The Hunger Games Karya Suzanne Collins Bagian 2
tampil cantik di Distrik Dua Belas."
Ucapanku langsung mengambil hati mereka.
"Tentu saja tidak, betapa malangnya dirimu!" seru Octavia menepukkan tangan
risau atas kemalanganku. "Tapi jangan kuatir," kata Venia. "Pada saat Cinna selesai denganmu, kau pasti
akan tampak memesona!"
"Kami janji! Kau tahu, setelah kita membuang bulu dan kotoran dari tubuhmu, kau
ternyata tidak jelek!" kata Flavius memberi semangat. "Ayo kita panggil Cinna!"
Mereka melesat keluar ruangan. Sulit bagiku untuk membenci tim persiapanku.
Mereka semua idiot kelas berat. Namun, dengan cara yang aneh, aku tahu mereka
tulus membantuku. Kupandangi dinding-dinding dan lantai berwarna putih dingin dan menahan
dorongan hati untuk mengambil jubahku. Tapi Cinna, penata gayaku, pasti akan
menyuruhku melepaskannya. Tanganku bergerak memegangi rambut, satu-satunya
bagian yang tidak disentuh tim persiapanku. Jemariku mengelus hasil kepangan
ibuku yang amat rapi. Ibuku. Kutinggalkan gaun biru milik ibuku dan sepatu di
lantai kamarku di dalam kereta api, tak pernah berpikir untuk mengambilnya, dan
berusaha memegang sesuatu yang mengingatkan aku pada ibuku, dan rumah. Kini
aku berharap aku mengambil gaun itu tadi.
Pintu terbuka dan lelaki muda yang pastinya bernama Cinna itu masuk. Aku
terpana melihat betapa normalnya penampilan lelaki itu. Kebanyakan penata gaya
yang diwawancara di televisi biasanya tampil penuh warna, riasan, dan dipermak
dengan operasi sampai bentuknya mengerikan. Tapi rambut Cinna yang dipotong
pendek cepak tampak berwarna cokelat alami. Dia mengenakan kaus hitam
sederhana dan celana panjang. Satu-satunya tampilan yang ditambahkan
tampaknya cuma eyeliner berwarna emas metalik yang dipulas dengan halus.
Warna itu menonjolkan titik emas yang ada dalam mata hijaunya. Meskipun aku
jijik dengan Capitol dan cara mereka berpakaian, aku tidak bisa menganggap
betapa menariknya lelaki ini.
"Halo, Katniss. Aku Cinna, penata gayamu." kata Cinna berbicara dengan suara
pelan, tanpa aksen Capitol yang terdengar dibuat-buat.
"Halo," jawabku hati-hati.
"Beri aku waktu sebentar, ya?" pintanya. Dia berjalanan mengelilingi tubuh
telanjangku, tidak menyentuhku, tapi menyerap pemandangan setiap jengkal
tubuhku dengan matanya. Aku menahan dorongan hati untuk menyilangkan tangan
menutupi dada. "Siapa yang menata rambutmu?"
"Ibuku," jawabku.
"Indah. Klasik menurutku. Nyaris sempurna dengan raut wajahmu. Ibumu punya
tangan yang cermat," kata Cinna.
Kukir aku akan didatangi seorang yang flamboyan, seseorang yang lebih tua yang
mati-matian berusaha kelihatan muda, seorang yang melihatku sebagai sepotong
daging yang siap disajikan. Cinna sama sekali di luar perkiraanku.
"Kau baru ya" Rasanya aku tidak pernah melihatmu," kataku. Kebanyakan penata
gaya tidak asing lagi, mereka yang mendampingi peserta yang berbeda setiap tahun
biasanya itu-itu saja. Sepanjang ingatanku, malah ada yang selalu ada setiap
tahun. "Ya, ini tahun pertamaku di acara ini," sahut Cinna.
"Jadi mereka sengaja memberimu Distrik Dua Belas?" tanyaku. Orang baru
biasanya berakhir dengan kami, distrik yang paling tidak diinginkan.
"Aku meminta Distrik Dua Belas," kata Cinna tanpa menjelaskan lebih lanjut.
"Pakai dulu jubahmu lalu kita ngobrol."
Sehabis memakai jubah, kuikuti Cinna melewati pintu menuju ruang duduk. Dua
sofa berwarna merah berhadapan disela meja rendah. Tiga bagian dindingnya
kosong, dinding keempat sepenuhnya dari kaca, memberikan jendela pemandangan
ke kota. Melihat cahaya di luar sana pasti sekarang sudah tengah hari, meskipun
matahari berselimutan awan.
Cinna menyuruhku duduk di salah satu sofa dan dia duduk di seberangku. Dia
menekan tombol yang berada di samping meja. Bagian atas meja itu terbuka dan
dari bawah muncul meja kedua yang menyajikan makan siang kami. Ayam dengan
potongan-potongan jeruk yang dimasak dengan saus krim ditaruh di atas roti tawar
seputih mutiara, kacang polong hijau dan bawang bombay, roti manis yang
dibentuk seperti bunga dan sebagai makanan penutup puding berwarna madu.
Aku berusaha membayangkan menyusun makanan seperti ini untukku di kampung
halaman. Ayam terlalu mahal, tapi aku bisa menggantinya dengan kalkun liar. Aku
harus menangkap kalkun kedua untuk ditukar dengan jeruk. Susu kambing bisa
menggantikan krim. Kami bisa menanam kacang polong di kebun. Aku tinggal
mengambil bawang bombay yang tumbuh liar di hutan. Aku tidak mengenali
gandum yang jadi bahan roti ini, gandum jatah tessera biasanya hanya
menghasilkan gumpalan roti berwarna cokelat yang tidak menarik. Rasa manis
yang enak ini berarti menukar sesuatu dengan tukang roti, mungkin dua atau tiga
ekor tupai untuk roti. Sementara untuk pudingnya, aku tidak bisa menebak apa
saja bahannya. Untuk bisa sekali makan seperti ini, aku harus berburu dan
mengumpulkan makanan selama berhari-hari, bahkan hasilnya pun bakal jauh di
bawah makanan versi Capitol ini.
Aku penasaran, seperti apa rasanya hidhp dalam dunia dengan makanan yang
langsung muncul sekali kau menekan tombol" Bagaimana aku menghasilkan
waktu yang biasanya kuhabiskan dengan menyisiri hutan mencari makanan untuk
bertahan hidup jika makanan semudah ini datangnya" Apa yang dilakukan para
penduduk Capitol ini setiap hari, selain menghiasi tubuh mereka dan menunggi
kiriman peserta terbaru untuk pertarungan dan mati demi hiburan"
Aku mendongak dan melihat mata Cinna yang awas sedang memandangiku.
"Pasti kau menganggap kami orang-orang hina ya," kata lelaki itu.
Apakah Cinna melihat di wajahku atau entah bagaiamana dia berhasil membaca
pikiranku" Tapi dia benar. Segalanya tentang tempat ini kuanggap hina.
"Tidak apa-apa," ujar Cinna. "Begini, Katniss, tentang kostum yang kau pakai
untuk upacara pembukaan. Partnerku, Portia, adalah penata gaya untuk rekan
pesertamu, Peeta. Dan kami berniat mendandani kalian dengan kostum yang saling
melengkapi," kata Cinna. "Seperti yang kau ketahui, sudah jadi kebiasaan bahwa
kostum harus menunjukkan ciri khas distrik."
"Untuk upacara pembukaan, kau diwajibkan memakai pakaian yang menunjukkan
industri utama distrikmu. Distrik 11, pertanian. Distrik 4, perikanan. Distrik
3, pabrik. Ini berarti dari Distrik 12, aku dan Peeta akan memakai semacam pakaian
penambang batu bara."
Karena pakaian pekerja penambang yang longgar tidak sedang jadi tren, peserta
dari distrik kami biasanya memakai pakaian minim dan topi lengkap dengan
lampunya. Pernah, peserta dari distrik kami telanjang bulat hanya ditutupi bedak
hitan sebagai lambang abu batubara. Kostum distrik kami selalu mengerikan dan
tidak bisa menenangkan hati para penonton. Kusiapkan diriku untuk menerima
yang terburuk. "Jadi aku akan memakai pakaian penambang batubara?" bertanya, berharap
semoga pakaiannya masih sopan.
"Tidak juga. Begini, aku dan Portia berpendapat bahwa kostum penambang itu
terlalu sering digunakan. Tak ada seorang pun akan mengingatmu dengan pakaian
semacam itu. Dan kami berdua beranggapan sudah tugas kami membuat peserta
dari Distrik Dua Belas sebagai peserta yang tak terlupakan," jelas Cinna.
Pasti aku akan telanjang, pikirku.
"Jadi bagaimana kami memusatkan perhatian pada pertambangan batubara, kami
akan memusatkan perhatian pada batubaranya," kata Cinna.
Telanjang dan tertutup abu hitam, pikirku.
"Dan apa yang kita lakukan terhadap batubara" Kita membakarnya," kata Cinna.
"Kau tidak takut pada api kan, Katniss?"
Dia melihat ekspresiku dan menyeringai.
Beberapa jam kemudian, aku mengenakan pakaian yang bisa dianggap paling
sensasional atau paling mematikan dalam upacara pembukaan. Aku mengenakan
pakaian ketat terusan yang menutup tubuhku mulai dari mata kaki sampai leher.
Sepatu bot kulit berkilau hingga ke lutut. Tapi mantel yang berkibar dengan
warna oranye, kuning, dan merah dan penutup kepala yang senada yang menjadi penentu
pada kostum ini. Cinna bermaksud membakarnya tepat sebelum kereta kuda kami
meluncur ke jalanan. "Tentu saja, bukan api sungguhan, hanya api sintesis yang kupikirkan bersama
Portia. Kau benar-benar aman," kata Cinna.
Tapi aku tidak yakin diriku tidak akan terpanggang sempurna pada saat kami tiba
ke pusat kota. Wajahku nyaris bersih tanpa riasan, hanya sedikut highlight di sana-sini.
Rambutku sudah disisir lalu dikepang dan dibiarkan jatuh di punggung seperti
gayaku yang biasa. "Aku ingin penonton mengenalimu ketika kau berada di arena," kata Cinna dengan
pikiran mengawang. "Katniss, gadis yang terbakar."
Terlintas dalam pikiranku bahwa gaya Cinna yang tenang dan normal sebenarnya
hanya topeng yang menutupi jati dirinya sebagai orang sinting.
Walaupun baru tadi pagi aku melihat karakter asli Peeta, aku sesungguhnya lega
ketika melihatnya muncul dengan kostum yang sama denganku. Dia pasti tahu
banyak hal tentang api, karena bagaimanapun dia kan anak tukang roti. Penata
gayanya, Portia, dan timnya menemani Peeta, dan semua orang dipompa semangat
berlebihan mengenai kegemparan yang akan kami hasilkan. Kecuali Cinna. Dia
tampak sedikit letih ketika menerima ucapan selamat.
Kami dibawa ke lantai bawah Pusat Tata Ulang, yang pada dasarnya adalah
kandang raksasa. Upacara pembukaan dimulai sebentar lagi. Pasangan peserta naik
ke kereta yang ditarik empat ekor kuda. Kuda kami sehitam batubara.
Binatangbinatang ini sangat terlatih, hingga tak perlu manusia untuk
mengendalikannya. Cinna dan Portia mengarahkan kami ke kereta kuda dan menempatkan posisi tubuh
kami dengan hati-hati, mengatur hiasan mantel kami, sebelum menjauh dan
berdiskusi berdua. "Bagaiamana menurutmu?" Aku berbisik pada Peeta. "Soal api ini."
"Akan kurobek mantelmu jika kaurobek mantelku," sahut Peeta dengan gigi
terkatup. "Oke," sahutku. Mungkin kami bisa melepaskan mantel secepat mungkin, kami
bisa menghindari luka bakar yang lebih burum. Tapi tetap saja buruk. Mereka akan
tetap melempar kami ke arena tanpa peduli pada kondisi kami. "Aku tahu kita
berjanji pada Haymitch bahwa kita akan melaksanakan apa yang mereka
perintahkan, tapi kurasa dia tidak mempertimbangkan sudut ini."
"Di mana Haymitch" Bukankah dia seharusnya melindungi kita dari hal-hal
semacam ini?" tanya Peeta.
"Dengan begitu banyak alkohol pada tubuhnya, mungkin tidak baik baginya untuk
berada di dekat api yang berkobar," jawabku.
Tiba-tiba kami berdua tertawa. Kurasa kami berdua gelisah mengenai Hunger
Games dan yang lebih menakutkan, kami takut dijadikan obor manusia, sehingga
kami berbuat aneh. Musik pembuka dimulai. Suaranya membahana, bisa didengar oleh semua orang
seantero Capitol. Pintu-pintu besar terbuka memperlihatkan jalanan yang penuh
orang. Perjalanan naik kereta kuda ini memakan waktu dua puluh menit dan
berakhir di Bundaran Kota, di sana mereka akan menyambut kami, memainkan
lagu kebangsaan, dan mengawal kami memasuki Pusat Latihan, yang akan menjadi
rumah/penjara kami sampai Hunger Games dimulai.
Peserta dari Distrik 1 keluar dari kereta kuda yang ditarik kuda-kuda seputih
salju. Mereka tampak begitu menawan, warna perak disemperotkan ke tubuh mereka,
dan mereka mengenakan tunik dengan perhiasan berkilau. Distrik 1 menghasilkan
barang-barang mewah untuk Capitol. Terdengar suara pekikan membahana
menyambut mereka. Distrik 1 selalu jadi favorit.
Distrik 2 mengikuti di belakang mereka. Tidak lama kemudian, kami mendekati
pintu dan aku melihat di antara langit berawan dan matahari sore hari, cahaya
mulai berubah kelabu. Peserta dari Distrik 11 baru melangkah keluar ketika Cinna datang membawa obor
menyala. "Mari kita laksanakan," katanya, dan sebelum kami sempat bereaksi dia sudah
menyulut mantel kami dengan api. Aku terkesiap, menunggu rasa panas menjalar,
tapi yang terasa hanya sensasi menggelitik yang samar. Cinna naik di depan kami
dan menyalakan penutup kepala kami.
Dia mendesah lega. "Berhasil." Kemudian dengan lembut dia mengangkat daguku.
"Ingat, kepala diangkat tinggi. Senyum. Mereka akan menyukaimu!"
Cinna melompat turun dari kereta kuda dan punya gagasan terakhir. Dia
meneriakkan sesuatu pada kami, tapi musik menenggelamkan suaranya. Dia
berteriak sekali lagi dan membuat gerakan.
"Dia bilang apa?" aku bertanya pada Peeta. Untuk pertama kalinya, aku
memandang Peeta dan menyadari bahwa di bawah api palsu yang berkobar, dia
tampak memesona. Pasti aku juga kelihatan memesona.
"Kurasa dia menyuruh kita berpegangan tangan," sahut Peeta. Tangan kirinya
meraih tangan kananku, dan kami memandang Cinna minta penegasan. Lelaki itu
mengangguk dan mengacungkan jempolnya, dan itulah hal terakhir yang kami lihat
sebelum kami memasuki kota.
Penonton yang awalnya terkejut melihat penampilan kami segera bersorak dan
berteriak, mengelu-elukan. "Distrik Dua Belas!"
Semua kepala menoleh memandang aku dan Peeta, perhatian terhadap tiga kereta
kuda sebelumnya teralih pada kami. Mulanya, aku tak sanggup bergerak, tapi
kemudian aku melihat penampilan kami di layar televisi raksasa dan aku terpana
melihat betapa menakjubkannya kami di layar itu. Salam cahaya senja yang makin
kelam, kobaran api itu menyinari wajah kami. Mantel kami berkibar seakan
menginggalkan jejak-jejak api. Cinna benar dengan ide riasan wajah kami tidak
terlalu tebal, kami terlihat lebih menarik tapi wajah kami masih bisa dikenali.
Ingat, kepala diangkat tinggi. Senyum. Mereka akan menyukaimu! Kudengar suara
Cinna bergaung dalam kepalaku. Kuangkat daguku sedikit lebih tinggi,
kutampilkan senyumku yang paling menawan, dan kulambaikan tanganku yang
bebas. Aku bersyukur ada Peeta yang bisa kugenggam tangannya memberiku
keseimbangan, dia begitu mantap, seteguh batu karang. Aku jadi semakin percaya
diri, bahkan berani meniupkan ciuman kepada para penonton.
Penduduk Capitol makin menggila, mereka melempari kami dengan bunga,
meneriakkan nama kami, nama depan kami, yang dengan susah payah mereka cari
dalam panduan program acara.
Musik yang bertalu-talu, sorakan, dan pemujaan mengalir masuk ke dalam
darahku, dan aku tidak bisa menahan rasa girangku. Cinna telah memberiku
keuntungan besar. Tak ada seorang pun yang akan melupakanku. Baik wajahku,
maupun namaku. Katniss. Gadis yang terbakar.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan percikan harapan muncul dalam diriku.
Pasti paling tidak ada satu sponsor yang mau mendanaiku! Dan dengan ekstra
bantuan, makanan, senjata yang tepat, aku bisa bertahan dalam Hunger Games.
Seseorang melemparkan mawar merah kepadaku. Kutangkap bunga itu, kucium
pelan, dan kulemparkan ciuman kepada khalayak ramai ke arah pelempar bunga.
Ratusan tangan terulur untuk menangkap ciumanku, seakan ciumanku nyata bisa
dipegang. "Katniss! Katniss!" kudengar namaku diserukan dari segala penjuru. Semua orang
menginginkan ciumanku. Baru pada saat kami tiba di Bundaran Kota, aku sadar bahwa aku sudah
menghentikan peredaran darah tangan Peeta. Saking eratnya aku menggenggam
tangan itu. Aku menunduk memandang jemari kami yang bertautan dan aku
melonggarkan genggamanku, tapi Peeta tidak mau melpaskannya.
"Jangan, jangan lepaskan aku," kata Peeta. Kobaran api membuat matanya yang
biru tampak menyala. "Aku mohon. Aku bisa pingsan akibat semua ini."
"Oke," sahutku. Jadi aku tetap berpegangan padanya, tapi aku tetap merasa
janggal dengan cara Cinna menggabungkan kami bersama. Rasanya tidak adil
menampilkan kami sebagai tim lalu mengunci kami di dalam arena untuk saling
membunuh. Dua belas kereta kuda mengelilingi Bundaran Kota. Di gedung-gedung yang
mengelilingi Bundaran, semua jendela dipenuhi oleh penduduk paling bergengsi di
Capitol. Kuda-kuda berhenti tepat di depan mansion milik Presiden Snow, dan
kami semua berhenti berjalan. Musik berakhir dengan letupan riang.
Presiden, yang bertubuh kecil dan kurus dengan rambut seputih kertas,
memberikan sambutan resmi dari balkon di atas kepala kami. Biasanya wajahwajah
para peserta tidak disorot kamera selama Presiden berpidato. Tapi di layar
kulihat kami mendapat sorotan lebih banyak dari seharusnya. Malam yang semakin
gelap, membuat penonton semakin sulit melepaskan pandangan dari tubuh kami
yang berkobar. Ketika lagu kebangsaan dinyanyikan, kamera-kamera menyoroti
wajah masing-masing peserta secara cepat, tapi kamera terus merekam kereta kuda
Distrik 12 ketika bergerak memutari bundaran untuk terakhir kalinya sebelum
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghilang ke Pusat Latihan.
Pintu baru menutup di belakang ketika kami diserbu oleh tim persiapan, yang
melontarkan pujian tidak cerdas. Saat memandang ke sekeliling, aku melihat
banyak peserta lain yang menatap kesal kepada kami, dan itu menegaskan
perkiraan kami, yaitu kami begitu bersinar sehingga penampilan mereka jadi tidak
berarti. Cinna dan Portia ada di sana, membantu kami turun dari kereta kuda, dengan
hatihati melepaskan mantel dan penutup kepala kami yang berkobar. Portia
memadamkan api dengan semacam semprotan kaleng.
Aku sadar aku masih berpegangan dengan Peeta dan kulepaskan jemariku dengan
susah payah. Kami memijat-mijat tangan kami masing-masing.
"Terima kasih mau memegangiku. Aku agak gemetar tadi," kata Peeta.
"Tidak kelihatan kok," kataku padanya. "Aku yakin tak ada yang tahu."
"Aku yakin penonton hanya tahu dirimu. Kau harus lebih sering lagi memakai api,"
ujar Peeta. "Cocok untukmu."
Kemudian Peeta memperlihatkan senyum teramat manis yang diiringi kesan malumalu
sehingga menimbulkan aliran rasa hangat dalam tubuhku.
Bel peringatan berdentang dalam kepalaku. Jangan bodoh. Peeta menyusun
rencana bagaimana membunuhmu. Aku mengingatkan diriku sendiri. Dia
membuatmu terpikat agar kau jadi mangsa mudah. Semakin memikat dia, semakim
mematikan pula dirinya. Tapi bukan cuma Peeta yang bisa memainkan permainan ini. Aku berjinjit
mencium pipinya. Tepat di bagian yang memar.
Bab 6 Pusat latihan memiliki sebuah menara yang dirancang khusus untuk para peserta
dan tim mereka. Tempat ini akan jadi rumah kami hingga pertarungan
sesungguhnya dimulai. Setiap distrik ditempatkan disatu lantai sendiri. Kau
hanya perlu masuk ke elevator dan menekan angka asal distrikmu. Mudah untuk diingat.
Di Distrik 12, aku pernah dua kali naik elevator di Gedung Pengadilan. Sekali
untuk menerima medali atas kematian ayahku dan kemarin untuk menyampaikan
salam perpisahan terakhir dengan teman-teman dan keluargaku. Tapi elevator di
sana gelap dan berderit dengan gerakan selamban siput dan baunya seperti susu
basi. Dinding-dinding elevator ini terbuat dari kristal, jadi kau bisa melihat
orangorang di lantai dasar makin lama makin kecil ketika elevator membawamu
makin tinggi. Rasanya menyenangkan dan aku tergoda untuk bertanya pada Effie apakah
kami bisa naik elevator sekali lagi, tapi itu bakal terdengar kekanak-kanakan.
Ternyata, tugas Effie Trinket tidak berakhir di stasiun kereta api. Dia dan
Haymitch akan mengawasi kami hingga di arena. Di satu sisi, keberadaannya
menguntungkan karena paling tidak Effie bisa diandalkan untuk membawa kami
keliling ke tempat-tempat seharusnya kami berada tepat waktu karena kami belum
bertemu Haymitch lagi sejak dia bilang bersedia membantu kami di kereta api.
Mungkin dia sedang teler hingga pingsan entah di mana. Sebaliknya, Effie
Trinket, tampak riang gembira. Kami adalah tim pertama yang pernah diawasinya yang
membuat kegemparan pada upacara pembukaan. Effie tidak hanya memuji kostum
kami tapi juga tingkah laku kami. Dan kami juga mendengar, Effie kenal semua
orang penting di Capitol dan sudah bicara tentang kami sepanjang hari, berusaha
memperoleh sponsor untuk kami.
"Tapi semuanya sangat misterius," ujar Effie, matanya setengah menyipit.
"Karena, tentu saja, kau tahu Haymitch tidak mau memberitahuku apa saja strategi kalian.
Tapi aku sudah melakukan yang terbaik dengan apa yang bisa kukerjakan.
Bagaimana Katniss mengorbankan diri demi adik perempuannya. Bagaimana
kalian berdua berhasil melawan kegiatan barbar dari distrik kalian."
Barbar" Ironis saat mendengar kata itu terucap dari wanita yang membantu
menyiapkan kami untuk kegiatan pembantaian massal. Dan atas apa dia menilai
keberhasilan kami" Berdasarkan sopan santun di meja makan"
"Pada dasarnya semua orang memiliki keengganan tertentu karena kalian berasal
dari distrik batu bara. Tapi untungnya aku pintar, kubilang pada mereka, 'Hm,
batu bara yang diberi cukup tekanan akan berubah jadi mutiara!' " Mata Effie berbinar
begitu cerah memandang kami sehingga kami tidak punya pilihan lain selain
menanggapi kepintarannya dengan penuh semangat, meskipun kami tahu dia salah
besar. Batu bara tidak bisa berubah jadi mutiara. Mutiara berasal dari kerang. Mungkin
maksud Effie batu bara berubah jadi berlian, tapi itu juga tidak benar. Kudengar
ada semacam mesin di Distrik 1 yang bisa mengubah batu granit menjadi berlian.
Tapi Distrik 12 tidak menambang batu granit. Itu bagian dari tugas Distrik 13
sebelum mereka dihancurkan.
Aku penasaran apakah orang-orang yang mendengarnya memuji-muji kamu atau
bahkan peduli tentang hal itu.
"Sayangnya, aku tidak bisa membuat perjanjian kontrak dengan sponsor untuk
kalian. Hanya Haymitch yang bisa melakukannya," kata Effie muram. "Tapi
jangan kuatir, kalau perlu aku akan menodongkan pistol padanya agar dia mau
datang ke meja perjanjian."
Meskipun memiliki kekurangan sana-sini, Effie Trinket jelas memiliki keteguhan
yang harus kukagumi. Ruang bagian tempat tinggalku lebih luas daripada rumah kami di Distrik.
Ruangruang di sini terlihat mewah, seperti di gerbong kereta api, juga memiliki
sejumlah peralatan otomatis yang tak bakal sempat kupencet tombolnya satu per satu.
Pancuran air di kamar mandinya saja memiliki panel dengan lebih dari seratus
pilihan yang bisa kaupilih untuk mengatur temperatur, tekanan air, sabun, sampo,
wewangian, minyak mandi, dan spons yang bisa memijat. Saat berdiri di atas keset
kaki, pemanas menyemburkan udara yang mengeringkan tubuh. Aku tidak perlu
bersusah payah melepaskan ikatan kepang di rambutku yang basah, aku hanya
perlu menaruh tanganku di atas kotak yang mengalirkan arus ke kulit kepalaku,
yang akan melepaskan ikatan rambutku, menyisirnya, dan mengeringkannya dalam
waktu sekejap. Rambutku langsung tergerai lembut di punggungku.
Aku memprogram lemari agar menyiapkan pakaian sesuai seleraku. Atas
perintahku, jendela bisa menyorot jauh dan dekat bagian-bagian kota tertentu.
Aku hanya perlu membisikkan jenis makanan yang kuinginkan dari daftar menu raksasa
ke corong bicara, dalam waktu kurang dari semenit makanan itu muncul di
hadapanku, panas dan mengepulkan asap. Aku berjalanan di sekeliling kamar,
makan hati angsa dan roti susu sampai kudengar ketukan di pintu. Effie
memanggilku untuk makan malam.
Baguslah. Aku kelaparan. Peeta, Cinna, dan Portia sedang berdiri di balkon, yang memperlihatkan
pemandangan Capitol ketika aku memasuki ruang makan. Aku senang melihat para
penata gaya kami, terlebih lagi ketika mendengar Haymitch akan bergabung
bersama kami. Makan malam yang dipimpin oleh Effie dan Haymitch pasti bakal
berakhir dengan kekacauan. Selain itu, makan malam sebenarnya bukanlah tentang
makanan, tapi tentang perencanaan strategi, dan Cinna serta Portia telah
membuktikan betapa berharganya mereka bagi kami.
Seorang lelaki muda yang mengenakan tunik putih bicara menawarkan anggur di
gelas tinggi pada kami. Aku hampir menolaknya, tapi aku tak pernah minum
anggur, kecuali buatan ibuku yang digunakannya untuk menyembuhkan batuk, dan
mungkin aku takkan pernah punya kesempatan untuk mencobanya lagi. Aku
menyesapnya sedikit, cairan itu terasa kering dan diam-diam aku berpikir bahwa
rasanya akan lebih baik jika ditambah beberapa sendok madu.
Haymitch muncul tepat ketika makan malam akan disajikan. Kelihatannya dia
memiliki penata gaya sendiri karena dia tampak bersih dan terawat, dan tidak
pernah kulihat dia sesadar sekarang. Dia tidak menolak tawaran anggur, tapi
ketika dia mulai menyantap sup, aku baru sadar inilah pertama kalinya kulihat dia
makan. Mungkin dia bisa menguasai diri cukup lama untuk bisa membantu kami.
Cinna dan Portia tampaknya memiliki pengaruh untuk membuat Haymitch dan
Effie jadi beradab. Paling tidak mereka saling bicara dengan sopan. Bahkan
mereka pun memuji suguhan pembukaan dari penata gaya kami. Sementara mereka
berbasa-basi, aku memusatkan perhatian pada makananku. Sup jamur, sayuran
hijau pahit dengan tomat seukuran kacang polong, daging sapi panggang yang
dipotong setipis kertas, mi dalam saus hijau, keju yang meleleh di lidah
disajikan dengan anggur biru manis. Para pelayan, semuanya lelaki muda yang berpakaian
tunik putih seperti yang dipakai oleh pelayan yang memberi kami anggur, bergerak
tanpa bicara dari dan ke meja, memastikan piring dan gelas kami tetap penuh.
Setelah menghabiskan setengah gelas anggur, kepalaku mulai terasa berkabut, jadi
aku ganti minumanku dengan air. Aku tidak menyukai perasaan ini dan aku
berharap kabut ini segera lenyap. Aku tidak mengerti bagaiamana Haymitch bisa
tahan melewati hari-harinya seperti ini.
Aku berusaha memusatkan perhatian pada percakapan, yang sudah beralih ke topik
tanya-jawab kostum, saat seorang gadis menata kue yang kelihatan cantik di atas
meja dan dengan cekatan menyalakan kue itu. Kue tersebut terbakar kemudian api
mengerjap di ujung-ujung kue selama beberapa saat hingga api itu padam. Sejenak
aku merasa ragu. "Apa yang membuatnya terbakar" Apakah alkohol?" aku bertanya, sambil
mendongak memandang gadis itu. "Aku tidak mau men-Oh! Aku kenal kau!"
Aku tidak ingat nama atau tempat ketika aku melihat wajah gadis ini. Tapi aku
yakin pernah melihatnya. Rambut merah gelap, garis wajah yang memesona, kulit
seputih porselen. Ketika aku mengucapkannya, aku merasakan kegelisahan dan
rasa bersalah dalam ulu hatiku. Meskipun aku tidak ingat, aku tahu ada kenangan
buruk yang berkaitan dengan gadis itu. Ekspresi ngeri yang terlintas di wajahnya
hanya membuatku jadi tambah bingung dan tidak nyaman. Gadis itu
menyangkalnya dengan menggeleng cepat dan bergegas menjauh dari meja.
Ketika aku menoleh, empat orang dewasa sedang mengawasiku seperti elang
mengintai mangsa. "Jangan konyol, Katniss. Bagaimana mungkin kau bisa kenal Avox semacam itu?"
sergah Effie. "Membayangkannya saja tak mungkin."
"Avox itu apa?" tanyaku dengan bodohnya.
"Orang yang melakukan kejahatan. Mereka memotong lidahnya sehingga dia tidak
bisa bicara," kata Haymitch. "Dia mungkin pengkhianat atau semacam itulah.
Tidak mungkin kau mengenalnya."
"Bahkan kalau mengenalnya, kau tak boleh bicara dengannya kecuali memberi
perintah," kata Effie. "Tentu saja kau tidak benar-benar mengenalnya."
Tapi aku kenal dia. Setelah Haymitch menyebut soal pengkhianat, aku ingat di
mana aku kenal dia. Aku merasakan kecaman yang begitu besar sehingga aku tak
pernah bisa mengakuinya. "Ya, kurasa tidak. Aku cuma-" Aku tegagap, dan anggur yang kuminum tidak
membantu sama sekali. Peeta menjentikkan jarinya. "Delly Cartwright."
Itu dia. Kupikir wajahnya juga tidak asing. Lalu aku sadar dia mirip sekali
dengan Delly. Delly Cartwright adalah gadis berwajah pucat, agak gemuk dengan rambut kuning
yang kemiripannya dengan gadis pelayan kami ibarat membandingkan kumbang
dengan kupu-kupu. Delly juga bisa disebut manusia paling ramah di seantero
planet-dia tersenyum tanpa henti pada semua orang di sekolah, bahkan padaku.
Aku tak pernah melihat gadis berambut merah itu tersenyum. Tapi aku langsung
menyambar petunjuk Peeta dengan penuh syukur.
"Tentu saja, aku terpikir tentang dia. Pasti gara-gara rambutnya," kataku.
"Matanya juga mirip," imbuh Peeta.
Suasana di meja makan pun jadi lebih santai.
"Oh, sudahlah. Cuma karena mirip," kata Cinna. "Dan, ya, kue ini mengandung
minuman keras, tapi semua alkohol sudah terbakar. Aku sengaja memesannya
sebagai penghormatan terhadap penampilanmu yang berapi-api."
Kami makan kue dan pindah ke ruang duduk untuk menonton tayangan ulang
upacara pembukaan yang sedang disiarkan. Beberapa pasangan lain
memperlihatkan kesan yang baik, tapi tak ada satu pun dari mereka yang bisa
dibandingkan dengan kami. Bahkan pihak kami sendiri terpukau hingga mulut
mereka ternganga "Ahhh!" saat mereka menampilkan kami yang keluar dari Pusat
Tata Ulang. "Siapa yang menyuruh berpegangan tangan?" tanya Haymitch.
"Cinna," sahut Portia.
"Sentuhan sempurna untuk pembangkang," ujar Haymitch. "Bagus sekali."
Pembangkang" Selama sesaat aku memikirkan kata itu. Tapi ketika aku mengingat
pasangan-pasangan lain, berdiri tegang terpisah, tak pernah menyentuh atau
mengakui keberadaan yang lain, seakan rekan peserta mereka tak ada, seakan
pertarungan telah dimulai, aku mengerti maksud Haymitch. Menampilkan diri
kami bukan sebagai musuh tapi sebagai sahabat telah membuat kami tampak
berbeda seperti halnya kostum kami yang membakar.
"Besok pagi adalah sesi latihan pertama. Temui aku untuk sarapan dan akan
kuberitahu kalian bagaimana kuingin kalian memainkannya," kata Haymitch pada
aku dan Peeta. "Sekarang pergilah tidur sementara kami orang dewasa di sini mau
bicara." Aku dan Peeta berjalan berdua menyusuri koridor menuju kamar kami. Ketika
kami sampai ke depan pintu kamarku, Peeta bersandar di kusen pintu, bukan
bermaksud menghalangi masuk tapi berkeras agar aku memperhatikannya. "Hm,
Delly Cartwright. Bayangkan jika kita bisa bertemu kembarannya di sini."
Peeta meminta penjelasan, dan aku tergoda untuk menjelaskannya. Kami berdua
sama-sama tahu bahwa dia melindungiku. Jadi sekarang aku berutang lagi
padanya. Kalau aku menceritakan yang sebenarnya tentang gadis itu, bisa jadi aku
melunasi utangku padanya. Lagi pula apa sih ruginya" Bahkan kalau dia
menceritakan ceritaku pada orang lain, aku juga tidak bakal kenapa-napa.
Kejadiannya hanya sesuatu yang kusaksikan. Dan Peeta berbohong tentang Delly
Cartwright bersama denganku.
Aku sadar bahwa aku ingin bicara dengan seseorang tentang gadis itu. Seseorang
yang bisa membantuku memecahkan kisah tentang gadis itu. Gale jadi pilihan
pertamaku, tapi aku tak bakal bisa bertemu Gale lagi. Aku berusaha berpikir
apakah memberitahu Peeta mungkin bakal memberinya keuntungan atas diriku,
tapi aku tidak bisa melihat kemungkinan itu. Mungkin berbagi rahasia akan
membuatnya percaya bahwa aku menganggapnya sebagai teman.
Selain itu, membayangkan gadis tadi dengan lidah buntung membuatku ngeri. Dia
mengingatkanku tentang alasan keberadaanku di sini. Bukan untuk menjadi model
kostum mewah dan makan makanan lezat. Tapi untuk mati dalam kematian penuh
darah sementara penonton mengelu-elukan pembunuhanku.
Cerita atau tidak ya" Otakku masih lamban akibat anggur. Aku menunduk
memandangi koridor kosong seakan keputusannya terletak di sana.
Peeta menangkap keraguanku. "Kau pernah ke atap?" Aku menggeleng. "Cinna
menunjukkannya padaku. Kau bisa melihat seluruh kota dari atas sana. Tapi
anginnya agak keras hlo."
Otakku menerjemahkan ajakannya sebagai, "Tak ada seorangpun yang bisa
menguping percakapan kita". Kami merasa selalu dakam pengawasan di tempat
ini. "Bisa kita ke atas sekarang?"
"Bisa saja, ayo," ajak Peeta. Aku mengikutinya menaiki tangga menuju atap. Ada
ruangan kecil berbentuk kubah dengan pintu menuju keluar. Ketika kami
melangkah menuju udara malam yang dingin dan berangin, aku terkesiap melihat
pemandangan di hadapanku. Capitol berkilau berkelip-kelip seperti lapangan yang
penuh cahaya kunang-kunang. Listrik di Distrik 12 kadang menyala kadang tidak,
biasanya kami punya listrik selama beberapa jam sehari. Sering kali kami
menghabiskan malam hari dengan cahaya lilin. Listrik hanya bisa diandalkan saat
mereka menyiarkan Hunger Games atau ada pesan penting dari pemerintah di
televisi yang wajib di tonton. Tapi di sini tak ada kekurangan listrik. Tak
pernah kekurangan. Aku dan Peeta berjalan menuju pegangan pembantas di ujung atap. Aku melihat
langsung ke bawah ke arah jalanan di samping gedung, yang penuh dengan orang.
Kau bisa mendengar suara mobil mereka, kadang-kadang terdengar teriakan, dan
suara logam beradu yang aneh. Di Distrik 12, kami pasti sedang berpikir untuk
tidur sekarang. "Aku bertanya pada Cinna kenapa mereka membiarkan kita naik ke sini. Apakah
mereka tidak kuatir ada peserta yang mungkin saja memutuskan untuk meloncat
dari gedung?" kata Peeta.
"Dia bilang apa?" tanyaku.
"Kau tidak bisa lompat," ujar Peeta. Dia mengibaskan tangannya ke ruang yang
tampaknya di isi udara kosong. Ada sengatan tajam dan Peeta langsung menarik
tangannya. "Ada semacam medan listrik yang melemparmu kembali ke atap."
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selalu memikirkan keselamatan kita," kataku. Meskipun Cinna sudah
menunjukkan atap ini pada Peeta, aku bertanya-tanya apakah kami boleh di atap
berdua pada jam selarut ini. Aku tak pernah melihat peserta berada di atap Pusat
Latihan sebelumnya. Tapi tidak berarti kami tidak sedang di rekam sekarang.
"Menurutmu mereka sedang mengawasi kita?"
"Mungkin," Peeta mengaku. "Ayo kita lihat tamannya."
Di sisi lain kubah, mereka membangun taman dengan deretan bunga dan pohonpohon
dalam pot. Dari dahan-dahannya tergantung ratusan genta angin, yang
menjadi sumber suara suatu logam beradu yang kudengar tadi. Di sini di taman
ini, pada malam berangin, bunyi yang ditimbulkan genta angin cukup meredam suara
dua orang yang berusaha untuk tidak terdengar. Peeta memandangiku penuh
harap. Aku pura-pura melihat bunga yang bermekaran.
"Suatu hari kami sedang berburu di dalam hutan. Bersembunyi, menunggu
buruan," aku berbisik.
"Kau dan ayahmu?" Peeta balas berbisik.
"Bukan, dengan temanku Gale. Mendadak semua burung berhenti bernyanyi
seketika. Kecuali satu. Seakan burung itu menyanyikan peringatan. Lalu saat
itulah kami melihatnya. Aku yakin dia gadis yang sama. Ada anak lelaki bersamanya.
Pakaian mereka compang-camping. Ada lingkaran hitam di bawah mata mereka
tanda kurang tidur. Mereka lari terbirit-birit seakan nyawa mereka tergantung
pada kemampuan lari mereka," kataku.
Sejenak aku terdiam, mengingat bagaimana perasaanku ketika melihat pasangan
aneh yang jelas-jelas tidak berasal dari Distrik 12 melarikan diri melalui
hutan, hingga membuat kami tak mampu bergerak. Lama setelah itu, kami bertanya-tanya
apakah kami bisa membantu mereka. Menyembunyikan mereka.
Kalau saja kami bergerak cepat. Ya, aku dan Gale terkejut, tapi kami berdua
pemburu. Kami tahu seperti apa binatang yang berusaha bertahan hidup. Kami tahu
pasangan itu dalam masalah saat kami melihatnya. Tapi kami hanya menonton.
"Pesawat ringan itu muncul entah dari mana," aku menjutkan ceritaku pada Peeta.
"Maksudku, tadinya langit kosong kemudian mendadak pesawat itu ada di sana.
Pesawat itu tidak menimbulkan suara, tapi mereka melihatnya. Ada jaring yang
meluncur jatuh pada gadis itu dan mengangkatnya ke atas, cepat sekali, seperti
diangkat dengan elevator. Mereka menembakkan semacam tombak ke anak lelaki
itu. Tombak itu terkait pada kabel dan mereka juga menariknya ke atas. Tapi aku
yakin anak itu sudah tewas. Kami mendengar gadis itu menjerit sekali. Kurasa dia
menjeritkan nama lelaki itu. Lalu pesawat itu hilang. Lenyap tak berbekas.
Kemudian burung-burung mulai bernyanyi lagi, seakan tidak pernah terjadi
apaapa." "Apakah mereka melihatmu?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu. Kami berada di bawah bebatuan," sahutku.
Tapi aku tahu. Ada jeda, setelah burung berhenti bernyanyi, tapi sebelum pesawat
itu muncul, gadis itu melihat kami. Matanya memandang mataku lekat-lekat lalu
dia berteriak minta tolong. Tapi aku dan Gale tidak bergerak membantunya.
"Kau gemetar," kata Peeta.
Embusan angin dan kisah yang kuceritakan mengenyahkan kehangatan dari
tubuhku. Gadis itu menjerit. Apakah itu jeritan terakhirnya"
Peeta melepaskan jaketnya dan menyampirkannya ke bahuku. Tadinya aku hendak
mundur selangkah, tapi kemudian aku membiarkannya, sesaat memutuskan untuk
menerima jaket dan kebaikannya itu. Itu yang dilakukan sahabat, kan"
"Mereka berasal dari sini?" tanya Peeta, lalu tangannya mengancingkan jaket
disekitar leherku. Aku mengangguk. Tampilan anak lelaki dan gadis itu kelihatan seperti orang
Capitol. "Menurutmu mereka hendak ke mana?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu," jawabku.
Distrik 12 bisa dibilang sebagai akhir perjalanan. Di luar sana hanya ada alam
liar. Kalau kau tidak menghitung reruntuhan Distrik 13 yang masih mengepulkan asap
akibat bom beracun. Kadang-kadang mereka menampilkannya di televisi hanya
untuk mengingatkan kami. "Atau kenapa mereka hendak pergi dari sini."
Haymitch menyebut kaum Avox sebagai pengkhianat. Penkhianatan terhadap apa"
Kemungkinannya hanya tehadap Capitol. Tapi mereka memiliki segalanya di sini.
Tidak ada alasan untuk memberontak.
"Aku mau pergi dari sini," tiba-tiba Peeta bersuara. Kemudian dia menoleh
gelisah ke sekeliling. Suaranya cukup keras mengalahkan suara genta angin. Dia tertawa.
"Aku mau saja pulang sekarang kalau mereka mengizinkan. Tapi kau harus
mengakui, makanan di sini lezat tak ada bandingannya."
Dia melindungiku lagi. Bila hanya mendengar perkataan Peeta, seolah-olah
katakata itu berasal dari peserta yang ketakutan, bukan seseorang yang
memikirkan kebaikan Capitol yang tak perlu dipertanyakan.
"Sudah mulai dingin. Sebaiknya kita masuk," katanya. Di dalam kubah suasananya
terang dan hangat. Nada bicara Peeta terdengar santai. "Temanmu, Gale. Dia yang
menarik adikmu pada hari pemungutan?"
"Ya. Kau kenal dia?" aku bertanya.
"Tidak juga. Aku sering mendengar gadis-gadis membicarakannya. Kupikir dia
sepupumu atau apalah. Kalian tampak akrab," katanya.
"Tidak, kami tidak punya hubungan," jawabku.
Peeta mengangguk, sikapnya tak bisa kubaca. "Apakah dia datang untuk
mengucapkan selamat tinggal padamu?"
"Ya. " Aku mengamatinya dengan saksama. "Ayahmu juga datang. Dia
membawakanku kue." Peeta mengangkat alis seakan ini berita baru untuknya. Tapi setelah mengamatinya
berbohong dengan lancar, aku tidak terlalu memikirkan reaksi ini. "Sungguh"
Ayahku menyukaimu dan adikmu. Kurasa diam-diam dia berharap punya anak
perempuan, bukannya rumah yang penuh anak laki-laki."
Memikirkan bahwa aku mungkin saja dibicarakan secara sambil lalu, di meja
makan, di dekat pemanggang roti, dan di dalam rumah Peeta membuatku kaget.
Pasti obrolan itu muncul ketika ibunya tidak ada di ruangan.
"Ayahku kenal ibumu ketika mereka masih kecil," kata Peeta.
Kejutan lagi. Tapi mungkin saja benar.
"Oh, ya. Ibuku di besarkan di kota," kataku. Rasanya tidak sopan mengatakan
bahwa ibuku tidak pernah bercerita tentang tukang roti kecuali memuji roti
buatannya. Kami sudah tiba di depan pintuku. Aku mengembalikan jaketnya. "Sampai ketemu
besok pagi." "Sampai ketemu," katanya, dan Peeta berjalan menjauh menyusuri lorong.
Ketika aku membuka pintu, gadis berambut merah itu sedang memungut pakaian
dan sepatu botku di tempat aku melemparkannya di lantai sebelum aku mandi. Aku
ingin meminta maaf karena mungkin saja aku membuatnya dalam masalah tadi.
Tapi aku ingat bahwa aku tidak boleh bicara dengannya kecuali hanya untuk
memberikan perintah. "Oh, maaf," kataku. "Seharusnya aku mengembalikan itu ke Cinna. Maafkan aku.
Bisa kaubawakan padanya?"
Gadis itu menghindari tatapanku, mengangguk sedikit, dan berjalan menuju pintu.
Aku bersiap-siap untuk mengatakan padanya bahwa aku minta maaf atas kejadian
di meja makan tadi. Tapi aku tahu permintaan maafku jauh lebih dalam lagi. Aku
malu karena tak berusaha membantunya di hutan. Aku membiarkan Capitol
membunuh anak lelaki itu dan memutilasi lidahnya tanpa sedikit pun berniat
menolongnya. Seolah-olah aku sedang menonton Hunger Games.
Kulepaskan sepatuku dan naik ke bawah selimut tanpa berganti pakaian.
Gemetarku belum hilang. Mungkin gadis itu tidak ingat padaku. Tapi aku yakin dia
mengenalku. Kau takkan pernah lupa pada wajah orang yang menjadi harapan
terakhirmu. Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku seakan selimut ini bisa
melindungiku dari gadis berambut merah yang tak bisa bicara. Tapi, aku bisa
merasakan matanya memandangiku, menembus dinding, pintu, dan selimut.
Aku bertanya-tanya apakah dia bakal senang menontonku mati.
Bab 7 Tidurku penuh dengan mimpi mengganggu. Wajah gadis berambut merah itu
berkelebat dengan bayangan mengerikan dari kilasan Hunger Games yang dulu.
Ibuku tampak meringkuk ngeri dan tak bisa kujangkau, sementara Prim tampak
kurus dan ketakutan. Aku menerjang memekik memanggil ayahku agar berlari
ketika tambang meledak memecah dalam jutaan cahaya mematikan.
Fajar merekah menembus jendela. Udara Capitol terasa berkabut dan menakutkan.
Kepalaku sakit dan aku pasti menggigit bagian dalam pipiku ketika tidur. Lidahku
meraba daging yang terbuka dan merasakan darah di sana.
Perlahan-lahan, aku menyeret tubuhku turun dari ranjang dan berjalan ke bawah
pancuran kamar mandi. Dengan asal-asalan aku memencet tombol di papan
kendali, akibatnya aku jadi melompat-lompat ketika semprotan air sedingin es dan
panas menusuk menyerangku. Kemudian aku bermandikan busa berlimpah
beraroma jeruk yang harus kusingkirkan dengan sikat berbulu. Oh, biarlah. Paling
tidak darahku mengalir lancar.
Setelah mengeringkan tubuh dan melembapkannya dengan losion, aku menemukan
pakaian yang sudah disediakan untukku di depan lemari. Celana panjang hitam
ketat, tunik ungu lengan panjang, dan sepatu kulit. Aku mengepang rambutku
menjadi satu kepangan besar yang dilepas di punggungku. Ini pertama kalinya
sejak pagi hari pemilihan aku mirip dengan penampilanku yang biasa. Tidak ada
pakaian mewah atau gaya rambut berlebihan, tidak ada jubah yang berkobar.
Hanya aku. Penampilanku seperti hendak pergi ke hutan. Dan itu membuatku
tenang. Haymitch tidak bilang jam berapa kami harus bertemu untuk sarapan dan tak ada
seorang pun yang menghubungiku pagi ini, tapi aku lapar jadi aku berjalan menuju
ruang makan, berharap ada makanan di sana.
Aku tidak kecewa. Meja makannya memang kosong, tapi meja panjang di dekat
dinding berisi paling tidak dua puluh jenis makanan. Seorang lelaki muda, kaum
Avox, tampak berdiri siaga. Saat kubertanya apakah aku boleh menyiapkan
makananku sendiri, dia mengangguk mengiyakan. Aku memenuhi piringku dengan
telur, sosis, kue yang dilapisi selai jeruk, sepotong melon ungu muda. Saat aku
mengisi perut dengan rakus, matahari terbit menyinari Capitol. Aku mengisi
piring kedua dengan gandum panas yang disiram rebusan daging sapi. Akhirnya, aku
memenuhi piring dengan roti dan duduk di meja, memecah-mecahkan roti dan
mencelupkannya pada cokelat panas, seperti yang dilakukan Peeta di kereta.
Pikiranku melayang pada ibuku dan Prim. Mereka pasti sudah bangun. Ibuku
menyiapkan bubur encer untuk sarapan. Prim memerah susu kambing sebelum ke
sekolah. Dua pagi yang lalu aku masih ada di rumah. Benarkah! Ya, dua pagi lalu.
Dan kini rumah itu terasa kosong, bahkan dalam jarak sejauh ini. Apa kata mereka
tadi malam tentang penampilan perdanaku yang berapi-api dalam pembukaan
Hunger Games" Apakah penampilanku memberi mereka harapan, atau hanya
menambah ketakutan ketika mereka melihat kenyataan bahwa 24 peserta
berkumpul bersama, dan sadar cuma satu orang yang bakal hidup"
Haymitch dan Peeta masuk, menyapaku selamat pagi, mengisi piring mereka. Aku
kesal melihat Peeta memakai pakaian yang sama seperti yang kupakai. Aku harus
bicara dengan Cinna tentang ini. Tampil kembaran seperti ini akan jadi masalah
bagi kami setelah Hunger Games dimulai. Mereka pasti tahu soal ini. Kemudian
aku ingat kata-kata Haymitch agar melakukan apa yang diperintahkan penata gaya.
Kalau bukan Cinna yang jadi penata gaya, aku mungkin bakal tergoda untuk tidak
memedulikannya. Tapi setelah kemenangan tadi malam, aku tidak punya alasan
untuk mengkritik pilihan-pilihannya.
Aku tegang menghadapi latihan. Akan ada waktu tiga hari bagi semua peserta
untuk berlatih bersama. Pada sore terakhir, kami berkesempatan untuk tampil
dalam sesi pribadi di hadapan para juri Hunger Games. Membayangkan pertemuan
langsung dengan peserta-peserta lain membuatku mual. Tanganku memutar-mutar
roti yang kuambil dari keranjang, tapi nafsu makanku sudah hilang.
Setelah menghabiskan beberapa piring rebusan daging sapi, Haymitch mendorong
piringnya sambil mendesah. Dia mengambil botol kecil dari sakunya, meminum isi
botolnya dengan lahap, lalu menyandarkan sikunya di meja. "Ayo, kita bereskan
urusan kita. Latihan. Pertama-tama, kalau kalian mau aku bisa melatih kalian
secara terpisah. Putuskan sekarang."
"Kenapa kau mau melatih kami secara terpisah?" tanyaku.
"Yah, siapa tahu kau punya keahlian tersembunyi yang tak ingin kauperlihatkan
pada yang lain," kata Haymitch.
Aku bertukar pandang dengan Peeta.
"Aku tidak punya keahlian rahasia," ujar Peeta. "Dan aku sudah tau apa
keahlianmu, kan" Maksudku, aku banyak makan tupai buruanmu."
Aku tak pernah membayangkan Peeta makan tupai yang kupanah. Entah
bagaimana aku selalu membayangkan tukang roti diam-diam membersihkan dan
menggoreng tupai-tupai itu untuk dimakan sendiri. Bukan karena dia rakus, tapi
karena keluarga-keluarga di kota biasanya makan daging mahal yang dijual tukang
daging. Daging sapi, ayam, dan kuda.
"Kau bisa melatih kami bersama," kataku pada Haymitch.
"Aku tidak punya kemampuan apa-apa," sahut Peeta. "Kecuali kau menghitung
kemampuanku memanggang roti."
"Maaf, itu tidak dihitung. Katniss, aku tahu kau mahir dengan pisau," kata
Haymitch. "Tidak juga. Tapi aku bisa berburu," kataku. "Dengan busur dan panah."
"Apakah kau hebat?" tanya Haymitch.
Aku harus memikirkan jawabannya. Dengan berburu aku menyediakan makanan di
rumah selama empat tahun. Itu bukan urusan kecil. Aku tidak sehebat ayahku, tapi
dia memang lebih banyak latihan. Aku lebih jitu memanah dibanding Gale, tapi
aku lebih sering latihan dibanding dia. Gale piawai dalam membuat jerat dan
perangkap. "Ya, lumayanlah," jawabku.
"Dia hebat sekali," sambar Peeta. "Ayahku membeli tupai buruannya. Ayahku
selalu berkomentar bahwa panahnya tak pernah menembus daging tupai. Dia selalu
memanah matanya. Sama seperti kelinci yang dijualnya ke tukang daging. Dia
bahkan bisa memburu rusa."
Aku terpana mendengar penilaian Peeta atas keahlian berburuku. Pertama, karena
dia memperhatikannya. Kedua, dia sedang memujiku.
"Apa-apaan sih?" tanyaku curiga.
"Bagaimana kau ini" Kalau dia akan harus membantumu, dia perlu tahu apa saja
keahlianmu. Jangan merendahkan dirimu sendiri," kata Peeta.
Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya ada yang salah.
"Bagaimana denganmu" Aku pernah melihatmu di pasar. Kau bisa mengangkat
seratus kilogram tepung terigu," aku membentaknya. "Katakan padanya. Itu
bukannya tidak punya keahlian apa-apa."
"Ya, dan aku yakin arena pertarungan nanti bakal penuh dengan kantong tepung
terigu yang bisa kujejalkan ke orang-orang. Itu kan bukannya keahlian
menggunakan senjata. Kau pasti tahu," Peeta balas membentak.
"Dia bisa bergulat," aku memberitahu Haymitch. "Dia juara dua dalam
pertandingan di sekolah kami tahun lalu, juara satunya adalah kakaknya."
"Apa gunanya" Berapa kali kau melihat ada peserta yang bergulat menghabisi
lawannya?" tanya Peeta mengejek.
"Biasanya selalu ada perkelahian satu lawan satu. Hanya dengan bersenjatakan
pisau, kau masih punya kesempatan. Kalau aku disergap oleh lawan, aku pasti
mampus!" aku bisa merasakan suaraku makin lama makin terisi kemarahan.
"Tapi kau takkan mati! Kau akan memanjat pohon makan tupai mentah dan
menembaki lawan dengan panah. Kau tahu apa kata ibuku ketika dia mengucapkan
selamat tinggal padaku, seakan dia ingin menghiburku, dia bilang mungkin Distrik
Dua Belas akhirnya akan punya pemenang. Kemudian aku sadar, yang dimaksud
ibuku bukan aku, kaulah yang dimaksud ibuku!' Peeta menyemburkan amarahnya.
"Oh, maksudnya pasti kau," kataku sambil mengibaskan tangan tak peduli.
"Ibuku bilang, 'Gadis itu sanggup bertahan hidup.' Gadis itu," kata Peeta.
Aku terkesiap. Apakah ibunya benar-benar mengatakan semua hal tentangku"
Apakah dia menilaiku lebih hebat dibanding putranya" Aku melihat kepedihan di
mata Peeta dan sadar dia tidak berbohong.
Mendadak aku seakan-akan berasa di belakang toko roti dan aku bisa merasakan
dinginnya air hujan yang mengalir di punggungku, kosongnya perutku yang belum
diisi. Suaraku seperti anak berumur sebelas tahun ketika aku akhirnya bicara.
"Tapi itu semua karena ada orang yang membantuku."
Mata Peeta mengerjap lalu tertuju pada roti di tanganku, dan aku tahu dia juga
teringat pada hari itu. Tapi Peeta hanya mengangkat bahu. "Orang-orang akan
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantumu di arena. Mereka akan berebutan untuk menjadi sponsormu."
"Kau juga pasti diperebutkan," kataku.
Peeta memutar bola matanya memandang Haymitch. "Dia sama sekali tidak
menyadari pengaruh yang dimilikinya."
Kuku jemari Peeta menelusuri alur kayu di meja, matanya menolak memandangku.
Apa sih maksud Peeta" Orang-orang membantuku" Saat kami hampir mati
kelaparan, tak ada seorangpun membantuku! Tak seorang pun kecuali Peeta.
Setelah aku memperoleh barang-barang yang bisa kutukar dengan makanan,
keadaan berubah. Aku pedagang yang alot. Benarkah itu" Apa pengaruh yang
kumiliki" Aku lemah dan butuh bantuan" Maksud Peeta aku memperoleh
penawaran yang baik karena orang-orang kasihan padaku" Kurasa benar begitu.
Mungkin ada beberapa pedagang yang agak loyal dalam bertukar barang
denganku, tapi aku selalu menganggapnya karena mereka memiliki hubungan baik
dengan ayahku. Selain itu, hasil buruanku kelas satu. Tak ada seorang pun yang
mengasihaniku. Aku memandang tajam roti di tanganku, yakin Peeta bermaksud menghinaku.
Setelah lewat semenit, Haymitch berkata, "Hmm, begitu ya. Yah. Katniss, tidak
ada jaminan bakal ada busur dan panah di arena, tapi pada sesi pribadi dengan
juri, tunjukkan pada mereka apa yang bisa kaulakukan. Sebelum itu, jauhi semua
kegiatan memanah. Apakah kau pandai membuat perangkap?"
"Aku tahu cara-cara dasar membuat jerat," aku bergumam.
"Itu mungkin penting dalam usaha mendapat makanan," kata Haymitch. "Dan
Peeta, dia benar, jangan pernah meremehkan kekuatan di arena. Sering kali
kekuatan fisik menjadi keuntungan bagi pemain. Di Pusat Latihan, akan ada
angkat beban, tapi jangan tunjukkan berapa berat yang bisa kauangkat di depan
peserta lain. Rencananya sama untuk kalian berdua. Kalian ikut latihan kelompok.
Pelajari apa yang tidak kalian ketahui. Melempar tombak. Mengayunkan tongkat.
Belajar membuat simpul yang baik. Simpan kemampuan terbaikmu sampai pada
sesi pribadi. Jelas?" tanya Haymitch.
Aku dan Peeta mengangguk.
"Satu hal lagi. Di depan umum, aku ingin kalian berdua selalu bersama-sama
sepanjang waktu," kata Haymitch.
Kami berdua hendak membantah, tapi Haymitch menghantamkan tangannya di
meja. "Sepanjang waktu! Tidak boleh dibantah! Kalian akan berduaan, kalian akan
tampil akrab satu sama lain. Sekarang keluar. Jam sepuluh temui Effie di
elevator untuk latihan." Kugigit bibirku dan berjalan kembali ke kamarku, kupastikan Peeta bisa
mendengarku membanting pintu. Aku duduk di ranjang, benci pada Peeta, benci
pada Haymitch, benci pada diriku sendiri karena menyinggung hari hujan yang
sudah lama berlalu itu. Konyol sekali! Aku dan Peeta akan berpura-pura bersahabat! Memuji kekuatan
satu sama lain, berkeras agar yang lain mau menerima kehebatan diri. Padahal
kenyataannya, pada titik tertentu kami harus menyadarkan diri dan menerima
kenyataan bahwa kami sebenarnya musuh. Aku sudah siap bersikap seperti musuh
dengan Peeta jika saja Haymitch tidak memberi instruksi bodoh agar kami selalu
bersama-sama saat latihan. Kurasa ini salahku juga, karena aku bilang padanya
agar melatih secara terpisah. Tapi itu tidak berarti aku ingin selalu melakukan
segalanya bersama Peeta. Lagi pula, dia juga jelas-jelas tidak mau berpasangan
terus bersamaku. Kata-kata Peeta bergaung dalam kepalaku. Dia sama sekali tidak menyadari
pengaruh yang dimilikinya. Jelas kata-kata tersebut bertujuan merendahkanku.
Tapi ada bagian kecil dalam diriku yang bertanya-tanya apakah kata-kata tersebut
mengandung pujian. Entah bagaimana dia mungkin saja menganggapku menarik.
Aneh rasanya, menyadari bagaimana dia memperhatikanku. Seperti perhatiannya
pada caraku berburu. Dan ternyata, aku juga tidak semasa bodoh yang
kubayangkan tentang dirinya. Tepung terigu. Gulat. Aku juga mengikuti kegiatan
anak lelaki dengan roti itu.
Sudah hampir jam sepuluh. Aku menyikat gigi dan merapikan rambutku lagi.
Untuk sementara kemarahan membuatku lupa pada kesedihanku bertemu dengan
para peserta lain, tapi kini aku bisa merasakan kerisauanku muncul kembali. Saat
bertemu Effie dan Peeta di elevator, aku sedang menggigiti kukuku. Aku segera
menghentikan perbuatanku.
Ruang-ruang latihan berada di lantai di bawah gedung kami. Dengan
elevatorelevator ini, kami sampai dalam waktu kurang dari satu menit. Pintu
elevator terbuka menuju gymnasium besar yang penuh dengan berbagai senjata dan jalurjalur
rintangan. Meskipun belum jam sepuluh, kami ternyata pasangan terakhir
yang tiba. Para peserta lain berkumpul dalam lingkaran kecil. Masing-masing
memakai nomor distrik yang dijepitkan dipakaian mereka. Saat kain bernomor 12
dipasangkan ke punggungku, aku mengamati sekelilingku dengan cepat. Hanya
aku dan Peeta yang berpakaian seragam.
Ketika kami bergabung dalam lingkaran, pelatih kepala, seorang wanita jangkung
dan atletis bernama Atala melangkah maju dan menjelaskan jadwal latihan. Para
ahli dalam masing-masing bidang keahlian akan tetap berada di pos mereka. Kami
bebas berjalan dari satu tempat ke tempat lain yang kami pilih, sesuai dengan
instruksi dari mentor kami. Beberapa pos mengajarkan teknik-teknik bertahan
hidup, selain teknik-tenik perkelahian. Kami dilarang melakukan latihan
pertarungan dengan peserta lain. Ada asisten yang siap sedia jika kami mau
berlatih dengan lawan. Ketika Atala mulai membicarakan daftar pos, mataku tidak bisa tidak melirik ke
arah peserta lain. Inilah pertama kalinya kami berkumpul, di tempat yang sama,
dalam pakaian sederhana. Hatiku mencelos. Hampir semua anak lelaki dan paling
tidak setengah dari anak perempuan berukuran lebih besar daripada tubuhku,
meskipun banyak dari peserta yang memperoleh makanan cukup. Kau bisa
melihatnya dari tulang-tulang dan kulit mereka, serta tatapan kosong di mata
mereka. Mungkin aku memang bertubuh kecil, tapi secara keseluruhan akal dan
upayaku dalam keluarga memberikan keuntungan dalam hal itu. Aku berdiri tegak,
aku kuat meskipun kurus. Daging dan tumbuh-tumbuhan yang kuperoleh dari
hutan digabung dengan kerja keras yang harus kulakukan untuk memperolehnya
telah memberiku tubuh yang lebih sehat dibanding sebagian besar peserta yang
kulihat di sekitarku. Pengecualian terhadap anak-anak dari distrik yang lebih kaya, para peserta
relawan, anak-anak yang diberi makan dan dilatih sepanjang hidup mereka untuk
menjalani masa ini. Para peserta distrik 1, 2, dan 4 biasanya memiliki
penampilan ini. Secara teknis melatih peserta sebelum sampai ke Capitol adalah pelanggaran,
tapi itu terjadi setiap tahun. Di Distrik 12, kami menyebut mereka Peserta
Karier, atau singkatnya Karier. Dan suka atau tidak, biasanya pemenangnya salah satu
dari mereka. Sedikit kelebihan yang kupunya ketika ke Pusat Latihan-penampilan perdanaku
yang penuh api tadi malam-seakan lenyap dalam kehadiran pesaingku.
Pesertapeserta lain cemburu pada kami, bukan karena kami hebat, tapi karena
penata gaya kami. Aku bisa melihat penghinaan di mata para Peserta Karier sekarang.
Masingmasing dari mereka dua puluh kilogram sampai lima puluh kilogram lebih
berat daripadaku. Mereka menunjukkan kebrutalan dan kesombongan. Ketika Atala
melepaskan kami, mereka langsung menuju ke tempat senjata-senjata paling
mematikan di gym dan memeganginya dengan santai.
Aku sedang berpikir bahwa aku beruntung karena aku bisa berlari dengan cepat
ketika Peeta menarik tanganku dan aku terlonjak. Dia masih berada di sampingku,
sesuai instruksi Haymitch. Wajahnya tampak tenang. "Kau mau mulai dari mana?"
Aku melihat Peserta-Peserta Karier sedang pamer, berusaha untuk membuat takut
peserta lain. Kemudian di sisi lain, anak-anak yang kurang makan, tidak
kompeten, tampak tegang belajar menggunakan pisau atau kapak untuk pertama kali.
"Bagaimana kalau kita belajar membuat simpul," kataku.
"Aku ikut kau saja," sahut Peeta.
Kami menyeberang menuju pos kosong, yang pelatihnya tampak senang mendapat
murid. Aku mendapat firasat bahwa kelas mengikat simpul tali bukanlah pilihan
favorit Hunger Games. Ketika pelatihnya tahu bahwa aku mengerti sedikit tentang
cara membuat jerat, dia menunjukkan cara sederhana yang hebat dalam membuat
perangkap yang bisa membuat manusia tergantung di pohon dengan kaki terikat
tali. Kami berkonsentrasi pada keahlian ini selama satu jam sampai kami berdua
menguasainya. Kemudian kami berlanjut ke kamuflase. Tampaknya Peeta
sungguh-sungguh menyukai pos ini, dia mengoleskan campuran lumpur, tanah liat,
dan jus berry di kulitnya yang pucat, berusaha menyamar diantara tanaman rambat
dan dedaunan. Pelatih yang mengajar di pos kamuflasi ini sangat antusias dengan
pekerjaannya. "Aku yang membuat kue," Peeta tiba-tiba mengaku padaku.
"Kue?" tanyaku. Aku sedang sibuk melihat anak lelaki dari Distrik 2 melempar
tombak menembus jantung boneka dari jarak lima belas meter. "Kue apa?"
"Di rumah. Kue yang ada lapisan gula, di toko roti," jawab Peeta.
Maksud Peeta adalah kue-kue yang dipajang di jendela. Kue-kue cantik dengan
bunga dan hiasan-hiasan indah yang dibuat dengan lapisan gula. Kue-kue itu
biasanya untuk ulang tahun dan Tahun Baru. Pada saat kami di kota, Prim selalu
menyeretku ke sana untuk mengagumi kue-kue itu, meskipun kami tak pernah
sanggup membelinya. Tidak banyak keindahan di Distrik 12, jadi aku tidak bisa
melarang Prim menikmati semua itu.
Aku mengamati desain di bagian lengan Peeta. Pola berwarna terang dan gelap
seakan memperlihatkan cahaya matahari yang menembus dedaunan di hutan. Aku
penasaran apakah dia tahu tentang hal ini, karena aku tidak yakin dia pernah
berada di luar pagar distrik kami. Apakah dia bisa melihat semua ini dari pohon
apel tua yang berdaun jarang di halaman belakang rumahnya" Entah bagaimana
semua ini-keahliannya, kue-kue yang tak sanggup kubeli, pujian dari ahli
kamuflasi-membuatku kesal.
"Menyenangkan sekali. Seandainya kau bisa menghias orang dengan lapisan gula
sampai mati," kataku.
"Jangan sok jago. Kau tak pernah tahu apa yang bisa kautemukan di arena nanti.
Seandainya, siapa tahu bakal ada kue raksasa...," ujar Peeta.
"Seandainya kita jalan terus," aku memotong ucapannya.
Jadi selama tiga hari aku dan Peeta berpindah dari satu pos ke pos lain tanpa
banyak bicara. Kami mempelajari beberapa keahlian berharga, mulai dari membuat
api, melempar pisau, dan membuat perlindungan. Walaupun Haymitch memberi
perintah agar kami tampil biasa-biasa saja, Peeta unjuk gigi dalam pertarungan
satu lawan satu, dan aku lolos tes tentang tanaman-tanaman apa saja yang bisa dimakan
dengan mudah. Tapi kami menjauh dari panahan dan angkat berat, karena ingin
menyimpannya untuk sesi pribadi.
Juri Hunger Games datang awal pada hari pertama. Sekitar dua puluh pria dan
wanita berpakaian jubah ungu. Mereka duduk di kursi di podium tinggi yang
mengelilingi gym, kadang-kadang mengamati kami sambil berjalan-jalan,
menuliskan catatan, di lain waktu menyantap makanan lezat yang tersedia tanpa
henti untuk mereka, dan mengabaikan kami. Tetapi mereka tampaknya terus
mengawasi peserta dari Distrik 12. Beberapa kali aku mendongak dan melihat
salah satu dari mereka memperhatikanku. Mereka berkonsultasi dengan para
pelatih saat kami istirahat makan. Kami melihat mereka berkumpul bersama ketika
kami kembali. Sarapan dan makan malam disajikan di lantai kami, tapi saat makan siang, dua
puluh empat peserta makan di ruang makan tidak jauh dari gymnasium. Makanan
ditata di kereta-kereta di sekitar ruangan dan para peserta mengambil sendiri
makanan yang diinginkan. Para Peserta Karier biasanya perkumpul di dekat satu
meja sambil bicara berbisik, seakan ingin membuktikan superioritas mereka,
bahwa mereka tidak takut dan menganggap kami-peserta-peserta yang lain-tidak
layak diperhatikan. Kebanyakan peserta lain duduk sendirian, seperti domba
tersesat. Tak ada seorang pun yang bicara dengan kami. Aku dan Peeta makan
bersama, dan karena Haymitch terus merongrong kami, maka kami berusaha
mengobrol akrab selama makan.
Tidak mudah mencari topik pembicaraan. Bicara soal rumah rasanya menyakitkan.
Bicara soal peristiwa yang terjadi sekarang rasanya tak tertahankan. Suatu hari,
Peeta mengeluarkan semua roti dari keranjang dan memperlihatkan bagaimana
mereka menyertakan semua ciri khas distrik dalam roti buatan Capitol. Roti tawar
berbentuk ikan dengan bintik-bintik hijau dari ganggang laut dari Distrik 4.
Roti berbentuk bulan sabit dengan biji-bijian dari Distrik 11. Entah bagaimana,
meskipun dibuat dari bahan yang sama, roti-roti ini kelihatan lebih enak
dibanding biskuit-biskuit jelek tanpa rasa yang jadi standar di rumah.
"Jadi kau tahu sekarang," kata Peeta, memasukkan kembali roti-roti itu ke dalam
keranjang. "Kau tahu banyak ya," kataku.
"Hanya tentang roti," katanya. "Oke, sekarang tertawa seolah-olah aku baru saja
menceritakan sesuatu yang lucu."
Kami berdua tertawa dengan meyakinkan dan mengabaikan tatapan dari
pesertapeserta lain di ruangan.
"Baiklah, sekarang aku akan tersenyum senang dan kau bicara," kata Peeta.
Perintah Haymitch untuk bersikap bersahabat membuat kami lelah. Karena sejak
aku membanting pintu, ada ketegangan di antara kami. Tapi bagaimanapun kami
sudah mendapat perintah. "Pernah tidak aku cerita tentang kejadian ketika aku dikejar beruang?" tanyaku.
"Belum, tapi kedengarannya seru," jawab Peeta.
Aku berusaha menampilkan mimik muka yang lucu ketika menceritakan kembali
kejadian itu, cerita itu sungguhan terjadi, ketika aku dengan konyol menantang
beruang hitam demi mendapatkan sarang lebah. Peeta tertawa dan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Dalam hal ini dia lebih jago daripada aku.
Pada hari kedua ketika kaki berlatih melempar tombak, Peeta berbisik, "kurasa
kita dibuntuti." Aku melempar tombakku, lemparanku lumayan bagus sebenarnya, kalau saja aku
tidak harus melempar terlalu jauh. Saat itulah aku melihat gadis kecil dari
Distrik 11 yang berada tidak jauh tapi tetap menjaga jarak, sedang mengawasi kami. Dia
gadis dua belas tahun, yang sosoknya mengingatkanku pada Prim. Jika dilihat
lebih dekat dia tampak seperti anak sepuluh tahun. Matanya hitam berkilau, dan
kulitnya halus kecokelatan, dan dia berdiri sedikit berjinjit dengan bertolak pinggang,
seakan siap-siap mengembangkan sayapnya jika terdengar aba-aba. Melihatnya
menbuatku teringat pada burung.
Kuambil tombak yang lain sementara Peeta melemparkan tombaknya.
"Kalau tidak salah namanya Rue," ujar Peeta pelan.
Kugigit bibirku. Rue adalah bunga kuning kecil yang tumbuh di Padang Rumput.
Rue. Primrose. Dua-duanya tampak kurus, ringkih, dan rapuh.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, dengan nada lebih kasar dari seharusnya.
"Tidak ada," sahut Peeta. "Kita ngobrol saja."
Kini setelah aku mengetahui keberadaannya, sulit untuk mengabaikan dirinya. Dia
menyelinap dan bergabung dengan kami di pos lain. Seperti aku, dia pandai dalam
bidang tumbuh-tumbuhan, bisa memanjat dengan gesit, dan bidikannya jitu. Dia
selalu bisa mengenai sasaran dengan ketapel. Tapi apa gunanya ketapel melawan
lelaki berpedang yang beratnya seratus kilogram"
Kembali ke lantai Distrik 12, sepanjang sarapan dan makan malam Haymitch dan
Effie menanyai kami habis-habisan tentang kejadian sepanjang hari. Apa yang
kami lakukan, siapa yang mengawasi kami, bagaimana persiapan peserta-peserta
lain. Cinna dan Portia tidak ada di sana, jadi tidak ada yang membuat acara
makan ini jadi lebih tenang. Haymitch dan Effie memang sudah tidak bertengkar lagi.
Malahan mereka seperti punya visi bersama, bertekad membuat kami siap sedia.
Mereka terus merempet memberi pengarahan tentang apa yang harus kami lakukan
dan sebaiknya tidak kami lakukan dalam latihan. Peeta lebih sabar mendengarkan,
tapi aku muak dan menampilkan wajah masam.
Ketika kami akhirnya tidur pada malam kedua, Peeta menggerutu, "Harusnya ada
yang memberi Haymitch minuman keras."
Aku mengeluarkan suara tidak jelas antara mendengus dan tertawa. Kemudian aku
cepat-cepat menyadarkan diri. Otakku jadi tidak beres karena bingung aku harus
bersikap bersahabat dan kapan tidak. Paling tidak, kami berada di arena, aku
tahu
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di mana posisi kami. "Jangan. Tidak perlu berpura-pura saat tidak ada orang."
"Baiklah, Katniss," kata Peeta lelah.
Sehabis itu, kami hanya bicara di depan orang.
Pada hari ketiga latihan, mereka mulai memanggil kami saat makan siang untuk
sesi pribadi dengan juri Hunger Games. Satu demi satu distrik, pertama peserta
lelaki baru kemudian yang perempuan. Seperti biasa, Distrik 12 dipanggil
terakhir. Kami tetap berada di ruang makan, tidak tahu harus pergi kemana. Tak ada
seorangpun yang kembali setelah mereka dipanggil. Ketika ruangan makin kosong,
tekanan pun terasa makin ringan. Saat mereka memanggil Rue, kami hanya
berduaan di ruangan ini. Kami duduk dalam keheningan sampai mereka
memanggil Peeta. Dia bangkit berdiri.
"Ingat saran Haymitch agar percaya diri saat mengangkat beban." Kata-kata
tersebut meluncur keluar dari mulutku tanpa rencana.
"Trims. Akan kulakukan," katanya. "Dan kau... memanah dengan lurus."
Aku mengangguk. Entah kenapa aku bicara sepeti itu. Jika aku harus kalah, lebih
baik Peeta yang menang daripada peserta lain. Lebih baik bagi distrik kami,
ibuku dan Prim. Setelah sekitar lima belas menit, mereka memanggil namaku. Kurapikan rambutku,
kutegakkan punggungku, lalu berjalan memasuki gym. Seketika aku tahu aku
dalam masalah. Para juri sudah terlalu lama berada di ruangan ini. Duduk
memperhatikan 23 penampilan dari peserta-peserta lain. Kebanyakan dari mereka
juga tidak sabar ingin buru-buru pulang.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain melanjutkan rencanaku. Aku berjalan ke pos
panahan. Oh, senjata-senjata ini! Tanganku sudah gatal ingin memegang busur dan
panah selama berhari-hari! Busurnya terbuat dari kayu, plastik, logam, dan
bahanbahan lain yang tak bisa kusebutkan namanya. Anak panahnya lengkap dengan
bulu dipotong dalam bentuk seragam. Aku memilih busur, menarik talinya, dan
menyandang tempat anak panah di bahuku. Di ruangan terdapat jalur tembak, tapi
tempatnya terbatas. Ada sasaran tembak standar dan siluet-siluet manusia. Aku
berjalan ke bagian tengah gym dan memilih sasaran pertamaku. Orang-orangan
yang digunakan untuk latihan melempar pisau. Saat menarik tali busur, aku tahu
ada yang salah. Talinya lebih tegang daripada panah yang kugunakan di rumah.
Anak panahnya lebih kaku. Tembakanku meleset beberapa sentimeter dari sasaran
dan aku kehilangan perhatian yang kubutuhkan. Sesaat, aku merasa malu,
kemudian aku kembali ke sasaran tembak. Aku memanah lagi dan lagi sampai aku
bisa merasakan irama senjata baruku ini.
Aku kembali ke bagian tengah gym, mengambil ancang-ancang dan tembakanku
menembus bagian jantung orang-orangan itu. Kemudian anak panahku memotong
tali yang menahan kantong pasir untuk tinju, hingga kantongnya terbuka dan
pasirnya tumpah ketika jatuh ke lantai. Tanpa berhenti, aku bersalto ke depan,
sebelah kakiku berlutut, dan anak panahku mengenai lampu-lampu gantung di atas
lantai gym. Percikan api menyembur dari lampu-lampu itu.
Tembakanku luar biasa. Aku menoleh memandang para juri. Beberapa juri
mengangguk memberi pujian, tapi lebih banyak lagi yang tatapannya tertuju pada
babi panggang yang baru tiba di meja mereka.
Tiba-tiba aku marah sekali, saat hidupku berada di ujung tanduk seperti ini,
mereka bahkan tidak mau meluangkan waktu memperhatikanku. Bahkan aku kalah pamor
dibanding babi mati. Jantungku berdebar cepat, aku bisa merasakan wajahku
terbakar amarah. Tanpa pikir panjang, aku menarik anak panah dari kantong dan
mengarahkan ke meja juri. Kudengar teriakan kaget ketika orang-orang terjajar
mundur. Panahku menembus apel yang berada di mulut babi dan menancapkan
apel itu ke dinding yang berada di belakangnya. Semua orang memandangku tak
percaya. "Terima kasih atas perhatiannya," kataku. Lalu aku menunduk memberi hormat
dan berjalan ke luar tanpa menunggu izin mereka.
Bab 8 Ketika berjalan menuju elevator, kugantungkan busurku di bahu dan tempat anak
panah di bahu satunya. Aku melewati para Avox penjaga elevator yang ternganga
dan menekan tombol dua belas dengan tinjuku. Kedua pintu elevator menutup
bersamaan dan aku melesat ke atas. Aku berhasil kembali ke lantaiku sebelum air
mata mengalir deras di pipiku. Aku bisa mendengar orang-orang memanggilku dari
ruang tamu, tapi aku langsung melesat menuju koridor ke kamarku, mengunci
pintunya, dan membanting tubuhku ke kasur. Kemudian di sanalah aku mulai
terisak-isak. Aku sudah melakukannya! Aku pasti sudah menghancurkan segalanya sekarang!
Seandainya tadi aku punya setitik kesempatan, kesempatan itu lenyap sudah ketika
aku mengirimkan anak panah ke meja para juri Hunger Games. Apa yang akan
mereka lakukan terhadapku sekarang" Menangkapku" Mengeksekusiku"
Memotong lidahku dan membuatku jadi kaum Avox sehingga aku bisa melayani
para peserta Hunger Games Panem di masa yang akan datang" Apa yang
kupikirkan tadi sampai aku nekat menembakkan panah ke para juri" Tentu saja,
secara teknis aku tidak memanah mereka, sasaran tembakku adalah apel di mulut
babi panggang sebab aku terlalu marah karena diabaikan. Aku tidak bermaksud
membunuh salah seorang dari mereka. Kalau itu niatku mereka pasti sudah tewas!
Lagi pula apa bedanya" Aku juga tidak bakal memenangkan Hunger Games nanti.
Aku tak peduli pada apa yang bakal mereka lakukan terhadapku. Yang paling
kutakutkan adalah apa yang bisa mereka lakukan pada ibuku dan Prim, mungkin
saja keluargaku bakal menderita karena perbuatan nekatku yang tak pikir panjang.
Apakah mereka akan merampas harta milik ibuku dan Prim yang tak seberapa, atau
memenjarakan ibuku lalu menaruh Prim di panti asuhan, atau bahkan membunuh
mereka" Mereka takkan membunuh ibuku dan Prim, kan" Ah, kenapa tidak"
Kenapa pula mereka harus peduli pada nyawa keluargaku"
Seharusnya aku tetap tinggal dan minta maaf. Atau tertawa seakan-akan yang
kulakukan hanyalah lelucon konyol. Mungkin dengan begitu hukumanku akan
lebih ringan. Tapi aku malahan berjalan keluar ruangan begitu saja dengan cara
amat tidak sopan. Haymitch dan Effie menggedor-gedor pintuku. Aku berteriak mengusir mereka
pergi dan pada akhirnya mereka pun menyerah. Selama sekitar satu jam aku
menangis habis-habisan. Kemudian aku bergelung di ranjang, mengelus seprai
sutra yang lembut, melihat matahari terbenam di Capitol yang penuh warna buatan.
Awalnya, aku mengira para penjaga akan datang menangkapku. Tapi seiring waktu
berlalu, kemungkinan itu tidak terjadi. Aku jadi tenang. Mereka masih
membutuhkan anak perempuan dari Distrik 12, kan" Kalau para juri Pertarungan
ingin menghukumku, mereka bisa melakukannya di depan umum. Tunggu sampai
aku berada di arena dan umpankan aku pada binatang buas yang kelaparan. Aku
yakin mereka akan memastikan aku tidak mendapat busur dan panah untuk bisa
membela diri. Namun sebelum itu, mereka akan memberiku nilai sangat rendah, sehingga tak ada
seorang pun yang waras pikirannya yang mau menjadi sponsorku. Itulah yang akan
terjadi malam ini. Karena latihan tertutup bagi penonton, para juri Pertarungan
mengumumkan nilai bagi masing-masing pemain. Nilai ini memberikan perkiraan
awal untuk memasang taruhan yang berlangsung sepanjang Hunger Games.
Nilainya berkisar antara satu sampai dua belas, angka satu artinya amat buruk
sekali dan dua belas berarti nilai tertinggi sempurna. Nilai menunjukkan
kepiawaian yang dimiliki peserta Hunger Games. Angka itu tidak menjamin
peserta mana yang akan menjadi pemenangnya. Angka itu hanya menjadi petunjuk
atas potensi peserta yang ditunjukkan dalam latihan. Sering kali, karena
berbagai variabel dalam arena pertarungan yang sesungguhnya, para peserta yang
memperoleh nilai tinggi malah jadi peserta yang lebih dulu tewas. Dan beberapa
tahun lalu, anak lelaki yang memenangkan Pertarungan hanya memperoleh angka
tiga. Namun nilai ini bisa menolong atau merugikan masing-masing peserta dalam
memperoleh sponsor. Tadinya aku berharap bisa memperoleh nilai enam atau tujuh
berkat kemampuan memanahku, bahkan seandainya aku tidak menunjukkan
kekuatan terbaikku. Kini aku yakin aku akan mendapatkan nilai terendah dari dua
puluh empat peserta. Kalau tak ada yang mau menjadi sponsorku, kemungkinanku
untuk bisa bertahan hidup turun hingga nyaris nol.
Ketika Effie mengetuk pintu memanggilku untuk makan malam, kuputuskan
untuk mengikutinya. Nilai-nilai itu akan di tampilkan di televisi malam ini.
Lagi pula aku tak bakal bisa menyembunyikan apa yang terjadi selamanya. Aku
beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka, tapi wajahku masih merah dan
sembap. Semua orang sudah menunggu di meja makan, bahkan Cinna dan Portia ada di
sana. Tadinya aku berharap para penata gayaku tidak ada di sana karena berbagai
alasan, salah satunya aku tidak menyukai pemikiran bahwa aku mengecewakan
mereka. Seakan-akan aku membuang kerja keras yang mereka lakukan dalam
upacara begitu saja. Aku menghindari tatapan semua orang ketika lidahku
mencicipi sesendok sup ikan. Rasa asin yang kurasakan mengingatkanku pada rasa
air mata. Orang-orang dewasa mulai mengobrol ringan tentang ramalan cuaca, dan mataku
bertemu dengan mata Peeta. Dia mengangkat alis. Ternyata pertanyaannya di sana.
Apa yang terjadi" Aku hanya menggeleng pelan. Kemudian ketika para pelayan
menyajikan hidangan utama, kudengar Haymitch berkata, "Oke, cukup basabasimya,
seburuk apakah kau hari ini?"
Peeta menjawab lebih dulu. "Aku tidak tahu apakah mereka memperhatikannya.
Saat aku tiba, tak ada seorang pun yang peduli melihatku. Mereka sedang asyik
bernyanyi, lagunya orang mabuk, kalau tidak salah. Jadi, aku melemparkan
bendabenda berat sampai mereka bilang aku boleh pergi."
Pernyataan Peeta membuatku sedikit lebih baik. Memang Peeta tidak menyerang
para juri, tapi paling tidak Peeta juga merasa tersinggung.
"Dan kau, bagaimana denganmu, Manis?" tanya Haymitch.
Entah bagaimana cara Haymitch menyebutku manis membuatku panas lagi
sehingga aku langsung bisa bicara. "Aku menembakkan panah ke juri-juri Hunger
Games." Semua orang langsung berhenti makan.
"Kau apa?" Kengerian dalam suara Effie menegaskan kecurigaan-kecurigaanku
yang terburuk. "Aku menembakkan panah ke mereka. Maksudku, tidak langsung kepada mereka.
Cuma ke arah mereka. Seperti kata Peeta, aku menembakkan panah dan mereka
tidak peduli sehingga aku... aku tidak berpikir lagi, jadi aku menembakkan panah
ke apel hingga lepas dari mulut babi panggang tolol itu!" sahutku dengan sikap
menantang. "Lalu mereka bilang apa?" tanya Cinna hati-hati.
"Tidak ada. Aku tidak tahu. Aku berjalan keluar setelah itu," jawabku.
"Tanpa disuruh?" tanya Effie terkesiap.
"Aku menyuruh diriku sendiri," kataku. Aku ingat bagaimana aku berjanji pada
Prim bahwa aku akan berusaha keras untuk menang dan saat ini aku merasa ada
satu ton batu bara yang dijatuhkan di atas kepalaku.
"Well, semua sudah terjadi," kata Haymitch. Kemudian dia mengolesi rotinya
dengan mentega. "Apakah mereka akan menangkapku?" tanyaku.
"Kurasa tidak. Akan sulit mencari pengganti dalam tahap ini," kata Haymitch.
"Bagaimana dengan keluargaku?" tanyaku. "Apakah mereka akan dihukum?"
"Kurasa tidak. Itu tidak masuk akal. Begini ya, mereka harus mengungkapkan apa
yang sebenarnya terjadi di Pusat Latihan agar semua penduduk bisa merasakan
manfaat hukuman itu. Orang-orang pasti ingin tahu apa yang telah kaulakukan.
Tapi mereka tidak bisa mengetahuinya karena apa yang terjadi di sana itu
rahasia, jadi semuanya hanyalah usaha yang sia-sia," kata Haymitch. "Kemungkinan yang
lebih mungkin adalah mereka akan membuatmu setengah mati di arena nanti."
"Yah, tanpa itu pun mereka sudah berjanji untuk membuat kami setengah mati di
sana," kata Peeta. "Betul sekali," kata Haymitch.
Dan aku menyadari sesuatu yang tak mungkin telah terjadi. Semua orang di meja
makan memujiku. Haymitch mencomot potongan daging dengan jarinya, sehingga
membuat Effie mengernyit, lalu mencelupkan daging itu ke anggurnya. Haymitch
menggigit sepotong besar daging lalu tergelak. "Seperti apa wajah mereka saat
itu?" Aku bisa merasakan sudut bibirku terangkat.
"Kaget. Ngeri. Eh, sebagian tampak menggelikan." Aku tiba-tiba ingat. "Seorang
lelaki sampai jatuh terpeleset ke belakang dan menabrak mangkuk minuman."
Haymitch tertawa terbahak-bahak dan kami semua tertawa kecuali Effie, meskipun
dia tampak menahan senyum. "Yah, mereka patut merasakannya. Sudah tugas
mereka memperhatikanmu. Hanya karena kau dari Distrik Dua Belas bukan berarti
mereka punya alasan untuk tidak peduli padamu."
Kemudian Effie memandangi sekeliling meja seakan dia telah mengatakan sesuatu
yang keterlaluan. "Maaf, tapi menurutku begitu," kata Effie entah pada siapa.
"Aku pasti dapat angka jelek," kataku.
"Angka cuma diperhatikan kalau nilainya sangat bagus, tak ada yang
memperhatikan mereka yang mendapat angka jelek atau menengah. Menurut
mereka, kau bisa saja menyembunyikan bakatmu agar sengaja memperoleh nilai
rendah. Banyak yang menggunakan strategi seperti itu," kata Portia.
"Kuharap itulah yang dipikirkan orang saat aku memperoleh nilai empat yang
mungkin kuperoleh," kata Peeta. "Tidak ada yang menarik saat melihat seseorang
mengambil bola-bola berat lalu melemparkannya dalam jarak beberapa meter. Satu
bola hampir mendarat di kakiku."
Aku nyengir memandang Peeta dan tersadar bahwa aku merasa amat lapar. Aku
memotong daging di piring, mencelupkannya di kentang tumbuk, dan mulai
menyantap makanan. Tidak apa-apa. Keluargaku aman. Dan jika mereka aman, tak
ada masalah yang timbul akibat perbuatanku.
Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu dan menonton pengumuman
nilai di televisi. Awalnya mereka menampilkan foto-foto peserta, lalu
memperlihatkan nilai mereka di bawah foto tersebut. Para Peserta Karier biasanya
memperoleh nilai antara delapan sampai sepuluh. Kebanyakan peserta lain
memperoleh lima. Yang mengejutkan, Rue memperoleh nilai tujuh. Aku tidak tahu
apa yang ditunjukkannya pada para juri, tapi dengan tubuhnya yang mungil dia
pasti tampil mengesankan.
Seperti biasa, Distrik 12 tampil terakhir. Peeta mendapat nilai delapan, jadi
paling tidak ada beberapa juri yang memperhatikannya. Aku mengepalkan kedua
tanganku erat-erat ketika melihat wajahku muncul di televisi, bersiap-siap
menghadapi yang terburuk. Mereka menampilkan angka sebelas di layar.
Sebelas! Effie Trinket memekik, semua orang menepuk punggungku, memujiku, dan
memberi selamat padaku. Tapi semua ini terasa tidak nyata.
"Pasti ada kesalahan. Bagaimana... bagaimana mungkin?" aku bertanya pada
Haymitch. "Kurasa mereka suka sifat pemarahmu," katanya. "Ini kan acara pertunjukkan.
Mereka butuh pemain yang cepat panas."
"Katniss, gadis yang terbakar," kata Cinna lalu memelukku. "Oh, tunggu sampai
kau melihat gaun untuk interview."
"Lebih banyak api?" tanyaku.
"Semacam itulah," katanya sok berahasia.
Aku dan Peeta saling memberi selamat, sekali lagi ini jadi momen ketika kami
merasa canggung. Kami berdua berhasil dengan baik, tapi apa akibatnya terhadap
kami berdua" Aku kabur ke kamarku secepat mungkin dan menenggelamkan diri
di bawah selimut. Tekanan hari ini, terutama acara menangisnya telah menguras
habis tenagaku. Aku ketiduran, lolos dari hukuman, lega, dan angka sebelas masih
berkerjap-kerjap dalam benakku.
Pada dini hari, aku berbaring sejenak di ranjang, memandangi matahari terbit
pada pagi hari yang indah itu. Hari ini Minggu. Hari libur di rumah. Aku bertanyatanya apakah Gale sudah berada di hutan sekarang. Biasanya kami menghabiskan hari
Minggu dengan mengumpulkan makanan untuk satu minggu. Kami bangun pagipagi
benar, berburu dan mengumpulkan makanan, kemudian melakukan barter di
Hob. Kupikirkan apa yang dilakukan Gale tanpa aku sekarang. Kami berdua bisa
berburu sendiri-sendiri, tapi kami lebih baik berpasangan. Terutama jika kami
berusaha mencari buruan yang lebih besar. Tapi kehadirannya juga penting untuk
hal-hal kecil, adanya partner berburu membuat beban jadi lebih ringan, bahkan
bisa membuat kewajiban berat menyediakan makanan untuk keluarga jadi
menyenangkan. Aku sudah berusaha berburu sendirian selama enam bulan ketika bertemu Gale
untuk pertama kalinya di hutan. Hari itu juga hari Minggu di bulan Oktober,
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
udara terasa sejuk dan tajam menusuk dengan bau mahkluk-mahkluk mati. Pagi itu aku
berlomba dengan tupai-tupai dan pada siang hari yang lebih hangat aku
menyeberangi kolam dangkal mencabut katniss. Satu-satunya daging yang berhasil
kudapat adalah tupai yang bisa dibilang menyerahkan diri dengan berlari
menginjak jari-jari kakiku ketika dia mencari buah kenari, tapi binatang itu
pasti masih bergerak saat salju mengubur sumber makananku yang lain. Aku
menjelajahi hutan lebih jauh daripada biasanya, dan aku bergegas pulang
menenteng karung goni ketika aku melihat bangkai kelinci. Kelinci itu tergantung
dengan kawat tipis sekitar tiga puluh sentimeter di atas kepalaku. Aku mengenali
pola jerat yang digunakannya, sama seperti yang digunakan ayahku. Ketika
mangsa tertangkap, binatang itu tertarik ke atas agar tidak disergap binatang
lain yang juga lapar. Sepanjang musim panas aku berusaha menggunakan jerat tapi
tidak pernah berhasil, jadi aku tidak bisa tidak tergoda untuk menaruh karungku
untuk memeriksa jerat itu. Jari-jariku baru saja memegang kawat di atas kelinci
ketika aku mendengar teriakan. "Itu berbahaya."
Aku melompat mundur hampir semeter jauhnya ketika Gale muncul dari balik
pohon. Dia pasti sudah mengamatiku sejak tadi. Umur Gale baru empat belas
tahun, tapi tingginya 180 sentimeter dan dimataku dia tampak seperti orang
dewasa. Aku pernah melihatnya dalam kesempatan lain. Dia juga kehilangan
ayahnya dalam ledakan yang sama yang menewaskan ayahku. Pada bulan Januari,
aku berdiri sementara dia menerima medali keberanian di Gedung Pengadilan, satu
lagi anak sulung tanpa ayah. Aku ingat bagaimana dua adik laki-lakinya menempel
erat pada ibunya, wanita dengan perut besar yang tidak lama lagi pasti akan
melahirkan. "Siapa kau?" tanya Gale, menghampiriku dan melepaskan kelinci dari jeratnya. Dia
masih punya tiga jerat lagi yang menggantung di ikat pinggangnya.
"Katniss," jawabku, nyaris berupa bisikan.
"Hm, Catnip, mencuri bisa dihukum mati, kau pernah dengar peraturan itu, kan?"
katanya. "Katniss," sahutku dengan suara lebih keras. "Aku tidak mencuri. Aku cuma mau
lihat jeratmu. Jeratku tidak pernah berhasil menangkap apa pun."
Dia mencibir memandangku, tampak tidak yakin. "Jadi dari mana kau dapat tupai
itu?" "Aku memanahnya." Kulepaskan busur dari punggungku. Aku masih
menggunakan busur dan panah versi kecil yang dibuatkan ayahku, tapi aku berlatih
dengan busur dan anak panah berukuran besar setiap ada kesempatan. Aku
berharap pada musim semi nanti aku bisa memanah buruan yang lebih besar.
Mata Gale tertuju pada busur panahku. "Boleh kulihat?"
Kuserahkan busur itu padanya. "Tapi ingat ya, mencuri bisa dihukum mati."
Itulah pertama kalinya aku melihat Gale tersenyum. Senyum itu mengubahnya dari
sosok menakutkan menjadi seseorang yang kauharap bisa kaukenal. Tapi perlu
waktu beberapa bulan sebelum aku membalas senyumnya.
Saat itu kami bicara tentang berburu. Kuberitahu Gale bahwa aku bisa memberinya
busur dan anak panah kalau dia punya sesuatu untuk ditukar. Bukan makanan. Aku
ingin pengetahuan. Suatu hari nanti aku ingin bisa memasang jerat yang bisa
menangkap banyak kelinci gemuk. Dia setuju untuk mengatur pertukaran semacam
itu. Seiring musim berlalu, dengan enggan kami mulai berbagi pengetahuan,
senjata-senjata, tempat-tempat rahasia yang kami anggap penuh dengan buahbuahan
liar atau kalkun. Gale mengajariku memasang jerat dan memancing.
Kutunjukkan padanya tumbuh-tumbuhan apa saja yang bisa dimakan dan pada
akhirnya kuberikan padanya salah satu busurku yang berharga. Kemudian suatu
hari, tanpa perlu kami ucapkan, kami jadi tim. Kami saling membagi pekerjaan dan
hasil tangkapan, memastikan bahwa keluarga kami berdua mendapat cukup
makanan. Gale memberiku rasa aman yang tak kumiliki lagi sejak kematian ayahku.
Ditemani Gale mengisi kekosongan dan kesendirian selama jam-jam yang panjang
di hutan. Aku jadi pemburu yang baik ketika aku tidak harus menjaga agar tetap
aman. Tapi Gale juga tidak lagi sekedar teman berburu. Dia menjadi orang
kepercayaanku tentang hal-hal yang tidak bisa kuutarakan di dalam pagar.
Sebaliknya, dia juga melakukan hal yang sama denganku. Berada di hutan bersama
Gale... kadang-kadang aku sungguh-sungguh merasa bahagia.
Aku menyebut Gale sebagai temanku, tapi selama setahun terakhir kata itu tampak
terlalu encer untuk menggambarkan arti Gale bagiku. Secercah kerinduan
menembus dadaku. Seandainya dia ada di sini sekarang! Tapi tentu saja aku tidak
mau dia ada di sini. Aku tidak mau dia berada di arena di mana dia bisa tewas
beberapa hari lagi. Aku hanya... aku hanya kangen padanya. Aku benci merasa
sendirian. Apakah dia juga kangen padaku" Pastinya.
Aku teringat lagu angka sebelas yang berkedip-kedip di bawah namaku tadi
malam. Aku tahu apa yang akan dikatakannya padaku. "Well, nilai itu masih bisa
diperbaiki jadi lebih baik." Lalu dia akan tersenyum dan aku balas tersenyum
tanpa ragu sekarang. Aku tidak bisa tidak membandingkan apa yang kumiliki bersama Gale dengan apa
yang pura-pura kulakukan bersama Peeta. Aku tak pernah mempertanyakan motif
perbuatan Gale sementara dengan Peeta aku selalu meragukan niatnya.
Sesungguhnya ini memang bukan perbandingan yang adil. Aku dan Gale
ditempatkan bersama oleh kebutuhan bertahan hidup. Sementara aku dan Peeta
tahu bahwa keselamatan yang lain berarri maut bagi diri sendiri. Bagaimana dua
hal semacam itu bisa dibandingkan"
Effie mengetuk pintu, mengingatkanku hari ini masih ada "hari besaaaaar". Besok
malam akan ada wawancara kami yang ditayangkan di televisi. Kurasa semua
anggota tim harus melakukan persiapan besar untuk kami dalam acara itu.
Aku bangun dan mandi cepat, kali ini lebih hati-hati dengan tidak menekan
sembarang tombol, setelah itu aku menuju ruang makan. Peeta, Effie, dan
Haymitch duduk berimpitan di sekeliling meja dan berbicara berbisik-bisik.
Tingkah mereka tampak janggal, tapi rasa lapar mengalahkan rasa ingin tahuku
dan aku mengisi piringku dengan makanan untuk sarapan sebelum bergabung
dengan mereka. Sup daging hari ini berisi potongan-potongan daging domba yang lembut dan buah
plum kering. Pas dimakan dengan nasi hangat. Aku sudah menyuapkan makanan
hingga setengah ke dalam mulutku hingga aku tersadar bahwa tak ada seorang pun
yang bicara. Kuminum jus jeruk dalam satu tegukan besar dan kuseka mulutku.
"Ada apa" Hari ini kau akan mengajari kami untuk persiapan wawancara, kan?"
"Betul," jawab Haymitch.
"Kau tidak perlu menunggu sampai aku selesai makan. Aku bisa mendengar dan
makan pada saat bersamaan," kataku.
"Hm, begini, ada sedikit perubahan rencana. Tentang pendekatan kita saat ini,"
kata Haymitch. "Maksudnya?" tanyaku. Aku tidak terlalu paham dengan arti pendekatan saat ini.
Strategi terakhir yang kuingat adalah berusaha tampil biasa-biasa saja di depan
peserta lain. Haymitch mengangkat bahu. "Peeta sudah meminta untuk dilatih terpisah."
Bab 9 PENGKHIANATAN. Itulah yang pertama kali kurasakan ketika mendengarnya,
yang menurutku sebenarnya konyol. Agar bisa terjadi pengkhianatan, sebelumnya
harus ada kepercayaan. Antara aku dan Peeta. Dan kepercayaan tidaklah menjadi
bagian dari perjanjian kami. Kami sama-sama peserta dalam Hunger Games ini.
Tapi anak lelaki yang mengambil risiko dipukuli untuk memberiku roti, yang
menenangkanku di kereta kuda, yang melindungiku dalam peristiwa dengan gadis
Avox berambut merah, yang berkeras agar Haymitch tahu kemampuan
berburuku... apakah ada sedikit bagian diriku yang luluh hingga percaya padanya"
Sebaliknya, aku lega kami bisa berhenti berpura-pura jadi sahabat. Jelas sudah
apa pun hubungan rapuh yang bodohnya sudah kami bentuk kini telah pupus. Dan
waktunya tidak bisa lebih pas lagi. Pertarungan akan dimulai dua hari lagi, dan
kepercayaan hanya akan menjadi kelemahan. Apa pun yang memicu keputusan
Peeta-yang kucurigai ada hubungannya dengan nilaiku yang lebih tinggi darinya
dalam latihan-aku seharusnya merasa bersyukur. Mungkin Peeta akhirnya
menerima kenyataan, lebih cepat kami secara terbuka mengakui bahwa kami
sebenarnya musuh, adalah lebih baik.
"Baiklah," kataku. "Jadi bagaimana jadwalnya?"
"Masing-masing akan bersama Effie selama empat jam untuk latihan presentasi
dan empat jam bersamaku untuk jawaban," kata Haymitch. "Kau mulai dengan
Effie, Katniss." Aku tidak bisa membayangkan apa yang bisa diajarkan Effie padaku selama empat
jam, tapi ternyata dia membuatku bekerja keras hingga menit terakhir. Kami pergi
ke kamarku dan dia memaikanku gaun panjang dan sepatu berhak tinggi, bukan
pakaian dan sepatu yang bakal kupakai dalam wawancara nanti, dan menyuruhku
berjalan. Bagian terburuknya adalah sepatu yang kupakai. Aku tak pernah
memakai sepatu hak tinggi dan tak bisa berjalan tertatih-tatih dengan adanya
bola di bawah kakiku. Tapi Effie memakai sepatu hak tinggi sepanjang waktu, dan aku
bertekad jika dia bisa melakukannya, aku juga bisa. Gaunnya juga menimbulkan
masalah lain. Gaun itu melilit sepatuku terus-menerus, jadi tentu saja aku
langsung menyentaknya ke atas. Effie langsung menerkamku bak elang, memukul tanganku
dan berteriak, "Jangan ditarik sampai keatas mata kaki!" Ketika aku akhirnya
menguasai cara berjalan, masih ada cara duduk, postur tubuh yang benar-ternyata
aku cenderung merundukkan kepalaku-kontak mata, gerakan tangan, dan senyum.
Latihan senyum lebih berupa bagaimana cara tersenyum berlebihan. Effie
menyuruhku mengucapkan ratusan kalimat dangkal yang dimulai dengan senyum,
sambil senyum, atau diakhiri dengan senyum. Pada makan siang, otot-otot pipiku
berkedut karena terlalu sering digunakan.
"Yah, itulah yang terbaik yang bisa kuajarkan," kata Effie sambil mendesah.
"Ingatlah, Katniss, kau ingin penonton menyukaimu."
"Menurutmu mereka tak bakal suka padaku?" tanyaku.
"Tidak, kalau kau memelototi mereka terus. Simpan dulu tatapan mautmu untuk di
arena. Cobalah menganggap dirimu sedang berada di antara teman-teman," kata
Effie. "Mereka bertaruh berapa lama aku bisa bertahan hidup!" semburku marah.
"Mereka bukan teman-temanku!"
"Cobalah berpura-pura!" bentak Effie. Kemudian dia menenangkan diri dan
memandangku. "Lihat, seperti ini. Aku tersenyum padamu meskipun kau
membuatku jengkel." "Ya, senyummu sangat meyakinkan," kataku. "Aku mau makan."
Kulepaskan sepatu hak tinggiku dan berjalan dengan langkah gagah ke ruang
makan, tidak lupa mengangkat gaunku tinggi-tinggi hingga ke paha.
Peeta dan Haymitch tampaknya gembira, jadi kupikir sesi latihan jawaban pasti
lebih baik daripada acara pagi. Ternyata aku salah besar. Setelah makan siang,
Haymitch membawaku ke ruang duduk, menyuruhku duduk di sofa, kemudian dia
hanya memandangiku sambil mengernyit.
"Apa?" tanyaku, akhirnya tidak tahan.
"Aku berusaha memikirkan apa yang harus kulakukan terhadapmu," kata
Haymitch. "Bagaimana kita akan menampilkanmu. Apakah kau akan tampil penuh
pesona" Menjaga jarak" Beringas" Sejauh ini, kau bersinar seperti bintang. Kau
mengajukan diri menggantikan adikmu. Cinna membuatmu tampil tak terlupakan.
Kau mendapat nilai latihan tertinggi. Orang-orang pasti penasaran, tapi tak
seorang pun tahu siapa kau. Kesan yang kau perlihatkan besok akan memutuskan apa yang
bisa kuperoleh untukmu dari para sponsor," kata Haymitch.
Sepanjang hidupku aku sudah menonton wawancara peserta, dan aku tahu
perkataan Haymitch ada benarnya. Kalau kau bisa menarik perhatian penonton,
entah dengan sikapmu yang humoris atau brutal atau eksentrik, kau bisa
memperoleh dukungan. "Bagaimana pendekatan Peeta" Boleh kan aku menanyakannya?" kataku.
"Tampil disukai. Secara alamiah dia memiliki semacam rasa humor untuk
merendahkan diri sendiri," kata Haymitch. "Sementara kau, setiap kali kau buka
mulut kau kelihatan masam dan bermusuhan."
"Tidak kok!" sergahku.
"Ayolah. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menampilkan gadis manis dan ramah
di kereta kuda, tapi aku tak pernah melihatnya lagi setelah itu," kata Haymitch.
"Memangnya kau memberiku banyak alasan untuk bersikap manis?" sahutku.
"Kau tidak perlu membuatku gembira. Bukan aku yang akan menjadi calon
sponsor. Jadi berpura-puralah menganggap aku sebagai penonton," kata Haymitch.
"Buat aku senang."
"Baik!" gerutuku.
Haymitch berperan sebagai pewawancara dan aku berusaha menjawab
pertanyaanpertanyaannya dengan cara yang elegan. Tapi aku tidak bisa. Aku
terlalu marah terhadap Haymitch atas segala ucapannya dan aku lebih marah lagi karena harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Yang bisa kupikirkan hanyalah betapa tidak
adilnya semua ini, betapa tidak adilnya Hunger Games. Kenapa aku harus
bertingkah seperti anjing terlatih berusaha menyenangkan orang-orang yang
kubenci" Semakin lama wawancara berlangsung, semakin banyak kemarahan yang
naik ke permukaan, sampai-sampai bisa dibilang aku meludahkan jawabanjawabanku
padanya. "Sudah, cukup," katanya. "Kita harus menemukan sudut lain. Kau bukan saja
bersikap bermusuhan, tapi aku juga tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Aku sudah
menanyakan lima puluh pertanyaan padamu, dan apa yang penting bagimu.
Mereka ingin tahu tentang dirimu, Katniss."
"Tapi aku tidak mau mereka tahu! Mereka sudah merenggut masa depanku!
Mereka tidak bisa memperoleh segala hal yang penting bagiku di masa lalu!"
pekikku. "Berbohonglah! Karanglah sesuatu!" bentak Haymitch.
"Aku tidak pandai berbohong," kataku.
"Kalau begitu cepatlah belajar. Pesonamu sama levelnya dengan pesona balok
kayu," ujar Haymitch.
Aw. Kata-kata tadi menyakitkan. Haymitch pun tahu dia terlalu kasar karena
suaranya berubah lembut setelah itu. "Aku punya ide. Cobalah bersikap rendah
hati." "Rendah hati," ulangku.
"Kau tidak percaya gadis kecil dari Distrik Dua Belas bisa berhasil. Semua ini
jauh melebihi impianmu. Bicaralah tentang pakaian Cinna. Betapa baiknya orang-orang
di sini. Betapa kota ini membuatmu terpukau. Kalau kau tidak mau bicara tentang
dirimu, paling tidak pujilah penonton. Balikkan selalu topiknya ke hal ini, oke"
Bersikap sentimental."
Jam-jam selanjutnya terasa menyiksa. Seketika, jelas aku tidak bisa bersikap
sentimental. Kami mencoba dengan aku bersikap sombong, tapi ternyata aku tidak
cukup arogan. Ternyata, aku terlalu "rapuh" untuk bersikap bengis. Aku tidak
cerdas. Lucu. Seksi. Atau misterius.
Pada akhir sesi, aku tidak jadi siapa-siapa. Haymitch mulai minum saat aku di
bagian cerdas, dan kekesalan mulai merasuki suaranya. "Aku menyerah, Manis.
Jawab saja pertanyaan-pertanyaannya dan usahakan agar penonton tidak melihat
betapa bencinya kau pada mereka."
Malam itu akan makan malam di kamar, aku memesan banyak makanan lezat, lalu
makan hingga kekenyangan. Setelah itu aku melampiaskan kemarahanku pada
Haymitch, pada Hunger Games, pada semua orang di Capitol dengan membanting
piring-piring di kamarku. Saat gadis berambut merah masuk ke kamarku untuk
membereskan ranjang, matanya terbelalak memandang kekacauan yang kubuat.
"Biarkan saja!" aku membentaknya. "Biar, tidak usah dibereskan!"
Aku membencinya juga, membenci matanya yang penuh tuduhan, menyebutku
pengecut, monster, boneka Capitol. Bagi gadis itu, keadilan pasti terjadi juga
akhirnya. Paling tidak kematianku akan membantu membayar nyawa anak lelaki
yang tewas di hutan. Tapi bukannya keluar dari kamar, gadis itu menutup pintu kamarku dan pergi ke
kamar mandi. Dia kembali membawa kain basah dan menyeka wajahku dengan
lembut, lalu membersihkan darah dari tanganku akibat terluka kena pecahan
piring. Kenapa dia melakukan ini" Kenapa aku membiarkannya"
"Dulu seharusnya aku berusaha menyelamatkanmu," aku berbisik.
Gadis itu menggeleng. Apakah ini berarti kami bertindak benar dengan berpangku
tangan" Dan dia sudah memaafkanku"
"Tidak, perbuatanku salah," kataku.
Jemari gadis itu menyentuh bibirnya lalu dia menunjuk dadaku. Kurasa maksudnya
aku pasti akan berakhir menjadi Avox juga. Mungkin saja. Jadi Avox atau tewas.
Selama satu jam berikut aku membantu gadis berambut merah itu membersihkan
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamar. Ketika semua sampah telah di buang ke pembuangan sampah dan makanan
dibersihkan, dia membereskan ranjangku. Aku merangkak naik ke bawah selimut
seperti anak lima tahun dan membiarkannya menyelimutiku. Lalu dia pergi. Aku
ingin dia tetap tinggal sampai aku tertidur. Ada di sini ketika aku terbangun.
Aku menginginkan perlindungan dari gadis ini, meskipun dia tidak pernah memperoleh
perlindungan dariku. Pada pagi tim persiapanku sudah berdiri tidak jauh dari ranjang. Pelajaranku
bersama Effie dan Haymitch sudah berakhir. Hari ini milik Cinna. Dialah harapan
terakhirku. Mungkin dia bisa membuatku tampak sangat cantik, dan tak ada
seorang pun peduli pada kalimat yang meluncur keluar dari mulutku.
Tim itu bekerja sampai siang, membuat kulitku berkilau selembut satin, mengarsir
pola-pola di lenganku, melukiskan desain api di dua puluh kukuku yang sempurna.
Kemudian Venia mengerjakan rambutku, memilinkan tali-tali berwarna merah dari
telinga kiriku, hingga membungkus kepalaku, lalu jatuh ke kepang satuku di bahu
kanan. Mereka menyeka wajahku dengan lapisan makeup pucat dan membuat garis
wajahku lebih menonjok. Mata gelap yang besar, bibir yang penuh, bulu mata yang
mencipratkan cahaya saat aku berkedip. Akhirnya mereka menutup sekujur
tubuhku dengan bubuk yang membuatku berkilau dengan serbuk emas.
Lalu Cinna masuk membawa sesuatu yang kuasumsikan adalah gaunku, tapi aku
tidak bisa melihatnya karena tertutup. "Tutup matamu," perintahnya.
Aku bisa merasakan bagian dalam gaun yang lembut ketika mereka menaikkannya
ke tubuhku yang telanjang, lalu terasa beratnya gaun itu. Mungkin sekitar dua
puluh kilogram. Kupegangi tangan Octavia erat-erat saat aku memakai sepatu
dengan mata tertutup, lega saat menyadari sepatuku lebih pendek lima sentimeter
daripada yang digunakan Effie untuk latihan. Selanjutnya mereka memperbaiki
dan menyesuaikan gaunku. Lalu hening.
"Boleh aku buka mata?" tanyaku.
"Ya," sahut Cinna. "Buka saja."
Mahkluk yang berdiri di cermin besar di hadapanku berasal dari dunia lain.
Selain kulitku berkilau dan mataku berbinar, mereka ternyata membuat pakaian dengan
perhiasan. Karena gaunku, oh, gaunku terbungkus perhiasan berharga, merah,
kuning, dan putih dengan titik-titik biru yang memberi aksen pada ujung desain
api gaunku. Gerakan sedikit saja menimbulkan kesan bahwa aku dijilati lidah api.
Aku tidak cantik. Aku tidak memesona. Aku membara seperti matahari.
Selama sesaat, kami hanya berdiri memandangiku.
"Oh, Cinna," akhirnya aku berbisik. "Terima kasih."
"Berputarlah untukku," katanyan kurentangkan kedua tanganku dan berputar. Tim
persiapan memekik kagum. Cinna menyuruh anggota timnya pergi dan memintaku bergerak berkeliling dengan
gaun dan sepatu, yang jelas lebih enak dipakai daripada milik Effie. Gaun ini
jatuh dengan pas sehingga aku tidak perlu mengangkatnya ketika berjalan, jadi aku
tidak perlu kuatir akan kepeleset.
"Jadi sudah siap untuk wawancara, kan?" tanya Cinna. Aku bisa melihat dari
ekspresinya dia sudah bicara dengan Haymitch. Dan dia tahu betapa
mengerikannya hasil latihanku.
"Aku kacau sekali. Haymitch bilang aku seperti balok kayu. Apa pun yang kami
coba, aku gagal melakukannya. Aku tidak bisa jadi orang yang dia inginkan,"
kataku. Cinna memikirkannya sejenak. "Kenapa kau tidak jadi dirimu sendiri?"
"Diriku sendiri" Itu juga tidak bagus. Haymitch bilang aku masam dan
bermusuhan," kataku.
"Ya, memang kalau kau di dekat... Haymitch," kata Cinna sambil nyengir. "Aku
tidak menganggapmu seperti itu. Tim persiapan juga menyukaimu. Kau bahkan
memenangkan hati Juri Pertarungan. Dan penduduk Capitol tidak bisa berhenti
membicarakanmu. Tak ada seorang pun yang tidak mengagumi semangatmu."
Semangatku. Ini pemikiran baru. Aku tidak yakin apa maksudnya, tapi bisa jadi
arti tersiratnya adalah aku seorang pejuang. Dengan cara berani. Bukannya itu
berarti aku tidak pernah bersikap ramah. Memang sih aku tidak langsung bersikap
hangat kepada semua orang yang kutemui, mungkin senyumku juga mahal, tapi
aku peduli pada beberapa orang.
Tangan Cinna yang hangat menggenggam tanganku yang dingin. "Seandainya, saat
kau menjawab pertanyaan nanti, pura-puranya kau menjawab pada sahabat di
distrikmu. Siapa sahabat terbaikmu?" tanya Cinna.
"Gale," jawabku tanpa berpikir. "Tapi itu tidak masuk akal, Cinna. Aku takkan
pernah memberitahu Gale segala hal tentang diriku. Dia sudah tahu semuanya."
"Bagaimana denganku" Kau bisa menganggapku sahabatmu?" tanya Cinna.
Dari semua orang yang kutemui sejak pergi dari distrikku, Cinna adalah orang
yang paling kusukai. Aku langsung menyukainya sejak pertama bertemu dan
sejauh ini dia belum pernah membuatku kecewa. "Kurasa begitu, tapi..."
"Aku akan duduk di mimbar utama bersama penata gaya yang lain. Kau bisa
memandang langsung padaku. Saat kau ditanya, cari aku, dan berikan jawaban
sejujur mungkin," ujar Cinna.
"Bahkan kalau jawaban yang kupikirkan itu mengerikan?" tanyaku.
"Terutama jika yang kaupikirkan itu mengerikan," kata Cinna. "Kau mau
mencobanya?" Aku mengangguk. Jadi ini rencananya. Paling tidak aku punya sesuatu untuk
dipegang. Waktu berlalu cepat, sudah saat pergi. Wawancara berlangsung di panggung yang
dibangun di depan Pusat Latihan. Setelah aku meninggalkan kamarku, aku hanya
punya waktu beberapa menit sebelum aku berada di depan keramaian, kamerakamera,
dan seantero Panem. Saat Cinna memutar kenop pintu, aku memegangi tangannya. "Cinna..." Aku
benar-benar kena demam panggung.
"Ingat, mereka sudah menyukaimu," katanya dengan suara lembut. "Jadilah dirimu
sendiri." Kami bertemu dengan seluruh anggota tim Distrik 12 di elevator. Portia dan
anggota timnya sudah bekerja keras. Peeta tampak menakjubkan dalam pakaian
hitam dengan aksen-aksen api. Meskipun kami berdua sama-sama tampil bagus,
untungnya kami tidak perlu berpakaian serupa. Haymitch dan Effie sudah berlatih
habis-habisan untuk acara ini. Aku menghindari Haymitch, tapi menerima
pujianpujian dari Effie. Wanita itu kadang-kadang bodoh dan membosankan, tapi
dia tidak menjengkelkan seperti Haymitch.
Ketika eleveator terbuka, peserta-peserta lain sedang berbaris menuju panggung.
Dua puluh empat peserta duduk membentuk setengah lingkaran besar selama
wawancara. Aku akan jadi yang terakhir di wawancara, atau tepatnya orang kedua
sebelum terakhir karena peserta perempuan tampil lebih dulu dibanding peserta
laki-laki dari masing-masing distrik. Betapa aku berharap bisa tampil pertama
dan menyelesaikan semua ini secepat mungkin! Sekarang aku harus mendengar betapa
lucu, cerdas, rendah hati, kejam, dan menawannya semua peserta lain sebelum aku
naik panggung. Ditambah lagi, penonton biasanya sudah mulai bosan, sama seperti
yang terjadi pada para juri. Dan aku tidak bisa menembakkan panah ke pada
penonton untuk memperoleh perhatian mereka.
Tepat sebelum kami berbaris naik ke panggung, Haymitch muncul di belakang aku
dan Peeta lalu berbisik dengan kasar, "Ingat, kalian masih pasangan yang
bahagia. Jadi bersikaplah seperti itu."
"Apa?" Kupikir sudah tidak perlu lagi bersikap seperti itu setelah Peeta meminta
untuk dilatih terpisah. Kurasa itu urusan pribadi, bukan urusan publik. Lagi
pula, kami tidak bakal punya banyak kesempatan untuk pamer keakraban, karena kami
berjalan satu-satu ke tempat duduk kami dan duduk di sana.
Baru saja kakiku menginjak panggung, napasku langsung memburu dan terengahengah.
Aku bisa merasakan nadiku berdenyut di pelipisku. Lega rasanya saat bisa
duduk, karena sepanjang betisku gemetar hebat, dan aku cemas bakalan kepeleset.
Walaupun hari sudah malam, Pusat Kota tampak lebih terang daripada musim
panas. Tempat duduk yang lebih tinggi disiapkan untuk tamu-tamu bergengsi,
dengan para penata gaya duduk di barisan depan. Kamera akan menyorot mereka
saat penonton bereaksi terhadap hasil karya mereka. Balkon besar yang berada di
sebelah kanan gedung disiapkan untuk para juri. Para kru televisi telah
menempati sebagian besar balkon lain. Tapi Pusat Kota dan jalan raya yang berada di
sekitar tempat ini penuh sesak dengan penonton. Semuanya berdiri. Di rumah-rumah dan
tempat umum seantero negeri, semua pesawat televisi dinyalakan. Semua
penduduk menonton TV. Tak bakal ada pemadaman listrik malam ini.
Caesar Flickerman, orang yang telah menjadi pewawancara dalam acara ini selama
lebih dari empat puluh tahun melompat naik ke panggung. Rasanya agak
mengerikan karena penampilan pria itu tampak seakan tidak berubah selama itu.
Wajah yang sama di balik makeup putih berkilau. Model rambut yang sama yang
diwarnai dengan warna berbeda dalam setiap Hunger Games. Jas kebesaran yang
sama, berwarna biru tua yang dihiasi ribuan titik bola lampu listrik yang
berkedipkedip seperti bintang. Mereka biasa melakukan operasi di Capitol, untuk
membuat orang tampil lebih muda dan kurus. Di Distrik 12, tampak tua merupakan prestasi
karena begitu banyak orang yang mati muda di sana. Saat bertemu orang tua kau
ingin memberi selamat pada mereka karena berhasil panjang umur, dan
menanyakan rahasianya hingga bisa bertahan hidup selama itu. Mereka yang
bertubuh gemuk juga membuat iri banyak orang karena mereka tidak perlu
mengais-ngais makanan seperti yang harus dilakukan oleh banyak orang. Tapi di
sini berbeda. Keriput tidak diinginkan. Perut buncit bukan tanda kusuksesan.
Tahun ini, rambut Caesar berwarna biru terang, bulu mata dan bibirnya juga
dilapisi corak warna yang sama. Dia tampak aneh tapi juga tidak semenakutkan
tahun lalu saat warna rambutnya merah tua dan dia seolah-olah tampak berdarah.
Caesar menceritakan beberapa lelucon untuk menghangatkan suasana lalu
berlanjut ke acara utama.
Peserta perempuan dari Distrik 1, tampak menantang dengan gaun emas tembus
pandang, naik ke tengah panggung menghampiri Caesar untuk menjalani
wawancara. Sekali lihat tampak bahwa mentornya pasti tidak punya masalah
mencari sudut yang pas untuknya. Dengan rambut pirang bergelombang, mata
Dendam Si Anak Haram 7 Pendekar Sakti Im Yang Karya Rajakelana Kekaisaran Rajawali Emas 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama