Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella Bagian 2
seorang utusan ke rumah Jenderal Decker.
Kedatangan utusan itu dengan membawa berita yang mengejutkan, segera
ditanggapi Jenderal Decker dengan mengumpulkan semua Jenderal di rumahnya.
Setelah berunding cukup lama, mereka menuju Istana Vezuza untuk meminta
persetujuan Raja Alfonso sekaligus menyempurnakan rencana yang mereka susun.
Hasilnya adalah beberapa Jenderal termasuk Jenderal Reyn berangkat ke Hutan
Naullie dini hari esok dengan membawa sejumlah pasukan.
Mengingat tempat yang menjadi medan pertempuran nanti adalah hutan lebat,
pasukan yang diberangkatan terdiri dari 50 pasukan berkuda dan 200 pasukan
pejalan kaki. Mereka semua harus segera berangkat untuk berjaga-jaga di sekitar Hutan Naullie
bila Kirshcaverish tiba-tiba menyerang.
Apa tujuan mereka memberontak hingga kini belum diketahui pasti.
Yang pasti hanya satu yaitu mereka ingin melawan pemerintahan Kerajaan Aqnetta
yang sekarang dan Kerajaan Aqnetta harus melindungi Rajanya.
"Apakah tidak dapat ditunda?" tanya Joannie.
"Tidak, Joannie," kata Jenderal Reyn, "Keadaan di sana sangat berbahaya dan
perang bisa terjadi sewaktu-waktu."
"Besok pagi-pagi, Xeilan. Sekitar pukul empat pagi, aku harus sudah ada di rumah
Jenderal Decker." "Apakah tidak terlalu pagi?" tanya Lady Xeilan lagi.
"Memang," Jenderal Reyn setuju, "Justru itulah yang kami cari. Keberangkatan ini
sedapat mungkin tidak diketahui penduduk Chiatchamo, di samping untuk
mempercepat datangnya bantuan ini."
Semua terdiam - sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mereka tahu pertemuan ini mungkin pertemuan keluarga yang terlengkap yang
paling akhir. Ini pertama kalinya Jenderal Reyn maju ke medan perang terlebih lagi ke garis
depan. Sejak Jenderal Reyn menjabat sebagai Komandan Perang, tidak pernah ada
peperangan. Sebelumnya juga tidak.
Walaupun Kerajaan Aqnetta merupakan kerajaan kecil yang kaya dan subur
tanahnya, tidak ada suatu negara lain yang mencoba mengambil alih pemerintahan
Kerajaan Aqnetta. Sudah bukan rahasia lagi kekuatan militer Kerajaan Aqnetta.
Pada awal berdirinya kerajaan ini, yaitu di tahun 1077, banyak yang berusaha
menguasai Kerajaan Aqnetta. Karena itu pasukan pertahanan Kerajaan Aqnetta
yang baru terbentuk dilatih sangat keras untuk menjaga keutuhan kerajaan baru
itu. Peristiwa itu menjadi pengalaman generasi-generasi selanjutnya. Kekuatan militer
Kerajaan Aqnetta terus diperkuat sambil diperbaiki melalui pembaharuan.
Pembaharuan demi pembaharuan yang terus dilakukan akhirnya berhasil
menjadikan kekuatan mikiter Kerajaan Aqnetta menjadi kuat dan mampu menahan
serangan dari manapun. Dengan kekuatan militer yang kuat, Kerajaan Aqnetta akhirnya menjadi suatu
kerajaan yang harus dipikirkan masak-masak sebelum diserang.
Adanya kelompok pemberontak ini memang bukan yang pertama.
Tapi sejak awal abad 11 di mana Kerajaan Aqnetta sudah aman dari serangan
siapapun, tidak ada lagi pemberontakan maupun kelompok-kelompok yang
menghendaki pergantian kekuasaan di Kerajaan Aqnetta.
Diketahuinya Kirshcaverish ini sangat mengejutkan. Tapi hanya di kalangan Istana
Vezuza. Sejak awal mula keberadaan kelompok ini disembunyikan dari masyarakat guna
mencegah timbulnya kekacauan akibat kekhawatiran.
Hingga keberangkatan Jenderal Decker bersama pasukannya ke Naullie, tidak ada
yang tidak percaya alasan yang mereka berikan.
Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaan pasukan itu di Naullie bukan
untuk latihan perang tapi untuk menanti perang yang sesungguhnya.
Dua bulan lebih telah berlalu sejak kepergian Jenderal Reyn bersama beberapa
Jendeal lain dan sejumlah pasukan itu, tapi hingga kini tidak ada kabar apapun.
Seluruh keluarga Quentynna khawatir karenanya.
Kata-kata terakhir yang diucapkan Jenderal Reyn pada malam itu masih diingat
keluarga Quentynna, tapi mereka tetap tidak dapat menghilangkan kekhawatiran
mereka. "Aku tidak ingin meninggalkan kalian. Tapi keselamatan kerajaan ini lebih
penting dari apapun," kata Jenderal Reyn malam itu, "Aku mengkhawatirkan kalian."
"Jangan khawatir, Papa," sahut Kakyu yang sejak tadi berdiam diri. "Aku akan
menjaga mereka." Jenderal Reyn tersenyum. "Aku tahu engkau bisa, Kakyu. Tapi...," Jenderal Reyn
mulai sedih, "Tapi engkau..."
"Jangan khawatir, Papa," Kakyu cepat-cepat menyahut sebelum ayahnya
mengucapkan kenyataan yang paling disesali ayahnya itu. "Aku pasti bisa menjaga
mereka seperti aku menjaga keamanan Istana."
"Jangan mengkhawatirkan apapun, Papa," kata Marie, "Kakyu benar. Ia cukup
tangguh untuk menjaga keluarga ini. Tak seorangpun di kerajaan in yang meragukan
ketangguhannya walau ia masih muda."
"Kalau tidak, tentu tidak banyak gadis yang mencintainya bahkan sampai
tergilagila," tambah Lishie.
Ketiga kakak perempuan Kakyu tertawa terbahak-bahak karenanya, kecuali Joannie
yang sangat mengkhawatirkan ayahnya.
"Baiklah," Jenderal Reyn akhirnya menyerah, "Aku tidak akan mengkhawatirkan
kalian lagi. Aku menyerahkan keluarga ini padamu, Kakyu. Jaga mereka baik-baik."
"Ayah sudah tidak perlu mengkhawatirkan kami," Joannie meyakinkan ayahnya.
"Ya," Jenderal Reyn menyetujui, "Kalian juga tidak perlu mengkhawatirkan aku.
Aku tidak pergi sendiri. Beberapa Jenderal termasuk Jenderal Decker sendiri juga
pergi bersamaku besok." Malam itu mereka telah saling berjanji untuk tidak khawatir, tapi keluarga
Quentynna yang berada di Chiatchamo tetap khawatir apalagi tanpa kabar berita yang jelas
seperti ini. Walaupun demikian, suasana di Quentynna House tetap tampak seperti biasanya.
Gadis-gadis keluarga Quentynna tetap meramaikan suasana dengan canda tawa
mereka. Kakyu pun tetap tenang.
Semua itu mereka lakukan demi menghindari ibu mereka menjadi sedih.
Dibandingkan siapapun, Kakyu tetap yang paling tahu keadaan kelompok
Kirshcaverish itu. Kakyu yakin hingga kini ayahnya belum tahu letak Kirshcaverish secara tepat dan
itu semakin membuatnya cemas.
Ketidaktahuan itu menjadi kelemahan Jenderal Reyn dan pasukannya. Tapi bagi
Kirshcaverish, hal itu adalah kekuatan mereka.
Tak heran bila Kakyu menjadi sangat cemas ketika ia mendengar keadaan di Naullie
dari prajurit yang hendak kembali ke Naullie setelah melapor pada Menteri
Keamanan. Tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Kakyu segera menuju tempat Raja biasa
berada. Seperti biasa Raja duduk di belakang meja kerjanya - menghadapi setumpuk tugas
hariannya. "Ada apa?" tanya Raja Alfonso.
"Saya sudah mengetahuinya," kata Kakyu singkat.
Raja Alfonso kebingungan. "Tahu apa?"
"Keadaan di Naullie," jawab Kakyu, "Saya tahu keadaan di sana akhir-akhir ini
semakin bahaya." "Ya, engkau benar," Raja Alfonso membenarkan, "Keadaan di sana semakin gawat.
Hampir setiap hari terjadi perang kecil dan tiap kali kita yang kalah. Aku ingin
mengirim bala bantuan dalam waktu dekat ini. Bagaimana menurutmu?"
"Biar saya yang memimpinnya," kata Kakyu tiba-tiba.
"APA!?" Raja Alfonso berseru kaget.
Kakyu diam - tidak mengulangi kalimatnya. Ia tahu Raja mendengar apa yang
diucapkannya. "Tidak, Kakyu," kata Raja setelah pulih dari kagetnya, "Aku tidak
mengijinkanmu." "Walaupun Anda tidak mengijinkan, Paduka," kata Kakyu tenang, "Saya tetap akan
pergi." "Tidak, Kakyu, aku tidak mengijinkanmu," kata Raja Alfonso mencegah.
"Maafkan saya, Paduka," Kakyu tetap tenang seolah tidak peduli akibat
perbuatannya, "Keinginan saya telah bulat. Apapun yang terjadi saya tetap akan
pergi." "Sendirian?" Kakyu mengangguk. "Kalau perlu saat ini juga saya akan pergi ke Naullie."
Raja terkejut mendegar kata-kata itu. "Lalu apa yang akan kaulakukan dengan
jabatanmu itu" Engkau tahu engkau tidak dapat melepas tugasmu begitu saja."
"Saya mengerti hal itu, Paduka."
"Baguslah," kata Raja, "Engkau tahu engkau tidak dapat meninggalkan kewajibanmu
melindungi penghuni Istana ini."
"Tapi saya juga mengerti saat ini ancaman terbesar dari keselamatan Anda bukan
berasal dari dalam Istana ini sendiri," kata Kakyu, "Ancaman itu datang dari
Naullie." "Mengapa engkau berkata seperti itu, Kakyu?" tanya Raja Alfonso tidak mengerti,
"Bagaimana kalau mereka menyerbu Istana?"
"Lalu apa gunanya Anda meletakkan sejumlah pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar
hutan itu?" Kakyu balas bertanya.
Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu.
Ia melihat ketegangan dan keteguhan di wajah tenang itu. Wajah pemuda itu sama
sekali tidak menunjukkan kegalauan hatinya walau saat ini ia memang sedang
cemas. Raja Alfonso kagum melihatnya tapi ia tidak mengatakannya.
"Tampaknya engkau memang bersikeras pergi ke Naullie," kata Raja Alfonso,
"Walaupun aku menyuruh sejumlah pasukan mencegatmu, aku yakin engkau tetap
akan pergi." "Niat saya telah bulat, Paduka," Kakyu meyakinkan Raja.
"Tapi aku tetap tidak dapat mengijinkanmu, Kakyu," kata Raja Alfonso, "Aku tahu
engkau benar. Tapi siapa yang akan memimpin pasukan pengawal Istana di sini bila
engkau pergi" Bagaimana dengan jabatanmu itu" Apakah engkau tidak takut
dipecat gara-gara keinginanmu yang gara-gara kecemasanmu pada ayahmu ini?"
"Saya tidak hanya mencemaskan ayah saya, Paduka," kata Kakyu, "Saat ini bukan
hanya mereka yang berada di sekitar Naullie yang berada dalam bahaya tapi
seluruh kerajaan. Dan saya mencemaskan itu."
"Saya tidak mengarang apapun, Paduka. Saya tahu kelemahan posisi kita yang
justru menjadi kekuatan Kirshcaverish. Lagipula ayah saya tidak akan senang bila
tahu saya menyusulnya ke sana hanya karena saya mencemaskannya."
"Saya tahu apa yang saya lakukan ini. Dan bila Anda bersikeras tidak mengijinkan
saya apapun alasan Anda, maka saat ini juga saya memilih meletakkan jabatan
saya itu dan pergi ke Naullie."
"Engkau tidak takut pada masa depanmu setelah meletakkan jabatanmu itu?" selidik
Raja Alfonso, "Engkau tahu engkau terkenal karena jabatanmu itu, bukan?"
"Sejujurnya, Paduka, Anda tahu saya menerima jabatan ini bukan karena keinginan
saya sendiri. Saya menerimanya sebagai tugas bukan sebagai suatu keharusan.
Akibat dari melepaskan jabatan saya ini, tidak akan mempengaruhi saya."
"Walaupun Anda akan marah karena hal ini, saya tidak akan mundur. Saya tahu
saya sendirilah yang harus ke sana untuk membantu para Jenderal yang telah
berangkat ke sana terlebih dulu."
Raja Alfonso tersenyum. "Akhirnya engkau dapat berbicara panjang lebar,"
katanya, "Tapi sayang sekali, Kakyu, aku tetap tidak memberimu ijin."
"Saya tahu Anda tidak akan melakukannya, Paduka," Kakyu tetap tenang walaupun
tidak diijinkan, "Saat ini juga di hadapan Anda, saya meletakkan pedang tanda
jabatan Kepala Keamanan Istana ini."
Kakyu meletakkan pedang yang diterimanya dari Jenderal Erin di meja depan Raja
Alfonso. "Maafkan saya, Paduka," kata Kakyu, "Anda tidak perlu khawatir, saya telah
mengatur semuanya. Anda tetap akan aman walau saya tidak ada di sini."
Raja Alfonso yang selalu tenang menghadapi Kakyu, menjadi murka karenanya.
"Engkau tidak boleh melakukannya, Kakyu!"
"Maafkan saya, Paduka," kata Kakyu tetap tenang.
Kakyu mulai mundur ke pintu. Tatapan matanya terus berada di wajah Raja Alfonso
yang untuk pertama kalinya benar-benar jengkel karena perbuatannya.
"Kau tahu apa yang kaulakukan!?"
Kakyu mengangguk tenang. "Saya memilih meletakkan jabatan saya demi mengejar Kirshcaverish sendiri di
Hutan Naullie." "Di sana sudah ada Jenderal Erin, Jenderal Decker, ayahmu dan banyak Jenderal
lainnya yang juga tangguh dan berpengalaman," kata Raja Alfonso, "Untuk apa
engkau ke sana?" "Mereka semua tidak akan pernah dapat menghadapi pemberontak itu. Mereka tidak
tahu apa yang akan mereka hadapi di hutan itu. Pasukan yang bersama mereka pun
tidak akan dapat melawan Kirshcaverish. Berapa pun pasukan yang Anda kirim,
Anda tidak akan dapat memenangkan perang ini. Kirshcaverish lebih mengetahui
medan peperangan daripada kita."
"Engkau berkata seakan-akan engkau lebih tahu dari siapa pun," pancing Raja.
"Anda benar, Paduka," Kakyu mengakui, "Sebelum saya memasuki Istana ini, saya
sering berada di Hutan Naullie. Hampir tiap minggu saya ke sana dan saya telah
memasuki hutan itu hingga batas kerajaan ini."
Raja tertegun. "Percuma saja, Kakyu," kata Raja Alfonso setelah terdiam beberapa saat, "Aku
tetap tidak mengijinkanmu. Engkau tetap harus memegang jabatanmu itu. Engkau tahu
tidak mudah memilih penggantimu yang sebaik dirimu."
"Maafkan saya, Paduka."
"KAKYU!" seru Raja Alfonso kepada Kakyu yang berjalan ke pintu dengan
tenangnya, "Aku tidak mengijinkanmu meninggalkan Istana!"
Kakyu membalikkan badannya dan tersenyum. "Saya tahu Anda akan."
Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu. Ia ingin mencari kelemahan pemuda
itu di wajahnya tapi wajahnya tetap tampak tenang. Mata hijau pemuda itu balas
menatap tenang wajah Raja Alfonso.
Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pria muncul.
"Apa yang terjadi?"
Kakyu membalikkan badannya kepada pria itu.
Dengan tenang, ia menatap pria itu.
Kakyu belum pernah melihat pria itu sebelumnya dan ia tidak tertarik untuk tahu
siapa pria itu. Tapi ia bisa menduga pria itulah yang dilaporkan prajurit jaga
kepadanya. Prajurit penjaga gerbang pagi tadi melaporkan kedatangan seorang pria yang
mencurigakan di tengah malam buta. Pria itu memaksa masuk hingga terjadi
keributan di pintu gerbang yang akhirnya memancing perhatian Raja.
Baru ketika Raja Alfonso keluar, pria itu dapat memasuki Istana.
Kakyu kembali berjalan ke pintu dengan tenang.
"Hentikan dia!" seru Raja.
Pria yang masih berdiri di dekat pintu itu segera menarik tangan Kakyu dan
menggenggamnya erat-erat.
Sikapnya yang tiba-tiba itu membuat Kakyu terkejut. Kakyu tidak mengira pria itu
sesigap itu. Kakyu memandang wajah pria itu.
Pria itu membalas pandangan tajam yang dingin itu dengan pandangan curiga.
Dengan sekuat tenaganya, Kakyu menyentakkan tangannya. Ia berhasil tapi sebagai
akibatnya, topi yang selama ini menutupi rambut merahnya yang panjang, jatuh.
Secepat kilat, Kakyu menyambut jatuhnya topinya dengan kakinya. Kakyu tidak
ingin topinya terlanjur jatuh ke lantai yang nantinya akan memperlambat kepergiannya
dari Ruang Baca itu. Kekuatan kaki Kakyu melemparkan topi itu ke udara dan
tangannya yang gesit menangkapnya.
Kakyu telah mengenakan kembali topinya sebelum ada yang menyadari apa yang
terjadi. "Maafkan saya," kata Kakyu singkat dan secepat mungkin menuju pintu.
"Kakyu, tunggu!" Raja tiba-tiba berseru dengan nada yang sama sekali berbeda
dengan sebelumnya.
Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakyu kembali berhenti dan membalikkan badannya.
Keteguhan hati yang tetap terukir di wajah tenangnya, membuat Raja Alfonso
tersenyum mengalah, "Aku menyerah, Kakyu."
Seperti biasa, Kakyu tetap tenang.
"Aku tahu percuma menahanmu. Walaupun aku mengurungmu, aku yakin engkau
dapat meloloskan diri." Kata Raja Alfonso, "Aku mengijinkanmu pergi."
Kakyu curiga mendengar nada bicara Raja Alfonso. "Syaratnya?"
"Syarat?" tanya Raja kebingungan.
"Anda jangan membohongi saya, Paduka," kata Kakyu tenang, "Setiap kali Anda
memberi tugas maupun ijin kepada saya, selalu ada syaratnya."
Raja Alfonso tersenyum. "Engkau benar, Kakyu. Aku memang mempunyai
syaratnya. Tapi aku masih khawatir."
"Jangan khawatir, Paduka. Keamanan Istana telah saya serahkan pada Phil selama
saya pergi. Saya telah mengurusnya sebelum saya ke sini."
"Tampaknya engkau sangat yakin engkau akan pergi ke Naullie."
"Saya telah mengatakannya kepada Anda, Paduka," kata Kakyu mengingatkan,
"Apapun yang terjadi, saya harus pergi ke Naullie secepat mungkin. Paling lambat
esok pagi." "APA!?" seru Raja Alfonso kaget, "Apa yang kaupikirkan, Kakyu" Itu terlalu
cepat. Aku belum merundingkan berapa pasukan yang akan kukirimkan. Aku juga belum
menyiapkan perundingan itu."
"Saya telah memikirkannya juga, Paduka," kata Kakyu, "Anda tidak perlu
mengadakan perundingan hanya untuk menentukan pasukan yang akan dikirim,
saya telah menghitungnya."
"Kapan engkau mengetahui berita ini?" tanya Raja Alfonso curiga.
"Pagi ini," jawab Kakyu singkat.
Raja Alfonso curiga. "Benarkah itu" Kata-katamu itu seperti menunjukkan engkau
mengetahui segalanya tentang Kirshcaverish."
"Segalanya tidak, Paduka. Saya telah mengatakan kepada Anda, saya sering ke
Hutan Naullie sebelum ini dan saya tahu apa yang harus dilakukan dalam
menghadapi perang yang akan terjadi dalam waktu dekat ini."
"Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kakyu," kata Raja Alfonso, "Engkau
membuatku tidak dapat berhenti mengagumimu. Dalam waktu singkat engkau telah
menyelesaikan masalah yang takkan dapat kuselesaikan dalam sehari. Aku rasa
tidak ada salahnya aku menghadiahkan ijin ini atas kata-katamu panjangmu yang
untuk pertama kalinya."
"Terima kasih, Paduka," kata Kakyu sambil tersenyum, "Saya akan menemui Menteri
Keamanan untuk mengurus pasukan ini."
Raja Alfonso menatap Kakyu. "Mengapa engkau tetap bisa setenang ini, Kakyu"
Kalau aku adalah engkau pasti sudah sejak tadi aku larut dalam kemarahan."
Kakyu hanya mengangkat bahunya sebagai jawabannya.
"Sebelum aku lupa, Kakyu, aku akan memberitahumu syaratku," kata Raja Alfonso,
"Syaratnya adalah engkau harus membawa serta pemuda ini besok pagi."
"APA!?" seru pemuda itu kaget.
Pemuda itu menatap wajah Kakyu. Seperti Kakyu yang tidak mengenal pria itu, ia
juga tidak mengenali Kakyu.
Kakyu tidak terpengaruh suasana di Ruang Baca yang telah berubah itu. "Baik,
Paduka." "Jangan lupa membawanya, Kakyu."
Kakyu mengangguk. "Kakyu!" panggil Raja Alfonso pada Kakyu yang telah membuka pintu.
Kakyu memandang Raja Alfonso.
"Apa rencanamu?"
"Entahlah." "Lalu apa yang akan kaulakukan setibanya engkau di sana?" tanya Raja Alfonso
pula. Kakyu hanya tersenyum misterius sebagai jawabannya.
"Engkau kembali lagi," keluh Raja Alfonso, "Kurasa engkau memang tidak akan
pernah dapat berbicara panjang lebar. Kalaupun dapat, engkau tidak akan mau
lama-lama berbicara banyak."
"Permisi, Paduka."
"Kakyu!" panggil Raja lagi, "Engkau melupakan pedang tanda jabatanmu."
Kakyu hanya melihat pedang yang masih tergeletak di atas meja itu.
Raja Alfonso meraih pedang di hadapannya itu dan membawanya kepada Kakyu.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan sanggup menemukan Perwira Tinggi yang
setangguh engkau untuk menjadi Kepala Keamanan Istana. Walaupun engkau
berada di Naullie, engkau tetap Kepala Keamanan Istana ini."
Raja Alfonso menyerahkan pedang itu kepada Kakyu.
"Saya tidak dapat membawanya, Paduka," kata Kakyu, "Biarlah pedang ini tetap di
sini sebagai lambang di Istana ini tetap ada pasukan pengawalnya."
"Pasukan pengawal memang selalu ada di sini tapi Kepala Keamanan Istananya
akan pergi dan pedang sebagai lambang jabatanmu ini harus kaubawa kemanapun
engkau pergi." Akhirnya Kakyu menerimanya walau dengan ragu-ragu.
Raja Alfonso tersenyum. "Sampai kapanpun, engkau tetap Perwira terbaikku."
"Terima kasih, Paduka."
Kakyu mengundurkan diri dari Ruang Baca yang menjadi tempat kerja Raja Alfonso
selain Ruang Kerja. "Ini gila!" seru pemuda itu, "Bagaimana mungkin aku pergi dengan pemuda itu"
Bagaimana mungkin pemuda semuda itu menjabat sebagai Kepala Keamanan
Istana?" "Engkau tidak perlu heran. Ia memang tangguh dan aku tidak meragukannya lagi.
Engkau belum tahu apapun tentangnya."
"Tapi bagaimana mungkin aku pergi dengannya" Bagaimana mungkin pemuda itu
akan memimpin pasukan ke Naullie?"
"Ia pasti bisa melakukannya," kata Raja Alfonso, "Kalau tidak, tidak mungkin
semua Jenderal langsung setuju ketika aku menyarankan ia menggantikan Jenderal Erin
yang bertugas di Naullie."
"Kakyu..." gumam pemuda itu, "Nama yang aneh seperti orangnya."
"Aneh?" tanya Raja keheranan, "Apa yang aneh pada dirinya?"
"Entahlah, tapi rasanya ia tidak cocok menjadi Kepala Keamanan Istana."
"Jangan hanya melihat dari luarnya saja," Raja Alfonso memperingati, "Engkau
telah merasakan kekuatannya tadi."
Pemuda itu memandang tangan kirinya yang tadi digunakannya untuk memegang
Kakyu. "Ya, tidak kuduga ia sekuat itu," kata pria itu, "Tak kuduga ia akan
menyentakkan tanganku. Gara-gara dia aku hampir saja jatuh."
"Engkau telah melihatnya, bukan?"
"Tapi tetap saja ini ide gila. Aku tidak mungkin pergi dengannya. Apalagi akulah
yang akan dilindungi dia. Dia yang seperti adikku itu tidak mungkin
melindungiku. Justru akulah yang seharusnya melindunginya."
"Kalau begitu lindungi saja dia," kata Raja Alfonso santai.
"APA!?" seru pemuda itu kaget.
"Sudahlah, jangan terus menganggap ini ide gila," kata Raja Alfonso, "Kalau kau
tidak percaya, temuilah Eleanor atau gadis manapun di Istana ini. Aku yakin
mereka akan dengan senang hati menceritakan pemuda pujaan mereka."
"Itu lebih gila lagi," katanya, "Kesannya seperti aku cemburu padanya."
"Kalau begitu temui saja ibumu."
"Tapi..." "Sebaiknya engkau menirunya. Ia dengan cepat mengerti apa yang harus
dilakukannya," kata Raja Alfonso, "Engkau sebaiknya cepat menyadari saat ini
engkau harus mempersiapkan keberangkatanmu ke Naullie."
BAB 5 ?"Engkau gila, Kakyu!" kata Lishie sambil menahan suaranya tetap kecil.
"Engkau jadi pergi pagi ini?" tanya Vonnie.
Kakyu yang mengendap-endap menuju pintu, berhenti karenanya.
"Mengapa kalian semua bangun sepagi ini?" Kakyu balas bertanya.
"Bagaimana mungkin kami bisa tidur tenang setelah engkau mengatakan engkau
akan pergi ke Naullie juga?" kata Marie.
"Setelah Papa dan Joannie pergi, engkau juga akan pergi," kata Lishie, "Mama
pasti akan semakin kesepian. Mama pasti akan mencarimu dan ia pasti akan semakin
cemas setelah mengetahui kepergianmu ini."
"Aku tahu," kata Kakyu.
"Tapi itu berbahaya, Kakyu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"
"Itu adalah resikonya," jawab Kakyu tenang.
"Jangan tenang seperti itu, Kakyu!" seru Lishie.
"Jangan berisik!" sahut Marie, "Nanti Mama terbangun."
"Maaf," kata Lishie, "Apa engkau sudah gila, Kakyu" Engkau tahu bahayanya tapi
tetap pergi juga." "Aku tahu apa yang kulakukan ini."
"Ya, engkau selalu tahu," kata Vonnie kesal, "Lalu apa yang harus kita lakukan
kalau Mama bertanya tentangmu?"
"Katakan saja semuanya," jawab Kakyu tenang.
"Engkau ingin membuat Mama sedih?" tanya Lishie marah.
"Mama akan lebih sedih kalau tahu setelah terjadi sesuatu padaku," kata Kakyu.
"Kalau akan begini jadinya, seharusnya engkau juga memberitahu Mama juga tadi
malam." "Aku tidak ingin Mama mencegahku."
"Ya, engkau benar," kata Marie, "Mama pasti akan dapat mencegahmu sedangkan
kami tidak." "Percuma saja engkau membangunkan Mama sekarang, Marie," kata Kakyu, "Aku
hanya tinggal membuka pintu ini dan melarikan kudaku, maka aku akan tiba di
Naullie dalam waktu singkat."
"Engkau benar-benar gila, Kakyu," kata Lishie.
"Rumah ini akan semakin sepi setelah kepergianmu," kata Marie.
"Dengan diapun, rumah ini tetap sepi," sahut Vonnie.
"Panggil saja Joannie," usul Kakyu, "Dia sekarang ada di rumah Bibi Mandy,
bukan" Aku yakin ia mau kembali setelah sekian lama."
"Ya, kita panggil saja Joannie," kata Marie setuju, "Dulu dia pergi ke rumah
Bibi Mandy karena tidak ingin melihat Papa pergi. Sekarang Papa telah berada di sana,
ia pasti mau kembali."
Kakyu merasa urusan ini telah selesai.
"Aku pergi," katanya.
"Kakyu!" Lishie menarik tangan adiknya.
"Aku harus buru-buru, Lishie."
"Aku tahu," kata Lishie, "Tapi sebelum aku pergi, aku ingin memelukmu."
Kakyu belum sempat berkata apa-apa, Lishie sudah menarik tubuhnya.
"Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana," bisiknya.
"Engkau gila, Lishie," kata Kakyu.
Lishie hanya tersenyum nakal sebagai balasannya.
"Apa yang kaubisikkan padanya, Lishie?" tanya Vonnie ingin tahu.
"Kukatakan 'Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana'," jawab Lishie.
Ketiga gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.
"Kalian semua gila," kata Kakyu, "Akan kucarikan suami untuk kalian semua biar
kalian puas. Dan untuk Joannie akan kucarikan yang seperti Papa."
"Untukku yang kuat juga, Kakyu," pesan Marie, "Dan tampan."
"Ya, akan kucarikan," janji Kakyu, "Asal tidak ada yang mati."
Ketiga gadis itu kembali terdiam.
"Hati-hatilah, Kakyu," kata mereka sedih.
Kakyu diam saja melihat air mata ketiga kakaknya. "Aku pergi."
"Untuk dirimu sendiri, cari istri yang cantik," kata Lishie pada Kakyu yang
menghilang di balik pintu.
Kakyu tersenyum pada kakak-kakaknya sebelum ia menutup kembali pintu itu.
"Kakyu!" panggil mereka.
Kakyu yang memegang tali kendali kudanya membalikkan badannya pada
kakakkakaknya. "Aku harus pergi sekarang juga."
"Hati-hati, Kakyu," pesan mereka.
"Tentu," kata Kakyu.
"Jangan lupa pesan kami," Lishie mengingatkan.
"Aku bisa-bisa terlambat gara-gara kalian," keluh Kakyu.
Kakyu meletakkan tas bawaannya ke kudanya kemudian ia melompat ke atas
kudanya. "Selamat tinggal," kata Kakyu sambil melarikan kudanya.
"Katakan pada Papa, kami mencemaskannya."
Kakyu terlalu jauh untuk mendengar seruan itu.
Hawa pagi yang dingin menelan seruan mereka. Tapi tak sampai menelan semangat
Kakyu. Walau tahu waktu keberangkatannya ini lebih pagi satu jam lebih daripada
ayahnya, Kakyu tetap tidak mau mengulur waktu.
Ia yakin sejak tadi malam, pasukan yang dimintanya telah disiapkan di halaman
Istana dan tinggal menanti perintahnya.
Teringat keadaan di Naullie yang semakin bahaya setiap menitnya, Kakyu semakin
mempercepat laju kudanya. Ia tidak ingin membuang waktu terlalu lama.
Dalam waktu lebih singkat dari biasanya, Kakyu telah tiba di Istana Vezuza.
Penjaga gerbang segera membuka gerbang begitu melihatnya datang dengan
kudanya. "Selamat pagi, Perwira," sapa mereka.
"Selamat pagi," balas Kakyu, "Semua sudah siap?"
"Ya, mereka tinggal menanti perintah Anda."
"Bagaimana dengan pemuda yang kemarin bertengkar dengan kalian?" tanya Kakyu
lagi. "Ia belum muncul ketika kami memeriksa pasukan itu seperti permintaan Anda. Kami
rasa tak lama lagi ia akan muncul."
Kakyu mengangguk. "Buka pintu gerbang. Aku akan segera berangkat."
Keduanya segera melaksanakan perintah itu.
Kakyu turun dari kudanya dan menggiringnya ke halaman tempat para prajurit
menantinya. Pasukan itu masih berbaris rapi walau beberapa di antara mereka sudah
mengantuk. Masing-masing dari mereka telah memanggul tas ransel mereka tetapi
ada juga yang meletakkannya di dekat kakinya.
Mereka semua siap berangkat dengan senapan panjang di tangan mereka dan
pakaian seragam mereka yang hijau kebiru-biruan, bukan putih kebiru-biruan
seperti seragam pasukan Pengawal Istana Kakyu.
Semua pasukan itu didatangkan dari Angkatan Darat.
Seorang di antara mereka mendekat. "Pasukan telah siap, Perwira. Semua seperti
permintaan Anda. 500 pasukan kavaleri dan 1500 pasukan infanteri."
Kakyu mengangguk. "Menteri Keamanan menyuruh saya membantu Anda, Perwira," kata prajurit itu.
"Terima kasih," kata Kakyu, "Sekarang tolong kaupanggilkan pemimpin pasukan
pejalan kaki." "Baik, Perwira."
Tak lama kemudian prajurit yang berpangkat Kolonel itu datang dengan tiga Kapten
lainnya. "Kami siap membantu Anda, Perwira," kata mereka.
"Kalian masing-masing bawahi 500 pasukan pejalan kaki dan bawa mereka
meninggalkan Istana terlebih dulu. Nanti kami akan menyusul kalian."
"Baik, Perwira," sahut mereka serempak.
Ketiga Kapten itu pergi melaksanakan tugas yang diberikan Kakyu.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Perwira?" tanya Kolonel.
"Menunggu seseorang," jawab Kakyu singkat.
Kolonel itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan Kakyu, tapi ia tidak mencoba
menanyakannya. Ia tahu percuma bertanya banyak pada Kakyu. Perwira Muda itu
hanya akan menjawab singkat segala pertanyaannya.
Kolonel Abel mengawasi ketiga Kapten yang mengatur pasukan pejalan kaki
meninggalkan halaman Istana.
Sementara itu selain sibuk mengawasi pasukan yang meninggalkan Istana, Kakyu
sibuk dengan jalur yang akan dilaluinya sepanjang perjalanan nanti.
Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakyu tidak ingin membuang waktu terlalu lama di tempat ini tapi ia harus
menaati perintah Raja Alfonso untuk membawa serta pemuda yang kemarin.
"Kapan kita berangkat, Perwira?"
"Tunggu sebentar," kata Kakyu.
"Bagaimana kalau orang itu lupa?" Kolonel mulai khawatir.
"Tidak akan," kata Kakyu yakin.
Waktu saat ini memang belum menunjukkan pukul setengah empat pagi, waktu yang
dikatakan Kakyu pada pemuda itu.
Karena pasukan pejalan kaki lebih lambat daripada pasukan berkuda, Kakyu
sengaja melakukan ini semua.
Dengan berangkat setengah jam lebih dulu, pasukan pejalan kaki tidak akan
ketinggalan terlalu jauh dari pasukan berkuda yang akan menyusulnya.
Belum lama waktu berselang, Kolonel sudah semakin khawatir, "Perwira, mengapa
lama sekali?" "Sabar," kata Kakyu singkat, "Tunggu sampai pukul setengah empat."
"Setengah empat?" ulang Kolonel.
"Kita harus memberi kesempatan pada pasukan pejalan kaki untuk mencapai jarak
sejauh mungkin sehingga kita tidak perlu berjalan lambat untuk menyamai langkah
mereka," Kakyu memberi penjelasan.
"Saya mengerti," kata Kolonel setelah merenungkan kata-kata Kakyu.
Kakyu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan ia mengamati kertas itu.
Setelah mempelajari peta itu sekali lagi, Kakyu memanggil Kolonel Abel.
"Ada apa, Perwira?" tanyanya kebingungan bercampur harapan.
Dari nada suaranya, Kakyu tahu pria itu berharap akan disuruh memanggil pemuda
lainnya yang hingga kini masih belum muncul juga. Tapi bukan karena itu Kakyu
memanggilnya. "Aku harus menjelaskan rencana perjalanan ini kepadamu," kata Kakyu singkat.
Kakyu memperlihatkan peta yang telah berisi coretan-coretannya. "Garis ini
merupakan jalan yang akan kita lewati. Hingga di perbatasan Chiatchamo, kita
masih melewati jalur biasa, tetapi tidak setelah itu. Kita akan memutar
sedikit." "Bukankah itu akan memperlambat kedatangan kita, Perwira?"
Kakyu hanya tersenyum. "Karena itu aku memerintahkan pasukan pejalan kaki
berjalan terlebih dahulu," katanya.
"Anda tadi hanya memerintahkan kepada mereka untuk menanti di perbatasan
Chiatchamo. Bagaimana mereka dapat berjalan dahulu" Mereka bahkan tidak tahu
rute yang akan kita ambil."
Sekali lagi Kakyu hanya tersenyum simpul - hampir tak kentara mendengar
kebingungan Kolonel Abel.
"Untuk itulah aku memanggilmu."
Kolonel Abel semakin dibuat bingung karenanya. "Maksud Anda, Perwira?"
"Daripada engkau cemas di sini, lebih baik engkau menyusul pasukan infanteri dan
memimpin mereka melalui jalur dalam peta ini."
Kolonel Abel memperlajari peta itu sebelum pada akhirnya ia berkata, "Baik,
Perwira." Entah apa yang membuat Kolonel itu begitu bersemangat, Kakyu tidak tahu.
Ia hanya dapat menduga, Kolonel itu ingin mengikuti pertempuran yang sebenarnya.
Atau mungkin juga ia ingin bertemu saudaranya yang telah dikirim ke sana duluan.
Kakyu tidak mau memikirkannya dan ia tidak tertarik untuk melakukannya. Saat ini
yang menjadi pusat pikiran Kakyu hanya bagaimana mencapai Pegunungan Alpina
Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish.
Serta bagaimana menghadapi ketimpangan situasi ini tanpa membuat seorangpun
tahu rahasia yang disimpannya sejak pertama kali ia mengetahui perkemahan
mereka. Tak lama setelah menerima peta itu, Kolonel Abel segera melesat dengan kudanya.
Setelah kepergian Kolonel, Kakyu mempersiapkan pasukan kavaleri yang masih
berada di halaman Istana.
Ketika pada akhirnya dari dalam Istana muncul orang yang dinanti-nantikan Kakyu,
seluruh pasukan kavaleri telah siap berangkat.
"Ke mana pasukan lainnya, Kakyu?"
Kakyu yang tidak menduga Raja Alfonso akan mengantar kepergian pemuda itu,
dengan cepat menjawab, "Mereka telah berangkat, Paduka."
"Sepertinya aku sebaiknya tidak menahanmu lebih lama lagi di sini," kata Raja
Alfonso sambil mengawasi pasukan kavaleri yang sudah siap di punggung kuda
masing-masing. "Kalian telah siap berangkat," kata Raja Alfonso memberi pendapat. Kemudian pada
pemuda di sampingnya ia berkata, "Dan engkau juga harus segera bersiap-siap."
"Aku sudah siap," protes pemuda itu, "Aku hanya perlu menanti kudaku siap."
"Kuda Anda telah siap dari tadi," Kakyu memberitahu.
Dengan pandangan matanya, ia menunjukkan kuda coklat yang sejak tadi memang
telah menanti pemuda itu.
"Terima kasih," pemuda itu berkata sambil lalu.
"Kuserahkan keselamatannya padamu, Kakyu," kata Raja Alfonso.
"Saya mengerti, Paduka."
Seperti pemuda itu, Kakyu segera duduk di punggung kudanya.
Tanpa berkata apa-apa, ia berangkat diiringi pemuda itu serta pasukan yang telah
mendapat petunjuk darinya.
Mulanya kedua orang itu tidak berkata apa-apa.
Kakyu tidak terganggu oleh situasi itu. Sebaliknya ia merasa tenang dalam
pikirannya yang kacau balau.
Lain lagi halnya dengan pemuda yang berkuda di samping Kakyu. Ia merasa sangat
tidak nyaman didiamkan seperti ini hingga ingin rasanya ia segera melihat
pasukan lainnya dan berkumpul dengan para Perwira lainnya.
Tetapi anehnya mereka seperti tidak segera menyusul pasukan yang telah
berangkat walau mereka berjalan cukup cepat.
Pikiran itu membuatnya tidak tahan lagi untuk bertanya, "Mengapa kita tidak
melihat pasukan lainnya?" "Mereka telah jauh."
Jawaban singkat itu tidak memuaskan pemuda itu. "Apakah benar pasukan yang
pergi bersama kita bukan hanya ini saja?"
Kakyu mengangguk. Pemuda itu diam lagi. Ia tidak tahu bagaimana membuat suatu percakapan yang
tidak hanya menghasilkan jawaban singkat, pendek dan tenang lagi.
"Apakah engkau tidak tertarik untuk mengetahui siapa diriku?" pancingnya.
Sekali lagi Kakyu hanya menggerakkan kepalanya sebagai jawabannya.
"Tidak?" pemuda itu keheranan.
"Mengapa harus?" Kakyu balas bertanya.
"Karena kita akan bekerjasama sepanjang perjalanan menuju Hutan Naullie ini,
Kakyu," kata pemuda itu, "Benarkah itu namamu?"
Seperti telah mengetahui jawabannya, pemuda itu tidak menanti jawaban Kakyu. Ia
berkata, "Engkau dapat memanggilku Adna."
Kakyu tetap diam. Adna mulai jengkel. "Apakah engkau tidak dapat berbicara?"
Kakyu bukannya menjawab malah mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan
mempelajarinya. Adna masih belum mengenal Kakyu yang memang sukar diganggu ketenangannya
terutama bila ia sedang memikirkan suatu masalah dengan serius.
Merasa diacuhkan, Adna berdiam diri juga. Tapi hal itu tidak bertahan lama.
Ketika mereka akhirnya mencapai perbatasan Chiatchamo, Kakyu mengambil jalan
menuju Parcelytye. Prajurit lainnya yang telah mengetahui rencana Kakyu, tetap mengikuti pemuda
itu. Tapi tidak dengan Adna yang tidak tahu apa-apa.
"Engkau salah jalan," katanya memberitahu.
"Tidak," jawab Kakyu, "Jalan kita sudah benar."
"Benar apanya?" Adna menampakkan kejengkelan yang selama ini dipendamnya.
"Sudah jelas jalan yang kita lalui ini menuju ke Parcelytye bukan ke Pegunungan
Alpina Dinaria, tetapi engkau masih tenang-tenang saja. Sekarang saatnya engkau
menjelaskan semua ini padaku."
Perintah tegas itu tidak membuat ketenangan Kakyu buyar. "Ikuti saja," katanya
tenang. Mata Adna menyipit. Ia mencari-cari sesuatu di wajah tenang Kakyu.
"Percuma memang berbantah denganmu," keluhnya, "Mereka semua benar. Engkau
sangat misterius." Kakyu tidak menanggapi apa-apa.
Ia tetap diam ketika mereka akhirnya melihat pasukan infanteri di depan
kejauhan. Entah siapa yang mendahului, Kakyu tidak tahu dan ia tidak mau tahu. Tetapi yang
jelas, tiba-tiba saja pasukan infanteri yang mendengar derap kaki kuda dalam
jumlah banyak, berhenti. Sementara itu pasukan kavaleri mempercepat lajunya.
Kakyu tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan kelima ratus pasukan yang
dibawahinya melaju mendahuluinya hanya untuk menyusul kawan mereka.
Adnapun tidak mau ketinggalan. Ia tidak mau terlalu lama berada di dekat Kakyu
yang hanya dapat membuatnya merasa tidak enak. Adna ingin mencari Perwira lain
yang diyakininya tidak sedingin Kakyu.
Niat pertama Adna memang itu tetapi ketika melihat Kakyu tetap berjalan santai
walau telah ditinggal pasukannya, ia memilih menemani pemuda itu. Ia merasa
kasihan melihat pemuda yang dirasanya tak jauh lebih tua dari adiknya itu
sendirian. "Engkau tidak merasa kesepian ditinggalkan pasukanmu?" tanya Adna - kembali
berusaha membuka percakapan.
Tetapi jawaban yang didapatnya tidak memuaskannya. Kakyu hanya berkata
singkat, padat, jelas dan yang pasti tetap dengan ketenangannya. "Tidak,"
katanya. "Tidak dapatkah engkau berbicara lebih banyak?" tanya Adna kesal.
"Tergantung." "Tergantung bagaimana?" Adna tidak mengerti, "Sudah jelas dalam perjalanan
apalagi di Hutan Naullie nanti engkau tidak dapat bertenang-tenang seperti ini.
Tergatung apanya yang kaumaksudkan" Kalau tergantung keadaan seharusnya
engkau mengerti saat ini engkau harus berbicara panjang lebar. Entah menjelaskan
rencanamu yang aneh itu maupun dalam mengatur pasukan."
Dasar pemuda yang pendiam dan selalu tenang dalam dunianya sendiri, Kakyu
diam saja mendengar ceramah panjang lebar itu.
Keinginan Adna untuk menemani pemuda itu pun hilang karena sikap pemuda itu
yang tetap memilih berdiam diri daripada menjelaskan apapun.
Adna mendahului pemuda yang tetap berkuda santai.
Kakyu memang tidak peduli apakah saat ini ia sendirian atau tidak.
Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini. Bagaimana mencapai Pegunungan
Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish"
Kakyu sangat yakin setelah peperangan kecil yang sering terjadi di dalam Hutan
Naullie, Kirshcaverish akan mengirimkan sejumlah pasukannya untuk menghadang
bala bantuan yang akan dikirim dari pusat Kerajaan Aqnetta, Chiatchamo.
Lebih baik memutar jalan yang jelas akan menghabiskan waktu lebih lama dari yang
seharusnya daripada mengurangi jumlah pasukan yang ada.
Jumlah anggota Kirshcaverish dibandingkan pasukan Kerajaan Aqnetta yang telah
ada di Hutan Naullie maupun yang sedang dalam perjalanan ini, memang tidak ada
apa-apanya. Tetapi dengan jumlah Kirshcaverish yang lebih kecil daripada pasukan Kerajaan
Aqnetta, bukan berarti pasukan Kerajaan Aqnetta akan memenangkan pertempuran
ini. Bila Kirshcaverish memanfaatkan posisi mereka yang sangat menguntungkan, yaitu
di tengah Hutan Naullie yang sangat lebat, maka itu menjadi kelemahan terbesar
bagi pasukan Kerajaan Aqnetta.
Pasukan Kerajaan Aqnetta memang kuat tetapi tidak cukup kemampuan untuk
menghadapi Kirshcaverish. Mereka belum pernah berlatih di dalam hutan. Dan kini
tiba-tiba mereka harus menghadapi pertempuran yang sangat jelas medannya tidak
dikenal dan sangat rawan.
Kirshcaverish pasti mengetahui kelemahan ini dan memanfaatkannya untuk
menghancurkan pasukan Kerajaan Aqnetta. Kakyu yakin akan itu. Tapi Kakyu tidak
akan membiarkan hal itu terjadi.
Seperti pasukan Kerajaan Aqnetta yang tidak mengetahui letak markas mereka,
Kirshcaverishpun tidak tahu markas mereka telah diketahui keberadaannya oleh
Kakyu. Kakyu tidak yakin apakah kelompok itu tetap di tempat yang sama atau pindah.
Tapi Kakyu yakin mereka tidak akan pindah jauh. Kalaupun mereka pindah, mereka pasti
tetap mendirikan perkemahan di tepi sungai yang sama.
Bayangan peperangan yang semakin dekat tidak membuat Kakyu gentar. Bila Kakyu
tidak gentar harus memimpin sejumlah besar pasukan dalam usianya yang masih
muda ini, ia juga tidak akan gentar bila harus menghadapi peperangan itu.
Sejak dulu Kakyu tahu peperangan ini akan terjadi dan tidak akan ada yang dapat
menghentikannya. Peperangan ini harus terjadi untuk mempertahankan keutuhan dan keamanan
Kerajaan Aqnetta yang selama ini ada.
Tidak seperti pasukan lainnya, Kakyu telah mengetahui medan pertempuran yang
akan menjadi tempat pertempuran mereka bahkan mungkin menjadi tempat
kematian mereka. Bayangan kematian pun tidak membuat Kakyu takut.
Kakyu memilih maju ke garis depan daripada menjadi Kepala Keamanan Istana
bukan tanpa perhitungan. "Perwira!" Panggilan itu menghentikan pikiran Kakyu yang melayang-layang tanpa tujuan
pasti. Kolonel Abel mendekat dengan terburu-buru. "Perwira, apa yang harus kita
lakukan?" "Mengikuti rencana semula," jawab Kakyu.
"Saya mengerti, Perwira," kata Kolonel Abel, "Tapi apa yang harus kita lakukan
terhadap para prajurit itu. Mereka semua kebingungan. Banyak dari mereka yang
terus bertanya-tanya mengapa kita mengambil jalan ke Parcelytye ini bukan yang
langsung menuju Hutan Naullie."
"Kolonel," kata Kakyu, "Panggil semua Kapten."
Walau tidak mengerti maksud Kakyu, Kolonel Abel tetap berkata, "Baik, Perwira."
Kakyu tetap tidak berpindah dari tempatnya sampai Kolonel Abel datang dengan
tiga Kapten yang tadi pagi. Bersama mereka juga ikut Adna.
Kakyu yakin pemuda itu tidak akan mau disuruh pergi. Pemuda itu pasti ingin
mengetahui rencananya. Siapapun dia dan apa hubungannya dengan Raja Alfonso, Kakyu tidak tertarik untuk
mengetahuinya. Apapun yang akan dilakukan pemuda itu, selama tidak
mengacaukan rencananya, Kakyu tidak mau memikirkannya.
"Kita akan beristirahat sebentar di sini sementara aku menjelaskan rencanaku
pada kalian," kata Kakyu.
"Baik, Perwira."
Ketiga Kapten itu pergi lagi untuk mengatur pasukan mereka. Tak lama kemudian
mereka kembali lagi. Kakyu membawa mereka agak menjauhi kedua ribu pasukan yang sedang
beristirahat itu. "Kolonel, petanya?" kata Kakyu yang segera ditanggapi Kolonel Abel dengan
mengeluarkan secarik peta dari sakunya.
Kolonel Abel menyerahkan peta itu pada Kakyu yang segera membentangkannya
lebar-lebar di hadapan mereka.
"Kita akan mengikuti jalur seperti garis ini."
"Apa engkau sudah gila?" sahut Adna, "Perjalanan ini bukannya mempercepat
kedatangan bala bantuan ini malah akan memperlambatnya. Apakah engkau ingin
pasukan kita yang berada di Hutan Naullie hancur sebelum kita datang?"
Kakyu menatap tenang wajah pemuda itu. "Bila kita mengikuti jalur biasanya yang
lebih cepat, kita akan hancur terlebih dulu sebelum mencapai Farreway.
Kirshcaverish tidak akan membiarkan bala bantuan tiba di sana. Sementara itu
jalan yang akan kita lewati bila kita mengikuti jalur biasa, melalui tepi hutan itu."
"Bila Anda ingin kita mendapatkan serangan dari Kirshcaverish sebelum kita
mencapai perkemahan pasukan garis depan, lalui saja jalan yang biasanya," tambah
Kakyu dengan tenang. Kemudian Kakyu melanjutkan menjelaskan rencananya - tanpa menghiraukan Adna
yang masih tidak mengerti dengan sikapnya maupun rencananya.
Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita tidak akan melalui Parcelytye, tapi kita akan sedikit membelok ke timur di
dekat kota itu. Kemudian kita akan berjalan ke arah timur laut menuju Chnadya. Dari
sana, kita langsung bergerak ke arah barat langsung menuju Farreway."
"Perjalanan ini akan membutuhkan waktu yang lama Perwira," kata Kolonel Abel.
"Aku tahu dan aku telah memperhitungkannya," kata Kakyu, "Seperti tadi pagi,
pasukan infanteri akan berjalan terlebih dulu baru pasukan kavaleri mengikuti di
belakang. Dengan cara seperti ini, aku memperhitungkan kita akan tiba dalam
empat hari." "Apakah itu tidak terlalu lama, Perwira?" tanya Kapten Simpsons.
"Tidak." "Bagaimana kalau kekhawatiran Adna terbukti?" tanya Kapten Gwen.
"Tidak akan," Kakyu mulai bersikap misterius.
"Maksud Anda, Perwira?" tanya Kolonel Abel.
"Perhatian mereka saat ini terpusat pada kita," kata Kakyu - tetap berteka-teki.
"Ketika prajurit utusan dari Naullie itu datang, ia dalam keadaan yang terluka.
Menurut pengakuannya, beberapa orang yang pasti suruhan Kirshcaverish,
mencoba untuk menghentikannya. Kirshcaverish pasti akan segera memusatkan
perhatian mereka di sekitar Hutan Naullie, sepanjang perjalanan dari Chiatchamo
ke Farreway untuk menghentikan kita. Pasukan lainnya yang ada di Naullie tidak akan
mereka hiraukan. Mereka pasti tahu pasukan kita yang sudah ada di Naullie tidak
mampu lagi menahan serangan mereka. Karena itulah kita datang. Saat ini kita
yang mereka takuti, bukan pasukan yang ada di Naullie. Sampai kita datang nanti,
pasukan lainnya akan aman."
"Apakah pikiranmu sesempit itu?" Adna kembali menentang Kakyu, "Bagaimana
kalau mata-mata mereka tahu kita memutar?"
"Tidak akan," kata Kakyu tenang, "Rencana ini baru kupersiapkan kemarin malam.
Dan mata-mata mana yang akan mengintai pasukan yang ia yakini akan melalui
jalur biasanya" Kalaupun mereka tahu, mereka pasti tidak akan menghancurkan
pasukan di Naullie. Mereka pasti juga akan mengirim pasukan mereka menjemput
kita di Farreway sebelum kita memasuki kota itu."
"Kirshcaverish cukup pintar untuk mengetahui apa yang harus mereka lakukan.
Kirshcaverish tidak akan menghabiskan pasukan mereka walau yang mati hanya
satu orang demi menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti akan memilih
menghancurkan bala bantuan ini daripada menghabiskan pasukan di sana. Pasukan
di Naullie telah berada dalam tangan mereka dan sangat mudah mereka hancurkan
tetapi tidak demikian halnya dengan kita."
"Mengerti?" kata Kakyu tenang.
Kolonel Abel tersenyum. "Sangat mengerti, Perwira. Tak heran Raja Alfonso
mengagumi Anda." "Dengan kita memutar seperti ini, kita tidak hanya memberi kesempatan pada
pasukan di Naullie untuk memulihkan keadaan mereka tetapi juga membuat
peperangan berhenti untuk sementara waktu," kata Kapten Gwen.
"Sebaiknya kita tidak memperlambat lagi," kata Kapten Perrier, "Kita harus
segera berangkat agar segera sampai di Naullie."
"Perwira?" Kolonel Abel meminta persetujuan Kakyu atas rencana ketiga Kapten
itu. "Lakukan saja," kata Kakyu singkat.
Ketiga Kapten itu segera menuju pasukan mereka dan mulai mengatur pasukan itu.
"Bagaimana dengan pasukan yang kebingungan dengan rencana Anda ini,
Perwira?" kata Kolonel Abel.
"Sebaiknya mereka diberitahu juga tapi tidak keseluruhan."
"Baik, Perwira." Kolonel Abel juga segera meninggalkan tempat itu.
Sekarang tinggallah Kakyu dan Adna yang masih berada di tempat itu.
Adna tidak ingin meninggalkan Kakyu sendiri. Ia masih ingin memperjelas
semuanya. "Katakan kepadaku apa yang akan kaulakukan kalau semua pikiranmu
itu salah." "Kalau aku salah, maka aku bersalah juga pada pasukan yang ada di Naullie."
Ketenangan Adna membuat Kakyu tidak sabar untuk bertanya. "Apakah sikapmu
selalu tenang-tenang seperti ini?"
"Apakah itu salah?"
"Tidak," sahut Adna, "Hanya saja sikapmu itu sangat mengangguku. Aku tidak
pernah melihat seorang pemuda sediam dan setenang engkau. Engkau membuatku
ingin tahu apakah engkau akan tetap tenang bila ada meriam jatuh di sampingmu."
Kakyu hanya tersenyum. "Tidak ada yang menjadi masalah lagi, bukan?"
"Maksudmu?" "Mengenai rencanaku."
"Masih ada. Aku khawatir kalau dugaanmu itu salah."
"Jangan khawatir. Aku telah memperhitungkannya semalaman."
"Engkau sangat yakin sekali," komentar Adna.
"Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan melakukannya."
Kakyu meninggalkan pemuda itu.
Adna mengikuti pemuda itu. "Tak kuduga engkau ternyata bisa berbicara cukup
banyak juga." Kakyu yang telah kembali pada sikap tenangnya, hanya diam.
Diam-diam Adna mengagumi Kakyu. Ia merasa tidak salah kalau setiap gadis di
Kerajaan Aqnetta sering memuji pemuda itu.
Kecerdasan dan ketangguhan pemuda itu telah diakui Raja Alfonso tetapi ia masih
belum dapat sepenuhnya mengakui hal itu.
Ia masih merasa pemuda itu terlalu muda untuk memimpin pasukan sebanyak ini.
Kecerdasan pemuda itu memang patut diberi pujian tetapi pemuda itu terlalu yakin
dengan pikirannya. Kakyu terlalu yakin dengan pendiriannya sementara Adna khawatir keyakinan Kakyu
itu salah. Bila keyakinan itu salah, bisa jadi Kerajaan Aqnetta kehilangan JenderalJenderal terbaiknya yang dikirim ke sana untuk menanggulangi serangan Kirshcaverish.
Dari Kolonel Abel dan para Kapten itu, Adna tahu Kakyu sangat pendiam dan hanya
berbicara bila perlu saja. Selebihnya ia akan diam dan tampak dingin dalam
ketenangannya. Tapi itulah yang menyebabkan ia tampak semakin menarik.
Sikapnya yang dingin-dingin tenang kadang-kadang tampak misterius. Di balik
semua itu pemuda itu menyimpan keramahannya. Seperti ia menyimpan
ketangguhan dan kecerdasannya di balik tubuh mudanya.
Untuk sementara waktu ini, Adna merasa lebih baik membiarkan pemuda itu
menjalankan rencananya. Pikiran Kakyu memang tidak salah, tetapi pikiran Adna juga tidak salah.
Mana yang benar antara keduanya akan terbukti bila mereka telah tiba di Naullie.
Apakah pasukan Kerajaan Aqnetta di Naullie tetap utuh ataukah pasukan itu telah
habis ketika mereka tiba"
Saat ini tidak ada yang dapat menebaknya.
Kakyu yang sangat yakinpun tidak dapat menebaknya.
Pasukan kavaleri yang dibawahi Kakyu sendiri masih tetap tinggal di tempat itu
sampai satu jam lamanya. Ketika akhirnya Kakyu memerintahkan pasukan kavalerinya bersiap-siap, matahari
baru terbit. Pukul tujuh pagi Kakyu dan pasukannya baru meninggalkan tempat itu.
Pasukan kavaleri sudah tidak terlalu kebingungan lagi. Mereka telah mengetahui
rencana Kakyu dan mereka percaya seperti tadi, mereka juga akan bertemu
pasukan lainnya. Mereka terus berjalan seperti itu.
Setelah satu jam atau lebih pasukan pejalan kaki berjalan, pasukan kavaleri juga
berangkat dengan santai. Hingga mereka mendekati Chnadya, hubungan antara pasukan itu dengan Kakyu
semakin dekat. Pasukan itu mulai mengenal sifat Kakyu.
Ternyata tidak semua yang mengerti Kakyu. Masih ada yang tidak percaya apa yang
dikatakan semua orang mengenai diri Kakyu. Yang paling tampak jelas adalah
Adna. Adna tidak percaya Kakyu setenang itu.
Entah berapa kali ia menguji Kakyu. Segala macam usaha mulai dari berbicara
biasa sampai yang mengajak bertengkar dilakukannya untuk membuyarkan
ketenangan Kakyu. Tetapi Adna tidak tahu sejak kecil Kakyu telah dilatih untuk menjaga ketenangan
sikap maupun perasaannya.
"Sebaiknya engkau berhenti berusaha menganggu ketenangan Perwira," Abel
memberi nasehat. "Putri Eleanor yang cantikpun tidak dapat membuat ketenangan Perwira buyar
apalagi engkau," kata Perrier, "Perwira Kakyu terlalu tenang untuk diganggu
gadis manapun." "Tidak heran kalau ia tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik walau setiap
hari gadis-gadis di Istana Vezuza berusaha menganggunya. Mereka semua
diperlakukan Perwira Kakyu hanya sebatas kawan, tidak lebih. Bahkan kepada Putri
Eleanorpun sikapnya tetap sangat sopan," tambah Simpsons.
Walaupun telah mendapat nasehat itu, Adna tetap tidak berhenti berusaha
meruntuhkan ketenangan Kakyu.
Dari pagi sampai malam Adna terus berusaha meruntuhkan ketenangan Kakyu.
Kakyu sendiri tidak mempedulikannya. Ia hanya peduli pada perjalanan mereka
yang semakin mendekati Farreway.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Chnadya ternyata lebih singkat dari yang
diperhitungkan Kakyu. Kakyu tahu itu semua karena pasukannya yang tidak sabar ingin segera membanatu
kawan mereka. Di pagi hari mereka berangkat pukul empat bahkan kurang dari pukul empat pagi.
Mereka terus berjalan dan baru berhenti hanya bila kedua pasukan yang waktu
keberangkatannya berbeda itu bertemu.
Setelah berhenti satu jam atau lebih, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah langit gelap mereka baru berhenti untuk beristirahat.
Melihat semangat pasukannya, Kakyu yang telah menentukan tempat-tempat
mereka untuk beristirahat di malam hari, terpaksa mencari tempat baru yang
lapang untuk mendirikan tenda. Semakin mendekati Farreway, kedua ribu pasukan itu semakin tidak sabar
menghadapi pertempuran mereka walau mereka juga ngeri membayangkan
pertempuran yang akan terjadi.
Sebaliknya Kakyu tetap tampak tenang. Dan itu membuat Adna semakin heran.
Di saat pasukannya semakin tidak sabar sekaligus khawatir, Kakyu sebagai
pemimpinnya tetap tampak tenang.
Walaupun Kakyu ingin memberi contoh kepada pasukannya, tetapi sikapnya itu
tampak sangat tidak wajar di mata Adna.
Bagi orang yang belum pernah bertempur, pasti pertempuran yang pertama kalinya
akan membuatnya bersemangat sekaligus gugup.
Tapi Kakyu yang masih muda sama sekali tidak tampak gugup. Ia tetap tampak
tenang. Adna percaya pemuda itu juga tampak gugup tetapi ia tidak mau menunjukkannya.
Sama seperti dirinya yang juga tidak mau menunjukkan kekhawatirannya akan
keadaan di Naullie. Tak heran ketikat melihat Kakyu berjalan sendirian di lapangan tempat mereka
mendirikan tenda di sekitar Chnadya, Adna mengikuti pemuda itu.
Adna ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Tepatnya apa yang dilakukan
pemuda itu untuk mengatasi kegugupannya menghadapi perang pertamanya.
Melihat pemuda itu berdiri di bayang-bayang sebatang pohon besar sambil menatap
langit, Adna heran. Pemuda itu tampak tenang. Tidak tampak kegugupan di wajahnya. Matanya
menatap langit seolah-olah ia mengagumi bintang-bintang yang bertaburan di sana.
Kakyu segera berbalik ketika mendengar langkah-langkah yang mencurigakan.
"Jangan khawatir ini aku," kata Adna sambil mengangkat kedua tangannya.
Tanpa berkata apa-apa, Kakyu kembali melihat langit malam.
"Apakah ada yang kaupikirkan?" tanya Adna.
"Tidak." "Lalu mengapa engkau menatap langit seperti sedang berpikir?" kata Adna, "Apakah
engkau gugup seperti pasukan lainnya?"
Sekali lagi Kakyu membantah Adna.
"Lalu mengapa engkau di sini?"
"Tidak ada apa-apa," kata Kakyu tenang.
"Apakah engkau selalu setenang ini?" tanya Adna, "Engkau tidak jauh lebih tua
dari adikku dan aku sangat yakin ini pertempuran pertamamu. Walaupun Raja sering
mengujimu tetapi tetap saja engkau masih muda. Kalau adikku yang berada dalam
situasi ini, ia pasti sudah akan gugup bahkan ketakutan."
"Percaya atau tidak, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan diriku."
"Lalu mengapa engkau di sini?"
"Aku sudah mengatakannya."
"Apakah engkau tidak mengkhawatirkan keselamatanmu?"
"Aku lebih mengkhawatirkan keselamatan yang lain."
"Bagaimana dengan ayahmu" Apa yang akan terjadi pada keluarga Quentynna bila
engkau sebagai satu-satunya anak laki-laki mereka, meninggal?" pancing Adna,
"Engkau tahu engkau satu-satunya penerus ayahmu."
Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kakyu.
Kediaman itu membuat Adna menduga ia telah berhasil meruntuhkan ketenangan
Kakyu walau hanya sedikit.
"Apakah ada alasan lain?" tanya Adna senang.
"Sebaiknya engkau pergi tidur."
Mata Adna menyipit karenanya. "Engkau mengusirku?"
Kakyu diam saja. "Kalau engkau ingin mengusirku, engkau harus berpikir dua kali," Adna
memperingatkan, "Tidak mudah menyuruhku."
"Engkau tahu besok kita akan berangkat pagi-pagi. Dan bila aku tidak salah
menghitung, kita akan tiba di Farreway pada sore hari."
"Jangan menasehati orang lain sebelum engkau melakukannya."
Tanpa berkata apa-apa, Kakyu meninggalkan pohon itu beserta Adna.
Adna segera menyusul Kakyu.
"Engkau marah padaku?" tanyanya sambil menarik lengan Kakyu.
Seperti dulu, Kakyu menyentakkan tangannya dari pegangan Adna.
"Tidak," katanya tenang.
"Sikapmu persis seperti adikku kalau ia sedang marah," Adna memberitahu.
"Aku harus kembali ke tendaku," kata Kakyu.
"Mungkin sebaiknya begitu," kata Adna.
Tanpa banyak bicara lagi, Kakyu meninggalkan Adna menuju tendanya.
Paginya Kakyu mengubah sedikit rencananya. Mereka tetap berangkat pagi seperti
biasanya, tetapi kali ini pasukan infanteri dan pasukan kavaleri berjalan
bersama. Seperti perhitungan Kakyu, mereka tiba di Farreway pada sore hari.
Dengan sedikit khawatir dan senang, pasukan itu semakin mempercepat jalan
mereka menuju Hutan Naullie.
Kakyu yang memimpin di depan bersama Kolonel Abel dan Kapten lainnya, juga
mempercepat jalan mereka.
Ketika tenda-tenda pasukan Kerajaan Aqnetta mulai terlihat di kejauhan, Kakyu
mendengar para prajurit di belakangnya bersorak senang.
Adna merasa setiap pasukan senang telah berhasil mencapai Hutan Naullie dengan
selamat. Ia sendiri juga merasa sangat senang. Tak heran kalau ia merasa heran
melihat Kakyu tetap tampak tenang.
"Jangan kebingungan seperti itu," kata Kapten Gwen, "Semua orang mengatakan
Perwira Kakyu tidak mudah terbawa suasana."
Adna menghiraukan perkataan itu dan terus melihat wajah tenang Kakyu walau
mereka semakin mendekati perkemahan.
BAB 6 "Bala bantuan tiba!" seru prajurit yang menjaga di puncak menara pengintai,
"Bala bantuan tiba!" Seruan itu membangkitkan semangat para prajurit yang semakin hari semakin
merasa kewalahan menghadapi pemberontak dalam Hutan Naullie.
Beberapa prajurit segera membuka gerbang kayu yang melindungi perkemahan
mereka dari serangan Kirshcaverish.
Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat pasukan yang datang dalam jumlah banyak itu, mereka bersorak senang.
Seruan itu membuat para Jenderal yang sibuk berunding, meninggalkan tenda
tempat mereka berunding. "Apa yang terjadi?" tanya Jenderal Decker pada seorang prajurit.
"Bala bantuan telah tiba, Jenderal," jawab prajurit itu.
"Akhirnya mereka datang juga," kata Jenderal Erin.
"Di mana mereka?" tanya Jenderal Decker.
"Mereka masih dalam perjalanan, Jenderal," kata prajurit itu, "Tak lama lagi
mereka akan tiba." "Buka pintu gerbang," Jenderal Erin memberi perintah, "Aku ingin menyambut
mereka." Seperti para prajurit lainnya, para Jenderal yang sangat mengharapkan kedatangan
bala bantuan itu sangat senang.
Mereka bergegas menuju pintu gerbang yang telah terbuka dari tadi dan ikut
menyaksikan bala bantuan itu mendekat.
Semakin mereka mendekat, jumlah mereka semakin terlihat.
Para Jenderal itu senang sekaligus terkejut melihat jumlah pasukan yang datang
itu. "Banyak sekali!"
Komentar itu terdengar dari antara kerumunan para prajurit yang ikut menyambut
datangnya bala bantuan itu.
"Mereka datang dalam jumlah banyak!"
Komentar itu juga terdengar.
"Kita tidak akan kalah lagi!"
Keyakinan itupun terdengar di antara pasukan yang semakin bersorak senang.
Sorak sorai itu bersaing dengan suara derap kaki kuda pasukan kavaleri yang
dibawa Kakyu. Pasukan kavaleri yang muncul kemudian itu membuat para prajurit itu semakin
bersorak sorai. Rupanya dari tadi yang terlihat hanya pasukan infanteri yang
berjalan di depan pasukan kavaleri.
"Mereka membawa pasukan kavaleri!"
Seruan itu menggema di antara pasukan yang seakan-akan ingin memberi tahu
setiap pasukan di sana yang tidak dapat melihat kedatangan teman mereka.
Prajurit yang menjaga menara pengintai berseru - memberi tahu kawan-kawannya
yang tidak dapat melihat jelas kedatangan bala bantuan itu, "Mereka datang dalam
jumlah banyak! Mereka membawa banyak pasukan pejalan kaki dan sejumlah
pasukan berkuda." Jenderal Tertinggi Decker, terkejut melihat jumlah bala bantuan yang datang itu.
"Siapakah yang mengusulkan pasukan sebanyak itu?" tanyanya ingin tahu.
"Aku tidak tahu," kata Jenderal Erin, "Tapi orang itu pasti telah mengetahui
kesulitan kita." "Apakah jumlah mereka tidak terlalu banyak?" tanya Pangeran Reinald.
"Saya rasa tidak, Pangeran," kata Jenderal Erin, "Anda telah melihat sendiri
pasukan yang kita bawa dengan mudah dihancurkan oleh Kirshcaverish."
"Sampai sekarang aku ingin tahu berapakah jumlah mereka. Mereka dengan mudah
menyerang kita walau jumlah pasukan kita cukup banyak."
"Lihat saja keadaan kita sekarang," kata Jenderal Decker, "Pasukan yang dibawa
Erin dulu ditambah pasukan yang kubawa, seluruhnya kurang lebih 600 orang. Tapi
kini yang masih hidup tidak lebih dari 150 orang. Aku yakin jumlah mereka sangat
banyak, Reyn." Bala bantuan itu semakin dekat.
Ketika melihat seseorang yang pakaian seragamnya lain dari pasukan lainnya,
mereka tidak merasa heran. Seperti para prajurit, perhatian para Jenderal itu
tidak tertuju pada pemimpin pasukan itu tetapi pada pasukannya.
Tak heran kalau mereka sangat terkejut ketika melihat Kakyu mendekat.
"KAKYU!" seru Jenderal Reyn."Mengapa ia yang datang?"
Begitu mereka mendekat, Kakyu segera turun dari kudanya diikuti Kolonel Abel.
Yang lain juga tidak mau tinggal diam.
"Mengapa engkau datang?" tanya Jenderal Reyn.
"Bagaimana dengan Istana Vezuza?" tanya Jenderal Erin pula. "Bagaimana dengan
Paduka?" "Keamanan Istana saat ini bukan terancam dari sana tetapi dari sini," jawab
Kakyu tenang, "Aku telah menyelesaikan semuanya sebelum aku berangkat ke sini. Walau
aku tidak ada di sana, keamanan Istana akan tetap terjaga."
"Lalu siapa yang mengusulkan engkau ke sini?" tanya Jenderal Reyn.
"Tidak ada," jawab Kakyu singkat.
"Raja menyetujui?" tanya Jenderal Decker tak percaya.
"Kalau beliau tidak menyetujui, ia takkan membiarkanku membawa kedua ribu
pasukannya." "Dua ribu?" seru kaget Jenderal Decker.
"Apa yang engkau pikirkan, Kakyu?" tanya Jenderal Reyn, "Engkau datang ke sini
meninggalkan tugasmu. Kemudian engkau merampok pasukan Kerajaan Aqnetta."
"Aku tahu apa yang kulakukan, Papa," kata Kakyu, "Aku telah memikirkan
semuanya." "Sudahlah, Reyn," kata Jenderal Erin, "Biarkan saja dia. Raja Alfonso tidak akan
mengirimnya ke sini kalau ia tidak mempercayainya."
"Erin benar, Reyn," Jenderal Decker turut membujuk kawannya, "Raja sangat
mengagumi putramu. Ia pasti tidak akan merelakan kepergiannya ke sini kecuali
ada alasan kuat yang mendukungnya."
"Engkau dan Joannie sama saja," kata Jenderal Reyn, "Kalian memang anakanakku
yang paling bandel yang tidak pernah mendengarkan kata-kataku."
"Joannie?" ulang Kakyu tidak mengerti.
Jenderal Reyn sangat menyayangi putri tertuanya itu dan sangat memanjakannya.
Joannie juga sangat mencintai ayahnya dan selalu menuruti segala kata-katanya.
Kakyu tidak mengerti mengapa ayahnya mengatakan kakaknya itu nakal.
"Engkau tidak tahu, Kakyu?" tanya Jenderal Decker, "Kakakmu itu ada di sini?"
Karena terkejutnya, Kakyu terdiam.
Kakyu tidak menduga kakaknya yang mengatakan ingin ke rumah Bibi Mandy di
Hymman, berada di sini. Kakyu tidak tahu bagaimana kakaknya bisa berada di sini.
Tetapi Kakyu yakin kakaknya telah berada di sini sebelum ayah mereka tahu.
Kakyu tidak tahu apa yang akan terjadi ibu mereka bila ia mengetahui Joannie
berada di medan pertempuran ini sejak dulu.
Tiba-tiba saja Kakyu teringat, kakak-kakaknya yang lain berniat menjemput
Joannie di Hymman. Kakyu yakin mereka pasti telah mengetahui kalau Joannie tidak ada di
Hymman. Bila kakak-kakaknya tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan, tentu mereka tidak
akan memberitahu ibu mereka kalau Joannie tidak ada di rumah Bibi Mandy.
"Besok, engkau dan Joannie harus kembali ke Chiatchamo," kata Jenderal Reyn.
"Tidak, Papa," bantah Kakyu.
"Engkau telah melaksanakan tugasmu, Kakyu," kata Jenderal Reyn, "Dan engkau
tidak boleh melalaikan tugasmu di Chiatchamo."
"Aku akan sangat melalaikan tugasku kalau aku tidak membantu kalian di sini,"
kata Kakyu tenang, "Aku tahu kelemahan kalian dan aku tidak dapat membiarkannya
terus menerus seperti ini. Kalian membutuhkan orang yang mengenal persis Hutan
Naullie." Tanpa memberi kesempatan pada ayahnya untuk mengulangi perintahnya, Kakyu
berkata, "Kirshcaverish yang ada di dalam Hutan Naullie sangat mengetahui medan ini
sedangkan kalian tidak mengetahuinya. Bagi mereka hal ini adalah kekuatan mereka
sedangkan bagi kita ini adalah kelemahan terbesar kita. Berapapun pasukan yang
dikirim, tidak akan dapat menghancurkan Kirshcaverish kalau tidak ada yang tahu
bagaimana menguasai hutan lebat ini."
Mereka terdiam mendengar kenyataan yang diucapkan Kakyu itu.
"Kakyu benar, Reyn," kata Jenderal Decker, "Kita memang membutuhkan orang
yang tahu bagaimana keadaan Hutan Naullie."
Menyadari Kakyu maupun Jenderal Decker benar, Jenderal Reyn hanya berkata,
"Terserah padamu, Kakyu. Aku tahu percuma melarangmu."
Sebagai jawabannya, Kakyu tersenyum.
"Sekarang kita harus memikirkan di mana akan kita tempatkan pasukan yang
kaubawa ini," kata Jenderal Erin.
"Jangan khawatir, saya telah memikirkannya," kata Kakyu, "Kami akan mendirikan
perkemahan sendiri tepat di samping perkemahan kalian."
Tanpa diperintah, Kolonel Abel segera memerintahkan pasukan mendirikan tenda
dibantu ketiga Kapten. "Saya harus mengatur pasukan," Kakyu mengundurkan diri.
Prajurit yang lain membantu kawan mereka mendirikan tenda mereka.
Dengan kesigapannya, Kakyu memberikan perintah-perintahnya.
Melihat kesigapan Kakyu dalam mengatur pasukannya, Jenderal Decker berkata,
"Sepertinya ia dapat mengatur mereka. Sebaiknya kita pergi saja, masih ada yang
harus kita lakukan."
"Ya, ia tidak membutuhkan bantuan kita," Jenderal Erin setuju.
Lain halnya dengan Jenderal Reyn yang masih ragu pada putranya yang harus
mengatur 2000 orang ditambah pasukan yang telah ada.
Tapi melihat Kakyu yang sama sekali tidak kesulitan mengatur pasukan yang
banyak itu, Jenderal Reyn akhirnya mengikuti Jenderal lainnya yang telah
memasuki perkemahan. Semua begitu sibuknya hingga tak memperhatikan Adna yang menarik Pangeran
Reinald ke tempat yang sepi.
"Maafkan saya, Pangeran. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain mengaku
sebagai diri Anda. Ketika saya tiba, mereka semua segera menyambut saya sebagai
Anda. Saya sudah berusaha menjelaskan, tetapi mereka terlalu sibuk. Ketika kami
di sinipun, kami terlalu sibuk memikirkan Kirshcaverish sehingga saya tidak sempat
menjelaskan semuanya pada mereka." Pemuda itu terdiam beberapa saat.
"Walau sebenarnya saya juga punya alasan lain," tambahnya dengan nada
bersalah. "Lupakan dulu masalah ini," kata Pangeran Reinald, "Sebaknya keadaan kita tetap
seperti ini." "Maksud Anda, Pangeran?" tanya Adna tidak mengerti.
"Biarkan mereka tetap mengenalku sebagai engkau dan engkau sebagai aku,"
Pangeran Reinald memberi penjelasan.
"Saya mengerti akan hal itu, Pangeran. Yang saya ingin ketahui adalah untuk apa
semua ini." "Kau tahu Perwira Muda yang menjadi Kepala Keamanan Istana?"
"Maksud Anda Perwira Tinggi yang termuda itu?"
"Benar," sahut Pangeran Reinald.
"Saya pernah mendengarnya beberapa kali. Para prajurit sering membicarakannya
bahkan sampai berandai-andai bila ia ada di sini."
"Bagaimana menurutmu tentang dia?"
"Ia memang setangguh yang mereka bicarakan, Pangeran. Tidak mudah bagi
seorang yang belum berpengalaman seperti dia memimpin 2000 pasukan sendirian
apalagi ia masih sangat muda."
"Justru itulah yang kupermasalahkan," kata Pangeran Reinald, "Aku tidak percaya
ayahku mengangkatnya sebagai Kepala Keamanan Istana."
"Itu tidak aneh, Pangeran," Adna membela Kakyu, "Kata Jenderal Decker, pemuda
itulah yang mengetahui keberadaan pemberontak ini. Ia mengetahuinya ketika ia
mengikuti Putri dan Paduka ke hutan ini untuk berburu. Jenderal Decker juga
mengatakan ia berhasil menangkap dua orang anggota pemberontak itu. Ia juga
berhasil menyelamatkan sebuah keluarga dari kekejian pemberontak itu."
Pangeran Reinald masih tidak menyetujui sikap Raja Alfonso, "Tetapi mengapa
sampai harus mengangkat pemuda seaneh itu menjadi Kepala Keamanan Istana?"
Adna tidak mengerti apa yang dikatakan Pangeran. "Aneh?"
"Ia sangat tenang dan sangat pendiam. Aku yakin ia tak jauh lebih tua dari
Eleanor tapi ia bisa setenang itu. Ia sama sekali tidak tampak gugup atau apapun ketika
kami semakin mendekati tempat ini. Ia terlalu tenang untuk ukuran pemuda semuda
dirinya." "Lady Joannie mengatakan Kakyu memang selalu tenang seperti itu," kata Adna,
"Katanya, Kakyu telah dilatih dengan sangat keras oleh teman ayahnya."
"Joannie?" "Ia putri Jenderal Reyn yang sekarang berada di sini," kata Adna.
Perubahan suara itu membuat Pangeran Reinald tertarik untuk mengetahui lebih
jauh, "Ia pasti sangat cantik."
"Ia tidak hanya cantik, Pangeran. Ia juga pemberani," kata Adna, "Saya belum
pernah menjumpai wanita yang seberani dia walau melihat peperangan di
depannya." "Ia pasti tampak tenang seperti adiknya."
"Tidak, Pangeran," bantah Adna, "Ia tidak mau disuruh diam sehingga membuat
Jenderal Reyn kewalahan. Lady Joannie selalu ingin membantu ayahnya. Karena itu
Jenderal Reyn terpaksa memerintahkan beberapa pasukan mengawalnya dengan
ketat dan tidak mengijinkannya meninggalkan tendanya."
"Pantas saja aku tidak melihatnya," kata Pangeran Reinald.
"Karena itu engkau tidak mengatakan yang sebenarnya pada mereka?" selidik
Pangeran Reinald. "Maafkan saya, Pangeran," Adna merasa bersalah, "Saya tahu saya tidak boleh
melakukannya tetapi saya tidak dapat melawan keinginan saya untuk membuatnya
kagum." "Tidak apa-apa, Adna," kata Pangeran Reinald, "Sementara waktu ini biarkan
keadaan ini tetap seperti ini."
"Tetapi ..." Pangeran Reinald memberikan alasannya. "Aku ingin menyelidiki Kakyu."
"Mengapa?" "Jangan khawatir," hibur Pangeran Reinald, "Aku hanya ingin tahu mengapa adik
wanita yang kaucintai itu menjadi Kepala Keamanan Istana."
"Apakah itu aneh, Pangeran?" kata Adna, "Menurut saya hal itu sama sekali tidak
aneh. Kakyu memang tangguh dan harus diakui ia cukup mampu memimpin
pasukan Istana." "Aku tahu ia memang mempunyai kemampuan itu, Adna. Tapi apakah engkau tidak
dapat merasakannya, Adna?" kata Pangeran Reinald heran.
"Merasakan apa, Pangeran?"
"Entahlah. Tapi aku merasa pemuda itu tidak cocok menjadi Perwira apalagi Kepala
Kemanan Istana." "Karena ia masih muda?" selidik Adna.
"Ya," Pangeran Reinald membenarkan.
"Walaupun masih muda, ia sangat cerdas. Ia tidak pernah gentar walaupun Raja
Alfonso juga Putri sering mengujinya dengan tugas yang aneh-aneh bahkan di luar
bayangan kita. Tetapi Perwira selalu mengerjakannya dengan baik."
Pangeran Reinald tidak mengerti. "Tugas aneh apalagi yang kaumaksudkan?"
"Tugas yang tidak mungkin dilakukan orang lain, Pangeran," jelas Adna, "Kata
mereka, sebelum Perwira Muda itu menjadi pengawal pribadi Putri Eleanor, Raja
menyuruhnya mencuri mahkota kerajaannya."
Pangeran terkejut mendengarnya. "APA!?"
"Tentu saja tidak semudah itu, Pangeran," kata Adna, "Paduka menyuruh pemuda
itu memasuki Istana yang belum pernah dimasukinya di malam hari. Kemudian
Paduka menantikan kedatangannya dengan strategi perang."
"Dan Kakyu berhasil mencurinya," tebak Pangeran Reinald.
"Benar, Pangeran," kata Adna, "Tidak seorangpun dari mereka yang menduga
Kakyu akan menyusup ke dalam Istana melalui atap."
"Ini benar-benar gila," kata Pangeran Reinald, "Setelah itu apalagi yang
dilakukan ayahku sampai menyuruhnya yang lebih pantas menjadi adikku, untuk mengawalku
ke sini?" "Banyak sekali, Pangeran," kata Adna, "Paduka juga pernah menyuruh pemuda itu
menembus strategi perangnya di kawasan pelatihan pasukan Kerajaan Aqnetta."
"Sudahlah," kata Pangeran Reinald pada akhirnya, "Jangan membicarakan Kakyu
lagi. Sampai aku melihat sendiri ketangguhannya yang dibicarakan orang itu, aku
tidak akan percaya ia mampu menjadi Kepala Keamanan Istana."
"Baik, Pangeran," kata Adna sambil tersenyum dalam hati. Adna tahu ia takkan
dapat menghilangkan kecurigaan itu. Pangeran sendiri yang dapat
menghilangkannya.
Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan padaku keadaan di sini akhir-akhir ini?"
"Peperangan kecil yang biasanya selalu terjadi setiap hari, akhir-akhir tidak
ada lagi. Kami memanfaatkan kesempatan itu untuk memulihkan keadaan perkemahan ini,"
kata Adna melaporkan, "Perwira Kakyu benar. Keadaan kita tidak menguntungkan.
Jenderal Erin yang sejak tahun lalu diperintahkan Paduka untuk mengawasi
keadaan di sini, sampai sekarang tidak berhasil mengetahui dengan pasti letak
pemberontak itu." "Aku yakin merekalah yang berusaha mencegah kepulanganku."
"Saya juga yakin akan hal itu, Pangeran. Apalagi kalau mengingat mereka telah
lama berada di Hutan Naullie."
Pangeran Reinald terdiam.
Adna bertanya ragu-ragu, "Pangeran, apakah tidak sebaiknya kita mengatakan
kebenaran ini pada mereka?"
"Sebaiknya tidak, Adna," jawab Pangeran Reinald, "Dan engkau jangan sekali-kali
mengatakan apapun pada wanita yang kaucintai itu tentang hal ini."
"Tentu, Pangeran. Saya tidak akan berani melanggar perintah Anda."
"Memang sebaiknya begitu, Adna," kata Pangeran Reinald, "Engkau tahu
bagaimana aku kalau marah."
Adna tersenyum. "Tentu, Pangeran. Selama mengikuti Anda ke Inggris, saya tidak
mungkin tidak mengenal watak Anda."
"Engkau memang sahabat dan pengawalku yang paling baik dan paling kupercaya,"
kata Pangeran Reinald, "Sampai aku yakin pada Kakyu, aku tidak ingin siapapun
tahu Pangeran yang sebenarnya adalah aku."
"Apakah Anda tidak merasa lebih mudah menyelidiki pemuda itu kalau Anda sebagai
Pangeran bukan sebagai diri saya?"
"Engkau sendiri yang mengatakan pemuda itu sangat sopan," kata Pangeran
Reinald, "Dapatkah kaubayangkan sikapnya kalau aku berbicara padanya sebagai
Pangeran" Sebagai dirimu saja, aku sudah kesulitan membuatnya berbicara
banyak, apalagi sebagai Pangeran yang pasti akan dihormatinya. Lebih mudah
menyelidiki Kakyu bila aku tetap mengaku bernama Adna daripada menjadi diriku
yang sebenarnya." "Terserah Anda, Pangeran," kata Adna - berhenti membujuk, "Saya yakin Anda
terlalu keras kepala untuk saya bujuk."
Pangeran Reinald tersenyum senang.
"Sebaiknya aku membantu Kakyu."
"Bukankah Anda ingin mengujinya, Pangeran?" goda Adna.
"Engkau sudah gila rupanya, Adna," kata Pangeran Reinald kesal, "Ia tak jauh
lebih tua dari Eleanor dan ia pasti tidak akan dapat mengatur pasukan sebanyak itu
sendirian. Aku yang lebih pantas menjadi kakaknya ini seharusnya membantunya."
"Anda melakukannya demi Putri Eleanor?" pancing Adna.
"Demi adikku?" tanya Pangeran Reinald tak mengerti, "Untuk apa" Aku
melakukannya karena aku merasa ia patut dibantu."
"Anda belum tahu, Pangeran?" tanya Adna, "Adik Anda menyukai Kakyu."
"Eleanor mencintai Kakyu?" tanya Pangeran Reinald tak percaya.
"Benar, Pangeran," kata Adna, "Lady Joannie menceritakan banyak hal tentang
pemuda itu kepada saya."
"Apalagi yang dikatakannya tentang Kakyu?"
"Mengapa Anda berbicara seperti cemburu padanya, Pangeran?" kata Adna
menggoda Pangeran Reinald yang sangat akrab dengannya, "Anda cemburu
padanya?" "Aku cemburu padanya?" tanya Pangeran Reinald tak mempercayai
pendengarannya. "Jangan konyol seperti ayahku, Adna," kata Pangeran Reinald, "Bagaimana mungkin
aku cemburu pada pemuda itu" Lagipula untuk apa aku cemburu padanya."
"Jangan khawatir, Pangeran," hibur Adna, "Anda pasti akan terkenal di kalangan
gadis-gadis seperti Perwira Kakyu setelah masyarakat tahu Anda telah pulang."
"Aku bisa gila kalau aku terus mendengar celotehmu, Adna," kata Pangeran
Reinald, "Sebaiknya aku cepat-cepat menjauhimu yang sedang dimabuk cinta."
Giliran Adna yang dibuat kesal. "Pangeran!"
"Sampaikan salamku pada wanita yang kaucintai itu."
Adna palsu alias Pangeran Reinald asli segera mendekati Kakyu yang masih sibuk
mengatur pasukan yang mulai mendirikan tenda.
Beberapa tenda telah berdiri di samping perkemahan yang ada.
"Tampaknya perkemahan baru ini akan segera selesai," kata Adna.
Kakyu terlalu sibuk untuk memperhatikan ucapan pemuda itu.
Kertas yang dibawa Kakyu menarik perhatian Adna. Adna melihat gambar sketsa
yang rapi. "Rupanya engkau telah mempersiapkan perkemahan ini juga," katanya.
"Maaf," kata Kakyu, "Dapatkah engkau agak menepi?"
Walau tidak mengerti keinginan Kakyu, Adna tetap berkata, "Tentu."
Adna terdiam ketika beberapa prajurit menancapkan tiang penyangga tenda yang
besar tepat di tempat ia berdiri semula.
"Tiang penyangga telah siap, Perwira," Kolonel Abel melaporkan.
"Dirikan tenda besar di sini," kata Kakyu sambil menunjuk gambar di tangannya,
"Di sekitar sini kita akan mendirikan beberapa tenda besar juga. Kemudian kita akan
mendirikan tenda-tenda kecil di sekeliling tenda besar ini."
"Baik, Perwira."
Kolonel Abel segera melaksanakan perintah Kakyu.
Melihat kecerdasan Kakyu mengatur pasukannya, Adna mau tidak mau merasa
kagum juga pada Kakyu. Kakyu membagi dua ribu pasukan lebih itu menjadi beberapa kelompok yang
memiliki tugas masing-masing.
Setiap kelompok mendirikan tenda seperti yang diminta Kakyu.
Sesekali pemimpin kelompok mereka mendatangi Kakyu untuk melaporkan kerja
mereka dan meminta petunjuk dari Kakyu.
Kakyu dengan sabar terpaksa harus mengulangi beberapa kali sketsa yang telah
dipersiapkannya. Dengan sabar ia mengatur pasukan yang kadang bandel itu.
Sesekali Kakyu juga tampak akan ikut dalam pendirian tenda, tetapi pasukan yang
lain melarangnya. Adna yang memang berniat membantu Kakyu, meminta pemuda itu menjelaskan
rencana perkemahannya padanya. Kemudian ia membantu Kakyu.
Karena jumlah mereka yang banyak juga karena kerja sama mereka, seluruh
perkemahan baru itu hampir selesai sebelum hari menjelang tengah malam.
Kegelapan malam tidak membuat mereka menghentikan pekerjaan mereka.
Semua ingin segera merampungkan perkemahan baru mereka dan bersiap-siap
menghadapi serangan Kirshcaverish yang bisa datang sewaktu-waktu.
Adna mengakui Kakyu bukan pemuda yang ceroboh.
Tidak semua pasukan diperintahkannya mendirikan tenda.
Dari keseluruh pasukan yang dibagi dalam 20 kelompok kecil itu, lima kelompok di
antaranya diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sekitar Hutan Naullie.
Dua atau tiga jam sekali Kakyu memerintahkan lima kelompok lainnya menggantikan
lima kelompok yang berjaga-jaga itu.
Adna sempat memprotes strategi Kakyu itu. "Apa yang kaulakukan, Kakyu" Engkau
ingin kita hancur sebelum perkemahan ini berdiri" Bagaimana mungkin engkau
memerintahkan pasukan yang telah lelah mendirikan tenda menggantikan pasukan
yang berjaga-jaga?" "Mereka tidak akan menyerang kita untuk sementara waktu ini," jawab Kakyu
tenang, "Saat ini mereka tentu memusatkan perhatian mereka pada rencana baru
mereka. Dengan pergiliran seperti ini, pasukan kita tidak akan terlalu lelah.
Mereka akan beristirahat sambil berjaga-jaga."
"Engkau sangat yakin sekali, Kakyu," kata Adna.
"Apakah yang akan kaulakukan bila rencana semulamu gagal, Adna?" tanya Kakyu
kemudian pemuda itu kembali memusatkan perhatiannya pada pasukan yang masih
mendirikan tenda. Adna mengerti apa yang dimaksud Kakyu.
Kirshcaverish tentu sekarang mempersiapkan strategi baru setelah mengetahui
strategi mereka gagal. Lima kelompok yang keseluruhannya kurang lebih berjumlah 500 orang itu,
berjagajaga sambil memulihkan tenaga mereka. Mereka di sana seakan-akan untuk
menakut-nakuti Kirshcaverish.
Jenderal Decker yang tahu pendirian perkemahan itu tidak berhenti walau hari
telah gelap, tidak berusaha menghentikan pemuda itu.
Jenderal Decker percaya Kakyu tahu apa yang dilakukannya.
Sebenarnya sebelum pukul sepuluh malam itu, seluruh tenda telah berdiri. Namun
mereka terus melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka mendirikan dinding kayu di
sekitar perkemahan baru mereka.
Inilah pekerjaan yang membutuhkan waktu lama.
Mereka harus menebang pohon sebelum menancapkannya di sekitar perkemahan
mereka. Walaupun jumlah mereka cukup banyak, pekerjaan itu membutuhkan waktu yang
lama. Selain harus menebang kayu itu, mereka juga harus menggotongnya ke
perkemahan. Ide membatasi perkemahan mereka dengan hutan ini bukan dari Kakyu.
Dalam rencana perkemahan Kakyu, tidak ada dinding pembatas yang akan
didirikannya. Para Jenderal itulah yang menyuruh Kakyu mendirikan dinding pembatas yang juga
akan melindungi perkemahan mereka.
Untung saja tempat itu sangat luas.
Walau di perkemahan baru itu berdiri lebih dari empat tenda besar yang masih
dikelilingi tenda-tenda kecil, pinggir hutan itu masih tampak luas.
Tenda-tenda besar itu akan digunakan Kakyu sebagai tempat tidur sejumlah besar
pasukan agar tidak terlalu banyak tenda yang berdiri.
Pasukan lainnya akan menempati tenda-tenda kecil.
Lewat tengah malam, perkemahan baru selesai dibangun.
Melihat perkemahan baru mereka telah selesai, mereka sangat senang dan puas
dengan hasil jerih payah mereka.
Dengan berdirinya perkemahan baru yang lebih besar di samping perkemahan lama,
pasukan dari perkemahan lama pindah ke perkemahan baru.
Karenanya, Kakyu yang semua merencanakan menempati tenda di antara
pasukannya, terpaksa pindah ke perkemahan lama.
Entah siapa yang mula-mula mengusulkan hal ini. Semua terjadi begitu saja.
Pasukan menempati perkemahan baru yang lebih besar dan para pemimpin mereka
menempati perkemahan lama.
Tidak seorangpun yang menganggap hal itu sebagai usaha pemecahan hubungan
antara pasukan dengan pimpinan.
Semua pasukan yang kelelahan itu segera terlelap dalam tenda masing-masing.
Hanya pasukan yang bertugas menjaga saja yang tidak tidur.
Kakyu segera membawa barangnya ke tenda yang diperuntukkan baginya setelah
mengurus tugas akhirnya. Baru saja Kakyu selesai menata barangnya ketika seseorang memasuki tendanya.
"Kakyu." Kakyu menatap kakaknya, "Mengapa engkau di sini, Joannie?"
"Aku ingin meminta bantuanmu."
"Bukan itu yang ingin kuketahui, Joannie," kata Kakyu, "Aku ingin tahu mengapa
engkau berada di sini, di tempat ini bukannya di Hymman?"
"Engkau tahu aku tidak dapat meninggalkan Papa. Aku tidak tega melihat Papa
pergi medan pertempuran sendirian," kata Joannie.
"Tapi engkau membuat Papa khawatir, Joannie," kata Kakyu, "Mama juga akan
khawatir kalau ia tahu engkau ada di sini."
"Lalu apakah Mama tahu engkau ada di sini?"
"Ketika aku pergi, Mama tidak tahu," kata Kakyu tenang.
"Kalau begitu kita sama, Kakyu."
"Tidak, Joannie," kata Kakyu, "Kita tidak sama. Engkau pamit kepada Mama akan ke
Hymman sedangkan aku pamit hanya kepada Vonnie, Marie dan Lishie."
"Mengapa engkau seperti Papa, Kakyu?" Joannie merujuk, "Kalian semua
mengatakan aku tidak seharusnya berada di sini."
"Memang seharusnya seperti itu."
"Engkau juga seharusnya tidak, Kakyu," kata Joannie, "Kita sama-sama..."
"Tidak, Joannie," Kakyu cepat-cepat memotong perkataan kakaknya, "Kita berbeda.
Aku dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini sedangkan engkau tidak."
"Aku tahu. Tapi aku yakin aku bisa membantu."
"Engkau akan sangat membantu kalau engkau menuruti Papa."
Joannie terdiam. "Apa yang dapat kulakukan, Kakyu" Aku tidak dapat membiarkan
Papa pergi ke sini sendirian. Kini aku juga tidak dapat merepotkan kalian
lagipula aku tidak ingin pulang."
"Aku tahu." "Tidak. Engkau tidak tahu, Kakyu," bantah Joannie.
Kakyu mengacuhkan kakaknya.
"Aku menemukannya, Kakyu," kata Joannie tiba-tiba.
"Siapa?" tanya Kakyu tak mengerti.
"Tentu saja orang yang sekuat Papa," kata Joannie senang.
Kakyu tak percaya. Joannie tersenyum senang. "Aku telah menemukannya dan aku tidak akan mau
meninggalkan tempat ini sebelum aku berkenalan dengannya."
"Bagaimana engkau bisa berbicara dengannya kalau Papa mengurungmu di
tendamu?" "Karena itu engkau harus membantuku, Kakyu," kata Joannie, "Aku tidak dapat
meninggalkan tendaku kalau tidak diam-diam seperti ini."
"Apa yang dapat kulakukan, Joannie" Menjadi perantaramu?" kata Kakyu, "Aku tidak
bisa, Joannie. Engkau tahu aku juga akan sangat sibuk."
Joannie tertunduk sedih. Tapi semangatnya segera bangkit kembali ketika ia
menemukan ide. "Engkau dapat membuat Papa tidak mengurungku."
"Aku tidak yakin akan bisa melakukannya, Joannie."
"Engkau bisa menjadi pengawalku. Aku yakin Papa akan setuju."
"Aku tidak yakin tetapi akan kucoba," kata Kakyu.
Joannie tersenyum senang.
"Sebaiknya engkau tidur, Joannie," kata Kakyu.
"Engkau juga, Kakyu. Engkau lebih membutuhkan banyak istirahat dibandingkan
aku." Joannie meninggalkan tenda Kakyu dengan pesan, "Tidurlah yang nyenyak."
Pesan itu tidak berhasil membawa Kakyu ke alam mimpi yang nyenyak seperti yang
diharapkan Joannie. Suara-suara dari Hutan Naullie membuat Kakyu selalu terjaga.
Suasana di luar yang selalu membuat Kakyu merasa cemas, membuat pemuda itu
memikirkan keinginan kakak tertuanya.
Entah siapa yang menjadi pria pilihan kakaknya itu, tapi Kakyu tidak tahu apakah
besok ayahnya akan menyetujui permintaannya.
Meminta membiarkan Joannie keluar dari tendanya dengan jaminan ia yang akan
menjaganya, tidak akan semudah yang dibayangkan.
Jenderal Reyn pasti akan berpikir berulang kali sebelum memutuskan putranya yang
paling dibanggakan dan diandalkannya, mengawal kakaknya.
Kakyu tahu saat ini ia lebih dibutuhkan dalam perlawanan terhadap Kirshcaverish
daripada menjadi pengawal Joannie.
Tapi kalau Kakyu tidak mau mencobanya berarti ia telah membuat kakaknya sedih
bahkan kecewa terhadapnya.
Seluruh keluarga Quentynna tahu sejak dulu Joannie selalu mencari pria yang kuat
seperti Jenderal Reyn tetapi ia tidak pernah menemukannya. Karena itu pula ia
tidak mau mendekati pria manapun yang tidak sesuai dengan pilihan hatinya. Kini ia
menemukannya. Sungguh kejam bila Kakyu tidak mau membantu kakaknya mewujudkan
khayalannya sejak kecil. Tapi... Kalaupun Jenderal Reyn mengabulkan permintaan itu, Kakyu tidak dapat
membiarkan dirinya tidak melibatkan diri dalam penumpasan Kirshcaverish ini. Ia
datang ke tempat ini bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk membantu
ayahnya, untuk membantu mengatasi kelemahan pasukan Kerajaan Aqnetta yang
menjadi kekuatan utama Kirshcaverish.
Itulah kesulitan Kakyu. Setelah lama berpikir, Kakyu mendapatkan cara mengatasi semua ini.
Kakyu akan tetap membantu Joannie. Setelah keduanya akrab, Kakyu akan mulai
melibatkan diri dalam penumpasan ini. Kakyu berharap setelah dekat dengan pria
idamannya, Joannie tidak akan merepotkannya lagi.
Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pria itu pasti mau menggantikan dirinya menjadi pengawal Kakyu.
Tiba-tiba Kakyu teringat sesuatu yang sangat penting sebelum ia menjalankan
rencananya itu. Siapa pria yang menjadi pilihan Joannie itu"
Kakyu tidak yakin kakaknya belum tidur saat ini. Saat ini sudah hampir pukul
setengah dua. Tetapi Kakyu tidak dapat menunda hal ini. Pertanyaan sederhana ini
sangat penting sebelum rencana itu dijalankan.
Bila pria itu seorang prajurit biasa, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi
bagaimana kalau ternyata pria itu seorang Kapten bahkan mungkin saja pria itu
Jenderal. Pentingnya pertanyaan sederhana ini, membuat Kakyu meninggalkan tendanya.
Untung saja Joannie masih belum tidur saat Kakyu menyelinap ke dalam tendanya.
Joannie terkejut ketika melihat adiknya itu masuk diam-diam.
Kakyu cepat-cepat menutup mulut Joannie sebelum kakaknya mengeluarkan suara
apapun. "Ini aku, Joannie," bisiknya.
"Oh, engkau Kakyu," kata Joannie lega, "Kukira siapa."
Kakyu ingin membuat kakaknya pulih dari kagetnya sebelum ia memberikan
pertanyaan yang pasti akan membuat kakaknya itu memerah. "Engkau mengira aku
salah seorang anggota Kirshcaverish?"
Joannie membenarkan pertanyaan itu.
"Jangan khawatir," Kakyu menenangkan, "Mereka tidak akan kemari dalam
beberapa hari ini. Saat ini mereka pasti sibuk menyusun rencana baru untuk
menghadapi kita." Joannie terdiam. Tiba-tiba ia berkata, "Mengapa engkau ke sini, Kakyu?"
Kakyu merasa ini saatnya. "Siapa pria itu?" tanya Kakyu langsung ke pokok
permasalahan. "Pria mana?" tanya Joannie tidak mengerti.
Tanpa mengulur waktu lagi, Kakyu segera berkata, "Yang kaucintai."
Seperti dugaan Kakyu, wajah Joannie memerah.
Tenda yang remang-remang itu tidak membuat Kakyu tidak dapat melihat
perubahan wajah kakaknya.
Dulu Kenichi juga telah mengajarinya untuk melihat ke dalam kegelapan.
"Siapa?" desak Kakyu.
"Ia mungkin tidak pantas denganku, Kakyu," Joannie berkata perlahan dan
raguragu. Kakyu tidak tertarik untuk mengetahui hal itu. Ia hanya ingin tahu siapa pria
itu, tidak lebih. "Dia...," Joannie berkata tersipu-sipu, "Dia Pangeran Reinald."
Kakyu terperanjat. "Pangeran Reinald" Bukankah ia seharusnya berada di Inggris?"
"Ia ada di sini, Kakyu," kata Joannie meyakinkan, "Sungguh."
Kakyu diam saja. BAB 7 Sekarang semua sudah jelas. Rencana Kakyu itu tidak dapat dilaksanakan.
Kakyu harus membuat rencana baru.
Rencana yang bertujuan sama. Membantu Joannie tanpa membuat dirinya
meninggalkan tujuannya datang ke Pegunungan Alpina Dinaria ini.
Semua telah jelas bagi Kakyu malam itu.
Joannie menceritakan semuanya dari awal keberangkatannya hingga ia berada di
tempat ini. Pada malam Joannie mengajukan keinginannya untuk ke rumah Bibi Lishie di
Hymman kepada keluarganya itu, Joannie memang meminta langsung diantar
malam itu juga. Seluruh keluarga Quentynna malam itu tidak ada yang melarang.
Semua tahu Joannie tidak dapat dihentikan apalagi bila keinginannya itu
menyangkut Jenderal Reyn. Tidak seorangpun yang menduga malam itu Joannie
tidak pergi ke Hymman seperti yang seharusnya.
Joannie menyuruh kusir kereta keluarga mereka menghentikan kereta di sebuah
penginapan. Kepadanya, Joannie beralasan ia ingin bermalam di sana. Kemudian ia
menyuruh kusir kuda itu pulang.
Tanpa mencurigai apapun, kusir kuda itu kembali ke Quentynna House malam itu
juga. Tidak ada yang menyangka bila keesokan paginya, Joannie menyelinap ke dalam
kereta yang khusus mengangkut barang-barang keperluan mereka selama berada di
Naullie. Baru ketika mereka membongkar muatan di tepi Hutan Naullie itulah, Joannie
ketahuan. Jenderal Reyn tentu saja sangat marah dan terkejut saat itu. Jenderal Reyn yang
biasanya selalu sabar terhadap putra-putrinya terutama Joannie itu hingga
memarahi putri kesayangannya itu.
"Apa yang kaulakukan di sini?" kata Jenderal Reyn waktu itu, "Apakah engkau
sudah gila?" Kata-kata kasar yang tidak pernah diucapkan Jenderal Reyn sebelumnya itu hampir
saja membuat Joannie menangis. Tapi Joannie tahu ayahnya benar, ia seharusnya
tidak boleh berada di sini.
Tetapi Joannie tetap memaksa dirinya berada di tempat ini tak lain karena
ayahnya. Cinta Joannie kepada Jenderal Reyn sangat besar hingga gadis itu tidak tega
membiarkan ayahnya berperang sendirian. Walaupun banyak Jenderal yang
mendampingi ayahnya, Joannie tetap ingin mendampingi ayahnya.
Joannie yang merasa bersalah tidak dapat berkata apa-apa karenanya.
Jenderal Reyn sangat marah hingga tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Joannie terus menunduk bersalah di hadapan ayahnya tanpa mengatakan apa-apa
seolah-olah menantikan hukuman.
Untung saja Pangeran Reinald meredakan kemarahan itu dan mengijinkan Joannie
tetap di sana. Bila tidak mungkin Jenderal Reyn akan terus marah hingga saat
ini. Melihat Kakyu datang dengan pasukan bala bantuan saja, Jenderal Reyn yang tidak
ingin anaknya maju ke medan pertempuran yang berbahaya ini, sangat marah.
Apalagi kalau kemarahan yang dulu belum dipadamkan.
Mungkin karena bantuan itulah, Joannie menganggap pria itu mirip ayahnya.
Joannie menyukai pria yang baik hati itu.
Tetapi apa yang dapat dilakukan Joannie"
Sejak saat itu ia memang boleh tetap berada di Naullie tetapi ia tidak boleh
meninggalkan tendanya apalagi menemui ayahnya yang jelas semakin sibuk tiap
harinya. Pertempuran yang kadang terjadi di dekat perkemahan mereka, memang membuat
Joannie takut. Tetapi Joannie telah berjanji kepada dirinya sendiri untuk
membantu ayahnya dan ia ingin menunjukkan kepada Pangeran kalau ia bukan wanita lemah.
Tetapi betapapun Joannie ingin membantu, Jenderal Reyn dan semua orang di sana
tetap menganggapnya lemah.
Hanya Pangeran Reinald saja yang menghargai keinginannya untuk membantu itu.
Walaupun Pangeran Reinald tidak pernah mengatakannya secara langsung,
Joannie dapat merasakannya. Dan itu tentu saja membuat Joannie merasa senang.
Joannie sering melihat kepiawaian Pangeran ketika memimpin pasukan. Dan
Joannie semakin menganggap Pangeran gagah seperti ayahnya.
Dari Joannie juga, Kakyu tahu Pangeran Reinald baru tiba ketika pasukan yang
dipimpin Jenderal Decker, Jenderal Reyn dan beberapa Jenderal lainnya akan
berangkat. Joannie tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan Pangeran dengan para
Jenderal itu tetapi Joannie tahu Pangeran Reinald segera bergabung dengan
pasukan itu. Dan sejak saat itu pula Pangeran Reinald berada di Naullie untuk
membantu menumpas Kirshcaverish.
Kenyataan yang dihadapi ini membuat Kakyu benar-benar pusing.
Belum lagi tuntas masalah Kirshcaverish, sekarang Kakyu dihadapkan pada
masalah kakaknya lagi. Kakyu tidak tahu harus berbuat apa.
Hingga hari menjelang pagi, Kakyu masih tidak tahu harus berbuat apa untuk
'membebaskan' Joannie dari tendanya.
Kalau kakak-kakak Kakyu yang lain, pasti tahu bagaimana melakukannya. Mereka
pandai membujuk Jenderal Reyn, tetapi Kakyu tidak.
Kakyu lain dari mereka. Kakak-kakak Kakyu sangat dimanja ayahnya terutama Joannie. Sedangkan Kakyu
sebagai satu-satunya harapan dalam keluarga Quentynna, sejak kecil telah
diajarkan hidup mandiri. Berusaha dengan kekuatannya sendiri.
Sekarang tidak ada Vonnie, Marie maupun Lishie yang dapat membantu Kakyu
'membebaskan' Joannie dari tendanya yang dijaga ketat.
Semalaman tidak tidur, tidak membuat Kakyu lelah.
Udara pagi yang masih segar membuat Kakyu melupakan sedikit masalah pelik
yang dihadapinya. Kakyu memanfaatkan udara yang membuat hati sejuk itu untuk mengosongkan
pikirannya. Kenichi pernah berkata, "Kosongkan pikiranmu dan bersatulah dengan alam. Maka
engkau akan mengerti apa yang harus kaulakukan."
Dan itulah yang akan dilakukan Kakyu.
Pagi yang masih remang-remang ditambah udara sejuk yang menyejukkan hati,
mendukung Kakyu. Sekarang yang diperlukan Kakyu hanyalah mencari tempat yang sesuai untuk
melakukan kegiatannya itu.
Kalau dulu Kakyu pasti akan memilih Hutan Naullie yang sepi dan dekat alam,
sebagai tempat berlatihnya. Tetapi sekarang hutan itu sudah tidak aman lagi.
Maka Kakyu harus mencari tempat baru.
Kakyu melihat menara pengintai yang menjulang di sudut-sudut perkemahan
mereka. Tempat itu cukup sepi dan cukup dekat dengan alam terutama angin.
Kakyu menuju salah satu menara yang letaknya paling dekat dengan Hutan Naullie.
"Beristirahatlah," kata Kakyu pada prajurit yang menjaga menara itu.
Perintah pendek itu segera dilaksanakan oleh prajurit itu.
Setelah kepergian satu-satunya prajurit yang menjaga menara pengintai itu, Kakyu
mengamati sekitarnya sebelum ia duduk bersila di lantai menara tinggi itu dan ia
memejamkan matanya. Kesunyian pagi ditambah angin pagi yang dingin, membuat Kakyu benar-benar
merasakan kedamaian di dalam hatinya. Segala macam pikiran yang semula
berbaur jadi satu dalam benaknya, seolah-olah hilang semuanya.
Namun sayangnya ketenangan yang didapat Kakyu itu tidak dapat bertahan lama.
Kakyu memang dapat mengatasi suara pagi yang mulai muncul di perkemahan,
tetapi ia tidak dapat mengatasi panggilan seseorang yang sangat jelas di
telinganya itu. Panggilan itu mau tidak mau membuat Kakyu terpaksa menghentikan tapanya.
Kakyu hanya berdiri kembali tanpa menyahut orang yang memanggilnya itu walau ia
tahu pemuda itu sejak tadi berdiri di dekatnya.
"Kukira engkau sudah mati," kata Adna, "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Tidak ada." "Itukah caramu menjaga ketenanganmu?" tanya Adna ingin tahu.
Kakyu mengacuhkan pertanyaan itu dengan mengamati Hutan Naullie yang mulai
tampak terang oleh sinar matahari yang muncul di langit seberangnya.
Tiba-tiba Kakyu teringat cerita Joannie yang lain.
Ketika pergi ke Inggris, Pangeran Reinald tidak sendirian. Raja memerintahkan
seorang pengawal yang lebih tua beberapa tahun dari Pangeran, untuk menemani
Pangeran di negeri perantauan.
Ketika berangkat, mereka pergi bersama. Tetapi ketika kembali, mereka terpisah.
Karena apa, Joannie tidak tahu jelas. Ia hanya tahu keduanya terpisah dan
Pangeran Reinald tiba lebih dulu sebelum pengawalnya itu.
Joannie juga menjelaskan pengawal Pangeran Reinald itu bernama Adna.
Kakyu sangat yakin pemuda yang Paduka jadikan syaratnya itu adalah pengawal
Pangeran Reinald. Dan tentu saja tugasnya kali ini selain mengawal Pangeran, ia
juga harus membantu Pangeran.
Pikiran itu membuat Kakyu mendapatkan sebuah akal.
Mungkin Kakyu memang tidak dapat memperkenalkan Pangeran Reinald kepada
Joannie secara langsung. Tetapi ia bisa membantu Joannie untuk semakin
mengenal pemuda pujaan hatinya itu.
Tentu saja Kakyu tidak bertanya langsung pada Pangeran. Kakyu akan
menanyakannya pada Adna. Kalau dalam keadaan biasa Kakyu mungkin tidak mau berbicara banyak, tetapi kali
ini keadaannya lain. Demi kakaknya, Joannie, Kakyu harus mau membuka mulutnya dan melakukan apa
yang selama ini paling diengganinya.
"Jadi, engkau pengawal Pangeran," Kakyu membuka percakapan.
Adna palsu itu pura-pura terkejut. "Dari mana engkau tahu?"
Kakyu tidak mau mengatakan yang sebenarnya, maka ia berkata, "Di sini banyak
telinga dan banyak mulut."
"Ya," Adna menyetujui, "Di mana-mana selalu ada yang namanya gosip."
Walaupun tahu kebenarannya, Kakyu tetap berkata, "Engkau tidak membantahnya?"
"Untuk apa membantahnya kalau itu memang benar?" Adna balik bertanya.
Karena memang tidak tahu yang manakah Pangeran Reinald itu, Kakyu bertanya,
"Seperti apakah Pangeran?"
Adna heran mendengarnya. "Engkau tidak mengenalnya?"
Kakyu mulai jengkel pada Adna yang seperti ingin mengajaknya berbicara panjang
lebar tanpa langsung menuju pokok permasalahan. "Kalau aku tahu, aku tidak akan
bertanya." "Bagaimana mungkin engkau menjadi Kepala Keamanan Istana tanpa mengetahui
Para Ksatria Penjaga Majapahit 22 Gento Guyon 16 Mbah Pete Sebilah Pedang Mustika 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama