Ceritasilat Novel Online

The Proposal 1

The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley Bagian 1


The Proposal (The Proposition #2) By Katie Ashley Sinopsis: Beberapa minggu setelah pengkhianatan Aidan, Emma berusaha sekuat tenaga untuk
melanjutkan hidupnya. Mengabaikan sms, pesan suara, dan bunga yang tak terhitung jumlahnya,
Emma tidak yakin ia ingin kembali lagi bersamanya. Tapi Aidan tidak akan menyerah sebelum
bertanding - sebelum Emma mengijinkan dirinya mengungkapkan rahasia masa lalunya yang menyebabkan ia
begitu takut akan komitmen. Tapi nasib berkehendak lain ketika persalinan prematur memaksa Emma harus
beristirahat total selama dua minggu. Aidan melangkah kedepan dengan proposal yang mengejutkan.
Untuk membuktikan cinta dan komitmen terhadap putra mereka yang belum lahir, ia akan
mengambil cuti dari pekerjaan untuk merawat Emma sepanjang waktu. Bersumpah untuk menjaga
hatinya, Emma dengan berat hati setuju.
Selagi Emma tersentuh oleh perhatian dan kasih sayang Aidan, Emma dikejutkan
oleh perhatian mesra seorang dokter UGD, Alpesh "pesh" Nadeen. Pesh adalah tipe pria idaman yang
pernah Emma bayangkan - sukses, stabil, dan siap berumah tangga serta siap menjadi seorang
suami dan ayah. Pesh tidak menginginkan apa pun kecuali merebut hati Emma, tapi Emma tidak yakin ia
mampu memberikannya. Hatinya masih dimiliki pria yang juga menghancurkannya - Pria yang berusaha begitu
keras untuk kembali lagi bersamanya. Copyright? 2013 by Katie Ashley
Prolog Aidan mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak kencang
saat dia berlari ke jalan depan rumah. Tersandung undakan teras, dia
tersungkur ke arah pintu depan. Dia menggedor kayu sekeras yang
dia bisa dengan kedua tinjunya. "Tolong! Aku mohon buka pintunya!
Aku harus bicara padamu!"dia berteriak. Tangannya meluncur turun
dari pegangan ke bel pintu. Jarinya memencet bel tanpa henti seperti
panggilan SOS dalam kode Morse.
Akhirnya, usaha putus asanya membuahkan hasil dengan pintu
depan terayun membuka. Melihat wajahnya yang bernoda air mata,
jiwa Aidan terpilin menyakitkan. "Tolong...ijinkan aku bicara
padamu!" Dia menggelengkan kepalanya. "Tak ada lagi yang harus dikatakan,
Aidan. Kita sudah melewati jalan ini terlalu sering. Aku telah sampai
pada kesimpulan bahwa tindakanmu akan selalu berbicara lebih
keras dari pada kata-katamu."
"Tidak, tadi malam bukan apa yang aku inginkan. Hanya saja aku
takut dengan kehadiran bayi itu dan semua yang terjadi di antara kita
beberapa minggu terakhir."
Ketika dia mencoba melewatinya keluar pintu, Aidan memajukan
diri ke depannya seperti sebuah perisai. "Aidan, minggir. Aku harus
pergi bekerja. Tak ada satupun yang kau katakan akan merubah apa
yang aku rasakan saat ini."
"Tak bisakah kau ijin meninggalkan kantor" Aku mencintaimu, dan
aku ingin memperbaiki semua ini." Aidan menjalankan tangannya
yang gemetaran melewati rambutnya yang sudah acak-acakan. Dia
masih menggunakan baju kusut yang dia kenakan sehari
sebelumnya. Dia tidak tidur, tidak makan, dia menghabiskan malam
dengan berpikir bagaimana cara mendapatkan dia kembali. "Tidak
masalah apa yang kau pikirkan, aku memang mencintaimu...dan aku
memang menginginkan bayi itu."
Dia mengangkat kepalanya untuk melotot pada Aidan. Aidan
mundur selangkah melihat kemarahan yang terbakar di matanya.
"Jangan berani-beraninya kau mengatakan itu! Aku tahu bagaimana
sebenarnya perasaanmu tentang aku dan kehamilanku - beban itu di
kehidupanmu. Jika ada, itu adalah alasanmu menyetubuhi gadis itu!
Karena saat kau takut, kau selalu berhasil untuk mengacau
segalanya!" Mendorongnya agar menyingkir dari hadapannya, dia mengentakkan
kaki menuruni undakan teras. Aidan menempel di belakangnya.
"Okay, kau benar. Itu memang sebuah beban - mungkin sampai
sekarang. Tapi aku menyadari sekarang bahwa aku sudah bertindak
bodoh. Aku mencintaimu, dan aku ingin menikahimu dan
membesarkan anak kita."
Dia berhenti tiba-tiba. Bahunya merosot sebelum dia berputar
perlahan. "Saat ini kau berpikir itulah yang kau inginkan. Tapi aku
mengenalmu terlalu baik. Sebelum kita menikah atau sebelum bayi
ini lahir, kau akan ketakutan dan selingkuh lagi." Dia
menggelengkan kepalanya sedih. "Aku bodoh karena berpikir aku
yang hamil akan mengubahmu. Bahwa entah bagaimana itu akan
membuatmu mau berkomitmen. Tapi kau bahkan tak bisa setia demi
bayimu." Aidan mencoba meraihnya, tapi dia berputar pergi dan berlari ke
trotoar. Ketika Aidan akhirnya berhasil mengejarnya, dia telah
mengunci diri di dalam mobil.
Dia menggedor jendela dengan kepalan tangannya. "Tolong. Tolong
jangan lakukan ini!"
Dia menekan mundur gas mobilnya dan mendecit keluar ke jalan
raya. Mesinnya meraung saat ia melaju di jalan raya. Aidan menutup
matanya menyerah. Dia terhuyung mundur, berusaha mati-matian
untuk menahan diri dari kehabisan nafas.
Lalu suara ban berdecit dan kaca pecah menyebabkan jantung Aidan
terasa berhenti. Dia berlari ke ujung jalan raya. Seluruh dunia seakan
bergerak merangkak perlahan saat melihat tumpukan logam terkoyak
di kejauhan. "AMY!" Aidan berteriak.
*** Bab 1 Aidan terkejut bangun dari mimpi buruknya dan menemukan dirinya
menelungkup di meja dapur. Keringat membasahi wajahnya. Ia
mengangkat tangannya yang gemetaran untuk menghapusnya. Saat
itulah ia menyadari bahwa itu adalah air mata, bukan keringat,
membasahi pipinya. Aidan telah berhenti bermimpi buruk tentang
kecelakaan Amy selama bertahun-tahun. Tak butuh waktu lama
untuk Aidan mengingat apa yang telah membawa mimpi buruk itu
kembali. Emma. Semua yang Aidan kira pernah ia rasakan pada Amy ternyata jutaan
kali lebih besar yang ia rasakan pada Emma saat ini. Ia hanya
mengira ia tahu apa itu cinta. Bahkan tanpa mencoba, Emma telah
menimbulkan perasaan aneh pada dirinya yang tak pernah ia
bayangkan sebelumnya. Dan sekarang Emma telah pergi.
Sebuah tangisan kekalahan yang penuh penderitaan keluar dari
bibirnya. "Sepertinya kita kembali mengalami mimpi buruk, huh?"
Aidan terlunjak sebelum melempar pandangannya ke balik bahunya.
"Hai juga, Pop. Bagaimana kau bisa masuk?"
Patrick memberinya senyum masam. "Aku punya kunci, nak."
Ketika Aidan berputar di kursinya, pandangannya ikut berputar, dan
ia harus berpegangan pada sisi meja untuk menyeimbangkan dirinya.
"Yeah, well, apa yang terjadi dengan mengetuk pintu?"
"Aku sudah lakukan, tapi kau tak juga membukakan pintu. Sekarang
aku bisa melihat penyebabnya."
Aidan menatap penampakan buram dan ganda dari wajah merengut
ayahnya. Sebuah tatapan yang benar-benar muak sudah sangat
cukup, tapi di kondisinya yang mabuk, ia harus melihat dua.
Patrick bersandar di meja dapur, menyilangkan tangan di depan
dadanya. "Nak, kupikir sekarang kau sudah mabuk berat!"
Setelah mendengus tertawa, wajah Aidan membentur meja dengan
keras. Dadanya naik turun saat ia tertawa pada kenyataan ayahnya
benar-benar mengatakan istilah mabuk berat. Tentu saja tingkat
mabuknya juga membuat itu lebih lucu lagi.
Saat dia akhirnya dapat menenangkan diri, dia berseru, "Sebenarnya,
Pop, aku sudah mabuk saat minum lima bir dan tiga tequila yang
lalu. Aku pikir bisa dibilang aku minum berat."
"Jadi kita mengulangi ini lagi?" Patrick mendengus.
Sambil mengangkat kepalanya, Aidan mengerutkan alisnya. "Apa
maksudmu?" Wajah Patrick dipenuhi oleh kemarahan. "Kau tahu pasti apa yang
aku maksud. Kau memulai pola yang sama seperti yang kau lakukan
Sembilan tahun lalu, langsung melarikan diri ke minuman seperti
seorang pemabuk." "Aku menelponmu karena aku membutuhkan bantuanmu, bukan
ceramah. Jadi bila kau ke sini untuk berteriak-teriak padaku maka
sebaiknya kau pergi!"
Hal berikutnnya yang Aidan tahu Patrick menarik rambutnya untuk
membuatnya berdiri dan melotot padanya. "Jangan pernah kau
berbicara seperti itu lagi padaku! Aku masih ayahmu, dan kau harus
menunjukkan rasa hormat padaku. Kau mengerti?"
"Tinggalkan saja aku sendiri!" Aidan berteriak, mencoba untuk
melepaskan diri. Patrick mengencangkan genggamannya pada rambut Aidan,
menyebabkan Aidan mengernyit kesakitan. "Baiklah. Cukup. Aku
akan memperlakukanmu sama seperti aku menganiaya calon tentara
yang mengacau!" Sebelum Aidan mengajukan protes, Patrick menarik Aidan turun dari
kursi dapur. Kursi itu jatuh dengan suara berisik. "Aku tidak tahu
kau masih begitu kuat, Pria Tua. Kau cukup tangkas untuk seseorang
berusia tujuh puluh dua tahun," Aidan tercenung.
"Kau sebaiknya tutup mulut kalau kau tahu apa yang terbaik
untukmu!" Bentak Patrick sebelum mendorong Aidan ke arah
lorong. Ia mungkin sudah pingsan lagi bila Patrick tak terus
memegang kuat tengkuk dan ikan pinggang Aidan.
Saat mereka masuk ke kamar utama, Patrick mendorongnya ke
dalam kamar mandi. Aidan berbalik dan melihat Patrick mengunci
pintu. Rasa takut menyergap Aidan. Dengan gugup Aidan terhuyung
mundur saat Patrick berjalan mendekatinya. "Shit, Pop, kau tak akan
memukuliku lagi seperti saat aku masih sekolah ketika kau
menemukan pipa ganja di bawah tempat tidurku, kan?"
Tanpa memperdulikan Aidan, Patrick menuju shower. Setelah
menyalakan keran air, ia meraih lengan Aidan dan mendorongnya ke
bawah pancuran air. Air sedingin es membasahi Aidan. Walaupun
melewati bajunya, setiap tetes air terasa seperti sebuah pisau
bergerigi menusuk-nusuk kulitnya. Ia mencoba keluar, tapi Patrick
membanting pintu shower menutup. "Kau akan tetap di dalam sana
sampai kau sadar dan dapat menceritakan apa yang telah terjadi
seperti seorang laki-laki sejati!"
Aidan mendobrak pintu, tapi Patrick memegang pintu dengan kuat.
"Aku terlalu tua untuk semua omong kosong ini, Nak. Aku mungkin
tak akan ada sembilan tahun lagi saat kau mencoba bertingkah
seperti ini lagi. Setidaknya ijinkan aku meninggal dalam damai
karena tahu kau memiliki seorang istri dan anak untuk dicintai!"
Kata-kata Patrick lebih membuat Aidan membeku daripada air
dingin yang menyiraminya. Hanya memikirkan bagaimana ia telah
menyakiti Emma membuat rasa pedih atas penyesalan bergetar di
dalam dirinya. Alih-alih memberontak lebih jauh, Aidan berbalik dan
berdiri di bawah gagang pancuran air, membiarkan air sedingin es
menyengatnya seperti pecutan dari cambuk. Menundukkan kepalanya, Aidan berharap air itu memang sebuah cambuk. Ia layak
mendapatkan pukulan untuk semua yang telah ia katakan dan
lakukan pada Emma di beberapa minggu terakhir dan secara tak
langsung juga pada anaknya. Hukuman fisik merupakan sebuah
pelepasan untuk mengurangi siksaan emosional dalam dirinya.
"Kau sudah mulai sadar?" Patrick bertanya.
"Ya, Pak," Aidan berkata lirih di bawah siraman air dingin.
"Bagus. Aku akan membuat kopi. Aku akan menunggumu saat kau
sudah siap untuk bicara."
Menggigit bibirnya, Aidan tak dapat menghentikan air mata yang
mengalir di pipinya. Tak ada yang lebih ia inginkan dari ayahnya
untuk menemukan bagaimanapun caranya untuk mendapatkan
Emma kembali. "Terima kasih, Pop," dia berkata, suaranya bergetar
dengan emosi. "Kembali." Aidan memaksakan dirinya untuk tetap di bawah siraman air sampai
pikirannya benar-benar jernih. Saat ia dapat berjalan tanpa
terhuyung, ia keluar dari pancuran air. Giginya bergemeletuk saat ia
melepaskan bajunya yang basah kuyup. Setelah mengeringkan
tubuhnya dengan kecepatan super, Aidan melangkah ke kamar tidur
dan mengenakan celana piyama dan sebuah baju kaus.
Saat Aidan sampai di dapur, Patrick sedang duduk di sisi meja.
Sebuah senyum tersungging di ujung bibirnya. "Maaf, aku harus
melakukan cara militer padamu."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Aku pantas mendapatkannya.
Sebetulnya, kau seharusnya memukulku."
"Menjadi seorang masokis rupanya?"
Aidan mengangkat bahunya dan menuang segelas kopi untuk dirinya
sendiri. "Aku pantas mendapatkan lebih dari itu. Aku melukai orangorang yang
paling aku sayangi."
Patrick menghela napas. "Aku tak tahu tentang itu. Ada banyak
kebaikan dalam dirimu, Aidan. Aku harap kau dapat melihat itu."
"Pasti tidak terlalu banyak kebaikan dalam diriku jika aku selalu
mengacau segalanya."
"Ngomong-ngomong tentang itu..." Patrick bersandar di kursinya,
sambil meletakkan tangannya di atas anak kursi. "Sebelum aku
menawarkan bantuan, aku harus tahu satu hal."
Aidan menaikkan alisnya dan menyesap kopinya. Panasnya cairan
kopi menyengat lidahnya. "Apa itu?" katanya parau.
"Apakah kau benar-benar ingin Emma kembali karena kau
mencintainya, atau karena kau merasa bersalah?"
"Ini tidak seperti yang terjadi dengan Amy," protes Aidan.
"Ini hanya sebuah pertanyaan sederhana, Nak. Apakah kau ingin
menghabiskan sisa hidupmu dengan Emma dan anakmu atau tidak"
Maksudku, kebanyakan lelaki yang benar-benar sedang jatuh cinta
tidak kabur dan mencoba untuk tidur dengan wanita lain."
Air mata terasa panas menyengat di mata Aidan. "Aku benar-benar
mencintainya, Pop. Itu adalah kebenaran yang sebenarnya." Ia
mengelap air matanya dengan kepalan tangannya. Duduk di kursi di
seberang Patrick, Aidan menceritakan semua detail yang terjadi


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam sebelumnya. "Walaupun aku tak bisa mengucapkannya saat
itu atau bahkan malam ini saat ia menginginkannya, Aku sangat
mencintai Emma." "Jadi tahun dimana kau berusaha mendapatkan Amy kembali itu
semua merupakan-" Aidan menutup matanya dalam kepedihan. "Rasa bersalah, bukan
cinta. Ia berhasil membunuh rasa cintaku padanya dengan cara
menipuku. Tapi karena bayi itu, aku akan bertahan di sisinya."
"Apakah Emma tahu tentang hal ini?"
Membuka kelopak matanya, Aidan menjawab, "Aku hanya memberi
tahunya tentang perselingkuhan. Aku rasa dia tak sanggup
menghadapi sisanya."
"Kurasa kau perlu untuk memberitahunya."
Aidan meringis. "Aku akan memberitahunya. Jika ia mau berbicara
padaku lagi." "Aku punya perasaan yang kuat dia akan ada di sekitar sini lagi."
"Jangan katakan itu karena intuisi Irlandiamu." Kata Aidan, seraya
menaikkan alis matanya. "Tidak. Ini karena Becky menemuinya saat ia meninggalkan rumah
ini." Mengerang, dengan frustasi Aidan menggosokkan tangannya ke
wajahnya. "Bagus. Aku yakin mereka akan menyerbu kemari segera
untuk memanggang kejantananku di sebuah open berapi!"
Patrick terkekeh. "Jangan berpikiran sempit tentang kakakmu. Dia
dan kakak-kakakmu yang lain mungkin akan mencincangmu karena
apa yang telah kau lakukan, tapi mereka benar-benar mencintaimu
dan ingin melihatmu bahagia." Patrick merunduk ke depan dan
menepuk tangan Aidan. "Dan mereka tahu bagaimana kau mengacau
segalanya dulu dan menahan kebahagiaanmu sendiri."
Hidung Aidan mengembang dalam kemarahan. "Mereka tak tahu
cerita lengkapnya, Pop. Mereka tak tahu apa yang telah Amy
lakukan!" "Aku tahu itu. Itu adalah rahasia yang akan tetap terjaga antara kau,
Amy, dan aku." Aidan berkata sambil mengepalkan tangannya, "Tidakkah kau tahu
berapa kali aku ingin berteriak pada Mom saat dia menyanjung dan
memuji Amy di depan mukaku tentang Amy yang telah menikah dan
berbahagia" Jika saja dia tahu Amy yang telah mengacaukan isi
kepalaku dengan semua wanita lain."
"Itu adalah pilihanmu untuk tak mengatakan padanya, Nak. Aku tak
suka merahasiakan hal itu darinya. Ibumu dan aku tidak banyak
menyimpan rahasia, tapi aku menyimpan rahasiamu."
Ekspresi marah Aidan melembut. "Aku menghargai itu, Pop."
Patrick tersenyum. "Terima kasih kembali." Ia berdiri dan menuang
sisa kopinya ke wastafel. "Jadi kau akan berbicara pada Emma dan
mengatakan yang sebenarnya padanya?"
"Yeah. Secepatnya saat dia mau bicara padaku."
"Bagus. Aku senang mendengarnya." Patrick melihat ke jam
tangannya. "Well, sebaiknya aku pulang sekarang."
Aidan merasa sesak menyadari kemungkinan dia sendirian. "Saat ini
benar-benar sudah terlalu malam untukmu mengemudi. Mungkin
kau sebaiknya menginap saja malam ini."
Aidan menangkap tatapan ayahnya. Dengan matanya, Aidan
mencoba mengatakan apa yang ia terlalu malu untuk mengakui: Ia
tidak mau sendirian. Patrick menganggukkan kepalanya. "Kupikir kau benar. Kau tak
keberatan menginapkan orangtuamu di sini?"
Aidan tersenyum. "Aku sama sekali tak keberatan."
*** Bab 2 Tiga Minggu Kemudian "N, tiga belas," suara penyiar Bingo berdengung.
"Apa yang dia bilang, sayang?" Mrs. Petersen bertanya pada Emma,
sambil melirik kartunya. Mengetahui Mrs. Petersen praktis tuli, bahkan dengan alat bantu
dengarnya, Emma mengambil nafas panjang dan berteriak, "N,
TIGA BELAS!" Mrs. Petersen tersenyum dan menganggukkan kepala abu-abunya.
Ketika Patrick tertawa kecil di sebelahnya, Emma menaikkan alis
matanya. "Apa?"
"Ayolah, Emma, kau wanita muda yang cantik dan bersemangat.
Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini di 1VFW denganku dan
sekelompok orang tua lainnya?"
1Veteran of Foreign War, rumah peristirahatan untuk para veteran
perang. Emma terkikik. "Apa kau bercanda" Bagaimana bisa aku melewatkan Bingo hari
Sabtu" Bagaimana dengan hadiah luar biasa yang dapat aku
menangkan" Kotak besar Depend (merek popok dewasa) itu
memanggil namaku." Ketika dada Patrick bergetar karena geli, Emma menggoyangkan jari
padanya. "Hey, kau tak seharusnya tertawa. Kau pernah punya
seorang istri yang hamil dan anak perempuan. Kau tahu,
ketidakmampuan mengontrol kandung kemih adalah masalah yang
serius." Mata Patrick melebar. "Kau benar-benar menyebalkan, ya" Mulut
luar biasa yang kau punya untuk seseorang yang seharusnya gadis
manis." Jantung Emma terhenti saat dia mendengar suara dalam Aidan
menggema di telinganya, "Mulutmu itu adalah masalah." Rasa sakit
yang membara membakar dadanya, dan dia berjuang untuk tetap
bernapas. Mencoba untuk mendorong jauh kenangan menyakitkan
itu, dia menggelengkan kepalanya.
"Well, kau tahu alasan yang sebenarnya aku di sini adalah karena
kau baru saja mengalami sakit kepala dan tidak seharusnya
menyetir." Patrick merengut. "Becky mengambil dua set kunci mobilku
sebelum dia dan Liz keluar kota!"
"Sekarang liburan musim gugur untuk anak-anak mereka, dan
mereka hanya akan pergi ke Disney World selama 4 hari. Itu bukan
salah mereka jika mereka cukup mengkhawatirkanmu untuk
mengambil kunci-kuncimu. Itu salahmu sendiri untuk membiarkan
kekeraskepalaan Fitzgerald menahanmu pergi ke dokter."
"Aku sudah buat janji minggu depan." Ketika Emma menaikkan
alisnya tidak percaya, Patrick mengusapkan jarinya di atas
jantungnya dan bersumpah, "Janji pramuka."
"Jika kau bilang begitu. Aku tetap akan mengantarkanmu sendiri
untuk memastikan kau sampai di sana."
Patrick mengerang. "Bagus. Sekarang aku punya anak perempuan
tukang khawatir lainnya di sampingku setiap saat."
Hati Emma menghangat pada gagasan dianggap sebagai anak
perempuan Patrick. Terlepas dari apa yang dia rasakan tentang
Aidan, dia tak akan pernah bisa menjauhkan diri dari Patrick dan
cintanya. Setelah wanita dengan hiasan rambut berwarna biru bertepuk tangan
dengan hebohnya dan berteriak, "Bingo!" Patrick mencondongkan
tubuh ke depan di kursinya, sebuah ekspresi serius tergambar di
wajahnya. "Jadi kita tidak akan membicarakan tentang hal itu?"
Emma melempar pandangan padanya dan menyeringai. "Maksudmu
kenyataan bahwa satu diantara hadiah itu adalah sebuah tas
2enema?" 2pengobatan laxative untuk konstipasi.
Menyilangkan kedua lengan di depan dadanya, Patrick mendengus,
"Bukan itu yang aku bicarakan, dan kau tahu itu."
Emma menundukkan kepalanya, menatap kartu Bingo-nya seakan
itu adalah hal yang paling menarik yang pernah dia lihat. "Aku
sebaiknya tidak membicarakannya," dia berbisik.
"Lihat, Em, aku yakin kau telah mengalami rasa cinta yang
mendalam yang orang tua miliki untuk anak mereka. Aidan adalah
putraku, dan aku mencintainya dengan seluruh hatiku."
Ketika Emma menyentakkan kepalanya ke atas untuk melotot
padanya, Patrick mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
"Tapi itu tak berarti aku memaafkan apa yang dia telah lakukan
padamu. Percayalah padaku, aku ingin melakukan sesuatu yang bisa
melukai tubuhnya." Sebuah kilatan geli bersinar di matanya yang
gelap. "Well, anggap saja aku sudah melakukannya."
Emma terkesiap. "Apa yang telah kau lakukan?"
Patrick tertawa kecil. "Percayalah padaku, aku memberikan padanya
sesuatu yang layak ia dapatkan, atau tubuh tua 72 tahunku ini
mampu lakukan!" "Kau benar-benar mengerikan!" Emma menjawab, tetapi ia tak dapat
berhenti tertawa cekikikan.
Patrick meletakkan tangannya di dalam tangan Emma. "Aku hanya
ingin kau tahu aku netral dalam semua masalah ini, oke" Aku
mencintaimu dan cucuku, seperti aku mencintai Aidan."
"Terima kasih. Aku menghargai itu." Emma meremas tangan
Patrick. "Dan aku harap kau tahu aku tak akan pernah memintamu
untuk memihak atau menjauhkanmu dari bayi ini karena apa yang
terjadi dengan Aidan."
"Aku tahu itu, sayang. Sejak hari pertama aku bertemu denganmu,
aku tahu gadis seperti apa kau ini, dan tidak ada satupun tulang jahat
di dalam tubuhmu." Patrick berhenti sejenak dan menggelengkan
kepalanya. "Tapi jika aku tak mengatakan apa yang ada di hatiku,
aku akan meledak." Sambil menggigiti salah satu kukunya yang sudah sedikit rusak,
Emma menahan nafasnya, memberanikan diri untuk apa yang akan
Patrick katakan. "Aku benar-benar khawatir dengan Aidan. Ini sudah 3 minggu, dan
dia benar-benar sengsara, Emma. Dia tidak tidur, dan dia nyaris tidak
makan." Sisi jahat dan dendam pada diri Emma menikmati pemikiran tentang
penderitaan Aidan. Dia memberikan Patrick pandangan tidak
percaya. "Aku benar-benar meragukan itu. Dia mungkin hanya
berusaha mendapatkan simpatimu dan mencoba untuk membuatmu
berpaling dariku." "Tidak, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dia sedang
tinggal denganku karena dia tidak tahan berada dalam kesendirian."
Mata Emma melebar saat hatinya terasa perih untuk Aidan.
Walaupun bagian yang sangat besar dari dirinya merasa gembira
karena berpikir dia terluka separah dirinya, bagian lain dirinya
mengasihaninya. Seberapa besarnya dia ingin merendahkan Aidan,
dia tidak bisa. Setiap saat selama 3 minggu yang lalu, Emma
berusaha untuk mengubur perasaannya dan menerima kenyataan
bahwa Aidan tidak akan pernah benar-benar ada secara emosional.
Untuk membiarkan dia kembali ke hidupnya akan seperti berjalan
tanpa alas kaki di atas kepingan hatinya yang hancur lebur. Aidan
akan melukainya lagi - itu tak terelakkan.
Tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam, Emma masih
mencintainya. Ada bagian dari dirinya yang dia khawatirkan akan
selalu mencintainya-sama seperti bagian dari dirinya yang masih
mencintai Travis. Emma membenci dirinya sendiri untuk merasakan
itu. "Dapatkah kau dengan jujur mengatakan bahwa tak ada satupun
yang telah dia lakukan di beberapa minggu terakhir yang telah
melembutkan hatimu untuknya?" Patrick bertanya.
Helaan nafas penuh dengan rasa tersiksa keluar dari bibirnya. Saat
Becky mengatakan Aidan akan mencoba untuk memenangkannya
kembali, dia tidak bercanda. Bahkan tak ada satupun peringatan
yang bisa mempersiapkan diri Emma dari rentetan telepon, pesan,
dan email. Aidan bahkan mencoba mendatangi kantornya, tapi
Emma telah meminta petugas keamanan untuk mengusirnya. Itu
menjadi sebuah tontonan saat Aidan berkelahi dengan keamanan
karena mencoba mendekati Emma. Aidan kemudian diberi
peringatan oleh manager Emma untuk jangan pernah datang ke
lantainya lagi. Lalu Aidan merubah taktik. Rumah Emma segera berkembang
menjadi dua untuk toko bunga dengan semua bunga yang Aidan
kirim. Setiap buket dan setiap lusin mawar yang dikirimkan
mempunyai kartu yang terpisah yang penuh dengan kata-kata penuh
penyesalan, betapa dia merindukannya, dan seberapa besar dia
peduli padanya dan bayinya. Karena masih tidak ada pengakuan
cinta, Emma hanya mengabaikannya.
"Em" Patrick bertanya, menarikknya keluar dari pikiran-pikirannya.
Emma memainkan keliman bajunya dengan jarinya. "Tak tahukah
kau bagaimana beratnya hal itu dengan perasaanku, dikalikan
dengan hormon kehamilanku, untuk mengacuhkannya?"
"Aku akan berbohong jika aku bilang aku tak terkesan dengan
kegigihannya. Bahkan dengan Amy, dia tidak melakukan hal yang
setulus buku puisi itu."
Emma menutup matanya erat-erat. Buku sialan itu! Itu hampir
menghancurkan tekadnya. Ketika Emma membuka bungkus paket
dan menemukan sebuah buku edisi lama tentang puisi cinta dari the
Romantics, dia menangis terisak-isak selama 1 jam. Kilasan tentang
John Keats, Percy Shelley, dan Lord Byron tidak hanya membawa
kenangan pada keponakan laki-laki Aidan, tetapi juga fakta jelas dia
mengingat bahwa Emma menyukai puisi-puisi mereka. Dan
sementara buku itu penuh dengan sentimen cinta, Aidan masih
belum mengutarakan kata-kata itu secara langsung. Untuk Emma, itu
berarti segalanya. "Aku benar-benar menyesal dia mengalami hal yang cukup berat.
Tapi aku juga tersakiti," Emma akhirnya berkata.
"Aku tahu, sayang. Tapi jika aku memintamu hanya untuk berbicara
padanya untuk beberapa menit, maukah kau menghibur orang tua
ini?" "Oh Patrick, tidakkah kau lihat. Aku takut."
"Bahwa dia...akan selingkuh lagi?"
Dia menganggukkan kepalanya. "Dengan Travis, aku tak pernah
harus khawatir tentang dia tidak setia. Dia benar-benar mencurahkan
segalanya sejak pertama kali kami berkencan. Aku tidak sering
berkencan atau pergi ke dunia luar, jadi aku tak tahu bagaimana
caranya bersama seseorang seperti Aidan dan tetap waras."
Patrick mengusap dagunya. Emma dapat mengatakan bahwa ada
sesuatu yang tidak dia katakan-sesuatu yang memegang satu bagian
dari teka-teki Aidan. "Aku tidak suka memohon, tapi maukah kau
mempertimbangkan untuk hanya duduk dengannya dan coba
mendengarnya" Aku tahu itu akan sangat berarti untuknya, dan
kurasa itu akan berarti untukmu juga."
Udara kekalahan berhembus di dadanya. "Kukira aku dapat
mencobanya." "Itu dia gadisku," katanya, wajahnya menjadi cerah. "Bagus.
Sekarang aku sudah mengeluarkan hal itu, aku ingin beberapa
makanan penutup. Mau sesuatu?"
Seakan mendapat isyarat, perut Emma berbunyi, dan dia tersenyum
lebar. "Walaupun aku seharusnya tidak mau, maukah kau
membawakanku beberapa potong cake buatan rumah itu lagi?"
Patrick tersenyum. "Pilihan bagus. Aku juga akan mengambilnya
untukku sendiri."

The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia meraih lengan baju Patrick. "Hanya pastikan itu bukan milik
Mrs. Forrester. Kupikir dia tanpa sengaja menaruh garam bukannya
gula kali ini." Patrick tertama. "Oh Tuhan. Aku percaya dia membuat satu atau dua
kekacauan." "Kau seharusnya tidak mengatakan itu. Kau tahu dia manis
padamu," Goda Emma. "Dan jangan berpikir aku tak akan terus melarikan diri darinya. Dia
mungkin akan membunuhku dengan keracunan makanan atau
lainnya." Emma tertawa. "Kau tak harus lari terlalu cepat. Dia hanya satu dari
sekian banyak penggemarmu."
"Terserah," dia menggerutu. Saat dia berdiri dari kursinya, Patrick
meringis dan memegang dadanya.
"Kau baik-baik saja?" Emma bertanya.
"Aku tak apa-apa." Dia menggumam. Tapi saat dia mengambil
langkah ke depan mengitari meja, dia terkesiap dan lalu jatuh ke
lantai. "Patrick!" Emma menjerit, melompat dari kursinya. Dia berlari ke
arahnya dan berlutut, menggenggam tangan Patrick dalam
tangannya. "Jantungku," Patrick mengerang.
"Seseorang panggil 911!" Emma berteriak, berusaha melawan rasa
panik yang mulai melanda di dadanya.
"Aku!" penyiar Bingo menjawab, mengangkat teleponnya ke telinga.
"Ini, berikan dia ini," seorang wanita berkata, mendorongkan sebutir
aspirin di depan muka Emma. Dia mengambilnya dari tangan si
wanita dan membawanya ke bibir Patrick.
"Telan ini." Patrick mengangkat kepalanya dan membiarkan Emma meletakkan
pil itu di mulutnya. "Kau tak punya obat lain yang harus kau minum" Seperti
nitrogliserin?" Patrick meringis. "Tertinggal di celanaku yang lain," dia mendesah.
Melihat apa yang pasti menjadi ekspresi Emma yang ketakutan, dia
menggumam, "Maaf."
"Tidak, jangan meminta maaf. Tidak apa-apa."
"Berdoalah, Angel." Sebuah tangan gemetar dengan lembut
menyentuh pipi Emma. Air mata terasa sakit di matanya. "Tentu, aku akan berdoa. Aku
sedang berdoa. Dan kau juga! Katakan Hail Mary atau apapun yang
kalian para Katholik lakukan!"
Patrick tertawa kecil dan lalu meringis. "Jangan membuatku
tertawa." "Maafkan aku." Emma meremas erat tangan Patrick dan mencoba
memberikan senyum menenangkan padanya.
"Jika ini tidak berjalan baik - "
Tubuh Emma menegang. "Tidak! Jangan berani-beraninya kau
berbicara seperti itu!"
Patrick menutup matanya sesaat sebelum membukanya. "Dengarkan
aku. Jika aku tidak berhasil melalui ini, berjanjilah padaku kau akan
memberi Aidan kesempatan lagi."
"Oh..Patrick," Emma mengerang.
"Berjanjilah," dia memaksa.
Hal terakhir yang ingin Emma lakukan di dunia adalah berbohong
pada seorang lelaki yang berpotensi untuk meninggal. Entah
bagaimana dia menemukan keberanian untuk menganggukkan
kepalanya. "Okay, aku berjanji."
"Gadis pintar."
Ketika petugas pemadam kebakaran tiba, Emma mengucapkan
terima kasih pada Tuhan karena kantor pemadam kebakaran berada
tepat di seberang jalan VFW. Karena sebagian besar dari mereka
mendapatkan pelatihan 3EMT, dia tahu mereka dapat menolong
Patrick sampai ambulans tiba.
3Emergency Medical Technician, paramedis
"Permisi, Ma'am," seorang pemuda berkata.
Emma dengan enggan melepaskan tangan Patrick. Kedua pemadam
kebakaran beringsut melewati Emma dan berjongkok di sebelah
Patrick. Menjalin jari-jarinya, Emma membawa tangannya ke
bibirnya yang menggumamkan doa-doa. Dia memperhatikan saat
salah seorang pemadam memasangkan masker oksigen pada wajah
Patrick ketika yang lain memeriksa denyut nadinya.
Hilang dalam pikirannya sendiri, Emma bahkan tidak mendengar
sirene ambulans. Hal berikutnya yang dia tahu anggota EMT tiba
dan meletakkan Patrick di atas usungan. "Em!" teriakan panik
Patrick terdengar melalui maskernya.
"Aku ada di sini," Emma menjawab, mendorong salah satu
pemadam kebakaran dari hadapannya. Meraba-raba sepanjang
brangkar, dia menyambar tangan Patrick. "Aku di sini. Kau akan
baik-baik saja." Brankar bergemuruh dan bergetar sepanjang trotoar yang tidak rata
saat mereka mendorong Patrick menuju pintu ambulans yang
terbuka. Emma harus berjuang untuk menyusul mereka, dan dia
kehabisan nafas saat mereka mulai memasukkan Patrick ke dalam
ambulans. Wajah Patrick panik saat Emma dipaksa untuk
melepaskan tangannya. "Aku masih di sini!" Emma berteriak, menahan air mata membakar
tenggorokan dan matanya. Emma merasa sebuah tangan di bahunya. Seorang petugas pemadam
muda dengan sorotan mata baik hati tersenyum padanya. "Apakah
kau mau berkendara dengannya?"
"Tolong, bisakah?"
"Tentu saja kau bisa. Kemarilah untuk duduk di depan denganku."
Emma mendekat ke pintu ambulans, "Patrick, aku akan ada di
depan. Aku tidak meninggalkanmu. Oke?"
Patrick menganggukkan kepalanya. "Aku mencintaimu dan aku akan
ada di depan," Emma berteriak lagi, saat petugas pemadam
menariknya. Emma memposisikan dirinya di depan pintu dan mencoba menarik
dirinya ke atas. Dengan adrenalinnya yang terkuras, dia terlalu
lemah. Sepasang tangan muncul di pinggangnya dan mendorongnya
ke depan. Dia terkesiap saat dia terduduk di jok kursi. Setelah dia
menenangkan diri, dia berputar.
Pipi pemuda pemadam kebakaran itu merah merona. "Maafkan
tentang hal itu." "Tidak apa-apa. Terima kasih untuk bantuannya."
Dia menyeringai sebelum menutup pintu. Emma berputar di
kursinya untuk melihat petugas EMT bekerja pada Patrick. "Lihat,
aku tidak meninggalkanmua," dia berkata.
Suara raungan sirene ambulans mulai menyala menyebabkan Emma
bergidik. Seperti badai listrik di musim panas, memori yang telah
lama terkubur berkelebat di pikirannya. Walaupun dia mencengkeram pinggiran kursinya, dia telah berada jauh dari
kekacauan di sekitarnya. Dengan tangannya menggenggam erat tangan ibunya, dia melewati
kantor pemadam kebakaran. Saat melihat ayahnya, dia memekik
dan lari ke depan. "Daddy! Daddy!"
"Hai sayang," katanya, mengangkat Emma ke dalam pelukannya.
Emma melilitkan kakinya di sekeliling ayahnya saat dia memeluknya
erat. "Jadi kau akhirnya dapat melihat kantor baruku, ya?"
Emma mengangguk. Dia belum mengerti kenapa mereka harus
meninggalkan pegunungan untuk pindah ke kota. Kenyataannya, dia
harus menangis kencang dari belakang kaca mobil saat dia melihat
Granddaddy dan Grammy melambaikan tangan. Tapi Daddy telah
mencoba menjelaskan kepadanya dia akan mendapatkan penghasilan lebih jika dia bekerja sebagai pemadam kebakaran di
Atlanta, daripada di Ellijay. Mereka bisa mendapatkan barangbarang yang lebih
baik. Dia bahkan membelikannya anak anjing
untuk membuat segalanya lebih mudah.
"Biarkan aku memakai topimu! Kumohon Daddy!"
Ayahnya tertawa kecil, "Tentu saja kau boleh." Saat dia meletakkan
visor pemadam kebakaran di kepalanya, leher Emma gemetar dan
tertunduk keberatan. Dia mengajak Emma ke mesin berwarna
merah api yang berkilauan. "Kau mau dengar suara sirene,
Angel?" Emma menggeliat di lengan daddynya. "Oh iya!"
Dia memanjat ke dalam mobil pemadam dan mendudukkan Emma
di jok kursinya. Tangan Emma otomatis memegang roda setir, dan
dia memutarnya bolak balik, berpura-pura menyetir. Daddynya
membunyikan klakson yang meraung. "Lagi, Daddy!" Dia
menyeringai dan membunyikannya lagi sampai para pria di kantor
pemadam siap untuk mencekiknya.
Seperti bayangan kabut tipis berputar-putar di sepanjang atap dan
langit, pikiran Emma meluncurkan memori lain hanya setahun
kemudian. Emma sedang di sekolah dan duduk di karpet membaca. Dengan
penuh perhatian dia mendengarkan gurunya membaca sebuah buku
tentang beruang yang mengadakan pesta Halloween dimana
popcorn memenuhi rumah mereka. Pintu ruang kelas berderit
terbuka, dan Emma menatap dalam keterkejutan pada Granddaddy
yang berdiri di pintu masuk. Dia berlari untuk menemuinya, dengan
senang hati menyambut tangannya. Di luar kelas, dia menarik
Emma ke dalam pelukannya dan membawanya keluar. Granny
berada di mobil memeluk Nana, ibunya daddy. Emma menghujani
Granddaddy dengan beberapa pertanyaan. "Apa yang terjadi,
Granddaddy" Kenapa kalian semua ada di sini di Atlanta" Dimana
Mommy dan Daddy?" Untuk pertama kalinya sejauh yang pernah dia ingat, ada air mata
di mata Granddaddy yang gelap. "Emmie Lou, ada kebakaran yang
sangat besar, dan daddy-mu mencoba menyelamatkan anak-anak
ini. Dia berhasil mengeluarkan mereka dengan selamat, tapi dia..."
Suaranya tercekik oleh emosi. "Sayang, daddy-mu pergi untuk
tinggal bersama para malaikat."
Satu pernyataan itu membuatnya menendang dan menjerit
melepaskan diri dari pelukan Granddaddy. "Tidak, tidak, tidak!
Daddy tidak akan meninggalkanku! Dia akan membawaku ke sirkus
akhir minggu ini." Tinjunya memukuli perut Granddaddy. "Kau
bilang pada para malaikat untuk membawa daddy kembali!" Emma
menjerit. Suara pintu ambulans yang berderak membuka menyentak Emma ke
memori yang lain. Sekali lagi dia menggenggam tangan ibunya saat mereka berjalan di
antara batu-batu nisan di pemakaman. Emma tak pernah melihat
begitu banyak orang di hidupnya. Semua orang menyebut ayahnya
seorang pahlawan. Mereka duduk di salah satu kursi beludru di
bawah tenda hijau. Menempel di sisi ibunya, Emma akan terlonjak
setiap ledakan senapan dari 21 tembakan penghormatan meletus.
Lalu seorang lelaki berlutut di depan ibunya dengan bendera yang
dilipat. Dia melirik Emma dan memberinya senyuman sedih. Dia
tidak akan melupakan mata coklat penuh perasaanya.
"Ma'am?" Emma tersentak kembali ke masa kini. Melirik ke belakang bahunya,
dia melihat brankar Patrick telah dikeluarkan dari ambulans. Petugas
EMT, yang mengemudikan mereka ke rumah sakit, berada di sisi
pintu penumpang yang terbuka, mengisyaratkan dengan tangannya.
"Mari aku bantu."
"Terima kasih," dia menggumam. Setelah dia melompat turun, dia
mengarahkannya melewati pintu otomatis. Menunjuk ke arah lorong,
dia berkata, "Mereka membawanya ke ruang dua."
Dia mengangguk. "Terima kasih untuk segalanya."
Emma terhuyung melewati lantai ubin berwarna putih. Aroma
antiseptik menyerang inderanya. Lelaki dan perempuan dalam
pakaian rumah sakit biru dan hijau bergegas di antara ruangan dan
pasien. Dia melirik sekilas ke pos perawat sebelum melintasi ke
lorong dimana Patrick berada. Saat Emma akan melangkah masuk
ke pintu, seorang perawat menahannya.
"Tidak, Ma'am. Anda tak dapat masuk kesana. Anda harus
menunggu di ruang tunggu."
"Bagaimana dia?"
"Kami belum tahu apapun. Mereka sedang menjalani beberapa tes."
Si perawat mencengkeram bahu Emma. "Jika anda duduk
menunggu, seseorang akan- "
Emma menggelengkan kepalanya dengan marah ke kiri dan kanan.
"Aku mohon, ijinkan aku di sini. Aku tidak akan mengganggu, aku
berjanji. Dia tak ingin aku meninggalkannya!"
Perawat itu melihat perut Emma yang membengkak, dan ekspresinya
melembut. Dia melirik melewati bahunya sebelum menghela nafas.
"Baiklah. Adakah orang lain yang harus kau telpon?"
Emma telah begitu termakan oleh hantu masa lalunya bersama
dengan kondisi Patrick, dia bahkan tidak terpikir untuk menelepon
Aidan atau saudara-saudara perempuannya. Tangan Emma terbang
ke mulutnya. "Ya Tuhan, aku tak percaya aku tak menghubungi
anak-anaknya!" "Tidak apa-apa, sayang. Aku yakin banyak yang harus kau pikirkan.
Kenapa kau tak kesana?" perawat itu menunjuk ke meja dengan
telepon hitam mengkilat di atasnya.
Emma mengangguk dan berjalan meninggalkan pintu ruangan
Patrick. Dia duduk di kursi plastik yang tidak nyaman. Dengan
Becky dan Liz di Disney World dan Julia tinggal di luar kota, Aidan
dan Angie adalah yang paling dekat untuk datang ke rumah sakit.
Emma mencoba menghubungi Angie terlebih dahulu, berharap dia
dapat membuat Angie menghubungi Aidan. Tapi dia tak mengangkat
telponnya, jadi Emma terpaksa meninggalkan pesan suara yang
memintanya menghubungi Emma sesegera mungkin.
Dengan jari yang bergetas, dia menekat nomor ponsel Aidan. Aidan
menjawab di dering yang ketiga. "Ini Aidan Fitzgerald."
Suara Aidan yang dalam menggetarkan telinga Emma membuat
dadanya menegang. Untuk beberapa saat, dia tak dapat memproses
pikirannya, dan pastinya tak dapat berbicara.
"Halo?" Aidan mendesak.
"Um, ini aku." Aidan menarik nafas tajam di saluran seberang. "Emma..." cara dia
menyebutkan namanya membuat Emma gemetar. Suaranya

The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdengung dengan campuran antara kegembiraan dan penderitaan.
"Tuhan, benar-benar menyenangkan mendengar suaramu." Emma
tetap tidak bergerak, tidak bicara, dan tidak berkedip. Aidan
membuatnya lumpuh hanya dengan suaranya. "Tolong katakan
sesuatu. Tolong bicara padaku, Em," dia memohon.
Segeralah sadar sebuah suara dalam dirinya berteriak. Dia
menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menelpon karena itu semua.
Ini ayahmu. Kami di UGD di Wellstar."
Nada suara Aidan berubah dalam sekejap. "Tunggu, apa yang terjadi
pada Pop?" "Aku belum tahu. Dia merasa sakit di dadanya dan terjatuh d VFW.
Mereka sedang menjalankan beberapa tes. Dia sadar dan bernafas
sendiri." "F*ck, aku satu jam perjalanan ke Atlanta." Dia menggeram dalam
rasa frustasi. "Aku akan secepatnya kesana."
"Oke," Emma menjawab. Dia menutup telepon sebelum Aidan dapat
mengatakan yang lainnya. Emma mengalihkan kembali perhatiannya ke pintu ruangan Patrick.
Sebuah keabadian yang lambat tampaknya berdetik saat Emma
menunggu berita. Dia berjalan mondar-mandir di luar ruangan.
Setiap kali dokter atau perawat masuk, Jantungnya terasa berhenti.
Meremas-remas tangannya, doa tak berhenti di dalam pikirannya.
Setelah tidak berhasil mencoba membujuk dua orang perawat untuk
memberinya berita terbaru, dia mencegat orang berikutnya yang
keluar dari pintu. Melilitkan jari-jarinya pada jas putihnya, Emma
memegangnya erat-erat saat air mata menggenang di matanya.
"Tolong, aku mohon kau harus memberi tahuku apa yang terjadi!"
dia menuntut. Dokter itu membawa tangannya pada tangan Emma, tapi bukannya
mendorongnya menyingkir, dia menggenggamnya dengan lembut
dalam tangannya. Dia melihat ke atas ke dalam sepasang mata coklat
penuh perasaan yang memancarkan empati. "Siapa namamu,
sayang?" dia bertanya.
"Emma." Sebuah senyum hangat melintas di wajah tampannya-senyum yang
bila terjadi di situasi yang lain akan menyebabkan jantung Emma
berdetak sedikit lebih cepat atau bahkan sebuah pergerakan di bawah
pinggangnya. Rambut hitam legamnya jatuh bergelombang di atas
dahinya, dan gigi putih mutiaranya kontras dengan kulit gelapnya.
"Emma, Saya dr. Nadeen. Saya perlu Anda untuk mengambil nafas
panjang dan tenang, oke?"
Emma menggeleng dengan liar. "Tapi saya - dia - "
"Mr. Fitzgerald akan baik-baik saja. Kami telah menstabilkannya
saat kami melakukan beberapa tes. Tapi tampaknya tidak ada yang
membahayakan jiwanya. Dia di tangan yang baik. Saya berjanji."
Berita itu membuat lutut Emma lemas, dan dia akan jatuh ke lantai
jika dr. Nadeen tidak merangkulkan lengannya disekitar Emma.
"Whoa, tenang." Dia melihat di balik bahunya. "Ikut denganku."
Dengan satu lengan melingkar erat di sekeliling pinggangnya, dia
menuntun Emma ke ruangan di seberang ruangan Patrick.
"Tidak, aku harus tetap bersamanya," Emma protes saat dr. Nadeen
menurunkannya di tempat tidur.
"Kau dapat melihat segalanya dari sini." Dia berlutut di depannya
dan membawa jarinya ke pergelangan tangan Emma. "Denyut
nadimu terlalu cepat. Kau harus tenang. Bolehkah aku meminta
tolong perawat untuk menelpon suamimu?"
Emma mengernyit, "Aku tak punya suami." Ketika dr. Nadeen akan
membuka mulutnya, dia menggelengkan kepalanya. "Atau kekasih."
"Aku tahu kau khawatir, tapi kau harus memperhatikan dirimu
sendiri dan si Kecil." Pandangannya jatuh ke perutnya. "Berapa usia
kandunganmu?" "Dua puluh tiga minggu," Jawab Emma.
"Ah, dan apakah kau tahu apa jenis kelaminnya?"
"Anak lelaki." Tangan Emma menyentuh perutnya. "Seorang anak
laki-laki yang sangat aktif dilihat dari caranya menendang saat ini."
Dr. Nadeen terkekeh. "Itu artinya dia kuat."
Emma memutar matanya. "Aku tak tahu apakah dia anak yang
sangat kuat atau anak yang berkemauan keras. Dia suka
memberitahuku kapan dia pikir ini waktunya kami untuk makan."
Dr.Nadeen membuka mulutnya, tapi dia diinterupsi oleh seorang
perawat yang memunculkan kepalanya ke dalam. "Dr.Nadeen, kami
membutuhkanmu di ruang Tiga."
Dr.Nadeen melihat sekilas ke balik bahunya dan mengangguk. Dia
lalu berbalik kembali ke Emma. "Aku minta maaf, tapi aku harus
pergi." Emma tersenyum. "Senang bertemu dengan Anda, dr. Nadeen."
"Tidak perlu terlalu formal. Aku Alpesh, tapi kau dapat
memanggilku Pesh." Dia tersenyum lebar. "Sekarang aku mau kau
berbaring dan taruh kakimu di atas sebentar. Tenang saja, oke?"
Menyentakkan ibu jarinya ke seberang lorong, Pesh berkata, "Dia
akan baik-baik saja, dan aku yakin dia tidak akan mau kau khawatir
di kondisimu." Emma tak dapat menahan tawanya. "Kondisiku" Aku hanya hamil."
Dr.Nadeen menggoyangkan jarinya pada Emma. "Aku serius. Aku
tak mau melihatmu berdiri lagi sampai aku kembali. Mengerti?"
"Kau benar-benar suka memerintah," dia menjawab saat dia
mengayunkan kakinya ke atas tempat tidur dan merapikan bajunya.
"Mereka mengajarkan itu pada kami di sekolah kedokteran," dr.
Nadeen menjawab sebelum dia mengarah keluar pintu.
Emma menggelengkan kepalanya sebelum mengambil teleponnya
dari dalam tasnya. Hanya ada sedikit jeda waktu antara pesan yang
satu dengan yang lain. Julia, kakak tertua kedua Aidan, sedang
dalam perjalanan pulang dari Alabama, sedangkan Becky dan Liz
sedang bersiap-siap untuk memotong waktu perjalanan Disney
mereka. Seorang perawat melongokkan kepalanya ke dalam dan menyebabkan Emma terkejut. "Maafkan aku. Dr. Nadeen bilang aku
harus -" Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa, sayang. Aku hanya mengirangira kenapa Dr.
Nadeen telah menandai bahwa ruangan ini
digunakan, tapi tak ada catatan." Dengan pandangan memahami, dia
menjawab, "Tapi aku dapat melihat alasannya sekarang."
"Dia sangat baik."
"Dia salah satu yang terbaik yang kami punya-dokter terbaik dan
paling sopan." Dia mengedipkan sebelah mata pada Emma. "Dan
sejauh ini yang paling tampan."
Dengan pipi yang menghangat, Emma menjawab, "Itu bagus."
"Jaga dirimu." "Terima kasih."
Perawat itu belum pergi terlalu lama saat Pesh muncul kembali di
pintu masuk. Emma cepat-cepat mencoba menyembunyikan
teleponnya. Terlebih lagi mengingat tanda yang memperingatkan
-tidak boleh menggunakan ponsel- tepat di sampingnya.
Emma memberinya senyum malu-malu. "Maaf. Aku harus memberi
tahu semua orang tentang keadaan Patrick."
Pesh tertawa. "Tidak apa-apa, Emma. Aku tak akan memanggil
keamanan untuk menangkapmu. Aku hanya senang kau tetap di
tempat dan tidak kembali mondar-mandir." Dia melangkah ke arah
tempat tidur. Dengan kikuk, Emma menarik dirinya ke posisi duduk. Matanya
tertuju pada tas plastik di tangan Pesh. Saat Emma memberinya
pandangan bertanya, Pesh membuka plastik dan memperlihatkan
sebotol minuman soda, sebotol air mineral, sebungkus kraker selai
kacang, dan sekantong keripik Doritos.
"Untuk apa semua itu?" Emma bertanya.
"Sebagian dari simpanan makanan rahasiaku untuk memberi makan
lelaki kecilmu." Rasa panas membakar pipi dan leher Emma, menyebabkan dia
memainkan keliman bajunya. "Kau tak harus melakukan itu."
"Dia lapar, kan?"
"Well, iya, tapi-"
Pesh tersenyum. "Jadi ini. Aku tak keberatan berbagi."
Alih-alih rasa lapar, perut Emma serasa berisi kupu-kupu saat dia
mengambil biskuit dari Pesh.
"Ah, kau pasti penggemar selai kacang, ya?" dia memperhatikan,
saat dia duduk di kursi di depan Emma.
"Iya," Emma bergumam, saat dia membuka bungkusnya. Mengintip
pada Pesh lewat bulu matanya, dia berkata, "Aku harap aku tak
menahanmu dari pasien-pasienmu."
"Kau beruntung. Ini benar-benar hari yang pelan untuk kami,
mengingat sebagian besar pasien trauma telah di antar ke pusat
kota." Emma mengangkat alisnya dalam keterkejutan, mengingat semua
kesibukan yang dia lihat di lorong. "Benarkah?"
Pesh mengangguk. "Selain itu, kau mungkin belum secara resmi di
opname, tapi dengan kau yang hampir pingsan dan denyut nadimu,
aku khawatir denganmu. Sehingga, aku menganggap ini sebuah
konsultasi." Kebingungan melanda Emma pada perasaan yang agak romantis
yang dia rasakan mengenai kekhawatiran dan perhatian Pesh.
Setelah dia menggigit krakersnya, Pesh menawarkan minuman soda
dan air mineral untuk Emma pilih. Saat Emma mencoba meraih
minuman soda, dia menjauhkannya. "Sekarang Emma, kau tahu
lebih baik dari pada itu. Kafein tidak bagus untukmu."
"Tidak adil," Emma menjawab, sambil menyeringai.
Pesh mengedipkan satu mata padanya. "Kau benar. Aku seharusnya
tidak menggodamu dengan barang yang sudah jelas."
Sekali lagi pipi Emma terasa terbakar, jadi dia menenggak air
mineral untuk mencoba mendinginkan kepalanya.
"Bagaimana Patrick?" "Lebih baik. Setelah kau selesai makan, kau dapat pergi
menemuinya." "Benarkah?" Emma bertanya, melalui mulut yang penuh dengan
kraker. Pesh mengangguk. "Dia menanyakanmu."
"Dia menanyakanku?" Emma lalu memenuhi mulutnya dengan
kraker yang lain saat dia berdiri. Setelah dia menelan, dia berkata,
"Okay, ayo pergi menemuinya."
Dengan menggelengkan kepalanya takjub, Pesh berkata, "Aku
seharusnya tidak mengatakan apapun sampai kau selesai makan."
"Bagaimana jika aku berjanji untuk menghabiskan kraker ini saat
aku bersama Patrick?"
"Kupikir itu terdengar adil."
Emma tersenyum lebar saat mereka berjalan ke arah pintu. "Aku tak
dapat cukup berterima kasih untuk makanan dan untuk merawatku...
dan untuk Noah." Pesh memasukkan tangannya ke dalam saku jas prakteknya. "Ah,
jadi lelaki kecil kita yang kuat ini akan dinamakan Noah?"
"Iya, dinamakan setelah nama almarhum ayahku dulu."
Pesh tersenyum. "Dia akan sangat beruntung memilikimu sebagai
ibu." Emma tak dapat menahan rasa panas yang menjalar di pipinya saat
mendengar pujian Pesh. "Terima kasih. Aku akan mencoba yang
terbaik untuknya. Aku dapat contoh yang terbaik pada almarhum
ibuku dulu." "Kau telah kehilangan kedua orangtuamu?"
Dia mengangguk. Pesh menggelengkan kepalanya. "Terlalu banyak kesedihan." Tangan
Pesh menyentuh bahu Emma. "Tapi hanya dengan melihat wajahmu
dan cinta di matamu, aku dapat mengatakan seberapa besar anak ini
membawa kebahagiaan untukmu."
"Ya, memang," Emma bergumam. Dia hampir merasa terlalu
kewalahan dengan kesungguhan di wajah dan suara Pesh.
"Dr. Nadeen ke ruang periksa lima. Dr. Nadeen ke ruang periksa
lima," sebuah suara terdengar dari pengeras suara.
"Kupikir kau sebaiknya pergi," Emma berkata.
Pesh mengangguk. "Tidak boleh sampai kelelahan di sekitar sini."
Emma tersenyum. "Sangat menyenangkan bertemu denganmu."
Pesh menggenggam tangan Emma di kedua tangannya, dengan
lembut mengelus kulitnya dengan ujung jarinya. "Kesenangan itu
milikku." Sesulit apapun Emma telah mencoba, dia tak dapat mengabaikan
rasa merinding di tubuhnya karena sentuhan tangan Pesh di kulitnya.
"Selamat tinggal," Emma bergumam sebelum masuk ke dalam
ruangan Patrick. *** Bab 3 Aidan mengulurkan tangannya untuk memberhentikan seorang
perawat yang lewat, tapi suara nyanyian menghentikannya di tengah
lorong yang dingin. Alunan Danny Boy melayang kembali ke
telinganya- lagu favorit ayahnya. Generasi Orang Irlandia yang
kedua, Patrick dibesarkan dengan lagu-lagu lama daerah seperti
Danny Boy dan The Fields of Athenry. Aidan tidak ingat satu kalipun
dalam hidupnya kalau ayahnya tidak menyenandungkan salah satu
dari lagu itu. Tapi itu bukan ayahnya yang bernyanyi. Harmonisasi suara merdu
ini menembus jiwa Aidan, yang menyebabkan dia tersentak.
Itu suara Emma. Suaranya menarik Aidan lebih dekat dan semakin dekat seperti
sebuah sirene memimpin seorang pria yang akan menemui ajalnya.
Langkahnya melambat seakan merangkak saat dia menajamkan
matanya ke pintu di koridor di depannya. Terakhir kali ia mendengar
Emma bernyanyi saat acara Barn Dance di rumah kakek-neneknya.
Pada malam sebelum dia menyadari bahwa dia benar-benar dan
sepenuhnya jatuh cinta dengan Emma - sebelum Aidan
menghancurkan hatinya. Berhenti sejenak di depan pintu, Aidan berusaha meredam detak
jantungnya yang sangat cepat. Ayahnya berbaring dengan Emma
duduk di sampingnya di tempat tidur rumah sakit. Emma memegang
sebelah tangan ayahnya yang ditambatkan ke tiang infus dengan
kedua tangannya. Meskipun Patrick memiliki selang oksigen yang
tertahan di hidungnya, ia tampak baik-baik saja dan sedang
menikmati konser dadakan itu.
Ketika nada terakhir dari lagu tersebut bergema di dinding bertirai
kain belacu, Patrick bertepuk tangan. "Indah, Emma! Benar-benar
indah!" Meskipun dia menundukkan kepalanya, Aidan bisa melihat semburat
merah khas di pipinya yang seperti biasanya karena malu. "Terima
kasih." "Tidak diragukan lagi, kau memiliki suara seperti seorang malaikat,
sayang." Emma membungkuk dan mencium pipi Patrick. "Kau tahu tidak ada
sesuatu yang tidak akan aku lakukan untukmu, dan itu termasuk


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyanyikan lagu dengan nada terlalu tinggi di ruang UGD." Satu
tangan melayang ke perutnya sambil sebuah senyuman menyebar di
seluruh wajahnya. "Noah pasti Orang Irlandia Fitzgerald sejati. Dia
menari-nari dengan gila sekarang." Mengambil tangan Patrick, ia
membawanya ke perutnya. "Lihat?"
Aidan tercekat dan terhuyung-huyung ke belakang. Apa-apaan ini"
Anaknya memiliki nama, dan dia bahkan tidak dilibatkan di
dalamnya. Bagaimana Emma bisa melakukan sesuatu yang sangat
monumental dengan menamai anaknya tanpa bertanya kepadanya"
Dia seharusnya tidak peduli bahwa Emma sudah memberi nama
almarhum ayahnya pada anak mereka, tetapi Aidan tidak begitu.
Kemarahan berdenyut melalui dirinya. Berjalan dengan angkuh
melewati pintu, ia berseru, "Maaf" Noah?"
Patrick dan Emma sama-sama berpaling untuk menatapnya. Wajah
Emma memerah dari pipi putih gadingnya turun ke bawah ke
lehernya, sementara tatapannya tampak panik melesat di sekeliling
ruangan seolah-olah mencari jalan keluar. Berjuang turun dari
tempat tidur, ia mundur sejauh mungkin dari Aidan.
Meskipun perhatiannya seharusnya pada ayahnya yang sakit, tapi
Aidan tidak bisa mengalihkan pandangan matanya dari Emma.
Setiap kemarahan yang dia rasakan pada Emma cepat menguap, dan
hatinya berkontraksi dengan cinta untuk Emma. Ya Tuhan, Aidan
merindukannya. Dia tidak menyadari bagaimana Emma sampai
berdiri tepat di depannya seperti sebuah visi. Dia bisa saja menjadi
salah satu mawar Patrick yang sedang mekar. Payudaranya tampak
sangat penuh, perutnya membulat, dan pinggulnya yang melebar.
Aidan berjuang untuk menarik napas.
Ketika Patrick berdehem, Aidan segera berpaling menatap ke
arahnya. Patrick tersenyum. "Ya, Noah Patrick, berdasarkan namanama kakeknya.
Tidakkah kau berpikir itu adalah nama terbaik
untuk anakmu?" "Ya," gumam Aidan, lalu melirik kembali ke Emma. Ketika Emma
akhirnya berani menatapnya, Aidan menganggukkan kepalanya.
"Noah Patrick Fitzgerald adalah nama yang sangat bagus."
Mata Emma melebar mendengar sindiran dari nama belakangnya.
Aidan menyiapkan diri untuk protes darinya, tapi sebaliknya Emma
mulai beringsut menuju pintu. "Um, aku akan pergi mendapatkan
sesuatu untuk di minum."
"Aku akan mengambilnya untukmu," Aidan menawarkan.
"Tidak, tidak, aku baik-baik saja. Kau seharusnya bersama ayahmu."
Ketika Emma melewatinya, Aidan berjuang untuk menjaga
lengannya terjepit di samping tubuhnya sehingga tangannya tidak
akan meraih dan menangkap Emma. Aroma parfum Emma mengisi
lubang hidungnya dan menyerang akal sehatnya. Dia memejamkan
mata merasakan kesakitan. Begitu Emma sudah aman keluar dari
pintu, bahu Aidan merosot penuh kekalahan. "Dia benar-benar
membenci aku," katanya parau.
"Tidak, Nak, dia tidak begitu." Ketika Aidan mendengus karena
membenci dirinya sendiri, Patrick menggelengkan kepalanya.
"Seberapa banyak dia sangat ingin untuk membencimu, tapi dia
tidak bisa. Dia hanya takut padamu sekarang karena langkah tolol
yang kau lakukan padanya."
"Sebenarnya, aku yang harus membencinya." Aidan meringis.
"Berakting layaknya aku seperti penyakit dan dia menamai anak
kami tanpa aku!" Patrick mendengus. "Kapanpun kau selesai dengan omelan kecilmu,
bolehkah aku mengingatkan kamu kalau aku sedang dirawat di
rumah sakit?" Aidan membelalakkan matanya. "Sial, Pop, aku sangat menyesal.
Melihat Em lagi membuat aku terkejut." Aidan menutup kesenjangan
diantara mereka. "Kau tampak baik-baik saja, tetapi benarkah"
Maksudku, apa ini serangan jantung?"
Patrick mulai membuka mulutnya ketika ketukan datang dari arah
pintu. Seorang dokter bertubuh tinggi dan berambut gelap tersenyum
pada mereka. Setelah matanya menyapu cepat ke seluruh ruangan,
senyumnya sedikit memudar. "Halo lagi, Mr Fitzgerald. Anda
tampak jauh lebih baik sekarang daripada ketika pertama kali aku
melihat anda hari ini."
"Saya merasa saya harus berterima kasih untuk itu, Dr. Nadeen."
Dr.. Nadeen melangkah masuk ke dalam ruangan. "Kami sudah
mendapakan hasil tes anda kembali. Tampaknya Anda memiliki dua
arteri pembuluh darah yang delapan puluh persennya tersumbat.
Saya telah berkonsultasi dengan bagian kardiologi kami, dan hanya
untuk memastikan supaya aman, kami rasa hal terbaik menahan anda
semalam dan menjadwalkan untuk melakukan tindakan angioplasty 1
besok pagi." Patrick meringis. "Bukan dengan yang satu itu lagi, kan?"
Dengan tertawa kecil, Dr. Nadeen menjawab, "Ya, saya melihat dari
catatan Anda, Anda sudah pernah melakukan prosedur itu
sebelumnya." "Sayangnya, ya."
"Anda harus mulai merawat diri sendiri dengan lebih baik lagi dan
melakukan diet sehat yang menyehatkan jantung, sehingga Anda
tidak akan kembali ke sini lagi."
Aidan mendengus. "Semoga berhasil dengan yang satu itu."
Patrick memilih untuk mengabaikannya. "Setidaknya itu bukan
sesuatu yang besar seperti operasi bedah jantung."
Dr. Nadeen mengangguk. "Saya yakin berita ini akan membuat cucu
perempuan Anda merasa lebih baik."
Alis Patrick berkerut. "Cucuku?"
Dr. Nadeen menundukkan kepalanya tapi sebelumnya Aidan telah
melihat sebuah senyum tipis di wajahnya dan kilauan di matanya
yang gelap. "Emma, si Cantik Berambut Merah yang hampir pingsan
karena dia sangat khawatir tentang kondisi Anda."
"Dia hampir pingsan?" Aidan bertanya pada saat yang sama Patrick
menjawab, "Ah, semoga Tuhan memberkati hatinya, aku sangat
benci karena aku membuatnya sedih sekali."
"Tidak apa-apa. Aku menyuruhnya berbaring sebentar, dan aku
membawakan bayinya - Maksudku, dia, sesuatu untuk dimakan."
Dada Aidan mengepal bukan hanya melihat keakraban Dr. Nadeen
dengan Emma, tapi saat menyebut Noah. Pria ini jelas langsung
membuatnya tidak suka. Meskipun Aidan seorang pria, ia tahu ada
kompetisi ketika melihatnya. Itu bukan hanya fakta bahwa Dr.
Nadeen memiliki penampilan yang membuat celana dalam
perempuan terbakar, tapi tampaknya bajingan ini orang yang baik
dan perhatian. Sebagai fakta tambahan ia seorang dokter, dan jadilah
dia seorang triple threat-berwajah tampan, tubuh bagus, dan
kepribadian menawan. Akhirnya, Aidan menemukan suaranya. "Anda memang sangat baik.
Saya menghargai Anda merawatnya," kata Aidan, berusaha keras
berbicara tanpa menggertakkan giginya.
Senyum hangat berkembang di wajah Dr. Nadeen itu. "Saya sangat
senang melakukan itu untuknya. Adikmu seorang wanita muda yang
baik - semangatnya tampak bersinar dari dalam dirinya."
Mulut Aidan menganga. Apa-apaan ini" Dia pikir Emma
adalah...adiknya" "Apakah Anda baru saja mengatakan...?" Aidan
tergagap. Patrick menggelengkan kepalanya. "Emma bukan cucuku, Dok."
"Oh, Saya minta maaf. Anda memiliki seorang putri yang sangat
manis." "Tidak, tidak, dia bahkan tidak ada hubungannya denganku."
"Ah, Saya paham. Well, Anda sangat beruntung memiliki seseorang
dalam hidup Anda yang begitu peduli pada Anda."
Patrick melirik dari Aidan ke Dr. Nadeen. "Apakah aku mendengar
Anda menyebutnya cantik?"
Ekspresi Pesh berubah minta maaf. "Maafkan Saya. Saya telihat
jelas sangat berharap ya."
"Tidak apa-apa, Dok." Sambil menggosok kedua tangannya, Patrick
berkata, " Hmm , Saya tidak bisa menahan diri untuk menjadi Biro
Jodoh sementara Saya berbaring disini. Apakah Anda tertarik
berkencan dengan Emma" Dia masih lajang, Anda tahu kan."
Aidan melotot pada ayahnya, yang hanya membuat Patrick semakin
memperlebar seringainya. "Apa sih yang kau lakukan?" desis Aidan.
"Memaksamu bertindak." Tampak sinar jahil terbakar di matanya,
dan Aidan tahu tidak ada yang bisa menghentikan ayahnya. Dia tidak
tahu bagaimana setelah semua yang Patrick alami pada hari ini dan
ia masih bisa menemukan energinya untuk mendorong anaknya
sendiri. Dia harusnya tahu Emma adalah titik kesakitannya.
Saat ini, Emma benar-benar seperti memiliki sebuah lubang
menganga di dadanya. "Sebaiknya kau sialan senang berada di ER
sekarang," gumamnya pelan.
Patrick mengabaikannya dan perhatiannya fokus pada Pesh yang
menatap aneh pada mereka berdua. "Apa yang Anda akan katakan,
Dok?" "Uh, well, Saya tidak biasanya mengajak kencan wanita di ruang
gawat darurat, Mr. Fitzgerald," gumam Dr. Nadeen, sambil
menggeser kakinya dengan tidak nyaman.
"Oh, please. Ini bukan mengajak. Tapi ini adalah merawatnya. Jelas
itu berbeda," bantah Patrick.
"Pop," geram Aidan.
Dengan tersenyum ragu-ragu, Dr. Nadeen berkata, "Mungkin kami
bisa mendapatkan kesempatan untuk berbicara lagi."
"Dia hamil enam bulan!" Balas Aidan.
Dr. Nadeen tersentak ke belakang seperti ia telah ditampar. Dia
berdehem sebelum berbicara. "Ya, Saya tahu itu. Hal itulah yang
paling mengkhawatirkan Saya ketika Saya bertemu dengannya. Saya
tidak ingin dia merasa sangat sedih dengan kondisinya seperti itu."
Aidan mendengus tapi tidak membantah.
Menjatuhkan tatapannya ke lantai, Dr. Nadeen mengatakan, "Setelah
dia meyakinkan Saya bahwa dia tidak memiliki suami atau pacar
untuk ditelepon, Saya pikir Saya menduga dia tidak dengan
siapapun. Saya minta maaf jika asumsi Saya salah."
"Jangan khawatir dengan anak Saya, Dok." Patrick menatap tajam
pada Aidan. "Dia tidak memiliki klaim tentang kebahagiaan Emma.
Lagi." Rasa paham tampaknya melintasi wajah Dr. Nadeen. "Oh, Well,
kapan Anda melihat Emma lagi, katakan padanya untuk menelepon
Saya." Dia mengambil kartu dari casing iPad-nya.
Aidan mendengus dan menyilangkan tangan di depan dadanya. "Hal
itu tidak akan pernah terjadi. Em bukan tipe gadis yang suka
menelepon seorang pria. Dia sangat kuno." Mata birunya menyipit
pada mata gelap Dr. Nadeen, diam-diam mengejeknya saat dia
memberikan kartu ke Patrick.
Dr. Nadeen tersenyum. Dia mengambil pena dari saku jasnya.
Kemudian dia mengalihkan perhatiannya kepada Patrick. "Mr
Fitzgerald, apakah Anda kebetulan memiliki nomor telepon Emma"
Saya akan senang untuk meneleponnya sendiri." Dia mengangkat
tangannya. "Tapi hanya dengan berpura-pura bertanya tentang
kesehatannya setelah kejadian hari ini."
Patrick tertawa. "Ya saya punya."
Setelah Dr. Nadeen menuliskan nomor telepon Emma, ia melirik
sekilas pada Aidan sebelum kembali memandang Patrick. "Terima
kasih." "Sama-sama." Dengan senyum malu-malu, Dr. Nadeen mengatakan, "Sekarang,
Saya kira kita harus kembali ke masalah pokok." Dia memandang ke
iPad-nya. "Jika Anda mau menunggu dengan sabar hanya beberapa
menit saja, karena kami harus menyiapkan transportasi Anda untuk
pindah ke lantai atas. Pembedahan dilakukan..." ia menggulirkan
sesuatu di layar sebelum mengernyitkan hidungnya. "Pagi sekali
pukul tujuh." "Saya sudah pernah menjalani itu."
Dr. Nadeen tertawa. "Well, Saya berharap yang terbaik untuk
keberhasilan Anda, Mr Fitzgerald." Dia membungkuk dan menjabat
tangan Patrick. Sambil mengedipkan mata, Patrick menjawab, "Begitu juga dengan
Anda, Dok." Mengalihkan tatapannya ke Aidan, Dr. Nadeen sedikit mengangguk
sebelum berjalan menuju pintu.
Ketika ia keluar ruangan, Aidan kembali menatap penuh amarah
pada Patrick. "Setelah tiga minggu terakhir ini aku benar-benar
mengalami seperti berada di neraka, bagaimana kau bisa melakukan
itu padaku, Pop?" "Aku tidak melakukan sesuatu padamu."
Aidan mencengkeram palang besi tempat tidur rumah sakit dan
membungkuk lebih dekat. "Memberinya nomor Emma"
Menyodorkan Emma pada dirinya?"
Patrick menyeringai. "Aku senang melihat kau berjuang melawan
kekesalanmu sekarang."
"Oh, aku jauh dari kesal. Aku sialan marah!"
"Bagus. Kau memang harus begitu. Sangat penting kau menjaga
semangat juangmu." Aidan menggelengkan kepalanya. "Apakah semangatku penting jika
dia..." Jantungnya bergidik memikirkan Emma menerima pesona Dr.
Nadeen. Bagaimanapun juga, ia seorang dokter tampan yang bahkan
tidak hilang ketertarikannya pada Emma walaupun dia sedang hamil.
Itu sudah cukup untuk membuat terpesona setiap wanita manapun.
"Tidak ada keraguan dalam pikiranku kalau Emma mencintaimu,
dan sementara perhatian Dr. Nadeen yang mungkin menyanjungnya,
hal itu hanya untuk satu tujuan."
"Dan apa itu?" Tanya Aidan dengan suara serak.
"Untuk menunjukkan pada Emma bahwa tidak ada orang lain di
dunia ini untuknya selain kau."
Mereka terganggu oleh Julia yang sedang berjalan melewati pintu
dengan suaminya, Tim. Becky, Angie, dan Aidan mirip ibu mereka,
sedangkan Julia dan Liz memiliki rambut dan mata gelap
menyerupai Patrick. Julia memberi Aidan pelukan cepat sebelum
melambaikan jarinya ke Patrick. "Pop, aku tidak percaya butuh
roboh dulu di VFW sampai akhirnya kau mau diperiksa!"
Patrick memutar matanya. "Aku akan pergi ke dokter minggu
depan." "Selalu menjadi orang yang keras kepala," jawab Julia, sambil
menjepit hidungnya. "Aku hanya bersyukur kau tidak sendirian.
Terima kasih Tuhan, Emma ada disana, dan kau begitu dekat pos
pemadam kebakaran." Penyebutan nama Emma membuat indra Aidan meningkat. Dia pergi
sudah begitu lama untuk mendapatkan minuman. "Berbicara tentang
Em, lebih baik aku pergi mencarinya."
"Kau seharusnya melakukan itu, Nak."
"Dia sedang berada di lorong ketika kami masuk," jawab Julia.
Saat Aidan berbalik, ia tersandung kakinya sendiri, hampir
merobohkan Tim. Julia meraih lengannya untuk menyeimbangkan
dia. "Hati-hati, Dik. Aku berpikir dia tidak akan melarikan diri.
Belum." Kemudian dia mengedipkan mata pada Aidan.
"Terima kasih, Jules," gumamnya pelan. Ketika ia melangkah keluar
ke lorong, ia menjulurkan lehernya ke kiri dan kanan, tapi dia tidak
melihat Emma. Berjalan dengan cepat, ia menekan tombol pintu
masuk 'hanya untuk Personil yang berwenang' dan berjalan masuk
ke ruang tunggu. Duduk merosot di salah satu kursi, jari Emma
mengirim pesan teks singkat dengan marah di teleponnya.


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Em?" Emma melompat mendengar suaranya. "Aku, eh, kupikir kau dan
keluargamu membutuhkan beberapa ruang."
"Sangat manis, tapi kau tidak perlu diluar," katanya.
Emma membalas tatapannya sampai pipinya merona, dan dia
menundukkan kepalanya. "Aku baru saja mengirim pesan apakah
Casey atau Connor bisa mengantarku untuk mengambil mobilku."
"Aku akan mengantarmu," Aidan menawarkan.
Emma menggigit bibir bawahnya, Aidan tahu Emma sama sekali
tidak menyukai usulannya itu. "Well, karena sekarang malam
minggu, aku tidak mendapat jawaban salah satu dari mereka jadi..."
"Bagus. Kalau begitu ayo." Aidan mengulurkan tangan kepadanya.
Emma menatapnya dengan hati-hati. "Ayo kita pamit pada Pop."
Dengan ragu-ragu, Emma menerima uluran tangannya. Aliran listrik
melonjak dari jari-jari Aidan sepanjang jalan sampai lengannya. Dari
ekspresi tertegun Emma, dia bukan satu-satunya yang mengalami hal
itu. Aidan tidak membiarkan lepas sampai Emma menarik tangannya
dari Aidan. Dia tidak ingin berdebat dengan Emma. Sebaliknya, ia
menekan tangannya ke punggung Emma, membimbingnya menuju
kamar Patrick. Ketika mereka sampai di ambang pintu, mereka menemukan
ruangan itu kosong. "Oh, mereka pasti sudah membawanya ke lantai
atas." Sudut mulut Emma ke bawah merengut. "Aku tidak bisa pamit
padanya." "Aku akan mengirim pesan ke Julia untuk menyampaikan padanya
kalau aku akan mengantarmu pulang."
Emma menganggukan kepalanya tanda setuju.
Ketika mereka mulai kembali menyusuri lorong, Aidan berbalik
menghadap Emma. "Aku bisa menjemputmu pagi hari, jadi kau bisa
bertemu dia sebelum operasi."
"Aidan, aku - "
Aidan meringis. "Ya, kurasa aku orang terakhir di bumi ini yang kau
inginkan untuk menghabiskan waktumu, ya?"
Emma mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya. Sekali lagi,
aliran listrik berdenyut merasukinya, dan Aidan berjuang untuk
mengatur napasnya. "Aku hanya berpikir akan lebih baik kalau aku
menyetir sendiri, jadi kau tidak punya beban mengantarku pulang
besok setelah operasi Patrick."
"Percayalah. Pop memiliki saudari-saudariku yang akan
merecokinya." Aidan menyelipkan sejumput rambut yang menutupi
wajah Emma ke belakang telinganya. "Selain itu, kau tidak pernah
menjadi beban bagiku." Ujung jarinya menyentuh ringan di
lehernya, menyebabkan Emma menggigil.
Mata Emma melebar, dan ia tersentak menjauh. "Kita harus segera
pergi." Dia memutar tubuhnya dan mulai berjalan cepat kembali ke
ruang tunggu. Aidan hampir berlari untuk mengejar ketinggalan
dengan Emma. Ketika Emma mulai keluar pintu, Aidan meraih lengannya. "Tunggu
di sini. Aku akan mengambil mobil."
"Terima kasih," jawabnya, sambil merundukkan kepalanya.
Aidan melangkahkan kakinya dengan ceria saat ia mulai berjalan
menuju tempat parkir. Dia memiliki kesempatan untuk bersama
Emma lagi, dan Aidan akan membuat Emma untuk melihat
kebenaran jika itu adalah hal terakhir yang harus dia lakukan.
*** 1Angioplasty: disebut juga kateter balon, tindakan meniup pembuluh darah yang menyempit
Bab 4 Aidan baru saja menghentikan mobil di parkiran di pinggir jalan,
ketika ia melompat keluar. "Apa-" Emma mulai berbicara, tapi
kemudian ia menyadari bahwa Aidan keluar untuk membuka pintu
untuknya. Dia tidak bisa menahan alisnya naik ke atas tertuju pada
Aidan. "My, my, Tidakkah kita melihat seseorang yang begitu
gentleman malam ini?"
Aidan memberinya senyum kecut. "Jika kau benar-benar berhenti
sejenak dan berpikir tentang hal itu, aku selalu menjadi seorang
gentleman." Tubuh Aidan mengalami getaran kecil ketika Emma
menyilangkan tangannya di atas dadanya sendiri. "Well, setidaknya
sebagian besar." "Mungkin saja," jawab Emma. Aidan memberi isyarat pada Emma
untuk masuk ke dalam. Dengan dinginnya udara yang menusuk,
Emma dengan senang hati menyelip masuk ke jok kulit hangat mobil
Aidan. Aidan menutup pintu kemudian bergegas berputar untuk duduk di
belakang kemudi. "Udara sangat dingin untuk bulan Oktober, kan?"
Gumannya. Getaran berjalan menelusuri seluruh tubuh Emma seperti air hujan
mengalir ke anak sungai. Seketika Emma mengingat percakapan
mereka di tempat parkir setelah Aidan pertama kali mengajukan
proposi padanya di O'Malley.
Aidan gugup saat itu dan membicarakan masalah lalu lintas.
Sekarang Emma tahu bagaimana gugupnya Aidan karena dia
terpaksa berbicara tentang cuaca. Kenangan itu tanpa sengaja
menyentuh sebuah saraf yang nyeri, mengirimkan rasa sakit
kerinduan pada masa lalu menjalar ke tubuhnya.
Untuk meredakan dinginnya emosi, Emma mengusap tangannya
sendiri secara bersamaan. Aidan mengulurkan tangan dan
menyalakan pemanas. Emma melirik padanya. Jantungnya berdegup
liar pada perhatian terus-menerus dari Aidan. "Terima kasih."
"Kau ingin makan malam?" Tanya Aidan.
"Aku benar-benar tidak lapar," dia berbohong.
Aidan mendengus. "Aku menebak Dr. Nadeen memberimu makan,
benarkan?" Emma menegang mendengar kata-katanya yang menusuk. "Dia
hanya membawakan aku makanan ringan."
"Well, Kau butuh makan." Dia berpaling dari jalan untuk menatap
Emma. "Demi Noah, jika bukan untukmu."
Emma menyipitkan matanya ke arah Aidan. "Aku tahu apa yang
dibutuhkan Noah, terima kasih."
Aidan meringis. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk
mengatakannya seperti itu." Aidan menarik napasnya dengan kasar.
"Hanya saja kupikir kau harus makan untuk dia, meskipun kau
masih sedih tentang apa yang terjadi hari ini dengan Pop."
Ketulusan dalam suaranya, bersama dengan belas kasihnya, telah
melunakkan hati Emma. Matanya melihat tubuh Aidan yang lebih
kurus. Patrick tidak melebih-lebihkan ketika ia mengatakan Aidan
jarang makan. "Dari penampilanmu, kau seharusnya makan juga."
Rahang Aidan menegang. "Mungkin jika kamu mau makan
denganku, aku akan makan."
Emma tahu, hal terakhir di dunia yang harus dia lakukan adalah
setuju untuk makan malam. Tapi dia merasa ketetapan hatinya
perlahan pudar saat perut pengkhianatnya menggeram. Emma
meringis ketika hal itu membuat Aidan menyeringai padanya.
"Hmm, jadi kau lapar" Ataukah hanya teman makan malamnya yang
ingin kau tolak?" Emma memutar jari-jarinya masuk ke keliman baju atasannya.
"Jangan berdebat lagi, oke?" Saat memandang ekspresi penuh harap
Aidan, Emma mendesah. "Bawa aku makan malam."
Sudut mulut Aidan naik ke atas, dan Emma tahu Aidan sedang
menekan senyumnya yang berseri-seri.
Ketika Aidan berhenti di sebuah tempat parkir yang begitu familiar,
Mau tidak mau Emma terkesiap. "Di sini?" suara Emma mencicit
melihat kerlip neon hijau dan jingga bertuliskan O'Malley.
Aidan mengangkat bahu saat ia mematikan mesin. "Ini adalah
tempat pertama yang aku lihat. Selain itu kita berdua menyukai
makanan dan suasana disini, kan?"
Serbuan kenangan terasa menyakitkan telah menabraknya seperti
gelombang laut di tengah badai yang bergolak. "Kurasa ya,"
gumamnya. Selalu bersikap gentleman, Aidan menahan pintu restoran terbuka
untuknya. Untuk beberapa saat, dia bersyukur tidak melihat Jenny
berdiri di tempat hostess (penerima tamu). Kemudian jeritan tajam
menyebabkan Emma mengalihkan tatapan matanya menuju bar.
"Emma!" Pekik Jenny. Wajahnya berseri-seri saat ia melompat dari
kursinya begitu cepat sampai jatuh ke lantai.
Bergegas setelah melompat, Jenny memeluk leher Emma. "Oh Ya
Tuhan! Aku tidak percaya ini!"
Kehangatan memenuhi pipi Emma serta hatinya melihat antusias
Jenny yang berlebihan. "Aku juga senang melihatmu."
Jenny menarik diri. Mata birunya menyala dengan kebahagiaan saat
ia melihat penampilan Emma. "Kau tampak benar-benar
menakjubkan!" Tatapannya tertuju pada perut Emma yang menonjol.
"Man, aku berharap aku terlihat seksi seperti penampilanmu ketika
aku hamil!" Emma tertawa dan menaruh tangannya di atas perutnya." Terima
kasih. Aku justru tidak merasa seksi saat ini."
"Percayalah, kau terlihat seperti itu, Mama Seksi! Sial, kau hampir
tidak terlihat sedang hamil, dan kau seharusnya terlihat hamil,
seperti enam bulan sekarang, kan?"
Emma mengangguk . "Selamat atas calon anak laki-lakimu."
"Terima kasih."
Jenny mengalihkan perhatiannya kepada hostess. "Kenapa kau tidak
mengantar Aidan masuk menuju ke salah satu bilik" Aku ingin
mendengar lebih banyak tentang bayinya."
Dengan mengangguk, hotness meraih dua menu dan memberi isyarat
pada Aidan. Aidan dengan enggan mengikutinya. Dia bahkan
melemparkan beberapa tatapan hati-hati dari balik bahunya ke
Emma. Jenny meraih tangan Emma dalam genggamannya. Ekspresi
riangnya segera memudar menjadi simpati. "Aku hanya ingin kau
tahu bagaimana khawatirnya kami dengan Aidan. Pada mingguminggu pertama ayahku
harus mengantarnya pulang beberapa
malam." Air mata menggenang berkilauan di matanya. "Kami takut
kami akan kehilangan dia."
Emma tercekat. Sebelum dia bisa menjawab, Jenny menggelengkan
kepalanya. "Dengar, aku tahu dia mengacaukannya. Aku mencoba
untuk memperingatkan dia ketika ia memiliki keberanian untuk
membawa pelacur itu kesini."
"D-Dia membawanya..."
Jenny menganggukkan kepalanya. "Kadang-kadang aku berharap
aku tidak menolak saat dia memesan meja. Kurasa mungkin jika ia
mau berpikir tentang hal itu sedikit lebih lama ia tidak akan pernah
membawanya pulang." Dari atas bahu Jenny, Emma melihat Aidan menatap penuh harap
kepadanya. "Aku harus pergi." Dia mulai menarik tangannya, tapi
Jenny meremasnya dengan ketat.
"Aku tidak tahu apa yang aku akan lakukan jika aku ada di posisimu.
Aku berharap dan berdoa aku tidak akan pernah mengalaminya. Tapi
aku tahu aku belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih
sengsara karena mengacaukan semuanya sepanjang hidupku. Dia
begitu tertekan oleh perasaan bersalah dan penyesalan, sehingga
membuat kami takut hal itu akan menghancurkan dirinya."
Emma tidak tahu harus berkata apa, jadi dia hanya menyentakkan
kepalanya mendengar pengakuan Jenny. Dengan langkah goyah, ia
berjalan menuju ke Aidan. Untungnya, pelayan tidak menempatkan
mereka di tempat yang sama dimana mereka pernah kemari
sebelumnya. Aidan hanya memesan minuman mereka. Karena Emma tidak
minum kafein sejauh ini, ia tidak meminta sesuatu yang lain
daripada Coke yang sudah di atas meja. Setelah meminum seteguk,
Emma mulai melihat menu. Melirik keatas, dia bertanya, "Makanan
apa yang enak?" Aidan mengangkat bahu. Emma bisa tahu dari cara Aidan memutar
bolak-balik bibir bawahnya diantara giginya kalau Aidan bergumul
dengan sesuatu. Emma membuka mulutnya untuk bertanya pada
Aidan ketika pelayan mereka kembali. "Apa yang bisa saya sajikan
untuk anda?" Emma menatap menu. "Hmm, aku mengalami kesulitan untuk
memutuskan." Ketika dia mendongak, dia bertemu mata sendu
Aidan. Emma tahu dia harus melakukan sesuatu untuk meredakan
sedikit ketegangan ini. "Apakah kau yang membayar?"
Alisnya berkerut. "Boleh. Kenapa?"
Emma menyeringai. "Bagus. Aku bingung antara memesan sajian
yang lebih murah atau sesuatu yang lebih mahal. Tapi karena kau
yang membayar, aku akan memanjakan diriku sendiri."
Ketika Emma mengedipkan mata padanya, senyum lambat
tersungging di bibir Aidan. "Pesan seluruh menu sialan itu. Aku
tidak keberatan." "Kurasa aku ingin Ribeye, matang, dengan sayuran kukus. Dan aku
ingin salad juga dengan saus mustard madu."
Sambil mengangguk, pelayan menuliskan pesanan. Dia kemudian
beralih ke Aidan. "Dan bagaimana dengan Anda?"
"Hanya bir saja untukku," jawab Aidan.
Pelayan mulai akan meninggalkan mereka menuju dapur, tapi Emma
memukul kepalan tangannya di atas meja. "Oh tidak, tidak! kau tidak
hanya akan duduk disana dan minum seperti seekor ikan. Kau lebih
baik memesan sesuatu dan lakukan itu sekarang! Itu bagian dari
kesepakatan, ingat?"
" Em, aku tidak ingin-"
Emma mengalihkan tatapan bermusuhan dari Aidan ke pelayan yang
tampak sedikit pucat melihat ketegangan yang telah berkembang.
"Dia pesan steak Porterhouse, setengah matang, dengan banyak
kentang panggang. Kau juga dapat membawakannya tambahan
kentang tumbuk bumbu bawang putih karena dia kecanduan
karbohidrat dan kentang. Dia juga pesan salad, salad Caesar. Dan
bisakah kau bawakan sekeranjang roti dengan banyak mentega
secepat mungkin, please?" Emma memiringkan kepalanya ke arah
Aidan. "Dia sangat menyukai rotimu hingga dia bisa hanya dengan
makan itu saja." Aidan menatapnya dengan kaget. Pena pelayan melayang di atas pad
sampai Aidan mengangguk-angguk setuju. "Baiklah. Aku akan
menaruh pesanan anda di dapur dan membawakan roti."
"Terima kasih," jawab Emma sambil menyodorkan menu. Setelah
meneguk Coke, ia menemukan Aidan menatapnya. "Apa?"
"Kau ingat apa yang aku sukai," gumamnya.
Emma membanting gelasnya lebih keras daripada yang dia ingin
lakukan. "Tentu saja aku tahu. Satu-satunya hal yang mudah
diprediksi selain libidomu adalah perutmu. Kau memesan makanan
yang sama setiap kali kita datang ke sini."
Senyum menggoda samar-samar bermain di bibir Aidan. "Jika aku
tidak menghabiskan isi piringku, apakah kau akan memukul
pantatku, Mommy?" Emma menyilangkan tangan di depan dadanya. "Tidak, tapi aku
akan memaksamu makan karena kau bersikeras bertindak seperti
balita yang sedang sialan merajuk!"
Aidan membawa satu tangan ke dadanya sendiri. "Ouch, Em."
"Jangan mulai denganku, Aidan. Kau tampak seperti neraka, dan kau
membutuhkan lebih banyak makanan daripada alkohol setiap


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu." Aidan menjatuhkan siku di meja dan mencondongkan tubuh ke
depan. "Tidak adil, bukan?"
"Apa?" "Bahwa aku terlihat seperti neraka, tapi kamu tampak begitu sialan
cantik." Suara kepedihan datang dari jauh di belakang tenggorokan
Aidan saat ia menatap atasan baju hamil warna hijaunya. "Dan kau
mengenakan warna hijau seperti malam pertama kali aku
melihatmu." Salah satu tangannya di ulurkan untuk mengosok
tangan Emma. "Ya Tuhan, kau masih wanita paling cantik yang
pernah kulihat." Emma menghembuskan nafas dengan frustrasi. "Aku tidak ingin
atau butuh rayuanmu atau pujianmu, terima kasih banyak!"
Aidan memberikan tatapan terluka padanya. "Tidak bisakah aku
mengatakan pada ibu dari anakku bahwa ia terlihat sangat cantik"
Bagaimana kehamilan telah membuat perutnya membesar menjadi
seorang wanita yang lebih cantik dan seksi."
Jantung Emma terhenti kemudian berdetak lagi mendengar kata-kata
dan gairah didalamnya saat Aidan menyampaikan itu. Kilau di mata
Aidan menimbulkan respon di antara pahanya juga. Dia ingin
menampar tubuhnya yang berkhianat serta hormon kehamilan yang
telah memompa keseluruh tubuhnya.
"Apa yang kubutuhkan lebih dari pujian, aku ingin kau berubah,
Aidan," katanya, lirih.
"Apa maksudnya?" Tanyanya.
Berbekal keranjang roti, pelayan berdiri di depan meja. "Mmm, ini
yang Anda pesan." Hampir dibilang dia melemparkannya sebelum
berlari menjauh. Mengabaikan pertanyaan Aidan, Emma memotong sepotong roti.
Setelah mengolesi dengan cukup banyak mentega untuk menaikkan
kolesterol seseorang, ia memberikannya pada Aidan. Aidan tidak
memprotes. Sebaliknya, ia mengambil potongan roti itu dari Emma,
membiarkan jari-jarinya tetap memegang jari Emma lebih lama dari
yang seharusnya. Setelah Aidan menelan roti hampir seluruhnya,
Emma tersenyum penuh kemenangan padanya. "Aku tahu kau
lapar," kata Emma, saat dia menyerahkan potongan roti yang lain.
"Lapar padamu," jawabnya, dengan suara kesakitan.
Sambil memejamkan matanya, Emma menggeleng. "Tolong jangan."
"Lihatlah aku," perintahnya.
Dengan enggan, Emma membuka matanya untuk menatap mata biru
pastel Aidan yang menyala. "Itulah sialan kebenarannya! Kau tidak
tahu apa yang aku lalui karena kau tidak mau berbicara denganku!
Kau tidak membiarkan aku minta maaf atau membicarakannya. Kau
sialan menutup diri dariku." Aidan bergidik. "Di dalam tubuhku
sudah mati tiga minggu terakhir. Tapi sekarang saat aku
bersamamu ... " "Biar kutebak. Sekarang kau kembali di hadapanku, kau seperti
kupu-kupu muncul dari kepompong?" Bentak Emma dengan sinis.
"Teruslah berbicara seperti itu kepadaku, aku akan berhenti makan."
Emma mengertakkan giginya. "Aku senang melihat kau masih
bertindak tidak masuk akal."
Dia mengedipkan mata pada Emma saat Aidan menghabiskan
potongan roti yang ketiga. Emma memutar serbetnya dengan marah
di pangkuannya. "Kau bertindak seperti kau satu-satunya orang yang
menderita." Wajah Aidan tersentak. "Maksudmu, kau merindukan aku?"
Tanyanya, suaranya bergetar karena emosi.
"Tentu saja, ya! Bagaimana mungkin kamu bahkan menanyakan hal
seperti itu?" Bahu Aidan merosot. "Aku hanya menduga ketika kau tidak mau
berbicara denganku karena kebencianmu menang dari apapun yang
kau rasakan padaku."
"Kebencianku kepadamu memang menyulut emosiku yang sudah
terlalu banyak." "Touche," jawabnya, mengangkat birnya ke atas.
"Entah bagaimana kau lupa bahwa apa yang seharusnya menjadi
salah satu hari yang terindah dalam hidupku telah diinjak-injak dan
diludahi oleh orang yang aku cintai dan ayah dari anakku!"
Rasa tersiksa berdenyut di mata Aidan saat ia perlahan-lahan
menjauhkan botol dari bibirnya. "Ya Tuhan Em," gumamnya.
Ekspresi kesakitan Aidan membuat kewalahan Emma, dan dadanya
naik turun dengan nafas kasar terengah-engah. Akhirnya Emma
menemukan suaranya lagi. "Maafkan aku, tapi itulah kebenarannya.
Percayalah, Aku mungkin terlihat lebih baik daripadamu, tapi aku
tidak baik. Aku hanya merasa sangat kesakitan di dalam. Aku tidak
bisa mengalami kekosongan pikiran lagi kali ini seperti ketika aku
kehilangan Travis atau ibuku. Aku memiliki Noah untuk dipikirkan."
Tawa getir bergemuruh dari dada Emma. "Jadi kau mungkin berpikir
tiga minggu terakhir telah menjadi seperti neraka bagimu, tetapi kau
bisa meyakini bahwa aku merasakan itu sama banyaknya atau
bahkan lebih!" Menyambar serbet dari pangkuannya, Emma
mengusap air matanya yang panas menusuk sudut matanya.
Dagu Aidan gemetar. "Aku bersumpah demi Tuhan aku berharap aku
bisa menariknya kembali," bisiknya.
Dia mengulurkan tangannya pada Emma, tapi Jenny muncul dengan
membawa salad mereka. Emosi Emma tiba-tiba berubah, dan dia
merasa ngeri bahwa permusuhan mereka yang jelas terlihat telah
menakuti pelayan lain. Selama beberapa menit, mereka tidak
berbicara. Tampaknya sudah terlalu banyak yang terjadi diantara
mereka untuk mengatakan hal lain. Pada saat Emma dengan anggun
memotong selada, mengoleskan saus saladnya, dan menggigitnya,
Aidan telah menghabiskan seluruh saladnya.
Garpu Emma berhenti di depan mulutnya saat melihat jari-jari Aidan
masuk dan keluar dari mulutnya. Lidahnya menjilat dan mengisap
setiap sisa saus salad yang menempel. Diserang oleh kenangan,
tubuhnya bergetar saat ia mengingat jari-jari dan lidahnya terasa
seperti apa. Dengan perasaan membara, ia mencoba melihat
kemanapun kecuali mulutnya yang tampak nikmat itu. Apa yang
salah denganmu" Hal terakhir di bumi ini yang kau harus pikirkan
adalah tentang seks dengan Aidan! Hormon kehamilan seperti naik
roller coaster, membuat Emma tampak sialan ingin membungkuk
untuk meluncur tentu saja pada kegilaan seks itu.
Ketika ia bertemu tatapan Emma, pipi Aidan yang cekung memerah.
"Maaf. Aku tidak sengaja bertindak seperti manusia gua."
"T-Tidak, tidak apa-apa. Aku senang melihatmu makan dengan
lahap. Kau jelas sangat lapar."
Dia menatap Emma dari balik bulu matanya yang panjang. "Tapi
terlalu keras kepala untuk mengakuinya, kan?"
Emma menelan saladnya. "Kau tidak pernah bisa mengakui apa yang
seharusnya kau lakukan," katanya lembut.
"Aku tahu," gerutunya, sambil menyambar potongan terakhir roti.
Emma mendesah. "Maksudku apa yang aku katakan tentang dirimu
yang perlu untuk memperbaiki diri. Kau harus mengurus dirimu
sendiri. Aku tidak suka kau minum secara berlebihan - hal itu
membuatku khawatir untuk kesehatan dan keselamatanmu. Terlepas
dari apa yang terjadi pada kita, kau masih akan menjadi seorang
ayah. Aku tidak dapat memiliki seorang pemabuk di - " Emma
berhenti sejenak. "Maksudku, dalam kehidupan bayi kita."
Tatapan tersiksanya tertuju Emma saat Aidan mengunyah. "Jadi aku
masih bisa terlibat dalam kehidupan Noah, hanya saja tidak
denganmu?" Tidak tahu bagaimana menanggapinya, Emma memutar-mutar
saladnya dengan garpu. "Em?" Suara Aidan menekannya.
"Aku tidak akan pernah menjauhkanmu dari Noah jika kau benarbenar ingin menjadi
bagian dari hidupnya."
Jenny menyela mereka dengan membawa piring mereka. "Semuanya
baik-baik sejauh ini?"
Emma memaksa diri untuk tersenyum karena hampir mengerti
maksud dari pertanyaannya. "Rasanya lezat terima kasih."
"Aku ingin beberapa roti lagi," kata Aidan.
Jenny mengangguk. "Aku akan membawakan itu."
Mereka kembali ke suasana hening lagi. "Kau harus makan
saladmu," akhirnya Aidan berkata.
"Oh, jadi sekarang kau menyuruhku untuk makan?"
"Kau seharusnya makan banyak sayuran berdaun hijau karena
mengandung asam folat."
Emma mengangkat alisnya karena terkejut. "Bagaimana kau tahu
itu?" Dengan mulut yang penuh kentang panggang, Aidan berkata, "What
to Expect While You're Expecting."
Detak jantungnya bergemuruh di dadanya begitu keras hingga Emma
yakin Aidan bisa mendengarnya. "Kau benar-benar membaca buku
panduan tentang kehamilan yang kuberikan padamu?"
Dia mengangguk sambil melahap satu gigitan steak. "Membaca
beberapa buku yang lain juga," gumamnya di antara kunyahan.
Emma menatapnya dengan tidak percaya. Ketika akhirnya Aidan
menatapnya bukan pada piringnya sendiri, ia menyeringai. "Jadi
makanlah saladmu." Sambil mengerutkan bibirnya, dia memelototi Aidan sejenak
sebelum mengambil garpunya. Setelah dia mengisi mulutnya dengan
gigitan besar selada, Emma bergumam, "Puas?"
"Mmm, hmm. Makan steak-mu juga. Noah butuh proteinnya."
Emma mendengus karena jengkel tapi dia melakukan apa yang
diperintahkan Aidan. Ketika ia menghabiskan salad dipiringnya,
Aidan bertepuk tangan untuknya. Emma tertawa meskipun hal itu
ditujukan untuk dirinya. "Aku tidak berpikir ada dua orang yang
begitu terobsesi dengan satu hal tentang makan," katanya sambil
merenung. "Kurasa kita berdua mendapatkan keuntungan dari memiliki
seseorang yang mengurus kita."
"Mungkin," gumam Emma.
Setelah mendorong piring kosongnya menjauh darinya, ekspresi
Aidan bertambah serius. "Aku ingin memberitahumu tentang
kebenaran apa yang terjadi dengan Amy."
"Aku sudah tahu." Melihat ekspresi kebingungan Aidan, dia
menjawab, "Becky menceritakan padaku tentang bagaimana kamu
mencoba selama setahun untuk mendapatkan dia kembali.
Bagaimana kau menjadi seorang pecandu a;kohol...harus pergi ke
terapi. Hal itu benar-benar tidak mempengaruhi kita."
Aidan meringis. "Yeah, well, itu hanya sebagian dari cerita."
Rasa dingin merasuki Emma, menyebabkan dia bergidik. "Apa
maksudmu?" "Hanya Amy, Pop, dan aku tahu kebenaran yang sesungguhnya."
Aidan menenggak sisa birnya dan mengguncangkan botolnya ke
arah pelayan saat ia lewat.
"Jadi, ceritakan padaku," pinta Emma.
"Setelah beberapa tahun kami bersama-sama, Amy ingin sekali kami
menikah." Dia menarik napasnya dengan kasar. "Dia begitu putus
asa sehingga ia bertindak jauh untuk mencoba menjebakku agar
menikahinya." Dunia miring dan berputar di sekeliling Emma. "Maksudmu..."
"Ya, dia hamil."
Tangannya melayang ke mulutnya. "Ya Tuhan."
"Untuk kedua kalinya kami kembali bersama-sama kami tidak
bertindak secara kompetitif, sehingga dia mulai membahas topik
untuk tidak melakukan kontrasepsi ganda lagi. Setelah beberapa
waktu berlalu, dia akhirnya bisa membujukku untuk tidak memakai
itu. Dia minum pil KB, jadi aku pikir itu sudah cukup. Aku berhenti
menggunakan kondom."
Emma melengkung alisnya mendengar pengakuan Aidan. "Kau
bilang aku wanita pertama denganmu tanpa kondom."
Aidan merengut padanya. "Yeah, well, maafkan aku jika pada saat
itu aku pikir hal itu benar-benar akan mengacaukan momen kita
dengan mengakui bahwa setelah dua kali tidak memakai kondom,
mantan pacarku hamil." Aidan tertawa kasar melihat Emma yang
terkesiap. "Yeah, aku cukup berpotensi, kan" Karena itulah aku
yakin aku akan menjadi kandidat yang baik untuk membuatmu
hamil." "Itu cara yang menjijikkan untuk diungkapkan," Emma mendesis.
Ekspresi Aidan melunak. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud
mengatakannya seperti itu."
"Jadi saat Amy hamil, dia masih minum pilnya?"
Senyum getir kemudian berputar di wajah Aidan. "Oh tidak.
Kehamilan tidak diinginkan" Hal itu akan menjadi mudah untuk
memaafkan. Lagipula, petunjuk sialan pada kotak pil bahkan tertulis
hanya 98 % efektif." Jari-jari Aidan merobek label pada birnya.
"Tidak. Dalam setahun kami kembali bersama dan aku melarikan
diri seperti neraka dari komitmen apapun, dia berhenti memakai
kontrasepsi tanpa sepengetahuanku."
"Oh Aidan," gumam Emma. Dia tidak tahu apa lagi yang harus
dikatakan. "Jadi kau mencoba memberitahuku kalau kau memiliki
anak di luar sana?" Ekspresi kemarahan seakan terkuras dari wajahnya dan digantikan
oleh kesedihan murni. "Aku berharap itulah yang terjadi."
Emma tidak bisa menahan diri untuk mengulurkan tangannya ke
seberang meja dan menggenggam tangan Aidan dengan tangannya.
"Apa yang terjadi?" Desaknya.
Pelayan kembali dengan membawa bir, dan Aidan meneguk setengah
botol sebelum berbicara lagi. "Beberapa minggu sebelum aku tahu
dia hamil, Amy dan aku keluar berpesta dengan beberapa teman, dan
aku sangat mabuk. Malam itu ketika aku sedang mencari Advil di
dalam lemari obat, dengan tidak sengaja aku menjatuhkan pil KBnya
di wastafel. Kau bisa bayangkan bagamana terkejutnya aku ketika
pilnya tidak di minum, belum lagi resep itu tidak ditebusnya dalam
dua bulan. Ketika aku menanyakannya, dia mengakui kalau dia
berhenti meminum pilnya karena dia pikir seorang bayi akan
memperkuat hubungan kami."
Aidan bergidik. "Aku sangat marah. Aku menceritakan semuanya ke
orangtuaku. Aku menolak untuk berbicara dengan Amy atau
melihatnya." Dia membungkuk ke depan dengan bersandar pada
sikunya. "Agaknya seperti apa yang telah kau lakukan untukku."
Emma memutar matanya. "Selesaikan cerita sialanmu, Aidan."
Aidan mengangkat tangannya. "Baiklah. Dia akhirnya datang ke
kantorku dan menunjukkan kepadaku hasil tes kehamilan itu." Dia
tersenyum sedih pada Emma. "Fakta bahwa Amy yang kupikir sudah
aku kenal dan aku cintai telah mengkhianati aku dengan menjebakku
untuk menikah adalah sangat mengerikan, tetapi bagian terburuk
adalah fakta ketakutanku keluar dari pikiranku yang panik melihat
prospek aku akan menjadi ayah pada umur dua puluh empat." Dia
mengambil dua tegukan agak banyak dari birnya. "Aku yakin kau
bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya."
Perut Emma berputar pada prospek itu. "Teruskan," perintahnya.
Aidan menyeringai padanya. "Kau ingin aku benar-benar
mengucapkan kata-katanya?"
"Baik. Saat itulah Amy menangkap kau meniduri wanita lain."
"Ya," katanya parau.
Emma menyipitkan matanya. "Wow, kurasa kami memiliki banyak
kesamaan. Mungkin kami harus memakai t-shirt yang bertuliskan,
'Kami berdua telah disakiti oleh Aidan Fitzgerald'!"
"Em, please," pintanya.


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Emma mendengus sambil menghembuskan napasnya dengan
jengkel. "Baik. Teruskan."
"Amy mengusirku keluar dari rumah malam itu. Keesokan paginya
aku kembali lagi dan mencoba memberi alasan kepadanya. Aku
bilang aku menyesal, bahwa aku mencintainya, dan bahwa meskipun
apa yang terjadi antara dia mencoba menjebakku kemudian aku
meniduri orang lain, aku masih ingin menikahinya. Tapi dia tidak
menginginkannya. Dia masuk ke mobil dan melaju dengan cepat. "
Alis Emma melonjak naik karena terkejut melihat air mata
berkilauan di mata Aidan. "Dia ngebut dan terus melaju walaupun
ada tanda berhenti di kompleks perumahan karena mencoba menjauh
dari aku. Sebuah mobil menabrak di sisi pengemudi. Untungnya,
yang tertabrak bagian belakang dan dia hanya mendapatkan
beberapa luka goresan dan memar." Dadanya naik dan turun dengan
nafas kasar terengah-engah. "Tapi dia keguguran hari itu."
Tanpa sadar, Emma mengulurkan tangan dan meraih tangan Aidan
lagi. Ekspresinya, air matanya, dan kata-katanya telah
menghancurkan hati Emma. Semua potongan-potongan puzzle
Aidan akhirnya dia paham.
"Selama bertahun-tahun ini kau merasa bersalah tentang bayi itu,
kan?" Aidan mengangguk, mengusap air mata dari pipinya. "Aku tidak
pernah menginginkannya, dan kemudian aku ... membunuhnya."
Kemudian Aidan mulai terisak. Emma menggigit bibirnya dan
berusaha menahan diri untuk berdiri dari bilik dan mendekati Aidan.
Usahanya kalah, dan ia mendapati dirinya sedang memeluk Aidan
dengan lengannya. Emma tahu sosok Aidan yang sudah dewasa
tidak akan pernah menangis, apalagi di depan umum. Dia benarbenar kesakitan
karena dihantui oleh masa lalu dan sekarang.
Emma mengusap dengan memutari lebar-lebar di punggungnya.
"Kau tidak bisa disalahkan atas apa yang terjadi dengan bayi itu,
Aidan, Amy lebih bersalah karena dia mengemudi terlalu cepat dan
terus melaju walaupun ada tanda berhenti. Kecelakaan kadang
terjadi." Mengangkat kepalanya, Aidan mengusap air mata dari pipinya.
"Kecelakaan mungkin terjadi, tapi orang-orang tidak pernah
melupakannya...atau memaafkan yang terjadi."
Emma mengabaikan makna ganda pernyataan Aidan sehubungan
dengan dirinya. "Aku yakin waktu telah membantu untuk
menyembuhkan perasaan buruk yang dimiliki Amy denganmu. Aku
yakin dia berusaha melawan rasa bersalah dengan dirinya sendiri
atas apa yang dia lakukan padamu karena mencoba menjebakmu."
Aidan mengangkat bahu. "Aku berharap begitu. Dia jelas membantu
aku melakukan kekacauan dengan setiap wanita lain." Mata birunya
tertuju pada tatapan Emma. "Mungkin itulah aku, orang yang tidak
bisa dimaafkan. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan
melakukan kekacauan sampai begitu hebatnya denganmu."
"Mungkin," gumam Emma.
Jari-jarinya memegang dagu Emma. Memiringkan tatapannya untuk
bertemu dengan mata Aidan, Aidan menggelengkan kepalanya.
"Sebagian besar, proposisi kita adalah tentang aku ingin
mendapatkan kesempatan untuk berhubungan seks denganmu, dan
aku berjanji pada almarhum ibuku, suatu hari aku akan memiliki
anak. Tapi itu juga agar aku bisa menebus dosa pada diriku
sendiri...dan pada Tuhan. Kupikir jika aku bisa membantumu
memiliki bayi yang lahir ke dunia, mungkin itu akan menghilangkan
luka dari masa lalu."
Mulut Emma menganga karena terkejut. Selama beberapa saat, dia
hanya bisa menatapnya dengan sangat syok. Selama ini ternyata
Aidan benar-benar memiliki keinginan yang lebih dalam dan sangat
mengagumkan karena ingin menjadi donor spermanya.
"Apakah kau membenciku sekarang karena hal itu?"
Emma menggelengkan kepalanya bolak balik dengan kencang.
"Tidak, bagaimana mungkin kau bahkan berpikir seperti itu?"
"Kau hanya menatapku dan tidak mengatakan apa-apa. Aku pikir
mungkin kau merasa hanya digunakan untuk pelampiasanku atau
tertipu." "Sama sekali tidak. Bahkan, aku berpikir aku lebih menghormati kau
karena apa yang kau ceritakan padaku."
"Benarkah?" "Aku senang memiliki Noah adalah cara agar kau bisa bertobat
untuk apa yang sudah pernah kau lakukan. Tidak ada istilah terlalu
terlambat untuk menebus dosa, Aidan."
Sebuah harapan terlihat memasuki matanya yang tersiksa. "Aku akan
memberikan apapun dan segalanya di dunia ini untuk menebus
diriku kepadamu. Hanya tolong, tolong beri aku kesempatan."
Emma tidak bisa menahan lagi intensitas tatapan putus asa Aidan.
Menatap pangkuannya, Emma berjuang untuk mengambil napas.
Otaknya berputar mencoba untuk memproses keluar dari kontrol
pikirannya sedangkan dadanya menghela nafas dengan emosi.
Apakah dia benar-benar ingin memberi kesempatan Aidan untuk
menebus dirinya sendiri" Bisakah dia benar-benar melakukan itu
untuk dirinya sendiri dan hatinya" Dan jika dia menyangkal diri
Aidan, bagaimana Emma bahkan memiliki dia untuk menjadi bagian
dari kehidupan Noah tanpa membiarkan perasaannya turut terlibat"
"Kumohon, Em," pintanya.
"Kurasa aku bisa mencoba, " akhirnya dia menjawab. Ketika Emma
menatap kembali ke arahnya, mata birunya bersinar penuh dengan
tekad. "Aku tidak membuat janji apapun."
Aidan tersenyum. "Aku bisa menerimanya- aku dapat mengambil
apapun yang akan kau berikan kepadaku."
Jenny menyela mereka dengan membawa tagihan mereka. "Apakah
kalian ingin beberapa makanan penutup?"
Emma tertawa ketika dia tampaknya menanyakan itu padanya
daripada ke Aidan. Emma menepuk-nepuk perutnya yang sangat
penuh. "Tidak, aku pikir aku sudah kenyang."
Aidan menyelipkan tangannya ke dalam saku jaketnya untuk
mengambil dompetnya. Bahkan tanpa melirik tagihan itu, ia
memberikan segepok uang dalam amplop. Ketika Jenny mulai
memprotes akan kemurahan hatinya, Aidan menggelengkan
kepalanya. "Aku berutang banyak lebih dari itu padamu dan ayahmu
karena mengurusku dalam beberapa minggu terakhir."
"Kami sangat senang melakukannya." Jenny membungkuk dan
memberi Aidan pelukan cepat. "Berjanjilah untuk mengurus dirimu
sendiri, dan kita sebut itu impas, oke?"
Aidan mengangguk saat matanya terbakar ke Emma. "Aku sudah
merasa seperti diriku yang dulu lagi."
Emma memiringkan alisnya pada Aidan. "Marilah kita berharap
tidak setiap aspek dari dirimu yang dulu," katanya, lalu berdiri
keluar bilik. "Sialan, Em, apakah kau selalu harus mencabik-cabikku dengan
cakar sialanmu itu?" Gerutunya sambil berdiri.
Jenny melayangkan pandangan khawatir diantara mereka berdua
sebelum memaksa senyum ke wajahnya. "Well, aku berharap segera
melihat kalian lagi."
Emma memberi Jenny sebuah senyum meyakinkan. "Terima kasih."
Setelah memberikan pelukan cepat, Emma mulai keluar dari bar.
Aidan bergegas menyusulnya. Dia melangkah di depan Emma
sebelum dia bisa membuka pintu untuknya.
"Terima kasih," gumam Emma, berusaha mengabaikan adanya
sedikit aliran listrik ketika ia merasakan tubuh Aidan menyentuhnya.
Emma beringsut menjauh darinya saat mereka mulai kembali masuk
ke mobil Aidan. Perjalanan menuju VFW dalam keheningan kecuali
suara teredam radio yang menyiarkan lagu-lagu cinta seperti duri
yang menusuk hatinya yang hancur.
Ketika mereka berhenti di dekat mobil Emma yang ditinggalkan
disitu, dia tidak ingin meninggalkan Aidan. Tapi otaknya berteriak
kepadanya untuk menggerakkan tangan dan kakinya dan segera
Pendekar Sakti 5 Pendekar Slebor 39 Pulau Kera Pendekar Pedang Kail Emas 3

Cari Blog Ini