Wajah Di Jendela Karya No Name Bagian 2
Raymond Golightly. Itu adalah seseorang yang agak berbeda.
Seseorang yang baru saja dilihatnya kemarin.
Namun kali ini tanpa seringai. Tak ada senyum mengejek.
Tidak ada bibir yang mengkerut. Tidak ada ekspresi yang biasanya
tampak di wajah Colin "Crusher" Armitage.
Hanya wajah yang kosong. Tanpa ekspresi, seperti wajah
Raymond Golightly yang ia lihat sebelumnya.
Jangan biarkan ini terjadi, suara di kepala Stan memohon. Ini
tidak mungkin terjadi. Tolong jangan biarkan ini terjadi.
Ia mencoba berjalan menuju pintu. Ia harus pergi, menjauhi
jendela dan keluar dari kamar. Ini tidak bagus. Kakinya tidak dapat
menopang tubuhnya. Ia jatuh ke lantai. 11 Hari Gelap Floella menemukannya di tempat Stan terjatuh pada pagi
harinya. "Bangun, Stan! Bangun."
Floella sedang menarik-narik lengan piyama Stan. Stan
memandang kakaknya dengan tatapan kebingungan, tegang dan
kedinginan. Apa yang sedang ia lakukan di lantai" Lalu ia ingat.
"Aku melihatnya lagi. Sebentuk wajah. Hanya saja itu wajah
Crusher. Di jendela. Hanya menatap. Aku melihatnya lagi! Bukan
Raymond Golightly, tapi Crusher." Ia jatuh ke pelukan Floella. Lalu ia
berbicara lagi, kata-kata tidak beraturan keluar dari bibirnya. Tapi itu
tidak masalah, selama Floella mengerti maksudnya.
"Wajah itu"menatap lurus ke arahku, seperti sebelumnya.
Sangat nyata"itu wajah Crusher, sangat jelas. Aku dapat melihatnya,
bersinar di jendela dan di mimpiku ada suara ini..."
Ia mengusap wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. Lalu ia
menatap Floella. Apa yang akan ia lakukan" Tertawa" Mengatakan
bahwa ia gila" Memberitahu Dad"
Ia tidak melakukan semua itu.
"Hmmm." Ia berkata.
Hanya itu" Pikir Stan. Tidak ada lagi"
"Wajah yang lain?" Floella berkata. "Dan kali ini adalah wajah
Crusher." Ia duduk, berpikir. "Sangat menarik," ia melanjutkan.
Stan menghantamkan kepalan tangannya ke lantai. "Ini tidak
menarik!" ia menjerit. "Ini mengerikan! Dan ini benar, setiap kata
yang kukatakan itu benar!"
"Aku percaya padamu," kata Floella.
Stan menghela napas dengan lega.
"Paling tidak," ia menambahkan. "Aku percaya bahwa kau
yakin semua itu benar."
"Floella," ia berkata dengan gigi yang menggertak. "Aku tidak
mengarang semua ini, kau tahu."
"Itulah yang kaupikirkan," kata Floella dengan nada sabar dan
pengertian. "Tapi itu tidak berarti bahwa semuanya benar."
"Sangat menarik bagaimana otak manusia bereaksi di bawah
tekanan," ia menambahkan sambil menatap adiknya seolah-olah ia
adalah spesies baru. "Bisa dimengerti tentu saja, reaksi alamiah,
dengan pindah rumah, hal-hal baru yang harus dibiasakan, dan
semuanya yang berbeda."
"Tapi aku tidak..." Stan mulai memprotes. Ini tidak berguna.
Floella berdiri. Ia sedang bersiap-siap untuk menjelaskan
diagnosanya. "Percayalah padaku, kau sedang menderita satu bentuk
delusi, Stan. Itu terlihat jelas," ia berkata. "Semuanya karena
perubahan yang terjadi akhir-akhir ini."
Floella terlihat bangga pada dirinya sendiri. Dan yang paling
buruk, ia kelihatan seperti ingin membantu. "Kau mengkhawatirkan
Crusher. Aku tahu itu, tetapi kita bisa mengesampingkannya. Kau
tidak ingin meninggalkan Molehill Road, tapi..."
Bila ia mendengar lebih jauh lagi tentang ini, Stan mungkin
akan memukulnya. "Aku melihat Crusher, Floella," ia berkata. Aku benar-benar
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku tahu itu. Aku melihat
mukanya yang gemuk jelek sedang menatapku dari jendela. Aku
melihat bulu matanya, setiap detil bahkan jerawat besar yang ada di
dagunya." Floella menggelengkan kepala. "Bagaimana?" Bagaimana
kau dapat melihatnya dengan sangat jelas" Tidak mungkin. Itu terlalu
jauh dan saat itu tengah malam. Gelap! Lihat, kau bahkan tidak dapat
melihat pot tanaman yang besar melalui jendela padahal itu hanya
terletak di ujung kebun."
Stan merasa ingin menangis. Tidak ada kata-katanya yang akan
meyakinkan Floella. Ia tak akan percaya. Dad juga. Ataupun orang
lain. Ia tidak mungkin dapat melihat apa yang telah ia lihat. Itu
mustahil. Namun sebuah suara terdengar di kepalanya, itu terjadi.
Entah bagaimana. "Ada juga satu kemungkinan lain," Floella berkata, sambil
berdiri untuk meninggalkan ruangan. Stan menengadah. "Mungkin
karena sosis kelima yang kau makan tadi malam."
Lalu ia turun untuk sarapan pagi.
Hari itu menjadi lebih buruk. Stan mencoba meyakinkan dirinya
bahwa Floella benar. Itu semua hanya khayalan. Ia berusaha
meyakinkan diri, ia ingin meyakinkan diri, tapi sulit.
Sepanjang hari pikirannya selalu melayang kembali pada
wajah-wajah itu, rumah tua di balik hutan, dengan jendela-jendela
yang tertutup, kebun yang terbengkalai yang penuh patung orang
sedang menjerit. Apakah ada sesuatu yang terjadi di rumah kosong
itu" Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat"
Semakin keras ia berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal itu,
semakin dalam pikiran-pikiran itu menyusup dalam benaknya. Ia
mencoba menyibukkan diri, berkonsentrasi dengan hal yang sedang
dikerjakannya. Ia mengikuti ayahnya dari ruangan satu ke ruangan lainnya
sambil menawarkan bantuan. Ia tidak ingin sendirian, tidak satu detik
pun. Ia membersihkan dapur, mengepel lantai, memoles perabotan
sampai bersinar. Ia menyapu lantai sampai bersih seolah-olah
hidupnya tergantung padanya. Pokoknya ia akan melakukan segala hal
yang akan membantunya berhenti berpikir.
Ia berusaha untuk menelpon Midge, namun tidak ada jawaban
bahkan mesin penjawab telponnya juga mati. Tidak ada orang lain
yang ingin ditemuinya saat itu. Tidak seorangpun yang bisa
diberitahunya tentang semua yang terjadi. Jadi ia bermain piano,
hampir satu jam. Ia bermain dengan cepat sampai-sampai jarinya
terasa akan patah. Itulah saatnya Dad melangkah masuk. "Apakah kau sakit?" ia
bertanya, terlihat curiga dan memegang dahi Stan untuk memeriksa
apakah anaknya terkena demam.
"Tidak," kata Stan sedih. Ia tidak dapat menceritakan
masalahnya kepada Dad. Ia kemudian membersihkan boneka, namun pikirannya terus
kembali pada wajah di jendela.
Tidak. Apapun yang dilakukannya, ke manapun ia pergi, rumah
itu tetap di sana. Rumah itu masih menunggu, pikir Stan tidak
nyaman. Rumah itu menunggu sesuatu.
Paling tidak, hari paling panjang yang pernah dialami Stan
hampir berakhir saat matahari mulai tenggelam. Stan menutup tiraitirai di lantai bawah, gembira karena bisa menghalangi bayangan
pohon-pohon dan juga cerobong asap di rumah tua itu.
Duduk di depan perapian, ia memandang api yang memercik di
batubara. Ia menggigil. Sesuatu yang buruk akan terjadi, kata sebuah
suara di kepalanya. Jangan aneh-aneh, ia berusaha untuk berkata pada
diri sendiri. Namun pikiran itu tetap ada di sana, merasuk di kepalanya.
Sesuatu yang buruk akan terjadi, sesuatu yang salah, sesuatu yang
jahat... "Ada apa denganmu?" Floella bertanya ketika ia masuk ke
ruangan itu. "Masih melihat khayalan?" Dan ia menyeringai.
Stan menelan ludahnya. Itu tidak lucu. Ia ketakutan. "Itu bukan
khayalan, Floella. Aku melihat mereka. Aku melihat Raymond, lalu
aku melihat Crusher. Aku tidak mengada-ada," ia berkata.
Floella menggigit ujung pensilnya. "Apa yang terjadi
kemudian?" ia bertanya dengan suara bosan. "Apakah Crusher hilang
juga?" Stan menggigit bibirnya. Air mata sudah menggelayut.
Tok, tok, tok. Seseorang mengetuk pintu depan tiga kali. Floella
melompat berdiri dan memandang Stan.
"Tamu" Malam-malam seperti ini?" kata Dad yang keluar dari
dapur dengan sepasang sepatu yang baru disemir di tangannya. Floella
mengikutinya ke pintu depan.
Beberapa detik kemudian ia kembali ke ruang duduk. Pipinya
memerah dan pandangannya aneh. "Em...polisi..." ia berkata.
Tampaknya ia kesulitan untuk melanjutkan perkataannya.
Di belakangnya dua orang petugas kepolisian dan Dad. "Maaf
mengganggu Anda malam-malam begini," kata salah satu dari
mereka. "Tidak masalah," kata Dad, sambil menunjuk ke kursi
berlengan di dekat perapian. "Apa yang dapat kulakukan untuk
Anda?" "Kami sedang memeriksa rumah-rumah di sekitar sini, sir," kata
yang lebih tua, sambil duduk. "Kami sedang melakukan penyelidikan
orang hilang. Seorang anak berusia empat belas tahun hilang
semalaman. Tinggalnya di jalan ini. Namanya Colin Armitage."
12 What Now" Pintu depan ditutup. Petugas polisi telah pergi.
"Wow," Floella menghembuskan napasnya. "Hebat."
Ia menyeret Stan ke atas menuju kamarnya, mendudukkannya
di ranjang dan menatapnya dalam-dalam.
"Kau cenayang, itulah yang terjadi," ia berkata.
Ia melompat-lompat kesenangan. Di samping itu, kemungkinan
apa lagi yang masih tersisa" Ia telah memberitahu Floella tentang
wajah Crusher di jendela jauh sebelum ia tahu bahwa Crusher
menghilang. "Kau melihat penampakan, melihat masa depan," ia
melanjutkan, matanya bersinar. "Wajah-wajah itu"mereka semacam
proyeksi dari imajinasimu. Visi indera keenam yang kaulihat. Kau
dapat melihat sesuatu yang tidak kasat mata, sesuatu yang
berhubungan dengan masa depan..."
Floella dapat menyebutnya apa saja. Stan tidak peduli. Namun
Floella salah. Ia tahu apa yang ia lihat.
"Aku seharusnya memberitahu mereka," ia berkata, meninju
bantalnya dengan putus asa. "Aku seharusnya memberitahu mereka
tentang wajah-wajah itu. Membuat mereka pergi untuk menyelidiki
rumah itu." Ia duduk diam dan berpikir. Ia tidak memberitahu polisi sesuatu
apapun. Ketika saatnya tiba ia tidak dapat melakukannya. Ia telah
membuka mulut namun tidak sepatah katapun keluar dari bibirnya.
Mereka semua duduk dan terlihat begitu tenang serta serius,
begitu ... ehm, dewasa. Ia tahu, pokoknya ia tahu, mereka tidak akan
mempercayai cerita aneh tentang wajah di jendela.
Pintu depan terbanting. Dad keluar untuk pesta selamat datang
di rumah Imelda. Ia akan pergi selama beberapa jam, paling tidak.
Stan memeluk bantalnya. Cahaya di samping ranjangnya
memantul di dinding. Semuanya terasa seperti rumah kembali, di sini
rumah baru ini. Nyaman. Aman, bahkan.
Tidak seperti di luar. Stan memandang ke jendela. Di luar gelap dan angin berhembus
keras meniup daun-daun dan hujan mulai turun.
Dan di luar rumah yang besar dan sunyi itu menjulang sampai
ke awan yang gelap. Rumah itu sedang menunggu, pikir Stan, tanpa
tahu mengapa. Menunggu sesuatu. Atau seseorang.
"Stan," tanya Floella. "Apakah kau baik-baik saja?"
Ia menatap wajah kakaknya. Berapa lama ia telah berdiri di
depan jendela" Sepertinya sudah lama sekali. Floella duduk di
ranjang, menatapnya. Ia tersenyum kepadanya.
Lalu senyum itu membeku di wajahnya. Hanya matanya yang
bergerak, menatap ke luar jendela. Wajahnya memucat, sepucat
seprei. Sepertinya setiap tetes darah mengering di wajahnya.
"Ada apa?" Stan bertanya. "Floella, ada apa?" Namun ia tidak
menjawab. Ia hanya duduk, jari-jarinya mencengkeram pinggiran
ranjang dan matanya terus menatap ke jendela.
"Stan," ia berbisik, sepertinya ia tidak mampu berbicara. "Oh
Stan." "Ada apa?" kata Stan. Ia merasa dingin. Tubuhnya seolah-olah
membeku, dingin seperti tulang-tulangnya dikubur dalam es.
"Katakan padaku!"
Lalu ia berbicara"berbisik pelan, sangat pelan. "Lihat, Stan.
Lihatlah di rumah itu. Lihat ke jendela."
Stan tidak dapat bergerak. Ia tidak dapat bergerak tapi ia harus.
Ia harus melihat ke rumah itu, ke jendela di bawah atap. Pelan,
ketakutan, ia berbalik dan melihat ke luar.
Ada wajah di jendela. Ia tahu itu. Tapi bukan yang ini.
Seharusnya bukan wajah ini.
Ia membuka mulutnya untuk berbicara namun tidak sepatah
katapun keluar. Tidak ada yang bisa dikatakan.
Di sana ada sebentuk wajah. Menatapnya dari jendela. Tanpa
ekspresi, membeku dan kosong. Sebentuk wajah yang dikenalnya.
Sangat dikenalnya. Terlalu dikenalnya.
"Tolong aku, Floella," Stan merintih. "Tolong aku."
Floella memeluk lengan Stan. Buku-buku jarinya memutih.
13 Rumah Tua Lalu hilang. Satu detik wajah Stan menatap kosong dari jendela
rumah tua itu. Detik berikutnya, hilang. Hanya terlihat bayangan
suram rumah besar itu. Stan berdiri membeku seperti sebuah patung. Ia tidak dapat
berbicara, ia tidak dapat berpikir, ia tidak dapat menggerakkan satu
ototpun. Lalu ia mulai gemetar, tak terkendali.
"Stan," kata Floella pelan. "Kita harus melakukan sesuatu."
Ia masih menatap rumah itu, matanya terfokus pada jendela di
bawah atap. Namun kini hanya ada kegelapan. Tidak ada yang bisa
dilihat lagi, tidak ada setitik cahayapun. Namun demikian, Floella
tidak dapat memalingkan matanya.
"Aku takut, Floella," Stan berbisik ketakutan. "Aku takut
setengah mati. Raymond... Crusher... Mereka semua menghilang. Dan
kini giliranku." Ia kembali ke ranjangnya dan membenamkan mukanya di
bantal. Floella tidak bergerak, masih menatap jendela dalam kegelapan,
memandang rumah tua yang gelap gulita. Lalu ia berbalik dan
mengangguk tegas. "Ikut aku," ia memerintahkan, berjalan menuju ke pintu. "Kita
akan memeriksanya!" Stan menggelengkan kepalanya dan kembali menyusup ke
ranjangnya. "Apa yang bisa kita lakukan?" ia berkata. "Kita tidak tahu
apa yang sedang kita hadapi."
Ia tidak pernah sebegitu putus asanya.
"Kita akan mengetahuinya!" kata Floella tegas.
Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak seorangpun dapat membuat adikku menghilang. Tidak bila
aku terlibat di dalamnya."
Floella mulai mampu mengendalikan dirinya sendiri, tetapi
bukan wajahnya yang tampak di jendela kan"
"Ke.... kemana kita akan pergi?" tanya Stan dengan suara
tercekat. Ia tahu benar jawabannya.
"Ke rumah itu tentu saja. Dan sekarang juga!"
Stan mematung. Kakaknya benar. Mereka harus melakukan
sesuatu. Tapi bukan itu. Yang lain kecuali itu.
"Bisakah kita...mungkin Dad?" ia mulai berkata.
"Itu tidak akan berhasil," kata Floella datar. "Dapatkah kau
membayangkan, memasuki pesta, memintanya untuk mengejar hantu
di tengah malam seperti ini?" Ia menggelengkan kepalanya.
Stan masih diam tak bergerak.
"Di samping itu, bila kita memaksanya, ia pasti menyuruh kita
menunggu sampai pagi hari. Kita harus bertindak sekarang," Floella
mendesak. "Kita tidak tahu berapa banyak waktu yang kita miliki."
Berapa banyak waktu yang aku miliki, pikir Stan, masih tidak
bergerak. Floella menatapnya, duduk di pojok ranjang. Stan kelihatan
sangat kecil, ketakutan. "Lihat," ia berkata, mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
"Kita tidak dapat duduk di sini dan menunggu." Ia mengulurkan jaket
Stan. "Kita tidak akan menghentikannya, apapun itu, hanya dengan
duduk di sini." Ia menarik tangan adiknya sampai berdiri. "Kita harus
pergi ke rumah itu."
Ia menatap Stan yang sedang memakai jaketnya.
"Siap?" ia bertanya.
Stan memandang sepatunva.
"Siap," ia berkata.
Di luar angin masih bertiup di sepanjang The Glades. Di luar
gelap dan dingin. Gelap gulita. Bulan telah menghilang dan sederetan
awan hitam berarak di langit.
"Floella," kata Stan berdiri sambil gemetaran di pintu depan.
"Please. Biarkan aku bicara dengan Dad dulu. Biarkan aku mencoba."
Floella tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya, lalu
rnengangguk pelan. Stan melangkah ke ke pintu depan rumah Imelda.
Bukankah Dad pernah bilang pada Stan untuk selalu menceritakan
setiap masalah yang dialaminya" Tidak ada hal yang terlalu aneh
untuk dibicarakan antara mereka berdua"
Di depan pintu rumah Imelda, Stan ragu-ragu. Cahaya tampak
melalui tirai di jendela besar. Mungkin ia harus melihat lebih dahulu.
Ia bergerak mendekat dan mengintip. Di sana Dad, berdiri di sudut
sedang berbicara dengan Imelda dan seseorang yang lain. Ia sedang
tertawa, kelihatan gembira, sangat gembira dan dikelilingi orangorang berpakaian rapi, semuanya sedang menyambutnya.
Paling tidak ada tigapuluh orang bersamanya.
Stan mundur. Ia tidak dapat melakukannya. Ia tidak dapat
masuk ke sana. Betapapun ingin, ia tidak dapat masuk ke dalam
ruangan yang penuh orang dan mempermalukan Dad.
Tidak ada yang terlalu aneh... Ia hampir-hampir dapat
mendengar suara Dad bergema di telinganya. Namun yang ini, Dad,
pikir Stan. Kali ini terlalu aneh. Lalu ia berbalik dan berlari kembali
menuju rumah di mana Floella menunggu.
Klik. Gerbang dibuka. Mereka berjalan.
Sambil menunduk, Stan dan Floella menyusuri jalan setapak
menuju ke hutan danya dengan cahaya kecil dari senter yang dibawa
Floella. Mereka berdua kini sampai ke ujung hutan. Dengan bergegas
mereka melewati lempengan batu dengan kalimat aneh yang terukir di
batu itu, kemudian melewati patung-patung orang menjerit, sampai ke
sebuah pintu"besar, gelap dan terbengkalai.
Di atas mereka, rumah tua itu menjulang, sunyi bagai kuburan.
Kosong tidak ada tanda-tanda kehidupan dari jendela yang tertutup
rapat itu. "Ayo pergi," kata Stan. Giginya bergemeletuk sangat keras
hingga Floella sulit mendengar kata yang ia ucapkan. "Ayo pulang.
Sekarang." Floella tidak bergerak. Ia mencengkeram lengan adiknya.
"Jangan..." Ia berhenti. "Dengar," ia berkata.
Mereka mendengarkan. Sangat sulit untuk menjelaskan suara apa yang ia dengar di
antara deru angin, namun itu seperti suara dengungan.
"Apa itu?" kata Floella. "Apakah itu dari dalam sana" Seperti
sebuah mesin?" Stan berbalik. Ini terlalu sulit. "Floella," ia berkata. "Aku tidak
bisa." Floella membelalakkan matanya. "Kita harus masuk," ia
berkata. Krrrk. Krrk. Sesuatu sedang terjadi. Sesuatu sedang bergerak. Itu adalah
pintu oak besar di hadapan mereka. Mereka berdiri mematung saat
pintu depan itu terbuka perlahan di depan mata mereka. Bukan
gembok, bukan rantai, bukan kunci. Tidak ada yang bersuara kecuali
dengungan mesin dan suara engsel pintu yang membuka. Dan di balik
pintu itu tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan yang hampa.
Floella melangkah maju. Ekspresi wajahnya kelihatan tegas dan
yakin. Stan tidak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya.
Lalu ia berbalik menatap Stan dan lersenyum. "Stan," ia
berkata. "Kita harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Percayalah padaku." Kata-kata yang berani, tetapi itu tidak menghentikan tubuh Stan
yang gemetaran saat ia mengikuti kakaknya masuk.
14 Tak Ada Jalan Kembali Stan menggigil. Di dalam rumah itu terasa sangat dingin seperti
di kuburan. Langkah kaki mereka menggema dalam kesunyian saat
mereka berjalan di lantai batu. Hanya suara langkah yang terdengar
selain deru angin di luar Sana.
Mereka berada dalam sebuah ruangan yang sangat luas. Di
sekeliling mereka hanya ada kegelapan yang diterangi oleh senter
Floella. Di depan mereka tampak sebuah meja besar dan beberapa
kursi yang mengelilinginya, sebuah jam tua dengan jarum yang
berhenti berdetak menempel dinding, dan di sisi satunya terdapat
sebuah perapian dengan tulisan yang terukir di atasnya:
TIDAK ADA KEJAYAAN TANPA PENGORBANAN Di mana-mana terdapat pintu.
Pintu-pintu menuju ruangan yang gelap, pikir Stan. Pintu-pintu
yang tak ingin kubuka. Ruangan-ruangan yang tak ingin kulihat.
Ia melihat ke atas. Sederetan potret tergantung di dinding
menatap ke arahnya. Ini bukan rumah yang bahagia, ia berpikir. Ini rumah yang tidak
pernah terisi oleh kehangatan dan tawa. Kau dapat merasakannya. Ini
rumah yang hampa. Rumah kebencian. Bencana.
Dan bahaya. Namun tidak ada sesuatu di sini yang dapat menjelaskannya.
Tidak ada Raymond. Tidak ada Crusher. Hanya ada suara di
kepalanya yang terus berbisik. Keluarlah dari sini, suara itu
memperingatkan. Keluarlah secepat mungkin. SEKARANG.
"Floella..." ia berkata.
Namun Floella telah melangkah lebih maju. Ia sedang berdiri di
tengah-tengah sebuah ruangan besar dan mendengarkan.
"Ada suara lagi," ia mendesis. "Apa itu?"
Itu adalah suara dengungan, suara rendah dan terus menerus...
datang dari suatu tempat di atas. Suatu tempat jauh di atas.
Tiba-tiba, mereka berdua membeku. Mereka dapat mendengar
suara yang lain. Langkah kaki. Suara langkah kaki yang tergesa-gesa
menyeberangi ruangan. Dan suara tawa, bukan tawa yang menyenangkan, bukan seperti
itu, bukan tawa bahagia. Tapi tawa panjang yang jahat. Tawa yang
terdengar dari suatu tempat di atas.
Itu dia. Apapun yang sedang mereka cari, dia ada di atas.
Menunggu... menunggu Stan.
Lari, suara kecil di kepalanya memperingatkan lagi. Larilah
sekarang, saat kau masih bisa.
Stan tidak dapat bergerak. Ia memandang Floella.
"Kita harus naik ke atas," ia berkata pelan.
Stan menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa. Ia tidak bisa naik
ke atas, tidak bisa menaiki tangga panjang gelap di seberang ruangan
itu. "Ini satu-satunya cara," Floella berbisik. Ia menggenggam
tangan Stan. Lalu mereka berdua mulai mengendap-endap menuju tangga
dan mulai naik. Mereka melangkah hati-hati agar tidak menimbulkan
suara. Mereka bergerak menuju suara gumaman dan tawa di atas sana.
Namun saat mereka sampai di puncak tangga, rumah itu sunyi lagi.
Sebuah koridor gelap tepat di hadapan mereka. Sebuah cahaya
temaram terlihat dari sebuah pintu yang setengah terbuka di ujung
koridor itu. Lewat sini, seolah cahaya itu mamanggil.
"Aku tepat di sampingmu," Floella berbisik sambil
menggenggam tangan Stan. Stan mengangguk, tidak mampu untuk bicara.
Perlahan mereka mendekati ruangan itu. Langkah demi langkah
mereka lalui di sepanjang koridor. Setiap langkah terdengar sekeras
suara guntur. Kini mereka tepat berada di luar pintu. Cahaya temaram itu kini
telah menghilang. Aku tidak akan masuk ke sana, pikir Stan, namun Floella mulai
melangkah masuk. Stan mengikutinya, tidak mampu membuat
kakinya menuruti pikirannya.
Mereka sedang berdiri di sebuah ruangan besar di ujung bawah
tangga batu. Sebuah tangga spiral menjulang ke dalam kegelapan di
atas sana. Floella mulai naik.
Stan juga. Perlahan... ...Lima langkah lagi untuk sampai ke puncak.
Empat. Kaki Stan seperti terasa lumpuh. Butuh tenaga besar untuk
menggerakkannya. Tiga. Suara tawa itu"tawa yang melengking mengerikan"bergema
dalam kepalanya. Dua. Belum terlambat untuk kembali, suara kecil berkata di dalam
kepalanya. Belum. Namun di dasar hatinya, Stan tahu bahwa sudah
terlambat. Satu. Tidak ada apa-apa. Tepat di hadapan mereka hanyalah sebuah jalan menuju pintu
lain. Gelap, berat, tua...dan tertutup.
Stan tetap berdiri diam. Ini saatnya. Waktunya telah tiba.
Apapun yang ada di dalamnya, ia harus menghadapinya. Ia tidak dapat
kembali saat ini. Jangan masuk ke sana, sebuah suara berteriak di kepala Stan.
Kau mungkin tidak akan dapat keluar lagi. TIDAK PERNAH!
Tapi sudah terlambat. Mereka menatap ketika pintu itu berderik
terbuka perlahan. "Sepertinya kedatangan kita memang diharapkan," kata Floella
dengan wajah pucat tanpa ekspresi.
Mereka berdua melangkah masuk.
15 Dalam Bahaya Dari semua yang telah dipikirkan Stan sebelumnya, ia tidak
pernah membayangkan akan menghadapi hal ini. Ruangan yang
terang. Empat dinding polos yang disinari oleh cahaya putih bulan
dari lubang di langit-langit. Wajah Floella membatu saat ia menatap
Stan dan melangkah masuk.
Stan mengendap-endap di belakangnya.
Selain suara langkah mereka, ruangan itu sunyi. Dan lalu
muncul suara-suara lagi, suara dengungan seperti yang mereka dengar
sebelumnya, namun kali ini lebih keras, jauh lebih keras. Tampaknya
suara itu datang dari kotak besar terbuat dari logam kelabu yang ada di
tengah ruangan. Stan berdiri dan memandangnya. Di sampingnya, Floella
melakukan hal yang sama, "Apa itu?" ia berbisik. "Apa yang
dilakukannya?" Benda itu seperti mesin. Di belakangnya ada banyak kabel dan
kawat. Beberapa di antaranya dihubungkan dengan layar komputer
dan keyboard. Yang lainnya menempel di dinding. Namun kabel tebal
berwarna merah yang menggugah perhatian mereka. Kabel itu
tersambung dengan sebuah teleskop raksasa. Teleskop itu tepat
mengarah ke jendela. Sebuah jendela yang tebal. Jendela yang panjang, di atas...
Jendela itu. Stan mematung. Lalu, entah bagaimana, kakinya mulai membawanya ke
seberang ruangan, ke jendela...ke mesin itu...ke...
Layar komputer. Ia lalu tiba-tiba berhenti. Itu seperti layar yang
biasa, dengan warna dan cahaya dan sebuah gambar. Gambar wajah,
wajah yang ia kenali. Wajahnya. Matanya mengabur. Ia tahu dari mana gambar itu"dari foto
yang dimuat di Riverditch News ketika ia memenangkan
penghargaan. Apa yang dilakukan foto itu di sini"
Lalu gambar itu menghilang.
Sebuah tanggal muncul. Tanggal hari ini.
Sebuah pesan muncul di layar,
RABU 27 OKTOBER COMPLETED STANLEY ARTHUR LAMPKIN Lalu, pesan itu hilang. Layarnya menjadi kosong dan tiba-tiba
ruangan menjadi sunyi senyap. Benar-benar sunyi...
Sampai seseorang berbicara.
"Selamat datang," kata suara itu. Itu adalah suara yang pelan,
lembut. Namun suara itu membuat tiap helai bulu kuduk Stan berdiri.
"Kau agak lebih cepat daripada yang kurencanakan," lanjut
suara itu. "Tapi itu hanya akan membuatnya lebih mudah bagiku."
Suara itu datang dari belakang mereka. "Lebih awal"tapi tidak
sendiri. Tidak masalah." Stan berbalik. Begitu juga dengan Floella.
Satu sosok berdiri di sisi lain ruangan itu. Bersandar di dinding
putih, tangannya bersedekap, tersenyum.
Sosok tinggi. Kurus seperti kerangka, dengan kulit yang
membalut ketat tulang-tulangnya. Rambutnya putih. Juga wajahnya,
pucat seolah-olah darahnya telah mengering.
Stan dan Floella tidak bergerak. Mereka tidak bisa.
Klik. Pintu tertutup di belakang mereka.
"Terkunci," ia berkata. Di tangannya ia memegang sesuatu
seperti sebuah remote control TV yang kecil.
Ia memandang lurus ke arah Stan dengan matanya yang dingin
dan pucat. Mata yang tidak pernah tertawa. Mata tanpa kebaikan di
Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalamnya. Mulutnya mengerut puas ketika ia memandang kedua anak itu,
Itu adalah mulut yang kejam, dengan bibir tipis seram.
Tap, tap, tap. Detak sapatunya mengetuk lantai batu saat ia
melangkah mendekati mereka.
Tap, tap, tap. Semakin dekat dan semakin dekat lagi.
Ia lalu memegang tangan Stan. Jemarinya sedingin es.
"Biarkan aku memperkenalkan diriku," ia berkata. Kata-katanya
sopan, namun nadanya sinis seperti desisan ular. "Namaku Fenton
Maltravers." Stan merasakan Floela menegang.
"Biarkan aku memperkenalkan kalian kepada tamuku yang
lain," ia berkata, mulut kejamnya tersenyum makin lebar. Ia berbalik
dan menunjuk remote control-nya ke dinding putih di belakangnya.
Lalu ia menekan salah satu tombol dengan jari telunjuk.
Dinding itu mulai bergerak. Pertama dindingnya terlihat seperti
membelah lalu kedua bagian mulai memisah, bergerak pelan dan
akhirnya menghilang di balik dinding yang lain.
Stan dan Floella mematung, mata mereka terfokus pada
pemandangan di depan mereka. Mereka sedang menatap tepat ke
dalam ruang rahasia, tepat ke mata ketakutan Raymond Golightly dan
Colin "Crusher" Armitage.
16 Terperangkap Raymond dan Crusher tidak berdaya, terlalu takut untuk
berbicara. Hanya mata mereka yang berpindah dari Floella ke Stan.
Mata yang ketakutan dan memohon pertolongan.
Selamatkan kami, mata itu berkata. Please, selamatkan kami.
Stan dan Floella melangkah mendekati mereka. Mereka berdua
mengenakan baju rumah sakit, pikir Stan. Ia menekuk jari-jari
tangannya. Baju rumah sakit...
Kedua anak itu duduk di sebuah kursi yang kelihatannya sering
digunakan oleh dokter gigi. Tangan dan kaki mereka dijepit logam
dan ada tali yang melilit dada serta bahu mereka. Namun yang paling
dikhawatirkan Stan adalah kabel. Kabel dan kawat tertempel di kepala
mereka oleh sesuatu yang seperti plester hitam.
Mata Stan mengikuti kabel itu yang menuju ke kotak dengan
deretan tombol di bagian depannya. Kotak hitam itu tergantung di
langit-langit. Dari sana, seutas kabel besar menjulur sampai ke sebuah
layar kecil. Itu seperti sebuah monitor. Garis-garis berwarna hijau
terlihat di monitor, entah untuk mengukur apa, Stan tidak tahu.
Baik Raymond maupun Crusher tidak bergerak. Mereka tidak
bisa. Dari langit-langit, wajah ketakutan mereka disinari cahaya lampu
sorot. Menyinari mereka, membuat mereka menjadi putih. Dan di
antara mereka ada sebuah kursi kosong. Sebuah kursi kosong. Sedang
menanti. "Milikmu," Fenton Maltravers tersenyum ketika ia melihat Stan
memandang kursi itu. Lalu ia tersenyum lagi dan memencet satu
tombol di remote-nya. Dinding menutup di belakang Stan dan Floella. Klik. Terkunci.
Sudah terjadi, pikir Stan. Kami terperangkap. Terperangkap
dengan empat dinding kosong. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada yang
akan menolong kita. Tidak ada yang tahu kami di sini.
"Selamat datang di laboratoriumku," kata Fenton Maltravers.
Suaranya lembut, namun itu jauh lebih mengerikan.
Dinding di belakang Raymond dan Crusher tiba-tiba mundur ke
belakang, Stan mendengar napas Floella tercekat.
Mereka berdua sedang menatap ke sebuah meja aluminium.
Meja aluminium dengan alat-alat bedah berjajar di atasnya. Berderetderet pisau tajam, peralatan seorang ahli bedah. Semuanya tergeletak
rapi, berderet lurus. Sempurna. Cermat. Dan jika alat-alat itu jatuh ke
tangan yang salah... akibatnya mematikan
Fenton Maltravers berjalan menuju meja. Ia mengambil sebuah
pisau bedah panjang dan runcing. Ia mengarahkannya ke sinar lampu.
Cahaya memantul ketika ia memutar pisau itu di depan lampu. Ia
melihat dampaknya pada Stan dan Floella melalui lirikan matanya. Ia
tersenyum. Lalu ia menjilat bibirnya yang tipis dan kejam, jarinya
memencet remote control. Ia melihat ke arah Stan dengan pandangan
yang terfokus. Tidak lagi, pikir Stan. Please. Tidak.
Namun panel di belakangnya mundur. Sebuah rak keluar.
Stan berbalik. Dan menjerit.
Sebuah patung batu melotot ke arahnya. Sebuah patung kelabu
jelek berbentuk tikus besar. Mata makhluk itu terlihat ketakutan,
giginya kelihatan, dan mulutnya lebar. Keseluruhannya terlihat bahwa
patung itu sedang mengalami ketakutan dan penderitaan.
Stan mulai gemetar. Ia tak dapat menghentikannya. Tubuhnya
mulai terguncang. Floella memegang lengannya. "Hentikan," ia
berteriak pada Fenton Maltravers. "Hentikan." Fenton Maltravers
menengadah dan tertawa, tawa yang sama yang pernah didengar Stan
dari lantai bawah. Tawa kejam penuh kepuasan karena menikmati
ketakutan mereka. Langkah kakinya menyeberangi ruangan melalui Stan. Ia
menjulurkan jari telunjuknya ke arah tikus itu. "Salah satu
sukarelawan pertamaku," ia berbisik, matanya menatap tajam ke
dalam mata Stan. Ia mengelus kapala batu tikus itu dan tersenyum. "Ketakutan,"
ia berkata. "Ketakutan di balik ketakutan." Ia berhenti dan
menggelengkan kepalanya. "Terlalu banyak ketakutan akan
menyebabkan... membatu."
Lalu ia tertawa lagi, tawa puas. Wajahnya sangat dekat dengan
wajah Stan. Hanya sejengkal. Terasa napas yang panas.
Stan mundur. Ia belum pernah merasakan kebingungan seperti
itu, ketidakberdayaan, ketakutan. Tidak pernah.
Fenton Maltravers mulai bicara lagi.
Sepertinya ia dapat membaca pikiran Stan. "Kau bingung.
Ketakutan," ia berbicara dengan suara rendah. "Semua pertanyaan
yang tidak terjawab itu... Siapakah aku" Apa yang kulakukan di sini"
Akan jadi apa kau" Kau tak tahu apa yang harus kau pikirkan."
"Semua pertanyaan ini akan dijawab bersamaan," ia berjanji.
Kini ia terlihat sangat lembut, meyakinkan, bahkan seolah-oleh
menghipnotis, seakan-akan ia sedang menenangkan makhluk kecil
yang ketakutan. "Namun sebelumnya sedikit pertunjukan film," ia
berbisik. Ia menunjuk ke arah dinding, di balik meja baja di mana sebuah
layar besar menempel di dinding. Ia memencet sebuah tombol di
remote control dan TV menyala. Sebuah laporan berita, dibaca oleh
seorang penyiar dalam setelan kelabu.
"Sebuah keputusan telah dibuat hari ini dalam kasus Fenton
Maltravers," kata pembaca berita. "Pernyataan ini dikeluarkan oleh
otoritas medis pagi ini."
Pemandangan berubah menjadi seorang wanita yang berdiri di
tangga bangunan besar, membaca dari selembar kertas. "Setelah
mempertimbangkan segala bukti yang ada, dewan memutuskan bahwa
Fenton Maltravers tidak layak untuk melakukan praktik sebagai ahli
bedah, ataupun praktik medis lainnya."
Lalu berhenti, tampaknya kaset itu telah diedit. "Ia tidak akan
diizinkan untuk melanjutkan risetnya, yang melanggar kode etik
kedokteran dan keilmuan."
Kembali kepada pembaca berita. "Seorang ahli bedah otak
terkenal sedang melakukan riset tentang fungsi otak manusia," ia
berkata. "Ini membuatnya terperangkap dalam area kontroversial
bedah psikologis, dan ia beranggapan bahwa riset ini akan dapat
menyembuhkan gangguan otak tertentu melalui prosedur pembedahan
baru yang radikal. "Penyelidikan mulai setelah keluhan yang diajukan oleh mantan
koleganya. Edwin Larousse."
Gambar itu berubah menjadi wajah seorang pria dengan rambut
kelabu. Seorang pria gagah. Seorang sosok pria yang sepertinya
pernah dilihat Stan sebelumnya.
"Ini adalah saat yang menyedihkan dan perlu disesali," kata pria
itu. "Saya sangat menaruh hormat kepada kemampuan mantan kolega
saya tersebut. Ia telah membuat beberapa terobosan baru dalam riset
medis. Tapi ini..." ia menggelengkan kepalanya. "Harus tetap ada
batasan di mana kedokteran dan ilmu pengetahuan harus dilihat dalam
konteks yang lebih luas, sederhananya adalah moralitas,
kemanusiaan." Foto close up Fenton Maltravers muncul dalam layar. Wajah
yang sama, rambut putih yang sama, sosok kurus yang sama"namun
bagaimanapun terlihat sangat berbeda. Gambar itu terlihat lebih
normal. Lebih manusiawi. Itu karena matanya. Matanya sama, dingin
dan keras, namun tanpa sinar jahat di dalamnya.
"Ini adalah ketidakadilan," ia mulai, menatap lurus ke arah
kamera. "Pekerjaanku disalahartikan. Di masa depan, dunia akan
memahaminya." Ia tersenyum, senyum yang sama. Layar berkedip dan gambar
menghilang. "Yang penting," ia berbisik dengan suara lembut di telinga
Stan. "Kini aku dapat memenuhi janji itu."
17 Tak Bisa Lari "Aku ingat sekarang," kata Floella. Matanya menatap Stan
sekilas. Ia mengalihkan pandangannya dengan cepat"tapi tidak
cukup cepat. Ia ketakutan, pikir Stan, namun tetap ada keyakinan di matanya.
Fenton Maltravers memandang Floella, dengan senyum senang.
"Kau ingat sekarang?"
"Kau pernah jadi ilmuwan yang hebat," kata Floella.
"Pernah?" ia berkata, senyum itu hilang dari wajahnya.
"Kau mempelajari otak manusia, bagaimana otak berpikir dan
merasakan, mengingat, sesuatu seperti itu," ia berkata. Wajah Floella
pucat pasi, namun pipinya mulai memerah. Suaranya terdengar keras
tidak alami dan melengking.
"Hal-hal yang baik."
"Memang hal-hal baik," Fenton Maltravers setuju. Bibirnya
tersenyum namun matanya sedingin es.
"Namun terjadi sesuatu."
Kini mata Floella memandang ke sekeliling ruangan.
Ia sedang membuang-buang waktu, mencari cara untuk
melarikan diri, pikir Stan. Tapi itu percuma. Mereka tidak bisa lari.
Kepala Stan mulai berputar. Hawa dalam ruangan itu panas,
sangat panas, dan pengap. Sulit untuk bernapas, bahkan lebih sulit lagi
untuk berpikir. "Sesuatu?" kata Fenton Maltravers. Ia berjalan menuju meja
alumunium. Ia mengusap debu di atasnya. "Aku hanya
mempraktikkan teori."
"Ada dua pria bersaudara, mereka kembar..." kata Floella.
"Keduanya memiliki gangguan otak," kata Fenton Maltravers.
"Penyakit psikiatri mereka menyebutnya demikian, istilah yang
merepotkan untuk mendeskripsikan penyakit semacam itu.
Sederhananya, otak mereka mengalami gangguan fungsi."
"Aku melakukan percobaan. Salah satu dari si kembar itu
dirawat dengan cara yang konvensional, akhirnya setuju untuk
diadakan pembedahan"untuk membereskan gangguan itu, untuk
memperbaiki kerusakan dalam otaknya."
"Tapi ia mati, kan," kata Floella.
"Ia ternyata spesimen yang lebih lemah daripada kelihatannya,
terlalu lemah untuk prosedur pembedahan perintis semacam itu,"
jawab ilmuwan itu. "Tapi apa artinya kematian seorang manusia tidak
normal bila dibandingkan dengan pentingnya penelitianku?"
Floella membelalak. "Kau tidak dapat berbicara tentang
kematian seseorang seperti itu..." ia memulai.
"Kematiannya tentu saja kusesali," ilmuwan itu berkata. "Tapi
itu tidak membuat penelitianku salah, kan?"
"Tapi pria di TV itu, ia..." Floella melanjutkan.
"Edwin Larousse," potong Fenton Maltravers. Sebuah urat
terlihat jelas di pipinya. "Edwin Larousse," ia mengulangi pelan
sambil mengangkat sebuah gunting tajam. Ia mengangkatnya ke arah
cahaya, membukanya dan menutupnya. "Edwin Larouse iri dengan
penelitianku." "Ia berhasil menghentikan penelitianmu," kata Floella.
"Ya benar," kata Fenton Maltravers. "Ia kemudian menghilang
setelah itu," ia berhenti, mendesah lembut dan menggelengkan
kepalanya. "Benar-benar satu kehilangan besar."
Lalu diam. Stan memandang warna mulai menghilang dari pipi
Floella. Ia menyerah, pikirnya. Floella tahu mereka terperangkap.
Tidak ada yang bisa ia katakan untuk membuat perubahan. Pria ini,
pria gila ini membuat kami berada di sini, dan ia tidak akan
membiarkan kami pergi. "Cukup dengan masa lalu," kata Fenton Maltravers dengan
suara yang tenang. "Tidak ada"dan tidak seorangpun"bisa
menghalangiku. Mereka seharusnya menyadari hal itu."
Ia menggelengkan kepalanya. "Mereka seharusnya menyadari
itu," ia berbisik sedih. Namun setitik cahaya bersinar di matanya.
Keluarkan aku dari sini, Stan berkata pada dirinya sendiri.
Please. Keluarkan aku dari sini.
"Jadi aku terpaksa bekerja sendiri secara diam-diam," lanjut
ilmuwan itu. "Namun kesendirian membuatku mendapat ide dan
tantangan yang lebih besar daripada yang pernah dibayangkan oleh
ilmuwan manapun." "Dan betapa beruntungnya aku," ia berbisik dengan senyum
jahat di wajahnya. "Kesempatan untuk membuat sebuah
terobosan...betapa mudahnya semua itu akan terjadi."
Matanya bersinar, ia menatap sekilas pada tikus yang membatu.
"Salah satu sukarelawanku yang pertama, namun tidak berarti yang
terakhir." Ia tertawa. "Dan kini.." ia menunjukkan jarinya pada Stan,
"Aku membawamu ke sini untuk..."
"Tidak seorangpun membawa kami ke sini," Floella memotong,
melangkah ke hadapan Fenton Maltravers. "Kami datang untuk
menyelidiki." Suaranya keras, namun bergetar, Stan dapat mendengarnya.
Apakah itu kemarahan. Atau ketakutan"
"Untuk menyelidiki?" kata Fenton Maltravers. Ada nada geli
dalam suaranya, seolah-olah sedang menertawakan Floella. Seolaholah ia sedang memainkan tipuan licik yang harus ditemukan oleh
Floella. "Ya," kata Floella. "Kami datang karena wajah yang ada di
jendela." Fenton Maltravers menggelengkan kepalanya dengan senyum
mengejek. "Kalian datang kemari karena aku membawa kalian ke
sini," ia berkata pelan.
"Tidak," kata Floella, namun ia kedengaran tidak terlalu yakin
lagi. "Kami melihat wajah Stan. Itulah mengapa kami datang."
"Benar sekali," kata Fenton Maltravers. "Tepat," ia mengulang
lembut. "Seperti yang kutahu. Stan akan datang. Akhirnya."
Lalu semuanya terdiam. Detik seperti menit, sebelum akhirnya
ilmuwan itu berkata lagi. "Aku tahu apa yang dipikirkan orang. Apa
yang kalian pikirkan," ia berbisik. "Dan aku tahu mengapa. Aku tahu
benar apa yang membuat kalian berlaku apa merasa seperti itu."
Ia berhenti, seakan-akan sedang memberi kesempatan Stan dan
Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Floella untuk menyerap kata-katanya.
"Cinta, benci, percaya, ketakutan"hal-hal ini hanyalah reaksi
kimia yang ada dalam mesin organik."
Ilmuwan itu menatap para tawanannya satu per satu. "Itu adalah
otak kalian," ia berkata pelan. "Mesin organik. Tentu saja ada
beberapa perbedaan, namun masing-masing secara esensi sama,
hampir mirip dengan mesin motor."
"Dan bila kalian memahami bagaimana mesin bekerja, kalian
akan dapat mengendalikannya. Bagaimana memanipulasinya."
Bahkan Floella saat itu pun hanya bisa diam.
"Kalian semua datang ke sini karena kalian melihat wajah
kalian di jendela. Aku menciptakan bayangan-bayangan itu. Aku yang
membawa kalian ke sini," ia berkata. "Berbeda memang, respon antar
individu, aku menghargaimu, tapi hasilnya sama saja."
"Kau Raymond," ia melambai. "Kau sedang duduk di sebuah
bus yang membawamu ke kota. Kau melihat wajahmu menatap dari
jendela sebuah rumah yang tak kau kenal."
Ia berjalan mendekati Raymond dan tersenyum pada anak yang
sedang ketakutan itu. "Bayangan itu membuatmu penasaran, sebuah
reaksi alami dari pikiran seperti yang kau miliki. Setelah kembali dari
perjalananmu kau datang ke sini untuk menyelidiki, untuk
menjelaskan semua yang tidak dapat dijelaskan."
Kini Fenton Maltravers membungkuk dan berbisik di telinga
Raymond. "Kau datang dan sangat terkejut ketika melihat pintu
terbuka. Rasa penasaranmu lebih besar daripada perasaanmu akan hal
yang salah dan benar sehingga kau masuk."
Wajah Raymond dialiri keringat. Semuanya terjadi persis
seperti yang dijelaskan oleh Fenton Maltravers. Stan dapat
melihatnya. "Kalian ingin tahu bagaimana aku melakukannya, bukan?"
Ia menegakkan tubuhnya. "Well, itu rahasia, tapi itu adalah
kehebatan dan proyeksi bukan sesuatu hal yang terlalu sulit untuk
dimengerti, kan" Dengan bantuan komputer canggih, hampir
semuanya menjadi mungkin."
Kini giliran Crusher. "Colin melihat wajahnya dari kamar tidurnya," kata Fenton
Maltravers. "Ck, ck ck, apa yang kau lakukan di tengah malam seperti
itu?" ia bertanya dengan senyum sok tahu.
Crusher tidak berkata apa-apa. Ia bahkan tidak bergerak.
"Banyak PR" Menulis surat untuk sahabat pena?" tanya
ilmuwan itu sambil tertawa kecil bernada mengejek. "Apapun itu, itu
tidak dapat dibandingkan dengan pemandangan wajahmu yang
menatap di kegelapan malam. Pernahkah kau melihat wajahmu dalam
cahaya, Colin?" Ia sedang menggodanya, namun tubuh besar yang terperangkap
dalam kursi itu tidak dapat bergerak.
"Jadi, apakah kesombongan yang membawamu ke sini"
Kegembiraan karena melihat wajahmu dapat dilihat oleh semua
orang... atau karena rasa tidak aman?"
Ia mengeluarkan kata-kata berikutnya, "Atau apakah ketakutan
bahwa seseorang sedang mempermainkanmu" Kau tidak suka lelucon
kan, Colin" Kau tidak suka bila dipermainkan, bukan" Namun apapun
alasanmu, kau datang kemari."
Air mata menetes dari pelupuk Colin dan jatuh ke pipinya.
Tubuhnya terguncang saat ia melihat ke arah jepitan logam di
pergelangan tangannya. "Kini Stanley," ilmuwan itu melanjutkan. Stan menahan
napasnya. "Well, kita semua tahu tentang Stanley."
Ia berbalik ke arah Stan.
"Kau melihat mereka berdua, bukan?" kata ilmuwan itu.
"Namun kau bahkan tidak mempercayai dirimu sendiri, tidak percaya
apa yang telah kau saksikan. Kau mungkin saja datang lebih awal.
Kau mungkin saja bisa melakukan sesuatu. Siapa yang tahu, kau
merusak rencanaku." Ia tertawa. "Jadi apa yang menghentikanmu?" ia
berhenti bicara, namun ia tidak mengharapkan jawaban dari Stan.
"Ketakutan," Fenton Maltravers berbisik di telinga Stan.
"Respon manusia yang paling besar. Ketakutanlah yang
menghentikanmu. Aku tahu itu kan terjadi."
Stan menatap Raymond dan Crusher. Aku menggagalkannya, ia
berpikir. Aku adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk
melarikan diri dan aku menggagalkannya. Kini semuanya terlambat.
"Jadi apa yang membawamu kemari, Stanley?" ilmuwan itu
melanjutkan, berbalik ke hadapan Floella dengan senyuman. "Itu
adalah, tentu saja, keberanian kakakmu, kekeraskepalaannya yang
membawamu ke sini. Akhirnya."
Stan sekilas menatap Floella yang terdiam tak bergerak seinci
pun. Gambaran rumah membayang di benaknya. Dirinya, Dad,
Floella, semuanya berkumpul di depan perapian, tertawa. Airmata
mulai muncul di pelupuk. Ia merasa kecil, ketakutan. Aku ingin
pulang, kata sebuah suara di kepalanya. Dad, di mana kau"Aku ingin
pulang. Floella melangkah maju. Setitik warna merah kembali
menghiasi pipinya. "Jadi jendela ini," ia mulai, "memiliki kekuatan hipnotis atau
sesuatu semacam itu, yang membuat orang-orang datang kemari,
itukah yang kau katakan?" suaranya gemetar ketika bertanya. Ia
sedang berjuang. "Tidak, sayangku," ilmuwan itu tersenyum. "Itu yang
kaukatakan." Dan lalu ia tertawa lagi, tawa rendah yang mengerikan. "Pada
akhirnya, bagaimana kalian ke sini tidak akan jadi masalah bagiku."
Ia benar, pikir Stan. Itu tidak akan jadi masalah. Kami di sini.
Kami terperangkap. Dan sesuatu yang buruk akan segera terjadi...
ebukulawas. blogspot.com "Stanley," kata Fenton Maltravers. "Waktunya memulai."
18 Kekuatan Otak Fenton Maltravers menyerahkan sebuah baju pada Stan. Stan
mengambilnya. Ia tidak punya pilihan.
"Kau sekarang akan terlibat dalam sesuatu yang di luar akal
manusia," kata ilmuwan itu. Matanya menatap Stan. Mereka benarbenar terperangkap. "Kau kini akan memainkan satu peran kecil
dalam perkembangan paling penting dalam sejarah manusia."
Ia mengalihkan pandangan perlahan ke arah Raymond.., lalu
Crusher... kemudian Stan. Matanya bersinar,
"Penciptaan mesin yang sempurna," ia berkata pelan.
"Penyatuan tiga jenis otak yang berbeda, memadukan kekuatan dan
menghilangkan kelemahan."
Tak ada yang berbicara. Raymond dan Crusher terlihat kosong,
seolah-olah seseorang telah mematikan saklar dalam kepala mereka.
Stan mencoba memfokuskan pandangannya pada Fenton Maltravers,
pada wajahnya yang putih dan matanya yang dingin dan tak berjiwa.
Ia gila, bisik sebuah suara kecil di dalam kepala Stan. Sinting.
Kau ada dalam genggaman orang gila. Kau harus melakukan sesuatu!
Namun Stan tidak dapat bergerak.
Kesunyian dipecahkan oleh suara Floella. "Kau benar-benar
gila," ia berteriak. "Gila."
Ilmuwan itu menggelengkan kepalanya. "Ini kesalahpahaman,"
ia berkata, "Hanya salah paham."
Lalu ia tertawa mengejek.
Bangunkan aku, Stan mulai memohon pada dirinya sendiri.
Katakan aku hanya bermimpi. Katakan padaku ini tidak nyata. Aku
tidak tahan lagi. "Kau hanyalah bahan mentah," ilmuwan itu melanjutkan. "Tapi
hanya itulah yang bisa dilakukan oleh alam. Selanjutnya terserah aku.
Aku akan mentransformasikan bahan mentah itu. Setelah bertahuntahun akhirnya aku siap," ia tersenyum. Tapi yang lain tidak.
"Kurang dari sisa kehidupan kalian, aku akan meraih proses
evolusioner yang mungkin baru bisa dicapai oleh dunia lebih dari
ratusan ribu tahun lagi..." Ia berhenti dan sudut-sudut mulutnya naik.
"Tidak. Aku akan meraih proses evolusioner yang tidak akan pernah
dicapai oleh dunia...penciptaan otak yang sempurna."
Kemudian ia berhenti bicara, namun Stan tidak merasakan
kesunyian. Kata-kata ilmuwan itu berputar-putar di dalam kepalanya.
"Mesin yang sempurna..." lanjut Fenton Maltravers. "Mampu
mengendalikan emosi. Mampu menyalakan dan memadamkan emosi,
seperti sebuah saklar, yang dioperasikan oleh logika."
Ia berjalan menuju kursi kosong dan menatap Stan. "Dan kunci
dari kekuatan ini" Kontrol terhadap reaksi yang paling dasar, paling
kuat "ketakutan."
"KETAKUTAN," ia mengulangi. "Sesuatu yang sangat dikenal
oleh Stanley." "Stan tidak takut," Floella berteriak. "Tidak ada dari kami yang
takut. Kau gila." Tetapi aku memang takut, pikir Stan. Aku belum pernah merasa
setakut ini sebelumnya. "Ketakutan," kata Fenton Maltravers pelan. "Sangat kuat,
sehingga kadang jadi liar dan tidak dapat ditebak."
Tangan Floella terkepal. Stan dapat melihat tangannya
mengepal dan kemudian membuka lagi. Namun Floella tidak berkata
apapun. "Pikirkanlah sesaat, tentang kekuatan dari ketakutan," lanjut
Fenton Maltravers. "itu adalah akar dari insting manusia. Ambillah
contoh manusia primitif. Ketakutan adanya musuh mengajarkan ia
untuk lari, ketakutan akan kelaparan mengajarkan ia untuk
membunuh, ketakutan akan kematian mengajarkan ia untuk bertahan."
Mengapa ia tidak berhenti" Pikir Stan. Hentikanlah
perkataanmu dan mulailah. Segalanya akan lebih baik dari ini.
Penantian. "Tapi ketakutan dapat dihancurkan," lanjut ilmuwan.
"Ketakutan akan esok hari, ketakutan akan hal yang tidak diketahui,
ketakutan akan hal-hal yang remeh... hal-hal ini dapat melumpuhkan,
menyebabkan kerusakan fungsi otak."
Ia berhenti. Matanya yang dingin menatap mereka satu per satu.
"Tapi bayangkanlah kekuatan otak mampu mengendalikan
ketakutan. Untuk mengontrolnya. Untuk menggunakan impuls yang
menciptakan kekuatan di dalamnya. Bayangkan otak yang sempurna
... otakku yang sempurna."
Floella tak tahan lagi, ?"Mengapa tiga?" ia berteriak. "Mengapa
memilih mereka bertiga?"
Fenton Maltravers tersenyu. Ia memandang Raymond, lalu
Crusher, lalu Stan. "Karena berbagai alasan," ia berkata lembut. "Karena kualitas
yang mereka miliki dibutuhkan dalam pekerjaanku. Untuk kombinasi
antara ilmu pengetahuan, kekuatan dan imajinasi yang mereka miliki.
Dan yang paling penting lagi, reaksi mereka terhadap ketakutan."
"Raymond memiliki logika. Ia berusaha menganalisa,
memahami. Colin menolak untuk mengakui keberadaannya, seperti
orang-orang sejenisnya, ia mungkin yang paling takut," Fenton
Maltravers kemudian berhenti.
"Namun Stanley yang paling menarik perhatianku." Ia mulai
berjalan menuju Stan, melangkah pasti.
"Ia adalah yang paling kompleks dan paling kontradiktif. Ia
menyangkal keberadaannya, namun sekaligus menumbuhkannya. Ia
menciptakan ketakutan baru dalam rangka menghilangkan yang lama.
Ia mengkerut karena takut namun sekaligus menikmatinya. Ya, setelah
kulihat dari kalian semua, Stanley adalah yang paling berani. Karena
tanpa ketakutan, tidak akan ada keberanian."
Ia mengelus dahi Stan dengan lembut. "Spesimen yang sangat
luar biasa," ia berbisik. "Gabungan antara berbagai respon kimia,
contoh yang sempurna. Untuk modifikasi," ia tersenyum, menatap
Raymond kemudian Crusher, "dan penambahan."
Ia membungkuk ke depan. "Kau, Stanley," ia berbisik. "Kau
akan menjadi prototipe pekerjaanku yang pertama."
Stan menatap kosong. Ia dapat mendengar suara itu, namun ia
tidak bisa mencerna kata-katanya. Ia tak ingin tahu apa artinya.
"Dan masih anak-anak," ilmuwan itu melanjutkan.
"Stan bukan anak-anak lagi, ia hampir..," Floella memprotes.
"Anak-anak," Fenton Maltravers melanjutkan, "memiliki
potensi yang lebih besar. Otaknya mampu berkembang secara
maksimal, kapasitasnya sangat besar."
"Tidak ada anak perempuan, kulihat," Floella menggerutu.
"Jenis kelamin yang lebih lemah. Memang sangat berkembang
akhir-akhir ini, namun masih belum layak untuk percobaanku,"
Fenton Maltravers menjawab, memalingkan mukanya dari Floella.
Ia mengambil alat semprot dari meja baja dan menuju ke arah
Stan. Semua ini akan segera berakhir, janji sebuah suara di kepala
Stan. Ia melangkah maju. ?"Jangan lakukan. Jangan lakukan..." Floella berbisik.
Stan memandang Floella. Suara kakaknya terdengar seperti
tercekik. Ada butiran air mata di matanya yang ketakutan. Stan ingin
berkata padanya untuk tidak menangis, untuk tidak terlalu gelisah.
Tidak ada yang dapat ia lakukan. Tidak ada satupun yang dapat
mereka lakukan. Ini akan segera berakhir, janji suara baru di kepala
Stan. Ia ingin mengatakan kepada Floella untuk lebih baik menyerah.
Menyerah. Mengapa harus melawannya" Ia ingin memberitahunya...
namun ia tidak bisa. Yang dapat ia lakukan hanyalah melangkah
mendekati kursi kosong itu. Fenton Maltravers memandangnya,
terlihat kepuasan di matanya.
"TIDAK," Floella menjerit. "Yang kaulakukan SALAH. Ini
KEJAHATAN!" Fenton Maltravers mengangkat tangannya, lalu tiba-tiba
berhenti. "Salah" Benar" Siapa kau berani mengatakan itu?"
"Mengambil otak orang hidup ADALAH salah. Semua orang
akan berkata seperti itu..." Floella meledak.
Senyum senang menghiasi wajah ilmuwan itu. "Mengambil
otak orang hidup" Teknikku agak lebih canggih daripada itu," ia
berkata. "Satu irisan, dan satu pemasukan. Di sini," ia menyentuh
dahinya dengan jari telunjuk. "Atau di sini," jarinya bergerak ke mata
Floella. "Langsung ke lobus frontalis."
Floella mundur, merapat pada dinding di belakangnya.
"Tapi pertama, kita perlu sedikit stimulasi."
Ia menunjuk layar monitor yang menunjukkan garis-garis
berwarna hijau. "Aktivitas otak dalam intensitas yang tertinggi sangat
penting bagi keberhasilan operasiku."
Dengan satu gerakan cepat ia memencet remote control-nya ke
arah kotak hitam yang tergantung di langit-langit.
"Mesin mikro-elektronik yang sangat hebat," ia tersenyum.
"Mesin itu mengukur tingkat aktivitas elektro kimiawi sementara
menstimulasi otak pada saat bersamaan, menanamkan pesan "
gagasan "di dalam otak. Bayangan, sugesti, delusi, semuanya adalah
pemicu respon. Dan kau tahu respon apa yang kumaksud..."
Ia tertawa. "Aku menyebutnya Medusa," ilmuwan itu berkata pelan.
"Medusaku," ia berbisik, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Apakah ini semacam lelucon" Floella tidak tahu. Ia tak mengerti,
namun ia tidak menyerah. Belum.
"Apakah kau tak merasakan sesuatu?" ia bertanya. "Rasa
bersalah" Kasihan?" lalu suaranya tersendat, namun Stan tidak
memperhatikannya. Ia tidak dapat mendengar suara Floella lagi.
Wajah Di Jendela Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa harus begitu?" kata Fenton Maltravers, berbalik ke
hadapan Stan. Ia membungkuk. Tanpa senyum.
Kaki Stan semakin melangkah menuju kursi kosong. Ia merasa
lelah. Kursi itu tepat di hadapannya. Ia sudah siap.
"Kau tidak dapat melihat, bukan?" kata Fenton Maltravers pada
Floella. "Kau tidak mampu. Benar-benar tipikal keterbatasan wanita."
Ia berbalik. Namun Floella bisa melihatnya. Semuanya terlalu jelas.
Ia melihat sebuah otak yang sangat cerdas yang terperangkap
dalam keyakinannya sendiri. Sebuah pikiran yang sangat tidak
manusiawi. "Kau akan tertangkap," ia berkata kini mulai putus asa.
Fenton Maltravers menggelengkan kepalanya. "Kurasa tidak,"
ia berkata. Stan tinggal lima langkah lagi dari kursi kosong.
"Seseorang akan menemukan kita," Floella berteriak.
"Aku meragukannya," Fenton Maltravers menjawab, dengan
sebuah senyuman. Ia tertawa. Sebuah tawa jahat dan kejam. "Telah kukatakan
padamu bahwa ini adalah mesin yang canggih," ia berbisik. "Sebuah
mesin dengan kapasitas yang tidak bisa dibayangkan... bila aku
menyalakannya." Matanya melirik ke seberang ruangan dan menatap sejenak
pada patung tikus. Sosok malang tidak berdaya yang membeku
ketakutan. Membatu. Terperangkap dalam batu kelabu selamanya.
Lalu ia kembali berbalik pada Stan.
Hanya tiga langkah dari kursi.
Dua. Satu. Fenton Maltravers tersenyum penuh kemenangan.
"Tidak ada yang dapat menghentikan aku sekarang."
Stan duduk dan meletakkan tangannya di lengan kursi. Matanya
terbuka lebar namun ia tidak dapat melihat Floella yang merapat di
dinding, menatap, tangannya terkepal, napasnya tersengal-sengal dan
berpikir keras. Ini saatnya, kata suara baru itu di kepalanya. Ini hampir
berakhir. Apapun yang akan terjadi, hampir berakhir.
Namun Floella belum menyerah dan sedang berpikir keras.
Fenton Maltravers tidak akan mengalahkan mereka. Floella tidak akan
membiarkannya. Ia harus menemukan cara.
Fenton Maltravers melangkah mundur. Tampaknya ia lupa
bahwa Floella masih dalam ruangan itu. Floella tidak penting. Ia
berdiri tegak, menatap tiga sosok yang tidak berdaya di hadapannya,
ketiganya tercekam ketakutan.
Lalu Fenton Maltravers mengangkat lengannya. Di tangannya ia
memegang remote control. Jarinya bergerak. Apakah ia sudah
menekan tombolnya" Stan menatap lurus ke matanya. "Tolong aku,"
ia berteriak. 131 19 Hitungan Mundur "Tidaaaaaaaaak!"
Sebuah jeritan. Itu adalah jeritan kemarahan seekor binatang
liar. Floella bahkan tidak mengenali suaranya sendiri. Itu adalah
lengkingan yang mengerikan.
Fenton Maltravers terpuruk di kaki kursi Stan. Stan berkedip,
menatap Floella yang berdiri di hadapannya, tanpa ekspresi, mulutnya
terbuka lebar. Di tangannya ia memegang patung batu tikus. Ia
menatap ke lantai, terkejut dengan apa yang telah ia lakukan. Di
patung kelabu itu ada tetesan darah, menetes sampai ke jari Floella
dan jatuh ke lantai. Tidak ada suara di ruangan itu.
Stan menatap tubuh yang jatuh ke lantai. Tubuh itu tidak
bergerak. Ia memandang Raymond dan Crusher. Wajah mereka pucat.
Sepucat dinding di belakang mereka.
Napas Stan terengah-engah. Ia menarik jepitan yang mengikat
tangannya dan membenamkan mukanya di tangan. Apakah semuanya
sudah berakhir" Apakah benar-benar sudah berakhir"
Ia berdiri dan mendekati Crusher. Ia membuka jepitan di kaki
dan tangannya dan mencabut kabel yang menempel di kepalanya.
Crusher membuka mulutnya, mencoba untuk berbicara, namun hanya
erangan yang terdengar. Raymond sama saja. Ia hanya terduduk di sana, gemetar.
Dan Floella masih berdiri tak bergerak, matanya terpaku
menatap lantai, tangannya menggenggam patung. Stan dengan lembut
mengambil patung itu dan meletakkannya di rak. Cairan warna merah
membasahi tangannya. "Floella," ia berkata, mengguncangkannya dengan lembut.
Namun kakaknya tidak memandangnya, hanya menatap tetesan darah
di tangannya. Lalu Fenton Maltravers membuka matanya...
Ia memandang Stan. Matanya menatap kosong, namun
kemudian kesadarannya kembali. Sinar dingin di matanya mulai
kembali. Lalu bibir tipis itu mulai bergerak. Kejahatan kembali lagi.
Fenton Maltravers berusaha menegakkan kakinya. Ia mulai
berdiri. Stan memandang ke sekeliling untuk minta bantuan. Namun
yang lain tidak bergerak. Lakukan sesuatu, kata suara di kepalanya"
suara yang lama. Lakukan sesuatu. Kau satu-satunya yang dapat
melakukannya. Stan menundukkan kepala dan berlari, seperti banteng yang
menyerang. Ia menubruk tubuh Fenton Maltravers dengan kekuatan
yang entah datang dari mana. Ia berlari dengan satu pikiran di
kepalanya. Ini adalah satu-satunya kesempatan. Satu-satunya
kesempatan untuk selamat dari sini. Hidup...atau mati. Dia...atau
kami. Stan menerjang. Ilmuwan itu terjatuh pada kursi kosong. Cepat!
Stan mengikatkan tali, memasang jepitan...Stan berhasil
memperangkapnya. Lalu ia melangkah mundur dan menatap Fenton Maltravers.
"Biarkan aku pergi," kata pria itu sambil menatap mata Stan.
Tapi itu tidak berhasil. Mata yang dingin dan kejam itu
tampaknya tak punya kekuatan lagi untuk bisa mengalahkan Stan.
"Bebaskan aku dan aku akan membiarkan kalian semua pergi,"
ia berkata, namun suaranya tidak terdengar yakin lagi.
"Bebaskan aku," ia berkata lagi, kali ini lebih keras, putus asa,
memohon. Stan berbalik. "Ayo kita pergi," ia berkata pada yang lain.
"Sekarang!" "Kalian tidak dapat meninggalkanku sendiri di sini," jerit
Fenton Maltravers. "Tidak dengan mesin yang dibiarkan menyala."
Stan memandang Floella. Gadis itu sedang mengambil kabel
yang tersambung dengan kotak hitam. Tangannya bergerak cepat,
penuh kemarahan saat ia menempelkan elektroda itu di kepala si
ilmuwan. Stan ketakutan. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Tidak lebih dari yang akan ia lakukan padamu," katanya
dengan mimik muka yang aneh.
"Ayolah," Stan berteriak sambil menyeret lengan Raymond.
"Jangan lakukan ini," teriak ilmuwan itu. "Kalian tidak
menyadari apa yang akan dilakukan oleh mesin itu... bayangan
membesar...ketakutan semakin besar ...kekuatan semakin besar."
Matanya terlihat panik, wajah putihnya penuh dengan
ketakutan. "Kalian harus membebaskanku."
Stan menggenggam remote control yang jatuh ke ke lantai. Ia
mengacungkannya ke dinding dan dengan acak menekan tomboltombolnya. Tidak ada respon. Ia mencoba lagi. Akhirnya. Dinding
bergerak mundur. Klik. Pintu terbuka.
"LARI!" teriak Stan, mengguncangkan Crusher yang
tampaknya masih terpaku. "Ayo keluar dari sini. SEKARANG."
"Hentikan mesinnya!" jerit Fenton Maltravers. "Kalian tidak
menyadari kekuatan dari ketakutan...Hentikan mesinnya," ia berteriak
lagi, mulutnya mengeluarkan jeritan putus asa.
Mereka berlari. Keluar dari pintu, menuruni tangga spiral, menyusuri koridor
gelap, turun lewat tangga, dan keluar dalam kegelapan malam.
Mereka menarik napas dalam-dalam. Lalu tanpa sepatah
katapun mereka berlari melalui kebun, berlari semakin kencang,
melewati patung-patung dan masuk ke dalam hutan.
Lalu teriakan itu terdengar. Jeritan demi jeritan, mengiringi
langkah kaki mereka. Jeritan yang ganas, liar seperti binatang liar,
membelah kesunyian malam. Siapa yang bisa menduga bahwa itu
adalah jerit penderitaan seorang manusia"
Lalu sunyi. Jeritan telah berhenti. Yang terdengar hanya angin
meniup pepohonan dan langkah kaki mereka di tanah saat mereka
melihat cahaya dari rumah-rumah di The Glades.
Pulang, pikir Stan. Dalam satu menit aku akan berada di rumah.
20 Kemudian Ketika polisi datang untuk menyelidiki, mereka menemukan
rumah dan ruangan di atas tangga spiral seperti yang digambarkan
oleh Stan dan yang lainnya. Pintu yang terbuka, kursi-kursi, noda
darah. Semuanya. Namun tidak ada tanda-tanda Fenton Maltravers. Tidak ada
jejak. Polisi menanyai mereka lagi dengan sangat hati-hati.
Crusher dan Raymond agak kesulitan untuk mengingat
peristiwa itu dan ingatan Stan juga tampaknya terlalu ruwet. Namun
Floella ingat segalanya, setiap detilnya.
Ia menceritakan pada mereka apa yang telah dikatakan oleh
Fenton Maltravers, rencana dan ancamannya. Dan ia memberitahu
mereka bagaimana ia menghantam kepala Fenton Maltravers dengan
patung, sebagai upaya pembelaan diri. Betapa itu satu-satunya hal
yang dapat ia lakukan. Stan menceritakan pada mereka bagaimana Fenton Maltravers
telah mendapatkan kesadarannya kembali dan bagaimana mereka
mengikatnya dalam kursi, sehingga mereka dapat melarikan diri.
Dan polisi berkata bahwa cerita mereka dapat dipercaya.
Fenton Maltravers tidak pernah ditemukan. Namun pada salah
satu kursi, jepitannya rusak, sepertinya diremuk oleh sebuah kekuatan
yang sangat besar. Kabelnya ditarik dengan paksa. Dan di layar hanya
terlihat garis hijau lurus. Itu saja. Tidak ada tanda-tanda Fenton
Maltravers. Tidak ada di manapun. ************************ Kemudian, berbulan-bulan kemudian, di akhir liburan musim
panas, Stan dan Floella memutuskan untuk kembali ke rumah tua itu.
Dari jendela kamar Stan mereka dapat melihat rumah itu di
balik pepohonan. Jendelanya tertutup rapat. Masih kelihatan kosong,
namun dengan cahaya matahari musim panas, rumah itu tidak terlalu
menakutkan. Horor dan malam mengerikan itu sudah agak terlupakan.
Sesuatu yang terjadi lama.
Mereka mengikuti jalan setapak melalui hutan, memanjat
gerbang besi berkarat. Mereka melewati lempengan batu, dengan
pesan aneh yang tertulis di atasnya. Mereka sampai ke ujung kebun
yang terbengkalai di mana ada satu patung yang berdiri menunjuk...
Dan lalu mereka berhenti.
Di sana ada patung lain, di semak yang lebat, menghalangi
langkah mereka. Patung itu dulu tidak ada di sana. Itu patung baru...
ebukulawas.blogspot.com Patung itu seorang pria, seorang pria dengan mimik muka yang
sangat ketakutan. Seorang pria tinggi kurus dengan lengan terangkat dan kaki
membentang, seperti sedang berlari. Melarikan diri dari sesuatu.
Seorang pria dengan mulut kejam yang menyeringai putus asa.
Seorang pria dengan jari telunjuk yang panjang.
Menunjuk... Menunjuk tepat ke arah Stan, sementara matahari menyinari
matanya yang dingin, mata batunya.END
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 45 Animorphs - Alternamorphs 2 The Next Passage Goa Larangan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama