Ceritasilat Novel Online

Putri Kesayangan Ayah 5

Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark Bagian 5


itu akan menjadi buah simalakama bagi Paulie dalam sidang."
Aku mengungkapkan pada Mrs Hilmer tentang Alfie dan
denahnya. "Semua memang merasa penyerangan atas diri Mrs. Westerfield
dilakukan oleh orang dalam," ujarnya, ekspresinya antara rasa simpati
dan muak. "Mrs Dorothy Westerfield sangat baik luwes, dan anggun.
Membayangkan satu-satunya cucunya merencanakan pembunuhan
atas dirinya benar-benar mengenaskan. Kadang-kadang aku
melihatnya di kota bersama Rob, sebelum Rob masuk tahanan. Benarbenar culas,
gayanya seakan dia begitu sayang pada neneknya."
"Kalau Alfie setuju, cerita dan denah itu akan muncul dalam
situsku," ujarku. "Mungkin itu bisa membantu meyakinkan Mrs.
Westerfield setelah dia melihatnya."
Ceritaku mengenai Will Nebels yang dalam keadaan mabuk
menyergapku di restoran itu membuat Mrs. Hilmer semakin geram.
"Maksudmu orang seperti itu mereka anggap saksi yang dapat
diandalkan untuk sidang ulang?"
"Dapat diandalkan ataupun tidak, dia tetap berpotensi
mempengaruhi pendapat umum terhadap Paulie."
Meskipun ia protes, kami toh bersama-sama membereskan meja
dan merapikan kembali dapurnya. "Apakah Anda akan membangun
kembali garasi dan apartemen itu?" tanyaku.
Sambil mengisi mesin pencuci piring, ia tersenyum. "Ellie,
kuharap pihak asuransi tidak mendengarku, tapi kebakaran itu betulbetul hikmah.
Aku akan mendapat uang pengganti lumayan banyak,
dan sekarang aku memiliki tanah kosong yang bisa dibangun di lokasi
bekas garasi itu. Janey akan senang tinggal di sini. Menurutnya ini
tempat yang baik untuk membesarkan anaknya. Kalau aku
memberikan tanah kosong itu pada mereka, mereka bisa membangun
rumah, dan aku akan punya keluarga yang tinggal di dekatku."
Aku tertawa. "Anda membuatku merasa jauh lebih enak." Aku
melipat lap. "Tapi sekarang aku harus kembali. Aku akan pergi ke
Carrington Academy di Maine besok, menggali lebih dalam lagi masa
silam Rob Westerfield yang penuh kejutan."
"Aku dan Janey sudah membaca koran-koran dan transkripsi
sidang itu. Itu mengingatkan kami betapa beratnya waktu itu untuk
kalian semua." Mrs Hilmer berjalan bersamaku ke lemari di ruang
masuk, untuk mengambil jaket kulitku. Saat mengancingnya, aku
teringat aku belum menanyakan padanya, apakah nama Phil
mengingatkannya akan sesuatu.
"Mrs. Hilmer, di penjara saat sedang berada di bawah pengaruh
obat, Rob Westerfield mengaku telah menghajar orang bernama Phil
sampai mati." Pernahkah Anda tahu atau mendengar tentang
seseorang dengan nama itu dari daerah sekitar sini, yang mungkin
menghilang atau menjadi korban pembunuhan?"
"Phil," ulang Mrs. Hilmer sambil mengerutkan alis. "Pernah
ada orang bernama Phil Oliver yang sempat ribut dengan keluarga
Westerfield saat mereka tidak mau memperpanjang kontrak kerjanya.
Tapi kemudian dia pergi."
"Anda tahu apa yang terjadi padanya setelah itu?"
"Tidak, tapi aku bisa mencari tahu. Dia dan keluarganya
memiliki beberapa teman dekat di sini, yang mungkin masih sering
berhubungan." "Anda mau mengecek itu untukku?"
"Tentu saja." Ia membuka pintu, kemudian tampak ragu. "Aku tahu sesuatu
atau pernah membaca sesuatu tentang anak muda bernama Phil yang
meninggal beberapa waktu yang lalu... Aku tidak ingat di mana
persisnya aku mendengar itu, tapi ceritanya sangat menyedihkan."
"Mrs. Hilmer, tolong diingat-ingat. Ini penting sekali."
"Phil... Phil...Oh Ellie, aku benar-benar tidak ingat."
Tentu saja aku harus menerima itu. Tapi saat meminta diri pada
Mrs Hilmer beberapa menit kemudian, aku memintanya untuk jangan
memikirkan itu, dan membiarkan bawah sadarnya yang bekerja.
Aku sudah semakin dekat, dan aku dapat merasakannya.
Mobil yang mengikutiku malam ini ternyata dibawa dengan
lebih berhati-hati dibandingkan cara Teddy. Kendaraan itu melaju
tanpa lampu. Aku baru menyadari keberadaannya saat aku terpaksa
berhenti di lampu merah sebelum aku bisa membelok masuk ke jalan
mobil penginapan, dan ia terpaksa berhenti persis di belakangku.
Aku menoleh mencoba melihat siapa pengemudinya. Mobilnya
besar dan gelap, dan aku tahu itu bukan Teddy.
Mobil lain muncul dari arah pelintasan jalan, meninggalkan
penginapan. Lampunya menyorot wajah dalam kendaraan di
belakangku. Ternyata malam ini ayahku yang ingin memastikan aku kembali
ke tempat penginapan itu dengan aman. Sesaat kami saling menatap,
kemudian aku membelok ke kiri, masuk ke jalan mobil, sementara ia
melaju lurus. Chapter 38 ALFIE meneleponku pada pukul tujuh hari Senin pagi. "Kau
masih mau beli?" "Ya. Bankku di Oldham-Hudson, Main Street. Aku akan ke
sana pukul sembilan, dan kau bisa menemuiku di pelataran parkirnya
pada pukul sembilan lewat lima."
"Oke." Saat aku meninggalkan bangunan bank, ia muncul dengan
kendaraannya dan memarkirnya persis di sebelah mobilku. Tak
seorang pun bisa melihat apa yang terjadi dari arah jalan.
Ia membuka jendelanya. "Mana uangnya?"
Aku menyerahkan uang itu.
Setelah menghitung, ia berkata, "Oke, ini denahnya."
Aku mempelajarinya dengan cermat. Dalam terang siang, bulu
kudukku berdiri saat aku membayangkan semua ini telah
direncanakan oleh cucu si calon korban yang baru berusia tujuh belas
tahun. Aku tahu aku akan membayar berapa pun yang diminta Alfie
untuk mendapatkan izinnya untuk memuat ini di situsku
"Alfie, kau tahu batas masa berlakunya hukum untuk kasus ini
sudah berlalu. Kalaupun pihak kepolisian tahu mengenai ini, mereka
tidak bisa melakukan apa-apa padamu. Tapi kalau aku memasukkan
ini di Internet dan menulis apa yang telah kauungkapkan padaku, itu
akan mempengaruhi keputusan Mrs. Westerfield dalam mewariskan
uangnya untuk dana sosial atau Rob."
Aku berdiri di luar mobil pickup nya, sementara ia duduk di
dalam, dengan tangan memegangi kemudi, Ia tampak sebagaimana
jadinya ia sekarang: lelaki pekerja keras yang hampir tidak pernah
menikmati waktu santai. "Begini, aku lebih baik mengambil risiko dikejar oleh
Westerfield daripada membayangkan dirinya bergelimangan dalam
uang. Silakan." "Kau yakin?" "Yakin. Demi Skip."
********************************************
Setelah pengalaman mengemudi ke Boston dan terjebak dalam
arus lalu lintasnya yang sibuk, aku menyisihkan waktu cukup untuk
perjalananku ke Maine setelah aku mengkonfirmasi janji temu dengan
Jane Bostrom, pejabat yang bertanggung jawab soal penerimaan siswa
baru di Carrington Academy. Karena itulah begitu tiba di Rockport,
aku punya waktu cukup lama untuk menikmati sandwich panggang isi
keju dan Coca Cola di sebuah kedai kopi yang terletak sekitar satu mil
dari sekolah itu. Sesudah itu, aku merasa siap menghadapi wanita itu.
Saat aku digiring ke kantornya, ia menyalamiku dengan sopan,
tapi tetap menjaga jarak, sehingga aku yakin ia tidak akan begitu
antusias memberikan informasinya padaku. Ia berdiri di belakang
mejanya dan mempersilakan aku duduk di depannya. Seperti
kebanyakan eksekutif, ia memiliki ruang menerima tamu dengan
sebuah sofa dan beberapa kursi, namun aku tidak diundang duduk di
sana. Ia lebih muda daripada yang kuperkirakan, sekitar tiga puluh
lima tahun, dengan rambut berwarna gelap dan mata besar bernuansa
abu-abu yang sepertinya agak resah. Dari pembicaraan singkat kami di
telepon, jelas ia sangat bangga akan sekolahnya, dan tidak akan
membiarkan reporter investigasi mencampakkan itu hanya karena ulah
salah seorang siswanya. "Dr. Bostrom," mulaiku, "sebaiknya aku berterus terang. Rob
Westerfield pernah melewatkan masa-masa sekolahnya di Carrington.
Dia dikeluarkan dari sekolah sebelumnya karena secara brutal
menganiaya siswa lain. Dia berusia empat belas tahun ketika peristiwa
itu terjadi. "Di usia tujuh belas tahun dia merencanakan pembunuhan atas
neneknya, yang ditembak sampai tiga kali. Benar-benar mukjizat
neneknya bisa bertahan. Di usia sembilan belas tahun dia menghajar
kakakku sampai mati. Saat ini aku sedang melacak kemungkinan
masih ada satu orang lagi yang nyawanya dia cabut."
Aku mengawasinya sementara ekspresinya menjadi bingung
dan sedih. Setelah beberapa waktu, ia membuka mulut. "Ms.
Cavanaugh, informasi mengenai Rob Westerfield memang
mengerikan, tapi kumohon Anda mengerti sesuatu. Aku sudah
menyiapkan arsipnya di hadapanku, dan di dalamnya sama sekali
tidak ada indikasi dia pernah terlibat masalah serius selama dia berada
di sini." "Aku merasa sulit percaya bahwa dengan riwayat kekerasan
yang berhasil kuungkap sejauh ini, dia bisa melewatkan waktu dua
tahun tanpa insiden berarti dalam catatannya. Bolehkah aku tahu
berapa lama Anda sudah bekerja di Carrington, Dr. Bostrom?"
"Lima tahun." "Kalau begitu, tentu saja, satu-satunya yang dapat Anda
lakukan adalah membuka kembali catatan yang mungkin sudah
diringkas." "Aku mengatakan ini sesuai dengan catatan yang ada di
hadapanku." "Bolehkah aku bertanya, apakah keluarga Westerfield pernah
mendanai sesuatu yang cukup berarti untuk Carrington Academy?"
"Sewaktu Rob masih sekolah di sini mereka membantu
merenovasi dan mengembangkan gelanggang atletik kami."
"Begitu." "Aku tidak mengerti maksud Anda, Ms Cavanaugh. Kuharap
Anda mengerti banyak di antara siswa kami yang pernah secara
emosional mengalami masa-masa sulit dan membutuhkan bimbingan
dan pengertian khusus. Kadang-kadang mereka menjadi korban
perceraian sengit. Kadang-kadang salah satu orangtua mereka begitu
saja meninggalkan mereka. Anda akan tertegun menanggapi dampak
situasi seperti ini terhadap rasa harga diri seorang anak."
Oh tidak, aku tidak akan tertegun, batinku. Malah aku mengerti
itu sepenuhnya. "Beberapa di antara siswa kami adalah anak-anak muda yang
sepertinya tidak dapat berinteraksi dengan rekan-rekan sebaya mereka,
atau dengan orang dewasa, atau kedua duanya."
"Rupanya seperti itulah masalah yang dihadapi Rob
Westerfield," ujarku. "Tapi sayangnya untuk kebanyakan dari kita,
keluarganya selalu mengupayakan sesuatu untuk menutupi itu
baginya, atau melepaskannya dari masalah dengan uang mereka."
"Kumohon Anda mengerti kami mengelola sekolah ini dengan
budget ketat. Kami yakin langkah paling penting dalam mengatasi
masalah yang berhubungan dengan emosi adalah dengan membantu si
anak menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya. Siswa-siswa kami
diharapkan meningkatkan prestasi mereka, berpartisipasi dalam
kegiatan olah raga dan aktivitas-aktivitas lain, dan menjadi relawan
dalam program-program yang berhubungan dengan kemasyarakatan
yang disponsori sekolah kami."
"Dan Rob Westerfield memenuhi semua ini secara spontan dan
antusias?" Seharusnya aku menahan diri. Jane Bostrom sudah
menyediakan waktu untuk kuwawancarai, dan ia memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaanku. Namun demikian, jelas kalaupun
sekolah ini pernah menghadapi masalah serius sehubungan dengan
Rob Westerfield, itu tidak dimasukkan ke dalam catatannya.
"Rob Westerfield sepertinya sudah memenuhi apa yang
diharapkan sekolah darinya," ujar Dr. Bostrom dengan kaku.
"Apakah Anda memiliki daftar siswa selama dia terdaftar di
sekolah ini?" "Tentu saja." "Boleh kulihat?"
"Maksud Anda?" "Dr. Bostrom, saat berada di bawah pengaruh obat-obat
terlarang di penjara, Rob Westerfield sempat menyatakan sesuatu
pada tahanan lain. Dia bilang, "Aku pernah menghajar Phil sampai
mati, dan rasanya bukan main." Mengingat dia pernah menyerang
rekan sesama siswa di sekolah menengahnya yang terdahulu, tidak
tertutup kemungkinan sementara berada di sini, dia sempat ribut
dengan seorang siswa bernama Phil atau Philip."
Matanya jadi lebih gelap dan segera lebih prihatin saat ia
berusaha meresapi apa yang baru saja kukatakan. Kemudian ia berdiri.
"Ms. Cavanaugh, Dr. Douglas Dittrick sudah bertugas di
Carrington selama sekitar empat puluh tahun. Aku akan
mengundangnya bergabung dengan kita. Aku juga akan minta
diantarkan daftar siswa dari tahun-tahun itu. Kurasa sebaiknya kita
masuk ke ruang rapat. Akan lebih mudah menggelar daftar-daftar itu
di meja di sana dan menelusurinya dengan cermat."
*********************************************
Dr. Dittrick memberi kabar ia sedang mengajar, dan akan
bergabung dengan kami dalam waktu lima belas menit. "Dia guru
yang hebat," ujar Jane Bostrom saat kami mulai menelusuri daftar
siswa. "Kurasa andaikan atap roboh pun dia tidak akan pergi sampai
pelajarannya selesai."
Sepertinya ia mulai merasa lebih relaks sekarang, dan yang
pasti lebih antusias untuk membantu. "Kita juga harus memperhatikan
"Philip" sebagai nama tengah selain nama kecil," ujarnya
mengingatkan. "Banyak siswa lebih dikenal dengan nama tengah
mereka. Biasanya mereka mewarisi nama ayah atau kakek mereka."
Jumlah siswa secara keseluruhan di masa Rob Westerfield ada
di Carrington mencapai angka enam ratus. Dengan cepat aku melihat
bahwa Philip bukanlah nama yang umum. Nama-nama seperti James,
John, Mark, dan Michael muncul secara teratur di daftar itu.
Dan sejumlah nama lain seperti William, Hugo, Charles,
Richard, Henry, Walter, Howard, Lee, Peter, George, Paul, Lester,
Ezekiel, Francis, Donald Alexander...
Dan setelah itu ada satu Philip.
"Nah, ini," ujarku. "Dia duduk di tahun pertama ketika
Westerfield menjalani tahun kedua."
Jane Bostrom berdiri dan melihat melalui pundakku. "Dia
duduk dalam dewan sekolah kami sekarang," ujarnya.
Aku mencari lagi Profesor Dittrick bergabung dengan kami, masih mengenakan
jubah akademisnya. "Ada apa, Jane?" tanyanya.
Dr. Bostrom menjelaskan, kemudian memperkenalkan aku
padanya. Dittrick berusia sekitar tujuh puluhan, dengan postur sedang,
tampang cendekiawan, dan jabat tangan mantap.


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku masih ingat Westerfield, tentu saja. Dia baru lulus dua
tahun saat membunuh gadis itu."
"Gadis itu kakak Ms. Cavanaugh," ujar Dr. Bostrom cepat.
"Aku menyesal sekali, Ms Cavanaugh. Benar-benar tragedi
mengerikan. Dan sekarang Anda ingin memastikan apakah seseorang
bernama Phil pernah ada di sini pada masanya, dan menjadi korban
tindak pembunuhan." "Betul. Aku menyadari ini mungkin terkesan terlalu dicari-cari,
tapi aku toh merasa perlu menjajakinya."
"Tentu." Ia berpaling pada Dr. Bostrom. "Jane, bagaimana
kalau kau melihat apakah Corinne punya waktu dan bisa kauminta
kemari. Dia memang belum menjadi penanggung jawab bagian teater
dua puluh lima tahun yang lalu, tapi dia sudah aktif di sana waktu itu.
Minta dia membawa poster pengumuman dari pertunjukanpertunjukan di mana
Westerfield ikut bermain. Seingatku ada yang
aneh di sana, mengenai cara namanya dicantumkan dalam programprogram itu."
Corinne Barsky muncul dua puluh menit kemudian. Wanita
langsing penuh semangat, berusia sekitar enam puluh tahun, dengan
mata gelap tajam dan suara hangat yang dalam. Ia membawa posterposter yang
diminta. Sementara itu, kami sudah menemukan dua mantan siswa
dengan Philip sebagai nama kecil, dan seorang dengan Philip sebagai
nama tengah. Yang pertama, seperti telah dinyatakan Dr. Bostrom padaku,
duduk di dewan sekolah. Seingat Dr. Dittrick, siswa dengan nama
tengah Philip hadir dalam reuni kelasnya dua tahun yang lalu.
Tinggal satu yang perlu dicek. Sekretaris Dr Bostrom melacak
nama itu di komputernya. Ternyata ia tinggal di Portland, Oregon, dan
setiap tahun membayar iuran dana alumni. Yang terakhir, bulan Juni
yang lalu. "Aku khawatir telah menyita banyak waktu Anda," ujarku
dalam nada menyesal. "Setelah melihat poster-poster itu sebentar, aku
akan segera minta diri."
Dalam setiap pertunjukan, Rob Westerfield selalu memainkan
peran utama laki-laki. "Aku ingat siapa dia," ujar Corinne Barsky.
"Dia benar-benar berbakat. Sangat percaya diri, arogan sekali terhadap
siswa-siswa yang lain, tapi dia aktor hebat "
"Kalau begitu, Anda tidak pernah punya masalah dengannya?"
tanyaku. "Oh, aku ingat dia pernah ribut dengan penanggung jawab
teater. Dia ingin memakai nama panggungnya, bukan namanya sendiri
dalam pertunjukannya. Permintaannya ditolak."
"Apa nama panggungnya?"
"Sebentar, aku akan coba mengingatnya."
"Corinne, bukankah pernah ada keributan soal Rob Westerfield
dan sebuah wig?" tanya Dr. Dittrick. "Aku yakin pernah ada sesuatu
mengenai itu." "Dia ingin memakai wig yang pernah dipakainya dalam
pertunjukan di sekolahnya yang terdahulu. Dia juga tidak mendapat
izin untuk itu. Selama pertunjukan, Rob suka keluar dari ruang ganti
memakai wignya sendiri, dan baru menggantinya dengan yang
seharusnya pada saat-saat terakhir. Seingatku dia juga memakai wig
itu di seputar kampus. Dia dijatuhi hukuman beberapa kali gara-gara
itu, tapi dia terus melakukannya."
Dr. Bostrom menatapku. "Itu tidak ada di arsipnya," ujarnya.
"Tentu saja arsipnya sudah dibersihkan," ujar Dr. Dittrick
dalam nada tidak sabar. "Bagaimana lagi menurutmu gelanggang
atletik itu bisa direnovasi total pada waktu itu" Akhirnya Egan, kepala
sekolah kita ketika itu, terpaksa menyatakan pada ayah Westerfield
bahwa anaknya pasti akan lebih senang bersekolah di tempat lain."
Dr. Bostrom menatapku dengan cemas. "Jangan khawatir, aku
tidak akan memuat itu," ujarku.
Aku melayangkan pandang ke sekelilingku untuk mencari
tasku, kemudian mengeluarkan ponselku. "Aku akan segera minta
diri," janjiku pada mereka, "tapi aku masih ingin menelepon satu
orang dulu sebelum aku pergi. Aku pernah berhubungan dengan
Christopher Cassidy, yang pernah menjadi siswa di Arbinger bersama
Westerfield. Malah dialah yang pernah dihajar habis-habisan oleh Rob
di tahun keduanya. Mr. Cassidy menyatakan padaku waktu itu bahwa
Rob kadang-kadang menggunakan nama seorang tokoh yang pernah
dia mainkan di panggung. Dia berjanji padaku untuk mencoba
mengingat nama itu. Aku mencari nomornya, kemudian memutarnya. "Cassidy
Investment Firm," terdengar suara si operator.
Aku beruntung. Christopher Cassidy baru saja kembali dari
perjalanannya, dan aku langsung disambungkan dengannya. "Aku
sudah melakukan p?ngecekan," ujarnya, nadanya senang. "Aku sudah
mendapatkan nama yang biasa dipakai Westerfield, dan asalnya dari
salah satu drama yang pernah dimainkannya."
"Aku ingat nama itu," ujar Corrine Barsky dalam nada antusias.
Cassidy sedang berada di Boston. Barsky dalam jarak hanya
beberapa meter dariku di Maine. Namun mereka menyebutkannya
bersama-sama. "Jim Wilding." Jim! batinku. Ternyata Rob sendiri yang membuat denah itu.
"Ellie, aku harus menerima telepon lain," ujar Cassidy dalam
nada menyesal. "Oke. Hanya itu yang kubutuhkan saat ini."
"Apa yang kautulis mengenai diriku untuk situsmu bagus. Muat
saja. Aku akan mendukungmu seratus persen."
Ia menutup pesawatnya. Corinne Barsky baru saja menggelar sebuah poster. "Anda
mungkin akan tertarik pada yang ini, Ms. Cavanaugh," ujarnya.
"Pimpinan kami waktu itu biasa meminta pada semua pemain untuk
menandatangani poster pertunjukan, persis di sebelah tempat nama
mereka tercantum dalam deretan pemain."
Ia mengangkat poster itu, kemudian menunjuk.
Jelas tampak Rob Westerfield sengaja menandatanganinya tidak
menggunakan namanya sendiri, tapi dengan nama "Jim Wilding".
Aku mempelajari tanda tangan itu selama beberapa waktu.
"Aku membutuhkan copy poster ini," ujarku. "Dan kumohon Anda
menyimpan aslinya baik-baik. Malah, kalau bisa, kuharap Anda
menyimpannya di lemari besi."
*********************************************
Dua puluh menit kemudian aku sudah duduk di mobilku,
membandingkan tanda tangan di denah itu dengan yang ada pada copy
poster itu. Aku bukan ahli tanda tangan, tapi saat aku membandingkan
cara nama "Jim" dicantumkan pada kedua dokumen itu, ternyata
memang ada kesamaan. Aku memulai perjalanan panjangku ke Oldham, sambil
membayangkan prospek untuk menunjukkan keduanya di Internet,
yang satu di sebelah yang lain.
Mrs. Dorothy Westerfield harus terpaksa menerima kenyataan
itu. Cucunya sendiri pernah merencanakan kematiannya.
Harus kuakui aku benar-benar menikmati perasaan puas ini,
karena sebentar lagi aku akan membuat sejumlah yayasan sosial,
fasilitas medis, perpustakaan, dan universitas amat sangat senang.
Chapter 39 AKU biasa meletakkan ponselku di atas bantal di sebelahku.
Selasa pagi itu pesawatku berdering, dan membuatku terbangun. Saat
menjawab "Halo" dalam suara masih mengantuk, aku melirik ke arah
arlojiku dan terkejut melihat sudah pukul sembilan.
"Pasti habis semalaman di kota."
Ternyata Pete. "Oke," sahutku. "Aku naik mobil dari Maine ke Massachusetts,
setelah itu melintasi daerah New York. Malam paling seru dalam
hidupku." "Mungkin kau terlalu capek untuk ke Manhattan."
"Mungkin kau sedang mencoba membatalkan undanganmu
untuk datang ke Manhattan," sahutku. Sementara itu, aku sudah betulbetul bangun
dan siap merasa kecewa sekaligus marah.
"Tadinya aku ingin usul aku yang pergi ke Oldham untuk
menjemputmu, setelah itu kita akan mencari tempat yang asyik untuk
makan." "Itu beda," sambutku senang. "Ada satu tempat yang asyik,
letaknya hanya lima belas menit dari tempat penginapan ini."
"Nah, begitu dong. Coba beri aku arahan "
Aku memberikan petunjuk arah, kemudian ia memujiku. "Ellie,
kau termasuk di antara sedikit cewek yang kukenal yang dapat
memberikan arahan dengan baik. Apa aku yang mengajarimu" Tak
usah kaujawab. Aku bisa sampai di sana sekitar pukul tujuh."
Klik. Aku memesan sarapan untuk diantar ke kamar, mandi, mencucirambutku, kemudian
menelepon salon perawatan kuku yang dekat,
membuat janji untuk pukul empat. Beberapa kukuku patah saat aku
jatuh di pelataran parkir itu, dan aku ingin memperbaikinya.
Aku bahkan menyempatkan diri mengamati koleksi busanaku
yang ala kadarnya, dan memutuskan mengenakan setelan celana
bernuansa cokelat daun dengan kerah berbulu lembut dan manset.
Setelan itu kubeli secara impulsif pada akhir musimnya tahun lalu,
dengan diskon setengah harga, dan belum kupakai sama sekali.
Memperagakannya di depan Pete sepertinya boleh juga.
Terus terang, menyenangkan rasanya ada sesuatu untuk
diantisipasi menjelang penghujung hari. Aku tahu tidak akan mudah
bagiku melewatkan sore itu dengan menulis kisah Alfie mengenai
perampokan tersebut, serta menghubungkan denah yang berpeluang
menjadi barang bukti dengan pemakaian nama Jim oleh Rob
Westerfield di masa sekolahnya dulu.
Maksudku adalah, tidak mudah secara emosional, sebab andai
Rob Westerfield dihukum ketika itu atas tindak kejahatannya, Andrea
tidak akan pernah bertemu dengannya.
Rob akan mendekam di penjara. Andrea akan tumbuh dewasa,
masuk perguruan tinggi, dan seperti Joan, mungkin menikah dan
mempunyai beberapa anak. Mom dan Daddy mungkin masih akan
tinggal di rumah pertanian yang bagus itu. Daddy juga akan menyukai
tempat itu seperti ibuku, dan tentunya menjelang saat ini mengakui
keputusan untuk membelinya benar-benar tepat.
Aku seharusnya tumbuh dalam keluarga bahagia dan pergi
kuliah. Pilihanku untuk mendalami dunia jurnalistik memang tidak
ada hubungannya dengan kematian Andrea, karena itu mungkin aku
toh akan menekuni bidang yang sama. Menapaki karier merupakan
sesuatu yang amat menarik. Mungkin aku tidak akan menikah. Kurasa
sejak awal aku lebih mengutamakan karier daripada komitmen.
Andai Rob mendapatkan ganjarannya ketika itu, aku tidak akan
menjalani kehidupanku dengan terus meratapi kakakku dan
merindukan apa yang telah direnggut dariku.
Kini, bahkan andai aku berhasil meyakinkan nenek Rob dan
seluruh isi dunia ini mengenai kesalahannya, ia toh masih akan bebas.
Batas masa berlakunya hukum untuk tindak kejahatan itu sudah
berlalu. Dan bahkan andai neneknya mengubah surat wasiatnya,
ayahnya masih punya banyak uang setidaknya jauh melebihi standar
normal, sehingga Rob masih akan hidup dalam kecukupan.
Biarpun Will Nebels pembohong yang menjijikkan, dalam
sidang ulang kisahnya berpeluang memancing keraguan para juri
dalam memutuskan status bersalah Westerfield.
Setelah itu catatannya akan dibersihkan.
Aku menghajar Phil sampai mati, dan rasanya bukan main.
Hanya ada satu cara untuk mengembalikan Rob Westerfield ke
belakang terali besi, yaitu dengan mencari informasi tentang Phil,
yang nyawanya dicabut oleh Westerfield. Untungnya, tidak ada batas
masa berlakunya hukum untuk suatu tindak pembunuhan.
******************************************
Menjelang pukul setengah empat, aku sudah siap mentransfer
semuanya ke situsku cerita Christopher Cassidy yang pernah disergap
oleh Rob Westerfield di sekolah menengah; kenekatan Rob
menggunakan nama Jim karena peran yang pernah dimainkannya di
panggung; peran Rob dalam merencanakan upaya pembunuhan atas
diri neneknya. Aku menulis bahwa William Hamilton, Esq., yang ketika itu
ditunjuk oleh sidang sebagai pembela, menghancurkan denah orisinil
yang mengaitkan Westerfield dengan tindak kejahatan itu. Aku
mengakhiri tulisanku dengan menampilkan denah dan poster
pertunjukan itu berdampingan. Di layar, kemiripan kedua tanda tangan
yang berbunyi "jim" itu benar-benar menakjubkan.
Aku mengecup jari-jariku untuk menyalut liputanku, menekan
beberapa tombol komputer, dan dalam sekejap semuanya terpampang
di situsku. Chapter 40 WAKTU menunjukkan pukul lima lewat seperempat ketika aku
kembali ke tempat penginapan itu. Industri kosmetik multimilyun
dolar itu bakal bangkrut kalau harus mengandalkan diri pada orangorang seperti
aku. Sedikit rias wajah yang kumiliki musnah dalam
kebakaran itu. Aku membeli bedak padat dan lipstik di toko farmasi
satu dua hari sesudahnya, tapi perlu waktu setengah jam untuk
menggantikan produk-produk seperti maskara dan perona pipi.
Meskipun aku tidur sampai pukul sembilan tadi pagi, aku toh
masih mengantuk dan ingin berbaring sebentar sebelum waktunya
berpakaian untuk memenuhi janji kencanku dengan Pete.
Aku bertanya-tanya, beginikah rasanya kalau seseorang sudah
dapat melihat garis finisnya" Si atlet terus berlari dalam maraton itu,
tahu ia hampir sampai di bagian terakhir pertandingan. Aku pernah
mendengar ada saat di mana selama beberapa detik si pelari
mengurangi kecepatannya mengumpulkan tenaga, dan setelah itu
mengerahkan segalanya untuk terakhir kali menuju kemenangannya.
Seperti itulah yang kurasakan. Aku sudah berhasil menelusuri
jejak-jejak Rob Westerfield dan aku yakin tak lama lagi aku dapat
mengungkap apa yang telah dilakukannya pada Phil dan kapan
kejadiannya. Kalau dugaanku benar, ia akan kembali masuk penjara.
Aku menghajar Phil sampai mati, dan rasanya bukan main.
Setelah ia diajukan ke muka pengadilan yang sesungguhnya,
Komite Penegak Keadilan untuk Rob Westerfield akan mubazir dan
segera tenggelam dalam ketiadaan, dan setelah itu, baru setelah itu,
bak anak ayam yang baru menetas aku akan mencoba melangkah
menuju masa depan yang baru.
Malam ini aku akan bertemu seseorang yang ingin kulihat dan
ingin melihatku. Entah ke mana kami melangkah setelah itu. Aku
tidak tahu, juga belum memikirkan sejauh itu. Namun untuk pertama
kali dalam hidupku aku mulai merasa antusias melihat ke depan,
dengan hampir lunasnya utangku pada masa silam. Perasaan puas
yang menumbuhkan harapan.
Kemudian aku melewati pintu masuk tempat penginapan itu,
dan melihat Teddy, adik seayahku, berdiri di sana menungguku.
Kali ini ia tidak tersenyum. Ia tampak resah, namun toh yakin
akan apa yang dilakukannya dan cara ia menyapaku tanpa basa basi.
"Ellie, ayo kita masuk. Kita harus bicara."
"Aku sudah mengundang adik Anda untuk menunggu di ruang
rekreasi, tapi dia khawatir akan bersisipan dengan Anda," ujar Mrs.
Willis. Kekhawatirannya beralasan, sebab itulah yang akan terjadi,


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batinku. Aku akan tetap tinggal di atas andai aku tahu ia sedang
menungguku. Aku tidak ingin Mrs. Willis mendengar apa yang akan
dikatakan anak ini, karena itu aku melangkah mendahuluinya ke ruang
rekreasi. Kali ini ia menutup pintunya, dan kami berdiri berhadaphadapan
"Teddy," mulaiku, "kau harus mendengarku. Aku tahu
maksudmu baik. Aku tahu maksud ayahmu baik. Tapi kalian tidak
perlu membuntutiku. Aku baik-baik saja, dan aku bisa menjaga diriku
sendiri." "Tidak, kau tidak bisa!" Matanya tampak berapi-api, dan untuk
sesaat ia tampak begitu mirip ayahku, sehingga aku merasa seakan
berada kembali di ruang makan rumah kami dulu, dan Daddy sedang
mengatakan pada Andrea apa pun alasannya dia dilarang berhubungan
dengan Rob Westerfield. "Ellie, kami sudah melihat apa yang kaumasukkan ke dalam
situsmu tadi siang. Dad khawatir setengah mati. Dia bilang keluarga
Westerfield sekarang punya alasan untuk membungkammu, dan
mereka akan melakukan itu. Dia bilang kau telah menjadi ancaman
berbahaya untuk mereka, dan itu berarti kau benar-benar dalam
bahaya Ellie, kau tidak boleh melakukan ini pada Dad ataupun pada
dirimu sendiri. Atau padaku."
Ia tampak begitu khawatir, begitu emosional, sehingga aku
merasa kasihan padanya. Aku meletakkan tanganku di atas lengannya.
"Teddy, bukan maksudku membuat kau dan ayahmu khawatir. Aku
melakukan apa yang memang harus kulakukan. Aku tidak tahu lagi
bagaimana cara mengatakannya padamu, tapi kumohon, biarkan aku
sendiri. Selama ini kau sudah menjalani hidupmu tanpa aku, dan
ayahmu sudah menjalani hidupnya tanpa aku sejak aku masih muda
sekali. Apa sebetulnya masalahnya" Aku sudah coba katakan padamu
tempo hari - kau tidak kenal aku. Kau tidak punya alasan untuk
khawatir mengenai aku. Kau anak muda yang baik, tapi sebaiknya
hubungan kita cukup sejauh itu."
"Aku bukan sekadar anak muda yang baik. Aku adikmu. Entah
kau suka atau tidak aku adikmu. Dan berhentilah mengucapkan
"ayahmu" padaku. Kau menganggap kau tahu segalanya, tapi kau
keliru, Ellie. Dad tidak pernah berhenti menjadi ayahmu. Dia selalu
berbicara tentang kau, dan aku selalu ingin mendengar tentang kau.
Dia selalu menceritakan padaku betapa hebatnya kau waktu masih
kecil. Kau bahkan tidak tahu dia pergi ke acara wisudamu dan duduk
di antara para hadirin. Dia berlangganan the Atlanta News sejak kau
mulai bekerja di sana, dan dia membaca setiap artikel yang pernah
kautulis di sana. Jadi, berhentilah mengatakan dia bukan ayahmu."
Aku tidak mau mendengar itu. Aku terus menggeleng. "Teddy,
kau tidak mengerti. Ketika ibuku dan aku pergi ke Florida, dia
membiarkan kami pergi."
"Dia bilang padaku kau menganggap begitu, tapi kau keliru.
Dia tidak membiarkan kalian pergi begitu saja. Dia mengharapkan
kalian kembali. Dia mencoba mengajak kalian kembali. Dalam
beberapa kali kau mengunjunginya setelah dia dan ibumu berpisah,
kau tidak mau mengucapkan sepatah kata pun padanya, dan kau
bahkan tidak mau makan. Lalu apa yang seharusnya dia lakukan"
Ibumu mengatakan padanya akan terlalu banyak kepedihan kalau
mereka tetap tinggal di bawah satu atap, ibumu hanya ingin mengingat
bagian-bagian yang baik dari kebersamaan mereka, dan memulai
kehidupan yang baru. Dan itulah yang dia lakukan."
"Dari mana kau tahu semua ini?"
"Aku menanyakan itu padanya. Karena aku mengira dia akan
mendapat serangan jantung saat melihat tulisan terakhir yang
kaumasukkan ke situsmu. Umurnya sekarang enam puluh tujuh tahun,
Ellie, dan dia punya tekanan darah tinggi."
"Apa dia tahu kau ada di sini?"
"Aku bilang padanya akan kemari. Aku kemari untuk memohon
padamu agar pulang bersamaku, tapi kalau kau tidak mau, setidaknya
kumohon kau pindah dari sini ke tempat yang tidak diketahui siapasiapa, kecuali
kami berdua." Nadanya begitu tulus, begitu cemas begitu peduli, sehingga aku
nyaris merangkulnya. "Teddy, ada beberapa hal yang tidak
kaumengerti. Aku tahu Andrea akan pergi menemui Rob Westerfield
malam itu, tapi aku tidak mau mengadu. Aku terpaksa memikul rasa
bersalah itu seumur hidupku. Sekarang, begitu perkara Westerfield
disidangkan kembali, dia akan berusaha meyakinkan banyak orang
Paulie Stroebel-lah yang membunuh Andrea. Aku tidak berhasil
menyelamatkan Andrea, tapi aku akan mencoba menyelamatkan
Paulie." "Dad mengatakan padaku Andrea meninggal karena
kesalahannya. Dia pulang larut malam ketika itu. Salah satu rekan
kerjanya baru bertunangan, sehingga dia ikut minum bir untuk
merayakannya. Dia mulai merasa tidak enak dan khawatir Andrea
masih suka menemui Westerfield di belakangnya. Dia mengatakan
padaku andai dia pulang lebih awal, dia pasti tidak akan pernah
mengizinkan Andrea pergi ke rumah Joan malam itu - dengan begitu,
Andrea tidak akan berada di garasi itu, melainkan di rumah, dalam
keadaan aman." Ia mempercayai ucapannya. Apakah ingatanku begitu kacau"
Tidak juga. Situasinya tidak sesederhana itu. Tapi apakah rasa
bersalah yang masih terus menghantui diriku - Andai Ellie
menceritakan pada kita - hanya merupakan bagian dari gambaran
utuh" Ibuku telah membiarkan Andrea pergi keluar setelah gelap,
sendirian. Ayahku menduga Andrea masih tetap menemui Rob,
namun belum sempat bicara serius dengannya. Ibuku telah bersikeras
pindah ke tempat yang ketika itu letaknya terpencil dan masih sepi.
Ayahku mungkin terlalu ketat terhadap Andrea; upayanya untuk
melindungi Andrea mungkin membuat Andrea berontak Dan aku
adalah kepercayaannya, yang tahu mengenai pertemuan-pertemuan
rahasianya. Apakah kami bertiga memang memilih untuk memendam rasa
bersalah dan pedih itu di hati kami masing-masing, ataukah ada
pilihan lain bagi kami"
"Ellie, ibuku baik sekali. Dia sudah menjanda ketika bertemu
Dad. Dia tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang. Dia ingin
bertemu denganmu. Kau akan suka padanya."
"Teddy, aku berjanji akan menemuinya suatu hari nanti "
"Dalam waktu dekat."
"Begitu aku selesai dengan ini. Pasti tidak akan lama lagi."
"Kau mau bicara dengan Dad" Kau mau berdamai dengannya?"
"Begitu ini selesai, kita akan makan siang sama-sama atau
apalah. Aku janji. Dan dengar, aku akan pergi keluar malam ini
dengan Pete Lawlor, teman kerjaku di Atlanta. Dia akan menjemputku
di sini dan mengantarku kembali kemari dengan aman. Aku janji."
"Dad akan lega mendengarnya."
"Teddy, aku harus ke atas sekarang. Aku masih harus
menelepon beberapa orang sebelum aku pergi."
"Aku sudah mengatakan apa yang harus kukatakan. Tidak,
mungkin belum. Masih ada satu hal lagi yang pernah dikatakan Dad
padaku, yang sebaiknya kau tahu. Dia bilang, "Aku pernah kehilangan
seorang gadis kecil. Aku tidak bisa kehilangan yang satunya.?"
Chapter 41 ANDAI semula aku mengharapkan sedikit keromantisan dalam
pertemuan kami, harapan itu segera sirna. Pete menyambutku dengan
sapaan, "Kau kelihatan hebat," yang disusul kecupan ringan di pipi.
"Dan kau begitu keren, tampangmu seperti baru memenangkan
undian belanja gratis selama lima belas menit di Bloomingdales,"
sahutku. "Dua puluh menit," ujarnya mengoreksi. "Aku sudah lapar
sekali, kau?" Aku sudah memesan tempat di Cathryns, dan saat kami
meluncur ke sana, aku berkata, "Ada satu permintaan serius."
"Oke." "Malam ini aku tidak mau membicarakan apa yang kulakukan
selama beberapa minggu terakhir ini. Kau sudah membaca situsku,
jadi kau tahu bagaimana perkembangannya. Tapi aku butuh
melupakan itu semua selama beberapa jam. Jadi, malam ini akan
menjadi malammu. Ceritakan padaku ke mana saja kau persisnya,
sejak aku melihatmu terakhir kali di Atlanta. Aku mau tahu setiap
detail wawancara-wawancaramu. Setelah itu, ceritakan padaku kenapa
kau begitu antusias mengenai pekerjaan yang akan kauambil itu. Kau
bahkan boleh mengungkapkan padaku apakah kau sempat menemui
kesulitan memilih antara dasi merah bagus yang jelas masih baru itu,
atau yang lain." Pete mempunyai kebiasaan mengangkat alis. Ia melakukannya
sekarang. "Kau serius?"
"Ya." "Begitu melihat dasi ini, aku tahu aku harus memilikinya."
"Hebat sekali," sahutku. "Aku mau dengar lebih banyak lagi."
Di restoran kami mempelajari menu, memesan ikan salmon
asap dan pasta seafood, dan sepakat untuk berbagi sebotol Pinot
Grigio. "Untunglah kita sama-sama suka makanan pembuka yang
sama," ujar Pete. "Jadi mudah menentukan anggurnya."
"Terakhir kali aku kemari, aku memesan hidangan iga kambing
muda," ujarku. Ia menatapku. "Aku paling suka bikin kau kesal," kataku.
"Aku tahu." Saat makan, ia jadi lebih terbuka padaku. "Ellie, aku tahu usaha
persuratkabaran itu mengalami penurunan. Itu yang biasanya terjadi
pada usaha keluarga yang generasi penerusnya cuma tertarik pada
dolarnya. Terus terang, itu membuatku resah. Dalam bisnis ini,
kecuali ada alasan bagus untuk tetap berkutat di situ, kau harus bisa
membuka mata untuk peluang-peluang lain."
"Lalu kenapa kau tidak angkat kaki dari dulu?" tanyaku.
Ia menatapku. "Aku pernah mempertimbangkan itu. Tapi ada
dua hal yang aku tahu pasti. Aku ingin bekerja di bisnis
persuratkabaran yang mantap seperti The New York Times, L.A.
Times, Chicago Trib, atau Houston Chronicle - atau mencoba
menekuni sesuatu yang sama sekali berbeda. Ada penawaran dari
beberapa koran, tapi kemudian peluang untuk "sesuatu yang lain" itu
terbuka, dan aku meraihnya."
"Stasiun TV Kabel baru."
"Persis. Aku akan mulai awal. Ada risikonya, tentu saja, tapi
beberapa investor yang berbobot sudah menyatakan komitmen
mereka." "Kaubilang pekerjaan ini membuatmu sering harus bepergian?"
"Dengan sering, maksudku ala pengarah acara saat mengincar
peliputan besar." "Maksudmu kau akan menjadi pengarah acara!"
"Mungkin kata itu masih terlalu muluk untuk saat ini. Aku akan
bekerja di bagian berita. Singkat, tegas, dan blak-blakan itu gaya masa
kini. Mungkin aku akan sukses; mungkin juga tidak."
Aku mempertimbangkan ucapannya. Pete cukup cerdas dan
bersemangat, dan selalu menangkap situasinya dengan cepat.
"Menurutku kau punya bakat untuk itu," ujarku.
"Ada sesuatu yang menyentuh dari caramu memberiku pujian,
Ellie. Jangan terlalu tinggi menilaiku, bisa-bisa aku besar kepala
nanti." Aku tidak menanggapi. "Kalau begitu, basismu nanti di New
York City. Apa kau akan pindah ke sana?"
"Aku sudah pindah ke sana. Aku sudah menemukan apartemen
di SoHo. Tidak mewah, tapi lumayan sebagai awal."
"Apakah itu bukan langkah yang terlalu besar untukmu"
Seluruh keluargamu ada di Atlanta."
"Kakek-nenek dari kedua orangtuaku orang New York. Aku
biasa mengunjungi mereka sewaktu aku masih anak-anak."
"Begitu " Kami terdiam saat meja dibersihkan. Kemudian, setelah kami
memesan kopi espresso, Pete berkata, "Oke, Ellie, kita sudah
memainkan ini sesuai peraturanmu. Sekarang aku memasukkan koinkoinku. Aku ingin
mendengar semua rencanamu, semuanya."
Sementara itu, aku sudah merasa siap membicarakannya, karena
itulah aku mulai mengungkapkan semuanya, termasuk mengenai
kunjungan Teddy. Setelah aku selesai, Pete berkata, "Ayahmu benar.
Sebaiknya kaupindah ke tempatnya, atau setidaknya tidak terlihat di
seputar Oldham." "Kurasa dia benar mengenai itu," aku mengakui dalam nada
enggan. "Aku harus ke Chicago besok pagi, untuk pertemuan dengan
dewan direksi Packard Cable. Aku akan pergi sampai hari Sabtu.
Ellie, kumohon kau ke New York dan tinggal di apartemenku. Kau
bisa tetap berhubungan dengan Marcus Longo, Mrs. Hilmer, dan Mrs.
Stroebel dari sana, dan kau juga masih bisa meneruskan situsmu. Tapi
kau akan aman. Kau mau, kan?"
Aku tahu ucapannya benar. "Untuk beberapa hari, sampai aku
tahu ke mana aku akan pergi, oke."
Begitu kami tiba kembali di tempat penginapan, Pete
meninggalkan mobilnya di jalan mobil dan mengantarku masuk ke
dalam. Si petugas malam sedang berada di mejanya. "Apa ada yang
mencari Ms. Cavanaugh?" tanya Pete padanya.
"Tidak ada, Sir."
"Ada pesan untuknya?"
"Mr. Longo dan Mrs. Hilmer membalas telepon Ms.
Cavanaugh." "Terima kasih."
Di kaki tangga ia meletakkan tangannya di pundakku. "Ellie,
aku tahu kau merasa harus melakukan ini semua, dan aku mengerti
itu. Tapi sekarang kau tidak bisa melakukannya sendirian lagi. Kau
butuh kami." "Kami?" "Ayahmu, Teddy, dan aku."
"Kau sudah berhubungan dengan ayahku, ya?"
Ia menepuk pipiku. "Tentu saja sudah."
Chapter 42 AKU banyak bermimpi malam itu. Mimpi yang sangat
meresahkan. Andrea menyelinap di antara pepohonan. Aku berusaha
memanggilnya untuk kembali, tapi dia tidak mendengar, dan aku
mengawasinya dengan cemas saat ia berlari melewati rumah Mrs.
Westerfield tua dan masuk ke dalam garasi itu. Aku mencoba
meneriakkan sesuatu untuk mengingatkannya, tapi kemudian Rob
Westerfield muncul dan menghalauku dari sana.
Aku terbangun oleh sayup-sayup suaraku sendiri yang mencoba
meminta tolong. Matahari baru mulai keluar, dan aku bisa melihat
suasana hari itu akan suram, berawan, dan dingin, sebagaimana
layaknya di awal bulan November.
Sejak masih kecil aku sudah merasakan dua minggu pertama di
bulan November tidak enak, namun setelah pertengahan bulan,
suasana perayaan menghadapi Hari Thanksgiving akan mulai terasa.
Kemudian, setelah Andrea meninggal, suasana suram itu akan
selamanya terkait dengan kenangan pada hari-hari terakhir yang
pernah kami lewatkan bersama-sama itu. Hari peringatan
meninggalnya tinggal beberapa hari lagi dari sekarang.
Semua itulah yang ada dalam kepalaku saat aku berbaring di
tempat tidur. Aku berandai masih bisa tidur lagi selama satu-dua jam.


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak sulit bagiku menganalisis arti mimpi itu. Hari peringatan
kematian Andrea yang semakin dekat, serta fakta aku menyadari
sepenuhnya bahwa Rob Westerfield akan mencak-mencak begitu
membaca informasi terbaru di situsku rupanya terus mengganggu
pikiranku. Aku tahu aku harus betul-betul berhati-hati.
Pukul tujuh aku memesan sarapan untuk diantar ke kamar;
setelah itu aku mulai mengerjakan bukuku. Pukul sembilan aku
mandi, berpakaian, dan menelepon Mrs. Hilmer.
Aku benar-benar berharap ia meneleponku tadi malam, untuk
mengatakan bahwa ia ingat mengapa nama "Phil" itu terdengar tidak
asing baginya. Namun bahkan saat mengajukan pertanyaan itu
padanya, aku menyadari kemungkinannya kecil sekali apa yang akan
terlintas dalam pikirannya akan ada hubungannya dengan bualan Rob
Westerfield yang ekstrem itu.
"Ellie, satu-satunya yang terus ada di dalam kepalaku adalah
nama itu," ujarnya sambil menghela napas. "Aku meneleponmu tadi
malam untuk memberitahu aku sudah menelepon temanku yang masih
berhubungan dengan Phil Oliver. Aku pernah bilang padamu siapa
dia. Phil Oliver adalah laki-laki yang diputus kontrak kerjanya,
kemudian sempat ribut dengan ayah Rob Westerfield. Temanku bilang
dia ada di Florida, merasa betah di sana, tapi toh masih pahit tentang
cara dia diperlakukan. Dia membaca situsmu dan menyukainya. Dia
bilang kalau kau toh sudah memulai dengan situs itu, sebaiknya kau
juga ungkapkan pada dunia, tipe seperti apa ayah Rob, dan dia
bersedia berbincang-bincang denganmu."
Menarik, batinku, tapi bukan informasi yang kubutuhkan pada
saat ini. "Ellie, satu hal aku yakin, apa pun yang kudengar atau kubaca
tentang "Phil" adalah belum lama ini. Dan kalaupun ini membantu, itu
sempat membuatku sedih."
"Sedih?" "Ellie, aku tahu bicaraku tidak masuk akal, tapi aku masih
berusaha mengingat-ingatnya. Aku akan meneleponmu begitu aku
tahu." Mrs. Hilmer telah menghubungi aku melalui telepon di tempat
penginapanku. Aku tidak ingin mengatakan padanya aku akan pindah,
atau menjelaskan soal Pete dan apartemennya di New York. "Anda
punya nomor ponselku, kan Mrs. Hilmer?"
"Ya, kau sudah memberikannya padaku."
"Aku akan banyak pergi. Apa Anda bisa meneleponku di nomor
itu begitu Anda ingat tentang Phil?"
"Tentu saja." Marcus Longo adalah yang berikut dalam daftarku yang harus
kuhubungi. Aku merasa nada suaranya terkesan prihatin, dan ternyata
aku benar. "Ellie, apa yang kaumasukkan dalam situsmu kemarin akan
mengundang reaksi keras, baik dari Westerfield maupun
pengacaranya, William Hamilton."
"Bagus. Biar saja mereka menggugatku. Aku sudah tidak sabar
mendongkel mereka." "Ellie, berada di pihak yang benar tidak selalu berarti kau tidak
tergoyahkan dan akan menang secara hukum. Hukum bisa sangat
rumit. Denah yang kaunyatakan merupakan bukti keterlibatan Rob
Westerfield dalam upaya membunuh neneknya berasal dari adik orang
yang melakukan penembakan itu. Dan dia mengakui ketika itu dia
menjadi sopir kendaraan mereka untuk kabur. Dia sama sekali bukan
saksi yang bisa kauandalkan. Berapa kaubayar dia untuk informasi
itu?" "Seribu dolar."
"Kau tahu kesannya nanti dalam sidang" Kalau tidak, biar aku
yang menjelaskannya padamu. Kau membawa-bawa karton
pengumuman di luar Sing Sing. Kau menyebarluaskan itu di situsmu.
Bagaimanapun bunyinya, isinya adalah, "Barang siapa tahu sesuatu
tentang tindak kejahatan yang mungkin pernah dilakukan Rob
Westerfield bisa memperoleh uang dengan cepat. Orang ini bisa jadi
cuma tukang bohong."
"Menurutmu begitu?"
"Pendapatku tidak penting."
"Tentu saja penting, Marcus. Apa kau percaya Rob Westerfield
yang merencanakan tindak kejahatan itu?"
"Ya, aku percaya, tapi sejak dulu aku memang percaya dia yang
merencanakan itu. Itu tidak ada hubungannya dengan gugatan sekian
juta dolar yang mungkin akan kauhadapi."
"Biar saja mereka menggugatku. Aku memang mengharapkan
itu. Aku punya beberapa ribu dolar di bank, dan mobil yang tangki
bensinnya dimasukkan pasir, yang mungkin akan membutuhkan mesin
baru, dan aku mungkin akan mendapat sedikit uang dari bukuku.
Silakan saja kalau mereka ingin mencoba mengambilnya."
"Terserah kau, Ellie."
"Ada dua hal, Marcus. Aku akan pindah dari sini hari ini, dan
tinggal di apartemen seorang teman."
"Tidak di sekitar sini, kuharap."
"Tidak, di Manhattan."
"Itu melegakan sekali untukku. Apa ayahmu tahu mengenai
itu?" Andaikan belum, aku berani bertaruh kau yang akan
mengatakan itu padanya, batinku. Aku bertanya-tanya berapa banyak
di antara teman-temanku di Oldham yang masih terus berhubungan
dengan ayahku. "Aku tidak yakin," ujarku apa adanya. Pete mungkin
saja sudah meneleponnya tadi malam, begitu dia meninggalkan aku.
Aku baru akan menanyakan pada Marcus, apakah ia sudah
berhasil melacak tindak pembunuhan dengan orang bernama "Phil"
sebagai korban, namun ia telah mengantisipasi pertanyaan itu. "Sejauh
ini, nol, tidak ada kabar apa-apa, tidak ada sesuatu pun yang
menghubungkan Westerfield dengan tindak kejahatan lain," ujarnya.
"Namun aku masih harus menyelidiki beberapa hal dulu. Kami juga
sedang menggali soal nama yang suka dipakai Rob di masa
sekolahnya dulu " "Jim Wilding?" "Ya." Kami sepakat untuk terus berhubungan.
**********************************************
Aku belum sempat berbicara dengan Mrs. Stroebel sejak hari
Minggu sore. Aku meneleponnya di rumah sakit, dengan harapan akan
mendengar bahwa Paulie sudah diperbolehkan pulang, tapi ternyata ia
masih ada di sana. Mrs. Stroebel sedang bersamanya. "Ellie, keadaannya sudah
jauh lebih baik. Aku mampir kemari sekitar jam ini setiap hari, setelah
itu aku pergi ke toko dan kembali lagi sekitar siang. Untung ada Greta.
Kau bertemu dengannya di hari Paulie dibawa kemari. Dia baik sekali.
Dia memastikan semua tetap berjalan sebagaimana biasa."
"Kapan Paulie boleh pulang?"
"Kurasa besok, tapi, Ellie, dia ingin bertemu kau lagi. Dia
sedang mencoba mengingat sesuatu yang kaukatakan padanya, yang
menurutnya tidak benar. Dia ingin meluruskan itu, tapi tidak ingat apa
itu. Kau mengerti - dia minum begitu banyak obat."
Hatiku menciut. Sesuatu yang telah kukatakan" Ya Tuhan,
apakah Paulie sedang bingung lagi, atau dia akan menarik kembali apa
yang pernah dia ungkapkan padaku" Aku bersyukur belum memuat
dalam situsku cerita tentang hubungan Rob dan liontin itu.
"Aku bisa datang ke sana menemuinya," usulku.
"Bagaimana kalau kau datang sekitar jam satu" Dengan begitu,
aku akan ada di sini, dan kurasa itu akan membuatnya lebih nyaman."
Lebih enak, batinku, atau maksudmu kau ingin memastikan dia
tidak mengatakan apa pun yang mungkin akan mencelakakan dirinya
sendiri" Tidak, aku tidak mempercayai itu. "Aku akan ada di sana,
Mrs. Stroebel," ujarku. "Kalau aku sampai sebelum Anda tiba, aku
akan menunggu Anda sebelum aku menemui Paulie."
"Terima kasih. Ellie."
Nadanya terdengar begitu berterima kasih, sehingga aku merasa
malu pada diriku karena mengira ia mungkin mau mencoba mencegah
Paulie berbicara secara terbuka padaku. Dia yang memintaku datang,
dan hidupnya sekarang terbagi antara menjalankan tokonya dan
menengok anaknya yang sedang dalam perawatan. Tuhan memang
maha pengasih. Dia menunjukkan kebaikan Nya dengan mengirim
pada orang seperti Paulie seorang ibu seperti Anja Stroebel.
Aku berhasil bekerja selama dua jam, kemudian aku memeriksa
situs Rob Westerfield. Fotoku terpasung di tempat tidur masih di sana,
dan beberapa nama telah ditambahkan pada deretan Komite
Penegakan Keadilan untuk Rob Westerfield. Namun sama sekali tidak
ada tulisan untuk menyanggah ceritaku tentang keterlibatan Rob
dalam upaya pembunuhan neneknya.
Aku menganggap itu sebagai tanda untuk tetap waspada.
Rupanya mereka masih memperdebatkan akan melakukan apa
sekarang. Pukul sebelas ponselku berbunyi. Ternyata dari Joan. "Mau
makan siang sebentar sekitar pukul satu?" tanyanya. "Ada beberapa
hal yang mesti kulakukan, dan kebetulan aku akan melewati
tempatmu." "Aku tidak bisa. Aku janji akan menengok Paulie di rumah
sakit jam satu," ujarku, kemudian aku terdiam sebentar. "Tapi, Joan.."
"Kenapa, Ellie" Kau tidak apa apa?"
"Tidak, aku baik-baik saja. Joan, kau pernah bilang kau punya
copy berita duka cita yang dipasang ayahku di surat kabar mengenai
ibuku." "Ya, betul. Aku sudah menawarkan untuk memperlihatkannya
padamu." "Apa sulit bagimu mencarinya?"
"Tidak." Kalau begitu, kalau kau kebetulan lewat tempat penginapan ini,
bisakah kau menitipkannya di meja resepsionis" Aku sangat ingin
melihatnya." "Baiklah, akan segera kubawakan."
**********************************************
Begitu aku tiba di rumah sakit, suasana di ruang lobi tampak
sibuk. Aku melihat sejumlah reporter dan juru kamera berkerumun di
satu pojok, dan aku cepat-cepat memunggungi mereka.
Wanita yang antre di belakangku untuk mendapatkan izin
berkunjung menceritakan apa yang sedang terjadi. Mrs. Dorothy
Westerfield, nenek Rob, baru saja dibawa masuk ke ruang gawat
darurat dengan tergesa-gesa, karena kena serangan jantung.
Pengacaranya telah mengeluarkan pernyataan pada media
massa tadi malam, untuk mengabadikan nama almarhum suaminya,
U.S. Senator Pearson Westerfield, Mrs. Westerfield telah mengubah
surat wasiatnya dan akan mewariskan hartanya pada yayasan sosial
yang bertugas memilah-milah segalanya dalam waktu sepuluh tahun.
Dalam pernyataan itu disebutkan bahwa satu-satunya
perkecualian adalah sedikit hibah untuk putranya, beberapa teman,
dan pegawai yang sudah lama bekerja untuknya. Cucunya hanya
mendapat satu dolar. "Dia wanita yang pandai," bisik wanita itu padaku. "Aku
dengar beberapa wartawan berbicara. Selain pengacara-pengacaranya,
dia juga mengundang pastornya, seorang hakim yang juga temannya,
dan seorang ahli jiwa sebagai saksi bahwa pikirannya masih terang
dan dia tahu persis apa yang dia lakukan."
Aku yakin informanku yang suka bergosip ini tidak menyadari
kemungkinan situskulah penyebab Mrs. Westerfield mengubah surat
wasiatnya dan mengalami serangan jantung. Bagiku ini merupakan
kemenangan yang mengenaskan. Aku masih ingat saat wanita yang
anggun dan penuh wibawa ini menyatakan rasa duka citanya atas
kematian Andrea pada hari upacara penguburannya.
Aku merasa lega bisa menyelinap masuk ke dalam lift sebelum
seorang reporter sempat mengenali dan menghubungkan aku dengan
berita menggemparkan itu.
**********************************************
Mrs. Stroebel sudah berdiri di lorong, menungguku. Bersamasama kami menuju kamar
Paulie. Bebatan perbannya tidak tampak
begitu mencemaskan lagi. Matanya lebih bening, dan senyumannya
hangat dan manis. "Sahabatku, Ellie," sambutnya. "Aku bisa
mengandalkanmu." "Itu pasti." "Aku mau pulang. Aku sudah bosan di sini."
"Itu pertanda bagus, Paulie."
"Aku ingin kembali bekerja. Banyakkah yang datang untuk
makan siang sewaktu kau berangkat, Mama?"
"Lumayan banyak," sahut Mrs. Stroebel lembut, sambil
tersenyum senang. "Kau tidak perlu terlalu sering kemari, Mama."
"Sepertinya begitu, Paulie. Kau akan pulang sebentar lagi."
Mrs. Stroebel mengalihkan pandangannya ke arahku. "Kami punya
sebuah ruangan kecil di dekat dapur toko. Greta sudah menempatkan
sofa dan televisi di sana. Paulie bisa selalu bersama kami, melakukan
apa yang ingin dia lakukan di dapur, dan beristirahat di saat perlu."
"Kedengarannya bagus sekali," ujarku.
"Sekarang, Paulie, coba kaujelaskan apa yang begitu
mengganggu pikiranmu tentang liontin yang kautemukan di dalam
mobil Rob Westerfield," ujar ibunya, memulai.
Aku tidak bisa membayangkan ke mana arah percakapan kami.
"Aku menemukan liontin itu dan memberikannya pada Rob,"
ujar Paulie pelan. "Aku sudah mengatakan itu padamu, Ellie."
"Ya, itu betul."
"Rantainya putus."
"Kau juga sudah mengatakan itu padaku, Paulie."
"Rob memberi aku tip sepuluh dolar, dan aku menyatukannya
dengan uang yang kusimpan untuk hadiah ulang tahun kelima
puluhmu, Mama." "Itu betul, Paulie. Itu bulan Mei, enam bulan sebelum Andrea
meninggal " "Ya. Dan liontin itu berbentuk hati terbuat dari emas, dengan
batu-batu biru yang cantik di tengahnya.
"Ya," ujarku, dengan harapan dapat terus mem esarkan hatinya.
"Aku melihat Andrea memakainya, dan aku mengikutinya ke
garasi itu, dan melihat Rob masuk ke dalam menyusulnya. Kemudian
aku mengatakan pada Andrea bahwa ayahnya akan marah, setelah itu
aku mengajaknya pergi ke pesta dansa itu bersamaku."
"Itu persisnya yang kaukatakan padaku sebelumnya, Paulie.
Dan memang itu yang terjadi, bukan?"
"Ya, tapi masih ada sesuatu yang tidak benar. Kau bilang
sesuatu waktu itu, Ellie, yang tidak benar."
"Coba kuingat-ingat." Aku mencoba merekonstruksi
percakapan kami semampuku. "Satu-satunya yang kuingat adalah kau
cuma tidak menyebutkan bahwa aku bilang Rob bahkan tidak
membelikan liontin baru untuk Andrea. Dia hanya menggrafir inisial
nama kecil mereka, Rob dan Andrea, di liontin milik gadis lain yang
mungkin ketinggalan di dalam mobilnya."
Paulie tersenyum. "Itu, Ellie. Itu yang ingin kuingat. Rob tidak
menggrafir inisial-inisial itu di liontin itu. Inisial-inisial itu sudah ada
di sana saat aku menemukan lointin itu."
"Paulie, itu tidak mungkin. Setahuku Andrea baru mengenal


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rob setelah bulan Oktober. Kau menemukan liontin itu bulan Mei."
Tampang Paulie mulai ngotot. "Ellie, aku ingat. Aku yakin.
Aku melihatnya di situ. Inisial-inisial itu sudah ada. Dan bunyinya
bukan "R" dan A", melainkan A" dan R". "A.R.," dalam huruf-huruf
yang cantik sekali."
Chapter 43 AKU meninggalkan rumah sakit itu dengan perasaan bahwa
segalanya mulai bergulir tak terkendali. Cerita Alfie dan denah yang
sudah kumasukkan dalam situsku jelas menghasilkan dampak yang
kuharapkan: nama Rob Westerfield telah dihapus dari surat wasiat
neneknya. Dengan melakukan itu, Mrs. Westerfield seakan
mengacungkan poster yang berbunyi, "Aku percaya satu-satunya
cucuku telah merencanakan upaya untuk mengakhiri hidupku."
Kenyataan yang menghancurkan perasaan serta keputusan yang
menyakitkan itu jelas merupakan penyebab ia mendapat serangan
jantung parah. Di usianya yang sembilan puluh dua, rasanya tak
mungkin ia dapat mengatasi itu.
Kembali aku teringat cara ia membawa dirinya saat
meninggalkan rumah kami setelah ayahku mengusirnya pergi. Ayahku
orang pertama yang menjatuhkan martabatnya gara-gara cucunya.
Tapi apakah itu benar" Arbinger adalah sekolah tempat suaminya,
sang senator, menuntut ilmu. Sepertinya tak mungkin ia tidak tahu
kenapa Rob diminta keluar dan sana.
Fakta bahwa ia mengubah surat wasiatnya dan mengambil
langkah-langkah untuk memastikan bahwa itu tidak dapat digugat lagi
secara legal bagiku berarti ia tidak hanya mempercayai cucunya
merencanakan upaya untuk mengakhiri hidupnya, tapi juga pada
akhirnya merasa yakin bahwa Rob-lah yang bertanggung jawab atas
kematian Andrea. Sekarang kembali pada liontin itu.
Liontin itu sudah memiliki grafiran inisial "A" dan "R"
sebelum Rob mengenal Andrea.
Fakta itu begitu mengejutkan, begitu di luar perhitunganku
selama ini, sehingga untuk beberapa saat setelah meninggalkan Paulie,
aku harus membiarkannya meresap dulu di dalam pikiranku untuk
dapat mencernanya. Suasana di pagi yang suram itu berlanjut menjadi sore yang
tidak kalah suramnya. Mobilku berada di ujung pelataran parkir rumah
sakit yang diperuntukkan bagi para pengunjung, dan aku berjalan
dengan cepat ke sana. Kerah mantelku dinaikkan ke atas, sebagai
pelindung terhadap angin yang dingin dan lembap.
Aku meluncur keluar meninggalkan kawasan rumah sakit, dan
menyadari aku mulai pusing karena saat ini sudah pukul setengah dua,
sedangkan terakhir kali aku makan adalah pukul tujuh lewat lima
belas tadi pagi. Sambil menyetir, aku mulai mencari kedai kopi atau restoran,
dan melewati beberapa yang kelihatannya lumayan. Alasanku terus
melewatinya menjadi jelas saat aku juga tidak berhenti di sebuah
tempat makan siang yang sedang populer. Rupanya berada di tempat
umum di Oldham membuatku merasa sangat tidak berdaya sekarang.
Aku kembali ke tempat penginapanku, merasa lega begitu
sampai, dan antusias untuk segera berangkat ke pusat kota Manhattan
dan menghilang di antara kesibukannya. Mrs. Willis yang duduk di
belakang meja resepsionis menyerahkan amplop padaku. Aku tahu
isinya berita duka cita mengenai ibuku, yang ditinggalkan Joan
untukku. Aku membawanya ke atas, memesan makanan untuk diantar ke
kamar, kemudian duduk di kursi yang menghadap ke arah Hudson.
Panorama yang pasti akan disukai ibuku, dengan hamparan tebingnya
yang tersaput kabut, perairannya yang keabuan dan terus bergolakgolak.
Amplop itu tertutup. Aku merobeknya.
Joan telah menggunting berita itu dari harian the Westchester
News Bunyinya: Cavanaugh: Genine (dahulu Reid) di Los Angeles, Ca., dalam
usia 51 tahun. Mantan istri terkasih dan Edward dan ibu tercinta dari
Gabrielle (Ellie) dan almarhum Andrea. Dia selalu aktif di gereja dan
lingkungannya, dan telah menciptakan suasana indah dan bahagia
untuk keluarganya. Dia akan selalu dirindukan, selalu dicintai, selalu
dikenang. Jadi, bukan hanya Mom yang masih selalu ingat akan tahuntahun menyenangkan itu,
batinku. Aku pernah mengirim surat pendek
pada ayahku untuk memberitahu soal kematiannya, dan untuk
menanyakan padanya apakah abunya boleh dimasukkan ke makam
Andrea. Aku begitu terobsesi oleh kesedihanku sendiri, sehingga tidak
pernah terpintas dalam diriku bahwa berita kematian ibuku mungkin
juga secara mendalam akan mempengaruhi ayahku.
Aku memutuskan tidak mengulur, melainkan mempercepat
acara makan siang bersama ayahku yang telah kujanjikan pada Teddy.
Aku menyimpan kliping itu di koperku. Aku ingin segera mengemasi
barang-barangku, dan setelah itu berangkat secepatnya. Kemudian
pesawat teleponku berdering.
Ternyata Mrs. Hilmer. "Ellie, aku tidak tahu apakah ini akan
menolong atau tidak, tapi aku ingat sekarang, di mana aku pernah
membaca sesuatu tentang seseorang bernama Phil."
"Di mana, Mrs. Hilmer" Di mana Anda membacanya?"
"Di salah satu koran yang kauserahkan padaku."
"Anda yakin?" "Yakin, Aku ingat karena aku membacanya saat berada di
rumah cucuku. Bayinya sedang tidur, dan aku menelusuri koran-koran
itu untuk mencari nama orang-orang yang masih tinggal di sekitar sini
dan mungkin ingin kauwawancarai. Ellie, seperti kukatakan padamu
saat kita makan malam, membaca tentang sidang itu mengingatkan
aku kembali akan semuanya, dan membuatku menangis. Kemudian
aku membaca sesuatu tentang Phil, dan itu juga sangat menyedihkan."
"Tapi Anda tidak ingat apa yang ditulis tentang laki-laki itu?"
"Justru itu, Ellie, kurasa kalaupun aku bisa menemukan kembali
artikel itu, sepertinya bukan orang ini yang sedang kita cari."
"Kenapa menurut Anda begitu?"
"Karena kau mencari seorang laki-laki yang bernama Phil.
Yang kubaca itu mengenai seorang gadis yang telah meninggal, yang
oleh keluarganya dipanggil "Phil"."
Aku menghajar Phil sampai mati, dan rasanya bukan main.
Ya Tuhan, batinku, apakah yang dimaksud Rob itu seorang
gadis" Seorang gadis yang menjadi korban pembunuhan.
"Mrs. Hilmer, aku akan segera membaca koran-koran itu, baris
demi baris." "Itu yang sedang kulakukan saat ini, Ellie. Aku akan
meneleponmu begitu aku menemukannya."
"Dan aku akan menelepon Anda begitu aku menemukannya."
Aku menekan tombol "end" untuk mengakhiri percakapan
kami, meletakkan ponselku di meja samping tempat tidur, kemudian
menyambar tas besarku. Aku membuka ritsletingnya, membalik tas itu
untuk mengeluarkan tumpukan koran yang sudah mulai lusuh dan
menguning itu ke atas tempat tidur.
Aku meraih lembar pertama yang kusentuh, duduk di kursi yang
menghadap ke sungai, dan mulai membaca.
Jam demi jam berlalu. Sekali-sekali aku berdiri untuk
melemaskan otot-ototku. Pukul empat aku memesan teh. Teh dapat
mengembalikan semangatmu. Bukankah begitu bunyi slogan iklan
salah satu perusahaan teh itu"
Aku merasa segar kembali. Dan itu membantu memusatkan
pikiranku. Aku terus berkonsentrasi secara intensif, membaca baris demi
baris koran-koran itu, membaca ulang detail-detail mengerikan dan
liputan mengenai kematian Andrea serta sidang Rob Westerfield.
"A.R " Apakah keberadaan liontin itu sama sekali tidak
relevan" Tidak. Tidak mungkin. Kalau memang tidak relevan, Rob
tidak akan pernah mengambil risiko untuk datang kembali
mengambilnya. Apakah "A.R.," gadis pemilik terdahulu liontin emas yang
cantik itu, juga salah satu korban nafsu binatang Rob Westerfield"
Jam enam aku mengambil waktu untuk beristirahat sekali lagi,
dan menyalakan TV untuk mengikuti siaran berita. Mrs. Dorothy
Westerfield meninggal pada pukul 03.30. Putra maupun cucunya tidak
berada di samping tempat tidurnya pada saat itu.
Aku kembali membaca koran-koran itu. Jam tujuh aku
menemukan apa yang kucari. Di halaman berita duka cita pada hari
upacara pemakaman Andrea. Bunyinya:
Rayburn, Amy P. Kami mengenangmu hari ini dan setiap hari.
Selamat ulang tahun ke-18 di surga, Phil tersayang kami.
Mom dan Dad. "A.R." Apakah inisial pada liontin itu huruf-huruf untuk Amy
Rayburn" Inisial tengahnya tentunya P Apakah untuk Phyllis atau
Philomena, yang dipendekkan menjadi Phil"
Paulie menemukan liontin itu di awal bulan Mei. Andrea sudah
meninggal selama dua puluh tiga tahun. Kalau Amy Rayburn memang
si pemilik liontin itu, apakah itu berarti ia meninggal dua puluh tiga
setengah tahun yang lalu"
Aku menelepon Marcus Longo, tapi tidak ada yang mengangkat
telepon di rumahnya. Aku benar-benar ingin ia segera mengecek nama
Amy Rayburn di antara laporan tindak pembunuhan yang terjadi tahun
itu. Aku tahu ada buku telepon Westchester yang komplet di dalam
laci meja samping tempat tidur. Aku mengeluarkannya, membuka,
dan membaliknya ke bagian "R".
Hanya ada dua Rayburn terdaftar di sana. Yang satu tinggal di
Larchmont, yang lain di Rye Brook.
Aku menghubungi nomor di Larchmont. Suara berat seorang
lelaki yang agak tua terdengar. Tidak ada alasan untuk berputar-putar.
"Namaku Ellie Cavanaugh," ujarku. "Aku merasa perlu berbicara
dengan keluarga almarhum Amy Rayburn, wanita muda yang
meninggal sekitar dua puluh tiga tahun lalu."
"Apa alasannya?" Nadanya tiba tiba menjadi dingin, dan aku
tahu aku sedang berhubungan dengan seseorang yang sedikitnya
memiliki hubungan keluarga dengan gadis yang telah meninggal itu.
"Aku mohon Anda menjawab satu pertanyaanku," sahutku,
"setelah itu aku akan menjawab semua pertanyaan Anda. Apakah
Amy merupakan korban tindak pembunuhan?"
"Kalau Anda belum tahu sama sekali tentang itu, Anda tidak
punya urusan untuk menghubungi keluarga kami."
Pesawatnya dibanting. Aku menelepon kembali, dan kali ini aku mendapat jawaban
dari mesin penerima pesan. "Namaku Ellie Cavanaugh," ujarku.
"Hampir dua puluh tiga tahun yang lalu, kakakku yang berusia lima
belas tahun dianiaya sampai mati Aku yakin aku memiliki bukti
bahwa orang yang membunuhnya juga bertanggung jawab atas
kematian Phil. Aku mohon Anda meneleponku kembali."
Aku mulai meninggalkan nomor ponselku, tapi tiba-tiba aku
mendengar jawaban dari ujung satunya. "Aku paman Amy Rayburn,"
ujarnya. "Lelaki yang membunuhnya sudah menjalani masa
hukumannya selama delapan belas tahun di penjara. Apa maksud
Anda?" Chapter 44 LELAKI yang kutelepon, David Rayburn, adalah paman Amy
Phyllis Rayburn yang berusia tujuh belas tahun ketika ia dibunuh
enam bulan sebelum Andrea. Aku bercerita padanya tentang Andrea,
tentang pengakuan Rob Westerfield pada rekan sesama tahanan di
penjara, tentang Paulie yang menemukan liontin itu di mobil Rob, dan
tentang bagaimana liontin itu kemudian diambil dari tubuh Andrea.
Ia mendengarkan, mengajukan beberapa pertanyaan, kemudian
berkata, "Kakakku ayah Phil. Itu nama panggilan Amy dalam
keluarga, dan di antara teman-teman dekatnya. Aku akan menelepon
kakakku sekarang, dan memberinya nomor Anda. Dia pasti ingin
bicara dengan Anda."
Kemudian ia menambahkan, "Phil hampir lulus sekolah
menengah waktu itu. Dia sudah diterima di Brown. Pacarnya, Dan
Mayotte, selalu bersikeras dia tidak bersalah. Seharusnya Dan kuliah
di Yale, tapi dia malah menghabiskan delapan belas tahun hidupnya di
penjara. Lima belas menit kemudian pesawat teleponku berdering.
Ternyata dari Michael Rayburn, ayah Phil. "Aku tahu dari adikku
tentang telepon Anda," ujarnya. "Aku tidak akan mencoba
mendeskripsikan perasaanku ataupun istriku saat ini. Dan Mayotte
sudah keluar-masuk rumah kami sejak dia masih duduk di taman
kanak-kanak; kami sudah menganggapnya seperti anak kami sendiri.
Kami terpaksa menerima kematian putri tunggal kami dengan
tawakal, tapi membayangkan Dan mungkin telah divonis secara tidak
adil untuk kematian anak kami rasanya benar-benar melebihi yang
sanggup kami tanggung. Aku pengacara, Ms. Cavanaugh. Bukti apa
yang Anda miliki" Adikku mengatakan sesuatu mengenai liontin."
"Mr. Rayburn, apakah putri Anda memiliki liontin emas
berbentuk hati dengan batu-batu biru atau perhiasan di bagian
depannya dan grafiran inisialnya di belakang?"
"Coba Anda bicara dengan istriku."
Sejak ia mulai berbicara, aku sudah mengagumi cara ibu Phil
membawa dirinya. "Ellie, aku ingat kapan kakakmu meninggal.
Kejadiannya hanya enam bulan setelah kami kehilangan Phil "
Aku mendeskripsikan liontin itu padanya.
"Liontin itu pasti milik Phil. Salah satu pernak-pernik murah
yang bisa dibeli di pusat perbelanjaan. Dia memang menyukai
perhiasan seperti itu, dan mempunyai beberapa rantai yang bisa
dipadukan dengan sejumlah liontin. Dia biasa memakai dua atau tiga
secara bersamaan. Aku tidak tahu apakah dia memakai liontin itu pada
malam dia dibunuh. Aku tidak pernah merasa kehilangan itu."
"Apakah Anda punya foto Phil mengenakan liontin itu?"
"Phil anak tunggal kami, jadi kami selalu membuat foto
dirinya," ujar Mrs. Rayburn, dan sekarang aku bisa mendengar air
mata dalam suaranya. "Dia suka sekali pada liontin itu. Karena itulah
dia menggrafirnya. Aku yakin bisa menemukan foto dirinya memakai
liontin itu." Suaminya mengambil alih telepon itu darinya. "Ellie, dari apa
yang kaukatakan pada adikku, aku menyimpulkan tahanan yang
menyatakan mendengar Westerfield mengaku membunuh putriku itu
hilang." "Ya, dia memang hilang."
"Dalam hatiku aku tidak pernah percaya bahwa Dan dapat
menyerang Phil dengan cara begitu brutal. Dia bukan tipe yang
menyukai kekerasan, dan aku tahu dia sayang pada Phil. Tapi sejauh
aku mengerti, tidak ada bukti yang cukup kuat yang dapat
menghubungkan Westerfield dengan kematian Phil."
"Memang, tidak ada, atau setidaknya belum ada. Mungkin
masih terlalu pagi untuk pergi ke kantor kejaksaan dengan apa yang
kuketahui, tapi kalau Anda bersedia mengungkapkan padaku situasi
kematian putri Anda, serta alasan mengapa Dan Mayotte yang
dituntut serta dijatuhi hukuman, aku bisa memaparkannya di situsku,
dan melihat apakah itu akan memancing lebih banyak informasi lagi.
Bagaimana menurut Anda?"


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ellie, kami sudah hidup dalam mimpi buruk ini selama dua
puluh tiga tahun. Aku bisa mengungkapkan padamu semua tentang
itu." "Percayalah padaku, aku mengerti maksud Anda. Mimpi buruk
yang dialami keluarga kami akhirnya meretakkan perkawinan kedua
orangtuaku, membunuh ibuku, dan terus menyiksaku selama lebih dari
dua puluh tahun. Jadi, ya, aku mengerti apa yang selama ini Anda
rasakan." "Aku yakin kau mengerti itu. Dan dan Phil sempat cekcok dan
tidak bertemu selama seminggu. Dan memang suka cemburu, dan Phil
menceritakan pada kami bahwa seminggu sebelumnya, saat mereka
sedang membeli soda dan permen di lobi sebelum menonton bioskop,
seorang anak muda mengajak bicara Phil, dan Dan menjadi marah.
Phil tidak pernah memberikan deskripsi anak muda itu ataupun
menyebutkan namanya. "Dia dan Dan tidak bicara selama seminggu setelah peristiwa
itu. Pada suatu hari dia pergi ke kedai piza lokal dengan beberapa
temannya. Dan muncul dengan beberapa temannya, kemudian
menghampiri Phil. Mereka berbincang-bincang, dan menurutku
mereka berbaikan kembali. Mereka sebetulnya saling mencintai.
"Tiba-tiba Dan melihat anak muda yang pernah mengusili Phil
sewaktu mereka nonton beberapa waktu lalu. Anak muda itu berdiri di
dekat meja kasir " "Apakah Dan pernah memberikan deskripsi anak muda ini?"
"Ya. Tampan, sekitar dua puluh tahun, rambutnya berwarna
pirang gelap. Dan pernah bilang saat mereka membeli minuman di
gedung bioskop itu, dia mendengar anak muda itu mengatakan pada
Phil bahwa dia bernama Jim."
Jim! batinku Pasti itu salah satu kesempatan di mana Rob
Westerfield mengenakan wig pirang gelap dan mengakui dirinya
sebagai Jim. "Melihat anak muda itu juga berada di kedai piza yang sama
rupanya membangkitkan kembali kecemburuan Dan. Dia mengatakan
bahwa dia menuduh Phil sengaja membuat rencana untuk bertemu Jim
di situ. Phil menyangkal dan mengatakan dia bahkan tidak tahu anak
muda itu akan ada di situ. Setelah itu, dia berdiri dan lari keluar.
Semua yang ada di situ melihat dia dan Dan bertengkar.
"Phil memakai jaket baru waktu itu. Ketika dia ditemukan, pada
jaketnya terdapat bekas bulu anjing yang berasal dari anjing Irish
Terrier milik Dan. Tentu saja Phil sering sekali naik mobil Dan,
namun karena jaket itu masih betul-betul baru, bulu-bulu itu dijadikan
bukti bahwa dia sempat berada di dalam mobil itu setelah
meninggalkan kedai piza tersebut."
"Apakah Dan menyangkal bahwa Phil sempat berada di dalam
mobilnya?" "Tidak pernah. Dia mengatakan dia memang berhasil
membujuk Phil naik ke dalam kendaraannya untuk membicarakan
kembali masalah mereka secara baik-baik. Tapi ketika dia mengatakan
sulit baginya mempercayai Jim hanya kebetulan berada di kedai piza
itu, Phil menjadi marah lagi dan segera meloncat keluar dari
mobilnya. Phil mengatakan akan kembali menemui teman-temannya,
kemudian dia mengusir Dan dari situ. Menurut Dan, dia membanting
pintu dan segera meninggalkan pelataran parkir, menuju restoran. Dan
mengaku dia sangat kesal saat itu. Dia memacu mobilnya, kemudian
pergi. "Phil tidak pernah sampai di restoran itu kembali. Sewaktu
malam semakin larut dan dia belum juga pulang, kami menelepon
teman-teman yang pergi bersamanya.
Ibu dan ayahku juga menelepon teman-teman Andrea waktu
itu... "Mereka bilang dia pergi bersama Dan. Tadinya kami tentu saja
merasa lega. Kami berdua suka padanya, dan kami juga senang
mereka sudah berbaikan lagi. Namun setelah beberapa jam berlalu,
dan ketika akhirnya Dan sampai di rumahnya, dia mengatakan telah
meninggalkan Phil di pelataran parkir, sementara Phil kembali ke
restoran itu. Hari berikutnya jenazahnya ditemukan."
Suara Michael Rayburn bergetar. "Dia mati dengan banyak
retak di tengkorak kepalanya. Wajahnya sampai hampir tidak bisa
dikenali." Aku menghajar Phil sampai mati, dan rasanya bukan main.
"Dan mengaku dia sangat bingung dan marah ketika Phil pergi
meninggalkan mobilnya. Dia bilang dia berputar-putar dengan
mobilnya selama sekitar satu jam, lalu memarkir kendaraannya di
dekat danau, kemudian duduk di sana beberapa lama. Sayangnya dia
tidak punya saksi yang mendukung ceritanya. Tak seorang pun
melihatnya di situ, sedangkan mayat Phil ditemukan di kawasan hutan
sekitar satu mil dari danau itu."
"Apa ada orang lain yang melihat Jim di kedai piza itu?"
"Orang-orang bilang, seingat mereka memang ada seorang anak
muda di sana, dengan rambut pirang gelap. Namun rupanya dia tidak
berbicara dengan siapa-siapa, dan tak ada yang memperhatikan kapan
dia pergi. Dan dinyatakan bersalah dan dipenjara. Ini menghancurkan
hati ibunya yang membesarkan dirinya seorang diri. Yang
menyedihkan adalah, dia mati muda dan tidak pernah menyaksikan
putranya dibebaskan secara bersyarat."
Ibuku juga mati muda, batinku.
"Di mana Dan saat ini?" tanyaku.
"Dia mendapatkan gelar sarjananya di penjara, bukan di Yale.
Aku dengar dia bekerja sebagai penasihat hukum untuk para mantan
narapidana. Dalam hati, aku tidak pernah percaya dia tega melakukan
semua itu pada Phil. Kalau ternyata teorimu benar, aku betul-betul
harus minta maaf sebesar-besarnya padanya."
Rob Westerfield berutang lebih dan sekadar permintaan maaf
darinya, batinku. Dia berutang delapan belas tahun padanya - serta
kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya.
"Kapan kau akan memuat ini di situsmu, Ellie?" tanya Michael
Rayburn. "Begitu aku selesai menulisnya. Itu akan memakan waktu
sekitar satu jam." "Kalau begitu, aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi.
Kami akan menunggu itu. Kabari aku begitu ada informasi baru yang
masuk." *******************************************
Aku tahu aku merupakan ancaman bagi keluarga Westerfield,
dan dengan memuat cerita yang provokatif ini aku benar-benar
mempertaruhkan nyawaku. Tapi aku tidak peduli.
Begitu teringat korban-korban yang berjatuhan karena Rob
Westerfield, aku menjadi marah.
Phil, anak tunggal. Dan, yang hidupnya dihancurkan.
Keluarga Rayburn. Ibu Dan. Nenek Rob. Keluargaku. Aku memulai cerita Phil dengan judul: "KEJAKSAAN
WILAYAH WESTCHESTER, CATAT INI!"
Jari-jariku menari-nari di atas keyboard. Jam sembilan aku
sudah selesai. Aku membaca ulang tulisanku, kemudian dengan puas
dan geram aku memindahkannya ke situsku.
Aku sadar aku harus segera meninggalkan tempat penginapan
itu. Aku mematikan komputerku, mengemasi barang-barangku dalam
lima menit, lalu turun ke bawah.
Aku masih di meja kasir, menyelesaikan tagihanku, saat
ponselku berbunyi. Tadinya aku mengira itu Marcus Longo, tapi ternyata aku
mendengar suara wanita dengan logat Hispanik.
"Ms. Cavanaugh?"
"Ya." "Aku mengikuti situs Anda selama ini. Namaku Rosita Juarez.
Aku pernah bekerja sebagai pengurus rumah tangga orangtua Rob
Westerfield sejak dia masih berumur sepuluh tahun sampai dia masuk
penjara. Dia memang jahat sekali."
Aku mencengkeram ponselku dan menempelkannya lebih dekat
ke telingaku. Wanita ini bekerja sebagai pengurus rumah tangga
keluarga itu di masa Rob melakukan kedua pembunuhan tersebut!
Apa yang dia ketahui" Suaranya terdengar cemas. Jangan sampai dia
memutus telepon ini, doaku.
Aku berusaha membuat suaraku kedengaran tenang. "Ya, Rob
memang jahat sekali, Rosita "
"Dia menganggap aku rendah. Dia selalu mengejek cara
bicaraku. Dia selalu culas dan kasar padaku. Karena itulah aku ingin
membantu Anda." "Bagaimana kau dapat membantu aku, Rosita?"
"Rob biasa memakai wig pirang. Begitu memakainya, dia akan
bilang padaku, "Namaku Jim, Rosita. Itu tidak terlalu sulit bagimu
untuk mengingatnya.?"
"Kau pernah melihat dia memakai wig itu?"
"Aku menyimpan wig itu." Aku mendengar nada kemenangan
dalam suaranya. "Ibunya biasanya kesal setiap kali melihatnya
mengenakan wig itu dan menyebut dirinya Jim, sampai suatu hari
ibunya membuang wig itu ke tempat sampah. Aku tidak tahu kenapa,
tapi aku mengambil wig itu dan membawanya pulang. Aku tahu
harganya mahal, dan kupikir mungkin aku bisa menjualnya. Tapi
setelah itu aku memasukkannya ke dalam kotak yang kusimpan di
lemari, dan aku lupa sama sekali mengenai itu, sampai Anda menulis
tentang wig itu di situs Anda."
"Aku ingin memiliki wig itu, Rosita. Aku akan berterima kasih
padamu kalau aku boleh membelinya darimu."
"Tidak, Anda tidak perlu membelinya. Apakah wig ini dapat
membantu membuat orang-orang percaya dia yang membunuh gadis
bernama Phil itu?" "Pasti. Kau tinggal di mana, Rosita?"
"Di Phillipstown."
Philhpstown sebenarnya masih bagian dari Cold Spring,
jaraknya tidak lebih sepuluh mil dari sini.
"Rosita, apakah aku boleh datang mengambil wig itu
sekarang?" "Aku tidak yakin."
Suaranya mulai terdengar khawatir.
"Kenapa, Rosita?"
"Karena aku tinggal di apartemen berlantai dua, sehingga
pemiliknya akan melihat semuanya. Aku tidak mau ada yang melihat
Anda pernah kemari. Aku takut pada Rob Westerfield."
Sesaat ini aku hanya peduli mengenai cara mendapatkan wig
itu. Kelak, saat Rob diadili untuk kematian Phil, aku akan mencoba
membujuk Rosita untuk menjadi saksi.
Sebelum aku sempat mencoba meyakinkannya, ia mengusulkan,
"Aku tinggal hanya beberapa menit dari Phillipstown Hotel. Kalau
Anda mau, aku bisa pergi ke sana dan menemui Anda di pintu
belakangnya." "Aku akan berada di sana dalam dua puluh menit," sahutku.
"Tidak, sebaiknya setengah jam lagi."
"Aku akan berada di sana. Apakah wig ini dapat membantu
menggiring Rob kembali ke penjara?"
"Aku yakin begitu. "
"Bagus." Aku bisa mendengar nada puas dalam suara Rosita. Ia telah
mendapatkan cara untuk melampiaskan dendamnya pada si anak
remaja culas yang telah menghina dirinya selama hampir satu dekade
Aku bergegas menyelesaikan tagihanku, dan dengan cepat
memasukkan tas-tasku ke dalam mobil.
Enam menit kemudian, aku sudah dalam perjalanan untuk
mendapatkan bukti nyata bahwa Rob Westerfield memiliki dan
memakai wig berwarna pirang gelap.
Aku berharap masih bisa mendapatkan contoh DNA Rob yang
menempel di situ. Itu akan menjadi bukti kuat wig itu pernah menjadi
miliknya. Chapter 45 BEBERAPA saat setelah hari gelap, kabut tipis berubah
menjadi hujan keras dan dingin. Wiper mobil sewaanku sudah perlu
diganti, dan sebelum sempat mengendarainya lebih dan satu mil, aku
sudah kesulitan melihat jalanan.
Lalu lintas di Route 9 jadi semakin jarang, semakin jauh aku
menuju arah utara. Dari yang dapat kubaca di dasbor, aku tahu
temperatur di luar terus turun, dan dalam bilangan menit aku melihat
air hujan telah berubah menjadi es. Begitu mulai mengumpul di kaca
depan, es akan mengeras, sehingga semakin sulit melihat lebih
daripada beberapa meter di depan. Aku terpaksa menggunakan jalur
sebelah kanan dan mengemudikan kendaraanku perlahan-lahan.
Setelah beberapa menit berlalu, aku mulai cemas akan
berselisih jalan dengan Rosita. Ia kedengaran demikian gugup,
sehingga aku yakin ia tidak akan menunggu lama-lama jika aku tidak
muncul tepat pada waktunya.
Aku memusatkan seluruh konsentrasiku untuk mengawasi jalan
di depanku, dan baru kemudian menyadari aku mulai menaiki
tanjakan. Terpikir olehku sudah beberapa waktu aku tidak melihat
sorot lampu dari arah berlawanan.
Aku melirik ke odometer. Letak Phillipstown Hotel seharusnya
tidak lebih sepuluh mil dari Hudson Valley Inn, tapi sekarang aku
sudah menempuh dua belas mil, dan belum juga sampai di tempat
tujuanku. Rupanya aku telah meninggalkan Route 9. Jalan tempatku
berada sekarang jelas bukan jalan besar, dan terasa semakin
menyempit. Aku melirik kaca spionku, untuk melihat apakah ada lampu
menyorot di belakangku. Tidak ada. Dengan perasaan kesal dan
frustrasi, aku menginjak rem dengan keras - tindakan bodoh sekali,
karena mobilku mulai selip. Aku berhasil mengendalikan kemudinya,
dan dengan hati-hati memutar balik. Pada saat itulah aku melihat
lampu rotator merah menyala berkedip-kedip di belakangku. Sorot
lampu itu menyilaukan mataku. Aku menginjak rem, dan mobil polisi
berhenti di sampingku. Terima kasih, Tuhan! batinku. Aku menurunkan kaca jendela
untuk menanyakan pada polisi itu arah ke Phillipstown Hotel.
Kaca jendela kendaraan yang baru berhenti itu juga diturunkan,
dan orang yang duduk di bangku penumpangnya menoleh ke arahku.
Meskipun tidak ada cahaya yang menyorot langsung ke
wajahnya, aku langsung mengenalinya sebagai Rob Westerfield. Dan
ia mengenakan wig berwarna pirang gelap itu. Dalam logat Hispanik
dan suara ditinggikan seperti suara wanita, ia mengejekku dengan
berteriak, "Dia jahat sekali. Dia mengejek cara bicaraku. Dia
memaksaku memanggilnya Jim."
Jantungku nyaris berhenti. Dengan perasaan tidak keruan aku
menyadari Rob telah berpura-pura menjadi Rosita dan meneleponku
untuk memancingku. Aku mengenali wajah si pengemudi yang duduk
di sebelahnya - laki-laki yang mengancamku di pelataran parkir
stasiun kereta api dekat penjara Sing Sing.
Dengan panik aku menoleh ke sana kemari, mencari jalan untuk
kabur. Aku tidak dapat menyalip kendaraan mereka. Harapanku
hanyalah terus lurus ke depan. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam,
dan terus melesat lurus ke depan. Aku sama sekali tidak tahu ke mana


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan ini menuju. Saat aku mempercepat laju jalanku, aku melihat
pepohonan di kiri-kananku, sementara jalan semakin lama semakin
menyempit. Ban mobilku mulai selip, sehingga bagian belakangnya
oleng, meliak-liuk seperti ekor ikan.
Aku tahu aku tidak akan bisa lolos dari kejaran mereka. Aku
hanya dapat berdoa jalan ini tidak buntu, tapi akan membawaku
kembali ke jalan raya. Mereka sudah mematikan lampu rotator mereka, namun lampu
depan mereka masih menyorot langsung ke kaca spionku. Kemudian
mereka mulai mempermainkanku.
Mereka menyalip dari sebelah kiri, dan menabrakkan mobil
mereka ke bagian samping kendaraanku. Pintu di belakang bangkuku
kena, kemudian aku mendengar gesekan metal sementara mobilku
hilang kendali dan kepalaku membentur roda kemudi.
Mereka menghindar dengan menjaga jarak di belakangku saat
mulai meliak-liuk. Aku berusaha tetap berada di bagian tengah jalan.
Aku tahu darah mulai mengucur dari luka di dahiku, tapi aku berhasil
mengendalikan kemudiku dan menjaga kendaraanku untuk tetap
berada di permukaan jalan.
Tiba-tiba mereka menyusul lagi, memotong jalanku dan
menghancurkan bumper depanku saat mereka menabrakku lagi. Aku
bisa mendengar bumper mobilku lepas dan terseret, sementara aku
berjuang untuk tetap berada di jalan, dan berdoa agar aku bisa segera
sampai di persimpangan jalan, atau setidaknya bertemu kendaraan lain
yang datang dari arah berlawanan.
Tapi tidak ada mobil lain di situ rupanya, dan aku merasa
serangan ketiga akan segera datang. Jelas mereka hendak memberikan
hantaman terakhir. Saat jalanan itu membelok tajam, mereka
memperlambat laju mereka, kemudian mengambil jalur kiri. Aku
sempat ragu sejenak, lalu menginjak gas, sambil berharap bisa
membuat jarak dengan mereka lagi. Namun dengan cepat mereka
menjajari aku kembali. Sekejap aku melirik ke arah mereka. Lampu di dalam kendaraan
mereka menyala, dan aku bisa melihat Rob melambaikan sesuatu ke
arahku. Tuas dongkrak. Dengan satu entakan tiba-tiba mereka memotong jalan dan
langsung masuk ke jalurku, memaksa mobilku meninggalkan badan
jalan. Dalam keadaan tak berdaya aku berusaha memutar kemudi, tapi
aku merasa roda-rodaku telah kehilangan daya cengkeramnya.
Mobilku mulai selip, kemudian terperosok menuruni tebing jalan,
langsung menuju deretan pepohonan sekitar tiga puluh kaki dari situ.
Aku berhasil tetap berpegangan pada roda kemudi saat
kendaraanku jungkir balik beberapa kali. Aku menutupi wajahku
dengan tangan saat bagian kanan mobilku tegak lagi, dan setelah itu
menghantam pohon. Seluruh kaca depanku pecah berantakan.
Suara logam dan kaca remuk yang memekakkan telinga disusul
keheningan mendadak yang sungguh-sungguh menyeramkan.
Pundakku sakit. Tanganku berdarah. Kepalaku berdenyutdenyut. Tapi sungguh ajaib
aku tidak terluka parah. Tumbukan terakhir telah menyebabkan pintu pengemudi
terbuka, dan butiran es mencipratiku dari berbagai arah. Sengatan
hawa dingin yang terasa menusuk wajahku menyebabkan aku tidak
jatuh pingsan, dan mendadak kesadaranku pulih kembali. Suasana
gelap gulita, dan sesaat aku merasa sangat lega. Kurasa begitu mereka
melihat mobilku jumpalitan di tebing jalan, mereka mengira aku pasti
mati, lalu langsung pergi.
Namun kemudian aku sadar bahwa aku tidak sendirian. Di
dekatku aku mendengar suara tarikan napas berat dan tidak teratur,
diikuti suara seperti orang tersedak yang ketika aku masih kecil
kudeskripsikan sebagai suara cekikikan.
Rob Westerfield ada di sana di dalam gelap, menungguku,
persis seperti saat ia menunggu Andrea hampir dua puluh tiga tahun
yang lalu, di dalam kegelapan garasi yang dijadikan tempat
persembunyian itu. Pukulan pertama dengan tuas dongkrak itu meleset dan
mengenai sandaran kepala di belakangku. Aku mencengkeram kunci
sabuk pengaman dan berhasil melepaskannya.
Ketika aku berguling ke arah kursi penumpang, pukulan kedua
menghantam begitu dekat, sehingga aku dapat merasakannya seakan
menyusuri rambutku. Andrea, Andrea, seperti inikah yang kaualami waktu itu" Ya
Tuhan, kumohon... tolonglah aku....
Kurasa kami berdua mendengar suara itu pada saat bersamaan,
suara mobil menderu dari arah belokan terakhir jalan. Lampu
depannya rupanya sempat menyorot mobilku yang sudah ringsek,
karena ia membelok, kemudian segera menuruni lereng tempat aku
terjebak. Rob Westerfield, dengan tuas dongkrak di tangannya, tepat
berada di bawah sorotan lampu menyilaukan itu. Tapi demikian juga
aku, sehingga sekarang ia bisa melihatku dengan jelas.
Dengan geram ia memutar tubuhnya dan mengalihkan
perhatiannya kembali padaku. Ia mendoyongkan tubuhnya ke dalam
mobil, sampai wajahnya tinggal beberapa senti dari wajahku. Aku
berusaha mendorongnya saat ia mengangkat tuas dongkraknya, siap
dihajarkan ke kepalaku. Aku mendengar raungan sirene memenuhi udara saat aku
melindungi kepalaku dengan lengan dan menunggu pukulannya
mendarat. Aku ingin memejamkan mata, tapi seperti tidak bisa.
Aku mendengar suara berdebam sebelum aku melihat ekspresi
kaget dan kesakitan di wajah Westerfield. Tuas dongkrak terlepas dari
tangannya dan jatuh di kursi sampingku saat ia mendadak terjungkal
ke depan, kemudian menghilang. Seakan tak percaya, aku bengong.
Kendaraan yang meluncur dari turunan jalan itu mengisi tempat
ia tadi berdiri. Pengemudinya melihat apa yang terjadi, dan melakukan
satu-satunya tindakan yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan
aku. Ia menabrakkan mobilnya ke Rob Westerfield.
Sementara lampu-lampu terang benderang dari beberapa mobil
polisi menjadikan tempat itu seperti siang hari, aku menatap wajahwajah para
penyelamatku Ternyata ayahku yang mengemudikan mobil yang menabrak
Rob Westerfield. Adikku di sebelahnya. Di wajah ayahku aku melihat
lagi ekspresi yang mengingatkan aku akan saat ia baru kehilangan
gadis kecilnya yang satu lagi.
SATU TAHUN KEMUDIAN AKU sering mengenang kembali dan menyadari betapa nyaris
aku senasib dengan kakakku malam itu. Sejak aku meninggalkan
tempat penginapan itu, ayahku dan Teddy telah mengikutiku dari jarak
agak jauh. Mereka juga melihat mobil yang mereka sangka mobil
polisi di belakang mobilku, dan menganggap akhirnya aku mau
meminta perlindungan. Sayangnya, mereka kehilangan jejakku ketika aku tersesat
keluar dari jalan utama. Ayahku menelepon polisi Phillipstown untuk
memastikan mobil polisi itu masih mengikutiku.
Baru saat itulah ia mengetahui tidak pernah ada perintah
pengawalan khusus untukku. Polisi menyatakan tempatku kira-kira
mulai tersesat, dan berjanji segera membantu.
Ayahku menceritakan padaku saat ia sampai di belokan itu,
sopir Westerfield sedang berusaha pergi. Tadinya Dad berniat
mengejarnya, namun Teddy keburu melihat mobilku yang ringsek.
Teddy - adik lelaki yang tidak akan pernah lahir seandainya Andrea
masih hidup - telah menyelamatkan nyawaku. Aku masih sering
merenungkan ironi ini. Kedua kaki Rob Westerfield patah saat ia ditabrak mobil
ayahku, namun toh pulih pada waktunya untuk mengantarnya berjalan
masuk ke ruang pengadilan untuk kedua sidangnya.
Jaksa Penuntut Westchester County segera membuka kembali
penyidikan atas kematian Phil. Mereka mendapatkan surat izin untuk
menggeledah apartemen Rob yang baru, dan menemukan banyak
bukti dan catatan tentang berbagai kejahatan yang disembunyikannya.
Hanya Tuhan yang tahu, di mana ia menyembunyikan itu semua
selama ia mendekam di penjara dulu.
Rob menyimpan album berisi kliping koran tentang berita
kematian Andrea dan Phil, dimulai sejak mayat mereka ditemukan.
Kliping-kliping itu tersusun rapi, dan setelah itu ada beberapa foto
Andrea dan Phil, foto-foto dari tempat kejadian perkara, upacara
pemakaman, dan sejumlah orang lain yang ikut terperangkap dalam
tragedi-tragedi itu, termasuk Paulie Stroebel dan Dan Mayotte.
Di setiap halaman Rob menulis komentarnya yang kejam dan
sarkastis, sehubungan dengan perbuatannya dan orang-orang yang
dilukainya. Ada foto Dan Mayotte di bangku saksi saat ia menyatakan
di bawah sumpah bahwa seseorang bernama Jim dengan rambut
pirang gelap telah menggoda Phil saat mereka berada di lobi bioskop.
Di sampingnya Rob menulis, "Aku yakin cewek itu tergila gila
padaku. Jim bisa mendapatkan siapa saja."
Rob mengenakan wig berwarna pirang gelap itu ketika
mengejarku. Tapi bukti kesalahannya yang paling meyakinkan dalam
kematian Phil adalah liontin yang ia simpan; liontin itu ditempelnya di
halaman terakhir albumnya. Di bawahnya tertulis, "Trims, Phil.
Andrea menyukainya."
Jaksa Penuntut Wilayah memohon pengadilan kriminal
membersihkan kembali nama Dan Mayotte dan menggelar sidang lain:
Masyarakat vs Robson Westerfield. Tuduhannya adalah pembunuhan.
Aku melihat liontin itu diperagakan di muka sidang. Aku
teringat kembali malam terakhir di kamar Andrea, ketika dengan
hampir menangis ia mengalungkan liontin itu di lehernya.
Ayahku duduk di sebelahku di ruang sidang itu sambil
menggenggam tanganku. "Ternyata kau benar selama ini mengenai
liontin itu, Ellie," bisiknya.
Ya, aku memang benar, dan akhirnya aku bisa berdamai dengan
kenyataan bahwa aku memang melihat Andrea memakai liontin itu,
dan tahu ia pergi ke tempat persembunyian itu untuk menemui Rob,
sementara aku tidak segera memberitahu kedua orangtuaku ketika ia
dinyatakan hilang. Mungkin memang sudah terlambat untuk
menyelamatkannya, tapi sudah waktunya bagiku untuk berandai-andai
masih belum terlambat untuk menyelamatkannya, dan untuk berhenti
membiarkan hal itu terus menghantuiku.
Rob Westerfield dihukum karena membunuh Amy Phyllis
Rayburn. Dalam sidang pengadilan kedua, Rob dan sopirnya dihukum
karena telah menyerang dan mencoba membunuhku.
Hukuman untuk Rob Westerfield merupakan hasil akumulasi.
Kalau ia masih hidup dalam waktu 113 tahun lagi, ia baru berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat. Saat ia digiring keluar dari ruang
sidang, setelah dijatuhi hukuman kedua, ia berhenti sejenak untuk
mencocokkan arlojinya dengan jam di dalam ruang sidang itu.
Kemudian ia menyesuaikannya.
"Buat apa," batinku. "Waktu toh tidak akan ada artinya lagi
bagimu." Saat Will Nebels dikonfrontasi dengan bukti-bukti kesalahan
Westerfield, ia mengakui ia telah dihubungi Hamilton dan dijanjikan
uang suap untuk berbohong mengenai melihat Paulie masuk ke dalam
garasi tersebut malam itu. William Hamilton, yang sudah dicabut
haknya sebagai pengacara, sekarang menjalani hukumannya sendiri di
penjara. Bukuku buru-buru dikebut untuk penerbitan di musim semi, dan
ternyata hasilnya cukup sukses. Buku satunya - versi bersih
kehidupan Rob Westerfield yang mengenaskan - ditarik dari
peredaran. Pete memperkenalkan aku kepada para eksekutif Packard
Cable, dan mereka menawariku pekerjaan sebagai wartawan
investigasi. Sepertinya ini kesempatan baik. Beberapa hal memang
tidak akan pernah berubah. Aku bekerja di bawah Pete.
Tapi tidak apa. Kami menikah tiga bulan yang lalu di St.
Chnstopher Chapel di Graymoor. Ayahku yang mengantarku ke altar.
Pete dan aku membeli rumah di Cold Spring yang menghadap
ke Hudson. Kami memakainya untuk berakhir minggu. Aku tidak
pernah merasa bosan dengan pemandangannya - sungai besar
berbingkai hamparan tebing. Hatiku akhirnya menemukan rumahnya,
rumah yang telah kucari selama bertahun-tahun.
Aku mengunjungi ayahku secara teratur. Kami berdua merasa
perlu merajut kembali waktu-waktu kami yang hilang. Ibu Teddy dan
aku menjadi teman karib. Kadang-kadang kami semua pergi
menengok Teddy di kampusnya. Ia diterima sebagai satu-satunya
mahasiswa baru dalam tim bola basket di Dartmouth. Aku bangga
sekali padanya. Lingkaran itu telah memakan waktu lama untuk menjadi
sempurna. Tapi akhirnya toh sempurna juga, dan untuk itu aku merasa
amat berterima kasih.END Jabrik Sakti Wanara 2 Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas Pena Beracun 3

Cari Blog Ini