. Aku berlari
menyusuri setiap ruas jalan, mencari Hassan. Di mana-mana,
orang-orang sibuk melipat kursi, mengemasi makanan dan perangkat-perangkat
lainnya setelah seharian berpesta. Beberapa orang, masih berdiam di atas atap,
meneriakkan ucapan selamat untukku.
Empat jalan di sebelah selatan jalan kami, aku melihat Omar, putra seorang
insinyur teman Baba. Dia sedang memainkan bola sepak dengan saudaranya di
halaman depan rumah mereka. Omar anak yang baik. Kami sekelas saat kelas empat,
dan dia pernah memberiku pulpen yang harus senantiasa diisi ulang.
"Kudengar kau menang, Amir," katanya. "Selamat."


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih. Apa kau melihat Hassan?"
"Hazaramu?" Aku mengangguk. Omar menyundul bola ke arah saudaranya. "Kudengar dia pengejar layang-layang
hebat." Saudaranya menyundul bola itu kembali pada Omar. Omar mendapatkannya,
melontarkannya naik turun. "Meskipun aku terus-terusan berpikir, bagaimana dia
bisa melakukannya. Maksudku, dengan mata sesipit itu, bagaimana dia bisa
melihat?" Saudaranya tertawa pendek, dan meminta bola itu. Omar mengabaikannya.
"Kamu lihat dia?"
Omar mengacungkan jempolnya di depan bahu, menunjuk ke arah barat daya. "Aku
melihatnya berlari ke arah pasar beberapa saat yang lalu."
"Terima kasih." Aku segera berlalu.
Saat aku mencapai pasar, matahari hampir
terbenam di balik bukit dan langit senja berwarna merah muda dan lembayung.
Beberapa blok kemudian, dari Masjid Haji Yaghoub, seorang mullah melantunkan
azan, memanggil mereka yang beriman untuk membentangkan sajadah dan bersujud ke
arah kiblat. Hassan tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Bahkan saat kami
tengah bermain, dia akan meninggalkanku, mengambil air wudhu dari sumur di
halaman, menyucikan diri, dan menghilang ke dalam pondoknya. Dia akan keluar
beberapa menit kemudian, menyunggingkan senyum, menda-patiku duduk bersandar
pada tembok atau duduk di atas pohon. Malam ini dia akan meninggalkan shalatnya,
gara-gara aku. Pasar itu menjadi kosong dengan cepat, para pedagang menyelesaikan kegiatan
tawar menawar mereka hari itu. Aku menyeret kakiku pada tanah berlumpur di
antara deretan kios-kios yang dipenuhi barang dagangan; satu kios menjual burung
merak yang baru dipotong, dan kios di sebelahnya menjual kalkulator. Aku
berusaha maju, menyelinap di tengah tengah kerumunan, pengemis pengemis
menyedihkan berpakaian compang camping, pedagang-pedagang yang memikul permadani
di bahu mereka, pedagang kain dan pedagang daging yang menutup kios mereka
setelah berjualan seharian. Tidak ada tanda-tanda Hassan.
Aku berhenti di depan kios yang menjual buah-buahan kering, menggambarkan ciriciri Hassan pada seorang pedagang tua yang sedang membebankan berpeti-peti benih
pinus dan kismis pada seekor keledai. Pria itu mengenakan serban berwarna biru pucat.
Dia berhenti dan memandangku beberapa saat sebelum menjawab, "Sepertinya aku
pernah melihat anak itu."
"Kemana dia pergi?"
Dipandangnya diriku lekat-lekat. "Untuk apa a-nak seperti kamu mencari seorang
Hazara, di sini dan sesore ini?" Tatapannya menunjukkan kekaguman pada mantel
kulit dan celana jinsku celana koboi, kami biasa menyebutnya. Di Afghanistan,
memiliki barang-barang berbau Amerika, lebih-lebih bila barang itu bukan barang
bekas, selalu menunjukkan kekayaan.
"Aku harus menemuinya, Agha."
"Memangnya dia siapamu?" tanyanya. Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya,
namun terus kuingatkan diriku bahwa ketidaksabaran tidak akan membuat pria itu
lebih cepat memberitahuku.
"Dia anak pelayan kami," jawabku.
Pria tua itu mengangkat alisnya yang kelabu. "Begitu ya" Hazara yang beruntung,
punya tuan yang begitu memikirkannya. Ayahnya seharusnya berlutut di hadapanmu,
menyapu debu yang menempel di kakimu dengan bulu matanya."
"Anda akan memberitahuku atau tidak?"
Dia meletakkan lengannya ke punggung keledai, menunjuk ke arah selatan. "Kalau
tidak salah, aku melihat anak dengan ciri-ciri yang kausebutkan itu berlari ke
arah sana. Dia membawa layang-layang berwarna biru."
"Benarkah?" aku berkata. Untukmu keseribu kalinya, dia telah berjanji. Hassan
yang baik. Hassan yang bisa diandalkan. Dia telah menepati janjinya dan mengejar
layang-layang terakhir untukku.
"Tentu saja, mereka pasti telah menangkap dia sekarang," ujar pedagang tua itu
seraya mendengus dan memuat satu kotak lagi ke punggung keledainya.
"Siapa?" "Anak-anak yang lain," katanya. "Yang mengejar-ngejarnya. Mereka berpakaian
seperti kamu." Dia melirik ke langit dan menghela napas. "Sekarang, pergilah,
aku jadi telat shalat gara-gara kamu."
Tapi aku telah berlari menyusuri jalan.
Selama beberapa menit, aku menjelajahi pasar itu dengan sia-sia. Mungkin
pedagang tua itu sudah rabun. Tetapi, bukankah dia melihat sebuah layang-layang
biru" Aku membayangkan menyentuh layang-layang itu ... kulongokkan kepalaku di
setiap belokan, setiap toko. Tidak ada tanda-tanda Hassan.
Aku mulai khawatir bahwa hari akan beranjak malam sebelum aku menemukan Hassan,
ketika aku mendengar suara-suara dari arah depanku. Aku tiba di jalan berlumpur
yang sunyi, cabang dari jalan utama yang melintasi pasar. Kususuri jejak yang
dalam di tanah berlumpur itu, mengikuti arah datangnya suara. Sepatu botku
terbenam di lumpur setiap kali aku melangkah dan setiap embusan
napasku menghasilkan gumpalan uap putih. Sejajar dengan jalan sempit itu,
terbentang sebuah ngarai yang dipenuhi salju. Pada musim semi, sungai kecil
mengalihnya. Di sisi jalan yang lain, pohon-pohon cedar yang dibebani salju
berdiri di antara rumah-rumah berdinding tanah liat beratap datar sebagian besar
hanyalah pondok-pondok dari lumpur kering yang dipisahkan oleh gang-gang sempit.
Aku mendengar suara itu lagi, kali ini lebih keras, dari salah satu gang itu.
Perlahan aku mendekat ke mulut gang. Menahan napasku. Mengintip dari sudut.
Hassan berdiri menantang di ujung gang buntu itu. Tangannya mengepal, kakinya
terbuka. Di belakangnya, pada tumpukan sampah dan puing-puing bangunan, layanglayang biru itu tergeletak. Kunciku untuk membuka hati Baba.
Di depan Hassan, menghalangi jalan keluar gang itu, berdiri tiga anak lelaki.
Tiga orang yang kami temui di bukit hari itu, sehari setelah kudeta Daoud Khan,
saat Hassan menyelamatkan kami dengan katapelnya. Wali berdiri di satu sisi,
Kamal di sisi yang lain, dan di tengah, Assef. Aku merasakan tubuhku menegang
dan rasa dingin menjalari tulang punggungku. Assef terlihat tenang, penuh
percaya diri. Tangannya mempermainkan pelindung buku jari bajanya. Dua
pengikutnya menggerak-gerakkan kaki mereka dengan gugup, mengalihkan tatapan
dari Assef ke Hassan, seolah mereka sedang menyudutkan seekor binatang liar
yang hanya Assef seorang bisa menjinakkannya. "Mana katapelmu, Hazara?" kata
Assef, menunjukkan pelindung buku jarinya. "Apa yang kau bilang dulu" 'Mereka
akan memanggilmu Assef Bermata Satu.' Yang benar saja. Assef Bermata Satu.
Pintar. Benar-benar pintar. Tapi tentu saja, memang gampang menjadi pintar kalau
kamu punya senjata yang siap dipakai."
Aku menyadari bahwa sedari tadi aku menahan napas. Kuhela napas, perlahan, tanpa
suara. Badanku terasa lumpuh. Aku memerhatikan mereka berjalan mendekati anak
laki-laki yang tumbuh bersamaku, yang wajah berbibir sumbingnya adalah wajah
pertama yang ada dalam ingatanku.
"Tapi hari ini adalah hari keberuntunganmu, Hazara," kata Assef. Aku hanya bisa
melihat punggungnya, namun aku berani bertaruh bahwa saat itu dia sedang
menyeringai. "Aku sedang ingin memaafkan. Bagaimana menurut kalian, temanteman?" "Kau baik sekali," Kamal menyahut. "Apa lagi setelah dia berbuat kasar padamu
tempo hari." Dia mencoba terdengar seperti Assef, namun suaranya bergetar. Lalu
aku memahaminya: Dia tidak takut kepada Hassan, tidak. Dia ketakutan karena
benar-benar tidak tahu apa yang direncanakan Assef.
Assef melambaikan tangannya dengan jijik. "Bakshida. Dimaafkan. Selesai." Nada
suaranya sedikit menurun. "Tentu saja, tak ada yang gratis di dunia ini, tapi
maafku berharga murah."
"Itu adil," kata Kamal.
"Tak ada yang gratis," Wali menambahkan.
"Kamu memang Hazara yang beruntung," kata Assef seraya berjalan mendekati
Hassan. "Karena hari ini, untuk mendapatkan maafku, kamu hanya perlu membayarnya
dengan layang-layang biru itu. Kesepakatan ini adil, kan, teman-teman?"
"Lebih daripada adil," ujar Kamal.
Bahkan dari tempatku berdiri, aku bisa melihat rasa takut merayapi mata Hassan,
namun dia menggelengkan kepalanya. "Amir agha memenangkan turnamen dan aku
mengejar layang-layang ini untuknya. Aku mendapatkannya dengan adil. Ini layanglayang milik Amir agha."
"Hazara yang setia. Seperti anjing," kata
Assef. Tawa Kamal terdengar melengking, dia gugup.
"Tapi sebelum kamu mengorbankan diri untuk majikanmu, pikirkan ini: Mungkinkah
dia melakukan hal yang sama untukmu" Pernahkah kamu memikirkan, kenapa dia tak
pernah melibatkanmu dalam permainan saat ada tamu yang berkunjung" Kenapa dia
hanya mau bermain denganmu saat tak ada seorang pun di dekatnya" Kuberi tahu,
Hazara. Karena baginya, kamu hanyalah piaraan buruk rupa. Yang bisa dimainkan
saat dia merasa bosan, yang bisa ditendang saat dia marah. Jangan bodoh,
berpikir bahwa kamu punya arti lebih di matanya."
"Aku dan Amir agha berteman," sahut Hassan. Wajahnya memerah.
"Teman?" Assef menertawakannya. "Dasar dungu! Suatu hari kamu akan terbangun
dari khayalan kecilmu ini dan menyadari teman baik macam apa dia. Sekarang, bas\
Cukup. Berikan layang-layang itu pada kami."
Hassan membungkuk dan memungut sebongkah
batu. Assef mundur beberapa langkah, lalu berhenti. "Kesempatan terakhir, Hazara."
Hassan menjawabnya dengan mengacungkan tangannya yang menggenggam batu.
"Terserahlah." Assef membuka kancing mantel musim dinginnya, melepasnya,
melipatnya dengan perlahan dan tenang, meletakkannya di dekat tembok.
Aku membuka mulutku, nyaris mengatakan sesuatu. Nyaris. Sisa hidupku akan
kujalani dengan berbeda jika aku melakukannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku
hanya menonton. Terpaku. Assef menggerakkan tangannya, dan kedua pengikutnya melangkah ke arah
berlawanan, membentuk setengah lingkaran, menyudutkan Hassan di gang itu.
"Aku berubah pikiran," kata Assef. "Aku akan membiarkanmu mendapatkan layanglayang itu, ditendang saat dia marah. Jangan bodoh, berpikir bahwa kamu punya
arti lebih di matanya."
"Aku dan Amir agha berteman," sahut Hassan. Wajahnya memerah.
"Teman?" Assef menertawakannya. "Dasar dungu! Suatu hari kamu akan terbangun
dari khayalan kecilmu ini dan menyadari teman baik macam apa
dia. Sekarang, bas\ Cukup. Berikan layang-layang itu pada kami."
Hassan membungkuk dan memungut sebongkah
batu. Assef mundur beberapa langkah, lalu berhenti.
"Kesempatan terakhir, Hazara."
Hassan menjawabnya dengan mengacungkan tangannya yang menggenggam batu.
"Terserahlah." Assef membuka kancing mantel musim dinginnya, melepasnya,
melipatnya dengan perlahan dan tenang, meletakkannya di dekat tembok.
Aku membuka mulutku, nyaris mengatakan sesuatu. Nyaris. Sisa hidupku akan
kujalani dengan berbeda jika aku melakukannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku
hanya menonton. Terpaku. Assef menggerakkan tangannya, dan kedua pengikutnya melangkah ke arah
berlawanan, membentuk setengah lingkaran, menyudutkan Hassan di gang itu.
"Aku berubah pikiran," kata Assef. "Aku akan membiarkanmu mendapatkan layanglayang itu, Hazara. Aku membiarkanmu memilikinya, agar kamu selalu mengingat
yang akan kulakukan sekarang."
Dan dia pun mulai menyerang. Hassan melemparkan batu yang dipegangnya. Batu itu
menimpa Assef tepat di keningnya. Assef melolong seraya menubruk Hassan,
menerjangnya hingga jatuh ke tanah. Wali dan Kamal mengikuti tindakannya.
Aku menggigit kepalanku. Menutup mataku.
Sebuah kenangan: Tahukah kau bahwa kau dan Hassan menyusu dari payudara yang sama" Tahukah kau,
Amir agha" Namanya Sakina. Dia ada f ah seorang wanita Hazara cantik bermata
biru dari Bamiyan dan dia suka menyanyikan iagu-iagu pernikahan tua untuk
kalian. Kata orang, mereka yang menyusu dari payudara yang sama memiliki ikatan
persaudaraan. Tahukah kamu"
Sebuah kenangan: "Masing-masing satu rupia, anak-anak. Hanya satu rupia untuk membuka tirai
kebenaran." Pria tua itu duduk bersandar pada tembok lumpur keras. Matanya yang
buta bagaikan perak cair yang dikelilingi kawah kembar dan dalam. Dengan
bertumpu pada tongkatnya, peramal itu menyapukan tangannya yang keriput pada
pipinya yang kempot. Lalu, dia menengadahkan tangannya di hadapan kami. "Satu
rupia seorang, tidak banyak untuk mengetahui kebenaran, bukan?" Hassan
menjatuhkan uang logamnya ke telapak tangan berkapal itu. Aku juga melakukannya.
"Dengan nama Allah, Yang Maha Pemberi dan Maha Pengampun," peramal tua itu
berbisik. Dia lebih dulu memeriksa tangan Hassan, menelusuri telapaknya dengan
kukunya yang seperti tanduk, berputar dan berputar, berputar dan berputar. Dia
lalu melayangkan jarinya ke wajah Hassan, menghasilkan suara gesekan saat
menelusuri perlahan lekukan di pipinya, garis telinganya. Tangannya berhenti di
sana. Bertahan di sana. Wajah pria tua itu diselimuti bayangan. Aku dan Hassan bertukar tatapan. Dia
meraih tangan Hassan dan meletakkan kembali uang satu rupiah milik Hassan di
sana. Selanjutnya giliranku. "Bagaimana denganmu, anak muda?" katanya. Tidak
berapa jauh dari tempat itu, seekor ayam jantan berkokok. Pria tua itu meraih
tanganku dan aku segera menariknya. Sebuah mimpi:
Aku tersesat dalam badai salju. Angin melengking, meniupkan kepingan salju yang
menyengat mataku. Aku berjuang melewati lapisan putih yang berserak. Aku
berteriak meminta pertolongan, namun angin menga/ah-kan suaraku. Aku terjatuh
dan berbaring terengah-engah di salju, tenggelam dalam lautan putih, angin
menderu di telingaku. Aku menyaksikan salju menghapus jejak kakiku. Aku sudah
menjadi hantu, pikirku, hantu tanpa jejak kaki. Aku kembali berteriak, harapanku
menipis seperti jejak kakiku. Tapi kali ini, aku mendengar jawaban dari
kejauhan. Aku melindungi mata-ku dan berusaha bangkit. Di sana, di balik tirai
salju yang bergoyang, aku menangkap suatu gerakan, suatu warna. Bentuk yang
sudah kukenal baik terwujud. Seruas tangan terulur padaku. Aku melihat luka-luka
yang dalam berjajar di telapaknya, darah mengalir, menodai salju yang putih. Aku
menyambut uluran tangan itu, dan tiba-tiba salju di sekelilingku lenyap. Kami
berdiri pada hamparan rumput sehijau apel dengan awan tipis berarak di langit.
Aku melihat ke atas dan menyaksikan langit
jernih dipenuhi layang-layang dengan berbagai warna, hijau, kuning, merah, dan
oranye. Semuanya ber-kiiauan dalam cahaya siang.
Sampah dan puing-puing bangunan mengotori gang itu. Ban-ban sepeda bekas, botolbotol dengan label terlepas, majalah-majalah tua, kertas koran yang telah
menguning, semuanya berserakan di antara tumpukan batu bata dan pecahan semen.
Tungku besi tempa berkarat dengan lubang menganga di salah satu sisinya
bersandar di dinding. Di antara ceceran sampah itu, aku tak bisa mengalihkan
tatapanku dari dua buah benda: Layang-layang biru yang tergeletak di dekat
dinding, di sebelah tungku besi tempa; dan celana kurduroi cokelat milik Hassan
yang tergeletak di atas tumpukan batu bata lapuk.
"Entahlah," Wali berkata. "Kata ayahku, itu dosa." Dia terdengar tak yakin,
gelisah, ketakutan, semuanya di saat yang sama. Hassan terbaring dengan dada
menempel ke tanah. Kamal dan Wali masing-masing mencengkeram satu lengannya,
memuntir dan me-nekuknya di siku sehingga tangan Hassan menempel ke punggungnya.
Assef mengawasi mereka, tumit sepatu bot saljunya menekan bagian belakang leher
Hassan. "Ayahmu tak akan tahu," kata Assef. "Dan mengajar seekor keledai kurang ajar
bukanlah dosa." "Entahlah," Wali menggumam. "Terserah," sahut Assef. Dia beralih pada Kamal.
"Bagaimana denganmu?" "Aku ... mmm
"Dia kan hanya seorang Hazara," kata Assef. Namun Kamal pun tak mau
memandangnya. "Ya sudah," Assef kehilangan kesabaran. "Kalian orang-orang lemah, pegangi saja
dia. Bisa kan, kalian melakukannya?"
Wali dan Kamal mengangguk. Mereka terlihat
lega. Assef berlutut di belakang Hassan, meletakkan tangannya di pinggul Hassan dan
mengangkat pantatnya yang telanjang. Dia menahan satu tangannya di punggung
Hassan dan tangan yang satunya melepaskan ikat pinggang. Dia membuka kancing
jinsnya. Menurunkan celana dalamnya. Hassan tidak melawan. Dia bahkan tidak
menangis. Kepalanya bergerak sedikit hingga aku bisa menangkap wajahnya sekilas.
Melihat siratan kepasrahan di sana. Ekspresi itu belum pernah kulihat
sebelumnya. Ekspresi seekor domba.
* Besok adalah hari ke-10 bulan Dzulhijjah, bulan terakhir pada penanggalan
Muslim, dan hari pertama dari tiga hari perayaan Idul Adha, atau Eid e Q orb a
n, begitulah penduduk Afghanistan menyebutnya satu hari untuk merayakan
peristiwa nabi

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibrahim yang nyaris mengorbankan anaknya untuk Tuhan. Baba kem-baii memilih
sendiri domba yang akan kami korbankan tahun ini, seekor domba putih pucat
dengan telinga hitam melengkung.
Kami semua berdiri di halaman belakang, Hassan, Ali, Baba, dan aku. Mullah
melafalkan doa sambil mengelus janggutnya. Baba menggumam, Cepatlah, dengan
napas tertahan. Sepertinya dia terganggu dengan doa yang seakan tanpa akhir ini,
ritual untuk membuat daging binatang itu halal. Baba menertawakan sejarah di
balik perayaan ini, seperti dia menertawakan semua hal yang berhubungan dengan
agama. Tetapi dia menghormati tradisi Eid-e-Qorban. Sesuai dengan tradisi, kami
harus membagi daging domba itu dalam tiga bagian, satu bagian untuk keluarga,
satu bagian untuk teman-teman, dan satu bagian lagi untuk fakir miskin. Setiap
tahun, Baba membagikan semuanya pada fakir miskin. Orang kaya sudah cukup gemuk,
katanya. Mullah menyelesaikan doanya. Amin. Dia mengambil pisau dapur bermata panjang.
Sesuai tradisi, pisau itu tidak boleh sampai terlihat oleh domba yang akan
disembelih. Ali memberi domba itu sebongkah gula lagi-lagi sesuai tradisi, untuk
membuat kematian terasa lebih manis. Domba itu menendang-nendang beberapa kali.
Sang mullah mencengkeram bagian bawah rahang domba itu dan menempelkan mata
pisau ke lehernya. Hanya sedetik sebelum mullah memotong tenggorokannya dalam
satu gerakan ahli, aku melihat tatapan
domba itu. Tatapan yang akan menghantui mimpiku selama berminggu-minggu. Aku
tidak tahu, mengapa aku selalu menyaksikan ritual tahunan di belakang rumah ini;
mimpi-mimpi burukku akan bertahan jauh setelah noda darah di rumput menghilang.
Tapi aku selalu menyaksikannya. Aku menyaksikannya karena tatapan pasrah
binatang itu. Anehnya, aku membayangkan bahwa binatang itu mengerti, aku
membayangkan binatang itu mengetahui bahwa maut yang akan segera men-datanginya
memiliki tujuan mulia. Begitulah tatapannya ....
Aku berhenti menyaksikan, berlalu meninggalkan gang itu. Rasa hangat mengaliri
pergelangan tanganku. Aku mengedipkan mata, mendapati kepalanku masih ada dalam
gigitanku, cukup keras sehingga darah mengalir dari buku-buku jariku. Aku
menyadari hal lain. Aku terisak. Dari balik tikungan itu, aku bisa mendengar
erangan Assef yang cepat dan berirama.
Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan. Satu kesempatan
terakhir untuk memutuskan apa jadinya diriku. Aku bisa melangkah memasuki gang
itu, membela Hassan seperti yang selalu dilakukannya untukku dan menerima apa
pun yang mungkin terjadi padaku. Atau aku bisa melarikan diri.
Akhirnya, aku melarikan diri.
Aku melarikan diri karena aku adalah seorang pengecut. Aku takut terhadap Assef
dan apa pun yang mungkin dilakukannya padaku. Aku takut terluka. Itulah yang
kukatakan pada diriku saat aku berlalu meninggalkan gang itu, meninggalkan
Hassan. Itulah yang berusaha kuyakini. Sebenarnya, aku berusaha menjadi
pengecut, karena pilihan lainnya alasan sebenarnya aku melarikan diri adalah
karena Assef mengatakan kebenaran: Tak ada yang gratis di dunia ini. Mungkin
Hassan adalah harga yang harus kubayar, domba yang harus kukorban-kan, untuk
mendapatkan hati Baba. Apakah harga ini pantas" Jawabannya terlintas dalam
pikiran bawah sadarku sebelum aku bisa menahannya: Dia hanyalah seorang Hazara,
bukan" Aku berlari kembali. Berlari kembali menuju pasar yang sunyi. Aku berhenti di
depan sebuah kios dan menyandarkan tubuhku di pintunya yang terkunci. Aku
berdiri di sana, terengah-engah, dibanjiri keringat, berharap peristiwa itu
tidak terjadi. Sekitar lima belas menit kemudian, aku mendengar suara kaki-kaki yang berlari.
Aku bersembunyi, menyaksikan Assef dan dua pengikutnya berlari, tertawa-tawa
menyusuri jalan yang sunyi. Aku memaksa diriku menunggu selama sepuluh menit
lagi. Lalu aku berjalan kembali melalui jalan berlumpur di sepanjang ngarai
bersalju. Aku memicingkan mata dalam remang cahaya dan melihat Hassan berjalan
perlahan ke arahku. Aku berhadapan dengannya di bawah pohon birch tak berdaun di pinggir ngarai.
Dia membawa layang-layang biru itu; itulah yang pertama kali kuperhatikan. Dan
sekarang aku tak bisa menutupi kenyataan bahwa saat itu mataku menelusuri
layang-layang itu, mencari-cari adanya cacat di sana. Chapan yang dikenakan
Hassan bernoda lumpur di bagian depannya dan kemejanya sobek tepat di bagian
bawah kerahnya. Dia berhenti. Menyeimbangkan kakinya, seolah dia tak mampu
menahan tubuhnya. Lalu dia menegakkan tubuh. Menyerahkan layang-layang itu
padaku. "Kemana saja kau" Aku mencarimu," kataku. Saat mengatakannya, aku merasa seperti
sedang mengunyah batu. Hassan mengusap wajahnya dengan lengan baju, menyeka ingus dan air matanya. Aku
menunggunya mengucapkan sesuatu, namun kami hanya berdiri di sana tanpa berkatakata, dalam remang cahaya senja. Aku bersyukur karena bayangan senja menyelimuti
wajah Hassan dan menyembunyikan wajahku. Aku lega karena tak perlu membalas
tatapannya. Tahukah dia bahwa aku tahu" Dan kalau dia tahu, apa yang akan
kulihat jika aku melihat ke matanya" Tuduhan" Kemarahan" Atau, yang paling
kutakuti, pengabdian tanpa pamrih" Lebih dari segalanya, itulah yang tidak mampu
kulihat. Dia berusaha mengatakan sesuatu dan suaranya pecah. Dia menutup mulutnya,
membukanya, dan menutupnya lagi. Hassan mundur selangkah. Menyeka wajahnya. Dan itulah hal
terdekat yang kami lakukan dalam usaha kami membahas kejadian di gang itu.
Kupikir, tangisnya akan segera pecah, namun aku lega karena ternyata dia tidak
menangis, dan aku berpura-pura tidak mendengar suaranya yang pecah. Aku juga
berpura-pura tidak melihat noda gelap di bagian pantat celananya. Atau cairan
gelap yang menetes dari sela-sela kakinya, menodai salju dengan warna hitam.
"Agha sahib akan cemas," hanya itulah yang dikatakannya. Dia meninggalkanku
dengan terpincang-pincang.
* Kejadiannya seperti yang kubayangkan. Aku membuka pintu menuju ruang kerja Baba
yang dipenuhi asap dan melangkah masuk. Baba dan Rahim Khan sedang menghirup teh
dan mendengarkan berita dari radio. Mereka berpaling menatapku. Lalu sebentuk
senyum tersungging di bibir ayahku. Dia membuka lengannya. Aku meletakkan
layang-layang itu dan menghambur ke dalam pelukan lengan berbulunya. Kubenamkan
wajahku dalam kehangatan dadanya dan tangisku pun pecah. Baba memelukku eraterat, mengayunku ke depan dan belakang. Dalam pelukannya, aku melupakan yang apa
telah kulakukan. Dan itu lebih baik.
Delapan Sepanjang minggu sesudah kejadian itu, aku
hampir tidak pernah bertemu Hassan. Saat aku bangun, roti bakar, teh hangat, dan
sebutir telur rebus telah tersedia di meja dapur. Baju yang akan kukenakan hari
itu telah tersetrika dan terlipat rapi, diletakkan di atas bangku tinggi di
ruang depan, tempat Hassan biasa menyetrika. Biasanya dia menunggu sampai aku
duduk untuk menyantap sarapanku sebelum mulai menyetrika dengan begitu, kami
bisa mengobrol. Di sela-sela desisan setrika, Hassan menyanyikan lagu-lagu
Hazara tua tentang hamparan bunga tulip. Sekarang, hanya baju terlipat yang
menyapaku pada pagi hari. Dan sepiring sarapan yang hampir tak pernah kuhabiskan
lagi. Pada suatu pagi yang berawan, saat aku sedang mempermainkan telur rebus di
piringku, Ali memasuki ruangan sambil memanggul setumpuk kayu bakar. Aku
menanyakan keberadaan Hassan padanya.
"Dia tidur lagi," kata Ali seraya berlutut di depan tungku pemanas, membuka
pintu persegi kecil pada tungku itu.
Apakah Hassan bisa bermain hari ini"
Ali terdiam sambil memegang sepotong kayu bakar di tangannya. Wajahnya terlihat
cemas. "Akhir-akhir ini, sepertinya dia hanya ingin tidur. Dia memang
menyelesaikan tugas-tugasnya aku tahu itu tapi setelahnya, dia hanya ingin
kembali meringkuk di balik selimut. Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?"
"Boleh saja, kalau memang kau ingin bertanya."
"Setelah turnamen adu layang-layang itu, dia pulang dengan sedikit luka-luka dan
kemejanya pun sobek. Aku menanyakan padanya, apa yang terjadi, dan dia bilang,
tidak ada yang terjadi, dia hanya terlibat dalam pertikaian kecil dengan
beberapa anak untuk memperebutkan layang-layang itu."
Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya terus mempermainkan telur di piringku.
"Apakah sesuatu terjadi padanya, Amir agha" Sesuatu yang tidak dia katakan
padaku?" Kuangkat bahuku. "Bagaimana aku tahu?"
"Kau akan memberitahuku, kan" Insya Allah, kau akan memberitahuku bila memang
ada sesuatu yang terjadi?"
"Aku kan sudah bilang, bagaimana aku tahu a-pa yang terjadi padanya?" aku
membentaknya. "Mungkin dia sakit. Orang bisa sakit kapan saja, Ali. Sekarang,
aku akan mati kedinginan kalau kau tidak cepat-cepat menyalakan tungku itu."
Malam itu aku mengajak Baba untuk pergi ke Jalalabad pada hari Jumat. Baba
sedang bersantai membaca koran di kursi putar kulit di belakang mejanya. Dia
meletakkan korannya, melepas kacamata baca yang begitu kubenci Baba tidak setua
itu, tidak sama sekali, dan dia masih akan hidup bertahun-tahun lagi, jadi
mengapa dia harus memakai kacamata tolol itu"
"Mengapa tidak!" katanya. Akhir-akhir ini, Baba selalu mengabulkan semua
permintaanku. Bukan hanya itu, dua malam sebelumnya, dia bertanya padaku, apakah
aku ingin menonton El Cid yang dibintangi Charl-ton Heston di Cinema Aryana.
"Kau mau mengajak Hassan juga, saat kita pergi ke Jalalabad?"
Mengapa Baba harus memanjakannya seperti itu" "Dia mareez," kataku. Tidak enak
badan. "Oh, ya?" Baba berhenti menggoyang kursinya. "Kenapa dia?"
Aku mengangkat bahu dan menenggelamkan diri di sofa dekat perapian. "Mungkin dia
masuk angin. Kata Ali dia terus-terusan tidur."
"Aku jarang melihat Hassan beberapa hari ini," kata Baba. "Jadi begitu ya, dia
hanya masuk angin?" Aku tidak bisa menahan rasa benci melihat cara Baba
mengerutkan alis, menunjukkan kekhawatirannya.
"Cuma masuk angin. Jadi, kita akan pergi hari Jumat nanti, Baba?"
"Ya, ya," kata Baba seraya mendorong kursinya menjauhi meja. "Sayang sekali
Hassan sakit. Kupikir akan lebih menyenangkan buatmu kalau dia ikut."
"Yah, berdua saja pun kita bisa bersenang-senang," kataku.
Baba tersenyum. Mengedipkan matanya. "Bawa baju hangat," katanya.
Seharusnya hanya kami berdua yang pergi itulah yang kuinginkan tapi pada Rabu
malam, Baba mengundang banyak orang untuk bergabung dengan kami. Baba menelepon
sepupunya, Homayoun sebenarnya dia adalah sepupu jauh Baba dan menyebutkan bahwa
dia akan pergi ke Jalalabad pada hari Jumat, dan Homayoun, yang pernah
bersekolah di Prancis dan memiliki sebuah rumah di Jalalabad, berkata bahwa dia
akan senang kalau semua orang bisa datang. Dia akan membawa anak-anaknya, kedua
istrinya dan, mumpung dia belum lupa, sepupu Shafiqa dan keluarganya, yang
sedang berkunjung dari Herat, mungkin akan senang bila bisa bergabung. Dan
karena sepupu Shafiqa tinggal di rumah sepupu Nader di Kabul, keluarga Nader
juga harus diundang meskipun Homayoun dan Nader sedang sedikit berselisih dan
kalau Nader diundang, maka Faruq, kakaknya, juga harus diundang, karena jika
tidak, perasaannya akan terluka dan dia tidak akan mengundang mereka semua untuk
menghadiri perayaan pernikahan putrinya bulan depan dan ....
Kami memenuhi tiga mobil van. Aku berada dalam satu mobil dengan Baba, Rahim
Khan, dan Kaka Homayoun saat aku kecil, Baba mengajarkan aku untuk memanggil
semua pria yang lebih tua dengan sebutan Kaka, atau Paman, dan semua wanita yang
lebih tua dengan sebutan Khafa, atau Bibi. Kedua istri Kaka Homayoun juga berada
semobil dengan kami istri tua yang berwajah masam dan tangannya dipenuhi
Kebakaran The Burning 3 Dendam Kesumat Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Rahasia Bunga Cubung Biru 2

Cari Blog Ini