Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark Bagian 3
terbayang olehku detail lemari bufet kuno yang dengan
begitu cermat dibuat tampak antik oleh ibuku. Aku bisa melihat fotofoto Andrea
dan teman-temannya yang diselipkan dalam bingkai
cermin di atas lemari bufet itu.
Terbayang olehku Andrea berurai air mata saat berbicara di
telepon dengan Rob Westerfield, dan setelah itu aku melihatnya
mengenakan liontinnya. Saat menulis, aku menyadari ada sesuatu
mengenai liontin itu yang masih tetap mengganggu pikiranku. Aku
tahu aku tidak dapat secara positif mengenalinya kembali sekarang,
kalaupun aku melihatnya, tapi waktu itu aku memberikan deskripsi
yang jelas mengenai liontin itu pada polisi - deskripsi yang sekian
tahun lalu disisihkan begitu saja dan dianggap khayalan seorang
bocah. Namun aku tahu ia mengenakan liontin itu saat aku menemukan
dirinya, dan aku yakin mendengar suara Rob Westerfield di garasi
yang merupakan tempat persembunyian itu. Ibuku menceritakan
padaku sesudahnya bahwa ia dan ayahku membutuhkan waktu
sepuluh sampai lima belas menit untuk menenangkan aku, sampai aku
cukup dapat mengendalikan diri dan bisa mengungkapkan pada
mereka di mana aku menemukan tubuh Andrea. Waktu yang cukup
bagi Rob untuk meninggalkan tempat itu. Dan ia telah membawa
liontin itu bersamanya. Di atas mimbar saksi ia menyatakan sedang pergi jogging
waktu itu, dan bahwa ia sama sekali tidak berada di sekitar garasi itu.
Namun ia telah mencuci dan menggunakan pemutih untuk semua
pakaian yang dikenakannya pagi itu, bersama pakaian-pakaiannya
yang kena darah dari malam sebelumnya.
Sekali lagi aku sempat tertegun membayangkan risiko yang
telah diambilnya dengan kembali ke garasi itu. Untuk apa ia mencoba
mengambil kembali liontin itu" Apakah ia takut benda itu bisa
menjadi bukti yang cukup kuat bahwa Andrea bukan sekadar gadis
yang mengejar-ngejarnya" Bahkan pada saat aku mengingat-ingat
kejadian pagi itu, suara napas memburu dan dengus tertahan yang
dikeluarkannya saat ia bersembunyi di sisi lain mobil pickup itu,
tanganku terasa lembap di atas tuts-tuts komputerku.
Andai aku tidak menerobos hutan sendirian, tapi mengajak
ayahku bersamaku" Rob pasti tertangkap di dalam garasi itu. Apakah
melulu rasa panik yang membawanya ke sana" Apakah mungkin ia
butuh memastikan bahwa apa yang telah dilakukannya bukan sekadar
mimpi buruk" Atau, lebih parah lagi, apakah ia kembali untuk
memastikan Andrea betul-betul sudah tidak bernyawa lagi"
Jam tujuh aku menyalakan oven dan memasukkan sebutir
kentang untuk dipanggang, setelah itu aku kembali bekerja. Tak lama
kemudian, pesawat telepon berdering; ternyata Pete Lawlor.
"Hai, Ellie." Nada suaranya mengingatkanku untuk langsung bersiap-siap.
"Ada apa, Pete?"
"Kau tidak punya waktu buat basa-basi lagi, ya?"
"Kita tidak biasa berbasi-basi. Itu kesepakatan kita.
"Begitu rupanya. Ellie, usaha persuratkabaran kita akan dijual.
Itu sudah pasti sekarang. Pengumumannya akan disebar pada hari
Senin. Semua akan di-PHK. "
"Kau bagaimana?"
"Mereka menawariku pekerjaan. Aku menolak."
"Kau pernah bilang."
"Aku menanyakan pada mereka tentang dirimu, tapi secara
tidak formal mereka menyatakan tidak merencanakan untuk
mempertahankan kolom reporter investigasi."
Aku sudah menduganya, tapi aku toh tiba-tiba merasa seakan
tidak mempunyai pegangan lagi. "Kau sudah putuskan akan ke mana,
Pete?" "Aku masih belum yakin, tapi aku akan menemui beberapa
orang di New York sebelum mengambil keputusan. Mungkin nanti
aku akan menyewa mobil dan pergi ke sana untuk menemuimu, atau
kau bisa menemuiku di kota."
"Boleh juga. Tadinya aku berharap akan menerima kartu pos
dari Houston atau L.A."
"Aku tidak pernah mengirim kartu pos, Ellie. Selama ini aku
mengikuti situsmu." "Isinya belum banyak. Kesannya baru seperti papan nama,
seperti yang ditempatkan di muka toko. Kau tahu kan maksudku:
'Tunggu gebyar pembukaannya.' Tapi aku masih sibuk menggali
beberapa hal yang tidak enak mengenai Westerfield. Kalau Jake Bern
ingin mencoba menampilkan dirinya sebagai idola Amerika, buku itu
sebaiknya dia terbitkan sebagai karya fiksi."
"Ellie, bukan kebiasaanku untuk..."
Aku memotongnya. "Ah, Pete, ayolah. Kau tidak akan
mengingatkan aku untuk berhati-hati, bukan" Aku sudah diingatkan
oleh tetanggaku - dia psikolog - dan oleh seorang petugas polisi. Itu
sudah cukup untuk hari ini."
"Kalau begitu, aku akan bergabung dengan mereka."
"Ayo kita ganti topik. Kau sudah berhasil menghilangkan lima
kilomu?" "Malah lebih baik dari itu. Aku memutuskan penampilanku
sudah bagus apa adanya. Oke, aku akan meneleponmu kalau aku akan
datang nanti. Atau kau bisa meneleponku kapan saja. Sambungan
interlokal tidak begitu mahal malam-malam."
Ia menutup pesawatnya, bahkan sebelum aku sempat
mengucapkan bye. Aku menekan tombol "end" ponselku, kemudian
meletakkannya di sebelah komputer. Saat membuat salad, aku mulai
menyadari pengaruh hilangnya pekerjaanku. Uang muka yang
kuterima pada saat penandatanganan kontrak untuk menulis bukuku
akan memungkinkan aku bertahan untuk sementara, tapi apa yang
harus kulakukan begitu uang itu habis dan aku perlu memusatkan
seluruh perhatianku untuk menghadapi Rob Westerfield yang sedang
asyik menaikkan citranya"
Kembali ke Atlanta" Tapi teman-temanku di koran itu sudah
tersebar di mana-mana. Satu hal lagi untuk dipertimbangkan: tidak
semudah itu memperoleh pekerjaan di koran sekarang-sekarang ini.
Terlalu banyak yang sudah dilahap atau gulung tikar belakangan ini.
Begitu buku itu selesai dan aku bisa meninggalkan semua ini, di mana
aku ingin tinggal" Pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku selama
aku makan, bahkan saat aku mencoba memusatkan perhatianku pada
majalah berita yang kubeli sebelumnya di toko swalayan.
Ponselku berdering kembali saat aku membersihkan meja.
"Anda wanita yang berdiri di depan penjara dengan membawa kertas
karton kemarin?" tanya seorang laki-laki dalam suara parau.
"Betul." Harapanku timbul. Identitas si penelepon tercantum
sebagai "tidak terdaftar" di layar ponselku.
"Aku mungkin punya sesuatu untuk Anda mengenai
Westerfield. Berapa banyak Anda akan bayar?"
"Kurasa itu tergantung informasinya."
"Anda bayar dulu, baru Anda akan dengar.
"Berapa?" "Lima ribu dolar."
"Aku tidak punya uang sebanyak itu."
"Kalau begitu lupakan. Tapi apa yang akan kukatakan pada
Anda bisa mengembalikan Westerfield ke Sing Sing untuk seumur
hidupnya." Apakah ia cuma membual" Aku tidak yakin, tapi aku tidak
boleh melepaskan kesempatan ini. Aku mempertimbangkan
langkahku selanjutnya. "Aku akan menerima uang dalam satu-dua
minggu ini. Coba beri aku sedikit petunjuk mengenai apa yang Anda
ketahui." "Bagaimana dengan ini" Ketika sedang teler akibat obat bius
tahun lalu, Westerfield menceritakan padaku bahwa dia pernah
membunuh seseorang ketika dia berumur delapan belas. Apakah nama
orang itu bernilai lima ribu dolar" Coba pertimbangkan itu. Aku akan
menelepon lagi minggu depan."
Aku mendengar suara telepon ditutup di ujung sana.
Baru saja siang itu Margaret Fisher menyatakan padaku bahwa
menurut penilaian profesionalnya, sebelum membunuh Andrea, Rob
Westerfield pasti bersalah untuk tindakan-tindakan kriminal lain. Aku
teringat beberapa insiden yang kudengar sebelumnya pada hari itu,
seperti yang terjadi di sekolah dan di restoran itu. Tapi kalau ia sampai
benar-benar membunuh seseorang...
Tiba-tiba situasinya berubah sama sekali. Kalau orang yang
barusan meneleponku itu memang bisa dipercaya dan bisa
memberikan nama korban pembunuhan itu padaku, pasti tidak akan
sulit bagiku untuk membongkar beberapa fakta dari kasus itu. Tentu
saja mungkin ini cuma tipuan, akal-akalan seorang bajingan untuk
mendapatkan $5.000 dengan cepat. Aku harus memutuskan, apakah
aku mau mengambil risiko ini.
Aku sedang berdiri di dekat komputer, mengawasi file yang
terbuka. Selagi membaca deskripsiku mengenai Andrea pada saat-saat
terakhir aku bersamanya, aku menyadari bahwa untuk membantu
menjebloskan Rob Westerfield kembali ke penjara, setiap sen yang
kuperoleh dalam hidupku tidak akan sia-sia.
Ada gelas berisi air di sebelah komputerku. Aku meraihnya,
kemudian mengangkatnya; aku bersulang untuk Andrea, dan untuk
prospek mengirim Westerfield kembali ke dalam penjara.
Aku merapikan dapur dan menyalakan TV untuk menonton
siaran berita setempat. Laporan olah raga memperlihatkan suntingan
pertandingan bola basket. Tim yang unggul memenangkan
pertandingan berkat permainan Teddy Cavanaugh, dan saat
mengawasi layar itu, aku melihat wajah adik seayahku yang belum
pernah kutemui. Tampangnya benar-benar mirip aku. Ia lebih muda, tentu saja,
masih kebocahan, tapi mata kami, hidung, bibir, dan tulang pipi kami
sama. Ia melihat lurus-lurus ke dalam kamera, dan aku merasa seakan
kami sedang saling menatap.
Kemudian, sebelum aku sempat mengganti saluran, sebagai
sentuhan akhir yang ironis, aku mendengar suara para pemandu sorak
mulai melantunkan namanya.
Chapter 22 MRS. HILMER telah mengungkapkan padaku bahwa Joan
Lashley St. Martin tinggal di jalan tidak jauh dari Graymoor, biara dan
juga tempat retret para bruder dari Orde Fransiskan. Ketika melewati
kawasan Graymoor yang indah, samar-samar aku ingat pernah melalui
jalan mobilnya yang berkelok-kelok, untuk menghadiri Misa di kapel
utamanya bersama kedua orangtuaku dan Andrea.
Kadang-kadang ibuku membicarakan kembali tentang terakhir
kali kami ke sana; dan itu terjadi tak lama sebelum Andrea meninggal.
Andrea sedang sedikit konyol hari itu, dan terus saja membisikkan
sesuatu yang lucu di telingaku; selagi kebaktian, aku sampai tak bisa
menahan tawa. Dengan tegas ibuku memisahkan kami, dan setelah
Misa mengatakan pada ayahku sebaiknya kami langsung pulang ke
rumah dan melupakan acara makan yang telah kami tunggu-tunggu di
the Bear Mountain Inn. "Bahkan Andrea tidak bisa meluluhkan hati ayahmu hari itu,"
ujar ibuku mengenang. "Tentu saja saat semuanya terjadi beberapa
minggu kemudian, aku menyesal kita tidak menikmati waktu
menyenangkan terakhir itu bersama-sama."
Pada hari sebelum... waktu menyenangkan terakhir...
Aku bertanya-tanya apakah kelak aku akan terbebas dari
ungkapan-ungkapan seperti itu. Yang jelas, tidak hari ini, batinku, saat
aku melambatkan laju kendaraanku untuk mengecek alamat Joan
kembali. Ia tinggal di rumah berlantai tiga, di daerah yang penuh pohon
rindang. Dinding-dindingnya yang terbuat dari papan putih tampak
berkilau di bawah cahaya matahari, serasi dengan daun-daun
jendelanya yang berkisi-kisi dalam nuansa hijau pakaian pemburu.
Aku parkir di jalan mobilnya yang membentuk setengah lingkaran,
menaiki tangga ke terasnya, kemudian menekan bel.
Joan yang membuka pintu. Seingatku ia jangkung, tapi aku
langsung melihat bahwa ia tidak tumbuh sesenti pun selama dua puluh
dua tahun ini. Rambutnya yang panjang kecokelatan kini hanya
sampai batas kerahnya, dan tubuhnya yang dulu ramping sekarang
berisi. Seingatku ia sangat menarik. Bisa kulihat bahwa itu tidak
berubah, setidaknya sampai ia tersenyum - ia termasuk orang yang
memiliki senyum begitu hidup dan hangat, hingga membuat seluruh
wajahnya tampak cantik. Sewaktu kami saling menatap, mata hijau
Joan berkaca-kaca sesaat, kemudian ia menggenggam tanganku.
"Ellie kecil," ujarnya. "Ya Tuhan, tadinya aku membayangkan
kau lebih pendek daripada aku. Kau begitu mungil sewaktu masih
kecil." Aku tertawa. "Aku tahu. Orang-orang yang mengenalku juga
bilang begitu." Ia menggamit lenganku. "Ayo masuk, aku sudah menyiapkan
sepoci kopi, dan aku akan menghangatkan beberapa kue muffin dalam
oven. Belum tentu enak. Kadang-kadang rasanya oke, sekali waktu
seperti bola-bola dari timah."
Kami melintasi ruang duduk yang membujur dari depan sampai
ke bagian belakang rumah. Tipe ruangan yang kusukai - sofa-sofa
nyaman, kursi rotan, dinding penuh buku, pendiangan, jendela-jendela
lebar dengan panorama daerah perbukitan sekitar.
Kami memiliki selera yang sama, batinku. Kemudian aku
menyadari bahwa selera berpakaian kami juga sama. Kami sama-sama
merasa nyaman dalam sweater dan celana jeans. Tadinya aku
membayangkan akan bertemu wanita bertubuh jangkung yang modis,
dengan rambut panjang. Selain mengharapkan tubuhku kecil, aku
yakin tadinya ia membayangkan aku akan mengenakan pakaian yang
penuh renda. Selera ibuku dalam memilih pakaian untuk Andrea dan
aku memang amat sangat feminin.
"Leo sedang pergi keluar dengan anak-anak," ujarnya. "Untuk
mereka bertiga, hidup hanya berkisar seputar permainan basket."
Meja di ruangan sarapan sudah siap untuk kami berdua. Mesin
pembuat kopi tampak menyala di atas lemari bufet. Jendelanya
menggelar panorama memukau hamparan tebing yang terjal dan
Sungai Hudson. "Aku tidak akan pernah bosan menikmati pemandangan dari
jendela ini," ujarku sambil duduk.
"Aku juga. Begitu banyak orang lama yang pindah ke kota, tapi,
kau tahu tidak" Juga banyak yang kemudian kembali. Perjalanan ke
Manhattan hanya memakan waktu satu jam, dan mereka menganggap
jarak itu layak ditempuh." Joan sedang menuang kopi saat ia
mengatakan itu, kemudian tiba-tiba ia meletakkan alat pembuat
kopinya kembali ke atas lemari bufet. "Astaga, sudah waktunya
mengeluarkan kue muffin itu." Ia menghilang ke dalam dapur.
Penampilan Joan memang tidak seperti yang kubayangkan,
batinku, tapi satu hal masih belum berubah! Masih selalu
menyenangkan berada di dekatnya. Joan dan Andrea sangat akrab
dulu, dan ia sering sekali datang ke rumah kami. Tentu saja aku
memiliki teman-temanku sendiri, tapi kalau sedang tidak ada siapasiapa, Andrea
dan Joan membiarkan aku bergabung bersama mereka,
biasanya untuk ikut mendengarkan musik di kamar Andrea. Kadangkadang, saat
sedang mengerakan PR bersama, mereka membiarkan
aku mengerjakan PR-ku bersama mereka, asal aku tidak mengganggu.
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Joan kembali dengan tampang senang, membawa sepiring kue
muffin jagung. "Kau boleh bilang selamat, Ellie," ujarnya. "Aku
datang pas sebelum bagian bawahnya mulai gosong."
Aku mengambil sebuah. Joan duduk, memotong sebuah,
mengolesinya dengan mentega, mencicip, kemudian berkata, "Wauw,
bisa dimakan!" Kami tertawa bersama dan mulai mengobrol. Ia ingin tahu
mengenai aku, apa yang selama ini kulakukan, dan secara singkat aku
memberikan gambaran hidupku sejak usia tujuh tahun sampai
sekarang. Ia tahu ibuku sudah meninggal. "Ayahmu memasang iklan
duka di koran lokal waktu itu," ujarnya. "Bunyinya sangat menyentuh.
Kau tidak tahu?" "Dia tidak mengirim copy-nya padaku."
"Aku masih punya. Kalau kau mau melihatnya, aku bisa
mencarinya. Tapi butuh waktu. Sistem arsipku tidak jauh berbeda
dengan kemahiranku di dapur."
Tadinya aku ingin mengatakan tidak usah, tapi aku toh
penasaran ingin melihat apa yang ditulis ayahku. "Kalau kebetulan
ketemu, aku mau melihatnya," ujarku, mencoba terdengar tidak begitu
peduli. "Tapi jangan sampai kau repot-repot."
Aku yakin Joan ingin bertanya padaku apakah aku masih
berhubungan dengan ayahku, tapi rupanya ia merasa aku lebih suka
tidak membicarakannya. Karena itu ia berkata, "Ibumu dulu cantik sekali. Dan tentu saja
ayahmu juga tampan sekali. Seingatku aku selalu merasa terintimidasi
oleh ayahmu, tapi kurasa aku juga jatuh hati padanya. Aku sedih
sekali ketika mendengar mereka berpisah setelah sidang itu. Kalian
berempat sepertinya begitu bahagia sebelumnya, dan kalian
melakukan begitu banyak hal bersama-sama. Aku selalu berandai
keluargaku juga pergi makan bersama di Bear Mountain Inn pada hari
Minggu, seperti yang biasa kalian lakukan."
"Baru sejam yang lalu aku memikirkan acara makan yang urung
kami lakukan di sana," sahutku. Kemudian aku menceritakan pada
Joan mengenai Andrea yang membuatku tertawa di gereja.
Joan tersenyum. "Dia sering melakukan itu padaku dalam
upacara-upacara di sekolah. Andrea akan memasang tampang serius,
sementara aku mendapat masalah karena tertawa saat kepala sekolah
berbicara." Sambil mencicipi kopinya, ia mengenang. "Orangtuaku
sebetulnya baik, tapi, terus terang mereka tidak begitu seru. Kami
tidak pernah pergi ke restoran, karena ayahku bilang makanan lebih
murah dan lebih enak rasanya di rumah. Untungnya dia lebih longgar
sedikit sekarang, setelah mereka pindah ke Florida."
Ia tertawa. "Tapi kalau mereka pergi keluar, aturannya adalah
mereka sudah harus berada di restoran menjelang pukul lima untuk
mendapatkan harga penglaris, dan kalau ingin minuman pembuka,
mereka akan menyiapkannya di rumah dan menikmatinya di mobil
mereka, di pelataran parkir restoran sebelum mereka makan. Seru,
kan?" Kemudian ia menambahkan, "Maksudku, akan lain ceritanya
kalau ayahku memang tidak mampu berbuat lain, tapi nyatanya tidak
begitu. Ayahku cuma pelit saja. Ibuku bilang dia masih menyimpan
uang Komuni Pertamanya."
Ia menuang cangkir kedua kami. "Ellie, seperti semua yang
tinggal di sekitar sini, aku mengikuti wawancara Rob Westerfield di
televisi tempo hari. Sepupuku hakim. Dia bilang begitu banyak
tekanan untuk pelaksanaan sidang ulang itu, sehingga dia tidak heran
kalau mereka sudah sampai tahap penyeleksian juri. Kau tidak tahu
seberapa manipulatif ayahnya, dan sementara itu, Dorothy
Westerfield, nenek Rob Westerfield, sudah memberi banyak derma
pada sejumlah rumah sakit, perpustakaan, dan sekolah di sekitar sini.
Dia menginginkan sidang ulang untuk Rob, dan pihak-pihak yang
berpengaruh di sini mengharapkan keinginannya itu terwujud."
"Kau akan dipanggil untuk memberikan kesaksian, Joan,"
ujarku. "Aku tahu. Aku dianggap orang terakhir yang melihat Andrea
dalam keadaan hidup." Ia tampak ragu, kemudian menambahkan.
"Kecuali si pembunuh itu, tentunya."
Kami sama-sama terdiam selama beberapa saat. Setelah itu aku
berkata, "Joan, aku butuh tahu semua yang kauingat mengenai malam
terakhir itu. Aku sudah membaca transkripsi sidang itu berulangulang, dan sempat
terpintas dalam diriku bahwa kesaksianmu singkat
sekali." Ia menempatkan sikunya di atas meja, melipat kedua tangannya,
kemudian menumpu dagu di atasnya. "Memang singkat sekali, karena
si penuntut umum maupun si pembela tidak menanyakan padaku,
kalau kita menengok ke belakang, apa-apa yang menurutku
seharusnya mereka tanyakan."
"Misalnya?" "Tentang Will Nebels, umpamanya," sahutnya. "Kau ingat dia
itu pekerja serabutan, dan biasa melayani siapa saja di kota ini pada
waktu itu. Dia membantu pengerjaan teras kalian, kan?"
"Ya." "Dia mereparasi pintu garasi kami setelah ibuku menabraknya
saat memundurkan mobil. Seperti biasa dikatakan ayahku, kalau Will
tidak sedang mabuk, dia tukang kayu yang andal. Tapi, tentu saja, kau
tidak bisa tahu kapan dia muncul."
"Aku ingat itu."
"Sesuatu yang mungkin tidak kauingat adalah, Andrea dan aku
sering mendiskusikan fakta bahwa kadang-kadang dia sedikit terlalu
ramah." "Terlalu ramah?"
Joan angkat bahu. "Sekarang ini, setelah mengetahui apa yang
kuketahui, aku bisa bilang dia berpotensi untuk menjadi pedophile pelaku pelecehan seks terhadap anak-anak. Maksudku, kita semua
mengenalnya karena dia pernah masuk ke rumah-rumah kita. Tapi
beberapa kali, saat kami berpapasan dengannya di jalan, dia suka
memeluk kami satu per satu dengan cara sok akrab - tapi itu tidak
akan terjadi, tentu saja, kalau ada orang dewasa di sekitar situ."
Aku tertegun. "Joan, aku yakin di usia itu pun aku pasti tahu
kalau Andrea sampai mengadukan dia pada ayahku. Aku masih ingat
ketika ayahku bilang pada Andrea untuk menjauhi Westerfield."
"Ellie, dua puluh dua tahun yang lalu, sebagai anak-anak, kita
belum menyadari bahwa dia berpotensi menjadi lebih dari sekadar
brengsek. Waktu itu kami sama-sama membicarakan betapa
menjijikkan rasanya saat Nebels memeluk kami dan menyebut kami
'gadis-gadisnya . 'Kau suka teras baru yang aku bikin bersama
ayahmu, Andrea?" dia suka bilang begitu sambil tersenyum ramah
berlebihan, atau, 'Bagus kan aku mengerjakan pintu garasimu, Joanie"
katanya genit. "Begini, dia memang tidak melecehkan kami, tapi kalau
ditimbang-timbang, dia benar-benar bajingan pemabuk yang nekat,
dan aku tahu dia terutama suka pada Andrea. Aku ingat secara
bercanda aku pernah bilang pada ayah-ibumu bahwa Andrea akan
mengundang Will Nebels ke pesta dansa Natal. Tapi mereka rupanya
tidak menangkap ada yang tidak beres di balik ucapanku itu."
"Ayahku melewatkannya!"
"Andrea bisa meniru persis sekali cara Will menyelundupkan
keluar botol bir dari antara peralatannya, dan setelah itu tertangkap
basah saat dia sedang bekerja. Tidak ada alasan bagi ayahmu untuk
mencurigai ada maksud lain di balik gurauan itu."
"Joan, aku tidak mengerti untuk apa kau menceritakan ini
padaku sekarang. Apakah maksudmu kau merasa apa yang
diungkapkan Will Nebels belum lama ini cuma cerita bohong, dan
bahwa dia dibayar oleh keluarga Westerfield untuk mengungkapkan
itu"' "Ellie, sejak mendengar cerita Will Nebels dalam wawancara
itu, aku terus bertanya-tanya sampai di mana kebenaran ucapannya.
Apakah dia sungguh-sungguh ada di rumah Mrs. Westerfield malam
itu" Apakah dia sungguh-sungguh melihat Andrea masuk ke garasi
itu" Aku sampai sempat bertanya-tanya, apakah aku memang melihat
seseorang di ujung jalan saat Andrea meninggalkan rumah kami
malam itu. Tapi aku sendiri begitu bingung mengenai itu ketika
berbicara dengan polisi dan para petugas pengadilan, sehingga hal itu
hanya dianggap dampak histeria remaja."
"Yang kuungkapkan pada mereka dianggap imajinasi
berlebihan seorang bocah."
"Yang aku tahu pasti adalah Will Nebels tidak punya SIM pada
waktu itu, karena itu dia selalu ke mana-mana berjalan kaki. Dan aku
juga tahu dia menaruh hati pada Andrea. Katakanlah Andrea berniat
menemui Rob Westerfield di garasi itu, dan tiba di sana lebih awal.
Katakanlah Will membuntutinya sampai ke sana, kemudian mencoba
melakukan sesuatu padanya. Katakanlah terjadi pergumulan,
kemudian Andrea jatuh terjengkang" Lantainya dari semen, dan dia
mengalami cedera di bagian belakang kepalanya, yang mereka anggap
terjadi karena dia jatuh setelah dihajar dengan tuas dongkrak itu. Tapi
apakah tidak mungkin dia terjatuh sebelum dihajar dengan tuas
dongkrak itu?" "Hantaman di bagian belakang kepalanya hanya akan membuat
dia kehilangan keseimbangannya," ujarku. "Aku tahu itu dari catatan
sidang." "Coba dengar dulu. Bagaimana kalau kita berandai sebentar
bahwa apa yang dikatakan Rob Westerfield benar, sebrengsek apa pun
dia. Dia memarkir mobilnya di bengkel pompa bensin itu, pergi
menonton, dan setelah film selesai, dia pergi ke tempat
persembunyian itu. Siapa tahu Andrea masih menunggunya di situ."
"Dan menemukannya dalam keadaan sudah meninggal?"
"Ya, dan dia menjadi panik. Persis seperti yang dinyatakannya
selama ini." Joan melihat aku akan protes, jadi ia mengangkat tangannya.
"Coba dengar dulu, Ellie. Ada kemungkinan setiap orang
mengungkapkan sebagian kebenarannya. Katakanlah Nebels bergumul
dengan Andrea, kemudian Andrea jatuh dan kepalanya terbentur
sampai dia pingsan. Katakanlah Nebels lari ke dalam rumah Mrs.
Dorothy Westerfield sambil mencoba memutuskan apa yang akan dia
lakukan. Dia pernah bekerja di sana, dan tahu kode sistem alarmnya.
Dan setelah itulah dia melihat Paulie muncul."
"Untuk apa Paulie mengeluarkan tuas dongkrak itu dari dalam
mobil?" Mungkin untuk melindungi dirinya, kalau dia sampai tepergok
Westerfield. Kau ingat Miss Watkins, pembimbing pelajar itu,
menyatakan di bawah sumpah bahwa Paulie mengatakan, 'Aku kira
dia tidak mati."' "Joan, apa maksudmu?"
"Coba kaudengar skenario ini: Will Nebels membuntuti Andrea
ke garasi itu dan mencoba melakukan sesuatu padanya. Terjadi
perkelahian. Andrea jatuh, kepalanya terbentur, kemudian pingsan.
Nebels masuk ke dalam rumah, dan setelah itu melihat Paulie muncul,
mengeluarkan tuas dongkrak, dan membawanya masuk ke dalam
garasi itu. Beberapa menit sesudah itu, Paulie kembali ke dalam
mobil, dan segera meninggalkan tempat itu. Nebels tidak tahu pasti
apakah Paulie akan pergi memanggil polisi. Dia pergi ke garasi itu
lagi. Dia melihat tuas dongkrak yang ditinggalkan Paulie. Will Nebels
tahu dia akan menghadapi hukuman penjara kalau Andrea sampai
buka mulut mengenai apa yang terjadi. Dia membunuh Andrea,
membawa tuas dongkrak itu bersamanya, kemudian meninggalkan
tempat itu. Setelah menonton, Rob naik mobil ke tempat
persembunyian itu, dan menemukan Andrea di sana dalam keadaan
meninggal. Dia menjadi panik."
"Joan, tidakkah kau sadar bahwa kau melupakan sesuatu yang
sangat mendasar?" Aku berharap nadaku tidak terlalu kesal
menanggapi teorinya. "Bagaimana tuas dongkrak itu bisa berada
kembali di dalam mobil Rob Westerfield?"
"Ellie, Andrea dibunuh pada hari Kamis malam. Kau
menemukan tubuhnya pada hari Jumat pagi. Rob Westerfield baru
dimintai keterangannya pada hari Sabtu sore. Memang tidak
tercantum dalam transkripsi sidang, tapi pada hari Jumat, Will Nebels
bekerja untuk keluarga Westerfield, mengerjakan ini-itu. Mobil Rob
ada di jalan mobil rumahnya. Dia selalu meninggalkan kuncinya di
dalamnya. Tidak akan sulit bagi Will untuk mengembalikan tuas
dongkrak itu ke dalamnya pada hari itu."
"Dari mana kau tahu semua ini, Joan?"
"Dari sepupuku, Andrew, si hakim, yang pada waktu itu bekerja
di kantor kejaksaan. Dia ada di sana sewaktu Rob Westerfield
disidang, dan tahu persis mengenai kasus itu. Dari dulu dia
menganggap Rob Westerfield sebagai makhluk tidak becus yang
agresif dan menyebalkan, tapi dia juga percaya Rob tidak bersalah
atas kematian Andrea."
Opsir White percaya Paulie yang bersalah atas kematian
Andrea. Mrs. Hilmer masih tidak yakin Paulie tidak bersalah.
Sedangkan Joan sekarang yakin Will Nebels-lah yang membunuh
Andrea. Tapi aku masih tetap yakin Rob Westerfield yang mencabut
nyawa kakakku. "Ellie, kau menyangkal semua yang telah kukatakan." Suara
Joan terdengar datar, nadanya menyesal.
"Tidak, aku tidak menyangkal kemungkinan itu. Percayalah.
Secara teori, itu masuk akal. Tapi Joan, Rob Westerfield ada di dalam
garasi itu pagi itu, saat aku berlutut di dekat tubuh Andrea. Aku
mendengar suara napasnya, dan aku mendengar - sulit sekali bagiku
menjelaskan ini. Suara tawa kecil adalah cara yang paling dekat
bagiku untuk mendeskripsikannya. Suara tarikan napas yang khas, dan
aku pernah mendengar itu, di salah satu kesempatan lain."
"Seberapa sering kau bertemu dengannya, Ellie?"
"Beberapa kali, sewaktu Andrea dan aku berjalan kaki ke kota
sepulang sekolah atau pada hari Sabtu, sewaktu dia tiba-tiba saja
muncul. Berapa banyak sebetulnya Andrea menceritakan padamu soal
dia?" "Tidak banyak. Seingatku, kali pertama aku melihatnya adalah
di salah satu acara pertandingan di sekolah. Andrea menjadi anggota
band pada waktu itu, tentu saja. Penampilannya luar biasa - dia
tampak begitu cantik. Aku ingat Westerfield menghampirinya setelah
pertandingan di awal bulan Oktober. Aku sedang berdiri bersamanya.
Dia langsung mendekat dan bilang kakakmu cantik sekali, bahwa dia
tak bisa mengalihkan mata darinya - kata-kata semacam itu. Dia lebih
tua dari kami dan tampan sekali, dan Andrea tentu saja merasa
tersanjung. Selain itu, kukira ibumu pasti sering membicarakan betapa
terkemukanya keluarga Westerfield."
"Ya." "Dia tahu kami suka menyelinap masuk ke garasi neneknya
untuk merokok. Dan yang kumaksud adalah rokok biasa, bukan ganja.
Kami menganggap diri kami hebat, tapi kami tidak melakukan sesuatu
yang melanggar hukum. Rob Westerfield mengatakan pada kami
untuk menganggap garasi itu tempat kumpul-kumpul kami, tapi kami
harus memberitahu dia kapan akan ke sana. Kemudian saat kami
melakukan itu, dia meminta Andrea datang ke sana lebih awal. Kau
tahu Andrea sempat berteman dengannya - kalau kau bisa
menyebutnya begitu - selama kurang-lebih sebulan sebelum dia
meninggal." "Pernahkah kau merasa dia menjadi takut pada Westerfield?"
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pernah merasa ada sesuatu yang benar-benar tidak beres,
namun dia tidak mau mengatakan padaku apa itu. Pada malam
terakhir itu, dia meneleponku dan menanyakan apakah dia boleh
datang, supaya kami bisa mengerjakan PR bersama-sama. Terus
terang, ibuku tidak begitu senang. Aku agak ketinggalan dalam
pelajaran matematikaku, dan ibuku ingin aku berkonsentrasi. Dia tahu
Andrea dan aku suka menghabiskan banyak waktu dengan mengobrol,
padahal seharusnya kami belajar. Selain itu, Mom mau pergi main
bridge, sehingga dia tidak akan ada di rumah untuk memastikan kami
sungguh-sungguh belajar."
"Apa kalian memang selesai lebih awal dengan PR kalian,
ataukah menurutmu Andrea memanfaatkanmu untuk bisa pergi keluar
dan bertemu Rob?" "Kurasa dia memang sudah merencanakan pulang lebih awal,
karena itu kukira jawabannya ya, aku telah dijadikan alasan olehnya."
Setelah itu aku mengajukan pertanyaan vital itu. "Apa kau tahu
Rob pernah memberinya liontin?"
"Tidak, dia tidak pernah menceritakan itu padaku, dan kalaupun
Rob memberinya liontin, aku tidak pernah melihatnya. Tapi ayahmu
pernah memberinya liontin, dan dia cukup sering memakainya."
Andrea mengenakan sweater tebal berleher V malam itu.
Karena itulah aku begitu yakin melihatnya memasang liontin itu di
lehernya. Rantainya lumayan panjang, sampai pada batas bawah garis
lehernya. "Kalau begitu, seingatmu, dia tidak memakai perhiasan apa-apa
saat meninggalkan rumahmu?"
"Aku tidak bilang begitu. Seingatku, dia mengenakan rantai
tipis dari emas. Pendek, persis sampai di batas lehernya."
Jadi seperti itulah situasinya, batinku. Tiba-tiba aku ingat hal
lain mengenai malam itu. Mantel Andrea ada di lantai bawah, dan
Mom sedang menunggu dia di sana. Sebelum meninggalkan kamar,
Andrea sempat memutar letak liontin itu dan membiarkannya jatuh di
belakangnya, di antara tulang belikatnya. Efeknya seperti mengenakan
rantai yang sampai di batas leher.
Aku sudah membaca dengan cermat deskripsi pakaian Andrea
saat tubuhnya ditemukan. Sama sekali tidak disebut-sebut soal rantai
itu. Aku meninggalkan rumah Joan beberapa saat kemudian, dengan
janji akan meneleponnya secepatnya. Aku tidak mencoba menjelaskan
padanya bahwa secara tak langsung ia telah menghidupkan kembali
ingatanku mengenai cara Andrea memakai liontinnya.
Rob Westerfield memang kembali untuk mengambil liontin itu
pada pagi setelah ia membunuh Andrea. Aku yakin sekali sekarang, ia
menganggap terlalu berbahaya baginya meninggalkan liontin itu di
tubuh Andrea. Besok aku akan mendeskripsikan itu dalam situsku,
seperti caraku mendeskripsikannya pada Marcus Longo sekitar dua
puluh dua tahun yang lalu.
Perlu mencari informasi lagi, batinku saat aku sekali lagi
melintas di muka Biara Graymoor. Kalau Rob Westerfield
menganggap cukup penting untuk kembali dan mengambil liontin itu,
tentunya ada seseorang di luar sana yang berminat mendapatkan
imbalan untuk mengatakan padaku, mengapa liontin itu begitu penting
baginya. Lonceng kapel Graymoor mulai berdentang. Hari sudah siang.
Sekolah dasar. Sembahyang doa Malaikat Tuhan. Dan malaikat
Tuhan menyampaikan pada Maria...
Dan Maria menemui Elizabeth. Aku mengagungkan Tuhan...
Dan hatiku bersuka ria...
Mungkin suatu hari nanti hatiku akan kembali bersuka ria,
batinku saat aku menyalakan radio.
Tapi sekarang belum. Chapter 23 DARI meja resepsionis Parkinson Inn aku bisa melihat ke
dalam restoran, dan menyaksikan mereka yang sedang menikmati
makan siang akhir minggu. Suasana hari itu rupanya ekstra
menyenangkan. Aku bertanya-tanya apakah sore yang hangat di
musim gugur memang memberikan efek seperti itu setelah beberapa
hari yang terus mendung di awal minggu ini.
"Aku khawatir keenam kamar kami sudah penuh untuk akhir
minggu ini, Ms. Cavanaugh," ujar si resepsionis. "Memang begitu
setiap akhir minggu sejak musim gugur ini, dan itu masih akan terus
sampai liburan Natal."
Oke, kalau begitu. Percuma tinggal di sini selama tengah
minggu, kemudian pindah di akhir minggu. Aku harus mencari tempat
lain. Namun aku enggan berkeliling dari satu penginapan atau motel
ke motel lain. Aku memutuskan akan jauh lebih efisien kalau aku
kembali ke apartemen, mengeluarkan buku telepon, dan mulai
menelepon untuk memastikan di mana aku bisa tinggal selama
beberapa minggu berikut ini. Lebih ideal lagi kalau aku bisa
menemukan tempat yang tidak membuatku bangkrut sama sekali.
Sejak pagi aku baru makan sepotong muffin jagung. Waktu
sudah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh, dan aku sedang tidak
ingin makan roti sandwtch dengan keju Amerika, tomat, dan selada,
yang seingatku merupakan satu-satunya yang masih ada di
apartemenku. Aku masuk ke restoran itu dan langsung mendapat tempat
duduk. Secara teknis meja itu untuk dua orang, meskipun orang yang
akan menempati kursi satunya harus memiliki postur sekurus
tengkorak. Kursi itu diletakkan di sudut tajam pojok tempat aku
dipersilakan duduk, tanpa ruang gerak. Di sebelahku terdapat meja
untuk enam orang, dengan tanda sudah dipesan bersandar pada tempat
garam dan mericanya. Dalam perjalanan kelilingku, aku baru sekali ke Boston, ketika
sedang mengolah kelanjutan berita yang kuliput. Kunjungan singkat
itu meninggalkan rasa suka yang permanen pada clam chowder - sup
tiram ala New England, yang menurut menu merupakan hidangan
istimewa hari itu. Aku memesannya, berikut salad hijau dan sebotol Perrier. "Aku
suka supku panas sekali," ujarku pada si pelayan. Sementara
menunggu dilayani, aku mencamil roti renyah dan mulai menganalisis
kenapa aku merasa tidak enak, dan bahkan gelisah.
Tidak sulit sebetulnya untuk menemukan alasannya, putusku.
Beberapa minggu yang lalu, ketika aku kemari, aku merasa seperti
semacam Don Quixote perempuan yang hendak menantang kincir
angin. Tapi kenyataan yang menyedihkan adalah, bahkan mereka yang
tadinya kuperhitungkan akan sama yakinnya seperti aku mengenai
status bersalah Rob Westerfield ternyata tidak berada di pihakku.
Mereka mengenalnya. Mereka tahu seperti apa dia. Tapi mereka
toh masih menganggap mungkin ia telah melewati usia dua puluhan
dan tiga puluhannya di penjara sebagai orang yang tidak bersalah,
sebagai korban tindak pembunuhan itu. Seberapa besar pun rasa
simpati mereka terhadapku, di mata mereka aku dianggap anggota
keluarga yang terobsesi dari gadis yang sudah lama meninggal itu,
ngotot dan tidak masuk akal di satu pihak, nyentrik dan tidak stabil di
pihak lain. Aku tahu dalam beberapa hal aku memang arogan. Saat aku
merasa diriku benar, kekuatan surga maupun neraka tidak akan bisa
menggoyahkanku. Mungkin karena itulah aku reporter investigasi
yang andal. Aku memiliki reputasi bisa menerobos hal-hal yang tidak
mungkin, bersikukuh pada apa yang kuanggap kebenaran, dan setelah
itu membuktikannya. Kini, saat duduk di restoran ini, tempat dulu
sekali aku pernah duduk sebagai anggota paling kecil sebuah keluarga
bahagia, aku mencoba bersikap jujur pada diriku sendiri. Mungkinkah.
tekad kuat yang telah membuatku menjadi reporter yang baik, pada
saat ini justru berdampak sebaliknya" Apakah aku sedang melakukan
sesuatu yang berdampak tidak baik terhadap orang-orang seperti Mrs.
Hilmer dan Joan Lashley, pada Rob Westerfield yang begitu aku
benci" Aku begitu sibuk dengan pikiranku sendiri, sehingga aku
terkejut ketika sebuah tangan muncul di mukaku. Ternyata si pelayan
dengan sup tiramku. Sesuai permintaanku, uapnya masih tampak
mengepul-ngepul dari mangkuknya.
"Hati-hati," ia mengingatkan. "Ini benar-benar panas."
Ibuku biasa mengingatkan bahwa kita tidak perlu mengucapkan
terima kasih pada pelayan untuk layanannya, namun hal itu tak pernah
sungguh-sungguh kulaksanakan. Mengatakan "terima kasih" di saat
sesuatu yang kauinginkan diletakkan di hadapanmu tidaklah kuanggap
berlebihan, sampai sekarang.
Aku meraih sendokku, namun sebelum aku sempat menikmati
suapan pertama, rombongan yang memesan meja di sebelahku tiba.
Aku mengangkat wajah dan tenggorokanku langsung terasa kering Rob Westerfield sedang berdiri di dekat kursiku.
Aku meletakkan sendokku. Ia mengulurkan tangannya, tapi aku
tidak menyambutnya. Ia benar-benar lelaki tampan, bahkan lebih
tampan daripada di televisi. Ada semacam daya tarik hewani pada
dirinya, kesan kuat dan penuh percaya diri yang merupakan ciri khas
banyak lelaki berpengaruh yang pernah kuwawancarai.
Matanya yang memukau bernuansa biru cobalt, rambutnya yang
gelap sedikit keabuan di bagian pelipisnya, kulit wajahnya
kecokelatan. Aku pernah melihat warna kulit kepucatan khas orang
yang dipenjara, sehingga sekilas terpintas dalam diriku bahwa sejak ia
bebas tentunya ia telah menyempatkan diri berjemur di bawah lampu
matahari. "Pemilik restoran ini memberitahu aku bahwa kau duduk di
sini, EIIie," ujarnya, suaranya hangat, seakan hubungan kami akrab.
"O ya?" "Dia tahu siapa kau, dan bahwa aku punya masalah denganmu.
Dia tidak mempunyai meja lain untuk enam orang, dan mengira aku
tidak bakal mau duduk di dekatmu."
Melalui sudut mataku aku bisa melihat rekan-rekannya sudah
mulai mengambil tempat duduk. Dua di antaranya kukenali dari acara
wawancara di televisi itu - ayahnya, Vincent Westerfield, dan
pengacaranya, William Hamilton. Mereka menatapku, ekspresi
mereka tidak bersahabat. "Apa tidak terpikir olehnya bahwa aku mungkin tidak ingin
duduk di dekatmu?" tanyaku dalam suara datar.
"Ellie, penilaianmu tentang aku benar-benar keliru. Aku ingin
kau menemukan pembunuh kakakmu dan melihat dia dihukum seberat
aku dulu. Tidakkah kita bisa berteman dan membicarakan ini dengan
tenang?" Ia tampak ragu, kemudian dengan tersenyum ia
menambahkan, "Ayolah, Ellie."
Aku menyadari seluruh restoran itu tiba-tiba menjadi hening.
Mengingat semua yang ada di sana sepertinya ingin tahu tentang
pembicaraan kami, aku sengaja menaikkan volume suaraku. "Aku
akan senang sekali berteman denganmu, Rob," ujarku. "Bagaimana
kalau kita bertemu di garasi yang pernah menjadi tempat
persembunyian itu" Itu tempat favoritmu, bukan" Atau mungkin
kenangan menghajar gadis berusia lima belas tahun sampai mati di
sana masih terasa terlalu menyakitkan bagi pembohong kawakan
seperti dirimu?" Aku melempar lembaran dua puluh dolar ke atas meja, dan
mendorong kursiku ke belakang.
Tanpa menunjukkan sedikit pun rasa terganggu oleh ucapanku,
Rob memungut lembaran uang itu dan menyusupkannya ke saku
jaketku. "Kami punya house account di sini, Ellie. Kapan pun kau
kemari, kau menjadi tamu kami. Ajaklah teman-temanmu." Sekali lagi
ia terdiam, namun kali ini ia menyipitkan matanya.
"Kalau kau memang punya," tambahnya tenang.
Aku mengeluarkan lembaran dua puluh dolar itu dari sakuku,
kemudian melihat si pelayan, dan memberikan uang itu padanya, lalu
keluar. Setengah jam setelah itu aku sudah kembali di apartemen. Suara
ketel bersiul, aku sedang memadukan roti sandwich dengan keju,
tomat, dan selada yang sebelumnya kutampik untuk makan siang.
Sementara itu, gemetar yang tadi kurasakan di dalam mobil sudah
mereda, hanya tangan-tanganku yang dingin dan lembap masih
merefleksikan keterkejutanku karena tiba-tiba berhadapan dengan Rob
Westerfield. Secara berulang-ulang selama setengah jam itu, sebuah adegan
terus berputar di dalam kepalaku. Aku sedang berada di mimbar saksi.
Diapit kedua pengacaranya, Rob duduk di belakang meja yang
disediakan untuk tergugat. Ia terus memandangiku, matanya tampak
kejam dan sinis. Aku yakin sewaktu-waktu ia akan melompat untuk
menerkamku. Tatapannya saat ia berada hanya beberapa senti dariku di
restoran itu sama tajamnya seperti ketika sidang itu dulu berlangsung,
dan di balik mata birunya serta nada bicaranya yang sopan, aku
merasa dan melihat kebencian yang persis sama.
Tapi sebetulnya ada sesuatu yang berbeda, batinku
mengingatkan diri sendiri, hingga aku mulai lebih tenang. Usiaku
sekarang tiga puluh tahun, bukan tujuh tahun. Dan entah bagaimana,
aku mempunyai potensi lebih besar untuk mencelakainya sekarang
daripada ketika itu. Setelah sidang itu, salah satu reporter menulis, "Si
bocah malang dan polos yang memberikan kesaksian dalam sidang
bahwa kakaknya benar-benar takut pada Rob Westerfield sangat
mempengaruhi keputusan juri."
Aku membawa roti sandwich dan tehku ke meja, mengeluarkan
buku telepon dari dalam lemari, kemudian meraih ponselku. Sambil
makan, aku berniat membalik-balik Halaman Kuning dan memberi
tanda di mana aku bisa bertanya mengenai tempat tinggal yang bisa
disewa bulanan. Sebelum aku sempat memulai, Mrs. Hilmer menelepon. Aku
mulai menjelaskan padanya bahwa aku sedang mencari tempat
tinggal, tapi ia langsung menyelaku. "Ellie, aku baru saja ditelepon
cucu pertamaku, Janey. Kau ingat aku menccritakan padamu bahwa
dia baru saja melahirkan anak pertamanya bulan lalu?"
Aku bisa mendengar ketegangan dalam suara Mrs. Hilmer.
"Bukan karena ada yang tidak beres dengan si bayi, kuharap," ujarku
cepat. "Tidak. Si bayi tidak apa-apa. Tapi pergelangan tangan Janey
patah, jadi dia memerlukap sedikit bantuan. Aku akan naik mobil ke
Long Island sore ini, dan akan tinggal di sana selama beberapa hari.
Kau sudah membuat rencana pindah ke Parkinson Inn" Setelah apa
yang terjadi, aku khawatir bila kau tinggal sendirian di sini."
"Aku sempat mampir di tempar penginapan itu tadi, namun
kamar-kamar mereka sudah penuh untuk akhir minggu ini, juga untuk
enam sampai tujuh akhir minggu yang akan datang. Aku baru mau
menelepon beberapa tempat penginapan lain."
"Ellie, kuharap kau mengerti aku hanya mengkhawatirkan
dirimu. Tinggallah di apartemen itu sampai kau menemukan tempat
yang lebih cocok, tapi pastikan kau mengunci semua pintunya."
"Aku akan melakukannya, aku janji. Jangan mengkhawatirkan
aku " "Aku akan membawa copy transkripsi sidang dan koran-koran
itu bersamaku. Aku akan mempelajarinya saat aku berada di Garden
City bersama Janey. Catat nomor telepon ini, kalau-kalau kau ingin
menghubungi aku." Aku mencatatnya, dan beberapa menit kemudian aku
mendengar suara mobil Mrs. Hilmer meninggalkan jalan mobil. Aku
harus mengakui setelah bertemu mendadak dengan Rob Westerfield,
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku sedikit menyesal Mrs. Hilmer pergi.
"Fraidy cat, fraidy cat. " Begitulah Andrea suka meledekku,
saat kedua orangtua kami pergi dan kami menonton film semacam
Friday the 13th di televisi. Aku selalu menutup mataku dan
merapatkan diri ke dekatnya di bagian-bagian yang paling
menakutkan. Aku ingat suatu malam, untuk membalasnya, aku bersembunyi
di bawah tempat tidur, dan ketika ia masuk ke kamar, aku
mengeluarkan tanganku dan menangkap kakinya. "Fraidy cat, fraidy
cat, " lantunku saat ia menjerit kaget.
Tapi Andrea tidak ada di sini untuk melindungi aku sekarang,
dan aku sudah dewasa, biasa menjaga diriku sendiri. Aku angkat bahu
dan mulai melingkari tempat penginapan serta motel-motel lokal di
Halaman Kuning itu. Kemudian aku mulai menelepon yang sepertinya paling sesuai
untukku; ternyata ini membuatku cukup frustrasi. Di antara sedikit
yang kedengarannya lumayan, jatuhnya toh mahal kalau dihitung
secara bulanan, terutama setelah aku menambahkannya dengan
pengeluaran untuk makan. Setelah hampir dua jam, aku berhasil memperoleh empat
alamat, dan mulai membuka koran untuk mencari di bagian "sewa
rumah". Oldham termasuk komunitas yang tidak banyak mengalami
perubahan, namun dari kolom iklannya aku bisa melihat ada beberapa
tempat yang sepertinya tidak terlalu mahal.
Pukul setengah empat aku selesai; ada enam alamat untuk
kujajaki besok. Aku merasa lega, karena aku ingin segera duduk di
belakang komputerku untuk membuat catatan mengenai pertemuanku
dengan Westerfield. Ada satu atau dua tempat penginapan di dekat sini yang
menyatakan bisa langsung menyediakan kamar untukku. Keduaduanya sama saja untuk
sementara, namun saat ini aku enggan
mengemasi barang-barangku. Aku juga tidak ingin mulai
mengosongkan isi lemari es dan membersihkan secara menyeluruh
apartemen ini. Mrs. Hilmer sudah menegaskan dengan cukup jelas bahwa yang
ia cemaskan adalah keselamatanku, dan bahwa aku boleh tinggal di
sini sampai aku menemukan tempat yang sesuai untukku. Aku tahu ia
akan pergi sedikitnya tiga atau empat hari, karena itu setelah berdebat
dengan diriku, aku memutuskan akan tinggal di sini untuk sementara,
setidaknya selama akhir minggu ini, mungkin sampai hari Senin.
Aku menyalakan komputer, membuat catatan tentang
pertemuanku dengan Westerfield, kemudian menyadari agak sulit
bagiku untuk berkonsentrasi. Aku memutuskan pergi menonton film
matinee, setelah itu makan di salah satu tempat di dekat sini.
Aku mengecek apa yang akan diputar hari ini, dan melihat film
yang ingin kutonton ironisnya ternyata ada di Globe Cinema.
Di bioskop itulah Rob Westerfield menyatakan dirinya berada
pada saat Andrea dibunuh.
The Globe rupanya sudah diperbesar dap dipugar sejak aku
masih kecil. Ada tujuh film yang dipertontonkan sekarang. Di lobinya
ada kios besar yang menjual permen, popcorn, dan minuman soda
Meski para pengunjungnya baru mulai berdatangan, di lantai
lobi itu sudah berserakan popcorn yang tumpah dari wadah wadahnya
yang diisi sampai menggunung.
Aku membeli Peanut Chews - permen favoritku - kemudian
menuju Cinema 3, tempat film yang ingin kulihat akan diputar.
Ternyata aku tidak merasakan sensasi yang kuharapkan ("Wauw!
Akhir nya! Film yang sudah kutunggu tunggu selama ini!") Ceritanya
tentang wanita yang menjalani kehidupannya mengalami sesuatu, dan
kemudian tentu saja berhasil mengatasinya, menemukan cinta sejati
dan kebahagiaannya dalam diri suaminya yang ia usir tiga tahun
sebelumnya. Kalau mereka sudah kehabisan ide, mungkin aku bisa menjual
cerita tentang kehidupanku pada mereka, batinku sementara pikiranku
mulai melantur. Kehidupanku minus minat untuk menjalin hubungan
cinta, tentu saja. Aku duduk di antara dua pasangan, yang sudah lanjut usia di
sebelah kananku, dan yang masih remaja di sebelah kiriku. Yang
remaja tampak asyik berbagi popcorn di antara mereka, sementara si
gadis terus mengomentari jalan ceritanya.
Dulu dia artis favoritku, tapi sekarang kuanggap dia tidak
sebagus.... Percuma rasanya memusatkan perhatian pada pertunjukan di
layar. Konsentrasiku teralih pada pasangan remaja itu, popcorn dan
komentar mereka yang berkesinambungan, bahkan suara dengkuran
pelan si pak tua yang duduk di sebelahku, yang sementara itu terlelap.
Aku tidak bisa konsentrasi karena fakta bahwa dua puluh dua
tahun yang lalu, Rob Westerfield menyatakan di dalam gedung
bioskop inilah ia berada saat Andrea dibunuh, dan tak seorang pun
bisa menguatkan pernyataannya bahwa ia tetap berada di sini selama
itu. Bahkan dengan seluruh publisitas yang ada, tak seorang pun
pernah melangkah maju dan mengatakan, "Dia duduk di sebelahku
waktu itu." Oldham termasuk kota yang bisa dibilang kecil pada masa itu,
dan keluarga Westerfield cukup di kenal. Setidaknya Rob Westerfield,
dengan wajah tampannya dan gayanya yang sok kaya, cukup banyak
mendapat sorotan di seputar kota itu. Saat aku duduk di sana, di dalam
keremangan bioskop itu, kubayangkan dia memarkir kendaraannya di
bengkel pompa bensin yang terletak di sebelah gedung itu.
Ia menyatakan sempat berbicara dengan Paulie Stroebel,
mengatakan ia meninggalkan mobilnya di situ. Paulie menyatakan
Rob sama sekali tidak mengatakan apa-apa padanya.
Kemudian Rob menekankan ia sempat menyapa si penjual
karcis, dan kepada si penyobek karcis ia mengatakan sangat antusias
untuk melihat film itu "Ramah sekali," komentar mereka saat
memberi kesaksian, nadanya seperti terheran-heran. Rob Westerfield
tidak dikenal sebagai orang yang ramah, terutama pada mereka yang
termasuk kelas pekerja. Mungkin saja ia cuma ingin menyatakan kehadirannya di
gedung bioskop itu, dan sesudah itu menyelinap keluar selama
beberapa waktu. Aku pernah menyewa The Guerilla Jungle Lord, film
yang menurutnya ditontonnya malam itu. Di bagian awal banyak
adegan di mana layarnya begitu gelap, sehingga orang yang duduk di
kursi belakang dapat dengan mudah menyelinap keluar tanpa terlihat.
Aku melihat sekelilingku, memperhatikan letak pintu-pintu samping
yang biasanya digunakan dalam keadaan darurat, kemudian
memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Aku menghela diriku, menggumamkan permintaan maafku
karena membangunkan tetanggaku yang sedang tidur, melangkahi
istrinya, lalu menuju pintu keluar samping di bagian belakang ruang
teater itu. Pintu membuka pelan, dan aku mendapati diriku berada di
semacam lorong antara bank dan kompleks bioskop itu. Bertahuntahun lalu, bengkel
pompa bensin itulah yang ada di sini, bukan bank.
Aku mempunyai salinan denah dan foto-foto yang dimuat di koran
selama sidang, sehingga aku hafal tata letak bengkel pompa bensin itu.
Garasi tempat Paulie bekerja pada waktu itu terletak di
belakang pompa-pompa bensin, menghadap ke arah Main Street.
Pelataran parkirnya, tempat mobil-mobil yang akan diservis biasanya
menunggu, terletak di belakang bengkel itu. Tempat itu sekarang
menjadi pelataran parkir untuk para nasabah bank.
Aku menelusuri lorong itu, sambil membayangkan bank itu
bengkel tempat Paulie bekerja. Aku bahkan bisa menerka di mana
Rob menyatakan ia memarkir kendaraannya, dan di mana mobil itu
seharusnya berada sampai film itu selesai pada pukul setengah
sepuluh. Aku membayangkan langkah-langkah kakinya, dan aku berada
di dalam kepalanya - dalam keadaan marah, tidak dapat
mengendalikan diri, tersinggung harga dirinya karena gadis yang ia
anggap sudah ia taklukkan sepenuhnya meneleponnya untuk
mengatakan bahwa ia akan pergi berkencan dengan orang lain.
Tak peduli orang itu Paulie Stroebel.
Temui Andrea. Perlihatkan padanya siapa yang berkuasa.
Untuk apa ia membawa tuas dongkrak ke tempat
persembunyian itu" tanyaku pada diriku.
Ada dua kemungkinan. Pertama, ia takut ayahku mungkin
sudah tahu Andrea punya rencana menemuinya di sana. Aku tidak
meragukan bahwa di dalam bayangannya, ayahku adalah sosok
menakutkan dan tidak boleh dianggap enteng.
Alasan lain adalah, Rob membawa tuas itu karena memang
sudah merencanakan membunuh Andrea.
Fraidy cat. Fraidy cat. Ya Tuhan, gadis malang itu pasti
ketakutan begitu melihat ia menghampiri, melihat ia mengangkat
lengan, kemudian menghajarnya dengan senjata itu .
Aku membalikkan badan dan segera lari ke ujung lorong yang
bermuara di jalan besar itu. Sambil megap-megap menghirup udara karena untuk sesaat aku merasa tidak bisa bernapas - aku berusaha
menguasai diri dan berjalan ke mobilku. Aku meninggalkannya di
pelataran parkir bioskop yang terletak di sisi lain kompleks itu.
Cuaca masih terang, tapi seperti malam sebelumnya, secercah
angin tiba-tiba berembus, dan suhu turun dengan cepat. Aku
menggigil dan mempercepat langkah-langkahku.
Ketika menengadah ke arah jadwal film, aku melihat iklan
sebuah restoran, Villa Cesaere, yang ternyata tidak begitu jauh dari
gedung bioskop itu. Kedengarannya seperti tempat yang menyenangkan, karena itu
aku memutuskan untuk mencoba. Aku tahu aku ingin makan pasta,
dan semakin terasa bumbunya semakin baik. Mungkin udang fra
diavolo, putusku. Pokoknya aku harus menghilangkan perasaan tidak enak yang
sedang melanda diriku. ***************************************
Pukul sembilan lewat seperempat, dengan perut kenyang dan
perasaan lebih enak, aku membelokkan mobilku memasuki jalan
mobil Mrs. Hilmer. Rumahnya tampak gelap, lampu pintu garasinya
seakan menyambut setengah hati.
Tiba-tiba aku menghentikan kendaraanku. Sesuatu di dalam
diriku mendorongku untuk segera meninggalkan tempat itu, pergi ke
tempat penginapan atau motel, dan melewatkan malam ini di sana.
Sama sekali tidak terpikir sebelumnya bahwa aku akan merasa tidak
aman di sini. Aku akan pindah besok, putusku. Satu malam lagi di sini
pasti tidak apa-apa. Begitu sudah berada di dalam, aku akan merasa
lebih enak. Tentu saja alasan itu sepertinya tidak masuk akal. Sementara
aku sedang makan malam bersama Mrs. Hilmer beberapa malam yang
lalu, seseorang telah menyusup masuk. Tapi entah mengapa aku
merasa tidak akan berhadapan dengan siapa pun yang sedang
menungguku di sana sekarang ini. Kecemasan yang kurasakan
sebetulnya disebabkan karena aku berada sendirian di luar, begitu
dekat hutan, meski hanya beberapa saat.
Aku menyalakan lampu sorotku, dan pelan-pelan mulai
menyusuri jalan mobil itu.
Aku membawa tas besarku yang berisi transkripsi sidang,
koran-koran, dan perhiasan ibuku di dalam bagasi mobilku sepanjang
hari ini. Saat meninggalkan restoran, aku memindahkannya ke bangku
depan supaya begitu kembali ke apartemen aku tidak harus berdiri
lebih lama di sana untuk mengeluarkannya.
Kini dengan waswas aku melayangkan mataku ke seputar
garasi. Tak ada seorang pun di sana.
Aku menarik napas dalam-dalam, meraih tas besarku, kemudian
keluar dari mobil. Aku bergegas ke pintu.
Sebelum aku sempat memasukkan kunci ke dalam lubang pintu,
sebuah mobil menderu masuk dan tiba tiba berhenti. Seorang laki-laki
melompat keluar, sepertinya siap menyergapku.
Aku berdiri terpaku, yakin akan melihat tampang Rob
Westerfield dan mendengar suara tawa kecil tertahan yang pernah
dikeluarkannya saat aku berlutut di dekat tubuh Andrea.
Namun kemudian sebuah lampu disorotkan ke arahku, dan
sementara orang itu mendekat, aku bisa melihat bahwa ia mengenakan
seragam, dan ternyata dia Opsir White.
"Kudengar Anda sudah pindah, Ms. Cavanaugh," ujarnya,
nadanya jelas tidak bersahabat. "Apa yang sedang Anda lakukan di
sini?" Chapter 24 SETELAH sempat rikuh beberapa saat, aku menjelaskan
mengapa aku belum pindah dari situ, dan bersikeras agar Opsir White
ikut ke atas bersamaku untuk menelepon Mrs. Hilmer yang sedang
menginap di rumah cucunya. Aku telah meninggalkan nomornya di
sepotong kertas di sebelah komputerku. Ia memutar nomor itu,
kemudian mempersilakan aku berbicara dengan Mrs. Hilmer.
"Aku merasa tidak enak, Ellie," ujar Mrs. Hilmer. "Aku sudah
telanjur meminta Opsir White agar pihak kepolisian mengawasi
rumahku sementara aku pergi, dan aku memang mengatakan padanya
kau berniat pindah, tapi seharusnya dia mempercayaimu saat kau
mengatakan masih menjadi tamuku."
Itu benar, batinku, tapi kukatakan padanya, "Memang sebaiknya
dia berhati-hati, Mrs. Hilmer." Aku tidak menambahkan bahwa,
sekasar apa pun dia tadi, sebetulnya aku bersyukur dia ada di sini. Itu
berarti aku tidak perlu sendirian memasuki apartemen ini, dan setelah
dia pergi, aku bisa memasang sindik pengaman pintu itu.
Aku menanyakan keadaan cucu Mrs. Hilmer, mengucapkan
selamat malam, kemudian mengakhiri percakapan.
"Anda akan pindah besok kalau begitu, Ms. Cavanaugh?" tanya
Opsir White. Dari nadanya, ia seolah mengatakan, "Ini topi Anda,
tunggu apa lagi?" "Ya. Jangan khawatir. Aku akan pindah besok."
"Apa sudah ada yang menanggapi karton permintaan Anda di
luar Sing Sing?" "Terus terang, sudah," sahutku, sambil melontarkan senyum
puas penuh misteri - istilah Pete Lawlor.
Ia mengerutkan alisnya. Rupanya aku berhasil menggugah rasa
ingin tahunya; memang itu tujuanku.
"Ucapan tidak enak Anda pada Rob Westerfield di Parkinson
Inn hari ini sudah tersebar ke seluruh penjuru kota."
"Tidak ada salahnya bicara jujur, dan tidak ada yang
mengatakan orang harus beramah-tamah pada pembunuh."
Pipinya memerah saat ia berdiri di sana dengan satu tangan
pada pegangan pintu. "Ms. Cavanaugh, sebaiknya Anda mendengar
nasihatku ini. Setahuku, berkat uang keluarganya, Rob Westerfield
punya sejumlah pengikut yang sangat loyal padanya di penjara. Itu
kenyataan. Dan beberapa di antara mereka sudah berkeliaran bebas
saat ini. Tanpa berunding dengan Westerfield, salah seorang dari
mereka mungkin saja memutuskan untuk menyingkirkan salah satu
hal yang mengganggu baginya, dengan harapan memperoleh imbalan
memadai tentunya." "Siapa yang akan membebaskan aku dari biarawan yang
meresahkan ini?" tanyaku.
"Apa maksud Anda?"
"Itu pertanyaan simbolis, Opsir White. Pada abad kedua belas,
Henry II mengucapkan hal yang sama pada para bangsawan
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerajaannya, dan tidak lama kemudian Uskup Thomas a Becket
dibunuh di dalam gerejanya. Anda tahu sesuatu, Opsir White" Aku
tidak tahu apakah Anda sedang mengingatkan atau mengancamku."
"Seorang reporter investigasi seharusnya dapat mengatakan
bedanya, Ms. Cavanaugh."
Setelah itu ia pergi. Di telingaku langkah-langkah kakinya
terdengar ekstra keras di tangga, seakan ia ingin aku tahu ia memang
sedang melangkah pergi. Aku memasang sindik pengaman pintu, berjalan ke jendela,
mengawasi polisi itu kembali ke dalam mobil patrolinya dan melaju
pergi. Biasanya aku mandi di pagi hari, dan kalau hari itu terasa ekstra
berat bagiku, aku mandi lagi sebelum tidur. Aku menganggap itu cara
yang baik sekali untuk melemaskan otot-otot punggung dan leherku
yang pegal-pegal. Malam ini aku memutuskan untuk melakukan lebih
dari itu. Aku mengisi bak dengan air panas dan memasukkan bath oil.
Setelah enam bulan, botol itu masih hampir penuh, menunjukkan
seberapa sering aku berendam. Namun malam ini aku membutuhkan
itu, dan rasanya benar-benar enak bisa berbaring sambil berendam di
sana. Aku terus berendam di dalam bak itu, sampai airnya mulai
dingin. Aku selalu tersenyum saat membaca iklan pakaian tidur dan jas
kamar yang menggoda dan provokatif. Perlengkapan tidurku adalah
baju tidur yang selalu kubeli dari katalog keluaran L.L. Bean.
Modelnya longgar dan nyaman, dipadan mantel kamar yang serasi
dari bahan flanel. Untuk melengkapinya adalah sepasang selop kamar
yang dilapis bulu binatang.
Lemari bufet berpintu dua dengan cermin di atasnya dalam
kamar tidur itu mengingatkan aku akan lemari yang dulu dicat putih
dan dibuat tampak antik oleh ibuku untuk kamar Andrea. Saat
menyikat rambutku di muka cermin itu, aku bertanya-tanya di
manakah kira-kira lemari bufet itu sekarang. Saat ibuku dan aku
pindah ke Florida, kami hanya membawa sedikit perabotan. Aku
yakin tak ada yang kami bawa dari kamar Andrea yang
menyenangkan itu. Kamarku sendiri di masa-masa itu juga
menyenangkan, meskipun kesannya khas kamar gadis kecil, dengan
kertas pelapis dinding bercorak Cinderella.
Kemudian, sekilas kenangan melintas di benakku. Aku pernah
mengatakan pada ibuku bahwa kertas pelapis itu terlalu kekanakkanakan, tapi ia m?nyahut, "Coraknya mirip yang ada di kamar
Andrea ketika dia seusiamu. Dan dia sangat menyukai itu."
Kurasa ketika itu aku sudah menyadari betapa berbedanya
kami. Aku tidak suka hal-hal yang terlalu feminin, dan aku tidak
pernah peduli mengenai pakaian yang bagus-bagus. Andrea, seperti
ibuku, amat sangat feminin.
"Youre daddys little girl to have and to hold... Youre the spirit
of Christmas, my star on the tree... And youre daddys little girl."
Tahu-tahu, lirik lagu itu melantun di dalam kepalaku, dan kembali
muncul dalam bayanganku. Daddy yang berada di kamar Andrea,
terisak sambil menggenggam kotak musik itu.
Kenangan yang selalu kucoba hapus begitu muncul. "Cepat
sikat rambutmu, Non, lalu naik ke tempat tidur," ujarku pada diriku.
Dengan tatapan kritis aku mengamati penampilanku di cermin.
Biasanya aku selalu menaikkan rambutku ke atas, dan menjepitnya
dengan sirkam, tapi sekarang setelah memperhatikannya dengan baik,
aku melihat rambutku sudah panjang. Pada musim panas, warna
rambutku jadi sangat pirang, dan meskipun akibat dari penyinaran
cahaya matahari itu telah agak memudar, masih tampak di sana-sini
guratan-guratan terang. Aku masih sering teringat ucapan Detektif Longo saat pertama
kali ia menanyaiku setelah tubuh Andrea ditemukan. Ia mengatakan
rambutku, sama seperti milik putranya, mengingatkan dirinya akan
hamparan pasir yang disinari matahari. Deskripsi yang sangat manis,
dan dalam kondisi apa pun rambutku saat ini, rasanya menyenangkan
membayangkan ucapannya waktu itu benar.
Aku mengikuti acara siaran berita pukul sebelas, sekadar untuk
memastikan dunia di luar kota Oldham masih tetap berfungsi
sebagaimana biasa. Kemudian, setelah memeriksa sekali lagi kunci
jendela jendela di ruang duduk, aku masuk ke kamar tidur. Tiupan
angin betul-betul keras, karena itu aku membuka kedua jendela kamar
hanya sedikit sekali. Embusan angin membuatku buru-buru masuk ke
bawah selimut, setelah melemparkan mantel kamarku ke bagian kaki
tempat tidur dan menendang lepas selopku.
Dalam apartemenku di Atlanta, aku selalu bisa tidur dengan
mudah. Tapi tentu saja situasinya berbeda di sini. Aku bisa mendengar
suara lamat-lamat dari arah jalan, dan kadang-kadang suara musik dari
apartemen tetangga sebelahku, irama hard rock yang kadang-kadang
ia mainkan di CD-nya dalam volume memekakkan telinga.
Gedoran ramah di tembok yang memisahkan apartemen kami
selalu menghasilkan respons cepat, namun kadang-kadang saat akan
terlena aku toh masih menangkap getaran irama metalik itu.
Aku tidak keberatan menangkap sedikit getaran irama metalik
yang menyatakan keberadaan seseorang di dekatku malam ini, batinku
sambil menata letak bantalku. Sepertinya aku merasa seluruh indraku
sedang siaga satu, mungkin akibat pertemuan mendadak dengan
Westerfield tadi. Adik perempuan Pete, Jan, tinggal tidak jauh dari Atlanta, di
kota kecil bernama Peachtree. Sekali-sekali, pada hari Minggu, Pete
suka meneleponku dan mengatakan, "Ayo kita jalan-jalan ke sana
untuk menengok Jan, Bill, dan anak-anak mereka." Mereka punya
anjing herder bernama Rocky, anjing jaga yang hebat. Begitu kami
turun dari mobil, ia akan menggonggong ramai untuk
memberitahukan kehadiran kami pada tuannya.
Andai kau benar-benar datang menengokku sekarang, Rocky
sobatku, batinku. Akhirnya aku berhasil terlelap dalam tidur yang resah, tidur
yang membuatku ingin bangun. Aku bermimpi harus pergi ke suatu
tempat. Aku harus menemui seseorang sebelum terlambat.
Suasananya gelap, dan lampu senterku tidak mau menyala.
Kemudian aku berada di daerah hutan, dan tercium olehku bau
api unggun. Aku harus menemukan jalan setapak yang melintasi
daerah berpepohonan itu. Aku yakin jalan itu ada. Aku pernah
menelusurinya. Udaranya panas sekail, dan aku mulai batuk.
Ternyata ini bukan mimpi! Aku membuka mata. Ruangan itu
sama sekali gelap, dan aku tidak bisa mencium apa-apa kecuali bau
asap. Aku tersedak. Aku menyingkap selimutku, kemudian duduk.
Aku bisa merasakan panas yang mulai mengepungku. Aku akan mati
terbakar kalau tidak segera keluar dari sini. Di manakah aku" Sesaat
aku tak bisa mengorientasi diri.
Sebelum menurunkan kakiku ke lantai, aku memaksa diri
berkonsentrasi. Aku sedang berada di apartemen Mrs. Hilmer. Pintu
kamar tidur terletak di sebelah kiri tempat tidur. Dalam satu garis
lurus dengan bagian kepala tempat tidur. Di luar ada lorong kecil.
Pintu apartemen terletak persis setelah lorong, di sebelah kiri.
Aku membutuhkan sekitar sepuluh detik untuk dapat
mengancang-ancang itu. Kemudian aku turun dari tempat tidur, Aku
menahan napas saat kakiku menyentuh lantai papan yang panas. Aku
mendengar suara derak di atasku. Atap mulai terbakar. Aku tahu aku
hanya memiliki beberapa detik sebelum seluruh bangunan ini roboh.
Terhuyung-huyung aku melangkah maju, meraba-raba mencari
kusen pintu. Untung aku telah membiarkannya terbuka. Aku
menggerayang sepanjang dinding lorong, melewati bagian terbuka
yang merupakan kusen pintu kamar mandi. Asap tidak begitu tebal di
sini, namun tiba-tiba api menyembur keluar dari arah dapur, masuk ke
dalam ruang duduk, melahap meja. Aku melihat komputerku, printer,
dan ponselku di sana. Tas besarku tergeletak di lantai dekat meja itu.
Aku tidak ingin kehilangan itu semua Aku membutuhkan waktu
untuk membuka sindik pengaman pintu dan membuka pintu ke arah
tangga. Kemudian, sambil menggigit bibir menahan sakit akibat
lepuhan yang mulai membentuk di kakiku, batuk dan megap megap,
aku lari ke arah meja, meraup komputerku, printer, dan ponsel dengan
satu tangan dan tas besarku dengan tangan lain, lalu segera kembali ke
pintu. Di belakangku api mulai melahap perabotan, dan di depan asap
yang ada di lorong tangga tebal dan hitam. Untung tangga itu lurus
konstruksinya, sehingga entah bagaimana caranya aku toh bisa
menuruninya. Tadinya pegangan pintu ke luar sepertinya macet.
Kujatuhkan komputer, ponsel, dan tas besarku, kemudian mengentak
sambil memutar pegangan pintu dengan dua tangan.
Aku terperangkap, aku terperangkap, batinku saat merasakan
rambutku mulai hangus. Dengan panik aku mencoba sekali lagi, dan
pegangan pintu itu bergerak. Aku menarik daun pintu itu,
membungkuk untuk memungut komputer, ponsel, dan tasku,
kemudian dengan sempoyongan melangkah keluar.
Saat aku berada di luar, seorang laki-laki lari dari arah jalan
mobil dan bergegas mencengkam lenganku sebelum aku ambruk.
"Apa masih ada orang di dalam?" teriaknya.
Sambil menggigil dan kepanasan pada waktu bersamaan, aku
menggeleng. "Istriku sedang menelepon pemadam kebakaran,"
ujarnya saat membimbingku menjauhi bangunan yang sedang dilalap
api. Sebuah mobil meluncur di jalan mobil. Antara sadar dan tidak,
aku membatin itu tentu istrinya, karena aku mendengar laki laki itu
berkata, "Lynn, bawa dia pulang. Dia perlu sesuatu yang hangat Aku
akan menunggu sampai regu pemadam datang." Kemudian kepadaku
ia berkata, "Ikutlah bersama istriku. Kami tinggal di ujung jalan."
Lima menit setelah itu, untuk pertama kali setelah lebih dari dua
puluh tahun, aku duduk di dapur rumah lamaku, berselubung sehelai
selimut, dengan secangkir teh di mukaku. Melalui pintu berkisi-kisi
yang menuju ruang makan, aku bisa melihat lampu kandelar
kesayangan ibuku, masih di tempatnya.
Dan terbayang olehku Andrea dan aku menyiapkan meja untuk
makan malam hari Minggu. "Lord Malcolm Bigbottom akan menjadi tamu kita hari ini, "
Aku memejamkan mataku "Tidak apa kalau Anda menangis sekarang," ujar Lynn, nyonya
yang sekarang tinggal di rumah lamaku, dengan ramah. "Anda baru
saja lolos dari peristiwa yang sangat mengerikan."
Namun aku berhasil menahan air mataku. Aku merasa kalau
kubiarkan air mataku tumpah, aku tidak akan bisa menghentikannya
lagi. Chapter 25 Komandan regu pemadam kebakaran itu datang ke rumah
pasangan Kelton dan bersikeras membawaku naik ambulans ke rumah
sakit. "Anda pasti menghirup banyak asap tadi, Ms. Cavanaugh,
ujarnya. "Anda harus menjalani pemeriksaan medis, meskipun hanya
untuk jaga-jaga." Rumah Sakit Oldham County menahanku selama semalam;
lumayan, mengingat aku tidak mempunyai tempat lain untuk pergi.
Ketika aku akhirnya berada di tempat tidur - setelah jelaga dan
kotoran lain dibersihkan dari wajah dan tubuhku, dan kakiku yang
melepuh dibebat - dengan senang aku menerima pil tidur. Kamar
yang kutempati terletak di dekat ruang jaga para perawat, dan aku bisa
mendengar gumaman-gumaman lembut dan bunyi langkah kaki.
Saat jatuh tertidur, aku teringat beberapa jam yang lalu aku
berandai ada yang menemaniku. Aku tak pernah membayangkan
keinginanku akan terpenuhi dengan cara seperti ini.
Ketika aku dibangunkan oleh seorang asisten perawat pada
pukul tujuh keesokan paginya, tidak ada bagian tubuhku yang tidak
terasa sakit. Ia mengecek denyut nadi dan tekanan darahku, kemudian
berlalu. Aku menyingkap selimut, mengayunkan kakiku ke lantai, dan
meskipun tidak yakin apa yang akan terjadi, kucoba berdiri. Telapak
kakiku terasa tebal oleh perban, dan membebaninya dengan berat
tubuhku membuatnya sangat tidak nyaman, tapi selain itu aku tahu
kondisiku cukup lumayan. Saat itulah aku mulai menyadari betapa beruntungnya aku.
Kalau aku terlambat beberapa menit saja, aku yakin aku sudah
dikepung asap. Saat pasangan Kelton tiba di lokasi itu, mereka tidak
mungkin dapat menyelamatkan aku, walau seandainya mereka tahu
aku masih berada di dalam sana.
Apakah kebakaran itu kecelakaan" Setahuku tidak. Meski aku
tak pernah memeriksa isinya, Mrs. Hilmer sudah menyatakan padaku
di dalam garasi bawah apartemen hampir tidak ada apa-apa kecuali
peralatan kebun. Peralatan kebun tidak akan begitu saja dimakan api.
Opsir White sudah mengingatkan aku bahwa salah seorang
rekan sesama tahanan Rob Westerfield akan mencoba mencari muka
dengan melakukan sesuatu pada diriku. Kurasa Opsir White keliru
mengenai urutan kejadiannya. Tidak sedikit pun aku ragu bahwa
kebakaran itu terjadi atas instruksi Westerfield, dan bahwa ia sendiri
yang menugasi mantan pesuruhnya di Sing Sing itu. Aku tidak akan
heran kalau lelaki yang berbicara denganku di pelataran parkir penjara
yang memperoleh tugas itu.
Aku yakin sementara ini Mrs. Hilmer sudah diberitahu
mengenai kebakaran itu oleh Opsir White - ia sudah mendapatkan
dariku nomor telepon cucunya di Long Island. Aku tahu Mrs. Hilmer
akan sedih mendengar garasi dan apartemen itu sudah musnah
sekarang. Dulunya tempat itu sebuah lumbung, dan bangunannya
memiliki semacam nilai historis.
Mrs. Hilmer berumur tujuh puluh tiga tahun. Apartemen di atas
garasi itu memberikan jaminan padanya bahwa begitu ia butuh
bantuan orang lain untuk tinggal bersamanya, ia sudah memiliki
tempat tinggal terpisah untuk ditawarkan.
Aku juga yakin kecelakaan yang menimpa cucunya akan
membuatnya sadar betapa mudahnya orang berada dalam situasi
rentan. Apakah asuransi memungkinkan ia mendirikan kembali
bangunan itu, atau apakah ia masih mau memusingkan dirinya dengan
pengerjaan itu" Saat ini Mrs. Hilmer tentunya menyesali perbuatan
baiknya padaku, batinku sedih. Aku akan meneleponnya, tapi tidak
sekarang. Bagaimana mengungkapkan penyesalan untuk peristiwa
seperti ini" Kemudian aku teringat tasku, komputer, printer, dan ponselku.
Aku sudah memastikan benda-benda itu masih ada bersamaku saat
aku memasuki kamar rumah sakit, dan aku ingat perawat mengatakan
akan menyimpannya untukku. Di mana barang-barangku itu"
Ada lemari dengan sistem loker di dalam kamar. Sambil
terpincang-pincang aku berjalan ke sana, berharap dan berdoa akan
menemukannya di situ. Aku membuka pintunya, dan merasa lega
begitu melihat semuanya diletakkan rapi di bagian bawahnya.
Aku juga lega sekali melihat ada jas kamar rumah sakit
tergantung. Waktu aku itu memakai pakaian khas rumah sakit.
Pakaian ini lebih cocok untuk orang bertubuh mungil, sementara
tinggiku 178 senti. Aku langsung membuka ritsleting tas itu dan memeriksa isinya.
Halaman pertama the New York Post yang sudah lecek dengan judul
berita "BERSALAH" tampak di atas, persis seperti saat terakhir kali
aku membukanya. Kemudian aku merogoh tasku dan menyelipkan tanganku ke
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagian sisinya. Jariku meraba. Aku menarik napas lega begitu
merasakan kotak berlapis bahan kulit yang kucari.
Kemarin pagi, persis saat aku akan memasuki mobil untuk
berangkat ke rumah Joan, terpikir olehku bahwa tamu tak diundang
berikutnya mungkin saja akan menggeledah apartemen itu untuk
mencari sesuatu yang berharga. Aku segera kembali ke atas,
mengeluarkan kotak itu dari laci, dan memasukkannya ke dalam tasku
yang sudah kumasukkan ke dalam bagasi
Sekarang aku mengeluarkan kotak itu dan membukanya. Semua
masih di sana - cincin pertunangan dan perkawinan ibuku, giwang
berliannya, dan koleksi perhiasanku yang ala kadarnya.
Sambil bersyukur, aku mengembalikan kotak itu ke dalam tas,
menutupnya, kemudian meraih komputerku. Aku membawanya ke
satu-satunya kursi di sana, yang terletak dekat jendela. Aku tahu
berapa lama pun aku berada di rumah sakit hari ini, aku akan
melewatkan waktuku di sini.
Aku menyalakan komputerku, menahan napas, dan baru
mengeluarkannya lagi setelah terdengar suara bip. Layarnya menjadi
terang, dan aku tahu semua materi yang kusimpan di sini masih utuh.
Setelah merasa lebih tenang, dengan terpincang-pincang aku
berjalan kembali ke lemari itu, meraih jas kamar yang tergantung di
situ, kemudian menuju kamar mandi. Di atas wastafel ada tube kecil
pasta gigi, sikat gigi yang masih disegel, dan sisir. Aku mencoba
merapikan diriku. Aku tahu aku masih terguncang akibat peristiwa kebakaran itu.
Kini, saat pikiranku semakin jernih, aku mulai menyadari betapa
beruntungnya aku bisa lolos, tidak hanya dalam keadaan hidup, tapi
juga tanpa luka luka bakar serius. Aku juga tahu aku sebaiknya lebih
berhati-hati menghadapi upaya untuk mencelakai diriku. Ada satu hal
yang pasti: sebaiknya aku berada di tempat yang memiliki meja
resepsionis berikut petugas-petugasnya.
Setelah menyerah berusaha menyisir rambutku yang kusut, aku
kembali ke kamarku, duduk di kursi, dan mengingat aku tidak
mempunyai pena ataupun kertas, aku membuka komputer untuk
membuat daftar tentang hal-hal yang harus segera kulakukan.
Aku tidak punya uang, pakaian, kartu kredit, SIM - semuanya
hilang dalam kebakaran itu. Aku terpaksa harus meminjam uang
sampai aku memperoleh duplikat kartu kredit dan SIM-ku. Jadi, siapa
yang bakal beruntung menerima teleponku untuk memohon uluran
tangan" Aku punya teman-teman di Atlanta, juga teman-teman sekolah
yang tersebar di seluruh negeri. Aku bisa menelepon mereka untuk
meminta bantuan, dan akan mendapatkannya dalam waktu singkat.
Tapi aku mencoret nama mereka dari daftarku. Aku enggan
menjelaskan panjang-lebar, kenapa untuk sementara ini aku dalam
keadaan bangkrut. Pete satu-satunya orang di Atlanta yang tahu mengenai Andrea
dan mengapa aku berada di sini. Saat meminta cuti untuk datang
kemari, penjelasanku pada para kolega dan teman-temanku adalah,
"Ini urusan pribadi, bung."
Aku yakin kesannya secara umum adalah Ellie, yang biasanya
terlalu sibuk untuk kencan buta, terlibat dengan seseorang yang
istimewa, dan sedang mencoba menjajaki peluangnya.
Pete" Aku tidak senang tampil sebagai sosok feminin yang
tidak berdaya. Membayangkan sikap sok pahlawan Pete membuatku
kesal. Aku akan menjadikannya pilihan terakhir.
Aku tahu sebetulnya aku bisa menelepon Joan Lashley St.
Martin, namun keyakinannya bahwa Rob Westerfield tidak bersalah
atas kematian Andrea membuatku enggan meminta tolong padanya.
Marcus Longo" Tentu saja, batinku. Dia pasti mau
meminjamkan uang, dan aku akan mengembalikan uangnya minggu
ini juga. Nampan sarapan diantar dan diambil kembali satu jam
kemudian, dalam keadaan hampir tidak disentuh. Pernahkah kau
berada di rumah sakit yang benar-benar menyajikan kopi panas"
Seorang dokter muncul untuk mengecek kakiku yang melepuh,
dan menyatakan aku boleh pulang kapan saja, kemudian berlalu.
Sekilas kubayangkan diriku terpincang-pincang mengitari Oldham
dalam pakaian rumah sakit, sambil meminta-minta. Persis saat aku
merasa tidak keruan seperti itu, Opsir White masuk bersama seorang
laki laki berwajah lancip yang ia perkenalkan sebagai Detektif Charles
Bannister dari Dinas Kepolisian Oldham. Seorang petugas rumah sakit
di belakang mereka menjinjing kursi lipat; aku menyimpulkan ini
bukan kunjungan singkat untuk membesarkan hatiku
Bannister menyatakan keprihatinannya dan berharap aku bisa
segera pulih kembali. Aku langsung merasa di balik basa-basinya itu ia sudah punya
tujuan jadwal khusus terhadapku, tujuan yang tidak ramah.
Aku menyatakan padanya keadaanku cukup baik, dan aku
bersyukur masih hidup; ia hanya mengangguk. Aku teringat
profesorku yang memberi kuliah filsafat. Setelah mendengar hasil
observasi konyol salah seorang mahasiswanya, ia suka memberikan
anggukan seperti itu dengan tampang serius.
Artinya adalah, "Oke, aku tahu maksudmu."
Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk mengerti bahwa
Detektif Bannister hanya memiliki satu tujuan di dalam pikirannya: Ia
bertekad membuktikan teorinya bahwa aku cuma mengarang ceritaku
yang terdahulu, tentang seseorang yang masuk ke dalam apartemen
itu. Ia tidak menyatakannya dengan blak-blakan, namun skenario yang
ada dalam bayangannya kira-kira sebagai berikut: Setelah mendengar
insiden itu, Mrs. Hilmer menjadi cemas. Ia membayangkan seseorang
mengikutinya ke dan dari perpustakaan. Sambil menyamarkan suara,
aku meneleponnya untuk memberitahunya bahwa aku tidak stabil.
Menanggapi itu, aku mengangkat alisku, namun tidak
mengatakan apa-apa. Menurut Detektif Bannister, aku sengaja menyulut kebakaran
itu untuk menarik perhatian dan simpati terhadap diriku sendiri,
sambil secara terbuka melontarkan tuduhan bahwa Rob Westerfield
berniat membunuhku. "Anda dalam bahaya mati terbakar ketika itu, tapi menurut
tetangga yang melihat Anda keluar dari bangunan itu, Anda
menjinjing komputer, printer, ponsel, dan sebuah tas besar dan berat.
Kebanyakan orang dalam situasi seperti itu tidak akan sempat
berkemas, Ms. Cavanaugh."
"Persis saat aku sampai di pintu tangga, dinding di seberang
ruang duduk itu mulai dimakan api Aku melihat meja tempatku
meninggalkan barang barangku. Mereka sangat berarti bagiku, dan
aku memang menyempatkan diri menyelamatkannya."
"Kenapa barang-barang itu begitu penting bagi Anda, Ms.
Cavanaugh?" "Sebaiknya kujelaskan alasannya pada Anda, Detektif
Bannister." Komputer itu masih berada di pangkuanku. "Bab pertama
buku yang sedang aku tulis tentang Rob Westerfield ada di dalam
komputer ini. Juga halaman demi halaman catatan yang berhasil
kurangkum dari transkripsi sidang Negara versus Robson Westerfield.
Aku tidak memiliki copy-nya." Wajahnya masih tanpa ekspresi,
namun aku melihat bibir Opsir White membentuk garis tipis yang
mengungkapkan rasa tak suka.
"Aku telah mencantumkan nomor ponselku pada karton yang
kuacungkan saat aku berada di luar penjara Sing Sing. Aku yakin
Anda sudah mendengar itu dari dia," aku memalingkan kepalaku ke
arah White. "Aku sudah menerima telepon menarik dari seseorang
yang mengenal Westerfield di penjara. Ponselku satu-satunya
peluangku untuk tetap dapat berhubungan dengannya, sampai aku bisa
pergi ke toko untuk membeli ponsel baru, dan mengurus kembali
nomorku. Mengenai tasku yang besar dan berat, benda itu ada di
dalam lemari. Anda mau lihat isinya?""
"Ya, aku mau." Aku meletakkan komputerku di lantai, kemudian berdiri.
"Aku akan mengambilkannya untuk Anda," ujarnya.
"Aku lebih suka mengambilnya sendiri."
Aku mencoba tidak terpincang pincang saat bergegas melintasi
ruangan itu. Aku mengentak pintu lemari, menyambar tasku,
membawanya kembali, menjatuhkannya dekat kursiku, duduk,
kemudian membuka ritsletingnya.
Aku bisa merasakan reaksi tertegun kedua lelaki itu saat mereka
membaca judul "BERSALAH" tersebut.
"Aku lebih suka tidak memperlihatkan ini semua pada Anda,"
ujarku ketus saat mengeluarkan dengan gemas lembar demi lembar
koran dari dalam tas itu, untuk dilemparkan ke lantai.
"Ibuku menyimpan ini selama sisa hidupnya." Aku sama sekali
tidak berusaha menyembunyikan rasa sengitku. "Ini semua liputan
resmi - dimulai dengan ditemukannya tubuh kakakku, termasuk
momentum saat Rob Westerfield divonis masuk penjara. Memang
bukan bacaan yang menyenangkan, tapi toh menarik, dan aku tidak
ingin ini hilang." Lembaran surat kabar terakhir ada di lantai. Aku harus memakai
kedua tanganku untuk mengeluarkan transkripsi sidang itu. Aku
mengacungkan halaman sampulnya ke arah mereka untuk dilihat.
"Juga menarik sekali untuk dibaca, Detektif Bannister," tambahku
"Aku yakin itu," ujarnya mengiyakan, wajahnya masih tetap
tegang. "Masih ada sesuatu di dalam sana, Ms. Cavanaugh?"
"Kalau Anda berharap menemukan sekaleng bensin dan korek
api, Anda akan kecewa." Aku mengeluar kan kotak yang dilapis bahan
kulit itu dan membukanya. "Silakan periksa ini."
Ia melihat isinya sekilas, kemudian mengembalikan kotak itu
padaku. "Apakah Anda selalu membawa-bawa perhiasan Anda dalam
tas besar berisi koran, Ms. Cavanaugh, atau hanya kalau Anda
menduga akan terjadi kebakaran?"
Ia menghela dirinya, sementara Opsir White segera melompat
berdiri. "Anda akan mendengar lagi dari kami, Ms. Cavanaugh.
Apakah Anda akan kembali ke Atlanta, atau tetap tinggal di sekitar
sini?" "Aku akan tetap tinggal di sekitar sini, dan dengan senang hati
aku akan memberitahu Anda di mana. Mungkin pihak kepolisian bisa
mengawasi tempat itu dengan lebih baik dibandingkan saat mereka
mengawasi tempat Mrs. Hilmer. Apakah menurut Anda itu mungkin?"
Pipi Opsir White tampak keunguan. Aku tahu ia marah sekali,
dan bahwa aku sudah kelewatan, tapi pada saat itu aku tidak peduli.
Bannister tidak berusaha menjawab. Dengan cepat ia memutar
tubuhnya, kemudian berlalu dengan White di belakangnya.
Aku mengawasi mereka. Si petugas rumah sakit masuk ke
dalam ruangan untuk mengambil kursi-kursi lipat itu. Matanya
melebar begitu melihatku dengan transkripsi sidang itu di
pangkuanku, kotak perhiasan di tangan, tasku, dan koran-koran yang
berserakan di lantai. "Miss, boleh aku membantu Anda mengumpulkan ini semua?"
ujarnya, menawarkan diri. "Atau Anda mau aku mengambilkan
sesuatu untuk Anda" Anda kelihatan terguncang."
"Aku memang terguncang," sahutku. "Dan Anda bisa
melakukan sesuatu untukku. Apakah ada kantin di rumah sakit ini?"
"Ya. Lumayan juga."
"Apakah Anda bisa..." Aku berhenti sebentar, karena merasa
sebentar lagi aku akan histeris. "Apakah Anda bersedia mentraktirku
minum secangkir kopi hitam yang panas sekali?"
Chapter 26 TIGA puluh menit setelah itu, selagi menikmati hirupan
terakhir kopi enak yang diantarkan petugas rumah sakit yang baik hati
itu, aku kedatangan tamu lain, tamu yang sempat membuatku lebih
tertegun lagi. Ayahku. Pintuku dalam keadaan terkuak sedikit. Ia mengetuk kemudian
melangkah masuk tanpa menunggu jawaban. Kami berpandangan, dan
tenggorokanku terasa kering.
Rambutnya yang gelap sekarang bernuansa putih keperakan. Ia
lebih kurus sedikit, namun masih tegap seperti dulu. Kacamata
mengaksen mata birunya yang tajam, dan ada garis-garis dalam di
dahinya. Ibuku biasa mengomel, "Ted, aku tahu kau tidak menyadarinya,
tapi kau harus mencoba tidak mengerutkan dahi saat berkonsentrasi.
Wajahmu akan seperti buah persik kalau kau tua nanti."
Yang pasti, ia tidak tampak seperti buah persik. Ia masih lakilaki tampan yang
tidak kehilangan karismanya.
"Halo, Ellie," sapanya.
"Halo, Dad." Aku bisa membayangkan apa yang ada di dalam pikirannya saat
ia menatapku dalam pakaian rumah sakit murahan, rambut kusut
berantakan, kaki dibebat perban. Yang jelas, bukan sosok bintang
yang berkilau dalam lagu kotak musik itu.
"Bagaimana keadaanmu, Ellie?"
Ternyata aku sudah lupa pada resonansi suaranya yang dalam.
Nadanya yang tenang dan berwibawa mengundang respek Andrea dan
aku selagi kami masih kanak-kanak, membuat kami merasa
terlindung, dan aku, setidaknya, amat mengaguminya "Aku baik-baik
saja, terima kasih "
"Aku langsung kemari begitu mendengar tentang kebakaran di
tempat Mrs. Hilmer, dan mendengar kau berada di sana waktu itu."
"Kau tidak perlu repot sebetulnya."
Ia berdiri persis di dekat pintu. Sekarang ia menutupnya,
kemudian berjalan menghampiriku. Ia berlutut dan mencoba meraih
tanganku. "Ellie, demi Tuhan, kau anakku. Kaupikir bagaimana
perasaanku begitu mendengar kau hampir tidak lolos dengan
selamat?" Aku menarik tanganku. "Oh, cerita itu akan berubah. Pihak
kepolisian menganggap aku yang menyulut api itu untuk membuat
sensasi. Menurut mereka, aku mau cari perhatian dan simpati."
Ia tampak tertegun. "Itu konyol." Ia berada begitu dekat,
sehingga aku dapat menangkap aroma krim cukurnya. Apakah aku
keliru, ataukah ini memang aroma sama seperti yang kuingat" Ia
mengenakan kemeja dan dasi, dengan jas biru gelap dan celana
panjang abu-abu. Kemudian aku ingat ini hari Minggu, dan mungkin
ia sedang bersiap-siap pergi ke gereja saat ia mendengar tentang
kebakaran itu. "Aku tahu kau bermaksud baik," ujarku, "tapi aku tidak ingin
diganggu. Aku tidak membutuhkan dan tidak mengharapkan apa-apa
darimu." "Ellie, aku sudah melihat situsmu. Westerfield sangat
berbahaya. Aku benar-benar mengkhawatirkan keselamatanmu."
Oke, setidaknya ada kesamaan pendapat antara aku dan ayahku.
Kami sama-sama tahu Rob Westerfield pembunuh.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku sudah melakukan itu
lama sekali." Ia menghela dirinya. "Itu bukan salahku, Ellie. Kau menolak
berhubungan denganku."
"Kurasa memang begitu, jadi berarti kau bebas dari rasa
bersalah. Jangan sampai aku membebanimu."
"Aku datang untuk mengundangmu, untuk memohon padamu
agar tinggal bersama kami. Dengan begitu, aku bisa melindungimu.
Kau tentunya ingat aku pernah bekerja di dinas patroli daerah selama
tiga puluh lima tahun."
"Aku ingat. Dad tampak hebat dalam seragam. Oh, aku pernah
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menulis untuk berterima kasih telah menguburkan abu Mom dalam
makam Andrea bukan?"
"Ya, memang." "Dalam sertifikat dinyatakan kematiannya disebabkan oleh
gangguan fungsi hati, tapi kukira diagnosis yang lebih tepat adalah
karena sakit "hati"."
"Ellie, ibumu yang meninggalkan aku."
"Ibuku mencintaimu. Sebetulnya kau bisa menunggu sampai dia
melewati masa berkabungnya. Sebetulnya kau bisa menyusulnya ke
Florida dan menjemputnya pulang - menjemput kami pulang. Tapi
kau memang tidak ingin melakukan itu."
Ayahku merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan
dompetnya. Aku berharap ia tidak nekat menawarkan uang padaku,
tapi itu tidak terjadi. Ia mengeluarkan sehelai kartu nama dan
meletakkannya di tempat tidur. "Kau bisa meneleponku kapan saja,
Ellie, siang atau malam."
Kemudian ia pergi, namun masih meninggalkan aroma krim
cukurnya. Aku sudah lupa kadang-kadang aku suka duduk di tepi bak
mandi dan berbicara dengannya sementara ia bercukur. Aku sudah
lupa kadang-kadang ia akan memutar tubuhnya, mengangkat tubuhku,
dan menggosokkan wajahnya yang penuh busa krim ke wajahku.
Begitu jelas semua itu terbayang kembali di hadapanku,
sehingga aku mengangkat tangan untuk menyentuh pipiku, nyaris
berharap akan merasakan sisa busa lembap itu. Pipiku basah, tapi yang
mengalir itu air mata, yang untuk saat itu, setidaknya, tidak bisa
kutahan. Chapter 27 AKU mencoba menghubungi Marcus Longo dua kali dalam
satu jam berikutnya. Kemudian aku ingat ia mengatakan istrinya tidak
begitu suka terbang sendirian. Aku menyadari kemungkinan besar ia
sedang pergi ke Denver untuk menjemput istrinya pulang, sekalian
menikmati kebersamaannya dengan cucu pertamanya.
Seorang perawat melongok ke dalam kamarku, untuk
mengingatkan bahwa waktu checkout rumah sakit ini adalah siang
hari. Menjelang pukul setengah dua belas, aku sudah bersiap-siap
menanyakan apakah ada yayasan sosial di sini, tapi tiba-tiba Joan
menelepon. "Ellie, aku baru saja mendengar apa yang terjadi. Demi Tuhan,
bagaimana keadaanmu" Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Keenggananku untuk meminta tolong padanya karena ia tidak
begitu yakin Rob Westerfield adalah pembunuh keji tiba-tiba hilang.
Aku butuh dirinya, dan aku menyadari keyakinannya mengenai status
tidak bersalah Westerfield sama besarnya seperti keyakinanku bahwa
ia bersalah. "Sebenarnya, banyak yang dapat kaulakukan," jawabku. Rasa
lega mendengar sapaan ramah itu membuat suaraku sendiri bergetar.
"Kau bisa membawakan pakaian untukku Kau bisa kemari
menjemputku. Kau bisa membantu mencarikan tempat tinggal
untukku. Kau bisa meminjami aku uang."
"Kau bisa tinggal bersama kami...," kata Joan.
"Jangan. Sebaiknya tidak. Itu bukan ide yang bagus dan aman
Kau tidak ingin rumahmu tiba-tiba terbakar gara-gara aku di sana."
"Ellie, kau tidak merasa seseorang sengaja membakar tempat
itu dengan niat membunuhmu, bukan?"
"Ya, kurasa begitu."
Ia mempertimbangkan itu selama beberapa saat, dan aku yakin
itu mengingatkannya akan ketiga anaknya. "Kalau begitu, di mana kau
bisa tinggal dengan aman, Ellie?"
"Kurasa di tempat penginapan. Aku tidak mau tinggal di motel
dengan pintu pintu sendiri yang menghadap ke luar." Aku berpikir
sebentar. "Lupakan Parkinson Inn. Sudah penuh." Dan keluarga
Westerfield biasa ke sana, batinku mengingatkan diri sendiri.
"Aku tahu tempat yang kurasa cocok," ujar Joan. "Aku juga
punya teman yang ukuran tubuhnya kira-kira sama denganmu. Aku
akan meneleponnya untuk meminjam beberapa potong pakaian.
Berapa ukuran sepatumu?"
"Sembilan, tapi kurasa aku belum bisa melepaskan perbanperbanku sekarang ini."
"Ukuran kaki Leo sepuluh Kalau kau tidak keberatan memakai
sepatu karet, untuk sementara lumayan."
Aku tidak keberatan. *************************************
Joan tiba kurang dari sejam, dengan koper berisi pakaian dalam,
piama, stoking, celana panjang, sweater, jaket hangat, sarung tangan,
sepatu karet, dan sedikit kosmetik. Aku berpakaian, kemudian si
perawat datang membawa tongkat yang bisa kugunakan untuk
berjalan sementara menunggu telapak kakiku pulih. Dalam perjalanan
keluar, petugas administrasi terpaksa menerima bahwa aku baru bisa
menyelesaikan pembayaranku setelah aku memperoleh copy polis
asuransi kesehatanku untuk di-faks ke alamatnya.
Akhirnya kami berada di dalam mobil Joan. Rambutku diikat ke
belakang, dengan karet yang kuminta dari ruang jaga perawat.
Inspeksi sekilas di cermin memperlihatkan aku tampak cukup rapi.
Pakaian pinjaman itu ternyata cukup pas, dan meskipun sepatu karet
itu besar dan tidak elegan, kakiku yang masih sakit toh terlindung.
"Aku sudah memesan tempat untukmu di Hudson Valley Inn,"
ujar Joan. "Letaknya kira-kira satu mil dari sini."
"Kalau kau tidak keberatan, aku ingin mampir sebentar di
tempat Mrs. Hilmer. Mobilku masih di sana - atau setidaknya kuharap
masih di sana," "Siapa yang mau mengambilnya?"
"Tidak ada, tapi aku memarkirnya sekitar satu meter dari garasi.
Kuharap tidak ada balok atau puing yang jatuh di atasnya."
Tak satu dinding pun masih utuh dan bangunan yang tadinya
merupakan apartemen nyaman yang dengan begitu tulus dipinjamkan
Mrs Hilmer padaku. Daerah sekitarnya dikelilingi pita pengaman, dan
seorang polisi tampak sedang berjaga-jaga.
Tiga laki-laki bersepatu bot karet sedang meneliti puing-puing
untuk mencari sumber malapetaka itu. Mereka mengangkat wajah
begitu tahu kami datang namun segera meneruskan pekerjaan mereka.
Aku merasa lega melihat mobilku sudah dipindahkan sekitar
enam meter ke arah rumah Mrs. Hilmer. Kami turun dari mobil Joan
untuk memeriksa kondisinya. Aku membeli mobilku dari seseorang
dua tahun lalu. Mobil bagus pertama yang kumiliki. Tentu saja seluruh
permukaannya penuh bekas asap hitam, dan di bagian penumpangnya
ada cat yang terkelupas, namun aku toh menganggap diriku
beruntung. Aku masih memiliki mobilku, meski saat ini aku belum
dapat mengendarainya. Tas tanganku ada di dalam kamar tidur waktu itu. Bersama
semua yang lain, kunciku ada di dalamnya.
Polisi yang bertugas menjaga tempat itu menghampiri kami. Ia
masih muda sekali dan sangat sopan. Ketika aku menjelaskan aku
tidak mempunyai kunci mobil dan akan menghubungi pihak BMW
untuk mendapat gantinya, ia meyakinkan aku mobilku akan aman.
"Salah satu dari kami akan terus berada di sini selama beberapa hari
ini." Untuk memastikan kalian dapat menimpakan kesalahannya
padaku" batinku saat mengucapkan terima kasih padanya.
Perasaan yang sempat membesarkan hatiku saat aku berpakaian
dan meninggalkan rumah sakit segera hilang begitu Joan dan aku
mulai berjalan kembali ke kendaraannya. Hari musim gugur itu indah
dan terang, namun udara di sekitar kami telah tercemar oleh bau asap.
Dalam hati aku berharap semua ini sudah lenyap sebelum Mrs. Hilmer
kembali. Satu hal lagi yang masih harus kulakukan: menelepon dan
berbicara dengannya. Aku sudah dapat membayangkan percakapan kami. "Aku
sungguh-sungguh menyesal menyebabkan tempat Anda terbakar. Aku
akan memastikan hal itu tidak sampai terulang lagi "
Aku bisa menangkap dentang lonceng gereja di kejauhan, dan
bertanya-tanya apakah ayahku jadi pergi ke Misa setelah
menengokku - dia, istri, dan putranya, si bintang bola basket itu. Aku
sudah membuang kartu namanya saat meninggalkan rumah sakit itu,
namun aku sempat memperhatikan ia masih tinggal di Irvington. Itu
berarti ia masih anggota paroki Bunda Maria yang Tidak Bernoda,
gereja tempat aku dibaptis dulu.
Orangtua baptis yang membantu kedua orangtuaku
memantapkan keyakinan beragama dan budi pekertiku adalah
pasangan yang juga teman dekat ayahku, suami istri Barry. Dave
Barry juga petugas dinas patroli daerah, dan mungkin sudah pensiun
sekarang ini. Aku bertanya-tanya apakah ia atau istrinya, Nancy,
pernah mengucapkan, "Oh, omong-omong, Ted, ada kabar dan Ellie?"
Ataukah aku merupakan topik yang terlalu sensitif untuk
dijadikan bahan pembicaraan" Orang yang sebaiknya dilupakan
dengan satu gelengan atau helaan napas. "Memang menyedihkan.
Tapi kita harus bisa melupakannya untuk bisa terus melanjutkan hidup
ini " "Kau diam sekali, Ellie," tegur Joan saat menyalakan mesin
mobil. "Bagaimana perasaanmu sesungguhnya?"
"Jauh lebih baik daripada yang kuharapkan," ujarku dalam nada
meyakinkan. "Kau benar-benar malaikat, dan dengan uang yang
kaupinjamkan padaku, aku akan mentraktirmu makan siang."
Aku bisa membayangkan the Hudson Valley Inn akan
merupakan tempat yang sempurna untukku. Bangunan bergaya
Victoria dengan tiga lantai dan teras luas. Begitu kami melangkah ke
ruang masuknya, petugas setengah baya di belakang meja resepsionis
menatap kami penuh perhatian.
Joan memberikan kartu kreditnya sebagai jaminan, dan
menjelaskan aku kehilangan dompetku dan membutuhkan beberapa
hari sebelum mendapatkan gantinya. Mrs. Willis, si resepsionis,
langsung bersimpati terhadapku. Setelah memperkenalkan diri, ia
mengungkapkan bahwa tujuh tahun lalu, di sebuah stasiun kereta api,
ia meletakkan dompetnya di sebelahnya, di bangku tempat ia duduk.
"Aku membalik halaman koranku," kenangnya, "dan dalam
sekejap dompet itu sudah hilang. Benar-benar sial. Aku terdampar di
sana. Aku begitu kalap ketika itu. Seseorang menarik sekitar tiga ratus
dolar dengan kartuku sebelum aku sempat menguasai diri dan
menelepon untuk..." Mungkin karena kami sama-sama pernah berada dalam situasi
yang sama, ia sampai mengupayakan memberiku kamar yang betulbetul ideal.
"Tarifnya seperti kamar biasa, tapi sebetulnya kamar itu
lebih mirip kamar suite junior karena memiliki ruang duduk terpisah
dan dapur kecil. Selain itu, panoramanya bagus, menghadap ke arah
sungai." Aku memang sangat menyukai pemandangan menghadap ke
sungai. Tidak sulit menemukan alasannya. Aku dikandung di rumah di
Irvington yang menghadap ke arah Sungai Hudson, dan dibesarkan di
sana selama lima tahun pertama kehidupanku. Aku ingat ketika aku
masih kecil sekali, aku suka menarik kursi ke dekat jendela dan berdiri
di atasnya, supaya bisa menikmati pemandangan sungai yang
terhampar di bawahnya Joan dan aku menapaki perlahan anak-anak tangga menuju
kamar yang terletak di lantai dua. Kami sependapat kamar seperti
inilah yang kubutuhkan, setelah itu kami menuju ruang makan di
bagian belakang tempat penginapan. Sementara itu, aku merasa sakit
di telapak kakiku semakin menjadi-jadi.
Segelas Bloody Mary dan sepotong sandwich isi daging asap,
keju, dan sayuran ternyata berhasil membuatku merasa lebih baik.
Kemudian, saat minum kopi, Joan mengerutkan alisnya dan
berkata, "Ellie, sebetulnya aku tidak suka membicarakan ini, tapi apa
boleh buat. Tadi malam Leo dan aku pergi ke pesta koktail Semua
orang membicarakan situsmu."
"Lalu?" "Ada yang mengatakan isinya berlebihan," ujar Joan apa
adanya. "Aku mengerti secara hukum kau boleh menggunakan nama
Rob Westerfield, tapi banyak yang berpendapat itu tidak adil, dan
sama sekali tidak perlu."
"Kau tidak usah khawatir," sahutku. "Aku tidak berniat
memperdebatkan itu, aku cuma ingin tahu reaksi orang. Apa lagi yang
mereka katakan?" Kata mereka, seharusnya kau tidak memasukkan cerita tenrang
tindakan-tindakan kekerasan yang pernah dilakukannya di dalam
situsmu. Kesaksian dari peneliti medis yang mendeskripsikan kondisi
luka Andrea pada saat itu terkesan brutal sekali."
"Tindak kejahatannya juga amat brutal."
"Ellie, kau memintaku menyampaikan apa yang dikatakan
orang." Joan tampak begitu bingung dan sedih, sehingga aku merasa
bersalah. "Maafkan aku. Aku tahu ini tidak menyenangkan untukmu."
Ia angkat bahu. "Ellie, aku percaya Will Nebels yang
membunuh Andrea. Setengah kota ini menganggap Paulie Stroebellah yang bersalah.
Juga banyak yang merasa andai pun Rob
Westerfield bersalah, dia sudah menjalani masa hukumannya dan
sekarang sudah bebas, dan kau seharusnya dapat menerima itu."
"Joan, andaikan Rob Westerfield mengaku dia bersalah dan
secara tulus menyatakan penyesalannya, aku masih akan tetap benci
padanya karena keberaniannya, tapi aku tidak akan menyusun situs.
Aku mengerti mengapa orang-orang berpendapat seperti itu, tapi aku
tidak bisa mundur lagi sekarang."
Joan mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku. "Ellie,
selain itu di luar sana juga banyak ungkapan simpati. Untuk Mrs.
Westerfield senior. Pengurus rumah tangganya menceritakan pada
siapa saja yang mau mendengar bahwa dia merasa sangat terpukul
gara gara situsmu, dan dia berharap kau setidaknya tidak
mengaktifkannya sampai dewan juri yang baru melewati sidang
pemeriksaan awal mereka."
Aku teringat Dorothy Westerfield, wanita elegan yang
mengungkapkan rasa simpatinya pada ibuku pada hari pemakaman
Andrea, dan aku masih ingat bagaimana ayahku menyuruhnya
meninggalkan rumah kami. Ayahku tidak dapat mentolerir simpatinya
ketika itu, dan aku pun tak bisa membiarkan diriku terombang-ambing
oleh rasa simpati untuknya sekarang ini.
"Sebaiknya kita ganti topik pembicaraan," usulku. "Kita toh
tidak akan sependapat."
Joan meminjamiku $300, dan kami sama-sama tersenyum tulus
saat aku membayar bon makan siang kami. "Simbolis," ujarku, tapi
toh membuatku merasa lebih enak."
Kami berpisah di teras pintu masuk. "Aku merasa tak enak
membayangkan kau masih harus menaiki tangga itu," ujarnya dengan
tampang waswas. "Suatu prestasi untuk bisa sampai di sana. Tapi aku punya
tongkat untuk menopangku." Aku mengetukkan tongkat itu di lantai,
untuk memberi kesan lebih meyakinkan.
"Telepon aku kalau kau butuh apa-apa. Kalau tidak, aku akan
menghubungimu besok."
Aku menimbang-nimbang apakah aku akan mengungkit hal
yang masih kontroversial ini, namun aku merasa harus melakukannya.
"Joan, aku tahu kau tidak pernah melihat liontin yang pernah
kunyatakan dipakai Andrea, tapi apakah kau masih berhubungan
dengan beberapa temanmu yang pernah satu sekolah denganmu dan
Andrea?" "Tentu. Dan yakinlah aku akan mendapat kabar lagi dari
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka, setelah semua ini."
"Apa kau bisa menanyakan pada mereka, apakah ada di antara
mereka yang pernah melihat Andrea memakai liontin yang sudah
kugambarkan padamu" Emas, berbentuk hati, diembos pinggirannya,
batu-batu biru kecil di tengah, dengan huruf-huruf "A" dan "R", inisial
Andrea dan Rob, yang digrafir di bagian belakangnya."
"Ellie..." "Joan, semakin kupikirkan, semakin aku yakin satu-satunya
alasan Rob kembali ke garasi itu adalah, dia tidak ingin liontin itu
ditemukan pada tubuh Andrea. Aku merasa perlu tahu kenapa, dan
akan sangat membantu kalau ada yang bisa menyatakan liontin itu
memang benar-benar ada." Joan tidak berusaha menyanggahku lagi
sesudah itu. Ia berjanji akan menanyakannya, setelah itu ia
meninggalkanku untuk pulang kembali ke kehidupannya yang mapan
bersama suami dan anak-anaknya. Sambil bertumpu pada tongkatku,
dengan terpincang-pincang aku menaiki tangga, mengunci, kemudian
menyindik pintu. Dengan hati-hati aku melepaskan sepatuku, dan
setelah itu berbaring di tempat tidur.
Suara dering telepon membuatku terbangun. Aku terkejut
mendapati kamarku dalam keadaan gelap. Dengan susah payah aku
menghela diriku di satu siku, menggerayang mencari tombol lampu,
dan melirik ke arah jam saat aku meraih gagang pesawat telepon yang
terletak di meja sebelah tempat tidurku. Waktu menunjukkan pukul
delapan. Aku telah tertidur selama enam jam. "Halo." Aku tahu
suaraku terdengar mengantuk
"Ellie, aku Joan. Ada peristiwa mengerikan. Pengurus rumah
tangga Mrs. Westerfield yang sudah tua masuk ke toko penganan
keluarga Stroebel sore ini dan mendamprat Paulie, menyuruhnya
mengaku dialah yang membunuh Andrea. Wanita itu mengatakan
gara-gara Paulie, keluarga Westerfield mendapat banyak susah
"Ellie, sejam yang lalu, Paulie masuk kamar mandi di
rumahnya, mengunci pintu, kemudian menyayat pergelangan
tangannya. Dia sekarang di bagian perawatan intensif rumah sakit. Dia
kehilangan banyak darah, sehingga mereka tidak yakin dia dapat
bertahan." Chapter 28 AKU menemukan Mrs Stroebel di dalam ruang tunggu di luar
unit perawatan intensif. Ia sedang menangis diam-diam, air matanya
turun membasahi pipi. Bibirnya tertutup rapat, seakan ia khawatir
kalau ia tidak melakukan itu, semua kesedihan yang ia pendam selama
ini akan mengalir keluar.
Mantelnya terselempang di pundak, dan meskipun baju hangat
dan roknya berwarna biru gelap, aku bisa melihat bercak-bercak
bernuansa gelap yang pasti merupakan bekas darah Paulie.
Seorang wanita bertubuh besar dan berpakaian sederhana
berusia sekitar lima puluhan duduk di sebelahnya, seakan berusaha
memberinya perlindungan. Ia mengangkat wajahnya ke arahku,
tatapannya tidak bersahabat.
Aku tidak yakin reaksi apa yang kuharapkan dari Mrs. Stroebel.
Situskulah yang memicu serangan verbal yang dilakukan pengurus
rumah tangga Mrs. Westerfield, yang kemudian ditanggapi Paulie
dengan cara begitu mengenaskan.
Namun Mrs. Stroebel bangkit berdiri, kemudian melintasi
ruangan itu untuk menyambutku. "Kau mengerti, Ellie," isaknya.
"Kau mengerti apa yang telah mereka lakukan terhadap putraku."
Aku merangkulnya. "Aku mengerti, Mrs. Stroebel." Sambil
memeluknya, aku mengalihkan mataku ke arah wanita yang sedari
tadi menemaninya. Wanita itu menangkap pertanyaan yang diam-diam
kulontarkan ke arahnya, dan membuat gerakan dengan tangannya,
yang kuartikan masih terlalu cepat untuk mengetahui kondisi Paulie
pada saat ini. Kemudian ia memperkenalkan dirinya. "Aku Greta Bergner.
Aku bekerja untuk Mrs. Stroebel dan Paulie di toko penganan mereka.
Aku mengira Anda reporter."
Kami duduk bersama selama dua belas jam berikutnya. Dari
waktu ke waktu kami masuk ke dalam dan berdiri di muka ruangan
bersekat tempat Paulie berbaring, dengan masker oksigen menutupi
Si Kangkung Pendekar Lugu 7 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Kalung Setan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama