Fallen Too Far Karya Abbi Glines Bagian 1
Fallen Too Far by Abbi Glines Bab 1 Truk bercampur lumpur pada ban yang kupakai telah kuparkir di
samping rumah yang sedang berpesta itu. Tidak ada mobil buatan
luar negeri mahal disini. Tempat ini paling tidak memuat setidaknya
dua puluh mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk. Aku
memarkir truk Ford tua berusia lima belas tahun milik Ibuku di
lapangan berumput, jadi aku tidak akan menghalangi siapa pun.
Ayah tidak bilang padaku bahwa malam ini dia akan mengadakan
pesta. Dia tidak bicara banyak padaku.
Dia juga tidak hadir pada pemakaman Ibu. Jika aku tidak butuh
tempat tinggal, aku tidak mau berada disini. Aku sudah menjual
rumah mungil yang ditinggalkan Nenekku untuk membayar tagihan
akhir dari biaya pengobatan ibu. Yang tersisa hanyalah bajuku dan
truk. Menelpon Ayahku, setelah dia tidak pernah datang walau hanya
sekali selama tiga tahun Ibuku berjuang melawan penyakit
kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah
satu-satunya keluarga yang aku miliki.
Aku menatap pada rumah besar tiga lantai yang mengarah langsung
pada pasir putih di pantai Rosemary, Florida. Ini adalah rumah baru
Ayahku. Keluarga barunya. Aku tidak cocok hidup disini.
Pintu trukku tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, aku meraih ke
bawah kursi dan mengambil pistol sembilan millimeterku. Aku
mengayunkannya dan mengarahkannya pada penyusup itu,
memegang senjata itu dengan kedua tanganku siap untuk menarik
pelatuknya. "Whoa...Aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat
tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan
padaku asalkan kau jauhkan senjata itu," seorang pria dengan rambut
shaggy coklat yang diselipkan dibelakang telinganya berdiri di sisi
depan senjataku dengan kedua tangan terangkat dan matanya yang
melebar. Aku menatapnya bingung dan tetap mengacungkan senjataku. Aku
masih tidak tahu siapa pria ini. Membuka pintu truk orang lain
bukanlah hal biasa bagi orang asing. "Tidak, kupikir aku tidak
tersesat. Apakah ini rumah Abraham Wynn?"
Pria itu menelan ludahnya dengan gugup, "Uh, aku tidak bisa
berpikir jika senjata itu diarahkan ke wajahku. Kau membuatku
sangat gugup, Sayang. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum
terjadi kecelakaan?"
Kecelakaan" Benarkah" Pria ini mulai membuatku marah. "Aku
tidak mengenalmu. Diluar gelap dan aku di tempat asing, sendirian.
Jadi, maafkan aku jika kau merasa tidak nyaman saat ini. Kau bisa
mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi
kecelakaan. Aku bisa memakai senjata. Dengan sangat baik."
Pria itu kelihatannya tidak percaya padaku dan sekarang setelah aku
melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun, aku belum
siap untuk menurunkan senjataku.
"Abraham?" dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan
kepalanya kemudian berhenti, "Tunggu, Abe adalah Ayah tiri baru
Rush. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Georgiana pergi ke
Paris." Paris" Rush" Apa" Aku menunggu penjelasan lebih tetapi pria itu
terus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. Mengunci
tatapanku padanya, aku menurunkan senjataku dan memastikan
untuk mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum aku
menyimpan senjataku di bawah kursiku. Mungkin dengan senjata itu
dijauhkan pria ini bisa fokus dan menjelaskan.
"Kau punya surat ijin untuk memiliki senjata?" tanyanya ragu.
Aku sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjataku. Aku
butuh jawaban. "Abraham di Paris?" tanyaku meminta konfirmasi. Dia tahu aku
akan datang hari ini. Kami sudah membicarakannya beberapa
minggu yang lalu setelah aku menjual rumah.
Pria itu mengangguk pelan dan bersikap santai. "Kau mengenalnya?"
Tidak juga. Aku menemuinya dua kali sejak dia meninggalkan ibuku
dan aku lima tahun yang lalu. Aku ingat Ayah datang ke
pertandingan sepak bolaku dan memanggang burger di luar rumah
untuk pesta antar tetangga. Ayah yang aku miliki hingga hari dimana
saudara kembarku Valerie tewas dalam kecelakaan. Ayahku yang
mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Pria yang tidak menelponku
dan memastikan aku baik-baik saja sementara menjaga ibuku yang
sakit, aku tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.
"Aku putrinya, Blaire."
Mata pria itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke
belakang dan tertawa. Apakah itu lucu" Aku menunggunya untuk
menjelaskan ketika dia mengulurkan tangannya. "Ayo Blaire, aku
ingin kau bertemu dengan seseorang. Dia akan menyukainya."
Aku menatap tangannya dan meraih tasku.
"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu" Haruskah aku
memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada
menggoda di suaranya menjauhkanku dari berkata kasar.
"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk. Aku ketakutan."
"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengacungkan senjata pada
seseorang" Cewek sialan, dari mana asalmu" Kebanyakan gadis
yang aku kenal akan menjerit atau semacamnya."
Kebanyakan gadis yang dia kenal tidak terpaksa untuk melindungi
dirinya hampir selama tiga tahun. Aku punya seorang ibu yang sakit
untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun yang menjagaku. "Aku dari
Alabama," jawabku sambil mengacuhkan uluran tangannya dan
melangkah keluar dari truk.
Angin sepoi pantai membelai wajahku dan bau asin dari laut terasa
begitu nyata. Aku belum pernah melihat laut sebelumnya. Paling
tidak belum secara langsung. Aku melihatnya di lukisan dan film.
Tapi baunya, benar-benar seperti apa yang aku harapkan.
"Jadi benar apa yang mereka katakan tentang gadis dari Bama,"
jawabnya dan aku mengalihkan perhatianku padanya.
"Apa maksudmu?"
Matanya mengamati tubuhku dari bawah dan kembali ke wajahku.
Sebuah seringai terpasang di sepanjang wajahnya. "Jeans ketat, tank
top, dan senjata. Sialan, aku hidup di negara bagian yang salah."
Memutar mataku, aku meraih ke belakang truk. Aku membawa
koper dan beberapa kotak yang harus aku turunkan di Goodwill.
"Sini, biar aku saja," ia berjalan mengitariku kemudian meraih koper
besar Ibuku di bagasi truk yang tersimpan di lemarinya untuk
"perjalanan jauh" yang tidak pernah kami lakukan. Dia selalu
berbicara tentang bagaimana kami akan mengemudi melintasi negara
dan kemudian menuju pantai barat suatu hari nanti. Kemudian dia
jatuh sakit. Menghilangkan ingatan itu, aku fokus pada masa sekarang. "Terima
kasih, uh...aku belum tahu namamu."
Pria itu menarik koper keluar kemudian berpaling padaku.
"Apa" Kau lupa untuk bertanya ketika kau punya senjata sembilan
millimeter yang diarahkan padaku?" jawabnya.
Aku mendesah. Oke, mungkin aku menjadi sedikit berlebihan
dengan senjata tetapi pria ini membuatku takut.
"Aku Grant, a, uh, temannya Rush."
"Rush?" Nama itu lagi. Siapa itu Rush"
Grant menyeringai lebar lagi. "Kau tidak tahu siapa itu Rush?" dia
benar-benar gembira. "Aku sangat senang kau datang malam ini."
Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah, "Ayo. Aku akan
memperkenalkanmu." Aku berjalan disampingnya saat dia membawaku menuju rumah.
Musik di dalam rumah begitu keras saat kami mendekat. Jika
Ayahku tidak ada disini, lalu siapa disana" Aku tahu Georgiana
adalah istri barunya tetapi hanya itu saja yang aku tahu. Apakah ini
pesta anaknya" Berapa usia mereka" Dia punya anak, bukan" Aku
tidak ingat. Ayah tidak memberitahuku dengan jelas. Dia bilang aku
akan menyukai keluarga baruku tetapi dia tidak bilang siapa keluarga
baru itu. "Jadi, Rush tinggal disini?" tanyaku.
"Ya, dia tinggal disini, paling tidak saat musim panas. Dia pindah ke
rumahnya yang lain sesuai musim."
"Rumahnya yang lain?"
Grant tertawa, "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga yang
dinikahi ayahmu, kan Blaire?"
Dia tidak tahu. Aku menggelengkan kepala.
"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan,"
jawabnya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu
depan dan menatapku. "Rush Finlay adalah kakak tirimu. Dia adalah
anak tunggal dari drummer terkenal Slacker Demon, Dean Finlay.
Orang tuanya tidak pernah menikah. Ibu nya, Georgiana, adalah satu
penggemarnya saat itu. Ini rumahnya. Ibunya bisa tinggal disini
karena dia mengijinkannya." Grant berhenti dan melihat ke belakang
pintu, dan membukanya. "Ini semua adalah temannya."
Seorang cewek tinggi, berambut pirang strawberry, langsing
memakai gaun mahal pendek berwarna biru dan sepasang heels yang
jika aku mencoba untuk memakainya akan mematahkan leherku
mereka berdiri disana menatapku. Aku tidak melewatkan kernyitan
di wajahnya. Aku tidak mengenal orang seperti ini tapi aku tahu
tempat belanja bajuku bukanlah sesuatu yang dia datangi. Meskipun
aku punya serangga yang merayapiku.
"Well, halo Nannette," jawab Grant dengan nada mengganggu.
"Siapa dia?" gadis itu bertanya, mengalihkan tatapannya pada Grant.
"Teman. Hapus ancaman dari wajahmu Nan, itu terlihat tidak cocok
untukmu," jawabnya, meraih tanganku dan mendorongku masuk
kedalam rumah dibelakangnya.
Ruangan itu tidak seramai yang aku bayangkan. Saat kami melewati
serambi yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung
mengarah ke tempat yang aku kira adalah ruang tamu. Meskipun
begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirku atau rumah
yang pernah menjadi rumahku. Dua pintu kaca berdiri dengan
pemandangan laut yang mempesona. Aku ingin melihatnya lebih
dekat. "Sebelah sini," ajak Grant sambil dia berjalan menuju...bar" Yang
benar saja" Ada bar di dalam rumah"
Aku menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti
saat itu juga dan menatapku sekilas. Aku merasa tersanjung.
"Rush, kenalkan Blaire, aku yakin dia mungkin milikmu. Aku
menemukannya di luar dan terlihat sedikit tersesat," ucap Grant dan
aku mengalihkan tatapanku dari kumpulan orang-orang yang
penasaran untuk melihat siapa itu Rush.
Oh. Oh. My. "Oh ya?" jawab Rush dengan malas dan maju dari posisi santainya
di sofa dengan bir ditangannya. "Dia menarik tapi masih muda.
Tidak bisa dikatakan dia milikku."
"Oh, dia memang milikmu. Ayahnya pergi ke Paris dengan ibumu
selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia
adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar
ditempatku jika kau mau. Hanya saja jika dia berjanji untuk
meninggalkan senjata mematikannya di truk."
Rush mengernyitkan alisnya dan mengamatiku lebih dekat. Matanya
berwarna aneh. Menarik namun ganjil. Warnanya bukan coklat.
Bukan juga kehijauan. Warnanya hangat dengan iris berwarna perak
melingkupinya. Aku belum pernah melihat yang seperti ini
sebelumnya. Apa mungkin itu lensa kontak"
"Bukan berarti dia milikku," akhirnya dia menjawab dan bersandar
lagi di sofa dimana dia berbaring saat kami muncul.
Grant membersihkan tenggorokannya. "Kau bercanda, kan?"
Rush tidak menjawab. Malah dia minum dari botol berleher tinggi di
tangannya. Tatapannya bergeser pada Grant dan aku bisa melihat
peringatan disana. Aku akan meminta ijin untuk segera pergi. Ini
tidak bagus. Aku hanya punya dua puluh dolar di dompetku dan aku
hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual semua yang aku
miliki. Ketika aku menelpon ayahku aku bilang kalau aku butuh
tempat tinggal hingga aku dapat kerja dan menghasilkan cukup uang
untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberiku
alamat ini mengatakan padaku dia akan sangat senang jika aku mau
tinggal bersamanya. Perhatian Rush kembali padaku. Dia menungguku untuk
mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk kukatakan"
Sebuah seringai terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata
padaku. "Aku punya banyak tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh."
Dia mengalihkan tatapannya pada Grant. "Kupikir lebih baik kita
membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa
menghubungi Ayahnya."
Rasa jijik di lidahnya saat dia mengatakan kata "Ayah" telah lenyap
tanpa diketahui. Dia tidak seperti ayahku. Aku tidak bisa
menyalahkannya. Ini bukanlah salahnya. Ayahku yang mengirimku
kemari. Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk membeli
bensin dan makanan di perjalanan menuju kemari. Kenapa aku harus
percaya pada pria" Aku meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Grant.
"Dia benar. Aku seharusnya pergi. Ini adalah hal sangat buruk," aku
menjelaskan tanpa melihatnya. Aku menarik keras koper dan dia
melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat
mataku saat aku sadar aku merindukan rumah mulai menusukku.
Aku tidak sanggup melihat mereka.
Berbalik, aku menuju pintu, menahan kesedihanku. Aku mendengar
Grant berdebat dengan Rush tapi aku mengabaikannya. Aku tidak
mau mendengar apa yang dikatakan pria tampan itu tentang aku. Dia
tidak menyukaiku. Itu terlihat jelas. Ayahku nampaknya bukanlah
anggota keluarga yang diharapkan.
"Kau akan segera pergi?" sebuah suara yang mengingatkanku pada
sirup lembut bertanya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat
senyum gembira pada gadis yang membuka pintu sebelumnya. Dia
juga tidak ingin melihatku disini. Apakah aku menjijikkan bagi
semua orang" Aku langsung menjatuhkan tatapanku pada lantai dan
membuka pintu. Aku masih punya banyak harga diri untuk tidak
membiarkan jalang itu melihatku menangis.
Saat aku sampai di luar rumah dengan selamat aku menangis terisak
dan berjalan menuju trukku. Jika aku tidak membawa koper aku
akan lari. Aku harus mencari perlindungan. Aku masuk ke dalam
trukku, bukan di dalam rumah lucu itu dengan orang-orang
sombong. Aku rindu rumah. Aku rindu Ibuku. Isakan lainnya
meluncur bebas dan aku menutup pintu truk dan menguncinya
dibelakangku. *** Bab 2 Aku menghapus air mataku dan memaksakan diri untuk mengambil
nafas dalam. Aku tidak boleh menyerah sekarang. Aku tidak
menyerah ketika aku duduk memegang tangan ibuku saat dia
menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tidak menyerah saat mereka
membaringkannya di tanah yang dingin. Dan aku tidak menyerah
ketika aku menjual satu-satunya rumahku. Aku tidak akan menyerah
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang. Aku bisa melaluinya.
Aku tidak punya cukup uang untuk menyewa kamar hotel tapi aku
punya trukku. Aku bisa tinggal di trukku. Mencari tempat aman
untuk memarkirnya di malam hari mungkin akan menjadi satusatunya masalahku. Kota
ini kelihatannya cukup aman tapi aku
sangat yakin jika truk tua ini di parkir disembarang tempat akan
menarik perhatian. Aku akan melihat polisi mengetuk jendelaku
bahkan sebelum aku tidur.Aku akan menggunakan dua puluh dolar
terakhirku untuk mengisi bensin. Kemudian aku bisa mengemudikan
trukku ke pusat kota dimana trukku tidak akan ketahuan di tempat
parkir. Mungkin aku bisa memarkirnya di belakang restoran dan mendapat
kerja juga di sana. Aku tidak perlu bensin untuk pulang pergi ke
tempat kerja. Perut keronconganku mengingatkanku kalau aku
belum makan sejak pagi tadi. Aku akan menghabiskan beberapa
dolar untuk makan. Dan berdoa semoga aku akan mendapatkan kerja
esok hari. Aku akan baik baik saja. Aku memutar kepalaku untuk memeriksa di
belakangku sebelum aku menghidupkan mesin truk dan mundur.
Sepasang mata perak menatapku.
Sebuah teriakan kecil lolos dariku sebelum aku tahu kalau itu adalah
Rush. Apa yang dia lakukan berdiri di luar trukku" Apakah dia
meyakinkan dirinya kalau aku telah meninggalkan rumahnya" Aku
benar-benar tidak mau berbicara lagi dengannya. Aku mengalihkan
tatapanku untuk keluar dari tempat ini sebelum dia mengangkat alis
matanya padaku. Apa maksudnya"
Kau tahu apa" Aku benar-benar tidak peduli.Meskipun dia terlihat
sangat seksi saat melakukannya. Aku mulai menghidupkan truk tapi
tiba-tiba mesin meraung, aku mendengar bunyi klik dan senyap. Oh
tidak. Jangan sekarang. Tolong jangan sekarang.
Aku menggoncangkan kunci dan berdoa kalau aku salah. Aku tahu
alat pengukur bensinku rusak tapi aku melihat alat pengukur jarak.
Aku seharusnya tidak kehabisan bensin.Aku masih punya beberapa
mil lagi. Aku tahu aku bisa.
Aku menghantamkan telapak tanganku pada setir dan memanggil
truk dengan beberapa pilihan nama tapi tidak terjadi apa-apa. Aku
terjebak. Apakah Rush akan menelpon polisi" Dia ingin aku keluar
dari rumahnya jadi dia keluar untuk memastikan aku sudah
pergi.Sekarang aku tidak bisa pergi apakah dia akan membuatku
ditangkap" Atau yang lebih buruk, memanggil mobil derek. Aku
tidak punya uang untuk mendapatkan kembali trukku jika dia
melakukannya. Paling tidak di penjara aku dapat makan dan tempat
tidur. Menelan gumpalanyang tersangkut ditenggorokanku aku membuka
pintu truk dan berharap yang terbaik.
"Ada masalah?" tanya Rush.
Aku ingin berteriak histeris dalam frustasi. Namun, aku memutuskan
untuk mengangguk. "Aku kehabisan bensin." Rush mendesah. Aku
tidak berbicara. Aku memutuskan untuk menunggu keputusan yang
menjadi pilihan terbaik di sini. Aku bisa saja memohon dan membela
diri setelahnya. "Berapa usiamu?"
Apa" Apakah dia benar-benar bertanya usiaku" Aku terjebak di
jalan masuk rumahnya, dia ingin aku pergi dan sekarang dia lebih
suka membicarakan usiaku daripada pilihanku. Pria yang aneh.
"Sembilan belas," jawabku.
Rush mengangkat alisnya, "Benarkah?"
Aku mencoba keras tidak marah. Aku memerlukan kemurahan hati
pria ini untukku. Menekan komentar sinis di ujung lidahku, aku
tersenyum. "Ya. Benar."
Rush menyeringai dan mengangkat bahu."Maaf. Kau terlihat lebih
muda." Dia berhenti dan matanya menelusuri tubuhku dan kembali
keatas dengan perlahan. Rasa panas tiba-tiba merayapi pipiku
dengan memalukan. "Aku tarik lagi kata-kataku. Tubuhmu sedikit
seperti berusia sembilan belas tahun. Wajahmu kelihatan begitu
segar dan muda. Kau tidak memakai make-up?"
Pertanyaan apa itu" Apa yang dia lakukan" Aku ingin tahu dengan
segera seperti apa nasibku kedepannya, bukan membicarakan
tentang kenyataan bahwa memakai make-up adalah hal mewah yang
tidak bisa kulakukan.Selain itu, Cain, mantan pacarku dan teman
terdekatku, selalu bilang aku tidak butuh make-up untuk terlihat
cantik. Apapun maksudnya itu.
"Aku kehabisan bensin. Aku hanya punya dua puluh dolar. Ayahku
kabur dan meninggalkanku setelah mengatakan dia akan
membantuku untuk bertahan hidup. Percayalah padaku, dia adalah
orang TERAKHIR yang ingin kumintai tolong. Tidak,aku tidak
pakai make-up. Aku punya masalah yang lebih besar daripada
terlihat cantik. Sekarang, apakah kau akan menelpon polisi atau
mobil derek" Aku lebih menyukai polisi dalam masalah ini jika aku
boleh memilih," aku menutup mulutku untuk menyudahi kata-kata
kasarku. Dia telah mendorongku terlalu jauh dan aku tidak bisa
mengontrol mulutku. Sekarang, aku dengan bodohnya memberi dia
ide bodoh tentang mobil derek. Sialan.
Rush mengangkat kepalanya dan mengamatiku. Kesunyian lebih
dari yang bisa kuatasi. Aku hanya membagi sedikit informasi pada
pria ini. Dia bisa saja membuat hidupku lebih sulit jika dia
menginginkannya. "Aku tidak suka Ayahmu dan dari nada bicaramu, begitu pula kau,"
katanya penuh pertimbangan."Ada satu kamar kosong malam ini.
Kosong hingga Ibuku pulang dari liburannya. Aku tidak menyuruh
asisten rumah tangga untuk tinggal di sini sementara dia berlibur.
Mrs.Henrietta hanya datang untuk bersih-bersih seminggu sekali saat
Ibuku berlibur. Kau bisa menempati kamarnya yang ada di bawah
tangga. Kamarnya kecil tapi ada ranjangnya."
Dia menawariku kamar. Aku tidak akan menangis. Aku bisa
melakukannya larut malam nanti. Aku tidak jadi dipenjara. Terima
kasih Tuhan. "Satu-satunya pilihanku adalah truk ini. Aku bisa menjamin apa
yang kau tawarkan jauh lebih baik. Terima kasih."
Rush mengerutkan dahi beberapa saat, kemudian segera hilang dan
ada senyum tipis di wajahnya. "Di mana kopermu?" tanyanya.
Aku menutup pintu truk dan berjalan ke belakang truk untuk
mengeluarkannya. Sebelum aku bisa mengambilnya, sesosok tubuh
hangat dengan aroma asing dan lezat meraihnya duluan. Aku
membeku saat Rush meraih koperku dan menariknya keluar.
Berbalik aku menatapnya. Dia berkedip padaku. "Aku bisa
membawakan tasmu. Aku bukanlah seorang bajingan."
"Terima kasih, sekali lagi," aku tergagap, tidak bisa jauh dari
tatapannya. Matanya begitu mengagumkan. Bulu mata hitam tebal
yang membingkai hampir terlihat seperti garis mata. Dia memiliki
semua yang hal alami di sekeliling matanya. Itu sangat tidak adil.
Bulu mataku pirang. Mengapa aku tidak bisa mendapat bulu mata
sepertinya. "Ah,bagus, kau menghentikannya. Aku memberimu lima menit dan
kemudian keluar untuk memastikan kau tidak kehilangannya." Suara
akrab Grant mengagetkanku dari kebingunganku dan aku berbalik
untuk berterima kasih atas interupsinya. Aku telah menatap Rush
seperti orang bodoh. Aku terkejut dia tidak melemparku dengan tas
lagi. "Dia akan memakai kamar Henrietta sampai aku bisa menghubungi
Ayahnya dan mencari tahu sesuatu." Rush seolah terganggu. Dia
berjalan ke sampingku dan memberikan kopernya pada Grant." Ini,
tolong antarkan dia ke kamarnya. Aku harus kembali."
Rush berjalan tanpa menatap ke belakang. Diperlukan seluruh
tekadku untuk tidak melihatnya pergi. Terutama sejak melihat
belakang jeansnya yang sangat menggoda. Dia bukanlah orang yang
harus kusukai. "Dia adalah seorang yang pemurung," kata Grant, menggelengkan
kepalanya dan menatap padaku. Aku setuju dengannya.
"Kau tidak perlu membawa koperku masuk lagi," aku berkata sambil
meraih koper. Grant menjauhkannya dari jangkauanku. "Aku bersikap seperti
kakak yang baik.Aku tidak akan membiarkanmu membawa koper ini
saat aku dua kali lebih kuat darimu untuk membawanya."
Aku ingin tersenyum jika saja satu kata yang baru saja membuatku
kaget. "Kakak?" aku mengulangi.
Grant tersenyum tapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Kupikir
aku lupa bilang kalau aku anak dari suami Georgiana yang ke dua.
Dia menikah dengan ayahku saat aku berusia tiga tahun dan Rush
empat tahun, mereka menikah hingga aku berusia lima belas. Sejak
saat itu Rush dan aku bersaudara. Hanya karena ayahku bercerai dari
ibunya tidak mengubah apa pun antara kami. Kami pergi sekolah
bersama dan bergabung di perkumpulan yang sama."
Oh. Oke. Aku tidak menduganya. "Berapa banyak suami yang
dimiliki Georgiana?"
Grant tertawa pendek kemudian berjalan menuju pintu. "Ayahmu
suami nomor empat." Ayahku adalah orang bodoh. Wanita seperti dia kelihatannya mudah
berganti suami seperti dia berganti celana dalam. Berapa lama dia
melupakan para lelaki itu dan membuka hati lagi"
Grant berjalan di belakang dan tidak berkata apa-apa padaku saat
kami menuju dapur. Dapur itu besar dengan meja batu pualam hitam
dan peralatan rumah tangga yang banyak. Mengingatkanku pada
sesuatu dari majalah dekorasi rumah. Kemudian dia membuka pintu
yang terlihat seperti jalan lebar di pantry. Bingung, aku melihat
sekelilingku kemudian mengikutinya masuk ke dalam. Dia berjalan
ke belakang ruangan itu dan membuka pintu lain.
Dia punya cukup ruang untuk masuk dan meletakkan koperku di
ranjang. Aku mengikutinya dan berputar di sekitar ranjang ukuran
twin yang hanya meninggalkan jarak beberapa inci antara ranjang
dan pintu. Aku benar-benar ada di bawah tangga. Sebuah meja kecil
ada diantara ranjang dan dinding.Selain itu, tidak ada apa-apa lagi.
"Aku tidak tahu di mana kau akan menyimpan kopermu. Kamar ini
kecil. Aku sebenarnya tidak pernah kesini." Grant menggelengkan
kepalanya dan kemudian mendesah. "Dengar, jika kau ingin tinggal
di apartemenku kau bisa. Paling tidak aku akan memberimu kamar
yang bisa membuatmu bergerak di dalamnya."
Ucapan Grant yang manis membuatku tidak ingin menolak
penawarannya.Dia tidak membutuhkan tamu tak diundang untuk
menempati salah satu kamarnya.Paling tidak disini aku bisa
menyembunyikan diri jadi tidak ada seorang pun yang akan
melihatku.Aku bisa membersihkan sekitar rumah dan mendapatkan
kerja di suatu tempat. Mungkin Rush akan membiarkanku tidur di
kamar kecil yang tak terpakai ini sampai aku punya cukup uang
untuk pindah.Aku tidak merasa seolah aku terpukauada disini.Aku
akan mencari toko bahan makanan besok dan memakai dua puluh
dolarku untuk membeli makanan. Selai kacang dan roti akan
menjadi makananku selama seminggu atau lebih.
"Di sini sempurna. Aku akan baik-baik saja disini.Selain itu,Rush
akan menelpon Ayahku besok dan mencari tahu kapan dia akan
kembali. Mungkin Ayahku sudah punya rencana.Aku tidak
tahu.Terima kasih sekali lagi, aku sangat menghargai tawaranmu."
Grant melihat sekeliling kamar sekali lagi dan merengut.Dia tidak
senang pada kamar ini tapi akumenyukainya.Dia sangat perhatian.
"Aku tidak suka meninggalkanmu disini.Rasanya salah." Dia
menatapku sekarang dengan suara memohon.
"Ini hebat. Lebih baik daripada trukku."
Grant mengerutkan dahi,"Truk" Kau berencana tidur di truk?"
"Ya, benar. Kamar ini,bagaimana pun juga,memberikan aku sedikit
waktu untuk mencari tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya."
Grant menjalankan tangannya ke rambut shaggynya. "Maukah kau
berjanji sesuatu?" tanyanya.
Aku bukan orang yang suka berjanji.Yang aku tahu dari janji adalah
mereka mudah dilupakan.Aku mengangkat bahu. Hal terbaik yang
bisa kulakukan. "Jika Rush menyuruhmu pergi, telpon aku."
Aku akan menyetujui dan tahu jika aku tidak punya nomor
telponnya. "Dimana ponselmu jadi aku bisa memasukkan nomorku?" tanyanya.
Hal ini akan membuatku terdengar makin menyedihkan. "Aku tidak
punya." Grant menganga padaku," Kau tidak punya ponsel" Tak heran kau
punya senjata." Grant meraih ke sakunya dan mengeluarkan sesuatu
yang mirip kuitansi."Kau punya pulpen?"
Aku mengeluarkan pulpen dari dompetku dan memberikannya
padanya. Dia dengan cepat menuliskan nomornya dan memberikan kertas dan
pulpen padaku. "Telpon aku. Aku serius."
Aku tidak akan pernah menelponnya tapi dia baik sekali dengan
tawarannya. Aku mengangguk. Aku tidak menjanjikan apa-apa.
"Kuharap kau tidur nyenyak disini." Dia melihat sekeliling kamar
kecil itu dengan rasa khawatir di matanya. Aku akan tidur dengan
nyenyak. "Tentu," aku menyakinkan dia.
Dia mengangguk dan keluar dari kamar menutup pintu
dibelakangnya. Aku menunggu hingga aku mendengar dia menutup
pintu pantry sebelum aku duduk di ranjang di samping koperku. Ini
akan baik-baik saja. Aku bisa menjalaninya.
*** Bab 3 Meskipun tidak ada jendela di kamar ini yang memberitahukanku
bahwa matahari telah terbit, aku tahu aku telah kesiangan. Aku
kelelahan selama delapan jam menyetir dan derap kaki di tangga
selama berjam-jam setelah aku berbaring hingga tertidur pulas.
Meregangkan badan, aku duduk dan menyalakan saklar lampu di
dinding. Bola lampu kecil menerangi kamar dan aku meraih ke
bawah ranjang untuk menarik koperku.
Aku perlu mandi dan aku perlu memakai kamar kecil. Mungkin
semua orang masih tertidur dan aku bisa menyelinap ke kamar
mandi tanpa ada seseorang yang mengetahuinya. Grant tidak
menunjukkan padaku di mana kamar mandinya kemarin malam.
Semua inilah yang harus aku terima. Berharap dengan mandi cepat
tidak akan melampaui batas.
Aku meraih celana dalam bersih dan sebuah celana pendek hitam
dan tank top putih. Jika aku beruntung, aku bisa segera keluar dari
kamar mandi sebelum Rush turun ke lantai bawah.
Aku membuka pintu yang menuju ke pantry kemudian berjalan
melewati deretan rak yang menyimpan banyak makanan lebih dari
yang dibutuhkan semua orang. Aku dengan perlahan memutar kenop
pintu dan dengan mudah itu terbuka. Lampu dapur mati dan satusatunya cahaya
berasal dari sinar matahari yang masuk melalui
jendela besar yang menjorok ke lautan. Jika aku tidak begitu ingin
buang air kecil aku akan menikmati pemandangan itu beberapa saat.
Tapi kebutuhan alam sudah memanggil dan aku harus pergi. Rumah
ini sunyi. Botol minuman mengotori rumah, bersama dengan sisa
makanan dan beberapa potong pakaian. Aku akan membersihkannya.
Jika aku ternyata lebih berguna mungkin aku harus tinggal hingga
aku dapat kerja dan gaji pertama atau kedua.
Aku perlahan membuka pintu pertama yang kudatangi, khawatir bisa
saja itu kamar tidur. Ternyata itu hanya tempat menyimpan baju.
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menutup pintu, aku kembali menuju ke ruangan yang menuju ke
tangga. Jika hanya satu-satunya kamar mandi di sini gabung dengan
kamar tidur maka aku pasti sial. Kecuali...mungkin di luar sana ada
satu kamar mandi yang digunakan orang-orang setelah seharian di
pantai. Henrietta pasti mandi dan memakai kamar kecil juga.
Berbalik aku menuju ke dapur dan dua pintu kaca yang terbuka tadi
malam. Menatap sekeliling,aku melihat ada tangga turun dan menuju
bawah rumah. Aku mengikutinya.
Di bawah rumah ada dua pintu. Aku membuka salah satunya dan ada
jaket keselamatan, papan seluncur dan pelampung menutupi dinding.
Aku meninggalkannya dan membuka pintu yang lain. Bingo.
Sebuah toilet di satu sisi dan shower kecil ada di sisi lain ruangan
itu. Shampo, kondisioner dan sabun berjajar dengan lap badan bersih
dan handuk di tempat duduk kecil di sampingnya. Keren.
Setelah aku selesai mandi dan berpakaian aku menggantung handuk
dan lap badan di ujung shower. Kamar mandi ini jarang digunakan.
Aku bisa memakai handuk dan lap badan yang sama sepanjang
minggu dan mencucinya di akhir pekan. Jika aku tinggal di sini
untuk waktu yang lama. Aku menutup pintu di belakangku dan berjalan menuju lantai atas.
Bau air laut begitu mengagumkan. Saat aku sampai di atas, aku
berdiri di depan pagar dan menatap air. Ombak memecah pantai
pasir putih. Ini adalah pemandangan paling indah yang pernah
kulihat. Ibu dan aku pernah berbicara tentang pergi ke pantai bersama sama
suatu hari nanti. Ibu melihat pantai saat masih kecil dan ingatannya
tidak begitu bagus tetapi dia menceritakannya cerita tentang pantai
itu sepanjang hidupku. Setiap musim dingin yang begitu dingin,
kami duduk di dalam rumah dengan perapian dan merencanakan
liburan musim panas kami ke pantai. Kami tidak pernah bisa
melakukannya. Pertama Ibu tidak mampu melakukannya dan
kemudian dia sakit. Kami tetap merencanakannya. Itu membantu
untuk mimpi besar kami. Sekarang, aku berdiri di sini menatap ombak yang hanya bisa kami
bayangkan.Ini bukanlah liburan dongeng yang telah kami
rencanakan tapi aku disini melihatnya untuk kami berdua.
"Pemandangan itu tidak akan pernah membosankan." Suara dalam
Rush mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihat Rush yang
bersandar di pintu. Telanjang dada. Oh. My.
Aku tidak bisa berkata-kata. Satu-satunya dada telanjang seorang
pria yang pernah kulihat adalah Cain. Dan itu terjadi sebelum ibuku
sakit ketika aku punya waktu untuk berkencan dan bersenangsenang. Dada Cain yang
berusia enam belas tahun tidak ada apaapanya dibanding dengan dada bidang,
berotot di depanku. Dia bahkan punya six pack di perutnya.
"Kau sedang menikmati pemandangan?" Nada gelinya tidak
membuatku lari. Aku mengerjap dan mengalihkan tatapanku untuk
melihat seringai di bibirnya. Sialan. Dia menangkapku sedang
mengaguminya. "Jangan biarkan aku mengganggumu. Aku juga sedang
menikmatinya," jawabnya,kemudian menyesap secangkir kopi di
tangannya. Wajahku memanas dan aku tahu wajahku memerah.Berbalik, aku
menatap keluar pada lautan. Sungguh memalukan. Aku mencoba
agar pria ini membiarkan aku tinggal sedikit lebih lama. Meneteskan
air liur (terpesona) bukanlah hal yang baik.
Tawa kecil dibelakangku hanya membuat segalanya lebih buruk. Dia
menertawakan aku .Fantastis.
"Di sini kau rupanya. Aku merindukanmu di ranjang pagi ini," suara
lembut seorang wanita datang dari belakangku. Ingin tahu lebih yang
terjadi di belakangku dan aku pun berbalik. Seorang gadis yang
hanya memakai bra dan celana dalam merapatkan dirinya pada tubuh
Rush dan menjalankan kuku panjang merah mudanya di dada Rush.
Aku tidak menyalahkannya karena menyentuh dadanya. Aku pun
sangat tergoda. "Waktunya kau pergi," jawabnya sambil mengangkat tangan gadis
itu dari dadanya dan menjauh darinya. Aku melihat saat dia
menunjuk kearah pintu depan.
"Apa?" jawab gadis itu. Ekspresi kebingungan di wajahnya seolah
mengatakan dia tidak mengharapkan ini.
"Kau sudah dapat apa yang kau inginkan, sayang. Kau ingin aku
berada di antara pahamu. Kau mendapatkannya. Sekarang aku sudah
selesai." Nada dingin suaranya mengejutkanku.Apa dia serius"
"Kau bercanda!" gadis itu membentak dan menghentakkan kakinya.
Rush menggelengkan kepalanya dan menyesap lagi kopi dari
cangkirnya. "Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Semalam begitu
mengagumkan. Kau tahu itu." Gadis itu meraih lengannya dan dia
dengan cepat menghempaskannya.
"Aku sudah memperingatkanmu semalam ketika kau kau memohon
padaku dan melepas pakaianmu bahwa ini hanya akan menjadi seks
satu malam saja. Tidak lebih."
Aku mengalihkan perhatianku pada gadis itu.Wajahnya marah dan
dia membuka mulutnya untuk berdebat tapi menutupnya lagi.
Dengan hentakan lain kakinya dia berjalan keluar rumah.
Aku tidak percaya apa yang baru saja kulihat. Apa seperti ini cara
orang orang ini bersikap" Satu-satunya pengalaman pacaran yang
kumiliki hanyalah bersama Cain. Meskipun kami tidak pernah tidur
bersama dia selalu berhati-hati dan bersikap manis padaku. Ini
sangat kasar dan kejam. "Jadi,bagaimana tidurmu semalam?" tanya Rush seolah tidak terjadi
apa-apa. Aku mengalihkan tatapanku dari pintu dimana gadis itu pergi dan
mengamatinya. Apa yang mempengaruhi gadis itu untuk tidur
dengan seseorang yang mengatakan padanya bahwa tidak akan ada
hal lain selain seks" Tentu saja, Rush punya tubuh yang akan
membuat model pakaian dalam iri dan matanya itu bisa membuat
seorang gadis menjadi gila. Tapi tetap saja. Dia begitu kejam.
"Apa kau sering melakukannya?" tanyaku sebelum aku bisa
menghentikan diriku sendiri.
Rush mengangkat alisnya. "Apa" Bertanya apakah seseorang tidur
nyenyak?" Dia tahu apa yang aku tanyakan. Dia menghindarinya. Ini bukanlah
urusanku. Aku harus menjauh, jadi dia tetap membiarkanku tinggal
di tempatnya. Membuka mulutku untuk memarahinya bukanlah ide
yang bagus. "Berhubungan seks dengan seorang gadis dan membuangnya seperti
sampah?" tanyaku ketus. Aku menutup mulutku, terkejut akan katakata yang baru
saja kuucapkan bergema di kepalaku. Apa yang telah
aku lakukan" Mencoba untuk mendapatkan penjelasan"
Rush meletakkan cangkirnya pada meja disampingnya dan duduk.
Dia bersandar sambil meregangkan kaki panjangnya. Kemudian
menatapku. "Apakah kau selalu ikut campur hal yang bukan
urusanmu?" jawabnya.
Aku ingin marah padanya. Tapi aku tidak bisa. Siapa yang bisa aku
salahkan" Aku tidak mengenal pria ini.
"Tidak pernah, tidak. Aku minta maaf," kataku dan buru-buru masuk
ke dalam. Aku tidak ingin memberinya kesempatan untuk
mengusirku keluar juga. Aku butuh kamar di bawah tangga itu
paling tidak selama dua minggu.
Aku menyibukkan diri dengan membersihkan gelas kotor dan botol
bir. Tempat ini perlu dibersihkan dan aku bisa melakukannya
sebelum aku mendapatkan pekerjaan. Aku hanya berharap dia tidak
mengadakan pesta seperti ini setiap malam. Jika dia melakukannya,
aku tidak akan mengeluh dan siapa tahu, setelah beberapa malam
aku bisa tidur nyenyak. "Kau tidak perlu melakukannya. Henrietta akan datang besok."
Aku memasukkan botol yang kukumpulkan ke dalam tempat sampah
dan kemudian menatapnya. Dia berdiri di depan pintu lagi sedang
menatapku. "Aku pikir aku bisa membantu."
Rush menyeringai. "Aku sudah punya asisten rumah tangga. Aku
tidak akan menambah satu lagi jika itu yang kau pikirkan."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak.Aku tahu.Aku hanya ingin
membantu. Kau mengijinkanku tidur di rumahmu semalam."
Rush berjalan mendekat dan berdiri di depan lemari menyilangkan
tangan di depan dadanya. "Tentang itu. Kita harus bicara."
Oh, sial. Ini dia. Satu malam sudah kulalui.
"Oke," jawabku Rush mengerutkan dahi padaku dan detak jantungku bertambah
cepat. Dia tidak akan memberikan berita yang menyenangkan.
"Aku tidak suka Ayahmu. Dia adalah parasit. Ibuku selalu saja
bersama pria seperti dia. Itu adalah bakatnya. Tapi kupikir kau sudah
tahu hal ini. Yang membuatku curiga, kenapa kau datang minta
tolong padanya padahal kau tahu dia seperti apa?"
Aku ingin mengatakan padanya bahwa ini bukanlah urusannya.
Kecuali pada kenyataan bahwa aku membutuhkan bantuannya
membuat hal ini menjadi urusannya. Aku tidak mengharapkan dia
membiarkanku tidur di rumahnya dan tidak menjelaskan apa pun
padanya. Dia layak tahu mengapa dia membantuku. Aku tidak ingin
dia berpikir aku juga parasit.
"Ibuku baru saja meninggal. Dia sakit kanker. Ditambah tiga tahun
perawatan. Satu-satunya kami miliki hanya rumah nenek yang
diwariskan untuk kami. Aku harus menjual rumah dan semuanya
untuk membayar biaya perawatan Ibu. Aku tidak pernah bertemu
Ayahku sejak dia meninggalkan kami lima tahun yang lalu. Tapi
hanya dia satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku tidak punya
keluarga lain untuk dimintai tolong. Aku butuh tempat tinggal
sampai aku punya pekerjaan dan mendapat beberapa gaji. Kemudian
aku bisa pindah. Aku tidak pernah berniat untuk tinggal lama. Aku
tahu Ayahku tidak ingin aku ada di sini," aku mengeluarkan tawa
miris yang tidak aku kenal. "Meskipun aku tidak pernah berharap dia
akan pergi sebelum aku datang."
Tatapan Rush tetap kuat kearahku. Aku lebih suka informasi ini tidak
diketahui siapa pun. Aku bercerita pada Cain tentang kepergian
Ayahku yang begitu menyakitkan. Kehilangan saudari dan Ayahku
menjadi hal terberat bagiku dan Ibu. Lalu Cain ingin lebih dan aku
tidak bisa menjadi orang yang dia butuhkan. Aku harus menjaga
ibuku yang sakit. Aku melepaskan Cain agar dia bisa berkencan
dengan gadis lain dan bersenang-senang. Aku hanya menambah
beban beratnya. Persahabatan kami tetap berjalan tapi aku tahu kalau
pria yang aku cintai itu hanya akan menjadi kenangan masa kecil.
"Aku turut berduka tentang Ibumu," Rush akhirnya menjawab. "Itu
buruk sekali. Kau bilang dia sakit selama tiga tahun, jadi sejak kau
berusia enam belas tahun?"
Aku mengangguk, tidak yakin apa lagi yang harus kukatakan. Aku
tidak menginginkan belas kasihannya. Aku hanya butuh tempat
untuk tidur. "Kau berencana mencari kerja dan tempat tinggal untukmu," dia
tidak bertanya. Dia memperhatikan apa yang aku katakan. Jadi aku
tidak menjawab. "Kamar di bawah tangga itu milikmu selama sebulan. Kau bisa
mencari kerja dan mendapat cukup gaji untuk mendapat sebuah
apartemen. Destin tidak terlalu jauh dari sini dan biaya hidup di sana
terjangkau. Jika orang tua kita kembali sebelum waktu yang
kuperkirakan aku harap Ayahmu bisa membantumu untuk keluar."
Menghembuskan nafas lega aku menelan gumpalan di
tenggorokanku."Terima kasih."
Rush menatap pada belakang pantry yang mengarah ke tempatku
tidur. Kemudian dia kembali menatapku. "Aku harus melakukan
sesuatu. Semoga beruntung dalam pencarian kerjamu," jawab Rush.
Dia meninggalkan meja dan pergi.
Aku tidak punya bensin di trukku tapi aku punya kamar. Aku juga
masih punya dua puluh dolar. Aku bergegas ke kamarku untuk
mengambil dompet dan kunci. Aku harus mencari kerja secepat
mungkin. *** Bab 4 Ada catatan yang terjepit dibawah wiper kaca depan truk. Aku
menariknya keluar dan membaca:
"Besin sudah penuh. Grant."
Grant sudah mengisi bensinku. Dadaku tiba tiba terasa hangat. Dia
sangat baik. Kata kata Rush tentang "menjadi benalu" terngiang di
telingaku dan aku menyadari aku perlu membayar Grant secepat
mungkin. Aku tidak mau dianggap sebagai benalu seperti ayahku.
Masuk ke truk, aku memutarnya dengan mudah dan mundur dari
jalan masuk. Beberapa mobil masih diluar, meskipun tidak sebanyak
tadi malam. Aku bertanya-tanya siapa yang menginap semalam.
Apakah mereka selalu berada disini" Aku tidak melihat siapapun
pagi ini selain Rush dan gadisnya yang dia buat marah tadi.
Rush bukanlah orang yang baik tapi dia adil. Itu yang ku sampaikan
padanya. Dia juga seksi. Aku hanya harus belajar untuk
mengabaikannya. Ini seharus nya cukup mudah. Aku tidak
mengharapkan Rush akan sering berada disekitarku. Dia tampaknya
juga tidak ingin berada disekitarku.
Aku memutuskan bahwa aku akan mendapatkan pekerjaan di
Rosemary untuk menghemat bensin. Lalu aku bisa pindah dari
rumah Rush lebih cepat. Aku telah menemukan sebuah koran lokal
dan aku akan melingkari beberapa pekerjaan yang berbeda. Dua
diantaranya adalah menjadi pelayan di restoran lokal dan aku
berhenti untuk melamar. Aku yakin aku akan mendapatkan
panggilan kembali dari salah satu atau keduanya tetapi aku tidak
yakin ingin bekerja di sana. Aku mau jika hanya itu semua yang
tersedia sekalipun. Itu hanya tidak terlihat seperti ada tips yg akan
lebih baik tentunya dan dengan pekerjaan seperti itu yg kubutuhkan
adalah tips. Aku juga berhenti di apotek setempat untuk melamar
posisi pendaftaran didepan tapi mereka sudah mengisinya. Lalu aku
pergi ke dokter anak setempat untuk melamar pekerjaan resepsionis
tapi mereka butuh yg berpengalaman dan aku tidak punya.
Ada satu pekerjaan terakhir yg kulingkari dan aku telah menundanya
karena aku pikir itu akan menjadi pekerjaan yg sulit untuk
ditangkap, posisi melayani di klub lokal. Gajinya tujuh dolar lebih
per jam ditambah tips akan jauh lebih baik. Aku bisa keluar
mendapatkan tempat sendiri lebih cepat. Plus adanya keuntungan.
Asuransi kesehatan yg juga lebih bagus.
Iklan yg membutuhkan pekerjaan mengatakan untuk datang ke
kantor utama dibelakang lapangan golf club house untuk melamar
pekerjaan. Aku mengikuti arah dan memarkir trukku disamping
Volvo mewah. Aku menyesuaikan kaca spion untuk memeriksa
wajahku. Aku telah mengambil tabung mascara kecil saat aku berada
di apotek. Hanya sedikit mascara membantu wajahku terlihat lebih
tua. Aku mengusap rambut pirang pucatku dan mengucapkan doa
singkat bahwa aku mampu untuk mendapatkan pekerjaan ini.
Aku telah berganti dari celana pendek dan atasan tanpa lenganku
ketika aku pergi untuk mengambil tasku. Aku pikir gaun lebih
membantuku mendapatkan pekerjaan. Rush bilang aku tampak
seperti anak kecil. Aku ingin terlihat lebih tua. Mascara dan pakaian
kelihatannya membantu. Aku tidak repot-repot mengunci truk. Mobilku tidak dalam bahaya
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk dicuri disini. Tidak ketika sebagian besar mobil yg diparkir
didekatnya biayanya lebih dari enam puluh ribu dolar. Langkah
menuju kepintu kantor sangat dekat. Mengambil napas dalam dalam
di saat terakhir aku membuka pintu dan melangkah masuk.
Seorang wanita mungil dengan ranbut bob pendek coklat dan
sepasang kacamata berbingkai kawat sedang berjalan melintasi
ruang tamu saat aku melangkah masuk. Dia menatapku sambil
berjalan ke salah satu kantor tetapi berhenti ketika dia melihatku.
Dia memandangku sekilas diseluruh tubuhku dan kemudian
menganggukkan kepalanya ke arahku.
"Anda disini untuk pekerjaan?" pertanyaannya memerintah.
Aku mengangguk, "Ya mam. Aku disini untuk melamar pekerjaan."
Dia memberiku senyum yang erat. "Bagus. Anda memiliki daya
tarik. Para anggota akan mengabaikan kesalahan dengan wajah
seperti itu. Dapatkah anda mengendarai mobil golf dan anda
dapatkah anda membuka botol bir dengan pembuka botol ?"
Aku mengangguk. "Anda diterima. Aku membutuhkan seseorang di lapangan sekarang.
Ikuti saya, kami akan mengganti seragam anda."
Aku tidak membantah, ketika ia berputar kembali dan mulai berjalan
menuju ruangan yang lain aku mengikuti di belakangnya. Dia adalah
seorang wanita yang punya misi. Dia membuka pintu dan melangkah
masuk. "Anda memakai ukuran tiga untuk celana pendek" Atasan anda akan
menjadi lebih kecil dari apa yg anda kenakan. Para pria akan
menyukai nya. Mereka menyukai ukuran dada yangg lebih besar.
Mari kita lihat..." dia berbicara tentang payudaraku. Ini memalukan.
Dia meraih sepasang celana pendek putih dari rak dan menyodorkan
padaku. Lalu ia meraih kaus polo biru pucat dari rak dan
menyodorkan nya kearahku. " Atasannya kecil. Butuh yang ketat.
Kami adalah perusahaan berkelas disini tapi para pria suka
seseorang yangg menarik juga. Oleh karena itu kami menawarkan
sepasang celana pendek putih dan baju ketat polos. Jangan khawatir
tentang laporan. Aku akan memilikinya, anda akan mengisi
semuanya setelah selesai bekerja. Anda melakukan ini selama
seminggu dan kerjakanlah dengan baik, dan kami akan memikirkan
kepindahanmu ke bagian ruang makan. Kami kekurangan staf disana
juga.Wajah seperti anda tidak mudah untuk ditemukan. Sekarang
bergantilah dan aku akan menunggu untuk membawa anda ke kereta
minuman". Dua jam kemudian aku berhenti disemua delapan belas lubang, di
lapangan golf dua kali dan semua minumam terjual habis. Semua
para pegolf bertanya padaku apakah aku masih baru dan
mengomentari pelayananku yang sangat baik. Aku bukanlah orang
bodoh. Aku melihat cara pria yg lebih dewasa melirik padaku.
Untungnya mereka semua tampak berhati hati untuk tidak
melampaui batas. Wanita yang mempekerjakanku akhirnya memberitahu namanya saat
dia mendorongku naik keatas kereta dan mengirimku pergi.
Namanya Darla Lowry .Dia bertanggung jawab dalam
mempekerjakan staf. Dia juga cepat seperti angin puyuh. Dia
mengatakan kepadaku bahwa aku harus kembali dalam waktu empat
jam atau ketika aku kehabisan minuman, mana yg lebih dulu. Aku
kehabisan minuman dalam dua jam.
Aku berjalan ke dalam kantor dan Darla melongokkan kepalanya
keluar di salah satu ruangan. "Kau sudah kembali"," dia bertanya,
sambil berjalan keluar dengan tangan berada dipinggang nya.
"Ya msm aku kehabisan minuman."
Alisnya terangkat, "Semuanya?"
Aku mengangguk. "Ya. Semuanya."
Senyum tampak diwajahnya yang kaku dan dia tertawa." Yah, tentu
saja. Aku tau mereka menginginkanmu, tapi para pria yang bernafsu
itu bersedia untuk membeli apapun yg kau punya hanya untuk
membuatmu tinggal lebih lama."
Aku tidak yakin itu terjadi. Di luar sana sangat panas. Setiap kali aku
berhenti disebuah lubang pegolf tampak lega.
"Ayo, aku akan menunjukkan tempat untuk mengisi kembali. Kau
harus tetap melayani sampai matahari terbenam. Kemudian kembali
kesini dan kita akan mendapat dokumen yang sudah terisi".
*** Hari sudah gelap saat aku kembali ke rumah Rush. Aku sudah pergi
sepanjang hari. Mobil mobil lain di jalan masuk sudah hilang. Ketiga
garasi mobil ditutup dan satu mobil merah yang mahal terparkir di
luar. Aku memastikan untuk memarkir truk ku keluar dari jalur jalan.
Rush mungkin masih memiliki teman teman yang akan datang dan
aku tidak mau truk ku menjadi masalah. Aku sangat lelah. Aku
hanya ingin pergi tidur. Aku berhenti di pintu dan bertanya tanya apakah aku harus
mengetuk atau langsung masuk ke dalam. Rush mengatakan aku bisa
tinggal disini selama satu bulan. Tentunya itu berarti aku tidak harus
mengetuk setiap kali aku datang kembali.
Aku memutar kenop dan berjalan kedalam. Di jalan masuk lorong
sepi dan mengejutkan tampak bersih. Seseorang telah membereskan
kekacauan disini. Lantai marmer bahkan tampak mengkilap. Aku
mendengar suara tv datang dari ruangan tamu besar yang terbuka.
Tidak ada banyak suara lainnya. Aku berjalan ke dapur. Aku punya
kasur yang sudah menungguku. Aku benar benar ingin mandi tapi
aku belum bicara dengan Rush tentang kamar mandi mana yang
harus ku gunakan dan aku sedang tidak ingin menganggunya malam
ini. Aku akan menyelinap keluar besok dan aku akan memakai sama
dengan yang ku gunakan pagi ini ketika aku bangun besok.
Bau bawang putih dan keju tercium di hidungku saat aku melangkah
kedapur. Perut ku keroncongan meresponnya. Aku punya satu kotak
kraker kacang mentega di tasku dan sekotak kecil susu yang kubeli
di swalayan dalam perjalanan pulang. Aku mendapat uang tips hari
ini tapi aku tidak bisa membuang buang uangku untuk makanan.
Aku perlu menyimpan semua yang aku bisa.
Ada panci tertutup diatas kompor dan botol anggur terbuka diatas
dimeja. Dua piring dengan sisa-sisa hidangan pasta yang menggoda
juga ada di meja. Rush masih punya tamu.
Sebuah erangan datang dari luar di ikuti dengan suara keras.
Aku berjalan ke jendela tetapi ketika sinar bulan mennyinari bagian
belakang tubuh telanjang Rush aku membeku. Itu adalah pantat yang
sangat bagus. Sangat, sangat bagus. Meskipun aku tidak pernah
benar benar melihat bagian belakang pria yg telanjang sebelumnya.
Aku membiarkan mataku menelusuri sampai ke punggungnya dan
tato yg tertutupi itu mengejutkan aku. Aku tidak tahu apa yg mereka
lakukan. Cahaya bulan itu tidak cukup terang dan ia bergerak.
Pinggulnya bergerak maju mundur dan aku melihat dua kaki panjang
yang menekannya ke sisi tubuhnya. Suara erangan yang keras
muncul kembali saat ia bergerak lebih cepat. Aku menutup mulutku
dan melangkah mundur. Rush sedang berhubungan seks. Di luar. Di
beranda rumahnya. Aku tidak bisa berpaling darinya. Tangannya
meraih kaki di kedua sisi dan ia mendorongnya membuka agar lebih
lebar. Teriakan keras menyebabkan aku melompat. Dua tangan
muncul di sekitar punggung dan kuku panjang mencakar tato yang
menutupi kulit kecoklatan itu.
Aku tidak seharus menonton ini. Menggelengkan kepalaku untuk
menjernihkan pikiranku aku berbalik dan bergegas kedapur dan
kamar tidurku yang tersembunyi. Aku tidak boleh berpikir tentang
Rush seperti itu. Dia sangat seksi. Melihat dia sedang berhubungan
seks membuat hatiku melakukan hal hal yang lucu. Tidak seperti aku
ingin menjadi salah satu dari gadis gadis yang berhubungan seks
dengannya dan kemudian di campakkan. Melihat tubuhnya seperti
itu dan mendengar bagaimana ia membuat gadis itu puas membuatku
merasa sedikit cemburu. Aku tidak pernah tahu itu. Berusia sembilan
belas tahun dan masih perawan adalah menyedihkan. Cain
mengatakan ia mencintaiku tapi ketika aku sedang membutuhkannya
dia menginginkan seorang kekasih yang menyelinap keluar dan
berhubungan seks tanpa harus mengkhawatirkan ibunya yang sakit.
Dia ingin pengalaman sma yang normal. Aku terhalang oleh hal itu
jadi aku membiarkannya pergi.
Ketika aku pergi kemarin pagi untuk datang kesini dia telah
memintaku untuk tetap tinggal. Dia mengaku dia mencintaiku.
Bahwa ia tidak pernah melupakanku. Bahwa setiap gadis yang
pernah menjadi kekasihnya hanyalah pengganti yang buruk. Aku
tidak percaya semua itu. Aku menangis sampai tertidur sendirian dan
ketakutan sepanjang malam. Aku membutuhkan seseorang untuk
memeluk ku. Dia tidak ada disana saat itu. Dia tidak mengerti cinta.
Aku menutup pintu kamarku dan ambruk di tempat tidur. Aku
bahkan tidak menarik selimut. Aku butuh tidur. Aku harus berada di
tempat kerja pukul sembilan pagi. Aku tersenyum sendiri karena rasa
bersyukur. Aku sudah punya tempat tidur dan pekerjaan
*** Bab 5 Matahari sangat panas. Darla tidak ingin aku menarik rambutku
menjadi ekor kuda. Dia berpikir bahwa para pria menyukai rambut
yang tergerai. Sayangnya bagiku hari ini sangat panas. Aku merogoh
pendingin dan mengambil es batu menggosoknya ke leherku
membiarkannya menyelinap ke dalam baju ku. Aku hampir berada di
lubang lima belas untuk ketiga kalinya hari ini.
Tidak ada yang bangun pagi ini ketika aku keluar dari kamarku.
Piring piring yang kosong masih ada di meja. Aku membersihkannya
dan melempar keluar makanan dipanci yang dia tinggalkan
sepanjang malam. Itu membuatku sedih melihat makanan itu
dibuang. Baunya sangat enak semalam saat aku pulang.
Lalu aku membuang botol anggur kosong dan menemukan gelas
gelas diluar disamping meja tempat aku menyaksikan Rush
melakukan hal itu dengan wanita yang tidak diketahui. Setelah
meletakkan piring kotor di mesin cuci piring aku menyalakannya
dan mengelap meja konter dan kompor,
Aku meragukan Rush memperhatikan tapi itu membuatku merasa
lebih baik tentang tidur gratis disini. Aku berhenti disamping
kelompok pegolf di lubang kelima belas. Mereka masih muda. Aku
pernah melihat mereka ketika mereka berada dilubang ketiga.
Mereka membeli banyak dan mereka benar benar pemberi tips yg
baik. Jadi aku melakukan tindakan yg menggoda. Itu tidak seperti
salah satu dari mereka benar benar akan berkencan dengan gadis
kereta di lapangan golf. Aku bukan idiot.
"Itu dia," salah satu orang berteriak saat aku berhenti di samping
mereka dan tersenyum. "Ah, gadis favoritku kembali. Disini sangat panas dari pada neraka.
Aku butuh yang dingin satu, mungkin dua."
Aku memarkir kereta dan keluar untuk pergi memutar kebelakang
dan mengambil pesanan mereka.
"Kau ingin yang lain Miller?" aku bertanya kepadanya bangga pada
diriku sendiri untuk mengingat pesanannya yang terakhir.
"Ya, sayang aku mau." Dia mengedipkan mata dan menutup jarak
antara kami membuatku sedikit tidak nyaman.
"Hei aku juga ingin sesuatu Jace. Mundur lebih baik," kata pria lain
dan aku terus tersenyum di wajahku saat aku menyerahkan bir dan ia
menyodorkan uang dua puluh dollar. "Simpan saja kembaliannya."
"Terima kasih," jawabku menyelipkan uang ke sakuku. Aku melihat
pada cowok lain nya. "Siapa lagi?"
"Aku," seorang pria dengan rambut pirang pendek keriting dan mata
biru yang cantik berkata melambaikan tagihan.
"Kau ingin corona kan?" tanyaku meraih ke pendingin dan menarik
keluar minuman yg dipesannya saat terakhir kali.
"Kurasa aku jatuh cinta. Dia cantik dan dia ingat bir apa yang
kuminum. Lalu ia membuka nya untukku." Aku tau dia hanya
menggoda sambil menyodorkan tagihan ditanganku dan mengambil
bir dariku. "kembaliannya untukmu cantik."
Aku melihat uang lima puluh dollar saat kumasukkan didalam
sakuku. Pria pria ini benar benar tidak keberatan membuang buang
uang. Itu tip yg konyol. Aku merasa seperti mengatakan kepadanya
untuk tidak memberiku begitu banyak tapi aku memutuskan untuk
tidak melakukannya. Mereka mungkin suka memberi tip setiap saat.
"Siapa namamu?" seseorang bertanya dan aku berpaling untuk
melihat seseorang berambut gelap dengan kulit zaitun menunggu
untuk menyerahkan pesanannya dan mendengar jawabanku.
"Blaire." jawabku meraih ke pendingin untuk bir yang dia pesan.
Aku membuka tutupnya dan menyerahkan kepadanya.
"Kau punya pacar Blaire?" tanyanya mengambil minuman dariku
saat menjalankan jarinya membelai di sepanjang sisi tanganku.
"Um, tidak." jawabku, tidak yakin apakah mungkin lebih baik
berbohong dalam situasi seperti ini.
Cowok itu mendekat kearahku dan mengulurkan tangannya
membayar dengan tip di dalamnya, "Aku Woods," jawabnya.
"Ini, eh senang bertemu denganmu Woods," aku tergagap
menjawabnya. Pandangan yang intens dalam matanya yang gelap
membuatku gugup. Dia bisa berbahaya dan beraroma cologne yang
mahal. Cologne yang berkualitas tinggi. Dia salah satu dari orang
orang yang tampan dan dia tau itu. Apa dia sedang menggodaku"
"Tidak adil, Woods. Mundur bro. Kau harus berusaha maksimal
dengan yang satu ini. Hanya karena ayahmu pemilik bersama disini
tidak berarti kau yang pertama." canda si ikal pirang. Aku pikir dia
sedang bercanda. Woods mengabaikan temannya dan tetap fokus padaku "jam berapa
kau selesai bekerja?"
Uh-oh. Jika aku mengerti dengan benar kalau ayah Woods adalah
bos utamaku. Aku tidak perlu menghabiskan waktu ku dengan putra
pemilik klub glof ini. Akan menjadi hal yang sangat buruk.
"Aku bekerja sampai tutup," aku menjelaskan dan menyerahkan
empat bir terakhir dan mengambil uangnya
"Kenapa kau tidak membiarkan aku menjemputmu dan membawamu
untuk makan sesuatu?" kata Woods berdiri sangat dekat denganku
sekarang. Jika aku berbalik dia hanya akan berupa bisikan.
"Di sini panas dan aku sudah kelelahan. Yang aku ingin lakukan
adalah mandi dan beristirahat,"
Napas hangat menggelitik telingaku dan aku menggigil saat butir
butir keringat mengalir kepunggungku. "Apakah kau takut padaku"
Jangan. Aku tidak berbahaya."
Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan pada nya. Aku tidak
pintar menggoda dan aku cukup yakin itu yang dia lakukan. Tidak
ada seorang pun yang menggodaku dalam setahun. Setelah aku putus
dari Cain, hariku telah di dihabiskan dengan sekolah dan kemudian
ibuku. Aku tidak punya waktu untuk hal lain. Cowok cowok tidak
menghiraukan ku. "Kau tidak menakutiku. Aku hanya tidak terbiasa untuk hal semacam
ini" jawabku meminta maaf aku tidak tahu bagaimana untuk
merespon dengan benar. "Hal apa itu?" dia bertanya penasaran. Aku akhirnya berbalik untuk
menghadapinya. "Cowok. Dan rayuan. Setidaknya aku pikir itulah yg terjadi," aku
terdengar seperti orang bodoh. Senyum perlahan lahan membentang
di wajah Woods membuatku ingin merangkak dibawah mobil golf
dan bersembunyi. Aku tidak pantas untuk komunitasnya.
"Ya, tentu saja ini merayu. Dan bagaimana bisa seorang yg luar biasa
seksi sepertimu tidak terbiasa dengan hal semacam ini?"
Aku menegang mendengar kata kata nya dan menggeleng. Aku
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus pergi ke lubang enam belas. "Aku sibuk beberapa tahun
terakhir. Jika eh, kau tidak perlu apa apa lagi pegolf di lubang enam
belas mungkin marah denganku sekarang"
Woods mengangguk dan mengambil langkah mundur "Aku belum
selesai denganmu bukan karena sesuatu hal yg penting, tapi untuk
sekarang aku akan membiarkanmu kembali bekerja."
Aku bergegas kembali kesisi pengemudi kereta dan menaikinya.
Lubang berikutnya adalah sekelompok pria pensiunan. Aku tidak
pernah mencari perhatian untuk dilirik pria pria tua dalam hidupku
tapi setidaknya mereka tidak menggoda.
*** Ketika aku berjalan ke trukku malam itu aku merasa lega melihat
tidak ada tanda tanda Woods. Seharusnya aku tau dia hanya
menggoda. Aku telah mendapat tips beberapa ratus dolar hari ini dan
aku memutuskan untuk memperlakukan diri dengan makanan yg
benar benar enak. Aku menuju ke drive-thru. di Mc Donalds dan
memesan sebuah cheeseburger dan kentang goreng. Aku makan
dengan senang dalam perjalanan kembali ke Rush. Tidak ada mobil
diluar malam ini. Aku tidak ingin masuk saat dia berhubungan seks malam ini.
Kemudian, dia mungkin telah membawa seseorang disini dalam
mobilnya. Aku berjalan didalam dan berhenti di ruang depan. Tidak
ada televisi. Tidak ada suara sama sekali, tapi pintu telah dibuka.
Aku tidak harus menggunakan kunci tersembunyi yang sudah dia
beritahukan. Aku berkeringat terlalu banyak hari ini. Aku harus mandi sebelum
aku pergi tidur. Aku melangkah ke dapur dan memeriksa teras depan
untuk memastikan bebas dari petualangan seksual. Mandi akan
terasa nyaman. Aku masuk ke kamarku dan meraih boxer lama milik Cain dan tank
top yang kupakai di malam hari. Cain telah memberikannya
kepadaku ketika kami masih muda dan konyol. Dia ingin aku tidur
di sesuatu yang dimiliknya. Aku sudah tidur didalammya setiap saat.
Meskipun sekarang jauh lebih ketat daripada dulu. Lekukanku
berkembang sejak usia lima belas.
*** Aku menarik napas dalam dalam dari udara di laut saat aku
melangkah keluar. Ini adalah malam ketiga ku disini dan aku benar
benar belum pernah turun ke air. Aku pulang sangat lelah sehingga
aku tidak punya tenaga untuk pergi kesana. Aku menuruni tangga
dan meletakkan piyamaku dikamar mandi sebelum melepas sepatu
tenisku. Pasirnya masih hangat dari sinar matahari. Aku berjalan didalam
kegelapan sampai ke tepi air mengenai ku. Rasa dingin
mengejutkanku dan aku menarik napas tapi membiarkan air garam
menutupi kakiku. Ibuku tersenyum bercerita tentang saat dia bermain dilaut berkelebat
dalam memoriku dan aku memiringkan kepalaku ke surga dan
tersenyum. Aku akhirnya disini. Aku disni untuk kita berdua.
Sebuah suara disisi kiri memecahkan pikiranku. Aku berbalik untuk
memandang rendah kepantai sepertinya cahaya bulan memecah
lepas dari awan dan Rush tersorot dalam kegelapan. Berlari.
Sekali lagi, ia bertelanjang dada. Celana pendek yang ia kenakan
menggantung rendah dipinggul kecilnya dan aku terpesona oleh
tubuhnya yang terlihat saat ia berlari kearahku. Aku tidak yakin
apakah aku harus bergerak atau dia yang melakukannya. Kakinya
melambat dan ia kemudian ia datang berhenti disampingku. Keringat
di dadanya berkilau dalam cahaya lembut. Anehnya aku ingin
meraih dan menyentuhnya. Tubuh seperti nya tidak mugkin nyata.
Itu tidak mungkin. "Kau kembali," katanya sambil mengambil napas dalam dalam.
"Aku baru saja pulang kerja," jawabku, berusaha keras untuk
menjaga mataku padanya dan tidak di dadanya.
"Jadi kau mendapat pekerjaan?"
"Ya. Kemarin." "Di mana itu?" Aku tidak yakin tentang bagaimana perasaanku memberitahunya
terlalu banyak. Dia bukan lah teman. Dan jelas aku tidak pernah
dianggap sebagai keluarganya. Orang tua kita mungkin menikah
tetapi ia tampaknya tidak ingin berhubungan dengan ayahku atau
aku. "Kerrington Country Club," jawabku.
Alis Rush terangkat dan ia mengambil langkah mendekatiku. Ia
menyelipkan tangannya dibawah daguku dan memiringkan wajahku.
" Kau memakai mascara," katanya, sambil mengamati ku.
"Ya." Aku menarik daguku dari genggamannya. Dia mungkin
membiarkanku tidur dirumahnya tapi aku tidak suka dia
menyentuhku. Atau mungkin aku menyukai dia menyentuhku dan
itulah masalahnya. Aku tidak ingin menyukai sentuhannya.
"Itu membuatmu terlihat lebih tua." Dia melangkah mundur dan
melakukan penilaian perlahan pada pakaianku,
"Kau gadis kereta dilapangan golf," jawabnya singkat dan
menatapku kembali. "Bagaimana kau tau?" tanyaku.
Dia melambaikan tangannya padaku. "Pakaian itu. Celana pendek
putih kecil dan kaus polo. Ini seragam."
Aku sangat senang karena gelap. Aku yakin wajahku memerah.
"Kau membuat keuntungan besar benar kan?" tanyanya dengan nada
geli. Aku menghasilkan lebih dari lima ratus dolar tips dalam dua hari. Itu
bukan keuntungan besar untuknya tapi bagiku iya.
Aku mengangkat bahu. "Kau akan lega mengetahui bahwa aku
keluar dari sini dalam waktu kurang dari sebulan."
Dia tidak menanggapi segera. Aku mungkin harus meninggalkannya
dan pergi untuk mandi. Aku mulai mengatakan sesuatu ketika ia
mengambil langkah mendekatiku. "Aku Mungkin seharusnya, lega.
Benar benar lega, sialan. Tapi, aku tidak. Aku tidak lega Blaire," ia
berhenti dan membungkuk untuk berbisik ditelingaku, "kenapa
begitu?" Aku ingin meraih dan memegang tangannya untuk menjaganya agar
aku tidak jatuh ke tanah . Tapi aku menahan diri.
"Jaga jarak dariku, Blaire. Kau tidak ingin terlalu dekat. Semalam."
dia menelan dengan keras. "Semalam menghantuiku. Mengetahui
kau sedang menonton. Ini membuatku gila. Jadi, menjauhlah. Aku
melakukan yang terbaik untuk menjauh darimu." Dia berbalik dan
berlari kembali kerumah saat aku berdiri disana mencoba untuk tidak
meleleh di genangan pasir.
Apa maksudnya" Bagaimana dia tahu aku melihat mereka" Ketika
aku melihat pintu rumah tertutup dibelakangnya aku masuk dan
mandi. Kata kata nya terus membuatku terjaga sepanjang malam.
*** Bab 6 Menjauh dari Rush tidaklah mudah apalagi kami tinggal di bawah
atap yang sama. Walaupun dia berusaha menjaga jarak, kami tetap
saling bertemu. Dia juga menghindari bertatap mata denganku
namun itu malah membuatku makin terpesona padanya.
Dua hari setelah percakapan kami di pantai, aku melangkah
memasuki dapur setelah menyantap roti isi mentega kacangku dan
kembali disambut oleh gadis setengah telanjang lain lagi.
Rambutnya berantakan meskipun tidak disisir dia adalah gadis yang
menarik. Aku benci gadis-gadis seperti itu.
Si gadis berbalik untuk memandangku. Ekspresi terkejutnya dengan
cepat berubah menjadi tidak suka. Dia mengerjapkan kedua mata
cokelatnya dan kemudian berkacak pinggang. "Apakah kau baru saja
keluar dari pantry?"
"Ya. Apakah kau baru saja turun dari tempat tidur Rush?" Tukasku.
Itu terlontar dari mulutku sebelum aku dapat menghentikan diriku.
Rush sendiri telah menegaskan bahwa kehidupan seksnya sama
sekali bukan urusanku. Aku seharus nya harus menutup mulut ku.
Si gadis menaikkan kedua alis matanya yang berbentuk sempurna
kemudian seringai geli tersungging di bibirnya. "Tidak. Bukan
berarti aku menolak naik ke tempat tidurnya jika dia mengijinkan
tapi jangan pernah mengadu pada Grant." Dia mengibaskan
tangannya seperti menghalau pergi seekor lalat. "Lupakanlah. Grant
juga sepertinya sudah tahu."
Aku jadi bingung. "Jadi, kau baru turun dari tempat tidurnya Grant?"
Tanyaku sambil menyadari sekali lagi bahwa itu juga bukan
urusanku. Namun Grant tidak tinggal disini jadi aku penasaran.
Si gadis menyapukan jemarinya ke rambut ikalnya yang berantakan
dan menghela napas. "Yep. Atau lebih tepatnya tempat tidur
lamanya." "Tempat tidur lamanya?" Aku mengulang.
Pergerakan di lorong membuat perhatianku teralihkan dan mataku
mengunci mata Rush. Dia memperhatikanku dengan sebuah
cengiran yang menghiasi bibirnya. Bagus. Dia telah
mendengarkanku mengorek keterangan. Aku ingin membuang
pandanganku dan berpura-pura tidak pernah bertanya pada gadis itu
apakah dia dari tempat tidurnya Rush. Kilatan pengetahuan di
matanya memberitahuku bahwa itu tidak ada gunanya.
"Kumohon jangan biarkan aku jadi penghalang Blaire. Silahkan
lanjutkan menginterogasi tamu Grant. Aku yakin dia tidak
keberatan," ujar Rush dengan perkataan yang sengaja dilambatkan.
Dia menyilangkan lengannya di dada dan bersandar pada kusen
pintu seakan dia makin merasa nyaman.
Kutundukkan kepalaku dan berjalan ke arah tempat sampah untuk
menyingkirkan remah roti dari jemariku sambil mengumpulkan
pikiranku. Aku tidak mau melanjutkan obrolan ini apabila Rush
masih mendengarkan. Itu membuatku terlihat amat tertarik padanya.
Sesuatu yang tidak dia inginkan.
"Selamat pagi, Rush, terimakasih telah mengizinkan kami menginap
disini semalam. Grant minum terlalu banyak sehingga tidak bisa
mengemudi kembali ke rumahnya," ujar gadis itu.
Oh. Jadi begitu ceritanya. Sial. Kenapa aku membiarkan rasa ingin
tahu menguasaiku" "Grant tahu dia punya kamar kalau dia ingin tinggal di sini," timpal
Rush. Aku bisa melihat dengan menggunakan sudut mataku dia
berjalan menjauh dari kusen pintu menuju meja dapur. Perhatiannya
tercurah padaku. Kenapa dia tidak melupakan hal ini" Aku akan
pergi dalam diam. "Well, uh, kalau begitu kurasa aku akan kembali ke lantai atas,"
suara gadis itu terdengar tidak yakin. Rush tidak menjawab dan aku
tidak menoleh untuk memandang salah satu dari mereka. Si gadis
menganggap itu merupakan suatu pertanda bahwa dia harus segera
pergi dan aku menunggu langkah kaki gadis itu menaiki tangga
sebelum aku berbalik memandang Rush.
"Rasa ingin tahu bisa membuat seekor kucing kecil terbunuh, Blaire
yang manis," bisik Rush ketika dia berjalan kearahku. "Apakah tadi
kau berpikir aku punya teman tidur yang lain" Hmmm" Berusaha
memutuskan apakah dia telah berada di tempat tidurku semalaman?"
Aku menelan dengan susah payah namun tidak berkata apapun.
"Dengan siapa aku tidur bukan urusanmu. Bukankah kita pernah
membicarakan ini sebelumnya?"
Aku mengangguk. Jika dia membiarkanku pergi aku tidak akan
pernah berbicara lagi dengan gadis manapun yang datang ke rumah
ini. Rush mengulurkan tangannya dan memilintir rambutku dengan
jarinya. "Kau tidak mau mengenalku. Kau mungkin berpikir
sebaliknya tapi sebenarnya tidak. Aku berjanji."
Jika dia tidak sangat mempesona dan berada tepat di depanku maka
itu akan lebih mudah mempercayainya. Tapi semakin dia menolakku
semakin aku tertarik padanya.
"Kau bukan seperti yang kuperkirakan. Walau aku berharap
sebaliknya. Itu akan mempermudah segalanya," ujarnya dengan
suara rendah sambil melepaskan rambutku lalu berbalik dan berjalan
menjauh. Ketika pintu yang mengarah ke teras belakang tertutup
kulepaskan napas yang sedari tadi kutahan.
Apa maksudnya" Apa yang telah dia harapkan"
Malam itu ketika aku pulang kerja, Rush tidak ada.
*** Kubuka mataku dan melihat kearah jam alarm kecil diatas nakas.
Sudah lewat dari pukul sembilan pagi. Tidurku nyenyak.
Meregangkan tubuhku, aku meraih tombol dan menyalakan lampu.
Aku telah mandi semalam jadi tubuhku bersih. Aku telah
menghasilkan lebih dari seribu dollar minggu ini. Kuputuskan untuk
memulai mencari apartemen hari ini. Pada waktu yang sama minggu
depan seharusnya aku telah mendapatkan tempat untuk kutinggali.
Kujalarkan tangan pada rambutku dan mencoba untuk merapikannya
sebelum aku bangkit. Aku ingin berjemur sebentar di pantai pagi ini.
Aku belum sempat melakukannya hingga sekarang. Hari ini aku
akan menikmati laut dan sinar matahari.
Kutarik keluar koperku dari bawah tempat tidur dan mencari bikini
putih dan pinkku. Itu satu-satunya yang kumiliki. Jujur saja, sangat
jarang kukenakan. Pola renda putihnya dengan pinggiran pink
terlihat bagus pada kulit ku.
Ketika kukenakan kusadari bahwa bikininya telah mengecil. Atau
tubuhku telah berubah semenjak terakhir aku memakainya.
Kukeluarkan sehelai tank top dari koper untuk menutupi bikini yang
kukenakan dan menyambar tabir suryaku. Aku telah membelinya
setelah hari pertamaku bekerja. Tabir surya adalah suatu kewajiban
untuk pekerjaanku. Kumatikan lampu dan memasuki pantry kemudian dapur. "Sial.
Siapakah dia?" seorang pria muda bertanya dengan terkejut kearahku
saat aku melangkah kearah cahaya. Aku menatap sekilas pada orang
asing yang terperangah itu, dia sedang duduk di bar lalu aku
mengalihkan pandangan kearah kulkas dimana Grant sedang berdiri
sambil tersenyum. "Apakah kau keluar dari kamar dengan berpakaian seperti itu setiap
hari?" Grant bertanya.
Aku tidak mengira akan bertemu siapapun disini. "Um, tidak.
Biasanya aku berpakaian dengan seragam kerja," Jawabku ketika
siulan pelan datang dari pria muda di bar. Dia tidak mungkin berusia
lebih dari enam belas tahun.
"Jangan pedulikan hormon yang sedang menguasai idiot yang ada di
bar itu. Dia Will. Ibunya dan Georgianna adalah kakak beradik. Jadi
dia adalah adik sepupuku. Dia datang kemari tadi malam setelah
kabur untuk ratusan kalinya dan Rush menghubungiku untuk datang
menjemputnya dan menyeret bokongnya pulang."
Rush. Kenapa dengan mendengar namanya membuat jantungku
berdegup lebih kencang" Karena dia secara tidak adil sempurna.
Itulah alasannya. Kugelengkan kepalaku untuk menyingkirkan
pemikiran mengenai Rush. "Senang bertemu denganmu, Will. Aku
Blaire. Rush mengasihaniku dan mengizinkanku tinggal hingga aku
mampu mencari tempat tinggalku sendiri."
"Hey, kau bisa ikut pulang bersamaku. Aku tidak akan
membiarkanmu tidur dibawah tangga," Will menawarkan.
Aku tersenyum. Ini adalah rayuan polos yang bisa kupahami.
"Terima kasih tapi aku kira ibumu tidak akan mengizinkannya. Aku
tidak masalah dengan kamar dibawah tangga. Tempat tidurnya
nyaman dan aku tidak perlu tidur dengan pistolku."
Grant terbahak dan mata Will melotot. "Kau punya pistol?" Will
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanya dengan nada kagum.
"Sekarang, kau telah mengatakannya. Sebaiknya aku membawanya
pergi sebelum dia jatuh cinta lagi," jawab Grant, membawa cangkir
yang telah dia isi dengan kopi. Dia mendahului berjalan kearah pintu
sambil berkata "Ayo Will sebelum aku membangunkan Rush dan
kau harus menghadapi bokong pemarahnya."
Will menatap sekilas pada Grant lalu kembali menatapku seakan dia
terluka. Itu menggemaskan.
"SEKARANG, Will," Grant berkata dengan nada yang lebih
menuntut. "Hey, Grant," Aku memanggilnya sebelum dia melewati pintu.
Dia berbalik untuk memandangku, "Yeah?"
"Terima kasih untuk bensinnya. Akan kubayar secepatnya setelah
aku mendapatkan gajiku."
Grant menggelengkan kepalanya, "Tidak, tidak boleh. Aku akan
merasa tersinggung. Tapi, terima kasih kembali." Dia berkedip
padaku kemudian mengirimkan tatapan menperingatkan kepada Will
sebelum meninggalkan dapur.
Aku melambaikan tangan sebagai tanda selamat tinggal pada Will.
Aku nanti akan mencari cara membayar Grant tanpa membuatnya
tersinggung. Pasti ada suatu cara. Sekarang, aku punya rencana lain.
Aku melangkahkan kaki ke pintu yang mengarah keluar. Inilah
waktunya aku menikmati hari pertama yang sebenarnya di pantai.
Kubentangkan handuk yang kupinjam dari kamar mandi. Aku harus
mencucinya nanti malam. Ini satu-satunya yang kupakai untuk
mengeringkan tubuh dan sekarang kugunakan sebagai alas diatas
pasir. Itu sangat sepadan.
Pantainya sepi. Kami tidak dekat dengan rumah lainnya jadi
pantainya kosong. Merasa berani, kulepaskan tank top yang kupakai
dan ku lepaskan lewat kepalaku. Lalu kupejamkan mataku dan
membiarkan suara ombak di lautan yang menghantam tepi pantai
menyeretku untuk kembali tidur.
"Kumohon katakan padaku kalau kau memakai tabir surya," sebuah
suara berat menyapuku dan aku mencondongkan tubuhku ke depan.
Aroma bersih maskulinnya sangat menggiurkan. Aku harus lebih
dekat. Kubuka mataku, aku berkedip akibat sinar matahari yang
menyilaukan dan kunaungi mataku untuk melihat Rush yang sedang
duduk disampingku. Matanya mengamati ku. Kehangatan atau
humor dalam suaranya yang tadi kubayangkan telah lenyap.
"Kau memakai tabir surya, ya kan?"
Aku hanya mengangguk dan bangkit ke posisi duduk.
"Bagus. Aku tidak suka melihat kulit mulusmu yang lembut berubah
menjadi pink." Dia pikir kulitku mulus dan lembut. Itu terdengar seperti sebuah
pujian tapi aku tidak yakin mengucapkan terima kasih itu pantas.
"Aku, uh, mengoleskannya sebelum kemari."
Dia terus menatapku. Aku melawan keinginanku untuk meraih tank
topku dan mengenakannya diatas bikiniku. Aku tidak memiliki
bentuk tubuh seperti gadis-gadis yang kulihat selalu menemaninya.
Aku tidak menyukai perasaan seakan dia sedang membandingbandingkanku.
"Kau tidak bekerja hari ini?" Akhirnya dia bertanya.
Aku menggelengkan kepalaku. "Ini adalah hari liburku."
"Bagaimana pekerjaanmu?"
Dia sedang bersikap baik, semacamnya. Setidaknya dia tidak
menghindariku. Sekonyol apapun kelihatannya tapi aku
menginginkan perhatiannya. Ada suatu daya tarik yang menyeretku
kepadanya yang tidak bisa kujelaskan. Semakin dia menjaga jarak
semakin aku ingin mendekat. Dia memiringkan kepalanya dan
menaikkan salah satu alisnya seperti sedang menantiku untuk
mengatakan sesuatu. Oh tunggu dulu. Dia telah bertanya padaku. Sial, mata keperakan itu.
Membuatku sulit berkonsentrasi. "Uh, apa?" Aku bertanya
merasakan wajahku memanas.
Dia berdecak, "Bagaimana pekerjaanmu?" tanyanya perlahan.
Aku harus berhenti bersikap seperti idiot kalau dia sedang berada di
sekitarku. Kuluruskan bahuku, "Berjalan dengan baik. Aku
menyukainya." Rush menyeringai dan memandang ke air, "Aku yakin kau
menikmatinya." Aku terdiam sejenak dan memikirkan komentar itu lalu bertanya,
"Apa maksud perkataanmu itu?"
Tatapan Rush turun menjelajahi tubuhku kemudian naik lagi. Aku
amat menyesal tidak mengenakan kembali tank topku. "Kau tahu
bagaimana wajahmu, Blaire. Apalagi dengan senyum sialanmu yang
manis itu. Para pegolf pria pasti membayarmu dengan baik."
Dia benar mengenai uang tipnya. Dia juga membuatku bernapas
secara konyol dengan memandangku seperti itu. Aku menginginkan
dia menyukai apa yang dia lihat namun kemudian aku takut dengan
apa yang akan terjadi. Bagaimana jika dia mengubah keputusannya
mengenai saling menjaga jarak" Bisakah aku mengikutinya"
Kami duduk dalam diam selama beberapa saat ketika dia
memandang lurus kedepan. Aku yakin dia sedang memikirkan
sesuatu. Rahangnya menegang dan ada garis kerutan terbentuk di
dahinya. Aku jadi memikirkan lagi semua yang telah kukatakan. Aku
tidak dapat menemukan satupun yang dapat membuatnya kesal.
"Sudah berapa lama ibumu meninggal?" Tanyanya sambil
menatapku lagi. Aku tidak ingin membicarakan mengenai ibuku. Tidak padanya.
Namun mengabaikan pertanyaannya tidaklah sopan. "Tiga puluh
enam hari yang lalu."
Rahangnya bergerak seakan dia gusar pada terhadap sesuatu dan
kerutan di dahinya semakin dalam. "Apakah ayahmu tahu bahwa
sebelumnya beliau sakit?"
Pertanyaan lain yang tidak ingin aku jawab. "Ya, ayahku tahu. Aku
juga menghubunginya di hari ibuku meninggal dunia. Dia tidak
mengangkat teleponnya. Aku hanya meninggalkan sebuah pesan."
Kenyataan bahwa ayahku tidak pernah membalas teleponku terlalu
sakit untuk kuakui. "Apa kau membencinya?" tanya Rush.
Aku ingin membencinya. Dia telah menyebabkan duka dalam
hidupku sejak hari dimana kakak perempuanku meninggal. Itu sulit.
Tapi ayahku satu-satunya keluarga yang masih kumiliki. "Kadangkadang," sahutku jujur.
Rush mengangguk dan menjulurkan tangannya kemudian
mengaitkan kelingkingnya dengan kelingkingku. Dia tidak berkata
apapun namun pada saat itu memang tidak perlu. Satu koneksi kecil
itu sudah cukup mengatakan semuanya. Mungkin aku tidak terlalu
mengenal Rush namun dia telah mempengaruhiku.
"Aku mengadakan sebuah pesta malam ini. Adikku Nan, berulang
tahun. Aku selalu menyelenggarakan pesta untuknya. Mungkin kau
tidak terlalu dapat berbaur namun kau diundang jika kau mau hadir"
Adiknya" Dia memiliki seorang adik perempuan" Kupikir dia anak
tunggal. Bukankah Nan adalah gadis yang sangat kasar di malam
kedatanganku" "Kau memiliki adik perempuan?"
Rush mengendikkan bahunya, "Yeah."
Kenapa Grant bilang dia anak tunggal" Kutunggu dia untuk
menjelaskan tapi dia diam saja. Lalu kuputuskan untuk bertanya.
"Grant bilang kau anak tunggal."
Rush menegang. Kemudian menggelengkan kepalanya saat dia
melepaskan jarinya dan berpaling untuk memandang ke laut. "Grant
tidak punya hak untuk menceritakan hal-hal mengenai diriku.
Betapapun dia sangat menginginkan masuk kedalam celana
dalammu." Rush berdiri dan tidak memandangku lagi ketika dia
berjalan kearah rumah. Sesuatu mengenai Nan melewati batasan. Aku tidak tahu apa tapi
benar-benar melewati batasan. Aku seharusnya tidak menjadi orang
yang mau tahu urusan orang lain. Aku berdiri dan berjalan menuju
air. Panas dan aku membutuhkan sesuatu untuk menyingkirkan Rush
dari benakku. Setiap kali aku mengendurkan penjagaanku di
sekitarnya dia mengingatkanku alasan mengapa aku harus diam di
tempat saja. Pria itu aneh. Seksi, tampan, dan menggiurkan namun
aneh. *** Aku duduk di atas tempat tidurku mendengarkan tawa dan musik
yang berasal dari dalam rumah. Aku berganti-ganti keputusan
mengenai menghadiri pesta seharian. Terakhir kalinya aku
mengambil keputusan untuk datang aku mengenakan satu-satunya
gaun bagus yang masih kumiliki. Itu adalah gaun berwarna merah
yang melekat erat di dada dan pinggulku kemudian tergantung di
sekitar tengah pahaku dengan model baby doll mini. Aku membeli
gaun ini ketika Cain mengundangku ke pesta prom senior.
Kemudian dia dinominasikan sebagai raja prom dan Grace Anne
Henry yang dinominasikan sebagai ratunya. Grace ingin menghadiri
prom bersama dengan Cain kemudian Cain meneleponku untuk
bertanya apakah boleh dia pergi bersama Grace saja. Semua orang
berkata mereka akan menang dan akan terlihat keren kalau mereka
menghadirinya sebagai pasangan. Aku menyetujuinya lalu
menggantung kembali gaunku. Malam itu aku menyewa dua judul
film dan membuat brownies. Mom dan aku menonton film komedi
romantis dan memakan brownies hingga kami kekenyangan. Itu
merupakan salah satu kenangan yang bisa kuingat ketika ibuku tidak
merasakan sakit setelah menjalani kemoterapi sehingga dia bisa
memakan makanan manis seperti brownies.
Malam ini aku telah mengeluarkan gaun tersebut dari tasku.
Gaunnya tidak semahal standard orang-orang di luar. Malah cukup
sederhana. Bahannya terbuat dari sifon lembut. Aku melihat sekilas
pada sepatu hak tinggi berwarna perak milik ibuku yang aku simpan.
Ini adalah sepatu yang ia kenakan di hari pernikahannya. Aku selalu
menyukainya. Ibuku tidak pernah memakainya lagi namun sepatu itu
tersimpan rapat dalam sebuah kotak.
Aku mengambil resiko besar dengan keluar menghadiri pesta dan
dipermalukan. Aku tidak cocok dengan mereka. Aku pun tidak
pernah bisa menyesuaikan diri di SMA. Hidupku adalah satu momen
yang canggung. Aku harus belajar menyesuaikan diri. Untuk
meninggalkan si gadis canggung yang harus keluar dari SMA karena
dia memiliki masalah yang jauh lebih besar.
Berdiri, kujalankan tanganku diatas gaunku untuk merapikan setiap
kerutan yang ada karena duduk di ranjang menimbang apakah
menghadiri pesta merupakan suatu keputusan yang bijak. Aku akan
berjalan keluar kesana. Mungkin mengambil segelas minuman dan
melihat adakah seseorang yang mau berbicara denganku. Jika
ternyata menjadi bencana, aku selalu bisa lari kembali kemari,
memakai piyamaku dan meringkuk di tempat tidur. Ini adalah
langkah kecil yang baik untukku.
Membuka pintu pantry, aku melangkah memasuki dapur sangat
bersyukur bahwa tidak ada seorang pun disana. Berjalan keluar dari
pantry akan sulit dijelaskan. Aku dapat mendengar suara tawa Grant
yang kencang dan berbicara dengan seseorang di ruang keluarga.
Dia mungkin mau mengobrol denganku. Aku bisa melalui hal ini
dengan mudah bersama Grant. Menarik napas panjang, aku berjalan
keluar dari dapur dan menuruni lorong yang mengarah ke foyer.
Mawar putih dan pita perak ada dimana-mana. Ini mengingatkanku
pada pernikahan daripada pesta ulang tahun. Pintu depan yang
terbuka mengejutkanku. Langkahku terhenti dan melihat pada mata
gelap smokey yang familiar menatap mataku. Wajahku menghangat
ketika mata Wood menilaiku dengan pelan dan lambat.
"Blaire," ujarnya saat matanya kembali menatap wajahku. "Aku
tidak pernah mengira kau bisa terlihat lebih seksi lagi. Ternyata aku
salah." "Hell, yeah, nona. Kau terlihat menakjubkan." Pria dengan rambut
ikal berwarna pirang dan bermata biru tersenyum padaku. Aku tidak
bisa mengingat namanya. Apakah dia pernah memberitahuku
sebelumnya" "Terima kasih." Gumamku. Aku bersikap canggung lagi. Ini adalah
kesempatanku untuk menyesuaikan diri. Aku harus
mengusahakannya. "Aku tidak tahu kalau Rush mulai main golf lagi. Atau kau disini
bersama seseorang?" Karena bingung aku terdiam sejenak untuk
meresapi maksud perkataan Wood. Ketika kusadari dia mengira aku
disini dengan seseorang yang kutemui di tempat kerja aku
menyeringai. Itu bukan masalah sama sekali.
"Aku kemari tidak dengan siapapun. Rush adalah um...well, ibunya
Rush menikah dengan ayahku." Itulah penjelasanku.
Seringai Wood yang pelan dan santai semakin melebar ketika dia
berjalan kearahku. "Benarkah" Dia membiarkan adik tirinya bekerja
di country club" Ck, ck. Cowok itu tidak punya sopan santun. Jika
aku memiliki adik perempuan dengan wajah seperti kau, aku akan
menyekapnya...sepanjang waktu," Dia berhenti sebentar dan
menyapu pipiku dengan ibu jarinya. "Aku akan menemanimu tentu
saja. Tidak ingin kau merasa kesepian."
Sudah pasti dia sedang merayuku. Dengan gencar. Dia berada di luar
jangkauanku. Dia terlalu berpengalaman. Aku membutuhkan sedikit
ruang. "Sepasang kakimu seharusnya dipasangi peringatan. Tidak mungkin
tidak disentuh," Dia merendahkan suaranya sedikit dan aku melihat
sekilas melewati bahunya bahwa si pirang telah meninggalkan kami.
"Apakah kau...apakah kau berteman dengan Rush atau uh,
Nannette?" Tanyaku mengingat nama yang Grant gunakan ketika
memperkenalkan kami pada malam pertama.
Woods mengangkat bahu, "Nan dan aku memiliki hubungan
pertemanan yang rumit. Sedangkan Rush dan aku telah saling
mengenal seumur hidup." Tangan Woods meluncur di punggungku.
"Aku berani bertaruh Nan pasti membencimu."
Aku tidak begitu yakin. Kami tidak pernah berinteraksi semenjak
malam itu. "Kami tidak terlalu saling mengenal."
Woods memberengut, "Benarkah" Itu aneh."
"Woods! Kau di sini," seorang wanita berseru saat dia memasuki
ruangan. Dia menolehkan kepalanya untuk melihat gadis berambut
merah dengan rambut panjang ikal yang tebal yang memiliki tubuh
berlekuk yang dibalut oleh gaun satin hitam. Ini mungkin yang akan
mengalihkan perhatiannya. Aku mulai melangkah dan kembali
kearah dapur. Momen keberanianku telah hilang.
Tangan Woods mencengkeram pinggulku, dengan erat memegangku
agar diam di tempat. "Laney," hanya itu jawaban yang Woods
berikan. Mata cokelat besar gadis itu beralih dari Woods kepadaku.
Aku memandang dengan tidak berdaya ketika dia melihat tangan
Woods yang diletakkan di pinggulku. Bukan ini yang kuinginkan.
Aku butuh berbaur. "Siapakah dia?" Si gadis memusatkan matanya dan memandang
sepenuhnya padaku. "Ini Blaire. Adik barunya Rush," Woods menjawab dengan nada
bosan. Si gadis menyipitkan matanya dan kemudian dia tertawa. "Tidak,
pasti bukan. Dia mengenakan gaun murahan dan sepatu yang lebih
murah lagi. Gadis ini, siapapun katanya, sedang berdusta padamu.
Tapi kau memang selalu lemah jika berhubungan dengan wajah
cantik, ya kan, Woods?"
Seharusnya aku tetap tinggal di kamarku.
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Bab 7 "Kenapa kau tidak kembali ke pesta dan menemukan beberapa pria
bodoh untuk mempertajam kukumu, Laney?"
Woods berjalan menuju pintu dimana sebagian besar pesta berada
dengan tangannya masih kokoh dipinggulku memaksaku untuk pergi
bersamanya. "Kupikir aku hanya ingin pergi kekamarku. Seharusnya aku tidak
datang kesini malam ini," kataku, berusaha menghentikan kami
masuk ke dalam pesta. Aku tidak perlu berjalan kesana dengan
Woods. Sesuatu mengatakan kepadaku itu ide yang buruk.
"Kenapa kau tidak menunjukkan kamarmu" Aku ingin melarikan diri
juga." Aku menggeleng. "Tidak cukup ruang untuk kita berdua."
Woods tertawa dan menunduk untuk mengatakan sesuatu ditelingaku
disaat mataku terkunci dengan tatapan mata perak Rush. Dia
menatapku lekat. Dia terlihat tidak senang. Undangannya hari ini
hanyalah sopan santun yang keluar dan sesungguhnya tidak
diharapkan" Aku salah mengerti"
"Aku harus pergi. Aku tidak berpikir Rush ingin aku disini." Aku
berbalik untuk menatap Woods dan melangkah keluar dari
pelukannya. "Omong kosong.Aku yakin dia terlalu sibuk untuk khawatir tentang
apa yang kau lakukan. Selain itu mengapa dia tidak ingin melihatmu
di pesta adik perempuannya yang lain?"
Ada adik perempuan lagi. Mengapa Grant mengatakan kepadaku
bahwa Rush tidak punya saudara kandung" Nan jelas adiknya.
"Aku, uh, baiklah, dia tidak benar benar menyatakanku sebagai
keluarga. Aku hanya saudara yang tidak diinginkan dari suami baru
ibunya. Aku sebenar nya hanya disini untuk beberapa minggu lagi
sampai aku bisa pindah sendiri. Aku bukan penghuni tetap dirumah
ini." aku memaksakan senyum, berharap Woods akan mendapatkan
gambaran dan membiarkanku pergi.
"Tak ada tentangmu yang tidak diinginkan. Bahkan Rush tidaklah
sebuta itu, sialan," kata Woods mendekatiku kembali karena aku
menjauh. "Kemarilah Blaire." suara menuntut Rush datang dari belakangku
tangan besarnya menyelinap dilenganku menarikku padanya. "Aku
tidak menduga kau datang malam ini." Peringatan dalam nadanya
mengatakanku bahwa aku salah mengerti tentang undangannya. Dia
benar benar tidak serius.
"Maafkan aku. Kukira kau bilang aku bisa datang," aku berbisik
memalukan kalau Woods bisa mendengarnya. Dan yang lainnya
sedang menonton. Saat ini aku memutuskan untuk menjadi berani
dan keluar dari rasa malu dari kejadian ini.
"Aku tidak menduga kau muncul dengan pakaian seperti itu,"
jawabnya dengan tenang namun mematikan. Matanya masih
diarahkan pada Woods. Apa salahnya dengan pakaianku" Ibuku telah
berkorban untuk ku agar memiliki gaun ini dan aku tidak pernah
sempat untuk memakainya. Enam puluh dolar adalah uang yang
banyak bagi kami ketika dia membelinya. Aku sudah muak dengan
sekelompok orang bodoh manja berakting seperti aku mengenakan
sesuatu yang menjijikkan. Aku mencintai gaun ini. Aku mencintai
sepatu ini. Orang tuaku bahagia dan sudah pernah saling cinta.
Sepatu ini adalah bagian dari itu. Sialan mereka semua.
Aku menghentak pergi dari Rush dan kembali ke dapur. Jika dia
tidak ingin aku disini karena teman teman menertawakannya maka ia
harus mengatakannya. Sebaliknya, dia membuatku merasa seperti
orang bodoh. "Apa masalahmu bung, sialan?" Tanya Woods marah. Aku tidak
melihat kebelakang. Aku berharap mereka berkelahi. Aku berharap
Woods mematahkan hidung sempurna Rush yang menjengkelkan.
Aku meragukan karena meskipun Rush salah satu dari mereka ia
terlihat lebih kasar. "Blaire tunggu," Grant memanggil dan aku ingin mengabaikannya
tapi sekarang dia adalah teman terdekat ku disini. Aku melambat
ketika aku mencapai lorong dari semua penonton dan membiarkan
Grant mengejarku. "Itu tidak seperti yang kau pikirkan," kata Grant, muncul
dibelakangku. Aku ingin tertawa. Dia sangat dibutakan oleh
saudaranya yang bersangkutan.
"Tidak masalah. Seharusnya aku tidak datang. Seharusnya aku tahu
ajakannya tidak serius. Aku berharap dia mengatakan kepadaku
untuk tinggal dikamarku seperti yang di inginkannya. Aku tidak
mengerti dengan permainan kata kata," aku menghentak dan berjalan
melalui dapur langsung menuju pantry.
"Dia memiliki masalah. Aku akan memberikannya tetapi dia sudah
melindungimu dengan caranya aneh yang mengacaukan" kata Grant
saat tanganku bertemu pegangan kuningan dingin dipintu pantry.
"Tetaplah percaya pada nya, Grant. Itulah hal terbaik yang dilakukan
saudara," jawabku dan menyentak pintu terbuka dan menutupnya
dibelakangku. Setelah mengambil beberapa napas dalam untuk
meringankan sakit di dadaku aku pergi ke kamarku dan tenggelam
ke tempat tidur. Pesta bukanlah untuk ku. Itu kedua kali nya kualami dan yang
pertama tidak jauh lebih baik. Sebenarnya itu mungkin lebih
buruk .Aku pergi untuk mengejutkan Cain dan aku menjadi salah
satu yang terkejut. Dia ada di kamar Jamie Kirkman dengan
payudara telanjang nya ada di mulut Cain. Mereka belum
berhubungan seks tapi tentu saja mereka akan segera melakukannya.
Aku menutup pintu diam diam dibelakangku dan keluar melalui
pintu belakang. Beberapa orang melihatku dan tahu apa yg sudah
kualami. Cain muncul di rumahku satu jam kemudian memintaku
untuk memaafkannya dan menangis sambil berlutut.
Aku mencintainya sejak aku berusia tiga belas tahun dan ia
memberi ciuman pertamaku. Aku tidak bisa membencinya. Aku
hanya membiarkannya pergi. Itu adalah akhir dari hubungan kami.
Aku menenangkan hati nuraninya dan kita tetap berteman.
Terkadang ia dalam kondisi buruk dan mengatakan bahwa dia
mencintaiku dan ingin aku kembali tetapi dari semua itu ia memiliki
seorang gadis berbeda di belakang mustangnya disetiap akhir pekan.
Aku hanyalah kenangan masa kecilnya.
Malam ini tidak ada yang menghianatiku. Aku baru saja
dipermalukan. Meraih kebawah aku melepaskan sepatu ibuku dan
menempatkan mereka kembali dengan aman dikotaknya
penyimpanan nya. Lalu aku menempatkannya kembali ke dalam
koperku. Aku seharusnya tidak mengenakannya malam ini. Lain kali
aku mengenakan sepatunya akan menjadi saat istimewa. Pasti untuk
seseorang yang istimewa. Aku melakukan hal yang sama pada gaun ini. Ketika aku menaruh
kembali aku akan memakainya untuk seseorang yang mencintaiku
dan berpikir aku cantik. Label harga pada gaunku tidak masalah.
Aku mengulurkan tangan untuk membuka ritsleting ketika pintu
terbuka dan ruangan kecil ittu terisi Rush. Rush yang sangat marah.
Dia tidak mengatakan apa apa dan aku membiarkan tanganku jatuh
kembali kesisiku. Aku tidak akan mengambil pakaianku yang baru
saja terlepas. Dia melangkah masuk dan menutup pintu
dibelakangnya. Dia terlalu besar untuk ruangan kecil ini. Aku harus
mundur dan duduk ditempat tidur sehingga ia bisa menyesuaikan
tanpa kita bersentuhan. "Bagaimana kau mengenal Woods?" dia menggertak.
Bingung aku menatapnya dan bertanya tanya mengapa ia tidak suka
aku mengenal Woods. Bukankah mereka berteman" Apa itu" dia
tidak ingin aku berada disekitar teman temannya. "Ayahnya adalah
pemilik Country Club.Dia bermain golf. Aku melayani
minumannya." "kenapa kau memakai itu?" Tanyanya dengan suara keras yang
dingin. Ini adalah keadaan tersudut yang tidak menyenangkan. Aku kembali
berdiri kemudian berjinjit pada ujung jari kakiku, agar aku
berhadapan dengannya. "karena ibuku membelikannya untuk
kukenakan. Aku mempertahankannya dan tidak pernah mendapat
kesempatan. Malam ini kau mengundangku dan aku ingin
menyesuaikan diri jadi aku memakai yangg terbaik yang kupunya
aku minta maaf kalau tidak cukup baik. Kau tau bagaimanapun aku
tidak peduli. Kau dan semua teman teman mu yg sombong dan
manja bersikpa terlalu berlebihan."
Aku mendorong dadanya dengan jariku dan melotot menantangnya
untuk mengatakan sekali lagi tentang pakaianku.
Rush membuka mulutnya kemudian memejamkan matanya dan
menggelengkan kepalanya. "Sial!" geramnya. Kemudian matanya
terbuka lebar dan tangannya tiba tiba dirambutku dan bibirnya ada
dibibirku. Aku tidak tahu bagaimana untuk bereaksi. Bibirnya
lembut tapi menuntut saat ia menjilat dan menggigit bibir bawahku.
Lalu ia menarik bibir atasku kemulutnya dan menghisapnya lembut.
"Aku sudah lama ingin mencicipi bibir penuh yang manis ini sejak
kau berjalan kedalam ruang tamuku" gumamnya sebelum
menggelincirkan lidahnya kedalam mulutku saat aku tersentak
mendengar kata katanya. Dia terasa seperti mint dan sesuatu yang
kaya. Lututku lemas dan aku mengulurkan tangan meraih bahunya
untuk menahan kestabilan ku. Kemudian lidahnya membelaiku
seakan memintaku untuk bergabung dengannya. Aku melakukan
usapan kecil dimulutnya dan kemudian menggigit lembut bibir
bawahnya. Sebuah erangan kecil keluar dari tenggorokannya dan hal
berikut yang kutahu aku sedang diturunkan ketempat tidur di
belakangku. Tubuh Rush menimpa tubuhku dan rasa keras itu adalah ereksinya
menekan kedua kakiku.Mata ku berputar di dalam kepala ku dan aku
mendengar erangan tak berdaya datang dari bibirku.
"Manis, terlalu manis." Rush berbisik dibibirku sebelum mulutnya
tiba tiba menjauh dan melompat kebelakang lepas dariku. Matanya
memusatkan perhatian pada gaunku. Aku menyadari sekarang
gaunku ada di sekeliling pinggangku dan celana dalamku terlihat.
"Sialan," ia mengutuk kemudian memukul tangannya kedinding
sebelum menyentak pintu terbuka dan keluar seperti sedang dikejar.
Dinding bergetar dari tenaga yang dikeluarkan saat menutup pintu.
Aku tidak bergerak. Aku tidak bisa. Jantungku berdebar debar dan
ada sakit yang kukenal diantara kedua kakiku. Aku sudah pernah
terangsang sebelum melihat adegan seks di TV tetapi tidak pernah
seintens ini. Aku merasa sangat dekat. Dia tidak mengiginkannya
tapi dia memilikinya. Aku merasakannya tapi kemudian aku juga
melihat dia berhubungan seks dengan seorang gadis. Selain itu, aku
tahu semalam dia berhubungan seks dengan gadis lain dan kemudian
mengirimnya pergi. Mendapatkan Rush keras bukanlah sebuah
prestasi besar. Aku tidak benar benar mencapai apapun. Dia hanya
marah karena miliknya sudah kurangsang.
Itu menyakitkan. Mengetahui dia sangat tidak menyukaiku bahwa
dia tidak ingin berpikir aku menarik untuknya. Denyutan di antara
kedua kakiku perlahan lahan memudar karena kenyataan yang ada.
Rush tidak ingin meyentuhku. Dia sangat marah karena itulah
dia.Meskipun terangsang dia masih bisa menjauh dari ku. Aku punya
perasaan aku berada dikelompok kecil. Kebanyakan gadis gadis
yang diinginkan dimilikinya. Dia tidak bisa memaksaku
mengacaukan dirinya. Aku adalah orang miskin yang terjebak
dengannya sampai aku punya cukup uang untuk pindah.
Aku berguling dan meringkuk menjadi bola. Mungkin aku tidak
akan mengenakan gaun ini lagi. Hanya akan menjadi kenangan
menyedihkan. Sudah waktunya aku mengemasnya pergi demi
kebaikan. Meskipun malam ini aku akan tidur di dalamnya. Ini akan
Kakek Sakti Gunung Muria 1 Hardy Boys Naga Berkepala Empat Pendekar Pemanah Rajawali 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama