Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan Bagian 6
menyambutku ke pondok Hermes. Annabeth membuat suara kesakitan dari
belakang tenggorokannya, seakan-akan seseorang baru saja meninjunya.
"Haruskah kuhancurkan kau lebih dulu, Jackson?" tanya Kronos. "Itukah
pilihan yang akan kaubuat - bertarung melawanku dan mati alih-alih membungkuk hormat" Ramalan tak pernah berakhir baik, kautahu."
"Luke bakal bertarung menggunakan pedang," kataku. "Tapi kurasa kau
nggak sejago dia." Kronos menyeringai. Sabitnya mulai berubah, sampai dia memegang senjata
lama Luke, Backbiter, yang bilahnya separuh baja, separuh perunggu langit.
Di sebelahku, Annabeth terkesiap seakan dia tiba-tiba mendapat ide. "Percy,
bilah pedangnya!" Dia mengeluarkan pisau dari sarungnya. "Jiwa sang pahlawan,
bilah terkutuk yang akan menghabisi."
Aku tak mengerti kenapa Annabeth mengingatkanku pada larik ramalan
yang itu saat ini. Larik itu sama sekali tak membangkitkan semangat, tapi
sebelum aku bisa mengatakan apa pun, Kronos mengangkat pedangnya.
"Tunggu!" teriak Annabeth.
Kronos menyerbuku seperti angin puting beliung.
Instingku mengambil alih. Aku mengelak dan menyabet dan berguling, tapi
aku merasa seperti bertarung melawan seribu ahli pedang. Ethan menunduk ke
samping, mencoba mendekat ke belakangku sampai Annabeth menghadangnya.
Mereka mulai bertarung, tapi aku tak bisa memusatkan perhatian pada yang
dilakukan Annabeth. Aku samar-samar menyadari bahwa Grover sedang
memainkan seruling alang-alangnya. Bunyinya memenuhi diriku dengan kehangatan dan keberanian - pemikiran mengenai sinar matahari, langit biru serta
padang rumput yang damai, suatu tempat yang jauh dari peperangan.
Kronos mendesakku ke singgasana Hephaestus - kursi malas besar mekanis
yang diselimuti gigi roda perunggu dan perak. Kronos menyabet, dan aku berhasil
melompat langsung ke atas kursi. Singgasana mendesing dan berdengung,
mekanisme rahasianya menyala. Mode defensif, kursi itu memperingati. Mode
defensif. Itu tak mungkin bagus. Aku langsung melompat melampaui kepala Kronos
saat singgasana tersebut menembakkan sulur-sulur listrik ke segala arah. Satu
mengenai muka Kronos, menyetrum menyusuri tubuh dan pedangnya.
"AHH!" Kronos jatuh berlutut dan menjatuhkan Backbiter.
Annabeth melihat peluangnya. Dia menendang Ethan supaya menyingkir
dan menyerang Kronos. "Luke, dengarkan!"
Aku ingin berteriak kepada Annabeth, memberitahunya bahwa dia gila
karena berusaha berlogika dengan Kronos, tapi tidak ada waktu. Kronos
menjentikkan tangannya. Annabeth terbang ke belakang, menghantam singgasana
ibunya dan tergolek ke lantai.
"Annabeth!" teriakku.
Ethan Nakamura berdiri. Dia sekarang berdiri di antara Annabeth dan aku.
Aku tak bisa bertarung melawan Ethan tanpa memunggungi Kronos.
Irama musik Grover menjadi lebih cepat. Dia bergerak mendekati Annabeth,
tapi dia tidak bisa berjalan lebih cepat dan menjaga irama lagunya. Rumput
tumbuh di lantai ruang singgasana. Akar-akar kecil merayap ke atas di antara
retakan di batu marmer. Kronos menumpukan bobotnya ke salah satu lututnya. Rambutnya berasap.
Wajahnya dipenuhi luka bakar. Dia menjulurkan tangan untuk meraih pedangnya,
tapi kali ini pedangnya tidak terbang ke tangannya.
"Nakamura!" erangnya. "Waktunya untuk membuktikan dirimu. Kautahu
kelemahan rahasia Jackson. Bunuh dia dan kau akan mendapatkan imbalan yang
tak terbayangkan." Pandangan mata Ethan menumbuk bagian tengah tubuhku, dan aku yakin
dia tahu. Sekalipun dia tidak bisa membunuhku sendiri, yang harus dia lakukan
hanyalah memberi tahu Kronos. Tidak mungkin aku bisa mempertahankan diriku
selamanya. "Lihat ke sekitarmu, Ethan," kataku. "Kiamat. Inikah imbalan yang
kauinginkan" Apa kau benar-benar ingin agar semuanya dihancurkan - kebaikan
dan kejahatan" Semuanya?"
Grover hampir mencapai Annabeth sekarang. Rumput menebal di lantai.
Akar-akar hampir sekaki panjangnya, seperti cambang.
"Nggak ada singgasana untuk Nemesis," gumam Ethan. "Nggak ada
singgasana untuk ibuku."
"Itu benar!" Kronos berusaha berdiri, tapi terjatuh. Di atas telinga kirinya,
sepetak rambut pirang masih berasap. "Serang mereka! Mereka layak menderita."
"Kaubilang ibumu adalah dewi keseimbangan," aku mengingatkannya.
"Para dewa-dewi minor layak menerima yang lebih baik, Ethan, tapi kehancuran
total bukan keseimbangan. Kronos nggak membangun. Dia cuma menghancurkan."
Ethan memandang singgasana Hephaestus yang mengepulkan asap. Musik
Grover terus bermain, dan Ethan berayun sesuai iramanya, seakan-akan lagu
tersebut memenuhi dirinya dengan nostalgia - harapan untuk melihat hari yang
indah, untuk berada di mana saja asal bukan di sini. Matanya yang sehat
berkedip. Kemudian dia menyerang ... tapi bukan menyerangku.
Sementara Kronos masih berlutut, Ethan mengarahkan pedangnya ke leher
sang penguasa Titan. Serangan tersebut semestinya membunuhnya seketika, tapi
bilah pedang justru hancur berkeping-keping. Ethan jatuh ke belakang,
mencengkeram perutnya. Kepingan bilah pedangnya sendiri telah berputar-putar
dan menusuk baju zirahnya.
Kronos bangkit tak mantap, menjulang di atas pelayannya. "Pengkhianatan,"
geramnya. Musik Grover terus bermain, dan rumput tumbuh di sekeliling tubuh Ethan.
Ethan menatapku, wajahnya berkerut karena kesakitan.
"Layak menerima yang lebih baik," katanya tersengal. "Kalau saja mereka ...
punya singgasana - "
Kronos menjejakkan kakinya, dan lantai retak di sekeliling Ethan Nakamura.
Putra Nemesis jatuh lewat retakan yang mengarah langsung ke jantung gunung langsung ke udara terbuka.
"Tamat riwayatnya." Kronos mengambil pedangnya. "Dan sekarang giliran
kalian." Satu-satunya yang kupikirkan hanyalah menjauhkan Kronos dari Annabeth.
Grover berada di samping Annabeth sekarang. Dia sudah berhenti bermain
dan sedang memberi makan Annabeth ambrosia.
Ke mana pun Kronos melangkah, akar melilit kakinya, tapi Grover telah
menghentikan sihirnya terlalu dini. Akar-akar tersebut tidak cukup tebal atau
kuat untuk melakukan apa pun selain mengusik sang Titan.
Kami bertarung di dekat perapian, menendang arang dan percik api. Kronos
menyabet sandaran lengan di singgasana Ares, yang oke-oke saja buatku, tapi
kemudian dia mendesakku ke singgasana ayahku.
"Oh, ya," kata Kronos. "Yang satu ini bagus sekali untuk kayu bakar
perapianku yang baru!"
Bilah pedang kami bertumbukan, menghasilkan hujan percik api. Dia lebih
kuat daripada aku, tapi selama sesaat aku merasakan kekuatan samudra di
lenganku. Aku mendorongnya mundur dan menyerangnya lagi - menyabetkan
Riptide ke lempeng dadanya sedemikian keras sampai-sampai aku menorehkan
robekan di bahan perunggu peraknya.
Dia menjejakkan kakinya lagi dan waktu melambat. Aku mencoba
menyerang tapi aku bergerak secepat gunung es. Kronos mundur dengan santai,
menstabilkan napasnya. Dia memeriksa torehan di baju zirahnya sementara aku
berjuang untuk maju, tanpa suara mengumpatnya. Dia bisa minta jeda
sesukasukanya. Dia bisa membekukanku di tempat sekehendaknya. Satu-satunya
harapanku adalah semoga kerja kerasnya menguras tenaganya. Kalau saja aku bisa
membuatnya kelelahan ... "Sudah terlambat, Percy Jackson," katanya. "Perhatikan."
Dia menunjuk perapian dan bara pun berpendar. Selapis asap putih tertuang
dari api, membentuk citra seperti pesan-Iris. Kulihat Nico dan orangtuaku di
bawah Fifth Avenue, bertarung dalam pertempuran sia-sia, dikepung musuh. Di
latar belakang Hades bertarung dalam kereta perang hitamnya, memanggil
gelombang zombi tiada henti dari tanah, tapi kekuatan pasukan Titan tampaknya
sama-sama tak ada habisnya. Sementara itu, Manhattan dihancurkan. Para manusia
fana, sekarang sepenuhnya terbangun, berlarian karena ngeri. Mobil-mobil oleng
dan bertabrakan. Pemandangan berubah, dan aku melihat sesuatu yang bahkan lebih
menakutkan. Pilar badai tengah mendekati Sungai Hudson, bergerak cepat di atas pesisir
Jersey. Kereta-kereta perang mengelilinginya, terkurung dalam pertarungan
dengan makhluk di dalam awan.
Para dewa menyerang. Petir berkilat. Panah-panah emas dan perak melesat
masuk ke awan seperti pelacak roket dan meledak. Pelan-pelan, awan terbelah, dan
kulihat Typhon dengan jelas untuk pertama kalinya.
Aku tahu selama aku hidup (yang mungkin tak akan lama lagi) aku takkan
pernah bisa mengenyahkan gambaran itu dari pikiranku. Kepala Typhon terusmenerus
berubah. Tiap saat dia berupa monster yang berbeda, masing-masing
lebih menakutkan daripada yang sebelumnya. Melihat wajahnya bakal membuatku
gila, jadi kupusatkan perhatian pada badannya, yang tidak jauh lebih baik.
Badannya seperti manusia, tapi kulitnya mengingatkanku pada roti isi daging yang
disimpan di loker seseorang setahun penuh. Kulitnya berbintik-bintik hijau,
dengan belang-belang seukuran gedung, dan petak-petak gosong karena berabadabad
terkurung di dalam gunung berapi. Tangannya seperti manusia, tapi bercakar
seperti elang. Kakinya bersisik dan mirip kaki reptil.
"Dewa-dewi Olympia mengerahkan upaya terakhir mereka," Kronos
tertawa. "Sungguh menyedihkan."
Zeus melemparkan tongkat petir dari kereta perangnya. Ledakan tersebut
menerangi seluruh dunia. Aku bahkan bisa merasakan guncangannya di sini di
Olympus, tapi saat debu menipis, Typhon masih berdiri. Dia sempoyongan sedikit,
dengan kawah berasap di atas kepalanya yang penyok, tapi dia meraung marah
dan terus maju. Tangan dan kakiku mulai lebih rileks. Kronos tampaknya tidak sadar.
Perhatiannya terfokus pada pertarungan dan kemenangan finalnya. Kalau saja aku
bisa bertahan beberapa detik lagi, dan kalau ayahku menepati janjinya ...
Typhon melangkah masuk ke Sungai Hudson dan air nyaris tidak sampai ke
tengah betisnya. Sekarang, pikirku, memohon kepada citra di tengah asap. Kumohon, harus
terjadi sekarang. Bagaikan mukjizat, terompet kerang berbunyi dari citra yang berasap.
Panggilan samudra. Panggilan Poseidon.
Di sekeliling Typhon, Sungai Hudson menyembur, bergolak dilanda
gelombang setinggi dua belas meter. Dari air keluarlah kereta perang baru - yang
ini ditarik oleh hippocampus superbesar, yang berenang di udara sama mudahnya
seperti berenang di air. Ayahku, bersinar dengan aura kekuasaan berwarna biru,
mengendarai lingkaran agresif di sekeliling kaki si raksasa. Poseidon bukan lagi
seorang pria tua. Dia kelihatan seperti dirinya lagi - berkulit cokelat terbakar
matahari dan kuat dengan janggut hitam. Saat dia mengayunkan trisulanya, sungai
merespons, menghasilkan terowongan awan di sekeliling si monster.
"Tidak!" raung Kronos setelah sesaat terdiam karena terperanjat. "TIDAK!"
"SEKARANG, SANAK SAUDARAKU!" Suara Poseidon begitu lantang
sehingga aku tak yakin apakah aku mendengarnya dari citra yang berasap atau
dari seberang kota. "SERANG DEMI OLYMPUS!"
Para pendekar berhamburan keluar dari sungai, mengendarai gelombang di
atas hiu dan naga dan kuda laut besar. Mereka adalah selegiun Cyclops, dan yang
memimpin mereka ke pertempuran adalah ...
"Tyson!" teriakku.
Aku tahu dia tak bisa mendengarku, tapi aku menatapnya dengan kagum.
Ukurannya telah membesar secara ajaib. Tingginya pasti sembilan meter, sebesar
sepupunya yang mana saja yang lebih tua, dan untuk pertama kalinya dia
mengenakan baju tempur lengkap. Di belakangnya berkendaralah Briares, sang
Tangan Seratus. Semua Cyclops memegang rantai besi logam besar panjang - cukup besar
untuk menambatkan kapal perang - dengan kait pencengkeram di ujung-ujungnya.
Mereka mengayun-ayunkan rantai seperti laso dan mulai menjerat Typhon,
melemparkan tali di sekeliling kaki dan lengan makhluk itu, menggunakan ombak
untuk terus memutar, pelan-pelan menjeratnya. Typhon bergoyang-goyang dan
meraung dan menyentakkan rantai-rantai, menjatuhkan sejumlah Cyclops dari
tunggangan mereka; tapi ada terlalu banyak rantai. Bobot batalion Cyclops semata
mulai membebani Typhon. Poseidon melemparkan trisulanya dan menusuk leher
monster itu. Darah keemasan, ichor makhluk abadi, muncrat dari luka tersebut,
menghasilkan air terjun yang lebih tinggi daripada gedung pencakar langit.
Trisula terbang kembali ke tangan Poseidon.
Para dewa lain menyerang dengan kekuatan baru. Ares berkendara masuk
dan menikam hidung Typhon. Artemis menembak mata monster itu dengan
selusin anak panah perak. Apollo menembakkan sekumpulan anak panah dan
membakar cawat si monster. Dan Zeus terus memukuli monster itu dengan petir,
sampai akhirnya, pelan-pelan, air naik, membungkus Typhon seperti kepompong,
dan dia mulai terbenam karena beban rantai. Typhon meraung kesakitan,
merontaronta dengan kekuatan begitu dahsyat sampai-sampai ombak menyiram pesisir
Jersey, membasahi bangunan lima lantai dan memerciki Jembatan George
Washington - dan jatuhlah dia saat ayahku membuka terowongan istimewa
untuknya di dasar sungai - perosotan akhir tak berujung yang akan membawanya
langsung ke Tartarus. Kepala si raksasa masuk ke bawah pusaran air yang berbuih,
dan dia pun lenyap. "BAH!" teriak Kronos. Dia menyabetkan pedangnya ke asap, merobek-robek
citra tersebut. "Mereka dalam perjalanan," kataku. "Kau sudah kalah."
"Aku bahkan belum mulai."
Dia maju secepat kilat. Grover - dasar satir bodoh yang berani - mencoba
melindungiku, tapi Kronos melemparkannya ke samping seperti boneka kain
perca. Aku melangkah ke samping dan menikam ke bawah lengan Kronos. Itu
tipuan bagus. Sayangnya, Luke mengetahuinya. Dia membalas serangan itu dan
melucuti senjata itu menggunakan salah satu gerakan pertama yang pernah
diajarkannya kepadaku. Pedangku terpelanting di tanah dan jatuh tepat ke dalam
retakan terbuka. "STOP!" Annabeth datang entah dari mana.
Kronos berputar untuk menghadapnya dan menyabet dengan Backbiter, tapi
entah bagaimana Annabeth menghadang serangan itu dengan gagang belatinya.
Itu adalah gerakan yang hanya bisa dilakukan oleh petarung pisau paling cepat
dan paling terampil. Jangan tanya aku dari mana dia menemukan kekuatan, tapi
dia melangkah lebih dekat agar bisa mengungkit senjatanya, bilah senjata mereka
bertemu, dan selama sesaat dia berdiri berhadap-hadapan dengan sang penguasa
Titan, menahan Kronos hingga terdiam.
"Luke," kata Annabeth, menggertakkan giginya, "aku mengerti sekarang.
Kau harus memercayaiku."
Kronos meraung murka. "Luke Castellan sudah mati! Tubuhnya akan
terbakar saat aku menyandang wujud sejatiku!"
Aku mencoba bergerak, tapi badanku membeku lagi. Bagaimana bisa
Annabeth, babak belur dan setengah mampus karena kelelahan, memiliki kekuatan
untuk bertarung melawan Titan seperti Kronos"
Kronos mendorong Annabeth, mencoba melepaskan bilah pedangnya, tapi
Annabeth bertahan, lengannya gemetaran saat Kronos memaksa pedangnya ke
bawah ke arah leher Annabeth.
"Ibumu," geram Annabeth. "Dia melihat takdirmu."
"Melayani Kronos!" raung sang Titan. "Inilah takdirku."
Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan!" Annabeth berkeras. Matanya meneteskan air mata, tapi aku tak
tahu apakah itu karena merasa sedih atau merasa nyeri. "Bukan itu akhirnya,
Luke. Ramalan: dia melihat apa yang harus kaulakukan. Ramalan itu berlaku bagimu!"
"Aku akan meremukkanmu, Nak!" gerung Kronos.
"Nggak akan," kata Annabeth. "Kau janji. Kau bahkan menahan Kronos
sekarang." "BOHONG!" Kronos mendorong lagi, dan kali ini Annabeth kehilangan
keseimbangannya. Dengan tangannya yang bebas, Kronos menghajar wajah
Annabeth, dan Annabeth pun meluncur ke belakang.
Aku mengerahkan semua tekadku. Aku berhasil bangkit, tapi rasanya
seperti memikul bobot langit lagi.
Kronos menjulang di hadapan Annabeth, pedangnya terangkat.
Darah menetes dari sudut mulut Annabeth. Dia berkata parau, "Keluarga,
Luke. Kau janji." Aku melangkah maju, merasa kesakitan. Grover sudah kembali berdiri, di
dekat singgasana Hera, tapi dia tampaknya juga berjuang untuk bergerak. Sebelum
satu pun dari kami bisa dekat-dekat Annabeth, Kronos terhuyung-huyung.
Dia menatap pisau di tangan Annabeth, darah di wajahnya. "Janji."
Lalu dia megap-megap seakan dia tidak bisa mendapatkan udara.
"Annabeth ... " Tapi itu bukan suara sang Titan. Itu suara Luke. Dia
terhuyunghuyung maju seakan dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. "Kau
berdarah ... " "Pisauku." Annabeth berusaha mengangkat belatinya, namun pisau tersebut
berkelotakan, lepas dari tangannya. Lengannya bengkok membentuk sudut yang
ganjil. Dia memandangku, memohon, "Percy, kumohon ... "
Aku bisa bergerak lagi. Aku menyerbu ke depan dan mengambil pisaunya. Kujatuhkan Backbiter
dari tangan Luke, dan pedang tersebut berputar-putar ke dalam perapian. Luke
nyaris tak menggubrisku. Dia melangkah menghampiri Annabeth, tapi aku
menempatkan diriku di antara dirinya dan Annabeth.
"Jangan sentuh dia," kataku.
Kemarahan menggelora di wajahnya. Suara Kronos menggeram: "Jackson
..." Apakah itu cuma imajinasiku, ataukah seluruh tubuhnya menyala, berubah
warna jadi emas" Dia megap-megap lagi. Suara Luke: "Dia berubah. Tolong. Dia ... dia hampir
siap. Dia nggak akan membutuhkan tubuhku lagi. Kumohon - "
"TIDAK!" raung Kronos. Dia melihat ke sana-kemari untuk mencari
pedangnya, tapi pedang tersebut ada di perapian, berpendar di antara arang.
Dia tergopoh-gopoh ke arah pedang. Aku mencoba menghentikannya, tapi
dia mendorongku menyingkir dengan kekuatan begitu dahsyat sehingga aku
mendarat di sebelah Annabeth dan kepalaku membentur pangkal singgasana
Athena. "Pisaunya, Percy," gumam Annabeth. Napasnya dangkal. "Pahlawan ...
bilah terkutuk ... "
Waktu penglihatanku kembali fokus, kulihat Kronos menggenggam
pedangnya. Lalu dia meraung kesakitan dan menjatuhkannya. Tangannya berasap
dan melepuh. Api perapian telah menyala merah panas, seakan sabit tak cocok
dengannya. Kulihat citra Hestia berkedip-kedip di abu, mengerutkan kening
kepada Kronos dengan ekspresi tak setuju.
Luke berbalik dan kolaps, mencengkeram tangannya yang terluka.
"Kumohon, Percy ... "
Aku berjuang untuk berdiri. Aku bergerak menghampirinya dengan pisau.
Aku seharusnya membunuhnya. Itulah rencananya.
Luke tampaknya tahu apa yang kupikirkan. Dia membasahi bibirnya. "Kau
nggak bisa ... nggak bisa melakukannya sendirian. Dia akan mematahkan
kendaliku. Dia akan membela diri. Cuma tanganku. Aku tahu di mana. Aku bisa ...
bisa terus mempertahankan agar dia berada di bawah kendaliku."
Dia jelas-jelas menyala sekarang, kulitnya mulai berasap.
Aku mengangkat pisau untuk menyerang. Kemudian kupandang Annabeth,
kupandang Grover yang membuai Annabeth dalam pelukannya, berusaha
menamenginya. Dan aku akhirnya mengerti apa yang berusaha dia sampaikan
kepadaku. Bukan kau pahlawannya, kata Rachel waktu itu. Itu akan memengaruhi apa yang
kaulakukan. "Kumohon," erang Luke. "Nggak ada waktu."
Kalau Kronos berubah ke wujud sejatinya, dia takkan bisa dihentikan. Dia
bakal membuat Typhon kelihatan kayak tukang palak di sekolah.
Larik dari ramalan besar bergema dalam kepalaku: Jiwa sang pahlawan, bilah
terkutuk yang akan menghabisi. Seluruh duniaku jungkir balik ... dan kuberikan
pisau kepada Luke. Grover memekik. "Percy" Apa kau ... anu ... "
Gila. Sinting. Tak waras. Barangkali.
Tapi kuperhatikan saat Luke mencengkeram gagang pisau.
Aku berdiri di depannya - tanpa pertahanan.
Dia melepaskan tali pengikat samping baju zirahnya, menampakkan secuil
kecil kulit tepat di bawah lengan kirinya, tempat yang akan sangat sulit
dikenai. Dengan susah payah, ditikamnya dirinya sendiri.
Sayatannya tak dalam, tapi Luke melolong. Matanya menyala seperti lava.
Ruang singgasana berguncang, menjatuhkanku. Aura energi mengelilingi Luke,
menjadi kian terang dan kian terang. Aku memejamkan mata dan merasakan
energi sedahsyat ledakan nuklir melepuhkan kulitku dan memecahkan bibirku.
Hening untuk waktu yang lama.
Saat aku membuka mata, kulihat Luke terkapar di dekat perapian. Di lantai
di sekelilingnya terdapat lingkaran abu yang menghitam. Sabit Kronos telah
meleleh menjadi logam cair dan menetes-netes ke arang perapian, yang kini
berpendar bagaikan tungku pandai besi.
Sisi kiri tubuh Luke berdarah-darah. Matanya terbuka - mata biru, seperti
dulu. Napasnya serak. "Pisau ... bagus," katanya parau.
Aku berlutut di sebelahnya. Annabeth terpincang-pincang mendekat sambil
dipapah Grover. Ada air mata di mata mereka berdua.
Luke menatap Annabeth. "Kautahu. Aku hampir membunuhmu, tapi
kautahu ... " "Ssst." Suara Annabeth gemetar. "Kau seorang pahlawan pada akhirnya,
Luke. Kau akan pergi ke Elysium."
Luke menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Mempertimbangkan ...
kelahiran kembali. Coba tiga kali. Kepulauan Kaum Diberkahi."
Annabeth menyedot ingus. "Kau selalu memaksa dirimu terlalu keras."
Luke mengulurkan tangannya yang gosong. Annabeth menyentuh ujung
jarinya. "Apa kau ... " Luke terbatuk dan bibirnya berkilau merah. "Apa kau
mencintaiku?" Annabeth menghapus air matanya. "Ada saat ketika kupikir ... yah, kupikir
... " Dia memandangku, seolah dia sedang mereguk fakta bahwa aku masih di sini.
Dan kusadari bahwa aku melakukan hal yang sama. Dunia sedang runtuh, tapi
satu-satunya yang sungguh penting bagiku adalah bahwa Annabeth masih hidup.
"Kau seperti kakak bagiku, Luke," kata Annabeth lembut. "Tapi aku nggak
mencintaimu." Luke mengangguk, seolah dia sudah menduganya. Dia berjengit kesakitan.
"Kita bisa ambil ambrosia," kata Grover. "Kita bisa - "
"Grover," Luke menelan ludah. "Kau satir paling berani yang pernah
kukenal. Tapi nggak. Nggak bisa disembuhkan ... " Batuk lagi.
Luke mencengkeram lengan bajuku, dan aku bisa merasakan panas kulitnya
seperti api. "Ethan. Aku. Semua yang nggak diakui. Jangan biarkan ... Jangan
biarkan itu terjadi lagi."
Matanya marah, tapi memohon juga.
"Nggak akan," kataku. "Aku janji."
Luke mengangguk, dan tangannya jadi lemas.
Para dewa tiba beberapa menit kemudian dalam balutan perlengkapan
perang lengkap, menggemuruh masuk ke ruang singgasana dan mengharapkan
sebuah pertempuran. Yang mereka temukan adalah Annabeth, Grover, dan aku yang berdiri di
hadapan tubuh seorang blasteran yang sudah tewas, di tengah cahaya redup
perapian. "Percy," seru ayahku, ketakjuban dalam suaranya. "Apa ... apa ini?"
Aku berbalik dan menghadap dewa-dewi Olympia.
"Kita butuh kafan," aku mengumumkan, suaraku pecah. "Kafan untuk putra
Hermes." DUA PULUH Kami Memenangi Hadiah Hebat Ketiga Moirae sendiri yang membawa jenazah Luke.
Sudah bertahun-tahun aku tidak melihat wanita-wanita itu, sejak aku
menyaksikan mereka menggunting benang kehidupan di kios buah pinggir jalan
waktu aku dua belas tahun. Mereka membuatku takut saat itu, dan mereka
membuatku takut sekarang - tiga nenek mirip hantu dengan jarum rajut dan
benang. Salah satu dari mereka memandangku, dan meskipun dia tidak mengatakan
apa-apa, hidupku secara harfiah melesat di depan mataku. Tiba-tiba aku berumur
dua puluh tahun. Kemudian aku jadi seorang pria setengah baya. Kemudian aku
menjadi tua dan keriput. Semua kekuatan meninggalkan tubuhku, dan kulihat batu
nisanku sendiri dan kubur terbuka, peti mati diturunkan ke dalam tanah. Semua
ini terjadi dalam kurang dari sedetik.
Sudah selesai, kata wanita itu.
Sang Moirae mengangkat sepotong benang biru - dan aku tahu itu adalah
benang yang sama seperti yang kulihat empat tahun lalu, garis kehidupan yang
kusaksikan mereka potong. Kupikir itu hidupku. Sekarang kusadari itu hidup
Luke. Mereka menunjukiku kehidupan yang harus dikorbankan demi memperbaiki keadaan. Mereka menggendong jenazah Luke, kini dibungkus kafan putih-hijau, dan
mulai membawanya keluar dari ruang singgasana.
"Tunggu," kata Hermes.
Sang dewa pengantar pesan mengenakan pakaian klasik berupa jubah
Yunani putih, sandal, dan helm. Sayap di helmnya mengepak-ngepak saat dia
berjalan. Para ular, George dan Martha, meliliti caduceusnya, menggumamkan,
Luke, Luke yang malang. Aku memikirkan May Castellan, sendirian di dapurnya, memanggang kue
dan membuat roti isi untuk seorang putra yang takkan pernah pulang ke rumah.
Hermes menyibakkan kafan dari wajah Luke dan mengecup keningnya. Dia
menggumamkan kata-kata dalam bahasa Yunani kuno - pemberkatan terakhir.
"Selamat tinggal," bisiknya. Lalu dia mengangguk dan mengizinkan para
Moirae membawa pergi jenazah putranya.
Saat mereka pergi, aku memikirkan Ramalan Besar. Larik-larik tersebut kini
masuk akal bagiku. Jiwa sang pahlawan, bilah terkutuk yang akan menghabisi. Sang
pahlawan adalah Luke. Bilah terkutuk adalah pisau yang diberikannya pada
Annabeth dulu sekali - terkutuk karena Luke melanggar janjinya dan mengkhianati teman-temannya. Satu pilihan akan akhiri usianya. Pilihanku, untuk
memberinya pisau, dan untuk percaya, seperti Annabeth, bahwa dia masih mampu
memperbaiki keadaan. Olympus tetap lestari atau binasa. Dengan cara mengorbankan
dirinya sendiri, dia telah menyelamatkan Olympus. Rachel benar. Pada akhirnya,
sesungguhnya bukan aku pahlawannya. Lukelah sang pahlawan.
Dan aku mengerti hal yang lain lagi. Waktu Luke turun ke dalam Sungai
Styx, dia harus memusatkan perhatian pada sesuatu yang penting yang akan
menghubungkannya ke kehidupan fananya. Jika tidak, dia akan terlarut. Aku
melihat Annabeth dan aku punya firasat dia pun melihat Annabeth. Dia
membayangkan peristiwa yang ditunjukkan Hestia kepadaku - tentang dirinya di
masa lalu yang menyenangkan bersama Thalia dan Annabeth, saat dia berjanji
kepada mereka bahwa mereka akan jadi keluarga. Melukai Annabeth dalam
pertempuran telah mengguncangkannya sehingga mengingat janji itu. Hal tersebut
memungkinkan kesadaran fananya untuk mengambil alih lagi, dan mengalahkan
Kronos. Titik lemahnya - tumit Achillesnya - telah menyelamatkan kami semua.
Di sebelahku, lutut Annabeth jadi lemas. Aku menangkapnya, tapi dia
menjerit kesakitan, dan kusadari aku telah menggenggam lengannya yang patah.
"Oh, demi para dewa," kataku. "Annabeth, maafkan aku."
"Tidak apa-apa," katanya saat dia pingsan dalam pelukanku.
"Dia butuh bantuan!" teriakku.
"Biar kutangani." Apollo melangkah maju. Baju zirahnya yang menyalanyala begitu
terang sehingga susah dipandang, dan kacamata hitamnya yang serasi
serta senyum sempurnanya membuatnya mirip seperti model pria untuk pakaian
tempur. "Dewa pengobatan, siap melayanimu."
Dia menelusurkan tangannya ke atas wajah Annabeth dan mengucapkan
mantra. Seketika memar-memar memudar. Luka sayat dan bekas luka Annabeth
menghilang. Lengannya jadi lurus, dan dia mendesah dalam tidurnya.
Apollo nyengir. "Dia akan baik-baik saja dalam waktu beberapa menit.
Cukup waktu bagiku untuk mengubah puisi tentang kemenangan kita, judulnya:
'Apollo dan teman-temannya menyelamatkan Olympus.' Bagus, kan?"
"Makasih, Apollo," kataku. "Akan ku ... anu, ehm, kupersilakan Anda
mengurus puisi." Beberapa jam berikutnya terasa kabur. Aku ingat janjiku pada ibuku. Zeus
bahkan tidak mengedipkan satu mata pun waktu kusampaikan permintaan anehku
kepadanya. Dia menjentikkan jari dan memberitahuku bahwa puncak Empire State
Building sekarang menyala biru. Sebagian besar manusia fana pasti bakal
bertanyatanya apa maksudnya, tapi ibuku pasti tahu: aku bertahan hidup. Olympus
selamat. Para dewa mulai melakukan perbaikan ruang singgasana, yang berlangsung
teramat cepat karena ada dua belas kekuatan mahadahsyat yang bekerja. Grover
dan aku merawat mereka yang terluka dan setelah jembatan langit terbentuk
kembali, kami menyapa teman-teman kami yang selamat. Para Cyclops telah
menyelamatkan Thalia dari patung yang jatuh. Thalia menggunakan tongkat
penyangga, tapi selain itu dia baik-baik saja. Connor dan Travis Stoll melalui
pertempuran hanya dengan luka-luka kecil. Mereka berjanji kepadaku bahwa
mereka bahkan tidak menjarah kota terlalu banyak. Mereka memberitahuku bahwa
orangtuaku baik-baik saja, meskipun mereka tidak diperbolehkan masuk ke
Gunung Olympus. Nyonya O'Leary telah menggali Chiron dari puing-puing dan
buru-buru membawanya ke perkemahan. Stoll bersaudara kelihatan khawatir akan
sang centaurus tua, tapi paling tidak dia masih hidup. Katie Gardner melaporkan
bahwa dia melihat Rachel Elizabeth Dare lari keluar dari Empire State Building
pada akhir pertempuran. Rachel kelihatannya tidak terluka, tapi tak ada yang
tahu ke mana dia pergi, yang juga merisaukanku.
Nico di Angelo disambut masuk ke Olympus layaknya pahlawan, ayahnya
tepat di belakangnya, terlepas dari fakta bahwa Hades seharusnya hanya
mengunjungi Olympus saat titik balik musim dingin. Sang dewa orang mati
kelihatan bengong waktu kerabat-kerabatnya menepuk punggungnya. Aku ragu
dia pernah menerima sambutan seantusias itu sebelumnya.
Clarisse berderap masuk, masih menggigil karena waktu yang dihabiskannya di dalam balok es, dan Ares meraung, "Itu baru anak
Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuanku!" Sang dewa perang mengacak-acak rambut Clarisse dan menepuk punggungnya, menyebut Clarisse pejuang terbaik yang pernah dilihatnya.
"Pembantaian drakon itu" BEGITU ITU maksudku!"
Clarisse kelihatan lumayan kewalahan. Yang bisa dilakukannya cuma
mengangguk dan berkedip, seakan-akan dia takut ayahnya bakal mulai
memukulnya, tapi pada akhirnya dia mulai tersenyum.
Hera dan Hephaestus melewatiku, dan meskipun Hephaestus sedikit
bersungut-sungut karena aku melompat ke singgasananya, dia berpendapat
kerjaku "cukuplah, sebagian besar."
Hera mendengus menghina. "Kurasa aku takkan menghancurkanmu dan
gadis kecil itu sekarang."
"Annabeth menyelamatkan Olympus," kataku padanya. "Dia meyakinkan
Luke supaya menghentikan Kronos."
"Hmm," Hera berputar pergi sambil mendengus, tapi kurasa nyawa kami
akan aman, paling tidak selama beberapa tahun lagi.
Kepala Dionysus masih dibalut perban. Dia melihatku dari atas ke bawah
dan berkata, "Yah, Percy Jackson. Kulihat Pollux melalui pertempuran hiduphidup,
jadi kurasa kau tak sepenuhnya tidak cakap. Semua ini berkat latihan
dariku, kurasa." "Eh, iya, Pak," kataku.
Pak D mengangguk. "Sebagai terima kasih atas keberanianku, Zeus telah
memotong separuh masa percobaanku di perkemahan menyedihkan itu. Sisa masa
hukumanku sekarang tinggal lima puluh tahun alih-alih seratus."
"Lima puluh tahun, ya?" Aku berusaha membayangkan harus menoleransi
Dionysus sampai aku jadi pria tua, mengasumsikan bahwa aku hidup selama itu.
"Jangan terlalu bersemangat,
Jackson," katanya, dan
kusadari dia mengucapkan namaku dengan benar. "Aku masih berencana membuat hidupmu
menderita." Mau tak mau aku tersenyum. "Tentu saja."
"Hanya supaya kita saling mengerti." Dia berbalik dan mulai memperbaiki
singgasana sulur anggurnya, yang telah gosong terbakar api.
Grover bertahan di sampingku. Dari waktu ke waktu tangisnya pecah.
"Begitu banyak roh alam yang mati, Percy. Begitu banyak."
Aku merangkulkan tanganku ke bahunya dan memberinya kain perca untuk
mengelap ingusnya. "Kerjamu bagus, G-man. Kita pasti bisa melalui ini. Akan kita
tanam pohon-pohon baru. Akan kita bersihkan taman-taman. Teman-temanmu
akan bereinkarnasi ke dalam dunia yang lebih baik."
Dia menyedot ingus dengan murung. "Aku ... aku rasa begitu. Tapi sudah
cukup susah untuk mengumpulkan mereka sebelumnya. Aku masih jadi satir
buangan. Aku nyaris tidak bisa membuat siapa pun mendengarkanku tentang Pan.
Sekarang akankah mereka mendengarkanku lagi" Aku memimpin mereka ke
pembantaian." "Mereka akan mendengarkan," janjiku. "Soalnya kau peduli pada mereka.
Kau peduli pada Alam Liar lebih daripada siapa pun."
Dia mencoba tersenyum. "Makasih, Percy. Kuharap ... kuharap kautahu aku
benar-benar bangga jadi temanmu."
Aku menepuk lengannya. "Luke benar tentang satu hal, G-man. Kau adalah
satir paling berani yang pernah kutemui."
Dia merona, tapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun, terompet kerang
bertiup. Pasukan Poseidon berbaris masuk ke ruang singgasana.
"Percy!" teriak Tyson. Dia menghampiriku dengan lengan terentang.
Untungnya dia sudah menciut ke ukuran normal, jadi pelukannya terasa kayak
ditabrak traktor, bukan seisi peternakan.
"Kau nggak mati!" katanya.
"Iya!" aku setuju. "Luar biasa, ya?"
Dia bertepuk tangan dan tertawa gembira. "Aku juga nggak mati. Hore!
Kami merantai Typhon. Menyenangkan deh!"
Di belakangnya, lima puluh Cyclops lain yang berbaju zirah tertawa dan
mengangguk dan saling menepukkan telapak tangan tinggi-tinggi di udara.
"Tyson memimpin kami," geram salah satu. "Dia berani!"
"Cyclops paling berani!" raung yang lain.
Tyson merona. "Bukan apa-apa."
"Aku melihatmu!" kataku. "Kau hebat!"
Kupikir Grover yang malang bakalan semaput. Dia takut setengah mati pada
Cyclops. Tapi dia meneguhkan nyalinya dan berkata, "Ya. Eh ... tiga sorakan untuk
Tyson!" "YAAARRRRR!" raung para Cyclops.
"Kumohon jangan makan aku," gumam Grover, tapi menurutku tak ada
yang mendengarnya. Terowongan kerang berbunyi nyaring lagi. Barisan Cyclops terbelah, dan
ayahku melenggang masuk ke ruang singgasana dalam balutan pakaian
tempurnya, trisulanya berpendar di tangannya.
"Tyson!" raungnya. "Kerja bagus, Putraku. Dan Percy - " Wajahnya berubah
jadi galak. Dia menggoyang-goyangkan jari kepadaku, dan selama sedetik aku
takut dia bakal membuatku tamat. "Aku bahkan memaafkanmu karena sudah
menduduki singgasanaku. Kau telah menyelamatkan Olympus!"
Dia mengulurkan lengannya dan memberiku pelukan. Kusadari, sedikit
malu-malu, bahwa aku sesungguhnya tak pernah memeluk ayahku sebelumnya.
Dia hangat - seperti manusia biasa - dan baunya seperti pantai bergaram dan
udara laut segar. Saat dia menarik diri, dia tersenyum ramah kepadaku. Aku merasa senang
sekali, kuakui mataku berkaca-kaca sedikit. Kurasa sampai saat itu aku tidak
membiarkan diriku menyadari betapa takutnya aku selama beberapa hari terakhir.
"Ayah - " "Ssst," katanya. "Tidak ada pahlawan yang tak pernah takut, Percy. Dan kau
sudah melampaui semua pahlawan. Hercules sekalipun - "
"POSEIDON!" raung sebuah suara.
Zeus telah menempati singgasananya. Dia memelototi ayahku dari seberang
ruangan sementara semua dewa lain berbaris masuk dan menempati kursi mereka.
Bahkan Hades hadir, duduk di kursi tamu sederhana di kaki perapian. Nico duduk
bersila di lantai di kaki ayahnya.
"Yah, Poseidon?" gerutu Zeus. "Apakah kau terlalu pongah untuk
bergabung dengan kami dalam dewan, Kakakku?"
Kupikir Poseidon bakal marah, tapi dia cuma memandangku dan berkedip.
"Aku akan merasa terhormat, Tuan Zeus."
Kurasa mukjizat memang bisa terjadi. Poseidon melenggang ke kursi
memancingnya, dan Dewan Olympia pun mulai bersidang.
Sementara Zeus berbicara - pidato panjang mengenai keberanian para dewa, dsb.
- Annabeth berjalan masuk dan berdiri di sampingku. Dia kelihatan baik-baik saja
untuk seseorang yang baru saja pingsan.
"Banyak yang kulewatkan?" bisiknya.
"Nggak ada yang berencana membunuh kita, sejauh ini," aku balas berbisik.
"Yang pertama untuk hari ini."
Aku terkekeh, tapi Grover menyikutku karena Hera memberi kami ekspresi
galak. "Sedangkan untuk saudara-saudara laki-lakiku," kata Zeus, "kami berterima
kasih" - dia berdehem seolah kata-kata tersebut susah dikeluarkan - "eh, berterima
kasih atas bantuan Hades."
Sang raja orang mati mengangguk. Ada ekspresi sombong di wajahnya, tapi
kurasa dia berhak bersikap begitu. Dia menepuk bahu putranya Nico, dan Nico
kelihatan lebih bahagia daripada sebelumnya.
"Dan, tentu saja," lanjut Zeus, walaupun dia terlihat seakan-akan celananya
terbakar, "kami harus ... eh ... berterima kasih kepada Poseidon."
"Maaf, Dik," kata Poseidon. "Apa tadi?"
"Kami harus berterima kasih kepada Poseidon," geram Zeus. "Tanpanya ...
pasti akan sulit - "
"Sulit?" tanya Poseidon polos.
"Mustahil," kata Zeus. "Mustahil untuk mengalahkan Typhon."
Para dewa menggumamkan persetujuan dan menggebrakkan senjata mereka
tanda sependapat. "Yang hanya menyisakan," kata Zeus, "perkara mengenai pemberian ucapan
terima kasih untuk para pahlawan blasteran muda, yang mempertahankan
Olympus dengan sangat baik - kendatipun singgasanaku penyok-penyok."
Dia memanggil Thalia maju lebih dulu, sebab Thalia adalah putrinya, dan
menjanjikan bantuan untuk mengisi rekrutmen Pemburu.
Artemis tersenyum. "Kau sudah bekerja bagus, Letnanku. Kau telah
membuatku bangga, dan semua Pemburu yang tewas saat melayaniku takkan
pernah dilupakan. Mereka akan memperoleh Elysium, aku yakin."
Dia memelototi Hades dengan tajam.
Hades mengangkat bahu. "Barangkali."
Artemis memelototinya lebih lama.
"Oke," gerutu Hades. "Akan kupercepat proses aplikasi mereka."
Thalia berbinar-binar bangga. "Terima kasih, Dewi." Dia membungkuk
kepada para dewa, bahkan Hades, dan kemudian terpincang-pincang untuk berdiri
di samping Artemis. "Tyson, putra Poseidon!" panggil Zeus. Tyson kelihatan gugup, tapi dia
pergi untuk berdiri di tengah-tengah Dewan, dan Zeus menggeram.
"Tidak kurang makan, sepertinya," gumam Zeus. "Tyson, atas keberanianmu dalam perang, dan karena sudah memimpin para Cyclops, kau
ditunjuk sebagai jenderal di ketentaraan Olympus. Mulai saat ini kau akan
memimpin sanak-saudaramu ke peperangan kapan pun dibutuhkan oleh para
dewa. Dan kau akan menerima ... eh ... senjata jenis apa yang kauinginkan"
Pedang" Kapak?"
"Pentungan!" kata Tyson, menunjukkan pentungannya yang patah.
"Baiklah," kata Zeus. "Kami akan menganugerahimu, eh, pentungan baru.
Pentungan terbaik yang dapat ditemukan."
"Horeee!" seru Tyson, dan semua Cyclops bersorak dan menepuk
punggungnya saat dia bergabung kembali bersama mereka.
"Grover Underwood dari bangsa satir!" panggil Dionysus.
Grover maju dengan gugup.
"Oh, berhentilah mengunyah bajumu," Dionysus memarahinya. "Sejujurnya,
aku takkan meledakkanmu. Atas keberanian dan pengorbananmu, bla, bla, bla, dan
karena ada kekosongan yang disayangkan, para dewa menganggap pantas untuk
menunjukmu sebagai anggota Dewan Tetua Berkuku Belah."
Grover kolaps di tempat. "Oh, luar biasa," desah Dionysus, saat beberapa naiad maju untuk menolong
Grover. "Yah, ketika dia bangun, beri tahu dia bahwa dia takkan lagi jadi satir
buangan, dan bahwa semua satir, naiad, dan roh alam lain mulai saat ini akan
memperlakukannya sebagai penguasa Alam Liar, dengan semua hak, privilese,
kehormatan, bla, bla, bla. Sekarang tolong, seret dia pergi sebelum dia bangun
dan mulai menyembah-nyembah."
"MAKANAAAN," erang Grover, saat para roh alam membawanya pergi.
Menurutku dia akan baik-baik saja. Dia akan terbangun sebagai penguasa
Alam Liar dengan sekumpulan naiad cantik yang merawatnya. Kehidupan bisa
lebih buruk dari itu, bukan"
Athena memanggil, "Annabeth Chase, putriku sendiri."
Annabeth meremas lenganku, kemudian berjalan maju dan berlutut di kaki
ibunya. Athena tersenyum. "Kau, Putriku, telah melampaui semua pengharapan.
Kau telah menggunakan kecerdikanmu, kekuatanmu, dan keberanianmu untuk
mempertahankan kota ini dan kursi kekuasaan kami. Kami menyadari bahwa
Olympus telah ... yah, diporak-porandakan. Sang penguasa Titan menimbulkan
banyak kerusakan yang harus diperbaiki. Namun para dewa merasa bahwa kota ini
dapat diperbaiki sehingga lebih indah daripada sebelumnya. Kami akan
menganggap ini sebagai suatu kesempatan. Dan kau, Putriku, akan mendesain
perbaikan ini." Annabeth mendongak, terperangah. "De ... dewi?"
Athena tersenyum masam. "Kau memang seorang arsitek, bukan" Kau telah
mempelajari teknik-teknik Daedalus sendiri. Siapa yang lebih pantas untuk
mendesain ulang Olympus dan menjadikannya monumen yang akan bertahan
bermilenium-milenium mendatang?"
"Maksud Dewi ... saya bisa mendesain apa pun yang saya inginkan?"
"Sesuai kehendak hatimu," kata sang dewi. "Buatkan kami kota yang akan
bertahan berabad-abad."
"Selama ada banyak patungku," imbuh Apollo.
"Dan aku," Aphrodite sepakat.
"Hei, dan aku!" kata Ares. "Patung-patung besar dengan pedang besar
ganas dan - " "Sudah, sudah!" Athena menginterupsi. "Dia paham intinya. Berdirilah,
Putriku, arsitek resmi Olympus."
Annabeth bangkit dalam keadaan trans dan berjalan kembali ke arahku.
"Hebat," kataku padanya, nyengir.
Sekali ini dia kehilangan kata-kata. "Aku ... aku harus mulai merencanakan
... Kertas drafting, dan, eh, pensil - "
"PERCY JACKSON!" Poseidon mengumumkan. Namaku bergema di
sepenjuru ruangan. Semua pembicaraan terhenti. Ruangan sunyi kecuali berkat retih api di
perapian. Mata semua orang tertuju padaku - semua dewa, blasteran, Cyclops, roh.
Aku berjalan ke tengah-tengah ruang singgasana. Hestia tersenyum menenangkan
kepadaku. Dia sedang dalam wujud seorang gadis sekarang dan dia tampak
senang dan puas bisa duduk di dekat apinya lagi. Senyumnya memberiku
keberanian untuk terus berjalan.
Pertama-tama aku membungkuk kepada Zeus. Lalu aku berlutut di kaki
ayahku. "Berdirilah, Putraku," kata Poseidon.
Aku berdiri, gelisah. "Pahlawan besar harus diberi imbalan," kata Poseidon. "Adakah di sini yang
akan menampik bahwa putraku layak menerimanya?"
Aku menunggu seseorang berkomentar. Para dewa tidak pernah setuju
tentang apa saja, dan banyak dari mereka masih tak menyukaiku, tapi tak satu pun
yang protes. "Dewan setuju," kata Zeus. "Percy Jackson, kau akan menerima satu hadiah
dari para dewa." Aku ragu-ragu. "Hadiah apa saja?"
Zeus mengangguk muram. "Aku tahu apa yang akan kauminta. Hadiah
terhebat di antara semuanya. Ya, jika kau menginginkannya, itu akan jadi
milikmu. Para dewa tidak pernah menganugerahkan hadiah ini kepada pahlawan fana
selama berabad-abad, tapi, Perseus Jackson - jika kau mendambakannya - kau
akan dijadikan dewa. Kekal. Tak pernah mati. Kau akan melayani sebagai letnan
ayahmu sepanjang masa."
Aku menatapnya, tercengang. "Eh ... dewa?"
Zeus memutar-mutar bola matanya. "Dewa yang berotak tumpul, rupanya.
Tapi ya. Dengan persetujuan seluruh Dewan, aku bisa menjadikanmu kekal.
Kemudian aku harus menoleransi kehadiranmu selamanya."
"Hmm," Ares merenung. "Itu berarti aku bisa meremukkannya sampai jadi
bubur sesering yang kumau dan dia akan terus kembali untuk merasakannya lagi.
Aku suka ide ini." "Aku pun setuju," kata Athena, meskipun dia memandangi Annabeth.
Aku melirik ke belakang. Annabeth sedang berusaha tak bertemu pandang
denganku. Wajahnya pucat. Aku melakukan kilas balik ke dua tahun lalu, waktu
Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kupikir dia bakal bersumpah setia kepada Artemis dan menjadi Pemburu. Waktu
itu aku berada di ambang serangan panik, berpikir bahwa aku akan kehilangannya.
Sekarang, dia kurang lebih kelihatan seperti itu.
Aku berpikir tentang ketiga Moirae dan betapa kulihat kehidupanku melesat
lewat. Aku bisa menghindari semua itu. Tidak ada penuaan, tidak ada kematian,
tidak ada jenazah di dalam kubur. Aku bisa jadi remaja selamanya, dalam kondisi
puncak, kuat, dan kekal, melayani ayahku. Aku bisa memiliki kekuatan dan
kehidupan abadi. Siapa yang bisa menolak itu"
Lalu kulihat Annabeth lagi. Kupikirkan semua temanku dari perkemahan:
Charles Beckendorf, Michael Yew, Silena Beauregard, begitu banyak yang lain yang
sekarang sudah meninggal. Kupikirkan Ethan Nakamura dan Luke.
Dan aku tahu harus berbuat apa.
"Nggak," kataku.
Dewan menjadi hening. Para dewa saling pandang sambil mengerutkan
kening seolah-olah mereka pasti salah dengar.
"Nggak?" kata Zeus. "Kau ... menolak hadiah yang kami berikan dengan
murah hati?" Ada nada tajam yang berbahaya dalam suaranya, seperti badai petir yang
bakal meledak. "Saya merasa terhormat dan sebagainya," kataku. "Jangan salah paham.
Hanya saja ... hidup saya yang tersisa untuk dijalani masih panjang. Saya nggak
mau mencapai puncak saat kelas dua SMA."
Para dewa memelototiku, tapi Annabeth menangkupkan tangannya ke
mulut. Matanya berbinar. Dan sepertinya itu saja sudah cukup setimpal bagiku.
"Akan tetapi, saya menginginkan hadiah," kataku. "Bukankah Anda berjanji
akan mengabulkan permintaan saya?"
Zeus memikirkan ini. "Apabila permintaanmu mampu kami kabulkan."
"Pasti kalian mampu," kataku. "Permintaan saya bahkan tidak sulit
dikabulkan. Tapi saya ingin kalian berjanji demi Sungai Styx."
"Apa?" seru Dionysus. "Kau tidak memercayai kami?"
"Seseorang pernah memberi tahu saya," kataku, memandang Hades, "kita
harus selalu meminta sumpah sepenuh hati."
Hades mengangkat bahu. "Aku mengaku bersalah."
"Baiklah!" geram Zeus. "Atas nama Dewan, kami bersumpah demi Sungai
Styx untuk mengabulkan permintaanmu yang masuk akal selama kami mampu
mengabulkannya." Para dewa yang lain menggumamkan persetujuan. Guntur menggelegar,
mengguncangkan ruang singgasana. Kesepakatan sudah dibuat.
"Mulai saat ini, saya ingin Anda sekalian mengakui anak-anak para dewa
secara sepantasnya," kataku. "Semua anak ... dari semua dewa dan dewi."
Dewa-dewi Olympia bergerak-gerak tak nyaman di kursi mereka.
"Percy," kata ayahku, "apa persisnya yang kaumaksud?"
"Kronos nggak mungkin bisa bangkit kalau bukan karena ada sekumpulan
blasteran yang merasa diabaikan oleh orangtua mereka," kataku. "Mereka merasa
marah, penuh kebencian, tak dicintai, dan mereka punya alasan bagus untuk itu."
Hidung agung Zeus kembang-kempis. "Kau berani-berani menuduh - "
"Nggak boleh ada lagi anak yang nggak diketahui orangtuanya," kataku.
"Saya ingin Dewa-dewi sekalian berjanji untuk mengakui semua anak Anda
sekalian - semua anak blasteran Anda - pada saat mereka menginjak usia tiga belas
tahun. Mereka nggak akan ditinggalkan sendirian di dunia di bawah belas kasihan
monster-monster. Saya ingin mereka diakui dan dibawa ke perkemahan supaya
mereka bisa dilatih secara benar dan bertahan hidup."
"Nah, tunggu sebentar," kata Apollo, tapi aku tak bisa dihentikan.
"Dan para dewa-dewi minor," kataku. "Nemesis, Hecate, Morpheus, Janus,
Hebe - mereka semua layak menerima amnesti umum dan tempat di Perkemahan
Blasteran. Anak-anak mereka semestinya nggak diabaikan. Calypso dan bangsa
Titan lain yang cinta damai semestinya diampuni juga. Dan Hades - "
"Apa kau menyebutku dewa minor?" raung Hades.
"Bukan, Tuan," kataku cepat-cepat. "Tapi anak-anak Tuan Hades semestinya
nggak terkecuali. Mereka semestinya punya pondok di perkemahan. Nico sudah
membuktikan itu. Nggak boleh ada lagi blasteran yang nggak diakui yang
dijejalkan ke dalam pondok Hermes, bertanya-tanya siapa orangtua mereka.
Mereka akan punya pondok mereka sendiri, untuk semua dewa dan dewi. Lalu
nggak perlu ada sumpah Tiga Besar lagi. Itu toh nggak ada gunanya. Anda sekalian
harus berhenti berusaha menyingkirkan blasteran-blasteran yang kuat. Kita justru
akan melatih dan menerima mereka. Semua anak dewa akan disambut dan
diperlakukan dengan hormat. Itulah keinginan saya."
Zeus mendengus. "Itu saja?"
"Percy," kata Poseidon, "banyak sekali yang kauminta. Kau lancang sekali."
"Saya memegang sumpah Anda," kataku. "Anda semua."
Aku mendapatkan ekspresi dingin. Anehnya, Athena-lah yang angkat bicara:
"Pemuda ini benar. Kita sudah bersikap tak bijaksana, mengabaikan anak-anak
kita. Hal tersebut terbukti sebagai kelemahan strategis dalam perang ini dan
hampir menyebabkan kehancuran kita. Percy Jackson, aku punya keraguan
tentangmu - tapi barangkali" - dia melirik Annabeth, dan kemudian berbicara
seolah-olah kata-kata itu terasa masam - "barangkali aku salah. Kusarankan kita
terima rencana pemuda ini."
"Huh," kata Zeus. "Diberi tahu harus melakukan ini dan itu oleh seorang
anak. Tapi kurasa ... "
"Semua yang sepakat," kata Hermes.
Semua dewa mengangkat tangan.
"Eh, makasih," kataku.
Aku berbalik, tapi sebelum aku bisa pergi, Poseidon berseru, "Pasukan
kehormatan!" Serta-merta para Cyclops maju dan membuat dua barisan dari singgasana ke
pintu - lorong untuk kulewati. Mereka mengambil posisi siap.
"Semua beri hormat kepada Perseus Jackson," kata Tyson. "Pahlawan
Olympus ... dan kakakku!"
DUA PULUH SATU Blackjack Dibajak Annabeth dan aku sedang dalam perjalanan ke luar saat aku melihat Hermes di
pekarangan samping istana. Dia sedang menatap pesan-Iris di tengah-tengah kabut
sebuah air mancur. Aku melirik Annabeth. "Akan kutemui kau di lift."
"Kau yakin?" Kemudian dia mengamati wajahku. "Yeah, kau yakin."
Hermes tampaknya tidak sadar aku mendekat. Gambar-gambar pesan-Iris
silih-berganti demikian cepat sehingga aku nyaris tak bisa memahaminya. Siaran
berita manusia fana dari seluruh negeri melesat lewat: adegan-adegan penghancuran Typhon, kerusakan yang telah ditinggalkan pertempuran kami di
seluruh Manhattan, presiden yang melakukan konferensi pers, walikota New York,
sejumlah kendaraan tentara yang berkendara menyusuri Avenue of the Americas.
"Luar biasa," gumam Hermes. Dia berbalik menghadapku. "Tiga ribu tahun,
dan aku takkan pernah memahami kekuatan Kabut ... dan ketidaktahuan manusia
fana." "Makasih, kurasa."
"Oh, bukan kau. Meskipun, aku seharusnya bertanya-tanya, mengapa kau
menolak keabadian?" "Itu pilihan yang benar."
Hermes memandangku penasaran, lalu mengembalikan perhatiannya ke
pesan-Iris. "Lihatlah mereka. Mereka sudah memutuskan bahwa Typhon adalah
serangkaian badai ganjil. Seandainya saja begitu. Mereka belum memecahkan
misteri yang menyebabkan semua patung di Lower Manhattan pindah dari
dudukannya dan dicacah-cacah hingga berkeping-keping. Mereka terus menunjukkan gambar Susan B. Anthony yang mencekik Frederick Douglass. Tapi
kubayangkan mereka akan memunculkan penjelasan yang masuk akal untuk itu
sekalipun." "Seberapa parah keadaan kota?"
Hermes mengangkat bahu. "Yang mengagetkan, tidak terlalu parah. Para
manusia fana terguncang, tentu saja. Tapi ini New York. Aku tidak pernah melihat
sekumpulan manusia yang setegar itu. Kubayangkan mereka akan kembali ke
kehidupan normal dalam beberapa minggu; dan tentu saja aku akan membantu."
"Anda?" "Aku pengantar pesan para dewa. Tugaskulah untuk memonitor apa yang
dikatakan para manusia fana, dan jika perlu, membantu mereka merasionalisasikan
apa yang terjadi. Akan kuyakinkan mereka. Percayalah padaku, mereka akan
memutuskan bahwa ini adalah gempa bumi ganjil atau badai matahari. Apa pun
asal bukan kebenaran."
Dia terdengar getir. George dan Martha bergelung di sekeliling caduceusnya,
tapi mereka diam saja, yang membuatku berpikir bahwa Hermes amat, sangat,
marah. Aku barangkali sebaiknya tutup mulut, tapi kubilang, "Saya berutang
permintaan maaf kepada Anda."
Hermes memberiku tatapan waswas. "Kenapa begitu?"
"Saya mengira Anda adalah ayah yang buruk," aku mengakui. "Saya
mengira Anda menelantarkan Luke karena Anda tahu masa depannya dan tak
melakukan apa-apa untuk menghentikannya."
"Aku tahu masa depannya," kata Hermes sengsara.
"Tapi Anda tahu lebih banyak daripada sekadar yang jelek-jelek - bahwa dia
bakal jadi jahat. Anda memahami apa yang akan dia lakukan pada akhirnya. Anda
tahu dia bakal membuat pilihan yang benar. Tapi Anda nggak bisa memberitahunya, kan?"
Hermes menatap air mancur. "Tak ada yang boleh main-main dengan nasib,
Percy, dewa sekalipun tidak. Jika aku memperingatinya tentang apa yang akan
terjadi, atau berusaha memengaruhi pilihannya, aku akan membuat keadaan lebih
buruk. Diam saja, menjauh darinya ... itulah hal terberat yang pernah kulakukan."
"Anda harus membiarkannya menemukan jalannya sendiri," kataku, "dan
memainkan perannya dalam menyelamatkan Olympus."
Hermes mendesah. "Aku semestinya tidak marah pada Annabeth. Ketika
Luke mengunjunginya di San Fransisco ... yah, aku tahu Annabeth akan
memainkan peranan dalam nasib Luke. Aku sudah menerawang itu. Kupikir
barangkali Annabeth bisa melakukan apa yang tak bisa kulakukan dan
menyelamatkan Luke. Ketika Annabeth menolak pergi bersama Luke, aku nyaris
tak bisa menahan amarahku. Aku seharusnya lebih tahu. Aku benar-benar marah
pada diriku sendiri."
"Pada akhirnya Annabeth menyelamatkan Luke," kataku. "Luke meninggal
sebagai pahlawan. Dia mengorbankan dirinya untuk membunuh Kronos."
"Aku menghargai kata-katamu, Percy. Tapi Kronos belum mati. Kau tidak
bisa membunuh seorang Titan."
"Kalau begitu - "
"Entahlah," gerutu Hermes. "Tak satu pun dari kita yang tahu. Diledakkan
sampai jadi debu. Tercerai-berai ditiup angin. Apabila kita beruntung, dia
tersebar sedemikian tipis sehingga dia takkan pernah sanggup lagi membentuk kesadaran,
apalagi raga. Tapi jangan salah mengira bahwa dia sudah mati, Percy."
Perutku mual, serasa jungkir balik. "Bagaimana dengan para Titan lain?"
"Dalam persembunyian," kata Hermes. "Prometheus mengirimi Zeus pesan
berisi beraneka alasan yang membuat dia mendukung Kronos. 'Aku hanya
mencoba meminimalkan kerusakan,' bla, bla. Dia akan menahan diri selama
beberapa abad kalau dia pintar. Krios kabur, dan Gunung Othrys telah runtuh.
Oceanus menyelinap kembali ke laut dalam ketika sudah jelas bahwa Kronos telah
kalah. Sementara itu, putraku Luke meninggal. Dia meninggal dalam keadaan
yakin bahwa aku tidak peduli padanya. Aku takkan pernah memaafkan diriku
sendiri." Hermes menyabetkan caduceusnya ke kabut. Gambar-Iris pun menghilang.
"Dulu sekali," kataku, "Anda memberi tahu saya bahwa hal tersulit sebagai
dewa adalah bahwa Anda tidak bisa menolong anak-anak Anda sendiri. Anda juga
memberi tahu saya bahwa Anda tidak bisa meninggalkan keluarga Anda, tak
peduli betapa mereka membuat hal itu tampak menggoda."
"Dan sekarang kautahu aku ini munafik?"
"Bukan, Anda benar. Luke menyayangi Anda. Pada akhirnya, dia menyadari
nasibnya. Menurut saya dia menyadari kenapa Anda tidak bisa membantunya. Dia
ingat apa yang penting."
"Sudah terlambat bagi dia dan aku."
"Anda punya anak-anak lain. Hormatilah Luke dengan cara mengakui
mereka sebagai anak. Semua dewa bisa melakukan itu."
Bahu Hermes merosot. "Mereka akan mencoba, Percy. Oh, kami semua akan
mencoba menepati janji kami. Dan mungkin keadaan akan membaik untuk
sementara. Tapi kami para dewa tak pernah ahli dalam menepati sumpah. Kau
lahir karena janji yang tak ditepati, bukan" Pada akhirnya kami akan jadi
pelupa. Kami selalu seperti itu."
"Anda bisa berubah."
Hermes tertawa. "Setelah tiga ribu tahun, menurutmu para dewa bisa
mengubah sifat dasar mereka?"
"Yeah," kataku. "Saya percaya."
Hermes tampaknya terkejut dengan perkataanku itu. "Menurutmu ... Luke
sungguh menyayangiku" Setelah semua yang terjadi?"
"Saya yakin." Hermes menatap air mancur. "Akan kuberi kau daftar anak-anakku. Ada
seorang anak laki-laki di Wisconsin. Dua anak perempuan di Los Angeles.
Beberapa yang lain lagi. Akankah kaupastikan mereka datang ke perkemahan?"
"Saya janji," kataku. "Dan saya nggak akan lupa."
George dan Martha berputar-putar mengelilingi caduceus. Aku tahu ular tak
bisa senyum, tapi mereka tampaknya berusaha.
"Percy Jackson," kata Hermes, "kau mungkin baru saja mengajari kami satu
atau dua hal." Satu dewi sedang menungguku dalam perjalanan keluar dari Olympus. Athena
berdiri di tengah jalan dengan lengan bersidekap dan ekspresi di wajahnya yang
membuatku berpikir Waduh. Dia sudah mengganti baju zirahnya menjadi jins dan
blus, tapi dia tetap saja kelihatan seperti mau berperang. Mata kelabunya
berkilatkilat. "Jadi, Percy," katanya. "Kau akan tetap jadi manusia fana."
"Eh, ya, Bu." "Aku ingin tahu alasanmu."
"Saya ingin jadi laki-laki biasa. Saya ingin tumbuh dewasa. Mendapatkan,
Anda tahu, pengalaman SMA biasa."
"Dan putriku?" "Saya tidak bisa meninggalkannya," aku mengakui, tenggorokanku kering.
"Atau Grover," imbuhku cepat-cepat. "Atau - "
"Sudahlah." Athena melangkah mendekatiku, dan aku bisa merasakan aura
mahakuatnya yang membuat kulitku gatal. "Aku pernah memperingatimu, Percy
Jackson, bahwa untuk menyelamatkan seorang teman kau akan menghancurkan
dunia. Barangkali aku salah. Kau tampaknya telah menyelamatkan baik temanteman maupun dunia. Tapi pikir hati-hati sekali tentang bagaimana kau akan
melanjutkan mulai dari sini. Aku sudah memberimu kepercayaan. Jangan
mengacau." Hanya untuk menegaskan maksudnya, dia meledak menjadi pilar api,
Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghanguskan bagian depan bajuku.
Annabeth sedang menungguku di depan lift. "Kenapa baumu seperti asap?"
"Ceritanya panjang," kataku. Kami turun ke lantai dasar bersama-sama. Tak
satu pun dari kami mengatakan apa pun. Musiknya parah sekali - Neil Diamond
atau siapalah. Aku seharusnya menjadikan itu bagian dari hadiahku dari para
dewa: musik lift yang lebih bagus.
Waktu kami sampai di lobi, aku mendapati ibuku dan Paul sedang berdebat
dengan petugas keamanan botak, yang telah kembali ke posnya.
"Kukatakan padamu," ibuku berteriak, "kami harus naik! Putraku - " Lalu
dia melihatku dan matanya membelalak. "Percy!"
Dia serta-merta memelukku sampai aku sesak napas.
"Kami melihat gedung menyala biru," kata ibuku. "Tapi kemudian kau tidak
turun. Kau naik berjam-jam lalu!"
"Ibumu jadi sedikit waswas," kata Paul datar.
"Aku tidak apa-apa," janjiku saat ibuku memeluk Annabeth. "Semuanya
baik-baik saja sekarang."
"Pak Blofis," kata Annabeth, "aksi pedang Bapak tadi keren."
Paul mengangkat bahu. "Tampaknya itulah yang harus dilakukan. Tapi
Percy, apakah benar ... maksudku, cerita tentang lantai keenam ratus?"
"Olympus," kataku. "Iya."
Paul memandang langit-langit dengan ekspresi berkhayal. "Aku ingin
melihat itu." "Paul," tegur ibuku. "Itu bukan untuk manusia fana seperti kita. Pokoknya,
hal yang penting adalah kita aman. Kita semua."
Tadinya aku hendak bersantai. Semua terasa sempurna. Annabeth dan aku
baik-baik saja. Ibuku dan Paul selamat. Olympus terselamatkan.
Tapi kehidupan seorang blasteran tak pernah segampang itu. Tepat saat itu
Nico berlari masuk dari jalan dan wajahnya memberitahuku bahwa ada sesuatu
yang tidak beres. "Ini soal Rachel," katanya. "Aku baru saja berpapasan dengannya di 32 nd
Street." Annabeth mengerutkan kening. "Apa yang dilakukannya kali ini?"
"Ini soal tempat yang ditujunya," kata Nico. "Aku memberitahunya dia
bakal mati kalau dia mencoba, tapi dia berkeras. Dia baru saja membawa Blackjack
dan - " "Dia membawa pegasusku?" tuntutku.
Nico mengangguk. "Dia menuju ke Bukit Blasteran. Dia bilang dia harus
pergi ke perkemahan."
DUA PULUH DUA Aku Dicampakkan Tak boleh ada yang mencuri pegasusku. Rachel sekalipun. Aku tak yakin apakah
aku lebih marah atau takjub atau khawatir.
"Apa yang dipikirkannya?" kata Annabeth saat kami berlari menuju sungai.
Sayangnya, aku punya gambaran yang begitu jelas, dan hal itu memenuhiku
dengan rasa ngeri. Lalu lintasnya parah. Semua orang keluar ke jalanan, menonton kerusakan
zona perang. Sirene polisi meraung-raung di setiap blok. Nggak mungkin kami
bisa mendapat taksi, dan pegasus sudah terbang pergi. Aku sih mau-mau saja naik
Kuda Poni Pesta, tapi mereka sudah lenyap bersama sebagian besar root beer di
Midtown. Jadi kami lari, merangsek menembus kerumunan manusia fana yang
terpukau yang memenuhi trotoar.
"Dia nggak bakal bisa menembus pagar pembatas," kata Annabeth. "Peleus
akan memakannya." Aku belum mempertimbangkan itu. Kabut takkan mengelabui Rachel
layaknya Kabut itu mengelabui sebagian besar orang. Dia takkan kesulitan
menemukan perkemahan, tapi aku berharap pembatas ajaib hanya akan
menghalaunya seperti medan energi. Belum terlintas dalam benakku bahwa Peleus
mungkin akan menyerang. "Kita harus bergegas." Aku melirik Nico. "Kurasa kau nggak bisa
memanggil kuda tengkorak."
Nico tersengal-sengal saat dia berlari. "Capek sekali ... panggil tulang anjing
saja nggak bisa." Akhirnya kami buru-buru menaiki tanggul di pantai, dan aku mengeluarkan
siulan nyaring. Aku benci harus melakukannya. Dengan dolar pasir yang telah
kuberikan kepada Sungai East untuk pembersihan ajaib sekalipun, air di sini
cukup terpolusi. Aku tak mau membuat hewan laut sakit, tapi mereka datang memenuhi
panggilanku. Tiga garis ombak muncul di air kelabu, dan sekawanan hippocampus
membelah permukaan. Mereka meringkik tak senang, menggoyang-goyangkan
lumpur sungai dari surai mereka. Mereka makhluk yang cantik, dengan ekor ikan
warna-warni, dan kepala serta kaki depan seperti kuda putih. Hippocampus di
depan lebih besar daripada yang lain - kendaraan yang pas untuk Cyclops.
"Pelangi!" seruku. "Apa kabar, Sobat?"
Dia meringkikkan keluhan.
"Iya, sori," kataku. "Tapi ini darurat. Kami harus ke perkemahan."
Dia mendengus. "Tyson?" kataku. "Tyson baik-baik saja! Maaf dia tidak di sini. Dia sekarang
jadi jenderal besar dalam pasukan Cyclops."
"IEEEEEE!" "Iya, aku yakin dia masih akan membawakanmu apel. Nah, soal tumpangan
itu ... " Tak lama kemudian, Annabeth, Nico, dan aku melesat melintasi Sungai East
lebih cepat daripada jet ski. Kami melaju di bawah Jembatan Throgs Neck dan
menuju ke Selat Long Island.
Tampaknya lama sekali sampai kami melihat pantai di perkemahan. Kami
berterima kasih kepada para hippocampus dan mengarungi laut menuju pesisir,
hanya untuk mendapati Argus sedang menunggu kami. Dia berdiri di pasir sambil
bersidekap, seratus matanya memelototi kami.
"Apa dia di sini?" tanyaku.
Argus mengangguk muram. "Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Annabeth.
Argus menggelengkan kepala.
Kami mengikutinya menyusuri jalan setapak. Rasanya tak nyata, kembali ke
perkemahan, soalnya semua kelihatan begitu damai: tidak ada bangunan yang
terbakar, tidak ada petarung yang terluka. Pondok-pondok terang diterpa sinar
matahari, dan ladang yang dilumuri embun gemerlapan. Namun tempat tersebut
sebagian besar kosong. Di Rumah Besar, sesuatu jelas sedang tidak beres. Cahaya hijau melesat
keluar dari semua jendela, persis seperti yang kulihat dalam mimpiku tentang May
Castellan. Kabut - jenis ajaib - berputar-putar di halaman. Chiron berbaring di
tandu seukuran kuda di dekat lapangan voli, sekelompok satir berdiri di
sekitarnya. Blackjack berlari-lari gelisah di rumput.
Jangan salahkan aku, Bos! pintanya waktu dia melihatku. Si cewek aneh
menyuruhku melakukannya! Rachel Elizabeth Dare berdiri di dasar undakan beranda. Lengannya
terangkat seolah-olah dia sedang menunggu seseorang di dalam rumah untuk
melemparkan bola kepadanya.
"Apa yang dilakukannya?" tuntut Annabeth. "Bagaimana bisa dia melewati
penghalang?" "Dia terbang," kata salah satu satir, memandang Blackjack dengan tatapan
menuduh. "Langsung melewati naga, langsung menembus penghalang magis."
"Rachel!" seruku, tapi para satir menghentikanku saat aku mencoba
mendekatinya lebih lagi. "Percy, jangan," Chiron memperingati. Dia berjengit saat dia mencoba
bergerak. Lengan kirinya digendong dalam buaian, dua kaki belakangnya ditopang
kayu penyangga, dan kepalanya dibalut perban. "Kau tidak boleh mengganggu."
"Saya kira Bapak menjelaskan semua kepadanya!"
"Aku melakukannya. Dan aku mengundangnya ke sini."
Aku menatapnya tak percaya. "Bapak bilang Bapak takkan pernah
membiarkan siapa pun mencoba lagi! Bapak bilang - "
"Aku tahu apa yang kaukatakan, Percy. Tapi aku salah. Rachel mendapat
penglihatan mengenai kutukan Hades. Dia percaya kutukan itu mungkin sudah
diangkat sekarang. Dia meyakinkanku bahwa dia layak memperoleh kesempatan."
"Dan kalau kutukan itu belum diangkat" Kalau Hades belum melakukannya,
Rachel bakal jadi gila!"
Kabut berputar-putar di sekeliling Rachel. Dia gemetaran seakan dia sedang
terguncang. "Hei!" teriakku. "Stop!"
Aku lari menghampirinya, tak mengindahkan para satir. Aku mencapai jarak
tiga meter dan menabrak sesuatu yang seperti bola pantai tak kasat mata. Aku
terpental ke belakang dan mendarat di rumput.
Rachel membuka matanya dan berbalik. Dia terlihat seperti sedang tidur
berjalan - seakan dia bisa melihatku, tapi cuma dalam mimpi.
"Nggak apa-apa." Suaranya terdengar jauh. "Inilah sebabnya aku datang."
"Kau akan hancur!"
Dia menggelengkan kepala. "Di sinilah tempatku, Percy. Aku akhirnya
mengerti sebabnya." Kata-katanya terdengar terlalu mirip dengan apa yang diucapkan May
Castellan dulu. Aku harus menghentikannya, tapi aku bahkan tak bisa berdiri.
Rumah menggemuruh. Pintu menjeblak terbuka dan cahaya hijau tumpah
ruah ke luar. Aku mengenali bau hangat apak ular.
Kabut melingkar-lingkar menjadi ribuan ular asap, melata naik ke pilar
beranda, meliuk-liuk mengitari rumah. Kemudian sang Oracle muncul di ambang
pintu. Mumi keriput itu menyeret langkah maju dalam balutan gaun pelanginya.
Dia bahkan kelihatan lebih buruk daripada biasanya, yang berarti amit-amit
jeleknya. Rambutnya rontok bergumpal-gumpal. Kulitnya yang kasar pecah-pecah
seperti jok bus usang. Matanya yang seperti kaca menatap kosong ke angkasa, tapi
aku mendapat firasat seram bahwa dia tertarik menuju Rachel.
Rachel mengulurkan lengannya. Dia tidak terlihat takut.
"Kau sudah menunggu terlalu lama," kata Rachel. "Tapi aku di sini
sekarang." Matahari bersinar lebih terang. Seorang pria muncul di atas beranda,
mengapung di udara - seorang cowok pirang bertoga putih, dengan kacamata
hitam dan senyum sok. "Apollo," kataku.
Dia berkedip kepadaku tapi mengangkat jari ke bibirnya.
"Rachel Elizabeth Dare," kata Apollo. "Kau mendapat anugerah ramalan.
Tapi ini juga merupakan kutukan. Apa kau yakin kau menginginkan ini?"
Rachel mengangguk. "Ini takdirku."
"Apa kau menerima risikonya?"
"Aku menerimanya."
"Kalau begitu lanjutkanlah," kata sang dewa.
Rachel memejamkan matanya. "Kuterima peran ini. Aku bersumpah setia
kepada Apollo, Dewa Oracle. Kubuka mataku ke masa depan dan kurengkuh masa
lalu. Kuterima arwah Delphi, Suara Para Dewa, Penutur Teka-teki, Penerawang
Nasib." Aku tak tahu dari mana dia mendapatkan kata-kata itu, tapi kata-kata
tersebut mengalir keluar darinya saat Kabut menebal. Pilar asap hijau, seperti
ular piton besar, keluar dari mulut si mumi dan melata menuruni undakan, melilit kaki
Rachel penuh kasih sayang. Mumi sang Oracle remuk, berjatuhan hingga tidak ada
apa-apa selain tumpukan debu dalam gaun tenun ikat lama. Kabut menyelimuti
Rachel dalam sebatang pilar.
Selama sesaat aku tak bisa melihat Rachel sama sekali. Kemudian asap
menipis. Rachel jatuh dan bergelung seperti janin. Annabeth, Nico, dan aku bergegas
maju, tapi Apollo berkata, "Stop! Ini bagian yang paling rentan."
"Apa yang terjadi?" tuntutku. "Apa maksud Anda?"
Apollo mengamati Rachel dengan cemas. "Entah arwah bermukim, atau
tidak." "Dan kalau tidak?" tanya Annabeth.
"Enam suku kata," kata Apollo, menghitung dengan jarinya. "Bakalan gawat
tuh." Terlepas dari peringatan Apollo, aku lari ke depan dan berlutut di samping
Rachel. Bau loteng sudah lenyap. Kabut terbenam ke dalam tanah dan cahaya hijau
memudar. Tapi Rachel masih pucat. Dia nyaris tidak bernapas.
Kemudian matanya pelan-pelan terbuka. Dia memusatkan perhatian padaku
dengan susah payah. "Percy."
"Apa kau baik-baik saja?"
Dia berusaha duduk tegak. "Ow." Dia menekankan tangannya ke pelipis.
"Rachel," kata Nico, "aura kehidupanmu tadi hampir pudar sepenuhnya.
Aku bisa melihatmu sekarat."
"Aku nggak apa-apa," gumam Rachel. "Tolong, bantu aku berdiri.
Penglihatan-penglihatan itu - agak membuatku terdisorientasi."
"Apa kau yakin kau baik-baik saja?" tanyaku.
Apollo melayang turun dari beranda. "Ibu-ibu kuperkenalkan kalian kepada Oracle Delphi yang baru."
"Anda bercanda," kata Annabeth.
dan Bapak-bapak, Rachel berhasil tersenyum lemah. "Ini sedikit mengagetkan buatku juga, tapi
inilah takdirku. Aku melihatnya saat aku di New York. Aku tahu kenapa aku
dilahirkan dengan penglihatan sejati. Aku dimaksudkan untuk menjadi Oracle."
Aku berkedip. "Maksudmu kau bisa meramalkan masa depan sekarang?"
"Nggak sepanjang waktu," kata Rachel. "Tapi ada penglihatan, citra, dan
kata-kata dalam pikiranku. Saat seseorang mengajukan pertanyaan kepadaku, aku
... Oh, nggak - " "Sedang dimulai," Apollo mengumumkan.
Rachel membungkuk seolah-olah seseorang telah meninjunya. Kemudian
dia berdiri tegak dan matanya menyala hijau seperti ular.
Saat dia bicara, suaranya terdengar ada tiga - seperti tiga Rachel yang
berbicara bersamaan: "Tujuh blasteran akan menjawab panggilan.
Karena badai atau api, dunia akan terjungkal.
Sumpah yang ditepati hingga tarikan napas penghabisan,
Dan musuh panggul senjata menuju Pintu Ajal."
Setelah mengucapkan kata terakhir, Rachel kolaps. Nico dan aku
menangkapnya dan membantunya ke beranda. Kulitnya berkeringat dan dingin
seperti orang demam. "Aku nggak apa-apa," kata Rachel, suaranya kembali normal.
"Tadi itu apa?" tanyaku.
Rachel menggelengkan kepalanya, kebingungan. "Memangnya tadi ada
apa?" "Aku percaya," kata Apollo, "bahwa kita baru saja mendengar Ramalan
Besar berikutnya." "Apa maksudnya?" tuntutku.
Rachel mengerutkan kening. "Aku bahkan nggak ingat apa yang
kukatakan." "Tidak," Apollo membatin. "Arwah hanya akan bicara lewat dirimu sesekali.
Pada waktu lain, Rachel kita kurang lebih akan sama seperti biasa. Tidak ada
gunanya merongrongnya, sekalipun dia baru saja mengeluarkan prediksi besar
berikutnya mengenai masa depan dunia."
"Apa?" kataku. "Tapi - "
"Percy," kata Apollo. "Aku takkan terlalu khawatir. Ramalan Besar yang lalu
tentangmu butuh hampir tujuh puluh tahun untuk terlaksana. Yang ini mungkin
bahkan takkan terjadi saat kau masih hidup."
Kupikirkan larik-larik yang diucapkan Rachel dalam suara seram: tentang
badai dan api dan Pintu Ajal. "Mungkin," kataku, "tapi kedengarannya nggak
terlalu bagus." "Tidak," kata Apollo ceria. "Jelas tidak. Dia akan jadi Oracle yang hebat!"
Berat rasanya harus mengesampingkan topik pembicaraan tersebut, tapi Apollo
berkeras bahwa Rachel butuh istirahat, dan dia memang kelihatan cukup
terdisorientasi.
Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maafkan aku, Percy," kata Rachel. "Di Olympus tadi, aku tidak menjelaskan
semuanya padamu, tapi panggilan ini membuatku takut. Kukira saat itu kau nggak
akan mengerti." "Aku masih nggak mengerti," aku mengakui. "Tapi kurasa aku ikut bahagia
untukmu." Rachel tersenyum. "Bahagia mungkin bukan kata yang tepat. Melihat masa
depan nggak akan mudah, tapi inilah takdirku. Aku semata-mata berharap
keluargaku ... " Dia tidak menyelesaikan pemikirannya.
"Apa kau masih akan pergi ke Akademi Clarion?" tanyaku.
"Aku berjanji pada ayahku. Kurasa aku akan berusaha jadi anak normal
sepanjang tahun ajaran, tapi - "
"Tapi saat ini kau butuh tidur," omel Apollo. "Chiron, sepertinya loteng
bukan tempat yang pantas untuk Oracle baru kita, kan?"
"Tidak, memang bukan." Chiron kelihatan jauh lebih baik sekarang setelah
Apollo telah menerapkan pengobatan ajaib padanya. "Rachel boleh menggunakan
kamar tamu di Rumah Besar untuk saat ini, sampai kita memikirkan persoalan ini
lebih saksama." "Aku mempertimbangkan gua di bukit," Apollo membatin. "Dengan obor
dan tirai ungu besar di jalan masuknya ... benar-benar misterius. Tapi di dalam,
apartemen yang betul-betul mewah dengan ruang game dan sistem home theater."
Chiron berdehem keras-keras.
"Apa?" tuntut Apollo.
Rachel mengecup pipiku. "Selamat tinggal, Percy," bisiknya. "Dan aku
nggak harus melihat masa depan untuk memberitahumu harus berbuat apa
sekarang, kan?" Matanya tampak lebih menusuk daripada sebelumnya.
Aku merona. "Nggak."
"Bagus," katanya. Kemudian dia berbalik dan mengikuti Apollo ke dalam
Rumah Besar. Sisa hari itu seaneh awalnya. Para Pekemah mengalir masuk dari New York City
dalam mobil, pegasus, dan kereta perang. Mereka yang terluka dirawat. Mereka
yang meninggal diberi upacara pemakaman yang layak di api unggun.
Kafan Silena berwarna merah muda menyala, tapi dibordir dengan motif
tombak listrik. Pondok Ares dan Aphrodite sama-sama mengklaimnya sebagai
pahlawan, dan menyulut kafan bersama-sama. Tak ada yang menyebut kata matamata.
Rahasia itu terbakar jadi abu saat asap beraroma parfum desainer
membubung ke langit. Bahkan Ethan Nakamura diberi kafan - sutra hitam dengan logo pedang
yang bersilang di bawah neraca. Saat kafannya terbakar, kuharap Ethan tahu kami
membuat perbedaan pada akhirnya. Dia membayar lebih daripada sekadar sebuah
mata, tapi para dewa-dewi minor akhirnya memperoleh penghormatan yang
berhak mereka terima. Makan malam di paviliun tidak ramai. Satu-satunya sorotan adalah Juniper
sang peri pohon, yang menjerit, "Grover!" dan memberi pacarnya pelukan terbang
yang membuat Grover terjungkal, membuat semua orang bersorak. Mereka pergi
ke pantai untuk jalan-jalan di bawah sinar rembulan, dan aku bahagia untuk
mereka, meskipun adegan tersebut mengingatkanku pada Silena dan Beckendorf,
yang membuatku sedih. Nyonya O'Leary berjingkrak ke sana-kemari dengan gembira, memakan
sisa-sisa makanan dari meja semua orang. Nico duduk di belakang meja utama
bersama Chiron dan Pak D, dan tampaknya tak ada yang berpendapat bahwa ini
tidak lazim. Semua orang menepuk punggung Nico, memujinya atas kemampuan
bertarungnya. Bahkan anak-anak Ares tampaknya beranggapan dia cukup keren.
Hei, muncul saja bersama sepasukan pendekar zombi untuk membantu dan tibatiba
kau jadi sahabat semua orang.
Pelan-pelan, orang-orang yang menghadiri makan malam mengalir pergi.
Sebagian pergi ke api unggun untuk acara nyanyi bersama. Yang lain pergi tidur.
Aku duduk di meja Poseidon sendirian dan memperhatikan sinar bulan di Selat
Long Island. Aku bisa melihat Grover dan Juniper di pantai, bergandengan tangan
dan mengobrol. Suasananya damai.
"Hei." Annabeth bergeser untuk duduk di sampingku di bangku. "Selamat
ulang tahun." Dia menyodorkan kue mangkuk besar berbentuk aneh dengan lapisan krim
berwarna biru di atasnya.
Aku menatapnya. "Apa?"
"Sekarang 18 Agustus," katanya. "Hari ulang tahunmu, kan?"
Aku tercengang. Ini bahkan belum terlintas dalam benakku, tapi dia benar.
Aku telah menginjak usia enam belas pagi ini - pagi yang sama saat aku membuat
pilihan untuk memberi Luke pisau. Ramalan menjadi nyata tepat pada jadwalnya
dan aku bahkan tak memikirkan fakta bahwa ini adalah hari ulang tahunku.
"Buatlah permohonan," kata Annabeth.
"Apa kau memanggang ini sendiri?" tanyaku.
"Tyson membantu."
"Itu menjelaskan kenapa penampakannya kayak bata cokelat," kataku.
"Dengan semen biru ekstra."
Annabeth tertawa. Aku berpikir sedetik, kemudian meniup lilin.
Kami memotongnya jadi dua dan berbagi, makan dengan jari kami.
Annabeth duduk di sebelahku, dan kami memperhatikan samudra. Jangkrik dan
monster bersuara di hutan, tapi selain itu semuanya tenang.
"Kau menyelamatkan dunia," kata Annabeth.
"Kita menyelamatkan dunia."
"Dan Rachel adalah Oracle baru kita, yang berarti dia nggak bakalan
pacaran dengan siapa-siapa."
"Kau nggak terdengar kecewa," komentarku.
Annabeth mengangkat bahu. "Oh, aku nggak peduli."
"He-eh." Dia mengangkat alis. "Ada yang ingin kaukatakan padaku, Otak
Ganggang?" "Kau barangkali bakal menendang bokongku."
"Kau tahu aku pasti bakal menendang bokongmu."
Aku membersihkan kue dari tanganku. "Waktu aku di Sungai Styx, menjadi
kebal ... Nico bilang aku harus memusatkan perhatian pada satu hal yang akan
membuatku tetap tertambat ke dunia, yang membuatku ingin tetap jadi manusia
fana." Annabeth melekatkan pandangan matanya ke cakrawala. "Gitu ya?"
"Kemudian di Olympus," kataku, "waktu mereka mau menjadikanku dewa
dan sebagainya, aku terus berpikir - "
"Oh, jadi kau memang mau."
"Yah, mungkin sedikit. Tapi aku nggak jadi dewa, soalnya kupikir - aku
nggak mau keadaan tetap sama selama-lamanya, soalnya keadaan selalu bisa jadi
lebih baik. Dan aku memikirkan ... " Tenggorokanku terasa benar-benar kering.
"Seseorang secara khusus?" tanya Annabeth, suaranya lembut.
Aku memandangnya dan melihat bahwa dia sedang berusaha tak
tersenyum. "Kau menertawakanku," protesku.
"Nggak, kok!" "Kau sama sekali nggak membuat ini jadi mudah."
Kemudian dia tertawa sungguhan dan dia meletakkan tangannya di
sekeliling leherku. "Aku nggak akan pernah membuat keadaan jadi mudah bagimu,
Otak Ganggang. Terbiasalah."
Waktu dia mengecupku, aku punya perasaan otakku meleleh keluar dari
badanku. Aku bisa saja bertahan seperti itu selamanya, hanya saja sebuah suara di
belakang kami menggeram, "Nah, sudah waktunya!"
Tiba-tiba paviliun dipenuhi obor dan pekemah. Clarisse memimpin jalan
saat para penguping menyerbu dan mengangkat kami berdua ke bahu mereka.
"Oh, ya ampun!" protesku. "Memangnya nggak ada privasi?"
"Pasangan yang dilanda asmara harus mendinginkan kepala!" kata Clarisse
riang. "Danau kano!" teriak Connor Stoll.
Disertai sorakan nyaring, mereka membawa kami menuruni bukit, tapi
mereka terus menjaga jarak kami cukup dekat sehingga kami bisa berpegangan
tangan. Annabeth tertawa, dan mau tak mau tertawa juga, meskipun wajahku
merah padam. Kami berpegangan tangan terus sampai mereka mencampakkan kami ke
dalam air. Setelah itu, akulah yang tertawa paling akhir. Aku membuat gelembung
udara di dasar danau. Teman-teman kami terus menunggu kami muncul ke
permukaan, tapi hei - saat kau adalah putra Poseidon, kau tak perlu buru-buru.
Dan itu kurang lebih adalah kencan bawah air terbaik sepanjang masa.
DUA PULUH TIGA Kami Mengucapkan Selamat Tinggal, Kurang Lebih Perkemahan berlangsung lebih lama musim panas itu. Perkemahan berlangsung
dua minggu lagi, sampai tepat sebelum permulaan tahun ajaran baru, dan aku
harus mengakui bahwa itu adalah dua minggu terbaik dalam hidupku.
Tentu saja, Annabeth bakal membunuhku kalau aku tidak bilang begitu, tapi
ada banyak hal hebat lain yang terjadi juga. Grover mengambil alih komando satir
pencari dan mengirim mereka ke sepenjuru dunia untuk mencari blasteran yang
belum diakui. Sejauh ini, para dewa menepati janji mereka. Blasteran-blasteran
baru bermunculan di mana-mana - bukan cuma di Amerika, tapi juga di banyak
negara lain. "Kami nyaris nggak bisa mengatasinya," Grover mengakui suatu siang saat
kami sedang beristirahat di danau kano. "Kami bakal memerlukan anggaran
perjalanan yang lebih besar dan aku bisa memanfaatkan seratus satir lagi."
"Iya, tapi para satir yang kaupunya bekerja superkeras," kataku. "Menurutku
mereka takut padamu."
Grover merona. "Konyol ah. Aku nggak menakutkan."
"Kau penguasa Alam Liar, Sobat. Yang dipilih oleh Pan. Anggota Dewan - "
"Hentikan!" protes Grover. "Kau sama buruknya seperti Juniper. Kupikir
berikutnya dia ingin aku mencalonkan diri jadi presiden."
Dia mengunyah kaleng timah saat kami menatap ke seberang danau ke
barisan pondok baru yang sedang dibangun. Bentuk U akan segera menjadi segi
empat utuh, dan para blasteran melaksanakan tugas baru tersebut dengan penuh
semangat. Nico menyuruh sejumlah tukang bangunan zombi untuk mengerjakan
pondok Hades. Meskipun dia masih akan jadi satu-satunya anak dalam pondok itu,
pondok tersebut bakal kelihatan lumayan keren: dinding obsidian kokoh dengan
tengkorak di atas pintu dan obor yang menyala dengan api hijau dua puluh empat
jam sehari. Di sebelahnya terdapat pondok-pondok Iris, Nemesis, Hecate, dan
beberapa yang lain yang tidak kukenali. Mereka terus menambahkan pondok baru
ke cetak biru setiap hari. Pembangunan berlangsung begitu lancar sampai-sampai
Annabeth dan Chiron bicara soal menambahkan sayap baru berisi pondok-pondok
hanya supaya kamarnya cukup.
Pondok Hermes tak terlalu penuh sekarang, sebab sebagian besar anak yang
belum diklaim telah menerima tanda dari orangtua dewa mereka. Hal tersebut
terjadi hampir setiap malam, dan setiap malam semakin banyak blasteran
keluyuran melewati batas properti bersama satir pemandu, biasanya sambil dikejar
monster mengerikan, tapi hampir semua dari mereka berhasil lolos.
"Keadaannya bakal berbeda musim panas mendatang," kataku. "Chiron
menduga jumlah pekemah kita bakalan berlipat ganda."
"Iya," Grover sepakat, "tapi tempat ini akan tetap sama seperti dulu."
Dia mendesah puas. Aku memperhatikan saat Tyson memimpin sekelompok Cyclops pembangun. Mereka sedang mendorong batu-batu besar untuk pondok Hecate,
dan aku tahu pekerjaan tersebut pelik. Masing-masing batu berukir tulisan sihir,
dan kalau mereka menjatuhkan salah satu, batu tersebut entah akan meledak atau
mengubah semua orang dalam jarak setengah kilometer menjadi pohon. Kurasa tak
seorang pun kecuali Grover yang menginginkannya.
"Aku akan sering bepergian," Grover memperingati, "di antara melindungi
alam dan menemukan blasteran, aku mungkin nggak akan sering bertemu kau."
"Itu nggak akan mengubah apa-apa," kataku. "Kau tetap sahabatku."
Dia nyengir. "Selain Annabeth."
"Itu beda." "Iya," Grover sepakat. "Memang beda."
Pada siang terakhir, aku sedang jalan-jalan di pantai untuk terakhir kalinya
saat sebuah suara yang tak asing berkata, "Hari yang bagus untuk memancing."
Ayahku, Poseidon, sedang berdiri di ombak setinggi lutut, mengenakan
celana pendek bermudanya yang biasa, topi usang, dan kemeja merah muda-hijau
yang nggak mencolok. Dia memegang tali pancing laut dalam di tangannya, dan
saat dia melemparkannya tali pancing tersebut terbentang jauh - kira-kira setengah
jalan ke tengah-tengah Selat Long Island.
"Hei, Yah," kataku. "Apa yang membawa Ayah ke sini?"
Dia berkedip. "Tidak pernah benar-benar berkesempatan untuk bicara
secara pribadi di Olympus. Aku ingin berterima kasih kepadamu."
"Berterima kasih padaku" Ayah yang datang menyelamatkan."
"Ya dan istanaku dihancurkan dalam prosesnya, tapi kautahu - istana bisa
dibangun kembali. Aku mendapat begitu banyak kartu ucapan terima kasih dari
dewa-dewa lain. Bahkan Ares menulis kartu ucapan terima kasih, meskipun kurasa
Hera memaksanya. Rasanya cukup memuaskan. Jadi, terima kasih. Kurasa para
dewa sekalipun bisa mempelajari trik baru."
Selat mulai menggelegak. Di ujung tali pancing ayahku, ular laut hijau besar
keluar dari air. Ia meronta-ronta dan melawan, tapi Poseidon hanya mendesah.
Memegangi joran dengan satu tangan, dia membuka pisaunya dan memotong tali.
Si monster tenggelam ke bawah permukaan.
"Ukuran yang tidak memadai untuk dimakan," keluhnya. "Aku harus
melepaskan yang kecil-kecil atau penjaga hewan liar akan mengomeliku."
"Yang kecil-kecil?"
Dia nyengir. "Kerjamu bagus dengan pondok-pondok baru itu, omongomong. Kurasa
ini maksudnya aku bisa mengklaim semua putra dan putriku yang
lain dan mengirimimu saudara musim panas mendatang."
"Ha-ha." Poseidon menggulung tali pancingnya yang kosong.
Aku memindahkan tumpuan kakiku. "Eh, Ayah bercanda, kan?"
Poseidon memberiku kedipan penuh arti, dan aku masih tak tahu apakah
dia serius atau tidak. "Sampai ketemu lagi, Percy. Dan ingat, kau tahu ikan mana
yang cukup besar untuk mendarat, bukan?"
Disertai kata-kata itu, dia melarut ke dalam angin laut, meninggalkan joran
tergeletak di pasir. Malam itu adalah malam terakhir di perkemahan - upacara manik-manik. Pondok
Hephaestus mendesain manik-manik tahun ini. Gambarnya berupa Empire State
Building dan dalam huruf-huruf Yunani mungil, meliuk-liuk di sekeliling gambar,
tertorehlah nama semua pahlawan yang meninggal saat mempertahankan
Olympus. Namanya terlalu banyak, tapi aku bangga mengenakan manik-manik itu.
Aku memasukkannya ke kalung perkemahanku - empat manik-manik sekarang.
Aku merasa seperti senior yang sudah banyak makan asam garam. Kupikirkan
acara api unggun pertama yang pernah kuhadiri, dulu waktu aku dua belas tahun,
dan bagaimana rasanya seperti di rumah. Hal itu setidaknya belum berubah.
"Jangan pernah lupakan musim panas ini!" kata Chiron kepada kami. Dia
sudah pulih dengan sangat baik, tapi dia masih berderap di depan api dengan
sedikit terpincang-pincang. "Kita telah menemukan keberanian dan persahabatan
dan kegigihan musim panas ini. Kita telah menjunjung tinggi kehormatan
perkemahan." Dia tersenyum kepadaku dan semua orang bersorak. Saat aku memandangi
api, kulihat seorang gadis kecil bergaun cokelat sedang menjaga nyala api. Gadis
itu berkedip kepadaku dengan mata merah menyala. Yang lain tampaknya tidak
memperhatikan keberadaannya, tapi kusadari mungkin dia lebih memilih seperti
itu. "Dan sekarang," kata Chiron, "cepatlah tidur! Ingat, kalian harus
mengosongkan pondok tengah hari besok kecuali kalian akan tinggal tahun ini
bersama kami. Para harpy pembersih akan memakan siapa pun yang keluyuran
Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan aku tidak mau mengakhiri musim panas ini dengan atmosfer negatif!"
Keesokan paginya, Annabeth dan aku berdiri di puncak Bukit Blasteran. Kami
memperhatikan bus-bus dan van-van menjauh, membawa sebagian besar pekemah
ke dunia nyata. Segelintir senior akan tinggal, dan segelintir pendatang baru,
tapi aku akan kembali ke Goode High School untuk tahun keduaku - pertama kalinya
dalam hidupku aku pernah menjalani dua tahun di sekolah yang sama.
"Sampai jumpa," kata Rachel kepada kami saat dia menyandang tasnya di
bahu. Dia kelihatan lumayan gugup, tapi dia menepati janjinya kepada ayahnya
dan bersekolah di Akademi Clarion di New Hampshire. Baru musim panas depan
kami akan mendapatkan Oracle kami kembali.
"Kau pasti baik-baik saja." Annabeth memeluk Rachel. Aneh, dia tampaknya
akur-akur saja dengan Rachel akhir-akhir ini.
Rachel menggigit bibirnya. "Kuharap kau benar. Aku agak khawatir.
Bagaimana kalau seseorang menanyakan ada soal apa saja di ujian matematika
mendatang dan aku mulai menyemburkan ramalan di tengah-tengah pelajaran
geometri" Teorema Pythagoras akan muncul di nomor dua ... Demi para dewa, itu
bakalan memalukan." Annabeth tertawa dan, yang membuatku lega, Rachel tersenyum.
"Yah," kata Rachel, "kalian berdua berbaik-baiklah kepada satu sama lain."
Entah kenapa, tapi Rachel memandangku seolah aku ini semacam tukang bikin
onar. Sebelum aku bisa protes, Rachel mendoakan agar kami semua baik-baik saja
dan lari menuruni bukit untuk naik angkutannya.
Annabeth, syukurlah, akan tinggal di New York. Dia memperoleh izin dari
orangtuanya untuk masuk sekolah asrama di kota supaya dia bisa dekat dengan
Olympus dan mengawasi upaya pembangunan kembali itu.
"Dan dekat denganku?" tanyaku.
"Wah, ada yang kegeeran nih." Dia menggamit jari-jariku. Aku ingat apa
yang dia katakan kepadaku di New York, tentang membangun sesuatu yang
permanen, dan kupikir - barangkali juga - kami punya awal yang baik.
Peleus si naga penjaga bergelung nyaman di sekeliling pohon pinus di
bawah Bulu Domba Emas dan mulai mendengkur, mengembuskan uap seiring
setiap napasnya. "Kau memikirkan ramalan Rachel?" tanyaku pada Annabeth.
Dia mengerutkan kening. "Kok kau tahu?"
"Karena aku mengenalmu."
Dia menumbukku dengan pundaknya. "Oke, memang aku memikirkannya.
Tujuh blasteran akan menjawab panggilan. Aku bertanya-tanya siapa mereka. Kita
akan kedatangan banyak sekali wajah baru musim panas depan."
"Yeah," aku setuju. "Dan semua tetek-bengek soal dunia yang terjungkal
dalam badai atau api."
Annabeth memonyongkan bibirnya. "Dan musuh di Pintu Ajal. Entahlah,
Percy, tapi aku nggak menyukainya. Kupikir ... yah, mungkin kita akhirnya
mendapatkan kedamaian."
"Bukan Perkemahan Blasteran namanya kalau damai," kataku.
"Kurasa kau benar ... Atau mungkin ramalan nggak bakalan terwujud
selama bertahun-tahun."
"Bisa jadi itu masalah bagi generasi blasteran lain," aku setuju. "Sehingga
kita bisa meluruskan kaki dan bersantai-santai."
Annabeth mengangguk, meskipun dia masih tampak risau. Aku tak
menyalahkannya, tapi susah merasa tak enak hati di hari yang indah ini.
Bersamanya di sampingku dan tahu bahwa aku sesungguhnya tak perlu
mengucapkan selamat tinggal. Kami punya banyak waktu.
"Balapan ke jalan?" kataku.
"Kau pasti bakal kalah." Annabeth melesat menuruni Bukit Blasteran dan
aku berlari mengejarnya. Sekali ini, aku tidak menoleh ke belakang.
TAMAT DUKUNG PENULIS DAN PENERBIT
DENGAN MEMBELI BUKU ASLINYA
DAN BACA SEKUEL DARI PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS:
THE HEROES OF OLYMPUS (Ramalan Besar kedua telah dimulai. Tujuh blasteran sudah dipilih!)
Ebook oleh admin DR facebook : Kumpulan Novel Online Indonesia
Dilarang memperjual-belikan ebook ini!!!
Misteri Hutan Larangan 2 Abarat Karya Clive Barker Pukulan Naga Sakti 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama