Ceritasilat Novel Online

Bulir Bulir Pasir Waktu 5

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon Bagian 5


Graciela mendapatkan dirinya tidak mampu mengusir
kegelapan dalam dirinya sendiri itu. Bertahun-tahun telah dilakukannya perjuangan melawan hasrat-hasrat dan
nafsu-nafsu iblis dalam tubuhnya, berusaha menutup
telinga terhadap bunyi-bunyi yang selalu menjadi
ingatannya, erangan dan helaan nafas yang datang dari tempat tidur ibunya.
Moor itu sedang melihat tubuhnya yang telanjang.
Kamu masih anak-anak. Pakailah pakaianmu dan
keluarlah dari sini. . Aku ini seorang wanita! Telah begitu banyak tahun dilewatinya berusaha
melupakan rasa Moor itu di dalam tubuhnya, berusaha
mengusir dari ingatannya, irama tubuh mereka bergerak bersama, memenuhi dirinya, memberikan padanya suatu
perasaan benar-benar hidup, pada akhirnya.
Ibunya yang menjerit: Kau, anjing betina!
Bertahun-tahun berdoa untuk membersihkan dirinya
dari kesalahan. Dan semua itu telah gagal, sia-sia.
Pertama kalinya Graciela memandang pada Ricardo
Mellado, seluruh masa lalu itu mengarus balik. Ricardo itu tampan dan lembut dan baik. Ketika Graciela masih kecil, ia
sering mengimpikan seorang seperti Ricardo. Dan sewaktu Ricardo berada di dekat dirinya, ketika pria itu
menyentuhnya, tubuhnya seketika terbakar dan ia dilanda rasa malu yang dalam. Aku ini pengantin Kristus, dan
pikiran-pikiranku itu pengkhianatan terhadap Tuhan. Aku milik-Mu, Jesus. Kini, tolonglah aku. Bersihkan pikiranku dari pikiran-pikiran cemar itu.
Graciela telah bergulat sekuat tenaga mempertahankan
tembok keheningan itu berdiri tegak di antara mereka, sebuah tembok yang tidak dapat ditembus siapa pun
kecuali oleh Tuhan, sebuah tembok yang menahan iblis di luar. Tetapi benarkah ia mau menahan iblis tetap di luar sana" Ketika Ricardo menerjang dan mendorong dirinya ke atas tanah, adalah Moor itu yang sedang meniduri dirinya, dan bruder yang mencoba memperkosa dirinya, dan di
dalam kepanikan yang lahir seketika itu, adalah mereka itu yang dilawannya. Tidak, ia mengaku pada diri sendiri, itu tidak benar. Adalah nafsu kuat di dalam dirinya sendiri yang dilawannya itu. Ia terbelah di antara jiwa dan nafsu lahiriahnya. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus kembali ke biara. Ia setiap saat akan kembali. Yah, Tuhan, apakah yang harus kulakukan"
Graciela mendengar suara meongan pelan dari bagian
dalam goa itu, ia cepat membalikkan badannya. Tampak
dua pasang mata hijau menyorot pada dirinya di dalam
kegelapan itu, bergerak ke arah dirinya. Jantung Graciela mulai berdebar cepat.
Dua anak srigala bertatih-tatih ke arah dirinya. Graciela tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah kedua
anak srigala itu. Tiba-tiba terdengar suatu suara dari mulut goa itu. Ricardo telah kembali, terkilas dalam benak
Graciela. Saat berikutnya, seekor srigala yang besar sekali dan berwarna abu-abu menerjang ke arah tenggorokan suster Graciela.
-odwo- BAB DUA PULUH TUJUH LUCIA CARMINE berhenti di luar taberna Aranda de
Duero itu dan menarik nafas dalam-dalam. Lewat jendela itu dapat dilihatnya Rubio Arzano duduk, menantikan
dirinya. Jangan sampai ia menduga sesuatu, pikir Lucia. Pada
pukul delapan aku sudah akan mendapatkan sebuah
pasport baru dan akan dalam perjalanan ke Swiss.
Lucia memaksa dirinya senyum dan masuk ke dalam
kedai itu. Rubio tersenyum lega ketika melihatnya, dan sorot mata pria itu menimbulkan suatu sentakan dalam
perasaan Lucia. "Aku telah berkhawatir sekali, querida. Kau pergi begitu lama, hingga aku khawatir terjadi sesuatu atas dirimu."
Lucia meletakkan tangannya di tangan pria itu.
"Tidak ada terjadi sesuatu." Kecuali bahwa aku telah membeli jalan ke kebebasan. Aku sudah akan keluar dari negeri ini esok.
Lucia memandang ke sekeliling kedai itu. Ruangan itu
penuh dengan orang-orang setempat. Banyak di antara
mereka itu memandang kepada Rubio dan Lucia yang asing di situ.
Seorang di antara orang-orang muda dalam kedal itu
mulai menyanyi dan yang lain-lainnya mengikutinya.
Seorang pria berjalan ke meja Rubio dan Lucia.
"Kalian tidak ikut menyanyi. Ikutilah kita bernyanyi."
Rubio menggelengkan kepalanya. "Tidak."
"Apa sebabnya, sobat?"
"Itu lagu kalian." Rubio melihat keheranan di wajah Lucia, dan ia menjelaskan, "Itu salah satu lagu lama yang memuji Franco."
Orang-orang lain di dalam kedai itu mulai mengelilingi meja Rubio dan Lucia. Jelas sekali mereka telah banyak minum.
"Anda menentang Franco, senor?"
Lucia melihat tangan Rubio dikepalkan. Ya, Tuhan.
Jangan sekarang. Janganlah Rubio memulai sesuatu yang akan menjadikan kita pusat perhatian mereka.
Dengan nada memperingatkan, Lucia berkata, "Rubio?"
Dan, puji Tuhan, Rubio mengerti.
Rubio memandang pada pria muda itu dan berkata
dengan ramah. "Aku sama sekali tidak menentang Franco.
Aku hanya tidak tahu kata-kata dalam lagu itu."
"Ah, kalau begitu kita bernyanyi tanpa kata-kata saja. "
Orang-orang itu tetap berdiri di situ menunggu
penolakan Rubio. Rubio berpaling pada Lucia. "Bueno. Baiklah."
Ketika lagu itu berakhir, seseorang menepuk bahu
Rubio. "Tidak jelek, sobat. Tidak jelek."
Rubio diam saja di situ, mengharapkan orang-orang itu meninggalkan mereka berdua.
Seseorang di antara mereka ternyata melihat bungkusan di pangkuan Lucia. "Apa yang Anda sembunyikan itu, querida?"
Temannya menambahkan. "Aku berani bertaruh ia
mempunyai sesuatu yang lebih hebat di balik roknya itu."
Orang-orang itu tertawa. "Mengapa tidak kaubuka celana dalammu dan memperlihatkan pada kita semua yang
kaupunyai di situ?" Rubio melompat berdiri dan menyambar leher orang
yang terakhir berbicara itu. Tinju Rubio melayang dan pria itu seakan-akan dilemparkan ke belakang, memecahkan
sebuah meja hingga berantakan.
"Jangan! " Lucia berseru. "Jangan lakukan itu!" Tetapi sudah terlambat. Seketika terjadilahpengeroyokan atas diri Rubio. Tetapi juga taburan di antara tamu-tamu di dalam kedai itu. Rubio masih sempat memukul roboh dua orang sebelum seorang mendesak ke depan dan memukulnya di
perutnya. Rubio mengerang kesakitan.
"Rubio mari kita keluar dari sini!" Lucia berteriak.
Rubio mengangguk, sambil memegang perut. Mereka
mencari jalan keluar dari antara keributan yang
menjadikan kedai itu bagaikan suatu medan pertemuran.
Dengan susah payah mereka berhasil keluar dan berada di jalanan.
"Kita harus segera menyingkir." Lucia berkata.
Malam ini akan kaudapatkan pasportmu. Kembalilah ke
sini pada pukul delapan. Hingga jam delapan itu, tidak ada tempat untuk
bersembunyi. Sialan benar! Mengapa Rubio tidak dapat
mengendalikan diri sendiri"
Mereka cepat berjalan melalui jalan Calle Santa Maria, dan suara ribut di kedai itu makin jauh dengan setiap langkah mereka.
Dua blok kemudian mereka sampai di sebuah gereja
besar, Iglesia Santa Maria. Lucia mengajak Rubio masuk ke dalam gereja itu.
"Kita akan aman di sini." Lucia berkata. Rubio masih saja memegang perutnya. "Kita dapat beristirahat di sini."
"Ya." Rubio berkata, dan tangannya diturunkannya dari perutnya, dan darah seketika mengalir ke luar dari situ.
Lucia merasa mau muntah. "Ya, Tuhan! Apa yang
terjadi?" "Pisau." Rubio berbisik. "Orang tadi menggunakan sebilah pisau." Dan Rubio terkulai ke atas lantai.
Lucia segera berlutut di sampingnya, dalam kepanikan.
"Jangan bergerak"
Dilepaskannya kemeja Rubio dan itu kemudian
ditekannya pada perut Rubio, berusaha menghentikan
mengalirnya darah itu. Wajah Rubio pucat pasi.
"Tidak semestinya kau berkelahi dengan mereka, tolol!"
Lucia berkata dengan marah.
Suara Rubio cuma berbisik, tidak jelas kata-kata yang diucapkannya. "Aku tidak dapat membiarkan mereka berbicara padamu seperti yang mereka lakukan itu."
Lucia terharu. Ia cuma dapat memandang pada pria itu, dan pikirnya: Sudah berapa kali pria
ini telah mempertaruhkan nyawanya untuk diriku"
"Aku tidak akan membiarkanmu mati." Lucia berkata dengan gemas. "Aku tidak akan membiarkanmu mati." Ia berdiri. "Aku sebentar akan kembali. "
Di belakang gereja itu, Lucia mendapatkan air dan
handuk dari kamar ganti pengawas gereja itu. Dengan itu dicucinya luka Rubio. Wajah Rubio terasa panas, dan
tubuhnya basah karena peluh. Lucia meletakkan handuk
basah di atas dahinya. Mata Rubio terpejam dan sepertinya pria itu telah tertidur. Lucia meletakkan kepala Rubio di pangkuannya dan ia terus berbicara kepadanya. Tidak
peduli apa yang dikatakannya. Ia berbicara pada Rubio untuk mempertahankan agar pria itu tetap hidup,
memaksanya bertahan. Lucia berbicara terus, takut
berhenti bahkan biar untuk semenit saja.
"Kita akan mengerjakan pertanianmu bersama-sama, Rubio. Aku mau bertemu dengan ibumu dan saudara-saudaramu. Kau pikir mereka akan menyukai diriku" Aku mengharap sekali mereka akan menyukai diriku. Aku juga seorang pekerja yang baik, caro. Sayangku. Kau akan
melihat sendiri kelak. Aku belum pernah bekerja di
pertanian, tetapi aku akan belajar. Akan kita jadikan perusahaanmu itu perusahaan pertanian yang terbaik di Spanyol."
Siang dan sore itu, hingga petang, dilewatkannya
berbicara pada Rubio, membasuh tubuh yang dalam
demam itu. Pendarahan sudah hampir berhenti.
"Nah, kaulihat, caro, Sayangku. Kau mulai sembuh. Kau akan sehat kembali. Sudah kukatakan begitu. Kau dan aku
akan mempunyai kehidupan bersama yang bahagia, Rubio.
Hanya. . hanya, janganlah kau mati!"
Lucia menyadari bahwa dirinya sedang menangis.
Malam telah tiba. Lucia menggantikan handuk basah
untuk mengompres dahi Rubio. Dan tiba-tiba terdengarlah lonceng gereja berbunyi. Satu. . tiga. . ima .. tujuh. . delapan.
Pukul delapan. Memanggil-manggil dirinya, memberitahukan sudah waktunya untuk pergi ke Casa de
Empenos, waktunya tiba untuk meloloskan diri dari impian buruk ini dan menyelamatkan dirinya sendiri.
Lucia berlutut di samping Rubio dan memegang dahi
pria itu. Rubio dalam demam tinggi dan tubuhnya basah kuyup karena keringat. Pernafasannya lemah. Lucia tidak melihat adanya pendarahan, tetapi itu dapat berarti bahwa terjadi pendarahan dalam. Terkutuk. Selamatkan dirimu, Lucia.
"Rubio, kekasihku?"
Pria itu membuka mata, hanya setengah sadar.
"Aku harus pergi sebentar." Lucia berkata.
Tangan Rubio mengencangkan genggaman pada tangan
Lucia. "Jangan?"
"Tidak apa-apa." Lucia berbisik. "Aku akan kembali."
Lucia bangkit berdiri dan memandang lama dan untuk
terakhir kalinya pada pria itu. Aku tidak dapat
menolongnya, pikirnya dalam hati.
Dipungutnya bungkusan salib itu dan ia bergegas keluar dari gereja. Matanya digenangi air-mata. Tukang gadai dan kemenakannya akan berada di toko itu, menantikan dirinya
dengan pasportnya yang berarti kebebasan. Esok pagi, pada waktu kebaktian pagi dimulai di gereja itu, mereka akan mendapatkan Rubio dan akan membawanya ke dokter.
Mereka akan merawatnya dan Rubio akan sembuh kembali.
Kecuali. . jika Rubio tidak dapat melewatkan malam ini, Lucia berpikir. Tetapi, yah, itu bukan masalahnya.
Casa de Empenos itu sudah tidak jauh lagi di depan saja.
Ia cuma terlambat beberapa menit. Ia dapat melihat bahwa lampu masih menyala di dalam toko itu. Kedua orang itu masih menunggunya.
Lucia berjalan lebih cepat, kemudian ia berlari.
Diseberanginya jalan itu dan menyerbu masuk lewat pintu yang terbuka.
Di dalam kantor polisi itu, seorang perwira duduk di
belakang mejanya. Mengangkat kepala ketika Lucia muncul.
"Aku memerlukan Anda." Lucia berseru. "Seorang pria telah ditusuk dengan pisau. Mungkin ia sedang sekarat."
Perwira polisi itu tidak mengajukan pertanyaanpertanyaan. Diangkatnya telepon dan berbicara sejenak.
Ketika meletakkan kembali telepon itu, ia berkata.
"Seseorang akan segera datang."
Dua orang detektif muncul.
"Ada orang yang kena tusuk senorita?"
"Ya, harap mengikuti aku. Cepat."
"Sekalian kita jemput dokter." Salah seorang detektir itu berkata, "Lalu dapat mengantar kami ke teman yang luka itu."
Setelah menjemput dokter itu, Lucia cepat-cepat
membawa mereka ke gereja.
Ketika memasuki gereja itu, dokter segera menyibukkan diri dengan sosok tubuh yang tergeletak dl atas lantai itu.
Sesaat kemudian ia bangkit berdiri. "Ia masih hidup, tapi nyaris. . Akan kupanggil ambulans "
Lucia berlutut dan dalam hati berkata. Terima kasih,
Tuhan. Telah kulakukan segala yang dapat kulakukan. Kini biarlah aku meloloskan diri dengan selamat, dan aku tidak akan merepotkan Dikau lagi.
Seorang dari dua orang detektif itu sejak tadi telah
memandang dan memperhatikan Lucia. Wanita itu seperti sudah pernah dikenalnya. Dan tiba-tiba sadarlah ia. Wanita itu mirip sekalf dengan gambar yang dimuat di dalam RED, edaran prioritas-tinggi dari Interpol.
Detektif itu membisikkan sesuatu pada temannya dan
mereka serentak, bersama-sama memperhatikan LucIa
dengan lebih cermat. Kemudian kedua orang itu mendekati Lucia.
"Maafkan kami, senorita. Sudikah senorita kembali
bersama kami ke kantor polisi itu" Ada beberapa
pertanyaan yang perlu kamu ajukan kepada senorita."
-odwo- BAB DUAPULUH DELAPAN RICARDO MELLADO berada tidak jauh dari goa
pegunungan itu, ketika dilihatnya seekor srigala besar berlari kecil ke arah mulut goa itu. Ricardo terpaku sejenak di tempatnya berdiri, dan sedetik kemudian ia bergerak
dengan kecepatan yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya. Ia melesat maju dan menyerbu memasuki goa
itu. "Suster! " Dalam terang samar-samar di dalam goa itu, Ricardo
melihat sosok besar berwarna abu-abu itu bergerak cepat ke arah Graciela. Secara naluri Ricardo mencabut pistolnya dan menembak ke arah srigala itu. Kena! Tetapi srigala itu kini berbalik dan meloncat ke arah Ricardo. Sesaat
kemudian, Ricardo dapat merasakan gigi tajam srigala itu merobek-robek pakaiannya dan bau keras dari mulut
srigala itu tercium olehnya. Srigala itu ternyata lebih kuat daripada yang diperkirakan Ricardo. Ricardo berusaha
membebaskan dirinya, tapi sia-sia. Ia merasa dirinya mulai hilang kesadaran. Ia cuma samar-samar melihat tangan
Graciela terangkat di atas kepalanya, dan ketika tangan itu mulai turun, dilihatnya sebungkah besar batu karang dl tangan itu. Terkilas dalam benak Ricardo: Ia akan
membunuh diriku. Sesaat kemudian batu karang itu melesat melewati
dirinya dan menghantam kepala srigla itu. Suatu erangan buas terdengar dan binatang itu tergeletak tanpa bergerak lagi di atas tanah. Ricardo terkulai di atas tanah, nafasnya tersengal-sengal.
Graciela berlutut di sisi Ricardo.
"Kau tidak apa-apa?" Suara Graciela itu bergemetar.
Ricardo menganggukkan kepala. Sejenak lamanya ia
tergeletak, mengumpulkan kembali tenaganya. Kemudian
ia bangkit berdiri dengan susah payah.
Mereka keluar dari dalam goa itu dengan terhuyunghuyung. Guncangan fisik dan emosional akibat nyarisnya
sentuhan mereka dengan maut telah menuntut tenaga
besar atas diri mereka. "Mari kita pergi dari tempat ini.
Tidak mustahil mereka akan mencari kita di sini."
Mereka berjalan di sepanjang jalanan pegunungan yang
sempit itu, sampai mencapai sebuah sungai kecil. Ricardo berkata, "Kita berhenti di sini."
Tanpa kain khasa dan tanpa obat antiseptik luka-luka
Ricardo dibersihkan dan dirawat sedapat-dapatnya. Lengan Ricardo dirasakannya kaku dan ia sulit menggerakkannya.
"Biar aku yang melakukan itu." Graciela tiba-tiba berkata.
Dan Ricardo heran dengan kelembutan Graciela melakukan itu
Kemudian, tanpa canang sedikitpun tubuh Graciela
mulai bergemetar tanpa dapat dikendalikannya.
"Sudah. . sudahlah." Ricardo berkata. "Semuanya sudah berlalu."
Tetapi Graciela tidak dapat menghentikan gemetarnya
itu. Ricardo meraih Graciela ke dalam pelukannya, dan ia
dapat merasakan paha wanita itu merapat dan menekan
pada tubuhnya, dan bibir lembut wamta itu mendarat di atas bibirnya, dan Graciela merangkulnya, membisikkan kata-kata yang tidak dapat ditangkap dan dimengertinya.
Ricardo merasa seakan-akan telah dikenalnya Gradela
itu selama hidupnya. Namun begitu ia tidak mengetahui apa pun tentang Graciela. Kecuali kenyataan, bahwa
Graciela itu suatu mukjijat Tuhan. Pikir Ricardo. Graciela sendiri juga sedang berpikir akan Tuhannya. Terimakasih, Tuhan, atas kebahagiaan ini. Terima kasih karena akhirnya Dikau buat aku merasakan arti cinta.
Graciela sedang mengalami gejolak emosi tanpa katakata yang dapat rnelukiskannya.
Ricardo memperhatikannya, dan kecantikan Graciela itu benar mempesona dirinya. Kini ia menjadi milikku, pikir Ricardo. Ia tidak perlu kembali ke biara. Kita akan kawin dan mempunyai anak-anak yang cantik. . putra-putra yang kuat-kuat. "Aku cinta padamu." Ricardo berkata. "Aku tidak akan melepaskanmu lagi, Graciela."
"Ricardo?" "Kekasihku, aku mau kawin denganmu. Kau mau kawin
denganku?" Dan tanpa berpikir sejenak pun, Graciela menjawab, "Ya.
Oh, ya." Dan kembali Graciela berada dalarn dekapan mesra
Ricardo. Dan pikirnya. Inilah yang kuhasratkan dan yang tidak pernah kubayangkan akan kudapatkan.
Ricardo berkata, "Kita akan tinggal di Perancis, untuk sementara waktu. Di sana kita akan aman. Perjuangan ini tidak lama lagi akan berakhir, dan kala itu kita akan kembali ke Spanyol."
Graciela menyadari bahwa ia pergi ke mana saja dengan pria ini, dan jika ada bahaya, maka ia ingin menghadapinya bersama dengan pria ini.
Banyak yang mereka bicarakan. Ricardo menceritakan
bagaimana ia pertama kali terlibat dalam gerakan Jaime Miro, dan tentang pertunangannya yang putus dan tentang ketidak-senangan
ayahnya. Tetapi, ketika Ricardo menantikan giliran Graciela bercerita tentang masa lalunya, Graciela diam saja.
Graciela memandang padanya dan terkilas dalam
benaknya: Aku tidak dapat menceritakannya padanya. Ia akan membenci diriku. "Dekaplah aku." Graciela memohon kepada Ricardo.
Mereka tidur dan bangun menjelang fajar.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ricardo berkata, "Kita akan lebih aman bersembunyi di sini, hari ini. Kita akan melanjutkan perjalanan setelah malam tiba."
Mereka makan dari bungkusan makanan dari kaum gipsi
itu, dan bersama-sama mereka merencanakan hari depan
mereka. "Ada peluang-peluang bagus sekali di Spanyol sini."
Ricardo berkata. "Atau, setidak-tidaknya kelak kalau negeri ini ada perdamaian. Aku mempunyai banyak sekali
gagasan-gagasan. Kita akan memiliki perusahaan kita
sendiri. Kita akan membeli sebuah rumah yang bagus dan mempunyai putra-putra yang tampan."
"Dan putri-putri yang cantik." Ricardo tersenyum. "Aku tidak pernah mengimpikan akan sebahagia ini. "
"Aku juga, Ricardo."
"Kita akan berada di Logrono dalam waktu dua hari dan bertemu
dengan yang lainnya." Ricardo berkata. Dipegangnya tangan Graciela, "Akan kita beritahukan kepada mereka bahwa kau tidak akan kembali ke biara."
"Apakah mereka akan mengerti?" Kemudian Graciela menghela nafas. "Aku tidak terlalu memusingkan itu. Tuhan penuh pengertian. Aku telah mencintai kehidupanku dalam biara."
Ia berkata pelan. "Tetapi. ." Graciela mencondongkan badannya ke Ricardo dan menciumnya.
Ricardo berkata, "Begitu banyak yang harus kupulangkan padamu."
Graciela tidak mengerti. "Aku tidak mengerti."
"Tahun-tahun yang kau habiskan di dalam biara itu, terasing dari dunia. Katakan padaku, sayang. . apakah kau tidak sedih dengan tahun-tahun yang hilang bagi dirimu itu?"
Bagaimana ia, Graciela, dapat membuat Ricardo
mengerti" "Ricardo, aku tidak kehilangan apa pun.
Benarkah aku kehilangan banyak?"
"Sampai batas tertentu, kau memang tidak kehilangan banyak. Tetapi dalam arti lain, kau kehilangan. Sesuatu yang amat penting terus berjalan. Kehidupan. Sementara kau terkucil selama bertahun-tahun itu, bayi-bayi telah dilahirkan dan menjadi besar, pasangan-pasangan kekasih telah menikah, orang telah menderita dan telah berbahagia.
Orang telah mati dan kita semua, bagaimanapun juga,
merupakan bagian dari itu semua, suatu bagian dari yang hidup." ,
"Dan menurutmu aku tidak pernah hidup?" Graciela bertanya. Dan tumpahlah kata-kata itu dari mulutnya,
sebelum ia dapat menghentikannya.
"Pernah aku menjadl bagian dari kehidupan yang kau
bicarakan itu, dan itu adalah suatu neraka kehidupan.
Ibuku seorang pelacur, dan setiap malam akan mempunyai seorang paman lain. Ketika aku berusia empat belas tahun kuberikan tubuhku kepada seorang pria karena aku
tertarik padanya dan karena aku cemburu pada ibuku dan yang dilakukan ibuku. Aku sendiri tentu akan menjadi
seorang pelacur juga seandainya aku tetap menjadi bagian dari kehidupan yang kauanggap berharga itu. Tidak,
kuyakin aku tidak melarikan diri dari sesuatu. Aku
menemukan sesuatu. Aku menemukan suatu dunia yang
aman, yang penuh kedamaian dan kebaikan."
Ricardo memandang pada Graciela, penuh kengenan.
"Aku. . aku. . Maafkanlah aku." Ia berkata, tergagap. "Aku tidak bermaksud?"
Graciela kini menangis terisak-isak, dan Ricardo
mendekapnya kembali, rapat-rapat. "Shh. Sudahlah. Semua itu sudah berlalu. Ketika itu kau masih anak-anak. Aku cinta padamu."
Dan Graciela merasa seakan-akan diperolehnya pengampunan dosa-dosanya dari Ricardo. Kepada Ricardo diceritakannya semua peristiwa penuh kenistaan yang
perna diperbuatnya di masa lalu, dan tetap juga Ricardo memaafkannya. Dan " sungguh ajaib " Ricardo tetap
mencintainya. Dan tiba-tiba, teringat akan serdadu-serdadu yang
mengejar-ngejar mereka, Graciela bertanya-tanya sendiri apa dirinya dan pria yang sangat dicintainya itu akan dapat hidup cukup lama untuk mengalami masa depan bersama
itu" -odwo- BAB DUA PULUH SEMBILAN ADA MATA RANTAI YANG HILANG, sebuah kunci ke
masa lalu, dan Alan Tucker berketetapan hati akan
menemukannya. Tidak ada berita mengenai seorang bayi
yang ditinggalkan, namun tidaklah sulit mengetahui
tanggalnya bayi itu dibawa ke rumah yatim piatu itu.
Jika tanggal itu jatuh bersamaan dengan waktu jatuhnya pesawat terbang itu, maka Ellen Scott harus memberikan sesuatu penjelasan yang lengkap. Mustahil Ellen Scott sebodoh itu, Tucker berkata pada diri sendiri. Mengambil resiko dengan mengatakan bahwa pewaris Scott telah mati, dan kemudian meninggalkannya di ambang pintu sebuah
rumah pertanian. Besar resikonya. Sangat besar resikonya.
Di lain pihak, bayangkanlah hadiahnya: Scott Industries. Ya, mungkin saja ia telah melakukan itu. Kalau perbuatannya itu bagaikan adanya sebuah kerangka manusia di dalam
lemarinya, maka kerangka itu kerangka yang hidup, dan harganya akan mahal sekali bagi Ellen Scott.
Tucker menyadari bahwa dirinya haruslah berhati-hati.
Ia mengetahui benar dengan siapa ia berurusan. Yang
dihadapinya itu adalah kekuasaan semurni-murninya. Ia menyadari pula bahwa harus dimilikinya dulu semua bukti-bukti sebelum ia dapat bergerak.
Kunjungan yang dilakukannya berikutnya adalah pada
Romo Berrendo lagi. "Romo, aku ingin sekali berbicara dengan petani dan istrinya, tempat Patricia. . Megan itu ditinggalkan."
Padri tua itu tersenyum. "Akan memakan waktu lama sekali sebelum dapat bertemu dengan mereka. "
"Apakah ia ada di tempat?"
"Ada, senor. Akan kubawa tuan kepadanya."
Tucker mengikuti wanita itu ke kantor yang berada di
bagian belakang gedung itu.
"Silakan masuk, tuan."
Wanita yang duduk di belakang meja itu berusia sekitar delapan puluhan.
"Selamat pagi, senor. Dengan apa dapat kubantu tuan"
Tuan mau mengadopsi salah seorang dari anak-anak kami yang cantik-cantik itu" Ada pilihan luas. "
"Tidak, senora. Aku datang mencari keterangan tentang seorang anak yang telah ditinggalkan di sini sudah lama berselang."
Mercedes Angeles mengerutkan dahi. "Aku tidak
mengerti." "Seorang bayi telah dibawa ke sini." Tucker berpura-pura membaca dari secarik kertas, "Pada bulan Oktober tahun 1948."
"Wah, itu sudah lama berselang. Ia kini pasti sudah tidak berada di sini. Harus tuan ketahui senor, bahwa ada
peraturan di sini, pada usia lima belas tahun. ."
"Tidak, senora. Aku mengetahui bahwa ia tidak berada di sini. Yang ingin kuketahui adalah tanggal berapa tepatnya ia dibawa kemari."
"Wah, rasanya aku tidak dapat menolongmu tuan."
Tucker merasa hatinya seakan-akan melorot ke
sepatunya. "Ketahuilah, begitu banyak anak yang dibawa ke sini.
Kecuali kalau tuan mengetahui namanya?"
Patricia Scott, terkilas dalam benak Tucker Tetapi yang diucapkannya adalah, "Megan. Namanya Megan. "
Wajah Mercedes Angeles tampak menjadi ceria
"Oh, tidak ada seorang pun yang dapat melupakan anak itu. Ia seperti iblis kecil, dan setiap orang memujanya.
Tahukah tuan, bahwa pada suatu hari ia?"
Alan Tucker tidak mempunyai waktu untuk mendengar
macam-macam anekdot. Nalurinya mengatakan bahwa
dirinya sudah hampir menggenggam sepotong dari
kekayaan Scott. Dan wanita tua ini adalah kuncinya. Aku harus bersikap sabar padanya. "Senora Angeles, aku tidak mempunyai banyak waktu. Apakah
tanggal yang kumaksudkan itu ada di dalam berkas-berkas catatan ibu?"
"Tentu saja, senor. Kami diharuskan oleh pemerintah memelihara catatan-catatan yang cermat mengenai segala sesuatunya."
Tucker merasa lega sekali. Semestinya aku membawa
alat foto untuk memotret berkas itu.
Tucker memandang heran pada romo tua itu.
"Maksud Romo. ."
"Mereka telah lama meninggal."
Sialan! Tetapi pastilah ada jalan lain untuk menyelidiki hal itu. "Kata Tucker bayi itu dibawa ke sebuah rumah sakit, karena menderita pneumonia?"
"Betul. " Ah, di sana pasti ada catatan. "Rumah sakit manakah itu?"
"Telah terbakar habis pada tahun 1961. Kini sebuah rumah sakit baru berdiri di atas tanah itu."
Romo Berrendo melihat kekecewaan di atas wajah
tamunya itu. "Harus diingat, senor, bahwa keterangan yang
saudara cari itu adalah mengenai sesuatu yang terjadi dua puluh delapan tahun yang lalu. Banyak yang telah berubah sejak itu."
Tidak ada yang dapat menghentikan aku, Tucker
berpikir. Tidak ada, setelah aku begini dekat dengan inti soalnya. Pasti ada sesuatu catatan mengenai bayi itu. Entah di mana, tetapi pasti ada. Masih ada satu tempat yang tertinggal untuk penyelidikannya itu: rumah yatim piatu itu.
Alan Tucker kini melapor setiap hari pada Ellen Scott.
"Terus melaporlah padaku mengenai setiap perkembangan. Aku mau mengetahui seketika gadis itu
kautemukan." Dan Alan Tucker bertanya-tanya sendiri mengenai
kepentingan yang terdengar dalam suara Ellen Scott itu.
Agaknya ia diburu-buru waktu, mengenai sesuatu yang
telah terjadi sudah sekian lama berselang. Mengapa"
Sudahlah, itu soal nanti. Pertama-tama harus kudapatkan bukti yang kucari itu.
-odwo- Pagi itu Alan Tucker berkunjung ke rumah yatim piatu.
Melihat ruangan besar, tempat anak-anak bermain itu, Alan berpikir: Di sinilah pewaris Scott Industries itu dibesarkan, sedangkan seorang wanita yang licik di New York
menguasai semua uang itu dan juga semua kekuasaan itu. Nah, sekarang akan
haruslah ia berbagi kekayaan itu dengan orang lain. Aku.
Ya, kita akan merupakan sebuah team yang hebat. Ellen Scott dan aku.
Seorang wanita muda datang pada Alan Tucker.
"Dapatkah aku membantu, tuan?"
Alan Tucker tersenyum. Ya. Kau dapat membantu aku
mendapatkan kira-kira sejuta dollar itu.
"Aku ingin berbicara dengan seseorang yang berwenang di sini."
"Oh, itu senora Angeles."
Ah, sudahlah. Akan kubuat fotocopy saja. "Dapatkah aku melihat berkas itu, senora?"
Wanita itu mengerutkan dahi. "Wah, bagaimana, ya"
Berkas-berkas kami itu bersifat rahasia dan?"
"Tentu saja." Tucker berkata ramah. "Dan aku memang menghormati hal itu. Kata senora, senora sangat menyukai Megan waktu kecilnya itu, dan aku yakin senora mau
melakukan segala sesuatu yang dapat membantu Megan.
Itulah sebabnya aku berada di sini. Aku ada berita baik sekali untuknya. "
"Dan untuk tuan memerlukan tanggal ia dibawa ke sini?"
"Tepat sekali, agar aku dapat membuktikan bahwa ia orang yang kumaksudkan itu. Ayahnya telah memnggal dan mewariskan sejumlah kekayaan padanya, dan aku ingin
memastikan bahwa akan menerimanya sebagaimana
mestinya " Wanita itu mengangguk. "Oh, begitu."
Tucker mengeluarkan segulungan uang kertas dari
sakunya. "Dan untuk membuktikan penghagaanku dan terima kasihku atas segala jerih payah senora, aku ingin menyumbang seratus dollar pada rumah yatim piatu ini."
Wanita itu memandang pada gulungan uang kertas itu.
Kesangsian tampak jelas di atas wajahnya.
Tucker menarik selembar lagi dari gulungan uang kertas itu. "Dua ratus."
Wanita itu mengerutkan dahi.
"Baiklah. Lima ratus."
Mercedes Angeles manggut-manggut. "Tuan sagat
dermawan, senor. Biar aku mengambil berkas itu,
sebentar." Behasil! Pikir Tucker girang. Ya, dewa! Telah berhasil aku .dalam urusan ini. Ia telah mencuri Scott Industries untuk dirinya sendiri. Jika tidak karena aku, ia akan berlanjut dalam perbuatannya itu tanpa diketahui orang lain.
Kalau ia menghadapkan menghadapkan Ellen Scott pada
bukti-buktinya ini, tidak akan ada jalan bagi Ellen Scott menyangkalnya. Kecelakaan pesawat itu terjadi pada
tanggal 1 Oktober. Megan berada di rumah sakit selama sepuluh hari. Maka, bayi itu pasti dibawa ke rumah yatim piatu ini pada sekitar tanggal 11 Oktober.
Mercedes Angeles muncul kembali dengan seberkas
surat-surat di tangannya. "Telah kudapatkan berkas ini." Ia berkata bangga.
Alan Tucker seakan-akan tidak bisa menahan tangannya
menyambar berkas itu. "Bolehkah aku memeriksanya?" Tucker bertanya dengan sopan.
"Tentu saja. Tuan sudah begitu dermawan." Wanita itu
mengerutkan dahi. "Aku mengharap tuan tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun. Semestinya aku tidak boleh melakukan ini."
"Ini akan merupakan rahasia kita saja, senora."
Wanita itu menyerahkan berkas itu kepada Tucker.
MEGAN. BAYI PEREMPUAN. ORANG TUA TIDAK
DIKETAHUI. Kemudian sebuah tanggal. Tetapi ada
kesalahan! . . "Di sini ditulis bagwa Megan dibawa ke sini pada 14 Juni 1948."
"Benar senor." .
"Itu mustahil!" Tucker nyaris berteriak. Pesawat itu jatuh pada tanggal 1 Oktober. Empat bulan kemudian.
Wajah wanita tua itu memperlihatkan keheranan sangat.
"Mustahil, senor" Apa maksud tuan?"
"Si. . siapakah yang membuat dan mengurus catatan-catatan ini?"
"Aku sendiri. Ketika seorang anak ditinggalkan di sini, aku selalu menulis tanggalnya dan keterangan apa saja yang kudapatkan."
Impiannya hancur! "Mungkinkah tuan telah membuat suatu kekeliruan" Mengenai tanggal itu, maksudku. Apakah bukan tanggal 10 atau sebelas Oktober?"
Sudah berakhirlah segala-galanya. Ia telah membangun
sebuah impian di atas suatu landasan yang tipis dan
menerawang. Jadi, Patricia Scott betul mati dalam
kecelakaan pesawat itu. Cuma suatu kebetulan saja bahwa Ellen Scott mencari seorang anak yang telah lahir pada sekitar waktu yang sama itu.
Alan Tucker dengan lemas berdiri dari kursinya dan
berkata, "Terima kasih, senora."
"De nada, senor. Terima kasih kembali."
Mercedes Angeles melihat Alan Tucker pergi. Ia seorang pria yang begitu baik. Dan dermawan. Lima ratus dollar yang ditinggalkannya itu akan dapat membeli banyak
keperluan rumah yatim piatu dan anak-anak itti. Begitu juga cek seratus ribu dollar dari wanita baik-hati yang telah menelepon dari New York itu. Tanggal sebelas Oktober
benar-benar hari kemujuran bagi rumah yatim piatu kita.
Terima kasih, Tuhan. Alan Tucker melapor. "Masih belum ada berita yang pasti, nyonya Scott.
Didesas-desuskan bahwa mereka menuju ke arah utara.
Sejauh yang kuketahui, gadis itu selamat."
Nada suaranya telah berubah sama sekali, Ellen Scott
berkata dalam hati. Ancaman itu telah berlalu. Ha, ternyata ia telah mendatangi rumah yatim piatu itu. Ia kini kembali menjadi seorang suruhan, seorang pegawai. Nah, setelah ia menemukan Patricia, itu pun akan berubah.
"Anda melapor lagilah esok."
"Baik, nyonya Scott."
-odwo- BAB TIGA PULUH "LINDUNGlLAH AKU, OH TUHAN. KARENA HANYA PADA
DlKAU AKU BERLINDUNG. Dikaulah Tuhanku; tiada
kebaikan pada diriku jika jauh dari Dikau. Aku cinta Dikau, oh Tuhan, yang menjadi kekuatanku. Tuhan adalah batu-karangku dan bentengku dan penyelamatku. ."
Suster Megan mengangkat mukanya dan melihat Felix
Carpio memperhatikan dirinya. Wajah yang cemas.
Ia benar-benar ketakutan, Felix berpikir.
Sejak memulai perjalanan mereka itu, Felix telah melihat kerisauan pada diri suster Megan. Tentu saja. Itu wajar. Ia telah begitu lama terkungkung di dalam sebuah biara, dan kini secara tiba-tiba dilemparkan ke dalam suatu dunia yang asing dan mengerikan. Kita harus memperlakukannya dengan lembut.
Suster Megan memang ketakutan. Sejak meninggalkan
biara itu ia tidak henti-hentinya berdoa.
Ampunilah aku, Tuhan, karena aku temyata menyukai
segala yang kualami dan terjadi atas diriku ini, dan aku menyadari bahwa kesukaanku ini suatu dosa.
Tetapi, betapa pun khusuknya suster Megan berdoa, ia
tidak bisa tidak berpikir: seingatku, belum pemah aku merasa sesenang ini. Yang dialaminya itu memang
pengalaman yang paling menggemparkan selama hidupnya.
Di rumah yatim piatu itu, ia telah sering merencanakan pelarian-pelarian yang berani, tetapi itu semua cuma
permainan kanak-kanak. Yang inilah yang sebenamya. la
berada di dalam cengkeraman kaum teroris, dan mereka
dikejar oleh polisi dan tentara. Megan bukannya merasakan kengerian, tetapi sebaliknya adalah kegairahan yang
dirasakannya. Setelah melakukan perialanan sepanjang malam, mereka
berhenti pada waktu fajar. Megan dan Amparo ikut
memperhatikan ketika Jaime Nuro dan Felix Carpio
memeriksa dan mempelajari sebuah peta.
"Empat mil jauhnya dari Medina de Campo." Jaime berkata. "Kita hindari tempat itu, Di sana terdapat suatu tangsi militer. Kita lanjutkan perjalanan ke arah timur laut, menuju Valladolid. Kita akan mencapai tempat itu
menjelang siang." Dengan mudah, suster Megan berpikir dengan senang.
Perjalanan semalam itu memang berat, tanpa

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beristirahat, tetapi Megan merasa dirinya segar. Jaime dengan sengaja menghendaki mereka bergerak terus tanpa berhenti itu, dan Megan memahami tindakan Jaime itu. Pria itu sedang menguji dirinya, ingin melihat apakah ia akan rontok dalam perjalanan berat itu.
Sesungguhnyalah, Jaime Miro merasa heran juga melihat suster Megan. Kelakuan suster itu sama sekali tidak
sebagaimana diduganya. Suster Megan itu bermil-mil
jauhnya dari biaranya, melakukan perjalanan melalui
daerah yang asing, dikejar-kejar, dan kelihatannya suster itu bahkan senang dan bergairah. Macam biarawati apakah suster Megan itu"
Amparo Jiron lain lagi kesannya. Aku akan gembira
sekali kalau kita sudah bebas dari wanita itu, pikirnya. Ia selalu dekat dengan Jaime, membiarkan suster itu berjalan bersama Felix Carpio.
Di mata Megan, Amparo itu bagaikan seekor binatang
liar. Hebat dalam menyesuaikan diri pada medan berbukit dan berlembah itu, tampaknya tidak pernah lelah.
Ketika beberapa jam kemudian kota Valladolid tampak
di depan mereka di kejauhan, Jaime memerintahkan
berhenti Jaime Miro berpaling pada Felix. "Segala sesuatunya sudah diatur?"
"Sudah." Megan bertanya-tanya sendiri apa gerangan yang telah
diatur itu, dan tidak lama kemudian rnengetahui soalnya.
"Tomas telah diperintahkan agar menemui kita di medan laga banteng."
"Jam berapa bank itu tutup?"
"Pukul lima. Akan ada cukup waktu."
Jaime mengangguk. "Dan hari ini adalah hari
pembayaran." Ya Tuhan. Mereka akan merampok sebuab bank, Megan
berpikir. "Bagaimana mengenai kendaraan itu?" Amparo bertanya. "Tidak menjadi soal." Jaime menjawab.
Ah, mereka akan mencuri sebuah, Megan berpikir.
Sungguh-sungguh menggairahkan dan mendebarkan hati.
Wah. . Tuhan tidak akan menyukai ini.
Ketika mereka tiba di pinggiran kota Valladolid, Jaime mengingatkan, "Selalu beradalah di tengah kerumunan orang banyak. Hari ini adalab hari adu banteng dan akan
ada ribuan orang di jalan-jalan dan medan laga itu. Jangan sampaj kita terpencar dan terpisah satu dari lainnya."
Beberapa saat kemudian, "Medan laga banteng itu ke arah sana." Jaime berkata.
Mereka mengikuti arus orang banyak melewati taman di
tengah kota itu menuju ke Plaza Pinente yang berlanjut ke Plaza de Toros.
"Tunggu di sini." Jaime berkata. Dan mereka melihat Jaime berjalan mendatangi sekelompok calo karcis.
"Kita akan menyaksikan adu banteng?" Megan bertanya pada Felix.
"Ya, tetapi jangan khawatir, suster."' Felix berkata. "Kau akan menyukainya."
Penjaja-penjaja makanan berkeliaran di antara barisan-barisan tempat duduk itu. Seorang di antara para penjaja itu mendekati tempat rombongan mereka duduk.
"Empanadas." Orang itu berteriak, menawarkan. "Empanadas caliente."
"Aqui. Sini." Jaime memanggil dengan mengangkat tangan.
Penjaja itu melemparkan sebungkusan ke dalam tangan
Jaime. Jaime menyerahkan sepuluh peseta kepada seorang yang duduk di sampingnya dan orang itu yang
meneruskannya kepada penjaja itu.
Megan memperhatikan ketika Jaime meletakkan bungkusan itu di pangkuan dan dengan teliti membukanya.
Di dalam bungkusan itu tampak diselipkan sepotong kertas.
Jaime membaca tulisan di atas kertas itu, kemudian
membacanya sekali lagi, dan Megan melihat rahang Jaime mengeras.
Jaime memasukkan secarik kertas itu ke dalam saku.
"Kita berangkat." Jaime berkata singkat. "Seorang demi seorang." Ia berpaling pada Amparo, "Kau lebih dulu. Kita bertemu di pintu gerbang."
Tanpa berkata-kata Amparo bangkit berdiri dan
meninggalkan tempatnya. Jaime kemudian mengangguk pada Felix, dan Felix pun
berdiri dan mengikuti perginya Amparo.
"Apa yang telah terjadi?" Megan bertanya. "Ada sesuatu yang tidak beres?"
"Kita berangkat dari sini menuju ke Logrono." Jaime bangkit berdiri. "Perhatikanlah diriku, suster. Jika aku tidak dihentikan orang, kau pergilah ke pintu gerbang."
Jaime, Amparo dan Felix menantikannya di pintu
gerbang medan laga itu. "Ayo, kita berangkat." Jaime berkata.
Mereka mulai berjalan pergi dari medan laga banteng
itu. "Apa ada yang tidak beres?" Felix bertanya pada Jaime.
"Serdadu-serdadu itu telah menembak Tomas." Jaime menjawab tegang. "Tomas tewas. Dan pihak kepolisian telah menangkap Rubio. Rubio tertusuk dalam suatu
perkelahian di sebuah kedai minum."
Megan membuat tanda salib pada dirinya. "Lalu, apa yang terjadi dengan suster Teresa dan suster Lucia?"
Megan bertanya dengan cemas.
"Entahlah yang terjadi dengan suster Teresa. Suster Lucia juga ditahan oleh pihak kepolisian."
Jaime berpaling pada yang lainnya. "Kita harus
bergegas." Dilihatnya jam tangannya. "Bank itu kini sedang sibuk-sibuknya."
"Jaime, barangkali kita sebaiknya menunggu dulu." Felix menyarankan. "Akan berbahaya sekali jika hanya kita berdua yang merampok bank itu."
Megan mendengarkan yang dibicarakan oleh kedua pria
itu dan pikirnya: Tetapi itu tidak akan menghalangi Jaime.
Dan ia benar. Ketiga orang teroris itu melangkah menuju tempat
parkir yang luas di belakang medan laga banteng itu. Ketika Megan
menyusul mereka di sana, Felix sedang memperhatikan sebuah mobil sedan berwarna biru.
"Ini kurasa cukup." Felix berkata.
Sejenak lamanya ia mengutak-utik kunci pintu mobil,
kemudian berhasil membukanya. Ia membungkukkan
badannya ke bawah kemudi mobil itu, melakukan sesuatu di situ, dan sesaat kemudian mesin mobil telah
dihidupkannya. "Naiklah." Jaime memerintahkan.
Megan berdiri di situ penuh kesangsian. "Kau mencuri mobil ini?"
"Ya, dewa!" Amparo berdesis. "Berhentilah berkelakuan seperti seorang biarawati dan naiklah ke dalam mobil."
Kedua pria itu duduk di bangku depan, dengan Jaime
yang memegang kemudi. Amparo duduk di bangku
belakang. "Kau naik atau tidak?" Jaime menegur tidak sabaran.
Megan menarik nafas dalam-dalam dan naik ke dalam
mobil itu, duduk di samping Amparo. Mereka meluncur
pergi. Megan memejamkan mata. Ya, Tuhan. Ke manakah
Dikau membawa diriku"
"Untuk melegakan hatimu, suster." Jaime berkata. "Kami tidak mencuri mobil ini. Kami menyitanya atas nama
tentara Basque." Megan sudah mau mengatakan sesuatu, tetapi dibatalkannya itu. Tidak ada yang dapat dikatakannya
untuk mengubah tekad pria itu.
Mereka akan merampok sebuah bank, Megan berpildr,
dan di mata Tuhan, aku akan sama berdosanya seperti
Jaime Miro. Megan kembali membuat tanda salib dan mulai berdoa.
Banco de Bilbao mengambil tempat di lantai dasar
sebuah gedung bertingkat sembilan di jalan De Cervantes di Plaza de Circular.
Ketika mobil itu berhenti di depan gedung tersebut,
Jaime berkata pada Felix, "Biar mesin mobil hidup terus.
Jika ada timbul kesulitan, kalian langsung tinggalkan tempat ini dan temuilah yang lain-lainnya di Logrono."
Felix memandang terkejut pada Jaime. "Kau bicara apa ini" Kau tidak bermaksud masuk ke situ seorang diri,
bukan" Kau tidak dapat melakukan itu. Terlalu berbahaya."
Jaime menepuk bahu Felix, "Kemalangan bisa datang setiap saat." Ia tersenyum menyeringai dan keluar dari mobil itu.
Mereka melihat Jaime berjalan ke sebuah toko tas,
beberapa meter jauhnya dari bank itu. Beberapa menit
kemudian Jaime keluar lagi dari toko itu menjinjing sebuah tas atase. Jaime mengangguk kepada rombongan dalam
mobil itu dan melangkah memasuki bank itu.
Megan berdoa: Aku tenang dan dipenuhi rasa
kedamaian. Megan sama sekali tidak merasa tenang atau dipenuhi
rasa kedamaian. Jaime Miro berjalan melalui dua buah pintu yang menuju ke lobby berbatu pualam dari bank itu.
Terdapat beberapa baris antrian orang di depan
sejumlah loket penerimaan dan pembayaran uang.
Ila ikut antri di salah satu baris antrian itu. Dan
menunggu gilirannya dengan sabar. Ia terakhir di baris itu, Ketika sampai di depan loket itu, Jaime tersenyum
ramah dan berkata, "Buenas tardes. Selamat siang."
"Buenas tardes, senor. Apa yang dapat saya bantu?"
Jaime bersandar pada jendela loket itu dan mengeluarkan sebuah poster yang terlipat dari sakunya. Itu diulurkannya kepada pelayan loket itu. "Harap lihat ini."
Orang itu tersenyum. "Baik, senor."
Orang itu membuka lipatan poster itu, dan dilihatnya di situ gambar Jaime dengan keterangan DI CARI dan di
bawah gambar itu hadiah uang yang dipasang atas kepala Jaime Miro, teroris Basque.
Mata pria itu membelalak lebar dan diangkatnya kepala memandang pada Jaime. Kepanikan tampak jelas di
matanya. "Itu mirip sekali, bukan?" Jaime berkata pelan. "Seperti dapat kau baca dari situ, aku telah membunuh banyak
orang, sehingga membunuh seorang lagi tidak akan berarti bagiku. Apakah aku telah membikin jelas soalnya
kepadamu?" "Je . . jelas sekali, senor. Aku mempunyai keluarga. Aku memohon pada senor, ,"
"Aku menghormati keluarga orang, maka akan kuberitahukan padamu apa yang harus kaulakukan agar
ayah anak-anakmu itu selamat." Jaime mendorong tas bawaannya itu lewat jendela loket itu kepada orang itu.
"Kau isilah tas ini. Kau lakukanlah itu dengan tenang dan cepat. Kalau kau menganggap uang itu lebih penting
daripada nyawamu, maka kupersilakan kau menekan
tombol alarm itu." Orang itu menggelengkan kepala, "Tida. . tidak. "
Dan orang itu mulai mengeluarkan gebungan-gebungan
uang dari lacinya dan memasukkannya ke dalam tas atase itu. Tangannya bergemetar.
Setelah tas itu penuh, orang itu berkata, ''Nah, itu dia, senor. A. . aku berjanji tidak akan membunyikan alat alarm itu."
"Itu bijaksana sekali." Jaime berkata. "Akan kukatakan mengapa aku bilang begitu, sobat." Jaime berputar dan menunjuk ke arah seorang wanita setengah baya yang
berdiri di dekat ujung baris antrian di sebuah loket yang kira-kira 6 meter jauhnya dari loket tempat Jaime berada.
"Kau melihat wanita itu" Yang memegang sebuah
bungkusan itu" Ia seorang dari kami. Ada sebuah bom di dalam bungkusan itu. jika alarm dibunyikan, maka ia akan meledakkan bom itu."
Orang di belakang loket itu menjadi semakin pucat. "Oh, jangan. . jangan!"
"Kau harus menunggu sampai sepuluh menit setelah wanita itu meninggalkan bank ini, sebelum kau boleh
melakukan sesuatu." "Aku bersumpah atas nyawa anak-anakku."
Orang itu berbisik. "Beunas tardes."
Jaime mengangkat tas atase itu dan bergerak ke arhb
pintu. Ia merasa mata pelayan loket tadi mengikutinya.
Jaime berhenti di samping wanita dengan bungkusan itu.
"Izinkanlah aku memuji keindahan pakaian yang senora pakai."
Muka wanita itu memerah. "Oh, terima kasih, senor.
Gracias." "De nada. Terima kasih kembali."
Jaime berputar dan mengangguk pada pelayan loket tadi, kemudian dengan santai berjalan meninggalkan bank itu.
Akan memakan waktu sekurang-kurangnya lima belas
menit sebelum wanita itu menyelesaikan urusannya di
bank itu. Pada waktu itu, maka ia dan kawan-kawannya
sudah akan pergi jauh. Ketika Jaime nampak keluar dari bank itu dan berjalan
ke arah mobil yang mereka tumpangi itu, Megan hampir
pingsan karena rasa leganya.
Felix Carpio menyeringai. "Si kurang ajar itu berhasil." Ia berpaling pada Megan, "Oh, maafkan aku, suster."
Belum pernah merasa begitu lega dan gembira melihat
seseorang selama hidupnya. Ia berhasil. Dan seorang diri dilakukannya itu. Akan kuceritakan ini pada suster-suster lainnya. Tapi ingatlah ia. Ia tIdak dapat menceritakannya
pada siapa pun. Kalau ia kembali ke biara, maka yang ada hanyalah keheningan selama hidupnya. Kenyataan itu
menimbulkan perasaan ganjil pada suster Megan.
Jaime Miro berkata pada Felix, "Kau pindah tempat lagi, sobat. Biar aku yang mengemudikan mobil ini." Tas atase itu dijatuhkannya ke atas bangku duduk belakang.
"Semuanya berjalan lancar?" Amparo bertanya.
Jaime tertawa. "Tidak bisa lebih baik lagi. Harus kuingat untuk menyatakan terima kasih pada kolonel Acoca dengan membekaliku kartu nama itu. Poster pencarian diriku itu."
Mobil meluncur pergi. Di tikungan pertama Calle de
Tudela, Jaime belok ke kiri. Tiba-tiba muncul entah dari mana, seorang polisi berada di depan mobil itu dan
mengangkat tangannya. Menghentikannya. Jaime menginjak rem. Jantung Megan mulai berdebar keras.
Polisi itu mendatangi mobil itu.
Dengan tenang Jaime bertanya, "Ada apa sersan?"
"Senor telah salah masuk. Ini jalan satu arah Kecuali jika senor dapat membuktikan bahwa senor seorang buta, maka senor benar-benar dalam kesulitan." Dan polisi itu menunjuk pada sebuah rambu-rambu Jalan Satu Arah.
Dengan suara meminta maaf, Jaime berkata, "Ah,
maafkan aku, sersan, teman-temanku dan aku sedang
berbincang sedemikian seriusnya, sehingga aku tidak
melihat rambu-rambu itu."
Polisi itu melongok ke dalam mobil, lewat jendela di sisi pengemudi. Diperhatikannya Jaime dengan teliti, wajahnya menunjukkan kesangsian.
"Harap senor perlihatkan tanda registrasi senor."
"Oh, baiklah." Jaime berkata. Tangan Jaime merogoh ke bawah jaketnya, bermaksud mencabut pistolnya. Felix pun siap bergerak. Megan menahan nafas. .
Jaime berpura-pura mencari-cari dalam sakunya. "Aku yakin ada di salah satu sakunya."
Pada saat itu dari seberang plaza itu terdengar jeritan seorang wanita, dan polisi itu menoleh ke belakang.
Seorang pria di sudut jalan itu sedang memukuli seorang wanita.
"Tolong!" Wanita itu menjerit. "Tolong! Ia mau membunu aku."
Polisi itu ragu sejenak. Kemudian, "Tunggu di sini." Ia memerintahkan kepada keempat orang dalam mobil itu.
Dan polisi itu dengan berlari-lari pergi ke arah pria dan wanita yang sedang bertengkar itu.
Jaime langsung menginjak gas dan mobil itu meluncur
dengan kecepatan tinggi, melanggar rambu-rambu itu, dan membuat lalu lintas dari arah berlawanan itu kacau.
Terdengar klakson-klakson mobil dibunyikan dengan
marah terhadap mobil yang jelas-jelas melanggar
peraturan lalu lintas itu. Ketika tiba di ujung jalan itu, Jaime membelokkan mobil ke arah jembatan yang menuju ke arah luar kota. Avenida Sanchz de Arjona.
Megan melempar pandang sekilas ke arah Jaime dan
kemudian membuat tanda salib. Ia hampir-hampir tidak
bisa bernafas. "Apa. . apakah Jaime akan membunuh polisi itu,
seandainya tidak terjadi pemukulan atas wanita tadi?"
Jaime tidak memberi jawaban.
?" wanita itu bukannya diserang dan dipukuli, suster."
Felix menerangkan. "Pria dan wanita itu adalah orang-orang kami. Kami tidak sendiri. Kami mempunyai banyak kawan."
Wajah Jaime tampak gemas. "Kita harus melepaskan mobil ini."
Mereka sedang meninggalkan pinggiran kota Valladolid.
Jaime mengambil jalan N620, jalan bebas hambatan ke
Burgos, dalam menuju Logrono.
"Kita akan meninggalkan mobil ini secepatnya kita melewati Burgos." Jaime menegaskan.
Aku sungguh tidak bisa percaya bahwa semua ini
kualami, Megan berpikir. Aku melarikan diri dari biara. Aku melarikan diri dari kejaran tentara, dan aku kini
menumpang sebuah mobil curian dengan kaum teroris
yang baru saja merampok sebuah bank. Tuhan, apa lagi
yang Dikau rencanakan untukku"
-odwo-

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB TIGA PULUH SATU KOLONEL ACOCA dan setengah lusin anggota GOE
sedang di tengah suatu rapat strategi. Mereka mempelajarl sebuah peta besar.
Kolonel Acoca berkata, "Sudah jelas sekali Miro dalam perjalanan ke arah utara menuju daerah Basque."
"Itu dapat berarti Burgos, Vitoria, Logrono, Pamplona atau San Sebastian."
San Sebastian. Pikir Acoca. Tetapi aku
harus menangkapnya sebelum ia mencapai tempat itu.
Masih temgiang di telinganya, suara lewat telepon itu.
Waktumu sudah hampir habis.
Ya, ia tidak boleh gagal.
Mereka sedang melalui bukit-bukit yang bergulunggulung, yang mendahului daerah Burgos.
Jaime tidak banyak berbicara di belakang kemudi itu dan ketika ia akhirnya berbicara, katanya: "Felix, setibanya di San Sebastian, aku mau mengatur langkah-langkah untuk membebaskan Rubio dari tangan polisi."
Felix mengangguk. "Itu akan menyenangkan sekali. Itu akan membuat mereka gila."
Megan berkata, "Bagaimana tentang suster Lucia?"
"Apa?" "Tidakkah kau mengatakan bahwa ia juga telah
tertangkap?" Dengan nada mengejek Jaime berkata, "Betul, tetapi suster Lucia-mu itu ternyata seorang penjahat yang dicari polisi karena melakukan pembunuhan."
Berita itu mengguncangkan Megan. Ia mengguncangkan
Megan. Ia ingat betapa Lucia yang mengambil alih pimpinan dan membujuk mereka bersembunyi di bukit-bukit. Ia
menyukal suster Lucia. Dengan tegas ia berkata, "Kalau kau memang mau
menolong Rubio, maka kedua-duanya harus kauselamatkan." Suster macam apa sebenarnya yang seorang ini" Jaime
bertanya-tanya sendiri. Tetapi Megan memang ada benarnya. Menyerobot Rubio
dan Lucia dari depan hidung kepolisian itu akan
merupakan propaganda yang bagus dan akan menjadi
berita-utama surat kabar.
Amparo diam saja. Tiba-tiba, di kejauhan, di atas jalanan di depan mereka itu muncul tiga truk tentara yang penuh serdadu.
"Sebaiknya kita meninggalkan jalanan ini." Jaime memutuskan.
Pada persimpangan berikutnya ia membelok ke luar dari jalan bebas hambatan itu dan menuju ke arah timur.
"Di depan sana adalah Domingo de la Calzada. Ada sebuah benteng tua di sana yang telah ditinggalkan
penghuninya. Kita dapat melewatkan malam ini di sana."
Tidak lama kemudian bangunan itu telah tampak, tinggi di atas sebuah bukit. Beberapa ratus yard jauhnya dari bangunan itu ada sebuah danau.
Jaime menghentikan mobil. "Semua turun." Ia berkata.
Setelah semuanya turun, Jaime bekerja sejenak dengan
kemudi mobil itu, sehingga mobil itu menghadap ke arah danau di bawah. Pedal gas diinjaknya, rem tangan
dilepaskan, dan Jaime sendiri melompat ke luar dari dalam mobil itu. Mereka semua berdiri di situ melihat mobil itu menghilang di dalam air danau itu.
Megan sudah mau membuka mulut menanyakan kepada
Jaime dengan cara bagaimana mereka akan pergi ke
Logrono. Ia membatalkan pertanyaannya itu. Pertanyaan tolol. Sudah tentu akan dicurinya sebuah mobil lain.
"Di masa dulu." Felix bercerita pada Megan, "Pangeran-pangeran menggunakan benteng-benteng ini sebagai
penjara bagi musuh-musuh mereka."
Dan Jaime adalah musuh negara, dan kalau ia
tertangkap, maka tidak akan ada penjara baginya. Yang ada hanyalah kematian, Megan berpikir. Pria itu tidak
mempunyai rasa takut. Dan Megan ingat akan kata-kata
yang diucapkan pria itu. Aku yakin akan yang
kuperjuangkan. Aku percaya pada orang-orang ku, dan
pada senjataku. Mereka memasuki benteng itu dan naik hingga ke lantai empat. Benteng itu memang telah ditinggalkan orang.
"Nah, yang jelas, di sini banyak tempat untuk tidur."
Jaime berkata. "Felix dan aku akan pergi mencari makanan.
Kalian pilih sendiri di kamar mana kalian mau tidur."
Kedua pria itu menuruni tangga.
Amparo berpaling pada Megan. "Yok, suster."
Amparo memilih kamar yang paling besar. "Jaime dan aku akan tidur di kamar ini." Dipandangnya Megan dan dengan nada licik ditanyakannya,
"Kau ingin tidur dengan Felix?"
Megan memandang pada Amparo dan tidak menjawab.
"Atau, barangkali kau lebih suka tidur dengan Jaime."
Amparo melangkah mendekati Megan. "Tetapi jangan
mempunyai pikiran macam-macam, suster. Jaime itu terlalu jantan untukmu."
"Kau tidak usah merisaukan diriku. Aku tidak berminat."
Dan bersamaan dengan mengucapkan itu, Megan sendiri
bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah benar Jaime Miro itu terlalu jantan bagi dirinya.
Mereka makan daging kelinci yan telah berhasil
ditangkap oleh Jaime dan Felix dan dimasak sejadinya.
"Maafkan kami yang tidak dapat menghidangkan
makanan dalam arti sesungguhnya kepada kalian." Felix berkata pada Amparo dan Megan. "Tetapi kita akan makan sepuas-puasnya di Logrono. Sementara itu, terimalah apa adanya."
Seusai makan, Jaime berkata, "Marl kita tidur. Aku mau berangkat pagi-pagi sekali."
Amparo berkata pada Jaime. "Mari, querido. Sayangku.
Telah kupilih dan siapkan kamar tidur kita."
"Bueno. Mari." Megan memperhatikan mereka berdua menaiki tangga,
bergandengan tangan. Felix berpaling pada Megan. "Kau sudah memilih kamar tidurmu, suster?"
"Sudah. Terima kasih."
"Baiklah, kalau begitu."
Megan dan Felix menaiki tangga bersama-sama.
"Selamat tidur." Megan berkata.
Felix memberikan sebuah kantong tidur kepada Megan.
"Selamat tidur, suster."
Megan sebenarnya ingin bertanya pada Felix mengenai
Jaime, tetapi ia ragu. Kalau mengetahuinya, Jaime mungkin akan menganggapnya seorang yang ingin mengungkit-ungkit pribadi seseorang. Dan entah mengapa, Megan ingin sekali Jaime Miro itu mempunyai anggapan yang baik
tentang dirinya. Ini sungguh ganjil, pikir Megan. Ia itu seorang teroris, seorang pembunuh, seorang perampok
bank, dan entah apa lagi. Dan aku bercemas-cemas agar pria itu mempunyai anggapan baik mengenai
diriku. Tetapi bersamaan dengan itu, Megan menyadari bahwa
ada sisi lain. Jaime itu seorang pejuang kemerdekaan.
Merampok bank untuk membiayai perjuangannya. Ia
mempertaruhkan nyawanya untuk yang menjadi keyakinannya. Ia seorang pahlawan. Ketika Megan lewat di depan kamar tidur Jaime dan Amparo, didengarnya Jaime dan Amparo itu tertawa. Megan pergi ke kamarnya sendiri dan berlutut di atas lantai batu din gin itu. "Tuhan, ampunilah aku atas. ." Ampunilah aku atas. . apa" Apakah yang telah kulakukan"
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Megan tidak
sanggup berdoa. Adakah Tuhan di atas sana mendengarkan" Megan masuk ke dalam kantong tidurnya, tetapi tidur itu tidak juga kunjung datang.
Apakah yang kulakukan di sini" Megan bertanya-tanya
sendiri. Pikirannya melayang kembali ke biara itu. . ke rumah yatim piatu itu. Dan sebelum rumah yatim piatu itu"
Mengapa aku ditinggalkan di sana" Aku sama sekali tidak
percaya bahwa ayahku seorang prajurit yang gagah berani atau seorang penakluk banteng yang hebat. Namun,
tidakkah mudah sekali kalau ia mengetahui siapa orang tuanya yang sebenarnya"
Sudah hampir fajar sebelum Megan tertidur.
Di dalam penjara di Aranda de Vuero itu, Lucia Carmine menjadi seorang pahlawan.
"Kau bagaikan ikan kakap di dalam kolam kita yang kecil. Seorang penjaga penjara itu berkata pada Lucia.
"Pemerintah Italia sedang mengirimkan seseorang untuk mengawalmu pulang. Au sendiri sih ingin mengawalmu ke rumahku, puta bonita. Kejahatan apakah yang sebenarnya telah kau lakukan?"
"Aku memotong buah pelir seorang pria karena ia
menyebut diriku puta bonita. Coba katakan padaku,
bagaimana keadaan temanku?"
"Oh, ia tidak akan mati."
Lucia memanjatkan doa karena rasa terima kasihnya. Ia memandang ke sekeliling dirinya, pada tembok-tembok
batu yang suram dari selnya yang seram itu, dan berpikir: Sialan! Bagaimana aku dapat keluar dari sini"
Laporan mengenai perampokan bank itu ditangani lewat
saluran-saluran umum kepolisian, dan dua jam setelah
terjadinya perampokan itu, barulah seorang letnan polisi memberitahukan peristiwa itu kepada Kolonel Acoca.
Sejam kemudian, Acoca sudah berada di Valladolid. Ia
marah sekali dengan keterlambatan itu. "Mengapa aku
tidak segera diberitahu?"
"Maafkan aku, kolonel. Tetapi tidak sesaat pun terbayang pada kami bahwa"."
"la sudah berada di dalam genggamanmu dan kau telah membiarkannya lolos!"
"Bukan kita punya?"
"Suruh masuk pelayan loket bank itu."
Pegawai bank itu merasa dirinya menjadi orang penting.
"Ia datang ke loketku. Begitu aku melihat sorot matanya, sudah kuketahui bahwa ia itu seorang pembunuh. Ia?"
"Sama sekali tidak ada keraguan pada dirimu bahwa orang yang menodongmu itu adalah Jaime Miro?"
"Aku pasti sekali. Ia bahkan memperlihatkan selembar poster yang dipasang di tempat-tempat umum mengenai
pencarian dirinya itu. Itu?"
"Ia datang ke bank itu seorang diri?"
"Ya. Ia menunjuk pada seorang wanita yang sedang berbaris dan ia mengatakan bahwa wanita itu anggota dari gerombolannya, tetapi setelah Mro pergi aku dapat
mengenali wanita itu. Ia adalah seorang sekretaris yang menjadi langganan kami dan?"
Kolonel Acoca berkata dengan tidak sabaran, "Ketika Miro pergi, apakah kau melihat ke arah mana ia pergi itu?"
"Keluar lewat pintu depan."
Wawancara dengan polisi lalu lintas itu juga tidak
membantu. "Ada empat orang di dalam mobil itu, Kolonel. Jaime Miro dan seorang pria lain dan dua orang wanita di bangku duduk belakang."
"Ke arah mana mereka pergi?"
Polisi itu ragu. "Mereka mungkin pergi ke arah mana saja, begitu mereka keluar dari jalan satu arah itu." Wajah polisi itu menjadi cerah. "Namun begitu, aku dapat melukiskan hal mobil itu."
Kolonel Acoca dengan jengkel menggelengkan kepala.
"Itu tidak perlu."
Ia sedang bermimpi, dan di dalam impiannya itu ada
suara-huara gaduh orang banyak, dan mereka itu datang untuk membakar dirinya karena ia telah merampok sebuah bank. Hasil rampokan itu bukan untukku. Itu adalah untuk perjuangan. Suara-suara makin ramai dan gaduh.
Megan membuka mata dan terduduk, memandang pada
dinding-dinding benteng yang telanjang itu. Bunyi suara-rsuara itu benar-benar. Dan datangnya dari luar.
Megan bangkit berdiri dan bergegas ke jendela keeil itu.
Tepat di bawahnya, di depan benteng itu, ada sebuab
perkemahan tentara. Megan seketika menjadi panik.
Mereka akan menangkap kita. Aku harus segera menemui
Jaime. Ia cepat-cepat pergi ke kamar tempat Jaime dan Amparo tidur, dan melongok ke dalam. Kamar itu kosong. Megan berlari menuruni tangga. Jaime dan Amparo berdiri di
dekat pintu masuk yang telah dipasang pasak kuncinya.
Mereka sedang berbicara dengan berbisik-bisik.
Felix tampak berlari kepada mereka. "Telah kuperiksa
bagian belakang. Tidak ada jalan keluar dari sana."
"Bagaimana dengan jendela-jendela belakang"
"Terlalu sempit. Satu-satunya jalan keluar adalah lewat pintu depan ini."
Tempat serdadu-serdadu itu berada, Megan berpikir.
Kita berada dalam perangkap.
Jaime sedang berkata, "Sungguh nasib buruk kita bahwa mereka justru memilih tempat ini untuk berkemah."
"Apakah yang akan kita lakukan?" Amparo berbisik.
"Tidak ada yang dapat kita lakukan. Kita harus tinggal di sini sampai mereka pergi. Jika. ."
Dan pada saat itu terdengar ketukan keras di atas pintu depan itu. Suatu suara yang berwibawa berseru, "Ayo, bukakan pintu."
Jaime dan Felix cepat bertukar pandang, dan tanpa
berkata-kata mereka mencabut pistol masing-masing.
Suara itu berseru lagi. "Ayo, buka! Kami mengetahui bahwa ada orang di dalam situ."
Jaime berkata pada Amparo dan Megan "Menyingkirlah."
Tidak ada harapan, Megan berpikir, ketika Amparo
bergerak ke belakang Jaime dan Felix. Sedikitnya ada dua lusin serdadu bersenjata di luar sana. Kita tidak punya peluang sedikitpun. Tidak ada harapan.
Sebelum yang lain-lain itu dapat mencegahnya, Megan
telah cepat bergerak ke pintu depan itu dan membukanya.
"Puji Tuhan, kalian telah datang!" Megan berseru.
"Kalian mesti menolong aku."
Perwira tentara itu memandang terbengong pada
Megan. "Siapakah senora ini" Apa yang senora lakukan di dalam sana" Aku kapten Rodriguez, dan kami sedang
mencari. . "Kapten datang tepat pada waktunya, kapten."
Megan menyambar lengan perwira itu. "Kedua anak laki-lakiku kena demam tifus, dan aku harus segera membawa mereka ke dokter, kapten harus masuk dan membantuku
menyelamatkan anak-anakku itu."
"Demam tifus?" "Ya." Megan mulai menarik-narik lengan perwira itu.
"Sungguh menakutkan. Mereka seperti terbakar. Sekujur tubuh mereka penuh borok dan sakit mereka ini sudah
berat. Tolong bawa masuk anak buah kapten untuk
menolong aku menggotong ke luar kedua anakku dan
membawanya ke dokter. ."
"Senora! Apakah senora sudah gila" Penyakit itu sangat menular."
"Biarlah. Mereka itu memerlukan pertolongan kapten.
Mungkin mereka sedang sekarat." Megan menarlk-narlk lagi lengan perwira itu.
"Lepaskan lenganku."
"Kapten tidak boleh meninggalkan aku. Kalau kapten pergi, apa yang harus kulakukan?"
"Senora masuklah kembali dan tinggal di situ sampai kita dapat memberitahukan hal ini pada polisi dan agar mereka segera mengirim sebuah mobil ambulans atau
seorang dokter." "Tetapi. ." "Ini perintah, senora. Ayo, masuk kembali!"
Perwira itu kemudian berteriak, "Sersan, kita segera harus pergi dari sini. "
Megan menutup kembali pintu depan itu dan
menyandarkan diri pada pintu itu. Tenaganya seperti
terkuras habis. Jaime memandang padanya dengan keheranan yang
sangat besar. "Yah, Tuhan. Itu hebat sekali. Dari mana kau belajar berbohong seperti itu?"
Megan berpaling pada Jaime dan menarik nafas panjang.
"Ketika aku berada di rumah yatim piatu, kami harus belajar membela diri kita. Aku mengharap Tuhan akan
mengampuni diriku." "Wah, betapa in gin aku melihat air muka kapten itu!"
Jaime tertawa. "Demam tifus! Jesus Kristus!" Ia melihat air muka Megan. "Oh, maafkan aku, suster."
Dari luar sana mereka masih dapat mendengar para
serdadu itu membenahi tenda-tenda dan perlengkapanperlengkapan, lalu berangkat meninggalkan tempat itu.
Ketika pasukan tentara itu sudah menghilang, Jaime
berkata. "Polisi tidak lama lagi sudah akan datang ke sini.
Dan, bagaimana pun kita ada janji bertemu di Logrono."
Lima belas menit setelah pasukan tentara itu pergi,
Jaime berkata, "Sekarang sudah amanlah kalau kita meninggalkan tempat ini." Ia berpaling pada Felix. "Coba lihat apa yang mungkin kaudapatkan dari kota. Lebih baik sebuah mobil sedan."
Felix tertawa menyeringai. "Tidak menjadi soal."
Setengah jam kemudian mereka sudah berada di dalam
sebuah sedan tua, meluncur ke arah timur. Demi keheranan Megan sendiri, ia didudukkan di samping Jaime. Felix dan Amparo yang duduk di bangku duduk belakang. Jaime
melempar sekilas pandang pada Megan, senyum menyeringai di wajahnya. "Demam tifus," katanya, dan ia tertawa terbahak-bahak.
Megan tersenyum. "Yang jelas ia mau cepat-cepat pergi, bukan?"
"Katamu tadi, kau dibesarkon di sebuah rumah yatim piatu, suster?"
"Betul." "Di mana?" "DI Avila." "Tetapi kau tidak mirip seorang Spanyol."
"Banyak orang berkata begitu."
"Tentunya berat sekali tinggal di sebuah rumah yatim piatu."
Megan dikejutkan oleh perhatian yang di luar dugaan itu.
"Boleh jadi begitu." Ia berkata, "Tetapi nyatanya tidak."
"Kau mempunyai bayangan mengenai siapa orang tuamu yang sesungguhnya?"
"A. . aku tidak tahu siapa orang tuaku."
Beberapa waktu lamanya mobil itu terus meluncur tanpa ada percakapan.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berapa lama kau tinggal di balik tembok biara itu?"
"Kurang lebih lima belas tahun."
Jaime heran sekali. "Jesus!" Dan cepat-cepat ditambahkannya, "Maafkan aku, suster. Soalnya ini seperti berbicara dengan seseorang dari planet lain. Kau tidak mempunyai gambaran tentang segala yang terjadi di dunia dalam waktu lima belas tahun yang lalu itu."
"Aku yakin bahwa apa pun yang telah berubah itu
sifatnya sementara belaka. Semua itu akan berubah lagi."
"Kau tetap mau kembali ke sebuah biara?"
Pertanyaan itu mengejutkan Megan.
"Tentu saja." "Mengapa?" Jaime membuat suatu gerakan menyapu dengannya. "Maksudku. . ada begitu banyak yang tentunya kaurasakan sebagai suatu kehilangan di balik tembok-tembok biara itu. Di luar sini ada musik dan sajak. Spanyol telah memberikan Cervantes dan Piccaso, Lorca, Pizarro, de Soto, Cortes kepada dunia. Negeri ini adalah sebuah negeri penuh keajaiban."
Pria itu mengandung suatu kelembutan yang mencengangkan, suatu api yang lembut.
Secara tidak diduga-duga, Jaime berkata. "Aku menyesal, suster, bahwa sebelum ini aku ingi meninggalkanmu.
Sesuatu yang tidak bersifat pribadi. Aku telah mempunyai pengalaman-pengalaman buruk dengan Gereja-mu."
"Itu sulit dipercaya."
"Percayalah." Suara pria itu memperdengarkan kegetirannya. Para padri telah mengunci pintu gereja.
"Gereja-mu telah berdiri di belakang Franco dan
memperkenankan hal-hal yang amat keji dilakukan oleh
Franco itu terhadap penduduk yang tidak berdaya."
"Aku yakin bahwa Gereja telah mengajukan protes."
Megan berkata. . "Tidak. Baru setelah biarawati-biarawati diperkosa oleh kaum Falangis Franco dan padri-padri dibunuh dan gereja-gereja dibakar, paus memutuskan hubungan dengan
Franco. Tetapi itu tidak mengembalikan ibuku, ayah atau saudara-saudara perempuanku. "
Kegeraman pria itu sungguh menakutkan.
"Aku ikut bersedih. Tetapi itu terjadi lama berselang.
Perang sudah berakhir."
"Tidak. Tidak bagi kita. Pemerintah tetap tidak
mengijinkan kita mengibarkan bendera Basque atau
merayakan hari-hari raya nasional kami atau menggunakan bahasa kami sendiri. Tidak, suster. Kami masih tetap
ditindas. Kami akan terus berjuang sampai kami
memperoleh kemerdekaan kami. Ada setengah juta orang
Basque di Spanyol dan seratus lima puluh ribu lagi di Perancis. Kami menghendaki kemerdekaan kami. . namun
Tuhan-mu terlalu sibuk untuk membantu kami."
Megan berkata dengan penuh kesungguhan,
"Tuhan tidak berpihak, karena Ia ada di dalam diri kita semua. Kita semua adalah suatu bagian dari-Nya, dan jika kita
mencoba menghancurkan-Nya, maka kita menghancurkan diri kita sendiri."
Demi keheranan Megan, Jaime tersenyum. "Di antara kita, kau dan aku, banyak sekali persamaannya, suster."
"O, ya?" "Kita mungkin mempunyai keyakinan-keyakinan yang berbeda, tetapi kita yakin dengan sepenuh hati.
Kebanyakan orang hidup tanpa keyakinan atau tanpa
kepedulian yang mendalam akan sesuatu. Kau mengabdikan hidupmu kepada Tuhan; aku mengabdikan
hidupku pada perjuanganku. Kita ini sama-sama penuh
kepedulian." Dan Megan berpikir dalam hati: Adakah kepedulianku
itu cukup besar" Dan kalaupun benar begitu, mengapa aku senang bersama dengan pria ini" Semestinya aku hanya
berpikir untuk kembali ke biara. Ada suatu kekuatan dalam diri Jaime Miro itu yang bagaikan sebuah magnet. Adakah pria itu seperti Magnete" Mempertaruhkan jiwanya dengan tindakan-tindakan penuh bahaya, karena ia tidak akan
kehilangan apa pun" "Apakah yang akan mereka lakukan jika pihak tentara itu menangkap dirimu?" Megan bertanya.
"Mengeksekusi diriku." Pria itu mengatakan itu bagaikan suatu kenyataan yang wajar, dan sesaat lamanya Megan
menyangka telah salah mengartikan ucapan itu.
"Kau tidak merasa takut?"
"Tentu saja aku merasa takut. Kami semua takut. Tidak ada di antara kita yang mau mati, suster. Kita akan
berjumpa dengan Tuhanmu itu, bagaimana pun dan tibanya saat itu juga tidak akan lama. Tetapi kami tidak mau
mempercepatnya." "Apakah kau telah melakukan banyak perbuatan yang mengerikan?"
"Itu tergantung dari mana seseorang memandangnya.
Perbedaan antara seorang patriot dan seorang pemberontak tergantung pada siapa yang berkuasa pada
saat itu. Pemerintah menyebut kami teroris. Kami
menyebut dirl kami sendiri pejuang kemerdekaan. Jean
Jacques Rousseau mengatakan, bahwa kemerdekaan adalah kekuasaan untuk memilih belenggu kita masing-masing.
Aku menghendaki kemerdekaan itu."
Pria itu sejenak lamanya memperhatikan Megan. "Tetapi kau tidak perlu merisaukan dirimu dengan hal-hal seperti ini, bukan" Begitu kau kembali di biara, kau tidak akan mempunyai perhatian lagi akan dunia di luar biara itu."
Benarkah itu" Berada kembali di dunia telah menjungkir balikkan kehidupannya. Apakah ia telab melepaskan
kemerdekaan dirinya" Ah, begitu banyak yang ingin
diketahui oleh Megan. Ia merasa dirinya bagaikan seorang pelukis dengan sebuah kanvas bersih, di ambang membuat sketsa suatu kehidupan baru. Jika aku kembali ke sebuah biara, Megan berpikir. Aku akan terkucil kembali dari kehidupan. Dan bersamaan dengan pikirannya itu, Megan dingerikan oleh kata jika. Manakala aku kembali, demikian Megan membetulkan dirinya sendiri. Tentu saja aku
kembali ke biara. Tiada tempat lain ke mana aku dapat pergi.
Malam itu mereka berkemah di hutan.
Jaime berkata, "Kita kini kira-kira tiga puluh mil darl Logrono, dan kita baru akan bertemu dengan yang lainnya dua hari lagi. Akan lebih aman jika kita terus beigerak hingga saat itu tiba. Maka, esok kita akan berjalan ke arah Vitoria. Hari berikutnya kita akan memasuki Logrono dan hanya berapa jam setelah itu, suster, kau akan berada di biara di Mendavia itu."
Untuk selamanya. "Kau tidak akan apa-apa?" Megan bertanya.
"Kau merasa prihatin akan roh-ku, suster, atau
badanku?" Megan merasa wajahnya memerah.
"Tidak akan ada yang terjadi atas diriku. Aku akan menyeberangi perbatasan masuk ke Perancis untuk
sementara waktu." "Aku akan berdoa untukmu." Megan berkata.
"Terima kasih." Jaime berkata khidmat. "Aku akan ingat dirimu berdoa untukku dan itu membuatku merasa lebih
aman. Sekarang tidurlah. Ketika Megan berbalik untuk merebahkan diri,
dilihatnya Amparo memandang padanya. Tampak sorot
kebencian telanjang dari mata wanita itu.
Yang berkata: Tidak ada orang yang merampas lelaki
dariku. Tidak seorang pun.
-odwo- BAB TIGA PULUH DUA PAGI SEKALI PADA KEESOKAN HARINYA, mereka
mencapai pinggiran Nandares, sebuah desa kecil di sebelah barat Vitoria. Jaime membawa mobil itu ke sebuah bengkel, meminta kepada bengkel itu membetulkan mobil, dan agar selesai siang itu pukul dua.
"Pukul dua?" Mekanik bengkel itu berkata.
"Ya, pukul dua."
Setelah meninggalkan bengkel itu, Felix berkata, "Apa yang kaulakukan itu, Jaime" Tidak ada kerusakan apa pun pada mobil itu."
Kecuali, bahwa pihak polisi akan mencari mobil itu, pikir Megan. Tetapi mereka akan mencarinya di jalanan, tidak di sebuah bengkel. Memang cara yang pintar sekali untuk
melepaskan mobil curian itu.
"Pada pukul dua kita sudah pergi dari sini, bukan?"
Megan bertanya. Jaime memandang pada Megan dan tersenyum.
"Aku mesti menelepon sebentar. Kalian tunggu di sini. "
Amparo memegang lengan Jaime. "Biar aku ikut
denganmu." Megan dan Felix menyaksikan kedua orang itu pergi.
Felix berkata pada Megan, "Kau dan Jaime bisa cocok satu-sama-lain, ya?"
"Ya." Megan tiba-tiba merasa kikuk.
"Ia bukan seseorang yang mudah difahami. Tetapi ia seorang yang memegang teguh kehormatan dan memiliki
keberanian luar biasa. Ia seorang yang sangat memperhatikan orang lain. Tidak ada orang seperti Jaime.
Sudahkah aku menceritakan padamu, bagaimana ia telah
menyelamatkan jiwaku, suster?"
"Tidak. Aku ingin sekali mendengar kisah itu."
"Beberapa bulan yang lalu, pemerintah menghukum
mati enam orang pejuang kemerdekaan. Sebagai pembalasan, Jaime memutuskan untuk meledakkan
bendungan di Puente la Reina, di sebelah selatan Pamplona.
Kota di bawah situ adalah markas besar tentara. Kami
bergerak di malam hari, tetapi ada seseorang yang
memberitahukan GOE, dan orang-orang Acoca menangkap
tiga orang dari kami. Kami dihukum mati. Diperlukan satu pasukan untuk menyerbu tempat kita dipenjarakan itu
tetapi Jaime telah merencanakan suatu siasat. Ia
melepaskan banteng-banteng di Pamplona, dan dalam
kekacauan yang diakibatkan oleh tindakan itu dua orang dari kami dapat meloloskan diri. Orang yang ketiga telah disiksa hingga mati oleh orang-orang Acoca. Ya, suster, Jaime Miro memang seorang istimewa. "
Ketika Jaime dan Amparo kembali, Felix bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Kawan-kawan akan menjemput kita. Kita akan
mendapat tumpangan untuk pergi ke Vitoria."
Setengah jam kemudian, sebuah truk muncul. Bak
belakang kendaraan itu ditutupi kanvas.
"Silakan naik." Pengemudi truk itu berkata dengan riang.
"Terima kasih, sobat."
"Sungguh suatu kesenangan dapat membantumu, senor.
Baik sekali senor menelepon kami. Serdadu-seradu itu berkerumun di sini seperti kutu busuk. Tidak aman bagi senor dan teman-teman senor berada di tempat terbuka."
Mereka naik ke atas bak belakang truk itu, dan
kendaraan besar itu meluncur ke arah timur laut.
"Di mana kalian akan tinggal?" Pengemudi itu bertanya.
"Dengan teman-teman." Jaime berkata.
Dan Megan berpikir: Ia tidak mempercayai seorang pun.
Bahkan juga tidak seseorang yang sedang membantu
dirinya. Tetapi, bagaimana lagi kalau ia tidak bersikap
seperti itu" Nyawanya selalu dalam bahaya. Dan Megan
dapat membayangkan betapa beratnya bagi Jaime untuk
hidup di bawah bayangan maut selalu, lari dari polisi dan tentara. Dan semua itu karena ia yakin akan cita-citanya itu.
Apa katanya tadi" Perbedaan antara seorang patriot dan pemberontak tergantung pada siapa yang berkuasa pada
saat itu. Perjalanan itu sungguh menyenangkan. Selama dalam
perjalanan Jaime dan Megan bercakap-cakap, dan
percakapan itu berjalan lancar, seakan-akan mereka sudah saling kenal lama. Amparo Jiron duduk di bak truk sambil mendengarkan
percakapan itu, tanpa dia sendiri mengatakan apa pun, dan wajahnya tidak memperlihatkan perasaan maupun pikiran yang bergolak dalam dirinya.
"Ketika aku masih kanak-kanak." Jaime bercerita pada Megan, "Aku ingin menjadi seorang astronom."
Megan sangat ingin mengetahui lebih banyak.
"Lalu, apa yang membuatmu. .?"
"Aku telah menyaksikan ibuku dan ayahku dan saudara-saudara perempuanku ditembak mati, dan juga, temanteman dibunuh, dan aku tidak sanggup menghadapi yang
terjadi di atas bumi berlumuran darah ini. Bintang-bintang itu merupakan suatu pelarian. Bintang-bintang itu berada berjuta tahun cahaya jauhnya, dan aku suka bermimpi
pergi ke sana pada suatu hari dan dengan begitu
meninggalkan bumi jahanam ini."
Megan memandang pada pria itu, terdiam.
"Tetapi tidak ada jalan pelarian itu, bahkan pada akh-rnya, kita semua harus menghadapi yang menjadi tanggung Jawab kita masing-masing. Maka aku kembali berpijak di atas bumi ini. Aku biasa beranggapan bahwa seseorang saja
tidak akan dapat merupakan perbedaan. Namun kini aku
mengetahui bahwa itu tidak benar. Jesus menjadi suatu perbedaan, dengan Gandhi, Einstein dan Churchil."
Jaime tersenyum. "Jangan salah mengerti, suster. Aku tidak membandingkan diriku dengan salah seorang dari
mereka itu. Tetapi dengan caraku sendiri yang tidak banyak arti, aku melakukan segala yang dapat kulakukan. Kupikir kita semua harus berbuat segala yang ada dalam
kemampuan kita." Dan Megan bertanya dalam hati apakah kata-kata pria
itu dimaksudkan mengandung suatu makna khusus bagi
dirinya. "Ketika aku berhasil mengusir bintang-bintang dan mataku, aku belajar menjadi seorang insinyur. Aku belajar membangun gedung-gedung. Kini aku meledakkan gedung-gedung. Dan ironinya adalah bahwa ada di antara bangunan yang kuledakkan
itu ada sebuah gedung yang telah kubangun."
Mereka tiba di Vitoria pada waktu magrib.
"Kemana harus kuantar kalian?" Pengemudi truk itu bertanya.
"Kau dapat menurunkan kami di sini, di tikungan jalan itu, sobat."
Jaime membantu Megan turun dan truk itu.
Amparo cuma melihat, matanya berapi-api. Ia tidak
memperkenankan lelaki miliknya menyentuh seorang
perempuan lain. Suster itu seorang lonte, pikir Amparo.
Dan Jaime sedang digoda nafsu menginginkan anjing
perempuan itu. Tetapi ini tidak akan berlanjut lama. Jaime segera akan mengetahui bahwa susu yang mengalir dalam
tubuh lonte itu sangat cair. Sedangkan Jaime memerlukan seorang wanita sejati.
Rombongan itu mengambil jalan-jalan samping, menjaga
untuk menghindari timbulnya persoalan. Dua puluh menit kemudian mereka tiba di sebuah rumah berlantai satu di sebuah jalanan sempit. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi.
"Inilah tempatya." Jaime berkata. "Kita akan tinggal di sini malam ini dan esok meninggalkannya waktu hari masih gelap."
"Rumah siapakah ini?". Megan bertanya.
"Kau terlalu banyak bertanya." Amparo berkata.
"Bersyukurlah bahwa kami telah memelihara dirimu hingga masih hidup."
Jaime memandang sejenak pada Amparo. "Ia telah
membuktikan dirinya berhak bertanya." Jaime kemudian berpaling pada Megan. "Ini rumah seorang kawan. Kau kini berada di darah Basque. Dari sini perjalanan kita
selanjutnya akan lebih mudah. Di mana-mana akan ada
kawan, yang mengawasi dan melindungi kita. Kau sudah
akan berada di biara itu pada hari lusa."
Dan Megan merasa dirinya dilanda semacam gigilan
yang nyaris kesedihan. Ada apakah gerangan dengan
diriku" Ia bertanya sendiri. Tentu saja aku ingin kembali.
Ampuni aku, Tuhan. Aku telah memohon pada-Mu agar
membawa diriku pulang kepada kesejahteraan-Mu, dan itu yang Dikau lakukan.
Selama makan malam, Jaime tampak tenggelam dalam
pikiran-pikirannya sendiri.
"Apa yang mengganggu dirimu, sobat?" Felix bertanya.
Jaime ragu sejenak. "Ada seorang pengkhianat di dalam gerakan kita."
Hening yang adalah keterkejutan itu sendiri.
"A. . apa yang membuatmu berpikir begitu?"
Felix menuntut. "Acoca. Ia semakin lama semakin dekat saja."
Felix mengangkat bahu. "Ia seekor rubah dan kita adalah kelincinya."
"Kenyataannya lebih daripada sekadar itu."
"Maksudmu?" Amparo bertanya.
"Ketika kita akan meledakkan bendungan di Puente la Reina, Acoca telah mendapatkan informasi." Jaime memandang pada Felix. "Acoca memasang perangkap dan menangkap dirimu dan Ricardo dan Zamora. Seandainya
aku sendiri tidak terlambat, aku pun telah ditangkapnya bersamamu. Dan ingat saja yang terjadi di parador itu."
"Kau sendiri mendengar pegawai penginapan itu
menelepon polisi." Amparo mengingatkan.
Jaime mengangguk. "Benar. Karena aku merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres."
Wajah Amparo tampak muram. "Siapakah menurutmu
yang berkhianat?" Jaime menggelengkan kepala. "Aku belum dapat


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memastikan. Seseorang yang mengetahui semua rencana
kita." "Kalau begitu kita ubah saja rencana-rencana kita."
Amparo berkata. "Kita akan menemui yang lain-lainnya di Logrono dan melewatkan Mendavia."
Jaime memandang sekilas pada Megan. "Kita tidak dapat berbuat begitu. Kita harus mengantar suster-suster ke biara mereka."
Megan memandang pada pria itu dan berpikir: Sudah
cukup yang dilakukannya untukku. Jangan aku menempatkan dalam bahaya lebih besar lagi.
"Jaime, aku dapat. ."
Tetapi pria itu sudah mengetahui apa yang hendk
dikatakan Megan. "Jangan khawatir, Megan. Kita semua akan sampai di sana dengan selamat "
Jaime telah berubah, Amparo berkata sendiri. Mula-mula ia tidak mau berurusan sedikitpun dengan mereka. Kini ia bersedia mempertaruhkan jiwanya untuk perempuan itu.
Dan ia memanggilnya 'Megan'. Tidak lagi 'suster'.
Jaime melanjutkan. "Sekurang-kurangnya ada lima belas orang yang mengetahui rencana-rencana kita. "
"Harus kita dapatkan siapa yang menjadi pengkhianat itu." Amparo berkeras.
"Bagaiman canya?" Felix bertanya. Tampak sekali bahwa pria itu gelisah.
Jaime berkata. "Paco kini berada di Madrid dan
melakukan penyelidikan untukku. Telah kuatur agar ia
menelepon aku di sini." Sejenak dipandangnya Felix.
Yang tidak dikatakan Jaime adalah, bahwa sebenarnya
tidak lebih dari setengah lusin orang yang mengetahui rute perjalanan ketiga rombongan itu. Memang benar, Felix
Carpio telah ditahan oleh Acoca. Benar pula bahwa itu alibi kuat bagi Felix. Pada saat yang tepat, suatu jalan pelarian mungkin direncanakan untuknya. Kecuali kenyataan aku
yang terleblh dulu membebaskannya, Jaime berpikir. Paco
kini sedang menyelidikinya. Aku mengharap Paco akan
segera menelepon. Amparo bangkit berdiri dan berpalmg pada Megan.
"Bantulah aku cuci piring. ."
Kedua wanita itu mulai memberslhkan meja dan kedua
pria itu pergi ke ruangan keluarga.
"Suster itu. . ia membawa diri dengan baik sekali." Felix berkata.
"Betul " "Kau menyukainya, bukankah begitu, Jaime?"
Jaime merasa berat sekali memandang pada Felix. "Ya, aku menyukainya." Dan kau akan mengkhianatinya seperti kau mengkhianati kami.
"Lalu, bagaimana dengan dirimu dan Amparo?"
"Kami berasal dari potongan dan bahan yang sama. Ia yakin akan perjuangan kita, sekuat keyakinanku pada
perjuangan ini. Seluruh keluarganya telah dibunuh oleh Falangis Franco." Jaime bangkit berdiri dan merentangkan tubuhnya. "Sudah waktunya kita tidur."
"Aku merasa tidak akan dapat tidur malam ini. Kau yakin betul bahwa ada seorang mata-mata?"
Jaime menatap pada Felix. "Aku pasti akan hal itu."
Ketika Jaime muncul untuk sarapan pagi pada keesokan
harinya, Megan hampir tidak mengenalinya. Jaime
mengenakan penyamaran, dengan rambut palsu dan
berkumis, mengenakan pakaian kedodoran, dan tampak
sepuluh tahun lebih tua. "Selamat pagi," kata pria itu.
"Dari mana kau. .?"
"Rumah ini kadang-kala kupakai. Di sini kusimpan sejumlah barang yang kuperlukan."
Pria itu mengatakan itu semua dengan biasa-biasa saja, namun itu memberikan gambaran kepada Megan mengenai
kehidupan yang ditempuh pria itu. Megan ingat akan
kekejaman orang-orang yang menyerang biara itu dan
terkilas dalam pikirannya: Kalau mereka menangkap Jaime, mereka tidak akan memberi ampun sedikit pun. Ah betapa ingin aku dapat melindunginya.
Benak Megan penuh dengan pikiran-pikiran yang tiada
berhak ia pikirkan. Amparo menyiapkan sarapan pagi: bacalo, ikan asin
yang dikukus. . susu domba, keju, dan coklat panas yang kental campur churros.
Selagi mereka makan, Felix bertanya, "Berapa lamakah kita akan tinggal di sini?"
Jaime menjawab seenaknya, "Kita akan berangkat kalau sudah gelap." Namun ia tidak berniat membiarkan Felix menggunakan informasi itu.
"Aku masih harus mengurus beberapa hal." Jaime berkata pada Felix. "Aku akan memerlukan bantuanmu. "
"Oke. " Jaime memanggil Amparo. "Kalau Paco menelepon,
katakan padanya aku segera akan kembali. Terimalah
pesan-pesannya." Amparo mengangguk. "Kau berhati-hatilah."
"Jangan khawatir." Jaime berpaling pada Megan. "Ini hari terakhirmu. Esok, kau sudah akan berada di biara itu. Tentu kau sudah tidak sabaran lagi."
Megan memandang pada pria itu sejenak lamanya. "Ya."
Tetapi bukannya dengan tidak sabaran, Megan berkata
dalam hati, prihatin. Ah, mengapa aku begini prihatin. Aku di ambang mengucilkan diri dari semua ini, namun
sepanjang hidupku kelak, aku akan selalu bertanya-tanya apa yang teriadi dengan Jaime dan Felix dan yang lain-lainnya itu.
Megan berdiri di tempat menyaksikan Jaime dan Felix
berangkat. Ia merasakan adanya suatu ketegangan di
antara kedua pria itu. Suatu suasana yang tidak dapat difahaminya.
Amparo sedang memperhatikan Megan, dan Megan ingat
akan kata-kata wanita itu: Jaime terlalu jantan untukmu.
Amparo berkata dengan singkat, "Kau bereskanlah
tempat-tempat tidur di atas. Aku akan mempersiapkan
makan siang." "Baiklah." Beberapa jam berikutnya, Megan bekerja, memusatkan
diri membersihkan tempat itu, berusaha menghapus
peluang bagi dirinya untuk berpikir, berusaha mengesampingkan pikirannya dari yang mengganggu
dirinya. Aku harus menghapuskan Jaime Miro itu dari pikiranku, Megan berkata sendiri.
Tetapi itu sesuatu yang tidak mungkin. Pria itu bagaikan suatu kekuatan alam, menyeret segala sesuatunya bersama dirinya.
Megan menggosok dengan lebih keras.
Ketika Jaime dan Felix kembali, Amparo sedang
menunggu mereka di pintu. Felix tampak pucat. Kemudian menghilang ke dalam kamar tidurnya.
"Paco telah menelepon." Amparo berkata dengan bersemangat.
"Apa yang dikatakannya?"
"Ia mempunyai informasi untukmu, tetapi ia tidak mau membicarakannya lewat telepon. Ia mengirim seseorang
untuk menemui dirimu. Orang itu akan berada di medan
desa pada siang ini."
Jaime mengerutkan dahi, berpikir keras. "Ia tidak mengatakan siapa yang dikirimnya itu?"
"Tidak. Cuma mengatakan bahwa soalnya mendesak
sekali." "Sialan! Aku" sudahlah. Baik. Akan kutemui orang itu.
Aku menghendaki agar kau mengawasi Felix."
Amparo memandang dengan heran, tidak mengerti, pada
Jaime. "Aku tidak menger. ."
"Aku tidak menghendaki ia mempergunakan telepon."
Pengertian berkias di wajah Amparo. "Kau pikir Felix adalah. .?"
"Lakukan saja yang kuminta." Jaime mehat jam tangannya. "Kini sudah hampir siang. Aku berangkat sekarang. Aku mestinya sudah kembali dalam waktu satu jam. Berhati-hatilah, quenda."
"Jangan khawatir."
Megan mendengar percakapan itu.
Aku tidak menghendaki ia mempergunakan telepon.
Kau pikir Felix adalah. ."
Lakukan saja yang kuminta.
Ah, jadi Felixlah pengkhianat itu, Megan berpikir. Ia telah melihat Felix masuk ke kamar tidurnya dan menutup pintu kamar itu. Ia mendengar Jaime berangkat.
Megan masuk ke dalam ruang keluarga itu.
Amparo berbalik. "Kau telah selesai dengan pekerjaanmu?" "Masih belum. Aku. ." Megan sebenarnya mau bertanya ke mana Jaime telah pergi, apa yang akan mereka lakukan dengan Felix, apa yang akan terjadi berikutnya, namun ia tidak mau membicarakannya dengan wanita ini. Akan
kutunggu sampai Jaime kembali.
"Kau selesaikanlah pekerjaanmu." Amparo berkata.
Megan berbalik dan kembali ke kamar tidur. Pikirannya membayangkan Felix. Pria itu tampak begitu bersahabat, hangat. Ia telah begitu banyak bertanya pada dirinya, namun kini sikap bersahabat itu berubah arti dan
mengandung maksud lain. Felix agaknya mencari keterangan yang dapat diteruskannya kepada kolonel
Acoca. Jiwa mereka semua dalam bahaya.
Barangkali Amparo memerlukan bantuanku, Megan
berpikir. Ia mulai melangkah menuju ke ruangan keluarga, kemudian berhenti.
Suatu suara sedang berkata, "Jaime baru saja berangkat.
Ia akan seorang diri di sebuah bangku di plaza utama. Ia menyamar dengan memakai rambut palsu dan berkumis.
Orang-orangmu tidak akan sulit mencarinya."
Megan berdiri di situ, bagaikan beku dan terpaku.
"Ia berjalan kaki, sehingga akan memerlukan kurang lebih lima belas menit untuk sampai di tempat itu."
Megan mendengarkan dengan ketakutan yang semakin
menjadi-jadi. "Ingatlah akan perjanjian kita, kolonel." Amparo berkata lagi ke dalam corong telepon itu. "Kau telah berjanji tidak akan membunuhnya."
Megan berjalan mundur ke ruangan depan. Pikirannya
gaduh. Jadi Amparo-lah pengkhianat itu. Dan Amparo telah mengirim Jaime ke dalam sebuah perangkap.
Megan kini berbalik dan berlari ke luar rumah, tanpa
menimbulkan suara yang dapat didengar oleh Amparo. Ia sama sekali tidak mengetahui bagaimana caranya yang
akan dipakainya untuk menolong Jaime. Ia hanya
mengetahui bahwa harus ia lakukan sesuatu. Megan
bergerak secepat mungkin, tapi dengan menjaga agar tidak menimbulkan perhatian orang pada dirinya, menuju ke
pusat kota. Tuhan, tolonglah. Jangan aku terlambat, Megan berdoa.
Jaime sedang berpikir tentang Felix. Ia telah bersikap dan berbuat bagaikan seorang kakak pada Felix.
Mempercayainya sepenuhnya. Apakah yang menjadikan
Felix itu berbalik jadi pengkhianat, bersedia mengorbankan jiwa mereka" Barangkali utusan Paco akan membawa
jawabannya. Mengapa Paco tidak dapat membicarakannya
lewat telepon" Jaime merasa heran.
Ia sedang mendekati medan desa itu. Ada setengah lusin orang duduk di bangku-bangku taman itu, menikmati sinar
matahari, membaca, bersantai. Jaime menyeberangi jalan, bergerak di sepanjang jalanan kecil itu lalu duduk di sebuah bangku. Dilihatnya jam tangannya ketika lonceng menara berbunyi. Utusan Paco akan segera muncul
Dari sudut matanya, Jaime melihat buah mobil polisi
berhenti di sudut jauh medan desa itu. Ia menoleh, mlihhat ke sudut lainnya. Sebuah mobil plisi telah tIba pula di sana.
Perwira-perwira polisi turun dan bergerak ke arah taman itu. Jantung Jaime mulai berdebar cepat. Suatu perangkap!
Tetapi siapa yang memasangnya. Paco, yang mengirim
pesan itu, atau Amparo yang meneruskannya pada dirinya.
Amparo yang menyuruhnya ke taman ini.
Tetapi, mengapa" Mengapa"
Tidak ada waktu untuk meributkan hal itu. Ia harus
meloloskan diri. Namun Jaime menyadari bahwa seketika ia mencoba lari dari situ mereka akan menembaknya. Ia dapat mencoba menggertak mereka, menyangkal. . tetapi mereka mengetahui bahwa dirinya ada di situ
Cari akal! Cepat, pikikanlah sesuatu!
Satu blok jauhnya dari situ, Megan bergegas ke arah
taman itu. Setelah melihat taman itu, ia dengan sekilas menangkap situasinya. Ia melihat Jaime duduk sebuah
bangku taman, dan petugas-petugas polisi mengepung dari dua jurusan.
Pikiran Megan bekerja keras. Tidak ada jalan bagi Jaime untuk melarikan diri dari situ
Megan berjalan melewati sebuah toko bahan-bahan
kebutuhan sehari-hari. Di depannya, menghalangi jalannya, seorang wanita mendorong kereta bayi. Wanita itu
berhenti, memarkir kereta itu merapat pada dinding toko, dan kemudian masuk untuk berbelanja. Tanpa beragu-ragu sedetik pun, Megan menyambar pegangan kereta bayi itu dan mendorongnya menyeberangi jalanan, memasuki
taman itu. Petugas-petugas polisi itu kini berjalan di sepanjang jalanan tempat bangku-bangku itu berjajar, menanyai
orang-orang yang duduk di bangku-bangku itu. Megan
mendorong kereta bayi itu melewati seorang polisi dan cepat mendekati Jaime.
Megan berteriak, "Madre de Dios! Ada di sini, kau, Manuel! Telah kucari dirimu ke mana-mana! Pokoknya, aku tidak tahan lagi! Kau berjanji pagi ini akan mengecat rumah, tahu-tahunya kau duduk di taman sini bagaikan
seorang jutawan! Ibu memang benar sekali. Kau memang
seorang lelaki yang tidak ada gunanya. Semestinya aku tidak kawin denganmu!"
Jaime memerlukan sepecahan detik saja untuk
menangkap isyarat Megan itu. Ia cepat bangkit berdiri.
"Ibumu memang ahli tentang orang-orang gelandangan. Ia telah kawin dengan seorang gelandangan. Kalau ia. ."
"Kau pikir dirimu sendiri itu apa" Beraninya kau berbicara seperti itu tentang ibuku! Kalau bukannya karena ibu, bayi kita sudah lama mati kelaparan. Kau sama sekali tidak membawa pulang uang untuk membeli roti selama ini
" Petugas-petugas polisi itu berhenti, ikut mendengarkan pertimgkaran itu.
"Kalau wanita seperti itu menjadi istriku." Seorang dri polisi itu menggumam, "Sudah kukembalikan pada orang tuanya."
"Aku sudah kesal dengan kecerewetan dan kerewelanmu, perempuan!" Jaime membentak. "Sudah kuperingatkan dirimu. Kalau kita sudah di rumah, kau
rasakan sendiri nanti!"
"Nah, begitulah seorang suami harus bersikap." Seorang polisi lagi berkata.
Jamie dan Megan dengan masih tetap bertengkar
berjalan pergi, meninggalkan taman itu, dan kereta bayi itu mereka dorong bersama. Petugas-petugas polisi itu kembali pada tugas mereka mengarkan perhatian kepada orang-orang yang duduk dl bangku-bangku itu.
"Kartu pengenal Anda. .!"
"Ada apa, sersan?"
"Jangan banyak bertanya. Tunjukkan saja kartu pengenal Anda."
Orang-orang yang berada di taman itu, semuanya, sibuk mengeluarkan
dompet-dompet mereka dan memperlihatkan kartu identitas mereka. Di tengah
kesibukan itu, seorang bayi mulai menangis.
Seorang dari petugas polisi itu melihat ke arah
datangnya suara bayi itu. Kereta bayi itu telah ditinggalkan di suatu sudut taman. Pasangan yang bertengkar itu telah lenyap dari pemandangan.
Tiga puluh menit kemudian, Megan masuk lewat pintu
depan rumah itu. Amparo tampak berjalan mondar mandir dengan gelisah di dalam rumah itu.
"Dari mana saja kau?" Amparo menegur. "Semestinya kau tidak meninggalkan rumah ini tanpa memberitahu
aku." "Aku harus keluar sebentar mengurus sesuatu."
"Apa?" Amparo bertanya dengan curiga. "Kau tidak mengenal seorang pun di sini. Kalau kau. ."
Jaime berjalan masuk, dan darah seakan-akan terkuras
dari wajah Amparo. Pucat. Tetapi ia cepat menguasai
dirinya kembali. "Apa. . Apa yang telah terjadi?" Amparo bertanya. "Kau tidak pergi ke taman itu?"
Jaime berkata dengan tenang, "Mengapa, Amparo?"
Dan Amparo melihat sorot mata pria itu, dan disadarinya bahwa segala sesuatunya telah berakhir.
"Apakah yang membuat dirimu berubah?"
Amparo menggelengkan kepalanya. "Aku tidak berubah.
Kau yang berubah. Aku telah kehilangan semua orang yang kucintai dalam perang gila yang kau lakukan ini. Aku sudah muak dengan segala pertumpahan darah ini. Kau mau
mendengar kebenaran mengenai dirimu sendiri, Jaime"
Kau ini sama buruknya dengan pemerintah yang kau lawan.
Lebih buruk lagi, karena mereka bersedia berdamai,
sedangkan kau tidak mau. Kaupikir kau ini sedang
menolong negri kita" Kau menghancurkannya. Kau
merampok bank dan meledakkan kereta dan membunuh
orang-orang tidak bersalah, dan kau menganggap dirimu seorang pahlawan. Aku telah mencintai dirimu, dan dulu aku yakin akan dirimu, tetapi. ." Suara Amparo itu terputus.
"Pertumpahap darah ini harus berakhir."
Jaime berjalan mendekati wanita itu, pandangan
matanya sedingin es. "Harus kubunuh kau."
"Tidak." Megan berseru, terengah-engah. "Jangan! Kau tidak dapat membunuhnya!"
Felix telah masuk ke dalam ruangan itu dan
mendengarkan percakapan itu. "Jesus Kristus! Jadi ia pengkhianat itu. Apakah yang akan kit a lakukan dengan anjing betina ini?"
Jaime berkata, "Kita harus membawanya bersama kita dan selalu mengawasinya." Jaime memegang Amparo pada bahunya dan berkata dengan suara pelan, "Kalau kau mencoba membuat onar satu kali saja, aku berjanji bahwa kau akan mati."
Jaime mendorongnya pergi, dan ia berpaling pada Megan dan Felix. "Ayo kita keluar dari sini, sebelum kerabat-kerabatnya datang."
-odwo- BAB TIGA PULUH TIGA "JAIME MIRO ITU SUDAH DI TANGANMU, TETAPI KAU
MEMBIARKANNY A LOLOS?"
"Kolonel. . orang-orangku.. "
"Orang-orangmu itu goblok semua. Kalian menyebut diri kalian anggota kepolisian" Kalian semua merupakan suatu cemar bagi seragam kalian!"
Kepala polisi itu berdiri di situ, menerima hujatan demi hujaman yang dilontarkan oleh kolonel Acoca itu. Tidak ada yang dapat ia perbuat, karena kolonel itu cukup berkuasa untuk memecahkan kepalanya. Dan Acoca memang belum


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selesai dengan dirinya. "Aku mempertanggungjawabkan ini padamu. Akan
kuperintahkan penghukuman dirimu dengan pemecatan."
"Kolonel. ." "Enyahlah dari sini. Kau memuakkan aku."
Kolonel mendidih dalam frustrasinya. Ternyata waktu
tidak cukup baginya untuk sampai di Vitoria menangkap Jaime Miro yang sudah dijebaknya itu. Ia telah terpaksa menyerahkan tugas itu pada polisi setempat, dan mereka telah gagal total. Kini hanya Tuhanlah yang mengetahui di mana Jaime Miro berada.
Kolonel mempelajari peta yang tergelar di depannya.
Mereka tentu akan tinggal di daerah Basque. Itu berarti di Burgos atau Logrono atau Bilbao atau San Sebastian. Biar aku memusatkan perhatianku pada daerah timur laut.
Bagaimana pun mereka harus muncul di salah satu tempat itu.
Diingatnya kembali percakapannya dengan perdana
menteri pagi itu. "Waktumu sudah mendekati habis, kolonel. Sudah kau baca surat kabar pagi" Pers dunia membuat diri kita
menjadi buah tertawaan umum. Miro dan biarawatibiarawati itu telah menjadikan diri kita sasaran kecaman dan lelucon umum."
"Tuan Perdana Menteri, aku berani memberi kepastian kepada tuan. ."
"Raja Juan Carlos telah memerintahkan padaku untuk mendirikan sebuah dewan pemeriksaan mengenai seluruh
persoalan ini. Aku tidak dapat menunda-nundanya lebih lama lagi."
"Tolong tunda pemeriksaan itu selama beberapa hari lagi. Dalam waktu itu aku akan sudah dapat menangkap
Miro dan para biarawati itu."
Hening sejenak. "Empat puluh delapan jam."
Yang menjadi kekhawatiran Acoca bukanlah kekecewaan perdana menteri ataupun raja. Yang paling
dikhawatirkannya adalah kemarahan Opus Mundo. Ketika
ia dipanggil menghadap di kantor salah satu industrialis terkemuka Spanyol, perintah-perintah yang diterimanya jelas sekali." Jaime Miro telah menciptakan suatu suasana yang membahayakan organisasi kita. Hentikan Miro itu.
Kau akan menerima penghargaan yang sepadan."
Dan kolonel Acoca menyadari bagian yang tidak
diucapkan dari perintah itu. Jika kau gagal, maka kau akan dihukum. Kini seluruh karirnya dalam bahaya. Dan ini
semua karena kegoblokan kepolisian itu, yang membiarkan Jaime Miro meloloskan diri di depan hidung mereka. Jaime Miro tentu dapat bersembunyi di mana saja. Namun para biarawati itu. . Suatu gelombang semangat melanda diri kolonel Acoca. Mereka itulah, para biarawati itulah yang menjadi kuncinya. Para biarawati itu hanya dapat
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 5 Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti Sweet Enemy 2

Cari Blog Ini