Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Bagian 1
Jalaluddin Rumi diakui sebagai tokoh spiritual yang memengaruhi banyak orang
dengan ajaran-ajarannya tentang cinta Ilahi dan perdamaian. UNESCO mencanangkan
2007 sebagai Tahun Internasional Rumi, bertepatan dengan peringatan 800 tahun
kelahiran tokoh sufi dariTurki ini.Namun,tak banyak orang tahu,ada sosok lain di
dekat Rumi yang mengalami perjalanan ruhani yang tak kalah menariknya.
Dialah Kirnya, putri angkat Rumi.Terlahir sebagai anak petani di pedalaman
Anatolia, sejak kecil dia merasakan sebuah kerinduan misterius kepada Vang Gaib.
Kirnya menyaksikan dari dekat proses perubahan ayah angkatnya. Dari seorang
ulama terhormat di Konya, dia menjadi perindu Tuhan, bersyair dan menari
merayakan cinta Ilahi. Semua itu karena perjumpaannya dengan seorang sufi
pengembara, Syams dari Tabriz.
Hidup Kirnya semakin berliku setelah dia menjadi istri Syams. Kirnya harus
menghadapi permusuhan murid-murid Rumi dan penduduk Konya yang menganggap Syams
meracuni pikiran Rumi. Bagaimana Kirnya menghadapinya" Apakah Syams juga
mengubah diri Kirnya, sebagaimana Rumi" Dan apakah Kirnya menemukan apa yang
selama ini dia rindukan" Melalui sudut pandang Kirnya, kita juga akan melihat
Rumi bukan hanya sebagai orang suci, tetapi juga sebagai seorang ayah
dansuami,yang mengalami kegundahan yang amat manusiawi.
"Novel ini membawa pembaca berlayar menuju samudra pengetahuan luas yang
berpangkal pada pertanyaan sederhana:apakah cinta itu" Muriel Maufroy sangat
berhasil mempersuasi pembaca.
Kirnya hidup dan mampu 'menggerakkan' keingintahuan pembaca." Pikiran Rakyat ?24 November 2005
"Kirnya sang Putri Rumi mematahkan argumen masyarakat yang memarginalkan
perempuan sebagai tokoh sufi. Kisah Kirnya memberikan optimisme bagi kaum Hawa
untuk bersaing dengan kaum Adam secara sederajat."
Koran Tempo, 21 Agustus 2005
?Sebuah Novel Sufistik Muriel Maufroy Sangat unik karena untuk pertama kalinya Rumi ditampilkan dari sudut-pandang
perempuan. Membacanya seolah mendengar bisikan Tuhan." Muge N. Galin, Ph.D.
Dosen sastra inggris di ohio state university
i PUTRI RUMI KIMYA SANG PUTRI RUMI Diterjemahkan dari RumitO s Daughter Karya Muriel Maufroy
Copyright " Muriel Maufroy 2004 Diterbitkan pertama kali pada 2004 oleh Rider,
an imprint of Ebury Press, Random House, 20 Vauxhall Bridge Road, London SW 1 V
2 SA Hak terjemahan bahasa Indonesia pada Penerbit Mizan
Penerjemah: Sobar Hartini Penyunting: Abd. Syakur Dj. dan Andityas Prabantoro
Proofreader: Eti Rohaeti Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved
Edisi Pertama Cetakan 1, Rabi'fO Al-Awwal 1426/April 2005 Edisi Kedua Cetakan 1,
Dzulhijjah 1428">esember 2007 Diterbitkan oleh Penerbit Mizan PT Mizan Pustaka
Anggota IKAPI Jin. Clnambo (Cisaranten Wetan) No. 135,
Bandung 40294 Telp. (022) 7834310 - Faks. (022) 7834311 e-mall: kronik@mizan.com
http: //www .mizan .com Desain sampul: Andreas Kusumahadi ISBN 979-433-481-2
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin. Clnambo (Cisaranten Wetan) No.
146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288 e-mall:
mizanmu@bdg.centrin.net .id Perwakilan: Jakarta: (021)7661724; Surabaya: (031)
60050079,8281857; Makassar: (0411)871369
Teruntuk ibuku dan Jean Gibson yang seiaiu saja masih bisa kudengar pertanyaannya: " Apakah kau
sedang menulis?" "Lihatlah sekuntum mawar ini yang dilimpahi dengan air kehidupa kini mulai
merekah berkembang indah-terpaksa layu mendahului para pengantin lain di taman
ini." Jalaluddin Rumi Sekilas tentang Kirnya Kirnya adalah tokoh historis. Dia merupakan bagian dari keluarga Rumi dan
menikah dengan Syams tak lama setelah Syams kembali dari Damaskus. Sebagian
catatan sejarah menunjukkan bahwa pernikahan mereka tidak bahagia.[]
Glosarium Dams Doost Khatun Madrasah Maidan Ney Qadi Qalandar Rebab Rum Tanbur seseorang yang menempuh jalan tasawuf (tarekat). Kekasih Yang tercinta, gelar ?sopan bagi perempuan,dilekatkan di belakang nama.
kampus, tempat belajar, atau sekolah, lapangan hijau di luar benteng,tempat
penyelenggaraan parade sekaligus tem pat pacuan anak muda menunggangi kuda dan
permainan polo dilakukan, seruling bambu yang disebutkan Rumi di awal karya
utamanya, Matsnawi. hakim dalam hukum Islam, pengembara yang tingkah lakunya
terkadang berlawanan dengan hukum agama dan standar sosial yang tengah berlaku.
instrumen musik berdawai, wilayah semenanjung Anatolia yang ditaklukkan kaum
Muslim dari Kekaisaran Romawi Timur, alat musik perkusi sejenis drum.
Kronologi 1190 Frederic Barberossa berhenti di Konya dalam perjalanannya menuju Palestina
dan melintasi Pegunungan Taurus. Dia tenggelam di Silisia (sebuah tempat di
wilayah A-sia Kecil). 1204 Perang Salib IV, penjarahan Kota Konstantinopel oleh para Tentara Salib.
1207 Jalaluddin Rumi lahir di Provinsi Balkh.
1225 Rumi menikahi Gohar Khatun dan dikaruniai dua orang putra, yakni Sultan
Walad dan Alauddin. (Setelah Gohar wafat, Rumi menikahi Kerra Khatun dan
dikaruniai dua anak, yakni Alim dan Malika.)
1229 Keluarga Rumi menetap di Konya, Anatolia.
1243 Tentara Seljuk dikalahkan pasukan Mongol di Kota Kbse Dagh. Kekalahan itu
menandai akhir kekuasaan Seljuk atas Anatolia.
1244 Syams tiba di Konya.
1246 Syams lenyap dari Konya untuk yang pertama kalinya.
1247 Syams menghilang untuk selamanya.
Ucapan Terima Kasih 5& Saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-be sarnya kepada teman-teman yang
telah membantu sehingga buku ini rampung, yakni: Joy Carlson atas kesabaran tak
terbatas dengan berulang-ulang membaca versi awal novel ini; Elizabeth West yang
tidak pernah ragu dan senantiasa percaya terhadap buku ini; dan Robbie Lamming
yang selalu memberi semangat dengan kelembutan dan memberikan saran selama
berbulan-bulan yang seakan tak pernah berakhir itu. Dan juga, terima kasih
kepada Christine Bachmann yang telah mengedit buku ini hingga sempurna tata
bahasanya dan, tentu saja, terima kasih tak terhingga bagi Jane Wisner atas
cinta, perhatian, dan kegembiraan yang diberikan untuk memoles seluruh manuskrip
ini. [ ] 1 Jalan kecil itu menjadi curam. Kini, pepohonan di sekitar dirinya mulai
jarang,digantikan semak-semak berduri yang selalu saja menyangkut di gamisnya.
Dia menurunkan seikat kayu kering yang dijinjing-nya. Mungkin dia seharusnya
menunggu Aishel di simpang jalan itu. Tadi dia terlalu menuruti kata hatinya
untuk menapaki jalan yang lebih kecil, dan sekarang dia bertanya-tanya:
Mungkinkah Aishel mengambil jalan yang satunya" Haruskah dia kembali"
Anak perempuan itu telah mencapai punggung bukit sehingga dia bisa melihat
deretan bukit yang tampak ungu terbentang sejauh mata memandang dan,di atasnya,
sekumpulan awan berarak perlahan. Dia menghentikan langkahnya, mencoba menangkap
bunyi langkah kaki Aishel. Di sebelah kirinya, seekor burung berkicau nyaring.
Di sekelilingnya, serangga-serangga berdengungan menyambut hangatnya pagi.
Tetapi, tak ada tanda-tanda gemeretak ranting patah, atau gemeresik daun kering,
yang menunjukkan kehadiran kakak perempuannya.
Tak masuk akalkah bila dia tak menunggu Aishel" Baru beberapa hari yang lalu
ibunya mewanti-wanti, setengah tersenyum, setengah serius: "Sekarang usiamu
sudah tujuh tahun, kamu tentu bisa berbuat masuk akal." Kirnya tahu ibunya,
Evdokia, sedang membicarakan apa yang disebutnya sebagai "ekstase", yakni suatu
momen ketika dirinya be nar-benar kehilangan orientasi ruang dan waktu. Kirnya
tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya dalam momen tersebut. Dia juga
tidak pernah tahu kapan "peristiwa" itu akan terjadi lagi. Jadi, bagaimana
mungkin Evdokia memintanya untuk bertindak "masuk akal?"
Dia mendesah, kemudian merentangkan tangan, menikmati kesejukan udara yang
menerpa wajahnya. Setelah beberapa saat duduk di atas sebongkah batu, dia
bersyukur bisa sendirian. Kemudian, dia menyadari bahwa sebuah kekuatan
membuatnya terpaku dalam kesunyian. Segala sesuatu yang berada di sekelilingnya
kini tampak lebih hidup. Semak belukar, bebatuan, awan yang berarak, semuanya
tampak hidup, lekuk bentuknya lebih jelas. Bersamaan dengan itu, kekuatan yang
sama membuat urat nadinya berdenyut kencang, menenggelamkannya dalam kesunyian
yang mencekam. Dia memejamkan mata, tak berdaya karena dahsyatnya pengalaman
tersebut. Suara tunggal, dengan nada tinggi bergetar di telinganya, lantas
menghilang dan dia merasa terjatuh dalam kebahagiaan yang hening dan terang.
Dia mendengar, mula-mula sayup, kemudian bertambah keras, suara yang memanggil
namanya. Dia pun kembali mendengar serangga-serangga berdengung dan dedaunan
bergemeresik diterpa angin sepoi-sepoi. Bebatuan, semak belukar, awan yang
berarak, kembali seperti semula; ketajaman bentuknya hilang begitu saja. Pada
saat itu, Aishel muncul dari tikungan jalan kecil dengan seikat besar kayu bakar
di atas kepalanya. "Kirnya! Mengapa kamu tidak menjawab ketika kupanggil?" Matanya, yang sepekat
mata Kirnya, kini berkilat marah. "Ya, ya. Aku tahu," katanya. "Kamu tidak
mendengar suaraku. Kamu tidak tahu apa yang telah terjadi. Karena kamu memang
tidak akan pernah tahu apa yang sedang terjadi!"
Kirnya akan mengiyakan perkataan kakaknya. Semua itu benar adanya. Kirnya tidak
pernah tahu. Yang dia tahu, sekarang ini, dia sedih, sekaligus juga bahagia.
Bukankah itu "masuk akal?" Tetapi, dia menyimpan pikiran itu untuk dirinya
sendiri. "Jangan marah. Itu bukan salahku ...."
"Lantas, salah siapa?"
Kirnya tidak menjawab. Dia mengangkat kayu bakarnya dan, dalam kebisuan, mereka
berjalan menyusuri jalan kecil itu, pulang ke desa.
Saat itu tahun 1239.[] 2 Evdokia sedang berdiri di beranda atas, mengumpulkan pakaian-pakaian yang dia
jemur pagi tadi. Dia seorang perempuan bertubuh besar. Usianya tiga
puluhan.Wajahnya sawo matang dan berkeriput akibat sering bekerja di udara
terbuka. Tiga anak telah dia miliki, dan betapa beruntungnya memiliki mereka.
Dia masih sering teringat pada dua anaknya yang sudah meninggal: anak pertama
hanya hidup beberapa minggu, terserang demam aneh yang saat itu sedang mewabah
di desa; dan Bahram, si bungsu, anak lelaki kesayangannya yang baru saja belajar
jalan, suatu pagi ditemukan telah meninggal di ranjangnya. Dia menghela napas.
Tidak baik sama sekali mengingat-ingat semua itu. Dia tidak seharusnya berkeluh
kesah. Ketiga anaknya yang masih hidup, tumbuh sehat dan bertambah besar: Tahir
sekarang berusia enam belas, Aishel dua belas, dan Kirnya, anaknya yang paling
kecil yang harus dia akui sangat dia khawatirkan, baru saja menginjak u-sia
tujuh tahun. Oh, Kirnya adalah anak yang baik, tapi sangat berbeda dengan dua
anaknya yang lain! Tahir dan Aishel jatuh dan menangis, menumpahkan
makanan, berguling-guling di tanah berdebu, dan mengotori pakaian. Pendek kata,
mereka berdua ber tingkah layaknya anak-anak dan hingga sekarang pun masih
demikian. Tetapi, Kirnya! Dia tidak seperti anak lainnya. Dia bahkan tidak
pernah menangis ketika terluka. Dan, dari waktu ke waktu, dia larut dalam momenmomen aneh ketika kehidupan tampaknya melimpahinya dengan kegembiraan yang
meluap. Dia sering terpaku seolah-olah mendengarkan bunyi atau suara dari
kejauhan sana. Dia tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya dan asyik dengan
dirinya sendiri. Teman-temannya mengeluhkan Kirnya sebagai teman bermain yang
tidak menyenangkan. Bukan berarti Evdokia tidak mencintai anak perempuannya itu. Kirnya begitu manis
dan cantik dengan mata bulat yang hitam, kulitnya yang pucat, dan pembawaan
dirinya yang membuat perempuan-perempuan di desa berkata suatu hari nanti dia
akan menjadi gadis yang cantik. Tetapi, hal itu tidak menenteramkan hati
Evdokia. Dia teringat suatu hari, beberapa bulan yang lalu, saat dia menemukan
Kirnya menangis, meringkuk di dalam lubang sebuah pohon dekat petak kebun sayur.
"Ada apa" Mengapa menangis?" Kirnya menatapnya dengan duka cita yang begitu
tajam sehingga Evdokia tiba-tiba saja ingin ikut menangis.
"Tadi, aku berada di suatu tempat yang membuatku begitu bahagia Dan, untuk
beberapa saat, Kirnya seperti bocah yang telah disentuh pancaran cahaya maha
benderang. "Lantas, semuanya
berakhir." Kembali, Kirnya terisak-isak.
Evdokia memeluknya dengan rasa tak berdaya yang aneh. Mereka berdua terdiam
selama beberapa saat, diselimuti aroma kulit kayu dan bau tanah basah sehabis
hujan awal musim gugur. Sejak hari itu, Kirnya semakin asyik dengan dirinya sendiri. Dia begitu sering
terhanyut dalam ekstase yang, pada akhirnya, membuat teman-teman nya menolak
untuk bermain bersamanya.Tetapi Kirnya tampaknya tidak ambil pusing. Dia hanya
duduk melihat teman-temannya, seolah-olah sedang menatap dari kejauhan sana.
Dan, selalu saja dia menanyakan hal yang sama.
"Ibu, mengapa aku hidup" Di mana aku berada sebelum terlahir?"
Evdokia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.Dari mana anak sekecil ini
mendapatkan ide untuk mengajukan pertanyaan semacam itu" Bagaimana Kirnya jika
dewasa nanti" Apa yang akan terjadi padanya"
Pada dasarnya, Kirnya bukanlah anak pemurung. Dia begitu bergairah, ceria, dan
penuh tawa, serta selalu siap jika dimintai pertolongan. Tetapi, meskipun sedang
bahagia, dia berbeda dengan an ak-anak pada umumnya. Misalnya saja pada saatsaat dia tiba-tiba menyanyikan lagu-lagu yang penuh kegembiraan; Evdokia
menyimaknya dengan takjub, dan anehnya dia merasa pernah mendengar lagu-lagu itu
sebelumnya. Anak ini selalu punya cara untuk membuatku jengkel, desahnya. Tetapi, apa yang
bisa kulakukan" Kirnya adalah Kirnya dan begitulah dia. Bagaimana mungkin dia
bisa menjadi anakku" Evdokia ber tanya-tanya. Kirnya agaknya tidak cocok berada
di sini. Dia sepertinya berasal dari negeri antah-beran tah. Suaminya juga
merisaukannya. Kirnya adalah anak kesayangannya, meskipun Faroukh tidak akan
mengakuinya. Tetapi, setiap hari, setelah makan malam, ketika Kirnya sudah
terkantuk-kantuk, Faroukh akan melakukan ritual yang mengungkapkan kasih
sayangnya melebihi kata-kata.Faroukh akan memeluknya, sementara Kirnya
melingkarkan tangan di leher ayahnya. Dan, ketika Faroukh menggendongnya ke
tempat tidur, Kirnya akan berbisik, "Baba, Ba ba, aku sayang padamu." Ketika
Faroukh kembali ke ruang makan dan duduk, wajahnya sumringah dan senyumnya
terkembang. Ada kalanya, Evdokia memperoloknya, "Anak itu memikatmu!"
"Tentu saja, karena mungkin dia semacam penyihir," jawab Faroukh suatu malam
ketika mereka berdua berbaring di tempat tidur, sekali lagi membicarakan Kirnya.
Evdokia merinding. "Jangan berkata seperti itu! Aku sudah cukup
mengkhawatirkannya." Dan, kenangan akan seorang pengelana yang tiba di rumah itu
pada suatu malam, delapan tahun yang lalu, melintas kembali di benaknya.
Saat itu adalah musim dingin dan malam mulai beranjak larut. Dia sedang
mengandung. Seluruh desa terkubur oleh salju. Angin menderu-deru. Tak ada orang
yang berniat bepergian pada malam seperti ini, atau begitulah yang mereka kira.
Keluarganya sedang berkumpul mengelilingi perapian untuk makan malam ketika
anjing mulai menyalak. Kemudian, mereka mendengar gemeretak es karena terinjak
kaki seseorang. Faroukh mengambil lampu minyak dan menuju pintu. Embusan angin
dingin berpu tar-putar memenuhi ruangan.
"Siapa di sana?" teriak Faroukh mengalahkan deru angin.
"Salam 'alaikum." Suaranya terdengar samar. '"Alaikum salam," jawab Faroukh.
"Ini bukan ma-lam yang tepat untuk berkeliaran di luar, Sahabat. Mari masuk."
Lelaki itu masuk, menggoyang-goyangkan mantelnya untuk menghilangkan salju yang
menempel. Perlahan, dia melepaskan secarik kulit pelapis sol sepatunya, kemudian
membuka mantel bulu kempanya yang besar. Kini, dia hanya mengenakan jaket kulit
kambing, bulu bagian dalamnya tampak keluar. Rambutnya telah memutih, demikian
pula janggutnya,wajahnya keriput, tapi dia memiliki tatapan mata yang tajam.
Mata yang awas seakan-akan milik anak muda.
Anak-anak memberikan tempat bagi sang tamu yang kemudian duduk dekat api dengan
napas lega. Lalu, dia menguap lebar memperlihatkan deretan gigi yang ompong.
"Namaku Mahsoud," katanya, tapi dia tidak menjelaskan dari mana dia berasal dan
hendak ke mana dia menuju.
"Silakan diminum tehnya," sambut Evdokia. "Ini
ada roti dan buah zaitun."
Dia makan tanpa mengatakan apa-apa. Dia masih tetap makan saat kepalanya
terkulai menyentuh dada. Dia mulai mendengkur.
Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Esok paginya, tamu asing itu membantu menata kayu-kayu kering di lubang dinding
yang berfungsi sebagai perapian. Gerakannya lambat tapi saksama. Tak lama
kemudian, sisa bara api malam kemarin menyala. Lidah apinya berwarna Jingga.
"Nah, beres sudah," lelaki itu berkata dengan nada puas.
Teh dan makanan yang kemarin malam tersaji masih tersisa. Lelaki itu makan
dengan tenang, kemudian menatap Evdokia.
"Bayi ini," katanya menunjuk perut Evdokia, "bayi ini akan tumbuh menjadi anak
perempuan. Namanya Kirnya." Dia berhenti. Kemudian, setelah merenung, dia
berkata, "Masa depan gemilang menantinya."
Faroukh dan Evdokia saling menatap. Mereka tidak tahu harus berkata apa. Semua
orang tahu bahwa pengelana tidak mudah ditebak, tapi yang ini sungguh berbeda.
Dia telah melanggar sebuah aturan tak tertulis. Dia telah mencampuri urusan
pribadi tuan rumah. Lelaki itu menyelesaikan makan, sea kanakan tidak terjadi
apa-apa. Kemudian, dia membersihkan sisa makanan dari mulutnya dengan punggung
tangan, lantas berdiri. "Aku harus pergi," katanya. "Aku sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Terima
kasih atas keramahannya." Dia mengenakan mantel bulu kempanya lagi, dan kemudian
berbalik menatap Evdokia, dia menandaskan, "Ingat, nama anak ini Kirnya."
Evdokia menggigil mengenangnya. Memang, kejadian itu sudah lama berlalu. Tetapi,
wajah pengelana itu masih sering membayanginya. Faroukh yang berbaring di
sampingnya masih terjaga. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Evdokia.
Faroukh memalingkan wajah, menatap lekat istrinya. "Bagaimana kalau kita
bertanya kepada Imam" Barangkali, beliau punya saran. Terlebih, beliau orang
yang bijaksana dan bisa berdialog dengan AH ah."
Evdokia tidak begitu yakin bahwa sang Imam bisa bercakap-cakap dengan Tuhan,
tetapi setidaknya dia orang yang baik. Mengapa tidak dicoba untuk bertanya
kepadanya" Maka, Faroukh menemui sang Imam yang kemudian berkata akan berdoa sambil
menambahkan, "Kau harus beriman kepadaNya sebab Dia Maha Mengetahui segalanya."
Tetapi, sang Imam sama sekali tidak memberikan nasihat.
Dan sekarang, Kirnya berumur delapan tahun. Musim dingin telah tiba dan segera
saja jalan-jalan kecil lenyap tertimbun lapisan salju tebal. Setiap pagi, ketika
Faroukh membuka pintu, dia harus menyekop salju yang menutupi jalan masuk menuju
rumahnya agar mereka bisa keluar. Setelah beberapa hari, jalan masuk menuju
rumahnya berubah menjadi gang
yang terimpit dua dinding salju meninggi yang menyempit. Pipi anak-anak menjadi
kemerahan. Mereka meluncur di lereng salju dan menertawakan embusan napas yang
berubah menjadi uap putih manakala mereka berbicara. Kirnya juga ikut berseluncur dan tertawa,tapi dia juga sempat terlihat hanya berdiri untuk waktu yang
lama, memandangi pegunungan yang tampak biru dan keunguan di kejauhan sana, dan
berubah menjadi Jingga kemudian merah tua saat matahari tenggelam. Kemudian,
peristiwa itu terjadi lagi.
Aishel pulang ke rumah, berjalan sendirian tanpa Kirnya. Dia bingung dan marah.
"Aku mengikutinya menuruni lembah di sebelah utara yang dipenuhi pohon anggur,"
katanya. "Dia berlari di depanku, kemudian aku tidak melihatnya lagi. Aku
melihat ke sekeliling. Aku panggil namanya, tapi dia seperti lenyap tertelan
bumi." "Maksudmu, kau meninggalkannya!" "Aku ... aku telah mencarinya. Kupanggil namanya
berkali-kali." Aishel hampir menangis.
"Di mana tempatnya?" tanya Faroukh.
"Dekat dua batu besar. Tahu kan, dekat kebun anggur. Aku telah mencarinya di
sekitar sana, bahkan hingga ke jurang antara lembah dan kebun anggur. Aku terus
memanggil namanya, berkali-kali." Sekarang, Aishel menangis. "Tetapi, dia tidak
ada di mana pun." Evdokia memeluknya. "Jangan khawatir," katanya sambil mengelus rambut anaknya.
"Itu bukan kesalahanmu. Dia pasti akan pulang. Kamu sendiri
tahu, adikmu memang begitu."
Dan benar saja, Kirnya akhirnya pulang beberapa jam kemudian seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. "Tidakkah kau dengar saat kupanggil namamu berkali-kali?" Aishel naik pitam.
Kirnya menatapnya. Dia kelihatannya tidak mengerti. "Aku duduk di atas batu
selama beberapa saat, kemudian aku tak tahu; aku tidak ingat."
"Biarkan dia," Evdokia berkata, "dia kan sudah pulang."
Tetapi, kemudian, Kirnya kembali menghilang. Saat itu, dia sedang bersama-sama
sekelompok an ak-anak seusianya di pinggiran desa, menjaga kawanan kambing dan
domba. Tak seorang anak pun yang memerhatikan saat dia lari menuruni lereng
untuk mengejar seekor kambing yang lepas dari kawanannya. Mereka biasa
bergiliran mencari kambing yang tersesat. Hari semakin sore saat mereka
menyadari bahwa Kirnya tidak ada. Mereka memanggil namanya: "Kirnya! Kirnya!"
Tadinya, itu seperti permainan petak umpet, tetapi hanya gema yang menjawab
panggilan mereka. Ketika mereka berjalan pulang menuju desa tanpa Kirnya kawanan
ternak mereka berjalan di depan mereka, mereka cemas. Bagaimana menjelaskannya
kepada orangtua Kirnya"
Beberapa jam kemudian, setelah malam menjelang, Kirnya akhirnya muncul. Kali ini
Faroukh marah. "Kirnya, ini tidak boleh terus terjadi. Kami semua sangat mengkhawatirkanmu, dan
kamu malah bersikap seolah segalanya baik-baik saja, padahal tidak."
Dahinya berkerut, suaranya gemetar. "Mulai
hari ini, aku melarangmu pergi ke mana pun tanpa ibumu; dia akan mengawasimu.
Tidak boleh lagi ber jalan-jalan, baik sendirian maupun bersama teman-temanmu!
Mengerti?" Kirnya menatap Faroukh, membisu. Dia tampaknya paham.
"Baik. Cukup untuk hari ini," Evdokia berkata. Sambil berpaling ke arah Kirnya,
dia menambahkan, "Besok kau dan Aishel akan membantu Mama bekerja di kebun
sayur."[] Evdokia menyeka keringat di keningnya. Beberapa bulan telah berlalu sejak amarah
Faroukh meledak. Saat itu adalah awal musim panas, meskipun sore telah menjemput
malam, matahari enggan beranjak dari tempatnya yang tinggi. Dengan berdiri di
beranda atas, dia bisa melihat puncak gunung di kejauhan. Di bawah kakinya,
terhampar permadani lusuh yang digunakan sebagai alas untuk menjemur gandum yang
direbus tadi pagi, dan sore itu gandum tersebut mulai mengeras. Dia memikirkan
Kirnya. Anak perempuannya itu akhirnya sepertinya terbiasa dengan rutinitas
kehidupan di desa. Hal itu cukup melegakan.
Dia mengalihkan perhatiannya kepada kerumunan kecil yang terdiri atas ibu-ibu,
anak-anak kecil, dan para remaja yang berkumpul di beranda atas un tuk mengikuti
tahap terakhir ritual panen gandum yang dilakukan pada setiap musim panas. Anna,
saudara sepupunya, mengangkat sekeranjang gandum setinggi mungkin dan lantas
menuangkan gandum itu sehingga angin menerbangkan kulit gandum maupun kotoran
yang tersisa. Sembari bekerja, Evdokia membayangkan malam hari nanti setidaknya
bisa dia nikmati dengan duduk-duduk di teras. Dia bergabung dengan ibu-ibu
lainnya, menyibukkan diri dengan memasukkan gandum ke dalam keranjang rami yang
kusam karena dimakan usia, yang nantinya akan diangkut para pemuda ke lumbung.
Dan akhirnya, pekerjaan itu selesai. Sinar matahari membuat warna rumah-rumah
menjadi membara dan memulas arakan awan menjadi oranye kemerahan. Lantas, senja
perlahan menjemput kedamaian malam. Evdokia membayangkan bahwa penduduk desa ini
bisa sedikit tenang dan menikmati kehangatan musim panas karena yakin bahwa pada
musim dingin mendatang, mereka tidak akan kekurangan pangan. Beranda atas
rumahnya telah lengang, sehingga menyediakan tempat duduk bagi seluruh anggota
keluarga. Di pojokannya, ada gundukan kecil butir-butir gandum, sisa pekerjaan
siang tadi. Hari ini terasa panjang. Tubuh lelahnya ingin segera beristirahat.
Dia menuruni tangga kayu dan kembali ke atas dengan sepoci teh yang telah
disiapkan Aishel. Faroukh dan ketiga anaknya segera saja mengikuti langkahnya
dan Evdokia pun duduk sambil menatap keluarganya dengan senyum hangat seorang
ibu. Aishel menuangkan teh pada cangkir-cangkir kecil, sementara Faroukh
mengisap pipa tembakau dan Kirnya merapat manja padanya. Sungguh sebuah suasana
yang hangat. Hussein, tetangga mereka, seorang Muslim yang saleh, berkunjung malam itu. Dia
dan Faroukh tak pernah bosan saling menyindir. Hussein menegur
Faroukh yang jarang shalat di masjid, sementara Faroukh dengan tangkas menjawab
bahwa Tuhan tidak dibatasi oleh keempat dinding masjid. Hussein menjawab,
meskipun jawaban itu ada benarnya, AH ah tetap menyukai tempat istimewa seperti
masjid sehingga Dia bisa melihat umat-Nya berkumpul berzikir bersama.
"Ternyata Tuhanmu begitu malas." Faroukh mencemooh sambil tertawa. "Tuhanku
tidak pernah berkeberatan melihat ke segala ufuk."
Evdokia tidak pernah ikut-ikutan dalam debat kusir mereka. Lelaki memang seperti
anak kecil! Mereka tak ada bedanya dengan Tahir yang terlihat tampan dengan
kemeja hijau yang baru saja dijahit Evdokia untuknya. Evdokia menatapnya dengan
bangga. Suatu hari nanti, putraku akan menikah dan memberiku cucu-cucu yang
menggemaskan. "Baba, ceritakan lagi tentang kisah pertemuan Baba dengan Mama." Kirnya
tersenyum menatap ayahnya. "Apakah Mama sangat cantik?"
"Kau memang usil. Kau tahu aku tidak pernah bosan menceritakan kisah
itu.Iya,benar. Ibumu memang sangat cantik, secantik bunga yang sedang mekar
berkembang." Faroukh meringis sembari menatap wajah lelah istrinya.
Kirnya melekukkan tubuhnya sedemikian rapat pada ayahnya, mencari kehangatan
yang membuatnya nyaman. "Teruskan ceritanya, Baba, teruskan."
"Hmm. Aku masih bocah sepertimu ketika aku tiba di daerah ini dengan beberapa
keluarga lainnya dan kawanan ternak mereka. Dulu, kami tidak bernaung di rumah
kukuh seperti ini, tetapi tinggal di kemah-kemah kulit bulu kempa. Kami
mengikuti kawanan kambing dan sapi melintasi pegunungan untuk mencari padang
rumput, dan kami tidak pernah menetap dalam waktu yang lama. Kami ada kalanya
memancangkan tenda di lereng dekat desa sehingga kami bisa menukar susu, wol,
dan keju dengan sayur-mayur dan buah-buahan milik penduduk." Jeda Faroukh. Dia
terkenang teman sebangsanya."Leluhur kita berasal dari suatu tempat yang jauh di
daerah timur," katanya. "Itulah yang pernah dikisahkan Ayah padaku. Itu sudah
lama sekali, zaman dulu, bahkan sebelum aku dilahirkan. Aku sendiri tidak pernah
tahu daerah selain Rum, yang kata ayahku diperintah oleh seorang sultan.
Istananya berdiri megah di Konya, hanya lima hari dari sini jika kita berjalan
kaki. Pada masa itu,hanya pamanku dan anak-anaknya yang berusia lebih tua dariku
yang bepergian ke Konya dan Laranda untuk menjual wol dan permadani. Dari hasil
penjualannya, mereka membeli pisau dan periuk. Ada kalanya mereka membeli
selendang yang indah untuk para perempuan di kaum kami. Para sepupuku itu selalu
datang dengan setumpuk kisah yang sangat sulit kupercaya. Mereka menceritakan
gedung-gedung yang terbuat dari batu berukir, juga orang yang berbicara dengan
bahasa yang asing di telinga kita dan bahkan memakai pakaian yang tak kalah
asingnya. Aku tidak begitu berhasrat untuk mengunjungi kedua kota itu. Aku
merasa nyaman dengan kehidupanku di pegunungan satu hari di sini, pada hari yang
lain di sana, selalu berpindah-pindah dan lazuardi merupakan atap maha luas,
pelindung kami." Faroukh menghentikan kisahnya, larut dalam kenangan masa lalu. Betapa lucunya,
kini, dia merasa puas hidup di desa! Pada hakikatnya, memang di sinilah
kehidupannya sebagai seorang lelaki dewasa dimulai.
Kirnya menanti. Dia sadar betul untuk tidak mengganggu keheningan yang diresapi
ayahnya saat mengenang masa lalu.
Faroukh segera melanjutkan."Suatu hari, kaumku mendirikan kemah di dekat desa
ini. Saat itu, usiaku baru saja menginjak delapan belas tahun. Aku masih
bertugas mengawasi kawanan ternak milik keluarga dan mencukur bulunya. Tetapi,
aku juga mulai dipercaya untuk ikut serta menjual wol dan permadani sehingga aku
ikut pamanku ke Konya dan Laranda. Di sanalah aku menyaksikan sendiri bahwa
paman maupun sepupuku tidak berbohong. Banyak gedung megah dihiasi pahatan yang
sangat indah. Masjid-masjid berhiaskan ubin dari batu pirus, dan orang
berdatangan dari pelbagai penjuru dunia. Tetapi, semua itu bagiku terlalu mewah
bahkan membebani. Kehidupan yang hiruk pikuk itu tidak sesuai untukku! Memang,
kita bisa mendengar banyak cerita menarik di sana, terutama di Konya. Orang-ora
ng membicarakan Sultan yang menjalin persekutuan sementara dengan beberapa
pangeran Bizantium. Seorang saudagar yang sempat kutemui mengisahkan bahwa pada
tahun kelahiranku, telah terjalin persekutuan antara Sultan dan Kaisar Agung
dari Barat, yang dijuluki si Janggut Merah. Sultan mengizinkan sang Kaisar Kristen
melintasi pegunungan ini dalam perjalanannya menuju Suriah dan Palestina. Tentu
saja, hal itu bukan masalah sepele sebab kaisar yang memimpin kaum Kristen itu
membawahi pasukan raksasa yang terdiri dari sekitar seratus lima puluh ribu
lebih tentara perkasa begitulah yang kudengar dari saudagar itu. Namun, sang
Kaisar dan pasukannya meninggalkan Konya pada awal musim panas. Cuaca saat itu
sangat panas dan mereka tidak terbiasa dengan sengatan matahari yang demikian
panas." Selama beberapa waktu, Faroukh sepertinya melihat pasukan tentara asing
kepayahan tersengat matahari saat melintasi jalan kecil di pegunungan. "Banyak
juga yang mati dalam perjalanan itu," dia melanjutkan, "dan ketika mereka
berhasil mencapai sisi pegunungan yang berada di baliknya, riwayat mereka
berakhir." Faroukh menghentikan kisahnya, larut dalam imajinasi. "Mengerikan
sekali," katanya. "Kemudian,orang-orang menceritakan bahwa konon, Kaisar Janggut
Merah begitu kepanasan sehingga dia memacu kudanya menuju sungai dan di sanalah
dia tenggelam. Apa yang terjadi dengan pasukan yang dia tinggalkan, aku tidak
pernah tahu.Tak ada kabar mengenai pasukannya yang cerai-berai akibat peristiwa
itu." Kirnya menyela cerita ayahnya, "Apakah kuda sang Janggut Merah tenggelam juga?"
Faroukh tertawa. "Kalau itu, tentu saja aku tak tahu. Peristiwa itu telah lama
terjadi, zaman dulu, sebelum keluargaku tiba di tanah ini. Yang kutahu pasti adalah, ketika aku
singgah di desa ini, kebanyakan penduduknya beragama Kristen. Begitu juga ibumu.
Kaumku memeluk Islam, dan setelah sebagian kaumku bermukim di desa-desa di
sekitar sini, didirikanlah beberapa masjid, yang ada kalanya berdekatan dengan
gereja. Ada juga desa yang miskin, seperti desa kita ini, sehingga tidak bisa
membangun satu masjid pun. Karenanya, kami memakai teras samping gereja sebagai
tempat beribadah. I-ngatkah Evdokia?"
Evdokia mengangguk. "Segalanya berubah sedemikian cepat," katanya. "Tetapi,
perubahan itu tidak selalu mudah."
Kening Faroukh berkerut, "Tidak, memang tidak. Di beberapa daerah memang terjadi
pembantaian massal. Orang sebangsaku pernah melakukannya. Tetapi, orang Kristen
yang datang dari Barat pun bertindak demikian. Mereka melakukannya demi misi
perjalanan suci, merebut kembali 'tanah suci1. Bahkan, pasukan Kristen Barat
pernah bertempur melawan kaum Kristen Bizantium, hingga akhirnya, Konstantinopel
jatuh ke tangan mereka. Mereka membunuh penduduk kota, membakar dan merampok
kota megah itu." Faroukh menatap kepekatan malam seakan-akan nyala api berkobar
di depan pandangannya. "Aku masih seorang bocah ingusan waktu itu. Aku ingat
dengan jelas kengerian dan kemuakan dalam suara ayahku saat dia berkata, 'Orang
Kristen membunuh Kristen!1 Tapi kami beruntung berada di sini. Kami terkepung
oleh berbagai peristiwa mengerikan, tapi kami selamat dari petaka itu."
"Tapi, Baba, di mana Mama saat itu?"
"Iya, tunggu sebentar. Aku baru saja akan menceritakannya!" Faroukh mendehem
kemudian melanjutkan kisahnya. "Saat berkunjung ke desa ini, aku sering juga
mengunjungi gereja. Aku tentu saja tahu bahwa gereja merupakan tempat yang
memuliakan Isa, Nabi Agung umat Kristen, dan ibundanya, Maryam. Aku suka sekali
duduk di kegelapan dekat altar sebelah kanan, menatap sang Perawan Suci dan
anaknya itu." Kirnya menatap ayahnya. Dia juga sering mengunjungi gereja dan sangat suka duduk
di depan sang Perawan Suci.
"Tetapi," lanjut Faroukh, "di dalam gereja, ada sesuatu yang tidak kusukai. Aku
melihat patung seorang lelaki tersalib yang diletakkan di atas altar utama.
Hatiku memang tertambat pada sosok sang Perawan Suci dan anaknya. Tetapi,
mengapa di tempat sedamai itu malah dipajang tubuh penuh dera yang menyayat
hati" Hingga sekarang, aku masih saja tidak memahaminya. Kaum kami tahu bahwa
pasukan Mongol menguasai kota-kota besar di Asia Tengah dan menumpahkan banyak
darah sepanjang penaklukan itu. Sosok lelaki berlumuran darah di atas tiang
salib membuatku teringat akan kengerian itu. Kaum sebangsaku, seperti halnya
bangsa Mongol, datang dari padang rumput dan gurun-gurun di antara wilayah
Herat, Balkh, dan Samarkand. Tetapi, tidak sedikit pun kami memorak-porandakan
daerah yang kami jelajahi. Sebaliknya, kami belajar dari mereka sekaligus
berbagi pengetahuan dan keterampilan."
Faroukh terdiam. Dia kembali terkenang akan bangsanya. Dia bangga sekali pada
leluhurnya. Mereka menyebarkan keimanan yang baru saja mereka anut. Mereka
percaya adanya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Tempat ibadah mereka
dibangun berdasarkan selera yang terbentuk dari hasil penjelajahan leluhur
mereka ke seantero dunia. Rancang bangun masjid-masjid di Konya dan Laranda yang
telah dikunjunginya masih mempertahankan suasana kesederhanaan hidup di gurun.
Masjid-masjid itu hanya dihiasi ornamen berpola geometris. Menurut hemat dia,
hiasan tersebut seperti embusan napas zikir yang tak pernah putus menyebut na
ma-Nya. Meskipun demikian, manakala berkunjung ke masjid yang baru saja dibangun
Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di desa itu, dia mengakui betapa dia merindukan sosok Perawan Suci dan anaknya.
Kirnya menjadi tak sabar, "Dan, Mama," dia ber-mtanya, "bagaimana ceritanya
hingga Baba bertemu dengannya?"
"Tunggu dulu, akan kulanjutkan ceritanya." Faroukh menyeruput teh yang sekarang
sudah dingin. "Suatu pagi, mentari baru saja muncul dari punggung bukit sekali
lagi aku mengunjungi gereja dan di sana, di depan Perawan Suci, aku melihat
seorang gadis berlutut memanjatkan doa. Dia begitu khusyuk dalam doanya sehingga
tidak menyadari kehadiranku. Dengan berjinjit, aku meninggalkan gereja.
Setibanya di luar, aku duduk di atas sebongkah batu dan, entah mengapa, aku
menanti gadis itu. Saat itu musim semi. Udara terasa kering, tapi menjanjikan
kehangatan. Tak lama kemudian, gadis itu muncul. Dia menatap ke arahku dan aku
masih sempat menangkap kilau kehijauan matanya, sebelum dia berlalu dari
hadapanku. Aku mengikutinya dari kejauhan, dia sendiri tak menyadarinya hingga
dia menghilang di antara rumah-rumah batu. Hari berikutnya, aku yang saat itu
menggiring kawanan ternak sengaja lewat di depan rumahnya, berharap bisa bertemu
lagi dengannya. Ternyata, dia sedang berdiri di depan pintu dengan mata yang
memancarkan senyum." Faroukh menatap istrinya.
"Saat itu, kau mengenakan blus bersulam bunga senada dengan rok biru tuamu,"
katanya. Evdokia mengangguk. "Ya, aku ingat." Tampaknya, itu terjadi dulu, lama sekali!
Faroukh melanjutkan, "Ingin sekali aku membalas senyumnya, tapi aku hanya
terpaku hingga pancaran keramahan dari matanya menghilang. Kulitnya putih pucat,
sama sepertimu," kata Faroukh sembari mengelus pipi Kirnya. "Aku ingat sekali
kerudungmu sempat tersingkap sehingga rambut ikal ke-merahanmu segera saja
tersapu sinar matahari yang membuatnya berkilau indah," katanya sambil menatap
wajah sang istri. "Betapa cantiknya! Kemudian, aku mendengar seseorang memanggil
sebuah nama, 'Evdokia, Evdokia, di mana kau"' Lantas, dia berbalik dan
menghilang ke dalam rumah. Malamnya, sambil berbaring di bawah taburan bintang,
mataku tak bisa terpejam. Kupanggil-panggil namanya.
"Sejak saat itu, setiap hari,domba-dombaku seakan menggiringku mendekati pintu
rumah itu. Suatu ketika, aku melihat dia bersama teman-temannya sedang memetik
sayuran di kebun dekat lereng selatan desa ini. Beberapa hari kemudian, aku
mendapati dia bersama teman-temannya sedang mengumpulkan buah plum hijau yang
tumbuh di sekitar desa. Mereka serempak tertawa begitu melihatku.Dan, selama
beberapa waktu, aku tak berani berada de kat-dekat rumahnya. Lantas, suatu hari,
di dekat mata air di luar desa, sekali lagi kami bertemu. Seperti biasanya, dia
bersama teman-teman sebayanya. Dia sedang membawa kendi yang sangat berat. Tanpa
pikir panjang, aku membawakan kendinya dan mengisinya hingga penuh. Aku
mengembalikan kendi berisi air itu dan selama beberapa detik tangan kami
bersentuhan. Rasanya wajahku panas memerah dan segera saja aku menggiring
ternakku agar menjauh dari mereka.
"Kemudian, saat itu pagi hari di musim panas! Aku masih merasa seolah-olah itu
baru saja terjadi kemarin. Di pedesaan, setiap musim panas, kaum perempuan
selalu mencuci sebagian besar gandum mereka di mata air. Aliran air mengalir
deras, bercampur tanah merah. Mereka memisahkan batu dari butiran gandum. Derai
canda mereka membahana di kesejukan pagi. Dari tempatku berpijak, mereka tampak
seperti perca berwarna-warniAku berharap dia ada di antara mereka. Sejenak, aku
melupakan kawanan sapi dan kambingku. Aku justru terlena me-nurutkan kata hati
ingin segera berjumpa dengan gadis bermata zamrud itu.
"'Oh, begini ya caramu menggembalakan ternak"' Suaranya mengandung tawa. Aku
membalikkan badan dan di hadapanku berdirilah gadis yang selama ini menghantui
pikiranku. "'Kawanan kambingmu berkeliaran; butuh bantuan"'
"Aku tak bisa berkata apa-apa. Sepertinya, aku tampak dungu sekali.
"'Sebenarnya, aku bermaksud untuk meminta tolong apakah kau bisa memberi kami
susu. Sebagai gantinya,aku akan memberimu sekeranjang lobak Cina dan hasil tani
lainnya, juga buah plum.1
"Suaranya begitu jernih dan tenang. Dia tampak begitu santai, tanpa beban. Aku
sendiri merasa sarat beban, seperti sebuah gumpalan tanah liat bakal calon kendi
bermutu. Untungnya, pikiran seperti itu justru membuatku tertawa.Syukur
alhamdulillah, aku menjadi santai.
"'Tunggu,' kataku. Lantas, aku mencari-cari kambing gembalaanku yang sudah
berpencar ke segala penjuru dan mengumpulkannya kembali. Aku sendiri heran
mengapa aku bertanya seperti ini padanya, 'Maukah kau menceritakan kisah Isa dan
Bunda Maria"' "Sorot ramah dalam tatap matanya segera lenyap. Dia tiba-tiba saja serius.
'Maria, sang Perawan Suci" Dia pelindung kami. Dia penuh cinta kasih pada sesama
dan anaknya kami menyebutnya Yesus adalah cinta itu sendiri.'
"Saat itu, dia berdiri di hadapanku sesegar dan sebening air di musim semi. Di
sekeliling kami, daun-daun berdesir lembut seakan-akan merestui kami.
'"Aku ingin menikahimu,' kataku. Aku sendiri terkesima dengan
keterusteranganku.Lagi-lagi, kalimat itu meluncur di luar kehendakku. Sekilas
senyum samar tampil kembali dalam sorot matanya.
'"Pertama-tama, kau harus meminta izin ayahku dulu,' katanya. 'Datanglah nanti
malam ke rumahku.' "Dan, sebelum dia berbalik, dia menambahkan, 'Jangan lupa ya, bawakan susunya.'
"Aku berdiri, terpaku linglung, menatap kepergiannya.Aku bisa mendengar jejak
langkahnya di atas kerikil, dan canda tawa gadis remaja kembali terdengar dari
sekitar mata air itu. Apa yang telah terjadi" Sesuatu yang penting, sesuatu yang
menentukan, seperti saat kau memutuskan untuk memilih sebuah jalan di
persimpangan.Tetapi, aku sendiri tidak menentukan pilihan apa pun! Semuanya
terjadi begitu saja, mengalir. Aku tidak pernah merasa begitu bebas seperti di
hari itu dan aku hanya bisa memanjatkan syukur kepadaNya."
Sekali lagi, Faroukh tenggelam dalam hening. Runutan kejadian itu begitu jelas
terekam dalam benaknya. Pada saat itu, dia ingat bahwa sebuah lagu klasik, yang
kerap dia dengar dari kakeknya, mengalun lembut dari bibirnya, menembus keluasan
langit, seluas pegunungan di sekelilingnya."Dunia ini dalam genggamanku,"
katanya, "dan aku adalah manusia paling bahagia di dunia."
"Baba, Baba," kata Kirnya tertahan. "Apa kata
Kakek saat Baba melamar anak gadisnya?"
"Ah," desah Faroukh. "Memang tidak mudah. Malam baru saja menjelang dan segala
yang ada di sekelilingku ditelan cahaya keemasan."
"Apakah Baba takut?"
"Ya, tentu saja. Tetapi, aku juga cukup tegar. Ayah Evdokia duduk di atas bangku
batu di dekat pintu masuk. Dia mengamatiku dari kepala hingga ujung kaki.
"'Saya ingin mempersunting putri Anda.' Begitulah kalimat yang terlintas di
pikiranku saat berjalan menghampirinya. Tetapi, begitu tiba di hadapannya, aku
tak dapat mengatakan apa-apa.Kakekmu duduk tegak dan menatap tajam ke arahku.
Aku seperti anak kecil yang tertangkap basah. Dia terlihat begitu tegas. Rasanya
kekuatan dan tekad bulatku lenyap. Kakiku terasa lunglai dan jantungku berdegup
kencang. Aku gugup sekali. Apa alasannya memercayakan anak gadisnya kepadaku"Dia
punya rumah, sedangkan aku hanya memiliki kemah yang terbuat dari kulit kambing.
Dia punya sepetak tanah yang cukup luas, sementara aku bisa saja menjelajahi
daratan yang sangat luas tapi tak sejengkal pun yang jadi milikku. Dan, yang
terburuk, mereka penganut Kristen. Isa adalah nabi mereka dan mereka sangat
menghormati Maryam. Keluargaku baru saja memeluk agama Islam, yang artinya
berserah diri kepada Allah, tiada sekutu bagiNya dan Muhammad Saw. adalah rasulNya.Bagaimana mungkin kami bisa berdampingan dalam damai dengan segala perbedaan
ini" Gelombang keputusasaan menerpa-ku. Evdokia tidak akan pernah jadi milikku.
Ayahnya, dalam balutan baju berwarna cokelat, akan menertawakanku jika aku
berani mengatakan hasratku yang cukup gila.
'"Anak muda, gerangan apa yang membawamu kemari"'
"'Putri Anda.' Aku akhirnya berani berkata-kata. 'Putri Anda meminta saya untuk
membawakan susu ini kepada Anda.' Lantas, aku menyerahkan sekendi susu segar
yang sejak tadi kujinjing.
"Saat itu, aku mengamati garis-garis di sudut matanya. Garis-garis itu tampak
bertambah banyak. Dan, di sekitar ujung mulutnya juga ada dua garis yang tampak
begitu jelas. Tak diragukan lagi, wajah yang ada di hadapanku ini sedang
tersenyum. '"Hanya itu"' tanya ayah Evdokia dan aku bisa melihat kelip di matanya. 'Kata
putriku, kau akan datang untuk menyampaikan sesuatu padaku. Katakanlah!'
"Aku tak memercayai apa yang baru saja kudengar. Apa yang sebenarnya sedang
terjadi" Kemudian, kalimat yang sudah berulang-ulang kukatakan dalam benakku
saat menuju rumah ini tiba-tiba saja keluar dari mulutku. 'Saya ingin
mempersunting putri Anda,' kataku. Kemudian, aku terdiam. Ini bukanlah sebuah
permintaan! Bagaimana bisa kukatakan hal semacam itu" Saat itu, aku merasa telah
kehilangan kesempatan menikahi putrinya. Tetapi, aku keheranan sebab kakekmu
tertawa sepenuh hati. "'Oh, Anakku. Kau seharusnya memerhatikan
sopan santun. Kau begitu terus terang. Dan, bagaimana kau tahu bahwa putriku
akan menerima lama-ranmu"1
"Pertanyaan itu membuatku terperanjat. Apakah Evdokia berubah pikiran" Apakah
dia tidak menyampaikan maksud kedatanganku pada ayahnya" Barangkali, aku
seharusnya tidak usah datang. Aku hampir saja melangkah pergi dan tak akan
kembali lagi saat orang tua itu mengangkat tangannya.
'"Kau seperti seekor kuda liar, Kawan. Tenangkan dirimu dan duduklah di sini, di
sisiku.' "Aku melakukan apa yang dia katakan. Pikiranku kacau-balau.
'"Jadi, kau bermaksud menikahi putriku,' orang tua itu berkata.
'"Evdokia akan menjadi istri yang baik, tahu tidak. Dia memiliki pribadi yang
unik, tapi aku bisa melihat bahwa kau tahu apa yang kau inginkan dan kau siap
menanggung segala risiko.1
"Untuk beberapa saat, kami terdiam. Sinar matahari yang penghabisan menerpa
wajah kakekmu dan wajahnya terlihat seolah-olah terbuat dari emas.
'"Dengan satu syarat,' katanya memecah keheningan di antara kami dan jantungku
serasa berhenti berdetak. Apakah yang dia maksudkan adalah menyuruhku membawakan
harta karun yang tenggelam di dasar laut atau mempersembahkan jantung binatang
buas yang akan menyerang siapa pun yang berani mendekatinya" Sebaliknya, aku
mendengar permintaan yang tak terduga.
'"Aku ingin kau menetap di desa ini,' kata ayah Evdokia. 'Kami memang ingin ada
yang meneruskan keturunan, lagi pula'-sekarang dia menyeringai 'aku ingin
melihat cucu-cucuku tumbuh di tanah ini.'
"Itulah sebabnya," kata Faroukh menyimpulkan, "kau dilahirkan di sini, di desa
ibumu ini." Dia menatap Kirnya yang meringkuk di pelukannya, badannya condong ke
depan, ternyata dia jatuh tertidur. Evdokia menggelengkan kepalanya.
"Kau lupa menceritakan ayahku memintamu mebangunkan sebuah rumah untukku sebelum
dia mengizinkan kita menikah, dan itu membuatku menunggu selama enam bulan, enam
bulan!" Dia mengakhiri kalimatnya dengan nada mencela. "Sebelum kita pada
akhirnya bisa melaksanakan pernikahan."
Faroukh tertawa lepas. "Kau tak akan pernah memaafkanku, ya?" katanya sambil
tertawa-tawa. Evdokia menggelengkan kepalanya, berusaha keras menahan senyum.[]
Waktu berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Ahmed berangkat kerja ke kantornya
yang kecil untuk menuliskan dokumen bagi seorang qadi, umumnya dokumen mengenai
tanah dan hukum kepemilikan berikut penggunaannya. Meskipun hari belum terlalu
sore, dia sudah merampungkan pekerjaan hari itu. Pikirannya melayang pada sosok
Jalaluddin, yang digelari masyarakat sebagai Maulana, "Guru Kami". Ayah Maulana
adalah seorang guru, yakni Bahauddin Walad, yang sekarang sudah meninggal.
Seperti ayahnya, Jalaluddin juga mengajar di sebuah mad rasah di Konya. Di sana,
dia berkhutbah hampir setiap sore bagi siapa pun yang mau mendengarkannya.
Beberapa teman akrab Ahmed mengatakan bahwa dia tidak arogan dan tidak pula
membosankan seperti kebanyakan ustad. Sebaliknya, Maulana sangat ramah dan penuh
kehangatan. Ada pula yang mengeluhkan betapa dia menghargai kaum Kristen dan
Yahudi dan mempertanyakan mengapa kaum perempuan diperbolehkan belajar di
tempatnya. Tentu saja, hal itu salah besar, bukan" Kabar tak sedap itu tak
digubris Ahmed. Namun, hingga hari itu,
dia selalu punya alasan untuk tidak datang mendengarkan uraian Maulana.
Aku rajin shalat. Aku juga pergi ke masjid setiap Jumat. Aku bahkan mengeluarkan
zakat. Apa perlunya pergi ke sana dan mendengarkan pengkhutbah" Lagi pula, ada
banyak sekali pengkhutbah. Ada para pendeta Kristen yang mencoba membendung
kebangkitan Islam. Ada juga kaum Frank yang menuju Palestina. Bahkan, ada begitu
banyak pengemis yang datang dari Timur dan mencari uang dengan melakukan atraksi
menelan pedang,menyemburkan api, atau berlagak bisa meramal. Memang benar, Ahmed
tidak sedikit pun berpikir bahwa putra Bahauddin Walad itu sama seperti mereka,
meskipun memang Bahauddin pun adalah seorang pendatang dari Timur. Setiap orang
mengenal Bahauddin sebagai ulama besar yang diundang oleh Sultan Alauddin
Kaykobad untuk menetap di Konya beserta keluarganya. Banyak pula yang mengatakan
bahwa putra Bahauddin ini bahkan lebih hebat dari sang ayah. Bukan! Itu bukan
alasan yang membuat Ahmed men jaga jarak. Barangkali, Ahmed punya perasaan sa
mar-samar bahwa Maulana bisa menjenguk bagian dirinya yang dia sendiri tidak
ingin menjenguknya. Hari itu, kelebatan pikiran mengenai ceramah Jalaluddin di madrasahnya terusmenerus melintas di benaknya.Tetapi, mengapa juga aku harus takut" Dan, setelah
menyingkirkan tinta dan tumpukan kertas, Ahmed berangkat menuju madrasah. Begitu
mendekat, Ahmed mempercepat langkahnya seolah-olah khawatir terlambat memenuhi
janji. Mengapa aku begitu tergesa-gesa" Aku hanya akan mendengarkan untaian kalimat dari
seorang pengkhutbah. Pintu madrasah terbuka lebar ketika dia tiba. Aula itu dipenuhi kerumunan
manusia. Ahmed berusaha maju ke baris depan, tak menghiraukan gerutuan setengah
tertahan dari orang-orang yang dia lewati. Yang dia dengar hanyalah rangkaian
kata yang menyala di hatinya.
"Dialah Sang Pencipta dan Pemberi rezeki, ke-pada-Nya segala sesuatu berpulang."
Berdiri di atas podium kecil menghadapi kerumunan, lelaki berjubah biru itu
mengatakan kalimat yang membuatnya menangis haru.
"Cinta kepada Sang Pencipta bersemayam di hati seluruh umat manusia, baik pada
kaum Majusi, Yahudi, maupun Kristen."
Ahmed menyeka keringat dari keningnya.
"Siapa pun yang takut kepada Allah, meskipun dia dianggap orang kafir,
sebenarnya dia adalah seorang agamais, bukannya tidak beragama sama sekali."
Kepalanya pening. Pikiran-pikiran yang tidak pernah digubrisnya menyerangnya
bagaikan jilatan lidah api. Apa yang sedang kulakukan di Konya ini" Untuk apa
aku mengerjakan hal tak berarti, menulisi kertas hari demi hari" Ketakutan itu
kembali menghampiri, begitu dahsyat, tapi anehnya berbaur dengan perasaan
bahagia. Usiaku hampir 22 tahun
dan apa yang telah kucapai" Tak ada! Hanya kata-kata yang baru saja dia dengar
itu yang terasa masuk akal. Hal-hal yang lain hanyalah permainan belaka. Aku tak
bisa lagi menyia-nyiakan hidupku. Pikiran ini terus berkecamuk saat dia
meninggalkan aula madrasah itu.
Sekarang, dia berjalan menuju rumah di pinggiran kota yang dia tempati bersama
Osman, kakaknya. Dua tahun yang lalu, orangtua mereka meninggal. Karenanya,
rumah mereka hampir dipastikan kosong seharian. Rumah itu seperti lelap dalam
tidur sorenya saat dia tiba. Pohon aprikot yang sudah tua bergoyang lembut
diterpa angin sepoi-sepoi. Kun cup-kuncupnya tengah mekar berkembang.
Dia mengepak baju-baju dan sebuah gamis. Lantas, dia memasukkan tumpukan itu ke
dalam sebuah tas dan mengenakan mantel bulu musim dingin. Dia kemudian duduk di
sebuah bangku dan menulis sebuah pesan di atas perkamen dengan terge sa-gesa.
"Osman, saudaraku, jangan menyesalkan keputusanku ini. Maulana, semoga rahmat
tercurah padanya, telah menyelamatkanku dari belenggu hawa nafsu. Aku sekarang
meninggalkan Konya untuk mengembara dan hidup menyendiri. Aku akan pergi ke
pegunungan. Semoga, dengan izin Allah, aku akan menemukan kedamaian dan hikmah.
Adikmu, Ahmed." Dia meninggalkan pesan itu di tempat yang mudah terlihat dan, tanpa menengok ke
belakang, berjalan menuju pusat kota. Hari menjelang malam, ketika hiruk pikuk
pasar lambat laun berubah menjadi senyap seakan-akan mengimbangi keheningan
waktu tidur pada malam hari nanti. Secepatnya dia melewati toko karpet yang
dipenuhi permadani yang berasal dari Damaskus maupun Silisia. Matanya tertuju
pada sajadah kuning gading berpadu biru pucat khas Konya yang sangat terkenal.
Bau kayu terbakar dan pupuk kotoran kuda yang bercampur dengan kunyit, lada, dan
kapulaga secara serempak meruap memenuhi udara. Wewangian itu membangkitkan
kenangan saat dia mengunjungi kakaknya yang bekerja tak jauh dari gudang di
sebelah penginapan yang menjadi langganan para saudagar kain. Pekerjaan Osman
adalah memilah aneka barang yang dibawa kafilah dari Herat, Samarkand, Bukhara,
dan kota-kota besar di timur lainnya. Di sanalah dia pernah mengamati Osman
menumpukkan gulungan-gulu ngan sutra yang dibungkus kain katun di samping
tumpukan karpet yang berdebu setelah menempuh perjalanan panjang. Saat itu, dia
juga memerhatikan peti-peti penuh porselen yang akan diangkut ke gerobak kuda
menuju istana, Konstantinopel, dan sebagian lainnya menuju pelabuhan Attaleia di
daerah selatan, untuk selanjutnya diangkut kapal-kapal Venesia, begitu kata
Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Osman. Tetapi, sekarang ini, Ahmed tak punya waktu untuk memerhatikan itu semua. Dia
terus berjalan sampai memasuki kawasan pandai besi dan berhenti
sebentar. Dia tertegun menatap cawan, baki, dan poci yang berkilauan diterpa
sinar matahari dari kisi-kisi jendela. Ahmed menatap sarung pedang berukir mewah
di pajangan. Tak diragukan lagi, benda itu membungkus pedang yang hebat. Aku
membutuhkan pedang, pikirnya. Tetapi, aku tak membutuhkan pedang semewah itu.
Pemilik toko menghampirinya.
"Senjata-senjata ini baru saja tiba dari Aleppo. Lihatlah yang ini, indah sekali
bukan?" Mata pisau yang terasah tajam itu mengilat seperti kaca begitu dicabut
dari sarung peraknya. "Belati ini akan awet untuk selamanya."
Ahmed sempat tergiur untuk memilikinya. "Tidak, " akhirnya dia memutuskan. "Saya
butuh yang lebih sederhana. Sebilah pisau yang tajam pun sudah cukup."
Pandai besi itu menghela napas panjang dan mencabut pisau besar dari sarungnya
yang terbuat dari kulit. "Yang ini akan menjadi teman Anda sepanjang waktu,"
katanya dan Ahmed mengangguk setuju.
"Ya, inilah yang saya butuhkan. Berapa harganya?"
"Tujuh puluh lima dirham adalah harga yang pantas."
Ahmed menyerahkan uangnya, tanpa menawar terlebih dulu. Hal ini mengecewakan si
penjual yang menggerutu betapa sekarang ini orang-orang telah melupakan tata
krama dalam jual beli. Tanpa mengindahkan omelannya, Ahmed melanjutkan
perjalanan. Di sebelah kirinya berderet toko makanan. Keranjang rami dipenuhi
anggur, terigu, dan kacang-kacangan diletakkan di sebelah buah zaitun hitam yang
disusun seperti piramida dan di sisinya ada ko tak-kotak keju putih. Setengah
tersembunyi di kegelapan, kantung-kantung kecil aprikot kering dan prem kering
menyandar ke botol-botol minyak yang sangat besar yang memang sengaja diletakkan
di bagian belakang toko. Ahmed sudah punya rencana. Yang dia butuhkan adalah sebungkus roti, sekantung
kecil kacang-kacangan dan buah kering, serta beberapa genggam buah zaitun, juga
sekerat keju. Makanan itu cukup sebagai bekal selama beberapa hari; selanjutnya
aku akan mendapat persediaan makanan dari desa terdekat. Di gunung, aku nanti
akan berburu. "Aku sudah siap." "Kamu sudah siap untuk apa?" suara itu berasal
dari sampingnya. Nadanya mengejek. Ahmed tertawa. "Aku siap mengawali hidup
baru; dulu aku setengah terjaga, sekarang aku hidup sepenuhnya."
"Senang rasanya melihatmu gembira, Ahmed."
Theophanes berdiri di hadapannya. Tangannya memegang buku catatan seperti
biasanya. Bersama kawannya itu, Ahmed belajar baca tulis pada seorang pendeta
kristen tua. Pada saat itu, Ahmed sudah menguasai bahasa Persia, bahasa yang
digunakan keluarga dan kalangan istana. Sedangkan Theophanes putra seorang
notaris keturunan Yunani lebih menguasai bahasa Bizantium. Mereka bahu-mem bahu
dalam pelajaran. Theophanes memiliki mata hitam dan rambut pirang, sementara
mata Ahmed berwarna kelabu dan rambutnya hitam. "Keturunan Yunani dan Persia" begitulah
komentar orang-orang saat melihat mereka berjalan bersama. "Warga asli Konya."
Dia tersenyum kepada temannya, sementara sebuah pikiran melintas dalam benaknya.
Di kehidupannya nanti, jika aku bicara, aku akan menggunakan bahasa campuran
antara bahasa Yunani dan bahasa orang-orang Turkoman. Mengapa manusia begitu
berbeda-beda" Kata-kata Maulana seakan menjawab pertanyaannya:"Cinta kepada Sang
Pencipta bersemayam di dalam kalbu setiap insan."
"Ahmed, apa kamu bermimpi" Untuk apa mantel musim dingin itu?" Theophanes
bukanlah orang yang mau begitu saja menerima jawaban mengelak. Ahmed tertegun.
Dia begitu malu. Bagaimana bisa dia, yang begitu bangga menyebut diri
"bijaksana", menjelaskan bahwa kehidupannya berubah 180 derajat hanya karena
kata-kata seorang guru agama, betapapun terkenalnya sang guru tersebut" "Aku
akan meninggalkan semua ini," kata Ahmed. "Aku tidak bisa berdiam diri lebih
lama lagi; kehidupanku yang dulu telah berakhir."
"Kamu ... apa?" Theophanes menatap Ahmed lurus-lurus, setengah tertawa, setengah
curiga. "Kamu akan pergi?" katanya. "Mengapa" Ke mana?" Theophanes sekarang
kelihatan gelisah. "Dengar, Theophanes. Aku tahu kita memang sahabat, tapi aku bukanlah orang yang
sama seperti yang kau kenal dulu. Aku bukanlah aku yang kemarin, bahkan bukan
aku yang pagi ini." Bagaimana mungkin dia bisa membuat temannya mengerti,
sedangkan dirinya sendiri pun tak tahu pasti apa yang sedang terjadi pada
dirinya" Dia menatap tak berdaya kepada Theophanes dengan kepedihan yang ti batiba menghampirinya. Kemudian, dia menjabat tangannya."Menyenangkan sekali
mengenalmu," katanya kikuk. "Barangkali, takdir akan mempertemukan kita
kembali," kata-katanya terdengar absurd. Lantas, dia pergi dengan tergesa-gesa.
Dia mendengar seruan temannya itu, tapi dia segera menghilang di balik
kerumunan. Segera saja dia tiba di gerbang utama kota itu. Kasihan Theophanes, tapi apa
lagi yang bisa dia perbuat" Dia melewati dua dinding benteng pertahanan dan
menara pengintai, kemudian melintasi maidan, tempat dulu dia sangat suka berkuda
dengan teman-temannya. Maidan hampir setengahnya dipenuhi oleh tenda-tenda
pengungsi yang baru saja tiba. Di kejauhan sana, jajaran Pegunungan Taurus yang
biru seakan memanggilnya. Berapa harikah telah berlalu sejak kepergiannya dari
Konya" Ahmed tidak mengingatnya. Hari berganti. Suatu hari, dia mendaki bukit
cemara. Hari berikutnya, dia turun ke lembah yang teduh dengan rimbunan pohon
ek. Hari lainnya, dia terperosok ke dasar selokan. Lain waktu, dia berjalan di
bawah naungan pepohonan, menghindari terik matahari.
Suatu sore, setelah melewati jalan setapak yang mendaki, begitu dia berdiri di
atas punggung bukit, dia merasa lelah. Tetapi, dia segar kembali berkat udara
sejuk. Embusan angin yang cukup kencang berputar-putar di sekitarnya. Dia
menatap langit yang benderang. Lingkaran sinar mentari dengan cepat tenggelam di
balik punggung bukit. Pepohonan dan bebatuan di sekitarnya berpendar. Untuk
beberapa saat, dia dilimpahi rasa puas berbaur syukur. Kemudian, dia menggigil.
Saat itu musim semi dan udara di sekitarnya lebih dingin daripada di Konya.
Kenangan yang pedih menghinggapinya. Di Konya, tempatnya bernaung selama 22
tahun, mena ra-menara dan juga puncak gedung membelah langit. Dia juga teringat
suara hiruk pikuk dan denyut nadi kehidupan orang-orang di sana. Di sini,
segalanya hijau ditambah dengan nuansa biru dan ungu. Hanya ada suara angin yang
berembus disemarakkan kicau burung-burung. Kedua hal yang bertolak belakang itu
teramat indah dan memesona. Tetapi, mengapa dia harus menyesali kehidupannya di
Konya" Dia memikirkan rutinitas kesehariannya di kantor qadi. Hiruk pikuk itu,
debu itu, pertengkaran sengit antara pedagang dan tuan tanah, semua itu sekarang
dia tertawa terjadi karena mereka takut kehilangan apa yang sekarang mereka
miliki, atau menginginkan lebih daripada yang telah mereka dapatkan. Semua itu
telah berakhir bagiku, katanya kepada diri sendiri, dan penyesalannya berubah
menjadi rasa lega. Saat itu, gemercik air terdengar di telinganya, mengingatkan rasa haus dan lapar
yang sejak tadi dia tahan. Makan malamnya hanya sekadarnya sebab dia hanya
memiliki selapis roti. Besok, aku harus menemukan sebuah desa. Tetapi, yang kini
dia butuhkan adalah tempat bermalam. Dia mengikuti suara air dan tak lama
kemudian menemukan sumber air itu, setengah tersembunyi di balik belukar. Aliran
air tercurah di atas bebatuan. Dia memakan roti, kemudian berwudhu. Setelah
selesai shalat, dia membungkus tubuhnya dengan mantel bulu lantas berbaring di
atas tumpukan tebal dedaunan.
Ketika kantuk mulai menyerang, dia teringat pada malam pertama yang dia habiskan
saat dia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan kehidupannya di Konya. Rasanya
sudah lama sekali. Malam itu, dia tidur di kebun buah di pinggir jalan dan,
begitu berbaring, dia berdoa dalam keheningan di bawah rimbunan pohon, "Oh,
Engkau yang tak dibatasi ruang dan waktu, tolong hadirkan malaikat-malaikat
penjaga yang akan melindungiku dari gangguan binatang buas." Secepatnya dia
mengubah doa itu, "Satu malaikat penjaga pun tak apa. Hamba tak akan lagi
mengganggu surga-Mu untuk permohonan yang sepele ini." Keesokan paginya, tetesan
embun yang jatuh membasahi wajahnya membuatnya terbangun. Saat dia membuka mata,
sekilas dia melihat seekor binatang tengah memanjat pohon di samping kepalanya.
"Ya, iya," gerutunya, "aku tahu, sudah tiba waktu shalat subuh." Kemudian, dia
tertawa, "Aku tadi malam berdoa supaya dilindungi dari binatang buas, bukan dari
seekor bajing, iya kan?"
Setelah kebun, jalan besar Romawi itu menyempit menjadi jalan setapak yang
mengarah ke Pegunungan Taurus dan dia tak lagi mendapati kebun buah-buahan. Akhirnya, dia
memutuskan untuk berlindung di sebuah gua. Pernah dia mencoba beristirahat di
lubang sebuah pohon, tapi saat pagi hari, badannya pegal-pegal. Ternyata tidur
di atas hamparan tebal dedaunan terasa lebih nyaman.
Dia masih tersenyum-senyum mengingat malam pertamanya itu hingga akhirnya dia
benar-benar terlelap. Ketika dia bangun, burung berkicau seakan mengirimkan
pesan bahwa cahaya mentari sebentar lagi benderang. Dia membentangkan mantel
bulunya di atas tanah, menuangkan air dari kendi, dan segera berwudhu. Dia
kemudian menghadapkan wajahnya ke timur. Beberapa hari berlalu sejak dia men
dengar kata-kata Maulana atau mungkin sudah beberapa minggu" kata-kata itu tetap
menyertainya. "Dia-lah Sang Pencipta dan Pemberi rezeki. KepadaNya semua akan
kembali." Dia mendengar kata-kata itu dalam embusan angin, dalam senandung kicau
burung, dalam sorot mentari di dedaunan, dan dia dilimpahi rasa syukur tak
terhingga. Hari yang mulia ini menyambutnya. Betapa menakjubkan bahwa dia merasa
hutan itu adalah rumahnya! Ranting yang patah, pepohonan yang bergoyang, burung
yang berangkat terbang, suara-suara itulah yang sekarang menjadi bagian
hidupnya. Dia kembali menyusuri tebing gunung yang curam yang, pada sore
sebelumnya, menjadi tempat dia menyaksikan matahari tenggelam. Dia merentangkan
tangan. Di ketinggian langit biru di atas lembah, seekor elang terbang meluncur.
Tiba-tiba, dia menangkap suara bernada
tinggi milik kaum hawa di kejauhan sana. Suara itu tampaknya berasal dari sisi
lain lembah dan gemanya sampai ke tebing tempat dia berdiri.Tak ada tanda-tanda
keberadaan sebuah desa. Barangkali tersembunyi di balik pepohonan,
pikirnya.Waktu yang tepat untuk pergi ke sana dan mendapatkan makanan. Sembari
mengenakan mantel bulunya, dia menggendong tas di bahu dan mulai berjalan
mengikuti suara-suara itu.f]
5 air?Hal pertama yang menarik perhatian Ahmed saat berdiri di depan barisan pohon
poplar, yang tampaknya menjadi batas desa, adalah dua sosok yang berjarak
beberapa meter dari tempatnya berdiri. Bentuk sosok itu dikaburkan uap yang
berasal dari belanga besar di samping mereka. Dengan menggunakan pentungan kayu,
mereka memukul-mukul pakaian yang bertumpuk di depan mereka.Seorang gadis muda
memasukkan seikat ranting kering ke bawah belanga dan seketika lidah api kecil
berwarna Jingga menjilat bagian sampingnya. Beberapa langkah di atasnya,
kerumunan kecil ibu-ibu dan anak-anak mengitari mata air. Secara bergiliran,
mereka mengisi kendi-kendi yang mereka bawa. Di belakang mereka, sekelompok anak
lelaki yang menggiring keledai dengan sabar menunggu. Mereka siap mengangkut
kendi yang terberat sekalipun. Sementara itu, beberapa anak berkejaran sambil
berteriak girang. Seekor kambing melewati jalan kecil itu sehingga sepasang ayam
betina berkotek setengah berlari karena terusik. Adegan keseharian itu sangat
menyejukkan. Adegan serupa, dia berpikir, mestinya ju-ga tengah berlangsung di
setiap desa saat udara masih mengandung embun dingin malam hari, sementara
matahari pun belum menampakkan diri dari balik gunung.
"Musim semi datang lebih awal tahun ini," kata seorang perempuan sembari menatap
langit saat kawanan burung jalak terbang melintas.
"Memang benar," kata yang lain. "Kita akan segera memiliki sayuran yang segar.
Aku bosan makan kacang dan bubur gandum."
Seorang bocah perempuan berlari menghampiri salah seorang perempuan yang sedang
mencuci pakaian itu dan menarik-narik roknya. Bocah perempuan itu menunjuk ke
arah Ahmed. Kedua perempuan itu menghentikan percakapan mereka dan mengawasinya.
Ahmed membayangkan mereka mengerutkan dahi berusaha menembus kabut untuk
menatapnya. Perempuan-perempuan dan anak-anak di sekitar mata air pun
menghentikan aktivitas mereka. Tentu saja, mereka tak terbiasa bertemu orang
asing. Bagi mereka, aku mungkin merupakan bahaya, pikir Ahmed. Ahmed mulai
berjalan mendekati mereka dan mereka menjauhkan diri dari mata air, menyediakan
tempat kosong untuk dirinya.Aku tentunya terlihat menyeramkan karena rambut dan
janggutku yang acak-acakan. Kedua mataku juga kuyu dan kemerahan.
"Assalamu 'alaikum," katanya dengan senyum yang dia harapkan dapat menarik
simpati. Sikap mereka pun melunak. '"Alaikumsalam," balas mereka spontan.
"Nama saya Ahmed," katanya sambil meletakkan tas yang sedari tadi dia panggul,
seolah mengisyaratkan bahwa dia ingin tas itu kembali terisi.
Anak-anak itu masih bergayut pada ibu-ibu mereka. Salah satu dari mereka,
seorang bocah lelaki memakai gamis warna oranye menyala, mengajukan pertanyaan,
"Anda berasal dari mana?"
"Dari Konya. Pernah mendengar kota itu?"
Bocah itu mengangguk, sementara para wanita saling berbisik, "Oh, jadi dia
datang dari Konya. Dia berasal dari Konya."
"Anda hendak ke mana?" Ahmed mengalihkan tatapannya kepada gadis kecil yang
mendekat ke arahnya. Matanya pekat bersinar-sinar,dilindungi bulu mata panjang
nan lentik. Dia langsung saja terpikat. Gadis kecil ini begitu serius dan sangat
cantik! "Apakah Anda akan menuju Damaskus?" desak si gadis, seolah dia telah
mengelilingi dunia ini. "Kirnya, jaga bicaramu!" Salah seorang perempuan itu berkata tajam.
Tetapi, sekarang sudah jelas, mereka sebenarnya menantikan jawaban Ahmed. Untuk
beberapa saat, Ahmed ragu-ragu. Hanya Dia yang tahu bahwa aku sebenarnya tidak
punya arah tujuan, meskipun Dia juga tahu bahwa kehidupannya di Konya telah
berlalu. "Tak ada tempat yang kutuju." Akhirnya, dia menjawab dengan mendesah.
"Dia tidak ada di mana-mana dan Dia ada di mana-mana."
Mereka menatap tajam ke arahnya, bingung. Kemudian, mereka mengangkat bahu.
Ahmed pun mengangkat bahu. Mengapa juga mereka harus mengerti" Bahkan, kepada
sahabatnya sendiri pun dia tak bisa menjelaskan keinginannya untuk menyendiri.
Gadis kecil itu mengawasinya dengan tatapan ingin tahu. Jadi, namanya Kirnya.
Ahmed terus menatap sang gadis, bahkan ketika dia terpaku seolah sedang
mendengarkan panggilan dari kejauhan sana. Ahmed memerhatikan mata seorang
perempuan yang ketakutan. Bisa dipastikan dia ibunya.Kemudian,si gadis kembali
seperti sediakala dan si ibu pun lega. Kejadian itu berlangsung sangat cepat,
seperti awan yang melintas di depan matahari kemudian segera menghilang. Gadis
kecil itu kini mengamati Ahmed dengan segenap perhatian.
"Anda tampaknya membutuhkan makanan," katanya tanpa berbelit-belit dan Ahmed
tertawa. Dia sepertinya mendengar kata-kata ibunya sendiri, "Kamu harus makan,
Nak." "Kamu benar sekali. Tetapi, jangan khawatir. Aku adalah pemburu ulung." Dia
mengeluarkan seekor kelinci kecil dari tasnya. Tadi malam dia telah menangkap
kelinci itu. "Maukah menukar kelinci ini dengan sekerat keju dan roti?" tanyanya
kepada ibu si gadis kecil.
Evdokia menerima kelinci itu dan tanpa berkata apa-apa dia berjalan. Ahmed pun
mengikutinya. Dia menyukai perempuan itu. Dia terlihat kuat. Wajahnya berkerut seperti tanah
sehabis dibajak. Dia memiliki pembawaan yang halus khas orang desa, sama seperti
seorang raja memiliki mahkota atau seorang tua memiliki kebijaksanaan. Mereka
sungguh beruntung, demikian pikirnya. Seperti tanah, hujan, dan angin yang
berembus, mereka bisa menjadi kawan yang setia tapi bisa juga menjadi musuh.
Tetapi, mereka adalah orang-orang yang jujur dan sederhana.
Dia mengikuti perempuan itu, sementara Kirnya berjalan di sampingnya. Ketika
melangkah, Ahmed mulai menyadari bahwa kakinya sakit.
Dia duduk di teras, di atas bangku panjang dari batu yang sengaja dirapatkan ke
tembok rumah. Beberapa menit kemudian, Kirnya dan ibunya masuk ke rumah.
Matahari kini makin meninggi dan dia meregangkan tubuhnya yang pegal-pegal,
kemudian menikmati kehangatan mentari.
Aku hampir berhasil, pikirnya. Hal itu cukup mengejutkannya. Dia kemudian
menyusun sebuah rencana. Dia akan mendirikan sebuah gubuk di suatu tempat di
sekitar hutan, tidak terlalu jauh, dan dia akan menetap di sana, terbebas dari
hal-hal sepele. Perjalanan yang dia tempuh dalam kesendirian ini telah
menjernihkan pikirannya. Dia merasa lebih bersih, lebih bersahaja. Kekhawatiran
akan masa depan yang selama ini memburunya kini telah lenyap. Dia tidak lagi
dikejar perasaan terlambat atau terlalu awal, keduanya tidak masalah lagi.
Berada di sini atau di sana pun bukan lagi masalah. Yang penting adalah berada
di sini dan pada saat ini. Dia hidup untuk hari ini. Pikiran tersebut membuatnya
tersenyum lebar dan menjadi tawa yang kemudian menular kepada anak-anak yang
berkerumun di depannya. Saat itulah Kirnya muncul membawa buntalan kecil yang
terbungkus selembar kain berwarna biru.
"Ini untuk Anda," katanya sambil menyerahkan bingkisan kecil itu. "Bawa dengan
hati-hati, ya, karena ada telur."
"Terima kasih." Dia menerima bingkisan itu dan bangkit dari kursinya. "Aku akan
pergi sekarang." Kirnya menatapnya dengan keseriusan yang sama dengan yang dia perlihatkan tadi
pagi. "Kapan ke sini lagi?" Pertanyaan yang sulit.
"Hanya Allah yang tahu," katanya dan gadis kecil itu mengangguk setuju.
Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat memasuki hutan, Ahmed kembali menengok ke arah desa. Setiap orang dan
segala sesuatu memiliki tempat yang me-mang sudah digariskan. Desa itu dan
penghuninya serasa begitu akrab seperti su ara-suara hutan yang ramah menyambut
kedatangannya. Dia merasa diberkahi karunia yang amat melimpah, sehingga dia
berlutut dan sekali lagi tertawa. "Oh, Engkau yang Maha Pengasih, Maha
Pengampun, Engkau telah menyediakan hamparan tebal dedaunan bagi kenyamanan
tidur hamba."f J 6 Beberapa minggu berlalu sejak kedatangan tamu a-sing yang muncul di tepi hutan.
Kaum hawa seakan mendapat bahan untuk digunjingkan. Berapa lama dia akan menetap
di hutan itu" Apa yang akan dia lakukan bila musim dingin tiba" Betapa
janggalnya, dia orang Konya! Beberapa pria desa itu telah berkunjung ke Konya.
Mereka menceritakan bahwa ora ng-orang kaya sengaja datang ke Konya dari
berbagai penjuru dunia. Orang Kristen, Yahudi, dan Muslim hidup berdampingan
dengan damai. Tetapi, lelaki asing itu sedikit pun tidak terlihat kaya. Adapun
apa agamanya, mereka sama sekali tidak tertarik. Beberapa tahun yang lalu, saat
desa mereka tidak memiliki masjid, sudut timur gereja biasa digunakan untuk
menyelenggarakan shalat Jumat. Memang benar, ada sebagian umat Kristen yang
mengeluhkan hal itu sebagai penghinaan terhadap Yesus dan Bunda Maria. Tetapi,
Evdokia mengatakan bahwa suaminya memuliakan Bunda Maria, sebagaimana halnya dia
yang Kristen yakin bahwa Tuhan Bapa dan Allah bersahabat baik. Dalam hal ini,
Faroukh menambahkan bahwa jika memang Tuhan itu
Maha Esa seperti yang dikatakan sang Imam maupun pendeta, Dia tentu tidak akan
keberatan dipuja dengan aneka cara. Tetapi, Faroukh memang tidak beribadah
seperti orang lain. Dia tidak pernah mendatangi masjid maupun gereja. Anehnya,
dia tidak pernah lupa menundukkan kepala setiap awal bulan atau memercikkan air
ke tanah sebelum meminumnya.
"Kita harus membagi rezeki dengan bumi," begitulah penjelasannya. "Orangtua dan
leluhurku melakukannya sebagai persembahan bagi dewa-dewi." Dan, dia bertutur
mengenai para penyihir yang ditakuti dan dihormati leluhurnya. "Ketika aku masih
bocah ingusan, ada patung kecil yang diletakkan di muka kemah.Patung itu terbuat
dari kain tenun berwarna gelap dan sangat lusuh. Sesaat sebelum minum," katanya, "orang yang di-tuakan dalam
keluarga selalu memercikkan air pada patung itu. Ketika kami menganut agama
Islam, patung itu hilang, tetapi tradisi memercikkan air tetap lestari."
Tanpa menghiraukan keributan di desa akibat kehadirannya, Ahmed menempati gua
kecil di hutan sebelah utara desa yang dapat dicapai dalam dua jam berjalan
kaki. Tahir sekilas melihatnya sewaktu dia mengumpulkan kayu kering. Lelaki itu
memberi isyarat tidak mau diganggu. Di lain hari, Tahir melihatnya sedang
bersujud di depan gua. Ketika dia menceritakannya, para wanita itu setuju bahwa
keberadaan orang suci di dekat desa mereka adalah suatu pertanda baik. Sang Imam
dimintai pendapat, "Apakah sebaiknya kami menyediakan makanan baginya?" Sang
Imam menyetujui dan mereka mengantarkan sekeranjang sayuran dan buah-buahan ke
tempat Ahmed. Kemudian, mereka meninggalkan keranjang itu di mulut gua.
Pater Chrisostom, yang mengunjungi desa itu setiap empat bulan sekali, juga
pernah ditanyai mengenai Ahmed. "Bagaimana pendapat Pater mengenai jalan hidup
yang ditempuh orang bernama Ahmed itu" Apakah jalan itu jalan yang benar?"
Jawaban dia sangat hati-hati. "Tergantung. Hidup dalam kesendirian tidak
diperuntukkan bagi se mua orang. Sangat sedikit yang bisa menempuh cara hidup
seperti itu." Jemaat Pater Chrisostom tersebar di dua belas desa yang tersebar di berbagai
lembah dan puncak Pegunungan Taurus."Kita memerlukan kaki yang kuat bila hendak
menjadi seorang pastor pedesaan." Dia biasanya berkata sambil tersenyum lebar,
membuat kerutan di sekitar matanya semakin dalam. Pada saat itulah dia
menyembunyikan rasa lelah dan pegal-pegal yang perlahan menjalar ke seluruh
persendiannya.Suatu hari nanti aku menjadi terlalu tua untuk pekerjaan ini,
begitulah pikirannya akhir-akhir ini. Lantas, apa yang akan terjadi pada
jemaatku" Dia khawatir. Mereka masih membaptis anak mereka, tetapi mereka
membangun masjid dan membiarkan gereja bobrok tak terpelihara. Agama baru itu
berkembang pesat hingga ke pelosok, hal itu tak bisa dimungkiri. Di
Konstantinopel, para uskup telah berkumpul dan membicarakannya, tapi tidak
sedikit pun menghasilkan keputusan konkret. Pater Chrisostom mendesah. Pekerjaan
ini telah merenggut seluruh kehidupannya. Pada akhirnya, apakah akan berhasil"
"Kuberi tahu, ya, sungguh sebuah kesalahan jika a-nak muda seperti dirinya
menjauhkan diri dari dunia dan tidak memiliki anak-anak." Begitulah isi
percakapan mereka saat mengisi kendi-kendi di mata air. Sekali lagi, mereka
menggunjingkan Ahmed. "Tidak ada salahnya berusaha menjadi orang suci," si tua A-nya menggerutu,"tapi
apakah tak bisa menjadi keduanya, suci sekaligus menjadi seorang ayah" Contohnya
sang Imam." "Lihat saja Pater Chrisostom," sela Evdokia tak mau kalah.
"Memang. Tetapi, Pater Chrisostom berkata bahwa Tuhan menginginkan anak-anakNya
berkembang biak," seru Safia penuh kemenangan.
Evdokia tak kuasa menahan tawa. "Ah, Safia. Kamu tentu saja menjalankan perintah
Tuhan. Kamu sudah punya anak lima dan sebentar lagi bertambah satu, sedangkan
kamu baru berumur dua puluh tahun!"
Safia dengan bangga mengelus perutnya yang membuncit. "Anak adalah benih-benih
masa depan," ujarnya singkat, mengutip kata-kata Pater Chrisostom.
Agak menggelikan, pikir Evdokia, hampir seisi desa memperbincangkan pernikahan
dan anak karena kehadiran seorang pertapa muda yang jelas-je las tak mau ambil
pusing dengan kedua masalah itu.
Setelah beberapa lama, orang-orang menjadi bosan. Tetapi, mereka tidak melupakan
Ahmed. Bukan. Agaknya dia sekarang menjadi bagian lingkungan di sekitar desa.
Kehadirannya tak bisa dinafikan, seperti halnya hutan atau sungai kecil di kaki
desa. Daratan membutuhkan air dan rerumputan. Ahmed pun di guanya membutuhkan
makanan. Tetapi, dia bukan lagi barang aneh yang mengundang rasa ingin tahu.
Setiap minggu, seorang anak meletakkan sekeranjang makanan di mulut gua dan ada
kalanya Ahmed menyerahkan seekor burung atau kelinci sebagai penukar.Setiap kali
Ahmed bertemu orang, dia memberi isyarat bahwa dia tak ingin bertukar sapa dan
hal tersebut diterima sebagai kelaziman, seperti halnya matahari terbit dari
timur atau sungai kecil yang mengalir menuruni lereng bukit.
Yang menjadi perbincangan hari ini bukanlah Ahmed, melainkan kedatangan Pater
Chrisostom setelah lebih dari tiga bulan tidak menampakkan diri di desa
itu.Penghuni desa itu tidak selalu menunjukkan kesetiaannya pada gereja, tetapi
mereka jelas-jelas menyayangi Pater, yang pada setiap kunjungannya selalu
membawa keceriaan di desa itu.
Malam ini, para wanita akan menyalakan lilin di gereja. Bayi-bayi yang baru
lahir akan mengenakan pakaian terbaiknya. Mereka akan mengadakan misa.
Sesudah itu,Pater Chrisostom akan diundang makan malam di beranda atas oleh
beberapa keluarga. Api akan dinyalakan dan, seperti biasanya,dia akan mengundang
sahabatnya, yakni sang Imam, yang juga menyempatkan diri untuk hadir.
Kedua orang itu memang berbeda dalam keyakinan. Tetapi, setelah bertahun-tahun
bahu-memba hu dalam meningkatkan kesejahteraan desa itu,perbedaan itu terkikis.
Mereka berdua toh menaruh minat yang sama. Tetapi, kedudukan keagamaan mereka
memang berbeda. Sang Imam hanya merupakan pemimpin shalat Jumat. Sedangkan,
Pater Chrisostom menurut hukum gereja adalah wakil Tuhan, sebuah kedudukan yang
sering dirasakannya membebani pundaknya. Namun, perbedaan itu tidaklah
mengganggu kehangatan persahabatan mereka berdua.
Sekarang, sambil duduk mengitari perapian yang berkobar, diteduhi percakapan
seru di sekelilingnya, Pater Chrisostom diam-diam hanyut dalam perasaannya. Dia
merenung, pada akhirnya, perbedaan kami, dalam kedudukan maupun keyakinan, bukan
merupakan masalah di mata Tuhan. Pendapat ini, bagaimanapun, hanya disimpannya
untuk dirinya sendiri. Dia menutupinya rapat-rapat dari orang lain. Uskupnya,
dia tahu pasti, tidak akan menghargai pendapatnya ini. Tahu apa sang uskup
mengenai kehidupan orang-orang ini" Para uskup terlalu sibuk dengan perselisihan
mereka sendiri, memperebutkan Konstantinopel apakah pantas diperintah Gereja
Latin ataukah Gereja Timur. Tahu apa mereka tentang kerasnya penderitaan
penghuni desa: musim yang
tak bisa diramalkan, dan yang lebih buruk lagi invasi terus-menerus, penjarahan
pasukan, perbudakan, dan pembantaian massal" Saat aku menatap mereka,
mendengarkan keluhan mereka, aku tahu bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan, dan
setahuku hanya inilah yang penting. Tetapi, Pater Chrisostom merasa pedih,
pastor macam apa aku"Dan, Kau Tuhan Yesus, apakah aku melupakan tugasku sebagai
saksi-Mu" Sudah bertahun-tahun dia merasakan per kembangan Islam membebani
pundaknya dan menjadi beban yang tak tertahankan.
"Pater jangan sedih," suara itu membuyarkan lamunannya, suara bocah tak berdosa.
"Kami senang sekali kalau Pater ada di sini bersama kami."
Ah, ini pasti Kirnya. Anak ini jeli melihat segala sesuatu, pikirnya. Ada hal
yang cukup mengganggu pada anak ini yang sulit untuk dijelaskan. Namun, anak ini
sangat memikat. Kirnya menatap sang pastor dengan tenangnya. "Aku sudah selesai menyalin
semuanya," katanya dengan bangga, "seluruh halaman. Maukah Pater melihatnya?"
"Tentu saja. Sini."
Dalam setiap kunjungannya, Pater Chrisostom selalu menyempatkan diri mengajari
anak-anak baca tulis. Mereka semakin banyak menggunakan bahasa yang disebarkan
suku-suku nomad Turkoman. Dia merasa berkewajiban untuk melestarikan bahasa Yu
nani, lebih-lebih wilayah ini telah menggunakan bahasa itu selama berabad-abad.
Ada kalanya dia ber tanya-tanya, mungkinkah ini pertanda kekalahan-nya lagi"
Tampaknya, tak seorang pun yang memedulikan bahasa; bahasa hanyalah alat
komunikasi semata. Di kota-kota, bahasa Arab dan Persia berdampingan dengan
bahasa Yunani. Di sini sangat berbeda. Islam dan bahasa Turkoman perlahan
menggantikan budaya Kristen dan bahasa Yunani. Ka dang-kadang, alangkah resah
rasanya hidup di daratan Anatolia dan Taurus,terombang-ambing di antara dua
imperium besar, Bizantium dan Persia!
Dan, lebih meresahkan lagi, kedua imperium itu sama-sama terancam di daerahdaerah perbatasan oleh serangan kaum barbar yang sama kejinya, dari mana pun
asal mereka kaum Turkoman di timur atau kaum Frank dan sekutunya di barat. Dan
sekarang, datang kaum Mongol. Pater Chrisostom tepekur. Bukan hanya jiwa manusia
yang terancam, melainkan juga seluruh kehidupan ini lengkap dengan adat
kebiasaan yang unik dan penuh pesona. Dia pernah mendengar kaum Mongol membakar
perpustakaan yang mereka temui dalam invasi yang mereka lakukan. Manuskrip dan
naskah-naskah berharga yang langka musnah menjadi sobekan-sobekan kecil. Karya
seni hancur berkeping-keping.Dunia ini dilanda kekacauan, desah sang
pastor,tetapi kehidupan terus berjalan.Kaum tua asyik dengan kenangan masa
lalunya,sementara yang muda-muda membangun du nia. Pater Chrisostom sudah lama
tidak mengunjungi Konya, tapi dia mendengar kabar bahwa di bawah pemerintahan
sang Sultan yang arif bijaksana, telah tumbuh budaya baru yang banyak menerima
pengaruh Persia, meski tidak terputus sama sekali dari ak-ar budaya Yunani.
Seni, gaya, dan keindahannya tampil dengan coraknya sendiri. "Mengapa aku harus
cemas?" pikirnya. "Tuhan memiliki rencanaNya sendiri dan apakah hakku
mempertanyakannya?" Dia terhenyak. Lamunannya buyar oleh alunan lagu penuh gairah yang entah dari
kegelapan mana berasal. Suara itu serak dan keras, didominasi suara tenggorokan.
Pastor itu tidak dapat memahami syairnya, tapi lagu itu seakan penghayatan
seekor kuda yang berlari bebas di gurun panas di bawah cakrawala yang maha luas.
Dia bertanya-tanya apakah lagu itu berasal dari tradisi zaman dulu atau milik
peradaban baru. Lagu itu mengalun memanggil Dia yang tak terhingga. Lagu itu
dinyanyikan oleh Faroukh.
Inilah setulus-tulusnya doa, sebuah doa sejati, pikirnya. Dan, sekali lagi,
Pater Chrisostom dibekap keraguan. Setiap insan memiliki keyakinannya masi ngmasing dan Tuhan tentu mendengarkan doa-doa mereka. Memangnya siapakah kita
sehingga berani mengajari mereka bagaimana cara berdoa yang benar" Tak pernah
Faroukh bernyanyi setulus ini, begitu penuh kerinduan. Lelaki ini sepertinya
menderita, tapi penderitaan seperti itu adalah doa, pikir Pater Chrisostom. Dan
doa seperti itu selalu akan dijawab. Namun, terkadang butuh waktu yang sangatsangat lama hingga kita bisa mendengar jawaban itu.
"Pater, maukah Pater memeriksa tulisan yang kusalin?" nadanya memohon.
Seketika dia melepaskan tangan dari keningnya
dan kembali menatap Kirnya yang masih berdiri di sisinya. Aku sudah pikun. Entah
berapa lama dia mengabaikan Kirnya. Dia menyadari nyanyian Faroukh sudah
menghilang. "Maafkan aku, Kirnya. Mari kuperiksa."
Kirnya menyerahkan selembar kertas yang dulu dibawa sang Pater, hampir empat
bulan yang lalu, berikut contoh tulisan yang harus disalin Kirnya. Hu ruf-huruf
itu Pater tulis secara saksama dengan pena bulu, sedangkan tulisan Kirnya, yang
memakai ar ang, tampak tebal tapi sangat tepat seperti contoh yang dia berikan.
"Bagus sekali, Kirnya," kata Pater Chrisostom sambil tersenyum. Dia sangat
senang. Dia tahu betul bahwa, bagi orang-orang desa, pelajaran menulis hanyalah
pemuas rasa ingin tahu, kegiatan pengisi waktu agar anak-anak mereka tidak
rewel. Kehidupan di desa begitu berat dan begitu banyak pekerjaan yang lebih
penting dibandingkan menulis, seperti memanen gandum, memberi makan ternak,
menyiram tanaman, memetik buah-buahan, ditambah memperbaiki atap sebelum musim
dingin tiba. Menulis adalah hak istimewa orang yang mampu menggaji pelayan,
bukan untuk orang-orang seperti mereka.
"Apa yang harus kami lakukan terhadap anak ini?" Pater mengalihkan perhatiannya.
Faroukh sekarang berdiri di hadapannya, ikut memerhatikan tulisan Kirnya yang
baginya tidak ada artinya. Faroukh menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan
terlihat bingung. "Dia tidak seperti anak-anak lainnya," katanya. "Ibunya, dan
tentu saja aku, khawatir sekali."
Pater mengembalikan kertas itu kepada Kirnya. "Kirnya, aku dan ayahmu akan
bicara. Aku akan memberimu tulisan yang harus kau salin sebelum aku pergi."
Setengah berlari, Kirnya menghampiri ibunya. "Mama, lihat! Pater mengatakan
tulisanku sangat bagus."
Pater Chrisostom berpaling kepada Faroukh. "Kau seharusnya tak perlu cemas,
Faroukh. Tuhan punya cara tersendiri yang tidak kita ketahui."
Faroukh mengempaskan diri, duduk di samping Pater.
Pater Chrisostom mengamati rambut Faroukh yang tampak beruban. "Berapa usiamu,
Faroukh?" "Usiaku?" ulang Faroukh. Dia ragu-ragu. "Hampir empat puluh, mungkin. Bangsa
kami tidak pernah mengingat dengan baik kapan kelahiran anak mereka sehingga tak
ada yang tahu pasti."
"Hmm, ketika aku menikahkanmu, itu sudah delapan belas tahun yang lalu,
mungkin," kata sang Pater. "Saat itu usiamu sekitar dua puluhan. Jadi, kalau
tidak salah, usiamu sekarang mungkin 38 atau 39 tahun."
Keheningan menyeruak di antara mereka. Mereka hanyut dalam pikiran masingmasing. Di hadapan mereka, lidah api berkobar. Dari waktu ke waktu, bunga api
berloncatan seakan hendak berlari.
"Usia puncak," kata sang Pater setelah beberapa saat.
Malam makin larut dan di atas mereka langit
tampak pekat bertabur bintang yang berkilau laksana berlian.
Pater Chrisostom kembali ke pokok bahasan yang merisaukan Faroukh. "Kau benar,"
katanya menyetujui. "Kirnya memang sangat berbeda." Dan, agak kaget juga dengan
sarannya sendiri, dia menambahkan, "Barangkali dia seharusnya pergi ke Konya
untuk belajar di sana." Kedengarannya seperti ide yang bagus. Orang-orang ini
tak punya uang, tapi tak jarang ada yang mau mengadopsi anak sekecil itu dan
menyekolahkannya. Di sana ada biara dan dia tahu bahwa anak itu, melalui
rekomendasinya, pasti akan diterima. Dia masih berpikir dan tak menyadari
Faroukh sekarang berdiri tegak di hadapannya. Wajahnya memerah karena marah.
"Mengirim Kirnya pergi?" dia berteriak. "Tak akan!"
"Aku hanya menyarankan, tidak mengharuskan," Pater Chrisostom berkata dengan
nada menenangkan. "Mungkin saran ini layak kau pertimbangkan."
"Aku tak akan mempertimbangkannya," jawab Faroukh dan dia pergi meninggalkan
Pater begitu saja. Tetapi, Pater Chrisostom cukup mengenal lelaki ini. Faroukh akan mendatangi
istrinya, berbagi rasa, dan Evdokia adalah wanita yang bijak. Evdokia akan
mendengarkan gerutuan suaminya dengan sabar dan akan menyarankan Faroukh supaya
berkonsultasi dengan sang Imam, dan pada akhirnya saran itu akan diketahui
seluruh desa dan akan dipertimbangkan berdasarkan kesepakatan bersama. Jika
perkiraannya benar, Tuhan akan memudahkan jalan sehingga sarannya itu
terlaksana. Untuk sementara, Faroukh akan memendam amarah, dan Pater Chrisostom
mengerti bahwa selama waktu itu, Faroukh akan memusuhinya. Pikiran itu
membuatnya tersenyum dan dia merasakan ada kehangatan tangan menggamit
tangannya. Dia tidak begitu kaget melihat Kirnya duduk di sisinya, menghibur dan
tersenyum kepadanya. [] 7 *di Perayaan telah berakhir dan desa itu kembali seperti biasanya. Pater Chrisostom
telah pergi subuh tadi. Pater ditemani Tahir, yang berharap akan mendapatkan
mata pisau baru untuk bajaknya di desa tetangga. Di beranda atas, Aishel
menggunakan seikat alang-alang untuk membersihkan kulit biji bunga matahari
sisa-sisa perayaan tadi malam.
"Kirnya, bisa ke pinggir sedikit" Tahu tidak, kamu menghalangiku?"
Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kirnya berdiri di salah satu sudut beranda, me nghalang-halangi Aishel yang
hendak membersihkan tempat yang tadi malam diduduki Pater Chrisostom.
"Jangan sentuh huruf-hurufku, Aishel."
"Huruf-hurufmu! Itu cuma tulisan di atas debu! Sebaiknya kamu menolongku
membersihkannya daripada mengajakku berteng-kar!"
"Pater Chrisostom menyuruhku untuk menyalin tulisan yang dia buatkan untukku.
Ayolah Aishel, biarkan aku, kumohon."
Aishel menggelengkan kepalanya, jengkel sekali. "Kamu sinting, Kirnya! Tulisan
ini omong kosong. Apa gunanya" Apakah dengan menulis kamu bisa
mendapatkan roti atau kamu jadi mahir memerah susu kambing?"
Kini, Kirnya menatap wajah kakaknya dengan putus asa. Aishel menarik napas
panjang. Tak ada gunanya mengajaknya berdebat. Hasilnya selalu sama; pada
akhirnya Kirnya entah akan menangis tersedu atau akan tersenyum-senyum melupakan
dunia ini dan seisinya. Betapa menjengkelkan!
"Kamu membuat kami semua gila, Kirnya," seru Aishel.
Bibir Kirnya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Air mata segera turun membasahi
pipinya. "Aku tak bisa menjelaskannya kepadamu, aku tak bisa," katanya tergagap.
Tangannya menutupi mulutnya, menahan sedu sedan. "Aku ingin belajar membaca. Aku
sangat ingin. Bagiku ini sangat penting."
"Apa yang sangat penting?" tanya Aishel yang sudah agak melunak biarpun masih
sedikit jengkel. Kirnya menggelengkan kepalanya, tak berdaya. "Aku tak bisa
menjelaskannya, aku tak bisa," dia mengulanginya lagi. "Aku tak bisa."
Aishel menyerah dan menjatuhkan seikat ala ng-alang itu. "Yuk, kita siapkan
makanan." Di beranda, Evdokia baru saja selesai menggelar selembar kain saat Faroukh
datang. Faroukh duduk membelakangi tembok. Evdokia menata penyangga yang akan
menahan nampan bundar dari tembaga yang dibawa Aishel. Di atasnya tersaji
hidangan yang biasa mereka makan: yogurt, madu, buah zaitun, dan tak lupa gelas untuk
minum teh. Di belakangnya ada Kirnya yang membawa piring tanah liat berisi roti
yang seminggu sebelumnya dipanggang Evdokia di oven milik umum. Aishel kembali
ke dalam rumah dan membawa sekendi teh panas dan tak lama kemudian mereka
menyantap sarapan pagi. "Aishel, tolong isi gelasku. Dan Kirnya, berhentilah bermimpi, lanjutkan
makanmu." Evdokia menggelengkan kepalanya, mencela, meskipun sebenarnya dia juga
menunjukkan ekspresi seorang ibu yang bangga.
Seperti induk ayam dikelilingi anak-anaknya, Faroukh menerawang. Pemandangan itu
membuat senyum terkembang di wajahnya.
"Aku lega melihat suasana hatimu agak cerah," kata Evdokia dengan nada ironis.
"Aku tak mengerti apa yang terjadi semalam. Sudah lama aku tak melihat wajah
muram cemberutmu sejak gandum kita membusuk." Panen yang gagal itu terjadi pada
musim panas beberapa tahun yang lalu. Saat itu, hujan yang turun berhari-hari
menggagalkan panen dan selama beberapa minggu Faroukh tertunduk lesu. Dia
berjalan ke sana-kemari sambil menggele nggelengkan kepala dalam keputusasaan.
Senyum di wajah Faroukh mendadak lenyap. "Benar," katanya, "perasaanku tadi
malam begitu buruk." Dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan Evdokia tidak
memaksanya bicara. Mereka menghabiskan hidangan dalam diam. Aishel kemudian
pergi. Kirnya dengan saksama membersihkan kulit biji bunga matahari dari tulisan
di atas debu di pojok beranda. Tinggal Evdokia dan Faroukh berduaan.
"Tadi malam tidurku tak nyenyak," kata Faroukh memberengut. Kata-kata Pater
Chrisostom masih terngiang di telinganya. "Kau tahu tidak apa sarannya?" dia
tiba-tiba meluapkan kekesalannya. "Tahu tidak omong kosong yang dia utarakan?"
"Siapa" Apanya yang omong kosong" Tahir kan masih kecil, dia ...."
"Aku bukan membicarakan Tahir," jawab Faroukh marah. "Yang kumaksud adalah Pater
Chrisostom." "Pater Chrisostom! Apa kau sudah gila" Mimpi buruk apa semalam?"
"Memang, bisa dibilang, ini tidak ada bedanya dengan mimpi buruk," jawab
Faroukh. "Tadi malam kami berbincang-bincang. Kami membicarakan ..." Faroukh
memberi isyarat ke arah Kimya-"dia," lanjutnya, memperkecil volume suaranya.
"Pater Chrisostom mengatakan ..." Faroukh berhenti. Kata-katanya tersekat di
tenggorokan. "Apa yang dia katakan" Lanjutkan. Kau membuatku gugup."
"Kirnya sebaiknya dikirim ke Konya." Faroukh menghentikan kalimatnya, kemudian
dengan cepat menambahkan, "Supaya dia bisa belajar. Bagaimana menurutmu" Ke
Konya! Belajar!" Serunya naik pitam.
"Tenanglah! Jika marah-marah begitu, kau bisa sakit. Kirnya kan tidak akan pergi
sekarang juga ke Konya. Iya, kan?" kata Evdokia kalem. Bicaranya seperti
meninabobokan anak kecil.
Faroukh menatap istrinya, menginginkan lebih banyak lagi kata-kata yang dapat
menenangkan hatinya. "Jangan khawatir," kata Evdokia sambil tersenyum. "Kita tak usah memikirkan hal
itu, tidak sekarang." Dia bangkit. "Kirnya, kemari. Yuk, kita ke kebun. Kita
harus memanen kacang. Mana kakakmu?"
Ketika sudah dekat dengan daun pintu, dia menoleh ke arah Faroukh dan berkata,
"Jangan khawatir. Pater Chrisostom tidak akan ke sini sebelum musim gugur tiba.
Dan, selama itu, kita berdoa mu dah-mudahan Tuhan menunjukkan jalan."
Faroukh tidak akan pernah mengakui bahwa kapan pun dia kesal, bahkan marah,
Evdokia selalu punya cara untuk menenteramkan kegusaran hatinya. Tapi memang itu
kenyataannya. Beban berat yang menggelayuti hatinya terasa menghilang. Betul
juga, Pater Chrisostom tidak akan kemari sebelum musim gugur. Apa pun bisa
terjadi selama empat bulan itu. "Aku akan memeriksa kebun anggur," begitulah dia
memutuskan. Anggur-anggur itu tentu sudah matang dan siap dipetik.
Matahari sudah semakin tinggi. Evdokia mengusap peluh dari keningnya. Dia
berdiri di antara dua baris tanaman kacang, sementara Aishel dan Kirnya berada
di setiap baris itu. Keranjang-keranjang mereka semakin berat dimuati bawang dan
kacang yang sedari tadi mereka petik. "Berhenti, Anak-Anak. Kita
sudahi pekerjaan ini. Rasanya sudah cukup banyak yang kita kumpulkan."
Kedua gadis kecil itu berlari dan duduk di pinggir parit yang membatasi jalan
kecil menuju kebun buah. Aishel memetik bunga matahari dan mengumpulkan
biji bijinya. Kemudian, dia meletakkannya di gamis Kirnya. Evdokia ikut ?bergabung dan duduk di samping kedua anaknya. Dia masih memikirkan percakapannya
dengan Faroukh dan bertanya-tanya apakah saran Pater Chrisostom itu benar"
Haruskah Kirnya pergi ke Konya" Susah sekali membayangkan Kirnya suatu saat akan
meninggalkan desa ini. Dan nanti ... barangkali inilah jawaban kekhawatiran
mereka. Evdokia tahu betapa Pater sangat menyayangi Kirnya dan dia memercayai
kebijaksanaannya. Tetapi, hingga hari ini, dia hanya berpikir bahwa tulisan di
atas debu itu adalah permainan. Sekarang, dia bisa melihat betapa perkiraannya
salah. Dia menatap Kirnya dan Aishel, kakaknya. Mereka berdua sangat bertolak
belakang! Dia ingat sudah lebih dari lima bulan sejak Kirnya dilarang berjalan
sendirian. Dia tampaknya tidak keberatan. Anehnya, dia mungkin akan pergi dari
sisi kita! Bisa jadi ternyata Kim ya pun tak keberatan pergi ke Konya. Inikah
kehendak Tuhan" Mata Evdokia menatap keranjang-keran jang yang dimuati kacang
dan bawang. Angannya mengembara ke tempat Ahmed. Dia tentu menyukai sayursayuran dan juga buah-buahan.
"Buah aprikot tentunya sudah matang," katanya sambil berdiri dan melemaskan
otot. Dia meletakkan tangan pada pinggulnya. Punggungnya terasa sakit.
"Yuk, kita petik aprikotnya. Nanti kalian berdua tolong bawakan keranjang ini ke
tempat Ahmed."Dia menatap lekat mata Kirnya.Tangannya di pundak an ak itu. "Aku
mengizinkanmu untuk pergi bersama kakakmu, tapi kamu tidak boleh jalan
sendirian. Mengerti" Aku tak ingin ayahmu memarahiku sebab membiarkanmu
keluyuran." Kirnya melompat kegirangan dan menjerit senang.
"Kirnya, dengarkan aku, jangan berisik begitu!" Kirnya menatap biji-biji bunga
matahari yang sekarang berceceran di sekitar kakinya. "Aku lupa," katanya,
terkejut. "Bisakah dia memerhatikan sesuatu dengan sak sama?"
"Aishel, jangan menyulut pertengkaran. Itu hanyalah biji-bijian. Pikirkanlah
buah aprikot yang harus kau petik."
Mereka kemudian berjalan menuju kebun buah. Gemercik aliran sungai menemani
perjalanan mereka. Kirnya berlari-lari di depan mereka berdua.
Ahmed duduk di atas batu yang halus di mulut gua itu, menghangatkan diri dalam
guyuran sinar matahari sore. Dia tetap bergeming saat dua gadis kecil muncul
dari balik pepohonan. Aishel menghentikan langkahnya dan meletakkan keranjang
yang dia bawa. Semua orang sudah tahu bahwa Ahmed tidak ingin ditemani dan
bahkan lebih suka menghindar
dan bersembunyi daripada beramah-tamah dengan orang lain. Namun, sekarang dia
seolah-olah telah mengharapkan kedatangan mereka berdua. Kirnya maju ke
hadapannya membawa keranjang yang juga dipenuhi aprikot dan bawang.
Ahmed tersenyum. "Kau Kirnya, ya," katanya. "Sudah lama aku bertanya-tanya kapan
bisa bertemu lagi." Kemudian, dia berpaling pada Aishel, "Kau pasti kakaknya.
Kulihat kau mirip adikmu."
Aishel tetap menjaga jarak darinya. Terlihat sekali dia ingin segera angkat
kaki. "Kalian tak usah takut," kata Ahmed. "Hari ini kan hari istimewa. Hari yang
disucikan," tegasnya seakan menjelaskan mengapa dia tidak seperti biasanya.Dia
melanggar kesunyian dan kesendirian yang dia jalani. "Hari ini," lanjutnya,
"adalah hari saat pertama kali aku mendengarkan kata-katanya. Tepatnya tiga
bulan yang lalu." Kirnya segera duduk di batu yang lebih besar di sisi Ahmed, mengayun-ayunkan
kakinya. Aishel mengikutinya. Dia kini mendekat.
"Kata-kata siapa yang Anda dengarkan?" tanya Kirnya.
Ahmed memejamkan matanya. Senyum di wajahnya kini lenyap. "Kata-kata Maulana,
guru kami," katanya perlahan.
"Siapakah dia?"
"Kirnya, ssst!" sela Aishel.
Tetapi, Ahmed rupanya tidak keberatan ditanyai seperti itu. Sebaliknya! Nadanada yang dia dengarkan barangkali telah memudar. Tetapi, hari ini dia
ingin membagi kebahagiaannya dengan kedua gadis desa itu. "Dia manusia bijak,"
kata Ahmed. "Dia adalah seorang yang terpilih. Lelaki pilihan Tuhan dan katakatanya mengandung kekuatan." Kedua matanya kini terbuka lebar. Ahmed tiba-tiba
tertawa, "Lihatlah aku. Aku dulu adalah tembikar yang kosong, hanya diisi angin,
dan sekarang ..." kata-kata nya terhenti.
"Dan sekarang?" tanya Kirnya ingin tahu.
"Sekarang aku lebih kosong daripada sebelumnya. Tetapi, kekosongan ini menjadi
sebuah harapan." Kirnya terdiam selama beberapa saat, "Apa yang dia katakan?" Akhirnya, dia
bertanya, "Maulana mengatakan apa?"
"Dia berkata bahwa segala sesuatu dan setiap insan mencintai Sang Pencipta dan
kita selalu berada dalam naungan-Nya."
"Benar sekali," seru Kirnya. "Dan, kepadaNya segala sesuatu kembali."
Ahmed terhenyak, "Apa yang barusan kau bilang" Bisakah kau ulangi lagi?"
Kirnya tampaknya tak mengerti. Aishel ikut campur, "Jangan ambil pusing.Kirnya
tidak selalu mengetahui apa yang dia katakan. Bahkan, dia juga kadang tidak tahu
di mana gerangan dia berada."
Tetapi, Ahmed tak mendengarkannya. Dia menatap Kirnya lekat-lekat. "Tolong,
Kirnya. Bisakah kau mengulangi apa yang baru saja kau katakan?" tanyanya lebih
lembut, seakan sedang menenangkan binatang yang ketakutan.
"Aku tak tahu. Aku tak bisa," katanya hampir menangis. "Aku hanya tahu kalau aku
katanya ragu. "Apa?" "Aku sedang menunggu untuk ...." Sekali lagi dia menghentikan kalimatnya, "Untuk
Kemudian, dia menggelengkan kepalanya, tak berdaya. "Aku tak tahu." Kemudian,
seolah tak terjadi apa-apa, dia melompat. "Kami membawakan sekeranjang buah-bu
ahan, roti, juga keju, dan zaitun, dan dia diam. "Bolehkah kuperlihatkan
tulisanku?" Sambil mengambil ranting kecil, dia menulis huruf-huruf Yunani yang
telah dia pelajari dari Pater Chrisostom.
"Aha, jadi kau bisa menulis ya!" Ahmed terkejut. Hanya sedikit sekali orang desa
yang bisa menulis dan membaca, gadis-gadisnya hampir tidak ada yang bisa. Dia
masih penasaran dengan kata-kata Kim ya yang seakan mengutip Maulana. Tentu
saja, ka ta-kata itu berasal dari Al-Quran. Ada sedemikian banyak kalimat dalam
Kitab tersebut, tetapi bagaimana mungkin dia bisa memilih kata-kata itu
sedemikian mengenanya" "Maukah kau mempelajari hu ruf-huruf lainnya?"
Kirnya menatapnya, "Maukah Anda mengajari saya?" matanya berbinar penuh
semangat. Aishel menjadi tak sabar. "Kami harus pulang," katanya.
"Ya," kata Ahmed. "Benar. Kalian berdua harus pulang sekarang."
Kirnya tidak juga beranjak, "Anda bisa mengajari
saya?" tanya Kirnya sekali lagi.
"Tentu saja aku bisa," katanya. "Lain waktu aku akan mengajarimu beberapa kata."
Dia mengosongkan keranjang dan menaruh isinya ke sebuah tas kain yang besar.
"Semoga Allah memberkahi keluarga kalian juga desa kalian." Dia menyaksikan
kedua gadis kecil itu berlalu dari hadapannya. Kemudian, dia sendiri berbalik
dan menghilang ke dalam gua.
Begitulah. Evdokia setuju jika setiap minggu Kirnya yang membawa sekeranjang
buah-buahan dan sayuran ke tempat Ahmed sehingga dia bisa belajar menulis pada
Ahmed. "Jika ini membuatmu bahagia, mengapa tidak?" Faroukh mengomel, tapi akhirnya
mengalah. "Dengan begini," katanya, "dia tak akan pergi jauh hanya untuk
belajar." Kadang Aishel menemani Kirnya. Dia duduk dan merajut tanpa henti sementara Ahmed
dan Kirnya berlutut di tanah dan tangan mereka memegang ranting kecil. Kemudian,
mereka menulisi tanah dengan tanda-tanda yang asing bagi Aishel. Suatu hari
Ahmed melukis rangkaian garis-garis kecil melengkung.
"Oh, indah sekali," seru Kirnya. "Huruf apa ini?"
"Yang ini huruf Persia," jawab Ahmed. "Bahasa yang digunakan sang Sultan dan
tentu saja Maulana."
"Apakah Anda juga bisa berbicara bahasa Persia?"
"Tentu. Aku diajari ibuku. Orangtuanya berasal dari timur."
Kirnya terdiam untuk beberapa saat.
"Ada berapa bahasa yang digunakan orang Konya?" tanyanya.
"Ada banyak. Misalnya, bahasa Yunani yang sedang kita pakai saat ini, dan
Persia, juga bahasa Arab" dia berpikir sejenak" dan baru-baru ini tersebar juga
bahasa Turkoman, dan kadang kala kau a-kan mendengarkan orang yang berbicara
dalam bahasa yang datangnya jauh dari barat sana: Venesia, Saxon, dan Frank."
Kirnya bertanya dengan nada yang tinggi, "Mengapa orang berbicara dengan bahasa
yang begitu banyak?"
"Kadang aku juga menanyakan hal yang sama," kata Ahmed. Kemudian, dia mengangkat
bahunya. "Apa yang kita ketahui akan kehendakNya?" wajahnya melembut dan dia
tersenyum. "Pertanyaanmu mengingatkanku pada perkataan Maulana pada hari saat
kuputuskan untuk meninggalkan Konya."
"Apa yang dia katakan?"
"Aku tidak mengingatnya secara pasti. Tetapi, dia mengatakan banyak jalan menuju
Tuhan. Dia mengatakan jalan-jalan itu tak terbatas. Tetapi, sekali saja kau bisa
melaluinya, setiap orang akan menyadari bahwa tujuannya selalu sama."
"Jadi, barangkali nanti semua manusia akan berbicara dalam bahasa yang sama,"
seru Kirnya." Tetapi, kemudian," dia menambahkan,agak bingung,
"bahasa apa yang akan dipakai?"
Ahmed menatapnya, ragu-ragu. Kemudian, wajahnya berseri-seri. "Kau tahu, kupikir
saat itu kita tak perlu lagi bercakap-cakap.Kesunyian adalah bahasa kita
bersama." "Oh, tapi itu menyedihkan sekali!" Dan, dia kembali mengamati huruf-huruf aneh
yang dilukis Ahmed. Dia bertanya, "Tolong bacakan untuk saya."
"Doost," suara Ahmed lantang, "Doost," ulangnya lebih lembut sambil memejamkan
mata. Kata itu seperti sebuah cumbuan. "Apa artinya?"
"Artinya 'Kekasih', Yang Kucintai', 'Yang Kurindukan'."
Malamnya, Kirnya tak bisa tidur. Ada kesedihan menyelusup di hatinya. Kepedihan
yang tidak dia mengerti. Pada saat yang sama, dia merasa mendekat, begitu dekat,
dengan "itu", apa pun "itu" yang selama ini dia nantikan. "Doost," dia
mengulangi kata itu, dan kata itu menggetarkan hatinya. "Doost," kata itu
Rahasia Pedang Emas 2 Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Anak Rajawali 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama