The Name Of The Rose Karya Umberto Eco Bagian 12
mendengar roda itu mulai berputar, suatu tanda bahwa Abo telah masuk di bawah
sana, aku menyentak tali yang menahan berat itu, dan tali itu putus. Sekarang
kedua sisi gang itu tertutup, dan kau tidak pernah bisa memperbaiki alat
tersebut. Abbas itu mati."
"Mengapa kau membunuhnya?"
"Hari ini, waktu memanggilku, ia menceritakan kepadaku bahwa berkat kau ia telah
menemukan segala sesuatunya. Ia belum tahu apa yang selama ini berusaha
kulindungi ia belum pernah memahami
secara tepat harta dan tujuan perpustakaan ini. Ia
minta aku menjelaskan apa yang tidak ia ketahui. Ia
ingin finis Africae dibuka.
Orangorang Italia itu sudah memintanya
mengakhiri apa yang mereka sebut misteri yang
tetap dihidupkan olehku dan para pendahuluku itu.
Mereka terdorong oleh hasrat untuk hal-hal baru ii
"Dan tidak diragukan lagi kau berjanji akan datang ke sini dan mengakhiri
hidupmu seperti kau sudah mengakhiri hidup yang lainlainnya, dalam cara
sedemikian rupa sehingga kehormatan biara ini bisa diselamatkan dan tak ada yang
bakal tahu apa saja. Lalu kau memberi tahu caranya masuk, nantinya, dan
memeriksa. Tetapi kau justru menunggunya, untuk membunuhnya. Apa kau tidak
mengira mungkin akan masuk lewat cermin?"
"Tidak. Abo terlalu pendek; ia tidak bakal pernah bisa meraih bait itu sendiri.
Aku memberi tahunya tentang gang lain, yang hanya aku sendiri yang masih tahu.
Ini gang yang kupakai selama bertahuntahun, karena lebih sederhana dalam
kegelapan. Aku hanya harus sampai ke kapel, lalu mengikuti tulangtulang orang
mati sampai ujung gang."
"Jadi, kau suruh dia datang ke sini, karena tahu kau bisa membunuhnya ...."
"Aku sudah tidak memercayainya lagi. Ia ketakutan. Ia sudah jadi tenar karena di
Fassanova ia berhasil menurunkan sebuah tubuh lewat semacam anak tangga
melingkar. Kemenangan yang
tidak sepantasnya diperoleh. Sekarang ia mati karena tidak bisa memanjat anak
tangganya sendiri." "Kau sudah menggunakan anak tangga itu selama empat puluh tahun.
Waktu kau menyadari bahwa kau akan buta dan tidak bisa lagi menguasai
perpustakaan, kau bertindak kejam. Kau punya seseorang yang bisa kaupercayai
sebagai Abbas terpilih, dan pertama-tama kau menyuruhnya memilih Robert dari
Bobbio sebagai pustakawan, yang bisa kauarahkan semau-mu, dan kemudian Maleakhi,
yang membutuhkan bantuanmu dan tidak pernah mengambil langkah sebelum minta
saranmu. Selama empat puluh tahun kau menguasai biara ini.
Ini yang disadari oleh grup Italia itu, ini yang terus menerus diulangi oleh
Alinardo, tetapi tak seorang pun mau mendengarkannya karena mereka sekarang
menganggapnya gila. Betul, kan" Tetapi kau masih menungguku, dan kau tidak bisa
memblokir pintu masuk cermin itu, karena mekanismenya dipasang di dalam dinding.
Mengapa kau menungguku" Bagaimana mungkin kau bisa yakin aku akan datang?" tanya
William, tetapi dari nadanya, jelas ia sudah membayangkan jawabannya dan mulai
mengharapkan itu untuk memuji keterampilannya sendiri.
"Sejak hari pertama aku menyadari kau akan paham. Dari suaramu, dari caramu
menarikku untuk berdebat tentang suatu subjek yang tidak ingin kusebutkan. Kau
lebih baik daripada lainlainnya : kau bakal sampai pada solusi, apa pun yang
terjadi. Kau tahu bahwa sudah cukup untuk berpikir dan merekonstruksi apa yang dipikirkan
orangorang lain dalam pikiran sendiri. Dan kemudian aku dengar kau menanyai
rahibrahib lain, semua pertanyaan yang betul. Tetapi kau tidak pernah mengajukan
pertanyaan tentang perpustakaan ini, seakan kau sudah mengetahui setiap
rahasianya. Suatu malam aku datang dan mengetuk bilikmu, dan kau tidak ada di dalam. Kau
tentu berada di sini. Dua lampu sudah lenyap dari dapur, aku dengar kata seorang
pelayan. Dan akhirnya, waktu Severinus datang untuk membicarakan sebuah buku
denganmu lusa kemarin di teras aula, aku yakin kau akan melacakku."
"Tetapi kau berhasil mengambil buku itu dariku. Kau dekati Maleakhi, yang tidak
punya gagasan tentang situasi itu. Karena iri hati, si tolol itu masih terus
memikirkan gagasan bahwa Adelmo telah mencuri kekasihnya, Berengar, yang waktu
itu adalah daging muda menggairahkan. Maleakhi tidak mengerti apa hubungan
Venantius dengan masalah ini, dan kau justru membuatnya lebih bingung. Mungkin
kau menceritakan kepadanya bahwa selama ini Berengar intim dengan Severinus, dan
sebagai imbalan Severinus telah memberinya sebuah buku dari finis Africae; aku
tidak tahu persis apa yang sudah kaukatakan kepadanya. Karena dipenuhi rasa
cemburu, Maleakhi mendatangi Severinus dan membunuhnya. Lalu ia tidak punya
cukup waktu untuk berburu buku yang sudah kaujelaskan kepadanya, karena Kepala
Gudang tiba. Begitu kejadiannya?" "Kurang lebih."
"Tetapi kau tidak ingin Maleakhi mati. Mungkin ia belum pernah melihat bukubuku
dari finis Africae, karena ia memercayaimu, menghormati laranganmu. Ia membatasi
dirinya sendiri untuk menata daun-daun jamu itu pada malam hari untuk menakuti
setiap pengganggu. Severinus menyediakan untuknya. Ini sebabnya Severinus membiarkan Maleakhi masuk
ke klinik lusa itu: itu kunjungan reguler untuk mengambil ramuan yang ia siapkan
setiap hari, atas perintah Abbas. Tebakanku betul?"
"Kau sudah menebak. Aku tidak ingin Maleakhi mati. Kusuruh dia mencari buku itu
lagi, dengan cara apa saja, dan mengembalikannya ke sini tanpa membukanya.
Kukatakan kepadanya bahwa buku itu punya kekuatan seribu kalajengking. Tetapi
untuk pertama kalinya orang sinting itu memilih bertindak atas inisiatifnya
sendiri. Aku tidak ingin dia mati: ia seorang agen yang setia. Tetapi jangan ulangi
kepadaku apa yang kauketahui: aku tahu bahwa kau tahu. Aku tidak ingin membuat
kau lebih bangga; kau sudah menyelidikinya sendiri. Kudengar pagi ini kau
menanyai Benno tentang Coena Cypriani di skriptorium. Kau hampir sampai pada
kebenaran. Aku tidak tahu bagaimana kau menemukan rahasia cermin itu, tetapi
waktu aku mendengar dari Abbas bahwa kau telah menyebutkan finis Africae, aku
yakin kau akan datang sebentar lagi.
Itulah sebabnya aku menunggumu. Nah, sekarang, apa yang kauinginkan?"
"Aku ingin," kata William, "melihat naskah terakhir dari buku yang berisi satu
naskah Arab, satu naskah Syria, dan satu interpretasi atau transkripsi dari
Coena Cypriani. Aku ingin melihat salinannya dalam bahasa Yunani, mungkin oleh
seorang Arab, atau seorang Spanyol, yang kautemukan ketika, sebagai asisten dari
Paul dari Rimini, kauupayakan untuk dikirim kembali ke negerimu dalam rangka
mengumpulkan naskahnaskah terbaik dari Kitab Wahyu di Leon dan Castile, suatu
barang rampasan yang membuatmu terkenal dan dihormati di biara sini dan
menyebabkan kau memenangkan pos pustakawan, yang sebenarnya hak Alinardo,
sepuluh tahun lebih tua darimu. Aku ingin melihat salinan Yunani yang ditulis di
atas kertas linen, yang waktu itu amat langka dan dibikin di Silos, dekat
Burgos, tempat asalmu. Aku ingin melihat buku yang kaucuri di sana setelah
membacanya, agar orang lain tidak bisa membacanya, dan kau menyembunyikannya di
sini, sambil melindunginya dengan pintar, dan kau tidak menghancurkannya karena
orang seperti kau tidak suka merusak buku, tetapi sekadar menjaganya dan
memastikan jangan ada yang menyentuhnya. Aku ingin melihat buku Poetics karya
Aristoteles, buku yang oleh setiap orang dikira hilang atau tidak pernah
ditulis, dan yang mungkin kau memegang salinan satusatunya."
"Kau sungguh seorang pustakawan yang hebat, William," kata Jorge, dengan nada
yang langsung mengagumi sekaligus kecewa.
"Jadi, kau tahu segala sesuatu. Ayolah, aku yakin ada sebuah kursi di meja di
sampingmu. Duduk. Ini hasil jerih payahmu."
William duduk dan menaruh lampunya, yang sudah kuserahkan kepadanya, sehingga
menerangi wajah Jorge dari bawah. Orang tua itu mengambil sebuah buku yang
tergeletak di depannya dan menyerahkannya kepada William. Aku mengenali
jilidnya: itu buku yang sudah kubuka di klinik, sementara mengira itu sebuah
naskah Arab. "Nah, bacalah, buka saja halamannya, William," kata Jorge. "Kau menang."
William memandang buku itu, tetapi tidak menyentuhnya. Dari jubahnya ia
mengeluarkan sepasang sarung tangan, bukan sarung tangannya yang biasa dengan
ujung jari kelihatan, tetapi sarung tangan yang dipakai Severinus waktu kami
menemukannya sudah mati. Pelanpelan ia membuka buku yang rentan dan usang itu.
Dan aku lebih mendekat dan membungkuk di atas bahu William. Jorge, dengan
pendengarannya yang peka, menangkap bunyi yang kubikin. "Kau juga di sini, Nak?"
katanya. "Aku akan menunjukkannya kepadamu, juga ... nanti."
Dengan cepat William melirik isi halaman pertama. "Ini naskah berbahasa Arab
tentang ucapan seseorang yang tolol, menurut katalog," katanya. "Apa ini?"
"Oh, legenda tolol tentang penyembah berhala, yang berpendapat bahwa orang tolol
mengucapkan komentar pintar yang bahkan membuat heran
pendeta mereka dan menyenangkan kalifah mereka ii
"Yang kedua adalah naskah dalam bahasa Syria, tetapi menurut katalog ini
terjemahan dari buku kecil berbahasa Mesir tentang alkimia. Kenapa bisa masuk
kumpulan ini?" "Itu karya seorang Mesir dari abad ketiga zaman kita.
Bertalian dengan karya yang berikutnya, tetapi kurang berbahaya.
Tak seorang pun mau mendengarkan ceracau seorang alkimis Afrika.
Ia menghubungkan penciptaan dunia ini dengan tawa suci ...." Ia mengangkat
kepalanya dan mengucapkan, dengan memori menakjubkan dari seorang pembaca yang
sampai sekarang sudah empat puluh tahun mengulangi dalam hati hal-hal yang sudah
ia baca waktu ia masih punya karunia penglihatan, '"Pada saat Tuhan tertawa,
lahir tujuh dewa yang menguasai dunia, saat Ia tertawa terbahak-bahak, muncul
cahaya, waktu tertawa untuk kedua kalinya muncul air, dan saat Ia tertawa pada
hari ketujuh muncul jiwa ....' Omong kosong. Begitu pula karya yang muncul setelah
itu, oleh salah satu dari banyak sekali orang idiot yang merasa diri mereka
harus memperjelas Coena itu .... Tetapi ini semua bukan yang menarik bagimu."
William, nyatanya, sudah dengan cepat melewati halamanhalaman itu dan sudah
sampai pada naskah berbahasa Yunani. Aku langsung melihat
bahwa halamanhalaman itu terbuat dari bahan lain yang lebih empuk, yang pertama
sudah hampir rusak sama sekali, yang sebagian dari tepinya hilang, penuh dengan
bercak-bercak tipis, seperti yang biasa terjadi pada buku lainnya kalau sudah
tua dan lembap. William membaca kalimat-kalimat pembukaannya, mulamula dalam
bahasa Yunani, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan sesudah itu ia
melanjutkan dalam bahasa ini sehingga aku, juga, bisa tahu bagaimana buku
mematikan itu mulai: Dalam buku pertama kita membicarakan tragedi dan melihat bagaimana, dengan
membangkitkan rasa kasihan dan takut, tragedi menghasilkan katarsis, pemurnian
perasaan-perasaan tersebut. Seperti sudah dijanjikan, sekarang kita akan
membicarakan komedi (begitu pula satire dan lawak) dan melihat bagaimana, dengan
merangsang kenikmatan dari kelucuan, komedi sampai pada pemurnian kegemaran itu.
Bahwasanya kegemaran semacam itu pasti ada gunanya dipikirkan, sudah dibicarakan
dalam buku tentang jiwa, dikarenakan sendirian di antara hewan manusia mampu
tertawa. Kemudian kita akan menjabarkan tipe aksi yang dari itu komedia adalah
mimesis, lalu kita akan memeriksa caracara dengan apa komedi merangsang tawa,
dan caracara ini adalah gerakgerik dan cara bicara. Kita akan
menunjukkan bagaimana gerakgerik yang lucu itu lahir dari persamaan dari yang
terbaik dengan yang terburuk dan sebaliknya, dari perangsangan kejutan lewat
tipuan, dari yang mustahil, dari pelanggaran hukum alam, dari yang tidak relevan
dan tidak konsekuen, dari perendahan derajat tokoh-tokoh, dari penggunaan
pantomim yang vulgar dan lucu, dari ketidakharmonisan, dari pilihan benda yang
paling tidak berharga. Lalu kita akan menunjukkan bagaimana kelucuan cara bicara
lahir dari kesalahpahaman katakata yang serupa untuk bendabenda yang berbeda,
dan katakata yang berbeda untuk hal-hal yang serupa, dari omelan dan
pengulangan, dari pemainan kata, dari katakata yang memperkecil, dari kesalahan
ucapan, dan dari barbarisme.
William agak sulit menerjemahkannya, sambil mencari katakata yang tepat,
sebentar-sebentar berhenti. Sementara menerjemahkan dia tersenyum, seakan ia
mengenali hal-hal yang mulai ia harapkan bakal ditemukan. Ia membaca halaman
pertama keraskeras, lalu berhenti, seakan tidak tertarik untuk mengetahui lagi,
dan cepatcepat membalik halamanhalaman berikutnya. Tetapi setelah beberapa
halaman ia mendapat kesulitan, karena dekat sudut atas tepi pinggir, dan
sepanjang tepi atas, beberapa halaman lengket jadi satu, seperti yang biasa
terjadi kalau bahan kertas usang dan lembap membentuk semacam pasta yang
lengket. Jorge menyadari bahwa gemerisik kertas itu sudah berhenti, dan ia mendorong
William untuk terus. "Teruskan, baca saja, balik halaman itu. Buku itu milikmu, kau pantas
mendapatkannya." William tertawa, seakan agak gembira. "Kalau begitu tidak betul bahwa kau
menganggapku begitu pintar, Jorge! Kau tidak bisa melihat: aku pakai sarung
tangan. Dengan jari-jariku yang kikuk ini, aku tidak bisa melepaskan satu
halaman dari yang selanjutnya. Seharusnya aku melanjutkan dengan tangan kosong,
sambil membasahi jari-jariku dengan ludahku, seperti yang kebetulan kulakukan
pagi ini waktu membaca di skriptorium, sehingga tibatiba misteri itu juga jadi
jelas bagiku. Dan seharusnya aku terus membalik halaman seperti itu sampai racun
yang masuk ke mulutku cukup porsinya. Aku bicara tentang racun yang, suatu hari,
dulu sekali, kau curi dari laboratorium Severinus. Mungkin waktu itu kau sudah
cemas, karena sudah mendengar seseorang dalam skriptorium menunjukkan rasa ingin
tahu, entah tentang finis Africae atau buku Aristoteles yang hilang, atau
tentang keduanya. Aku yakin kau menyimpan ampul itu untuk waktu yang lama,
sambil merencanakan untuk menggunakannya pada saat kau mencium bahaya.
Dan kau mencium bahaya itu berharihari yang lalu, waktu Venantius sampai terlalu
dekat pada isi buku ini, dan pada waktu yang sama, Berengar, gegabah, sombong,
mulai berusaha menarik perhatian Adelmo, menunjukkan bahwa ia tidak terlalu
berahasia seperti yang kauharapkan. Maka
kau datang dan memasang jebakanmu. Tepat pada waktunya, karena beberapa malam
kemudian Venantius masuk, mencuri buku itu, dan berusaha keras membalikbalik
halamannya, hampir dengan sekuat tenaganya.
Ia langsung merasa sakit dan lari untuk cari bantuan di dapur. Di mana ia mati.
Apa aku salah?" "Tidak. Lanjutkan."
"Selebihnya sederhana. Berengar menemukan mayat Venantius di dapur, jadi takut
akan adanya penyidikan, karena, bagaimanapun juga, malam hari itu Venantius
masuk ke dalam Aedificium akibat penyampaian isi hati Berengar sebelumnya kepada
Adelmo. Berengar tidak tahu harus berbuat apa: ia mengangkat mayat itu ke atas
bahunya dan melemparkannya ke dalam belanga darah, sambil berpikir setiap orang
akan yakin Venantius tenggelam."
"Dan bagaimana kau tahu itu yang terjadi?"
"Kau juga tahu. Aku melihat bagaimana kau bereaksi waktu mereka menemukan
secarik kain bernoda darah Berengar. Orang tolol tersebut menyeka kedua
tangannya dengan kain itu setelah memasukkan Venantius ke dalam belanga. Tetapi
karena Berengar sudah lenyap, tentunya ia pergi bersama buku itu, yang pada saat
itu telah membangkitkan rasa ingin tahunya, pula. Dan kau tengah mengharapkan ia
akan diketemukan di suatu tempat, tidak bersimbah darah, tetapi kena racun. Yang
selebihnya sudah jelas, Severinus menemukan buku itu, karena mulamula Berengar
pergi ke klinik untuk membacanya, aman dari mata orang yang
curiga. Maleakhi, atas doronganmu, membunuh
Severinus, lalu meninggal sendiri ketika ia kembali
ke sini untuk menemukan apa yang begitu terlarang
tentang benda yang telah menjadikannya seorang
pembunuh. Dan dengan begitu kita punya
penjelasan untuk semua mayat itu .... Tolol sekali ii
"Siapa?" "Aku. Karena suatu komentar dari Alinardo, aku yakin rangkaian kejahatan itu
mengikuti urutan ketujuh sangkakala dari Kitab Wahyu. Hujan es untuk Adelmo, dan
kematiannya adalah bunuh diri.
Darah untuk Venantius, dan sejak itu sikap Berengar jadi membingungkan; air
untuk Berengar sendiri, padahal itu satu tindakan tidak sengaja; sepertiga
bagian langit untuk Severinus, dan Maleakhi telah memukulnya dengan bola dunia
karena itu satusatunya benda yang bisa ia temukan. Dan akhirnya kalajengking
untuk Maleakhi .... Mengapa kaukatakan kepadanya bahwa buku itu punya kekuatan
seribu kalajengking?"
"Karena kau. Alinardo sudah menceritakan gagasannya kepadaku, dan lalu aku
mendengar dari seseorang bahwa kau, juga, mengiranya persuasif .... Aku jadi yakin
bahwa suatu rencana suci mulai mengarahkan kematian kematian tersebut, yang
bukan aku penyebabnya. Dan kukatakan kepada Maleakhi bahwa andaikan ia jadi ingin tahu ia bisa binasa
sesuai dengan rencana suci yang sama; dan ia berbuat begitu."
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi, kalau begitu ... aku mendapat pola keliru untuk menginterpretasikan
gerakgerik orang yang bersalah itu, dan orang yang bersalah itu runtuh dengan
itu. Dan pola keliru yang sama itu yang membuat aku bisa melacakmu. Sekarang ini
setiap orang dihantui oleh kitab Yohanes, tetapi menurutku agaknya kau orang
yang paling merenungkannya, dan tidak terlalu disebabkan oleh spekulasimu
tentang Antikristus karena kau berasal dari negeri yang telah menghasilkan Kitab
Wahyu yang paling luar biasa. Suatu hari seseorang menceritakan kepadaku bahwa
kaulah yang telah membawa naskah kuno paling indah dari buku ini ke perpustakaan
itu. Lalu, pada hari lain, Alinardo mengoceh tentang seorang musuh misterius
yang telah dikirim untuk mencari bukubuku di Silos (rasa ingin tahuku tergelitik
waktu ia bilang musuh ini sudah pulang sebelum waktunya ke dalam kerajaan
kegelapan: mulamula mungkin kelihatannya orang itu bicara tentang mati muda,
tetapi ternyata ia mengacu kepada kebutaanmu). Silos letaknya dekat Burgos, dan
pagi ini, dalam katalog, aku menemukan serangkaian buku tambahan, semua Kitab
Wahyu berbahasa Spanyol, dari periode waktu kau sudah menggantikan atau hampir
menggantikan Paul dari Rimini. Dan buku ini juga ada dalam kelompok tambahan
itu. Tetapi aku tidak bisa positif dalam rekonstruksiku sebelum akhirnya tahu
bahwa buku yang dicuri itu ditulis di atas kertas linen. Lalu aku ingat Silos,
dan aku jadi yakin. Tentu saja, karena gagasan dari buku ini dan kekuatan
racunnya pelanpelan mulai mengambil bentuk, gagasan tentang pola dalam Kitab Wahyu itu
mulai runtuh, meskipun aku tidak bisa mengerti bagaimana buku itu dan urutan
sangkakala itu keduanya menunjuk kepadamu. Tetapi aku memahami kisah buku itu
lebih baik karena, diarahkan oleh pola dalam Kitab Wahyu itu, aku makin lama
makin dipaksa memikirkan kau, dan perdebatanmu tentang tawa. Karenanya, malam
ini, waktu aku sudah tidak lagi memercayai pola dalam Kitab Wahyu itu, aku
bersikeras mengawasi kandang kuda, dan dalam kandang kuda, benarbenar secara
kebetulan, Adso memberiku kunci untuk memasuki finis Africae."
"Aku tidak bisa mengikutimu," kata Jorge. "Kau sombong untuk menunjukkan
kepadaku bagaimana, dengan didikte oleh nalarmu, kau sampai kepadaku, dan toh
kau telah menunjukkan kepadaku bahwa kau sampai ke sini dengan mengikuti
penalaran keliru. Apa maksudmu mengatakan itu kepadaku?"
"Kepadamu, tidak apa-apa. Aku bingung, itu saja. Tetapi tidak masalah. Aku sudah
berada di sini." "Allah telah membunyikan ketujuh sangkakala itu. Dan kau, meskipun dalam
kekeliruanmu, mendengar suatu gema membingungkan dari bunyi itu."
"Kau sudah mengatakan ini dalam khotbahmu malam kemarin. Kau mau berusaha
meyakinkan dirimu sendiri bahwa seluruh kisah ini berlangsung menurut suatu
rencana suci, dengan tujuan menutupi kenyataan bahwa kau seorang pembunuh dari
dirimu sendiri." "Aku tidak membunuh siapa pun. Masingmasing meninggal menurut nasibnya karena
dosa-dosanya. Aku hanya suatu alat."
"Kemarin, kau bilang bahwa Yudas juga suatu alat. Namun, itu tidak mencegahnya
menjadi orang terkutuk."
"Aku menerima risiko kutukan itu. Tuhan akan mengampuniku, karena Dia tahu bahwa
aku bertindak demi kemuliaanNya. Tugasku melindungi perpustakaan itu."
"Beberapa menit yang lalu kau sudah siap membunuhku, pula, dan juga anak ini ...."
"Kau lebih halus, tetapi tidak lebih baik dari pada lainlainnya."
"Dan sekarang apa yang akan terjadi, karena sekarang aku sudah menghindari
jebakan itu?" "Akan kita lihat," jawab Jorge. "Aku tidak perlu menginginkan kematianmu;
mungkin aku akan berhasil meyakinkan kau. Tetapi ceritakan dulu kepadaku:
bagaimana kau menerka itu buku kedua Aristoteles?"
"Anatema-mu melawan tawa sudah jelas tidak akan cukup bagiku, atau betapa
sedikit yang kuketahui tentang argumentasimu dengan lainlainnya. Mulamula aku
tidak paham arti pentingnya. Tetapi ada acuan kepada sebuah batu tak punya malu
yang menggelinding di atas dataran, dan kepada burung cicadas yang akan menyanyi
dari tanah, bagi pohon-pohon ara yang suci. Aku sudah membaca sesuatu semacam
itu: aku memeriksanya selama beberapa hari ini. Itu semua
adalah contoh yang dipakai oleh Aristoteles dalam buku pertama Poetics dan dalam
Rhetoric. Kemudian aku ingat bahwa Isidore dari Seville mendefinisikan komedi
sebagai sesuatu yang menceritakan tentang stupra virginum et amores meretricumi
bagaimana, ya, menjelaskannya" memerkosa perawan seperti tindakan cinta suci ....
Sedikit demi sedikit buku kedua ini mengambil bentuk dalam pikiranku seperti
yang seharusnya. Aku bisa menceritakan kepadamu hampir semuanya, tanpa membaca
halamanhalaman yang dimaksudkan untuk meracuniku. Komedi berasal dari kata komai
yaitu, desa petani yang artinya suatu perayaan gembira setelah makan-makan atau
pesta. Komedi tidak menceritakan tentang orang kuat dan terkenal, tetapi tentang
makhlukmakhluk lucu dan miskin, meskipun tidak jahat; dan ini tidak berakhir
dengan kematian para protagonis. Ini mencapai efek kelucuan dengan menunjukkan
kelemahan dan kejahatan orang biasa. Di sini Aristoteles melihat kecenderungan
kepada tawa sebagai kekuatan untuk kebaikan, yang juga bisa mempunyai nilai
instruktif: lewat tekateki cerdik dan metafora tak terduga, meskipun
menceritakan kepada kita hal-hal dengan cara berbeda dari yang seharusnya,
seakan berbohong. Sebenarnya ini mengharuskan kita memeriksa hal-hal itu secara lebih cermat, dan
membuat kita mengatakan: Ah, ini sekadar bagaimana hal-hal itu, dan aku tidak
mengetahuinya. Kebenaran tercapai
1 Pemerkosaan perawan dan cinta para pelacur penerj?dengan menceritakan manusia dan dunia sebagai lebih buruk daripada yang
sebenarnya atau dari pada yang kita duga tentang itu, bagaimanapun juga, lebih
buruk daripada epik, tragedi itu, kehidupan para santo sudah menunjukkannya
kepada kita. Bukankah begitu?"
"Cukup mendekati. Kau merekonstruksinya dengan membaca bukubuku lain?"
"Banyak dari itu tengah dikerjakan oleh Venantius. Aku yakin Venantius sudah
memburu buku ini selama beberapa waktu. Ia tentu sudah membaca indikasi dalam
katalog yang juga kubaca, dan tentunya sudah menjadi yakin ini adalah buku yang
sedang ia cari. Tetapi ia tidak tahu caranya memasuki finis Africae. Waktu ia mendengar Berengar
membicarakannya dengan Adelmo, maka ia lari bagaikan seekor anjing melihat jejak
seekor kelinci." "Itu yang telah terjadi. Aku langsung paham. Aku menyadari bahwa saatnya sudah
tiba saat aku akan harus mati-matian mempertahankan perpustakaan itu ...."
"Dan menyebarkan salep itu. Tentunya suatu tugas yang berat ... dalam kegelapan
...." "Sekarang ini tanganku melihat lebih banyak daripada matamu.
Aku sudah mengambil sebuah kuas dari Severinus, dan aku juga mengenakan sarung
tangan. Itu gagasan yang bagus, kan" Kau butuh waktu lama untuk sampai pada itu
...." "Ya. Aku mulai memikirkan alat yang lebih rumit,
sepucuk jarum beracun atau sesuatu semacam itu. Aku harus mengatakan bahwa
solusimu luar biasa, korban itu meracuni dirinya sendiri waktu sedang sendirian,
dan hanya sampai sejauh bahwa ia ingin membaca
Aku menyadari, dengan gemetar, bahwa saat itu kedua orang tersebut, siap siaga
dalam satu pertikaian mematikan, mulai saling memuji, seakan masingmasing hanya
harus berbuat sesuatu agar mendapat tepuk tangan yang lain. Terlintas dalam
pikiranku bahwa kelicikan yang dipakai Berengar untuk merayu Adelmo, serta
tindakan alami dan sederhana gadis yang membangkitkan hasrat dan berahiku itu,
tidak ada artinya dibandingkan dengan kepintaran dan keterampilan gila yang
dipakai masingmasing untuk mengalahkan yang lainnya, tidak ada artinya
dibandingkan dengan tindakan merayu yang terjadi di depan mataku saat itu, yang
telah terbuka lebih dari tujuh hari, masingmasing dari kedua teman bicara itu
tengah mengadakan, memang, perjanjian misterius dengan yang lain, masingmasing
secara diamdiam berharap diterima dengan baik oleh yang lain, masingmasing
sambil takut kepada dan membenci yang lain.
"Tapi, sekarang katakan terus terang," kudengar William bicara, "mengapa"
Mengapa kau ingin melindungi buku ini lebih daripada begitu banyak buku lainnya"
Mengapa kau menyembunyikan walau tidak harus dengan melakukan kejahatan risalah
tentang nekromansi, halamanhalaman yang mungkin telah menghujat nama Tuhan,
sementara demi halamanhalaman ini kau mengutuk saudarasaudaramu dan telah mengutuk dirimu
sendiri" Ada banyak buku lain yang bicara tentang komedi, banyak lainnya yang
memuji tawa. Mengapa yang ini membuatmu amat sangat ketakutan?"
"Karena itu tulisan Filsuf tersebut. Setiap buku tulisan orang itu telah
menghancurkan sebagian pengetahuan yang selama berabadabad telah dikumpulkan
oleh Kristianitas. Para penatua telah mengatakan segala sesuatu yang perlu
diketahui tentang kekuatan Sabda itu, tetapi kemudian Boethius hanya harus
menerjemahkan Filsuf itu dan misteri suci Sabda itu diubah menjadi suatu parodi
dari kategori dan silogisme manusia. Kitab Kejadian mengatakan apa yang harus
diketahui tentang komposisi kosmos, tetapi ditemukannya kembali Physics karya
Filsuf itu sudah cukup untuk membuat alam semesta diterima lagi dalam istilah
menjemukan dan benda berlendir, dan Averroes orang Arab itu hampir meyakinkan
setiap orang bahwa dunia ini abadi. Kita tahu segala sesuatu tentang orangorang
suci, dan orang Dominikan yang dikubur oleh Abo itu didorong oleh Filsuf itu
mengganti nama mereka, karena mengikuti jalur pikiran alami. Dan begitu pula
kosmos, yang bagi Areopagite itu dengan sendirinya terungkap bagi mereka yang
tahu caranya mengagumi retakan bercahaya dari alasan pertama yang patut dicontoh
itu, telah menjadi suatu cagar bukti duniawi yang untuk itu mereka mengacu
kepada suatu benda abstrak. Sebelumnya kita biasa memandang ke langit, hanya mau sekadar melirik
sambil mengerenyitkan kening terhadap benda lumpur itu; sekarang kita menatap
bumi, dan kita memercayai surga karena pernyataan duniawi.
Setiap kata Filsuf itu, yang sekarang bahkan para santo dan nabi dia suruh
bersumpah, telah membalik citra dunia itu. Tetapi ia belum berhasil membalik
citra Tuhan. Andaikan buku ini akan menjadi ... telah menjadi suatu objek untuk
interpretasi terbuka, tentunya kita sudah menyeberangi perbatasan terakhir."
"Tetapi apa yang membuatmu takut dalam diskusi tentang tawa ini" Kau tidak bisa
menghilangkan tawa dengan melenyapkan buku itu."
"Tidak, jelas tidak. Tetapi tawa adalah kelemahan, pengrusakan, ketololan dari
daging kita. Ini hiburan petani, surat izin pemabuk; bahkan dalam
kebijaksanaannya gereja mengizinkan diadakannya pesta, karnaval, pasar malam,
polusi sepanjang hari ini yang membebaskan humor dan memisahkan dari hasrat dan
ambisi lainnya ini .... Toh, tawa tetap rendah, suatu pertahanan bagi orang biasa,
suatu misteri najis bagi orang kampungan. Rasul itu juga bicara begini: lebih
baik menikah daripada dibakar. Daripada menentang aturan Tuhan yang sudah mapan,
tertawalah dan nikmati parodi aturanmu yang jahat, sehabis makan, sehabis kau
mengeringkan guci dan botol. Pilih raja orang tolol, masuki dengan bebas liturgi
keledai dan babi, naiklah ke pentas untuk meramaikan pestamu dengan kepala
di bawah .... Tetapi di sini, di sini" sekarang Jorge mengetuk meja dengan
jarinya, dekat buku yang dibiarkan terbuka oleh William-"di sini, fungsi tawa
dibalik, dinaikkan derajatnya menjadi seni, pintu-pintu dunia pengetahuan kita
membuka ke arahnya, dijadikan bahan pembicaraan filsafat, dan teologi yang
bersifat durhaka .... Kemarin kau menyaksikan bagaimana orang biasa dapat menerima
dan menjalankan kebidahan yang paling seram, sementara mengingkari hukum Tuhan
dan hukum alam. Tetapi gereja bisa menangani kebidahan orang biasa, yang
mengutuki diri atas kebidahan mereka sendiri, dihancurkan oleh ketidaktahuan
mereka. Kegilaan murni Dolcino dan yang semacam dia tidak akan menimbulkan
krisis dalam ordo suci itu. Ia akan berkhotbah tentang kekerasan dan akan mati
karena kekerasan, tidak akan meninggalkan bekas, akan terlupakan seperti
karnaval dilupakan, dan tidak masalah apakah selama pesta itu, di bumi akan
kedatangan tiga raja dari dunia yang terbalik ini sebentar. Asalkan tindakan itu
tidak diubah menjadi rencana, asalkan bahasa vulgar ini tidak diterjemahkan
dalam bahasa Latin. Tawa membuat penjahat tidak takut kepada Iblis, karena dalam
pesta orang tolol Iblis juga tampak miskin dan tolol, dan karenanya bisa
dikuasai. Tetapi buku ini bisa mengajarkan bahwa membebaskan diri dari ketakutan
akan Iblis adalah kebijaksanaan. Saat tertawa, saat anggur menggelegak dalam
tenggorokannya, penjahat itu merasa ia adalah majikan, karena ia telah membalik
posisinya berkaitan dengan majikannya: tetapi buku ini bisa mengajarkan
kepintaran itu kepada orang terpelajar, mulai saat itu, kelicikan hebat yang
bisa membenarkan pembalikan tersebut. Maka yang masih ada dalam penjahat itu,
untungnya, adalah suatu cara kerja perut yang bisa diubah menjadi suatu cara
kerja otak. Bahwa tawa pantas bagi manusia adalah suatu tanda dari keterbatasan
kita, karena kita adalah pendosa. Tetapi dari buku ini banyak pikiran rusak
seperti pikiranmu akan menarik silogisme ekstrem, sehingga tawa menjadi tujuan
manusia! Tawa, untuk sesaat, membuat penjahat itu melupakan rasa takut. Tetapi
hukum dihadapkan dengan ketakutan, yang sebutan sebenarnya adalah takut akan
Allah. Buku ini bisa memperbesar percikan api Lucifer yang akan menimbulkan
suatu kebakaran baru atas seluruh dunia, dan tawa akan ditetapkan sebagai seni
yang baru, bahkan tidak dikenal oleh Prometheus, untuk menunda rasa takut. Bagi
penjahat yang tertawa, saat itu, mati bukan masalah: tetapi kemudian, kalau
surat izin tertawa itu habis, ia berhadapan lagi dengan, sesuai dengan rencana
suci, ketakutan akan kematian. Dan buku ini mungkin saja melahirkan tujuan baru
yang buruk untuk menghancurkan kematian lewat penebusan dari rasa takut. Dan apa
jadinya dengan kita, makhluk pendosa ini, kalau tidak punya rasa takut, mungkin
menjadi peramal terbaik, yang paling banyak menerima karunia suci" Selama
berabadabad para doktor dan penatua telah merahasiakan sari-sari wangi dari
pengetahuan suci untuk mendapatkan kembali melalui pemikiran mulia tentang itu
keadaan menyedihkan dan godaan tentang itu yang buruk. Dan buku ini karena
menganggap komedi suatu obat ajaib, dengan satire dan lawaknya, yang tentunya
akan menghasilkan pemurnian hasrat melalui pengumuman cacat, kesalahan,
kelemahan akan mendorong ilmuwan palsu untuk berusaha mendapatkan kembali yang
mulia itu dengan suatu pembalikan jahat: dengan cara menerima yang buruk. Buku
ini bisa saja memancing ide bahwa manusia bisa berharap mempunyai banyak tanah
Cockaigne di bumi (seperti kesan yang diberikan Baconmu berkaitan dengan
keajaiban alam). Tetapi ini adalah apa yang tidak bisa dan tidak boleh kita
miliki. Lihat saja para rahib muda yang tanpa malu membaca parodi lawakan dalam
Coena Cypriani. Sungguh suatu pembalikan jahat dari Injil Suci! Dan toh waktu
membaca mereka tahu bahwa itu jahat. Tetapi pada hari ketika pendapat Filsuf itu
bisa membenarkan lelucon marginal dari imajinasi bejat ini, atau ketika apa yang
selama ini marginal akan melompat ke pusat, setiap jejak dari yang pusat itu
akan hilang. Rakyat Tuhan akan diubah menjadi sekumpulan monster yang
dimuntahkan dari jurang terra incognitas, dan saat itu tebing dari dunia yang
dikenal akan menjadi pusat kerajaan Kristen, Arimaspi menduduki singgasana
Petrus, orang Blemmy dalam biara-biara, orang kerdil dengan perut buncit dan
kepala besar sekali mengepalai
2 Wilayah tak dikenal pen?perpustakaan! Para pelayan menentukan hukum, kami (tetapi kau, juga, ketika itu)
mematuhinya, dalam ketiadaan hukum apa saja. Seorang filsuf Yunani (yang dikutip
di sini oleh Aristoteles-mu, seorang pandai yang kejam dan jahat) mengatakan
bahwa keseriusan lawan harus dilenyapkan dengan tawa, dan tawa menjadi lawan
keseriusan. Dengan bijaksana para penatua telah menetapkan pilihan: jika tawa
adalah kegembiraan orang kampungan, surat izin kampungan itu harus dicegah dan
dipandang hina, dan diintimidasi dengan keras. Dan orang kampungan tidak punya
senjata untuk memperhalus tawa mereka sebelum menjadikannya alat untuk melawan
keseriusan para gembala spiritual yang harus membimbing mereka kepada hidup
kekal dan menyelamatkan mereka dari rayuan perut, pudenda, makanan, hasrat jorok
mereka. Tetapi jika suatu hari seseorang, sambil mengacungkan katakata Filsuf
itu dan karenanya bicara seakan seorang filsuf, mengangkat derajat senjata tawa
menjadi senjata yang halus, jika retorika keyakinan digantikan oleh retorika
ejekan, jika pokok pembicaraan tentang konstruksi cermat gambaran penebusan itu
digantikan oleh pokok pembicaraan tentang setiap gambar suci dan agung yang
buruburu dibongkar dan dikacaukan oh, hari itu bahkan kau, William, dan semua
pengetahuanmu, akan tersapu bersih!"
"Mengapa" Aku akan mencocokkan akalku dengan akal orangorang lain. Akan ada
dunia yang lebih baik daripada dunia di mana api dan besi
membara dari Bernard Gui melecehkan api dan besi membara dari Dolcino."
"Saat itu kau sendiri akan terperangkap dalam rencana busuk Iblis. Kau bakal
bertempur di sisi lain di padang Armageddon, di mana konflik terakhir harus
terjadi. Tetapi pada hari itu, gereja harus mampu memaksakan lagi aturan atas
konflik tersebut. Penghujatan tidak membuat kita takut, karena dalam kutukan Allah, kita justru
mengenali gambar rusak dari kegusaran Yehova, yang mengutuk para malaikat
pemberontak itu. Kita tidak takut akan kekerasan dari mereka yang membunuh para
gembala yang mengatasnamakan citacita pembaruan, karena kekerasan itu sama
dengan kekerasan para pangeran yang berusaha membinasakan bangsa Israel. Kita
tidak takut pada kekejian kelompok Donatis, tindakan bunuh diri gila kelompok
Circum-cellion, berahi kelompok Bogomil, kemurnian angkuh orang Albigensia,
kebutuhan akan darah dari mereka yang menyiksa diri, kegilaan jahat dari Bruderbruder Semangat Bebas: kita kenal mereka semua dan kita tahu akar kejahatan
mereka, yang juga merupakan akar dari kesucian kita.
Kita tidak takut, dan yang terpenting, kita tahu caranya menghancurkan mereka
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan lebih baik, caranya membiarkan mereka menghancurkan diri mereka sendiri,
yang dengan arogan membawa keinginan untuk mati sampai ke puncak yang dibikin
oleh kelemahan mereka sendiri yang paling besar. Sungguh, aku bisa mengatakan
bahwa kehadiran mereka berharga bagi kita, ini sudah tertulis dalam rencana Tuhan, karena dosa
mereka mendorong kebajikan kita, kutukan mereka mendorong himne pujian kita,
hukuman atas mereka yang tidak disiplin menambah rasa pengorbanan kita, sikap
tidak saleh mereka membuat kesalehan kita bercahaya. Demikian pula Pangeran
Kegelapan itu perlu, dengan pemberontakan dan kesiasiaannya, untuk membuat
kemuliaan Tuhan bersinar lebih terang, awal dan akhir dari semua harapan. Namun
jika suatu hari dan tidak lagi sebagai keistimewaan orang kampungan, tetapi
sebagai kebangkitan orang terpelajar, yang setia kepada kesaksian Kitab Injil
yang tak bisa dihancurkan seni penghinaan akan dibuat bisa diterima, dan seakan
agung dan liberal dan tidak lagi mekanikal; jika suatu hari seseorang akan
bilang (dan terdengar), 'Aku menertawai Inkarnasi,' maka kita sudah tentu tidak
punya senjata untuk memerangi penghujatan itu, karena itu akan memanggil
kekuatan-kekuatan gelap jasmaniah, kekuatan yang ditegaskan dalam kentut dan
serdawa, dan kentut serta serdawa tentu akan menuntut hak yang hanya milik jiwa,
untuk bernapas di mana mereka ada!"
"Lycurgus menyuruh didirikan patung untuk tawa."
"Kau membacanya dalam libellus orang Cloritian, yang berusaha mengampuni lawakan
tentang dosa ketidaksalehan, dan menceritakan bagaimana seorang sakit
disembuhkan oleh seorang dokter yang membantunya tertawa. Apa gunanya
menyembuhkan dia, jika Tuhan telah menetapkan bahwa harinya di bumi sudah
mencapai akhir?" "Kukira dokter itu tidak menyembuhkannya. Ia mengajari orang itu menertawakan
sakitnya." "Sakit tidak disembuhkan dengan mengusir setan. Sakit dibasmi."
"Bersama tubuh orang sakit itu."
"Jika perlu." "Kau Iblis," kata William waktu itu.
Jorge seakan tidak paham. Andaikan ia mampu melihat, aku berani taruhan bahwa ia
menatap lawan bicaranya dengan pandangan bingung.
"Aku?" katanya.
"Ya. Mereka mendustaimu. Iblis bukan Pangeran Kejahatan, Iblis adalah
kesombongan jiwa, iman tanpa senyum, kebenaran yang tak pernah direnggut oleh
keraguan. Iblis itu murung karena ia tahu ke mana ia akan pergi, dan, kalau
berjalan, ia selalu kembali ke tempat dari mana ia datang. Kau adalah Iblis, dan
seperti Iblis kau hidup dalam kegelapan. Jika kau ingin meyakinkan aku, kau
telah gagal. Aku membencimu, Jorge, dan andaikan bisa, aku akan menggiringmu
turun, menyeberang halaman, telanjang, dengan bulu unggas menempel dalam
pantatmu dan wajahmu dicat seperti tukang sulap dan pelawak, sehingga seluruh
biara akan menertawaimu dan tidak takut lagi. Dengan senang hati aku bersedia
melumuri seluruh tubuhmu dengan madu dan kemudian menggulingkan tubuhmu di
tengah bulu-bulu, dan membawamu dengan tali kekang ke pasar malam, untuk
mengatakan kepada semua: Ia mau mengumumkan kebenaran kepada kalian dan mau memberi tahu kalian
bahwa kebenaran punya rasa kematian, dan kalian percaya, bukan dalam
katakatanya, tetapi dalam kemurungannya. Dan sekarang aku mengatakan kepada
kalian bahwa, dalam putaran tak ada akhirnya dari hal-hal yang mungkin, Tuhan
juga mengizinkan kalian membayangkan suatu dunia yang di dalamnya yang dianggap
penerjemah kebenaran itu bukan apa-apa kecuali seekor gagak yang canggung, yang
mengulangi katakata yang dulu sekali ia pelajari."
"Kau lebih buruk daripada iblis, Minorit," kata Jorge. "Kau seorang badut,
seperti santo yang melahirkan kalian semua. Kau seperti Fransiskus Assisi, yang
de toto corpore fecerat linguarm, yang memberikan khotbah sambil berpenampilan
seperti orang yang berusaha menipu dengan katakata pintar, yang membungkam orang
pelit dengan menaruh kepingan emas ke dalam tangannya, yang mengejek devosi para
biarawati dengan membacakan 'Miserere' sebagai ganti khotbah, yang mengemis
dalam bahasa Prancis, dan meniru gerakan seorang pemain biola dengan sepotong
kayu, yang menyamar sebagai gelandangan untuk membungkam para rahib yang
serakah, yang menelungkup di atas salju dalam keadaan telanjang, yang bicara
dengan binatang dan tanaman, mengubah misteri Kelahiran Yesus itu sendiri ke
dalam suatu pemandangan desa, menyebut domba
3 Dari seluruh tubuhnya membuat bahasa penerj?Bethlehem itu dengan meniru embik seekor domba .... Itu aliran yang bagus. Apa
Biarawan Diotisalvi dari Florence itu bukan seorang Minorit?" pengkhotbah dan
mengatakan bahwa ia mau menerima makanan asalkan lebih dulu diberi sepotong
tunik Bruder Vohanes untuk dilestarikan sebagai relikui, dan waktu diberi, ia
pakai untuk membersihkan pantatnya dan membuangnya ke kakus, dan dengan sebatang
kayu memutarnya dalam kakus sambil berteriak: Astaga, bantu aku saudarasaudara,
relikui santo itu jatuh ke dalam kakus!"
"Cerita itu jelas membuatmu senang. Mungkin kau juga suka menceritakan kepadaku
kisah tentang Minorit lain, Biarawan Paul Millemosche, yang pada suatu hari
jatuh telentang di atas es; waktu penduduk mengejeknya dan salah seorang
menanyakan apa ia ingin berbaring di atas sesuatu yang lebih baik, ia mengatakan
kepada orang itu: Ya, istrimu .... Begitulah caranya kau dan saudarasaudaramu
mencari kebenaran." "Itu caranya Fransiskus mengajari orang untuk melihat hal-hal dari arah lain."
"Tetapi kita telah mendisiplinkan mereka. Kau menyaksikan mereka kemarin,
saudarasaudaramu. Mereka telah bergabung kembali dengan peringkat kita, mereka
tidak lagi bicara seperti orang biasa. Orang biasa tidak boleh bicara. Buku ini
tentu sudah membenarkan ide bahwa lidah orang biasa adalah sarana kebijaksanaan.
Ini harus dicegah, yang sudah kulakukan. Kau bilang aku Iblis itu, tetapi ini
tidak betul: selama ini aku menjadi tangan Tuhan."
"Tangan Tuhan mencipta; tidak merahasiakan."
"Ada batas-batas yang lebih dari itu tidak diizinkan untuk terus. Tuhan
menetapkan bahwa naskahnaskah tertentu harus dikasih tanda 'hic sunt leones1."
Jorge mengulurkan tangannya dan menarik buku itu. Ia membiarkannya terbuka
tetapi memutarnya, sehingga William masih bisa melihatnya dalam posisi yang
betul. "Lalu kenapa," katanya.
"Dia membiarkan naskah ini menghilang selama berabad abad, dan hanya satu
salinan yang diselamatkan, dan salinan dari salinan itu, telah berakhir di
tempat yang hanya Tuhan yang tahu, untuk selama bertahuntahun tetap terkubur di
tangan seorang penyembah berhala yang tidak bisa berbahasa Yunani, dan kemudian
tergeletak tak terurus dalam kerahasiaan suatu perpustakaan tua, di mana aku,
bukan kau, dipanggil Allah untuk menemukannya dan menyembunyikannya lebih lama
lagi" Aku tahu, aku tahu seakan aku melihatnya ditulis dalam huruf-huruf yang
tak berubah, dengan mataku, yang melihat hal-hal yang tak kau lihat, aku tahu
bahwa ini kehendak Tuhan, dan aku bertindak, menginterpretasikannya. Dalam nama
Bapa, Putra, dan Roh Kudus." []
Malam Dalam cerita ini kebakaran itu terjadi, dan karena kemuliaan yang eksesif maka
kekuatan neraka menang. xs=) rang tua itu diam. Ia membuka kedua ta-\"/ ngannya di atas buku itu, seakan
membelai -halaman-halamannya, sambil melicinkan kertasnya agar bisa dibaca lebih
baik, atau seakan ingin melindungi buku itu dari cakar seekor burung pemangsa.
"Semua ini, apa pun yang terjadi, selama ini tidak ada gunanya," kata William
kepadanya. "Sekarang sudah berakhir. Aku sudah menemukan kau, aku sudah
menemukan buku itu, dan yang lainlainnya mati sia-sia."
"Tidak sia-sia," kata Jorge. "Mungkin jumlah mereka terlalu banyak. Dan jika
dulu kau memerlukan bukti bahwa buku ini terkutuk, sekarang kau sudah dapat. Dan
untuk memastikan bahwa mereka tidak mati sia-sia, satu kematian lagi tidak akan
terlalu banyak." Ia bicara, dan dengan tangannya yang berkulit amat tipis, pelanpelan ia mulai
menyobek kertas yang lemas dari naskah itu menjadi sobekan kecil-kecil, sambil menyumpalkan ke
mulutnya, menelan perlahan-lahan seakan sedang menyantap hosti dan ingin
membuatnya menjadi daging dari dagingnya.
William memandang Jorge, terpesona, dan seakan tidak menangkap apa yang tengah
terjadi. Lalu ia sadar dan mengajukan tubuhnya sambil berteriak, "Apa yang
kaulakukan?" Jorge tersenyum, sambil menunjukkan gusinya yang pucat, ketika
lendir kekuningan menetes dari bibirnya yang pasi ke atas rambut putih yang
jarang pada dagunya. "Kalian tengah menunggu bunyi sangkakala ketujuh, ya kan" Sekarang dengar apa
yang dikatakan suara itu: Meteraikanlah apa yang dikatakan oleh ketujuh guruh
itu dan janganlah engkau menuliskannya. Ambillah dan makanlah dia, ia akan
membuat perutmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu ia akan terasa manis
seperti madu. Begitu, kan" Sekarang aku memeteraikan apa yang tidak boleh
dikatakan, ke kubur aku akan pergi."
Dia tertawa, dia, Jorge. Untuk pertama kalinya aku mendengar dia tertawa .... Dia
tertawa dengan tenggorokannya, meskipun bibirnya tidak menunjukkan bentuk
kegembiraan, dan tampak hampir menangis. "Kau tidak menduganya, William, tidak
kesimpulan ini, ya kan" Orang tua ini, demi kemuliaan Tuhan, sekali lagi menang,
ya kan?" Dan ketika William berusaha merebut buku itu, Jorge, yang merasakan
gerakan tersebut, karena merasakan getaran di udara, mundur, sambil mendekap
buku itu di dadanya dengan tangan kiri, sementara
tangan kanannya terus menyobek buku itu dan menyumpalkannya ke mulutnya.
Jorge berada di seberang meja itu, dan William, yang tidak bisa meraihnya,
cepatcepat berusaha mengitari halangan itu.
Tetapi ia tersandung kursinya sendiri, jubahnya terkait, sehingga Jorge berhasil
mendengar keributan itu. Orang tua itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, dan
dengan kecepatan tak terduga menjulurkan tangan kanannya, sambil meraba mencari
lampu itu. Dengan dibimbing oleh panas, ia meraih nyala api lampu itu dan
menekankan tangannya di atasnya, tanpa takut panas, dan lampu itu mati. Ruangan
itu jadi gelap gulita, dan untuk terakhir kalinya kami mendengar tawa Jorge,
yang berkata, "Tangkap aku! Sekarang aku yang melihat paling jelas!" Lalu ia
diam dan tidak menimbulkan bunyi lagi, sambil bergerak dengan langkah pelan yang
selalu membuat kehadirannya tak terduga, dan kami hanya mendengar, dari waktu ke
waktu, di bagianbagian yang berbeda di ruang itu, bunyi kertas dirobek.
"Adso," teriak William. "Jaga pintunya. Jangan biarkan dia keluar!"
Tetapi sudah terlalu terlambat, karena aku, yang untuk beberapa saat sudah
bersiaga untuk menerpa orang tua itu, sudah melompat maju ketika ruang itu jadi
gelap, sambil berusaha mengitari meja yang terletak di seberang meja yang
dikitari guruku. Aku terlalu terlambat menyadari bahwa aku sudah membuat Jorge
sempat mencapai pintu, karena
orang tua itu bisa bergerak dalam gelap dengan rasa percaya diri yang luar
biasa. Kami mendengar bunyi kertas dirobek di belakang kami agak teredam, karena
datang dari ruang sebelah. Dan pada saat yang sama kami mendengar bunyi lain,
gerit makin keras, derak dari engselengsel.
"Cermin itu!" seru William. "Ia mau mengunci kita di dalam!"
Mengikuti bunyi itu, kami berdua bergegas lari ke pintu masuk; aku tersandung
sebuah kursi dan kakiku luka tetapi tidak kuperhatikan, karena sekilas aku
menyadari bahwa jika Jorge mengunci kami di dalam, kami tidak bakal bisa keluar:
dalam kegelapan kami tidak bakal pernah menemukan cara untuk membuka pintu itu,
karena tidak tahu apa yang harus ditekan dari bagian dalam, atau caranya.
Aku yakin William bergerak dengan putus asa seperti diriku, karena aku
merasakannya di sampingku ketika kami berdua, waktu mencapai ambang pintu,
menekankan tubuh kami pada bagian belakang cermin itu, yang mulai menutup ke
arah kami. Kami tiba tepat waktu; pintu itu berhenti, lalu lepas dan membuka
lagi. Jelaslah bahwa Jorge, karena merasakan konflik itu tidak setara, telah
pergi. Kami keluar dari ruang terkutuk itu, tetapi sekarang kami tidak tahu ke
mana orang tua itu pergi dan keadaan masih gelap gulita.
Tibatiba saja aku ingat, "Guru! Aku bawa pemantik!"
"Terus, apa yang kautunggu?" teriak William. "Cari lampu itu dan nyalakan!" Aku
bergegas kembali ke dalam kegelapan, masuk ke finis Africae, meraba-raba mencari lampu itu. Aku
langsung menemukannya, berkat mukjizat suci, lalu merogoh skapularku dan
mengeluarkan pemantik itu. Kedua tanganku gemetaran, dan dua atau tiga kali aku
gagal sebelum berhasil menyalakan lampu itu, sementara William terengah-engah di
pintu. "Cepat! Cepat!"
Akhirnya, aku berhasil menyalakan lampu itu.
"Cepat!" desak William lagi. "Kalau tidak, orang tua itu akan menghabiskan buku
Aristoteles itu semuanya."
"Dan mati!" teriakku ngeri, sambil mengejarnya dan sama sama mencari.
"Aku tidak peduli dia mati, monster terkutuk!" teriak William sambil mengintip
dalam segala arah, sementara asal berjalan. "Dengan apa yang sudah ia makan,
nasibnya sudah dimeteraikan. Tetapi aku menginginkan buku itu!"
Lalu ia berhenti dan menambahkan, dengan lebih kalem. "Tunggu. Jika terus jalan
seperti ini, kita tidak akan pernah menemukannya. Ssst: kita diam dulu sejenak."
Kami tidak bergerak, dalam kesunyian. Dan dalam kesunyian kami mendengar, tidak
terlalu jauh, bunyi seseorang menabrak kotak, dan serentetan bunyi bukubuku
berjatuhan. "Di sana!" kami berseru, berbarengan.
Kami lari ke arah bunyi itu, tetapi segera menyadari bahwa kami harus
memperlambat langkah kami. Nyatanya malam itu, di luar finis Africae ini,
perpustakaan tersebut dipenuhi arus udara yang
mendesis dan mengerang, sebanding dengan kuatnya angin di luar.
Makin kencang oleh kecepatan langkah kami, angin itu hampir mematikan lampu,
yang sudah dengan susah payah ditemukan kembali.
Karena kami sendiri tidak bisa bergerak lebih cepat, seharusnya Jorge bisa
dibuat berjalan lebih lambat. Tetapi William punya gagasan sebaliknya dan
berteriak, "Kami sudah menangkapmu, orang tua; sekarang kami punya lampu!" Dan
itu adalah keputusan yang bijaksana, karena kenyataan itu mungkin membuat Jorge
jengkel, yang bergerak lebih cepat, sambil berkompromi dengan kesanggupannya
yang luar biasa untuk merasakan, bakatnya untuk melihat dalam gelap. Tidak lama
kemudian kami mendengar bunyi lain dan, dengan mengikutinya, waktu kami memasuki
ruang V dari YSPANIA, kami melihatnya terbaring di atas lantai, masih memegangi
buku itu, sementara berusaha bangkit di antara bukubuku yang berserakan dari
meja yang ia tabrak dan terbalik. Ia sedang berusaha berdiri, tetapi sambil
terus menyobek kertas, berketetapan untuk menyantap mangsanya secepat mungkin.
Waktu kami menangkapnya ia sudah berdiri; sambil merasakan kehadiran kami, ia
menghadapi kami, dengan berjalan mundur. Wajahnya, dalam cahaya lampu yang
kemerahan, sekarang tampak mengerikan bagi kami: raut wajahnya rusak, keringat
bercucuran pada kening dan pipinya, kedua matanya, biasanya putih mengerikan,
sekarang merah menyala, sobekan perkamen menggelantung
dari mulutnya, dan ia tampak bagai seekor binatang buas hitam yang kekenyangan
dan tidak sanggup menelan makanannya lagi. Wajahnya rusak oleh kecemasan, oleh
daya racun yang sekarang mengalir deras dalam pembuluh darahnya, oleh ketetapan
hatinya yang jahat dan sia-sia, orang tua saleh itu sekarang tampak menjijikkan
dan aneh sekali. Pada kesempatan lain mungkin ia bisa membuat kami tertawa,
tetapi kondisi kami, juga, sudah merosot menjadi binatang, anjinganjing yang
mengejar buruan mereka. Seharusnya kami menangkapnya pelanpelan, tetapi kami menubruknya dengan kuat; ia
mengelak, sambil menekankan kedua tangannya kuatkuat pada dadanya untuk
mempertahankan buku itu; aku merenggutnya dengan tangan kiriku sementara tangan
kananku berusaha mengangkat lampu itu tinggi-tinggi, tetapi aku memanasi
wajahnya dengan nyala lampu itu, ia merasakan panas itu, mengeluarkan jeritan
tercekik, hampir seperti raungan, sementara potongan-potongan kertas itu
berjatuhan dari mulutnya, dan tangan kanannya melepaskan buku itu, diulurkan ke
arah lampu, dan dengan cepat merebutnya dariku, sambil melemparkannya jauh-jauh
.... Lampu itu jatuh tepat di atas setumpuk buku yang telah jatuh dari meja, semua
menumpuk, halaman-halamannya terbuka. Minyaknya tumpah keluar, api itu langsung
melahap perkamen yang rentan itu, yang langsung menyala bagaikan seikat ranting
kering. Segala sesuatunya terjadi dalam
beberapa saat, seakan kertaskertas kuno itu sudah berabadabad lamanya merindukan
api dan bersukaria karena rasa haus yang entah sejak kapan untuk dibakar
mendadak dipuaskan. William menyadari apa yang tengah terjadi dan melepaskan
orang tua itu, yang, karena merasa bebas, mundur beberapa langkah. William
termangu sejenak, boleh dibilang terlalu lama, tidak yakin mau menangkap Jorge
lagi atau bergegas mematikan kebakaran kecil itu. Satu buku, lebih tua daripada
lainnya, hampir langsung terbakar sambil menjulurkan lidah api.
Embusan tipis angin itu, yang mungkin telah mematikan percikan api yang lemah,
justru membesarkan nyala yang lebih kuat, yang lebih hidup, dan bahkan
menerbangkan percikan api dari situ.
"Matikan api itu! Cepat!" teriak William. "Segala sesuatunya akan terbakar
habis!" Aku lari ke arah api itu, lalu berhenti, karena tidak yakin harus berbuat apa.
William bergerak lagi di belakangku, mau membantu. Kami mengulurkan tangan
sementara mata kami mencaricari sesuatu untuk menjinakkan api itu. Aku mendapat
sekilas ilham: aku mencopot jubahku dan melemparkannya ke atas sumber api itu.
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi nyalanya seakan sudah terlalu tinggi; bajuku terbakar habis dan api itu
justru membesar. Sambil menarik tanganku yang hangus, aku menoleh ke arah
William dan melihat Jorge, yang sudah mendekat lagi, berada di belakang William.
Panasnya sekarang begitu kuat sehingga orang tua itu bisa dengan mudah
merasakannya, sehingga ia tahu dengan amat pasti di mana api itu: ia melemparkan
buku Aristoteles ke dalam api.
Dengan ledakan kemarahan, William mendorong orang tua itu kuatkuat. Jorge
terempas ke sebuah kotak, kepalanya membentur salah satu sudutnya. Ia jatuh ke
lantai .... Tetapi William, yang aku yakin mendengarnya mengucapkan kutukan
mengerikan, tidak memedulikan Jorge. Ia menoleh ke buku itu. Terlalu terlambat.
Buku Aristoteles itu, atau apa yang masih tersisa setelah dimakan orang tua itu,
sudah mulai terbakar. Sementara itu, beberapa percikan api sudah terbang ke arah dinding, dan rak buku
lain sudah mulai berkerut dalam amarah api.
Sekarang, bukan satu, tetapi dua api yang mulai membara dalam ruang itu.
William, karena menyadari bahwa kami tidak mungkin mematikan api dengan tangan,
memutuskan untuk menggunakan buku untuk menyelamatkan buku. Ia merenggut sebuah
buku yang menurutnya lebih kuat jilidnya daripada yang lainnya, lebih kukuh, dan
ia berusaha menggunakannya sebagai senjata untuk mematikan api yang besar.
Tetapi, memukulkan jilid yang bertatah metal itu ke atas tungku bukubuku yang
membara justru merangsang lebih banyak percikan api. Biarpun ia berusaha
menyingkirkannya dengan kakinya, ia mendapat efek yang sebaliknya: sobekan
perkamen yang bergetar, setengah terbakar, naik dan terbang seperti kelelawar,
sementara udara, bersekutu
dengan sesama unsurnya yang ringan, menerbangkan sobekan perkamen itu untuk
menyalakan lebih banyak kertas yang berserakan di lantai.
Malangnya, itu salah satu ruang paling tidak rapi dari labirin tersebut.
Gulungan naskah bergelantungan dari rak-rak; bukubuku lain, sudah rusak
jilidnya, beberapa halamannya mencuat keluar, seakan dari mulut-mulut yang
menganga, serpihan perkamen yang kering dimakan usia: dan di atas meja banyak
sekali naskah belum dikembalikan Maleakhi (waktu itu tidak punya asisten selama
beberapa hari) ke tempatnya. Maka ruangan penuh perkamen itu, setelah Jorge
menumpahkan minyak itu, tinggal menunggu untuk diubah menjadi unsur lain.
Tanpa menunggu lebih lama tempat itu menjadi suatu semak menyala membara. Rakrak buku itu sendiri juga ikut mengorbankan diri dan mulai retak-retak. Aku
menyadari bahwa seluruh labirin itu hanya sekadar tempat pembakaran kurban,
semua siap menunggu percikan api pertama.
"Air. Kita butuh air!" kata William, tetapi lalu menambahkan, "Tetapi di mana
yang ada airnya dalam neraka ini?"
"Di dapur, di bawah, di dapur!" teriakku.
William memandangku, bingung, wajahnya merona oleh nyala api membara itu. "Ya,
tetapi kalau kita turun maka saat kembali naik ... Iblis mengambilnya!" serunya.
"Ruang ini toh sudah hilang, dan mungkin yang sebelahnya juga. Ayo turun. Aku
akan cari air, dan kau lari mengumumkan
tanda bahaya. Kita butuh orang banyak sekali!"
Kami menemukan jalan menuju anak tangga: kebakaran itu juga menerangi ruangruang berikutnya, tetapi makin lama makin redup, sehingga kami menyeberangi dua
ruang terakhir dengan meraba-raba lagi. Di atas, rembulan remang-remang
menerangi skriptorium, dan dari sana kami turun ke ruang makan. William bergegas
masuk dapur: aku ke pintu ruang makan, sambil berusaha membukanya dari dalam.
Aku berhasil setelah berupaya cukup keras karena kemarahanku membuatku canggung
dan tidak terampil. Aku melangkah ke rerumputan, lari ke arah asrama, lalu
menyadari bahwa aku tidak bisa membangunkan para rahib itu satu per satu. Aku
dapat ilham, aku masuk gereja, sambil mencari jalan ke menara lonceng.
Setelah menemukannya, aku meraih semua tali itu, sambil membunyikan tanda
bahaya. Aku menarik tali itu keraskeras, dan waktu lonceng utama berayun naik,
talinya membuatku ikut naik. Di perpustakaan, punggung tanganku telah terbakar.
Telapak tanganku masih belum luka, tetapi sekarang aku membakarnya, juga, dengan
membiarkan kedua telapak tanganku meluncur sepanjang tali-tali itu sampai
berdarah dan aku harus melepaskannya.
Tetapi toh waktu itu aku sudah membuat bunyi cukup keras. Aku bergegas keluar
dan tepat waktu melihat rahibrahib pertama mulai keluar dari asrama, sementara
di kejauhan aku mendengar suara para pelayan, yang mulai muncul di pintu-pintu
bilik mereka. Aku tidak dapat menjelaskan dengan terang, karena tidak mampu
memformulasikan kata, dan yang pertama muncul dari bibirku adalah bahasa
negeriku. Dengan tangan berdarah aku menuding ke arah jendelajendela sayap
selatan Aedificium itu, yang panel alabasternya tampak terang tidak seperti
biasanya. Aku menyadari, dari kuatnya cahaya itu, bahwa api telah menyebar ke
ruang-ruang lain sementara aku turun dan membunyikan lonceng. Semua jendela
ruang Afrika dan seluruh lorong di antaranya dan menara timur sekarang tampak
penuh percikan api. "Air! Ambil air!" teriakku.
Mulamula tak ada yang paham. Para rahib sudah terbiasa menganggap perpustakaan
itu suatu tempat suci dan terlarang untuk dimasuki sehingga tidak bisa mengerti
bahwa tempat itu diancam oleh malapetaka seperti yang biasa menimpa gubuk petani. Yang pertama memandang ke jendela di atas membuat tanda salib
sambil bergumam ketakutan, dan aku menyadari bahwa mereka membayangkan hantu.
Aku merenggut pakaian mereka dan memohon agar mereka mengerti, sampai akhirnya
seseorang menerjemahkan isak tangisku ke dalam katakata manusia.
Itu adalah Nicholas dari Morimondo, yang mengatakan, "Perpustakaan terbakar!"
"Memang," bisikku sambil melorot ke tanah, keletihan.
Nicholas langsung bersemangat, ia berteriak memberi perintah kepada para
pelayan, memberi saran kepada para rahib di sekelilingnya, menyuruh beberapa orang membuka pintupintu lain Aedificium, beberapa lainnya disuruh mencari air dan wadah apa saja.
Ia mengajak mereka yang ada pergi ke sumur-sumur dan tangki air di biara itu. Ia
memerintahkan para gembala sapi untuk menggunakan bagal dan keledai untuk
mengangkut air .... Jika seseorang yang punya otoritas memberi perintah, tentu ia
langsung ditaati. Tetapi para pelayan itu terbiasa mendapat perintah dari
Remigio, para penulis dari Maleakhi, semua orang dari Abbas. Dan, astaga, tak
seorang pun dari ketiganya ada di situ. Para rahib menoleh ke sana kemari
mencari Abbas, untuk minta instruksi dan penghiburan, dan tidak menemukannya;
hanya aku yang tahu bahwa Abbas itu sudah mati, atau hampir mati, saat itu,
terkunci dalam suatu gang hampa udara yang sekarang mulai berubah menjadi sebuah
oven, bagai seekor kerbau dari Phalaris.
Nicholas menyuruh para gembala pergi ke satu arah, tetapi beberapa rahib
lainnya, dengan maksud terbaik, mendorong mereka ke arah lain. Beberapa imam
agaknya kehilangan akal, yang lainnya masih pusing karena ngantuk. Aku berusaha
menjelaskan, karena sekarang sudah punya kekuatan untuk bicara lagi, namun harus
diingat bahwa aku hampir bugil, karena sudah melemparkan jubahku ke api, dan
melihat seorang anak lelaki, seperti keadaanku waktu itu, berdarah, wajahnya
coreng moreng kena angus, tubuhnya memalukan tak berbulu, sekarang kaku karena
dingin, jelas tidak membuat orang amat
percaya. Akhirnya, Nicholas berhasil menyeret beberapa saudara dan beberapa orang lain ke
dapur, yang sudah beberapa waktu dibuka seseorang.
Seorang rahib lain punya akal bagus untuk membawa beberapa obor. Kami menemukan
tempat itu dalam keadaan kacau balau, dan aku menyadari bahwa William tentu
sudah menjungkir balik segalanya, sambil mencari air dan ember untuk membawanya.
Saat itu aku melihat William sendiri muncul dari pintu ruang makan, wajahnya
hangus, jubahnya berasap. Ia sedang membawa sebuah belanga besar, dan aku merasa
kasihan kepadanya, alegori ketakberdayaan yang memelas. Aku menyadari bahwa
andaikan ia berhasil membawa sepanci air ke lantai atas tanpa menumpahkannya,
dan andaikan ia bisa melakukannya lebih dari sekali, tentunya hanya mencapai
sedikit sekali. Aku ingat kisah Santo Agustinus, waktu ia melihat seorang anak
lelaki berusaha menyendoki air laut: anak itu seorang malaikat dan berbuat
begitu untuk menertawakan seorang santo yang ingin memahami misteri alam suci.
Dan, seperti seorang malaikat, sambil menyandar kelelahan pada kusen pintu,
William mengatakan kepadaku, "Mustahil, kita tidak bakal pernah memadamkannya,
bahkan bersama semua rahib di biara ini. Perpustakaan itu sudah hilang." Tidak
seperti malaikat itu, William menangis.
Aku mendekapnya ketika ia menarik sehelai kain
dari sebuah meja dan berusaha menutupi tubuhku. Kami berhenti dan, akhirnya
kalah, hanya mengamati apa yang tengah terjadi di seputar kami.
Tampak kesibukan yang membingungkan, orangorang menaiki anak tangga melingkar
dengan tangan hampa, dan berpapasan dengan lainnya, juga dengan tangan hampa,
yang tadi naik ke lantai atas karena terdorong oleh rasa ingin tahu mereka dan
sekarang mulai turun untuk mencari ember. Yang lainlainnya, lebih pintar,
langsung mulai mencari panci dan baskom, hanya untuk menyadari bahwa air di
dapur tidak cukup. Tibatiba ruangan luas itu dipenuhi bagal yang mengangkut
gentong besar-besar, dan para gembala menggiring hewan-hewan itu, menurunkan
beban mereka dan mulai mengangkat air itu ke atas. Tetapi mereka tidak tahu
caranya naik ke skriptorium, dan baru beberapa saat kemudian diberi tahu
beberapa penulis, dan waktu naik ke atas mereka bertabrakan dengan lainlainnya
yang bergegas turun, ketakutan.
Gentonggentong pecah dan air tumpah ke tanah, meskipun gentonggentong lainnya
disambut naik oleh tangan-tangan yang berkemauan baik. Aku mengikuti kelompok
itu dan naik ke skriptorium. Asap tebal datang dari pintu masuk perpustakaan;
orangorang terakhir yang sudah berusaha naik ke menara timur sudah mulai turun,
sambil batuk-batuk, mata merah dan mengumumkan bahwa sudah tidak mungkin lagi
menembus neraka itu. Lalu aku melihat Benno. Wajahnya tidak keruan, ia naik dari lantai bawah membawa
belanga besar sekali. Ia mendengar apa yang dikatakan oleh mereka yang mulai
turun dan ia menyerang mereka, "Neraka akan menelan kalian semua, pengecut!" Ia
menoleh, seolah minta bantuan, dan melihatku. "Adso," teriaknya, "perpustakaan
itu ... perpustakaan itu ...." Ia tidak menunggu jawabanku tetapi lari ke kaki
tangga dan dengan berani mencebur ke dalam asap. Itu saat terakhir aku
melihatnya. Aku mendengar bunyi berderak dari atas. Potongan batu bercampur semen mulai
rontok dari langitlangit skriptorium. Batu utama dari sebuah kubah, diukir dalam
bentuk bunga, copot, dan hampir mendarat di atas kepalaku. Lantai labirin itu
mulai runtuh. Aku cepatcepat turun dan lari ke tempat terbuka. Beberapa pelayan yang
bersemangat sudah membawa tangga dan berusaha mencapai jendelajendela lantai
atas, untuk membawa air dengan cara itu.
Tetapi tangga paling tinggi hampir tidak bisa mencapai jendela skriptorium, dan
mereka yang sudah naik ke atas tidak bisa membuka jendela itu dari luar. Mereka
berteriak ke bawah untuk menyuruh membuka jendela itu dari dalam, tetapi pada
saat itu tak seorang pun berani naik ke atas.
Sementara itu aku mulai memandangi jendelajendela lantai paling atas. Sekarang
seluruh perpustakaan itu tentu sudah menjadi suatu perapian tunggal karena api
dengan cepat menjalar dari ruang ke ruang, menyebar cepat di antara
ribuan kertas kering. Semua jendela itu terang sekali, asap hitam muncul dari
atap: api itu sudah menjalar ke genting. Aedificium tersebut, yang selama itu
tampak begitu kukuh dan tetragonus, kini tampak kelemahannya, retakanretakannya, dindingdinding yang keropos dari dalam, batubatu berjatuhan yang
membuat nyala api bisa mencapai unsurunsur kayu di mana saja.
Tibatiba beberapa kaca jendela pecah seakan didorong oleh sebuah kekuatan dari
dalam, percikan api terbang ke udara di luar, berkelap-kelip bergetar menerangi
kegelapan malam itu. Angin kuat sudah menjadi pemantik: satu kemalangan, karena,
kuat, tentunya sudah mengembus percikan api itu, yang cuma ringan, angin itu
membawanya, menstimulasinya, dan meniup sobekan-sobekan perkamen ke udara
bersama percikan api itu, percikan kecil dari suatu obor di dalam. Pada saat itu
terdengar bunyi ledakan: lantai labirin itu runtuh di suatu tempat dan tegelnya
yang membara tentu jatuh ke lantai di bawahnya. Sekarang aku melihat lidah-lidah
api naik dari skriptorium, yang juga berisi buku dan kotak-kotak, dan lembaran
kertas, berserakan di atas meja-meja, siap memancing percikan api. Aku mendengar
jeritan sedih sekelompok penulis yang menjambaki rambut mereka dan masih
berpikir untuk naik ke atas dengan heroik, untuk menyelamatkan perkamen tercinta
mereka. Dalam keadaan putus asa: dapur dan ruang makan sekarang menjadi persimpangan
jalan dari jiwa-jiwa yang tersesat, lari ke sana kemari,
masingmasing menghalangi jalan yang lain. Orangorang saling bertabrakan, jatuh,
mereka yang membawa ember menumpahkan isinya yang berharga; bagal-bagal yang
sudah dibawa masuk ke dapur mulai mencium bau api dan, dengan tapak kaki
berderap-derap, lari ke arah pintu-pintu, sambil menabrak manusia-manusia dan
bahkan gembala mereka yang ketakutan. Bagaimanapun juga, jelaslah, bahwa
kumpulan besar budak feodal dan orang saleh, bijak, tetapi tidak terampil, tanpa
ada yang memimpin itu, justru menghalangi bantuan apa saja yang tiba.
SELURUH biara itu berada dalam cengkeraman kekacauan, tetapi ini baru awal dari
tragedi tersebut. Sementara tumpah dari jendelajendela dan atap, awan percikan
api yang menang itu, dibantu oleh angin, sekarang mulai turun dari semua sisi,
mulai menyentuh atap gereja. Setiap orang tahu bahwa katedral paling indah
justru amat rentan terhadap sengatan api: rumah Tuhan tampak cantik dan kukuh
bagaikan Jerusalem surgawi sendiri, berkat batu yang diperagakan dengan bangga,
tetapi dinding dan langitlangitnya disangga oleh arsitektur kayu yang lemah,
meski menakjubkan. Dan apabila gereja batu itu mengingatkan akan hutan paling
rentan dengan pilar-pilar menjulang, kukuh bagai pohon oak, sampai ke kubah
langitlangitnya, pilar-pilar tersebut seringnya dilapisi kayu oak dan banyak
mimbarnya juga dari kayu: altar, koor, panel-panel berlukis, bangku, meja
untuk berlutut, tempat lilin. Demikian pula halnya dengan gereja biara itu, yang
keindahan pintunya membuatku begitu terpesona pada hari pertama. Gereja itu
langsung dilahap api. Para rahib dan seluruh penghuni tempat itu lalu sadar
bahwa kelangsungan hidup biara itu sendiri sedang di pertaruhkan, dan semua
mulai bekerja lebih rajin, dan bahkan dengan lebih bingung, untuk mengatasi
bahaya baru itu. Untuk jelasnya, gereja itu lebih mudah dimasuki, lebih gampang dipertahankan
daripada perpustakaan. Perpustakaan itu sudah sejak dulu ditakdirkan oleh
keadaannya yang tidak bisa dimasuki, oleh misteri yang melindunginya, oleh pintu
masuknya yang sedikit. Gereja itu, bagaikan seorang ibu yang terbuka bagi semua orang pada jam berdoa,
selamanya terbuka bagi semua orang yang butuh pertolongan. Tetapi air sudah
tidak ada lagi, simpanan air tinggal sedikit, dan sumur-sumur menyediakan air
dengan kepelitan alam dan dalam langkah pelan tidak bisa memenuhi kebutuhan
gawat itu. Semua rahib akan bersedia mematikan api di gereja itu, tetapi saat
itu tak ada yang tahu caranya. Di samping itu, api tersebut menyebar dari atas,
dan sulit menaikkan orang untuk mengguyur nyala api atau mematikannya dengan
tanah atau karung. Dan waktu api mulai turun, sudah tidak ada gunanya melemparkan tanah atau pasir
ke atasnya, karena langitlangit gereja mulai menjatuhi mereka yang memadamkan
api, tidak sedikit yang terluka.
Dan karenanya jeritan kecewa atas banyaknya harta yang terbakar itu sekarang
ditambah dengan jeritan kesakitan wajahwajah yang terluka, tangan kaki yang
tertindih, tubuhtubuh yang tertimbun di bawah kubah kubah tinggi yang tibatiba
runtuh. Angin makin kencang, dan dengan lebih gila-gilaan membantu menyebarkan api.
Langsung setelah gereja, lumbung dan kandang terbakar.
Hewan-hewan yang ketakutan melepaskan diri dari tali kekangnya, menendang pintupintu sampai jatuh, menyebar di seluruh halaman, melenguh, mengembik, meringkik,
menggeram mengerikan. Percikan api menangkap bulu tengkuk banyak kuda, dan
tampaklah makhlukmakhluk neraka berlari-lari menyeberangi padang rumput,
membakar apa saja yang menghalangi jalan mereka, tanpa tujuan atau berhenti. Aku
melihat Alinardo tua berjalan ke sana kemari, tidak memahami apa yang tengah
terjadi, ditabrak sampai jatuh oleh Brunellus yang dahsyat, disambar api; orang
tua itu terseret di tengah debu, lalu ditinggalkan di sana, tinggal berupa benda
tak berbentuk. Tetapi aku tidak punya cara atau waktu untuk menolongnya, atau
meratapi akhir hidupnya, karena adegan-adegan serupa mulai terjadi di manamana.
Kudakuda yang terbakar itu telah membawa api ke tempat-tempat di mana angin
belum membawanya ke sana: sekarang bengkel mulai terbakar, dan rumah novis.
Orang berduyun-duyun lari dari satu ujung bangunan ke ujung lain, tanpa tujuan
atau untuk tujuan siasia.
Aku melihat Nicholas, kepalanya luka, jubahnya cabik cabik, sekarang kalah,
sedang berlutut di jalan ke gerbang, sambil mengucapkan kutukan suci. Aku
melihat Pacificus dari Tivoli, yang, sambil mengabaikan semua sikap membantu,
mulai berusaha menunggangi seekor bagal yang lewat sambil melompat-lompat; waktu
berhasil, ia berteriak kepadaku untuk melakukan hal yang sama dan untuk lari,
menghindari replika Armageddon yang mengerikan itu.
Aku mencaricari William, karena takut kalaukalau ia terjebak di bawah suatu
dinding yang runtuh. Setelah lama mencari, aku menemukannya, di dekat kloster.
Ia membawa kantong perjalanannya: waktu api sudah mulai menjalar ke penginapan,
ia masuk ke biliknya untuk paling sedikit menyelamatkan miliknya yang berharga.
Ia juga sudah mengambil kantongku, dan di dalamnya aku menemukan sesuatu untuk
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipakai. Kami mengaso sebentar, sesak napas, sambil mengamati apa yang tengah
terjadi di sekitar kami. Sekarang biara itu sudah kiamat. Hampir semua bangunannya, ada yang sebagian
besar, ada sebagian kecil, sudah disambar api. Yang masih utuh tentu tidak akan
bertahan lama, karena segala sesuatunya, dari unsurunsur alami sampai kerja
kacau para penyelamat itu, sekarang justru menyebabkan api menyebar. Hanya
bagianbagian yang tidak ada bangunannya tetap aman, kebun sayuran, taman di luar
kloster .... Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan untuk menyelamatkan
bangunan-bangunan itu; sambil membuang gagasan untuk menyelamatkan mereka, kami
mengamati segala sesuatu dengan aman, karena berdiri di tempat terbuka.
Kami memandangi gereja, sekarang terbakar perlahan lahan, karena bagianbagian
bangunan besar yang dari kayu itu cepat terbakar, lalu membara selama berjamjam, kadang berharihari. Kebakaran besar Aedificium itu berbeda. Di sini ada jauh lebih banyak bahan
mudah terbakar, dan api itu, karena sudah menyebar ke seluruh skriptorium, telah
menguasai pintu dapur. Akan halnya lantai paling atas, yang dulunya, dan selama
ratusan tahun, berdiri labirin itu, sekarang pada hakikatnya sudah hancur.
"Ini perpustakaan paling hebat di seluruh dunia Kristen," kata William.
"Sekarang," tambahnya, "Antikristus itu benarbenar sudah tiba, karena tidak ada
pengetahuan yang akan menghalanginya lagi. Dan kita sudah melihat wajahnya malam
ini." "Wajah siapa?" tanyaku, bingung.
"Jorge, maksudku. Dalam wajah itu, yang dirusak oleh kebencian filsafat, untuk
pertama kalinya aku melihat potret Antikristus, yang tidak berasal dari suku
Yudas, seperti yang sudah dicanangkan, atau dari negeri yang jauh. Antikristus
itu bisa lahir dari kesalehan itu sendiri, dari cinta yang terlalu besar kepada
Tuhan atau kebenaran, seperti orang bidah lahir dari santo dan orang majenun
dari petapa. Takutilah para nabi, Adso, dan mereka yang bersedia mati demi
kebenaran, karena biasanya mereka mengajak banyak orang lain ikut mati, bahkan sebelum mereka
mati, kadang sebagai ganti mereka. Jorge melakukan hal yang kejam untuk
menghancurkan kebohongan. Jorge takut pada buku kedua Aristoteles itu karena
buku itu mungkin memang mengajarkan caranya merusak wajah setiap kebenaran,
sehingga kita tidak akan menjadi budak dari hantu kita sendiri. Mungkin misi
dari mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang menertawakan
kebenaran, agar kebenaran itu sendiri tertawa, karena satusatunya kebenaran
terletak dalam pengetahuan untuk membebaskan diri kita sendiri dari nafsu gila
akan kebenaran." "Tetapi, Guru," tukasku, dengan sedih, "Anda bicara seperti ini sekarang karena
lubuk hati Anda terluka. Bagaimanapun juga, ada satu kebenaran yang Anda temukan
malam ini, kebenaran yang Anda capai dengan menafsirkan kunci-kunci yang Anda
baca selama beberapa hari ini. Jorge telah menang, tetapi Anda telah mengalahkan
Jorge karena Anda mengungkap rencana jahatnya ...."
"Tidak ada rencana jahat," kata William, "dan aku tidak sengaja menemukannya."
Pernyataan itu berlawanan, dan aku tidak bisa memutuskan apa itu memang kemauan
William yang sebenarnya. "Tetapi memang benar bahwa tapak kuda di atas salju itu
membawa kita kepada Brunellus," kataku, "memang betul bahwa Adelmo bunuh diri,
memang benar bahwa Venantius tidak terbenam dalam belanga, memang benar bahwa
orang memasuki finis Africae dengan menyentuh kata 'quator1, memang betul bahwa
buku misterius itu tulisan Aristoteles .... Aku bisa terus mendaftar semua hal
yang Anda temukan dengan bantuan pengetahuan yang telah Anda pelajari ...."
"Aku belum pernah meragukan kebenaran tandatanda, Adso; hanya itu semua yang
dimiliki manusia yang dengan itu manusia bisa mengorientasi dirinya sendiri di
dunia. Yang tidak kupahami adalah hubungan di antara tanda tanda itu. Aku sampai
pada Jorge melalui satu pola menurut Kitab Wahyu yang seakan menggarisbawahi
semua kejahatan tersebut, dan toh itu cuma kebetulan. Aku sampai pada Jorge
karena mencaricari seorang kriminal untuk semua kejahatan dan kita menemukan
bahwa setiap kejahatan itu dilakukan oleh seseorang yang berbeda, atau bukan
oleh siapa-siapa. Aku sampai pada Jorge karena mau mengikuti rencana suatu
pikiran rasional dan jahat, dan ternyata tidak ada rencana, atau, lebih
tepatnya, Jorge sendiri dikuasai oleh rancangan pertamanya sendiri dan mulai
muncul suatu urutan penyebab, dan lawan-sebab, dan penyebab yang saling
bertentangan, yang berjalan sendirisendiri, sambil menciptakan hubungan-hubungan
yang tidak berasal dari rencana apa saja. Di mana semua kebijaksanaanku, kalau
begitu" Aku bertindak dengan bebal, mengejar suatu kemiripan urutan, padahal aku
tahu betul bahwa tidak ada urutan dalam alam semesta ini."
"Tetapi dalam membayangkan suatu urutan
yang keliru Anda tetap menemukan sesuatu ...."
"Yang kaukatakan bagus sekali, Adso, dan terima kasih. Urutan yang dibayangkan
oleh pikiran itu bagaikan sebuah jaring, atau sebuah tangga, dibikin untuk
mencapai sesuatu. Tetapi setelah itu kau harus menyingkirkan tangga itu, karena
kau menemukan bahwa, bahkan seandainya berguna, tangga itu ternyata tidak
berarti. Er muoz gelTchesame die leiter abewerfen, so er an ir ufgestigen ...
begitu, kan?" "Begitu dikatakan dalam bahasaku. Dari siapa Anda tahu?"
"Seorang mistik dari negerimu. Ia menulisnya entah di mana, aku lupa. Dan suatu
hari seseorang tidak perlu menemukan naskah itu lagi. Kebenaran satusatunya yang
berguna adalah sarana yang harus dibuang."
"Anda tidak punya alasan untuk marah kepada diri sendiri: Anda sudah melakukan
yang terbaik." "Terbaik buat manusia, yang berarti amat kecil. Sukar sekali menerima ide bahwa
tidak ada urutan dalam alam semesta karena itu bisa menghalangi kehendak bebas
Tuhan dan kemahakuasaan-Nya.
Jadi, kebebasan Tuhan adalah kutukan kita, atau paling sedikit kutukan dari
kesombongan kita." Untuk pertama dan terakhir kali dalam hidupku, aku berani mengungkapkan satu
kesimpulan teologis, "Tetapi bagaimana seorang makhluk yang perlu ada,
sepenuhnya dikotori dengan yang mungkin"
Kalau begitu, apa bedanya antara Tuhan dan
kekacauan masa purba"
Bukankah ini menegaskan bahwa kemahakuasaan absolut Tuhan dan kebebasan absolutNya sehubungan dengan pilihanNya sendiri, sama saja dengan menunjukkan bahwa
Tuhan tidak ada?" William memandangku tanpa wajahnya menyembunyikan perasaan apa saja, dan
berkata, "Bagaimana seseorang terpelajar bisa terus mengomunikasikan
pengetahuannya jika ia menjawab pertanyaanmu dengan kata 'ya1?" Aku tidak
mengerti arti katakatanya. "Maksud Anda," tanyaku, "pengetahuan yang bisa
dikomunikasikan itu mungkin tidak ada lagi jika kriteria kebenaran itu sendiri
tidak ada, atau maksudnya Anda tidak bisa lagi mengomunikasikan apa yang Anda
ketahui karena yang lainlain tidak akan membiarkannya?"
Saat itu sebagian dari atap penginapan runtuh dengan bunyi keras, sambil
melemparkan awan percikan api ke langit. Beberapa biribiri dan kambing
berkeliaran melewati kami sambil mengembik keraskeras. Sekelompok pelayan juga
melewati kami, sambil berteriak-teriak, hampir menabrak kami.
"Di sini terlalu kacau," kata William. "Non in commotione, non in commotione
Dominus.% [] 4 "Bukan dalam kegelisahan. Tuhan ada bukan dalam kegelisahan" pUriirj,?Halaman Terakhir
iara itu terbakar selama tiga hari tiga malam, dan upaya terakhir tidak ada
gunanya. Pada subuh hari ketujuh dari kunjungan kami ke tempat itu, ketika
mereka yang selamat sepenuhnya sadar bahwa tidak ada bangunan yang bisa
diselamatkan lagi, ketika konstruksi bangunan paling apik itu hanya tinggal
reruntuhan tembok sebelah luar, dan gereja itu, seakan menyedot dirinya sendiri,
menelan menaranya saat itu kemauan setiap orang untuk melawan hukuman suci itu
justru gagal. Kesibukan untuk membawa beberapa ember air terakhir makin lama
makin jarang, sementara gedung pertemuan dan apartemen mewah Abbas masih
terbakar. Saat itu api mencapai jauh ke tepi, ke tempat berbagai bengkel. Para
pelayan sudah sejak tadi menyelamatkan sebanyak mungkin benda yang dapat mereka
selamatkan, dan sudah memilih menyebar ke pedesaan untuk sedapat mungkin
menangkap lagi sebagian ternak yang melarikan diri keluar tembok dalam
kegemparan tadi malam. Aku melihat beberapa orang pelayan berusaha masuk ke dalam puing gereja: kukira
mereka berusaha masuk ruang bawah tanah untuk mengambil suatu benda berharga sebelum
melarikan diri. Aku tidak tahu apakah mereka berhasil, apa ruang bawah tanah itu
sudah ambruk, apakah para pencuri itu tidak terbenam ke dalam perut bumi dalam
upaya mereka mencapai harta itu.
Sementara itu, orangorang mulai berdatangan dari desa untuk membantu atau
berusaha menjarah sesuatu. Sebagian besar yang mati tetap ditinggalkan di antara
puing-puing, yang masih panas membara. Pada hari ketiga, ketika yang terluka
sudah dirawat dan mayat-mayat yang ditemukan di luar sudah dimakamkan, para
rahib dan semua yang lainnya mengumpulkan milik mereka dan meninggalkan biara
yang masih berasap itu, untuk pergi entah ke mana.
William dan aku meninggalkan tempat ini dengan menunggang dua kuda yang kami
temukan tersesat di hutan; kami menganggap mereka tunggangan kami sekarang.
Waktu sampai Bobbio lagi, kami mulai menerima berita buruk tentang Kaisar.
Begitu sampai di Roma, ia dinobatkan oleh rakyat. Karena sekarang mustahil untuk
mempertimbangkan setiap kesepakatan dengan Vohanes, ia memilih seorang Paus
tandingan, Nicholas V. Marsilius telah diangkat menjadi vikaris spiritual di
Roma, tetapi karena kesalahannya, atau kelemahannya, mulai terjadi hal-hal amat
menyedihkan di kota itu. Imam yang loyal kepada Paus dan tidak mau mempersembahkan misa disiksa, seorang
kepala biara Agustin telah dilemparkan ke dalam lubang singa di Capitoline. Marsilius
dan Yohanes dari Jandun telah menyatakan Paus Yohanes sebagai bidah, dan Louis
telah menyuruhnya dihukum mati. Tetapi yang salah adalah bahwa pemerintahan
Kaisar itu menimbulkan kemarahan tuan tanah setempat dan menghabiskan dana
masyarakat. Lama-kelamaan, karena mendengar berita-berita ini, kami tidak jadi
masuk ke Roma, dan aku menyadari bahwa William tidak ingin menemukan dirinya
menyaksikan kejadiankejadian yang akan menghancurkan harapannya.
Waktu sampai ke Pomposa, kami mendengar bahwa Roma telah memberontak terhadap
Louis, yang sudah kembali bergerak ke arah Pisa, sementara para pembesar Yohanes
mulai memasuki kota kepausan itu dengan kemenangan.
Sementara itu Michael dari Cesena telah menyadari bahwa kehadirannya di Avignon
tidak menghasilkan apa-apa nyatanya ia mencemaskan hidupnya maka ia telah
melarikan diri, untuk bergabung dengan Louis di Pisa.
Tidak lama kemudian, karena meramalkan kejadian kejadian dan mulai mendengar
bahwa kaum Bavaria akan terus bergerak ke Munich, kami mengubah rute perjalanan
kami dan memutuskan untuk melanjutkan ke sana, juga karena William merasa bahwa
Italia mulai tidak aman baginya. Dalam bulan-bulan dan tahuntahun berikutnya,
Louis menyaksikan bubarnya aliansi pendukungnya, para tuan tanah Ghibelin; dan
setahun kemudian Nicholas, Paus-tandingan itu menyerah kepada Vohanes, datang sendiri dengan tali
dikalungkan pada lehernya.
Sampai di Munich aku harus berpamitan dari guruku yang baik, diiringi derai air
mata. Nasib guruku tidak pasti, dan keluargaku lebih suka aku kembali ke Melk.
Setelah malam tragis ketika William mengungkapkan kekecewaannya sebelum biara
itu runtuh, seakan diam diam sepakat, kami belum membicarakan lagi kisah itu.
Kami juga tidak membicarakan itu pada acara perpisahan kami yang menyedihkan
itu. Guruku memberiku banyak nasihat tentang studiku di masa depan dan menghadiahiku
kacamata yang dibuat Nicholas untuknya, karena ia sudah mendapatkan kembali
kacamatanya. Aku masih muda, katanya kepadaku, tetapi suatu hari kacamata itu
akan siap kupakai (dan memang, sekarang aku memasangnya pada hidungku, sementara
menulis baris-baris ini). Lalu ia memelukku dengan kasih sayang seorang bapak
dan melepaskan aku pergi.
Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Lama setelah itu aku mendengar dia
meninggal akibat wabah yang menyerang Eropa sebelum pertengahan abad ini. Aku
selalu berdoa agar Tuhan menerima jiwanya dan memaafkan banyak tindakan sombong
yang terpaksa ia lakukan akibat keangkuhan intelektualnya.
BERTAHUNTAHUN kemudian, sebagai orang dewasa, aku mendapat kesempatan melakukan
perjalanan ke Italia, dikirim oleh abbasku.
Aku tidak bisa melawan godaan, dan dalam perjalanan pulang aku menyimpang jauh
untuk mengunjungi lagi puing biara itu.
Kedua desa di lereng gunung itu sudah ditinggalkan, tanah sekitarnya tidak
ditanami. Waktu aku mendaki ke puncak, di depan mataku tampak suatu pemandangan
terbengkalai dan kematian, dan mataku jadi basah.
Dari bangunan besar dan hebat yang pernah memperindah tempat itu, hanya puing
berceceran yang tersisa, seperti yang telah terjadi sebelumnya dengan monumenmonumen berhala kuno di kota Roma. Tumbuhan menjalar menutupi sisa-sisa tembok,
pilar-pilar, beberapa karya arsitektur yang masih kuat. Ilalang menguasai tanah
di semua sisi, dan tidak bisa lagi dikenali di mana sayuran dan bunga dulu
tumbuh. Hanya lokasi pemakaman yang bisa dikenali, karena beberapa nisan masih
tampak tinggi di atas permukaan tanah. Tanda kehidupan satusatunya, beberapa
burung pemangsa memburu kadal dan ular yang, seperti basilisk, melata menyelinap
di antara batubatu atau merangkak di atas tembok. Dari pintu gereja hanya
tinggal beberapa puing, dirusak oleh lumut. Separuh dari timpanum itu masih ada,
dan aku masih bisa melihatnya sekilas di sana, melebar akibat unsurunsur, suram
oleh lumut, mata kiri Kristus di atas singgasana, dan sesuatu dari muka singa
itu. Aedificium, kecuali dinding sebelah selatan, yang rusak berantakan, seakan masih
mau berdiri dan menentang jalannya waktu. Kedua menara sebelah luar, di atas
jurang, tampak hampir tak tersentuh, namun semua jendelanya kosong, bagai lubang
mata dengan sulur busuk bak air matanya yang kental. Bagian dalamnya, karya seni
itu, hancur, karena membaur dengan karya alam, dan ke seberang hamparan luas
dapur itu, mata kita bisa langsung menatap langit lewat ruang kosong antara
lantai atas dan atap, yang jatuh bagai malaikat jatuh. Segala sesuatu yang tidak
hijau masih hitam bekas asap puluhan tahun silam.
Sementara mengorek reruntuhan, berkali-kali kutemukan sobekan perkamen yang
berjatuhan dari skriptorium dan perpustakaan dan sudah bertahan hidup bagaikan
harta terpendam di bawah tanah; aku mulai mengumpulkannya, rasanya ingin
menambal kembali halamanhalaman sobek sebuah buku. Lalu tampak olehku bahwa di
dalam sebuah menara tampak, retak-retak tapi masih tegak, tangga melingkar
menuju skriptorium itu, dan dari sana, dengan memanjat reruntuhan yang agak
licin, aku bisa mencapai perpustakaan: yang, bagaimanapun juga, hanya tinggal
berupa semacam teras di samping dinding sebelah luar, seluruhnya menghadap alam
kosong. Sepanjang satu sisi dinding aku menemukan sebuah rak buku, secara ajaib masih
tegak, entah bagaimana bisa lolos dari api; sudah hancur oleh air dan dimakan
rayap. Di dalamnya masih ada beberapa halaman. Sisa-sisa lainnya kutemukan
dengan mengorek puing di bawah. Panenanku sedikit, tetapi aku menghabiskan
seluruh hari untuk menuainya, seakan ada pesan yang mungkin sampai kepadaku dari
disiecta membra, i Beberapa potongan perkamen sudah memudar, lainnya masih
tampak gambar bayangannya, atau hantu dari satu kata atau lebih. Berkali-kali
aku menemukan halaman di mana seluruh kalimat bisa dibaca; lebih sering lagi,
buku utuh, dilindungi oleh apa yang dulunya paku paku metal ....
Hantuhantu buku, bagian luarnya jelas utuh, tetapi dalamnya hancur; kadang ada
separuh halaman yang selamat, sepotong kalimat pembuka, sebuah judul, masih bisa
dibaca. Aku mengumpulkan setiap relikui yang bisa kutemukan, memenuhi dua tas
perjalananku dengan itu semua, bendabenda terbuang yang berguna bagiku dengan
tujuan menyelamatkan harta menyedihkan itu.
Sepanjang perjalanan dan di Melk kelak, aku menghabiskan banyak waktu untuk
mencoba memecahkan isi sisa-sisa itu. Dari satu kata atau gambar yang masih ada,
aku bisa mengenali dulunya itu buku apa. Setelah kutemukan, tanpa ragu, salinan
lainnya dari bukubuku tersebut, aku mempelajarinya dengan penuh cinta, seakan
nasib telah mewariskan pusaka ini kepadaku, seakan keberhasilan mengidentifikasi
salinan rusak itu adalah tanda jelas dari surga yang mengatakan
1 Anggota perpustakaan yang tercincang-cincang itu penerj?kepadaku: Tolle et lege.z Pada akhir rekonstruksiku yang sabar itu, di depanku
tertata semacam perpustakaan yang lebih kecil, suatu simbol dari perpustakaan
lebih besar, yang sudah musnah: suatu perpustakaan yang terdiri atas potonganpotongan, kutipan, kalimat-kalimat tak selesai, tumpukan buku yang tidak
lengkap. Semakin kubaca lagi daftar ini, aku semakin yakin ini adalah hasil dari suatu
kebetulan dan tidak berisi pesan apa-apa. Tetapi halamanhalaman tidak lengkap
ini telah menemaniku sepanjang hidup yang masih bisa kujalani sejak itu; aku
sudah sering mencari keterangan dari situ bagaikan suatu orakel, dan aku hampir
punya kesan bahwa apa yang sudah kutulis dalam buku ini, yang sekarang sedang
Anda baca, pembaca tak dikenal, hanya suatu cento, suatu himne bergambar, suatu
akrostik luas sekali yang tidak mengatakan dan mengulangi apa-apa kecuali kesan
yang diberikan oleh potongan-potongan itu kepadaku, aku juga tidak tahu apakah
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejauh ini aku telah berbicara tentang mereka atau mereka telah bicara lewat
mulutku. Tetapi yang mana saja dari kedua kemungkinan itu boleh jadi betul,
semakin banyak aku mengulangi dalam hati kisah yang muncul dari itu semua,
semakin sedikit aku berhasil memahami apakah di dalamnya ada suatu rancangan
yang terjadi di luar urutan alami
2 Ambil dan bacalah penerj?kejadiankejadian dan waktu yang menghubungkan semua itu. Dan adalah hal yang
berat bagi rahib tua ini, di ambang kematian, karena tidak tahu apakah karya
yang telah ia tulis berisi satu makna tersembunyi, atau lebih dari satu, atau
sama sekali tidak ada. Tetapi ketidakmampuanku untuk melihatnya mungkin merupakan efek dari bayangan
yang oleh kegelapan hebat itu, saat mendekat, mulai diselu-bungkan pada dunia
yang sudah tua ini. Est ubi gloria nunc Babyloniae" i Di mana salju dari tahun lalu" Bumi mulai
menarikan dansa Macabre; berkali-kali aku melihat seakan Danube dipenuhi kapalkapal yang sarat dengan orangorang tolol yang mau pergi ke suatu tempat gelap.
Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah diam. O, quam salubre, quam iucundum et
suave est sedere in solitudine et tacere et loqui cum Deo! 4 Tidak lama lagi aku
akan digabungkan dengan asal mulaku, dan aku tidak peduli lagi apakah yang
dibicarakan Abbas dari ordoku itu Tuhan kemuliaan, atau Tuhan kegembiraan,
seperti keyakinan rahib Minorit pada masa itu, mungkin bahkan bukan Tuhan
kesalehan. Gott ist ein lauter Nichts, ihn ruhrt kein Nun noch Hier ....s Tidak
lama lagi aku akan memasuki padang gurun luas ini, benarbenar datar dan tak
berbatas, ketika hati yang sungguh saleh akan bermandi kesucian. Aku akan
tenggelam 3 Di manakah sekarang kemuliaan Babylonia" penerj.
?4 Oh, betapa membahagiakan, betapa nyaman, dan betapa manis duduk dalam
kesunyian dan diam dan bicara dengan Tuhan penerj.
?5 Tuhan adalah suatu ketiadaan belaka, tidak berada di Sana dan tidak di Sini ....
penerj. ?ke dalam bayangan suci, dalam suatu keheningan bisu dan suatu persatuan yang tak
terelakkan, dan pada waktu tenggelam ini, semua ketidaksetaraan dan semua
kesetaraan akan lenyap, dan dalam jurang itu, jiwaku akan lepas sendiri, dan
tidak akan tahu mana yang setara atau mana yang tidak setara, atau apa saja
lainnya: dan semua perbedaan akan dilupakan. Aku akan berada dalam suatu dasar
sederhana, dalam padang gurun sunyi di mana tidak pernah tampak perbedaan, dalam
keleluasaan pribadi di mana tak seorang pun menemukan dirinya dalam tempatnya
yang layak. Aku akan jatuh ke dalam ketuhanan yang sunyi dan tak berpenghuni di
mana tidak ada karya dan tidak ada gambar.
Hawanya dingin dalam skriptorium itu, ibu jariku sakit. Aku meninggalkan naskah
ini, aku tidak tahu untuk siapa; aku tidak tahu lagi apa isinya: stat rosa
pristina nomine, nomina nuda tenemus.6 []
6 Ada mawar dengan sebutan yang terdahulu, kami memegang nama-nama telanjang
?penerj. Catatan Terakhir Rosa que al prado, encarnacfa te os ten tas presuntuosa de grana y carmin
banada: campa lozana y gus tos a: pero no, que siendo hermosa tambien seras
desdichada. Mawar merah yang tumbuh di padang rumput, kausombongkan diri dengan berani,
bermandi warna merah padam dan merah tua: suatu peragaan yang elok nan wangi.
Tetapi, astaga: karena cantik, tak lama lagi kau akan tidak bahagia.
Juana Ines de la Cruzt Judul dan Artinya Sejak The Name of the Rose terbit, saya sudah menerima sejumlah surat dari
pembaca yang ingin mengetahui arti dari tujuh anak kalimat terakhir itu
1 Penyair lirik Meksiko (1651-1695).
dan apa tujuh anak kalimat tersebut mengilhami judul buku ini. Saya menjawab
bahwa puisi itu diambil dari De contemptu mundi karya Bernard dari Morley,
seorang rahib Benediktin abad kedua belas, yang puisinya merupakan satu variasi
tentang tema ubi sunt (paling dikenal baik dalam karya Villon Mais ou sont les
neiges d'antan yang lebih baru). Tetapi topo yang biasa (yang hebat dari abad
lalu, kotakota yang pernah terkenal, putri-putri cantik: segala sesuatunya
lenyap ke dalam alam hampa), Bernard menambahkan bahwa semua ini bendabenda
sudah-lenyap yang meninggalkan (hanya, paling banter) nama-nama belaka. Saya
ingat bahwa Abelard menggunakan contoh dari kalimat Nulla rosa est untuk
menunjukkan bagaimana bahasa bisa bicara tentang yang tidak-ada sekaligus
tentang yang-telah-musnah.
Dengan mengatakan ini, saya persilakan pembaca menarik kesimpulan sendiri.
Seorang narator tidak seharusnya memberikan interpretasi atas karyanya; kalau
tidak, ia tidak mungkin menulis sebuah novel, yang merupakan suatu alat untuk
merangsang interpretasi. Tetapi salah satu halangan utama untuk mempertahankan
prinsip saleh ini adalah kenyataan bahwa sebuah novel harus punya judul.
Sebuah judul, sayangnya, dengan sendirinya sebuah kunci untuk menafsirkan. Kita
tidak bisa menghindari pandangan yang dirangsang oleh novel The Red and the
Black karya Stendhal atau War and Peace karya Leo Tolstoy. Yang menunjukkan
gambaran paling jelas bagi pembaca adalah judul-judul yang membatasi dirinya
pada nama tokoh utamanya, misalnya saja David Copperfield atau Robinson Crusoe;
tetapi acuan kepada tokoh yang kemudian menjadi judul ini justru dapat mewakili
suatu campur tangan tidak seharusnya dari pengarang. Pere Goriot membuat pembaca
memusatkan perhatiannya kepada figur ayah tua itu, meskipun novel tersebut juga
menceritakan kisah Rastinac; atau kisah Vautrin, alias Collin. Mungkin cara yang
terbaik adalah bertindak tidak jujur secara jujur, sebagaimana halnya Dumas:
jelas bahwa The Three Musketeers adalah, nyatanya, kisah tentang empat tokoh.
Tetapi novel dengan tokoh sebanyak itu langka, dan mungkin pengarang itu justru
membiarkan dirinya menikmatinya hanya karena judulnya tidak cocok dengan isinya.
Novel saya punya judul lain yang lebih jelas, yaitu The Abbey of the Crime. Saya
tidak menyukainya karena ini membuat perhatian pembaca sepenuhnya memusat kepada
kisah misteri dan mungkin salah memikat dan pembeli yang salah mengerti akan
mencari sebuah buku penuh aksi. Saya berangan-angan untuk menyebut buku itu Adso
of Melk sebuah judul yang sungguh netral, karena Adso, bagaimanapun juga, adalah
suara yang bercerita. Tetapi di negeri saya, penerbit tidak menyukai judul
dengan nama-nama orang, dan bahkan Fermo and Luciaz, pada zamannya, ditulis
kembali dalam bentuk yang lain. Di lain pihak, fiksi
2 Judul asli dari versi pertama novel Manzoni adalah I promessi sposi (Sang
Tunangan). Italia memberikan beberapa contoh judul semacam ini Lemmonia Boreo, Rube,
Metello cuma sedikit dibandingkan dengan literatur yang memakai nama orang
sebagai judul seperti Cousin Bettes, Barry Lyndons, Armances, dan Tom Jones.
Gagasan untuk menyebut buku ini The Name of the Rose pada dasarnya saya peroleh
secara kebetulan, dan saya menyukainya karena rose (mawar) merupakan suatu figur
simbolik yang begitu kaya arti sehingga sekarang orang hampir tidak dapat
menambah arti lagi: mawar mistik Dante dan go lovely rose, the Wars of the
Roses, rose thou art sick, too many rings around Rosie, a rose by any other
name,: a rose is a rose is a rose is a rose, the Rosicrucians. Judul itu tentu
saja membingungkan pembaca, yang tidak bisa memilih satu interpretasi saja; dan
bahkan jika bisa menangkap yang semu dari puisi penutup buku ini, maka ia baru
akan sampai kepada tafsiran pada akhir buku ini, karena sebelumnya merasa bahwa
hanya Tuhan yang tahu pilihan yang lainnya.
Sebuah judul harus menjungkirbalikkan pikiran pembaca, tidak membuat mereka
berpikir lurus-lurus. Bagi penulis novel, tidak ada yang lebih melegakan
daripada penemuan pembacaan yang belum ia
3 Anehnya di Amerika dan Kerajaan Inggris, puisi Latin itu mengingatkan banyak
pengulas akan Romeo and Juliet. Aneh, karena saya rasa katakata Juliet itu
seakan berlawanan dengan katakata Bernard. Shakespeare memberi kesan bahwa nama
tidak ada artinya dan tidak memengaruhi substansi benda itu sendiri. Bernard
mungkin telah sepakat dengan Shakespeare bahwa nama hanya label embelembel,
tetapi bagi rahib Benediktin itu apa masih ada dari mawar (andaikan ada)
sebenarnya (") yang tepatnya adalah nama magis, menakjubkan, kuat. cepat memudar
ini. ketahui tetapi yang kemudian dianjurkan oleh pembacanya. Waktu saya menulis
bukubuku teori, saya bersikap menghakimi pengulas: Apa mereka sudah atau belum
memahami maksudku" Dengan sebuah novel, situasinya betulbetul berbeda.
Bukannya saya mengatakan bahwa pengarang tidak mungkin menemukan pembacaan yang
ternyata buruk; tetapi bahkan jika terjadi begitu, ia harus tetap diam saja, dan
membiarkan orang lain menantangnya, langsung dari teks. Untuk itu, mayoritas
besar pembacaan mengungkapkan efek rasa yang belum pernah ia pikirkan. Tetapi
apa arti dari belum pernah memikirkan itu" Seorang ilmuwan Prancis, Mireille
Calle Gruber, telah menemukan paragram atau perubahan huruf secara halus yang
mengaitkan kata simple (dalam artian orang biasa/miskin) dengan simples (dalam
artian tanaman obat); dan kemudian ternyata saya bicara tentang "intisari"
tindakan bidah. Saya dapat menjawab bahwa istilah "simple", dalam kedua
pemakaian, berulang kali dipakai dalam khazanah sastra periode itu, seperti
halnya "mala pianta" intisari, atau jamu beracun, dari tindakan bidah itu. Lebih
jauh lagi, saya betulbetul memahami contoh dari Greimas tentang kemungkinan
pembacaan ganda (pakar semiotik menyebutnya "isotopi ganda") yang terjadi kalau
herbalis itu diacu sebagai seorang "teman orang biasa". Apa saya tahu bahwa saya
main-main dengan paragram" Ini tidak penting untuk dijawab sekarang: teks itu
sudah jadi dan menghasilkan efek pengertiannya sendiri. Ketika membaca
ulasan-ulasan novel itu, saya merasakan suatu getar kepuasan sewaktu menemukan
seorang kritisi (yang pertama adalah Ginevra Bompiani dan Lars Gustaffson) yang
mengutip komentar yang dikemukakan William pada akhir pengadilan itu (lih. him.
449). "Dalam hal kesucian, apa yang paling Anda takuti?" tanyaku. Dan William
menjawab, "Ketergesaan." Saya sangat menyukai dan tetap menyukai kedua baris
itu. Tetapi kemudian seorang pembaca menunjukkan kepadaku bahwa pada halaman
berikutnya, Bernard Gui, sambil mengancam akan menyiksa Kepala Gudang itu,
berkata, "Keadilan tidak diilhami oleh ketergesaan, seperti pendapat para Rasul
Palsu itu, dan keadilan Tuhan sudah dibagikan selama berabadabad." Dan pembaca
berhak menanyakan kepada saya hubungan apa yang ingin saya buat di antara
kegopohan yang ditakuti oleh William, dan tidak adanya ketergesaan yang dipuji
oleh Bernard. Pada titik ini saya menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang
mengganggu. Percakapan antara Adso dan William tidak ada dalam naskah itu. Saya
menambahkan dialog pendek ini dalam pruf lepas, karena alasan memperindah: saya
perlu menyelipkan sedikit waktu luang sebelum menyerahkan acara itu kepada
Bernard lagi. Dan tentu saja, waktu aku membuat William enggan menerima
ketergesaan (dan dengan keyakinan besar, yang merupakan alasan mengapa saya lalu
amat menyukai komentar itu), saya benarbenar lupa bahwa, tidak lama kemudian,
Bernard bicara tentang ketergesaan. Jika Anda
membaca pidato Bernard tanpa katakata William, ini sekadar menjadi ungkapan yang
stereotip, macam kata yang kita harapkan dari seorang hakim, suatu hal umum
tentang perintah yang berbunyi : "Semua setara di depan hukum." Astaga, ketika
dijajarkan dengan ketergesaan yang disebutkan oleh William, ketergesaan yang
disebutkan Bernard secara harfiah menciptakan suatu efek pengertian; dan tidak
salah kalau pembaca membayangkan apakah kedua orang itu mengucapkan hal yang
sama, atau apakah keseganan akan ketergesaan yang diungkapkan oleh William itu
secara tak sengaja berbeda dari keseganan akan ketergesaan yang diungkapkan oleh
Bernard. Teks itu sudah jadi, dan menghasilkan efeknya sendiri. Apakah saya
menginginkan seperti ini atau tidak, sekarang kita dihadapkan dengan suatu
pertanyaan, suatu provokasi membingungkan; dan saya sendiri merasa malu
menafsirkan konflik ini, meskipun saya menyadari bahwa ada suatu arti yang
melekat di sana (mungkin juga banyak arti yang seperti itu).
Pengarang seharusnya mati begitu selesai menulis. Dengan begitu ia tidak akan
merusak jalannya naskah. Penceritaan Prosesnya Pengarang tidak boleh membuat interpretasi. Tetapi ia boleh menceritakan mengapa
dan bagaimana ia menulis bukunya. Yang disebut naskah puitika tidak selalu
berguna untuk memahami karya yang mengilhami naskahnaskah itu, tetapi membantu
kita untuk memahami caranya mengatasi masalah teknis yang muncul dari suatu
karya. Poe, dalam karyanya "Philosophy of Composition", menceritakan bagaimana ia
menulis "The Raven". Ia tidak memberi tahu kita cara membaca itu, tetapi masalah
apa yang ia taruh sendiri dalam rangka mencapai suatu efek puitika. Dan menurut
saya, efek puitika dapat dijelaskan sebagai kapasitas yang ditunjukkan oleh
suatu naskah agar bisa terusmenerus merangsang pembacaan yang berbedabeda, tanpa
pernah sepenuhnya habis. Penulis (atau pelukis, atau pemahat, atau komponis) selalu tahu apa yang tengah
ia kerjakan dan berapa besar upayanya. Ia tahu bahwa ia harus menyelesaikan
suatu masalah. Mungkin data aslinya tidak jelas, menegangkan, obsesif, tidak
lebih dari sekadar kerinduan atau suatu memori. Tetapi kemudian masalah itu
diselesaikan di atas meja tulis penulis itu sementara ia bergulat dengan bahan
yang sedang ia kerjakan bahan yang mengungkapkan hukumnya sendiri, tetapi
bersamaan dengan itu berisi renungan kebudayaan yang mengisinya (gema dari
intertekstualitas). Kalau pengarang menceritakan kepada kita bahwa ia bekerja dalam kegairahan
inspirasi, ia bohong. Genius adalah satu persen inspirasi dan sembilan puluh
sembilan persen perspirasi (peluh).
Waktu membicarakan tentang sepotong puisinya, saya lupa yang mana, Lamartine
mengatakan bahwa puisi itu muncul dalam benaknya dalam sekilas saja, pada suatu
malam penuh badai, di sebuah hutan. Waktu ia meninggal, naskahnaskah itu ditemukan, dengan revisi dan
berbagai variasi; dan puisi itu terbukti menjadi yang paling "berhasil" dalam
khazanah sastra Prancis. Kalau penulis (atau seniman pada umumnya) mengatakan bahwa ia telah bekerja
tanpa memikirkan aturan prosesnya, ia sekadar bermaksud mengatakan bahwa pada
saat bekerja ia tidak menyadari bahwa ia tahu aturan itu. Seorang anak kecil
bicara dalam bahasa ibunya dengan lancar, meskipun ia tidak pernah bisa
menuliskan tata bahasanya. Tetapi pakar tata bahasa bukan satusatunya yang tahu
aturan bahasa itu; aturan itu sudah dikenal baik, meskipun secara tidak
disadari, juga bagi anak itu. Pakar tata bahasa adalah sekadar seseorang yang
tahu cara dan mengapa anak itu menguasai bahasa tersebut.
Dengan menceritakan caranya menulis sesuatu tidak berarti Anda mau membuktikan
bahwa itu ditulis "dengan baik". Poe mengatakan bahwa di satu pihak ada efek
karya itu, dan di lain pihak ada pengetahuan tentang proses itu. Waktu Kandinsky
dan Klee menceritakan bagaimana mereka melukis, tidak seorang pun mengatakan
bahwa ia lebih baik daripada yang lain Waktu Michelangelo mengatakan bahwa
memahat sama dengan membebaskan bentuk yang sudah digambarkan di dalamnya dari
balok batu itu, ia tidak mengatakan bahwa Pieta Vatikan lebih bagus daripada
karya Rondanini. Bukubuku tentang proses artistik yang paling banyak dihiasi
gambar kadangkadang sudah ditulis
oleh seniman minor selama ini, yang memperoleh efek sedang-sedang saja, tetapi
tahu caranya merenungkan proses mereka sendiri: Vasari, Horatio Greenough, Aaron
Copland. Asli, Abad Pertengahan Saya menulis sebuah novel karena punya hasrat besar untuk melakukannya. Saya
yakin ini alasan yang cukup untuk mulai menceritakan suatu kisah. Pada dasarnya
manusia adalah seekor binatang yang suka bercerita. Saya mulai menulis pada
Maret 1978, terdorong oleh suatu ide yang punya kemungkinan untuk berkembang.
Saya merasa ingin meracuni seorang rahib. Saya percaya bahwa sebuah novel selalu
lahir dari suatu ide semacam ini: selebihnya isinya ditambah-tambah sepanjang
jalan. Ide itu tentunya justru datang lebih awal lagi. Kelak, saya menemukan
sebuah buku catatan bertahun 1975 yang di dalamnya saya sudah menuliskan suatu
daftar rahib dalam suatu biara entah apa. Cuma itu. Mulanya saya membaca buku
Orfila, Traite des poisons yang sudah saya beli dua puluh tahun sebelumnya di
toko buku dekat Seine, murni karena loyalitas kepada Huysmans (La-bas.). Karena
tidak satu pun racun itu yang memuaskan diriku, saya minta seorang teman yang
pakar biologi untuk menyarankan suatu racun yang memiliki unsurunsur tertentu
(kemungkinan meresap pada kulit kalau disentuh). Saya langsung merobek surat
jawabannya, karena menjawab bahwa ia tidak tahu racun yang akan memenuhi
kebutuhanku: itu suatu dokumen yang, kalau dibaca dalam konteks lain, akan membawa ke tiang gantungan.
Awalnya rahibrahib saya akan tinggal dalam suatu biara kontemporer (dalam
pikiran saya terbayang seorang rahib penyelidik yang membaca halaman surat kabar
sayap-kiri II Manifesto di Italia bahkan kiri punya kebidahan sendiri). Tetapi,
Pusaka Negeri Tayli 10 Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat Macan Tutul Di Salju 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama