Ceritasilat Novel Online

Dewi Olympia Terakhir 3

Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan Bagian 3


para dewa nyaris tidak bisa memperlambatnya.
Gunung kegelapan menjulang di atasku. Kaki seukuran Stadion Yankee
hendak menghancurkanku saat sebuah suara berdesis, "Percy!"
Aku tersentak membabi buta. Sebelum aku sepenuhnya terjaga, aku sudah
mendesak Nico ke lantai sel dengan ujung pedangku di lehernya.
"Mau ... menyelamatkan," dia tercekik.
Kemarahan membangunkanku dengan cepat. "Oh ya" Dan kenapa aku
harus memercayaimu?"
"Nggak ada ... pilihan?" katanya tersengal.
Andai saja dia tidak mengatakan sesuatu yang logis seperti itu. Kulepaskan
dia. Nico bergelung membentuk bola dan membuat bunyi seperti muntah
sementara tenggorokannya memulihkan diri. Akhirnya dia berdiri, memandangi
pedangku dengan waswas. Pedangnya sendiri disarungkan. Kurasa kalau dia ingin
membunuhku, dia bisa melakukannya selagi aku tidur. Walau begitu, aku tidak
memercayainya. "Kita harus keluar dari sini," katanya.
"Kenapa?" kataku. "Apa ayahmu ingin bicara padaku lagi?"
Dia berjengit. "Percy, aku bersumpah demi Sungai Styx, aku tidak tahu apa
yang direncanakannya."
"Kautahu seperti apa ayahmu!"
"Dia menipuku. Dia janji - " Nico mengangkat tangannya. "Dengar ...
sekarang ini, kita harus pergi. Aku menidurkan para penjaga, tapi itu takkan
bertahan lama." Aku ingin mencekiknya lagi. Sayangnya, dia benar. Kami tak punya waktu
untuk bertengkar, dan aku tidak bisa kabur sendirian. Dia menunjuk dinding. Satu
bagian menghilang, menampakkan sebuah koridor.
"Ayo." Nico memimpin jalan.
Kuharap aku punya topi tak kasat mata Annabeth, tapi rupanya aku tidak
membutuhkannya. Setiap kali kami berpapasan dengan penjaga tengkorak, Nico
hanya perlu menunjuk dan mata si tengkorak yang berpendar pun meredup.
Sayangnya, semakin sering Nico melakukan itu, dia tampak semakin lelah. Kami
berjalan melintasi labirin koridor yang dipenuhi penjaga. Pada saat kami sampai
di dapur berpegawai juru masak dan pelayan tengkorak, aku praktis menggendong
Nico. Dia berhasil menidurkan semua orang mati, tapi dia sendiri hampir pingsan.
Aku menyeretnya keluar dari jalan masuk pelayan dan masuk ke Padang
Asphodel. Aku hampir merasa lega waktu aku mendengar bunyi gong perunggu tinggi
di kastil. "Alarm," gumam Nico mengantuk.
"Apa yang harus kita lakukan?"
Dia menguap kemudian mengerutkan kening seolah-olah sedang berusaha
mengingat. "Bagaimana kalau ... lari?"
Berlari sambil membawa anak Hades yang mengantuk lebih mirip ikut balap
karung dengan membawa boneka perca seukuran manusia. Aku menggendong
Nico, memegangi pedangku di depanku. Arwah orang-orang mati memberi jalan
seakan-akan perunggu langit adalah api yang berkobar-kobar.
Bunyi gong melintasi padang. Di depan menjulanglah tembok Erebos, tapi
semakin lama kami berjalan, dinding tersebut tampak kian jauh. Aku hampir
kolaps karena kelelahan waktu kudengar bunyi "GUK! GUK! GUK!" yang tidak
asing. Nyonya O'Leary melompat muncul entah dari mana dan berlari-lari
mengelilingi kami, siap bermain.
"Gadis pintar!" kataku. "Bisakah kauberi kami tumpangan ke Styx?"
Kata Styx membuatnya bersemangat. Dia barangkali mengira maksudku
steak. Dia meloncat-loncat beberapa kali, mengejar ekornya hanya untuk
mengajarinya siapa bosnya, dan kemudian menjadi cukup tenang sehingga
memungkinkanku mendorong Nico ke atas punggungnya. Aku memanjat naik,
dan Nyonya O'Leary berpacu menuju gerbang. Dia langsung melompati antrean
KEMATIAN MUDAH, membuat para penjaga terjengkang dan menyebabkan
menggelegarnya lebih banyak alarm. Cerberus menggonggong, tapi dia terdengar
bersemangat alih-alih marah, seperti: Boleh aku main juga"
Untungnya, Cerberus tidak mengikuti kami, dan Nyonya O'Leary terus
berlari. Dia tidak berhenti sampai kami sudah jauh di hulu dan api Erebos telah
menghilang di keremangan.
Nico meluncur turun dari punggung Nyonya O'Leary dan terkulai di pasir hitam.
Aku mengeluarkan sekotak ambrosia - bagian dari makanan dewa darurat
yang selalu kubawa. Memang sudah agak penyek, tapi Nico mengunyahnya.
"Uh," gumamnya. "Baikan."
"Kekuatanmu menguras tenagamu terlalu banyak," komentarku.
Dia mengangguk dengan mengantuk. "Kekuatan yang luar biasa ...
menuntut kebutuhan luar biasa untuk tidur. Bangunkan aku nanti."
"Tunggu sebentar, Cowok Zombi." Aku menangkapnya sebelum dia bisa
pingsan lagi. "Kita sudah sampai di sungai. Kau harus memberitahuku harus
melakukan apa." Aku memberinya makan ambrosiaku yang terakhir, yang sedikit berbahaya.
Benda itu bisa menyembuhkan blasteran tapi juga bisa membakar kami jadi abu
apabila kami makan terlalu banyak. Untungnya, memberi Nico ambrosia
tampaknya berefek. Nico menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali dan
berjuang untuk berdiri. "Ayahku akan segera datang," katanya. "Kita harus bergegas."
Arus Sungai Styx berputar-putar sambil membawa benda-benda aneh mainan rusak, ijazah perguruan tinggi robek, korsase pesta reuni yang layu semua impian yang telah dibuang orang-orang selagi mereka melintas dari
kehidupan ke kematian. Melihat air hitam itu, aku bisa memikirkan kira-kira tiga
juta tempat yang lebih kupilih untuk kurenangi.
"Jadi ... aku cukup melompat masuk?"
"Kau harus mempersiapkan dirimu lebih dulu," kata Nico, "atau sungai
akan menghancurkanmu. Sungai akan membakar tubuh dan jiwamu."
"Kedengarannya menyenangkan," gerutuku.
"Ini bukan gurauan," Nico memperingati. "Cuma ada satu cara untuk tetap
tertambat dengan kehidupan fanamu. Kau harus ... "
Dia melirik ke belakangku dan matanya membelalak. Aku berbalik dan
mendapati diriku berhadap-hadapan dengan seorang kesatria Yunani.
Selama sedetik kupikir dia adalah Ares, soalnya laki-laki ini kelihatan persis
dengan sang dewa perang - tinggi dan berotot, berwajah kejam dengan bekas luka,
dan berambut hitam cepak. Dia mengenakan tunik putih dan baju zirah perunggu.
Dia mengepit helm perang berjambul di ketiaknya. Tapi matanya manusiawi hijau pucat seperti laut dangkal - dan panah berdarah menyembul dari betis
kirinya, tepat di atas pergelangan kaki.
Aku tak pintar mengingat nama-nama Yunani, tapi aku sekalipun tahu nama
kesatria terhebat sepanjang masa, yang meninggal gara-gara tumit yang terluka.
"Achilles," kataku.
Si hantu mengangguk. "Kuperingatkan orang yang lain itu agar tidak
mengikuti jejakku. Sekarang akan kuperingatkan kau."
"Luke" Kau bicara soal Luke?"
"Jangan lakukan ini," katanya. "Tindakan ini akan membuatmu kuat. Tapi
tindakan ini juga akan membuatmu lemah. Kelihaianmu dalam pertempuran akan
melampaui manusia fana mana pun, namun kelemahan dan kekuranganmu akan
meningkat juga." "Maksudmu tumitku bakal lembek?" kataku. "Tidak bisakah aku, yah,
memakai sesuatu selain sandal" Jangan tersinggung."
Dia menatap kakinya yang berdarah. "Tumit hanyalah kelemahan fisikku,
Blasteran. Ibuku, Thetis, memegangi tumitku ketika dia mencelupkanku ke Styx.
Yang sesungguhnya membunuhku adalah kesombonganku sendiri. Waspadalah!
Berbaliklah!" Dia serius. Aku bisa mendengar penyesalan dan kegetiran dalam suaranya.
Dan sejujurnya berusaha menyelamatkanku dari nasib yang mengerikan.
Tapi tentu saja, Luke pernah di sini, dan dia tidak berbalik.
Itulah sebabnya Luke mampu menampung jiwa Kronos tanpa menjadikan
tubuhnya terbuyarkan. Beginilah caranya mempersiapkan diri, dan penyebab
mengapa dia tampak mustahil dibunuh. Dia telah mandi di Sungai Styx dan
memperoleh kekuatan seperti pahlawan fana terhebat, Achilles. Dia kebal.
"Aku harus melakukannya," kataku. "Jika tidak, aku tidak punya peluang."
Achilles menundukkan kepalanya. "Biarkan para dewa menjadi saksi bahwa
aku telah mencoba. Pahlawan, apabila kau harus melakukan ini, berkonsentrasilah
pada titik fanamu. Bayangkan satu tempat di tubuhmu yang akan tetap rentan. Di
titik inilah jiwamu akan menambatkan tubuhmu ke dunia. Itu akan jadi kelemahan
terbesarmu, tapi juga satu-satunya harapanmu. Tak satu orang pun bisa
sepenuhnya kebal. Lupakan apa yang membuatmu fana, dan Sungai Styx akan
membakarmu jadi abu. Kau akan tiada."
"Kurasa kau tidak bisa memberitahuku titik fana Luke?"
Dia merengut. "Persiapkan dirimu, Bocah Bodoh. Entah kau selamat dari ini
atau tidak, kau telah menyegel petakamu!"
Disertai pemikiran membahagiakan itu, dia pun menghilang.
"Percy," kata Nico, "mungkin dia benar."
"Ini idemu." "Aku tahu, tapi sekarang setelah kita di sini - "
"Tunggu saja di pantai. Kalau ada yang terjadi padaku ... Yah, mungkin
Hades bakal mendapatkan keinginannya dan kau akhirnya bakal jadi anak dalam
ramalan." Dia tidak terdengar senang soal itu, tapi aku tak peduli.
Sebelum aku bisa berubah pikiran, aku berkonsentrasi pada lekukan
punggungku - titik kecil tepat di seberang pusarku. Titik tersebut terlindung
dengan baik saat aku mengenakan baju zirahku. Tempat tersebut bakal sulit
dikenai secara tak sengaja, dan hanya segelintir musuh akan mengincarnya secara
sengaja. Tidak ada tempat yang sempurna, tapi ini tampaknya tepat bagiku, dan
jauh lebih bermartabat daripada, katakanlah, ketiakku atau apalah.
Aku membayangkan seuntai benang, tali bungee yang menghubungkanku
dengan dunia dari lekukan punggungku. Dan aku melangkah masuk ke sungai.
Bayangkan melompat masuk ke lubang berisi asam mendidih. Sekarang
lipatgandakan rasa sakitnya lima puluh kali. Namun, itu pun kau pasti masih
belum bisa memahami bagaimana rasanya berenang di dalam Styx, mendekati pun
tidak. Aku tadinya berencana masuk dengan pelan dan berani seperti pahlawan
betulan. Segera setelah air menyentuh kakiku, otot-ototku berubah jadi agar-agar
dan aku jatuh dengan wajah lebih dulu ke dalam arus.
Aku terbenam sepenuhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak
bisa bernapas di dalam air. Aku akhirnya memahami rasa panik saat tenggelam.
Setiap saraf di tubuhku terbakar. Aku terlarut dalam air itu. Kulihat wajahwajah - Rachel, Grover, Tyson, ibuku - tapi mereka memudar seketika saat muncul.
"Percy," kata ibuku. "Kuberi kau restuku."
"Enchilada!" kata Grover. Aku tidak yakin dari mana asalnya itu, tapi
katakatanya tak terlalu membantu.
Aku kalah dalam pertarungan. Rasa sakitnya keterlaluan. Tangan dan
kakiku meleleh ke dalam air, jiwaku direnggut dari tubuhku. Aku tak bisa
mengingat siapa diriku. Rasa sakit dari sabit Kronos tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan ini. Tali, kata sebuah suara yang tak asing. Ingat tali penyelamatmu, Bodoh!
Tiba-tiba ada tarikan di punggung bagian bawahku. Arus menarikku, tapi
tidak lagi menyeretku pergi. Kubayangkan tali di punggungku mengikatku ke
pantai. "Tunggu sebentar, Otak Ganggang." Itu suara Annabeth, lebih jelas
sekarang. "Kau nggak bakal kabur dariku semudah itu."
Tali menguat. Aku bisa melihat Annabeth sekarang - berdiri bertelanjang kaki di atasku di
dermaga danau kano. Aku terjatuh dari kanoku. Itulah yang terjadi. Dia
mengulurkan tangannya untuk menarikku ke atas, dan dia berusaha tidak tertawa.
Dia mengenakan kaos jingga perkemahannya dan jins. Rambutnya dimasukkan ke
dalam topi Yankee-nya, yang sebenarnya aneh karena itu seharusnya membuatnya
tak kasat mata. "Kau kadang-kadang idiot banget." Dia tersenyum. "Ayo. Pegang
tanganku." Kenangan kembali membanjiriku - lebih tajam dan lebih berwarna. Aku
berhenti melarut. Namaku Percy Jackson. Aku mengulurkan tangan ke atas dan
meraih tangan Annabeth. Tiba-tiba aku keluar dari sungai. Aku jatuh di pasir, dan Nico tergopohgopoh
karena terkejut. "Apa kau baik-baik saja?" dia terbata-bata. "Kulitmu. Oh, demi para dewa.
Kau terluka!" Lenganku berwarna merah cerah. Aku merasa setiap senti tubuhku telah
direbus di atas api kecil.
Aku melihat ke sana-kemari untuk mencari Annabeth, meskipun aku tahu
dia tidak ada di sini. Penampakan tadi terlihat begitu nyata.
"Aku baik-baik saja ... kayaknya." Warna kulitku berubah normal kembali.
Rasa sakit mereda. Nyonya O'Leary menghampiri dan mengendusku dengan
cemas. Rupanya bauku benar-benar menarik.
"Apa kau merasa lebih kuat?" tanya Nico.
Sebelum aku bisa memutuskan apa yang kurasakan, sebuah suara
menggelegar, "DI SANA!"
Sepasukan orang mati berderap ke arah kami. Ratusan tentara Romawi
berwujud tengkorak memimpin jalan sambil membawa tameng dan tombak. Di
belakang mereka datanglah tentara seragam merah Inggris dengan jumlah yang
sama, bayonet mereka terhunus. Di tengah-tengah gerombolan itu, Hades sendiri
mengemudikan kereta perang hitam-emas yang ditarik oleh kuda-kuda mimpi
buruk, mata dan surai mereka membara.
"Kau takkan bisa kabur dariku kali ini, Percy Jackson!" raung Hades.
"Hancurkan dia!"
"Ayah, jangan!" teriak Nico, tapi sudah terlambat. Barisan depan zombi
Romawi menurunkan tombak mereka dan maju.
Nyonya O'Leary menggeram dan bersiap menyerang. Mungkin itulah yang
menyulutku. Aku tak mau mereka melukai anjingku. Plus, aku bosan dengan
Hades yang selalu jadi tukang gencet. Kalau aku bakal mati, aku sebaiknya tewas
setelah berjuang. Aku berteriak dan Sungai Styx meledak. Ombak hitam menghantam para
tentara. Tombak dan tameng beterbangan ke mana-mana. Para zombi Romawi
mulai terbuyarkan, asap keluar dari helm perunggu mereka.
Para seragam merah menurunkan bayonet mereka, tapi aku tidak menunggu
mereka. Aku menyerbu. Itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Ratusan senapan
menembakiku, dari jarak dekat. Semuanya meleset. Aku menabrak barisan mereka
dan mulai mencincang dengan Riptide. Bayonet menusuk. Pedang menebas.
Senjata api diisi ulang dan ditembakkan. Tidak ada yang menyentuhku.
Aku berputar menembus barisan tentara, menyabet seragam merah hingga
jadi debu, satu demi satu. Pikiranku berjalan dengan autopilot: tikam,
menghindar, sayat, pantulkan, putar. Riptide bukan lagi sebilah pedang. Riptide jadi
lengkung penghancur total. Aku menembus barisan musuh dan melompat ke kereta perang hitam.
Hades mengangkat tongkatnya. Kilatan energi gelap melejit ke arahku, tapi aku
memantulkannya dengan bilah pedangku dan menyerbunya. Baik sang dewa
maupun aku jatuh dari kereta perang.
Hal berikutnya yang kutahu, lututku tertempel di dada Hades. Aku
memegangi kerah jubah kerajaannya dalam satu kepalan dan ujung pedangku
dimiringkan tepat di atas wajahnya.
Hening. Pasukan tidak melakukan apa pun untuk melindungi tuan mereka.
Aku melirik ke belakang dan menyadari sebabnya. Tidak ada yang tersisa dari
mereka kecuali senjata di pasir dan tumpukan seragam kosong yang berasap. Aku
sudah menghancurkan mereka semua.
Hades menelan ludah. "Nah, Jackson, dengarkan ... "
Dia abadi. Tidak mungkin aku bisa membunuhnya, tapi dewa bisa dilukai.
Aku tahu itu dari pengalaman pribadi, dan menurut tebakanku pedang di
wajahnya ini pasti tak terasa menyenangkan baginya.
"Cuma karena aku ini orang baik," bentakku, "akan kubiarkan Paman pergi.
Tapi pertama-tama, beri tahu aku tentang jebakan itu!"
Hades meleleh dan menghilang, meninggalkanku memegangi jubah hitam
kosong.

Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menyumpah dan bangkit, bernapas tersengal-sengal. Sekarang setelah
bahaya berakhir, kusadari betapa lelahnya aku. Setiap otot di tubuhku ngilu. Aku
memandangi pakaianku. Pakaianku dicacah hingga robek-robek dan dipenuhi
lubang peluru, tapi aku baik-baik saja. Tidak ada bekas padaku.
Mulut Nico menganga. "Kau baru saja ... dengan sebilah pedang ... kau
baru saja - " "Sepertinya mandi di sungai ada khasiatnya," kataku.
"Oh, ya ampun," kata Nico sarkastis. "Sepertinya?"
Nyonya O'Leary menggonggong gembira dan menggoyang-goyangkan
ekornya. Dia melompat ke sana-kemari, mengendus seragam kosong dan berburu
tulang. Aku mengangkat jubah Hades. Aku masih bisa melihat wajah-wajah
tersiksa berdenyar di jubahnya.
Aku berjalan ke tepi sungai. "Bebaslah."
Aku menjatuhkan jubah ke air dan memperhatikan saat jubah tersebut
terhanyut, melarut dalam arus.
"Kembalilah ke ayahmu," kataku kepada Nico. "Beri tahu dia dia berutang
padaku karena sudah membiarkannya pergi. Cari tahu apa yang akan terjadi pada
Gunung Olympus dan yakinkan dia supaya membantu."
Nico menatapku. "Aku ... aku nggak bisa. Dia pasti benci aku sekarang.
Maksudku ... lebih membenciku."
"Kau harus melakukannya," kataku. "Kau berutang padaku juga."
Kupingnya jadi merah. "Percy, sudah kukatakan padamu aku minta maaf.
Kumohon ... biarkan aku ikut denganmu. Aku ingin bertarung."
"Kau akan lebih membantu di bawah sini."
"Maksudmu kau nggak memercayaiku lagi," katanya nelangsa.
Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu apa yang kumaksud. Aku terlalu
terperanjat oleh apa yang baru saja kulakukan dalam pertempuran sehingga tidak
bisa berpikir jernih. "Kembali sajalah ke ayahmu," kataku, mencoba tidak terdengar terlalu
kasar. "Urus dia. Kaulah satu-satunya orang yang mungkin bisa membuatnya
mendengarkan." "Itu pemikiran yang bikin depresi." Nico mendesah. "Baiklah. Akan
kulakukan yang terbaik. Lagi pula, dia masih menyembunyikan sesuatu tentang
ibuku. Mungkin aku bisa mencari tahu apa itu."
"Semoga berhasil. Sekarang Nyonya O'Leary dan aku harus pergi."
"Ke mana?" kata Nico.
Aku memandang jalan masuk gua dan memikirkan perjalanan naik yang
panjang ke dunia orang hidup. "Untuk memulai perang ini. Sudah waktunya aku
mencari Luke." SEMBILAN Dua Ular Menyelamatkan Nyawaku Aku suka sekali New York. Kau bisa keluar dari Dunia Bawah di Central Park,
memanggil taksi, menyusuri Fifth Avenue sambil diikuti seekor anjing neraka yang
melenggang di belakangmu, dan bahkan tak seorang pun memandangimu dengan
tatapan aneh. Tentu saja, Kabut membantu. Orang-orang barangkali tak bisa melihat
Nyonya O'Leary, atau mungkin mereka kira dia adalah truk besar ribut yang
sangat ramah. Aku mengambil risiko dengan memakai ponsel ibuku guna menelepon
Annabeth untuk kedua kalinya. Aku sudah meneleponnya sekali dari terowongan
tapi cuma tersambung dengan pesan suara. Yang mengejutkan, sambungannya
bagus, mengingat aku sedang ada di pusat mitologi dunia dan sebagainya, tapi aku
tak mau melihat berapa tagihan roaming ibuku nantinya.
Kali ini, Annabeth mengangkat telepon.
"Hei," kataku. "Kau dapat pesanku?"
"Percy, ke mana saja kau" Pesanmu hampir tidak menyampaikan apa-apa!
Kami khawatir setengah mati!"
"Akan kuceritakan padamu nanti," kataku, meskipun aku tidak tahu
bagaimana aku akan melakukannya. "Di mana kau?"
"Kami sedang dalam perjalanan seperti yang kauminta, hampir sampai di
Terowongan Queens-Midtown. Tapi, Percy, apa yang kaurencanakan" Kami
meninggalkan perkemahan praktis nggak terjaga, dan nggak mungkin para dewa
- " "Percayalah padaku," kataku. "Sampai ketemu di sana."
Aku menutup telepon. Tanganku gemetaran. Aku tidak yakin apakah ini
adalah reaksi sisa dari pencelupan diriku ke Styx, atau kegelisahan karena apa
yang akan kulakukan. Kalau ini tak berhasil, menjadi kebal tak bakalan
menyelamatkanku dari diledakkan sampai berkeping-keping.
Hari sudah sore waktu taksi menurunkanku di Empire State Building. Nyonya
O'Leary melompat-lompat di Fifth Avenue, menjilati taksi dan mengendus-endus
gerobak hot dog. Tak seorang pun tampaknya memperhatikannya, walaupun orangorang
memang menjauh dan terlihat bingung saat ia mendekat.
Aku bersiul supaya ia duduk saat tiga van putih menepi ke trotoar. Tulisan
di sampingnya adalah Layanan Stroberi Delphi, nama samaran untuk Perkemahan
Blasteran. Aku tidak pernah melihat ketiga van berada di satu tempat pada saat
bersamaan, meskipun aku tahu van-van tersebut mengantarkan produk-produk
segar kami ke kota. Van pertama dikemudikan oleh Argus, kepala keamanan kami yang bermata
banyak. Dua lagi dikemudikan oleh para harpy, yang pada dasarnya adalah hibrida
iblis manusia/ayam berperilaku buruk. Kami menggunakan harpy terutama untuk
membersihkan perkemahan, tapi mereka lumayan jago bermanuver di lalu lintas
tengah kota juga. Pintu bergeser terbuka. Sekumpulan pekemah keluar, beberapa kelihatan
sedikit pucat karena perjalanan berkendara yang lama. Aku lega banyak sekali
yang datang: Pollux, Silena Beauregard, Stoll bersaudara, Michael Yew, Jake
Mason, Katie Gardner, dan Annabeth, beserta sebagian besar saudara mereka. Chiron
keluar dari van terakhir. Bagian tubuh kudanya dimampatkan dalam kursi roda
ajaibnya, jadi dia menggunakan lift penyandang cacat. Pondok Ares tak berada di
sini, tapi aku mencoba tidak terlalu marah soal itu. Clarisse adalah orang idiot
keras kepala. Akhir cerita.
Aku menghitung: total empat puluh pekemah.
Tidak banyak untuk bertempur dalam perang, tapi ini masih merupakan
kelompok blasteran terbesar yang pernah kulihat berkumpul di satu tempat di luar
perkemahan. Semua terlihat gugup dan aku paham sebabnya. Kami barangkali
mengirimkan banyak sekali aura blasteran sehingga setiap monster di Amerika
Serikat timur laut tahu kami di sini.
Saat aku memandang wajah mereka - semua pekemah yang sudah kukenal
selama musim panas-musim panas ini - sebuah suara yang merongrong berbisik di
benakku: Salah seorang dari mereka adalah mata-mata.
Tapi aku tidak bisa merenungi itu. Mereka teman-temanku. Aku butuh
mereka. Lalu kuingat senyum jahat Kronos. Kau tidak bisa mengandalkan teman. Mereka
selalu mengecewakanmu. Annabeth menghampiriku. Dia mengenakan baju kamuflase hitam dengan
pisau perunggu langit terpasang di lengannya dan tas laptop tersandang di
bahunya - siap untuk menikam atau menjelajahi Internet, yang mana pun yang datang
duluan. Dia mengerutkan kening. "Ada apa?"
"Apa yang apa?" tanyaku.
"Caramu memandangku aneh."
Aku menyadari aku sedang memikirkan penglihatan anehku tentang
Annabeth yang menarikku keluar dari Sungai Styx. "Eh, bukan apa-apa." Aku
menoleh menghadap para anggota kelompok yang lain. "Makasih sudah datang,
Semuanya. Pak Chiron, silakan."
Mentor lamaku menggelengkan kepala. "Aku datang untuk mendoakan agar
kau berhasil, Nak. Tapi aku memastikan aku tidak pernah mengunjungi Olympus
kecuali aku dipanggil."
"Tapi Bapaklah pemimpin kami."
Dia tersenyum. "Aku adalah pelatihmu, gurumu. Itu tidak sama dengan
menjadi pemimpinmu. Akan kukumpulkan para sekutu sebisaku. Mungkin belum
terlambat meyakinkan saudaraku para centaurus untuk membantu. Sementara itu,
kau yang memanggil para pekemah ke sini, Percy. Kaulah pemimpinnya."
Aku ingin protes, tapi semua orang memandangku penuh harap, bahkan
Annabeth. Aku menarik napas dalam-dalam. "Oke, seperti yang kuberitahukan kepada
Annabeth di telepon, sesuatu yang buruk akan terjadi malam ini. Semacam
jebakan. Kita harus mendapat izin untuk menghadap Zeus dan meyakinkannya
agar mempertahankan kota. Ingat, kita tidak bisa menerima kata tidak sebagai
jawaban." Aku minta Argus agar menjaga Nyonya O'Leary. Baik Argus maupun
Nyonya O'Leary kelihatannya tidak senang dengan itu.
Chiron menjabat tanganku. "Kau akan melakukan segalanya dengan baik,
Percy. Ingat saja kekuatanmu dan waspadalah atas kelemahanmu."
Perkataan Chiron, seramnya, terdengar mendekati apa yang diucapkan
Achilles kepadaku. Lalu aku ingat bahwa Chiron-lah yang mengajar Achilles. Itu
sebetulnya tidak menenangkanku, tapi aku mengangguk dan berusaha memberinya senyum percaya diri.
"Ayo pergi," kataku kepada para pekemah.
Penjaga keamanan sedang duduk di belakang meja di lobi, membaca buku hitam
besar dengan bunga di sampulnya. Dia melirik ke atas saat kami semua masuk
dengan senjata dan baju zirah yang berkelontangan. "Karyawisata sekolah" Kami
mau tutup." "Bukan," kataku. "Lantai enam ratus."
Dia mengamati kami. Matanya biru pucat dan kepalanya botak licin. Aku
tidak tahu apakah dia manusia atau bukan, tapi dia tampaknya melihat senjata
kami, jadi kukira dia tidak ditipu oleh Kabut.
"Tidak ada lantai enam ratus, Bocah." Dia mengatakannya seolah itu adalah
kalimat wajib yang tidak dipercayainya. "Menyingkirlah."
Aku mencondongkan badan melampaui meja. "Empat puluh blasteran
menarik banyak sekali monster. Anda benar-benar mau kami nongkrong di lobi
Anda?" Dia memikirkan itu. Lalu dia menekan tombol dan gerbang pengaman
terbuka. "Yang cepat."
"Anda pasti nggak mau kami melewati detektor logam," imbuhku.
"Eh, ya," dia sepakat. "Lift di kanan. Kurasa kau tahu jalannya."
Aku melemparkan sekeping drachma emas kepadanya dan kami berbaris
lewat. Kami putuskan bakal butuh dua kali perjalanan untuk memasukkan semua
orang ke lift. Aku ikut dengan kelompok pertama. Musik lift yang berbeda
dimainkan sejak kunjungan terakhirku - lagu disko lama "Stayin' Alive" itu.
Bayangan mengerikan melintas dalam benakku, berupa Apollo yang bercelana
bellbottom dan berkemeja sutra ketat.
Aku lega saat pintu lift akhirnya berdenting terbuka. Di depan kami, jalan
setapak berupa batu-batu melayang mengarah menembus awan ke Gunung
Olympus, terapung seribu delapan ratus meter di atas Manhattan.
Aku sudah pernah melihat Olympus beberapa kali, tapi tempat itu masih
membuatku terkesima. Rumah-rumah mewah berkilau emas dan putih dilatarbelakangi sisi-sisi gunung. Taman-taman merekah di ratusan teras. Asap
wangi membubung dari tungku yang mengapit jalan berkelok-kelok. Dan tepat di
puncak bubungan berselimut salju berdirilah istana utama para dewa. Istana
tersebut terlihat semegah biasanya, tapi sesuatu tampak tidak beres. Kemudian
kusadari gunung tersebut sunyi - tidak ada musik, tidak ada suara, tidak ada tawa.
Annabeth mengamatiku. "Kau terlihat ... berbeda," dia memutuskan. "Ke
mana persisnya kau pergi?"
Pintu lift terbuka lagi, dan kelompok blasteran kedua bergabung dengan
kami. "Kuberi tahu kau nanti," kataku. "Ayo."
Kami berjalan menyeberangi jembatan langit ke jalanan Olympus. Toko-toko
tutup. Taman-taman kosong. Sepasang Mousai duduk di bangku sambil memetik
lira berapi, tapi mereka tampaknya tidak sepenuh hati. Satu Cyclops menyapu
jalan dengan pohon ek yang dicabut. Satu dewa minor melihat kami dari balkon dan
merunduk ke dalam, menutup kerainya.
Kami melewati gerbang lengkung marmer besar dengan patung Zeus dan
Hera di masing-masing sisi. Annabeth cemberut kepada ratu para dewa.
"Aku benci dia," gerutunya.
"Apa dia mengutukmu atau semacamnya?" tanyaku. Tahun lalu Annabeth
membuat Hera kesal, tapi Annabeth tidak pernah betul-betul membicarakannya
sejak saat itu. "Cuma hal kecil sejauh ini," katanya. "Hewan keramatnya adalah sapi,
kan?" "Benar." "Jadi, dia mengirimkan sapi-sapi untuk mengejarku."
Aku berusaha tidak tersenyum. "Sapi" Di San Fransisco?"
"Iya. Biasanya aku tidak melihat mereka, tapi para sapi meninggalkan
hadiah kecil untukku di mana-mana - di halaman belakang kami, di trotoar, di
lorong sekolah. Aku harus hati-hati melangkah."
"Lihat!" seru Pollux, menunjuk ke cakrawala. "Apa itu?"
Kami semua membeku. Sinar-sinar biru melintasi langit malam menuju
Olympus seperti komet kecil. Sinar-sinar tersebut tampaknya berasal dari segala
penjuru kota, tepat menuju ke gunung. Saat cahaya-cahaya itu semakin dekat,
cahaya-cahaya tersebut padam. Kami memperhatikannya selama beberapa menit
dan sinar-sinar tersebut tampaknya tidak menimbulkan kerusakan, tapi tetap saja
aneh. "Seperti teleskop inframerah," gumam Michael Yew. "Kita dijadikan
sasaran." "Ayo kita ke istana," kataku.
Tak ada yang menjaga aula para dewa. Pintu emas-perak menjeblak terbuka.
Langkah kaki kami bergema saat kami berjalan masuk ke ruangan singgasana.
Tentu saja, "ruangan" sebenarnya kurang tepat. Tempat itu seukuran
Madison Square Garden. Tinggi di atas, langit-langit biru kerlap-kerlip dihiasi
rasi bintang. Dua belas singgasana raksasa kosong yang tertata dalam bentuk U
mengelilingi sebuah perapian. Di satu sudut, globe air seukuran rumah melayang
di udara, dan di dalamnya berenanglah teman lamaku si Ophiotaurus, setengah
sapi, setengah ular. "Moooo!" katanya gembira, berputar-putar.
Terlepas dari semua hal serius yang sedang terjadi, aku mau tak mau
tersenyum. Dua tahun lalu kami menghabiskan banyak waktu untuk mencoba
menyelamatkan si Ophiotaurus dari para Titan, dan aku bisa dibilang jadi sayang
padanya. Si Ophiotaurus jantan tampaknya suka padaku juga, meskipun aku
awalnya mengira dia betina dan menamainya Bessie.
"Hei, Bung," kataku. "Mereka memperlakukanmu dengan baik?"
"Mooo," jawab Bessie.
Kami berjalan menghampiri singgasana, dan suara seorang wanita berkata,
"Halo lagi, Percy Jackson. Selamat datang untukmu dan teman-temanmu."
Hestia berdiri di samping perapian, menusuk-nusuk lidah api dengan
sebatang tongkat. Dia mengenakan gaun cokelat sederhana yang sama seperti yang
dipakainya sebelumnya, tapi dia sekarang jadi wanita dewasa.
Aku membungkuk. "Dewi Hestia."
Teman-temanku mengikuti contohku.
Hestia memandangku dengan mata merahnya yang berkilat. "Kulihat kau


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah menjalankan rencanamu. Kau menanggung kutukan Achilles."
Para pekemah lain mulai berkasak-kusuk: Apa yang dikatakannya" Ada apa
soal Achilles" "Kau harus berhati-hati," Hestia memperingatiku. "Kau memperoleh
banyak hal dalam perjalananmu. Tapi kau masih buta terhadap sebagian besar
kebenaran yang penting. Mungkin sudah waktunya kau melihat sekilas."
Annabeth menyikutku. "Eh ... apa yang dibicarakannya?"
Aku menatap mata Hestia, dan sebuah citra mendadak masuk ke dalam
benakku: kulihat gang gelap di antara gudang-gudang bata merah. Sebuah plang di
atas salah satu pintu berbunyi PABRIK BESI RICHMOND.
Dua blasteran meringkuk di bayang-bayang - seorang anak laki-laki
berumur kira-kira empat belas tahun dan seorang anak perempuan dua belas
tahunan. Aku terkesiap, menyadari bahwa anak laki-laki itu adalah Luke. Anak
perempuan adalah Thalia, putri Zeus. Aku sedang melihat peristiwa dari masa lalu
saat mereka dalam pelarian, sebelum Grover menemukan mereka.
Luke membawa pisau perunggu. Thalia membawa tombak dan perisai
terornya, Aegis. Luke dan Thalia sama-sama terlihat lapar dan kurus kering,
dengan mata liar seperti binatang, seolah-olah mereka terbiasa diserang.
"Kau yakin?" tanya Thalia.
Luke mengangguk. "Ada sesuatu di sini. Aku merasakannya."
Gemuruh bergema dari gang, seperti seseorang yang memukul-mukul
selembar logam. Para blasteran merayap maju.
Peti-peti tua ditumpuk di dok bongkar-muat. Thalia dan Luke mendekat
dengan senjata terhunus. Tirai seng bergetar seakan-akan sesuatu berada di
belakangnya. Thalia melirik Luke. Luke menghitung tanpa suara: Satu, dua, tiga! Dia
menyibakkan seng, dan seorang gadis kecil menyerbunya dengan sebuah palu.
"Whoa!" kata Luke.
Gadis itu berambut pirang kusut dan mengenakan piama flanel. Dia tidak
mungkin berusia lebih dari tujuh tahun, tapi dia pasti bakal bikin Luke gegar
otak seandainya Luke tidak secepat itu.
Luke menggenggam pergelangan tangan si gadis kecil, dan palu
menggelincir di semen. Si gadis kecil melawan dan menendang-nendang. "Jangan monster lagi!
Pergi!" "Tidak apa-apa!" Luke berjuang memeganginya. "Thalia, tutup perisaimu.
Kau membuatnya takut."
Thalia menepuk Aegis, dan perisai tersebut menciut menjadi gelang perak.
"Hei, tidak apa-apa," kata Thalia. "Kami nggak akan menyakitimu. Aku Thalia. Ini
Luke." "Monster!" "Bukan," janji Luke. "Tapi kami tahu segalanya tentang monster. Kami
melawan mereka juga."
Pelan-pelan, anak perempuan itu berhenti menendang. Dia mengamati Luke
dan Thalia dengan mata abu-abu cerdas.
"Kalian seperti aku?" katanya curiga.
"Iya," kata Luke. "Kami ... yah, susah dijelaskan, tapi kami pembasmi
monster. Di mana keluargamu?"
"Keluargaku benci aku," kata gadis itu. "Mereka tidak menginginkanku.
Aku kabur." Thalia dan Luke bertatapan. Aku tahu mereka berdua berempati padanya.
Mereka berdua juga melarikan diri dari keluarga mereka.
"Siapa namamu, Bocah?" tanya Thalia.
"Annabeth." Luke tersenyum. "Nama yang bagus. Kuberi tahu kau, Annabeth - kau
lumayan tangguh. Kami bisa memanfaatkan petarung sepertimu."
Mata Annabeth melebar. "Betulkah?"
"Oh, iya." Luke memutar pisaunya dan menyodorkan gagangnya kepada
Annabeth. "Apa kau mau senjata pembasmi monster sungguhan" Ini perunggu
langit. Kerjanya lebih bagus daripada palu."
Mungkin pada sebagian besar kesempatan, memberi anak umur tujuh tahun
pisau bukanlah ide bagus, tapi saat kau seorang blasteran, aturan biasa tidak
berlaku. Annabeth mencengkeram gagang pisau.
"Pisau hanyalah untuk petarung paling berani dan paling gesit," Luke
menjelaskan. "Jangkauan atau kekuatannya tidak sebesar pedang, tapi pisau
mudah disembunyikan dan pisau bisa menemukan titik lemah di baju zirah
musuhmu. Butuh pendekar pintar untuk menggunakan pisau. Aku punya firasat
kau cukup pintar." Annabeth memandang Luke dengan kagum. "Aku memang pintar!"
Thalia nyengir. "Kita sebaiknya pergi, Annabeth. Kami punya rumah aman
di Sungai James. Ada pakaian dan makanan untukmu."
"Kalian ... kalian tidak akan mengembalikanku ke keluargaku?" kata
Annabeth. "Janji?"
Luke meletakkan tangannya di bahu Annabeth. "Kau bagian dari keluarga
kami sekarang. Dan aku janji aku takkan membiarkan apa pun melukaimu. Aku
nggak akan mengecewakanmu seperti keluarga kita mengecewakan kita. Sepakat?"
"Sepakat!" kata Annabeth gembira.
"Nah, ayolah," kata Thalia. "Kita nggak bisa diam di sini lama-lama!"
Pemandangan berubah. Tiga blasteran sedang lari di hutan. Pasti sudah
beberapa hari kemudian, mungkin bahkan berminggu-minggu. Mereka semua
terlihat babak belur, seperti baru bertempur. Annabeth mengenakan pakaian baru
- jins dan jaket tentara kebesaran.
"Sedikit lebih jauh lagi!" janji Luke. Annabeth terpeleset, dan Luke
menggenggam tangannya. Thalia berada di belakang, menyandang perisainya
seolah sedang menghalau entah apa yang mengejar mereka. Kaki kirinya
terpincang-pincang. Mereka tergopoh-gopoh menuju sebuah punggung bukit dan memandang
ke sisi seberang, ke sebuah rumah putih bergaya Kolonial - rumah May Castellan.
"Baiklah," kata Luke, bernapas terengah-engah. "Aku akan menyelinap
masuk dan mengambil makanan serta obat. Tunggu di sini."
"Luke, apa kau yakin?" tanya Thalia. "Kau bersumpah kau nggak akan
pernah kembali ke sini. Kalau dia menangkapmu - "
"Kita nggak punya pilihan!" geram Luke. "Mereka membakar rumah aman
kita yang terdekat. Dan kau harus mengobati luka kakimu itu."
"Ini rumahmu?" kata Annabeth takjub.
"Itu dulu rumahku," gumam Luke. "Percayalah padaku, kalau bukan karena
keadaan darurat - " "Apakah ibumu sungguh semengerikan itu?" tanya Annabeth. "Boleh kami
melihatnya?" "Nggak!" bentak Luke.
Annabeth mengkeret menjauhi Luke seolah amarah Luke mengejutkannya.
"Aku ... aku minta maaf," kata Luke. "Tunggu saja di sini. Aku janji
segalanya akan baik-baik saja. Nggak akan ada yang menyakitimu. Aku akan
kembali - " Kilat keemasan cemerlang menerangi hutan. Para blasteran berjengit, dan
suara seorang pria menggelegar: "Kau seharusnya nggak pulang ke rumah?"
Penampakan tersebut menghilang.
Lututku lemas, tapi Annabeth memegangiku. "Percy! Apa yang terjadi?"
"Apa ... apa kaulihat itu?" tanyaku.
"Lihat apa?" Aku melirik Hestia, tapi wajah sang dewi tanpa ekspresi. Aku ingat sesuatu
yang dikatakannya kepadaku di hutan: Jika kau ingin memahami musuhmu Luke, kau
harus memahami keluarganya. Tapi kenapa dia menunjukiku peristiwa-peristiwa
tadi" "Berapa lama aku nggak sadar?" gumamku.
Annabeth mengerutkan alisnya. "Percy, kau sadar sepenuhnya. Kau cuma
memandang Hestia selama sedetikan dan kolaps."
Aku bisa merasakan pandangan mata semua orang padaku. Aku tidak boleh
kelihatan lemah. Apa pun maksud penampakan tadi, aku harus tetap fokus pada
misiku. "Eh, Dewi Hestia," kataku, "kami datang untuk urusan mendesak. Kami
harus bertemu - " "Kami tahu apa yang kalian butuhkan," kata suara seorang pria. Aku
gemetar, sebab suara itu sama dengan suara yang kudengar dalam penampakan.
Seorang dewa berdenyar hingga muncul di sebelah Hestia. Dia berpenampilan seperti pria dua puluh lima tahunan, dengan rambut perak keriting
dan rupa seperti peri. Dia mengenakan baju tempur penerbang militer, dengan
sayap burung mungil mengepak di helm dan sepatu bot kulit hitam. Di lekukan
lengannya terdapat tongkat panjang yang dililiti dua ular hidup.
"Aku permisi," kata Hestia. Dia membungkuk kepada si penerbang dan
menghilang menjadi asap. Aku mengerti kenapa dia tidak sabar ingin pergi.
Hermes, Dewa Utusan, tidak kelihatan senang.
"Halo, Percy." Alisnya berkerut seolah-olah dia kesal padaku, dan aku
bertanya-tanya apakah dia entah bagaimana tahu tentang penampakan yang baru
saja kudapatkan" Aku ingin bertanya alasan dia ada di rumah May Castellan
malam itu, dan apa yang terjadi setelah dia menangkap Luke" Aku ingat pertama
kali aku berjumpa Luke di Perkemahan Blasteran. Kutanya dia apakah dia pernah
bertemu ayahnya, dan dia memandangku dengan getir dan berkata, Sekali. Tapi aku
bisa tahu dari ekspresi Hermes bahwa ini bukan waktunya bertanya.
Aku membungkuk canggung. "Tuan Hermes."
Oh, nggak apa-apa, salah satu ular berkata dalam pikiranku. Nggak usah bilang
hai pada kami. Kami cuma reptil.
George, tegur ular yang satu lagi. Yang sopan.
"Halo, George," kataku. "Hei, Martha."
Apa kaubawakan kami tikus" tanya George.
George, hentikan, kata Martha. Dia sibuk!
Terlalu sibuk untuk bawa tikus" kata George. Sayang sekali.
Kuputuskan bahwa lebih baik tidak menggubris George. "Eh, Tuan
Hermes," kataku. "Kami harus bicara kepada Zeus. Ini penting."
Mata Hermes sedingin es. "Aku adalah utusannya. Boleh kuterima
pesanmu?" Di belakangku, para blasteran lain bergerak-gerak gelisah. Ini tidak berjalan
sesuai rencana. Mungkin kalau aku mencoba bicara dengan Hermes secara pribadi
... "Teman-teman," kataku. "Bagaimana kalau kalian memeriksa kota"
Mengecek pertahanan. Lihat siapa yang tertinggal di Olympus. Temui Annabeth
dan aku tiga puluh menit lagi."
Silena mengerutkan kening. "Tapi - "
"Itu ide bagus," kata Annabeth. "Connor dan Travis, kalian berdua yang
pimpin." Stoll bersaudara tampaknya menyukai itu - diserahi tanggung jawab penting
tepat di depan ayah mereka. Mereka biasanya tidak pernah memimpin apa pun
kecuali razia tisu toilet. "Kami siap!" kata Travis. Mereka menggiring yang lain
ke luar ruang singgasana, meninggalkan Annabeth dan aku bersama Hermes.
"Tuan," kata Annabeth. "Kronos akan menyerang New York. Tuan pasti
mencurigai itu. Ibu saya pasti sudah memperkirakannya."
"Ibumu," gerutu Hermes. Dia menggaruk-garuk punggungnya dengan
caduceus, dan George serta Martha berkomat-kamit Aduh, aduh, aduh. "Jangan buat
aku mulai bicara tentang ibumu, Nona Muda. Dialah alasanku ada di sini. Zeus
tidak ingin satu pun dari kami meninggalkan garis depan. Tapi ibumu terus
merongrongnya tanpa henti, 'Ini jebakan, ini pengalih perhatian, bla, bla, bla.'
Dia ingin kembali sendiri, tapi Zeus tidak akan membiarkan ahli strategi nomor
satunya meninggalkan sisinya sementara kami bertarung melawan Typhon. Dan
tentu saja dia justru mengutusku untuk bicara kepada kalian."
"Tapi ini memang jebakan!" Annabeth berkeras. "Apa Zeus buta?"
Guntur menggelegar di langit.
"Aku akan hati-hati berkomentar, Gadis Kecil," Hermes memperingati.
"Zeus tidak buta ataupun tuli. Dia tidak meninggalkan Olympus dalam keadaan tak
terjaga sepenuhnya."
"Tapi ada sinar biru itu - "
"Ya, ya. Aku melihatnya. Kejailan dewi sihir menyebalkan itu, Hecate, aku
bertaruh, tapi kau mungkin menyadari bahwa perbuatannya tidak menimbulkan
kerusakan apa pun. Olympus punya benteng magis yang kuat. Lagi pula, Aeolus,
Raja Angin, sudah mengirimkan para anak buahnya yang paling kuat untuk
menjaga kota benteng ini. Tak satu pun kecuali para dewa bisa mendekati Olympus
dari udara. Mereka akan terpental dari udara."
Aku mengangkat tangan. "Eh ... bagaimana dengan muncul tiba-tiba atau
berteleportasi seperti yang biasa Anda semua lakukan?"
"Itu juga merupakan sebentuk perjalanan udara, Jackson. Sangat cepat, tapi
para dewa angin lebih cepat. Tidak, jika Kronos menginginkan Olympus, dia harus
berderap melewati kota beserta pasukannya dan naik lift! Bisakah kaubayangkan
dia melakukan ini?" Hermes membuatnya terdengar lumayan konyol - kawanan monster naik lift
dua puluh-dua puluh, mendengarkan "Stayin' Alive". Walau begitu, aku tetap
tidak menyukainya. "Mungkin beberapa saja dari Anda sekalian bisa kembali," aku menyarankan. Hermes menggelengkan kepalanya tak sabaran. "Percy Jackson, kau tidak
mengerti. Typhon adalah musuh terbesar kami."
"Kukira musuh terbesar kalian Kronos."
Mata si dewa menyala-nyala. "Bukan, Percy. Pada zaman dahulu, Olympus
hampir dijungkalkan oleh Typhon. Dia adalah suami Echidna - "
"Pernah ketemu dia di Arch," gumamku. "Nggak ramah."
" - dan ayah semua monster. Kami tak pernah bisa lupa betapa dia nyaris
menghancurkan kami semua; betapa dia mempermalukan kami! Kami lebih kuat
pada zaman dahulu. Kini kami tidak bisa mengharapkan bantuan dari Poseidon
karena dia sedang bertempur dalam perangnya sendiri. Hades duduk di
kerajaannya dan tidak melakukan apa-apa, dan Demeter serta Persephone
mengikuti teladannya. Akan butuh semua kekuatan kami yang tersisa untuk
melawan raksasa badai tersebut. Kami tidak bisa memecah-mecah kekuatan kami,
ataupun menunggu hingga dia sampai di New York. Kami harus melawannya
sekarang. Dan kami sudah membuat kemajuan."
"Kemajuan?" kataku. "Dia hampir menghancurkan St. Louis."
"Ya," Hermes mengakui. "Tapi dia hanya menghancurkan setengah dari
Kentucky. Dia melambat. Kehilangan tenaga."
Aku tidak mau berdebat, tapi kedengarannya Hermes sedang mencoba
meyakinkan dirinya sendiri.
Di pojok, si Ophiotaurus melenguh sedih.
"Saya mohon, Tuan Hermes," kata Annabeth. "Tuan berkata ibu saya ingin
datang. Apakah dia memberi Anda pesan untuk kami?"
"Pesan," gerutu Hermes. "'Pekerjaan itu pasti luar biasa menyenangkan,'
mereka memberitahuku. 'Kerjanya sedikit. Dia kebanyakan pemuja.' Huh. Tidak
ada yang memedulikan apa yang kukatakan. Selalu soal pesan orang lain."
Hewan pengerat, George membatin. Aku ikutan demi hewan pengerat.
Ssst, tegur Martha. Kita peduli pada apa yang dikatakan Hermes. Bukan begitu,
George" Oh, tentu saja. Bisakah kita kembali bertempur sekarang" Aku ingin menembakkan
laser lagi. Itu asyik. "Diam, kalian berdua," gerutu Hermes.
Sang dewa memandang Annabeth, yang sedang menatapnya dengan mata


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelabu besar yang memohon-mohon.
"Bah," kata Hermes. "Ibumu berpesan agar memperingatimu bahwa kalian
sendirian. Kalian harus mempertahankan Manhattan tanpa pertolongan para dewa.
Seolah-olah aku tidak tahu itu. Kenapa mereka menggajinya untuk jadi dewi
kebijaksanaan, aku tidak yakin."
"Ada lagi?" tanya Annabeth.
"Dia mengatakan kau harus mencoba rencana dua puluh tiga. Dia berkata
kau akan tahu apa maksudnya itu."
Wajah Annabeth memucat. Jelas dia tahu apa artinya, dan dia tidak
menyukainya. "Lanjutkan."
"Hal terakhir." Hermes memandangku. "Dia menyuruhku memberi tahu
Percy: 'Ingatlah sungai.' Dan, eh, sesuatu soal jauh-jauh dari putrinya."
Aku tidak yakin wajah siapa yang lebih merah: wajah Annabeth atau
wajahku. "Terima kasih, Tuan Hermes," kata Annabeth. "Dan saya ... saya ingin
mengucapkan ... saya turut prihatin soal Luke."
Ekspresi sang dewa mengeras seakan-akan dia berubah jadi marmer. "Kau
seharusnya tidak menyinggung-nyinggung topik itu."
Annabeth melangkah mundur dengan gugup. "Maaf?"
"MAAF tidak cukup!"
George dan Martha melingkar di sekeliling caduceus, yang berdenyar dan
berubah menjadi sesuatu yang, aku curiga, mirip seperti tongkat sodok ternak
bervoltase tinggi. "Kau seharusnya menyelamatkannya ketika kau punya kesempatan,"
Hermes menggeram kepada Annabeth. "Kaulah satu-satunya yang bisa melakukannya." Aku mencoba menengahi mereka. "Apa yang Tuan bicarakan" Annabeth
tidak - " "Jangan membelanya, Percy Jackson!" Hermes menunjuk tongkat sodok
ternaknya ke arahku. "Dia tahu persis apa yang kubicarakan."
"Mungkin Tuan seharusnya menyalahkan diri Tuan sendiri!" Aku
semestinya tutup mulut, tapi yang kupikirkan hanyalah mengalihkan perhatiannya
dari Annabeth. Sepanjang waktu ini, Hermes tidak marah padaku. Dia marah pada
Annabeth. "Mungkin kalau Tuan tidak menelantarkan Luke dan ibunya!"
Hermes mengangkat tongkat sodok ternaknya. Dia mulai tumbuh hingga
tingginya tiga meter. Aku berpikir, Yah, mampus deh.
Tapi saat dia bersiap menyerang, George dan Martha mencondongkan badan
mendekat dan membisikkan sesuatu di telinganya.
Hermes menggertakkan giginya. Dia menurunkan tongkat sodok ternak,
yang kemudian kembali menjadi tongkat biasa.
"Percy Jackson," katanya, "karena kau telah menanggung kutukan Achilles,
aku mesti mengampunimu. Kau ada di tangan para Moirae yang mengatur nasib
sekarang. Tapi kau tidak boleh bicara seperti itu lagi kepadaku. Kau tidak tahu
berapa banyak yang telah kukorbankan, betapa banyak - "
Suaranya pecah, dan dia menciut kembali ke ukuran manusianya. "Putraku,
kebanggaan terbesarku ... May-ku yang malang ... "
Dia terdengar putus asa sehingga aku tak tahu harus berkata apa. Satu menit
dia siap membuat kami jadi uap. Sekarang dia kelihatannya butuh pelukan.
"Dengar, Tuan Hermes," kataku. "Saya minta maaf, tapi saya harus tahu.
Apa yang terjadi pada May" Dia mengatakan sesuatu soal nasib Luke, dan matanya
- " Hermes memelototiku, dan suaraku terputus. Akan tetapi, ekspresi di
wajahnya bukanlah amarah. Itu ekspresi sedih. Kepedihan mendalam yang luar
biasa. "Akan kutinggalkan kalian sekarang," katanya kaku. "Ada perang yang
harus kuperjuangkan."
Dia mulai bersinar. Aku berpaling dan memastikan Annabeth melakukan hal
yang sama, sebab dia masih beku karena terguncang.
Semoga beruntung, Percy, bisik Martha si ular.
Hermes menyala seterang supernova. Lalu dia lenyap.
Annabeth duduk di kaki singgasana ibunya dan menangis. Aku ingin
menghiburnya, tapi aku tak yakin bagaimana caranya.
"Annabeth," kataku, "bukan salahmu. Aku tidak pernah melihat Hermes
bersikap seperti itu. Kurasa ... entahlah ... dia barangkali merasa bersalah soal
Luke. Dia mencari seseorang untuk disalahkan. Aku nggak tahu kenapa dia
melampiaskannya padamu. Kau nggak melakukan apa-apa yang pantas disalahkan
seperti itu." Annabeth mengusap matanya. Dia menatap perapian seakan-akan itu adalah
api pemakamannya sendiri.
Aku memindahkan tumpuan, tak nyaman. "Eh, kau nggak melakukan apaapa, kan?"
Dia tidak menjawab. Pisau perunggu langitnya diikat ke lengannya - pisau
yang sama seperti yang kulihat dalam penampakan dari Hestia. Bertahun-tahun
ini, aku tidak sadar bahwa itu adalah hadiah dari Luke. Aku sudah sering
menanyainya kenapa dia lebih memilih bertarung menggunakan pisau alih-alih
pedang, dan dia tidak pernah menjawab pertanyaanku. Sekarang aku tahu.
"Percy," katanya. "Apa maksudmu tentang ibu Luke" Apa kau bertemu dia?"
Aku mengangguk enggan. "Nico dan aku mengunjunginya. Dia sedikit ...
berbeda." Kudeskripsikan May Castellan, dan momen aneh saat matanya mulai
menyala dan dia bicara tentang nasib putranya.
Annabeth mengerutkan kening. "Itu nggak masuk akal. Tapi kenapa kau
mengunjungi - " Matanya membelalak. "Hermes bilang kau menanggung kutukan
Achilles. Hestia mengatakan hal yang sama. Apa kau ... apa kau mandi di Sungai
Styx?" "Jangan mengubah topik."
"Percy! Iya atau nggak?"
"Eh ... mungkin sedikit."
Kuberi tahu dia cerita mengenai Hades dan Nico, dan bagaimana aku
mengalahkan pasukan orang mati. Aku tidak menceritakan penampakan tentang
dirinya yang menarikku dari sungai. Aku masih belum memahami bagian itu, dan
memikirkannya saja bikin aku malu.
Dia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Apa kau tahu betapa
berbahayanya itu?" "Aku nggak punya pilihan," kataku. "Itulah satu-satunya cara supaya aku
bisa menandingi Luke."
"Maksudmu ... di immortales, tentu saja! Itulah sebabnya kenapa Luke nggak
mati. Dia pergi ke Styx dan ... Oh, Luke, oh apa yang kaupikirkan?"
"Jadi, sekarang kau mengkhawatirkan Luke lagi," aku bersungut-sungut.
Annabeth menatapku seolah aku baru saja jatuh dari langit. "Apa?"
"Lupakan," gumamku. Aku bertanya-tanya apa maksud Hermes soal
Annabeth yang tidak menyelamatkan Luke saat dia punya kesempatan. Jelas ada
sesuatu yang tidak diberitahukan Annabeth kepadaku. Tapi saat ini aku tidak
ingin bertanya. Hal terakhir yang ingin kudengar adalah lebih banyak sejarah antara
dia dan Luke. "Intinya adalah dia nggak mati di Styx," kataku. "Aku juga. Sekarang aku
harus menghadapinya. Kita harus mempertahankan Olympus."
Annabeth masih mengamati wajahku, seakan-akan dia mencoba melihat
perbedaan sejak aku berenang di Styx. "Kurasa kau benar. Ibuku menyinggung - "
"Rencana dua puluh tiga."
Dia merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan laptop Daedalus. Simbol
Delta biru berpendar di atas laptop tersebut saat Annabeth menyalakannya. Dia
membuka beberapa file dan mulai membaca.
"Ini dia," katanya. "Demi para dewa, kita punya banyak pekerjaan."
"Salah satu temuan Daedalus?"
"Banyak temuan ... yang berbahaya. Jika ibuku ingin kita menggunakan
rencana ini, dia pasti berpendapat keadaannya sangat buruk." Annabeth
memandangku. "Bagaimana dengan pesannya untukmu: 'Ingatlah sungai'" Apa
maksudnya itu?" Aku menggelengkan kepalaku. Seperti biasa, aku nggak tahu sama sekali
apa yang diberitahukan para dewa kepadaku. Sungai mana yang harus kuingat"
Styx" Mississippi"
Tepat saat itu Stoll bersaudara berlari masuk ke ruang singgasana.
"Kalian harus melihat ini," kata Connor. "Sekarang."
Sinar biru di langit sudah berhenti, jadi pada mulanya aku tak mengerti apa
masalahnya. Para pekemah lain telah berkumpul di sebuah taman kecil di tepi gunung.
Mereka berkumpul di pagar pengaman, memandang ke bawah ke Manhattan. Di
pagar terdapat teropong-teropong wisatawan, tempat kau bisa memasukkan satu
drachma emas dan melihat kota. Para pekemah menggunakan semuanya.
Aku memandangi kota di bawah. Aku bisa melihat hampir semuanya dari
sini - Sungai East dan Sungai Hudson yang mengukir bentuk Manhattan, garisgaris
jalan, lampu gedung pencakar langit, bentangan gelap Central Park di utara.
Semua terlihat normal, tapi ada yang tidak beres. Aku merasakannya di
tulangtulangku sebelum aku menyadari apa itu.
"Aku tidak ... mendengar apa-apa," kata Annabeth.
Itulah masalahnya. Bahkan dari ketinggian ini, aku semestinya mendengar hiruk-pikuk kota jutaan orang hilir mudik, ribuan mobil dan mesin - dengung metropolis besar. Kau
tidak memikirkannya saat kau tinggal di New York, tapi bunyi itu selalu ada di
sana. Bahkan di tengah malam buta, New York tidak pernah hening.
Tapi New York sekarang hening.
Aku merasa seolah-olah teman baikku mendadak mati.
"Apa yang mereka lakukan?" Suaraku terdengar tercekat dan marah. "Apa
yang mereka lakukan pada kotaku?"
Aku mendorong Michael Yew menjauhi teropong dan melihat.
Di jalan-jalan di bawah, lalu lintas telah berhenti. Para pejalan kaki telah
tergeletak di trotoar, atau bergelung di ambang pintu. Tidak ada tanda-tanda
kekerasan, tidak ada kerusakan, tidak ada apa pun yang seperti itu. Tampaknya
seakan-akan semua orang di New York semata-mata memutuskan untuk
menghentikan apa pun yang tengah mereka lakukan dan terlelap.
"Apa mereka mati?" tanya Silena terperangah.
Es serasa melapisi perutku. Larik dalam ramalan berdenging di telingaku:
Dan saksikan dunia dalam tidur abadi. Aku ingat cerita Grover yang bertemu sang
dewa Morpheus di Central Park, Kau beruntung aku menyimpan tenagaku untuk ajang
utama. "Bukan mati," kataku. "Morpheus Manhattan. Invasi sudah dimulai."
sudah menidurkan seisi pulau SEPULUH Aku Membeli Teman Cuma Nyonya O'Leary yang senang karena kota tidur.
Kami menemukannya sedang menggasak gerobak hot dog yang terbalik
sementara pemiliknya bergelung di trotoar, mengisap jempolnya.
Argus menunggu kami dengan seratus matanya yang terbuka lebar. Dia
tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak pernah bicara. Kurasa itu karena dia konon
punya bola mata di lidahnya. Tapi dari wajahnya tampak jelas bahwa dia panik.
Kuberi tahu dia apa yang kami ketahui di Olympus, dan bagaimana para
dewa takkan datang menyelamatkan. Argus memutar-mutar matanya dengan jijik,
yang membuatnya kelihatan seperti orang teler, soalnya seluruh tubuhnya
berputar-putar. "Kau sebaiknya kembali ke perkemahan," aku memberitahunya. "Jaga
sebaik mungkin." Dia menunjukku dan mengangkat alisnya penasaran.
"Aku tinggal di sini," kataku.
Argus mengangguk, seolah jawaban ini memuaskannya. Dia memandang
Annabeth dan menggambar lingkaran di udara dengan jarinya.
"Ya," Annabeth sepakat. "Kupikir waktunya sudah tiba."
"Untuk apa?" Argus mencari-cari sesuatu di bagian belakang vannya. Dia mengeluarkan
sepasang perisai perunggu dan mengoperkannya kepada Annabeth. Perisai itu
kelihatannya biasa saja - jenis perisai bulat yang sama seperti yang selalu kami
gunakan dalam tangkap bendera. Tapi waktu Annabeth meletakkannya di tanah,
pantulan di logam mengilap berubah dari langit dan bangunan menjadi Patung
Liberty - yang sama sekali tidak berada di dekat kami.
"Whoa," kataku. "Perisai video."
"Salah satu ide Daedalus," kata Annabeth. "Aku minta Beckendorf
membuatkan ini untukku sebelum - " Dia melirik Silena. "Yah, pokoknya, perisai
ini membelokkan sinar matahari atau sinar bulan dari mana saja di dunia untuk
menciptakan pantulan. Kau secara harfiah bisa melihat target apa pun di bawah
matahari atau bulan, selama sinar alami menyentuhnya. Lihat."
Kami berkerumun mengelilingi sementara Annabeth berkonsentrasi. Gambar diperbesar dan berputar-putar pada awalnya, jadi aku merasa puyeng
hanya karena menontonnya. Kami berada di Kebun Binatang Central Park, lalu
mendekati East 60th, melewati Bloomingdale's, kemudian berbelok di Third Avenue.
"Whoa," kata Connor Stoll. "Mundur. Perbesar di sana."
"Apa?" kata Annabeth gugup. "Kau melihat penginvasi?"
"Bukan, tepat di sana - Toko Permen Dylan." Connor nyengir kepada
saudara laki-lakinya. "Sobat, toko itu buka. Dan semua orang tidur. Apa kau
memikirkan apa yang kupikirkan?"
"Connor!" tegur Katie Gardner. Dia terdengar persis seperti ibunya,
Demeter. "Ini serius. Kita tidak akan menjarah toko permen di tengah-tengah
perang!" "Sori," gumam Connor, tapi dia tidak terdengar menyesal.
Annabeth menelusurkan tangannya di depan perisai, dan pemandangan lain
muncul: FDR Drive, menghadap sungai dari Lighthouse Park.
"Ini akan memungkinkan kita melihat apa yang terjadi di seberang kota,"
katanya. "Terima kasih, Argus. Mudah-mudahan kami akan bertemu kau lagi di
perkemahan ... suatu hari nanti."
Argus menggeram. Dia memberiku ekspresi yang artinya jelas-jelas Semoga
berhasil; kalian bakal butuh keberuntungan, lalu memanjat ke dalam vannya. Dia
dan kedua sopir harpy berputar menjauh, menghindari kumpulan mobil tak bergerak
yang bertebaran di jalan.
Aku bersiul memanggil Nyonya O'Leary, dan dia datang melompat-lompat.
"Hei, Non," kataku. "Kauingat Grover" Satir yang kita temui di taman?"
"GUK!" Kuharap itu maksudnya Tentu aku ingat! Dan bukan, Apa kau punya hot dog
lagi" "Aku ingin kau mencarinya," kataku. "Pastikan dia masih terjaga. Kita bakal
butuh bantuannya. Kau paham itu" Cari Grover!"
Nyonya O'Leary memberiku ciuman basah kuyup, yang sepertinya tak
perlu. Kemudian dia berpacu ke utara.
Pollux berjongkok di samping seorang polisi yang tertidur. "Aku nggak
paham. Kenapa kita nggak jatuh tertidur juga" Kenapa cuma manusia fana?"
"Ini mantra yang besar," kata Silena Beauregard. "Semakin besar mantranya,
semakin mudah menolaknya. Jika kau ingin menidurkan jutaan manusia fana, kau
harus menghamparkan lapisan sihir yang sangat tipis. Menidurkan blasteran jauh
lebih sulit." Aku menatap Silena. "Kapan kau belajar sebanyak itu soal sihir?"
Silena merona. "Aku nggak menghabiskan semua waktuku di meja riasku."
"Percy," panggil Annabeth. Dia masih memandangi perisai. "Sebaiknya
kaulihat ini." Gambar perunggu menampakkan Selat Long Island di dekat La Guardia.


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Armada yang terdiri dari selusin kapal cepat melaju melintasi air gelap ke arah
Manhattan. Masing-masing kapal disesaki blasteran berpakaian tempur Yunani
lengkap. Di belakang kapal pemimpin, panji-panji ungu berhiaskan sabit hitam
berkibar ditiup angin malam. Aku tak pernah melihat desain itu sebelumnya, tapi
tak susah untuk menebaknya: bendera perang Kronos.
"Periksa perimeter pulau," kataku. "Cepat."
Annabeth mengubah pemandangan ke selatan, ke pelabuhan. Feri Pulau
Staten membelah ombak di dekat Pulau Ellis. Deknya dipenuhi dracaena dan
sekawanan anjing neraka. Di depan kapal berenanglah sekumpulan mamalia air.
Pada mulanya kukira mereka adalah lumba-lumba. Lalu kulihat muka mereka
yang mirip anjing dan pedang yang diikat ke pinggang mereka, dan kusadari
mereka adalah telekhine - monster laut.
Pemandangan berubah lagi: pesisir Jersey, tepat di jalan masuk Terowongan
Lincoln. Ratusan monster beraneka ragam sedang berbaris melewati jalur-jalur
lalu lintas yang terhenti: raksasa berpentungan, Cyclops berandalan, segelintir naga
yang menyemburkan api, dan hanya untuk melengkapi, tank Sherman zaman
Perang Dunia II, mendorong mobil yang menghalangi jalannya saat ia bergemuruh
masuk ke terowongan. "Apa yang terjadi pada manusia fana di luar Manhattan?" kataku. "Apa seisi
negara bagian ini tidur?"
Annabeth mengerutkan kening. "Menurutku nggak, tapi ini aneh. Sejauh
yang bisa kita tahu dari gambar-gambar ini, Manhattan tertidur sepenuhnya.
Kemudian ada kira-kira radius delapan puluh kilometer di sekitar pulau tempat
waktu berjalan sangat, sangat lambat. Semakin dekat ke Manhattan, semakin
lambatlah waktu." Dia menunjukiku pemandangan lain - jalan tol New Jersey. Saat itu Sabtu
malam, jadi lalu lintas tak separah pada hari kerja. Para pengemudi terlihat
terjaga, tapi mobil-mobil bergerak dengan kecepatan kira-kira satu setengah kilometer per
jam. Burung-burung terbang di atas dalam gerak lambat.
"Kronos," kataku. "Dia memelankan waktu."
"Hecate mungkin membantu," kata Katie Gardner. "Lihat bagaimana semua
mobil mengubah arah dari pintu Manhattan, seakan-akan mereka mendapat pesan
bawah sadar untuk berbalik."
"Entahlah." Annabeth terdengar sangat frustrasi. Dia benci tidak mengetahui
sesuatu. "Tapi entah bagaimana mereka mengelilingi Manhattan dengan
lapisanlapisan sihir. Dunia luar bahkan mungkin nggak menyadari ada sesuatu yang
nggak beres. Manusia fana mana pun yang menuju Manhattan akan memelan
sedemikian rupa sehingga mereka nggak tahu apa yang terjadi."
"Seperti lalat di batu amber," gumam Jake Mason.
Annabeth mengangguk. "Kita semestinya tidak mengharapkan ada bantuan
datang." Aku menoleh kepada teman-temanku. Mereka kelihatan terbengongbengong dan takut,
dan aku tak bisa menyalahkan mereka. Perisai telah menunjuki
kami paling tidak tiga ratus musuh dalam perjalanan. Kami cuma berempat puluh.
Dan kami sendirian. "Baiklah," kataku. "Kita akan mempertahankan Manhattan."
Silena menarik-narik baju zirahnya. "Eh, Percy, Manhattan besar lho."
"Kita akan mempertahankannya," kataku. "Kita harus melakukannya."
"Dia benar," kata Annabeth. "Para dewa angin seharusnya menjauhkan
pasukan Kronos dari Olympus di udara, jadi dia akan mencoba serangan darat.
Kita harus memotong jalan masuk ke pulau."
"Mereka punya kapal," Michael Yew mengingatkan.
Gelitik listrik menjalari punggungku. Tiba-tiba aku teringat saran Athena:
Ingatlah sungai. "Akan kuurus kapal-kapalnya," kataku.
Michael mengerutkan kening. "Bagaimana?"
"Serahkan saja padaku," kataku. "Kita harus menjaga jembatan dan
terowongan. Mari kita asumsikan mereka akan mencoba serangan ke pusat kota,
paling tidak pada percobaan pertama mereka. Itu bakal jadi cara paling langsung
untuk menuju Empire State Building. Michael, bawa pondok Apollo ke Jembatan
Williamsburg. Katie, pondok Demeter menjaga Terowongan Brooklyn-Battery.
Tumbuhan semak berduri dan ivy beracun di terowongan. Lakukan apa pun yang
harus kalian lakukan, tapi buat mereka tetap berada di luar sana! Connor, bawa
setengah pondok Hermes dan lindungi Jembatan Manhattan. Travis, kau bawa
setengah lainnya dan lindungi Jembatan Brooklyn. Dan nggak boleh berhenti untuk
menjarah atau merampas!"
"Awwww!" keluh seisi pondok Hermes.
"Silena, bawa pondok Aphrodite ke Terowongan Queens-Midtown."
"Demi para dewa," kata salah seorang saudarinya. "Itu sejalan banget
dengan Fifth Avenue! Kita bisa ngedandanin, dan monster kan benci banget pada
wangi Givenchy." "Jangan menunda-nunda," kataku. "Yah ... soal parfum itu, boleh kalau
kalian pikir itu bakal berhasil."
Enam gadis Aphrodite mencium pipiku dengan bersemangat.
"Baiklah, cukup!" Aku memejamkan mata, mencoba memikirkan apa yang
kulupakan. "Terowongan Holland. Jake, bawa pondok Hephaestus ke sana.
Gunakan api Yunani, pasang jebakan. Apa pun yang kalian punya."
Dia menyeringai. "Dengan senang hati. Kami harus menyamakan skor.
Untuk Beckendorf!" Seisi pondok meraung setuju.
"Jembatan 59th Street," kataku. "Clarisse - "
Kata-kataku terputus. Clarisse nggak ada di sini. Seisi pondok Ares,
terkutuklah mereka, sedang duduk-duduk di perkemahan.
"Akan kami atasi itu," Annabeth menengahi, menyelamatkanku dari
keheningan memalukan. Dia menoleh kepada saudara-saudaranya. "Malcolm,
bawa pondok Athena, aktifkan rencana dua puluh tiga di sepanjang perjalanan,
seperti yang kutunjukkan kepada kalian. Tahan posisi itu."
"Laksanakan." "Aku akan ikut dengan Percy," katanya. "Kemudian kami akan bergabung
dengan kalian, atau kami akan pergi ke mana pun kami dibutuhkan."
Seseorang di belakang kelompok berkata, "Kalian berdua nggak boleh
kelayapan dulu." Ada suara cekikikan, tapi kuputuskan untuk membiarkannya saja.
"Baiklah," kataku. "Tetaplah berhubungan dengan ponsel."
"Kami nggak punya ponsel," protes Silena.
Aku mengulurkan tangan ke bawah, mengambil BlackBerry seorang wanita
yang sedang mengorok, dan melemparkannya kepada Silena. "Sekarang kau
punya. Kalian semua tahu nomor Annabeth, kan" Kalau kalian butuh kami, ambil
ponsel mana saja dan telepon kami. Gunakan sekali, jatuhkan, lalu pinjam yang
lain kalau harus. Itu seharusnya membuat monster susah melacak kalian."
Semua orang menyeringai seakan-akan mereka menyukai ide ini.
Travis berdehem. "Eh, kalau kami menemukan telepon yang betul-betul
bagus - " "Nggak, kalian tidak boleh menyimpannya," kataku.
"Yaaaah." "Tunggu dulu, Percy," kata Jake Mason. "Kau melupakan Terowongan
Lincoln." Aku menahan sumpah serapah. Dia benar. Tank Sherman dan ratusan
monster sedang berderap melewati terowongan itu saat ini, dan aku sudah
memosisikan kekuatan kami di tempat-tempat lain.
Lalu suara seorang gadis berseru dari seberang jalan: "Bagaimana kalau
kalian tinggalkan itu untuk kami?"
Aku tidak pernah sebahagia itu mendengar suara siapa pun seumur
hidupku. Kumpulan yang terdiri tiga puluh gadis remaja menyeberangi Fifth
Avenue. Mereka mengenakan kemeja putih, celana kamuflase keperakan, dan
sepatu bot tempur. Mereka semua menyandang pedang di sisi badan mereka,
sarung anak panah di punggung mereka, dan busur dalam posisi siap. Sekawanan
serigala putih berputar-putar di sekitar kaki mereka, dan banyak di antara para
gadis membawa elang pemburu di lengan mereka.
Gadis yang memimpin memiliki rambut hitam rancung dan jaket kulit
hitam. Dia mengenakan mahkota perak bulat di kepalanya seperti tiara putri, yang
tak cocok dengan anting-anting tengkorak atau kaos Mampus buat Barbie yang
menampakkan boneka Barbie dengan anak panah menembus kepalanya.
"Thalia!" pekik Annabeth.
Putri Zeus nyengir. "Para Pemburu Artemis, melapor untuk bertugas."
Ada pelukan dan tegur sapa di mana-mana ... atau paling tidak Thalia bersikap
ramah. Para Pemburu yang lain tidak suka berada di dekat para pekemah, terutama
anak laki-laki, tapi mereka tidak menembak satu pun dari kami, yang menurut
standar mereka adalah sambutan yang cukup hangat.
"Ke mana saja kalian setahun terakhir ini?" tanyaku pada Thalia. "Kalian
punya Pemburu sebanyak dua kali lipat sekarang!"
Dia tertawa. "Ceritanya panjang sekali. Aku bertaruh petualanganku lebih
berbahaya daripada petualanganmu, Jackson."
"Bohong banget," kataku.
"Kita lihat saja nanti," janjinya. "Setelah ini berakhir, kau, Annabeth, dan
aku: burger keju dan kentang goreng di hotel di West 57th itu."
"Le Parker Meridien," kataku. "Sepakat. Dan Thalia, makasih."
Dia mengangkat bahu. "Sebagian besar monster nggak akan tahu apa yang
menyerang mereka. Para Pemburu, ayo bergerak!"
Dia menepuk gelang peraknya, dan perisai Aegis mencuat ke bentuk
utuhnya. Kepala keemasan Medusa yang ditempa di tengah-tengah perisai itu
demikian mengerikan sehingga semua pekemah mundur menjauh. Para Pemburu
berangkat menyusuri jalan, diikuti oleh serigala-serigala dan elang-elang
mereka, dan aku punya firasat Terowongan Lincoln bakal aman untuk saat ini.
"Syukur kepada para dewa," kata Annabeth. "Tapi kalau kita tidak
menghadang sungai dari kapal-kapal itu, menjaga jembatan dan terowongan bakal
sia-sia." "Kau benar," kataku.
Aku memandangi para pekemah, mereka semua tampak muram dan penuh
tekad. Aku mencoba tidak merasa ini adalah kali terakhir kami bakal pernah
melihat mereka semua bersama-sama.
"Kalian adalah pahlawan-pahlawan terhebat milenium ini," aku memberi
tahu mereka. "Nggak jadi soal berapa banyak monster yang menyerang kalian,
bertarunglah dengan berani, dan kita akan menang." Aku mengangkat Riptide dan
berteriak, "DEMI OLYMPUS!"
Mereka berteriak membalas, dan keempat puluh suara kami menggema,
terpantul dari bangunan-bangunan Midtown. Selama sesaat kedengarannya berani,
tapi suara tersebut menghilang dengan cepat di tengah keheningan sepuluh juta
penghuni New York yang tertidur.
Annabeth dan aku sebetulnya bisa pilih-pilih mobil, tapi semua merapat dari
bumper ke bumper. Tidak ada yang mesinnya menyala, yang sebetulnya aneh.
Tampaknya para pengemudi punya waktu untuk mematikan mesin sebelum
mereka jadi terlalu mengantuk. Atau mungkin Morpheus punya kekuatan untuk
menidurkan mesin juga. Sebagian besar pengemudi rupanya mencoba menepi ke
trotoar waktu mereka merasa diri mereka bakal terlelap, tapi tetap saja jalanan
terlalu penuh sesak untuk dilewati.
Akhirnya kami menemukan seorang kurir yang tak sadarkan diri sedang
bersandar ke tembok bata, masih mengangkang di Vespa merahnya. Kami
menyeretnya dari skuter tersebut dan membaringkannya di trotoar.
"Sori, Bung," kataku. Jika beruntung, kami bakal bisa mengembalikan
skuternya. Kalau nggak, maka nggak bakalan jadi soal, sebab kota pasti sudah
hancur. Aku mengemudi dengan Annabeth di belakang berpegangan ke pinggangku. Kami berzig-zag menyusuri Broadway dengan mesin kendaraan kami
mendengung memecah kesunyian angker. Satu-satunya bunyi hanyalah ponsel
yang terkadang berdering - seperti sedang saling panggil, seolah-olah New York
telah berubah menjadi sangkar elektronik raksasa.
Kemajuan kami lamban. Sesekali kami berpapasan dengan pejalan kaki yang
jatuh tertidur di depan mobil, dan kami memindahkan mereka supaya aman. Sekali
kami berhenti untuk memadamkan gerobak pedagang pretzel yang terbakar.
Beberapa menit kemudian kami harus menyelamatkan kereta bayi yang
menggelinding tanpa tujuan di jalan. Rupanya tidak ada bayi di dalamnya - cuma
pudel milik seseorang yang sedang tertidur. Pikirkan saja itu. Kami memarkirnya
dengan aman di sebuah ambang pintu dan meneruskan mengemudi.
Kami sedang melintasi Madison Square Park saat Annabeth berkata,
"Menepilah." Aku berhenti di tengah-tengah East 23rd. Annabeth melompat turun dan lari
ke taman. Pada saat aku menyusulnya, dia sedang menatap patung perunggu di
atas dudukan marmer merah. Aku barangkali pernah melewati patung itu sejuta
kali tapi tidak pernah benar-benar melihatnya.
Laki-laki itu duduk di kursi dengan kaki disilangkan. Dia mengenakan
setelan zaman dulu - ala Abraham Lincoln - dengan dasi kupu-kupu dan jas
panjang berekor dan sebagainya. Sekumpulan buku perunggu ditumpuk di bawah
kursinya. Dia memegang pena bulu di satu tangan dan selembar perkamen logam
besar di tangan yang satunya lagi.
"Buat apa kita memedulikan ... " Aku memicingkan mata ke arah nama di
dudukan. "William H. Steward?"
"Seward," koreksi Annabeth. "Dia seorang gubernur New York. Blasteran
minor - putra Hebe, kurasa. Tapi itu tidak penting. Patungnyalah yang
kupedulikan." Dia naik ke bangku taman dan mengamati dasar patung.
"Jangan bilang dia ini automaton," kataku.
Annabeth tersenyum. "Ternyata sebagian besar patung di kota ini adalah
automaton. Daedalus menempatkan mereka di sini kalau-kalau dia membutuhkan
pasukan." "Untuk menyerang Olympus atau menjaganya?"
Annabeth mengangkat bahu. "Yang mana saja. Itulah rencana dua puluh
tiga. Dia bisa mengaktifkan satu patung dan itu akan mulai mengaktifkan
rekanrekannya di sepenjuru kota, sampai ada sepasukan. Walau begitu, rencana
tersebut berbahaya. Kautahu betapa automaton tidak dapat diprediksi."
"He-eh," kataku. Kami punya pengalaman buruk dengan mereka. "Kau
sungguh-sungguh mempertimbangkan untuk mengaktifkannya?"
"Aku punya catatan Daedalus," kata Annabeth. "Kupikir aku bisa ... Ah, ini
dia." Dia menekan ujung sepatu bot Seward, dan patung itu berdiri, pena bulu
dan perkamennya siap. "Apa yang akan dilakukannya?" gumamku. "Menulis memo?"
"Sst," kata Annabeth. "Halo, William."
"Bill," saranku.
"Bill ... Oh, tutup mulut," kata Annabeth padaku. Patung itu menelengkan
kepalanya, memandang kami dengan mata logam kosong.
Annabeth berdehem. "Halo, eh, Gubernur Seward. Rangkaian perintah:
Daedalus Dua-tiga. Pertahankan Manhattan. Mulai Pengaktifan."
Seward melompat dari dudukannya. Dia menghantam tanah begitu keras
sampai-sampai sepatunya meretakkan trotoar. Kemudian dia pergi berkelotakan ke
arah timur. "Dia mungkin bakal membangunkan Confucius," tebak Annabeth.
"Apa?" kataku. "Patung lain, di Division. Intinya, mereka akan terus saling membangunkan
sampai mereka semua diaktifkan."
"Dan kemudian?"
"Mudah-mudahan, mereka mau mempertahankan Manhattan."
"Apa mereka tahu kita bukan musuh?"
"Menurutku nggak."
"Menenangkan sekali tuh." Kupikirkan semua patung perunggu di tamantaman, plazaplaza, dan bangunan-bangunan di New York. Pasti ada ratusan,
mungkin ribuan. Lalu sebuah bola cahaya hijau meledak di langit malam. Api Yunani, di
suatu tempat di atas Sungai East.


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus bergegas," kataku. Dan kami pun berlari menghampiri Vespa.
Kami parkir di luar Battery Park, di ujung terbawah Manhattan tempat Sungai
Hudson dan Sungai East bertemu dan tercurah ke teluk.
"Tunggu di sini," kataku pada Annabeth.
"Percy, kau sebaiknya nggak pergi sendirian."
"Yah, kecuali kau bisa bernapas di bawah air ... "
Annabeth mendesah. "Kau kadang sungguh menyebalkan."
"Seperti waktu aku benar" Percayalah padaku, aku akan baik-baik saja. Aku
menanggung kutukan Achilles sekarang. Aku kebal dan sebagainya."
Annabeth tidak terlihat yakin. "Berhati-hati sajalah. Aku tidak mau apa pun
terjadi padamu. Maksudku, karena kami membutuhkanmu untuk pertempuran."
Aku nyengir. "Aku akan segera kembali."
Aku menuruni garis pantai dan mengarungi air.
Buat kalian para tipe non-dewa-laut di luar sana, jangan berenang di
Pelabuhan New York. Airnya mungkin tak sekotor di masa ibuku, tapi air itu masih
mungkin membuat kalian bermata tiga atau punya anak mutan waktu kalian
dewasa. Aku menyelam ke dalam air gelap pekat dan menenggelamkan diri ke dasar.
Aku mencoba menemukan titik tempat kedua arus sungai tampaknya sebanding tempat keduanya bertemu untuk membentuk teluk. Kupikir inilah tempat terbaik
untuk menarik perhatian mereka.
"HEI!" teriakku dengan suara bawah air terbaikku. Bunyi tersebut bergema
di kegelapan. "Kudengar kalian terpolusi sekali sampai-sampai kalian malu
menunjukkan wajah kalian. Apa itu benar?"
Arus dingin beriak melintasi teluk, mengaduk-aduk sampah dan lumpur ke
permukaan. "Kudengar Sungai East lebih beracun," lanjutku, "tapi bau Hudson lebih
parah. Atau sebaliknya?"
Air berdenyar. Sesuatu yang kuat dan marah sedang memperhatikanku
sekarang. Aku bisa merasakan kehadirannya ... atau mungkin kehadiran mereka
berdua. Aku takut aku salah memperhitungkan penghinaan. Bagaimana kalau
mereka meledakkanku begitu saja tanpa menunjukkan diri mereka" Tapi mereka
ini dewa sungai New York. Kutebak insting mereka adalah marah-marah di depan
mukaku. Memang benar, dua sosok raksasa muncul di hadapanku. Pada mulanya
mereka hanya berupa pilar lumpur cokelat gelap, lebih pekat daripada air di
sekeliling mereka. Lalu kaki, lengan, dan wajah memberengut mereka pun tumbuh.
Yang menggelisahkan, makhluk di kiri kelihatan seperti telekhine. Wajahnya
seperti serigala. Badannya samar-samar mirip badan anjing laut - hitam mulus
dengan tangan dan kaki berupa sirip. Matanya berkilau hijau seperti radiasi.
Cowok di kanan lebih mirip manusia. Dia mengenakan baju compangcamping dan rumput laut, dengan mantel rantai yang terbuat dari tutup botol dan
wadah plastik enam pak tua. Wajahnya cemong-cemong terkena alga, dan
janggutnya kepanjangan. Mata biru kelamnya terbakar amarah.
Si anjing laut, yang pasti adalah dewa Sungai East, berkata, "Apa kau
berusaha membuat dirimu terbunuh, Bocah" Atau kau semata-mata superbodoh?"
Arwah Hudson yang berjanggut mendengus, "Kau ahli dalam kebodohan,
East." "Hati-hati, Hudson," geram East. "Tetap tinggal di wilayah pulaumu dan
urus urusanmu sendiri."
"Atau apa" Kau akan melempariku dengan kapal pengangkut sampah lagi?"
Mereka mengapung mendekati satu sama lain, siap bertarung.
"Tahan!" teriakku. "Kita punya masalah yang lebih besar."
"Bocah itu benar," dengus East. "Ayo kita berdua bunuh dia, baru kemudian
kita saling lawan." "Kedengarannya bagus," kata Hudson.
Sebelum aku bisa protes, ribuan potong sampah naik dari dasar dan terbang
langsung ke arahku dari kedua arah: kaca pecah, batu, kaleng, ban.
Akan tetapi, aku sudah mengharapkannya. Air di depanku menebal
membentuk tameng. Puing-puing tersebut memantul tanpa melukaiku. Hanya
sepotong yang tembus - sebongkah besar kaca yang menabrak dadaku dan
barangkali semestinya membunuhku, tapi kaca tersebut pecah saat mengenai
kulitku. Kedua dewa sungai menatapku.
"Putra Poseidon?" tanya East.
Aku mengangguk. "Habis berendam di Styx?" tanya Hudson.
"Yep." Mereka berdua mengeluarkan suara jijik.
"Yah, itu sempurna," kata East. "Sekarang bagaimana cara kita membunuhnya?" "Kita bisa menyetrumnya," renung Hudson. "Kalau saja aku bisa
menemukan sambungan kabel yang besar - "
"Dengarkan aku!" kataku. "Pasukan Kronos menginvasi Manhattan!"
"Menurutmu kami tidak tahu itu?" tanya East. "Aku bisa merasakan
kapalnya saat ini. Mereka hampir menyeberang."
"Yep," Hudson sepakat. "Ada monster-monster jorok yang menyeberangi
perairanku juga." "Kalau begitu, hentikan mereka," kataku. "Tenggelamkan mereka. Benamkan kapal mereka."
"Kenapa kami harus melakukannya?" gerutu Hudson. "Jadi mereka
menginvasi Olympus. Buat apa kami peduli?"
"Karena aku bisa membayar kalian." Aku mengeluarkan dolar pasir yang
diberikan ayahku untuk ulang tahunku.
Mata kedua dewa sungai membelalak.
"Punyaku!" kata East. "Sini, berikan padaku, Bocah, dan aku janji tak satu
pun anak buah Kronos bisa menyeberangi Sungai East."
"Lupakan itu," kata Hudson. "Dolar pasir itu milikku, kecuali kau mau
kubiarkan semua kapal itu menyeberang ke Hudson."
"Kita akan berkompromi." Aku mematahkan dolar pasir jadi dua. Riak air
bersih menyembur dari patahan tersebut, seolah-olah semua polusi di teluk
dilarutkan. "Masing-masing dari kalian dapat setengah," kataku. "Sebagai gantinya,
kalian harus jauhkan semua pasukan Kronos dari Manhattan."
"Ampun deh," erang Hudson, mengulurkan tangan untuk mengambil dolar
pasir. "Sudah lama sekali sejak aku bersih."
"Kekuatan Poseidon," gumam Sungai East. "Dia memang berengsek, tapi
dia memang tahu bagaimana caranya membersihkan polusi."
Mereka saling pandang, kemudian bicara serempak: "Sepakat."
Aku memberi mereka masing-masing setengah dolar pasir, yang mereka
pegangi dengan kagum. "Anu, para penginvasi?" desakku.
East melambaikan tangannya. "Mereka baru saja tenggelam."
Hudson menjentikkan jarinya. "Sekumpulan anjing neraka baru saja terjun."
"Terima kasih," kataku. "Tetaplah bersih."
Saat aku naik ke permukaan, East berseru, "Hei, Bocah, kapan pun kau
punya dolar pasir untuk dibelanjakan, kembalilah. Seandainya kau masih hidup."
"Kutukan Achilles," dengus Hudson. "Mereka selalu mengira itu akan
menyelamatkan mereka, kan?"
"Kalau saja mereka tahu," East sepakat. Mereka berdua tertawa, larut ke
dalam air. Kembali ke pantai, Annabeth sedang bicara ke ponselnya, tapi dia menutup telepon
segera setelah dia melihatku. Dia terlihat cukup terguncang.
"Berhasil," aku memberitahunya. "Sungai sudah aman."
"Bagus," katanya. "Soalnya kita punya masalah lain. Michael Yew baru saja
menelepon. Pasukan lain sedang berderap melintasi Jembatan Williamsburg.
Pondok Apollo butuh bantuan. Dan Percy, monster yang memimpin musuh adalah
... Minotaurus." SEBELAS Kami Mematahkan Jembatan Untungnya, Blackjack sedang bertugas.
Aku mengeluarkan siulan terbaikku untuk memanggil taksi dan dalam
hitungan menit dua sosok gelap berputar-putar turun dari langit. Mereka terlihat
seperti rajawali pada awalnya, tapi saat mereka turun aku bisa melihat kaki
panjang pegasus yang mencongklang.
Yo, Bos. Blackjack mendaratkan kakinya yang berderap, temannya, Porkpie,
tepat di belakangnya. Waduh, kupikir para dewa angin itu bakal meniup kami ke
Pennsylvania sampai kami bilang kami bersamamu.
"Makasih sudah datang," kataku padanya. "Hei, omong-omong, kenapa
pegasus mencongklang sambil terbang?"
Blackjack meringkik. Kenapa manusia mengayunkan tangan selagi berjalan"
Nggak tahu, Bos. Rasanya pas saja. Ke mana"
"Kami harus ke Jembatan Williamsburg," kataku.
Blackjack merendahkan lehernya. Tepat sekali, Bos. Kami terbang di atas sana
dalam perjalanan ke sini, dan di sana kelihatannya nggak bagus. Naiklah!
Dalam perjalanan ke jembatan, perutku melilit-lilit. Minotaurus adalah salah
satu monster pertama yang pernah kukalahkan. Empat tahun lalu dia hampir
membunuh ibuku di Bukit Blasteran. Aku masih bermimpi buruk soal itu.
Aku berharap dia bakal tetap mati selama beberapa abad, tapi aku
seharusnya tahu keberuntunganku tak akan bertahan lama.
Kami melihat pertempuran sebelum kami cukup dekat untuk melihat
petarung-petarung individual. Sudah lewat tengah malam sekarang, tapi jembatan
menyala-nyala terang. Mobil-mobil terbakar. Lengkungan api menyembur ke
kedua arah selagi anak panah api dan tombak berlayar mengarungi udara.
Kami melintas rendah, dan kulihat para pekemah Apollo mundur. Mereka
bersembunyi di belakang mobil dan membidik pasukan yang mendekat,
menembakkan panah peledak dan menjatuhkan jebakan paku di jalan,
membangun barikade berapi kapan pun mereka bisa, menyeret para pengemudi
yang tertidur dari mobil mereka untuk menjauhkan mereka dari bahaya. Tapi
musuh terus maju. Sepasukan dracaena berbaris memimpin, perisai mereka
dirapatkan satu sama lain, ujung-ujung tombak mencuat di atas. Sesekali anak
panah akan tertanam di kaki ular mereka, atau leher, atau retakan di baju zirah
mereka, dan wanita ular yang sial itu akan terbuyarkan, namun sebagian besar
panah Apollo terpental tanpa melukai di dinding perisai mereka. Kira-kira
seratus monster lagi berbaris di belakang mereka.
Para anjing neraka melompat di depan barisan dari waktu ke waktu.
Sebagian besar dihancurkan oleh panah, tapi seekor menangkap pekemah Apollo
dan menyeretnya pergi. Aku tidak melihat ada yang terjadi pada pekemah itu
selanjutnya. Aku tidak ingin tahu.
"Di sana!" seru Annabeth dari punggung pegasusnya.
Memang benar, di tengah-tengah legiun penginvasi terdapat si Kepala
Daging sendiri. Kali terakhir aku melihat si Minotaurus, dia tidak mengenakan apa-apa
selain celana dalam putih ketatnya. Aku tak tahu kenapa. Mungkin dia
dibangunkan dari tempat tidur untuk mengejarku. Kali ini, dia siap tempur.
Dari pinggang ke bawah, dia mengenakan perlengkapan tempur Yunani
standar - celemek kulit mirip rok dan kelepak logam, pelindung kaki perunggu,
dan sandal kulit ketat. Bagian atas tubuhnya berupa badan banteng - rambut dan
kulit tebal dan otot yang berujung di kepala yang begitu besar sehingga dia
semestinya terjungkal gara-gara keberatan tanduk. Dia tampak lebih besar
daripada kali terakhir aku melihatnya - paling tidak tiga meter. Kapak bermata
ganda diikat ke punggungnya, tapi dia terlalu tak sabaran sehingga tak
menggunakannya. Segera setelah dia melihatku berputar-putar di atas (atau
mengendusku, kemungkinan besar, soalnya penglihatannya jelek), dia meraung
dan mengangkat sebuah limosin putih.
"Blackjack, menukik!" teriakku.
Apa" Si pegasus bertanya. Nggak mungkin dia ... Demi makanan kuda suci!
Kami paling tidak berada tiga puluh meter di udara, tapi limo tersebut
mengarah pada kami, bumper berputar-putar seperti bumerang dua ton. Annabeth
dan Porkpie berbelok gila-gilaan ke kiri, sedangkan Blackjack melipat sayapnya
dan terjun. Limo tersebut melayang di atas kepalaku, mungkin meleset sekitar
lima senti. Limo tersebut mengenyahkan tali-tali penahan jembatan dan jatuh ke Sungai
East. Para monster mencibir dan berteriak, dan si Minotaurus mengangkat mobil
lainnya. "Turunkan kami di belakang garis pertahanan dengan pondok Apollo,"
kataku pada Blackjack. "Tetaplah berada di jangkauan pendengaran tapi
menjauhlah dari bahaya!"
Aku nggak bakalan protes, Bos.
Blackjack menukik ke belakang bus sekolah yang terbalik, tempat dua
pekemah sedang bersembunyi. Annabeth dan aku melompat turun segera setelah
kaki pegasus kami menyentuh aspal. Kemudian Blackjack dan Porkpie
membubung ke langit malam.
Michael Yew lari menghampiri kami. Dia jelas-jelas merupakan komandan
terpendek yang pernah kulihat. Ada luka yang dibalut di lengannya. Wajahnya
yang mirip musang tercoreng abu dan sarung panahnya hampir kosong, tapi dia
tersenyum seolah dia sedang bersenang-senang.
"Senang kalian bergabung dengan kami," katanya. "Mana bala bantuan
lain?" "Untuk sekarang, kamilah bala bantuan," kataku.
"Kalau begitu, kita mampus," kata Michael.
"Kalian masih bawa kereta perang terbang kalian?" tanya Annabeth.
"Nggak," kata Michael. "Kami tinggalkan di perkemahan. Kuberi tahu
Clarisse mereka boleh memilikinya. Terserah, kalian tahu" Nggak ada gunanya
dipertengkarkan lagi. Tapi dia bilang sudah terlambat. Kami menghina
kehormatannya untuk terakhir kalinya atau hal bodoh apalah."
"Setidaknya kau mencoba," kataku.
Michael mengangkat bahu. "Yah, aku menyumpahinya waktu dia bilang dia
masih nggak mau bertarung. Aku ragu itu membantu. Ini dia makhluk-makhluk
jelek itu!" Michael mengeluarkan anak panah dan meluncurkannya ke arah musuh.
Anak panah itu membuat suara berdesing selagi terbang. Saat anak panah tersebut
mendarat, panah itu mengeluarkan bunyi ledakan seperti kabel gitar listrik yang
dicolokkan ke pengeras suara tergede di dunia. Mobil-mobil yang paling dekat
dengan panah itu meledak. Para monster menjatuhkan senjata mereka dan
menutupi telinga mereka karena kesakitan. Sebagian lari. Yang lainnya
terbuyarkan di tempat. "Itu tadi panah sonikku yang terakhir," kata Michael.
"Hadiah dari ayahmu?" tanyaku. "Dewa musik?"
Michael nyengir iseng. "Musik yang keras bisa berdampak buruk.
Sayangnya, panah itu nggak selalu membunuh."
Memang benar, sebagian monster berkumpul kembali, mengenyahkan
kebingungan mereka. "Kita harus mundur," kata Michael. "Sudah kusuruh Kayla dan Austin
memasang jebakan di jembatan sebelah sana."
"Nggak," kataku. "Bawa para pekemahmu maju ke posisi ini dan tunggu
isyaratku. Kita akan mengusir musuh kembali ke Brooklyn."
Michael tertawa. "Bagaimana kau berencana melakukan itu?"
Aku menghunus pedangku. "Percy," kata Annabeth, "biar aku ikut denganmu."


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terlalu berbahaya," kataku. "Lagi pula, aku membutuhkanmu untuk
membantu Michael mengoordinasi garis pertahanan. Akan kualihkan perhatian
para monster. Kalian berkumpul di sini. Pindahkan para manusia fana yang
tertidur dari jalan. Kemudian kalian bisa mulai menyerang monster selagi aku
membuat mereka tetap terfokus padaku. Kalau ada yang bisa melakukan semua
itu, kaulah orangnya."
Michael mendengus. "Makasih banyak."
Aku terus melekatkan pandangan mataku pada Annabeth.
Dia mengangguk enggan. "Baiklah. Sana."
Sebelum aku bisa kehilangan keberanianku, aku berkata, "Apa aku nggak
dapat ciuman untuk keberuntungan" Itu semacam tradisi, kan?"
Kutebak dia bakal meninjuku. Tapi, dia malah menghunus pisaunya dan
menatap pasukan yang berderap menghampiri kami. "Kembalilah hidup-hidup,
Otak Ganggang. Kemudian kita lihat nanti."
Kurasa itulah tawaran terbaik yang bisa kudapatkan, jadi aku melangkah
dari belakang bus sekolah. Aku berjalan menyusuri jembatan, terlihat jelas,
lurus ke arah musuh. Saat Minotaurus melihatku, matanya dibakar kebencian. Dia meraung - bunyi yang
berada di antara teriakan, lenguhan, dan sendawa yang benar-benar lantang.
"Hei, Bocah Daging," aku balas berteriak. "Bukannya aku sudah
membunuhmu?" Dia menggebrakkan tinjunya ke kap sebuah Lexus dan mobil tersebut remuk
seperti kertas aluminium.
Beberapa dracaena melemparkan lembing kepadaku. Kujatuhkan lembinglembing itu ke
samping. Seekor anjing neraka menerkam dan aku minggir. Aku
bisa saja menikamnya, tapi aku ragu-ragu.
Ini bukan Nyonya O'Leary, kuingatkan diriku sendiri. Ini adalah monster yang
belum dijinakkan. Ia akan membunuhku dan semua temanku.
Ia menyerbu lagi. Kali ini aku menyabetkan Riptide membentuk lengkungan
mematikan. Si anjing neraka terbuyarkan menjadi debu dan bulu.
Lebih banyak monster mendesak maju - ular dan raksasa dan telekhine tapi si Minotaurus meraung kepada mereka, dan mereka mundur.
"Satu lawan satu?" seruku. "Seperti dulu?"
Lubang hidung si Minotaurus kembang-kempis. Dia betul-betul perlu
menyimpan sebungkus tisu Aloe Vera di saku baju zirahnya, sebab hidungnya
basah dan merah dan lumayan menjijikkan. Dia melepaskan kapaknya dan
mengayunkannya. Kapak itu indah ditinjau dari segi akan-kukeluarkan-jeroanmu-seperti-ikan yang
kejam. Masing-masing bilah kembarnya berbentuk seperti omega: " - huruf
terakhir dari aksara Yunani. Mungkin itu karena kapak tersebut bakal jadi benda
terakhir yang pernah dilihat korbannya. Pegangannya kira-kira setinggi si
Minotaurus, perunggu terbungkus kulit. Di sekeliling pangkal masing-masing
bilah terikatlah banyak kalung manik-manik. Kusadari itu adalah manik-manik
Perkemahan Blasteran - kalung-kalung yang diambil dari para blasteran yang
dikalahkan. Aku begitu marah, sampai-sampai kubayangkan mataku berkilau persis
seperti mata si Minotaurus. Kuangkat pedangku. Pasukan monster menyoraki si
Minotaurus, tapi bunyi tersebut menghilang saat aku mengelak dari ayunan
pertamanya dan menyabet kapaknya jadi dua, tepat di antara pegangan.
"Moo?" geram si Minotaurus.
"HAAA!" Aku berputar dan menendang moncongnya. Dia terhuyunghuyung
ke belakang, mencoba mengokohkan kembali pijakannya, lalu merendahkan kepalanya untuk menyerbu.
Ia tidak pernah dapat kesempatan. Pedangku berkilat - menyayat satu
tanduk, lalu tanduk satunya lagi. Ia mencoba menangkapku. Aku berguling
menjauh, memungut setengah kapak patahnya. Monster-monster lain mendukungnya sambil terdiam dan terheran-heran, mengelilingi kami. Si
Minotaurus meraung murka. Ia memang dari awal tak pernah pintar-pintar amat,
tapi sekarang amarahnya membuatnya gegabah. Ia menyerangku, dan aku lari ke
pinggir jembatan, menembus barisan dracaena.
Si Minotaurus pasti mencium kemenangan. Ia mengira aku mencoba
menjauh. Antek-anteknya bersorak. Di pinggir jembatan, aku berbalik dan
memegangi kapak kuat-kuat sambil bersandar ke pagar untuk menerima
serangannya. Si Minotaurus bahkan tidak memelan.
KREK. Ia menunduk kaget, memandangi gagang kapak yang mencuat dari lempeng
dadanya. "Makasih sudah bermain," kataku padanya.
Aku memegangi kakinya dan mengangkatnya, kemudian melemparkannya
ke samping jembatan. Bahkan saat jatuh, ia terbuyarkan, berubah kembali menjadi
debu, intisarinya kembali ke Tartarus.
Aku menoleh ke pasukannya. Sekarang jumlah kasarnya seratus sembilan
puluh sembilan lawan satu. Kulakukan hal yang wajar. Kuserang mereka.
Kau pasti bakal menanyaiku "kebal" itu seperti apa: apakah aku secara ajaib
mengelak dari setiap senjata, ataukah senjata mengenaiku dan semata-mata tidak
melukaiku" Sejujurnya, aku tak ingat. Yang kutahu hanyalah aku tak akan
membiarkan monster-monster ini menginvasi kota kelahiranku.
Aku menyayat baju zirah seakan baju tersebut terbuat dari kertas. Wanita
ular meledak. Anjing neraka meleleh jadi bayangan. Aku menyabet dan menikam
dan berputar, dan aku mungkin bahkan tertawa satu atau dua kali - tawa geli yang
menakutiku sama seperti musuh-musuhku. Aku sadar para pekemah Apollo di
belakangku menembakkan panah, mengganggu setiap upaya musuh untuk
bersatu. Akhirnya, para monster berbalik dan kabur - kira-kira dua puluh yang
tersisa dari dua ratus. Aku mengejar, para pekemah Apollo di belakangku.
"Ya!" teriak Michael Yew. "Begitu itu maksudku!"
Kami mengarahkan mereka kembali ke sisi Brooklyn jembatan. Langit
memucat di timur. Aku bisa melihat pintu tol di depan.
"Percy!" teriak Annabeth. "Kau sudah menggiring mereka pergi. Mundur!
Kita kejauhan!" Sebagian dari diriku tahu dia benar, tapi kerjaku begitu bagus, aku ingin
menghancurkan setiap monster hingga yang terakhir.
Lalu kulihat kerumunan di ujung jembatan. Para monster yang mundur lari
menghampiri bala bantuan mereka. Kelompok tersebut kecil, mungkin tiga puluh
atau empat puluh blasteran berpakaian tempur, menunggangi kuda tengkorak.
Salah satu dari mereka memegang panji-panji ungu bergambar sabit hitam.
Penunggang kuda yang memimpin berderap maju. Dia melepaskan
helmnya, dan kukenali Kronos sendiri, matanya seperti emas cair.
Annabeth dan para pekemah Apollo terhenti. Para monster yang kami kejar
mencapai barisan Titan dan diserap ke dalam pasukan baru. Kronos menatap ke
arah kami. Dia setengah kilometer jauhnya, tapi aku bersumpah aku bisa
melihatnya tersenyum. "Sekarang," kataku, "kita mundur."
Anak buah sang penguasa Titan menghunus pedang mereka dan menyerbu.
Kaki kuda tengkorak mereka bergemuruh di trotoar. Para pekemah kami
melemparkan tembakan voli, menjatuhkan beberapa musuh, tapi mereka terus saja
berkendara maju. "Mundur!" kataku pada teman-temanku. "Akan kutahan mereka!"
Dalam hitungan detik mereka sudah mengepungku.
Michael dan para pemanahnya mencoba mundur, tapi Annabeth tetap
berada di sampingku, bertarung dengan pisau dan perisai cerminnya selagi kami
pelan-pelan mundur di jembatan.
Kavaleri Kronos berputar-putar di sekeliling kami, menyabet dan
meneriakkan hinaan. Sang Titan sendiri maju dengan santai, seakan dia memiliki
seluruh waktu di dunia. Karena dia adalah penguasa waktu, kurasa memang
begitu. Aku mencoba melukai anak buahnya, bukan membunuh. Itu memperlambatku, tapi mereka ini bukan monster. Mereka adalah blasteran yang
jatuh ke dalam bujuk rayu Kronos. Aku tidak bisa melihat wajah mereka di balik
helm tempur mereka, tapi beberapa dari mereka mungkin saja pernah jadi
temanku. Aku menyayat kaki kuda mereka dan membuat hewan tengkorak
terbuyarkan. Setelah segelintir blasteran terjatuh, sisanya berpendapat mereka
sebaiknya turun dan melawanku sambil jalan kaki.
Annabeth dan aku berdiri berdampingan dengan bahu merapat, menghadap
arah yang berlawanan. Sosok gelap melintas di atasku, dan aku memberanikan diri
untuk mendongak. Blackjack dan Porkpie menukik, menendang helm musuhmusuh kami
dan terbang menjauh seperti merpati kamikaze besar.
Kami hampir sampai di tengah-tengah jembatan saat sesuatu yang aneh
terjadi. Bulu kudukku merinding, seperti merasakan pertanda buruk. Di
belakangku, Annabeth menjerit kesakitan.
"Annabeth!" Aku berbalik tepat waktu untuk menyaksikannya jatuh,
mencengkeram lengannya. Seorang blasteran dengan pisau berlumur darah berdiri
menjulang di dekatnya. Dalam sekejap aku mengerti apa yang terjadi. Blasteran itu berusaha
menikamku. Menilai dari posisi bilah pisaunya, dia pasti bakal berhasil
mengenaiku - mungkin karena keberuntungan semata - di lekukan punggungku,
satu-satunya titik lemahku.
Annabeth telah menghalau pisau itu dengan badannya sendiri.
Tapi kenapa" Annabeth tidak tahu tentang titik lemahku. Tidak ada yang
tahu. Aku beradu pandang dengan blasteran musuh. Dia mengenakan penutup
mata di balik helm perangnya: Ethan Nakamura, putra Nemesis. Entah bagaimana
dia selamat dari ledakan di Putri Andromeda. Kuhantam wajahnya dengan gagang
pedangku keras sekali sampai-sampai aku membuat helmnya penyok.
"Mundur!" Kusabetkan lengkungan besar pedang ke udara, mengusir para
blasteran lain agar menjauhi Annabeth. "Jangan ada yang menyentuhnya!"
"Menarik," kata Kronos.
Dia menjulang di atasku di punggung kuda tengkorak, sabitnya di satu
tangan. Dia menelaah pemandangan dengan mata disipitkan seolah-olah dia bisa
merasakan bahwa aku baru saja hampir mati, sama seperti serigala bisa membaui
rasa takut. "Kau sudah berjuang dengan berani, Percy Jackson," katanya. "Tapi sudah
waktunya menyerah ... atau gadis itu mati."
"Percy, jangan," erang Annabeth. Pakaiannya basah bersimbah darah. Aku
harus mengeluarkannya dari sini.
"Blackjack!" teriakku.
Secepat cahaya, si pegasus menukik turun dan mengatupkan giginya ke
pengikat baju zirah Annabeth. Mereka membubung menjauhi sungai bahkan
sebelum musuh bisa bereaksi.
Kronos menggeram. "Suatu hari, tidak lama lagi, aku akan membuat sup
pegasus. Tapi sementara itu ... " Dia turun, sabitnya berkilat diterpa cahaya
fajar. "Akan kubuat satu lagi blasteran mati."
Aku menemui mengguncangkan sabetan seluruh pertamanya jembatan, tapi dengan aku Riptide. bertahan. Tumbukan Senyum Kronos menghilang. Disertai teriakan, kutendang kakinya dari bawah. Sabitnya terpelanting di
jembatan. Aku menikam ke bawah, tapi dia berguling ke samping dan memperoleh
pijakannya kembali. Sabitnya terbang kembali ke tangannya.
"Jadi ... " Dia mengamatiku, kelihatan agak jengkel. "Kau punya keberanian
untuk mengunjungi Styx. Aku harus menekan Luke dengan banyak cara untuk
meyakinkannya. Jika saja kau yang menyediakan tubuh untuk menampungku ...
Tapi tak masalah. Aku masih lebih kuat. Aku ini TITAN."
Dia memukul jembatan dengan gagang sabitnya, dan gelombang energi
murni menghantamku ke belakang. Mobil-mobil terdorong tak terkendali. Para
blasteran - bahkan anak buah Luke sendiri - tertiup ke pinggir jembatan. Tali
penahan melecut ke sana-ke mari, dan aku tergelincir setengah jalan ke arah
Manhattan. Aku bangkit dengan tak mantap. Sisa-sisa pekemah Apollo hampir sampai
ke ujung jembatan, kecuali Michael Yew, yang bertengger di salah satu kabel
penahan beberapa meter dariku. Anak panah terakhirnya disangkutkan ke
busurnya. "Michael, pergi!" teriakku.
"Percy, jembatannya!" teriaknya. "Jembatan ini sudah lemah!"
Pada mulanya aku tidak mengerti. Lalu aku melihat ke bawah dan melihat
retakan-retakan di aspal. Petak-petak jalan setengah meleleh gara-gara api
Yunani. Jembatan telah menerima pukulan dari hantaman. Kronos dan panah-panah yang
meledak. "Patahkan!" teriak Michael. "Gunakan kekuatanmu!"
Itu pemikiran yang putus asa - tidak mungkin cara tersebut berhasil - tapi
kuhunjamkan Riptide ke jembatan. Bilah pedang ajaib tersebut terbenam hingga ke
gagang di aspal. Air asin menyembur dari retakan seperti geyser. Kutarik
pedangku ke luar dan retakan membesar. Jembatan berguncang dan mulai runtuh.
Bongkahan-bongkahan seukuran rumah jatuh ke dalam Sungai East. Para blasteran
Kronos memekik waspada dan buru-buru mundur. Beberapa terjatuh. Dalam
hitungan detik, jurang sebesar lima belas meter terbuka di Jembatan Williamsburg
antara Kronos dan aku. Vibrasi berhenti. Para anak buah Kronos merayap ke pinggir dan melihat
jarak jatuh sejauh empat puluh meter ke dalam sungai.
Walau begitu, aku tidak merasa aman. Kabel penahan masih terhubung.
Dengan demikian para anak buah bisa menyeberang kalau mereka cukup berani.
Atau mungkin Kronos punya cara ajaib untuk menjembatani celah.
Sang penguasa Titan mengamati masalah tersebut. Dia melihat ke
belakangnya ke arah matahari terbit, lalu tersenyum dari seberang jurang. Dia
mengangkat sabitnya, pura-pura memberi hormat. "Sampai nanti malam, Jackson."
Dia menaiki kudanya, berputar, dan mencongklang kembali ke Brooklyn,
diikuti oleh petarung-petarungnya.
Aku berbalik untuk berterima kasih kepada Michael Yew, tapi kata-kata mati
di tenggorokanku. Enam meter jauhnya, sebuah anak panah tergeletak di jalan.
Pemiliknya tak terlihat di mana pun.
"Oh, nggak!" Aku mencari-cari di reruntuhan di sisi jembatanku. Aku
menatap ke sungai di bawah. Tidak ada apa-apa.
Aku berteriak karena marah dan frustrasi. Bunyi tersebut terdengar
selamanya di tengah kesunyian pagi. Aku hendak bersiul memanggil Blackjack


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar membantuku mencari, saat telepon ibuku berdering. Monitor LCD
menunjukkan aku mendapat telepon dari Finklestein & Rekan - barangkali
blasteran yang menelepon menggunakan telepon pinjaman.
Aku mengangkat telepon, mengharapkan berita bagus. Tentu saja aku salah.
"Percy?" Silena Beauregard terdengar seperti habis menangis. "Hotel Plaza.
Kau sebaiknya datang cepat-cepat dan membawa penyembuh dari pondok Apollo.
Ini ... ini soal Annabeth."
DUA BELAS Rachel Membuat Kesepakatan Jelek Kuseret Will Solace dari pondok Apollo dan kuberi tahu saudara-saudaranya yang
lain agar terus mencari Michael Yew. Kami meminjam Yamaha FZI dari seorang
pengendara motor yang tertidur dan berkendara ke Hotel Plaza dengan kecepatan
yang bakal membuat ibuku kena serangan jantung. Aku tidak pernah
mengemudikan sepeda motor sebelumnya, tapi ternyata tak lebih susah daripada
mengendarai pegasus. Di sepanjang perjalanan, kuperhatikan banyak dudukan kosong yang
biasanya menopang patung. Rencana dua puluh tiga tampaknya berjalan. Aku
tidak tahu apakah itu bagus atau jelek.
Cuma butuh lima menit bagi kami untuk untuk mencapai Plaza - sebuah
hotel batu putih bergaya lama dengan atap biru segitiga yang terletak di pojok
tenggara Central Park. Secara taktis, Plaza bukanlah tempat terbaik untuk markas besar. Hotel
tersebut bukanlah bangunan tertinggi di kota, atau yang terletak paling tengah.
Tapi gayanya seperti sekolahan lama dan hotel tersebut telah menarik perhatian
banyak blasteran selama bertahun-tahun, misalnya Beatles dan Alfred Hitchcock,
Sungai Lampion 7 Pendekar Naga Putih 34 Mustika Naga Hijau Pendekar Super Sakti 9

Cari Blog Ini