Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May Bagian 3
Tentu saja dengan segala daya-upaya, saya mulai diselidiki. Saya meloloskan diri
dan kabur dari tanah air. Tidak ada yang bersedih atas kepergian saya. Tidak ada
seorang pun yang menangis dan saya sudah tidak punya lagi ayah, ibu, saudara,
juga kerabat. Tidak ada orang yang menangisi saya, tetapi banyak orang yang
menangis karena saya. Itu semua sama sekali tak terpikirkan sampai kesadaran
akan hal itu datang, seperti sebuah hantaman yang hampir membuat saya tersungkur
ke tanah. Pada suatu hari, sebelum saya melintasi batas negeri Jerman, saya
dikejar-kejar oleh polisi, yang telah semakin dekat. Pada saat itu saya melintas
di sebuah desa yang miskin. Secara kebetulan saya berlari melintasi halaman
kecil menuju sebuah gubuk reyot dan tanpa menyebut nama, saya mencari
perlindungan pada seorang ibu tua yang bertubuh kecil dan anak perempuannya,
yang saya temui di biliknya. Mereka menyembunyikan saya atas kehendak suaminya
yang mengatakan bahwa saya ini teman mereka.
Kemudian mereka duduk bersama dengan saya di sebuah sudut yang gelap dan
bercerita dengan deraian air mata karena hati yang luka. Mereka miskin tetapi
bahagia. Anak perempuannya setahun yang lalu sudah menikah. Suaminya mendengar
pidato saya dan ikut terhasut. Dia mengajak ayah mertuanya ikut ke
dalam perkumpulan, dan racun yang saya tebarkan mulai bereaksi. Saya telah
merenggut empat orang yang baik ini dari kebahagiaan hidupnya. Suami anakperempuan mati di ladang pembantaian dengan mengenaskan dan ayah mertuanya di
hukum penjara bertahun-tahun lamanya. Kedua wanita ini menceritakan semuanya
kepada saya. Orang yang telah diselamatkannya, yang juga telah berdosa atas
semua kemalangan mereka. Mereka menyebut nama saya sebagai seorang penghasut.
Itu adalah tamparan bagi saya, bukan secara lahiriah tapi bagi jiwa saya. Murka
Tuhan mulai dijatuhkan. Saya tetap masih bebas, tapi hati saya menderita,
sehingga tidak ada hukuman yang setimpal atas dosa yang sangat besar itu. Di
sini saya mengembara dari satu negara ke negara lain dan berusaha untuk
melakukan sesuatu tetapi tidak menemukan kedamaian. Suara hati saya terus
menyiksa saya! Betapa seringnya saya ingin bunuh diri, namun selalu ada tangan
yang menahan saya - tangan Tuhan. Tuhan telah membimbing saya setelah
penderitaan dan penyesalan selama bertahun-tahun, kepada seorang pastor Jerman
di Kansas, yang merasakan suasana hati saya dan mendesak saya untuk menceritakan
semuanya kepadanya. Saya melakukannya demi kebaikan diri saya. Saya temukan
kebebasan setelah sekian lama dalam kebimbangan, pengampunan dan penghiburan,
keimanan yang kuat dan kedamaian batin. Tuhan, saya berterima kasih sekali
karenanya!" Dia berhenti sejenak, melipat kedua tangannya dan matanya menerawang ke langit.
Dia kemudian melanjutkan,
"Di dalam hati saya bertekad, meninggalkan urusan dunia dan manusia-manusianya.
Saya pergi masuk ke dalam hutan belantara. Namun bukan saja keimanan itu sendiri
yang membuat bahagia. Pohon keimanan harus menghasilkan buah. Saya ingin
bekerja, sebisa mungkin yang bertentangan dengan pekerjaan saya dahulu. Saya
melihat, orang kulitmerah berjuang melawan kepunahan mereka dengan penuh
keputus-asaan. Saya melihat mereka terancam mati kelaparan, dan hati saya tersentuh terlebih
karena kemarahan, iba hati, dan kasihan. Nasib mereka telah digariskan demikian,
saya tidak bisa menolong, namun saya masih mungkin melakukan sesuatu hal yakni
sedapat mungkin meringankan sakrat maut yang datang menjemput mereka dan melepas
saat-saat terakhirnya dengan cintakasih dan kedamaian. Saya mendatangi suku
Apache dan belajar untuk memasukkan pengaruh saya ke dalam kepribadian mereka.
Saya telah memperoleh kepercayaan dari mereka dan semuanya berhasil dengan baik.
Saya ingin Anda mengenal Winnetou, dia benar-benar anak didik saya yang
sesungguhnya. Pemuda ini mempunyai bakat yang baik. Seandainya dia dilahirkan
sebagai anak seorang penguasa Eropa, maka niscaya dia akan menjadi panglima yang ulung atau menjadi
pemimpin perdamaian yang termasyhur. Namun sebagai pewaris seorang kepala suku
Indian dia akan punah seperti bangsanya. Seandainya saya masih hidup pada saat
dia masuk Kristen! Setidak-tidaknya saya akan mendampingi dia dalam keadaan
bahaya dan darurat sampai akhir hayat saya. Dia adalah anak spiritual saya dan
saya menyayanginya lebih daripada diri saya sendiri. Seandainya saya berumur
panjang, jika ada peluru yang seharusnya ditujukan ke arahnya, biarlah jantung
saya yang akan menahannya, dengan begitu saya akan mati dengan bahagia untuknya
dan menganggap kematian itu sekaligus sebagai penebusan dosa bagi dosa-dosa saya
di masa lalu." Dia diam dan menundukkan kepalanya. Saya sangat terharu dan tidak mampu berkata
apa-apa, karena saya merasakan hampa setelah mendengar pengakuan seperti itu.
Tetapi saya pegang tangannya dan menggenggamnya sepenuh hati. Dia memahami saya
dan itu ditunjukkannya dengan anggukan pelan dan membalas genggaman saya. Itu
berlangsung beberapa saat sampai kemudian dengan perlahan dia bertanya,
"Dari mana tadi asalnya hingga saya ceritakan semua ini kepada Anda" Hari ini
untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan Anda dan mungkin saya tidak akan
bertemu Anda lagi. Ataukah ini juga sebuah takdir, bahwa saya dan Anda sekarang
bertemu di sini" Anda lihat bukan, saya yang dulunya pendosa, sekarang berusaha
kembali ke jalan yang benar. Bagi saya hal ini begitu luar biasa, begitu lembut,
begitu menyentuh hati, tetapi tidak menyakitkan. Suasana yang serupa dengan itu
adalah ketika daun-daun berjatuhan di musim gugur. Bagaimanakah daun kehidupan
saya lepas dari pohonnya" Perlahan, gampang, dan dengan tenang" Ataukah daun itu
dipatahkan, sebelum tiba saatnya untuk gugur secara alamiah?"
Dia memandang ke arah lembah seolah-olah tanpa disadarinya ada kerinduan di
dalam hati. Saya melihat Intschu tschuna dan Winnetou datang ke arah kami. Kini
mereka berkuda dan menuntun kuda Klekih-petra di sampingnya. Kami bangkit, lalu
berjalan kembali ke perkemahan, di mana kami tiba bersama-sama dengan mereka.
Rattler bersandar pada pedati dan memandang kami dengan wajah yang kemerahmerahan dan bengkak serta menghampiri kami. Dalam waktu yang singkat dia telah
minum brandy begitu banyak, sehingga kini dia tidak sanggup minum lagi. Manusia
ini benar-benar seperti binatang yang mengerikan! Pandangannya tampak bengis
seakan-akan pandangan seekor binatang buas yang hendak menyerang. Saya bertekad
akan mengawasi dia. Kepala suku dan Winnetou turun dari atas kudanya lalu menghampiri kami. Kami
berdiri bersama-sama dan agak berjauhan.
"Apakah saudara-saudaraku kulitputih telah mempertimbangkan, apakah ingin tetap
tinggal di sini atau meninggalkan daerah ini?" tanya Intschu tschuna.
Insinyur Kepala memperoleh gagasan diplomatis. Dia menjawab,
"Sebenarnya kami ingin pergi, tapi kami harus tetap berada di sini sebagaimana
perintah yang telah kami terima. Saya akan mengirim kurir ke Santa Fe dan
bertanya tentang soal ini, kemudian barulah saya bisa memberi jawaban."
Itu sama sekali bukan gagasan yang buruk, karena dengan begitu kami harus bisa
menyelesaikan pekerjaan kami hingga kurir itu kembali. Tapi kepala suku itu
berbicara dengan nada pasti,
"Saya tidak bisa menunggu begitu lama. Saudara-saudaraku kulitputih harus segera
memutuskan, apa yang hendak Anda lakukan."
Rattler memegang mangkuk brandy dan datang menghampiri kami. Saya kira, dia akan
menuju ke saya tetapi dia malahan berjalan menuju ke arah kedua orang Indian itu
dan berbicara merancau, "Jika orang-orang Indian ini mau minum dengan saya, maka kita akan menuruti
kemauan mereka dan meninggalkan tempat ini. Jika tidak mau, kita juga tidak akan
pergi. Yang muda boleh minum dulu. Ini air apinya, Winnetou."
Dia menyodorkan mangkuk ke Winnetou. Winnetou mundur dan memberi isyarat
penolakan dengan tangan. "Apa, kamu tidak mau minum dengan saya" Benar-benar sebuah penghinaan. Kamu mau
brandy ini di wajahmu, kulitmerah terkutuk. Jilatilah itu, jika kamu tidak mau
meminumnya!" Sebelum salah seorang dari kami bisa mencegahnya, dia sudah melempar mangkuk
beserta isinya ke arah wajah pemuda Apache itu. Bagi Indian, itu adalah
penghinaan yang pantas dibalas langsung dengan hukuman di tempat, walaupun bukan
dengan hukuman yang berat. Lalu Winnetou meninju wajah bajingan itu hingga roboh
ke tanah. Dia bangun dengan susah payah. Saya akan turun tangan, karena saya
pikir dia akan melangkah untuk berkelahi, tapi ternyata bukan begitu
kejadiannya. Dia hanya menatap penuh ancaman pemuda Apache itu, memberi isyarat,
kemudian dengan sumpah serapahnya kembali ke pedati.
Winnetou menyeka wajahnya yang basah dan menunjukkan roman muka yang mashgul
seperti yang ditunjukkan juga oleh ayahnya, dan tak seorang pun mengetahui apa
yang ada di benak mereka.
"Saya bertanya sekali lagi," kata kepala suku. "Ini untuk terakhir kali. Apakah
hari ini mukapucat akan meninggalkan lembah ini?"
"Kami tidak boleh," jawab seseorang.
"Baiklah kami pergi. Tidak ada lagi perdamaian di antara kita."
Saya berusaha untuk menengahi, tapi sia-sia, karena ketiga orang itu sudah
menuju ke kuda mereka. Dari arah pedati terdengar suara Rattler,
"Enyahlah kalian! Anjing-anjing merah! Tapi anak yang meninju muka saya harus
membayar perbuatannya."
Secepat kilat tanpa disadari orang lain, dia telah mengambil senapan dari dalam
pedati dan dibidiknya ke arah Winnetou yang pada saat itu berdiri bebas tanpa
perisai apa pun. Peluru itu pasti menembusnya, karena semua berjalan begitu
cepat, sehingga tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Klekih-petra berteriak
penuh ketakutan, "Berlindung, Winnetou, cepat! "
Bersamaan dengan itu pula dia melompat berdiri di depan pemuda Apache itu untuk
melindungi. Terdengar bunyi tembakan, Klekih-petra meraba dadanya yang tertembus
peluru dengan tangan. Dia berjalan terhuyung-huyung dan kemudian roboh ke tanah.
Tapi dalam sekejap Rattler juga roboh oleh tinju saya. Saya sebenarnya sudah
berusaha menghalangi tembakan itu dengan meloncat ke arahnya secepat mungkin,
tapi ternyata sudah terlambat. Teriakan kaget dari semua yang hadir terdengar
nyaring, kecuali kedua orang Indian yang tidak bersuara sedikit pun. Mereka
berlutut di sebelah Klekih-petra yang telah mengorbankan dirinya demi Winnetou
yang dikasihinya, dan tanpa bersuara mereka memeriksa lukanya. Tembakan itu
mengenai dekat jantungnya tepat di dada, dan darah memancar keluar dari luka
itu. Saya bergegas ke sana. Klekih-petra berusaha membuka matanya, wajahnya
dengan cepat menjadi pucat dan cekung.
"Letakkan kepalanya di pangkuanmu," pinta saya kepada Winnetou. "Jika dia nanti
membuka matanya dan memandangmu, kematiannya akan membuatnya lebih bahagia."
Tanpa berkata apa-apa dia menuruti permintaan saya itu. Matanya tidak berkedip,
tetapi pandangannya tidak lepas menatap wajah Klekih-petra yang sedang sekarat.
Kedua kelopak matanya dengan perlahan mulai membuka. Dia melihat Winnetou yang
berlutut di depannya, senyum bahagia terbersit begitu cepat pada roman mukanya
dan dia berbisik, "Winnetou, schi ya Winnetou-Winnetou, oh anakku Winnetou!"
Kemudian tampak matanya seperti masih mencari-cari seseorang. Pandangannya
tertuju ke arah saya dan dia berkata kepada saya dalam bahasa Jerman,
"Dampingilah dia, setialah selamanya, lanjutkan tugas saya...!!" Dia mengangkat
tangannya memohon saya memegang tangan itu dan saya menjawab,
"Saya lakukan, ya, pasti, akan saya lakukan itu!"
Dari wajahnya tampak ajal akan menjemputnya dan dia berdoa dengan suara yang
semakin melemah, "Maka gugurlah daun saya... dipatahkan... tidak perlahan... gampang... ini
adalah... penebusan dosa terakhir... saya mati seperti... seperti yang saya
inginkan. Tuhan, ampuni... ampunilah saya! Ampunilah... Ampunilah! Saya datang
menghadapMu .. " Dia melipat kedua tangannya... darah masih mengalir deras dari lukanya dan
kepalanya kembali terkulai. Dia sudah tiada!
Kini tahulah saya, apa yang dimaksud dengan takdir Tuhan seperti yang telah dia
katakan, yakni dengan mencurahkan isi hatinya kepada saya untuk meringankan
beban pikirannya. Harapannya untuk mati demi membela Winnetou sudah terlaksana.
Betapa cepatnya harapan itu terwujud! Penebusan dosa terakhir telah terkabul.
Tuhan adalah pengasih dan penyayang, rasa penyesalan mendalam Klekih-petra telah
berakhir. Winnetou meletakkan dengan hati-hati kepala Klekih-petra di atas rumput, bangkit
pelan-pelan dan memandang ayahnya seakan-akan hendak bertanya.
"Di sana pembunuhnya tergeletak, saya sudah memukulnya," kata saya. "Terserah
mau Anda apakan." "Air api!" Hanya jawaban singkat itu saja yang diucapkan oleh sang kepala suku. Tentu saja
dengan nada mengejek penuh amarah.
"Saya ingin menjadi teman kalian, saudara kalian, saya ingin pergi dengan
kalian!" Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir saya.
Dia meludahi wajah saya dan berkata,
"Anjing kudisan! Pencuri tanah demi uang! Coyote busuk! Berani-beraninya mau
ikut kami, akan saya lumatkan kamu!"
Kalau saja orang lain yang mengatakan, saya akan membalasnya dengan tinju.
Kenapa saya tidak melakukannya" Apakah mungkin karena saya memang orang yang
masuk tanpa ijin ke tanah orang" Saya tidak membalas karena naluri agar saya
meninggalkan kesan menyenangkan bagi mereka. Namun saya tidak bisa menawarkan
diri lagi, meskipun demi sumpah yang telah saya ucapkan di depan Klekih-petra.
Orang-orang kulitputih itu berdiri membisu, menantikan apa yang akan dilakukan
dua orang Apache itu selanjutnya. Keduanya tidak menghiraukan kami. Mereka
mengangkat jenasah Klekih-petra ke atas kuda dan mengikatnya dengan kuat,
kemudian mereka menaiki pelana kudanya, menegakkan tubuh Klekih-petra yang
lunglai dan berjalan pelan-pelan dengan menyangga jenasah itu di kanan-kiri.
Mereka tidak berkata tentang balas dendam dan tidak juga sejenak berpaling ke
arah kami. Namun itu lebih buruk, jauh lebih buruk daripada jika mereka terus
terang bersumpah membalas kami dengan kematian yang mengerikan."
"Keterlaluan dan perkara ini masih akan berlanjut!" kata Sam Hawkens. "Bajingan
itu terkapar di sana karena terkena pukulan Anda dan karena kebanyakan alkohol.
Mau kita apakan dia?"
Saya tidak menjawab. Saya memasang pelana pada punggung kuda saya dan pergi.
Saya ingin menyendiri untuk mengatasi peristiwa mengerikan setengah jam yang
lalu, paling tidak secara lahiriah. Larut malam baru saya pulang kembali ke
perkemahan dalam keadaan letih, lelah jiwa dan raga.
MENJADI DETEKTIF Tidak lama setelah buku jilid pertama terbit, banyak surat yang dikirimkan
kepada saya yang intinya menanyakan kelanjutan kisah Winnetou. Tanggapan positif
ini ternyata di luar dugaan saya.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dengan berkuda, kami tiba di muara
Rio Boxo de Natchitoches. Di sana kami berharap bisa bertemu dengan orang Apache
yang ditinggalkan Winnetou. Sayang harapan kami itu tidak terwujud. Kami memang
menemukan jejak dari orang-orang yang sebelumnya berada di tempat itu, tetapi
yang kami lihat di sana sangat memilukan, yakni mayat dua orang trader yang
sebelumnya memberikan keterangan kepada kami tentang perkampungan suku Kiowa.
Keduanya ditembak. Belakangan saya tahu dari Winnetou bahwa penembaknya adalah
Santer. Kedua pedagang itu sebenarnya telah meninggalkan perkemahan Tangua lebih awal,
tetapi kano yang dipakai Santer melaju sangat cepat sehingga mereka tiba
bersamaan di muara sungai. Santer, yang berkantong kosong karena gagal
mendapatkan nugget milik Winnetou, tergiur melihat barang bawaan kedua pedagang
itu. Untuk mendapatkannya, dia menembak mati kedua orang yang tak menaruh syak
wasangka itu, kemungkinan besar dari belakang. Lalu dia menghilang tanpa jejak
dengan membawa kuda bagal mereka. Winnetou mengetahui rentetan kejadian ini
setelah menyelidiki jejak di tempat itu.
Kelihatannya pembunuh itu tidak mudah menggiring kuda beban tersebut melalui
padang sabana yang luas, apalagi dia hanya seorang diri. Selain itu, dia
terpaksa bergegas karena tahu dirinya pasti akan dikejar.
Sial bagi Winnetou, selama beberapa hari hujan turun lebat sehingga mengaburkan
jejak di tanah. Karenanya, dia tak dapat mengandalkan matanya dan terpaksa harus
mereka-reka. Kemungkinan besar Santer pergi ke permukiman terdekat untuk menjual
hasil rampasannya sehingga sang kepala suku Apache itu tidak mempunyai pilihan
selain mendatangi permukiman-permukiman itu satu persatu.
Setelah kehilangan waktu beberapa hari, Winnetou akhirnya berhasil menemukan
kembali jejak Santer di pos perdagangan Gater. Santer sempat mampir di sana. Dia
menjual semua barang rampasannya lalu membeli seekor kuda dan pergi ke arah
timur menyusuri tepi Sungai Red River.
Winnetou lalu berpamitan kepada orang Apache yang telah menyertainya dalam
perjalanan. Dia menyuruh mereka pulang ke rumah, karena mereka bisa menghalangi
perjalanannya, dan bertekad mengejar pembunuh itu seorang diri. Dia
membawa cukup banyak bijih emas sebagai bekal untuk bertahan dalam waktu yang
lama di daerah Timur. Di Natchitoches dia tidak meninggalkan pesan buat kami, karena itu kami tidak
tahu keberadaannya dan tidak bisa mengikutinya. Lalu kami berbalik menuju sungai
Arkansas dan mengambil jalan darat menuju St. Louis. Saya merasa sangat kecewa
karena tidak bisa bertemu lagi dengan sahabat baik saya ini. Tetapi saya tidak
Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu mengubah keadaan. Setelah perjalanan panjang dan meletihkan, akhirnya kami tiba di St. Louis. Kala
itu hari sudah malam. Tentu saja saya langsung mencari Mr. Henry, kawan lama
saya. Dia sedang duduk di bawah lampu di depan mesin bubut dan tidak mendengar
suara derit pintu ketika saya masuk ke bengkelnya.
"Good evening, Mr. Henry!" saya memberinya salam seolah-olah baru kemarin
terakhir berkunjung. "Bagaimana, apakah Anda telah selesai membuat senapan yang
baru itu?" Setelah menegurnya, saya kemudian duduk di ujung mesin bubut seperti yang biasa
saya lakukan dulu. Dia bangkit dari kursi, menatap saya sejenak seakan tidak
percaya lalu bersorak kegirangan,
"Anda... Anda... Andakah ini" Guru privat... Surveyor... Old Shatterhand!"
Kemudian dia merentangkan kedua tangannya lalu merangkul saya serta mencium pipi
saya berulang-ulang, bahkan sampai berbunyi.
"Old Shatterhand" Dari mana Anda tahu nama itu?" saya bertanya setelah luapan
kegembiraannya agak mereda.
"Dari mana" Haruskah Anda bertanya lagi" Di mana-mana orang membicarakan tentang
Anda, orang linglung! Anda sudah menjadi westman seperti yang telah ditakdirkan.
Mr. White, insinyur dari seksi terdekat, dialah orang pertama yang membawa kabar
itu. Dia sangat memuji Anda. Saya sungguh merasa bangga kepada diri Anda, itu
harus saya akui. Tetapi yang paling hebat adalah apa yang diceritakan oleh
Winnetou." "Apa?" "Dia menceritakan semuanya kepada saya... semuanya!" "Apa" Apa saya tidak salah
dengar" Dia sempat datang kemari?" "Tentu saja dia berada di sini!" "Kapan?"
"Tiga hari yang lalu. Anda menceritakan kepadanya tentang saya dan tentang
senapan Pemburu Beruang yang sudah usang itu. Jadi aneh kalau dia ke
St. Louis tanpa mengunjungi saya. Dia mengatakan, Anda telah menjadi seorang
westman yang mahir berburu bison, beruang grizzly, dan lain sebagainya. Anda
bahkan mendapat kehormatan sebagai seorang kepala suku!"
Nada-nada pujian seperti itu terus mengalir dari mulutnya. Berkali-kali saya
berusaha memotongnya tetapi tidak berhasil. Dia memeluk saya berulang-ulang. Dia
sungguh merasa bahagia karena dirinyalah yang membelokkan jalan hidup saya ke
daerah Barat yang liar itu.
Pada waktu itu Winnetou terus menelusuri jejak Santer dan mengejarnya dengan
cepat hingga ke St. Louis. Dari sana jejak tersebut mengarah ke New Orleans.
Karena sangat diburu waktu, dia tiba lebih awal di St. Louis daripada saya. Dia
meninggalkan pesan kepada Henry bahwa saya boleh menyusulnya ke New Orleans jika
mau. Tanpa berpikir dua kali saya segera memutuskan untuk melakukannya.
Karena itu saya harus segera membereskan semua tugas yang akan saya kerjakan
pada keesokan harinya. Lalu pagi-pagi saya duduk bersama Hawkens, Stone, dan
Parker di balik pintu kaca, tempat dulu saya diwawancarai tanpa sepengetahuan
saya. Kawan lama saya Henry tidak tahan untuk tidak ikut serta. Banyak hal yang
perlu diceritakan, dilaporkan, dan dijelaskan. Seperti dari semua seksi, seksi
sayalah yang mendapatkan pengalaman yang paling menarik dan paling berbahaya.
Namun perlu dicatat pula bahwa sayalah satu-satunya surveyor yang tersisa.
Sam berusaha sekuat tenaga agar saya bisa memperoleh bonus gaji. Sia-sia belaka!
Kami memang segera menerima gaji namun tidak diberi lebih satu sen pun dari gaji
pokok. Jujur saya akui, saya sangat kecewa karena gaji itu tidak setimpal dengan
jerih payah kami dalam membuat gambar dan catatan kerja. Pimpinan di tempat itu
mempekerjakan lima surveyor, tetapi mereka hanya membayar jatah gaji untuk
seorang dan menyimpan gaji keempat orang lainnya ke saku sendiri. Ini terjadi
justru setelah mereka menerima hasil kerja kami - atau lebih tepat dikatakan
hasil jerih payah saya sendiri.
Sam yang tidak puas segera menyampaikan keberatannya. Tetapi hasilnya tetap
sama. Dia malahan ditertawakan dan diusir bersama Dick serta Will. Dengan lapang
dada saya pun meninggalkan tempat itu mengikuti mereka. Jumlah gaji yang saya
terima hari itu memang tergolong lumayan.
Saya bermaksud menyusul Winnetou. Dia meninggalkan alamat sebuah hotel di New
Orleans kepada Mr. Henry untuk saya. Demi kesopanan dan kesetiakawanan di antara
kami, saya bertanya kepada Sam dan kedua sahabatnya, apakah mereka mau ikut ke
New Orleans. Tapi mereka bermaksud beristirahat di
St. Louis dan saya tidak bisa memaksa mereka. Kemudian saya membeli beberapa
potong pakaian dalam, juga setelan jas baru untuk menggantikan baju Indian saya. Setelah itu saya menumpang kapal
uap dan berlayar ke arah selatan. Beberapa barang yang tidak akan saya bawa, di
antaranya senapan Pemburu Beruang yang berat itu, saya serahkan kepada Henry,
dan dia berjanji akan menjaganya baik-baik. Kuda putih juga saya tinggalkan
karena saya tidak memerlukannya lagi. Kami semua mengira bahwa saya pergi hanya
untuk waktu yang singkat.
Ternyata yang terjadi sungguh lain. Kami terperangkap di tengah-tengah daerah
yang dilanda perang saudara. Hal ini tidak saya singgung sebelumnya karena tidak
ada kaitannya dengan rangkaian peristiwa yang terjadi sampai saat ini. Kebetulan
Sungai Mississippi saat itu terbuka untuk pelayaran karena Farragut, seorang
admiral terkenal, merebutnya kembali ke dalam kekuasaan pihak negara-negara
Utara. Walaupun demikian, kapal yang saya tumpangi harus melewati beberapa pos
pemeriksaan. Ini tentu penting tetapi justru menyita banyak waktu. Ketika saya
tiba di New Orleans dan bertanya kepada hotel yang dimaksud, saya diberitahukan
bahwa kemarin Winnetou telah pergi. Dia meninggalkan pesan bahwa dia masih
mengejar Santer ke Vicksburg. Karena situasi yang tidak aman, dia menganjurkan
supaya saya tidak mengikutinya. Kelak dia akan mengatakan kepada Mr. Henry di
St. Louis, di mana dia bisa ditemui.
Apa yang harus saya lakukan sekarang" Saya ingin mengunjungi sanak kerabat di
kampung yang pasti membutuhkan bantuan saya. Bukankah saya memiliki cukup uang"
Atau apakah saya harus kembali ke St. Louis untuk menanti Winnetou di sana"
Tidak. Siapa tahu, barangkali dia akan datang sendiri ke sana. Maka pergilah
saya menanyakan kapal yang akan berangkat. Ada sebuah kapal, sebuah yankee, yang
hendak berlayar ke Kuba dengan memanfaatkan situasi peperangan yang sedang
tenang saat itu. Di sana saya bisa mendapat kesempatan untuk pergi ke Jerman
atau paling tidak ke New York. Saya membulatkan tekad lalu melangkah ke atas
kapal. Alangkah baiknya jika terlebih dahulu saya menyimpan seluruh uang saya di bank.
Tetapi bank mana di New Orleans yang bisa dipercaya" Selain itu saya pun tidak
mempunyai waktu yang cukup. Membeli tiket saja baru saya lakukan beberapa saat
sebelum kapal berangkat. Jadi terpaksa saya membawa semua uang tunai itu di
dalam saku. Kesalahan ini cukup fatal karena malam itu kami dihadang badai hurricane.
Meskipun cuacanya mendung, perjalanan kami aman dan tidak ada tanda-tanda akan
datang angin ribut yang dahsyat pada malam hari. Maka seperti para penumpang
lain yang berangkat dari New Orleans, saya pun pergi tidur tanpa rasa
khawatir. Lewat tengah malam saya dikejutkan oleh gemuruh dan deru angin ribut
yang datang tiba-tiba. Saya pun melompat dari tempat tidur. Pada saat itu kapal
terguncang begitu hebat sehingga saya jatuh terpental. Dan kabin, tempat saya
dan ketiga penumpang lain tidur, tiba-tiba ambruk menimpa saya. Dalam situasi
seperti ini siapa yang akan memikirkan uang" Hidup bisa berubah dalam hitungan
detik. Dalam kegelapan dan kepanikan banyak waktu akan terbuang seandainya saya
berusaha mencari baju dan tas surat saya. Maka saya bergegas keluar dari
reruntuhan lalu lari, atau lebih tepat dikatakan saya berjalan terhuyung-huyung
ke atas geladak, karena kapal mulai oleng dan terombang-ambing.
Sesampainya di luar saya tidak melihat apa-apa. Semuanya gelap gulita. Badai
hurricane menghempaskan tubuh saya ke lantai, sementara itu sebuah gelombang
besar menghantam saya. Saya mendengar suara orang menjerit, namun deru topan
menutupi suara tersebut. Tidak lama kemudian kilat saling menyambar bersusulan
sehingga untuk beberapa saat keadaan menjadi terang. Saya bisa melihat deburan
ombak di depan kami. Di belakang deburan itu tampak daratan. Sementara itu
rupanya kapal terjepit di antara karang. Dan hempasan gelombang-gelombang besar
melambungkan buritan ke atas. Kapal tidak lagi tertolong dan setiap saat bisa
hancur berkeping-keping dan sialnya, semua sekoci penyelamat sudah hilang
dihanyutkan ombak. Lalu bagaimana saya bisa menyelamatkan diri" Hanya dengan
berenang! Kembali kilat menyambar dan saya sempat melihat sekelompok penumpang
yang berguling-guling sambil tangannya menggapai-gapai untuk mencari pegangan di
dek supaya tidak terseret oleh gelombang. Sebaliknya saya justru berpikir,
menghadapi bahaya seperti itu orang harus lebih mengandalkan diri sendiri.
Tiba-tiba datang sebuah gelombang setinggi rumah yang tampak berkilat-kilat
walaupun dalam kegelapan malam. Gelombang itu menghantam kapal dan kapal
berderak. Saya yakin, kapal telah berubah menjadi puing-puing. Saya berpegang
erat-erat pada sebuah penyangga besi, tapi kemudian pegangan itu terlepas. Oh
Tuhan, tolong selamatkan saya! Saya merasa seolah-olah diangkat begitu tinggi
oleh gelombang. Tubuh saya berputar-putar seperti bola kemudian dicampakkan ke
sebuah jurang yang dalam lalu terlempar lagi ke atas. Begitu seterusnya. Saya
hanya diam karena sekarang semua usaha bakal sia-sia. Tetapi begitu gelombang
mencapai pantai, saya harus berjuang agar tidak terseret kembali ke tengah laut.
Hanya kira-kira setengah menit saya terperangkap dalam badai yang dahsyat itu,
tetapi rasanya seperti berjam-jam lamanya. Tiba-tiba gelombang-gelombang besar
itu melemparkan tubuh saya ke udara, mempermainkan saya dan
akhirnya menghempaskan saya ke perairan yang tenang di antara batu-batu karang.
Sekarang saya tidak boleh lagi terseret! Saya mengerahkan kedua tangan dan kaki
lalu berenang dengan sekuat tenaga, yang seumur hidup belum pernah saya lakukan
sebelumnya. Yang saya maksudkan dengan 'perairan yang tenang' tadi bukanlah
perairan yang sungguh aman. Kini saya tidak lagi berjuang melawan gelombang
setinggi rumah. Namun angin masih bertiup kencang dan laut masih bergelora
sehingga berkali-kali tubuh saya dihempaskan kian kemari, seperti sepotong
ranting yang diaduk-aduk dalam tong air. Syukurlah akhirnya saya bisa melihat
daratan. Seandainya daratan itu tidak terlihat sangat mungkin saya sudah binasa.
Saya tahu ke arah mana saya harus berenang. Walaupun saya hanya berenang
perlahan-lahan dalam amukan badai, tapi pada akhirnya saya berhasil mencapai
pantai. Hanya saja semuanya terjadi tidak seperti yang saya kira. Laut kelihatan
gelap, begitu juga daratan. Dalam kegelapan ini saya tidak bisa membedakan
antara keduanya, karena itu saya tidak tahu di mana tempat yang cocok. Kepala
saya tiba-tiba membentur keras pada dinding karang. Rasanya kepala saya seperti
dihantam oleh sebuah palu. Tetapi saya tidak kehilangan akal dan segera memanjat
ke atas karang. Setelah itu saya jatuh pingsan.
Ketika saya kembali sadar ternyata badai hurricane belum mereda. Kepala saya
terasa nyeri, tetapi saya tidak menghiraukannya. Yang lebih mencemaskan saya
adalah kenyataan bahwa saya tidak tahu, di mana saya kini berada. Apakah saya
terbaring di pantai atau di atas sebuah karang yang biasanya tersembul di atas
permukaan laut" Saya tidak boleh beranjak dari sana. Tempat itu datar dan licin.
Dengan susah payah saya bertahan di situ karena dengan mudah dapat dihanyutkan
kembali oleh angin yang masih bertiup kencang. Setelah beberapa lama badai
berangsur-angsur mereda dan kembali tenang. Sama seperti biasanya, kali ini pun
semuanya berlangsung tidak lama. Topan itu tiba-tiba berlalu, hujan pun berhenti
dan tampak bintang-bintang kembali bersinar di angkasa.
Di bawah cahaya bintang saya bisa mengamati keadaan di sekeliling. Ternyata saya
terdampar di pesisir pantai. Di belakang saya terdengar deburan ombak, sementara
itu di depan tampak beberapa pohon yang tumbuh satu-satu. Saya melangkah ke
sana. Pohon-pohon itu mampu bertahan terhadap amukan angin ribut. Sementara itu
kebanyakan pohon lain sudah tercabut akarnya dan tumbang, bahkan ada yang
terlempar cukup jauh. Pada saat itu saya melihat kerlap-kerlip cahaya di
kejauhan. Pasti di tempat itu ada orang. Saya bergegas ke sana.
Tampak banyak orang berdiri di dekat beberapa bangunan yang porak poranda akibat
badai. Bahkan ada atap sebuah rumah yang hilang diterbangkan
angin. Betapa tercengangnya penduduk di sana ketika melihat saya. Mereka
memandang saya penuh keheranan seolah-olah melihat hantu. Dan karena laut masih
bergejolak, maka kami harus berbicara keras agar bisa saling mengerti. Ternyata
mereka adalah para nelayan. Badai telah menghempaskan kapal kami ke Pulau
Tortugas. Di pulau ini terdapat benteng Jefferson dan dulu dalam benteng ini
diasingkan para tawanan perang negara federal.
Dengan sangat ramah mereka menyambut dan memberikan saya baju ganti serta
beberapa pakaian lainnya karena saya hanya berpakaian tipis seperti lazimnya
orang yang hendak tidur. Kemudian tanda bahaya dibunyikan sebagai peringatan
agar mereka segera ke pantai untuk mencari korban yang mungkin masih bisa
diselamatkan. Hingga keesokan harinya ada enam belas orang yang ditemukan.
Tetapi hanya tiga yang masih bertahan hidup, yang lainnya sudah mati. Ketika
hari siang, saya pergi ke pantai dan melihat puing-puing yang berserakan di
pesisir. Kapal kami memang hancur berkeping-keping. Hanya anjungannya saja yang
tersisa dan bagian itu sekarang tergeletak di atas batu karang.
Sekarang saya menjadi orang yang benar-benar miskin dalam arti yang
sesungguhnya, karena saya tidak memiliki apa-apa lagi. Uang yang sebenarnya bisa
saya gunakan untuk bersenang-senang kini sudah tenggelam ke dasar laut. Tentu
saya menyesal atas kehilangan itu, tetapi saya bisa terhibur karena hanya saya
dan ketiga orang itu yang selamat. Ini merupakan nasib yang sangat mujur.
Komandan benteng menyambut kami di rumahnya dan kami mendapatkan semua yang kami
butuhkan. Bahkan dia memberi kesempatan kepada saya untuk pergi menuju New York
dengan kapal. Ketika tiba di sana, saya jauh lebih miskin daripada ketika saya
dulu untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di kota itu. Saya tidak memiliki apa
pun selain keberanian untuk memulai hidup yang baru.
Mengapa saya memutuskan untuk bertolak ke New York dan bukannya ke St. Louis,
padahal di sana saya mempunyai banyak kenalan dan paling tidak bisa mengharapkan
pertolongan dari Mr. Henry" Itu semata karena saya sudah banyak berhutang budi
padanya dan saya tidak mau membebani dia sekali lagi. Ya, lain halnya jika sudah
pasti bahwa saya akan bertemu dengan Winnetou di tempat itu. Sayang sekali hal
itu sama sekali belum dapat dipastikan. Usahanya memburu Santer bisa berlangsung
berbulan-bulan atau bahkan lebih lama lagi. Di mana saya harus mencarinya" Saya
memang berniat untuk bertemu dengan dia kembali, tentu saja untuk itu saya harus
menuju ke Barat, ke Pueblo di Rio Pecos. Untuk mencapai tujuan ini pertama-tama
saya harus mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk biaya perjalanan. Dan dalam
situasi seperti ini rasanya New York adalah tempat terbaik untuk mencari uang.
Perkiraan saya tidak meleset. Saya bernasib mujur. Di New York saya berkenalan
dengan Mr. Josh Tailor, pemimpin sebuah kantor detektif privat yang ternama dan
saya melamar untuk bergabung dalam lembaga itu. Ketika dia tahu siapa saya dan
apa yang saya kerjakan dalam waktu-waktu terakhir, dia mengatakan ingin terlebih
dahulu membuat tes kelayakan kerja. Dia selalu beranggapan, orang Jerman tidak
terampil untuk profesi detektif. Tetapi saya akhirnya berhasil melewati tes. Dan
hal ini bukan karena kepandaian saya melainkan lebih karena faktor kebetulan.
Lambat laun saya pun memperoleh kepercayaan yang semakin besar sehingga dia
mulai menyukai saya dan mempercayakan kepada saya pekerjaan-pekerjaan yang berat
namun mendatangkan pemasukan yang memuaskan. Suatu hari, setelah pengarahan, dia
memanggil saya ke kantornya. Di dalamnya sudah duduk seorang pria berumur yang
kelihatan cemas. Kami berkenalan. Namanya Ohlert dan dia adalah seorang pemilik
bank. Maksud kedatangannya adalah meminta bantuan kami untuk suatu urusan
pribadi. Kasus ini sangat meresahkan hatinya sekaligus membahayakan
perusahaannya. Dia memiliki seorang anak tunggal, seorang anak laki-laki bernama William
Ohlert. Umurnya dua puluh lima tahun dan belum menikah. Dalam urusan bisnis ini
dia mempunyai hak yang setingkat dengan ayahnya. Ayahnya sendiri berdarah Jerman
dan menikahi seorang wanita Jerman. William kelihatannya lebih menyibukkan diri
dengan hal-hal ilmiah dan seni serta buku-buku bernuansa metafisis daripada buku
kas. Dan dia bukan saja menganggap diri sebagai seorang sarjana hebat melainkan
juga seorang penyair. Keyakinan itu semakin diperkuat setelah beberapa puisinya
dimuat dalam koran berbahasa Jerman di New York. Suatu hari dia berkeinginan
menulis cerita tragedi dengan tokoh utama seorang penyair gila. Untuk bisa
menulis cerita ini dia beranggapan, dia harus banyak belajar tentang penyakit
gila. Sejumlah besar buku tentang tema itu didatangkannya. Akibatnya sungguh
mengejutkan. Dari hari ke hari William makin mengidentifikasikan dirinya dengan
penyair imajinatif tersebut dan bahkan menganggap dia sendiri pun sudah menjadi
gila. Beberapa waktu yang lalu ayahnya mendatangi seorang dokter yang telah lama
bercita-cita mendirikan sebuah pusat rehabilitasi orang gila. Ada sumber yang
menyebutkan, dulu dia pernah menjadi asisten dokter spesialis penyakit jiwa yang
terkenal. Karena itu pemilik bank tadi segera mempercayai orang itu sepenuhnya.
Dia kemudian meminta dokter itu untuk berkenalan dengan anaknya dengan harapan
semoga akhirnya dia bisa menyembuhkan penyakit anak semata wayang tersebut.
Sejak saat itu tumbuh ikatan persahabatan yang erat antara sang dokter dengan
pasiennya, Ohlert yunior. Tanpa diduga, suatu hari keduanya tiba-tiba
menghilang. Setelah menyelidiki lebih jauh, baru pemilik bank itu mendapat
keterangan bahwa ternyata dokter itu adalah salah satu dari sekian banyak dokter
gadungan yang masih terus membuka praktek di Amerika tanpa terjerat sedikit pun
oleh hukum. Tailor bertanya, siapakah nama dokter gadungan tersebut. Ketika orang menyebut
namanya, Gibson, serta alamat rumahnya, barulah kami sadar bahwa kini kami
kembali berurusan dengan seorang musuh lama yang dulu pernah saya mata-matai
karena suatu kasus. Bahkan saya masih memiliki sebuah fotonya. Foto itu
Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersimpan di kantor. Dan ketika saya menunjukkan potret tersebut kepada Ohlert,
dia segera mengenali orang itu, yang tak lain adalah dokter dan sahabat anaknya.
Gibson sebenarnya seorang penipu kelas wahid yang sudah lama beroperasi dengan
berbagai kedok di Amerika Serikat dan Mexico. Kemarin pemimpin bank itu pergi ke
rumah penginapan tempat Gibson bermalam, dan diberitahu bahwa Gibson sudah
membayar semua biaya penginapannya lalu pergi. Entah ke mana, tak seorang pun
tahu. Sementara itu William membawa uang kontan dalam jumlah yang besar. Pada
hari berikutnya datang telegram dari sebuah bank di Cincinnati yang bekerjasama
dengan bank Ohlert yang isinya memberitahukan bahwa William telah menarik uang
sebanyak lima ribu dollar lalu pergi ke Louisville untuk menjemput kekasihnya.
Berita yang terakhir ini tentu saja bohong.
Dari semua fakta di atas dapat disimpulkan bahwa dokter gadungan itu menjadikan
pasiennya sebagai sandera untuk meminta uang tebusan yang besar. William dikenal
secara dekat oleh banyak pemilik bank ternama dan dia bisa mendapatkan dari
mereka semua yang diinginkannya.
Kami diminta untuk membekuk penculiknya dan membawa William pulang ke rumah.
Penyelesaian kasus berat ini dipercayakan kepada saya. Saya mendapat surat kuasa
dan beberapa petunjuk serta sebuah potret wajah William Ohlert, lalu segera naik
kapal menuju Cincinnati. Karena Gibson mengenal saya, maka saya juga membawa
perlengkapan yang diperlukan untuk menyamar seandainya situasi memintanya
demikian. Setibanya di Cincinnati saya mengunjungi pemimpin bank yang disebut di atas. Dia
mengatakan bahwa Gibson memang bersama-sama dengan William Ohlert. Dari sana
saya berangkat ke Louisville. Di sana saya diberitahu bahwa kedua orang itu
telah memesan tiket kapal dengan jurusan St. Louis. Tentu saja saya menyusul ke
sana. Saya baru menemukan jejak mereka setelah pencarian
yang panjang dan melelahkan. Tentu saja di sana saya bisa memperoleh bantuan
dari kawan lama saya, Mr. Henry, yang tentu saja segera saya kunjungi begitu
tiba di kota itu. Dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa saya bekerja sebagai
seorang detektif. Dia ikut prihatin karena saya kehilangan uang ketika kapal
karam itu. Dan ketika kami akan berpisah, saya harus berjanji kepadanya bahwa
setelah tugas ini selesai, saya akan melepaskan profesi sebagai detektif dan
pergi ke Barat. Di sana saya harus mencoba senapan pemburu yang berhasil
dirakitnya. Dia juga menganjurkan supaya saya menyimpan senapan Pembunuh
Beruang. Ohlert dan Gibson rupanya telah berangkat ke New Orleans dengan menumpang kapal
uap melalui Sungai Mississippi. Maka saya pun menyusul ke sana. Beruntung Ohlert
senior menyerahkan daftar nama bank-bank yang selama ini selalu menjalin
kerjasama dengannya. Di Louisville dan St. Louis saya menemui beberapa pegawai
bank dan saya diberitahu bahwa sebelumnya William berada di situ dan kembali
menarik sejumlah uang. Hal yang sama pun dilakukannya di dua bank lainnya di New
Orleans yang menjadi rekan bisnis ayahnya. Kepada pegawai tersebut saya
mengingatkan sekaligus meminta agar mereka melaporkan kepada saya jika William
datang lagi ke tempat itu.
Hanya begitulah keterangan yang berhasil saya kumpulkan. Dan kini saya
terperangkap dalam lautan manusia yang memadati jalan-jalan di New Orleans.
Sudah tentu saya juga meminta bantuan kepada polisi, dan saya tidak bisa berbuat
apa-apa selain menunggu hasil yang mereka peroleh. Tetapi supaya tidak hanya
duduk berpangku tangan saja, saya menerobos ke dalam kerumunan orang sambil
mencari-cari. Siapa tahu barangkali saya bisa menemukan hal-hal penting tanpa
diduga-duga. Kota New Orleans memiliki karakter yang sangat kuat dipengaruhi oleh budaya
daerah Selatan. Ini terutama terlihat pada bangunan di bagian kota tua. Di sana
jalan-jalan dan rumah tampak kotor dan sempit dan dipenuhi dengan bangunanbangunan yang belum rampung serta balkon. Di situ tinggal orang-orang yang
hidupnya tersembunyi dari keramaian umum. Semua warna kulit bisa ditemukan di
sana, mulai dari warna putih pucat kekuning-kuningan hingga warna hitam yang
paling legam. Para pemusik jalanan, penyanyi musiman, dan pemain gitar
memperdengarkan kemampuannya dengan cara yang sangat memekakkan telinga.
Terdengar suara laki-laki yang berteriak-teriak sementara perempuan menjeritjerit. Ada seorang pelaut yang menarik rambut kuncir seorang Tionghoa yang
kemudian balas memaki dirinya. Terlihat juga dua orang Negro yang sedang
berkelahi, dikelilingi oleh penonton yang tertawa senang. Pada sudut yang lain
tampak dua kuli pemikul barang yang tidak sengaja bertabrakan, tetapi lalu
melepaskan pikulannya kemudian saling memukul dengan penuh amarah. Seorang
temannya datang terburu-buru untuk melerai mereka, tetapi malahan dihujani
dengan pukulan yang sebenarnya tidak dimaksudkan baginya.
Kesan yang lebih baik saya jumpai di daerah pinggiran kota. Di sana terdapat
rumah-rumah indah bermotif pedesaan yang dihiasi dengan taman-taman yang ditata
rapi. Di atas taman itu tumbuh mawar, pohon palem, dan berbagai tumbuhan berbuah
lain seperti suduayah, pir, ara, persik, jeruk, dan limau. Di sana para
penduduknya bisa menikmati ketenangan serta kedamaian setelah mereka disibukkan
oleh hiruk-pikuk kota. Yang paling ramai tentu saja di daerah pelabuhan. Di tempat itu berseliweran
kapal dan kendaraan dari berbagai jenis dan ukuran. Tampak juga gulungan bolabola kapas dan tong-tong berukuran raksasa, juga ratusan pekerja yang sibuk
bekerja di antaranya. Orang merasa seolah-olah sedang berada di pasar kapas di
Hindia Timur. Saya terus ngeluyur menyusuri kota sambil tetap membuka mata lebar-lebar - tapi
tak ada hasil! Saat itu hari sudah siang dan udara menjadi panas. Saya berada di
Common Street, sebuah jalan yang lebar dan indah. Dari jauh mata saya menangkap
tulisan pada papan nama sebuah kedai minum Jerman. Saya berpikir, seteguk bir
pilsener pada cuaca sepanas ini tentu sangat menyegarkan. Saya pun melangkah
masuk. Kesukaan orang terhadap bir ini bisa diamati dari sejumlah pengunjung yang duduk
di dalam kedai. Setelah mencari sejenak akhirnya saya melihat sebuah tempat
duduk yang masih kosong di pojok bagian belakang. Di sana terdapat sebuah meja
kecil dengan dua tempat duduk. Sebuah bangku sudah ditempati seorang pria dengan
tampang yang cukup menyeramkan sehingga tak ada pengunjung yang berani mengambil
tempat di depannya. Tanpa peduli saya melangkah ke sana lalu meminta izin
kepadanya supaya boleh minum di tempat
itu. Di wajahnya terlihat senyum iba. Dia menatap saya dengan pandangan menyelidik,
seperti agak menghina lalu bertanya, "Anda mempunyai cukup uang, Master?"
"Tentu saja!" saya menjawab tetapi juga merasa heran mendengar pertanyaan
seperti itu. "Jadi Anda bisa membayar bir juga tempat duduk yang hendak Anda pakai?" "Saya
pikir, ya!" "Well, lalu mengapa Anda meminta izin saya supaya boleh duduk di sini" Menurut
perhitungan saya, Anda seorang Jerman, seorang greenhorn di daerah ini. Enyahlah
ke neraka semua orang yang bermaksud menghalang-halangi saya untuk duduk pada
tempat yang saya sukai. Sekarang duduklah! Letakkan kaki ke sana seperti yang
Anda inginkan dan tendanglah tengkuk orang yang coba-coba melarang Anda."
Harus saya akui dengan jujur, cara dan gaya bicara orang ini sungguh
mengesankan. Saya merasa tiba-tiba pipi saya memerah. Sejujurnya harus saya
katakan, ucapan tadi kedengaran seperti menghina saya. Saya merasa tersinggung
dan ingin menunjukkan bahwa kata-katanya tidak berkenan di hati saya. Paling
tidak saya harus mencoba membela diri. Maka setelah duduk, saya menyahut,
"Jika Anda menganggap saya orang Jerman, maka tebakan Anda sungguh tepat,
Master! Tetapi saya tidak suka disebut Dutchman'. Jika tidak, saya terpaksa
membuktikan kepada Anda, bahwa sesungguhnya saya bukan seorang greenhorn. Orang
boleh bersikap ramah dan itu tidak berarti bahwa dia kurang pengalaman."
"Pshaw!" jawabnya tenang. "Di mata saya Anda kelihatan tidak begitu pandai.
Tetapi jangan terburu-buru marah, tak ada gunanya. Saya sama sekali tidak
bermaksud jelek terhadap Anda. Saya pun sungguh tidak tahu bagaimana Anda begitu
berani duduk di hadapan saya. Old Death tidak membiarkan ketenangannya terusik
oleh ancaman orang lain."
Old Death! Ah, ternyata orang ini Old Death! Sudah sering saya mendengar tentang
westman terkenal ini. Ketenarannya bahkan terdengar hingga ke daerah perkemahan
di seberang Sungai Mississippi, juga merambah hingga ke negara-negara di bagian
Timur. Walaupun hanya sekitar sepuluh atau dua puluh persen dari semua yang
diceritakan tentang dirinya mendekati kebenaran, orang harus mengangkat topi dan
mengakui dia sebagai pemburu dan scout[Pencari jejak atau pemandu. Mereka adalah
westman yang bertugas memandu pasukan serdadu, atau imigran di Wild West.] yang
luar biasa. Sejak lama dia mengembara di daerah Barat dan meskipun menghadapi
banyak bahaya maut, belum pernah dia terluka sedikit pun. Karena kenyataan ini,
mereka yang percaya kepada takhayul menganggap dia kebal peluru.
Tak seorang pun tahu, siapa nama orang ini sebenarnya. Old Death lebih merupakan
nom de guerre[Perancis: Nama julukan], mungkin karena tubuhnya yang sangat
kurus. Seperti 'mayat hidup'! Ketika saya duduk di hadapannya dan memperhatikan
dia, baru saya mengerti mengapa orang sampai menyebutnya demikian.
Dia mempunyai perawakan yang sangat tinggi. Badannya yang bungkuk kelihatan
seperti hanya terdiri dari kulit dan tulang. Celana kulit yang dipakainya tampak
terlalu pendek. Baju berburunya yang terbuat dari kulit pun kelihatan semakin
menyusut bersamaan dengan waktu, sehingga lengan baju tersebut hanya sedikit
melewati sikunya. Pada bagian ini orang bisa melihat kedua tulang hasta dan
tulang pengumpilnya dengan jelas seperti membedakan satu tulang dari tulangbelulang lainnya. Kedua lengannya juga terlihat seperti kerangka manusia.
Dari dalam baju berburunya menjulur lehernya yang kurus dan panjang. Sementara
itu jakunnya menggantung seperti sebuah pundi-pundi kulit. Dan sekarang
kepalanya! Kepala itu tampak seperti tak berisi daging. Matanya sangat cekung
dan di atas kepalanya tidak tumbuh sehelai rambut pun. Pipinya kurus, dagunya
panjang dengan tulang rahang yang menonjol, hidungnya yang pesek dengan lubang
hidung yang besar... sungguh, kepala itu tak ubahnya seperti tengkorak mayat.
Dan orang akan merasa ngeri seandainya tiba-tiba berpapasan dengannya. Kesan
tentang kepalanya juga diperkuat oleh hidung saya. Saya mencium bau sulfur dan
amoniak yang menyengat. Karena bau ini orang bisa kehilangan selera makannya.
Telapak kakinya yang panjang dan kurus terbungkus oleh sepatu tinggi yang
terbuat dari sepotong kulit kuda yang dijahit. Pada sepatu itu dipasang
penggertak berukuran raksasa yang terbuat dari uang logam Peso Mexico.
Di sampingnya, di atas lantai tergeletak sebuah pelana kuda beserta tali kekang
dan semua perlengkapannya. Di atasnya bersandar sepucuk senapan Kentucky
sepanjang satu hasta[1 hasta = 60 - 80 cm]. Senjata seperti itu jarang ditemui
karena tidak lagi dijual di toko. Dia juga mempersenjatai diri dengan sebilah
pisau Bowie dan dua pucuk revolver besar. Popor senjata yang disebut terakhir
tampak menyembul dari sabuk senjatanya. Sabuk senjata itu terbuat dari kulit
berbentuk mirip tas pinggang dan dihiasi dengan kulit scalp sebesar telapak
tangan. Kulit scalp itu bukan berasal dari mukapucat, jadi bisa dipastikan bahwa
kulit itu berasal dari kepala orang Indian yang telah dibunuhnya.
Seorang boardkeeper datang mengantar bir yang saya pesan. Ketika saya
mendekatkan gelas ke bibir untuk minum, tiba-tiba pemburu itu menahan saya,
"Tunggu sebentar!" katanya. "Jangan terburu-buru, boy! Kita harus bersama-sama
mengangkat gelas lalu bersulang. Bukanlah hal itu menjadi adat kebiasaan di
negeri Anda?" "Ya, tapi itu hanya dilakukan bersama kenalan dekat!" jawab saya tanpa
menghiraukan permintaannya.
"Jangan salah mengerti! Sekarang kita duduk bersama dan kita tidak perlu
bersitegang. Jadi marilah kita bersulang! Saya bukan seorang mata-mata atau
pembohong. Dan Anda boleh bersantai sejenak bersama saya barang seperempat jam."
Nada suaranya terdengar lebih ramah daripada sebelumnya. Saya menyentuhkan ujung
gelas pada gelasnya lalu berkata,
"Saya tahu siapa Anda, Sir! Seandainya Anda sungguh Old Death, saya tidak perlu
khawatir karena berteman dengan orang yang salah."
"Jadi Anda mengenal saya" Kalau begitu saya tidak perlu lagi bercerita tentang
diri sendiri. Lebih baik kita bercerita tentang diri Anda. Apa alasan paling
mendasar sehingga Anda datang ke kota ini?"
"Alasan yang sama yang juga mengantar semua orang lain datang ke tempat ini.
saya ingin coba mengadu nasib di sini."
"Saya mengerti! Di sana, di daratan Eropa, orang berpikir bahwa di sini kita
hanya perlu membuka dompet dan membiarkan lembaran-lembaran dollar melayang
sendiri ke dalamnya. Jika seseorang bernasib mujur, semua koran akan memuat
berita tentang dia. Sedangkan tentang ribuan orang yang tenggelam dalam
perjuangan melawan gelombang kehidupan dan akhirnya menghilang tanpa jejak tidak
pernah diberitakan. Apakah Anda sudah menemukan keberuntungan ataukah Anda masih
harus menantinya?" "Saya kira, saat ini saya masih harus menanti."
"Kalau begitu berkonsentrasilah agar jangan sampai Anda melewatkan lagi peluang
yang ada! Saya tahu benar, betapa sulitnya bertahan dalam penantian seperti itu.
Mungkin Anda sudah tahu kalau saya seorang scout yang bisa disejajarkan dengan
seorang westman, hanya hingga kini saya selalu gagal mengejar nasib mujur.
Berkali-kali saya mengira bahwa saya tinggal menangkapnya. Tapi begitu saya
mengulurkan tangan, tiba-tiba keberuntungan itu lenyap seperti castle in the air
(tak berbekas), seolah-olah semuanya hanya bayang-bayang belaka."
Dia mengucapkan kalimat ini dengan nada sedih lalu menunduk dalam-dalam dan
menatap ke tanah. Karena saya tidak menanggapinya, dia kemudian memandang saya
setelah beberapa saat lalu berkata,
"Anda pasti tidak mengerti mengapa saya sampai berkata demikian. Sangat mudah.
Saya selalu merasa prihatin bila melihat orang Jerman, apalagi orang Jerman yang
masih muda belia. Karena saya harus mengatakan kepadanya bahwa
dia pun pasti akan gagal. Anda harus tahu, ibu saya orang Jerman dan dari dia
saya belajar bahasa Anda. Apabila Anda mau, kita boleh berbicara dalam bahasa
Jerman. Pada detik-detik kematiannya ia menunjukkan kepada saya jalan-jalan yang
mestinya saya lalui supaya akhirnya saya bisa menuai kebahagiaan. Tetapi saya
merasa diri lebih pintar dan berjalan ke arah yang lain. Master, Anda lebih
bijaksana daripada saya! Tapi tampaknya apa yang terjadi pada saya akan terulang
juga pada diri Anda."
"Sungguh" - Mengapa?"
"Anda terlalu lembut. Tubuh Anda harum. Apabila orang Indian melihat potongan
rambut Anda, mereka pasti akan jatuh pingsan karena terkejut. Pada kemeja Anda
pun tidak terdapat bercak noda atau pun debu. Karena itu keliru jika Anda hendak
mengadu nasib di daerah Barat ini!"
"Saya sama sekali tidak berniat mengadu nasib di sini."
"Oh ya" Apakah Anda bersedia mengatakan kepada saya, kira-kira apa keahlian atau
bidang Anda?" "Saya lulusan perguruan tinggi!"
Saya mengucapkan hal ini dengan nada agak bangga. Tetapi dia hanya tersenyum
kecil menatap saya - kelihatan seperti senyum menyeringai di wajahnya yang mirip
mayat -, menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata,
"Lulusan perguruan tinggi! Astaga! Jadi Anda sungguh berharap banyak dari gelar
itu" Justru orang-orang seperti Andalah yang paling tidak mampu mengubah
nasibnya menjadi lebih baik. Tentang itu saya punya cukup pengalaman. Apakah
Anda memiliki sebuah pekerjaan tetap?"
"Ya, di New York!" "Pekerjaan apa?"
Pertanyaan ini diucapkannya dengan suara yang sangat lain sehingga tidak mungkin
saya menolak untuk menjawabnya. Tetapi karena saya tidak boleh mengatakan hal
yang sebenarnya, maka saya hanya menjawab,
"Saya bekerja pada seorang pemilik bank. Dan dia menugaskan saya untuk
menyelesaikan suatu urusan di tempat ini."
"Pemilik bank" Ah! Kalau begitu jalan hidup Anda lebih mulus daripada yang saya
bayangkan sebelumnya. Jagalah terus posisi itu, Sir! Tidak semua orang yang
berpendidikan bisa bekerja pada seorang hartawan Amerika. Apalagi di New York!
Anda pasti mendapat kepercayaan yang luar biasa besar walaupun usia Anda masih
muda. Jika tidak, tentu orang tidak berani mengirim Anda dari New York ke daerah
Selatan ini. Maaf kalau tadi saya salah menebak Anda, Sir! Jadi persoalan yang
hendak Anda tuntaskan menyangkut uang?"
"Ya, kira-kira seperti itu." "Hm, bagus, bagus!"
Sekali lagi dia menatap saya dengan pandangan memeriksa kemudian tersenyum
menyeringai seperti sebelumnya lalu berkata,
"Saya kira, saya sudah bisa menebak tujuan keberadaan Anda di sini." "Saya tidak
yakin." "Tidak apa-apa. Tetapi saya ingin memberikan satu nasihat baik buat Anda. Kalau
Anda tidak ingin diketahui orang lain bahwa Anda ke tempat ini untuk mencari
seseorang, maka Anda harus membuka mata lebar-lebar. Anda telah mengamati semua
pengunjung di dalam kedai ini satu persatu dan kini pandangan Anda terarah ke
jendela untuk memantau orang-orang yang lewat di sana. Jadi Anda sedang mencari
seseorang. Bukankah demikian?"
"Benar, Master. Saya bermaksud bertemu dengan seseorang. Hanya tempat tinggalnya
tidak saya ketahui."
"Kalau begitu tanyakan saja ke hotel-hotel!"
"Saya sudah mencobanya, tetapi sia-sia. Bahkan saya pun sudah meminta bantuan
Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
polisi, tetapi hasilnya tetap sama."
Senyum kembali menghias wajahnya. Lalu dia tertawa sendiri, menepuk-nepuk
punggung saya dan berkata,
"Master, walaupun demikian Anda tetap seorang greenhorn, seorang greenhorn
sejati. Saya harap Anda tidak tersinggung, tetapi yang saya katakan ini benar."
Pada saat itu saya baru sadar bahwa saya sudah terlalu banyak bicara. Dia
rupanya menangkap kesan ini, karena itu katanya,
"Jadi Anda datang kemari karena suatu persoalan yang berhubungan dengan uang,
seperti yang Anda katakan tadi. Orang yang bertanggung jawab atas kasus ini
sedang dicari polisi. Dan tugas ini dilimpahkan kepada Anda. Karena itu Anda
berkeliling di setiap sudut jalan serta kedai-kedai minum untuk menemukan dia.
Saya tidak layak digelari Old Death jika saya tidak tahu, siapa orang yang
sekarang duduk di hadapan saya."
"Kalau begitu siapa saya, Sir?"
"Seorang detektif, seorang polisi swasta yang diberi tugas menguraikan suatu
persoalan. Dan persoalan itu lebih terkait dengan masalah keluarga ketimbang
kejahatan murni." Orang ini ternyata mempunyai kemampuan analisa yang tajam. Haruskah saya
berterus terang dengan mengatakan bahwa analisanya benar" Tidak! Karena itu saya
menyahut, "Analisa Anda sangat tajam, Sir! Tapi kali ini Anda salah!"
"Saya kira tidak." "Tentu, Anda salah!"
"Well! Entah Anda bersedia mengakuinya atau tidak, itu urusan Anda. Saya tidak
bisa dan tidak mau memaksa Anda. Tetapi jika Anda ingin agar orang tidak
mengenali Anda, maka jangan bersikap begitu kentara. Urusan ini menyangkut uang.
Sebagai seorang greenhorn, Anda dipercayakan tugas ini, tentu agar tidak
menyolok. Anda harus bertindak hati-hati karena orang yang berada di balik kasus
ini adalah seorang kenalan dekat atau mungkin anggota keluarga dari korban.
Tentu kasus ini berbau kriminal, jika tidak pasti para polisi di sini tidak
mengerahkan bantuannya untuk Anda. Barangkali sang korban mempunyai seorang
penasehat yang selalu bersama-sama dengan dia dan ingin mengeruk semua hartanya.
Ya, ya, Anda boleh memandang saya seperti itu, Sir! Apakah Anda heran atas
analisa saya" Baiklah, seorang westman sejati sanggup merancang sebuah jalan
panjang dari sini hingga ke Canada hanya dengan membaca dua jejak kaki di tanah.
Dan sangat jarang dia keliru."
"Anda membuat suatu analisa yang berlebihan, Master!"
"Pshaw! Anda boleh terus menyangkal. Saya tidak dirugikan sedikit pun. Di sini
saya dikenal banyak orang dan saya bisa memberikan petunjuk-petunjuk yang
berguna kepada Anda. Tapi jika Anda berpikir, Anda lebih cepat mencapai tujuan
dengan cara Anda sendiri, maka Anda pantas dipuji. Namun apakah cara itu cukup
bijaksana, saya masih meragukannya."
Dia bangkit, mengeluarkan sebuah pundi-pundi kulit yang sudah usang dari dalam
saku dan membayar minumannya. Saya khawatir kalau saya telah melukai perasaannya
melalui sikap saya yang kurang percaya. Karena itu untuk memperbaiki keadaan,
saya berkata, "Ada beberapa persoalan, di mana orang lain atau paling tidak orang tak dikenal
tidak boleh dibiarkan tahu terlalu banyak. Saya sama sekali tidak bermaksud
menghina Anda dan saya pikir... "
"Ya, ya!" potongnya sambil meletakkan sekeping uang di atas meja. "Itu bukanlah
penghinaan. Saya mempunyai maksud baik terhadap Anda, sebab Anda memiliki
sesuatu dalam diri Anda yang sungguh menarik hati saya."
"Barangkali kita akan bertemu lagi!"
"Sangat sulit. Hari ini saya akan pergi ke Texas lalu masuk ke Mexico. Saya
tidak bisa memastikan bahwa Anda pun nanti akan menempuh jurusan yang sama.
Karena itu. Farewell, Sir! Ingatlah selalu bahwa saya menamai Anda seorang
greenhorn! Sedangkan tentang nama saya Old Death, Anda boleh menyebutnya
demikian karena saya tidak malu dengan nama itu. Dan tak ada salahnya kalau
seorang anak muda seperti Anda sedikit lebih merendah."
Dia mengenakan topi sombrero yang tergantung di dinding di atasnya, menaikkan
pelana dan kekang kuda ke pundaknya lalu menenteng senjatanya dan pergi. Namun
setelah tiga langkah, dia berpaling lalu kembali ke tempat saya dan berkata,
"Segala sesuatu pasti ada gunanya, Sir! Dulu saya pernah belajar di perguruan
tinggi. Dan kini saya baru sadar, betapa tololnya saya waktu itu. Good
bye!" Kali ini dia keluar meninggalkan ruangan tanpa menoleh untuk kedua kali.
Pandangan mata saya terus mengikuti dia hingga tubuhnya - yang sangat menyolok
sehingga beberapa pengunjung di kedai ini tertawa - hilang dalam kerumunan
manusia. Sebenarnya saya ingin mengumpatnya. Bahkan saya ingin sekali
mendampratnya, akan tetapi saya tak sampai hati. Tampangnya mengundang belas
kasihan. Kata-katanya memang kurang ramah, tetapi suaranya kedengaran lembut dan
bermaksud baik. Dan dari suaranya sangat jelas bahwa dia sungguh-sungguh berniat
baik terhadap saya. Tetapi apakah dengan itu saya lalu membiarkan dia tahu
tentang maksud kedatangan saya ke sini" Tentu saja hal ini bukan hanya tindakan
yang kurang hati-hati melainkan juga ceroboh, walaupun saya sadar, kalau saya
berterus terang, mungkin dia bisa memberikan petunjuk penting bagi pemecahan
masalah ini. Saya tidak merasa risih dengan gelar greenhorn yang disebutnya.
Sudah sering saya disapa demikian oleh Sam Hawkens dan sebutan itu tidak membuat
saya malu. Di pihak lain saya pun tidak perlu mengatakan kepadanya bahwa dulu
saya pernah berada di daerah Barat.
Saya duduk termenung sambil bertopang dagu di atas meja. Tiba-tiba pintu dibuka
dan seseorang masuk ke dalam. Dan orang itu adalah... Gibson.
Dia berdiri di ambang pintu dan mengamati semua orang yang hadir satu persatu.
Ketika saya merasa bahwa pandangannya tertuju ke arah saya, saya segera
membalikkan tubuh dan duduk membelakangi pintu. Di sini tak ada lagi tempat
duduk yang masih kosong, selain tempat yang baru saja ditinggalkan Old Death.
Pasti Gibson akan ke sini dan duduk di hadapan saya. Diam-diam saya merasa
senang membayangkan bagaimana dia nanti terkejut begitu sorot mata saya
menghujam tubuhnya. Ternyata dia tidak datang. Saya mendengar suara derit pintu ditutup lalu cepatcepat membalikkan tubuh. Benar, rupanya dia telah melihat saya dan langsung
menghilang. Saya melihatnya berjalan keluar lalu pergi dengan langkah terburuburu. Saya segera memakai topi, melemparkan uang bayaran kepada
pelayan dan berlari menyusul dia. Nah, itu dia! Dia membelok ke kanan, mungkin
berusaha menghilang di balik kerumunan manusia yang banyak. Dia menoleh sejenak
ke belakang dan menatap saya. Langkahnya lalu dipercepat. Saya pun mempercepat
ayunan langkah saya. Ketika melewati kerumunan itu saya melihatnya menghilang di
sebuah gang kecil. Ketika saya baru mencapai gang itu, dia sudah membelok pada
sudut yang lain. Tetapi sebelumnya dia berbalik sekali lagi, mengangkat topi
lalu melambai-lambaikannya kepada saya. Ini tentu membuat saya marah. Tanpa
peduli, apakah orang-orang di sekeliling menertawakan saya, saya langsung
berlari kencang. Saat itu tak satu pun polisi yang terlihat, dan meminta bantuan
kepada orang lain tentu tidak berguna. Tak ada seorang pun yang mau menolong
saya. Ketika tiba di sudut gang itu, saya memasuki sebuah lapangan kecil. Di sebelah
kiri dan kanannya berdiri deretan rumah-rumah kecil dengan pintu yang tertutup.
Di hadapan saya ada villa-villa yang dihiasi taman yang sangat indah. Di
lapangan itu berkumpul banyak orang, tetapi Gibson tidak terlihat di sana. Dia
telah menghilang. Tampak seorang pria Negro sedang bersandar pada pintu sebuah salon cukur.
Kelihatannya dia sudah lama berdiri di sana sehingga pasti dia melihat orang
yang kabur tadi. Saya mendekatinya, mengangkat topi dengan sopan lalu bertanya,
apakah dia melihat seorang gentleman kulitputih yang berlari keluar dari gang
ini. Dia tertawa sambil memamerkan giginya yang panjang kekuning-kuningan dan
menjawab, "Ya, Sir. Saya melihatnya. Berlari dia sangat cepat, sangat cepat. Dan masuk ke
situ." Dia menunjuk ke sebuah villa kecil. Setelah mengucapkan terimakasih, saya
bergegas ke sana. Pintu gerbang baja yang menuju ke taman di depan rumah itu
dalam keadaan tertutup. Lima menit lamanya saya membunyikan bel sampai seorang
pria, lagi-lagi seorang pria Negro, membukakan pintu dan berkata dengan bahasa
Inggris yang jelek, "Pertama pada Massa[Maksudnya: Master (logat Negro dari daerah Selatan)]
bertanya. Tanpa izinan dari Massa saya tidaklah boleh membuka."
Dia masuk ke dalam dan saya berdiri di sana paling sedikit selama sepuluh menit.
Rasanya seperti berdiri di atas bara api. Akhirnya dia kembali dengan membawa
pesan, "Tidak bisa membuka. Massa melarang. Tidak ada masuk orang hari ini. Pintu
selalu tertutup. Jadi harus kamu pergi segera, sebab jika kamu melompati pagar,
maka perlu Massa menjaga keamanan tempat tinggalnya dan dia akan dengan revolver
menembak Anda." Saya berdiri sendirian di sana. Apa yang harus saya lakukan" Saya tidak boleh
menerobos masuk dengan jalan kekerasan. Dan saya yakin, pemilik rumah pasti
tidak segan-segan menembak saya. Orang Amerika tidak pernah main-main dalam
urusan keamanan tempat tinggalnya. Saya tidak mempunyai pilihan lain, selain
pergi ke polisi. Dengan hati kesal saya berjalan pulang melewati lapangan. Pada waktu itu
datanglah seorang anak kecil berlari-lari menghampiri saya. Dia memegang
selembar kertas di tangan.
"Sir, Sir!" serunya. "Tunggu sebentar! Beri saya sepuluh sen untuk surat
ini." "Dari siapa?" "Seorang gentleman yang baru saja berada di sana," dia bukannya menunjuk ke
villa melainkan ke arah yang berlawanan. "Dia keluar dari rumah itu. Dia menulis
nota ini dan menyuruh saya membawanya kemari. Namun sepuluh sen dulu, baru Anda
bisa mendapatkannya."
Saya memberinya uang dan menerima kertas itu. Anak itu segera berlari
menghilang. Di atas secarik kertas kumal yang disobek dari buku harian itu
tertera tulisan, "Yang terhormat, Master Dutchman.
Apakah Anda datang ke New Orleans karena saya" Bisa saya duga, karena Anda terus
mengejar-ngejar saya. Saya selalu memandang Anda sebagai orang yang bodoh, tapi
saya tidak menyangka Anda bisa sebodoh itu hendak menangkap saya. Siapa yang
memiliki otak tidak lebih dari setengah lot,[1 lot = 1/30 pon atau kurang lebih
60 gram] tidak pantas menjalankan tugas ini. Kembalilah ke New York dan
sampaikan salam saya buat Master Ohlert. Saya sudah berusaha agar dia tidak
melupakan saya. Saya pun berharap semoga sewaktu-waktu Anda pun mengenang
kembali pertemuan kita hari ini, suatu pertemuan yang tentu sangat mengecewakan
Anda. Gibson." Bisa dibayangkan betapa marahnya saya setelah membaca surat ini. Saya meremas
kertas itu, memasukkan ke dalam saku lalu pergi. Mungkin secara diam-diam dia
mengawasi saya. Sungguh, saya tidak ingin membiarkan orang ini melihat saya
tertimpa kegagalan. Saya menatap ke semua sisi lapangan untuk memeriksa. Gibson sama sekali tidak
kelihatan. Pria Negro di depan salon rambut pun sudah tak tampak. Saya pun tidak
menemukan anak kecil itu lagi sehingga saya tak bisa bertanya kepadanya tentang
Gibson. Dia pasti diperintahkan untuk segera menghilang.
Ketika tadi saya berbantah untuk mendapatkan izin masuk ke villa, dengan tenang
Gibson memakai kesempatan untuk menulis sebuah surat sebanyak dua puluh tiga
baris. Pria Negro itu telah mempermainkan saya. Dari tempat persembunyiannya
Gibson pasti menertawakan saya. Anak kecil tadi pun menunjukkan raut wajah aneh
dan dari raut itu saya bisa membaca kesan bahwa dia tahu kalau saya sedang
diperdaya. Saya sungguh sangat kesal karena baru saja dipermalukan dengan teramat sangat.
Dan saya tidak boleh BERANI?" mengadukan kepada polisi bahwa saya telah bertemu
Gibson. Karena itu dengan diam-diam saya pergi dari sana.
Tanpa melewati lapangan itu lagi, saya memeriksa semua gang yang bermuara ke
lapangan itu. Tentu saja tanpa hasil sedikit pun, sebab Gibson pasti sudah
terburu-buru meninggalkan kota pinggiran yang tidak aman ini. Dugaan saya, dia
akan berusaha secepat mungkin kabur dari New Orleans.
Walaupun otak saya hanya seberat setengah lot, saya kira dugaan terakhir ini
sangat kuat. Karena itu saya memutuskan untuk pergi ke pelabuhan dan mengecek
kapal-kapal yang hendak berangkat ke sana. Dua orang polisi yang berpakaian
preman menolong saya... ternyata usaha mereka juga sia-sia. Rasa marah karena
saya telah dibohongi mentah-mentah membuat saya tidak ingin beristirahat. Saya
terus keluyuran dan menyelidiki semua restoran serta kedai-kedai minum dan ke
jalan-jalan hingga larut malam. Ketika saya merasa benar-benar letih, saya
kembali ke penginapan dan tidur.
Saya bermimpi. Dalam mimpi saya dipindahkan ke sebuah rumah sakit jiwa. Beratusratus orang gila yang menyebut diri penyair, menyodorkan buku-buku syair yang
tebal kepada saya untuk dibaca. Tentu saja isinya tentang cerita tragedi dengan
tokoh utama seorang penyair gila. Saya harus membaca dan terus membacanya,
karena Gibson berdiri di samping saya dengan revolver di tangan dan mengancam
akan segera menembak jika saya berhenti sesaat. Saya terus membacanya sampai
butir-butir keringat mengalir di kening. Untuk menyekanya
saya mengeluarkan saputangan dari saku, berhenti sesaat dan. kemudian ditembak
oleh Gibson! Bunyi tembakan membuat saya terjaga, tapi bunyi itu bukan dalam mimpi melainkan
bunyi sungguhan. Karena panik, saya berguling-guling di atas tempat tidur.
Dengan maksud menjatuhkan pistol dari tangan Gibson, tanpa sadar saya memukul
lampu yang terletak di atas meja kecil di tempat tidur. Keesokan harinya saya
harus membayar denda delapan dollar untuk kerusakan itu.
Dengan tubuh bermandi keringat, saya bangun. Kemudian saya minum teh dan pergi
ke Danau Pontchartrain yang indah. Di sana saya berenang sampai tubuh saya
kembali segar. Setelah itu saya melanjutkan lagi pencarian. Saya pergi lagi ke
kedai Jerman tempat saya bertemu Old Death kemarin. Saya melangkah masuk tanpa
sedikit pun bermaksud menemukan hal baru di situ. Pada hari ini kedai minum itu
tidak ramai dikunjungi seperti hari sebelumnya. Kemarin saya tidak melihat koran
di sana. Tetapi hari ini tampak banyak koran berserakan di atas meja tak
terbaca. Saya lalu mengambil Deutsche Zeitung[Jerman: Harian Jerman], sebuah
koran terbaik yang dulu terbit di New Orleans. Koran itu masih terus bertahan
hingga kini, walaupun sudah berkali-kali berganti penerbit dan redakturnya
menurut kepentingan orang Amerika. Tanpa bermaksud membaca secara terperinci,
saya membolak-balikkan koran tersebut. Tiba-tiba mata saya terpaku pada sebuah
puisi, padahal biasanya saya membaca kolom puisi di koran hanya sekilas saja
atau tidak membacanya sama sekali. Judul puisi itu mirip dengan judul sebuah
roman duka. Saya hanya sedikit tergerak. Judulnya: Malam Paling Mengerikan. Saya
sudah bermaksud membuka halaman berikut, tapi lagi-lagi mata saya kembali
melihat dua huruf yang tertera pada bagian akhir puisi tersebut, "W.O." Kedua
huruf itu adalah huruf awal dari nama William Ohlert, orang yang sejak lama
menyita perhatian saya! Tidak heran kalau saya langsung menghubungkan kedua
huruf itu dengan dia. Memang Ohlert yunior menganggap dirinya penyair. Apakah
dia lantas menggunakan kesempatan selagi masih di New Orleans untuk menampilkan
karangannya kepada publik" Barangkali tulisan itu langsung diterbitkan karena
dia membayar biaya pemuatannya. Jika dugaan ini benar maka dengan bantuan puisi
itu saya bisa diantar kembali menuju ke arah jejak kedua orang yang saya cari.
Saya mulai membaca. Malam Paling Mengerikan Tahukah engkau malam yang menyelimuti bumi seiring angin kencang dan terpaan
hujan deras, malam tanpa gemerlap bintang-bintang surgawi, tatkala mata
terhalang gelap tiada batas" walau malam itu sedemikian kelam, namun esok pun
'kan tiba; Oh berbaringlah tenang dan tidurlah tanpa wasyangka.
Tahukah engkau malam yang menyelimuti hidup, ketika maut datang ke pembaringan
terakhir dan keabadian memanggil tak lagi sayup, hingga denyut nadimu pun berhenti
mengalir" walau malam itu sedemikian kelam, namun esok pun 'kan tiba; Oh
berbaringlah tenang dan tidurlah tanpa wasyangka!
Tahukah engkau malam yang menyelimuti jiwa, saat permohonan ampun tiada
digubris, malam bagai beludak yang membelit sukma dan meracuni pikiran dengan
seribu iblis" Oh jauhkanlah dirimu dari kengerian ini sebab malam yang ini tak
berujung pagi! W.O. Saya mengakui, tulisan itu sungguh menggugah hati. Dipandang dari sudut sastra,
puisi ini tidak berharga. Namun ia mengandung jeritan keputusasaan seorang
manusia berbakat yang sia-sia berjuang melawan cengkeraman kegilaan dan merasa
dirinya tidak bisa tertolong lagi. Tapi saya segera menepis rasa haru dalam hati
karena sekarang saya harus bertindak! Saya cukup yakin bahwa William Ohlert
adalah pengarang puisi tersebut. Maka saya mencari di katalog alamat redaksi
koran itu, dan bergegas ke sana.
Ekspedisi dan redaksi berada dalam satu bangunan. Di ruangan pertama saya
membeli selembar koran hari itu, kemudian melaporkan diri pada bagian redaksi.
Di sana saya kemudian tahu bahwa dugaan saya ternyata benar. Seseorang bernama
Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
William Ohlert datang sendiri ke tempat itu sehari sebelumnya untuk mengantar
tulisannya, sekaligus meminta supaya tulisan itu segera dimuat. Tetapi karena
redaktur menolak permintaannya, penyair itu menyodorkan sepuluh dollar dan
menetapkan persyaratan bahwa tulisannya harus terbit pada nomor hari
itu. Mereka pun harus mengirimkan sebuah revisi[Redaksi akhir] buatnya. Tingkah
laku penyair itu sangat sopan, hanya kadang-kadang dia menatap ke sekeliling
dengan cemas. Dia pun selalu menekankan bahwa puisi itu ditulis dengan darahnya.
Ini adalah suatu gaya bahasa yang biasa dipakai oleh penulis berbakat maupun
penulis murahan. Karena alasan pengiriman revisi itulah, maka dia harus
menyerahkan alamat rumahnya. Dari sini saya akhirnya bisa mendapatkan alamatnya.
Dia tinggal atau pernah tinggal pada sebuah penginapan yang mahal dan terkenal
di daerah kota baru. Saya segera berangkat ke sana. Sebelum meninggalkan kamar, saya menyamar agar
tidak dikenal. Dan penyamaran kali ini sangat sempurna. Lalu saya menjemput dua
polisi untuk pergi bersama ke alamat yang dimaksud. Keduanya akan berdiri
berjaga-jaga di pintu gerbang, sementara itu saya sendirilah yang akan masuk.
Saya sendiri cukup yakin, penangkapan buronan itu beserta sanderanya akan
berjalan lancar. Dengan perasaan menggebu-gebu, saya membunyikan lonceng rumah.
Di atas lonceng kecil itu terpampang selempeng aluminium kecil bertuliskan
"First class pension for Ladies and Gentlemen". Jadi saya berada pada alamat
yang benar. Rumah dan toko di sampingnya adalah milik seorang perempuan berumur.
Penjaga rumah membukakan pintu, menanyakan keperluan saya, dan menyuruh saya
melaporkan diri terlebih dahulu kepada pemilik rumah. Kepadanya saya memberikan
kartu nama. Tetapi pada kartu itu tertera nama palsu, bukan nama saya yang
sebenarnya. Kemudian saya diantar ke ruang dalam dan menunggu sang lady selama
beberapa saat. Ia berpakaian rapi dan kelihatan anggun. Usianya kira-kira lima puluh tahun.
Melihat rambutnya yang keriting serta kukunya yang agak kehitam-hitaman, saya
bisa memastikan bahwa ia mewarisi sedikit keturunan orang kulithitam. Ia
menampakkan kesan seorang wanita yang ramah dan menerima saya dengan penuh sopan
santun. Saya memperkenalkan diri sebagai redaktur dari rubrik puisi pada Deutsche
Zeitung lalu menyerahkan satu eksemplar dari koran tersebut. Saya menyampaikan
bahwa saya harus bertemu dengan penulis puisi itu. Untuk itu saya mendapat
alasan yang masuk akal, yakni karena ingin membayar honor dan meminta beberapa
karangan lagi. Ia mendengarkan saya dengan tenang, lalu memperhatikan saya dengan seksama dan
berkata, "Jadi Tuan Ohlert telah memberikan puisinya untuk diterbitkan di koran Anda"
Sungguh menarik! Sayang saya tidak mengerti bahasa Jerman, jika tidak saya pasti
meminta Anda untuk membacakannya buat saya. Apakah puisinya
bagus?" "Ya, luar biasa! Saya harus katakan kepada Anda bahwa saya sungguh tertarik!"
"Senang sekali mendengarnya. Di mata saya, Tuan Ohlert selalu memberikan kesan
bahwa dia seorang terpelajar, seorang gentleman sejati. Sayang dia tidak banyak
bicara dan tidak bergaul dengan orang lain. Hanya sekali saja dia keluar, ya,
ketika pergi mengantar puisi itu kepada Anda."
"Sungguh" Dari percakapan singkat dengannya saya menduga, dia menarik sejumlah
uang di kota ini dan untuk maksud itu mestinya dia lebih sering keluar rumah."
"Hal itu terjadi ketika saya tidak berada di rumah. Mungkin juga sekretarisnya
yang pergi mengambil uang tersebut."
"Jadi dia mempunyai seorang sekretaris" Tentang itu dia tak pernah
menyinggungnya. Kalau begitu dia pasti seorang yang sangat kaya."
"Benar! Dia memberikan gaji yang besar dan makanan yang enak. Sekretarisnya,
Master Clinton, mengatur keuangannya."
"Clinton! Jika sekretaris itu bernama Clinton, rasanya saya sudah pernah bertemu
dengannya pada sebuah perkumpulan. Dia berasal dari New York atau paling kurang
dari daerah sekitarnya dan dia seorang yang pandai menjalin relasi dengan orang
lain. Kami bertemu kemarin siang ."
"Betul," dia menyela. "Kemarin dia keluar rumah."
"Dan kami menjadi akrab satu sama lain," lanjut saya, "sampai-sampai dia
menghadiahkan sebuah potretnya untuk saya. Pada waktu itu saya tidak membawa
potret saya, tetapi saya berjanji untuk memberinya sekarang, karena hari ini
kami akan bertemu kembali. Ini gambarnya," saya menunjukkan gambar Gibson yang
selalu saya bawa ke mana-mana.
"Benar, inilah sekretarisnya," katanya setelah melihat potret itu. "Sayang Anda
tidak akan bertemu lagi dengan mereka. Dan Anda tidak mendapat puisi lain dari
Master Ohlert, karena keduanya sudah pergi."
Saya terkejut tetapi lalu cepat-cepat menguasai diri dan berkata,
"Oh... sayang sekali. Keputusan untuk pergi dari sini pasti muncul secara tibatiba." "Tampaknya begitu. Ini sebenarnya suatu peristiwa yang mengharukan. Master
Ohlert pasti tidak pernah menyinggungnya, karena tak seorang pun mau
menikam pisau ke dalam luka sendiri. Tetapi sekretarisnya menceritakan semuanya
kepada saya, tapi dengan janji bahwa saya harus tutup mulut. Anda pun harus
tahu, saya selalu merasa bahagia atas kepercayaan yang diberikan oleh orangorang yang menginap di tempat ini."
"Saya percaya itu. Gaya Anda yang lembut serta tutur kata Anda yang halus mampu
menggerakkan hati orang untuk segera mempercayai Anda," kata saya dengan sangat
lancang. "Ah bisa saja!" jawabnya sambil tersipu malu. "Cerita ini membuat saya hampir
menangis. Namun saya merasa bahagia karena anak muda itu melarikan diri pada
waktu yang tepat." "Melarikan diri" Kedengarannya seolah-olah dia dikejar!"
"Ya, begitulah persoalannya."
"Ah! Sangat menarik! Seorang penyair, berbakat luar biasa, dan cerdas namun
dikejar-kejar! Dalam posisi sebagai redaktur, atau boleh dikatakan rekan dari
korban, saya mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui lebih jauh
tentang hal tersebut. Koran memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh.
Barangkali saya bisa memuat kisah ini dalam sebuah tulisan. Betapa sayangnya
jika kisah menarik ini tidak diterbitkan karena Anda tidak boleh membuka
rahasia." Pipinya memerah. Ia menarik sebuah sapu tangan yang tidak terlalu bersih dari
saku untuk berjaga-jaga kalau ia menangis. Lalu ia berkata,
"Saya pun tidak lagi merasa wajib menutup mulut, Sir, karena kedua Master itu
telah pergi. Hanya saya tahu, orang mengartikan koran sebagai kekuasaan. Dan
saya sangat bahagia apabila Anda mampu menolong penyair malang itu."
"Saya pasti akan mengerahkan seluruh kekuatan saya untuk membantu. Hanya
terlebih dahulu saya harus diberitahu tentang apa yang telah terjadi."
Harus saya akui, saya harus bersusah payah menyembunyikan rasa penasaran.
"Anda akan mengetahuinya sekarang. Hati saya mendesak untuk menceritakan semua
kepada Anda. Peristiwa ini berhubungan dengan kisah cinta sejati, kisah cinta
yang tidak berakhir dengan kebahagiaan."
"Sudah saya bayangkan sebelumnya. Karena sejauh yang saya tahu, cinta yang putus
di tengah jalan adalah sebuah penderitaan terbesar yang mampu mencabik-cabik
perasaan orang." Tentu saja saya tidak memiliki sedikit pun pengetahuan tentang cinta.
"Betapa Anda sungguh simpatik dengan kata-kata indah itu, Sir. Apakah Anda
pernah mengalami penderitaan sepahit itu?"
"Belum." "Kalau begitu Anda sungguh beruntung. Saya pernah mengalami penderitaan seperti
itu. Rasanya seperti mau mati saja. Ibu saya seorang peranakan. Saya bertunangan
dengan putra seorang petani Perancis, yang juga anak campuran. Kebahagiaan kami
tercabik-cabik karena ayah calon suami saya tidak mau menerima seorang colouredlady[Inggris: Perempuan kulit berwarna] di tengah keluarganya. Karena itu saya
sangat prihatin melihat nasib penyair malang itu. Mungkin dia tidak bahagia
karena alasan yang serupa."
"Jadi dia jatuh cinta pada seorang perempuan berkulit gelap?"
"Ya, seorang peranakan Negro. Ayahnya melarang hubungan cinta itu dan dengan
cara yang licik dia membuat surat keterangan lalu memaksa gadis itu
menandatanganinya. Isinya, gadis itu harus melepaskan kebahagiaan yang akan ia
rajut bersama William Ohlert."
"Sungguh seorang ayah yang kejam!" saya berkata sedih. Wanita itu memandang saya
dengan penuh simpati. Kelihatannya ia percaya pada semua hal yang diceritakan Gibson. Tentu saja
sebelumnya wanita ini bercerita tentang kisah cintanya kepada Gibson. Gibson
lalu mengarang sebuah dongeng yang mirip untuk menumbuhkan rasa prihatin di
dalam hati wanita ini. Dengan itu dia mempunyai alasan yang kuat, mengapa dia
harus segera pergi. Keterangan bahwa dia sekarang menyebut dirinya Clinton tentu
sangat penting bagi saya.
"Ya, seorang ayah yang kejam!" ia mengulang perlahan. "Tetapi William tetap
setia kepada kekasihnya dan keduanya melarikan diri hingga ke sini. William
kemudian menyerahkan gadis itu ke sebuah penginapan."
"Tetapi saya belum mengerti, mengapa dia harus meninggalkan New Orleans?"
"Karena orang yang mengejarnya pun sudah datang ke sini."
"Ayahnya menyuruh seseorang untuk membuntutinya ke sini?"
"Ya, seorang Jerman. Lagi-lagi orang Jerman. Saya membenci mereka. Mereka
dinamakan bangsa yang suka berpikir tetapi mereka tidak mampu mencintai. Dengan
berbekal surat kuasa di tangan, orang Jerman itu memburu William dari kota ke
kota hingga kemari."
Dalam hati, saya hanya tertawa mendengar kecaman wanita itu terhadap seseorang
yang saat ini sedang berbicara dengan dirinya.
"Dia seorang polisi. Dia harus menangkap William dan membawanya pulang ke New
York," katanya lebih lanjut.
"Apakah sekretarisnya menggambarkan kepada Anda, bagaimana kira-kira rupa
keparat tersebut?" saya bertanya dengan hati berdebar-debar menanti tanggapannya
tentang diri saya. "Ya, karena mungkin saja si barbar itu menemukan rumah penginapan William dan
akan ke sini. Tetapi saya akan menyambut kedatangannya! Dan saya sudah
mempertimbangkan baik-baik setiap kata yang akan saya ucapkan di hadapannya. Dia
tidak akan diberitahu, ke mana William pergi. Justru saya akan menyuruhnya pergi
ke jurusan yang berlawanan."
Dia menerangkan tentang si 'barbar' itu dan menyebut juga namanya -sama persis
dengan nama saya dan gambarannya cocok pula dengan diri saya. Hanya ia
mengungkapkannya dengan cara yang lebih halus.
"Setiap detik saya menunggu dia datang," katanya lebih lanjut. "Ketika saya
diberitahu bahwa Anda datang, saya sempat berpikir, inilah orang yang saya
nanti-nantikan. Tapi untunglah saya keliru. Anda bukanlah orang yang memburu
kedua manusia yang lagi dimabuk asmara itu. Anda juga bukan orang yang mau
merebut kebahagiaan mereka, bukan orang yang mencintai kejahatan dan
pengkhianatan. Dari tatapan mata Anda yang polos saya bisa melihat, Anda akan
menulis sebuah artikel di surat kabar untuk mengecam orang Jerman itu dan
memberikan perlindungan terhadap orang yang dikejar."
"Jika saya bisa, saya akan melakukannya dengan senang hati. Tetapi pertama-tama
saya harus tahu, di mana William Ohlert sekarang. Saya harus menyurati dia.
Semoga Anda mau mengatakan tempat tinggalnya saat ini."
"Saya tahu pasti kemana dia pergi. Tetapi saya tidak bisa memastikan bahwa dia
masih berada di tempat itu, apabila surat Anda tiba. Orang Jerman itu tentu akan
saya suruh pergi ke arah barat laut. Namun kepada Anda saya katakan, William
telah pergi ke selatan, ke Texas. Dia bermaksud menyeberang ke Mexico dan
mendarat di Veracruz. Saat ini tak ada kapal yang segera berlayar ke sana.
Karena bahaya yang mengancam dia harus bertindak dengan cepat, lalu dia
menumpang kapal Delphin yang berlayar ke Quintanna."
"Anda tahu pasti?"
"Ya, sangat pasti. Dia harus bergegas. Dia hanya mempunyai sedikit waktu untuk
menaikkan kopornya ke geladak kapal. Pelayan saya mengurus semuanya sampai dia
tiba di geladak. Di sana dia berbicara sejenak dengan anak buah kapal dan
mendapat informasi bahwa Delphin betul-betul berlayar ke Quintanna tetapi
singgah dulu sebentar ke Galveston. Sungguh, Master Ohlert yunior pergi dengan
kapal uap itu. Pelayan saya masih menunggu sampai kapal itu berangkat."
"Apakah kekasihnya serta sekretaris itu juga ikut berlayar?"
"Tentu! Pelayan saya memang tidak melihat gadis itu, karena ia sudah lebih dulu
masuk ke kabin wanita. Pelayan itu pun tidak bertanya panjang lebar karena semua
karyawan saya sudah dilatih untuk menjaga mulut dan tahu menghormati tamu. Yang
jelas, William tidak meninggalkan kekasihnya dan dia ingin terus menghindar dari
bahaya karena takut ditangkap oleh orang Jerman itu. Saya sangat senang jika
keparat itu datang ke sini. Saya sudah menyiapkan adegan kecil yang menarik.
Pertama-tama, saya akan mencoba melunakkan hatinya dan jika hal ini tidak
berhasil, maka saya akan menyemburkan sumpah serapah ke wajahnya. Dan saya akan
terus menyerang sampai dia akhirnya tertunduk malu di hadapan saya."
Wanita lemah lembut itu kini sedang dikuasai emosi. Rupanya persoalan itu sangat
meluluhlantakkan hatinya. Sekarang ia bangkit dari tempat duduk, mengepalkan
tinju, menghadap pintu, dan berteriak mengancam,
"Ya, datanglah, datanglah kau, setan Dutchman. Tatapan mata saya akan menusuk
tubuhmu dan kata-kata saya akan meremukkan tulang-belulangmu."
Sekarang rasanya saya sudah cukup mendengarkan keterangan yang perlu dan saya
bisa pergi. Orang lain pun akan berbuat yang sama dan meninggalkan wanita itu
dalam kekhilafannya. Tetapi bagi saya, saya merasa wajib menjelaskan pokok
persoalan ini kepadanya. Ia tidak boleh dibiarkan terus menganggap seorang
biadab sebagai seorang yang berhati tulus. Dan tidak salah juga seandainya saya
berterus terang. Karena itu saya lalu berkata,
"Saya pikir, Anda tidak akan mendapat kesempatan untuk mencaci maki orang itu."
"Mengapa tidak?"
"Karena pokok persoalan yang sebenarnya sungguh lain daripada yang Anda kira.
Juga Anda tidak akan berhasil menyuruh keparat itu pergi ke arah barat laut.
Karena dia sendiri lebih suka langsung menyusul ke Quintanna untuk menangkap
William serta orang yang disebut sebagai sekretarisnya."
"Tetapi dia tidak tahu di mana mereka tinggal."
"Tidak, dia tahu. Karena Anda sudah mengatakan kepadanya."
"Saya" Tidak mungkin! Saya tahu apa yang saya katakan. Kapan saya
memberitahukannya?" "Baru saja." "Sir, saya tidak mengerti maksud Anda!" wanita itu bertanya dengan penuh
keheranan. "Saya akan membantu Anda agar bisa mengerti persoalan ini lebih baik. Tapi
pertama-tama izinkanlah saya mengubah sedikit penampilan."
Setelah itu saya melepaskan rambut hitam, janggut tebal, serta kacamata dari
wajah. Ia mundur beberapa langkah karena terkejut,
"Ya Tuhan!" serunya. "Anda bukan seorang redaktur melainkan orang Jerman itu!
Anda telah membohongi saya!"
"Saya terpaksa berbuat demikian, karena sebelumnya Anda telah ditipu orang.
Cerita tentang wanita peranakan itu dari awal hingga akhir adalah suatu
kebohongan besar. Orang telah mempermainkan kebaikan hati Anda dan menjadikannya
lelucon. Clinton itu bukan sekretaris dari William. Sebenarnya dia bernama
Gibson dan dia adalah seorang penipu yang sangat berbahaya. Dan saya ingin
membekuknya." Ia jatuh terduduk tanpa daya di atas kursi dan berkata,
"Tidak, tidak! Semua ini tidak mungkin. Orang yang baik, ramah, dan menawan itu
tidak mungkin menjadi seorang penipu. Saya tidak mempercayai
Anda." "Anda akan percaya jika mendengarkan cerita saya. Baik, saya akan menceritakan
semuanya." Saya menerangkan tentang pokok persoalan yang sebenarnya. Dan saya berhasil
mempengaruhi bahkan mengubah rasa simpatinya terhadap sekretaris yang baik hati
itu menjadi kemarahan yang meluap-luap. Ia sadar, ia telah ditipu mentah-mentah.
Akhirnya ia mengaku bahagia karena saya datang dengan pakaian menyamar.
"Jika Anda tadi tidak menyamar," katanya, "tentu Anda tidak mendapat keterangan
yang benar dan Anda pasti sudah berlayar ke utara, ke Nebraska atau Dakota
sesuai petunjuk saya. Tindak tanduk orang yang bernama Gibson, atau Clinton itu
harus diganjar dengan hukuman yang keras. Saya berharap Anda segera mengejarnya.
Saya juga minta supaya Anda menyurati saya dari Quintanna untuk memberitahukan,
apakah Anda sudah berhasil menangkap keparat itu. Sebelum menyeretnya ke New
York Anda harus membawanya kemari supaya saya bisa mengatakan kepadanya, betapa
rendahnya dia di mata saya."
"Itu tidak mungkin. Sungguh tidak gampang membekuk seseorang di Texas lalu
menyeretnya ke New York. Saya sudah merasa puas apabila saya berhasil melepaskan
William Ohlert dari tangan penculiknya dan paling tidak bisa menyelamatkan
sebagian uang yang diambil keduanya selama pelarian. Tetapi untuk saat ini saya
akan merasa sangat bahagia kalau Anda cukup mengatakan bahwa Anda tidak lagi
menganggap orang Jerman sebagai bangsa barbar, bangsa yang tidak bisa mencintai.
Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saya sedih mendengar bangsa saya dikecam tanpa alasan, seperti yang baru saja
Anda lakukan." Jawaban yang keluar dari mulutnya adalah sebuah permintaan maaf. Ia juga
meyakinkan saya bahwa ia telah mengubah pandangannya yang salah. Kami lalu
berpisah dalam suasana yang penuh keakraban. Kepada kedua polisi yang menunggu
di luar, saya mengatakan bahwa urusannya sudah selesai. Saya memberikan mereka
sejumlah uang lelah, lalu segera beranjak pergi.
Tentu saja saya harus secepat mungkin pergi ke Quintanna. Pertama-tama saya
harus mencari kapal yang akan berangkat ke sana. Sayang waktunya tidak tepat
buat saya, karena walaupun ada sebuah kapal uap yang siap untuk berlayar ke
Tampico, namun kapal itu akan singgah di beberapa tempat. Sedangkan kapal-kapal
dengan jurusan Quintanna baru akan berangkat beberapa hari lagi. Akhirnya saya
menemukan sebuah kapal layar yang dipakai untuk mengangkut barang-barang ke
Galveston yang akan berangkat sore ini, dan saya bisa berlayar dengan kapal itu.
Di Galveston saya berharap bisa mendapat sarana yang lebih cepat untuk pergi ke
Quintanna. Dengan segera saya mengepak barang-barang dan naik ke atas kapal.
Sayang harapan saya untuk berlayar dari Galveston menuju Quintanna tidak
terwujud. Tetapi, masih ada kemungkinan lain bagi saya untuk berlayar melampaui
tempat tujuan hingga ke Matagorda di muara timur Sungai Colorado. Orang
mengatakan, lebih gampang untuk berangkat lagi dari sana menuju ke Quintanna.
Pertimbangan ini membulatkan tekad saya untuk memilih kemungkinan yang terakhir.
Di kemudian hari baru jelas bahwa saya tidak perlu menyesali keputusan itu.
Pada waktu itu perhatian pemerintah di Washington tertuju pada daerah Selatan,
Mexico. Negara ini masih terus menderita akibat peperangan antara aliran
republik dan aliran yang mendukung sistem kerajaan.
Amerika Serikat mengakui Benito Juarez sebagai Presiden Republik Mexico.
Penduduk Mexico menolak mati-matian kalau akhirnya dia harus kalah melawan
Maximillian. Sama seperti sebelumnya, mereka tetap menganggap Kaisar Maximillian
sebagai penguasa ilegal. Karena itu mereka melakukan tekanan politis terhadap
Napoleon. Napoleon dituntut membuat pernyataan guna menarik pasukannya dari
Mexico. Melalui kemenangan bangsa Prusia dalam peperangan di Jerman, secara
tidak langsung Napoleon dipaksa untuk menepati perjanjian. Di sinilah awal
keruntuhan Maximillian. Ketika pecah perang saudara, Texas menyatakan diri mendukung
sesessionisme[Aliran yang memperjuangkan hak untuk memisahkan diri dari
pemerintah Union] dan dengan itu berpihak pada negara-negara yang ingin
mempertahankan sistem perbudakan. Kekalahan negara tersebut tidak membawa
kedamaian bagi rakyat. Orang menjadi kecewa terhadap negara-negara Utara dan
mereka menunjukkan sikap yang menentang politik negara tersebut. Sebenarnya
rakyat Texas menganut aliran republik. Orang mengelu-elukan Juarez sebagai
pahlawan suku Indian, karena dia tidak gentar mengangkat senjata melawan
Napoleon dan para sekutunya dari Dinasti Habsburg. Namun karena pemerintahan di
Washington bersekutu dengan pahlawan ini, maka diam-diam orang pun mulai
menentang dia. Jadi dalam kemelut ini rakyat Texas terbagi menjadi dua kelompok:
yang satu secara terang-terangan menyuarakan dukungannya terhadap Juarez,
sedangkan yang lainnya menyatakan penolakan terhadap dirinya. Namun penolakan
itu tidak didasarkan pada keyakinan, tetapi semata-mata karena mereka ingin
menentang semua bentuk undang-undang. Akibat ketegangan yang timbul dari
pertentangan itu, maka sangat sulit untuk bepergian melalui daerah ini. Usaha
seseorang untuk menyembunyikan paham politiknya hanyalah tindakan yang sia-sia
belaka, karena setiap orang dipaksa untuk mendukung satu dari kedua orang di
atas. Orang Jerman yang menetap di Texas pun tidak sepaham. Sebagai orang Jerman,
mereka menyatakan simpati terhadap Maximillian. Tetapi hal itu tidak sesuai
dengan semangat patriotisme mereka, karena Maximillian pergi ke Mexico di bawah
bendera Napoleon. Sudah cukup lama mereka hidup dalam suasana yang didominasi
oleh paham republik, sehingga mereka percaya bahwa penyerbuan bangsa Perancis ke
daerah Montezuma tidak bisa dibenarkan. Penyerbuan itu hanya dimaksudkan untuk
meraih kembali kejayaan bangsa Perancis yang telah pudar, dan dengan itu,
pandangan rakyat Perancis dialihkan dari situasi dalam negeri sendiri yang kacau
balau. Karena alasan-alasan ini orang-orang Jerman lebih suka memilih diam dan
menjauhkan diri dari urusan politik. Tetapi pada saat yang sama, sebenarnya
selama perang sesessionis mereka memihak negara-negara Utara dan menentang kaum
bangsawan yang mempekerjakan budak.
Suasana seperti inilah yang kami alami ketika berada di tanjung yang luas yang
memisahkan Teluk Matagorda dari Teluk Mexico. Kami bisa berlayar melalui Paso
Caballo, tetapi kemudian kami harus segera menurunkan jangkar karena perairan
itu dangkal sehingga kapal-kapal yang besar bisa terancam kandas.
Di balik tanjung itu berlabuh beberapa kapal kecil. Sedangkan agak ke tengah
berlabuh kapal-kapal besar, kapal bertiang tiga, dan sebuah kapal uap. Dengan
perahu saya cepat-cepat pergi ke Matagorda untuk menanyakan jadwal kapal ke
Quintanna. Sayang saya diberitahu bahwa baru dua hari lagi sebuah kapal akan
berlayar ke sana. Saya tertahan sekali lagi. Sungguh saya merasa sangat
kesal karena Gibson bisa empat hari lebih cepat daripada saya, dan kesempatan
ini bisa dipakainya untuk menghilang tanpa jejak. Saya hanya bisa menghibur diri
dengan mengatakan bahwa dalam situasi terjepit, saya sudah berusaha semaksimal
mungkin. Tiada pilihan lain bagi saya selain harus menunggu dengan sabar. Maka saya
segera mencari sebuah hotel dan menyuruh orang mengambil barang-barang saya dari
kapal. Dulu Matagorda belum seluas sekarang. Kota ini terletak di teluk bagian timur
dan merupakan sebuah kota pelabuhan yang kurang terkenal apabila dibandingkan
misalnya dengan Galveston. Seperti semua daerah di Texas, pantai di tempat itu
pun sangat kotor dengan bagian landai yang penuh lumpur tetapi lembab. Dalam
waktu singkat orang bisa terserang sakit demam. Karena itu rasanya tidak
bijaksana jika saya harus berlama-lama di sana.
'Hotel' tempat saya menginap ini bisa dibandingkan dengan penginapan kelas tiga
atau kelas empat di Jerman. Sedangkan kamar saya lebih mirip sebuah kamar tidur
kapal yang sempit. Bahkan tempat tidurnya sedemikian pendek sehingga saat tidur,
kaki dan kepala saya menjulur ke luar.
Setelah semua barang diantar ke kamar, saya keluar sebentar untuk melihat-lihat
kota. Untuk keluar dari kamar menuju tangga, saya harus melewati sebuah kamar
yang sedang terbuka pintunya. Saya menengok sepintas ke dalam ruangan itu. Kamar
itu dilengkapi dengan perabot yang sama seperti yang di kamar saya. Di atas lantai, di
dekat dinding tergeletak sebuah pelana kuda dan di atasnya tergantung tali
kekang. Di sudut dekat jendela bersandar sepucuk senapan Kentucky. Tanpa sadar
tiba-tiba saya teringat kepada Old Death! Tapi mungkin saja barang-barang itu
milik orang lain. Setelah keluar dari bangunan, saya berjalan perlahan menyusuri gang. Tapi pada
saat hendak membelok di tikungan, saya bertabrakan dengan seseorang yang muncul
dari depan. Dia tidak melihat saya sebelumnya karena terhalang oleh tikungan.
"Thunder-storm!" teriaknya. "Hati-hatilah, Sir! Jangan tergesa-gesa pada belokan
seperti ini!" "Jika Anda berpikir, langkah sepelan ini sudah dianggap secepat badai, pasti
Anda juga akan mengatakan, laju seekor siput sama cepatnya dengan sebuah kapal
di Sungai Mississippi," jawab saya sambil tertawa.
Dia mundur selangkah, menatap saya dan berkata,
"Ini rupanya greenfish Jerman yang kemarin tidak mau mengaku bahwa dia seorang
detektif! Apa yang ingin Anda cari di Texas dan di daerah Matagorda ini, Sir?"
"Tentu bukan Anda yang saya cari, Master Death!"
"Ya, saya tahu! Kelihatannya Anda termasuk orang-orang yang selalu gagal
menemukan apa yang mereka cari. Dan Anda seperti mereka yang terus saja berlomba
bersama dengan orang lain yang sulit mereka kalahkan. Tetapi sekarang Anda tentu
lapar dan haus. Mari kita beristirahat di satu tempat di mana kita bisa minum
bir. Kedai bir Jerman kelihatan kian menyebar ke mana-mana. Di tempat terpencil
seperti ini pun terdapat sebuah kedai bir. Saya kira, bir adalah sesuatu yang
terbaik dari negeri Anda. Anda sudah mendapat penginapan?"
"Ya, di bawah sana, di Hotel Uncle Sam."
"Bagus! Wigwam saya juga di hotel itu."
"Barangkali dekat ruangan, di mana saya melihat pelana dan tali kekang serta
senjata, sebelum tangga naik?"
"Ya. Anda tahu, ke mana pun saya pergi, barang-barang itu selalu dibawa. Kuda
bisa ditemukan di semua tempat, tetapi pelana yang bagus tidak. Tetapi marilah,
Sir! Baru saja saya masuk ke sebuah kedai minum yang menawarkan bir dingin.
Minum bir pada hari panas di bulan Juli seperti ini merupakan suatu kenikmatan
sejati. Saya juga masih bersedia untuk minum satu atau beberapa gelas lagi."
Dia membawa saya ke sebuah kedai tempat orang menjual bir dengan harga mahal.
Hanya kami berdua yang berada di situ. Saya menawarkan cerutu tetapi dia
menolak. Sebagai gantinya dia mengeluarkan sebungkus tembakau kunyah dari saku
lalu membaginya menjadi beberapa bagian kecil yang cukup untuk lima orang.
Kemudian dia memasukkannya ke dalam mulut dan mendorongnya dengan lidah ke
samping, sehingga pipinya mengembung. Lalu dia berkata,
"Sekarang saya selesai. Hanya saya ingin tahu, apa alasan yang mendorong Anda
menyusul saya ke sini. Apakah alasan itu penting"
"Justru sebaliknya."
"Jadi sebenarnya Anda tidak bermaksud datang ke sini?"
"Tidak, semestinya saya pergi ke Quintanna. Tapi karena tak ada kapal, maka saya
datang ke sini. Sebab katanya, dari sini orang lebih gampang mendapatkan kapal
ke Quintanna. Sayang ternyata saya harus menunggu dua hari
Pendekar Kembar 9 Animorphs - 34 Ramalan The Prophecy Cermin Alam Gaib 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama