Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 4
perunggu dan piring-piring emas. Dia memungut sebuah busur yang berkilat
keperakan di bawah sinar rembulan. "Busur Pemburu!"
Dia memekik terkejut saat busur itu mulai menciut, dan membentuk sebuah jepitan
rambut berbentuk bulan sabit. "Ini persis kayak pedang Percy!"
Wajah Zo? tegang. "Tinggalkan, Bianca."
"Tapi - " "Benda itu ada di sini karena suatu alasan. Semua yang dibuang di tempat sampah
ini harus tetap di tempat ini. Ini semua adalah barang-barang rusak. Atau
menyimpan kutukan." Bianca dengan enggan menaruh kembali jepit rambut itu.
"Aku nggak suka tempat ini," kata Thalia. Dia mencengkeram batang tombaknya.
"Apa menurutmu kita akan diserang oleh lemari es si pembunuh berdarah dingin?"
tanyaku. Dia memberiku tatapan tajam. "Zo? benar, Percy. Barang-barang di sini pasti
dibuang karena suatu alasan. Sekarang ayolah, mari kita seberangi tempat ini."
"Itu kali kedua kau setuju dengan Zo?," gumamku, tapi Thalia tak
mengacuhkanku. Kami mulai mencari jalan melewati bebukitan dan lembah-lembah sampah.
Rongsokan ini seperti tak ada habis-habisnya, dan kalau saja tak ada Ursa Mayor,
kami pasti sudah tersesat. Semua bukit ini terlihat sama semua.
Aku ingin bilang kami tak menyentuh barang-barang ini, tapi ada terlalu banyak
sampah-sampah keren yang sebagian mesti kami periksa. Kutemukan sebuah gitar
listrik bebentuk seperti lyre Apollo yang sangat keren hingga aku harus
memungutnya. Grover menemukan potongan pohon yang terbuat dari logam.
Pohon itu ditebang hingga beberapa potong, tapi sebagian dahannya masih
memiliki burung-burung emas yang bertengger di dahannya, dan burung-burung
itu berkicau saat Grover mengangkatnya, berusaha mengepakkan sayap mereka.
Akhirnya, kami melihat ujung tempat pembuangan sampah ini sekitar satu
kilometer di depan kami, cahaya-cahaya dari jalan raya membentang sepanjang
gurun, tapi di antara kami dengan jalan itu ...
"Apa itu?" dengap Bianca.
Di hadapan kami ada sebuah bukit yang jauh lebih besar dan panjang dari bukit
lainnya. Ia tampak seperti bukit rata, seukuran lapangan football dan setinggi
tiangtiang golnya. Di satu sisi bukit terlihat jajaran tiang-tiang logam tebal,
masingmasing berdempetan dengan ketatnya.
Bianca mengerutkan alis. "Itu kelihatan kayak - "
"Jari-jari kaki," kata Grover.
Bianca mengangguk. "Jari kaki yang betul-betul besar."
Zo? dan Thalia bertukar pandang gugup.
"Mari kita mengambil jalan mengitarinya," kata Thalia. "Jauh mengitarinya."
"Tapi jalan itu tepat di depan sana," protesku. "Akan lebih cepat kalau kita
memanjatnya." Ping. Thalia mengangkat tombaknya dan Zo? menyiapkan busurnya, tapi kemudian
kusadari itu hanyalah Grover. Dia melemparkan sisa-sisa potongan logam pada
jari-jari itu dan mengenai satu, menghasilkan gema yang dalam, seolah tiang itu
berongga. "Kenapa kau melakukan itu?" desak Zo?.
Grover mengernyit. "Aku nggak tahu. Aku, eh, nggak suka kaki palsu?"
"Ayolah." Thalia memandangiku. "Ambil jalan berputar."
Aku tak membantah. Jempol-jempol itu juga mulai membuatku takut. Maksudku,
siapa orang yang mau-maunya memahat jempol-jempol setinggi tiga meter dan
menaruhnya di tempat pembuangan sampah"
Setelah beberapa menit berjalan, kami akhirnya mencapai jalan raya, bentangan
jalan aspal yang tampak terbengkalai namun cukup penerangan.
"Kami berhasil keluar," ujar Zo?. "Terpujilah dewa-dewi."
Namun ternyata para dewa-dewi tak ingin dipuji. Tepat pada saat itu, aku
mendengar suara seribu mesin penghancur sampah meremukkan logam.
Aku menoleh ke belakang. Di belakang kami, gunung rongsokan itu mengamuk,
bangkit. Kesepuluh jari kaki itu melandai, dan kusadari mengapa ia tampak
seperti jari-jari kaki. Mereka memang jari-jari kaki sungguhan. Benda yang bangkit dari
tmpukan logam itu adalah raksasa perunggu berbaju zirah Yunani lengkap. Dia
sanga tinggi - bagai gedung pencakar langit dengan lengan dan kaki. Ia bersinar
bengis diterpa sinar rembulan. Ia memandang ke bawah pada kami, dan wajahnya
rusak. Bagian kiri wajahnya setengah lumer. Sendi-sendinya berkeriat-keriut
karena karatan, dan di depan dadanya yang tertutup lempengan besi, tertulis oleh
jari-jari raksasa yang sudah tertutupi debu tebal, tampak tulisan CUCI AKU.
"Talos!" dengar Zo?.
"Siapa - siapa Talos?" aku tergagap.
"Salah satu hasil karya Hephaestus," kata Thalia. "Tapi itu pasti bukan versi
orisinalnya. Itu terlalu kecil. Prototipenya, barangkali. Model yang gagal."
Raksasa logam itu tampaknya tak suka dengan kata gagal.
Ia menggerakkan satu tangannya ke sarung pedangnya dan menarik senjatanya.
Suara senjata yang dihunuskan dari sarungnya itu sungguh mengerikan, bunyi
nyaring decitan antar logam. Pedang itu tampak sepanjang tiga puluh meter. Ia
terlihat karatan dan tumpul, tapi kurasa itu tak ada bedanya. Dihantam denga
pedang itu pasti akan terasa seperti ditabrak oleh kapal perang.
"Ada yang mengambil sesuatu," kata Zo?. "Siapa yang mengambil sesuatu?"
Dia memandangku dengan tatapan menuduh.
Aku menggeleng. "Aku memang bisa melakukan hal-hal yang di luar batas, tapi
aku bukanlah pencuri."
Bianca tak mengatakan sepatah kata pun. Aku berani bersumpah dia tampak
bersalah, tapi aku tak punya cukup waktu untuk memikirkannya, karena raksasa
gagal Talos mengambil satu langkah ke arah kami, menutup setengah jarak
jauhnya dari kami dan membuat tanah bergetar.
"Lari!" pekik Grover.
Nasihat yang bagus, hanya saja sia-sia. Meski berjalan santai, raksasa ini akan
mendahului kami denga mudahnya.
Kami berpencar, seperti yang pernah kami lakukan dengan Singa Nemeas. Thalia
mengeluarkan perisainya dan mengangkatnya selagi dia berlari menyusuri jalan
raya. Sang raksasa mengayun pedangnya dan menebas sederet gardu listrik, yang
menyemburkan bunga-bunga api dan berjatuhan menghadang jalan Thalia.
Panah-panah Zo? berdesing menuju wajah makhluk itu tapi ia hanya pecah
berhamburan saat mengenai wajah logamnya. Grover mengembik seperti bayi
kambing dan pergi mendaki sebuah gunung logam.
Bianca dan aku yang tersisa, sembunyi bersisian di balik kereta tempur rusak.
"Kau mengambil sesuatu," kayaku. "Busur itu."
"Tidak!" katanya, tapi suaranya bergetar.
"Kembalikan benda itu!" perintahku. "Jatuhkan!"
"Aku ... aku nggak ngambil busur itu! Lagi pula, sudah terlambat."
"Apa yang kauambil?"
Sebelum dia bisa menjawab, aku mendengar suara berderak gaduh, dan sebuah
bayangan menutupi langit.
"Lari!" Aku berlari menuruni bukit, Bianca mengikut di belakangku, saat kaki
raksasa itu menghasulkan lubang besar di tanah tempat kami tadi bersembunyi.
"Hei, Talos!" teriak Grover, tapi monster itu mengangkat pedangnya, menatap ke
bawah pada Bianca dan aku.
Grover memainkan irama cepat dengan serulingnya. Di jalan raya, gardu listrik
yang berjatuhan mulai menari-nari. Aku mengerti apa yang hendak dilakukan
Grover setengah detik sebelum terjadi. Salah satu tuang listrik yang kabelnya
masih tersambung melayang ke kaki belakang Talos dan membelit betisnya.
Kabel-kabelnya menyembutkan bunga api dan mengirim setrum ke pantat sang
raksasa. Talos berputar-putar berderit dan kesetrum. Grover memberi kami waktu beberapa
detik. "Ayo!" kataku pada Bianca. Tapi dia tetap mematung. Dari sakunya, dia
mengeluarkan sebuah replika kecil logam, patung sebuah dewa. "Ini ... ini buat
Nico. Ini satu-satunya patung yang tak dia miliki."
"Sempat-sempatnya kau memikirkan Mythomagic di saat-saat kayak begini?"
kataku. Matanya berkaca-kaca. "Jatuhkan ke bawah," kataku. "Barangakali raksasa itu akan meninggalkan kita."
Bianca menaruhnya dengan enggan, tapi tak ada apa pun yang terjadi.
Raksasa itu terus mengerjar Grover, ia menusukkan pedangnya ke bukit sampah,
hanya meleset dari Grover sekitar satu meter, tapi kemudian tikaman pedang
logam itu mengakibatkan longsor yang menelan tubuhnya, dan lalu aku tak bisa
lagi melihatnya. "Tidak!" teriak Thalia. Dia mengacungkan tombaknya, dan sebuah lengkungan
kilat biru memancar, mengenai lutut karatan monster itu, yang menekuk. Sanag
raksasa pun terjatuh, tapi seketika pula bangkit kembali. Sulit untuk mengetahui
apakah raksasa itu kesakitan. Tak ada emosi sedikit pun pada wajah separuh
lumernya, tapi aku merasa bahwa ia tentu sedang mengamuk - amukan prajurit
logam setinggi dua puluh lantai.
Dia mengangkat kakinya untuk menginjak dan aku melihat bahwa alas sepatunya
memiliki garis-garis tapak seperti alas sepatu kets. Ada lubang di bagian bawah
tumitnya, seperti sebuah lubang gorong-gorong besar, dan ada tulisan huruf-huruf
merah dicat di sekitarnya, yang kuartikan baru setelah kaki itu turun: HANYA
UNTUK PEMELIHARAAN. "Waktunya untuk ide gila," ucapku.
Bianca memandangku gugup. "Apa pun deh."
Kukatakan padanya tentang lubang pemeliharaan. "Mungkin ada cara untuk
mengendalikan makhluk ini. Tombol-tombol atau semacamnya. Aku akan masuk
ke dalam." "Bagaimana" Kau harus berdiri di bawah kakinya! Kau akan gepeng."
"Alihkan prhatiannya," kataku. "Aku hanya perlu menghitung waktunya dengan
tepat." Rahang Bianca mengencang. "Tidak. Aku yang akan pergi."
"Nggak bisa. Kau masih baru! Kau akan mati."
"Gara-gara perbuatanku monster ini jadi mengejar kita," ujarnya. "Ini tanggung
jawabku. Ini." Dia memungut patung dewa kecil itu dan menaruhnya ke telapak
tanganku. "Kalau sesuatu terjadi, berikan itu pada Nico. Bilang padanya ...
bilang padanya aku minta maaf."
"Bianca, jangan!"
Tapi dia tidak menantiku. Dia langsung menerjang ke arah kaki kiri monster.
Thalia menangkap perhatian sang monster saat ini. Dia mengetahui bahwa raksasa
itu berbadan besar namun lamban. Kalau kau bisa dekat-dekat dengannya dan
menjaga diri dari remukkan, kau bisa berlari mengitarinya dan bertahan hidup.
Setidaknya, hal itu sepertinya masih manjur sampai saat ini.
Bianca sampai tepat di dekat kaki raksasa, berusaha menyeimbangkan diri di
tengah rongsokan logam yang bergoyang dan bergerak-gerak dengan berat
tubuhnya. Zo? berteriak. "Apa yang kaulakukan?"
"Buat ia mengangkat kakinya!" serunya.
Zo? menembakkan panah ke wajah monster dan panah itu melesat masuk ke dalam
lubang hidungnya. Raksasa itu menegakkan tubuhnya dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Hei, Manusia Sampah!" teriakku. "Ke bawah sini."
Aku berlari ke jempol besarnya dan menusukknya dengan Riptide. Pedang ajaib itu
menoreh luka di perunggunya.
Sayangnya, rencanaku berhasil. Talos memandang ke bawah padaku dan
mengangkat kakinya untuk meremukkanku seperti kecoak. Aku tak tahu apa yang
Bianca lakukan. Aku harus berbalik dan berlari. Kaki itu menjejak sekitar lima
senti di belakangku dan aku terlempar ke udara. Aku menabrak sesuatu yang keras
dan aku bangkit duduk, terlongo. Aku telah dilempar ke lemari es Udara-Olympus.
Monster itu sudah hampir menghabisiku, tapi Grover entah bagaimana berhasil
menggali dirinya sendiri dari tumpukan sampah. Dia memainkan serulingnya
dengan panik, dan musik mengakibatkan satu tiang listrik lain lagi menghantam
paha Talos. Monster itu berbalik. Grover mestinya berlari, tapi dia pasti
terlalu lelah dari upayanya menghasilkan sihir sebanyak itu. Dia baru mengambil dua
langkah, tumbang, dan tak lagi bangkit.
"Grover!" Thalia dan aku berlari menujunya, tapi aku tahu kami akan terlambat.
Monster itu mengangkat pedangnya untuk menghantam Grover. Kemudian dia
mematung. Talos menelengkan kepalanya ke satu sisi, seolah sedang mendegarkan musik baru
yang aneh. Ia mulai menggerak-gerakkan lengan dan kakinya dengan gerakangerakan
aneh, melakukan joget gaya Ayam Funky. Kemudian tangannya
membentuk kepalan dan meninju mukanya sendiri.
"Hebat, Bianca!" pekikku.
Zo? tampak ketakutan. "Dia ada di dalam?"
Monster itu terhuyung, dan kusadari kami belum lepas dari bahaya. Thalia dan aku
menyeret Grover dan berlari dengannya menuju jalan raya. Zo? sudah berlari di
depan kami. Dia berteriak, "Bagaimana cara Bianca keluar?"
Raksasa itu memukuli kepalanya lagi dan menjatuhkan pedangnya. Getaran
merayapi sekujur tubuhnya dan ia terhuyung ke arah kabel-kabel listrik.
"Awas!" teriakku, tapi sudah terlambat.
Pergelangan kaki sang raksasa menjerat kabel, dan pijar listrik biru menyeterum
tubuhnya. Kuharap bagian dalamnya memiliki penyekat anti listrik. Aku sama
sekali tak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Sang raksasa berjalan miring
kembali ke pembuangan sampah, dan tangan kanannya copot, mendarat di
rongsokan logam dengan suara gaduh TRANG!
Tangan kirinya tercopot, juga. Seluruh sendinya lepas-lepas.
Talos mulai berlari. "Tunggu!" teriak Zo?. Kami mengejar raksasa itu, tapi tak mungkin kami sanggup
mengejarnya. Potongan-potongan robot itu terus-terusan berjatuhan, menghalangi
jalan kami. Sang raksasa hancur dari atas ke bawah: kepalanya, dadanya, dan akhirnya,
kakikakinya pun copot. Saat kami tiba di bangkai sisa-sisa raksasa itu, kami
mencaricari dengan panik, memanggil-manggil nama Bianca. Kami merayap ke sekitar
potongan-potongan besar berongga dan kaki-kakinya dan kepalanya. Kami
terusterusan mencari hingga fajar menyingsing, namun tanpa hasil.
Zo? terduduk dan menangis. Aku begitu tertegun melihatnya menangis.
Thalia berteriak marah dan menancapkan pedangnya ke wajah penyok sang
raksasa. "Kita bisa terus mencari," kataku. "Sudah terang sekarang. Kita akan
menemukannya." "Tidak, kita tak akan menemukannya," ujar Grover sedih. "Ini persis seperti yang
seharusnya terjadi."
"Apa yang kau bicarakan?" desakku.
Grover memandangiku dengan mata besar berkaca-kacanya. "Ramalan itu.
Seorang akan menghilang di dataran tanpa hujan."
Mengapa aku tak menyadarinya" Mengapa aku biarkan Bianca pergi alih-alih
diriku" Kini kami berada di tengah gurun. Dan Bianca di Angelo telah raib.
Bab 14 Aku Memiliki Masalah Bendungan Sialan
Di ujung pembuangan sampah, kami menemukan sebuah truk gandeng yang begitu
tuanya hingga ia tampak seperti salah satu rongsokan di situ. Tapi mesinnya
menyala, dan gas dalam tangkinya penuh, jadi kami memutuskan untuk
meminjamnya. Thalia menyetir. Dia tidak tampak setertegun Zo? atau Grover atau aku.
"Kerangka-kerangka itu masih berkeliaran di luar sana," dia mengingatkan kami.
"Kita harus terus bergerak."
Dia memandu kami menyusuri gurun, di bawah langit biru nan cerah, dengan pasir
yang sangat terang hingga menyilaukan mata. Zo? duduk di depan bersama Thalia.
Grover dan aku duduk di bak belakang truk, bersandar ke mesin derek. Udara
terasa dingin dan kering, namun cuaca cerah itu terasa bagai ejekan setelah kami
kehilangan Bianca. Tanganku menggenggam sebuah patung kecil yang telah mengorbankan
nyawanya. Aku masih belum tahu dewa apa patung ini semestinya. Nico pasti tahu.
Oh, demi dewa-dewi ... aku harus bilang apa pada Nico"
Aku ingin memercayai bahwa Bianca masih hidup di suatu tempat. Tapi aku
memiliki firasat buruk bahwa ia memang telah pergi untuk selamanya.
"Seharusnya itu aku," ujarku. "Seharusnya aku yang pergi masuk ke dalam raksasa
itu." "Jangan bilang begitu!" seru Grover panik. "Sudah cukup buruk Annabeth
menghilang, dan kini Bianca. Apa kau pikir aku bisa menanggungnya kalau sampai
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
..." Dia terisak. "Apa kau pikir ada orang lain yang mau menjadi sahabatku?"
"Ah, Grover ..."
Dia menyeka bawah matanya dengan lap oli yang membuat wajahnya bernoda,
seperti dicoret dengan cat tanda perang. "Aku ... aku baik-baik saja."
Tapi dia tidak baik-baik saja. Semenjak pengalamnnya di New Mexico - apa pun
yang telah terjadi saat angin liar itu berembus - dia tampak begitu rentan, bahkan
lebih emosional dari biasanya. Aku takut untuk membicarakan hal ini dengannya,
karena dia mungkin akan mulai menangis.
Setidaknya ada hal bagus dari memiliki teman yang lebih mudah panik dari dirimu.
Kusadari aku tak bisa berlama-lama depresi. Aku harus mengesampingkan
pikiranku akan Bianca dan memaksa kami terus maju, seperti yang dilakukan
Thalia. Aku bertanya-tanya apa yang dia dan Zo? bicarakan di depan truk.
Truk gandeng ini kehabisan bahan bakar di ujung ngarai sungai. Pas sekali,
karena jalannya juga buntu. Thalia keluar dan membanting pintu. Segera, salah satu bannya bocor. "Hebat.
Trus bagaimana sekarang?"
Aku mengamati cakrawala. Tak ada banyak hal yang bisa dilihat. Gurun di segala
penjuru, sesekali sekumpulan pegunungan gundul bermunculan di sana sini. Ngarai
adalah satu-satunya hal yang menarik. Sungainya sendiri tak begitu lebar,
mungkin sekitar lima puluh meter untuk diseberangi, air hijau dengan sedikit arus, tapi
ia mengukir sebuah codet yang besar di tengah gurun. Tebing bebatuan menukik
curam di bawah kami. "Ada jalan," kata Grover. "Kita bisa sampai ke sungai."
Aku mencoba melihat apa yang dia bicarakan, dan akhirnya mendapati tepi tebing
tipis yang berkelok-kelok menuruni wajah tebing. "Itu jalur buat kambing,"
ujarku. "Jadi?" tanyanya.
"Kami bukan kambing."
"Kita bisa melewatinya," kata Grover. "Kurasa."
Aku sempat memikirkannya. Aku sudah pernah melalui tebing sebelumnya, tapi
aku tidak suka. Kemudian kupandangi Thalia dan kulihat wajahnya sudah berubah
pucat. Masalahnya dengan ketinggian ... dia tak akan bisa melakukannya.
"Tidak," kataku. "Aku, eh, menurutku kita harus berjalan ke arah hulu."
Grover berkata, "Tapi - "
"Ayolah," kataku. "Berjalan nggak akan melukai kita."
Kupandangi Thalia. Matanya mengucapkan Terima kasih cepat.
Kami mengikiuti arus sungai sekitar satu kilometer sebelum bertemu dengan
turunan lebih mudah yang mengarah ke air. Di tepian ada tempat penyewaan kano
yang tutup di musim ini, tapi kutinggalkan beberapa keping emas drachma di
konter dan sebuah catatan bertulisan Aku utang dua kano.
"Kita harus pergi ke hulu," ujar Zo?. Itu pertama kalinya aku mendengarnya
bicara semenjak dari tempat pembuangan sampah itu, dan aku cemas mendengar betapa
buruknya suaranya, seperti seseorang yang terserang pilek. "Arusnya terlalu
kencang." "Serahkan itu padaku," ujarku. Kami menaruh dua kano ke air.
Thalia menepikanku saat kami tengah mengambil tongkat kayuh. "Tadi makasih,
yah." "Nggak perlu disebut kok."
"Bisakah kau benar-benar ..." Dia mengangguk ke arah arus air. "Kau tahu."
"Kurasa begitu. Biasanya aku lumayan pandai mengatur air."
"Maukah kau membawa Zo??" tanyanya. "Kukira, yah, mungkin kau bisa bicara
dengannya." "Dia nggak akan suka itu."
"Kumohon" Aku nggak tahu apa aku akan tahan berada satu perahu dengannya.
Dia ... dia mulai membuatku cemas."
Itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan, tapi aku mengangguk.
Bahu Thalia merileks. "Aku berutang satu padamu."
"Dua." "Satu setengah," ujar Thalia.
Thalia tersenyum, dan selama sederik, aku teringat bahwa aku sebenarnya
menyukainya saat dia tidak meneriakiku. Dia berbalik dan membantu Grover
menurunkan kano ke dalam air.
Ternyata, aku bahkan tak perlu mengendalikan arusnya. Begitu kami berada di air,
aku memandang ke ujung perahu dan menemukan dua peri air menatapku.
Mereka terlihat seperti gadis remaja biasa, seperti yang biasa kautemui di mal
mana pun, kecuali fakta bahwa mereka berada di bawah air.
Hei, seruku. Mereka membuat gelembung-gelembung suara yang bisa jadi tawa cekikikan. Aku
tak yakin. Aku mengalami kesulitan memahami para peri air.
Kami mengarah ke hulu, kataku pada mereka. Apa kalian bisa Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, kedua peri itu masing-masing
memilih kano dan mulai mendorong kami ke hulu sungai. Kami mulai meluncur
begitu cepat hingga Grover terjatuh ke atas kanonya dengan kaki-kaki kambingnya
mencuat ke udara. "Aku benci peri air," gerutu Zo?.
Aliran ini menyemprot dari belakang perahu dan menyembur ke wajah Zo?.
"Dasar iblis!" Zo? menyiapkan busurnya.
"Hei," seruku. "Mereka hanya bercanda."
"Arwah-arwah air terkutuk. Mereka tak pernah memaafkanku."
"Memaafkanmu untuk apa?"
Dia menyampirkan busurnya kembali ke pundaknya. "Itu peristiwa yang sudah
sangat lama. Lupakan saja."
Kami melaju lebih cepat menyusur sungai, tebing-tebing mencuat di kedua sisi
kami. "Apa yang terjadi pada Bianca bukanlah kesalahanmu," kataku padanya. "Itu
adalah kesalahanku. Aku yang membiarkannya pergi."
Kukira hal ini akan memberi alasan bagi Zo? untuk mulai meneriakiku. Setidaknya
itu akan mengeluarkan perasaan depresinya.
Alih-alih, bahunya melorot. "Tidak, Percy. Aku yang mendorongnya mnegikuti
misi ini. Aku terlalu bersemangat. Dia adalah blasteran yang kuat. Dia juga
punya hati yang baik. Aku ... aku mengira dia akan menjadi wakil berikutnya."
"Tapi kau kan wakilnya."
Zo? mengetatkan genggamannya pada kantong panahnya. Dia terlihat lebih letih
dari biasanya. "Tak ada yang bisa bertahan selamanya, Percy. Selama dua ribu
tahun lebih aku telah memimpin Perburuan, dan kebijaksanaanku tak juga
bertambah. Kini Artemis terancam bahaya."
"Dengar, kau tak bisa menyalahkan dirimu atas hal itu."
"Jika saja aku memaksakan diri mengikutinya - "
"Apa kau pikir kau bisa melawan sesuatu yang begitu kuat hingga bisa menangkap
Artemis" Tak ada yang bisa kaulakukan."
Zo? tak menjawab. Tebing-tebing sepanjang sungai makin tinggi. Bayang-bayang panjang jatuh
menimpa air, membuat jauh lebih dingin, meski hari begitu cerah.
Tanpa memikirkannya, aku mengambil Riptide dari dalam sakuku. Zo?
memandangi pena itu, dan rautnya tampak sedih.
"Kau yang membuat ini," kataku.
"Siapa yang bilang pada engkau?"
"Aku mendapat mimpi tentangnya."
Dia mengamatiku. Aku yakin Zo? akan menyebutku sinting, tapi dia hanya
mendesah. "Itu adalah hadiah. Dan sebuah kesalahan."
"Siapa pahlawan itu?" tanyaku.
Zo? menggeleng. "Jangan buat aku menyebutkan namanya. Aku bersumpah untuk
tak pernah menyebut namanya lagi."
"Kau bersikap seolah-olah aku semestinya mengenalnya."
"Aku yakin kau mengenalinya, pahlawan. Bukankah kalian semua laki-laki ingin
menjadi seperti dirinya?"
Mendengar nada suaranya yang begitu sinis, aku memutuskan untuk tak bertanya
apa maksudnya. Aku menunduk memandangi Riptide, dan untuk pertama kalinya,
aku bertanya-tanya apakah pedang ini menyimpan kutukan.
"Apa ibumu seorang dewi air?" tanyaku.
"Benar, Pleione. Dia memiliki lima anak. saudari-saudariku dan aku sendiri. Para
Hesperides." "Itu adalah gadis-gadis yang tinggal di taman di tepi Barat. Dengan pohon apel
emas dan seekor naga yang menjaganya."
"Benar," ujar Zo? sendu. "Ladon."
"Tapi bukankah hanya ada empat saudari?"
"Sekarang memang hanya empat. Aku diasingkan/dilupakan. Dihapuskan seolah
aku tak pernah ada."
"Kenapa?" Zo? menunjuk ke penaku. "Karena aku mengkhianati keluargaku dan membantu
seorang pahlawan. Kau juga tak akan menemukan itu di legenda. Pahlawan itu tak
pernah menceritakan tentang aku. Setelah serangan langsung terhadap Ladon
gagal, aku memberinya ide bagaimana caranya mencuri apel, bagaimana
mengelabui ayahku, tapi dia sendiri tak pernah mengakui jasaku."
"Tapi - " Gluk, gluk, kedua peri air itu bicara dalam pikiranku. Kano memelan.
Aku memandang ke depan, dan melihat sebabnya.
Ini tempat terjauh yang bisa mereka tempuh untuk mengantar kami. Sungai itu
terblokir. Sebuah bendungan seukuran stadion bola menghadang jalan kami.
"Bendungan Hoover," ujar Thalia. "Besar sekali."
Kami berdiri di tepi sungai, memandangi lengkungan semen yang menjulang di
antara tebing. Orang-orang terlihat berlalu-lalang di sepanjang puncak
bendungan. Mereka begitu kecilnya hingga tampak bagai kutu.
Kedua peri air sudah pergi meninggalkan kami dengan mengomel - tidak dengan
kata-kata yang kauketahui, tapi jelas mereka membenci bendungan ini yang
memblokir sungai cantik mereka. Kano-kano kami mengambang kembali ke hilir,
berputar-putar oleh arus air yang dihasilkan dari lubang pembuangan bendungan.
"Dua ratus meter tingginya," kataku. "Dibangun di tahun 1930-an."
"Lima juta ekar kubik air," kata Thalia.
Grover mendesah. "Proyek bengunan terbesar di Amerika Serikat."
Zo? menatap kami. "Bagaimana kalian bisa tahu semua itu?"
"Annabeth," kataku. "Dia menyukai arsitektur."
"Dia tergila-gila pada monumen," ujar Thalia.
"Kapan pun selalu mengoceh fakta," Grover tersedu. "Mengganggu banget."
"Andai dia berada di sini," ucapku.
Yang lain mengangguk. Zo? masih memandang kami dengan tatapan aneh, tapi
aku tak peduli. Rasanya seperti takdir yang keji bahwa kami tiba di Bendungan
Hoover, salah satu bangunan kesukaan Annabeth, dan dia tidak berada di sini
untuk melihatnya. "Kita harus pergi ke atas sana," kataku. "Demi Annabeth. Hanya untuk
menceritakan bahwa kami pernah sampai ke sana."
"Kau gila," Zo? memutuskan. "Tapi memang di situlah letak jalannya." Dia
menunjuk ke garasi parkiran yang besar di sisi puncak bendungan. "Jadi, marilah
kita pergi melihat-lihat."
Kami harus berjalan selama hampir satu jam sebelum menemukan sebuah jalur
yang mengarah ke jalan. Ia muncul di sisi timur sungai. Kemudian kami
mengambil jalan kembali menuju bendungan. Udara terasa dingin dan berangin di
puncak bendungan. Di satu sisi, sebuah sungai besar menyebar, dikelilingi oleh
pegunungan gurun yang gersang. Di sisi lain, bendungan itu menukik curam
seperti tanjakan skateboard paling berbahaya di dunia, menurun ke sungai sedalam
dua ratusan meter ke bawah, dengan air yang teraduk oleh lubang aingin
bendungan. Thalia melangkah di tengah-tengah jalan bendungan, jauh dari pinggiran. Grover
terus-terusan mengendus angin dan tampak gelisah. Dia tak mengatakan apa pun,
tapi aku tahu dia mencium bau monster.
"Seberapa dekat mereka?" tanyaku padanya.
Grover menggeleng. "Mungkin nggak terlalu dekat. Angin di bendungan, gurun
yang mengelilingi kita ... bau itu bisa jadi terbawa sejauh berkilo-kilometer.
Tapi ia datang dari berbagai arah. Aku nggak suka itu."
Aku juga tak menyukainya. Sekarang sudah hari Rabu, tinggal dua hari lagi sampai
titik balik matahari musim dingintiba, dan kami masih jauh dari tujuan. Kami tak
memerlukan kedatngan monster-monster lagi.
"Ada bar camilan di tempat pusat pengunjung," kata Thalia.
"Kau sudah pernah ke sini sebelumnya?" tanyaku.
"Sekali. Untuk bertemu dengan para penjaga." Dia menunjuk ke arah paling ujung
bendungan. Terpahat di sisi tebing adalah sebuah alun-alun kecil dengan dua
patung besar dari perunggu. Patung-patung itu tampak seperti patung piala Oscar
bersayap. "Patung-patung itu didedikasikan untuk Zeus saat bendungan dibangun," ujar
Thalia. "Sebuah hadiah dari Athena."
Para wisatawan berkumpul mengelilinginya. Mereka sepertinya sedang melihatlihat
kaki patung itu. "Apa yang mereka lakukan?" tanyaku.
"Menggosok jari-jari kakinya," kata Thalia. "Menurut mereka itu membawa
keberuntungan." "Kenapa?" Dia menggeleng. "Kaum manusia mendapat ide-ide gila. Mereka nggak tahu kalau
patung-patung itu dikeramatkan bagi Zeus, tapi mereka tahu ada sesuatu yang
istimewa dari mereka."
"Saat terakhir kali kau ke sini, apa mereka bicara padamu atau semacamnya?"
Raut Thalia menggelap. Aku tahu bahwa dia sebelumnya datang ke sini dengan
mengharapkan hal yang sama - sebuah pertanda dari ayahnya. Suatu hubungan.
"Tidak. Mereka nggak melakukan apa pun. Mereka cuma patung-patung besar dari
logam." Aku terpikir akan patung logam besar terakhir yang kami temui. Kejadiannya tak
terlalu baik. Tapi kuputuskan untuk tak mengungkitnya.
"Mari kita cari bar camilan bendungan (dam mirip damn yang artinya sialan) itu,"
ujar Zo?. "Kita seharusnya makan selagi bisa."
Grover tersenyum. "Bar camilan sialan?"
Zo? mengerjapkan mata. "Iya. Apa sih lucunya?"
"Nggak ada apa-apa," ujar Grover, berusaha memasang wajah serius. "Aku juga
ingin makan kentang goreng sialan."
Bahkan Thalia tersenyum mendengarnya. "Dan aku harus pergi ke WC sialan."
Barangkali itu karena fakta bahwa kami sudah sangat letih dan emosi kami
terkuras, tapi aku mulai tertawa, dan Thalia dan Grovert turut serta, sementara
Zo? hanya menatap kami. "Aku tak mengerti."
"Aku ingin menggunakan air mancur sialan," kata Grover.
"Dan ..." Thalia berusaha menarik napas. "Aku pengin beli kaus sialan."
Aku terbahak, dan aku mungkin akan terus tertawa seharian, tapi kemudian aku
mendengar sebuah suara:"Moooo."
Senyum pun memudar dari wajahku. Aku bertanya-tanya apakah suara itu hanya
berasal dari pikiranku, tapi Grover juga telah berhenti tertawa. Dia mengedarkan
pandangan ke sekitar, bingung. "Apa aku baru saja mendengar bunyi sapi?"
"Sapi sialan?" Thalia tertawa.
"Bukan," kata Grover. "Aku serius."
Zo? mendengarkan. "Aku tak mendengar apa-apa."
Thalia menatapku. "Percy, apa kau baik-baik saja?"
"Iya," kataku. "Kalian pergi saja duluan. Aku akan menyusul."
"Ada apa?" tanya Grover.
"Nggak ada apa-apa," jawabku. "Aku ... aku cuma perlu semenit. Untuk berpikir."
Mereka tampak ragu, tapi kurasa aku pasti tampak sedih, karena mereka akhirnya
pergi masuk ke ruang pusat pengunjung tanpa diriku. Begitu mereka pergi, aku
berlari ke sisi utara bendungan dan memandang ke bawah.
"Mooo." Ia sepertinya berada sekitar sembilan meter di bawah sungai, tapi aku bisa
melihatnya dengan jelas: temanku dari Selat Long Island, Bessie si ular sapi.
Aku memandang ke sekitar. Ada sekumpulan anak-anak berlari menyusuri
bendungan. Banyak warga sepuh. Beberapa keluarga. Tapi sepertinya tak ada
seorang pun yang memberi perhatian pada Bessie.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku padanya.
"Mooo!" Suaranya mendesak, seolah ia sedang berusaha memperingatkanku akan sesuatu.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanyaku. Kami berada ribuan kilometer
jauhnya dari Long Island, ratusan kilometer dari jalur darat. Tak mungkin ia
bisa berenang sampai ke sini. Namun, di sinilah sekarang ia berada.
Bessie berenang-renang melingkar dan membenturkan kepalanya ke sisi
bendungan. "Mooo!"
Ia ingin aku mengikutinya. Ia menyuruhku untuk cepat-cepat.
"Aku nggak bisa," kataku padanya. "Teman-temanku ada di dalam."
Ia menatapku dengan mata cokelat sedihnya. Kemudian ia memberi satu desakan
"Mooo!" lagi, lantas melakukan salto, dan menghilang ke dalam air.
Aku ragu. Ada sesuatu yang salah. Ia berusaha memberitahuku akan hal itu. Aku
mempertimbangkan untuk melompati sisi bendungan dan mengikutinya, tapi
kemudian aku menegang, rambut-rambut lenganku meremang. Aku memandang
ke bawah pada jalan bendungan sisi timur dan aku melihat dua pria berjalan pelan
menujuku. Mereka mengenakan seragam kamuflase abu-abu yang berkelip-kelip di
luar tubuh kerangka mereka.
Dua prajurit keranga itu melewati sekumpulan anak-anak dan mendorong mereka
ke samping. Seorang anak berteriak, "Hei!" Salah satu prajurit berbalik,
wajahnya beribah sekilas menjadi tengkorak.
"Ah!" si anak itu berteriak, dan seluruh kelompoknya mundur.
Aku berlari menuju area pusat kunjungan.
Aku baru mau meraih anak tangga saat mendengar bunyi decitan ban. Di sisi barat
bendungan, sebuha van hitam berbelok hingga berhenti di tengah-tengah jalan,
nyaris menabrak beberapa orang sepuh.
Pintu-pintu van membuka dan sejumlah prajurit kerangka lagi berhambur keluar
van. Aku dikepung. Aku melesat turun anak tangga dan melewati pintu masuk museum. Penjaga
keamanan di bagian detektor logam berteriak, "Hei, Nak!" Tapi aku tak berhenti.
Aku berlari melewati berbagai pameran dan menya-markan diri dengan
menyelusup dalam sebuah kelompok tur. Kucari teman-temanku, tapi aku tak bisa
menemui mereka di mana pun. Di mana bar camilan sialan itu"
"Stop!" Pria detektor-logam itu berteriak.
Tak ada tempat untuk pergi kecuali memasuki sebuah lift bersama dengan
kelompok tur. Aku mengendap masuk ke dalam lift tepat saat pintu lift itu
menutup. "Kita akan turun ke kedalaman sejauh dua ratus meter," pemandu tur kami berkata
ceria. Dia adalah seorang penjaga hutan, dengan rambut hitam panjang diikat
kuncir kuda dan kacamata tak jernih. Kurasa dia tidak tahu bahwa aku tengah
dikejar. "Jangan khawatir, hadirin sekalian, lift itu nyaris tak pernah rusak."
"Apa lift ini mengarahkan ke bar camilan?" tanyaku padanya.
Beberapa orang di belakangku terkekeh. Pemandu tur menatapku. Sesuatu dari
tatapannya membuat kulitku merinding.
"Menuju turbin-turbin, anak muda," ucap wanita itu. "Apa kau tadi tak
mendengarkan presentasi mengagumkanku di lantai atas?"
"Oh, eh, tentu. Apa ada jalan lain keluar bendungan?"
"Ini jalan buntu," ujar seorang turis di belakangku. "Ya ampun. Satu-satunya
jalan keluar adalah melalui lift lain."
Pintu-pintu lift membuka.
"Silakan teruskan perjalanan, hadirin sekalian," ujar pemandu wisata itu pada
kami. "Seorang penjaga lain menanti kalian di ujung koridor."
Aku tak punya banyak pilihan kecuali untuk keluar bersama kelompok tur ini.
"Dan anak muda," panggil sang pemandu tur. Aku menoleh ke belakang. Dia
mencopot kacamatanya. Matanya berwarna abu-abu memukau, seperti awan-awan
badai. "Selalu ada jalan keluar bagi mereka yang cukup pandai mencarinya."
Pintu-pintu lift pun menutup dengan pemandu tur masih berada di dalam,
meninggalkanku sendiri. Sebelum aku bisa berpikir banyak tentang wanita di dalam lift itu, suara ting
datang dari pojokan. Lift kedua membuka, dan aku mendengar suara yang tak
salah lagi - gemeretuk gigi-gigi kerangka.
Aku berlari mengejar grup tur, melewati terowongan yang dibentuk dari bebatuan
padat. Terowongan ini seperti tak ada ujungnya. Dinding-dindingnya lembap, dan
udara berdengung dengan listrik dan raungan arus air. Aku muncul di balkon
berbentuk-U yang memandang ke area gudang yang besar. Lima belas meter di
bawah, turbin-turbin raksasa berputar. Itu ruangan yang bsar, tapi aku tak
melihat jalan keluar yang lain, kecuali aku mau melompat ke dalam turbin-turbin dan
teraduk-aduk untuk menghasilkan listrik. Aku tak mau.
Seorang pemandu wisata lain sedang bicara dengan mikrofon, menerangkan pada
para turis tentang persediaan air di Necada. Aku berdoa agar Thalia, Zo?, dan
Grover baik-baik saja. Mereka mungkin telah ditangkap, atau sedang makan di bar
camilan, sama sekali tak mengira kami tengah dikepung. Dan bodohnya aku: Aku
telah membuat diriku sendiri terperangkap di sebuah lubang ratusan meter di
bawah permukaan. Aku berjalan menyelap-nyelip melewati kerumunan, berusaha tak terlihat terlalu
menonjol. Ada sebuah lorong di sisi lain balkon - barangkali sebuah tempat yang
bisa kujadikan tempat persembunyian. Aku terus memegang Riptide, bersiap untuk
mengayunkannya. Pada saat aku sampai di sisi seberang balkon, nyaliku diuji. Aku mundur ke dalam
lorong sempit dan memandang terowongan tempat asalku tadi.
Tiba-tiba dari belakang kudengar suara Sruut! nyaring seperti suara sebuah
kerangka. Tanpa berpikir, kubuka tutup Riptide dan mengayun, menebas dengan pedangku.
Gadis yang tadi kucoba belah jadi dua memekik dan menjatuhkan tisunya.
"Ya tuhan!" teriaknya. "Apa kau selalu membunuh orang kalau mereka membuang
ingus?" Hal pertama yang terlintas di benakku adalah bahwa pedang itu tak melukainya.
Pedang itu hanya menembus tubuhnya, begitu saja. "Kau manusia!"
Gadis itu memandangku tak percaya. "Maksudnya" Tentu saja aku manusia!
Bagaimana kau bisa membawa pedang itu melewati keamanan?"
"Aku nggak - Tunggu, kau bisa lihat ini sebuah pedang?"
Gadis itu memutar bola matanya, yang berwarna hijau sepertiku. Dia memiliki
rambut keriting cokelat-kemerahan. Hidungnya juga merah, seperti sedang pilek.
Dia mengenakan kaus lengan panjang longgar Harvard warna merah marun dan
celana jins yang dipenuhi noda spidol dan lubang-lubang kecil, seolah gadis itu
telah menghabiskan waktu senggangnya menusuk-nusuknya dengan garpu.
"Yah, entah itu sebuah pedang atau tusuk gigi terbesar di dunia," ujarnya. "Dan
kenapa pedang itu nggak menyakitiku" Maksudku, bukannya aku mengeluh atau
bagaimana. Siapa kau" Dan wow, apa tuh yang kaukenakan" Apa itu terbuat dari
bulu singa?" Dia mengajukan rentetan pertanyaan begitu cepatnya, rasanya seolah dia sedang
melemparkan batu-batu ke arahku. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku
memeriksa lenganku untuk melihat jika bulu Singa Nemeas itu entah bagaimana
telah berubah kembali menjadi kulit singa, tapi ia masih tampak seperti mantel
dingin cokelat bagiku. Aku tahu para prajurit kerangka itu masih mengejarku. Aku tak bisa menyianyiakan
waktu. Tapi aku hanya memandangi gadis berambut merah itu. Kemudian
aku teringat pada apa yang Thalia lakukan di Asrama Westover untuk mengelabui
guru-guru. Barangkali aku bisa memanipulasi Kabut.
Aku berkonsentrasi keras dan menjentikkan jariku. "Kau tak melihat pedang,"
kataku pada si gadis. "Itu hanya pulpen biasa."
Dia mengerjapkan mata. "Em ... nggak tuh. Itu beneran pedang, dasar orang aneh."
"Siapa kau?" desakku.
Gadis itu mendengus kesal. "Rachel Elizabeth Dare. Sekarang, apa kau mau
menjawab pertanyaan-pertanyaanku ataukah aku harus berteriak memanggil
keamanan?" "Jangan!" kataku. "Begini, aku lagi terburu-buru. Aku lagi ada masalah."
"Lagi terburu-buru atau lagi ada masalah?"
"Em, dua-duanya sih."
Gadis itu emandang ke belakang bahuku dan matanya membeliak. "Ke WC!"
"Apa?" "WC! Belakangku! Sekarang!"
Aku tak tahu kenapa, tapi aku menurutinya. Aku menyelip ke dalam WC pria dan
meninggalkan Rachel Elizabeth Dare berdiri di luar. Nantinya, hal itu tampak
seperti sikap pengecut bagiku. Aku juga cukup yakin hal itu berhasil
menyelamatkan naywaku. Aku mendengar suara gemeretuk dan desisan beberapa kerangka begitu mereka
mendekat. Cengkeramanku menguat pada Riptide. Apa yang kupikirkan" Kutinggalkan gadis
manusia di luar sana untuk mati. Aku bersiap untuk mendobrak pintu WC dan
menyerang saat Rachel Elizabeth Dare mulai bicara dengan gaya rentetan senapan
mesin khasnya. "Oh Tuhan! Apa kalian lihat anak itu" Sudah waktunya kalian datang ke sini. Dia
mencoba membunuhku! Dia punya pedang, demi Tuhan. Bagaimana kalian
penjaga keamanan bisa membiarkan orang gila pembawa pedang masuk ke gedung
nasional" Maksudku, ampun deh! Dia berlari ke sana ke arah turbin-turbinan itu
tuh. Kurasa dia masuk ke sampingnya atau apa. Mungkin dia kepeleset jatuh."
Para kerangka itu berderak gaduh. Kudengar mereka bergerak menjauh.
Rachel membuka pintu. "Sudah aman. Tapi kau sebaiknya buru-buru."
Gadis itu tampak ketakutan. Wajahnya abu-abu dan berkeringat.
Aku mengintip ke pojokan. Tiga prajurit kerangka tengah berlari menuju ujung
lain balkon. Jalan menuju lift aman selama beberapa detik.
"Aku berutang padamu, Rachel Elizabeth Dare."
"Apa sih tadi itu?" tanyanya. "Mereka tampak seperti - "
"Kerangka?" Dia mengangguk gugup. "Lakukan satu hal untuk dirimu sendiri," kataku. "Lupakan saja. Lupakan aku
pernah melihatku." "Lupakan kau mencoba membunuhku?"
"Yeah. Yang itu, juga."
"Tapi siapa kau?"
"Percy - " aku mulai bicara. Kemudian para kerangka itu berbalik. "Dadaaah!"
"Nama macam apa tuh Percy Dadah?"
Aku kabur menuju jalan keluar.
Kafe itu dipenuhi dengan anak-anak yang menikmati bagian terasyik dari
karyawisata - makan siang sialan. Thalia, Zo?, dan Grover sedang duduk dengan
makanan tersaji. "Kita harus pergi," ujarku kehabisan napas. "Sekarang!"
"Tapi kita baru mendapat pesanan burrito kita!" ujar Thalia.
Zo? berdiri, menggumamkan kutukan Yunani Kuno. "Dia benar! Lihat."
Jendela-jendela kafe membentang sepanjang lantai observasi, yang memberi kami
panorama indah akan tentara kerangka yang datang untuk membunuh kami.
Kuhitung ada dua kerangka di sisi timur jalan bendungan, memblokade jalan
menuju Arizona. Tiga lagi di sisi barat, menjagai Nevada. Kesemuanya
bersenjatakan pentungan dan pistol.
Tapi masalah kami saat ini berada jauh lebih dekat. Tiga prajurit kerangka yang
tadi mengejarku di ruang turbin kini muncul dari tangga. Mereka melihatku dari
seberang kafetaria dan mengertakkan gigi mereka.
"Lift!" seru Grover. Kami berlari menuju arah lift, tapi pintu-pintu membuka
dengan bunyi sambutan ting, dan tiga prajurit lagi melangkah keluar. Semua
prajurit sudah berkumpul, minus satu yang diledakkan Bianca di New Mexico.
Kami sudah benar-benar terkepung.
Kemudian Grover mendapat sebuah ide brilian yang benar-benar khas Grover.
"Perang burrito!" teriaknya, dan dia melayangkan Guacamole Grandenya ke
kerangka terdekat. Nah,k alau kau belum pernah dilempari oleh burrito terbang, anggaplah dirimu
beruntung. Jika dibandingkan dengan proyektil-proyektil mematikan, ia berada
dalam kategori yang sama dengan granat dan meriam. Santapan siang Grover
mengenai satu kerangka dan menjatuhkan tengkoraknya langsung dari pundaknya.
Aku tak tahu apa yang dilihat oleh anak-anak di kafe itu, tapi mereka menggila
dan mulai melempar burrito-burrito mereka dan sekerangjang keripik dan soda ke arah
satu sama lain, sambil memekik nyaring dan menjerit-jerit.
Para kerangka itu berusaha menyiagakan senjata mereka, namun sia-sia saja.
Badan dan makanan dan minuman beterbangan ke segala arah.
Di tengah kekacauan, Thalia dan aku menjegal dua kerangka lain di anak tangga
dan membuat mereka terempas ke meja bumbu. Kemudian kami semua berlari
menuruni tangga, Guacamole dan Grande melesat melewati atas kepala kami.
"Sekarang bagaimana?" tanya Grover selagi kami berlari keluar.
Aku tak punya jawabannya. Para prajurit dari jalan mengepung dari dua sisi. Kami
berlari menyeberang jalan menuju paviliun dengan patung-patung perunggu
bersayap, tapi itu membuat punggung kami menghadap gunung.
Kerangka-kerangka itu terus bergerak maju, membentuk setengah lingkaran
mengelilingi kami. Saudara-saudara mereka dari kafe berlari untuk bergabung.
Satu kerangka masih sibuk memasang kembali tengkorak ke pundaknya. Satu lagi
terlumuri kecap dan mustard. Dua yang lain memiliki burrito tersangkut di
tulangtulang rusuk mereka. Mereka sepertinya tidak terlalu suka dengan hal itu.
Mereka menghunus pentungan dan melangkah maju.
"Empat lawan sebelas," gumam Zo?. "Dan mereka tak bisa mati."
"Menyenangkan bertualang dengan kalian semua, teman-teman," ucap Grover,
suaranya bergetar. Sesuatu yang bersinar menangkap sudut mataku. Aku menoleh ke belakang pada
kaki-kaki patung. "Wow," kataku. "Jari-jari kaki mereka terang sekali."
"Percy!" ujar Thalia. "Ini bukan waktunya."
Tapi aku tak dapat berhenti memandangi dua laki-laki perunggu raksasa itu dengan
sayap-sayap tinggi yang tajam bagai pisau pembuka surat. Tubuh mereka cokelat
kusam kecuali untuk jari-jari mereka, yang berkilat seperti uang koin baru
akibat dari sekian lamanya orang-orang menggosoknya untuk keberuntungan.
Keberuntungan. Berkah dari Zeus.
Aku teringat akan pemandu tur di lift tadi. Mata abu-abunya dan senyumannya.
Apa tadi yang dia katakan" Selalu ada jalan bagi mereka yang cukup pandai
mencarinya. "Thalia," ujarku. "Berdoalah pada ayahmu."
Dia memelototiku. "Dia nggak pernah menjawab."
"Sekali ini saja," aku memohon. "Mintalah bantuan. Aku pikir ... aku pikir
patungpatung itu bisa memberi kita keberuntungan."
Enam kerangka mengarahkan pistolnya. Lima yang lain melangkah maju dengan
pentungan mereka. Lima belas meter jauhnya. Dua belas meter.
"Lakukanlah!" aku berteriak.
"Tidak!" ujar Thalia. "Dia nggak akan menjawabku."
"Kali ini lain!"
"Kata siapa?" Aku ragu. "Athena, kayaknya."
Thalia mengerutkan alis seolah dia yakin aku sudah gila.
"Coba saja," mohon Grover.
Thalia memejamkan matanya. Bibirnya komat-kamit pelan memanjatkan doa
hening. Aku juga memanjat doaku sendiri pada ibu Annabeth, berharap dugaanku
benar bahwa itu memang dia di lift tadi - bahwa dia tengah berusaha menolong
kami untuk menyelamatkan anaknya.
Dan tak ada apa pun yang terjadi.
Kerangka-kerangka itu kian mendekat. Aku mengangkat Riptide untuk membela
diriku. Thalia mengacungkan perisainya. Zo? mendesak Grover ke belakangnya
dan mengarahkan panahnya ke kepala satu kerangka.
Sebuah bayang-bayang menimpaku. Kukira mungkin itu adalah bayang-bayang
kematian. Kemudian kusadari itu adalah bayangan sayap raksasa. Para kerangka
itu mendongakkan pandangan dengan terlambat. Sekilas bayangan perunggu, dan
kelima pemegang pentungan itu terempas.
Kerangka-kerangka lainnya membuka tembakan. Aku mengangkat mantel singaku
sebagai perlindungan, namun aku tak membutuhkannya. Malaikat-malaikat
perunggu itu melangkah ke depan kami dan melipat sayap-sayap mereka menaungi
kami bak perisai. Peluru-peluru berdesing jatuh mengenai sayap-sayap itu seperti
tetes hujan memukuli atap seng. Kedua malaikat itu menyentak sayapnya, dan
kerangka-kerangka itu terlempar ke seberang jalan.
"Busyet, rasanya asyik banget bisa berdiri!" ujar malaikat pertama. Suaranya
terdengar aus dan karatan, seolah dia belum pernah minum semenjak dibangun.
"Lihat deh kakiku!" ujar yang lain. "Demi Zeus, apa sih yang dipikirkan turis
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turis itu?" Betapapun terkejutnya aku oleh kedatangan dua malaikat ini, aku lebih khawatir
memikirkan kerangka-kerangka itu. Sebagian dari mereka sudah bangkit kembali,
menyusun diri lagi, tangan-tangan tulangnya meraba-raba mencari senjata mereka.
"Bahaya!" seruku.
"Keluarkan kami dari sini!" teriak Thalia.
Kedua malaikat itu melihat ke bawah padanya. "Anaknya Zeus?"
"Iya!" "Bisakah aku dengar kata tolong, Nona Anaknya Zeus?" tanya sang malaikat.
"Tolong!" Kedua malaikat itu saling pandang, dan mengedikkan bahu.
"Boleh juga untuk meregangkan badan," satu malaikat memutuskan.
Dan hal berikut yang kuketahui, salah satu dari mereka menarik Thalia dan aku,
satunya lagi menarik Zo? dan Grover dan kami pun langsung terbang, melewati
bendungan dan sungai, juga prajurit-prajurit kerangka yang menciut hingga hanya
berupa bercak-bercak kecil di bawah kami dan suara tembakan senapan yang
bergema dari sisi pegunungan.
Bab 15 Aku Bergulat Melawan Kembaran Jahat Sinterklas
"Beri tahu aku saat sudah berakhir," kata Thalia. Matanya terpejam rapat. Patung
itu memegangi kami hingga kami takkan jatuh, tapi tetap saja Thalia
mencengkeram lengan sang patung kuat-kuat seolah patung itu adalah hal
terpenting di dunia. "Semua baik-baik saja," janjiku.
"Apa ... apa kita sangat tinggi?"
Aku menatap ke bawah. Di bawah kami, bentangan pegunungan bersalju lewat.
Aku menjulurkan kakiku dan menyepak salju dari salah satu puncak gunung.
"Nggak tuh," kataku. "Nggak begitu tinggi."
"Kita berada di pegunungan Sierra!" pekik Zo?. Dia dan Grover bergelantungan di
lengan patung satunya lagi. "Aku sudah pernah berburu di sini. Dengan kecepatan
ini, kita akan sampai di San Francisco beberapa jam lagi."
"Hei, hei, Frisco!" ujar malaikat kami. "Woy, Chuck! Kita bisa mengunjungi
orang-orang di Monumen Mekanik itu lagi! Mereka tahu caranya berpesta!"
"Asyik, bung," kata malaikat satunya lagi. "Aku mau banget, deh!"
"Kalian sudah pernah mengunjungi San Francisco?" tanyaku.
"Kami manusia-manusia automaton perlu bersenang-senang juga sekali waktu,
bukan?" ujar patung kami. "Para ahli mesin itu membawa kami ke Museum de
Young dan memperkenalkan kami pada patung-patung wanita marmer, kau tahu.
Dan - " "Hank!" patung yang lain, si Chuck, menyela. "Mereka masih anak-anak, Bung."
"Oh, betul juga." Jika patung-patung perunggu bisa merona, aku bersumpah Hank
ini sudah merona. "Kembali ke terbang."
Kami melaju lebih cepat, jadi aku tahu kedua malaikat itu bersemangat.
Pegunungan berganti lembah, dan kemudian kami melintasi lahan pertanian dan
kota-kota dan jalan raya.
Grover memainkan serulingnya untuk mengisi waktu. Zo? bosan dan mulai
menembakkan panah-panah ke papan reklame acak selagi kami terbang
melewatinya. Setiap kalinya dia melihat toserba Target - dan kami melewati
selusin toko itu - dia akan menancapkan panah pada plang nama toko dengan
beberapa tembakan jitu dalam kecepatan ratusan kilometer per jam.
Thalia memejamkan matanya sepanjang perjalanan. Dia sering komat-komit
sendiri, seperti sedang berdoa.
"Kau hebat di sana tadi," kataku padanya. "Zeus mendengar."
Sulit membaca apa yang dipikirkannya dengan matanya terpejam.
"Mungkin," katanya. "Omong-omong, bagaimana kau bisa meloloskan diri dari
kerangka-erang di ruang generator itu" Kau bilang mereka mengepungmu."
Aku menceritakan padanya tentang gadis manusia yang aneh, Rachel Elizabeth
Dare, yang sepertinya bisa melihat menembus Kabut. Kukira Thalia akan
menyebutku sinting, tapi dia hanya mengangguk.
"Memang ada manusia yang seperti itu," ujarnya. "Nggak ada yang tahu kenapa."
Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang tak pernah kerenungkan sebelumnya. Ibuku
juga seperti itu. Dia melihat Minotaurus di Bukit Blasteran dan tahu persis
monster apa itu. Dia tak terkejut sedikit pun tahun lalu saat kuberitahukan padanya
bahwa temanku Tyson sebenarnya adalah seorang Cyclops. Barangkali selama ini dia
sudah tahu. Tak heran ibu begitu khawatir terhadapku semakin aku beranjak
dewasa. Dia melihat menembus Kabut bahkan lebih jelas dariku.
"Yah, gadis itu menyebalkan," kataku. "Tapi aku lega nggak membuyarkannya. Itu
bakalan buruk banget."
Thalia mengangguk. "Pasti enak yah jadi manusia biasa."
Dia bilang begitu seolah dia sudah memikirkannya dalam-dalam.
"Di mana kalian mau mendarat?" tanya Hank, membangunkanku dari tidur
siangku. Aku memandang ke bawah dan berkata, "Wow."
Aku sudah pernah melihat San Francisco di foto-foto sebelumnya, tapi aku belum
pernah melihatnya secara langsung. San Francisco mungkin adalah kota terindah
yang pernah kulihat: ia tampak seperti Manhattan, versi lebih kecil dan bersih,
jika saja Manhattan dikelilingi oleh bebukitan hijau dan kabut. Ada pelabuhan besar
dan kapal-kapal, pulau-pulau dan oerahu layar, dan Jembatan Golden Gate
mencuat dari tengah kabut. Aku merasa seperti harus memotret pemandangan ini
atau semacamnya. Salam dari Frisco. Belum mati kok. Andai kau di sini.
"Di sana," Zo? menyarankan. "Di dekat Gedung Embarcadero."
"Saran bagus," ujar Chuck. "Aku dan Hank bisa berbaur dengan kumpulan
merpati." Kami semua memandanginya.
"Bercanda," katanya. "Ampun deh, apa patung nggak boleh punya selera humor?"
Ternyata, kami tak perlu repot-repot membaurkan diri. Hari masih dini dan tak
ada banyak orang di sekitar. Kami mengejutkan seorang pria gelandangan di dermaga
feri saat kami mendarat. Dia berteriak saat melihat Hank dan Chuck dan berlari
sambil meneriakkan sesuatu tentang malaikat-malaikat logam dari Mars.
Kami menyampaikan salam perpisahan pada kedua malaikat, yang kembali terbang
untuk berpesta dengan teman-teman patung mereka. Kemudian kusadari aku sama
sekali tak tahu apa yang akan kami lakukan selanjutnya.
Kami telah sampai di Pesisir Barat. Artemis berada di suatu tempat di sini.
Annabeth juga, kuharap. Tapi aku sama sekali tak tahu bagaimana cara
menemukan mereka, dan esok sudah waktunya titik balik matahari musim dingin.
Aku juga tak memiliki petunjuk sedikit pun monster apa yang diburu Artemis.
Monster itu semestinya menemukan kami dalam perjalanan misi ini. Mestinya ia
sudah "menunjukkan jejaknya", namun ternyata tidak sama sekali. Kini kami
terdampar di dermaga feri dengan hanya sedikit uang sisa, tanpa teman, dan tanpa
keberuntungan. Setelah diskusi singkat, kami memutuskan bahwa terlebih dulu kami perlu mencari
tahu monster misterius apa ini sebenarnya.
"Tapi bagaimana?" tanyaku.
"Nereus," kata Grover.
Aku menatapnya. "Apa?"
"Bukankah itu yang disuruh Apollo untuk kaulakukan" Mencari Nereus?"
Aku mengangguk. Aku sudah lupa sama sekali akan perbincangan terakhirku
dengan sang Dewa Matahari.
"Lelaki tua lautan," kenangku. "Aku seharusnya menemukannya dan memaksanya
untuk memberi tahu kita apa yang dia ketahui. Tapi bagiamana kau bisa
menemukannya?" Raut muka Zo? berubah. "Si Tua Nereus, yah?"
"Kau mengenalnya?" tanya Thalia.
"Ibuku adalah Dewi Laut. Ya, aku mengenalnya. Sayangnya, dia tak pernah terlalu
sulit ditemukan. Ikuti saja baunya."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Ayo," ujarnya tanpa antusias. "Akan kutunjukkan dikau."
Aku tahu aku menemui masalah saat kami berhenti di pusat lokasi kardus-kardus
sumbangan organisasi nirlaba Goodwill. Lima menit kemudian, Zo? menyuruhku
mengenakan kemeja flanel kebesaran dan celana jins tiga ukuran lebih besar,
sepatu kets merah terang, dan topi pelangi berkelepai.
"Oh, yeah," kata Grover, berusaha menahan tawanya, "kau tampak benar-benar tak
dikenali sekarang." Zo? mengangguk puas. "Tipikal gelandangan laki-laki."
"Makasih banyak," gerutuku. "Sekali lagi, untuk apa aku melakukan ini sih?"
"Sudah kukatakan pada dikau. Untuk berbaur."
Dia memimpin jalan kembali menyusuri tepi laut. Setelah lama mencari-cari
sekitar dermaga, Zo? akhirya berhenti di tengah jalannya. Dia menunjuk ke arah
sebuah dermaga di mana sekumpulan pria gelandangan berkumpul bergemul
selimut, menanti waktu dapur sup buka untuk makan siang.
"Dia akan berada di suatu tempat di sana," kata Zo?. "Dia tak pernah berjalan
jauhjauh dari air. Dia suka berjemur di siang hari."
"Bagaimana aku bisa tahu yang mana dirinya?"
"Mengendap-ngendaplah," katanya. "Bertingkahlah seperti gelandangan. Engkau
akan mengenalinya. Bau dirinya akan ... berbeda."
"Hebat." Aku enggan bertanya detail baunya. "Dan begitu aku menemukannya?"
"Tarik dia," katanya. "Dan pegang erat-erat. Dia akan berusaha sekuat tenaga
untuk mengenyahkan dikau. Apa pun yang dia lakukan, jangan lepaskan. Paksa dia
untuk memberi tahu dikau tentang monsternya."
"Kami menjaga di belakangmu," kata Thalia. Dia menarik sesuatu dari belakang
kemejaku - segumpal besar bulu halus yang terlepas entah dari mana. "Ihh. Kalau
dipikir lagi ... aku nggak ingin dekat-dekat sama belakangmu. Tapi kami akan ada
di dekatmu." Grover memberiku acungan jempolnya.
Aku menggerutu akan betapa menyenangkannya memiliki teman-teman superkompak.
Kemudian aku melangkah menuju dermaga itu.
Kulepas topiku dan berjalan terhuyung seolah aku hampir pingsan, yang tak sulit
dilakukan mengingat betapa letihnya diriku. Aku melewati teman gelandangan
kami dari Embarcadero, yang masih berusaha memperingatkan yang lain tentang
malaikat-malaikat logam dari Mars.
Bau pria itu tidak enak, tapi baunya tidak ... berbeda. Kuteruskan perjalanan.
Dua orang berwajah kumal dengan plastik belanjaan sebagai topi memerhatikanku
selagi aku mendekat. "Enyahlah, Nak!" cetus salah satu dari mereka.
Aku bergerak menjauh. Bau mereka lumayan bikin enek, tapi hanya bau buruk
yang biasa. Tak ada yang istimewa.
Ada seorang wanita dengan beberapa flamingo plastik mencuat dari kereta
berlanja. Dia memelototiku seolah curiga aku ingin mencuri burung-burungnya.
Di ujung dermaga, seorang pria yang terlihat seperti berumur jutaan tahun
berbaring tak sadarkan diri di bawah terpaan sinar matahari. Dia mengenakan
piama dan jubah mandi berbulu yang mungkin dulunya berwarna putih. Tubuhnya
gendut, dengan janggut putih yang telah menguning, mirip Sinterklas, andai
Sinterklas berguling keluar dari tempat tidur dan diseret melewati timbunan
sampah terlebih dulu. Dan baunya" Saat makin mendekat, aku mematung. Bau tubuhnya jelas buruk - tapi bau buruk
lautan. Seperti ganggang panas dan bangkai ikan dan air asin. Kalau lautan
memiliki sisi buruk ... orang ini pastilah sisi itu.
Aku berusaha menahan muntah saat aku duduk di dekatnya berpura-pura keletihan.
Santa membuka satu matanya curiga. Aku bisa merasakan dirinya memandangiku,
tapi aku tak menoleh. Aku menggumamkan sesuatu tentang payahnya sekolah dan
payahnya orangtua, mengira hal itu akan terdengar masuk akal.
Sinterklas kembali tidur.
Aku menegang. Aku tahu ini akan terlihat aneh. Aku tak tahu bagaimana para
gelandangan lain akan bereaksi. Tapi aku melompati Sinterklas.
"Ahhhh!" teriaknya. Aku hendak mencengkeramnya, tapi malah dia yang
merenggutku. Sepertinya selama ini dia tak tertidur sama sekali. Dia jelas tak
bertingkah layaknya seorang pria tua. Dia memiliki cengkeraman sekuat baja.
"Tolong aku!" dia berteriak selagi meremasku sekuat tenaga.
"Itu kejahatan!" salah satu dari pria gelandangan berteriak, "Anak-anak
menggulingkan orang tua kayak gitu!"
Aku menggelindingkan diri, jelas - lurus menuruni dermaga sampai kepalaku
membentur tiang. Aku merasa pusing selama sedetik, dan cengkeraman tangan
Nereus melonggar. Dia bersiap kabur. Namun sebelum dia berhasil melakukannya,
aku kembali tersadar dan segera menjegalnya dari belakang.
"Aku nggak punya uang!" Dia berusaha bangkit dan berlari, tapi aku mengunci
tanganku ke seputar dadanya. Bau ikan busuknya sangat parah, tapi aku bertahan.
"Aku nggak mau uang," kataku selagi dia meronta. "Aku blasteran! Aku ingin
informasi!" Hal itu membuatnya melawan lebih keras lagi. "Pahlawan! Mengapa kalian selalu
menggangguku?" "Karena kau tahu segala hal!"
Dia menggeram dan berusaha melepaskanku dari punggungnya. Rasanya seperti
menahan sebuah roller coaster. Dia meronta-ronta, membuat mustahil bagiku untuk
tetap berdiri, tapi aku menggertakkan gigi dan menguatkan dekapanku. Kami
terhuyung menuju tepi dermaga dan aku mendapat sebuah ide.
"Oh, tidak!" seruku. "Jangan air!"
Rencana itu berhasil. Segera, Nereus berteriak penuh kemenangan dan melompati
tepian. Bersama-sama, kami terjun ke Teluk San Francisco.
Dia pasti terkejut saat aku menguatkan cengkeramanku, air laut memberiku
kekuatan ekstra. Tapi Nereus memiliki beberapa trik, juga. Dia berubah wujud
hingga aku memegangi seekor anjing laut hitam licin.
Aku pernah mendengar orang-orang membuat lelucon tentang besuaha memegangi
babi berminyak, tapi kukatakan kepadamu, berpegangan pada anjing laut di dalam
air jauh lebih sulit. Nereus menukik ke bawah, menggeliat dan meronta dan
berputar-putar ke kedalaman laut. Kalau saja aku bukan anak Poseidon, sudah tak
mungkin aku bisa bertahan bersamanya.
Nereus meliuk dan memanjang, berubah menjadi paus pembunuh, tapi aku
menarik sirip punggungnya selagi dia melompat menembus permukaan air.
Sekumpulan turis berdatangan, "Wow!"
Aku berhasil melambaikan tangan ke arah kerumunan. Yeah, kita melakukan aksi
seperti ini setiap harinya di San Francisco sini.
Nereus menukik ke dalam air dan berubah menjadi belut licin. Aku mulai
mengikatnya membentuk simpul hingga dia menyadari apa yang terjadi dan
mengubah diri kembali ke wujud manusia. "Kenapa aku tak tenggelam?" rintihnya,
memukul-mukul dengan kedua tinjunya.
"Aku putra Poseidon," jawabku.
"Terkutuklah dewa yang baru naik daun itu! Aku sudah di sini terlebih dulu!"
Akhirnya dia terjatuh ke ujung dermaga perahu. Di atas kami, tampak dermaga
wisata yang bejajar dengan toko-toko, seperti sebuah mal di atas air. Nereus
menghela napas berat dan terengah-engah. Aku tak merasa lelah sedikit pun. Aku
bisa saja melakukannya seharian penuh, tapi aku tak memberitahunya. Aku ingin
membiarkannya merasa seolah telah memberi perlawanan yang tangguh.
Teman-temanku berlari menuruni tangga dari dermaga.
"Engkau mendapatkannya!" ujar Zo?.
"Kau nggak perlu terdengar kaget begitu," kataku.
Nereus mengerang. "Oh, hebat. Penonton atas kehinaanku! Transaksi yang biasa,
kurasa" Kau akan membebaskanku kalau aku menjawab satu pertanyaanmu?"
"Aku punya lebih dari satu pertanyaan," ujarku.
"Hanya boleh satu pertanyaan setiap tangkapan! Itu peraturannya!"
Kupandangi teman-temanku.
Ini tak baik. Aku perlu menemukan Artemis, dan aku harus mencari tahu apa
makhluk pembawa kiamat ini. Aku juga perlu mencari tahu jika Annabeth masih
hidup, dan bagaimana menyelamatkannya. Bagaimana aku bisa menanyakan
semua itu dalam satu pertanyaan"
Sebuah suara dalam diriku berteriak Tanyakan tentang Annabeth! Itulah yang
terpenting bagiku. Tapi kemudian aku terpikir akan apa yang Annabeth mungkin katakan. Dia tak
akan memaafkanku jika aku menyelamatkannya dan tidak menyelamatkan
Olympus. Zo? pasti ingin aku menanyakan tentang Artemis, tapi Chiron telah
memberi tahu kami bahwa monster itu merupakan hal yang lebih penting.
Aku mendesah. "Baiklah, Nereus. Katakan padaku di mana kami bisa menemukan
monster mengerikan yang bisa membawa kehancuran bagi para dewa. Monster
yang diburu Artemis."
Lelaki Tua Lautan tersenyum, memamerkan gigi-gigi hijau lumutannya.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, itu terlalu mudah," ujarnya licik. "Ia ada di sana."
Nereus menunjuk pada air di depan kakiku.
"Di mana?" kataku.
"Transaksi selesai!" ujar Nereus puas. Dengan satu letupan, dia berubah menjadi
ikan mas dan berjungkir balik memasuki air.
"Kau menipuku!" teriakku.
"Tunggu." Mata Thalia melebar. "Apa itu?"
"MOOOOOOO!" Aku memandang ke bawah, dan di sana tampak temanku si ular sapi, berenang di
sisi dermaga. Ia menyundul sepatuku dan memberiku tatapan mata cokelat
sendunya. "Ah, Bessie," kataku. "Jangan sekarang."
"Mooo!" Grover berdengap. "Ia bilang namanya bukan Bessie."
"Kau bisa memahami perkataan sapi betina ini ... eh, jantan?"
Grover mengangguk. "Itu adalah bentuk yang sangat kuno dari isyarat bahasa
hewan. Tapi ia bilang namanya adalah Ophiotaurus."
"Ophi-apa?" "Itu artinya banteng ular dalam Yunani,"ujar Thalia. "Tapi apa yang ia lakukan
di sini?" "Moooooo!" "Ia bilang Percy adalah pelindungnya," Grover mengumumkan. "Dan ia berlari
dari orang-orang jahat. Ia bilang mereka sudah dekat."
Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa mengartikan sebanyak itu hanya dari satu
lenguhan moooooo. "Tunggu," kata Zo?, memandangiku. "Kau kenal dengan sapi ini?"
Aku mulai merasa tak sabaran, tapi kusampaikan pada mereka ceritanya.
Thalia menggeleng-geleng tak percaya. "Dan kau terlupa begitu saja untuk
menyebutkan hal ini sebelumnya?"
"Yah ... iya." Rasanya itu seperti tindakan konyol, sekarang mendengar dia
mengatakannya, tapi semua kejadiannya terjadi begitu cepat. Bessie, sang
Ophoitaurus, tampak seperti hal yang tak penting.
"Bodoh sekali aku," ujar Zo? tiba-tiba. "Aku tahu cerita ini!"
"Cerita apaan?"
"Dari Peperangan Bangsa Titan," ujarnya. "Ayah ... ayahku menceritakan kisah ini
padaku, ribuan tahun yang lalu. Inilah makhluk buas yang tengah kita cari."
"Bessie?" aku memandang ke bawah pada ular banteng itu. "Tapi ... ia sangat
imut. Ia nggak mungkin bisa menghancurkan dunia."
"Itulah letak kesalahan kita," kata Zo?. "Selama ini kita mengharapkan bertemu
dengan monster raksasa berbahaya, tapi Ophiotaurus itu tak menjatuhkan dewadewa
dengan cara itu. Ia harus dikorbankan."
"MMMM," lenguh Bessie.
"Kurasa dia nggak suka dengar kata korban," kata Grover.
Aku menepuk kepala Bessie, berusaha menenangkannya. Ia membiarkanku
menggaruk telinganya, tapi tubuh Bessie gemetar.
"Bagaimana mungkin ada orang yang tega menyakitinya?" kataku. "Ia tak
berbahaya." Zo? mengangguk. "Tapi ada kekuatan dari membunuh makhluk tak berdosa.
Kekuatan yang mengerikan. Takdir menjatuhkan ramalan beribu-ribu tahun lalu,
saat makhluk ini dilahirkan. Mereka mengatakan bahwa siapa pun yang membunuh
Ophiotaurus dan mempersembahkan isi perutnya ke pembakaran akan
mendapatkan kekuasaan untuk menghancurkan para dewa."
"MMMMMM!" "Em," kata Grover. "Mungkin kita bisa menghindar membicaraan tentang isi perut,
juga." Thalia memandangi ular sapi itu dengan takjub. "Kekuasaan untuk mengancurkan
para dewa ... bagaimana caranya" Maksudku, apa yang akan terjadi?"
"Tak ada yang tahu," sahut Zo?. "Kali pertama, di masa peperangan bangsa Titan,
tapi ayah dikau, Zeus, mengirimkan elang untuk merenggut isi perutnya untuk
menyelamatkannya sebelum mereka sempat melemparnya ke dalam api. Saat itu
sudah nyaris sekali. Sekarang, setelah tiga ribu tahun berlalu, sang Ophiotaurus
telah terlahir kembali."
Thalia terduduk di dermaga. Dia merentangkan tangannya. Bessie langsung
berjalan mendekatinya. Thalia menaruh tangannya di kepalanya. Bessie menggigil.
Raut wajah Thalia menggangguku. Dia nyaris terlihat seperti ... kelaparan.
"Kita harus melindunginya," kataku pada Thalia. "Kalau Luke sampai berhasil
mendapatinya - " "Luke tak akan berpikir dua kali," gumam Thalia. "Kekuasaan untuk
menggulingkan Olympus. Itu ... itu dahsyat sekali."
"Iya, betul itu, Nak," ujar suara seorang pria dengan aksen kental Prancis. "Dan
itu adalah kekuasaan yang akan kau lepaskan."
Ophiotaurus itu membuat suara merengek dan menyelam ke dalam air.
Aku melihat ke atas. Kami begitu sibuk bicara, hingga membiarkan diri kami
disergap. Berdiri di belakang kami, dengan mata dua-warnanya berkilat keji, adalah Dr.
Thorn, sang manticore itu sendiri.
"Ini sempur-r-r-na sekali," sang manticore menyombong.
Dia mengenakan jas hujan hitam kumal di luar seragam Asrama Westovernya,
yang sudah koyak dan bernoda. Potongan rambut gaya militernya telah
menumbuhkan rambut-rambut tajam dan berminyak. Dia belum bercukur akhirakhir
ini, sehingga wajahnya tertutupi pangkal janggut perak. Pada dasarnya dia
tak tampak lebih baik dari pria-pria yang berada di dapur sup itu.
"Sudah lama sekali, para dewa mengasingkanku ke Persia," kata sang manticore.
"Aku terpaksa mencari-cari sisa makanan di pinggiran dunia, bersembunyi di
hutan-hutan, melahap petani-petani manusia tak penting untuk santapanku. Aku tak
pernah berkesemparan melawan pahlawan mana pun. Aku tak ditakuti dan
disanjung di kisah-kisah lama! Tapi kini hal itu akan berubah. Kaum Titan akan
menghargaiku, dan aku akan berpesta dengan santapan daging para blasteran!"
Di kedua sisinya berdiri dua pria petugas keamanan bersenjata, sebagian dari
tentara bayaran manusia yang pernah kulihat di D.C. Dua orang lagi berdiri di
sebelah perahu terdekat di sisi dermaga, berjaga-jaga jika kami mencoba
meloloskan diri dengan jalan itu. Ada beberapa wisatawan di sekitar - berjalan
menyusuri tepian air, berbelanja di dermaga di atas kami - tapi aku tahu kehadiran mereka tak akan
menghentikan aksi sang manticore.
"Di mana ... di mana para kerangka itu?" tanyaku pada sang manticore.
Dia mencibir. "Aku tak butuh siluman-siluman bodoh itu! Sang Jenderal
menganggap aku tak berarti" Dia akan berubah pikiran saat aku mengalahkanmu
sendiri!" Aku membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku harus menyelamatkan Bessie. Aku
bisa saja menceburkan diri ke laut, tapi bagaimana aku bisa melarikan diri
dengan cepat bersama ular sapi seberat tiga ratus kilo" Dan bagaimana dengan
temantemanku" "Kami sudah pernah mengalahkanmu," ujarku.
"Ha! Kau tak bisa melawanku sedikit pun tanpa kehadiran dewi di sisimu, dan,
sayangnya ... dewi itu sedang sibuk sekarang. Tak akan ada bantuan untukmu saat
ini." Zo? menyiapkan panahnya dan mengarahkannya tepat ke kepala sang manticore.
Para penjaga di kedua sisi kami mengangkat senjata mereka.
"Tunggu!" kataku. "Zo?, jangan!"
Sang manticore tersenyum. "Bocah ini benar, Zo? Nightshade. Turunkan busurmu.
Alangkah sayangnya untuk membunuhmu sebelum kau sempat menyaksikan
kemenangan besar Thalia."
"Apa yang kau bicarakan?" geram Thalia. Dia menyiapkan perisai dan tombaknya.
"Tentu sudah sangat jelas," ujar manticore. "Inilah momenmu. Inilah mengapa
Raja Kronos membangkitkanmu kembali. Kau akan mengorbankan Ophiotaurus.
Kau akan membawakan isi perutnya ke api suci di gunung. Kau akan mendapatkan
kekuasaan tak terbatas. Dan pada ulang tahunmu yang keenam belas, kau akan
menggulingkan Olympus."
Tak ada yang bicara. Semua begitu masuk akal kini. Thalia hanya berjarak dua
hari dari menginjak usia enam belas. Dia adalah anak dari Tiga Besar. Dan kini hadir
sebuah pilihan, sebuah pilihan mengerikan yang bisa berarti akhir bagi para
dewa. Ini persis seperti yang disebut dalam ramalan. Aku tak yakin apa aku sendiri
merasa lega, ngeri, atau kecewa. Ternyata aku bukanlah anak yang disebut dalam
ramalan itu. Kiamat akan segera tiba.
Aku menunggu Thalia untuk menyanggah ucapan sang manticore, tapi dia tampak
ragu. Dia terlihat sangat terkejut.
"Kau tahu ini adalah pilihan yang tepat," ujar sang manticore padanya. "Temanmu,
Luke, sudah mengakuinya. Kau akan disatukan kembali dengannya kau akan
memerintah dunia ini bersama dengan perlindungan dari bangsa Titan. Ayahmu
menelantarkanmu, Thalia. Dia tak memedulikanku. Dan kini kau akan memperoleh
kekuasaan melebihi ayahmu. Hancurkan bangsa Olmpia hingga rata dengan tanah,
seperti yang pantas mereka dapatkan. Panggil makhluk buas itu! Ia akan
mendatangimu. Gunakan tombakmu."
"Thalia," panggilku, "sadarlah!"
Thalia menatapku persis seperti caranya memandangi-ku di pagi saat dia siuman di
Bukit Blasteran, linglung dan bingung. Rasanya seolah dia tak mengenaliku. "Aku
... aku tidak - " "Ayahmu telah menolongmu," kataku. "Dia mengirimkan malaikat-malaikat
logam. Dia mengubahmu menjadi pohon untuk melindungi nyawamu."
Cengkeraman tangannya mengencang pada batang tombaknya.
Kupandangi Grover putus asa. Terpujilah dewa-dewi, dia mengerti apa yang
kubutuhkan. Grovre mengangkat serulingnya ke mulutnya dan memainkan sebuah
irama cepat. Sang manticore berteriak, "Hentikan dia!"
Para penjaga sedari tadi mengarahkan senjatanya pada Zo?, dan sebelum mereka
menyadari bahwa bocah dengan seruling itu merupakan masalah yang lebih besar,
papan-papan kayu di bawah kaki mereka menumbuhkan akar-akar baru dan
membelit kaki mereka. Zo? melepaskan dua panah cepat yang meledak di depan
kaki-kaki mereka dalam gumpalan asap kuning sulfur. Panah-panah kentut!
Para penjaga mulai terbatuk-batuk. Sang manticore menembakkan duri-duri ke
arah kami, tapi mereka memantul saat mengenai mantel singaku.
"Grover," kataku, "suruh Bessie untuk menyelam ke dalam dan terus sembunyi di
sana!" "Moooooo!" Grover menerjemahkan. Aku hanya bisa berharap agar Bessie
mengerti pesannya. "Sapi itu ..." gumam Thalia, masih kebingungan.
"Ayolah!" Aku menariknya saat kami berlari menaiki tangga menuju pusat
pertokoan di dermaga. Kami melesat ke pojokan toko terdekat. Aku mendengar
sang manticore berteriak pada antek-anteknya, "Kejar mereka!"
Sejumlah wisatawan menjerit saat para pengawal menembakkan senapan
membabi-buta ke udara. Kami terus berlari menuju ujung dermaga. Kami bersembunyi di balik kios kecil
yang penuh dengan suvenir kristal - lonceng angin dan ornamen gantungan dan
barang-barang semacam itu, berkerlap-kerlip diterpa sinar matahari. Ada sebuah
air mancur di sebelah kami. Di bawah sana, sekumpulan singat laut sedang
berjemur matahari di bebatuan. Seluruh pemandangan Teluk San Francisco
membentang di hadapan kami: Jembatan Golden Gate, Pulau Alcatraz, dan
bebukitan hijau dan selubung kabut di arah belakang sepanjang utara.
Pemandangan yang sempurna, kecuali fakta bahwa kami hampir mati dan dunia
akan segera berakhir. "Terjunlah ke laut!" Zo? memberitahuku. "Engkau bisa meloloskan diri di laut,
Percy. Panggil ayah engkau untuk menolong. Mungkin dikau bisa menyelamatkan
Ophiotaurus." Dia benar, tapi aku tak bisa melakukannya.
"Aku nggak mau meninggalkan kalian," ujarku. "Kita bertarung bersama-sama."
"Kau harus menyebarkan berita ke perkemahan!" kata Grover.
"Setidaknya beri tahu mereka apa yang terjadi!"
Kemudian kusadari kristal-kristal itu menghasilkan pelangi di bawah cahaya
matahari. Ada sebuah air mancur tempat minum di sebelahku ...
"Sebarkan berita ke perkemahan," gumamku. "Ide bagus."
Kubuka tutup Riptide dan menebas bagian atas air mencur. Air memancar dari pipa
yang patah dan menyemproti kami semua.
Thalia megap-megap saat air menyemburnya. Kabut sepertinya menjernih dari
matanya. "Apa kau gila?" tanyanya.
Tapi Grover mengerti. Dia sudah mulai merogoh-rogoh ke dalam sakunya mencari
koin. Dia melontarkan sekeping drachma emas ke cahaya pelangi yang dihasilkan
kabut dan berteriak, "Oh dewi, terimalah persembahanku!"
Kabut itu meriak. "Perkemahan Blasteran!" seruku.
Dan di sana, berdenyar di dalam Kabut tepat di sebelah kami, muncul orang
terkahir yang ingin kutemui: Pak D, mengenakan setelan joging kulit macan
tutulnya dan tengah merogoh-rogoh isi lemari es.
Dia mendongak malas. "Tak bisakah sopan sedikit?"
"Di mana Chiron"!" teriakku.
"Betapa kasarnya." Pak D mengambil satu tegukan dari kendi sari anggurnya.
"Apa begitu caramu menyampaikan salam?"
"Salam, Pak," aku mengoreksi. "Kami akan mati! Di mana Chiron?"
Pak D tampak mempertimbangkannya. Aku ingin berteriak padanya untuk
bergerak lebih cepat, tapi aku tahu itu tak ada gunanya. Di belakang kami,
terdengar siara langkah kaki dan teriakan - pasukan manticore kian mendekat.
"Akan mati," renung Pak D. "Betapa serunya. Sayangnya Chiron tak berada di
sini. Apa kau ingin aku menyampaikan pesan?"
Kupandangi teman-temanku. "Beneran mati deh kita."
Thalia mencengkeram tombaknya. Dia terlihat seperti diri pemarah biasanya.
"Kalau begitu biarlah kita mati dalam pertarungan."
"Betapa mulianya," kata Pak D, menahan kuapan. "Jadi apa masalahnya,
sebenarnya?" Aku tak tahu bahwa itu akan ada perbedaannya, tapi kuceritakan padanya tentang
Ophiotaurus. "Mmm." Dia mengamati isi lemari es. "Jadi itu toh masalahnya. Aku mengerti."
"Bapak bahkan tak peduli!" aku berteriak. "Bapak cuma ingin melihat kami cepat
mati!" "Mari kita lihat. Rasanya aku lagi berselera makan piza malam ini."
Aku ingin menebas pelangi itu dan memutuskan sambungan, tapi aku tak punya
waktu. Sang manticore berteriak, "Di sana!" Dan kami pun terkepung. Dua
penjaga berdiri di belakangnya. Dua yang lain muncul di atap toko-toko dermaga
di atas kami. Sang manticore melepas mantelnya dan mengubah diri ke wujud
aslinya, cakar-cakar singanya memanjang dan buntut tajam penuh durinya
menegak dengan racun mematikan.
"Luar biasa," ujarnya. Dia memandang pada penampakan di dalam kabut dan
mendengus. "Sendirian, tanpa bantuan sungguhan. Hebat."
"Kau bisa meminta bantuan," gumam Pak D padaku, seolah itu dalah pemikiran
menarik. "Kau bisa saja bilang tolong."
Saat celeng bisa terbang, pikirku. Tak mungkin aku mau mengemis-ngemis minta
bantuan pada orang serampangan seperti Pak D, hanya supaya dia bisa tertawa saat
kami ditembaki. Zo? menyiagakan anak-anak panahnya. Grover menyiapkan serulingnya. Thalia
mengangkat perisainya, dan kusadari air mata mengaliri pipinya. Tiba-tiba
terlintas dalam benakku: hal ini sudah pernah terjadi padanya sebelumnya. Dia sudah
pernah dikepung di Bukit Blasteran.
Thalia telah dengan rela mengorbankan dirinya demi teman-temannya. Tapi kali
ini, dia tak bisa menyelamatkan kami.
Bagaimana aku bisa membiarkan hal itu terjadi padanya"
"Kumohon, Pak D," gumamku. "Tolonglah."
Tentu saja, tak ada apa pun yang terjadi.
Manticore itu pun menyeringai. "Sisakan nyawa putri Zeus. Dia tak lama lagi akan
bergabung dengan kita. Bunuh yang lainnya."
Orang-orang itu mengangkat senapan mereka, dan sesuatu yang aneh teradi. Aku
tahu bagaimana rasanya saat seluruh darah terpacu ke kepalamu, seperti saat aku
sedang bergantung terbalik "kepala di bawah, kaki di atas" dan langsung
membalikkan tubuhmu terlalu cepat" Ada sensasi seperti itu mengitariku, dan
sebuah suara seperti desahan besar. Sinar matahari bercorak ungu. Aku menghirup
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aroma anggur dan sesuatu yang lebih masam - minuman memabukkan.
TAR! Itu adalah suara banyak pikiran terputus di waktu bersamaan. Suara
ketidakwarasan. Satu penjaga menaruh pistonya di antara giginya seolah itu
adalah tulang dan berlari-lari dengan dua kaki dan tangannya. Dua penjaga lagi
menjatuhkan pistol mereka dan mulai berdansa waltz satu sama lain. Yang
keempat mulai melakukan sesuatu yang tampak seperti joget bakiak ala Irlandia.
Pemandangan itu akan terlihat kocak andai saja peristiwanya tak begitu
mengerikan. "Tidak!" teriak sang manticore. "Aku akan memberesimu sendiri!"
Buntutnya menegang, namun papan-papan di bawah cakar kakinya meletus
menjadi sulur-sulur anggur, yang segera membungkus seluruh tubuh sang monster,
menumbuhkan daun-daun baru dan segerombolan tunas-tunas anggur hijau yang
matang dalam hitungan detik selagi sang manticore menjerit, hingga dia tenggelam
dalam benaman besar sulur, dedaunan, dan rimbunan anggur-anggut ungu.
Akhirnya anggur-anggur itu berhenti bergetar, dan aku mendapat firasat bahwa di
suatu tempat di dalam sana, sang manticore itu sudah raib.
"Nah," kata Dionysus, sembari menutup puntu lemari es. "Lumayan asyik, kan."
Aku memandanginya, ngeri. "Bagaimana Bapak bisa ... Bagaimana Bapak tadi - "
"Ucapan terima kasih yang bagus," gumamnya. "Kau manusia akan segera
tersadar. Terlalu banyak penjelasan yang harus kulakukan jika kubuat kondisi
mereka permanen. Aku benci harus menulis laporan pada Ayah."
Dia memandang kesal pada Thalia. "Kuharap kau telah mendapat pelajaran, Nak.
Tidak mudah menolak kekuasaan, bukan?"
Thalia merona seolah malu pada dirinya sendiri.
"Pak D," ujar Grover takjub. "Bapak ... Bapak menyelamatkan nyawa kami."
"Mmm. Jangan buat aku menyesalinya, satir. Sekarang pergilah, Percy Jackson.
Aku menyediakan waktu paling banyak hanya beberapa jam buat kalian."
"Ophiotaurus itu," kataku. "Apa kau bisa membawanya ke perkemahan?"
Pak D mendengus. "Aku tak mengangkut ternak. Itu masalahmu sendiri."
"Tapi ke mana kami harus pergi?"
Dionysus memandangi Zo?. "Oh, kukira sang pemburu tahu. Kalian harus
memasukinya saat matahari terbenam hari ini, kau tahu, atau segalanya akan
siasia. Sekarang selamat tinggal. Pizaku menanti."
"Pak D," kataku.
Dia mengangkat alisnya. "Bapak memanggilku dengan nama yang benar," ujarku. "Bapak memanggilku
Percy Jackson." "Tentu saja tidak, Peter Johnson. Sekarang pergilah kalian semua!"
Dia melambaikan tangannya, dan bayangannya menghilang di kabut.
Di sekeliling kami, antek-antek sang manticore masih bertinglah seperti
orangorang sinting. Salah satu dari mereka telah menemukan teman kami sang
gelandangan, dan mereka kini tengah terlibat perbincangan serius tentang
malaikat-malaikat logam dari Mars. Beberapa penjaga lagi sedang mengerjai para
turis, membuat suara-suara hewan dan berusaha mencuri sepatu mereka.
Kupandangi Zo?. "Apa maksudnya ... 'Kau tahu ke mana kita harus pergi'?"
Wajahnya berubah sewarna kabut. Dia menunjuk ke seberang teluk, melewati
Golden Gate. Di kejauhan, sebuah gunung menjulang di atas lapisan awan.
"Taman saudari-saudariku," ujarnya. "Aku harus pulang ke rumah."
Bab 16 Kami Bertemu Naga dengan Bau Napas Keabadian
"Kita tak akan berhasil," kata Zo?. "Kita bergerak terlalu lambat. Tapi kita tak
bisa meninggalkan Ophiotaurus."
"Mooo," seru Bessie. Ia berenang di sebelahku selagi kami berlari pela menyusuri
tepi air. Kami sudah meninggalkan pusat pertokoan dermaga jauh di belakang.
Kami kini sedang bergerak menuju Jembatan Golden Gate, tapi ia ternyata lebih
jauh dari yang kusadari. Matahari sudah condong ke arah barat.
"Aku nggak ngerti," kataku. "Kenapa kita harus sampai di sana saat matahari
tenggelam?" "Kaum Hesperides adalah peri-peri senjakala," ujar Zo?. "Kita hanya bisa
memasuki taman mereka di waktu siang berganti malam."
"Apa yang terjadi kalau kita terlewat waktu itu?"
"Besok adalah waktu titik balik matahari musim dingin. Kalau kita ketinggalan
momen terbenamnya matahari malam ini, kita terpaksa menunggu hingga malam
esok. Dan pada saat itu, Pertemuan Dewan Olympia akan berakhir. Kita harus
membebaskan Yang Mulia Artemis malam ini juga."
Atau Annabeth akan mati, pikirku, tapi aku tak mengucapkannya.
"Kita perlu mobil," ujar Thalia.
"Tapi bagaimana dengan Bessie?" tanyaku,
Grover berhenti berjalan. "Aku punya ide! Ophiotaurus bisa muncul di berbagai
jenis air, bukan?" "Yah, iya," kataku. "Maksudku, ia pernah berada di Selat Long Island. Lalu ia
muncul begitu saja di air Bendungan Hoover. Dan sekarang ia di sini."
"Jadi barangkali kita bisa membujuknya untuk kembali ke Selat Long Island," kata
Grover. "Lantas Chiron bisa membantu kita menggiringnya ke Olympus."
"Tapi ia kan mengikuti aku," ujarnya. "Kalau aku nggak berada di sana, apa dia
akan tahu ke mana ia pergi?"
"Moo," ucap Bessie sedih.
"Aku ... aku bisa tunjukkan padanya," kata Grover. "Aku akan pergi
menemaninya." Aku menatapnya. Grover tak menyukai air. Dia nyaris tenggelam musim panas lalu
di Lautan Para Monster, dan dia tak pandai berenang dengan kaki-kaki
kambingnya. "Aku satu-satunya yang bisa bicara dengannya," kata Grover. "Itu masuk akal."
Grover menunduk dan mengatakan sesuatu di telinga Bessie. Bessie menggigil,
lalu membuat suara lenguhan yang pelang dan tenang.
"Berkah dari Alam Liar," kata Grover. "Itu akan memberikan keselamatan
perjalanan. Percy, berdoalah pada ayahmu, juga. Siapa tahu dia akan memberi
kami keselamatan perjalanan mengarungi lautan."
Aku tak mengerti bagaimana mereka bisa berenang pulang ke Long Island dari
California. Tapi jika dipikir lagi, kaum monster toh tak menempuh perjalanan
seperti kaum manusia. Aku sudah melihat cukup bukti akan hal itu.
Aku berusaha berkonsentrasi pada debur ombak, bau lautan, duara air pasang.
"Ayah," panggilku. "Bantu kami. Bawa Ophiotaurus dan Gorver tiba dengan
selamat di perkemahan. Lindungi mereka di lautan."
"Doa seperti itu membutuhkan seserahan," ujar Thalia. "Sesuatu yang besar."
Aku berpikir sejenak. Kemudian kulepaskan mantelku.
"Percy," kata Grover. "Apa kau yakin" Kulit singa itu ... itu sangat bermanfaat.
Hercules menggunakannya!"
Begitu Grover mengatakan itu, aku tersadar akan sesuatu.
Aku menoleh pada Zo?, yang memandangiku hati-hati. Kusadari aku tahu siapa
pahlawan Zo? itu - pahlawan yang telah menghancurkan hidupnya, membuatnya
didepak dari keluarganya, dan bahkan tak pernah menyebutkan bagaimana Zo?
telah menolongnya: Hercules, pahlawan yang kukagumi sepanjang hidupku.
"Kalau aku akan bertahan hidup," kataku. "aku nggak ingin itu karena aku
mengenakan mantel kulit-singa ini. Aku bukan Hercules."
Kulempar mantel itu ke teluk. Mantel itu berubah kembali menjadi kulit singa
emas, berkilat di bawah cahaya.
Kemudian, begitu ia mulai tertelan ombak, mantel itu tampak buyar ditelan sinar
matahari di air. Semilir angin laut merenggutnya.
Grover menghela napas dalam. "Yah, jangan ada waktu yang terbuang."
Dia melompat memasuki air dan segera tenggelam. Bessie mengambang di
sebelangnya dan membiarkan Grover berpegangan pada lehernya.
"Berhati-hatilah," kataku padanya.
"Kami akan jaga diri," ucap Grover. "Oke, em ... Bessie" Kita akan pergi menuju
Long Island. Itu letaknya di timur. Ke arah sana."
"Moooo?" kata Bessie.
"Iya," jawab Grover. "Long Island. Itu seperti pulau (island) ini. Dan ... ia
panjang (long). Oh, kita mulai jalan saja deh."
"Mooo!" Bessie melesat ke depan. Ia mulai menyelam dan Grover berkata, "Aku nggak bisa
bernapas dalam air! Hanya kepikiran untuk mengingatkan - " Blub!
Mereka pun menukik ke bawah permukaan air, dan aku berharap agar
perlindungan ayahku menyertakan hal-hal kecil, seperti bernapas.
"Yah, satu masalah terpecahkan sudah," ujar Zo?. "Tapi bagaimana kita bisa
sampai ke taman saudari-saudariku?"
"Thalia benar," kataku. "Kita perlu mobil. Tapi nggak ada yang bisa menolong
kita di sini. Kecuali kalau kita, eh, meminjam sesuatu."
Aku tak suka dengan pilihan itu. Maksudku, jelas ini adalah masalah hidupdanmati, tapi tetap saja, itu adalah mencuri, dan perbuatan itu akan membuat
kita disorot. "Tunggu," ujat Thalia. Dia mulai merogoh ke dalam ranselnya. "Ada orang di San
Francisco yang bisa menolong kita. Aku punya alamatnya di sekitar sini."
"Siapa?" tanyaku.
Thalia menarik keluar selembar kertas catatan lecek dan mengacungkannya.
"Profesor Chase. Ayah Annabeth."
Setelah mendengar keluh kesah Annabeth tentang ayahnya selama dua tahun ini,
aku berharap bertemu sosok dengan tanduk dan gigi serupa setan. Aku tak mengira
akan menemuinya dengan mengenakan topi penerbangan model-kuno dan
kacamata anti debu. Dia tampak sangat aneh, dengan bola matanya menonjol
keluar lewat kacamatanya, sehingga kami semua mengambil satu langkah mundur
di serambi depan. "Halo," sapanya dengan nada ramah. "Apa kalian mengantarkan pesawatku?"
Thalia, Zo?, dan aku saling pandang waspada.
"Em, tidak, Pak," kataku.
"Sial," ujarnya. "Aku butuh tiga Sopwith Camel lagi."
"Betul," ujarku, meski aku sama sekali tak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Kami adalah teman-teman Annabeth."
"Annabeth?" Tubuhnya menegak seolah aku baru saja memberinya kejutan listrik.
"Apa dia baik-baik saja" Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Tak satu pun dari kami menjawab, tapi wajah-wajah kami pasti telah
memberitahunya bahwa sesuatu yang sangat salah tengah terjadi. Dia mencopot
topi dan kacamatanya. Dia memiliki rambut pirang seperti Annabeth dan mata
cokelat yang tajam. Dia tampan, kurasa, untuk ukuran pria lebih tua, tapi
sepertinya dia sudah tak bercukur selama beberapa hari, dan kemejanya salah
dikancing, jadi salah satu kerahnya tampak lebih tinggi dari sebelahnya.
"Kalian sebaiknya masuk," katanya.
Rumah itu tidak tampak seperti rumah yang baru saja mereka tempati. Ada
robotrobotan LEGO di anak tangga dan dua kucing tidur di sofa ruang tamu. Meja
kopi dipenuhi tumpukan majalah, dan sebuah mantel dingin anak kecil tergeletak di
lantai. Seluruh ruangan rumah itu berbau kue cokelat yang baru dipanggang. Ada
alunan musik jazz terdengar dari ruang dapur. Rumah itu terlihat seperti rumah
yang berantakan dan penuh kebahagiaan - seperti jenis rumah yang telah ditempati
seumur hidup. "Ayah!" seorang anak laki-laki kecil berteriak. "Dia mencopot-copot
robotrobotku!" "Bobby," panggil Dr. Chase datar, "jangan copoti robot saudaramu."
"Aku Bobby," anak kecil itu protes. "Dia Matthew!"
"Matthew," panggil Dr. Chase, "jangan copoti robot saudaramu."
"Oke, Ayah!" Dr. Chase berpaling pada kami. "Kita ke atas ke ruang kerjaku. Ke sini."
"Sayang?" seorang wanita memanggil. Ibu tiri Annabeth muncul di ruang tamu,
menyeka tangannya pada lap piring. Dia seorang wanita Asia yang cantik dengan
rambut dicat kemerahan terikat dalam sanggul.
"Siapa tamu-tamu kita?" tanyanya.
"Oh," kata Dr. Chase. "Ini adalah ..."
Dia memandangi kami dengan tatapan kosong.
"Frederick," sang wanita menegur. "Kau lupa menanyakan nama-nama mereka?"
Kami memperkenalkan diri kami masing-masing dengan rikuh, tapi Nyonya Chase
tampaknya baik. Dia menanyakan jika kami lapar. Kami mengakui bahwa kami
lapar, dan dia memberi tahu dia akan membawakan kami beberapa potong kue dan
roti isi dan minuman soda.
"Sayang," kata Dr. Chase. "Mereka datang untuk mengabarkan tentang Annabeth."
Aku setengah berharap Nyonya Chase akan berubah mengamuk bila mendengar
dari cerita-cerita Annabeth, tapi dia hanya mengerutkan bibirnya dan tampak
khawatir. "Baiklah. Pergilah ke ruang kerja dan aku akan bawakan kalian
makanan." Dia tersenyum padaku. "Senang berjumpa denganmu, Percy. Aku
sudah mendengar banyak tentangmu."
Di lantai atas, kami berjalan menuju ruang kerja Dr. Chase dan aku berkata,
"Wow!" Ruangan itu dipenuhi buku dari dinding ke dinding, tapi yang benar-benar menarik
perhatianku adalah mainan perangnya. Ada sebuah meja besar dengan tank-tank
miniatur dan kumpulan tentara bertempur di sepanjang sungai yang dicat biru,
dengan bukit-bukit dan pohon-pohon bikinan dan semacamnya. Pesawat-pesawat
bersayap-ganda bergantungan dengan kawat dari langit-langit, dimiringkan dengan
sudut aneh seolah pesawat-pesawat itu sedang di tengah-tengah pertempuran.
Dr. Chase tersenyum. "Benar. Peperangan Ketiga Ypres. Aku sedang menulis
laporan, kalian tahu, tentang penggunaan Sopwith Camel untuk menyerang garis
musuh. Aku percaya mereka memainkan peranan yang jauh lebih besar daripada
yang diakui selama ini."
Dia menarik sebuah pesawat sayap-ganda itu dari talinya dan melayangkannya
melintasi medan perang, membuat suara-suara mesin pesawat selagi dia
menjatuhkan prajurit-prajurit Jerman kecil.
"Oh, benar," kataku. Aku teringat bahwa ayah Annabeth adalah seorang profesor
sejarah militer. Namun, Annabeth tak pernah menyebut-nyebut kalau ayahnya
senang bermain dengan tentara-tentara mainan.
Zo? mendekat dan mempelajari medang perangnya. "Garis tentara Jerman berada
lebih jauh dari sungai."
Dr. Chase memandanginya. "Bagaimana kau bisa tahu itu?"
"Aku ada di sana," ujarnya terus-terang. "Artemis ingin menunjukkan pada kami
betapa buruknya perang itu, cara manusia-manusia saling berperang dengan satu
sama lain. Dan betapa bodohnya, juga. Peperangan hanya berujung kesia-siaan
total." Dr. Chase membuka mulutnya kaget. "Kau - "
"Dia adalah Pemburu, Pak," ujar Thalia. "Tapi bukan itu alasannya kami ke sini.
Kami perlu - " "Kaulihat Sopwith Camel?" ujar Dr. Chase. "Ada berapa banyak dari mereka"
Formasi apa yang mereka bentuk saat terbang?"
"Pak," Thalia menyela lagi. "Annabeth sedang dalam bahaya."
Thalia mendapat perhatiannya. Dr. Chase menurunkan pesawatnya.
"Tentu saja," katanya. "Ceritakan padaku semuanya."
Tak mudah untuk menceritakannya, tapi kami berusaha. Sementara itu, cahaya
senja mulai meredup di luar. Kami nyaris kehabisan waktu.
Saat kami selesai menjelaskan, Dr. Chase merosot di kursi malas kulitnya. Dia
menautkan jari-jarinya. "Annabeth pemberaniku yang malang. Kita harus
cepatcepat." "Pak, kita membutuhkan kendaraan menuju Gunung Tamalpais," ujar Zo?. "Dan
kami membutuhkannya sekarang juga."
"Aku akan mengantar kalian. Hmm, akan lebih cepat untuk terbang dengan
Camelku, tapi kursinya hanya memuat dua orang."
"Wow, kau punya pesawat sayap-ganda sungguhan?" kataku.
"Ada di Lapangan Crissy," ujar Dr. Chase bangga. "Itulah alasan mengapa aku
harus pindah ke sini, sponsorku adalah seorang kolektor swasta yang memiliki
beberapa peninggalan dari Perang Dunia I terhebat di dunia. Dia mengizinkanku
memperbaiki Sopwith Camel - "
"Pak," kata Thalia. "Mobil saja sudah bagus. Dan akan lebih baik kalau kami
pergi tanpa Bapak. Perjalanan ini terlalu berbahaya."
Dr. Chase mengerutkan kening resah. "Sekarang tunggu sebentar, Nak. Annabeth
adalah putriku. Berbahaya ataua tidak, aku ... aku tak bisa hanya - "
"Camilan," seru Nyonya Chase. Dia mendorong pintu membuka dengan membawa
sebuah baki penuh roti lapis selai kacang dan jelly dan Coke dan kue-kue yang
baru diangkat dari oven, butir-butir cokelatnya masih lengket. Thalia dan aku
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghirup aroma beberapa kue sementara Zo? berkata, "Aku bisa menyetir, Pak.
Aku tak semuda kelihatannya. Aku berjanji tak akan menghancurkan mobil Anda."
Nyonya Chase menautkan alisnya. "Tentang apa ini?"
"Annabeth sedang dalam bahaya," ujar Dr. Chase. "Di Gunung Tam. Aku akan
mengantar mereka, tapi ... tampaknya itu bukanlah tempat untuk manusia."
Kedengarannya sulit sekali baginya untuk mengeluarkan kata-kata terakhirnya itu.
Aku menanti Nyonya Chase mengatakan tidak. Maksudku, orangtua manusia
macam apa yang akan membiarkan tiga remaja di bawah umur untuk meminjam
mobil mereka" Betapa terkejutnya aku, Nyonya Chase malah mengangguk. "Kalau
begitu sebaiknya mereka segera pergi."
"Benar!" Dr. Cahse melompat dan mulai menepuk-nepuk sakunya. "Kuncikunciku ..."
Istrinya mendesah. "Frederick, ayolah. Kau sudah akan kehilangan kepalamu jika
saja ia tidak terbungkus di dalam topi pilotmu itu. Kunci-kunci digantung di
papan dekat pintu depan." "Benar!" seru Dr. Chase.
Zo? mengambil satu roti isi. "Terima kasih kalian berdua. Kami harus pergi.
Sekarang." Kami bergesa keluar pintu dan menuruni tangga, Tuan dan Nyonya Chase
menyusul di belakang. "Percy," Nyonya Chase memanggil selagi aku hendak pergi, "bilang pada
Annabeth ... Maukah kau bilang padanya, dia masih memiliki rumah di sini"
Ingatkan itu kepadanya."
Aku mengedarkan pandangan untuk terakhir kalinya pada ruang tamu yang
berantakan, saudara-saudara tiri Annabeth menjatuhkan LEGO dan bertengkar, bau
kue-kue memenuhi udara. Bukan tempat yang buruk, pikirku.
"Akan kusampaikan padanya," janjiku.
Kami berlari menuju mobil VW convertible kuning yang terpakir di jalur halaman
mobil. Matahari makin condong ke barat. Kuduga kami memiliki kurang dari
sejam untuk menyelamatkan Annabeth.
"Tak bisakah mobil ini bergerak lebih cepat lagi?" desak Thalia.
Zo? memelototinya. "Aku nggak bisa mengendalikan kemacetan."
"Kalian berdua terdengar kayak ibuku," kataku.
"Diam!" timpal mereka kompak.
Zo? menyelap-nyelip di tengah kemacetan di Jembatan Golden Gate. Matahari
terbenam di cakrawala saat kami akhirnya tiba di Wilayah Marin dan keluar dari
jalan raya. Jalan-jalan jadi sangat menyempit, berkelok-kelok melewati hutan, menaiki
sisisisi bukit dan mengitari pinggir jurang yang curam. Zo? tak melambat sedikit
pun. "Kenapa semuanya jadi berbau kayak sirup obat batuk?" tanyaku.
"Eucalyptus," Zo? menunjuk pada pohon-pohon besar yang mengelilingi kami.
"Yang dimakan sama koala?"
"Dan monster-monster," ujarnya. "Mereka senang mengunyah daun-daunnya.
Terutama naga." "Naga mengunyah daun-daun eucalyptus?"
"Percayalah padaku," timpal Zo?, "kalau kau punya bau napas naga, kau juga akan
mengunyah eucalyptus."
Aku tak membantahnya, tapi mataku jadi sangat awas memandangi jalanan selagi
kami berkendara. Di depan kami menjulang Gunung Tamalpais. Kurasa, untuk
ukuran gunung-gunung, itu adalah gunung yang kecil, tapi ia tampak sangat besar
saat kami berjalan menujunya.
"Jadi itu yang namanya Gunung Pupus Harapan?" tanyaku.
"Benar," ujar Zo? tegang.
"Mengapa mereka menyebutnya dengan nama itu?"
Zo? bungkam selama satu setengah kilometer perjalanan sebelum menjawab.
"Setelah peperangan antara bangsa Titan dan para dewa, banyak dari bangsa Titan
yang dihukum dan ditahan. Kronos dicincang menjadi beberapa potongan dan
dilempar ke dalam Tartarus. Orang tangan-kanan Kronos, jenderal pasukannya,
ditahan di atas sana, di puncak, tepat di belakang Taman Hesperides."
"Jenderal itu," kataku. Awan-awan tampak berputar mengelilingi puncaknya,
seolah gunung itu menarik mereka, memintalnya seperti pakaian. "Apa yang
terjadi di atas sana" Badai?"
Zo? tak menjawab. Aku merasa dia tahu persis apa arti dari awan-awan itu, dan
dia tidak menyukainya. "Kita harus berkonsentrasi," ujar Thalia. "Kabutnya sangat kuat di sini."
"Kabut yang jenis sihir atau yang alami?" tanyaku.
"Keduanya." Awan-awan kelabu berputar makin tebal mengelilingi gunung, dan kami terus
melaju lurus menujunya. Kami sudah keluar dari hutan sekarang, memasuki
bentangan luas tebing, rerumputan, bebatuan dan kabut.
Aku sempat menoleh ke arah laut selagi kami melintasi lengkungan permai, dan
aku melihat sesuatu yang membuatku terlompat dari kursiku.
"Lihat!" Tapi kami membelok di sudut dan laut pun menghilang di balik
bebukitan. "Apa?" tanya Thalia.
"Kapal putih besar," seruku. "Tertambat di dekat pantai. Kelihatannya seperti
kapal pesiar." Mata Thalia melebar. "Kapal Luke?"
Aku ingin bilang aku tak yakin. Bisa jadi itu hanya kebetulan. Namun aku
menyadari sepenuhnya. Putri Andromeda, kapal pesiar iblis Luke, berlabuh di
pantai. Itu sebabnya dia membawa kapalnya melaju jauh menyusuri Terusan
Panama. Hanya itu satu-satunya jalan untuk berlayar dari Pesisir Timur menuju
California. "Kita akan mendapatkan teman, kalau begitu," ujar Zo? muram. "Tentara Kronos."
Aku baru mau menjawab, saat tiba-tiba rambut-rambut di tengkukku meremang.
Thalia berteriak, "Hentikan mobil. SEKARANG!"
Zo? pasti merasakan ada sesuatu yang salah, karena dia segera menginjak rem
tanpa bertanya. VW kuning itu berputar dua kali sebelum ia berhenti di ujung
tebing. "Keluar!" Thalia membuka pintu dan mendorongku kuat. Kami berdua berguling
ke jalan. Detik berikutnya: BUUUM!
Kilat menyambar, dan Volkswagen Dr. Chase meledak seperti sebuah granat
kuning jernih. Barangkali aku sudah akan tewas oleh pecahan meriam jika tak ada
perisai Thalia yang menaungiku. Aku mendengar suara seperti hujan logam, dan
ketika kubuka mata, kami dikepung oleh potongan-potongan bangkai mobil.
Bagian dari spatbor VW itu menancapkan dirinya sendiri di jalan. Kap mobilnya
yang berasap berputar-putar membentuk lingkaran. Potongan-potongan logam
kuning bertebaran di sekitar jalan.
Aku menelan rasa asap yang memasuki mulutku, dan memandangi Thalia. "Kau
menyelamatkan nyawaku."
"Seorang akan binasa di tangan salah satu orang-tuanya," gumamnya.
"Terkutuklah dia. Dia ingin membinasakanku" Aku?"
Diperlukan sedetik bagiku untuk menyadari dia sedang membicarakan tentang
ayahnya. "Oh, hei, tadi itu nggak mungkin kilatnya Zeus. Nggak mungkin."
"Kilatnya siapa, kalau begitu?" desak Thalia.
"Aku nggak tahu. Zo? menyebut nama Kronos. Mungkin dia - "
Thalia menggeleng, tampak marah dan bingung. "Bukan. Itu bukan dia."
"Tunggu," kataku. "Di mana Zo?" Zo?!"
Kami berdua bangkit dan berlari mengitari bangkai VW yang terbakar. Tak ada
apa pun di dalamnya. Juga tak tampak apa pun di dua sisi jalan. Aku memandang
ke bawah tebing. Tak ada tanda-tanda dirinya.
"Zo?!" aku berteriak memanggil.
Kemudia dia berdiri tepat di sebelahku, menarik lenganku. "Diam, bodoh! Apa kau
ingin membangunkan Ladon?"
"Maksudmu kita sudah sampai?"
"Sudah sangat dekat," katanya. "Ikuti aku."
Lembar-lembar kabut melintas di depan jalan. Zo? melangkah menembus salah
satu lapisan kabut itu, dan saat kabut itu lewat, dia tak lagi ada di sana.
Thalia dan aku saling pandang. "Konsentrasi pada Zo?," Thalia menasihati. "Kita mengikutinya. Berjalan tembus
melewati kabut dan konsentrasilah."
"Tunggu, Thalia. Tentang apa yang terjadi waktu di dermaga tadi ... Maksudku,
dengan manticore dan pengorbanan itu - "
"Aku nggak mau membicarakannya."
"Kau tentu nggak akan mau ... kau tahu?"
Dia tampak ragu. "Aku hanya terguncang. Itu saja."
"Bukan Zeus yang mengirim petir ke mobil kita. Itu adalah Kronos. Dia berusaha
memanipulasimu, membuatmu marah pada ayahmu."
Thalia menghela napas dalam. "Percy, aku tahu kau berusaha membuatku lebih
tenang. Makasih. Tapi ayolah. Kita harus pergi."
Dia melangkah ke dalam kumpulan embun, memasuki Kabut, dan aku mengikuti.
Saat kabut menghilang, aku masih berdiri di sisi gunung, tapi jalan beraspal
tadi berubah jadi tanah. Rerumputannya lebih tebal. Panorama matahari tenggelam-nya
menampilkan sayatan merah darah di balik laut. Puncak gunung terlihat lebih
dekat sekarang, dikitari dengan awan-awan badai dan tenaga mentah. Hanya ada satu
jalan menuju puncak, tepat di hadapan kami. Dan jalan itu melewati padang
rumput lebat dengan bayang-bayang dan bunga-bunga: taman senjakala, persis
seperti yang kulihat dalam mimpiku.
Jika bukan karena adanya naga raksasa, taman itu akan menjadi tempat terindah
yang pernah kulihat. Rerumputannya berkilat dengan cahaya malam keperakan,
dan bunga-bunganya berwarna-warni terang sehingga mereka tampak bersinar di
kegelapan. Batu-batu pijakan pualam hitam licin mengarak ke dua sisi dari pohon
apel setinggi lima lantai, setiap dahannya berkerlap-kerlip dengan apel-apel
emas, dan maksudku bukanlah apel-apel berwarna kuning seperti yang akan kautemui di
supermarket. Maksudku adalah apel-apel emas sungguhan. Aku tak bisa
menjelaskan mengapa apel-apel itu begitu memikat, tapi begitu aku menghirup
aromanya, aku tahu bahwa satu gigitan akan menjadi gigitan terlezat yang pernah
kurasakan seumur hidup. "Apel-apel keabadian," kata Thalia. "Hadiah pernikahan Hera dari Zeus."
Aku ingin langsung mendekatinya dan memetik sebuah, jika saja tak ada naga
Ramuan Ajaib 2 Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Han Bu Kong 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama