My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 12
salahnya sesuatu, kita keturunan Adam masih saja bisa meraih kesenangan darinya.
Dan aku malu mengatakan bahwa aku juga merasa terhibur oleh gambargambar murahan
itu, cara mereka menirunya, dan kisahkisah tentang Setan, uang emas, dan anjing
yang diceritakan si pendongeng dengan kasar, tanpa peduli aturan puisi atau
rima," "Lalu, mengapa kau tetap menjejakkan kaki di sarang orangorang tak beriman itu?"
"Baiklah, kalau begitu," ujarku mengalah pada sebuah suara dari hati kecilku,
"sesekali ada seekor cacing peragu yang menggerogoti batinku: Sejak aku dikenal
luas sebagai seniman paling berbakat dan paling cakap di antara para empu di
bengkel seni itu, tidak hanya oleh Tuan Osman, melainkan juga menurut Sultan
kita, aku mulai dihantui ketakutan akan iri dengki para seniman lain. Maka, aku
berusaha sesekali mendatangi tempat mereka bisaa berkunjung untuk berteman dan
menyerupai mereka, sehingga mereka tak menoleh ke arahku dengan segudang dendam
dan kebencian. Kau paham" Dan sejak mereka mulai menjulukiku 'Erzurumi,1 aku
sering mendatangi sarang orangorang tak beriman yang menjijikkan itu untuk
meredakan gunjingan tersebut."
"Menurut Tuan Osman, kau sering bertingkah seakanakan kau meminta maaf atas
bakat dan kecakapanmu."
"Apa lagi yang dikatakannya tentang diriku?"
"Bahwa kau melukis dengan menggelikan, membuat gambargambar mungil di atas
butiran beras dan ujung kuku, agar yang lainnya teryakinkan betapa kau hanya
hidup untuk seni. Ia berkata kau selalu berusaha menyenangkan yang lain karena
kau merasa malu oleh anugerah luar bisaa yang dikurniakan Allah kepadamu."
"Tuan Osman setingkat dengan Bihzad," tambahku dengan tulus. "Apa lagi?"
"Ia menyebutkan kesalahan-kesalahanmu tanpa ragu," ujar si begundal.
"Kalau begitu, mari kita dengar apa saja kesalahanku
itu." "Ia berkata bahwa di luar bakatmu yang luar biasa, kau melukis bukan untuk
kecintaanmu pada seni, melainkan demi menyenangkan dirimu sendiri. Misalnya, yang paling menggerakkanmu
ketika melukis adalah membayangkan kesenangan yang akan dirasakan seorang
penikmat seni yang melihatnya, padahal seharusnya kau melukis untuk kesenangan
melukis itu sendiri."
Hatiku membara mendengar betapa Tuan Osman sedemikian berani mengungkap apa yang
dipikirkannya tentang diriku kepada seorang lelaki tak berjiwa, seseorang yang
mengabdikan hidupnya bukan pada seni, melainkan untuk menjadi seorang kerani
yang menulis suratsurat dan sanjungan hampa.
Hitam meneruskan kalimatnya, "Empu-empu agung zaman lampau, menurut Tuan Osman,
tidak akan pernah meninggalkan gaya dan metode yang mereka tumbuh kembangkan
melalui pengorbanan diri terhadap seni hanya untuk kekuasaan shah yang baru,
cambukan seorang pangeran baru, atau selera sebuah zaman baru. Oleh karena itu,
untuk menghindari pemaksaan mencipta karya seni bukan berdasarkan gaya dan
metode mereka sendiri, dengan gagah berani mereka memilih membutakan diri.
Sementara itu, dengan bersemangat dan tak tahu malu kau menjiplak para empu
Eropa untuk halamanhalaman buku Enishte dengan alasan itu adalah kehendak
Sultan." "Kepala Iluminator Tuan Osman yang agung pasti tak bermaksud buruk dengan semua
ini," sahutku. "Izinkan aku menyiapkan teh limau panas untukmu, tamuku yang
budiman." Aku masuk ke ruang penghubung. Kekasihku melemparkan ke atas kepalaku gaun malam
dari sutra Cina yang sedang dikenakannya yang dibelinya dari Esther si penjaja
pakaian, lalu dengan mengejek dia mulai meniru kalimatku, "Izinkan aku
menyiapkan teh limau panas
untukmu, tamuku yang budiman," seraya meletakkan tangannya pada kejantananku.
Aku mengeluarkan pedang dengan gagang berhias batu akik yang kusembunyikan di
antara sprei beraroma mawar di dasar peti yang terletak di atas lantai dekat
kasur gulung kami yang dengan penuh harap telah dibentangkan oleh istriku. Aku
mengeluarkan senjata itu dari sarungnya. Ujungnya begitu tajam, sehingga jika
kau melemparkan sehelai sapu tangan sutra ke atasnya, pedang itu dengan mudah
akan merobeknya. Jika kau meletakkan selembar kertas emas di atasnya, tepian
kertas yang terobek oleh ujung pedang ini akan tampak lurus seperti dipotong
dengan bantuan penggaris.
Dengan menyembunyikan pedang itu sebisaku, aku kembali ke dalam bengkel seniku.
Hitam Effendi begitu senang dengan pertanyaannya terhadapku, sehingga ia masih
saja mengelilingi bantal merah itu dengan belati terhunus, Aku meletakkan
selembar ilustrasiku yang baru kuselesaikan separuh di atas bantal alas duduk
itu. "Lihatlah ini," kataku. Ia berlutut karena penasaran, mencoba memahami
lukisan itu. Aku melangkah ke belakang tubuhnya, menarik pedangku, dan dengan satu gebrakan
merubuhkan lelaki itu ke lantai, menindihnya dengan berat badanku. Belatinya
terlontar. Seraya mencekal rambutnya, aku mendorong kepalanya kuat kuat ke
lantai dan menekankan pedangku ke lehernya dari bawah. Aku menengkurapkan tubuh
Hitam dan menindihnya dengan tubuhku yang berat. Dengan dagu dan satu tanganku
yang bebas kutekan kepalanya hingga nyaris menyentuh mata pedang yang tajam.
Sebelah tanganku mencengkeram rambut kotornya, tangan lainnya
menggenggam pedang dan menekankannya ke kulit lehernya yang lembut. Dengan bijak
ia sama sekali tidak bergerak, karena aku bisa saja menghabisinya di tempat itu
seketika. Sedekat ini dengan rambut keritingnya, dengan bagian belakang
lehernya yang akan mendatangkan tamparan penghinaan jika dilakukan di ?kesempatan lain dan dengan telinganya yang jelek, semakin membakar amarahku.
?"Aku mengerahkan seluruh pengendalian diriku agar tidak menghabisimu secepat
ini," bisikku ke telinganya, seakanakan sedang membocorkan sebuah rahasia.
Aku senang ia mendengarkanku bagai seorang anak kecil yang patuh tanpa bersuara
sedikit pun. "Kau akan mengenali legenda ini dari Kitab Para Raja," bisikku
lirih. "Feridun Shah berbuat kesalahan dengan mewariskan sebagian wilayah
negerinya yang paling buruk pada kedua putra tertuanya, sedangkan yang terbaik,
Persia, diberikan pada Iraj, si bungsu. Tur, yang dibakar api dendam, memperdaya
adiknya, Iraj, yang amat dicemburuinya itu, Sebelum menggorok leher Iraj, ia
mencekal rambutnya tepat seperti yang sedang kulakukan saat ini dan menindih
tubuhnya dengan seluruh bobot tubuhnya. Apakah kau merasakan bobot tubuhku?"
Ia tidak menyahut, tetapi dari matanya yang menatap kosong bagai seekor anak
domba kurban, aku tahu ia mendengarkanku. Tibatiba saja aku mendapat ilham,"Aku
tidak hanya setia pada gaya dan metode Persia dalam melukis, tetapi juga yang
paling maju dalam bidang itu. Aku pernah melihat versi lain adegan paling
digemari yang menceritakan kematian Shah Siyavush."
Aku menjelaskan pada Hitam yang mendengarkan dengan diam, bagaimana Siyavush
bersiapkan membalas dendam pada saudaranya, bagaimana ia membakar dan meratatanahkan seluruh istana,
semua harta benda dan miliknya, bagaimana ia dengan amat menyesal berpisah dari
istrinya, menaiki kuda jantannya dan pergi ke medan perang, bagaimana ia kalah
dalam peperangan tersebut dan diseret rambutnya sepanjang tanah sebelum
dibaringkan dengan wajah menelungkup "tepat seperti kau saat ini," dan bagaimana
sebilah pedang ditekan ke tenggorokannya, bagaimana timbul perselisihan antara
kawan-kawannya dan musuhnya tentang apakah mereka akan membunuhnya atau
membebaskannya, dan bagaimana raja yang kalah itu, dengan wajah mencium tanah,
mendengarkan pasukan yang menawannya. Lalu aku bertanya padanya, "Apakah kau
menyukai ilustrasi itu" Geruy muncul di belakang Siyavush, seperti yang
kulakukan padamu, menindih tubuhnya, meletakkan pedangnya ke leher lelaki itu,
mencengkram segenggam rambutnya, dan menyembelih tenggorokannya. Darahmu yang
merah akan segera mengucur, membuat debu hitam meruap dari tanah kering yang di
atasnya nanti setangkai bunga akan merekah."
Aku terdiam dan dari jalan di kejauhan kami bisa mendengar gerombolan Erzurumi
berteriak-teriak sambil berlari. Teror di luar sana seketika menyentakkan kami
berdua, yang sedang bertindihan, menjadi lebih dekat.
"Namun, dalam semua lukisan itu," tambahku, seraya menarik rambut Hitam lebih
keras, "orang bisa merasakan betapa sulitnya menggambar dengan elok dua orang
lelaki yang saling merendahkan meski tubuhnya, seperti kita, menjadi satu,
Seakan akan kekacauan pengkhianatan, dengki, dan peperangan yang terjadi tepat
sebelum saat pemancungan yang magis dan menakjubkan itu telah
meresap sepenuhnya dalam lukisanlukisan tersebut. Bahkan para empu besar dari
Kazvin sekalipun kesulitan menggambarkan dua orang lelaki yang saling
bertindihan. Mereka bingung atas segalanya. Sementara itu, kau dan aku, lihatlah
sendiri, menjadi lebih erat dan indah."
"Pedang ini menggoresku," erangnya.
"Aku sangat tersentuh dengan kata-katamu yang santun, kawan, tetapi itu tidak
terjadi. Aku sangat berhatihati. Aku tak akan melakukan sesuatu yang bisa
merusak keindahan posisi tubuh kita. Dalam adegan percintaan, kematian, dan
peperangan, di mana para empu hebat zaman dulu menggambarkan tubuhtubuh yang
saling melilit seakan menyatu, mereka mampu memeras air mata kita. Lihatlah
sendiri: Kepalaku tergolek di atas tengkukmu seperti bagian tubuhmu sendiri. Aku
bisa mencium bau rambutmu dan aroma lehermu. Kaki-kakiku, di kedua sisi tubuhmu,
terentang selaras dengan kaki-kakimu, sehingga seseorang yang melihat akan salah
menilai kita sebagai seekor hewan elok berkaki empat. Bisakah kau merasakan
seimbangnya berat badanku di punggung dan pantatmu?" Hening lagi, tetapi aku
tidak menekan pedangku ke atas, karena itu akan menggorok lehernya. "Jika kau
tidak mau bicara, aku bisa saja terdorong untuk menggigit telingamu," ujarku,
berbisik lirih di telinganya.
Ketika kuperhatikan matanya yang menunjukkan kesiapannya berbicara, aku kembali
bertanya, "Bisakah kau merasakan keseimbangan bobot tubuhku di atas tubuhmu?"
"Ya." "Apakah kau menyukainya?" tanyaku. "Apakah kita indah?" desakku, "Apakah kita
seindah pahlawan - pahlawan legendaris yang saling bantai dengan eloknya dalam karya-karya besar
para empu zaman dulu?"
"Aku tidak tahu," sahut Hitam. "Aku tak bisa melihat kita di depan cermin."
Ketika kubayangkan bagaimana istriku melihat kami dari kamar lain diterangi
cahaya lampu minyak kedai kopi yang tergeletak di lantai dalam jarak tak begitu
jauh, kurasa aku telah sungguhsungguh mengigit telinga Hitam karena terlalu
bergairah. "Hitam Effendi, kau yang telah memaksa masuk ke rumahku dan mengganggu ruang
pribadiku untuk menanyaiku dengan ancaman belati," tuduhku, "apakah kini kau
bisa merasakan kekuatanku?"
"Ya, aku juga bisa merasakan bahwa kau benar."
"Kalau begitu lanjutkan, sekali lagi, tanyakan padaku apa yang ingin
kauketahui." "Ceritakan bagaimana Tuan Osman membelaimu."
"Sebagai seorang murid, aku memang sangat lentur, lembut, dan tampan dibanding
diriku sekarang, dan ia menindihku saat itu seperti aku menindihmu. Ia akan
membelai tanganku, sesekali ia bahkan menyakitiku, tetapi karena aku sedang
terpukau oleh keahlian, bakat, dan kekuatannya, yang ia lakukan padaku justru
membuatku senang. Aku tidak pernah merasa sakit hati terhadapnya, karena aku
mencintainya. Mencintai Tuan Osman membuatku mampu mencintai seni, warna,
kertas, keindahan lukisan dan hiasan, dan segala yang digambar, dan dengan
demikian cinta pada dunia itu sendiri dan Tuhan. Tuan Osman lebih dari seorang
ayah bagiku." "Apakah ia sering memukulimu?" tanyanya.
"Sebagai ayah, ia memukulku dengan wajar dan adil. Sebagai empu, ia memukuliku
dengan amat menyakitkan agar aku bisa belajar dari hukuman yang kuterima. Syukurlah, berkat rasa sakit
dan ketakutan terhadap sepotong penggaris yang akan merajam kuku-kuku jariku,
aku mempelajari banyak hal lebih baik dan lebih cepat daripada jika aku
mempelajarinya sendirian. Maka, ia tak akan mencengkram rambutku dan
menghantamkan kepalaku ke dinding saat aku masih menjadi murid. Aku tidak pernah
menumpahkan cat, tidak pernah menghambur hamburkan emas untuk menyepuh, cepat
mengingat misalnya bentuk lengkung kaki depan seekor kuda, menutupi kesalahan ?empu pembuat garis pembatas, membersihkan kuas secara teratur, dan memusatkan
perhatian terhadap lembaran kertas di hadapanku, Karena aku berutang bakat dan
keempuanku pada pukulan-pukulan yang kuterima, sebagai balasannya aku memukuli
murid-muridku tanpa merasa bersalah. Lagi pula, aku tahu bahkan sebuah pukulan
yang dijatuhkan tanpa alasan apa pun, jika tak menghancurkan semangat si murid,
pasti akan menguntungkannya kelak."
"Meski demikian, kau paham bahwa ketika memukuli seorang murid berwajah tampan
dengan mata yang manis, lambat laun kau akan terhanyut dan menikmatinya. Tahukah
kau, Tuan Osman mungkin mengalami perasaan yang sama denganmu?"
"Terkadang ia akan mengambil batu pualam untuk memoles dan menghantamkannya
sekuat tenaga ke belakang telingaku, sehingga telingaku berdenging selama
berharihari, dan aku akan berjalan setengah sempoyongan. Terkadang ia akan
menamparku begitu keras sehingga selama berminggu-minggu pipiku terasa sakit,
cukup untuk membuatku menangis tanpa henti. Aku tak akan melupakannya, meski aku
tetap akan mencintainya." "Tidak," tukas Hitam, "kau amat marah padanya. Kau membalas dendam atas
kemarahan yang diamdiam menumpuk dalam dirimu dengan membuat ilustrasi untuk
buku Enishteku," "Justru sebaliknya. Pukulan-pukulan yang diterima seorang murid dari empunya
akan mengikatnya dengan sang empu dalam sebuah penghormatan yang dalam hingga ia
mati." "Pemenggalan keji leher Iraj dan Siyavush dari belakang, seperti yang sedang kau
lakukan padaku, timbul dari persaingan antar saudara, dan persaingan antar
saudara selalu lahir dari seorang ayah yang berlaku tidak adil, sebagaimana yang
tersurat dalam Kitab Para Raja."
"Benar." "Ayah tak adil dari kalian para empu miniaturis, orang yang membuat kalian
saling menggorok, saat ini sedang bersiap mengkhianati kalian," ujarnya dengan
mantap. "Ah, kumohon padamu, pedang ini menggoresku," rengeknya. Ia memekikkan
rasa sakitnya selama beberapa saat. Kemudian ia meneruskan kalimatnya, "Benar,
menggores tenggorokanku dan menumpahkan darahku seperti seekor domba kurban
memang mudah, tetapi jika kau melakukannya tanpa mendengarkan penjelasanku
menurutku kau juga tak akan melakukannya, ah, kumohon, cukup kau akan terus
?bertanyatanya apa yang akan kukatakan. Kumohon, jauhkan pedang ini sedikit
saja." Aku melakukannya. "Tuan Osman yang mengikuti setiap perkembanganmu dan
setiap desah napasmu sejak kau kanakkanak, yang dengan bahagia mengamati bakat
kurnia Tuhan bagimu berkembang menjadi kemahiran seni bagai sekuntum bunga musim
semi di bawah pengasuhannya, kini telah berpaling darimu untuk menyelamatkan bengkel
seni dan gaya melukisnya, dua hal tempat ia mengabdikan hidupnya."
"Aku menceritakan tiga perumpamaan padamu di hari kita menguburkan Elok Effendi
agar kautahu betapa menjijikkannya sesuatu yang mereka sebut 'gaya' ini."
"Kisahkisah itu menyangkut gaya pribadi seorang miniaturis," tutur Hitam dengan
hatihati, "sedangkan Tuan Osman memikirkan gaya bagi seluruh bengkel seni."
Ia menjelaskan betapa Sultan sangat ingin menemukan pembunuh Elok Effendi dan
Enishte, betapa beliau mengizinkan mereka memeriksa Ruang Penyimpanan Harta
sampai selesai dan betapa Tuan Osman menggunakan kesempatan ini untuk menghambat
buku Enishte, dan menghukum mereka yang telah mengkhianatinya dengan meniru gaya
melukis orang Eropa. Hitam menambahkan, berdasarkan gaya lukisannya, Tuan Osman
mencurigai Zaitun yang bertanggung jawab dalam menggambar kuda dengan cuping
hidung terpotong, Namun, sebagai Kepala Iluminator, ia meyakini kesalahan Bangau
dan akan menyerahkannya ke tangan para algojo. Aku bisa merasakan ia berkata
benar di bawah tekanan pedangku, dan aku merasa ingin menciumnya karena ia
berterus terang seperti seorang anak kecil. Yang kudengar sama sekali tak
membuatku cemas, Jika Bangau dienyahkan, maka akulah yang akan menjadi Kepala
Iluminator setelah kematian Tuan Osmansemoga Tuhan memberinya umur panjang.
Aku tidak terganggu oleh apa yang menurutnya akan terjadi, melainkan oleh
kemungkinan bahwa itu tak bakal terjadi. Menyimak cerita Hitam, aku mampu
menyimpulkan bahwa Tuan Osman tidak hanya bersedia mengorbankan Bangau, melainkan juga
diriku. Mempertimbangkan kemungkinan yang luar bisaa ini, jantungku berdegup
kencang dan membuatku ngeri layaknya seorang anak kecil yang merasa
ditelantarkan karena tibatiba saja kehilangan ayahnya. Setiap kali pikiran itu
hinggap di benakku, aku harus menahan diri untuk tidak menggorok Hitam. Aku
tidak berusaha memperdebatkan masalah itu dengan Hitam atau diriku sendiri:
Mengapa kenyataan bahwa kami membuat beberapa ilustrasi bodoh yang terilhami
karya para empu Eropa telah merendahkan martabat kami hingga ke tingkat seorang
pengkhianat" Sekali lagi, kupikir Bangau dan Zaitun berada di balik kematian
Elok dan mereka bersiasat untuk melawanku. Aku mengangkat pedang itu dari
tenggorokan Hitam. "Ayo kita pergi ke rumah Zaitun dan menggeledahnya," ujarku. "Jika lukisan
terakhir itu ada padanya, setidak-tidaknya kita akan tahu siapa yang harus
ditakuti. Jika tidak, kita akan mengajaknya bersama kita sebagai dukungan dan
pergi menggeledah rumah Bangau."
Kukatakan padanya agar memercayaiku dan bahwa belatinya bisa menjadi senjata
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang cukup untuk kami berdua. Aku meminta maaf karena tidak menawarinya the
limau. Saat aku mengangkat lampu minyak itu dari lantai, kami berdua menatap
penuh arti ke arah bantal alas duduk tempat aku tadi menindihnya. Kudekati ia
dengan lampu di tanganku dan berkata betapa goresan pedang di tenggorokannya
yang hampir tak terlihat itu akan menjadi tanda untuk persahabatan kami. Ia
hanya berdarah sedikit saja.
Keributan yang dibuat oleh gerombolan Erzurumi dan mereka yang mengejarnya masih
terdengar di jalanan, tetapi tak seorang pun memerhatikan kami. Kami segera tiba di rumah Zaitun. Kami
mengetuk pintu gerbang halamannya, pintu rumahnya, dan dengan tak sabar
menggedor daun jendelanya. Tak ada seorang pun di rumah itu. Kami cukup ribut
sehingga kami yakin ia tidak mungkin sedang tidur. Hitam menyuarakan apa yang
kami pikirkan, "Apakah kita akan masuk saja?"
Aku memutar putaran logam kunci pintu menggunakan ujung tumpul belati Hitam,
lalu memasukkannya ke ruang di antara pintu dan kusennya, dan mengumpilnya
dengan bertumpu pada bobot badan kami berdua sehingga merusak kuncinya. Kami
disambut oleh bau lembab, debu, dan kesunyian yang telah menumpuk bertahuntahun.
Dengan diterangi cahaya lampu, kami melihat sebuah kasur yang belum dirapikan,
selempangselempang yang dilemparkan seenaknya di atas bantal alas duduk, rompirompi, dua buah turban, kaus dalam, kamus bahasa Persia karya Nimetullah
Effendi, sebuah dudukan turban dari kayu, sehelai kain tenun, jarum dan benang,
sebuah panci kecil dari tembaga yang penuh kulit apel, beberapa bantal, sebuah
penutup kasur dari beludru, celana-celana panjang, kuas, dan semua
persediaannya. Aku ingin sekali mengobrak-abrik kertas tulisnya, selapis demi
selapis kertas Hindustani yang dipangkas rapi, dan halamanhalaman bergambar di
bangku kecilnya, tetapi aku menahan diri karena Hitam lebih bersemangat dariku,
juga karena aku tahu seorang empu miniaturis akan bernasib buruk jika ia
menggeledah harta benda milik miniaturis lain yang kurang berbakat darinya.
Zaitun tidak seberbakat kelihatannya, ia hanya bersemangat. Ia berupaya menutupi
kekurangan bakatnya dengan kekagumannya pada empu-empu zaman dahulu.
Legenda-legenda tua hanya akan membangkitkan imajinasi seorang seniman, tangan
sang senimanlah yang membuat sebuah lukisan.
Ketika Hitam menggeledah secermat mungkin semua peti dan kotak di ruangan itu,
hingga memeriksa dasar keranjang cucian, tanpa menyentuh apa pun aku memandangi
handuk dari Bursa milik Zaitun, sisir kayu hitamnya, handuk mandi kecilnya yang
kotor, botol-botol air mawarnya, sehelai apron menggelikan dengan sebuah pola
cap India, jaket rajut, sebuah jubah perempuan yang kotor dan berat dengan satu
bukaan, sebuah baki tembaga yang sudah penyok, karpetkarpet kotor dan perabotan
murahan lainnya yang tidak sebanding dengan uang yang didapatnya. Entah Zaitun
memang kikir dan tak senang menghamburkan uangnya, atau ia sedang menggunakan
uangnya untuk sesuatu ....
"Rumah seorang pembunuh, tepat sekali," ujarku kemudian. "Bahkan tak ada
selembar sajadah pun." Namun, bukan itu yang sedang kupikirkan. Aku sedang
memusatkan pikiran. "Ini semua adalah harta benda seorang lelaki yang tak tahu
bagaimana caranya berbahagia ..." kataku. Meski, di satu sudut dalam relung
hatiku, dengan sedih aku memikirkan betapa penderitaan dan kedekatan dengan
Setan akan memupuk mutu lukisan.
"Meski tahu apa yang harus dilakukan untuk merasakan kepuasan, seorang lelaki
bisa saja tetap merasa tak bahagia," tukas Hitam.
Ia meletakkan di depanku serangkaian lukisan yang dibuat di atas kertas
Samarkand kasar yang dialasi lembaran-lembaran berat yang ia ambil dari dasar
sebuah peti. Kami mempelajari gambargambar itu: sesosok Setan yang indah jauh
dari Khurasan muncul dari bawah tanah,
sebatang pohon, seorang perempuan cantik, seekor anjing, dan gambar Malaikat
Maut yang kulukis sendiri. Ini adalah gambargambar yang digantungkan setiap
malam oleh si pendongeng yang terbunuh itu saat ia menceritakan kisahkisah
memalukan dari setiap gambar tersebut. Terdorong oleh pertanyaan Hitam, aku
menunjuk gambar malaikat maut yang kubuat.
"Gambar yang sama ada dalam buku Enishte," ujarnya.
"Si pendongeng dan pemilik kedai kopi menyadari manfaat menyuruh para miniaturis
menggambar ilustrasiilustrasi itu setiap malam. Si pendongeng akan meminta salah
satu di antara kami menggambar dengan cepat sebuah ilustrasi di atas salah satu
kertas kasar ini, bertanya sedikit tentang cerita itu pada kami dan tentang
lelucon kami, dan menambahkan bahan cerita karangannya sendiri, lalu mengawali
pertunjukan malamnya."
"Mengapa kau membuat gambar Malaikat Maut yang sama untuknya dengan yang
kaugambar untuk buku Enishteku?"
"Berdasarkan permintaan si pendongeng, gambar itu adalah sosok satusatunya di
halaman itu. Tetapi, aku tidak menggambarnya dengan perhatian dan upaya yang
sama dengan yang kulakukan untuk buku Enishte. Aku menggambarnya dengan cepat,
membiarkan tanganku menggambar sesukanya. Para miniaturis lainnya, mungkin
mencoba bersikap nakal, menggambar untuk si pendongeng dengan cara yang lebih
kasar dan lebih sederhana daripada yang mereka lakukan untuk buku rahasia itu."
"Siapakah yang menggambar kuda dengan hidung terpotong?" tanyaku.
Seraya merendahkan lampu, kami menyaksikan kuda itu dengan takjub. Kuda itu
menyerupai kuda yang dibuat untuk buku Enishte, tetapi digambar lebih cepat,
lebih sembrono, dan menandakan citarasa yang lebih bersahaja, seakanakan
seseorang tak hanya membayar murah sang ilustrator dan menyuruhnya bekerja lebih
cepat, tetapi juga memaksanya membuat seekor kuda yang lebih kasar dan lebih
menyerupai kuda sungguhan.
"Bangau yang paling tahu siapa pembuat kuda ini," kataku. "Ia adalah seorang
bodoh yang tak bisa melewatkan hari tanpa mendengarkan gunjingan di antara para
miniaturis, sehingga ia mengunjungi kedai kopi setiap malam. Ya, hampir pasti,
Bangaulah yang menggambar kuda ini."[]
Bab 56 AKU DINAMAI"BANGAU yf2"W KUPU-KUPU DAM Bangau tiba datang di tengah :?" 'y. malam. Mereka menggelar
gambargambar di lantai ;t> 'y* di hadapanku, dan memintaku mengatakan pada
msreka siapa membuat ilustrasi apa. Ini mengingatkanku pada permainan "Turban
Milik Siapa" yang bisaa kami mainkan semasa kanakkanak: Kau menggambar beragam
ikat kepala seorang hoja, seorang tentara pasukan berkuda, seorang hakim,
seorang algojo, seorang kepala bendahara, dan seorang sekretaris, dan mencoba
mencocokkan mereka dengan namanama yang berkaitan yang tertulis pada lembaran
kertas di baliknya. Aku mengatakan pada mereka bahwa aku sendirilah yang menggambar anjing. Kami
menceritakan kisahnya pada sang pendongeng. Aku mengatakan bahwa Kupukupu, yang
menyorongkan sebilah belati ke tenggorokanku diterangi cahayalampu yang
bergoyang riang, pastilah yang menggambar Malaikat Maut. Aku teringat bahwa
Zaitun menggambar Setan dengan penuh semangat yang kisahnya tersebar melalui
mendiang sang pendongeng. Aku mengawali menggambar pohon yang daun-daunnya
digambar oleh kami semua yang datang ke kedai kopi malam itu, Kami juga
menceritakan kisah itu. Begitu pula dengan Merah: Tinta merah memercik di atas
sebuah halaman kertas dan pendongeng kikir itu bertanya
apakah kami bisa membuat gambar dari percikan warna merah itu. Kami meneteskan
lebih banyak lagi warna merah ke atas halaman itu, lalu masingmasing di anatra
kami membuat sketsa gambar sesuatu yang merah di sebuah sudut dan menceritakan
kisah gambar itu sehingga si pendongeng bisa menceritakannya kembali. Zaitun
yang membuat kuda indah di sini terpujilah bakatnya dan kurasa Kupukupu yang ? ?menggambar perempuan yang murung. Baru kemudian Kupukupu mengalihkan belati dari
tenggorokanku dan mengatakan pada Hitam bahwa, ya, ia kini ingat dirinyalah yang
menggambar perempuan itu. Kami semua ikut urun menggambar uang emas di pasar dan
Zaitun, seorangb keturunan tarekat sufi Kalenderi, menggambar dua orang darwis.
Sekte Kalenderi berdasar pada sodomi terhadap para lelaki muda dan mengemis, dan
Syekh mereka, Evhad-iid Dini Kirmani menulis kitab suci sekte itu 250 tahun
lampau, mengungkap dalam sebuah puisi bahwa ia melihat kesempurnaan Tuhan
mengejawantah dalam wajahwajah rupawan.
Aku meminta maaf pada kedua saudaraku sesama seniman karena rumah kami yang
berantakan, memberi alasan bahwa kami tidak siap menerima kunjungan, dan aku
berkata pada mereka betapa aku minta maaf karena kami tak bisa menawari mereka
kopi wangi atau jeruk manis sebab istriku sedang tidur di ruang dalam. Aku
mengatakan hal ini agar mereka tak memaksa masuk ke ruang dalam dan aku tak
perlu menyebabkan malapetaka berdarah terhadap mereka apabila mereka tak
menemukan apa yang mereka cari di antara kanvas-kanvas, kain seluar, selendang
musim panas dari sutra India, kain muslin yang indah, kain cita Persia, dan
jubah panjang di dalam keranjang dan kopor-kopor yang ingin mereka geledah, di bawah permadani
dan bantal-bantal, di antara halamanhalaman yang dihias untuk berbagai buku yang
belum selesai, dan dalam halamanhalaman buku yang telah dijilid.
Namun, aku harus mengakui bahwa aku merasa senang dengan bertingkah seakanakan
aku takut terhadap mereka. Keterampilan seorang seniman bergantung pada memaknai
masa kini dengan teliti, memelihara segala hal dengan sungguhsungguh hingga
detail paling kecil, sementara pada saat yang sama mengundurkan diri dari dunia
ini dan seakanakan menatap ke dalam cermin, membiarkan adanya jarak dan
kepandaian mengungkap lelucon.
Karena itu, berdasarkan pertanyaan mereka, aku mengatakan bahwa, ya, ketika para
pengikut Erzurumi memulai serangan mereka, saat itu terdapat kerumunan sekitar
empat puluhan orang di kedai kopi itu seperti malammalam lainnya, termasuk
diriku semdiri, Zaitun, Nasir si ahli gambar, Jemal si penulis kaligrafi, dua
pembantu ilustrator muda, para penulis kaligrafi muda yang kini menghabiskan
siang dan malam mereka dengan orangorang itu, Rahmi sang murid magang yang
ketampanannya tiada banding, beberapa muka baru yang tampan, enam atau tujuh
lelaki yang tergabung dalam rombongan para penyair, para pemabuk dan pecandu
hasis, serta para darwis dan orangorang lain yang dengan licik membujuk pemilik
kedai kopi agar mengizinkan mereka bergabung dengan kelompok yang riang dan
Jenaka ini. Aku menjelaskan betapa kebingungan merajalela begitu serangan itu
dimulai. Ketika kerumunan para penonton yang berkumpul dekat pemilik kedai untuk
mendengarkan hiburan cabul mulai bubar dengan panik, tak seorang pun berpikir
untuk mempertahankan diri atau melindungi pendongeng tua malang yang berpakaian
seperti perempuan. Apakah aku bersedih atas musibah ini" "Ya! Aku, Mustafa si
pelukis, juga dikenal sebagai 'Bangau1, yang sungguhsungguh mengabdikan seluruh
hidupku pada seni iluminasi, merasa perlu duduk bersama para saudaraku sesama
seniman setiap malam dan mengobrol, bergurau,mengolok-olok, memuji, membaca
puisi, atu saling menyindir," sahutku apa adanya, seraya menatap langsung mata
Kupukupu yang diselimuti nuansa seorang pemuda montok bermata basah yang
diserang rasa cemburu. Saat masih menjadi seorang murid, Kupukupu kami ini, yang
matanya masih seindah mata bocah, adalah seorang lelaki tampan yang perasa dan
berkulit indah. Kembali, atas permintaan mereka, aku menjelaskan bagaimana pada hari kedua si
pendongeng itu, semoga jiwanya diberi kedamaian, mengembarai kota dan daerah
daerah sekitar untuk menjalankan usahanya di kedai kopi, salah satu miniaturis,
barangkali di bawah pengaruh kopi, menggantungkan sebuah gambar di dinding untuk
hiburan. Si pendongeng fasih itu melihatnya dan, sebagai lelucon, memulai sebuah
monolog seakanakan ia adalah anjing di dalam gambar yang dilakukannya dengan
baik. Sejak itu, setiap malam ia menampilkan gambargambar yang dibuat oleh para
empu miniaturis dan menceritakan dongeng-dongeng lucu yang mereka bisikkan ke
telinganya. Karena kesamaan pendapat si pendongeng atas si pendakwah dari
Erzurum menyenangkan para seniman yang hidup dalam ketakutan atas kemarahan si
pendakwah, dan ternyata mendatangkan lebih banyak
pelanggan ke kedai kopi, pemilik kedai dari Edirne mendukung pertunjukan itu.
Mereka menanyakan penafsiranku terhadap gambargambar yang digantungkan si
pendongeng di belakangnya setiap malam yang mereka temukan di rumah kosong
Zaitun. Kujelaskan bahwa itu tak perlu ditafsirkan karena pemilik kedai, seperti
Zaitun sendiri, adalah seorang darwis Kalenderi pengemis, pencuri, dan manusia
celaka yang liar. Elok Effendi yang picik dan takut terhadap ancaman Hoja
Effendi, terutama pada khotbah Jumatnya yang keras dan menghasut, pasti
mengeluhkan mereka kepada para pengikut Erzurumi. Atau mungkin, ketika Elok
memperingatkan mereka agar menghentikan kejahatan mereka, pemilik kedai dan
Zaitun, keduanya memiliki watak yang sama, bersekongkol untuk membuat
perhitungan dengan miniaturis bernasib buruk itu. Para pengikut Erzurumi,
dipancing oleh pembunuhan Elok, dan mungkin karena Elok Effendi telah
menjelaskan buku Enishte kepada mereka, menganggap Enishte bertanggung jawab
atas pembunuhan terhadap Elok Effendi dan balas membunuhnya. Dan, mereka pasti
menyerbu kedai kopi untuk menuntaskan pembalasan dendam mereka.
Sedalam apa perhatian yang diberikan Kupukupu yang gemuk dan Hitam yang serius
(ia seperti hantu) pada perkataanku saat mereka menggeledah harta bendaku,
dengan riang membukai setiap penutup dan tak meninggalkan sekeping batu pun
tanpa terusik" Ketika mereka sampai pada sepatu-sepatuku, baju zirah, dan
perlengkapan perang dalam kopor kayu berhias, tatapan iri bersemi di wajah
kekanakkanakan Kupukupu, dan ia kembali menyatakan yang telah diketahui semua
orang. Aku adalah ilustrator muslim pertama yang ikut dalam operasi militer bersama
tentara, serta yang pertama melakukan pengamatan dan menggambarkan dengan teliti
semua hal yang kusaksikan itu dalam beragam Catatan Peristiwa tembakan meriam,
menara kastil musuh, warnawarna seragam pasukan kaum kafir, mayatmayat
berserakan, tumpukan kepala sepanjang tepi sungai dan perintah yang diberikan
pada pasukan berkuda berbaju besi!
Ketika Kupukupu memintaku menunjukkan padanya bagaimana aku mengenakan baju
besiku, aku dengan segera dan tanpa malumalu menanggalkan kemeja luarku, baju
dalam hitam bertepi kulit kelinciku, celana panjangku, dan celana dalamku,
Merasa senang dengan cara mereka memandangku diterangi cahaya perapian, aku
mengenakan celana dalamku yang panjang dan bersih, kemeja tebal dari kain merah
yang dipakai di bawah baju besi dalam cuaca dingin, kaus kaki wol, sepatu bot
kulit berwarna kuning, dan di atas semua itu, penutup kaki. Setelah mengeluarkan
dari tempatnya, aku merasa senang mengenakan penutup dadaku, lalu aku
membalikkan punggungku menghadap Kupukupu dan seakanakan menyuruh seorang
pelayan, aku memintanya mengikatkan tali baju zirahku dengan kencang dan
menyuruhnya memasang penutup bahuku. Setelah aku mengenakan pelindung lenganku,
sarung tangan, sabuk untuk menaruh pedang dari bulu unta, dan akhirnya topi baja
berlapis emas yang kupakai untuk upacara, dengan bangga kunyatakan bahwa sejak
saat ini adegan-adegan pertempuran tidak akan pernah lagi digambarkan seperti di
masa lampau. "Kini tak boleh lagi digambarkan kedua pasukan berkuda dari pasukan
yang bermusuhan memakai seragam dengan pola yang sama sebagai rancangan awal dan hanya membalik polanya
untuk menggambar pasukan musuh," kataku. "Sejak saat ini, adegan-adegan
pertempuran yang dibuat di semua bengkel seni di wilayah Utsmaniyah akan
digambar seperti aku melihat dan menggambar mereka: kegemparan bala tentara,
kuda, para pejuang berbaju zirah, dan tubuhtubuh berlumur darah!"
Direngkuh oleh rasa cemburu, Kupukupu berkata, "Pelukis tidak melukis apa yang
ia lihat, melainkan apa yang Allah lihat."
"Ya," aku berkata, "bagaimanapun, Allah Yang Mahaagung pasti melihat apa yang
kita lihat." "Tentu saja, Allah melihat apa yang kita lihat, tetapi Ia tidak mencerap dengan
cara kita," ujar Kupukupu seakanakan menyalahkanku. "Adegan perang yang
membingungkan yang kita cerap dalam keterpukauan kita, Ia cerap dalam
kemahatahuan-Nya sebagai dua pasukan yang saling berhadapan dalam susunan
teratur." Tentu saja, aku punya tanggapan sendiri. Aku ingin berkata, "Kitalah yang
menentukan untuk memercayai Allah dan menggambarkan hanya apa yang Ia singkapkan
untuk kita, bukan apa yang Ia sembunyikan," tetapi aku menahan diri. Dan aku
tidak berdiam diri karena takut Kupukupu akan menuduhku meniru para empu Eropa
atau karena ia tanpa henti menusukkan ujung belatinya pada topi baja dan
punggungku untuk menguji baju besiku, melainkan karena aku memperhitungkan bahwa
hanya jika aku menahan diri dan mengatasi Hitam dan si ceroboh ini, maka kami
bisa meloloskan diri dari jebakan Zaitun.
Begitu mereka tahu mereka tak akan menemukan yang mereka cari di sini, mereka
mengatakan padaku apa yang mereka cari. Ada sebuah gambar yang dilarikan diamdiam oleh pembunuh
misterius itu .... Aku berkata bahwa rumahku sudah pernah digeledah untuk alasan
yang sama. Dengan demikian, pembunuh yang bijak itu hampir pasti meneymbunyikan
gambar itu di tempat yang tak seorang pun bisa menemukannya (aku memikirkan
Zaitun), tetapi apakah mereka memerhatikan katakataku" Hitam menjelaskan kuda
itu digambar dengan lubang hidung terpotong dan betapa waktu tiga hari yang
diberikan Sultan pada Tuan Osman sudah hamper usai. Ketika aku bertanya lebih
jauh tentang apa pentingnya lubang hidung yang terpotong itu, Hitam berkata
padaku seraya memandang lurus mataku, bagaimana Tuan Osman yang menduganya
sebagai petunjuk menghubungkannya pada Zaitun, walaupun ia lebih curiga padaku,
karena tidak asing lagi terhadap ambisiku.
Pada mulanya, tampaknya mereka datang ke sini untuk memercayai bahwa aku adalah
si pembunuh dan untuk menemukan bukti, tetapi dalam pendapatku, ini bukankah
satusatunya alasan kunjungan mereka. Mereka juga datang mengetuk pintu rumahku
karena kesepian dan putus asa. Ketika aku membuka pintu, belati yang diacungkan
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kupukupu padaku bergetar di tangannya. Mereka bukan hanya takut, mengira bahwa
pembunuh hina yang identitasnya dengan susah payah berusaha mereka singkap,
mungkin akan memojokkan mereka dalam kegelapan, tersenyum seperti kawan lama,
dan dengan enteng menyembelih leher mereka. Mereka juga tak bisa tidur karena
takut Tuan Osman bersekongkol dengan Sultan dan Kepala Bendahara untuk
menyerahkan mereka pada tukang siksa tanpa menyebut para pengikut Erzurumi ?pengembara jalanan yang mematahkan
semangat mereka. Pendeknya, mereka menginginkan persahabatanku. Namun, Tuan
Osman telah menanamkan di kepala mereka gagasan yang sebaiknya. Ini adalah
kewajibanku untuk menunjukkan pada mereka dengan tulus bagaimana Tuan Osman
telah berbuat keliru yang mereka harapkan dari lubuk hati mereka.
Dengan menyatakan bahwa empu agung itu keliru dan telah menjadi pikun tentu akan
membangkitkan rasa permusuhan Kupukupu. Dalam mata berkaca-kaca iluminator
tampan itu, yang bulu matanya menjela-jela seperti serangga yang dijadikan
namanya ketika ia memukulmukul baju besiku dengan belati nya, aku masih bisa
merasakan api cinta samar yang ia rasakan terhadap empu agung yang pernah
menyayanginya itu. Di masa mudaku, kedekatan mereka berdua, guru dan murid itu,
dengan iri hati diolok-olok oleh yang lainnya. Namun, mereka sendiri tak peduli,
mereka saling menatap lama dan saling memanjakan di depan semua orang. Kemudian,
Tuan Osman dengan tidak bijaksana menyatakan bahwa Kupukupu memiliki pena yang
paling tangkas dan kuas yang paling matang. Pernyataan ini kerap memang
?benar menjadi sumber ejekan tiada akhir di antara para miniaturis dengan
?menggunakan pena, kuas, wadah tinta, dan kotak pena dalam sindiran tak senonoh,
perbandingan yang keji, dan perumpamaan yang kasar. Karena alasan ini, bukan
hanya aku yang merasa bahwa Tuan Osman ingin agar Kupukupu menggantikannya
sebagai kepala bengkel seni. Aku sudah lama mengerti dari cara Tuan Osman bicara
pada yang lain tentang sikap suka berkelahiku, ketidakcocokanku, dan
kekeraskepalaanku bahwa inilah yang disembunyikan empu agung itu di balik
pikirannya. Ia merasa aku jauh lebih cenderung pada
metode metode orang Eropa dibanding Zaitun atau Kupukupu, dan tak pernah mampu
menahan hasrat baru Sultan dengan mengatakan, "Para empu agung lama tak akan
pernah melukis dengan cara seperti ini."
Aku tahu aku bisa bekerja sama dengan Hitam karena pengantin baru kita yang
bersemangat ini pasti ingin menyelesaikan buku almarhum Enishtenya, bukan hanya
menaklukkan hati Shekure yang cantik dan menunjukkan padanya bahwa ia bisa
menggantikan kedudukan ayahnya, tetapi juga untuk menjilat pada Sultan.
Maka, aku mengemukakan persoalan yang tak terduga dengan mengatakan bahwa buku
Enishte adalah sebuah keajaiban membahagiakan tanpa tanding di dunia ini. Ketika
adikarya itu diselesaikan, untuk memenuhi keinginan Sultan dan almarhum Enishte
Effendi, seluruh dunia akan kagum terhadap kekuatan dan kekayaan Sultan, serta
bakat, keelokan, dan kemampuan kami, para empu miniaturis Sultan. Mereka bukan
hanya akan takut kepada kami, pada kekuatan dan sikap pantang menyerah kami,
mereka akan bingung, melihat bagaimana kami tertawa dan berteriak, bagaimana
kami mencuri dari para empu Frank, bagaimana kami melihat warna warna paling
mencolok dan detail terperinci, dan akhirnya mereka akan mengakui dengan rasa
ngeri apa yang dipahami oleh para sultan paling cerdas: kami berada dalam dunia
lukisan kami dan sekaligus jauh dalam kehadiran para empu tua zaman dahulu,
Kupukupu menyerangku sepanjang waktu, mulamula seperti seorang bocah yang hendak
membuktikan apakah baju besiku asli atau tidak; kemudian, seperti seorang teman
yang ingin menguji kekuatannya; dan akhirnya seperti musuh yang cemburu dan
keras kepala yang ingin mencelakakanku. Sesungguhnya, ia paham bahwa aku lebih berbakat daripada
dirinya; bahkan lebih buruk lagi, ia barangkali merasa bahwa Tuan Osman
mengetahui hal ini juga. Dengan bakat karunia Tuhan yang dimiliknya, Kupukupu
adalah seorang empu yang luar bisaa, dan rasa irinya membuatku lebih bangga: Tak
sepertinya, aku menjadi seorang empu melalui kekuatan pena buluhku sendiri,
bukan karena pengaruh empuku, dan aku merasa bahwa aku mampu memaksanya menerima
keunggulanku. Seraya menaikkan nada suaraku, aku mengatakan betapa menyedihkan ada orangorang
yang ingin merusak buku ajaib Sultan kami dan almarhum Enishte. Tuan Osman sudah
seperti ayah sendiri bagi kami semua, Ia adalah pemimpin semua orang. Kami
mempelajari segalanya darinya! Namun, setelah melacak jejak dalam Ruang
Penyimpanan Harta Sultan, karena alas an yang tak diketahui, Tuan Osman mencoba
menyembunyikan kenyataan bahwa Zaitun adalah pembunuh keji itu. Aku merasa yakin
Zaitun, yang tak ditemukan di rumahnya, tengah bersembunyi di pondok darwis
Kalenderi yang tak terpakai lagi di Gerbang Phanar. Pondok darwis ini ditutup
pada masa kekuasaan kakek Sultan kami, bukan karena tempat itu merupakan sarang
perbuatan bejat dan tidak bermoral, melainkan sebagai akibat perang tak
berkesudahan dengan Persia di mana sekte Kalenderi merupakan pendukung Persia,
dan kutambahkan pula bahwa Zaitun kerap membual bahwa ia terus menjaga pondok
darwis yang terlarang itu. Jika mereka tidak memercayaiku, mencurigai ada tipu
muslihat di balik katakataku, belati itu terhunus di tangan mereka, mereka bebas
menghukumku kapan pun dan di mana pun.
Kupukupu kembali mendaratkan dua pukulan keras
dengan belatinya yang oleh kebanyakan baju besi tak akan mampu ditahan. Ia
menoleh pada Hitam yang memercayai apa yang kukatakan pada mereka, dan berteriak
padanya dengan kekanakkanakan. Aku maju dari belakang, melingkarkan lenganku
yang berlapis baju besi ke leher Kupukupu dan menyeretnya mendekat padaku.
Dengan menekuk lengannya yang lain ke belakang dengan tanganku yang bebas, aku
membuatnya menjatuhkan belatinya. Kami tidak bergumul, tetapi kami juga tidak
berpurapura. Aku menceritakan kembali sebuah adegan serupa dalam Kitab Para Raja
yang tak banyak diketahui orang.
"Pada hari ketiga pasukan Persia dan Turania saling berhadapan dengan bersenjata
lengkap dan berbaju besi di kaki Gunung Hamaran, pasukan Turania mengirim
Shengil yang cerdik penuh muslihat ke medan laga untuk menyelidiki identitas
seorang tentara Persia misterius yang telah membunuh seorang pejuang Turania
terkemuka dalam dua hari pertempuran sebelumnya," aku mengawali. "Shengil
menantang tentara misterius itu, dan ia menerimanya. Kedua pasukan, dengan baju
besi berkilau terang dalam cahaya matahari siang, menyaksikan dengan napas
tertahan. Kudakuda berbaju besi dari kedua jagoan saling bertarung dengan
kecepatan tinggi yang membuat pijar api memercik dari logam yang beradu
menggosongkan kulit kuda dan berasap. Pertarungan berjalan lama. Tentara Turania
menembakkan anak panah, lawannya menghalau dengan kibasan pedang dan
menggerakkan kudanya dengan terampil. Akhirnya, tentara Persia yang misterius
itu menjatuhkan si tentara Turania setelah menangkap ekor kudanya. Ia lalu
mengejar Shengil yang mencoba
melarikan diri, dan mencekal baju besinya dari belakang sebelum mencekiknya.
Saat mengakui kekalahannya, Shengil yang masih penasaran dengan identitas
tentara misterius itu bertanya tanpa harapan tentang hal yang menjadi
keingintahuan semua orang selama berharihari, 'Siapakah kau"' 'Bagimu,' sahut
tentara misterius itu, 'namaku adalah Malaikat Maut.' Katakan padaku, kawan
kawan, siapakah ia sesungguhnya?"
"Rustem yang legendaris," ujar Kupukupu dengan keriangan yang kekanak kanakan.
Aku mencium lehernya. "Kita semua mengkhianati Tuan Osman," kataku. "Sebelum ia
menghukum kita, kita harus menemukan Zaitun, mengenyahkan ular berbisa di antara
kita ini, dan membuat kesepakatan agar kita bisa betahan melawan musuh abadi
seni dan mereka yang ingin mengirim kita ke ruang hukuman. Mungkin, ketika kita
tiba di pondok darwis terlantar tempat Zaitun berada, kita akan tahu bahwa
pembunuh kejam itu bukanlah salah satu di antara kita."
Kupukupu yang malang tak bersuara. Terlepas dari bakat, kepercayaan diri, atau
dukungan terhadapnya, seperti semua iluminator yang saling mencari teman tanpa
peduli rasa cemburu dan benci di antara mereka, ia amat takut ditinggalkan
sendirian di dunia ini dan takut masuk neraka.
Dalam perjalanan menuju Gerbang Phanar, terlihat cahaya mengerikan berwarna
kuning kehijauan di atas kami, tetapi itu bukanlah cahaya bulan. Dalam cahaya
ini, pemandangan kota tua Istanbul di waktu malam yang terdiri dari pepohonan
cemara, kubahkubah timah, dindingdinding batu, rumahrumah kayu, dan susuran
tangga yang dirusak oleh api diambil alih oleh sesuatu
yang asing, sesuatu yang mungkin disebabkan oleh sebuah benteng musuh. Saat kami
mendaki bukit, di kejauhan kami melihat api yang membakar suatu tempat di dekat
Masjid Bayazid. Dalam kegelapan yang pekat, kami berpapasan dengan sebuah kereta lembu yang
terisi separuhnya dengan karung-karung tepung dan sedang menuju dinding batas
kota, dan dengan bayaran dua keping uang perak, kami diizinkan menumpang. Ketika
aku berbaring telentang dan menyaksikan gumpalan asap yang rendah berkilau yang
berasal dari api, dua tetes hujan jatuh di atas topi bajaku.
Setelah melalui perjalanan panjang, ketika kami mencari pondok darwis tak
terpakai itu kami membangunkan anjinganjing di sekitar daerah itu yang di tengah
malam seakanakan tak berpenghuni. Walaupun kami melihat lampu-lampu menyala di
beberapa rumah batu sebagai tanggapan atas keributan yang kami buat, baru pada
pintu keempat yang kami ketuk kami ditanggapi, dan seorang lelaki berkopiah
memandang kami dengan mulut ternganga diterangi cahaya lampunya seakanakan kami
adalah mayat hidup. Ia menunjukkan pada kami pondok darwis tak terpakai itu
tanpa mengeluarkan batang hidungnya pada hujan yang makin deras dan dengan ?riang menambahkan bahwa di sana kami akan diganggu oleh para jin, hantu, dan
iblis. Di taman pondok darwis itu kami disambut oleh pepohonan cemara yang tenang dan
angkuh, tak peduli pada hujan dan bau dedaunan busuk. Aku memerhatikan salah
satu celah di antara papan-papan kayu dinding pondok darwis itu, dan kemudian,
pada sebuah jendela mungil, dalam penerangan cahaya lampu minyak aku melihat
bayangan menakutkan seorang lelaki yang sedang
salat atau mungkin orang itu hanya berpurapura salat untuk mengelabui kami.[]
?0. AKU DINAMAI "ZAITUN1
APAKAH SEBAIKMYa aku meninggalkan salatku, bangkit berdiri, dan membukakan pintu
bagi mereka, atau membiarkan mereka menunggu dan kehujanan hingga aku selesai
salat" Ketika aku menyadari mereka menyaksikanku, aku menyelesaikan solatku
dalam keadaan tidak khusyuk. Aku membuka pintu, dan di sanalah mereka Kupukupu,
Bangau, dan Hitam. Aku berteriak senang dan memeluk Kupukupu.
"Aduh, apa yang harus kita tanggung terhadap almarhum!" ratapku, seraya
membenamkan kepalaku di bahunya. "Apa yang mereka inginkan dari kita" Mengapa
mereka membunuh kita?"
Mereka semua terlihat merasa panik jika terpisah dari kawanannya yang telah
kulihat dari waktu ke waktu dalam diri setiap empu miniaturis sepanjang hidupku.
Bahkan di pondok ini, mereka benci terpisah dari yang lainnya.
"Kita bisa mengungsi dengan aman di sini hingga beberapa hari."
"Kami cemas," ujar Hitam, "orang yang seharusnya kita takuti barangkali ada di
tengah kita." "Aku juga cemas," kataku. "Karena aku pun mendengar gunjingan semacam itu." Ada
desas-desus yang menyebar dari para perwira Pasukan Pengawal ke divisi
miniaturis yang menyatakan bahwa misteri tentang pembunuhan Elok Effendi dan
almarhum Enishte telah dipecahkan: Ia adalah salah seorang di antara kami yang
mengerjakan buku itu. Hitam bertanya berapa banyak gambar yang kubuat untuk buku Enishte.
"Yang pertama kubuat adalah gambar setan. Itu adalah variasi iblis bawah tanah
yang bisaa dibuat para empu lama di bengkel kerja Kambing putih. Si pendongeng
dan aku sama-sama merupakan anggota sebuah tarekat sufi. Itu sebabnya aku
membuat gambar dua orang darwis. Akulah yang menyarankan pada Enishte agar ia
memasukkan mereka dalam bukunya, meyakinkannya bahwa ada sebuah tempat istimewa
bagi para darwis ini di negeri Utsmaniyah."
"Hanya itu saja?" tanya Hitam.
Ketika aku mengatakan padanya, "Ya, itu saja," ia pergi ke pintu dengan gaya
seorang empu yang telah menangkap seorang murid yang mencuri. Ia membawa
segulung kertas yang tak tersentuh hujan, dan menempatkannya di depan kami
seperti seekor induk kucing membawakan seekor burung terluka untuk anakanaknya.
Aku mengenali halamanhalaman itu ketika Hitam masih mengepitnya. Mereka adalah
ilustrasiilustrasi yang kuselamatkan dari kedai kopi dalam penyerbuan itu. Aku
tidak merasa perlu bertanya bagaimana orangorang ini masuk ke rumahku dan
menemukan mereka. Namun, Kupukupu, Bangau, dan aku mengakui gambargambar yang
kami buat untuk si pendongeng, semoga ia beristirahat dengan tenang. Kemudian,
hanya kuda, sebuah kuda yang indah, yang tetap tak ada yang
mengakuinya, digambar dari samping, kepalanya menunduk. Percayalah padaku, aku
bahkan tak sadar bahwa ada gambar seekor kuda. "Bukan kau yang menggambar kuda
ini?" ujar Hitam seperti seorang empu yang memegang sebuah cemeti. "Bukan,"
ujarku. "Bagaimana dengan kuda yang ada dalam buku Enishteku?"
"Juga bukan aku yang membuatnya."
"Berdasarkan gaya kuda itu, kaulah yang menggambar kuda itu," ujarnya. "Lagi
pula, Tuan Osman yang mengatakan kesimpulan ini."
"Tetapi aku tak punya gaya apa pun," ujarku, "Aku tidak mengatakan hal ini demi
harga diriku untuk melawan selera masa kini. Aku juga tidak mengatakannya untuk
membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Bagiku, memiliki gaya lebih buruk daripada
menjadi seorang pembunuh."
"Kau memiliki sifat baik tertentu yang membedakanmu dari para empu tua dan yang
lainnya," ujar Hitam.
Aku tersenyum padanya. Ia mulai menghubungkan hal-hal yang aku yakin telah
kalian semua ketahui pada saat ini. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian
bagaimana Sultan yang berembuk dengan Kepala Bendahara meminta misteri
pembunuhan ini dipecahkan, batas waktu tiga hari bagi Tuan Osman, 'metode
pelacur,' keganjilan hidung kuda dan diizinkannya Hitam masuk ke Daerah Pribadi
Sultan untuk memeriksa bukubuku istimewa. Ada saat-saat dalam hidup kita ketika
kita menyadari, bahkan saat kita mengalami semua itu, bahwa kita hidup melalui
berbagai peristiwa yang tak akan pernah kita lupakan hingga lama selelahnya.
Seakanakan gusar karena hujan, Kupukupu dengan muram
menghunus belatinya. Bangau, bagian belakang baju besinya putih karena tepung,
dengan berani maju sedikit demi sedikit ke tengah pondok seraya memegang lampu.
Para seniman empu ini, yang bayangannya mengembarai dinding seperti hantu,
adalah saudara saudaraku, dan betapa aku mencintai mereka! Aku merasa senang
menjadi seorang miniaturis.
"Bisakah kau menghargai nasib baikku saat kau melihat adikarya para empu lama
selama berharihari dengan Tuan Osman di sisimu?" tanyaku pada Hitam. "Apakah ia
menciummu" Apakah ia mengelus wajah tampanmu" Apakah ia merengkuh tanganmu"
Apakah kau mengagumi bakat dan pengetahuannya?"
"Di sana, di antara adikarya para empu tua, ia menunjukkan padaku bagaimana kau
memiliki sebuah gaya," ujar Hitam. "Ia mengajariku bagaimana kesalahan
tersembunyi 'gaya' bukanlah sesuatu yang dipilih seniman atas kemauannya
sendiri, melainkan ditentukan oleh masa lalunya dan ingatan-ingatannya yang
terlupakan. Ia juga menunjukkan padaku bagaimana kesalahankesalahan, kelemahan,
dan cacat rahasia ini yang sekaligus merupakan sumber rasa malu yang mereka ?sembunyikan agar kita tak akan terasing dari para empu lama akan muncul untuk
?dianggap sebagai 'watak pribadi' atau 'gaya,' karena para empu Eropa telah
menyebarkan hal itu ke seluruh dunia. Maka, terima kasih pada orangorang bodoh
yang bersikap angkuh atas kelemahan mereka, dunia akan menjadi lebih
berwarnawarni dan lebih bodoh, dan tentu saja, menjadi sebuah tempat yang lebih
tidak sempurna." Fakta bahwa Hitam dengan percaya diri memercayai apa yang dikatakannya
membuktikan bahwa ia adalah
salah satu keturunan orangorang bodoh itu.
"Apakah Tuan Osman bisa menjelaskan mengapa, selama bertahuntahun, aku
menggambar ratusan kuda dengan lubang hidung bisaa dalam bukubuku Sultan?"
tanyaku. "Itu berkaitan dengan cinta dan pukulan yang ia berikan pada kalian semua di
masa kecil. Karena ia adalah ayah sekaligus orang tercinta bagi kalian, ia tidak
melihat bahwa ia mengaitkan kalian dengan dirinya dan masingmasing di antara
kalian dengan yang lain. Ia tidak ingin kalian memiliki gaya sendiri sendiri, ia
ingin bengkel seni istana secara keseluruhanlah yang memiliki gaya. Karena
bayangan mengagumkan yang ia timpakan pada kalian semua, kalian melupakan segala
yang berasal dari dalam diri kalian sendiri, ketidaksempurnaan, unsur-unsur dan
perbedaan-perbedaan yang berada di luar batas-batas bentuk umum. Hanya ketika
kalian melukis untuk bukubuku dan halamanhalaman lain yang tak terlihat oleh
Tuan Osman, barulah kalian menggambar kuda yang telah berada dalam diri kalian
selama bertahuntahun."
"Ibuku, semoga dia beristirahat dengan tenang, lebih cerdas daripada ayahku,"
kataku. "Suatu malam aku berada di rumah, berniat tak akan pernah lagi kembali
ke bengkel seni karena aku takut bukan hanya oleh pukulan Tuan Osman, melainkan
oleh para empu lain yang kasar dan menjengkelkan, juga takut oleh kepala divisi
yang selalu mengancam kami dengan penggaris. Untuk menghiburku, almarhum ibuku
berkata bahwa ada dua jenis manusia di dunia ini: pertama, mereka yang takut
oleh pukulan masa kecil mereka, selamanya akan tertindas, ujarnya, karena
pukulan-pukulan itu memiliki
dampak membunuh setan dalam jiwa; dan kedua, mereka yang beruntung, bagi mereka
pukulan-pukulan itu menakuti dan menjinakkan iblis dalam jiwa mereka tanpa
membunuh yang bersangkutan. Walaupun kelompok yang kedua ini tak akan pernah
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melupakan ingatan masa kecil yang menyakitkan ini ibuku memperingatkanku agar
?tidak menceritakannya pada siapa pun pukulan-pukulan itu kelak akan membuat
?mereka bisa membangun kelicikan untuk menaklukkan orang tak dikenal, untuk berteman, untuk mengenali musuh, untuk merasakan muslihat yang direncanakan
di belakang mereka dan, izinkan aku menambahkan, untuk melukis lebih baik
daripada orang lain. Karena aku tak bisa menggambar cabang-cabang pohon dengan
selaras, Tuan Osman akan menamparku keras sekali, dan di tengah tangis pedih,
hutan akan melebat di depanku. Setelah dengan marah memukul kepalaku karena aku
tak bisa melihat kesalahan di dasar halaman, ia dengan lembut mengambil sebuah
cermin dan meletakkannya di depan halaman itu sehingga aku bisa melihat karya
itu seakan akan untuk pertama kalinya. Lalu seraya menekankan pipinya pada
pipiku, ia dengan lembut menunjukkan kesalahankesalahan yang secara ajaib muncul
dalam bayangan gambar itu di cermin yang tak akan pernah kulupakan, baik cinta
maupun ritualnya. Pagi hari setelah menghabiskan malam berurai air mata di
tempat tidur, harga diriku terluka karena ia memukuliku dengan penggaris di
depan semua orang, ia akan datang dan menciumi tanganku begitu lembut sehingga
aku tahu suatu hari nanti aku akan menjadi seorang miniaturis legendaris. Bukan,
bukan aku yang menggambar kuda itu."
"Kami," Hitam mengacu pada Bangau dan dirinya sendiri, "akan menggeledah pondok
darwis ini untuk mencari lukisan terakhir yang dicuri oleh makhluk terkutuk yang telah membunuh
Enishteku. Pernahkah kau melihat lukisan terakhir itu?"
"Ini bukan sesuatu yang bisa diterima oleh Sultan, para iluminator seperti kita
terikat pada para empu tua atau oleh keterikatan sesama muslim pada keyakinan
mereka," kataku dan terdiam.
Pernyataanku membuatnya makin bersemangat. Ia dan Bangau memulai penyelidikan
mereka, mengobrak-abrik seluruh tempat itu. Beberapa kali, untuk memudahkan
pekerjaan mereka, aku membantu mereka. Dalam salah satu kamar darwis dengan atap
yang bocor, aku menunjukkan sebuah lubang di lantai agar mereka tidak terperosok
dan bisa menyelidikinya jika mereka mau. Aku memberi mereka kunci kamar mungil
tempat sang Syekh tinggal tiga puluh tahun yang lalu, sebelum para penghuni
pondok ini bergabung dengan kaum Bektashi dan tercerai berai. Mereka masuk,
tetapi ketika mereka melihat bahwa seluruh dinding telah hilang dan kamar itu
terkena hujan, mereka bahkan tak merasa perlu memeriksanya.
Aku senang karena Kupukupu tidak begabung dengan mereka, tetapi jika bukti yang
memberatkanku ditemukan, ia pun pasti akan bergabung dengan mereka. Bangau
berpikiran sama dengan Hitam yang takut Tuan Osman akan menyerahkan kami pada
para penyiksa, dan berkeras agar kami harus saling mendukung dan bersatu dalam
melawan Kepala Bendahara. Aku merasa Hitam tidak hanya terdorong oleh hasrat
untuk memberi Shekure sebuah hadiah perkawinan istimewa dengan menemukan
pembunuh Enishtenya. Ia juga bermaksud membelokkan para miniaturis Utsmaniyah ke
jalan para empu Eropa dengan membayar mereka dengan uang milik Sultan demi
menyelesaikan buku Enishtenya menurut gaya kaum Frank (yang bukan hanya tidak
sesuai dengan agama, tetapi juga konyol). Aku paham, di ujung rencana ini adalah
hasrat Bangau untuk menyingkirkan kami dan bahkan Tuan Osman, karena ia bermimpi
menjadi Kepala Iluminator dan (karena semua orang menyangka Tuan Osman lebih
menyukai Kupukupu) ia bersedia melakukan apapun untuk memperbesar peluangnya.
Sejenak aku merasa bingung. Seraya menyimak hujan, aku tetap waspada. Kemudian,
seperti seorang lelaki yang keluar dari kerumunan dan berjuang untuk menyerahkan
petisi kepada Sultan dan Wazir Agung saat mereka melintas dengan menunggang
kuda, aku mendapat ilham tibatiba untuk mengambil hati Bangau dan Hitam. Seraya
mengajak mereka melintasi ruang tengah yang gelap dan gerbang yang besar, aku
membawa mereka ke sebuah ruangan menakutkan yang dulunya adalah dapur. Aku
bertanya pada mereka apakah mereka bisa menemukan sesuatu di sini di antara
reruntuhan. Tentu saja tidak ada. Tak ada jejak wajan, poci, belanga, dan panci
yang pernah dipakai untuk menyiapkan makanan bagi orangorang miskin dan
terlantar. Aku bahkan tak pernah mencoba membersihkan ruangan mengerikan yang
tertutupi jarring laba-laba, debu, lumpur, puing, serta kotoran anjing dan
kucing ini. Seperti bisaa, seembus angin kencang yang seakanakan muncul dari
entah berantah, meredupkan lampu membuat bayangan kami sesekali lebih pucat, ?sesekali lebih pekat.
"Kalian terus mencari-cari, tetapi tak bisa menemukan harta karunku yang
tersembunyi," kataku.
Di luar kebisaaan, aku menggunakan punggung tanganku sebagai sapu untuk
menyingkirkan debu pada benda yang dulunya adalah sebuah tungku dan ketika sebuah kompor tua tampak, aku
mengangkat penutup besinya dengan suara berderit. Aku mendekatkan lampu pada
mulut kompor yang mungil. Aku tak akan pernah melupakan bagaimana Bangau
melompat ke depan dan dengan tamak meraih kantung-kantung kulit di dalamnya
sebelum Hitam sempat bertindak. Ia hendak membuka kantung-kantung itu di depan
mulut oven, tetapi ketika aku kembali ke ruangan besar, diikuti oleh Hitam yang
merasa takut bila tetap berada di dapur, Bangau membuntuti kami dengan kakikakinya yang panjang dan kurus.
Ketika mereka melihat bahwa sebuah kantung ternyata berisi sepasang kaus kaki
wolku, celana panjangku, celana dalam merahku, baju dalam terbaikku, kemeja
sutraku, pisau cukurku, sisirku, dan barangbarang lainnya, mereka terpana
sejenak. Dari kantung lainnya, yang dibuka Hitam, muncul lima puluh tiga keping
uang emas Venesia, beberapa lembar emas untuk menyepuh yang kucuri dari bengkel
kerja bertahuntahun lalu, buku sketsaku mengenai bentukbentuk kodel yang
kusembunyikan dari semua orang, lebih banyak lagi lembaran emas curian yang
diselipkan di antara halamanhalaman buku, gambargambar cabul beberapa kugambar ?sendiri, yang lainnya bagian dari koleksiku sebentuk cincin warisan dari ibuku
?tercinta dan sejalin rambut putihnya, dan pena-pena serta kuas-kuas terbaikku,
"Jika aku sungguhsungguh seorang pembunuh seperti yang kalian duga," ujarku
dengan kesombongan yang bodoh, "lukisan terakhir itu akan muncul dari harta
karun rahasiaku, bukan bendabenda ini."
"Mengapa dengan bendabenda ini?" tanya Bangau.
"Ketika Pasukan Pengawal menggeledah rumahku, seperti yang mereka lakukan di
rumah kalian, tanpa rasa malu mereka merampas dua di antara lembaran emas yang
kukumpulkan sepanjang hidupku. Aku berpikir bagaimana jika kita akan digeledah
lagi garagara pembunuh terkutuk ini dan aku benar. Jika lukisan terakhir itu
?ada padaku, benda itu pasti ada di sini."
Merupakan kesalahan mengucapkan kalimat terakhir itu. Namun, aku bisa merasakan
bahwa mereka merasa tenang dan tak lagi takut aku akan mencekik mereka di sudut
gelap pondok ini. Apakah aku juga telah mendapatkan kepercayaanmu"
Kali ini, bagaimanapun, aku dilanda kegelisahan yang dalam. Tidak, bukan karena
teman-teman iluminatorku yang kukenal sejak kanakkanak telah melihat bagaimana
aku dengan tamak menumpuk uang selama bertahuntahun, bagaimana aku membeli dan
menabung emas, atau bahkan karena mereka tahu tentang buku sketsaku dan
gambargambar cabul itu. Sejujurnya, aku menyesal telah menunjukkan pada mereka
semua benda ini dalam keadaan panik. Hanya misteri seorang lelaki yang hidup
tanpa tujuan yang bisa terungkap dengan begitu mudah.
"Namun," ujar Hitam beberapa saat kemudian, "kita harus bersepakat tentang apa
yang akan kita katakan di bawah siksaan jika Tuan Osman terbukti menyerahkan
kita tanpa peringatan apa pun."
Kami merasa hampa dan tertekan. Dalam cahaya pucat lampu minyak, Bangau dan
Kupukupu menatap gambargambar tak senonoh dalam buku sketsaku. Mereka
menampilkan raut muka tak peduli, padahal
sesungguhnya mereka merasa senang dengan cara yang mengerikan. Aku merasakan
dorongan kuat untuk menatap gambar itu aku bisa menduga dengan tepat yang
?manakah itu. Aku bangkit dan bergerak memutar di belakang mereka, menatap tanpa
suara pada gambar cabul yang kubuat, gemetar seakanakan aku teringat sebuah
kenangan bahagia yang kini begitu jauh. Hitam bergabung dengan kami. Karena
alasan apa pun, peristiwa kami berempat menatap ilustrasi itu membuatku lega,
"Bisakah yang buta dan yang melihat dianggap setara?" ujar Bangau beberapa saat
kemudian. Apakah ia hendak berkata bahwa walaupun yang kami lihat adalah
kecabulan, kenikmatan melihat yang dilimpahkan Allah pada kami amatlah mulia"
Tidak, tahu apa Bangau tentang hal semacam itu" Ia tak pernah membaca Alquran.
Aku tahu bahwa para empu lama Herat kerap mengutip ayat ini. Para empu itu
menggunakan ayat ini sebagai tanggapan terhadap musuhmusuh lukisan yang
memperingatkan mereka bahwa membuat ilustrasi adalah perbuatan terlarang dalam
keyakinan kami dan bahwa para pelukis akan dimasukkan ke neraka pada Hari
Pembalasan. Hingga saat ajaib itu, bagaimanapun, aku tak mendengar dari Kupukupu
katakata itu yang kini keluar dari mulutnya seakanakan kata-katanya sendiri,
"Aku ingin menggambarkan betapa yang buta dan yang melihat tidaklah sama!"
"Siapakah yang buta dan siapakah yang melihat?" Tanya Hitam dengan lugu.
"Orang yang buta dan orang yang melihat tidaklah sama, itulah arti ayat wa ma y
as ta wit a'ma wal bashiru*," ujar Kupukupu, lalu melanjutkan:
*Q. S. 3 5:19. "... dan tak sama pula kegelapan dan cahaya. Tempat yang teduh dan yang panas
tidaklah sama, dan tak sama pula orang yang hidup dan yang mati.
Aku langsung tergetar, memikirkan nasib Elok Efendi, Enishte, dan si pendongeng
yang terbunuh malam ini. Apakah yang lainnya sama takutnya dengan kami" Tak
seorang pun bergerak untuk beberapa jenak. Bangau masih memegang bukuku yang
terbuka, tetapi tampaknya tidak sedang melihat kecabulan yang kugambar walaupun
kami masih menatapnya! "Aku ingin melukis Hari Pembalasan," ujar Bangau. "Kebangkitan orangorang mati,
dan pemisahan orangorang yang berdosa dengan yang tak berdosa. Mengapa kita
tidak boleh menggambarkan Kalam Suci keyakinan kita?"
Dalam masa muda kami, saat bekerja bersama di ruang yang sama di bengkel seni
kami, kami akan sesekali mengangkat wajah dari meja dan papan alas gambar kami,
seperti halnya yang dilakukan para empu tua untuk mengistirahatkan mata mereka,
dan kemudian mulai berbicara tentang berbagai topic yang terlintas dalam benak
kami. Saat itu, seperti yang kini kami lakukan saat memandang buku terbuka di
depan kami, kami tidak saling menatap saat bercakap-cakap. Mata kami berpaling
ke arah titik yang jauh di luar jendela terbuka. Aku tidak yakin apakah itu rasa
senang karena mengingat sesuatu yang amat indah dari masa magangku, atau
penyesalan tulus karena aku sudah lama tidak membaca Alquran, atau malah rasa
ngeri atas kejahatan yang kusaksikan di kedai kopi malam itu. Namun, ketika tiba
giliranku *Q. S. 35:20-22. berbicara, aku menjadi bingung, jantungku berdegup kencang seakanakan aku tengah
terancam bahaya, dan ketika tiada lagi yang terlintas di benakku, aku mengatakan
kalimat-kalimat berikut ini begitu saja, "Kalian ingat ayat terakhir surat 'AlBaqarah'" Aku sangat ingin menggambarkan ayatayat itu: 'Ya, Tuhan kami, jangan
siksa kami jika kami lupa atau silap. Wahai Tuhan kami, jangan beratkan kami
dengan beban yang tak sanggup kami pikul, sebagaimana yang dibebankan pada
orangorang sebelum kami. Maafkanlah dan ampunilah kami dari segala dosa dan
kesalahan kami! Sayangilah kami, ya Allah.1"* Suaraku menjadi parau dan aku
merasa malu karena aku menangis secara tak terduga barangkali karena aku letih ?dengan kekasaran yang selalu kami jaga dalam masa magang kami untuk melindungi
diri dan agar tak mengumbar kepekaan perasaan kami.
Kukira air mataku akan dengan cepat mereda, tetapi tanpa mampu menahan diri, aku
mulai menangis tersedu-sedu. Saat aku menangis, aku bisa merasakan yang lainnya
diliputi rasa persahabatan, kehancuran, dan kesedihan. Sejak saat ini, gaya
Eropa akan menguasai bengkel seni Sultan. Berbagai gaya dan bukubuku yang
untuknya kami telah mengabdikan seluruh hidup kami akan perlahanlahan
dilupakan ya, sesungguhnya, seluruh usaha ini akan berakhir, dan jika para ?pengikut Erzurumi tidak memberangus dan menghabisi kami, maka para penyiksa
Sultan yang akan meninggalkan kami dalam keadaan buntung .... Tetapi ketika aku
menangis, terisak, dan menghela napas walaupun aku terus menyimak rintik sedih
?hujan sebagian benakku merasa ini bukanlah hal-hal yang kutangisi. Sejauh
?manakah yang lainnya *Q. S. 2:286. menyadari hal ini" Aku merasa agak bersalah karena menangis, baik tangisan murni
maupun tangisan palsu. Kupukupu menghampiriku, meletakkan lengannya pada bahuku, mengelus rambutku,
mencium pipiku, dan menghiburku dengan katakata manis. Unjuk persahabatan mereka
membuatku menangis makin tulus dan kian merasa bersalah. Aku tak bisa melihat
wajahnya, tetapi karena beberapa sebab aku telah salah mengira ia juga menangis.
Kami duduk bersama. Kami mengingat bagaimana kami mengawali masa magang kami sebagai anak didik di
bengkel kerja pada tahun yang sama, kesedihan ganjil karena terpisah dari ibunda
kami untuk secara tibatiba memulai sebuah hidup baru, rasa sakit karena pukulan
yang kami terima sejak hari pertama, rasa senang menerima hadiah pertama dari
Kepala Bendahara, dan harihari saat kami pulang ke rumah, berlari dengan segala
cara. Pada mulanya hanya Kupukupu yang bicara, sedangkan aku mendengarkan dengan
penuh kesedihan, tetapi kemudian, ketika Bangau dan, terkadang setelahnya,
Hitam yang masuk ke bengkel kerja untuk waktu singkat dan kemudian
?meninggalkannya pada tahuntahun awal masa magang kami bergabung dalam percakapan
sedih kami, aku lupa bahwa aku baru saja menangis dan mulai bercakap-cakap dan
tertawa lepas dengan mereka.
Kami mengenang pagi di musim dingin ketika kami bangun pagi-pagi sekali,
menyalakan perapian di ruangan paling besar di bengkel kerja dan mengepel lantai
dengan air panas. Kami mengingat seorang "empu" tua, semoga ia beristirahat
dengan damai, yang begitu penuh ilham dan amat berhatihati sehingga ia bisa
menggambar hanya sepucuk daun dari sebatang pohon dalam rentang waktu
sehari penuh dan yang, ketika ia melihat kami berkali-kali menatap pada suburnya
dedaunan hijau di pepohonan musim semi melalui jendela terbuka daripada daun
yang ia gambar, ia akan menghukum kami untuk keseratus kali, "Tidak di luar
sana, di sini!" Kami teringat ratapan murid kerempeng yang terdengar hingga
seluruh bengkel seni, yang berjalan menuju pintu dengan tas di tangannya dan
dikirim pulang karena beratnya pelatihan membuat salah satu matanya rusak.
Kemudian, kami membayangkan bagaimana kami menyaksikan (dengan senang hati
karena itu bukanlah kesalahan kami) menjalarnya warna merah darah secara
perlahanlahan yang merembes dari sebuah wadah tinta perunggu yang telah retak ke
atas sebuah halaman yang telah dikerjakan oleh tiga iluminator selama tiga bulan
(menggambarkan pasukan Utsmaniyah di tepi Sungai Kinik dalam perjalanan ke
Shirvan yang mengatasi ancaman kelaparan dengan menduduki Eresh dan mengisi
perut mereka). Dengan sikap sopan dan penuh hormat, kami bercakap-cakap tentang
bagaimana kami bertiga bermain cinta dan sama-sama jatuh cinta dengan seorang
perempuan Sirkasia, istri tercantik seorang pasha tua berumur tujuh puluh tahun
yang dengan mempertimbangkan kekuasaan, kekuatan, dan kekayaannya
? ?menginginkan hiasan langit-langit rumahnya dibuat dengan meniru corak hiasan di
pondok berburu Sultan. Lalu, kami teringat dengan kangen betapa pada pagi musim
dingin kami akan makan sup mijumiju di ambang pintu terbuka agar uapnya tak
melunakkan kertas. Kami juga meratapi perpisahan dengan teman-teman dan para
empu di bengkel kerja ketika para empu memaksa kami bepergian ke tempat tempat
yang jauh untuk bertugas sebagai miniaturis tamu. Selama beberapa waktu,
manisnya Kupukupu di usianya yang keenam belas muncul di depan mataku: Ia
mengilapkan kertas hingga menjadi sangat berkilau dengan menggosoknya amat cepat
menggunakan cangkang kerang yang lunak ketika sinar matahari yang masuk melalui
jendela terbuka pada suatu hari di musim panas menyinari lengan bawahnya yang
telanjang sewarna madu. Sejenak ia menghentikan yang sedang ia kerjakan dengan
pikiran kosong dan dengan hatihati menundukkan wajahnya pada halaman itu untuk
memeriksa sebuah noda. Setelah menggosok noda itu beberapa kali menggunakan
cangkang kerang dengan gerakan yang berbeda-beda, ia kembali ke pola semula,
menggerakkan tangannya maju mundur secara teratur seraya menatap keluar jendela
menuju kejauhan, terhanyut dalam khayalan. Aku tak akan pernah melupakan
bagaimana sebelum kembali menatap keluar, ia selintas menatap mataku seperti ?yang kemudian kulakukan pada yang lain. Tatapan penuh kesedihan ini hanya punya
satu makna yang dipahami dengan baik oleh seluruh murid: Waktu tak mengalir jika
kau tak berkhayal. [] Bab 58 AKU AKAN DISEBUT SEORANG PEMBUNUH
KAU TELAH lupa padaku, bukan" Untuk apa aku menyembunyikan kehadiranku darimu
lebih lama lagi" Karena berbicara dengan suara ini, yang setahap demi setahap
menjadi makin kuat, telah tak tertahankan bagiku. Berkali-kali, aku menahan diri
dengan susah payah, dan aku cemas ketegangan dalam suaraku akan membuka kedokku.
Berkali-kali, kubiarkan diriku lepas sepenuhnya tanpa diawasi, dan itulah ketika
katakata itu, isyarat atas karakter keduaku yang mungkin kaukenali, terlepas
dari bibirku. Tanganku mulai gemetar, butiran keringat memenuhi dahiku, dan aku
langsung menyadari bahwa bisikan kecil tubuhku ini, pada gilirannya, akan
memunculkan petunjuk-petunjuk baru.
Tetapi, aku sangat puas di sini! Ketika kami menghibur diri dengan dua puluh
lima tahun ingatan masa lalu, kami tak teringat pada rasa permusuhan kami,
melainkan hanya pada keindahan dan kenikmatan melukis. Juga ada sesuatu yang
tersirat saat kami duduk-duduk di sini dengan sebuah perasaan tentang akhir
dunia yang akan datang, saling membelai dengan mata berlinang saat kami
mengenang keindahan masa silam yang mengingatkanku pada para perempuan harem.
Aku mengambil perbandingan ini dari Abu Said dari Kirman yang memasukkan
kisahkisah para empu lama
Shiraz dan Herat dalam karyanya Sejarah tentang putraputra Timurleng. Tiga puluh
tahun lalu Jihan Shah, penguasa negeri Kambing hitam, tiba di Timur saat
memimpin pasukan-pasukan kecil dan menghancurkan negerinegeri para khan dan shah
Timuriyah yang saling bersengketa sesame mereka sendiri. Dengan pasukannya yang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digdaya dan terdiri dari orangorang Turkmenistan, ia melintasi seluruh Persia
hingga ke Timur. Akhirnya, di Astarabad, ia menaklukkan Ibrahim, cucu Shah Ruh
yang adalah anak lelaki Timurleng. Ia lalu merebut Gorgan dan mengirim
pasukannya menyerang benteng Herat, Menurut sejarawan dari Kirman itu,
penghancuran ini bukan hanya dilakukan terhadap Persia, melainkan juga terhadap
kekuasaan Keturunan Timurleng yang hingga saat itu tak terkalahkan dan telah
berkuasa di lebih dari separuh dunia, mulai Hindustan hingga Byzantium, selama
setengah abad, dan menyebabkan badai kehancuran di mana kekacauan mencengkram
para lelaki dan perempuan di dalam benteng Herat yang tengah diserang. Sejarawan
Abu Said mengingatkan pembaca dengan rasa senang yang keji bagaimana Jihan Shah
dari Kambing hitam tanpa ampun membantai semua orang yang merupakan keturunan
Timurleng di benteng-benteng yang ia taklukkan; bagaimana ia dengan ketat
memilih para perempuan dari harem-harem para shah dan pangeran yang dikalahkan
dan memboyong mereka ke haremnya sendiri; betapa tanpa belas kasihan ia
memisahkan para miniaturis dari miniaturis lain dan dengan kejam memaksa
sebagian besar di antara mereka untuk mengabdi sebagai anak didik pada para empu
iluminatornya. Pada titik ini dalam buku Sejarah karyanya, Abu Said mengalihkan
perhatiannya dari shah dan para tentaranya yang
mencoba memukul mundur musuh dari menara-menara benteng, kepada para miniaturis
di antara pena-pena dan cat-cat mereka di bengkel kerja yang tengah menanti
puncak serbuan mengerikan yang hasilnya masih lama terbukti. Abu Said menulis
daftar nama para seniman, menyatakan satu persatu bagaimana mereka dikenal dunia
dan tak akan pernah dilupakan, dan para illuminator ini seperti halnya para
perempuan harem milik shah yang telah terlupakan, saling berpelukan dan
menangis, tak mampu melakukan apa pun selain mengingat kebahagiaan masa lalu
mereka. Kami pun, seperti para perempuan harem, mengenang hadiahhadiah dari jubah kulit
dan dompet-dompet penuh uang pemberian Sultan kepada kami untuk kotak kotak,
cermin-cermin, dan piring-piring yang dihias penuh warna, telur burung unta
berhias, karya potongan, gambargambar satu halaman, albumalbum hiburan, kartu
permainan, dan bukubuku untuk liburan. Di manakah pada hari itu para seniman tua
pekerja keras yang lama ditempa penderitaan dan merasa puas dengan sedikit
imbalan" Mereka tak pernah mengasingkan diri di rumah dan dengan cemburu
menyembunyikan metode mereka dari yang lain, merasa takut kerja serabutan mereka
akan ketahuan, tetapi akan datang ke bengkel kerja setiap hari tanpa membolos.
Manakah para miniaturis tua yang dengan rendah hati mengabdikan seluruh hidup
mereka untuk menggambar desain-desain rumit pada dindingdinding kastil, daundaun cemara yang keunikannya hanya bisa dilihat setelah menelitinya dari dekat
dan padang rumput tujuh halaman yang digunakan untuk mengisi ruang-ruang kosong"
Di manakah para empu yang tak memiliki keaslian, yang tak pernah cemburu,
menerima kearifan dan keadilan yang melekat dalam anugerah Tuhan atas bakat dan kemampuan
terhadap beberapa seniman dan mengaruniakan kesabaran dan kepasrahan kepada yang
lain" Kami mengingat para empu kebapakan ini, beberapa di antaranya bungkuk dan
terusmenerus tersenyum, yang lainnya pengelamun dan pemabuk, dan yang lainnya
lagi masih asyik menipu anak perawan. Dan ketika kami mengenang, kami mencoba
membangkitkan detail terlupakan di bengkel kerja, seakanakan itu terjadi dalam
masa magang kami dan tahuntahun awal keempuan kami.
Apakah kauingat pembuat garis yang menjulurkan lidah ke arah pipinya ketika
menggarisi halaman ke sisi kiri jika garis yang ia gambar mengarah ke kanan, ?dan ke sisi kanan apabila garis itu mengarah ke kiri; seniman bertubuh kurus
mungil yang menertawakan diri, terkekeh girang, dan bergumam "sabar, sabar,
sabar" ketika ia meneteskan cat; empu penyepuh berumur tujuh puluhan yang
menghabiskan jam demi jam dengan berbicara pada murid penjilid di lantai bawah
dan menyatakan bahwa tinta merah yang ditempelkan ke dahi bisa menghentikan
kerut merut penuaan; empu bengal yang menghentikan siapa pun yang melintas
secara acak untuk menguji kekentalan cat pada kuku jari setelah jari jemarinya
sendiri terisi semua; dan seniman gemuk yang membuat kami tertawa ketika ia
mengelus janggutnya dengan kaki kelinci berbulu yang bisaa digunakan untuk
mengumpulkan noda-noda debu emas yang digunakan dalam penyepuhan" Di manakah
mereka semua" Di manakah papan untuk memoles yang amat sering dipakai sehingga seakan akan
telah menjadi anggota tubuh para murid dan kemudian dicampakkan begitu saja,
dan gunting kertas panjang yang ditumpulkan oleh para murid dengan
menggunakannya untuk bermain pedangpedangan" Di manakah papan untuk menulis yang
bertuliskan namanama para empu agung sehingga mereka tak akan terlewatkan, aroma
tinta Cina dan bunyi desis cerek kopi mendidih dalam kesunyian" Di manakah
beragam kuas yang kami buat dari bulu-bulu leher dan bagian dalam kuping
anakanak kucing yang dilahirkan oleh induk kucing kami setiap musim panas, dan
berkas kertas India yang diberikan pada kami agar di waktu luang kami bisa
melatih keterampilan kami seperti yang dilakukan oleh para penulis kaligrafi" Di
mana pisau peraut pena bergagang baja yang buruk dan penggunaannya harus seizin
Kepala Iluminator, sehingga seluruh bengkel seni sering saling mengelak ketika
kami harus menghapus kesalahankesalahan yang parah; dan apa yang terjadi pada
ritual yang meliputi kesalahankesalahan ini"
Kami juga sepakat, merupakan kesalahan bagi Sultan untuk mengizinkan para empu
miniaturis bekerja di rumah. Kami mengingat halva hangat yang lezat yang
disajikan untuk kami dari dapur istana pada awal malammalam musim dingin setelah
kami bekerja dengan mata sakit diterangi cahaya lampu minyak dan lilin. Seraya
tertawa dengan mata berkaca-kaca, kami teringat betapa empu penyepuh uzur yang
diserang penyakit gemetar kronis dan tak mampu memegang pena atau kertas, dalam
kunjungan bulanannya ke bengkel kerja akan membawa roti goring dengan sirup
kental yang dibuatkan putrinya untuk kami para murid. Kami berbincang-bincang
tentang halamanhalaman indah lukisan almarhum Memi Hitam, Kepala Iluminator
sebelum Tuan Osman, yang ditemukan di dalam map di bawah kasur ringan yang ia
gelar untuk tidur singkat di siang hari di kamarnya yang tetap kosong berharihari setelah
pemakamannya. Kami berbicara tentang gambargambar yang kami banggakan dan ingin kami keluarkan
untuk dilihat berkali-kali jika kami memiliki salinannya, seperti yang dimiliki
Tuan Memi Hitam. Mereka menjelaskan bagaimana langit di setengah bagian atas
gambar istana yang dibuat untuk Kitab Keterampilan yang dihias dengan sapuan
emas sebagai pertanda akhir dunia, bukan pada emas itu sendiri, melainkan pada
nada antara menara-menara, kubahkubah, dan pohonpohon cemara cara emas ?sebaiknya digunakan dalam sebuah penggambaran yang sopan.
Mereka menggambarkan sosok Nabi Muhammad yang kebingungan dan kegelian saat para
malaikat memegang ketiaknya dalam perjalanan mikrajnya menuju surga dari atas
sebuah menara; sebuah gambar dengan warnawarna suram yang bahkan anakanak
sekalipun mulamula akan gemetar karena kagum saat melihat adegan yang diberkahi
ini, dan kemudian tertawa hormat seakanakan mereka sendiri kegelian. Aku
menjelaskan bagaimana di sepanjang ujung sebuah halaman aku memperingati
penindasan Wazir Agung terdahulu terhadap para pemberontak dengan menggambarkan
gununggunung yang tersusun dari kepala-kepala yang ia perintahkan dipenggal,
masingmasing digambar dengan penuh citarasa, bukan sebagai kepala sesosok mayat
bisaa, melainkan sebagai seraut wajah unik seseorang dalam gaya seorang pelukis
potret kaum Frank, dengan alis bertaut menjelang maut, warna merah meleleh di
leher mereka, membuat bibir sedih mereka seakanakan mempertanyakan makna hidup,
membuka lubang hidung mereka untuk tarikan napas terakhir putus asa, dan memejamkan mata mereka pada
dunia; dan dengan demikian, aku memberi lukisan itu aura misteri yang
menakutkan. Seakanakan mereka adalah kenangan-kenangan kami sendiri yang tak terlupakan dan
tak terjangkau, kami dengan prihatin memperbincangkan adegan-adegan kesukaan
kami tentang cinta dan perang, mengingat ketakjuban paling luar bisaa dan
kerumitan-kerumitan yang memancing air mata. Tamantaman terpencil dan misterius
tempat para kekasih bertemu di malam berbintang melintas di depan mata kami:
pepohonan musim semi, burungburung menakjubkan, waktu yang membeku .... Kami
membayangkan pertempuran berdarah yang sama mendadak dan mengejutkannya seperti
mimpi buruk kami sendiri, tubuhtubuh terbelah dua, perkelahian dengan baju besi
bersimbah darah, para lelaki tampan saling menusuk lawan dengan belati, bibir
mungil, tangan mungil, mata sipit, perempuanperempuan yang membungkuk
menyaksikan segala peristiwa dari jendela yang hanya sedikit terbuka .... Kami
mengingat pemuda-pemuda tampan yang congkak dan angkuh, para shah dan khan yang
tampan, kekuasaan dan istana mereka telah lama hilang dari sejarah. Sama seperti
para perempuan yang menangis bersama dalam harem para shah, kini kami tahu bahwa
kami memintas dari kehidupan menuju kenangan, tetapi apakah kami memintas dari
sejarah ke legenda seperti yang mereka punya" Agar tak ditarik lebih jauh dalam
sebuah dunia menakutkan oleh bayangan memanjang dari rasa takut
dilupakan bahkan lebih menakutkan daripada rasa takut mati kami saling
? ?bertanya tentang adegan-adegan kematian kesukaan
kami. Hal pertama yang melintas di benakku adalah cara Setan menipu Dehhak agar
membunuh ayahnya. Pada saat legenda itu terjadi, yang digambarkan dalam
permulaan Kitab Para Raja, dunia telah diciptakan kembali dan semua hal begitu
mendasar sehingga tiada yang membutuhkan penjelasan. Jika kau menginginkan susu,
kau tinggal memerah seekor kambing dan meminum susunya. Kaukatakan "kuda", lalu
kau tinggal menungganginya dan pergi berkuda. Kau membayangkan "kejahatan" dan
Setan akan muncul untuk meyakinkanmu betapa indahnya membunuh ayahmu sendiri.
Pembunuhan yang dilakukan Dehhak terhadap Merdas, ayahnya yang keturunan Arab,
begitu indah karena tak beralasan dan terjadi pada malam hari di sebuah taman
istana yang menakjubkan kala bintang-bintang keemasan bersinar lembut menerangi
pohonpohon cemara dan bungabunga musim semi aneka warna.
Berikutnya, kami mengingat Rustem yang legendaris yang tanpa setahunya telah
membunuh putranya sendiri, Suhrab, panglima tentara musuh yang telah bertempur
dengan Rustem selama tiga hari. Ada sesuatu yang menyentuh kami semua dalam cara
Rustem memukul dadanya dengan kepedihan memilukan ketika ia melihat gelang yang
diberikannya pada ibunda pemuda itu bertahuntahun lampau danmengenali musuh yang
telah ia hunjam dadanya dengan pedang itu sebagai putranya sendiri.
Apakah itu sesuatu yang berarti"
Hujan terus menitik di atap pondok darwis dan aku melangkah hilir mudik.
Tibatiba aku berkata seperti ini, "Apakah ayah kita, Tuan Osman, yang akan
mengkhianati dan membunuh kita, atau kita yang mengkhianati dan membunuhnya."
Kami diserang rasa ngeri karena yang kukatakan dengan nyaring itu sungguh benar
adanya. Kami terdiam. Masih melangkah, dan panik oleh pikiran bahwa yang
pertamalah yang akan terjadi, aku berkata pada diri sendiri, "Ceritakanlah kisah
pembunuhan Afrasiyab dari Siyavush untuk mengganti bahan pembicaraan. Tetapi
sebuah kisah pengkhianatan yang gagal membuatku takut. Ceritakan saja kematian
Hiisrev." Baiklah kalau begitu, tetapi manakah yang lebih baik, versi yang
dikisahkan oleh Firdausi dalam Kitab Para Raja atau yang diceritakan oleh Nizami
dalam Hiisrev dan Shirinl Kesedihan pada kisah dalam Kitab Para Raja terletak
pada kesadaran memilukan Hiisrev atas identitas pembunuh yang masuk ke kamar
tidurnya! Sebagai upaya terakhir, dengan mengatakan bahwa ia ingin melakukan
salat, Hiisrev menyuruh bocah pelayan lelakinya untuk mengambilkan air, sabun,
pakaian bersih, dan sajadah. Bocah lugu itu, tanpa memahami bahwa majikannya
bermaksud meminta pertolongan, pergi untuk membawakan yang diminta majikannya.
Begitu hanya berduaan dengan Hiisrev, si pembunuh segera mengunci pintu dari
dalam. Dalam adegan ini di akhir Kitab Para Raja, lelaki yang hendak dipilih
oleh orang orang yang bersekongkol untuk melakukan pembunuhan itu digambarkan
oleh Firdausi dengan jijik: Ia berbau tak sedap, penuh bulu, dan berperut
buncit. Aku melangkah hilir mudik, kepalaku dipenuhi katakata, tetapi seakanakan tengah
berada dalam sebuah mimpi, suaraku tak terucap.
Kemudian, aku merasakan yang lain saling berbisik,
menggunjingkanku. Mereka dengan cepat menarik kakiku sehingga kami berempat terjerembab ke lantai.
Terjadi pergulatan dan perkelahian di lantai, tetapi hanya berlangsung singkat.
Aku terkapar menghadap lantai ditindih mereka bertiga.
Salah satu di antara mereka menduduki lututku. Yang lainnya menduduki lengan
kananku. Hitam menekankan lututnya pada kedua bahuku, ia dengan mantap meletakkan beban
tubuhnya di antara perut dan dadaku, dan duduk di atasku. Aku benarbenar tak
bisa begerak. Kami semua terdiam dengan napas menggebu. Inilah yang kuingat:
Almarhum pamanku memiliki seorang anak lelaki Bengal yang berumur dua tahun
lebih tua dariku kuharap ia telah tertangkap dalam aksi penyerbuan kafilah dan ?dihukum penggal. Penjahat dengki ini, menyadari aku lebih pandai dan lebih
beradab daripadanya, mencari-cari alasan untuk berkelahi denganku, atau
mengajakku beradu gulat, dan setelah dengan cepat mengunciku, ia meniarapkanku
dengan lututnya bertumpu di bahuku dengan cara serupa Hitam. Ia menatap mataku,
seperti yang dilakukan Hitam saat ini, dan membiarkan setetes liur menggantung,
lalu perlahanlahan mengarah pada mataku seakanakan itu adalah benda yang berat,
dan ia amat terhibur saat aku mencoba menghindar dengan memalingkan kepalaku ke
kanan dan ke kiri. Hitam mengatakan padaku agar tidak menyembunyikan apa pun. Di manakah lukisan
terakhir itu" Mengakulah!
Aku merasa dicekik penyesalan dan kemarahan karena dua alasan: Pertama, aku
telah mengatakan semuanya dengan sia-sia, tak menyadari bahwa mereka telah
diamdiam bersekutu. Kedua, aku tadi tidak melarkan diri,
karena tak mengira kecemburuan mereka akan separah ini.
Hitam mengancam akan memotong leherku jika aku tidak mengeluarkan lukisan
terakhir. Betapa konyolnya. Aku menutup mulutku rapat-rapat, seakanakan kebenaran akan
terlontar lepas jika kau membuka mulut. Sebagian diriku juga berpikir bahwa
tiada lagi yang bisa kulakukan. Jika mereka telah bersepakat dan menyeretku pada
Kepala Bendahara sebagai si pembunuh, mereka akan berakhir dengan selamat.
Harapanku satusatunya terletak pada Tuan Osman yang mungkin menunjuk tersangka
lain atau petunjuk lain. Tetapi, bisakah aku yakin bahwa yang dikatakan Hitam
tentangnya benar" Ia bisa saja membunuhku di sini saat ini, dan kemudian
menimpakan tanggung jawab padaku, bukan"
Mereka meletakkan belati itu di tenggorokanku, dan kau segera melihat bagaimana
hal ini memberi Hitam kesenangan yang tak bisa ia sembunyikan. Mereka
menamparku. Apakah belati itu telah melukai kulitku" Mereka menamparku lagi.
Aku bisa bekerja melalui logika berikut ini: Jika aku tetap tenang, tak akan
terjadi apa-apa! Hal ini memberiku kekuatan. Mereka tak bisa lagi menyembunyikan
fakta bahwa sejak masa magang kami sebagai murid mereka telah merasa cemburu
padaku. Aku, yang terbukti mampu memulas cat dengan gaya terbaik, menggambar
garis paling bagus, dan membuat iluminasi terbaik. Aku mencintai mereka atas
kecemburuan mereka yang begitu besar. Aku tersenyum pada saudara-saudaraku
tercinta. Salah satu dari mereka, aku tak ingin kautahu siapa di antara mereka yang
bertanggung jawab atas aib ini, dengan penuh gairah menciumku seakanakan ia
tengah menciumi orang terkasih yang telah lama ditaksirnya. Yang lainnya menyaksikannya
diterangi cahaya lampu minyak yang mereka bawa mendekat pada kami. Aku hanya
bisa menanggapi dengan baik ciuman dari saudaraku tercinta ini. Jika kami hampir
sampai di akhir segalanya, ketahuilah bahwa aku yang membuat iluminasi terbaik.
Carilah karyaku dan lihatlah sendiri buktinya.
Ia mulai memukuliku dengan marah, seakanakan aku membuatnya murka dengan
membalas ciumannya. Namun, yang lainnya menahannya. Mereka berselisih paham.
Hitam merasa gusar karena mereka berselisih paham. Seakanakan mereka bukan marah
padaku, melainkan pada ke arah mana hidup mereka menuju, dan sebagai akibatnya,
mereka ingin membalas dendam pada seluruh dunia.
Hitam mengeluarkan sebuah benda dari sabuknya: sebatang jarum pena dengan ujung
yang runcing, Dengan cepat, ia mengarahkannya ke wajahku dan membuat gerakan
seakanakan ia akan menancapkannya ke mataku.
"Delapan puluh tahun yang lalu, Bihzad yang agung, empu dari segala empu,
mengerti bahwa semuanya telah berakhir dengan jatuhnya Herat, dan secara
terhormat membutakan diri agar tak seorang pun bisa memaksanya melukis dengan
gaya yang lain," ujarnya. "Tak lama setelah ia dengan sengaja menusukkan jarum
ini ke matanya sendiri dan melepaskannya, kegelapan indah Tuhan perlahanlahan
melingkupi pelayan-Nya tercinta, seniman bertangan ajaib ini. Jarum yang sampai
ke Tabriz dari Herat bersama Bihzad yang kini mabuk dan buta ini, dikirimkan
sebagai sebuah hadiah oleh Shah Tahmasp kepada ayah Sultan kita bersama Kitab
Para Paja yang legendaris itu. Pada mulanya Tuan Osman tak bisa
menyimpulkan mengapa benda ini juga dikirimkan. Namun kini, ia bisa melihat
itikad buruk dan logika adil di balik hadiah yang kejam ini. Setelah Tuan Osman
memahami bahwa Sultan kita ingin memiliki lukisan potret diri yang dibuat dalam
gaya para empu Eropa dan bahwa kalian semua yang seakanakan lebih ia cintai ?daripada anakanaknya sendiri telah mengkhianatinya, ia menusukkan jarum ini ke
?kedua matanya semalam di Ruang Penyimpanan Harta meniru Bihzad. Kini, jika aku
?juga membutakan matamu, manusia terkutuk yang bertangung jawab atas kehancuran
bengkel seni Tuan Osman yang didirikan dengan mengorbankan seluruh hidupnya,
bagaimana menurutmu?"
"Tak peduli kau membutakan mataku atau tidak, pada akhirnya, kita tak akan lagi
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa menemukan tempat bagi diri kita di sini," ujarku. "Jika Tuan Osman
sungguhsungguh menjadi buta, atau mangkat, dan kita melukis sesuka kita,
memegang erat kesalahan dan individualitas kita di bawah pengaruh orangorang
Frank sehingga kita memiliki sebuah gaya, kita mungkin akan menyerupai diri
kita, tetapi kita tidak akan menjadi diri kita. Bahkan, andai kita bersedia
melukis dengan gaya para empu tua, dengan alasan karena hanya dengan cara inilah
kita bisa menjadi diri kita, Sultan kita yang memalingkan diri dari Tuan Osman
sekalipun, akan mencari orang lain untuk menggantikan kita. Tak seorang pun akan
memandang kita lagi, kita hanya akan mendatangkan rasa iba. Penyerbuan kedai
kopi seakanakan menaburkan garam pada luka kita, karena separuh kesalahan atas
kejadian ini merupakan tanggung jawab kita para miniaturis yang telah melecehkan
ulama yang disegani itu."
Walaupun aku mencoba berpanjang kata membujuk
mereka bahwa kami akan berhasil jika tidak bertengkar, hasilnya nihil. Mereka
tak bersedia mendengarkanku. Mereka panik. Seandainya mereka bisa membuat
keputusan dengan cepat, sebelum pagi tiba, benar atau salah, bahwa kelompok
mereka bersalah, mereka dipastikan bisa selamat, terbebas dari siksaan, dan
semua yang berkaitan dengan bengkel seni akan bertahan selama bertahuntahun dan
berjalan seperti bisaa. Namun, ancaman Hitam belum menyenangkan dua orang lainnya. Bagaimana jika
terbukti bahwa orang lainlah yang bersalah dan Sultan tahu mereka membutakanku
tanpa alasan" Mereka takut akan kedekatan Hitam dengan Tuan Osman dan sekaligus
kekurangajarannya terhadapnya. Mereka mencoba meraih jarum yang oleh Hitam,
dalam amarah membuta, terus coba dipegangnya di depan mataku,
Hitam menjadi panik, seakanakan mereka merampas jarum itu dari tangannya,
seolaholah kami berkomplot melawannya. Terjadi persilisihan lain. Yang bisa
kulakukan hanyalah mencondongkan kepalaku ke atas untuk meloloskan diri dari
pergulatan memperebutkan jarum yang terjadi begitu dekat dengan mataku.
Semuanya terjadi begitu cepat sehingga aku tak mampu memahami apa yang terjadi
pada mulanya. Kurasakan sakit yang tajam di mata kananku; perasaan kebas
merengkuh dahiku. Lalu semuanya kembali seperti semula, walau sebuah kengerian
telah berakar di dalam diriku. Lampu minyak telah padam, tetapi aku masih bisa
melihat dengan jelas sosok di depanku yang dengan penuh keyakinan menghunjamkan
kembali jarum itu, kali ini ke mata kiriku. Ia mengambilnya dari Hitam hanya
beberapa saat sebelumnya, dan kini ia lebih hatihati dan
teliti. Ketika aku memahami bahwa jarum itu dengan mudah menembus mataku, aku
terbaring diam, walaupun kurasakan rasa terbakar yang sama. Rasa kebas di dahiku
menyebar ke seluruh kepalaku, tetapi berkurang saat jarum itu ditarik. Mereka
menatap jarum itu, lalu menatap mataku, bergantian. Seakanakan mereka tidak
yakin apa yang telah terjadi. Ketika semua orang telah benarbenar mengerti akan
kemalangan yang menimpaku, keributan itu terhenti, dan beban di lenganku
berkurang. Aku mulai menjerit, nyaris melolong. Bukan karena rasa sakitnya, melainkan
karena rasa ngeri atas apa yang telah kualami.
Pertama, kurasakan ratapanku bukan hanya membuatku tenang, melainkan menenangkan
mereka juga. Suaraku menyatukan kami.
Namun, ketika teriakanku terus terdengar, mereka menjadi gugup. Tak bisa lagi
kurasakan rasa sakit apa pun. Yang bisa kupikirkan hanyalah bahwa mataku telah
ditusuk oleh sebatang jarum.
Aku belum buta. Syukurlah aku masih bisa melihat mereka menatapku dengan ngeri
dan sedih, aku masih bisa melihat bayangan mereka bergerak tanpa arah di langitlangit pondok itu. Ini menyenangkan sekaligus membuatku waspada. "Lepaskan aku,"
teriakku. "Lepaskan aku agar aku bisa melihat semuanya sekali lagi, kumohon."
"Cepat, katakan," ujar Hitam. "Bagaimana kau bertemu dengan Elok Effendi malam
itu" Baru kami lepaskan kau."
"Aku pulang ke rumah dari kedai kopi. Elok Effendi yang malang menghampiriku. Ia
gundah dan gelisah. Awalnya aku mengasihaninya. Tetapi, biarkanlah aku menjadi
diriku saat ini dan kelak akan kuceritakan
semuanya. Mataku sudah redup."
"Kedua matamu tak akan langsung redup," Hitam bersikukuh. "Percayalah padaku,
Tuan Osman masih bisa mengenali kudakuda dengan cuping hidung terpotong itu
setelah matanya dilubangi."
"Elok Effendi yang putus asa berkata bahwa ia ingin berbicara padaku dan bahwa
hanya akulah satusatunya orang yang ia percayai."
Ternyata bukan ia yang kukasihani sekarang, melainkan diriku sendiri.
"Jika kau memberi tahu kami sebelum darah menggumpal di matamu, di pagi hari kau
bisa memandangi dunia sepuaspuasnya untuk yang terakhir kalinya," ujar Hitam.
"Lihatlah, hujan sudah reda."
"'Mari kita kembali ke kedai kopi,' ujarku pada Elok, aku langsung merasa ia
tidak suka berada di sana, dan tempat itu bahkan membuatnya ketakutan. Inilah
saat pertama kalinya aku tahu bahwa Elok Effendi telah terpecah dari kami
memisahkan diri setelah melukis bersama kami selama dua puluh lima tahun. Dalam
delapan atau sepuluh tahun terakhir, setelah ia menikah, aku kadang menjumpainya
di bengkel, tetapi aku bahkan tidak tahu apa yang menyibukkannya .... Ia
memberitahuku bahwa ia telah melihat lukisan terakhir, betapa lukisan itu berisi
dosa besar sehingga kita tak akan pernah mampu melupakannya.Akibatnya,
menurutnya kita akan dibakar di neraka. Ia merasa sangat gusar dan didera rasa
takut, diliputi perasaan hancur bagai seseorang yang terpaksa harus melakukan
penistaan terhadap agama."
"Penistaan apa?"
"Ketika kutanyakan pertanyaan itu padanya, ia
membelalakkan matanya dengan terkejut seakanakan ingin berkata, Maksudmu kau
tidak mengetahuinya" Saat itulah kupikir kawan kita itu telah pikun, seperti
kita semua. Ia berkata bahwa Enishte yang malang telah dengan berani menggunakan
metode perspektif dalam gambar yang terakhir. Dalam gambar ini, benda tidak
digambarkan sesuai kepentingan mereka dalam hokum Allah, melainkan sebagaimana
rupa mereka saat terlihat oleh mata telanjang seperti cara melukis orang Frank.?Ini adalah pelanggaran yang pertama. Yang kedua adalah menggambarkan Sultan
kita, sang Khalifah Islam, dengan ukuran yang sama dengan seekor anjing.
Pelanggaran yang ketiga juga melibatkan penggambaran Setan dengan ukuran yang
sama dan rupa yang menyenangkan. Namun, yang mengejutkan dari semua itu sebuah?akibat yang wajar dalam memperkenalkan pemahaman Frank dalam lukisan
kita adalah menggambarkan potret Sultan kita dengan ukuran sesungguhnya, dan
?wajahnya dilukiskan dengan semua detailnya! Tepat seperti yang dilakukan para
pemuja berhala .... Atau seperti potret-potret yang oleh orangorang Kristen, yang
tak mampu menyelamatkan diri dari kecenderungan turun temurun dalam memuja
berhala, dilukiskan di dindingdinding gereja dan dipuja. Elok Effendi, yang
mempelajari pembuatan potret dari Enishtemu, tahu benar mengenai hal ini. Ia
meyakini bahwa pembuatan lukisan potret adalah sebuah dosa besar dan akan
menjadi kejatuhan dalam seni lukis muslim. Karena kami tidak jadi pergi ke kedai
kopi, tempat menurutnya pendakwah kita yang mulia dan agama kita telah
dinistakan, ia menjelaskan semua ini padaku sambil menyusuri jalanan. Sesekali
ia akan berhenti, seperti sedang mencari bantuan, dan bertanya padaku apakah
semua itu benar, apakah tidak ada sumber keterangan lain dan apakah kami akan
sungguh sungguh terbakar di neraka. Ia tampak menderita akibat penyesalan yang
amat dalam dan memukuli dadanya dengan rasa bersalah, tetapi saat itu aku tidak
khawatir. Ia adalah seorang penipu yang sedang berpurapura menyesal."
"Bagaimana kau mengetahui hal itu?"
"Kami sudah mengenal Elok Effendi sejak kanakkanak. Ia sangat teratur, tenang,
wajar dan tidak menarik, seperti hasil sepuhannya. Seperti ada seseorang yang
sedang berdiri di hadapanku yang kemudian menjadi lebih bodoh, lebih naif, lebih
beriman, dan lebih tidak penting daripada Elok yang kami kenal."
"Kudengar ia juga menjadi cukup dekat dengan kaum Erzurumi," ujar Hitam.
"Tak ada seorang muslim yang akan merasakan setersiksa dan semenyesal itu karena
dengan ceroboh telah melakukan dosa," sahutku. "Seorang muslim yang baik
mengetahui bahwa Tuhan Mahaadil dan Mahabijaksana untuk mempertimbangkan niatan
hambaNya. Hanya orangorang tolol berotak udang yang meyakini mereka akan masuk
neraka karena makan babi tanpa sengaja. Lagi pula, seorang muslim sejati tahu
benar bahwa rasa takut dikutuk Tuhan akan membuat yang lainnya juga merasa
takut, bukan hanya dirinya sendiri. Inilah yang sedang dilakukan Elok Effendi.
Ia ingin menakut-nakutiku. Enishtemu yang mengajarinya agar ia melakukan hal
seperti itu, dan kemudian aku tahu bahwa memang seperti itulah halnya. Sekarang,
katakana padaku dengan sejujurnya, saudaraku, apakah darah sudah mulai
menggumpal di mataku, apakah mataku sudah kehilangan warnanya?"
Mereka mendekatkan lampu ke wajahku dan memandanginya, mereka memperlihat kasih
sayang dan perhatian seperti dokter-dokter bedah.
"Sepertinya tiada yang berubah."
Apakah ketiga orang ini, yang tengah menatap mataku, menjadi pemandangan
terakhir yang kulihat di dunia ini" Aku tahu aku tak akan pernah melupakan saat
saat ini hingga akhir hayatku, dan aku menceritakan hal berikut, karena terlepas
Irama Maut 2 Animorphs - 30 Reuni The Reunion Raja Lihai Langit Bumi 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama