Ceritasilat Novel Online

Kisah Cinta 1

Kisah Cinta Karya Sherls Astrella Bagian 1


Kisah Cinta Chapter 1 "Ya, Norbert, aku mengerti."
Sarita meremas lembut tangan keriput Duke tua yang berbaring lemah
itu. Matanya menatap sendu Duke yang mulai uzur oleh usia sementara
itu otaknya terus berputar dengan sedih. Sarita tidak tahu apa yang
harus dikatakannya pada Duke of Cookelt. Ia tidak ingin menyakitinya.
Semua ini berawal dari kejadian beberapa minggu lalu sebelum Duke
jatuh sakit. Tepatnya ketika sang Putra Mahkota Kerjaan Helsnivia
berlibur ke Trottanilla. Helsnivia memang hanya sebuah kerajaan kecil yang dikelilingi
pegunungan dan diapit Negara-negara besar seperti Perancis dan Jerman.
Namun kekayaan alam kerajaan itu serta kedudukan sang Putra Mahkota
yang menjanjikan, lebih dari cukup untuk membuat para bangsawan
berebut menjodohkan putri mereka dengan sang Putra Mahkota yang
tampan dan gagah perkasa itu, termasuk keluarga Riddick.
Jauh sebelum sang Putra mahkota tiba, para ibu sibuk mendandani putri
mereka dan para ayah mulai mengatur pertemuan dengan sang putra
tunggal keluarga Severinghaus itu.
Duke Cookelt pun tidak ketinggalan.
Sejak mendengar rencana berlibur Pangeran Halbert, tiada hari dilalui
Duke tanpa memikirkan cara untuk menjodohkan Sarita dengan Pangeran
Halbert serta mencegah istrinya menjodohkan putri kandung mereka
dengan sang Pangeran. Ya, ia bukan anak kandung keluarga Riddick. Ia tidak sedarah dengan
mereka. Ia hanyalah anak angkat keluarga ini. Namun Duke mencintainya
jauh melebihi cintanya pada putra putrinya sendiri. Sikapnya inilah yang
membuat Duchess of Cookelt beserta putra-putrinya tidak menyukai
Sarita. Mungkin ini adalah salahnya dan Duke pula. Duchess Belle membuat
semua orang percaya ia adalah anak haram Duke. Dan Duke serta Sarita
tidak pernah mempedulikannya. Mereka bahkan tidak pernah berusaha
membantah tuduhan itu. Bagi Sarita sendiri, sikap Duke bisa dimengerti. Ia juga dapat memahami
kebencian keluarga Riddick padanya. Ayahnya adalah sahabat dekat
Duke. Keduanya berasal dari derajat yang berbeda. Namun persahabatan
mereka melampaui jurang di antara mereka.
Duke terus menyalahkan dirinya ketika ia terlambat menyelamatkan
sahabat sehidup sematinya itu. Untuk menebusnya, ia mengambil anak
putri tunggal sahabatnya dan mencurahkan semua cintanya padanya. Ia
memberi segala yang terbaru untuknya, memanjakannya,
mengagungkannya. Walau demikian, Sarita tetap tidak mengerti
mengapa Duke bersikeras menjodohkannya dengan sang Pangeran yang
tidak dikenal apalagi dicintainya itu.
"Hanya ini satu-satunya jalan bagimu untuk memasuki Helsnivia," jelas
Duke waktu itu. Lalu mengapa" Mengapa harus dia" Mengapa harus Helsnivia"
Sarita tahu ibu yang tidak pernah dilihatnya berasal dari Helsnivia.
Namun ia tidak pernah merasa ia berasal dari sana. Semenjak kematian
ibunya saat melahirkannya, Sarita ikut ayahnya berpetualangan dari satu
tempat ke tempat lain. Ayahnya yang seorang petualang itu tidak pernah
menetap di satu tempat daalam waktu lama. Sarita pun merasa ia adalah
seorang petualang yang tidak bertempat tinggal.
Itu adalah dulu. Semenjak Duke mengambilnya sebagai anak angkat,
Sarita perlahan-lahan terbiasa unuk menetap. Enam tahun sudah ia
tinggal di Trottanilla. Ia pun sudah merasa ia adalah bagian dari tempat
ini. Mengapa sekarang Duke bersikeras menyuruhnya pergi ke Helsnivia"
Sarita tidak pernah merasa Helsnivia adalah tanah airnya. Mengapa pula
ia hanya bisa memasuki Helsnivia melalui pernikahan dengan sang Putra
Mahkota kerajaan itu"
Karena Helsnivia adlah satu-satunya negara di daratan ini yang belum
pernah dikunjunginya"
Itu mustahil. Di usia sebelas tahun, Sarita sudah mengunjungi hampir
setiap negara di daratan ini. Ia juga tidak pernah berambisi mengunjungi
setiap negara di dunia ini.
Karena Duke ingin memastikan ia mempunyai masa depan yang mantap"
Kalau memang itu alasannya, mengapa harus sang Putra Mahkota" Ia
tidak pantas untuknya. Ia juga tidak menginginkan seorang bangsawan.
Ia sadar ia tidak memiliki setetes darah biru pun dalam tubuhnya. Namun
karena Duke Norbert adalah orang yang berjasa besar padanya, ia harus
menurutinya, bukan" Atas dasar itulah ia menuruti keinginan Duke untuk diperkenalkan pada
sang Putra Mahkota setelah antrian panjang dalam pesta yang
diselenggarakan Earl of Striktar.
Pertemuan itu berlangsung lancar bahkan sang Pangeran sempat
mengajaknya keluar dalam beberapa kesempatan. Ketika Duke of Cookelt
melihatnya sebagai hal bagus, Sarita melihatnya sebagai hal biasa.
Pangeran Halbert adalah pemuda seperti itu, bukan" Tertarik pada satu
wanita dan beberapa saat kemudian menghempaskannya untuk wanita
yang lebih baik. Sarita sudah banyak mendengar cerita senada. Di dunia ini hanya satu
pria setia yang diketahui dan diakuinya yaitu ayahnya.
Sarita tahu ayahnya sangat mencintai ibunya. Karena cintanya yang
besar itulah, ia selalu menangis tiap kali Sarita mengungkit tentang
ibunya. Sarita sudah terbiasa dengan ketidaktahuannya akan ibu
kandungnya, latar belakangnya, serta tanah air ibunya. Sejujurnya,
Sarita tidak peduli akan hal itu. Ketika ayahnya masih hidup, Sarita
merasa ayahnya lebih dari cukup. Ayahnya memberinya cinta dan
kenangan yang tak terlupakan. Setelah ayahnya tiada pun Sarita tidak
pernah merasa kesepuan. Duke Norbert telah memberinya cinta yang
tidak akan pernah didapatkannya dari orang lain.
Sekarang ketika sang Duke terbaring sakit, ia ingin melakukan sesuatu
untuk menyenangkannya. Sarita tahu ini mungkin permintaan terakhirnya
karenanya ia ingin mengabulkannya. Sayangnya, ini tidaklah semudah
ucapan. Sang Putra Mahkota memang tertarik padanya tapi ia tidak akan pernah
bersedia untuk menikah dengannya apalagi bertunangan.
Apakah yang harus dilakukan Sarita untuk menangkap hati sang
Pangeran" Bagaimana ia harus mejelaskan hal ini pada Duke Norbert"
Sarita tidak tahu. Ia benar-benar pusing. Menyenangkan Duke adalah
segala yang ia ingin lakukan saat ini. Dan menaklukan Halbert adalah hal
yang paling tidak menarik perhatiannya.
"Aku telah berjanji pada Ithnan suatu hari nanti aku akan
memulangkanmu ke Helsnivia."
"Aku mengerti, Norbert," Sarita tidak ingin membantah.
"Sebelum aku mati, aku ingin melihatmu?"
"Norbert," Sarita memotong, "Aku mengerti. Aku tidak akan
mengecewakanmu. Kau juga tidak boleh mengecewakanku. Sekarang aku
ingin kau tidur." Sarita membenahi selimut Duke. "Aku akan
meninggalkanmu. Aku yakin tak lama lagi Danya akan tiba." Sarita
membungkuk untuk mencium kening Duke. "Jadilah anak baik." Sarita
tersenyum penuh kasih padanya.
"Senyum itulah yang memberi kehangatan padaku," Duke tersenyum dan
memejamkan mata. Sarita pun dengan tenang mengambil nampan berisi sarapan Duke dan
keluar. Sarita bersandar di pintu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Pikirannya kacau balau. "Ternyata hanya Tuan Puteri yang bisa membujuk Duke."
"Hanya kesabaran yang dibutuhkan untuk menghadapinya," Sarita
menyerahkan kembali nampan itu pada pelayan.
"Yang Mulia Duchess mencari Anda," katanya kemudian.
"Chris membuat ulah apa lagi?" tanya Sarita. Hanya satu alasan Duchess
Belle memanggilnya yaitu mengurus Chris, putra terkecil mereka. Sarita
tidak tahu Duchess selalu mencarinya dalam urusan ini karena ia lebih
dapat dipercayai daripada Dorothy, putrinya atau karena kewajibannya
sebagai anak angkat keluarga Riddick. Sarita pun tidak terlalu
mempedulikannya. "Sekarang Duchess ada di mana?" tanya Sarita.
"Beliau menanti Anda di kamarnya."
"Aku akan menemuinya," kata Sarita, "Bila Danya datang, minta ia untuk
menungguku. Aku ingin bicara dengannya."
"Baik, Tuan Puteri."
Sarita pun melangkah ke kamar Duchess yang terpisah beberapa kamar
dari kamar Duke. "Siapa?" tanya Duchess lantang " menjawab ketukan pintu Sarita.
"Sarita," jawab Sarita.
"Masuk!" Barulah Sarita membuka pintu.
"Aku akan pergi," Duchess Belle memoleskan bedak di wajah cantiknya
yang belum pudar oleh usia.
"Pergi lagi?" Duchess langsung melotot. "Kau tidak punya hak untuk mengaturku,
anak haram!" Sarita langsung menutup mulut rapat-rapat.
Inilah uniknya sang Duchess. Ia tidak percaya Sarita bukan putri kandung
Duke dengan wanita rendahan. Duchess membenci Sarita dan terus
menyalahkan Duke atas dosanya ini. Namun setiap orang tahu Duchess
juga membuat dosa yang sama. Dengan melihat Dorothy dan Chris, tiap
orang sudah dapat mengatakan mana anak kandung Duke. Hanya saja
tidak ada yang pernah membicarakan hal itu.
Duchess menyebut dirinya wanita terhormat yang setia. Namun di
manakah ia ketika Duke terbaring sakit"
"Satu jam lagi bangunkan Dorothy. Ingatkan ia untuk pergi merapikan
rambutnya. Sore ini ia mempunyai janji dengan Pangeran Halbert,"
tangan Duchess terus sibuk dengan dandanannya, "Pastikan Chris tidak
kabur dari pelajarannya."
Ya, inilah Duchess. "Kalau ada yang mencariku, katakan aku mengurus urusan penting."
"Saya mengerti, Duchess."
"Kau bisa pergi sekarang. Aku tidak membutuhkanmu."
Sarita meninggalkan Duchess yang sibuk memberi sentuhan terakhir
pada dandanannya sebelum ia pergi untuk urusan pentingnya.
"Dia pergi lagi?" Duke menyambut kedatangannya.
"Kau masih belum tidur?" Sarita balik bertanya dengan heran.
"Dia akan pergi menemui pria itu lagi, bukan?"
"Aku tidak tahu," Sarita duduk di sisi Duke, "Dengar, Norbert," ia meraih
tangan Duke, "Sekarang bukan waktunya kau memikirkan hal ini."
"Kalau sudah tahu akhirnya akan begini, dulu aku tidak akan melepaskan
ibumu." "Percuma, Norbert," sahut Sarita, "Kau tahu pada akhirnya kau tetap
akan kalah dari Papa."
Duke tertawa namun beberapa saat kemudian tawanya berubah menjadi
batuk. Sarita cepat-cepat mengambil kain dalam ember di sisinya. "Kau batuk
darah lagi," katanya cemas.
"Aku sadar tidak lama lagi aku," ia memegang tangan Sarita.
"Cukup, Norbert," Sarita tidak suka mendengarnya.
"Sebelum aku mati, aku ingin melihatmu pulang ke Helsnivia."
Sarita termenung. Lagi-lagi Norbert mengungkit keinginannya
menjodohkannya dengan sang Putra Mahkota Kerajaan Helsnivia.
"Kau tahu, Norbert," kata Sarita lembut, "Kalau hanya pergi ke Helsnivia,
aku bisa melakukannya kapan saja."
"Kau tidak mengerti, Sarita. Hanya Pangeran Halbert yang bisa
membawamu pulang." Sarita menutup bibirnya rapat-rapat. Ia tidak ingin berdebat dengan
Norbert. "Aku ingin bisa berkata pada Ithnan di alam sana, "Aku telah
memulangkan putrimu."," lalu ia melanjutkan dengan lebih serius,
"Dengar Sarita, setelah aku mati, aku ingin kau mengurus harta
warisanku. Aku tidak akan memberikan sepersenpun pada Belle. Aku
ingin Chris mengantikanku."
Sarita tidak menyukai arah pembicaraan ini. Sarita tidak mau kehilangan
orang yang dicintainya. Otak Sarita berputar untuk menemukan topik
yang bisa menghentikan Norbert memberikan wasiatnya. Namun Sarita
merasa otaknya tersendat semenjak Duke jatuh sakit dan Pangeran
Halbert tidak tertarik lagi padanya sejak Duke mengutarakan
keinginannya. Suara kuda yang sayup-sayup mendekat melegakan Sarita.
"Aku akan menyambut Danya," Sarita langsung melompat.
Sarita bersandar di pintu kamar Duke dan membiarkan tubuhnya jatuh
lemas di lantai. "Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan?"
Sarita tidak tahu haruskah ia putus asa atau belajar menjadi wanita
cerdik. Pikiran ini hanya membuatnya kian frustasi dan sedih.
"Anda tidak apa-apa?"
Sarita terkejut. Ia melihat pelayan itu membungkuk ke arahnya dengan
cemas. "Tidak, aku tidak apa-apa," Sarita menyeka air matanya dan berdiri.
"Menjaga orang sakit memang bukan pekerjaan mudah sekalipun untuk
Anda." "Aku tidak mengeluh untuknya, Dokter Danya," kata Sarita, "Aku senang
melakukannya." Sarita membuka pintu. "Norbert menantimu di dalam."
Sarita tidak ingin memperpanjang basa-basi dengan dokter tua ini.
"Apakah Dorothy sudah bangun?" tanya Sarita pada pelayan yang
mengawal kedatangan dokter keluarga ini.
"Tolong pastikan ia bangun setengah jam lagi," pinta Sarita, "Dan tolong
katakan pada Chris tak lama lagi Owen akan datang. Minta ia bersiap-siap
di Study Room." "Ya" ya"," kata pelayan itu sambil lalu.
Sarita tahu ia harus berhati-hati dengan kata-katanya dalam memberi
perintah pada pelayan di rumah ini karena statusnya. Namun, tetap saja
ada yang tidak suka padanya. Ada pula yang mulai menunjukkan rasa
tidak suka mereka semenjak Duke jatuh sakit. Pelayan itu adalah salah
satunya. Sarita tidak peduli. Ia tidak terlalu memikirkan sikap mereka karena satusatunya alasan ia menetap di rumah ini adalah Duke Norbert.
Sarita masuk ke dalam kamar Duke.
Dokter Danya langung menoleh padanya.
"Beberapa saat lalu ia kembali batuk darah," Sarita memberitahu.
"Ya, aku dapat melihatnya," Dokter menyimpan kembali teleskopnya.
"Bisakah kita berbicara, Tuan Puteri?"
"Tentu." Sarita membuka pintu dan membiarkan Dokter Danya keluar
kemudian mengikutinya. "Apakah rencana Anda setelah Duke meninggal?"
Sarita tidak menyukai pertanyaan ini tapi ia tetap menjawab dengan
sopan. "Saat ini saya tidak mau memikirkannya."
"Duke sudah tidak lama lagi," Dokter Danya mengingatkan, "Sudah tidak
ada obat yang dapat menyembuhkannya. Penyakitnya sudah mulai
menggerogoti paru-parunya. Itulah sebabnya ia batuk darah. Anda tahu
Anda tidak bisa tinggal di sini setelah kepergian Duke. Duchess Belle tidak
menyukai Anda. Anda hanyalah anak haram Duke," dan ia menambahkan
dengan penuh arti, "Anda bisa tinggal di tempat saya kalau Anda
berkenan." Inilah salah satu hal baru yang tidak disukainya semenjak Duke jatuh
sakit. Orang-orang seperti Danya mulai mengungkit-ungkit soal
kedudukannya. Dan yang paling tidak disukainya dari perkataan Dokter
Danya adalah vonisnya atas nasib Duke!
Dokter Danya bukanlah orang pertama yang mengatakannya dan bukan


Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu-satunya orang yang mengatakannya. Sarita tahu ada maksud
tersembunyi di balik undangan baik hati mereka, yaitu menjadi gundik
mereka! Entah apa yang membuat mereka berpikir Sarita mau menjadi
gundik mereka. Tentu saja jawabannya adalah TIDAK! Namun Sarita
tetap berkata sopan, "Terima kasih, Dokter. Saya akan mempertimbangkannya."
"Anda harus mempertimbangkannya baik-baik," tekan Dokter Danya,
"Hanya keajaiban yang bisa memperpanjang nyawa Duke hingga hari ini.
Tapi kita harus ingat sewaktu-waktu ia bisa meninggalkan kita. Tentunya
Anda tidak ingin mensia-siakan masa depan Anda, bukan?"
"Saya akan mempertimbangkannya baik-baik," Sarita mengulang dengan
menahan perasaan muaknya.
"Pastikan hal itu," Dokter Danya meraih tangan Sarita.
"Tentu," Sarita menarik tangannya, "Terima kasih atas perhatian Anda."
Semua pria sama saja. Mereka lebih tertarik pada membawanya pulang
ke rumah mereka sebagai wanita simpanan daripada mengkhawatirkan
Duke. Kalaupun ada yang memperhatikan Duke melebihi dirinya, itu
adalah karena kekayaan dan kekuasaan keluarga Riddick semata.
Halbert adalah salah satu dari mereka. Sarita dapat memastikan Halbert
mengunjungi Duke hanya karena kesopanan semata. Andai ia benarbenar khawatir akan Duke, tentunya ia sering mengunjungi Duke. Namun
nyatanya ia hanya sekali melihat Duke walau selama beberapa hari
terakhir ini ia tidak pernah absent dari Sternberg.
Sarita tidak membuang waktu berbasa-basi dengan Dokter tua itu. Ia
tidak merasa pentingnya menanyakan tindakan apa yang harus
dilakukannya untuk Duke of Cookelt. Apa perlunya Sarita bertanya pada
sang dokter sudah menjatuhkan vonis mati itu" Maka Sarita langsung
berkata, "Saya akan mengantar kepulangan Anda. Saya tidak ingin membuat
pasien-pasien Anda yang lain menanti."
Usiran halus itupun tidak dapat ditolak Dokter Danya.
"Jangar repot-repot, Tuan Puteri. Duke lebih membutuhkan Anda dari
saya." "Maka, selamat jalan, Dokter Danya," kata Sarita sopan, "Terima kasih
atas segalanya." "Besok saya akan datang lagi."
Sarita tersenyum. Dalam hati ia berpikir apa perlunya memanggil Danya
setiap hari. Tidak ada satu tindakan berarti pun yang diambil Danya sejak
ia memvonis umur Duke Norbert. Setiap hari ia datang hanya untuk
mengulang-ulang kalimat yang sama. Sarita sama sekali tidak mengerti
jalan pikiran orang kaya.
Duchess Sarita memanggil Danya setiap hari dan ia bertindak seakanakan ia sangat mencemaskan Duke. Bangsawan-bangsawan yang lain
mengirim bunga untuk Duke tapi mereka tidak pernah muncul. Yang
terparah adalah putra kandung sang Duke!
Sarita dapat memaklumi sikap Dorothy karena ia memang bukan putri
kandung Norbert. Tapi Chris!"
Sarita tidak tahu. Mungkin inilah yang disebut salah didikan. Salah
siapakah itu" Sarita juga tidak jelas.
Menilik dari umur pernikahan Duke dan Duchess of Cookelt dan usia
Dorothy, satu hal sudah jelas. Pernikahan mereka didahului oleh
kehamilan Duchess Belle. Yang tidak jelas bagi Sarita adalah mengapa Duke Norbert mau
bertanggung jawab atas dosa yang tidak dilakukannya. Karena Duchess
Belle adalah wanita yang cantik" Sarita rasa bukan karena itu. Sarita
sering mendapati Duke Norbert bermain api dengan wanita-wanita lain.
Jelas sudah pernikahan mereka bukan juga karena cinta.
Kedudukan, kekuasaan, atau kekayaan adalah satu-satunya sebab yang
terpikirkan oleh Sarita. Tiga hal inilah yang sering didengarnya dari
pernikahan orang lain. Rasanya cinta sejati sudah menjadi alasan yang
langka. Sarita sering berharap ia dapat menemukan pria seperti ayahnya. Namun
dengan wasiat Duke ini, rasanya itu tidak mungkin. Tapi" mungkin juga
ia salah. Halbert tidak mengatakan persetujuannya dan tidak menolak
keinginan Duke, namun sikapnya sudah lebih dari cukup untuk
menjelaskan jawabannya. Sarita benar-benar tidak tahu ia harus bersenang untuk dirinya sendiri
atau pusing memenuhi keinginan terakhir ayah angkatnya selama enam
tahun terakhir ini. "Apa yang sedang Anda lamunkan, Tuan Puteri?"
Sarita kaget. Owen tersenyum pada Sarita.
"Rupanya Anda," ujar Sarita pada pria yang usianya dua kali usianya itu.
"Anda menunggu seseorang?" tanya Owen, "Apakah Anda menunggu
saya untuk menyampaikan jawaban Anda?"
"Tidak," Sarita langsung menjawab. Apa yang membuat Owen berpikir ia
akan menerima ajakannya" Owen sudah berkeluarga dan yang terutama,
Sarita tidak mencintainya! "Chris sudah berada di Study Room." Sarita
memberitahu kemudian menambahkan dengan tegas, "Sekarang saya
harus menemui Dorothy."
Tanpa basa-basi lagi Sarita meninggalkan Owen seorang diri.
Owenlah sang pria beruntung itu. Ia bisa mengundang Sarita sebelum
yang lain karena ia adalah satu-satunya orang yang setiap hari keluar
masuk Sternberg. Sarita tidak mau memikirkan para pria itu terlalu lama. Sekarang yang
harus ia lakukan adalah membangunkan Dorothy atau wanita itu akan
murka besar padanya seperti yang pernah terjadi hanya karena Sarita
disibukkan oleh kondisi Duke Norbert yang tiba-tiba memburuk.
"Dorothy, kau sudah bangun?"
Karena ia tidak mendapat jawaban, Sarita mengijinkan dirinya sendiri
untuk masuk. "Dorothy," Sarita berdiri di sisi wanita itu, "Kau harus menemui penata
rambutmu siang ini."
Dorothy membalik badannya memunggungi Sarita dan menutupi
telinganya dengan bantal.
"Aku tidak mau bertanggung jawab kalau Pangeran Halbert tidak
melihatmu menarik." Dorothy langsung membalik badannya " memeloti Sarita. "Kenapa kau
tidak membangunkan aku lebih awal!?" Dorothy meloncat berdiri.
"Berhenti memanggilku Dorothy!"
"Maafkan saya, Lady Dorothy," kata Sarita sopan.
"Apalagi yang kautunggu!" Cepat panggil pelayan! Aku butuh air mandi!
Aku butuh kereta! Aku tidak punya waktu!"
"Baik, Lady Dorothy," kata Sarita lagi dan ia mengundurkan diri.
"Sama akar, sama buah," gumam Sarita ketika menutup kembali pintu
kamar Norbert. Chapter 2 Halbert menatap bayangan dirinya di cermin untuk terakhir kalinya.
Setelah yakin penampilannya rapi dan meyakinkan, ia berangkat.
Seperti yang telah direncanakannya untuk liburan ini, hari-harinya
dipenuhi oleh petualangan-petualangan alanya dan satu-satunya
petualangan yang hanya dapat dimengerti olehnya. Ini adalah perjuangan
yang panjang untuk mendapatkan ijin libur panjang dari orang tuanya,
dan ia tidak ingin mensia-siakannya. Sepanjang hari ia mempunyai janji
dengan paling sedikit tujuh wanita cantik. Jika ada yang bertanya
padanya mengapa ia menikmatinya" Jawabannya adalah ini adalah
hobinya. Apa ia tidak pernah bosan" Ini adalah petualangan. Kapan ia
akan berhenti" Seorang petualang tidak pernah terpuaskan.
Ya, ini adalah petualangan modelnya. Ia tidak butuh orang lain mengerti
tentangnya. Ia tidak butuh orang lain memahaminya. Seorang petualang
tidak membutuhkan semua itu.
Sayangnya, ia adalah seorang Putra Mahkota. Sebagai satu-satunya
penerus tahta Kerajaan Helsnivia, ia punya kewajiban meneruskan tahta.
Hanya inilah satu-satunya hal yang membuatnya terikat, tapi tidak
menghentikan jiwa petualangnya.
Saat ini ia masih dua puluh tiga tahun. Ia masih mempunyai beberapa
tahun sebelum orang tuanya mulai mengusiknya dengan urusan
pernikahan. Ketika saat itu tiba, Halbert telah memutuskan, ia akan
memilih wanita terbaik yang pernah ia kencani.
Hingga saat ini ia belum menemukan wanita itu dan ia tidak terlalu pusing
untuk menemukannya. Ia masih mempunyai banyak waktu. Kalau pada
saatnya ia masih belum dapat menemukannya, ia hanya perlu memilih
wanita yang dirasakan pengalamannya akan menjadi Ratu dan ibu yang
baik. Semua orang tahu tentang jiwa petualangannya. Namun tetap saja ada
orang tua yang berusaha menjodohkan putri mereka dengannya.
Halbert pun sudah tahu hal yang semua akan terjadi pada liburannya ke
Trottanilla ini. Namun, siapa peduli" Hal itu justru memperkaya
petualangannya. Tiada hari yang lebih menyenangkan dari berada di sini. Ini adalah
surganya! Andaikan bisa, Halbert ingin memperpanjang liburannya di sini. Namun
sayangnya, orang tuanya telah mengirim utusan mengingatkan hari
Minggu mendatang ia harus pulang. Ini berarti liburannya hanya tinggal
tiga hari! Dan sebagai seorang Pangeran yang bertanggung jawab,
Halbert tidak bisa mengabaikan perintah itu, bukan"
"Biarlah hari itu tiba," gumam Halbert melangkah pergi, "Sampai hari itu
tiba, aku tidak akan mensia-siakan waktuku."
Hari ini Halbert mempunyai banyak janji dan salah satunya adalah putri
Duke of Cookelt. Tentu saja dengan putri sah sang Duke.
Sejujurnya Sarita, sang putri haram Duke jauh lebih cantik dari Dorothy,
sang putri sah Duke. Sayangnya, ia adalah putri yang dilahirkan di luar
pernikahan sah. Dan sebagai seorang Pangeran, Halbert tidak mau
mempertaruhkan reputasinya dengan berhubungan seorang putri haram.
Ia memang pernah menjalin hubungan dengan Sarita tetapi itu demi
menghormati Duke Norbert.
Halbert sempat mengira Sarita adalah putri sah Duke ketika melihat Duke
menggandengnya ke arahnya dalam sebuah pesta dansa yang
diselenggarakan oleh Earl of Striktar. Ia baru tahu gadis itu adalah putri
haram Duke of Cookelt setelah Duchess Belle memberitahunya. Kemudian
Halbert membuktikan sendiri cinta Duke yang lebih besar pada putri
haramnya dibanding putri sahnya. Duke selalu mengajukan putri
haramnya itu dibanding putri sahnya. Duke juga selalu mendesaknya
mengajak pergi Sarita dan pada akhirnya melamarnya untuk putri
haramnya itu. Duke adalah seorang pria yang tampan dan gagah ketika ia masih muda.
Ia terkenal dengan reputasinya sebagai penakluk wanita sebelum ia
menikah dan setelah menikah ia tidak memutuskan hubungannya dengan
kekasih-kekasihnya itu. Bertahun-tahun setelah pernikahannya, Duke
tiba-tiba menghentikan kebiasaannya dan sepuluh tahun setelahnya, ia
membawa pulang Sarita. Halbert menduga di saat Duke bertemu ibu Sarita itulah, petualangannya
berhenti. Jika Sarita tidak mewarisi kecantikan ibunya, maka tentunya ia masih
membawa warisan kecantikan ibunya. Melihat paras cantik Sarita, Halbert
percaya ibu Sarita adalah wanita yang jelita hingga Duke Norbert
mencintainya dan keturunannya melebihi keluarga sahnya.
Halbert merasa Sarita jauh lebih jelita dari yang diingatnya ketika melihat
gadis itu menuruni tangga ke arahnya sebagai jawaban pelayan yang
mengabarkan kedatangannya. Rambut panjangnya yang kuning pucat
melambai lembut seiring langkah-langkah ringannya yang membuatnya
tampak seperti melayang. Tubuhnya yang kecil ditambah sepasang mata
biru mudanya yang sayu, membuat setiap orang ingin melindunginya.
Wajahnya yang kecil tampak begitu serasi dengan tubuh moleknya yang
ramping. "Dorothy sedang bersiap diri, Yang Mulia," nada lembut mengalun dari
bibirnya yang menggoda. "Bila Anda berkenan, silakan menanti di Ruang
Tamu. Saya akan meminta pelayan mengantar Anda."
Bila Sarita berpikir sikap dinginnya akan menarik perhatiannya, ia salah.
Halbert sudah banyak melihat wanita yang tiba-tiba bersikap dingin
padanya setelah hubungan mesra mereka. Namun sikap dingin itu
langsung berubah setelah Halbert membalasnya dengan sikap dingin yang
sama. Mungkin Sarita adalah salah satu di antara wanita yang
membencinya setelah tahu hubungan mereka tidak akan berlanjut ke
tingkat yang lebih jauh. Atau mungkin Sarita adalah salah satu di antara
wanita-wanita licik yang tahu bagaimana menjerat pria. Sayangnya,
Halbert bukanlah mangsa yang mudah. Biarlah orang memandang
sebelah mata usianya yang masih muda. Halbert tahu ia sangat
berpengalaman dengan wanita sejak pemuda seusianya masih bermain
pedang-pedangan. "Tidak perlu repot-repot, Lady Sarita," jawab Halbert sama sopannya,
"Saya akan menanti di sini."
"Bila itu keinginan Anda, Yang Mulia, saya tidak akan memaksa," kata
Sarita, "Bila Anda mengijinkan, saya akan memastikan Dorothy segera
muncul." "Silakan," sambut Halbert.
Dalam hatinya, Halbert mencibir Sarita. Gadis itu pasti kecewa besar. Ia
pikir Halbert akan mengikuti undangannya. Halbert dapat memastikan
Sarita akan mengeluarkan segala daya tariknya untuk memikatnya jika ia
mengikuti usul gadis itu ke Ruang Tamu.
Baru saja Sarita menginjakkan kaki di tangga teratas ketika seorang pria
muncul dari dalam koridor di sisi kanan tangga.
"Di sini rupanya anda berada, M"lady," Halbert mendengar pria itu berkata
pada Sarita dan ia merasa aneh. Sejauh yang diketahuinya, setiap orang
sebisa mungkin tidak menyebut gadis itu dengan gelar "Lady" apalagi
memanggilnya. Tidak seorang pun suka akan gadis itu. Tidak seorang pun
tertarik untuk membicarakannya.
"Ah, rupanya waktu telah berlalu," gadis itu berkata ramah, "Maafkan
saya, saya tidak dapat mengantar Anda."
"M"lady," Owen menangkap tangan Sarita, "Pikirkan baik-baik tawaran
saya." "Tentu," Sarita memberikan jawabannya sembari tersenyum manis dan di
saat yang bersamaan menarik tangannya. "Terima kasih atas perhatian
Anda. Sungguh menyesal saya tidak bisa mengantar Anda. Selamat
siang." Tanpa menanti jawaban lawan bicaranya, Halbert melihat gadis itu
melangkah pergi. Dalam hatinya, Halbert memuji cara lembut gadis itu dalam mengusir
lawan bicaranya. Namun pada saat yang bersamaan ia juga mencibir
gadis itu akan kepura-puraannya. Apapun tawaran pria itu, Halbert
percaya Sarita tertarik. "Rupanya Anda di sini, Yang Mulia Pangeran Halbert," akhirnya Owen
menyadari keberadaan orang lain dan bergegas menuruni tangga,
"Maafkan saya tidak menyapa Anda semestinya. Saya adalah guru privat
Tuan Muda Chris. Anda bisa memanggil saya Owen," ia mengulurkan
tangan. "Sungguh suatu kehormatan dapat bertemu dengan Anda."
Tepat seperti reaksi Sarita ketika mereka pertama kali bertemu! Hanya
saja saat itu Sarita tampak seperti seorang peri cantik yang malu-malu
menunjukkan pesonanya. "Senang berkenalan dengan Anda," kata Halbert pula.
"Apakah Anda datang untuk menjemput Lady Sarita?"
Apa yang membuat pria ini ia akan mempertaruhkan reputasinya hanya
untuk seorang anak haram"
"Tidak. Saya datang untuk menjemput Lady Dorothy," Halbert menjawab
sopan. "Oh," Owen melihat kesalahannya, "Maafkan kelancangan saya, Yang
Mulia. Saya menduga Anda datang untuk Lady Sarita."
"Tidak mengapa."
"Seperti yang Anda lihat, Lady Sarita jauh lebih mempesona dari Lady
Dorothy. Setiap pria di sekitar tempat ini ingin merebut hati Lady Sarita.
Setiap pria ingin menawarkan segala yang terbaik untuk Lady Sarita
terutama di saat-saat seperti ini."


Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah yang Anda maksud kondisi Duke Norbert?"
"Tentu saja. Semua orang tahu Duchess Belle tidak akan membiarkan
Lady Sarita tinggal di Sternberg bila sesuatu terjadi pada Duke. Saat itu
Lady Sarita tidak mempunyai tempat berteduh. Setiap pria di tempat ini
ingin memanfaatkan kesempatan itu."
Halbert pernah mendengarnya sendiri dari mulut Dorothy tentang
rencana Duchess Belle mengusir Sarita bila Duke Norbert wafat. Baginya,
pria yang benar-benar ingin mendapatkan Sarita pasti hanya pria hidung
belang yang tidak tahu malu. Tentu saja pria ini adalah salah satunya.
"Ingin sekali saya menemani Anda berbincang. Namun saya harus segera
pulang sebelum istri saya curiga."
Tepat sudah dugaannya. "Silakan," kata Halbert.
Halbert tahu masih ada waktu yang cukup panjang sebelum Lady Dorothy
muncul. Walau ia sudah terbiasa olehnya, dalam hati ia tetap berharap
Sarita akan mempercepat Dorothy. Halbert tidak mau waktunya terbuang
percuma oleh penantian yang tidak berguna ini.
Lima belas menit sudah berlalu semenjak kepergian Owen ketika Chris
muncul menyapanya. "Selamat siang, Yang Mulia Pangeran."
"Selamat siang, Chris."
"Apakah Anda melihat Sarita?"
"Kurasa ia pergi memanggil kakakmu."
Chris tersenyum lebar. "Tolong jangan katakan apapun pada Sarita
tentang perjumpaan kita ini."
"Baik," Halbert juga melihat tidak ada gunanya ia memberitahu Sarita.
"Selamat bersenang-senang, Yang Mulia," Chris melambaikan tangannya
dan pergi meninggalkan Sternberg.
Dua puluh menit berlalu sudah sejak kepergian Chris namun Dorothy
belum juga muncul. Sarita juga tidak menampakkan wajahnya. Halbert
mulai dibuat lelah olehnya.
Apa yang dapat diharapkannya dari perkataan seorang wanita" Ia sudah
sangat berpengalaman dalam hal ini. Ia tahu baik hal ini.
Halbert tidak sabar. Lima menit berlalu ketika akhirnya Dorothy muncul.
"Selamat siang, Yang Mulia Pangeran Halbert," kata Dorothy ketika ia
muncul di tangga teratas.
Halbert melihat gadis cantik itu. Ia tampak bersinar di bawah sinar
mentari. Permata berlian yang menghiasi gaunnya menambah
kecermelangan rambut merahnya yang tertata rapi. Penampilannya yang
mempesona, membuat Halbert merasa penantiannya tidak sia-sia. Ia
segera menyambut gadis itu.
"Apakah Anda sudah siap, Tuan Puteri?" Halbert mengulurkan tangannya.
Dorothy tersenyum tersipu-sipu. "Dengan segenap jiwa raga saya,"
Dorothy menyambut uluran tangan itu.
Halbertpun tidak membuang waktu membawa Dorothy pergi ke tempat
perjanjian mereka. Halbert bukanlah seorang pria yang suka membanding-bandingkan.
Namun perbedaan tingkah laku dua kakak adik seayah yang berbeda ini
benar-benar tidak dapat menghentikan Halbert membandingkan mereka.
Tidak perlu menyebut beda lamanya waktu ia menanti dua gadis ini.
Halbert tidak pernah dibuat Sarita menanti. Sebaliknya, Saritalah yang
menantinya. Tentu saja Sarita yang menantinya bersiap diri. Duke Norbert selalu
mengantar Sarita ke villa tempat ia tinggal di Trottanilla. Beginilah cara
Duke memaksanya menemani putri kesayangannya. Begitu Duke tahu ia
punya waktu luang, ia pasti akan langsung mengusulkan ide. Dan seperti
takut ia akan ingkar janji, Duke mengantar Sarita lima belas menit
sebelum waktu perjanjian mereka.
Perbedaan yang mencolok di antara mereka adalah sikap diam Sarita dan
sikap manja Dorothy. Perbedaan mencolok lainnya adalah Sarita tidak
pernah menyebut apapun tentang keluarganya dan Dorothy selalu
mengobral gosip keluarganya terutama tentang Sarita.
Sudah rahasia umum kalau Duke Norbert hanya mencintai Sarita dan
Duchess Belle lebih mencintai Dorothy di antara dua anak kandungnya.
Perbedaan dukungan di antara mereka mungkin membuat Dorothy
terdesak sehingga ia selalu menjelek-jelekkan Sarita di depannya.
Halbert tidak peduli akan hal itu karena ia sendiri tahu ia tidak akan
memilih seorang pun di antara mereka betapapun cantiknya mereka.
Sekalipun mereka bisa mentolerir jiwa petualangannya, ia tidak akan
mencintai mereka. Mereka berdua bukanlah wanita terbaik yang pernah
dikencaninya. Dorothy terlalu suka menjelek-jelekkan orang lain dan
Sarita, walau tidak diragukan lagi kecantikannya, adalah anak haram.
Halbert tidak pernah lagi berhubungan dengan Sarita semenjak Duke
melamarnya untuk Sarita! Sepanjang hidupnya, itulah lelucon terbesar yang pernah dialaminya.
Memang banyak orang tua yang mengajukan putri mereka padanya, tapi
tidak ada yang terang-terangan seperti yang dilakukan Duke of Cookelt.
Suatu sore ketika ia baru pulang dari kencannya, pelayan
memberitahunya bahwa Duke of Cookelt tengah menantinya di Ruang
Tamu. Halbert pun bergegas menyambut tamunya. Di saat itu Halbert hanya
berpikir Duke tengah mencari kesempatan untuk memaksanya pergi
dengan Sarita lagi. Kala itu jadwal kencan Halbert mulai sibuk sehingga ia
tidak punya waktu luang untuk Sarita. Halbert sama sekali tidak
memikirkan maksud lain ketika melihat wajah gembira Duke Norbert
melihat kemunculannya. "Selamat sore, Duke," sambut Halbert, "Apakah Anda telah lama menanti
saya?" "Selamat sore, Yang Mulia Pangeran," jawab Duke, "Saya tidak menanti
Anda untuk waktu yang lama."
"Keperluan penting apakah yang membuat Anda datang?"
"Saya datang untuk putri saya, Sarita."
Halbert pun telah menduganya.
"Saya datang untuk mengajukan Sarita sebagai calon mempelai Anda."
Halbert membelalak. Dari sekian ratus orang tua yang mengajukan
putrinya padanya, tidak seorang pun mengajukan putrinya secara terangterangan seperti ini. "Saya percaya Anda tertarik pada Sarita. Ia adalah gadis tercantik di
Trottanilla dan ia adalah seorang gadis yang berhati lembut. Saya dapat
mengatakan Sarita adalah gadis impian setiap pria di dunia. Anda pasti
menyesal kalau Anda tidak segera menikahinya." Lalu Duke
menambahkan, "Saya yakin Sarita akan menjadi pasangan yang cocok
untuk Anda. Ia akan menjadi seorang ibu yang lemah lembut dan ratu
yang bijaksana." Kekagetan Halbert membekukan lidahnya.
"Saya akan memikirkannya," Halbert akhirnya mendapatkan kembali
suaranya. "Anda tidak akan menemukan gadis lain sesempurna Sarita di dunia ini,"
Duke mendesak Halbert. Ingin sekali Halbert berseru pada Duke namun tata krama membuatnya
berkata tenang, "Tentu, Duke Norbert. Putri Anda adalah gadis yang sempurna namun
saya tidak bisa membuat keputusan sepenting ini secara mendadak. Saya
akan memikirkannya baik-baik."
"Sarita adalah pilihan terbaik yang Anda buat."
Halbert benar-benar harus menahan emosinya.
"Saa sangat menghargai kepedulian Anda," Halbert berusaha berkata
sesopan mungkin, "Bagaimanapun juga ini bukan hanya menyangkut
saya tapi juga seluruh rakyat Helsnivia. Berilah saya waktu untuk
memikirkannya. Saya yakin tidak seorangpun yang akan meragukan
pilihan saya sebelum saya memberi jawaban."
Duke of Cookelt termenung. "Anda benar. Saya tidak bisa memaksa Anda
memberi keputusan secara mendadak."
Halbert lega. Bila Duke terus mendesaknya, dapat dipastikan ia akan
kehilangan kontrol dirinya. Ia paling tidak suka didesak menikah. Ia lebih
membenci orang lain memaksanya menikahi seseorang. Sekalipun itu
adalah orang tuanya, Halbert tidak akan membiarkan mereka
memaksakan calon pengantin mereka padanya.
"Pastikan Anda memikirkannya baik-baik," kata Duke dengan penuh
harapan. Kalimat itu terus diucapkannya berulang kali hingga kereta
keluarga Riddick membawanya pergi.
Bagaimana jawaban Halbert"
Tidak perlu diragukan lagi. Jawabannya adalah TIDAK!! Seumur hidup
Halbert tidak akan pernah berpikir untuk menjalin affair dengan anak
haram itu apalagi menikahinya.
Beberapa hari setelah mengajukan lamarannya, Duke Norbert jatuh sakit
dan dari hari ke hari sakitnya kian parah. Dengan terbaringnya Duke di
atas tempat tidur, Halbert tidak pernah lagi bertemu Sarita. Ia juga tidak
bertemu gadis itu ketika ia mengunjungi Duke.
Sarita melesat dengan cepat melewati tempat mereka berdiri.
Halbert merasa ia sudah gila. Baru saja ia memikirkan gadis itu dan
sekarang ia melihat bayangan gadis itu.
"Dasar anak pelacur!" hujat Dorothy.
Halbert bingung. "Lihatlah itu, Pangeran," Dorothy menunjuk rumah bordil di ujung jalan.
Halbert melihat Sarita memasuki tempat haram itu dengan tergesa-gesa.
"Anak haram itu memang tidak tahu malu. Papa terbaring sakit dan ia
pergi mencari pria jalang."
Halbert tidak terlalu memikirkan di mana Sarita berada ketika ayah yang
sangat mencintainya terbaring sakit. Ia juga tidak peduli tapi apa yang
dilihatnya benar-benar membuatnya tidak habis pikir. Sarita memang
benar-benar putri seorang pelacur!
"Mama sudah berbaik hati mencarikan suami yang pantas untuknya tapi
anak haram itu tidak tahu terima kasih. Ia lebih suka mencari pria jalang
daripada pria terhormat. Benar-benar anak pelacur!"
Mulai sudahlah Dorothy membuka affair-affair keluarganya. Halbert tidak
ingin mendengarnya. Urusan keluarga mereka bukanlah urusannya. Ia
berhubungan dengan Dorothy hanya untuk bersenang-senang bukan
untuk menjadi bagian keluarga itu.
"Papa lebih parah lagi! Earl of Mongar bersedia menjadi suami Sarita
sudah baik tetapi ia menolak. Ia terlalu memanjakan Sarita. Ia
memberikan segala yang terbaik untuk Sarita tapi ia lupa siapa Sarita itu.
Putri haram seperti dia tidak akan pernah diterima di kalangan terhormat
seperti kita." Halbert tidak tertarik. Biarlah Sarita menikah dengan Earl of Mongar atau
pria jalang atau siapa pun juga. Itu bukan urusannya dan ia tidak ingin
tahu! "Tapi begitu Papa meninggal, Sarita tidak akan bisa menghindar lagi.
Mama sudah menyiapkan segalanya untuk pernikahannya. Sarita pasti
berterima kasih seorang Earl mau menikahinya."
Kepala Halbert berputar cepat untuk menutup mulut Dorothy.
"Lady Dorothy, bukankah Anda ingin melihat opera?" Halbert bertanya,
"Di rumah opera manakah pertunjukan yang menarik Anda itu?"
Dorothy langsung mencari-cari rumah opera yang menjadi alasannya
meminta Pangeran Halbert menemaninya. Ketika ia menemukannya, ia
melingkarkan tangan di siku Halbert dan dengan bangga berjalan di
sisinya. Sesaat sebelum mereka memasuki gedung itu, Halbert melihat kuda
Sarita masih ada di depan rumah border.
Itu bukan urusannya, Halbert mengingatkan dirinya. Halbert tidak mau
tahu tapi sepanjang hari itu ia tidak dapat menghentikan dirinya sendiri
berpikir bagaimana mungkin seorang anak meninggalkan ayah yang
sangat mencintainya terbaring sakit di tempat tidur dan bersenangsenang dengan pria jalang di rumah bordir. Inikah yang dinamakan anak
durhaka" Halbert tidak dapat mengerti dan ia tidak habis pikir dibuatnya.
Memang seseorang tidak bisa menilai orang lain hanya dari
penampilannya. Halbert ingat Sarita begitu memukai di saat mereka bertemu. Rambut
pirang pucatnya yang hampir putih, tertata rapi dan berhiaskan pernakpernik batu mulia. Gaun biru mudanya senada dengan sepasang mata
biru mudanya yang dalam. Bulu matanya yang lentik memahkotai
sepasang matanya yang malu-malu. Bibirnya yang memerah tersenyum
manis " memberi nuansa menyegarkan pada wajahnya yang manis.
Gerakannya yang lemah gemulai begitu memukau. Suaranya yang lembut
menenangkan pikiran. Tutur katanya lembut dan di atas semua itu, ia
pendiam dan tidak banyak menuntut!
Halbert sempat memberinya nilai wanita terbaik yang pernah ditemuinya.
Ia mungkin memantapkan diri untuk memilih Sarita kalau saja ia tidak
tahu latar belakang Sarita. Sekarang setelah melihat sendiri Sarita
mengabaikan orang tuanya yang sakit parah untuk tindakan yang terhina,
Halbert bersyukur atas mulut penggosip Dorothy.
Di luar sana masih banyak wanita terhormat yang lebih pantas untuk
mendampinginya. Halbert tidak terburu-buru untuk menemukannya, ia
masih punya banyak waktu.
Chapter 3 "Demi Tuhan, Chris!" pekik Sarita, "Apa kau sadar apa yang kaulakukan!"
Ayahmu terbaring sakit dan kau mempermalukan nama keluarga Riddick.
Apa kau pikir Norbert akan senang mendengarnya!" Kau akan
membuatnya mati saat ini juga!"
"Biar saja ia mati," balas Chris, "Ia tidak mencintaiku! Ia hanya
mencintaimu!" Tangan Sarita melayang dengan cepat ke wajah Chris.
"Hei!" protes Chris marah.
"Katakan itu lagi," ancam Sarita, "Dan kali ini aku akan memastikan
namamu tercoret dari daftar ahli waris Norbert."
"Kau tidak punya hak! Kau bukan kakakku!"
"Ya, aku bukan kakakmu," balas Sarita dingin, "Tapi jangan lupa ayahmu
lebih mempercayaiku daripada kalian. Satu saja kalimat keluar deriku,
kau tidak akan pernah mewarisi gelar Norbert."
Chris geram. Ia marah. "Kau bisa menyingkirkanku saat ini juga," Sarita mengemukakan pikiran
Chris, "Kau bisa membunuhku. Aku tidak peduli. Tapi kau tahu bila aku
tidak ada, kau tidak akan mewarisi gelar Duke of Cookelt sampai Duchess
Belle meninggal atau"," Sarita mengancam, "Mungkin tidak akan pernah
mewarisinya seumur hidupmu."
Chris semakin geram dibuatnya.
Chris boleh lebih tinggi darinya. Ia boleh lebih tegap dan besar dari ia
yang hanya tiga tahun lebih tua. Sarita tidak takut. Sarita sadar Chris
tidak dapat berbuat apa-apa padanya. Chris pun tahu hanya Sarita yang
bisa membawanya ke gelar Duke of Cookelt.
Duchess of Cookelt yang gila harta dan kekuasaan tidak akan melepaskan
begitu saja kuasanya atas harta keluarga Riddick setelah kematian Duke.
Bahkan sudah terlihat tanda-tanda ia rela memberikan gelar itu pada pria
lain yang tak bergelar dan jauh lebih kaya dari keluarga Riddick.
Semenjak Duke of Cookelt jatuh sakit, Duchess Belle mulai mencari pria
muda yang berambisi dan kaya raya.
Sarita memang bukan bagian dari keluarga Riddick tapi Duke
mempercayainya sebagai tangan kanannya. Duke bahkan berniat
menunjukkan Sarita sebagai wali Chris sampai putranya itu cukup usia
dan matang. "Mengapa kau tega mengatakan hal sekejam itu?" air mata Sarita jatuh,
"Tidakkah kau sadari besarnya cinta Norbert padamu" Apa yang akan
dikatakannya kalau ia tahu perbuatanmu" Tidakkah kau pernah berpikir
hatinya akan hancur melihat apa yang telah kau perbuat?"
"Memangnya apa salahku?" Chris tidak terima, "Papa sendiri juga sudah
mempermalukan namanya sendiri," mata Chris mengejek Sarita.
"Harus berapa kalikah kukatakan padamu, aku bukan putri Norbert."
"Mana buktinya" tantang Chris, "Aku juga bisa mengatakan aku bukan
putra Duke of Cookelt, tapi mana buktinya!" Mama sendiri yang
mengatakan kau adalah putri Papa dengan seorang pelacur. Apa salahnya
aku pergi ke tempat itu?"


Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu apa yang dilakukan ayahmu itu tidak benar, lalu mengapa kau
mengikutinya!?" suara Sarita meninggi dengan tidak sabar.
"Siapa yang mengatakannya!?" bantah Chris, "Itu umum. Owen berkata
seorang pria akan terlihat lebih berwibawa dengan mempunyai banyak
wanita di sisinya." Sarita putus asa. Kata-katanya sama sekali tidak berguna untuk Chris.
Ia datang ke rumah terkutuk itu dengan wajah tebal. Ia sama sekali tidak
mempedulikan omongan orang lain. Ia bahkan tidak memikirkan nama
baiknya sendiri. Dengan niat bulat, ia datang untuk membawa Chris
pulang. Sang pemilik menduga ia adalah seorang gadis muda yang hendak
bergabung. Para tamu menduga ia adalah salah satu di antara wanita
penghibur yang datang terlambat. Para wanita penghibur melihatnya
dengan sorot mata tidak suka. Namun Sarita tidak peduli semua itu. Ia
menahan rasa malu dan jijiknya. Dengan langkah-langkahnya yang tegas,
Sarita mencari Chris di antara para pria jalang yang menggodanya.
Pemuda yang menjadi penyebab kesialannya ini duduk dengan suka cita
di antara para wanita yang berpakaian tidak sopan.
Sarita harus menahan dirinya untuk tidak berteriak pada putra satusatunya Duke of Cookelt itu. Ia tidak peduli kalau ia mempermalukan
Chris. Sarita hanya tidak mau mempermalukan dirinya lebih dalam lagi.
Ia berdiri tegak di depan Chris. Matanya menatap tajam pemuda itu dan
bibirnya mengatup rapat. Untuk beberapa saat Chris tidak mempedulikan keberadaannnya. Ia terus
menggoda wanita-wanita di sampingnya. Namun tatapan tajam Sarita
membuat mereka tidak nyaman sehingga mereka pergi meninggalkan
Chris berdua dengan Sarita.
"Apa maumu?" itulah kalimat pertama yang diucapkan Chris. Itupun
diucapkannya dengan kasar.
"Pulang saat ini juga sebelum aku bertindak," kata Sarita tegas dan
dingin. "Memangnya apa yang bisa kaulakukan?" tantang Chris.
"Jangan memaksaku, Chris," Sarita memperingati dengan tajam.
"Kau kira aku takut padamu?" Chris menyilangkan tangan di dadanya dan
menatap Sarita dengan angkuh.
"Baik," Sarita berkata dingin, "Lakukan apa yang kausuka. Selamat
tinggal." Tidak butuh satu menit untuk menyadarkan Chris apa yang bisa dilakukan
Sarita. Sebelum Sarita mencapai pintu, ia telah mengikuti gadis itu dan
tanpa membantah lagi pulang bersama Sarita.
Sarita tak habis pikir rusaknya keluarga Riddick. Di manakah letak
kesalahan dalam keluarga ini sehingga tak satupun yang peduli pada
Duke" Di mana salah salah pendidikan moral keluarga ini sehingga Chris
yang masih empat belas tahun ini suka menghabiskan waktu bersama
pelacur-pelacur hina itu.
Sarita frustasi. Tiba-tiba saja ia merasa masa depan keluarga Riddick dan
Cookelt ada di pundaknya. Sarita berusaha melakukan yang terbaik demi
Duke Norbert tapi semua itu tidak berguna. Satu-satunya hal yang
membuat Chris segan padanya adalah posisinya di mata Duke Norbert.
Beberapa tahun terakhir ini ketika kesehatan Duke mulai berkurang, ia
berusaha mengubah kepribadian Chris. Setelah Duke terbaring lemah di
tempat tidur, ia berusaha mempersiapkan Chris menjadi penerus Duke
Norbert. Tapi apakah yang bisa dilakukannya" Putra satu-satunya yang
begitu dijaga Duke Norbert itu sama sekali tidak menghargai cinta
ayahnya. Ia bahkan menginginkan kematian ayahnya secepat mungkin.
Duchess of Cookelt sudah tidak perlu dikatakan. Ia tidak mencintai Duke.
Ia hanya mencintai harta dan kekuasaan keluarga Riddick ini. Ia bahkan
tidak segan-segan merebut kuasa atas harta dan wilayah kekuasaan
keluarga Riddick dari putranya.
Dorothy juga tidak perlu dibicarakan. Tahu ia tidak bisa turun dalam
perebutan antara ibu dan adik setengah darahnya, ia memilih
memanfaatkan kecantikannya untuk merebut hati pria kaya raya.
Entah apa jadinya keluarga ini setelah kepergian Duke.
Sarita putus asa. Ia tidak tahu bagaimana ia harus bertanggung jawab
pada orang yang telah begitu berjasa padanya.
"Tuan Puteri, Anda baik-baik saja?"
Sarita terkejut. Melalui sela-sela air matanya, ia menatap pengacara
kepercayaan Duke of Cookelt, Graham.
Pria tengah baya itu berlutut di depan Sarita. "Kuatkan diri Anda," Sarita
tersenyum, "Menjaga orang sakit memang tidak mudah. Belum lagi
ditambah tingkah keluarga Riddick." Graham meletakkan tangan di
pundak Sarita dan berkata, "Saya selalu siap membantu Anda."
"Oh, Graham," ingin sekali Sarita mengeluarkan segala unek-uneknya,
"Kau begitu manis," Sarita tersenyum manis.
"Ini jauh lebih baik," Graham menghapus air mata Sarita, "Jangan
biarkan Duke melihat wajah sedih Anda."
Graham membuat Sarita tersadar. "Apa yang membuatmu datang?"
tanyanya ingin tahu. Graham adalah seorang pria yang baik. Ia adalah satu-satunya pria yang
benar-benar menghargainya. Hanya ia pula yang tidak terpengaruh
Duchess Belle. Ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Duke.
Namun beberapa hari belakangan ini ia sangat sibuk.
"Duke memanggil saya."
Sarita terperanjat. Apakah ini artinya Duke Norbert tidak tidur seperti
dugaannya" Apakah ini artinya Duke mendengar perdebatannya dengan
Chris" "Jangan khawatir, Tuan Puteri," hibur Graham melihat wajah pucat Sarita,
"Semua tidaklah seburuk pikiran Anda."
Sarita mencoba tersenyum di atas kekhawatirannya.
"Haruskah kita menemui Duke sekarang?" Graham mengulurkan
tangannya. Sarita menerima uluran tangan itu dan membersihkan gaunnya serta
menyeka sisa-sisa air matanya sebelum membuka pintu tempat ia
bersandar dan menangis. "Kaukah itu, Sarita?" sambut Duke.
"Ya, Norbert. Ini aku," Sarita berdiri di ujung tempat tidur. Sarita tidak
berani mendekat. Ia tidak mau Norbert melihat matanya yang masih
memerah. "Dan Graham," tambah Sarita.
"Mengapa kau menangis, Sarita?"
Sarita kaget. "Katakan apakah Chris membuat ulah lagi" Aku mendengar teriakan
kalian." Sarita semakin pucat pasi.
"Biasalah, Duke," Graham tersenyum, "Chris masih anak-anak. Sudah
biasa pemuda seusianya membuat tingkah."
"Kuharap ia tidak melakukan sesuatu yang memalukan."
Sekarang Sarita berharap ia langsung berdebat dengan Chris di tempat
terkutuk itu. "Jangan khawatir, Norbert," Sarita segera menjawab, "Ia baik-baik saja.
Kau bisa mempercayaiku."
"Mendekatlah, Sarita."
Sarita tidak berani mendekat tapi ia tidak bisa mengabaikan permintaan
itu. "Katakan padaku," Norbert meraih tangan Sarita, "Apa yang membuatmu
menangis?" Sebelum Sarita menjawab, Norbert berkata,
"Aku bermimpi bertemu orang tuamu. Mereka menanyakan keadaanmu
padaku dan aku berjanji pada mereka aku tidak aku meninggalkanmu
seorang diri sebelum aku melihatmu pulang ke Helsnivia."
Pecahlah lagi air mata Sarita. Sarita berlutut di sisi Norbert. "Kaulah,
Norbert," isaknya, "Kaulah yang membuatku menangis. Hentikan omong
kosong ini. Jangan membuatku semakin bersedih."
"Sarita, putri cilikku yang cantik," Norbert membelai kepala Sarita dengan
jari jemarinya yang bergetar, "Aku juga tidak ingin meninggalkanmu
namun nyawaku ini bukanlah milikku. Tuhanlah yang memilikinya dan
sekarang Ia memberitahu waktuku sudah tidak banyak."
"Jangan mengatakan itu," isak Sarita, "Jangan pernah mengatakan
omong kosong ini selama kau masih di sini!"
Norbert tersenyum sedih. "Tuan Puteri," Graham meletakkan tangan di pundak Sarita. Hatinya ikut
pedih melihat Sarita. "Kuatkan diri Anda."
"Ah, Graham, rupanya kau sudah ada di sini," kata Duke dengan suara
lemahnya. "Ya, Yang Mulia Duke," Graham tersenyum.
"Apakah kau sudah siap membuat surat wasiatku?" tanyanya.
Sarita mencengkeram tangan Norbert. Matanya terbuka lebar.
"Kapanpun Anda menginginkannya, Yang Mulia," jawab Graham.
"Hentikan omong kosong ini!" sergah Sarita, "Tidak ada surat wasiat!
Norbert akan sehat kembali."
"Sarita"," ujar Duke sedih dan ia terbatuk-batuk " membuat Sarita
panik. Sarita menyeka darah yang keluar dari mulut yang bergetar itu dengan
sabar. Graham dibuat sedih oleh pemandangan itu.
Sarita melihat wajah tua yang pucat itu. Sekalipun ia menyangkalnya,
Sarita tahu Norbert sudah tidak dapat ditolong lagi. Maka ia pun duduk
lemas di lantai. Norbert menggenggam tangan gadis itu seolah-olah ingin memberinya
kekuatan. Graham menarik kursi terdekat, duduk dan mengeluarkan secarik kertas
dan pena " mempersiapkan diri mencatat segala yang dicuapkan Duke.
Sarita tidak mau mengetahui isi surat wasiat Duke. Ia pun beranjak
bangkit. "Sarita," tangan Duke menarik tangan Sarita dan ia kembali terbatukbatuk, "Aku ingin kau ada di sini," pintanya.
Satu-satunya hal yang paling tidak diinginkan Sarita adalah mengabaikan
permintaan orang yang begitu berjasa padanya. Maka, ia pun kembali
duduk di lantai di sisi Duke " menggenggam tangannya.
"Tulislah, Graham," kata Duke dengan suara lemahnya, "Aku, Norbert
Riddick, Duke of Cookelt ke 27, pada hari ini mewariskan seluruh harta
keluarga Riddick beserta wilayah kekuasaannya pada Chris Riddick, satusatunya penerusku. Hingga Chris mencapai usia dua puluh satu tahun,
Sarita Yvonne Lloyd akan menjadi walinya."
Jari-jemari Graham terhenti.
Sarita membelalak kaget. "Itu tidak mungkin, aku masih belum?"
"Aku sudah memutuskannya," Duke of Cookelt berkata tegas seperti saat
ia masih sehat. "Itu tidak mungkin, bukankah begitu Graham?" Sarita berpaling pada
pertolongan yang lain. "Bila M"lord sendiri yang menunjuk," kata Graham, "Maka tak seorangpun
bisa berbuat apa-apa."
Sarita terdiam. Ia sudah berkata pada dirinya sendiri. Begitu Norbert
meninggal dunia, ia akan memutuskan segala hubungan dengan keluarga
ini. Sarita bahkan berancang-ancang untuk memulai petualangannya
sendiri. Tapi" nampaknya hal itu tidak mungkin lagi.
"Tidak ada satu keputusan Chris pun yang dibuat tanpa persetujuan
Sarita," Duke meneruskan.
Sarita merapatkan bibirnya rapat-rapat. Ia tahu ia tidak punya suara.
Maka ia pun membiarkan Graham menulis segala yang dikatakan Duke
dan mengantar Graham ke pintu setelah Duke selesai.
Sarita tidak mau membahas surat wasiat itu. Ia memilih untuk bersikap
tidak tahu apa-apa ketika Duchess bertanya padanya apa keperluan Duke
memanggil Graham pada saat mereka berkumpul di Ruang Makan malam
itu. "Omong kosong!" seru Duchess Belle, "Kau bersama tua bangka itu
sepanjang hari. Tak mungkin kau tidak tahu apa tujuan tua bangka itu
memanggil Graham." Sarita benar-benar tidak mengerti keluarga ini. Selamanya ia tidak akan
dapat memahami kesirikan, curiga serta persaingan dalam keluarga ini.
"Bagaimana mungkin ia tahu, Mama," Dorothy ikut turun suara, "Kalau
sepanjang hari ia menghabiskan waktu di rumah pelacuran."
Mata Duchess Belle langsung membelalak lebar. Mulutnya menganga.
"Dasar tidak tahu malu!" pekik Duchess setelah ia mencerna
kemarahannya. "Apa kau ingin mempermalukan nama keluarga ini,
makhluk haram!?" Sarita tidak mau berpendapat.
"Katakan apa tujuanmu melacur!?" gunung kemarahan Duchess meletus,
"Apa kau kurang puas dengan Earl of Mongar!" Apalagi yang kaucari!"
Kaukira ada pria yang mau wanita terhina seperti kau!?"
Sarita sama sekali tidak ingin memberi tangggapan. Telinganya sudah
kebal oleh caci maki Duchess.
Duke terbaring tak berdaya di kamarnya. Namun sang Duchess lebih
tertarik mengetahui kepada siapa kuasa atas harta keluarga Riddick
diwariskan. Dorothy lebih tertarik menyudutkan dirinya dan Chris, sang
pewaris Duke of Cookelt, berpura-pura menjadi anak baik.
Tingkah keluarga ini membuat perut Sarita mual. Kondisi Duke sudah
menghilangkan selera makannya belum lagi ditambah ulah tiga orang ini.
Tanpa memberi tanggapan apapun, Sarita berdiri.
"Mau ke mana kau!?" bentak Duchess of Cookelt, "Aku belum selesai
denganmu!" "Yang Mulia Duchess of Cookelt," akhirnya Sarita membuka mulut, "Bila
Anda memang ingin tahu, mengapa Anda tidak langsung bertanya pada
Graham?" dengan tenangnya Sarita melanjutkan, "Di antara kita tidak
ada hubungan darah. Saya tidak akan mencampuri urusan Anda. Saya
pun berharap Anda menghormati saya." Kemudian Sarita tersenyum
manis, "Selamat malam," dan ia membalik badannya menuju pintu.
"Dasar makhluk hina tidak tahu diri!" seru Duchess.
"Pelacur hina!" timpal Dorothy.
Sarita menutup pintu dengan perlahan " menghentikan laju makian
kedua wanita itu ke dalam telinganya.
Sarita bersandar di pintu. Air matanya menetes lagi untuk Duke. Ia
merasa begitu kasihan pada Duke. Keluarganya lebih mencintai hartanya
daripada dirinya sendiri.
Sarita segera menghapus air matanya. Ia tidak mau terlalu berlarut
dalam kesedihan. Ia lebih tidak mau seorang dari tiga orang itu
melihatnya menangis. Sarita tidak suka membiarkan mereka berpikir ia
menangis oleh caci muka mereka. Pikiran itu hanya akan membuat
mereka semakin berkuasa atasnya. Sesungguhnya Sarita tidak peduli
pada caci maki mereka terutama Duchess dan putrinya.
Sarita menuju kamar Duke.
Duke sudah tidur pulas. Ia tampak begitu tenang. Seulas senyum
menghiasi wajah tuanya. "Selamat malam, Norbert," bisik Sarita, "Bermimpilah yang indah dan
segeralah sembuh." Hati Sarita pedih memikirkan Duke akan
meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Sarita merapikan selimut Duke, mencium kedua pipinya, memastikan
jendela kamar Duke tertutup rapat kemudian kembali kekamarnya.
Baru beberapa langkah Sarita meninggalkan kamar Duke ketika Chris
mencegatnya. "Jadi," Chris berkata dengan nada mengejeknya, "Sepanjang hari ini kau
melacurkan dirimu." Sarita tidak menanggapi. Ia terus berjalan menuju kamarnya.
"Kalau kau begitu ingin menemukan pria kaya untuk menunjang
kehidupanmu setelah Papa meninggal, mengapa kau tidak tinggal saja di
sini" Kau bisa menjadi gundikku."
Sarita terperanjat. Chris pikir karena siapakah ia pergi ke tempat terkutuk
itu" Beraninya ia berkata seperti itu padanya!"
"Atau mungkin kau lebih tertarik pada tawaran Owen?"
Sarita langsung membalikkan badan. Matanya menatap tajam pemuda
itu. "Jangan berpura-pura suci, Sarita," ejek Chris, "Aku mengerti kalau kau
sudah lelah menjaga tua bangka itu. Kau tidak perlu berpura-pura


Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi anak berbakti. Kau pun mengharapkan kematian tua bangka itu
bukan?" "Beraninya kau!" tangan Sarita melayang.
Chris menangkap tangan Sarita. "Aku tidak akan membiarkanmu
menamparku dua kali dalam sehari."
"Kau anak yang tidak berguna!" maki Sarita, "Bisa-bisanya kau
mengharapkan kematian ayahmu sendiri!" Air mata Sarita jatuh lagi.
"Lihatlah dirimu," Chris tersenyum mengejek, "Walau kau marah, kau
masih tetap cantik," Chris menarik Sarita ke dalam pelukannya, "Aku
tidak percaya tidak seorang pria pun yang lolos dari kecantikanmu."
"Lepaskan aku!" Sarita memberontak.
Chris tertawa geli. "Apa yang kaulakukan!" Sarita mendorong Chris kuat-kuat. "Lepaskan
aku!" "Jangan berpura-pura lagi, Sarita," Chris mengejek Sarita. Matanya
menatap Sarita penuh nafsu " membuat Sarita bergidik.
"Kau tertarik pada ide tidur bersamaku, bukan?"
Jantung Sarita melompat kaget. "Kau sudah gila!" makinya.
Chris tertawa dengan suara tawa yang membuat Sarita jijik. "Ya, aku
sudah gila. Aku tertarik pada kakak setengah darahku."
"Aku bukan kakakmu!"
"Ya, kau bukan kakakku."
Sarita tidak menyukai nada pemuda ini.
"Kau memang bukan kakakku. Kita hanya saudara seayah beda ibu. Tidak
akan ada yang memprotes kalau kau tinggal bersamaku. Semua pria juga
mempunyai simpanan."
"Mati pun aku tidak sudi!"
"Sarita" Sarita"," gumam Chris, "Kata-katamu dengan keinginanmu
berbeda jauh." "Apa maksudmu!?" Sarita dibuat tidak nyaman olehnya.
"Kau memang pandai berpura-pura," Chris membelai wajah Sarita.
Sepasang mata hijaunya menatap lekat-lekat wajah Sarita dengan penuh
nafsu. Cara Chris membelainya, cara Chris menatapnya, membuat Sarita
bergidik. Mau tidak mau Sarita teringat pada mata jalang pria-pria di
rumah pelacuran. Sarita sadar ia harus segera melepaskan diri dari
bahaya yang ditebarkan Chris.
Sarita menginjak kaki Chris dengan tumit sepatunya.
Chris merintih kesakitan.
Sarita memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur.
"Mau ke mana kau!?" Chris menarik tangan Sarita dan mengurungnya di
dinding. "Kau tidak akan ke mana-mana!"
"Lepaskan aku!" Sarita mendorong Chris.
"Kau benar-benar membuatku bergairah," tangan Chris menuju dada
Sarita. Sarita panik. Tangannya melayang menampar wajah Chris.
Chris menangkap tangan Sarita. "Sudah kukatakan aku tidak akan
membiarkanmu menamparku dua kali dalam sehari," Chris menahan
kedua tangan Sarita di tembok dan ia menunduk untuk mencium Sarita.
Otak Sarita berputar cepat. Sebelum ia sendiri menyadarinya, kakinya
telah melayang ke daerah di antara kedua paha Chris.
Chris menjerit kesakitan.
Sarita tidak membuang waktu untuk kabur. Ia berlari secepat mungkin ke
dalam kamar Duke. Begitu ia menutup pintu kamar, Sarita bersandar di pintu dengan lega.
Hanya tempat inilah yang bisa melindunginya dari nafsu Chris. Hanya
keberadaan Duke Norbertlah yang bisa menghentikan kegilaan Chris.
Sarita tidak tahu dari mana Chris belajar menjadi pria jalang. Siapa yang
mengisi otak pemuda itu dengan nafsu gilanya" Sarita tidak tahu lagi apa
yang harus dilakukannya dengan pemuda ini.
Semua pria sama saja. Mereka begitu bangga bila mereka mempunyai
banyak wanita simpanan. Tak seorang pun merasa hal itu salah dan
mereka telah meracuni pikiran para pemuda. Karena itulah Sarita yakin ia
tidak akan pernah menikah.
Namun Chris bukan hanya diracuni pria-pria itu. ia juga telah diracuni
oleh ibu dan kakaknya. Mereka telah merusak pemuda yang akan
menjadi pemimpin keluarga Riddick! Bahkan ketiganya mendoakan
kematian Duke! "Teganya"," gumam Sarita, "Teganya mereka?"
"Sarita, kaukah itu?" sebuah suara lirih mengalun dari tempat tidur.
Sarita terperanjat. Ia segera menghapus air matanya. "Ya, Norbert, ini
aku," Sarita mendekat.
"Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Tidak ada," jawab Sarita, "Mereka tidak melakukan apa pun padaku."
"Mengapa kau menangis?"
Sarita tidak dapat menjawab.
"Aku bermimpi bertemu orang tuamu," Duke berkata, "Mereka
mengajakku pergi berlayar namun sebelum aku menjawab, kau yang
masih gadis kecil berlari ke arahku sambil menangis."
Pecahlah sudah air mata Sarita. Sarita berlutut di sisi Duke dan menangis
tersedu-sedu. Ia tidak perlu diterangkan apa arti mimpi itu.
"Sarita, putriku," Duke Norbert meletakkan tangan keriputnya di kepala
Sarita, "Aku telah berjanji pada orang tuamu untuk membuatmu selalu
tersenyum. Jangan menangis. Aku tidak ingin melihatmu menangis."
"Baik, Norbert," Sarita menghapus air matanya, "Aku tidak akan
menangis lagi." "Kau jauh lebih cantik kalau tersenyum."
Melalui sinar rembulan yang menyelinap melalui jendela, Sarita melihat
seulas senyum di wajah Duke. Sarita pun mencoba tersenyum walau
hanya seulas senyum sedih.
"Aku bahagia. Aku bisa berkata pada Ithnan, aku telah membesarkan
putri tercintanya dengan penuh cinta. Gadis kebanggaannya telah
menjadi seorang wanita cantik. Ithnan akan sangat bangga melihatmu."
Duke tersenyum bahagia " membuat Sarita pilu.
"Kau begitu mirip ibumu," kata Duke, "Melihatmu, rasanya seperti
melihatnya lagi. Ibumu adalah seorang gadis cantik yang periang. Ia tidak
pernah menangis. Ia tidak pernah mengeluh bahkan dalam keadaan yang
paling sulit." Duke terbatuk-batuk. Sarita segera membasahi kain dengan air di dalam baskom yang selalu
tersedia di sisi pembaringan. Dengan telaten, ia membersihkan wajah
Duke Norbert. Hatinya hancur melihat darah itu.
Duke tersenyum sedih. "Kau mewarisi ketelatenan ibumu dan ketegaran
ayahmu. Kau adalah pusaka mereka. Aku akan begitu sedih
meninggalkanmu seorang diri." Duke kembali terbatuk-batuk.
"Oh, Norbert," pinta Sarita, "Jangan berbicara lagi."
"Satu-satunya penyesalanku," batuk kembali menghentikan Duke
melanjutkan kalimatnya. Sarita harus menahan kuat-kuat air mata di pelupuk matanya. "Norbert,"
katanya menahan isak tangis, "Kumohon, beristirahatlah."
"Ithnan begitu ingin memulangkanmu ke Helsnivia," Duke Norbert
mengabaikan permintaan Sarita.
Sarita tidak dapat menahan air matanya lagi. Ia menggigit bibirnya rapatrapat untuk mencegah isak tangisnya terdengar oleh Duke. Dengan mulut
tertutup rapat, ia mendengarkan Duke sambil menyeka bibir Duke ketika
ia kembali batuk. Malam ini akan menjadi malam yang melelahkan tapi Sarita tidak akan
mengeluh. Saat ini ia hanya ingin melewatkan setiap detik yang berharga
ini dengan ayah angkat tercintanya.
Chapter 4 Sarita menatap Duke yang sudah tertidur nyenyak tanpa suara.
Sepanjang malam Duke terus mengenang masa mudanya bersama
Ithnan di sela-sela batuknya yang kian parah.
Kemarin sore batuk Norbert tidaklah parah. Hanya sesekali ia terbatuk
darah tapi sepanjang malam batuknya hampir tidak pernah berhenti.
Sarita menatap wajah tua itu dengan pilu. Tidak adakah yang bisa
dilakukannya untuk menyenangkan Duke" Tidak adakah yang bisa
dilakukannya untuk memenuhi keinginan terakhir sang Duke"
Sarita tidak bisa memenuhi keinginan ayahnya ketika ia sekarat. Hingga
detik ini ia terus menyesalinya. Walau pada akhirnya keinginan ayahnya
terwujud, Sarita terus berharap ia dapat memenuhi keinginan ayahnya
sebelum ia meninggal. Keinginan terakhir ayahnya adalah bertemu
dengan Duke Norbert dan menyerahkan sendiri putrinya dalam asuhan
Duke. Duke memang datang tapi ia terlambat. Sarita tahu keterlambatan
itu telah membuat penyesalan yang mendalam di hati Duke. Sekarang
Sarita tidak ingin membuat penyesalan lagi di hati Duke. Ia tidak ingin
melihat orang yang dicintainya pergi tanpa dapat mewujudkan keinginan
terakhir mereka. Maka Sarita memutuskan. Selagi ia masih punya waktu, ia akan
mewujudkan keinginan terakhir Duke! Sekalipun ia harus membuang
wajah dan harga dirinya! Tak sampai setengah jam kemudian Sarita berdiri di depan sepasang
mata menyelidik Halbert. Berlawanan dengan Sarita, rambut pirang Halbert yang bersinar
cemerlang tersisir rapi. Kemeja putihnya yang licin dipadu dengan celana
hitam, membuatnya tampak begitu gagah. Satu-satunya yang merusak
penampilannya yang menawan adalah sepasang mata biru tuanya yang
memandang Sarita dengan penuh tanda tanya dan jijik.
Penampilan Sarita saat ini jauh dari menawan. Rambut kuning pucatnya
berantakan. Matanya yang sembab masih membengkak setelah menangis
sepanjang malam. Hidungnya memerah. Goresan hitam di bawah
matanya membuatnya kian kelam dan terlebih dari itu, gaunnya acakacakan bahkan sebuah kancing di dadanya jatuh terlepas oleh
pergumulannya dengan Chris semalam.
"Apakah tujuan Anda datang pagi-pagi?" Halbert menahan keinginannya
untuk mengusir pemandangan tidak sedap ini.
"Dengan membuang segala harga diri, saya memohon Anda pergi
bersama saya ke Sternberg," Sarita langsung ke pokok pembicaraan.
"Ke Sternberg."
"Saya percaya Duke Norbert telah meminta Anda untuk mengambil saya
sebagai istri," Sarita akhirnya mengutarakan pokok pembicaraan yang
paling tidak ingin dibahasnya. "Saya mohon kembalilah bersama saya ke
Sternberg dan berkata pada Duke bahwa Anda akan mengambil saya
sebagai istri." Tawa Halbert meledak. Reaksi Halbert tepat seperti dugaan Sarita.
"Saya tidak meminta Anda untuk bersungguh-sungguh," Sarita
melanjutkan, "Yang saya minta hanyalah sebuah kalimat persetujuan
Anda." "Apakah yang membuatmu berpikir aku akan pergi denganmu?" cibir
Halbert. "Ini adalah permintaan terakhir orang yang menjelang ajal," terang
Sarita, "Anda tentu bersedia membantu saya memenuhi keinginan
terakhir orang yang sekarat."
Halbert tertawa geli. "Apakah kau pikir aku akan percaya padamu"
Sekalipun aku harus berbohong, aku tidak akan menerima lamaran
terkonyol kalian. Engkau memang cantik tapi kau tidak cukup cantik
untuk membuatku ingin menikahimu." Dan kau adalah gadis yang
melacurkan dirinya ketika ayahnya terbaring sakit, Halbert menambahkan
pada dirinya sendiri. "Sejujurnya saya pun tidak tertarik untuk menikah dengan Anda apalagi
berhubungan dengan Anda," Sarita tahu ia telah membuat Halbert kesal
namun demi keberhasilan rencananya, ia harus menekan amarahnya
dalam-dalam. "Saya hanya ingin Anda membantu saya."
"Aku sudah sering mendengar cerita serupa. Aku tidak akan
mempercayaimu." "Bagaimana Anda tahu hal itu hanya sebuah karangan sebelum Anda
melihatnya sendiri?"
"Pernyataan itulah yang membuatku semakin meragukan kebenaran
perkataanmu." Sarita putus asa melihat kekeraskepalaan pemuda ini. Sebelum datang, ia
sudah tahu sang Pangeran akan menolak. Namun ia tetap memegang
harapan rasa belas kasih sang Putra Mahkota Helsnivia dapat
membantunya. Sekarang harapan itupun terasa telah sirna.
Apakah ia juga tidak dapat memenuhi keinginan terakhir ayah
angkatnya" "Tidakkah Anda bersedia menyenangkan hati orang yang sekarat?"
Halbert tertegun melihat air mata Sarita.
"Sarita?" Sarita terperanjat. Ia merasa mendengar suara Duke. Dadanya
berdegup kencang tanpa dapat ia kendalikan. Sebuah perasaan tidak
enak membuatnya tidak nyaman.
"Anda sungguh mengecewakan saya," kata Sarita tajam dan ia langsung
pergi. Halbert melihat Sarita dengan kebingungan. Ia tidak menyukai gadis ini.
Ia datang dengan acak-acakan seperti baru bergulat sepanjang malam,
memaksanya menerima lamaran ayahnya, dan pulang tiba-tiba tanpa
pamit. "Benar-benar gadis liar!" maki Halbert.
Mata biru muda yang sembab itu melintas di depan Halbert. Untuk sesaat
sepasang mata yang basah itu tampak begitu hancur dan pilu.
Derap kaki kuda menjauh dengan cepat.
Melalui jendela, Halbert melihat Sarita pergi seperti dikejar setan.
-----0----- "Sarita".. Sarita".. di manakah kau?" Duke mencari-cari.
"Sarita?" Sarita membuka pintu lebar-lebar.
"Sarita, kaukah itu?" tangan Duke mencari-cari Sarita.
"Ya, Norbert, ini aku," Sarita menjatuhkan diri di sisi Norbert. Ia
menggenggam erat tangan Duke. Hatinya begitu pilu melihat pria tua
yang sudah tidak berdaya itu.
"Ithnan, lihatlah Sarita. Lihatlah putri kecilmu sudah menjadi wanita
tercantik di dunia."
"Norbert"," gumam Sarita tanpa dapat menahan isak tangisnya.
Tindakan Duke benar-benar seperti tindakan ayahnya sesaat sebelum
meninggal. Ia mencari-cari orang-orang yang tidak dikenalnya dan
berbicara dengan orang lain yang tak dilihatnya.
"Sarita, mengapa Pangeran ada di sini?"
"Sekarang ia melihat hal yang tidak-tidak", pikir Sarita. Ia telah berusaha
mewujudkan keinginan terakhir Duke tapi ia tidak berhasil.
"Sarita, apakah Pangeran bersedia menikahimu?"
"Ya, Norbert, ia bersedia," Sarita memutuskan untuk mengikuti khayalan
Duke. Duke tersenyum bahagia. "Lihatlah, Ithnan, Sarita" bisa pulang","
suaranya kian menghilang dan matanya terpejam rapat. Tangannya jatuh
lemas di sisi tubuhnya. Sarita terpaku. Ia tidak dapat menangis lagi. Ia tidak dapat meratap lagi.
Hatinya terasa hampa. Ia merasa seperti dunianya sudah berakhir.
Halbert tertegun. Sesuatu yang tidak diketahuinya, membuatnya
mengikuti Sarita. Sekarang ia telah menjadi saksi kepergian Duke of
Cookelt untuk selama-lamanya.
Halbert memperhatikan Sarita yang sama sekali tidak bergerak. Ia
merasa malu telah mencurigai gadis itu.
Sarita berdiri. Belum sedetik ia berdiri, tubuhnya jatuh lemas.
Halbert bergerak cepat menangkap Sarita.
Sepasang mata biru muda yang dalam itu tampak kosong. Air mata yang
belum kering membasahi wajah pucatnya.
"Kuatkan dirimu."
Sarita terkejut. Ia segera menjauhkan diri dari Halbert. "S-saya tidak
apa-apa," kata Sarita gugup tergagap.
Halbert merasakan suatu keinginan yang kuat untuk merengkuh gadis itu
dalam pelukannya. Ia ingin memberikan dadanya untuk gadis itu
menangis sepuasnya. Sarita tampak begitu kacau, pucat, letih, dan tidak


Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdaya. Ia membuat jiwa kejantanan Halbert ingin melindunginya.
"Terima kasih, Yang Mulia Pangeran," ujar Sarita sambil mencoba
tersenyum, "Anda membuat Norbert pergi dengan bahagia."
Halbert pilu melihat senyum di wajah sedih itu.
"Jangan biarkan saya menyita waktu Anda."
Halbert tidak mengerti gadis ini. Ia datang memohon padanya, berterima
kasih atas sesuatu yang tidak dilakukannya dan sekarang mengusirnya!
Sarita berjalan ke pintu. Tubuhnya kembali limbung.
Halbert mengulurkan tangan untuk menangkap Sarita.
Sarita menggeleng dan menghindar. "Saya tidak apa-apa," katanya dan
melangkah ke pintu dengan tubuh limbungnya.
Halbert semakin tidak mengerti gadis ini.
Halbert melihat Sarita berdiri mematung di pintu. Untuk sesaat ia yakin
gadis ini akan jatuh pingsan tapi kemudian gadis itu melangkah tegas
untuk mengabarkan kematian Duke pada seisi Sternberg.
Dalam waktu sekejap semua orang mengetahui kabar kematian Duke.
Dalam waktu sekejap pula upacara penguburan Duke of Cookelt
diselenggarakan. Tepat seminggu setelah kematiannya, peti mati Duke
telah siap untuk dikubur.
Sahabat dan kerabat Duke Norbert berdatangan dari berbagai penjuru
untuk mengantar Duke ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Semua orang tampak begitu sedih oleh kepergian Duke of Cookelt yang
telah mereka kenal dengan baik. Sepanjang yang dilihat Halbert, tidak
seorangpun yang sesedih Sarita. Namun anehnya, Halbert tidak melihat
gadis itu dalam kerumunan orang berbaju hitam ini. Tidak di antara
barisan terdepan keluarga Duke Norbert. Tidak juga di antara Duches
Belle dan kedua putranya.
Halbert mengakui. Di antara semua wanita yang dikenalnya, Saritalah
wanita yang pandai bersandiwara. Sarita telah berhasil membuatnya
percaya ia adalah putri yang berbakti. Sarita telah berhasil membuatnya
terharu. Namun, ternyata ia tetaplah sorang putri yang melacurkan diri
ketika ayahnya sakit parah.
Baru saja Halbert berpikir seperti itu ketika ia melihat sosok yang
dikenalnya di pintu gereja " jauh dari kerumunan.
Wajah gadis itu tertutup kerudung hitam namun Halbert yakin gadis itu
adalah Sarita. Halbert tidak mengerti mengapa gadis itu berdiri menjauh dari
kerumunan. Mengapa ia tidak berada di antara keluarganya"
Setelah Duke Norbert dikubur dan orang-orang menjauh, Sarita bergerak.
Sarita ingin mengantar Duke tapi Duchess Belle melarangnya. "Anak
haram seperti kau hanya akan mempermalukan kami," katanya.
Sarita tidak ingin berdebat dengannya. Ia tidak ingin tinggal lebih lama
dalam keluarga durhaka ini.
Begitu mendengar kematian Duke, mereka bukannya bersedih malah
bersuka cita. Duchess dan Chris mulai berebut kuasa atas harta keluarga
Riddick. Baik Duchess Belle maupun Dorothy tidak tertarik membatalkan
janji kencan mereka di saat Sarita memberitahukan kematian Duke.
"Apa hubungannya denganku?" itulah yang dikatakan Duchess ketika
Sarita mencegahnya pergi. "Ia sudah mati."
"Anda perlu mengurus penguburan Norbert."
"Itu bukan urusanku. Bukannya kau putri haram kesayangannya"
Mengapa kau tidak mati bersama ayahmu?"
Saat itu Sarita hanya bisa menangis untuk Duke.
"Aku punya janji!" itulah yang dikatakan Dorothy. "Aku tidak punya
kepentingan dengan orang mati."
Chris juga tidak jauh berbeda. Ia bersorak gembira ketika mengetahui
kematian Duke dan mulai merencanakan tindakannya setelah menjadi
Duke of Cookelt yang baru.
Tidak perlu diragukan lagi keluarga durhaka itu tidak mau tinggal
berlama-lama meratapi kuburan dingin Duke.
"Oh, Norbert," Sarita jatuh lemas di sisi makam Duke. Air matanya yang
belum kering kembali bercucuran. "Tempat tidurmu masih hangat tapi
mereka sudah berebut warisan."
Sarita merasa begitu hampa. Sekali lagi ia ditinggalkan seorang diri tanpa
sanak saudara. Kali ini tidak akan ada Duke Norbert kedua yang
menerimanya dengan tangan terbuka. Tidak ada lagi orang yang
menerimanya sebagai bagian keluarga mereka.
Mata basah Sarita menatap lekat-lekat kuburan yang masih segar.
Hatinya hampa. Pikirannya kosong. Hanya isak tangis yang tertahan
mengisi kesunyian dirinya.
Halbert berdiri hanya dua meter di belakang gadis itu tanpa suara.
Tangisan gadis inilah yang benar-benar memilukan suasana penguburan
ini. Bila beberapa saat lalu Sarita menjadi gadis yang paling pandai
bersandiwara. Sekarang ia menjadi gadis yang paling tidak
dimengertinya. Entah berapa lama Sarita duduk termenung seperti itu sebelum akhirnya
ia berdiri. Sarita belum berdiri tegak ketika tubuhnya kembali limbung.
Halbert segera menangkap gadis itu.
Wajah gadis itu tampak begitu pucat. Matanya terpejam rapat. Garis
hitam di sekitar matanya menandakan keletihannya. Ia tampak jauh lebih
pucat dan letih dari yang dilihat Halbert seminggu lalu.
Halbert terkejut. Ketika tangannya menyentuh kulit gadis itu, tangannya
seperti tersengat sesuatu. Halbert meletakkan tangan di kening gadis itu
dan terkejut merasakan panas membara.
Segera Halbert bertindak dengan membawa Sarita menjauhi panas
matahari musim panas yang menyengat ini.
Ketika Sarita terjaga, ia melihat langit-langit yang berlukiskan para
malaikat yang memahkotai Bunda Maria. Pikirannya yang kosong
menatap lukisan itu dengan bertanya-tanya. Untuk beberapa saat ia
menatap lukisan itu. "Kau merasa lebih baik?"
Barulah Sarita sadar ia tengah berbaring di kursi jemaat gereja dengan
kepalanya di atas pangkuan Halbert dan sebuah kain basah di keningnya.
Sarita mengambil kain basah itu dari keningnya dan berusaha duduk.
Halbert membantu Sarita duduk. "Kau sudah merasa lebih baik?" Halbert
mengulangi pertanyaannya.
"Y-ya", saya sudah merasa lebih baik," jawab Sarita sambil menyerahkan
kain putih itu pada Halbert, "Terima kasih banyak."
Sarita berdiri dengan tubuh limbungnya. Gerakannya yang tiba-tiba
membuat pandangannya kabur dan kepalanya terasa berputar-putar.
"Aku akan mengantarmu pulang," Halbert menahan tubuh Sarita.
"T-tidak perlu repot-repot, Yang Mulia," Sarita melepaskan diri, "Saya
tidak akan pulang ke Sternberg."
Halbert bertanya-tanya. "Saya bukan bagian dari mereka. Norbert juga sudah tidak ada. Saya
tidak punya alasan lagi untuk kembali."
Norbert" Halbert bertanya-tanya. Selama ini ia memang tidak terlalu
memperhatikan cara Sarita menyapa Duke of Cookelt. Sekarang ia benarbenar ingin tahu sedemikian akrabnyakah mereka sehingga Sarita
memanggil ayahnya hanya dengan namanya"
"Terima kasih atas kepedulian Anda, Yang Mulia Pangeran Halbert," kata
Sarita sekali lagi. Sarita tampak begitu tidak berdaya, begitu rapuh. Begitu rapuhnya gadis
itu hingga Halbert yakin sebuah sentuhan lembut dapat menjatuhkannya.
Halbert memperhatikan Sarita berjalan dengan limbung ke pintu. Ia telah
menawarkan bantuan tapi gadis itu menolaknya. Ia sudah menawarkan
tumpangan tapi gadis itu tidak mau. Apa lagi yang bisa dilakukannya"
Ia sudah melakukan kewajibannya sebagai seorang pria jantan. Yang
lebih penting lagi adalah bukan urusannya mencampuri urusan Sarita dan
ia tidak punya kewajiban mengurus gadis itu.
Itulah yang dikatakan Halbert pada dirinya sendiri. Namun beberapa saat
kemudian kereta kudanya tengah mengikuti kereta yang disewa Sarita.
Sejam berlalu sudah dan tidak seorang pun dari mereka yang berhenti.
Halbert mulai bingung ketika kereta kian menjauhi keramaian. Ia semakin
curiga ketika mereka mulai memasuki daerah perbukitan.
Halbert ingin tahu ke mana Sarita pergi setelah kematian ayahnya.
Tempat ini terlalu terpencil kalau mau dikatakan Sarita pergi
menenangkan diri di rumah keluarga Riddick yang lain. Tidak mungkin
keluarga Riddick mempunyai kediaman di tempat terpelosok seperti ini.
Dua jam telah berlalu setelah memasuki daerah berhutan lebat ini namun
tidak nampak sebuah rumah pun. Semakin mereka memasuki tempat ini,
semakin tidak nyaman jalan yang mereka tempuh.
Halbert bisa memastikan Sarita tidak pergi menenangkan diri di salah
satu rumah peristirahatan keluarga Riddick. Ia benar-benar tidak punya
ide ke mana gadis ini pergi.
Rasanya sepanjang hari mereka menapaki jalan berbatu-batu itu sebelum
akhirnya Halbert melihat rumah. Menilik dari ukurannya dan jarak antara
rumah yang satu dengan rumah yang lain, Halbert yakin ini adalah desa
petani. Halbert tidak mengerti apa yang dicari Sarita di tempat ini. Tidak mungkin
putri seorang Duke seperti Sarita bisa dan mau tinggal di tempat terpencil
seperti ini. Kereta berhenti dengan perlahan.
"Pangeran," kata pengawal Halbert memberitahu dari jendela, "Kereta itu
sudah berhenti." Halbert langsung melompat keluar dan bersembunyi di balik pohon
rindang terdekat dari kereta yang ditumpangi Sarita.
Halbert melihat Sarita berdiri di depan pagar rumah kecil. Ia tengah
membayar kusir kuda kereta sewaannya. Beberapa saat kemudian ketika
kereta itu pergi, Halbert dapat melihat sebuah koper besar di sisi Sarita.
Halbert bertanya-tanya. Sarita tidak mungkin hendak tinggal di tempat
terpencil seperti ini, di rumah kecil seperti itu, bukan" Gadis bangsawan
seperti dia tidak mungkin mau tinggal di tempat yang jauh berbeda
dengan istananya. Seorang pemuda yang menyandang cangkul atau apapun itu di
pundaknya, berjalan ke arah Sarita.
Sarita tampak tertegun melihat pemuda itu dan sedetik kemudian ia
menjatuhkan diri di pelukan pemuda itu.
Seketika itu juga semuanya menjadi jelas bagi Halbert. Pemuda itu pasti
adalah kekasih Sarita! Sarita tidak membiarkannya menyentuhnya
seolah-olah ia jijik pada setiap pria tapi ia menjatuhkan diri dalam dada
pemuda itu. Sarita juga membiarkan pemuda itu memegang wajahnya
dan membopongnya ke dalam rumah.
Halbert yakin rumah itu adalah rumah pemuda itu.
Sungguh tidak dapat dipahami mengapa Sarita yang jelas-jelas gadis
berdarah biru bisa jatuh cinta pada pemuda pedesaan seperti pria itu.
Tidak dapat dipahami besarnya cinta Sarita sehingga ia mau tinggal di
rumah yang tidak jauuh lebih besar dari kamar Duke Norbert!
Halbert sering mendengar cerita wanita bangsawan yang rela
meninggalkan segalanya demi cinta. Namun baru kali ini ia melihat
contoh nyata dan ekstrim!
Beberapa saat kemudian Halbert melihat pemuda itu keluar dengan
cemas. Ia bergegas membawa masuk koper besar Halbert. Belum
semenit ia masuk, ia sudah keluar lagi. Kali ini ia berlari ke rumah di sisi
kanan. Halbert tidak mengerti apa yang dilakukan pemuda itu.
Pemuda itu melaju dengan cepat dari belakang rumah di atas kuda coklat.
Seketika itu juga Halbert tahu apa yang dilakukan pemuda itu. Pemuda
itu pasti pergi mencari dokter! Ia sama sekali sudah lupa akan demam
tinggi Sarita! "Namun," Halbert kembali bertanya-tanya. "Apakah mungkin ada dokter di
tempat terpencil seperti ini?"
Sepuluh menit berlalu sudah semenjak kepergian pemuda itu tapi tidak
nampak tanda-tanda pemuda itu kembali. Keberadaannya di pohon besar
itu juga sudah mengundang ketertarikan para penghuni desa.
Halbert melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan dari rumah tempat
Sarita berada. Ketika ia mendekati rumah itu, ia melihat pekarangannya yang tertata
rapi. Rumputnya yang pendek tampak seperti baru dipangkas beberapa
hari lalu. Namun ketika ia memegang pintu, ia merasakan debu di
pegangannya. Untuk sesaat Halbert ragu. Haruskah ia masuk tanpa mengetuk pintu"
Kalaupun ia mengetuk pintu, apa yang harus dikatakannya pada Sarita
mengenai keberadaannya di sini"
"Papa." Halbert terkejut. Ia melihat sekeliling tapi ia tidak melihat seorang pun.
"Jangan pergi, Papa."
Kali ini Halbert tahu dari mana suara itu berasal.
"Biarkan aku ikut, Papa," Halbert mendengar isak tangis Sarita, "Aku
tidak mau ditinggal sendiri."
Halbert tidak berpikir panjang lagi untuk masuk.
"Papa?" Halbert langsung menuju asal suara itu.
Sarita tampak begitu kesakitan. Sebuah kain basah berada di keningnya.
Wajahnya basah oleh keringat. Bibirnya terus menerus memanggil Papa
dan mengulangi kalimat: aku tidak mau ditinggal sendiri; jangan pergi.
Halbert melihat sekeliling " mencari sesuatu yang bisa dijadikan tempat
menandah air. Di meja kecil di sisi tempat tidur, Halbert melihat sebuah baskom penuh
berisi air. Halbertpun segera mengambil kain di kening Sarita yang
membara, menyeka keringat di wajah pucatnya, membasahi kain itu lagi,
dan kembali menyeka wajah Sarita.
"Papa"," mata Sarita terbuka.
Halbert membalikkan badannya untuk membasahi kain.
"Jangan pergi!" Sarita menangkap tangan Halbert dan mencengkeramnya
kuat-kuat. Halbert tertegun. Sebulir air mata mengalir dari mata pilu yang tertutup
rapat itu. "Aku tidak akan pergi. Aku akan selalu berada di sisimu," bisik Halbert
lembut dan ia duduk di sisi Sarita. "Aku janji," Halbert menggenggam
tangan Sarita. Sarita tersenyum. Lagi-lagi Halbert tertegun. Ia tidak pernah melihat senyum manis Sarita
yang seperti ini. Sarita tampak begitu bahagia dan damai sehingga
Halbert tidak tega menarik tangannya dari genggaman Sarita.
Sarita memejamkan matanya namun tangannya masih menuntut bukti
keberadaan Halbert di sisinya.
Dengan tangannya yang terbebas, Halbert terus menyeka keringat Sarita
dan dengan sabar membisikkan kata-kata lembut yang menenangkan
gadis itu. Matanya terus menatap wajah yang menderita itu.
Kematian Duke Norbert pasti merupakan pukulan besar bagi Sarita.
Apakah yang akan dilakukan Sarita setelah ini"
Untuk beberapa alasan yang tidak diketahuinya, Sarita tidak mau kembali
ke Sternberg. Apakah Sarita akan tinggal di tempat ini" Bersama pemuda
itu" Ingatan akan pemuda yang menyambut Sarita, membuat Halbert mual.
Saat ini ia berada di rumah pemuda itu!
Tiba-tiba Halbert sadar sewaktu-waktu pemuda itu akan muncul.
Halbert beranjak bangkit.
Melalui jendela di seberang tempat tidur, ia tidak melihat tanda-tanda
pemuda itu. Namun Halbert tidak mau mengambil resiko. Ia segera
mengompres Sarita kembali dan beranjak pergi.
Apa yang sedang dilakukannya!" Apa yang akan dikatakan dunia!" Ia
tidak pernah menjaga orang sakit sebelumnya. Ia juga tidak pernah
menunggu orang sakit seperti ini. Sekarang ia menunggui anak haram,
pelacur yang tidak tahu malu, gadis licik yang melamarnya, dan" dan"
Halbert melihat wajah cantik yang pucat itu. Kesedihan gadis ini bukanlah
sebuah sandiwara. Mungkin kesedihannya, penderitaannyalah yang
membuatnya iba dan pada akhirnya membawanya ke tempat ini.


Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukup sudah! Sarita tidak sendiri lagi. Siapa pun pemuda itu, Sarita
sudah mempunyai orang yang akan menjaganya.
Saat itulah ia baru benar-benar menyadari betapa kecilnya rumah ini "
kalau mau disebut rumah. Tempat ini hanya mempunyai satu perapian di
seberang pintu masuk. Dapur kecil di sisi kanan pintu. Sebuah meja kayu
persegi berdiri di depan perapian bersama empat kursi kayu tua yang
mengelilingi keempat sisinya. Singkat kata, ruang tamu, ruang makan,
ruang keluarga, dan dapur menjadi satu di tempat ini. Hanya satu pintu di
sisi kiri perapian yang membatasi ruang ini dengan ruang tidur Sarita.
Halbert tidak dapat memahami bagaimana Sarita akan tinggal di tempat
ini, rumah yang pasti tidak lebih besar dari kamar Sarita di Sternberg.
Ketika Halbert memperhatikan perlengkapan dapur yang begitu minim,
barulah ia menyadari betapa kotornya tempat ini.
Debu tebal dapat dijumpai di setiap sudut.
"Betapa malasnya penghuni rumah ini," gumam Halbert.
Tiba-tiba saja Halbert tersadar. Di mana pemuda itu tidur" Di mana Sarita
tidur" Akankah mereka berdua tidur bersama" Pikiran itu membuatnya
kembali mual dan pada saat yang bersamaan membangkitkan
kewaspadaannya. Halbert segera meninggalkan rumah itu.
Baru saja Halbert mencapai kereta kudanya ketika dua ekor kuda menuju
rumah itu. Seorang adalah pemuda itu dan yang seorang lagi, Halbert
yakini, adalah sang dokter.
Sekarang pemuda itu sudah kembali bersama dokter. Tidak ada alasan
lagi bagi Halbert untuk tinggal lebih lama lagi.
Chapter 5 Sarita merapatkan syal di sekeliling bahunya. Matanya menatap kejauhan
di puncak bukit berumput yang luas itu. Pikirannya kosong tapi hatinya
begitu damai. Rasanya sudah lama Sarita tidak merasa setenang ini.
Pagi ini ia terbangun sebelum matahari terbit. Di keningnya ada sebuah
kain kering. Di sisi tempat tidur ada baskom penuh berisi air.
Sarita tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Pasti Marcialah yang telah menjaganya sepanjang malam dan saat ini
pemuda itu pasti sudah berada di ladangnya.
Sarita mengenal Marcia enam tahun lalu ketika ia dan ayahnya menetap
di Hauppauge, desa pertanian ini karena sakit ayahnya. Semenjak itu
mereka menjadi teman baik.
Rumah yang saat ini menjadi milik Sarita adalah dulu adalah bagian dari
milik keluarga Marcia. Ketika mereka datang enam tahun lalu, ayah Sarita
menyewanya. Rumah itu memang kecil dan hanya mempunyai satu
tempat tidur. Namun saat itu hanya inilah yang bisa dilakukan mereka
dengan kondisi keuangan mereka yang terbatas. Mereka membutuhkan
tempat untuk merawat sakit ayah Sarita. Bagi Sarita sendiri, ia tidak
membutuhkan tempat tidur karena ia harus selalu berada di sisi
pembaringan ayahnya. Setelah kematian ayahnya, keluarga Marcia bermaksud baik dengan
mengambil Sarita sebagai putri angkat mereka. Namun beberapa hari
setelahnya Duke of Cookelt datang oleh permintaan Ithnan.
Tampaknya sebelum meninggal Ithnan mengirim surat pada Duke
Norbert. Ia meminta Duke untuk merawat Sarita setelah kematiannya
dan atas keinginannya sendiri, jasadnya dibakar dan abunya ditebar di
laut. Ithnan benar-benar seorang petualang. Matipun ia tidak mau berdiam diri
di suatu tempat. Untuk Sarita, Duke Norbert membeli rumah yang menjadi tempat
persinggahan terakhir Ithnan. Duke Norbert juga membuat nisan ayah
Sarita di belakang pekarangan rumah mungil ini agar Sarita dapat
mengunjungi ayahnya sesering mungkin.
Duke Norbert tidak pernah melarang Sarita pulang ke rumah ini setiap
bulannya selama satu atau dua hari untuk mengunjungi Ithnan. Bahkan
dalam beberapa kesempatan, ia menemani Sarita.
Namun setelah Duke Norbert jatuh sakit, Sarita tidak pernah pulang.
Itulah sebabnya Marcia begitu senang ketika melihatnya kemarin sore "
sepulangnya dari ladang keluarga mereka.
Melihat satu-satunya teman baik dan orang yang terdekat dengannya,
Sarita tidak dapat menahan diri. Ia menjatuhkan diri di pelukan pemuda
itu dan kembali menangis tersedu-sedu.
"Marcia, oh, Marcia"," isaknya.
"Ada apa, Sarita" Apa yang terjadi" tanya Marcia cemas, terlebih lagi
setelah ia menyadari gaun hitam Sarita dan sebuah koper besar di depan
pagar rumah mungil Sarita.
"Oh, Marcia, Norbert," isak Sarita, "Norbert", ia" i-ia sudah pergi."
Marcia terperanjat. "Katakan padaku, Saritaku yang manis, apa yang
terjadi pada Duke Norbert?" Marcia merangkum wajah Sarita.
Melalui matanya yang basah, Sarita melihat ketegangan di wajah pemuda
itu. Sarita belum menjawab ketika Marcia terpekik kaget.
"Ya, Tuhan! Badanmu panas sekali, Sarita!" serunya kaget. Tangannya
berpindah ke kening Sarita. "Kau demam!" ia mengumumkan dan
seketika itu pula ia membopong Sarita ke dalam rumah.
Segera setelah membaringkan Sarita di tempat tidur, menyelimutinya,
dan mengompresnya dengan kain basah, Marcia berkata,
"Beristirahatlah dengan tenang, aku akan memanggil dokter."
Sarita sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya karena ia
langsung tertidur nyenyak karena perasaan lelah dan lega. Namun Sarita
yakin Marcia segera kembali karena ia merasa ia mendengar seseorang
membisikkan sesuatu di telinganya sambil terus menyeka wajahnya yang
berkeringat. Pagi ini ketika Sarita terbangun, Sarita merasa segar. Ia tidak lagi merasa
lelah ataupun sakit. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengunjungi makan ayahnya.
"Papa," katanya, "Apakah kau sudah bertemu Norbert?"
Sarita menatap sedih nisan dingin itu. "Kau pasti senang dapat berkumpul
lagi dengan teman baikmu. Ia telah menjagaku dengan baik. Ia
menyayangiku seperti putrinya sendiri. Karena itu, Papa, berbaiklah
padanya. Ia adalah ayah angkat yang hebat."
Air mata Sarita menetes jatuh.
"Sekarang aku sebatang kara lagi. Tapi, Papa, aku tidak akan pernah
putus asa. Aku sudah memutuskan akan tinggal di sisimu selamanya."
Pagi ini Sarita memutuskan untuk tinggal di rumah ini. Ia akan bekerja
pada keluarga Marcia atau pada keluarga petani lain yang membutuhkan
bantuannya. Ia akan menanam sayur-sayuran di pekarangannya yang
kecil. Ia akan melewatkan hari-hari tenang di desa ini " jauh dari
keluarga Riddick. Duke memang menunjuknya sebagai wali Chris. Namun itu tidak berarti
ia harus tinggal bersama mereka.
Sarita tidak ingin lagi bertemu keluarga itu. Ia tidak mau berhubungan
dengan Chris yang hendak memperkosanya lagi di malam kematian Duke
Norbert. Sarita tidak mau berbantah lagi dengan Duchess Belle yang
mengundang Earl of Mongar beberapa saat setelah kematian Duke
Norbert untuk membiarkan Earl of Mongar membawanya pulang sebagai
istri barunya. Sarita juga tidak mau melihat Dorothy, sang putri durhaka.
Walaupun Dorothy bukan putri kandungnya, Duke Norbert mencintai
Dorothy dan melimpahinya dengan segala kekayaannya. Namun Dorothy
memilih untuk berkencan daripada berkabung untuk kematian Duke.
Saat ini di Sternberg pasti terjadi kekacauan.
Graham memberitahu Sarita bahwa kehadirannya diperlukan dalam
pembacaan surat wasiat Duke Norbert. Namun Duchess Belle bersikeras
Sarita tidak punya urusan dengan surat wasiat itu. Malahan ia
mengumumkan pernikahan Sarita dan Earl of Mongar sudah dekat.
Earl of Mongar sendiri tidak henti-hentinya mendekatinya setelah
kematian Duke. Earl bersimpati padanya, namun Sarita percaya Earl tua
yang mata keranjang itu hanya berpura-pura.
"Apa kurangnya Earl Mongar!?" pekik Duchess Belle ketika melihat Sarita
menolak tawaran Earl utunk pergi ke pesta, "Apa kau bodoh!" Tak lama
lagi tua bangka itu akan mati dan setelah itu kau akan menguasai
hartanya." Sarita saat itu hanya menatap Duchess dan dengan tenang berkata,
"Mengapa Anda sendiri tidak menikah dengannya?"
Jawaban itu membuat Duchess murka.
"Dasar anak tidak tahu diuntung!" ia menampar Sarita dengan keras.
Begitu kerasnya tamparan itu hingga Sarita jatuh terhuyung-huyung.
Sarita hanya berdiam diri setelahnya. Sakit di pipinya tidaklah sesakit di
hatinya oleh kepergian Duke.
Hari itu, di hari penguburan Duke Norbert, Duchess mengunci Sarita di
kamarnya. Menurut rencana Duchess, Earl of Mongar akan datang ketika
mereka semua pergi mengubur Duke. Duchess memberi ijin pada Earl
untuk melakukan apapun pada Sarita demi mendapatkan Sarita sebagai
istri barunya. Namun Duchess tidak tahu Sarita sudah mempunyai
rencana sendiri. Sebelum Duchess menyebutnya sebagai anak haram yang
mempermalukan keluarga Riddick, Sarita sudah yakin Duchess akan
melarangnya pergi mengantar Duke ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Berkat Duchess Belle yang mengawasinya dengan ketat setelah kematian
Duke itu pula, Sarita berhasil meloloskan diri dari Chris. Di saat Chris
mencoba memperkosanya kembali, Duchess berteriak-teriak
memanggilnya sehingga Chris tidak punya pilhan lain selain
melepaskannya. Duchess begitu murka ketika Sarita muncul terlambat dengan pakaian
yang acak-acakan. "Apa yang kaulakukan, anak tidak tahu malu!?" bentaknya, "Ayahmu
baru saja mati dan kau pergi melacur!"
Sarita tidak ingin memberi penjelasan.
"Kau tidak akan ke mana-mana sampai kau menikah!" Duchess menyeret
Sarita ke dalam kamarnya dan mengurung Sarita.
Sarita patut berterima kasih pada Duchess yang menguncinya di kamar.
Karena pengurungan itulah Chris tidak bisa lagi mendekati Sarita. Sarita
juga bisa dengan tenang mempersiapkan kopernya dan dengan aman
melompat ke pohon di sisi serambi kamarnya.
Sekarang Sarita sudah bebas. Ia tidak mau menukar ketenangan ini
dengan apapun. Ia tidak peduli lagi dengan keluarga Riddick yang telah
mengusirnya itu. "Katakan pada Norbert, Papa, aku menyesal tidak bisa memenuhi
keinginannya," kata Sarita kemudian ia menutup perjumpaannya, "Masih
banyak yang harus kulakukan, Papa. Sore ini aku akan datang
menjengukmu lagi." Saritapun pergi untuk membersihkan rumah mungilnya dan membongkar
kopernya. Sekarang di sinilah ia, di bukit perbatasan Hauppauge "
menikmati keindahan matahari terbit.
Begitu indah, begitu tenangnya tempat ini sehingga Sarita bisa
melupakan segala kesedihannya.
"Di sini rupanya kau."
Sarita menoleh. Ia tersenyum melihat Marcia mendekat dengan tegang.
"Aku mencarimu ke mana-mana," katanya.
"Kau begitu manis," Sarita tersenyum " teringat kepedulian pemuda itu
padanya kemarin. Wajah Marcia langsung memerah.
Sarita tertawa geli. "Kau masih selugu anak kecil."
"Maafkan saya, Tuan Puteri," gerutu Marcia tidak senang, "Saya
dibesarkan di desa terpencil bukan di kota besar seperti Anda."
Tawa Sarita langsung hilang. Mata biru mudanya kembali memandang
kejauhan dengan sedih. "Sarita"," Marcia cemas, "Apakah kau?"
"Apa yang membuatmu datang mencariku?" potong Sarita. "Apakah kau
datang membawa susu segar yang baru kau peras dan roti hangat yang
masih mengepul dari dapurmu untukku?" Sarita tersenyum. Inilah yang
selalu dilakukan Marcia setiap pagi ketika ia berada di sini.
"Benar," jawab Marcia, "Dan aku terkejut setengah mati melihat
rumahmu kosong." Lalu Marcia berseru, "Ya Tuhan! Mengapa kau ada di
sini, Sarita" Bagaimana panasmu?"
"Jangan khawatir," Sarita tersenyum geli, "Aku sudah pulih. Lihatlah aku
Dendam Selir Malam 2 Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu Senopati Pamungkas 11

Cari Blog Ini