Ceritasilat Novel Online

Number Four 1

I Am Number Four Karya Pittacus Lore Bagian 1


MULANYA KAMI BERSEMBILAN. Kami pergi saat masih
muda, nyaris terlalu muda untuk mengingat.
Nyaris. Katanya, saat itu tanah berguncang dan langit
dipenuhi cahaya serta ledakan. Peristiwa itu terjadi
kala kedua bulan saling berhadapan di cakrawala
selama dua minggu. Itu adalah musim perayaan, dan
awalnya ledakan itu disangka kembang api. Padahal
bukan. Angin sepoi-sepoi yang hangat bertiup dari
arah perairan. Aku selalu diberitahu bahwa waktu itu
cuacanya hangat. Ada angin sepoi-sepoi. Aku tidak
pernah mengerti kenapa itu penting.
Yang aku ingat jelas pada hari itu hanyalah wajah
nenekku. Dia kalut dan sedih. Dia menangis. Kakekku
berdiri tepat di samping nenekku. Aku ingat
bagaimana kacamatanya memantulkan cahaya dari
langit. Ada pelukan. Ada kata-kata yang mereka
ucapkan. Aku tidak ingat apa yang mereka katakan.
Dan kenangan itu benar-benar menghantuiku.
Perlu waktu satu tahun untuk sampai di sini. Aku
berumur lima tahun saat kami tiba. Kami beradaptasi
dengan tempat ini. Dan kelak, saat Lorien sudah bisa
ditinggali lagi, kami akan kembali. Kami bersembilan
harus berpencar dan menjalani hidup kami masingmasing. Entah berapa lama. Sampai
sekarang kami masih tidak tahu. Mereka semua tidak tahu di mana
aku berada. Aku juga tidak tahu di mana mereka,
atau seperti apa tampang mereka sekarang. Ini cara
kami melindungi diri. Semua sesuai dengan mantra
pelindung yang diberikan saat kami pergi. Mantra
pelindung itu menjamin bahwa kami hanya bisa
dibunuh sesuai dengan nomor urut kami, asalkan
kami tetap terpisah. Jika kami bertemu, mantra
pelindung itu terpatahkan.
Jika salah satu dari kami ditemukan dan dibunuh,
akan muncul bekas luka berbentuk goresan di
sekeliling pergelangan kanan kami yang masih hidup.
Dan di pergelangan kaki kiri terdapat tanda melingkar
kecil yang serupa dengan jimat yang kami semua
kenakan. Tanda yang terbentuk saat kami dikenai
mantra Loric. Goresan melingkar itu adalah bagian lain
dari mantra pelindung. Suatu sistem peringatan
sehingga kami tahu keadaan masing-masing, dan
agar kami tahu kapan mereka akan memburu kami.
Goresan luka pertama muncul saat aku masih
sembilan tahun. Goresan itu membuatku terbangun,
membakar dagingku. Saat itu kami tinggal di Arizona,
sebuah kota kecil di perbatasan dekat Meksiko. Aku
terbangun menjerit di tengah malam, kesakitan,
ketakutan saat goresan itu membakar dagingku. Itu
tanda pertama bahwa kaum Mogadorian telah
menemukan kami di Bumi ini. Itu tanda pertama
bahwa kami dalam bahaya. Sebelum goresan itu
muncul, aku hampir meyakinkan diriku sendiri bahwa
ingatanku salah, dan bahwa apa yang Henri katakan
kepadaku hanyalah kebohongan. Aku ingin menjadi
anak normal yang menjalani kehidupan normal.
Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi,
bahwa aku tidak normal. Kami pindah ke Minnesota
keesokan harinya. Goresan kedua muncul saat aku berusia dua belas
tahun. Saat itu aku berada di sekolah, di Colorado,
menjadi salah satu peserta kompetisi mengeja. Begitu
merasakan sakitnya, aku langsung tahu apa yang
terjadi pada Nomor Dua. Sakitnya sangat menyiksa,
tapi saat itu aku bisa menahannya. Aku ingin tetap
berdiri di panggung, tapi panasnya membuat kaus
kakiku terbakar. Guru yang memimpin acara itu
menyemprotku dengan pemadam api dan
membawaku ke rumah sakit. Dokter di UGD
menemukan goresan pertama dan memanggil polisi.
Saat Henri tiba, mereka mengancam untuk
menahannya atas tuduhan penganiayaan anak. Tapi
karena Henri tidak ada di dekatku saat goresan kedua
muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk
ke mobil dan pergi, kali ini ke Maine. Kami
meninggalkan semua benda yang kami miliki kecuali
Peti Loric yang selalu Henri bawa saat pindah. Sudah
dua puluh satu kali hingga kini.
Goresan ketiga muncul sejam yang lalu. Aku sedang
duduk di perahu ponton, milik orangtua anak
terpopuler di sekolahku yang dia gunakan untuk
berpesta tanpa sepengetahuan orangtuanya. Aku
belum pernah diundang ke pesta apa pun. Aku selalu
sendirian, karena aku tahu kami bisa pergi kapan pun.
Tapi selama dua tahun ini tidak ada kejadian apa-apa.
Henri tidak melihat apa pun di berita yang dapat
mengarahkan para Mogadorian ke salah satu dari
kami, atau peristiwa apa pun yang patut membuat
kami waspada. Jadi aku memiliki beberapa teman.
Salah satu temanku memperkenalkanku kepada anak
yang berpesta ini. Semua orang bertemu di dermaga.
Ada tiga kotak pendingin berisi minuman, musik,
gadis-gadis yang kutaksir dari kejauhan tapi belum
pernah kuajak bicara walaupun sebenarnya aku mau.
Kami bertolak dari dermaga dan berlayar sejauh
delapan ratus meter ke Teluk Meksiko. Saat itu aku
sedang duduk di tepi perahu ponton dengan kaki di
air, bicara dengan seorang gadis manis bernama Tara
yang berambut gelap dan bermata biru. Kemudian
aku merasakannya. Air di sekitar kakiku mulai
menggelegak. Kakiku mulai berpijar saat goresan itu
muncul. Simbol Lorien ketiga. Peringatan ketiga. Tara
menjerit dan orang-orang mulai berkerumun di
sekitarku. Aku tahu aku tidak bisa menjelaskannya.
Dan aku tahu kami harus pergi secepatnya.
Keadaan semakin gawat. Mereka telah menemukan
Nomor Tiga, entah di mana dia berada. Dan Nomor
Tiga sudah mati. Jadi aku menenangkan Tara,
mencium pipinya, mengatakan bahwa aku senang
bertemu dengannya, serta mendoakan agar ia
berumur panjang dan hidup bahagia. Aku
menceburkan diri di samping perahu dan mulai
berenang secepat yang aku bisa, di bawah air kecuali satu kali saat mengambil napas - hingga
mencapai pantai. Aku berlari di tepi jalan besar, di
trotoar, dengan kecepatan yang sama dengan mobil.
Saat tiba di rumah, Henri berada di antara berbagai
pemindai dan monitor yang dia gunakan untuk
memeriksa berita di seluruh dunia serta aktivitas polisi
di lingkungan kami. Tanpa perlu kujelaskan, dia
langsung tahu. Namun dia tetap menyingkap kaki
celanaku yang basah untuk melihat bekas luka itu.
Mulanya kami bersembilan.
Tiga hilang, mati. Tinggallah kami berenam. Mereka memburu kami. Mereka tak akan berhenti
hingga selesai membunuh kami semua.
Aku Nomor Empat. Berikutnya adalah giliranku.
AKU BERDIRI DI HALAMAN DAN MENATAP KE ARAH
rumah. Rumah panggung dari kayu, berdiri sekitar tiga
meter dari tanah, dengan cat warna merah muda
cerah mirip hiasan kue. Sebuah pohon palem
melambai di depannya. Di bagian belakang terdapat
sebuah dermaga sepanjang delapan belas meter
mengarah ke arah Teluk Meksiko. Jika rumah itu
berdiri sekitar dua kilometer ke sebelah selatan,
dermaga itu pasti ada di Samudra Atlantik.
Henri berjalan keluar rumah sambil membawa
kardus-kardus terakhir, sebagian tidak pernah dibuka
sejak terakhir kali kami pindah. Ia mengunci pintu,
lalu meninggalkan kuncinya di dalam lubang pos di
samping pintu. Saat ini pukul dua pagi. Henri memakai
celana pendek cokelat muda dan kaus polo hitam.
Kulitnya sangat kecokelatan, dengan wajah yang
belum dicukur dan tampak muram. Dia juga merasa
sedih karena harus pergi. Henri memasukkan kardus
terakhir ke belakang truk, bersama dengan barangbarang kami yang lain. "Yang terakhir," katanya.
Aku mengangguk. Kami berdiri dan menatap rumah
itu sambil mendengar angin berdesir melewati daundaun palem. Aku memegang
sekantong seledri di tangan. "Aku akan merindukan tempat ini," kataku. "Lebih dari
tempat lainnya." "Aku juga." "Saatnya membakar?"
"Ya. Kau mau melakukannya, atau kau mau aku yang
melakukannya?" "Biar aku saja."
Henri mengeluarkan dompet dan melemparkannya ke
tanah. Aku mengeluarkan dompetku dan melakukan
hal yang sama. Henri berjalan ke truk kami dan
kembali dengan paspor, akta kelahiran, kartu jaminan
sosial, buku cek, kartu kredit dan kartu bank, dan
melemparkannya ke tanah. Semua dokumen dan halhal yang berkaitan dengan
identitas kami ada di sini.
Semuanya palsu. Aku mengambil kaleng bensin kecil
yang kami simpan sebagai cadangan dari truk. Aku
menyiramkan bensin ke tumpukan kecil itu. Namaku
saat ini adalah Daniel Jones. Ceritanya aku besar di
California dan pindah ke sini karena pekerjaan
ayahku, seorang pemrogram komputer. Sebentar lagi
Daniel Jones hilang. Aku menyalakan korek api dan
melemparkannya. Tumpukan itu mulai menyala.
Sekali lagi, salah satu kehidupanku hilang. Seperti
yang biasa kami lakukan, Henri dan aku berdiri
memandangi api itu. Dah, Daniel, pikirku, senang
mengenalmu. Saat api padam, Henri menatapku.
"Kita harus pergi."
"Aku tahu." "Kepulauan ini tidak aman. Sulit untuk pergi dari
tempat ini dengan cepat, sangat sulit untuk melarikan
diri. Kita bodoh sekali datang kemari."
Aku mengangguk. Dia benar, dan aku tahu itu. Tapi
aku masih enggan pergi. Kami datang kemari karena
keinginanku. Dan untuk pertama kalinya, Henri
membiarkanku memilih tujuan kami. Kami tinggal di
sini selama sembilan bulan. Tempat yang paling lama
kami tinggali sejak meninggalkan Lorien. Aku akan
merindukan matahari dan kehangatan tempat ini. Aku
akan merindukan cecak yang menatap dari dinding
setiap pagi saat aku sarapan. Walaupun sebenarnya
ada jutaan cecak di Florida selatan, aku berani
bersumpah bahwa cecak yang satu ini mengikutiku
ke sekolah dan tampaknya selalu ada di mana pun
aku berada. Aku akan merindukan hujan badai yang
seolah datang dari antah berantah. Aku akan
merindukan keheningan dan kedamaian di pagi hari
sebelum burung-burung laut tiba. Aku akan
merindukan lumba-lumba yang terkadang mencari
makan saat matahari tenggelam. Aku bahkan akan
merindukan bau belerang dari rumput laut yang
membusuk di tepi pantai, serta bagaimana bau itu
memenuhi rumah dan menembus mimpi saat kami
tidur. "Singkirkan seledri itu. Aku tunggu di truk," kata Henri.
"Sudah waktunya."
Aku masuk ke rerimbunan pohon di sebelah kanan
truk. Di sana ada tiga ekor rusa Key, jenis rusa langka
yang ad adi Florida, sedang menanti. Aku
mengeluarkan isi kantong seledri itu di kaki mereka,
lalu berjongkok dan membelai rusa-rusa itu. Mereka
membiarkanku karena sudah tidak gugup dengan
kehadiranku. Salah satu rusa mengangkat kepala dan
memandangku. Mata hitam yang kosong menatapku.
Rasanya rusa itu seperti menyampaikan sesuatu
kepadaku. Bulu kudukku meremang. Rusa itu
menunduk dan melanjutkan makan.
"Selamat tinggal, teman-teman kecil," kataku.
Kemudian aku berjalan ke arah truk dan naik.
Melalui kaca spion, kami memandang rumah itu
mengecil. Akhirnya Henri berbelok ke jalan utama dan
rumah itu pun hilang. Ini hari Sabtu. Aku bertanyatanya apa yang terjadi di
pesta itu tanpa kehadiranku.
Apa yang mereka katakan mengenai caraku pergi.
Apa yang akan mereka katakan pada hari Senin saat
aku tidak ada di sekolah. Andai aku bisa
mengucapkan kata-kata perpisahan. Aku tidak akan
pernah bertemu lagi dengan orang-orang yang
kukenal di sini. Aku tidak akan pernah lagi berbicara
dengan salah satu dari mereka. Dan mereka tidak
akan pernah tahu apa aku ini atau mengapa aku
pergi. Setelah beberapa bulan, atau mungkin
beberapa minggu, mungkin tidak akan ada lagi yang
memikirkanku. Sebelum mencapai jalan raya, Henri menepi untuk
mengisi bensin. Saat ia mengisi bensin, aku melihat
atlas yang Henri simpan di antara bangku pengemudi
dan bangku penumpang. Sejak tiba di planet ini, kami
memiliki atlas. Atlas itu sudah digambari dengan garis
dari dan ke semua tempat yang pernah kami tinggali.
Saat ini, ada banyak garis yang menyilangi seluruh
Amerika Serikat. Kami tahu seharusnya kami
menyingkirkan atlas itu, tapi atlas ini adalah satusatunya benda yang berisi
sejarah hidup kami. Orang
biasa memiliki foto, video, dan jurnal atau buku


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harian. Kami memiliki atlas. Aku mengambil atlas dan
memandangnya. Henri telah membuat garis baru dari
Florida menuju Ohio. Ketika berpikir mengenai Ohio,
aku memikirkan sapi dan jagung serta orang-orang
yang baik. Aku tahu bahwa plat mobil Ohio yang
bertuliskan THE HEART OF IT ALL - PUSAT
SEGALANYA. Aku tidak tahu apa yang dimaksud
dengan "Segalanya", tapi kurasa sebentar lagi aku
akan mengetahuinya. Henri kembali ke truk. Dia membeli beberapa kaleng
soda dan sebungkus keripik. Dia keluar dari tempat itu
dan mengarahkan truk ke jalan U.S.1, yang akan
membawa kami ke arah utara. Ia meraih atlas.
"Kau pikir ada orang di Ohio?" aku bercanda.
Dia terkekeh. "Kurasa ada beberapa. Dan mungkin
nanti kita beruntung dan menemukan mobil serta TV
juga di sana." Aku mengangguk. Mungkin ini tidak seburuk yang
kupikir. "Menurutmu nama 'John Smith' bagus nggak?"
tanyaku. "Kau mau nama itu?"
"Kurasa," jawabku. Aku belum pernah menggunakan
nama John, atau Smith. "Tak ada nama yang lebih biasa daripada itu. Aku
akan berkata senang bertemu denganmu, Mr. Smith."
Aku tersenyum. "Yeah, kurasa aku suka 'John Smith.'"
Satu setengah kilometer kemudian kami
meninggalkan pulau dan menyeberang melintasi
jembatan. Air mengalir di bawah kami. Air tampak
tenang. Sinar bulan memantul di atas gelombang air
sehingga puncaknya tampak putih. Di sebelah kanan
samudra. Di sebelah kiri teluk. Pada dasarnya ini air
yang sama, tapi dengan dua nama berbeda. Aku
merasa ingin menangis, tapi aku tidak menangis. Aku
bukan sedih karena meninggalkan Florida, tapi aku
bosan melarikan diri. Aku bosan memikirkan nama
baru setiap enam bulan. Aku bosan dengan rumah
baru, sekolah baru. Aku bertanya-tanya kapan
akhirnya kami bisa berhenti lari.
KAMI BERHENTI UNTUK MEMBELI MAKANAN, bensin,
dan ponsel baru. Kami berhenti di tempat
pemberhentian truk. Di sana kami makan meatloaf,
juga macaroni and cheese, salah satu dari sedikit hal
yang menurut Henri jauh lebih baik daripada apa
yang kami makan di Lorien. Saat kami makan, Henri
membuat dokumen-dokumen baru di laptopnya,
menggunakan nama baru kami. Ia akan mencetak
dokumen-dokumen itu begitu kami tiba. Lalu tiba-tiba
saja kami akan menjadi orang yang kami ciptakan
itu. "Kau yakin dengan John Smith?" tanyanya.
"Yeah." "Kau lahir di Tuscaloosa, Alabama."
Aku tertawa. "Kau dapat ide itu dari mana?"
Henri tersenyum dan member isyarat ke arah dua
orang perempuan yang duduk beberapa meja dari
kami. Keduanya tampak seksi. Salah satunya
mengenakan kaus bertuliskan WE DO IT BETTER IN
TUSCALOOSA. "Dan itu tujuan kita berikutnya," kata Henri.
"Mungkin kedengaran aneh, tapi kuharap kita tinggal
di Ohio untuk waktu yang lama."
"Oh, ya" Kau suka Ohio?"
"Aku suka dengan gagasan memiliki teman, pergi ke
sekolah yang sama selama lebih dari beberapa bulan,
dan mungkin memiliki kehidupan yang sesungguhnya.
Aku mulai melakukan itu di Florida. Rasanya hebat.
Dan untuk pertama kalinya sejak kita tiba di Bumi,
aku merasa hampir normal. Aku ingin menemukan
satu tempat dan tinggal di tempat itu seterusnya."
Henri tampak merenung. "Apa kau sudah melihat
goresanmu hari ini?"
"Belum, kenapa?"
"Karena ini bukan tentang kau. Ini tentang
keselamatan hidup bangsa kita, yang hampir
sepenuhnya lenyap. Dan ini tentang menjagamu agar
tetap hidup. Setiap kali salah satu dari kita
mati- setiap kali salah satu dari kalian, para Garde,
mati- kesempatan kita berkurang. Kau Nomor Empat.
Kau yang berikutnya. Kau diburu oleh seluruh bangsa
pembunuh kejam. Kita pergi begitu ada pertanda
bahaya, tanpa banyak tanya."
Henri menyetir sepanjang waktu. Selain saat istirahat
dan membuat dokumen-dokumen baru, perjalanan itu
memakan waktu tiga puluh jam. Aku menghabiskan
sebagian besar waktu dengan tidur atau bermain
video game. Karena refleksku, aku bisa menguasai
sebagian besar permainan itu dengan cepat. Paling
lama, satu permainan kutaklukan dalam waktu satu
hari. Aku paling suka permainan di ruang angkasa dan
perang melawan alien. Aku berpura-pura berada di
Lorien, melawan para Mogadorian, memotong-motong
mereka, dan membuat mereka menjadi abu. Henri
pikir itu aneh dan dia selalu berusaha mengecilkan
hatiku. Dia bilang kita seharusnya hidup di dunia
nyata, tempat perang dan kematian itu nyata, bukan
pura-pura. Setelah menamatkan game terakhirku, aku
menengadah. Aku bosan duduk di truk. Jam di dasbor
menunjukkan 7:58. Aku menguap, menggosok mata.
"Masih jauh?" "Hampir sampai," kata Henri.
Di luar gelap, tapi ada cahaya pucat di barat. Kami
melewati pertanian dengan kuda dan ternak, lalu
padang tandus, dan setelah itu, hanya pepohonan
sejauh mata memandang. Ini tepat seperti yang Henri
inginkan. Tempat yang sepi sehingga kami tidak
menarik perhatian. Seminggu sekali Henri menjelajahi
Internet selama enam, tujuh, atau delapan jam untuk
memperbaharui daftar rumah sewaan di negara ini
yang memenuhi kriterianya: terasing, di pedesaan,
dapat langsung ditempati. Katanya ia harus
menelepon empat kali- satu ke South Dakota, satu ke
New Mexico, satu ke Arkansas- hingga akhirnya
berhasil mendapatkan rumah kontrakan di tempat
yang kami tuju. Beberapa menit kemudian kami melihat sekumpulan
cahaya. Itu kota yang kami tuju. Kami melewati
papan tanda yang bertuliskan:
SELAMAT DATANG DI PARADISE, OHIO
JUMLAH PENDUDUK 5.234 "Wow," kataku. "Tempat ini lebih kecil daripada
tempat tinggal kita di Montana."
Henri tersenyum. "Menurutmu ini paradise surga- bagi siapa?" "Sapi, mungkin" Orang-orangan sawah?"
Kami melewati satu pom bensin tua, satu tempat cuci
mobil, dan satu tempat pemakaman. Lalu rumahrumah mulai terlihat. Rumah-rumah
terbuat dari kayu dan berjarak sekitar sepuluh meter antara satu
dengan lainnya. Dekorasi Halloween tergantung di
jendela sebagian besar dari rumah-rumah itu. Trotoar
membentang di depan pekarangan yang mengarah
ke pintu depan. Bundaran lalu lintas berada di tengah
kota. Di bagian tengahnya berdiri sebuah patung
orang yang sedang duduk di atas kuda sambil
memegang pedang. Henri berhenti. Kami memandang
patung itu dan tertawa. Kami tertawa karena kami
harap tidak ada orang lain dengan pedang yang akan
muncul di tempat ini. Henri kemudian menjalankan
mobil mengitari bundaran itu. Saat kami melewatinya,
sistem navigasi GPS di dasbor member tahu kami
untuk berbelok. Kami mengarah ke barat, ke luar
kota. Kami berkendara sejauh enam setengah kilometer
lalu belok kiri memasuki jalan berkerikil. Kemudian
kami melewati lading yang baru dipanen- yang
mungkin penuh dengan jagung pada musim
panas- dan melintasi hutan lebat sejauh kira-kira satu
setengah kilometer. Lalu kami menemukannya, di
balik tumbuhan lebat, sebuah kotak surat berwarna
perak yang sudah berkarat dengan huruf-huruf hitam
di salah satu sisinya dan berbunyi 17 OLD MILL RD.
"Rumah terdekat jaraknya 3 kilometer," kata Henri
sambil berbelok masuk. Rumput liar tumbuh di
sepanjang jalan berkerikil, yang dipenuhi kubangan
air berwarna kuning kecokelatan. Henri menghentikan
truk dan mematikannya. "Mobil siapa itu?" tanyaku, menganggukkan kepala ke
arah SUV hitam di depan kami.
"Mungkin milik si agen properti."
Rumah itu dinaungi pepohonan. Dalam kegelapan,
rumah itu tampak mengerikan, seolah siapa pun yang
dulu tinggal di sana ketakutan hingga pergi, atau
diusir, atau melarikan diri. Aku keluar dari truk. Mesin
masih berdetak dan aku bisa merasakan panasnya.
Aku mengambil tas dari truk dan berdiri sambil
memegangnya. "Bagaimana menurutmu?" tanya Henri.
Rumah itu hanya satu lantai. Terbuat dari kayu.
Sebagian besar cat putihnya sudah mengelupas. Salah
satu jendela depan rusak. Atapnya ditutupi oleh sirap
hitam yang tampak bengkok dan rapuh. Kursi-kursi
reyot bergelimpangan di atas tiga anak tangga yang
mengarah ke beranda kecil. Halaman depannya
sendiri panjang dan tampak berantakan. Pasti sudah
lama sejak terakhir kali rumput dipotong.
"Tampak seperti Paradise," kataku.
Kami berjalan bersama. Lalu seorang wanita pirang
seusia Henri dan berpakaian rapi keluar dari pintu. Dia
mengenakan setelan bisnis dan memegang papan
kecil serta map. Blackberry digantungkan di bagian
pinggang roknya. Perempuan itu tersenyum.
"Mr. Smith?" "Ya," jawab Henri.
"Nama saya Annie Hart, agen dari Paradise Realty.
Kita sudah bicara di telepon. Saya mencoba
menghubungi Anda tadi, tapi tampaknya telepon
genggam Anda dimatikan."
"Oh, benar. Baterainya habis dalam perjalanan
kemari." "Ah, saya benci jika itu terjadi," kata perempuan itu.
Dia berjalan ke arah kami dan menjabat tangan
Henri. Perempuan itu menanyakan namaku dan aku
memberitahunya, walaupun seperti biasanya
sebenarnya aku tergoda untuk menjawab "Empat."
Saat Henri menandatangani kontrak, perempuan itu
bertanya berapa usiaku. Lalu dia mengatakan bahwa
dia memiliki seorang anak perempuan seusiaku yang
bersekolah di SMA di tempat itu. Perempuan itu
sangat ramah, bersahabat, dan jelas sangat suka
mengobrol. Henri menyerahkan kontrak itu kembali.
Kemudian kami bertiga masuk ke dalam rumah.
Di dalam, sebagian besar perabotan ditutupi kain
putih. Perabotan yang tidak ditutupi kain diselimuti
lapisan debu tebal dan serangga mati. Kain kasa di
jendela tampak rapuh jika disentuh dan tembok
rumah itu ditutupi oleh papan tripleks murah. Ada dua
kamar tidur, satu dapur berukuran sedang dengan
lantai keramik berwarna hijau limau, serta satu kamar
mandi. Ruang tamunya besar dan berbentuk persegi,
terletak di bagian depan rumah. Ada perapian di
ujung sana. Aku masuk dan melemparkan tasku ke
atas tempat tidur di kamar yang kecil. Di kamar itu
ada sebuah poster besar yang sudah pudar. Dalam
poster itu tampak seorang pemain American football
dengan seragam oranye cerah. Ia sedang
melemparkan bola, dan tampaknya akan diremukkan
oleh seorang lelaki raksasa berseragam hitam dan
emas. Tulisannya BERNIE KOSAR, QUARTERBACK,
CLEVELAND BROWNS. "Kemari dan ucapkan selamat jalan kepada Mrs. Hart,"
teriak Henri dari ruang tamu.
Mrs. Hart berdiri di pintu bersama Henri. Dia berkata
bahwa aku harus menemui anaknya di sekolah,
mungkin kami bisa berteman. Aku tersenyum dan
berkata ya, itu pasti menyenangkan. Setelah Mrs. Hart
pergi, kami langsung mengosongkan truk. Tergantung
seberapa cepat kami meninggalkan suatu tempat,
kami biasanya bepergian dengan tanpa membawa
banyak barang- maksudnya hanya baju di badan,
laptop Henri, dan Peti Loric berukir rumit yang selalu
kami bawa ke mana pun kami pergi- atau dengan
membawa sejumlah barang- biasanya komputer
cadangan dan peralatan Henri, yang dia gunakan
untuk membuat garis pertahanan dan mencari berita
serta peristiwa yang mungkin berkaitan dengan kami
di web. Kali ini kami membawa Peti Loric, dua
komputer bertenaga besar, empat TV monitor, dan
empat kamera. Kami juga membawa sejumlah
pakaian, walaupun pakaian kami di Florida hanya
sedikit yang sesuai dengan kehidupan di Ohio. Henri
membawa Peti Loric ke kamarnya. Lalu kami
mengangkut semua peralatan ke ruang bawah tanah.
Henri akan memasangnya di sana sehingga tidak
terlihat tamu. Setelah semua barang dimasukkan,
Henri mulai memasang kamera dan menyalakan
monitor. "Tidak ada saluran Internet sampai besok pagi. Tapi
jika kau mau pergi ke sekolah besok, aku bisa


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencetak semua dokumen barumu."
"Jika aku tinggal apakah itu artinya aku harus
membantumu membersihkan dan merapikan tempat
ini?" "Ya." "Kalau begitu aku ke sekolah," kataku.
"Kalau begitu sebaiknya malam ini kau tidur yang
nyenyak." IDENTITAS BARU LAGI, SEKOLAH BARU LAGI. Aku tak
ingat sudah berapa banyak selama bertahun-tahun ini.
Lima belas" Dua puluh" Selalu kota kecil, sekolah
kecil, rutinitas yang sama. Anak baru menarik
perhatian. Kadang aku mempertanyakan strategi kami
dalam memilih kota kecil karena sulit, untuk tidak
menarik perhatian. Tapi aku tahu alasan Henri:
mereka juga tidak mungkin tidak menarik perhatian.
Sekolah baruku berjarak lima kilometer dari rumah.
Henri mengantarku pada pagi hari. Sekolah itu lebih
kecil daripada sekolah-sekolah lain yang pernah
kumasuki. Penampilannya juga tidak mengesankan,
hanya satu lantai, panjang, dan beratap rendah.
Lukisan dinding berupa sosok seorang bajak laut
sedang menggigit pisau menutupi tembok luar di
samping pintu depan. "Jadi sekarang kau bajak laut?" kata Henri dari
sampingku. "Sepertinya," jawabku.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan," katanya.
"Ini bukan pertama kalinya aku jadi murid baru."
"Jangan tunjukkan bahwa kau pintar. Itu akan
membuat mereka membencimu."
"Tak akan." "Jangan terlihat menonjol atau terlalu menarik
perhatian." "Sip, aku cuma seekor lalat di dinding."
"Dan jangan sakiti siapa pun. Kau jauh lebih kuat
daripada mereka." "Aku tahu." "Yang terpenting, selalu siap sedia. Siap untuk pergi
kapan saja. Apa isi ranselmu?"
"Buah dan kacang keringan, cukup untuk lima hari.
Kaus kaki ganti dan pakaian dalam hangat. Jas hujan.
GPS genggam. Pisau berbentuk pena."
"Semua itu harus selalu kau bawa." Henri menarik
napas panjang. "Dan waspada terhadap segala tandatanda. Kekuatan Pusakamu bisa
muncul kapan saja. Pokoknya kau harus menyembunyikannya dan
langsung telepon aku."
"Aku tahu, Henri."
"Kapan saja, John," ulangnya. "Jika jarimu mulai
menghilang, atau jika kau mulai melayang, atau jika
badanmu bergetar keras, atau jika kau kehilangan
kendali terhadap otot-ototmu atau mulai mendengar
suara-suara walaupun tidak ada orang yang berbicara.
Apa pun itu, kau harus menelepon."
Aku menepuk ransel. "Ponselku di sini."
"Aku di sini saat sekolah bubar. Hati-hati, Nak,"
katanya. Aku tersenyum ke Henri. Henri berusia lima puluh
tahun. Itu berarti dia empat puluh tahun saat kami
tiba. Orang seusianya lebih sulit beradaptasi. Dia
masih berbicara dengan aksen Loric yang kental dan
karenanya sering disangka sebagai orang Prancis. Itu
alibi yang bagus. Jadi ia menamakan dirinya Henri,
dan selalu menggunakan nama itu. Ia hanya
mengganti nama belakangnya agar sama dengan
nama belakangku. "Kupergi 'tuk taklukan sekolah," kataku.
"Baik-baik, ya."
Aku berjalan menuju gedung sekolah. Seperti
kebanyakan SMA, banyak anak yang nongkrong dan
berkerumun di luar. Mereka berkerumun sesuai
dengan kelompok masing-masing. Para olahragawan
dan pemandu sorak, anak marching band dengan alat
musiknya, anak pintar berkacamata dengan buku
pelajaran dan BlackBerry, serta para pecandu yang
berkerumun di pinggiran, tak memedulikan sekitarnya.
Seorang anak ceking berkacamata tebal berdiri
sendiri. Ia mengenakan kaus NASA hitam dan jins.
Berat badannya pastilah tidak lebih dari lima puluh
kilogram. Ia memiliki teleskop genggam dan sedang
mengamati langit yang tertutup awan. Aku melihat
seorang gadis yang sedang memotret, berjalan dari
satu kelompok ke kelompok lain. Ia tampak sangat
cantik dengan rambut pirang lurus panjang, kulit
gading, tulang pipi tinggi, dan mata biru muda.
Tampaknya semua orang mengenal gadis itu dan
menyapanya. Tidak ada yang keberatan dipotretnya.
Gadis itu melihatku, tersenyum, dan melambai. Aku
bertanya-tanya mengapa lalu menengok ke belakang
untuk melihat apa ada orang di belakangku. Ada. Dua
orang anak yang sedang membahas PR matematika,
tidak ada yang lain. Aku menoleh kembali. Gadis itu
berjalan ke arahku, tersenyum. Aku belum pernah
melihat seorang gadis yang sangat cantik, apalagi
berbicara dengan gadis seperti itu. Selain itu, belum
pernah ada gadis cantik yang melambai dan
tersenyum kepadaku seolah kami berteman. Aku
langsung merasa gugup. Mukaku memerah. Tapi aku
juga waspada, karena memang dilatih untuk
waspada. Saat gadis itu berada di dekatku, dia
mengangkat kamera dan mulai memotret. Aku
mengangkat tangan menutupi wajah. Dia
menurunkan kameranya dan tersenyum.
"Jangan malu, dong."
"Nggak. Cuma berusaha melindungi lensa kameramu.
Wajahku bisa membuatnya pecah."
Gadis itu tertawa. "Bisa saja kalau kau cemberut
seperti itu. Ayo senyum."
Aku tersenyum, tipis. Aku sangat gugup sehingga
merasa seolah akan meledak. Aku bisa merasakan
leherku panas dan tanganku menghangat.
"Itu bukan senyum betulan," goda gadis itu. "Senyum
itu harusnya memperlihatkan gigi."
Aku tersenyum lebar dan dia memotret. Aku biasanya
tidak mengizinkan siapa pun memotretku. Jika foto itu
muncul di Internet, atau di surat kabar, aku akan
mudah ditemukan. Hal seperti itu pernah terjadi dua
kali. Henri sangat marah, mengambil foto itu, dan
menghancurkannya. Jika Henri tahu saat ini aku
dipotret, aku akan mendapat masalah besar. Tapi aku
tidak bisa apa-apa- gadis itu sangat cantik dan
menawan. Saat si gadis memotret, seekor anjing
berlari menghampiriku. Anjing jenis beagle dengan
telinga terkulai berwarna kecokelatan, tungkai dan
dada berwarna putih, dan tubuh langsing berwarna
hitam. Anjing itu kurus dan kotor. Tampaknya selama
ini dia hidup sebatang kara. Si anjing menggosokkan
badannya di kakiku, mendengking, berusaha menarik
perhatian. Si gadis merasa bahwa tingkahnya manis
dan menyuruhku berlutut agar bisa memotretku
bersama si anjing. Saat gadis itu mulai memotret,
anjing itu mundur. Saat si gadis mencoba memotret
lagi, anjing itu menjauh. Akhirnya si gadis menyerah
dan memotretku lagi. Anjing itu duduk sekitar sepuluh
meter dari kami dan memandangi kami.
"Kau kenal anjing itu?" tanya si gadis.
"Seumur-umur belum pernah melihatnya."
"Tampaknya anjing itu menyukaimu. Kau John, kan?"
Si gadis mengulurkan tangannya.
"Yeah," kataku. "Kok tahu?"
"Aku Sarah Hart. Ibuku agen properti. Dia bilang
mungkin kau mulai bersekolah hari ini, dan aku harus
bertemu denganmu. Kau satu-satunya anak baru yang
muncul hari ini." Aku tertawa. "Yeah, aku sudah bertemu ibumu. Dia
baik." "Apa kau tak mau bersalaman denganku?"
Sarah masih mengulurkan tangannya. Aku tersenyum
dan menjabat tangannya. Ini benar-benar perasaan
terbaik yang pernah kurasakan.
"Wow," katanya.
"Apa?" "Tanganmu panas. Panas banget, sepertinya kau ini
demam atau semacamnya."
"Kurasa tidak."
Sarah melepaskan tanganku.
"Mungkin darahmu panas."
"Yeah, mungkin."
Bel berdering di kejauhan. Sarah memberitahuku
bahwa itu bel peringatan. Kami memiliki waktu lima
menit untuk masuk kelas. Kami berpisah dan aku
menatapnya pergi. Sesaat kemudian, sesuatu
mengenai siku belakangku. Aku berbalik. Sekelompok
pemain football, semuanya mengenakan jaket tim,
berjalan ke arahku. Salah satu dari mereka
memelototi dan memukulku dengan ranselnya saat
lewat. Aku yakin dia sengaja maka kuikuti mereka.
Aku tahu aku tidak akan melakukan apa pun,
walaupun sebenarnya aku bisa. Aku hanya tidak suka
penindas. Lalu si anak berkaus NASA berjalan
menjajariku. "Aku tahu kau anak baru, jadi aku kasih tahu, deh,"
katanya. "Apa?" tanyaku.
"Itu Mark James. Bintang di sini. Ayahnya sheriff kota.
Mark sendiri bintang tim football. Dulu dia mengencani
Sarah, saat Sarah masih jadi cheerleader. Tapi
kemudian Sarah berhenti dari cheerleader dan
mencampakkan Mark. Mark belum bisa
merelakannya. Jadi, sebaiknya kau jangan terlibat."
"Makasih." Anak itu bergegas pergi. Aku berjalan ke kantor
kepala sekolah untuk mendaftar kelas dan mulai
belajar. Aku berbalik dan melihat si anjing masih di
situ. Dia, masih duduk di tempat yang sama,
menatapku. *** Kepala sekolahku bernama Mr. Harris. Ia gemuk dan
kepalanya hampir botak, hanya ada sedikit rambut
panjang di bagian belakang dan samping kepalanya.
Perutnya buncit. Matanya kecil dan bulat, hampir
berdempetan. Dia menyeringai ke arahku dari
seberang meja sehingga matanya tampak semakin
kecil. "Jadi di Santa Fe kamu itu kelas dua?" tanyanya.
Aku mengangguk dan menjawab ya, padahal kami
belum pernah ke Santa Fe, atau New Mexico.
Kebohongan sederhana agar tetap tidak terlacak.
"Itu sebabnya kulitmu cokelat. Dan kenapa kau ke
Ohio?" "Karena pekerjaan ayahku."
Henri bukan ayahku, tapi aku selalu berkata begitu
agar tidak mencurigakan. Sebenarnya Henri itu
Penjagaku, atau bahasa Buminya waliku. Di Lorien
ada dua jenis warga. Yang pertama adalah warga
yang memiliki Pusaka, atau kekuatan- yang banyak
sekali macamnya, mulai dari kemampuan untuk
menjadi tidak terlihat hingga kemampuan membaca
pikiran, atau kemampuan untuk terbang, hingga
kemampuan mengendalikan kekuatan alam seperti
api, angin, atau petir. Warga yang memiliki Pusaka
disebut Garde. Yang kedua adalah warga yang tidak
memiliki kekuatan, mereka disebut C?pan atau
Penjaga. Aku itu Garde. Henri itu C?pan. C?pan
membantu kami memahami sejarah planet dan juga
bagaimana mengembangkan kekuatan kami. C?pan
dan Garde- yang satu bertugas menjalankan planet,
sedangkan yang lain bertugas mempertahankan
planet. Mr. Harris mengangguk. "Apa pekerjaan ayahmu?"
"Ayahku penulis. Dia ingin tinggal di kota kecil yang
sunyi untuk menyelesaikan tulisannya," jawabku, ini
cerita standar kami. Mr. Harris mengangguk dan mengedipkan mata.
"Tampaknya kau pemuda yang kuat. Apa kau ingin
ikut tim olahraga di sini?"
"Andai saja aku bisa. Aku punya asma, Pak,"
jawabku, ini alasan standarku agar terhindar dari
situasi yang dapat mengungkapkan kekuatan dan
kecepatanku. "Sayang sekali. Kami selalu mencari atlet untuk tim
football," kata Mr. Harris sambil melemparkan
pandangan ke arah rak dinding. Di atas rak itu
terdapat piala football yang bertuliskan tanggal pada
tahun lalu. "Kami memenangi kejuaraan olahraga
Pioneer Conference," katanya dengan berseri-seri
karena bangga. Dia meraih dan menarik dua lembar kertas dari lemari
arsip di samping meja kerjanya lalu memberikan
kertas-kertas itu kepadaku. Kertas pertama berisi
daftar pelajaranku dengan beberapa tempat kosong.
Kertas kedua berisi daftar mata pelajaran pilihan yang
bisa kupilih. Aku memilih sejumlah kelas dan
memasukkannya ke dalam daftar pelajaranku.
Kemudian aku mengembalikan kedua kertas itu. Mr.
Harris memberikan semacam orientasi. Dia berbicara
sangat panjang, membahas setiap halaman buku
panduan siswa hingga rincian terkecil. Bel berbunyi
satu kali, lalu satu kali lagi. Saat akhirnya selesai, Mr.


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harris bertanya apakah aku memiliki pertanyaan. Aku
jawab tidak. "Bagus. Masih ada setengah jam di jam pelajaran
kedua, dan kau sudah memilih kelas astronomi
dengan Mrs. Burton. Beliau guru yang hebat, salah
satu guru terbaik kami. Mrs. Burton pernah
memenangi penghargaan negara bagian,
ditandatangani oleh gubernur sendiri."
"Hebat," kataku.
Setelah Mr. Harris berjuang membebaskan diri dari
kursinya, kami meninggalkan kantor dan berjalan
menyusuri lorong. Sepatunya berbunyi di atas lantai
yang baru digosok. Udara dipenuhi bau cat segar dan
produk pembersih. Loker-loker berjejer di dinding.
Sebagian besar loker dihiasi spanduk dukungan bagi
tim football. Di seluruh bangunan sekolah ini pasti
hanya ada dua puluh ruang kelas atau malah kurang.
Aku menghitungnya saat kami berjalan."
"Nah, kita sampai," kata Mr. Harris. Dia mengulurkan
tangan. Aku menjabat tangannya. "Kami senang
menerimamu. Aku biasanya beranggapan kita semua
ini keluarga dekat. Selamat datang."
"Terima kasih," kataku.
Mr. Harris membuka pintu dan melongok ke dalam
kelas. Saat itu aku merasa agak gugup dan ada rasa
pusing yang merayapiku. Kaki kananku gemetar. Di
dalam perutku seolah ada kupu-kupu. Aku tidak
mengerti kenapa. Pastinya ini bukan karena sebentar
lagi aku memasuki kelas pertamaku di sini. Aku sudah
sangat sering melakukannya sehingga tidak merasa
gugup lagi. Aku menarik napas dalam dan mencoba
menyingkirkan perasaan itu.
"Mrs. Burton, maaf mengganggu. Murid baru Anda ada
di sini." "Oh, bagus sekali! Silakan masuk," jawab Mrs. Burton
antusias. Mr. Harris membuka pintu dan aku masuk ke dalam.
Kelas itu berbentuk persegi, kurang lebih berisi dua
puluh lima orang yang duduk di meja persegi
seukuran meja dapur, masing-masing tiga murid di
setiap meja. Semua mata memandangku. Aku balas
memandang mereka sebelum menatap Mrs. Burton.
Mrs. Burton berusia sekitar enam puluh tahun,
mengenakan sweater wol merah muda dan
kacamata plastik berwarna merah rantai mengelilingi
lehernya. Dia tersenyum lebar. Rambut keritingnya
mulai beruban. Telapak tanganku berkeringat dan
wajahku terasa panas. Kuharap wajahku tidak merah.
Mr. Harris menutup pintu.
"Siapa namamu?" tanya Mrs. Burton.
Karena gugup aku hampir menjawab "Daniel Jones."
Aku menarik napas dalam dan berkata, "John Smith."
"Bagus! Dan dari mana asalmu?"
"Fl- ," aku mulai menjawab, tapi langsung berhenti.
"Santa Fe." "Anak-anak, mari beri sambutan hangat untuknya."
Semua orang bertepuk tangan. Mrs. Burton
mempersilakanku duduk di bangku kosong di tengah
ruangan di antara dua orang murid lain. Aku lega
karena ia tidak bertanya lebih lanjut. Mrs. Burton
kembali ke mejanya. Aku berjalan menuju bangkuku,
tepat ke arah Mark James yang duduk di sebuah
meja bersama Sarah Hart. Saat aku lewat, Mark
menjulurkan kaki untuk menjegalku. Aku kehilangan
keseimbangan, tapi tetap tegak. Ruangan dipenuhi
tawa terkekeh. Mrs. Burton berbalik.
"Ada apa?" tanyanya.
Aku tidak menjawab dan memelototi Mark. Setiap
sekolah memiliki satu, si jagoan, si penindas, apa pun
sebutannya, tapi tidak ada yang menampakkan
aslinya secepat ini. Rambut Mark hitam, penuh dengan
minyak rambut, dan ditata sedemikian rupa sehingga
mencuat tegak ke segala penjuru. Dia juga memiliki
cambang yang dipangkas rapi di wajahnya. Alis tebal
di atas sepasang mata hitam. Dari jaket football-nya
aku tahu bahwa dia murid kelas tiga dan namanya
tertera, di atas tulisan tahun, dengan huruf sambung
yang disulam dengan benang emas. Kami saling
melotot. Seluruh kelas menyuarakan erangan
mencemooh. Aku melihat tempat dudukku, tiga meja dari sana, lalu
menatap Mark kembali. Aku benar-benar bisa
mematahkannya menjadi dua jika mau. Aku bisa
melemparkannya ke negara bagian tetangga. Jika dia
mencoba kabur dengan naik mobil, aku bisa menyusul
mobilnya dan melemparkannya ke atas pohon.
Namun di samping keinginan berlebihan itu, kata-kata
Henri bergema di benakku: "Jangan terlihat menonjol
atau terlalu menarik perhatian." Aku tahu bahwa aku
harus mengikuti nasihat Henri dan mengabaikan apa
yang baru terjadi, seperti yang biasa kulakukan di
masa lalu. Kami pintar melakukan itu, berbaur dengan
lingkungan dan hidup di bawah baying-bayang. Tapi
aku merasa agak kurang waspada dan gelisah.
Sebelum sempat berpikir dua kali, aku sudah
melontarkan pertanyaan itu.
"Apa kau menginginkan sesuatu?"
Mark memalingkan muka dan memandang sekeliling
ruangan, beringsut di kursinya, lalu balas menatapku.
"Maksudmu?" tanyanya.
"Kau menjulurkan kaki saat aku lewat. Dan kau
menubrukku di luar. Aku pikir kau mungkin
menginginkan sesuatu."
"Ada apa?" tanya Mrs. Burton di belakangku. Aku
menoleh ke belakang melihatnya.
"Tidak ada," kataku. Aku kembali menatap Mark.
"Jadi?" Mark mencengkeram meja dengan kuat tapi tetap
diam. Mata kami saling terkunci sampai akhirnya dia
mendesah dan memalingkan muka.
"Sudah kuduga," kataku mengejek lalu berjalan ke
bangkuku. Murid-murid lain tidak tahu harus bereaksi
bagaimana. Sebagian besar dari mereka masih
menatapku saat aku duduk di antara gadis berambut
merah dengan wajah berbintik-bintik dan pemuda
kegemukan yang ternganga memandangku.
Mrs. Burton berdiri di depan kelas. Dia tampak agak
bingung, tapi langsung mengabaikannya. Setelah itu
dia menjelaskan mengapa ada cincin yang
mengelilingi Saturnus dan bahwa cincin itu sebagian
besar terdiri atas debu dan partikel es. Setelah
beberapa saat, aku berhenti mendengarkan Mrs.
Burton dan memandang murid-murid lain. Sekelompok
orang baru. Seperti biasa, aku akan menjaga jarak
dengan mereka. Aku hanya perlu berinteraksi
secukupnya dengan mereka agar tetap misterius
tanpa membuat diriku tampak aneh dan menonjol.
Hari ini aku melakukannya dengan sangat buruk.
Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya
pelan-pelan. Perutku masih terasa berdenyar-denyar
seakan ada kupu-kupu beterbangan di dalam, dan
kakiku masih gemetaran mengganggu. Tanganku
terasa lebih hangat. Mark James duduk tiga meja di
depanku. Ia menoleh ke belakang sekali dan
melihatku lalu membisikkan sesuatu ke telinga Sarah.
Sarah menoleh ke belakang. Ia tampak tenang.
Namun kenyataan bahwa Sarah pernah berkencan
dengan Mark dan sekarang duduk dengannya
membuatku bertanya-tanya. Sarah tersenyum hangat
ke arahku. Aku ingin balas tersenyum tapi yang
kulakukan hanya diam. Mark berbisik sekali lagi
kepada Sarah, tapi Sarah menggelengkan kepalanya
dan mendorong Mark menjauh. Pendengaranku jauh
lebih baik daripada pendengaran manusia jika aku
memusatkan perhatian. Namun aku begitu bingung
melihat senyuman Sarah sehingga tidak berusaha
mendengarkan kata-kata Mark. Andai tadi aku
mendengar apa yang Mark katakan.
Aku membuka dan menutup tanganku. Telapak
tanganku berkeringat dan mulai memanas. Aku
menarik napas dalam sekali lagi. Pandanganku
mengabur. Lima menit berlalu, kemudian sepuluh. Mrs.
Burton masih berbicara tapi aku tidak mendengar apa
yang dia katakan. Aku mengepalkan tangan, lalu
membukanya kembali. Lalu napasku tercekat. Ada
sinar yang keluar dari telapak tanganku. Aku
memandangnya, heran, takjub. Setelah beberapa
saat, sinar itu tampak semakin terang.
Aku mengepalkan tangan. Awalnya aku takut ada
sesuatu yang terjadi pada salah satu dari kami. Tapi
apa yang mungkin terjadi" Kami tidak bisa dibunuh
secara acak. Itu akibat mantra pelindung. Tapi apakah
itu berarti mereka bisa disakiti dengan cara lain"
Apakah tangan kanan seseorang dipotong" Aku tidak
bisa mengetahuinya. Tapi jika sesuatu terjadi, aku
pasti merasakannya pada goresan di pergelangan
kakiku. Lalu aku sadar. Pasti ini kemunculan Pusaka
pertamaku. Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimkan
pesan berbunyi KESINN, padahal aku ingin mengetik
KE SINI. Aku terlalu pusing untuk mengetikkan katakata lain. Aku mengepalkan
tangan dan meletakkannya di pangkuan. Tanganku sangat panas
dan gemetar. Aku membuka tanganku. Telapak kiriku
berwarna merah terang, tangan kananku masih
bersinar. Aku melirik jam di dinding. Sebentar lagi
kelas berakhir. Jika aku bisa keluar dari sini, aku bisa
mencari ruangan kosong dan menelepon Henri lalu
bertanya apa yang terjadi. Aku mulai menghitung
detik demi detik: enam puluh, lima sembilan, lima
delapan. Rasanya seolah sesuatu akan meledak di
tanganku. Aku berkonsentrasi menghitung. Empat
puluh, tiga sembilan. Sekarang tanganku terasa geli
seolah jarum-jarum kecil ditusukkan ke dalam telapak
tanganku. Dua delapan, dua tujuh. Aku membuka
mata dan menatap ke depan, memandangi Sarah
sambil berharap itu akan membuat pikiranku
teralihkan. Lima belas, empat belas. Memandang
Sarah malah membuatnya semakin parah. Sekarang
jarum-jarum itu terasa seperti paku. Paku yang
diletakkan di atas kompor dan dipanaskan hingga
berpijar. Delapan, tujuh.
Bel berbunyi. Aku langsung berdiri dan keluar kelas,
bergegas melewati murid-murid lain. Aku merasa
pusing, kakiku goyah. Aku terus berjalan di lorong dan
tidak tahu harus ke mana. Aku bisa merasakan
seseorang mengikutiku. Aku mengeluarkan jadwal
pelajaran dari saku belakang dan mengecek nomor
lokerku. Beruntung sekali, lokerku ada di kananku.
Aku berhenti dan menyandarkan kepala di pintu
logam lokerku. Aku menggelengkan kepala saat sadar
bahwa tas dan ponselku tertinggal di kelas karena
terburu-buru keluar. Lalu seseorang mendorongku.
"Ada apa, Jagoan?"
Aku terdorong beberapa langkah lalu menatap balik.
Mark berdiri di sana, tersenyum ke arahku.
"Ada masalah?" tanyanya.
"Nggak," jawabku.
Kepalaku berputar. Aku merasa seperti akan pingsan.
Dan tanganku seakan terbakar. Apa pun yang
kualami sekarang justru terjadi pada saat yang salah.
Mark mendorongku lagi. "Nggak begitu jago tanpa guru, ya?"
Kakiku terlalu goyah. Aku tersandung kakiku sendiri
dan jatuh. Sarah melangkah ke depan Mark.
"Jangan ganggu dia," katanya.
"Ini nggak ada hubungannya denganmu," kata Mark.
"Yang benar saja. Kau melihat anak baru bicara
denganku dan kau langsung berantem dengannya. Ini
salah satu alasan kenapa kita putus."
Aku berusaha berdiri. Sarah menunduk untuk
membantuku. Begitu ia menyentuhku, tanganku
terasa terbakar dan kepalaku seolah disambar petir.
Aku berbalik dan mulai berlari ke arah yang
berlawanan dari kelas astronomi. Aku tahu semua
orang akan berpikir bahwa aku pengecut karena
melarikan diri, tapi aku merasa seperti akan pingsan.
Aku akan berterima kasih kepada Sarah, dan
mengurus Mark, nanti. Sekarang aku hanya perlu
mencari ruangan dengan kunci di pintu.
Aku tiba di ujung lorong, yang berpotongan dengan
pintu masuk utama sekolah. Aku mengingat orientasi
Mr. Harris, yang termasuk lokasi berbagai ruangan di
sekolah. Jika aku tidak salah ingat, auditorium,
ruangan marching band, dan ruangan seni ada di
ujung lorong ini. Aku berlari menuju ruangan itu
secepat yang kubisa. Di belakangku terdengar Mark
berteriak kepadaku, dan Sarah berteriak kepada Mark.
Aku membuka pintu pertama yang kutemukan dan
menutupnya. Untung ada kuncinya, yang langsung
aku putar. Aku berada di kamar gelap. Pita negatif film
bergantungan. Aku jatuh ke lantai. Kepalaku berputar
dan tanganku terbakar. Sejak pertama kali melihat
cahayanya, tanganku selalu kukepalkan. Aku
memandang kedua tanganku. Tangan kananku masih
berpijar dan berdenyut. Aku mulai panik.
Aku duduk di lantai, keringat membakar mataku.
Kedua tanganku terasa sakit luar biasa. Aku tahu
bahwa Pusakaku akan muncul. Namun aku tidak tahu


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa aku harus mengalami ini. Aku membuka
tanganku. Telapak kananku bersinar terang,
cahayanya mulai mengumpul. Telapak kiriku berkelapkelip redup dan panasnya tak
tertahankan. Aku harap Henri di sini. Kuharap dia sedang ke sini.
Aku menutup mata dan memeluk diriku. Aku berayun
ke depan dan ke belakang di lantai, seluruh tubuhku
sakit. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Satu
menit" Sepuluh menit" Bel bordering, menandakan
jam pelajaran berikut dimulai. Aku bisa mendengar
orang berbicara di luar. Pintu bergetar beberapa kali.
Namun pintu itu dikunci dan tidak ada yang bisa
masuk ke dalam. Aku terus berayun dengan mata
dipejamkan rapat-rapat. Pintu terus diketuk. Suarasuara teredam yang tidak bisa
kupahami. Aku membuka mata dan melihat pijaran di tanganku
menyebabkan seluruh ruangan terang benderang. Aku
mengepalkan tangan, mencoba menghalangi
cahayanya, namun cahaya terus memancar dari selasela jariku. Lalu pintu itu
mulai berguncang. Apa yang
akan mereka pikirkan mengenai cahaya di tanganku"
Tidak mungkin disembunyikan. Bagaimana aku
menjelaskannya" "John" Buka pintunya- ini aku," terdengar sebuah
suara. Aku dibanjiri rasa lega. Suara Henri. Satu-satunya
suara di muka bumi yang ingin kudengar.AKU
MERANGKAK KE PINTU DAN MEMBUKA KUNCINYA.
Pintu berayun terbuka. Henri mengenakan pakaian
berkebun dan berlumuran kotoran, tampaknya tadi ia
membereskan bagian luar rumah. Aku begitu senang
melihatnya sehingga ingin meloncat dan memeluknya.
Aku memang mencoba melakukan itu, tapi terlalu
pusing sehingga terjatuh kembali ke lantai.
"Semua baik-baik saja?" tanya Mr. Harris yang berdiri
di belakang Henri. "Segalanya baik-baik saja. Tolong tinggalkan kami
sebentar," jawab Henri.
"Apa perlu kupanggilkan ambulans?"
"Tidak!" Henri masuk ke kamar gelap dan menutup pintu. Ia
menunduk memandang tanganku. Cahaya di tangan
kananku begitu terang sedangkan yang di tangan
kiriku berkelap-kelip redup seolah sedang
mengumpulkan keberanian. Henri tersenyum lebar.
Wajahnya bersinar bagai mercusuar.
"Ahh, terpujilah Lorien," desahnya. Lalu Henri
mengeluarkan sarung tangan kulit untuk berkebun
dari saku belakangnya. "Beruntung sekali aku tadi
sedang sibuk bekerja di halaman. Pakai ini."
Aku memakai sarung tangan yang langsung
menyembunyikan cahaya dari tanganku. Mr. Harris
membuka pintu dan menjulurkan kepala ke dalam.
"Mr. Smith" Apa keadaan baik-baik saja?"
"Ya, segalanya baik-baik saja. Beri kami waktu tiga
puluh detik," jawab Henri, lalu kembali menatapku.
"Kepala sekolahmu suka ikut campur."
Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya.
"Aku paham apa yang terjadi, tapi kenapa ini?"
"Pusaka pertamamu."
"Iya, aku tahu. Tapi kenapa pakai cahaya?"
"Nanti kita bahas di truk. Kau bisa jalan?"
"Kurasa bisa." Henri membantuku berdiri. Aku goyah, masih
gemetar. Aku mencengkeram lengannya untuk
bersandar. "Aku harus mengambil tas sebelum kita pergi,"
kataku. "Di mana?" "Kutinggalkan di kelas."
"Nomor berapa?"
"Tujuh belas." "Kita ke truk, setelah itu aku akan mengambilnya."
Aku mengalungkan lengan kananku di atas bahu
Henri. Henri menyokongku dengan mengalungkan
lengan kirinya di pinggangku. Walaupun bel kedua
sudah berbunyi, aku masih bisa mendengar suara
orang-orang di lorong. "Kau harus berjalan tegak dan senormal mungkin."
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mencoba
mengumpulkan sisa kekuatanku untuk mengatasi
perjalanan panjang keluar sekolah.
"Ayo," kataku. Aku menyeka keringat dari kening dan mengikuti
Henri keluar dari kamar gelap. Mr. Harris masih berdiri
di lorong. "Asmanya kambuh, parah," kata Henri kepada Mr.
Harris sambil berjalan melewatinya.
Sekitar dua puluh orang masih berkerumun di lorong.
Sebagian besar membawa kamera di leher, menanti
agar bisa masuk ke dalam kamar gelap untuk kelas
fotografi. Untungnya Sarah tidak ada di antara
mereka. Aku berjalan semantap yang kubisa, satu
langkah demi satu langkah. Pintu keluar sekolah
masih tiga puluh meter lagi. Berarti banyak sekali
langkah. Orang-orang berbisik.
"Dasar orang aneh."
"Apa dia sekolah di sini?"
"Kuharap begitu, dia imut."
"Menurutmu ngapain dia di kamar gelap sampai
mukanya merah begitu?" celetuk seseorang dan
semua tertawa. Seperti kami bisa menajamkan
pendengaran, kami juga bisa menulikan diri, yang
cukup membantu jika ingin berkonsentrasi saat
keadaan di sekeliling ribut dan kacau. Jadi aku
menulikan diri dan berjalan pelan di belakang Henri.
Satu langkah terasa bagai sepuluh langkah, tapi
akhirnya kami sampai di pintu. Henri menahan pintu
itu agar terbuka untukku. Aku berusaha berjalan
sendiri ke truknya, yang diparkir di depan. Selama dua
puluh langkah terakhir, aku mengalungkan lenganku
di bahu Henri lagi. Henri membuka pintu truk dan aku
beringsut naik ke dalam. "Kau bilang tujuh belas?"
"Ya." "Seharusnya kau terus membawanya. Kekeliruan kecil
bisa berakhir pada kesalahan besar. Kita tidak boleh
melakukan kekeliruan sedikit pun."
"Aku tahu. Maaf."
Henri menutup pintu dan berjalan kembali ke gedung
sekolah. Aku duduk membungkuk dan mencoba
memelankan napasku. Aku masih bisa merasakan
keringat di keningku. Aku duduk tegak dan
menurunkan pelindung matahari agar bisa bercermin.
Wajahku lebih merah daripada yang kukira, mataku
agar berair. Tapi walaupun merasa sakit dan lelah,
aku tersenyum. Akhirnya, pikirku. Setelah bertahuntahun menanti, setelah
bertahun-tahun hanya mengandalkan kepintaran dan bersembunyi sebagai
pertahanan melawan Mogadorian, akhirnya Pusaka
pertamaku muncul. Henri keluar dari sekolah sambil
membawa tasku. Dia berjalan mengelilingi truk,
membuka pintu, dan melemparkan tasku ke kursi.
"Terima kasih," kataku.
"Sama-sama." Setelah kami keluar dari halaman sekolah, aku
melepaskan sarung tangan dan mengamati tanganku.
Cahaya di tangan kananku mulai berkumpul
membentuk sorotan seperti senter, hanya saja lebih
terang. Rasa panasnya mulai berkurang. Tangan kiriku
masih berkelap-kelip redup.
"Sebaiknya pakai sarung tangan itu sampai kita tiba
di rumah," kata Henri.
Aku memasang sarung tangan kembali dan menatap
Henri. Ia tersenyum bangga.
"Penantian yang lama," katanya.
"Ha?" tanyaku. Henri balas menatapku. "Benar-benar penantian yang
lama banget," katanya lagi. "Menunggu kemunculan
Pusakamu." Aku tertawa. Dari segala hal yang Henri pelajari dan
kuasai selama ini di Bumi, kata-kata semacam itu
bukan salah satunya. "Penantian yang sangat lama," aku membetulkannya.
"Yeah, tadi aku bilang itu."
Henri berbelok ke jalan yang menuju rumah kami.
"Jadi, selanjutnya apa" Apa ini berarti aku bisa
menembakkan laser dari tanganku atau apa?"
Henri menyeringai. "Pasti bagus sekali kalau begitu,
tapi bukan itu." "Lalu apa yang harus kulakukan dengan cahaya"
Kalau aku dikejar, apakah aku harus berbalik dan
menyorotkan cahaya ke mata mereka" Memangnya
itu bakal bikin mereka takut padaku atau
semacamnya?" "Sabar," kata Henri. "Kau belum bisa memahaminya.
Tunggu sampai kita di rumah."
Lalu aku teringat sesuatu yang hampir membuatku
terlonjak dari tempat duduk.
"Apa ini berarti kita akhirnya bisa membuka Peti itu?"
Henri mengangguk dan tersenyum. "Segera."
"Keren!" kataku. Peti kayu dengan ukiran rumit itu
menghantuiku seumur hidup. Peti itu adalah sebuah
kotak yang tampak rapuh, dengan simbol Loric di sisisisinya. Dan Henri selalu
merahasiakannya. Dia tidak
pernah memberitahuku apa yang ada di dalam peti
itu. Peti itu juga tidak mungkin dibuka, aku tahu
karena sudah berkali-kali mencoba, tentunya tanpa
hasil. Peti itu dikunci menggunakan gembok yang
tidak memiliki lubang kunci.
Saat kami tiba di rumah, aku langsung tahu bahwa
tadi Henri sibuk bekerja. Tiga kursi di beranda depan
sudah disingkirkan dan semua jendela sudah dibuka.
Di dalam, kain penutup perabotan sudah disingkirkan
dan sebagian perabotan malah sudah dibersihkan.
Aku meletakkan tas di atas meja di ruang tamu dan
membukanya. Gelombang frustrasi menyapuku.
"Sialan," kataku.
"Apa?" "Ponselku hilang."
"Di mana?" "Pagi ini aku cekcok sedikit dengan anak bernama
Mark James. Mungkin dia yang ambil."
"John, kau baru satu setengah jam di sekolah. Kok
bisa-bisanya kau sudah cekcok dengan orang"
Harusnya kau tahu apa yang kau lakukan."
"Namanya juga SMA. Aku anak baru. Gampang."
Henri mengeluarkan telepon genggamnya dari saku
dan memutar nomorku. Lalu ia menutup telepon
genggamnya. "Dimatikan," katanya.
"Pastinya." Henri memelototiku. "Apa yang terjadi?" tanyanya
dengan nada yang kukenal. Henri biasa menggunakan
nada seperti itu saat merenungkan langkah
selanjutnya. "Tak ada. Hanya perselisihan kecil. Mungkin ponselku
terjatuh saat aku memasukkannya ke tas," kataku,
walaupun aku tahu kejadiannya bukan begitu. "Aku
sedang tidak bisa berpikir jernih. Mungkin aku bisa
menemukannya di bagian barang hilang."
Henri memandang berkeliling rumah dan mendesah.
"Apa ada yang melihat tanganmu?"
Aku menatap Henri. Matanya merah, lebih merah
daripada saat mengantarku ke sekolah tadi pagi.
Rambutnya berantakan. Dia juga tampak loyo seolah
bakal pingsan kapan saja karena lelah. Terakhir kali
Henri tidur saat di Florida, dua hari lalu. Aku tidak tahu
mengapa dia masih bisa berdiri.
"Tak ada." "Kau di sekolah selama satu setengah jam. Pusaka
pertamamu muncul, kau hampir berkelahi, dan kau
meninggalkan tas di kelas. Itu nggak bisa disebut
'berbaur.'" "Bukan apa-apa. Jelas bukan masalah yang cukup
besar sehingga kita harus pindah ke Idaho, atau
Kansas, atau ke mana pun."
Henri menyipitkan mata dan merenungkan apa yang
baru dia saksikan. Dia berusaha memutuskan apakah
kesalahan itu cukup besar sehingga kami harus pergi.
"Ini bukan saatnya bertindak ceroboh," katanya.
"Tiap hari perbedaan pendapat selalu terjadi di
sekolah mana pun. Aku jamin mereka tidak akan
melacak kita hanya karena seorang murid sok jago
menindas murid baru."
"Tangan si murid baru tidak menyala di setiap
sekolah." Aku mendesah. "Henri, kau tampak lelah setengah
mati. Tidurlah. Kita putuskan nanti setelah kau
bangun." "Banyak yang harus kita bicarakan."
"Aku belum pernah melihat kau selelah ini. Tidurlah
beberapa jam. Nanti kita bicara."
Henri mengangguk. "Tidur mungkin bagus bagiku."
*** Henri pergi ke kamarnya dan menutup pintu. Aku
berjalan keluar dan mondar-mandir di halaman
sebentar. Matahari ada di balik pepohonan dan angin
segar bertiup pelan. Tanganku masih ditutupi sarung
tangan. Aku melepaskan sarung tangan dan


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasukkannya ke saku belakangku. Tanganku
masih sama seperti sebelumnya. Sebenarnya, hanya
sebagian diriku yang senang karena Pusaka
pertamaku akhirnya muncul setelah bertahun-tahun
menanti dengan tidak sabar. Sebagian diriku yang lain
merasa hancur. Kepindahan kami yang terlalu sering
membuatku lelah. Dan sekarang tidak mungkin untuk
berbaur atau tinggal di satu tempat selama beberapa
waktu. Aku tidak mungkin memiliki teman atau
setidaknya merasa berhasil menyesuaikan diri. Aku
muak dengan nama-nama palsu dan berbagai
kebohongan. Aku muak selalu menengok ke belakang
untuk melihat apakah aku dibuntuti.
Aku meraih ke bawah dan merasakan tiga goresan di
pergelangan kaki kananku. Tiga lingkaran mewakili
tiga yang mati. Kami terikat satu sama lain bukan
hanya karena kami satu bangsa, tapi lebih dari itu.
Saat meraba goresan di pergelangan kakiku, aku
mencoba membayangkan siapa mereka, lelaki atau
perempuan, di mana mereka tinggal, berapa usia
mereka saat mereka meninggal. Aku mencoba
mengingat anak-anak lain yang saat itu satu pesawat
denganku, dan memberi mereka nomor. Aku berpikir
seperti apa rasanya bertemu dan bergaul dengan
mereka. Seperti apa rasanya jika kami semua masih
di Lorien. Seperti apa rasanya jika nasib seluruh
bangsa kami tidak digantungkan pada keselamatan
kami yang hanya sedikit ini. Seperti apa rasanya jika
kami semua tidak menghadapi musuh yang berniat
menghabisi kami. Mengerikan rasanya mengetahui bahwa akulah yang
berikut. Tapi kami selalu berada di depan mereka
karena kami selalu pindah, melarikan diri. Walaupun
aku muak dengan pelarian ini, tapi aku tahu bahwa
itulah alasan mengapa kami masih tetap hidup. Jika
kami berhenti, mereka akan menemukan kami. Dan
karena berikutnya giliranku, pasti mereka
mempercepat pencarian. Mereka pasti tahu bahwa
kami semakin kuat, bahwa Pusaka kami telah
muncul. Dan di pergelangan kaki satunya ada bekas luka lain.
Bekas luka penanda saat kami dimantrai dengan
mantra pelindung Loric secara tergesa-gesa sebelum
meninggalkan Lorien. Cap yang mengikat kami
semua. AKU MASUK LALU BERBARING DI ATAS KASUR di
kamarku. Peristiwa pagi tadi membuatku lelah. Aku
membiarkan mataku menutup. Saat aku membuka
mata kembali, matahari sudah pindah ke atas
pepohonan. Aku keluar dari kamar. Henri duduk di
meja dapur dengan laptop terbuka. Aku tahu dia
sedang memeriksa berita-berita, seperti biasanya,
mencari informasi atau cerita yang bisa memberi
petunjuk mengenai keberadaan yang lain.
"Bisa tidur?" tanyaku.
"Hanya sebentar. Internet sudah bisa digunakan dan
aku belum memeriksa berita sejak di Florida. Itu
menggangguku." "Ada yang penting?" tanyaku.
Henri mengangkat bahu. "Seorang bocah empat belas
tahun di Afrika jatuh dari jendela lantai empat dan
tak terluka sedikit pun. Ada bocah lima belas tahun di
Bangladesh yang mengaku sebagai sang Messiah."
Aku tertawa. "Aku yakin yang lima belas tahun itu
bukan orang kita. Ada yang lain?"
"Tak ada. Selamat setelah jatuh dari lantai empat
bukan hal luar biasa. Lagi pula, jika itu salah satu dari
kita, pasti mereka tidak seceroboh itu," katanya
sambil mengedipkan mata. Aku tersenyum dan duduk di depan Henri. Ia menutup
komputernya dan meletakkan tangan di meja. Jam
tangannya menunjukkan pukul 11:36. Kami di Ohio
baru setengah hari dan sudah begitu banyak yang
terjadi. Aku mengangkat telapak tanganku. Keduanya
lebih redup dibandingkan terakhir kali aku melihatnya.
"Kau tahu apa yang kau miliki?" tanya Henri.
"Sinar di tanganku."
Henri terkekeh. "Namanya Lumen. Kau pasti bisa
mengontrol cahaya itu sebentar lagi."
"Kuharap begitu, karena penyamaran kita akan
terbongkar jika cahaya ini tidak segera padam. Tapi
aku masih tak tahu apa gunanya."
"Lumen itu lebih daripada sekadar cahaya. Dijamin."
"Jadi yang lain apa?"
Henri berjalan ke kamarnya dan kembali sambil
membawa pemantik. "Kau ingat kakek dan nenekmu?" tanyanya. Kakek
dan nenek adalah orang yang membesarkan kami.
Kami jarang sekali bertemu orangtua kami hingga
berusia dua puluh lima tahun, saat kami telah
memiliki anak sendiri. Angka harapan hidup para Loric
adalah sekitar dua ratus tahun, jauh lebih lama
daripada manusia. Lalu saat anak-anak lahir, biasanya
saat orangtua mereka berusia dua puluh lima dan tiga
puluh lima, para sepuh atau kakek neneklah yang
membesarkan anak-anak itu. Sementara itu, para
orangtua terus mengasah Pusaka mereka.
"Sedikit. Kenapa?"
"Karena kakekmu memiliki Pusaka yang sama."
"Aku tidak ingat tangannya pernah bersinar," kataku.
Henri mengangkat bahu. "Mungkin tidak ada alasan
untuk menggunakannya."
"Luar biasa," kataku sinis. "Kedengarannya ini Pusaka
yang luar biasa untuk dimiliki. Pusaka yang tidak akan
pernah kugunakan." Henri menggelengkan kepalanya. "Kemarikan
tanganmu." Aku memberikan tangan kananku. Henri menyalakan
pemantik dan menggerakkannya hingga api
menyentuh jariku. Aku langsung menarik tanganku.
"Apa yang kau lakukan?"
"Percayalah kepadaku," katanya.
Aku memberikan tanganku kembali kepada Henri.
Henri menahan tanganku dan menyalakan pemantik
lagi. Ia menatap mataku. Lalu ia tersenyum. Aku
memandang ke bawah dan melihat lidah api di ujung
jari tengahku. Aku tidak merasakan apa pun. Namun
naluriku menyebabkan aku menyentakkan tangan
dan menariknya. Aku menggosok jariku. Rasanya
tidak berbeda. "Kau merasakannya?" tanya Henri.
"Nggak." "Kemarikan tanganmu," kata Henri. "Dan beritahu aku
jika kau merasakan sesuatu."
Dia mulai dari ujung jariku lagi lalu menggerakkan api
dengan sangat pelan ke punggung tanganku. Aku
merasa agak geli di tempat lidah api itu menyentuh
kulitku, hanya itu. Namun saat api itu mencapai
pergelangan tangan, aku mulai merasa terbakar. Aku
menarik tanganku. "Aw!" "Lumen," kata Henri. "Kau akan menjadi tahan api
dan panas. Tanganmu sudah tahan api secara alami,
tapi kita harus melatih bagian tubuhmu yang lain."
Senyum melebar di wajahku. "Tahan api dan panas,"
kataku. "Jadi aku nggak akan bisa terbakar?"
"Nantinya, ya."
"Keren!" "Bukan Pusaka yang buruk, kan?"
"Jelas," aku setuju. "Lalu bagaimana dengan sinar ini"
Apa sinar ini bakal padam?"
"Pasti. Mungkin setelah tidur malam yang nyenyak,
saat kau lupa bahwa tanganmu bersinar," jawab
Henri. "Tapi sementara waktu kau harus hati-hati agar
tidak terlalu emosi. Ketidakseimbangan emosi akan
menyebabkan tanganmu bersinar lagi, misalnya jika
kau terlalu gugup, marah, atau sedih."
"Berapa lama?" "Sampai kau belajar mengendalikannya." Henri
menutup mata dan menggosok wajah dengan kedua
tangan. "Ngomong-ngomong, aku mau coba tidur lagi.
Kita akan membahas latihanmu beberapa jam lagi."
Setelah Henri pergi aku tinggal di meja dapur,
membuka dan menutup tangan, menarik napas
dalam-dalam dan mencoba menenangkan semua
perasaanku agar cahaya itu meredup. Tentu saja tidak
berhasil. Seisi rumah masih berantakan, kecuali di beberapa
bagian yang Henri bereskan saat aku di sekolah. Aku
tahu bahwa Henri lebih suka untuk pergi, tapi dia
masih bisa dibujuk untuk tinggal. Mungkin jika dia
bangun dan mendapati rumah bersih dan rapi, dia
setuju jika kami tinggal.
Aku mulai membereskan kamarku. Aku
membersihkan debu, mengelap jendela, menyapu
lantai. Saat semuanya bersih, aku memasang seprai
lalu meletakkan bantal dan selimut di tempat tidur.
Setelah itu aku menggantung dan melipat pakaianku.
Lemari pakaianku tua dan rapuh, tapi aku tetap
memasukkan barang ke dalamnya. Setelah itu, aku
meletakkan beberapa buku milikku di atasnya. Dan
bereslah. Kamar sudah bersih. Semua barang yang
kumiliki sudah disimpan rapi.
Aku pergi ke dapur, menyingkirkan piring dan
mengelap konter. Setidaknya ada yang kulakukan
sehingga bisa melupakan tanganku, walaupun saat
bersih-bersih itu aku memikirkan Mark James. Untuk
pertama kalinya aku berani melawan orang. Aku
selalu ingin melakukan itu. Namun aku tidak pernah
melakukannya karena ingin menuruti nasihat Henri
untuk tidak menarik perhatian. Aku selalu mencoba
menunda tindakan lain sebisa mungkin. Tapi hari ini
beda. Ada rasa puas saat balas mendorong ketika ada
orang yang mendorong kita. Lalu ada masalah dengan
ponselku, yang dicuri. Tentu saja kami bisa
mendapatkan yang baru dengan mudah, tapi di mana
letak keadilan kalau aku membiarkan ponselku
diambil begitu saja"AKU BANGUN SEBELUM ALARM
BERBUNYI. RUMAH terasa dingin dan sepi. Aku
mengeluarkan tangan dari bawah selimut. Keduanya
tampak normal, tidak ada sinar, tidak ada cahaya.
Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke ruang
tamu. Henri ada di meja dapur, membaca surat kabar
lokal sambil minum kopi. "Pagi," katanya. "Bagaimana perasaanmu?"
"Luar biasa," jawabku.
Aku menyiapkan semangkuk sereal dan duduk di
depannya. "Apa rencanamu hari ini?" tanyaku.
"Mengurus rumah. Uang kita menipis. Aku berniat
untuk mengambil uang dari bank."
Lorien adalah (atau dulunya, tergantung bagaimana
kau memandangnya) sebuah planet yang kaya akan
sumber daya alam. Salah satu sumber daya alamnya
adalah permata dan logam berharga. Saat kami pergi,
setiap C?pan mendapatkan satu karung penuh intan,
zamrud, dan batu mirah delima untuk dijual saat tiba
di Bumi. Henri menjual permata-permata itu dan
menyimpan uangnya dalam sebuah rekening bank di
luar negeri. Aku tidak tahu berapa jumlahnya dan
juga tidak pernah bertanya. Tapi aku tahu jumlahnya
cukup untuk menyokong hidup kami paling tidak
sampai sepuluh turunan. Henri mengambil uang dari
bank setidak-tidaknya setahun sekali.
"Tapi entahlah," lanjutnya. "Aku tak ingin berada
terlalu jauh kalau-kalau terjadi sesuatu hari ini."
Karena tidak ingin memperbesar masalah kemarin,
aku menepis keraguannya. "Aku akan baik-baik saja.
Pergilah." Aku memandang ke luar jendela. Fajar merekah,
menyirami segala hal dengan cahaya pucat. Truk kami
diselimuti embun. Sudah lama kami tidak mengalami
musim dingin. Aku bahkan tidak memiliki jaket dan
sebagian besar sweater-ku sudah kekecilan.
"Sepertinya dingin," kataku. "Mungkin kita bisa pergi
membeli pakaian dalam waktu dekat."
Henri mengangguk. "Aku berpikir tentang itu
semalam. Itu sebabnya mengapa aku perlu ke bank."
"Pergilah," kataku. "Hari ini tidak akan terjadi apaapa."
Aku menghabiskan serealku, memasukkan mangkuk
ke bak cuci piring, lalu mandi. Sepuluh menit
kemudian aku sudah berpakaian, celana jins dan kaus
hangat hitam dengan lengan digulung hingga siku.
Aku menatap cermin lalu menunduk memandang
tanganku. Aku merasa tenang. Sebaiknya tetap
begitu. Dalam perjalanan ke sekolah, Henri memberikan
sepasang sarung tangan kepadaku.
"Pastikan kau menyimpan ini sepanjang waktu. Kita
tak pernah tahu." Aku memasukkan sarung tangan itu ke saku
belakang. "Rasanya aku tak memerlukan sarung tangan. Aku
merasa cukup baik." Saat tiba di sekolah, ada barisan bus di depan kami.
Henri menepi di samping gedung sekolah.
"Aku tak suka kau tak punya ponsel," katanya.
"Banyak hal buruk yang bisa terjadi."
"Jangan khawatir. Ponselku bakal kembali."
Henri mendesah dan menggelengkan kepala. "Jangan


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan hal bodoh. Aku tunggu di sini seusai
sekolah." "Tak akan," jawabku. Lalu aku keluar dari truk. Henri
pergi. Di dalam, lorong dipenuhi berbagai kegiatan. Para
murid mondar-mandir di dekat loker, mengobrol,
tertawa. Sebagian kecil melihatku dan berbisik. Aku
tidak tahu apakah itu karena hampir berkelahi atau
karena kejadian di kamar gelap. Tampaknya mereka
berbisik-bisik mengenai keduanya. Ini sekolah kecil. Di
sekolah kecil semua orang tahu segalanya.
Saat tiba di pintu masuk utama, aku berbelok dan
membuka lokerku. Kosong. Aku punya waktu lima
belas menit sebelum pelajaran musik untuk kelas dua
dimulai. Aku berjalan ke kelas itu, untuk memastikan
letaknya, lalu pergi ke kantor sekolah. Sang sekretaris
tersenyum saat aku masuk.
"Hai," kataku. "Aku kehilangan ponsel kemarin.
Apakah ada yang melapor ke penitipan barang
hilang?" Ia menggelengkan kepala. "Maaf, tapi rasanya tak
ada ponsel yang diserahkan kemari."
"Terima kasih," kataku.
Saat kembali ke lorong, aku tidak melihat Mark. Aku
memilih satu arah lalu berjalan ke arah itu. Orangorang masih memandang dan
berbisik, tapi aku tidak peduli. Aku melihat Mark lima belas meter di depanku.
Aku merasakan adrenalin menyerbu. Aku menunduk
memandang tanganku. Normal. Aku khawatir
tanganku menyala, dan rasa khawatir itu mungkin
bisa membuat tanganku menyala.
Mark sedang bersandar di sebuah loker dengan
tangan bersilang di dada, di tengah sekelompok anak,
lima laki-laki dan dua perempuan. Mereka semua
mengobrol dan tertawa. Sarah duduk di ambang
jendela sekitar lima meter dari situ. Sarah tampak
berbinar hari itu, dengan rambut pirang diekor kuda
serta rok dan sweater abu-abu. Ia sedang membaca
buku. Namun Sarah menengadah saat aku berjalan
ke arah Mark dan teman-temannya.
Aku berhenti tepat di luar kerumunan itu, menatap
Mark, dan menunggu. Dia baru menyadari
kehadiranku setelah lima detik.
"Mau apa kau?" tanyanya.
"Kau tahu aku mau apa."
Mata kami saling terkunci. Kerumunan di sekitar kami
membengkak menjadi sepuluh orang, lalu dua puluh.
Sarah berdiri dan berjalan ke tepi kerumunan. Mark
mengenakan jaket football-nya. Rambut hitamnya
ditata dengan saksama sehingga ia tampak seperti
langsung berpakaian begitu bangun tidur.
Mark menjauhi loker dan berjalan ke arahku. Saat
jarak kami tinggal beberapa senti lagi, dia berhenti.
Dada kami hampir bersentuhan dan aroma colognenya yang tajam memenuhi rongga
hidungku. Tingginya mungkin sekitar 185 sentimeter, beberapa
senti lebih tinggi dariku. Besar tubuh kami sama. Tapi
dia tidak tahu bahwa kemampuanku berbeda dengan
kemampuannya. Aku lebih cepat dan juga jauh lebih
kuat daripada Mark. Pikiran itu menyebabkan seringai
percaya diri muncul di wajahku.
"Menurutmu hari ini kau bisa tinggal di sekolah sedikit
lebih lama" Atau kau bakal kabur lagi seperti seorang
pengecut?" Kerumunan itu terkekeh. "Kita lihat saja nanti."
"Yeah, kita lihat saja nanti," katanya sambil bergerak
semakin mendekatiku. "Kembalikan ponselku," kataku.
"Aku tidak menyimpan ponselmu."
Aku menggelengkan kepala. "Ada dua orang yang
melihat kau mengambilnya," aku berbohong.
Dari caranya mengerutkan dahi, aku tahu bahwa
tebakanku benar. "Yeah, dan kalau memang iya" Kau mau apa?"
Sekarang mungkin ada tiga puluh orang yang
mengelilingi kami. Aku yakin dalam sepuluh menit
jam pelajaran pertama seluruh sekolah akan tahu apa
yang terjadi. "Ini peringatan buatmu," kataku. "Waktumu hanya
hingga akhir hari ini."
Aku berbalik dan pergi. "Atau apa?" teriak Mark di belakangku. Aku tidak
menanggapinya. Biarkan ia memikirkan jawabannya.
Tanganku terkepal dan aku sadar bahwa sebenarnya
aku gugup, bukan marah. Kenapa aku begitu gugup"
Karena situasi yang tidak dapat diramalkan"
Kenyataan bahwa ini pertama kalinya aku
mengonfrontasi orang lain" Takut tanganku
bercahaya" Mungkin ketiganya.
Aku pergi ke kamar mandi, masuk ke toilet kosong,
dan mengunci pintu di belakangku. Kubuka telapak
tanganku. Tangan kananku sedikit bersinar. Aku
menutup mata dan mendesah, memusatkan perhatian
untuk bernapas dengan pelan. Semenit kemudian
sinar itu masih ada di sana. Aku menggelengkan
kepala. Tidak kusangka Pusaka bisa begitu sensitif.
Aku diam di dalam toilet. Keningku berkeringat. Kedua
tanganku hangat, tapi untungnya tangan kiriku masih
normal. Orang-orang berseliweran di kamar mandi.
Aku tetap di dalam toilet, menunggu. Tangan kananku
masih bersinar. Akhirnya bel pelajaran pertama
berbunyi dan kamar mandi itu kosong.
Aku menggelengkan kepala muak dan menerima
nasib. Aku tidak memiliki ponsel dan Henri ke bank.
Aku sendirian dengan kebodohanku dan tidak
memiliki orang lain untuk disalahkan kecuali diriku
sendiri. Aku mengeluarkan sarung tangan dari saku
belakang lalu mengenakannya. Sarung tangan
berkebun dari kulit. Aku tampak bodoh sekali seperti
jika aku memakai sepatu badut dan celana kuning.
Percuma berusaha berbaur. Aku sadar bahwa aku
harus berhenti mengurusi Mark. Dia menang. Dia
boleh memiliki ponselku. Henri dan aku akan membeli
yang baru malam ini. Aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menyusuri
lorong kosong menuju kelasku. Semua orang
menatapku saat aku masuk, lalu ke arah sarung
tanganku. Tak ada gunanya menyembunyikan sarung
tangan itu. Aku tampak seperti orang bodoh. Aku ini
alien. Aku memiliki kekuatan super dan masih banyak
lagi yang akan muncul. Aku bisa melakukan hal-hal
yang hanya bisa manusia impikan. Tapi aku tetap
tampak seperti orang bodoh.
*** Aku duduk di tengah ruangan. Tidak ada yang
berbicara denganku. Aku terlalu gugup dan tidak
mendengar apa yang guru katakan. Saat bel berbunyi,
aku mengumpulkan barang-barangku,
memasukkannya ke tas, dan memanggul tas di
bahuku. Aku masih memakai sarung tangan. Saat
keluar dari kelas itu, aku mengangkat tepi sarung
tangan kanan dan mengintip telapak tanganku. Masih
bersinar. Aku berjalan di lorong tanpa terburu-buru. Bernapas
pelan. Aku mencoba mengosongkan pikiran tapi tidak
berhasil. Saat masuk ke kelas berikut, Mark duduk di
tempat yang sama seperti hari sebelumnya dan Sarah
duduk di samping Mark. Mark menyeringai
mencemooh ke arahku. Karena berusaha tampak
keren, ia tidak memperhatikan sarung tanganku.
"Apa kabar, Jagoan" Aku dengar tim lari lintas alam
sedang cari anggota baru."
"Jangan bersikap berengsek," kata Sarah kepadanya.
Aku memandang Sarah saat lewat, menatap mata
birunya yang membuatku merasa malu dan canggung
serta menyebabkan pipiku menghangat. Kursi yang
kududuki kemarin sudah terisi, jadi aku berjalan ke
kursi paling belakang. Semua murid masuk ke dalam
kelas. Anak yang memperingatkanku soal Mark
kemarin duduk di sampingku. Ia mengenakan kaus
hitam lain dengan logo NASA di tengah, celana
tentara, dan sepasang sepatu tenis Nike. Dia memiliki
rambut berwarna pirang seperti pasir dan berantakan,
dengan mata berwarna merah kecokelatan yang
tampak semakin besar akibat kacamatanya. Anak itu
mengeluarkan buku catatan yang penuh diagram rasi
bintang dan planet. Dia melihatku dan tidak mencoba
menyembunyikan kenyataan bahwa dia
memandangiku. "Pa kabar?" tanyaku.
Ia mengangkat bahu. "Kenapa kau memakai sarung
tangan?" Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi Mrs.
Burton sudah mulai mengajar. Hampir sepanjang
pelajaran anak di sampingku membuat gambar yang
tampaknya merupakan penafsirannya mengenai
seperti apa makhluk Mars itu. Tubuh kecil dengan
kepala, tangan, dan mata besar. Sama dengan yang
ada di film-film. Di bagian bawah setiap gambar, dia
menulis namanya dengan huruf-huruf kecil: SAM
GOODE. Dia menyadari bahwa aku
memperhatikannya, lalu aku memalingkan muka.
Saat Mrs. Burton menjelaskan mengenai 61 satelit
yang mengelilingi Saturnus, aku melihat belakang
kepala Mark. Ia duduk membungkuk di kursinya,
menulis. Lalu dia menegakkan tubuh dan
melemparkan kertas kecil ke Sarah. Sarah
menjentikkan kertas itu kembali tanpa membacanya.
Itu membuatku tersenyum. Mrs. Burton mematikan
lampu dan menyalakan video. Gambaran planetplanet yang berotasi di layar di
depan kelas mengingatkanku kepada Lorien. Lorien adalah salah
satu dari delapan belas planet di jagat raya yang
dapat dihuni. Bumi termasuk salah satunya. Dan,
sayangnya, Mogadore juga termasuk.
Lorien. Aku menutup mata dan membiarkan diriku
mengingat. Lorien adalah sebuah planet tua, seratus
kali lebih tua daripada Bumi. Setiap masalah yang
Bumi hadapi saat ini- polusi, overpopulasi, pemanasan
global, kekurangan pangan- juga pernah Lorien
hadapi. Pada suatu ketika, dua puluh lima ribu tahun
yang lalu, Lorien mulai sekarat. Ini terjadi jauh
sebelum kami memiliki kemampuan untuk
menjelajahi jagat raya. Karena itu penghuni Lorien
harus melakukan sesuatu untuk bertahan hidup.
Perlahan namun pasti mereka berkomitmen agar
Planet Lorien dapat terus dihuni, yaitu dengan cara
mengubah cara hidup mereka. Mereka tidak
menggunakan benda-benda berbahaya seperti
senjata api dan bom, zat kimia beracun, atau polutan.
Pada akhirnya Planet Lorien mulai pulih kembali.
Dengan adanya evolusi, setelah ribuan tahun,
penghuni Lorien tertentu- para Garde- mulai memiliki
kekuatan untuk melindungi planet itu, dan
menolongnya. Lorien tampaknya menghadiahi para
leluhurku atas tindakan mereka, atas penghormatan
mereka terhadap planet itu.
Mrs. Burton menyalakan lampu kembali. Aku
membuka mata dan memandang jam. Pelajaran
hampir selesai. Aku merasa tenang kembali, benarbenar lupa dengan tanganku. Aku
menarik napas dalam dan menyingkap bagian pergelangan sarung
tangan kanan. Sinarnya padam! Aku tersenyum dan
melepas kedua sarung tangan itu. Kembali normal.
Aku punya enam jam pelajaran lagi pada hari itu. Aku
harus tetap tenang sampai semua selesai.
*** Setengah hari pertama lewat tanpa insiden. Aku tetap
tenang, dan tidak berurusan lebih jauh dengan Mark.
Saat makan siang aku mengisi nampanku dengan
makanan biasa, lalu duduk di meja kosong di ujung
ruangan. Saat sedang menyantap sepotong pizza,
Sam Goode, anak dari kelas astronomi, duduk di
depanku. "Apa benar kau akan berkelahi dengan Mark sepulang
sekolah?" tanyanya. Aku menggeleng. "Tidak."
"Tapi orang-orang bilang begitu."
"Mereka salah."
Dia mengangkat bahu dan melanjutkan makan.
Semenit kemudian dia bertanya, "Sarung tanganmu
ke mana?" "Aku lepas. Tanganku sudah nggak dingin lagi."
Dia membuka mulut untuk menjawab, tapi tiba-tiba
sebuah bakso besar- yang aku yakin diarahkan
kepadaku- muncul begitu saja dan menghantam
kepala Sam. Rambut dan bahunya berlumuran
potongan daging dan saus spageti. Sebagian
memercikiku. Saat aku membersihkan diri, bakso
kedua terbang dan mengenaiku tepat di pipi. Suara
Oooh terdengar di seluruh kantin.
Aku berdiri dan mengelap pipi dengan serbet, amarah
menguasaiku. Saat itu aku tidak peduli dengan
tanganku. Tanganku boleh saja bersinar seterang
matahari, lalu Henri dan aku bisa pergi sore ini jika itu
yang harus terjadi. Tapi tidak mungkin aku
membiarkan ini begitu saja. Masalah tadi pagi sudah
selesai ... yang ini belum.
"Jangan," kata Sam. "Jika kau melawan, mereka tidak


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan pernah membiarkanmu."
Aku mulai berjalan. Seluruh kantin hening. Seratus
pasang mata menatapku. Wajahku memberengut.
Tujuh orang duduk di meja Mark James, semuanya
laki-laki. Ketujuh-tujuhnya berdiri saat aku mendekat.
"Ada masalah?" tanya salah satu dari mereka. Dia
berbadan besar dengan perawakan seperti
penyerang. Ada kumpulan-kumpulan rambut
kemerahan yang tumbuh di pipi dan dagunya,
tampaknya dia ingin menumbuhkan janggut.
Membuat wajahnya tampak kotor. Seperti yang lain,
dia juga mengenakan jaket football. Cowok itu
menyilangkan lengan dan menghalangi jalanku.
"Bukan masalahmu," kataku.
"Hadapi aku dulu sebelum kau menghadapinya."
"Pasti, kalau kau tidak mau menyingkir."
"Memangnya kau bisa?" katanya.
Aku menyentakkan lututku tepat ke
selangkangannya. Napasnya tercekat lalu dia
terguling. Seluruh kantin terkesiap.
"Sudah kuperingatkan," kataku, lalu aku
menginjaknya dan berjalan ke arah Mark. Saat
mencapai Mark, seseorang menarikku dari belakang.
Aku berbalik dengan tangan dikepal, siap untuk
diayunkan, tapi pada detik terakhir aku sadar orang
itu ternyata si pelayan kantin.
"Cukup, Anak-anak."
"Lihat apa yang dia lakukan pada Kevin, Mr. Johnson,"
kata Mark. Kevin masih meringkuk di lantai
memegangi sela pahanya. Mukanya merah sekali.
"Kirim dia ke kepala sekolah!"
"Diam, James. Kalian berempat harus pergi. Jangan
kira aku tidak melihatmu melempar bakso itu,"
katanya, lalu memandang Kevin yang masih di lantai.
"Bangun." Sam muncul entah dari mana. Dia mencoba
membersihkan rambut dan bahunya. Potonganpotongan daging yang besar sudah
hilang, tapi sisa sausnya masih ada. Aku tidak tahu mengapa dia ada
di situ. Aku menunduk menatap tanganku, siap lari
jika melihat cahaya setitik, tapi anehnya tanganku
tidak bersinar. Apa ini karena situasi yang mendesak,
sehingga aku bisa mendekati Mark sebelum sempat
merasa gugup" Aku tak tahu.
Kevin berdiri dan memandangku, gemetar dan masih
sulit bernapas. Dia mencengkeram bahu anak lelaki di
sampingnya agar bisa berdiri.
"Akan kubalas," katanya.
"Yang benar saja," kataku. Aku masih merengut,
masih dilumuri makanan. Aku tak mau repot-repot
membersihkannya. Kami berempat berjalan ke kantor kepala sekolah. Mr.
Harris duduk di mejanya, menikmati makan siang
yang dipanaskan dengan microwave dengan serbet
diselipkan ke kerah kemeja.
"Maaf mengganggu. Ada kekacauan kecil saat makan
siang. Aku yakin anak-anak ini mau menjelaskan,"
kata si penjaga kantin. Mr. Harris mendesah, menarik serbet dari kemeja lalu
melemparkannya ke dalam keranjang sampah. Dia
mendorong makan siangnya ke tepi meja dengan
punggung tangan. "Terima kasih, Mr. Johnson."
Mr. Johnson pergi, menutup pintu kantor, dan
meninggalkan kami berempat di dalam.
"Jadi siapa yang mau mulai?" tanya sang Kepala
Sekolah, terdengar jengkel.
Aku diam. Otot-otot rahang Mr. Harris menegang. Aku
menunduk memandang tanganku. Masih padam. Aku
memasukkan tangan ke celana jinsku, untuk jagajaga. Setelah keheningan selama
sepuluh detik, Mark bicara. "Seseorang menimpuknya dengan bakso. Dia
pikir aku pelakunya, jadi dia menendang Kevin di
anunya." "Hati-hati dengan bahasamu," kata Mr. Harris, lalu
berpaling ke Kevin. "Kau baik-baik saja?"
Kevin, yang wajahnya masih merah, mengangguk.
"Jadi siapa yang melempar bakso?" tanya Mr. Harris
kepadaku. Aku tidak mengatakan apa pun, masih mendidih,
kesal dengan seluruh kejadian itu. Aku menarik napas
dalam untuk menenangkan diri.
"Aku tidak tahu," kataku. Kemarahanku sudah tak
terkira. Aku tidak ingin berurusan dengan Mark
melalui Mr. Harris. Aku lebih suka mengurus masalah
itu sendiri, jauh dari kantor kepala sekolah.
Sam memandangku heran. Mr. Harris mengangkat
tangan frustrasi. "Jadi, kenapa kalian semua ada di
sini?" "Itu pertanyaan bagus," kata Mark. "Kami hanya
makan siang." Sam berbicara. "Mark yang melemparnya. Aku
melihatnya, begitu juga dengan Mr. Johnson."
Aku memandang Sam. Aku tahu Sam tidak
melihatnya karena dia memunggungi Mark waktu
bakso pertama dilempar. Lalu saat bakso kedua
dilempar, dia sibuk membersihkan diri. Tapi aku
kagum karena dia berani berkata begitu, karena
memihakku walaupun tahu itu bisa menimbulkan
masalah antara dirinya dan Mark serta temantemannya. Mark memberengut memandang
Sam. "Ayolah, Mr. Harris," Mark memohon. "Besok aku ada
wawancara dengan Gazette, dan hari Jumat ada
pertandingan. Aku tidak ada waktu untuk mengurusi
omong kosong macam ini. Aku dituduh melakukan
sesuatu yang tidak aku lakukan. Sulit berkonsentrasi
dengan situasi sialan macam begini."
"Jaga mulutmu!" bentak Mr. Harris.
"Tapi itu benar."
"Aku percaya kepadamu," kata Kepala Sekolah, lalu
menghela napas berat. Dia memandang Kevin, yang
masih berusaha bernapas dengan benar. "Apa kau
perlu ke perawat?" "Aku akan baik-baik saja," kata Kevin.
Mr. Harris mengangguk. "Kalian berdua, lupakanlah
soal insiden di kantin tadi. Mark, konsentrasi. Kita
sudah lama berusaha mendapatkan kesempatan
wawancara ini. Mereka mungkin akan menempatkan
kita di halaman utama. Bayangkan, halaman utama
Gazette," katanya tersenyum.
"Terima kasih," kata Mark. "Aku tak sabar
menantinya." "Bagus. Nah, kalian berdua boleh pergi."
Mereka pergi. Lalu Mr. Harris menatap Sam tajam.
Sam balas menatap tanpa mengalihkan
pandangannya. "Katakan, Sam. Aku ingin kebenaran. Apa benar kau
melihat Mark melempar bakso itu?"
Mata Sam menyipit. Dia tidak mengalihkan
pandangan. "Ya." Kepala Sekolah menggeleng. "Aku tidak percaya
kepadamu, Sam. Dan karena itu, ini yang akan kita
lakukan." Mr. Harris memandangku. "Jadi sebuah
bakso dilempar- " "Dua," sela Sam.
"Apa"!" tanya Mr. Harris, sekali lagi menatap Sam
tajam. "Ada dua bakso yang dilempar, bukan satu."
Mr. Harris menghantamkan tinjunya ke meja. "Siapa
yang peduli seberapa banyak! John, kau menyerang
Kevin. Mata dibalas mata. Kita bisa melupakan
masalah itu. Paham?"
Wajah Mr. Harris merah dan aku tahu tak ada
gunanya berdebat. "Ya," jawabku. "Aku tak mau lagi melihat kalian berdua di sini,"
katanya. "Kalian boleh pergi."
Kami meninggalkan kantor kepala sekolah.
"Kenapa kau tidak mengatakan soal ponselmu
kepadanya?" tanya Sam.
"Karena dia tidak peduli. Dia cuma ingin bisa makan
siang secepatnya," jawabku. "Dan hati-hati," kataku
kepada Sam. "Mulai sekarang Mark akan
mengawasimu." *** Pelajaran tata boga berlangsung setelah makan
siang- bukan karena aku suka memasak, tapi karena
pilihannya hanya ini atau paduan suara. Lagi pula,
walaupun aku memiliki banyak kekuatan dan
kemampuan yang dianggap luar biasa di Bumi,
menyanyi bukanlah salah satunya. Jadi aku masuk ke
kelas tata boga dan duduk. Ruangan itu kecil. Tepat
sebelum bel berbunyi, Sarah masuk dan duduk di
sampingku. "Hai," katanya.
"Hai." Darah mengalir ke wajahku dan bahuku menjadi
kaku. Aku mengambil pensil dan memutar-mutarnya
dengan tangan kanan sementara tangan kiriku
mencengkeram bagian tepi buku catatanku.
Jantungku berdebar. Tolong jangan biarkan tanganku
bersinar. Aku mengintip telapak tanganku dan
bernapas lega saat melihatnya masih normal. Tenang,
pikirku. Dia cuma anak cewek.
Sarah memandangku. Seluruh bagian dalam tubuhku
terasa seolah menjadi bubur. Dia mungkin gadis
tercantik yang pernah kulihat.
"Maaf karena Mark bersikap berengsek terhadapmu,"
katanya. Aku mengangkat bahu. "Bukan salahmu."
"Kalian berdua nggak akan benar-benar berkelahi,
kan?" "Mauku sih nggak," kataku.
Sarah mengangguk. "Mark kadang memang
menyebalkan. Dia selalu berusaha menunjukkan
bahwa dirinya jagoan."
"Tanda-tanda orang tak percaya diri," kataku.
"Dia bukannya tak percaya diri. Hanya berengsek."
Pastinya. Tapi aku tidak ingin berdebat dengan Sarah.
Lagi pula, dia berbicara dengan begitu yakin sehingga
aku hampir meragukan diriku.
Sarah melihat noda saus spageti yang sudah
mengering di bajuku, lalu mengulurkan tangan dan
menarik saus yang mengering dari rambutku.
"Makasih," kataku.
Sarah mendesah. "Aku minta maaf atas apa yang
terjadi." Dia menatap mataku. "Kami nggak pacaran
lho." "Masa?" Sarah menggelengkan kepala. Minatku bangkit karena
dia merasa perlu menjelaskan itu kepadaku. Setelah
sepuluh menit mendengarkan cara membuat
pancake- aku tidak mendengar apa pun- sang guru,
Mrs. Benshoff, memasangkan Sarah dan aku. Kami
melewati pintu di bagian belakang ruangan itu yang
mengarah ke dapur. Dapur itu tiga kali lebih besar
daripada ruang kelas tadi. Ada sepuluh bagian dapur
yang berbeda, lengkap dengan lemari es, lemari
makan, tempat cuci piring, dan oven. Sarah berjalan
ke salah satunya, mengambil celemek dari laci, dan
mengenakannya. "Bisa tolong ikatkan ini?" tanyanya.
Aku salah mengikatnya dan harus mengikat ulang.
Aku bisa merasakan bentuk pinggangnya dengan jarijariku. Setelah celemek Sarah
terikat, aku mengenakan celemekku dan mulai mengikatnya
sendiri. "Sini," katanya sambil menarik tali dan mengikat
celemekku. "Makasih." Aku mencoba memecahkan telur pertama, namun
aku melakukannya terlalu keras dan tidak ada yang
masuk ke dalam mangkuk. Sarah tertawa. Dia
meletakkan telur baru di tanganku, memegang
tanganku dan menunjukkan bagaimana cara
memecahkan telur menggunakan pinggiran mangkuk.
Dia memegang tanganku sedetik lebih lama daripada
seharusnya. Sarah memandangku dan tersenyum.
"Seperti itu." Dia mengaduk adonan. Beberapa helai rambut turun
ke wajahnya. Aku sangat ingin mengulurkan tangan
dan menyampirkan helaian rambut itu ke belakang
telinganya, tapi aku tidak melakukannya. Mrs.
Benshoff berjalan ke dapur kami untuk memeriksa
pekerjaan kami. Sejauh ini cukup bagus. Tentu saja
semua itu berkat Sarah karena aku sendiri tidak tahu
apa yang kulakukan. "Menurutmu gimana Ohio?" tanya Sarah.
"Lumayan. Seharusnya hari pertamaku di sekolah
lebih baik daripada kemarin."
Sarah tersenyum. "Sebenarnya apa yang terjadi" Aku
khawatir." "Apa kau percaya jika kubilang bahwa aku ini alien?"
"Yang benar saja," katanya sambil tertawa. "Apa
yang sebenarnya terjadi?"
Aku tertawa. "Aku punya penyakit asma yang sangat
parah. Lalu entah kenapa, kemarin aku terserang
asma," kataku, merasa menyesal karena harus
berbohong. Aku tidak ingin Sarah melihat kelemahan


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam diriku, terutama kelemahan yang tidak benar.
"Yah, aku senang kau sudah sehat."
Kami membuat empat pancake. Sarah menumpuk
semuanya di atas satu piring. Ia menuangkan banyak
sekali sirup maple di atasnya dan memberikan garpu
kepadaku. Aku melihat murid-murid lain. Sebagian
besar makan dengan dua piring. Aku mengulurkan
tangan dan memotong setusuk pancake.
"Nggak buruk," kataku sambil mengunyah.
Aku sama sekali tidak lapar, tapi aku membantu
Sarah menghabiskan semua. Kami gantian memakan
hingga piring itu kosong. Aku jadi sakit perut karena
kekenyangan. Lalu Sarah mencuci piring dan aku
mengeringkannya. Saat bel berbunyi, kami keluar dari
ruangan itu bersama-sama.
"Kau tahu, kau nggak jelek untuk seorang murid kelas
dua," katanya sambil menyikutku. "Aku nggak peduli
apa kata orang." "Makasih, dan kau sendiri juga nggak jelek untuk
seorang- apa pun kau itu."
"Aku kelas tiga."
Kami berjalan tanpa berbicara selama beberapa
langkah. "Kau nggak bakal berkelahi betulan dengan Mark
seusai sekolah nanti, kan?"
"Aku ingin ponselku kembali. Lagi pula, lihat aku,"
kataku sambil menunjuk bajuku.
Sarah mengangkat bahu. Aku berhenti di lokerku.
Sarah memperhatikan nomornya.
"Yah, sebaiknya kau nggak berkelahi," katanya.
"Maunya sih nggak."
Sarah memutar matanya. "Anak laki-laki dan
perkelahian mereka. Yah. Sampai besok."
"Semoga sisa harimu menyenangkan," kataku.
*** Setelah pelajaran kesembilan, sejarah Amerika, aku
berjalan pelan ke lokerku. Aku berpikir untuk pergi
dari sekolah diam-diam, tanpa mencari Mark. Tapi
kemudian aku sadar bahwa aku akan dicap pengecut
untuk selamanya. Aku pergi ke lokerku dan mengeluarkan buku-buku
yang tidak kuperlukan dari tas. Lalu aku berdiri di
sana dan merasakan rasa gugup mulai merayapiku.
Tanganku masih normal. Aku berpikir untuk
mengenakan sarung tangan untuk jaga-jaga, tapi aku
tidak melakukannya. Aku menarik napas panjang dan
menutup pintu loker. "Hai," terdengar suara, membuatku terkejut. Sarah.
Dia melirik ke belakang lalu memandangku kembali.
"Aku ada sesuatu untukmu."
"Bukan pancake lagi kan" Aku masih merasa bakal
meledak." Sarah tertawa gugup. "Bukan pancake. Tapi kalau aku memberikan ini
kepadamu, kau harus janji tidak akan berkelahi."
"Oke," jawabku.
Sarah melirik ke belakang lagi lalu merogoh kantong
depan tasnya dengan cepat. Dia mengeluarkan
ponselku lalu memberikannya kepadaku.
"Bagaimana caramu mendapatkan ini?"
Sarah mengangkat bahu. "Mark tahu?" "Nggak. Jadi, apa kau masih mau bertingkah sok
jago?" tanyanya. "Kurasa nggak."
"Bagus." "Terima kasih," kataku. Aku tidak percaya Sarah mau
melakukan sejauh itu untuk membantuku. Dia kan
tidak kenal aku. Tapi aku tidak protes.
"Sama-sama," kata Sarah, lalu dia berbalik dan
bergegas pergi. Aku memandanginya sepanjang
lorong itu, tidak bisa berhenti tersenyum. Saat aku
keluar, Mark James dan delapan temannya
menghadangku di lobi. "Nah," kata Mark. "Berhasil melalui hari ini, he?"
"Pastinya. Dan lihat apa yang kutemukan," kataku
sambil mengangkat ponselku. Dia ternganga. Aku
berjalan melewatinya, menyusuri lorong, dan keluar
dari gedung sekolah. HENRI MEMARKIRKAN MOBIL TEPAT DI TEMPAT yang
dia janjikan tadi. Aku melompat masuk ke dalam
truk, masih tersenyum. "Hari yang indah?" tanyanya.
"Nggak jelek. Ponselku kembali."
"Tidak berkelahi?"
"Nggak juga sih."
Henri menatapku curiga. "Apa aku perlu tahu apa
maksudnya?" "Mungkin tidak."
"Apa tanganmu menyala hari ini?"
"Nggak," aku berbohong. "Bagaimana harimu?"
Henri mengemudi menyusuri jalan untuk mobil yang
mengelilingi sekolah. "Bagus. Aku mengemudi sekitar
satu setengah jam ke Columbus setelah
mengantarmu." "Kenapa Columbus?"
"Di sana banyak bank besar. Aku tak mau
menimbulkan kecurigaan karena mengambil uang
yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah seluruh
uang di kota ini." Aku mengangguk. "Cerdas."
Henri berbelok ke jalan raya.
"Jadi siapa nama gadis itu?"
"Hm?" tanyaku. "Pasti ada yang menyebabkanmu tersenyum-senyum
seperti orang sinting. Biasanya alasannya cewek."
"Kok tahu?" "John, temanku, dulu di Lorien, C?pan tua ini punya
banyak pacar, lho." "Yang benar saja," kataku. "Di Lorien nggak ada yang
punya banyak pacar."
Henri mengangguk setuju. "Kau memperhatikan
rupanya." Kaum Loric menganut monogami. Bila kami jatuh
cinta, itu untuk selamanya. Pernikahan biasanya
berlangsung pada usia dua puluh lima, kurang lebih,
dan tidak ada hubungannya dengan hukum.
Pernikahan biasanya lebih didasarkan pada janji dan
komitmen, dan bukan karena alasan lain. Henri sudah
menikah selama dua puluh tahun sebelum akhirnya
pergi denganku. Sudah sepuluh tahun berlalu, tapi aku
tahu ia masih merindukan istrinya setiap hari.
"Jadi siapa dia?" tanya Henri.
"Namanya Sarah Hart. Dia anak agen properti yang
menyewakan rumah kepadamu. Dia ada di dua kelas
yang kuikuti. Kakak kelas."
Henri mengangguk. "Cantik?"
"Jelas. Cerdas pula."
"Yeah," kata Henri pelan. "Aku sudah lama menanti
hal seperti ini. Tapi ingat, kita mungkin terpaksa pergi
mendadak." "Aku tahu," kataku. Lalu kami diam sepanjang
perjalanan ke rumah. *** Saat tiba di rumah, Peti Loric bertengger di meja
dapur. Ukurannya sebesar oven microwave, hampir
persegi, 45 senti kali 45 senti. Kegembiraan
merasukiku. Aku berjalan ke arah Peti dan meraih
gemboknya. "Kurasa aku lebih ingin membuka peti ini daripada
mengetahui apa yang ada di dalamnya," kataku.
"Oh, ya" Yah, aku bisa menunjukkan bagaimana cara
membuka Peti itu, lalu kita bisa menguncinya lagi dan
melupakan apa yang ada di dalam."
Aku tersenyum ke arah Henri. "Jangan begitu. Ayolah.
Apa isinya?" "Warisanmu." "Apa maksudmu, Warisanku?"
"Warisan itu adalah sesuatu yang diberikan kepada
Garde ketika mereka dilahirkan untuk digunakan oleh
Penjaganya saat Pusaka Garde itu muncul."
Aku mengangguk senang. "Jadi apa isinya?"
"Warisanmu." Jawaban main-mainnya membuatku frustrasi. Aku
memegang gembok dan mencoba membukanya
secara paksa seperti yang dulu sering kulakukan.
Tentu saja tidak ada hasilnya.
"Kau tidak bisa membukanya tanpaku, dan aku tidak
bisa membukanya tanpamu," kata Henri.
"Jadi, bagaimana kita membukanya" Nggak ada
lubang kunci." "Mudah." "Ayolah, Henri. Jangan main rahasia-rahasiaan lagi."
Henri melepaskan gembok itu dari tanganku.
"Gembok ini hanya terbuka saat kita bersama, dan
hanya setelah Pusaka pertamamu muncul."
Henri berjalan ke pintu depan, menjulurkan kepala ke
luar, lalu menutup dan mengunci pintu, kemudian
kembali ke dapur. "Tekankan telapak tanganmu di
samping gembok itu," katanya. Aku menurut.
"Hangat," kataku.
"Bagus. Itu artinya kau siap."
"Lalu apa?" Henri menekankan telapak tangannya di sisi lain
gembok dan menyambungkan jarinya dengan jariku.
Satu detik berlalu. Tiba-tiba gembok itu terbuka.
"Keren!" kataku.
"Peti ini dilindungi oleh mantra Loric, seperti kau. Tidak
bisa dirusak. Kau bisa melindasnya dengan mesin gilas
dan peti ini tidak akan penyok. Hanya kita berdua
yang bisa membukanya, bersama-sama. Kecuali jika
aku mati. Saat itu, kau bisa membukanya sendiri."
"Yah," kataku, "kuharap itu tak terjadi."
Aku mencoba mengangkat bagian atas peti itu, tapi
Henri mengulurkan tangan menghentikanku.
"Belum," katanya. "Masih ada hal-hal yang belum
boleh kau lihat karena kau belum siap. Duduklah di
sofa." "Ayolah, Henri."
"Percayalah padaku," katanya.
Aku menggelengkan kepala dan duduk. Henri
membuka peti dan mengambil sebuah batu yang
panjangnya kira-kira 15 senti dan tebalnya kira-kira 5
senti. Ia mengunci peti lagi dan membawa batu itu
kepadaku. Batu itu berbentuk persegi panjang dan
sangat halus, bagian luarnya bening, tapi bagian
tengahnya seperti berkabut.
"Apa ini?" tanyaku.
"Kristal Loric."
"Gunanya?" "Pegang," kata Henri sambil menyerahkan Kristal itu
kepadaku. Begitu tanganku menyentuh kristal itu,
kedua telapak tanganku bersinar. Sinarnya lebih
terang daripada kemarin. Batu itu menghangat. Aku
mengangkatnya untuk melihat lebih jelas. Kabut di
bagian tengah berputar, berpusar ke arah dalam
seperti sebuah gelombang. Aku juga bisa merasakan
liontin di leherku memanas. Aku bergairah dengan
semua perkembangan baru ini. Seumur hidup aku
menanti kemunculan kekuatanku dengan tidak sabar.
Memang, ada saat-saat ketika aku berharap
kekuatanku tidak akan pernah muncul, terutama agar
kami bisa tinggal di satu tempat dan hidup normal.
Namun saat ini- memegang kristal berisi sesuatu yang
tampak seperti bola asap di bagian tengah, dan tahu
bahwa tanganku tahan panas dan api, dan masih
banyak Pusaka lain yang akan muncul diikuti dengan
kekuatan utamaku (kekuatan yang memungkinkanku
bertarung)- yah, rasanya luar biasa keren dan
menggairahkan. Aku tidak bisa menghapus senyum
dari wajahku. "Apa yang terjadi dengan benda ini?"
"Kristal itu terikat dengan Pusakamu. Sentuhanmu
mengaktifkannya. Jika Pusakamu bukan Lumen,
kristal itulah yang akan bersinar. Tapi karena
Pusakamu itu Lumen, yang terjadi justru sebaliknya."
Aku menatap kristal itu, memandangi asap yang
berputar dan bersinar. "Bisa kita mulai?" tanya Henri.
Aku menganggukkan kepala dengan cepat. "Pasti."
*** Hari semakin dingin. Rumah begitu sunyi, hanya
sesekali terdengar jendela berderak ditiup angin. Aku
berbaring telentang di atas meja kopi dari kayu.
Tanganku menjuntai di kedua sisinya. Henri akan
menyalakan api di bawah kedua tanganku. Napasku
pelan dan mantap, seperti yang diperintahkan Henri.
"Kau harus terus menutup matamu," katanya.
"Dengarkan angin. Mungkin akan ada rasa terbakar di
lenganmu saat aku membawa kristal ke atasnya.
Abaikan sebisa mungkin."
Aku mendengarkan suara angin bertiup melewati
pepohonan di luar. Entah bagaimana, aku bisa
merasakan pohon-pohon itu bergoyang dan
melengkung. Henri mulai dengan tangan kananku. Dia menekankan
kristal di bagian belakang tanganku, lalu
mengusapkannya naik ke pergelangan tangan lalu ke
lenganku. Ada rasa terbakar seperti yang Henri
perkirakan, tapi tidak cukup panas untuk membuatku


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik tangan. "Biarkan pikiranmu berkelana, John. Pergilah ke mana
kau perlu pergi." Aku tidak mengerti apa maksud Henri, tapi aku
mencoba mengosongkan pikiran dan bernapas pelan.
Pikiranku langsung berkelana. Entah bagaimana aku
bisa merasakan kehangatan sinar matahari di
wajahku dan angin yang jauh lebih hangat daripada
angin yang bertiup di luar rumah kami. Saat
membuka mata, aku sudah tidak berada di Ohio.
Aku berada di atas suatu area luas berisi pucuk
pepohonan, sejauh mata memandang aku hanya
melihat hutan. Langit biru, matahari mulai tenggelam.
Matahari itu dua kali lebih besar daripada matahari
Bumi. Angin hangat bertiup lembut membelai
rambutku. Di bawah sana, sungai-sungai membentuk
jurang dalam yang membelah hutan. Aku melayang
di atas salah satunya. Hewan-hewan dengan berbagai
bentuk dan ukuran- ada yang panjang dan langsing,
ada yang memiliki lengan pendek dan tubuh gemuk,
ada yang berbulu, ada yang berkulit gelap dan
tampak kasar jika disentuh- sedang minum air segar
di tepi sungai. Di kejauhan terlihat kaki langit yang
melengkung. Aku langsung tahu bahwa aku berada di
Lorien. Planet ini sepuluh kali lebih kecil daripada
Bumi. Karena itu, kita bisa melihat permukaan planet
yang melengkung saat memandang dari jarak yang
cukup jauh. Entah bagaimana, aku bisa terbang. Aku terbang ke
atas dan berputar di udara, lalu menukik tajam dan
terbang cepat menyusuri permukaan sungai. Hewanhewan mendongak dan memandang
ingin tahu, tanpa rasa takut. Lorien pada masa keemasannya, diselimuti
tetumbuhan dan dihuni para hewan. Dalam
bayanganku, Bumi jutaan tahun lalu tampak seperti
ini, ketika planet mengendalikan kehidupan makhlukmakhluknya, sebelum manusia
datang dan mulai mengendalikan planet. Lorien pada masa keemasan.
Aku tahu Planet Lorien tidaklah terlihat seperti ini
pada saat ini. Aku mungkin melihat ingatan. Pastinya
bukan ingatanku" Lalu hari berganti malam dengan cepat. Di kejauhan,
pesta kembang api dimulai. Kembang api meroket ke
langit lalu meledak dalam berbagai bentuk hewan
dan pepohonan dengan langit malam dan bulan serta
jutaan bintang sebagai latar belakang yang indah.
"Aku bisa merasakan keputusasaan mereka,"
kudengar suara entah dari mana. Aku berbalik dan
memandang berkeliling. Tidak ada orang. "Mereka
tahu di mana salah satu dari kalian, tapi mantra itu
masih berfungsi. Mereka tidak bisa menyentuh gadis
itu sebelum membunuhmu. Tapi mereka terus
membuntutinya." Aku terbang ke atas lalu ke bawah, mencari sumber
suara itu. Dari mana asalnya"
"Mulai sekarang kita harus lebih waspada. Mulai
sekarang kita harus berada di depan mereka."
Aku terbang ke depan menuju kembang api. Suara itu
membuatku gugup. Mungkin bunyi ledakan yang
keras bisa menghilangkannya.
"Dulu mereka berharap bisa membunuh kita semua
sebelum Pusakamu muncul. Tapi kita tetap
tersembunyi. Kita harus tetap tenang. Tiga yang
pertama panik. Tiga yang pertama mati. Kita harus
tetap cerdik dan waspada. Saat kita panik, kesalahan
pun terjadi. Mereka tahu akan lebih sulit bagi mereka
jika kekuatan kalian yang tersisa semakin
berkembang. Lalu saat kekuatan kalian semua
mencapai puncaknya, perang akan pecah. Kita akan
melawan dan membalas dendam, dan mereka tahu
itu." Aku melihat bom berjatuhan di permukaan Lorien.
Ledakan-ledakan mengguncang daratan dan udara,
jeritan terbawa angin, ledakan api menyapu daratan
dan pepohonan. Hutan terbakar. Pastilah ada seribu
pesawat udara berbeda, semuanya turun dari langit
dan mendarat di Lorien. Prajurit Mogadorian
membanjir keluar, membawa senapan dan granat
dengan kekuatan yang jauh lebih besar daripada
yang digunakan dalam perang di Bumi. Mereka lebih
tinggi daripada kami, dan tampak serupa dengan
kami kecuali di bagian wajah. Mereka tidak punya
pupil. Selaput pelangi mereka berwarna merah ungu
gelap, sebagian lagi hitam. Lingkaran tebal dan gelap
membingkai mata mereka. Ada bagian pucat di kulit
mereka- hampir tak berwarna dan seperti memar. Gigi
mereka berkilat di antara bibir yang tampaknya tak
bisa ditutup. Gigi-gigi itu seakan dikikir sehingga
bentuknya tidak wajar. Hewan buas dari Planet Mogadore keluar dari
pesawat di belakang dengan tatapan dingin mereka.
Sebagian dari mereka sebesar rumah, dengan gigi
runcing, meraung begitu keras sehingga telingaku
sakit. "Kita ceroboh, John. Itulah sebabnya mengapa kita
bisa dikalahkan dengan mudah," katanya. Sekarang
aku tahu itu suara Henri. Tapi Henri tidak tampak di
mana pun. Aku juga tidak bisa melepaskan
pandangan dari pembantaian dan penghancuran di
bawahku demi mencari Henri. Kaum Loric berlarian,
melawan. Jumlah Mogadorian yang mati sama
banyaknya dengan jumlah Loric yang terbunuh. Tapi
kaum Loric kalah dalam pertempuran melawan
hewan buas, yang membantai lusinan bangsa kami:
dengan napas api, gigi yang meremukkan, lengan dan
ekor yang diayunkan dengan ganas. Waktu
dipercepat, lebih cepat daripada normal. Berapa lama
yang telah berlalu" Satu jam" Dua jam"
Para Garde memimpin pertarungan, mengerahkan
Pusaka mereka. Sebagian terbang, sebagian berlari
begitu cepat sehingga tampak kabur, dan sebagian
lagi benar-benar tak tampak. Laser ditembakkan dari
tangan, tubuh dibalut api, awan badai bergolak dan
diikuti dengan angin kencang di atas mereka yang
mampu mengontrol cuaca. Tapi mereka masih kalah.
Mereka kalah jumlah. Lima ratus banding satu.
Kekuatan mereka tidak cukup.
"Kita lengah. Para Mogadorian merencanakan dengan
baik. Mereka memilih saat yang tepat, yaitu ketika
kita berada dalam keadaan paling lemah, ketika para
Tetua planet pergi. Pittacus Lore- Tetua terkuat,
pemimpin para Tetua planet- telah mengumpulkan
mereka sebelum serangan itu terjadi. Tidak ada yang
tahu apa yang terjadi dengan para Tetua planet, ke
mana mereka pergi, atau apakah mereka masih
hidup. Mungkin kaum Mogadorian telah membereskan
mereka dulu. Begitu para Tetua tidak ada, mereka pun
menyerang. Yang kita tahu hanya ada lajur cahaya
putih menyorot tinggi ke langit saat para Tetua planet
berkumpul. Cahaya itu bertahan sepanjang hari, lalu
menghilang. Kita, sebagai kaum Loric, harusnya sadar
bahwa itu pertanda ada sesuatu yang salah, tapi
tidak. Tak ada yang bisa disalahkan selain diri kita
sendiri atas apa yang terjadi. Kita beruntung karena
bisa mengungsikan sebagian Loric keluar dari planet,
terutama sembilan Garde muda yang suatu saat nanti
mungkin akan melanjutkan pertarungan, dan
menjaga kelangsungan hidup bangsa kita.
Di kejauhan, sebuah pesawat lepas landas dengan
cepat ke udara dengan garis biru mengekor di
belakangnya. Aku memandangnya dari tempatku di
langit hingga lenyap. Aku sesuatu yang akrab
dengannya. Lalu aku pun sadar: Aku ada di pesawat
itu. Henri juga. Itu pesawat yang membawa kami ke
Bumi. Kaum Loric pasti tahu bahwa mereka kalah.
Alasan apa lagi yang membuat mereka
mengungsikan kami" Pembantaian sia-sia. Itu pendapatku mengenai semua
ini. Aku mendarat di tanah dan berjalan melewati
bola api. Amarah menggelegak di dadaku. Laki-laki
dan perempuan mati, Garde dan C?pan, bersamasama dengan anak-anak yang tak
berdaya. Bagaimana mungkin ini bisa dimaklumi" Bagaimana
mungkin hati para Mogadorian begitu keras sehingga
bisa melakukan ini semua" Dan mengapa aku
diungsikan" Aku menerjang seorang prajurit Mogadorian di
dekatku, namun aku menembusnya dan jatuh. Semua
yang kusaksikan di sini telah terjadi. Aku hanyalah
saksi dari kematian kami semua dan tak ada yang
bisa kulakukan. Aku berbalik dan menghadapi seekor hewan buas
yang tingginya pastilah dua belas meter, dengan bahu
lebar, dan mata merah serta tanduk sepanjang enam
meter. Liur menetes dari giginya yang panjang dan
tajam. Hewan itu meraung lalu menerjang.
Hewan itu menembusku dan menghabisi lusinan Loric
di sekitarku. Begitu saja, dan semua Loric itu tewas.
Hewan itu terus membantai, menghabisi lebih banyak
kaum kami. Menembus adegan kehancuran itu, terdengar suara
garukan, sesuatu yang terpisah dari pembantaian di
Lorien. Aku terhanyut pergi ke tempat diriku berada.
Dua buah tangan menekan bahuku. Mataku langsung
membuka dan aku kembali di rumah kami di Ohio.
Lenganku menjuntai di meja kopi. Beberapa senti di
bawahnya ada dua ketel berisi api. Kedua tanganku
hingga pergelangan terbenam dalam api yang
menyala-nyala. Aku tidak merasakan apa pun. Henri
berdiri di dekatku. Bunyi garukan yang tadi kudengar
berasal dari beranda depan.
"Apa itu?" bisikku sambil duduk.
"Aku tak tahu," jawab Henri.
Kami berdua diam, berusaha mendengar. Tiga bunyi
garukan lagi di pintu. Henri menunduk memandangku.
"Ada orang di luar," katanya.
Aku memandang jam di dinding. Hampir satu jam
berlalu. Aku berkeringat, kehabisan napas, terguncang
oleh adegan pembantaian yang baru kusaksikan.
Untuk pertama kalinya, aku benar-benar paham apa
yang terjadi di Lorien. Sebelumnya, peristiwa itu
hanyalah bagian dari cerita, seperti cerita yang kubaca
di buku-buku. Tapi sekarang aku telah melihat darah,
air mata, dan kematian. Aku telah menyaksikan
kehancuran. Itu bagian dari diriku.
Di luar sudah gelap. Tiga bunyi garukan lagi di pintu,
diikuti geraman pelan. Kami berdua terlompat. Aku
langsung teringat geraman pelan hewan buas yang
tadi kudengar. Henri bergegas ke dapur dan mengambil pisau dari
laci di samping bak cuci piring. "Sembunyi di belakang
sofa." "Apa" Kenapa?"
"Karena kusuruh."
"Kau pikir pisau kecil itu bisa mengalahkan
Mogadorian?" "Jika kutusukkan tepat di jantungnya, bisa. Sekarang,
menunduk." Aku turun dari meja kopi dan berjongkok di belakang
sofa. Dua ketel berisi api masih menyala, gambaran
samar Lorien masih terbayang di benakku. Bunyi
geraman tak sabar datang dari luar pintu depan. Jelas
ada seseorang, atau sesuatu, di luar sana. Jantungku
berdegup kencang. "Tetap menunduk," kata Henri.
Aku mengangkat kepala agar bisa memandang dari
balik sofa. Pembantaian dan darah di mana-mana,
kenangku. Pastilah kaum Loric tahu mereka bisa
dikalahkan dengan mudah. Tapi mereka bertarung
sampai akhir, mati untuk saling menyelamatkan, mati
untuk membela Lorien. Henri mencengkeram pisau
dengan kuat. Ia meraih kenop pintu perlahan-lahan.
Amarah menggelegak di dadaku. Kuharap itu salah
satu dari mereka. Biarkan Mogadorian melewati pintu
ini. Dia akan bertemu tandingannya.
Aku tidak mungkin tinggal diam di balik sofa ini. Aku
mengulurkan tangan dan meraih salah satu ketel,
memasukkan tangan ke dalam dan mengeluarkan
kayu berujung runcing yang masih terbakar. Rasanya
dingin, tapi api terus menyala, membalut tanganku.
Aku memegang kayu itu seperti memegang belati.
Biarkan mereka datang, pikirku. Tidak ada melarikan
diri lagi. Henri memandangku, menarik napas dalam,
dan membuka pintu depan dengan cepat.SEMUA
OTOT DI TUBUHKU MENEGANG, BERSIAP untuk yang
terburuk. Henri melompat melewati ambang pintu dan
aku siap untuk mengikutinya. Aku dapat merasakan
dug-dug-dug di dadaku. Buku jari-jariku memutih di
sekeliling kayu yang masih terbakar. Angin bertiup
masuk melalui pintu. Api di tanganku menari-nari dan
merayap ke pergelangan tanganku. Tidak ada seorang
pun di sana. Tubuh Henri langsung santai dan dia
terkekeh, menatap ke bawah. Di sana, mendongak
memandang Henri, anjing beagle yang kemarin
kulihat di sekolah. Anjing itu mengibas-ngibaskan ekor
dan menggaruk lantai. Henri menunduk dan membelai
anjing itu. Lalu si anjing bergegas masuk ke dalam
rumah dengan lidah terjulur.
"Apa yang dia lakukan di sini?" tanyaku.
"Kau tahu anjing ini?"


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku melihatnya di sekolah. Dia membuntutiku ke
mana-mana kemarin setelah kau menurunkanku."
Aku mengembalikan batang kayu ke tempatnya lalu
mengelap tanganku ke celana jins, meninggalkan
noda abu hitam di bagian depan. Anjing itu duduk di
bawah, di kakiku dan mendongak penuh harap,
ekornya mengetuk-ngetuk lantai kayu. Aku duduk di
sofa dan menatap kedua api dalam ketel terbakar.
Sekarang karena ketegangan sudah berakhir,
pikiranku kembali ke citra yang tadi kulihat. Aku
masih bisa mendengar jeritan di telingaku. Aku juga
masih melihat darah di rumput berkilau terkena
cahaya bulan. Aku masih melihat tubuh-tubuh dan
pepohonan roboh, dan juga mata hewan buas Planet
Mogadore yang merah menyala dan mata kaum Loric
yang disaput kengerian. Aku menatap Henri. "Aku melihat apa yang terjadi.
Setidaknya awalnya."
Henri mengangguk. "Sudah kuduga."
"Aku bisa mendengar suaramu. Apa kau tadi bicara
denganku?" "Ya." "Aku tak mengerti," kataku. "Itu pembantaian. Ada
begitu banyak kebencian di hati mereka. Mereka
bukan hanya sekadar tertarik dengan sumber daya
kita. Ada yang lebih daripada itu."
Henri mendesah dan duduk di atas meja kopi di
depanku. Si anjing melompat ke pangkuanku. Aku
membelainya. Anjing itu kotor. Bulunya terasa kaku
dan berminyak di tanganku. Ada tanda pengenal
berbentuk bola football di bagian depan kalungnya.
Tanda pengenal itu sudah lama, sebagian besar cat
cokelatnya sudah aus. Aku mengambilnya, nomor 19
di salah satu sisi, nama BERNIE KOSAR di sisi yang
lain. "Bernie Kosar," kataku. Anjing itu mengibas-ngibaskan
ekor. "Kurasa namanya Bernie Kosar, sama seperti
orang yang ada di poster di dindingku. Pasti orang
beken di sini." Aku membelai punggung si anjing.
"Tampaknya dia tidak memiliki rumah," kataku. "Dan
lapar." Entah bagaimana aku tahu itu.
Henri mengangguk. Dia menunduk menatap Bernie
Kosar. Anjing itu meregangkan tubuh, meletakkan
dagu di atas kaki depannya, lalu menutup mata. Aku
menyalakan pemantik dan meletakkan apinya di
tanganku, lalu telapak tanganku, kemudian ke bagian
dalam lenganku. Aku baru merasa terbakar saat api
itu berjarak dua atau lima senti dari siku. Apa pun
yang Henri lakukan tadi berhasil. Ketahananku
terhadap api sudah menyebar. Aku bertanya-tanya
perlu berapa lama hingga akhirnya seluruh tubuhku
tahan api. "Jadi apa yang terjadi?" tanyaku.
Henri menarik napas dalam. "Aku juga melihat citra
itu. Begitu nyata seolah ada di sana."
"Aku tidak tahu kalau kejadiannya seburuk itu.
Maksudku, aku tahu dari apa yang kau ceritakan
kepadaku, tapi aku tidak benar-benar memahaminya
sampai melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."
"Para Mogadorian berbeda dari kita. Mereka pintar
menjaga rahasia dan manipulatif, tidak memercayai
hampir semua hal. Mereka memiliki kekuatan
tertentu, tapi bukan kekuatan seperti kita. Mereka
hidup berkelompok dan maju pesat di kota-kota
padat. Semakin padat populasinya, semakin bagus. Ini
sebabnya mengapa kau dan aku menghindari kotakota besar, walaupun hidup di kota
besar mungkin bisa membuat kita lebih mudah berbaur. Mereka juga
bisa berbaur dengan jauh lebih mudah.
"Sekitar seratus tahun lalu, Planet Mogadore mulai
mati, seperti yang terjadi pada Planet Lorien dua
puluh lima ribu tahun sebelumnya. Namun, mereka
tidak bertindak seperti kita. Mereka tidak
memahaminya dengan cara yang sama seperti apa
yang saat ini mulai manusia lakukan. Mereka
mengabaikannya. Mereka membunuh lautan. Mereka
juga membanjiri sungai dan danau dengan sampah
dan limbah demi memperkaya kota-kota mereka.
Vegetasi mulai punah. Tentu saja itu menyebabkan
herbivora mulai punah, dan disusul dengan karnivora.
Mereka tahu mereka harus melakukan suatu tindakan
drastis." Henri menutup mata dan diam selama satu menit
penuh. "Apa kau tahu planet apa yang dapat ditinggali dan
Si Rajawali Sakti 1 Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung Lembah Merpati 5

Cari Blog Ini