Ceritasilat Novel Online

Dragon Keeper 3

Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson Bagian 3


yang baunya busuk itu. "Kami akan berikan seluruh uang simpanan kami kalau kau bisa menyingkirkan kedua
iblis itu," mereka berjanji.
Diao berusaha tidak kelihatan terlalu senang. Mulutnya sudah kembali menyeringai
sinis seperti biasa, tapi kedua matanya berbinar-binar senang.
Jadi, bukannya dibawa ke rumah yang nyaman, yang telah dibayangkan Ping sebagai
tempat mereka bermalam, para penduduk desa mendorong mereka ke kandang babi.
Kandang itu berupa bangunan kecil dan bundar dari bambu yang beratapkan ilalang.
Di kandang itu ada empat ekor babi. Diao ikut masuk untuk merantai satu kaki
Danzi ke bambu. Danzi menjerit ketika rantai besi itu menyentuh kakinya. Diao
tertawa. Ping ingin menyerbu dan mencakar wajah jelek Diao yang tersenyum, tapi
itu tidak dilakukannya. Bisa-bisa dia pun ikut dirantai.
Dibanding Diao, babi-babi itu lebih menyenangkan sebagai teman. Ping tak
membenci babi. Dia tahu mereka binatang yang bersih kalau diberi kesempatan,
tapi manusia terbiasa memberi makan
sampah pada mereka. Ping berjongkok hingga tumitnya terbenam di dalam buahbuahan busuk dan bubur basi. Bau di kandang itu sungguh tak tertahankan. Danzi
sudah kembali ke bentuknya sebagai naga, Kaki depannya yang tadi tersentuh
rantai kelihatan melepuh seperti habis tersiram air panas. Ping sebenarnya bisa
dengan mudah menerobos keluar dari kandang babi yang ringkih itu, tapi Diao
telah menempatkan tiga orang desa di luar, untuk mengawasi mereka.
"Kau harus menunjukkan bentuk aslimu pada mereka, Danzi," kata Ping. "Kau bilang
para petani takut pada naga."
Danzi berjongkok canggung di antara dua ekor babi. Dia menggeleng. "Besi
menyedot tenaga. Ping mesti mencari cara untuk meloloskan diri."
"Kita butuh senjata untuk keluar dari sini," ujar Ping, meski seumur hidup dia
belum pernah meng gunakan senjata apa pun.
"Senjata tajam bukanlah sarana untuk orang bijaksana," sahut sang naga.
Ping menghela napas, berharap naga itu tidak sekadar menjawab dengan teka-teki.
"Tidak bisakah kau menggunakan chi untuk melumpuhkan para penjaga?" Ping
bertanya. "Tidak bisa memfokuskan chi di dekat besi," sahut naga itu. "Ping coba."
"Aku baru berhasil menggerakkan daun, Danzi. Tak ada gunanya mencoba."
Ping dapat mendengar Diao di luar sana menyuruh penduduk desa menempatkan Danzi
di salah satu kandang besi yang ada di gerobaknya besok pagi.
"Kenapa dia tak langsung membunuhmu?" Tanya Ping.
"Terlalu jauh dari Wucheng," sahut sang naga. "Wucheng?"
"Kota tempat berkumpulnya penyihir dan necromancer. Banyak orang berminat
membeli daging naga yang berkhasiat sihir."
Ping merinding membayangkan kumpulan orang yang mengerikan itu.
"Diao ingin Danzi hidup. Begitu tiba di Wucheng, dia akan menjual dagingnya
segar-segar." Ping kembali teringat peristiwa pada malam yang mengerikan di Huangling dulu
wajah Master Lan yang berlepotan darah, kilau kapak dalam cahaya api, darah naga
yang mengental di salju. Danzi, yang sudah sangat kelelahan, segera tertidur
meski menghadapi bahaya dan berada di tempat yang tidak nyaman.
Ping berjongkok bersama babi sampai seluruh desa itu diselimuti kegelapan, dan
penjaga di luar kandang berhenti bercakap-cakap. Melalui celah-celah penjaranya,
Ping memandangi bulan bergerak naik ke atas gunung, seperti seiris melon yang
cemerlang. Dia tahu saat ini pasti sudah hampir tengah malam. Ping masih
terjaga. Hawa dingin dan kandang babi yang tidak nyaman ini telah menajamkan
indraindranya. Dia teringat ekspresi angkuh dan puas si pemburu setengah
tersenyum, setengah mengejek ketika penduduk desa mendorong-dorong mereka ke
kandang babi. Dia harus memikirkan cara untuk melepaskan diri dari si pemburu.
Ping menganalisis situasinya. Tidak perlu waktu lama. Dia tidak punya apa-apa.
Para penjaga telah merampas pundipundi dan keranjangnya. Kalau dia tak bisa
mendapat cara untuk mengubah sayuran busuk dan tulang ayam menjadi senjata,
berarti dia tidak punya alat apa pun. Terasa olehnya Hua menggeliat pelan. Sejak
meninggalkan Chang'an, tikus itu tertidur nyenyak di dalam saku yang telah
dijahit Ping di balik gaunnya. Hua merangkak ke luar dan mulai melahap sisa
makanan babi dengan gembira. Tikus itu selalu saja bisa mengubah situasi yang
buruk sekali pun untuk keuntungannya. Ping harus berbuat hal yang sama.
Dia kembali menganalisis situasinya. Dia mempunyai dua sekutu tikus dan naga.
Dikeluarkannya isi saku rahasianya. Ada uang logam tembaga, bandul batu zamrud
berbentuk anak kecil, dan sejumlah kecil bubuk ledak pemberian Wang Cao. Dia
juga mem punyai sebatang jarum dan benang sutra merah. Kedua kakinya pegal
karena berjongkok. Maka dia berdiri dan duduk di atas babi yang mendengkur.
Bagaimana caranya memanfaatkan semua yang dia dimilikinya"
Bulan sudah tinggi di langit malam ketika Ping menyodok-nyodok naga yang
tertidur itu. "Bangun, Danzi," katanya. "Aku ada rencana."
Sang naga mengerang. Kakinya, yang baru saja sembuh dari bekas rantai di
Huangling, kini berdarah lagi. Ping mengeluarkan jarumnya yang terbuat dari tulang dan menggunakannya untuk
mengorek lubang gembok yang mengunci ujung rantai Danzi. Dia belajar membuka
gembok di Huangling, untuk membuka kunci lemari tempat makanan. Tidak butuh
waktu lama, sang naga mengerang lega ketika rantainya lepas. Ping menendang
rantai itu sejauh mungkin dari sang naga.
"Apa rencana Ping?" tanya naga itu.
Sebelum Ping sempat menjawab, pintu terbuka sedikit. Seraut wajah yang tampak
ketakutan melongok ke dalam.
"Kau pikir bisa lari!" terdengar suara yang kedengaran takut. "Di luar sana ada
tiga penjaga dengan pedang terhunus. Mereka akan menyerang kalau kau berani
berbuat yang tidak wajar terhadapku."
Wajah dan suara itu milik anak lelaki yang bertugas memberi makan babi. Dia
beringsut masuk, seraya memegangi seember makanan sisa di hadapannya, seperti
memegang perisai. Dikosongkannya isi ember, dan ketika dia hendak lari ke luar,
Ping menyambar pergelangan tangannya. Si bocah memekik ngeri dan memejamkan
mata, pasrah menunggu dirinya disihir menjadi kodok atau lenyap dalam gumpalan
asap, Dia membuka mata kembali, dan tampak terkejut melihat dirinya masih dalam
wujudnya yang biasa. "Kau mau diberi upah sekeping uang tembaga?" bisik Ping seraya menyodorkan
sekeping uang pada anak itu. Si anak lelaki menggeleng.
"Aku bukan penyihir," Ping menenangkannya dan menekankan uang logam itu ke
telapak tangannya. "Aku anak biasa, seperti kau juga."
Anak itu tidak mau menatap Ping. Dia malah memandang ke kegelapan di belakang
Ping, dan ter kejut ketika melihat sosok hitam yang teronggok di sana.
"Kakekku masih tidur," kata Ping, mencoba meyakinkan anak itu bahwa yang
dilihatnya hanya seorang lakilaki tua yang tak berdaya.
Si bocah mengendurkan cengkeramannya pada ember.
"Aku takut kegelapan, dan bulan sudah lenyap di balik awan. Bisakah kau
menolongku?" Ping memohon. "Bisakah kau menaruh lampu di luar kandang babi, di
tempat yang tidak bakal terlihat penjaga" Lampu itu bisa kau letakkan di tempat
yang jauh dari jangkauanku. Tapi jangan terlalu jauh, supaya ca hayanya bisa
sampai ke sini." Si bocah memberanikan diri menatap Ping dengan gugup. Ping tersenyum, dan
menaruh sekeping uang logam lagi di tangan anak itu.
"Apa kau baikbaik saja, Nak?" salah satu penjaga berseru dari jarak yang aman.
Si anak lelaki membuka mulut, seperti hendak berteriak. Senyuman Ping memudar.
Dipuntirnya pergelangan tangan anak itu lebih erat.
"Oke. Kau lihat ini?" Ping mengulurkan kalung batu zamrud. Bandulnya yang berupa
sosok kecil hanya terlihat samar-samar dalam cahaya bulan yang redup. "Ini orang yang tidak
mematuhiku." Si anak lelaki melongo menatap sosok hijau kecil di telapak tangan Ping.
"Kalau kau tidak menuruti kataku, kau akan kusihir menjadi batu zamrud."
Lalu dilepasnya tangan anak itu yang langsung lari ke luar, seraya menggembok
pintu di belakangnya dengan tergesa-gesa.
"Aku baikbaik saja," Ping mendengar si anak berkata kepada penjaga dengan suara
gemetar, Para penjaga kembali duduk di sekeliling api unggun. Beberapa saat kemudian Ping
melihat cahaya lampu mendekat. Si bocah membawa lampu itu ke belakang kandang
babi dan meletakkannya lebih dari sepenggalan lengan jauhnya dari tembok.
Sepasang matanya yang ketakutan menatap Ping sejenak, kemudian dia pergi cepatcepat. Beberapa saat kemudian, api unggun para penjaga sudah padam, dan gumam
percakapan mereka tak terdengar lagi. Ping merangkak ke arah pintu. Dia
memasukkan sehelai benang sutra di kalung batu zamrud, lalu mengikat ujungnya,
seakan dia hendak mengenakan kalung itu. Kemudian didorongnya kalung itu melalui
celah di bambu, persis di atas ge m bok pintu. Dia mengulur benang sutra itu,
membiar kan benang terjuntai diberati kalung. Ketika lingkaran benang sudah
berada di bawah gembok, Ping mengaitkan benang itu ke bawah gembok lalu dengan
perlahan menarik benangnya. Gembok itu terangkat. Ping mendo rong pintu
hingga terbuka sedikit. "Apakah kau siap untuk bagian terakhir rencanaku?" Ping bertanya pada sang naga.
Naga itu mengangguk perlahan. Ping menaruh sejumput kecil bubuk ledak dari Wang
di dalam tiga kulit melon yang dipungutnya dari makanan babi, lalu dia letakkan
di lantai. Setelah itu dia memanjat ke punggung seekor babi yang sedang tidur
dan menarik sejumput jerami. Didorongnya jerami itu melalui celah di tembok
bambu. Dengan mengulurkan lengan, ujung jerami hampir bisa meraih lampu di luar
sana. Jeraminya mulai terbakar, tapi lampunya berkedip-kedip, lalu mati. Kalau
ini tidak berhasil, takkan ada kesempatan lain. Ping berjongkok di belakang
salah seekor babi dan menyulutkan jerami yang terbakar itu ke kulit melon
pertama. Di luar sana, para penjaga yang sedang terkantuk-kantuk seketika terjaga oleh
bunyi dentuman keras, bunyi auman merindingkan bulu roma seperti suara panci
tembaga yang saling dibenturkan, serta sekelebat cahaya membutakan yang sekilas
menerangi malam. Para penjaga yang terperanjat itu menoleh kiri-kanan untuk
mencari sumber keributan. Tampak sekelebat cahaya lagi, disusul ledakan
berikutnya, dan suara menggemuruh. Semuanya berasal dari kandang babi.
Ping bersembunyi di belakang babi yang paling besar, dan dengan satu kaki
ditendangnya pintu dari bambu yang tidak digembok itu. Ketiga penjaga yang
ketakutan ternganga ngeri ketika terdengar ledakan ketiga dan kelebat cahaya itu
memperlihatkan para penghuni kandang babi. Keempat babi yang masih di dalam
menguik-nguik ketakutan, tapi si lelaki tua dan gadis remaja yang mereka kurung
tadi sudah tidak ada. Sebagai gantinya, di ambang pintu ada seekor ular hijau
panjang dan seekor tikus raksasa.
"Aku ini penyihir jahat," kata Ping dari tempat persembunyiannya di dalam
kandang babi. "Siapa pun yang menghalangi kami akan kukirim ke bagian neraka
yang paling mengerikan."
Ketiga penjaga itu, petani biasa yang hanya bersenjatakan sabit karatan serta
dua bambu runcing, langsung kabur sambil menjerit-jerit. Ping menyambar Hua
seraya melompat turun dari kandang babi. Danzi melata mengikutinya. Penduduk
desa berhamburan ke luar rumah dalam keadaan masih mengantuk dengan membawa
obor, tapi semuanya berhenti di tempat ketika melihat seekor ular berubah
menjadi naga, Seketika mereka berlutut, beberapa di antara me reka menyerukan
memohon ampun, ada pula yang muntah-muntah karena mual melihat perubahan itu.
Ping lari untuk mengambil keranjang dan pundipundinya di dekat api unggun,
tempat penjaga meng geledah mereka sebelumnya. Diao muncul di salah satu
beranda. Dia lari menuruni undakan, tapi karena tergesa-gesa, dia tersandung.
Ping ingin se kali menonton orang itu jatuh terguling-guling, tapi tak ada waktu
untuk itu. Maka dia dan naga pun menghilang dalam kegelapan,
Mereka terus berlari, tapi kemudian Ping berhenti lalu membungkuk, menekankan
kedua tangan pada lututnya sambil berusaha menarik napas. Danzi juga terengahengah menghirup napas. "Batunya aman?" tanya naga itu.
Ping meraba-raba ke dalam keranjangnya. Kemudian ditatapnya naga itu. "Batunya
tidak ada," katanya. "Pasti Diao yang mengambilnya."
11 Persembahan "D iasanya Ping sering sekali menanyakan, kapan mereka bisa berhenti untuk
beristirahat, untuk minum air, atau makan. Biasanya jawaban Danzi atas
"percakapan" mereka hanyalah "belum waktunya". Namun sejak mereka melarikan diri
dari penduduk desa, Ping justru berjalan lebih cepat daripada Danzi, hanya
sesekali saja dia menoleh ke belakang untuk menyuruh naga yang terseok-seok itu
berjalan lebih cepat. Setiap kali dia memelankan langkah, bulu kuduknya
meremang, seakan si pemburu naga berada persis di belakang mereka.
Menjelang siang barulah Ping berani berhenti untuk beristirahat di tepi sungai
kecil. Gemericik air sungai yang mengalir di bebatuan tak bisa meredakan
kecemasan Ping. Setelah Danzi berhasil mengatur napas, barulah dia
memperdengarkan gemuruh kemarahannya yang dahsyat hingga menenggelamkan
gemericik air sungai. Belum pernah Ping melihat sang naga begitu marah.
"Ping gagal," berkali-kali Danzi berkata demikian.
"Ping yang bertanggung jawab atas batu. Batu
naga paling penting. Lebih penting dari keselamatan sendiri."
Saat itu mereka berada di dalam hutan di mana pepohonannya ramping. Ping tahu
itu pohon cassias, dari daunnya yang liat seperti kulit dan aroma pedas samar
yang muncul setiap kali lengan bajunya bersentuhan dengan kulit pohon. Kalau dia
memusatkan pikiran pada hal lain, misalnya menghitung buah beri layu yang masih
menempel di ranting pohon, Ping bisa menutup pikirannya dari kata-kata naga itu,
dan yang masuk ke telinganya hanyalah gemuruh amukannya. Tapi sang naga tidak
mempunyai cukup tenaga untuk terus mengamuk.
Ping marah pada dirinya sendiri marah karena kelalaiannya telah membuat batu itu
jatuh ke tangan Diao. Dia membayangkan tangan kasar si pemburu menyentuh
permukaan halus batu tersebut. Batu itu tak ada gunanya, tapi sangat indah. Dan
berharga. Pasti batu itu berharga, karena Diao begitu bernafsu ingin
memilikinya. Padahal mereka bisa menjual batu itu kalau sang naga sudah
kehabisan emas. "Mesti kembali mengambil batu," kata Danzi.
Suara gemuruhnya berubah menjadi nada sedih dan datar yang diulanginya terus,
seperti bunyi denting lonceng.
"Kita tak mungkin balik lagi untuk mengambil batu itu. Terlalu berbahaya."
"Perjalanan tak berarti tanpa batu," ujar Danzi.
"Apa maksudmu?" tanya Ping.
Naga itu tak menjawab, tapi Ping merasa bisa memahami maksudnya.
"Diao akan melacak jejak kita," katanya. "Dia menginginkanmu melebihi batu itu.
Kita memang bisa terus berjalan tanpa tidur, tapi setidaknya kita harus makan."
Tapi Danzi tidak mengizinkan Ping menyalakan api. Mereka makan kacang-kacangan
dan buah persik kering. Ping masih lapar, meski Danzi makan lebih sedikit.
"Kau kurang makan, Danzi," kata Ping. "Kau makin kurus."
Naga itu memeriksa sayapnya. Tepi robekan di dalam membran sayap itu sudah
menyatu lagi, dan meski masih kelihatan bengkak dan merah, namun lukanya mulai
sembuh. Ping mencari-cari di dalam keranjangnya. Botol berisi salep awan merah
itu masih ada di sana. "Mari kuoleskan sedikit salep dari Wang Cao pada sayapmu," Ping menawarkan.
"Sayang sekali kalau salep itu terbuang sia-sia."
Danzi tidak keberatan, maka Ping mengambil sejumput salep berwarna merah gelap
itu lalu mengoleskannya. Sayap naga itu terasa agak liat dan bekas lukanya keras
seperti benjolan. Ping sudah terbiasa menggosokkan salep itu ke permukaan batu
naga yang sejuk dan halus. Dia merindukan warnanya yang ungu ge lap dan galurgalurnya yang seputih susu, yang sepertinya setiap hari terus berubah. Ping
menggelenggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan perasaan konyol
itu. Bagaimana mungkin kehilangan batu itu telah begitu memengaruhi perasaannya"
"Seberapa dekatkah kita dengan Samudra?" dia bertanya pada Danzi untuk
mengalihkan pikirannya dari batu itu.
Sang naga tidak menjawab.
"Kita sudah jalan kaki berminggu-minggu," Ping men desak. "Tentunya kita sudah
dekat." "Setengah jalan pun belum."
Tiba-tiba saja kaki Ping jadi terasa berat dan letih. Rasanya dia tak sanggup
lagi mengangkat kaki, apalagi berjalan ratusan // lagi. Dia serasa sedang
bermimpi; semakin keras mereka berusaha mendekati Samudra, semakin jauh Samudra
itu dari mereka. "Mesti balik dulu untuk ambil batu."
Ping menghela napas. Dia mengira telah berhasil meyakinkan bahwa mereka tak


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin kembali. Danzi menggerak-gerakkan sayapnya yang luka. "Sayap hampir sembuh," katanya.
"Akan bisa terbang tujuh hari lagi, Lalu segera tiba di Samudra."
Ping tidak suka terbang, tapi dia akan senang sekali kalau perjalanan panjang
menuju Samudra ini berakhir. Danzi minum air banyak-banyak dari sungai kecil
itu. Ping mengisi kantong air dari kulit kambing. Pada saat itulah dia mendengar
keletak ranting patah di antara pepohonan.
"Kau dengar itu?"
"Tidak dengar apa-apa. Lihat kelebat logam. Sembunyi!"
Sang naga telah berubah wujud menjadi cangkul
dan dia bersembunyi di balik sebatang pohon. Tapi pohon-pohon di situ terlalu
ramping untuk tempat bersembunyi Ping. Maka Ping menyandang keranjang dan tempat
air minum itu lalu memanjat salah satu pohon, naik ke cabangnya yang ramping,
setinggi yang berani dia panjat. Terdengar bunyi derak lagi, dan dua lakilaki
muncul dari antara pepohonan. Ping mengenali mereka. Mereka orang dari Fengjing.
Aroma cinnamon keluar dari batang pohon ketika dia memanjat. Salah seorang
lelaki, yang memakai topi lusuh, mengendus-endus, seakan dia juga mencium aroma
itu. Ping hanya berada beberapa meter di atasnya. Daun pohon itu tidak lebat,
kalau mereka mendongak, Ping pasti terlihat. Lakilaki satunya menendang tumpukan
kulit kacang dan batang buah persik yang tidak sempat Ping sembunyikan.
"Tadi mereka di sini." Dia memeriksa rumput yang rebah. "Dan belum begitu lama."
"Menurutmu mereka ke arah mana?" tanya lakilaki yang bertopi.
Cahaya siang dan tergiur oleh emas telah membangkitkan nyali kedua orang itu.
"Sulit diperkirakan." Lakilaki satunya ke semak-semak.
"Lihat apa yang kutemukan! Cangkul."
"Sudah agak butut," kata rekannya.
"Bisa kubersihkan," sahut lakilaki itu.
Ping tidak tahu mesti berbuat apa. Kalau orang itu menyentuh Danzi, bukan logam
keras yang akan di rasakannya, melainkan naga bersisik. Lakilaki itu
mengulurkan tangan untuk mengambil.
"Hei! Aku dapat yang lebih menarik," si lakilaki bertopi berkata. "Jejak kaki.
Kelihatannya jejak kaki penyihir itu."
Lakilaki satunya tidak jadi mengambil cangkul dan beranjak pergi memeriksa jejak
kaki yang ditemukan rekannya di pasir lunak di tepi sungai.
"Tidak ada jejak yang menjauhi titik ini," kata lakilaki pertama.
Ping menahan napas. Mereka akan berhasil menebak tempat persembunyiannya.
"Penyihir itu lenyap begitu saja," kata si lakilaki bertopi.
"Tidak," sahut lakilaki satunya. "Mereka menyeberangi sungai. Ayo. Kalau kita
menemukan mereka, kita akan mendapat hadiah."
Kedua lakilaki itu menyeberangi sungai diiringi bunyi berkecipak, lalu
menghilang lagi di antara pepohonan. Setelah yakin aman, Ping lalu meluncur
turun dari atas pohon. "Tidak bisa jalan kaki lagi di jalan," ujar Danzi bahkan sebelum berubah wujud
lagi menjadi naga. "Tidak aman."
"Jadi, kita akan jalan terus?" tanya Ping. "Kita tidak kembali untuk mencari
batu naga?" Sang naga menggelengkan kepala dengan sedih lalu beranjak ke tengah pepohonan di
sebelah kanan jalan setapak. Ping mengikutinya.
Udara mulai hangat. Setiap hari semakin banyak bunga dan pohon yang belum pernah
dilihat Ping. Dia menanyakan nama bunga-bunga tersebut pada sang naga, untuk
mengalihkan pikiran makhluk itu dari batu naga, tapi Danzi tak mau menjawab.
Kadang-kadang binatang muncul di antara semak-semak, atau di cabang pepohonan.
Mereka kaget melihat dua makhluk yang berjalan bergegas-gegas melintasi hutan,
dan mereka pun lari bertemperasan. Ping senang sekali kalau melihat tupai atau
rusa, tapi dia sama sekali tak senang saat berpapasan dengan dua beruang merah
kecil yang sedang bermain di rerumputan.
Ketika mereka berhenti berjalan malam itu, Danzi masih tetap tidak mengizinkan
Ping menyalakan api. Ping merendam gandum dan mereka memakannya mentah-mentah dengan jamur dan telur
burung. Ketika mereka meninggalkan tempat itu, sang naga menyapu area tersebut
dengan ekornya untuk menghilangkan jejak mereka.
"Pengelana yang pintar takkan meninggalkan jejak," katanya.
Mereka berjalan melintasi hutan pohon cypress yang lebat selama tiga hari tanpa
bertemu orang. Tanah di situ datar, dan dengan adanya pohon-pohon tinggi yang
rapat, mereka tak bisa melihat langit ataupun daerah yang mereka lintasi. Tanah
yang mereka pijak semakin kering. Rumputnya makin jarang dan lebih kuning.
Kuncup-kuncup bunga di pohon-pohon sudah layu sebelum sempat
berkembang. Danzi tidak lagi menyinggung soal batu naga. Ping heran naga itu dengan mudahnya
menyetujui untuk melupakan saja batu itu.
Lambat laun pepohonan semakin jarang, dan akhirnya mereka kembali dikelilingi
bentangan ladang. Anehnya para petani yang mereka jumpai tak ada yang bekerja.
Meski udara musim semi begitu hangat, tak seorang pun mencangkul atau menebar
benih. Tak ada yang mengundang mereka untuk bermalam. Para petani itu hanya
mengangguk singkat kepada kedua pengelana tanpa mau beradu pandang. Ketika Ping
bertanya pada seorang perempuan tua, apakah dia boleh membeli sayur, perempuan
itu menggeleng dan memeluk erat lobak serta bawang miliknya, seakanakan sayuran
itu adalah batu berharga.
Setelah lewat tengah hari, mereka berpapasan dengan kerumunan orang di seputar
danau kecil. Lingkaran lumpur kering di sekelilingnya menandakan bahwa permukaan
danau itu sudah surut beberapa meter. Dulu danau itu lebarnya hampir
setengah //, tapi kini danau itu tidak lebih dari kolam. Sebuah kuil kecil
berdiri di tempat yang sebelumnya merupakan tepi danau. Kuil kayu yang sederhana
itu tidak lebih tinggi dari Ping, dengan atap kayu yang baru dicat hijau. Ping
sempat melihat lukisan primitif berbentuk naga di dalamnya. Di bawah lukisan itu
ada tumpukan rapi empat butir jeruk, sebongkah batu berbentuk kadal, dan
beberapa batang dupa menyala. Aroma dupa itu bercampur
dengan bau daging rebus yang berasal dari kuali perunggu berkaki tiga yang
dijerang di atas api. Seorang tetua desa, yang mengenakan jubah berhiaskan
sulaman benang hijau yang penuh tambalan, sedang menggumamkan doa kepada roh
penunggu danau. "Terimalah persembahan kami yang sederhana ini, Bapa Naga," katanya. "Bangunlah
dan turunkan hujan bagi kami."
Kemudian orang-orang itu melemparkan berbagai benda ke dalam danau mangkuk besi
yang sudah tua, perlengkapan bertani karatan, dan sebilah pedang patah.
Ping mengamati semua itu dari balik sebatang pohon. "Mereka sedang apa?"
tanyanya. "Mereka percaya ada naga dalam danau dan naga itu belum terbangun dari tidur
untuk mem bawakan hujan musim semi. Mereka tahu naga benci besi, jadi besi
dilempar ke danau untuk membangunkannya."
"Adakah naga di dalam danau itu?" tanya Ping.
"Mungkin ada, berabad-abad silam, tapi sekarang tidak lagi."
Beberapa orang mendongak memandangi seberkas awan tipis di langit.
"Lihat," salah satunya berkata. "Kalian lihat awan itu" Bentuknya seperti naga.
Itu pertanda bagus."
Danzi berubah wujud menjadi orangtua, kemudian dia dan Ping berjalan melewati
danau. Orang-orang menatap curiga pada mereka, tapi tak ada
yang menyapa. Hari mulai gelap dan angin semakin kencang. Ping mengarah ke sebuah bukit kecil
dan menemukan sebuah batu karang yang menjorok. Mereka bisa bermalam di tonjolan
karang tersebut, terlindung dari angin dan tersembunyi dari para petani.
Ping memberanikan diri menyalakan api kecil, dan memasak lentil serta buah melon
liar. Itulah pertama kalinya mereka makan makanan panas dalam seminggu ini.
Makanan itu mengenyangkan, tapi tak ada rasanya. Danzi kelelahan, seperti biasa
setiap malam, tapi sekarang lebih lagi, sebab inilah pertama kalinya dia kembali
berubah wujud menjadi lakilaki tua.
"Makanlah lentil itu lebih banyak, Danzi." Seperti biasa, sang naga makan lebih
sedikit daripada Ping. "Tidak mau makanan lagi," sahut naga itu. "Mau teh."
Kantong kulit kambing itu hampir kosong,
"Aku akan pergi ambil air."
Danzi sudah terangguk-angguk mengantuk.
Bulan belum terlihat. Angin menyapu bersih rangkaian tipis awan, dan langit
berhiaskan bintang, seperti butir-butir garam yang tumpah di hamparan kain
kelam. Ping berjalan dengan hatihati, seraya berharap bisa kembali kepada Danzi
tanpa tersesat. Suara-suara keras dan marah melayang terbawa angina ke arahnya.
Saat semakin dekat ke danau, dilihatnya oborobor yang menyala terang, dan
disadarinya bahwa para petani masih berkumpul di tempat itu. Angin kencang hanya
membawa sepotong-sepotong ucapan mereka.
Suara-suara lain bergabung dalam perdebatan itu, teriakan serempak yang makin
terdengar marah. Seorang bocah berteriak. Dalam kelap-kelip cahaya obor Ping
melihat seorang lakilaki itu memegangi seorang gadis yang meronta. Seorang
perempuan mencoba merebut gadis itu dari si lakilaki, tapi orang lain membantu
memegangi si gadis. Potongan percakapan marah itu terbawa angin ke telinga Ping.
"...cuma anak perempuan."
"Hanya Langit... berhak mengambil nyawa."
Perempuan itu menangis. Ping maju lebih dekat, mencoba menangkap isi percakapan
mereka. "...cuma satu nyawa..."
"Jika tidak hujan...banyak orang,..kelaparan."
Dua pasang tangan terulur dari kegelapan dan menyambar Ping dari belakang. Ping
berteriak. Mulanya dia mengira ditangkap Diao, tapi kedua lakilaki yang
memeganginya tidak mengeluarkan bau busuk binatang mati seperti si pemburu naga.
Ping merontaronta untuk melepaskan diri, tapi mereka mempererat pegangan dan
menyeretnya ke tepi danau.
Setibanya di dekat kerumunan orang di tepi danau, Ping bisa melihat wajah-wajah
para petani da lam cahaya obor. Mereka tidak tersenyum, wajah mereka dipenuhi
guratan kelelahan dan kecemasan. Di tengah kelompok itu ada seorang gadis yang
umurnya sekitar dua tahun lebih muda daripada Ping. Wajahnya tegang ketakutan.
Kedua tangannya diikat di depan, pergelangannya berdarah. Dia mengenakan gaun pendek
asal jadi, terbuat dari rami, dengan lukisan kasar berbentuk naga hijau di
bagian depan. Udara malam itu tidak dingin, namun tubuh gadis itu gemetar tak
terkendali. Seorang perempuan berlutut menangis sambil mencengkeram jubah sang
tetua. Orang yang menangkap Ping menyeret Ping kepada tetua itu.
"Lihat apa yang kami temukan. Dia sedang bersembunyi di semak-semak," kata si
penangkap. Ping melihat wajah para penangkapnya. Ternyata mereka bukan lakilaki dewasa,
melainkan anak lakilaki berwajah bengis.
Perempuan itu memandangi Ping. Wajahnya yang bersimbah air mata langsung menjadi
cerah. "Kita bisa gunakan dia sebagai pengganti Wei Wei," kata perempuan itu.
Ping tidak mengerti maksud percakapan mereka. Sang tetua mengangguk. Gadis
remaja itu dilepaskan, dan langsung lari kepada ibunya. Kedua bocah yang
memegangi Ping mempererat pegangannya. Seorang perempuan lain melepaskan pakaian
rami Wei Wei dan memakaikan selimut. Kemudian perempuan itu beralih pada Ping,
melepaskan sabuk di pinggang Ping, dan menarik lepas gaunnya. Dipakai-kannya
pakaian rami itu pada Ping, dengan kasar didorongnya lengan Ping ke lubang baju
yang pendek. Kemudian kedua lengan Ping diulurkan ke depan dan pergelangannya
diikat dengan tali dari kulit.
"Kalian pasti salah menangkap orang," kata Ping. "Aku bukan orang sini."
Wajah-wajah bengis itu menyeringai menjadi senyuman jahat. "Kami tahu."
Para petani berlutut di tepi danau, melantunkan doa kepada dewa naga yang mereka
yakini bersemayam di kedalaman danau. Kedua anak lelaki itu memaksa Ping
berlutut bersama mereka. "Terimalah persembahan ini, Naga yang Agung," sang tetua berkata. "Ampuni kami
atas kesalahan yang telah kami perbuat. Beri kami hujan dan kami akan senantiasa
memujamu." Tiba-tiba segalanya menjadi jelas bagi Ping. Orang-orang ini bermaksud
mempersembahkannya kepada naga di dalam danau. Mereka akan melemparnya ke dalam
danau dan membiarkannya tenggelam.
Ping berusaha melepaskan diri. "Danzi! Tolong!" teriaknya, meski dia tahu tak
mungkin naga itu bisa mendengarnya dari jarak sejauh ini.
Bulan muncul di atas sebuah bukit di kejauhan. Para petani berkumpul di sekeliling danau,
seakan tak sabar ingin menonton Ping tenggelam. Kedua anak lelaki menuntunnya
menuruni tepi danau yang terjal, menuju ke rakit bambu. Ketika Ping bertahan,
mereka mengikat kedua kakinya juga. Ping mencoba meliukliukkan badan agar lepas,
tapi sia-sia. Tenaganya tidak cukup. Mereka melemparnya ke atas rakit itu.
Seorang anak lelaki menahannya, sementara anak satunya mendayung ke tengah
danau. Ping mengira akan ada lebih banyak doa,
dan persembahan lain, sehingga dia akan punya waktu untuk mencari cara agar
terbebas, tapi dugaannya salah. Upacara itu rupanya dilakukan dengan tergesagesa. Mereka ingin menyelesaikan upacara itu selekas mungkin, supaya sang naga
puas. Mereka menggulingkan Ping ke pinggir rakit, seakan dia sekarung gandum.
Ping bisa melihat pantulan bulan di permukaan air danau, bergerak seperti perak
dingin. Kemudian dia merasakan tamparan tajam air dingin ketika kedua anak itu
melemparnya ke danau, kepala lebih dulu.
Ping membuka mulut untuk menjerit, tapi justru kemasukan semulut penuh air. Dia
membutuhkan udara. Dia menarik napas lagi, tapi bukan udara yang mengisi paruparunya, melainkan air. Selama ini dia selalu menerima keberadaan udara sebagai
hal yang biasa, tak pernah menyadari betapa berharganya udara. Dia menaikkan
kaki dan mencoba meraih ikatan di seputar tumitnya dengan jemarinya yang diikat.
Tubuhnya terguling-guling ke depan dalam gerakan jungkir balik gerak lambat.
Kemudian tampak olehnya seraut wajah di dalam air. Wajah seekor naga. Ada naga
di dalam air ini, pikirnya, Setidaknya aku takkan kesepian di dasar danau.
Wajah naga itu semakin dekat, kemudian satu kaki depan naga dengan empat cakar
tajam terulur ke arahnya dan menyambar pakaian raminya. Kemudian dia dikeluarkan
dari air, namun tetap belum bisa menghirup udara. Terdengar suara gemuruh yang
memekakkan telinga, Seperti suara
sepuluh lakilaki memukul genderang tembaga dengan palu kayu. Ping sendiri berada
di udara, tinggi di atas para petani yang semuanya telah menelungkup ke tanah
seraya menutupi telinga untuk membendung suara menakutkan itu. Paru-paru Ping
serasa akan pecah. Ada cahaya terang di atasnya. Tapi bukan cahaya bulan; dia
bisa melihat di hadapannya. Cahaya entah apa. Ping menoleh dan sesaat melihat
seekor naga yang pucat. Seperti terbuat dari galur cahaya bulan. Kemudian
penglihatannya menjadi kabur dan suara mendengung keras di kedua telinganya
menggantikan suara gemuruh tadi.
Ping merasakan tekanan yang tak terhingga di dadanya. Air di dalam perut dan
paru-parunya menyerbu keluar dari mulut dan hidungnya, begitu cepat hingga
terasa panas membakar. Dia menghela napas. Kali ini dia berhasil menghirup
udara. Dia menghela napas lagi, kali ini dalam-dalam. Udara yang dihirupnya
tidak memiliki rasa ataupun bau, namun baginya udara itu bagaikan madu dan
anggur. Sungguh hal terindah yang pernah dialaminya. Beban berat itu kembali
menekan dadanya. Ping membuka mata dan melihat bahwa yang menekannya itu adalah
kaki depan naga. "Sakit," keluhnya ketika kaki itu diangkat.
Danzi sedang memandanginya. Naga tidak bisa di bilang suka tersenyum, tapi Ping
memerhatikan ada lekukan halus di seputar bibir Danzi, dan dia mendengar suara merdu denting
genta angin. "Aku melihat naga di dalam danau," kata Ping.
"Melihat aku," sahut Danzi. "Ping bingung. Danzi di atas permukaan danau, bukan
di bawahnya." Ping mengerutkan kening sambil mencoba memahami hal itu.
"Bagaimana kau tahu kalau aku dalam bahaya?" tanya Ping. "Kupikir kau tidak
mendengar teriakan minta tolongku."
"Tidak dengar. Melihat. Naga pendengarannya ti dak bagus, tapi bisa melihat biji
sesawi dari jarak seratus //, di malam hari sekali pun. Aku sudah bilang waktu
kita berjalan. Ping tidak mendengarkan."
"Mulai saat ini aku akan mendengarkan dengan saksama segala ucapanmu. Aku
janji." 12 Awan Gelap Danzi telah menyalakan api dan menjerang sepanci air. "Ping mungkin mau teh,"
katanya. "Sudah menangkap jangkrik untuk Hua yang terhormat." Naga itu
mengulurkan seekor serangga mati.
"Apa dia tidak ada di sini?" Ping meletakkan mangkuk dan menyambar gaunnya yang
sedang dikeringkan di dekat api. Keping uang tembaga dan kalung batu zamrud itu


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih ada di dalam sakunya, begitu pula sisa-sisa serbuk bahan peledak dari Wang
Cao. Namun tak ada tandatanda keberadaan Hua.
"Di mana dia?" Ping mencari-cari ke sekelilingnya dengan panik, berharap melihat
tikus itu sedang menghangatkan diri di dekat api, atau menggerumiti makanan.
"Tidak melihat tikus," kata sang naga.
Ping berseru memanggil, tapi tikus itu tidak datang juga. Dia duduk terpuruk di
dekat api. "Dia pasti lari waktu mereka melepaskan pakaianku," katanya. "Tikus binatang
yang setia. Dia pasti kembali." "Buat apa dia kembali padaku" Selama ini aku selalu membawanya dalam situasisituasi berbahaya. Dia akan jauh lebih bahagia tinggal bersama teman-temannya."
_ Keesokan paginya Hua masih belum kembali. Ping mencari di dekat danau. Karena
dia tidak menemukan Hua, Ping menyelinap kembali ke tempat persembunyian ketika
para petani berkumpul lagi di tepi danau.
Danzi menghela napas. "Mestinya mereka bekerja di ladang."
"Sekarang mereka sudah yakin ada naga di dalam danau," kata Ping, "dan mereka
takkan berhenti berdoa sampai naga memberi mereka hujan."
"Kalau diberi hujan, mereka akan yakin bahwa itu karena telah mengorbankan anak
perempuan. Setiap kali ingin hujan, mereka akan berbuat hal yang sama."
"Tidak bisakah kau membuat hujan, Danzi?"
Sang naga menggerakkan kepalanya dari kiri ke kanan dalam gaya yang tidak
berarti ya maupun tidak. "Berita ada naga terlihat akan menyebar cepat seperti api yang menjalar," kata
Ping. "Tak lama lagi Diao akan kembali mencium jejak kita. Kita harus pergi dari
tempat ini secepatnya, Danzi."
Danzi masih juga memandangi para petani di sekitar danau. "Tunggu sebentar
lagi." Ping membayangkan Diao bergerak semakin dekat sementara mereka berlamalama. "Akan kujelaskan bahwa naga tidak menginginkan persembahan," kata Ping
"Tidak akan mendengar. Ingin air."
"Kenapa mereka mengira kau bisa membuat hujan?"
"Lama berselang, waktu masih banyak naga, ada yang bertanggung jawab atas
sungai, kolam, dan mata air tertentu. Mengatur semuanya. Para petani mulai
memuja naga, percaya naga membawa hujan musim semi."
Ping merapikan pakaian dan menghaluskan rambutnya.
"Aku akan coba memberi mereka pengertian," katanya.
Dia melangkah ke danau dengan sikap yang di usahakan tampak berwibawa. Seketika
keheningan yang amat sangat menyelimuti para petani itu.
"Aku putri kolam ini," kata Ping. "Naga yang Agung murka pada kalian."
"Katakan pada sang naga, kami meminta maaf telah membuatnya murka. Kami akan
berikan per sembahan lain padanya."
"Dia tak ingin sesembahan manusia."
"Lalu kami harus berbuat apa?"
"Sekarang musim semi. Kalian mesti menanam benih."
"Tapi kalau tidak ada hujan, tanaman akan mati.
Apa gunanya menanam?"
Ping mencoba mendebat kalau benih-benih itu tidak ditanam, maka tidak akan
tumbuh kalaupun hujan akhirnya turun, namun para petani rupanya tidak mengerti.
"Kami telah membuat murka naga yang agung," si tetua meratap. "Habislah kami
sekarang." Mereka membungkuk dalam-dalam dan menaburkan tanah ke rambut mereka. Ping
menyadari bahwa dia telah memperburuk situasi,
"Sang naga akan memberi hujan," kata Ping. "Tapi kalian harus berjanji dengan
sungguh-sungguh." Orang-orang itu berhenti meratap, mereka mengangkat wajah dan berkata akan
berjanji apa saja. "Kalian harus segera menanam di ladang," Ping berkata dengan nada tegas yang
biasa digunakannya untuk menggiring binatang-binatang masuk kandang di
Huangling. "Dan kalian harus berjanji takkan lagi memberi sesembahan manusia
kepadanya." "Tidak juga anak perempuan?" tanya seorang lakilaki.
"Tidak," jawab Ping tegas. "Dia lebih suka diberi persembahan burung layanglayang panggang." Penduduk desa membersihkan rambut mereka dari tanah. "Kalau kami mau berjanji,
sang naga akan menurunkan hujan musim semi?"
"Ya," jawab Ping, yang menganggap lebih baik mengucapkan satu kebohongan kecil
daripada membiarkan seisi desa kelaparan.
Sang tetua memerintahkan para penduduk desa mengambil cangkul dan bajak. Dia
memilih tiga pemuda untuk pergi berburu burung layang-layang.
Para petani berlari pergi untuk memenuhi permintaan sang naga.
Ping kembali kepada Danzi.
"Para petani sudah bekerja," kata Danzi. "Bagus. Ping bilang apa?"
Ping terdiam. Sepasang alis tebal naga itu mengernyit ketika dia menoleh pada
Ping. "Ping bilang apa?" ulang sang naga.
"Aku bilang, kalau mereka mau bekerja kembali di ladang dan tak lagi memberi
persembahan manusia, kau akan... menurunkan hujan."
Danzi memperdengarkan suara menggemuruh berat.
"Aku tidak tahu mesti berkata apa lagi," kata Ping. "Mereka membutuhkan hujan."
"Langit yang memutuskan apakah hujan musim semi akan turun."
Ping menatap naga itu. "Apa kau tidak bisa mencoba?"
"Naga bisa membujuk hujan turun dari awan. Tidak tahu apakah sayap yang rusak
sudah cukup sembuh untuk terbang ke sana," sahut sang naga.
Danzi merentangkan sayap kirinya. Bekas luka melintang di membran tipis sayap
itu telah terbuka di salah satu ujungnya.
"Kau pasti terluka waktu terbang untuk menyelamatkan aku semalam," Ping berkata
dengan perasaan bersalah. Sang naga melipat sayapnya kembali.
"Aku tidak menyadari kau mesti terbang untuk membuat hujan," ujar Ping. "Kupikir
kau hanya perlu me rapalkan mantra atau memperdengarkan suara-suaramu itu."
"Mesti terbang di atas awan," kata Danzi.
Ping mendongak ke langit. Hanya ada awan kelabu tipis, yang mengingatkan Ping
pada bantal empuk di setiap sudut balairung di Istana Huangling. Kelihatannya
hujan masih jauh sekali. "Lalu kau akan berbuat apa?"
"Meludahi mereka," sahut sang naga.
"Meludahi?" Sang naga mengangguk, seakan hal itu sudah biasa. "Air liur naga punya banyak
kegunaan." "Tapi kau kan tidak bisa terbang dengan sayapmu yang robek itu," kata Ping,
sembari menyesali kenapa tadi dia memberi janji kepada para petani. "Biar aku
jelaskan pada mereka."
Ping lari kembali ke tepi danau. Dia menjelaskan kepada para petani tentang
sayap sang naga yang luka.
"Kenapa sang naga tidak datang sendiri pada kami?" tanya sang tetua.
"Dia marah pada kita," kata salah satu bocah yang semalam menangkap Ping. "Dia
ingin persembahan lagi."
"Tidak, dia tidak mau itu," sergah Ping.
Para petani itu mulai mengepungnya. Wajah mereka kembali bengis. Ping bersiap
membela diri. Kemudian dia menyadari bahwa para petani itu tidak mendengarkan ucapannya.
Mereka memandang ke belakangnya. Ping berbalik. Wilayah pedesaan di sekitar
mereka datar, kecuali bukit tempat dia dan Danzi bermalam waktu itu. Para petani
menunjuknunjuk penuh semangat pada sosok kecil yang sedang susah payah mendaki
lereng bukit. Sosok itu Danzi.
Bagi naga, bagian yang paling sulit dalam proses terbang adalah lepas landas.
Membutuhkan banyak energi. Ping menebak bahwa kengerianlah yang lembuat Danzi
sanggup lepas landas di Huangling ketika dikejar si pemburu naga. Proses lepas
landas mereka yang kedua dari puncak gunung dulu itu dibantu oleh embusan angin
kencang. Ping tidak tahu bagaimana cara Danzi lepas landas untuk
menyelamatkannya semalam, tapi dia yakin otot-otot di sayap naga itu pasti sakit
setelah melakukan hal yang tidak biasa baginya. Dengan cemas dia menatap ke arah
naga yang masih jauh itu. Danzi kelihatan kecil dan rapuh. Dengan otot lelah dan
satu sayap robek, Ping khawatir Danzi takkan sanggup terbang tinggi.
Ping menahan napas ketika Danzi mulai lari menuruni lereng bukit. Aneh rasanya
bahwa dia harus lari turun bukit agar bisa terbang, tapi Ping tahu naga itu
sedang berusaha mengumpulkan cukup kecepatan. Dia sudah tiga perempat jalan dan
masih belum menunjukkan tandatanda lepas landas. Apa yang akan dilakukan para
petani kalau naga itu ambruk ke tanah" Kemudian, dengan kaki
tertekuk, naga itu merentangkan sayap dan melayang naik. Para petani bersoraksorak. Ping bernapas lega, namun matanya tetap menatap cemas ketika naga itu
perlahan naik ke udara. Dari jarak ini kedua sayapnya tampak serapuh sayap kupukupu. Salah satu awan empuk di atas sana tampak lebih kelabu dan lebih berat daripada
kedua awan lainnya. Sayap Danzi berkepak-kepak dengan susah payah. Perlahanlahan dia memutar ke arah awan itu.
Perlu waktu cukup lama hingga Danzi mencapai awan. Sosoknya tampak tidak lebih
besar daripada burung layang-layang. Kemudian dia menghilang di balik awan. Ping
ingin percaya bahwa dia sanggup menurunkan hujan, tapi kelihatannya itu tidak
mungkin. Wajah para petani yang mendongak tampak tersenyum, mereka melantunkan
doa kepada dewa naga penunggu danau. Mereka tidak ragu sedikit pun bahwa naga
itu akan memberikan hujan. Awan bergerak perlahan, bersikeras menolak melepaskan
air sedikit pun. Sekarang lebih banyak lagi awan. Ping mulai menggumamkan doa
juga, dialah yang telah membuat Danzi terpaksa terbang. Jangan sam pai Danzi
tawas karena kebodohanku. Akulah yang seha rusnya mendapatkan hukuman.
Senyum para petani mulai memudar. Seruan memuji yang mereka lontarkan mulai
mereda. Mereka saling menggerutu. Mereka telah membayangkan danau kembali
dipenuhi air. Mereka telah menyingkirkan kecemasan dan kekhawatiran, tapi
harapan itu kosong belaka. Mereka pun mencengkeram Ping.
"Kau tidak bakal bisa lolos lagi," teriak sang tetua seraya menghunus pedangnya
yang sudah karatan. Ping tidak berusaha mendebat. Barangkali ini sudah kehendak dewa. Kalau para
petani ini membunuhnya, mungkin Danzi bisa selamat. Tiba-tiba tampak sekelebat
cahaya di langit, disertai gemuruh guntur. Ping menengadah. Awan tampak lebih
gelap dan lebih berat. Semakin banyak awan mendatangi dari arah barat. Sekelebat
cahaya kilat, dan gemuruh guntur lagi. Kedengarannya seperti suara Danzi kalau
marah. Setetes demi setetes besar air meluncur ke pipi Ping. Gerutuan para
petani berhenti ketika tetesan air hujan menimpa wajah mereka yang menengadah.
Mereka melepaskan Ping, dan mulai tertawa serta ber teriak-teriak. Tak lama
kemudian hujan sudah turun dengan lebat. Para petani menari-nari dalam kubangan
air. Ping tidak mengalihkan mata dari langit. Di mana Danzi" Sekonyong-konyong Danzi
muncul dari balik awan. Sepasang sayap naga itu mengepakngepak cepat,
Kelihatannya kecil dan halus, terlalu lemah untuk mengangkat tubuhnya yang
berat. Dan dia mulai jatuh. Kedua sayapnya yang lemah tak sanggup mengepak lagi
melawan dorongan angin dari bawah. Danzi masih terus meluncur jatuh. Ping tak
tahan melihatnya, namun dia tak mau memalingkan muka. Dia harus tahu di mana
Danzi akan mendarat. Sang naga mencoba merentangkan
sayap lagi, tapi tak bisa. Kemudian dia menarik kaki-kakinya yang menggapaigapai itu sepanjang sisi-sisi tubuhnya dan mengarahkan kepalanya ke bawah. Dia
menekuk tubuhnya sehingga arah jatuhnya berbalik ke danau. Bukannya jatuh dan
mati di tanah, Danzi meluncur kepala lebih dulu ke dalam danau. Semburan air
yang lebih tinggi daripada bangunan tertinggi di Chang'an muncrat dari dalam
danau. Namun air danau itu dangkal. Ping bisa merasakan getaran dahsyat hingga
ke telapak sepatunya. "Sang naga telah kembali ke dasar danau," kata sang tetua. "Sekarang kita harus
merayakan turunnya hujan yang dihadiahkannya kepada kita."
Para petani itu melupakan Ping. Mereka meninggalkan danau dan kembali ke rumah
masing-masing sambil bernyanyi dan menari-nari dalam hujan.
Ping berdiri di pinggir danau, melongok putus asa ke dalam airnya yang gelap,
berharap melihat ada gerakan di sana. Namun tak ada yang mengganggu permukaan
air itu selain tetesan hujan. Hujan turun sangat deras. Awan tampak pekat. Saat
itu lebih seperti malam daripada siang. Tak ada gunanya dia masuk ke danau. Dia
tak bisa berenang. Ping berjalan memutari tepian danau, melongok ke
kedalamannya, namun tak bisa melihat apa-apa. Dia duduk di lumpur, badannya
gemetar hebat. Apa yang akan dia lakukan tanpa naga itu" Ke mana dia akan pergi"
Sejak dulu Ping selalu sendirian. Orang-orang
yang diingat dalam hidupnya hanyalah Lao Ma dan Lan yang jahat itu. Tapi mereka
bukanlah sahabat nya. Master Lan tak pernah menunjukkan sikap hangat sedikit
pun, dan meski Lao Ma cukup baik, tapi dia selalu menganggap Ping sebagai budak.
Di Huangling hanya ada satu hal yang diinginkannya, melebihi keinginannya
mendapatkan makan malam yang lebih banyak, tunik yang lebih hangat, atau barang
lainnya. Dia sangat ingin mempunyai sahabat sejati. Tak pernah terbayang olehnya
bahwa sahabat itu akan datang dalam wujud seekor naga. Di Huangling dia tidak
punya sahabat, tapi dia tidak kesepian. Sekarang dia telah punya sahabat lalu
kehilangan lagi, dia merasa kesepian. Sahabatnya selama ini adalah seekor naga
dan seekor tikus, dan kini keduanya sudah tak ada. Air matanya menggenang dan
bercampur dengan air hujan yang menetes di wajahnya.
Seharian Ping duduk di pinggir danau, memandangi permukaan air yang naik
perlahan-lahan. Di belakangnya, suara-suara gembira terdengar dari arah desa
nyanyian dan teriakan, sorak-sorai dan tawa. Pakaiannya basah kuyup, rambutnya
terjuntai lemas. Langit begitu gelap, dan Ping hampir-hampir tidak memerhatikan
kalau hari sudah malam. Akhirnya dia bangkit dan memutari danau, ke arah batu
karang tempat dia dan Danzi berlindung, Dia tersaruk-saruk di lumpur yang
lengket, dalam kegelapan yang kian pekat. Tiba-tiba dia tersandung dan jatuh ter
sungkur. Tadinya dia pikir telah tersandung kayu, tapi benda itu lebih lunak
dari kayu, meski sepertinya tertutup kulit pohon kelabu yang bersisik. Kemudian
disadarinya bahwa apa yang semula dikiranya ranting ternyata sepasang tanduk.
Dan benda itu sama sekali bukan kayu, melainkan tubuh seekor naga.
13 Sayap yang Luka Ping berlutut di tepi danau, dan meraba detak jantung Danzi di balik dada
bersisik naga itu. Tidak terasa ada detakan. Jantung Ping sendiri berdebar
kencang, seakan mencoba menghidupi dirinya dan naga itu. Dia meraba seputar
leher Danzi, hingga menemukan bagian lembut yang tidak bersisik. Danzi biasanya
suka sekali digaruk di bagian itu, sedikit di atas bagian yang sisiknya tumbuh
terbalik. Ping menekankan jarinya ke leher sang naga. Terasa ada denyut nadi.
Pelan dan lemah, tapi menandakan Danzi masih hidup.
Air yang mulai naik sudah menyapu ekor dan kaki belakang sang naga. Ping membawa
Danzi kembali ke tonjolan karang; di mana dia bisa menghangatkan dan memberi
naga itu makanan serta tanaman obat. Ping terpikir hendak meminta bantuan para
petani, tapi dia tak ingin mereka melihat naga itu dalam kondisi mengenaskan
begini. Terpaksa dia harus menyeret Danzi seorang diri ke sana.
Sejak bersama Danzi, Ping sudah berjalan kaki
ratusan //, tapi dia tahu setengah // yang bakal di tempuhnya ini akan menjadi
perjalanan yang terberat. Tanah yang basah terasa lembek dan berlumpur. Dengan
sebatang cabang pohon Ping menghaluskan jalan setapak yang mengarah ke tempat
mereka bermalam, menyingkirkan bebatuan, dan mencabuti rerumputan. Kemudian,
dengan meng gunakan cabang pohon yang sama itu, dia menggulingkan Danzi agar
telentang. Itu saja sudah membuat napasnya tersengal-sengal. Dipegangnya bagian
bawah kaki-kaki depan naga itu, lalu ditariknya. Tapi tubuh Danzi sudah melesak
ke dalam lumpur. Ping tak bisa memindahkannya. Dia mendorong dan menarik,
menyentak dan menyeret, bahkan sampai terjungkal di lumpur yang licin. Hujan
lebat masih terus turun. Permukaan air danau terus naik dengan cepat. Air sudah
menutupi separuh tubuh Danzi. Ping memejamkan mata dan teringat pada Master Lan,
pada tahuntahun penuh caci maki dan biru-lebam akibat terkena lemparan. Kalau
bukan karena Danzi, hidupnya akan terus seperti itu. Maka Ping memusatkan
pikiran, untuk mengumpulkan setiap shu energi dari setiap bagian tubuhnya.
Kemudian dipegangnya naga itu erat-erat dan kembali ditariknya. Terdengar bunyi
mengisap ketika tubuh naga itu terbebas dari jebakan lumpur yang menahannya.
Ping baru berhasil memindahkan naga itu sekitar lima senti, tapi itu sudah
membantu membangkitkan semangatnya. Kalau dia bisa memindahkan Danzi lima senti,
berarti dia bisa menambahnya lima senti
lagi. Maka ditariknya lagi naga itu. Tubuh sang naga berhasil diseret naik ke
lereng curam dari tepi air. Ping tidak berani berhenti untuk beristirahat, takut
kalau-kalau dia meluncur turun lagi dan segala usahanya sia-sia. Tidak lama


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian kedua lengan Ping pegal dan kepalanya pening karena kelelahan, namun
Ping tetap melanjutkan usahanya. Akhirnya dia berhasil mencapai puncak tanjakan.
Ditariknya naga itu ke tanah datar lalu dia beristirahat. Jalur selanjutnya
lebih datar. Hujan telah membuat jalur itu menjadi sangat licin dan berbahaya,
tapi Ping bisa mendorong naga itu dengan lebih mudah. Akhirnya dia berhasil
mencapai tempat persembunyian mereka, dan diseretnya naga yang tidak sadar itu
dari siraman hujan. Meski ingin sekali mengempaskan berbaring, Ping tahu dia tak boleh berbuat
begitu. Dinyala kannya lagi api unggun dan ditempatkannya Danzi di dekat api.
Api tampak berasap karena kayu yang agak basah. Se mentara menunggu api menyala
lebih besar, Ping membuat semacam tirai dari ranting di salah satu sisi tonjolan
karang, supaya air hujan tidak masuk ke dalam tempat perlindungan mereka. Dia
menumpuk lebih banyak kayu di dekat api, supaya kering, dan sedapat mungkin
diusahakannya agar Danzi nyaman berbaring di tanah yang keras. Api akhirnya
tidak berasap lagi dan mulai berkobar. Ping membuat ramuan untuk Danzi, dengan
sisa terakhir tanaman obat pemberian Wang Cao. Kemudian dia menjerang air di
panci. Danzi tentunya perlu makan, dan bukan hanya bubur
gandum dan sayuran liar. Maka dia kembali menyusuri jalan setapak licin menuju
danau. Daging untuk persembahan masih ada dalam kuali di dalam kuil. Ping tanpa
malu-malu mengambil daging itu. Daging itu dipersembahkan untuk naga penunggu
danau. Danzi telah memenuhi keinginan para petani, dengan mempertaruhkan
nyawanya. Siapa lagi yang lebih berhak mengambil daging itu daripada Danzi" Ping
juga mengambil keempat butir jeruk sesembahan.
Setelah ramuan itu siap, Ping memaksa meminumkan sedikit cairan berwarna cokelat
gelap itu di antara gigi Danzi. Naga itu tak menunjukkan tandatanda kesembuhan.
Ping memakan sedikit daging dan jeruk, kemudian menambahkan abu ke api dan
membaringkan badan di sampingnya.
Ping tidur lebih lama daripada yang dia rencanakan. Sudah lewat fajar ketika dia
terjaga. Dengan cemas dia memandangi Danzi. Kedua kelopak mata Danzi bergerak.
Rasa lega membanjiri Ping seperti air dari mata air panas. Naga itu masih hidup.
Api unggun sudah padam, tapi Ping bisa menyalakannya kembali dengan meniup
baranya dan menambahkan kayu kering. Bagian depan pakaiannya sudah kering di
tempat dia berbaring menghadap ke api, tapi bagian belakangnya masih lembap.
Hujan sudah reda. Ping pun menghangatkan ramuan obatnya dan berhasil membujuk
Danzi untuk menelannya beberapa teguk.
Kemudian Ping makan lebih banyak dan membuat teh untuk dirinya sendiri. Teh itu
membantu memulihkan kesegarannya.
Terdengar olehnya bunyi denting samar seperti logam. "Ping berhasil." Suara itu
adalah musik paling indah yang pernah didengarnya.
"Senang sekali mendengar suaramu lagi, Danzi," Ping berkata seraya tersenyum.
Kembali telinganya menangkap suara samar. Bukan denting merdu sang naga,
melainkan suara mencicit pelan dan suara menggaruk. Ping melihat ke bawah dan
melihat seekor tikus yang tampak lusuh sedang berjuang memanjat lipatan bajunya.
"Hua!" Kehangatan yang memancar dari api unggun membuat tikus itu beruap. Ping tertawa
terbahak-bahak. Danzi memperdengarkan suara seperti lonceng yang berdentingdenting. Kedua lengan Ping pegal, bajunya lembap, tapi saat itu dia merasa telah
memiliki segala yang diinginkannya. Tapi kebahagiaannya meredup ketika sang naga
merentangkan sayapnya dan Ping melihat luka akibat terbang tinggi. Kulit
sayapnya yang tipis itu terkoyak.
"Danzi," serunya. "Lihat sayapmu. Barangkali bisa kubebat dengan kain. Aku akan
ambil salep awan merah itu dulu."
"Tidak!" sergah sang naga ketika Ping hendak mengambil tas. "Mesti sisakan salep
untuk batu." "Batunya sudah tidak ada. Kau tidak ingat?"
"Tentu saja ingat," sahut naga itu.
"Kau tidak berniat kembali ke sana untuk mengambilnya lagi, kan?" "Tidak."
Ping tidak terlalu percaya dengan ucapan Danzi. "Kita harus mengobati sayapmu,
kalau tidak kau takkan bisa terbang lagi, Ayolah, izinkan aku mengoleskan
sedikit salep pada lukamu."
Tapi naga itu menggelengkan kepala dengan tegas. Dia memandangi sayapnya yang
luka. "Rusaknya terlalu parah," katanya. "Tidak bisa sembuh dengan salep. Ping
mesti jahit." "Dijahit?" kata Ping.
"Kalau dijahit, sayap akan sembuh."
Ketika membeli benang dan jarum di pasar, tak pernah terbayangkan dia akan
menggunakan perangkat itu untuk tujuan seperti ini. Maka dia pun menyiap kan
benang sutra merah dan jarum, dan mulai menjahit koyakan pada sayap Danzi.
"Sakitkah?" tanyanya seraya menjengit ketika menarik benang pada membran sayap
itu. "Tidak sakit." Setelah Ping selesai menjahit, Danzi merentangkan sayapnya lagi. Mau tak mau
Ping tersenyum. "Kelihatannya seperti selimut tambal," katanya.
14 Perjalanan Cepat Mjrau benarbenar menurunkan hujan, Danzi," iVkata Ping. Hujan turun lagi. Ping
duduk bersama tikusnya dan sang naga di bawah tonjolan karang, seraya minum teh
dan memandangi lanskap yang basah serta danau yang airnya naik dengan cepat,
menikmati kesenangan sederhana yang diberikan oleh rasa hangat, pakaian yang
kering, dan perut kenyang.
Setelah dua hari, awan menyingkir dan hujan pun berhenti. Danzi bangkit berdiri
dan melangkah ke sebuah titik yang memungkinkan dia melihat para petani yang
sedang sibuk di ladang. Seorang petani sedang menarik bajak, yang lainnya sedang
menanam benih. Ping mendengar denting merdu sang naga yang seperti bunyi genta
angin. "Waktunya melanjutkan perjalanan," Danzi mengumumkan.
Danzi tidak menyebut lagi tentang batu naga.
Sepertinya dia sudah lupa tentang batu itu. Ping sedih karena dia takkan melihat
batu itu lagi, tapi setidaknya mereka akan berjalan ke arah Samudra.
Setelah seperempat hari berjalan, Ping terheran-heran ketika Danzi tiba-tiba
berbelok dari jalur ke arah timur dan mulai melangkah ke utara.
"Arahnya ke sini, kan?" tanya Ping. "Samudranya ada di sebelah timur."
"Jalan yang lurus kadang-kadang mesti dibelokkan," sahut sang naga.
Kemudian naga itu melangkah perlahan, seakan setiap langkahnya membutuhkan
konsentrasi penuh. Dia bahkan semakin sedikit bicara. Penerbangan terakhirnya
yang membawa bencana, dan per singgungannya dengan besi telah membuatnya lemah.
Ping harus menunggu sampai mereka berhenti untuk makan siang sebelum Danzi
menjelaskan alasan dia mengubah rute perjalanan.
"Mesti pergi ke Sungai Kuning," katanya pada Ping. "Pergi naik perahu."
Ini malah lebih mengejutkan lagi, Sebelumnya naga itu enggan membelanjakan uang
pemberian Wang Cao. Ping sampai terpaksa mendebatnya lama agar diperbolehkan
membelanja kan sekeping uang tembaga untuk membeli makanan.
"Tidak bisa terbang selama berminggu-minggu," Danzi menjelaskan. "Mesti tiba di
Samudra sebelum musim panas berakhir."
Sebelumnya sang naga tidak pernah menyebut bahwa waktu mereka terbatas, dan
meski Ping menanyainya, dia tidak mau menjelaskan alasannya.
Kedua kaki Ping sudah kapalan karena terlalu banyak berjalan. Kalau bepergian
lewat sungai berarti dia tidak perlu berjalan, dengan senang hati dia akan
mengikuti rencana baru Danzi.
Setibanya mereka di Sungai Kuning, Ping hanya bisa melongo. Mereka telah
melewati sungai-sungai kecil. Mereka telah pula berjalan kaki di sisi kanalkanal. Mereka bahkan pernah menyeberangi sungai besar, namun semua itu tidak ada
apa-apanya dibandingkan sungai berarus deras yang ada di hadapan mereka ini.
Sungai Kuning ini begitu lebar, sampaisampai Ping harus menajamkan mata untuk
melihat ke seberangnya. Arus sungai itu begitu deras sehingga Ping tidak bisa
membayangkan bagaimana tukang perahu mengendalikan perahu supaya tidak terbalik.
Hal lain yang mengejutkan tentang sungai itu adalah airnya benarbenar kuning,
atau setidaknya berwarna cokelat pasir.
"Tanah kuning dari negeri jauh hanyut masuk ke dalam sungai," Danzi menjelaskan.
"Mengalir terus sampai ke Samudra."
Mereka berada di pinggiran sebuah kota yang sibuk, yang sepertinya didirikan
sekadar untuk menjadi pelabuhan, tempat perahu ditambatkan untuk mengambil atau
mengantar muatan dalam jumlah besar. Ketika semakin mendekat ke gudang-gudang
yang penuh orang, Danzi menjelaskan apa yang harus Ping lakukan. Ping harus
menemukan perahu kecil yang hendak berlayar, bukan hanya ke kota berikutnya, tapi sejauh mungkin
ke arah timur. Ke mudian dia harus menawarkan uang secukupnya pada si tukang
perahu agar bersedia menyewakan tempat tinggalnya di perahu pada mereka selama
perjalanan. Ping mengatakan bahwa mereka butuh tempat itu karena kakeknya sedang
sakit. Gudang-gudang itu berupa bangunan kokoh dari batu, tempat bongkar-muat barang.
Gunung karung dan peti kemas berisi ayam ditumpuk di mana-mana. Gerobak, kuda
beban, dan kursi tandu membuat orang sulit mencari jalan di sela-selanya. Ada
undakan yang mengarah ke tepi air, di mana setidaknya empat kali sepuluh perahu
ditambatkan. Beberapa di antaranya perahu besar yang dipenuhi penumpang. Perahuperahu yang lebih kecil sarat oleh muatan berupa tumpukan karung gandum, sayur,
atau gulungan kain sutra. Perahu-perahu itu, besar maupun kecil, modelnya sama.
Semuanya dibuat dari papan yang tebal, dengan geladak agak melandai naik di
kedua ujungnya, sehingga bagian buritan dan haluannya berada tinggi di atas air.
Geladak perahu yang lebih besar diberi atap untuk melindungi penumpang dari
angin dan hujan. Perahu-perahu barang dilengkapi kabin kecil untuk tempat
tinggal para tukang perahu, namun bagian selebihnya disediakan untuk barang
muatan. Perahu besar dijalankan oleh beberapa pendayung, sedangkan perahu yang
lebih kecil hanya ditangani oleh dua tukang perahu.
Ping meninggalkan Danzi di belakang tumpukan
karung gandum agar dia bisa beristirahat dalam wujudnya sebagai naga, tanpa
terlihat orang. Seekor kucing besar berwarna kuning, bermata satu, datang dan
duduk di samping Danzi. "Nah," kata Ping. "Kau punya teman sementara aku pergi mencari perahu."
Ping berkeliling dari perahu ke perahu, mencoba mencari perahu yang mempunyai
ruang untuk penumpang. Para tukang perahu memandangnya curiga dan tak bersedia
menyewakan tempat tinggal mereka. Mereka semua menyuruhnya mendatangi perahu
penumpang. Maka dia kembali ke tempat Danzi.
"Aku lebih suka berjalan kaki," katanya. "Masa bodoh kalaupun kakiku lecet dan
pegal-pegal. Tidak bisakah kita berjalan kaki saja?"
"Apa yang Ping takutkan?" tanya naga itu.
"Tenggelam." "Para tukang perahu sangat terampil. Tak banyak orang tenggelam di sungai."
Ping tidak peduli kalaupun benar hanya sedikit orang yang tenggelam. Dia tidak
ingin menjadi salah satu dari mereka.
"Tinggal satu perahu yang belum kudatangi, yang paling ujung."
Ping menunjuk perahu yang ditambatkan agak jauh dari perahu lainnya. Di
geladaknya tidak terlalu banyak tumpukan karung dan peti kemas.
"Kelihatannya ada banyak ruang kosong di situ."
"Tukang perahunya pasti tidak jujur atau tidak ramah," kata Danzi. "Kemungkinan
tidak trampil." Tapi Ping menyukai tampak luar perahu itu. Kelihatannya perahu itu dirawat
dengan baik. Karung bawang dan buah melon ditumpuk rapi, dan tambang-tambang,
layar, serta galah disusun rapi di geladak. Juga ada kesan tertentu yang
disukainya pada si tukang perahu. Sementara tukang perahu lainnya bersantaisantai dalam kelompok yang berisik, saling bercerita tentang perjalanan mereka,
tukang perahu yang satu ini sibuk menyapu geladak. Maka, tanpa mengacuhkan suara
pelan bernada cemas dari Danzi, Ping menghampiri perahu itu.
"Aku ingin tanya tentang perjalanan ke timur," kata Ping.
Si tukang perahu berbalik dan mendatangi Ping. Tiba-tiba Ping menyadari, kenapa
dia tertarik pada tukang perahu yang satu ini. Ternyata tukang perahu itu perem
puan. Rambutnya dijalin menjadi kepang asal saja. Wajahnya gelap dan berguratgurat karena sudah bertahun-tahun hidup di sungai.
"Aku tidak membawa penumpang," sahut si tukang perahu.
"Kami takkan menyusahkanmu," sahut Ping,
Perempuan tukang perahu itu mengenakan celana panjang dari bahan rami dan tunik
yang modelnya seperti pakaian lakilaki. Dia juga memakai sepatu bot tahan air.
Telapak tangannya kasar dan kapalan karena terus mendayung dan mengendalikan
perahu di arus deras. Si kucing kuning bermata satu melenggang di papan dan
mengosok-gosokkan badannya di kaki perempuan itu.
"Baiklah," katanya. "Aku tidak keberatan ditemani."
"Apakah ini kucingmu?" tanya Ping.
Perempuan itu mengangguk. Ekspresinya yang keras lenyap ketika Ping membelai
kucing itu. Ping membuat kesepakatan dengan si tukang perahu, lalu balik
menjemput Danzi. "Dengan tambahan beberapa keping uang, tukang perahu itu bersedia memasak untuk
kita," Ping melapor. Kini, setelah yakin perjalanannya akan menguntungkan, meski
bawaannya sedikit, si tukang perahu tak sabar ingin segera berangkat.
"Tidak bisakah kita tunggu sampai pagi?" Tanya Ping, yang tidak terlalu antusias
dengan perjalanan lewat sungai.
"Kalau berangkat sekarang, aku menghemat sewa tambat perahu semalam," kata si
tukang perahu. Tak ada alasan lagi untuk menunda keberang-katan. Ping menuntun Danzi ke kabin.
Si tukang perahu melepaskan tambatan perahu lalu mendorongnya. Dengan galah dia
mengendalikan perahu hingga menjauh dari pelabuhan itu, sampai arus deras
menyambut perahu dan menariknya ke tengah sungai. Ping berpegangan erat.
Sepasang mata si tukang perahu ber binar-binar, lalu lenyap dalam lipatan kerutmerut ceria saat dia tertawa melihat Ping yang tampak tegang,
"Kau rupanya belum pernah berlayar, ya," katanya. "Jangan khawatir, aku belum
pernah kehilangan sebutir bawang pun di sungai ini."
Perahu itu meluncur di air dengan kecepatan mendebarkan. Tadi, ketika masih
ditambatkan di der maga, perahu itu kelihatannya cukup kokoh, tapi se karang
arus air mempermainkannya seperti mainan. Kedua tebing sungai yang lebar itu
menanjak berupa karang terjal, tapi kelihatannya sangat jauh. Tonjolantonjolan
karang muncul dari dalam air, dan Ping takut perahu akan menabraknya. Si tukang
perahu, yang mendayung seorang diri, mesti bekerja keras, tapi dengan penuh
keyakinan dia mengarahkan perahu mengitari tonjolan-tonjolan karang. Dua pulau
besar muncul di hadapan mereka, membagi sungai besar itu menjadi tiga selat
sempit. "Itu Tiga Gerbang," kata si tukang perahu. "Selat pertama adalah Gerbang
Manusia, selat yang tengah adalah Gerbang Dewa, dan yang kiri adalah Gerbang
Naga. Kita mau lewat yang mana?"
Ping sudah pucat pasi. "Aku tidak tahu apa-apa tentang berlayar, Kenapa bukan
kau saja yang memilih?" Kenapa semua orang mengharapkan dia yang mengambil
keputusan" "Aku jarang mendapat teman berlayar. Aku minta kau saja yang memutuskan."
Ping memandangi ketiga selat itu. "Gerbang Naga saja."
"Pilihan bagus," sahut si tukang perahu. "Selat itu lebih panjang, sebab meliuk
memutari pulau yang paling besar, tapi di situ arusnya lebih tenang, jadi lebih
mudah dilewati." "Selat yang dua lagi seperti apa?"
"Gerbang Manusia arusnya paling lambat. Kelihatannya jalur yang mudah, tapi ada
bahaya tersembunyi di situ, sebab banyak karang yang setengah tersembunyi di
dalamnya. Gerbang Dewa merupakan jalur paling pendek dan paling lurus, tapi
arusnya berbahaya. Pilihanmu sudah bagus."
Si tukang perahu mengarahkan perahu ke selat sebelah kiri. Embusan angin mereda.
Arus air menjadi pelan, dan kecepatan perahu berkurang. Karangkarang terjal
menutupi matahari siang. Ping merasa lebih aman melihat tebing sungai yang
berada lebih dekat. Dia memerhatikan lubang-lubang yang diukir pada karang; kata
si tukang perahu, itu adalah gua tempat tinggal orang miskin. Beberapa penghuni
gua sedang berjalan di jalan setapak berba haya yang dibuat di pinggir karang.
Mereka melambai ketika perahu itu lewat. Dalam lekukan terlindung selat,
karangkarang itu digantikan dengan perbukitan berumput serta gerumbulan bambu.
Kemu dian karangkarang kembali menjulang. Perahu memutar melewati pantai utara
pulau, dan arus deras sungai kembali menarik mereka. Dan Ping merasa mual.
Nama tukang perahu itu Jiang Bing. Panjang perahunya sekitar dua kali sepuluh
langkah dan geladaknya melandai naik di kedua ujungnya, seperti perahu lainnya.
Di buritannya ada layar besar yang digunakan si tukang perahu untuk
mengendalikan perahunya. Di bagian tengah geladak adalah kabin si tukang perahu.
Kabin itu tak lebih dari gubuk kayu dengan atap dari anyaman bambu. Di dalamnya
ada kasur jerami. Sederhana
sekali, tapi sudah cukup memberikan privasi bagi Danzi untuk menghabiskan hariharinya dalam wujud naga. Sisi-sisi perahu itu hanya tiga puluh senti lebih
tinggi daripada geladak. Ping yakin sekali dia bakal jatuh ke dalam sungai. Di


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar kabin hanya ada pagar pendek. Di situlah Ping duduk, berpegangan erat-erat
pada pinggirannya. Si tukang perahu tak perlu mendayung. Arus air sungai sangat deras, jadi dia
tinggal berdiri saja di buritan dan mengemudi dengan layar. Perahu itu terangkat
dan terempas dalam derasnya arus sungai. Ping mencoba membayangkan kerja keras
yang harus dilakukan Jiang Bing untuk mendayung melawan arus.
Danzi sudah mengatakan kepada Ping bahwa perjalanan sehari dengan perahu
sebanding empat hari berjalan kaki. Ping senang perjalanan mereka berlangsung
sangat cepat sekarang, tapi dia juga menjadi tidak tenang. Rasanya tidak wajar
bahwa mereka tidak berbuat apa-apa selain duduk di atas karung bawang. Ping
memandangi air sungai yang kuning bergolak. Derasnya arus air membuatnya takut.
Dia telah merasakan kekuatan air ketika dilempar ke dalam air danau yang tenang.
Kalau sampai dia jatuh, air sungai itu akan menyedotnya ke kedalamannya yang
berlumpur, dan Danzi sekali pun takkan sanggup me nyelamatkannya. Ping
memandangi Jiang Bing yang duduk di buritan, memegangi layar erat-erat sambil
mengamati bentangan air di depan. Ping yakin mereka berada di tangan yang cakap.
Si kucing duduk di atas keranjang, memandangi Ping dengan satu matanya yang
kuning. Mata satunya lagi hanya ada bekas luka. Kucing itu sepertinya tidak
pernah mengedipkan mata, Membuat Ping merasa tidak nyaman.
"Biasanya dia tidak terlalu tertarik pada manusia," ujar si tukang perahu.
"Entah apa yang membuatnya begitu berminat kepadamu."
"Aku tahu," sahut Ping. Dengan hatihati ditariknya Hua keluar dari dalam
bajunya. Si kucing menunduk, siap-siap menerkam. Hua menatap kucing itu dan meronta
dengan panik, mencoba kabur. Cepat-cepat Ping masukkan kembali tikus itu ke
dalam lipatan bajunya. Jiang Bing tertawa. "Sekarang aku mengerti."
Setelah matahari menghilang di bawah cakrawala, si tukang perahu mengarahkan
perahu ke tepian. Di sana ada selat sempit yang arusnya tidak deras. Dia
melemparkan jangkar kecil, kemudian mulai menyiapkan makan malam. Ping
menyalakan api berbahan bakar arang di piringan logam berkaki yang biasa
digunakan Jiang Bing untuk memasak. Si tukang perahu menyiangi ikan yang telah
ditangkapnya tadi, untuk membuat ikan kukus.
Setelah makan, Ping mencuci mangkuk serta sumpit di bagian yang airnya dangkal.
Kemudian, setelah memastikan Danzi sudah nyaman, dia me nyiap kan tempat tidur
untuk dirinya di antara karung kol dan peti kemas berisi melon. Geladak
bergoyang-goyang ketika perahu menarik-narik jangkar yang menahannya, seperti
tak sabar ingin bergerak lagi. Langit kelam bertabur bintang terbentang di atas sana, Ping dapat
melihat rasi bintang Naga Biru Langit yang telah diberitahu Danzi. Setiap malam
bulan bergerak melintasi langit, mulai dari bagian tanduk sang naga ke bagian
ekornya. Saat ini bulan baru mencapai tanduk, tapi Ping sudah sangat lelah, dan
dia tahu dia akan tertidur sebelum bulan mencapai bagian leher sang naga.
Keesokan paginya, tidak lama setelah fajar, mereka kembali melintasi sungai.
Ping masih cemas melihat kuatnya arus air menggerakkan perahu, seakan perahu itu
hanyalah sepotong ranting yang terapung-apung. Dicobanya untuk tidak memandangi
air, tapi karangkarang gersang di kejauhan sana, yang menjadi pembatas sungai
itu, tak dapat mengalihkan perhatiannya.
Berhubung tidak ada pemandangan untuk dinikmati, Ping memutuskan akan mengobrol
saja dengan Jiang Bing, supaya pikirannya teralihkan dari sungai deras itu.
Dengan hatihati dia mencari jalan ke buritan perahu, sambil berpegangan pada
peti dan kotak, kemudian menyelinap di antara beberapa karung.
Ping menanyakan asal-usul si tukang perahu. Jiang Bing berkata bahwa dia berasal
dari bagian kekaisaran yang lebih jauh lagi daripada Huangling.
"Aku pernah menikah dengan orang yang jauh
lebih tua dariku," katanya pada Ping. "Orangtuaku memilihnya karena dia punya
sepuluh mou lahan subur dan membayar maskawin yang cukup besar."
"Apakah dia jahat padamu?" tanya Ping.
"Tidak. Dia orang yang baik, tapi dia meninggal tak lama setelah kami menikah.
Tanah kami jatuh ke tangan saudara lelakinya, dan aku diharapkan menghabiskan
sisa hidupku dengan mengabdi pada ibu mertuaku."
"Lalu apa yang kau lakukan?"
"Umurku baru enam belas waktu itu. Maka aku kabur."
"Bagaimana kau bisa bertahan hidup sendirian?" tanya Ping.
"Mulanya sulit," sahut si tukang perahu. "Aku be kerja di mana saja. Setelah
bertahun-tahun, aku berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membeli perahu ini.
Tukang perahu lakilaki tidak ramah. Para pedagang tidak percaya pada perempuan
yang tidak punya keluarga dan hanya ditemani seekor kucing kuning. Mereka lebih
suka mengirim barang pada perahu yang dijalankan oleh lakilaki, jadi aku susah
sekali mencari nafkah, tapi aku bahagia."
Ping tahu mestinya saat ini dia duduk menunggui Danzi, tapi dia senang sekali
mengobrol bersama Jiang Bing.
"Kau sendiri bagaimana?" tanya si tukang perahu. "Apa sebabnya kau bepergian
bersama kakekmu?" Ping sudah tahu, kalau dia banyak bertanya, dia pun akan ditanyai. Danzi sudah
memperingatkannya agar tidak banyak bicara, tapi Ping tidak ingin berbohong pada Jiang Bing.
"Dia bukan kakekku," sahutnya pelan, supaya sang naga tak mendengarnya.
"Keluargaku menjualku sebagai budak waktu aku kecil," katanya. "Aku bekerja pada
majikan yang kejam. Belum lama ini Lakilaki tua itu menolongku kabur. Sebagai
balasan, aku bersedia menemaninya dalam perjalanan ini."
Jiang Bing mengangguk dan tersenyum sedih. Ping merasa belum pernah ada orang
yang bisa memahami kehidupannya sebaik perempuan ini.
"Kau dan orang tua itu akan ke mana?"
"Ke Samudra," sahut Ping. "Dia ingin melihat Samudra sebelum dia meninggal."
Ping mengamati reaksi si tukang perahu.
"Konon sungai ini mengalir sampai ke Samudra," katanya.
Ping menjadi lebih rileks, dan dia mulai memercayai keterampilan Jiang Bing.
Udara malam cukup hangat, maka dia pun membuka sepatu dan kaus kaki. Mungkin
bagian terburuk dalam perjalanan ini sudah selesai. Mungkin dia tak perlu
berjalan kaki lagi hingga Samudra. Mungkin dia bisa duduk saja di perahu ini
selama satu-dua minggu, dan Samudralah yang akan mendatanginya.
15 Dalam BayangBayang Gunung Api
O etelah lima hari berlayar, Ping mulai ter biasa ^ dengan gerakan perahu yang
bergoyang-goyang. Dia tidak lagi takut akan jatuh ke air, dan dia sudah bisa
bergerak dengan penuh percaya diri di atas perahu, membantu si tukang perahu
sebisanya. Dengan cepat dia menyukai kehidupan di sungai yang iramanya terasa
menenangkan. Selalu ada yang bisa dikerjakan, dan ada ikan untuk ditangkap, tapi
setiap hari dia masih punya waktu luang untuk menikmati pemandangan yang selalu
berubah. Karangkarang gersang lambat laun berganti dengan pemandangan perbukitan yang
lebih lembut, kemudian digantikan oleh bentangan tanah datar yang subur. Desa
dan ladang terlewat sudah. Pemandangan kehidupan pedesaan para petani yang
membajak di ladang, kaum wanita yang mencuci pakaian di pinggir sungai seakan
semua itu adalah lukisan, bukan pemandangan sebenarnya. Kebun mulberry tumbuh
rapat di tepian sungai. Jiang Bing tahu segala tentang sungai itu dan
tebing-tebingnya. "Pohon mulberry ditanam bukan sekadar untuk diambil buahnya yang manis," katanya
kepada Ping. "Mereka ditanam untuk diambil daunnya juga, sebab daun itu makanan
favorit ulat sutra. Sebagai ganti daun mulberry yang mereka makan, makhlukmakhluk kecil itu memintal benang sutra."
"Dunia ini penuh keajaiban," kata Ping.
Mereka melewati perbukitan bertingkat-tingkat yang kelihatan seperti diukir
menjadi anak tangga raksasa, seakan seorang raksasa yang sedang lewat telah
membuat undakan dengan pisau raksasanya di lereng bukit agar lebih mudah
dipanjat. Jiang Bing tertawa ketika Ping mengatakan itu.
"Tingkat-tingkat itu bukan dipahat oleh raksasa," katanya. "Para petanilah yang
menggali tanah datar ini dengan cangkul agar mereka bisa menanam sayuran dan
gandum di lereng bukit." Saat tengah hari, si tukang perahu menambatkan perahu
seperti biasa, sementara mereka makan siang. Menunya selalu sama ikan dan
bawang, dicampur sedikit jahe dan daun obat kesukaan Jiang Bing.
Satu-satunya yang tidak disukai Ping dalam perjalanan lewat sungai itu adalah si
kucing. Kucing kuning itu selalu menatap dengan satu mata kuningnya yang tak
pernah berkedip. Hua yang malang hanya bisa keluar sebentar setiap harinya, dan
berjalan di seputar geladak dengan diawasi Ping.
Sulit ditebak usia Jiang Bing, tapi Ping menduga perempuan itu seumuran ibunya.
Dia mem bayangkan seperti apa rasanya hidup dan bekerja di sungai
dengan ditemani perempuan ini. Dia membayangkan hidupnya pasti akan senang.
Barangkali setelah Danzi mencapai Samudra, dia bisa kembali kemari. Suara
mendesis dan meludah membangunkan Ping dari khayalannya. Hua berlari melintasi
geladak, diikuti si kucing. Si tikus memanjat naik ke baju Ping, tak sengaja
mencakar karena tergesa-gesa. Si kucing melotot marah pada Ping.
Danzi cukup puas terkantuk-kantuk di kabinnya hampir sepanjang siang. Ping
senang naga itu tidak lagi berniat menemukan batu naganya. Ping tahu seharusnya
dia menghabiskan lebih banyak waktu bersama naga tua itu, tapi dia lebih suka
berada di geladak, mendengarkan cerita Jiang Bing tentang kehidupan di Sungai
Kuning. Akan bagus bagi Danzi kalau dia bisa banyak beristirahat tanpa diganggu,
kata Ping pada dirinya sendiri. Itu berarti seluruh chi bisa difokuskan untuk
menyembuhkan sayapnya. Setelah makan siang, Ping sedang menyeduh teh untuk Jiang Bing. Sisa daun teh
dari Wang Cao tinggal sedikit, tapi Ping dengan senang hati membaginya dengan si
tukang perahu. "Kita akan menambatkan perahu di kota berikutnya," kata Jiang Bing seraya
menyesap tehnya. Ping memandang ke hilir sungai. Di cakrawala tampak noktah gelap samar-samar.
Dia merin ding, meski udara hangat oleh matahari musim semi.
"Itukah kotanya?" Ping bertanya. Dia menyipit-kan mata, tapi tak bisa melihat
detail apa pun. Jiang Bing mengangguk.
"Apa namanya?" tanya Ping, meski sekonyong-konyong dia merasa tak ingin tahu.
"Wucheng." Bayangan Ping tentang berlayar sampai ke Samudra seketika lenyap seperti
gelembung yang pecah. Dia merinding ketika teringat cerita Danzi tentang
Wucheng, tempat berkumpulnya para penyi hir yang mencari jantung naga.
"Haruskah kita berhenti di sana?" tanyanya. "Ada muatan yang mesti kuturunkan,"
sahut Jiang Bing. "Kalau kau tidak berhenti di situ, kami akan membayar ekstra untuk menggantikan
kerugianmu karena tidak menurunkan muatanmu," desak Ping. Jiang Bing tampak
heran dengan kecemasan Ping. "Cuma sebentar."
Danzi muncul di samping Ping, dalam wujud orang tua. Setelah beberapa hari, baru
kali itulah dia naik ke geladak.
"Danzi," kata Ping. "Itu Wucheng."
Si lakilaki tua menatap ke depan sana tanpa tandatanda terkejut sedikit pun.
"Kau sudah tahu kita akan lewat sini?"
Danzi mengangguk. Ping ingin bertanya lebih lanjut, tapi tak bisa, sebab Jiang
Bing pasti akan mendengar juga.
Sementara arus sungai membawa mereka makin dekat, noktah hitam itu mulai
mengambil wujud seperti gunung, namun masih tetap samar-samar. Segaris tipis
asap mengepul dari puncaknya. Namun asap itu tidak melayang naik, melainkan
jatuh perlahan dan melingkari lereng gunung itu dalam selubung kabut kelabu.
"Itu gunung berapi," Jiang Bing menjelaskan. "Ada lubang di puncaknya, yang
mengarah ke kawah api jauh di bawah tanah."
Ping memandangi gunung yang semakin besar itu tatkala jarak mereka makin dekat.
Lereng-lerengnya tertutup batu kecil kelabu, kecuali bagian yang tampak seperti
sungai berisi cairan gelap yang telah membeku dan mengalir turun di salah satu
sisi gunung. "Bagian dalam gunung api begitu panas, sampaisampai bebatuan pun meleleh," kata
Jiang Bing. "Lama berselang, lelehan karang itu meletup keluar, begitulah kata
orang. Warnanya merah membara dan cairan itu mengalir menuruni lereng, memenuhi
setengah kota. Kemudian cairan itu mendingin, kembali menjadi batu, dan sisa
kota selebihnya selamat."
Wucheng adalah tempat terjelek yang pernah dilihat Ping. Tidak ada tumbuhan apa
pun di gunung. Padahal di Huangling yang gersang pun masih ada beberapa tanaman
melon dan widuri. Di gunung berapi ini tak ada apa-apa, bahkan sehelai rumput.
Kota itu dikelilingi tembok tinggi dari pecahan batu yang ditambang dari
perbukitan. Wu cheng tampak seperti kota yang menyimpan banyak rahasia. Kota itu
tersembunyi dalam bentangan karang kokoh, seperti hendak mencoba menghindari
matahari. Perahu mereka bergoyang-goyang ketika Jiang
Bing mengarahkannya melintasi arus, menuju pantai. Ping menuntun Danzi ke tempat
mereka bisa bicara tanpa terdengar si tukang perahu. Ping mengusir si kucing
yang berada di atas sekarung bawang, supaya dia dan Danzi bisa duduk sambil
berpegangan ke pagar perahu.
"Kenapa kau ingin pergi ke kota yang tidak menyenangkan ini?" Ping bertanya.
"Untuk mencari batu naga," sahut sang naga,
"Kupikir kau sudah melupakannya."
"Tidak. Ke sinilah Diao akan membawa batu itu. Menjualnya untuk banyak emas."
"Menurutmu Diao ada di sini?"
Si lakilaki tua menggerakkan kepala ke kiri kanan dalam gaya menjengkelkan ?yang bisa berarti ya maupun tidak.
"Aku tidak mau ke sana," kata Ping, sebenarnya dia tidak merasakan pertanda
buruk yang dahsyat kalau mereka ke Wucheng. Si kucing menyenggol lengannya,
minta dibelai. Dalam hatinya Ping ingin sekali ke kota itu, karena ada
kemungkinan sedikit untuk menemukan batu itu.
"Kadang-kadang bergerak maju rasanya seperti bergerak mundur," kata sang naga.
Perahu mereka membentur dermaga dan Jiang Bing menambatkannya. Tidak ada undakan
di situ, yang ada hanyalah tangga bobrok menuju kayu dermaga yang sudah lapuk.
Si lelaki tua jelmaan naga membungkuk pada Jiang Bing lalu melangkah ke tangga
itu. "Bayar dia, Ping," dalam benaknya Ping mendengar naga itu
berkata demikian. Ping mengeluarkan sejumlah uang dari saku lalu menyerahkannya kepada Jiang Bing.
"Andai aku bisa bepergian lebih jauh denganmu," katanya.
Tukang perahu itu meraih tangan Ping dan menggenggamnya sejenak.
"Mungkin lain waktu," kata Jiang Bing sedih. Lalu dia kembali pada pekerjaannya.
Ping mengikuti sang naga ke dermaga dengan hati pedih.
Begitu berada di daratan kembali, dia merasa pening. Kedua kakinya limbung saat
dia berjalan. Dia sudah terbiasa dengan gerakan perahu, sehingga tanah yang
kokoh itu serasa bergoyang di bawah kakinya. Ketika masih di sungai, dia tidak
merasa mual, tapi setelah kembali naik ke daratan, perutnya justru bergolak.
Batu kelabu yang menjadi bahan tembok kota itu sudah bocel dan cacat. Di puncak
tembok mencuat ujung tajam batu karang yang bisa menembus kulit siapa pun yang
mencoba memanjat tembok tersebut. Namun gerbangnya terbuka dan tidak dijaga.
Ping dan sang naga memasuki kota kelabu itu dan tak ada yang menghentikan
mereka. Tiga jalanan yang lebarnya sama membentang mulai dari pintu gerbang sampai ke
kota. "Jalan yang mana?" tanya sang naga.
"Mana aku tahu?" Ping menyahut kesal.
"Ping putuskan jalan yang mana," kata naga itu.
Ping tidak mengerti kenapa Danzi ingin dia yang
mengambil keputusan, tapi dia tahu percuma saja berdebat. Maka dia menunjuk ke
jalanan yang di tengah, dan naga itu melangkah ke sana.
Wucheng kota yang kumuh dan membosankan. Jalanannya terbuat dari bekas lava
dingin. Rumah-rumahnya tua dan dibuat asal jadi. Beberapa dibangun dari kayu
bekas, lainnya terbuat dari batu karang yang sa ma jeleknya dengan tembok kota.
Atap genting nya tertutup lapisan abu kelabu. Tak ada istana, balairung yang
indah, juga patung. Dan tidak ada orang. Kota itu seperti kota hantu, kosong dan
sunyi. Makhlukmakhluk hidup yang dilihat Ping hanyalah sepasang burung gagak
hitam yang bertengger di lempengan papan. Butir-butir abu halus melayang turun
dari gunung dan menempel di lengan baju Ping. Udara berasap itu berbau telur
busuk dan membuat matanya perih.
"Kau tidak bisa memastikan Diao akan datang kemari," bisik Ping.
Suara sang naga yang seperti dencing logam bergema di jalanan yang muram. "Danzi
tahu kebiasaan para pemburu naga."
"Bagaimana kita bisa menemukan batu itu?"
"Ping mesti menemukannya."
"Aku tidak tahu di mana batu itu berada!"
"Ping bisa cari batu. Cari dengan pikiran."
Ping menatap Danzi. Tidak ada orang di sini, tapi Danzi tampil dalam wujudnya


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai lakilaki tua. "Kau pasti sinting kalau mengira aku bisa melakukan hal
seperti itu," sahut Ping.
"Ping pernah menggunakannya."
Ping teringat rasa takut sewaktu di pasar di Chang'an, juga ketika mereka
mendekati Desa Fengjing. Dia merinding kala teringat peristiwa itu. Pada kedua
kesempatan itu, Diao berada tidak jauh dari mereka. Perutnya menjadi mulas, tapi
ini bukan rasa takut seperti yang sebelumnya. Mereka menyusuri salah satu dari
ketiga jalanan itu, dan tidak berpapasan dengan seorang pun. Sekali dua kali
Ping merasa melihat mata yang mengawasi di balik jen dela, atau menangkap
kilasan sosok di ambang pintu dari sudut matanya, tapi waktu dia menoleh, tidak
ada siapa-siapa di situ. Teman perjalanan mereka hanyalah dua burung gagak yang
mengepakkan sayap dengan malas dari satu atap rumah ke atap lainnya. Suara yang
terdengar hanyalah gaokan kedua burung itu yang lambat laun lenyap dan akhirnya
hening. Ketika mereka telah menyusuri ketiga jalanan tersebut, Ping berhenti. Dia tidak
menyukai Wucheng, tapi juga tidak ada perasaan takut dalam dirinya.
"Diao tidak ada di sini," katanya. "Bagus," kata sang naga.
"Kita pergi saja kalau begitu," kata Ping seraya kembali ke arah gerbang. "Kalau
bergegas, mungkin kita masih bisa sampai ke dermaga sebelum Jiang Bing
berangkat." Danzi menggeleng dengan letih. "Mesti cari penginapan."
"Buat apa" Kau tidak akan bermalam di sini, kan?"
Belum pernah Ping melihat Danzi seletih itu.
"Tempat ini aneh sekali, dan sejak tadi kita belum ber temu seorang pun. Aku
lebih suka kita tidur di rakit saja di sungai."
Ketika senja menjadi malam, lampu-lampu bermunculan di jendela-jendela. Danzi
mengajak Ping ke salah satu bangunan dari batu kelabu. Ping berseru kaget dan
takut ketika melihat sosok gelap seekor binatang berdiri di depan pintu.
"Pengurus penginapan," kata Danzi.
Ping memerhatikan baikbaik, dan baru menyadari bahwa sosok yang semula dikiranya
binatang aneh ternyata manusia biasa, Rambut orang itu terjuntai sampai ke bahu,
Giginya ompong dan ada codet bekas luka mulai dari sudut mata kirinya sampai ke
dagunya. Dia mengenakan tunik menutupi jubahnya yang tampak terbuat dari kulit
serigala. Dia melotot curiga, tapi meski tampangnya masam, dia kelihatannya
tidak jahat. Ping tidak lapar, tapi Danzi bersikeras menyuruhnya meminta lakilaki itu
menyediakan makanan. Tak lama kemudian, si pengurus penginapan membawakan sup
ayam yang masih mengepul. Baunya enak, dan ada sedikit aroma tanaman obat
seperti yang digunakan Jiang Bing. Danzi makan semangkuk sup itu. Ping
mencelupkan sendok ke dalam sup itu lalu menghirupnya sedikit. Rasanya enak
sekali, tapi perutnya sedang mual ditambah lagi dia tidak memercayai apa pun
yang di buat di Wucheng, jadi dia hanya bisa menelan sup itu beberapa sendok.
Dengan adanya pintu terkunci yang memisahkan
mereka dengan kota Wucheng yang aneh itu, Ping mulai bisa lebih rileks. Mereka
tinggal menunggu malam berlalu, dan besok pagi mereka bisa kembali ke sungai.
Ping mendapati kasur yang bersih dan selimut di sebuah laci, dan membentangkan
semua itu di lantai. Danzi, yang sudah kembali ke wujudnya sebagai naga, tak
menghiraukan kasurnya; dia memilih duduk di lantai dengan ekor dililitkan ke
badan, seperti ular raksasa. Ping berbaring, dan berpikir tentang betapa aneh
rasanya berbagi kamar dengan seekor naga; tiba-tiba saja Danzi berdiri.
"Waktunya ke luar," katanya. Ping mengerang. "Buat apa kau keluar" Bisa
berbahaya." "Mesti mencari batu naga."
"Tapi tadi kita sudah jalan berkeliling kota, Aku tidak merasakan kehadiran Diao
di mana pun." "Kali ini bukan mencari Diao. Mencari batu naga."
Ping cepat-cepat memalingkan kepala ketika naga itu mulai berubah wujud menjadi
lakilaki tua. Dia mendengar Danzi membuka pintu, dan diikutinya naga itu ke
luar. Wucheng sangat berbeda di malam hari. Sekarang jalanannya dipenuhi orang yang
sibuk. Ada sosoksosok bertudung dengan wajah tersembunyi. Ada pria memakai
jubah. Juga ada perempuan yang rambutnya benarbenar putih.
"Ahli alkimia, ahli nujum, dan penyihir bukan orang jahat," kata sang naga
kepada Ping. "Ping tidak perlu takut pada mereka... Cuma necromancer."
"Apa itu necromancer?" tanya Ping,
"Penyihir yang memanggil arwah orang mati untuk meramal masa depan."
Ping tidak tahu beda necromancer dengan ahli alkimia, jadi dia memutuskan akan
tetap waspada. Banyak di antara bangunan kosong yang dilihat Ping siang tadi kini dibuka dan
menjadi toko atau kios makanan. Kota itu hampir kelihatan normal, hanya saja di
kota yang normal para penduduknya tentu sudah tidur pada saat seperti ini,
bukannya berbelanja atau makan, seakan saat itu siang hari.
Ping tidak punya banyak pengalaman dengan kota, tapi Wucheng sama sekali tidak
seperti kota mana pun yang pernah dilihatnya. Barang-barang yang dijual di situ
berbeda dengan di Chang'an. Ada kios yang menjual serangga mati kaki seribu,
labalaba, kumbang semuanya ditusukkan dengan rapi di potongan daun bambu, dalam
baris-baris isi sepuluh atau dua kali sepuluh. Ada juga kios yang menjual batu,
beberapa batuan berbercak perak dan emas berkilauan, atau bergurat-gurat merah
dan hijau, juga yang berbentuk makhluk hidup penyu, buah pir, atau seperti
kepalan tangan manusia. Batu lainnya ben tuknya seperti batu biasa yang bisa
dipungut begitu saja, namun dikatakan mempunyai kekuatan magis oleh si pemilik
kios. Di kios lain ada mangkuk-mangkuk berisi organ tubuh bersimbah darah ginjal,
jantung, usus. Ada juga kulit ular, kuping beruang, dan stoples berisi
gigi, cakar, dan mata. Perempuan yang menjual barang-barang tersebut melihat
Ping terbelalak menatap barang dagangannya, dan mengira Ping tertarik.
"Hati macan dan darah kelelawar," serunya. "Masih segar."
Perempuan itu orang asing. Rambutnya sewarna dengan buntut rubah yang dijualnya.
Kulitnya pucat dan pakaiannya berkilauan oleh hiasan bintang. Seorang lakilaki
bercelana panjang yang bagian mata kakinya diikat, membeli beberapa shu otak
monyet, kemudian mulai tawar-menawar dengan si pemilik kios untuk sejumlah organ
tubuh yang sudah dikeringkan, entah apa.
"Ini jantung naga pertama yang kumiliki dalam lima tahun ini," kata si pemilik
kios. "Tak bisa kujual dengan harga kurang dari lima jin." Dia mengulurkan
sepotong daging yang tampak keriput itu.
Ping merasakan Danzi menjadi tegang. Sudah pasti pikiran mereka sama. Apakah itu
bagian tubuh Lu Yu, naga yang dibantai oleh Lan" Apakah akhirnya bagian tubuh
itu sampai ke Wucheng"
Ping cepat-cepat beranjak pergi, tapi dihadang pemilik kios yang menjual hewan
hidup. Seekor ular me lilit di lehernya. Di dalam kandang-kandang ada ko dok,
monyet bermata sedih, dan seekor burung kuning berkaki tiga. Lakilaki pemilik
kios itu mengenakan jubah ungu berlukisan simbol aneh.
"Kau terlalu muda untuk menjadi ahli alkimia atau penyihir," katanya. Matanya
terarah ke satu titik di tanah, tapi Ping tahu orang itu bicara pada
nya. "Kau pasti peramal. Setiap peramal butuh binatang pen damping."
Ping mencoba melangkah pergi, tapi orang kembali menghadangnya. Wajah orang itu
gelap, hampir-hampir hitam, kedua matanya putih, dan dia memakai topi bambu,
meskipun saat itu malam hari. Ping baru menyadari bahwa orang itu buta.
"Aku punya hewan yang tepat buatmu tentang dibawa, gampang dilatih, tidak
berbisa." Dia mengangkat tengkuk seekor anak kucing yang mengeong-ngeong.
"Aku sudah punya," kata Ping seraya menarik Hua dari antara lipatan gaunnya.
Orang itu membelai bulu Hua yang halus dan membiarkan Ping lewat.
Ping menyadari ada seseorang sedang mengawasi. Dia bisa melihat seraut wajah
dengan jenggot pendek tebal dan tanda lahir berwarna gelap di satu pipinya. Di
kedua telinganya banyak pernak-pernik. Dia mengenakan mantel, tapi di bawah
mantel itu Ping sempat melihat pakaian lain yang berkilauan. Entah orang itu
memandangi dirinya atau Hua atau si lelaki buta, Ping tidak yakin.
Cepat-cepat Ping masukkan Hua ke dalam gaunnya. Sayup-sayup Ping mendengar
rintihan. Suara itu membuatnya gelisah. Dia sudah mendengar suara itu sejak
mereka memasuki kota. Percuma saja bertanya pada sang naga. Dia takkan bisa
mendengarnya. Maka Ping berjalan kembali ke si penjual batu tadi.
"Aku mencari batu ungu yang besar," katanya.
"Bentuknya seperti melon, dengan permukaan halus. Pernah melihat batu seperti
itu?" Lakilaki itu memiringkan kepala, seperti sedang mendengarkan suara di kejauhan.
Kedua matanya berkaca-kaca. Kemudian dia menggelengkan kepala, seakan mencoba
mengusir pergi seekor lalat dari ujung hidungnya.
"Mungkin aku pernah melihatnya, tapi kalaupun pernah, tidak bakal kukatakan,"
dia tertawa, seakan mendengar lelucon yang sangat lucu. "Batu ini cantik,"
tambahnya, seraya menunjukkan sebutir batu kristal kehijauan. "Kalau digerus dan
diminum dengan susu rusa, bisa membuatmu tahan tidak tidur selama seminggu."
Ping mengatakan dia tidak berminat, lalu pergi.
"Buang-buang waktu saja, Danzi," kata Ping. "Aku tidak tahu di mana batu itu
berada." "Ping mesti bertanya pada hati, di mana mencari batu."
"Aku tidak tahu caranya," Ping menyahut lelah.
"Akan disembunyikan. Mesti benarbenar menginginkan, nanti diberi jalan. Apa Ping
belum pernah mengalami ini?"
"Belum," bentak Ping. "Aku heran kenapa kau pikir aku pernah mengalaminya. Aku
ini budak, bukan penyihir."
Suara merintih itu makin keras. Gigi Ping jadi gemeletuk. Dia ingin segera
keluar dari Wucheng. Sang naga menghela napas. "Kembali ke penginapan, kalau begitu."
Ping tak percaya naga itu menyerah begitu
cepat, tapi dia tidak mendebat. Sakit perut yang sejak tadi mengganggunya sudah
berkembang menjadi rasa perih yang amat sangat.
Si pemilik penginapan ada di luar penginapannya ketika mereka kembali. Dia
sedang mengusir seekor kucing berwarna kuning seperti kucing si tukang perahu.
Dia berteriak-teriak pada kucing itu sambil mengayun-ayunkan sapu. Ping berharap
dia berada di perahu itu lagi, tapi berhubung itu tak mungkin, setidaknya dia
ingin berada di balik pintu terkunci.
Ping bisa mendengar dengung dan derum napas naga yang tertidur sebelum dia
sendiri berbaring. Meski kecapean, dia tak bisa tidur. Pikirannya berkecamuk
dengan berbagai hal yang dilihatnya malam itu, dan dia tak ingin mengosongkannya
dengan tidur. Perutnya sakit dan suara yang didengarnya semalaman masih juga
terdengar. Suara itu menjadi tajam melengking dan menyakitkan telinga. Dia masih
terjaga ketika cahaya kelabu perlahan menerangi sosok naga yang tidur itu. Ping
mendengar orang-orang kembali ke kamar masing-masing, lalu semuanya he ning.
Mulutnya terasa kering. Dia belum minum sejak makan sup asin tadi. Dia keluar
Raja Pedang 14 Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Pendekar Pedang Dari Bu Tong 8

Cari Blog Ini