Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi Bagian 3
serdadu itu, yang tampak lebih tua sedikit daripada Papa,
menepuk kepalanya lagi, dan berkata, "Terima kasih!
Terima kasih!" Dia terus menepuk-nepuk kepala Totto-chan sambil
menangis. Kemudian Ibu Guru berkata riang, seolah
berusaha membuat serdadu itu gembira, "Sekarang
waktunya membacakan karangan yang ditulis anak-anak
untuk para serdadu."
Anak-anak bergantian membacakan karangan mereka
dengan suara nyaring. Totto-chan memandang serdadu
tadi. Hidung dan matanya merah, tapi serdadu itu tersenyum. Totto-chan membalas
senyumnya. Lalu ia berpikir, senangnya melihat serdadu itu tersenyum!
Apa yang membuat serdadu itu menangis, hanya
serdadu itu yang tahu. Mungkin dia punya anak kecil
sebaya Totto-chan. Mungkin dia terharu melihat gaya
Totto-chan yang menyanyi dengan manis dan dengan
sebaik-baiknya. Atau mungkin dia ingat pengalamannya,
ketika dia hampir mati kelaparan di medan perang. Lalu
kini dia melihat gadis cilik menyanyikan "Yuk kunyah
baik-baik" padahal mungkin waktu itu tak ada lagi yang
bisa dikunyah. Mungkin itu yang membuatnya sedih.
Mungkin serdadu itu membayangkan berbagai peristiwa
mengerikan yang mungkin akan segera dialami anakanak yang masih polos tersebut.
Anak-anak yang membacakan karangan mereka waktu
itu belum tahu bahwa Perang Pasifik sudah pecah.
43. Kulit Kayu Kesehatan SAMBIL menunjukkan karcis abonemen kereta yang tergantung pada tali di lehernya
kepada pria penjaga gerbang"e"yang kini sudah cukup dikenalnya"e"Tottochan berjalan keluar dari stasiun di
Jiyugaoka. Sesuatu yang menarik sedang terjadi. Seorang pemuda
duduk bersila di tikar, di balik tumpukan tinggi sesuatu
yang tampak seperti potongan kulit pohon. Uma-enam
orang berdiri mengelilinginya dan memperhatikan pemuda itu. Totto-chan memutuskan untuk ikut melihat
karena pemuda itu berkata, "Sekarang lihat saya baikbaik, lihat saya baik-baik."
Ketika pemuda itu melihat Totto-chan berhenti melangkah, dia berkata, "Yang
terpenting bagi Anda adalah
kesehatan. Kalau Anda bangun pagi dan ingin tahu
apakah badan Anda sehat atau tidak, potongan kulit kayu
ini bisa menunjukkannya. Setiap pagi Anda cukup
mengunyah secuil kulit kayu ini. Kalau rasanya pahit,
artinya Anda tidak sehat. Kalau rasanya tidak pahit, itu
artinya kondisi tubuh Anda sehat. Tidak sakit. Kulit kayu
yang bisa menunjukkan apakah Anda sehat atau tidak ini
hanya dua puluh sen harganya! Maukah Tuan yang di
sebelah sana mencobanya?"
Dia mengulurkan kulit kayu itu kepada seorang pria
kurus, yang dengan ragu-ragu menggigitnya dengan gigi
depannya. Pria itu memiringkan kepalanya sedikit,
berusaha merasakan. "Rasanya... agak... uh... pahit."
Pria muda itu meloncat berdiri sambil berseru, "Tuan,
Anda pasti menderita suatu penyakit. Anda harus hatihati. Tapi jangan khawatir,
penyakit itu belum parah.
Kata Anda, rasanya agak pahit. Nah, sekarang bagaimana
dengan Anda, Nyonya" Maukah Anda mencobanya?"
Seorang wanita yang membawa tas belanja menggigit
cuilan yang lebih besar lalu mengunyahnya dengan
penuh semangat. Kemudian dia berkata riang, "Hei, ini
sama sekali tidak pahit!"
"Selamat, Nyonya," kata pemuda itu. "Anda pasti
sangat sehat." Kemudian dia berkata dengan suara lebih
nyaring, "Hanya dua puluh sen! Dua puluh sen! Harga
yang sangat murah untuk setiap pagi memastikan
apakah Anda sehat atau tidak. Murah sekali!"
Totto-chan juga ingin mencoba menggigit secuil kulit
kayu yang berwarna agak abu-abu itu, tapi terlalu malu
untuk meminta. Karena itu, ia bertanya, "Apakah Anda
masih akan ada di sini setelah sekolah selesai?"
"Tentu saja," kata si pemuda sambil memandang anak
sekolah itu. Totto-chan berlari, tasnya berayun-ayun di punggung.
Ia tak ingin terlambat karena ada yang harus dilakukannya sebelum jam pelajaran
mulai. Ia harus menanyakan
sesuatu kepada kawan-kawannya begitu sampai di kelas.
"Siapa yang bisa meminjamiku uang dua puluh sen?"
Tapi tak ada yang punya uang dua puluh sen.
Sekeping permen karamel harganya hanya sepuluh sen,
jadi uang itu sebenarnya tidak banyak, tapi saat itu tak
ada anak yang punya. "Apa sebaiknya aku minta dari orangtuaku?" tanya
Miyo-chan. Di saat seperti itu sungguh menguntungkan berteman
dengan Miyo-chan, putri Kepala Sekolah. Rumah Miyochan berdempetan dengan Aula,
jadi ibunya tinggal di sekolah itu juga. "Ayah bilang dia akan meminjamkan uang itu
padamu," kata Miyo-chan waktu makan siang, "tapi Ayah
ingin tahu untuk apa uang itu."
Totto-chan pergi ke kantor Kepala Sekolah.
"Jadi kau butuh uang dua puluh sen," kata Kepala
Sekolah sambil melepas kacamatanya. "Untuk apa?"
"Aku ingin membeli sepotong kulit kayu yang bisa
menunjukkan apakah aku sehat atau sakit," jawab Tottochan cepat-cepat. Rasa ingin tahu Kepala Sekolah terusik.
"Dijual di mana?"
"Di depan stasiun," jawab Totto-chan tergesa-gesa.
"Baiklah," kata Kepala Sekolah. "Belilah satu jika kau
mau. Tapi aku boleh mencicipi, ya?"
Dia mengeluarkan kantong uang dari saku jasnya lalu
meletakkan uang logam dua puluh sen di telapak tangan
Totto-chan. "Oh, terima kasih sekali!" kata Totto-chan. "Aku akan
minta uang pada Mama dan mengembalikan uang Bapak.
Mama selalu memberiku uang untuk membeli buku.
Kalau aku ingin membeli yang lain, aku harus minta izin
dulu, tapi kulit kayu kesehatan sangat penting dan
dibutuhkan semua orang. Aku yakin Mama akan
mengizinkan." Ketika sekolah selesai, Totto-chan cepat-cepat pergi ke
stasiun sambil menggenggam uang dua puluh sen itu.
Pemuda itu masih ada di sana, menawarkan dagangannya dengan suara nyaring.
Ketika melihat uang dua puluh sen di tangan Totto-chan, mulutnya tersenyum
lebar. "Gadis baik! Ayah dan ibumu pasti akan senang."
"Rocky juga," kata Totto-chan.
"Siapa Rocky?" tanya si pemuda sambil mengambil
sepotong kulit kayu untuk Totto-chan.
"Dia anjing kami. Anjing gembala Jerman."
Pemuda itu tertegun dan berpikir sebentar, kemudian
berkata, "Seekor anjing... hmm, kurasa bisa juga untuk
anjing. Kalau rasanya pahit, anjingmu pasti tidak suka
dan itu menunjukkan bahwa dia sakit."
Si pemuda mengambil sepotong kulit kayu kira-kira
selebar 25 sentimeter dan sepanjang 150 sentimeter.
"Nah, ini. Kunyahlah sedikit setiap pagi, kalau rasanya
pahit artinya kau sakit. Kalau tidak, artinya kau sehat
sekali!" Totto-chan pulang. Dengan hati-hati, ia membawa kulit
kayu yang berharga itu dalam bungkusan koran. Yang
pertama dilakukannya begitu sampai di rumah adalah
menggigitnya sedikit. Kulit itu kering dan kasar, tapi
tidak pahit"e"malah sama sekali tak ada rasanya.
"Hore! Aku sehat!"
"Tentu saja kau sehat," kata Mama tersenyum. "Ada
apa?" Totto-chan menjelaskan. Mama juga mencoba menggigit sedikit. "Tidak pahit."
"Artinya Mama juga sehat!"
Kemudian Totto-chan mencari Rocky dan menyuruh
anjingnya menggigit kulit kayu itu. Mula-mula Rocky
mengendusnya. Kemudian menjilatinya.
"Kau harus menggigitnya," kata Totto-chan. "Baru kau
tahu kau sehat atau tidak."
Tapi Rocky tak mau menggigit kulit kayu itu. Dia
hanya menggaruk-garuk kupingnya dengan kakinya.
Totto-chan mendekatkan kulit kayu itu ke moncongnya.
"Ayo, gigit! Kalau kau sakit kami repot."
Dengan enggan Rocky menggigit secuil. Kemudian dia
mengendus lagi, tapi dia tidak menunjukkan bahwa dia
tidak menyukai kulit pohon itu. Rocky malah menguap
lebar-lebar. "Hore! Rocky juga sehat!"
Esok harinya. Mama memberi Totto-chan uang dua
puluh sen. Totto-chan langsung pergi ke kantor Kepala
Sekolah dan mengulurkan kulit kayu itu.
Sesaat Kepala Sekolah memandang kulit kayu itu,
seakan bertanya, "Apa ini?" Tapi ketika melihat uang dua
puluh sen di tangan Totto-chan, dia pun ingat.
"Silakan gigit," kata Totto-chan. "Kalau rasanya pahit,
artinya Bapak tidak sehat."
Kepala Sekolah menggigit sedikit. Kemudian dia membalik-balik kulit kayu itu dan
mengamatinya. "Apa rasanya pahit?" tanya Totto-chan prihatin, sambil
mengamati wajah Kepala Sekolah.
"Tak ada rasanya sama sekali."
Sambil mengembalikan kulit kayu itu kepada Tottochan, dia berkata, "Aku sehat.
Terima kasih." "Hore! Kepala Sekolah sehat! Aku senang sekali."
Hari itu Totto-chan menyuruh semua anak di sekolah
menggigit kulit kayunya sedikit. Tak satu anak pun
merasa kulit kayu itu pahit, artinya mereka semua sehat.
Totto-chan senang sekali.
Anak-anak menemui Kepala Sekolah untuk mengatakan bahwa mereka semua sehat, dan
kepada setiap anak Kepala Sekolah berkata, "Bagus."
Kepala Sekolah pasti sudah tahu sejak semula. Dia
lahir dan dibesarkan di pedesaan di Distrik Gumma, di
tepi sungai dari mana terlihat Gunung Haruna. Dia pasti
tahu bahwa kulit kayu itu takkan terasa pahit, siapa pun
yang menggigitnya. Tapi Kepala Sekolah berpendapat akan baik bagi
Totto-chan jika tahu bahwa semua kawannya sehat. Dia
senang karena Totto-chan dibesarkan untuk menjadi
orang yang penuh perhatian pada orang lain, terutama
pada kawan yang mungkin akan berkata bahwa kulit
kayu itu pahit rasanya. Totto-chan bahkan mencoba memasukkan kulit kayu
itu ke moncong anjing liar yang lewat dekat sekolah. Dia
nyaris digigit si anjing, tapi itu tak menyurutkan niatnya.
"Setelah itu, kau akan tahu apakah kau sakit atau
tidak," teriaknya kepada anjing itu. "Ayo, gigit! Kalau kau
sehat, itu baik." Dia berhasil membuat anjing yang tidak dikenalnya itu
menggigit kulit kayunya. Sambil melompat-lompat mengelilingi anjing itu, dia berteriak, "Hore! Kau juga
sehat!" Anjing itu menundukkan kepala, seakan mengucapkan
terima kasih pada Totto-chan, lalu berlari menjauh.
Seperti yang diperkirakan Kepala Sekolah, penjual
kulit kayu itu tak pernah muncul lagi di Jiyugaoka.
Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Totto-chan
mengeluarkan kulit kayu yang berharga itu dari dalam
lacinya"e"kulit itu sekarang tampak seperti habis digigiti
berang-berang yang bersemangat"e"lalu menggigit secuil
dan mengunyahnya. Kemudian sambil meninggalkan
rumah dia berseru, "Aku sehat!"
Untunglah, Totto-chan memang benar-benar sehat.
44. Anak yang Bicara Bahasa Inggris
ADA murid baru di Tomoe. Tubuhnya tertalu jangkung
dan tegap untuk anak laki-laki seusianya. Menurut Tottochan, perawakan anak itu
seperti anak kelas tujuh.
Pakaiannya juga beda, lebih mirip pakaian pemuda
dewasa. Pagi itu anak-anak berkumpul di halaman sekolah.
Kepala Sekolah memperkenalkan si murid baru.
"Ini Miyazaki. Dia lahir dan dibesarkan di Amerika, jadi
dia tidak lancar berbahasa Jepang. Itu sebabnya dia bersekolah di Tomoe, agar
bisa lebih mudah berkenalan
dengan teman-teman satu sekolah dan belajar sesuai
kemampuannya. Sekarang dia salah satu dari kalian. Kita
masukkan ke kelas berapa dia, ya" Bagaimana kalau
kelas lima, bersama Ta-chan dan yang Iain-lain?"
"Bagus," kata Ta-chan"e"yang pandai menggambar"e"
dengan nada suara seperti seorang kakak.
Kepala Sekolah tersenyum dan melanjutkan, "Aku
memang bilang dia tidak lancar berbahasa Jepang, tapi
dia amat pandai berbahasa Inggris. Mintalah padanya
untuk mengajari kalian bahasa Inggris. Dia belum terbiasa tinggal di Jepang,
jadi kuharap kalian mau membantunya. Tanyakan padanya tentang kehidupan di
Amerika. Dia bisa menceritakan banyak hal menarik.
Nah, kutinggalkan dia bersama kalian."
Miyazaki membungkuk hormat di depan kawan-kawan
sekelasnya, yang semuanya berperawakan lebih kecil
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
darinya. Dan semua anak lain, bukan hanya yang sekelas
dengan Ta-chan, membalas membungkuk hormat.
Waktu makan siang, Miyazaki pergi ke rumah Kepala
Sekolah. Semua anak mengikutinya. Kemudian dia masuk
ke dalam rumah dengan memakai sepatunya! Semua
anak berteriak kepadanya, "Kau harus mencopot sepatumu!"
Miyazaki kaget. "Oh, maafkan aku," katanya sambil
mencopot sepatunya. Anak-anak lalu mulai memberitahukan apa yang harus
dilakukannya. Mereka berbicara secara bersamaan.
"Kau harus melepas sepatumu jika masuk ke ruangan
yang lantainya dilapisi tatami"e"tikar khas Jepang, juga
kalau mau ke Aula. Kau boleh tetap memakai sepatu di
kelas dan di perpustakaan."
"Kalau pergi ke Kuil Kuhonbutsu, kau boleh tetap
memakai sepatu di halaman tapi harus mencopotnya
kalau mau masuk kuil."
Sungguh asyik belajar tentang perbedaan kehidupan
di Jepang dan di Amerika.
Esok harinya Miyazaki membawa buku besar bergambar dan berbahasa Inggris ke
sekolah. Anak-anak mengerumuninya setelah makan siang. Mereka melihat
buku itu dengan takjub. Para murid belum pernah
melihat buku dengan gambar-gambar seindah itu. Selama
ini, buku bergambar yang mereka ketahui dicetak hanya
dengan warna merah, hijau, dan kuning.
Buku Miyazaki dihiasi warna-warna merah jambu
pucat yang mirip warna kulit. Warna birunya beraneka
nuansa, bercampur putih dan abu-abu, semuanya indah.
Warna-warna di buku itu banyak yang tidak ada dalam
sekotak krayon. Ada lebih banyak warna daripada 24
warna standar dalam satu kotak krayon, warna-warna
yang bahkan tidak ada dalam kotak pensil warna khusus
milik Ta-chan yang isinya 48 warna. Semua anak
terkesan. Pada gambar pertama buku itu ada gambar anjing
yang menyeret bayi dengan menggigit popoknya. Yang
membuat anak-anak kagum adalah gambar bayi itu. Bayi
itu kelihatan sangat nyata, tidak seperti dilukis, karena
kulitnya merah jambu lembut seperti kulit bayi sungguhan. Mereka belum pernah melihat buku bergambar sebesar itu dengan kertas
yang tebal, indah, dan kemilau seperti itu. Dengan gaya ramahnya seperti biasa,
Totto-chan berusaha berada sedekat mungkin dengan
Miyazaki dan buku bergambarnya.
Miyazaki membacakan teks bahasa Inggris-nya untuk
mereka. Bahasa Inggris anak itu terdengar amat lancar
sehingga para murid mendengarkan sambil terkesima.
Kemudian Miyazaki mulai berbicara dalam bahasa
Jepang patah-patah. Miyazaki telah membawa suasana yang baru dan lain
ke sekolah itu. "Akachan artinya baby," dia memulai.
Mereka menirukan, "Akachan artinya baby."
"UtsuKUshi artinya beautiful," kata Miyazaki dengan
tekanan pada suku kata "ku".
"UtsukuSHII artinya beautiful," ulang anak-anak lain.
Miyazaki lalu menyadari ucapan bahasa Jepang-nya
keliru. "Yang benar utsukuSHII, ya" Ya?"
Miyazaki dan anak-anak Tomoe segera bersahabat.
Setiap hari dia membawa bermacam-macam buku ke
Tomoe dan membacakan buku-buku itu untuk kawankawannya setelah makan siang.
Miyazaki seakan menjadi pelatih bahasa Inggris
mereka. Bersamaan dengan itu, kemampuan bahasa
Jepang-nya meningkat pesat. Dia tidak lagi membuat
kesalahan yang memalukan misalnya dengan duduk di
tokonoma"e"ceruk khusus dalam suatu ruangan untuk
menggantungkan gulungan lukisan atau hiasan.
Totto-chan dan kawan-kawannya belajar banyak
tentang Amerika. Jepang dan Amerika bersahabat di
Tomoe. Tapi di luar Tomoe, Amerika menjadi musuh.
Dan karena bahasa Inggris adalah bahasa musuh, bahasa
itu tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah.
"Amerika itu setan," pemerintah mengumumkan. Tapi
di Tomoe, anak-anak sering berseru serentak, "Utsukushii
artinya beautiful." Angin sepoi-sepoi yang bertiup di Tomoe terasa
lembut dan hangat. Semua anak yang bersekolah di
Tomoe pun memiliki keindahan mereka sendiri.
45. Drama Amatir "KITA akan mementaskan drama!"
Itu pementasan drama pertama dalam sejarah Tomoe.
Kebiasaan menunjuk seorang anak berbicara di depan
kawan-kawannya waktu makan siang masih berlaku, tapi
bayangkan mementaskan drama di panggung kecil
dengan piano besar yang selalu dimainkan Kepala
Sekolah waktu mengajarkan euritmik dan mengundang
penonton! Tak satu pun murid Tomoe pernah menonton
drama, termasuk Totto-chan. Kecuali menonton Swan
Lake, ia belum pernah pergi ke teater. Meskipun demikian, anak-anak sibuk
mendiskusikan kisah apa yang
akan mereka pentaskan di akhir tahun ajaran.
Kelas Totto-chan memutuskan untuk mementaskan
Kanjincho (Perjanjian Pengumpulan Dana). Lakon kabuki"e"drama tradisional Jepang"e"yang termasyhur itu
mungkin bukan kisah yang akan kauharapkan dipentaskan di sekolah seperti Tomoe.
Tapi cerita ini memang dimuat di salah satu buku pelajaran dan Mr. Maruyama
yang akan melatih mereka. Aiko Saisho dipilih sebagai
pemeran Benkei karena tubuhnya tinggi besar. Amadera,
yang bisa memasang tampang serius dan bersuara keras,
akan bermain sebagai Togashi, sang komandan. Setelah
merundingkannya berkali-kali, mereka semua sepakat
bahwa Totto-chan harus berperan sebagai bangsawan
Yoshitsune, yang di dalam lakon itu menyamar sebagai
portir. Anak-anak yang lain akan berperan sebagai biksu
pengelana. Sebelum bisa mulai beriatih, anak-anak harus menghafalkan dialog mereka. Bagi
Totto-chan dan para biksu
hal itu mudah, karena mereka tidak harus mengucapkan
apa-apa. Yang harus dilakukan para biksu itu hanya
berdiri diam sepanjang pementasan. Sementara Tottochan, sebagai Yoshitsune,
harus berlutut terus dengan
wajah tersembunyi di bawah topi jerami bertepi lebar.
Benkei, yang sesungguhnya pelayan Yoshitsune, akan
memukuli dan menyiksa tuannya sebagai siasat cerdik
agar bisa membawa rombongan itu melewati Pos
Pemeriksaan Ataka. Mereka menyamar sebagai serombongan biksu yang mengumpulkan
dana untuk memugar sebuah kuil.
Aiko Saisho, yang memerankan Benkei, punya peranan
penting. Kecuali semua percakapan adu mulut dan pertengkaran
dengan Togashi sang komandan pos pemeriksaan, ada bagian menegangkan ketika Benkei
harus pura-pura membacakan Perjanjian Pengumpulan
Dana jika diperintahkan oleh komandan untuk melakukannya. Gulungan perkamen yang
"dibacanya" sebenarnya kosong, tapi dengan cerdas dia mengarang permohonan dana
dengan gaya bahasa yang berlebihan:
"Pertama-tama, demi tujuan untuk memugar kuil yang
dikenal dengan sebutan Todaiji..."
Aiko Saisho melatih bagian "Pertama-tama" itu setiap
hari. Amadera yang memainkan Togashi juga harus menghafalkan banyak dialog, karena dia
harus berusaha mementahkan semua alasan Benkei. Amadera berusaha
keras menghafalkan bagiannya.
Akhirnya waktu latihan tiba. Togashi dan Benkei berhadap-hadapan, para biksu
berderet di belakang Benkei.
Dan Totto-chan, sebagai Yoshitsune, berada di depan
berlutut dan tertunduk. Tapi Totto-chan tidak mengerti
semua itu. Jadi waktu Benkei harus mendorong Yoshitsune hingga terjatuh dengan tongkatnya dan memukulinya, Totto-chan
bereaksi dengan garang. Ia menendang kaki Aiko Saisho dan mencakamya. Aiko
menjerit dan para biksu terpingkal-pingkal.
Pada adegan ini, seharusnya Yoshitsune diam saja dan
tampak ketakutan, tak peduli berapa kali ia dipukuli dan
disakiti Benkei. Inti ceritanya, walaupun Togashi mencurigai mereka, dia akan terkesan melihat sikap kasar
Benkei dan yakin pelayan itu pasti sebenarnya merasa
menderita karena harus menyiksa majikannya sendiri.
Dengan demikian Togashi akan membiarkan mereka
lewat. Jika Yoshitsune melawan, keseluruhan lakon itu akan
rusak. Mr. Maruyama mencoba menjelaskan hal itu
kepada Totto-chan. Tapi Totto-chan tak mau mengerti. Ia
bersikeras jika Aiko Saisho memukulnya, ia akan membalas. Akibat kelakuan Tottochan, latihan mereka tidak
maju-maju. Tak peduli berapa kali mereka mengulang adegan itu,
Totto-chan selalu balas memukul.
"Aku menyesal sekali," akhirnya Mr. Maruyama berkata kepada Totto-chan.
"Menurutku sebaiknya kita
minta Tai-chan memainkan peran Yoshitsune."
Totto-chan merasa lega. Ia tidak suka jadi satu-satunya
tokoh yang dipukuli. "Totto-chan, maukah kau menjadi biksu?" tanya Mr.
Maruyama. Maka Totto-chan berdiri bersama para biksu
lainnya. Ia berdiri paling belakang.
Mr. Maruyama dan para murid mengira semua akan
lancar sekarang, tapi mereka keliru. Seharusnya Mr.
Maruyama tidak membiarkan Totto-chan memegang
tongkat biksu yang panjang. Totto-chan yang bosan
karena hanya berdiri diam, mulai menusuk-nusuk kaki
biksu yang berdiri di sampingnya dengan tongkat itu dan
menggelitiki ketiak biksu lain. Ia bahkan pura-pura menjadi dirigen dengan
mengayun-ayunkan tongkatnya. Perbuatan itu tidak hanya berbahaya bagi mereka
yang ada di dekatnya tapi juga mengacaukan adegan antara
Benkei dan Togashi. Akhirnya Totto-chan dicopot dari perannya sebagai
biksu. Sebagai Yoshitsune, Tai-chan mengertakkan gigi
dengan tabah ketika dipukuli atau disiksa. Para penonton
pasti akan kasihan kepadanya. Latihan berjalan lancar
tanpa Totto-chan. Karena sendirian tanpa peran, Totto-chan pergi ke
luar, ke halaman sekolah. Ia melepaskan sepatunya lalu
menari-nari, menciptakan tarian balet Totto-chan. Menurutnya tarian itu indah.
Terkadang ia menjadi angsa,
kadang angin, kadang tokoh mengerikan, kadang sebatang pohon. Semua
dimainkannya, sendirian, di
halaman sekolah yang kosong. Ia menari dan terus
menari. Namun sebenarnya, jauh di dalam hatinya, ada
perasaan menyesal karena ia ingin memainkan tokoh
Yoshitsune. Tapi jika mereka mengizinkannya bermain,
sudah pasti ia akan balas memukul dan mencakar Aiko
Saisho. Begitulah, Totto-chan tak bisa ikut bermain dalam
pementasan drama amatir yang pertama dan terakhir di
Tomoe. 46. KapurTulis MURID-MURID Tomoe tidak pernah mencoret-coret
jalanan atau dinding rumah orang, karena mereka punya
banyak kesempatan untuk melakukannya di sekolah.
Dalam pelajaran musik di Aula, setiap anak diberi
sepotong kapur tulis oleh Kepala Sekolah. Mereka boleh
berbaring atau duduk di mana saja di lantai dan
menunggu dengan kapur tulis di tangan. Ketika mereka
semua sudah siap, Kepala Sekolah mulai memainkan
piano. Sambil mendengarkan permainannya, anak-anak
menuliskan irama lagu itu dalam notasi musik di lantai.
Sungguh menyenangkan menulis dengan kapur tulis di
lantai kayu yang berwarna cokelat muda mengilat.
Hanya ada kira-kira sepuluh anak di kelas Totto-chan,
jadi waktu mereka menyebar di Aula yang luas, lantai
yang bisa mereka corat-coret sangat luas. Mereka bisa
mencoretkan not-not mereka sebesar apa pun tanpa
menerabas wilayah anak lain. Mereka tidak membutuhkan garis untuk notasi itu,
karena mereka hanya mencoretkan ritmenya. Di Tomoe, not musik punya nama
khusus yang dikarang sendiri oleh anak-anak setelah
merunding-kannya dengan Kepala Sekolah. Inilah not-not
itu: Dengan cara itu mereka belajar mengenali not-not
dengan baik. Cara belajar seperti itu sungguh menyenangkan. Pelajaran musik adalah pelajaran yang
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka sukai. Menulisi lantai dengan kapur tulis adalah gagasan
Kepala Sekolah. Kertas yang ada tidak cukup lebar dan
tak ada cukup papan tulis untuk dipakai bergiliran.
Menurut Kepala Sekolah, lantai Aula akan menjadi papan
tulis yang luas dan menyenangkan. Anak-anak bisa
mencatat irama lagu dengan mudah tak peduli betapapun cepatnya irama musik yang dimainkannya di
lantai. Mereka juga bisa menuliskannya sebesar apa pun.
Selain itu, mereka dapat melakukannya sambil menikmati
musik. Lalu kalau masih ada sisa waktu sesudahnya, mereka
bisa menggambar pesawat terbang, boneka, atau apa saja
yang mereka suka. Terkadang anak-anak malah menggabungkan coretan mereka
sehingga seluruh lantai Aula
menjadi satu gambar besar. Di waktu-waktu jeda dalam
pelajaran musik, Kepala Sekolah memeriksa coretan
irama setiap anak. Dia akan berkomentar, 'Itu bagus,"
atau "Seharusnya di sini bukan bendera ganda, tapi satu
lompatan." Setelah menyetujui atau mengoreksi notasi mereka,
dia akan mengulangi musik yang sama agar anak-anak
bisa mengecek hasil pekerjaan mereka dan membiasakan
diri dengan irama itu. Tak peduli sesibuk apa pun
dirinya, Kepala Sekolah tak pernah meminta guru lain
untuk menggantikannya dalam mengajarkan pelajaran
musik. Dan sejauh yang anak-anak tahu, kalau bukan Mr.
Kobayashi yang mengajar, pelajaran musik terasa kurang
menyenangkan. Membersihkan lantai setelah pelajaran musik bukan
pekerjaan ringan. Mula-mula anak-anak harus menghapus lantai dengan penghapus
papan tulis, kemudian mereka bahu-membahu menyapu dan mengepel lantai
dengan sapu dan pel. Itu pekerjaan yang melelahkan.
Dengan cara itu, para murid Tomoe belajar bahwa
menghapus coret-coretan di sembarang tempat ternyata
merupakan pekerjaan berat. Karena itu, mereka tak
pernah mencoret-coret di tempat lain kecuali di lantai
Aula. Lagi pula, pelajaran itu diberikan dua kali seminggu, sehingga anak-anak
merasa sudah puas mencoret-coret.
Murid-murid Tomoe menjadi ahli tentang kapur
tulis"s"jenis apa yang terbaik, bagaimana cara memegangnya, bagaimana menggoreskannya agar mendapat hasil terbaik, bagaimana
menggunakannya agar tidak patah. Semua anak Tomoe adalah pakar kapur tulis.
47. "Yasuaki-chan Meninggal!"
HARI itu hari pertama masuk sekolah setelah liburan
musim semi. Mr. Kobayashi berdiri di depan anak-anak
yang berkumpul di halaman sekolah. Seperti biasa,
tangannya dimasukkan ke dalam saku. Tapi kali ini dia
tidak mengatakan apa-apa sampai beberapa lama.
Kemudian dia mengeluarkan tangan dari saku dan
memandang anak-anak. Kelihatannya dia baru saja
menangis. "Yasuaki-chan meninggal," katanya pelan. "Kita semua
akan menghadiri pemakamannya hari ini." Kemudian dia
melanjutkan, "Aku tahu, kalian semua menyukai Yasuakichan. Sungguh sayang. Aku
merasa sedih sekali." Dia
hanya bisa bicara sampai di situ. Wajahnya memerah
dan matanya berkaca-kaca. Anak-anak tertegun, tak satu
pun bicara. Mereka semua ingat Yasuaki-chan. Belum
pernah sekolah Tomoe diliputi keheningan yang pedih
seperti saat itu. Bayangkan, meninggal secepat itu, pikir Totto-chan.
Aku bahkan belum selesai membaca Uncle Tom's Cabin
yang kata Yasuaki-chan harus kubaca. Dia meminjamkan
buku itu sebelum liburan.
Totto-chan ingat betapa bengkoknya jari-jari Yasuakichan ketika mereka saling
mengucapkan selamat berpisah sebelum liburan musim semi. Saat itu Yasuaki-chan
mengulurkan buku itu kepadanya. Totto-chan mengenang saat-saat ketika ia pertama
kali berkenalan dengan Yasuaki-chan. Ketika itu Totto-chan bertanya,
"Mengapa jalanmu seperti itu?" Yasuaki-chan menjawab
lembut, "Aku kena polio."
Totto-chan ingat suaranya, senyumnya, dan petualangan mereka memanjat pohon
waktu liburan musim panas.
Ya, rahasia yang hanya diketahui mereka berdua. Dengan
hati gundah, ia teringat betapa beratnya tubuh Yasuakichan, dan bagaimana dia
percaya kepada Totto-chan
dengan sepenuh hati meskipun Yasuaki-chan lebih tua
dan lebih tinggi. Yasuaki-chan yang menceritakan padanya bahwa di Amerika ada
benda yang disebut televisi.
Totto-chan sayang pada Yasuaki-chan. Mereka sering
makan siang bersama, menghabiskan sarapan bersama,
dan berjalan bersama ke stasiun sepulang dari sekolah.
Totto-chan pasti akan sangat merindukan kawannya itu.
Totto-chan tahu, karena sudah mati Yasuaki-chan takkan
datang lagi ke sekolah. Ya, seperti anak-anak ayam itu.
Ketika mereka mati, tak peduli sekeras apa pun Tottochan memanggil-manggil,
mereka tak pernah bergerak
lagi. Upacara pemakaman Yasuaki-chan diadakan di gereja
yang terletak di seberang Denenchofu, tempat tinggalnya.
Dari Jiyugaoka, anak-anak berjalan ke gereja Itu tanpa
bicara, sambil berbaris tertib. Totto-chan tidak melihatlihat ke sekelilingnya
seperti biasa. Matanya terus tertuju
ke bawah. Ia menyadari bahwa perasaannya sekarang
berbeda daripada ketika Kepala Sekolah menyampaikan
berita sedih itu. Reaksi pertamanya adalah tidak percaya,
kemudian datanglah rasa sedih. Tapi sekarang dia hanya
ingin melihat Yasuaki-chan hidup lagi. Banyak sekali
yang ingin dikatakannya kepada kawannya itu, hingga
dadanya terasa mau pecah.
Gereja dihiasi bunga-bunga lili putih. Ibu Yasuaki-chan
yang cantik berdiri di luar gereja bersama adik Yasuakichan dan kerabatnya.
Mereka semua mengenakan pakaian hitam-hitam. Ketika melihat Totto-chan mereka
menangis lebih sedih, tangan mereka meng-genggam
saputangan putih. Baru kali itu Totto-chan datang ke upacara pemakaman. Dan kini ia bisa merasakan betapa sedihnya
suasana. Tak seorang pun berbicara. Organ memainkan
lagu-lagu sedih dengan lirih. Matahari bersinar dan
gereja penuh cahayanya, tapi tak ada kegembiraan di
sana. Seorang pria dengan pita hitam diikatkan pada
lengannya mengulurkan setangkai bunga putih kepada
setiap murid Tomoe dan menjelaskan bahwa mereka
diharapkan berjalan satu per satu, maju ke depan, dan
meletakkan bunga itu di dalam peti mati Yasuaki-chan.
Yasuaki-chan berbaring di dalam peti mati dengan
mata terpejam, dikelilingi bunga-bunga. Meskipun sudah
meninggal, wajahnya tampak ramah dan cerdas seperti
biasa. Totto-chan berlutut lalu meletakkan bunga di
tangan kawannya. Dengan lembut, ia menyentuh tangan
itu, tangan yang disayanginya dan sering sekali digandengnya. Tangan Yasuakichan jauh lebih putih daripada
tangan Totto-chan yang kecil dan kotor. Jari-jarinya lebih
panjang, seperti jari orang dewasa.
"Selamat jalan," bisiknya kepada Yasuaki-chan. "Mungkin kita akan bertemu lagi entah di mana jika kita
sudah tua. Mungkin waktu itu poliomu sudah sembuh."
Kemudian Totto-chan bangkit dan sekali lagi memandang Yasuaki-chan. "Oh ya, aku
lupa," katanya. "Uncle
Tom's Cabin. Aku tak bisa mengembalikannya padamu
sekarang, kan" Aku akan menyimpankannya untukmu,
sampai kita bertemu lagi"
Ketika berjalan menjauh, ia merasa mendengar suara
kawannya itu di belakang, "Totto-chan, kita banyak bersenang-senang bersama,
kan" Aku takkan melupakanmu. Takkan perah."
Ketika sampai ke pintu gereja, Totto-chan memutar
badannya. "Aku juga takkan pemah melupakanmu" katanya.
Matahari musim semi bersinar lembut, sama dengan
pada hari ketika ia pertama kali berkenalan dengan
Yasuaki-chan di dalam kelas-gerbong-kereta. Tapi tidak
seperti hari itu, hah ini pipinya dibasahi air mata.
48. Mata-Mata SAMPAI lama, para murid Tomoe masih merasa sedih.
Mereka selalu ingat Yasuaki-chan, lebih-lebih di pagi hah,
ketika jam pelajaran akan dimulai. Butuh waktu cukup
lama bagi anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan
kenyataan bahwa Yasuaki-chan bukan hanya datang
terlambat, tapi dia takkan pernah datang lagi.
Kelas yang kecil mungkin baik, tapi di saat-saat seperti
itu, kelas yang kecil membuat suasana lebih sulit.
Absennya Yasuaki-chan sangat terasa. Satu-satunya hal
yang agak menolong adalah kenyataan bahwa tempat
duduk di kelas tidak pernah ditentukan. Kalau Yasuakichan punya kursi tetap,
maka kosongnya kursi itu akan
terasa sangat menyedihkan.
Akhir-akhir ini Totto-chan mulai berpikir tentang apa
yang ingin dilakukannya jika sudah dewasa. Waktu
masih lebih muda dulu, dia pernah ingin menjadi
pemusik jalanan atau balerina. Lalu di hah pertama
bersekoiah di Tomoe, ia ingin menjadi penjual karcis di
stasiun kereta api. Sekarang dia berpikir ingin melakukan
pekerjaan yang tidak biasa tapi lebih feminin.
Mungkin baik jika aku bekerja sebagai perawat, pikirnya. Tapi bba-tiba Totto-chan teringat ketika mengunjungi para serdadu yang terluka di rumah sakit.
Saat itu ia melihat para perawat melakukan tugas-tugas
seperti menyuntik, yang mungkin agak sulit. Lalu apa
yang bisa dilakukannya" Tiba-tiba ia merasa senang.
"Wan, tentu saja! Aku sudah memutuskan akan jadi
apa!" Ia mendekati Tai-chan, yang baru saja menyalakan
pembakar alkoholnya. "Aku akan jadi mata-mata," katanya bangga.
Tai-chan memalingkan wajah dari api dan sejenak
memandang wajah Totto-chan. Kemudian dia memandang ke luar jendela, beberapa
lama, seakan berpikir dan
menimbang-nimbang, sebelum berpaling lagi kepada
Totto-chan. Tai-chan berkata dengan suaranya yang
dalam dan cerdas. Suaranya pelan, kalimatnya sederhana
agar bisa dimengerti Totto-chan, "Kau harus pintar kalau
ingin jadi mata-mata. Selain itu, kau harus menguasai
banyak bahasa." Tai-chan berhenti sebentar untuk mengambil napas.
Kemudian dia memandang Totto-chan lekat-lekat dan
berkata terus terang, "Tapi yang paling penting, matamata wanita harus cantik."
Pelan-pelan Totto-chan mengalihkan pandangannya
ke bawah, menghindari tatapan Tai-chan. Kepalanya menunduk. Setelah berhenti
sesaat, Tai-chan berkata dengan suara rendah, sambil merenung. Kali ini tanpa
memandang Totto-chan, "Lagi pula, menurutku anak
perempuan yang cerewet tak bisa jadi mata-mata."
Totto-chan sangat terpukul. Bukan karena Tai-chan
tidak setuju dia menjadi mata-mata, tapi karena semua
yang dikatakannya benar. Semua hal itu memang sudah
diduganya. Ketika itulah ia sadar bahwa dalam segala hal
ia tidak punya bakat yang dibutuhkan untuk menjadi
mata-mata. Tentu saja dia tahu, Tai-chan mengatakan
semua itu bukan karena benci. Jadi tak ada yang bisa
dilakukannya kecuali melupakan cita-citanya itu. Ada
baiknya juga dia memberitahukan hal itu kepada Taichan.
Astaga, katanya pada diri sendiri, Tai-chan sebaya
denganku, tapi tahu jauh lebih banyak daripada aku.
Bagaimana kalau Tai-chan berkata padanya bahwa ia
ingin menjadi ahli fisika" Apa yang akan dikatakan Tottochan untuk
menanggapinya" Mungkin Totto-chan akan berkata, "Hmm, kau memang pandai menyalakan pembakar alkohol dengan
korek api sih." Tapi jawaban itu begitu kekanak-kanakan.
"Hmm, kau tahu kitsune artinya 'fox' dalam bahasa
Inggris dan kutsu artinya 'shoe', jadi kurasa kau bisa jadi
ahli fisika." Ah, itu juga bukan jawaban yang baik.
Apa pun yang terjadi, Totto-chan yakin, Tai-chan
dItakdirkan untuk melakukan sesuatu yang hebat.
Karena itu ia berkata manis kepada Tai-chan yang
sedang mengamati gelembung-gelembung yang terbentuk di dalam la bung reaksinya,
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terima kasih. Kalau begitu aku takkan jadi mata-mata. Tapi aku yakin, kau
akan jadi orang penting."
Tai-chan menggumamkan sesuatu, menggaruk-garuk
kepalanya, lalu menyibukkan diri dengan buku yang
terbuka di depannya. Kalau tak bisa menjadi mata-mata, lalu jadi apa" pikir
Totto-chan, sambil berdiri di samping Tai-chan dan
menatap api yang menyala di pembakamya.
49. Biola Papa SEBELUM mereka sadari, perang dan segala kengeriannya telah mulai terasa dalam kehidupan Tottochan dan keluarganya.
Setiap hari, para pria dan pemuda
di lingkungan tempat unggalnya dikirim pergi. Mereka
melambai-lambaikan bendera dan berseru-seru "Banzai!"
Bahan pangan dengan cepat menghilang dari toko-toko,
yang satu disusul yang lain. Semakin lama semakin sulit
untuk memenuhi aturan makan siang di Tomoe, yaitu
menyediakan "sesuatu dari laut dan sesuatu dari
pegunungan". Mama membuat makanan dari rumput laut
dan acar buah plum, tapi kedua bahan itu dengan cepat
menghilang dari pasar. Hampir semua kebutuhan dijatah.
Di mana-mana tak ada lagi orang menjual permen.
Totto-chan tahu ada mesin penjual otomatis di bawah
tangga di Stasiun Ookayama, satu stasiun sebelum
stasiunnya. Di sana orang bisa mendapat sebungkus
permen karamel setelah memasukkan uang ke lubang. Di
atas mesin itu ada gambar permen yang menggiurkan.
Permen sebungkus kecil harganya lima sen, yang besar
sepuluh sen. Tapi mesin itu sudah lama kosong. Tak ada
permen keluar berapa pun banyaknya uang yang kita
masukkan ke dalamnya dan betapapun kerasnya kita
memukul-mukul mesin itu. Totto-chan gadis yang
tangguh dan keras kepala, lebih dari anak-anak lain
sebayanya. Mungkin masih ada satu bungkus di dalamnya,
pikirnya. Mungkin tersangkut di dalam.
Karena itu, setiap hari ia turun satu stasiun lebih awal
dari stasiunnya lalu mencoba memasukkan uang logam
lima sen dan sepuluh sen ke dalam mesin itu. Tapi yang
diperolehnya hanya uangnya. Uang logam itu keluar lagi
dengan bunyi gemerincing.
Kira-kira pada waktu itu, kepada Papa, seseorang
mengabarkan berita yang bagi kebanyakan orang
merupakan berita menyenangkan. Jika Papa mau memainkan musik-musik masa perang dengan biolanya
di suatu tempat yang disebut pabrik amunisi"s"tempat
orang membuat senjata dan peralatan perang lainnya"s"
dia akan diberi beras, gula, dan beberapa kebutuhan lain.
Karena Papa, yang baru-baru ini dianugerahi hadiah
musik yang bergengsi, sangat terkenal sebagai pemaln
biola, kawannya itu mengatakan Papa pasti akan
mendapatkan banyak hadiah ekstra.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Mama kepada Papa.
'Kau akan menerima tawaran itu?"
Konser-konser musik semakin jarang. Semakin banyak
musisi yang dipanggil ke medan perang. Orkestra kekurangan pemain. Siaran radio
hampir seluruhnya digunakan untuk menyiarkan program-program yang berkaitan
dengan perang. Tak ada lagi cukup pekerjaan bagi Papa
dan kawan-kawannya. Seharusnya dia menerima kesempatan untuk memainkan sesuatu.
Papa berpikir beberapa lama sebelum menjawab, "Aku
tak mau memainkan lagu seperti itu dengan biolaku."
"Menurutku kau benar," kata Mama. "Kalau aku jadi
kau, aku akan menolak. Kita akan mencari makan dengan
cara lain." Papa tahu, Totto-chan tidak cukup makan dan dengan
sia-sia setiap hari mencoba memasukkan uang ke dalam
mesin penjual permen karamel. Dia juga tahu, hadiah
berupa makanan yang akan diterimanya jika dia mau
memainkan beberapa lagu perang akan sangat berguna
bagi keluarganya. Tapi Papa menghargai musiknya lebih
daripada apa pun. Mama tahu itu dan tak pernah
memaksa Papa melakukannya. "Maafkan, aku, Totsky!"
kata Papa sedih. Totto-chan terlalu muda untuk tahu tentang seni,
ideologi, dan kerja. Tapi dia tahu Papa sangat mencintai
biolanya dan orang mulai "mengucilkannya". Banyak
keluarga dan kerabatnya yang tidak mau lagi bicara
padanya. Papa mengalami masa-masa sulit, tapi dia bersikukuh tidak mau menyerah,
demi musik dan biolanya. Totto-chan berpikir, Papa punya hak untuk tidak
memainkan lagu yang tidak disukainya. Totto-chan melompat-lompat di sekeliling
Papa dan berkata riang, "Aku
tak peduli, karena aku juga mencintai biola Papa."
Esok harinya Totto-chan turun lagi di Ookayama dan
mengintip ke dalam mesin lewat lubang. Kemungkinan
sesuatu akan keluar nyaris tak ada, tapi ia tak pernah
berhenti berharap. 50. Janji SETELAH makan siang, sesudah para murid menyingkirkan kursi dan meja yang
tadinya ditata membentuk lingkaran. Aula tampak cukup luas.
Hari ini aku akan jadi anak pertama yang naik ke
punggung Kepala Sekolah, Totto-chan memutuskan.
Itu yang selalu ingin dilakukannya, tapi kalau ia raguragu barang sesaat, anak
lain sudah mendahuluinya duduk di pangkuan Kepala Sekolah yang bersila di
tengah Aula. Selain itu, setidak-tidaknya akan ada dua
anak lain bergelayut di punggung Mr. Kobayashi, berusaha menarik perhatiannya.
"Hei, hentikan, hentikan," teriak Kepala Sekolah
dengan riang dan wajah memerah. Tapi sekali sudah
menempel di punggungnya, anak-anak itu tak mau
menyerahkan posisi mereka kepada anak lain. Jadi kalau
kita lamban, tahu-tahu punggung Kepala Sekolah sudah
akan penuh digelayuti anak-anak. Kali ini keputusan
Totto-chan sudah bulat. Ia bertekad menjadi yang
pertama. Ia sudah berdiri menunggu di tengah Aula
ketika Kepala Sekolah masuk. Ketika guru itu mendekat,
Totto-chan berteriak kepadanya, "Ada sesuatu yang ingin
kukatakan kepada Bapak"
"Apa itu?" tanya Kepala Sekolah senang, sambil duduk
bersila di lantai. Totto-chan ingin mengatakan apa yang telah diputuskannya setelah berpikir selama
beberapa hari. Ketika Kepala Sekolah sudah duduk bersila, tiba-tiba Totto-chan
membatalkan niat untuk naik ke punggungnya. Apa yang
akan dikatakannya lebih pantas jika disampaikan secara
berhadapan. Jadi ia duduk dekat sekali di depan Kepala
Sekolah, menelengkan kepalanya sedikit, dan tersenyum.
Wajahnya menampilkan ekspresi yang disebut Mama
"wajah manisnya" sejak ia masih kecil dulu. Itulah wajah
"hari Minggu terbaiknya". Ia merasa percaya diri saat
tersenyum seperti itu. Mulutnya agak terbuka dan ia
yakin dirinya anak baik. Kepala Sekolah memandangnya dengan sikap menunggu. "Apa yang ingin kaukatakan?" tanyanya lagi,
sambil mencondongkan tubuh ke depan.
Totto-chan berkata dengan manis dan pelan-pelan.
Nada bicaranya seperti seorang kakak atau ibu, "Aku
ingin mengajar di sekolah ini kalau sudah dewasa.
Sungguh." Totto-chan berharap Kepala Sekolah akan tersenyum,
tapi guru itu bertanya dengan sungguh-sungguh, "Janji?"
Mr. Kobayashi tampak benar-benar ingin Totto-chan
berjanji. Totto-chan mengangguk penuh semangat dan berkata,
"Aku janji." Tekadnya sudah bulat, ia akan menjadi guru,
apa pun yang terjadi. Ingatannya melayang ke pagi hari ketika ia pertama
kali datang ke Tomoe sebagai murid kelas satu dan
berkenalan dengan Kepala Sekolah di kantornya. Rasanya sudah lama sekali. Waktu itu Kepala Sekolah
mendengarkan ocehannya selama empat jam penuh. Ia
ingat bagaimana setelah ia berhenti bicara, Kepala
Sekolah berkata kepadanya dengan suara hangat,
"Sekarang kau murid sekolah ini." Saat ini, ia semakin
menyayangi Mr. Kobayashi, lebih dari waktu itu. Tottochan sudah bertekad akan
bekerja untuk guru itu dan
melakukan apa saja yang bisa dilakukannya untuk membantu Mr. Kobayashi.
Ketika Totto-chan telah mengucapkan janji, wajah
Kepala Sekolah tampak senang. Dia tersenyum lebar,
seperti biasa, tanpa memedulikan giginya yang ompong.
Totto-chan mengulurkan kelingkingnya. Kepala Sekolah
juga mengulurkan kelingkingnya. Kelingkingnya tampak
kuat"s"seolah kau bisa meletakkan harapanmu di sana.
Totto-chan dan Kepala Sekolah kemudian menegaskan
perjanjian mereka dengan cara Jepang kuno, yaitu
dengan saling mengaitkan kelingking. Kepala Sekolah
tersenyum. Totto-chan juga tersenyum. Tekadnya sudah
bulat, ia akan menjadi guru di Tomoe! Sungguh gagasan
yang hebat. "Kalau aku jadi guru...," ia menggumam. Inilah hal-hal
yang dibayangkan Totto-chan: tidak banyak belajar, perbanyak Hari Olahraga,
acara masak bersama, berkemah,
dan jalan-jalan! Kepala Sekolah senang: Sulit membayangkan Tottochan tumbuh dewasa, tapi ia yakin
gadis itu akan bisa menjadi guru di Tomoe. Ia berpendapat semua murid
Tomoe akan menjadi guru yang baik karena mereka pasti
ingat bagaimana asyiknya menjadi anak-anak.
Begitulah di Tomoe, Kepala Sekolah dan salah satu
muridnya mengikat janji tentang sesuatu yang akan
terjadi sepuluh tahun lagi, atau bahkan lebih, di masa
depan. Padahal ketika itu semua orang berkata hanya
tinggal soal waktu sebelum pesawat-pesawat Amerika
yang bermuatan bom muncul di langit Jepang.
51. Si Rocky Hilang BANYAK serdadu gugur, makanan sulit didapat, dan
semua orang hidup dalam ketakutan"s"tapi musim panas
datang seperti biasa. Dan matahari bersinar menyinari
bangsa-bangsa yang menang maupun yang kalah.
Totto-chan baru saja kembali ke Tokyo dari rumah
pamannya di Kamakura. Tak ada lagi acara berkemah di Tomoe dan tak ada
lagi piknik-piknik menyenangkan ke sumber air panas.
Kelihatannya anak-anak takkan bisa lagi menikmati
liburan musim panas seasyik liburan ketika itu. Tottochan selalu menghabiskan
liburan musim panas dengan
sepupu-sepupunya di rumah mereka di Kamakura, tapi
tahun ini lain. Seorang anak laki-laki yang lebih tua serta
seorang kerabat yang suka menceritakan cerita-cerita
hantu yang seram, dipanggil dan dikirim ke medan
perang. Jadi tak ada lagi cerita hantu. Dan pamannya
yang suka menceritakan cerita-cerita menarik tentang
kehidupannya di Amerika"s"mereka tidak pernah tahu
apakah ceritanya benar atau tidak"s"juga dikirim ke
medan perang. Pamannya itu Shuji Taguchi, fotografer
yang hebat. Setelah bekerja sebagai kepala biro Nihon News di
New York dan petugas American Metro-News di Timur
Jauh, dia lebih dikenal sebagai Shu Taguchi. Dia kakak
kandung Papa. Papa menggunakan nama keluarga
ibunya untuk meneruskan nama itu, kalau tidak, nama
belakang Papa juga Taguchi.
Film-film yang pernah dikerjakan Paman Shuji, seperti
Perang Rabaul, pernah diputar di btoskop-boskop. Sejak
pergi ke medan perang, Paman Shuji hanya mengirimkan
film-filmnya, jadi bibi Totto-chan dan sepupu-sepupunya
sangat cemas memikirkan Paman Shuji. Fotografer
perang setalu memotret pasukan dalam posisi-postsi
berbahaya. Dengan kata lain, dia harus mendahului
pasukan untuk menunjukkan kemajuannya. Itu yang
dikatakan kerabat-kerabat Totto-chan yang sudah dewasa. Di musim panas itu, bahkan pantai Kamakura pun terlihat sepi dan muram. Tapi
dalam suasana seperti itu,
Yat-chan tetap riang seperti biasa. Dia putra sulung
Paman Shuji. Yat-chan kira-kira setahun lebih muda
daripada Totto-chan. Anak-anak tidur bersama di bawah
kelambu besar. Sebelum pergi tidur, Yat-chan selalu
berteriak, "Hidup sang kaisar!" lalu menjatuhkan diri,
seperti serdadu kena tembak, pura-pura mati. Dia suka
mengulang-ulang ungkapan itu berkali-kali. Lucunya,
Yat-chan sering berjalan sambil tidur, jatuh dari beranda,
dan membuat orang kalang-kabut.
Mama tetap tinggal di Tokyo bersama Papa yang
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus bekerja. Sekarang setelah libur musim panas
selesai, Totto-chan diantarkan kembali ke Tokyo oleh
adik perempuan anak laki-laki yang biasa menceritakan
cerita hantu. Seperti biasa, begitu sampai di rumah, Totto-chan
langsung mencari Rocky. Tapi kali ini ia tak bisa
menemukannya. Anjing itu tak ada di dalam rumah atau
di kebun. Di rumah kaca tempat Papa menanam anggrek
juga tak ada. Totto-chan mulai cemas karena biasanya
Rocky selalu keluar menyambutnya jauh sebelum ia
sampai di rumah. Totto-chan pergi ke luar rumah, lalu
menyusuri jalanan sambil memanggil-manggil anjingnya.
Tapi ia tak melihat sepasang mata, sepasang telinga, atau
ekor yang dicintainya. Totto-chan mengira anjingnya
sudah pulang waktu ia pergi mencari, karena itu ia cepatcepat kembali ke rumah.
Tapi Rocky belum juga ada di
rumah. "Mana Rocky?" tanyanya pada Mama.
Mama pasti tahu Totto-chan mencari Rocky ke manamana, tapi Mama diam saja.
"Mana Rocky?" Totto-chan bertanya lagi, sambil menarik-narik rok Mama.
Tampaknya susah bagl Mama untuk menjawab. "Dia
hilang," kata Mama akhimya.
Totto-chan tak mau percaya. Bagaimana mungkin
Rocky hilang" "Kapan?" tanyanya sambil menatap wajah
Mama. Mama seperti kehilangan kata-kata. "Tak lama setelah
kau berangkat ke Kamakura," katanya sedih. Kemudian
cepat-cepat Mama melanjutkan, "Kami sudah mencarinya
ke mana-mana. Kami sudah menanyai banyak orang.
Tapi kami tak bisa menemukannya. Aku tak tahu
bagaimana harus memberitahukan ini padamu. Mama
minta maaf." Kemudian Totto-chan mengerti apa yang sebenamya
terjadi. Rocky pasti sudah mati. Mama tidak ingin aku
sedih, pikirnya, tapi Rocky sudah mati.
Sekarang keadaan menjadi jetas bagi Totto-chan.
Hingga saat itu, tak peduli berapa lama Totto-chan pergi,
Rocky tak pernah pergi jauh-jauh dari rumah. Dia selalu
tahu Totto-chan akan pulang. Rocky takkan pemah pergi
tanpa pamit dulu padaku, katanya pada diri sendiri
dengan yakin. Tapi Totto-chan tidak membicarakan itu dengan
Mama. Dia mengerti perasaan Mama. "Heran. Ke mana
dia pergi, ya?" hanya itu yang dikatakannya dengan mata
tertunduk. Hanya itu yang bisa dikatakannya. Cepat-cepat dia
naik ke kamarnya. Tanpa Rocky, rumah itu terasa seperti
bukan rumahnya. Ketika masuk ke kamar, ia berusaha
untuk tidak menangis atau memikirkan Rocky. Ia mencoba mengingat-ingat apakah ia
telah berbuat jahat kepada Rocky"s"apa saja yang mungkin membuat anjing
itu ingin pergi. "Jangan mengganggu binatang," Mr. Kobayashi selalu
mengingatkan murid-murid Tomoe. "Sungguh jahat
mengkhianati binatang yang percaya kepada kita. Jangan
buat anjing memohon tapi kemudian tidak memberinya
apa-apa. Anjing itu takkan mempercayaimu lagi dan
sifatnya akan berkembang menjadi buruk."
Totto-chan selalu menaati peraturan itu. Ia tak pernah
mengecewakan Rocky. Seingatnya, ia tak pernah melakukan sesuatu yang buruk pada
anjing itu. Ketika sedang merenung begitu, Totto-chan melihat
sesuatu menggantung pada kaki boneka beruangnya
yang tergeletak di lantai. Sampai saat itu ia berhasil
menahan tangisnya, tapi ketika melihat benda itu,
tangisnya pecah. Benda itu adalah sejumput bulu Rocky
yang berwarna cokelat muda. Bulu-bulu itu pasti rontok
ketika mereka bermain dan berguling-guling di lantai di
pagi hari sebelum ia berangkat ke Kamakura.
Sambil menggenggam bulu anjing gembala Jerman di
tangannya, Totto-chan menangis dan menangis. Air mata
dan isakannya seolah tidak bisa berhenti.
Mula-mula Yasuaki-chan dan sekarang Rocky. Tottochan kehilangan seorang kawan
lagi. 52. Jamuan Minum Teh RYO-CHAN, tukang kebun di Tomoe yang sangat
disayangi anak-anak, akhirnya dipanggil ke garis depan.
Dia sudah dewasa, tapi mereka selalu memanggilnya
dengan panggilan kanak-kanaknya. Ryo-chan bagaikan
malaikat pelindung yang selalu menyelamatkan dan
menotong setiap kali ada anak yang mengalami masalah.
Ryo-chan bisa melakukan apa saja. Dia tak banyak bicara,
suka tersenyum, dan selalu tahu apa yang harus
dilakukan. Ketika Totto-chan jatuh ke bak penampung
kotoran, Ryo-chan-lah yang datang menyelamatkannya
dengan cepat dan memandikannya sampai bersih tanpa
mengomel sedikit pun. "Mari kita adakan Jamuan minum teh untuk mengantarkan keberangkatannya," kata
Kepala Sekolah. "Jamuan minum teh?"
Teh hijau diminum berkali-kali sepanjang hari di
Jepang, tapi itu tidak dihubungkan dengan kegiatan
menjamu"s"karena memakai teh bubuk khusus, teh dalam
upacara minum teh itu jadi minuman yang lain sama
sekali. "Jamuan minum teh" adalah sesuatu yang baru di
Tomoe. Anak-anak menyukai gagasan itu. Mereka suka
melakukan apa saja yang belum pemah mereka lakukan.
Anak-anak tidak tahu, dengan sengaja Kepala Sekolah
menciptakan kata baru, yaitu sawakai (jamuan minum
teh), bukan sobetsukai (pesta perpisahan) yang biasa.
Pesta perpisahan akan membuat anak-anak sedih. Anakanak yang lebih besar mungkin
mengerti pesta itu bisa saja menjadi pesta perpisahan jika Ryo-chan terbunuh
dan tidak kembali dari medan perang. Tapi anak-anak
belum pernah ikut jamuan minum teh, jadi mereka
semua menyambut acara itu dengan penuh semangat.
Setelah sekolah usai, Mr. Kobayashi menyuruh anakanak menata meja menjadi
lingkaran di Aula, seperti
waktu makan siang. Setelah semua duduk dalam
lingkaran, setiap anak diberi seiris tipis cumi-cumi kering
untuk dinikmati bersama teh hijau. Hidangan seperti itu
sudah dianggap mewah di masa perang. Kemudian dia
duduk di samping Ryo-chan dan meletakkan gelas berisi
sedikit sake di depannya. Itu jatah yang bisa diperoleh
untuk orang yang akan berangkat ke garis depan.
"Ini jamuan minum teh yang pertama di Tomoe," kata
Kepala Sekolah. "Mari kita bersenang-senang. Jika ada
yang ingin kalian katakan kepada Ryo-chan, katakan saja.
Kalian juga boleh bicara kepada kawan kalian, tidak
hanya kepada Ryo-chan. Ayo, satu per satu maju ke
depan dan berdiri di tengah lingkaran."
Itu bukan hanya pertama kalinya mereka makan cumicumi kering di Tomoe, tapi juga
pertama kalinya Ryochan duduk bersama mereka, dan pertama kalinya
mereka melihat Ryo-chan meneguk sake.
Satu per satu anak-anak berdiri, menghadap Ryo-chan
dan bicara kepadanya. Anak yang pertama bicara hanya
berpesan agar dia menjaga diri dan jangan sampai sakit.
Kemudian Migita, kawan sekelas Totto-chan, berkata,
"Lain kali kalau aku pulang ke desa akan kubawakan
kalian beberapa kue upacara pemakaman."
Semua tertawa. Sudah lebih dari setahun sejak Migita
pertama kali bercerita tentang kue yang dimakannya di
upacara pemakaman dan tentang enaknya kue itu. Setiap
ada kesempatan, dia selalu berjanji akan mem-bawakan
mereka beberapa kue itu, tapi dia tak pernah menepati
janjinya. Ketika Kepala Sekolah mendengar Migita menyebut
kue upacara pemakaman, dia agak kaget. Biasanya,
menyebut kue pemakaman dalam acara seperti itu dianggap membawa nasib buruk.
Tapi Migita mengatakannya dengan polos, dia hanya ingin berbagi sesuatu
yang lezat dengan kawan-kawannya. Mau tak mau
Kepala Sekolah tertawa bersama yang lain. Ryo-chan ikut
tertawa riang. Bagaimanapun, Migita sudah sering sekali
berjanji padanya untuk membawakan kue-kue itu.
Kemudian Oe berdiri dan berjanji pada Ryo-chan
bahwa dia akan menjadi ahli hortikultura terbaik di
Jepang. Oe adalah putra pemilik kebun tanaman hias
yang besar di Todoroki. Berikutnya Keiko Aoki berdiri,
tapi anak itu tidak berkata apa-apa. Dia hanya tertawa
malu-malu, seperti biasa, membungkuk hormat, dan
kembali ke tempat duduknya. Segera setelah itu Tottochan maju ke depan dengan
cepat dan berkata atas nama
temannya itu, "Ayam-ayam di rumah Keiko-chan bisa
terbang! Aku melihatnya sendiri!"
Kemudian Amadera bicara. "Kalau kau menemukan
anjing atau kucing yang terluka," katanya, "bawalah
mereka padaku. Aku akan menyembuhkan mereka."
Takahashi yang sangat kecil merangkak di bawah
mejanya untuk maju ke tengah lingkaran. Tahu-tahu
dalam sekejap dia sudah berdiri di sana. Dia berkata
dengan suara riang, "Terima kasih, Ryo-chan. Terima
kasih untuk semuanya. Untuk segala macam hal."
Berikutnya Aiko Saisho berdiri. Dia berkata, "Ryo-chan,
terima kasih telah memerbanku waktu aku jatuh dulu.
Aku takkan lupa." Adik kakek Aiko Saisho adalah
Laksamana Togo yang termasyhur dalam Perang RusiaJepang, dan Atsuko Saisho, kerabatnya yang lain, adalah
penyair perempuan yang sangat terkenal di istana Kaisar
Meiji. Tapi Aiko tak pernah menyebut-nyebut mereka.
Miyo-chan, putri Kepala Sekolah, paling mengenal
Ryo-chan. Matanya berkaca-kaca. "Jaga dirimu baik-baik,
Ryo-chan. Kita akan saling menulis surat."
Banyak sekali yang ingin dikatakan Totto-chan hingga
dia tak tahu sebaiknya mulai dari mana. Jadi dia hanya
berkata, "Meskipun kau sudah pergi, Ryo-chan, kami
akan membuat jamuan minum teh setiap hari."
Kepala Sekolah tertawa, begitu pula Ryo-chan. Semua
anak tertawa, termasuk Totto-chan.
Tapi kata-kata Totto-chan menjadi kenyataan esok
harinya. Setiap kali ada waktu, para murid akan membentuk kelompok dan mereka
main "jamuan minum teh".
Sebagai ganti cumi-cumi kering, mereka mengisap kulit
pohon, dan sebagai pengganti teh, mereka meneguk
segelas air putih. Kadang-kadang mereka pura-pura
minum sake. Lalu seseorang berkata, "Akan kubawakan
kalian kue pemakaman," dan semua anak tertawa.
Kemudian mereka mengobrol dan saling menceritakan
pikiran mereka. Meskipun tak ada sesuatu yang bisa
dimakan, "jamuan minum teh" itu sangat menyenangkan.
"Jamuan minum teh" adalah hadiah perpisahan yang
menyenangkan dari Ryo-chan untuk anak-anak, walau
pun ketika itu anak-anak sama sekali tak punya
bayangan tentang apa yang terjadi di luar lingkungan
mereka. "Jamuan minum teh" menjadi permainan terakhir yang para murid mainkan di Tomoe sebelum
mereka berpisah dan pergi menjalani hidup masingmasing.
Ryo-chan pergi naik kereta Toyoko. Kepergiannya
bertepatan dengan kedatangan pesawat-pesawat Amerika. Pesawat-pesawat itu akhirnya muncul di langit
Tokyo dan mulai menjatuhkan bom setiap hari.
53. Sayonara, Sayonara! Tomoe terbakar. Kejadiannya di malam hari. Miyo-chan,
dan Misa-chan, kakaknya, serta ibu mereka"s"yang
Cnggal di rumah yang bergandengan dengan sekolah"s"
berlari ke ladang Tomoe di dekat kolam di Kuil
Kuhonbutsu. Mereka selamat.
Banyak bom yang dijatuhkan pesawat pembom B29
menimpa gerbong-gerbong kereta api yang berfungsi
sebagai ruang kelas. Sekolah yang merupakan impian Kepala Sekolah
terbakar habis. Sekolah itu roboh bersamaan dengan
bunyi-bunyi yang mengerikan, bukan iringan suara-suara
yang amat disayanginya, suara tawa dan nyanyian anakanak. Api, yang tak mungkin
dipadamkan, meratakannya dengan tanah. Api berkobar di mana-mana di seluruh
Jiyugaoka. Di tengah semua itu, Kepala Sekolah berdiri di tengah
jalan sambil memandang Tomoe terbakar. Seperti biasa,
dia mengenakan setelan tiga potong berwarna hitam
yang sudah usang. Dia berdiri tegak dengan kedua
tangan di dalam saku. "Sekolah seperti apa yang akan kita bangun lagi?"
tanyanya kepada putranya, Tomoe, yang berdiri di sampingnya. Tomoe mendengar
kata-kata ayahnya, terpana,
tak kuasa berkata-kata. Kecintaan Mr. Kobayashi terhadap anak-anak dan
ketulusannya dalam mengajar jauh lebih kuat daripada
api yang sekarang membakar sekolahnya. Kepala Sekolah tetap riang. Totto-chan berbaring dalam kereta pengungsi yang
penuh sesak, terimpit di antara orang-orang dewasa.
Kereta bergerak menuju timur laut. Ketika dia memandang ke luar jendela ke
kegelapan di luar, dia ingat katakata perpisahan yang diucapkan Kepala Sekolah,
"Kita akan bertemu lagi!" dan kata-kata yang selalu diucapkan
kepadanya, "Kau itu anak yang benar-benar baik, kau
tahu itu, kan?" Dia tak ingin melupakan kata-kata itu.
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil merasa yakin dia akan segera bertemu lagi
dengan Mr. Kobayashi, Totto-chan akhirnya tertidur.
Kereta merayap dalam gelap, penumpang yang diliputi kecemasan.
membawa para Catatan Akhir Menulis tentang sekolah bernama Tomoe dan Sosaku
Kobayashi, pria yang mendirikan dan mengelolanya,
adalah satu hal yang sudah lama sekali ingin kulakukan.
Aku tidak mengarang-ngarang satu bagian pun. Semua
kejadian itu benar-benar terjadi, dan untunglah, aku bisa
mengingat-ingat cukup banyak. Kecuali ingin menuliskannya, aku ingin sekali
menuntaskan janji yang tidak
kutepati. Seperti yang kuceritakan di dalam salah satu
bab, sebagai anak aku berjanji dengan sungguh-sungguh
kepada Mr. Kobayashi bahwa setelah dewasa aku akan
menjadi guru di Tomoe. Tapi janji itu tak bisa kutepati.
Karena itu, aku mencoba menunjukkan, kepada sebanyak
mungkin orang, seperti apakah Mr. Kobayashi itu,
cintanya yang luar biasa kepada anak-anak, dan
bagaimana dia mendidik mereka.
Mr. Kobayashi meninggal tahun 1963. Seandainya dia
masih hidup sekarang, pasti akan lebih banyak yang bisa
diceritakannya kepadaku. Bahkan ketika menulis ini, aku
sadar betapa banyaknya episode yang dulu seperti
kenangan indah masa kanak-kanak bagiku, ternyata
merupakan kegiatan yang dengan cermat dirancang dan
dipikirkan masak-masak olehnya agar bisa memperoleh
hasil-hasil tertentu. Oh, pasti itu yang ada di pikiran Mr. Kobayashi, begitu
aku sering berpikir. Atau, aneh, dia bahkan sudah
berpikir tentang itu. Setiap kali aku menyadari hal-hal
seperti itu, aku semakin takjub"s"semakin terharu dan
bersyukur. Dalam kasusku sendiri, sulit bagiku untuk mengukur
betapa aku sangat tertolong oleh caranya mengatakan
padaku, berulang-ulang, "Kau anak yang benar-benar
baik, kau tahu itu, kan?" Seandainya aku tidak bersekolah
di Tomoe dan tidak pernah bertemu Mr. Kobayashi,
mungkin aku akan dicap "anak nakal", tumbuh tanpa rasa
percaya diri, menderita kelainan jiwa, dan bingung.
Tomoe musnah dimakan api pada serangan bom di
Tokyo, tahun 1945. Mr. Kobayashi telah membangun
sekolah itu dengan uang pribadinya, jadi untuk membangunnya kembali dibutuhkan
waktu lama. Setelah perang, dia membuka taman kanak-kanak di bekas
tempat sekolah itu, sambil membantu mendirikan apa
yang sekarang dikenal sebagai Departemen Pendidikan
Anak di Sekolah Tinggi Musik Kunitachi. Dia juga
mengajar euritmik di sana dan membantu mendirikan
Sekolah Dasar Kunitachi. Dia meninggal pada usia enam
puluh sembilan, sebelum sempat mendirikan kembali
sekolah yang dicita-citakannya.
Tomoe Gakuen terletak di Tokyo tenggara, tiga menit
jalan kaki dari Stasiun Jiyugaoka di jalur Toyoko. Di
tempat itu sekarang berdiri supermarket Peacock dan
tempat parkir. Sekadar untuk bernostalgia, aku pergi ke
sana, meskipun aku tahu tak ada lagi yang tersisa dari
sekolah itu atau halamannya. Aku mengemudikan mobil
pelan-pelan melewati tempat parkir, di bekas tempat
deretan gerbong kelas dan halaman bermain. Pria yang
bertugas di tempat parkir melihat mobilku dan berteriak,
"Anda tidak boleh masuk, Anda tidak boleh masuk.
Sudah penuh!" "Aku tak mau parkir," ingin rasanya aku berkata, "aku
hanya ingin membangkitkan kenanganku." Tapi dia
takkan mengerti, jadi aku pergi. Kesedihan yang dalam
menyesakkan dadaku. Air mata meleleh di pipiku ketika
aku mempercepat laju mobil.
Aku yakin, di mana-mana di dunia ini ada banyak
pendidik yang baik"s"orang-orang yang punya idealisme
tinggi dan sangat mencintai anak-anak"s"yang bermimpi
bisa mendirikan sekolah ideal. Dan aku tahu betapa
sulitnya mewujudkan impian itu. Mr. Kobayashi belajar
bertahun-tahun sebelum mendirikan Tomoe di tahun
1937. Sekolah itu terbakar habis tahun 1945, jadi masa
hidupnya singkat sekali. Aku yakin dan bersyukur, waktu aku bersekolah di
sana, ketika itu semangat Mr. Kobayashi sedang berada
di puncak dan semua rencananya dapat dikembangkannya dengan baik. Tapi jika
kuingat betapa banyaknya anak yang akan beruntung mendapat asuhannya seandainya tidak ada perang, aku
jadi sedih memikirkan kesia-siaan itu. Aku mencoba menjelaskan metode pendidikan Mr.
Kobayashi di buku ini. Dia yakin, setiap anak dilahirkan
dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak
karena lingkungan mereka atau karena pengaruhpengaruh buruk orang dewasa. Mr.
Kobayashi berusaha menemukan "watak baik" setiap anak dan mengembangkannya, agar anak-anak tumbuh
menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas.
Mr. Kobayashi sangat menghargai segala sesuatu yang
alamiah dan ingin agar karakter anak-anak berkembang
sealamiah mungkin. Dia juga sangat mencintai alam.
Putrinya yang termuda, Miyo-chan, bercerita padaku
bahwa ayahnya sering mengajaknya berjalan-jalan waktu
dia masih kecil, sambil berkata, "Ayo kita jalan-jalan dan
mengamati irama alam."
Dia suka mengajak putrinya ke sebatang pohon besar
dan menunjukkan bagaimana daun-daun dan cabangcabang bergoyang ditiup angin;
menunjukkan hubungan antara daun-daun, cabang-cabang, dan batang pohon;
dan bagaimana gerakan daun-daun berbeda tergantung
pada kuat-lemahnya angin. Mereka berdiri tegak dan
mengamati hal-hal seperti itu.
Jika tak ada angin, mereka menunggu sabar dengan
wajah tengadah, sampai angin semilir yang paling lembut
berembus pelan. Mereka tidak hanya mengamati angin,
tapi juga sungai-sungai. Mereka sering pergi ke Sungai
Tama di dekat sekolah dan mengamati bagaimana airnya
mengalir. Mereka tak pernah bosan melakukan hal
seperti itu, kata Miyo-chan padaku.
Para pembaca mungkin heran mengapa para penguasa Jepang di masa perang mengizinkan beroperasinya sekolah dasar yang
tidak konvensional seperti itu, tempat pelajaran diberikan dalam suasana
bebas. Mr. Kobayashi membenci publikasi. Bahkan
sebelum perang pun, dia tidak mengizinkan Sekolah
Tomoe difoto atau sistemnya yang tidak konvensional
dipublikasikan. Itu mungkin salah satu alasan mengapa
sekolah kecil dengan jumlah murid paling banyak lima
puluh itu luput dari perhatian dan berhasil bertahan.
Alasan lain adalah kenyataan bahwa Mr. Kobayashi
adalah tokoh pendidikan anak yang sangat dihormati di
Departemen Pendidikan. Setiap tanggal tiga November"s"bertepatan dengan
Hari Olahraga yang penuh kenangan manis"s"para murid
Tomoe, tak peduli tahun berapa mereka lulus, berkumpul
dalam salah satu ruangan di Kuil Kuhonbutsu untuk
mengadakan reuni yang menyenangkan. Meskipun sekarang sebagian besar dari kami rata-rata berumur 40,
bahkan ada yang sudah hampir lima puluh tahun"s"dan
punya anak-anak yang sudah dewasa, kami masih saling
memanggil dengan nama kanak-kanak kami seperti di
masa dulu. Reuni-reuni seperti itu merupakan salah satu
dari banyak warisan berharga yang ditinggalkan Mr.
Kobayashi untuk kami. Benar, aku memang dikeluarkan dari sekolah dasarku
yang pertama. Aku tidak ingat banyak tentang sekolah
itu"s"ibuku yang bercerita tentang pemusik jalanan dan
peristiwa meja itu. Aku nyaris tak percaya bahwa aku
benar-benar pernah dikeluarkan dari sekolah. Benarkah
aku dulu senakal itu" Tapi, lima tahun yang lalu aku
ambil bagian dalam acara pagi di televisi, dan dalam
acara itu aku diperkenalkan dengan orang yang sudah
lama mengenalku. Ternyata dia guru kelas di kelas
sebelah kelasku. Aku tertegun mendengar apa yang
dikatakannya padaku. "Kelasmu di sebelah kelasku," katanya. "Kalau harus
pergi ke ruang guru waktu jam pelajaran sedang berlangsung,
biasanya aku menemukanmu berdiri di koridor, sedang dihukum karena melakukan sesuatu
yang aneh. Waktu aku lewat, kau selalu menghentikanku
dan bertanya mengapa kau disuruh berdiri di sana, dan
apa kesalahanmu. "Bu Guru tidak suka pemusik jalanan,
ya"' kau pernah bertanya padaku.
"Aku tidak pernah tahu bagaimana menghadapimu,
jadi akhirnya, kalau harus pergi ke ruang guru aku akan
mengintip dulu. Kalau kau ada di koridor, aku tak jadi
pergi. Guru kelasmu sering membicarakan dirimu di
ruang guru. 'Aku heran kenapa dia bisa begitu,' katanya.
Itu sebabnya, ketika kau mulai muncul di televisi, aku
segera mengenali namamu. Kejadian itu sudah lama
sekali, tapi aku sangat ingat bagaimana kau ketika di
kelas satu." Apakah aku dihukum harus berdiri di koridor" Aku
kaget, tapi tidak ingat kejadian itu. Guru berwajah awet
muda dan berambut abu-abu yang ramah, yang mau
susah payah datang ke acara bincang-bincang pagi inilah
yang akhirnya meyakinkanku bahwa aku benar-benar
pernah dikeluarkan dari sekolah.
Di sini aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku
yang tulus kepada ibuku yang tak pernah menceritakan
kejadian itu sampai setelah ulang tahunku yang kedua
puluh. "Kau tahu mengapa kau pindah sekolah waktu sekolah
dasar?" dia pernah bertanya padaku. Ketika aku menjawab tidak, dia melanjutkan,
tanpa basa-basi, "Karena
kau dikeluarkan." Waktu itu bisa saja dia berkata, "Apa jadinya kau
nanti" Kau sudah dikeluarkan dari satu sekolah, Kalau
mereka mengeluarkanmu dari sekolah berikutnya, kau
akan sekolah di mana?"
Kalau ibuku berkata begitu padaku, aku pasti akan
merasa gugup dan merasa diri tak berguna ketika masuk
ke gerbang Tomoe Gakuen pada hari pertamaku di sana.
Gerbang yang hidup, berdaun, dan berakar, dan kelaskelas
dalam gerbong kereta api takkan terlihat menyenangkan di mataku. Betapa beruntungnya aku
punya ibu seperti ibuku. Dalam keadaan perang, hanya sedikit sekali foto yang
diambil di Tomoe. Di antara foto-foto itu, foto perayaan
lulus sekolah adalah yang paling mengesankan. Muridmurid yang telah lulus
biasanya berfoto di undakan di
depan Aula, tapi ketika para lulusan itu mulai berderet
sambil berseru, "Ayo, ikut foto!" anak-anak lain juga ingin
ikut berfoto, jadi tidak mungkin orang tahu kelas mana
yang sedang merayakan kelulusan.
Waktu reuni kami sering berdiskusi sengit tentang
kejadian itu. Mr. Kobayashi tidak pernah berkomentar
apa-apa tentang acara pemotretan itu. Mungkin dia pikir
lebih baik mengabadikan foto yang bersuasana informal
dari semua murid sekolahnya daripada membuat foto
yang formal. Melihat foto-foto itu sekarang, memang
begitulah gambaran Tomoe.
Banyak sekali yang masih bisa kutulis tentang Tomoe.
Tapi aku cukup puas jika bisa membuat orang sadar
bahwa seorang gadis cilik seperti Totto-chan, jika diberi
pengaruh yang tepat oleh orang dewasa, akan bisa
menjadi pribadi yang pandai menyesuaikan diri dengan
orang lain. Aku yakin jika sekarang ada sekolah-sekolah seperti
Tomoe, kejahatan dan kekerasan yang begitu sering kita
dengar sekarang dan banyaknya anak putus sekolah
akan jauh berkurang. Di Tomoe tak ada anak yang ingin
pulang ke rumah setelah jam pelajaran selesai. Dan di
pagi hari, kami tak sabar ingin segera sampai ke sana.
Begitulah sekolah itu. Sosaku Kobayashi, pria yang mempunyai inspirasi dan
visi untuk mendirikan sekolah yang menakjubkan itu,
dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1893, di sebuah desa di
barat laut Tokyo. Alam dan musik adalah kecintaannya.
Sebagai anak desa, dia suka berdiri di pinggir sungai
dekat rumahnya, memandang Gunung Haruna
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di kejauhan, dan berpura-pura menganggap air yang mengalir deras di sungai itu
sebagai orkestra yang akan
dipimpinnya sebagai dirigen.
Dia anak bungsu dari enam anak pasangan petani
miskin. Dia harus bekerja keras sebagai asisten guru
setelah menamatkan sekolah dasar. Bisa memperoleh
sertifikat yang dibutuhkan untuk menjadi asisten guru
itu sungguh suatu prestasi hebat untuk anak seusianya.
Kenyataan itu menunjukkan bakatnya yang luar biasa.
Tak lama kemudian dia menjadi guru tetap di sebuah
sekolah dasar di Tokyo. Dia mengkombinasikan kesibukan mengajar dengan
belajar musik, yang akhirnya memungkinkannya mewujudkan cita-citanya yang utama,
yaitu masuk ke Departemen Pendidikan Musik di konservatori musik
paling terkenal di Jepang"s"kini bernama Universitas Seni
dan Musik Tokyo. Setelah lulus, dia menjadi instruktur
musik di Sekolah Dasar Seikei yang didirikan oleh Haruji
Nakamura, pria hebat yang yakin bahwa pendidikan
dasar anak adalah yang paling penting. Dia selalu
membatasi jumlah muridnya, tidak pernah banyak. Dia
juga mempraktekkan kurikulum yang cukup bebas untuk
mengembangkan kepribadian setiap anak dan membangkitkan harga diri mereka.
Pelajaran diberikan di pagi hari. Setelah istirahat siang,
waktu digunakan untuk berjalan-jalan, mengumpulkan
tanaman, menggambar sketsa, menyanyi, atau mendengarkan
cerita-cerita dari Kepala Sekolah. Mr. Kobayashi sangat dipengaruhi metode Haruji Nakamura
dan kelak dia menerapkan kurikulum yang serupa di
Tomoe. Ketika mengajar musik di sana, Mr. Kobayashi menulis
operet anak-anak untuk dipentaskan para murid. Operet
itu membuat terkesan seorang industrialis besar, Baron
Iwasaki. Keluarga industrialis itu pendiri perusahaan
raksasa Mitsubishi. Baron Iwasaki adalah pelindung
kegiatan seni"s"dia mendukung Koscak Yamada, tokoh
terhormat di kalangan para komponis Jepang, dan
banyak memberikan dukungan finansial kepada sekolah
itu. Baron Iwasaki menawari Mr. Kobayashi untuk belajar
metode-metode pendidikan di Eropa.
Mr. Kobayashi menghabiskan dua tahun di Eropa. Dari
tahun 1922 sampai 1924, dia mengunjungi berbagai
sekolah dan belajar euritmik bersama Emile JaquesDalcroze di Paris. Sekembalinya
dari Eropa, dia mendirikan Taman Kanak-Kanak Seijo bersama seorang
kawannya. Mr. Kobayashi sering berkata kepada para
guru taman kanak-kanak agar tidak mencoba memaksa
anak-anak tumbuh sesuai bentuk kepribadian yang
sudah digambarkan. "Serahkan mereka kepada alam," begitu katanya.
"Jangan patahkan ambisi mereka. Cita-cita mereka lebih
tinggi daripada cita-cita kalian." Belum pernah ada taman
kanak-kanak seperti itu di Jepang.
Pada tahun 1930, Mr. Kobayashi pergi lagi ke Eropa
untuk belajar lebih lanjut bersama Dalcroze, berkeliling
dan melakukan pengamatan-pengamatan. Sekembalinya
ke Jepang, dia memutuskan untuk membuka sekolah
sendiri. Kecuali membuka Tomoe Gakuen di tahun 1937, dia
juga mendirikan Asosiasi Euritmik Jepang. Kebanyakan
orang mengingatnya sebagai pria yang memperkenalkan
euritmik ke Jepang atau karena karyanya di Kolese
Musik Kunitachi setelah perang. Sangat sedlkit di antara
kami yang masih ada, pernah secara langsung mengalami metode-metode
pengajarannya. Sungguh menyedihkan bahwa dia meninggal sebelum sempat mendirikan sekolah lain seperti Tomoe. Padahal ketika
sekolah itu terbakar, dia sudah membayangkan sekolah
baru yang lebih baik. "Sekolah seperti apa yang akan kita
dirikan berikutnya?" dia bertanya dengan penuh semangat, tak tergoyahkan karena
kekacauan dan kehancuran di sekitarnya.
Ketika mulai menulis buku ini, aku takjub mengetahui
bahwa produser acara Tetsuko's Room, acara bincangbincang yang kupandu setiap
hari"s"produser yang telah
bekerja sama denganku selama bertahun-tahun"s"
ternyata sudah sepuluh tahun melakukan riset tentang
Mr. Kobayashi. Dia belum pernah bertemu dengan
pendidik itu, tapi minatnya dibangkitkan oleh seorang
wanita yang pernah bermain piano untuk mengiringi
pelajaran euritmik bagi anak-anak.
"Anak-anak tidak berjalan seperti itu," kata Mr.
Kobayashi, mengoreksi temponya ketika wanita itu mulai
memainkan piano. Itulah komentar dari pria yang amat
mengerti anak-anak dan tahu bagaimana mereka bernapas serta menggerakkan tubuh
mereka. Aku berharap Kazuhiko Sano, produserku, akan segera menulis bukunya untuk menceritakan kepada
dunia lebih banyak lagi tentang pria menakjubkan itu.
Dua puluh tahun yang lalu, seorang editor Kodansha
yang masih muda dan berwawasan luas membaca esai
yang kutulis tentang Tomoe di sebuah majalah wanita.
Dia menemuiku, membawa berlembar-lembar kertas,
memintaku memperluas materi itu menjadi buku.
Sayangnya, kugunakan dokumen-dokumen itu untuk
keperluan lain. Pemuda itu pun menjadi direktur sebelum
gagasannya terwujud. Tapi dialah, Katsuhisa Kato, yang
memberiku gagasan"s"dan rasa percaya diri"s"untuk
menulis buku ini. Waktu itu, aku tidak terlalu sering
menulis, jadi bagiku menulis buku itu terlalu berat.
Akhirnya, aku berhasil dibujuk untuk menulis satu bab
dalam serial artikel untuk majalah Young Woman yang
diterbitkan Kodansha. Tulisan itu kususun dari bulan
Februari 1979 sampai bulan Desember 1980.
Setiap bulan aku mengunjungi Museum Buku Bergambar Chihiro Iwasaki di Shimoshakuji, Nerimaku, Tokyo, untuk memilih ilustrasi. Chihiro Iwasaki seorang
jenius dalam menggambarkan anak-anak. Aku ragu
apakah ada seniman di dunia ini yang bisa menggambar
anak-anak sehidup dia menggambarkannya. Dia mengabadikan anak-anak dalam
berbagai sikap dan suasana
hati mereka. Dia juga bisa membedakan bayi umur enam
bulan dan bayi umur sembilan bulan. Tak bisa kukatakan
betapa senangnya aku ketika diizlnkan menggunakan
gambar-gambarnya untuk bukuku. Gambar-gambarnya
sungguh pas untuk ceritaku. Wanita itu meninggal tahun
1974, tapi orang selalu bertanya padaku apakah aku
mulai menulis bukuku ketika dia masih hidup. Itu
menunjukkan betapa gambar-gambarnya benar-benar
melukiskan kehidupan nyata dan betapa menakjubkannya caranya menggambarkan anakanak. Chihiro Iwasaki meninggalkan kira-kira tujuh ribu
gambar. Aku mendapat kehormatan diizinkan melihat
sebagian besar karya aslinya. Ini berkat kemurahan hati
putranya, asisten kurator di museum itu, dan istrinya.
Aku juga ingin menyampaikan rasa terima kasihku pada
suami sang seniman yang mengizinkanku mereproduksi
karya-karya istrinya. Aku juga berterima kasih kepada
penulis naskah drama, Tadasu Iizawa"s"kurator Museum
Chihiro Iwasaki"s"yang selalu mendorongku untuk mulai
menulis jika aku menunda-nunda. Sekarang aku menjadi
salah satu penyantun museum itu.
Miyo-chan dan semua kawanku di Tomoe memberikan
bantuan yang sangat besar. Rasa terima kasih yang tulus
juga kusampaikan kepada editorku untuk edisi bahasa
Jepang, Keiko Iwamoto, yang selalu berkata, "Kita harus
membuat buku ini hebat!"
Aku mendapat gagasan untuk judul bahasa Jepangnya dari sebuah ungkapan yang
populer beberapa tahun yang lalu yang mengacu pada seseorang "di jendela",
yang berarti mereka berada di ambang jendela atau di
luar di tengah udara dingin. Meskipun aku biasa berdiri
dekat jendela karena pilihanku sendiri, sambil berharap
bisa melihat para pemusik jalanan, aku benar-benar
merasa berada "di jendela" di sekolah yang pertama itu"s"
terasing dan terpencil sendirian. Judul yang kupilih
menggambarkan suasana itu dan satu suasana lain"s"
jendela menuju kegembiraan yang akhimya terbuka
untukku di Tomoe. Tomoe sudah tak ada. Tapi sekolah itu akan terus
hidup dalam imajinasi Anda ketika Anda membaca buku
ini. Tak ada yang lebih membuatku bahagia daripada itu.
Banyak hal terjadi selama tahun-tahun yang lewat
antara terbitnya buku ini di Jepang dan munculnya edisi
bahasa Inggrisnya. Yang pertama-tama, tanpa diduga
buku ini menjadi best seller. Totto-chan membuat sejarah
di dunia penerbitan Jepang karena terjual 4.500.000
buku dalam setahun. Berikutnya, aku takjub menemukan buku ini dibaca
sebagai buku wajib untuk pendidikan. Aku pemah
berharap buku ini akan berguna bagi para guru sekolah
dan ibu-ibu muda karena menggambarkan kepala
sekolah seperti Mr. Kobayashi. Tapi aku tak pernah
membayangkan buku ini akan punya dampak seperti itu.
Mungkin ini indikasi betapa orang-orang di seluruh
Jepang sangat prihatin akan situasi pendidikan sekarang.
Bagi anak-anak, ini adalah buku cerita. Tanggapantanggapan dari para pembaca
menunjukkan bahwa meskipun ada banyak kata sukar di dalamnya, anak-anak
dari usia tujuh tahun bisa menikmati buku ini dengan
bantuan kamus. Tak bisa kukatakan betapa bahagianya
aku karena itu. Seorang sarjana sastra Jepang yang
berusia seratus tiga tahun menulis, "Aku sangat menikmati buku ini." Tapi jauh lebih menakjubkan adalah
fakta bahwa anak-anak benar-benar membacanya dan
mau mencari arti kata-kata yang sukar sementara komik
dan buku-buku bergambar melimpah di mana-mana dan
anak muda dikatakan tidak lagi tertarik membaca katakata tertulis.
Setelah buku ini terbit, aku didatangi perusahaanperusahaan film, televisi,
teater, dan film animasi yang
minta izin untuk memproduksi ceritaku lewat bermacammacam medium mereka. Tapi
karena sudah banyak sekali orang yang membaca buku ini dan membuat
bayangan mereka sendiri tentang tokoh-tokoh di sini,
aku merasa akan sulit mengembangkan imajinasi mereka
betapapun hebatnya sutradara yang akan membuatnya.
Jadi kutolak semua tawaran itu.
Tapi aku menyetujui interpretasi orkestranya karena
musik memberi kebebasan untuk berfantasi. Aku meminta Akihiro Komori"s"yang
terkenal karena musikmusik-nya yang indah"s"untuk menggarap komposisinya.
Simfoni Totto-chan: The Little Girl at the Window,
dengan narasi yang kubacakan sendiri, sangat sukses.
Gedung pertunjukan bergantian diisi tawa dan air mata.
Sebuah rekor telah dipecahkan pertunjukan itu.
Buku ini sekarang resmi menjadi materi pengajaran.
Dengan persetujuan Kementerian Pendidikan, bab "Guru
Pertanian" akan digunakan di kelas tiga pelajaran bahasa
Jepang mulai tahun depan, dan bab "Sekolah Tua yang
Usang" di kelas empat untuk pelajaran etika dan budi
pekerti. Banyak guru telah menggunakan buku ini
dengan cara mereka sendiri. Di kelas-kelas seni,
misalnya, aku mendengar guru-guru membacakan salah
satu bab di depan murid-murid, kemudian menyuruh
mereka membuat gambar tentang apa yang paling membuat mereka terkesan.
Aku berhasil mewujudkan impianku sejak lama, yaitu
mendirikan teater profesional yang pertama di Jepang,
khusus untuk orang-orang tunarungu. Itu berkat royalti
buku ini"s"buku yang membuatku menerima Hadiah NonFiksi dan tiga penghargaan lain.
Untuk pelayanan kepada masyarakat, baru-baru ini aku mendapat kehormatan
diundang, bersama tamu-tamu penting lainnya"s"salah
satunya pemenang hadiah Nobel untuk Kimia, Ken'ichi
Fukui"s"ke pesta kebun musim semi di istana Kaisar.
Dalam pesta itu, aku mendapat kehormatan dapat berbincang santai dengan Yang
Mulia. Dan tahun lalu, aku
menerima penghargaan dari Perdana Menteri untuk
memperingati Tahun Internasional untuk Penyandang
Cacat. Buku yang sangat ingin kutulis telah membuahkan
berbagai peristiwa yang membahagiakan.
Akhirnya, aku ingin menyampaikan terima kasihku
yang tulus kepada Dorothy Britton yang menerjemahkan
bukuku ke dalam bahasa Inggris. Aku beruntung menemukan penerjemah yang luar
biasa. Fakta bahwa dia pemusik dan penyair memungkinkan dia untuk memindahkan teks buku ini ke dalam
bahasa Inggris yang tetap mempunyai irama dan kepekaan serta
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyenangkan untuk dibaca.
Oh ya, satu lagi. Aku juga ingin berterima kasih
kepada komponis Broadway, Harold Rome dan istrinya
yang pengarang, Florence. Aku baru saja menyelesaikan
bab pertama ketika mereka sudah mulai mendorongku
untuk mempublikasikan cerita ini dalam bahasa Inggris.
TETSUKO KUROYANAGI Tokyo, 1982 Epilog APA yang mereka lakukan sekarang, kawan-kawanku
yang melakukan "perjalanan" bersamaku di kelas yang
sama di "gerbong kereta*"
Akira Takahashi Takahashi, yang memenangkan semua hadiah di Hari
Otahraga, tidak pernah tumbuh lebih tinggi. Tapi dengan
nilai-nilai amat bagus, dia berhasil diterima di SMU yang
di Jepang terkenal karena tim rugby-nya. Dia melanjutkan ke Universitas Meiji
dan meraih gelar insinyur listrik.
Sekarang dia menjadi manajer personalia di perusahaan elektronik besar dekat Danau Hamana di
Jepang tengah. Dia bertanggung jawab atas hubungan
yang harmonis di antara para pekerja. Dia mendengarkan
keluhan dan menyelesaikan masalah-masalah para pekerja pertentangan-pertentangan.
dan Karena pernah menderita begitu banyak, dia selalu siap mendengarkan masalah orang lain.
Wataknya yang periang dan kepribadiannya yang menarik pastilah sangat
membantu dalam tugasnya. Sebagai spesialis teknis, dia
juga melatih tenaga-tenaga muda dalam menggunakan
mesin-mesin besar dengan ke Hamamatsu sistem sirkuit yang terintegrasi. Aku pergi untuk mengunjungi Takahashi dan istrinya"s"wanita ramah yang benar-benar
memahaminya dan begitu banyak mendengar tentang
Tomoe hingga dia berkata dia merasa seperti pemah bersekolah di sana. Dia
meyakinkan aku bahwa Takahashi
tidak menderita kompleks apa pun karena badannya
yang cebol. Aku yakin istrinya benar. Kompleks kejiwaan
akan membuat hidupnya sulit di sekolah yang terkenal
dan di universitas dulu, dan takkan memungkinkan dia
bekerja seperti sekarang di departemen personalia.
Ketika menggambarkan hari pertamanya di Tomoe,
Takahashi berkata dia langsung merasa nyaman ketika
melihat anak-anak lain dengan cacat tubuh. Sejak itu dia
tidak punya perasaan bdak enak dan sangat menikmati
setiap hari di sekolah itu hingga tak pernah ingin pulang.
Dia bercerita padaku bahwa mula-mula, dia malu ketika
disuruh berenang telanjang di kolam, tapi setelah
melepas pakaiannya satu per satu, rasa malunya pelanpelan lenyap. Dia juga tidak
malu lagi ketika mendapat
giliran berdiri di depan anak-anak lain waktu makan
siang untuk berpidato. Dia bercerita padaku bagaimana Mr. Kobayashi
menyemangatinya untuk melompati kuda-kuda yang
lebih tinggi daripada dirinya. Mr. Kobayashi selalu
meyakinkannya bahwa dia bisa melakukannya, meskipun
sekarang dia menduga Mr. Kobayashi telah membantunya melompat"s"tepat pada saat
terakhir, dan membiarkan dia berpikir bahwa dia mampu melakukannya dengan kekuatannya sendiri.
Mr. Kobayashi memberi nya rasa percaya diri dan memungkinkan dia mengenali
kegembiraan yang tak terkatakan ketika berhasil mencapai sesuatu. Setiap kali
dia mencoba bersembunyi di
belakang, Kepala Sekolah selalu membawanya ke depan
hingga dia harus mengembangkan sikap positif terhadap
berbagai hal remeh dalam hidup ini. Dia masih ingat
betapa senangnya dia ketika memenangkan semua
perlombaan itu. Dia bercerita tentang Tomoe dengan
mata berbinar-binar dan cerdas seperti dulu serta
dengan gembira. Lingkungan rumah yang baik pasti juga berperan bagi
perkembangan Takahashi menjadi pria yang begitu baik.
Tak perlu diragukan lagi bahwa Mr. Kobayashi mendidik
kami semua dengan pandangan jauh ke depan. Seperti
kata-kata yang selalu diucapkannya padaku, "Kau benarbenar anak yang baik, kau
tahu itu, kan?" cara dia selalu
menyemangati Takahashi dengan berkata, "Kau bisa
melakukannya!" merupakan faktor penentu yang membentuk kehidupannya.
Ketika aku meninggalkan Hamamatsu, Takahashi
mengatakan sesuatu yang sama sekali sudah kulupakan.
Dia berkata bahwa dia sering diejek dan diganggu anakanak sekolah lain dalam
perjalanannya ke Tomoe dan dia
sering datang ke sekolah dengan perasaan kacau. Ketika
melihatnya tampak sedih, aku selalu bertanya padanya,
apa yang diperbuat anak-anak sekolah lain kepadanya.
Katanya, begitu tahu apa yang telah terjadi, aku langsung
berlari keluar gerbang. Lalu beberapa saat kemudian, aku
berlari kembali dan meyakinkan dia bahwa takkan ada
lagi anak yang berani mengganggunya.
"Kau membuatku senang sekali waktu itu," katanya
ketika kami berpisah. Aku sudah lupa. Terima kasih
Takahashi, karena kau ingat itu.
Miyo-chan (Miyo Kaneko) Putri ketiga Mr. Kobayashi, Miyo-chan, lulus dari
Departemen Pendidikan Kolese Musik Kunitachi dan
sekarang mengajar musik di sekolah dasar yang merupakan bagian dari kotese itu.
Seperti ayahnya, dia sangat
suka mengajar anak-anak kecil. Sejak Miyo-chan berusia
tiga tahun, Mr. Kobayashi telah mengamati bagaimana
putrinya itu berjalan dan menggerakkan badannya mengikuti irama musik, begitu
pula waktu belajar bicara, dan
itu sangat membantu Mr. Kobayashi dalam mengajar
anak-anak. Sakko Matsuyama (sekarang Mrs. Saito)
Sakko-chan, anak perempuan bermata lebar yang mengenakan rok rangkapan bergambar
kelinci pada hari aku mulai bersekolah di Tomoe, masuk ke sekolah yang
di masa itu sangat sulit dimasuki anak perempuan"s"
sekolah yang sekarang dikenal sebagai SMU Mita. Dia
lalu melanjutkan ke jurusan Bahasa Inggris, Universitas
Kristen Wanita, Tokyo, dan menjadi instruktur bahasa
Inggris di YWCA. Sampai sekarang dia masih bekerja di
sana. Dia menggunakan pengalamannya di Tomoe dalam
acara-acara perkemahan musim panas YWCA.
Dia menikah dengan pria yang dikenalnya ketika
mendaki Gunung Hotaka di Pegunungan Alpen Jepang.
Mereka menamai putra mereka Yasutaka"s"bagian akhir
nama itu dipilih untuk memperingati nama gunung
tempat mereka bertemu. Taiji Yamanouchi Tai-chan, yang bilang takkan mau menikah denganku,
menjadi salah satu ahli fisika Jepang yang ternama. Dia
tinggal di Amerika, sebuah contoh brain drain. Dia tulus
sebagai sarjana fisika jurusan Sains, Universitas Pendidikan Tokyo. Setelah meraih gelar master, dia pergi
ke Amerika dengan beasiswa dari Fulbright dan meraih
gelar doktornya lima tahun kemudian di University of
Rochester. Dia masih di sana, melakukan riset mengenai eksperimen fisika energi tinggi.
Sekarang dia bekerja di Fermi
National Accelerator Laboratory di Illinois, laboratorium
terbesar di dunia, dan menjadi asisten direktur. Laboratorium riset itu terdiri atas para sarjana paling
pandai yang berasal dari lima puluh tiga universitas
paling ternama di Amerika. Laboratorium itu juga
merupakan organisasi raksasa dengan 145 ahli fisika
dan 1400 staf teknis. Anda bisa bayangkan betapa
jeniusnya Tai-chan. Laboratorium itu menarik perhatian
dunia lima tahun yang lalu ketika berhasil memproduksi
sinar energi tinggi berkekuatan 500 miliar elektron volt.
Baru-baru ini, Tai-chan, bekerja sama dengan profesor
dari Columbia University, menemukan sesuatu yang
disebut upsilon. Aku yakin, suatu hari Tai-chan akan
mendapat Hadiah Nobel. Tai-chan menikah dengan gadis berbakat yang lulus
dengan nilai-nilai bagus di bidang matematika dari
University of Rochester. Dengan otak seperti itu, Taichan mungkin akan melaju
pesat tak peduli sekolah dasar seperti apa yang pernah dimasukmya. Tapi
menurutku, sistem pendidikan di Tomoe yang membiarkan anak-anak mengerjakan
pelajaran menurut urutan yang mereka inginkan, mungkin telah membantu mengembangkan bakatnya. Aku tidak ingat dia melakukan hal lain selama jam
pelajaran selain membuat percobaan dengan pembakar alkohol dan tabung-tabung
reaksi atau membaca buku yang tampaknya sangat sulit
mengenai sains dan fisika.
Kunio Oe Oe, anak yang menarik kepangku, sekarang menjadi ahli
anggrek spesies Timur Jauh yang paling disegani di
Jepang, yang benih hasil silangannya bisa berbarga
puluhan ribu dolar. Dengan keahliannya yang sangat
khusus itu, Oe banyak dimintai bantuan di mana-mana.
Dia sering sekali melakukan perjalanan ke segala penjunj
Jepang. Dengan susah payah aku berhasil bicara
dengannya lewat telepon, di antara perjalanan-perjalanannya. Berikut ini obrolan
singkat kami: "Kau sekolah di mana setelah Tomoe?"
"Aku tak sekolah di mana-mana."
"Kau tidak sekolah di sekolah lain" Tomoe satusatunya sekolahmu?"
"Ya." "Astaga! Tidakkah kau bersekolah di sekolah lanjutan?" "Oh ya, aku sekolah beberapa bulan di SMP Oita
ketika aku diungsikan ke Kyushu."
"Tapi, bukankah menyelesaikan sekolah lanjutan itu
wajib?" "Benar. Tapi aku tidak selesai."
Astaga' Santai benar dia, pikirku. Sebelum perang,
ayah Oe punya perkebunan tanaman hias yang sangat
luas yang memenuhi sebagian besar wilayah yang
disebut Todoroki di barat daya Tokyo, tapi semua itu
dihancurkan bom. Sifat Oe yang tenang terasa sekali
sepanjang sisa percakapan kami ketika dia mengalihkan
pembicaraan. "Kau tahu bunga apa yang paling harum" Menurutku
bunga anggrek musim semi Cina (Cymbidium virescens).
Tak ada parfum yang bisa menyamai keharumannya."
"Apa anggrek itu mahal?"
"Ada yang mahal, ada yang tidak."
"Seperti apa bunganya?"
"Yah, tidak mencolok. Malah tidak istimewa. Tapi
itulah daya tariknya."
Gaya bicaranya sama sekali tidak berubah, masih
seperti ketika bersekolah di Tomoe. Mendengarkan suara
Oe yang santai, aku berpikir, dia sama sekali tak peduli,
walaupun tak pernah menamatkan sekolah lanjutan! Dia
selalu melakukan apa yang ingin dilakukannya dan yakin
pada dirinya sendiri. Aku sangat terkesan.
Kazuo Amadera Amadera, yang mencintai binatang, jika sudah dewasa
ingin menjadi dokter hewan dan punya tanah pertanian.
Sayangnya, ayahnya tiba-tiba meninggal. Dia terpaksa
mengubah rencana hidupnya secara drastis. Dia keluar
dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan,
Universitas Nihon, untuk bekerja di Rumah Sakit Keio.
Sekarang dia bekerja di Rumah Sakit Pusat Pasukan
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beladiri dan memegang jabatan yang ada hubungannya
dengan pemeriksaan klinis.
Aiko Saisho (sekarang Mrs. Tanaka)
Aiko Saisho, yang adik kakeknya adalah Laksamana
Togo, dipindah ke Tomoe dari sekolah dasar yang
dikelola Aoyama Gakuin. Aku selalu mengingat dia di
masa itu sebagai anak perempuan yang tenang dan
santun. Mungkin dia memang tampak begitu karena
telah kehilangan ayahnya"s"seorang mayor di Resimen
Garda Ketiga"s"yang tewas dalam Perang Manchuria.
Setelah lulus dari SMU Kamakura khusus untuk murid
perempuan, Aiko menikah dengan seorang arsitek.
Sekarang setelah kedua putranya dewasa dan sibuk
berbisnis, dia menghabiskan banyak waktu luangnya
dengan menulis puisi. "Jadi kau melanjutkan tradisi bibimu yang termasyhur
sebagai penyair wanita yang mendapat penghargaan dari
Kaisar Meiji!" kataku.
"Oh, tidak," katanya sambil tertawa malu.
"Kau tetap rendah hati seperti ketika bersekolah di
Tomoe," kataku, "dan tetap anggun." Mendengar itu dia
mengelak dengan berkata, "Kau tahu, tubuhku masih
sama dengan ketika aku memainkan Benkei!"
Suaranya membuatku berpikir betapa hangat dan
bahagianya rumah tangganya.
Keiko Aoki (sekarang Mrs. Kuwabara)
Keiko-chan, yang punya ayam bisa terbang, menikah
dengan guru sekolah dasar yang dikelola Universitas
Keio. Dia punya satu anak perempuan yang sudah
menikah. Yoichi Migita Migita, anak laki-laki yang selalu berjanji akan membawakan kue pemakaman,
menjadi sarjana hortikultura,
tapi dia lebih suka menggambar. Jadi dia bersekolah lagi
di kolese dan lulus dari Kolese Seni Musashino. Sekarang
dia mengelola perusahaan desain grafis miliknya sendiri.
Ryo-chan Ryo-chan, si penjaga sekolah, yang pergi ke medan
perang, kembali dengan selamat. Dia tak pernah melewatkan acara reuni siswa
Tomoe setiap tanggal tiga
November. Kisah Sepasang Bayangan Dewa 9 Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba Naga Sasra Dan Sabuk Inten 46
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama