Ceritasilat Novel Online

Ramalan Malapetaka 1

Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer Bagian 1


PROLOG SALJU TURUN DI hutan Manatee, mengawali kesunyian
musim dingin yang sepi membisu. Lima hari lima malam salju
berjatuhan dari udara, memendam pepohonan yang merupakan
sumber penghasilan para penebang dan membekukan sungai yang
memberikan bahan makan bagi suku Indian. Kaum penghuni hutan
menghentikan kegiatan dan mencari kehangatan dalam kesempitan
relung yang kecil sambil menunjang hidup dengan persediaan
makanan yang serba sedikit sampai datangnya musim semi.
Mahluk-mahluk hutan yang lain lebih siap menghadapi
kekejaman musim. Melalui evolusi berjuta-juta tahun mereka telah
menyesuaikan diri dengan struktur tubuh dan bio-ritme mereka,
terhadap kelaparan dan hawa dingin yang harus mereka hadapi.
Serangga menjamin kelestarian keturunan dengan bertelur di bawah
permukaan air dan batas kebekuan yang merupakan tempat aman dari
kekejaman suasana di atas. Burung-burung bermigrasi ke daerah yang
iklimnya lebih panas. Reptilia dan amfibi yang berdarah dingin
menyamakan suhu badan mereka dengan keadaan sekeliling dan
membeku dingin untuk bangun lagi setelah musim pencairan.
Beberapa jenis binatang berdarah panas yang mampu
mempertahankan hidupnya dengan sedikit vegetasi yang terpendam
salju, tetap jaga sepanjang musim dingin dengan tubuh dan populasi
yang menipis selama mereka berkeliaran mencari makan. Lainnya,
yang membutuhkan lebih banyak persediaan makanan, berhibernasi
dengan memasuki keadaan koma yang membuat mereka nampak
bagai mati dan denyut jantung serta pernafasan mereka hampir tak
teramati. Di bawah selimut putih yang mengaburkan garis perbatasan
antara Canada dan Maine, puluhan ribu binatang terlelap dalam
kesenyapan gelap hunian mereka. Di antaranya ada yang kemudian
akan bangkit dan muncul kembali bersama generasi baru yang lahir
selama masa tidur itu, tetapi ada pula yang tidak akan muncul kembali
karena telah menghembuskan nafas terakhir akibat usia tua atau
kekurangan makan, sehingga akan tersekap selama-lamanya dalam
tanah kuburan mereka. Tersembunyi terhadap pandangan mata
manusia, relung-relung rahasia tempat penangguhan hidup digunakan
berulangkali dari tahun ke tahun, mungkin sudah berabad-abad
lamanya. Relung-relung tersebut sangat beraneka ragam, dari yang
sekecil cekungan cangkir teh sampai yang dihuni sekeluarga beruang.
Tetapi, tahun ini ada sebuah relung hibernasi yang baru dengan
ukuran, dan gambaran yang tak mungkin diterapkan pada relungrelung hibernasi
yang pernah ada sebelumnya. Tersembunyi di antara
batuan karang yang menimbun di tepi sebuah danau beku, sarang itu
menjulang dengan tinggi hampir sepuluh meter dan lebar tujuh meter.
Di dalamnya, udara terasa menyesakkan oleh bau bangkai-bangkai
yang membusuk. Penghuninya sangat tidak tenang tidurnya, seakanakan tidak sabar
menunggu datangnya musim semi.
Ketika putaran matahari sudah semakin dekat dengan bumi,
salju yang menyelimuti Hutan Manatee mulai mencair dan mahlukmahluk hutan pun
mulai membuka mata untuk kemudian bangkit
kembali. Dari guanya di dalam tanah yang dahulu telah digali di
gunung di atas garis tumbuhnya pepohonan, seekor beruang hitam
yang sangat besar telah bangun dini dan menapak mengendapngendap mencari mangsa.
Tanah masih tertutup kerak salju tipis
sehingga telapak-telapak binatang buas itu meninggalkan jejak yang
jelas dari relungnya turun menuju danau. Sampai di sana beruang
hitam itu meneguk air sepuasnya, kemudian matanya memandang
sekeliling mencari mangsa. Telinganya yang tajam mendengar geretik
suara pepagan pohon yang cabik diunggis binatang. Dengan
mengikuti arah suara tadi, segera nampaklah olehnya seekor rusa
jantan sedang makan di kejauhan dan tanduk bercabangnya tiba-tiba
berputar ketika binatang itu sadar akan adanya bahaya maut.
Beruang besar itu bergerak maju perlahan-lahan, sadar bahwa
mangsanya sudah tidak mungkin melarikan diri. Rusa itu pun
mengetahui keadaan tersebut. Nampak berdirinya jadi merunduk,
seakan-akan menyerah kepada nasib sambil mengawasi mendekatnya
maut yang semakin dekat. Pada detik terakhir rusa melompat lari dan
beruang itu pun berubah geraknya menjadi gesit. Kejar-mengejar
berlangsung hampir tanpa suara, kecuali hentakan kaki kedua binatang
di atas salju yang sudah menjadi tipis, dan dengus nafas ketika
beruang itu semakin memperkecil jarak antara keduanya. Dengan satu
sabetan, cakar beruang menebas tungkai belakang mangsanya dan
rusa itu pun terjatuh dengan darah yang menggelimangi salju selagi
binatang itu berjuang, kemudian berhenti dengan mata yang nanar
memandangi musuh pembawa kematiannya.
Kematian tersebut tidak perlu cepat. Beruang itu tidak usah
tergesa-gesa. Di hutan ini tidak ada satu mahluk pun yang pernah
merebut mangsa yang sudah berada dalam cengkeramannya.
Tetapi pada saat pukulan maut sudah hampir dijatuhkan,
beruang yang bertelinga tajam itu menangkap suatu suara tepat di
belakangnya, suatu dengkingan keras yang belum pernah satu kali pun
didengarnya selama hidup. Sebuah bayangan berkelebat, dan beruang
itu memutar tubuhnya sambil melengking bagaikan tikus ladang yang
ketakutan. Beruang itu mencoba lari tetapi suatu kekuatan dahsyat
menghentakkannya ke atas dengan gerak tiba-tiba sehingga tubuh
besarnya terkelupas dari kulitnya dan terhempas jatuh kembali dengan
kaki yang tinggal dapat berkeroncalan di tempat. Dalam sekarat,
gerakan itu tidak juga berhenti, walaupun kepalanya sudah terpenggal
lepas dari bahu. Rusa yang telah luka itu terhuyung bangkit dan lari sedapat
mungkin dengan menyeret tungkai belakangnya yang tak berdaya
menuju rumpun pepohonan lebat yang tidak jauh dari tempat itu. Di
sana ia memutar kepala dan mengawasi dengan mata yang tak
mengandung perasaan apa pun nasib pemangsanya yang kini menjadi
mangsa. Kepala beruang itu sebentar saja habis tersantap di tempat,
sedang badannya diseret menuju sarang di antara batuan di tepi danau.
Di sana dagingnya akan dimakan dengan tenang, tulang-tulangnya
dilempar sehingga menambah tinggi tumpukan sisa-sisa yang
berangsur-angsur akan memenuhi liang berdinding batuan yang
tingginya kira-kira sepuluh meter itu. Penghuni liang ini tidak
mengetahui nikmatnya cakar dan telapak tungkai dan bagian-bagian
itu dibiarkannya saja berserakan di lantai tanah sampai busuk.
Tidak lama lagi, juga kaki dan tangan manusia akan berserakan
dan membusuk di tempat itu....
Chapter 1 BAGI ROBERT VERN musim semi di Washington, D.C. yang
akan datang ini mempunyai arti yang lebih besar daripada sekedar
bermekarnya kuncup-kuncup bunga ceri dan berawalnya waktu
bersenang-senang di Potomac. Rob Vern adalah seorang dokter yang
sejak empat tahun ini bekerja pada Department of Public Health.
Menurut pengalamannya, pergantian musim selalu berarti suatu
pergeseran saja dari berbagai bentuk kesengsaraan manusia. Pekerjaan
Rob sehari-hari adalah mengurusi kaum yang hidup dalam kesempitan
dan kekurangan. Pasiennya adalah seluruh ghetto, yang semakin hari
keadaannya semakin bertambah menyedihkan. Rasanya sudah tidak
mungkin terjadi perbaikan. Tak seorang pun memberikan
perhatiannya, kecuali Rob Vern.
Bagi orang-orang yang dekat dengannya, Rob Vern adalah
seorang idealis yang tak mau melihat keadaan. Zamannya antusiasme
menyala yang memenuhi ibu kota, kini sudah berlalu, mati bersama
tewasnya Kennedy dan bubarnya Peace Corps. Namun Rob Vern
masih tetap terkungkung dalam gejolak masa itu. Dalam hatinya
masih terpendam semangat yang penuh kepercayaan bahwa tenaga
satu orang saja yang sungguh-sungguh menghayati perbedaan antara
yang baik dan yang buruk, pada akhirnya akan dapat memperbaiki
keadaan. Pembicaraannya di depan masyarakat umum penuh
kecaman-kecaman pedas, semangatnya menyala sehingga
menakutkan. Jarang ada orang yang berani berteman akrab
dengannya, karena takut ikut-ikut terperangkap dalam kancah
perjuangannya melawan dunia.
Namun, perilaku dan perhatiannya terhadap kaum miskin dan
tertindas sungguh-sungguh lemah lembut. Hatinya benar-benar merasa
tersayat setiap harus menyaksikan kesengsaraan mereka. Kadangkadang ia bahkan
merasa bersalah bahwa dia sendiri telah dilahirkan
dengan segala kesempatan hidup yang tidak mungkin dinikmati oleh
kaum yang malang itu. Pernah Rob menanyakan keadaan dirinya kepada seorang
psikiater. Setelah pembicaraan yang lama dan mendalam, psikiater itu
memberikan saran agar Rob menjalani terapi. Menurut pengamatan
ahli itu, Rob menderita apa yang dalam ilmu jiwa disebut "Sindrom
Penyelamat". Orang yang menderita gangguan semacam itu merasa
harus berbuat baik kepada orang lain, dan selalu bersikap sebagai juru
selamat. Yang mendorong perilaku tersebut sebenarnya adalah
keinginan berkompensasi terhadap suatu macam perasaan bersalah
atau terhadap perasaan kurang merasa diri berharga. Perasaan
berharga ini hanya dialami bila ia bergaul dengan kaum yang lemah
dan tak berdaya, dengan orang-orang yang membutuhkan bantuannya.
Analisa yang dangkal ini membuat Rob agak jengkel, namun ia
tahu bahwa apa yang didengarnya tidaklah sangat jauh dari kenyataan.
Memang pada dirinya ada ketidakselarasan antara apa yang mau
dilaksanakan dan apa yang dapat dilaksanakan. Rob jadi kuatir bahwa
ia telah berbuat lebih untuk kepentingannya sendiri daripada untuk
kepentingan orang lain. Pada usia tiga puluh sembilan Rob sampai
pada suatu jalan silang. Pikirannya tidak hanya mempertimbangkan
apa yang akan dilakukannya, tetapi juga apa yang telah dialaminya.
Ia jadi teringat bahwa selagi ia masih kecil pun hasrat
menyelamatkan pihak yang lemah itu sudah mengisi hatinya. Bila ia
membeli ikan-ikan tropik untuk mengisi akuariumnya, Rob selalu
melewatkan saja ikan yang sehat dan segar, dan dipilihnya ikan yang
sakit-sakitan atau dimakan hama. Lalu siang malam Rob mencurahkan
perhatiannya untuk menyembuhkan ikan yang sakit tersebut penuh
ketekunan sebagaimana ayahnya, yang kini sudah almarhum,
memperlakukan orang-orang desa yang menjadi pasiennya.
Setelah Rob lulus dari fakultas kedokteran dengan predikat
"cum laude", ia menolak hidup enak yang dapat dicapai dengan
berpraktek pribadi. Rob memilih melayani kaum yang membutuhkan
pertolongan tetapi tidak mempunyai harta untuk membiayainya. Ia
pergi ke Brazilia bersama Peace Corps. Di sana ia menjadi ahli dalam
bidang penyakit yang timbul dari lingkungan hidup serba kurang. Dua
tahun kemudian kembalilah Rob ke New York, tempat ia menjadi
spesialis untuk lapangan keahlian tersebut di atas. Ia bekerja di
Bellevue Hospital yang merupakan pusat profesi medis tersebut.
Dalam rumah sakit raksasa itu, begitu banyaknya pasien yang datang
dan pergi sehingga seakan-akan tak bernama sebagaimana dokterdokternya pun jadi
kehilangan identitas masing-masing. Rob bekerja
dua puluh jam seharinya. Dan di sanalah, pada suatu malam yang
membuatnya sepi dan tak berarti, ia berjumpa dengan seorang wanita
muda bernama Maggie. Maggie Dufy, kini Maggie Vern, istri Rob sejak tujuh tahun
yang lalu. Pada waktu itu Maggie adalah seorang mahasiswi Juilliard
School of Music. Gadis itu telah membawa cello-nya bersama dua
orang temannya masing-masing dengan sebuah biola, masuk ruang
kanak-kanak untuk memainkan serenade pada malam menjelang
Natal. Setelah bertahun-tahun, malam itu masih tetap merupakan
kenangan paling manis bagi Rob mengenai isterinya. Maggie
memainkan lagu ciptaan Brahm pada malam itu. Rob melihat pipinya
basah oleh air mata yang menetes karena menyaksikan anak-anak
kecil di ruang itu. Maggie menggunakan Kleenex yang diselempitkan
di ujung cello untuk menyeka air matanya yang lagi-lagi menetes.
Malam itu mereka lewatkan berduaan, berjalan-jalan dalam
udara dingin di sepanjang jalan yang sepi di Times Square, dan
merasa seakan-akan dari seluruh umat manusia di bumi ini tinggal
mereka berdualah yang ada. Dengan perasaan 'mumpung' seakan-akan
mereka tidak akan bersilang jalan lagi, baik Rob maupun Maggie
mencurahkan isi hati mereka dan menceritakan kisah hidup masingmasing. Dan pada
malam Natal keduanya merasa yakin dalam hati
bahwa mereka telah menemukan pasangan hidup mereka.
Yang paling membangkitkan kekaguman Rob adalah optimisme
Maggie dengan segala sikap naif, keterbukaan dan kerawanannya.
Dalam banyak hal, Maggie adalah seorang anak kecil; mudah terluka,
mudah terhibur, meluap-luap di saat yang satu, kemudian termenungmenung di saat
berikut, menanggapi dengan segera dan instingtif
terhadap segala sesuatu yang terjadi di kanan-kiri. Rob lebih
tenggelam dalam dunia alam-pikiran, sedang Maggie lebih mengikuti
dorongan perasaan. Berdua mereka merupakan gabungan yang
sempurna. Tempat tinggal mereka yang pertama di New York adalah
persis di pinggir Columbus Circle; Rob biasa mengawasi Maggie
melalui jendela dapur, selagi gadis itu berjalan ke sekolah paginya di
Juilliard. Maggie seringkali membawa gelas berisi air untuk me
nyirami sepucuk tumbuhan kecil yang entah bagai mana telah berhasil
mempertahankan kelestariannya melawan cuaca dingin dan
menembus aspal di pinggir jalan dan tidak mati terinjak orang yang
lalu. Maggie akan berhenti sebentar, mengajaknya bicara dengan
sepatah dua patah kata, sehingga orang mungkin menganggapnya
perempuan sinting. Maggie tidaklah sinting. Ia adalah Maggie. Dan
Rob mencintainya sekarang, seperti juga pada waktu itu, melebihi
siapa pun yang pernah menyilang jalan hidupnya.
Tetapi sikap intim yang mereka alami selama beberapa tahun di
New York itu kini sudah berlalu. Kepindahan mereka ke Washington
membuat mereka seakan-akan melangkah ke luar dari kebun bunga ke
sungai deras yang menghanyutkan mereka sehingga terpisah. Maggie
telah masuk Washington Symphony dan menjadi pemain cello yang
dikagumi. Waktunya penuh dengan latihan di siang hari dan
pertunjukan di malam hari. Rob semakin tertelan dalam perjuangan
yang tak ada habisnya dan yang rasanya tak akan dimenangkannya.
Dalam bulan-bulan terakhir ini, tidak jarang Rob sudah tidur sewaktu
Maggie pulang dari pertunjukan, dan sudah pergi sebelum wanita itu
bangun esok harinya. Tak pernah lagi ada waktu untuk minum-minum
bersama dan omong-omong tentang perasaan masing-masing. Tidak
pernah lagi ada malam panjang dan bangun lambat dengan
mengenyahkan segala masalah hidup dan memadu cinta. Hubungan
antara keduanya telah berantakan dan sama sekali tidak mendalam.
Percakapan menjadi hanya seperlunya. Hubungan kelamin hanya
sekedar memenuhi kebutuhan dan sangat jarang. Keadaan itu sangat
mencemaskan bagi keduanya, namun semua itu disimpan saja di
dalam hati, seakan-akan mereka sudah terseret dalam sebuah siklus
yang tak mungkin dipatahkan.
Pada hari-hari ini Maggie sedang menambah jam latihannya
untuk pertunjukan-pertunjukan awal tahun; Rob dibanjiri dengan
panggilan-panggilan mendadak dengan kasus-kasus yang semakin
berat. Sudah tiga hari ini mereka hanya berkomunikasi lewat tilpon
atau lewat nota-nota kecil yang ditaruh di tempat tidur atau lemari es.
Pesan yang tertulis adalah singkat dan sederhana, bernada prihatin.
Bunyinya selalu, "Aku cinta padamu" dalam berbagai versinya.
Selagi Rob kini duduk dalam ambulans yang sedang melaju
untuk memenuhi panggilan dari ghetto, ia memaksa diri untuk


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjauhkan pikirannya dari Maggie. Jarak antara mereka yang
mencemaskan itu merupakan masalah yang rasa-rasanya tak mungkin
diatasinya. Ia memalingkan perhatiannya pada masalah-masalah yang
menyangkut keadaan dalam kota yang semakin menyedihkan, dan
sampailah ia pada suatu buah pikiran yang sedikit-sedikit mengurangi
kepedihan hatinya. Memang benar bahwa rumah-rumah sewaan dalam
ghetto itu akhir-akhir ini semakin padat oleh buruh-buruh yang tidak
berkeluarga atau hidup membujang. Tetapi mungkin ambruknya
lembaga perkawinan itu justru ada efeknya yang baik. Dengan lebih
sedikitnya keluarga akan makin sedikit pula lahirnya anak. Dengan
demikian, makin sedikit pulalah calon korban pusaran keadaan yang
tak dapat dihentikan itu.
Tetapi pikiran tentang anak membuat Rob teringat akan
isterinya kembali. Soal anak menjadi masalah yang pelik antara
Maggie dan dia. Sedikit saja masalah itu disinggung mereka sudah
akan menjadi dua musuh yang saling memandang penuh ketegangan.
Maggie telah berusia tiga puluh tahun kini dan menginginkan
kelahiran seorang anak. Rob hampir tiap hari menyaksikan cukup
banyak anak yang menderita kelaparan dan sadar bahwa ledakan
penduduk merupakan masalah yang paling gawat di dunia dewasa ini.
Ia percaya bahwa tidak adillah mengadakan anak baru dalam dunia
yang sesulit ini. Rob menutup matanya untuk mendapatkan ketenangan barang
sedikit. Ambulans itu melambat; sopir yang duduk di samping Rob
mengeluh jengkel dan kehabisan akal.
"Mestinya kita tadi memilih A Street," sungutnya.
Rob mengikuti pandangan sopir itu pada Pennsylvania Avenue.
Ribuan demonstran berkumpul di depan White House sehingga lalu
lintas menjadi macet. "Kita berputar lagi saja."
Tetapi terlambat sudah. Mereka telah terjepit. "Bunyikan
sirene!" perintah Rob.
Mereka maju berdikit-dikit. Rob memperhatikan demonstran.
Orang Indian. Entah berapa ratus jumlahnya. Wajah mereka diwarnai
dengan cat perang, beberapa di antaranya membawa busur dan panah
sambil memperdengarkan suara yang makin meninggi sehingga
menjadi pekik peperangan yang menakutkan. Mencari sasaran
kemarahan, beberapa orang yang dekat dengan ambulans Rob mulai
memukul kapnya sehingga berdebam. Seorang pemuda menari-nari
mengitari mobil itu dengan mengacung-acungkan tombak panjang.
"Sialan!" gerutu si sopir.
Rob tetap diam dengan pandangan ke depan. Ia sudah tahu
gejala itu. Kemarahan akibat perasaan tak berdaya. Ia telah melihat
gejala tersebut dalam ghetto. Setiap orang berkulit putih, apa pun juga
motifnya, dicap sebagai golongan penindas. Justru orang yang datang
untuk menolonglah yang selalu menjadi sasaran kemarahan itu.
Tentara dibokong oleh penembak gelap; petugas sosial diancam.
"Apakah sebenarnya yang ingin mereka buktikan?" tanya sopir.
Rob tidak menjawab. Ia tiba-tiba teringat bahwa ia sudah
berjanji kepada Victor Shusette untuk menghadiri satu dengarpendapat mengenai
masalah orang-orang Indian. Rob melihat jam.
Sudah terlambat. Ia tidak mungkin kembali pada waktunya. Suatu
panggilan dari ghetto biasanya berarti bahwa ada satu jiwa yang
berada dalam bahaya. Kini, dengan jalanan yang macet seperti itu,
Rob tidak tahu apakah ia tidak akan terlambat pula untuk
menyelamatkan pasiennya. Chapter 2 "KEADAAN DALAM HUTAN kita, Mr. Senator, dapatlah
kiranya digambarkan sebagai berikut ini "
Dalam ruang dengar-pendapat itu duduklah lima orang Senator
di belakang meja panjang yang terang-benderang oleh sorotan lampu.
Mereka itu sedang mendengarkan kata-kata seorang Indian yang
memberikan kesaksiannya dengan fasih serta semangat yang berapiapi. Ia berdiri
di hadapan para Senator itu untuk memprotes
pencurian-pencurian yang terjadi atas tanah orang Indian,tanah yang
menjadi milik mereka secara turun-temurun. Tujuh puluh lima ribu
hektar hutan rimba sudah direncanakan akan dibabat habis oleh
industri penebangan. "Kalau saya datang bertamu ke rumah anda, tentunya anda akan
menyambut saya dengan hangat. Kalau saya membutuhkan makan dan
tempat berteduh, anda tentunya akan memberikannya. Sungguh,
andaikata saya meminta kamar tersendiri di rumah Anda, dan Anda
mempunyai persediaan kamar seperti itu, Anda mungkin akan cukup
berbaik hati untuk menyerahkannya."
Pembicara suku Indian itu berhenti sejenak, nada suaranya
berubah menjadi tegang. "Akan tetapi, kalau misalnya saya lalu menuntut agar seluruh
rumah beserta segala isinya diserahkan kepada saya, dan kemudian
saya mengusir Anda ke luar dari rumah Anda sendiri, Anda pasti
menjadi marah! Dan itulah yang telah terjadi atas orang-orang yang
aseli berasal dari tanah ini!"
Tepuk tangan terdengar dari kelompok orang yang datang
sebagai pengunjung tak diundang, tetapi dihentikan oleh ketukan palu
pada meja. Victor Shusette melihat jam. Rupanya Robert Vern tidak
akan datang juga. Shusette sendiri sebenarnya lebih senang kalau tidak
usah hadir di tempat ini sekarang. Pada usianya yang sudah menginjak
lima puluh enam tahun, ia merasa terlalu tua untuk menghadapi
tekanan yang cukup berat akibat posisinya sebagai pimpinan
Perwakilan Perlindungan Lingkungan. Perwakilan ini sebenarnya
bersifat non-politis, tetapi ternyata seperti waktu ini, pengaruh politik
lebih dari terasa. "Saya dapat memahami perasaan Anda, Mr. Hawks ," kata
seorang Senator. "Dapatkah Anda memahami faktanya, Mr. Senator?"
"Itulah yang akan saya bicarakan. Saya mau berbicara mengenai
fakta-fakta " "Nah, kalau begitu, marilah kita berbicara mengenai fakta-fakta
ini," tukas Hawks. "Diambilnya semua tanah milik Indian di sini telah
dilaksanakan atas persyaratan perjanjian Treaty Nine ... "
Senator itu meninggikan nada suaranya. "Bolehkah saya
menyelesaikan kalimat saya?"
"Dan Treaty Nine itu tidak pernah diratifikasi oleh Congress!"
"Mr. Hawks " "Dalam sejarah negara ini belum ada satu pun perjanjian lain
yang dilaksanakan tanpa persetujuan sepenuhnya dari Congress. Inilah
Undang-Undang Dasar Anda yang saya bicarakan sekarang! Inilah
hukum Anda! Inilah apa yang Anda katakan keadilan. Dan saya mau
mengajukan satu pertanyaan!"
Senator itu sudah mulai memukul-mukulkan palu
kepemimpinan sidangnya. "Saya mau bertanya. Adakah hal semacam ini akan dilakukan
terhadap orang yang kulit tubuhnya putih?"
Tepuk-tangan dan sorakan riuh terdengar sekali lagi dari bagian
auditorium yang gelap. Palu Senator berdebam-debam bertalu-talu
sampai keadaan menjadi sunyi kembali.
"Anda sudah selesai, Mr. Hawks?"
"Dengan kata-kata saya yang sekarang ini, sudah, kalau itu yang
Anda maksudkan." Tawa riuh terdengar. Mr. Hawks, orang Indian itu, tersenyum
simpul. Ia tahu persis kapan harus menyerang dan kapan harus
mundur. Beberapa di antara Senator-senator itu pun tersenyum sambil
geleng-geleng kepala. Mereka tahu bahwa sidang ini sedang menjadi
buaian permainan seorang yang ahli dalam hal bersilat lidah.
John Hawks adalah seorang yang tak boleh disepelekan.
Orangnya fasih berbicara dan sikapnya selalu tenang penuh
perimbangan, dan keadilan berada di pihaknya. Tidak seorang pun
tahu dari manakah orang itu tiba-tiba muncul. Bagaikan sebuah
meteor ia tiba-tiba sudah ada di tengah-tengah mereka sebagai
pembicara yang militan. Tiga minggu yang lalu tak seorang pun
pernah mendengar namanya. Kini ia menjadi wakil terpilih dari
kelompok yang menamakan diri O.P. Kepanjangannya, Original
People. O.P. adalah gabungan yang dibentuk dengan serba darurat dari
beberapa suku kecil sepanjang perbatasan antara Maine dan Canada,
yakni suku Massaquoddy, Ashinabeg, Yurok, Wampanoag dan Cree.
Suku-suku Indian ini sedang berusaha melindungi tanah mereka
terhadap rongrongan maskapai yang bernama Pitney Paper Mill.
"Yang saya mau katakan, Mr. Hawks," kata Senator setelah kini
ia mendapatkan waktu, "ialah, bahwa meskipun saya dapat memahami
perasaan Anda, pemblokiran yang Anda lakukan dalam hutan Anda
itu adalah bertentangan dengan hukum."
"Hukum tidak akan mendatangkan keadilan," kata Hawks
memberikan penjelasan. "Memblokir hutan akan mendatangkan bentrokan."
"Menghindari bentrokan tidak mendatangkan keadilan."
"Anda tentunya sudah mengetahui bahwa Mahkamah Tertinggi
telah mengeluarkan perintah melarang tindakan pemblokiran ini?"
"Mahkamah Tertinggi yang mana itu, Mr. Senator?"
Senator itu memandangi Hawks dengan gemas. "Mahkamah
Tertinggi Amerika Serikat."
John Hawks menyandarkan diri pada kursinya dan tersenyum.
"Mahkamah tertinggi yang, tidak sangat tinggi, bukan, Mr. Senator"
Mahkamah tertinggi saya adalah lebih tinggi."
Siulan dan sorak sorai menggema sekali lagi dari tempat yang
gelap. Victor Shusette merasa telah mendengar cukup banyak.
Ia meninggalkan ruang sidang, melangkah ke luar ke beranda di
depan Gedung Senat dan terus ke dalam cerah matahari. Namun ia
tidak merasakan nikmatnya sinar matahari. Pada musim semi ini ia
dihadapkan pada suatu masalah berat. Lembaga yang telah berhasil
didirikannya selama bertahun-tahun, Perwakilan Lingkungan, saat ini
sedang terombang-ambing antara dua kekuatan. Pitney Paper Mill
merencanakan untuk menggunakan haknya menebangi pepohonan di
Hutan Manatee; orang-orang Indian menghalangi rencana itu. Industri
kayu itu dengan uangnya memiliki kekuatan untuk memenangkan
perang lewat jalan hukum, tetapi orang-orang Indian telah
mendapatkan simpati bangsa. Alhasil, Mahkamah Tertinggi tidak mau
mengambil keputusan. Mereka meminta bantuan Shusette agar
memberikan laporan mengenai lingkungan dan perlindungannya
sebagai suatu alat untuk menembus jalan buntu itu.
Tetapi masalahnya tidaklah sesederhana itu. Bentrokan antara
Pitney Paper Mill dan beberapa gelintir orang Indian yang
menamakan diri Original People itu bukanlah pertengkaran yang
sepele. Akibat dari pertikaian tanah yang sifatnya setempat ini
mempunyai kaitan yang luas sekali dan laporan dari Perwakilan
Perlindungan Lingkungan dapat merupakan senjata yang hanya
sepihak. Sampai sekarang Victor tahu bahwa anak buahnya adalah
orang-orang yang tak tergoyahkan oleh suap-menyuap, namun siapa
tahu. Bagaimanapun juga, orang yang akan diserahinya menyusun
laporan tersebut akan mendapat tekanan yang tak terduga beratnya.
Dengan alasan semua itulah maka Victor Shusette berfikir
tentang Robert Vern. Rob adalah orang luar; keteguhan hatinya tak
diragukan; kesadaran pengabdiannya untuk keadilan manusiawi tiada
bandingannya. Selain itu, Rob tidak mempunyai ambisi politik. Dan
juga, Victor tahu bahwa Rob telah sampai pada apa yang dapat
dikatakannya garis terjauh dalam usaha kesehatan masyarakat. Secara
psikologis Robert Vern sudah siap menghadapi perubahan.
************************************
"Rob?" Victor Shusette melangkah ragu-ragu mendekati seorang lakilaki yang nampak
bersandar pada dinding di gang rumah sakit.
Cahaya lampunya agak temaram. Saat itu telah tengah malam. Victor
telah mencari Rob ke mana-mana. Bahkan ia telah menilpon Maggie
sekira sejam yang lalu, tetapi mendapat jawaban bahwa Rob belum
pulang. Akhirnya ia telah menuju ke rumah sakit ini dan mendengar
berita bahwa Rob telah berada di situ sejak jam dua siang tadi.
Bayangan orang yang bersandar di dinding itu seperti Rob,
tetapi Shusette tidak merasa yakin. Ia belum pernah melihat Rob
berdiri dengan termenung seperti itu. Sejak pertemuan mereka
pertama kali sekitar setahun yang lalu di Central Commissary,
percakapan mereka selalu hanya sambil lalu; Rob berjalan ke sana ke
mari dan Victor mengikuti dengan agak terengah-engah sambil
berbicara apa perlunya. Tetapi orang yang nampak bersandar dinding
itu kelihatan tidak begitu bersemangat, capai.
"Victor," kata Rob, karena ternyata memang dia. "Apa gerangan
yang membawamu ke mari?"
"Mampir saja," jawab Victor dan berhenti sejenak sambil
memperhatikan temannya. "Kau sehat-sehat saja?"
Rob mengangguk. "Merokok?"
"Kau merokok?" "Tidak, sejak usiaku dua puluh tahun."
"Dan sekarang mau mulai lagi?"
"Mungkin." Shusette mengeluarkan sebatang rokok dan Rob menyulutnya
sambil mengisapnya satu dua kali dan mengepulkan asapnya tanpa
menelannya karena tidak merasakan nikmatnya.
"Sudahlah, saya saja yang akan mengisapnya."
Rob menyerahkan rokok itu kepada Shusette, lalu melangkah ke
sebuah bangku yang dekat. Ia nampak kecapaian.
"Kau belum akan pulang?"
" Sebentar lagi."
"Terlalu capai untuk kuajak bicara?"
"Tidak," jawab Rob, geleng kepala.
"Saya tidak akan mengganggu kalau kau merasa terlalu capai."
"Saya dapat mendengarkan:"
Shusette berhenti sejenak. Ia memandang ke kanan-kiri,
mencari kalau-kalau ada kursi atau bangku yang dekat. Tidak ada.
Kemudian ia duduk saja di lantai, bersandar dinding. Bila dilihat dari
kejauhan, kedua orang itu mirip dua gelandangan yang terlantar.
"Ada yang saya mau katakan mengenai pertemuan orang-orang
Indian pagi tadi." "Saya kecewa, telah terlambat."
"Saya juga. Sungguh suatu yang patut kita ketahui. Orang-orang
Indian sedang mengajak perang."
"Tadi pagi, ambulansku juga menjadi sasaran."
"Ada alasan cukup. Bahwa mereka menjadi marah, maksudku."
"Saya kira semua mempunyai alasan cukup."
"Perusahaan penebangan ini....Pitney Mill....memborong kayu
dari hutan seluas hampir lima puluh ribu hektar berdasarkan
persyaratan Treaty Nine. Orang-orang Indian mengatakan bahwa
Treaty Nine belum pernah mendapatkan ratifikasi dari Congress."
"Saya sudah membaca tentang hal itu."
"Orang Indian memblokir jalan masuk hutan dan menghalangi
para penebang melaksanakan rencananya....Mahkamah Tertinggi
mengeluarkan Larangan atas tindakan pemblokiran itu....Kini masingmasing siap
sudah untuk saling membunuh. Dan semuanya tinggal
tergantung pada laporan Perlindungan Lingkungan."
Shusette berhenti sejenak untuk memberi waktu kepada Rob
mencerna apa yang telah disampaikannya. la tidak mau mendesak
terlampau cepat. "Bukankah itu suatu sengketa pertanahan belaka. Apa sangkut
paut Perwakilan Perlindungan dalam hal ini?"


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siasat menghindari tanggung jawab, saya kira. Tak seorang
pun mau mengambil keputusan."
"Bal-balan politik."
"Bowling raksasa," tambah Shusette. "Siapa pun yang membuat
laporan ini nanti, akan berarti membangun ataupun menghancurkan
industri penebangan itu. Atau lebih tepat, akan membangun ataupun
menghancurkan seluruh lingkungan hidup di dunia ini. Sekurangkurangnya
lingkungan hidup di daratan."
"Lalu tinggallah laut dan langit."
"Masih untung kalau salah satu kita menangkan."
Rob mengangkat tubuh dan menggosok-gosok matanya. "Saya
kadang-kadang merasa iri padamu, Victor."
"Kenapa?" "Tanah, udara dan air. Nampaknya kok begitu gampang.
Shusette termenung sebentar. "Begitukah?"
"Masalahnya jelas: Kau bertempur, kemudian kau menang atau
kalah." "Biasanya kalah," sambung Victor.
"Tetapi kekalahan itu hanya semu. Demikian juga
kemenangannya." "Benar.'' Rob menyapu wajahnya dan mendesah panjang. "Saya
sendiri... Saya ini bagaikan seorang babu yang sedang membersihkan
rumah penuh anak nakal. Satu kamar telah saya bersihkan, tetapi baru
saja saya berpindah kamar yang lain, kamar yang tadi telah berantakan
lagi." Suara Rob terdengar tak bersemangat. "Saya berada di tengahtengah keadaan
yang berantakan itu, dan saya berteriak, `Anak-anak,
berhenti!' Tetapi tak seorang pun mendengarkan." Mata Rob
memandangi Shusette yang duduk di sebelahnya dengan mengepulkan
asap dari rokok yang tinggal sekuku. "Apakah yang diperlukan agar
orang mau mendengarkan?"
Shusette menggelengkan kepalanya.
"Isteriku pernah bercerita," kata Rob lagi, melanjutkan
pembicaraan, "tentang seorang seniman yang pernah dijumpainya.
Seorang pelukis. Orang itu mengatakan bahwa suatu karya seni yang
besar tidak pernah selesai. Hanya ditinggalkan saja." Rob tersenyum
sendiri dengan sedih. "Saya jadi berpikir, apakah hal itu berlaku pula
bagi suatu cita-cita yang besar?"
"Kedengarannya kau seperti sedang mau menyerah."
"Kaukira begitu?"
"Benarkah?" "Mungkin." Shusette bangkit dari duduknya dengan susah payah. Tulangtulangnya terasa pegal.
"Mau dengar kataku?"
"Baik. Apa?" "Kalau aku dapat mengarahkan topik pembicaraan ini, aku tidak
akan dapat melakukannya lebih baik."
Rob memandang tak mengerti.
"Aku telah lama menunggu waktunya kau mulai bosan dengan
apa yang kaulakukan."
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin kau mengalihkan perhatianmu pada soal
perlindungan lingkungan."
Rob menggelengkan kepalanya.
"Ini pekerjaan yang lebih besar. Taruhannya lebih tinggi.
Bayangkan. Kau malam tidak pulang dan tidak tidur hanya demi satu
orang bayi yang telah kauselamatkan pagi tadi. Padahal kau dapat
menggunakan waktumu dengan lebih baik, demi keselamatan umat
manusia secara lebih umum, lebih menyeluruh. Kau menghabiskan
waktu untuk mengurusi sebuah ghetto, sedang sebenarnya dapat
menyelamatkan seluruh planet, tempat ghetto itu berdiri."
Rob diam. "Kau perlu kekuatan?" kata Shusette lagi. "Aku pada saat ini
dapat dan bersedia menyerahkan kepadamu suatu pekerjaan yang
dapat mempengaruhi kelestarian seluruh negara kita ini." Shusette
memusatkan pandangannya pada mata Rob. "Apa yang saya katakan
ini ialah, saya akan menempatkan kau pada suatu titik yang sangat
menentukan, tempat kau dapat mempengaruhi seluruh duniamu."
Rob tetap membisu. Shusette tahu bahwa mata kailnya telah
mengait. "Yang kumaksudkan ialah mengenai sengketa tanah tadi."
"Itu bukan bidangku, Vic."
"Aku percaya akan kemampuanmu."
"Kemampuan dalam bidang jembel dalam ghetto, bukan bidang
pepohonan." "Aku dapat memberitahukan apa yang perlu kauketahui. Tidak
yang masih merupakan rahasia. Semuanya dapat dibaca dalam buku
yang sebentar saja dapat kausukai."
Rob memperhatikan wajah Shusette dalam keremangan.
"Kenapa justru aku?"
"Karena kau berotak, bijaksana dan karena kau memiliki apa
yang disebut integritas."
"Suatu pujian yang dapat membesarkan kepala, tetapi itu belum
menjawab pertanyaanku."
Shusette bangkit dan berdiri di depan Rob. "Akan kukatakan
yang sebenarnya. Aku ini berada di tengah ladang ranjau. Salah
melangkah, segala sesuatu akan hancur. Hutan sengketa itu sedang
akan menjadi medan pertempuran."
"Separah itu?" "Bagimu tidak. Kau telah terbiasa berdiri di medan pertempuran
melawan keadaan. Aku telah memiliki orang-orang yang ahli tentang
pepohonan, tentang hutan. Tetapi yang kuperlukan kini ialah orang
yang ahli tentang manusia, yang mahir menghadapi manusia. Nah,
kaulah orang itu." Rob, termenung lama. Ia memikirkan orang-orang hitam
dengan bayi-bayinya yang terlantar, dan merasa dirinya bagai seorang
pengkhianat. "Apa yang kaupikirkan?"
"Aku merasa seperti seorang suami yang sedang memikirkan
seorang gadis simpanan," jawab Rob.
Shusette tahu bahwa Rob sudah mulai condong. "Berilah aku
dua minggu saja dari hidupmu, Rob," katanya bersungguh-sungguh.
"Aku perlu bantuanmu."
Chapter 3 DEMONSTRASI DI JALANAN yang dilancarkan orang-orang
Indian di depan White House telah semakin memanas pada hari
berikutnya. Maggie Vern mengawasi semua itu dari dalam taxi selagi
ia pergi ke dokter untuk kedua kalinya. Malam tadi Rob tidak pulang
sama sekali, karena menunggui bayi yang baru saja berhasil
diselamatkan namun keadaannya masih gawat. Ia telah menilpon
bahwa mungkin malam nanti pun ia tidak dapat pulang. Bagi Maggie
tidaklah menjadi soal. Ia sedang dalam suasana yang membuatnya
lebih senang tidak berhadapan muka dengan suaminya.
Di ruang tunggu dokter, ia menantikan gilirannya bersama
banyak calon ibu dalam berbagai tahap kehamilan. Maggie mencoba
memusatkan perhatian pada halaman majalah yang dipegangnya.
Telapak tangannya terasa lembab dan jari-jari kakinya sakit karena
terjepit sepatu, akibat kebiasaannya mengkerutkan jari bila gelisah.
Kadang-kadang Maggie baru sadar bahwa ia telah melewatkan hari
yang penuh ketegangan setelah merasa sakit pada kakinya. Sudah dua
malam ini, selama menantikan hasil pemeriksaan kehamilannya, jarijari kaki
Maggie terasa pegal-pegal semua.
Ia tahu bahwa kalau hasil pemeriksaan itu positif, maka ia harus
menghadapi sesuatu yang baginya sangatlah berat. Suaminya adalah
seorang lelaki yang amat kuat, tegas dan penuh semangat, yang selalu
dapat meyakinkan bahwa pendapat dan tindakannya adalah benar.
Sejauh mengenai soal mengadakan anak, berapa puluh kali saja
Maggie telah mendengar Rob mengutarakan pendapatnya. Di dunia
terdapat sedikitnya sepuluh juta anak yang kelahirannya tidak
dikehendaki. Pengendalian jumlah penduduk adalah tanggung jawab
setiap orang, tak peduli keadaan ekonominya. Masyarakat maupun
lingkungan telah memasuki keadaan yang tidak semestinya. Sangatlah
tidak bijaksana mengadakan anak dalam dunia semacam ini.
Pada tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan mereka,
Maggie telah sependapat seratus persen. Keyakinan Rob adalah
keyakinan Maggie. Maggie merasa penuh gairah ikut dalam kesadaran
cita-cita suaminya. Ia merasa bangga dan bahagia bahwa orang hebat
seperti Robert Vern mencintainya.
Namun perasaan bangga dan bersyukur itu kini telah berubah
menjadi kejengkelan yang membara, walaupun perasaan diri lebih
kecil itu tetap belum hapus. Maggie merasa malu bahwa ia tidak dapat
bangkit lebih tinggi daripada kebutuhannya sendiri. Ia merasa egois
bahwa ia menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
Ironisnya, hidup yang dijalani kedua suami isteri itu di
Washington banyak menimbulkan rasa iri bagi orang luar. Mereka itu
masing-masing telah berhasil dalam bidangnya, diakui dalam
pekerjaan dan tidak jarang berhubungan dengan orang-orang yang
tergolong orang penting. Maggie pernah bermain cello di White
House; Rob pernah duduk semimbar dengan Andrew Young pada
suatu seminar mengenai Masalah Kelaparan di Dunia. Bagi semua
orang yang mengenal Rob dan Maggie, keduanya nampak sebagai
orang yang bebas, kuat dan bahagia. Intisari yang menurut keinginan
seyogyanya dimiliki perkawinan modern.
Tetapi sejauh pengetahuan Maggie, perkawinan mereka itu
sudah bukannya perkawinan lagi. Hanyalah suatu persepakatan untuk
tinggal serumah antara dua orang yang masing-masing menjalani
kehidupannya sendiri dan yang nilai-nilai kehidupannya makin hari
makin tidak sejalan. Bila mereka kebetulan bersama, mereka berbicara
tentang kejadian-kejadian sehari-hari untuk menutup tangisan hati
akan keakraban. Mereka tidak pernah lagi berbicara tentang perasaan,
harapan serta cita-cita masing-masing. Seakan-akan berbicara
demikian merupakan bahasa yang sudah terlupakan, bahasa anak-anak
yang sudah tidak cocok bila digunakan untuk membicarakan peranan
mereka sebagai orang dewasa.
Maggie berpikir bahwa waktu akan menyatukan mereka
kembali. Namun apa yang diharapkannya tidak terjadi. Perasaannya
jadi tertekan. Hatinya sedih. Tetapi perasaan tertekan ini tiba-tiba
hilang, ketika Maggie sadar bahwa ia tidak mengalami haid lagi dan
mungkin sedang hamil. Untuk pertama kali sejak berbulan-bulan ia
merasa kesepiannya hilang. Entah bagaimana, ia merasa bahagia dan
dicintai. Dicintai oleh Robert, meskipun pria itu belum tahu apa-apa
tentang keadaannya. Maggie tidak bermaksud menjadi hamil. Ia hanya
mengendurkan pencegahannya. Maggie tahu bahwa andaikata ia
benar-benar hamil, ia akan menghadapi krisis yang sangat berat
melebihi semua yang pernah dialaminya. Mungkin ia harus
menghadapi suatu keputusan yang memikirkannya saja ia tak berani.
Rob tentu akan menolak untuk mempunyai anak.
"Maggie?" Dokter yang memanggil namanya adalah orang yang sudah
dikenal Maggie sejak pertama kali mereka tinggal di Washington.
Ketika dua hari yang lalu Maggie memeriksakan diri, ia langsung
ditangani oleh petugas laboratorium. Maka inilah pertama kali sejak
hampir tiga tahun Maggie bertemu lagi dengan kenalannya itu.
"Maggie," seru Peter Hamlisch, "benarkah penglihatanku?"
"Begitu burukkah rupaku kini?" tanya Maggie tersenyum.
"Bukannya begitu buruk begitu hebat! Ayo masuk."
Maggie mengikuti Peter masuk dan dipersilakan duduk.
"Hampir saya tak percaya," kata Peter. "Benarkah sudah dua
tahun?" "Hampir tiga tahun."
"Bagaimana kabarnya Robert?"
"Baik. Kerja berat."
"Masih seperti dulu juga?"
"O, ya." "Dan kau?" "Sibuk." "Kami selalu ingin pergi ke simfoni, tetapi..."
"Aku tahu." "Saya lihat gambarmu di White House ... "
"Foto jelek." Peter tersenyum, senang bertemu Maggie, "Kau nampak
cantik.Tetapi biasa, kalau orang sedang mengandung."
Agak beberapa lama kata-kata itu meresap dalam pengertian
Maggie. Kemudian Maggie merasa seperti terkena pukulan keras.
"Duduklah," kata Peter tersenyum. "Tidak mengira, kau begitu
kaget. Wanita biasanya sangat yakin mengenai hal-hal seperti ini."
"Sudah pastikah?" Suara Maggie gemetar.
"Ya," jawab dokter muda itu, dalam hati heran oleh nada suara
Maggie. Perlahan-lahan Maggie duduk di kursinya dengan seribu satu
perasaan yang bercampur-baur menjadi satu.
"Kau tidak apa-apa?"
Maggie menggeleng sambil mencoba tersenyum, tetapi tidak
mampu menahan perasaannya.
"Rupanya berita ini tidak sangat menggembirakan bagimu"
Maggie hanya geleng kepala, tak tahu apa yang akan
dikatakannya. "Saya kira tadi, ini kehamilan yang memang direncanakan,"
kata Peter lagi. "Kalau tahu begini, saya tak akan begitu seenaknya
memberitahumu." Jari-jari Maggie menyentuh bibirnya yang agak terbuka, tak
berani berkata-kata. "Sudahlah, ini bukan malapetaka yang tak mungkin diperbaiki,"
hibur Peter. "Kehamilan ini masih sangat dini."
Maggie cepat menggelengkan kepalanya sambil menutupkan
telapak tangan di depan kedua matanya untuk menahan jangan sampai
ia tak dapat membendung air mata yang telah mendesak mau keluar.
Peter meletakkan tangannya pada bahu gadis itu, dan sentuhan
itu membuat emosi Maggie menjadi lebih tenang. Ia terisak lirih
bagaikan seorang anak kecil.
"Nah, sekarang Maggie," kata Peter setelah gadis itu nampak
tenang kembali, "cobalah ceritakan segala sesuatu yang membebani
hatimu. Mungkin saya akan dapat membantumu."
Maggie menghapus air mata dan mulai bercerita, tanpa
menyembunyikan sesuatu pun. Diceritakan bagaimana dan mengapa
perkawinannya telah menjadi tidak seperti yang diharapkannya;
bagaimana dan mengapa ia sangat membutuhkan Rob tetapi tak
pernah dapat mencapainya. Ia merasa tidak setia dengan
mengungkapkan ketidakbahagiaannya kepada orang lain, namun ia
merasa lega. Peter Hamlisch mendengarkan, kebanyakan diam, hanya
kadang-kadang mengajukan satu-dua pertanyaan. Ia penuh pengertian
dan memang sayang kepada kedua suami-isteri itu.
"Kautahu," kata Peter dengan mengesah, "saya pernah
mendengar gambaran tentang Albert Einstein. Seseorang mengatakan
bahwa ia telah melihat hal-hal yang tak dilihat orang lain sebenarnya
bukan karena apa yang telah dilihatnya, melainkan karena hal-hal
yang ia tak mau melihatnya."
"Benar. Tetapi itu bukan Einstein, melainkan B.F. Skinner,"


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab Maggie tersenyum. "O, ya?" "Rob yang mengatakannya," jawab Maggie sambil mengusap
matanya. "Saya juga berpikir tentang Rob," kata Peter.
"Saya tahu." "Ia memiliki kekurangan, tetapi tiap orang yang berhasil selalu
mempunyai kekurangan-kekuranganya."
"Jadi, kau berpikir saya ini egoistis?" Maggie mengajukan
pertanyaan itu bukannya dengan nada menuduh atau membela diri;
lebih sebagai penegasan dari apa yang sudah lama dipikirnya.
"Kau terjepit, itulah."
Maggie menekankan saputangannya di atas matanya. "Oh,
begitu sering saya menangis akhir-akhir ini, sehingga saya takut
mengalami dehidrasi."
"Kau mencintainya, Maggie?"
"Ya." Jawaban itu keluar tanpa emosi atau keraguan. Itulah
fakta kehidupan. "Bagaimanakah andaikata kau harus melakukan pilihan?"
"Saya tidak mampu membuat pilihan itu."
"Apakah mungkin andaikata kau menunggu " Untuk
mempunyai anak, maksudku" Mungkin dalam waktu satu dua tahun
lagi pendiriannya sudah lebih lunak."
"Saya tidak dapat berbuat begitu."
Pandangan mata Maggie jadi kosong. "Saya tidak mampu
membunuh, saya tak dapat berbuat begitu." Gadis itu memandangi
Peter minta pengertian. "Saat ini saya sudah mencintainya. Dan saya
merasa ia pun mencintaiku." Maggie geleng-geleng kepala, merasa
bodoh. "Kauanggap itu omong kosong?"
"Tidak." "Apa pun juga yang terjadi, saya tidak akan...."
Kerongkongannya bagai tersumbat. "Apa pun yang terjadi, anak
ini akan kulahirkan."
Peter Hamlisch memandang gadis itu dengan tajam. "Kalau
begitu, saya kira kau toh sudah mengambil keputusan."
Maggie tidak menjawab. "Kapan akan kauceritakan hal ini kepada Rob?"
Maggie bangkit dan melangkah agak menjauh. "Berapakah
lamanya sebelum saya kentara hamil?" ia bertanya.
"Dua bulan, mungkin tiga. Wanita yang sengaja
menyembunyikannya terkadang dapat bertahan sampai empat bulan."
Rupanya Peter telah membaca pikiran Maggie.
"Tetapi itu gagasan yang tidak baik, Maggie. Saya sudah
banyak melihat wanita yang berbuat begitu, entah karena perkawinan
mereka tidak sah, entah karena apa. Mereka memperlemah diri secara
emosional. Salah satu waktu selama hidup yang harus dihadapi
dengan kedewasaan ialah waktu kehamilan."
"Kapankah orang mulai terlambat untuk melakukan
pengguguran?" "Jangan lakukan itu, Maggie."
Maggie tahu, Peter benar.
"Apa pun pikiran Rob," lanjut Peter, "anak ini adalah bagian
hidupnya. Ia pun mempunyai hak untuk membuat keputusannya
sebagaimana kau berhak menentukan keputusanmu."
"Saya hanya berpikir," bisik Maggie.
"Nah, sebaiknya pergilah menemui suamimu sekarang juga,"
kata Peter memberi nasehat. "Beritahu dia secepatnya."
"Saya takut, Peter," bisik Maggie.
"Ia akan berkata `tidak!' dan kau akan menjadi marah. Saya rasa
kemarahan adalah lebih baik daripada ketakutan untuk saat semacam
ini." Peter memegang lengan Maggie dan menggandengnya sampai
ke jalan. Sebuah taxi dipanggilnya dan sambil naik Maggie memberi
petunjuk kepada sopir agar menuju ke Public Health Building.
Tetapi Rob tidak berada di kantornya ketika Maggie datang.
Dua jam penuh Maggie menunggu dan dalam waktu yang selama itu
kecemasan dalam hati gadis itu terus meningkat sehingga akhirnya ia
yakin tidak akan mampu mengatasi keadaan. Akhirnya ia mundur.
Pemberitahuan itu harus menunggu. Ia akan memilih waktu yang
tepat. ****************************************
Malam sudah jam dua. ketika Rob pulang. Anak negro yang
telah dua malam ditungguinya itu akhirnya meninggal. Telah beberapa
kali Rob menyaksikan anak kecil meninggal. Tetapi kematian yang
satu ini merupakan pukulan yang sungguh berat dan semakin
memperdalam perasaan tak bergunanya.
Perlahan-lahan Rob masuk kamar tidur, karena tak mau
mengejutkan isterinya. Cahaya bulan yang lembut masuk lewat
jendela dan menerangi wajah Maggie yang nampak sedang pulas
tidurnya. Ia duduk di ranjang dan menyisihkan seikal rambut yang
menutup mata gadis itu. Nampak olehnya garis samar-samar yang tak
dapat diragukan bekas air mata yang mengalir dari sudut mata sampai
ke batang hidung. Maggie telah menangis.
Lama Rob mengawasi wajah isterinya. Hatinya jadi gundah
karena tidak mengetahui sebab musabab tangis itu. Ia mau
membangunkannya, tetapi maksud itu diurungkannya. Esok pagi
adalah hari Kamis. Pagi-pagi Maggie sudah harus berangkat untuk
latihan. Rob membungkuk dan mencium dahi Maggie, dalam hati
berharap agar gadis itu menjadi tenang dan merasa aman, apa pun juga
sebab tangisnya. Kemudian Rob melepas pakaiannya dan
membaringkan diri dengan hati-hati di samping isterinya.
Lama Rob tak dapat tidur. Pikirannya dilanda pergolakan. Ia
sedang memikirkan tawaran yang diajukan Victor Shusette. Mungkin
memang pekerjaan barulah yang diperlukan saat ini. Satu-satunya
alternatif terhadap apa yang dikerjakannya sekarang adalah praktek
pribadi. Agaknya memang harus begitu, tetapi bagi Rob itu rasanya
sama dengan berhenti atau pensiun. Ia masih terlalu muda untuk tidak
mengerjakan sesuatu yang berlingkup mendunia. Dan mungkin
dengan bekerja dengan Victor Shusette, ada manfaat lain yang
diperolehnya. Tiada lagi panggilan darurat atau keharusan bangun
semalaman di rumah sakit. Itu berarti ia akan mempunyai lebih
banyak waktu yang dapat dilewatkannya bersama Maggie. Mungkin
yang terakhir ini saja sudah cukup sebagai bahan pertimbangan.
Chapter 4 SEBAGAIMANA DALAM KAMAR Robert Vern bulan
menyinarkan cahaya yang lembut menerangi ranjang suami-isteri itu,
demikian pula dalam Hutan Manatee cahaya bulan yang sama
menerangi puncak-puncak pepohonannya yang tinggi. Dalam cahaya
yang temaram itu, permukaan air telaga hutan bekerlipan akibat
gelombang-gelombang kecil yang ditimbulkan angin malam.
Sejak diciptakannya planet bumi kita ini sampai sekarang, hutan
yang luasnya tujuh puluh lima ribu hektar lebih itu telah dibiarkan
dalam keadaan perawan. Dalam keadaan aseli ini, sinar pagi tetap
hanya sedikit yang masuk karena tersaring langit-langit dedaunan
yang lebat; eru gunung hitam dan balsam merah tetap merupakan
tiang-tiang mulus yang menjulang tinggi. Menyingsingnya fajar masih
disambut suara sumbang paduan orkes burung penyelam, dan senja
oleh kuau berkalung yang kepakan sayapnya menyerupai bunyi
genderang. Gelapnya malam masih disela jeritan makhluk hutan yang
mendadak tanpa disangka-sangka.
Di tempat itulah Sungai Manatee mengalirkan airnya masuk
Sungai Espee sehingga menimbulkan batas air yang dikenal dengan
berbagai nama oleh suku-suku yang tinggal di kanan-kirinya,
Masaquoddy, Ashinabeg dan Wampanoag. Semua nama itu
menggambarkan keindahan alam menurut penglihatan masing-masing
suku. Tetapi dalam tahun-tahun terakhir banyak di antara nama-nama
Indian itu mengalami perubahan lagi setelah datangnya para
penjelajah maupun para penebang berkulit putih.
Tidak seperti suku Indian di daerah dataran sebelah barat, suku
yang menghuni hutan itu adalah orang-orang yang pasif, mungkin
karena pengaruh lingkungan yang tidak keras. Terhadap orang asing
pun mereka lebih mudah menerima dan lebih ramah. Demikianlah
suku-suku kecil seperti Masaquoddy, Ashinabeg, Yurok dan
Wampanoag dengan gampang merelakan sebagian hutan mereka
kepada Pitney Paper Mill untuk sumber bahan mentah perusahaan
tersebut. Mereka membiarkan para penebang keluar-masuk hutan dan
di antara kedua golongan masyarakat itu boleh dikatakan tiada
hubungan sama sekali. Tetapi akhir-akhir ini watak orang Indian yang tenang dan cinta
damai itu telah mengalami perubahan besar. Orang-orang Indian itu
banyak yang terganggu ingatannya, namun mereka belum juga
mengadakan hubungan dengan orang kulit putih dan tidak
mengungkapkan keadaan itu, takut kalau dicap mabuk minuman
keras. Ada lagi suatu gejala lain yang juga disembunyikan oleh orang
Indian, khususnya suku Masaquoddy.
Gejala banyaknya bayi lahir-mati dan lahir-cacat. Menurut
tradisi,wanita Indian melahirkan anaknya tanpa bantuan di dalam
hutan. Maka lama kejadian-kejadian itu tetap merupakan rahasia
pribadi. Bukti adanya perubahan telah terkubur dalam kuburan yang
dangkal di lantai Hutan Manatee.
Orang dari suku Indian yang pertama-tama mengumpulkan
cukup bukti sehingga merasa cemas adalah Romona Peters, seorang
gadis Indian aseli dari suku Masaquoddy, berusia dua puluh, yang
nama aselinya ialah Oliana. Artinya, Anak Rusa Musim Semi. Ia cucu
Hector M'rai, dahulu kepala suku dan kini anggota tertua dari
sukunya. Namun apa yang mirip anak rusa pada gadis itu hanyalah
bagian luarnya. Di dalamnya Romona memiliki keberanian seekor
rubah betina. Pada usia duabelas tahun ia telah diperkosa oleh seorang
penebang di tengah hutan dan, seorang diri, telah pergi ke kota untuk
mengadukan perbuatan sewenang-wenang itu kepada sherif di
Manatee. Itulah pelajaran pertama gadis itu mengenai kenyataan
bahwa kata "keadilan" mempunyai arti yang berbeda menurut warna
kulit yang bersangkutan. Sejak saat itu, Romona berusaha mengumpulkan pengetahuan
sebanyak-banyaknya sehingga gadis itu merupakan kekuatan
penggerak perubahan yang kuat. Meskipun pada usia sepuluh tahun ia
sudah terpaksa meninggalkan bangku sekolah menurut kebiasaan
orang Indian waktu itu, namun ia tetap rajin mengunjungi
perpustakaan sekolahnya dulu sebagai sumber ilmu. Ia baru berhenti
setelah cercaan dan hinaan dari orang kulit putih menjadi tak
tertahankan. Tetapi kini, setelah menyaksikan hal-hal yang tak masuk
akalnya, Romona kembali menjadi kepingin mengumpulkan
pengetahuan seperti dahulu. Pada mulanya Romona melihat seorang
wanita yang kembali dari melahirkan anak di hutan bertangan kosong
meskipun perutnya sudah kempes. Lagi pula wanita itu nampak sangat
bingung. Romona menanyainya sampai akhirnya dibawa oleh wanita
ke tempat bayi wanita itu dilahirkan. Apa yang dilihatnya" Bayi lahirmati dalam
keadaan yang mengejutkan. Rupanya lebih menyerupai
anak binatang daripada bayi manusia. Kepala sangat besar, mata lebar
dan datar, tanpa pelupuk mata. Jari-jari panjang melengkung sehingga
lebih mirip cakar, sedangkan kakinya pun serupa tungkai belakang
binatang hutan, bengkok dan pendek.
Wanita itu minta kepada Romona agar jangan membuka rahasia
tersebut, dan Romona setuju. Tetapi kemudian Romona membujuk
wanita lain yang sedang mau melahirkan untuk membantunya sewaktu
melahirkan. Kejadian seperti di atas terulang lagi. Meskipun
keadaannya tidak separah yang terdahulu, namun bayi yang lahir-mati
ini pun memiliki banyak kemiripan dengan anak binatang.
Naluri Romona mengatakan agar meminta bantuan, tetapi
pengalamannya dengan pejabat kulit putih di kota membuat ia ragu. Ia
belum mau pergi tanpa pengetahuan yang memadai. Itulah sebabnya
ia kembali menjadi pengunjung setia perpustakaan kota. Ia yakin,
dalam gudang segala macam informasi itu ia akan dapat menemukan
jawaban mengenai perubahan fisiologis maupun psikologis yang
dialami bangsanya akhir-akhir ini. Namun kini kesukaran yang
dialaminya adalah lebih banyak daripada dulu. Ia mempunyai
tanggungan untuk mengurusi kakeknya, Hector M`rai, yang kecuali
sudah sangat tua juga menderita kelainan perilaku, gejala aneh yang
sangat membuat Romona prihatin itu. Dalam waktu enam bulan
terakhir ini daya ingatnya makin kabur dan tangannya mulai
gemetaran. Tidaklah mudah bagi Romona untuk mencari waktu antara
kesibukan sehari-harinya agar dapat pergi ke perpustakaan demi
mengejar keingintahuannya. Lebih sukar lagi, Romona selalu kuatir
jangan-jangan kakeknya akan meninggal selagi ia pergi. Namun
demikian, setiap sore sebelum matahari condong ke barat, Romona
selalu berangkat ke kota untuk mengangsu pengetahuan dari segala
macam ensiklopedi dan majalah ilmu kedokteran yang dapat
ditemukannya. Ia yakin bahwa antara perubahan perilaku dan
kematian bayi itu ada kaitannya. Kaitan inilah yang sedang dicari
Romona. Kunci pertama masalah itu mulai nampak pada prakata sebuah
buku mengenai makanan dan gizi. Dikatakan bahwa makanan
merupakan faktor utama bagi kesehatan maupun perilaku seseorang.
Dikatakannya pula bahwa ciri khas kulturil suatu masyarakat secara
keseluruhan dapat dipengaruhi oleh apa yang pada umumnya menjadi
makanan masyarakat tersebut. Sebagai contoh diceritakan, bahwa
sebuah suku di Afrika, suku El Molo, akhir-akhir ini telah menjadi
sangat agresif dan terserang semacam penyakit ayan. Setelah
diselidiki, sebabnya ialah kekurangan protein akibat habisnya binatang
buruan. Dalam buku itu disebut-sebut pula tentang perawatan prenatal.
Sekali disebutkan soal pentingnya protein. Protein, kata buku itu,
adalah faktor utama dalam perkembangan janin manusia yang sehat.
Romona kemudian membuka buku yang khusus membicarakan
masalah protein. Di belakang terdapat sebuah daftar makanan yang
mengandung protein. Tiba-tiba Romona menjadi bingung. Paling atas
pada daftar itu tertera IKAN. Dalam hal ini suku Masaquoddy jelas
tidak kekurangan, sebab mereka adalah pencari ikan. Mungkin 80%
dari apa yang mereka makan adalah ikan. Romona memutar otak
untuk menjawab pertanyaan yang tak masuk akal itu. Makanan
merupakan kunci. Itu jelas. Tetapi dalam makanan itu, apakah
gerangan yang menimbulkan ketidakberesan pada tubuh maupun jiwa
seseorang" Ia tahu bahwa makanan suku Masaquoddy boleh dikatakan tak
pernah berubah selama entah berapa abad. Satu perkecualian ialah
makanan kaleng, yang merupakan barang baru bagi bangsa Indian.
Semua makanan kaleng itu mereka beli dari satu toko, satu-satunya
toko di Manatee yang melayani kebutuhan orang Indian. Apakah
mungkin bahwa orang telah dengan sengaja meracuni orang
Masaquoddy" Tidak mungkin. Kaleng-kaleng itu tertutup mati.
Romona tidak pernah mengetahui betapa dekatnya ia telah
sampai pada jawaban atas pertanyaan yang mengganggu hatinya,
sebab tiba-tiba usahanya terpaksa dihentikan. Tanpa diduga-duga
sebuah taufan kekerasan telah meledak antara orang-orang Indian dan
penduduk kota. Berbahayalah bagi Romona untuk masuk kota pada
waktu ini. Serombongan penebang kebetulan menjumpai seorang Indian,


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang perilakunya sangat tidak wajar.
Ia kelihatan seperti orang yang tak tahu arah dan tak melihat
apa yang ada di depannya. Para penebang itu menertawakan dan
mengejek orang tersebut habis-habisan sehingga ia menjadi marah dan
menyerang mereka. Pembalasan pun terjadi. Orang Indian itu dipukuli
babak-belur, sehingga kurang sedikit saja nyawanya akan melayang.
Sepuluh hari kemudian, seorang penebang ganti menjadi kurban dan
mendapatkan perlakuan serupa. Berita cepat tersiar: orang-orang
Indian pada mabuk-mabukan dan mencari permusuhan. Dengan
senang hati para penebang membuat perhitungan. Mereka mengobrakabrik sebuah
perkampungan nelayan Indian. Tak lama sesudah itu,
dua orang penebang hilang tak tahu entah ke mana. Mereka itu hilang
di dalam hutan. Orang memastikan, mereka itu dibunuh oleh orang
Indian. Setelah seribu tahun lamanya hidup dalam kedamaian dengan
lingkungannya, orang Indian kini hidup dalam ketakutan. Mereka
takut pergi ke sungai mengambil jaring mereka di pagi hari; mereka
tak berani menyalakan api di malam hari. Sementara itu di hutan
terdengar gonggongan dua ekor anjing pelacak yang menjelajahi
Hutan Manatee untuk mencari jejak kedua penebang yang telah hilang
itu. ************************************
Romona Peters duduk dalam kesunyian kemah kakeknya yang
berada dalam kegelapan, terpisah dari perkampungan suku. Ia
mendengarkan duet gonggongan anjing pelacak dan mengawasi ketiga
lampu senter besar para pencari yang mengikuti anjing-anjing itu. Dari
jauh senter-senter itu nampak bagaikan kunang-kunang yang menarinari di selasela pepohonan. Selama seminggu ini tiap malam Romona
dan kakeknya terus mengikuti gerak para pencari. Malam ini terasa
ada kelainan. Dari kejauhan terdengar adanya perubahan pada suara
kedua anjing pelacak. Dari perkampungan utama tak seberapa jauh dari kemah Hector
M'rai, seluruh suku Masaquoddy pun melihat dengan penuh perhatian.
Juga mereka merasa adanya perubahan mendadak pada tempo
pencarian itu. Bahkan sebenarnya gerak-gerik para pencari itu diikuti
oleh ribuan pasang mata. Binatang malam, baik mangsa maupun
pemangsa, mendekam tegang karena merasakan crescendo yang
makin meningkat tersebut.
Juga para pencari sendiri merasakannya. Setelah berkelilingkeliling tanpa arah
selama seminggu, anjing-anjing itu sekonyongkonyong dihinggapi oleh semacam
kegilaan, yang merupakan pertanda bahwa apa yang mereka cari sudah dekat. Pada waktu
matahari terbenam, anjing-anjing itu mencium bau tertentu dan
keduanya meluncur bagaikan mimis kanon. Salak mereka berubah
menjadi dengking penuh nafsu. Keduanya lari dengan cepat sehingga
orang yang diikatkan sekitar sepuluh meter di belakangnya terseretseret tanpa
dapat memilih jalan yang mereka lalui.
Bila mencium jejak, anjing pelacak tidaklah mudah
dikendalikan. Badan binatang yang hampir sekwintal beratnya itu
berfungsi bagaikan lanjutan hidung yang tak berotak lagi. Mata dan
kepala tak berfungsi. Anjing itu benar-benar kesurupan, sehingga
keinginannya tiada lain kecuali menyatu dengan sumber bau yang
dikejarnya. Dalam kegilaan itu, kegelapan tiadalah artinya, demikian
juga segala macam rintangan. Andaikata anjing-anjing itu tak terikat
pada tuan-tuannya, mereka akan membabi buta menabrak apa saja,
bahkan terjun ke jurang. Selagi anjing-anjing itu makin menggila, orang yang di
belakangnya terseret pontang-panting tanpa dapat mengelakkan
ranting dan duri yang mengenai muka dan tubuh mereka. Mereka
berada di daerah yang tak mereka kenal, tinggi di gunung dan
bergerak sangat cepat. Namun mereka tak berani memperlambat
anjing-anjing itu karena takut kehilangan jejak. Di belakang kedua
orang yang terikat itu, larilah orang ketiga yang lari mengejar dengan
susah payah karena dibebani sebuah radio dua-arah, perlengkapan
mereka. "Lambatkan anjing-anjing itu!" teriaknya terengah-engah.
"Sukar! Mereka sudah gila!" sahut salah seorang yang terikat
pada anjingnya. "Pasti sudah dekat!"
Mereka sampai pada sebuah tanjakan. Kecepatan agak
berkurang. Tetapi begitu mereka sampai di puncak, dan mulai turun,
lari mereka semakin kencang bagaikan jet-coaster. Orang-orang itu
kini lari hampir tanpa tenaga sendiri, terseret oleh tarikan yang tak
mungkin mereka hentikan. Dan kemudian bahaya telah ada di depan
mata. Jalur putih membengkok yang tiba-tiba hilang dalam gelap. Air
terjun! "Air terjun!" "Awas!" "Hentikan mereka!"
Kedua orang yang terikat itu mencondongkan badan ke
belakang sambil menekankan tumit sepatu mereka kuat-kuat ke tanah.
Tetapi kedua anjing tak mau berhenti dan memperkuat tarikannya
pada tali pengikat sehingga setiap saat mereka itu bertambah dekat
dengan jurang yang menganga dalam cahaya bulan.
"Tuhan !" "Aku tak dapat!"
"Tolong!" Salah satu dari kedua orang itu berhasil menggaet sebatang
pohon dan merangkulnya erat-erat sehingga anjingnya tersendal ke
belakang dengan begitu tiba-tiba sampai tercekik dan jatuh
tersungkur, pingsan. Tetapi orang yang satu lagi tetap saja terseret
jatuh bangun tanpa dapat berbuat apa-apa kecuali berteriak minta
tolong. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, pembawa radio itu
mengejar dan berhasil melompati temannya. Pada saat itu, anjing yang
bagaikan gila itu meluncur lepas dari tebing jurang.
Hanya sesaat anjing itu meluncur, karena tertahan kedua orang
yang tetap di tempat bagaikan jangkar. Anjing itu masih terayun-ayun
di udara persis di bawah tebing.
"Hai, tolong!" teriak si pembawa radio kepada orang yang
satunya. Kaki mereka sudah mulai menggelincir sedikit demi sedikit.
Tali pengikat itu bergetar-getar oleh gerakan anjing yang
berkeroncalan di tebing jurang. Orang yang satunya bangkit dan cepat
melepaskan tali pengikat anjingnya yang tidak sadarkan diri dengan
mata yang melotot mengarah ke bulan.
"Cepat!" Yang dipanggil cepat lari mendekat, tangannya menggapai tali
yang tertarik kencang itu dan bersama-sama mereka mulai menarik
anjing yang sudah mulai kehabisan daya. Sejengkal demi sejengkal
mereka menarik, dengan kaki tertekan ke tanah sehingga bersamasama mereka
miriplah dengan seekor ketam berkaki enam. Orang
yang terseret tadi muka dan tangannya babak-belur; kedua temannya
memeganginya erat-erat, karena anjing itu masih saja tergantung di
tebing pada tali yang terikat pada pinggang orang tadi.
Mereka saling berpandangan dengan mata yang cemas.
"Kau tidak apa-apa?"
"Saya tadi mau melepas tali ini, tetapi...."
"Belum pernah anjing-anjing itu begitu gila."
"Apa pun yang mereka kejar, tentu ada di bawah sana."
"Kalau ada di sana, tentu itu orang mati."
"Orang mati tak akan membuat anjing-anjing ini seperti gila."
"Ayo kita tarik lagi."
Dengan tangan gemetaran mereka memegangi tali pengikat.
Agar kuat mereka melingkarkan tali ke lengan mereka.
"Tarik!" Mereka menarik bersama-sama dan mendapatkan tiga jengkal.
Mereka belitkan kembali tali itu lebih kuat.
"Tarik!" Mereka menarik lagi. Tetapi kali ini tak sejengkal pun tali
bergeser. Rasanya seakan-akan berat anjing itu bertambah melebihi
kekuatan mereka. Ketiga orang itu mencoba lagi dengan menekankan
tumit kuat-kuat sehingga gigi mereka gemertak. Ketiganya
berpandangan cemas. Sepertinya di ujung sana ada sesuatu yang
menarik tali mereka. "Oh, Tuhan...," salah seorang merintih ketika mereka
mendadak tertarik maju. "Tahan aku!" teriak orang yang terikat pinggangnya. "Tolong!"
Seorang di antaranya merangkulkan tangannya ke pinggang
orang itu. Orang yang lainnya melepaskan pegangannya tetapi si
terikat menangkapkan kakinya dan berpegangan erat-erat bagaikan
orang akan teng-gelam. "Aduh.....!" keluh seorang ketika mereka ketiga-tiganya terseret
maju tanpa dapat menghentikannya. Kemudian, dengan sentakan tibatiba tubuh
mereka terangkat dan terlempar bagaikan batu ketapel.
Jeritan menggema panjang ketika tubuh mereka meluncur terjun ke
dasar jurang. Hanya seorang di antara ketiga orang itu masih hidup cukup
lama sesudah menghantam batu untuk melihat apakah sebenarnya
yang telah menarik tali pengikat itu. Makhluk itu berdiri di sana
dengan mengeluarkan suara mendengking lirih dan mengangkat
sebelah tangan yang nampak lipatan kulitnya dengan urat-urat yang
bercabang-cabang bagai ranting pohon dalam cahaya bulan. Itu
sajalah yang sempat dilihat sebelum kepala orang yang malang itu
terpenggal lepas dari tubuh dan dihantamkan pada sebatang pohon.
Chapter 5 JOHN HAWKS DIAM membisu melihat ke luar dari jendela
kereta api yang dinaikinya dari Washington, D.C., ke Maine. Ia
melihat fajar sedang menyingsing di atas puncak Gunung Katahdin
yang menjulang megah. Suatu pemandangan yang sudah tujuh tahun
tidak dilihatnya. Kunjungannya yang terakhir ke tempat itu, sewaktu ia berumur
dua puluh satu, sungguh-sungguh merupakan kekecewaan besar
baginya. Ia datang untuk mengikatkan diri kembali ke tali turun
temurun dan kebudayaan leluhur yang sudah ditinggalkannya. Tetapi
yang dijumpai adalah suku Masaquoddy yang jatuh dalam semacam
limbo kulturil. Desa yang diingatnya dari masa kecil telah berubah.
Apa yang dulu serba indah telah tiada. Desanya yang aseli dan
membangkitkan rasa kerasan telah menjadi sekumpulan pondok yang
terbuat dari barang-barang buangan semata. Tanahnya penuh dengan
mesin-mesin yang tak pernah digunakan serta mobil-mobil yang sudah
tinggal kerangka. Tetapi, walaupun lemah dalam meteriil, orang Masaquoddy
masih tetap memiliki kebanggaan dirinya. Kebanggaan diri untuk
menghindari kontak dengan orang kulit putih. Kebanggaan diri untuk
tidak menyukai bahwa John Hawks adalah bagian dari dunia kulit
putih. Memang dalam tubuh Hawks ada sedikit darah orang kulit
putih. Hal itu mudah dilihat pada wajahnya. Garis-garisnya lembut,
kulitnya keputih-putihan. Pernah ia merasa senang bahwa ia dapat
mengaku diri orang kulit putih. Namun kini ia membenci keadaan itu.
Karena kulitnya itulah ia dulu terpilih oleh Mary Pitney untuk
meninggalkan Masaquoddy pada usia dua belas tahun dan
disekolahkan di Portland. Ada tiga anak Indian yang terpilih. Satu dari
suku Yurok; satu lagi dari suku Ashinabeg; Hawks adalah yang
ketiga. Anak pertama mati bunuh diri pada usia belasan. Yang kedua
mati di Vietnam. Hawks adalah satu-satunya yang masih hidup. Ia
tetap bertahan karena semacam penyamaran diri atau lebih tepat
penipuan diri; ia membuang logat suku, berpakaian ala anak-anak
kulit putih, dan berfikiran bahwa menjadi orang kulit putih lebih baik
daripada menjadi orang kulit merah. Selama bertahun-tahun ia
berusaha melupakan tempat asalnya; bahkan ia telah menciptakan
garis silsilah karangan dari suatu keluarga kaya di Boston yang.
katanya sudah habis punah kecuali dia sendiri. Keluarga Pitney yang
menyekolahkan dia telah tiada pada waktu Hawks berumur tujuh
belas, dengan menyerahkan masalah biaya pendidikannya pada sebuah
bank di Portland. Hawks sendiri adalah seorang yatim-piatu. Tiada
seorang pun di dunia yang dapat mengingatkan dia pada kenyataan
dirinya, kecuali dia sendiri.
Akan tetapi menipu diri selama hidup menimbulkan beban batin
yang tidak ringan. Dengan berpura-pura menjadi orang kulit putih di
tengah kota yang penuh berpopulasikan orang Indian, tidak jarang
Hawks terpaksa ikut mendengarkan pembicaraan-pembicaraan yang
sebenarnya khusus untuk telinga orang kulit putih saja. Gurauan
mereka sering sangat kejam dan menyakitkan hati, dan ia memaksa
diri untuk ikut tertawa. Dari Portland ia pindah ke Orinoco setelah memenangkan bea
siswa untuk mengikuti kuliah di Universitas Maine. Di sanalah
rahasianya terungkap dan ia mendapat malu besar. Ceritanya, ia telah
jatuh cinta pada seorang gadis dari keluarga kaya di Boston.
Mendengar asal-usul Hawks yang diceritakan dari keluarga Boston,
gadis itu mengadakan pengecekan. Segera saja Hawks meninggalkan
perguruan tinggi maupun kota, itu dengan suara tawa ejekan masih
mengiang-ngiang di telinganya.
Marah dan malu, Hawks kembali ke kampung halamannya,
tetapi ternyata orang-orang sesukunya pun tidak mau menerimanya. Ia
mengenakan pakaian dan menjalani kebiasaan-kebiasaan suku, namun
mereka menganggap Hawks hanya berpura-pura. Hanya satu orang
yang mau mengulurkan tangan persahabatan kepadanya. Namanya
Romona Peters. Hanya Romona dan kakeknyalah di antara orangorang dari suku
Masaquoddy itu yang mencoba berpegang teguh pada
adat kehidupan Indian. Bagi Romona, John Hawks mewujudkan segala yang
diinginkan tetapi tidak dapat dicapainya. Hawks mempunyai
pendidikan dan pengetahuan tentang dunia di luar hutan mereka.
Tetapi sebaliknya, Romona memiliki keaselian yang membuat Hawks
menjadi iri. Romona adalah seorang Indian lahir batin, dan tidak
memiliki keinginan untuk meniru-niru cara hidup orang kulit putih.
Mereka saling tertarik dan saling mencintai, walaupun hal itu
terlarang menurut hukum Indian. Tetapi justru apa yang menyatukan
mereka itu akhirnya menjadi sebab perpisahan mereka. Hal itu terjadi
pada tahun 1971, dan mulai ada tanda-tanda bahwa Pitney Paper Mill
akan merebut seluruh tanah Indian. Tukang-tukang sibuk
menghancurkan pabrik yang lama dan memulai membangun yang
baru, sebuah pabrik raksasa di tepi sungai Espee. John Hawks, dengan
pengalaman luarnya, tahu bahwa pabrik sebesar itu akan mampu
menelan seluruh hutan mereka. Ia mencoba mengajak saudara-saudara
sesukunya untuk melawan kehendak orang kulit putih, tetapi mereka
menolak. Bahkan Romona menentang dia. Romona mencintai
kedamaian dan berpendapat bahwa suatu konfrontasi akan
menghancurkan mereka sendiri. Selisih paham itu memanas dan
Hawks pergi dari Hutan Manatee, dikira untuk selama-lamanya.
Hawks pergi ke suku-suku lain, tempat orang-orang juga sedang
menghadapi keserakahan pendatang. Ia menyaksikan bagaimana
mereka itu berjuang dan kalah, dan ia menarik pelajaran bahwa hanya
ada satu siasat yang dapat menghentikan sengitnya perampasan tanah.
Siasat itu ialah kekerasan. Bukan berarti bahwa dengan kekerasan
mereka akan mendapat kemenangan. Kemenangan tidak pernah akan
mereka peroleh, dengan cara apa pun juga. Tetapi dalam kekerasan
terdapat kepuasan. Setelah mengikuti jejak-jejak kerusakan dari hutan ke hutan dan
dari suku ke suku, sampailah Hawks di Washington. Di sanalah
demonstran dari berbagai penjuru menyatu untuk bersama-sama


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerukan protes melawan perampasan tanah milik orang Indian.
Dengan perasaan terperanjat Hawks mengetahui bahwa di
antara para demonstran terdapat pula wakil-wakil dari suku
Masaquoddy. Dan mereka itu bersama para wakil suku yang
berdekatan sedang mencari seseorang yang dapat menjadi pemersatu
maupun juru bicara mereka. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu
John Hawks. Dulu ia telah meramalkan apa yang akan terjadi; kini
mereka itu menginginkan agar ia mau menolong mereka.
Yang membesarkan hati Hawks tidaklah hanya bahwa ia
menerima kekuasaan untuk mewakili bangsanya, melainkan terutama
bahwa ia akhirnya diakui penuh sebagai orang Indian. Kini dapatlah ia
mengatakan kepada dunia bahwa, dalam hati dan seluruh jiwaraganya, ia adalah
bagian penuh dari bangsanya. Dan ia sudah siap
berkelahi. Ketika kereta api yang membawanya membelok mengitari
gunung Katahdin, Hawks berpikir tentang Romona. Ia bertanya-tanya
dalam hati, apakah Romona masih di sana setelah waktu yang enam
tahun ini, dan akan bagaimanakah sambutannya" Pikiran Hawks
kemudian bergeser pada M'rai, kakek Romona yang enam tahun yang
lalu dengan tegas mengingatkan dia tentang akibat kekerasan dan
kemarahan. "Bukanlah tujuan kita bahwa sebuah keluarga
memusnahkan keluarga yang lain," kata M'rai. Hawks pada waktu itu
menjawab bahwa kalau orang tidak mau memperjuangkan apa yang
jadi haknya, sudah sepantasnyalah bahwa hak tersebut diambil
darinya. "Kalau barang itu memang hak milikmu," jawab M'rai, "tidak
perlu kau memperjuangkannya."
"Tidak ada orang yang akan menolong kita."
"Hutan akan membantu," jawab orang tua itu. "Katahdin akan
memberikan bantuannya."
Hawks sungguh-sungguh heran akan sifat kekanak-kanakan
orang tua itu. Tetapi itulah justru daya tarik M'rai; kepercayaannya
akan cerita-cerita kuno. Barangkali Katahdin adalah cerita kuno pertama yang dipelajari
oleh setiap anak kecil dari suku Masaquoddy. Katahdin adalah
binatang dalam mitologi yang wujudnya adalah gabungan dari segala
macam makhluk yang pernah diciptakan oleh Tuhan. Diceritakan
bahwa dalam waktu-waktu yang memerlukan bantuannya, entah
karena adanya bencana besar atau apa pun, Katahdin akan bangun dari
tidurnya. Katahdin akan membela makhluk Tuhan apa pun yang
memerlukan lindungannya. Hawks memejamkan matanya dan dalam hati membayangkan
orang tua itu sedang berdiri di tengah-tengah padang tandus yang dulu
penuh ditumbuhi pepohonan tetapi kini telah ternoda oleh ulah
manusia. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah akhirnya orang tua itu
akan kehilangan kepercayaannya kepada Katahdin.
**************************************
"Hutan itu 'hutan perawan', Maggie. Kautahu itu apa artinya?"
Robert Vern berdiri dalam kamar tidur di ruang apartemen kecil
mereka. Ia sedang sibuk mengemasi pakaian yang dimasukkannya
dalam sebuah kopor. "Maggie kaudengar aku?"
Rob menantikan jawaban, tetapi Maggie diam saja. Sikap
pendiam dan murung isterinya sudah mulai seminggu yang lalu dan
Rob menjadi cemas memikirkannya. Rupanya kebisuan Maggie itu
mulai pada malam ketika ia melihat bekas-bekas air mata di pipi
isterinya itu. Keesokan harinya ia sengaja tidak pergi dari rumah
untuk membicarakan hal itu, tetapi Maggie sangat tidak komunikatif.
Kemudian beberapa malam berturut-turut Rob melihat sebotol Valium
di meja kamar tidur. Sebelumnya tak pernah Maggie menggunakan
obat tidur. Pikiran Rob jadi penuh pertanyaan yang mencemaskan.
Sambil menutup kopornya, Rob duduk di ranjang sambil
mendengarkan Maggie memainkan cellonya.
Ia acapkali merasa iri akan kesibukan isterinya, karena
kesibukan itu mendatangkan kedamaian dan bukannya frustrasi seperti
yang dialaminya sendiri. Rob bangkit dari duduknya dan melangkah
ke pintu yang terbuka, sambil melemparkan pandangan pada isterinya.
Maggie mengangkat kepala dan mata mereka bertemu.
"Bagus lagu itu."
Maggie menjawab dengan anggukan dan bermain terus.
"Brahms?" tanya Rob.
"Schumann." "Banyak cellonya."
"Schumann paling senang cello," jawab Maggie. "Katanya cello
adalah satu-satunya instrumen yang dapat dipeluknya bagaikan
seorang kekasih." "Tetapi cello memang membuat suasana damai...."
"Coba, ceritakan," kata Maggie tiba-tiba mengalihkan
pembicaraan. Lagi-lagi Rob melihat apa yang terkandung dalam pandangan
isterinya. Suatu tuduhan bahwa ia tidak setia. Rob mendekat dan
duduk di kursi malas. "Begini Maggie ... kalau pekerjaan ini memang
kusukai....sesuatu yang ada artinya....aku akan lebih banyak di
rumah...." "Benarkah?" "M-hm. Pepohonan tidak menjadi sakit dengan mendadak di
tengah malam, kalau tidak salah," sambung Rob, "tetapi sebenarnya,
juga. Hanya mereka tidak dapat mengatakannya."
Duduk Rob persis di belakang isterinya. Ia tergugah oleh
tengkuk yang mulus serta wanginya rambut Maggie sehingga ia
membungkuk sedikit dan mencium bahunya.
Maggie berhenti menggerakkan gesekan cellonya tetapi tidak
menoleh. "Bagaimanakah tentang 'hutan perawan' itu?"
Rob agak terperanjat sesaat, kemudian teringat bahwa ia telah
menyerukan kata-kata tersebut selagi ia mengemasi kopor tadi.
"Kaudengar juga perkataanku tadi?"
"M-hm." "Mengapa kau tidak menjawab?"
"Aku tidak bisa berteriak lebih keras dari suaramu tadi."
"Hutan perawan ialah....sesuatu yang belum pernah disentuh
manusia sejak zaman awal."
Maggie tidak menjawab, hanya menundukkan kepalanya.
"Itu membuat kau sedih?"
"Rasanya begitu."
"Kenapa?" "Entahlah." Rob menyentuh bahu isterinya dan Maggie menoleh.
"Ada apa, Maggie?" Rob berbisik.
Mata gadis itu nampak berkaca-kaca.
"Katakan saja terus terang."
"Aku tidak bisa begitu saja," jawab Maggie, juga hanya
berbisik. "Mengapa tidak?"
"Karena tidak segampang itu. Sukar menceritakannya." Maggie
mencari pandangan suaminya, ingin agar Rob mau mengerti. "Perlu
waktu beberapa jam. Beberapa hari. Aku perlu bersamamu. Perlu
merasa dekat. Pendeknya apa yang kita rasakan dulu."
Rob menarik isterinya dan memeluknya dengan lembut.
"Ingatkah kau, bagaimana kita selalu duduk dan omong-omong
dulu?" tanya Maggie dengan nada sedih. "Omong-omong tentang apa
saja" Begitu saja tanpa ada habisnya" Bagaimana kita acap kali tidak
tidur semalam-malaman, dan bila pagi tiba, kita tutup saja gorden
jendela dan sebelum kita tahu, hari telah malam kembali."
Rob mengangguk. "Kenapa tidak pernah seperti itu lagi?" Suara Maggie memelas.
"Rupanya kita berdua terlalu sibuk, Maggie."
"Meskipun salah satu merasa kesepian," jawab Maggie.
Rob menggelengkan kepala, bukan karena tidak setuju tetapi
hanya sebagai ungkapan rasa tak berdaya. "Aku tak tahu harus berbuat
apa." "Aku tahu bagaimana perasaanmu mengenai pekerjaanmu,
dan..." "Bukan sekedar pekerjaan...."
"Aku jadi merasa seakan-akan kau mempunyai kekasih lain.
Kalau itu halnya, saya sekurang-kurangnya masih dapat bersaing."
"Aku tidak...."
"Tentu saja kau tidak, tetapi...."
"Dan kau?" Kata itu ke luar begitu saja sebelum dipikirkan.
"Aku mengapa?" tanya Maggie terperanjat.
"Punya kekasih lain?"
Maggie sungguh-sungguh terperanjat kini. "Tentu saja tidak."
Rob mengawasi ekspresi wajah isterinya dengan cermat.
"Sungguh?" "Kalau saya tidak berkata sungguh, kekasih itu pun tentunya
tidak sungguh-sungguh."
"Aku tidak bergurau."
Maggie tidak dapat menahan ketawa, tetapi ia menjadi serius
kembali ketika melihat Rob masih tampak murung.
"Selama hidupku, hanya satu orang yang kucintai," katanya
tenang. "Mungkin orang menganggapku kurang normal pada usia tiga
puluh ini. Kalau itu kukatakan kepada gadis-gadis di Symphony,
mereka pasti akan menertawakanku habis-habisan. Tahukah kau,
seorang di antara mereka itu...." Tiba-tiba Maggie berhenti dan
tertawa keras. Pergeseran suasana hati Maggie itu begitu tidak runtut,
sehingga Rob agak bingung, tetapi ia pun tak dapat menahan untuk
tidak ikut tertawa. "Seorang di antara mereka itu kenapa ?"
"Maksudku....sudah memakai diafragma, sudah minum pil,
orang masih dapat hamil juga."
"Biasanya tidak."
"Tetapi itu toh terjadi juga, jadi mungkin, bukan?"
"Dalam teori." Rob memaksa diri tersenyum. Tetapi ia merasa bahwa ada
sesuatu yang tidak beres dengan omongan Maggie itu.
"Siapakah gadis itu?"
"Tidak akan kukatakan."
Tawa mereka mereda, dan kedua suami isteri itu duduk sambil
saling berpandangan. Suasana hati mereka melembut sampai saat
ketika salah satu harus mulai berbicara. Tetapi keduanya tetap diam.
"Tahukah kau, apa yang baru saja terjadi?" Akhirnya Maggie
membuka mulut, tetapi hanya berbisik.
"Apa?" "Omong-omong dan tertawa. Sejak kapankah kita tidak lagi
melakukan hal itu?" Rob mengangguk setuju tanpa semangat. "Lama, kukira."
"Itulah yang kubutuhkan, Rob. Merasa enak. Bebas. Rileks.
Kalau saja waktu seperti ini dapat lebih lama, maka aku akan dapat
mengatakan apa saja yang ingin kukatakan."
"Apakah itu?" Maggie menegang. Ia merasa jari-jari kakinya mengerut. "Tiga
jam lagi kau sudah harus berangkat. Aku perlu waktu lebih lama dari
itu." "Ikutlah denganku."
"Mana bisa?" "Dua minggu, Maggie. Kita akan mempunyai waktu dua
minggu. Sendirian, tanpa gangguan tilpon. Tiada panggilan
mendadak. Mereka akan menempatkanku di sebuah pulau. Di tengahtengah danau.
Tiada apa pun di sekeliling kita kecuali air dan
pepohonan." "Dapatkah aku ikut?"
"Kenapa tidak?"
Maggie tahu bahwa ia sedang mencoba menghindari apa yang
tak terhindarkan. Persis kata Dr. Hamlisch....mencoba mengulur-ulur
waktu sampai sudah terlambat. Kalau ia pergi bersama Rob, ia akan
harus mengungkapkan apa yang kini masih dirahasiakannya. Dan ia
harus menghadapi pembicaraan yang paling dikuatirkan. Tetapi
mungkin, dalam keadaan lingkungan seperti yang dikatakan oleh Rob
itu, ia akan tabah menghadapinya. Yah, mungkin inilah justru
kesempatan yang paling bagus.
"Bagaimanakah keadaan udara di tempat itu?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Maggie?"
"Aku sudah menjawab. Aku hanya ingin tahu pakaian apakah
yang perlu kukemasi."
Chapter 6 DI HUTAN MANATEE pancaran sinar matahari pagi teraling
oleh gumpalan awan yang mengambang rendah-rendah di atas hutan.
Kelembaban dalam hutan mulai menguap. Bunyi dua ekor burung
titihan terdengar di dedaunan yang terselimut kabut tebal. Jauh di atas
pegunungan, pada dasar sebuah jurang yang dalam, sekawanan rakun
mencicip enaknya daging manusia. Dengan suara hiruk-pikuk
binatang-binatang itu berebut keping-keping daging manusia yang
berserakan di tanah. Tubuh seorang laki-laki yang tergantung di atas
kawanan itu tidak membuat mereka takut. Bau khas manusia telah
lenyap setelah beberapa jam, dan tinggallah bau busuk bangkai biasa
yang membuat rakun-rakun itu tambah bernafsu tetapi tak mungkin
mencapainya. Pada dataran di atas sana, sepotong tali anjing yang telah putus
bekas gigitan merupakan satu-satunya bagian yang tinggal dari salah
satu anjing pelacak yang selamat dari peristiwa mengerikan malammalam itu.
Anjing itu telah menggigit putus tali pengikatnya, setelah
siuman, dan menggunakan ketajaman hidungnya untuk mencari dunia
berbudaya yang paling dekat. Di sana, pada sebuah pos penjagaan
hutan orang mencoba berulang-kali untuk menyuruh anjing itu
mencari teman dan tuan-tuannya yang rupanya masih tertinggal dalam
hutan, tetapi tak berhasil. Anjing itu memalingkan kepala kembali ke
arah datangnya pun tidak mau. Dua hari telah berlalu sejak hilangnya
para anggota regu pencari, beserta seekor anjingnya. Kalau beberapa
hari lagi tidak muncul, maka dapatlah dipastikan bahwa mereka itu
tidak akan kembali. Sherif dari Manatee County berusaha merahasiakan hilangnya
regu pencari itu. Namun ada orang-orang tertentu yang harus tahu.
Salah satu di antaranya ialah Bethel Isely, orang yang memegang
pimpinan Pitney Paper Mill.
Isely berusia empat puluh empat. Ia dilahirkan dan dibesarkan
di Atlanta seraya belajar tentang hubungan masyarakat. Ia diterima di
Pitney Mill enam bulan yang lalu dan memindahkan seluruh
keluarganya ke Manatee. Meskipun tidak begitu tahu tentang
pepohonan, namun ia ahli dalam hal membentuk pendapat umum.
Atas buah pemikirannyalah bahwa Perusahaan mengadakan pesta
untuk seluruh penduduk kota, dan menyisihkan sejumlah uang untuk
mendirikan tiga buah gereja. Beberapa suara yang pada mulanya
menentang rencana perluasan pabrik sebentar saja bagaikan
terbungkam oleh banjir bacaan yang menonjolkan akibat positif
penebangan pohon dan penuaian hasil hutan.
Kini, dengan akan datangnya orang yang dikirim untuk
membuat laporan mengenai keadaan Hutan Manatee, ia berusaha
keras untuk menyiapkan keadaan sedapat mungkin agar laporan yang


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuat akan menguntungkan bagi perusahaannya. Ia bahkan
mengadakan penyelidikan mengenai orang yang akan datang itu.
Ternyata adalah seorang dokter bernama Robert Vern. Vern akan
ditemani isterinya, seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang
kesukaannya bermain cello. Begitu keras usaha Isely sehingga ia
belajar barang sedikit mengenai cello dan simfoni. Ia bergembira
bahwa Vern akan membawa isterinya, sebab dengan demikian lebih
mudahlah baginya mengusahakan agar tugas Vern itu lebih
menyerupai piknik daripada suatu riset.
Isely sudah siap sepenuhnya, siap untuk menjawab segala
pertanyaan dan menyediakan seluruh waktu kapan saja ia dibutuhkan.
Pitney Paper Mill adalah sebuah model efisiensi. Ia benar-benar dapat
berbangga diri dengan apa yang akan dilakukannya.
Selagi berdandan untuk menjemput tamu itu ke lapangan
terbang, ia menengok ke luar jendela untuk melihat keadaan cuaca.
Agaknya hujan musim semi mulai jatuh.
***********************************
Tidak jauh dari sana, John Hawks pun sedang melakukan
persiapan. Tetapi tidak untuk menyambut Robert Vern. Ia bahkan
belum tahu bahwa orang yang akan dikirim Perwakilan Perlindungan
Lingkungan itu akan datang hari itu. Kalau pun ia tahu, rencananya
tak akan berubah juga. Perintang jalan masuk Hutan Manatee akan
dipasang kembali. Mulai hari ini dan seterusnya, tiada satu pun
kendaraan dari perusahaan penebangan akan dibiarkan masuk melalui
jalan utama. Hawks tahu bahwa mereka dapat masuk dengan
menggunakan perahu lewat Sungai Espee atau dengan pesawat
terbang lewat danau. Tetapi itu akan makan waktu dan uang.
Perintang jalan itu akan memaksa mereka untuk tidak terlalu
menganggap enteng terhadap orang Indian.
Hawks baru dua puluh empat jam yang lalu tiba di hutan,
setelah langsung pergi ke desa dan mengumpulkan seregu lelaki yang
paling kuat. Kini keadaannya sangat berbeda dengan tujuh tahun yang
lalu. Orang-orang Masaquoddy akhirnya telah menjadi cukup marah
sehingga siap sedia untuk bertempur. Mereka telah dijepit dari segala
sudut; dituduh melakukan pembunuhan padahal tidak, dituduh mabukmabukan padahal
minuman keras setetes pun tidak terdapat di desa
mereka. Kini, dengan regunya yang terdiri dari sepuluh orang kuat,
berangkatlah Hawks menembus hutan menuju ke jalan utama. Anak
buahnya terdiri dari orang-orang seusia tujuh belas sampai tiga puluh
tahun. Tak seorang pun di antara mereka pernah melawan orang kulit
putih. Hawks memperingatkan agar jangan seorang pun membawa
senjata. Mereka akan membela hutan mereka dengan hidup mereka,
tetapi mereka tidak mau dituduh mengancam jiwa orang lain. Satusatunya benda yang dapat merupakan senjata adalah sebuah kapak
bertangkai panjang yang dibawa sebagai alat pembuat pelindung bila
hari hujan. Setelah berjalan beberapa saat, rombongan itu lewat dekat
perkemahan M'rai. Hawks dapat melihat kayu bersilangan yang
menjadi tiang penumpu kemah orang tua itu dari kejauhan. Ketika
mula-mula Hawks tiba di desa, ia telah menanyakan kabar M'rai dan
mendengar bahwa orang tua itu pun menderita katahnas, yaitu
penyakit yang melemahkan ingatan, yang telah menimbulkan
kecemasan Romona. Kata mereka, orang tua itu sering berjalan sendiri
di hutan dan bercerita tentang Katahdin, yang katanya seringkali
minum di tepi lagunanya yang keramat, yaitu laguna yang tidak boleh
dikunjungi oleh orang lain kecuali dia sebagai orang yang tertua
dalam suku. Ketika mereka sudah semakin dekat dengan perkemahan itu,
Hawks berhenti dan memandang dari sela-sela pepohonan. Ternyata
masih tetap seperti dulu. Tiga kemah besar berdiri melingkar, terbuat
dari kulit binatang. Ditengah-tengah nampak tungku api yang besar
berpinggir batu. Pada tali yang dibentangkan antara dua tiang
tergantung beberapa helai kulit binatang yang sedang dikeringkan.
Sebuah busur besar buatan tangan tersandar pada batang pohon. Dulu
Hawks seringkali menggunakan busur yang indah itu, selagi ia belajar
memanah pada M'rai. Bau lemak binatang mengambang di udara sampai ke hidung
Hawks; suatu kenangan lagi pada masa kanak-kanak. Ia jadi
termenung. Pikirannya melayang pada Romona. Sejak kedatangannya
kembali di desa itu, Hawks telah menahan diri untuk tidak bertanya
kepada siapa pun mengenai berita gadis itu. Hawks tak mungkin lewat
saja tanpa mengetahui apakah Romona ada di sana. Setelah ragu
sebentar, Hawks maju dan menanggil nama gadis itu.
"Oliana ?" Setelah beberapa saat lamanya, kulit pengaling pintu dari salah
satu kemah itu tersibak dan Romona muncul. Gadis itu nampak lebih
cantik daripada ketika Hawks meninggalkannya dulu. Rambutnya
yang panjang memiliki warna dan gilapnya surai binatang hutan.
Dengan gemulai bagaikan air mancur, rambut yang indah itu
menggerai menutup bahu. Tubuh Romona kelihatan singsat dan
ramping selagi gadis itu berdiri tegak dengan sikap yang hanya
dimiliki seorang gadis Indian. Namun matanya tak bersemangat dan
menyorotkan perasaan terluka.
Romona berdiri saja di sana, seakan-akan tak dapat berbicara.
Akhirnya ia berbisik seperti kepada diri sendiri, "Syukurlah!"
"Aku kembali, Oliana, dan tidak akan pergi lagi."
"Aku akan berjuang bersamamu kini, John," bisik Romona lagi.
"Aku akan berjuang di sampingmu. Kita semua akan mati di sini."
"Ayo, ikut aku!"
"Ke mana?" "Perjuangan kita akan mulai hari ini."
Romona ikut tanpa bimbang sedikit pun. Matanya memandangi
Hawks yang berjalan di depan menembus hutan dengan langkah dan
laku seakan-akan ia selama hidup menghuni hutan tanpa pernah pergi
ke tempat lain. Ia benar-benar orang Indian kini; Romona dapat
melihat itu pada cara kaki-kakinya menyentuh lantai hutan. Banyaklah
hal yang ingin diceritakannya kepada pria itu. Tentang bayi yang
lahir-mati, tentang penyakit yang menyerang daya ingat dan
kesadaran. Tetapi kini John Hawks sedang penuh oleh cita-cita yang
satu. Romona akan menunggu sampai John mempunyai waktu
untuknya. ************************************
Ketika Cessna kecil bermesin dua itu keluar dari selimut awan,
Rob dan Maggie memandang ke luar lewat jendela dan nampaklah di
bawah mereka hutan yang mereka tuju. Cello Maggie terletak di kursi
kosong di belakang mereka berdampingan dengan tas dokter milik
Rob. Lambang kepribadian keduanya yang membuat mereka hidup
terpisah selama ini, ikut dalam perjalanan tetapi tersendiri di kursi
belakang. Rob merasa sangat bersyukur bahwa akhirnya Maggie mau ikut
serta. Dalam perjalanan udara yang beberapa jam ini mereka merasa
lebih akrab daripada bulan-bulan terakhir di tempat kediaman mereka.
"Indahnya...," bisik Maggie sambil melemparkan pandangan ke
bawah pada danau dan hutan pepohonan yang mengelilinginya.
Rob mengangguk, termangu. "Aku lupa bahwa dunia dapat
seindah ini." "Mungkin itulah kesulitan kita, hm" Karena pohon-pohon lalu
tidak melihat hutannya."
Rob tersenyum setuju. "Memang," renung Maggie, "rupanya kita telah begitu
tenggelam dalam detil-detil sehingga lupa apakah hidup itu
sebenarnya." "Apakah itu?" tanya Rob setengah bergurau, tetapi sebenarnya
ingin sekali mendengar pendapat isterinya.
"Kita sendiri. Apa yang ada di hati kita. Kalau itu kosong, hidup
ini tiadalah artinya."
"Apakah kau merasa kosong?"
Maggie memandang lurus ke depan. "Tidak."
"Aku juga tidak. Sekarang ini tidak, sekurang-kurangnya."
Mereka saling berpandangan, dan Rob mencium pipi isterinya.
"Kautahu," kata Rob merenung, "kemarin aku berjalan di kota
tempat enam ribu orang tinggal berdesakan dalam satu blok, dengan
meminta sekedar ruang cukup untuk membaringkan diri di waktu
malam dan untuk berdiri di siang hari."
Maggie memandangi wajah suaminya. Mata Rob terarah ke
hutan di bawah mereka. "Dan hari ini, aku terbang di atas tujuh puluh lima ribu hektar
rimba raya yang menurut tuntutan beberapa gelintir manusia adalah
hak milik mereka." Rob menggelengkan kepala, tidak mengerti.
"Anak-anak pada mati karena kelaparan dan kekurangan gizi sedang
para petani membuang kelebihan susu perahan mereka ke selokan...."
"Mengapa mereka berbuat begitu?"
"Untuk menaikkan harga."
"Terlalu." "Itulah soalnya. Keuntungan pribadi. Di ghetto...di hutan...
kelaparan.....pohon-pohon itu....."
"Rob?" "Mmxnmm." "Aku kagum, kau memikirkan itu semua. Suatu hal yang bagiku
sulit melakukannya....Tetapi yang menjadi pikiranku ialah bahwa kau
seakan-akan bertanggung jawab atas semua itu secara pribadi."
"Kurasa memang begitu."
"Kekuatanmu ada batasnya, Rob. Dunia ini begitu besar."
Rob mengangguk dan memandang isterinya, setuju.
"Pernah membaca `Kecil itu Indah'?"
"Apa itu?" "Buku, tentu saja."
Rob memandangi buku yang sedianya mau dibaca-bacanya di
pesawat tetapi belum dibukanya juga. "Ah ini pasti lebih mencekam,
`Perkembangan Industri dan Gangguan Jiwa'." Dan ia tertawa.
"Jangan ceritakan bagaimana akhir ceritanya padaku."
Rob tersenyum sedih dan menggelengkan kepalanya. "Aku pun
takut mengetahui akhirnya. Sungguh takut."
Pesawat terbang mereka merendah ketika lapangan
Androscoggin muncul di depan. Lapangan itu tidak lebih dari
hamparan semen di tengah-tengah rimba belantara. Di jalan kecil yang
menuju ke lapangan, Rob melihat dua mobil berwarna kuning melaju
semakin dekat dengan kepulan debu di belakangnya.
Tidak selang beberapa menit pesawat terbang kecil itu telah
mendarat. Rob dan Maggie turun, disambut hembusan angin yang
sejuk. Kemudian Rob melihat kedua mobil kuning yang tadi
dilihatnya dari udara. Mobil yang berhiaskan lambang Pitney Paper
Mill itu membelok menuju jalur landasan.
"Mr. Vern?" Sapaan itu ke luar dari orang yang melangkah turun dari mobil
sambil tersenyum menawan. "Bethel Isely," katanya memperkenalkan
diri. "Pitney Paper Mill. Baik-baik saja dalam perjalanan?"
Rob tahu bahwa mereka akan dijemput di lapangan terbang,
tetapi ia tidak mengira bahwa yang menjemput adalah orang-orang
perusahaan itu. "O....ya...," Rob tergagap selagi tangannya diguncang keraskeras oleh orang itu.
"Ini isteri saya, Maggie Vern..."
"Mrs. Vern...."
"Hello." "Sungguh menyenangkan bahwa Anda juga datang..."
Orang itu melihat pandangan mata Rob yang nampak kurang
senang. "Saya harap Anda tidak keberatan bahwa saya telah datang
menjemput" Beberapa orang di sini kurang mengenal tempat yang
harus Anda tuju. Maka saya kira Anda mungkin perlu bantuan."
Rob diam agak lama sebelum menjawab. "Ya, terus terang saja,
sebenarnya saya tidak mengira akan dijemput oleh orang-orang dari
perusahaan Anda...."
"Baik, baik. Nanti saya panggilkan taxi. Tetapi mereka biasanya
tidak masuk hutan." "Lalu bagaimana orang pergi ke sana?"
"Mobil pribadi. Itulah yang biasa. Tetapi itu gampang, saya
nanti yang menguruskan."
"Anda baik sekali," jawab Maggie.
"Maaf, bahwa kami bersikap seperti tak tahu berterima kasih."
"Saya tahu, saya tahu," jawab Isely. "Itu Rogery?" sambungnya
sambil menunjuk cello bawaan Maggie.
"Montagna," jawab Maggie terperanjat. "Anda tahu tentang
cello?" "Ah tidak. Kayu, saya tahu. Itu punggungnya kayu balsam,
perutnya eru, sedangkan gagangnya mapel. Ada, tiga macam kayu
yang terpakai." "Hebat," jawab Maggie.
"Anda tahu," sambung Isely, "boleh dikata di dunia ini tidak
akan ada musik yang sungguh-sungguh lengkap kalau orang tidak
menebang pepohonan."
Rob tak dapat menahan tawa.
"Ah, ya, maaf," kata Isely, "mungkin harusnya tak saya katakan
itu." "O, tidak apa-apa," sahut Rob masih tertawa. Ia menyukai orang
ini meskipun sikapnya agak terlalu memaksa.
"Bolehkah saya berterus terang?" kata Isely setelah beberapa
saat. "Kedatangan Anda ini bagi kami sungguh-sungguh penting
artinya. Saya datang menjemput ini hanyalah untuk menunjukkan
bahwa kami tidak memusuhi Anda. Kami, para penebang ini juga
orang-orang biasa. Kami sungguh-sungguh tidak ingin berbuat yang
tidak semestinya." "Baiklah Anda mengatakan itu."
"Anda tadi mengatakan, mau menyewa taxi. Bagi saya tidak
apa-apa. Tetapi saya lebih suka kalau saya dapat mengantarkan Anda.
Sampai di danau itu saja. Sesudah itu kami tak akan mengganggu
Anda lagi." Rob menangkap isyarat Maggie. Ia tak mau orang itu merasa
disepelekan. "Baiklah," kata Rob.
"Bagus, bagus," kata Isely senang. Dan ia berpaling ke kedua
orang di belakang kemudi. "Kelso" Naikkan barang-barang Mr. Vern.
Johny, angkat cello itu. Awas, hati-hati, kalau rusak harganya
selangit." Beberapa menit kemudian kedua mobil itu berangkat
meninggalkan lapangan terbang. Perjalanan itu membawa mereka
melewati kota kecil Manatee. Jalan besarnya yang satu-satunya
nampak seakan-akan diciptakan khusus untuk kartu pos gambar. Ada
tiga gereja, dua toko, satu kantor pos, satu perpustakaan,
satu penjara; semua berdiri berjejer-jejer. Tetapi sangat terasa adanya
suasana kesunyian. Setelah mereka meninggalkan kota, jalanan masih cukup baik
sampai kira-kira empat kilo. Kemudian mereka lewat jalan tanah yang
menurut Isely harus dibuldozer setiap musim semi agar dapat dilalui.
Pembicaraan mereka beralih ke masalah penebangan. Rob sangat
terkesan akan khasanah pengetahuan Isely; peraturan dan patokan
yang menyangkut masalah penebangan.
"Tentang omongan orang bahwa perusahaan kami telah
merusak hutan, semua itu isapan jempol belaka," kata Isely ketika
perjalanan mereka sampai di tengah-tengah pepohonan yang makin


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebat. "Kami telah mendirikan pabrik bubur kertas kecil-kecilan di
hulu sungai Espee dua puluh tahun yang lalu. Setiap kami menebang
bagian hutan tertentu, kami selalu menanaminya kembali dengan bibit
baru. Dan bagian itu kini bahkan menjadi lebih bagus daripada ketika
Tuhan menciptakannya pertama kali."
Mendengar itu Rob mengerutkan dahi. Ia tahu betul bahwa
untuk memulihkan sebuah hutan tusam diperlukan waktu ratusan
tahun. Isely melemparkan pandangan kepadanya dan melihat cemooh
dalam mata Rob. "Tetapi," sambung Isely cepat sambil tertawa nyengir, "Tuhan
telah menciptakan ini semua tanpa bantuan ilmu pengetahuan modern.
Waktu itu belum ada hydroponics, ilmu pengetahuan hutan, dan
analisa kimiawi untuk menentukan tingkat erosi tanah."
"Toh ciptaannya bagus sekali, bukan?" jawab Rob.
"Dan itu dengan pendidikan yang sangat terbatas," tambah
Maggie. Isely tertawa lebar. Orang ini mempunyai suatu kelebihan,
mampu ikut tertawa bila dia sendirilah yang menjadi bahan tertawaan.
"Kalian ini berasal dari mana?" tanya Isely setelah beberapa
saat diam. "Dari Washington?"
"New York," jawab Rob. "Anda sendiri?"
"Dari sini saja."
"Logat Anda logat orang Selatan."
"Sialan! Saya kira dapat menyembunyikannya. Terus terang
saja, saya memang dari Selatan, dari Atlanta. Semua pengusaha
penebangan berasal dari luar. Tetapi kami memiliki separuh tanah di
Maine. Maka di sini kami seperti di rumah sendiri saja. Dan
percayalah, tanah ini akan kami pelihara baik-baik."
Bagi Rob, informasi yang terakhir ini sangat mengecilkan
hatinya. Hutan di Maine adalah milik tuan-tuan tanah dari luar.
Keadaannya persis dalam lingkungan kerja Rob di Washington. Kalau
di sini yang berkuasa tuan tanah, di sana tuan-tuan pemilik rumah
sewaan. Mereka orang luar, berada di luar, hanya datang untuk
mengambil hasil perasan. Mereka tidak perlu menyaksikan
kesengsaraan akibat pemerasan mereka.
Tiba-tiba sopir memperlambat mobil mereka. Isely
menghembuskan nafas bagaikan orang kecapaian.
Di depan mereka, di tengah jalan, nampak sekelompok orang
Indian yang bermunculan dari hutan di kanan-kiri jalan. Maksudnya
jelas, memblokir jalan. Rupanya mereka sudah siap bertempur.
"Ada apa ini?" tanya Rob setelah mobil mereka berhenti.
"Sesuatu yang melawan hukum."
"Siapakah mereka itu?" tanya Maggie.
"Orang-orang yang merasa memiliki hutan ini."
"Mau apa mereka?"
"Sebentar lagi kita akan tahu."
Salah seorang di antara orang kulit merah itu maju. Orangnya
tinggi dan tampan; pakaiannya lebih bersih dari yang lain-lain. Jaket
kulitnya berjumbai di bahu; ikat pinggangnya mengkilat dan baru.
Penglihatan Rob mengatakan bahwa orang ini orang baru di hutan itu.
Orang tersebut mendekati mobil dengan langkah santai penuh wibawa
Badai Awan Angin 19 Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu Kedele Maut 8

Cari Blog Ini