Ceritasilat Novel Online

Emptiness Soul 3

Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena Bagian 3


"DIA PERGI JARVIS, DIA PERGI."
Aku berhenti, tertegun mendengar ucapannya, lalu berbalik dan
menatapnya garang. "Apa yang kau lakukan padanya...?" Desisku
marah. Liana berdiri tegak di hadapanku, dagunya terangkat ke atas,
matanya menatapku tajam. "Aku mengajaknya ke kamar khusus,
memperlihatkan lingerieku padanya dan mengatakan bahwa kau
selalu menyetubuhiku di kamar itu."
Aku meraih lampu tidur yang tergeletak di atas nakas dan
melemparkannya ke arah Liana, melewati samping kepalanya
dengan jarak hanya beberapa inch dan menimbulkan bunyi yang
memekakkan telinga saat menghantam dinding di belakang Liana.
Liana tersentak, matanya terbelalak ngeri, menyadari jika
lemparanku meleset sedikit saja, kepalanya-lah yang akan terkena
lampu itu. "Apalagi yang kau katakan padanya?" Aku bahkan tidak mengenali
suaraku lagi, yang kini sarat dengan amarah.
Tubuh Liana mengerut ketakutan, suaranya bergetar ketika
berbicara. "Aku katakan padanya, kita sudah bersama selama 8
tahun, seberapa seringnya kau menggantiku dengan perempuan lain,
kau selalu kembali padaku. Aku rumahmu Jarvis, aku tempatmu
kembali." "KAU BUKAN RUMAHKU!" Teriakku histeris, frustasi dengan
keadaan yang ada. "AKU MENCINTAIMU. TIDAKKAH ITU CUKUP UNTUKMU"!
Selama tiga tahun aku selalu mengikutimu, menyewa detektif untuk
mengawasimu. Meyakinkan hatiku kau akan selalu kembali
padaku." "Kau. Menguntitku?" Kali ini kemarahanku semakin memuncak.
"Itu karena aku selalu ketakutan kau akan meninggalkanku. Aku
harus menanganinya, menjauhkan orang yang mencoba merebutmu
dariku. Selama ini aku merasa aman, sampai kau mengenal Alexa.
Kau milikku, aku yang menemukanmu terkapar tak berdaya di
jalanan. Dia tidak bisa begitu saja merebutmu dariku. Aku benar
sudah mengusirnya dari sini. AKU BENAR SUDAH
MENGUSIRNYA!" Tubuhku bergetar karena amarah, rahangku mengetat mendengar
ucapannya. Kalap, aku memukul dinding dengan tinjuku, meremas
rambutku frustasi dan berlari ke luar dari kamarku.
"AKU BUKAN BENDA. AKU BUKAN MILIKMU!" Teriakku
histeris, kakiku terus melangkah meninggalkan apartemen. Berlari
menembus hujan yang mulai lebat.
*** Goresan luka ini mulai bernanah, menimbulkan rasa perih yang tidak
tertahankan. Di kegelapan...Aku terpuruk tak berdaya, hanya
menatap nyalang ke ujung jalan. Taringku sudah patah, cakarku tak
lagi tajam, hanya lolonganku yang tersisa. Lolongan kepedihan,
lolongan kehancuran...Lolongan ketidakberdayaan...Aku...adalah
serigala yang terluka... Aku berdiri di depan pagar rumah Alexa, berteriak-teriak memanggil
namanya. Sama sekali tidak mempedulikan satpam yang berusaha
mengusirku. Setelah berlari dari apartemen, menembus derasnya hujan dengan
hati yang sudah berkeping-keping, aku sampai di rumah Alexa dan
berharap Alexa mau menemuiku. Meskipun tahu kemungkinannya
sangat kecil. "Fairy, ke luar sayang. Kita harus bicara." Teriakku, tanganku
menggoyang-goyangkan gerbang, berharap akan terbuka.
Langit mulai gelap, dan hujan belum juga berhenti, sama sepertiku
yang tak berhenti memanggil-manggil Alexa. Tubuhku sudah basah
kuyup sejak aku meninggalkan apartemen, udara dingin yang
menggigit sama sekali tidak kurasakan. Mataku terasa panas,
mengingat aku mungkin telah kehilangan Alexa. Aku mencengkeram
teralis pagar dan mengguncangnya kuat-kuat, berteriak menyebut
nama Alexa dengan suara yang penuh luka.
Aku terdiam, nafasku naik turun menahan rasa sesak di dadaku.
Lalu, aku mendengar suara klakson mobil, aku menoleh dan melihat
mobil yang kukenali sebagai mobil orang tua Alexa, berhenti di
belakangku. Setitik harapan muncul, aku menghampiri mobil
tersebut, namun tiba-tiba pengemudi mobil itu menancap gas,
membuatku menyingkir cepat-cepat dari hadapannya. Mobil itu
melaju kencang melewatiku dan meninggalkan cipratan dari
genangan air yang ada di depanku. Masuk melewati pintu gerbang
yang baru terbuka dan langsung menutup begitu mobil itu sudah
berlalu. Dengan langkah gontai aku melangkah menghampiri tembok di
samping pintu gerbang, bersandar padanya dan melorot turun hingga
aku terduduk di tanah. Menahan hawa dingin yang mulai terasa, aku
memeluk kedua lututku dan meletakkan kepalaku di atasnya.
Entah berapa lama aku tertidur, aku terbangun karena mendengar
suara yang memanggilku. "Sssttt, Jarvis..."
Aku tersentak dan mendongak waspada. Melesat ke pintu gerbang,
berharap Alexa yang memanggilku. Mukaku mengendur putus asa
ketika melihat Claire yang ada di hadapanku. Tapi itu tidak
menyurutkan semangatku. "Bagaimana keadaan Alexa, Claire?" Tanyaku pelan.
"Alexa baik, dia menangis semalaman dan tertidur karena
kelelahan." Claire berbisik dengan logat Sheffield-nya yang khas.
Hatiku terasa remuk mendengar Alexa begitu terluka.
"Ada apa sebenarnya, Jarvis" Alex pulang dalam keadaan yang
sangat mengenaskan, Sandra tak henti-hentinya mengatakan dia
bodoh." "Sandra?" "Sandra yang mengantarkan Alex pulang, dan dia menginap di sini
sekarang," gumamnya tidak suka. "Dia juga menelepon Wahyu, dan
menceritakan keadaan Alex padanya. Aku sudah melarangnya,
kupikir sebaiknya Wahyu dan Clara tidak perlu tahu masalah ini
mengingat cara pandang mereka terhadap Alex. Tapi Sandra sama
sekali tidak mendengarkanku. Aku benar-benar tidak suka padanya,
tapi dia satu-satunya teman Alex."
"Claire, katakan padaku apa yang Alexa ceritakan?" Aku menatap
Claire putus asa. Claire menggeleng, "Dia tidak mengatakan apapun, dia hanya
menangis tanpa suara. Tapi Sandra bercerita pada Wahyu dan Clara
tentangmu." Jantungku berdetak kencang menunggu kelanjutan kata-kata Claire.
"Dia menceritakan kelakuanmu yang selalu berganti pasangan, dan
dia juga mengatakan..." Claire terdiam, aku merasakan firasat yang
buruk. "Apa?" Tanyaku lirih.
"Dia bilang, kau simpanan seorang wanita kaya. Apa itu benar,
Jarvis?" Aku tertunduk lemas, "Ini agak rumit, apa menurutmu Alexa yang
menceritakan itu pada Sandra?"
"Aku yakin bukan, Alexa sama sekali tidak mau bicara. Aku sempat
mendengar kalau selama ini Sandra telah menyelidikimu."
Aku menggeram marah. "Aku harus bertemu dengan Alexa, Claire.
Kumohon..." Claire menggeleng, "Tidak bisa sekarang, Wahyu marah besar, dia
memberi peringatan keras untuk menjauhkanmu dari Alexa. Dia
bahkan berniat membatalkan kontrak kerja dengan perusahaanmu,
tapi Clara berhasil menenangkannya dan meyakinkan Wahyu untuk
tetap melanjutkan kontrak itu."
Aku tercekat, memikirkan kemungkinan itu bisa saja terjadi.
"Sekarang sebaiknya kau pulang, Jarvis. Tinggalkan nomor
ponselmu dan aku berjanji akan menghubungimu setelah semuanya
mereda." Aku sudah seperti tubuh yang tak bernyawa saat mengeluarkan
dompetku dan memberikan kartu namaku pada Claire. Claire
menerimanya dan menyembunyikannya di dalam bra-nya.
"Pulanglah, Jarvis," gumamnya sebelum meninggalkanku.
Sesaat aku hanya terpaku, menatap punggung Claire dengan tatapan
sayu. Lalu aku mulai melangkah gontai, meninggalkan tempat itu.
Pandanganku mulai kabur, dan aku merasakan tubuhku mulai
menggigil. Aku mengeluarkan ponselku dan menghubungi Jeremy.
"Ya Jarvis..." Suara Jeremy terdengar mengantuk di seberang sana.
Aku menghembuskan nafasku yang terasa panas, "Jeremy...aku..."
Tiba-tiba semuanya terasa berputar, dan aku mendengar suara benda
jatuh sebelum semuanya menjadi gelap.
*** Lorong ini terlalu panjang...Aku tak sanggup mencapai ujungnya.
Tubuhku sudah terlalu lemah...penuh luka dan berdarah-darah.
Kapankah semuanya berakhir" Akankah semuanya berakhir"
Tubuhku sama sekali tidak bisa kugerakkan, dan aku tidak bisa
membuka mataku meskipun ingin. Bau karbol yang menyengat
membuatku yakin, aku berada di rumah sakit. Aku mencoba untuk
memfokuskan pendengaranku, mencoba menangkap pembicaraan
yang kudengar samar-samar.
"Kenapa dia bisa seperti ini?" Itu suara Om Bayu.
"Aku tidak tahu, Pa. Aku menemukannya di sekitar rumah Alex,
pasti ada hubungannya dengan Alex."
"Apa Alex menghubungimu?"
"Aku mencoba untuk menghubunginya, tapi ponselnya sama sekali
tidak aktif." Hening beberapa saat. "Kita harus memberitahukan keadaan Jarvis pada dia, Pa."
"Aku sudah memberitahunya, dia sedang ada urusan bisnis di
Austria." Siapa yang mereka maksud dengan 'dia'"
Tapi aku terlalu pusing untuk memikirkan kata-kata mereka.
Kepalaku terasa berat dan aku mulai tertidur lagi.
"Wanita itu berusaha menemuimu lagi?" Om Bayu terdengar sangat
kesal. "Aku tidak mengijinkan dia menemui Jarvis."
"Huh, benar-benar perempuan tak tahu malu."
"Papa, tak baik bicara seperti itu." Hei, itu suara Julia. Kakak
perempuan Jeremy. "Dia sebetulnya perempuan yang baik, hanya saja, cinta
membutakan matanya." Sepertinya Tante Sofi juga berada di sini.
Kenyataan itu membuatku ingin segera membuka mataku, mereka
sudah seperti ke luarga bagiku. Tapi mata ini sama sekali tidak bisa
kuajak kompromi. Akupun tertidur lagi.
"Kau harus memberitahunya."
"Aku belum siap, Bayu." Suara itu terasa familiar di telingaku, tapi
aku tak bisa mengingat kapan aku mendengar suara itu.
"Kau harus siap. Jarvis berhak tahu siapa dia sebenarnya."
"Yah...Kau benar."
Aku berusaha sangat keras untuk bisa terus mendengarkan
percakapan itu, tapi kegelapan kembali menarikku.
*** Suasana sangat hening ketika aku mulai sadarkan diri kembali.
Mataku belum bisa terbuka, tapi aku mulai bisa menggerakkan
jemariku, menemukan seseorang menggenggam jariku hangat.
Berharap itu adalah Alexa, aku mencoba untuk membuka mata. Lalu
sebaris sinar menyilaukan membuatku memejamkan mata kembali.
Aku mencoba lagi, kali ini perlahan-lahan.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, samar-samar melihat seraut
wajah berambut gelap tersenyum padaku.
"Fairy..." Gumamku.
"Kau sudah sadar." Itu suara Julia.
Sekarang aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, "Julia?"
"Ya, ini aku." Julia menggenggam tanganku, "Jeremy ada urusan
sebentar, jadi aku yang menunggumu."
"Terima kasih, Julia." Gumamku lemah. "Aku sudah merepotkan
ya..." Julia tersenyum lembut, "Sama sekali tidak. Kau adikku juga Jarvis,
sudah seharusnya aku membantumu."
Aku tersenyum, terharu mendengar ucapannya. Julia memang
cerewet dan protektif terhadap Jeremy dan aku, tapi aku yakin, itu
karena dia mencintai kami.
"Apakah Tante Sofi juga ada di sini?"
Julia mengangguk, "Mama lagi ke kantin sebentar."
Sedetik setelah Julia berhenti bicara, pintu kamar rumah sakit
terbuka. "Segala puji bagi Tuhan, akhirnya kau sadar juga, Jarvis."
Aku tersenyum lemah melihat Tante Sofi bergegas menghampiriku.
"Maaf, Tante. Aku sudah merepotkan."
"Anak bodoh. Siapa yang merepotkan" Kau benar-benar membuat
kami cemas, sayang. Aku mengira akan kehilangan anak laki-lakiku
yang satu." Aku terkekeh. "Tidak separah itu, Tante."
"Kau tidak sadarkan diri selama lima hari, bagaimana Tante tidak
khawatir?" Aku menggenggam tangan Tante Sofi lembut. "Apakah selama itu?"
"Ya, dan itu hanya gara-gara gadis bernama Alexa, iya kan?"
"Mama." Julia mengingatkan Tante Sofi.
"Tidak apa-apa Julia, memang seperti itu." Gumamku geli, merasa
terhibur dengan tingkah laku mereka.
Tante Sofi tersenyum sayang padaku, "Jangan khawatir, sayang. Kau
pasti akan mendapatkan Alexa lagi."
Aku tersenyum dan mengangguk mantap, aku memang harus
mendapatkan Alexa kembali.
Kemudian perawat datang dan memeriksaku. Tante Sofi
meninggalkanku untuk menemui dokter yang merawatku, dan Julia
tak henti-hentinya menceritakan lelucon untuk membuatku tertawa.
Tapi, ketika Julia pergi meninggalkanku untuk menyusul Tante Sofi,
kesedihan kembali menghampiriku. Mataku terasa panas mengingat
kejadian beberapa waktu yang lalu. Bagaimana keadaan Alexa
sekarang" Apa dia membenciku" Dia pasti membenciku.
Aku menatap kosong ke jendela kaca besar di samping ranjangku.
Ruangan ini berada di lantai 20, dan aku bisa menatap langit luas di
atas sana tanpa terhalang apapun. Aku berharap, langit itu adalah
langit yang sama dengan langit yang dilihat Alexa. Aku menunduk,
menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku dan merasakan
aliran hangat di sela-sela jariku.
"Okay, semuanya baik-baik saja."
Tergesa-gesa, aku menghapus air mata yang ke luar ketika
mendengar suara Tante Sofi di luar, lalu pintu kamar rumah sakit
terbuka dan Tante Sofi muncul bersama Julia yang tersenyum
padaku. "Besok kau sudah boleh ke luar, Jarvis." Julia berkata padaku.
*** Sudah satu minggu setelah ke luar dari rumah sakit. Aku sudah
kembali bekerja meskipun Jeremy dan Om Bayu sempat
melarangku. Sekarang aku tinggal bersama Jeremy, tidak ingin kembali ke
apartemenku yang mengingatkanku dengan kejadian itu.
Beberapa kali Liana mencoba menghubungiku, aku sama sekali


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak menjawab panggilan darinya, atau membalas pesan-pesannya
bahkan tidak ingin membacanya. Aku tidak ingin berhubungan lagi
dengan Liana. Dia, hanyalah masa lalu buatku.
Aku menunggu telepon dari Claire, tapi dia sama sekali tidak
menghubungiku. Lalu aku nekat berkunjung ke rumahnya, dan yang
kutemui hanyalah rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni.
Alexa sudah meninggalkan rumah itu.
Aku merasa putus asa, lelah dan merana. Menghabiskan waktu
dengan bekerja dan bekerja. Di minggu kedua setelah kepergian
Alexa, Renata masuk ke kantorku.
"Ada apa?" Tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari lembaran
kertas di tanganku. "Seorang gadis memaksa ingin menemui Anda, Pak."
Aku mendongak, "Siapa?"
"Nona Sandra." Aku mengernyitkan dahiku, apa Alexa menyuruhnya ke sini" Setitik
harapan muncul di hatiku, mungkin saja. Sandra satu-satunya teman
Alexa. "Suruh dia masuk."
"Ya, Pak." Renata ke luar, dan tak lama kemudian Sandra masuk dengan
senyuman lebar di bibirnya. Aku memicingkan mata melihat
penampilannya yang...habis-habisan.
Gaun merah anggurnya yang sangat mini membungkus ketat
tubuhnya, memperlihatkan sebagian pahanya. Dadanya pun
terekspos dengan belahan leher yang sangat rendah, wajahnya
dipoles make-up dengan maskara yang tebal pada bulu matanya.
Dan aku meringis saat melihat dia mengecat rambut hitamnya
menjadi coklat gelap, persis rambut Alexa.
"Kau membawa kabar dari Alexa?" Tanyaku dingin.
"Aku ke sini bukan karena Alex, Jarvis. Alex sudah melupakanmu,
dia sudah meninggalkan Indonesia."
Aku mengernyit, merasakan pedih di dalam dadaku mendengar
kenyataan yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya olehku,
Alexa meninggalkan Indonesia. "Di mana dia?"
Sandra mengangkat bahunya, dengan senyum licik di wajahnya.
"Aku tak tahu, bukan urusanku."
Rasanya...Aku ingin menonjok mulutnya yang menyebalkan itu.
"Lupakan Alex, Jarvis. Banyak wanita yang lebih baik darinya,"
gumamnya dengan nada merayu.
"Kalau kau pikir kau lebih baik dari Alexa itu salah besar." Kataku
ketus. Muka Sandra memerah, "Asal kau tahu, aku masih perawan."
"Apa maksudmu?"
Sandra memutari meja kerjaku dan berdiri di hadapanku, menunduk,
memperlihatkan belahan dadanya padaku. "Aku tahu kau tidak bisa
melupakan Alexa karena kau menidurinya saat dia masih perawan.
Aku masih perawan, kau pasti akan menyukainya. Setubuhi aku,
Jarvis," gumamnya penuh rayuan. Dia meliukkan tubuhnya dan
melorotkan gaunnya sebatas pinggang, sehingga payudara
telanjangnya terpampang jelas di depanku. Sandra memasang
senyuman menggoda dan menghampiriku.
Aku berdiri dengan ekspresi jijik, mendorongnya saat dia berusaha
menempel padaku. "KELUAR DARI KANTORKU!
RENATAAAA..." Tergopoh-gopoh Renata memasuki kantorku dan terpekik kaget
melihat Sandra yang setengah telanjang di hadapanku.
"USIR WANITA INI DARI KANTORKU. PANGGIL SATPAM
JIKA PERLU." Teriakku penuh amarah.
Renata menghampiri Sandra yang sedang membetulkan gaunnya
dengan muka yang sudah merah padam.
"DI MANA JEREMY"!"
Renata tersentak kaget, "Beliau sedang ke luar, Pak." Jawab Renata
gugup. Aku ke luar dari ruanganku dan membanting pintu keras-keras. Aku
harus menemui Om Bayu, meminta padanya agar mau membujuk
Om Wahyu untuk mengatakan keberadaan Alexa. Bukankah mereka
sangat dekat sebagai rekanan bisnis. Aku memang gila jika
melakukan ini, tapi aku memang sudah gila.
Aku melajukan mobilku dengan kencang, menembus kemacetan
jalanan Ibukota. Berkali-kali menekan klakson mobil untuk
mendapatkan jalan. Dengan caraku mengemudi, tidak membutuhkan waktu lama untuk
sampai di gedung perkantoran milik Om Bayu. Bergegas aku
memasuki lobby dan langsung menuju lift untuk sampai ke ruangan
Om Bayu. Aku menuju ruangan Om Bayu, melewati meja sekretaris Om Bayu
yang kosong dan berdiri di depan kantornya, berniat untuk mengetuk
pintu ketika menyadari pintu itu setengah terbuka. Dari celah pintu
itu, aku melihat Om Bayu sedang berbicara dengan Jeremy.
Jadi, Jeremy pergi mengunjungi Ayahnya"
Memegang handel pintu aku berniat melongokkan kepalaku, tapi
kuurungkan ketika mendengar suara lain di ruangan itu. Aku
mengenali suara itu, dia yang berbicara dengan Om Bayu saat aku
dalam keadaan tak sadarkan diri di rumah sakit.
Rasa penasaran membuatku mendengarkan pembicaraan mereka.
"Dia terlihat sangat hancur." Aku merasa sangat mengenali suara itu.
"Dia memang hancur." Itu Jeremy.
"Kapan kau akan mengatakan semuanya pada dia?" Om Bayu
berkata dengan suara beratnya.
Orang itu menghela nafas panjang, "Wahyu sangat dekat denganku,
apa akan mengubah keadaan jika aku berbicara pada Wahyu?"
Orang itu mengenal Papa Alexa"
"Mungkin akan merubah keadaan untuk Jarvis jika kau mau
berbicara dengan Wahyu."
Mereka membicarakan aku. "Tapi kau harus mengatakan kebenarannya terlebih dahulu pada
Jarvis." "Yah...Mungkin dimulai dari membuka identitasku sebagai Mr. X."
Dia Mr. X. Aku mendorong pintu hingga terbuka lebar. Jeremy berpaling
padaku dan Om Bayu terlihat terkejut melihat kedatanganku.
"Anda...Mr. X?" Tanyaku ragu-ragu pada orang yang duduk
membelakangiku. Orang itu berdiri dan berbalik menghadapku.
Damn! Ini tidak mungkin...
*** Bab 13 KEBENARAN Ini tidak masuk akal. "Henry?" Henry tersenyum hangat, "Halo Jarvis," sapanya ramah meski dia
terlihat terkejut dengan kehadiranku.
Aku tidak mengerti, aku benar-benar tidak mengerti.
Lututku terasa lemas dan mungkin aku akan jatuh jika Jeremy tidak
menghampiriku dan menuntunku untuk duduk di sofa.
"Maaf mengejutkanmu," gumam Henry sedih.
Aku menyandarkan tubuhku ke sofa, tidak tahu harus berkata apa.
Jeremy mengambilkanku segelas wine yang diambilnya dari lemari
penyimpanan anggur milik Ayahnya yang ada di ruangan ini.
"Kami akan meninggalkan kalian di sini." Kata Om Bayu sambil
melangkah ke luar, "Ceritakan padanya, Henry," gumamnya sebelum
menutup pintu kantor. Henry duduk di depanku, kedua tangannya saling menggenggam di
antara lututnya, "Bagaimana keadaanmu?" Dia bertanya dengan
senyuman hangat yang masih terukir di bibirnya.
Ada apa dengannya" Bertahun-tahun aku meniduri Istrinya dan dia
bersikap sangat baik padaku"
"Buruk." Jawabku pendek.
"Ayah Alexa sahabatku, jika kau mau, aku bisa berbicara padanya."
"Apa maumu?" Aku menatapnya curiga.
Henry terkekeh, "Kau benar-benar mirip Ayahmu, Jarvis."
Badanku menegak dan menatapnya tajam, "Kau...mengenal
Ayahku?" Tanyaku hati-hati.
Ekspresi Henry terlihat sangat sedih, "Ya...Aku sangat mengenal
Ayahmu...Ayah kita."
Ini klise, tapi aku merasa ada jutaan halilintar yang menyambarku.
"Ayah kita?" "Kau adalah Jarvis Bachmann, adikku."
"Bachmann?" Lalu aku mulai menyadari, hanya mengulang-ulang ucapannya.
"Maksudmu apa?" Tanyaku mulai bingung dengan informasi yang
baru kuterima. "Ceritanya panjang..."
"Ceritakan padaku." Desakku.
Henry menghela nafas panjang, "Saat aku berusia 17 tahun, terjadi
pertengkaran hebat antara Ayah dan Ibuku."
Aku menekan perasaan sesak di dadaku, mencoba memahami cerita
Henry. "Itu terjadi karena ada perawat yang menelepon rumah dan
mengatakan Istri Ayah baru saja melahirkan. Ibu, yang menerima
telepon itu menjadi marah, apalagi data-data yang diberikan perawat
itu tentang Suami si wanita yang melahirkan adalah memang Ayah.
Kemudian Ayah mengaku mencintai wanita lain, dan dia ingin
menceraikan Ibu. Ibu menangis dan berteriak-teriak, tapi Ayah tidak
mempedulikannya, dia pergi meninggalkan Ibu untuk menemui
wanita itu." Aku meminum wine yang disediakan Jeremy dalam sekali tegukan.
"Aku yang melihat keadaan Ibu, sangat membenci wanita itu, dan
bertekad untuk membalaskan sakit hati Ibu pada wanita itu, yang
kemudian kuketahui bernama Laila."
"Itu nama Ibuku."
Henry menatapku iba, "Ya, memang dia."
Hening beberapa saat. "Tiga hari kemudian Ayah pulang, tapi dia tidak menceraikan Ibuku.
Dia menjalani hari-harinya seperti biasa. Ibu pun seperti sudah
memaafkan Ayah. Berbulan-bulan berlalu, aku hampir melupakan
kejadian itu ketika suatu hari aku melihat Ayah pergi ke suatu tempat
dengan sembunyi-sembunyi. Aku mengikutinya, dan sampai di suatu
perkampungan sederhana. Aku melihat Ayah mengawasi satu rumah
dengan gerobak bubur ayam di depannya."
Aku tercekat, membayangkan selama ini aku bisa saja bertemu
Ayahku. "Lalu seorang wanita ke luar, meskipun penampilannya sederhana,
tapi dia terlihat sangat cantik." Pandangan mata Henry menerawang,
"Aku menyadari, bahwa dialah Laila. Menggendong seorang anak
laki-laki yang mungkin baru berumur satu tahun. Ayah
memperhatikan mereka dari dalam mobilnya, aku ikut
memperhatikan mereka. Melihat wanita itu menggandeng anaknya
yang berjalan tertatih-tatih, kemudian menggendong anak itu ketika
anak itu terjatuh, dan memeluknya penuh kasih sayang saat anak itu
menangis. Dadaku terasa sesak melihat itu, berpikir bahwa itu
mungkin adikku. Dan itu memang adikku...kamu Jarvis."
Aku menunduk dan hanya terdiam.
"Lama setelah itu, aku semakin sering mengunjungi rumah itu,
merasa senang saat melihat kau dan Ibumu yang memperlakukanmu
dengan penuh kasih sayang. Sampai tanpa sengaja, Ayah memergoki
aku sedang memperhatikan rumah itu. Suatu malam, dia mengajakku
bicara." Henry menarik nafas panjang.
Lalu mulai kembali melanjutkan ceritanya. "Dia menceritakan
bagaimana dia bertemu wanita itu dan jatuh cinta padanya. Saat kau
lahir, Ayah ingin menceraikan Ibu dan menikahi Laila. Tapi Laila
menolaknya, dia bilang dia tidak akan bisa hidup bahagia jika
merebut kebahagiaan wanita lain. Laila membujuk Ayah untuk tetap
mempertahankan ke luarganya, dan meminta Ayah agar tidak
menemuinya lagi. Semula Ayahku keberatan, tapi Laila memaksa
dan mengancam tidak akan mencantumkan nama Ayah sebagai
Ayahmu di akte kelahiranmu jika Ayah masih berusaha
menemuinya." Aku memejamkan mataku, menyadari betapa Ibu berjuang sangat
keras untuk membesarkanku.
"Laila menolak santunan dari Ayah, dia bilang dia tidak berhak."
Henry menarik nafas panjang, "Aku mengerti mengapa Ayah jatuh
cinta pada Laila." Desahnya, "Dia...sangat berbeda dengan Ibuku
yang manja." "Ayah mempunyai rencana, jika waktu memberi kesempatan Ayah
berumur panjang, dia akan menemuimu ketika kau dewasa. Tapi
kanker yang dideritanya menghapus impian itu. Menjelang ajalnya,
dia berpesan padaku untuk menjagamu."
"Apa Istri Ayah...Ibumu, tahu keberadaanku?"
Henry menggeleng, "Itu rahasia kami. Beberapa bulan setelah
kematian Ayah, Ibu menyusul beliau. Setelah pemakaman Ibuku, aku
mengunjungi rumah kalian, berniat untuk mengajak kalian tinggal
bersamaku. Tapi rumah kalian sudah tidak ada, menurut seorang Ibu
yang kutemui di sana, Laila mengalami kecelakaan, rumahnya
terbakar dan dia terperangkap di dalamnya. Ketika kutanyakan
dirimu, Ibu itu hanya bilang kau ikut dengan Pamanmu, tapi dia
tidak mengetahui rumah Pamanmu."
Aku tersenyum miris mendengar cerita itu, hanya Tuhan dan aku
yang tahu kebenaran dibalik kecelakaan itu.
"Aku mencoba mencarimu kemana-mana, tapi kau menghilang bagai
ditelan bumi." "Sejak kapan kau tahu aku Adikmu?" Tanyaku penasaran.
"Di hari aku memergoki kau bercinta dengan Istriku," gumamnya
pelan. "Maafkan aku..." Aku merasa sangat bersalah.
Henry menggeleng, "Bukan salahmu, kau masih terlalu muda saat
itu." Aku terdiam dan tidak tahu harus berkata apa.
"Aku menyewa detektif untuk menyelidikimu," gumamnya.
"Pertama aku melihatmu, aku merasakan getaran aneh di dadaku.
Sosokmu mengingatkanku pada Ayah, namamu juga sama dengan
Ayah." "Ibu menamaiku dengan nama Ayahku agar aku mengingat Ayah."
"Aku bersyukur dia melakukan itu."
Kami terdiam beberapa saat.
"Jarvis..." Aku meliriknya, dan melihat ekspresinya yang berubah menjadi
gugup. "Jika kau bisa melupakan Alexa, kembalilah pada Liana."
Aku mendongak, marah dengan apa yang dibicarakannya. "Pertama.
Aku tidak akan pernah melupakan Alexa. Kedua. Apa kau pikir aku
masih mau berhubungan dengan Istri kakakku"!" Desisku marah.
"A-aku berniat menceraikan Liana. Dia terlihat sangat kacau, kalau
kau bisa membahagiakannya, aku rela."
Aku berdiri tegak dari dudukku, "Pengorbanan cinta, ya." Gumamku
sinis. "Apa kau mencintai Liana?"
Henry mendongak, menatapku bingung. "Tentu saja..."
"Kalau begitu, kejar dia. Persetan dengan 'aku rela menderita asal
kau bahagia'-mu itu."


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tidak mencintaiku lagi..."
"Dapatkan kembali cintanya. Dia pernah mencintaimu, tidak akan
sulit membuatnya jatuh cinta lagi padamu."
Aku berbalik dan mulai melangkah meninggalkannya yang terduduk
lesu. "Lakukan apapun untuk mempertahankan dia tetap di sisimu."
Gumamku sebelum menutup pintu.
*** Aku mengendarai mobilku dengan pelan, mencoba memikirkan
kembali perbincanganku dengan Henry. Lampu-lampu kota mulai
menyala, menggantikan langit yang mulai menggelap.
Setelah sekian lama, aku baru mengetahui bahwa aku masih
memiliki seorang Kakak, dan dia adalah seorang pria yang selama
ini Istrinya kutiduri. Aku memukul roda kemudi dengan keras,
merasa marah dengan diriku sendiri. Bahkan, setelah apa yang
kulakukan padanya... Aku menggelengkan kepala, kesal. Aku benar-benar brengsek.
Sesampai di apartemen, aku melihat Jeremy sedang duduk di sofa
ruang tengah, memelototi LED TV yang ada di depannya. Aku
berniat melewatinya ketika dia memanggilku.
"Jarvis." Aku berhenti, "Biarkan aku sendiri, Jeremy." Gumamku, lalu
kembali melangkah melewatinya.
Saat aku selesai mandi, aku melihat Jeremy sudah duduk di sofa
yang ada di kamarku. "Kau tidak mengerti arti 'aku ingin sendiri' ya?" Desisku sinis.
"Kau butuh penjelasan, Jarvis."
Aku mendengus, "Kau pasti sudah tahu hal ini dari awal kan?"
"Memang, karena itu aku ingin menjelaskannya padamu."
"Apalagi yang perlu dijelaskan?"
Jeremy menghela nafas. "Ayahku dan Om Henry bersahabat sejak
mereka masih remaja."
Ucapannya menarik perhatianku, aku terdiam.
"Duduklah Jarvis, aku akan menceritakan semuanya padamu."
Aku menurut dan duduk di sampingnya.
"Ayahku tahu persis kehidupan Om Henry, dari masa remajanya,
sampai di kehidupannya yang sekarang."
"Katakan padaku, apa pekerjaan pertama yang ditawarkan Ayahmu
untukku dulu, juga rencana Henry?"
Jeremy mengangguk. "Dia merencanakan semuanya kan?" Gumamku.
Kembali Jeremy mengangguk.
Aku menyandarkan kepalaku dan menatap langit-langit kamar,
menghela nafas untuk mengurangi rasa sesak di dadaku.
"Suatu malam dia datang ke rumahku dan menangis di depan Ayah,
menceritakan semuanya. Aku yang ikut terbangun, merasa penasaran
dan diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka. Aku sangat
menyanyangi Om Henry, dia sudah seperti Ayah bagiku. Mendengar
ceritanya, aku ikut merasa sedih dan mengutuk perbuatan
Liana...Juga kamu yang menurutku tidak tahu berterima kasih." Dia
melirikku saat mengucapkan kalimat terakhir.
Aku tidak tersinggung dengan kata-katanya, itu memang benar.
"Malam itu Ayahku baru tahu kalau Om Henry impoten karena
kecelakaan yang dulu menimpanya. Dia sudah menyembunyikan hal
itu selama bertahun-tahun. Apa...Liana pernah menceritakan
kejadian tentang kecelakaan itu padamu?"
Aku menggeleng. "Dia menyelamatkan Liana..."
Aku berpaling, menatap Jeremy untuk mencari kebohongan di
matanya, tapi aku tidak melihatnya. Itu membuatku semakin merasa
bersalah. "Mereka sedang berlibur di Zermatt, Swiss. Saat sedang bermain ski,
entah kenapa, Liana tiba-tiba meluncur turun tidak terkendali. Om
Henry yang melihat ada pohon besar di depan Liana segera
menyusul Liana, dia memotong jalan Liana dan berdiri di depannya,
berusaha menghentikan laju papan ski. Tapi kecepatan papan ski
Liana sangat kencang, sehingga Om Henry terdorong ke depan, dan
dialah yang akhirnya menabrak pohon itu. Om Henry sempat tidak
sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Liana sama sekali
tidak terluka, tubuhnya terlindungi tubuh Om Henry saat menabrak
pohon besar itu. Kejadian itu sempat menjadi bahan tertawaan kami,
tanpa kami tahu dampaknya pada kehidupan Om Henry."
Aku sama sekali tidak menduga ceritanya seperti itu, kalau aku tidak
dalam kondisi seperti ini, aku pasti sudah tertawa mendengar cerita
itu. "Karena itulah, Om Henry menolak memeriksakan dirinya ke
Dokter. Dia merasa malu dan tidak ingin menceritakan kejadian itu
pada siapapun." "Lepas dari cerita itu, Jarvis. Om Henry sangat menyayangimu. Dia
mempersiapkan JFM Group untukmu."
Aku sudah mendengarnya dari Henry.
"Kau tahu apa kepanjangan JFM?" Tanya Jeremy.
Aku menggeleng. "Jarvis Family."
Aku mendesah, "Apa yang harus kulakukan?"
"Terima dia sebagai saudaramu, ke luargamu."
"Aku tidak pantas. Aku sudah sangat menyakitinya."
"Dia tidak pernah merasa sakit hati padamu. Selama ini, dialah yang
merasa bersalah karena masa kecilmu yang menderita."
Seperti itukah" Apakah dengan menerima dia sebagai Kakakku akan
menghapus semua kesalahanku padanya"
"Dia memang saudaraku, kan?" Gumamku pedih. Aku memejamkan
mataku dan merasakan cairan hangat turun di sudut mataku.
Dan ketika aku membuka mataku, Jeremy sudah meninggalkanku.
Aku beranjak dari sofa dan merebahkan tubuhku di atas ranjang,
meletakkan kedua tangan di bawah kepalaku dan menatap langitlangit kamar dengan
pandangan menerawang. Hari ini begitu banyak kejadian yang membuatku lelah, dari tingkah
wanita jalang yang menyebalkan itu, sampai kebenaran tentang siapa
diriku yang terungkap. Dan...Alexa yang sudah tidak berada di
negara yang sama denganku.
Di mana kau, Fairy...sedang apa kau sekarang" Selama ini aku cukup
senang dengan hanya membayangkan kau masih menghirup udara
yang sama denganku. Masih menatap langit yang sama denganku.
Tapi sekarang...Kau menjauh dariku. Jiwaku kosong tanpa dirimu,
sayang. Hatiku beku tanpa kehadiranmu. Kembalilah
padaku...Kembalilah, sayang...My Fairy girl...
*** Aku kembali ke pusaran ini, pusaran gelap yang selama ini
menghilang dari ingatanku, kini kembali padaku.
Aku melihat sosok bertubuh tanggung yang menggigil
ketakutan...meringkuk di sudut jalan. Aku mendekatinya...dan
merasa takut ketika mengenali sosok itu, tanpa bisa mengingat siapa
anak itu. Yang mungkin berusia 15 tahun...
Aku mengulurkan tanganku, berusaha menyentuh tubuh itu, tapi aku
hanya menangkap udara. Aku tersentak ketika melihat anak itu berdiri dan menatapku
ketakutan. Lalu aku menyadari dia tidak sedang menatapku, dia
bukan takut padaku, tapi pada sesuatu di belakangku.
Aku menoleh dan segera menyingkir ketika melihat sesosok tubuh
penuh api yang berjalan gontai ke arahku, aku menatap anak itu
cemas. Lari...lari...menjauh darinya...cepatlah lari...
Teriakku pada anak itu, seolah-olah menyadari bahaya yang
mendatangi anak itu. Anak itu lari ketakutan, aku mengikutinya dari belakang dan
berteriak-teriak menyuruhnya cepat. Tapi kaki kurusnya membuat
dia tidak bisa berlari dengan cepat. Aku memekik ketika sesuatu
membuatnya jatuh, berusaha meraih tangannya untuk membantunya
berdiri, tapi kembali hanya menangkap udara. Sosok penuh api itu
semakin dekat, dan aku baru menyadari sosok itu memegang sebuah
parang. Aku berteriak ketika sosok itu melewatiku dan menembus
tubuhku seolah-olah aku tidak ada di situ, lalu mengangkat
parangnya tinggi-tinggi dan mengayunkannya ke tubuh anak itu...
Aku terduduk dan terbangun. Keringat membasahi dadaku yang
telanjang. Aku meraih ke atas nakas, mencari segelas air putih yang
biasanya selalu kuletakkan di sana sebelum tidur. Tapi aku tidak
menemukannya, kemudian aku ingat, semalam aku tertidur begitu
saja. Aku beranjak dari ranjangku, ke luar dari kamar dan menuju bar
pribadi milik Jeremy, mencari sebotol wine dan menuangkannya ke
dalam gelas. Langsung meminumnya dalam sekali tegukan. Lalu aku
kembali ke kamarku. Aku membuka pintu balkon, merasakan hembusan angin malam
yang menerpa wajahku. Aku mendekati pagar balkon dan melihat lampu-lampu kota yang
berkelap-kelip. Kehidupan malam baru saja di mulai, dan aku
kembali terperangkap dalam mimpi burukku.
Sosok penuh api yang selalu ada di mimpi burukku itu...Aku tahu
siapa dia...Om Benny. Pandanganku menerawang ke atas langit, mengingat kembali
kejadian dari sisi gelap kehidupanku.
Aku ingat, ketika itu Om Benny pulang dalam keadaan mabuk,
rumah dalam keadaan sangat gelap karena mati lampu. Aku yang
baru berumur 15 tahun menyalakan lilin dan membukakan pintu
untuknya. Dia masuk dan berusaha memukulku, tapi keadaannya
yang mabuk membuat pukulannya meleset. Di tangannya
tergenggam bir murahan yang baru saja ditenggaknya. Dia
menghempaskan tubuhnya di sofa usang yang ada di ruang tamu, dia
mulai meracau. Mengata-ngataiku sebagai pembunuh Tante Mirna.
Tuhan tahu aku tidak membunuhnya. Aku baru berumur sepuluh
tahun saat kecelakaan itu terjadi, dia menyelamatkan aku dari truk
yang mau menabrakku dan dia tidak sempat menghindar, sehingga
dialah yang tertabrak. Aku merasa sangat bersalah karena
kematiannya, dan sangat kehilangan dia. Apalagi sejak saat itu, Om
Benny semakin kejam, dia tidak segan-segan menggunakan benda
tajam untuk menyakitiku. Seperti bekas luka pada pangkal leherku.
Lalu aku melihat Om Benny tertidur, dengkurannya sangat keras,
membuatku yakin dia sangat lelap. Pandanganku tertumbuk pada
botol bir yang diletakkannya di atas meja, isinya tinggal setengah.
Sekelebat pikiran muncul di kepalaku.
Aku menghampirinya, menuangkan sisa bir ke atas tubuhnya. Lalu
aku mundur...dan melemparkan lilin yang kupegang ke arahnya.
Aku membelalakkan mataku saat melihat api memercik di tubuhnya
menjadi api yang lebih besar. Om Benny terbangun, dia berteriakteriak, matanya
nyalang menatapku. Aku melangkah mundur
ketakutan, Om benny mencoba berjalan ke arahku, tapi keadaannya
yang masih mabuk membuatnya limbung dan menabrak tirai yang
membatasi ruang tamu dengan ruang tengah. Tirai itu tertarik dan
jatuh ke tubuh Om Benny, membuat api yang membakar tubuhnya
semakin besar. Aku berbalik, membuka pintu dan lari ke luar. Om Benny berteriakteriak kepanasan
di belakangku, aku terus berlari kencang, sampai
suara itu tidak terdengar lagi. Aku tidak berhenti, aku terus
berlari...Berlari...Sampai aku tersungkur dan terjatuh di jalanan.
Aku sudah membunuh Om Benny...Aku pembunuh. Kenyataan
itulah yang selalu menghantuiku. Menjadikan mimpi-mimpi buruk
di setiap malam-malamku. Mimpi itu menghilang ketika aku bersama Alexa. Alexa...Dia tidak
pernah tahu kenyataan ini. Aku tidak bermaksud
menyembunyikannya. Aku hanya belum siap menceritakannya, aku
takut dia akan meninggalkanku jika dia tahu aku adalah seorang
pembunuh. Mungkin...Aku malah tidak akan mempunyai kesempatan untuk
menceritakannya pada Alexa.
Aku kembali ke kamarku untuk merebahkan tubuhku kembali,
malam masih panjang, tapi aku tidak ingin mencoba untuk terlelap.
Ponselku bergetar di atas nakas, dan nomor yang tidak kukenal
terpampang di layarnya. Aku tidak ingin menjawabnya, tapi entah
kenapa tanganku terulur meraih ponsel dan menjawab panggilannya
itu. "Halo." "Ini aku." Henry. "Ada apa?" Tanyaku.
"Apakah kau bisa ke luar" Aku ingin bicara denganmu."
Aku tidak akan bisa tidur lagi. "Okay." Jawabku.
Dia menyebutkan nama sebuah cafe yang buka 24 jam, lalu menutup
panggilannya. Cafe yang kumasuki terlihat sangat nyaman dengan konsep alam di
dalam ruangannya. Terdapat jendela-jendela besar di dindingdindingnya, dan
tanaman merambat pada pilar-pilar dan kaki tangga
yang menuju ke lantai dua. Tanaman merambat itu menarik
perhatianku, dengan bunga-bunganya yang berwarna-warni. Baru
kemudian aku mengetahui nama tanaman itu adalah Mandevilla
Sanderi, sejenis tanaman yang bisa berbunga sepanjang waktu
dengan catatan mendapatkan panas yang cukup. Sekarang aku
mengerti mengapa cafe itu penuh dengan jendela-jendela besar yang
memenuhi dindingnya. Aku memperhatikan sekeliling, hanya ada beberapa orang yang ada
di cafe tersebut, seorang gadis yang asik dengan laptopnya -mungkin
dia seorang penulis-, seorang pemuda yang terlihat berbicara serius
dengan wanita yang ada di depannya, dan seorang pria paruh baya
yang sedang asik menyeruput kopinya. Lalu aku melihat Henry di
meja yang paling sudut. Aku menghampirinya dan duduk di
depannya. "Hai." Sapaku canggung.
Henry mendongak dan tersenyum melihat kehadiranku. "Kau mau
memesan sesuatu?" tanyanya.
"Secangkir kopi pahit yang panas." Gumamku.
Henry memanggil pelayan tua yang ada di meja kasir, dan
mengatakan pesananku. Kami terdiam, sampai pelayan itu mengantarkan pesananku.
"Kau benar," gumamnya.
Aku menyeruput kopiku, harum kopinya membuatku tidak begitu
merasakan rasa pahit yang melewati tenggorokanku. Mendengar
ucapan Henry, aku menatapnya dari balik bulu mataku.
"Aku sangat mencintai Liana, aku akan membuatnya kembali
mencintaiku." Aku tidak tahu harus berkata apa. Meskipun darah yang sama
mengalir di tubuh kami, tapi aku tidak begitu mengenalnya, dan aku
tidak bisa mengucapkan kata-kata penuh empati.
"Aku akan mengobati penyakitku, lalu aku akan membawa Liana ke
Jerman, ke tempat kelahiran Ayah. Aku memutuskan untuk menetap
dan menjalankan perusahaan Ayah yang ada di sana. Di sana masih
ada Kakek, Nenek, dan Bibi Jannice-adik Ayah."
Jantungku berdebar mendengar Henry menceritakan itu, merasakan
sesuatu yang merayap di hatiku saat mengetahui aku masih memiliki
ke luarga yang lain. Tapi aku menunduk, mereka tidak mengetahui
keberadaanku, aku adalah aib bagi mereka.
Seperti bisa membaca pikiranku, Henry berkata, "Aku akan


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menceritakan tentangmu pada mereka, kau harus berkunjung ke
sana, mereka akan sangat senang."
"Apakah...itu benar?" Tanyaku ragu-ragu.
Henry mengangguk antusias, "Keluarga Ayah sangat terbuka, dan
mereka sangat penyayang."
Aku yakin Henry mewarisi sifat mereka.
Sesaat kami terdiam. "Jadi...Aku ingin menyerahkan tanggung jawabku yang ada di sini
padamu." Gumam Henry serius.
"Maksudmu?" "JFM Group sudah pasti akan jadi milikmu, itu hakmu. Tapi selain
JFM Group aku juga menjalankan perusahaan transportasi
peninggalan Ayah, di perusahaan itu kau juga memiliki saham yang
sama denganku, Ayah menyiapkannya untukmu. Aku ingin kau
menggantikanku menjalankan perusahaan ke luarga kita."
"Aku...tidak begitu mengerti tentang itu."
"Aku yakin kau akan cepat belajar, dulu aku dibuat kagum olehmu
karena kelihaianmu waktu membantuku." Henry tersenyum sayang.
Sekelebat bayangan aku dan Henry yang sedang merekap data-data
di ruang kerjanya terekam dalam ingatanku.
Aku pun tersenyum, "Akan kucoba."
Lalu kami terdiam. "Maafkan aku." Gumamku.
Henry menatapku dan tersenyum. "Aku yang seharusnya minta
maaf, maaf untuk masa kecilmu yang menderita."
"Itu bukan salahmu. Aku yang selama ini menyakitimu,
mengkhianatimu." "Itu juga bukan salahmu. Keadaanlah yang membuat kita begini,
sekarang kita impas, okay?"
Aku mengangguk, lalu menyeruput kopi untuk terakhir kalinya.
"Semoga kau bahagia...bersama Liana." Kataku tulus.
"Ya, kau juga. Alexa pasti akan kembali padamu."
"Terima kasih." Gumamku tak yakin.
Kami terdiam. Aku berdiri, "Aku harus pergi."
"Tunggu Jarvis," Henry menahanku. "Apakah boleh...aku
memelukmu" Aku selalu ingin memelukmu sejak melihatmu dalam
gendongan Laila," gumamnya serak.
Ada yang menggumpal di tenggorokanku, aku hanya mengangguk
dengan mata yang memanas. Selanjutnya yang aku tahu, Henry
sudah memelukku kuat, pundaknya bergetar halus. Aku
mengulurkan tanganku yang gemetar, dan memberanikan diri untuk
balas memeluknya. Dengan ini aku mengerti, suatu saat...jika waktu sudah mengubur
sebagian kenangan kami...kami pasti akan bisa memaafkan diri kami
sendiri. *** Bab 14 BERITA 9 bulan setelah kepergian Alexa...
Sudah hampir satu tahun Alexa pergi, aku menjalani kehidupan
bagai seorang mayat hidup. Kesibukanku sebagai CEO di
perusahaan peninggalan Ayah membantuku menghabiskan waktu
untuk melupakan kesedihanku. Namun, seberapa keras pun usahaku
untuk melupakan Alexa, bayangannya tidak pernah bisa pergi dari
ingatanku. Kebersamaan kami yang singkat tidak membuatku mudah
untuk melupakannya, dia sudah tertanam kuat di hatiku, mengakar,
memenuhi setiap rongga yang ada di dadaku.
Jalanan malam yang kulalui tidak berbeda dengan malam-malam
sebelumnya, aku meluncur menuju gedung apartemen baruku,
mengendarai mobil mewah pemberian Henry enam bulan yang lalu.
Setidaknya, sekarang Henry sudah mendapatkan kebahagiaannya.
Empat bulan yang lalu, dia mengatakan bahwa operasinya berhasil,
dan aku ikut bahagia untuknya.
Aku memasuki area parkir yang disediakan khusus untuk mobilmobilku, ke luar dari
mobil dan langsung menuju lift khusus yang
menuju Penthouse milikku. Aku menekan kode rahasia dan masuk
ke dalam lift begitu pintu lift terbuka. Lift melaju kencang menuju
lantai paling atas. Pintu lift terbuka, aku melangkah ke luar dan melewati lobby yang
bernuansa putih dan coklat, dengan beberapa lukisan di dindingdindingnya. Sebuah lukisan yang berukuran paling besar terpasang
dengan pas di belakang meja lobby, lukisan jalan kecil dengan
pohon-pohon besar di sampingnya, ada sebuah mobil di pinggir jalan
itu, dan sepasang kekasih yang sedang menikmati malam di atas
mobil itu. Ya...Lukisan itu kenanganku bersama Alexa, aku
mempunyai hobby baru sekarang, melukis. Aku mempunyai studio
khusus di apartemenku, tempat aku mengingat kembali setiap
kenangan-kenanganku bersama Alexa dan mengabadikannya di atas
kanvas. Selesai mandi dan hanya dengan handuk yang melilit pinggangku,
aku langsung menuju studio yang selalu terkunci. Hanya Rachel,
pengurus rumah tanggaku yang menyimpan kunci cadangannya.
Aku menarik kain putih yang menutupi sebuah kanvas, dan menahan
nafas saat melihat lukisan itu. Ini maha karyaku, masterpiece-ku,
satu-satunya lukisan yang mampu membuatku menahan nafas setiap
melihatnya. Aku menyentuh wajah dalam lukisan itu dengan jariku, menyusuri
lekuk tubuhnya yang telanjang, dan aku mengeras hanya dengan
melakukan itu. Itu Alexa. Telentang di atas lantai dengan bertumpu pada kedua
sikunya, dadanya membusung, menampilkan payudara indah dengan
puting pink pucatnya yang menggairahkan. Sebelah kakinya tertekuk
dengan tumit terangkat dan ujung jari menyentuh lantai, kaki yang
satu menegang lurus sejajar dengan lantai. Rambut coklat gelapnya
berkilau, jatuh tergerai dengan ujungnya yang menyentuh lantai.
Wajahnya menunjukkan kenikmatan luar biasa akan orgasme yang
diterimanya, dia menggigit bibir bawahnya dan mata coklat
lembutnya menatapku dengan sorot mata yang berkabut. Penuh
cinta, dan...gairah. Aku menyelesaikan lukisan ini dalam satu malam. Mengingat setiap
detail ekspresinya dalam ingatanku, membuatnya terlihat nyata.
Aku menarik handuk yang melilit pinggangku hingga terlepas, dan
melemparkannya begitu saja. Lalu menghempaskan tubuh
telanjangku di atas kursi yang ada di depan kanvas itu. Melorotkan
pantatku dan memajukan pinggulku, membuat kejantananku yang
berurat dan tebal terekspos sempurna. Menatap wajah Alexa, aku
melahap tubuh telanjangnya dengan mataku, membuat ereksiku
semakin tegang. Tanpa mengalihkan perhatianku dari lukisan Alexa,
aku meremas ereksiku, membayangkan kewanitaan Alexa yang
menjepitku. Dan mengurutnya ke atas, membayangkan hisapan yang
dilakukan lubang kewanitaannya, melakukannya beberapa kali,
lalu...aku meledak hanya dengan itu. Merasakan kenikmatan
orgasme hanya dengan membayangkannya.
Aku terduduk lemas, dengan cairan sperma yang memenuhi telapak
tanganku yang menggantung di samping tubuhku.
Setelah mereda, aku membungkuk, meraih handuk dan berdiri,
melilitkannya kembali pada pinggangku. Lalu menutupi lukisan itu
kembali dengan kain putih.
Aku melangkahkan kaki ke luar dari studio, menuju kamar.
Memakai boxer, dan menghempaskan tubuhku ke atas ranjang.
Mencoba untuk tertidur ketika mendengar deringan pada ponselku.
Itu pasti Jeremy. Meraih ponsel di atas nakas, aku menjawab panggilan itu.
"Ya." Gumamku. "Jarvis, kau harus ke sini." Suaranya terdengar di antara hiruk-pikuk
suara musik yang berdentam. Dia pasti berada di club.
"Kenapa?" Tanyaku tak acuh.
"Dua gadis seksi sedang bersamaku, bro. Mereka benar-benar...
(Jeremy bersiul). Kau harus ke sini, men." Lalu terdengar suara
cekikikan di sampingnya. Aku memutuskan panggilan itu dan mematikan ponsel. Jeremy tidak
pernah berhenti mencoba menghiburku dengan mengajakku
mengencani wanita lain. Itu tidak akan bisa. Setelah kepergian
Alexa, aku benar-benar menjauhi dunia malam, tidak ada lagi
clubbing, tidak ada lagi wanita, dan tidak ada minuman keras. Okay,
aku masih minum, tapi tidak di nightclub. Hanya ketika aku berada
di bar pribadiku. Aku memejamkan mataku yang sudah mulai berat, meninggalkan
malam untuk menghadapi hari esok.
*** Seperti pagi-pagi sebelumnya, pukul enam tepat aku sudah
berpakaian rapi, mengenakan setelan jas yang menempel pas pada
tubuhku. Aku berdiri di depan cermin, membetulkan letak dasiku
ketika terdengar ketukan di pintu kamarku.
Aku membuka pintu, dan melihat Rachel berdiri di depan pintu.
Tubuh tinggi besarnya membuat dia tetap terlihat kuat di usianya
yang sudah menjelang 50 tahun. Dia pelayan kepercayaan ke luarga
Ayahku di Jerman, Henry yang membawanya ke sini saat aku
membeli apartemen ini. "Pagi Junior." Sapanya hangat dalam bahasa Jerman yang kental.
Aku tersenyum mendengar sapaannya, sejak tahu aku anak bungsu
dari anak sulungnya, Nenek memanggilku dengan sebutan Junior.
Dan itu menular pada Rachel.
"Pagi Rachel, ada apa?" Aku selalu bersikap hangat pada Rachel, dia
sudah seperti ke luarga bagiku.
"Ada telepon untukmu. Kau mematikan ponselmu?" tanyanya sambil
menyipitkan matanya. Aku terkekeh, "Aku lupa. Okay, aku akan menerima telepon itu di
kamarku." Rachel mengangguk, "Setelah itu, turunlah untuk makan. Aku
membuatkan bubur ayam untukmu."
Aku terbelalak dan cepat-cepat menutup pintu kamarku. Mencoba
memikirkan cara untuk menghindari siksaan bubur ayam Rachel
-begitu aku menyebutnya-pagi ini. Sejak mengetahui cerita di balik
bubur ayam itu, Rachel selalu mencoba untuk membuat bubur ayam,
dan itu dilakukannya setiap pagi. Hari pertama dia membuat bubur
ayam, aku bersemangat untuk mencobanya, dan itu berakhir dengan
aku muntah di toilet. Hari kedua, aku mencoba dengan ragu-ragu,
dan aku mengutuk diriku sendiri karena kemudian aku harus
berakhir dengan berkali-kali buang air besar. Hari ketiga, aku
mencobanya dengan enggan, itu tidak berbeda jauh dengan hari
pertama dan hari kedua. Selanjutnya, aku berusaha menghindari
makanan itu. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya, aku tidak akan
sanggup mencobanya lagi. Aku duduk di sofa bulat yang tak jauh dari ranjang, dan mengangkat
gagang telepon yang ada di samping sofa.
"Jarvis." Aku mengenali suara itu, "Halo Henry."
"Jarvis, aku punya kabar gembira untukmu." Suara Henry yang
biasanya tenang terdengar agak bersemangat. "Aku akan
mengatakannya padamu sekarang." Lalu terdengar suara ribut-ribut
di belakang Henry. Aku tersenyum ketika mengenali salah satu suara itu adalah suara
Nenek. "Ya...Aku mendengarkan."
"Aku akan mengatakannya...Tidak Nenek, aku yang akan
mengatakannya (Henry menggunakan bahasa Jerman saat bicara
dengan Nenek)...Jarvis dengarkan..."
"Ya..." "Aku akan mengatakannya padamu..."
Aku mulai tidak sabar mendengar Henry yang hanya mengulangngulang kata-katanya.
"Ya, katakan padaku." Kataku kesal.
"Betul, aku harus mengatakannya...Tidak...Kakakmu yang akan
mengatakannya padamu. Kurasa aku terlalu gembira sampai tidak
tahu harus berkata apa...."
Maksud Henry dengan 'Kakakmu' adalah Liana, dan aku merasa
nyaman dengan panggilan itu.
"Jarvis..." Suara lembut Liana terdengar dari seberang.
"Ya, Sist." Gumamku dalam senyum.
Aku sudah memaafkan perbuatan Liana pada Alexa, pada saat
kunjunganku ke Jerman tujuh bulan yang lalu. Dan berusaha
melupakan kenangan-kenanganku bersamanya. Pada dasarnya aku
menyayangi Liana yang berperan sebagai penolongku, dan sekarang
rasa sayang itu semakin bertambah dengan adanya ikatan
persaudaraan di antara kita.
"Sepertinya kau akan memiliki keponakan..." Kata Liana.
Aku terlonjak kegirangan memahami perkataan Liana.
"Maksudmu...Kau hamil?"
"Ya Jarvis, Liana hamil." Henry kembali bersuara. "Aku akan
mempunyai anak." "Dan aku akan mempunyai keponakan..." Gumamku terharu.
"Ya..." Sepertinya Henry juga kehabisan kata-kata sepertiku.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, "Apa menurut dokter tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, memang agak beresiko karena umur Liana yang
sudah hampir kepala empat, tapi kondisi Liana sangat sehat. Dia
hanya membutuhkan banyak istirahat."
"Kau harus menjaganya, Henry."
"Tentu, Nenek dan Kakek sangat memanjakan Liana...Aduh..." Aku
mendengar Henry memekik kesakitan, aku terkekeh, itu pasti karena
cubitan Liana. "...ini cicit pertama mereka...Iya Nek, sebentar.
Nenek ingin bicara denganmu Jarvis."
Kemudian aku berbicara dengan Nenek beberapa saat yang
menanyakan kabarku dan tentu saja Rachel, pelayan kesayangannya.
Terkadang, aku merasa bersalah telah membawa Rachel ke
Indonesia. Selanjutnya Kakek menyerobot pembicaraan kami, dan
aku berakhir dengan Bibi Jannice. Yang mengurus perusahaan Ayah
ketika Henry masih di Indonesia, dia sangat gembira dengan
kedatangan Henry ke Jerman yang mengambil alih semua tugastugasnya. Dan
sekarang, dia sangat menikmati kehidupannya
menjadi Ibu rumah tangga, mengurus Suami dan dua putra kecilnya
yang lucu-lucu. Sebelum menutup telepon, aku berbicara lagi
dengan Henry, mengucapkan selamat padanya.
Perlahan-lahan aku ke luar dari kamar, berjalan mengendap-endap,
memastikan tidak terlihat oleh Rachel. Aku mendengar suara Rachel
dari dapur, bersenandung menyanyikan lagu daerah Jerman yang
tidak aku mengerti. Aroma masakan yang membuat perutku mual,
menjadi pemicu untuk mempercepat langkahku.
Apa dia menambahkan ramuan itu lagi pada kuah bubur ayamnya"
Rachel mempunyai ramuan dengan bau menyengat yang dibawanya
dari Jerman dan di simpan dalam kantung kain yang selalu
digantungkan di pinggangnya. Menurutnya, ramuan itu bisa
mengembalikan cinta yang hilang. Aku pernah mencobanya sekali,
dan aku bersumpah tidak akan melakukannya lagi.
*** Aku sengaja pulang cepat hari ini, ke luar dari kantor saat waktu
baru menunjukkan pukul empat sore.
Ada tempat yang ingin kukunjungi, tapi sebelumnya aku ingin
mampir ke toko perlengkapan bayi, mencarikan hadiah untuk calon
keponakanku. Langit terlihat gelap saat aku melajukan mobilku di jalan raya.


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah lama tidak turun hujan, rupanya sekarang bumi harus bersiap
untuk menerima curahannya. Hujan tidak menimbulkan rasa tak
nyaman lagi dalam hatiku, aku tidak lagi membencinya. Hujan tidak
lagi mengingatkanku akan kenangan burukku di masa lalu, tidak
juga menghadirkan mimpi-mimpi buruk dalam tidurku. Hanya
kenangan bersama Alexa-lah yang sekarang memenuhi kepalaku,
dan menghampiri mimpi-mimpiku. Mimpi yang selalu ingin
kujadikan kenyataan. Mimpi yang membuatku bisa menumbuhkan
harapan di hatiku. Aku memasuki sebuah Baby Shop dengan gedung yang bernuasa
pink dan ungu. Memasuki pintu kacanya yang berdenting saat
dilewati, dan langsung menuju tempat perlengkapan bayi.
Sebuah ranjang bayi berwarna putih dengan hiasan boneka-boneka
kecil pada jerujinya menarik perhatianku, warna putihnya di
kombinasi dengan warna pink yang lembut. Aku menyentuh ranjang
itu dan merasakan kehangatan yang mengalir di dadaku, aku ingin
membeli ranjang ini. Tapi aku menggeleng, akan sangat merepotkan
membawanya ke Jerman. Aku sudah berniat meninggalkan ranjang itu ketika terbersit ide di
kepalaku. Kenapa aku tidak membelinya saja, keponakanku bisa memakainya
saat berkunjung ke Indonesia.
Aku pun membeli ranjang itu, dan saat aku memutuskan untuk
membeli ranjang itu, aku tidak bisa menahan keinginanku untuk
membeli yang lainnya. Boneka-boneka, baju bayi, sarung tangan,
dan kaos kaki bayi, bahkan aku membeli pampers untuk bayi baru
lahir hanya karena gambarnya yang menggemaskan.
Aku mendorong keranjang belanja yang sudah penuh ke meja kasir
dengan wajah sumringah. Tersenyum lebar pada petugas kasir yang
mulai menghitung belanjaanku.
"Anak pertama ya Pak?" Tanya petugas kasir itu saat mengambil
boneka beruang besar berwarna pink lembut.
"Eh oh, apa?" "Bapak sedang menunggu kelahiran anak pertama?"
"Eh iya..." Jawabku asal.
"Pasti anaknya perempuan."
"Kok bisa?" "Karena sebagian barang-barang yang Bapak beli berwarna pink."
Aku sendiri tidak begitu menyadari apa yang membuatku membeli
barang-barang itu. "Ini diantar kemana Pak?"
Aku menyebutkan alamat apartemenku, lalu pandanganku tertumbuk
pada selimut bayi yang dibawa seorang perempuan dengan tubuh
tambun yang baru menghampiri meja kasir. Selimut itu berwarna
coklat gelap dengan motif bunga-bunga kecil berwarna coklat
lembut di permukaannya, mengingatkanku dengan warna rambut
dan warna iris mata Alexa.
"Mbak, saya mau selimut seperti Ibu itu." Kataku pada SPG yang
kebetulan melewatiku, tanganku menunjuk selimut yang dibawa Ibu
muda di sebelahku. "Sebentar Pak," SPG itu segera menuju rak selimut, dan kembali
beberapa saat kemudian. "Maaf Pak, kebetulan stock-nya kosong.
Bisa jenis yang lainnya Pak?" Tanya SPG itu.
Aku menggeleng, dan berpaling menatap selimut bayi yang sekarang
tergeletak di meja kasir dengan pandangan kecewa.
"Bapak ambil saja selimut yang ini, biar saya cari yang lainnya."
Aku menoleh ke arah suara di sampingku dan mendapati perempuan
yang membeli selimut itu tersenyum ramah padaku. "Apa tidak apaapa Bu?" Tanyaku
merasa tidak enak, tapi tidak bisa
menyembunyikan kegembiraanku.
Perempuan itu menggeleng, "Saya bisa membeli yang lain, hanya
untuk kado tetangga kok."
"Terima kasih ya Bu." Kataku senang dan menyerahkan selimut itu
pada petugas kasir. Ibu itu kembali tersenyum ramah dan melangkah menuju rak
perlengkapan bayi. "Mbak, ranjang bayinya saja yang diantar, barang-barang lainnya
biar saya bawa sendiri." Aku berubah pikiran.
"Baik Pak." Jawab petugas kasir itu.
Aku ke luar dari area parkir Baby Shop dan langsung menuju tempat
yang menjadi tujuanku semula. Langit yang tadi mendung sekarang
sudah menurunkan gerimisnya, meninggalkan tetesan air pada kaca
mobilku, aku menyalakan wiper untuk menghilangkan tetesan air
hujan itu. Sebuah tikungan lagi, dan aku akan sampai pada tempat tujuanku.
Jalan kecil di mana aku melihat Alexa untuk pertama kali. Aku
selalu ke jalan ini setiap langit menunjukkan tanda-tanda akan turun
hujan, berharap menemukan kembali Alexa.
Aku membelokkan mobilku, dan tiba-tiba sebuah mobil melaju
kencang dari depanku. Aku menginjak rem mendadak, dan
sepertinya pengemudi mobil itupun melakukan hal yang sama, tapi
kami tidak bisa menghindari tubrukan pada bemper mobil kami.
Henry akan membunuhku. Keluar dari mobil, aku memeriksa bemper mobil, ada sedikit
penyokan di ujung bempernya.
Mendengar suara pintu mobil yang dibuka, aku berbalik untuk
menanyakan keadaan pengemudi mobil yang menabrakku.
"Apakah Anda..." Aku terdiam, terkejut melihat keberadaannya
yang kini berdiri di balik pintu mobil yang setengah terbuka.
"Fairy..." Alexa terlihat sama terkejutnya sepertiku, lalu dia menunjukkan
tanda-tanda ingin menghindariku, berniat masuk kembali ke dalam
mobil. Aku bergerak cepat, meraih tangannya dan menahan pintu
mobil. "Tunggu Fai..." Bisikku panik.
Alexa terlihat ketakutan.
Kenapa dia takut padaku"
Aku membalik tubuhnya hingga menghadapku, menatap mata coklat
lembutnya yang selama ini kurindukan.
Memperhatikan keadaan fisiknya yang tidak berubah sama sekali,
hanya sedikit lebih berisi. Dia mengenakan rok terusan semata kaki
dari kain katun denim yang melebar pada bagian bawahnya,
dipadukan dengan sweater tebal berwarna biru langit. Selendang
segitiga lebar yang sewarna dengan roknya menutupi pundak hingga
perutnya. Tetesan gerimis meninggalkan butir-butiran embun kecil
pada rambut coklatnya. Melihat ekspresi wajahnya, aku hancur, tidak bisa menahan
perasaan, aku pun memeluknya, "Aku sangat merindukanmu, Fai..."
Dan aku terkejut ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di
perutnya. Aku melepaskan pelukanku, menatapnya bingung. Sebersit pikiran
yang melintas di kepalaku membuatku menyibakkan selendang yang
menutupi perutnya. Aku terpana...dan takjub dengan apa yang kulihat.
"Kau...hamil?" Tanyaku antusias, merasa sangat yakin itu anakku.
Terlintas dalam benakku beberapa bulan yang lalu, saat aku mual
dan muntah-muntah tanpa sebab setiap pagi, aku tidak ingin makan
apa-apa, hanya rujak mangga muda yang selalu mengisi perutku.
Jeremy sempat protes karena dialah yang kerepotan mencari mangga
muda pada saat bukan musimnya. Tubuhku menjadi lemas dan tak
bertenaga. Dokter tidak bisa menjelaskan penyakitku, dia
mengatakan itu adalah gejala hiperemesis gravidarum* yang
seharusnya diderita Ibu hamil. Aku tidak pernah memikirkan tentang
kemungkinan itu. "A-aku..." Alexa terlihat sangat gugup, lalu tiba-tiba dia mengernyit
menahan sakit, membuatku kebingungan.
"Kenapa sayang?" Tanyaku panik. Tanganku menggenggam
tangannya yang berkeringat dingin.
Alexa melorot, terduduk di samping pintu mobil, tangannya
memegangi perut dan dia bernafas pendek-pendek.
Aku berlutut di sampingnya, merasa panik dan ikut memegangi
perutnya. Gerakan pada perutnya membuatku tertegun, kehangatan
yang mengisi setiap rongga dadaku membuatku merasakan euforia.
"JARVIS..." Jeritan Alexa yang memanggil namaku kembali membuatku panik,
"Ya sayang, aku di sini."
"Se-per-ti-nya...aku...kontrak-si..." Dia bergumam susah payah.
Kontraksi" Tunggu. Apa maksudnya kontraksi" Apa dia akan
melahirkan" Dengan gugup aku merogoh sakuku untuk mengeluarkan ponsel.
Tanganku yang satu terus menggenggam tangan Alexa,
menenangkannya. Aku menekan tombol untuk panggilan pada
Jeremy. "Halo..." "Jeremy...Alexa, Alexa...Jeremy..."
"Tenang Jarvis, tenang...Okay" Sekarang...Katakan ada apa."
Dia menyuruhku tenang"
"Aku menemukan Alexa, dan..."
"Oh ya?" "Ya!" Bentakku merasa kesal karena ucapanku dipotong, "Dia
hamil...Tidak, dia mau melahirkan..."
"Tunggu. Apa maksudmu?"
"Jeremy! Aku menemukan Alexa dan dia mau melahirkan sekarang."
"Maksudmu, kau menemukan Alexa yang sedang hamil dan akan
melahirkan sekarang?"
Oh Tuhan...Aku akan menggorok lehernya setelah ini.
"KENAPA KAU MENELEPONKU"!" Teriakan Jeremy
mengagetkanku. "PANGGIL AMBULANS SEKARANG!" Lalu dia
memutuskan panggilanku. Alexa kembali menjerit, aku mengalihkan perhatianku pada Alexa.
Menenangkannya dengan kata-kata dan menghapus keringatnya
dengan sapu tangan milikku. Tanganku gemetar, menggulirkan layar
sentuh pada ponselku, mencari nomor telepon rumah sakit yang
mungkin kusimpan. Aku panik ketika tidak menemukannya.
"Jarvis..." Panggilnya lemah.
"Ya sayang..." Aku menghampirinya dan meraih kepalanya,
membuatnya bersandar di pangkuanku.
"Sepertinya...Air ketuban-ku...pecah..."
Pecah" Tidak. Tunggu. Aku menatap ngeri pada cairan bening yang
merembes ke luar dari roknya.
"Bertahan sayang..." Bisikku panik. Tanganku yang gemetar
kembali berusaha menekan sebuah tombol. Namun aku terlonjak
kaget ketika ponselku berdering. Nama Jeremy terpampang di layar
ponselku. "DI MANA KAU SEKARANG"!" Teriaknya saat aku menerima
panggilannya. "Jalan Soka tikungan ketiga. Jeremy, kau harus menelepon ambulans
sekarang. Aku tidak tahu nomornya, Alexa...air ketuban Alexa...
sudah pecah..." "BODOH!" Lalu dia kembali menutup panggilannya.
Apa maksudnya dengan bodoh"
Gerimis sudah berubah menjadi hujan, sambil memegangi kepala
Alexa, aku bangkit setengah berdiri, membuka pintu penumpang
pada mobilnya. Lalu aku mengangkat Alexa dan memindahkannya
ke kursi penumpang. Memposisikan kakinya agar terbuka. Aku
berdiri di luar mobil dengan tubuh yang sudah basah kuyup,
menggenggam tangan Alexa dan berteriak-teriak mengingatkannya
cara bernafas saat melahirkan. Aku yakin dia sudah mempelajari itu.
"Tarik nafaaas...Ya...sayang...seperti itu..."
Alexa terus berteriak dengan nafasnya yang terputus-putus, aku tak
henti-hentinya menyuruh dia untuk bernafas.
"DIAM!" bentaknya kesal, tangannya mencengkeram kerah jasku.
"Tidakkah kau melihat aku sudah bernafas dari tadi." Teriaknya
diantara jeritan kesakitannya. "Aku...Membencimu...Jarvis...
Aaa..." "Aku mencintaimu..." Aku tidak yakin dia membenciku, "Ya
sayang...Tarik nafaaaas...Lagiii..."
"Aa...nggggg...Aku membencimu...Aku-tidak ingin-melihatmu...
kau menyebalkan...Nggghhh..." Dia mengejan.
Aku menggenggam tangannya, mengusap dahinya yang penuh
keringat, dan menyingkirkan anak-anak rambut yang menempel
pada dahi dan pipinya. "Aku mencintaimu...Aku sangat mencintaimu...Sekarang tarik
nafas..." "Berhenti menyuruhku tarik nafas! Pergi! Pergi dari sini! Aku tidak
ingin melihatmu...Aahhngggghhh..." Jeritannya semakin panjang.
Khawatir kehadiranku memberikan efek negatif pada psikologisnya,
dengan gugup aku menegakkan badanku dan berniat menjauh dari
Alexa. Alexa kembali mencengkeram kerah jasku dan menarikku kembali,
"Jangan pergi...Kumohon jangan pergi...Ahhhnggggg...Aku salah.
Aku tidak membencimu. Aku...aku sangat mencintaimu."
Aku kembali mendekat padanya, merasakan kehangatan di hatiku
saat mendengar pengungkapan isi hatinya padaku. Tersenyum, aku
mengusap-usap perutnya dan mengikuti cara Alexa bernafas. Ikut
mengejan jika dia mengejan.
"Aaaa...Jarvis...Kurasa...bayinya akan ke luar sekarang...
Aaaahhhggg..." Serunya diantara teriakannya.
Keluar" Tidak. Jangan sekarang.
"Tenang sayang...Mereka akan datang sebentar lagi." Aku berusaha
menenangkan Alexa yang sudah tidak bisa berhenti mengejan.
Secara naluri, aku mengangkat rok yang menutupi kakinya, dan
membuka kedua kakinya lebar-lebar. Aku terpana ketika melihat
gumpalan rambut kecoklatan diantara paha Alexa. Lalu aku
menyadari bayiku tidak bisa menunggu lagi.
Aku meletakkan tanganku di antara paha Alexa, bersiap-siap dengan
kemungkinan yang akan terjadi. "C'mon baby, come to Papa..."
Gumamku sambil berusaha menenangkan debaran pada jantungku.
Alexa menjerit keras, dan aku kembali terpana takjub, dengan kedua
tanganku yang gemetar...Aku menangkap kepala anakku yang kini
sudah ke luar sepenuhnya. Setelah kepalanya ke luar, badan bayi itu
bagai jelly...yang bisa meloloskan diri dengan mudahnya, aku
seperti melihat jin yang baru ke luar dari dalam botol.
Aku menangkap bayiku, tubuhnya yang licin dan penuh lendir
meringkuk nyaman di atas tanganku. Menatapnya takjub, rasa haru
memenuhi dadaku, rambut ikal coklatnya yang tebal terasa lembut di
tanganku, bibir mungil merahnya bergerak-gerak lucu. Tiba-tiba dia
menggerak-gerakkan tangannya, dan menangis keras. Membuatku
tersadar dari keterpesonaanku padanya.
Aku mendekatkan bayiku pada Alexa yang tersenyum bahagia,
matanya menatapku sayu. "Bayi perempuan yang sangat cantik...seperti Mommy-nya."
Gumamku bahagia. Suara sirine terdengar mendekat, dan berhenti tak jauh dari mobil
kami, lalu suara-suara yang lain menyusul. Gumaman dan teriakan
para petugas medis yang bersiap menangani Alexa, dan suara-suara
peralatan yang sedang dipersiapkan.
"Jarvis!" Aku mendengar Jeremy memanggilku, diikuti suara derap
langkah yang menghampiriku.
Aku tidak begitu mempedulikannya, kebahagiaan yang membuncah


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dalam dadaku membuatku berada di dalam gelembungku sendiri,
dengan anakku yang berada dalam dekapanku dan Alexa yang
menatapku dengan senyum bahagianya.
*** *Hiperemesis Gravidarum : Ibu hamil yang mengalami mual dan
muntah secara berlebihan. Jika sudah demikian, biasanya Ibu
sampai tidak bisa makan dan minum sama sekali, kekurangan
cairan, gangguan elektrolit, lemah dan tidak bertenaga, hingga
mengganggu aktivitas sehari-hari, dan membahayakan janin.
Bab 15 AKHIR" Alexa sudah dipindahkan ke kamar perawatan yang sekarang sudah
penuh dengan barang-barang yang baru aku beli di toko
perlengkapan bayi - yang semula aku beli untuk calon keponakanku.
Puluhan boneka aneka bentuk dan ukuran memenuhi ruangan, dan di
salah satu sudut ruangan, menumpuk karangan bunga yang aku
pesan saat Alexa masih berada di ruang bersalin.
Ketika Alexa memasuki ruangan ini, dia menutup mulutnya tak
percaya, mata coklat lembutnya berkilau karena air mata yang
membasahinya. Dan dia tersenyum haru. Saat itulah aku tahu...aku
sudah dimaafkan. Sekarang...saat Alexa tertidur, aku sibuk mengamati bayiku yang
sudah terlelap. Setengah membungkuk, berdiri di samping keranjang
bayi yang terletak di sebelah ranjang Alexa. Aku tidak bisa
menghentikan jariku untuk menyentuh kulit sehalus sutranya yang
seputih salju dengan rona merah pada kedua pipinya.
"Kalau kau terus melakukan itu, kau akan membangunkannya."
Suara perawat yang memasuki ruangan mengejutkanku.
Aku merengut, merasa tidak senang dengan tegurannya. Lalu berdiri
dan memperhatikan dua orang perawat yang sudah berada di
ruangan ini. Perawat yang lebih tua menyuntikkan sesuatu ke botol infus Alexa,
sedangkan yang lebih muda membuatku risih dengan tatapannya
padaku. "Fokus suster!" Tegur yang lebih tua pada perawat muda.
"M-maaf suster kepala." Jawab perawat muda itu dengan muka yang
merona, lalu dia menuliskan sesuatu di papan yang dia bawa.
"Istri dan anak Anda sedang istirahat, sebaiknya Anda pulang dulu
untuk berganti pakaian." Kata suster kepala kepadaku.
Rahangku mengetat, "Aku tidak akan kemana-mana." Gumamku.
Suster kepala memutar bola matanya, "Jangan keras kepala, Anda
terlihat sangat kacau dengan baju yang basah dan penuh noda darah.
Kami bisa menjaga Istri dan anak Anda." Lalu suster kepala
meninggalkan ruangan diikuti oleh suster muda yang masih
mencuri-curi pandang padaku.
Aku memperhatikan diriku dan menyadari perkataan suster itu benar.
Sejenak aku merasa bimbang, aku harus mandi dan mengganti
pakaianku, tapi aku tidak ingin meninggalkan Alexa dan anakku.
Tidak setelah aku berhasil menemukan mereka.
Saat itulah aku mendengar pintu ruangan yang terbuka, Jeremy
muncul dengan tas besar di tangannya. "Fiuhhh...Tidak kusangka
secepat ini aku memiliki keponakan. Kau mendahului Julia, Bro..."
gumamnya saat memasuki ruangan. "Aku bawakan ba..." Dia
terbengong-bengong melihatku yang sudah menyambar tas besar
yang ada di tangannya. "...ju ganti." Lalu dia mengangkat bahunya
acuh, "Terserahlah," gumamnya.
"Thanks, Bro. Kau memang sahabat sejati." Kataku sambil
mengeluarkan kaos berkerah dengan celana denim sebagai
pasangannya untuk kemudian kubawa ke kamar mandi.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkan tubuhku,
karena aku memang tidak ingin berlama-lama. Saat aku ke luar dari
kamar mandi, Jeremy sudah duduk di sofa dengan majalah kesehatan
anak di tangannya. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
Meraih gelas kopi berlogo starbucks yang dibawa Jeremy, dan
menyeruputnya pelan. Melihatku, Jeremy meletakkan majalah yang dibacanya dan
merogoh saku jasnya. Mengambil sebuah kotak beludru hitam
dengan lapisan emas murni di pinggirannya.
"Ini barang yang kau minta," Jeremy menyodorkan kotak itu padaku,
"Rachel yang menemukannya, tergeletak begitu saja di laci
nakasmu. Kau gila," gumamnya.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya, mengambil kotak itu
dari tangan Jeremy, dan membukanya perlahan.
Benda di dalam kotak itu memantulkan kilauan yang sangat
memukau. Senyumanku semakin lebar, kilauannya tidak berubah
setelah aku tidak melihatnya lagi sejak pertama membelinya tiga
bulan yang lalu. Terpesona. Itulah yang kurasakan saat melihat
benda itu untuk pertama kalinya. Sebuah cincin platinum dengan
desain yang sangat sederhana, tapi berlian 9 karat yang bertengger di
tengahnya membuat cincin itu terlihat anggun dan elegan. Cincin itu
mengingatkanku pada Alexa, sederhana dan memukau...
"Di mana kau mendapatkannya" Setahuku cincin itu susah
didapatkan, apalagi dengan harganya yang...(Jeremy memutar bola
matanya)...fantastis."
Aku hanya tersenyum dan menutup kotak itu, lalu memasukkannya
ke saku celanaku. Tidak perlu kuceritakan pada Jeremy
perjuanganku mendapatkan cincin itu, apalagi dengan pahatan nama
panggilanku pada Alexa di bagian dalam cincin itu.
"Bagaimana malammu?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan,
mengingat ucapannya di telepon semalam.
Jeremy merengut, "Buruk," gumamnya kesal.
Aku mengangkat alisku. "Seharusnya jadi malam yang hebat kalau pengacau itu tidak
muncul." "Pengacau?" Tanyaku tertarik.
Jeremy memutar bola matanya dan kembali asik dengan majalahnya,
enggan menjawab pertanyaanku.
"Jarvis..." Perhatianku teralihkan dari keinginan untuk mendesak Jeremy ketika
mendengar Alexa memanggilku.
Aku berdiri dan menghampiri Alexa, duduk di samping ranjangnya,
meraih tangannya dalam genggamanku. "Ya, sayang. Kau
membutuhkan sesuatu?"
Alexa tersenyum dan menggeleng lemah, "Apa kau sudah
menghubungi orang tuaku?"
Tubuhku menegang, genggaman tanganku pada tangannya
mengencang. Menghubungi orang tuanya" Tentu saja tidak. Mereka akan
memisahkanku dengan Alexa. Aku akan membawa Alexa ke
apartemenku, apapun yang terjadi.
Seperti bisa membaca pikiranku, Alexa meremas tanganku lembut.
"Tidak seperti yang kau pikirkan, percayalah."
Aku terdiam, masih dengan wajah tegangku.
"Paling tidak, bicaralah pada Aunty Claire." Alexa membujukku.
"Claire pernah berjanji akan menghubungiku untuk memberitahukan
keadaanmu. Tapi dia sama sekali tidak melakukannya." Gumamku
mengingat kejadian 9 bulan yang lalu.
Alexa tersenyum sedih, "Dia bukannya tidak mau, percayalah. Kau
harus bicara padanya." Alexa menatapku lembut, "Mereka akan
khawatir jika tidak mendengar kabar dariku..." Lanjutnya lagi.
Aku melirik jam dinding, Alexa benar, ini sudah jam sembilan
malam. Aku harus memberitahukan keadaan Alexa pada ke
luarganya. Tapi, bayangan Alexa yang dijauhkan dariku membuatku
menatap bola matanya ragu-ragu.
Alexa mengangguk, meyakinkanku.
"Okay." Gumamku mengalah.
Alexa menatapku dengan mata coklatnya yang berbinar, itu
membuatku lemah. "Ponselku ada di tas," gumamnya.
Aku meraih tas Alexa yang tadi kuletakkan di atas meja samping
tempat tidur, membukanya dan merogohkan tanganku, mencari
ponselnya. Deringan ponsel mengagetkanku, aku mengeluarkan ponsel Alexa,
tidak ada panggilan pada ponselnya" Lalu aku melihat Jeremy yang
sibuk merogoh saku celananya. Dia terlihat mengernyitkan
keningnya ketika melihat layar ponselnya, lalu mengangkat
panggilan itu. Jeremy tidak mengatakan apa-apa, hanya ekspresinya yang berubah,
itu membuatku khawatir. Jeremy memutuskan sambungan dengan kerutan pada keningnya.
"Ada apa?" Tanyaku penasaran.
Jeremy menggeleng, "Hanya masalah pribadi." Lalu dia meraih
kacamata hitam yang tadi diletakkannya di atas meja. "Aku harus
pergi, Jarvis. Ada yang harus kuselesaikan." Jeremy menghampiri
Alexa dan mencium pipinya (aku merengut, kenapa dia selalu
seenaknya mencium pipi orang. Aku saja yang sangat merindukan
Alexa belum berani menciumnya). "Maaf, Alex. Aku harus pergi."
Kata Jeremy pada Alexa. Alexa hanya tersenyum memaklumi.
"Dia bertemu seorang gadis." Gumam Alexa ketika Jeremy sudah
meninggalkan kami. Aku yang masih berkecamuk dengan pikiranku menoleh bingung,
mengangkat alis tak mengerti.
Alexa hanya mengangkat bahunya dan tersenyum penuh arti. "Kau
harus menghubungi ke luargaku," katanya mengalihkan perhatianku.
Aku mengangguk, dan mulai menghubungi Claire.
Rengekan bayi kami sesaat setelah aku menutup telepon menarik
perhatianku, aku segera berdiri dan menghampiri ranjang bayi kami.
"Uchuuchuchu...Kenapa chayang..." Laper ya..." Ocehku
membungkuk di atas bayiku dan mengelus pipi merah mudanya.
Lalu aku meraihnya hati-hati dalam gendonganku, dan membawanya
ke Alexa. "Ke Mommy ya chayang...Sstt...Jangan nangis, nanti
Dadad cedih..." Alexa membelalakkan mata bulatnya dengan menahan tawa, "Siapa
Dadad?" godanya saat mengambil alih bayi kami dari gendonganku.
Aku tersenyum jenaka dan dengan bangga menunjuk dadaku.
Alexa tertawa geli, tapi aku tidak peduli. Aku memperhatikan bayi
kami yang mulai menggesek-gesekkan mulutnya ke dada Alexa,
tersenyum melihat bibir mungilnya mulai mencecap-cecap tidak
sabar. Tapi Alexa tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyusui
bayi kami. Aku mengalihkan pandanganku pada Alexa dan menatapnya, "Dia
lapar." Kataku sambil menunjuk bayi kami.
Alexa mengangguk salah tingkah. "Aku tahu," gumamnya.
"Lalu, kenapa kau tidak menyusuinya?"
"Aku akan menyusuinya kalau kau menyingkir dari hadapanku."
Aku membelalakkan mataku, "Kenapa?"
Alexa tidak menjawab, wajahnya yang masih agak pucat merona.
Aku mengerti... "Astaga Fairy, aku sudah pernah melakukan segalanya pada
payudaramu, kenapa harus malu?" Gumamku kesal. "Susui saja dia,
aku tidak akan pergi."
Alexa merengut mendengar ucapanku, namun dia melakukan juga
apa yang kusuruh. Dengan satu tangannya dia membuka kancing
bajunya yang terletak di punggung, baju rumah sakit berwarna hijau
itupun melorot, memperlihatkan kulit bahunya yang pucat.
Sepertinya aku melupakan sesuatu...
Kini payudara Alexa menyembul ke luar, dan bayi kami langsung
menyambar putingnya, kemudian menyedotnya dengan rakus.
Aku menelan air liurku. Di bawah sana, kejantananku mulai
memberontak, menuntut untuk dibebaskan. Nanar, aku menatap
bongkahan daging kenyal yang ada dihadapanku, mengeluhkan
kecerobohanku yang melupakan efek saat melihat bagian dari tubuh
Alexa yang kini terpampang jelas di depanku.
"Sepertinya...kau benar, aku harus menyingkir." Gumamku parau,
menahan gairah yang mulai bergejolak di bawah perutku.
Lalu aku merebahkan tubuhku di atas sofa, menenangkan hatiku
yang berdebar kencang. Aku mencoba memejamkan mata, tapi bahu
mulus Alexa dan payudara kenyalnya membayang di pelupuk
mataku. Membuat kejantananku semakin mengeras.
Aku mengerang,menahan rasa nyeri yang mulai muncul di
selangkanganku. "Kau tidak apa-apa?" Suara lembut Alexa terdengar khawatir.
"Tidak." Jawabku pendek. Damn...Ini tidak akan berhasil.
Lalu aku berdiri dan beranjak ke kamar mandi, tanpa mempedulikan
ekspresi penuh tanya dari Alexa.
Guyuran air dingin di kepalaku menjernihkan pikiranku, dan yang
paling penting melemaskan ereksiku. Memakai handuk, aku meraba
saku celanaku, berdebar-debar ketika merasakan kotak yang
kusimpan di dalamnya. Kurasa, sekaranglah waktunya.
Saat aku ke luar dari kamar mandi, Alexa sudah selesai menyusui
bayi kami. Sekarang bayi mungil itu terlelap di pangkuannya.
Aku menghampiri Alexa yang sedang mengelus pipi bayi kami, dan
mengecup puncak kepala Alexa lembut. Itu mengejutkan Alexa, dia
mendongak dan tersenyum menatapku.
Aku duduk di samping Alexa, tanganku melingkari bahunya dan
mengelus pundaknya lembut. "Siapa nama bayi kita?" Tanyaku.
"Ellie." Gumam Alexa.
"Ellie Fee Bachmann." Sahutku.
Alexa menoleh, aku terkekeh melihat kerutan halus di keningnya.
Mengusap kerutan itu, aku mengulangi ucapanku, "Ellie Fee
Bachmann." "Ellie nama darimu, Fee nama dariku, dan Bachmann nama ke
luargaku." "Nama ke luargamu?"
Aku mengulurkan telapak tanganku yang terbuka ke hadapannya.
Cincin berlian yang kini tergeletak di tengah telapak tanganku, tanpa
kotak beludrunya, berkilau indah terkena cahaya lampu.
Mata bulat Alexa terbuka lebar.
"Romantis adalah suatu masa dimana kita merasa bahagia,
sesederhana apapun kejadian yang membuat kita bahagia." Aku
mengutip kata-katanya beberapa bulan yang lalu. "Will you marry
me?" Bisikku di telinganya.
Alexa tidak bisa menyembunyikan air mata yang membasahi
pelupuk matanya, membuat mata coklatnya berkilau terkena air mata
itu. Senyum manis terukir di bibirnya, "Yes, I will," gumamnya
melegakanku. Tanpa melepas kontak mata kami, aku meraih tangan Alexa dan
menyematkan cincin itu di jari manisnya.
"Terima kasih." Gumamku, aku memeluk Alexa dan mengecup
ujung bibirnya. Hanya kecupan ringan, tapi mengakibatkan efek
yang luar biasa pada tubuh bagian bawahku.
"Alex..." Suara penuh kekhawatiran terdengar, bersamaan dengan
pintu kamar yang terbuka.
Tante Clara berdiri di depan pintu, Claire dan Om Wahyu berdiri di
belakangnya. Tubuhku menegang saat mereka menghampiri kami. Tanganku
meremas bahu Alexa, dia menoleh padaku dan tersenyum
menenangkan. Orang tua Alexa berdiri canggung dihadapan kami, seketika


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketegangan menyelimuti kami.
"Lihat Clara, bayinya lucu sekali..." Suara khas Claire memecah
keheningan, perlahan dia meraih Ell dari pangkuan Alexa, dan
mendekatkannya pada orang tua Alexa. "Dia manis kan" Coba kau
gendong Clara." Wajah Tante Clara melembut, dia mengulurkan tangannya perlahan,
mengambil alih Ell dari Claire. "Oh sayang...Ini Nenek sayang..."
gumam Tante Clara. "Puji Tuhan...Bayimu sehat Alex, siapa
namanya?" "Ellie Fee Bachmann." Aku yang menjawab, sedangkan Alexa
menguatkannya dengan menganggukkan kepala.
Om Wahyu mendongakkan kepalanya mendengar aku menempelkan
nama belakangku pada cucunya, dia menatapku tajam.
Aku tak bergeming, keyakinanku sudah mantap untuk
mempertahankan Alexa dan Ell bersamaku.
"Bisa kita bicara berdua, Jarvis?" Pinta Om Wahyu dengan suara
beratnya. Aku mengangguk dan berdiri, mengecup kening Alexa dan
mengikuti Om Wahyu yang sudah ke luar ruangan.
Kami duduk berhadapan di kantin rumah sakit, saling berdiam diri,
tak tahu harus memulai dari mana. Om Wahyu hanya mengamatiku,
menilai apa yang ada di dalam benakku.
Aku tak tahan dengan keheningan ini, "Saya melamar Alexa, dan
kami akan menikah secepatnya. Saya harap, Anda tidak keberatan."
Kataku pasti, menekankan setiap kalimat sebagai penegasan.
Tidak kusangka Om Wahyu tersenyum hangat, "Sudah kuduga,"
gumamnya. "Benar kata Henry, kau sangat mirip dengan Ayahmu."
Aku menyipitkan mataku, Henry memang pernah bercerita bahwa
dia mengenal baik Ayah Alexa, tapi aku tidak menduga dia akan
menceritakan masalah ke luarga kami padanya.
"Jangan salahkan Henry. Aku mengenal Ayahmu jauh sebelum
Henry terjun ke dunia bisnis. Waktu itu, Ayahmu merupakan panutan
bagi kami, pengusaha-pengusaha muda yang baru terjun dalam dunia
bisnis. Meski kami merintis usaha dalam bidang yang berbeda, tapi
dia banyak membantuku dalam strategi pemasaran dan
pengembangan aset." "Jika saya bukan keturunan Bachmann, apa Anda juga akan bersikap
seperti ini pada saya?" Gumamku tajam. Mengingat beberapa bulan
yang lalu, dia begitu marah melihat Alexa dekat denganku yang
diketahuinya sebagai gigolo.
Dia sama sekali tidak tersinggung mendengar ucapanku, "Jangan
salah paham, Jarvis. Katakan padaku, apa yang kau lakukan jika
mendengar Putrimu pulang dalam keadaan yang sangat
menyedihkan, karena perbuatan pria yang selama ini dicintai
putrimu. Kemudian kau mendengar bahwa pria itu adalah pria
brengsek yang suka berganti-ganti pasangan, ditambah ternyata si
pria adalah lelaki simpanan perempuan yang sudah bersuami."
Aku tidak bisa menyalahkan tindakannya.
"Andai kau berada diposisiku saat itu, Jarvis. Melihat Alex yang
sangat kacau. Tidak mau melakukan apapun, dia hanya berdiam diri
dan melamun di kamarnya. Aku merasa sangat bersalah, apalagi
sebelumnya, kami tidak begitu mempedulikannya," gumamnya
penuh penyesalan. "Sandra bilang, Anda membawanya ke luar negeri."
"Sandra?" Om Wahyu mengernyit tidak suka, "Ah ya, aku sedih
melihat Alex seperti itu. Aku membawanya ke kampung halaman
mamanya, berharap dia bisa melupakan kesedihannya. Tapi ternyata,
bukan itu yang membuatnya bangkit kembali."
Aku menyimak perkataan Om Wahyu, penasaran dengan kelanjutan
ucapannya. "Alex kembali bersemangat menjalani kehidupannya ketika
mengetahui dia hamil anakmu."
Aku merasa sesuatu yang hangat menyelimuti hatiku.
"Saat itu, aku baru menyadari kesalahanku yang telah memisahkan
dia darimu. Aku langsung kembali ke Indonesia, bermaksud
menemuimu dan menanyakan apakah kau sungguh-sungguh
mencintai Alex. Saat itulah Henry menemuiku, menceritakan
semuanya padaku, juga masa lalumu. Aku ikut menyesal, Jarvis,"
gumamnya bersimpati. Aku hanya tersenyum pahit, "Semua sudah berlalu..." gumamku
pelan, "Lalu kenapa Anda tidak menemui saya?"
Om Wahyu menghela nafas, "Sandra."
Sandra" "Dia menghubungi Alex, dan mempengaruhi Alex agar tidak
kembali padamu. Menurutnya, kehidupanmu sepeninggalan Alex
menjadi lebih baik. Jika Alex bersikeras kembali padamu, itu akan
membuatmu kehilangan segalanya. Ditambah dengan kehamilan
Alex yang menurut Sandra bisa menghancurkan reputasimu."
Rahangku mengetat mendengar informasi itu. Wanita jalang
brengsek! "Alex menelepon, menyuruhku agar tidak berusaha
menghubungimu. Atau dia akan meninggalkan kami. Mulanya aku
bingung dengan sikapnya, tapi kemudian Claire memberitahuku.
Rupanya dia ikut menguping pembicaraan Alex dengan Sandra."
"Jadi Jarvis, maukah kau memaafkan kami?"
Aku menatap Om Wahyu, dan melihat ketulusan di matanya.
"Dan...maukah kau menjadi menantu kami?"
Melihat senyum di bibirnya, aku tak bisa menyembunyikan
senyumanku. Semua kesedihan dan kemarahan pun lenyap.
"Dengan senang hati...Om," kataku sambil mengulurkan tanganku.
"Papa," ralatnya dan menyambut uluran tanganku.
"Papa." Ucapku memastikan, menjabat tangannya hangat. Segala
prasangkaku akan dirinya hilang tak berbekas. Yang tersisa hanyalah
rasa hormatku padanya. *** Hari ini hari yang paling kutunggu selama dua bulan terakhir. Pagipagi sekali
aku sudah mandi dan bersiap-siap. Keluar dari kamar
untuk membangunkan tamu-tamuku yang sudah berada di
apartemenku sejak tiga hari yang lalu.
Aku mengetuk salah satu kamar tamu. Tersenyum ketika mendapati
Bibi Jannice berdiri di hadapanku dengan wajah yang masih
mengantuk. "Kita harus bersiap-siap, Bibi Jannice." Kataku dalam bahasa Jerman
yang tidak begitu fasih. "Astaga Jarvis, ini baru jam empat pagi. Tidak bisakah kau
menunggu sebentar lagi?" Gumam Bibi Jannice kesal.
Menunggu" Tentu saja tidak. "Tapi Bibi Jannice, kita harus sampai
di sana pagi-pagi sekali. Jangan sampai nanti terjebak macet."
Kataku berargumentasi. Bibi Jannice memutar bola matanya, "Yang benar saja, acaranya
baru mulai jam sembilan." Kemudian pintu kamarnya tertutup.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Dengan sudut
mataku, aku melirik kamar sebelah, berniat untuk mengetuk pintu,
namun kuurungkan, mengingat mereka mungkin masih terlalu lelah.
Akhirnya aku memutuskan untuk ke dapur, melihat apa yang
dimasak Rachel. "Junior." Aku terkejut mendengar seruan itu, tapi lebih terkejut lagi
ketika melihat mereka sudah ada di dapur bersama Rachel. Kakek
yang barusan memanggilku sedang duduk di meja makan dengan
koran di tangannya dan secangkir teh hangat di depannya, sedangkan
Nenek sedang meracik bumbu bersama Rachel.
"Kakek...Nenek," sapaku bergegas menghampiri mereka dan
mencium pipi mereka bergantian. "Tadi aku berniat membangunkan
kalian, ternyata kalian sudah berada di sini."
Kakek -tanpa mengalihkan pandangannya dari koran-terkekeh,
"Kami bahkan tidak tertidur, tidak sabar menunggu pagi datang."
"Bibi Jannice tidak sependapat denganmu, Kek." Gumamku, diamdiam tertarik dengan
koran yang dipegang Kakek, merasa heran
karena koran yang dipegangnya adalah koran Indonesia. "Memang
Kakek bisa baca koran ini?" Tanyaku sambil melongokkan kepalaku
untuk melihat apa yang dibaca Kakek, dan aku ternganga...Sialan
Jeremy! Mukaku merah padam melihat apa yang disembunyikan Kakek
dibalik koran itu. Aku ingat, seminggu yang lalu, Jeremy datang ke
apartemenku dengan membawa majalah porno, dan dia
meninggalkannya begitu saja saat pulang. Aku sudah menyimpannya
dan berniat mengembalikannya pada Jeremy, tapi kenapa sekarang
majalah itu bisa ada pada Kakek"
Aku mengamati wajah Kakek yang tersenyum-senyum salah
tingkah, melirik ke arah Nenek yang masih asyik bersama Rachel.
Kakek mengisyaratkan agar aku tutup mulut, aku hanya gelenggeleng kepala dan
tersenyum masam. Bisa-bisanya di usianya yang
hampir satu abad, Kakek masih tertarik dengan gambar gadis
telanjang. Lalu aku menghampiri Nenek dan memeluknya dari
belakang, agak membungkukkan tubuhku untuk meletakkan daguku
ke bahunya. "Aku lega kalian ada di sini," gumamku, "Meski sedikit kecewa
karena Henry dan Liana tidak bisa menghadiri pernikahanku."
Nenek dari balik bahunya mengelus rambutku dengan sayang.
"Liana tidak boleh terlalu lelah, karena itulah Henry memutuskan
untuk tetap di sana." Lalu Nenek kembali asik mengupas bawang,
"Yah...Meskipun dia sangat ingin bertemu dengan keponakannya."
Aku tersenyum mengingat seraut wajah mungil yang tersenyum
padaku. Ell...Putriku yang sangat menggemaskan. Warna bola mata
dan rambutnya memang sama dengan Alexa, tapi aku berani
bertaruh, raut wajah Putriku merupakan jiplakan dari wajahku
dengan versi yang lebih kecil dan lembut.
"Tapi pasti dia kecewa karena calon Putranya bukanlah cicit pertama
Nenek," gumamku dengan seringaian pada wajahku.
Nenek tertawa, "Dasar kau ini." Lalu dia menjulurkan tangannya ke
samping untuk mencubit pinggangku.
Aku melepas pelukanku dan berkelit, tertawa ketika jari Nenek
menangkap udara kosong. Nenek hanya mengeleng-gelengkan
kepalanya. Aku menyandarkan tubuhku pada dinding dapur, menyilangkan
tanganku di depan dada. Dan mengamati Nenek yang kembali asyik
bekerja sambil berbincang-bincang dengan Rachel, bahasa dan
alunan suara mereka yang khas, membuat dapurku terasa hangat.
Lalu aku melirik Kakek yang masih asyik dengan koran xx-nya,
tersenyum geli ketika melihat raut wajahnya.
Aku bangga pada mereka yang mau menerimaku menjadi bagian
dari mereka, tanpa mempedulikan masa laluku yang kelam. Dan aku
bersyukur dengan kesehatan yang mereka miliki, di usia mereka
yang hampir 90 tahun, mereka masih sehat dan kuat. Bahkan
sanggup melakukan perjalanan jauh seperti sekarang.
Rasanya semuanya hampir terasa lengkap, hanya tinggal satu
langkah lagi...dan kelengkapan ini akan menjadi sempurna.
*** Julia dan Bibi Jannice sedang mendandaniku di kamar Bibi Jannice.
Mereka sama sekali tidak mempedulikan raut mukaku yang masam
karena merasa kesal dengan ritual make-up yang mereka lakukan.
"Jauhkan bedak itu dariku." Seruku tak tahan lagi ketika melihat
Julia bersiap untuk menyapukan sesuatu pada wajahku.
"Diamlah Jarvis, ini bukan bedak. Ini hanya krim yang bisa menahan
keringatmu." Aku berusaha menggeleng kuat-kuat, tapi tangan Tante Jannice
-yang masih mencengkeram daguku untuk mengoleskan cleansermenahanku.
"Aku tidak mau. Sudah Bibi Jannice, aku tidak perlu memakai ini."
Daun telingaku bergerak-gerak menangkap adanya suara tawa
tertahan dari belakangku.
"Sialan kau, Jeremy. Awas kau!" Lalu meraih botol cleanser yang
ada di hadapanku dan berniat melemparkannya ke arah Jeremy,
ketika Tante Jannice menjerit dan menahan tanganku.
"Ini mahal, tahu!" Seru Bibi Jannice dengan tangkas merebut botol
itu dari tanganku. Jeremy tergelak dan berlari ke luar dari kamar, "Cepatlah, sekarang
sudah jam setengah sembilan." Teriaknya membuatku panik.
"Cepat Bibi, aku tidak mau terlambat."
Julia terkikik geli, sedangkan Bibi Jannice memutar bola matanya
bosan. "Jeremy bohong, Jarvis. Sekarang baru jam setengah delapan
waktu setempat." Ujarnya sambil menunjuk jam dinding besar yang
ada di ruangan ini. Aku merengut kesal. Awas kau Jeremy.
Akhirnya setelah setengah jam kemudian, aku bisa menarik nafas
lega. Kami sudah ada di lantai bawah apartemenku, bersiap untuk ke
luar dan menuju mobil yang sudah berada di luar gedung lengkap
dengan supir yang sudah menunggu.
Aku dan Jeremy masih di depan pintu gedung apartemen ketika
rombongan yang lainnya sudah memasuki mobil masing-masing.
Aku menuju mobil terdepan, bersiap untuk membuka pintu ketika
pandanganku tertumbuk pada sesosok tubuh di kejauhan yang
sedang memperhatikanku. Tubuhku membeku, aku seperti
mengenali sosok itu, tapi itu tidaklah mungkin.
Merasa tidak yakin dengan apa yang kulihat, aku mengerjapkan
mata. Tapi sosok itu menghilang begitu mataku terbuka kembali.
Mengabaikan bulu-bulu halus yang berdiri di tengkukku, aku
mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa aku berhalusinasi.
"Cepatlah Jarvis!" Seruan Jeremy mengembalikan kesadaranku, aku
bergegas memasuki mobil dan tersenyum cerah mengingat waktunya
sebentar lagi. Dan apa yang kulihat barusan terlupakan begitu saja.
*** Bab 16 - Tamat THE WEDDING Alexa menyerahkan Ell pada Mamanya, Ell yang sudah terlelap
hanya bergerak sedikit saat berpindah tangan, lalu kembali tertidur
ketika menemukan posisi yang nyaman dalam gendongan Neneknya.
Aku yang berada di samping Alexa merundukkan tubuhku untuk
mencium pipi montok Ell, dan ketika jariku menyentuh pipinya, Ell
menangkapnya dengan tangan mungilnya, dalam tidurnya dia
menggenggam jari telunjukku dan didekatkan ke bibirnya.
Aku tertawa pelan melihat tingkah Putriku, begitupun dengan
mereka yang mengerumuni kami.
"Kenapa tidak kita bawa saja Ell bersama kita?" Gumam Alexa
setengah merajuk. Aku mendekatkan bibirku ke telinga Alexa, "Khusus malam ini, aku
tidak mau membagimu sayang," bisikku sensual.
Alexa merona, dia mengalihkan perhatiannya dengan mencium Ell.
"Jangan khawatirkan Ell, toh kalian hanya berjarak beberapa lantai
dari kami." Kata Ibu mertuaku sambil menggoyang-goyangkan Ell.
Aku merangkul pundak Alexa, "Dengarkan kata mamamu..."
Bisikku lagi. Kami memang memutuskan untuk menunda bulan madu kami
karena Ell masih terlalu kecil untuk ditinggal. Malam ini kami
menginap di Grand Alena Hotel -tepatnya di Penthouse milik Alexayang sejak lima
bulan lalu berganti nama menjadi A&A Hotel,
tempat resepsi pernikahan kami diadakan. Resepsi dengan tamu
yang terbatas, hanya kerabat dan kolega terdekat yang menjadi tamu
undangan kami, seperti itulah yang diinginkan Alexa.
Jantungku berdebar kencang saat menunggu Alexa di altar. Entah ide
siapa yang melarangku untuk menemui Alexa sebelum pernikahan


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlangsung, itu membuatku sangat tersiksa, dan hampir tidak bisa
menahan diri untuk tidak melompat dan menggeret Alexa dalam
pelukanku saat melihatnya berjalan menghampiriku di samping
Ayahnya. Dia tampak cantik dengan gaun putih lebar yang membungkus
tubuhnya, rambutnya terjalin rapi ke samping melewati bahunya,
dengan hiasan bunga-bunga putih kecil yang menempel pada
rambutnya. Veil transparan yang menutupi bagian belakang
kepalanya, melembutkan penampilannya, dengan ekor veil yang
menjulur ke belakang, menyamai ekor gaun pengantinnya.
Sumpah setia terucap dari bibirku, mengikat janji untuk
sepenanggungan dalam suka dan duka, dalam sakit dan tawa.
Perasaan lega memenuhi dadaku saat kami disahkan menjadi Suami
Istri. Dan saat resepsi pernikahan kami berlangsung, aku berdiri dengan
membusungkan dada di samping kedua periku. Alexa dengan gaun
pengantin bak Putri dari negeri dongeng, dan Ell yang memakai baju
senada di dalam gendongannya, meskipun Ell lebih banyak tertidur
saat resepsi pernikahan kami berlangsung.
Setelah berpamitan kepada mereka yang masih tersisa di Ballroom
A&A Hotel -yang sebagian besar adalah kerabat terdekat-aku
menggeret Alexa untuk meninggalkan ruangan itu.
"Tak sabar cari kamar, Bro..." Teriak Jeremy dari kejauhan yang
membuatku melotot ke arahnya. Para orang tua hanya tersenyum
maklum, sedangkan Alexa sudah merah padam menahan malu.
Aku memasuki lift dan merangkul Alexa posesif, mengacungkan jari
tengahku pada Jeremy dan menggerakkan bibirku membentuk kata
'f*ck you' tepat sebelum pintu lift menutup.
"Kenapa kau tidak menunggu mereka pergi dulu baru kita ke atas?"
Gumam Alexa setengah menggerutu.
"Menunggu"! Jangan bercanda, bagaimana bisa aku menunggu saat
aku begitu ingin memakanmu." Aku membalik tubuh Alexa
menghadapku dan melumat bibirnya, hal yang paling ingin
kulakukan sejak tadi. Ketika kami sudah disahkan menjadi pasangan Suami Istri tadi pagi,
Alexa hanya mengijinkanku mengecup bibirnya. Dia menarik diri
begitu saja saat aku mulai merasa terbakar ketika menyentuh bibir
lembutnya. Aku mencoba untuk mendapatkan lebih dengan menahan
kepalanya, tapi apa yang dilakukannya" Dia menggigit bibirku
sehingga aku memekik kesakitan.
Sekarang, saatnyalah aku membalas perbuatannya.
Aku mengerang ketika bibirnya berada dalam lumatanku, merasakan
gejolak di dalam perutku.
"Ja...Jarvis, tu-tunggu...Ini di lift..."
Bukannya menghentikan ciumanku, aku malah mendorong tubuhnya
hingga terdesak ke dinding lift, meletakkan tanganku di belakang
kepalanya dan mencengkeram veil yang menutup kepalanya,
mencecap habis bibir Alexa.
Oh Tuhan...Bibirnya terasa manis, betapa aku merindukan ini.
Nafas Alexa sudah terengah-engah ketika aku setengah mendesak,
menyorongkan lidahku ke dalam mulutnya, membelai setiap
sudutnya untuk menandai kembali milikku. Membelitkan lidahku
pada lidahnya dan memilinnya menjadi gerakan yang membuat
semua aliran darahku berbalik naik ke kepalaku.
Susah payah Alexa membalas ciumanku, menjinjit dan
merangkulkan kedua tangannya pada leherku, menelusupkan jarijarinya pada
rambutku. Aku tidak bisa berhenti, sampai bunyi dentingan lift yang
menandakan kami telah sampai di lantai tujuan mengagetkanku. Aku
melepaskan ciumanku, meletakkan satu tanganku di bawah lututnya
dan mengangkatnya dalam gendonganku. Melangkahkan kaki lebarlebar untuk sampai di Penthouse Alexa.
Di saat aku menggendongnya, Alexa membuka pintu Penthouse.
Aroma mawar dan melati yang menyeruak begitu pintu terbuka
menghampiri indra penciumanku. Aku memasuki Penthouse dan
menutup pintunya dengan kakiku, kemudian melangkah menuju
ranjang besar yang seolah-olah sedang menunggu kehadiran kami.
Aku mendudukkan Alexa di pinggir ranjang. Perlahan, melepaskan
veil yang menutupi kepalanya dan melepaskan jalinan rambutnya,
membuatnya tergerai melewati bahunya. Rambut coklat gelapnya
terlihat berkilau terkena cahaya lampu, aku membelainya dan
mengunci pandangan matanya.
"Kau sangat...cantik, Fai..." Bisikku parau.
"Kau juga tampan..."
Aku mengangkat sebelah alisku mendengar ucapannya, heran,
karena sebelumnya Alexa tidak pernah memujiku.
Alexa mengerling nakal, dia mengulurkan tangannya, melonggarkan
dasi dan melepaskan jas yang kupakai. Tanpa mengalihkan
tatapannya dari mataku, dia menggerakkan jari-jari lentiknya dengan
lincah, membuka setiap kancing yang ada pada kemejaku. Lalu
melepasnya melewati bahuku, memperlihatkan dada telanjangku
padanya. Tangan halus Alexa mulai meraba dadaku, "...dan seksi, sayang..."
Bisiknya. Sesuatu yang liar dalam diriku terbangun mendengarnya
memanggilku 'sayang'. Aku meraihnya dalam gendonganku dan
menghempaskan tubuhnya di tengah ranjang. Melompat ke atasnya,
lalu melepas ritsleting gaun pengantinnya, menarik turun melewati
kakinya. Model gaunnya yang berbentuk bustier memudahkanku
untuk membukanya tanpa memerlukan waktu yang lama.
Dalam sekejap saja Alexa sudah telanjang di bawahku. Aku
menatapnya liar, dengan pandangan yang semakin berkabut, melihat
Alexa yang sangat membuka diri.
Alexa menatapku sayu, dia melengkungkan punggungnya hingga
membuat payudaranya terangkat, seakan menantangku untuk
mencicipi putingnya yang kini sudah mengeras.
Tergesa-gesa aku melepaskan ikat pinggangku, membuka celana
sekaligus boxer yang menempel dan melemparkannya jauh-jauh.
Aku tidak ingin ada satupun yang menghalangi sentuhan kulitku
dengan kulit Alexa, tidak sama sekali.
Tanganku gemetar saat menyentuh tubuhnya, membelai dan
meremas pinggangnya, meluncur turun ke celah di antara pahanya.
Alexa membuka pahanya semakin lebar, aku menelan air liurku saat
Alexa mengangkat pinggulnya, membuatku bisa melihat pusat
kewanitaannya yang berkilau karena cairannya. Merasakan
kehangatannya di jariku, aku mendesah.
"Kau sudah basah untukku, sayang..."
"Sangat..." Bisik Alexa sensual.
Aku menggeram mendengar nada suaranya yang menggodaku,
menggigit bibir bawahku aku menaikinya, merasakan sensasi yang
luar biasa saat kulit kejantananku menyentuh permukaan intinya.
Aku menangkupkan kedua tanganku ke atas payudaranya dan
meremasnya lembut, Alexa mendesah.
"Jangan menunggu lagi, sayang. Setubuhi aku dengan...keras."
Damn! Aku bisa orgasme hanya dengan mendengarnya meminta
padaku. Tanpa menunggu lagi, aku memasukkan ereksiku pada
lubang kewanitaannya, medongakkan kepalaku saat merasakan apa
yang selama ini sangat aku rindukan.
Alexa mulai menggerak-gerakkan pinggulnya dengan liar.
"Tidak...tidak Fai, tunggu..." Teriakku panik. Kalau dia terus saja
bergerak, itu akan membunuhku.
Alexa tidak mempedulikan teriakanku, dia menangkupkan kedua
tangannya pada pipiku, menatap tepat di kedua bola mataku. "Jangan
menunggu lagi sayang, kita sudah terlalu lama menunggu." Bisiknya
parau. Perutku semakin bergejolak merasakan gesekan dari dinding
kewanitaannya pada kejantananku. "Ini...ini akan sangat cepat..."
Aku mencoba untuk menahan desakan di bawah perutku.
"Aku ingin cepat..."
Dan...aku kehilangan kendali. Aku memompanya dengan kuat,
tanpa menahan lagi. Jeritan dan erangan dari bibir Alexa semakin
membuatku bergairah. Sentuhan hangat yang membungkus
kejantananku terasa sangat nikmat. Tanganku bergerak liar, meremas
setiap jengkal tubuhnya. Di antara goyangan tubuhnya, aku melihat
kedua tangan Alexa meraba dada dan six packs-ku, menatapnya
dengan sorot mata penuh kekaguman. Itu...membuatku semakin...
panas. Aku mempercepat gerakanku, "Fai..." Suara serakku menyebut
namanya di batas ambang kenikmatanku.
Alexa mengerang, "Lebih keras, sayang. Lebih keras lagi..."
Aku tahu dia hampir sampai, aku menusuknya lebih keras lagi. Dan
bersamaan dengan jeritannya aku meledak di dalamnya,
menjatuhkan tubuhku ke atas tubuhnya. Terkapar dalam kenikmatan
luar biasa yang membungkusku.
"Ini...sangat luar biasa..." Gumam Alexa saat kami sudah mereda.
Aku mengecup bibirnya, dan berguling ke samping. "Aku tahu."
Gumamku. Kami berbaring berhadapan dan terdiam beberapa saat, aku
menyingkirkan anak-anak rambut yang menempel di pipinya.
"Kau tahu" Aku sangat suka rambut coklat yang membingkai
wajahmu." Bisikku lembut.
"Aku suka rambut warna perunggumu, itu terlihat aneh di sini."
Aku terkekeh, "Kau menyukai rambutku karena terlihat aneh?"
Alexa menyeringai, "Kau terlihat seksi dengan rambut
perunggumu." Aku mengangkat sebelah alisku, "Aku suka mata coklat lembutmu,
warnanya seperti beer, dan itu menghanyutkanku saat menatap ke
dalamannya." "Mata birumu terlihat menyesatkan...dan penuh misteri..."
"Tidak adakah kata-kata yang lebih indah dari 'penuh misteri'" Itu
seakan-akan mengatakan aku seorang psikopat." Gerutuku.
Alexa terkekeh dan menggeleng, "Tidak. Itu sangat cocok untukmu,
aku menyukainya." Aku menyeringai, "Aku tidak peduli apapun julukan untuk mataku,
yang penting kau menyukainya."
Alexa membelai dadaku, "Aku suka dada bidangmu...membuatku
terasa nyaman saat berbaring di atasnya," bisiknya lembut, lalu
gerakan tangannya turun ke perutku dan membelai setiap bagiannya.
"Aku suka dengan six packs-mu...Terlihat...sangat-sangat panas..."
desahnya, jari-jarinya memainkan happytrail-ku.
Aku mendesah, "Sepertinya, kau agak berbeda..."
Alexa menatapku dan mengangkat sebelah alisnya.
"Kau...agak lebih terbuka." Seringaiku nakal, "Tadi kau
menggodaku, ingat?" Alexa tersenyum, agak tersipu. Tapi kemudian dia mengangkat
dagunya, "Kenapa" Kau tidak suka?"
"Wow...tentu saja aku suka. Itu hebat." Pujiku dengan senyuman
lebar pada bibirku. "Mungkin...ini semacam balas dendam dari hormon masa hamilku
yang tidak terpenuhi."
Aku menariknya dalam pelukanku, "Oh sayang...Aku menyesal
tidak berada di dekatmu saat kau membutuhkanku." Gumamku
sedih. "Hei, aku cuma bercanda."
"Aku serius..." Aku mengecup puncak kepalanya, "Maafkan aku..."
Bisikku. "Sudah dimaafkan..."
Kami terhanyut dalam ketenangan.
"Fai..." Aku berbisik memanggil namanya.
"Hmm..." "Ada yang ingin kubicarakan denganmu..."
"Apa?" "Tapi...Apakah kau mau berjanji tidak akan membenciku?"
"Aku tidak akan pernah bisa membencimu, Jarvis."
"Ini tentang masa laluku."
"Kalau tentang kenapa kau bersama Liana, aku sudah tahu..."
"Bukan. Ini tentang masa sebelum itu."
Alexa mendongak, menatapku lembut. "Ceritakanlah jika itu
membuatmu merasa lebih baik."
Lalu meluncurlah semua cerita tentang kehidupanku di masa lalu
dari bibirku. Tentang kehidupanku sepeninggalan Ibu, sampai
kejadian saat aku membakar Om Benny.
Selesai bercerita, ragu-ragu aku menatap mata Alexa, mencari-cari
sorot mata kebencian atau jijik pada bola matanya, tapi aku tidak
menemukannya. Yang kudapati hanya sorot mata penuh rasa simpati.
"Kau tidak takut padaku?" Tanyaku ragu-ragu.
"Takut kenapa?"
"Aku seorang pembunuh."
"Apa kau yakin sudah membunuhnya?"
"Maksudmu?" "Yah...bisa saja dia tidak terbunuh karena perbuatanmu. Mungkin
dia selamat..." Bulu tengkukku berdiri mengingat kemungkinan itu, kemungkinan
yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiranku.
"Tapi, kalaupun dia sampai terbunuh...Aku tidak akan
*** Mata kami saling terpaut, uap air memenuhi ruangan ini, menjadikan
kami berada di dalam kabut hangat. Gelembung sabun beraroma
mawar dan jasmine melimpah ruah di dalam Jacuzzi.
Alexa bergerak di atasku, melumpuhkan syaraf-syarafku.
Payudaranya terasa lembut dan licin saat membentur dadaku.
Erangan dari bibirku menyadarkanku bahwa aku bukanlah berada di
surga, melainkan di kehidupan nyata, merasakan kenikmatan luar
biasa akibat gesekan dinding kewanitaannya pada ereksiku.
Tanganku membelai pantatnya, menelusuri celah diantaranya, dan
menggesek-gesekkan jariku di sana. Sedangkan tanganku yang satu
berada di atas payudaranya, memilin putingnya dengan jari-jariku.
Alexa mendesah, gerakan lembut yang dilakukannya membuaiku ke
awang-awang. Dari balik bahunya, aku melihat gerakan pantatnya
yang sesekali menyembul dari limpahan busa di antara kami.
"Kau sangat seksi, babe..." Geramku, mulai memasukkan jariku ke
lubang pantatnya, dan menekan ke dindingnya.
Alexa terkesiap, matanya membulat menatapku. Bibirnya mendesah,
menyebut namaku dengan nada memuja.
Aku suka saat dia melakukan itu.
Gerakannya semakin cepat, naik turun di atasku. Aku memutar
pinggul dan menghentakkannya kedepan sekali, lalu memutar lagi.
Melakukan gerakan itu berkali-kali. Sampai kami berdua kehilangan
kontrol. Dengan nafas yang semakin memburu, kami mengejar puncak yang
semakin dekat. Aku memperdalam tusukan jariku pada lubang
pantatnya, melakukan gerakan memutar di dalamnya, dengan jempol
yang membelai celahnya. "Oh Jarvis...Demi Tuhan...Jarvis..."
Alexa menggeliat semakin liar.
"Yeah...Fai...Fai...terus...Oh Tuhan..." Aku menarik pantat Alexa
dan menekannya ke arahku. Meledakkan benihku ke dalam
kewanitaannya. Dan aku pun tenggelam akan kenikmatan yang menghantamku
secara bertubi-tubi. Melayang saat merasakan denyutan pada


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kewanitaannya yang membungkus ereksiku, membuatku kehilangan
kesadaran sejenak. Saat kenikmatanku mulai mereda, aku mengembalikan kesadaranku.
Membelai tubuh Alexa yang terbaring lemas di atasku.
"Aku mencintaimu..." Bisikku lembut.
"Aku tahu," kerlingnya nakal.
Aku terkekeh melihat reaksinya, itu membuatku kembali mengeras,
bahkan sebelum milikku ke luar dari intinya.
Alexa mendongakkan kepalanya dan terbelalak menatapku.
"Ayo kita mulai ronde selanjutnya, sayang..." Gumamku parau, dan
kemudian berguling, membuatnya berada di bawahku.
*** 3 bulan kemudian... Minggu pagi yang sangat cerah. Aku memasukkan bekal-bekal yang
sudah disiapkan Alexa ke dalam bagasi mobil. Lalu mendorong
kereta bayi yang sudah terlipat ke kursi belakang.
Aku menutup pintu penumpang, dan tersenyum puas pada Alexa
yang menghampiriku dengan Ell dalam gendongannya.
Meraih Ell, aku mengangkatnya tinggi-tinggi lalu menurunkannya
hingga sebatas kepalaku, memainkan bibirku di perutnya. Ell
terkekeh geli, kedua tangan mungilnya meremas rambutku.
Alexa tertawa, aku lalu menurunkan Ell dan meletakkannya dalam
lekukan tangan kiriku. Dia terduduk nyaman, dan mulai memukulmukulkan tangannya
ke bibirku. "Dadada..." Ocehnya membuatku tertawa.
"Dia memanggilku." Kataku pada Alexa.
Alexa tertawa, "Tidak sayang. Dia hanya mengoceh."
"Ya. Tapi dia mengoceh Dadad, itu panggilan untukku."
"Semua bayi mengocehkan kata itu. Kalau dia sudah mulai bisa
bicara, Ibu-lah yang akan disebut terlebih dahulu."
"Tapi dia mengatakan Dadad, bukannya Momom..." Aku bersikeras.
Alexa memutar bola matanya, "Terserahlah," gumamnya.
"Yee..Mommy ngambek tuh...Ayo baby Ell, panggil Daddy...Dad...
dy" Aku menghadapkan Ell ke mukaku.
"Dad..dad..." "Anak pintar, sekarang Mom..my"
"Hei, kita harus segera berangkat." Seru Alexa yang sudah membuka
pintu mobil. "Ayo berangkat, sayang..." Sambil menggoyang-goyangkan Ell, aku
menyerahkan Ell pada Alexa.
"Mom..momm." Aku dan Alexa terbelalak.
"Dia memanggilmu."
"Dia memanggilku."
Aku dan Alexa berseru bersamaan. Lalu kami tertawa.
"Ulangi lagi sayang...Mom..my." Alexa terlihat sangat bahagia.
"Mom...momm." Oceh Ell.
"Dad..dy." Aku tak mau kalah.
"Dad..daddad." Kami kembali tertawa. "Anak pintar..."
Ell tersenyum lebar, tangan mungilnya tak berhenti bergerak,
menyentuh muka Alexa. Alexa masuk ke dalam mobil, aku menutup pintunya dan memutari
mobil, kemudian duduk di kursi pengemudi.
"Ayo kita berangkat..." Seruku menstarter mobil.
"Let's go, Dad..." Alexa mengacungkan tangan Ell yang tergenggam
ke atas, Ell terkekeh senang.
"Mbak Lian semalam telepon, dia ingin saat melahirkan nanti, kita
berada di sana." Kata Alexa saat mobil kami meluncur, melintasi
jalan raya. Aku tersenyum, "Akan kupikirkan." Gumamku.
Mbak Lian, panggilan Alexa untuk Liana, sekarang dia lebih sering
menghubungi Alexa daripada aku. Awalnya Alexa merasa canggung
untuk berkomunikasi dengannya, tapi seiring dengan berjalannya
waktu, kurasa Alexa sudah memaafkan Liana. Aku merasa senang
semuanya berakhir dengan baik.
Di pertigaan terakhir sebelum memasuki jalan tol, lampu lalu lintas
menyala merah. Aku menghentikan mobilku, membuka kaca jendela
samping saat seorang anak kecil bernyanyi di samping mobil, lalu
menyerahkan lembaran dua puluh ribuan padanya.
Anak itu tersenyum lebar, tak henti-hentinya mengucapkan terima
kasih. Aku hanya melambaikan tanganku dan berniat menutup kaca
jendela ketika melihat sosok itu diantara kerumunan orang di pinggir
jalan. Berjalan melintasi mobilku bersama arus hilir mudik pejalan
kaki. Aku tertegun, sesaat merasa kehilangan orientasi. Saat tersadar aku
berusaha mencari sosok itu dengan pandangan mataku, tapi dia
sudah tidak terlihat. "Sayang, ada apa?" Alexa memanggilku. Ribut bunyi klakson di
belakang menyadarkanku bahwa lampu lalu lintas sudah berganti.
"Tidak. Tidak apa-apa." Gumamku pelan, lalu mulai melajukan
mobil kembali. Aku pasti hanya salah lihat.
SELESAI Dendam Empu Bharada 36 Goosebumps - 2 Jauhi Ruang Bawah Tanah Pendekar Super Sakti 15

Cari Blog Ini