Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson Bagian 2
Ping bahwa sang naga menganggap pertanyaannya menggelikan.
Jalan setapak itu kini berlikuliku melintasi lereng-lereng gunung yang berbatubatu. Jalan itu tidak lagi licin oleh es, tapi Danzi masih tetap sangat
berhatihati melangkah di antara bebatuan. Sambil berjalan, sang naga mengisi
kepala Ping dengan informasi mengenai cara merawat batu naga.
"Mesti dijauhkan dari api, benang lima warna, dan daun pohon chinaberry,"
katanya pada Ping. "Batu naga menyukai suhu yang stabil. Juga bagus kalau sesekali digosok dengan
arsenik. Ping jangan lalai mengawasi batu. Batu naga sangat berharga. Orangorang yang tidak jujur, kaya dan miskin, ingin memilikinya."
Ping hanya mendengarkan sambil lalu. Batu naga yang dikempitnya agak susah
dibawa. Tapi batu itu memang sangat indah. Ping menelusuri garis garisnya yang putih susu dan berlikuliku itu dengan jarinya. Dia tak bisa
mengerti kenapa banyak orang ingin mencuri batu itu.
"Jangan bilang siapa-siapa kita akan pergi ke Samudra," naga itu berujar.
"Tujuan mesti dirahasiakan."
Harihari berlalu, bunga-bunga mungil digantikan oleh semak-semak dan pohon pinus
kecil, hingga suatu hari Ping mendapati dirinya berada di dalam hutan, untuk
pertama kali. "Belum pernah aku melihat pohon sebanyak ini," ka tanya, seraya menatap takjub
pada pohon-pohon pinus di sekitar mereka. "Kenapa tidak ada orang yang menebang
pohon-pohon ini untuk dijadikan kayu api?"
"Ada orang-orang yang menghargai pohon karena keindahannya," sahut Danzi. "Lagi
pula, tidak banyak orang di sini," dia menambahkan.
Hua melongok dari dalam tunik Ping untuk melihat sekelilingnya. Waktu itu sudah
siang sekali dan ke mungkinan dia mulai lapar. Danzi melotot pada tikus itu.
"Jangan menatap Hua seperti itu," Ping menegurnya. "Dia jadi takut. Dia khawatir
bakal menjadi camilan buat naga."
"Camilan?" sang naga mencemooh. "Tikus rasanya tidak enak."
Ping mendorong Hua masuk ke balik tunik. Dia
tidak mau bertanya bagaimana naga itu bisa tahu rasa tikus. Sengaja dia
mengganti topik pembicaraan.
"Bagaimana kalau kita bertemu harimau?" Tanya Ping.
"Danzi akan melawan."
Ping memandangi cakar-cakar naga yang menakutkan dan gigi-giginya yang tajam.
Dia lawan yang sepadan untuk harimau.
"Bagaimana dengan ular?"
"Ular sahabat naga."
"Tidak adakah yang kau takuti... selain pemburu naga?"
"Pemburu naga hanyalah manusia biasa. Senjata-senjata besilah yang ditakuti
Danzi." "Jadi, kau tidak takut pada makhluk apa pun?" Naga itu terdiam sejenak.
"Hanya ada satu makhluk yang ditakuti naga," kata Danzi.
"Makhluk apa itu?"
"Kaki seribu." "Kaki seribu?" seru Ping, "Aku saja tidak takut pada kaki
seribu." "Kaki seribu merayap masuk kuping. Bisa masuk ke otak. Memakan otak."
Ping belum pernah tahu hal ini.
Mereka sudah empat hari berjalan kaki. Otot-otot kaki Ping terasa sakit semua.
Jalan setapak yang semula sempit dan ditumbuhi tanaman lebat kini lebih melebar.
Sesekali mereka melintasi ladang-ladang yang hanya ditumbuhi melon yang
kurus kering atau beberapa baris tanaman bawang. Setelah beberapa lama, mereka
melihat seorang petani bertopi bambu di salah satu ladang itu, membungkuk di
atas beberapa tanaman kol yang layu. Ping teringat ucapan Danzi tentang orang
akan ketakutan kalau melihat naga lewat di dekat ladang mereka. Dia menoleh ke
arah naga yang berjalan agak jauh di belakangnya. "Danzi, di sana ada..."
Tapi naga itu tidak ada. Sebaliknya, di jalan setapak di belakang Ping ada
lelaki tua yang berjalan tertatih-tatih, bertopang pada sebatang kayu.
"Oh, selamat siang, Pak," Ping menyapa dengan sopan. "Saya sedang mencari teman
saya." Lelaki tua itu tidak menghiraukannya dan terus berjalan dengan terseokseok. Ping menduga orang tua itu agak tuli. Jenggotnya yang putih panjang
menjuntai sampai ke pinggang, sementara kumisnya yang hampir sepanjang
jenggotnya, menjuntai seperti benang di kedua sisi mulutnya.
"Teruslah berjalan," kata suara sang naga yang sekarang sudah sangat dikenalnya.
Suara itu berbicara di dalam kepalanya. Ping mengamati semak-semak di kedua sisi
jalan. Dia mengira naga itu pasti bersembunyi ketika melihat si lelaki tua
mendekat. Petani itu menegakkan tubuh dengan perlahan, seakan menunjukkan gerakan itu
sangat menyakitkan. "Selamat siang. Kami tidak terlalu sering melihat pengelana
di daerah sekitar sini."
Seorang anak lelaki muncul dari balik tembok batu rendah. Sejak tadi dia
berusaha mencangkul tanah yang setengah beku. "Kalian hendak ke mana?"
"Mengunjungi famili," Ping menyahut. Jawaban itu yang terpikir olehnya. "Di
provinsi berikutnya." Dia berharap mereka tidak menanyakan nama provinsi itu.
Si anak lelaki menghampiri mereka.
"Ada berita apa dari barat?" tanyanya. "Pengawal istana lewat jalan ini beberapa
hari yang lalu." "Sayang sekali kami tidak punya berita apa-apa," sahut Ping. "Sejak meninggalkan
rumah, baru se karang ini kami bertemu orang."
"Barangkali kau dan kakekmu mau makan bersama kami," si petani menawarkan.
Ping hendak menjelaskan bahwa lakilaki tua itu bukan kakeknya dan hendak menolak
tawaran itu dengan sopan, tapi suara sang naga berkata dalam benaknya, "Ya."
"Terima kasih," kata Ping kepada petani itu.
"Tidak perlu berterima kasih pada kami. Para dewa menyukai orang yang ramah pada
pengelana." Ping menoleh pada lakilaki tua di belakangnya. Kulit orang itu agak aneh,
kehijauan, seperti baru sembuh dari penyakit. Dia berpegangan pada lengan Ping
dengan satu tangan. Sesaat tangan yang kaku dan keriput itu tampak seperti kaki
yang bercakar. Si petani dan anak lelakinya tidak melihat perubahan ini. Setelah
mengambil peralatan, mereka berjalan bersama Ping dan si lakilaki tua.
Ladang-ladang keluarga petani itu tidak beraturan bentuknya. Lahannya terletak
di kaki bukit batu karang. Di sekeliling mereka ada tembok-tembok rendah yang terbuat dari
batu. Jalan setapak itu meliuk mengitari tepi ladang, seperti goresan tangan
anak kecil di atas pasir. Di belakang deretan pohon pinus ada rumah berkamar
satu yang sudah tua, yang juga dibangun dari batu. Atapnya yang terbuat dari
rumbia sudah perlu diperbaiki. Air hujan telah menggerus habis sebagian lumpur
yang merekatkan batu-batu itu, dan salah satu tembok sudah nyaris ambruk.
Dibandingkan rumah ini, kandang kambing di Huangling keadaannya masih lebih
baik. "Kalian boleh bermalam di sini kalau mau," kata si petani. "Kalau kalian tidak
keberatan tidur di lumbung."
"Ya," suara naga itu kembali berkata. Si petani dan anak lelakinya meneruskan
langkah menuju rumah mereka. Ping menyadari, hanya dia yang bisa mendengar suara
naga itu. "Kami senang sekali," Ping berkata cepat-cepat.
Danzi bersandar makin berat pada lengan Ping. Begitu mereka memasuki lumbung,
udara di sekitar orang tua itu bergetar dan meliukliuk. Sosok orang tua itu juga
menjadi tak beraturan. Kulitnya berubah hijau, mulut dan gigi-giginya menjadi
lebih besar. Sebuah ekor panjang muncul di bagian belakang tubuhnya. Ping
memandangi semua itu dengan takjub. Walaupun perubahan ini membuat dia mual.
"Sebaiknya tidak menonton perubahan bentuk," Danzi menasihati setelah dia
kembali ke wujudnya sebagai naga. "Kenapa tidak bilang kalau kau bisa beralih rupa?" tanya Ping.
"Bilang. Ping tidak mendengarkan," sahut naga itu sambil mengempaskan badan
dengan letih. Kelihatannya dia capek sekali. Ping menduga peralihan rupa itu
telah menyerap lebih banyak energi sang naga daripada berjalan berhari-hari.
Di dalam rumah sangat hangat dan udaranya berbau gulai kambing, Seorang
perempuan berdiri di depan tungku. Dia menoleh dan membungkuk, seraya menolak
tawaran Ping untuk membantu. Ping duduk dan menghangatkan kakinya di dekat
perapian. Baru kali inilah dia masuk ke sebuah rumah keluarga. Dia senang
melihat mereka semua sibuk dengan tugas masing-masing si petani memperbaiki
pelana, si bocah mengukir mangkuk dari sepotong kayu pinus, sang ibu memasukkan
potongan kayu ke tungku. Istri si petani tersenyum pada Ping. "Apakah kakekmu tidak bergabung dengan
kita?" tanyanya. "Dia capek sekali," sahut Ping. "Kalau Ibu tidak keberatan, dia ingin makan di
lumbung saja." "Untuk orang setua itu, perjalanan ini jauh sekali," si petani berkata.
"Dia lebih kuat daripada kelihatannya."
Ping membawakan semangkuk gulai untuk sang naga dan sedikit remah-remah untuk
Hua. Danzi menjilati gulai itu dengan lidahnya yang panjang. "Lebih banyak lobaknya
daripada daging," komentarnya, "tapi rasanya enak."
Ping kembali ke rumah dan makan bersama-sama. Sesudahnya dia membantu si ibu
mencuci peralatan makan. Sengaja dia berlama-lama di dekat perapian.
"Orangtuaku ingin memberimu hadiah," ujar si bocah. "Mereka berharap kau tidak
tersinggung." Dia memegang sehelai gaun dan sepasang sepatu. "Barang-barang ini milik saudara
perempuanku. Kami akan sangat senang kalau kau mau menerimanya, kecuali kau
merasa keberatan memakai pakaian milik orang yang sudah meninggal."
"Kalian telah memberi banyak kepada kami," sahut Ping. "Sedangkan aku tidak
punya apa-apa untuk membalas kebaikan hati kalian."
"Kami sangat senang kalau kau mau menerima pemberian ini," sahut anak lelaki
itu. "Ibuku selalu sedih kalau melihat pakaian-pakaian ini. Dia tidak mau
membuangnya, tapi dia bersedia memberikan padamu. Dia sendiri yang membuat gaun
itu. Menurutnya kau membutuhkan pakaian yang lebih hangat."
Gaun itu sederhana sekali, terbuat dari rami, tapi kelihatannya tebal dan
hangat. Sepatunya terbuat dari kulit. Ping memandangi tuniknya sendiri yang
tipis dan celana panjangnya yang sudah banyak tambalan, lagi pula sudah
kekecilan untuknya. Sepatu jeraminya juga sudah lusuh sekali, tiba-tiba Ping
malu melihat penampilannya sendiri.
"Terima kasih banyak," dia berujar.
Lalu Ping mengucapkan selamat malam pada keluarga itu dan kembali ke lumbung.
Sejak meninggalkan Huangling, baru kali itu mereka makan makanan enak. Bahkan
Hua juga kelihatan puas. Biasanya setiap malam dia keluyuran mencari makanan
tambahan. Tapi malam ini perutnya kenyang oleh sup yang dihidangkan para petani.
Dia berbaring bersandar pada batu naga. Ping yakin di wajahnya yang berbulu
halus itu tersungging senyuman.
Sang naga juga kelihatan puas. Dia meringkuk seperti kucing raksasa, ekornya
digelung di sekitar tubuhnya.
"Bagaimana kau bisa beralih rupa?" tanya Ping.
"Tidak benarbenar beralih rupa. Cuma ilusi. Membuat orang mengira aku lelaki tua
atau ular. Perlu konsentrasi chi tinggi."
Ping tidak mengerti. "Apa itu chi?"
"Energi spiritual," Danzi menjawab. Namun Ping tetap tidak memahami penjelasan
itu. Ping lalu berbaring. Dia senang merasakan ada atap lagi di atas kepalanya. Tapi
baru saja dia hendak melayang ke alam mimpi, suara mencicit nyaring dan gemuruh
berat naga yang sangat marah membuatnya tersentak. Ping membuka mata dan melihat
sang naga menarik ekor Hua dengan cakarnya sehingga tikus itu tergantunggantung. Danzi rupanya hendak melontarkan tikus itu ke tembok lumbung.
"Danzi!" teriak Ping. "Kau mau apa" Kau akan menyakiti dia."
Naga itu berhenti di tengah gerakan melemparnya. "Ping benar. Tidak mau
menyakiti tikus." Danzi
menurunkan tikus yang ketakutan itu ke tanah. "Mau bunuh saja."
Dia mengangkat kaki untuk menginjak Hua.
"Jangan!" Ping menjerit seraya menyambar Hua tepat sebelum Danzi menjejakkan
kakinya. "Kau ini kenapa sih?"
Sepasang mata naga itu bersinar merah oleh amarah. "Tikus kencing di batu!"
Ping tertawa terbahak-bahak. Ditatapnya Hua yang berkedip-kedip dengan polos
kepadanya. "Kau nakal sekali, Hua." Lalu dia berbalik pada naga itu. "Tapi kurasa dia tidak
layak mati atas perbuatannya itu."
Naga itu masih terus menggerundel. "Tikus mesti pergi."
"Kalau Hua pergi, aku juga pergi," sahut Ping. "Kalau mau ke Samudra bersamasama, kalian berdua sebaiknya belajar berteman."
Ping kembali merebahkan diri di atas tumpukan jerami, sedangkan Hua meringkuk di
lekukan sikutnya. Keesokan harinya mereka sarapan pagi-pagi sekali, lalu mengucapkan selamat
tinggal pada keluarga petani.
"Terima kasih atas kebaikan kalian," kata Ping. Dia memakai sepatu kulit baru
satu-satunya sepatu kulit yang pernah dia pakai namun dia masih mengenakan tunik
tuanya yang bertambal-tambal,
juga celana panjangnya. "Mudah-mudahan dewa-dewa membalas kebaikan kalian dengan
hasil panen berlimpah ruah."
Ping memandang si petani dan anaknya kembali ke ladang. Tanah ladang yang
berbatu-batu itu tidak banyak memberi hasil atas kerja keras mereka, tapi
setidaknya mereka saling memiliki. Sebersit rasa iri hinggap di dada Ping.
Begitu kedua petani tidak terlihat lagi, Danzi kembali ke bentuknya semula
sebagai naga. Namun dia masih tetap marah dan diam membisu. Ping sengaja
menyembunyikan Hua darinya. Tak lama kemudian naga itu bicara.
"Kenapa gaun baru tidak dipakai?" tanyanya.
"Terlalu bagus," sahut Ping, yang sebelumnya tak pernah punya pilihan hendak
memakai apa. "Akan kupakai untuk acara khusus saja."
Naga itu kembali bungkam.
Ping memikirkan keluarga miskin yang telah memberi begitu banyak kebaikan
padanya dalam semalam, padahal dia hanyalah orang asing. Dielus nya kalung bambu
yang melingkari lehernya.
"Master Lan pasti sudah tahu namaku sejak dulu," katanya.
Naga itu mengangguk. Untuk pertama kalinya, Ping tak menyesal telah meninggalkan Huangling, Dia mulai
melangkah ke arah matahari terbit, ke Samudra nun jauh di sana. Di belakangnya
terdengar bunyi berkelinting seperti bunyi genta angin yang bergoyang-goyang.
Naga itu ba hagia rupanya.
"Perjalanan seribu // dimulai dengan satu langkah saja," katanya.
7 Menyisir dan Menghitung Akhirnya Ping memberanikan diri bertanya pada Danzi tentang hal yang membuatnya
penasaran sejak mereka pergi dari Huangling.
"Danzi, kenapa naga satunya itu mati?" Sang naga berhenti, tapi tidak menjawab.
Ping bisa merasakan kesedihannya yang mendalam, tapi dia harus tahu jawabannya.
"Apakah karena aku tidak memberinya makan dengan semestinya?"
"Bukan, Ping," Danzi menjawab sedih. "Lu Yu mati karena menderita, seperti yang
lainnya." Ping belum pernah tahu nama naga satunya itu. "Yang lain yang mana?"
bisiknya. "Dulu ada dua puluh empat naga Kaisar. Kami tinggal di taman-taman
indah di luar kota Chang'an. Beberapa naga mati dalam perjalanan ke Huangling.
Ayah Lan menjual dua ekor pada pemburu naga. Selebihnya mati karena menderita.
Lan dan ayahnya bukanlah Para Pengurus Naga yang sejati." "Bagaimana kau tahu?"
"Dulu para pengurus naga hanya berasal dari
dua keluarga, keluarga Huan dan Vu. Dan dalam se tiap generasi hanya satu putra
yang terlahir untuk menjadi Pengurus Naga yang sejati."
"Bagaimana mereka tahu, putra mana yang merupakan Pengurus Naga sejati?"
"Ada tanda-tandanya."
"Dan Master Lan tidak punya tandatanda itu?" "Tidak satu pun."
Kenangan akan Lu Yu menghantui mereka. Pikiran Ping melayang pada keluarganya
sendiri. Dia ingin sekali tahu, apakah mereka sudah meninggal atau masih hidup,
dan seandainya masih hidup, apakah mereka pernah memikirkannya. Dia masih ingat
beberapa kenangan tentang mereka seulas senyuman, tangisan bayi, aroma serutan
kayu. Tapi dia tidak tahu, apa arti semua kenangan itu.
Awan tersibak dan sinar matahari menyeruak masuk. Ketika mereka berhenti untuk
makan pada tengah hari, Ping menaruh batu naga itu dan duduk dalam kehangatan
matahari. Danzi memeriksa batunya. Setelah yakin batu itu baikbaik saja, dia
juga mencari tempat yang hangat untuk beristirahat. Biasanya dia berjongkok
dengan kepala tengadah, siap melompat kalau ada yang mengganggu. Tapi hari ini
dia berbaring di bawah matahari sambil memejamkan mata. Ping merasakan Hua
menggeliat keluar dari balik lipatan tuniknya. Tikus itu melompat turun dan
Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menemukan segalur cahaya matahari yang pas seukuran badannya untuk berbaring
jauh dari jangkauan naga itu.
Ping memejamkan mata, menikmati kehangatan
yang menerpa wajahnya. Seekor burung berkicau. Danzi telah mengajarinya untuk
mengenali bunyi burung. Ping memasang telinga, berusaha mengingat burung apa
yang berkicau itu. Sekonyong-konyong terdengar raungan dahsyat yang
menenggelamkan nyanyian burung. Suara itu sama seperti yang dia dengar di
Huangling, ketika naga satunya itu mati, bunyi mengerikan mangkuk-mangkuk
tembaga yang berbenturan. Ping melompat bangkit. "Ada apa?"
"Kaki seribu!" sang naga berteriak.
"Hanya itu?" Ping bertanya seraya melepas satu sepatunya untuk menghantam
serangga pengganggu itu. "Di mana dia?"
"Merayap masuk ke kuping!"
Selama berpetualang bersama, Danzi selalu menunjukkan sikap tenang. Belum pernah
dia memperlihatkan rasa takut akan apa pun. Tapi kini dia tampaknya takut
setengah mati. Hua mengendus-endus udara dan lari merambati kaki Danzi dengan kecepatan
menakjubkan. Dia terus lari memanjat leher naga itu dengan menapaki sisiksisiknya, seperti menapaki anakanak tangga. Kemudian dia terjun masuk ke dalam
telinga naga yang runcing sehingga hanya ekornya yang terlihat. Sang naga masih
terus meraung. "Hua!" Ping berseru. "Apa-apaan kau" Ayo cepat keluar dari situ,"
Ping menyambar ekor Hua dan menariknya keluar. Di mulut Hua tampak si kaki
seribu. Ping langsung memekik dan menjatuhkan tikus itu. Hua
mendarat dengan mulus pada keempat kakinya dan mulai mengunyah-ngunyah serangga
yang menggeliat. Gigi-gigi Hua yang tajam menembus kulit luar si kaki seribu
yang keras Dan cairan kuning kental merembes ke luar. Hua langsung menelannya.
"Hih, menjijikkan sekali." kata Ping merasa hendak muntah.
Sekarang kicau burung terdengar kembali. Danzi sudah tidak meraung-raung.
"Terima kasih, Hua yang terhormat," kata Danzi, meski menurut Ping tikus itu
tidak memahami suara-suara sang naga yang seperti bunyi genta angin.
Sang naga menundukkan kepala ke tanah di hadapan Hua. Hua bersendawa.
Mereka melanjutkan perjalanan melintasi hutan bambu. Ping menyukai batang bambu
tinggi yang bergoyang-goyang serta pola saling-silang bayangan mereka di tanah.
Tiba-tiba Danzi memecahkan keheningan.
"Ping harus bersih diri," katanya.
Ping berhenti melangkah, mencoba memahami maksud ucapan sang naga barusan.
"Maksudmu, mengakui semua dosaku kepada Langit?"
"Bukan. Mandi."
"Tapi aku sudah mandi tiga bulan yang lalu!" "Ping bau."
Konyol sekali gagasan itu, Ping sama sekali tidak berniat mandi. Bahkan Master
Lan tidak mandi sampai musim semi sudah benarbenar datang. Danzi menyimpang dari
jalan setapak. "Kau mau ke mana?" tanya Ping.
Naga itu tidak menjawab. Dia malah mulai bercerita bagaimana asal mulanya naga
dan manusia saling membutuhkan. Ping mengikuti naga itu ke tengah pepohonan.
"Dulu kala para kepala suku tahu tentang kesukaan naga akan permata dan batubatu mulia," Danzi menjelaskan, "jadi mereka tangkap naga liar buat menjaga
harta." "Kelak diketahui ternyata ada beberapa pemuda, bila berada di dekat naga, bisa
mengetahui lokasi barang yang hilang, dan kemampuan membaca isi hati manusia.
Orang-orang yang mengembangkan pertalian kuat dengan naga bahkan bisa meramalkan
masa depan. Para kepala suku menggunakan kemampuan para pemuda ini untuk
membantu mereka membuat keputusan. Naga dihormati dan diperlakukan dengan baik.
Naga suka sekali diberi perhatian, dan mereka jadi menyukai makanan manusia.
Naga-naga pun menjadi tergantung pada pengurus mereka.
"Kaisar yang pertama memiliki beberapa naga, dan mereka dibangun istana dengan
taman yang indah. Sang Kaisar menghargai naga dan memerintah dengan bijak,
segala keputusannya didasarkan pada kemampuan sang Pengurus Naga untuk membaca
masa depan, bila terlihat ada naga liar, itu dianggap tanda keberuntungan. Kalau
seekor naga liar terlihat di lingkungan istana, berarti itu pertanda yang sangat
baik untuk Kaisar yang memerintah pada saat itu. Namun dengan berlalunya waktu,
para Kaisar tidak lagi mendengarkan nasihat Pengurus Naga. Mereka lupa alasan
mereka memelihara naga. Beberapa naga kabur, namun sebagian besar mati sebab
mereka sudah lupa cara mengurus diri sendiri."
"Apakah dulu kau juga naga liar?" tanya Ping.
"Ya," jawab sang naga dengan bangga. "Danzi satu-satunya naga Kaisar yang tidak
lahir dalam kurungan."
Ping mencoba membayangkan naga tua itu ketika masih muda, merambahi pedesaan
bersama rusa dan beruang-beruang liar.
"Apa kau yakin kita menuju ke arah yang benar?" tanya Ping. Jalan itu membawa
mereka kembali naik bukit. Beberapa butir salju melayang turun.
Naga itu memperdengarkan suara berdentang-dentang seperti gong, nadanya tidak
sabar, dan dia terus berjalan. Ping masih terus mencemaskan teman
seperjalanannya ini, Jangan-jangan naga ini sama sekali tidak tahu arah yang
ditujunya. Salju masih turun, meskipun tidak deras. Ping tertawa sendiri membayangkan mesti
mandi. Siapa yang mau mandi pada saat salju masih menyelimuti tanah" Dia melihat
asap membubung tinggi. Danzi memperdengarkan bunyi berkelinting. Ping menduga
Danzi tahu di depan sana ada para petani yang akan memberi mereka makanan dan
tempat berteduh. Mereka tiba di tempat terbuka dan kolam kecil. "Ping mandi," kata naga itu.
Ping menatap lapisan tipis salju di bebatuan sekitar kolam itu. Ketika dia
hendak mengingatkan bahwa orang waras takkan mandi di musim dingin, mendadak dia
merasa cakar naga itu mencengkeram bagian belakang tuniknya. Kemudian dia
diangkat dan dilempar begitu saja ke dalam kolam. Ping megapmegap. Dia terbenam
sampai seleher di dalam air. Tadinya dia mengira air kolam itu akan sedingin es.
Tapi ternyata airnya hangat seperti sup. Asap yang tadi dilihatnya sama sekali
bukan asap, melainkan uap. Gelembung-gelembung bermunculan di hadapannya dan Hua
timbul ke permukaan dengan megapmegap pula. Tikus itu memanjat naik ke leher
Ping dan duduk di kepalanya. Tetes-tetes air berjatuhan ketika si tikus
mengibas-ngibaskan tubuhnya.
"Mata air panas," Danzi berkata dan melangkah masuk ke dalam kolam dengan
tenang. Biasanya Master Lan yang memaksa Ping mandi setiap kali dia menduga Ping
berkutu. Selama ini Ping selalu mandi menggunakan air dingin sebaskom untuk
dicipratkan ke badan. Kemudian dia mesti menggosokkan salep yang baunya tidak
enak dan membuat kulitnya perih. Air kolam ini sungguh hangat dan nyaman.
Danzi duduk bertumpu pada kaki-kaki belakangnya dan merentangkan sayap kirinya
di dalam air. "Air bukan hanya membersihkan, tapi juga menyembuhkan." Dia mendesah dalam-dalam
ketika air hangat itu menyejukkan sayapnya yang terluka.
Air hangat itu memang terasa nikmat sekali ketika terkena pada goresan dan luka
di kaki dan lengan Ping. "Apa air ini air ajaib?" tanya Ping; disapukannya tangannya pada salju di tepian
kolam itu. "Bukan ajaib," sahut Danzi. "Mata air panas dari dalam perut bumi."
"Bagiku kedengarannya ajaib," sahut Ping seraya menampung air itu dalam kedua
tangannya yang tertangkup dan menyiramkan ke rambutnya. Dia sudah lupa tentang
Hua. Tikus itu sudah terjun ke dalam air dan berenang ke tepian; di situ dia
duduk gemetaran dengan sedih tapi tubuhnya kelihatan sangat bersih.
Setelah mereka selesai mandi, Danzi bersikeras menyuruh Ping memakai gaun
pemberian petani itu. Ping mengenakannya, lalu melilitkan gaun itu pada badannya
dan mengikat talinya di belakang. Di ujung tali-talinya ada sulaman bunga.
Ping menelusuri sulaman bunga itu dengan jarinya. "Inikah yang dilakukan para
ibu untuk anak perempuan mereka?" tanyanya pada sang naga.
Danzi tak menjawab. Gaun itu jauh lebih tebal daripada tunik Ping. Ba hannya terasa asing pada
kulitnya. Tidak kasar seperti karung yang masih baru, melainkan lembut sekali.
Kedua lengannya lebih besar daripada lengan tunik Ping. Tidak selebar lengan
baju sang Ratu juga para menteri istana, tapi bagi Ping gaun
sederhana itu rasanya seanggun jubah sutra.
Dia mengambil Hua. "Lihatlah, Hua," katanya. "Banyak tempat untukmu di sini."
Lalu ditaruhnya tikus itu di salah satu lipatan di sekitar leher gaun itu. "Dan
kau akan jauh lebih hangat."
Setelah Ping menyalakan api, Danzi membuang pa kaian lama Ping ke api agar tak
bisa dipakai lagi. "Sekarang menyisir rambut," kata naga itu.
"Aku tidak punya sisir, Danzi," kata Ping. Mandi saja sudah luar biasa, begitu
pula memakai baju baru, apalagi menyisir. Siapa pernah mendengar ada gadis budak
menyisir rambutnya" "Apakah Danzi pernah cerita pada Ping tentang sisik?" tanya sang naga,
"Tidak." Biasanya Ping bingung kalau Danzi tiba-tiba mengubah topik pembicaraan,
tapi kali ini dia senang bisa menghindari urusan sisir-menyisir ini.
"Naga mempunyai 117 sisik," Danzi memberitahunya. "Masingmasing memiliki
kekuatan magis. Delapan puluh satu bisa digunakan untuk tujuan baik, dan tiga
puluh enam untuk tujuan jahat."
Angka-angka itu tidak banyak artinya bagi Ping, tapi sisik Danzi memang banyak
sekali. "Di bawah dagu ada lima sisik yang letaknya terbalik."
Lima. Ping bisa membayangkan angka itu. Dan memang, di bawah dada naga itu ada
lima sisik yang lebih besar, tumbuh mengarah ke kepalanya, bukan ke ekornya
seperti sisik-sisik lainnya.
"Apakah sisik-sisik itu punya kekuatan istimewa?" Ping bertanya pada Danzi.
"Tidak," sahut naga itu. "Tapi sangat bermanfaat buat menyimpan macam-macam."
Dia menyisipkan cakar kaki depannya yang sebelah kiri ke belakang salah satu
sisik yang tumbuh terbalik itu dan menarik keluar sisir cantik. Sisir itu
terbuat dari kayu eboni, Gagangnya dihiasi mutiara besar yang berkilauan.
"Indah sekali!" seru Ping.
"Pemberian seorang putri yang Danzi selamatkan," kata sang naga. Ping merasa
mendengar nada bangga samar-samar dalam bunyi kelinting merdu sang naga. "Ping
sisir rambut sekarang."
Dengan sabar Ping menjelaskan bahwa hanya wanita kaya, misalnya para putri dan
istri menteri menyisir rambut mereka. Mereka melakukannya untuk mengisi waktu
dalam hari-hari mereka yang panjang dan tanpa kegiatan. Tapi Danzi tidak mau
menerima jawaban tidak. Ketika Ping masih terus menolak, Danzi menahannya dengan
satu kaki depan, dan menyisiri rambutnya dengan kaki satunya.
"Aduh, sakit!" seru Ping. Danzi menarik sisir itu dengan mantap di rambut Ping
yang kusut. Ping bisa merasakan beberapa jumput rambutnya ditarik sampai lepas
dari akar-akarnya. Sekarang dia baru tahu, mengapa orang-orang biasa sangat
tidak suka menyisir rambut. Danzi berhenti sebentar untuk membuang rambut kusut
yang menempel pada sisir, kemudian menyisiri Ping lagi. Tumpukan rambut kusut,
berikut dedaunan dan serangga mati yang disisir Danzi dari kepala Ping semakin
banyak. "Bisa-bisa aku botak kalau kau terus menyisihku," Ping mengeluh.
Danzi tidak mengacuhkannya. Setelah beberapa lama, rambut Ping jadi lebih mudah
disisir dan Danzi berhenti menyisihnya. Ping meraba-raba rambutnya. Masih
tersisa banyak, dan halus seperti sutra.
"Sekarang bersihkan batu naga," kata Danzi.
Ping menghela napas. "Bawa ke kolam kecil."
Naga itu mengacungkan satu cakarnya ke sebuah kolam yang lebih kecil. Airnya
panas dan berwarna putih susu.
"Kolam kecil berisi arsenik."
Samar-samar Ping teringat, sebelumnya Danzi pernah menyebut-nyebut tentang
arsenik. "Bukankah arsenik itu racun?" tanya Ping.
"Beracun bagi manusia," naga itu berkata riang.
"Tapi berguna bagi batu naga."
Kelihatannya arsenik itu juga berguna bagi naga, sebab Danzi menurunkan mulutnya
ke permukaan kolam dan meminum sedikit air yang keruh itu.
Ping sudah letih berdebat. Diambilnya batu itu dan dijatuhkannya ke dalam kolam.
Kemudian dengan menggunakan seberkas ranting digosoknya batu itu dengan
hatihati, supaya air kolam yang keruh tidak terciprat pada kulitnya. Hua berdiri
jauh-jauh dari tepian kolam. Dia merasa sudah cukup banyak kena air hari ini.
"Berapa lama lagi sampai di Samudra, Danzi?" Ping bertanya setelah mereka
kembali menyusuri jalan setapak yang mengarah ke timur.
Naga itu tidak menjawab. Meski Danzi tak mau mengakuinya, Ping menyadari bahwa
Danzi agak tuli. Dia mengulangi pertanyaannya dengan suara lebih keras.
"Pokoknya lama," sahut naga itu.
"Berapa hari?" "Banyak hari." Sekarang, setelah kedua kakinya terbiasa berjalan lama, Ping mulai menikmati
perjalanan ini. Hari-harinya mulai membentuk sebuah irama yang akrab. Mereka
selalu bangun pagi-pagi sekali, berjalan kaki sampai menjelang siang, lalu
beristirahat sebentar saat lalu lintas di jalan itu semakin ramai. Kemudian,
setelah para petani yang kelelahan berhenti sejenak untuk makan dan
berisitirahat siang, Ping dan Danzi meneruskan perjalanan.
Segala sesuatu terasa baru bagi Ping. Lanskap sekitarnya meriah oleh warnawarni. Banyak pepohonan dan tanaman yang belum pernah dilihatnya. Nyanyian
burung-burung begitu indah dan sangat nyaring. Sesekali matanya menangkap
berbagai binatang rusa, kelinci, trenggiling. Dia tak bosan-bosannya bertanya.
Apa nama tanaman itu" Apa tulisan di papan penunjuk jalan itu" Benarkah ada
monyet" Danzi selalu sabar menjawab. Selama ini Master Lan tak pernah
memberitahukan apa pun kepadanya. Kalau Ping menanyakan sesuatu, dia hanya
menertawakan ketidaktahuan Ping, atau ber
kata, "Kalau yang ini kau masih belum tahu, aku takkan memberitahu."
Kenangan Ping tentang kehidupannya sebagai budak sudah mulai memudar. Dia tidak
melupakan tahuntahun penuh penderitaan yang dilaluinya di Huangling, tapi kini
semua itu lebih terasa seperti mimpi buruk. Kini hari-harinya dipenuhi dengan
kebebasan sederhana. Dia bisa memutuskan apakah akan berhenti dan mengumpulkan
jamur atau buah beri. Dia bisa memutuskan untuk menangkap ikan. Dia yang memilih
akan makan apa dari persediaan makanan mereka yang hanya sedikit itu, dan di
mana mereka akan bermalam. Danzi tidak keberatan Ping yang mengatur urusanurusan itu, sementara dia sendiri berkonsentrasi untuk mengajari Ping dan
memeriksa kondisi batu naga,
"Ping mesti belajar memfokuskan chi," kata sang naga.
"Apa ya chi itu?"
"Energi spiritual."
"Apakah aku memilikinya?" tanya Ping.
"Semua makhluk memiliki chi."
Sambil berjalan, naga itu berusaha mengajari Ping untuk memfokuskan diri pada
energi spiritual yang ada di dalam dirinya. Tapi Ping tak bisa menemu kannya.
Menurut Danzi, kalau Ping sudah bisa mengendalikan keahlian ini, hanya itulah
senjata yang dia butuhkan. Chi-nya akan mengalir ke luar melalui ujung-ujung
jemarinya, dan dia akan sanggup menahan anak panah serta merobohkan para
penyerangnya. Ping tidak memercayai hal ini.
Mereka tiba di lereng bukit kecil, dan untuk pertama kalinya Ping melihat sebuah
desa. Maka lupalah dia tentang memfokuskan chi-nya.
"Lihat, Danzi. Banyak sekali rumah."
"Dua puluh tujuh," sahut Danzi.
"Andai aku bisa menghitung lebih dari sepuluh," Ping berkata sedih.
"Kalau kau bisa menghitung sampai sepuluh, kau bisa menghitung sampai sepuluh
ribu," kata Danzi. Ping tidak percaya. Sambil turun ke arah desa itu, Danzi menjelaskan bahwa
menambahkan satu pada sepuluh, hasilnya adalah sepuluh tambah satu, dan kalau
ditambah satu lagi, hasilnya adalah dua belas. Menghitung dengan cara ini akan
membawa Ping pada angka dua kali sepuluh, kemudian tiga kali sepuluh. Lalu Danzi
menjelaskan bahwa sepuluh kali sepuluh adalah seratus dan sepuluh kali seratus
adalah seribu, dan tahu-tahu Ping sudah bisa menghitung sampai sepuluh ribu.
"Kata Master Lan, aku terlalu bodoh untuk belajar menghitung lebih dari
sepuluh," kata Ping yang mulai pusing karena banyaknya angka hitungan.
"Dia yang bodoh," sahut Danzi. Mereka berdua pernah menderita di tangan si
Pengurus Naga yang jahat itu.
Ping menoleh ke arah Danzi. "Bisakah kita...?" Tapi Danzi sudah lenyap. "Kau di
mana?" seru Ping. "Ada yang mendekat."
Ping mencari-cari sosok orang tua jelmaan Danzi di sekitarnya, tapi tidak ada.
Yang dilihatnya hanyalah seekor ular yang merayap di rerumputan.
"Aku tidak bisa melihatmu," katanya.
Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang pengelana melangkah di jalan setapak itu. Dia memandang curiga pada
gadis remaja yang sedang berbicara sendiri, dan cepat-cepat meneruskan langkah.
Si ular berhenti merayap. Sisik-sisiknya membesar dan menjadi lebih kehijauan.
Lalu muncul kumis-kumisnya. Ping merasa perutnya bergolak dan gelombang rasa
mual membuatnya pusing dan tak sanggup berkonsentrasi. Kemudian ular itu lenyap
dan sang naga sudah kembali di hadapannya.
"Jangan melihat peralihan rupa," naga itu mengingatkan.
Ping duduk di sebongkah batu sampai rasa mualnya lenyap.
"Apakah kau bisa berubah menjadi apa pun, Danzi?" tanyanya.
"Tidak." Ping menghela napas. Ada saatnya naga ini mengisi kepalanya dengan terlalu
banyak pengetahuan, tapi adakalanya pula, seperti kali ini, Ping berharap naga
itu mau bercerita lebih banyak.
Sang naga meneruskan berjalan di setapak yang melintasi desa. Ping memandangi
rumah-rumah kecil yang berdekatan di sana.
"Tak bisakah kita berhenti di desa itu" Barangkali akan ada yang menawari kita
menginap." "Tidak," sahut Danzi. "Tidak mau alih rupa lagi."
Dengan enggan Ping mengikuti naga itu. Dia menduga Danzi sudah terlalu capek
untuk beralih rupa lagi. Naga itu mengajari Ping banyak hal, dan dia suka sekali bercerita terutama
tentang makhluk sejenisnya. Katanya naga bisa hidup sampai umur dua ribu tahun
atau lebih. Ketika baru lahir, mereka tidak mempunyai tanduk ataupun sayap.
Begitu berumur lima ratus tahun barulah tanduk mereka tumbuh sepenuhnya. Ketika
hampir mencapai umur seribu tahun, barulah sayap-sayap mereka mulai tumbuh. Dia
juga memberitahu Ping bahwa naga merupakan salah satu dari empat binatang
spiritual tiga lainnya adalah penyu raksasa, phoenix, dan hewan aneh bertanduk
satu yang disebut qilin, "Aku belum pernah dengar tentang makhluk-makhluk itu," kata Ping. "Selain naga
tentunya." "Zaman sekarang, qilin dan phoenix sudah meninggalkan bumi," kata Danzi. "Naga
juga tinggal sedikit. Hanya penyu raksasa yang masih cukup banyak jumlahnya."
"Kenapa makhluk-makhluk ini lebih spiritual daripada babi dan kambing?"
"Keempat makhluk ini adalah makhluk langit. Bentuk mereka bisa dilihat di langit
malam, ditandai oleh bintang. Di bumi mereka lebih memiliki shen daripada hewan
lainnya. Naga yang memiliki paling banyak."
"Apa itu shen?" tanya Ping.
"Yang membuat makhluk-makhluk menjadi baik, bijak, dan rendah hati," sahut
Danzi. "Membuat mereka melihat dunia sebagai satu kesatuan dengan setiap
serangga, setiap helai rumput sama pentingnya dengan Kaisar."
Ping teringat saat dia melihat Kaisar. Penampilan Kaisar tampak sangat
berwibawa. Hua mengintip ke luar gaun Ping.
"Apakah Hua juga sama pentingnya seperti Kaisar?"
"Tentu saja. Kita semua sama uniknya, sama-sama berharga." "Termasuk aku?"
"Termasuk Ping."
Danzi menghabiskan sisa hari itu dengan menceritakan tentang macam-macam tanaman
yang kaya akan shen akar ginseng, jarum pohon pinus, dan daun yang belum pernah
didengar Ping, namanya tanaman awan merah, yang kata Danzi tumbuh di tepi sungai
setelah hujan badai. Ping menguap. Beberapa hal yang diceritakan naga itu sangat
menarik, tapi untuk kali ini hanya sekian informasi yang sanggup di serapnya.
8 Kota Kedamaian Abadi ff A ku tidak bisa," kata Ping marah. Deretan -J-*-pegunungan gersang itu kini
sudah berada di belakang mereka. Hujan turun sepanjang pagi. Di depan sana
tampak daerah pedesaan yang basah dan subur tanahnya, yang dibagi menjadi petakpetak ladang yang rapi; ada yang cokelat, ada yang kuning, ada pula yang hijau
gelap. Pada tengah hari mereka menyantap makan siang yang dingin dan basah,
sambil berteduh di bawah cabang-cabang sebatang pohon yang meneteskan air. Pagi
yang basah itu merebak menjadi siang berhujan rintik-rintik.
Sepanjang hari Danzi mencoba mengajari Ping untuk memusatkan chi-nya.
Ditunjukkannya pada gadis itu bagaimana dia bisa memfokuskan chi-nya pada
sebongkah batu dan memindahkannya hingga jarak seuluran lengan tanpa perlu
menyentuhnya. Di mintanya Ping melemparkan sepotong ranting padanya, dan dia
menghentikan gerakan ranting itu di udara. Dia menyarankan Ping mulai berlatih
dengan sehelai daun. Tapi sejauh ini daun itu tidak mau
bergerak juga. "Ping coba lagi."
Baju Ping sudah basah kuyup. Setidaknya sisik-sisik naga itu kelihatannya tahan
air. Ping merasa sangat tolol, mengacungkan jemarinya pada daun basah itu,
sementara Danzi, untuk keseratus kalinya, meminta dia berkonsentrasi.
"Aku capek. Aku tidak memiliki chi untuk difokuskan! Jangan paksa aku
melakukannya." Daun itu melayang jatuh ke tanah.
"Anginkah yang meniupnya?" tanya Ping.
"Tidak ada angin."
"Berarti aku berhasil!"
"Kemarahan memfokuskan chi," kata naga itu. "Tapi lebih baik menggunakan emosi
yang positif." Ping senang sekali, meski dia beranggapan kemampuan menggerakkan dedaunan tak
akan banyak gunanya. Dia berjalan di depan. Sudah cukup dirinya mendapatkan
pelajaran dari sang naga sehari ini.
Setelah lama berjalan dalam diam, Ping menoleh untuk bertanya pada Danzi, apakah
mereka bisa berlindung dari hujan, namun yang tampak berjalan di belakangnya
adalah seorang pemuda. Dia memakai sepatu bot bepergian yang kokoh dan sehelai
jubah rami di bahunya. Dia pun mengenakan topi bambu yang biasa digunakan petani
saat bekerja di ladang, untuk melindungi kepala dari sengatan mata hari. Saat
itu tidak ada matahari, tapi topi itu bermanfaat sekali untuk menjaga kepala
orang itu tetap kering. "Aku lebih suka kalau kau tidak beralih rupa terus," Ping mengeluh. "Saat aku
sudah mulai terbiasa berjalan bersama seorang bapak tua, tahu-tahu waktu aku
menoleh lagi, kau sudah berubah menjadi anak muda."
Ping mengira akan mendengar suara menggemuruh berat yang biasa diperdengarkan
naga itu kalau marah. Tapi pemuda itu malah berbicara kepadanya dengan suara
yang sangat jelas. "Maaf," katanya seraya mundur, seakan takut.
"Oh," kata Ping, matanya mencari-cari sejenak ke pepohonan di kedua sisi jalan
setapak itu, siapa tahu Danzi ada di sana. "Kupikir kau orang lain."
Danzi tidak terlihat di mana pun. Yang tampak oleh Ping hanyalah sebuah pacul
perunggu dengan gagang hijau kusam yang tersandar di pohon. Si pemuda
memerhatikan Ping dengan saksama, dan memutuskan bahwa anak ini tidak berbahaya.
"Kau mau pergi ke ibukota?" tanya pemuda itu.
"Tidak." Ping teringat pesan Danzi agar tidak mengatakan pada orang-orang, ke
mana mereka akan pergi. "Tidak sampai sejauh itu."
Anak ini umurnya sekitar dua kali sepu luh tambah dua, dan rupanya dia senang
sekali mendapat teman seperjalanan yang bisa diajak bicara. Ping melangkah di
sampingnya. Tepat ketika dia menoleh lagi sekilas, tampak olehnya pacul perunggu
itu menumbuhkan sisik dan ekor. Udara di sekitarnya mulai berkemendang dan
meliukliuk. Ping membuang muka, sebab perutnya mulai mual. Baru pertama kali itu
dia melihat Danzi beralih rupa menjadi
sesuatu yang bukan makhluk hidup. Dia bertanya-tanya, apakah itu tanda bahwa
sang naga sudah capek. Sekarang dia harus mengalihkan perhatian anak muda ini,
agar Danzi bisa kembali ke bentuknya semula, dan berjalan pada jarak yang aman
di belakang mereka. Berdasarkan pengalamannya sejauh ini, ada pengembara yang waspada dan sekadar
mengangguk untuk menyapa. Tapi pemuda ini sepertinya sudah berhari-hari menahan
hasrat untuk mengobrol. Begitu Ping menunjukkan minat untuk mendengar kisah
perjalanannya, pemuda itu langsung bicara tida henti, menumpahkan kata-kata
seperti gabah yang tercurah dari karung yang robek.
"Sudah bertahun-tahun lamanya aku menunggu ini," si pemuda berkata penuh
semangat. "Aku dalam perjalanan menuju ibukota kekaisaran untuk menjadi
cendekiawan." Ping masih berpikir-pikir hendak menanyakan apa sebagai sopan santun, tapi belum
apa-apa si pemuda sudah meneruskan ceritanya.
"Aku merasa sangat terhormat menjadi satu-satunya orang dari desaku yang
berkesempatan masuk sekolah kekaisaran di Chang'an," katanya. "Kepala desa sudah
menaruh perhatian padaku sejak aku masih sangat kecil. Dia menganggap aku punya
potensi, meski aku tidak tahu sebabnya."
Ping hanya mengangguk-angguk sesekali, dan si pemuda terus saja berceloteh.
"Aku kebetulan mempunyai salinan dari lembarlembar Buku Upacara salah satu dari
Lima Karya K/asik. Aku sudah enam tahun mempelajari lembarlembar buku itu. Aku berharap,
kalau aku belajar rajin dan lulus ujian, aku bisa diterima bekerja pada
Cendekiawan Berpengetahuan Luas yang merupakan pakar Buku Upacara dan..." dia
menghela napas dalam-dalam untuk meredakan luapan perasaannya, "...kalau orang
hebat itu mengizinkan, aku akan mempelajari KESELURUHAN BUKU itu, dan aku akan
sangat beruntung kalau bisa melihat lembarlembar aslinya yang ditemukan
tersembunyi di dalam tembok-tembok rumah KONFUSIUS."
Saat mengatakan itu, si cendekiawan melompat-lompat dari satu kaki ke kaki
lainnya, seperti anak kecil yang kegirangan. "Bisa kau bayangkan?" tanyanya pada
Ping. "Buku-buku bambu yang dulu pernah berada di tangan seorang lakilaki yang
begitu terkenal dan luar biasa."
Ping belum pernah mendengar tentang orang bernama Konfusius ini, tapi dia
menikmati cerita si pemuda.
"Kenapa dia menyembunyikan buku itu di dalam tembok?" tanya Ping.
"Agar aman dari pembakaran besar-besaran, tentunya." Pemuda itu menatap Ping,
seakan tak percaya bahwa gadis ini begitu bodoh. "Seratus tahun yang lalu,
Kaisar Pertama tidak ingin rakyat biasa mempunyai pengetahuan lebih banyak
daripada dirinya, maka dia memerintahkan semua buku di seluruh wilayah
kekaisaran dibakar. Ada beberapa cendekiawan yang menghafalkan keseluruhan isi
berjilid-jilid buku. Ada pula orang yang berani
mempertaruhkan nyawa dan menyembunyikan buku-buku itu. Berkat keberanian
merekalah hari ini kita masih memiliki salinannya."
Si pemuda maju dengan langkah lebar, seakan terinspirasi oleh para cendekiawan
pemberani itu. Ping mesti mempercepat langkah agar bisa sejajar.
"Aku sangat beruntung. Sekarang ini pasti banyak sekali cendekiawan terkemuka di
ibukota." "Sekarang ini?" tanya Ping.
"Kau belum mendengar?" Si pemuda seketika berhenti dan menoleh kaget. Ping lega
karena sang naga sudah kembali dalam bentuknya sebagai pacul.
Si pemuda mencoba mengganti senyumnya menjadi ekspresi sedih, meski hasilnya
tidak meyakinkan. "Kaisar telah meninggal, semoga Langit melindungi roh nya."
"Kaisar meninggal" Karena apa?"
"Kurasa karena keracunan makanan," sahut si pemuda.
Ping menjadi pucat, tapi si pemuda tidak memerhatikan.
"Orang-orang penting akan berkumpul untuk memastikan Kaisar yang baru akan
dianugerahi keberuntungan dan kemakmuran. Para cendekiawan besar, ahli nujum,
dan peramal akan datang dari seluruh penjuru wilayah kekaisaran. Rakyat biasa
akan berduyun-duyun datang ke ibukota untuk merayakan pemerintahan baru."
Si pemuda mendongak ke langit. "Sekarang sudah mulai larut. Maaf, aku harus
bergegas. Aku harus mencapai desa berikutnya sebelum gelap."
Dia membungkuk sopan kepada Ping, lalu lari sepanjang jalan setapak itu.
Sang naga kembali ke bentuk aslinya.
"Kau dengar tadi itu?" tanya Ping.
Danzi mengangguk. "Pasti karena acar itu," Ping bersandar ke pohon. "Akulah yang menyebabkan
kematian Kaisar." "Segala sesuatu yang tak dibutuhkan akan dipangkas oleh Langit."
Ping menduga ucapan itu dimaksudkan untuk menghiburnya, tapi karena dia tak
mengerti maksud kata-kata itu, dia tidak merasa terhibur.
Makan malam mereka sedikit sekali. Danzi sudah terlalu lelah untuk berburu, dan
tidak ada sungai di dekat situ untuk memancing. Maka mereka hanya makan jamur
mentah dan kacang-kacangan. Hua, yang tidak menyukai jamur maupun kacang, pergi
untuk mencari makan malamnya sendiri. Menurut Ping, sang naga makan terlalu
sedikit untuk ukuran makhluk sebesar dirinya.
Sambil duduk dalam kegelapan yang semakin pekat, seraya menyesap air yang
dipanaskan di atas api, Ping menyelesaikan anyaman keranjang dari rumput kering.
Dia sudah capek membawa-bawa batu naga itu dengan cara mengempitnya. Ukurannya
juga tanggung, terlalu berat untuk dipegang dengan satu tangan, dan terlalu
besar untuk bisa muat di dalam sakunya. Ping senang ketika mereka berhenti untuk
beristirahat malam ini, jadi dia bisa menaruh batu itu. Ada barang lain yang
harus dibawanya juga labu dari buah melon untuk memanaskan air, sebatang kayu
yang telah diukirnya menjadi sendok, sebongkah batu untuk mengasah pisau. Dia
berharap dengan adanya keranjang ini dia jadi lebih mudah membawa barang
lainnya. "Satu-satunya alasan kau ingin aku ikut dalam perjalanan ini adalah supaya aku
membawakan batu-mu," Ping menggerutu. "Kenapa tidak mengajak keledai saja."
Danzi sedang mengamati batunya, seperti biasa setiap malam. Batu itu dibolakbaliknya dengan hatihati agar tidak tergores cakar-cakarnya. Sambil
melakukannya, dia mengulangi petunjuk untuk merawat batu itu, seperti telah
didengar Ping sedikitnya tiga kali sepuluh kali. Jangan tinggalkan batu di hawa
panas. Jangan dibungkus dengan bahan terbuat dari benang lima warna. Kalimat
Danzi berhenti di tengah-tengah, ketika sedang mengatakan untuk tidak menaruh
batu itu di dekat dedaunan pohon chinaberry.
"Ada yang tidak beres dengan batu," katanya.
Ping menghampiri untuk melihat. Batu itu telah kehilangan kilaunya. Garis-garis
putih susu telah berubah kelabu. Warna ungunya memudar.
"Ping pasti telah salah merawat." Danzi memperdengarkan bunyi berdentang cemas
seperti gong. Ping duduk di sebongkah batu sambil mendesah lelah. "Kenapa kau pikir itu
salahku?" Terdengar suara dencing ketika pisau di dalam pundipundinya membentur
batu. "Apa itu?" Danzi bertanya dengan tajam.
"Itu pisauku," sahut Ping, dikeluarkannya pisau itu dari dalam pundipundi.
Sang naga mendekatinya dalam dua langkah lebar. Dirampasnya pisau itu dengan dua
cakarnya lalu dilemparnya ke semak-semak, seakan benda itu panas membara.
"Pisau terbuat dari besi!" Dia memperdengarkan suara gemuruh keras dan berat.
"Aku tahu." "Lengan mana yang kau pakai untuk membawa batu naga?"
"Lengan kanan, agar lengan kiriku bebas bergerak."
"Ping bodoh! Itu sebabnya batunya jadi tidak sehat. Batunya bersinggungan dengan
pisau. Batu tidak boleh dekat-dekat besi. Tidak pernah boleh!"
Ping memelototi naga itu. "Kalau kau tidak suka caraku membawa batu itu, bawa
saja sendiri!" Danzi mengelus-elus batunya.
"Mesti pergi ke Chang'an," katanya.
"Tapi, Danzi, sejak memulai perjalanan ini kita selalu menghindari orang. Kenapa
tiba-tiba kau ingin pergi ke tempat paling sibuk di dunia?"
"Demi batu," sahut sang naga,
"Aku tidak mau ke Chang'an," kata Ping,
"Danzi yang memutuskan."
Timbul perasaan aneh di hati Ping, perasaan tidak enak, bahwa akan terjadi
bencana kalau mereka ke ibukota. Dia mencoba menjelaskan hal ini, namun naga itu
tak mau mendengarkan. "Mereka yang penuh semangat hidup tidak perlu takut pada harimau," kata Danzi.
Ping tidak menghiraukan naga itu. Dia sudah lelah, dan tak lama kemudian dia pun
tertidur. Dia ter bangun ketika hari masih gelap, karena bermimpi dirinya
terperangkap di dalam sumur naga, sementara Master Lan tertawa terbahak-bahak di
atas sana. Setelah itu dia tak bisa tidur lagi hingga fajar menyingsing.
Ping tidak mempunyai bayangan tentang Chang'an. Memang Master Lan dan Lao Ma
pernah menceritakan tentang ibukota itu, tapi tetap saja Ping tak bisa
membayangkannya. Beberapa hari berikutnya, jalan setapak itu berubah menjadi jalur yang ramai,
kemudian menjadi jalan lebar. Itulah jalan besar pertama yang pernah dilihat
Ping. Jalan itu dibagi menjadi tiga ruas. Ruas tengahnya berupa jalur mulus dari
batu dan hampir kosong. Jalan ini khusus diperuntukkan bagi Kaisar, para
menteri, dan kurir, Sementara itu, jalur di kanankirinya berupa jalur berbatubatu yang penuh sesak oleh gerobak, kuda, dan pejalan kaki.
Pada siang hari Danzi selalu tampil dalam rupa kakek-kakek. Ping merasa lega
Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika tembok-tembok ibukota akhirnya terlihat di depan sana. Tapi ketika kota
itu semakin dekat, rasa leganya berubah menjadi ke cemasan. Tembok kota yang
terbuat dari batu bata lumpur itu sangat tinggi,
tembok tertinggi yang pernah dilihatnya. Pintu gerbangnya lebih tinggi lagi. Di
kiri-kanannya ada menara empat tingkat.
Ping menengadah menatap menara-menara kayu yang dicat biru, merah, dan hijau
itu. Patung-patung anjing yang memamerkan taring terpasang di bawah pinggiran
atap. Di setiap tingkat ada balkon, dan dari situ para pengawal Kaisar
bersenjatakan crossbow menatap angkuh ke orang banyak di bawah sana.
Ketika hampir mencapai gerbang, jalanan melebar hampir lima kali sepuluh chang,
di mana gerobak bisa lewat bersisian di sepanjang jalannya. Kerumunan orang
berdesakan di sekitar gerbang itu, saling dorong dan sikut, semuanya berusaha
melewati gerbang kota. Ping ingin menjauh dari situ, tapi tak bisa. Dia
terdorong arus orang banyak itu.
Kota itu sungguh luar biasa. Ping tidak pernah membayangkan begitu banyak orang
bisa berada di satu tempat sekaligus. Dia sampaisampai mengira seluruh rakyat di
kekaisaran Han dan negeri asing berkumpul di kota pada siang itu. Jalan utama,
Jalan Burung Gereja Merah Tua, membentang ke utara dalam satu garis lurus.
Berbagai bangunan menjulang tinggi di kedua sisi jalan. Bangunan-bangunan itu
sangat indah dan besar. Jalur tengah jalan dipenuhi para menteri dan kurir.
Kiri-kanannya pe nuh sesak dengan orang, gerobak, serta kereta. Ping merasa Hua
bergerak-gerak di dalam gaunnya. Tikus itu tidak mendapat kesempatan keluar
sehari ini. Ping menutup rapat leher gaunnya agar si tikus
tak bisa keluar, Udara berbau apak, seakan sudah dikotori napas manusia. Juga
tercium berbagai aroma lain parfum, kotoran kuda, daging panggang, dan keringat
semua bercampur menjadi satu. Ping me rasa sesak napas, Disambarnya lengan si
lelaki tua untuk berpegangan. Tapi yang dirasakannya bukanlah bahan lengan baju
yang di pakai si lelaki tua, melainkan kulit bersisik sang naga. Perasaan yang aneh ini membuatnya mual.
Di salah satu sisi jalan, tembok tinggi mengelilingi rumah-rumah. Gerbang kayu
yang dipelitur menyembunyikan rumah-rumah itu, namun atap gentingnya yang curam
dan disapu warna biru-hijau bisa terlihat di atas tembok-tembok tadi. Ada
menara-menara setinggi empat dan lima tingkat, semuanya dilengkapi dengan
pinggiran berukir indah dan penuh hiasan ikan karper dalam posisi menggelepar,
harimau yang sedang mengintai, burung indah nan cantik. Di sisi timur jalan itu
tampak tembok kediaman utama Kaisar, Istana Changle. Tembok itu terbentang
hingga banyak chang dan pasti menempati seperempat dari keseluruhan luas kota.
Tembok itu dihiasi dengan bulatan-bulatan dari bahan terakota berglazur,
beberapa dengan hiasan naga hijau dan biru yang melingkar, lainnya dengan
phoenix berwarna merah. Setiap beberapa langkah, ada saja pemandangan baru untuk dikagumi Ping. Di luar
gerbang istana uta ma ada jalan diapit pepohonan dengan sepuluh tambah dua
patung perunggu berupa orang dan kuda yang menjulang di atas tembok. Ping harus
bersandar jauh sekali supaya bisa melihat kepala mereka, sampaisampai dia merasa
akan terjengkang ke belakang. Gerbang raksasa itu membuka, dan sebuah kereta
beroda dua yang ditarik seekor kuda yang berjalan lincah keluar dari dalamnya.
Di balik gerbang itu Ping sempat melihat sebuah bangunan indah dengan atap
genting hitam yang disangga pilar-pilar warna emas dan berhiaskan batu zamrud.
Dibandingkan bangunan itu, istana di Huangling terlihat seperti lumbung petani.
Gerbang-gerbang ditutup kembali dan pemandangan indah itu pun lenyap.
Bahkan jalanan yang dipijaknya ini pun membuatnya takjub. Jalanan itu dilapisi
lempengan batu yang benarbenar datar. Di kiri-kanan jalan ada selokan dari ubin
terakota berlekuk. Ping tak habis pikir, untuk apa selokan-selokan itu dibuat,
sampai kemudian dia melihat seseorang membuang seember air kotor, dan
mengalirkan air kotor ke selokan tadi. Ping membayangkan saat hujan selokanselokan itu bisa mencegah jalanan dari banjir.
Orang-orang yang berlalu lalang sepanjang jalan itu juga sama menakjubkannya
bagi Ping. Mereka memakai jubah sutra berhias serta mantel-mantel ber pinggiran
bulu. Di leher mereka tampak perhiasan emas dan batu zamrud. Kaum wanitanya
memakai bermacam-macam hiasan di rambut, yaitu hiasan berbentuk burung dan bunga
yang dibuat sangat halus sehingga senantiasa bergoyang dalam embusan angina
sepoi-sepoi. "Tak kusangka orang kota kaya sekali," kata
Ping. Suara-suara riuh rendah di kota itu juga baru kali ini dialaminya. Selain suara
sekian banyak orang yang saling berbicara dengan berteriak supaya bisa terdengar
di tengah kebisingan orang lain yang juga berteriak, para penghibur
mempertunjukkan kebolehan mereka di pinggir jalan. Ada penari yang berputarputar diiringi tabuhan genderang dan lonceng, ada para akrobat pemain pedang,
dan para akrobat yang berdiri di atas satu sama lain untuk mempertunjukkan
kemahiran mereka menyeimbangkan diri. Masingmasing seniman jalanan ini menarik
perhatian kerumunan penonton yang bertepuk tangan. Ping ingin sekali berhenti
dan menonton, tapi Danzi tidak memerhatikan atraksi-atraksi itu. Dia terus
berjalan, perhatiannya tertuju entah kemana.
Mereka memasuki bagian kota yang berbeda. Di sini rumah-rumahnya lebih kecil dan
lebih sederhana, namun masih tetap bagus dan kokoh. Rumah-rumah itu belum lama
dicat. Tanaman pot berjejer rapi di depan pintu. Mereka melintasi pasar dengan
kios-kios yang menawarkan segala macam barang dagangan. Buah-buahan dan sayur
mayur disusun rapi. Ada beberapa jenis yang belum pernah dilihat Ping. Kioskios
daging matang membuat perut Ping berkeruyuk. Ikan dan kurakura berenang-renang
di baskom yang diberi sedikit air. Ada mangkuk-mangkuk yang penuh dengan siput,
beberapa di antaranya mencoba kabur. Kios lainnya menjual mangkuk dan cangkir
cantik yang dilapisi warna
merah dan hitam, atau perhiasan, atau gulungan sutra warna-warni. Untuk pertama
kalinya Ping ingin sekali mempunyai uang untuk dibelanjakan.
Kegelapan mulai turun. Para pemilik kios mulai mengemasi barang dagangan mereka.
Lentera-lentera dinyalakan dan digantung di jalan. Meski sedari tadi Danzi
bersuara, Ping merasa naga itu sudah hamper kehabisan tenaga untuk
mempertahankan wujudnya sebagai lelaki tua.
"Di mana kita akan bermalam?" tanya Ping.
Dia tahu di kota ada penginapan untuk para pengelana, tapi dia juga tahu
tarifnya mahal dan mereka tidak punya uang. Danzi tidak menjawab, tapi langsung
berbelok ke sebuah gang sempit. Di bagian kota ini tidak terasa suasana meriah
seperti di jalanan tadi. Rumah-rumahnya beratap rendah, sempit, dan bertambalsulam. Ayam-ayam, dan sesekali babi, mondarmandir di tanah yang kering. Orangorangnya kotor, compang-camping, dan mereka memandang tidak ramah pada Ping dan
Danzi. Wajah mereka, dalam cahaya lampu dan lilin, menimbulkan bayangbayang
tajam dan kelihatan kasar. Perasaan tidak enak yang sudah dirasakan Ping sebelum
memasuki kota kini semakin kuat. Dia yakin bakal terjadi hal buruk. Ping
merindukan alam pedesaan, di mana tak ada yang perlu ditakuti selain harimau dan
ular. Diliriknya Danzi. Kulit lelaki tuanya mulai berubah hijau, Kedua lengannya yang
mulai ditumbuhi sisik menjadi sepasang kaki depan, Dia terhuyung-huyung dan Ping
menangkap lengannya. Lengan itu berubah menjadi kaki dan bersandar berat pada lengan Ping. Sekarang
sudah gelap, namun masih banyak orang di gang itu. Beberapa orang sedang memasak
di tungku terbuka, dan yang lainnya dudukduduk di undakan sambil menyantap makan
malam. Cahaya lampu tumpah ke jalan dari ambang pintu-pintu yang terbuka. Ping
merasa iri. Betapa dia sangat merindukan atap di atas kepalanya, setumpuk jerami
kering untuk berbaring, dan lampu untuk menerangi kegelapan. Danzi masih belum
memberitahukan alas an mereka datang ke kota ini.
Mereka berbelok ke gang lain yang lebih sempit lagi. Di sini tidak terlalu
banyak orang, juga tidak terlalu banyak cahaya. Mereka berpapasan dengan seorang
lakilaki dengan codet di wajahnya. Ping yakin dia melihat kilauan pisau di
tangan orang itu. Rumah kumuh di gang ini serasa mengepung mereka. Di depan
sana, ujung gang itu berakhir dalam kegelapan. Ping menoleh ke belakang.
Lakilaki codet itu sedang mengamati mereka. Ada dua orang lain bersamanya.
Mereka menghampiri. Jantungnya mulai berdebar kencang satu-satunya hartanya
adalah batu naga di dalam keranjang yang disampirkannya di bahu. Dipeganginya
keranjang itu erat-erat. Danzi menunjuk dengan satu jarinya yang bercakar ke sebuah rumah kecil. Ada
papan penunjuk di depannya, sudah retak-retak dan catnya mengelupas, Kalaupun
Ping bisa membaca, dia takkan bisa melihat tulisan di papan itu dalam kegelapan.
Dia tahu sebentar lagi Danzi akan berubah wujud menjadi naga. Dan dia tak ingin
membayangkan reaksi orang kalau melihatnya, dan apa yang akan mereka perbuat
pada dirinya dan Danzi. Ping tidak tahu siapa yang tinggal di rumah itu, tapi... dia lebih suka menghadapi
reaksi satu orang saat Danzi berubah menjadi naga, daripada reaksi sekian banyak
orang di jalanan. Maka digedornya pintu rumah itu. Kedua tangan Danzi kini sudah
berubah menjadi kaki-kaki depan bercakar, dan jubahnya mulai melebur ke dalam
kegelapan, memperlihatkan kaki-kaki hijau bersisik. Gigi-giginya mulai tumbuh
panjang dan tajam. Rambutnya lenyap lalu tumbuh sepasang tanduk. Ping membuang
muka supaya tidak mual. Seorang anak kecil melihat wajah naga itu dan mu lai
menangis. Ping menggedor-gedor pintu itu lagi, Pintu itu dibuka secelah. Ping
tak punya waktu untuk menjelaskan dengan sopan. Didorongnya naga itu ke dalam
rumah, masuk ke sebuah pekarangan.
Seorang lakilaki mengenakan jubah berlengan lebar, dengan rambut disimpul erat
di puncak kepalanya melongo terperangah ketika Danzi sepenuhnya berubah kembali
ke wujudnya sebagai naga. Cahaya remang-remang dari lampu orang itu menimbulkan
bayangbayang tanduk dan cakar tajam. Selama ini Ping tidak menyadari betapa
menakutkan penampilan Danzi. Tapi sekonyong-konyong seulas senyum merekah di
wajah orang itu. "Long Danzi!" katanya. "Sudah bertahun-tahun tidak bertemu."
9 Teman Lama Senyum orang itu memudar ketika Danzi ambruk. Dengan bantuan Ping, lakilaki itu
setengah menggotong, setengah menyeret naga yang sudah kelelahan itu ke dalam
kamar di luar pekarangan. Api menyala di perapian. Di atas api ada panci berisi
sesuatu yang berbuih dan baunya sangat harum. Rumah itu, yang sebelumnya
kelihatan gelap dan menakutkan, kini telah berubah menjadi tempat yang hangat
dan ramah. Si lakilaki membantu Ping mendekatkan naga itu ke api. Orang itu sudah tidak
muda lagi, tapi juga tidak tua. Rambutnya beruban di kedua pelipisnya dan mulai
ada tandatanda kebotakan. Nama orang itu Wang Cao. Kelihatannya dia tidak
khawatir ada naga di rumahnya. Sikapnya pun tetap tenang meski tampak
mencemaskan ke adaan Danzi. Ping memercayainya, meski dia tidak tahu siapa orang
ini. Lega rasanya bisa mengalihkan tanggung jawab terhadap naga itu pada orang
lain. Danzi mulai memperdengarkan suara berdencing pelan, namun lakilaki itu
mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Makanan," katanya. "Kau butuh makanan."
Ping duduk di karpet, di samping naga itu. Sementara Wang Cao mengisi mangkuk
dengan bubur, kemudian membawakan ayam panggang dan sayur. Ping merasa belum
pernah makan makanan seenak itu. Danzi terlalu lemah untuk bisa makan sendiri.
Ping mengambilkan potongan daging ayam dan akar teratai dengan sumpit dan
menyuapinya. "Aku teman lama Long Danzi," Wang Cao menjelaskan.
Ping bertanya-tanya, bagaimana orang ini bisa menjadi teman sang naga. Apakah
Danzi mengambilnya begitu saja dari lereng gunung juga" Namun Ping menyimpan
pertanyaan itu. "Mari kita periksa, apa yang menyebabkan teman kita ini sakit," Wang Cao berkata
setelah mereka selesai makan.
"Batu," Danzi berkata lemah. "Perlihatkan batu."
Wang Cao menatap naga itu. "Batu apa?"
Ping menyadari bahwa, seperti dirinya, Wang Cao bisa mendengar suara naga itu di
dalam pikirannya. "Kesehatanmu lebih penting, Danzi," kata Ping.
Naga itu menggeleng. "Bawa batu kemari."
Ping mengeluarkan batu naga itu dari keranjangnya. Wang Cao terbelalak. Dengan
lembut diambilnya batu itu dari tangan Ping, seakan batu itu terbuat dari
porselen paling halus, dan dibolak-baliknya batu itu.
"Ini sungguh barang langka," katanya. "Tapi
kenapa batu ini menjadi begitu keruh dan pucat?"
"Aku membawanya dekat pisauku yang terbuat dari besi," Ping mengakui.
Wang Cao menggelenggelengkan kepala dengan sikap serius. "Kalau ini terus
berlangsung satu-dua hari lagi, aku takkan bisa membantu."
Ditaruhnya batu itu, dan dengan membawa lampu dia pergi ke seberang ruangan. Di
tembok sebelah sana berjajar laci-laci kecil dari kayu. Di tembok lainnya ada
rak berisi stoples, bongkahan batu karang, dan cangkang kerang mutiara. Wang Cao
mengambil salah satu stoples itu.
"Ini salep ramuan awan merah," Wang menjelaskan pada Danzi. "Salep ini bisa
mengembalikan kesehatan batu naga. Asistenmu bisa melakukannya."
Ping bertanya-tanya, siapa yang dimaksud dengan asisten Danzi. Dia terkejut
ketika Wang Cao me nyodorkan stoples itu kepadanya.
"Gosokkan salep ini ke batu naga," katanya. "Aku akan mengurus teman kita itu."
Ping mengambil sejumput salep yang lengket itu dan mengoleskannya ke batu naga.
Salep itu warnanya seperti darah kering. Ping tersenyum pada Wang Cao. Baik
sekali orang itu, menghibur sang naga tua dan pura-puranya batu itulah yang
sakit. "Nah, Long Danzi, sekarang aku mau melihat lidahmu."
Sang naga menjulurkan lidahnya yang panjang. Lidahnya tidak berwarna merah
terang seperti biasa, melainkan berwarna gelap seperti daging busuk dan dilapisi lendir kuning.
Wang mengamati dengan saksama, seraya menggumamkan kata-kata yang tidak dipahami
Ping. Kemudian dia memeriksa denyut nadi Danzi di keempat tumitnya, dan
menanyakan ini-itu tentang urusan buang air. Dia juga memeriksa luka-luka di
kaki Danzi. "Satu sayapnya robek," kata Ping. "Dia tidak bisa terbang,"
Wang menarik buka sayap yang terluka itu, seperti membuka kipas. Robekan di
membran bagian tengahnya sudah mulai sembuh, tapi sayap itu kelihatannya
bengkak. "Bahu kirinya juga luka terkena anak panah crossbow," Ping menambahkan.
Dengan lembut Wang menekan-nekan luka itu.
Cairan hijau merembes keluar dari dalamnya.
"Rupanya perjalananmu tidak mudah," ujar Wang
Cao. Ping menceritakan bagaimana mereka meloloskan diri dari si pemburu naga.
"Tidak setiap hari aku mengobati naga," kata Wang Cao. "Aku mesti mencari
petunjuk di buku." Ping belum pernah melihat buku. Buku itu terbuat dari lembaran tipis bambu yang
kira-kira sepanjang sebatang sumpit, dan tidak lebih lebar. Sekitar dua kali
sepuluh lembaran ini disatukan di bagian atas dan bawahnya menjadi seperti
tikar. Huruf-huruf berukuran kecil ditulis dalam tinta hitam sepanjang lembaran
bambu itu. Wang meletakkan buku itu, kemudian beranjak membuka beberapa
laci. Masingmasing laci terisi penuh oleh satu jenis daun kering, akar, bijibijian, atau bunga yang telah dihancurkan. Dia mengambil sejumput kecil isi
masing-masing laci itu dan menimbangnya dengan sangat saksama di sebuah
timbangan kecil. "Aku seorang tabib," dia menjelaskan seraya membuka satu laci lagi dan mengambil
sesuatu yang kelihatannya seperti cacing tanah kering. "Aku men cari nafkah
dengan menuliskan resep ramuan obat untuk penduduk Chang'an."
Setelah menimbang ramuan-ramuan itu, Wang membuka buku bambu lagi, kemudian
mengambil sebongkah batu karang dari rak. Dipukulnya batu itu dengan palu dari
perunggu, sampai memperoleh beberapa pecahan. Digerusnya pecahan itu menjadi
serbuk, lalu ditimbangnya. Kemudian dia mencampur semua bahan tersebut dengan
air dalam panci keramik, dan dijerangnya di atas api. Tak lama kemudian ruangan
itu dipenuhi bau busuk yang menyengat.
"Asisten perempuan?" tanya Wang pada Danzi.
Danzi menggoyang-goyangkan kepala ke kiri kanan. Sang tabib pun mengamati Ping?yang sedang mengoleskan salep ke batu.
"Dia menggunakan tangan kiri," ujarnya kepada Danzi, satu alisnya terangkat.
Ping menaruh stoples salep itu, karena tak ingin menarik perhatian bahwa dirinya
kidal. "Dan dia bisa mendengar."
Sang naga tidak berkata apa-apa.
Wang mengambil stoples itu dan dengan hatihati mengoleskan sedikit salep pada
sayap Danzi yang robek, juga luka di bahu serta kaki-kakinya.
Ping mengumpulkan mangkuk dan sendok, berusaha keras menggunakan tangan
kanannya. Diba wanya barang-barang itu ke luar untuk dicuci. Ternyata rumah itu
tidak sekecil seperti yang terlihat dari jalan. Pekarangannya luas, dan ada
beberapa ruangan. Ada kebun yang subur. Sulit melihat isi kebun itu dalam cahaya
lampu, tapi Ping menebak itu kebun tanaman obat. Akhirnya dibiarkannya Hua
Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar dari gaunnya dan diberinya tikus itu remah-remah yang telah disisihkannya
ketika makan. Ketika dia kembali dengan membawa mangkuk dan sendok yang sudah bersih, Ping
berhenti di depan pintu. Sang tabib masih menanyakan banyak hal tentang dirinya.
"Kau yakin dia orangnya?" tanya Wang.
Sang naga tak menjawab. "Sebelumnya tidak pernah perempuan. Jangan-jangan kau salah."
Sang naga masih membisu. "Dia masih muda dan tidak berpengalaman," kata tabib itu.
Akhirnya sang naga membuka suara. "Cangkir yang kosong justru berguna karena
kekosongannya." Ping masuk ke ruangan itu dan sang tabib berdiri untuk mengaduk panci ramuan
yang menggelegak. Ping memerhatikan sang tabib juga bertangan kidal, seperti
dirinya. Mereka duduk tanpa bicara, sampai Wang memutuskan ramuan obatnya sudah
matang. Dituangnya cairan cokelat kental itu ke dalam mangkuk lalu dia berikan
pada sang naga. Dari ekspresi Danzi tidak diketahui apakah rasa ramuan itu sama
parahnya dengan baunya. Yang jelas, Danzi meminumnya dengan lahap, seperti
kucing meminum susu. Tak lama kemudian, naga itu tertidur.
"Apakah dia akan baikbaik saja?" tanya Ping.
"Kalau dia beristirahat satu-dua hari, dia akan sembuh." Wang tersenyum melihat
naga yang tertidur itu. "Tapi perlu waktu agak lama sebelum dia bisa terbang
lagi." "Bagaimana kau kenal dia?" tanya Ping. "Apa kau bekerja di istana Kaisar?"
Sang tabib menggelengkan kepala. Matanya memandangi batu bara yang menyala di
perapian. Ping mengira hanya itu jawaban yang akan didapatnya, tapi setelah
beberapa waktu Wang Cao membuka suara.
"Long Danzi bukanlah naga Kaisar saat aku mengenalnya," dia menjelaskan. "Dulu
dia naga liar." Ping menatap wajah sang tabib. Orang ini pasti jauh lebih tua daripada
kelihatannya. "Waktu masih muda, aku menjadi asisten seorang tabib. Salah satu tugasku adalah
menjelajahi wilayah pedesaan untuk mencari tetumbuhan. Dalam salah satu
perjalanan itulah aku bertemu Long Danzi." Wang Cao masih tetap memandangi batu
bara, seakan dia bisa melihat bayangbayang masa lalu. "Kami berdua sedang
mencari tanaman awan merah setelah terjadi badai petir. Aku
terpeleset di tebing dan jatuh ke sungai yang bergolak penuh air hujan. Bisa kau
bayangkan betapa kagetnya aku melihat seekor naga muncul dari balik kabut dan
mengangkatku keluar dari sungai."
"Takutkah kau pada waktu itu?" tanya Ping.
"Aku senang tidak tenggelam, tapi aku yakin sekali aku bakal menjadi sarapan
naga." Wang Cao tersenyum mengingat hal itu.
Sang naga tentu saja tidak memakan pemuda itu, dan Wang tidak pernah
menceritakan pertemuan mereka kepada siapa pun. Wang mendapati dirinya bisa
memahami suara aneh yang diperdengarkan sang naga, dan setelah beberapa waktu,
mereka pun bersahabat. "Ketika Long Danzi memintaku menemaninya dalam sebuah perjalanan, aku
meninggalkan rumahku tanpa ragu," Wang Cao meneruskan. "Dengan senang hati aku
mengembara menjelajahi wilayah kekaisaran bersama naga itu, selama bertahuntahun." Kemudian senyum sang tabib lenyap.
"Kami mengalami banyak petualangan bersama-sama, tapi semuanya berakhir ketika
rombongan pemburu kekaisaran menangkap Long Danzi. Aku tidak tahu kalau mereka
sudah beberapa hari mengikuti jejak kami. Ada enam pemburu." Suara Wang Cao kini
bernada pahit. "Kami tidak mungkin menang. Mereka mengejar sang naga, tentunya,
bukan aku, jadi aku bisa meloloskan diri dengan mudah." Wang Cao menggelengkan
kepala dengan sedih. "Aku tak kuasa menyelamatkan Long Danzi.
Maka aku pun menetap di Chang'an, dengan harapan bisa membebaskannya, tapi naganaga kemudian dipindahkan ke Huangling sebelum aku mendapat kesempatan untuk
bertindak." Sekonyong-konyong tabib itu bangkit berdiri. "Kau pasti lelah," katanya.
Dia menunjukkan kamar Ping di salah satu ruangan di luar pekarangan. Di
lantainya ada kasur berisi jerami, beralaskan kulit domba. Rasanya lembut dan
hangat. Dalam sekejap Ping sudah terlelap.
Ketika Ping kembali ke ruangan utama keesokan paginya, Danzi masih tidur. Wang
Cao sedang menyiapkan sarapan. Tabib itu menanyakan banyak hal pada Ping: berapa
usianya, siapa kedua orangtuanya. Jawaban atas semua pertanyaan itu sama saja,
"Aku tidak tahu," namun sang tabib duduk merenungkan jawaban itu, seakan Ping
telah memberikan banyak informasi untuk dipertimbangkan.
Persis ketika sarapan sudah siap, Danzi terbangun. Sisik-sisiknya sudah kembali
berwarna biru-hijau mengilap. Kedua matanya berbinar dan cokelat. Dia
menggoyang-goyangkan ekor, seakan sudah siap menghadapi tantangan apa pun yang
bakal meng hadang. Mereka menikmati sarapan lezat berupa bakpao isi kacang
manis. Wang Cao mengambil stoples daun kering dari rak. Dia pun memasukkan sejumput daun ke
dalam panci berisi air mendidih.
Ping mengerutkan hidung. "Apakah kau akan membuat ramuan obat lagi?"
"Tidak, tidak, ini hanya minuman istimewa."
Danzi memperdengarkan suara berdenting dan berkelinting seperti genta angin
tertiup angin sepoi-sepoi. Setelah beberapa saat, Wang menuang air yang bercita
rasa itu ke dalam cangkir.
"Kau tahu ini apa, Ping?" tanyanya.
Ping menggeleng. "Ini teh," tabib itu menyahut. "Orang-orang di selatan suka meminumnya. Aku
membeli sekotak dengan harga cukup murah."
Ping mengecap minuman itu. Rasanya enak. Dia duduk diam di sudut, sementara sang
tabib bercakap-cakap dengan Danzi. Aneh rasanya mendengar orang itu bicara dalam
suara normal, sementara sang naga merespons dengan suara berdencing.
Kemudian perhatian Wang Cao kembali pada Ping.
"Kau masih harus menempuh perjalanan panjang," katanya. "Sebaiknya aku memeriksa
kesehatanmu juga." Ping menjulurkan lidah. Wang mengamati. Kemudian diangkatnya pergelangan tangan
kanan Ping dan dirasakannya denyut nadinya.
"Sepertinya ada gerakan aneh di dadamu," sang tabib berkata sambil meraih
pergelangan tangan Ping yang satunya.
Ping tersenyum. "Itu hanya Hua," sahutnya.
Wang Cao tersentak dan menarik tangannya ketika Ping mengeluarkan tikus itu dari
gaunnya. Sang tabib memandang sang naga sekilas ketika suara seperti lonceng memenuhi
ruangan itu. "Teman seperjalanan," kata Danzi. "Hua yang terhormat. Dia telah sangat banyak
membantu." Ping menaruh Hua di lantai dan tikus itu melesat kabur. Sang tabib sudah pulih
dari keterkejutannya dan meneruskan memeriksa Ping.
"Kau gadis yang sehat," kata Wang setelah selesai memeriksa. "Kuat, tapi ada
kecenderungan banyak angin di perut."
Ping senang Wang tidak menganggap dia perlu diberi ramuan, tapi Wang memberinya
sekotak kecil pil, untuk dimakan kalau lain kali dia mempunyai masalah
pencernaan. "Aku punya sesuatu untukmu, sobat lama," kata Wang Cao.
Wang beranjak ke salah satu laci di lemari bahan ramuannya.
"Aku telah berikrar, kalau aku bertemu lagi denganmu, aku akan menebus
kegagalanku melindungimu dulu itu," kata Wang. Kedua matanya berbinar-binar dan
mulutnya terkatup rapat. "Kau sudah berbuat sebisamu," jawab Danzi. Namun tabib itu bukannya mengeluarkan
segenggam daun kering atau buah beri, melainkan beberapa potong emas, serenceng
uang tembaga dengan lubang berbentuk bujur sangkar di tengahnya, dan seuntai
kalung batu zamrud berbentuk
anak kecil gemuk. "Aku sudah menyisihkan sedikit uang untukmu."
Ping mengira sang naga akan menolak pemberian itu, tapi ternyata Danzi
mengucapkan terima kasih lalu menyimpan keping-keping emas itu di salah satu
sisik yang tumbuh terbalik di bawah dagunya. Kalung zamrud dan uang logam
tembaga dia serahkan pada Ping.
"Kau harus jaga barang-barang itu," kata Wang,
"Aku tak bisa," Ping berkata terbata-bata. Dia belum pernah menyentuh barang
berharga. "Aku tak terbiasa menyimpan uang, Nanti malah hilang."
"Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah pengetahuan yang berharga," kata
Danzi. Wang Cao mengangguk sependapat.
Dengan jemari gemetar Ping mengambil uang dan kalung itu dari sang naga,
"Aku juga akan memberimu ramuan supaya kau bisa membuat ramuan obat untuk Long
Danzi seandainya dia perlu tambahan tenaga, Kau mesti ke pasar, membeli wadah
keramik kecil dan beberapa mangkuk. Kau juga perlu pisau dari perunggu untuk
menggantikan pisaumu yang dari besi."
"Aku tidak tahu cara membeli barang," kata Ping. "Tidak bisakah kau yang
membelikan, Wang Cao?"
"Aku mesti mengurus orang sakit."
Ping mendebat, tapi Wang Cao bersikeras bahwa Ping-lah yang harus ke pasar.
"Menjadi pendamping naga adalah kehormatan besar," kata Wang Cao dengan galak.
"Kau harus lakukan kewajibanmu tanpa mengeluh."
Ping tidak merasa punya kewajiban apa pun. Dia bepergian dengan naga itu karena
kasihan, tapi rupanya sang tabib dan naga itu tidak menganggapnya begitu.
"Kalau ada barang lain yang kau butuhkan, Ping," kata Danzi, "sebaiknya kau beli
saja sekalian." Jalanan di luar rumah Wang Cao kelihatannya tidak terlalu menakutkan pada siang
hari. Orang-orang yang antri di pintu untuk berobat pada sang tabib membungkuk
sopan pada Ping. Namun Ping masih tetap agak waswas berada di Chang'an ini. Dia
memegangi erat pundipundi yang terjuntai dari pinggangnya. Wang Cao sudah
memberitahu bahwa di ibukota ini banyak pencuri, dan dia harus senantiasa
waspada. Ping hanya membawa sepuluh keping uang tembaga jumlah yang sangat kecil
dari keseluruhan jumlah yang akan menjadi tanggung jawabnya setelah mereka
meninggalkan Chang'an tapi dia merasa seperti membawa harta yang sangat besar di
pinggangnya itu. Waktu itu masih pagi sekali, tapi pasar sudah ramai. Para pemilik kios
meneriakkan harga dan mutu dagangan mereka, mencoba membuat barang-barang itu
kedengaran lebih menggiurkan daripada di kios sebelah. Sebuah gerobak yang penuh
bebek bergerak perlahan di antara para pembeli. Para musisi menghibur orang
banyak. Musik itu bercampur dengan suara riuh orang yang berteriak-teriak, bebek
yang berkwek-kwek, dan babi yang menggerung senang di kandang. Ping belum pernah
mendengar hiruk pikuk seperti itu.
Dia memutuskan untuk berbelanja kecil-kecilan terlebih dulu. Dibelinya sepasang
sumpit. Ketika dia mengulurkan salah satu keping tembaganya, si pemilik kios
memberinya lima uang logam yang lebih kecil sebagai kembalian, Ping kebingungan.
Orang itu memandanginya seakan tak percaya ada orang yang begitu tolol, tapi dia
menjelaskan bahwa keeping-keping yang lebih kecil itu nilainya lebih kecil.
Setelah itu Ping membeli panci masak dari keramik dengan keping-keping uang yang
lebih kecil itu. Berikutnya dia membeli dua mangkuk dari bambu. Setelah dia
memasukkan semua belanjaannya ke dalam keranjang, barulah dia sadar kalau si
penjual telah memberinya harga terlalu mahal. Dia memerhatikan orang lain tak
pernah membayar harga yang mula-mula diminta si penjual. Mereka tawar-menawar
sampai mendapatkan harga yang disepakati. Menangani angka lebih dari sepuluh
masih tetap membuat Ping pusing. Berbelanja ternyata lebih sulit daripada tugas
apa pun yang pernah dikerjakannya di Huangling.
Setelah membeli barang-barang yang diminta Wang Cao, Ping masih memiliki empat
keping uang dan sejumlah keping tembaga yang lebih kecil. Dia berpikir-pikir,
akan membeli apa untuk dirinya sendiri.
Dia melihat-lihat kios-kios yang menjual berbagai hiasan rambut yang berkilauan,
sabuk sutra warna-warni, dan cermin dari perunggu. Tapi bendabenda itu tidak
cocok untuk dibawa berjalan kaki dalam perjalanan jauh, dan dia tahu dia tidak
pantas mendapatkan barang mewah seperti itu. Maka Ping hanya membeli sepasang
kaus kaki tebal yang hangat. Dia berhasil menawar harga kaus kaki itu dari lima
keping tembaga kecil menjadi empat keping, dan dia puas dengan usahanya itu.
Berhubung kaus kaki itu sangat murah, Ping memutuskan akan membeli sepotong
kecil kue. Ketika sedang berdiri di depan kios kue sambil menimbang-nimbang
apakah akan membeli kue berlapis madu atau jelly jujube, dia me rasakan sentakan
keras pada pinggangnya. Tali pinggangnya putus. Seseorang telah mencuri pundit
uangnya. Dia melihat sosok pencuri itu melesat kabur ke tengah orang banyak. "Hentikan
pencuri itu!" teriaknya. Satu-dua orang menoleh dengan agak penasaran, tapi lalu
kembali pada urusan masing-masing. Ketika menyadari tak seorang pun akan
menolongnya, dia pun mengangkat gaunnya lalu mengejar pencuri itu. Orang itu
memakai topi bulu dan larinya cepat sekali. Ping tidak biasa lari, apalagi
sambil membawa belanjaan. Tapi dia tidak rela melepaskan pencuri itu begitu
saja. Dengan marah dia berteriak kepada orang banyak itu agar minggir. Dia
melompati seekor babi yang mengeluyur ke dekatnya, tanpa sekali pun mengalihkan
mata dari topi bulu yang naik-turun di depannya, di tengah orang banyak. Dia
mengejar pencuri itu sampai keluar dari pasar, dan masuk ke ganggang kecil kota
itu. Topi bulu itu tampak berbelok ke sebuah gang, Ping mengikuti dengan
terengah-engah. Dia mendapati dirinya berada di jalanan
kosong. Di kiri-kanannya ada rumah-rumah kumuh. "Rumah-rumah" itu sama sekali
tidak layak disebut rumah lebih pantas disebut gubuk yang terbuat dari
bahanbahan sisa yang dibuang orang lain. Tidak ada tandatanda si pencuri bertopi
bulu. Ping marah sekali. Sang naga dan tabib telah memercayakan uang itu kepadanya.
Dan belum satu hari dia telah kehilangan uang itu. Pemilik topi bulu itulah yang
telah membuatnya gagal. Dia merasakan amarah itu sebagai suatu titik kekuatan di
benaknya sebuah titik kecil dan keras. Amarahnya terpusat pada satu titik dan
titik itu pun semakin besar. Ping memejamkan mata dan membayangkan si topi bulu.
Kedua kakinya mulai melangkah, meskipun dia tidak membuat keputusan untuk
melangkah. Seakan seutas benang sehalus jaring labalaba telah menghubungkan
pikirannya dengan si topi bulu. Kalau dia kehilangan fokus, dia tahu benang itu
akan putus dan takkan bisa dijangkaunya lagi. Maka dia dengan sungguh-sungguh me
musatkan pikiran, memfokuskan keseluruhan dirinya pada satu pikiran. Kakinya
berbelok ke kanan, kedua matanya terpejam, tapi dia yakin dia takkan menabrak
apa pun. Dia berbelok beberapa kali lagi, lalu berhenti. Ping membuka mata.
Dia berdiri di depan sebuah gubuk yang reot, terbuat dari bambu yang mendoyong
dan ditutupi tikar alang-alang yang sudah lusuh. Ping menyibakkan sedikit tikar
itu. Di dalam gubuk berkamar satu itu tampak seorang perempuan tua, dua anak
kecil, dan si pemilik topi bulu. Mereka semua meringkuk di
sudut ruangan, ketakutan melihat sosok murka yang berdiri di ambang pintu
mereka. Ping memandangi dengan lebih saksama, Perempuan itu tidak setua yang
dikiranya semula, hanya saja tubuhnya kurus dan ringkih. Anakanak yang ketakutan
itu berpipi cekung dan ingusan. Si pencuri bertopi bulu hanyalah seorang bocah
yang mungkin setahun atau dua tahun lebih muda daripada Ping. Anak itu
mengulurkan pundipundi milik Ping dan menggumamkan sesuatu dalam dialek yang
tidak dipahami Ping. Ping melayangkan pandang ke seisi ruangan itu. Ruangan itu
kosong, hanya ada setumpuk kain compang-camping yang pasti merupakan tempat
tidur keluarga itu. Kemarahannya langsung lenyap. Diambilnya pundipundi uang
lalu dibukanya. Dia mengambil dua keping uang dan sejumlah keping tembaga yang
lebih kecil, dan diberikannya pada si bocah. Dia tahu betul, seperti apa rasanya
begitu lapar hingga terpaksa mencuri.
Sambil berjalan pulang ke rumah sang tabib, kedua tangan Ping gemetar. Dia tidak
mengerti dari mana asalnya kekuatan yang tadi dirasakannya. Tadi dia ketakutan,
tapi juga lega. Dia sudah tahu akan terjadi hal buruk di Chang'an. Kini, setelah
urusan itu selesai, dia bisa rileks. Selain itu, timbul perasaan baru di dalam
dadanya, seakan jantungnya agak membesar. Dia berhasil menemukan sendiri pencuri
itu, tanpa bantuan siapa pun.
Ping menunjukkan barang-barang belanjaannya, tapi Danzi dan Wang Cao tidak
terlalu tertarik. Kedua sahabat itu asyik dengan kegiatan favorit
sang tabib untuk menghabiskan waktu. Kalau sedang tidak membuat resep, Wang suka
sekali mencoba-coba ilmu alkimia. Seperti semua ahli alkimia, tujuannya adalah
menciptakan emas dari berbagai logam seperti timah atau tembaga. Dia percaya
cinnabar mineral merahlah yang merupakan kunci keberhasilannya. Wang sedang
mendemonstrasikan salah satu eksperimennya pada Danzi. Ping tidak menceritakan
pengalamannya di pasar. Sebaliknya, dia duduk menjahit saku di bagian dalam
gaunnya, agar ada tempat aman untuk me nyimpan uang.
"Perhatikan," Wang berkata seraya mencampur sedikit cinnabar, serbuk arang, dan
serbuk kristal putih. Dia menyalakan lilin lalu melemparnya ke dalam campuran
itu. Seketika api menyala dan menimbulkan suara ledakan keras. Ping terlompat
dari duduknya di lantai. Sang naga rupanya senang sekali dengan peragaan itu dan
Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meminta Wang mengulanginya. Setelah selesai menjahit, Ping menggosokkan salep
lagi ke batu naga. Batu itu sudah kelihatan lebih cerah.
"Kau harus tinggal di sini selama beberapa hari," kata Wang Cao. "Kaisar yang
baru akan dinobatkan lusa. Sayang sekali kalau sampai tidak melihat perayaan
itu." Danz i berkata dia bersedia tinggal. Sang tabib membuat minuman obat lagi untuk
sang naga. Diajarinya Ping mengenali tanaman obat yang bisa dijumpai di
pedesaan, dan bisa membuat Danzi tetap kuat.
Keesokan harinya Ping meninggalkan kedua sahabat yang sedang asyik dengan
berbagai eksperimen Wang Cao, seperti anakanak kecil yang mendapat mainan baru.
Dia harus ke pasar lagi, membeli makanan untuk bekal di perjalanan. Kali ini dia
lebih waspada. Dia menyimpan uangnya di saku dalam gaunnya, dengan saksama dia
menghitung jumlah kembalian yang harus diterimanya, dan mengeceknya dua kali
untuk memastikan dia tidak dibohongi. Ping membeli gandum, lentil kering, dan
serbuk jahe. Kaus kakinya perlu diperbaiki untuk perjalanan panjang nanti, maka
dia juga membeli jarum halus dari tulang dan sedikit benang berwarna merah
terang. Dia berhasil berbelanja semua keperluan tanpa dirampok atau ditipu.
Di dekatnya, tiga pemusik sedang memainkan alat musik dari tanah liat, bentuknya
seperti telur ayam dengan beberapa lubang di permukaannya. Mereka memainkan alat
tersebut dengan meniup salah satu lubangnya, dan menutupi lubang lainnya
bergantian dengan jari. Ping berhenti untuk mendengarkan. Nada-nada musik itu
tinggi dan manis, tapi irama yang mereka mainkan terdengar agak sedih. Seorang
perempuan mulai menyanyi. Lagu itu mengisahkan seorang gadis remaja yang jatuh
cinta pada keledai. Ping ikut tertawa bersama para penonton lainnya.
Tapi sekonyong-konyong kebahagiaannya berubah menjadi ketakutan. Dia mendengar
suara orang sedang berdebat. Ping menemukan sumber perdebatan itu di kios daging
matang di belakang para pemusik. Seorang lakilaki menawar harga daging sapi.
Pakaian orang itu terbuat dari kulit binatang, yang baunya tercium bahkan dari
jarak sejauh itu. Di sabuknya tergantung sebilah kapak, sebilah pedang pendek,
dan sepotong rantai besi. Lakilaki itu berhenti tawar-menawar dan membalikkan
badan, seakan merasa sedang diamati. Lakilaki adalah Diao, si pemburu naga. Ping
seketika lupa tentang lagu itu. Dia membalikkan badan dan lari.
10 Ping menghirup udara pedesaan yang bersih dan mendengarkan suara nyanyian
burung. "Ping tidak menyukai Chang'an," kata Danzi. Gadis itu menggeleng.
"Tidak. Aku sudah tahu ada hal buruk yang menanti kita di sana."
Sang naga menoleh. Diamatinya wajah Ping, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
Sudah dua hari berlalu sejak mereka meninggalkan Chang'an. Begitu mendengar
bahwa Diao berada di ibukota, sang naga ingin pergi seketika itu juga. Hanya
Ping dan Danzi, yang mengambil wujud sebagai lelaki tua, yang meninggalkan kota,
berlawanan dengan ribuan orang yang meluber masuk. Ping mesti berjuang melawan
arus ke arah gerbang timur kota.
Dia yakin si pemburu naga tidak melihatnya di pasar. Hampir yakin. Setiap satu
langkah dia menoleh ke belakang, setengah menduga akan melihat Diao di belakang
mereka. "Kalau begitu sedikit naga yang tersisa, kenapa ada yang mau menjadi pemburu
naga?" tanya Ping. Sihir di Tengah Malam "Memburu naga bukanlah pekerjaan yang menguntungkan," Danzi menjawab. "Tapi
setelah satu kali membunuh naga, pemburu ingin membunuh naga lebih banyak.
Sering kali bertahun-tahun baru dapat korban lagi,"
"Lalu bagaimana pemburu naga mendapat penghasilan sampai dia menangkap naga
berikutnya?" "Membunuh binatang lain dan menjualnya di pasar. Tapi selalu ingin membunuh naga
lagi." Ping teringat pemburu naga yang menakutkan itu, dan merinding.
"Kalau berhasil membunuh naga, imbalannya besar sekali. Darah dan organ tubuh
naga sekarang langka, harganya tinggi sekali buat orang yang tahu khasiatnya."
Ping menoleh lagi dan mempercepat langkahnya.
Pada siang pertama perjalanan itu, mereka sudah meninggalkan rumah-rumah yang
berdesakan di sekitar ibukota. Jalanan yang lebar dengan segera menyempit
menjadi jalan setapak berlikuliku me lintasi ladang-ladang yang sedang
dipersiapkan untuk penanaman musim semi. Kemudian mereka tiba di hutan.
Cabang pepohonan yang gelap ditumbuhi daun muda di sana-sini. Daun-daun itu
berbentuk seperti kipas mungil. Hijaunya daun yang baru tumbuh ini begitu
terang, sampaisampai Ping tak percaya warna hijau itu alami. Danzi menjelaskan
bahwa pohon itu namanya ginkgo.
"Air perasan daun itu bisa membantu meredakan batuk," sang naga menjelaskan.
Ping tidak tertarik pada khasiat daun itu sebagai obat; dia sekadar menikmati
keindahan mereka. "Apakah kau yakin warna daun-daun itu bukan karena dicat oleh seorang pelukis?"
tanyanya. Danzi menggeleng. Dearah itu sangat sepi sehingga Danzi ke wujud aslinya sebagai naga. Dia tampak
lebih kuat daripada saat mereka memasuki Chang'an. Langkahnya ringan dan
kepalanya tegak. Ping menikmati saat-saat di rumah Wang Cao, tapi dia senang
bisa meninggalkan ibukota. Dia tidak menyesal bahwa mereka tidak melihat
penobatan Kaisar yang baru. Sejauh ini dia sudah cukup banyak melihat hal-hal
menakjubkan di Chang'an. Ketika berpamitan, sang tabib memberikan sebungkus
kecil daun teh kepada Ping, juga sedikit salep berwarna merah gelap untuk
dioleskan ke batu naga, dan sebuah tas dari kulit kambing untuk kantong air.
Atas permintaan sang naga, dia juga memberi sedikit campuran eksplosif itu pada
mereka. Ping mencoba memancing agar Danzi mau menceritakan tentang tahuntahun yang
dijalaninya bersama Wang Cao, tapi naga itu sedang enggan bercerita tentang
dirinya sendiri. "Alam tidak menyukai celoteh yang tidak perlu," katanya, dan hanya itu yang
dapat dikorek Ping. Tapi hal itu tidak mengurangi kegembiraan Ping. Bunga-bunga musim semi berwarna
kuning dan Jingga bermunculan dari tanah yang dingin. Udara mulai hangat. Awan
menipis dan matahari menyeruak ke luar, menghangatkan wajah Ping.
Kini, setelah yakin Diao tidak mengikuti, dia menjadi tenang. Di desa ada banyak
hewan liar dan selalu ada ancaman cuaca buruk, tapi orang yang mereka jumpai
semuanya baik hati dan ramah. Di Chang'an juga ada orang yang ramah, tapi orang
yang tidak menyenangkan sama banyaknya. Ibukota itu terlalu besar dan
membingungkan bagi Ping. Sebe lumnya dia mengira hanya ada dua jenis orang di
dunia ini yang baik dan yang jahat. Sekarang dia sudah belajar bahwa dia bukan
satu-satunya orang yang bisa menjadi jahat kalau kelaparan.
Pada siang hari keempat sejak pergi dari Chang'an, mereka tiba di puncak sebuah
bukit. Di bawah mereka ada sebuah desa kecil di lereng bukit. Ping hanya melihat
sekelompok atap yang rapat. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu lama berwarna
gelap, dan dibangun di atas tonggak-tonggak atau tumpukan batu untuk
menyejajarkan. Undakan dari batu ditata mengarah ke pintu depan. Berandanya
penuh dengan jemuran. Ketika semakin dekat, anjing-anjing mulai menggonggong.
Ping menghitung jumlah rumah di saat melangkah ke sana. Ada sepuluh dan lima.
Dia menyukai desa seperti ini, desa yang cukup kecil sehingga semua orang saling
mengenal. Kalau dia boleh memilih hendak menetap di mana, desa kecil seperti
inilah yang akan dipilihnya.
Para petani dengan cangkul di bahu mendaki di jalanan yang menanjak, kembali ke
desa dari ladang di lembah di bawah. Gumam percakapan mereka terdengar oleh Ping
dan sang naga ketika mereka menuruni bukit, menuju desa itu. Aroma masakan juga
tercium. Ping memalingkan muka ketika Danzi beralih rupa menjadi lelaki tua. Sekelompok
perempuan muda yang membawa keranjang berisi melon bernyanyi sambil berjalan.
Anakanak yang bermain bola dari kulit kambing di pinggir jalan setapak melambai
pada kedua pengelana yang datang mendekat.
"Selamat datang di Fengjing," teriak salah seorang lelaki.
"Kalian bawa berita apa?" teriak orang lainnya.
Sebuah keluarga mengundang mereka bermalam dan ikut menikmati makanan berupa
daging dan sayur. Ping memandang Danzi. Naga itu mengang guk. Ping tersenyum.
Dia memang sudah mengharapkan ini.
Ping mengobrol dengan para penduduk desa, menikmati percakapan sederhana dengan
orang lain. Tapi kemudian senyumnya lenyap. Dia sendiri tidak ta hu apa yang
membuat suasana hatinya berubah. Tadi air liurnya terbit saat membayangkan
makanan panas, tapi tahu-tahu dia merasakan kengerian di pusat perutnya, seakan
makanan tersebut menolak untuk dicerna.
"Danzi," bisiknya kepada sang naga. "Aku tidak mau bermalam di sini."
"Kenapa?" tanya suara di dalam benaknya.
"Aku tidak suka di sini."
"Cuma semalam," naga itu menjawab tepat ketika seorang petani datang ke samping
mereka. Beberapa saat lalu Ping ingin sekali menapaki undakan batu itu untuk masuk ke
salah satu rumah, lalu duduk dan makan makanan panas, tapi kini dia me rasa
lebih suka berada di tempat lain.
"Silakan naik!" si istri petani berseru dari berandanya.
"Kami tidak pernah kedatangan tamu lagi sejak musim gugur tahun lalu," kata si
petani. "Dan tiba-tiba saja sekarang ada tiga pengelana melewati desa ini dalam
sehari." Ping baru saja hendak menapakkan kakinya di undakan paling bawah yang mengarah
ke rumah si petani. Lalu dia merasa tengkuknya meremang,
Dia mendengar suara kasar, menenggelamkan suara-suara malam yang lembut.
"Carikan tempat untuk menyimpan keretaku. Tampaknya akan turun hujan."
Ping berhenti lalu membalikkan badan. Di samping sebuah kereta yang penuh pisau
logam dan kandang jelek berdiri seorang lakilaki berkulit gelap dan berpakaian
kulit binatang yang dekil. Dari sabuknya terjuntai berbagai senjata. Danzi
sekonyong-konyong mengerang dan mencengkeram lengan Ping.
Ping, yang kini wajahnya bersih, rambut tersisir rapi, dan mengenakan gaun baru,
tidak lagi tampak seperti gadis budak yang lusuh, tapi ketika Diao me lotot ke
arahnya. Ping tahu pemburu naga itu sudah
mengenalinya. Dan saat Diao mena tap pak tua berwajah kehijauan dengan kumis
menjuntai, seringainya berubah menjadi senyuman lebar.
"Gadis itu adalah penyihir jahat," Diao berteriak. "Lelaki tua itu adalah iblis
yang bisa beralih rupa."
Para penduduk desa melongo kaget menatapnya.
"Jangan berdiri saja. Tangkap mereka!"
Seisi desa itu pun meninggalkan pekerjaan mereka untuk melihat ribut-ribut yang
terjadi. "Aku pernah berpapasan dengan mereka," Diao meneruskan.
Para penduduk desa memandangi si gadis muda dan kakek yang ringkih, lalu
berganti meman dangi si lelaki dekil dengan suara yang tak enak didengar. Mereka
langsung mengelilingi Ping dan Danzi dengan sikap melindungi.
"Jangan percaya pada mereka, mentang-mentang mereka kelihatan lugu."
Tepat pada saat itu Hua memilih untuk mengubah posisinya di dalam lipatan gaun
Ping. "Lihat," kata Diao. "Gadis itu memelihara makhluk hidup di dalam gaunnya."
Para penduduk desa terbelalak ketika melihat ada yang bergerak di balik pakaian
gadis itu. Mereka mundur selangkah dari Ping, mendekati Diao.
"Dan pak tua itu tidak tahan kalau disentuh dengan besi," kata si pemburu naga.
Salah seorang penduduk desa mengambil sabit dan menyentuhkannya ke lengan pak
tua itu. Danzi mengerang kesakitan. Para penduduk desa mundur semakin jauh.
"Aku tahu akal busuk mereka," kata Diao. "Aku akan melindungi kalian dari iblisiblis jahat ini." Si pemburu naga merangsek maju lalu menghantam Danzi dengan pedang. Danzi
menjerit dan jatuh berlutut. Jeritannya seperti bunyi nyaring lo gam yang robek.
Diao lalu mencengkeram Ping. Para penduduk desa berseru-seru menyemangati lelaki
Dewi Ular 4 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Seruling Naga Sakti 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama