Ceritasilat Novel Online

Kill Mocking Bird 4

To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee Bagian 4


mau cari masalah, tetapi aku tak bisa menjamin tak akan ada ..."
"Jangan konyol, Heck," kata Atticus. "Ini Maycomb."
"... aku hanya bilang, aku agak cemas."
"Heck, kita sudah memperoleh satu penundaan untuk kasus ini. Itu cukup untuk
memastikan tak ada yang perlu dibuat cemas. Sekarang hari Sabtu," kata Atticus.
"Sidang mungkin hari Senin. Kau bisa menampungnya semalam, kan" Kurasa tak ada
warga Maycomb yang tak suka bahwa aku punya klien, di masa-masa sulit begini."
Gumaman lega berhenti ketika Mr. Link Deas berkata, "Tak ada orang di sekitar
sini yang mau macam-macam, yang kucemaskan adalah warga Old Sarum ... kau tidak
bisa meminta apa itu, Heck?"
"Perubahan tempat," kata Mr. Tate. "Tapi, yah, sekarang sudah tak ada gunanya."
Atticus mengatakan sesuatu yang tak bisa
kudengar. Aku menoleh kepada Jem, yang melambaikan tangan agar aku diam.
"lagi pula," kata Atticus, "kau tidak takut pada mereka, kan?"
"... tahu seperti apa mereka kalau sedang mabuk."
"Mereka biasanya tidak minum-minum pada hari Minggu, hampir sepanjang hari
mereka ke gereja ..." kata Atticus.
"Tapi ini peristiwa khusus seseorang berkata.
Mereka bergumam dan mendengung sampai Bibi berkata, jika Jem tidak menyalakan
lampu ruang keluarga, dia akan mempermalukan keluarga kami. Jem tidak mendengar.
"tak mengerti mengapa kau harus bersinggungan dengan kasus itu," Mr. Link Deas
sedang berkata. "Berbuat begini hanya mendatangkan kerugian, Atticus. Maksudku,
kau bisa kehilangan semuanya."
"Kau benar-benar berpendapat begitu?" Pertanyaan ini berbahaya. "Kau benar-benar
merasa ingin bergabung bersama mereka, Scout?" Bibi Alexandra berdiri di
belakangku. Bam, bam, bam, dan buahku di papan dam pun tersapu bersih. "Kau
benar-benar ingin keluar, Nak" Bacalah ini." Jem pun berjuang semalaman membaca
pidato-pidato Henry W. Grady.
"Link, klienku bisa dihukum mati, tetapi dia baru akan dihukum setelah kebenaran
diungkapkan," Atticus berkata dengan tenang. "Dan kau tahu apa
kebenaran itu." Kembali terdengar gumaman di antara kerumunan itu, semakin mengancam ketika
Atticus kembali ke tangga terbawah tangga depan dan para lelaki itu semakin
mengepung. Tiba-tiba Jem berteriak, "Atticus, telepon berdering!"
Para lelaki tersentak dan menyebar; mereka adalah orang-orang yang kami temui
setiap hari: pedagang, petani kota; Dr. Reylonds juga ada; juga Mr. Avery.
"Angkatlah, Nak," seru Atticus. Mereka serentak tertawa melihat kekikukan Jem.
Ketika Atticus menyalakan lampu langit-langit ruang duduk, didapatinya Jem di
jendela, pucat pasi, dengan bekas kawat yang sangat kentara pada hidungnya.
"Kenapa pula kalian semua duduk bergelap-gelapan?" tanyanya.
Jem menyaksikannya memungut koran sore dan kembali duduk di kursi. Aku kadang
berpikir Atticus menenggelamkan setiap krisis hidupnya di balik Mobile Register,
Birmingham News, dan Montgomery Advertiser.
"Mereka memburumu, ya?" Jem menghampirinya. "Mereka ingin memojokkanmu, ya?"
Atticus menurunkan koran dan memandang Jem. "Apa yang baru kau baca?" tanyanya.
Lalu, dia berkata lembut, "Tidak, Nak, mereka teman-teman kita."
"Apa mereka bukan geng?" Jem menatap Atticus melalui sudut matanya.
Atticus mencoba menahan senyum, tetapi tak berhasil. "Tidak, di Maycomb tak ada
kelompok yang suka bikin kacau dan omong kosong semacam itu. Aku tak pernah
mendengar ada geng di Maycomb."
"Ku Klux pernah memburu orang-orang Katolik."
"Aku juga belum pernah mendengar ada orang Katolik di Maycomb," kata Atticus,
"kau salah mengerti dengan peristiwa lain. Dulu sekali, sekitar 1920, memang ada
Klan, tetapi lebih berupa organisasi politik saja. Lagi pula, mereka tak bisa
menemukan siapa pun untuk ditakut-takuti. Mereka pernah mondar-mandir di depan
Mr. Sam Levy suatu malam, tetapi Sam hanya berdiri di terasnya dan mengatakan
tentang uniknya jalan hidup ini; dialah yang menjual seprai yang mereka buat
sebagai jubah dan topeng. Karena Sam membuat mereka malu, mereka pun pergi."
Keluarga Levy memenuhi semua kriteria menjadi Orang Baik-Baik: mereka melakukan
yang terbaik dengan pengetahuan yang mereka punyai, dan sudah lima generasi dari
keluarga mereka tinggal di petak tanah yang sama di Maycomb.
"Ku Klux Klan sudah lenyap," kata Atticus. "Tak akan kembali lagi."
Aku berjalan pulang bersama Dili dan kembali tepat untuk mendengar Atticus
berkata kepada Bibi, "... setuju saja dengan keperempuanan Selatan seperti orang
lain, tetapi bukan untuk melestarikan fiksi sopan dengan mengorbankan nyawa
manusia," ucapan yang membuatku curiga mereka baru bertengkar lagi.
Aku mencari Jem dan menemukannya di kamarnya, di tempat tidur, berpikir serius.
"Mereka bertengkar lagi?" tanyaku.
"Bisa jadi. Bibi terus merecokinya tentang Tom Robinson. Dia hampir berkata
bahwa Atticus mempermalukan keluarga. Scout ... aku takut."
"Takut apa?" "Takut karena Atticus. Kalau-kalau ada yang menyakitinya." Jem lebih suka
bersikap misterius; pertanyaan-pertanyaanku hanya ditanggapi dengan, pergilah
dan jangan ganggu aku. Besoknya adalah hari Minggu. Dalam jeda antara Sekolah Minggu dan Ritual Gereja
ketika jemaat meluruskan kaki, kulihat Atticus berdiri di halaman dengan
kerumunan lelaki lain. Mr. Heck Tate hadir, dan aku bertanya-tanya apakah dia
sudah bertobat. Dia tak pernah ke gereja. Mr. Underwood pun hadir. Mr. Underwood
tak menyukai organisasi apa pun kecuali Maycomb Tribune; dia adalah pemilik
tunggal, editor, dan pencetaknya. Hari-harinya dilewatkan di mesin linotipe, dan
dia menyegarkan diri sesekali dari poci anggur ceri yang selalu menemaninya. Dia
jarang mengumpulkan berita; orang-oranglah yang membawakan berita kepadanya.
Katanya, dia menyusun setiap edisi Maycomb Tribune di kepalanya dan
menuliskannya pada linotipe. Ini bisa dipercaya. Pasti ada sesuatu yang istimewa
sehingga bisa memancing Mr. Underwood keluar.
Aku mencegat Atticus yang melewati pintu masuk, dan dia berkata bahwa Tom
Robinson sudah dipindahkan ke penjara Maycomb. Dia juga berkata, lebih kepada dirinya sendiri
daripada kepadaku, bahwa andai saja Tom Robinson ditahan di situ sejak awal, tak
akan ada keributan. Aku menyaksikannya duduk di baris ketiga dari depan, dan
mendengar dia bernyanyi menggemuruh, "Lebih Dekat Kepadamu, Tuhan," beberapa
nada di belakang kami semua. Dia tak pernah duduk bersama Bibi, Jem, dan aku.
Dia senang sendirian di gereja.
Kedamaian semu yang menyelimuti kami pada hari Minggu menjadi lebih
menjengkelkan dengan kehadiran Bibi Alexandra. Atticus langsung pergi ke
kantornya setelah makan siang; saat kami kadang-kadang menjenguknya, kami akan
mendapatinya duduk di kursi putar, membaca. Bibi Alexandra menyiapkan diri untuk
tidur siang selama dua jam dan mengancam kami kalau ribut di halaman, para
tetangga sedang beristirahat, katanya. Jem yang sudah beranjak tua lebih senang
di kamarnya dengan setumpuk majalah footbaii. Jadi, aku dan Dili melewatkan
setiap hari Minggu merayap di Deer's Pasture Padang Rusa.
Menembak dilarang pada hari Minggu. Jadi, aku dan Dili menendang-nendang bola
footbaii milik Jem di hamparan rumput beberapa lama, tetapi dengan cepat kami
merasa bosan. Dili bertanya apakah aku ingin mengganggu Boo Radley. Kataku,
tidak baik mengganggunya, dan aku melewatkan sisa sore itu bercerita kepada Dili
tentang peristiwa musim dingin lalu. Dia sangat terkesan.
Kami berpisah pada waktu makan malam, dan
setelah makan, aku dan Jem mulai tenggelam dalam kegiatan rutin malam hari,
ketika Atticus melakukan sesuatu yang menarik perhatian kami: dia masuk ke ruang
duduk sambil membawa kabel listrik tambahan yang panjang. Di ujungnya terdapat
bola lampu. "Aku mau keluar dulu," katanya. "Kalian pasti sudah tidur kalau aku kembali,
jadi kuucapkan selamat malam sekarang."
Sembari berkata, dia memakai topi dan keluar lewat pintu belakang. "Dia membawa
mobil," kata Jem. Ayah kami memiliki beberapa sifat unik: salah satunya, dia tak pernah makan
makanan penutup; yang lain, dia senang berjalan kaki. Sejauh yang kuingat,
selalu ada Chevrolet dalam kondisi bagus di garasi, dan Atticus menggunakannya
untuk bepergian sejauh bermil-mil dalam rangka perjalanan bisnis, tetapi di
Maycomb dia berjalan kaki ke dan dari kantornya empat kali sehari, total
menempuh sekitar dua mil. Katanya, satu-satunya olahraganya adalah berjalan. Di
Maycomb, jika orang berjalan tanpa tujuan pasti di benaknya, bolehlah diyakini
bahwa benaknya tak mampu memiliki tujuan pasti.
Kemudian, aku mengucapkan selamat malam kepada Bibi Alexandra dan Jem, dan sudah
lama membaca buku ketika kudengar Jem ribut-ribut di kamarnya. Suaranya saat
beritual menjelang tidur sudah begitu akrab bagiku sehingga aku mengetuk
pintunya, "Kenapa kau tidak tidur?"
"Aku mau ke kota sebentar." Dia sedang mengganti celana.
"Kenapa" Ini hampir jam sepuluh, Jem." Dia tahu, tetapi tetap mau pergi.
"Kalau begitu, aku ikut. Walau kau bilang tidak boleh, aku tetap ikut, jelas?"
Rupanya Jem beranggapan bahwa dia harus berkelahi denganku untuk menahanku di
rumah, dan kukira dia berpikir bahwa perkelahian akan membuat Bibi marah, jadi
dia menyerah dengan enggan.
Aku berpakaian dengan cepat. Kami menunggu sampai lampu Bibi padam, dan kami
menuruni tangga belakang diam-diam. Tak ada bulan malam ini.
"Dili pasti ingin ikut," bisikku.
"Ya sudah, ajak saja," kata Jem geram. Kami melompati dinding garasi, melintasi
halaman samping Miss Rachel, dan mendekati jendela Dill. Jem menyiulkan kicau
burung puyuh. Wajah Dili muncul di jendela, menghilang, dan lima menit kemudian
membuka kunci jendela kawat dan merangkak keluar. Dasar sudah berpengalaman, dia
baru berbicara setelah kami di trotoar. "Ada apa?"
"Rasa ingin tahu Jem lagi kambuh," penyakit yang menurut Calpurnia menjangkiti
semua anak lelaki pada usianya.
"Aku hanya punya firasat," kata Jem, "hanya firasat."
Kami melewati rumah Mrs. Dubose, kosong dan terbengkalai, kamelianya tumbuh di
antara ilalang dan alang-alang. Ada delapan rumah lagi sampai ke tikungan kantor
pos. Sisi selatan alun-alun sepi. Semak raksasa memenuhi setiap pojok, dan di
antaranya pagar besi berkilau di bawah lampu jalan. Sebuah lampu memancarkan cahaya di toilet umum,
tetapi selain itu, sisi gedung pengadilan itu gelap. Blok-blok lebih besar yang
diisi berbagai toko mengelilingi blok gedung pengadilan; cahaya remang menyala
dari dalam. Saat memulai praktik hukumnya, kantor Atticus terletak di gedung pengadilan.
Tetapi, setelah beberapa tahun, dia pindah ke kantor yang lebih tenang di gedung
Bank Maycomb. Ketika kami mengitari tikungan alun-alun, kami melihat mobil
Atticus diparkir di depan bank. "Dia ada di dalam," kata Jem.
Tetapi, ternyata tidak. Kantornya terletak di ujung lorong panjang. Di ujung
lorong, mestinya kami melihat tulisan Atticus Finch, Pengacara dalam huruf kecil
formal, berlatar cahaya dari balik pintunya. Ruangan itu gelap.
Jem mengintip lewat pintu bank untuk memastikan. Dia memutar gagang pintu.
Pintunya terkunci. "Ayo kita ke ujung jalan. Mungkin dia mengunjungi Mr.
Underwood." Mr. Underwood tak hanya memimpin kantor Maycomb Tribune, dia juga tinggal di
sana. Maksudnya, di atas kantor. Dia meliput berita pengadilan dan penjara hanya
dengan menonton dari jendela lantai atasnya. Gedung kantor itu terletak di pojok
barat laut alun-alun, dan untuk ke sana, kami harus melewati penjara.
Penjara Maycomb adalah gedung county yang paling tua dan paling jelek. Kata
Atticus, bentuknya seperti sesuatu yang didesain Sepupu Joshua St
Clair. Gedung itu jelas merupakan impian seseorang. Karena sangat tidak serasi
dengan kota yang memiliki toko-toko berwajah persegi dan rumah-rumah beratap
curam, penjara Maycomb menjadi miniatur lelucon Gothic selebar satu sel dan
setinggi dua sel, lengkap dengan benteng pertahanan kecil dengan permukaan
bergerigi dan fondasi batu yang tinggi. Kesan gedung khayalannya bertambah
dengan tembok depan yang terbuat dari batu bata merah dan jeruji baja tebal pada
jendela gerejanya. Bangunan itu tidak berdiri di bukit sepi, melainkan diapit
Toko Peralatan Tyndal dan kantor Maycomb Tribune. Penjara ini adalah satusatunya bahan obrolan Maycomb. Pembencinya berkata gedung itu seperti kakus
Victorian; pendukungnya berkata, gedung itu memberi kesan yang mantap dan patut
dihormati, dan tak ada orang asing yang akan curiga bahwa isinya penuh dengan
orang nigger. Ketika menyusuri trotoar, kami melihat satu-satunya lampu yang menyala di
kejauhan. "Aneh," kata Jem, "di luar penjara tak ada lampu." "Sepertinya di atas
pintu," kata Dili. Kabel perpanjangan menjuntai di antara jeruji jendela lantai dua dan menuruni
sisi gedung. Diterangi cahaya dari satu-satunya bola lampu itu, Atticus sedang
duduk bersandar ke pintu depan. Dia duduk di salah satu kursi kantornya, dan dia
sedang membaca, tak menyadari serangga malam yang menari-nari di atas kepala.
Aku hendak berlari, tetapi Jem mencegahku. "Jangan ke sana," katanya, "dia
mungkin tak suka. Dia tak apa-apa, ayo kita pulang. Aku hanya ingin melihat dia ada di mana."
Kami mengambil jalan pintas melintasi alun-alun ketika empat mobil berdebu masuk
dari jalan raya Meridian, berbaris lambat. Mereka mengitari alun-alun, melewati
gedung bank, dan berhenti di depan penjara.
Tak ada yang keluar. Kami melihat Atticus mengangkat kepala dari korannya. Dia
menurunkan koran itu, melipatnya lambat-lambat, menjatuhkannya ke pangkuan, dan
mendorong topinya ke belakang kepala. Dia tampaknya telah menduga mereka akan
datang. "Ayo," bisik Jem. Kami berlari melintasi alun-alun, menyeberangi jalan, sampai
tiba di bawah naungan pintu Jitney Jungle. Jem mengintip dari balik toko itu.
"Kita bisa lebih dekat," katanya. Kami berlari ke pintu Toko Peralatan Tyndal
cukup dekat, tapi tersembunyi.
Sendiri-sendiri atau berdua-dua, beberapa orang lelaki keluar dari mobil.
Bayangan mewujud menjadi sosok-sosok saat cahaya menerangi mereka yang bergerak
ke arah pintu penjara. Atticus tetap di tempatnya. Para lelaki itu
menyembunyikannya dari pandangan.
"Dia di dalam, Mr. Finch?" kata seseorang. "Ya," kami mendengar Atticus
menjawab, "dan sedang tidur. Jangan dibangunkan."
Untuk mematuhi ayahku, terjadilah sesuatu yang belakangan kuanggap sebagai aspek
Jenaka yang menyebalkan dalam situasi yang tidak lucu:
para lelaki itu berbicara hampir berbisik.
"Kamu tahu apa yang kami inginkan," seseorang yang lain berkata. "Minggir dari
pintu itu, Mr. Finch."
"Silakan kalian berbalik dan pulang lagi, Walter," kata Atticus ramah. "Heck
Tate ada di sekitar sini."
"Tidak," kata lelaki lain. "Kelompok Heck jauh di dalam hutan, mereka tak akan
keluar sampai pagi."
"Oh ya" Kenapa bisa begitu?"
"Mereka ditelepon karena seseorang mendengar bunyi tembakan," jawabnya. "Apa itu
tak terpikir olehmu, Mr. Finch?"
"Terpikir, tetapi tadinya tidak percaya. Nah," suara ayahku masih sama,
"situasinya jadi berubah, ya?"
"Jelas," kata suara yang berat. Pemiliknya hanya berupa bayangan.
"Kamu benar-benar berpendapat begitu?" Ini kali kedua aku mendengar Atticus
melontarkan pertanyaan itu dalam dua hari, dan ini berarti seseorang akan
diserang. Ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Aku memisahkan diri dari Jem dan
berlari secepat mungkin mendekati Atticus.
Jem memekik dan mencoba menangkapku, tetapi aku sudah lebih dulu dari dia dan
Dili. Aku menyeruak melalui tubuh-tubuh yang gelap dan bau dan masuk ke
lingkaran cahaya. "Hai, Atticus?" Kusangka dia akan terkejut, tetapi wajahnya mematikan
keceriaanku. Kilasan rasa takut meredup dalam matanya, tetapi muncul kembali
ketika Dili dan Jem masuk ke dalam cahaya.
Bau wiski basi dan kandang babi terasa menusuk hidung, dan ketika memandang ke
sekeliling, aku menemukan bahwa mereka semua adalah orang asing. Mereka bukan
orang-orang yang kulihat sebelumnya. Rasa malu yang panas menjalari tubuhku: aku
telah melompat penuh kemenangan ke dalam lingkaran orang yang belum pernah
kutemui. Atticus bangkit dari kursinya, tetapi dia bergerak lambat, seperti orang tua.
Dia meletakkan korannya sangat hati-hati, berlama-lama menyesuaikan lipatannya
dengan jari. Jemari itu sedikit gemetar.
"Pulanglah, Jem," katanya. "Bawa Scout dan Dili pulang."
Kami terbiasa langsung mematuhi perintah Atticus, meskipun tak selalu dengan
senang hati, tetapi dari cara berdirinya, Jem sepertinya tidak berniat bergerak.
"Kubilang, pulang." Jem menggeleng. Ketika kepalan Atticus naik ke pinggang,
kepalan Jem pun begitu, dan ketika mereka saling menentang, aku dapat melihat
sedikit persamaan di antara mereka: mata dan rambut cokelat lembut Jem, wajahnya
yang oval dan telinga yang mungil adalah warisan ibu kami, dihadapkan dengan


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambut hitam Atticus yang beruban dan garis wajahnya yang persegi, tetapi entah
bagaimana, keduanya mirip. Sikap mereka yang saling menentang membuat mereka
mirip. "Nak, aku bilang, pulang." Jem menggeleng.
"Akan kukirim dia pulang," kata seorang lelaki tegap, mencengkeram kerah Jem
dengan kasar. Dia menarik Jem sampai-sampai kakinya hampir tidak menyentuh
tanah. "Jangan sentuh dia!" Langsung kutendang lelaki itu. Karena aku bertelanjang
kaki, aku kaget melihat dia jatuh terjengkang benar-benar kesakitan. Aku berniat
menendang tulang keringnya, tetapi mengarah terlalu tinggi.
"Cukup, Scout." Atticus meletakkan tangannya pada bahuku. "Jangan menendang
orang. Tidak" katanya, ketika aku ingin meminta dukungan.
"Tak boleh ada orang yang memperlakukan Jem seperti itu," kataku.
"Baiklah, Mr. Finch, suruh mereka pergi," geram seseorang. "Kaupunya waktu lima
belas detik untuk menyuruh mereka pergi."
Di tengah-tengah perkumpulan aneh ini, Atticus berdiri, mencoba membuat Jem
mematuhinya. "Aku tidak mau pergi," adalah jawabannya yang kukuh untuk ancaman,
permintaan Atticus, dan akhirnya, "Tolong, Jem, bawa mereka pulang."
Aku sudah mulai bosan mendengarnya, tetapi merasa Jem punya alasan sendiri untuk
berbuat begitu, kalau mengingat apa yang akan terjadi jika Atticus berhasil
menyuruhnya pulang. Aku memandangi kerumunan di sekeliling kami. Malam itu malam
musim panas, tetapi sebagian besar dari mereka mengenakan overall dan kemeja
denim yang dikancingkan hingga kerah. Kupikir mereka mungkin terbiasa merasa
kedinginan karena lengan baju mereka
tidak digulung, melainkan dikancingkan pada pergelangan. Sebagian memakai topi
yang ditarik hingga menutupi telinga. Wajah-wajah mereka tampak garang, dengan
mata mengantuk, seolah-olah mereka tidak terbiasa terjaga hingga larut malam.
Aku mencari lagi wajah yang kukenal, dan di tengah kerumunan itu, aku menemukan
satu. "Hai, Mr. Cunningham." Lelaki itu sepertinya tak mendengar sapaanku.
"Hai, Mr. Cunningham. Bagaimana kabar masalah warisan itu?"
Urusan hukum Mr. Walter Cunningham kuketahui dengan baik; Atticus pernah
menjelaskannya panjang lebar. Lelaki bertubuh besar itu mengedipkan mata dan
mengaitkan jempolnya pada tali overall. Dia tampak tak nyaman; dia berdeham dan
berpaling. Sapaanku yang ramah gagal total.
Mr. Cunningham tidak memakai topi, dan setengah kening atasnya tampak pucat
dibandingkan dengan wajahnya yang terbakar matahari, yang membuatku yakin dia
biasanya mengenakan topi. Dia menggeser kakinya yang terbungkus sepatu kerja
berat. "Anda tidak ingat saya, Mr. Cunningham" Saya Jean Louise Finch. Anda pernah
membawakan kami kacang hickory, ingat?" Aku mulai merasakan kesia-siaan, seperti
yang dirasakan seseorang ketika dilupakan oleh seorang kenalan.
"Saya satu sekolah dengan Walter," aku memulai lagi. "Dia kan anak Anda" Iya
kan, Sir?" Mr. Cunningham tergerak untuk mengangguk
sedikit. Rupanya dia mengenaliku juga.
"Dia sekelas dengan saya," kataku, "dan prestasinya bagus. Dia anak baik,"
tambahku, "baik sekali. Kami pernah mengajaknya pulang makan siang. Mungkin dia
pernah cerita tentang saya, saya pernah memukulinya, tetapi dia baik sekali
setelahnya. Titip salam buatnya, ya?"
Atticus pernah berkata, mengobrolkan hal-hal yang diminati orang yang kita ajak
bicara, bukan tentang apa yang kita minati, adalah hal yang sopan. Mr.
Cunningham tidak memperlihatkan minat pada anaknya. Jadi, aku mencoba
mengajaknya bicara tentang kasus warisannya sekali lagi sebagai upaya terakhir
untuk membuatnya nyaman. "Sengketa warisan memang bikin pusing," aku menasihatinya, ketika aku perlahan
menyadari fakta bahwa aku berbicara kepada semua orang di situ. Mereka semua
memandangiku, sebagian mulut mereka setengah terbuka. Atticus sudah berhenti
membujuk Jem: mereka sedang berdiri bersama di samping Dili, menatapku seolaholah aku membuat mereka kagum. Bahkan, mulut Atticus setengah terbuka, suatu
sikap yang pernah disebutnya tak beradab. Kami beradu pandang dan dia menutup
mulutnya. "Nah, Atticus, aku baru berkata pada Mr. Cunningham bahwa sengketa warisan
memang bikin pusing, tetapi bukankah menurutmu sebaiknya dia tidak khawatir,
kadang-kadang menyelesaikan kasus warisan butuh waktu lama ... bahwa kalian akan
menghadapinya bersama Aku perlahan kehabisan kata-kata, sambil bertanya-tanya
kebodohan apa yang sudah kulakukan. Masalah warisan rasanya cukup bagus untuk
bahan obrolan ruang duduk.
Aku mulai merasakan keringat berkumpul di tepi rambut; aku bisa menghadapi apa
pun, kecuali ditonton oleh banyak orang. Mereka begitu khidmat. "Ada apa?"
tanyaku. Atticus tidak mengatakan apa-apa. Aku menoleh dan mendongak melihat Mr.
Cunningham, yang sama-sama terpana. Lalu, dia melakukan hal yang aneh. Dia
berjongkok dan memegang kedua bahuku."
"Akan kusampaikan salammu, gadis kecil," katanya.
Lalu, dia berdiri dan melambaikan tangannya yang besar. "Ayo pergi," serunya.
"Kita pergi, teman-teman."
Seperti datangnya, sendirian atau berdua-dua, mereka masuk kembali ke mobil
mereka yang bobrok. Pintu dibanting, mesin terbatuk, dan mereka pun pergi.
Aku berpaling kepada Atticus, tetapi Atticus sudah menghampiri penjara dan
sedang menempelkan wajahnya ke dinding. Aku menghampirinya dan menarik lengan
bajunya. "Kita bisa pulang sekarang?" Dia mengangguk, mengeluarkan saputangan,
mengusap wajahnya sekali, dan membersihkan hidungnya kuat-kuat. "Mr. Finch?"
Suara serak yang lirih datang dari kegelapan di atas, "Mereka sudah pergi?"
Atticus melangkah mundur dan memandang ke
atas. "Sudah," katanya. "Tidurlah, Tom. Mereka tak akan mengganggumu lagi."
Dari arah yang lain, sebuah bunyi lain membelah kegelapan malam. "Jelas tidak
akan. Sedari tadi aku melindungimu, Atticus."
Mr. Underwood dan moncong senapan berlaras gandanya melongok dari jendela di
atas kantor Maycomb Tribune.
Saat itu sudah jauh melewati waktu tidurku dan aku mulai merasa lelah. Tampaknya
Atticus dan Mr. Underwood akan mengobrol selama sisa malam; Mr. Underwood dari
jendelanya dan Atticus dari jalan. Akhirnya Atticus kembali, mematikan lampu di
atas pintu penjara, dan mengambil kursinya.
"Boleh kubawakan, Mr. Finch?" tanya Dili. Sejak tadi dia diam saja.
"Wah, terima kasih, Nak."
Aku dan Dili melangkah bersama di belakang Atticus dan Jem menuju kantor
Atticus. Dili direpotkan dengan kursi dan langkahnya lebih lambat. Atticus dan
Jem jauh di depan kami, dan aku berasumsi bahwa Atticus sedang memarahinya
karena Jem tak mau pulang, tetapi aku keliru. Ketika mereka melewati lampu
jalan, Atticus menjulurkan tangan dan membenamkan tangannya ke rambut Jem, salah
satu gerakan yang mencerminkan kasih sayangnya.
Enam Belas Jem mendengarku. Dia melongokkan kepala lewat pintu penghubung. Selagi dia
menghampiri tempat tidurku, lampu Atticus menyala. Kami tak bergerak sampai
lampu itu mati; kami mendengarnya membalikkan tubuh, dan kami menunggu sampai
dia tak bergerak lagi. Jem mengajakku ke kamarnya dan menyuruhku berbaring di ranjangnya. "Cobalah
tidur," katanya. "Semuanya akan berakhir setelah besok, mungkin."
Sebelumnya kami masuk diam-diam supaya tidak membangunkan Bibi. Atticus
mematikan mesin mobil di jalan masuk dan meluncur mobilnya ke garasi; kami masuk
lewat pintu belakang dan terus ke kamar tanpa berkata-kata. Aku sangat lelah dan
sudah setengah tertidur ketika ingatan akan Atticus dengan tenang melipat koran
dan mendorong topi ke belakang berubah menjadi Atticus berdiri di tengah jalan
yang kosong dan mencekam, menaikkan kacamatanya. Pemahaman sepenuhnya mengenai
peristiwa malam itu menghantamku dan aku mulai menangis. Jem sangat baik hati
saat itu: sekali ini dia tidak mengingatkan bahwa orang yang hampir sembilan
tahun tidak pernah lagi menangis.
Pagi itu semua orang tidak terlalu berselera
makan, kecuali Jem: dia makan tiga butir telur. Atticus terpana mengagumi Jem;
Bibi Alexandra menghirup kopi dan memancarkan gelombang ketidaksetujuan. Anakanak yang menyelinap keluar pada malam hari adalah aib bagi keluarga. Kata
Atticus, dia benar-benar senang karena para aibnya muncul, tetapi Bibi berkata,
"Omong kosong. Mr. Underwood ada di kantornya sepanjang peristiwa itu."
"Eh, Braxton itu aneh juga," kata Atticus. "Dia membenci orang Negro, malah tak
mau dekat-dekat." Warga setempat memandang Mr. Underwood sebagai pria pendek yang kasar dan tidak
beragama. Ayahnya menamainya Braxton Bragg berdasarkan selera humor yang aneh,
nama yang harus ditanggung Mr. Underwood sebisa mungkin. Kata Atticus, orang
yang dinamai berdasarkan nama jenderal-jenderal Konfederasi lambat laun akan
menjadi pemabuk. Calpurnia sedang menuangkan kopi lagi untuk Bibi Alexandra, dan dia menggeleng
padaku yang memasang wajah memohon dan memesona. "Kau masih terlalu kecil,"
katanya. "Akan kuberi tahu kalau sudah besar." Kopi bisa membantu perutku,
sanggahku "Baiklah," katanya, dan mengambil cangkir dari lemari. Dia menuangkan
sesendok kopi ke dalamnya dan mengisinya penuh-penuh dengan susu. Aku
mengucapkan terima kasih padanya dengan meleletkan lidahku pada cangkir itu, dan
mendongak untuk melihat kerutan kening Bibi yang akan segera memperingatkan aku.
Tetapi, dia sedang mengerutkan keningnya kepada Atticus.
Dia menunggu sampai Calpurnia masuk kembali ke dapur, lalu berkata, "Jangan
berbicara seperti itu di depan mereka."
"Berbicara seperti apa di depan siapa?" tanyanya.
"Seperti tadi di depan Calpurnia. Kauhilang, ' Braxton Underwood membenci orang
Negro' langsung di hadapannya."
"Ah, aku yakin Cal sudah tahu. Semua orang di Maycomb juga tahu."
Akhir-akhir ini, aku mulai melihat perubahan kecil dalam diri ayahku, yang
muncul ketika dia berbicara dengan Bibi Alexandra. Dia selalu mempertahankan
pendapatnya dengan tenang, tidak pernah menunjukkan kekesalan secara blakblakan. Ada sedikit kekakuan dalam suaranya ketika dia berkata, "Apa pun yang
layak diucapkan di meja ini, berarti layak diucapkan di depan Calpurnia. Dia
tahu apa arti dirinya bagi keluarga ini."
"Menurutku, ini bukan kebiasaan yang baik, Atticus. Hal seperti ini membuat
mereka melunjak. Kau tahu mereka suka berbicara sendiri. Segala sesuatu yang
terjadi di kota ini sudah sampai ke Quarters sebelum matahari terbenam."
Ayahku meletakkan pisaunya. "Aku tak tahu ada hukum yang menyatakan mereka tak
boleh berbicara. Mungkin kalau bukan gara-gara kita yang memberi mereka seabrek
bahan pembicaraan, mereka akan diam. Kenapa kopinya tidak diminum, Scout?"
Aku sedang memainkannya dengan sendok. "Kusangka Mr. Cunningham teman kita. Kau
pernah bilang begitu padaku."
"Dia masih teman kita."
"Tapi tadi malam dia ingin menyakitimu." Atticus meletakkan sendok di samping
pisaunya dan mendorong piringnya ke samping. "Pada dasarnya Mr. Cunningham orang
baik," katanya, "dia hanya punya titik buta, sama seperti kita semua."
Jem angkat bicara. "Jangan disebut titik buta. Dia ingin membunuhmu tadi malam
waktu dia baru tiba."
"Dia mungkin menyakitiku sedikit," Atticus mengaku, "tetapi, Nak, kau akan lebih
memahami manusia kalau kau sudah lebih besar. Sebuah kawanan selalu terdiri dari
manusia, bagaimanapun situasinya. Mr. Cunningham adalah bagian dari kawanan tadi
malam, tetapi dia masih manusia. Setiap kawanan di setiap kota kecil di Selatan
selalu terdiri dari orang-orang yang kita kenal mereka tak punya kesan yang
baik, ya" "Memang tidak," kata Jem.
"Jadi, diperlukan seorang anak berusia delapan tahun untuk menyadarkan mereka,
bukan?" kata Atticus. "Itu membuktikan satu hal bahwa kawanan hewan buas bisa
dihentikan karena mereka masih manusia. Hmm, mungkin kita perlu satuan polisi
anak-anak ... tadi malam kalian membuat Walter Cunningham sejenak berada dalam
posisiku. Itu sudah cukup."
Yah, kuharap Jem akan lebih memahami manusia kalau sudah lebih besar; aku tak
akan pernah paham. "Lihat saja nanti, hari pertama Walter kembali ke sekolah,
akan menjadi hari terakhirnya," tegasku.
"Kau tidak boleh menyentuh dia," kata Atticus datar. "Aku tak mau kalian berdua
menyimpan ganjalan karena kejadian ini, apa pun yang terjadi."
"Kaulihat sendiri, kan," kata Bibi Alexandra, "apa akibat dari hal seperti ini.
Jangan bilang aku belum pernah memberi tahu."
Atticus berkata, dia tak akan pernah bilang begitu, lalu mendorong kursinya dan
bangkit. "Aku ada pekerjaan, jadi permisi. Jem, aku tidak mau kau dan Scout
pergi ke kota hari ini, ya."
Ketika Atticus berangkat, Dili melompat-lompat dari ruang tamu ke ruang makan.
"Beritanya sudah tersebar ke seluruh kota pagi ini," dia mengumumkan, "tentang
kita melawan seratus orang dengan tangan kosong
Bibi Alexandra menatapnya sampai dia terdiam. "Bukan seratus orang," kata Bibi,
"dan tak ada yang melawan siapa-siapa. Itu cuma sekawanan Cunningham, mabuk dan
mengacau." "Ah, Bibi, Dili kan bicaranya memang begitu," kata Jem. Dia mengisyaratkan agar
kami mengikutinya. "Jangan keluar dari halaman hari ini," katanya, ketika kami berjalan ke teras
depan. Rasanya seperti hari Sabtu. Warga dari sisi selatan county melewati rumah kami
dalam arus yang santai tetapi terus mengalir.
Mr. Dolphus Raymond terguncang-guncang di atas kudanya. "Heran, kok dia bisa
tetap di pelana, ya," gumam Jem. "Bagaimana dia bisa mabuk-mabukan sebelum jam
delapan pagi?" Gerobak yang dipenuhi perempuan berderak-derak melewati kami. Mereka mengenakan
topi bonnet dan pakaian berlengan panjang. Seorang lelaki berjanggut dan bertopi
wol mengemudikan gerobak. "Itu orang-orang Mennonit," kata Jem kepada Dili.
"Mereka tak punya kancing." Mereka tinggal jauh di dalam hutan, melakukan
sebagian besar jual-beli di seberang sungai, dan jarang ke Maycomb. Dili
tertarik. "Mereka semua bermata biru," Jem menjelaskan, "dan lelakinya tak boleh
bercukur setelah menikah. Istri mereka suka digelitik dengan janggut."
Mr. X Billups lewat mengendarai bagal dan melambai kepada kami. "Dia lucu," kata
Jem. "Namanya memang X, bukan inisialnya. Dia pernah datang ke pengadilan suatu
kali dan petugas menanyakan namanya. Dia bilang, X Billups. Juru tulis
memintanya mengejanya dan dia bilang, X. Memintanya lagi dan dia berkata X.
Mereka bolak-balik begitu sampai dia menulis X pada selembar kertas dan
mengangkatnya agar semua orang bisa melihat. Mereka bertanya dari mana dia
memperoleh nama itu, dan katanya, begitulah orangtuanya mendaftarkan namanya
ketika dia lahir." Selagi penduduk county melewati kami, Jem menceritakan pada Dili sejarah dan
sikap umum para tokoh yang lebih terkemuka: Mr. Tensaw Jones memberi suara untuk
para politisi pendukung hukum
Prohibisi masa dalam sejarah AS, antara tahun 1920-1933, ketika hukum melarang
pembuatan, penyebaran, dan penjualan minuman beralkohol; Miss Emily Davis diamdiam mengisap tembakau; Mr. Byron Waller bisa bermain biola; Mr. Jake Slade
memiliki set gigi ketiga di mulutnya.
Segerobak warga yang berwajah keras muncul. Ketika mereka menunjuk ke halaman
Miss Maudie Atkinson yang tampak menyala dengan bunga-bunga musim panas, Miss
Maudie sendiri muncul ke teras. Ada yang unik tentang Miss Maudie meskipun dia
berdiri terlalu jauh dari kami di terasnya sehingga kami tidak bisa melihat
wajahnya dengan jelas, tetapi kami selalu bisa menduga suasana hatinya lewat
caranya berdiri. Sekarang, dia sedang berdiri sambil berkacak pinggang, bahunya
membungkuk sedikit, kepalanya miring, kacamatanya berkilau memantulkan cahaya
matahari. Kami tahu dia sedang menyeringai sangat jail.
Si kusir gerobak melambatkan bagalnya dan seorang wanita bersuara melengking
berseru, "Dia yang datang dalam kesombongan akan pergi dalam kegelapan!"
Miss Maudie menjawab, "Hati yang riang menjadikan wajah yang ceria!"
Aku menduga para pembasuh kaki itu berpikir bahwa sang Iblis sedang mengutip
Alkitab untuk tujuannya sendiri karena sang Kusir segera mempercepat laju
bagalnya. Mengapa mereka tidak menyukai halaman Miss Maudie adalah misteri. Yang
semakin membuatku penasaran adalah, untuk seseorang yang melewatkan seluruh
siang harinya di luar rumah, penguasaan Miss Maudie atas isi Alkitab sungguh
mencengangkan. "Anda akan ke pengadilan pagi ini?" tanya Jem. Kami berjalan mendekatinya.
"Tidak," katanya. "Aku tak ada urusan di pengadilan pagi ini."
"Anda tidak ingin menonton?" tanya Dili.
"Tidak. Menyeramkan, menonton seorang iblis malang diadili untuk memperjuangkan
nyawanya. Lihat orang-orang itu, seperti karnival Romawi saja."
"Mereka harus mengadilinya di depan umum, Miss Maudie," kataku. "Tidak benar
kalau tidak di depan umum."
"Aku tahu itu," katanya. "Hanya karena itu pengadilan umum, bukan berarti aku
wajib hadir, kan?"

To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Miss Stephanie Crawford mampir. Dia mengenakan topi dan sarung tangan. "Ck-ckck," katanya. "Lihat orang-orang ini bisa-bisa orang berpikir William Jennings
Bryan akan menyampaikan pidato."
"Dan kau mau ke mana, Stephanie?" tanya Miss Maudie.
"Ke Jitney Jungle." Miss Maudie mengatakan, dia belum pernah melihat Miss
Stephanie seumur hidupnya mengenakan topi untuk pergi ke Jitney Jungle.
"Yah," kata Miss Stephanie, "kupikir aku akan mampir sebentar ke gedung
pengadilan, untuk melihat apa yang dilakukan Atticus."
"Hati-hati saja, bisa-bisa nanti dia memanggilmu menjadi saksi."
Kami meminta Miss Maudie menjelaskan: katanya, Miss Stephanie tampaknya tahu
begitu banyak tentang kasus itu, lebih baik sekalian saja dipanggil untuk
bersaksi. Kami bertahan sampai tengah hari, ketika Atticus pulang untuk makan dan
menceritakan bahwa mereka melewatkan sepanjang pagi untuk memilih juri. Setelah
makan, kami menjemput Dili dan berangkat ke kota.
Acaranya sungguh meriah. Karena tak ada lagi tempat yang tersisa di pagar
penambatan umum, keledai dan gerobak diparkir di bawah setiap pohon yang
berdiri. Halaman gedung pengadilan dipenuhi dengan warga yang berpesta piknik di
atas hamparan koran, menelan biskuit dan sirop dengan susu hangat dari poci.
Beberapa orang menggerogoti ayam dingin dan potongan daging goreng dingin. Yang
lebih berada melarutkan makanan dengan Coca-Cola dalam gelas bel. Anak-anak
kecil dengan wajah berminyak bermain cambuk-cambukan di antara kerumunan, dan
bayi-bayi makan siang dengan menyusu di dada ibu mereka.
Di ujung halaman itu, orang-orang Negro duduk tanpa bersuara dalam paparan sinar
matahari, memakan sarden, biskuit, dan Nehi Cola yang bercita rasa lebih kuat.
Mr. Dolphus Raymond duduk bersama mereka.
"Jem," kata Dili, "dia minum dari kantong."
Mr. Dolphus Raymond memang sepertinya melakukan itu: ada dua sedotan kuning dari
mulutnya ke kedalaman kantong kertas cokelat.
"Belum pernah kulihat orang berbuat begitu," gumam Dili. "Bagaimana supaya
isinya tidak keluar?"
Jem tertawa. "Di dalamnya ada botol Coca-Cola berisi wiski. Dia berbuat begitu
supaya tidak merisaukan kaum wanita. Lihat saja sendiri nanti, dia akan
menghirup minuman itu sepanjang sore, lalu dia akan keluar sebentar dan
mengisinya lagi." "Mengapa dia duduk bersama orang kulit hitam?"
"Selalu begitu. Dia lebih suka mereka daripada kita, kukira. Dia tinggal
sendirian, jauh di dekat perbatasan county. Istrinya berkulit hitam dan anaknya
blasteran. Nanti kutunjukkan anaknya kalau bertemu."
"Dia tidak kelihatan seperti sampah," kata Dili.
"Memang bukan, dia memiliki satu sisi tepi sungai di sana, dan dia juga berasal
dari keluarga yang sudah tua."
"Lalu, mengapa dia berbuat seperti itu?"
"Memang begitu orangnya," kata Jem. "Katanya, dia tak pernah pulih dari kejadian
pada pesta pernikahannya. Dia semestinya menikah dengan salah seorang wanita
Spencer, rasanya. Mereka akan mengadakan pesta besar, tetapi gagal setelah geladi resik, pengantin perempuan naik ke lantai dua dan menembak kepalanya
sendiri. Senapan. Dia menarik picunya dengan jari kaki."
"Apa ada yang tahu penyebabnya?"
"Tidak," kata Jem, "tak ada yang tahu persis mengapa, kecuali Mr. Dolphus.
Katanya, karena calon istrinya tahu tentang perempuan kulit hitam ke kasihnya. Mr. Dolphus menyangka bisa tetap berhubungan dengan perempuan itu
sekaligus menikah juga. Sejak saat itu, dia jadi pemabuk. Tapi, tahu tidak, dia
baik sekali pada anak-anak itu"
"Jem," tanyaku, "anak blasteran itu apa?"
"Setengah kulit putih, setengah kulit hitam. Kau sudah pernah lihat, Scout. Kau
tahu kan yang berambut merah keriting yang mengantar barang ke toko kelontong.
Dia setengah kulit putih. Mereka menyedihkan sekali."
"Menyedihkan bagaimana?"
"Mereka tidak masuk ke golongan mana pun. Orang kulit berwarna tak mau menerima
mereka karena mereka setengah putih; orang kulit putih tak mau menerima mereka
karena mereka berwarna, jadi mereka di tengah-tengah, tidak masuk ke mana-mana.
Nah, tetapi Mr. Dolphus, kata orang, dia mengirim dua dia antara anaknya ke
utara. Penduduk utara tak berkeberatan dengan anak blasteran. Nah, itu dia salah
satunya." Seorang anak lelaki kecil memegang tangan seorang perempuan Negro berjalan ke
arah kami. Dia tampak sepenuhnya Negro bagiku: kulitnya sangat cokelat dengan
hidup pesek dan gigi indah. Kadang, dia melompat-lompat riang, tetapi perempuan
Negro itu menyentakkan tangannya untuk menghentikannya.
Jem menunggu sampai mereka melewati kami. "Itu salah satu yang kecil," katanya.
"Bagaimana bisa tahu?" tanya Dili. "Kupikir dia kulit hitam biasa."
"Kadang memang tidak bisa, kecuali kau kenal siapa mereka. Tetapi dia jelasjelas setengah Raymond."
"Tapi, tahu dari mana?" tanyaku.
"Sudah kubilang, Scout, kau akan tahu dengan melihat mereka."
"Kalau begitu, dari mana kau tahu kita bukan Negro?"
"Kata Paman Jack Finch, kita tidak benar-benar tahu. Katanya, sejauh yang bisa
dia telusuri dari leluhur keluarga Finch, kita bukan Negro, tetapi cuma dari
pengetahuannya. Kita bisa saja berasal dari Etiopia semasa Perjanjian Lama."
"Yah, kalau kita berasal dari Afrika semasa Perjanjian Lama, itu sudah lama
sekali, tidak ada pengaruhnya lagi."
"Aku juga berpikir begitu," kata Jem, "tetapi di sekitar ini, begitu kita punya
setetes darah Negro, itu berarti kita sepenunya kulit hitam. Hei, lihat"
Ada isyarat tak terlihat yang membuat para penyantap makan siang di blok itu
bangkit dan membuang sisa-sisa koran, selotip, dan kertas pembungkus. Anak-anak
menyongsong ibu mereka, bayi-bayi digendong di pinggul, sementara para lelaki
dengan topi bernoda keringat mengumpulkan keluarga mereka dan menggiringnya
melewati pintu pengadilan. Di ujung halaman, orang-orang Negro dan Mr. Dolphus
Raymond berdiri dan menepuk-nepuk celana mereka. Hanya sedikit perempuan dan
anak-anak di antara mereka, yang sepertinya membuyarkan suasana liburan. Mereka
menunggu dengan sabar di pintu, di belakang keluarga berkulit putih.
"Ayo kita masuk," kata Dili.
"Jangan, sebaiknya kita tunggu sampai mereka masuk, Atticus mungkin tidak suka
kalau dia melihat kita," kata Jem.
Gedung pengadilan Maycomb County samar-samar mengingatkan orang pada Arlington
karena satu aspek: tiang beton yang menyokong atap selatan terlalu besar untuk
bebannya yang ringan. Hanya tiang-tiang itu yang tersisa ketika gedung aslinya
terbakar pada 1865. Gedung baru dibangun mengitari tiang itu. Atau lebih tepat,
dibangun meskipun ada tiang itu. Kecuali teras selatan, gedung pengadilan
Maycomb County bergaya Victorian awal, menyajikan pemandangan yang tidak
mengecewakan jika dilihat dari utara. Namun, dari sisi yang berkebalikan, tiangtiang bulat bergaya Yunani bertabrakan dengan menara jam besar dari abad
kesembilan yang menampung pengukur waktu berkarat dan tak bisa diandalkan,
pemandangan yang menunjukkan tekad warga untuk mempertahankan setiap pernik
fisik masa lalu. Untuk mencapai ruang pengadilan di lantai dua, kami harus melewati beberapa
relung county yang tidak tersentuh sinar matahari: penilai pajak, pengumpul
pajak, juru tulis county, pengacara county, juru tulis keliling, hakim waris,
semuanya berkantor dalam kerangkeng-kerangkeng yang sejuk dan temaram, yang
berbau seperti buku catatan busuk bercampur semen tua yang lembap dan urine
basi. Lampu perlu dinyalakan pada siang hari; selalu ada selapis debu pada papan
lantai yang kasar. Penghuni kantor-kantor ini adalah makhluk yang cocok dengan
lingkungannya: lelaki-lelaki pendek berwajah kelabu yang tampaknya lama tak
tersentuh matahari atau angin.
Kami tahu ada banyak orang, tetapi kami tak menyangka seabrek orang berjejalan
di aula lantai satu. Aku terpisah dari Jem dan Dili, tetapi terus berjalan ke
dinding dekat tangga, tahu Jem akan menjemputku pada akhirnya. Kudapati diriku
di tengah-tengah Klub Pemalas, dan berupaya supaya tak mengganggu mereka. Klub
Pemalas adalah sekelompok orang tua berkemeja putih, bercelana khaki dengan tali
selempang, yang melewatkan hidup mereka tanpa melakukan apa-apa dan melewatkan
hari tua melakukan hal yang sama di bangku pinus di bawah pohon ek di alun-alun.
Menurut Atticus, mereka adalah kritikus yang awas tentang urusan gedung
pengadilan; mereka menguasai hukum sebaik Hakim Agung sebagai akibat dari
pengamatan selama tahun-tahun yang panjang. Biasanya hanya mereka yang menjadi
penonton di pengadilan, dan hari ini mereka tampak jengkel dengan gangguan bagi
rutinitas mereka yang nyaman. Ketika berbicara, suara mereka terdengar seperti
orang penting tetapi santai. Percakapannya membahas ayahku.
"... pikirnya dia tahu apa yang dia lakukan," kata seorang.
"Ah, aku tak sepakat," kata yang lain. "Atticus Finch adalah pembaca yang
serius, pembaca yang sangat serius." "Dia memang membaca, cuma itu yang dia lakukan," Klub itu terkekeh.
"Aku beri tahu sekarang Bill," orang ketiga berkata, "kau tahu pengadilan
menunjuk dia untuk membela nigger ini."
"Iya, tetapi Atticus ingin membela dia. Itu yang aku tak suka."
Ini berita baru, berita yang memberikan pandangan berbeda tentang situasi ini:
Atticus wajib melakukannya, mau tidak mau. Kupikir aneh juga dia tidak
mengatakan apa-apa tentang hal ini kepada kami kami bisa memanfaatkannya
berkali-kali saat membelanya dan membela kami. Dia wajib, karena itulah dia
melakukannya, berarti lebih sedikit perkelahian dan lebih sedikit pertengkaran.
Akan tetapi, apakah itu menjelaskan sikap warga kota" Pengadilan menunjuk
Atticus untuk membelanya. Atticus ingin membelanya. Itu yang mereka tidak sukai.
Membingungkan. Orang-orang Negro, setelah menunggu orang kulit putih naik, mulai masuk. "Eh,
eh, tunggu dulu," kata seorang anggota klub, mengacungkan tongkat berjalannya.
"Jangan naik dulu."
Anggota Klub mulai naik dengan sendi kaku dan berpapasan dengan Dill dan Jem
yang turun mencariku. Mereka berkelit melewati dan Jem berseru, "Scout, ayo,
sudah tak ada kursi lagi. Kita harus berdiri."
"Lihat ke sana," katanya jengkel, ketika orang-orang berkulit hitam naik ke
atas. Orang-orang tua di hadapan mereka akan mengambil sebagian besar ruang berdiri. Kami tak
beruntung dan semuanya salahku, kata Jem. Kami berdiri dengan merana di dekat
dinding. "Kalian tidak bisa masuk?" Pendeta Sykes memandang kami, membawa topi hitam.
"Hai, Pak Pendeta," kata Jem. "Tidak, Scout mengacaukan kami."
"Coba kita lihat apa yang bisa kita lakukan." Pendeta Sykes beringsut-ingsut ke
atas. Beberapa saat kemudian, dia kembali. "Di bawah sudah tak ada tempat duduk.
Kalian tidak apa-apa kalau naik ke balkon bersamaku?"
"Mau," kata Jem. Dengan sukacita, kami berlari mendahului Pendeta Sykes ke
lantai atas ruang pengadilan. Di sana, kami menaiki tangga beratap dan menunggu
di pintu. Pendeta Sykes datang terengah-engah di belakang kami, dan mengarahkan
kami dengan lembut menembus orang kulit hitam di balkon. Empat orang Negro
bangkit dan memberi kami kursi terdepan.
Balkon Kulit Hitam terletak pada tiga dinding ruang pengadilan, bagai beranda
lantai dua, dan dari situ kami bisa melihat semuanya.
Juri duduk di sebelah kiri, di bawah jendela-jendela panjang. Sosok-sosok mereka
yang terbakar matahari dan jangkung menunjukkan bahwa mereka semua sepertinya
petani, tetapi ini wajar: warga kota jarang menjadi juri, mereka biasanya gagal
atau diizinkan tidak ikut. Satu atau dua juri
samar-samar tampak seperti Cunningham yang berpakaian bagus. Pada tahap ini,
mereka duduk tegak dan waspada.
Jaksa wilayah dan seorang lelaki lain duduk semeja, sementara Atticus dan Tom
Robinson duduk di meja yang lain, mereka membelakangi kami. Buku cokelat dan
beberapa sabak kuning terlihat di meja jaksa wilayah; meja Atticus kosong.
Di dalam pagar yang memisahkan penonton dari sidang pengadilan, saksi duduk di
kursi beralas kulit. Mereka membelakangi kami.
Hakim Taylor duduk di meja hakim, mirip hiu tua yang mengantuk, sementara ikan
pengikutnya menulis dengan cepat di depannya. Hakim Taylor mirip dengan sebagian
besar hakim yang pernah kulihat: ramah, berambut putih, berwajah kemerahan, dia
lelaki yang memimpin pengadilan dengan informalitas yang menggelisahkan dia
kadang menumpangkan kaki ke meja, dia sering membersihkan kuku dengan pisau
saku. Dalam pengadilan tak resmi yang panjang, terutama setelah makan, dia
memberi kesan sedang terkantuk-kantuk. Ketika seorang pengacara pernah dengan
sengaja mendorong setumpuk buku ke lantai dalam sebuah upaya putus asa untuk
membangunkannya, Hakim Taylor bergumam tanpa membuka mata, "Mr. Whitley, kalau
melakukan itu lagi, kudenda kau seratus dolar."
Dia orang yang menguasai hukum, dan meskipun tampak menganggap santai
pekerjaannya, sebenarnya dia tahu persis tentang kasus yang diajukan ke
hadapannya. Hanya sekali Hakim Taylor
tampak diam terpaku di pengadilan terbuka, dan keluarga Cunningham
menghentikannya. Old Sarum, tanah mereka, didiami oleh dua keluarga yang
terpisah sejak awal, tetapi sayangnya memiliki nama yang sama. Keluarga
Cunningham menikahi keluarga Coningham sampai-sampai pengejaan namanya bersifat
akademis saja hingga seorang Cunningham menyengketakan seorang Coningham untuk
akta tanah dan dibawa ke meja hukum. Selama kontroversi ini, Jeems Cunningham
bersaksi bahwa ibunya mengeja namanya Cunningham pada akta dan dokumen lain,
tetapi sebenarnya wanita itu seorang Coningham yang tidak mahir mengeja, jarang
membaca, dan biasa melamun ketika duduk malam-malam di beranda depan rumahnya.
Setelah sembilan jam mendengarkan keeksentrikan para penghuni Old Sarum, Hakim
Taylor mengeluarkan kasus itu dari pengadilan. Ketika ditanya atas dasar apa,
Hakim Taylor berkata, "Konspirasi," dan menyatakan dia berharap kepada Tuhan
bahwa para penuntut merasa puas setelah setiap pihak dapat mengungkapkan
keinginannya di depan umum. Mereka memang puas. Memang hanya itu yang mereka
inginkan sejak awal. Hakim Taylor memiliki satu kebiasaan menarik. Dia mengizinkan orang merokok di
ruang pengadilannya, tetapi dia sendiri tidak merokok: kadang, jika beruntung,
seseorang bisa menontonnya meletakkan sebatang cerutu kering yang panjang ke
mulutnya, dan mengunyahnya perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit, cerutu yang
tidak dinyalakan itu menghilang, dan muncul lagi beberapa jam kemudian sebagai adonan licin,
esensinya terekstraksi dan bercampur dengan getah pencernaan Hakim Taylor. Aku
pernah bertanya kepada Atticus, bagaimana Mrs. Taylor bisa tahan berciuman
dengannya, tetapi kata Atticus mereka tidak sering berciuman.
Kursi saksi terletak di sebelah kanan Hakim Taylor, dan ketika kami duduk, Mr.
Heck Tate sudah duduk di sana.
Tujuh Belas em," kataku, "yang duduk di sana itu keluarga Ewell?"
"Sst," kata Jem, "Mr. Heck Tate sedang bersaksi."
Mr. Tate berpakaian rapi untuk acara ini. Dia mengenakan setelan bisnis biasa,
yang membuatnya mirip-mirip dengan lelaki lain: tak ada lagi sepatu bot tinggi,
jaket penebang kayu, dan ikat pinggang bertatah peluru. Sejak saat itu, dia tak
lagi membuatku takut. Dia duduk menyondongkan diri di kursi saksi, tangannya
menangkup di antara lutut, menyimak jaksa wilayah.
Pengacaranya, Mr. Gilmer, tidak terlalu kami kenal. Dia berasal dari
Abbottsville; kami melihatnya hanya saat pengadilan berlangsung, dan itu jarang,
karena pengadilan tidak menarik bagiku dan Jem. Lelaki yang mulai botak dan
berwajah mulus itu mungkin berusia 40 hingga 60an tahun. Meskipun membelakangi,
kami tahu pada salah satu matanya terdapat suatu kekurangan yang
dimanfaatkannya: dia kelihatan seperti sedang memandangi seseorang, padahal
sebenarnya tidak, jadi dia menyulitkan juri dan saksi. Juri, menyangka mereka
diamati lekat-lekat, diperhatikan dengan saksama; demikian
pula para saksi, mereka menyangka hal yang sama.
"... dengan kata-kata Anda sendiri, Mr. Tate," kata Mr. Gilmer.
"Ya," kata Mr. Tate, menyentuh kacamatanya dan berbicara ke lututnya, "saya
dipanggil" "Bisakah Anda berbicara kepada juri, Mr. Tate" Terima kasih. Siapa yang
memanggil Anda?" Mr. Tate berkata, "Saya dijemput Bob oleh Mr. Bob Ewell di sana, pada suatu
malam" "Malam kapan, Sir?" Mr. Tate berkata. "Malam tanggal 21 November. Saya sedang
bersiap-siap meninggalkan kantor untuk pulang ketika B Mr. Ewell masuk, sangat
gelisah, dan memintaku cepat ke rumahnya, seorang nigger memerkosa putrinya."
"Anda ke sana?" "Tentu. Masuk ke mobil dan ke sana secepat mungkin."
"Dan apa yang Anda temukan?"
"Menemukan gadis itu berbaring di lantai di tengah-tengah ruang depan, yang di
sebelah kanan kalau dari depan. Dia dipukuli cukup parah, tetapi saya
mengangkatnya berdiri dan membasuh wajahnya dengan air dari ember di pojok
ruangan dan mengatakan padanya bahwa dia baik-baik saja. Saya bertanya siapa
yang menyakitinya dan dia menjawab, Tom Robinson"


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hakim Taylor, yang sedari tadi memerhatikan kukunya, mengangkat kepala seolaholah menduga akan ada keberatan, tetapi Atticus diam.
"bertanya apakah Tom yang memukulinya, dia
mengiyakan. Saya tanya apakah Tom menodainya, dan dia mengiyakan. Jadi, saya
pergi ke rumah Robinson dan membawanya kembali. Dia mengidentifikasi Tom sebagai
pelaku, jadi saya menahan Tom. Itulah yang terjadi."
"Terima kasih," kata Mr. Gilmer. Hakim Taylor b erkata, "Ada pertanyaan,
Atticus?" "Ada," jawab ayahku. Dia sedang duduk di belakang mejanya; kursinya miring ke
satu sisi, kakinya bersilang dan satu lengannya bersandar pada bagian belakang
kursi. "Anda memanggil dokter, Sheriff" Apakah ada yang memanggil dokter?" tanya
Atticus. "Tidak, Sir," kata Mr. Tate.
"Tidak memanggil dokter?"
"Tidak, Sir," ulang Mr. Tate.
"Kenapa tidak?" Ada ketajaman dalam suara Atticus.
"Ya, saya bisa ungkapkan mengapa saya tidak menelepon. Memang tidak perlu, Mr.
Finch. Cederanya sangat parah. Pasti terjadi sesuatu, sudah jelas."
"Tetapi Anda tidak memanggil dokter" Selagi Anda di sana, adakah orang yang
menyuruh orang lain memanggil, menjemput, atau membawa gadis itu ke dokter?"
"Tidak, Sir" Hakim Taylor menyela. "Dia sudah menjawab pertanyaannya tiga kali, Atticus. Dia
tidak memanggil dokter."
Atticus berkata, "Saya hanya ingin memastikan, Pak Hakim," dan si hakim
tersenyum. Tangan Jem, yang sedang mencengkeram pagar balkon makin erat. Tiba-tiba dia
menarik napas. Menoleh ke bawah, aku tak melihat penyebabnya. Aku jadi bertanyatanya apakah Jem hanya bertingkah. Dili menonton dengan tenang, begitu pula
Pendeta Sykes di sampingnya. "Ada apa?" bisikku, dan mendapat jawaban singkat,
"sst!" "Sheriff," Atticus berkata, "menurut Anda, cederanya parah. Separah apa"1 "Yah"
"Ceritakan saja cederanya, Heck."
"Yah, dia dipukuli di kepala. Sudah ada memar yang muncul di lengannya, dan itu
terjadi sekitar tiga puluh menit sebelum"
"Dari mana Anda tahu?" Mr. Tate menyeringai. "Maaf, itu menurut mereka. Kembali
lagi, badannya sudah lebam-lebam waktu saya sampai, dan matanya akan membiru."
"Mata yang mana?" Mr. Tate mengedip dan menyisir rambutnya dengan tangan. "Coba
saya ingat-ingat," katanya lirih, lalu memandang Atticus seolah-olah dia
menganggap pertanyaan itu kekanak-kanakan.
"Anda tidak ingat?" tanya Atticus. Mr. Tate menunjuk ke sosok tak terlihat yang
berada sepuluh senti di hadapannya dan berkata, "Yang kiri."
"Tunggu, Sheriff," kata Atticus. "Bagian kiri yang menghadapmu, atau bagian
kirimu?" Mr. Tate berkata, "Oh, iya, itu berarti bagian kanan dia. Mata kanan dia, Mr.
Finch. Saya ingat sekarang, wajahnya cedera pada bagian itu
Mr. Tate berkedip lagi, seolah-olah sesuatu tiba-tiba tampak jelas baginya.
Lalu, dia memutar kepala dan menoleh kepada Tom Robinson. Seolah-olah karena
insting, Tom Robinson mengangkat kepala.
Sesuatu juga menjadi jelas bagi Atticus, dan hal itu membuatnya berdiri.
"Sheriff, tolong ulangi perkataan Anda tadi."
"Mata kanannya, tadi saya bilang."
"Bukan...." Atticus berjalan ke meja notulis pengadilan dan membungkuk pada tangan
yang menulis secepat kilat. Tangan itu berhenti, membalik notes catatan itu, dan
si notulis pengadilan berkata, '"Mr. Finch. Saya ingat sekarang, wajahnya cedera
pada bagian itu.1" Atticus memandang Mr. Tate. "Sisi yang mana, Heck?"
"Sisi kanan, Mr. Finch, tetapi memarnya lebih banyak Anda ingin mendengar
tentang itu?" Atticus tampaknya sedang mempertimbangkan untuk mengajukan pertanyaan lain,
tetapi mengurungkannya dan berkata, "Ya, di bagian mana lagi cederanya?" selagi
Mr. Tate menjawab, Atticus berbalik dan menatap Tom Robinson, seolah-olah
berkata ini adalah sesuatu yang tak mereka sang-ka-sangka.
"... lengannya memar, dan dia menunjukkan lehernya kepadaku. Jelas ada tanda jari
pada ke - rongkongannya" "Di sekeliling lehernya" Di tengkuknya?"
"Menurut saya, sampai sekeliling lehernya, Mr. Finch."
"Menurut Anda begitu?"
"Ya, Sir, lehernya kecil, siapa saja bisa memegangnya dengan"
"Tolong jawab pertanyaan saya dengan ya atau tidak, Sheriff," kata Atticus
datar, dan Mr. Tate terdiam.
Atticus duduk dan mengangguk kepada jaksa wilayah, yang menggeleng kepada hakim,
yang mengangguk kepada Mr. Tate, yang berdiri kaku dan turun dari kursi saksi.
Di bawah kami, kepala berputar, kaki bergeser di lantai, bayi dipindahkan ke
bahu, dan beberapa orang anak berlari keluar ruang pengadilan. Orang-orang Negro
di belakang kami berbisik-bisik lirih; Dili sedang bertanya kepada Pendeta Sykes
apa makna semua itu, tetapi Pendeta Sykes berkata dia tidak tahu. Sejauh ini,
semuanya benar-benar membosankan: tak ada yang membentak, tak ada pertengkaran
di antara pengacara pihak yang berlawanan, tak ada drama; kekecewaan besar bagi
para hadirin, tampaknya. Atticus mengajukan pertanyaan dengan ramah, seolah-olah
sedang menangani kasus persengketaan akta. Dengan kemampuannya yang tak terbatas
untuk menenangkan lautan bergolak, dia dapat membuat kasus pemerkosaan sekering
khotbah. Lenyaplah kengerian dalam benakku tentang wiski basi dan bau
peternakan, tentang lelaki garang bermata mengantuk, tentang suara serak yang memanggil
dalam keheningan malam, "Mr. Finch" Mereka sudah pergi?" Mimpi buruk kami sudah
lenyap bersama cahaya matahari, segala sesuatu akan beres.
Semua penonton sama santainya dengan Hakim Taylor, kecuali Jem. Mulutnya
melengkung menjadi setengah seringai penuh makna, matanya bersinar gembira, dan
dia mengatakan sesuatu tentang bukti pendukung, yang membuatku yakin bahwa dia
sedang pamer. "... Robert E. Lee Ewell!" Menyahut suara kerani yang menggelegar, seorang lelaki
kecil yang bersikap seperti ayam jago bangkit dan berjalan ke kursi saksi,
tengkuknya memerah ketika mendengar namanya disebut. Ketika dia berbalik untuk
bersumpah, kami melihat bahwa wajahnya berwarna semerah lehernya. Kami juga
melihat bahwa namanya tidak mencerminkan sosoknya. Rambut yang baru dikeramas
berdiri dari keningnya; hidungnya kurus, runcing, dan berkilau; dia tak punya
dagu dagunya seperti menjadi bagian lehernya yang bergelambir.?"tolonglah saya Tuhan," dia berkokok. Setiap kota seukuran Maycomb memiliki
keluarga seperti Ewell. Fluktuasi ekonomi tak pernah mengubah status mereka
orang-orang seperti anggota keluarga Ewell selalu disantuni pemerintah, baik
dalam kemakmuran maupun dalam krisis. Tak ada petugas sekolah yang dapat
menyuruh anak-anaknya yang banyak itu bersekolah; tak ada petugas kesehatan umum
yang dapat membebaskan mereka dari cacat bawaan, cacingan, dan penyakit yang
berasal dari lingkungan kotor.
Keluarga Ewell dari Maycomb tinggal di belakang tempat pembuangan sampah kota di
rumah yang dulunya kabin orang Negro. Dinding kayu kabin dilapisi dengan
lembaran besi kasar, atapnya ber-genting tatanan kaleng timah yang dipalu supaya
rata. Dilihat sekilas, semua orang akan tahu bentuk asli kabin itu: persegi,
dengan empat kamar kecil yang menghadap ke ruang tengah yang berantakan, berdiri
canggung di atas empat gundukan batu gamping yang tak beraturan. Jendelanya
hanyalah lubang pada dinding, yang pada musim panas ditutupi dengan secarik kain
katun tipis berminyak untuk mencegah masuknya berbagai hama pemakan sampah
Maycomb. Hama-hama itu hanya mendapat sedikit makanan karena setiap hari keluarga Ewell
memulung sampah habis-habisan, dan buah pekerjaan mereka (sisa sampah yang tidak
dimakan) membuat petak tanah di sekitar kabin itu seperti rumah bermain seorang
anak gila: pagarnya adalah potongan ranting, sapu, dan gagang perkakas, di
beberapa bagian, kepala palu berkarat, kepala garu yang bergigi miring, pacul,
kapak, dan sabit, mencuat di tengah jalinan kawat berduri. Halaman di dalam
pagar itu kotor dan dipenuhi sisa-sisa mobil Ford Model-T, kursi dokter gigi
buangan, peti es kuno, dan berbagai pernak-pernik: sepatu tua, radio meja usang,
pigura, stoples, dan di bawahnya ayam-ayam kurus
berwarna Jingga mematuk-matuk penuh harap.
Namun, salah satu pojok halamannya mengherankan Maycomb. Berbaris di dekat pagar
adalah enam ember sampah dari enamel retak, ditumbuhi bunga geranium merah
cerah, dirawat dengan penuh kelembutan bagaikan bunga milik Miss Maudie
Atkinson, andaikan Miss Maudie mau mengizinkan geranium tumbuh di halamannya.
Kata orang, bunga-bunga ini milik Mayella Ewell.
Tak ada yang tahu pasti ada seberapa banyak anak di tempat itu. Ada yang bilang
enam, ada yang bilang sembilan; selalu ada beberapa anak berwajah kotor yang
melongok di jendela saat seseorang lewat. Tak ada yang lewat di situ kecuali
pada hari Natal, yaitu ketika gereja-gereja mengirimkan keranjang bantuan, dan
ketika walikota Maycomb meminta kami untuk membantu pengangkut sampah dengan
membuang pohon dan sampah kami sendiri.
Pada hari Natal yang lalu, Atticus mengajak kami ke sana untuk mematuhi
permintaan walikota. Jalan tanah terentang dari jalan raya, melewati tempat
pembuangan itu, hingga ke permukiman Negro sekitar lima ratus meter lebih jauh
dari kabin keluarga Ewell. Untuk kembali ke jalan raya, mobil harus mundur atau
terus sampai ke ujung jalan baru memutar; kebanyakan orang memutar di halaman
depan rumah-rumah orang Negro. Dalam senja Desember yang membeku, kabin mereka
tampak rapi dan apik, dengan asap biru muda naik dari cerobong dan pintu
berpendar merah dari api di dalam. Aroma
lezat menggantung di udara: ayam, daging asap yang digoreng kering seperti udara
senja. Aku dan Jem mengendus bau masakan tupai, tetapi perlu orang pedesaan tua
seperti Atticus untuk membedakan possum dan kelinci, aroma-aroma yang hilang
ketika kami kembali melaju melewati kediaman Ewell.
Yang dimiliki lelaki kecil di kursi saksi itu yang membuatnya lebih baik
daripada para tetangga terdekatnya adalah, jika digosok dengan sabun alkali
dalam air sangat panas, kulitnya berwarna putih.
"Mr. Robert Ewell?" tanya Mr. Gilmer.
"Itu namaku, Kapten," kata sang saksi. Punggung Mr. Gilmer menjadi sedikit lebih
kaku, dan aku merasa kasihan padanya. Mungkin aku sebaiknya menjelaskan sesuatu
sekarang. Aku mendengar bahwa anak pengacara, setelah melihat orangtua mereka di
pengadilan pada saat terjadi perdebatan sengit, sering mendapat kesan yang
salah: mereka berpikir bahwa pengacara lawan adalah musuh pribadi orangtuanya,
mereka menderita, dan terkejut melihat orangtua mereka sering keluar
bergandengan tangan dengan para penyiksa mereka pada waktu istirahat. Ini tidak
berlaku bagiku dan Jem. Kami tidak pernah mendapat trauma karena menonton ayah
kami menang ataupun kalah. Maafkan aku karena tak bisa menyajikan drama apa pun
dalam hal ini; kalau aku mau melakukannya, tentu itu tidak benar. Namun, kami
bisa tahu kapan sebuah debat menjadi lebih dijiwai emosi daripada bersifat
profesional, tetapi kami mendapatkan kemampuan ini dari menonton pengacarapengacara selain ayah kami. Seumur hidup aku tak pernah mendengar Atticus
melantangkan suaranya, kecuali untuk saksi yang tuli. Mr. Gilmer sedang
melaksanakan tugasnya, demikian pula Atticus. Lagi pula, Mr. Ewell adalah saksi
untuk Mr. Gilmer, dan tidak masuk akal kalau dia bersikap tidak sopan padanya.
"Apakah Anda ayah Mayella Ewell?" adalah pertanyaan berikutnya.
"Yah, kalaupun bukan saya, saya tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang, ibunya
sudah mati," adalah jawabannya.
Hakim Taylor terusik. Dia berputar perlahan di kursi putarnya dan memandang
dengan lembut pada saksi. "Apakah Anda ayah Mayella Ewell?" tanyanya, dengan
cara yang membungkam derai tawa di bawah kami.
"Ya, Sir," Mr. Ewell berkata malas. Hakim Taylor melanjutkan dengan nada ramah,
"Ini pertama kali Anda di pengadilan" Saya tak ingat pernah melihat Anda di
sini." Ketika saksi mengangguk, dia melanjutkan, "Baiklah, kita luruskan
perkaranya sekarang. Tak boleh ada lagi spekulasi tidak senonoh tentang topik
apa pun dari siapa pun dalam ruang pengadilan ini selama saya duduk di sini.
Anda mengerti?" Mr. Ewell mengangguk, tetapi menurutku dia tak mengerti. Hakim Taylor menghela
napas dan berkata, "Baik, Mr. Gilmer?"
"Terima kasih, Sir. Mr. Ewell, bisakah Anda menceritakan dengan kata-kata Anda
sendiri apa yang terjadi pada malam tanggal 21 November?"
Jem menyeringai dan mendorong rambutnya ke belakang. Dalam kata-kata Anda
sendiri adalah ciri khas Mr. Gilmer. Kami sering bertanya-tanya, memangnya Mr.
Gilmer takut saksinya menggunakan kata-kata siapa"
"Ya, pada malam tanggal 21 November, saya pulang dari hutan dengan setumpuk kayu
bakar dan ketika sampai di pagar, saya mendengar Mayella menjerit di dalam rumah
seperti babi tertusuk"
Di sini Hakim Taylor mendelik tajam kepada saksi dan rupanya memutuskan tidak
ada maksud buruk dalam spekulasi saksi, karena sesaat kemudian Hakim Taylor
diam, mengantuk. "Kapan itu, Mr. Ewell?"
"Tepat sebelum matahari terbenam. Yah, seperti yang saya bilang, Mayella sedang
menjerit cukup kuat untuk mengalahkan Yesus" satu delikan lagi dari kursi hakim
membuat Mr. Ewell terdiam.
"Benar begitu" Dia sedang menjerit?" kata Mr. Gilmer.
Mr. Ewell memandang kepada hakim bingung. "Ya, teriakan Mayella berisik sekali
jadi saya tinggalkan kayu itu dan berlari secepat mungkin tetapi menabrak pagar,
dan ketika saya bisa melepaskan diri, saya berlari ke jendela dan melihat" wajah
Mr. Ewell memerah. Dia berdiri dan menuding Tom Robinson, "saya melihat nigger
hitam itu memerkosa Mayella-ku!"
Ruang pengadilan Hakim Taylor biasanya begitu tenang, sehingga dia jarang sekali
menggunakan palunya, tetapi sekarang dia mengetukkan palunya selama lima menit penuh.
Atticus berdiri di hadapan meja hakim dan mengatakan sesuatu kepadanya, Mr. Heck
Tate sebagai petugas keamanan tertinggi di county berdiri di tengah lorong
menenangkan ruang pengadilan yang penuh sesak. Di belakang kami, terdengar
erangan marah dari orang-orang kulit hitam.
Pendeta Sykes mencondongkan tubuh di depan aku dan Dili, menarik sikut Jem. "Mr.
Jem," katanya, "sebaiknya kau membawa Miss Jean Louise pulang. Mr. Jem,
kaudengar?" Jem menoleh. "Scout, pulanglah. Dill, kau dan Scout pulang."
"Kau harus memaksaku dulu," kataku, mengingat nasihat Atticus yang memberi
berkah. Jem merengut marah padaku, lalu berkata kepada Pendeta Sykes, "Saya rasa tidak
apa-apa, Pendeta, dia tidak paham."
Aku sungguh tersinggung. "Aku mengerti, aku bisa mengerti apa pun yang kau
mengerti." "Ah, diamlah. Dia tak mengerti, Pendeta, umurnya belum sembilan tahun."
Mata hitam Pendeta Sykes menatap kami dengan cemas. "Mr. Finch tahu kalian di
sini" Yang terjadi di sini tidak pantas untuk Miss Jean Louise ataupun kalian."
Jem menggeleng. "Atticus tidak bisa melihat kami dari jarak sejauh ini. Tak apaapa, Pendeta." Aku tahu Jem akan menang karena aku tahu tak ada satu pun yang bisa membuatnya
pergi sekarang. Aku dan Dili aman, untuk beberapa lama: Atticus bisa saja
melihat kami dari tempatnya, kalau dia berusaha melihat.
Sementara Hakim Taylor memukulkan palunya, Mr. Ewell duduk puas di kursi saksi,
menonton hasil karyanya. Dengan satu frasa, dia telah mengubah para pelaku
tamasya yang gembira menjadi kerumunan yang merajuk, tegang, dan saling
berkasak-kusuk, yang perlahan-lahan terhipnotis oleh ketukan palu yang semakin
melemah sampai satu-satunya suara dalam ruang pengadilan adalah ting-ting-ting
samar: seolah-olah sang hakim mengetuk meja dengan pensil.
Kembali menguasai ruang pengadilan, Hakim Taylor bersandar pada kursi. Mendadak
dia tampak lelah; usianya terlihat, dan aku berpikir tentang perkataan Atticus
dia dan Mrs. Talyor jarang berciuman usianya pasti hampir tujuh puluh tahun.
"Ada permintaan," kata Hakim Taylor, "bahwa ruang pengadilan ini dikosongkan
dari penonton, atau setidaknya wanita dan anak-anak, permintaan yang sementara
ini ditolak. Orang biasanya melihat apa yang mereka cari, dan mendengar apa yang
mereka simak, dan mereka berhak membiarkan anak-anaknya mendengar, tetapi aku
bisa menjamin satu hal: kalian akan menerima apa yang kalian lihat dan dengar
tanpa bersuara atau kalian harus meninggalkan ruang pengadilan ini, tetapi
kalian baru meninggalkan ruang ini setelah kalian semua menghadapku dengan
tuntutan penghinaan terhadap pengadilan. Mr. Ewell, Anda akan menjaga kesaksian
Anda dalam batasan penggunaan bahasa Inggris Kristiani, jika itu mungkin.
Lanjutkan, Mr. Gilmer."
Mr. Ewell mengingatkan aku pada orang bisu-tuli. Aku yakin dia tak pernah
mendengar perkataan Hakim Taylor yang ditujukan kepadanya mulutnya berjuang
diam-diam dengan perkataan itu tetapi pengaruhnya tampak pada wajahnya. Kepuasan


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memudar, digantikan dengan kekeras kepalaan berlebihan yang sama sekali tidak
menipu Hakim Taylor: selama Mr. Ewell duduk di kursi saksi, sang hakim
mengawasinya, seolah-olah menantangnya untuk bertindak keliru.
Mr. Gilmer dan Atticus bertukar pandang. Atticus duduk lagi, menyangga pipinya
dengan kepalan dan kami tak bisa melihat wajahnya. Mr. Gilmer tampak agak putus
asa. Pertanyaan dari Hakim Taylor membuatnya lebih santai, "Mr. Ewell, apakah
Anda melihat terdakwa berhubungan seksual dengan putri Anda?"
"Ya, saya lihat." Para penonton diam, tetapi terdakwa mengatakan sesuatu.
Atticus berbisik kepadanya, dan Tom Robinson diam.
"Anda berkata, Anda di jendela?" tanya Mr. Gilmer.
"Ya, Sir." "Seberapa tinggi dari tanah?" "Sekitar semeter."
"Anda dapat melihat ruangan di dalam dengan jelas?"
"Ya, Sir." "Seperti apa ruangannya?" "Berantakan, seperti baru ada yang berkelahi." "Apa
yang Anda lakukan ketika melihat terdakwa?"
"Saya berlari mengitari rumah untuk masuk, tetapi dia keluar lewat pintu depan
lebih dahulu. Tapi saya lihat siapa orangnya. Perhatian saya tersita untuk
Mayella, jadi tidak saya kejar. Saya berlari memasuki rumah, dan dia hanya
berbaring di lantai, menjerit-jerit"
"Lalu, apa yang Anda lakukan?"
"Yah, saya lari mencari Tate secepat mungkin. Saya tahu orangnya, tinggal di
sana, di sarang nigger, melewati rumahnya setiap hari. Pak Hakim, saya sudah
lima belas tahun meminta pemerintah county untuk membersihkan sarang di sana,
berbahaya tinggal di dekat mereka, selain menurunkan nilai tanah saya"
"Terima kasih, Mr. Ewell," kata Mr. Gilmer buru-buru.
Si saksi tergesa turun dari kursi dan menabrak Atticus, yang telah berdiri untuk
memeriksanya. Hakim Taylor mengizinkan hadirin tertawa.
"Tunggu sebentar, Sir," kata Atticus ramah. "Bolehkah saya menanyakan satu atau
dua pertanyaan?" Mr. Ewell kembali ke kursi saksi, mencari posisi yang nyaman, dan memandang
Atticus dengan curiga dan sombong, ekspresi yang umum ditunjukkan oleh saksi
Maycomb County ketika ditanyai oleh pengacara lawan.
"Mr. Ewell," Atticus memulai, "orang banyak berlari-lari malam itu. Coba kita
lihat, Anda berkata, Anda berlari ke dalam rumah, Anda berlari ke jendela, Anda
berlari masuk, Anda berlari ke Mayella, Anda berlari mencari Mr. Tate. Apakah
Anda, selama berlari-lari ini, berlari mencari dokter?"
"Tidak perlu. Saya sudah lihat apa yang terjadi."
"Tetapi ada satu hal yang tidak saya pahami," kata Atticus. "Apakah Anda tidak
mencemaskan kondisi Mayella?"
"Jelas saya cemas," kata Mr. Ewell. "Saya melihat siapa pelakunya."
"Tidak, maksudku kondisi fisiknya. Apakah menurut Anda sifat cederanya
memerlukan perhatian medis secepatnya?"
"Apa?" "Apakah menurut Anda, dia sebaiknya diperiksa dokter, secepatnya?"
Saksi berkata itu tidak terpikirkan olehnya, dia tak pernah memanggil dokter
untuk anak-anaknya sepanjang hidupnya, dan kalau dia memanggil dokter, biayanya
sampai lima dolar. "Cuma itu?" tanyanya.
"Belum," kata Atticus santai. "Mr. Ewell, Anda mendengar kesaksian sheriff,
bukan?" "Maksudnya?"
"Anda berada di ruang pengadilan ketika Mr. Heck Tate sedang bersaksi, bukan"
Anda mendengar semua perkataannya, bukan?"
Mr. Ewell mempertimbangkan masalah itu hati-hati, dan tampaknya memutuskan bahwa
pertanyaan itu aman untuk dijawab. "Ya," katanya.
"Apakah Anda setuju dengan penggambaran Mr. Tate tentang luka-luka Mayella?"
"Maksudnya?" Atticus menoleh kepada Mr. Gilmer dan tersenyum. Mr. Ewell tampak
bertekad untuk tidak memberi perhatian pada pihak pembela.
"Mr. Tate bersaksi bahwa mata kanan Mayella memar, dan dia dipukuli di
sekeliling" "Oh ya," kata saksi. "Saya setuju dengan semua yang dikatakan Tate."
"Benar?" tanya Atticus ringan. "Saya hanya ingin memastikan." Dia menghampiri
notulis pengadilan, mengatakan sesuatu, dan si notulis menghibur kami beberapa
menit dengan membacakan kesaksian Mr. Tate seperti membaca kutipan pasar bursa,
"mata yang mana yang kiri oh iya itu berarti bagian kanan dia mata kanan dia Mr.
Finch saya ingat sekarang dia cedera." Dia membalik halaman. "Pada wajah bagian
situ Sheriff tolong ulangi perkataan Anda tadi mata kanannya tadi saya bilang"
"Terima kasih, Bert," kata Atticus. "Anda sudah mendengarnya lagi, Mr. Ewell.
Anda ingin menambahkan sesuatu" Anda setuju dengan Sheriff?"
"Saya setuju dengan Tate. Mata Mayella menghitam dan dia dipukuli cukup parah."
Lelaki kecil itu tampaknya sudah lupa bahwa sesaat sebelumnya dia dipermalukan
hakim. Jelas sekali dia menganggap Atticus lawan yang enteng. Wajahnya kembali
memerah; dadanya membusung,
dan sekali lagi dia seperti ayam jago kecil berwarna merah. Kupikir dia akan
membengkak sampai kemejanya robek saat mendengar pertanyaan Atticus berikutnya.
"Mr. Ewell, Anda bisa membaca dan menulis?" Mr. Gilmer menyela. "Keberatan,"
katanya. "Tak bisa melihat apa hubungan antara kemelekan huruf saksi dan kasus
ini, tidak relevan dan tidak penting."
Hakim Taylor hendak berbicara, tetapi Atticus berkata, "Pak Hakim, jika Anda
mengizinkan pertanyaan ini dan satu pertanyaan lagi, Anda akan melihat
hubungannya." "Baiklah, mari kita lihat," kata Hakim Taylor, "tetapi pastikan kami melihatnya.
Keberatan ditolak." Mr. Gilmer tampak sama penasaran seperti kami semua, tentang
apa pentingnya status pendidikan Mr. Ewell bagi kasus ini.
"Akan saya ulangi pertanyaannya," kata Atticus. "Anda bisa membaca dan menulis?"
"Saya jelas bisa."
"Bisakah Anda menuliskan nama Anda dan menunjukkannya kepada kami?"
"Saya jelas bisa. Memangnya bagaimana lagi saya menandatangani cek santunan
kami?" Mr. Ewell sedang mengambil hati para warga. Bisik-bisik dan tawa di bawah kami
mungkin berkaitan dengan betapa menggelikannya dia.
Aku menjadi gelisah. Atticus tampaknya tahu apa yang sedang dilakukannya tetapi
aku merasa dia berburu kodok tanpa lampu. Jangan, jangan,
jangan pernah, saat pemeriksaan ulang, bertanya pada saksi sesuatu yang kau
belum tahu jawabannya, adalah dalil yang kuserap bersama makanan bayiku. Kalau
bertanya juga, kau akan sering memperoleh jawaban yang tak diinginkan, jawaban
yang bisa menghancurkan kasusmu.
Atticus merogoh saku-dalam jaketnya. Dia mengeluarkan amplop, lalu merogoh saku
jaket dan mencabut penanya. Dia berjalan lebih santai, dan berputar supaya dapat
dilihat langsung oleh juri. Dia membuka tutup pena dan meletakkannya perlahanlahan pada mejanya. Dia mengguncang pena itu sedikit, lalu menyerahkannya
bersama amplop kepada saksi. "Bisakah Anda menuliskan nama Anda untuk kami?"
tanyanya. "Yang jelas, supaya juri dapat melihat Anda melakukannya."
Mr. Ewell menulis pada belakang amplop dan mendongak dengan tenang untuk melihat
Hakim Taylor yang menatapnya seolah-olah dia adalah bunga gardenia wangi yang
mekar di kursi saksi juga untuk melihat Mr. Gilmer setengah duduk, setengah
berdiri di mejanya. Juri sedang mengamatinya, seorang lelaki mencondongkan tubuh
ke depan dengan tangan memegang pagar.
"Apanya yang menarik?" tanyanya.
"Anda kidal, Mr. Ewell," kata Hakim Taylor. Mr. Ewell berputar marah kepada
hakim dan berkata dia tidak melihat apa kaitan kekidalannya dengan kasus ini
bahwa dia adalah orang yang taat pada Kristus dan Atticus Finch sedang
memanfaatkannya. Pengacara licik seperti Atticus Finch selalu
memanfaatkannya dengan cara licik. Dia sudah menceritakan apa yang terjadi, dia
bisa mengulanginya berkali-kali yang kemudian dilakukannya. Tak ada pertanyaan
Atticus setelah itu yang bisa menggoyahkan ceritanya, bahwa dia melihat melalui
jendela, lalu mengusir nigger itu, lalu lari ke sheriff. Atticus akhirnya
melepasnya. Mr. Gilmer menanyakan satu pertanyaan lagi. "Tentang menulis dengan tangan kiri,
apakah Anda bisa menggundakan kedua tangan Anda, Mr. Ewell?"
"Jelas tidak, saya bisa menggunakan satu tangan sebaik tangan yang lain. Dua
tangan sama baiknya," tambahnya, mendelik pada meja terdakwa. Jem tampak tertawa
diam. Dia memukul pagar balkon perlahan dan berbisik, "Kena dia!"
Aku tak merasa demikian; bagiku, sepertinya Atticus sedang mencoba menunjukkan
bahwa bisa saja Mr. Ewell yang memukuli Mayella. Sampai sebegitu aku masih bisa
mengikuti. Jika lebam hitam terdapat di mata kanan Mayella, dan dia dipukuli
kebanyakan pada sisi kanan, itu cenderung menunjukkan bahwa orang kidal yang
melakukannya. Sherlock Holmes dan Jem Finch akan setuju. Akan tetapi, bisa saja
Tom Robinson juga kidal. Seperti Mr. Heck Tate, aku membayangkan seseorang
menghadapku, melakukan pantomim mental sebentar, dan menyimpulkan bahwa dia bisa
saja memegangnya dengan tangan kanan dan memukulinya dengan tangan kiri. Aku
memandang Tom. Dia membelakangi kami, tetapi aku dapat melihat bahunya yang
lebar dan lehernya yang tebal. Dia dapat
dengan mudah melakukannya. Menurutku, Jem sudah menghitung ayam sebelum telurnya
menetas. Delapan Belas amun, seseorang menggemuruh lagi. "Mayella Violet Ewell !"
Seorang gadis berjalan ke kursi saksi. Ketika dia mengangkat tangan dan
bersumpah bahwa bukti yang diberikannya adalah kebenaran, seluruh kebenaran, dan
hanya kebenaran, semoga Tuhan menolongnya, dia tampak rapuh. Tetapi ketika dia
duduk menghadap kami di kursi saksi, dia menjadi dirinya yang sesungguhnya,
seorang gadis bertubuh gempal yang terbiasa melakukan pekerjaan berat.
Di Maycomb County, mudah membedakan seseorang yang mandi secara teratur dengan
seseorang yang hanya membasuh tubuhnya setahun sekali: Mr. Ewell tampak
terbakar; seolah-olah berendam semalaman telah melenyapkan perlindungan lapisan
tanah sehingga kulitnya menjadi sensitif terhadap cuaca. Mayella tampaknya
mencoba menjaga kebersihan tubuhnya, dan aku teringat akan barisan bunga
geranium merah di halaman kabin keluarga Ewell.
Mr. Gilmer meminta Mayella memberi tahu juri dengan kata-katanya sendiri apa
yang terjadi pada malam tanggal 21 November tahun lalu, hanya dengan katakatanya sendiri, tolong. Mayella duduk diam. "Di mana Anda sore itu?" Mr. Gilmer memulai dengan sabar.
"Di teras." "Di teras yang mana?" "Hanya ada satu, teras depan." "Anda sedang apa di teras?"
"Tidak sedang apa-apa." Hakim Taylor berkata, "Ceritakan saja apa yang terjadi.
Anda bisa, kan?" Mayella menatapnya dan tangisnya meledak. Dia menutup mulutnya dengan tangan dan
tersedu. Hakim Taylor membiarkannya menangis sejenak, lalu berkata, "Sudah,
cukup. Jangan takut pada siapa pun di sini, asalkan Anda berkata jujur. Semua
ini asing bagi Anda, saya tahu, tetapi Anda tak perlu malu dan tak perlu takut.
Anda takut apa?" Mayella mengatakan sesuatu di balik tangannya. "Apa?" tanya hakim.
"Dia," sedunya, menunjuk Atticus. "Mr. Finch?" Dia mengangguk kuat-kuat, sambil
berkata, "Saya tak ingin dia melakukan pada saya apa yang dilakukannya pada
Papa, mencoba membuatnya mengaku kidal ...."
Hakim Taylor menggaruk rambutnya yang putih tebal. Jelas dia belum pernah
berhadapan dengan masalah seperti ini. "Berapa usia Anda?" tanyanya. "Sembilan
belas setengah," kata Mayella. Hakim Taylor berdeham dan mencoba, meski tak
berhasil, berbicara dengan nada menenangkan.
"Mr. Finch tak berniat menakuti Anda," geramnya, "dan kalaupun iya, ada saya
yang bisa menghentikannya. Itu salah satu gunanya saya duduk di sini. Nah, Anda
sudah besar, jadi duduklah dengan tegak dan ceritakan ceritakan apa yang ?terjadi pada Anda. Anda bisa melakukannya, bukan?"
Aku berbisik kepada Jem, "Apakah dia waras?" Jem memicingkan mata melihat kursi
saksi. "Aku tak tahu," katanya. "Dia cukup pintar untuk membuat hakim merasa
kasihan padanya, tetapi dia bisa saja ah, entahlah."
Sesudah kembali tenang, Mayella melirik kepada Atticus, ketakutan sekali lagi,
dan berkata kepada Mr. Gilmer, "Begini, Sir, saya sedang di teras dan dia
datang, dan, nah, ada lemari tua di halaman yang dibawa Papa untuk dipotong jadi
kayu bakar Papa menyuruh saya mengerjakannya selagi dia pergi ke hutan, tetapi
saya tidak merasa cukup kuat waktu itu, jadi dia mampir"
"'Dia' siapa?" Mayella menunjuk Tom Robinson. "Saya harus meminta Anda lebih
spesifik," kata Mr. Gilmer. "Notulis tak bisa menuliskan gerakan dengan baik."
"Orang itu," katanya. "Robinson."
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Saya bilang, 'Kemarilah, nigger, dan potonglah lemari ini untukku, aku ada lima
sen untukmu.' Dia bisa melakukannya dengan mudah. Jadi, dia masuk ke halaman dan
saya masuk ke rumah untuk mengambilkan uang dan saya berbalik dan tahu-tahu dia
ada di hadapan saya. Rupanya, dia menyergap saya
dari belakang. Dia mencekik saya, memaki saya, dan berkata kotor saya melawan
dan berteriak, tetapi dia mencekik saya. Dia memukul saya terus-terusan"
Mr. Gilmer menunggu sampai Mayella menenangkan diri: dia telah memilin
saputangannya menjadi tali yang berkeringat: ketika dia membukanya untuk menyeka
wajahnya, saputangan itu sudah menjadi kain kusut, hasil dari tangannya yang
panas. Dia menunggu Mr. Gilmer bertanya lagi, dan ketika Mr. Gilmer tidak
bertanya, dia berkata, 11 dan dia membanting saya ke lantai dan mencekik saya
dan menodai saya." "Anda berteriak?" tanya Mr. Gilmer. "Anda berteriak dan melawan?"
"Rasanya ya, berteriak sekuat tenaga, menendang dan berteriak sekeras mungkin."
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Saya tak terlalu ingat, tapi kemudian ayah saya sudah di ruangan, berdiri di
dekat saya dan berteriak 'Siapa pelakunya, siapa pelakunya"' lalu saya pingsan
dan kemudian Mr. Tate menarik saya dari lantai dan memapah saya ke ember air."
Rupanya, kesaksian ini telah memberi Mayella rasa percaya diri, tetapi tidak
seperti ayahnya yang lancang: dia melakukannya dengan berhati-hati, seperti
kucing yang sedang mengamati keadaan sambil mengayun-ayunkan ekornya.
"Anda berkata, Anda melawannya sekuat tenaga" Dengan menggigit dan mencakar?"
tanya Mr. Gilmer. "Jelas," Mayella meniru ayahnya. "Anda yakin dia memerkosa Anda?" Wajah Mayella
menekuk, dan aku takut dia akan menangis lagi. Alih-alih, dia berkata, "Dia
mengerjakan apa yang dia inginkan."
Mr. Gilmer mengingatkan penonton pada hari yang panas dengan menyeka kepalanya
dengan tangan. "Cukup untuk saat ini," katanya ramah, "tetapi tetaplah di kursi.
Saya rasa Mr. Finch yang jahat akan menanyakan beberapa hal."
"Negara dilarang membuat saksi berburuk sangka pada pengacara terdakwa," gumam
Hakim Taylor kaku, "setidaknya tidak saat ini."
Atticus bangkit sambil menyeringai, tetapi alih-alih berjalan ke kursi saksi,
dia membuka jas dan mengaitkan jempol pada rompi, lalu berjalan perlahan
melintasi ruangan ke jendela. Dia memandang keluar, tetapi tampaknya tidak
terlalu tertarik dengan apa yang dilihatnya, lalu berbalik dan berjalan ke kursi
saksi. Dari pengalaman selama bertahun-tahun yang panjang, aku tahu dia sedang
mencoba memutuskan sesuatu.
"Miss Mayella," katanya sambil tersenyum, "saya akan mencoba supaya tidak
menakutimu sejenak, belum. Kita berkenalan saja dulu. Berapa usia Anda?"
"Saya bilang, sembilan belas, saya sudah bilang pada Pak Hakim di situ." Mayella
menggerakkan kepalanya ke meja hakim dengan kesal.
"Memang sudah bilang, memang sudah. Anda harus bersabar dengan saya, Miss
Mayella, saya sudah mulai tua dan tak bisa mengingat seperti dulu. Saya mungkin menanyakan
hal-hal yang sudah Anda katakan tadi, tetapi Anda tetap akan menjawab, kan"
Bagus." Aku tak dapat melihat apa pun dalam raut wajah Mayella yang dapat membuat
Atticus merasa yakin bahwa dia akan mendapatkan kerja sama sepenuh hati dari
saksinya. Mayella sedang memandanginya dengan marah.
"Saya tak mau menjawab kalau kau terus mengejek," katanya.
"Ma'am?" tanya Atticus, bingung.
"Kalau kau mengejek saya terus."
Hakim Taylor berkata, "Mr. Finch tidak mengejek Anda. Anda ini kenapa?"
Mayella memandangi Atticus dari bawah kelopak matanya yang setengah tertutup,
tetapi dia berkata kepada hakim, "Kalau dia terus memanggilku Miss Mayella. Saya
tak harus menerima ejekannya, saya menjadi saksi bukan untuk itu."
Atticus melanjutkan perjalanannya ke jendela dan membiarkan Hakim Taylor
menangani hal ini. Hakim Taylor bukan sosok yang mengundang rasa kasihan, tetapi
aku merasa kasihan padanya ketika dia mencoba menjelaskan. "Cara bicara Mr.
Finch memang begitu," katanya kepada Mayella. "Kami sudah bertahun-tahun bekerja
sama di pengadilan, dan Mr. Finch selalu sopan kepada semua orang. Dia tidak
mencoba mengejekmu, dia mencoba bersikap sopan. Caranya memang begitu."
Hakim bersandar lagi. "Atticus, mari kita lanjutkan, dan tolong dicatat bahwa
saksi tidak diejek, bertentangan dengan pandangannya."
Aku bertanya-tanya apakah pernah ada orang yang memanggil Mayella dengan sebutan
"Miss" atau "Miss Mayella" seumur hidupnya; mungkin tak pernah sehingga dia


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersinggung oleh kesopanan biasa ini. Seperti apakah kehidupannya" Aku segera
tahu. "Anda berkata, Anda sembilan belas tahun," Atticus melanjutkan. "Anda berapa
bersaudara?" Dia berjalan dari jendela kembali ke kursi saksi.
"Tujuh," katanya, dan aku bertanya-tanya apakah mereka semua mirip dengan
spesimen yang pernah kulihat pada hari pertama aku mulai bersekolah.
"Anda anak sulung" Anak tertua?"
"Ya." "Sudah berapa lama ibu Anda wafat?"
"Tak tahu sudah lama."
"Anda pernah bersekolah?"
"Membaca dan menulis sebaik Papa di sana." Suara Mayella mirip dengan Mr. Jingle
dalam buku yang sedang kubaca.
"Berapa lama Anda bersekolah?"
"Dua tahun tiga tahun tak tahu." Perlahan tetapi pasti, aku mulai melihat pola
pertanyaan Atticus: dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak dianggap Mr. Gilmer
cukup tak relevan atau tak berarti untuk mengajukan keberatan, Atticus diam-diam
melukiskan kehidupan rumah tangga Ewell bagi juri. Juri mengetahui hal-hal
berikut: cek santunan mereka jauh dari cukup untuk memberi
makan seluruh keluarga, dan ada kecurigaan kuat bahwa Papa menghabiskannya untuk
minum-minum dia kadang-kadang pergi ke rawa berhari-hari dan pulang dalam
keadaan sakit; cuaca jarang cukup dingin untuk memerlukan sepatu tetapi kalau
cuacanya dingin, mereka bisa membuat sepatu bagus dari robekan ban tua; seluruh
keluarga mengambil air dengan ember dari sungai yang mengalir di satu sisi
tempat pembuangan sampah mereka menjaga daerah sekitar sungai itu agar bebas
dari sampah dan menjadi tanggung jawab masing-masing untuk menjaga kebersihan
tubuh: kalau ingin mandi, airnya harus diambil sendiri; anak-anak yang lebih
kecil sering terserang flu dan penyakit kulit; ada seorang wanita yang kadang
berkunjung dan menanyakan kepada Mayella mengapa dia tidak bersekolah dia
menuliskan jawabannya; karena dua anggota keluarga sudah bisa membaca dan
menulis, sisanya tak perlu lagi belajar Papa memerlukan mereka di rumah.
"Miss Mayella," kata Atticus, memotong penjelasannya, "gadis sembilan belas
tahun seperti Anda pasti punya teman. Siapa teman-teman Anda?"
Saksi mengerutkan kening, seolah-olah bingung. "Teman?"
"Ya, apakah Anda tidak kenal dengan orang lain yang sebaya, lebih tua atau lebih
muda" Lelaki dan perempuan" Teman biasa?"
Permusuhan yang ditunjukkan Mayella, yang sudah mereda menjadi kenetralan yang
dilakukan dengan enggan, berkobar lagi. "Kau mengejekku lagi, Mr. Finch?"
Atticus menganggap pertanyaan Mayella menjawab pertanyaannya.
"Anda mencintai ayah Anda, Miss Mayella?" adalah yang berikut.
"Mencintainya, maksudmu apa?"
"Maksud saya, apakah dia baik pada Anda, apakah kalian berdua akrab?"
"Dia baik-baik saja, kecuali saat"
"Kecuali kapan?" Mayella menoleh kepada ayahnya, yang duduk dengan kursi
bersandar di pagar. Dia duduk tegak dan menunggunya menjawab.
"Kecuali tak pernah," katanya. "Kataku, dia baik-baik saja."
Mr. Ewell bersandar lagi.
"Kecuali saat dia mabuk?" tanya Atticus, begitu lembut sehingga Mayella
mengangguk. "Apakah dia pernah memburu Anda?"
"Maksudmu?" "Kalau dia sedang marah, dia pernah memukul Anda"
Mayella memandang sekeliling, kepada notulis pengadilan, kepada hakim. "Jawab
pertanyaannya, Miss Mayella," kata Hakim Taylor.
"Ayah saya tak pernah menyentuh rambut saya seumur hidup saya," dia menyatakan
dengan tegas. "Dia tak pernah menyentuh saya."
Kacamata Atticus melorot sedikit, dan dia menaikkannya lagi. "Kita sudah
mengobrol enak, Miss Mayella, dan sekarang saya kira lebih baik kita
membahas kasus ini. Anda berkata, Anda meminta Tom Robinson datang memotong apa
tadi?" "Lemari, lemari yang banyak lacinya di satu sisi." "Apakah Anda kenal baik
dengan Tom Robinson?"
"Maksudmu?" "Maksud saya, apakah Anda tahu siapa dia, di mana tinggalnya"
Mayella mengangguk. "Saya tahu dia siapa, dia melewati rumah saya setiap hari."
"Apakah ini pertama kalinya Anda memintanya masuk ke dalam pagar?"
Mayella sedikit tersentak oleh pertanyaan itu. Atticus sedang berziarah kembali
ke luar jendela, seperti yang sudah dilakukannya: dia bertanya, lalu melihat
keluar, menunggu jawaban. Dia tak melihat Mayella tersentak, tetapi sepertinya
dia tahu Mayella bergerak. Dia berpaling dan mengangkat alis. "Apakah" dia
memulai lagi. "Ya, pertama kali."
"Anda belum pernah mengundangnya masuk ke halaman sebelum ini?"
Mayella sudah siap sekarang. "Tidak, jelas tidak."
"Satu kali 'tidak' sudah cukup," kata Atticus tenang. "Anda belum pernah
memintanya bekerja sambilan untuk Anda sebelumnya?"
"Mungkin pernah," Mayella mengaku. "Ada beberapa orang nigger di sekitar situ."
"Anda ingat kapan kejadiannya?"
"Tidak." "Baiklah, sekarang ke peristiwanya. Anda berkata, Tom Robinson berada di
belakang Anda di ruangan, ketika Anda berbalik, benar?" "Ya."
"Anda berkata, dia 'mencekik, memaki, dan berkata kotor!' benar?" "Betul."
Tahu-tahu ingatan Atticus menjadi lebih teliti. "Anda berkata, 'dia menangkap
saya dan mencekik saya dan menodai saya!1 benar?" "Itu yang saya bilang." "Anda
ingat dia memukuli wajah Anda?" Saksi ragu.
"Sepertinya Anda cukup yakin bahwa dia mencekik Anda. Waktu itu Anda melawan,
ingat" Anda 'menendang dan berteriak sekeras mungkin!' Apakah Anda ingat dia
memukuli wajah Anda?"
Mayella diam. Dia tampaknya mencoba memperjelas sesuatu bagi dirinya. Kuduga
sejenak dia melakukan seperti siasat Mr. Heck Tate dan aku, berpura-pura ada
orang di hadapan kami. Dia melirik Mr. Gilmer.
"Ini pertanyaan mudah, Miss Mayella, jadi akan saya coba lagi. Apakah Anda ingat
dia memukuli wajah Anda?" Keramahan menghilang dari suara Atticus; dia berbicara
dengan suara profesional yang datar dan berjarak. "Apakah Anda ingat dia
memukuli wajah Anda?"
"Tidak, saya tidak ingat apakah dia memukulku. Maksudku, iya saya ingat, dia
memukulku." "Apakah kalimat Anda yang terakhir itu jawaban Anda"
"Hah" Ya, dia memukul saya hanya tidak ingat, saya benar-benar tidak ingat ...
kejadiannya cepat sekali."
Hakim Taylor memandang tegas kepada Mayella. "Jangan menangis, gadis kecil" dia
memulai, tetapi Atticus berkata, "Biarlah dia menangis kalau mau, Pak Hakim.
Kita punya banyak waktu."
Mayella terisak dengan murka dan memandang Atticus. "Saya akan menjawab
pertanyaan apa pun darimu menyuruh saya ke sini untuk mengejek saya, ya" Saya
akan menjawab pertanyaan apa pun dari" "Bagus," kata Atticus. "Hanya ada
beberapa lagi. Miss Mayella, supaya tidak membosankan, Anda bersaksi bahwa
terdakwa memukul Anda, mencengkeram leher Anda, mencekik Anda, dan menodai Anda.
Saya ingin Anda yakin Anda mengenali orang yang tepat. Bisakah Anda
mengidentifikasi lelaki yang memerkosa Anda?"
"Bisa, itu orangnya di situ."
Atticus berpaling kepada terdakwa. "Tom, berdirilah, supaya Miss Mayella bisa
melihatmu baik-baik. Inikah orangnya, Miss Mayella?"
Bahu Tom Robinson yang berotot bergerak di bawah kemejanya yang tipis. Dia
bangkit dan berdiri dengan tangan kanan pada punggung kursi. Dia tampak tak
seimbang, aneh, tetapi bukan karena caranya berdiri. Lengan kirinya tiga puluh
senti lebih pendek daripada lengan kanannya, dan terkulai mati di sisinya. Pada
ujungnya terdapat tangan kecil yang mengerut, dan dari sejauh balkon pun aku
tahu bahwa tangan itu lumpuh.
"Scout," Jem mendesah. "Scout, lihat! Pak Pendeta, dia lumpuh!"
Pendeta Sykes mencondongkan tubuh di depanku dan berbisik kepada Jem. "Tangannya
tersangkut di mesin kapas, tersangkut di mesin kapas Mr. Dolphus Raymond sewaktu
masih kecil ... hampir mati kehabisan darah ... menarik semua ototnya lepas dari
tulangnya" Atticus berkata, "Inikah lelaki yang memerkosa Anda?"
"Tepat sekali." Pertanyaan Atticus berikutnya hanya satu kata. "Bagaimana?"
Mayella naik pitam. "Saya tak tahu bagaimana caranya, tetapi dia yang
melakukannya sudah kubilang, kejadiannya cepat sekali saya"
"Mari kita telusuri dengan tenang" kata Atticus, tetapi Mr. Gilmer menyela
dengan keberatan: Atticus bukan sedang menanyakan sesuatu yang tidak relevan
atau tidak penting, tetapi sedang mengintimidasi saksi.
Hakim Taylor tertawa lepas. "Oh, duduklah, Horace, dia sama sekali tidak sedang
melakukannya. Yang ada, saksinya yang menakuti Atticus."
Hakim Taylor adalah satu-satunya orang di ruang pengadilan yang tertawa. Bahkan
bayi-bayi pun diam, dan aku mendadak bertanya-tanya apakah mereka kehabisan
napas di dada ibu mereka.
"Nah," kata Atticus, "Miss Mayella, Anda bersaksi bahwa terdakwa mencekik Anda
dan memukuli Anda Anda tidak berkata bahwa dia menyelinap di
belakang Anda dan memukul Anda hingga pingsan, tetapi Anda berbalik dan dia ada"
Atticus kembali ke meja, dan dia menekankan kata-katanya dengan mengetukkan buku
jarinya pada kursi." apakah Anda ingin mempertimbangkan kembali kesaksian Anda?"
"Kau ingin saya menceritakan sesuatu yang tidak terjadi?"
"Tidak, Ma'am, saya ingin Anda menceritakan sesuatu yang terjadi. Sekali lagi
ceritakan, tolong, apa yang terjadi?"
"Saya sudah bilang apa yang terjadi."
"Anda bersaksi bahwa Anda berputar dan dia ada. Lalu, dia mencekik Anda?"
"Ya." "Lalu, dia melepaskan leher Anda dan memukul Anda?"
"Sudah saya bilang, iya."
"Dia mememarkan mata kiri Anda dengan kepalan kanannya."
"Saya menghindar dan kepalan-kepalannya menyerempet, itu yang terjadi. Saya
menghindar dan kepalannya menyerempet." Mayella akhirnya melihat arah pertanyaan
Atticus. "Anda tiba-tiba menjadi jelas tentang hal ini. Sejenak yang lalu, Anda tak bisa
mengingat dengan baik, ya?"
"Saya bilang, dia memukul saya."
"Baiklah. Dia mencekik Anda, memukul Anda, lalu memerkosa Anda, benar?"
"Jelas benar." "Anda gadis yang kuat, apa yang Anda lakukan
selama itu terjadi, hanya menerima saja?"
"Sudah saya bilang, saya berteriak dan menendang dan melawan"
Atticus melepaskan kacamata, mengarahkan mata kanannya kepada saksi, dan
menghujaninya dengan pertanyaan. Hakim Taylor berkata, "Satu per satu
pertanyaannya, Atticus. Beri saksi kesempatan menjawab."
"Baiklah, mengapa Anda tidak lari?"
"Saya mencoba ...."
"Mencoba" Apa yang mencegah Anda?"
"Saya dia membanting saya. Itu yang dilakukan, dia membanting saya dan naik ke
atas saya." "Anda berteriak selama ini?"
"Jelas." "Lalu, mengapa anak-anak yang lain tidak mendengar Anda" Di mana mereka" Di
tempat pembuangan sampah?"
Tak ada jawaban. "Di mana mereka?"
"Mengapa teriakan Anda tidak membuat mereka datang berlarian" Tempat pembuangan
sampah lebih dekat daripada hutan, bukan?" Tak ada jawaban. "Atau Anda baru
berteriak setelah Anda melihat ayah Anda di jendela" Anda baru terpikir untuk
berteriak saat itu, bukan?" Tak ada jawaban. "Apakah Anda berteriak pertama pada
ayah Anda, alih-alih pada Tom Robinson" Begitukah?" Tak ada jawaban.
"Siapa yang memukuli Anda" Tom Robinson atau ayah Anda?" Tak ada jawaban.
"Apa yang dilihat ayah Anda di jendela, kejahatan pemerkosaan, atau pembelaan
terbaik untuk kejadian itu" Mengapa Anda tidak mengungkapkan semua orang di
ruang pengadilan. Entah bagaimana, Atticus telah mengenainya dengan telak, aku
tak paham, tetapi dia tak senang melakukan hal tersebut. Dia duduk dengan kepala
menunduk, dan aku belum pernah melihat seseorang mendelik kepada orang lain
dengan kebencian yang diperlihatkan Mayella ketika dia meninggalkan kursi saksi
dan berjalan melewati meja Atticus.
Ketika Mr. Gilmer memberi tahu Hakim Taylor bahwa negara sudah selesai, Hakim
Taylor berkata, " Sudah waktunya kita semua beristirahat. Kita akan bertemu
sepuluh menit lagi."
Atticus dan Mr. Gilmer bertemu di depan meja hakim dan berbisik, lalu mereka
meninggalkan ruang pengadilan melalui pintu di belakang kursi saksi, yang
merupakan pertanda bagi kami semua untuk meluruskan kaki. Aku mendapati bahwa
sedari tadi aku duduk di tepi bangku panjang, dan sekarang sedikit mati rasa.
Jem bangkit dan menguap, Dili juga, dan Pendeta Sykes mengusap wajahnya dengan
topi. Suhunya paling sedikit sembilan puluh derajat, katanya.
Mr. Braxton Underwood, yang sedari tadi duduk diam di kursi yang dicadangkan
untuk Media, menyerap kesaksian itu dengan otaknya yang mirip
spons, membiarkan matanya yang getir mengembara ke balkon Kulit Hitam, dan
beradu pandang denganku. Dia mendengus dan berpaling.
"Jem," kataku, "Mr. Underwood melihat kita." "Tak apa-apa. Dia tak akan bilang
pada Atticus, dia hanya akan menyebutkannya di halaman sosial Tribune." Jem
kembali berbicara dengan Dili, menjelaskan, kukira, bagian-bagian terbaik dari
pengadilan ini padanya, tetapi aku bertanya-tanya apa saja hal itu. Tak ada
debat berkepanjangan antara Atticus dan Mr. Gilmer dalam hal apa pun; Mr. Gilmer
tampaknya agak enggan melakukan pekerjaannya; saksi dituntun seperti kerbau
dicocok hidung, dan tidak banyak keberatan yang dilontarkan. Namun, Atticus
pernah memberi tahu kami bahwa dalam sidang pengadilan Hakim Taylor, pengacara
mana pun yang merupakan penafsir kaku atas bukti biasanya menerima instruksi
dari meja hakim dengan kaku. Dia menjelaskannya padaku; Hakim Taylor mungkin
kelihatan malas dan bekerja sambil tidur, tetapi dia jarang membatalkan
putusannya, dan itulah yang penting. Kata Atticus, Hakim Taylor adalah hakim
yang baik. Pada saat ini, Hakim Taylor kembali dan menaiki kursi putarnya. Dia mengambil
sebatang cerutu dari saku jaket dan memeriksanya dengan saksama. Aku menonjok
Dili. Setelah lulus pemeriksaan sang hakim, cerutu itu digigit dengan ganas.
"Kami kadang ke sini untuk menonton dia," aku menjelaskan. "Ini akan berlangsung
selama sisa sore ini. Lihat saja." Tak menyadari penelitian publik dari atas,
Hakim Taylor membuang ujungnya yang putus dengan meludahkannya dengan piawai
dari bibirnya dan berkata "Fluk!" Dia mengenai tempat meludah dengan begitu
jitu; kami bisa mendengar ujung cerutu itu mencemplung. "Pasti dia jago melempar
bola kertas," gumam Dili.
Biasanya, waktu jeda berarti eksodus besar-besaran, tetapi hari ini orang tidak
bergerak. Bahkan para Pemalas, yang gagal mempermalukan orang lebih muda agar
memberikan tempat duduk, tetap berdiri di sepanjang dinding. Kukira Mr. Heck
Tate mencadangkan toilet county untuk petugas pengadilan.
Atticus dan Mr. Gilmer kembali, dan Hakim Taylor melirik jamnya. "Sudah hampir
jam empat," katanya, sesuatu yang menarik, karena jam gedung pengadilan tentu
sudah berbunyi setidaknya dua kali. Aku tak mendengarnya atau merasakan
getarannya. "Bisakah kita coba menyelesaikannya sore ini?" tanya Hakim Taylor. "Bagaimana,
Atticus?" "Saya rasa, bisa," kata Atticus. "Anda punya berapa saksi?" "Satu."
"Ya panggillah."
Sembilan Belas Thomas Robinson meraih ke samping, meletakkan jemarinya di bawah lengan kiri,
dan mengangkatnya. Dia menaruh lengannya ke atas Alkitab dan tangan kirinya yang
mirip karet mencoba menyentuh sampul hitam itu. Seraya mengangkat tangan
kanannya, tangannya yang tak berfungsi tergelincir dari Alkitab dan menimpa meja
kerani. Dia mencoba lagi ketika Hakim Taylor menggeram, "Cukup, Tom." Tom
bersumpah lalu naik ke kursi saksi. Atticus segera mendorongnya untuk bercerita
kepada kami: Tom berusia dua puluh lima tahun; dia sudah menikah dan memiliki tiga anak; dia
pernah berurusan dengan hukum, dia pernah menerima hukuman tiga puluh hari
karena tindak kekerasan. "Tindak kekerasan, ya," kata Atticus. "Perilaku macam apa yang Anda lakukan?"
"Berkelahi dengan orang lain, dia mencoba menikam saya."
"Dia berhasil?"
"Ya, Sir, sedikit, tetapi tidak cukup untuk menyakiti saya. Anda tahu, saya" Tom
menggerakkan bahu kirinya.
"Ya," kata Atticus. "Kalian berdua terbukti bersalah?"


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Sir, saya harus menjalanihukuman karena tak bisa membayar denda. Orang yang
itu membayar denda."
Dili mencondongkan tubuh di depanku dan bertanya kepada Jem, apa yang sedang
dilakukan Atticus. Kata Jem, Atticus sedang menunjukkan kepada juri bahwa Tom
tidak menyembunyikan rahasia.
"Apakah Anda kenal dengan Mayella Violet Ewell?" tanya Atticus.
"Ya, Sir, saya harus melewati rumahnya untuk pergi dan pulang dari ladang setiap
hari." "Ladang milik siapa?"
"Saya memetik untuk Mr. Link Deas." "Apakah Anda memetik kapas pada bulan
November?" "Tidak, Sir, saya bekerja di halaman rumahnya pada musim gugur dan musim dingin.
Saya bekerja cukup teratur untuknya sepanjang tahun, dia punya banyak pohon
pecan dan lainnya." "Anda berkata, Anda harus melewati tempat Ewell untuk pergi dan pulang bekerja.
Apakah ada jalan lain yang bisa ditempuh?"
"Tidak, Sir, sepanjang yang saya tahu."
"Tom, apakah Mayella pernah berbicara denganmu?"
"Ya pernah, Sir, saya menganggukkan topi kalau lewat, dan suatu hari dia meminta
saya masuk pagar untuk memotong-motong lemari untuknya."
"Kapan dia memintamu memotongi lemari?"
"Mr. Finch, itu sudah lama, musim semi lalu.
Saya ingat karena waktu itu musim panen dan saya membawa cangkul, tetapi dia
bilang dia punya kapak. Dia meminjamkan kapak itu dan saya memotong-motong
lemari itu untuknya. Katanya, 'Kukira, aku harus memberimu lima sen, ya"' dan
saya bilang, 'Tak usah, Ma'am, tak perlu membayar.' Lalu, saya pulang. Mr.
Finch, itu terjadi musim semi lalu, lebih dari setahun yang lalu."
"Apakah Anda pernah ke sana lagi?"
"Ya, Sir." "Kapan?" "Yah, saya sering ke sana." Hakim Taylor secara naluriah meraih palunya, tetapi
membiarkan tangannya tergolek. Gumaman di bawah kami mereda tanpa bantuannya.
"Dalam situasi apa?"
"Maaf, Sir?" "Mengapa Anda sering memasuki pagar?" Kerutan di kening Tom Robinson mengendur.
"Dia memanggil saya masuk, Sir. Sepertinya setiap kali saya lewat di situ, dia
punya sesuatu untuk saya kerjakan memotong kayu bakar, membawakan air untuknya.
Dia menyiram bunga merah itu setiap hari"
"Apakah Anda dibayar untuk jasa Anda?"
"Tidak, Sir, tidak setelah dia menawarkan lima sen pertama kali. Saya senang
melakukannya, Mr. Ewell sepertinya tidak membantu dia sama sekali, begitu pula
adik-adiknya, dan saya tahu dia tak punya uang untuk diberikan."
"Di mana anak-anak yang lain?"
"Mereka selalu ada, di segala tempat. Sebagian dari mereka suka menunggui saya
bekerja, sebagian lagi menonton dari jendela."
"Apakah Miss Mayella mengobrol dengan Anda?"
"Ya, Sir, dia mengobrol dengan saya." Selagi Tom Robinson memberikan
kesaksiannya, aku menyadari bahwa Mayella Ewell tentulah orang yang paling
kesepian sedunia. Dia bahkan lebih kesepian daripada Boo Radley, yang belum
pernah keluar rumah selama dua puluh lima tahun. Ketika Atticus bertanya apakah
dia punya teman, dia seperti tak tahu apa yang dimaksud, lalu dia menyangka dia
sedang diejek. Dia sama menyedihkannya, kupikir, dengan anak blasteran yang
disebut Jem: orang kulit putih tak mau berurusan dengannya karena dia tinggal
bersama babi; orang Negro tak mau berurusan dengannya karena dia berkulit putih.
Mayella tak bisa hidup seperti Mr. Dolphus Raymond, yang lebih suka berteman
dengan orang Negro, karena dia tidak memiliki tanah di tepi sungai dan dia tidak
berasal dari keluarga tua yang baik-baik. Tak ada yang berkata, "Memang begitu
cara hidup mereka," tentang keluarga Ewell. Penduduk Maycomb memberi mereka
keranjang Natal, uang santunan, dan tamparan. Tom Robinson mungkin satu-satunya
orang yang pernah berbuat baik padanya. Tetapi Mayella bilang Tom menodainya,
dan ketika dia berdiri, dia memandangnya seolah-olah Tom adalah kotoran yang
menempel kakinya. "Apakah Anda pernah," Atticus menyela renu-nganku, "pada suatu ketika, memasuki
tanah Ewell apakah Anda pernah menginjakkan kaki di tanah Ewell tanpa undangan lisan dari
salah seorang anggota keluarga?"
"Tidak, Sir, Mr. Finch, tak pernah. Saya tak akan melakukannya, Sir."
Kadang-kadang, Atticus berkata bahwa salah satu cara untuk membedakan seorang
saksi berbohong atau berkata jujur adalah dengan mendengar daripada
memerhatikan: aku menerapkan caranya Tom menyangkalnya tiga kali dalam satu
napas, tetapi tidak tergesa-gesa, tidak ada nada ratapan dalam suaranya, dan
kudapati diriku memercayainya, meskipun dia terlalu banyak menyangkal. Dia
tampaknya seorang Negro terhormat, dan seorang Negro terhormat tak akan pernah
memasuki halaman seseorang seenaknya.
"Tom, apa yang terjadi pada Anda pada malam tanggal 21 November tahun lalu?"
Di bawah kami, penonton menarik napas bersama-sama dan mencondongkan tubuh ke
depan. Di belakang kami, orang-orang Negro melakukan hal yang sama.
Tom adalah seorang Negro yang berkulit hitam beledu, tidak mengilap, tetapi
seperti beledu hitam lembut. Warna putih matanya bersinar pada wajahnya, dan
ketika dia berbicara, kami melihat giginya sekilas-sekilas. Andaikan dia tidak
cacat, lelaki itu tentu berpenampilan menawan.
"Mr. Finch," katanya, "saya sedang pulang seperti biasa sore itu, dan waktu saya
melewati tempat Ewell, Miss Mayella sedang di teras, seperti
yang dikatakannya. Suasananya sepi sekali, dan saya tak tahu kenapa. Saya sedang
mencari tahu kenapa, sambil lewat, ketika dia meminta saya masuk dan membantunya
sebentar. Ya, saya masuk pagar dan melihat ke sekeliling, mencari kayu bakar
untuk dipotong, tetapi saya tak lihat apa-apa, dan katanya, 'Tidak, aku ada
pekerjaan untukmu di dalam rumah. Pintu tua itu sudah lepas engselnya dan musim
gugur sebentar lagi tiba.' Kata saya, 'Ada obeng, Miss Mayella"' Dia berkata dia
punya. Ya, saya menaiki tangga dan dia mengisyaratkan agar saya masuk, dan saya
masuk ke ruang depan dan memandangi pintu. Kataku, Miss Mayella, pintu ini
sepertinya bagus. Lalu, dia menutup pintunya di wajahku. Mr. Finch, saya sedang
bertanya-tanya mengapa suasana sepi sekali dan saya menyadari bahwa tak ada satu
anak pun di tempat itu, tidak satu pun, dan kataku, Miss Mayella, di mana anakanak?" Kulit beledu hitam Tom tampak mengilap, dan dia menyapukan tangan ke wajahnya.
Awal Beginning 1 Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Bangau Sakti 36

Cari Blog Ini