Ceritasilat Novel Online

Drama Di Ujung Pisau 2

Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande Bagian 2


bahwa tak ada sesuatu di mulutnya yang menyumbat jalan napas, Dengan stetoskop
kudapati kedua paru tidak menguncup. Aku mengambil kantong masker oksigen,
menyungkupkan bagian maskernya ke hidung dan mulut pasien, lalu memompa bagian
pompanya, yaitu semacam balon berkatup satu, memompakan satu liter udara setiap
pompaan. Setelah sekitar satu menit, oksigenasinya membaik mencapai 98 persen.
Tetapi, ia benarbenar memerlukan bantuan untuk bernapas. "Pasang pipa napas,"
kataku, Itu artinya memasang sebuah pipa lengkung melewati pita suara, masuk ke
trakea, sehingga jalan napas dijamin terbuka dan memungkinkan dilakukannya
ventilasi mekanis. Johns, dokter jaga gawat darurat itu, ingin melakukannya. Ia mengambil teropong
laring Mac 3, suatu alat logam baku bentuk L yang tampak agak primitif, untuk
mempertahankan agar mulut dan tenggorok terbuka sehingga sebilah logam mirip
sendok sepatu dapat dimasukkan ke mulut, terus ke tenggorok. Ia menyentakkan
gagang teropong ke langit-langit sehingga lidah terdorong ke bawah dan membuat
mulut dan tenggorok terbuka dan tampaklah pita suara yang terlihat seperti
lipatan tenda warna merah di pangkal trakea. Pasien tidak bereaksi apa-apa, diam
dan dingin. "Pengisap," teriaknya, "aku tak bisa melihat apa-apa."
Ia menyedot sekitar semangkuk darah dan bekuan darah. Kemudian, ia mengambil
pipa trakea suatu pipa karet bening dengan diameter sebesar telunjuk dan ?panjangnya tiga kali panjang telunjuk dan menyorongkannya di antara kedua pita
?suara. Setelah satu menit, sat 02-nya mulai turun.
"Sat 02-nya tujuh puluh persen," seorang perawat
mengingatkan. Johns tetap berusaha mendorong masuk pipa trakea, tetapi selalu saja tersangkut
di pita suara. Bibir pasien mulai tampak biru.
"Enarn puluh persen," kata perawat.
Johns menarik semua alat dari mulut pasien dan menyungkupkan kembali masker
oksigen. Angka oksimeter tetap di 60 untuk beberapa saat, lalu naik kembali
sampai 97 persen, Beberapa menit kemudian, masker dilepasnya kembali dan ia
mencoba lagi memasangkan pipa trakea. Tampak lebih banyak darah, dan mungkin
juga ada pembengkakan: semua upaya membuka tenggorok itu tampaknya tidak
berhasil. Sat 02 turun kembali ke 60 persen. Ia berhenti dan memasang kembali
masker oksigen sampai dicapai sat 95 persen kembali.
Kalau gagal memasang pipa trakea, maka langkah berikutnya adalah meminta bantuan
ahlinya. "Panggil ahli anestesiologi saja," kataku, dan Johns setuju. Sementara
itu, aku melanjutkan langkah penanganan trauma berikutnya: menyelesaikan
pemeriksaan, memerintahkan pasang infus, periksa lab, dan sinar-X. Mungkin semua
itu sekitar lima menit. Sat 02 turun ke 92 persen tidak drastis, tetapi jelas tidak normal untuk pasien
?yang mendapatkan ventilasi manual. Kuperiksa apakah sensor di jarinya lepas.
Tidak. "Apakah aliran oksigennya penuh?" tanyaku pada perawat. "Ya, penuh
terus," jawabnya. Kudengarkan kembali paru-parunya masih ada. "Kita harus memasang pipa trakea,"
?kata Johns. Ia mengangkat kembali masker oksigen dan mencoba lagi.
Terlintas dalam benakku, mestinya aku memikirkan kemungkinan jalan napasnya
tersumbat karena pita suara
yang bengkak atau berdarah. Kalau memang demikian, dan pipa trakea tak bisa
masuk, maka satu-satunya kesempatan menolongnya adalah melakukan trakeotomi
darurat: membuat lubang di leher dan memasukkan pipa napas langsung ke
trakeanya. Usaha intubasi lagi mungkin akan memicu spasme pita suara dan
penutupan jalan napas tibatiba yang sebenarnya telah terjadi.
?Kalau saja aku memikirkan ini sejak tadi, aku akan tahu betapa kondisi pasien
ini tidak tepat untuk dilakukannya "trake" darurat. Sebagai satu-satunya dokter
bedah saat itu, aku memang paling berpengalaman melakukan trakeotomi, tetapi
kenyataan itu tidak terlalu berarti. Aku baru enam kali jadi asisten dokter
bedah, dan semuanya kecuali satu kali, dalam kasus bukan gawatdarurat sehingga
tindakannya tidak perlu dikerjakan secara cepat. Yang sekali itu adalah ketika
melakukan praktik trakea gawatdarurat pada seekor kambing. Seharusnya aku segera
memanggil Dr. Bali untuk membantuku. Seharusnya aku sudah mempersiapkan
peralatan trake lampu, pengisap, instrumen steril. Seharusnya aku minta Johns
? menunggu sampai ada bantuan untukku, dan bukannya tergesa menyuruh memasang pipa
trakea hanya karena penurunan ringan sat 02. Seharusnya aku sudah menyadari
bahwa jalan napasnya memang sudah tertutup, maka aku dapat mengambil pisau dan
melakukan trakeotomi ketika kondisi masih relatif stabil dan aku punya waktu
untuk mengerjakannya dengan hatihati. Tetapi, apa pun alasannya takabur, lalai,?berangan penuh harap, ragu-ragu, atau ketidakpastian aku telah membiarkan
?kesempatan itu lewat. Johns membungkuk di atas pasien itu, berusaha memasukkan lagi pipa trakea
melalui pita suara. Ketika sat
02-nya turun kembali ke 60, ia berhenti dan memasang kembali masker. Kami
memandang layar monitor, angka itu tidak naik, bibir pasien tetap biru. Johns
memompa balon lebih kuat agar lebih banyak oksigen dialirkan.
"Rasanya seperti ada yang menahan," katanya.
Kesadaran itu pelahan bangkit: ini bencana. "Ya ampun, kita telah menyumbat
jalan napasnya," kataku. "Kit trake! Lampu! Telepon OK25, panggil Bali!"
Semua orang tibatiba sibuk berlarian kian-kemari. Aku berusaha untuk terus
bersikap hatihati dan tidak panik. Kuminta seorang dokter-muda bedah mengenakan
gaun dan sarung tangan steril. Kuambil larutan antiseptik dari lemari dan
kutuangkan larutan kuning-coklat itu ke leher pasien. Seorang perawat membuka
bungkusan kit trakeostomi perangkat kain penutup dan instrumen steril.
?Kukenakan gaun dan sarung tangan steril sambil memikirkan langkah yang akan
kulakukan. Sebenarnya sederhana saja, aku meyakinkan diri. Pada dasar rawan
tiroid, yaitu jakun, ada celah yang ditutup selaput fibrosa tipis yang disebut
membran krikotiroid. Sayat di situ dan-voila! Langsung di trakea. Masukkan pipa
plastik lengkung ukuran sepuluh sentimeter ke lubang trakea itu, lalu sambungkan
ke slang oksigen dan ventilator, beres. Tetapi, itu teorinya.
Kututup tubuh pasien dengan beberapa penutup sehingga hanya lehernya yang
terpapar. Leher itu tampak besar sekali. Aku mencoba meraba tonjolan keras rawan
tiroid. Tetapi, tak ada yang dapat diraba di bawah lapisan lemak yang tebal itu,
Aku jadi tidak yakin di mana harus kusayat" Sayatan horizontal atau vertikal"
? ?rasanya aku benci sekali pada diriku. Seorang dokter bedah tak boleh ragu, dan
aku sedang ragu. "Pasang lampu yang lebih terang," pintaku. Seseorang disuruh mengambil lampu
lagi. "Bali sudah dipanggil?" tanyaku. Pertanyaan konyol sebenarnya.
"Dia sedang kemari," seorang perawat menjawab.
Tak boleh ditunda lagi, Empat menit tanpa oksigen akan menyebabkan kerusakan
otak menetap, kalau tidak mati. Akhirnya, kuambil pisau bedah dan mulai
menyayat. Menyayat begitu saja. Kubuat luka sepanjang tujuh sentimeter dari kiri
ke kanan memotong garis tengah leher, sesuai dengan langkah yang kupelajari
dalam kasus elektif. Aku menggunting ke bawah, sementara si dokter muda
mempertahankan luka tetap terbuka dengan retraktor. Aku melukai vena. Tak banyak
darah keluar, tetapi cukup banyak untuk menutupi seluruh luka. Aku tak bisa
melihat apa-apa. Dokter-muda itu menekankan jarinya pada vena yang tersayat itu.
Aku berteriak minta pengisap. Tetapi, pengisap tak befungsi, slangnya tersumbat
bekuan darah bekas upaya intubasi tadi.
"Ambil slang baru!" kataku. "Dan mana lampunya?"
Akhirnya, sebuah lampu atas-kepala yang tinggi didorong masuk dan dinyalakan,
tetapi masih tak cukup terang untukku. Lebih baik aku pakai senter.
Kusapu darah itu dengan kasa, lalu kuraba lubang di leher itu dengan ujung
jariku. Kali ini rasanya aku dapat meraba tepi rawan tiroid yang keras, dan di
bawahnya teraba membran krikotiroid, walaupun aku kurang yakin. Kutandai tempat
itu dengan tangan kiriku.
James O'Connor, ahli anestesiologi yang sudah sangat berpengalaman, masuk. Johns
menceritakan kondisi pasien secara singkat dan menyerahkan ventilator kepadanya.
Dengan memegangnya seperti memegang pena, ku-tusukkan pisau bedah ke luka di
leher pasien pada tempat yang kuduga sebagai rawan tiroid. Secara buta, karena
genangan darah dan penerangan yang buruk, aku menyayat ke bawah pada jaringan
lemak dan jaringan lain sehingga kurasakan ujung pisauku menyentuh rawan yang
terasa keras. Aku mencari dengan ujung pisau, menyusuri rawan itu sampai dicapai
sebuah celah. Kuharap itu adalah membran krikotiroid, maka kutekan pisauku lebih
kuat. Aku merasakan tibatiba pisau menembus sesuatu, lalu kubuat lubang dengan
sayatan sepanjang dua setengah sentimeter.
Ketika aku memasukkan telunjukku ke lubang itu, terasa seperti ada tahanan
antara dua tepi. Setelah menembus tahanan itu, terasa telunjukku berada di suatu
rongga. Tetapi, mana aliran udara keluar-masuk yang kubayangkan di trakea"
Apakah lubang ini cukup dalam" Apakah aku telah masuk ke trakea"
"Kurasa aku telah menembus trakeanya," kataku, seolah meyakinkan diri, sambil
meyakinkan yang lain. "Mudah-mudahan begitu," kata 0"Connor. "Waktunya tak banyak."
Kuambil pipa trakeostomi dan mencoba memasukkannya, tetapi ada sesuatu yang
menghalangi. Kupuntir dan kuputar pipa itu, lalu mendorongnya. Pada saat itulah
Bali tiba. Ia berlari menuju ke meja periksa dan membungkuk melihat pasien.
"Sudah masuk?" tanyanya. Kukatakan bahwa aku yakin sudah masuk. Kantung oksigen
disambungkan ke ujung pipa trakea, tetapi ketika balonnya dipompa, yang tampak
hanyalah buih udara keluar dari luka itu. Bali segera mengenakan sarung tangan
dan gaun steril. "Berapa lama ia tidak mendapat udara?" tanyanya. "Entahlah, mungkin tiga menit."
Wajah Bali mengeras ketika menyadari bahwa ia hanya punya waktu sekitar satu
menit untuk memperbaiki keadaan. Ia menggantikan tempatku dan tanpa ragu segera
mencabut kembali pipa trakea. "Ya ampun, be-rantakan sekali," katanya. "Aku tak
dapat melihat apa pun pada luka ini. Aku bahkan tak tahu apakah ini tempat yang
tepat. Mana pengisap dan lampu yang lebih terang?" Akhirnya ada pipa pengisap
baru. Ia segera membersihkan luka dan melanjutkan tindak bedah itu.
Sat 02 turun drastis sampai ke tingkat yang tak terukur lagi. Denyut jantungnya
mulai melambat mula-mula jadi 60-an, lalu jadi 40-an kali per menit. Lalu, ?nadinya hilang sama sekali. Kuletakkan kedua tanganku di dada pasien dengan siku
kokoh, lalu membungkuk ke arahnya, dan mulai melakukan kempaan dada.
Bali mengalihkan pandangannya dari pasien ke O'Connor. "Aku tak akan berhasil
melakukannya dalam waktu yang tersedia," katanya, "tolong coba lagi dari atas,"
Pada dasarnya, ia telah mengakui kegagalanku. Mencoba melakukan intubasi lagi
adalah sia-sia itu hanya sekadar bertindak, daripada hanya menyaksikan sang
?pasien akhirnya mati. Aku merasa terpukul, lalu lebih konsentrasi melakukan
kempaan dada tanpa menengok kiri kanan lagi. Tamat sudah, pikirku.
Kemudian, mengejutkan sekali, O'Connor berteriak, "Masuk!" Ia berhasil
menyusupkan pipa trakea, yang sebenarnya untuk pasien anak, di antara pita
suara. Dalam tiga puluh detik, dengan oksigen yang dipompakan manual melalui
pipa, jantungnya mulai berdenyut, cepat sekali, 120 kali per menit. Saturasi
oksigennya mulai terukur di
60, lalu perlahan naik. Tiga puluh detik berikutnya mencapai 79 persen. Semua
orang melepas napas seolah sejak tadi menahan napasnya. Bali dan aku tak banyak
bicara, hanya membahas tindakan berikutnya untuk pasien ini. Kemudian, ia
kembali ke lantai atas, menyelesaikan tugasnya menangani pasien korban tusukan
yang masih berada di OK. Akhirnya, wanita itu dapat diidentifikasi. Kupanggil dia Louise Williams, usia
34 tahun, hidup sendiri di tepian kota, tak jauh dari rumah sakit. Ketika sampai
di rumah sakit, kadar alkoholnya dalam darah tiga kali batas kadar yang
dibolehkan menurut hukum, dan mungkin inilah penyebab menurunnya kesadaran.
Kepalanya terbentur benda keras, ada beberapa lecet dan memar di tubuhnya.
Tetapi, dari foto sinar-X dan payaran CT tak tampak cedera akibat kecelakaan.
Malam itu Ball dan Hernandez membawanya ke OK untuk memasangkan trakeostomi.
Bali keluar dan bicara pada keluarga pasien, menceritakan betapa gawat kondisi
pasien ketika datang, kesulitan "kami" membukakan jalan napasnya, betapa lamanya
pasien itu tak mendapatkan oksigen, dan karenanya betapa ia tak yakin tentang
seberapa banyak bagian otaknya yang masih dapat berfungsi. Mereka mendengarkan
tanpa menyela; tak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu.
Mari kita bicarakan beberapa kecelakaan bedah lainnya. Salah satunya adalah
tertinggalnya sebuah alat bedah dari logam yang besar di perut pasien oleh
seorang dokter bedah umum, yang kemudian melukai usus dan dinding kandung kemih.
Dalam kasus lain, seorang ahli bedah kanker melakukan biopsi kanker payudara
pada sisi yang salah sehingga diagnosisnya tertunda berbulan-bulan. Seorang dokter bedah
jantung lupa mengerjakan satu langkah kecil, tetapi sangat penting, dalam
operasi katup jantung sehingga pasiennya meninggal. Seorang dokter bedah umum
kedatangan pasien yang terseok-seok karena sakit perut di UGD, lalu tanpa
payaran CT ia memastikan bahwa nyeri itu disebabkan oleh batu ginjal; delapan
belas jam kemudian, payaran CT memperlihatkan aneurisma aorta yang pecah dan
pasiennya meninggal tak lama kemudian.
Bagaimana mungkin orang yang melakukan kesalahan yang demikian besar boleh
berpraktik sebagai dokter" Kita menyebut dokter yang demikian itu sebagai dokter
yang "tidak kompeten," "tidak etis," dan "lalai." Kita ingin mereka dihukum.
Jadi, kita pun dikendalikan oleh sistem masyarakat untuk menangani suatu
kesalahan: tuntutan malpraktik, skandal di media massa, dilarang praktik untuk
sementara, pemecatan. Namun, ada kebenaran inti dalam dunia kedokteran yang memperumit semua pandangan
jernih tentang tindakan buruk dan para pelakunya itu: semua dokter pasti pernah
melakukan kesalahan. Simak saja semua kasus yang baru saja kuceritakan. Semuanya
kuperoleh hanya dengan meminta dokter bedah kenalanku dokter bedah dari ?fakultas kedokteran terkemuka tentang berbagai kesalahan yang dilakukannya
?tahun sebelumnya. Semua punya cerita sendiri.
Pada tahun 1991, New England Journal of Medicine menerbitkan serangkaian tulisan
bersejarah dari projek yang dikenal sebagai Kajian Praktik Kedokteran Harvard
?suatu kajian atas lebih dari 30 ribu pasien rawat inap di rumah sakit di negara
bagian New York. Kajian itu
menemukan bahwa 4 persen dari jumlah pasien itu menderita komplikasi pengobatan
yang berakibat lebih lamanya pasien dirawat, berakibat cacat, atau kematian.
Selain itu, ditemukan juga bahwa dua pertiga dari semua komplikasi itu terjadi
akibat kesalahan dalam pelayanan medis. Satu dari empat pasien, atau 1 persen
dari semua pasien, mengalami kelalaian sejati. Di seluruh negeri, diperkirakan
lebih dari 44 ribu pasien meninggal setiap tahunnya disebabkan, antara lain,
oleh kesalahan pelayanan medis. Penelitian berikutnya di seluruh Amerika
memastikan bahwa kesalahan itu terjadi merata. Pada sebuah penelitian kecil
tentang cara dokter menangani pasien yang mengalami henti jantung, terbukti
bahwa 27 dari 3D dokter melakukan kesalahan dalam menggunakan alat
defibrilator misalnya salah mengisi baterainya atau terlalu lama memikirkan
?bagaimana cara menggunakan model tertentu. Menurut penelitian tahun 1995,
kesalahan dalam memberikan obat misalnya memberikan obat yang salah atau salah
?dosis terjadi rata-rata sekali pada setiap pasien rawat inap, kebanyakan tanpa
?dampak buruk, tetapi 1 persen di antaranya menimbulkan akibat serius.
Kalau kesalahan itu hanya dilakukan oleh sekelompok dokter yang ceroboh, maka
dapat diduga bahwa malpraktik hanya dilakukan oleh kelompok kecil itu, tetapi
nyatanya distribusi dokter yang melakukan kesalahan itu tampak sebagai kurva
lonceng yang umum. Kebanyakan dokter bedah pernah diajukan ke pengadilan
sedikitnya sekali sepanjang kariernya. Penelitian tentang jenis kesalahan
tertentu pun memperlihatkan bahwa kenyataan ada dokter yang berulang-ulang
melakukan kesalahan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Kenyataannya, boleh
dikatakan setiap orang yang merawat pasien di rumah sakit pasti pernah melakukan
kesalahan serius, bahkan melakukan malpraktik setiap tahun. Karena itulah,
dokter jarang naik pitam bila wartawan lagi-lagi mengangkat kisah ngeri
kedokteran. Reaksi mereka biasanya khas: itu bisa terjadi padaku. Masalahnya
bukan terletak pada bagaimana mencegah dokter yang buruk membahayakan pasien,
tetapi mencegah dokter yang baik membahayakan pasien.
Memejahijaukan malpraktik bukanlah cara yang efektif untuk memperbaiki keadaan.
Troyen Brennan, seorang profesor hukum dan kesehatan masyarakat dari Harvard,
mengatakan bahwa penelitian tidak dapat membuktikan bahwa upaya hukum dapat
mengurangi kesalahan medis. Hal ini mungkin, antara lain, karena senjatanya
sangat tidak tepat. Brennan kemudian memimpin beberapa penelitian yang
menindaklanjuti pasien yang terlibat dalam Kajian Praktik Kedokteran Harvard. Ia
menemukan bahwa hanya kurang dari 2 persen pasien penerima layanan di bawah
standar mutu yang mengajukan tuntutan. Sebaliknya, hanya sebagian kecil dari
pasien yang mengajukan dokternya ke pengadilan kemudian terbukti menjadi korban
kelalaian dokter. Dan kemungkinan pasien memenangkan perkara terutama bergantung
pada seberapa buruk hasil pelayanan medisnya, tanpa memandang apakah hasil itu
disebabkan oleh penyakit atau risiko layanan yang tak terelakkan.
Masalah yang lebih berat tentang tuntutan malpraktik adalah bahwa dengan
memerkarakan kesalahan ini, para dokter menjadi enggan membuka diri kepada
publik. Sistem yang menyimpang ini membuat pasien dan dokter berada pada sisi
yang berlawanan dan mendorong kedua
pihak untuk mengajukan pandangan yang semakin saling menjauh tentang suatu
kejadian. Dengan demikian, bila terjadi sesuatu yang buruk, hampir mustahil
dokter akan bicara kepada pasien dengan jujur tentang kesalahannya. Pengacara
rumah sakit mengingatkan para dokter bahwa walaupun mereka memang harus


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjelaskan cedera yang mungkin dialami, jangan sekali pun mengatakan bahwa itu
adalah kesalahan karena pengakuan demikian akan tampil di meja hijau sebagai
bukti nyata tentang dongeng moralitas. Paling baik dokter mengatakan "Saya mohon
maaf karena apa yang terjadi adalah di luar harapan kita."
Namun, ada satu ajang tempat dokter dapat membahas segala kesalahannya secara
jujur, meskipun bukan dengan pasien, setidaknya antara sesama mereka. Ajang itu
bernama Konferensi Mortalitas dan Morbiditas atau singkatnya M & M dan itu ? ?biasanya berlangsung sekali dalam seminggu di hampir setiap rumah sakit
universitas di seluruh negeri. Ajang ini dapat terus berlangsung karena hukum
yang melindungi laporan sidang itu terhadap tuntutan hukum tetap ada di negara
bagian pada umumnya, walaupun sering digugat. Ahli bedah, khususnya, menanggapi
M & M dengan sungguh-sungguh. Dalam ajang itu mereka dapat berkumpul secara aman
untuk membahas semua kesalahan, kejadian yang tak diharapkan, dan kematian yang
terjadi dalam pengamatan mereka, kemudian menetapkan penanggungjawabnya, dan
memutuskan apa yang harus diperbaiki pada kesempatan berikutnya.
Di rumah sakit tempatku bertugas, kami berkumpul setiap Selasa pukul lima di
ruang amfiteater yang curam dan mewah, yang dindingnya penuh dengan lukisan
minyak para dokter hebat yang menjadi panutan kami. Semua ahli bedah harus
hadir, mulai dari dokter-muda sampai kepala bagian bedah; mahasiswa kedokteran
yang sedang rotasi di bagian bedah pun ikut. Sidang M & M bisa dihadiri sampai
seratus orang. Kami mendaftarkan diri, mengambil fotokopian bahan yang akan
didiskusikan, dan mengambil tempat duduk. Di baris terdepan duduk para ahli
bedah yang paling senior: orang-orang yang serius dan perlente, bukan mengenakan
setelan bedah, tetapi setelan jas hitam, berjajar mirip sekelompok senator dalam
acara dengar pendapat. Kepala bagian, layaknya seekor singa, duduk di bangku
paling dekat dengan mimbar kayu tempat pembicara melaporkan setiap kasus. Dalam
beberapa baris di belakangnya duduk para ahli bedah lainnya; umumnya lebih muda
dan beberapa di antaranya wanita. Residen kepala tampak mengenakan jas putih
panjang, biasanya duduk di baris samping. Aku bersama residen lainnya mengenakan
jas putih pendek dan celana bedah hijau duduk di baris belakang.
Residen kepala dari setiap subbagian jantung, pembuluh darah, trauma, dan ?sebagainya mengumpulkan semua informasi tentang setiap kasus, maju ke mimbar,
?dan mengemukakan kasusnya. Berikut ini sebagian dari daftar kasus mingguan
(disamarkan untuk menjaga kerahasiaan): pria 68 tahun yang meninggal karena
perdarahan setelah bedah katup jantung; wanita 47 tahun yang harus menjalani
bedah ulang karena infeksi setelah menjalani bedah pintas arteri di tungkai
kirinya; wanita 44 tahun yang empedunya keluar melalui pipa salir di perut
setelah operasi kandung empedu; tiga pasien yang harus dioperasi ulang karena
perdarahan pascabedah; pria 63 tahun yang mengalami henti jantung
setelah bedah pintas jantung; wanita 66 tahun yang jahitan luka bedahnya di
perut terbuka sehingga ususnya hampir keluar. Kasus Nn. Williams, trakeostomiku
yang gagal, cuma salah satu dari daftar itu. David Hernandez, residen kepala
trauma, memeriksa rekam medis kasus itu dan membicarakannya denganku dan semua
yang terlibat. Setelah giliran kami tiba, dialah yang maju ke depan dan
melaporkan apa yang terjadi.
Hernandez, bertubuh tinggi, adalah seorang teman yang menyenangkan dan selalu
mengasyikkan kalau bercerita, tetapi presentasi M & M adalah sesuatu yang tidak
melibatkan perasaan dan ringkas, Ia melaporkannya seperti ini: "Seorang wanita
34 tahun mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, mobilnya terguling. Pasien
menunjukkan tanda-tanda vital stabil, tetapi tidak bereaksi terhadap rangsangan,
dan dibawa dengan ambulans tanpa intubasi. Tiba dengan GCS 7." GCS adalah
Glasgow Coma Scale yang menggambarkan keparahan cedera kepala dengan nilai tiga
sampai lima belas. GCS 7 berarti pasien berada dalam keadaan koma, "Upaya
intubasi di UGD gagal dan mungkin turut berperan membuat tertutupnya jalan
napas. Dilakukan krikotiroidotomi, tetapi juga tidak berhasil."
Presentasi ini bisa membuat rikuh. Residen kepalalah yang menentukan kasus mana
yang akan dilaporkan, bukan dokter bedah yang menangani. Cara seperti ini
membuat para dokter yang menangani berlaku jujur tak seorang pun dapat
?menutupnutupi kesalahan tetapi sekaligus menempatkan residen kepala, yang
?sebenarnya merupakan bawahannya, pada posisi yang sulit. Tak terelakkan lagi,
presentasi M & M yang sukses menggunakan banyak kalimat pasif. Tak boleh ada
yang salah melakukan krikotiroidotomi, dan ia melaporkan "Telah dilakukan
krikotiroidotomi, tetapi juga tidak berhasil." Dengan kalimat itu, tak seorang
pun yang dipermalukan. Hernandez melanjutkan, "Pasien mengalami henti jantung dan memerlukan kempaan
jantung. Sejawat dari anestesia akhirnya berhasil memasangkan pipa trakea pediatrik dan kondisi vital pasien dapat distabilkan. Kemudian, trakeostomi
diselesaikan di OK."
Jadi, Louise Williams telah cukup lama berada dalam keadaan tanpa oksigen
sehingga terjadi henti jantung, dan setiap orang tahu bahwa itu berarti ia
mungkin saja mengalami stroke berat atau kondisi yang lebih buruk lagi. Tetapi,
Hernandez mengakhiri laporannya dengan menyampaikan keadaan yang menggembirakan
setelah penanganan itu: "Hasil pemeriksaan selajutnya tidak menunjukkan
kerusakan permanen pada otak atau adanya cedera berat lainnya. Pipa trakea
dicabut pada hari kedua dan ia pulang dalam kondisi baik pada hari ketiga,"
Keesokan harinya ia bangun dengan sedikit pusing dan kelaparan, tidak linglung,
dan secara mental tak bermasalah, yang membuat keluarganya merasa lega, demikian
juga aku. Dalam beberapa minggu, kejadian itu jadi tinggal kenangan, laiknya
luka yang sembuh meninggalkan parut.
Namun, ternyata seseorang menuntut lebih banyak. Suara dari baris paling depan
ibarat guntur bagiku. "Apa yang Anda maksud dengan 'Telah dilakukan
krikotiroidotomi, tetapi juga tidak berhasil'" Aku terhenyak di kursiku, wajahku
panas. "Ini adalah kasusku." Dr. Bali menyahut dari baris depan. Itu cara yang biasa
dipakai oleh dokter yang menangani, dan kalimat pendek itu menggambarkan budaya
dunia bedah. Berbeda dengan yang dianjurkan dalam sekolah bisnis atau di dunia
usaha Amerika tentang keunggulan "organisasi yang horizontal," para dokter bedah
tetap mempertahankan budaya kuno dalam hierarki. Ketika terjadi sesuatu yang
salah, dokter yang menanganinyalah yang harus bertanggung jawab penuh. Tidak
penting apakah tangan residen yang melenceng melukai aorta; ak peduli apakah
dokter yang menangani itu sedang tidur di umah ketika perawat memberi pasien
dosis yang salah. Dalam & M, tanggung jawab itu harus dipikul oleh dokter yang
enangani. Bali kemudian menceritakan kegagalan dokter gawat darurat melakukan intubasi dan
bahwa dia sendiri tidak hadir ketika semua kesalahan itu terjadi. Ia menjelaskan
lampu yang kurang terang dan leher pasien yang bukan main tebalnya, dan ia
sangat berhati-hati menjelaskan agar semua terdengar sebagai sesuatu yang
memperumit, bukan sebagai upaya membela diri. Beberapa dokter bedah
menggelengkan kepala menunjukkan simpatinya. Beberapa lainnya mengajukan
pertanyaan minta penjelasan rinci. Dalam menjelaskan semua itu, Bali tetap
terdengar objektif dan menjaga jarak sehingga suasananya seperti suasana ketika
seorang penyiar CNN menggambarkan suatu kerusuhan di Kuala Lumpur.
Seperti biasa, sebagai yang bertanggung jawab atas semua layanan bedah, kepala
bagian mengajukan pertanyaan di akhir sidang. Ia bertanya, apa yang seharusnya
dilakukan Bali" Hmm, jawab Bali, seharusnya pasien korban tusukan yang tengah
ditangani di OK diselesaikan secepatnya sehingga ia dapat menyuruh Hernandez ke
UGD, atau membiarkan Hernandes menutup luka tusuk di perut itu sementara ia
sendiri naik ke UGD. Semua orang
mengangguk. Semua mengerti, lalu giliran kasus berikutnya.
Dalam sidang M & M itu, tak ada orang yang menanyakan mengapa aku tidak minta
pertolongan lebih awal atau mengapa aku tidak memiliki cukup pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk kasus itu. Ini tidak berarti bahwa tindakanku
itu bisa diterima. Dalam budaya hierarki tadi, membenahi kesalahanku adalah
tugas Bali. Sehari setelah bencana itu, aku bertemu Bali di serambi OK, lalu ia
mengajakku menepi dan bicara. Ketika membahas kesalahanku, suaranya lebih
terdengar menyesal ketimbang marah. Pertama, katanya, pada trakeostomi darurat,
lebih baik dilakukan sayatan vertikal pada leher; dengan begitu, dapat dihindari
aku melukai pembuluh darah yang letaknya vertikal sesuatu yang seharusnya aku ?tahu, setidaknya dari membaca. Dengan demikian, akan lebih mudah bagiku memasang
jalan napasnya. Kedua, yang baginya sangat fatal dan bukan sekadar kealpaan, dia
tidak mengerti mengapa aku tidak memanggilnya ketika mulai ada tanda
tersumbatnya jalan napas. Aku tidak berdalih apa-apa. Aku hanya berjanji akan
mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk kasus seperti itu dan akan lebih
cepat meminta pertolongan.
Lama setelah Bali menghilang di gang berlampu neon, aku masih merasakan rasa
malu yang menusuk dalam diriku. Bukan rasa bersalah: Kita akan merasa bersalah
kalau melakukan tindakan yang salah. Yang kurasakan adalah malu: dirikulah yang
salah, bukan tindakanku saja. Namun, aku pun tahu bahwa mungkin perasaan
demikian terlalu berlebihan untuk seorang dokter bedah. Memang sah-sah saja jika
aku menyadari dan mengakui keterbatasanku, tapi, aku tak boleh membiarkan diri
dibebani keraguan. Seorang ahli bedah tingkat nasional pernah bercerita kepadaku betapa
pada suatu operasi perut ia membuat perdarahan hebat tak terkendali ketika
mengangkat tumor yang ternyata cuma tumor jinak, dan pasiennya meninggal.
"Tindakanku itu benarbenar pembunuhan keji," katanya. Sesudah kejadian itu, ia
hampir tak sanggup melakukan pembedahan. Ketika kembali melakukannya, ia jadi
begitu was-was dan ragu. Kasus itu memengaruhi kinerjanya selama berbulan-bulan.
Tetapi, yang lebih buruk daripada kehilangan kepercayaan diri adalah bersikap
defensif. Ada saja dokter bedah yang dapat melihat kesalahan orang lain, kecuali
kesalahan dirinya. Mereka tak pernah mempertanyakan dan takut oleh
keterbatasannya. Akibatnya, mereka tidak belajar apa-apa dari kesalahan yang
dibuatnya dan tidak tahu letak kekurangannya. Seperti kata seorang ahli bedah
kepadaku, "Memang jarang, tetapi mengkhawatirkan, bahwa ada dokter bedah yang
tak punya rasa takut. Kalau tak ada sedikit pun rasa takut ketika Anda
mengoperasi," katanya, "hampir dapat dipastikan Anda berpeluang besar
mencelakakan pasien."
Suasana dalam M & M dimaksudkan untuk menghilangkan kedua sifat itu keraguan ?diri dan penyangkalan sebab M & M merupakan ritual budaya yang menanamkan pada
?para ahli bedah cara pandang yang "benar" terhadap kesalahan. "Apa yang
seharusnya Anda perbuat" Itulah pertanyaan yang diajukan oleh kepala bagian atas
semua kasus yang berisiko. "Tidak ada" adalah jawaban yang salah.
Pada hakikatnya, M & M adalah suatu lembaga kemanusiaan yang sangat bermartabat.
Berbeda dengan pengadilan dan media massa, lembaga ini memandang sifat
khilaf manusiawi bukanlah sesuatu yang bisa dicegah dengan hukuman. M & M
memandang bahwa menghindari kesalahan adalah masalah niat bahwa ahli bedah
?harus mengenal dengan baik dan tetap waspada terhadap begitu banyaknya
kemungkinan timbulnya masalah, dan harus berusaha memikirkan setiap kemungkinan
itu sebelum terjadi. Bukan hanya menyesali, tetapi ada rasa malu bila kesalahan
itu terjadi. Memang, semangat M & M mungkin tampak paradoksikal. Di satu sisi
menanamkan pandangan Amerika yang tidak dapat menerima kesalahan. Tetapi, di
sisi lain, dalam M & M yang berlangsung tiap minggu itu, semua laporan kesalahan
diterima sebagai bagian dari dunia kedokteran yang tak terelakkan.
Tetapi, mengapa kesalahan begitu sering terjadi" Lucian Leape, seorang pakar
masalah kesalahan terkemuka di bidang kedokteran, mengatakan bahwa banyak
industri lain baik yang menghasilkan semikonduktor maupun yang melayani tamu di
?Ritz-Carlton tidak akan menemukan angka kesalahan setinggi yang ada di rumah
?sakit. Industri penerbangan telah menurunkan angka kesalahan operasional sampai
ke angka satu per seratus ribu penerbangan, dan kebanyakan kesalahan tidak
membawa dampak berbahaya. Kata yang paling sering disebut din General Electric
akhirakhir ini adalah "Six Sigma" yang menggambarkan sasaran mereka untuk
menurunkan kejadian cacat produk serendah mungkin sampai ke tingkat yang dalam
statistik dinyatakan sebagai lebih dari enam simpangan baku kesalahan akibat
suatu kebetulan hampir hanya satu kejadian dalam sejuta produk.
?Tentu saja pasien lebih rumit daripada pesawat terbang, dan pasien dapat
bereaksi di luar kelaziman.
Selain itu, dunia kedokteran bukan sekadar menghasilkan produk tetap atau
sekelompok produk; dunia kedokteran lebih rumit daripada berbagai bidang lain
dalam kegiatan manusia. Begitu pun, semua yang kami pelajari dalam dua dasawarsa
terakhir dari psikologi kognitif, dari teknologi "faktor manusia," dari kajian
?bencana semacam Three Mile Island dan Bhopal memberikan satu pemahaman yang
?sama: bukan saja manusia dapat berbuat salah, tetapi mereka juga sering berbuat
salah dengan cara yang terpola dan dapat diramalkan. Dan sistem yang tidak
menyesuaikan diri dengan kenyataan ini akhirnya akan memicu kesalahan, bukannya
menghilangkan kesalahan. Seorang psikolog Inggris, James Reason, mengemukakan dalam bukunya Human Error
bahwa kecenderungan kita untuk melakukan kesalahan tertentu merupakan imbalan
atas kemampuan luar biasa otak kita dalam berpikir dan bertindak naluriah
?untuk dengan cepat menyaring informasi sensorik yang menghujani kita tanpa henti
dan kemampuan menghadapi berbagai situasi baru. Jadi, sistem yang berlangsung
dalam kesempurnaan manusia menyebabkan "kesalahan laten" begitu Reason
?menyebutnya yaitu kesalahan yang menunggu waktu untuk terjadi. Dunia kedokteran
?penuh dengan contoh seperti itu. Misalnya, menulis resep obat, suatu tindakan
rutin yang mengandalkan ingatan dan perhatian, sesuatu yang kita tahu sangat
tidak bisa diandalkan. Tak dapat dielakkan, dokter kadang-kadang menuliskan
dosis atau obat yang salah. Dan, walaupun resep dituliskan dengan benar, masih
ada kemungkinan salah baca. (Sistem pemberian obat berdasarkan-komputer boleh
dikatakan dapat menghapus kesalahan ini, tetapi sedikit sekali rumah sakit yang
menerapkannya). Peralatan kedokteran,
yang pembuatannya sering tanpa mempertimbangkan manusia yang akan
menjalankannya, adalah contoh lain yang memperlihatkan kesalahan laten: salah
satu alasan yang mungkin menyulitkan dokter ketika menggunakan defibrilator
adalah bahwa alat itu tidak punya model yang baku. Contoh lainnya adalah beban
kerja yang berlebihan, lingkungan yang kacau, tak memadainya komunikasi tim,
semuanya menimbulkan kesalahan laten dalam sistem.
James Reason melakukan pengamatan lain: bencana tidak terjadi begitu saja,
melainkan berkembang sedikit demi sedikit. Dalam suatu sistem yang rumit, satu
kesalahan saja jarang menimbulkan bahaya. Manusia sangat pandai melakukan
penyesuaian bila terjadi suatu kesalahan, sementara sistem sering memiliki
pertahanannya sendiri. Misalnya, apoteker dan perawat selalu mengecek kembali
perintah dokter. Tetapi, kesalahan tidak selalu kentara, dan sistem pendukungnya
sendiri sering gagal karena adanya kesalahan laten itu. Seorang apoteker lupa
mengecek satu dari seribu resep. Bel pengawas suatu mesin macet. Seorang dokter
jaga bedah trauma terpaksa terlalu lama berada di kamar bedah. Bila terjadi
sesuatu yang salah, biasanya akibat serangkaian kesalahan yang lalu bergabung
menjadi bencana. Sidang M & M tidak memperhitungkan berbagai hal di atas. Karena itu, sejumlah
pakar memandangnya sebagai suatu pendekatan usang dalam membahas kesalahan dan
dalam memperbaiki kinerja dunia kedokteran. Pertanyaan tentang apa yang
seharusnya dilakukan oleh seorang dokter agar lain kali kesalahan itu bisa
dihindari, tidaklah cukup. Dokter sering merupakan pemain terakhir dari suatu
rangkaian kejadian yang menjebaknya sehingga melakukan kesalahan. Maka, pakar
tentang kesalahan yakin bahwa prosesnya, dan bukan manusianya, yang harus diselidiki dan
diperbaiki. Pada sisi ini, mereka ingin mengindustrikan dunia kedokteran. Dan
mereka telah menyatakan keberhasilannya: salah satunya, mesin operasi hernia RS
Shouldice dan lebih luas lagi, seluruh spesialisasi anestesiologi yang menganut?tata krama sendiri dengan hasil yang luar biasa,
Di tengah-tengah lambang the American Society of Anesthesiologists (Perhimpunan
Ahli Anestesiologi Amerika) tertulis kata "Vigilance" (kesiagaan). Bila kita
membuat seorang pasien tak sadar dalam pembiusan, boleh dikatakan kita dapat
mengendalikan fungsi tubuh pasien itu. Seluruh tubuhnya lumpuh, otaknya tak
berfungsi, alat-alat dipasang untuk mengendalikan napas, denyut jantung, tekanan
darah semua fungsi vital. Mengingat kerumitan berbagai mesin itu dan tubuh
?manusia, dapat dibayangkan betapa tak terbatasnya kemungkinan timbulnya masalah,
dalam pembedahan kecil sekalipun. Dan para ahli anestesiologi itu memang telah
membuktikan bahwa bila ditemukan masalah, biasanya mereka dapat mengatasinya.
Pada tahun 1940-an, hanya ada satu kematian akibat pembiusan dari 2.500 operasi,
dan antara 1960-an dan 1980-an angka ini menetap di angka satu dari setiap
sepuluh ribu operasi. Namun, Ellison (Jeep) Pierce selalu menganggap angka itu tidak beralasan. Sejak
awal ia berpraktik sebagai ahli anestesiologi muda pada tahun 1960 di North
Carolina dan di Universitas Pennsylvania, ia selalu menyimpan catatan rinci dari
semua kematian akibat kecelakaan anestesia yang ditanganinya atau ketika dirinya
ikut terlibat. Tetapi, ada satu kasus yang secara khusus
memacu semangatnya. Temannya, sepasang suami-istri, membawa anak gadis mereka
yang berusia delapan belas tahun ke rumah sakit untuk dicabut geraham
belakangnya dengan bius umum. Ahli anestesiologinya memasukkan pipa napas ke
kerongkongan, bukannya ke trakea. Itu merupakan kecelakaan yang umum terjadi,
tetapi ia tidak menyadari kejadian itu, dan ini tidak lazim, sehingga dalam
beberapa menit gadis itu meninggal kekurangan oksigen. Pierce tahu bahwa dengan
angka kematian satu dari sepuluh ribu, dan kurang-lebih 35 juta kali anestesia
dilakukan di Amerika per tahun, maka artinya 3.500 kematian seperti itu
sebenarnya dapat dicegah.
Pada tahun 1982, Pierce terpilih sebagai wakil ketua Perhimpunan Ahli
Anestesiologi Amerika dan mendapat kesempatan untuk menangani angka kematian


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Pada tahun yang sama, acara televisi ABC 20/20 mengadakan expose
(pergelaran terbuka) yang menimbulkan kegemparan dalam profesinya. Segmen expose
itu dimulai dengan "Jika Anda akan menjalani pembiusan, itu berarti Anda akan
memulai suatu perjalanan panjang, sehingga jangan lakukan itu jika Anda masih
bisa menghindarinya. Pembiusan umum (biasanya) memang aman, tetapi selalu ada
bahaya akibat khilaf manusiawi, kecerobohan, dan minimnya jumlah ahli
anestesiologi. Tahun ini, enam ribu pasien akan meninggal atau menderita cedera
otak," Program itu menyajikan beberapa kasus mengerikan dari seluruh negeri. Di
antara krisis kecil yang muncul akibat tayangan itu dan kenaikan tajam premi
asuransi malpraktik di kalangan dokter pada tahun itu, Pierce berhasil
menggerakkan perhimpunan ahli anestesiologi untuk berfokus pada masalah
kesalahan. Ia mendapatkan ilham bukan dari dokter, tetapi dari
seorang insinyur bernama Jeffrey Cooper, seorang penulis terkemuka dengan
karangannya yang inovatif di tahun 1978 berjudul Preventable Anesthesia Mishaps:
A Study of Human Factors. Cooper, seorang pria yang cermat dan rendah hati, pada
tahun 1972, ketika berusia 26 tahun, dipekerjakan oleh unit bioteknik RSU
Massachusetts untuk mengembangkan mesin bagi para peneliti anestesiologi. Ia
kemudian tertarik masuk kamar bedah dan menghabiskan waktu berjam-jam di situ
mengamati para ahli anestesiologi, dan salah satu yang menarik perhatiannya
adalah betapa buruknya rancangan mesin bius yang dipakai. Misalnya, tombol putar
yang diputar ke kanan mengatur kadar obat bius yang kuat sehingga jumlahnya
berkurang di sejumlah mesin, tetapi justru bertambah di sejumlah mesin lainnya.
Ia memutuskan untuk meminjam suatu teknik yang disebutnya sebagai "analisis
kejadian kritis" yang dipakai sejak tahun 1950-an untuk menganalisis kesalahan ?dalam penerbangan dalam upaya mempelajari betapa peralatan dapat berperan dalam
?kesalahan anestesia. Teknik itu dibangun melalui sejumlah wawancara teliti yang
dirancang untuk menangkap informasi serinci mungkin dari kecelakaan yang
berbahaya: bagaimana terjadinya kecelakaan itu, dan faktor apa saja yang
berperan. Informasi ini kemudian digunakan untuk menemukan pola pada berbagai
kasus. Yang paling sulit adalah mendapatkan laporan yang jujur dan terbuka. Badan
Penerbangan Federal telah membuat sistem baku untuk menganalisis dan melaporkan
kecelakaan penerbangan yang membahayakan, dan sukses besarnya dalam meningkatkan
keamanan penerbangan terdapat pada dua pilar. Pilot yang melaporkan sebuah
kejadian dalam sepuluh hari akan mendapatkan
perlindungan, dan laporan itu diajukan ke lembaga luar yang netral, NASA, yang
tidak memiliki kepentingan menggunakan informasi itu untuk membidik pilot
tertentu. Bahwa ia seorang insinyur dan bukan dokter, bagi Jeffrey Cooper,
merupakan faktor yang menguntungkan sebab dengan demikian para ahli
anestesiologi itu memandangnya sebagai seorang peneliti cermat yang bukan
merupakan ancaman. Hasilnya adalah suatu kajian ilmiah pertama yang meneliti kesalahan di dunia
kedokteran secara mendalam. Analisisnya yang rinci atas 356 kesalahan memberikan
gambaran tentang profesi itu, gambaran yang berbeda dari apa yang ada selama
ini. Berlawanan dengan asumsi kuat selama ini bahwa fase awal pembiusan
("takeoff) adalah bagian yang paling berbahaya, para ahli anestesiologi menjadi
tahu bahwa kecelakaan cenderung terjadi di pertengahan pembiusan, pada saat kesiagaan mengendur. Kecelakaan yang paling sering terjadi adalah kesalahan
dalam mempertahankan napas pasien, dan ini biasanya akibat tidak teramatinya
pipa napas yang lepas, kesalahan dalam menangani jalan napas, atau kesalahan
dalam menggunakan mesin bius. Yang sama pentingnya, Cooper menyusun daftar
faktor yang memengaruhi, di antaranya pengalaman yang kurang, pemahaman alat
yang kurang, komunikasi yang buruk antar-anggota tim, keragu-raguan, kurang
perhatian, dan kelelahan.
Kajian ini memicu debat yang luas di kalangan ahli anestesiologi, tetapi tak ada
upaya serius untuk mengatasi masalah ini sampai Jeep Pierce muncul. Pierce
menghimpun dana, mula-mula melalui perhimpunan profesi itu, kemudian melalui
suatu yayasan yang digagasnya. Dana yang terkumpul digunakan untuk mendanai
penelitian yang bertujuan mengatasi masalah yang dikemukakan Cooper, mensponsori
konferensi internasional agar mendapatkan masukan dari seluruh dunia, dan
mengundang perancang mesin bius untuk mendiskusikan masalah keamanan mesin.
Ternyata ia berhasil. Jam kerja residen anestesiologi diperpendek. Pabrik mesin
bius mulai merancang ulang mesin dengan mempertimbangkan sifat khilafi manusia.
Tombol putar dibakukan agar diputar ke arah yang sama; dipasang kunci untuk
mencegah kemungkinan kesalahan memberikan lebih dari satu gas anestetik;
pengaturan aliran oksigen diubah sehingga aliran oksigen tidak dapat diturunkan
sampai nol. Untuk kesalahan yang tidak dapat langsung dihilangkan, ahli anestesiologi mulai
mencari cara untuk dapat mendeteksi kesalahan itu lebih dini. Misalnya, karena
trakea dan kerongkongan letaknya sangat berdekatan, tak dapat dihindari bahwa
sesekali ahli anestesiologi memasukkan pipa napas ke saluran yang salah.
Biasanya mereka mengecek dengan cara mendengarkan bunyi napas di kedua paru
dengan stetoskop. Tetapi, Cooper mengungkapkan jumlah kesalahan yang mengejutkan
tentang tak terdeteksinya intubasi esofagus seperti yang menimpa anak gadis ?teman Pierce. Diperlukan cara yang lebih jitu. Sebenarnya, alat yang dapat
mendeteksi kejadian ini telah ada sejak beberapa tahun, tetapi tak banyak para
ahli anestesiologi yang menggunakannya, antara lain karena harganya yang mahal.
Salah satu jenis monitor memastikan masuknya pipa ke trakea dengan cara
menangkap karbon dioksida yang dikeluarkan dari paru-paru. Jenis lainnya,
oksimeter denyut, mengukur kadar oksigen darah sehingga dapat memberikan
peringatan dini bila ada yang salah dengan sistem pernapasan pasien. Terdorong
oleh Pierce dan yang lainnya, perhimpunan ahli anestesiologi menetapkan standar
resmi bahwa kedua jenis monitor itu harus digunakan pada pasien yang menjalani
bius umum. Sekarang kematian anestesia akibat salah sambung sistem pernapasan
atau akibat intubasi esofagus sudah tidak terdengar lagi. Dalam satu dasawarsa,
kematian secara keseluruhan menurun ke angka satu dalam lebih dari 2DD ribu
kasus kurang dari seperduapuluh angka sebelumnya.
?Masih ada beberapa orang pembaharu lainnya. David Gaba, profesor anestesiologi
dari Stanford, memusatkan penelitiannya pada kinerja manusia. Dalam dunia
penerbangan, katanya, pengalaman pilot memang dibutuhkan, tetapi itu masih belum
cukup: pilot sekarang jarang mendapat pengalaman langsung menggunakan pesawat
yang tidak berfungsi baik. Karena itu, mereka harus menjalani latihan tiap tahun
dalam suatu simulasi krisis. Mengapa ini tidak diterapkan pada dokter"
Gaba, seorang dokter yang mengambil kursus teknik, memimpin perancangan sistem
simulasi anestesia yang disebut Eagle Patient Simulator. Sistem ini menggunakan
boneka ukuran manusia yang dikendalikan oleh komputer sehingga memperlihatkan
perilaku mirip manusia. Pada boneka ini ada aliran darah, denyut jantung, dan
paru-paru yang mengisap oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Bila
disuntikkan obat, atau diberikan anestetik lewat saluran napas, komputer akan
dapat menentukan jenis dan jumlahnya, kemudian denyut jantung, tekanan darah,
dan kadar oksigennya akan berubah sesuai dengan obat yang diberikan. "Pasien"
ini dapat dibuat mengalami pembengkakan jalan napas, perdarahan, dan gangguan
jantung. Boneka ini dibaringkan pada meja operasi dalam ruang simulasi yang
diperlengkapi persis seperti OK. Di sini residen maupun dokter jaga yang sudah
berpengalaman samasama berlatih membius dalam berbagai skenario berbahaya,
kadang yang di luar dugaan: mesin bius tidak jalan, aliran listrik padam, pasien
mengalami henti jantung dalam pembedahan, bahkan pasien seksio sesaria yang
tibatiba mengalami henti napas dan memerlukan trakeostomi darurat.
Meskipun ahli anestesiologi telah lebih maju dalam menganalisis dan mencoba
memperbaiki kegagalan "sistem," ternyata ada perubahan juga dalam kelompok
profesi lainnya. Misalnya, the American Medical Association telah mendirikan
Yayasan Nasional Pengamanan Pasien pada tahun 1997 dan meminta Cooper dan Pierce
duduk dalam dewan direktur. Yayasan ini mendanai penelitian, mensponsori
konferensi, dan berusaha mengembangkan standar baru dalam sistem permintaan obat
di rumah sakit yang dapat sangat menurunkan kesalahan dalam pengobatan jenis ?kesalahan medis yang paling sering terjadi.
Di bidang bedah pun terjadi kemajuan yang menggembirakan. Misalnya, mengoperasi
lutut atau kaki yang salah adalah kesalahan yang bisa berulang kali terjadi,
walaupun jarang. Reaksi atas kesalahan ini adalah memecat dokter bedahnya.
Tetapi, sekarang, rumah sakit dan para dokter bedah menyadari bahwa simetri
kiri kanan tubuh memang memungkinkan terjadinya kesalahan ini. Pada tahun
?1998, the American Academy of Orthopedic Surgeons mengajukan cara sederhana
untuk mencegah kesalahan ini: dibuat standar praktik bahwa dokter bedah harus
menandai dulu dengan spidol bagian
tubuh yang akan dibedah. The Northern New England Cardiovascular Disease Study Group yang berpusat di
Dartmouth adalah kisah sukses lainnya. Walaupun tidak melakukan penelitian
mendalam semacam yang dirintis Jeffrey Cooper, kelompok ini memperlihatkan
manfaat pengamatan kecil seperti pemantauan statistik. Enam rumah sakit
bergabung dalam konsorsium ini, yang menelusuri kematian dan hasil buruk lain
(seperti infeksi luka, perdarahan, stroke) akibat pembedahan jantung, dan
berusaha menemukan berbagai faktor risiko yang terlibat. Para peneliti
menemukan, misalnya, bahwa angka kematian relatif tinggi pada pasien yang
menjadi anemia setelah operasi pintas, dan bahwa anemia sering terjadi pada
pasien yang tubuhnya kecil. Larutan yang digunakan untuk "persiapan" mesin
jantung paru menyebabkan anemia sebab larutan itu mengencerkan darah pasien,
sehingga makin kecil pasiennya (dan pasokan darahnya), makin besar efeknya.
Anggota konsorsium sekarang sudah menemukan beberapa jalan keluar yang
menjanjikan. Penelitian lain memperlihatkan bahwa sekelompok orang di sebuah
rumah sakit telah melakukan kesalahan dalam "handoffs" misalnya ketika
?menyampaikan hasil lab prabedah kepada para petugas di OK. Kelompok ini
mengatasi masalah tersebut dengan menyusun daftar tilik (check list) percobaan
untuk semua pasien yang masuk OK. Upaya ini telah mendorong pembakuan yang lebih
luas sehingga menurunkan angka kematian pada keenam rumah sakit itu dari 4
persen menjadi 3 persen antara tahun 1991 dan 1996. Itu berarti mengurangi
kematian sebanyak 293. Tetapi, kelompok ahli jantung dari the Northern New
England Study Group dengan kajian dan teknik yang lebih terpusat, tetap
merupakan pengecualian; tetap sulit untuk mendapatkan informasi tertulis tentang
bagaimana terjadinya kesalahan. Bukti yang campur aduk memperlihatkan bahwa
kesalahan laten dan faktor sistem berperan dalam terjadinya kesalahan bedah: tak
ada protokol baku, dokter bedah yang belum berpengalaman, rumah sakit yang belum
berpengalaman, teknik dan teknologi yang tidak dirancang dengan baik, jumlah
staf kurang, tak ada kerja sama tim, jam dilaksanakannya operasi, pengaruh
sistem pembiayaan dan perusahaan penyedia layanan kesehatan, dan sebagainya.
Tetapi, yang mana faktor risiko utamanya" Kita masih belum tahu. Bidang bedah,
seperti bidang lain di kedokteran, sedang menunggu seorang Jeff Cooper.
Ini adalah operasi kandung empedu rutin, di hari yang rutin: di meja bedah
terbaring seorang ibu usia empat puluhan, tubuhnya tertutup kertas penutup biru,
kecuali di bagian buncit perutnya yang telah diolesi antiseptik. Kandung empedu
adalah kantung sepanjang jari berisi empedu yang terlindung di bawah hati, dan
bila terbentuk batu empedu, kantung ini menimbulkan nyeri seperti yang dirasakan
pasien ini. Dengan mengangkat kandung empedu, nyeri itu akan hilang.
Operasi ini ada risikonya, tetapi sekarang lebih kecil. Satu dasawarsa yang
lalu, para dokter bedah masih harus membuat sayatan sepanjang tiga belas
sentimeter di perut yang membuat pasien harus tinggal di rumah sakit sekitar
seminggu sampai luka itu sembuh. Sekarang, kami mengangkat kandung empedu dengan
kamera kecil pada alat yang kami gerakkan melalui lubang kecil. Operasinya
sering dikerjakan sebagai suatu operasi sehari, dikenal
dengan nama kolesistektomi laparoskopi atau "kole lap." Setengah juta orang
Amerika setahun diangkat kandung empedunya dengan cara ini; di rumah sakitku
saja, kami mengerjakan ratusan kole lap setiap tahunnya.
Ketika dokter bedah penanggung jawab mengizinkan aku mengerjakannya, kubuat
sayatan sepanjang dua setengah senti melengkung pada kulit di atas pusar.
Kupotong lapisan lemak dan fasia sampai menembus bagian dalam perut, kemudian
kumasukkan selubung selebar satu senti sebagai "pintu" tempat masuk dan
keluarnya instrumen. Kami kaitkan pipa gas di tepi lubang di perut itu, lalu
karbon dioksida ditiupkan ke dalam rongga perut agar perut mengembang seperti
balon. Kumasukkan kamera mini. Pada layar monitor yang terletak tiga puluh senti
dariku, terlihat usus wanita itu. Dengan perut menggembung oleh gas, aku leluasa
menggerakkan kamera, mengayunnya ke sekeliling untuk melihat hati. Kandung
empedu terlihat menyembul di bawah tepi hati.
Kami meletakkan tiga "pintu" lagi pada lubang yang semakin sempit, sedemikian
rupa sehingga membentuk lubang persegi dengan empat sudut. Melalui "pintu" di
sisinya, dokter penanggung jawab memasukkan dua penjepit panjang, mirip dengan
alat yang digunakan petugas toko mengambil topi dari rak yang letaknya di atas.
Sambil memandang layar, ia memasukkan alat itu, mengarahkannya ke tepi hati,
menjepitkannya ke kandung empedu, lalu menariknya sehingga tampak seluruhnya.
Kemudian, kami mulai. Mengangkat kandung empedu cukup mudah. Pisahkan organ itu dari pangkalnya dan
dari pembuluh darah, tarik kantung yang lentur itu keluar perut melalui sayatan
di atas pusar tadi. Keluarkan kembali gas karbon dioksida
dari perut, cabut "pintu"-nya, jahit lubang kecil itu, kemudian tutup dengan
plester. Selesai. Tetapi, ada bahayanya: pangkal kandung empedu adalah cabang
dari satu-satunya saluran keluar dari hati untuk mengalirkan empedu ke usus guna
mencerna lemak. Bila kita tak sengaja melukai saluran utamanya, empedu akan
tersumbat dan mengalir balik ke hati dan merusaknya. Antara 10 sampai 2D persen
dari pasien yang mengalami hal ini akan mati. Mereka yang hidup biasanya akan
menderita kelainan hati yang menetap dan mungkin memerlukan cangkok hati. Dalam
buku ajar disebutkan "Cedera pada saluran utama empedu hampir selalu merupakan
suatu kelalaian dalam operasi dan karenanya merupakan hal yang tak dapat
dimaafkan bagi ahli bedah." Ini benarbenar merupakan kesalahan bedah, dan
seperti yang dilakukan tim lain, kami pun melakukan kole lap ini dengan
hatihati. Dengan hatihati, menggunakan alat pembuka, kulepaskan jaringan ikat berwarna
putih dan jaringan lemak berwarna kuning yang menutupi pangkal kandung empedu.
Sekarang tampak leher kandung empedu yang melebar yang kemudian bagian menyempit
yang pendek sebelum kemudian menjadi saluran kecil yang bermuara ke sebuah
saluran pipa halus sebesar tangkai bunga aster yang terlihat jelas di antara ?jaringan sekitarnya, dan tampak sebesar pipa air di layar monitor. Dan, agar
yakin bahwa yang akan dipotong adalah saluran dari kandung empedu, bukan saluran
utamanya, kusingkirkan lagi lebih banyak jaringan di sekitarnya. Sampai di sini
kami berhenti, seperti biasanya, dan membahas anatomi organ itu. Leher kandung
empedu langsung bermuara ke saluran yang kami amati, jadi inilah saluran yang
dimaksud. Kami tarik lebih panjang bagian saluran yang jauh dari saluran utama agar lebih
terpapar. Kami sepakat semuanya beres. "Ya, potong," kata dokter penanggung
jawab. Kususupkan pemasang klip, suatu alat semacam catut yang meregangkan klip logam
bentuk V untuk dijepitkan ke organ yang digenggamnya. Gigi catut telah mencekam
saluran itu dan aku segera akan menjepitnya ketika aku melihat di layar monitor
gelembung lemak kecil di atas saluran. Itu memang bukan sesuatu yang luar biasa,
tetapi rasanya ada yang tak beres. Dengan ujung catut kusentil gelembung itu,
tetapi yang terangkat adalah selapis tipis jaringan yang tadinya tak terlihat,
dan di bawahnya, tampak saluran utama empedu yang ternyata bercabang. Jantungku
rasanya berhenti berdenyut. Kalau bukan karena sedikit kejelian tadi, tentu
saluran utamalah yang kujepit dengan klip.
Di sinilah paradoks kesalahan dalam kedokteran. Dengan teknik yang cermat dan
tindakan hatihati untuk memastikan bahwa mereka telah melihat anatominya, dokter
bedah tidak akan memotong saluran utama, Itulah paradigma dalam suatu kesalahan
yang dapat dihindari. Tetapi, pada saat yang sama, penelitian memperlihatkan
bahwa seorang dokter bedah kawakan sekalipun dapat menimbulkan cedera ini sekali
dalam dua ratus kole lap. Dengan kata lain, kali ini aku terhindar dari bencana
itu, tetapi menurut ahli statistik, betapa pun aku berusaha, hampir pasti bahwa
aku akan melakukan kesalahan ini setidaknya sekali sepanjang karierku.
Namun, ceritanya tidak selalu berakhir di sini, seperti yang diperlihatkan oleh
psikologi kognitif dan pakar kesalahan dalam industri. Dengan hasil yang mereka
capai di bidang anestesiologi, jelas bahwa perbaikan dramatis
dapat dicapai dengan memperbaiki prosesnya, bukan manusianya. Ada keterbatasan
yang nyata pada usaha penyembuhan yang dilembagakan, walaupun sistem dan
struktur sudah diutamakan. Untuk kami para pelaksana, akan fatal kalau kami
meragukan kepercayaan kami pada kesempurnaan manusia. Statistik menunjukkan
bahwa suatu kali aku akan mencederai saluran utama empedu seseorang, tetapi
setiap kali aku mengerjakan operasi itu, aku yakin bahwa dengan tekad dan usaha
yang memadai, aku akan dapat menyangkal data statistik itu. Ini bukan sekadar
kebanggaan profesi, melainkan bagian yang penting dari dunia kedokteran
yangbermartabat, bahkan dalam sistem yang sangat baik sekalipun. Operasi semacam
kole lap itu telah mengajarkan kepadaku betapa mudahnya terjadi kesalahan,
tetapi sekaligus memperlihatkan sesuatu yang lain: upaya memang penting, tetapi
kehatihatian dan perhatian terhadap hal-hal kecillah yang bisa menyelamatkan.
Inilah mungkin yang dapat menjelaskan mengapa banyak dokter menolak bicara soal
"masalah sistem," "perbaikan mutu berkesinambungan," dan "penataan ulang
proses." Semua itu menyangkut struktur semata, bukan manusia. Aku tak
terkecuali: sesuatu dalam diriku pun menuntut pengakuan otonomi yang boleh juga
disebut sifatku yang tidak luput dari kesalahan. Aku ingat kembali Jumat malam


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di UGD, ketika aku berdiri dengan pisau di tangan di hadapan Louise Williams
yang terbaring dengan bibir biru, leher bengkak, berdarah, dan jalan napas yang
tibatiba tertutup. Seorang ahli sistem mungkin akan mengusulkan beberapa
perubahan yang berguna. Mungkin alat pengisap cadangan yang harus selalu siap,
penerangan yang lebih baik harus cepat tersedia. Mungkin
lembaga pendidikan harus lebih baik melatihku menghadapi krisis semacam itu,
mungkin aku harus berlatih pada lebih banyak leher kambing. Mungkin trakeostomi
darurat sebenarnya terlalu sulit untuk kondisi tertentu sehingga alat otomatis
perlu dirancang. Namun, walau semua statistik itu menghadangku, bukan berarti aku tak punya
kesempatan untuk berhasil. Menjadi dokter yang baik adalah berusaha maksimal
dengan sarana yang ada, dan aku gagal dalam hal itu. Fakta yang tidak dapat
disangkal adalah aku tidak meminta bantuan, padahal seharusnya hal itu
kulakukan, dan ketika aku menorehkan pisau ke lehernya, aku mengira sayatan
horizontallah yang terbaik, padahal bukan. Sungguh suatu keberuntungan bagi
pasien dan bagiku ketika akhirnya Dr. O'Connor berhasil memasangkan pipa napas
tepat pada waktunya. Banyak alasan bisa dikemukakan sehingga akan salah kalau izin praktikku dicabut,
atau aku diseret ke pengadilan. Tetapi, semua alasan itu tidak membuat hatiku
tenang. Betapa pun keterbatasan yang dimiliki M & M, normanya yang ketat tentang
tanggung jawab pribadi terhadap perbuatan salah adalah kebajikan yang tidak
ringan. Upaya apa pun yang dilakukan, dokter kadang-kadang lemah, tidaklah wajar
kalau ia dituntut untuk sempurna. Yang patut adalah meminta para dokter untuk
tidak putus-putusnya berusaha menuju kesempurnaan.><
Sembilan Ribu Dokter Bedah
"Anda akan ikut ke konvensi?" tanya dokter bedah itu.
"Aku?" sahutku. Ia bicara tentang konvensi American College of Surgeon yang akan
datang. Tak pernah terpikir bahwa aku dapat pergi. Konvensi adalah sesuatu yang
istimewa dalam dunia kedokteran. Orang tuaku yang juga dokter selalu setia
mengikuti konvensinya selama tiga puluh tahun, dan samar-samar masih kuingat, ketika masih
kanak-kanak aku pernah diajak, betapa besar, ramai, dan menyenangkan konvensi
itu. Sebagai residen, aku terbiasa dengan jadwal operasi yang tibatiba kosong
setiap pertengahan Oktober, ketika para ahli bedah fakultas berbondong-bondong
berangkat ke konvensi tahunan. Tetapi, kami para residen harus tinggal dengan
beberapa dokter bedah yang kurang beruntung (biasanya yang masih yunior) untuk
menangani trauma dan beragam kasus darurat yang datang. Sebagian besar dari
waktu itu dihabiskan di barak residen kamar suram dan bau apek dengan karpet ?cokelat, dipan kusam, mesin dayung yang sudah rusak, kaleng soda yang sudah
kosong, dan dua televisi menonton bisbol akhir tahun pada salah satu televisi
?yang masih jalan sambil mengudap makanan Cina yang dibeli di
restoran. Tetapi, setiap tahun, beberapa residen senior diizinkan ikut dalam konvensi itu.
Dan dalam tahun keenamku, aku diberitahu bahwa aku telah mencapai tingkat
pendidikan yang memungkinkan aku ikut. Rumah sakit menyediakan sedikit dana yang
cukup untuk biaya perjalanan. Dalam beberapa hari, aku sudah punya tiket untuk
ke Chicago, pesan kamar di Hyatt Regency, dan lencana untuk dapat masuk ke
Kongres Klinik Ahli Bedah tahunan ke-86. Setelah berada di ketinggian delapan
ribuan meter di atas New Hampshire dalam Boeing 737, dan istriku pulang ke rumah
untuk tinggal hanya bersama ketiga anak kami selama seminggu, barulah aku
berpikir untuk apa orang pergi konvensi ini.
Aku tiba di balai sidang McCormick Place yang besar di Chicago, dan menyadari
bahwa aku adalah salah seorang dari 9.312 dokter bedah yang hadir. (Sebuah koran
harian yang khusus dibuat untuk konvensi itu menghitungnya tiap hari). Bangunan
itu tampak seperti terminal bandara dan suasananya seperti Penn Station pada jam
sibuk. Aku naik tangga, berjalan menuju lantai di atas serambi utama dan
memandang ke sekeliling. Aku tercengang, begitu banyak orang berseliweran di
gedung ini membicarakan ilmu bedah, hampir sebanyak penduduk kota Ohio tempatku
dilahirkan. Para dokter bedah itu kebanyakan lelaki setengah baya, sedikit
?lusuh, mengenakan jaket biru, kemeja kusut, dasi kuno menggerombol berdua atau
?bertiga, semua orang tersenyum, semua bersalaman, saling tegur. Hampir semuanya
menggunakan kacamata dan berdiri dengan sedikit membungkuk seolah menghadapi
meja operasi. Beberapa berdiri sendirian membalik-balik buku programnya, memilih
apa yang akan dilihat dan dikerjakan pertama kali.
Setiap orang, begitu tiba, diberi buku program setebal 388 halaman berisi acara
yang dapat dihadiri mulai dari kursus pagi hari di hari pertama itu tentang
?mengerjakan biopsi payudara berpandu citra dengan cara yang terbaru, sampai ke
penyajian panel pada hari keenam dan hari terakhir berjudul "Penanganan Penyakit
Anorektal di Tempat Praktik Seberapa Jauh yang Bisa Dilakukan?" Akhirnya, aku
?pun duduk sambil memegang bukuku, dengan teliti memayar halaman demi halaman dan
melingkari dengan bolpen biru setiap hal yang menarik perhatianku. Aku
menyimpulkan bahwa ini adalah tempat orang menemukan sesuatu yang baru dan yang
lebih baik tempat sesuatu yang hampir sempurna diajarkan dan rasanya wajib
? ?untuk menghadiri sebanyak mungkin kegiatan. Dalam waktu singkat, bukuku hampir
penuh dengan lingkaran biru. Pada pagi pertama saja aku sudah memilih lebih dari
dua puluh program yang tampaknya menyajikan petunjuk yang berguna. Aku
menimbang-nimbang untuk mengikuti kuliah tentang cara yang benar menyayat leher
atau sidang tentang kemajuan baru dalam menangani luka tembak di kepala, tetapi
akhirnya aku memutuskan untuk ikut debat panel tentang cara terbaik melaksanakan
operasi hernia selangkang,
Aku tiba cukup pagi dan auditorium yang berisi 1,500 kursi sudah penuh. Acara
tentang hernia ini berlangsung di ruang tanpa kursi. Aku menemukan tempat untuk
berdiri di antara kerumunan orang di sepanjang dinding belakang, Sulit untuk
melihat mimbar pembicara di depan, tetapi layar video raksasa menayangkan gambar
jarak dekat (close-up) dari setiap wajah pembicara. Sebelas
ahli bedah bergiliran naik ke podium untuk menayangkan gambar Powerpoint dan
berdebat tentang data. Penelitian kami memperlihatkan, demikian kata ahli bedah pertama, bahwa metode
Lichtenstein adalah cara yang paling handal untuk operasi hernia. Tidak, sambut
ahli bedah berikutnya, metode Lichtenstien kurang memadai, teknik Shouldice
sudah terbukti yang terbaik. Kemudian, ahli bedah ketiga maju: Anda berdua
salah hernia sebaiknya dikerjakan secara laparoskopi. Sekarang ahli bedah ?lainnya berdiri: Saya punya cara yang lebih baik untuk melakukannya, menggunakan
alat yang sudah saya patenkan. Begitulah yang terjadi selama dua setengah jam.
Kadang suasana memanas. Pertanyaan tajam datang dari hadirin. Dan tak ada
jawaban yang memuaskan. Tapi, pada akhir sidang, ruang itu tetap penuh seperti
awalnya. Siang harinya aku pergi ke tempat pemutaran film. Panitia telah menyiapkan tiga
teater, masingmasing bisa menampung tiga atau empat ratus orang dan memutarkan
rol demi rol film pembedahan sepanjang hari, setiap hari. Aku masuk ke sebuah
ruangan gelap dan langsung terpaku. Aku melihat operasi yang menantang, operasi
yang sangat rumit, operasi sederhana yang penuh akal. Film pertama yang kulihat
adalah dari Pusat Kanker Memorial Sloan Kettering di Manhattan. Film itu dimulai
dengan close-up perut pasien yang terbuka. Dari tangannya yang bersarung tangan
penuh darah, ahli bedah yang tidak ditampakkan wajahnya, sedang berusaha
mengerjakan operasi paling sulit dan berbahaya pengangkatan kanker di ekor
?pankreas. Tumor terletak jauh di dalam, terbungkus oleh lekuk usus, anyaman
pembuluh darah, lambung, dan limpa. Tetapi, ia membuat pengangkatan itu tampak
seperti permainan. Ia menarik pembuluh yang rapuh dan menyayat jaringan beberapa
milimeter dari organ vital. Ia memperlihatkan kepada kami kiat untuk menghindari
masalah, dan tahu-tahu separuh pankreas itu sudah terletak pada baki.
Film lainnya, yang memperlihatkan sebuah tim dari Strasbourg, Prancis,
mengangkat kanker usus besar yang berada jauh di dalam panggul pasien, kemudian
menyambungkan kembali usus seluruhnya secara laparoskopi melalui luka kecil
?yang hanya memerlukan plester luka (band aid) untuk menutupnya. Ini merupakan
keterampilan mirip sulap Houdini yang menegangkan seperti mengeluarkan model
?perahu dari sebuah botol, lalu menggantinya dengan sebuah mobil kecil yang
dibuat hanya dengan menggunakan sumpit. Hadirin memandang terbelalak dengan
takjub. Tetapi, video yang paling menarik adalah yang dari Houston, Texas, yaitu seorang
ahli bedah yang mengumumkan untuk pertama kalinya pembedahan kelainan di
esofagus yang dikenal sebagai divertikulum Zenker. Ini adalah kelainan yang
biasanya memerlukan waktu sedikitnya satu jam untuk memperbaikinya melalui
sayatan di leher samping, tetapi di film itu ahli bedahnya melakukannya melalui
mulut pasien dalam waktu hanya lima belas menit, tanpa sayatan sama sekali. Aku
tetap di situ dan menonton hampir selama empat jam. Dan ketika lampu dinyalakan,
aku keluar ruangan tanpa berkata-kata, mengerjapngerjapkan mata, dengan sangat
gembira. Sejumlah sidang klinik digelar sampai pukul 22.30 setiap malam dan semua
tampaknya sama dengan dua sidang pertama yang kuhadiri silih berganti dari yang
?pamer ilmu sampai yang mengagumkan, dari yang membosankan sampai yang hebat.
Kalau aneka program seperti itu dimaksudkan sebagai inti pertemuan ini, mungkin
tidak tepat. Suatu konvensi, orang akan segera menyadari, lebih merupakan
pameran dagang ketimbang sidang pendidikan. Iklan tentang sesuatu yang baru yang
belum pernah kita ketahui alat stapel jaringan yang menyatukan tanpa stapel, ?teropong serat optik yang memberikan gambaran tiga dimensi diputar siang dan
?malam di televisi kamar hotelku, bahkan di bus angkutan ke dan dari balai
sidang. Perusahaan obat dan alat kedokteran tiap malam menawarkan undangan makan
malam cumacuma di seputar kota. Dan ada sekitar 5.300 penjaja dari sekitar 1.200
perusahaan yang terdaftar di sana lebih dari satu untuk dua ahli bedah.
?Kegiatan utama mereka berada di sebuah ruang "pameran peralatan" yang padat,
seluas lapangan sepak bola, tempat mereka mendirikan stand untuk memasarkan
produknya, Kata stand yang berarti ruangan kecil sama sekali tidak menggambarkan
bangunan yang mereka dirikan. Yang tampak adalah stand yang umumnya dua kali
tinggi rak penyimpan, dengan lampu kelap-kelip, pajangan yang gemerlap, sajian
multimedia ada sebuah perusahaan yang bahkan membangun ruang bedah dengan
?segala perlengkapannya. Dokter bedah adalah orang yang membeli gunting seharga 2
juta rupiah, retraktor seharga 160 juta rupiah, dan meja operasi seharga 500
juta rupiah sebagai hal yang biasa. Jadi, antaraksi penjual-pembeli itu bisa
sangat rumit dan berteletele.
Hal itu juga tak dapat dihindari. Panitia memberikan tepatnya
?menjual kaveling paling bagus di balai sidang
?itu: ruang pamer mereka berdekatan dengan meja pendaftaran sehingga itulah yang
pertama kali terlihat oleh para ahli bedah ketika mereka tiba, dan jalan satusatunya menuju ruang sidang ilmiah melewati semua gemerlap pameran itu. Ketika
lewat untuk melihat sebuah pameran biologi molekuler sore berikutnya, aku tidak
berhasil sampai ke ruangan di sebelahnya. Ke mana pun kita menengok, ada saja
yang membuat kita berhenti.
Kadang yang tampak hanyalah cendera mata murahan yang diberikan cumacuma.
Berbagai kios pameran itu juga memberikan cumacuma bola golf, pena, senter
kecil, topi bisbol, notes berpelekat, permen semua dicap dengan logo perusahaan
?tentu saja, dan diberikan bersama dengan brosur dan penjelasan tentang teknologi
baru yang dipasarkannya. Anda tentu membayangkan ahli bedah yang berpenghasilan
jutaan dolar tidak peduli pada bentuk suap terselubung ini. Tetapi, Anda salah.
Sebuah stand pabrik obat yang tampaknya merupakan salah satu stand paling ramai
di situ menyodorkan tas yang kokoh dari bahan kanvas warna putih dengan nama
salah satu obatnya tercetak jelas berwarna biru dalam ukuran cetak sepuluh
sentimeter di satu sisi. Para dokter antri untuk mendapatkannya, walaupun harus
memberikan alamat dan nomor teleponnya, sekadar untuk memperoleh wadah untuk
semua barang yang mereka kumpulkan. (Tetap saja aku mendengar seorang dokter
menggerutu karena semua barang yang dikumpulkannya tak sebagus yang diperolehnya
tahun lalu. Ia pernah mendapat kacamata Ray-Ban, katanya).
Beberapa perusahaan kadang menggunakan cara yang kurang pantas untuk menarik
perhatian dokter memajang tiga orang gadis penuh senyum. "Pernah melihat kulit
?kami?" seorang gadis jangkung berambut cokelat dengan bulu mata panjang dan
suara mendayu bertanya padaku. Yang dimaksudkannya adalah kulit buatan untuk
pasien luka bakar, produk baru perusahaannya, jadi bagaimana bisa menolak" Tahutahu aku sudah disodori sepasang penjepit dan menusuk-nusuk selembar kulit
buatan warna putih bening di dalam cawan Petri, dan berpikir "Barang ini sangat
bagus" (Hampir satu juta rupiah untuk satu lembar seluas sepuluh kali lima belas
sentimeter). Namun, siasat yang paling efektif adalah memberikan sesuatu dan mengajak para
dokter itu bermain. Penjaja itu menyodorkan baki berisi daging mentah dan
peralatannya yang terbaru, dan kami mengerubunginya seperti lalat mengerubungi
makanan. Sore itu, aku terjebak menonton enam kilo daging kalkun segar
kekuningan di atas serbet kue (seharga sekitar 150 ribu rupiah) dan satu set
pisau bedah berbagai bentuk (seharga 150 juta rupiah) pisau elektronik yang
?dapat menyayat dengan gelombang ultrasonik. Selama sepuluh menit yang terasa
menyenangkan, aku berdiri di meja kaca, menyayat-nyayat kulit dan otot kalkun
menjadi lembaran jaringan tipis maupun tebal, mencoba memotong seenaknya dan
menyayat dengan halus, lalu mencoba memegang dan menimbang-nimbang berbagai
model pisaunya. Di stand lain aku mengenakan sarung tangan bedah dan mencoba
menjahit kembali beberapa sayatan yang berbeda panjangnya pada daging ayam,
menggunakan benang jenis baru seharga 500 ribu rupiah per meter. Kalau saja tak
ada empat dokter bedah lainnya antri di belakangku, rasanya ingin aku terus
mencoba dan berlatih membuhul dan menutup jahitan selama setengah jam. Pada
acara sore hari, aku mencoba kauterisasi (menyolder pembuluh
darah) pada irisan daging dingin, menggunakan alat laparoskopi baru untuk
mengangkat "batu empedu" sebenarnya kacang M&M dari dalam perut sebuah ? ?boneka, dan menggunakan alat jahit otomatis untuk menutup luka pada sekerat
daging yang agak ganjil karena mirip daging manusia. (Penjaja itu seorang yang
pemalu dan tidak mau mengatakan apa sebenarnya benda itu).
Setelah memutuskan untuk tidak akan melihat hal-hal lain hari itu, kulihat
sekitar lima puluhan dokter mengerumuni layar dan seorang lelaki berstelan jas
yang mengenakan mikrofon yang dipasang di kepala. Kuhampiri kerumunan itu untuk
melihat apa yang membuat mereka ramai, dan ternyata ada tayangan langsung pada
televisi yang menunjukkan seorang pasien yang sedang menjalani operasi wazirdalam yang besar dan menonjol, dalam sebuah kamar bedah di suatu tempat di
Pennsylvania. Perusahaan itu memamerkan sebuah alat sekali pakai (seharga 2,5
juta rupiah) yang dapat mempersingkat masa operasi dari yang biasanya setengah
jam menjadi kurang dari lima menit. Pembawa acara menerima pertanyaan dari
penonton untuk kemudian disampaikan ke ahli bedah yang melakukan operasi di
tempat yang jauhnya 1.500 kilometer itu.
"Apakah Anda menggunakan jahitan dompet sekarang?" pembawa acara bertanya.
"Ya," jawab ahli bedah. "Aku menggunakan lima atau enam jahitan dompet, dua
sentimeter dari dasar hemoroid." "
Kemudian, ia meletakkan alat itu di depan kamera. Sebuah benda cantik, putih
berkilat. Kami semua terpukau, sama sekali tidak ada keinginan untuk meminta
bukti apakah teknologi itu benarbenar berguna, manjur,
dan handal. Ketika tayangan usai, aku melihat pada jarak beberapa langkah
dariku, seorang pria yang mengenakan jas cokelat lusuh dengan wajah bopeng yang
tampak sedih dan kesepianduduk sendir ian dalam sebuah stand kecil. Orang-orang
berjalan cepatmelewatinya tanpa ada yang berhenti memerhatikan apa yang
dipamerkannya. Tak ada layar video, tak ada pajangan berkilauan, tak ada alat
pancang bola golf bermerek ditawarkan cumacuma hanya ada kertas dengan tulisan
?cetak komputer tanpa logo (terbaca "Scientia") dan beberapa ratus buku antik
tentang ilmu bedah. Karena kasihan melihatnya, aku berhenti untuk melihat-lihat
dan terpana melihat apa yang dipamerkan. Ia punya, misalnya, artikel asli
tulisan Joseph Lister dari tahun 1867 yang merinci metode antiseptik yang
revolusioner dalam ilmu bedah. Ia punya edisi pertama koleksi ilmiah ahli bedah
besar William Halsted dari tahun 1942, dan prosiding asli konferensi pertama di
dunia tentang cangkok organ pada tahun 1955. Ia punya katalog alat bedah yang
terbit pada tahun 1899, buku-ajar bedah berusia dua abad, dan reproduksi lengkap
naskah kedokteran tulisan Maimonides. Ia bahkan punya buku harian tahun 1863
milik seorang ahli bedah Union Army di masa perang saudara. Ia menyimpan harta
karun di standnya, dan aku tenggelam di situ sampai malam.
Ketika membalik-balik lembaran kuning dan rapuh itu, aku merasa menemukan
sesuatu yang asli. Di seluruh konvensi itu yang pasti di lantai komersial,
?tetapi juga di semua ruang kuliah kudapati diriku senantiasa waspada terhadap
?kemungkinan orang menipuku. Tak diragukan bahwa memang diperlukan penemuan obat
atau alat baru yang berharga. Tetapi, dengan gemerlap pameran dan
tontonan di sekitarnya, kita jadi ragu mana yang memang diperlukan. Inilah satu
tempat, yang aku yakin, merupakan tempat bagi kami untuk menemukan sesuatu yang
sangat berharga. Ada tempat lain di konvensi itu, dan di situ kita pasti dapat melihat sesuatu
yang istimewa sedang berlangsung. Cukup jauh dari serambi utama tempat sejumlah?film diputar, sidang masalah praktis digelar, dan para penjaja bertebaran
menjajakan dagangannya ada kumpulan ruang sidang kecil tempat berlangsungnya
?"Forum Ilmu Bedah." Di sini, setiap hari, para peneliti dari berbagai bidang
membahas karya yang sedang mereka kerjakan. Pokok bahasannya beragam, mulai dari
genetik sampai imunologi, fisika, statistik populasi. Diskusi ini sepi
pengunjung dan sering membuatku berpikir: tak mungkin dewasa ini memahami
sepenuhnya semua bidang yang sedang dibahas itu, bahkan sekadar istilah dasarnya
sekalipun. Namun, ketika aku duduk di situ, mendengarkan para ilmuwan itu
bercakapcakap di antara mereka sendiri, sekilas aku menangkap batas pengetahuan


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, perbatasan yang masih dapat dicapai.
Topik yang selalu berulang tahun ini adalah rekayasa jaringan, rangkaian
penelitian yang ditujukan untuk mempelajari dengan persis bagaimana cara organ
berkembang, kemudian menerapkan pengetahuan itu, untuk di suatu saat menumbuhkan
organ dari awal, yang kelak dapat menggantikan jaringan yang rusak atau sudah
mati. Jelas bahwa kemajuan terjadi secara mencengangkan dalam waktu singkat.
Beberapa tahun yang lalu, pernah ada gambar di semua surat kabar tentang telinga
yang ditumbuhkan di cawan petri, kemudian dicangkokkan ke punggung mencit.
Tetapi, bentuk yang lebih rumit, ten-tunya penelitian pada manusia, tampaknya
masih memerlukan waktu satu dasawarsa atau lebih. Walaupun demikian, sekarang,
para ilmuwan bisa memperlihatkan foto katup jantung, sepotong pembuluh darah,
dan seruas usus yang telah berhasil mereka tumbuhkan di laboratorium. Masalah
yang dibahas sekarang bukan lagi bagaimana melakukan hal itu, tetapi bagaimana
melakukannya dengan lebih baik. Katup jantung, misalnya, berfungsi baik ketika
ditanamkan pada jantung babi, tetapi tidak bertahan selama yang dibutuhkan untuk
keperluan manusia. Hal yang sama terjadi pada ruas usus yang secara mengejutkan
berfungsi baik ketika dicangkokkan ke tikus, tetapi bagian itu tidak dapat
menyerap makanan sebaik yang diharapkan, dan para peneliti itu masih terus
mencari cara untuk menumbuhkannya lebih panjang, bukan hanya beberapa
sentimeter. Kelompok dari Rumah Sakit Cedars-Sinai di Los Angeles sebenarnya
sudah melangkah cukup jauh dengan memulai penelitian pada manusia tentang
penggunaan sementara hati yang dibuat secara biologis.
Para peneliti ini menyajikan data dari setengah lusin pasien pertama mereka.
Semua pasien menderita gagal hati tingkat akhir, yang biasanya menyebabkan 90
persen pasien meninggal sebelum sempat menjalani cangkok hati. Dengan hati
buatan ini, mereka menjelaskan bahwa semua pasien bertahan hidup cukup lama
sampai ditemukan donor hati untuknya pada kebanyakan kasus, sekitar sepuluh
?hari atau lebih. Ini keberhasilan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Yang
lebih mengagumkan lagi, empat pasien gagal hati tingkat akhir akibat keracunan
obat ternyata membaik keadaannya tanpa memerlukan cangkok. Hati buatan itu telah
memungkinkan mereka bertahan cukup lama sehingga hati mereka berkesempatan sembuh dan tumbuh
kembali. Sambil duduk sebagai pendengar, aku tibatiba merasa pening karena
menyadari begitu banyak hal yang telah dikerjakan para dokter ini. Dan aku mulai
bertanya-tanya, mungkinkah perasaan ini mirip dengan yang dirasakan oleh sejawat
Joseph Lister di Royal College of Surgeon ketika ia pertama kali mengemukakan
penemuannya tentang antiseptik, hampir satu setengah abad yang silam.
Apakah semua ini pengajaran, pameran dagang, penelitian yang membuat ribuan
? ?dokter bedah menghabiskan minggu dari waktunya yang sangat berharga di Chicago
yang berawan ini" Ada konvensi lain yang berlangsung di pusat kota pada minggu
yang sama: Kongres Dunia dalam Bidang Hubungan Masyarakat, "pertemuan tahunan
staf humas profesional planet ini" (Temanya: "Membangun Bakat Kita di Dunia yang
Sarat dengan Berbagai Isu Berat). Mereka juga datang berombongan. Semua hotel
penuh dengan para ahli bedah dan para PR (staf humas). Dan rangkaian kegiatan
kami hampir mirip. Mereka menyajikan, seperti halnya kami, banyak sidang
pendidikan. (Di antaranya dalam bentuk lokakarya tentang menangani bencana PR
maya dan tentang memulai usaha PR, juga dalam bentuk kuliah berjudul "Konferensi
Lewat Telepon: Alat Hemat Biaya untuk Menjangkau Klien dan Press"). Mereka juga
menyediakan sehari penuh untuk penyajian hasil penelitian. Mereka memasang iklan
perusahaan di mana-mana, dan lobi hotel penuh dengan stand berbagai perusahaan
PR, jasa media, beberapa produsen mesin faksimili kecepatan sangat tinggi.
Konferensi mereka diakhiri, seperti konvensi kami juga, dengan pidato dari seorang yang terkenal.
Unsur semua sidangnya sangat mirip sehingga Anda pasti berpikir bahwa itulah
yang membuat semua orang tertarik datang. Suatu pagi, aku iseng jalan-jalan di
konferensi para PR itu. Kulihat banyak ruang sidang mereka yang hanya terisi
kurang dari separuh, dan orang-orang justru lebih banyak di serambi. Bahkan di
konvensi kami, Anda pun dapat merasakan bahwa gairah untuk belajar sesuatu
dengan segera menurun. Pada pertengahan minggu, tidak sulit lagi mendapatkan
tempat di ruang kuliah. Dan di antara yang hadir, sebagian besar terkantukkantuk atau keluar lebih awal untuk jalan-jalan di koridor.
Antropolog Lawrence Cohen menggambarkan berbagai konferensi dan konvensi bukan
sebagai peristiwa akademis, tetapi lebih sebagai karnaval peristiwa kolosal ?tempat kegiatan akademis dibayang-bayangi oleh politik profesional, pengukuhan
batasbatas bidang ilmu, penjajakan seks, perdagangan dan kepariwisataan,
persaingan antarbangsa dan antarpribadi, pemupukan kesejawatan, dan melimpahnya
wacana." Yang pasti, konvensi seperti ini cocok untuk bidang bedah. Dalam waktu
yang tidak lama sudah terlihat di sini bahwa sebagian orang datang untuk
menonjolkan dirinya, sebagian lain untuk dikenal, sebagian lagi karena merasa
penasaran. Ada pertarungan untuk suatu posisi (presiden dan dewan pengurus baru
dipilih) dan pertemuan kasak-kusuk rahasia. Ada reuni para residen. Ada acara
malam di Spago, dan tak ketinggalan ada beberapa perselingkuhan juga.
Walaupun semua itu benar, orang selalu merasakan bahwa daya tariknya lebih dari
sekadar daya tarik karnaval. Anda dapat melihat, misalnya, di bus. Setiap hari kami, para dokter
bedah, mondar-mandir antara balai sidang dan hotel dengan rombongan bus turis
(seperti bus Greyhound yang menuju Atlantic City, hanya saja bus kami ada
televisi mini yang menyiarkan iklan "Surgical Zipper" [resleting bedah]). Kami
adalah orang yang sama sekali tidak saling mengenal aku tidak kenal dengan
?seorang pun dalam bus itu tetapi bila Anda perhatikan, kelihatannya tidak
?begitu. Soal duduk saja, misalnya. Biasanya, orang yang naik ke atas bus,
pesawat terbang, atau kereta apiakan menyebar ke arah tertentu dan duduk menjaga
jarak dari penumpang lainnya, hanya berbagi bangku kalau terpaksa. Tetapi,
ketika naik bus kami ini, kami akan memilih tempat duduk untuk diisi berdua,
walaupun tempat lain masih kosong. Entah mengapa, tanpa disadari, aturan umum
itu terbalik. Dalam bus lain di Chicago, Anda akan merasa risi bila ada orang
asing menyelinap duduk di sebelah Anda, padahal tiga perempat dari seluruh
tempat duduk masih kosong. Dalam bus ini, justru orang yang duduk memisahkan
diri yang akan menimbulkan rasa tak enak. Anda merasa berada di dalam lingkungan
sendiri ada hubungan, walaupun tidak saling kenal. Ada dorongan untuk menyapa.
?Dan memang, rasanya tidak sopan kalau tidak menyapa.
Pada suatu hari dalam bus, aku duduk di sebelah pria usia sekitar empat puluh
tahun yang mengenakan blazer dan kemeja dengan model leher terbuka. Kami segera
mulai ngobrol. Ia ternyata datang dari sebuah kota berpenduduk 3.500 orang, di
ujung paling utara semenanjung bawah Michigan, dan ia adalah salah satu dari
hanya dua ahli bedah umum dalam jarak sekitar 75 kilometer. Bersama mitranya, ia
menangani segalanya: semua
korban tabrakan truk, tukak lambung yang bocor, pengangkatan usus buntu, kanker
usus besar, bahkan kadang persalinan darurat.Sudah sekitar dua puluh tahun dia
di sana, katanya, dan seperti kedua orang tuaku, berasal dari India. Aku
terkesan bahwa ia berusaha untuk dapat hidup di musim dingin. Kukatakan padanya
bahwa, hampir tiga puluh tahun yang lalu, orang tuaku membatasi pilihan untuk
berpraktik hanya di Athens, Ohio, atau Hancock, Michigan, di semenanjung atas.
Tetapi, begitu sampai di Michigan dengan pesawat berbaling-baling pada
pertengahan November, mereka mendapati salju setebal satu meter menutupi tanah.
Melangkah keluar dengan mengenakan sari, ibuku langsung memutuskan untuk
meninggalkan tempat itu dan memilih Athens, walaupun ia belum pernah ke situ.
Teman dudukku terbahak, kemudian mengatakan apa yang biasa dikatakan oleh orang
utara tentang dingin yang menggigit, "Oh, sebenarnya tidak seburuk itu."
Pembicaraan beralih dari cuaca ke anakanak kami, masa residensiku, masa
residensinya, sampai ke sebuah alat laparoskopi yang dilihatnya dan yang tengah
dipertimbangkannya untuk dibeli. Di bangku sekitar kami, suasananya sama.
Rupanya bus dipenuhi tukang ngobrol. Ada yang berdebat soal bisbol (serial MetsYankees Subway Series sedang diputar), politik (Gore vs Bush), dan masalah moral
ahli bedah (meningkat vs menurun). Dalam bus angkutan seminggu itu, aku bertukar
cerita tentang trauma dengan dokter bedah umum dari Sleepy Eye, Minnesota,
belajar tentang rumah sakit Cina dari dokter bedah vaskuler Hong Kong yang
beraksen Inggris, berdiskusi tentang autopsi dengan kepala bagian bedah dari
Universitas Virginia, dan mendapat anjuran nonton film dari residen bedah
Cleveland. Aku berpikir, inilah yang oleh para profesional PR disebut sebagai networking
(menjalin hubungan). Tapi, kata itu tidak menggambarkan semangat yang hakiki
dari para dokter di bus itu, dan semua yang hadir dalam konvensi, untuk saling
berhubungan dan berbagi. Masingmasing mungkin punya alasan praktis sendiri untuk
datang ke sini: menggali pengetahuan baru, sesuatu untuk dipelajari, peralatan
untuk dicoba, mengejar status, mengelak dari beratnya tanggung jawab yang tak
pernah habis. Tetapi, pada akhirnya, aku sampai pada pemikiran bahwa ada sesuatu
yang lebih penting, dan dalam hal tertentu, lebih menyentuh, yang mendorong kami
untuk datang. Dokter hidup di dunia yang terkucil dunia yang sarat dengan perdarahan, ?pemeriksaan lab, dan orang yang dibedah. Kadang kami adalah segelintir orang
sehat yang hidup di antara orang sakit. Dan dengan mudah kami jadi terkucil dan
kurang pengalaman dan kadang tidak mengetahui tata nilai dunia lainnya. Dunia
kami adalah dunia yang bahkan tak terjangkau oleh keluarga kami sekalipun. Dalam
beberapa hal, ini juga dialami oleh atlet, prajurit, dan musisi profesional.
Tetapi, berbeda dengan mereka, kami bukan saja terasing, tetapi juga sendirian.
Begitu residensi selesai, dan Anda hidup tentram di Sleepy Eye, atau di utara
semenanjung Michigan, atau bisa juga di Manhattan, maka bertumpuknya pasien dan
keterkucilan dalam praktik akan memisahkan Anda dari siapa pun yang tidak tahu
bagaimana rasanya mengangkat kanker lambung dari seorang pasien, atau kehilangan
pasien itu karena meninggal akibat radang paru-paru sesudahnya, atau menjawab
pertanyaan gencar dari keluarganya, atau bersitegang dengan pihak asuransi untuk
mendapatkan bayaran. Namun, sekali dalam setahun, ada tempat yang penuh dengan orang yang samasama
tahu. Mereka ada ke mana pun Anda menengok. Mereka datang dan duduk di sebelah
Anda. Panitia menyebut pertemuan ini "Kongres Ahli Bedah" dan katakata itu
memang cocok. Kami, untuk beberapa hari, adalah satu kaum, dengan kelebihan dan
kekurangannya, kaum dokter,><
Ketika Dokter Baik Berubah Menjadi Dokter Buruk
Hank Goodman adalah mantan dokter bedah tulang. Ia berusia 56 tahun, tinggi 180
senti dengan rambut cokelat tebal acakacakan. Tangannya besar sehingga Anda akan
bisa membayangkan ia mampu mengembalikan posisi lutut ke tempatnya dengan sekali
pukul. Orangnya tenang dan penuh percaya diri, seorang yang biasa membenahi
tulang. Dulu, sebelum izin praktiknya dicabut, ia adalah ahli bedah yang dicari
dan sangat dihormati orang. "Dia dapat mengerjakan operasi tulang dengan sangat
mantap dan dengan cara yang terbaik," demikian kata salah seorang mitra
ortopedinya. Bila seorang dokter memerlukan dokter bedah tulang untuk keluarga
atau temannya, mereka akan memilih Hank Goodman. Selama lebih dari sepuluh
tahun, Goodman adalah salah satu dokter paling sibuk di negara bagiannya.
Tetapi, dalam perjalanan kedokterannya, mulai terjadi hal-hal yang tidak beres.
Kerjanya mulai tidak memuaskan, ia jadi ceroboh. Banyak pasien menjadi cedera,
beberapa di antaranya cedera cukup parah. Teman sejawat yang tadinya
mengaguminya mulai tidak menyukainya. Namun, baru setelah hal itu berlangsung
bertahuntahun, akhirnya ia dilarang praktik lagi.
Ketika orang memperbincangkan dokter yang buruk,
biasanya yang mereka bicarakan adalah para monster. Kita pernah mendengar dokter
semacam Harold Shipman, dokter dari Inggris Utara yang membunuh lima belas
pasiennya dengan dosis narkotik yang mematikan dan dicurigai telah membunuh
sekitar tiga ratus orang. Atau John Ronald Brown, ahli bedah dari San Diego yang
berpraktik tanpa izin, melakukan serangkaian operasi ganti kelamin dan
mengamputasi tungkai kiri seorang yang sehat yang kemudian meninggal karena
kakinya membusuk. Atau James Burt, seorang ahli kebidanan yang terkenal
keburukannya di Ohio yang menangani ratusan wanita, biasanya setelah mereka
dibius untuk tindak medis lain. Yang dilakukannya adalah suatu operasi yang
sangat aneh dan merusak, termasuk memotong klitoris dan "perbaikan" vagina, yang
disebutnya sebagai "Operasi Cinta."
Namun, masalah dokter yang buruk bukanlah menyangkut berbagai penyimpangan yang
mengerikan itu. Yang kita bicarakan adalah masalah yang menyangkut dokter yang
sehari-hari Anda anggap dokter buruk, dokter semacam Hank Goodman. Dalam dunia
kedokteran, dokter semacam itu segera dapat dikenali: ahli jantung terkemuka
yang berangsur-angsur mulai pikun dan tak mau pensiun; ahli kandungan yang dulu
dihormati dan punya kebiasaan minum minuman keras; ahli bedah yang entah kenapa
tidak piawai lagi. Di satu sisi, ada bukti kuat bahwa kesalahan bukanlah berasal
dari sekelompok kecil dokter ini. Kesalahan itu begitu umum dan tersebar luas
sehingga sulit dijelaskan mengapa, Di sisi lain, memang ada dokter bermasalah.
Dokter yang baik pun dapat saja berbuat salah, dan bila itu terjadi, para
sejawatnya cenderung hampir sama sekali tidak siap menghadapinya.
Aku dan Goodman berbincang tentang apa yang tejadi dalam waktu setahun. Ia,
seperti siapa pun, kelihatannya heran dengan apa yang terjadi padanya, tetapi
tidak keberatan menceritakan kisahnya agar jadi pelajaran buat yang lain. Ia
bahkan memperkenalkan aku kepada mantan teman dan pasiennya. Satusatunya
permintaannya adalah agar aku tak menyebutkan nama aslinya.
Satu kasus berawal pada suatu hari yang panas di bulan Agustus 1991. Goodman
sedang berada di rumah sakit suatu kompleks modern berbentuk gurita dengan ?penerangan yang amat terang-benderang, berupa bangunan bata merah menjulang di
tengah dan sejumlah bangunan lebih kecil menyebar di sekitarnya, yang didukung
oleh jaringan sejumlah klinik di luar dan fakultas kedokteran tak jauh dari
situ. Di sebelah koridor panjang pada lantai dasar gedung utama terletak
sejumlah kamar bedah dengan lantai keramik putih, ruang terbuka yang luas, dan
pasien terbaring masingmasing di bawah sorotan lampu, dan tim berseragam biru
sibuk menjalankan tugasnya. Di salah satu ruang itu, seusai sebuah operasi,
Goodman membuka gaun bedahnya dan menuju ke telepon dinding untuk menjawab semua
pesan untuknya sambil menunggu ruangan selesai dibersihkan. Salah satu pesan
adalah dari dokter asistennya di kantor, yang berjarak setengah blok dari ruang
bedah itu. Ia ingin bicara dengan Goodman tentang Ny. D.
Ny. D, 28 tahun, ibu dua anak, dan istri seorang manajer perusahaan bengkel
mobil setempat. Ia semula memeriksakan diri ke Goodman dengan keluhan sendi
lutut yang bengkak berisi cairan, tidak nyeri, tetapi menetap. Goodman
menganjurkan operasi dan pasien itu setuju. Seminggu yang lalu ia telah
melakukan pembedahan untuk
mengeluarkan cairan itu. Tetapi sekarang, asisten itu melaporkan, Ny. D datang
lagi. Ia merasa sakit, meriang, dan lututnya nyeri bukan main. Ketika diperiksa,
katanya pada Goodman, lutut itu tampak merah, panas, dan nyeri bila ditekan.
Ketika ia menusukkan jarum ke sendi itu, nanah yang busuk keluar dari sendi itu.
Apa yang harus dilakukannya"
Dari gambaran yang diberikan sudah jelas bahwa wanita itu menderita akibat
infeksi hebat sehingga sendinya harus dibuka dan dipasangi penyalir secepatnya.
Tetapi, Goodman sedang sangat sibuk dan hal itu tidak terpikir olehnya. Ia tidak
meminta wanita itu datang ke rumah sakit. Ia tidak pergi menemui dan memeriksa
wanita itu. Ia bahkan tidak menyuruh seorang rekan sejawat untuk memeriksanya.
Beri saja antibiotik untuk diminum dan suruh pulang, katanya. Asistennya
menyatakan sedikit keraguan, yang dijawab oleh Goodman, "Ah, wanita itu cuma
cengeng saja." Seminggu kemudian, pasien itu datang lagi, dan akhirnya Goodman memasang
penyalir di lututnya. Tetapi, sudah sangat terlambat. Infeksi itu sudah
menggerogoti rawan sendinya. Seluruh sendinya hancur. Selanjutnya, wanita itu
pergi ke dokter bedah tulang lain, tetapi yang dapat dilakukan si dokter baru
ini hanyalah menyatukan sendi lutut menjadi padat untuk menghilangkan nyeri
akibat tulang yang saling gesek.
Ketika aku berbicara dengan pasien itu, ia terdengar sangat pasrah. "Saya sudah
terbiasa," katanya. Dengan lutut yang kaku, tentu saja, ia tidak dapat berlari,
tidak dapat membungkuk untuk mengangkat anak. Ia beberapa kali terjatuh ketika
menuruni tangga rumahnya yang bertingkat, dan ia dan keluarganya terpaksa pindah
ke ru - man bergaya rumah petani demi keamanan. Ia tidak dapat duduk dalam pesawat
terbang, Di bioskop, ia harus duduk dengan kaki menyerong ke gang. Belum lama
ini, ia pergi ke dokter untuk menanyakan kemungkinan mengganti lututnya dengan
lutut buatan, tetapi karena kerusakan yang sudah terjadi, cara tersebut tak
dapat dilakukan dengan aman.
Setiap dokter mungkin saja mengambil keputusan yang ceroboh dan bodoh seperti
keputusan Goodman, tetapi dalam beberapa tahun terakhir dari praktiknya ia
mengulangi kesalahan itu berkali-kali. Dalam satu kasus, ia memasangkan sekrup
yang salah ukuran pada tumit yang patah, dan tidak menyadari bahwa sekrup itu
masuk terlalu dalam. Ketika pasien itu mengeluh sakit, Goodman menyangkal dan
mengatakan tidak ada yang perlu diperbaiki. Pada kasus lain yang mirip, ia
menggunakan sekrup yang salah ukuran pada siku yang patah. Pasien itu datang
lagi karena kepala sekrup akhirnya menembus kulitnya. Sebetulnya, Goodman dengan
mudah dapat memotong sekrup itu, tetapi hal itu tak dilakukannya.
Kasus lain menimpa seorang lelaki tua yang mengalami patah tulang panggul.
Kelihatannya seolah ia hanya memerlukan beberapa pen untuk memperbaiki tulang
yang patah itu. Tetapi, di kamar bedah, tulang panggul itu tak dapat
disambungkan. Goodman bercerita bahwa waktu itu ia seharusnya mengubah
operasinya dan melakukan penggantian seluruh sendi panggul. Tetapi, hari itu


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah hari yang melelahkan, dan ia tidak sanggup lagi melakukan operasi yang
lebih lama. Ia selesaikan kerja itu dengan memasang pen. Sendi panggul itu
kemudian lepas dan terinfeksi. Setiap kali orang itu datang lagi, Goodman
bersikeras mengatakan tak ada yang perlu diperbaiki.
Akhirnya, tulang itu hampir hancur sama sekali, dan pasien itu pergi ke rekan
sejawat Goodman untuk mendapatkan perbandingan. Si dokter baru begitu ngeri
melihat kondisi pasien itu. "Goodman mengabaikan permohonan si pasien yang minta
ditolong," katanya. "Ia tak mau melakukan apa pun. Ia sungguh-sungguh tidak mau
membawa pasien itu ke rumah sakit. Ia mengabaikan gambaran sinar-X yang jelas.
Ia dapat membuat orang itu mati karena apa yang terjadi itu."
Selama tahuntahun terakhir praktiknya, Goodman menjadi tersangka untuk
serangkaian kasus malpraktik yang selalu diselesaikannya secepat mungkin lewat
jalan damai. Semua kasus kelalaiannya menjadi bahan pembicaraan utama dalam
beberapa konferensi Mortalitas & Morbiditas di departemennya.
Sambil duduk bersamanya ketika sarapan di sudut sebuah restoran di pusat kota,
kutanyakan bagaimana semua itu dapat terjadi. Ia seakan kehilangan katakata.
"Entahlah" jawabnya dengan suara lirih.
Goodman dibesarkan di sebuah kota kecil di barat laut, anak kedua dari lima
bersaudara dari keluarga seorang kontraktor listrik, dan tak seorang pun
membayangkannya menjadi dokter. Di sebuah universitas negeri di daerahnya, ia
mula-mula merupakan mahasiswa biasa-biasa saja yang tidak punya cita-cita.
Kemudian, pada suatu malam sewaktu masih terjaga sampai larut, ia minum kopi,
merokok, sambil membuat catatan untuk makalahnya tentang novel Henry James,
ketika gagasan itu muncul: "Aku berkata pada diriku, 'Lihat saja, aku akan masuk
ke fakultas kedokteran.'" Itu bukan ilham, katanya. "Aku mengambil keputusan
begitu saja tanpa dasar." Seorang
pendeta suatu kali pernah mengatakan padanya bahwa keputusannya itu "seperti
panggilan." Goodman menjadi siswa yang rajin, masuk ke fakultas kedokteran yang terbaik, dan
setelah lulus langsung memilih karier sebagai dokter bedah. Setelah selesai
menjalani wajib militer sebagai perwira medis umum di Angkatan Udara, ia
diterima di salah satu program residensi ortopedi terkemuka di Amerika. Tugas di
situ sangat memuaskan hatinya, walaupun sangat menyita waktu dan melelahkan.
Kinerjanya sebagai dokter bedah tulang cukup bagus. Orang yang datang dalam
kondisi lumpuh dan nyeri hebat sendi terkilir, patah tulang panggul, tungkai, ?atau tulang belakang berhasil ditolongnya. "Masa itu adalah empat tahun terbaik
?dalam hidupku," katanya. Sesudah itu, ia mengambil spesialisasi khusus untuk
bedah tangan, dan ketika selesai pada 1978, kesempatan untuk bekerja tersedia
luas untuknya. Ia memutuskan kembali ke Northwest dan berniat untuk berpraktik
di situ selama lima belas tahun berikutnya.
"Ketika ia datang ke klinik ini, kami sudah punya tiga ahli bedah tulang senior
yang sudah karatan," kata sejawatnya, seorang dokter anak. "Mereka sudah
ketinggalan zaman dan tidak bisa berkembang lagi, dan tidak ramah pada pasien.
Ketika itulah datang orang yang baik hati ini, yang pengetahuannya lebih
mutakhir, dan tidak pernah menolak siapa pun. Kita bisa memintanya datang pada
pukul delapan malam untuk menangani seorang anak yang harus ditangani panggulnya
karena infeksi, dan ia akan datang dan mengerjakannya padahal dia bukan dokter
?jaga." Ia memenangi penghargaan dari mahasiswanya. Ia menarik banyak pasien dan
hal itu memberikan keuntungan untuk klinik. Ia sangat menikmati pekerjaannya.
Tetapi, suatu saat sekitar 1990, segalanya berubah. Dengan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya, Goodman lebih tahu dari siapa pun tentang apa
yang harus dilakukan pada Ny. D, pada pria yang panggulnya pecah, dan pada
banyak pasien lainnya, tetapi ia tidak melakukannya. Apa yang terjadi" Dia hanya
mengatakan padaku bahwa semuanya menjadi serba salah dalam beberapa tahun
terakhir itu. Ia biasanya menikmati kerjanya di kamar bedah, menangani pasien.
Tetapi kemudian, tampaknya yang ia pikirkan hanyalah bagaimana menyelesaikan
semua pasien itu secepat mungkin.
Apakah uang menjadi alasan" Pada awalnya ia berpenghasilan 200 ribu dolar
setahun, dan semakin banyak pasiennya, semakin banyak kasus yang ditanganinya,
semakin besar pula penghasilannya. Dengan bekerja lebih keras, penghasilannya
bisa mencapai 300 ribu dolar. Dia bekerja lebih keras lagi sampai menangani
banyak sekali pasien, dan penghasilannya mencapai 400 ribu dolar. Dia jauh lebih
sibuk daripada semua sejawatnya, dan kenyataan itu semakin membuatnya berpikir
bahwa itulah ukuran utama dari keberhasilannya. Ia mulai menyebut dirinya,
setengah bergurau, "Si Produser." Banyak sejawat yang mengatakan padaku bahwa ia
jadi terpaku pada statusnya sebagai pencetak uang nomor satu.
Perasaannya sebagai seorang profesional juga membuatnya tidak mau menolak
pasien. (Bukankah dia memang tidak pernah bilang tidak). Apa pun sebabnya,
jumlah kasus yang dipegangnya telah melampaui kemampuannya. Ia bekerja delapan
puluh, sembilan puluh, bahkan seratus jam per minggu selama lebih dari sepuluh
tahun. Ia beristri dan punya tiga anak yang sudah besarbesar sekarang tetapi,
? ?ia jarang bersama mereka.
Jadwalnya sangat ketat, dan ia harus sangat efisien untuk menyelesaikannya
semua. Ia mulai dengan, katakanlah, operasi penggantian sendi panggul pada pukul
7.30 pagi dan mencoba menyelesaikannya dalam waktu sekitar dua jam. Kemudian,
dia membuka gaun bedahnya dan mulai membuat laporan, dan selama ruang bedah
dibersihkan, ia keluar dari pintu utama, melangkah ke dalam terik matahari,
salju, atau hujan menuju unit rawat jalan bedah, setengah blok dari OK. Di sana
sudah ada pasien menunggu di meja periksa kasus mudah, meneropong sendi lutut
?mungkin, atau melepaskan saraf dari jepitan tulang pergelangan. Setelah hampir
selesai, ia mengirim tanda kepada perawat untuk memanggil dan mendorong masuk
pasien berikutnya ke OK di gedung utama, Ia menjahit kembali kulit pada kasus
kedua, lalu lari kembali untuk kasus ketiga. Begitulah dia bolak-balik sepanjang
hari. Namun, betapa pun ia berusaha untuk tetap bertahan, masalah yang tidak
dapat diramalkan mulai bermunculan kamar bedah yang terlambat beresnya, pasien ?baru di ruang gawat darurat, masalah yang tak terduga ketika operasi
berlangsung. Akhirnya, ia menyadari bahwa semua itu tidak tertanggungkan lagi.
Tak diragukan lagi, saat itulah muncul bahaya. Kedokteran membutuhkan ketegaran
menghadapi segala sesuatu: jadwal kita mungkin memang padat, jam kerja sampai
larut malam, anak kita menunggu untuk dijemput pulang latihan renang; tetapi,
bila ada masalah, kita harus melakukan hal yang perlu dilakukan, Berkali-kali,
Goodman tidak mampu melakukan itu.
Kelelahan mental ini, anehnya, sesuatu yang biasa terjadi. Seorang dokter
dituntut untuk lebih tegar, sigap,
lebih mampu menghadapi tekanan dibandingkan dengan orang pada umumnya. (Bukankah
pendidikan dokter yang amat berat itu membuat orang yang lemah tersingkir")
Tetapi, bukti menunjukkan sebaliknya. Penelitian memperlihatkan, misalnya,
jumlah dokter yang peminum alkohol tidak lebih sedikit dibandingkan dengan
kalangan lain. Dokter lebih sering ketagihan menggunakan narkotik dan penenang,
mungkin karena kami lebih mudah mendapatkannya. Sekitar 32 persen masyarakat
pekerja umum mengalami setidaknya sekali gangguan mental serius seperti
?depresi, mania, gangguan panik, psikosis, atau ketergantungan obat dan tidak
?ada bukti bahwa gangguan itu lebih jarang terjadi di kalangan dokter. Dan, tentu
saja, dokter pun bisa sakit, jadi tua, dan dipengaruhi oleh kesulitan mereka
sendiri, dan karena alasan itu dan alasan yang sejenis itu, mereka dapat
memberikan layanan yang salah kepada pasiennya. Kita biasa menganggap bahwa
dokter bermasalah sebagai suatu penyimpangan. Yang disebut penyimpangan adalah
bila seorang dokter berhasil selama empat puluh tahun kariernya tanpa bermasalah
barang setahun dua. Tentu saja tidak semua dokter yang punya "masalah" akan
membahayakan. Namun, diperkirakan, pada suatu masa, sekitar 3 sampai 5 persen
dari dokter yang berpraktik sebenarnya tidak layak menerima pasien.
Ada jalur resmi bagi profesi medis dalam menangani dokter yang demikian: para
sejawat diharapkan mendukung gerakan untuk mengeluarkan mereka dari praktik
kedokteran dan melaporkannya ke lembaga yang berwenang dalam perizinan praktik
yang kemudian dituntut untuk menindak mereka atau memecat mereka dari
profesinya. Yang seperti itu jarang sampai terjadi karena tak
ada komunitas yang begitu erat rasa persatuannya yang dapat menjalankan cara
itu. Marilynn Rosenthal, seorang ahli sosiologi dari Universitas Michigan pernah
meneliti cara masyarakat kedokteran di Amerika, Inggris, dan Swedia menangani
dokter bermasalah. Ia mengumpulkan data tentang apa yang terjadi pada lebih dari
dua ratus kasus khusus, mulai dari dokter keluarga yang menderita ketergantungan
barbiturat (sejenis obat tidur) sampai ahli bedah jantung 53 tahun yang terus
saja melakukan pembedahan padahal telah menderita kerusakan otak menetap setelah
serangan stroke. Dan nyaris di mana-mana ia menemukan hal yang sama. Betapa pun
besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh praktik yang buruk dari seorang dokter,
baru berbulan, bahkan bertahun kemudian sejawatnya mengambil tindakan.
Masyarakat menamakan ini persekongkolan diam-diam, tetapi Rosenthal tidak
melihatnya sebagai suatu persekongkolan. Pada komunitas yang diamatinya, reaksi
yang menonjol adalah ketakpastian, penyangkalan, dan campur tangan yang penuh
keraguan mirip dengan sebuah keluarga yang tidak mau menghadapi kenyataan bahwa
?sudah waktunya SIM nenek dicabut. Yang jelas, tidak semua masalah terlihat
nyata: para sejawat mungkin menduga bahwa Dr. Anu terlalu sering minum minuman
keras atau sudah "terlalu tua," tetapi kepastiannya mungkin akan tetap sulit
dibuktikan untuk jangka waktu lama. Selain itu, walaupun masalahnya sudah jelas,
Pendekar Kembar 16 Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight Pemberontakan Ki Reksogeni 2

Cari Blog Ini