Fallen Too Far Karya Abbi Glines Bagian 4
belas hole setiap jum'at dan sabtu. Itu membuatku takjub bahwa
seorang pria Sembilan puluh tahun bisa berkeliling sebaik itu. Ia
juga datang untuk minum kopi dan dua telur rebus Senin sampai
Jum'at pagi. Saat aku berbalik dari tersenyum, mataku terkunci dengan mata
Rush. Aku sudah berusaha keras untuk tidak melihat kearahnya
meskipun aku tahu ia disini. Itu adalah malam besar Nan. Rush tidak
akan melewatkannya. Tidak ada alasan ia harus. Dia jahat tapi ia
adik Rush. Itu aku yang dia benci. Bukan Rush.
Wajahnya terlihat sedih dan senyum kecilnya terlihat dipaksakan.
Aku tersenyum kearahnya berusaha keras untuk tidak memikirkan
ucapan anehnya. Paling tidak ia melihat ke arahku. Aku tidak tahu
apa yang aku harapkan darinya.
Doctor dan Mrs. Wallace berdua menyapa dan memberitahuku
mereka merindukan melihatku di lapangan golf. Aku berbohong dan
mengatakan aku merindukannya juga. Lalu aku kembali ke dapur
untuk nampan lain. Darla mendorong sebuah nampan dengan sampanye ke arahku,
"Ayo, ayo, cepat," ia membentak.
Aku berjalan secepat yang aku bisa dengan nampan penuh gelas
sampanye. Setelah di ruangan pesta aku mulai ke jalan yang sama
melalui anggota yang tenggelam dalam percakapan dan aku hanya
sebuah nempan minuman. Aku lebih menyukai ini. Aku tidak merasa
gelisah. Tawa familiar Bethy menarik perhatianku dan aku berbalik untuk
mencarinya. Aku tidak melihat ia di dapur sebelumnya. Aku mengira
Darla tidak menginginkan dia bekerja. Atau ayah Wood tidak mau.
Bethy tidak berpakaian seperti kami. Ia menggunakan gaun sifon
yang menempel dan rambut cokelat panjangnya menumpuk di
kepala dengan ikal menggantung ke bawah di sekitar wajahnya. Ia
menoleh dan menatap mataku, dan ia menyeringai lebar. Aku
melihat ia bergegas kearahku. Stiletto yang ia kenakan bahkan tidak
memperlambat langkahnya. "Bisakah kau percaya kalau aku di sini sebagai tamu?" Bethy
bertanya, melihat ke sekeliling kami dengan kagum kemudian
kembali melihatku. Aku menggeleng karena aku tidak bisa percaya.
"Saat Jace datang ke apartemenku berlutut dan memohon padaku
semalam, aku memberitahunya kalau ia menginginkan aku sebagai
pacarnya ia harus memperlihatkannya di depan umum. Ia setuju dan
yah, kau mendapatkan gambarnya. Segala sesuatunya menjadi
benar-benar panas di apartemenku. Tapi bagaimanapun juga,
disinilah aku," desahnya.
Jace telah bersikap jantan. Bagus untuknya. Aku menoleh ke
belakang untuk melihat Jace mengawasi kami. Aku tersenyum
kearahnya dan mengangguk menyetujui. Ia memberiku seringai kecil
sambil mengangkat bahu. "Aku senang bisa tahu akhirnya ia mendapat akal sehatnya,"
balasku. Bethy meremas lenganku. "Terima kasih," ia berbisik.
Ia tidak punya apa-apa untuk berterima kasih padaku tapi aku
tersenyum. "Pergilah bersenang-senang. Aku harus mengantar habis
ini semua sebelum bibimu datang kesini dan mendapatiku sedang
mengobrol." "Okay. Aku akan, Meskipun aku berharap kau dapat menikmatinya
denganku." Matanya melirik melewati bahuku. Aku tahu ia sedang
melihat Rush. Ia disini dan ia mengabaikanku di depan semua orang
ini. Ia melakukannya demi Nan tapi apakah itu membuatnya lebih
baik" Perlahan-lahan aku tersadar. Aku akan menjadi seperti Bethy.
"Aku butuh uang jadi aku bisa mendapatkan tempat tinggalku
sendiri," Aku memberitahunya dengan sebuah senyuman terpaksa.
"Pergilah berbaur," Aku mendorongnya dan berjalan pergi ke
kelompok orang berikutnya.
Matanya mengikutiku mengirimkan sensasi membakar ke leherku.
Aku tahu Rush memperhatikanku. Aku tidak harus berbalik dan
melihat Rush untuk membuktikan. Apakah ia baru saja menyadari
situasi kami seperti yang kualami" Aku meragukannya. Ia seorang
pria. Aku sudah bersikap gampangan. Aku juga seorang munafik
terbesar di dunia. Sekarang aku merasa bersalah memarahi dan
mengasihani Bethy. Sampanye terakhir meninggalkan nampanku dan aku berjalan
kembali melalui kerumunan, berhati-hati untuk tidak mendekati
Rush atau Nan. Aku bahkan tidak melirik kearah mereka. Aku masih
punya harga diri. Aku hanya harus berhenti tiga kali pada tamu untuk
meletakkan gelas kosong mereka pada nampanku saat aku bergegas
kembali ke dapur dengan selamat.
"Bagus kau kembali. Ambil nampan ini. Kita butuh makanan di luar
sana sebelum mereka minum terlalu banyak dan kita punya pemabuk
mengacau di tangan kita," kata Darla, menyodorkan nampan yang
aku tidak tahu isinya. Mereka juga bau. Aku mengernyitkan
hidungku dan menjauhkan nampan itu dariku. Darla terkekeh dengan
tawa. "Itu escargot, siput. Mereka menjijikkan tapi orang-orang ini
berpikir mereka makanan yang lezat. Tahan baunya dan pergilah."
Aku rasa perutku berputar. Aku bisa melakukannya tanpa penjelasan
itu. Escargot akan menjadi deskripsi yang memadai.
Ketika aku sampai di pintu masuk ballroom aku memantapkan diri
dan mencoba untuk tidak berpikir tentang siput yang aku berikan
untuk dimakan orang-orang atau fakta bahwa Rush ada di sana
berpura-pura ia tidak mengenalku sama sekali. Setelah aku
menghabiskan dua malam terakhir di tempat tidurnya.
"Kau baik-baik saja?" Woods bertanya saat aku berjalan ke dalam
ruangan. Ia berada disampingku terlihat khawatir.
"Ya. Kecuali kenyataan bahwa aku memberi orang-orang siput untuk
dimakan," jawabku. Woods terkekeh, mengambil satu dari
nampanku dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Kau harus mencoba satu. Ini benar-benar enak. Apalagi direndam di
bawang putih dan mentega."
Perutku berputar lagi dan aku menggeleng. Woods tertawa keras saat
ini. "Kau selalu membuat sesuatu menjadi lebih menarik, Blaire," ia
berkata, sambil membungkuk kearah telingaku. "Aku minta maaf
tentang Rush. Sekedar catatan, jika kau memilihku kau tidak akan
kerja malam ini. Kau akan berada di lenganku."
Aku merasa wajahku merona. Sudah cukup mengetahui bahwa aku
adalah rahasia kecilnya tapi bahwa orang lain yang mengetahuinya
itu memalukan. Bagaimanapun, aku menginginkan Rush. Sangat
menginginkannya. Well, memang aku mendapat apa yang
kuharapkan. "Aku butuh uang. Aku sebentar lagi mampu mendapat tempat
tinggalku sendiri," aku terus terang memberitahu Woods.
Woods memberiku anggukan singkat dan senyum simpatik sebelum
berbalik untuk menyambut tamu yang lebih tua yang kebetulan
lewat. Aku mengambil momen itu untuk pergi. Aku punya siput
untuk memberi makan orang-orang.
Jimmy menangkap mataku dan ia mengedip meyakinkan padaku. Ia
sibuk mengurus sisi ruangan Rush dengan cerdas. Aku bahkan tidak
mendekat kearahnya. Bethy tersenyum cerah padaku saat aku datang
di kelompoknya. Senyumnya hilang saat ia melihat ke makanan
dalam nampanku. "Apa itu?" ia bertanya ketakutan.
"Kau tidak ingin tahu," aku memberitahunya, membuat Jace dan
seorang pria yang aku tidak begitu kukenal tertawa.
"Mungkin lebih baik kau melewatkannya," Jace memberitahu Bethy
sambil menyelipkan tangannya di pinggangnya dan menariknya
lebih dekat ke sisinya dengan mesra.
Bethy berseri-seri kearah Jace dan segala kemesraan manis itu yang
mampu kuterima. Aku bergegas ke kelompok berikutnya. Rambut
merah keriting itu terlihat akrab. Aku butuh satu detik untuk
mendatanginya. Racun jahat di senyumnya mengingatkanku persis
di mana aku pernah melihatnya sebelumnya. Ia sudah mengejar
Woods di rumah Rush pada malam pesta Nan. Aku belum menjadi
pemuja malam itu berkat Woods.
"Bukankah ini menyenangkan?" katanya, mengalihkan perhatiannya
menjauh dari pasangan yang berbicara padanya dan fokus padaku.
"Aku tebak Woods memutuskan kau lebih cocok berkerja padanya
daripada berkencan dengannya." Ia terkikik dan menggelengkan
kepalanya sehingga ikal merahnya memantul. "Aku bersumpah, ini
membuat malamku menyenangkan." Ia mengulurkan tangan dan
membalikkan nampanku. Siput-siput turun ke depan bajuku diikuti dengan nampan yang
terjatuh keras di lantai. Aku terlalu tercengang untuk bergerak atau
bicara. "Oh dan lihat dia sangat kikuk. Woods harus pilih-pilih tentang
karyawannya," gadis itu mendesis penuh kebencian.
"Oh tuhanku! Blaire, kau baik-baik saja?" suara Bethy datang dari
belakangku menyadarkanku dari keterkejutan.
Aku berhasil menyingkirkan siput yang masih menempel di
pakaianku. "Minggir," perintah suara berat yang langsung kukenali. Kepalaku
terangkat untuk menemukan Rush mendorong melewati beberapa
orang dengan rambut merah yang tampaknya menertawakan
kekacauan yang kubuat. Dia marah. Tidak salah lagi. Rush
mencengkeram pinggangku dan mengamati wajahku sesaat. Aku
tidak yakin untuk apa. "Kau baik-baik saja?" ia bertanya pelan.
Aku mengangguk, tidak yakin bagaimana harus bereaksi.
Pembuluh darah di lehernya sekali lagi menegang dibalik kulitnya
saat menelan ludah. Ia nyaris tidak memutar kepalanya memandang
pada si rambut merah. "Jangan mendekati aku dan dia lagi.
Mengerti?" ia berkata dengan tenang yang mematikan.
Mata gadis itu melebar. "Buat apa kau marah padaku" Dia yang
kikuk. Ia menumpahkan seisi nampan ke dirinya sendiri."
Tangan Rush mencengkeram erat pinggangku. "Jika kau
mengucapkan satu kata lagi aku akan mengancam untuk mencabut
semua sumbanganku dari klub ini sampai kau dikawal keluar. Secara
permanen." Gadis itu terkesiap, "Tapi aku teman Nan, Rush. Teman terlamanya.
Kau tidak akan melakukannya padaku. Apalagi untuk pelayan
sewaan." Cibiran kekanak-kanakan dalam suaranya terdengar aneh
dari gadis berusia dua puluh satu tahun.
"Coba saja," balasnya.
Dia mentap kembali ke arahku. "Kau ikut denganku."
Aku tidak punya waktu untuk merespon sebelum ia membalikkan
kepalanya untuk melihat ke belakang bahuku. "Aku bersamanya
Bethy. Ia baik-baik saja. Kembalilah ke Jace." Rush menyelipkan
tangannya di sekitar pinggangku. "Hati-hati siputnya; mereka licin."
Dua orang pelayan bergegas masuk ke ruangan dengan perlengkapan
untuk memberihkan kekacauan. Musik tidak berhenti tapi tempat ini
menjadi tenang. Perlahan-lahan, orang-orang mulai berbicara lagi.
Aku tetap mengarahkan mataku ke pintu menunggu sampai aku bisa
keluar dari ballroom ini dan melepaskan diri dari pelukan Rush.
Jika orang-orang di sini tidak tahu kami sudah berhubungan seks,
mereka tahu sekarang. Dia baru saja menunjukkan pada semua orang
bahwa ia peduli padaku tapi ia tidak benar-benar ingin berjalan
dengan aku di lengannya. Dadaku terasa sakit. Aku butuh jarak dari
dia. Sudah waktunya aku belajar untuk merangkak kembali ke dunia
kecilku di mana aku mempercayai diriku dan hanya aku. Tidak ada
orang lain. Setelah kami keluar dari ballroom dan jauh dari mata
yang ingin tahu, aku melangkah menjauh dari Rush dan menjaga
jarak diantara kami. Aku menyilangkan lenganku di depan dada dan
menatap kakiku. Aku tidak yakin apakah memandangnya merupakan
sesuatu yang baik atau bukan. Aku tidak mengambil waktu untuk
menikmati betapa indah ia terlihat dalam tuksedo hitam. Aku sudah
melakukan yang terbaik untuk tidak melihat ke arahnya. Sekarang ia
berdiri disini di depanku berpakaian seperti seharusnya di mana aku
dengan pakaian pelayan yang berlumur minyak siput, perbedaan
besar diantara dunia kami sangat jelas.
"Blaire, Aku minta maaf. Aku tidak mengira sesuatu seperti itu akan
terjadi. Aku bahkan tak tahu dia punya masalah denganmu. Aku
akan berbicara dengan Nan tentang hal ini. Aku punya perasaan Nan
ada hubungannya dengan ini - "
"Si rambut merah itu membenciku karena Woods tertarik padaku.
Nan tidak ada hubungannya dengan ini dan begitu pula dirimu."
Rush tidak langsung membalas. Aku bertanya-tanya apakah aku
harus berbalik dan berjalan kembali ke dapur.
"Apakah Woods masih merayumu?"
Apakah ia baru saja menanyakan itu padaku" Aku berdiri di sana
berlumur siput dan mentega dan ia bertanya padaku apakan beberapa
pria menggodaku" Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih punya
pekerjaan. Itu saja. Sudah cukup. Aku berbalik dan kembali ke
dapur. Rush tidak membiarkanku menjauh. Tangannya terulur dan
meraih lenganku. "Blaire, tunggu. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak menanyakan
itu. Itu bukan masalah sekarang. Aku mau memastikan kau baik-baik
saja dan membantumu membersihkan diri." Suaranya terdengar
sedih saat ia mengatakan bagian akhir.
Aku mendesah dan berbalik dan bertemu tatapannya saat ini. "Aku
baik-baik saja. Aku harus pergi ke dapur dan melihat apakah aku
masih punya pekerjaan. Aku sudah diperingatkan oleh Woods pagi
ini bahwa sesuatu seperti ini mungkin terjadi dan itu akan menjadi
kesalahanku. Jadi, saat ini aku punya masalah yang lebih besar
daripada kau yang tiba-tiba merasa perlu bersikap posesif padaku.
Yang mana ini konyol. Karena kau sedang melakukan yang terbaik
untuk mengabaikanku sampai peristiwa ini terjadi. Kau tahu aku
atau tidak, Rush. Pilih salah satu pihak." Luka pada suaraku tidak
mudah untuk disembunyikan. Aku menyentak lenganku lepas dari
tangannya dan berjalan kembali menuju dapur.
"Kau sedang bekerja. Apa yang kau ingin aku lakukan?" panggilnya
dan aku berhenti. "Mengakuimu akan memberikan alasan Nan untuk
menyerangmu. Aku melindungimu."
Fakta bahwa ia mengakuinya memberitahuku begitu banyak. Nan
diprioritaskan. Ia mengabaikanku untuk membuat Nan senang. Aku
menduganya tentu saja. Aku hanya cewek panggilannya. Nan
adiknya. Ia benar lebih memilih Nan daripada aku. Bagaimana ia
bisa melihatku sebagai sesuatu yang lebih saat aku pergi ke tempat
tidurnya dengan mudah"
"Kau benar, Rush. Kau mengabaikanku akan mencegah Nan
menyerangku. Aku hanya seorang gadis yang kau tiduri dua malam
terakhir. Segala sesuatunya menganggap aku tidak spesial. Aku satu
dari banyak gadis yang lain." Aku tidak menunggunya untuk
mengatakan lagi. Aku berlari ke pintu dapur membantingnya
sebelum air mata yang menggenangi mataku terjatuh.
*** Bab 22 "Whoa, girl," Jimmy berkata sambil mengulurkan lengannya untuk
menangkapku saat aku menghambur memasuki dapur.
Sebuah cegukan terlontar dan aku menelan kembali isakan yang
mengikuti. "Yang terjadi di sana tadi cukup brutal tapi bisa saja lebih buruk lagi.
Setidaknya Rush datang untuk menyelamatkan." Jimmy menepuk
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelan punggungku dan memelukku.
Aku tidak menginginkan Jimmy mengetahui betapa murahannya
diriku. Aku tak mampu mengatakan padanya bahwa airmata ini
disebabkan karena aku adalah rahasia kecil kotor dari seorang pria
kaya raya. Bukan karena gadis jalang yang telah menumpahkan
makanan ke seluruh tubuhku di ruangan yang dipenuhi banyak
orang. "Kembalilah kesana, Jim. Kita membutuhkan lebih banyak penyaji
di ruangan itu. Aku akan berbicara dengan Blaire," Woods berkata
ketika dia berjalan masuk ke dapur.
Jimmy memelukku dengan erat sekali lagi kemudian cemberut pada
Woods sebelum mengambil nampannya dan berjalan mengarah ke
pintu. "Kau bersikap baiklah pada gadisku," Jimmy berujar saat dia
melewati Woods. Woods tidak menjawab. Malahan dia mengamatiku. Aku mengira
inilah saatnya. Momen besar "ini adalah kesalahanmu jadi kau bisa
pergi sekarang". "Aku telah mengambil resiko memperingatkanmu mengenai Nan
dan itu bahkan bukan merupakan kesalahan Rush bahwa seorang
gadis jalang pencemburu menyerangmu," Woods menggeram dan
menggelengkan kepalanya dengan jijik. "Aku minta maaf, Blaire.
Semua ini salahanku. Aku tidak mengira dia mampu melakukan ini.
Dia adalah mantan pacar tidak waras yang sepertinya tidak mampu
aku goyahkan." Dia tidak memecatku" Aku bersandar ke meja dapur di belakangku
untuk menghirup napas panjang.
"Akibat drama yang telah terjadi, aku tak ingin kau kembali kesana.
Kau bisa tinggal di sini dan membantu menyiapkan nampan-nampan
saja. Aku akan memastikan kau mendapat jumlah bayaran yang
sama dengan yang kau hasilkan jika kau bekerja di luar."
"Terima kasih. Tapi bolehkah aku berganti pakaian?" Tanyaku, aku
harus menyingkirkan semua kotoran yang menempel padaku.
Woods tersenyum, "Ya. Pergi dan ambillah salah satu pakaian *cart
girl dari kantor. Malam ini kita telah menggunakan seluruh seragam
tambahan penyaji." Aku menegakkan diri dari posisi bersandarku di meja dapur dan
berjalan menuju pintu. "Tidak usah terburu-buru. Kita akan baik-baik saja di sini jika kau
butuh istirahat." Woods berseru ketika aku keluar dari dapur.
Saat aku berjalan keluar, Rush dan Nan berdiri di lorong nampaknya
sedang dalam adu argumen yang panas. Nan mengirimkan tatapan
sedingin es kearahku. Aku dapat melihat ekspresi frustrasi di wajah
Rush. Aku hanya menyebabkan kesedihan baginya. Aku tidak mau
melihat kejadian ini. Mereka bisa terlibat dalam perselisihan
keluarga namun pada akhirnya akan menyelesaikannya. Setelah
malam ini, aku seharusnya sudah memiliki cukup uang untuk pindah
keluar. Besok aku akan menemukan tempat tinggal karena tidur
seatap dengan Rush sangat tidak memungkinkan. Aku memutar dan
membuka pintu yang menuju keluar.
"Blaire, tunggu," Rush berseru.
"Biarkan dia pergi, Rush," ujar Nan.
"Aku tidak bisa," jawabnya.
Pintu menutup di belakangku dan aku berusaha menghalangi apa
yang mungkin akan kudengar. Aku tidak perlu berpikir atau bahkan
mempertimbangkan bahwa Rush akan memperjuangkanku.
Pintu mengayun terbuka dan Rush berlari keluar dari sana. "Blaire,
kumohon tunggu. Bicaralah padaku," dia memohon.
Kuhentikan langkahku dan memandang ketika dia berlari kencang
untuk berdiri di depanku. Tidak ada lagi yang perlu kukatakan
padanya. Aku telah mengatakan semuanya.
"Maafkan aku. Namun kau salah; Aku tidak mengabaikanmu di sana.
Tanyalah pada semua orang. Mataku tidak pernah lepas darimu. Jika
ada pertanyaan dalam benak siapa pun mengenai bagaimana
perasaanku padamu, dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa
berpaling darimu selama kau berjalan berkeliling dalam ruangan itu,
pasti menjadi jawabannya," Rush berhenti sejenak dan mengusap
rambutnya lalu menggumamkan makian. "Kemudian aku melihat
ekspresi wajahmu ketika kau melihat Betty bersama Jace. Sesuatu di
dalam diriku terkoyak. Aku tidak mengetahui apa yang kau pikirkan
tapi aku menyadari kesalahan malam ini. Kau seharusnya tidak di
sana melayani semua orang. Kau semestinya ada di sisiku. Aku
menginginkan kau ada di sisiku. Aku merasa amat gugup menanti
siapa saja yang akan berbuat salah padamu sehingga aku lupa untuk
bernapas hampir sepanjang waktu."
Rush meraih dan menjalarkan jemarinya pada tanganku yang
terkepal. "Jika kau bisa memaafkanku, aku berjanji hal ini tidak akan
pernah terjadi lagi. Aku menyayangi Nan. Namun aku sudah cukup
berusaha menyenangkannya. Dia adikku dan memiliki beberapa
masalah yang harus dia selesaikan. Aku telah memberitahunya
bahwa aku akan bercerita segalanya padamu. Ada beberapa hal yang
harus kukatakan padamu." Rush memejamkan matanya dan menarik
napas dalam-dalam. "Aku berurusan dengan fakta bahwa kau
mungkin akan pergi menjauh dariku begitu kau tahu semua
permasalahannya dan tidak akan pernah melihat ke belakang. Hal itu
amat sangat menakutkanku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi
diantara kita namun sejak pertama kali aku menjatuhkan pandangan
padamu aku tahu kau akan mengubah duniaku. Aku sempat
ketakutan. Semakin aku memperhatikanmu semakin kau membuatku
tertarik. Aku tidak bisa merasa cukup dekat denganmu."
Dia telah siap membuka diri padaku dan membiarkanku masuk. Dia
tidak hanya memanfaatkanku. Aku bukan hanya gadis sembarangan
lain yang ditidurinya kemudian dia campakkan. Dia telah siap
membiarkanku masuk ke dunianya yang penuh rahasia. Dia ingin
memilikiku. Hatiku telah menyerah. Aku telah berusaha menahan
diri dan berjuang keras agar Rush tidak mengambil alih. Tetap saja,
dia berusaha untuk memilikinya. Melihatnya sedemikian rapuh
merupakan kendali terakhir. Aku tidak mampu menahan diri lagi.
Aku telah terjatuh terlalu dalam.
"Oke," jawabku. Tidak ada lagi yang harus dikatakan. Dia
memilikiku. Rush mengernyit. "Oke?"
Aku mengangguk. "Oke. Jika kau memang sangat ingin memilikiku
hingga kau bersedia membuka diri padaku, maka oke." Aku tidak
bisa mengatakan bahwa aku mencintainya. Itu terlalu dini. Dia akan
berpikir itu karena aku masih amat muda. Hal itu adalah sesuatu
yang aku simpan hingga tiba waktunya nanti. Mungkin memang
karena aku masih amat muda. Aku merasa tidak ada yang berubah.
Seringaian kecil terbentuk di bibir Rush. "Aku baru saja membuka
jiwaku padamu dan yang kudapatkan hanya sebuah kata 'oke' ?"
tanyanya. Aku mengendikkan bahu, "Kau telah mengatakan semua yang ingin
aku dengar. Sekarang aku telah terperangkap. Kau mendapatkanku.
Apa yang akan kau lakukan padaku?"
Rush melepaskan suara tawa rendah yang seksi dan menarikku untuk
mendekat. "Aku berpikir berhubungan seks di lubang keenam belas
yang terletak di samping danau pasti menyenangkan."
Kumiringkan kepalaku seakan aku sedang mempertimbangkannya.
"Hmmm...masalahannya adalah aku seharusnya berganti pakaian dan
kembali bekerja di dapur sepanjang malam."
Rush menghela napas berat. "Sial."
Aku mendaratkan ciuman pada rahangnya. "Kau memiliki seorang
adik yang harus kau temani," aku mengingatkannya.
Lengan Rush mengetat disekelilingku. "Yang dapat kupikirkan saat
ini hanyalah berada di dalam dirimu. Mendekapmu erat padaku dan
mendengarmu mengeluarkan desahan kecil yang seksi."
Oh. Ya ampun. Degup jantungku meningkat oleh pemikiran itu.
"Jika saja aku dapat melepaskan dirimu dengan mudah, aku akan
membawamu ke kantor itu dan merapatkanmu ke dinding dan
menenggelamkan diriku didalammu. Namun aku tidak bisa
berhubungan seks cepat denganmu. Kau membuatku sangat
kecanduan." Penjelasannya membuatku sulit bernapas dan memegang erat
bahunya. "Salinlah pakaianmu. Aku akan berdiri di luar sini agar aku
tidak tergoda. Nanti akan kutemani kembali ke dapur." Rush berkata
saat perlahan melepaskanku.
Aku membutuhkan waktu sejenak untuk mendapatkan kembali
kendali atas diriku sebelum aku melepaskan lengannya. Lalu aku
berbalik dan terburu-buru memasuki kantor.
*** Aku tidak melihat Rush lagi setelah dia meninggalkan aku di pintu
dapur dengan ciuman kilat. Malam seakan tak berujung dan aku
kelelahan. Menyiapkan makanan ternyata lebih sulit daripada
kelihatannya. Setelah tempat itu dikosongkan kami kemudian diberi
tugas untuk membersihkan.
Tiga jam kemudian waktu menunjukkan hampir pukul 4 pagi. Aku
melangkah tersaruk-saruk menembus kegelapan dini hari dan
menuju ke arah trukku ada bagian dari diriku mengharapkan Rush
menungguku namun dia harus tidur di dalam mobilnya jadi itu
merupakan hal yang konyol.
Kunyalakan mesin trukku dan mengarah ke rumah Rush. Aku tidak
perlu kembali bekerja hari ini jadi aku bisa tidur. Aku pun tidak perlu
menemukan apartemen lagi. Ketika aku menepi di jalanan masuk
aku menatap keatas melihat bahwa lampu masih menyala di kamar
Rush. Bagian atas rumah terlihat terang dibandingkan dengan
kegelapan yang menyelimuti sisa rumah tersebut.
Pintu depan tidak terkunci jadi aku masuk dan dengan perlahan
menutup pintu di belakangku. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah
Rush masih terjaga atau dia tertidur dengan lampu menyala" Apakah
aku harus ke kamarnya atau kamarku"
Aku berjalan menuju ke tangga dan menemukan Rush sedang duduk
di lantai bersandar pada pintu kamar dan menatap langsung
kearahku. Apa yang sedang ia lakukan"
Ketika matanya menemukan mataku dia berdiri dan berjalan
kearahku. Aku bertemu dengannya di pertengahan jalan. Dia terlihat
putus asa. Aku tidak tahu apa penyebabnya. "Aku membutuhkanmu
di atas. Sekarang," dia berkata dengan suara tegang.
Degup jantungku meningkat. Apakah ada seseorang yang terluka"
Apakah Rush baik-baik saja"
Aku tergesa-gesa mengikuti di belakangnya. Dia menutup pintu dan
menguncinya. Dia tidak pernah menguncinya. Lalu tiba-tiba
tangannya sudah bergerilya di tubuhku bahkan sebelum kami
menaiki tangga. Itu seperti seolah-olah seorang pria liar yang telah mengambil alih.
Rush menjalarkan tangannya menuruni pinggulku dan melewati
pantatku kemuadian naik lagi. Aku mendengar sebuah kancing
terlepas dan mengerenyit. Itu adalah seragam kerja. Aku mulai
bertanya apa yang sedang terjadi namun mulutnya menutupi
mulutku dan lidahnya juga meluncur masuk. Tangannya menemukan
kaitan celana pendekku dan disentakkan untuk dibuka dia mulai
mendorongnya kebawah. Geraman kelaparan kecil yang dibuatnya
mengakibatkan tubuhku bereaksi. Aku mulai merasakan basah
diantara kedua kaki dan denyutan yang mendamba.
Rush mendorongku terbaring pada tangga dan menyentak lepas
sepatuku serta meloloskan celana pendek beserta celana dalamku
kemudian mencengkeram kedua lututku dan dipisahkannya. Aku
tidak sempat berpikir sebelum mulutnya ada padaku, lidahnya
menjilati lipatanku dan menyelinap kedalam. Akibat seks liar yang
kami lakukan malam sebelumnya kewanitaanku masih sangat
sensitif pada setiap belaian lidahnya. Aku mulai meneriakkan
namanya. Menumpu pada sikuku aku mengamati ketika dia
menghujani sepanjang pahaku dengan ciuman kemudian
menguburkan wajahnya diantara kakiku lagi membuatku terengahengah dan memohon.
"Milikku. Ini milikku," katanya berulang-ulang seperti pria yang
sedang kerasukan saat dia menatap ke arah kewanitaanku. Dia
menjalarkan tangannya ke tengah dengan lembut kemudian
mengalihkan pandangannya langsung ke mataku, "Milikku. Vagina
manis ini adalah milikku, Blaire."
Aku siap menyetujui segalanya jika dia bersedia membuatku
mencapai orgasme. Namun pertama-tama aku menginginkan dia
berada di dalamku. "Katakan bahwa ini milikku," pintanya.
Aku mengangguk dan Rush menyelipkan satu jari masuk ke
dalamku menyebabkan rintihan lain terlepas dari mulutku. "Katakan
bahwa ini milikku," ulangnya.
"Itu milikmu, sekarang kumohon Rush, setubuhi aku."
Matanya melebar lalu dia berdiri dan melepaskan kancing piyama
yang dia kenakan. Ereksinya berdiri tegak.
"Malam ini tanpa kondom. Aku akan ejakulasi di luar. Aku hanya
perlu merasakanmu seutuhnya," ujarnya saat dia menaikkan lututku
dan dia menurunkan tubuhnya sehingga penisnya berada di pintu
masukku. Dia tidak menghujamku seperti yang kuperkirakan. Rush
bergerak dengan pelan. "Apakah ini menyakitkan?" tanyanya saat dia menahan tubuhnya di
atasku. Sejujurnya terasa sedikit nyeri namun aku tidak akan mengakuinya.
Aku menginginkannya tanpa kendali. "Ini terasa nikmat," aku
meyakinkan dia. Dia menggigiti bibir bawahnya dan dengan perlahan menarik keluar.
"Tangga ini terlalu keras untukmu. Kemarilah." Dia membungkuk
dan meraupku ke lengannya dan mulai melangkah menaiki tangga.
Sebelumnya aku tidak pernah dibopong oleh seorang pria dan dapat
kukatakan bahwa ini adalah pengalaman yang sempurna. Dada
telanjang Rush yang sedang menggendongku luar biasa.
"Maukah kau melakukan sesuatu untukku?" dia bertanya sambil
menunfukkan kepalanya untuk memberikan ciuman-ciuman kecil
pada hidung dan kelopak mataku.
"Ya," jawabku. Dia berhenti di samping ranjang dan dengan perlahan menurunkanku
hingga kakiku menyentuh lantai. "Berbalik, membungkuk dan
baringkan dadamu mendatar di tempat tidur. Letakkan tangan diatas
kepalamu dan biarkan pantatmu terangkat di udara."
Um...oke. Aku tidak menanyakan alasannya karena aku sudah
mengerti maksudnya. Tetap menjejakkan kakiku di lantai, aku
membungkuk ke depan dan berbaring di ranjang dengan posisi
seperti permintaannya. Tangannya merayap diatas pantatku dan dia mengeluarkan suara
puas di dalam tenggorokannya. "Kau memiliki pantat paling
sempurna." Kedua tangannya berpegangan pada pinggulku dan perlahan dia
memasukiku menarikku mundur saat memasukiku. Dengan posisi ini
dia terkubur jauh lebih dalam. "Rush!" Aku berteriak ketika
merasakan sekilas rasa nyeri dari kedalaman yang telah dicapainya.
"Sial, aku merasa sangat dalam," raungnya.
Lalu dia menarik keluar perlahan dan pinggulnya mulai bergerak.
Aku mencengkeram sprei saat tubuhku mulai mencapai klimaks.
Mengetahui apa yang akan terjadi dan kakiku mulai bergetar dari
kenikmatan yang mulai terbangun di dalam diriku.
Salah satu tangan Rush menyelip turun hingga menyentuh klitku yag
bengkak dan dia mulai mengusapnya. "Ya Tuhan, kau basah kuyup,"
katanya sambil terengah.
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaki menjadi kaku saat orgasme menyapuku kemudian aku pun
berusaha melepaskan diri karena tak mampu menanggung sensasi
dari Rush yang masih terus menerus membelaiku. Terlalu banyak
kenikmatan sehingga terasa menyakitkan. Sebelum aku bisa
memohon belas kasihan, tangannya mencengkeram pinggulku dan
dia menarik keluar penisnya dengan cepat.
"GAAAAH!" Rush berteriak saat aku ambruk ke ranjang
mengetahui walaupun aku tidak melihatnya bahwa dia telah menarik
keluar sebelum dia orgasme.
"Sial baby, jika saja kau tahu betapa menakjubkannya pantatmu
terlihat sekarang," ujarnya dengan suara terengah-engah.
Kuputar kepalaku ke samping karena tidak sanggup mengangkatnya
dan aku memandangnya. "Kenapa?"
Sebuah kekehan rendah menderu dari dalam dadanya. "Katakan saja
aku perlu membesihkanmu."
Kesadaranku muncul dan rasa hangat pada pantatku yang
sebelumnya tidak kuperhatikan tiba-tiba saja mendapat perhatianku.
Sebuah cekikikan terlepas dan kubenamkan wajahku di tanganku.
Aku terbaring disana mendengarkan ketika dia menyalakan air dan
kemudian berjalan kembali kearahku. Kehangatan dari handuk kecil
saat dia menyekaku untuk membersihkan cairan spermanya terasa
menyenangkan dan perlahan aku mulai tertidur. Aku kelelahan. Aku
bertanya-tanya akankah aku bangun lagi"
*** *Cart girl: gadis penjual konsumsi seperti minuman atau makanan
ringan di lapangan golf. Mereka menggunakan semacam kendaraan
yang mirip mobil mini. Bab 23 Aku sendirian. Aku melindungi mata dari sinar matahari pagi dan
melihat ke sekeliling ruangan. Rush tidak ada di sini. Itu
mengejutkan. Aku duduk dan melihat jam. Hampir pukul sepuluh.
Tidak heran dia tidak di sini. Aku tidur sepanjang pagi. Hari ini kami
harus berbicara. Dia telah membiarkanku masuk. Semalam kami
melakukan hubungan seks yang menakjubkan. Aku butuh kata-kata
sekarang. Aku berdiri dan menemukan celana pendekku tergeletak di ujung
tempat tidur. Rush pasti membawanya ke lantai atas karena
seingatku tadi malam aku meninggalkan itu di tangga tadi. Aku
mengenakannya dan kemudian mencari-cari kemejaku. Salah satu tshirt Rush
terlipat rapi di samping celana pendekku jadi aku
langsung memakainya dan menuju lantai bawah. Aku sudah siap
untuk menemui Rush. Pintu lorong di sisi keluarga terbuka. Aku membeku. Apa artinya"
Mereka selalu tertutup. Lalu aku mendengar suara-suara. Aku
berjalan menuju tangga kedua dan mendengarkan. Suara akrab
ayahku terdengar melalui tangga dari ruang tamu. Dia sudah pulang.
Aku mengambil langkah pertama dan berhenti. Bisakah aku
menghadapinya" Akankah dia menyuruhku pergi" Apakah dia tahu
aku telah tidur dengan Rush" Akankah Nan akan membuat ibunya
membenciku juga" Aku tidak punya waktu untuk memikirkan semua
ini. Ayahku menyebut namaku dan aku tahu bahwa harus turun ke sana
dan menghadapi ini. Apapun yang akan terjadi. Aku memaksa diriku
turun setiap langkah. Aku berhasil menyeberangi foyer dan berhenti
setelah aku bisa mendengar mereka dengan jelas. Aku harus tahu
dengan jelas apa yang sedang dibicarakan.
"Aku tidak percaya, Rush. Apa yang kau pikirkan" Kau tahu siapa
dia" Apa artinya ia bagi keluarga ini?" Itu ibunya berbicara. Aku
tidak pernah bertemu dengannya tapi aku tahu.
"Kau tidak bisa melimpahkan semua tanggung jawab padanya. Pada
saat itu dia bahkan belum lahir. Ibu tidak tahu apa yang telah ia lalui.
Apa yang telah DIA lakukan padanya untuk dilalui." Rush murka.
Aku mulai berjalan ke pintu tapi berhenti sejenak. Tunggu. Apa arti
diriku dalam keluarga ini" Siapa yang mereka bicarakan"
"Jangan merasa tinggi dan hebat. Kau adalah orang yang pergi dan
mengantarkannya untukku. Jadi apa pun yang dia lakukan untuk
dilaluinya," bentaknya, "kau yang memulai semuanya. Kemudian
kau menidurinya" Sungguh Rush. Ya Tuhan apa yang kau pikirkan"
Kau sama seperti ayahmu."
Aku mengulurkan tangan untuk meraih kusen pintu untuk bersandar.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi tapi napasku menjadi pendek.
Aku bisa merasakan panik tumbuh di dadaku.
"Ingat siapa pemilik rumah ini, ibu," peringatan Rush sangat jelas.
Ibunya mengeluarkan suara decakan yang nyaring. "Bisakah kau
percaya ini" Dia melawanku demi seorang gadis yang baru saja
ditemuinya. Abe, kau harus melakukan sesuatu."
Hening. Lalu ayahku berdeham. "Ini rumahnya, Georgie. Aku tidak
bisa memaksa dia untuk melakukan apa pun. Seharusnya aku dapat
menduganya. Dia begitu mirip ibunya."
"Apa maksudnya?" Raung wanita itu."
Ayahku mendesah," Kita sudah melalui ini sebelumnya. Alasan aku
meninggalkanmu untuknya karena dia punya sisi itu yang menarikku
padanya. Aku tidak bisa melepaskannya-"
"Aku TAHU itu. Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Kau sangat
menginginkan sehingga kau meninggalkan aku yang sedang hamil
dengan setumpuk undangan pernikahan yang dibatalkan."
"Sweetheart, tenanglah. Aku mencintaimu. Aku hanya menjelaskan
bahwa Blaire memiliki kharisma ibunya. Tidak mungkin untuk tidak
merasa tertarik padanya. Dan dia juga "buta" seperti ibunya. Dia
tidak bisa menahannya."
"ARGH, kapankah perempuan itu akan meninggalkan aku" Apakah
dia akan selalu menghancurkan hidupku" Dia telah meninggal dunia.
Pria yang kucintai akhirnya kembali dan putri kami akhirnya
memiliki ayahnya dan sekarang ini. Kau tidur dengan dia, gadis ini!"
Tubuhku mati rasa. Aku tidak mampu bergerak. Aku tidak bisa
menarik napas dalam-dalam. Aku masih bermimpi. Itu yang terjadi.
Aku belum terbangun. Aku memejamkan mata kuat-kuat memaksa
diri untuk bangun dari mimpi yang gila dan membingungkan ini.
"Satu kata lagi tentang dia dan aku akan mengusirmu keluar." Nada
Rush dingin dan keras. "Georgie, honey, tenanglah. Blaire adalah gadis yang baik. Dia
berada di sini bukanlah akhir dari dunia. Dia membutuhkan tempat
tinggal. Aku sudah menjelaskannya kepadamu. Aku tahu kau benci
Rebecca tapi dia dulu adalah sahabat terdekatmu. Kalian berdua
telah bersahabat sejak kalian masih anak-anak. Sampai aku datang
dan merusak hubungan kalian berdua yang sudah seperti saudara. Ini
adalah putrinya. Berbelas kasihanlah sedikit."
Tidak. TIDAK. Tidak. Tidak. Tidak. Aku tidak hanya mendengarnya.
Ini tidak nyata. Ibuku tidak akan pernah menghancurkan pernikahan
seseorang. Dia tidak akan membuat ayahku seseorang yang
meninggalkan seorang wanita yang sedang mengandung anaknya.
Ibuku adalah seorang wanita penuh kasih sayang. Dia tak akan
pernah membiarkan hal itu terjadi. Aku tidak bisa berdiri di sini dan
mendengarkan mereka berbicara tentang hal itu. Mereka semua
salah. Mereka tidak mengenalnya. Ayahku telah pergi begitu lama
sehingga ia lupa apa yang sebenarnya terjadi.
Aku melepaskan pegangan eratku pada kusen pintu dan berjalan ke
ruang dimana mereka mempermalukan nama ibuku. "TIDAK! Diam
kalian semua," aku berteriak. Ruangan itu menjadi hening. Aku
melihat ke arah ayahku dan meningkatkan level tatapan marahku
padanya. Tidak ada orang lain di sini yang penting sekarang. Bukan
wanita yang terus mengumbar kebohongan tentang ibuku atau orang
yang kupikir aku cintai. Seseorang yang telah kupersembahkan
tubuhku. Orang yang telah membohongiku.
"Blaire," suara Rush terdengar jauh. Aku mengangkat tanganku
untuk menghentikannya. Aku tidak ingin dia dekat denganku.
"Kau," aku menunjuk jariku pada ayahku. "Kau membiarkan mereka
berbohong tentang ibuku," aku berteriak. Aku tidak peduli jika aku
tampak seperti orang gila. Aku benci mereka semua sekarang.
"Blaire biarkan aku menjelaskan-"
"TUTUP MULUT!" Aku meraung. "Adikku, separuh diriku,
meninggal. Dia meninggal, ayah. Dalam mobil dalam perjalanan
menuju toko bersamamu. Rasanya seperti jiwaku telah direnggut
dari diriku dan terbelah menjadi dua. Kehilangan dia sangat tak
tertahankan. Aku melihat ibuku meratap dan menangis dan
berkabung dan kemudian aku melihat ayahku berjalan pergi. Tidak
pernah kembali. Sementara putrinya dan istrinya berusaha untuk
mengumpulkan serpihan dunia mereka tanpa Valerie di dalamnya.
Kemudian ibuku jatuh sakit. Aku meneleponmu tapi kau tidak
menjawab. Jadi, aku melakukan pekerjaan tambahan sepulang
sekolah dan aku mulai melakukan pembayaran untuk perawatan
medis ibu. Aku tidak melakukan apapun selain merawat ibuku dan
pergi ke sekolah. Kecuali sewaktu aku di SMA, dia sakit parah
sehingga aku harus drop out. Aku mengambil GED*) dan sampai
disana pendidikanku terhenti. Karena satu-satunya orang di planet
ini yang mencintaiku sedang sekarat disaat aku hanya bisa duduk
dan melihatnya dengan pasrah. Aku memegang tangannya saat dia
menghembuskan napas terakhirnya. Aku mengatur pemakamannya.
Aku melihat mereka menurunkan dia ke tanah. Kau tidak pernah
sekalipun menghubungi. Tidak sekalipun. Lalu aku harus menjual
rumah peninggalan Gran dan segala sesuatu yang bernilai di
dalamnya hanya untuk melunasi tagihan medis." Aku berhenti dan
mengambil napas terengah-engah dengan keras dan isakan lolos
dariku. Dua lengan memelukku dan aku berteriak, menghentakkan lenganku
dan bergerak menjauh. "JANGAN SENTUH AKU!" Aku tidak ingin
dia menyentuhku. Dia telah berbohong kepadaku. Dia tahu ini dan ia
telah berbohong kepadaku.
"Sekarang aku dipaksa untuk mendengarmu berbicara tentang ibuku
yang suci. Kau dengar aku" Dia adalah seorang yang suci! Kalian
semua adalah pembohong. Jika ada orang yang bersalah penyebab
semua omong kosong yang terdengar mengalir keluar dari mulutmu
itu adalah dia."Aku menunjuk ayahku. Aku tidak bisa menyebutnya
itu lagi. Tidak sekarang.
"Dia adalah pembohongnya. Dia bahkan tidak layak menjadi kotoran
di bawah kakiku. Jika Nan adalah putrinya. Jika Anda pada saat itu
sedang hamil." Aku mengalihkan tatapanku kepada wanita yang
belum pernah kulihat sebelumnya dan kata-kata membeku di
bibirku. Aku ingat dia. Aku terhuyung kembali dan menggeleng.
Tidak. Ini bukanlah seperti yang terlihat.
"Siapa kau?" Tanyaku saat kenangan akan wajah itu perlahan-lahan
kembali ke ingatanku. "Berhati-hatilah dalam menjawab," suara Rush tegang berasal dari
belakang ku. Dia masih berada di dekatku.
Matanya bergeser dariku kepada ayahku kemudian kembali lagi ke
aku. "Kau tahu siapa aku Blaire. Kita pernah bertemu sebelumnya."
"Kau pernah datang ke rumahku. Kau...kau membuat ibuku
menangis." Wanita itu memutar matanya.
"Peringatan terakhir, ibu," kata Rush.
"Nan ingin bertemu ayahnya. Jadi aku membawanya kesana. Dia
harus menghadapi kenyataan bahwa keluarga kecilnya yang bahagia
dengan putri kembarnya yang pirang dan cantik yang ia cintai dan
seorang istri yang sempurna. Aku lelah harus memberitahu putriku
jika dia tidak punya ayah. Dia tahu dia memilikinya. Jadi aku
menunjukkan padanya apa yang ayahnya pilih dan itu bukan dia. Dia
tidak pernah bertanya lagi tentang dia lagi sampai jauh di kemudian
hari." Gadis cilik seusiaku yang berdiri menggenggam erat tangan ibunya
dan memperhatikanku saat aku berdiri di pintu. Itu adalah Nan.
Perutku bergolak. Apa yang telah ayahku lakukan"
"Blaire, kumohon tataplah aku." Suara Rush yang putus asa datang
dari arah belakangku, tapi aku tidak bisa mengenalinya. Dia tahu
semua ini. Ini adalah rahasia besar Nan. Dia telah melindunginya
untuk Nan. Apakah dia tidak melihat ini adalah rahasiaku juga" Dia
adalah ayahku dan aku tahu apa-apa. Kata-kata Woods berdering di
kepalaku. "Jika dia harus memilih antara Kau dan Nan ia akan
memilih Nan." Pada saat itu dia tahu bahwa Rush telah memilih Nan. Semua orang
di kota ini tahu rahasia ini kecuali aku. Mereka semua tahu siapa aku
namun aku sendiri tidak tahu.
"Aku bertunangan dengan Georgianna. Dia hamil Nan. Ibumu
datang mengunjunginya. Dia seperti tidak ada yang pernah kutemui.
Dia adalah candu untukku. Aku tidak bisa menjauh darinya.
Georgianna masih melekat pada Dean, dan Rush masih mengunjungi
ayahnya setiap akhir pekan dua minggu sekali. Aku harap Georgie
bersama dengan Dean di menit ia memutuskan ingin memiliki
sebuah keluarga. Aku bahkan tidak yakin Nan adalah milikku.
Ibumu lugu dan menyenangkan. Dia sama sekali tidak tergila-gila
ataupun tertarik ada rocker dan dia membuatku tertawa. Aku
mengejar dia dan dia mengabaikanku. Lalu aku berbohong padanya.
Aku bilang padanya Georgie sedang mengandung anak Dean yang
lain. Dia merasa kasihan padaku. Aku entah bagaimana pada
akhirnya meyakinkan dia untuk melarikan diri denganku. Untuk
membuang persahabatan yang telah ia memiliki selama hidupnya."
Aku menekankan kedua tanganku di telinga untuk memblokir katakata ayahku. Aku
tidak bisa mendengarkan ini. Itu semua
kebohongan. Ini dunia yang memuakkan dimana mereka tinggal itu
bukan untukku. Aku ingin pulang ke rumah. Kembali ke Alabama.
Kembali ke apa yang aku mengerti. Dimana uang dan bintang rock
bukanlah segalanya. "Berhenti. Aku tidak ingin mendengarnya. Aku hanya ingin
mengumpulkan barang-barangku. Aku hanya ingin pergi." Isak
tangis yang keluar tidak bisa dibendung lagi. Duniaku dan apa yang
aku tahu baru saja hancur berkeping-keping. Aku harus pergi duduk
di samping makam ibuku dan berbicara dengannya. Aku ingin
pulang ke rumah. "Baby, bicaralah padaku, kumohon." ujar Rush dari belakangku. Aku
terlalu lelah untuk menghalaunya. Aku menjauh dari dia sebagai
gantinya. Aku tidak akan menatapnya. "Aku tidak mau melihatmu.
Aku tidak ingin berbicara denganmu. Aku hanya ingin mengemas
barang-barangku. Aku ingin pulang."
"Blaire, honey, tidak ada lagi rumah." Suara ayahku seperti goresan
pada syarafku. Aku mengangkat mataku dan memelototinya. Semua
rasa sakit dan kepahitan yang selama ini aku simpan sejak dia
meninggalkan kami telah menggerogotiku.
"Makam ibu dan adikku adalah rumah. Aku ingin berada di dekat
mereka. Aku berdiri di sini dan mendengarkan kalian semua
menceritakan hal tentang ibuku yang aku tahu tidak seperti itu. Dia
tidak akan pernah melakukan apa yang kau tuduhkan. Tinggallah
disini dengan keluargamu, Abe. Aku yakin mereka akan mencintaimu sebesar cinta dari keluarga terakhirmu. Cobalah untuk
tidak membunuh satu pun dari mereka," hardikku.
Suara terkesiap Georgianna yang keras adalah hal terakhir yang
kudengar sebelum aku meninggalkan ruangan. Aku ingin langsung
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi tapi aku butuh tas dan kunciku. Aku berlari menaiki tangga dan
melemparkan semua yang bisa kuraih kembali kedalam koper dan
menutupnya dengan keras. Aku mengayunkan tali tas keatas bahu
dan berbalik ke pintu melihat Rush berdiri di sana menatapku.
Wajahnya pucat dan matanya semerah darah. Aku memejamkan
mata. Aku tidak peduli bahwa dia marah. Dia layak mendapakannya.
Dia berbohong kepadaku. Dia telah mengkhianatiku.
"Kau tidak bisa meninggalkan aku," katanya dalam bisikan serak.
"Lihat saja," pungkasku dingin.
"Blaire, Kau tidak membiarkanku menjelaskan. Aku akan memberi
tahumu segalanya hari ini. Mereka pulang tadi malam dan aku panik.
Aku harus memberitahumu terlebih dahulu." Dia menghantamkan
tinjunya ke kusen pintu. "Kau tidak bisa keluar begitu saja. Tidak
seperti itu. Oh Tuhan tidak seperti itu." Dia terdengar benar-benar
murka. Aku tidak akan membiarkannya meruntuhkan hatiku akibat dari raut
wajah yang diberikan olehnya. Aku akan menjadi seorang idiot jika
melakukannya. Selain itu, adiknya... Nan adalah adiknya. Tidak
heran ia dibesarkan untuk melindunginya. Dia adalah anak tanpa
ayah. Aku menelan empedu di tenggorokan ku. Ayahku adalah orang
yang sangat mengerikan. "Aku tidak bisa tinggal di sini. Aku tidak bisa menatapmu. Kau
mewakili rasa sakit dan pengkhianatan bukan hanya padaku tapi juga
pada ibuku." Aku menggelengkan kepala. "Apapun yang kita miliki
telah berakhir. Itu sudah mati saat aku berjalan di lantai bawah dan
menyadari dunia yang selalu kuketahui itu ternyata kebohongan
belaka." Rush menurunkan tangannya dari kusen pintu dan bahunya terkulai
sambil menunduk. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya
melangkah mundur sehingga aku bisa keluar. Hati kecil yang tersisa
telah hancur y Terlihat dari wajahnya yang kalah. Tidak ada jalan lain. Kami telah
ternoda. *** *GED: singkatan resminya yaitu General Education Development
adalah merupakan serangkaian tes yang dimana ketika seseorang
lulus dari tes tersebut akan dianugerahi sertifikat yang setara dengan
ijazah pendidikan SMA. Namun ada juga yang mengenalnya sebagai
General Equivalency Diploma atau General Education(al)
Diploma atau beberapa orang menyebutnya sebagai Good Enough
Diploma. Bab 24 "Aku tidak menoleh ke belakang dan dia tidak memanggil namaku
lagi. Aku melangkah menuruni tangga dengan koper di tangan.
Ketika aku sampai ke anak tangga paling bawah, ayahku keluar dari
ruang tamu dan menuju foyer. Mimik cemberut terukir di wajahnya.
Dia tampak lebih tua lima belas tahun sejak terakhir kali aku
melihatnya. Lima tahun terakhir ini sepertinya tidak baik untuknya.
"Jangan pergi, Blaire. Mari kita bicarakan tentang hal ini. Luangkan
waktumu untuk memikirkan hal-hal ini." Dia ingin aku tetap tinggal.
Kenapa" Jadi dia bisa membuat dirinya merasa lebih baik karena
telah menghancurkan hidupku" menghancurkan hidup Nan"
Aku menarik ponsel yang pernah diberikannya dari sakuku dan
mengulurkannya kepadanya. "Ambil saja. Aku tidak menginginkan
benda itu, "kataku. Dia menatap ponsel itu dan lalu kembali menatapku. "Mengapa aku
akan mengambil ponselmu?"
"Karena aku tidak ingin apa-apa darimu," jawabku marah tapi aku
sudah lelah. Aku hanya ingin keluar dari sini.
"Aku tidak memberikan ponsel itu padamu," kata dia masih terlihat
bingung. "Ambil telepon itu, Blaire. Jika Kau ingin pergi, aku tidak bisa
menahanmu di sini. Tapi tolong,ambillah telepon itu." Rush berdiri
di tangga teratas. Dia yang membelikan aku ponsel itu. Ayahku tak
pernah menyuruhnya untuk memberikanku ponsel. Perasaan Kebas
merasukiku dan aku tidak bisa merasakan sakit lagi. Tidak ada
kesedihan lagi untuk apa yang mungkin telah kami alami.
Aku berjalan mendekat dan meletakkan ponsel di atas meja di
samping tangga. "Aku tidak bisa," jawaban singkat. Aku tidak
menoleh pada salah satu dari mereka. Meskipun aku mendengar
tumit sepatu Georgianna berderap pada lantai marmer
menyadarkanku bahwa dia telah memasuki foyer.
Aku meraih gagang pintu dan membuka pintu. Aku tidak akan
pernah melihat mereka lagi. Aku hanya meratapi mereka yang telah
pergi. "Kau tampak seperti dia." Suara Georgianna nyaring di keheningan
foyer. Aku tahu maksudnya ibuku. Dia tidak punya hak bahkan
untuk mengingat ibuku. Atau berbicara tentang dirinya. Dia
berbohong tentang ibuku. Dia membuat wanita yang aku kagumi
tampak seperti orang lain yang egois dan kejam.
"Aku hanya berharap aku bisa menjadi setengah dari dirinya," aku
berkata dengan suara lantang dan nyaring. Aku ingin mereka semua
mendengarku. Mereka perlu tahu tidak ada keraguan dalam
pikiranku, bahwa ibu ku tidak bersalah.
Aku melangkah keluar ke sinar matahari dan menutup pintu keras
dibelakangku. Sebuah mobil sport perak bergerak masuk ke halaman
saat aku berjalan menuju trukku. Aku tahu itu Nan. Aku tidak bisa
melihatnya. Tidak sekarang.
Pintu mobil dibanting dan aku tidak gentar. Aku melemparkan
koperku ke belakang truk dan membuka pintu. Aku sudah selesai di
sini. "Kau tahu," katanya dengan nada suara geli yang nyaring.
Aku tidak akan menanggapinya. Aku tidak akan mendengarkan
mulutnya memuntahkan lebih banyak kebohongan tentang ibuku.
"Bagaimana rasanya" Mengetahui
seseorang oleh ayahmu sendiri" "
kau ditinggalkan karena Rasanya kebas. Itu hanya sedikit dari rasa sakitku. Ayahku telah
meninggalkan kami lima tahun yang lalu. Aku telah bisa mengatasi
rasa sakitnya. "Kau tidak merasa begitu hebat dan berkuasa sekarang, ya" Ibumu
adalah perempuan nakal murahan yang layak mendapatkan apa yang
telah dia terima. " Ketenangan yang telah ada didalam diriku seolah tersentak. Tidak
seorang pun akan berbicara tentang ibuku lagi. Tidak satupun. Aku
meraih ke bawah kursi mobil dan mengeluarkan pistol sembilan
milimeter. Aku berbalik dan mengarahkan pada bibir merah pendusta
itu. "Kau mengatakan satu kata lagi tentang ibuku dan aku akan
menempatkan lubang ekstra dalam tubuhmu," kataku dengan suara
keras monoton. Nan menjerit dan mengangkat tangannya di udara. Aku tidak
menurunkan pistolku. Aku tidak akan membunuhnya. Aku akan
menembak lengannya jika dia membuka mulutnya lagi. Bidikanku
sangat tepat. "Blaire! Turunkan pistol itu. Nan, jangan bergerak. Dia tahu
bagaimana menggunakan pistol lebih baik daripada kebanyakan
lelaki. "Suaraku ayah menyebabkan tanganku gemetar. Dia
melindunginya. Dari aku. Putrinya. Yang ia inginkan. Yang ia
tinggalkan deminya. Yang ia sia-siakan di sebagian besar hidupnya.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kurasakan.
Aku mendengar suara panik Georgianna. "Apa yang dia lakukan
dengan itu" Apakah itu legal baginya untuk memilikinya" "
"Dia memiliki izin," ayahku menjawab, "dan dia tahu apa yang dia
lakukan. Tetap tenang."
Aku menurunkan pistol. "Aku akan masuk ke truk dan pergi keluar
dari kehidupanmu selamanya, Tutup mulutmu tentang Mommaku.
Aku tidak akan mendengarnya lagi. "
Aku memberi peringatan sebelum berbalik dan naik ke truk. Aku
menyelipkan pistolku kembali di bawah kursi dan mundur dari jalan
masuk. Aku tidak menoleh apakah mereka semua berkerumun di
sekitar Nannette yang malang. Aku tidak peduli. Mungkin dia akan
berpikir dua kali sebelum dia mengacau dengan ibu orang lain.
Karena, demi Tuhan, dia lebih baik tidak pernah berbicara buruk
tentang ibuku lagi. Aku menuju ke country club. Aku harus memberitahu mereka aku
pergi. Darla berhak tahu untuk tidak mengharapkanku. Begitu pula
Woods dalam hal ini. Aku tidak ingin menjelaskan tapi mereka
mungkin sudah tahu. Semua orang tahu kecuali aku. Mereka semua
hanya telah menungguku untuk mengetahuinya. Mengapa salah satu
dari mereka tidak bisa mengatakan yang sebenarnya itulah yang aku
tidak mengerti. "Itu tidaklah seperti mengubah kehidupan Nan. Segala sesuatu yang
dia pernah kenal tidak meledak ke neraka. Hidupku baru saja
berbalik pada porosnya. Ini bukan tentang Nan. Ini adalah tentang
aku. AKU, sialan. Mengapa mereka harus melindunginya" Dari hal
apa sehingga dia memerlukan perlindungan"
Aku memarkir truk di luar kantor dan Darla menyambutku di pintu
depan. "Kau lupa untuk memeriksa jadwalmu, nona" Ini adalah hari
liburmu. "Dia tersenyum padaku, tetapi senyumnya lenyap ketika
mataku bertemu miliknya. Dia berhenti berjalan dan meraih pagar di
teras kantor. Kemudian dia menggeleng. "Kau sudah tahu, kan?"
Bahkan Mrs Darla tahu. Aku hanya mengangguk. Dia mendesah
panjang, "Aku telah mendengar rumor seperti kebanyakan orang,
tapi tidak ada yang tahu kebenaran sebenarnya. Aku tidak ingin tahu
itu 'karena itu bukan urusanku tapi jika itu mendekati dengan apa
yang aku dengar maka aku tahu ini menyakitkan. "
Darla berjalan menyusuri sisa tangga. Orang yang biasanya suka
memerintah dengan penuh semangat yang aku kenal telah lenyap.
Dia membuka kedua tangannya ketika ia sampai ke tangga paling
bawah dan aku berlari ke arahnya. Aku tidak perlu berpikir lagi. Aku
membutuhkan seseorang untuk memelukku. Isak tangisku pecah saat
dia membungkusku dalam pelukannya.
"Aku tahu ini menyebalkan, manis. Aku berharap seseorang
mengatakannya padamu lebih cepat. "
Aku tidak bisa bicara. Aku hanya menangis dan memeluknya
sementara dia memelukku erat-erat.
"Blaire" Apa yang salah?"Terdengar suara Bethy yang khawatir dan
aku mendongak untuk melihat dia berjalan menuruni tangga ke arah
kami. "Oh sial. Kau telah tahu, " katanya, berhenti di langkahnya.
"Seharusnya aku mengatakannya padamu tapi aku takut. Aku tidak
tahu semua faktanya. Aku hanya tahu apa yang telah Jace dengar
dari Nan. Aku tidak ingin mengatakan hal yang salah. Aku berharap
Rush akan memberitahumu. Dia, kan" Aku pikir pasti dia akan
mengatakannya padamu setelah aku melihat caranya menatap mu
tadi malam." Aku melepaskan diri dari pelukan Darla dan mengusap wajahku.
"Tidak. Dia tidak memberitahuku. Aku tidak sengaja mendengar.
Ayahku dan Georgianna pulang. "
"Sial," kata Bethy dalam desahan frustrasi. "Apakah kau akan
pergi?" ekspresi kesedihan di matanya mengatakan bahwa dia sudah
tahu jawabannya. Aku hanya mengangguk. "Kemana kau akan pergi?" Tanya Darla.
"Kembali ke Alabama. Kembali ke rumah. Aku memiliki uang
simpanan sekarang. Aku akan mencari pekerjaan dan aku punya
teman di sana. Makam Ibu dan kakakku ada di sana. " Aku tidak bisa
menyelesaikan kalimatku. Aku tidak bisa tanpa menangis lagi.
"Kami akan merindukanmu di sini," kata Darla dengan senyum
sedih. Aku akan merindukan mereka juga. Semuanya. Bahkan Woods. Aku
mengangguk. "Aku juga."
Bethy terisak keras dan berlari ke arahku dan memeluk leherku.
"Aku tidak pernah punya teman seperti kau sebelumnya. Aku tidak
ingin kau pergi. " Mataku dibanjiri dengan air mata lagi. Aku memiliki beberapa teman
di sini. Tidak semua orang telah mengkhianatiku. "Mungkin kau bisa
datang ke Alabama dan mengunjungiku kapan-kapan," bisikku
dalam isakan tertahan. Dia mundur dan mendengus. "Kau membolehkan aku datang
berkunjung?" "Tentu saja," jawabku.
"Oke. Apakah minggu depan terlalu cepat" "
"Jika aku masih mempunyai energi untuk tersenyum, aku akan
melakukannya. Aku ragu aku akan pernah tersenyum lagi.
"Kapanpun kau siap."
Dia mengangguk dan mengusap hidung merah dengan lengannya.
"Aku akan memberitahu Woods. Dia akan mengerti," kata Darla dari
belakang kami. "Terima kasih."
"Kau harus berhati-hati. Jaga diri. Beri tahu kami kabarmu di sana."
"Pasti," jawabku, bertanya-tanya apakah itu akan menjadi sebuah
kebohongan. Akankah aku akan berbicara dengan mereka lagi"
Darla melangkah mundur dan memberi isyarat untuk Bethy untuk
berdiri di sampingnya. Aku melambaikan tangan pada mereka
berdua dan membuka pintu truk untuk memanjat masuk. Sudah
waktunya aku meninggalkan tempat ini di belakangku.
*** Bab 25 Rasa lega yang aku harapkan ketika aku mengemudi keluar dari
lampu lalu lintas pertama dari tiga lampu lalu lintas yang terdapat di
Sumit, Alabama tidak muncul. Mati rasa telah mengambil alih
keseluruhan 7 jam mengemudiku. Kata-kata yang aku dengar dari
ucapan ayahku tentang ibuku terngiang-ngiang terus menerus di
dalam benakku sehingga aku tidak lagi mampu merasakan apapun
untuk siapapun. Aku belok kiri di lampu merah kedua dan menuju ke pemakaman.
Aku perlu berbicara dengan ibuku sebelum aku menginap di salah
satu motel disini. Aku ingin dia tahu bahwa aku sama sekali tak
percaya dengan semua itu. Aku tahu wanita seperti apa dia. Ibu
seperti apa dia. Tak ada yang bisa menandinginya. Dia menjadi
sandaranku padahal saat itu dialah yang sedang sekarat. Tak pernah
sedikitpun aku takut dia akan meninggalkanku.
Parkiran pemakaman kosong. Terakhir kalinya aku datang kemari
banyak penduduk kota yang datang memberikan penghormatan
terakhirnya pada Ibuku. Hari ini mentari telah beranjak turun dan
hanya bayanganlah yang menemaniku.
Melangkah keluar dari trukku, aku menelan gumpalan yang muncul
di kerongkonganku. Berada disini lagi. Mengetahui bahwa dia disini
tapi dia tidak ada. Aku berjalan menyusuri jalan yang mengarah ke
makamnya bertanya-tanya jika ada orang yang datang
mengunjunginya selama aku pergi. Dia memiliki teman. Tentu saja
seseorang telah mampir dengan bunga-bunga segar. Mataku terasa
perih. Aku tak suka berpikir dia telah ditinggalkan sendirian selama
berminggu-minggu. Aku senang telah meminta mereka
menguburkannya disamping Valerie. Itu membuat kepergianku
menjadi lebih mudah.
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gundukan tanah yang baru sekarang telah tertutupi rumput. Mr.
Murphy mengatakan padaku bahwa dia akan menanamkan
rumputnya dengan gratis. Aku tak mampu untuk membayar lebih.
Melihat rumput hijau membuatku merasa dia terkubur dengan
sempurna terdengar begitu menggelikan sama seperti
kedengarannya. Makamnya sama seperti punya Valerie sekarang.
Batu nisannya tidak sebagus milik saudariku. Itu sederhana; hanya
itu yang mampu aku berikan. Aku menghabiskan waktu berjam-jam
mencoba memutuskan apa tepatnya yang ingin aku katakan.
Rebecca Hanson Wynn April 19, 1967 - Juni 2, 2012
Cinta yang ditinggalkannya akan menjadi alasan untuk meraih
mimpi. Dia adalah sandaran ketika dunia mulai runtuh. Kekuatannya
akan diingat. Ada di dalam hati kita.
Keluarga yang mencintaiku sudah tidak ada lagi disini. Berdiri disini
melihat makam mereka mengingatkanku betapa sendirinya aku
sebenarnya. Aku tak memiliki keluarga lagi. Aku takkan pernah
mengakui keberadaan Ayahku setelah hari ini.
"Aku tak menyangka kau kembali begitu cepat." Aku mendengar
suara ribut kerikil di belakangku dan aku tahu siapa itu tanpa harus
berpaling. Aku tak menatapnya. Aku belum siap. Dia akan menatap
menembus ke dalam diriku. Cain telah menjadi temanku sejak TK.
Tahun ketika kami menjadi sesuatu yang lebih itu telah dapat diduga.
Aku mencintainya selama bertahun-tahun.
"Hidupku disini," balasku singkat.
"Aku mencoba untuk berdebat tentang hal itu beberapa minggu yang
lalu." Terdeteksi jejak rasa humor dalam suaranya. Dia senang
menjadi benar. Selalu. "Aku pikir aku membutuhkan bantuan ayahku. Ternyata tidak."
Suara kerikil tergerus terdengar semakin jelas ketika dia maju ke
sampingku. "Dia masih seorang bajingan?"
Aku hanya mengangguk. Aku masih belum siap mengatakan pada
Cain betapa bajingannya ayahku. Aku tak bisa mengatakannya
sekarang. Berterus terang akan hal itu membuatnya kelihatan nyata.
Aku hanya ingin percaya bahwa itu hanyalah mimpi.
"Kau tidak menyukai keluarga barunya?" tanya Cain. Dia takkan
menyerah begitu saja. Dia akan terus bertanya hingga aku luluh dan
mengungkapkan segalanya. "Bagaimana kau tahu aku sudah kembali?" tanyaku, mengganti topik
pembicaraan. Itu hanya pengalihan sementara untuknya tapi aku tak
berminat untuk terus ada disitu.
"Kau tidak benar-benar berharap mengemudikan trukmu di dalam
kota dan tidak menjadi buah bibir dalam waktu 5 menit" Kau kenal
tempat ini dengan baik, B."
B. Dia memanggilku B sejak kami berusia 5 tahun. Dia memanggil
Valerie, Ree. Nama panggilan. Kenangan. Itu aman. Kota ini aman.
"Apakah aku sudah disini selama 5 menit?" tanyaku sambil melihat
makam di depanku. Nama Ibuku terukir di batu nisan itu.
"Tidak, mungkin belum. Aku sedang duduk di luar swalayan
menunggu Callie selesai bekerja," dia terdiam. Dia berkencan
dengan Callie lagi. Tidak mengejutkan. Dia mungkin satu-satunya
yang tak bisa lepas dari ingatannya.
Aku menghela napas panjang dan kemudian memalingkan kepalaku
dan menatap mata birunya. Gejolak emosi melawan kebekuan yang
membungkusku erat laksana mantel. Ini adalah rumah. Ini aman. Ini
semua yang aku tahu. "Aku akan tinggal," ucapku padanya.
Sebuah seringai terbentuk pada bibirnya dan dia mengangguk. "Aku
senang. Kau telah dirindukan. Ini adalah tempat dimana seharusnya
kau berada, B." Beberapa minggu yang lalu aku mengira setelah kepergian momma
aku takkan layak tinggal dimanapun. Mungkin aku salah. Hidupku
disini. "Aku tidak ingin membicarakan tentang Abe," ujarku padanya dan
mengalihkan pandanganku ke makam Ibu.
"Siap. Aku takkan mengungkitnya lagi."
Aku tak perlu berkata apa-apa lagi. Kupejamkan mata dan berdoa
dalam sunyi bahwa Ibu dan saudariku bersama dan bahagia. Cain
tidak beranjak. Kami berdiri disana dalam diam sementara mentari
mulai terbenam. Ketika kegelapan mulai menyelimuti pemakaman, Cain
menyelipkan lengannya padaku. "Ayo, B. Mari kita cari tempat
untukmu menginap." Kubiarkan dia menuntunku ke jalan dan ke trukku. "Maukah kau
kuajak ke rumah Granny" Dia punya kamar tamu dan dia akan
senang bila kau tinggal disana. Dia hanya sendirian dirumah itu. Dia
mungkin akan jarang memanggilku bila ada orang yang
menemaninya." Granny Q adalah Ibu dari Ibunya Cain. Dia adalah guru sekolah
mingguku selama sekolah dasar. Dia juga sering mengirim makanan
seminggu sekali kala Ibuku sakit keras.
"Aku punya uang. Aku akan menginap di motel. Aku tak ingin
merepotkannya." Cain tertawa keras, "Jika dia menemukanmu di kamar hotel dia akan
datang dalam kemurkaan. Kau akan ada dirumahnya ketika dia
sudah selesai memarahimu. Akan lebih mudah datang ke rumahnya
daripada membuat kehebohan. Disamping itu, B hanya ada satu
motel di kota ini. Kau dan aku tahu berapa banyak pasangan kencan
yang berakhir disana. Alasan utama sialannya adalah itu."
Dia benar. "Kau tak perlu mengantarku. Aku akan kesana sendirian. Kau punya
Callie yang sedang menunggumu," aku mengingatkannya.
Dia memutar matanya. "Jangan ungkit itu, B. Kau tahu dengan baik.
Jentikkan jarimu, babe. Cukup jentikkan satu jarimu. Hanya itu yang
dibutuhkan." Dia sudah mengatakan tentang hal itu selama bertahun-tahun. Itu
hanyalah lelucon sekarang. Paling tidak untukku. Hatiku tidak
disana. Sepasang mata perak terlintas di pikiranku dan luka yang
menembus kebekuan. Aku tahu dimana hatiku berada dan aku tidak
yakin bisa melihatnya lagi. Tidak jika aku berusaha untuk bertahan.
Granny Q tidak akan membiarkanku merenung. Dia takkan
membiarkanku sendirian. Malam ini aku membutuhkan ketenangan.
Kesunyian. "Cain, aku perlu sendiri malam ini. Aku perlu berpikir. Aku perlu
proses. Malam ini aku menginap di motel. Tolong mengertilah dan
bantu Granny untuk mengerti. Hanya malam ini."
Cain memandang menembus lewat kepalaku dengan rengutan
frustasi. Aku tahu dia ingin bertanya tapi dia berhati-hati. "B, aku
benci ini. Aku tahu kau terluka. Aku bisa membacanya dari raut
wajahmu. Aku telah melihatmu terluka selama bertahun-tahun. Ini
perlahan membunuhku juga. Bicara padaku, B. Kau perlu berbicara
dengan seseorang." Dia benar. Aku butuh seseorang untuk diajak bicara tapi untuk saat
ini yang harus kukhawatirkan adalah berdamai dengan diri sendiri.
Pada akhirnya aku akan memberitahukannya mengenai Rosemary
Beach. Aku perlu memberitahu seseorang. Cain adalah teman
terdekat yang aku miliki disini.
"Beri aku waktu," ucapku, menatapnya.
"Waktu," dia mengangguk. "Aku telah memberimu waktu selama
tiga tahun ini. Aku kira dengan menyediakan waktu sedikit lagi tidak
akan menyakitkan." Aku membuka pintu trukku dan masuk kedalamnya. Besok aku
sudah siap menghadapi kenyataan. Kenyataan. Aku bisa
melakukannya... besok. "Apakah kau punya ponsel" Aku menelponmu sehari setelah
kepergianmu dan meninggalkanku disini tapi tidak tersambung."
Rush. Wajahnya saat memohon padaku untuk menyimpan ponsel
yang dia akali muncul dipikiranku. Lukanya menekan kedalam
hatiku sedikit lebih jauh lagi.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tak punya satupun."
Cain lebih cemberut. "Sialan, B. Kau tak bisa tanpa ponsel."
"Aku punya senjata," aku mengingatkannya.
"Kau tetap perlu ponsel. Aku ragu kau pernah menyorongkan itu ke
orang lain sepanjang hidupmu."
Disitulah dia salah. Aku hanya mengangkat bahu.
"Belilah satu besok," perintahnya. Aku mengangguk walaupun aku
tak berminat kemudian menutup pintu truk di belakangku.
*** Aku kembali ke jalan dua jalur. Aku mengemudi sekitar setengah mil
ke lampu merah pertama dan belok kanan. Motel bangunan kedua di
sebelah kiri. Aku tak pernah menginap disini sebelumnya. Aku
punya teman yang datang kesini setelah pesta prom tapi itu hanyalah
bagian dari SMA yang hanyaku dengar sepintas lalu.
Membayar untuk semalam cukup mudah. Gadis yang menjaga di
meja depan tampak akrab tapi dia lebih muda dariku. Mungkin
masih di SMA. Aku mengambil kunciku dan segera menuju keluar.
Range Rover hitam mengkilap terparkir disebelah trukku kelihatan
tidak pantas berada disini. Hati yang kukira telah mati rasa berdegup
kencang di dadaku dalam satu dentuman yang menyakitkan seiring
mataku bertatapan dengan mata Rush. Dia berdiri sambil menatapku
di depan Range Rover dengan kedua tangan di dalam sakunya.
Aku tak berharap bertemu dia lagi. Setidaknya tidak dalam waktu
dekat ini. Aku ingin membuat perasaanku lebih jelas. Bagaimana
caranya dia bisa tiba disini" Aku tak pernah mengatakan daerah
asalku. Apakah Ayahku" Tidakkah mereka mengerti aku ingin
menyendiri" Terdengar pintu mobil dibanting dan perhatianku teralihkan dari
Rush untuk melihat Cain keluar dari truk Ford merahnya yang
didapatnya saat kelulusan. "Aku berharap dengan sangat kau tahu
siapa pria ini karena dia telah mengikutimu kesini semenjak dari
pemakaman. Aku memperhatikannya diseberang jalan melihat kita
kembali tapi aku tak mengatakan apa-apa," ujar Cain melangkah
maju berdiri sedikit didepanku.
"Aku kenal dia," aku berhasil menelan sumbatan di tenggorokanku.
Cain melirik tajam ke arahku, "Dia alasan kau kembali pulang?"
Tidak. Tidak juga. Bukan dia yang membuatku pulang. Dialah alasan
aku ingin tinggal. Walaupun tahu segala yang kami miliki adalah hal
yang mustahil. "Tidak," ucapku, menggelengkan kepala dan berbalik menatap Rush.
Bahkan di bawah sinar bulan pun wajahnya terlihat terluka.
"Mengapa kau disini?" tanyaku, menjaga jarak. Cain bergeser lebih
maju ke depan saat dia menyadari aku tak akan mendekati Rush.
"Kau disini," jawabnya.
Tuhan. Bagaimana caranya aku melewati ini lagi" Melihatnya dan
mengetahui aku takkan bisa memilikinya. Apapun yang diwakilinya
hanyalah akan mengotori segala perasaanku padanya.
"Aku tak bisa melakukannya, Rush."
Dia melangkah maju, "Bicara padaku. Kumohon, Blaire. Begitu
banyak yang ingin kujelaskan padamu."
Aku menggelengkan kepalaku dan mundur. "Tidak. Aku tak bisa."
Rush mengumpat dan mengalihkan tatapannya dariku ke Cain.
"Bisakah kau memberikan kami sedikit waktu?" tuntutnya.
Cain menyilangkan tangannya di dadanya dan melangkah maju lagi
didepanku. "Aku pikir tak bisa. Kelihatannya dia tidak ingin
berbicara denganmu. Akupun tak bisa memaksanya. Dan demikian
pula denganmu." Aku tak perlu melihat Rush untuk tahu betapa Cain telah
membuatnya naik darah. Jika aku tak menghentikannya ini akan
berakhir dengan buruk. Aku melangkah memutari Cain dan berjalan
ke arah Rush dan kamarku. Jika kami harus berbicara kami tak
memerlukan penonton. "Tidak apa-apa, Cain. Dia saudara tiriku, Rush Finlay. Dia sudah
tahu siapa kau. Dia ingin berbicara. Jadi kami akan berbicara. Kau
bisa pergi. Aku akan baik-baik saja," ucapku melewati bahuku dan
kemudian berbalik untuk membuka kunci kamar 4A.
"Saudara tiri" Tunggu...Rush Finlay" Anak tunggalnya Dean
Finlay" Sialan B, kau punya hubungan kekerabatan dengan seorang
artis rock." Aku lupa jika Cain merupakan penggemar berat band rock itu. Dia
pasti tahu segalanya tentang anak laki-laki tunggal dari drummer
Slacker Demon. "Pergilah, Cain," ulangku. Aku membuka pintuku dan melangkah
masuk. *** Bab 26 Aku berusaha untuk berada sejauh mungkin darinya, aku tidak
berhenti sampai akhirnya aku berdiri menempel dinding di sisi lain
ruangan. Rush mengikutiku masuk ke dalam dan menutup pintu di
belakangnya. Tatapan matanya melihatku seolah ia ingin melahapku.
"Cepat. Bicaralah. Aku ingin kau pergi dari sini." Aku berkata
padanya. Rush terlihat kaget ketika mendengar ucapanku. Aku tak akan
membiarkan diriku untuk bersimpati padanya. Aku tidak boleh.
"Aku mencintaimu."
Tidak. Ia tak mungkin mengatakan itu. Aku menggelengkan
kepalaku. Tidak. Aku tidak boleh mendengar semua ini. Rush tidak
mencintaiku. Ia tak mungkin mencintaiku. Cinta tak mungkin
berdusta. "Aku tahu apa yang telah kuperbuat tidak mencerminkan ucapanku,
namun jika kau mengijinkan aku untuk menjelaskan semua padamu.
Ya tuhan, baby, aku tak sanggup melihatmu begitu menderita."
Dia tidak tahu apa itu arti penderitaan. Dia tahu seberapa besar aku
mencintai ibuku. Seberapa pentingnya ibu bagi diriku. Seberapa
besar pengorbanan ibuku. Rush telah mengetahui semuanya, namun
ia masih tidak mengatakan padaku apa yang di pikirkan orang-orang
itu mengenai ibuku. Apa yang "dia" pikirkan mengenai ibuku. Aku
tidak bisa mencintai. Dia. Atau Siapapun yang menghina kenangan
tentang ibuku. Aku tidak akan bisa untuk mencintai. Tak akan
pernah. "Apapun yang kau katakan tidak akan dapat memperbaiki semua ini.
Wanita itu adalah ibuku, Rush. Satu-satunya kenangan yang mampu
menyatukan semua kenangan indah di dalam hidupku. Dia adalah
sumber dari setiap kebahagiaan dari masa kecilku. Dan kau..." Aku
memejamkan mataku, tak mampu melihatnya. "Dan kau, dan...dan
mereka...Kalian semua menghinanya. Kebohongan menjijikkan yang
kalian ucapkan seolah itu adalah kebenaran."
"Aku menyesal kau mengetahuinya dengan cara seperti ini. Aku
ingin mengatakan padamu. Awalnya, aku melihatmu hanya sebagai
sebuah produk yang bisa menyakiti Nan. Aku berpikir kau akan
menyebabkan Nan lebih menderita. Masalahnya adalah, kau
membuatku terpesona. Aku akan mengakui bahwa saat pertama kali
aku melihatmu aku langsung tertarik padamu karena kecantikanmu.
Itu sangat mengagumkan. Aku membencimu karena itu. Aku tak
boleh tertarik denganmu. Namun percuma, Aku begitu
menginginkanmu sejak malam pertama saat kita jumpa. Hanya untuk
berada di dekatmu, ya Tuhan, aku bahkan mengarang sebuah alasan
hanya untuk bertemu denganmu. Kemudian...Kemudian aku lebih
mengenalmu. Aku terhipnotis oleh tawamu. Itu adalah suara yang
paling mengagumkan yang pernah kudengar. Kau sangat jujur dan
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh tekad. Kau tidak merengek atau mengeluh. Kau menerima
semua yang terjadi di hidupmu dan berusaha untuk menghadapinya.
Aku tidak terbiasa melihat hal seperti itu. Setiap kali aku melihatmu,
setiap saat aku berada di dekatmu perasaanku mulai tumbuh." Rush
melangkah maju kedepan kearahku, namun aku mengangkat kedua
tanganku untuk menahannya. Aku menarik napas panjang. Aku tidak
boleh menangis lagi. Jika ia ingin mengatakan semua ini dengan
maksud untuk membuatku lebih hancur, maka aku akan
mendengarkannya. Aku akan memberikannya kepuasan itu, karena
aku tahu aku tak akan pernah dapat mendapatkan itu untuk diriku
sendiri. "Lalu pada malam kita keluar ke Honky-tonk. Setelah malam itu kau
memiliki diriku. Mungkin kau tidak menyadarinya namun aku telah
terikat olehmu. Dan tak ada jalan bagiku untuk kembali. Banyak hal
yang ingin aku lakukan untuk membayar kesalahanku. Sejak
kedatanganmu di rumahku, aku telah menempatkanmu di dalam
neraka, dan aku membenci diriku sendiri atas apa yang telah
kuperbuat. Aku ingin memberikanmu kebahagiaan. Tapi aku
tahu...aku tahu siapa dirimu. Ketika aku membiarkan diriku untuk
mengingat siapa dirimu sebenarnya, saat itu aku langsung menarik
diri. Bagaimana bisa aku begitu tertarik dengan seorang gadis yang
mencerminkan penderitaan untuk adikku?"
Aku menutup kedua telingaku dengan tanganku. "Tidak. Aku tak
mau mendengar semua ini. Pergilah, Rush. Cepat pergi!" Aku
berteriak. Aku tak ingin mendengar tentang Nan. Kata-kata keji yang
Nan ucapkan mengenai ibuku kembali terngiang di telingaku dan
keinginanku untuk berteriak bergemuruh di dalam dadaku. Apapun
yang bisa menghadang semua itu.
"Usiaku tiga tahun saat ibuku pulang dari Rumah sakit dengan
membawa Nan. Nan begitu kecil dan aku ingat saat itu aku
mengkhawatirkan apa yang akan menimpanya. Ibuku selalu
menangis. Begitu juga Nan. Aku tumbuh dewasa dengan cepat.
Sejak Nan berusia tiga tahun akulah yang mengurus semuanya, dari
mulai memberikannya sarapan sampai menidurkannya di malam
hari. Ibu kami telah menikah lagi, dan saat itu kami memiliki Grant.
Kala itu tak ada ketenangan. Hari di mana ayahku datang untuk
menghabiskan waktu bersamaku adalah hari yang kutunggu-tunggu,
karena saat aku pergi bersama ayahku, aku tak perlu bertanggung
jawab atas Nan untuk beberapa hari. Aku akan mendapatkan waktu
istirahatku. Sampai kemudian Nan mulai bertanya, mengapa aku
mempunyai seorang ayah sedangkan ia tidak."
"Hentikan!" Aku memperingatkannya, lalu melangkah lebih jauh
dari dinding. Kenapa ia melakukan ini padaku"
"Blaire, tolong dengarkan aku. Hanya ini caranya agar kau
mengerti." Suaranya terdengar begitu terluka. "Dulu mom selalu
mengatakan alasan mengapa Nan tidak mempunyai ayah adalah
karena Nan anak yang spesial. Namun alasan itu tidak berhasil untuk
waktu yang lama. Aku lalu menemui ibuku dan memintanya untuk
mengatakan padaku siapa ayah Nan. Aku memaksanya ibuku untuk
mengatakannya padaku. Aku tahu dengan keberadaan ayahku, ibuku
pasti akan memberitahuku. Ibuku lalu mengatakan padaku bahwa
ayahnya Nan sudah memiliki keluarga yang lain. Ayahnya sudah
memiliki dua orang putri kecil yang lebih dicintainya dari pada Nan.
Ayah Nan menginginkan anak-anak perempuan itu namun ia tidak
menginginkan Nan. Aku tidak bisa mengerti bagaimana bisa ada
orang yang tidak menginginkan Nan. Tentu saja, ada kalanya aku
ingin membunuh Nan, namun aku begitu mencintainya. Kemudian
datang hari di mana ibuku memutuskan untuk membawa Nan
melihat keluarga yang telah di pilih oleh ayahnya. Setelah itu,
hampir sebulan lebih Nan selalu menangis." Rush terdiam, dan aku
terduduk di ranjang. Dia membuatku mendengar semua ini. Aku tak
bisa menghentikannya. "Aku benci para gadis kecil itu. Aku membenci keluarga yang lebih
di pilih oleh ayahnya Nan dan mengabaikan Nan. Aku bersumpah,
suatu hari aku akan membuat lelaki itu membayar semua
perbuatannya. Nan dulu selalu berkata, mungkin saja ayahnya suatu
hari akan datang untuk menemuinya. Aku selalu mendengarkan
impian Nan selama bertahun-tahun. Ketika aku berusia sembilan
belas tahun, aku pergi menemui pria itu. Aku tahu siapa namanya.
Aku berhasil menemukannya. Aku lalu memberikannya sebuah foto
Nan dengan Alamat kami tertulis di belakangnya. Aku mengatakan
padanya bahwa ia memiliki putri lain yang sangat spesial dan
putrinya sangat ingin bertemu dengannya. Hanya untuk berbicara
dengannya." Itu terjadi lima tahun yang lalu. Perutku bergejolak. Aku merasa
muak. Aku kehilangan Valery lima tahun yang lalu. Ayahku pun
pergi lima tahun yang lalu.
"Aku melakukan itu karena aku mencintai adikku. Aku tak pernah
berpikir apa yang sedang di hadapi oleh keluarganya. Sejujurnya,
aku tak perduli. Aku hanya memperdulikan Nan. Saat itu, kau adalah
musuhku. Sampai kemudian kau datang kerumahku dan mengubah
duniaku. Aku selalu bersumpah pada diriku sendiri bahwa aka tak
akan pernah merasa menyesal karena telah menghancurkan keluarga
ayahnya Nan. Lagipula, keluarga itu telah menghancurkan hidup
Nan. Namun rasa bersalah mulai menghantui hidupku setiap saat kau
berada dekat denganku. Melihat tatapan matamu saat kau
menceritakan tentang ibu dan adikmu. Ya Tuhan, demi Tuhan malam
itu kau benar-benar telah menghacurkan hatiku, Blaire. Aku tak akan
pernah bisa melupakan semua itu." Rush berjalan mendekatiku dan
aku hanya terdiam tak mampu untuk bergerak.
Aku mengerti. Aku bisa memahaminya. Namun di dalam
pemahamanku aku akan kehilangan hatiku sendiri. Semua itu adalah
kebohongan. Seluruh hidupku. Semua berisi kebohongan. Semua
kenangan yang kumiliki. Ibuku memanggang kue dan ayahku akan
mengangkat tubuhku dan Valerie keatas agar kami bisa menghias
puncak pohon Natal, semua tradisi Natal yang kami lakukan adalah
sebuah kepalsuan. Semua itu tidak mungkin bisa menjadi nyata. Aku
mempercayai Rush. Namun Itu tidak mengubah cara pandangku
mengenai ibuku. Ibuku tidak berada di sini untuk menceritakan
padaku permasalahan ini dari sisinya. Aku cukup mengenal ibuku
untuk mengetahui bahwa dia tidak bersalah. Ibuku tak seperti yang
mereka kira. Ini semua adalah dosa ayahku.
"Aku bersumpah padamu sebesar cintaku pada adikku, jika saja aku
bisa memutar ulang waktu dan merubah semuanya, pasti akan
kulakukan. Aku TIDAK AKAN PERNAH Pergi menemui ayahmu.
Tak akan pernah. Aku sangat menyesal, Blaire. Maafkan aku."
Suaranya tertahan, dan aku menaikkan pandangan mataku untuk
melihat matanya yang basah oleh air mata yang tertahan.
Jika saja Rush tidak pergi menemui ayahku, keadaannya pasti akan
berbeda. Namun tak satu pun dari kami berdua yang bisa mengubah
masa lalu tak perduli seberapa besar kami berdua menginginkannya.
Tak satupun dari kami yang bisa memperbaiki semua ini. Sekarang
Nan telah memiliki seorang ayah. Nan telah mendapatkan apa yang
selama ini ia idamkan. Begitupula dengan Georgianna.
Aku hanya memiliki diriku sendiri.
"Aku tak bisa mengatakan padamu bahwa aku sudah
memaafkanmu." Ucapku. Karena aku memang belum bisa
memaafkannya. "Tapi aku bisa mengatakan padamu bahwa aku
mengerti alasan mengapa kau melakukan semua itu. Hal itu
mengubah duniaku. Semua itu tak akan pernah bisa dirubah."
Setitik air mata jatuh bergulir di wajah Rush. Aku tak bisa
mendekatinya dan menghapus air mata itu seperti air mataku yang
kini sudah tak ada lagi. "Aku tak bisa kehilanganmu. Aku jatuh
cinta padamu Blaire. Aku tak pernah begitu menginginkan sesuatu
atau seseorang seperti sekarang aku menginginkanmu. Aku tak bisa
membayangkan apa jadinya duniaku tanpa kehadiranmu di
dalamnya." Aku hanya akan selalu memiliki diriku. Karena pria ini telah
mencuri hatiku dan menghancurkannya. Walaupun jika dia tak
pernah bermaksud seperti itu. Aku tak akan pernah lagi bisa
mempercayai untuk dapat mencintai.
"Aku tak bisa mencintaimu, Rush."
Isakan yang tertahan mengguncang tubuhnya saat ia menjatuhkan
kepalanya di pangkuanku. Aku tidak menghiburnya. Aku tak bisa.
Bagaimana bisa aku menenangkan sakitnya saat di dalam diriku
terdapat luka dengan lubang menganga yang cukup besar, cukup
besar hingga kami berdua bisa masuk kedalamnya.
"Kau tak harus mencintaiku. Tolong jangan tinggalkan aku." Rush
berkata, diatas kakiku. Apakah hidupku akan selalu di penuhi oleh kehilangan" Aku tak
sempat mengucapkan selamat tinggal pada Valerie saat hari itu ia
meninggalkan rumah dan tak pernah kembali. Aku menolak untuk
mengucapkan selamat tinggal pada ibuku pagi itu, saat ia
mengatakan padaku waktunya sudah dekat. Ibuku menutup matanya
dan tak pernah membukanya lagi. Aku tahu, saat Rush meninggalkan
ruangan itu adalah saat terakhir aku melihatnya. Saat itu adalah
perpisahan kami. Aku tak akan sanggup melanjutkan hidupku jika
dia masih ada di dalam kehidupanku. Rush akan selalu menjadi
penghambat bagi kesembuhan diriku.
Namun kali ini aku ingin sebuah perpisahan untukku. Ini akan
menjadi salam perpisahan terakhir dan aku ingin mengucapkannya
dengan cara yang pantas. Aku tak bisa mengungkapkannya lewat
kata. Karena mulutku tak sanggup berucap. Keinginanku untuk
melindungi nama baik ibuku berdiri diantara aku dan kata-kata yang
aku tahu ingin Rush dengar dari mulutku. Aku tidak bisa
mengatakan padanya aku telah memaafkan dirinya setelah
mengetahui alasan ayahku pergi dan tak pernah kembali adalah dia.
Hari itu Rush telah membawa ayahku pergi, walaupun ia tidak
mengetahui kerusakan yang bisa timbulkan oleh foto yang ia berikan
pada ayahku. Tidak satu pun dari itu yang mampu merubah perasaanku terhadap
Rush sebelumnya, dia telah meledakkan duniaku menjadi berkepingkeping. Aku akan
mengucapkan salam perpisahanku.
*** Bab 27 "Rush." Ia mengangkat kepalanya. Wajahnya basah oleh air mata. Aku tidak
akan menghapus mereka. Mereka mewakili sebuah tujuan. Aku
berdiri dan melepaskan kancing kemejaku kemudian kuloloskan agar
bisa aku geletakkan diatas ranjang. Aku kemudian melempar braku
ke sembarang arah. Mata Rush tak pernah meninggalkan tubuhku.
Kebingungan di wajahnya dapat diduga. Aku tidak bisa menjelaskan
hal ini. Aku hanya membutuhkannya.
Aku mendorong turun celana pendek yang kukenakan dan
melangkah keluar dari celana tersebut. Kemudian melepaskan
sepatuku dan perlahan melepas celana dalamku. Setelah aku benarbenar telanjang.
Aku melangkah keatas mengangkangi kaki Rush.
Tangannya segera membungkus di sekelilingku dan ia
membenamkan wajahnya di perutku. Daerah yang basah oleh air
matanya terasa dingin pada kulitku menyebabkan aku menggigil.
"Apa yang kau lakukan, Blaire?" Rush bertanya sambil sambil
sedikit menarik diri hanya agar dapat menengadah menatapku. Aku
tidak bisa menjawab itu. Aku mencengkeram kemejanya dan menariknya hingga ia
mengangkat tangannya dan membiarkanku menariknya hingga
terlepas melalui kepalanya dan melemparkannya ke samping.
Merosot hingga aku terduduk diatas pangkuannya, aku
menyelinapkan tanganku ke belakang kepalanya dan menciumnya.
Perlahan. Ini adalah terakhir kalinya. Tangan Rush berada di
rambutku dan ia segera mengambil alih. Setiap belaian lidahnya
lembut dan santai. Ia tidak lapar dan menuntut. Mungkin ia sudah
tahu ini adalah selamat tinggal. Itu tidak berarti harus keras dan
cepat. Ini merupakan kenangan terakhir yang aku akan miliki
bersamanya. Tentang kami. Satu-satunya kenangan yang tidak berisi
kebohongan. Sekarang hanya kebenaran yang ada diantara kami.
"Apakah kau yakin?" Rush berbisik di mulutku saat aku bergoyang
melawan ereksi yang aku rasakan di bawah celana jinsnya.
Aku hanya sanggup mengangguk.
Rush mengangkatku dan membaringkanku di atas tempat tidur
sebelum melepaskan sepatu dan celana jinsnya. Ia merangkak di
atasku saat wajahnya yang berbayang mengamatiku "Kau adalah
wanita paling cantik yang pernah aku lihat. Di dalam dan di luar."
Bisiknya saat ia menghujani ciuman di wajahku sebelum menarik
bibir bawahku ke dalam mulutnya dan kemudian dihisap.
Aku mengangkat pinggulku. Aku membutuhkannya di dalam. Aku
akan selalu membutuhkannya di dalam tapi ini akan menjadi terakhir
kalinya dia berada di dalamku. Ini dekat. Tidak akan ada yang
pernah sedekat ini lagi. Tidak seorangpun.
Rush menjalarkan tangannya menyusuri tubuhku meluangkan waktu
untuk menyentuh setiap bagian. Seolah-olah ia sedang
menghafalkanku. Aku melengkung ke dalam tangannya dan
memejamkan mataku membiarkan rasa dari tangannya menandai
diriku. "Aku sangat mencintaimu," dia menyumpah saat kepalanya
menunduk untuk mencium pusarku.
Aku membiarkan kakiku jatuh terbuka sehingga ia dapat bergerak
diantaranya. "Apakah aku perlu memakai kondon?" tanyanya, bergerak kembali
keatas tubuhku. Ya, dia harus menggunakannya. Tidak boleh mengambil resiko.
Lagi-lagi, aku hanya mengangguk.
Ia berdiri untuk mengambil celana jinsnya dan menarik keluar
sebuah kondom dari dompetnya. Aku melihatnya merobek
pembungkusnya hingga terbuka kemudian diselipkannya dari ujung
kepala kejantanannya hingga menutupi keseluruhan hingga
pangkalnya. Aku tidak mencium dia disana, di kejantanannya. Aku
pernah memikirkannya tetapi aku tidak memiliki keberanian.
Sesuatu yang memang harus tetap tidak diketahui.
Rush menyusurkan tangannya ke dalam kakiku dan kemudian
dengan perlahan mendorongnya hingga terbuka lebih lebar. "Ini akan
selalu menjadi milikku," katanya penuh dengan keyakinan.
Aku tidak mengoreksinya. Tidak ada gunanya. Memang tidak akan
pernah menjadi milik orang lain. Setelah hari ini, aku hanya akan
menjadi milik diriku sendiri.
Rush menurunkan tubuhnya diatasku hingga aku bisa merasakan
kepala ereksinya menekanku. "Tidak pernah terasa senikmat ini.
Tidak akan pernah ada yang senikmat ini," dia mengerang kemudian
meluncur memasuki diriku. Otot-otot kewanitaanku meregang
menerima kejantanannya. Aku melingkarkan tanganku di sekeliling
lengannya dan berteriak ketika ia mengisiku sepenuhnya.
Perlahan, ia bergerak keluar dan mengayun kembali untuk
memasukiku. Matanya tak pernah meninggalkanku. Aku mengunci
tatapannya. Aku bisa melihat badai di dalam matanya. Aku tahu dia
bingung. Aku bahkan dapat melihat ketakutan. Kemudian ada cinta.
Aku melihatnya. Keganasan di matanya. Aku mempercayainya. Aku
percaya itu. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Tetapi itu sudah
terlambat sekarang. Cinta tidaklah cukup. Setiap orang selalu
mengatakan bahwa cinta saja sudah cukup. Itu tidak cukup. Tidak
ketika jiwamu telah hancur berkeping-keping.
Aku menyelipkan kakiku di seputaran pinggulnya dan kemudian
membungkuskan lenganku di sekeliling lehernya. Dekat. Aku butuh
Fallen Too Far Karya Abbi Glines di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat dengannya. Nafasnya terasa hangat di leherku saat ia
menekankan ciuman pada kulit yang lembut disana. Ia membisikkan
kata cinta dan janji-janji yang tidak akan pernah bisa dipatuhi Aku
membiarkannya. Hanya untuk terakhir kalinya.
Kenikmatan yang terbangun telah mencapai puncaknya ketika Rush
melayangkan sebuah ciuman di bibirku dan berkata, "Hanya kau."
Aku tidak berpaling saat aku memeluknya erat dan membiarkan
aliran perasaan bahagia yang utuh menyelubungiku. Mulut Rush
terbuka dan sebuah geraman keras menggetar dadanya saat ia
memompaku dua kali lagi dan kemudian dia diam terpaku. Sorot
matanya tidak pernah meninggalkan mataku.
Kami berdua bernapas dengan cepat dan keras ketika aku
mengatakan semua yang ingin aku katakan tanpa harus
mengeluarkan kata-kata. Semuanya tersirat di dalam mataku. Jika ia
melihat cukup dekat. "Jangan lakukan ini, Blaire," dia memohon.
"Selamat tinggal, Rush."
Rush menggelengkan kepalanya. Ia masih terkubur jauh di dalam
diriku. "Tidak. Jangan kau lakukan ini pada kita."
Aku tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku membiarkan tanganku
jatuh terkulai ke sisiku dan kakiku menyelinap menuruni
pinggangnya sehingga aku tidak lagi menempel padanya. Aku tidak
ingin berdebat dengannya.
"Aku tidak sempat mengucapkan salam perpisahan pada saudari
kembarku atau ibuku. Salam perpisahan terakhir yang tidak pernah
bisa aku dapatkan. Ini adalah perpisahan terakhir yang aku butuhkan.
Ini adalah sekali diantara kita tanpa ada kebohongan."
Rush mencengkeram selimut di bawahku dengan kedua tangannya
dan memejamkan mataanya. "Tidak. Tidak. Kumohon, jangan."
Aku ingin mengulurkan tanganku dan menyentuh wajahnya. Untuk
mengatakan padanya semua akan baik-baik saja. Dia akan
melangkah maju untuk meneruskan hidup dan melupakan semua ini.
Mengenai kami. Tapi aku tidak mampu melakukan itu. Bagaimana
aku bisa menghiburnya jika aku merasa hampa di dalam"
Rush menarik keluar kejantanannya dariku dan aku meringis pada
kekosongan yang bergema di seluruh tubuhku. Ia berdiri dan tidak
memandangku. Aku menatap dalam keheningan saat ia mulai
berpakaian. Inilah saatnya. Apakah kehampaan harus terasa
menyakitkan" Kapankah rasa sakit akan berhenti timbul"
Setelah mengenakan kemejanya dia mengangkat matanya untuk
menatapku. Aku duduk dan menarik lututku terhadap dadaku untuk
menutupi ketelanjanganku dan untuk menahan diriku. Aku takut aku
akan benar-benar hancur. "Aku tidak dapat membuatmu memaafkanku. Aku tidak pantas
mendapatkan pengampunan darimu. Aku tidak dapat mengubah
masa lalu. Yang dapat kulakukan adalah memberikan apa yang kau
inginkan. Jika ini yang kau inginkan, aku akan pergi, Blaire. Ini akan
membunuhku tapi aku akan melakukannya."
Apa lagi yang mungkin bisa terjadi" Aku tidak akan pernah sama
lagi. Gadis yang ia cintai sudah tidak ada lagi. Ia akan segera
mengetahuinya jika dia tinggal. Aku tidak memiliki masa lalu. Aku
tidak mempunyai dasar. Semua itu telah lenyap. Tidak ada yang
masuk akal dan aku tahu itu tidak akan pernah. Rush pantas
mendapatkan lebih. "Selamat tinggal, Rush," sahutku untuk terakhir kalinya.
Rasa sakit yang bergelayut di matanya tidak mampu kuhadapi. Aku
menjatuhkan padanganku darinya dan mempelajari selimut bermotif
kotak-kotak yang berwarna biru di bawahku.
Aku mendengarkan saat ia berjalan menuju pintu. Suara langkah
kakinya teredam di karpet tua pudar. Kemudian pintu terbuka dan
sinar rembulan menerangi ke dalam kamar yang gelap. Ada jeda.
Aku bertanya-tanya apakah dia akan mengatakan hal lain. Aku tidak
ingin ia melakukannya. Setiap kata yang dia katakan hanya membuat
ini menjadi lebih sulit. Pintu menutup. Aku mengangkat mataku untuk melihat kamar motel
yang kosong di sekelilingku. Perpisahan itu tidak sebaik yang orangorang
katakan. Aku tahu itu sekarang.
"Bukan dia yang menyebabkan aku lari. Dialah yang menjadi
alasanku ingin tinggal."
Tenang guys, kisah mereka belum berakhir...
Pendekar Bodoh 1 Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Pendekar Mata Keranjang 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama