Ceritasilat Novel Online

Wajah Di Jendela 1

Wajah Di Jendela Karya No Name Bagian 1


PROLOG Aku tidak akan masuk, pikir Stan, namun Floella melangkah
masuk. Stan mengikuti, tidak mampu membuat kakinya mematuhi
pikirannya. Mereka berdiri di hadapan anak tangga batu. Tangga spiral yang
menjulang dalam kegelapan di atas sana. Floella mulai memanjat.
Stan juga. Pelan... ...Lima langkah lagi untuk sampai di puncak.
Empat. Kaki Stan terasa seperti lumpuh. Perlu tenaga besar untuk
membuat kaki-kaki itu melangkah.
Tiga. Suara tawa itu"tawa yang melengking, mengerikan"bergema
dalam kepalanya. Dua. Belum terlambat untuk kembali, sebuah suara berkata di
kepalanya. Belum terlambat. Namun di dasar hatinya, Stan tahu
bahwa sudah terlambat. 1 Ledakan "Keluar!" desis Floella. "Kurasa itu akan meledak!"
Stan justru masuk ke dalam ruangan itu. Ia tak akan
melewatkan apa yang akan terjadi.
Hari ini adalah hari yang membosankan dengan segala sesuatu
yang terjadi begitu biasa. Salah satu percobaan Floella mungkin akan
menghidupkan suasana. Floella sedang menunduk di tengah ruangan, menatap ke arah
gabus penutup botol plastik besar. Sesuatu yang berwarna cokelat dan
berbusa mulai mendesis dalam botol itu.
"Keluar," ia menggumam, melambaikan tangannya menyuruh
Stan menjauh. Stan tetap berada di tempatnya berdiri dan memfokuskan
matanya pada botol tersebut. Ia memandang benda yang mendesis dan
berbusa itu"apapun itu"dengan penuh perhatian.
Ada yang salah. Muka Floella merah padam. Sepertinya
keadaan tidak sesuai dengan yang direncanakannya.
WUUZZZ... Gabus melenting ke atas diikuti dengan semburan
busa berwama cokelat. Floella rnelompat mundur tapi tidak cukup
cepat. Busa itu menyelubungi tubuhnya, wajah dan juga rambut.
Lalu tercium bau. Entah dari mana, tercium bau yang sangat
busuk. Stan menarik kausnya sampai menutupi wajah dan hidungnya,
Busa cokelat itu masih menyembur-nyembur sambil
mengeluarkan desisan di atas karpet berwarna pink salmon di ruangan
itu. Busa itu juga mengenai wallpaper yang bergambar mawar merah.
Stan berdecak. Inilah Floella. Baru dua jam, kamar barunya
telah menjadi daerah bencana.
Sangat Floella. Yap, dari ujung rambut sampai ujung kaki,
inilah Floella Lampkin, ilmuwan dan penemu.
"Hmmm. Seharusnya tidak terjadi seperti ini," ia berkata,
sambil menatap botolnya. "Aku akan mencoba lagi besok. Apakah
sudah waktunya minum teh?"
Dan itulah, pikir Stan, ia benar-benar Floolla.
Hal-hal yang biasa tidak akan berpengaruh baginya seperti yang
terjadi pada kebanyakan orang lain. Hal seperti apakah menunya ikan
atau sosis untuk makan siang, atau berapa minggu lagi sampai Natal
tiba, atau siapa yang meletakkan sengat serangga di tempat pensil
Belinda Gregory. Floella dapat memberitahumu kecepatan rata-rata longsornya
salju. Ia tahu paling tidak seratus hal yang menarik tentang gigi
dinosaurus. Ia mungkin juga dapat membuat robot yang bermain roller
skate. Tapi tanyakan padanya hari apa sekarang, atau jalur bus yang
melewati taman, ia tidak akan tahu sama sekali. Ia bahkan tidak
peduli. Tidak. Floella Amelia Lampkin tidak punya waktu untuk halhal biasa. Sebuah fakta yang diketahui Stan dengan pasti, sebagai
saudara Floella selama bertahun-tahun
Ia juga tahu suara yang berasal dari bawah, dan mulai menaiki
tangga. Suara itu dan kaki itu tidak lain adalah milik Alan Morris
Lampkin. Dad. Stan memeluk tubuhnya sendiri. Kau tidak perlu menjadi
ilmuwan roket untuk mengetahui ledakan besar lain yang akan terjadi
hari ini. Dad berdiri, mulutnya terbuka di pintu kamar. Ia memandang
ke sekeliling kamar. Sunyi.
Lalu ia menatap Floella, yang terselubung busa cokelat, berdiri
di tengah ruangan. Matanya menyipit.
Stan menahan napasnya. Dad terlihat seperti seekor harimau
pemakan manusia. "Bagus, kulihat," ia berkata sambil menggertakkan giginya.
Floella berdiri diam. Ia tidak akan berkata apa-apa. Tapi Dad
punya berjuta kata untuk diucapkan. Ia menarik napas dalam-dalam
lalu meledak selama sekitar sepuluh menit.
Floella berdiri sopan dan mendengarkan, sama seperti seminggu
yang lalu ketika salah satu percobaannya meledak di freezer. Tapi itu
semua tidak akan ada artinya, dan mereka semua tahu itu. Saat Floella
mendapat ide baru untuk melakukan percobaan, ia akan
melakukannya. Setelah Dad kehabisan kata-kata, Floella berkata. "Aku akan
membersihkannya," ia berkata dengan tenang. "Dad akan lihat."
Dan ia benar. 2 Pindah "...Bangkit dan bersinarlah!" Dad berteriak dari bawah,
menyerbu ke kamar Stan kemudian membuka tirai jendela sampai
terbuka. Stan membuka satu matanya. "Ini tengah semester," ia
menggerutu. "Ini juga hari untuk pindah!" Dad berkata sambil
menyingkapkan selimut Stan. "Banyak yang harus dilakukan dan
mulailah SEKARANG!" Sisa pagi itu dilalui dengan kesibukan. Dad berada di manamana, menyalak, berteriak. Menyerbu ke semua ruangan sambil
membawa daftar tugas yang harus dilakukan.
Stan dan Floella harus jatuh bangun untuk melakukan tugas
demi tugas yang seolah tiada henti. Mereka mengosongkan lemari,
membersihkan rak-rak, membereskan peti kayu. Mereka menyapu,
menyedot debu dan mengelap sampai tubuh mereka kelelahan. Tidak
setitik debupun yang lolos dari pengamatan mata elang Dad.
Di tengah hari, Molehill Road nomor satu adalah rumah yang
bersinar dan tidak dapat dikenali lagi. Semua benda telah dikemasi
dan siap diangkut. Tidak ada yang dapat dilakukan lagi selain
mengucapkan selamat tinggal.
Stan berkeliling dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Itu
tidak membutuhkan waktu yang lama. Molehill nomor satu adalah
rumah yang mungil. Padat, kata Dad. Apapun sebutannya bagi Stan
itu adalah rumah. Baiklah, jamur di kamar mandi memang makin banyak. Dan
dinding dapur melesak ke ruang duduk. Tapi itu adalah rumahnya.
Satu-satunya tempat yang pernah ditinggalinya dan penuh dengan
kenangan. Banyak di antara kenangan yang indah, beberapa di
antaranya buruk, namun semuanya sulit untuk ditinggalkan.
Ia berdiri di dapur. Di dinding terdapat dua coretan pena"hijau
untuk dirinya dan biru untuk Floella, menandai tanggal dan tinggi
badan mereka, yang makin hari makin tinggi.
Matanya berkaca-kaca. Ia terisak.
"Sedang mengenang masa lalu?" Dad berdiri di belakangnya.
"Apakah aku pernah sekecil itu?" kata Stan sambil terisak
sekali lagi. "Bahkan pernah lebih kecil lagi," kata ayahnya sedikit tersedak.
Ia berbicara dengan suara seolah-olah ada sebongkah keju di
tenggorokannya. Lalu ia mencoba untuk bergurau. "Itu adalah salah satu yang
harus kita tinggalkan. Kecuali kita akan membawa dinding itu." Ia
mengusap matanya dengan sudut lengan bajunya, lalu membersihkan
hidungnya dengan sapu tangan.
"Aku senang kita akan pindah," Stan berusaha menjelaskan.
"Hanya saja..."
"Aku tahu," kata Dad. Ia memelukbahu Stan. "Aku tahu."
Stan mengangguk. Itu benar. Ia senang mereka akan pindah,
dengan berbagai alasan. Lagipula mereka akan pindah ke sebuah
rumah yang lebih besar, dengan halaman yang luas, sebuah awal yang
baru. Dan ia juga bergembira untuk ayahnya juga. Rumah ini tidak
pernah sama lagi sejak Mum meninggal... well, menurut Stan seperti
itu. "Ayo kita pergi," Dad berkata, sambil meremas pundak Stan.
Mereka memandang untuk terakhir kalinya, lalu berjalan
menuju pintu depan dan menutupnya.
Floella telah berada di tempat duduk depan di dalam mobil.
Hidungnya hampir-hampir tertutup catatan Penemuannya. Wajahnya
sangat serius. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Stan lalu duduk di belakang di antara boneka babi dan
tumpukan kotak plastik, yang ujungnya rnenusuk tulang rusuk.
Dad memasukkan kunci mobil. Sekelompok kecil tetangga
sedang melambai ke arah mereka. Semuanya berdiri mengelilingi
sebuah lampu yang telah menerangi kamar tidur Stan dengan cahaya
oranye hangat entah sejak kapan.
"Tunggu!" jerit sebuah suara, dan sebuah sosok besar berlari
dari Molehill Nomor 23 menuju jalan.
"Midge," kata Stan terheran-heran. Ia membuka jendela.
"Sesuatu untukmu," katanya sambil menyerahkan sepucuk
amplop. Stan membukanya, sementara Dad berpura-pura melihat
melalui kaca spion ke arah jalanan. Lem penutup amplop itu agak
terlalu lengket. Di dalamnya adalah sebuah kartu, kartu yang kelihatan dewasa
dengan gambar bunga mawar merah di depannya. Seperti kartu yang
biasanya dikirimkan Dad pada bibi-bibi mereka. Di dalamnya ada
sebuah pesan yang ditulis dengan tulisan cakar ayam:
Dengan penuh doa pada hari kepindahanmu
Dengan hormat Winston J. Midgelay
Lebih dikenal dengan Midge
Teman, tetangga, dan teman sekelas
PS. Aku memasukkan tambahan untuk koleksimu
Di dalamnya juga terdapat sebuah tiket bus dengan noda tinta
hitam di belakangnya. "Itu adalah jejak kaki kucing," Midge
menjelaskan dengan bangga melalui jendela. "Butuh waktu berjamjam untuk mendapatkannya. Aku harus menyuapnya dengan sarden
terlebih dulu." Dad mulai menyalakan mesin dan mereka berangkat. Selamat
tinggal selamanya untuk Molehill Road.
Stan menangis. Dad juga, walaupun ia berpura-pura mengusap
debu di bawah hidungnya. Floella bahkan tak sekalipun menengok ke
belakang. 3 Nomor 20 Dua puluh menit kemudian mereka berbelok menuju The
Glades, sebuah jalanan yang penuh dengan rumah-rumah besar
bergaya modern yang semua terlihat sama. Nomor 40 adalah yang
paling ujung, bentuknya juga sama dengan yang lainnya.
Itu adalah langkah maju dibandingkan dengan Molehill Road.
Untuk awalnya, besarnya kira-kira empat kalinya, dengan jendela
besar dan parkir mobil yang cukup untuk dilalui sebuah bus.
Suara derak terdengar ketika Stan melangkah keluar dari mobil.
Dad berada di depan mereka. "Siap?" ia berkata, mengacungkan kunci
pintu depan. Stan mengangguk. Begitu juga dengan Floella.
Klik. Ia memutar kunci dan mereka masuk. Dad yang pertama,
lalu Floella diikuti oleh Stan.
Bagi Stan rasanya agak aneh berada dalam ruangan besar itu.
Menyenangkan juga. Ia pernah berada di sana ketika berkunjung,
namun kali ini terasa berbeda. Kali ini tempat itu adalah milik mereka.
"Mari kita ke atas," kata Dad, mulai menaiki tangga.
Mereka semua berkeliling ke dalam empat ruangan besar
kosong yang ada di lantai atas, memutuskan ruangan mana untuk
siapa. Mereka lalu memusatkan perhatian pada kamar mandi, yang
berwarna biru cerah dengan pinggiran berwarna emas yang saat ini
sedang disinari matahari.
"Kau bisa memasukkan seluruh tim renang di sana," Stan
berkata, sambil meraba bathtub.
"Dan lihatlah shower-nya," kata Dad.
Floella tidak mendengarkan. Ia telah menemukan sesuatu.
Sebuah botol kaca dengan label tulisan tangan, adalah satu-satunya
kepunyaan pemilik lama yang tertinggal. Botol itu terlihat seperti
antiseptik atau sesuatu dari kotak pertolongan pertama di sekolah.
Floella sedang mengendus-endusnya dan menempelkannya di
hidung. Ia terlihat sangat serius. Stan mengenali pandangan itu. Kabar
buruk. Artinya ia sedang merencanakan sesuatu, mungkin sesuatu
yang akan membuat berantakan, bau, atau berisik; pokoknya sesuatu
yang pasti tidak akan disukai oleh Dad. "Lanjutkanlah tanpaku," ia
berkata, sambil masuk ke kamar tidurnya yang baru.
Dad dan Stan turun ke lantai bawah dan mulai berkeliling di
tiga ruangan besar dan satu ruang kecil. Dad tidak buang-buang waktu
lagi. Segera ia menempelkan sebuah label di pintu ruangan kecil itu.
Milikku Semua orang yang tingginya
di bawah enam kaki dilarang masuk! PEKERJAAN PENTING! JANGAN MASUK DALAM SAKITNYA KEMATIAN! Stan dapat membayangkannya. Ia bertaruh dalam waktu satu
minggu"paling lama"ruangan itu akan tertimbun kertas. Kertas di
mana-mana, semuanya dengan tulisan. Dad akan sangat sibuk dengan
cerita panas lainnya. Keadaan menjadi lebih baik bagi Dad akhir-akhir ini. Semuanya
karena penghargaan yang ia terima berkat tulisannya tentang grafiti di
taman bermain sekolah yang dimuat di Daily Enquirer. Dalam
beberapa hari ia ditelepon pihak televisi yang menginginkan sebuah
naskah drama. Tidak ada lagi tulisan tentang hal aneh di Greenfinger Weekly.
Tak ada lagi berita tentang pembolosan para guru di Chatter
Magazine. Tidak ada lagi cerita tentang pasar amal gereja untuk koran
lokal, Riverditch News. Hari-hari ini adalah tulisan berkualitas untuk publikasi yang
berkualitas. Dan sampai sekarang, semuanya dilakukan di sudut ruang
duduk di Molehill Road. Namun tidak lama lagi. Akhirnya Dad, juga
dikenal sebagai A. M. Lampkin, wartawan freelance, dengan bangga
memperkenalkan ruangan pribadinya.
Tiga jam setelah kedatangan mereka, Stan dan Dad menuju ke
dapur. Dad melihat ke arah jam tangannya. "Waktunya makan," ia
berkata. "Katakan pada Floella ia punya waktu lima menit."


Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ketika Stan sampai di depan pintu kamar Floella, terdengar
ledakan keras. Semua benda terasa lengket setelah ledakan itu terjadi.
********************* Stan mengusap sisa selai kacang di dagunya dan berdiri.
"Selamat malam." Ia berkata sambil menguap lebar.
Ia tetap berdiri. Mungkin malam ini adalah awal yang baru.
Mungkin malam ini dapat menjadi malam tanpa ciuman selamat
malam. Stan ragu-ragu. Bagaimana mungkin ayahnya tidak
menciumnya. Stan juga tidak ingin membuat ayahnya marah. Tidak
hari ini. Ia mencintai ayahnya, tentu saja. Bahkan, mungkin ia ayah
terbaik yang pernah didapatkan seorang anak. Tapi ciuman selamat
malam... Stan sudah terlalu, well, tua untuk hal-hal semacam itu.
"Selamat malam," kata Dad. Ia memandang Stan namun tidak
bergerak. Stan membeku. Dad hanya duduk terdiam di kursi"bagaimana
mungkin" Ia selalu berdiri dan memberi ciuman di dahi Stan. Setiap
malam. Selalu. Dad tersenyum. "Pergilah tidur," ia berkata, tetap berada di
kursinya. Ia tahu, pikir Stan. Ia dapat membaca pikiranku.
"Benar. Err. Selamat malam," Stan berkata lagi sambil berjalan
menuju ke anak tangga. Ia sulit untuk mempercayainya.
Tiba-tiba ia berbalik, di anak tangga paling bawah. "Akan
menyenangkan, Dad, di rumah ini," ia berkata. "Aku tahu."
Dad tersenyum. "Kuharap demikian, Stan. Kuharap."
Stan mulai melangkah naik. Lalu ia mendengar suara ayahnya
di belakangnya. "Stan, apakah kau tidak melupakan sesuatu?"
Stan berbalik. Ia tahu. Ini terlalu sulit untuk dipercayai. Dad
ingat semuanya. "Hati-hati dengan hantunya," kata Dad sembari tersenyum. Lalu
ia meniupkan ciuman. Dan mengerdipkan matanya.
Anak tangga kayu itu berderak di bawah kaki Stan. Tidak ada
yang menyerap suara itu, hanya dinding dan lantai yang kosong.
Rumah membutuhkan orang, pikir Stan. Orang-orang dan benda
milik mereka. Tanpa orang di dalamnya, benda, tawa mereka, rumah
bukanlah rumah. Dingin, kesepian, seperti seseorang tanpa hati atau
perasaan. Pintu kamarnya terbuka. Di dalamnya gelap. Stan menyalakan
lampu ketika ia masuk, lalu menutup pintu di belakangnya.
Ruangan itu berbentuk persegi panjangyang lebar dengan
sebuah jendela besar menghadap ke halaman belakang. Hujan rintikrintik membasahi daun jendela. Stan memandang keluar.
Matanya menjelajahi kebun, hutan, sampai ke sebuah rumah tua
yang terlihat dari situ. Ia pernah melihat rumah itu sebelumnya,
namun hanya sekilas. Itu saat mereka pertama kali berkunjung ke The
Glades, namun saat itu musim panas dan pepohonan menutupi
bangunan itu sehingga yang kelihatan hanya atap dan cerobong
asapnya. Dad berkata bahwa tidak seorangpun tinggal di sana. Rumah
itu telah kosong selama bertahun-tahun.
Kini sebagian besar dedaunan telah gugur, sehingga rumah itu
terlihat sangat jelas dari kamar Stan. Di bawah guyuran hujan dan
sinar biru bulan, Stan melihat rumah itu lebih sebagai sebuah kastil
kuno daripada sebuah rumah. Tidak ada cahaya. Tidak ada tandatanda kehidupan.
Ia berbalik. Bangunan besar yang gelap dan kuno membuatnya
merasa tidak nyaman. Seperti mengancam.
Stan siap untuk tidur. Besok ia akan meminta Dad untuk
memasang tirai. Ia berbaring. Ranjang tuanya dan selimut yang telah dimiliki
bertahun-tahun membuat kamar baru ini terasa lebih nyaman. Di sini
suasananya jauh lebih tenang daripada di Molehill Road. Tak ada
mobil yang mengambil jalan pintas menuju jalan utama di utara.
Tidak ada taksi yang membunyikan klakson di luar Bell and Trumpet.
Pikiran Stan mulai mengembara. Ia merasa lelah, sangat lelah.
Kilat menyambar menerangi kamar, namun matanya sudah tertutup.
Beberapa detik kemudian, ia jatuh tertidur.
Bila Stan masih bangun beberapa lama lagi, ia mungkin akan
mendengar gemuruh guntur yang semakin mendekat. Ia mungkin akan
mendengar petir yang semakin keras. Dan mungkin ia akan melihat,
dalam kegelapan, kilat seolah-olah membelah langit.
Bila Stan bangun lebih lama lagi...
Namun Stan telah tenggelam dalam tidurnya, sehingga ia tidak
mendengar badai dan petir serta teror yang mengikutinya.
4 Di Rumah Sendirian Dad kelihatannya telah bangun berjam-jam ketika Stan bangun
dan turun dari kamarnya keesokan paginya. Penuh dengan energi, ia
sedang sibuk di dapur. Stan dan Floella menikmati sarapan tanpa bicara. Stan punya
perasaan yang aneh tentang Dad. Sepertinya ia punya rencana untuk
mereka. "Aku akan pergi berbelanja," kata Dad, bangkit, kunci mobil
gemerincing di tangannya. "Aku akan kembali saat makan siang.
Floella, saat aku tidak di rumah, aku ingin kau..."
"Maaf," kata Floella, mengiris rotinya menjadi empat potong
segitiga. "Apapun itu, aku tak bisa. Aku akan bertemu dengan
Margery, ingat?" "Hmmm," Dad bergumam tanpa rasa antusias. Ia tidak ingat.
"Dad berkata boleh," Floella meneruskan. Namun itu sebelum
bencana kemarin, pikir Stan.
"Mengumpulkan lumpur. Untuk percobaanku selanjutnya," ia
menjelaskan sambil mengangkat sekumpulan botol selai yang diberi
label SAMPEL LUMPUR dan memasukkannya dalam tas.
Ceramah Dad kemarin tampaknya tidak berguna sama sekali
seperti sebelumnya. "Floella," kata Dad, mencoba untuk tenang.
"Ketika kau kembali, aku ingin kau untuk..."
"Ya, ya, ya aku janji," ia berkata sambil memakai sepatu
bootnya. "Harus pergi sekarang. Aku janji ketemu Margery jam
sembilan." Nada suara Dad yang sabar tidak dapat mengelabuhi Stan. Dad
sedang tidak senang. Wajahnya mengernyit dan merah padam. Ia
mungkin bisa jadi pemenang dalam kompetisi Tuan Kejam yang
dibuat oleh Belinda Gregory saat makan siang Selasa lalu.
"Jadi sampai jumpa nanti sore," Floella memberi salam sambil
memasukkan potongan segitiga roti terakhirnya ke dalam mulut.
"Saat minum teh. Jam enam," kata Dad tegas. "Paling lambat!"
"Byee," teriak Floella, sambil melambai. Kemudian ia
menghilang. Stan mendesah. Khas Floella, menghilang seperti itu. Dan tidak
ada hadiah untuk menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia
memberi waktu lima detik.
Empat. Tiga. Dua. Satu. "Stan," kata Dad, langsung ke intinya. "Aku ingin semua kotak
yang ada dalam kamarmu telah dibongkar ketika aku kembali!
Mengerti?" Lalu ia langsung keluar menuju ke mobil sebelum Stan
dapat berkata apa-apa. Stan melompati anak tangga dan menghempaskan tubuhnya di
ranjang. Kamarnya penuh dengan tumpukan peti menjulang, mungkin
sampai ke Mars. Hebat. Ia merinding. Tiba-tiba udara terasa lebih dingin. Di luar, langit
semakin gelap tertutup awan hitam. Lalu tetes hujan pertama mulai
menetes di jendela. Stan membuka peti pertama, yang berada di sebelah ranjangnya.
Di tumpukan paling atas adalah topeng badut yang diberikan oleh Bibi
Joy. Lalu ia memungut sebuah potret dirinya memakai kostum naga
merah muda pada sandiwara pertama"atau satu-satunya di sekolah.
Lalu ia memungut beberapa lukisan jelek yang hasil karyanya ketika
ia masih lebih muda. Ia melemparkan semua itu ke atas ranjang. Ia
akan menemukan tempat untuk semua itu nanti. Lalu ia menggali
lebih dalam lagi. Tangannya menyentuh sesuatu yang agak keras. Ia menjerit
senang. Ini baru sesuatu yang akan mendapatkan tempat kehormatan
di kamar barunya. Sertifikat ini diberikan pada
Stanley Arthur Lampkin Menulis tentang Cerita yang Menyeramkan Membuat bulu kuduk merinding
Menakutkan Membuat jantung berdebar Berjudul Hantu Mengerikan di Lemari
Yang membuat kami MEN-J-E-E-R-I-T! Ditandatangani dengan darah oleh
Mr. Jeritan Untuk Kota Jeritan Stan mengusap kacanya dengan lengan baju.
Ini adalah satu-satunya sertifikat yang pernah diterimanya,
dengan mengesampingkan yang pernah diterimanya ketika ia berumur
enam tahun saat ia menari untuk Festival Seni Riverditch. Itu tidak
dihitung"semua anak umur enam tahun mendapatkannya, bahkan
anak gadis yang memiliki dua kaki kiri yang sepanjang jalan
memegang hidungnya. Tidak, sertifikat ini benar-benar benda yang spesial. Ia baru saja
memenangkannya beberapa minggu lalu. Penghargaan itu diberikan
oleh sebuah toko bernama Kota Jeritan yang baru mengadakan
promosi. Hadiahnya adalah voucher untuk berbelanja di Kota Jeritan. Ia
bahkan dimuat dalam Riverditch News"artikel satu halaman dengan
foto. Dad bersumpah bahwa ia tidak terlibat. Stan tidak begitu yakin.
Namun bagaimanapun sertifikat itu adalah bagian terpenting,
sesuatu yang membuatnya sangat bangga. Stan menggantungkannya
di dinding di atas tempat tidurnya, lalu mundur. Sempurna.
Kemudian ia mengeluarkan buku-bukunya, buku-buku yang ia
beli dari voucher hadiahnya. Butuh waktu berjam-jam untuk
memilihnya. Ia akan senang mendapatkan semua buku yang ada di
toko. Cerita tentang teror dan ketakutan, misteri dan imajinasi, kisah
hantu, dan kekuatan jahat.
Dad tidak terlalu senang dengan buku pilihan Stan, ia berkata
bahwa itu semua akan membuat Stan mendapat mimpi buruk. Namun
Dad tampaknya tidak mengerti. Hal-hal semacam ini tidak akan
membuat Stan takut, tidak sedikitpun. Buku-buku itu akan membuat ia
merinding, namun tidak akan membuatnya takut.
Sesuatu seperti PR yang harus ia buat untuk Blodgett, baru itu
menakutkan. Dipaksa untuk makan puding beras sekolah, menunggu
suntikan, harus berduet drama dengan Belinda Gregory di depan
kelas. Semua itu mengerikan. Hal-hal yang nyata. Horor yang
sebenarnya. Bukan monster atau hantu dalam lemari.
Stan menggumam ketika ia meletakkan buku-bukunya di lantai.
Ia melirik jam tangannya. Jam dua belas. Dad akan segera kembali.
Di luar ia dapat mendengar angin mulai menderu di antara
pepohonan. Hujan semakin lebat.
Stan memandang ke luar. Di balik hujan lebat, ranting pohon
yang gelap, ia dapat melihat rumah itu lagi. Di mana-mana ada
jendela, yang kecil dan gelap, seperti mata yang menatap melalui
pohon-pohon. Lalu Stan melihat sesuatu yang lain. Ia menempelkan
hidungnya ke kaca jendela untuk melihat lebih dekat. Ya. Ia dapat
melihat sesuatu. Sebuah wajah. Ada sebuah wajah yang menatap ke
luar melalui salah satu jendela-jendela sempit, yang berbeda dengan
lainnya, terletak di bagian atas tepat di bawah atap.
Stan memicingkan matanya. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Jadi, di sana ada sebuah wajah. Hebat. Seseorang mungkin
tinggal di sana. Mungkin Dad salah. Ia tertawa kecut. Itu semua
membuatnya terkejut, baiklah.
Namun sesuatu memaksanya untuk menatap ke arah jendela itu
lagi. Sesuatu, ia tidak tahu apa, memaksanya.
Wajah itu masih di sana. Itu adalah wajah seorang anak kecil, tidak ada yang khusus.
Kecuali... Stan mengedipkan matanya. Jantungnya mulai berdebar
kencang. Ada yang aneh. Gila. Anak itu pasti telah berdiri di depan jendela itu paling
tidak selama seratus tahun, mungkin lebih. Melalui hujan dan
pepohonan, ia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Sangat jelas
sehingga seakan-akan ia dapat meraih dan menyentuhnya.
Namun lebih dari itu. Wajah itu tidak bergerak. Di sana, tidak
bergerak satu inci pun. Tidak berkedip maupun bernapas, tidak
menunjukkan ekspresi apapun. Tidak ada apa-apa.
Wajah anak itu sepertinya menatap ke arah Stan. Tidak
melihatnya, namun melihat menembus melalui dirinya. Tidak melihat
apapun, hanya menatap melalui jendela dengan mata yang menatap
kosong. Tidak nyata, seperti lukisan.
Lalu menghilang. Suatu saat wajah itu masih menatapnya, detik
berikutnya hilang. Stan merasa bahwa ia bahkan tidak berkedip,
namun ia meyakinkan diri bahwa ia pasti telah mengedipkan matanya
ketika wajah itu menghilang. Tertawa lagi, Stan berbalik. Jantungnya
berdebar kencang seperti ada palu dalam dadanya.
Menggelikan. Mungkin ia hanya berkhayal.
Tin, tin! Dad pulang. Stan berlari keluar dari kamarnya dan
melesat menuruni tangga dua dua. Dad sedang berjalan melalui pintu
depan sambil membawa dua kotak pizza. Bagus. Kini ia dapat
melupakan wajah di jendela.
Ia berusaha, ia berusaha seharian, tapi bayangan itu selalu
hinggap dalam benaknya. Makan pizza, nonton TV, menggosokgigi,
saat melakukan semuanya itu ia teringat terus dengan wajah yang
dilihatnya. Sesuatu yang aneh tampaknya membuatnya sulit mengeluarkan
bayangan itu dari kepalanya. Sesuatu"namun bila kau menanyakan
padanya, ia tidak akan dapat menjawab apa itu.
Dan itu terjadi sampai waktu tidur ketika ia bertanya pada Dad
tentang sesuatu yang ingin ditanyakannya sejak waktu makan siang.
"Dad tahu rumah tua yang ada di belakang, yang Dad bilang..."
"Mmmm," ayahnya menjawab, hidungnya terkubur dalam
tumpukan katalog. "Apakah benar kosong?" Stan mendesak. "Maksudku tidak
berpenghuni." "Sejauh yang kutahu," kata Dad. "Gerbangnya telah ditutup dan
digembok sejak... sejak bertahun-tahun yang lalu."
Kini ia sedang menatap ke halaman yang bergambar bunga
mawar. "Jadi tidak seorangpun yang tinggal di sana?" Stan bertanya
sekali lagi untuk memastikan. "Atau bahkan pergi ke Sana?"
Dad menengadah. Ia memandang Stan dengan ekspresi wajah
yang disabar-sabarkan. "Kurasa tidak. Tidak dengan gembok di
gerbang..." Ia berhenti beberapa saat. "Mengapa kau bertanya tentang


Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu?" "Oh," Stan agak terkejut. "Tidak apa-apa. Hanya penasaran," ia
berbohong. Untuk beberapa alasan, ia tidak bisa bercerita pada ayahnya
tentang wajah aneh di jendela. Dad hanya akan berpikir bahwa Stan
berkhayal, dan mungkin akan menyalahkan buku-buku misteri yang
sering dibaca Stan. Ia bahkan bisa mendengarnya sekarang: "Terlalu
banyak cerita seram, itu masalahmu."
Mungkin ia benar. Semuanya sama ketika Stan menaiki tangga menuju kamarnya
malam itu, ia yakin akan satu hal. Ia tidak akan mau melihat ke luar
lagi. Ia tidak mau melihat rumah tua itu lagi.
Ia bahkan tidak ingin memikirkannya.
Ia mematikan lampu dan berbaring dalam gelap. Ia menutup
matanya, namun tidak mengantuk sama sekali. Pikirannya terus
kembali pada jendela di dekat atap dan wajah dengan tatapan kosong.
Tidak ada yang perlu dilihat di luar sana, ia berkata pada dirinya
sendiri. Hanya kebun dan pepohonan serta sebuah rumah besar. Ya,
hanya rumah kosong. Tidak lebih.
Ia tetap tidak bisa tertidur.
Ia bangkit duduk. Ia tidak mau untuk melihat keluar dari
jendela.. .tapi ia harus melakukannya. Ia harus melihat sendiri.
Ia menatap dan menatap lagi. Tidak ada apa-apa. Semuanya
sama, bahu Stan bergetar. Siluet dalam cahaya bulan, rumah tua itu
terlihat besar dan menjulang seperti seekor monster yang siap
memangsa. Stan menutup wajahnya dengan bantal.
5 Berita "Kolam ikan...keluarga katak...benar begitu. ...saluran air, di
semua tempat..." Potongan percakapan terdengar dari kebun. Suara
ayahnya dan satu suara lagi yang tidak dikenali oleh Stan.
Stan meregangkan tubuhnya, lalu menguap. Ia terbangun"baru
saja. Ia turun dari ranjang dan melihat ke luar jendela. Hujan telah
reda dan langit terlihat cerah.
Di bawahnya, kebun masih basah. Kebun itu rapi dengan teras
indah dan tumpukan batu bata untuk barbecue di atasnya. Di
tengahnya adalah rumput yang terpotong rapi dengan tumpukan daundaun gugur di atasnya. Di kedua sisinva ada taman bunga, sebuah
kolam ikan, dan bunga-bunga dalam pot. Sebuah pagar kayu tinggi
membatasi halaman itu. Stan memandang ke bawah. Sepasang jejak
kaki terbentuk di rumput"jejak kaki besar.
Stan hanya tahu satu orang dengan kaki seukuran itu. Dad. Dan
di sana ia sedang berdiri, berbicara dengan tetangga yang pastilah
penghuni nomor 42. Akan menjadi keberuntungannya bila tetangga itu menjadi
seseorang "yang kubilang" seperti Mr. Millett di Molehill Road.
"Pikirkan yang kubilang, Mr Lampkin, bahwa aku melihat
Stanley menendang bola ke arah rumah kaca." Atau: "Seperti yang
kubilang, Mr. Lampkin, Stanley bermain roller-skate di depan gerbang
baru rumah nomor tujuh minggu lalu."
Stan bahkan sulit bernapas tanpa Mr Millett memberitahu
ayahnya. Semoga tetangga barunya tidak seperti itu. Stan memandang
wanita itu. Pengadu atau bukan, ia dan Dad tampaknya sangat
bersemangat seperti sebuah rumah yang terbakar api.
Stan menjauh dari jendela. Waktunya untuk berpakaian. Waktu
makan pagi. Ia mulai bersiul.
Kau tidak memandang ke sana, kata sebuah suara kecil di
kepalanya. Kau tidak melihat ke arah rumah itu. Stan membungkuk
untuk memakai sepatunya. Kau terus melakukannya, kata suara di kepalanya.
Membelakangi jendela dan tidak melihat ke sana.
Stan menegakkan tubuhnya. Tentu ada beberapa penjelasan
sederhana tentang apa yang dilihatnya kemarin. Ya, beberapa
penjelasan sederhana untuk semua hal. Rasti ada. Ada alasan.
Jadi berbaliklah, desak suara itu. Lakukanlah.
Stan melakukannya. Ia berbalik dan menatap. Lalu menatap
lagi...dan tertawa lega. Kenapa harus takut. Itu hanya sebuah rumah. Sangat besar.
Sangat tua. Sangat kosong.
Dan wajah itu, mungkin itu bukan benar-benar sebuah wajah.
Tidak dengan jarak sejauh itu. Tentu saja bukan. Lagipula saat itu
hujan. Itu mungkin salah satu... apa sebutannya" Ia mengingat-ingat.
Sebuah fenomena. Ya, itu. Sesuatu yang berhubungan dengan kondisi
cuaca, tipuan cahaya, atau sesuatu seperti itu.
Tidak, pikir Stan, sambil menuruni tangga, tidak ada yang aneh
tentang rumah tua itu. Atau tentang wajah yang terlihat di jendela atas.
Tidak sama sekali. Matahari menyinari dapur lewat jendela besar di sisinya.
Ruangan itu sangat terang karena cahaya matahari yang memantul di
dinding. Radio dinyalakan dan meja telah disiapkan untuk sarapan
pagi. Berdendang mengikuti musik dari radio, Stan memasukkan dua
potong roti dalam panggangan. Melalui jendela ia dapat melihat
ayahnya di kebun, masih berbincang-bincang dengan tetangga di balik
pagar. Di atasnya ia dapat mendengar suara Floella.
Stan membuka penutup selai aprikot, menggoyang-goyangkan
kepalanya mengikuti musik. Sungguh menyenangkan berada di tempat
yang baru, bahkan bila harus meninggalkan Molehill Road.
Dung! Roti dalam panggangan melompat. Stan mendekati
panggangan dan mengoleskan selai ke atas rotinya. Lalu ia berjalan
menuju meja. Dan mematung. Koran...Riverditch News...tergeletak di atas meja. Dan sebuah
wajah menatap ke arahnya dari halaman depan. Sebentuk wajah yang
dikenalnya. Kaki Stan mulai gemetar. Jantungnya berdegup. Bukan hanya
karena foto itu. Namun sebuah kata yang tercetak besar di bawahnya.
HILANG ANAK JENIUS LOKAL MENGHILANG
Ketakutan semakin bertambah sejak hilangnya Raymond
Golightly, sebelas tahun, pada kemarin sore.
Ia terakhir dilihat oleh orangtuanya, Daphne dan Marcus
Golightly, ketika sedang turun dari bus nomor 22 di Glade Park. Ia
telah menghabiskan pagi harinya di Museum Riverditch dalam acara
pembukaan Eksibisi Luar Angkasa. Mrs. Golightly, seorang ahli ftsika
kuantum terkenal, berada di sana untuk menyampaikan ceramah
tentang Teori Gravitasi. Tampaknya Raymond dan orangtuanya naik bus yang sama
menuju rumah mereka di Parkside Rise. Namun ketika bus tersebut
melewati Glade Park, Raymond tiba-tiba mengubah rencana. Ia minta
izin untuk turun dan pergi ke Glade Hill Parade untuk membeli
beberapa perlengkapan proyek terakhirnya.
"Kami tidak melihat bahayanya," kata ayahnya. "Parade hanya
dua kali pemberhentian sebelum sampai rumah kami, dan kami tahu
bahwa ia senang dengan benda-benda itu."
"Itu adalah saat terakhir kami melihatnya," kata Mrs. Golightly
dengan mata bersimbah air mata. "Saat itu baru pukul dua, aku ingat
karena jam tangan Raymond. Ia memprogramnya untuk memainkan
dua baris Bach Cantata pada pukul dua. Dan jam itu berbunyi tepat
sebelum ia turun dari bus."
Ke mana Raymond pergi setelah turun dari bus masih misteri.
Ia tidak pernah mengunjungi toko perangkat keras, atau toko lain di
Glade Hill Parade. Dan ia tak pernah pulang.
Sejauh ini, polisi menolak untuk menghubungkan peristiwa ini
dengan kehilangan yang terjadi di beberapa daerah sebelumnya.
"Kami tidak melihat adanya keterkaitan untuk menghubungkan kasus
ini dengan peristiwa lain yang terjadi," kata Inspektur Bland, yang
memimpin penyelidikan. Orangtua Raymond mengharapkan bantuan dari masyarakat
"Biasanya Raymonds selalu menghubungi kami," kata ayahnya. "Ia
adalah anak rumahan."
Raymond yang jenius adalah seorang selebriti lokal. Baru
minggu lalu ia menjadi pemenang kompetisi Riverditch Science
Superbrain, yang terbuka untuk anak berusia di bawah lima belas
tahun. Peserta diundang untuk mendaftarkan proyek mereka yang
orisinil. Raymond adalah pemenang dengan proyeknya yang meneliti
tentang hujan, kelembaban, dan produktivitas pertanian di Riverditch
dan kota kembarnya di Perancis, Petitfosse.
6 Hilang Dengan gemetar, Stan duduk. Sebuah suara terus mengatakan
hal yang sama dalam kepalanya. Ini tidak benar. Ini tidak benar.
Tangannya mencengkeram pinggiran meja sampai buku-buku
jarinya memutih. Ini seperti sebuah mimpi, mimpi buruk... kecuali ini
semua benar terjadi. Dan di sana, di halaman depan Riverditch News
ada foto yang membuktikannya. Sebuah foto besar wajah yang dilihat
Stan menatap dari jendela atas rumah tua aneh di balik pepohonan.
Wajah Raymond Golightly, anak laki-laki yang hilang.
"Ada apa?" Floella menguap, memasuki dapur. "Kau kelihatan
pucat. Dan gemetar. Apakah kau sakit?"
Stan tidak dapat berbicara, tidak dapat membuka mulutnya.
Tidak masuk akal. Tangannya gemetar menyentuh sudut koran itu.
Floella mengambilnya. "Goofball Golightly!" ia berkata sambil
memandang koran itu. "Apa yang ia lakukan di halaman depan?"
"Wow," ia menghembuskan napas, melihat judulnya. "Well,
mungkin ia telah mengalahkan kita semua dalam kompetisi Science
Superbrain, tapi ini..." ia menggelengkan kepalanya dan mulai
membaca. Tentu saja. Kini Stan ingat. Floella dan temannya Margery ikut
kompetisi juga. "Floella..." ia berkata sambil menarik lengan baju kakaknya.
"Berminggu-minggu kami menghabiskan waktu untuk
membuat model limbah tanaman," kata Floella, kepalanya menunduk,
masih membaca berita itu.
"Aku melihatnya, Floella," kata Stan, meremas lengan Floella.
"Aku melihatnya kemarin. Di jendela."
Floella masih membaca, kini kelihatan terkejut. "Ray yang
malang," ia berkata. "Ia tak seburuk itu, benar" Ia hampir pantas untuk
menang. Hampir." Stan bangkit. Ia harus memberitahunya, membuatnya
mendengar. Ia mencengkeram bahu kakaknya. "Aku melihat sebuah
wajah di jendela, Floella," ia berkata. "Dan itu wajahnya!"
Floella menatapnya dengan pandangan kosong. Ia tidak
mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Stan. Stan duduk di
dekatnya. Jelas bahwa ia harus menceritakan segalanya pada Floella.
Ia mencoba bercerita, namun terlihat dari wajah Floella bahwa
kakaknya itu tidak percaya.
"Aku tahu ini terdengar aneh," ia berkata saat ia selesai. "Aku
tidak dapat menjelaskan..."
"Aku dapat," kata Floella tiba-tiba. "Hanya ada satu penjelasan
yang sederhana." Lalu ia menatapnya, dengan senyum palsu. "Kau
mengarangnya," ia berkata.
"Aku tidak..." Stan mulai memprotes.
Namun Floella belum selesai. Ia mengangkat tangannya. "Biar
kuulangi," ia berkata. "Kau berkata bahwa kau melihat wajah ini di
jendela rumah tua itu."
Floella beranjak ke jendela. "Yang di sana, kan, di atas bukit, di
balik pepohonan," ia berkata, sambil menunjuk. "Banyak jendela."
Stan mengangguk. Floella memicingkan matanya. "Jaraknya kira-kira..." ia
berhenti dan mengernyit sepertinya ia sedang berusaha untuk
menghitung dalam kepalanya.. ."dua kali panjang lapangan bola.
Kurang lebih. "Lalu wajah itu menghilang. Wuusss! Seperti itu?" ia
melanjutkan, "Dan itu adalah wajah Raymond Golightly, yang
sekarang hilang." Stan menjatuhkan kepalanya di telapak tangannya. Seharusnya
ia tidak bercerita. Sepertinya kini bahkan ia sendiri meragukan kisah
itu. "Stan," kata Floella, terlihat puas pada dirinya sendiri. "Itu
salah satu dari ceritamu, kan?" Kini ia mengetukkan jari-jarinya ke
meja. "Tapi kau takakan bisa membuatku percaya. Tidak seorangpun
akan percaya. Terlalu menggelikan."
"Kau kehilangan sentuhanmu," ia melanjutkan. "Cerita itu tidak
sengeri hantu di lemari. Dan terdengar lebih bodoh daripada kisah
tentang kuku kaki yang menusuk di kasurku."
Percuma. Ia seharusnya tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.
Floella tidak akan percaya satu katapun. Dan ia bahkan belum selesai.
"Selain itu, kau tidak mungkin dapat melihat wajah dengan jelas
dalam jarak sejauh itu."
"Aku tahu," kata Stan sengsara. "Aku aku melihatnya."
"Oh, benar," kata Floella sinis. "Jelaskan ini. Kapan kau
katakan kau melihat wajah itu?"
"Jam dua belas," kata Stan. "Aku baru saja melihat jam
tanganku." "Hah!" teriak Floella. "Ketahuan! Baca lagi," ia menyorongkan
koran itu pada Stan. "Ia tidak hilang sampai pada pukul dua. Lihat.
Kau tidak mungkin dapat melihatnya."
Kasus terbuka, Floella berhenti untuk bernapas. Lalu ia
mengernyit. "Ini bukan sesuatu untuk ditertawakan, kau tahu," ia
berkata. "Ia hilang. Tidak lucu, Stan."
"Tapi ini bukan lelucon," kata Stan, putus asa. "Aku tidak
mengarangnya. Ada wajah di jendela dan wajah itu persis seperti foto
itu. Aku yakin." 7 Penghancur Setengah jam kemudian Stan tidak yakin lagi terhadap apa yang
dia alami. Ia jongkok di depan rumah sambil menggambar wajah
dengan tongkat di tanah. Mungkin Floella benar. Mungkin ia tidak
benar-benar melihat wajah. Mungkin itu hanya khayalannya.
Krrk. Krrrk. Ia menengadah.
Pintu garasi sedang terbuka. Floella sedang mendorong
sepedanya. Ia membawa keranjang plastik besar di salah satu setang.
Handuk kasayangan Dad menutupi keranjang itu sehingga Stan tidak
dapat melihat apa yang ada di dalamnya, tapi kedua tangan Floella
bernoda biru. "Kali ini aku akan berhasil," ia mengumumkan, mendorong
buku catatannya ke keranjang sepeda. "Tapi untuk berjaga-jaga, aku
mungkin harus melakukan beberapa percobaan lagi di lokasi rahasia."
Kemudian ia ngebut. "Waktu adalah percobaan," ia berteriak saat melaju ke arah
pertigaan. Stan memandangnya dari tempat ia duduk sampai kakaknya itu
menghilang di jalan utama. Ia berdiri.
Dan itulah saat perasaannya menjadi kecut. "Tt-iidak," Stan
mendesah. "Ini tidak boleh terjadi."
Tapi tidak ada keraguan lagi.
Muncul ke arah The Glades adalah sesosok mengerikan. Tubuh
setinggi enam kaki yang penuh otot: Colin "Crusher" Armitage. Colin


Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Armitage Si Penghancur. Crusher menganggap dirinya sebagai selebriti lokal. Ia baru saja
memenangkan kompetisi Mr. Muscle"Tuan Otot. Dalam beberapa
jam kemudian ia telah menghancurkan lawan-lawannya, dan juga
mengangkat beban yang kira-kira lebih berat daripada lawannya yang
enam tahun lebih tua, atau begitulah yang ia katakan.
Ia pernah muncul di televisi lokal, diwawancarai oleh radio dan
juga muncul di halaman depan Riverditch News.
Dan kini ia sedang bersepeda menuju jalan di mana Stan
berdiri, makin dekat, dan makin dekat lagi.
Stan mennding. Crustiher adalah orang terakhir di dunia yang
ingin ditemuinya. Ia dapat mengingat pertemuan terakhir mereka
dengan jelas. Dimulai dengan latihan drama dan sebuah ejekan secara
tidak sengaja muncul dari mulut Stan...
"Selamat pagi. Lamb Lambkin," Crusher berkata dengan
seringai di mukanya, sambil menghadang di gerbang sekolah. "Mau
meminjamkan uang sakumu?" Stan membuka gembok sepedanya dan
berjalan menuju gerbang. "Selamat pagi, Colin," ia berkata. "Sudah hapal kalimatmu?"
Rahang Crusher terbuka. Terlambat, Stan baru sadar. Apa yang
telah dilakukannya" Dua kali hinaan sekaligus. Ia harus membayarnya
sebentar lagi. Yang pertama, ia telah menggunakan nama asli Crusher.
Memang sulit untuk menakuti anak-anak yang lain dengan
menggunakan nama aslinya...
Lalu tentang kalimat Crusher"penghinaan besar. Crusher
sebenarnya tidak ingin bergabung dalam drama sekolah. Ia terpaksa
melakukannya. Namun sekali berada dalam drama, ia ingin peran yang paling
besar, dan malangnya, Crusher benar-benar tidak dapat berakting,
walaupun ia dapat bernyanyi.
Ia bernyanyi seperti malaikat.
Di dalam tubuh besar berotot itu ada sebuah suara yang akan
membuat anak-anak memberikan mainan mereka kepada yang lebih
membutuhkan, yang membuat kakak mencintai adiknya dan membuat
guru mencintai murid mereka. Bahkan Blodgett tidak dapat
memalingkan mukanya ketika mendengar Crusher bernyanyi.
Namun ia tidak dapat berakting.
Jadi minggu demi minggu, raksasa berotot itu memotong
adegan demi adegan sehingga yang tersisa baginya hanyalah adegan
menyanyi. Crusher agak sensitif dengan masalah tersebut.
Itulah yang menjelaskan mengapa ia sekarang sangat marah.
"Kau berada dalam masalah serius, Stanley," ia mendesis sambil
mencengkeram kerah baju Stan.
Stan setuju. Ia menahan napasnya.
Tut, tut. Bruuumm! Saat itu Mr Platt, penulis, produser, dan sutradara drama
sekolah masuk lewat gerbang dengan sepeda motornya yang berwarna
kuning. "Latihan akan dimulai!" ia berteriak sambil menggiring anakanak memasuki aula.
Stan bernapas lagi. Aman. Untuk saat ini, paling tidak.
Namun latihan hanya berlangsung beberapa menit, akibat
adegan yang mengharuskan Crusher mengangkat Melanie Gubbins
dan memutarnya di atas kepala.
Sungguh malang Melanie, bintang drama ini, pegangan Crusher
secara tidak sengaja meleset. Melanie mendarat di balkon yang baru
separuh dibangun. Dalam beberapa detik semuanya jadi berantakan sementara
Melanie tertimbun di bawah papan dan tripleks. Yang dapat kaulihat
hanya rok birunya. Mr. Platt menghentikan latihan untuk hari itu.
Stan berusaha menyembunyikan dirinya sebisa mungkin. Hanya
masalah waktu sebelum Crusher ingat urusan yang belum selesai tadi.
Saat pergi, ia dapat mendengar Crusher, dengan bangga mengulangi
saat Melanie terbang. "Terbang dan berputar. Seperti ketika Wilson minta tolong aku
untuk mengambilkan layang-layangnya yang tersangkut di pohon.
Kulempar dia setinggi mungkin, namun ia tidak dapat memegang
rantingnya. Bodoh. Aku harus membawanya ke rumah sakit."
Lalu Cruser tiba-tiba tersadar: "Omong-omong tentang rumah
sakit, di mana Lampkin" Kalau aku sudah selesai dengannya, ia akan
berharap..." Stan tidak akan menunggu kelanjutannya...
Ya, itu adalah saat terakhir kali Stan dan Crusher bertemu. Dan
kini, dia di sini, sedang bersepeda menuju Stan. Lalu ia berhenti, turun
dari sepedanya dan mengeluarkan sebuah kunci.
Hati Stan tercekat. Sebuah kebetulan yang mengerikan.
Tampaknya Crusher memang mengenal dengan baik seseorang yang
tinggal di rumah itu. Nomor 32. Atau mungkin...
BANG! Pintu depan rumah nomor 40 terbanting menutup di belakang
Stan, mungkin karena tiupan angin yang sangat kencang. Betapa
sialnya" Crusher menengadah. Ia melihat Stan dan perlahan seringai
muncul di wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya, mengantungi
kunci itu kembali dan mulai menggenjot sepedanya ke arah Stan.
Jantung Stan berdebar kencang, keringat dingin mengaliri
tubuhnya. Floella sedang pergi. Dad sedang pergi. Dan Crusher tidak
kelihatan seperti seorang tetangga yang akan melakukan pesta
penyambutan. Stan harus segera pergi dari sana. Cepat.
Ia berlari melalui samping rumah menuju ke kebun belakang.
Sembunyi! Sebuah suara terdengar di telinganya. Sembunyi!
Sebelum benar- benar terlambat!
8 Jalan keluar "Stanley, Stanley Lampkin. Aku akan menemukanmu di
manapun kau berada," terdengar teriakan Crusher.
Stan lari di kebun dengan kecepatan penuh. Napasnya terengahengah. Di ujung kebun ia merapat di pagar kayu. Tak ada tempat
untuk bersembunyi. Tak ada. Crusher akan menemukannya dalam
beberapa detik. Kecuali... Ia memandang ke atas. Pagar kayu itu tinggi tapi mungkin ia
bisa memanjatnya dan di baliknya pasti ada jutaan tempat untuk
bersembunyi karena pohon-pohon besar yang sangat banyak. Crusher
tidak akan menemukannya di sana.
Stan melompat, hup, dan ia berhasil memegang puncak pagar.
Lalu ia meraih ranting pohon yang menjulur di dekatnya dan dengan
sekuat tenaga mendorong tubuhnya ke atas. Ia menarik napas,
menutup mata dan melompat ke bawah.
Waktu yang tepat. Suara derak engsel memberitahukan bahwa Crusher telah
membuka gerbang rumahnya. Stan merapatkan tubuhnya di pagar,
memberanikan diri untuk bernapas.
"Aku akan menangkapmu Stanley. Bila tidak hari ini, lain
waktu," suara Crusher menggelegar.
Kini Stan dapat mendengar suara langkah kaki Crusher yang
sedang menjelajah kebun. Ia hampir-hampir dapat melihat wajah besar
bodoh, mata yang menatap tajam yang sedang mencari mangsanya.
Berapa lama ia akan dapat menemukan Stan"
Stan gemetar sampai ke ujung kakinya. Ia mulai berlari. Derak
ranting mengiringi langkah kakinya saat ia berlari. Di sana ada
semacam jalan setapak, tertutup daun kering dan ranting. Ia
mengikutinya lebih jauh lagi sampai memasuki daerah di mana
pohon-pohonnya semakin rimbun, hanya berpikir tentang melarikan
diri. Napasnya tersengal-sengal. Ia tidak dapat berhenti. Belum.
Tidak akan berhenti bila masih ada kesempatan bagi Crusher untuk
menemukannya. Tiba-tiba jalan setapak itu membelok ke kanan, namun tepat di
depannya terlihat gerbang besi. Apakah ada tempat untuk
bersembunyi di sana" Apakah ada orang di balik gerbang" Harus ada.
Stan berlari ke arah gerbang, semakin kencang. Ia dapat
mendengar langkah kaki Crusher yang juga mengikuti jalan setapak.
"Terbukalah," Stan memohon gerbang itu. "Tolong terbukalah." Tidak
ada gunanya. Gerbang itu tidak akan terbuka. Ia memanjatnya dan
melompat ke dalam kegelapan pepohonan di baliknya.
Teriakan Crusher semakin dekat, namun Stan tidak berani untuk
berhenti. Ia berlari menuju kegelapan.
Dengan kelelahan ia menengok ke belakang, hanya
memastikan... BRAK! Ia menabrak sesuatu yang sekeras batu dengan kecepatan
penuh. Ia terbanting ke tanah dan terbaring di sana, wajahnya
menempel ke tanah. Napasnya semakin terengah-engah. Ia berusaha untuk
menenangkan dirinya sendiri. Ia tak boleh membiarkan Crusher
menemukannya. Namun Crusher tidak terlihat di manapun. Tidak ada suaranya
juga. Apakah ia telah menyerah dalam perburuan ini, atau itu hanya
tipuan" Stan menunggu"dan menunggu"untuk meyakinkan dirinya.
Masih tetap tidak ada suara. Akhirnya ia duduk dan mengusap
mukanya dengan lengan baju. Ia mengerdip. Kini ia baru melihat apa
yang telah ditabraknya dan membuatnya terbanting ke tanah.
Sebuah lempengan batu besar, sebagian tersembunyi di dalam
semak-semak yang rimbun. Hampir kelihatan seperti sebuah batu
nisan. Stan merinding. Letaknya kurang sesuai untuk sebuah makam.
Di atasnya ada tulisan. Huruf-hurufnya terlihat jelas, tidak ada semak
yang menutupinya, tidak ada yang tumbuh untuk menutupi kata-kata
aneh itu: DAN MEREKA YANG MENEMUKAN
KETAKUTAN DALAM KETAKUTAN
AKAN TERSESAT SELAMANYA TERTUANG DALAM BATU Stan mengusap matanya. Di balik lempengan batu, di ujung
hutan itu, terlihat sebuah sosok, sebuah patung.
Stan melangkah mendekatinya, pelan, agak ragu-ragu. Tentu
saja, ia berpikir. Aku seharusnya menyadari. Ini adalah kebun ...
kebun rumah tua itu. Patung itu adalah seorang laki-laki, terbuat dari batu halus
berwarna kelabu. Sebuah patung yang besar, pria raksasa. Kepala
patung itu agak menoleh ke satu sisi, sedikit menengadah dan
mulutnya terbuka lebar. Satu lengannya tertekuk, seperti sedang
kesakitan. Lengan yang satunya lagi terbentang dan menunjuk.
Menunjuk ke kebun. Menunjuk ke deretan patung-patung manusia
yang lain. Sederetan patung yang juga terbuat dari batu warna kelabu.
Stan menatap, lalu melangkah ke arah patung-patung itu sampai
ia berada di tengah-tengahnya. Dikelilingi sekumpulan patung,
sebagian berdiri dan yang lainnya duduk, beberapa jongkok, memutar
dan membungkuk. Patung manusia"pria dan wanita, juga anakanak" dalam usia yang berbeda. Terlihat seperti hidup sehingga
membuat Stan secara refleks mengulurkan tangan untuk menyentuh
salah satu, hanya untuk memeriksa...
Dingin. Lebih dingin daripada dingin, terasa seperti es di jarijarinya.
Namun wajahnyalah yang membuat Stan terkejut.
Wajahnya penuh dengan ketakutan.
Wajah yang sepertinya telah melihat sesuatu yang paling
mengerikan dalam hidup mereka. Dan tampak juga ekspresi yang lain.
Benci. Benci dan ketakutan.
Stan tidak ingin melihat, ia tidak ingin melihat lagi. Namun ada
sesuatu yang aneh dengan patung-patung ini... Ia tidak mampu
memalingkan matanya dari mereka.
Sepertinya mereka semua membatu saat melihat sesuatu yang
mengerikan, sangat mengerikan.
Dan hanya meninggalkan teror.
Mereka semua menyeramkan. Lengan mereka terangkat,
tubuhnya menjulang, mulutnya terbuka seakan-akan sedang menjerit.
"Mereka kelihatan begitu nyata," bisik Stan. "Sangat nyata..."
Dan di baliknya, di balik patung-patung itu dan kebun yang
terbengkalai ini terlihat rumah tua besar yang gelap itu. Berdiri di sana
dalam kesunyian, seperti monster raksasa yang terbuat dari batu,
dengan setiap jendela tertutup menghalangi siang hari. Setiap jendela,
kecuali satu. Di atas sana, tepat di bawah atap, sebuah jendela yang
sedang menatap. Pergilah dari sana, kata sebuah suara di kepala Stan. Pergilah
dari sana sebelum sesuatu terjadi. Sesuatu di luar kendali.
Sekarang! Namun Stan tidak dapat berbalik. Ia tidak berdaya untuk
berbalik dan lari. Patung-patung itu, jendela-jendela, rumah yang gelap...tempat
ini tidak nyata. Bahkan udaranya terasa lebih lembab dan penuh
dengan kejahatan. Ada yang salah, Stan dapat menyadarinya. Dan ia
dapat merasakan sesuatu yang lain. Kehadiran...kehadiran bencana.
Pergilah sekarang! Stan mencoba untuk berbalik, menguatkan tekad untuk mulai
menggerakkan kakinya, melarikan diri. Ia terjatuh, masih tak mampu
untuk menggerakkan kepala. Ia ingin berlari menjauhi rumah yang
gelap dan kebun yang aneh itu.
Lalu ia mulai berlari lebih kencang dan makin kencang lagi,
sampai ia tiba di gerbang besi di mana ia berhenti mendadak.
Dan ia menjerit. 9 Percakapan Sesuatu menoengkeram kakinya. Sesuatu yang kecil, dengan
tubuh penuh bulu dan gigi tajam, "Towser!" sebuah teriakan terdengar
entah dari mana di antara semak-semak. "Lepaskan!"
Dampaknya jelas. Towser"benda berbulu kecil itu melepaskan
kaki kiri Stan. "Maafkan aku," kata suara itu. "Kau menakutinya. Ia belum
pernah melihat orang lain di sana sebelumnya."
Stan menatap sosok yang sedang berlari ke arahnya. Seseorang
yang kira-kira seusia Dad, dengan lubang di bagian lutut celana
panjangnva dan sebungkus benih terlihat dari sakunya.
Stan memanjat pagar besi itu. Lebih pelan daripada
sebelumnya, namun detak jantungnya lebih keras.
"Aku tahu siapa kau," kata vvanita itu, sementara Towser
mengendus-endus kakinya. "Kau Stan. Ayahmu menunjukkan fotomu
padaku." Wanita itu mengulurkan tangannya. "Aku Imelda. Dari nomor
42." Stan tidak pernah merasa begitu lega saat bertemu seorang
tetangga sebelumnya"entah pengadu maupun bukan. Bukannya ia
mengatakan bahwa wanita itu mirip seorang pengadu.
Imelda mendahului Stan ketika mereka menyusuri jalan
setapak. Pagar kayu di ujung kebunnya terlihat. Ia dapat melihat
sebuah ranting besar patah. Lucu. Ia tidak ingat pernah mematahkan
ranting sebesar itu... Tidak, ia tidak mematahkannya. Stan merinding lagi. Tidak ada
hadiah untuk menebak siapa yang telah melakukannya. Di manapun
Crusher sekarang ada satu hal yang pasti. Ia akan segera kembali.
Jalan setapak itu memutar, dan di sana juga terlihat dinding batu
yang membatasi kebun Imelda.
"Sekarang ini menjadi jalan umum," Imelda berkata ketika


Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sedang berjalan. "Tidak banyak orang yang menggunakannya.
Aku juga hanya lewat sini karena Towser. Hutan itu bukan
pemandangan yang indah. Dan rumah itu..."
"Siapa yang tinggal di sana?" tanya Stan tiba-tiba.
Imelda kelihatan agak terkejut. "Tidak seorangpun. Rumah itu
kosong. Dibiarkan begitu saja selama bertahun-tahun dan..."
"Siapa yang memilikinya?" Stan memotong.
"Sekarang" Siapa yang tahu?" Imelda mengangkat bahu. "Dulu
milik seorang dokter... seorang ahli bedah, kurasa," ia mengernyit.
"Aku hanya bertemu dengannya sekali. Itu sudah lebih dari cukup."
Mereka kini sampai di ujung jalan setapak dan sebuah gerbang
kayu tinggi menghalangi jalan mereka. Imelda membuka palang
gerbang, membiarkan Stan mendahuluinya. Cukup mengejutkan bagi
Stan karena mereka kini berada di bagian belakang The Glades, tepat
di samping rumah yang paling ujung"rumah Imelda.
"Haloooo!" Floella tiba-tiba muncul di sudut The Glades, ia mengerem
sepedanya dan turun. Ia masih memegang keranjang di satu setang,
namun kini ada lubang di satu sisinya.
"Aku mungkin akan membuat terobosan baru yang sangat
hebat," ia berkata penuh kemenangan, sambil menaruh keranjangnya
di tanah. "Satu atau dua kali percobaan lagi pasti berhasil."
Banyak noda berwarna biru di celana Floella"apapun itu,
sangat menarikbagi Towser"kakinya juga basah dan berlumpur.
Imelda sedang menatap Floella. Tampaknya ia sudah
melupakan percakapannya dengan Stan. Ia mungkin saja lupa, tapi
Stan tidak. "Jadi dokter ini..." ia berkata.
"Oh dia," kata Imelda. "Ada beberapa kabar burung
tentangnya...tentang pekerjaan yang ia lakukan di rumah itu, hal-hal
aneh yang terjadi, sesuatu seperti itu. Ia orang yang sangat angkuh,
juga misterius. Dan sangat kasar. Orang-orang tidak menyukainya,
tidak mempercayainya, dan beberapa cerita mulai menyebar.
Sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Lalu ia pergi."
"Pergi?" kata Stan.
"Entahlah. Menghilang atau meninggal. Siapa yang tahu?" kata
Imelda. "Kurasa ada beberapa masalah, sesuatu yang serius, mungkin
skandal. Apapun itu, rumah itu tiba-tiba kosong. Suatu hari ia masih
ada di sana, dan hari berikutnya ia menghilang. Tempat itu tertutup.
Pintunya disegel, jendela juga tertutup rapat. Ia tidak pernah kelihatan
lagi sejak saat itu."
"Jadi rumah itu masih kosong?" kata Stan.
Imelda mengangguk. "Benar-banar kosong. Tidak seorangpun
pernah pergi ke sana, bahkan tukang pos. Kurasa sudah bertahuntahun tidak orang yang bahkan hanya sampai di gerbang depannya."
Ia berhenti bicara dan menyeringai ke arah Stan. "Tentu saja kau dapat
masuk ke kebunnya dari belakang, melalui hutan, lewat gerbang besi
di mana kita bertemu... tapi tidak banyak orang yang mengetahuinya."
Ia berbalik. "Sayang kebun itu dibiarkan terbengkalai," ia
berkata. "Kebun itu bagus, tanpa patung-patungnya."
Imelda menggelengkan kepalanya. "Aku memotong bunga dan
tanaman tahun lalu. Seharusnya aku tidak melakukannya, tapi kupikir
tidak ada yang keberatan." Ia berjalan menuju gerbang nomor 42.
"Menyedihkan," ia menambahkan ketika menutup gerbang,
"semuanya telah mati..."
Ia menghilang. Kemudian Floella pergi dan Stan tinggal
sendirian, memikirkan rumah itu dan kebunnya yang terbengkalai, dan
juga patung-patung batu berwarna kelabu.
Di dalam rumah, jelas bahwa Dad telah berbelanja lagi, hanya
dengan melihat kantung plastik yang berserakan di lantai. Ia sedang
memegang satu bungkus benih di tangan kiri dan sebuah bungkusan
bulat di tangan kanannya. Ia menyerahkannya pada Stan. "Bukalah,"
ia berkata sambil nyengir.
Stan membuka bungkusan itu dengan pisau dapur. Sebuah
papan dart! Ia telah meminta Dad untuk membelikan papan dart
selama bertahun-tahun. Ia bahkan bersedia untuk berhenti
berlangganan majalah horor hanya untuk mendapatkannya. Namun
Dad selalu berdalih bahwa dart berbahaya.
"Wow, terima kasih Dad, ini hebat sekali..." Stan mulai berkata.
Dad memandang lurus kepadanya. "Kita akan membuatnya
menjadi rumah yang sebenarnya, Stan," ayahnya berkata, "aku
berjanji." Lalu ia tersenyum.
Stan mengangguk. Ia tahu apa yang coba dikatakan ayahnya.
Sudah berapa lama sekarang" Hampir tiga tahun. Namun Stan
tetap ingat hari itu seolah-olah baru seminggu. Ia ingat kehampaan
yang dirasakan dan menelan mereka bulat-bulat.
Hari itu Selasa, hari meninggalnya ibunya. Hari yang cerah.
Stan teringat betapa aneh kelihatannya, mendengar suara tawa dari
taman bermain di sekolahnya.
Di rumah mereka tak ada suara. Bahkan jam dinding di ruang
tamu berhenti berdetak. Mereka bertiga ada di sana, namun rumah
mereka selalu terasa kosong dan hampa.
Dan sunyi. Kesunyian itu berlangsung berhari-hari, bermingguminggu, dan berbulan-bulan.
Stan merasa kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tidak begitu mengerti apa yang terjadi. Tidak seorangpun yang dapat
diajak berbicara. Tak seorangpun. Tak seorangpun yang dapat ditanyai
mengapa ibunya sakit, mengapa ia tidak dapat sembuh, dan mengapa
ia harus meninggal. Floella menenggelamkan diri dalam tumpukan buku. Mungkin
keadaan lebih sulit baginya, ia lebih tua dan lebih mengerti akan
semua hal yang terjadi. Namun sulit untuk berbicara dengan Floella.
Ia tidak pernah membicarakannya. Ia mungkin mengubur perasaannya
di bawah catatan Perilaku Manusia-nya.
Dan Dad... Dad melakukan apa saja yang harus dilakukannya.
Ia mengurus mereka, mengantar ke sekolah, ke rumah teman mereka,
dan berbelanja. Kadang ia juga menyebut-nyebut Mum.
Namun selalu dalam suara seperti itu, keceriaan yang
dipaksakan. Suara yang biasanya digunakannya ketika menyuruh Stan
minum obat atau mengunjungi Paman Archie. Suara "ini-tak-akanmenyakitimu-sedikitpun". Walaupun sebenarnya kadang cukup
menyakitkan. Hal seperti itu berlalu cukup lama. Waktu yang menyedihkan.
Namun keadaan menjadi jauh lebih baik kini, sejak musim panas
tahun lalu ketika Dad mengeluarkan sekotak penuh foto.
Stan dan Floella tidak pernah melihat foto-foto itu sebelumnya.
Di sana terdapat foto mereka saat bayi, anak-anak"tertawa, foto-foto
gembira dengan ayah dan ibu mereka. Mereka semua bersama.
Lalu Dad melingkarkan lengannya di bahu Stan dan berkata,
"kau sangat mirip dengannya, kau tahu," ia berkata dengan suara yang
normal. Tidak sedih, tidak gembira, tidak berpura-pura ceria, hanya
normal. Dan Floella duduk di sana menatap salah satu foto,
memegangnya dengan kencang sampai foto itu kusut.
"Itu adalah hari terburuk dalam hidupku, ia tiba-tiba berkata.
Lalu ia mulai meneteskan airmatanya. Begitu pula Dad.
Stan hanya memandang, hampir terkejut. Ia belum pernah
melihat Floella menangis sebelumnya. Juga Dad. Tidak seperti itu,
tanpa harus berpura-pura mata kelilipan, atau gatal.
Bagaimanapun, setelah saat itu, keadaan mulai membaik.
Kepindahan adalah langkah besar selanjutnya"meninggalkan masa
lalu di belakang"tidak melupakannya, namun juga tidak hidup di
dalamnya... Stan memilih dinding tempat ia meletakkan papan dart-nya.
Floella membantunya. Dan setelah itu mereka mengalami sore yang
indah, berbicara, bercanda dan mulai melihat foto-foto itu lagi.
Dad meminta Floella dan Stan membantunya memilih salah
satu foto ibu mereka agar dapat digantung di atas perapian. Akhirnya
mereka menetapkan untuk memasang fotonya yang sedang memakai
bikini bunga-bunga, dengan Stan dan Floella yang keduanya
menggunakan topi kuning besar.
Kemudian Dad memanggang beberapa sosis besar sampai
kecoklatan dan renyah. Mereka menikmatinya dengan lahap sampai
tidak ada yang tersisa. Ya, itu adalah sore yang indah"sampai mereka menyalakan
televisi. 10 Malam hari "Dan kini, kami memotong acara malam ini untuk sekilas berita
lokal." Bahkan sebelum tampak fotonya, Stan tahu berita apa yang
hendak ditayangkan. Raymond Golightly masih hilang.
Polisi kebingungan. Mereka tidak memiliki petunjuk mengenai
kehilangannya, tidak ada tanda-tanda di mana ia berada. Mereka
mengharapkan ada orang yang akan memberi informasi.
Informasi... Itu artinya Stan. Benarkah" Ia telah melihat sesuatu yang tidak
mungkin dilihatnya. Informasi macam apa itu"
Bagaimana ia bisa pergi ke polisi" Apa yang akan
dikatakannya" Bahwa ia melihat wajah di jendela rumah kosong"
Wajah milik anak laki-laki yang beberapa saat kemudian menghilang"
Rumah itu terletak di belakang hutan, kira-kira seratus
yard...bagaimana mungkin ia dapat melihat wajah dengan jelas"
Tidak. Tidak mungkin. Bila Floella saja menertawainya, apa
yang akan dilakukan polisi"
Dan Dad. Apa yang akan dipikirkannya" Ia dapat
membayangkan wajah Dad saat ia menceritakan tentang "informasi"nya. Dad akan terlihat marah dan serius. "Ini bukan waktunya untuk
mengkhayal, Stan," ia akan berkata. "Kau tidak boleh berbohong."
Ia dapat membayangkan mereka meninggalkan kantor polisi
dengan kekecewaan terlihat jelas di wajah Dad. Mungkin itulah yang
terburuk dari semuanya. Well, mengapa Dad harus percaya dengan ceritanya" Stan saja
sulit mempercayainya. Rumah itu kosong. Imelda berkata demikian dan ia tahu benar.
Stan juga tadi berada di sana, memang hanya di kebun. Ia memang
agak ketakutan tapi tempat itu kosong. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan di manapun. Jadi tidak mungkin ada orang di jendela dan bahkan bila
memang ada, Stan tidak akan dapat melihatnya dari jendela kamar
tidurnya. Terlalu jauh. Dan itu juga tidak mungkin Raymond karena
pada saat itu ia belum hilang.
Ia hanya berkhayal. Ia pasti hanya berkhayal.
Namun demikian, ia tidak dapat melupakan wajah itu,
pandangan yang terpancar, mata yang menatap kosong, sangat tidak
nyata. Dengan sedih Stan melompat ke ranjangnya. Ia menarik selimut
sampai dagu dan berbaring di sana. Ia tidak mau melihat ke arah
jendela. Bila saja Dad sudah membelikan tirai...
Ia mendengar Floella naik ke kamarnya, lalu kemudian, Dad
naik tangga tiga tiga, sambil bergumam. Ia mendengar ayahnya mandi
dan kemudian masuk ke kamarnya. Ia lalu mendengar lampu
dimatikan. Dad telah pergi tidur.
Rumah ini dalam kegelapan. Suara alam menambah kesunyian.
Stan tak bisa tidur. Di luar, tampak bayangan rumah tua itu menjulang di bawah
sinar bulan. Besar, mengancam, dan kosong. Ya, kosong. Imelda
mengatakan demikian. Stan memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak akan melihat ke
arah rumah itu. Ia bahkan tidak mau memikirkannya, tidak sedetikpun.
Tapi rumah itu masih di sana. Ia tahu itu. Bahkan bila ia
menutup matanya rapat-rapat, ia dapat melihat jendela di atas dan
wajah yang menatap ke arahnya, menatap melaluinya, dengan tatapan
yang kosong ... Raymond Golightly, masih hilang.
Ia turun dari ranjangnya. Ia harus memberitahu Dad, apapun
tanggapannya. Ia harus memberitahu Dad tentang semua hal yang ada
di benaknya. Mungkin ia akan mendapat jawaban, paling tidak
memberitahunya tidak akan membuatnya gila. Memberitahu Dad
sesuatu mungkin akan membantunya mengerti.
Ia melangkah menuju koridor. Hati-hati, ia membuka kamar
tidur ayahnya dan mendekati ranjang.
"Dad," ia berbisik. Tidak ada jawaban.
"Dad," ia mencoba lagi, agak lebih keras kini. Masih tidak ada
jawaban. Ia berdiri dan melihat ayahnya. Ayahnya sedang tidur nyenyak.
Stan meletakkan tangannya di bahu ayahnya, namun ia hanya
membalikkan tubuhnya. Stan menarik kembali tangannya. Ia tidak bisa melakukannya.
Ia tidak dapat membangunkan ayahnya. Ia tidak dapat mulai
menjelaskan. Tolong aku, sebuah suara berkata di kepalanya. Please, tolong
aku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Namun ia tidak
mencoba untuk membangunkan Dad lagi.
Kembali ke ranjangnya, ia membenamkan wajahnya dalam
bantal. Ia tidak pernah merasa begitu kesepian, tidak sejak
meninggalnya ibunya. Tidak pernah.
Dan ketika akhirnya ia jatuh tertidur, ia masuk dalam mimpi
yang aneh dan mengerikan. Mimpi itu membuatnya menjerit
ketakutan, mimpi yang menampakkan orang-orang mengangkat
tangan mereka, meminta pertolongan. Wajah dalam bayangan. Semua
yang dapat dilihat oleh Stan adalah tangan yang terentang dan mata
yang ketakutan. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Ia dapat mendengar suara yang bergema di telinganya, "tolong
aku. Tolong aku, sebelum semuanya terlambat."
"Siapa kalian?" Stan berteriak sambil bergerak gelisah di
ranjangnya. "Siapa kalian?"
Namun tidak ada jawaban. Mata-mata itu menghilang, suarasuara mereka semakin kabur.
Yang tertinggal hanyalah suara tawa mengerikan. Tawa setan,
tawa yang kejam, lengkingan tawa yang membuatnya menangis
ketakutan. Ia terbangun, menggigil. Ia duduk tegak, tubuhnya bersimbah
keringat. Suara tawa itu masih bergema di telinganya.
"Pergi!" ia berteriak, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
masih setengah tertidur. "Tinggalkan aku sendiri!"
Ia memandang ke jam dinding... setengah dua. Apakah hanya
itu" Masih berjam-jam untuk melalui malam ini. Berjam-jam dalam
kegelapan. Berjam-jam seorang diri.
Ia turun dari ranjangnya dan berdiri di tengah-tengah kamar,
mencoba bernapas dengan normal sampai ia benar-benar terbangun.
Lalu ia berbalik. Ia memandang melalui jendela yang tak
bertirai, menatap ke luar di balik hutan. Ada sesuatu di sana. Sesuatu
di jendela atas. Sebentuk wajah, tanpa ekspresi dan kosong. Sebentuk wajah
yang bersinar seolah-olah ada cahaya dari dalam, cahaya yang dingin.
Sebentuk wajah pucat, dengan mata yang menatap. Sebentuk wajah
yang sangat jelas. Sangat jelas sehingga hampir-hampir terlihat nyata.
"T-t-t-idaaak," Stan mengerang. Ia tidak mau memandang, tidak
mau melihatnya, namun ia tidak dapat memalingkan matanya.
Wajah itu masih menatap.. .namun itu bukan wajah pucat
Ratu Bukit Brambang 1 Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua Pendekar Aneh Naga Langit 30

Cari Blog Ini